KETAHANAN PANAS CEMARAN Escherichia coli

advertisement
KETAHANAN PANAS CEMARAN Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus
cereus dan BAKTERI PEMBENTUK SPORA yang DIISOLASI DARI PROSES
PEMBUATAN TAHU DI SUDAGARAN YOGYAKARTA
Heat Resistance of Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and Spore
Forming Bacteria Contamination Iisolated from Tofu Production at Sudagaran Yogyakarta
Reny Mailia
12 / 337675 / PTP / 01188
ABSTRAK
Karakteristik tahu dengan a w 0,89-0,90 dan kadar protein 8% atau lebih, menjadikan tahu sebagai
media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri. Hal ini menyebabkan tahu menjadi sangat mudah
rusak karena cemaran bakteri. Cemaran bakteri yang ditemukan dalam tahu dikarenakan pada
proses pembuatan tahu terjadi kontaminasi. Sumber pencemaran tahu berasal dari bahan
baku, selama proses pembuatan tahu dan tingkat higinis sanitasi selama proses pengolahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus dan Bakteri pembentuk spora pada proses pembuatan tahu dan
mempelajari sifat ketahanan panas dari masing -masing cemaran. Tahapan penelitian dimulai
dari pengamatan proses pembuatan tahu, isolasi dan identifikasi dan analisa kuantitatif
cemaran Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk
spora pada proses pembuatan tahu mulai dari bahan baku yaitu air dan kedelai, bubur kedelai,
sari kedelai masak, gumpalan tahu, kecutan dan tahu. Isolat yang berasal dari proses
pemasakan dan proses penggumpalan digunakan untuk pengujian ketahanan pan as (nilai D
dan Z). Penghitungan nilai D dan Z menggunakan regresi linier. Escherichia coli ditemukan
pada air, kedelai, bubur kedelai, gumpalan tahu dan tahu, dengan jumlah 10 1 -102 CFU/g. Isolat
Escherichia coli GMP, nilai D60C =4,83 menit dan nilai Z=22,73C. Staphylococcus aureus
ditemukan pada kedelai, gumpalan tahu dan tahu, dengan jumlah 10 1 CFU/g. Isolat
Staphylococcus aureus GMP 4, memiliki nilai D 60C =2,72 menit dan nilai Z =18,87C. Untuk
isolat Staphylococcus aureus GMP 6, nilai D60C =2,54 menit dan nilai Z =18,18C. Bacillus
cereus ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai, sari kedelai masak, gumpalan tahu dan tahu,
dengan jumlah 10 2 -103 CFU/g. Sel vegetatif Bacillus cereus SK 2, memiliki nilai D 60C =5,43
menit dan nilai Z =22,72C. Untuk sel vegetatif Bacillus cereus SK 4, memiliki nilai D 60C =5,95
menit dan nilai Z =22,22C. Bakteri pembentuk spora ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai
pada proses penggilingan, sari kedelai masak, gumpalan tahu, kecutan dan tahu, dengan jumlah
102 CFU/g.
Kata kunci : tahu, Escherichia coli, Staphylococcue aureus, Bacillus cereus, bakteri
pembentuk spora, ketahanan panas
ABSTRACT
Characteristics of tofu with higher aw (0.89 to 0.90) and protein levels of 8% or more, made
tofu to be a suitable medium for bacterial growth. This leads to out to be very easy to damage
due to bacterial contamination. Contamination of bacteria commonly found in the tofu
because of contamination in the process making of tofu. Source contamination can come out
from the raw material, during the process of making tofu and hygienic sanitation level during
processing. Generally, this study aims to determine the level of contamination of Escherichia
coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and spore-forming bacteria in the process of
making tofu and study the properties of heat resistance of each isolate. Phases of of the study
started with the isolation and identification and then quantitative analysis of Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and spore-forming bacteria in the tofu process from
raw materials to end product, tofu, is water and soybean, slurry, soymilk cooking, curd, whey
and tofu. Isolates originating from the cooking process and the coagulation process for testing
the heat resistance (D value and Z value). D and Z values calculated using linear regression.
Escherichia coli found in the water, soybeans, soybean slurry, curd and tofu, the number 10 1
-102 CFU/g. Escherichia coli GMP isolate have D60C =4,83 min and the value of Z = 22.73 C.
Staphylococcus aureus found in soybeans and curd, the number of 10 1 CFU/g . The
Staphylococcus aureus GMP 4 isolate, have D60C =2.72 min and the value of Z = 18.87C.
The Staphylococcus aureus GMP 6 isolate, have D60C =2.54 min and the value of Z =
18.18C. Bacillus cereus found in the water, soybean, soybean slurry, soymilk cooking, curd
and tofu , the number 10 2 -103 CFU/g. Bacillus cereus vegetative cells SK 2 have D60C =5.43
min and the value of Z = 22.72C. Bacillus cereus vegetative cells SK 4 have D60C =5.95 min
and the value of Z = 22.22C. Spore-forming bacteria found in water , soybean, soybean
slurry from the grinding process, the process cooking of soymilk, the process of clotting,
whey and tofu, with a number of 10 2 CFU/g .
Keywords: tofu, Escherichia coli, Staphylococcue aureus, Bacillus cereus, a spore forming
bacteria, heat resistance
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Tahu termasuk ke dalam golongan pangan yang sangat mudah rusak karena
komposisi tahu yang banyak mengandung protein berkisar antara hingga 8% atau
lebih dan Aw hingga 0,89-0,99, hal ini menyebabkan tahu menjadi media yang
cocok untuk tumbuhnya mikroba sehingga tahu mudah mengalami pembusukan
oleh bakteri pembusuk. Tingkat populasi bakteri yang tinggi berdampak negatif
terhadap kualitas tahu karena bakteri yang tumbuh dan berkembang biak akan
menghasilkan produk samping yang akan merubah mutu tahu.
Sumber pencemaran yang berpotensi untuk mencemari tahu dapat melalui
bahan baku yaitu kedelai atau air yang digunakan selama proses pembuatan tahu.
Lingkungan produksi dan pekerja juga dapat menjadi sumber kontaminasi bakteri
selama proses pembuatan tahu. Tanah dan air merupakan habitat dari banyak
bakteri diantaranya Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus
dan bakteri pembentuk spora. Staphylococcus aureus juga ditemukan di dalam
saluran pernapasan, permukaan ku lit dan rambut (Baird-Parker, 2000).
Cemaran bakteri yang dipersyaratkan pada tahu, b erdasarkan Standar
Nasional Indonesia tahun 2008 adalah Escherichia coli dan Salmonella.
Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods
yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration Philippines tahun 2013,
bakteri yang dipersyaratkan untuk kualitas tahu selama proses pembuatan tahu
1
adalah Bacillus cereus, Staphylococcus aureus koagulase positif dan Escherichia
coli.
Untuk mengetahui sumbe r cemaran bakteri pada tahu perlu dilakukan
identifikasi cemaran pada setiap tahapan dalam alur proses pembuatan tahu
sehingga dapat dilakukan pencegahan. Umumnya penelitian yang ada saat ini,
melihat total cemaran bakteri pada tahu belum kepada sumber cem arannya pada
alur proses pembuatan tahu . Untuk menekan jumlah cemaran bakteri yang
berhasil diisolasi dilakukan dengan proses pemanasan dengan suhu dan waktu
tertentu yang mampu membunuh bakteri.
Penelitian ini melakukan deteksi cemaran Escherichia coli, Staphylococus
aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lain pada proses pembuatan
tahu, mulai dari bahan baku yang digunakan hingga produk akhir. Penelitian ini
juga mempelajari karakteristik ketahanan terhadap panas dari bakteri yang
diisolasi dari proses pembuatan tahu yaitu pada proses pemasakan dan proses
penggumpalan untuk mengetahui ketahanan panas dari cemaran bakteri
Escherichia coli, Staphylococus aureus, Bacillus cereus yang diisolasi dari alur
proses pembuatan tahu.
2.
Permasalahan
Permasalahan pada produksi tahu adalah kerusakan tahu yang disebabkan
oleh cemaran bakteri mulai dari bahan baku hingga produk akhir.
3.
Tujuan
3.1. Tujuan Umum
2
Mengetahui tingkat cemaran Escherichia coli, Staphylococus aureus,
Bacilus cereus dan bakteri pembentuk spora dari proses pembuatan tahu.
3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui total bakteri dan total Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lain dari proses
pembuatan tahu
2. Mempelajari sifat ketahanan terhadap panas dari Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lain
yang di isolasi dari proses pembuatan tahu
4.
Manfaat penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang cemaran
dan sifat ketahanan terhadap panas dari Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora dari proses pembuatan tahu. Dengan
mengetahui sumber cemaran bakteri dan sifat ketahanan terhadap panas dari
cemaran bakteri pada tahu diharapkan dapat dilakukan perbaikan proses sehingga
bisa menghasilkan tahu yang memenuhi kualitas mutu sebagaimana yang telah
dipersyaratkan oleh pemerintah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Tahu
Kandungan nilai gizi yang baik dan cara pengolahan yang sederhana
membuat hasil olahan dari kedelai menja di salah satu alternatif untuk dapat
memenuhi kebutuhan terutama gizi dengan harga yang lebih terjangkau. Salah
satu hasil olahan kedelai yang cukup dikenal di masyarakat adalah tahu. Pada tahu
terdapat berbagai macam kandungan gizi, seperti protein, lemak , karbohidrat,
kalori dan mineral, fosfor, vitamin B -kompleks seperti thiamin, riboflavin,
vitamin E, vitamin B12, kalium dan kalsium . Pada makanan hasil olahan kedelai
juga membawa manfaat untuk kesehatan jantung karena kedelai mengandung
isoflavon, asam amino esensial, anti hipertensi, antioksidan dan tokoferol
(Serrazanetti dkk, 2013).
Tahu mempunyai mutu protein nabati terbaik karena mempunyai komp osisi
asam amino paling lengkap, disamping itu tahu mengandung 50% protein dan
27% lemak, juga mengandung karbohidrat dan mineral. Sehingga t ahu dapat
digunakan sebagai alternatif sumber protein dengan harga yang lebih murah.
Walaupun kandungan gizi dalam tahu memang masih kalah dibandingkan protein
hewani seperti telur, daging dan ikan (Rekha dan Vijayalakshm i, 2013).
Berdasarkan pengertian dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun
1998, tahu merupakan produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui
proses pengolahan kedelai ( Glycine max) dengan prinsip pengendapan protein,
dengan atau tidak ditamba h bahan lain yang diizinkan. Dasar pembuatan tahu
4
adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan
air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, kemudian diendapkan
kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terben tuk gumpalan
protein yang akan menjadi tahu. Kualitas tahu yang baik memiliki kualitas
sensoris dan mikrobiologi sesuai dengan standar SNI 01 -3142-1998 (tabel 2.1).
Tabel 2.1. Syarat mutu tahu
Jenis Uji
Keadaan :
Bau
Rasa
Warna
Penampakan
Abu
Protein
Lemak
Serat kasar
Bahan
tambahan
makanan
Cemaran logam :
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
Seng (Zn)
Timah (Sn)
Raksa (Hg)
Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroorganisme :
E.coli
Salmonella
Satuan
Persyaratan
Normal
Normal
Putih normal atau kuning normal
Normal, tidak berlendir, dan tidak
berjamur
Maksimal 1,0
Minimal 9,0
Minimal 0,5
Maksimal 0,1
Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.711/Men/Kes/Per/IX/1988
% (b/b)
% (b/b)
% (b/b)
% (b/b)
% (b/b)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maksimal 2,0
Maksimal 30,0
Maksimal 40,0
Maksimal 40,0 atau 250,0 (dalam kaleng)
Maksimal 0,03
Maksimal 1,0
APM/g
/25 g
Maksimal 10
Negatif
Sumber : SNI 01-3142-1998 Tentang Tahu
Kandungan gizi dalam tahu dengan kadar protein, lemak dan karbohidrat
yang baik sehingga tahu sering digunakan sebagai alternatif sumber protein
pengganti protein hewani dengan harga yang lebih terjangkau. Nilai gizi dalam
100 g tahu dapat dilihat pada tabel 2.2.
5
Tabel 2.2 . Nilai gizi Tahu per 100 g ((3.5 oz)
Komposisi
Energi
Karbohidrat
Lemak
Protein
Kalsium
Besi
Magnesium
Sodium
Satuan
kcal
gram
gram
Gram
Mg
Mg
Mg
Mg
Jumlah
76
1,9
0,7
8,1
350 (35%)
5,4 (43%)
30 (8%)
7 (0%)
Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference SR18
Disamping kadar protein yang dikandung mutu protein juga dilihat dari dari
kandungan asam amino penyusunnya. Diantara semua produk olahan kedelai,
kandungan asam amino tahu adalah yang paling lengkap (Mustafa, 2010).
Disamping itu jumlah asam amino pada tahu dapat memenuhi a njuran kebutuhan
tubuh manusia terhadap asam amino yang dipersyaratkan oleh FAO/WHO (tabel
2.3).
Tabel 2.3. Komposisi asam mino tahu dibandingkan dengan komposisi asam
Amino yang dianjurkan FAO/WHO Tahun 2002
Jenis Asam Amino
Metionin & sistin
Threonin
Valin
Lisin
Leusin
Isoleusin
Fenilalanin & Tirosin
Triptofan
Anjuran FAO/WHO
(mg/g)*
220
250
310
340
440
250
380
220
Komposisi Asam Amino
Tahu (mg/gN)
156
178
264
333
448
261
490
96
Sumber : WHO Technical Report Series Protein and Amino Acid Requir ements in
Human Nutrition *) tahun 2002
Karakteristik tahu dengan kandungan protein berkisar antara 8% atau lebih
dan aw 0,89-0,99; menyebabkan tahu mudah mengalami pembusukan oleh bakteri
6
pembusuk. Pencemaran bakteri ini akan mempengaruhi mutu tahu karena bahan
pangan ini cepat mengalami kerusakan. Tahu hanya dapat tahan selama kurang
lebih tiga hari tanpa menggunakan bahan pengawet .
Penyimpanan dengan pendinginan (suhu 4 C), akan menekan jumlah bakteri
awal, jumlah bakteri awal yang rendah maka waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai level pembusukan akan semakin lama . Tahu yang tidak disimpan
dingin, dengan total bakteri awal 10 6 CFU/g dalam waktu kurang dari tiga hari
total bakteri akan mencapai 10 7 CFU/g, sedangkan untuk tahu yang disimpan
dalam kondisi dingin, terjadi kenaikan 2 log cycle pada hari ke -7 dari bakteri awal
(Rahayu dkk, 2012).
Kategori pangan yang dikelua rkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah
Badan Pengawas Obat dan Makanan, tahu termasuk dalam jenis makanan segar
yang akan melewati proses pengolahan seperti penggorengan sebelum konsumsi,
dengan pengolahan yang baik maka akan mengurangi jumlah cemaran bakteri
pada tahu. Jumlah bakteri awal pada suatu jenis pangan tetap harus dikendalikan
agar memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
1.1. Kedelai
Kedelai (Glycine max) adalah salah satu tanaman polong -polongan yang
menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia timur seperti kecap, tahu, dan
tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia.
Pusat Data dan Informasi Perta nian tahun 2013, menyebutkan konsumsi kedelai di
7
Indonesia mencapai 2,2 juta ton per tahun, dari jumlah itu sekitar 1,6 juta ton
(75%) harus diimpor.
Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk
industri rumahan (tahu, tempe), yang jenis makanan ini semakin banyak atau
populer digunakan sebagai substitusi untuk produk hewani pada beberapa kondisi.
Tahu dan tempe adalah pangan utama dengan bahan baku dari kedelai. Besarnya
rata-rata konsumsi tahu dan tempe t ahun 2002-2012 rata-rata konsumsi tahu
sebesar 7,28 kg/kapita/th (Anonim 1, 2013).
Produk fermentasi dari kedelai yang melibatkan khamir, bakteri atau kapang
baik yang dilakukan secara tunggal atau campuran dari ketiga mikroba tersebut
akan menghasilkan produk hasil fermentasi dengan f lavor, tekstur dan aroma yang
spesifik. Pangan olahan yang berasal dari k edelai yang banyak dikenal di
Indonesia diantaranya adalah tempe, tahu dan tauco. Kedelai termasuk salah satu
sumber protein yang harganya relatif murah jika dibandingkan dengan sumbe r
protein hewani. Kedelai mengandung 40% protein dan 20% lemak, disamping itu
kedelai diketahui juga mengandung phospolipid, vitamin, mineral dan Isoflavon
yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Nishinari dkk, 2014).
Protein kedelai mengandung asam amino paling lengkap dibandingkan
kacang-kacangan yang lain karena memiliki asam amino esensial yang diperlukan
oleh tubuh. Kedelai juga mengandung komponen anti gizi dan penyebab bau
langu yang tidak disukai. Kedelai yang baik untuk diolah menjadi tahu adalah
kedelai yang sudah cukup tua, tidak tercampur dengan benda asing, utuh, tidak
berjamur serta berwarna normal (Rahayu dkk, 2012).
8
1.2. Proses pembuatan Tahu
Proses pembuatan tahu biasanya diawali dengan perendaman dan pencucian
kedelai. Kedelai sebagai bahan uta ma dalam pembuatan tahu, sebelumnya harus
di rendam dan dicuci. Pencucian kedelai dimaksudkan agar kedelai bersih dari
kotoran seperti batu, kayu ataupun batang kedelai sehingga akan diperoleh tahu
dengan cita rasa yang khas, putih dan tahan lama . Proses selanjutnya dilakukan
perendaman yang bertujuan untuk melunakkan struktur selulernya karena air yang
masuk ke dalam sel-sel biji kedelai akan mengalami pengembangan sehingga
akan mempermudah pada proses penggilingan.
Lamanya perendaman tergantung pada suhu air perendaman, umur dan
varietas kedelai. Lama perendaman kedelai akan berpengaruh terhadap kadar
protein dan pH. Semakin lama perendaman maka kadar protein dan pH semakin
menurun sedangkan kadar air semakin meningkat. Perendaman yang terlalu lama
akan menurunkan kadar protein, hal ini disebabkan karena lepasnya ikatan
struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam air. Penurunan pH
selama perendaman disebabkan karena aktifitas mikrobiologi. Rasa-aroma dan
tekstur tahu juga akan dipengaruhi ole h lamanya waktu perendaman (Suhaidi,
2003).
Perendaman juga bertujuan menghilangkan oligosakarida , oligosakarida
adalah jenis karbohidrat yang merupakan polimer dari dua sampai sepuluh
monosakarida, yang dapat menyebabkan timbulnya gas . Oligosakarida yang
mengandung ikatan alfa-galaktosida berhubungan dengan timbulnya flaktulensi,
yaitu menumpuknya gas-gas dalam perut. Jenis oligosakarida penyebab flatulensi
9
tersebut banyak terdapat dalam kacang -kacangan, biji-bijian dan hasil tanaman
lain. Banyak usaha yang telah dikerjakan untuk menghilangkan oligosakarida
dalam kacang-kacangan yang bisa dikomsumsi, d iantara adalah dengan
perendaman yang diikuti proses perkecambahan, dan fermentasi misalnya
pembuatan tempe, kecap dan tauco (Santoso, 2005) .
Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan lalu digiling dengan disertai
penambahan air. Tujuan penggilingan adalah untuk memperkecil ukuran partikel
sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan dapat memudahkan pada saat
melakukan ekstraksi susu kedelai. Saat penggilingan selalu dilakukan penyiraman
dengan memakai air sedikit demi sedikit (sebaiknya digunakan air mendidih untuk
mempertinggi rendeman dan sekaligus menghilangkan bau langu kedelai).
Perbandingan berat kedelai kering dan air yang baik adalah sebesar 1:10.
Kedelai yang telah digiling kemudian dimasak, pemasakan ini dimaksudkan
untuk menginaktifasi trypsin inhibitor, meningkatkan nilai gizi dan kualitas
kedelai, mengurangi rasa mentah dan bau langu susu kedelai, menambah
keawetan produk akhir, dan merubah sifat p rotein kacang kedelai sehingga mudah
dikoagulasikan. Pemasakan dilakukan pada api besar, p ada pendidihan pertama
ditandai dengan terbentuk busa pada permukaan bubur kedelai maka segera
disiram air bersih dingin secukupnya secara merata di seluruh permukaan .
Pendidihan kedua, berarti perebusan bubur kedelai sudah dianggap cukup.
Pemasakan pada suhu 100°C selama 7-14 menit akan memberikan hasil tahu yang
baik.
10
Bubur kedelai kemudian disaring dengan saringan yang terbuat dari kain.
Hasil saringan ditampung da lam bak penggumpalan. Sari kedelai kemudian
dicampur pelan-pelan dan sedikit demi sedikit dengan bahan penggumpal yang
telah disiapkan. Senyawa penggumpal yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat
(CaSO4, dikenal sebagai batu tahu atau sioko), asam cuka, dan biang tahu (cairan
bekas perasan tahu yang diinapkan).
Faktor yang mempengaruhi proses penggumpalan yang akan mempengaruhi
hasil dan tekstur tahu yang dihasilkan, jenis dan jumlah penggumpal yang digunakan ,
cara penambahan dan pencampuran bahan penggum pal dan lamanya proses
penggumpalan akan mempengaruhi tahu yang dihasilkan. Proses ini juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya varietas dan komposisi kimia kedelai, suhu
pemasakan sari kedelai, volume sari ke delai, padatan terlarut dan pH (Andik a
dkk,2009). Suhu dari sari kedelai saat ditambahkan koagulan juga sangat
mempengaruhi hasil dan tekstur tahu. Semakin tinggi suhu saat penggumpalan,
hasil dan kadar air tahu akan lebih rendah (Wang dkk,1984). Umumnya suhu awal
pada saat proses penggumpala n di industri rumah tangga berkisar antara 70 -80C.
Bahan penggumpal yang u mum digunakan oleh industri rumah tangga
adalah kecutan atau biang tahu sebagai bahan penggumpalan , kecutan merupakan
cairan bening yang berwarna kekuningan yang berasal dari air be ningan (whey)
dari proses pembuatan tahu sebelumnya . Kecutan yang disimpan selama semalam,
memiliki keasaman yang tinggi biasanya memiliki kisaran pH antara 3 -4, hal ini
dikarenakan terbentuk asam-asam organik oleh aktivitas mikroba yang ada dalam
kecutan (Rahayu, 2012).
11
Kecutan memiliki suhu sekitar 60-70C. Suhu ini akan turun perlahan -lahan
hingga mencapai 30C setelah 14-15 jam. Dengan whey yang bersuhu tinggi maka
diperkirakan bakteri-bakteri yang mampu bertahan adalah genera Bacillus,
Lactobacillus dan Streptocooccus (Hikam, 2009).
Cairan whey kemudian dipisahkan dari endapan agar proses pencetakan
dapat dilakukan dengan mudah dan tahu yang dihasilkan mempunyai konsistensi
yang lebih baik. Setelah penggumpalan terjadi didiamkan beberapa saat kemudian
dilakukan pemisahan antara cairan ( whey) dengan protein yang tergumpal ( curd).
Cairan kedelai yang semula berwarna putih susu akan “pecah” dan di dalamnya
terbentuk butiran-butiran protein yang akhirnya akan membentuk gumpalan dan
mengendap ke dasar bak (ba kal tahu). Setelah itu, cairan akan menjadi bening.
Bila demikian berarti seluruh protein sudah menggumpal dan mengendap. Cairan
bening diambil dan disimpan semalam untuk digunakan sebagai bahan
penggumpalan pada pembuatan tahu berikutnya.
Gumpalan yang terbentuk selanjutnya dicetak dengan memasukkannya ke
dalam cetakan yang telah dialasi kain blacu berwarna putih, lalu bagian atas juga
ditutup dengan kain serupa dan papan. Diatas papan selanjutnya diletakkan
pemberat hingga air tahu menetes habis dan ter bentuklah tahu yang sudah
tercetak. Setelah itu tahu siap dipotong dan dipasarkan.
2.
Sumber Pencemaran Bakteri Pada Tahu
Bakteri yang ditemukan dalam tahu biasanya dikarenakan pada proses
pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama pencemaran bakteri pada tahu
12
biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air yang menjadi sumber utama
dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan bakteri pembentuk spora
seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah
makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri.
Kedelai sebagai bahan baku untuk pembuatan tahu, merupakan sumber
pencemaran bakteri Bacillus dan bakteri pembentuk spora yang berasal dari tanah.
Bacillus cereus dapat ditemukan pada berbagai jenis pangan, seperti beras,
kentang dan pasta, daging dan hasil lahannya, susu dan hasil olahan susu, biji bijian, bumbu, sayuran dan juga pada kacang -kacangan kering (Rajkovic dkk,
2013). Kontaminasi kedelai dapat terjadi melalui tanah, dimana tanah merupakan
habitat dari banyak mikroba diantaranya Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Bacillus sp (Willshaw dkk, Baird-Parker, dkk, Granum, dkk, 2000). Bacillus
cereus atau bakteri pembentuk spora lainnya merupakan bakteri yang tahan
terhadap pemanasan sehingga pada proses pemasakan ha nya mematikan sel
vegetatifnya sedangkan sporanya dapat tetap bertahan.
Air sebagai bahan yang selalu terlibat pada setiap tahap proses pembuatan
tahu, maka air berpeluang sebagai sumber kontaminasi oleh bakteri patogen yang
berbahaya bagi konsumen apabila sanitasinya kurang baik. Air yang digunakan
untuk proses pangan harus memiliki kualitas sebagai air bersih. Beberapa spesies
bakteri
yang
umumnya
terdapat
di
dalam
air
adalah
Pseudomonas,
Chromobacterium, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, dan jenis
enterokokus diantaranya Enterobakter dan Escherichia (Frazier dan Westhoff,
1978 dalam Budi, 2010).
13
Kondisi lingkungan produksi yang tidak bersih dapat menjadi sumber
pencemaran bakteri, oleh karena itu lingkungan tempat produksi harus
diperhatikan kebersihannya. Lingkungan tempat produksi harus jauh dari sumber
pencemaran seperti tempat sampah, hewan ternak dan saluran pembuangan.
Tingkat higinis dan sanitasi pekerja menjadi sumber kontaminasi Staphylococcus
aureus. Bakteri ini banyak dijumpai pada permukaan kulit, hidung dan
tenggorokan manusia, sehingga pada saat mengolah makanan pekerja harus dalam
kondisi yang sehat.
Standar kualitas tahu selain Standar Nasional Indonesia , ada juga beberapa
standar yang menetapkan kualitas mutu tahu terutama dari mutu secara
mikrobiologis, seperti standar yang dikeluarkan oleh Soyfoods Association of
America yang mensyaratkan kualitas tahu yang baik adalah total bakteri  2000
CFU/g, bakteri patogen Staphylococcus aureus, Salmonella, Entheropatogenic
Escherichia coli, Vibrio parahaemolyticus , dan Yersinia enterocolitica negatif.
Food and Drug Administration tahun 2013 juga mengeluarkan Guidelines
for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods , untuk kualitas
tahu yang dipersyaratkan adalah bak teri
Bacillus cereus
102 CFU/g,
Staphylococcus aureus koagulase positif 10 2 CFU/g dan Escherichia coli < 10
CFU/g.
3.
Cemaran Bakteri Pada Tahu
Komposisi suatu bahan pangan sangat menentukan jenis mikroorganisme
yang dapat tumbuh dengan baik pada bahan terse but. Mikroorganisme penyebab
14
kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH netral terutama
berasal dari golongan bakteri . Bakteri pembusuk yang menyebabkan kerusakan
pada tahu seperti Pseudomonas spp, Coliform, Bacillus spp, Klebsiella spp,
Leuconostoc spp dan Staphylococcus spp telah banyak diutarakan dalam berbagai
hasil penelitian (Serrazanetti dkk, 2013)
Bahan pangan disebut busuk atau rusak jika sifat -sifatnya telah berubah
sehingga tidak dapat diterima lagi oleh panca indera. Perubahan yang dapat
terlihat dari luar apabila telah mengalami kerusakan, yaitu mengeluarkan bau
asam sampai busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak,
kekompakan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, kadang -kadang
berjamur pada permukaan. Untuk mencegah timbulnya bahaya dalam makanan,
maka proses harus dikendalikan sebaik -baiknya agar bahan-bahan berbahaya
tersebut tidak mencemari makanan. Jenis -jenis kerusakan tahu, bila ditinjau dari
penyebabnya jenis kerusakan, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
3.1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik pada tahu ditandai dengan perubahan sensoris antara lain
warna tahu menjadi keruh atau berwarna lain yang berbeda dengan warna awalnya
misal
adanya
mikroorganisme
bercak-bercak
yang
kuning.
menghasilkan
Perubahan
warna
koloni-koloni
yang
terjadi
karena
berwarna
atau
mempunyai pigmen yang dapat memberi warna baik di dalam maupun di
permukaan bahan pangan yang tercemar. Ciri kerusakan fisik juga dapat dilihat
dari perubahan tekstur tahu menjadi lunak, permukaan berlendir, hal ini dapat
15
dikaitkan dengan kemampuan beberapa bakteri untuk membentuk bahan kapsul ,
kadang-kadang berjamur, serta rasa dan aromanya menjadi asam. Kerusakan tahu
disebabkan oleh aktivitas bakteri yang tumbuh dan berkembang biak dan hasil
metabolit dari bakteri akan dikeluarkan pada bahan makanan sehingga terjadi
perubahan secara fisik.
3.2. Kerusakan Mikrobiologis
Kerusakan mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara
lain adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora
dan termodurik, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama
proses pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi, suhu penyimpanan, dan
adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tert entu.
Penyebab kerusakan mikrob iologis adalah bermacam -macam mikroba
seperti kapang, khamir dan bakteri. Keberadaan bakteri pada makanan umumnya
didukung oleh kandungan nu trisi pada makanan tersebut yang merupakan kondisi
yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Cemaran bakteri ini
menyebabkan penurunan kualitas pada makanan dan dapat menyebabkan
keracunan. Penyimpanan pada suhu ruang meningkatkan jumlah bakteri, terutama
pada makanan yang disajikan di tempat terbuka dan dapat tercemar bakteri
patogen. Pada tabel 2.4 kita dapat meli hat publikasi hasil penelitian yang berhasil
mengisolasi beberapa jenis bakteri yang terdapat pada tahu dan susu kedelai .
16
Tabel 2.4. Publikasi hasil penelitian yang mengisolasi bakteri patogen pada
tahu dan susu kedelai
Peneliti
Agboke, dkk
Tahun
Hasil Penelitian
2012
melaporkan hasil penelitian pada 10 sampel susu kedelai
di Nigeria ditemukan bakteri patogen seperti
Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan beberapa
jenis jamur seperti Candida sp.
Matsunawa, 2012
dkk,
1998
dalam
Rahayu dkk
berhasil mengisolasi dan mengidentifikasikan bakteri
penyebab timbulnya warna kuning pada tahu yang
dikemas dan dipanaskan. (Rahayu,dkk 2012).
Nadrajah,
dkk
2006
berhasil mengisolasi tujuh jenis bakteri pada tahu busuk
antara lain : Bacillus sp (S08), Bacillus megaterium
(S10), Bacillus cereus (S17,S27, S28, dan S32) dan
Enterobacter sakazakii (S35) tetapi tidak dijelaskan
karakteristik tahu yang diuji.
Ashraf, dkk 2004
dalam Han
berhasil mengisolasi Enterobacteriaceae, Bacillus cereus
dan Staphylococcus aureus dalam tofu.
Prestamo,
dkk
2000
menyebutkan beberapa jenis bakteri yang berhasil
ditemukan pada tahu di Spanyol antara lain
Enterobacteriaceae, bakteri gram negatif (selain
Enterobacteriaceae) dan bakteri gram positif.
Ashenafi
1992
Pengujian terhadap tahu yang dijual di supermarket di
Munich Jerman, menemukan bahwa tahu segar
mengandung bakteri di atas 10 5 CFU/g, sedangkan tahu
goreng dibawah 10 3 CFU/g. Tahu segar yang disimpan
selama seminggu pada suhu 4 0C mengalami kenaikan
jumlah bakteri menjadi 10 6 CFU/g.
Sardjono dan 1992
Kasmidjo,
Rahayu
Bakteri yang sering mengkontaminasi tahu adalah genera
Bacillus, bakteri asam laktat seperti Streptococcus dan
Leuconostoc serta coliform yang tahan terhadap suhu
refrigerasi
Van Kooij 1985
dan De Boer
melaporkan hasil penelitian terhadap 154 sampel tahu di
Netherlans bahwa pada 95% sampel terdapat jumlah total
bakteri
>10 6CFU/g,
86%
sampel
terdapat
Enterobacteriaceae >103 CFU/g, 94% sampel terdapat
bakteri asam laktat lebih dari 10 4 CFU/g. Tidak terdeteksi
adanya Salmonella pada sampel. Namun 36% sampel
terdapat >10 2CFU/g Escherichia coli dan Yersinia
enterolitica terdeteksi pada 11% sampel.
17
3.3. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran
pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli
merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi.
Escherichia coli dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya
tidak selalu melalui air, melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makan an atau
minuman.
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek
yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4 -0,7μm dan
bersifat anaerob fakultatif. Escherichia coli membentuk koloni yang bundar,
cembung,dan halus dengan tepi yang nyata (Jawetz dkk, 1995).
Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran
pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare.
Escherichia coli
berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel.
Manifestasi klinik infeksi oleh Escherichia coli bergantung pada tempat infeksi
dan tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi yang disebabkan oleh bakteri lain
(jawetz dkk, 1995). Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi, E. coli dapat
memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis.
Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37C tetapi Escherichia
coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 C-45C.
Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55 C
18
selama 60 menit dan bahkan pada suhu 60 C selama 15 menit (Willshaw dkk,
2000).
3.4. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram-positif, bakteri ini bersifat
anaerobik fakultatif. Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga
pertumbuhan Staphylococcus aureus di dalam makanan dapat segera dihambat
dengan perlakuan panas. Kisaran suhu untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus
berkisar pada suhu 7- 48C, sedangkan untuk suhu optimumnya berada pada
kisaran 35-40C. Waktu pembelahan Staphylococcus aureus dalam bahan
makanan yang disimpan pada suhu 35 -40C dapat berlangsung singkat yaitu
dalam waktu sekitar 20 menit (Baird -Parker, 2000).
Kontaminasi Staphylococcus aureus menjadi salah satu penyebab utama
foodborne disease (FBD) karena Staphylococcus aureus dapat mengkontaminasi
produk makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan
di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut ju ga umum ditemukan
pada lingkungan sekitar kita seperti tanah, air dan udara (Baird-Parker dkk, 2000).
Keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan
sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan.
Apabila Staphylococcus aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang
mengandung
nutrisi
yang
menunjang
bagi
pertumbuhannya,
jumlah
Staphylococcus aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat.
Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pert umbuhan
Staphylococcus aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.
19
Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa Staphylococcus
aureus umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan
yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Staphylococcus aureus terdapat
luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat
dapat meningkatkan risiko keracunan pangan akibat Staphylococcus aureus
(Anonim 2, 2013).
Ketahanan panas Staphylococcus aureus lebih tinggi terutama pada pangan
dengan aktivitas air tinggi ( Stewart, 2003 dalam Anonim 2, 2013). Jika
dibandingkan dengan bakteri lainnya Staphylococcus aureus memiliki ketahanan
panas yang cukup tinggi pada suhu 62.8°C. Staphylococcus aureus lebih tahan
terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62.8°C jika
dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti,
Campylobacter jejuni, Streptococcus. faecalis, dan
Escherichia coli,
Lactobacillus lactis.
Staphylococcus aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri
seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium botulinum (Hermayani, dkk, 1996).
Kontaminasi Staphylococcus aureus pada makanan dapat menyebabkan
keracunan (intoksikasi). Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut mampu
menghasilkan toksin yang berupa enterotoksin di dalam saluran pencernaan.
Enterotoksin dapat diproduksi apabila kondisi lingkungan mendukung untuk
pertumbuhan dan perkembangan bakteri tersebut, seperti pH dan suhu ( Steward
2003 dalam Anonim 2, 2013).
Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk
20
menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 105 – 108
CFU/g (Seo dan Bohach, 2007; Montville dan Matthews, 2008 dalam anonim 2,
2013). Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmayani dkk
(1996), enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total populasi Staphylococcus
aureus mencapai >10 6 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, bia sanya
jumlah Staphylococcus aureus mencapai 10 8 CFU/g atau lebih.
Populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin
adalah 5 x 10 6 CFU/g, dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh
karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan
toksinnya masih tetap dapat bertahan (Han dkk, 2005).
3.5. Bacillus cereus
Pencemaran Bacillus cereus pada makanan sering terjadi terutama
kontaminasi pada sebelum dan sesudah proses dan kemampuan bakteri ini yang
menyebabkan dua jenis foodborne illnesses pada manusia yaitu diare dan emesis.
Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh dengan
sendirinya dalam waktu 12 -24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada bayi dapat
mengganggu pertambahan berat b adannya dan apabila terkonsumsi dalam jumlah
5
7
yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi sebesar 10 -10
3
CFU/ml, tetapi untuk anak -anak dosisnya lebih rendah yaitu 10 -105 CFU/ml (
Gianella dan Brasile, 1997; Mc.Clane, 2001)
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit
karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif,
membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan
21
didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang,
serta mampu membentuk enterotoksin dalam makanan.
Keracunan makanan yang menyebabkan diare umumnya dikaitkan
dengan makanan yang banyak kandungan protein., dimana gejala mual yang
ditimbulkan biasanya berhubungan dengan makanan yang mengandung pati. Hal
ini dikarenakan enterotoksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus. Enterotoksin
diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Rajkovic dkk, 2013). Pangan
yang mengandung lebih dari 10 4-105 CFU/g atau spora per gram tida k aman
untuk dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 10 5-108 CFU
atau spora per gram. Toksin Bacillus cereus pada umumnya diproduksi sebelum
3
5
Bacillus cereus dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 10 -10 CFU/ml
(Rajkovic dkk, 2013)
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan.
Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang
besar untuk mencemari bahan ma kanan asal hewan maupun tanaman. Bacillus
cereus dapat ditemukan pada berbaga i jenis pangan, seperti beras, kentang dan
pasta, daging dan hasil lahannya, susu dan hasil olahan susu, biji -bijian, bumbu,
sayuran (Rajkovic dkk, 2013).
Bacillus cereus termasuk kedalam bakteri mesophilic dan mampu tumbuh
pada pangan dengan kadar asam ya ng rendah. Bakteri ini juga mampu tumbuh
pada kisaran suhu antara 15 C – 55 C (optimum pada suhu 30 C-40C). Spora
sangat tahan terhadap panas hingga dapat mencapai suhu 121 C (Granum dkk,
2000).
22
3.6. Bakteri Pembentuk Spora
Spora merupakan salah satu adaptasi bakteri untuk bertahan terhadap panas .
Bakteri pembentuk spora yang paling penting adalah ge nus Bacillus dan
Clostridium.
Bacillus
cereus,
C.botulinum
dan
C.perfringnes
mampu
menyebabkan keracunan.
Bakteri pembentuk spora dalam makanan menjadi permasala han dalam
keamanan pangan karena spora yang dibentuk tahan terhadap pemanasan,
pembekuan, zat kimia, walau sel vegetatifnya mampu dimatikan dengan kondisi
diatas. Spora yang terbentuk mampu bertahan dan membutuhkan kondisi yang
ekstrim untuk menginaktifkan spora. Spora biasanya ditemukan pada tanah, air
dan saluran pencernaan dari manusia dan hewan, juga mampu mengkontaminasi
makanan. Metode seperti pemanasan dan iradiasi dapat digunakan untuk
menginaktifkan spora bakteri tergantung besarnya konsentrasi yan g digunakan.
Beberapa hanya mampu melukai spora tetapi tidak menginaktifkan spora, setelah
injury tersebut pulih maka spora akan aktif kembali.
Bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok, yaitu termasuk
genus Bacillus jika merupakan gram positif, dan termasuk genus Clostridium jika
merupakan gram negatif. Menurut Doi dan McGloughlin (1992) dalam Hatmanti,
(2000), dua sifat utama yang membedakan Bacillus dari bakteri pembentuk
endospora lainnya adalah kemampuan Bacillus untuk hidup aerob (walau pun
beberapa bersifat fakultatif anaerob) .
Endospora yang dihasilkan oleh Bacillus mempunyai ketahanan yang tinggi
terhadap faktor kimia dan fisika, seperti suhu ekstrim, alkohol, dan sebagainya .
23
Resistensi ini selalu akan terbentuk jika bakteri dalam kon disi yang ekstrim maka
akan membentuk suatu metabolik inaktif antara inti sel dan calcium dipiconilic
acid DPA. Spora tersebut membawa siklus perkembangan dimana sel vegetatif
dapat membentuk spora dan spora kemudian dapat tumbuh berkecambah menjadi
sel vegetatif (Baweja dkk, 2008 dalam Desai dan Varadaraj, 2010).
Bacillus spp merupakan bakteri yang berbentuk batang dapat dijumpai di
tanah dan air. Beberapa jenis menghasil enzim ekstraseluler yang dapat
menghidrolisis protein dan polisakarida kompleks. Bacillus spp membentuk
endospora, merupakan gram positif, bergerak dengan adanya flagel peritrikus,
dapat bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik ( Granum dkk, 2000). Bentuk
koloni dan ukurannya sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Selain itu setiap
jenis juga menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda -beda dalam
menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam,
kadar garam, dan sebagainya.
Reaksi dari tiap mikroorganisma dalam menghadapi kondisi lingkungannya
akan berbeda satu dengan yang lain, hal ini karena mikroorganisma mempunyai
sifat dan karakter yang berbeda. Tidak semua mikroorganisma dapat menguasai
faktor faktor luar sepenuhnya, untuk bertahan hidup mikroorganisma harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mikroorganisma tersebut berada.
Penyesuaian diri ada yang bersifat sementara waktu saja ada juga yang bersifat
permanen sehingga mempengaruhi bentuk morfologi dan sifat sifat fisiologi dan
keturunannya.
24
4.
Proses termal
Proses termal merupakan salah satu proses penting dalam pengawetan yang
menggunakan energi panas. Tujuan proses termal adalah mematikan bakteri yang
dapat menyebabkan penyakit dan menimbulkan kebusukan pada pangan sehingga
dihasilkan produk pangan yang aman dan awet . Proses termal dapat diartikan
sebagai suatu proses yang mendayagunakan energi panas untuk menghasilkan
perubahan pada suatu bahan.
Proses termal juga ditujukan untuk mengurangi bakteri penyebab keracunan
pangan, kemudian untuk memenuhi keingian konsumen dimana konsumen
menginginkan bahan pangan dengan kualitas yang baik dan aman untuk
dikonsumsi, dan diharapkan juga
agar proses termal ini masih dapat
mempertahankan zat nutrisi serta mutu bahan pangan semaksimal mungkin .
Proses termal pada bahan pangan bertujuan untuk meningkatkan daya cerna,
memperbaiki flavor, tekstur yang lebih baik juga memusnahkan bakteri pembusuk
dan patogen atau menginaktifkan enzim.
Sifatnya yang mampu untuk
memusnahkan bakteri, maka dengan menggunakan proses ini ada jaminan bahwa
bakteri yang telah mati tidak akan pernah aktif kembali. Walaupun ada bakteri
yang ditemukan pada produk pangan yang diproses dengan cara ini, maka
kemungkinan besar hal ini terjadi karena rekontaminasi (Fardiaz, 1996).
Proses termal dalam pengol ahan pangan dan pengawetan bahan p angan juga
dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak
diinginkan yang terjadi di dalam bahan pangan, seperti aktivitas mikroorganisme
25
untuk tumbuh dan berkembang biak, yang menguraikan komponen-komponen
nutrisi produk pangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan atau resistensi mikro ba
terhadap pemanasan, merupakan reaksi komplek dimana sifat ini sangat
tergantung pada kondisi fisiologi yang spesifik dari jenis mikro ba itu sendiri. Hal
ini juga tergantung pada faktor instriksik seperti pH, kandungan antimikroba dan
faktor ekstrinsik seperti suhu, komposisi pangan seperti air, lemak, garam,
karbohidrat, protein dan senyawa lainnya. pH mikroorganisme yang ditumbuhkan
pada pH optimum lebih tahan terhadap panas (Bryne dkk,2006; Desai dan
Varadaraj, 2010).
Proses pembuatan tahu juga melibatkan proses termal didalamnya dengan
suhu yang tinggi yaitu pada proses pemasakan sari kedelai dan proses
penggumpalan protein. Adanya sumber -sumber pencemaran bakteri pada tahu
dimungkinkan ada bakteri yang dapat bertahan selama proses tersebut. Hal ini
dikarenakan ketahanan panas bakteri dipengaruhi oleh komposisi pangan seperti
jumlah karbohidrat, protein dan lemak. Komposisi pangan ini mampu melindungi
bakteri terhadap panas sehingga meningkatkan ketahanan panas. Spesies bakteri
akan menunjukkan respon yang berbeda terhadap panas, hal ini dipengaruhi oleh
perbedaan strain karena adanya perbedaan faktor lingkungan seperti suhu
pertumbuhan, media pertumbuhan, paparan terhadap panas (Bryne dkk, 2006).
Jumlah mikroba pada bahan juga mempengaruhi ketahanan mikroba
terhadap panas, karena semakin tinggi jumlah mikro ba pada bahan pangan maka
pemanasan yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah mikroba membutuhkan
26
suhu pemansanan yang tinggi dengan waktu yang semakin lama. Semakin lama
pemanasan, semakin besar pengaruhnya terhadap kematian mikroba .
Mikroorganisme mempunyai mekanisme untuk melindungi dirinya dari
kondisi lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri akan
memproduksi Heat shock protein atau stress protein (HPs). Beberapa shock
protein bersifat spesifik dan yang lainnya bersifat nonspesifik. Shock protein yang
bersifat spesifik diekspresikan ketika mendapatkan satu faktor tekanan dari luar
sedangkan shock protein nonspesifik dilepaskan ketika melawan lebih dari satu
faktor gangguan. Shock protein ini memberikan perlindungan pada struktur
bakteri seperti DNA, dan beberapa enzim penting. Sintesis shock protein dalam
jumlah besar diinduksi oleh kondisi lingkungan yang kuran g mendukung untuk
pertumbuhan. Namun, bila bakteri berada pada lingkungan yang mendukung
untuk tumbuh, protein tersebut dihasilkan dalam jumlah sedikit (Schumann, 2003
dalam Cebrian, dkk, 2009).
Ekspresi gen yaitu gen heat shock, dimana gen ini yang mengk ode protein
heat shock (HPs) menyebabkan timbulnya termo toleran pada mikroba.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah di publis, termo toleran dapat
diperoleh pada sel bakteri tanpa diinduksi oleh protein heat shock (HPs) dan juga
HPs tidak selalu ditimbulkan oleh termo toleran yang diterima oleh bakteri.
Meningkatknya termo toleran pada sel bakteri setelah heat shock akan
meningkatkan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan protein terutama
sebagai akibat dari kerusakan protease dan chaperones (Sch umann, 2003 dalam
Cebrian, dkk, 2009).
27
Ekspresi gen yang berhubungan dengan stress dari luar diinisiasi oleh
polipeptida spesifik atau faktor sigma (σ) yang disintesin oleh gen spesifik. Gen
tersebut antara lain σB atau σ37 (dikode oleh gen B) yang memban tu ketika
bakteri gram positif mengalami tekanan yang bersifat general (nonspesifik), σ32
(disandi oleh gen rpoH) dan σ24 (disandi oleh gen rpoE) yang berperan ketika
bakteri gram positif mendapatkan gangguan pemanasan. Gen σ38 (disandi oleh
gen rpoS) berperan ketika bakteri negatif mengalami tekanan yang bersifat
general
(nonspesifik).
Mekanisme
adaptasinya
dimulai
ketika
bakteri
mendapatkan tekanan dari luar. Gen sigma () pada Escherichia coli merupakan
gen utama yang mengendalikan ketahanan panas pada bakteri ini (Hengge-Aronis,
2002 dalam Ouazzou dkk, 2012; Corradini dan Peleg, 2009)
Karakteristik ketahanan panas spora yang relatif tinggi menjadi masalah
dalam pengolahan pangan karena spora yang bertahan terhadap perlakuan
pengolahan pada suatu saat aka n kembali aktif dan memperbanyak diri menjadi
sel vegetatif. Spesies Bacillus, ketahanan spora terhadap panas berkorelasi dengan
suhu maksimum pertumbuhannya, dimana pada waktu yang sama spora
mempunyai ketahanan panas lebih tinggi daripada sel vegetatifny a. Spora pada
umumnya lebih tahan terhadap pemanasan kering daripada pemanasan basah, dan
spora akan lebih tahan panas jika dipanaskan di dalam medium dengan tekanan
osmotik tinggi ( Gombas, 1983)
Sel vegetatif ini yang dapat menyebabkan kerusakan dan kebu sukan pada
produk pangan. Untuk bakteri pembentuk spora, pemanasan merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian. Pemanasan harus dilakukan pada suhu dan waktu yang
28
cukup sehingga mampu membunuh spora. Bacillus cereus merupakan salah satu
bakteri pembentuk spora dan bahnkteri ini sering menyebabkan kebusukan pada
pangan begitu juga pada tahu.
Nilai D dan Z yang menggambarkan ketahanan panas dari bakteri akan
berbeda untuk masing-masing bakteri. Semakin besar nilai D menunjukkan bahwa
bakteri tersebut tahan terhadap panas pada suhu tertentu. Perbedaan ketahanan
panas pada masing-masing bakteri akan berbeda -beda. Setiap bakteri akan
mempunyai penyesuaian terhadap kondisi lingkungan dengan cara yang berbeda beda, seperti pada saat nutrisi berkurang, penurunan pH atau pada kondisi dimana
suhu menurun atau meningkat (Hengge-Aronis, 2002 dalam Ouazzou dkk, 2012).
Variasi nilai D dan Z dari hasil penelitian yang pernah dipublikasikan
berikut media pertumbuhannya untuk masing -masing strain Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus (tabel 2.5).
Tabel 2.5. Variasi nilai D dan Z
Strain bakteri
Escherichia coli
0157 H:7 ATCC
43895
Escherichia coli
0157 H:7 933,
A9218-C1,
45753-35
Escherichia coli
ATCC 25922
Escherichia coli
0157 H:7 EDL931, A9218-C1,
45753-35, 933
EDL-931
Nilai D
Nilai Z
D 50-60C=120 menit
D 65-70C=120 detik
-
D55C=7,03 menit,
D60C=0,93 menit
D65C= 4,2 detik
4-6C
D63C=3,9 menit;
D65C=3,5 menit;
D67C=2,8 menit dan
D75C=1,5 menit
D55C=11,51 menit,
D57,5C=3,59 menit
D60C=1,89 menit
D62,5C=0,81 menit,
D65C=0,29 menit
29
Media
Referensi
Sosis
daging babi
di Afrika
Produk
ikan
Rajkowski
dkk, 2012
23,1C
Susu
kambing
Pereira dkk,
2006
4,94-6,79C
pada
daging
unta, babi
dan domba
Juneja dkk,
1998
Rajkowski
dkk, 2012
Tabel 2.5. lanjutan
Strain bakteri
Staphylococcus
aureus AS2
Staphylococcus
aureus NU3
Staphylococcus
aureus
161-C
S-1
B-120
S-18.
Staphylococcus
aureus
sel vegetatif
Bacillus cereus
CFR 1521 dan
CFR 1532
sel vegetatif
Bacillus cereus
DSM 4313 dan
DSM626
Nilai D
Nilai Z
Media
Referensi
Suhu 53, 54, 55 and
56C berkisar 5,1719,47 menit
Suhu 53, 54, 55 and
56C berkisar 5,1719,47 menit
Suhu berkisar antara 5262°C.
D= 0.20-3.50 menit D=
0.15-3.0 menit,
D= 0.40-1.50 menit, D=
0.50-2.55 menit.
-
4,74-5,10C
pada ayam
suwir
Hariyadi
dkk, 2011
3.37-3.7°C.
Nasi uduk
Hariyadi
dkk, 2011
-
susu murni,
susu skim,
whey keju
ceddar, dan
fosfat
buffer.
Berbagai
produk
Walker dan
Harmon
1966
Suhu 56C =10,6 menit
Suhu 60C =3,45 menit
12,1-14,1
12,5-24,0
Suhu 50C =33,2 menit
Suhu 55C =6,4 menit
Suhu 60C =1,0 menit
6,6°C
8,8-20,4C
Saline, BHI
broth, susu
skim dan
susu
Daging
babi gulung
Asselt dan
Zwietering,
2005
Desai dan
Varadaraj,
2010
Byrne
dkk,2006
Pengujian ketahanan panas (ni lai D dan Z) bakeri memerlukan beberapa
data dan pengukuran melalui percobaan. Nilai D adalah waktu dalam menit
dimana populasi mikroba tertentu (spora/sel) pada pemanasan dengan suhu
tertentu diredukasi 90% atau sebesar satu log10. Semakin besar nilai D pada suhu
tertentu maka semakin tinggi pula ketahanan pada panas mikroba tersebut pada
suhu tertentu. Nilai D dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka nilai D
semakin kecil. Artinya, semakin tinggi suhu pemanasan, maka waktu yang
diperlukan untuk menginaktifkan mikroba akan semakin pendek. Nilai D hanya
berlaku untuk suhu tertentu .
30
Besarnya perubahan nilai D akibat perubahan suhu sangat tergantung pada
kepekaan maikroba tersebut terhadap perubahan suhu. Semakin peka mikroba
tersebut terhadap perubaha n suhu, maka perubahan suhu akan sangat berpengaruh
pada tingkat kematiannya atau nilai D.
Nilai D ditentukan dengan menempatkan titik -titk setiap penurunan 1 log 10
dari mikroba yang mampu bertahan pada suhu dan waktu tertentu. Nilai D
ditetapkan dengan rumus regresi liner :
y = a + bx
Keterangan :
y= variabel terikat
a= intersep/konstanta
b= koefesien regresi/slop
x= variabel bebas
Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap
perubahan suhu. Kepekaan mikroba terhadap perubahan suhu di atas ditunjukkan
dengan besaran nilai Z. Nilai Z adalah suhu yang diperlukan .untuk menurunkan
atau meningkatkan 1 siklus log nilai D. Semakin besar nilai Z berarti mikroba
tersebut daya tahannya aki bat perubahan suhu sangat besar dan sebaliknya jika
nilai Z kecil maka mikroba sangat peka terhadap perubahan panas.
Nilai Z diperoleh dengan memploting nilai D yang diperoleh pada waktu
tertentu, ditetapkan dengan rumus :
Nilai Z = 1/ slope
31
Kurva TDT (Thermal Death Time) tercermin pada ketahanan relatif pada
suhu yang berbeda-beda untuk setiap jenis mikroba. yang berbeda. yaitu waktu
yang diperlukan untuk membunuh sejumlah mikroba pada suhu tertentu.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 – Maret 2014 di
laboratorium mikrobiologi Pusat Antar Universitas (PAU) - PSPG Universitas
Gadjah Mada (UGM).
B.
Bahan dan Alat Penelitian
1.
Bahan
1.1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan adalah sampel pada alur proses pembuatan tahu pada
industri rumah tangga tahu Bapak Budiyono Jalan Sugaran TR 3/1027 RT 38 RW
10 Tegalrejo. Sampel berupa air, kedelai, bubur kedelai hasil dari proses
penggilingan, sari kedelai pada proses pemasakan, gumpalan tahu, kecutan dan
tahu.
1.2. Bahan analisa mikrobiologi terdiri dari :
1.2.1. Media yang digunakan adalah media Brain heart infusion broth (BHIB),
Plate Count Agar (PCA), Brilliance E.coli/Coliform Selective medium ,
Baird Pepton Agar Base (BPA) , Bacillus Cereus Agar Base (BCA) dari
Oxoid dan Natrium Chlorida dari Merck.
1.2.2. Media supplemen yang digunakan adalah Egg yolk - Tellurite emulsion,
Polymixin B supplement dari oxoid dan kuning telur.
33
1.2.3. Media uji biokimia yang digunakan adalah Plasma darah, SIM, Nitrat
Broth, MR-VP, Glukosa, Manitol, yeast ekstrak dari oxoid
1.2.4. Pereaksi yang digunakan adalah p ewarnaan Gram, pewarnaan spora,
Indol, Kovaks, Nitrat A dan B, Brom cresol purple, Metyl red.
1.3. Baku bakteri yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922,
Staphylococus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus mycoides ATCC 9632
dalam bentuk agar miring. Baku bakteri ini diperoleh dari Balai Laboratorium
Kesehatan Yogyakarta.
2.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan adalah oven, auto klaf, penangas air suhu 100 C,
pH meter, timbangan, hot plate+stirrer, laminair air flow (LAF) cabinet,
stomacher, vorteks, mikropipet dan tip biru, inkubator suhu 30 dan 37 C.
Peralatan gelas yang dibutuhkan diantaranya labu erlenmeyer 250 ml, batang kaca
bengkok, cawan petri, pipet 1,5,10 dan 25 ml, labu ukur 250 ml.
C.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini meliputi beberapa
tahapan yaitu :
1.
Mempelajari alur proses pembuatan tahu di pabrik tahu Budiyono dimulai
dari bahan baku hingga proses akhir. Pengamatan dilakukan dengan dokumentasi
dan deskripsi dari setiap tahapan dan titik kritis selama proses pembuatan tahu
yang akan menentukan kualitas produk akhir.
34
2.
Penetapan titik pengambilan sampel pada alur proses pembuatan tahu di
pabrik tahu Budiyono untuk mendapatkan variasi populasi bakteri. Titik
pengambilan sampel dilakukan pada bahan baku (kedelai), air, hasil proses
penggilingan berupa bubur kedelai, proses pemasakan sari kedelai, proses
penggumpalan, kecutan dan produk akhir tahu.
3.
Enumerasi dan isolasi
Sampel dilakukan enumerasi total cemaran bakteri, total coliform dan
Escherichia coli, total Staphylococcus sp dan total Staphylococcus aureus, total
Bacillus sp dan total Bacillus cereus serta total bakteri pembentuk spora.
Selanjutnya dilakukan isolasi kedalam media pertumbuhan koloni yang diduga
bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Media yang
digunakan untuk uji enumerasi menggunakan media selektif sehingga akan
memudahkan untuk memilih koloni yang diinginkan.
4.
Identifikasi
Koloni dengan ciri - ciri spesifik diinokulasikan pada media agar miring,
selanjutnya media agar miring diinkubasikan pada suhu 37C selama 24 jam.
Selanjutnya lakukanlah identifikasi dengan uji biokimia dan pengecetan gram atau
pengecetan spora untuk pengamatan sifat-sifat biokimia dan morfologi. Pada
tahapan ini digunakan baku bakteri sebagai pembanding, bakteri referensi yang
digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC
25923 dan Bacillus cereus mycoides ATCC 9632.
5.
Uji ketahanan panas masing-masing isolat dengan pengukuran n ilai D dan Z
35
D.
Prosedur Penelitian
1.
Enumerasi dan Isolasi
1.1. Total plate count
Media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA) dengan metode
tuang. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian
ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril. Dari hasil homogenisasi ini
diperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml NaCl
0,89% steril, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 1 ml yang kemudian
dimasukkan kedalam cawan petri. Tuangkanlah 15 -20 ml media PCA dengan
suhu ±45C diatasnya. Homogenkan perlahan-lahan, setelah media memadat,
semua cawan petri kemudian di inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 C
selama 24-48 jam dan hitunglah semua koloni yang tumbuh.
1.2. Total coliform dan Escherichia coli
Media yang digunakan adalah Brilliance E.c oli/Coliform Selective dengan
metode sebar. Cawan petri disiapkan terlebih dahulu dengan menuangkan 15 -20
ml media Brilliance E.coli/Coliform Selective kedalam cawan petri steril dan
biarkan memadat. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril y ang
kemudian ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril , dari hasil homogenisasi
ini diperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml
Natrium Chlorida 0,89%, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 0,5 ml
yang kemudian teteskan keatas cawan petri yang telah berisi media Brilliance
E.coli/Coliform Selective.
Larutan disebar hingga rata keseluruh permukaan
media menggunakan batang kaca bengkok. Semua cawan petri kemudian
36
diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam dan semua koloni ya ng tumbuh
dihitung, untuk koloni coliform yang dihitung adalah koloni yang berwarna pink
sedangkan untuk koloni Escherichia coli yang dihitung adalah koloni yang
berwarna ungu.
1.3. Total Staphylococcus sp dan Staphylococcus aureus
Media yang digunakan adalah media Baird Pepton Agar Base (BPA) dengan
penambahan supplemen egg yolk tellurite. Metode yang digunakan adalah metode
sebar. Cawan petri disiapkan terlebih dahulu dengan menuangkan 15 -20 ml media
BPA+ egg yolk tellurite kedalam cawan petri steril dan biar kan memadat.
Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian
ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril, d ari hasil homogenisasi ini
diperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml Natrium
Chlorida 0,89%, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 0, 3; 0,3 dan 0,4 ml
yang kemudian teteskan masing-masing keatas tiga cawan petri yang telah berisi
media BPA.
Larutan disebar hingga rata keseluruh permukaan media
menggunakan batang kaca bengkok. Semua cawan petri k emudian diinkubasi
pada suhu 37C selama 24-48 jam dan semua koloni yang tumbuh dihitung,
dengan ciri-ciri koloni yang berwarna abu -abu kehitaman, bulat dengan diameter
2-3mm, dan apabila dicuplik tampak seperti karet. Pada koloni Staphylococcus
aureus terdapat zona jernih disekeliling koloni.
1.4. Total Bacillus sp dan Bacillus cereus
Media yang digunakan adalah Bacillus Cereus Agar Base (BCA) dengan
penambahan supplement Polymixin B dan kuning telur dengan metode sebar.
37
Cawan petri disiapkan terlebih dahulu de ngan menuangkan 15-20 ml media
BCA+ Polymixin dan Kuning telur kedalam cawan petri steril dan biarkan
memadat. Sebanyak 10 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang
kemudian ditambahkan 90 ml larutan NaCl 0,89% steril, d ari hasil homogenisasi
sampe tersebutdiperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan
9 ml Natrium Chlorida 0,89% , dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 0,1
ml yang kemudian teteskan keatas cawan petri yang telah berisi media BCA.
Larutan disebar hingga rata kes eluruh permukaan media menggunakan batang
kaca bengkok. Semua cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama
24 jam dan semua koloni yang tumbuh dihitung, dengan ciri -ciri koloni yang
berwarna biru tourquoise dan dikeliling daerah keruh.
1.5. Enumerasi bakteri pembentuk spora
Media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA) dengan metode
tuang. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian
ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril , dari hasil homogenisasi ini
diperoleh pengenceran 10-1. Siapkanlah labu erlenmeyer yang telah diisi dengan
100 ml media PCA cair bersuhu ± 45 C. Sebanyak 10 ml dari homogenisasi
sampel yang merupakan pengenceran 10 -1 dipipet dan dimasukkan kedalam labu
erlenmeyer. Seluruh labu erlenmeyer dimasukkan kedalam tangas air dengan suhu
80C selama 10 menit sambil digoyang untuk membantu penyebaran panas dan
untuk membunuh sel vegetatif bakteri. Selanjutnya Labu erlenmeyer didinginkan
sebentar, kemudian segera dimasukkan ke dalam tangas air suhu 45 C selama
tidak lebih dari 10 menit. Dari setiap labu erlenmeyer berisi 100 ml media PCA
38
cair bersuhu ± 45C masing-masing dituang ke dalam 5 buah cawan petri, dan
dibiarkan memadat. Seluruh cawan diinkubasi pada suhu 35 -35C selama 48 jam.
Diamati dan dihitung yang tumbuh di permukaan maupun dibawah permukaan
media.
2.
Identifikasi
Pilihlan koloni yang spesifik dan diinokulasikan pada media agar miring
dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam, kemudian koloni diambil dengan
ose untuk dilakukan uji konfirmasi . sebagai berikut:
2.1. Identifikasi Escherichia coli dilakukan dengan uji fermentasi glukosa,
manitol, reduksi nitrat, uji motiliti, uji indol, uji merah metil, uji Voges
proskauer dan pengecetan gram .
2.2. Identifikasi Staphylococcus aureus dilakukan dengan uji biokimia dan uji
koagulase.
2.3. Identifikasi Bacillus cereus dilakukan dengan uji fermentasi glukosa,
manitol, reduksi nitrat, uji motiliti, uji indol, uji merah metil, uji Voges
proskauer dan pengecetan spora.
3.
Ketahanan Panas
3.1. Persiapan suspensi inokulum
Isolat yang digunakan adalah isolat dari bakteri yang masih dapat bertahan
pada proses pemasakan dengan kondisi pemasakan pada suhu 9 3-98C selama 1530 menit dan pada proses penggumpalan dengan suhu 63-65C selama 30 menit.
Bakteri hasil identifikasi di inokulasikan pada medium agar miring dengan
menggoreskan langsung 1 ose kultur bakteri di atas permukaan agar miring,
39
diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Isolat ini diinokulasikan pada media
agar miring untuk digunakan pada persiapan suspensi inokulum untuk menguji
ketahanan panas (nilai D dan Z) dari masing-masing isolat bakteri Escherichia
coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus.
Isolat Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus pada
media agar miring diambil satu ose dan diin okulasikan kedalam 30 ml media BHI
broth, media diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. Lakukankan
penghitungan total masing -masing bakteri dengan cara total plate count.
Hitunglah total bakteri sebagai jumlah bakteri awal yang digunakan untuk
mencemari sampel sari kedelai sebagai media pemanasan yang digunakan pada
penelitian ini. Jumlah yang digunakan sebanyak 10 -6-10-7 CFU/ml dalam 100 ml
sampel sari kedelai.
3.2. Uji ketahanan panas
Sejumlah labu erlenmeyer diisi dengan 100 ml medium pemanasan,
kemudian disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 115 C selama 10 menit. Labu
erlenmeyer yang telah disterilkan tersebut siap digunakan untuk pengujian
ketahananan panas bakteri. Sari kedelai kemudian dicemari bakteri Escherichia
coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus dengan jumlah
cemaran 1,0 x 10 7 CFU/ml sebanyak 1 ml dalam 100 ml sari kedelai atau media
pemanasan (Walker,1966; Charimba dkk, 2010; Rajkowski, 2012).
Masukkan labu erlenmeyer kontrol kedalam penangas air dengan suhu
tertentu. Pengukuran suhu bagian dalam sari kedelai dilakukan dengan memakai
termometer yang dicelupkan kedalam tabung kontrol sehingga tercapai suhu
40
bagian dalam sari kedelai yang konstan sesuai dengan suhu percobaan.
Selanjutnya labu erlenmeyer yang berisi sari kede lai dan yang telah dicemari oleh
bakteri dimasukkan kedalam penangas air dengan suhu percobaan sampai waktu
yang ditentukan.
Setelah waktu pemanasan tercapai, labu segera diangkat dan didinginkan
dengan air dingin hingga tercapai suhu kamar. Selanjutnya lakukan penghitungan
total plate count dengan seri pengenceran 10 -1 sampai 10 -6 dalam 9 ml NaCl
0,89% steril, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 1 ml yang kemudian
dimasukkan kedalam cawan petri. Tuangkanlah media PCA dengan suhu ±45 C
diatasnya. Semua cawan petri kemudian di inkubasi pada suhu 37C selama 24-48
jam dan hitunglah semua koloni yang tumbuh. Suhu dan waktu pemanasan yang
digunakan untuk menguji ketahanan panas masing-masing bakteri seperti yang
disajikan pada tabel 3.1; 3.2 dan 3.3.
Tabel 3.1. Suhu dan waktu untuk pengujian nilai D Escherichia coli
Suhu (C)
55
60
65
70
75
Waktu (menit)
0; 5; 10; 15; 20; 25; 30
0; 3; 5; 10; 15; 20; 25
0; 1; 3; 5; 10; 12; 15
0; 1; 3; 4; 5; 6; 7
0; 10’; 1; 2; 3; 4; 5
Tabel 3.2. Suhu dan waktu untuk pengujian nilai D Staphylococcus aureus
Suhu (C)
58
60
62
66
68
Waktu (menit)
0; 5; 7; 9; 12; 15; 20
0; 3; 6; 8; 12; 15; 19
0; 1; 2; 4; 6; 8; 12
0; 15’; 30’; 1; 3; 8; 10
0; 10’; 30’; 1; 3; 7; 9
41
Tabel 3.3. Suhu dan waktu untuk pengujian nilai D Sel Vegetatif Bacillus
cereus
Suhu (C)
Waktu (menit)
55
0; 5; 10; 15; 20; 25; 30
60
0; 3; 5; 10; 15; 20; 25
65
0; 1; 3; 5; 10; 12; 15
70
0; 1; 3; 4; 5; 6; 7
75
0; 10’; 1; 2; 3; 4; 5
3.3. Kurva kecepatan kematian
Kurva kecepatan kematian dapat dibuat dengan memplotkan data -data nilai
D pada skala logaritmik dengan menggunakan regresi linier.
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Proses Pembuatan Tahu di Pabrik tahu Budiyono
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan di p abrik tahu tradisional
skala rumah tangga, di Pabrik tahu Budiyono yang berlokasi di Sudagaran TR
3/1027, RT 38/RW 10, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pabrik ini dimi liki oleh Bapak Budiyono dan Ibu Dewanti dibantu
oleh satu orang pekerja. Pabrik ini menghasilkan tahu putih kompak yang dijual di
Pasar Demangan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bahan mentah yang digunakan pada produksi tahu di pabrik tahu Budiyono
adalah kedelai impor, karena jumlah ketersediaan kedelai impor yang konstan
dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan kedelai lokal. Kriteria
kedelai yang digunakan adalah kedelai yang sudah cukup tua dengan ukuran
seragam dan berwarna normal atau kekuningan. Proses pembuatan tahu di pabrik
tahu Budiyono :
1. Perendaman
Proses perendaman biji kedelai di pabrik tahu Budiyono dilakukan dengan
menggunakan air sumur. Tujuan perendaman biji kedelai adalah
untuk
memperlunak tekstur kedelai sehingga dapat me ngurangi energi yang diperlukan
selama penggilingan.
Perendaman juga
bertujuan untuk menghilangkan
oligosakarida pembentuk gas yang banyak terdapat dalam kacang -kacangan.
Perendaman yang optimal pada suhu 20 – 22C adalah selama 16 – 18 jam (Wang
43
dkk, 1984). Di pabrik tahu Budiyono suhu air untuk perendaman sekitar 28-30C,
karena suhu perendaman lebih tinggi maka waktu perendaman biji kedelai lebih
singkat yaitu dengan lama perendaman sekitar 6-8 jam. Perendaman dianggap
cukup apabila berat kedelai mencapa i 2x berat keringnya. Perendaman yang
terlalu lama akan berpengaruh terhadap kadar protein dan pH. Perendaman yang
terlalu lama akan menurunkan kadar protein, hal ini disebabkan karena lepasnya
ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dal am air. Penurunan
pH selama perendaman disebabkan karena proses perendaman memberikan
kesempatan pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga proses pengasaman
berlangsung sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat (Suha idi, 2003).
Menurut Wang (1984) perendaman dapat membuat protein dan padatan lain
keluar dari biji kedelai. Sehingga pengendalian waktu dan suhu saat perendaman
berpengaruh terhadap kualitas produk selanjutnya. Apabila terlalu lama melebihi
16 jam pada suhu 20-22C, biji kedelai dapat terfermentasi dan biji kedelai
menjadi berbau dan berbusa. Proses perendaman di Pabrik Tahu Budiyono dapat
dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Perendaman kedelai pada pabrik tahu Budiyono
44
2. Pencucian
Pencucian kedelai dilakukan hingga kedelai tersebut bers ih dari kotoran –
kotoran yang mengambang saat direndam. Pencucian dilakukan ± 3 kali dengan
menggunakan air bersih yang berasal dari sumur yang ada di pabrik. Pembersihan
penting untuk menghasilkan tahu dengan flavor yang disukai, warna yang lebih
terang dan umur simpan lebih panjang.
3. Penggilingan
Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan kemudian kedelai digiling dengan
alat penggiling. Selama penggilingan ditambahkan air secara kontinu hingga
menjadi bubur kedelai. Tujuan proses penggilingan adalah untuk memperkecil
ukuran partikel, sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan mempermudah
ekstraksi. Penambahan air untuk mempermudah untuk proses penggiling an dan
membawa hancuran kedelai. Jumlah air yang ditambahkan sangat tergantung
kepada jenis dan kecepatan penggilingan.
Pengendalian proses penggilingan yaitu dengan perbandingan air yang
ditambahkan dengan berat kering kedelai, umumnya perbandingan yang
digunakan adalah 10:1. Semakin banyak air yang ditambahkan, protein dan
padatan total yang terekstrak juga semakin besar. Jika air yang ditambahkan
terlalu banyak, maka bubur kedelai yang dihasilkan akan terlalu kecil dan
mempengaruhi yield tahu yang dihasilkan. T etapi apabila air yang ditambahkan
terlalu sedikit maka konsentrasi protein dalam sari kedelai akan sangat rendah dan
bubur kedelai yang dihasilkan akan berbentuk pasta dan mempengaruhi tahu yang
45
dihasilkan tidak begitu baik. Pada pabrik tahu Budiyono perbandingan antara air :
kedelai yang digunakan adalah dengan perbandingan 10:1.
Bubur kedelai kemudian segera dimasak karena adanya penundaan waktu
pemasakan akan menyebabkan bubur kedelai menjadi asam dan berbusa dan mutu
tahu yang dihasilkan menurun. Gambar proses penggilingan di Pabrik Tahu
Budiyono dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Penggilingan dan bubur kedelai pada pabrik tahu Budiyono
4. Pemasakan sari kedelai
Bubur kedelai ditampung dalam t ungku pemasakan dengan ditambahkan air
berulang kali. Penambahan air ini ditujukan untuk menghasilkan ekstrak protein
yang optimum, mencegah kegosongan dan mencegah meluapnya buih selama
pemasakan juga untuk mempermudah ekstraksi protein. P emasakan juga
berfungsi untuk menginaktifkan tripsin inhibitor yang dapat mengganggu daya
cerna protein oleh tubuh, serta memperbaiki rasa dan aroma. Proses pemasakan
bubur kedelai di Pabrik tahu Budiyono berlangsung selama 15-30 menit dengan
suhu sekitar 93-98C. Gambar proses permasakan di Pabrik Tahu Budiyono dapat
dilihat pada Gambar 4.3
46
Gambar 4.3.Proses pemasakan pada pabrik tahu Budiyono
5. Pemisahan sari kedelai dari padatan (Penyaringan)
Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan sari kedelai dari ampasnya.
Di Pabrik Tahu Budiyono saat penyaringan diberi penambahan air . Penambahan
air ditujukan untuk menghilangkan partikel -partikel kedelai yang menyumbat kain
saring sehingga proses penyaringan berjalan lancar serta untuk mengekstraksi
protein dan padatan lain yang masih tertinggal pada ampas tahu.
Dari hasil penyaringan yang dilakukan didapatkan filtrat berupa sari kedelai
yang dimana di dalam nya terdapat protein dan pada tan larut air. Sedangkan
bagian–bagian yang tidak larut air berada dalam ampasnya. Proses penyaringan di
pabrik tahu Budiyono dapat dilihat di Gambar 4.4.
Gambar 4.4. Proses penyaringan pada pabrik tahu Budiyono
47
6. Penggumpalan
Pada pabrik tahu Budiyono, setelah proses pemasakan, sari kedelai
kemudian dialirkan melalui selang untuk dilakukan penyaringan lewat kain saring
yang telah disediakan diatas bak penggumpalan. Untuk memudahkan proses
penyaringan sari kedelai dialirkan air, sehingga suhu sari kedelai menjadi turun.
Suhu pada proses penggumpalan berkisar antara 63C – 65C dan lama waktu
penggumpalan adalah sekitar 30 menit .
Tujuan penggumpalan adalah untuk denaturasi protein sehingga terbentuk
gumpalan (curd) yang nantinya dicetak menjadi tahu. Penggumpalan dilakukan
dengan cara memasukkan larutan penggumpal ke dalam sari kedelai sambil
diaduk pelan-pelan sampai terjadi penggumpalan.
Menurut Wang dkk, (1984) suhu dari sari kedelai s aat ditambahkan
penggumpal dan cara saat pencampurannya sangat mempengaruhi hasil dan
tekstur tahu. Semakin tinggi suhu saat penggumpalan, hasil dan kadar air tahu
akan lebih rendah. Di Pabrik Tahu Budiyono, suhu saat penggumpalan adalah 6365C dengan lama waktu penggumpalan adalah 30 menit. Proses penggumpalan
berlangsung hingga whey dengan curd benar – benar telah memisah. Setelah
protein tergumpal, whey dari tahu dipisahkan dari bagian curd yang telah
menggumpal. Whey tersebut dipindahkan ke tempat khusus untuk kemudian
dibiarkan fermentasi semalam untuk menghasilkan whey yang dapat digunakan
pada produksi keesokannya.
Penggumpal yang digunakan di pabrik tahu Budiyono adalah kecutan, yang
merupakan whey tahu yang difermentasi selama satu malam . Fermentasi ini dapat
48
membuat pH whey menjadi turun karena adanya asam organik yang terbentuk
sebagai hasil metabolisme bakteri yang ada dalam whey tersebut. Saat digunakan,
pH kecutan yang digunakan berkisar pada rentang 3,6 – 3,8 dengan suhu kecutan
berkisar antara 28-38C.
Gambar 4.5 Kecutan dan Proses penggumpalan pada pabrik tahu Budiyono
7. Pencetakan
Gumpalan, atau curd yang terbentuk dimasukkan ke dalam pencetak kayu
yang telah dilapisi kain kemudian bagian atas cetakan ditutup oleh papan yang
besarnya sesuai dengan bingkai, kemudian di press sampai terbentuk tahu cetak.
Pencetakan dilakukan dengan pemberat batu (15 -20 kg) selama 15-20 menit.
Proses pencetakan dianggap selesai apabila whey yang keluar dari cetakan
sudah sedikit dan tekstur tahu yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan
Tujuan dari pencetakan adalah membentuk tahu dengan tekstur yang sesuai
dengan keinginan konsumen dan mengurangi kadar air tahu.
Sebelum dilakukan pencetakan, whey yang terdapat di dalam gumpalan sari
kedelai diambil terlebih dahulu sehingga akan m empermudah dan mempercepat
pemindahan gumpalan ke dalam cetakan. Hal ini juga akan mempermudah
49
keluarnya air pada tahap pengepresan sehingga kadar air tahu berkurang. Gambar
proses pencetakan dan pengepresan di pabrik tahu Budiyono dapat dilihat pada
Gambar 4.6.
Gambar 4.6. Proses pencetakan pada pabrik tahu Budiyono
8. Pemotongan dan Penyimpanan
Setelah tahu dicetak dan didiamkan sampai suhunya turun, tahu dipotongpotong dengan ukuran tertentu. Semua tahu yang telah diproduksi lang sung
disimpan pada tempat yang telah disediakan kemudian tahu akan direndam hingga
waktunya untuk dijual.
Proses penyimpanan tahu dengan menggunakan air bersuhu kamar hingga
tahu kemudian di jual ke pasar rentan terhadap kontaminasi bakteri karena pada
suhu ini pertumbuhan bakteri secara cepat. Pengendalian selama proses
perendaman ini diperlukan supaya kondisi mikrobiologis tahu terkendali sehingga
tidak berpengaruh terhadap kualitas tahu secara sensoris. Populasi bakteri yang
tinggi dapat menyebabkan terbentuknya rasa dan bau yang asam dan terbentuknya
gas. Gambar tahu yang sedang disimpan sebelum dipasark an dapat dilihat pada
Gambar 4.7
50
Gambar 4.7. Tahu yang direndam pada pabrik tahu Budiyono
2.
Analisa Kuantitatif cemaran bakteri
Titik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pada bahan mentah
yang digunakan yaitu kedelai, air, pada alur proses yaitu penggilingan berupa
bubur kedelai, pemasakan sari kedelai, kecutan, gumpalan tahu pada proses
penggumpalan dan tahu. Hasil perhitungan rata-rata total populasi bakteri pada 7
titik pengambilan sampel selama proses pembuatan tahu disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Populasi rata-rata bakteri pada alur proses pembuatan tahu
Sampel
TPC
Total
Coliform
Total
E.coli
Total
Staph
(CFU/g)
(CFU/g)
(CFU/g)
(CFU/g)
5
1,5x10
3
3,6x10
2
1,8x10
2
Total
S.aureus
Total
Bacillus
Total
B.cereus
Bakteri
pembntk
spora
(CFU/g)
(CFU/g)
(CFU/g)
(CFU/g)
1,8x10
3
1,5x10
2
3,2x10
2
Air
1,0x10
Kedelai
1,4x10
4
1,1x10
3
1,1x10
2
2,6x10
2
1,2x10
1
1,2x10
3
6,3x10
2
8,7x10
2
Bubur
kedelai
9,2x10
3
8,1x10
3
2,1x10
2
5,2x10
2
1,9x10
1
3,1x10
3
8,8x10
2
9,0x10
2
Sari kedelai
yang
dimasak
1,4x10
3
8,7x10
1
1,2x10
3
4,7x10
2
8,7x10
2
Gumpalan
tahu
2,8x10
3
2,0x10
2
2,8x10
2
1,7x10
3
2,9x10
2
9,0x10
2
Kecutan
1,4x10
5
1,2x10
3
1,1x10
3
3,1x10
2
Tahu
1,3x10
4
1,2x10
2
1,3x10
3
5,3x10
2
< 20
< 20
1,9x10
1
< 20
3,0x10
< 10
1
2,3x10
51
< 10
< 10
2,1x10
1
< 10
2
1,0x10
1
< 100
1,6x10
2
Tabel 4.1. terlihat pada air, kedelai dan bubur kedelai terdapat pertumbuhan
pada semua bakteri yang dianalisa. Pada tiga titik pengambilan sampel ini diperoleh
total coliform dan total Bacillus sp lebih tinggi dibanding bakteri yang lain dilihat dari
total populasi bakteri yang dihitung . Suhu pada kondisi ini berkisar antara 2 8-30C
atau suhu kamar sehingga berbagai jenis bakteri dapat ditemukan. Untuk bakteri
patogen yang diuji, ditemukan adanya Escherichia coli, Staphylococcus aureus
dan Bacillus cereus. Pada sampel air, populasi Staphylococcus aureus di bawah
10 CFU/g.
Tanah dan air merupakan habitat yang umum untuk berbagai jenis bakteri.
Escherichia coli, Staphylococcus sp dan Bacillus cereus dan bakteri pembentuk
spora lainnya dapat ditemukan di lingkungan seperti air dan tanah. Keberadaan
bakteri ini dilingkungan sekitar manusia sehingga menyebabkan bakteri ini
mempunyai
peluang
besar
untuk
mencemari
makanan
selama
proses
pembuatannya. Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora juga sering
mengkontaminasi tanaman melalui tanah termasuk kedelai. Bakteri pembentuk
spora yang terdalam dalam tanah s eperti Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis .
Cemaran Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan
sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Bakteri ini
dapat ditemukan di dalam saluran pernapa san, permukaan kulit dan rambut
(Baird-Parker dkk, 2000).
Berdasarkan cara produksi pangan yang baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah bahwa air yang digunakan untuk produksi pangan harus memenuhi
persyaratan sebagai air bersih sesuai persyaratan yang dikeluarkan oleh
52
kementrian kesehatan dimana persyaratan untuk air bersih adalah untuk coliform
dan Escherichia coli 0/100 ml air. Air yang digunakan pada pabrik tahu Budiyono
adalah air sumur yang terdapat di dekat pabrik dengan populasi rata-rata total
coliform dan Escherichia coli seperti pada tabel 4.1. Air yang digunakan j uga
hendaknya dilakukan pengujian kualitas mutu air secara berkala, pemeriksaan ini
dapat dilakukan pada sarana kesehatan setempat seperti Puskesmas.
Kedelai merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tahu. Pemilihan
kedelai sebagai bahan baku pembuatan ta hu memiliki peranan penting karena
kedelai yang secara fisik kondisinya tidak baik seperti terlalu lembab akan
menyebabkan kedelai mudah ditumbuhi oleh jamur. Biji kedelai yang berlubang
akibat serangan hama atau pecah karena kerusakan mekanis, biologis at aupun
fisik bisa menyebabkan terjadinya kontaminas i bakteri kedalam biji kedelai.
Adanya benda asing seperti pasir, tanah, potongan sisa batang, kulit, daun, biji bijian lain yang bukan kedelai juga dapat menyebabkan kontaminasi bakteri
terutama bakteri atau mikroorganisme yang terdapat didalam tanah diantaranya
coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus atau bakteri
pembentuk spora.
Menurut SNI 01-3922-1995 syarat mutu kedelai secara umum adalah bebas
hama penyakit; bebas bau busuk , bau asam, bau apek dan bau asing lainnya;
bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida; memiliki suhu normal.
Kedelai yang baik untuk diolah menjadi tahu adalah kedelai yang sudah cukup
tua, tidak bercampur dengan benda asing, berukuran serag am, utuh, tidak
berjamur, dan tidak berbau, serta berwarna normal (Rahayu dkk,2012).
53
Pada pemasakan sari kedelai diperoleh total populasi bakteri hingga 1,4 x
103 CFU/g. Pada proses pemasakan terjadi penurunan total populasi bakteri
dibandingkan proses sebelumnya, penurunan yang terjadi sekitar 2 log cycle. Pada
pabrik tahu Budiyono, suhu proses pemasakan berkisar antara 93-98C selama 1530 menit. Pada proses pemasakan ini, bakteri yang tidak tahan terhadap panas
akan mati, bakteri yang tahan terhadap pana s dan bakteri yang dapat pembentuk
spora tetap dapat bertahan. Umumnya bakteri patogen seperti Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus akan mati pada suhu
diatas 90C, sehingga populasi Escherichia coli
kurang dari 20 CFU/g dan
Staphylococcus aureus populasinya kurang dari 10 CFU/g.
Pada proses pemasakan dengan suhu 93 -98C walau terjadi penurunan
sebanyak 2 log cycle namun tidak mematikan bakteri seperti Staphylococcus sp
dan Bacillus sp. Staphylococcus sp memiliki beberapa galur yang tahan terhadap
panas dan ketahanan panas Staphylococcus aureus lebih tinggi terutama pada
pangan dengan aktivitas air yang tinggi.
Bacillus cereus merupakan bakteri yang dapat membentuk spora . Pada
kondisi lingkungan yang tidak optimum untu k pertumbuhannya maka Bacillus
cereus membentuk spora untuk melindungi dirinya seperti pada lingkungan
dengan suhu yang tinggi. Spora Bacillus cereus akan bergerminasi membentuk sel
vegetatif jika kondisi lingkungannya optimum untuk pertumbuhan. (Granum dkk,
2000).
Selama proses pemasakan ditambahkan air untuk mencegah meluapnya buih
sari kedelai dari tungku pemasakan. Air yang ditambahkan pada proses ini adalah
54
air sumur yang ada di pabrik, dengan total populasi bakteri hingga 10 5 CFU/g. Air
dengan kondisi seperti ini dapat mencemari sari kedelai yang telah dimasak
sehingga bakteri yang mampu bertahan pada suhu pemasakan ini dapat tumbuh
kembali. Pada saat penambahan air juga terjadi penurunan suhu, kondisi ini
memberikan kesempatan pada bakteri untuk berke mbang biak dan membelah diri.
Hal ini memungkinkan untuk tercemarnya kembali sari kedelai walau telah
dimasak.
Pengendalian pada proses ini, air yang ditambahkan dapat menggunakan air
panas atau air yang memenuhi persyaratan air bersih sehingga jumlah cem aran
dapat diminimalkan dan suhu yang turun juga tidak terlalu rendah sehingga sel
vegetatif bakteri tidak dapat tumbuh.
Pada proses penggumpalan, jumlah total bakteri 2,8 x 10 3 CFU/g,
mengalami sedikit kenaikan dibanding pada proses pemasakan sari kedelai . Suhu
pada proses penggumpalan berkisar antara 63C – 65C dan lama waktu
penggumpalan adalah sekitar 30 menit , sehingga beberapa bakteri masih dapat
bertahan hidup seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif
Bacillus cereus. Pengendalian pada proses ini, air yang ditambahkan dapat
menggunakan air panas atau air yang memenuhi persyaratan air bersih sehingga
jumlah cemaran dapat diminimalkan dan suhu yang turun juga tidak terlalu rendah
sehingga sel vegetatif bakteri tidak dapat tumbuh .
Kecutan merupakan whey tahu yang difermentasi selama satu malam.
Jumlah populasi bakteri pada kecutan hingga 1,4 x 105 CFU/g. Total bakteri yang
pernah dilaporkan pada whey dengan volume 40 liter sekitar 10 6 CFU/g
55
(Rahayu,2012). Saat digunakan, pH kecuta n berkisar pada rentang 3,6 – 3,8
dengan suhu berkisar antara 28 -38C. Saat disimpan selama semalam, akan
terbentuk asam-asam organik oleh aktivitas mikroorganisme yang ada di dalam
kecutan. Hal ini menyebabkan kecutan memiliki keasama n yang tinggi (Rahayu
dkk,2012).
Whey memiliki suhu sekitar 60-70C. Suhu ini akan turun perlahan -lahan
hingga mencapai 30C setelah 14-15 jam. Dengan whey yang bersuhu tinggi maka
diperkirakan bakteri-bakteri yang mampu bertahan adalah genera Bacillus,
Lactobacillus dan Streptocooccus (Rahayu dkk, 2012).
Pada penelitian ini, pada kecutan juga ditemukan genera Bacillus, coliform
dan bakteri pembentuk spora dengan jumlah hingga mencapai 10 3 CFU/g.
Sementara untuk bakteri patogen, p ada kecutan tidak ditemukan Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus karena untuk Escherichia coli pH
optimum 7,0-7,5; Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH 4,0 -9,8, dengan
pH optimum 7,0-7,5; Bacillus cereus pH optimum antara 4,3-9,3 (FDA,2012 ).
Tahu yang diuji adalah tahu yang segera setelah selesai diproduksi dan
belum mengalami penyimpanan dengan perendaman air panas. Tahu sebagai
produk akhir di pabrik tahu Budiyono , memiliki total bakteri hingga 1,3 x 104
CFU/g. Berdasarkan Tofu Standards yang direkomendasikan oleh Soyfood
Association of America tahun 1986, jumlah total bakteri di pabrik pada hari
produksi dengan suhu 4,4C kurang dari 2,0 x 10 3 CFU/g.
Sementara kondisi di masyarakat kita, proses pembuatan tahu dilakukan
secara tradisional, tahu yang telah dicetak dan d ipotong-dipotong dan direndam
56
dalam air panas pada suhu ruang. Tahu yang diproduksi pada hari itu akan dijual
kepasar keesokan harinya.
Pada tahu, untuk jumlah coliform hingga 1,2 x 102 CFU/g dan Escherichia
coli 3,0 x 101 CFU/g. Berdasarkan Tofu Standards yang direkomendasikan oleh
Soyfood Association of America tahun 1986, untuk jumlah coliform di pabrik pada
hari produksi dengan suhu 4,4 C kurang dari 10 CFU/g dan Escherichia coli
berdasarkan Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of
Processed Foods yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration tahun
2013, persyaratan untuk Escherichia coli adalah < 10 CFU/g.
Pada tahu, untuk jumlah Staphylococcus sp hingga 2,3 x 102 CFU/g dan
Staphylococcus aureus 1,0 x 101 CFU/g. Berdasarkan Guidelines for The
Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods yang dikeluarkan oleh
Food and Drug Administration tahun 2013, persyaratan untuk Staphylococcus
aureus koagulase positif adalah 10 2 CFU/g.
Pada tahu, untuk jumlah Bacillus sp hingga 1,3 x 103 CFU/g dan Bacillus
cereus 1,6 x 102 CFU/g. Berdasarkan Guidelines for The Assessment of
Microbiological Quality of Processed Foods yang dikeluarkan oleh Food and
Drug Administration tahun 2013, persyaratan untuk kualitas tahu yang
dipersyaratkan adalah bakteri Bacillus cereus 102 CFU/g.
Untuk bakteri pembentuk spora ditemukan pada semua titik pengambilan
sampel yaitu pada air, kedelai, hasil penggilingan berupa bubur kedelai, proses
pemasakan sari kedelai, gumpalan tahu, kecutan dan tahu; dengan jumlah hingga
9,0 x 102 CFU/g. Dalam penelitian ini, Bacillus sp merupakan salah satu bakteri
57
penghasil endospora yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Dengan kondisi yang
ada pada pabrik tahu Budiyono, pada proses pemasakan dengan suhu 93 -98C
tidak mampu membunuh spora dari Bacillus sp. Karakteristik spora yang mampu
dan dapat bertahan dalam menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya
ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam, dan sebagainya membuat spora ini
sulit untuk membunuh spora bakteri . Dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk
membunuh spora bakteri biasanya diatas 100 C. Spora tersebut membawa siklus
perkembangan dimana sel vegetatif dapat membentuk spora dan spora kemudian
dapat tumbuh berkecambah menjadi sel vegetatif.
Terdapatnya mikroba pada tahu yang baru saja keluar dari proses produksi
tidak dapat dihindari. Air sebagai bahan yang selalu digunakan sepanjang proses
pembuatan tahu harus memiliki standar air bersih seperti yang dipersyaratkan oleh
pemerintah. Hal ini untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri ke dalam
tahu. Kedelai yang digunakan juga harus dalam kondisi yang baik. Lingkungan
produksi dan pekerja juga harus diperhatikan higine dan sanitasinya.
Beberapa prinsip pengawetan bahan pangan sehubungan dengan aktifitas
mikroba
antara
lain:
mencegah
masuknya
mikroba,
mengurangi
atau
menghilangkan sebagian dari mikroba, mengurangi atau menghilangkan sebagian
dari mikroba yang ada, menghambat pertumbuhan dan atau aktifitas mikroba , dan
membunuh sebagian atau seluruh mikroba melalui pr oses pasteurisasi.
3.
Isolasi dan Identifikasi
Terhadap isolat hasil pengujian kuantitatif dilakukan identifikasi dengan
pengamatan morfologi dan sifat -sifat biokimia. Pada tahapan ini digunakan
58
bakteri referensi sebagai pembanding, bakteri referensi yang di gunakan adalah
Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus
cereus mycoides ATCC 9632. Juga berdasarkan referensi Bacteriological
Analitical Manual.
a.
Escherichia coli
Empat isolat Escherichia coli yang diisolasi dari proses pe nggumpalan
dilakukan uji biokimia dan peroleh hasil fermentasi glukosa positif, fermentasi
manitol positif, Nitrat broth positif , Sulfur negatif, indol positif, motil positif,
merah metil positif, voges prokuer negatif. Pengamatan mikroskop dengan
pewarnaan gram menunjukkan isolat berbentuk batang pendek, gram negatif.
Hanya dua isolat yang h asilnya sesuai dengan bakteri referensi dan
Bacteriological Analitical Manual. Isolat ini diidentifikasikan sebagai Escherichia
coli dengan kode Escherichia coli GMP.
Gambar hasil uji biokimia Escherichia coli dan hasil pengamatan
mikroskopis dengan pewarnaan gram dapat dilihat pada gambar 4.8.
1 2 3
4 5
6
1.Glukosa 2.Manitol 3.Nitrat
4.SIM 5.MR 6.VP
(+)
(+)
Broth (+) (-/+/+) (+) (-)
Pewarnaan Gram : Gram (-),
batang pendek
Gambar 4.8. Hasil Identifkasi isolat Escherichia coli GMP
59
b.
Staphylococcus aureus
Enam
isolat
Staphylococcus
aureus
yang
diisolasi
dari
proses
penggumpalan dilakukan uji biokimia dan peroleh hasil fermentasi glukosa
positif, fermentasi manitol positif, Sulfur negatif, indol negatif, motil negatif, uji
koagulase plasma darah positif. Hanya 4 isolat yang hasil ini sesuai dengan
bakteri
referensi
dan
Bacteriological
Analitical
Manual.
Isolat
ini
diidentifikasikan sebagai Staphylococcus aureus dengan kode Staphylococcus
aureus GMP. Gambar hasil uji biokimia Staphylococcus aureus dan dan uji
koagulase dapat dilihat pada gambar 4.9.
Glukosa (+) Manitol (+) SIM (-/-/-)
Uji koagulase: (+)
Gambar 4.9. Hasil Identifkasi isolat Staphylococcus aureus GMP
c.
Sel vegetatif Bacillus cereus
Enam isolat Bacillus cereus yang diisolasi dari proses pemasakan sari
kedelai dilakukan uji biokimia dan peroleh hasil fermentasi glukosa positif,
fermentasi manitol negatif, Sulfur negatif, indol positif, motil negatif, Nitrat broth
negatif, voges prokuer positif. Pengamatan mikroskop dengan pewarnaan spora
menunjukkan isolat berbentuk batang berwarna merah dengan letak spora
ditengah-tengah atau subterminal dan berwarna hijau . Hanya empat isolat yang
60
hasil ini sesuai dengan bakteri referensi dan Bacteriological Analitical Manual.
Isolat ini diidentifikasikan sebagai Bacillus cereus dengan kode Bacillus cereus
SK.
Gambar hasil uji biokimia Bacillus cereus dan hasil pengamatan
mikroskopis dengan pewarnaan s pora dapat dilihat pada gambar 4.10.
Glukosa
(+)
Manitol SIM
(-)
(-/+/-)
VP Nitrat
(+) Broth
(-)
Pewarnaan spora : Sel vegetatif batang
merah, spora transparan
Gambar 4.10. Hasil Identifkasi isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK
4.
Kurva kecepatan kematian
Kurva kecepatan kematian untuk masing -masing cemaran adalah sebagai
berikut:
a. Isolat Escherichia coli GMP
Ketahanan panas dari isolat
Escherichia coli
GMP
dari proses
penggumpalan pada suhu 55, 60, 65, 70, 75 C berkisar antara 5,95 hingga 0,96
menit. Untuk isolat Escherichia coli GMP, diperoleh nilai D60C =4,83 menit dan nilai
Z=22,72C. Nilai D dan Z yang diperoleh disajikan pada tabel 4.2.
61
Tabel 4.2. Nilai D dan Z Escherichia coli GMP
Isolat
E.coli
GMP
Nilai D (menit)
Sumber
Proses
penggumpalan
55C
60C 65C 70C
75C
5,95
4,83
0,96
2,87
1,14
Nilai Z
(C)
22,72
(r2 =0,95)
Pada gambar 4.11 dan 4.12 dapat dilihat kurva nilai D dan kurva kecepatan
kematian isolat Escherichia coli.
Gambar 4.11. Kurva Nilai D E.coli GMP pada sari kedelai
62
Gambar 4.12. Kurva kecepatan kematian E.coli GMP pada sari kedelai
Nilai z Escherichia coli pada penelitian ini, dimana nilai Z 22,72C sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pereira dkk, (2006) yang mengukur profil
termal inaktivasi Escherichia coli pada susu kambing, hasil penelitian diperoleh
nilai D63C=3,9 menit; D 65C=3,5 menit; D 67C=2,8 menit dan D 75C=1,5 menit
dengan nilai z=23,1C. Pada penelitian yang pernah dilaporkan oleh Asselt dan
Zwietering, 2005, dimana ni lai Z untuk Escherichia coli dalam berbagai jenis
produk 10,6C.
Rajkowski dkk, 2012 melaporkan untuk Escherichia coli 0157 H:7 ATCC
43895 pada sosis daging babi di Afrika, nilai D
50-60C=120
menit dan D 65-
70C=120 detik, untuk nilai Z tidak melaporkan. Untuk jenis Escherichia coli
0157 H:7 933, A9218-C1, 45753-35 pada produk ikan, nilai D 55C=7,03 menit,
D60C=0,93 menit dan D 65C= 4,2 detik dengan Nilai Z=4-6C.
Juneja dkk, 1998 melaporkan untuk Escherichia coli 0157 H:7 EDL-931,
A9218-C1, 45753-35, 933 EDL-931, pada daging unta, babi dan domba, nilai
D55C=11,51 menit, D 57,5C=3,59 menit dan D 60C=1,89 menit, D 62,5C=0,81 menit,
D65C=0,29 menit dengan Nilai Z=4,94 -6,79C.
Nilai D dan Z untuk Escherichia coli yang pernah dilaporkan berbeda -beda,
karena nilai D dan Z dipengaruhi oleh sensitifitas bakteri terhadap perubahan
suhu. Sensitifitas ini akan berbeda untuk setiap bakteri.
b. Isolat Staphylococcus aureus
Ketahanan panas dari isolat Staphylococcus aureus GMP dari proses
penggumpalan pada alur proses pembuatan tahu pada suhu 58, 60, 62, 66, 68 C,
63
data nilai D dan Z dapat dilihat pada tabel 4. 3. Isolat Staphylococcus aureus
GMP4 memiliki nilai D60C =2,72 menit dan nilai Z=18,87C ; sedangkan untuk
Isolat Staphylococcus aureus GMP 6, nilai D60C =2,54 menit dan nilai Z=18,18C.
Tabel 4.3. Nilai D dan Z Staphylococcus aureus GMP
Isolat
Nilai D (menit)
Sumber
Nilai Z
(C)
58C
60C 62C 66C
68C
S.aureus
Proses
GMP 4 penggumpalan
3,23
2,72
2,17
1,18
1,01
18,87
(r2 =0,99)
S.aureus
Proses
GMP 6 penggumpalan
3,12
2,54
1,66
0,99
0,95
18,18
(r2 =0,97)
Perbedaan strain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi respon
bakteri terhadap panas. Pada penelitian ini untuk dua jenis isolat Stapylococcus
aureus yang berasal dari sumber yang sama juga me miliki respon terhadap panas
yang berbeda yang ditunjukkan dengan nilai Z yang diperoleh. Nilai Z
Stapylococcus aureus untuk isolat dengan kode GMP 4 dan GMP 6 , 18,87C dan
18,18C secara berurutan. Pada gambar 4.13- gambar 4.16 dapat dilihat kurva nilai
D dan kurva kecepatan kematian untuk masing -masing isolat.
64
Gambar 4.13.Kurva nilai D S.aureus GMP 4 pada sari kedelai
Gambar 4.14. Kurva kecepatan kematian S.aureus GMP 4 pada sari kedelai
65
Gambar 4.15.Kurva nilai D S.aureus GMP 6 pada sari kedelai
Gambar 4.16. Kurva kecepatan kematian S.aureus GMP 6 pada sari kedelai
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan
oleh Asselt dan Zwietering, 2005, dimana nilai Z untuk Staphylococcus aureus
dalam berbagai jenis produk berkisar antara 8,8 -20,4C. Hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Sukasih dkk,, 2005, nilai Z bakteri gram positif pada puree
mangga adalah 21,23C.
Penelitian yang dilakukan oleh Hariyadi dkk, 2011, pada makanan lokal di
Indonesia. Isolat Staphylococcus aureus AS2 pada ayam suwir, nilai D pada suhu
53, 54, 55 and 56C berkisar 5,17-19,47 menit dengan nilai Z =4,74 -5,10C .
Untuk isolat Staphylococcus aureus NU3 pada suhu 53, 54, 55 and 56C berkisar
5,17-19,47 menit dengan nilai Z=3.37 -3.7°C.
Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain
Staphylococcus aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat
buffer. Strain yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161 -C, S-1, B120, dan S-18. Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum
fosfat dan susu murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52 -62°C.
66
Nilai D hasil percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0.20 -3.50 menit
untuk isolat 161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturutturut sebesar 0.15-3.0 menit, 0.40-1.50 menit, dan 0.50-2.55 menit.
Eden dkk, (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus
aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating
menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal
1,0x109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75C, dengan nilai
D berkisar antara 0,02-9,96 menit. Nilai Z Staphylococcus aureus sebesar 9.4C.
c. Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK
Ketahanan panas dari isolat Bacillus cereus SK dari proses pemasakan sari
kedelai pada alur proses pembuatan tahu pada suhu 55, 60, 65, 70, 75 C; data
data nilai D dan Z dapat dilihat pada tabel 4. 4. Isolat Bacillus cereus SK 2, nilai
D60C =5,43 menit dan nilai Z=22,72C. Isolat Bacillus cereus SK 4, nilai D60C =5,95
menit dan nilai Z=22,22C.
Tabel 4.4. Nilai D dan Z Bacillus cereus SK
Isolat
Nilai D (menit)
Sumber
Nilai Z
(C)
55C
60C 65C
70C
75C
B.cereus
Proses
SK 2
pemasakan sari
kedelai
7,19
5,43
2,93
1,22
1,19
22,72
(r2 =0,94)
B.cereus
Proses
SK 4
pemasakan sari
kedelai
6,76
5,95
3,52
1,29
1,05
22,22
(r =0,93)
2
Sama halnya dengan isolat Staphylococcus aureus, perbedaan strain pada
isolat Bacillus cereus juga menunjukkan respon yang berbeda terha dap ketahanan
67
panas. Nilai Z sel vegetatif Bacillus cereus untuk isolat dengan kode SK 2 dan SK
4, adalah 22,72 dan 22,22 C secara berurutan. Nilai z sel vegetatif Bacillus
cereus pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Desai dan Varadaraj, 2010, pada penelitian tersebut untuk nilai D untuk sel
vegetatif Bacillus cereus CFR 1521 dan CFR 1532 pada susu berkisar antara 3,45
menit pada suhu 60C dan 10,6 menit pada suhu 56 C dalam larutan salin. Nilai Z
yang diperoleh 9,3C dalam larutan kultur dan nilai z=24C dalam susu.
Byrne dkk, 2005 melaporkan sel vegetatif Bacillus cereus DSM 4313 yang
diisolasi dari sampel keracunan makanan dan DSM 626 yang merupakan sampel
penelitian, nilai D dan Z pada daging babi gulung diperolah, D 50C= 33,2 menit,
D55C=6,4 menit dan D 60C=1,0 menit dengan nilai z sel vegetatif Bacillus cereus
adalah 6,6C.
Pada gambar 4.17- gambar 4.20 dapat dilihat kurva nilai D dan kurva kecepatan
kematian untuk masing-masing isolat Bacillus cereus.
Gambar 4.17. Kurva nilai D Bacillus cereus SK 2 pada sari kedelai
68
Gambar 4.18. Kurva Kecepatan Kematian Bacillus cereus SK 2 pada sari kedelai
Gambar 4.19. Kurva nilai D Bacillus cereus SK 4 pada sari kedelai
69
Gambar 4.20. Kurva Kecepatan Kematian Bacillus cereus SK 4 pada sari kedelai
Rangkuman dari ketahanan panas (nilai D dan Z) dari masing -masing isolat
yang diisolasi pada alur proses pembuatan tahu dan kondisi proses (tabel 4.5).
Tabel 4.5. Ketahanan panas isolat dan kondisi proses
Isolat
Sumber
Nilai D
(menit)
Nilai Z
(C)
Kondisi Proses
Escherichia
coli GMP
Gumpalan tahu
D60C
=4,83.
22,72
63-65C selama
30 menit
Staphylococcus
aureus GMP 4
Gumpalan tahu
D60C =2,72 18,87
63-65C selama
30 menit
Staphylococcus
aureus GMP 6
Gumpalan tahu
D60C =2,54 18,18
63-65C selama
30 menit
Bacillus cereus Sari
SK 2
masak
kedelai D60C =5,43 22,72
93-98C selama
15-30 menit
Bacillus cereus Sari
SK 4
masak
kedelai D60C =5,95 22,22
93-98C selama
15-30 menit
Melihat ketahanan panas dari masing -masing isolat dan kondisi proses yang
terdapat pada pabrik tahu Budiyono. Pada proses pemasakan dengan suhu 9398C selama 15-30 menit, untuk menginaktifkan
70
Bacillus cereus
SK
membutuhkan suhu 82,22 C selama 0,595 menit. Dengan kondisi proses seperti
ini seharusnya Bacillus cereus SK dapat diinaktifkan. Analisa kuantitatif pada
proses pemasakan sari kedelai, masih ditemukan total rata -rata populasi Bacillus
cereus 4,7x102 CFU/g.
Bacillus cereus merupakan bakteri yang dapat membentuk spora yang tahan
terhadap suhu tinggi seperti suhu pada proses pemasakan. Spora ini berisi sel
vegetatif, spora Bacillus cereus akan bergerminasi membentuk sel vegetatif jika
sudah berada dalam kondisi yang optimum untuk pertumbuhannya. Hal ini
menyebabkan masih ditemukannya Bacillus cereus pada proses ini.
Hal lain yang juga menjadi penyebab masih ditemukannya Bacillus cereus
pada proses pemasakan adalah air yang ditambahkan selama proses ini untuk
mencegah meluapnya buih dari tungku pemasakan. Air sumur yang digunakan
memiliki total rata-rata populasi Bacillus cereus hingga 1,5x10 2 CFU/g. Air
menjadi sumber pencemaran Bacillus cereus pada sari kedelai yang telah dimasak.
Pada proses penggumpalan dengan suhu 63-65C selama 30 menit, untuk
menginaktifkan Escherichia coli GMP hanya membutuhkan waktu selama 2,72
menit pada suhu 60C. Pada analisa kuantitatif terhadap total rata-rata populasi
Escherichia coli pada proses ini masih terdapat 1,9x10 1 CFU/g. Sementara itu
untuk menginaktifkan Staphylococcus aureus GMP hanya membutuhkan waktu
antara 2,54 hingga 2,72 menit pada suhu 60C. Pada analisa kuantitatif terhadap
total rata-rata populasi Staphylococcus aureus pada proses ini masih terdapat
2,1x101 CFU/g.
71
Pada pabrik tahu Budiyono, s ebelum proses penggumpalan, untuk
mempermudah penyaringan sa ri kedelai yang telah dimasak, ditambahkan air
sumur yang terdapat pada pabrik. Air sumur yang digunakan mengandung total
rata-rata populasi 1,0x10 5 CFU/g dengan total rata-rata populasi Escherichia coli
3,6x102 CFU/g dan total rata-rata Staphylococcus sp 1,8x102 CFU/g.
Kondisi ini mengakibatkan jumlah bakteri bertambah, jumlah bakteri juga
mempengaruhi ketahanan panas dari bakteri tersebut, semakin banyak jumlahnya
maka waktu yang dibutuhkan untuk menginaktifkan bakteri tersebut akan semakin
lama dan juga dibutuhkan suhu yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diduga air yang
menyebabkan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus masih dapat ditemukan
pada proses penggumpalan dengan suhu 60 -65C.
Tahu sebagai poduk akhir juga menunjukkan total rata -rata populasi dari
bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus yang hampir
sama dengan jumlah total rata -rata populasi pada proses sebelumnya .
Melihat ketahanan panas dari masing -masing isolat yang diisolasi pada alur
proses pembuatan tahu, isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 2 memiliki
ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Escherichia coli
GMP, Staphylococcus aureus GMP dan Bacillus cereus SK 4. Dengan nilai D60C
=5,43 menit dan nilai Z=22,72C dari isolat Bacillus cereus SK 2, maka dibutuhkan
waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi unuk menginaktifkan Bacillus
cereus SK 2.
Nilai D dan Z menunjukkan ketahanan dari bakteri yang sangat tergantung
kepada respon bakteri tersebut terhadap panas. Ini menyebabkan
72
adanya
perbedaan ketahanan panas yang ditunjukkan dengan nilai D dan Z pada masing masing isolat bakteri yang diperoleh pada penelitian ini walau diisolasi dari
sumber yang sama dan juga berbeda dengan beberapa hasil penelitian yang telah
dipublikasikan. Semakin besar nilai D menunjukkan bahwa bakteri tersebut tahan
terhadap panas pada suhu tertentu. Perbedaan ketahanan panas pada masing masing bakteri akan berbeda -beda. Setiap bakteri akan mempunyai penyesuaian
terhadap kondisi lingkungan dengan cara yang berbeda-beda, seperti pada saat
nutrisi berkurang, penurunan pH atau pada kondisi dimana suhu menurun atau
meningkat (Hengge-Aronis, 2002 dalam Ouazzou dkk, 2012).
Ketahanan panas pada spesies bakteri akan menunjukkan respon yang
berbeda hal ini dipengaruhi oleh perbedaan strain, faktor lingkungan seperti suhu
pertumbuhan, media pertumbuhan . Komposisi dari media cair yang digunakan
untuk pemanasan seperti jumlah karbohidra t, protein, lemak dan lain -lain.
Komposisi pangan dan medium pemanas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sari kedelai dari pabrik tahu Budiyono. Kandungan sari kedelai
berdasarkan uji proksimat yang d ilakukan memiliki kadar protein, kadar lemak,
kadar karbohidrat yang tinggi (data tidak dipublikasikan). Adanya lemak dalam
media pemanasan akan meningkatkan ketahanan panas bakteri karena lemak dapat
melindungi sel dari panas disamping itu lemak juga dapat melindungi spora dari
kerusakan karena panas (Desai dan Varadaraj, 2010)
Perbedaan strain juga mempengaruhi ketahanan terhadap pan as, hal ini
dikarenakan strain menunjukkan asal isolat tersebut di isolasi. Masing -masing
akan
memiliki
kondisi
lingkungan
73
yang
berbeda -beda
seperti
suhu
pertumbuhannya, media pertumbuhannya, penerimaan panas sebelumnya seperti
heat stress. Pada penelitian ini isolat berasal dari kondisi lingkungan dengan suhu
diatas suhu pertumbuhan bakteri tersebut, yaitu proses penggumpalan dengan
suhu lingkungan antara 63 -65C dan proses pemasakan dengan suhu 9 3-98C,
sehingga isolat yang masih dapat bertahan pada kondi si tersebut memiliki
ketahanan panas lebih tinggi ditunjukkan dengan nilai D dan Z yang besar.
Ketahanan panas Staphylococus aureus tergantung pada perlakukan yang
diterima oleh bakteri sebelumnya seperti heat shock, seperti meningkatnya suhu
pada lingkungan pertumbuhan bakteri. Kenaikan suhu seperti ini menyebabkan
bakteri dapat meningkatkan toleransi terhadap panas pada bakteri yang
menyebabkan kebusukan pada pangan dan bakteri patogen (Cebrian, dkk, 2009).
Isolat Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang digunakan adalah
isolat bakteri yang diperoleh pada proses penggumpalan dengan kisaran suhu 6 365C. Berdasarkan penjelasan diatas dengan kondisi lingkungan yang memiliki
suhu diatas suhu optimum pertumbuhan bakteri tersebut, maka ada mekanisme
adaptasi dari bakteri untuk menghadapi heat stress dari lingkungan. maka bakteri
masih mampu tumbuh pada kondisi tersebut.
Pada proses pembuatan tahu ada proses pemasakan berkisar antara 90 -95C
yang berfungsi untuk menurunkan jumlah bakteri yang ditemukan p ada proses
sebelumnya. Proses pemasakan hanya mampu membunuh sel vegetatif dari
bakteri sedangkan untuk bakteri yang mampu membentuk spora, spora akan
berada dalam posisi tidur dan jika spora berada dalam kondisi lingkungan yang
74
optimum baik suhu ataupun k etersediaan nutrisi maka spora akan bergerminasi
dan membentuk sel vegetatif.
Untuk sel vegetatif Bacillus cereus diisolasi dari pemasakan sari kedelai di
pabrik tahu Budiyono, dengan suhu pemasakan berkisar anatara suhu 9 3-98C.
Bacillus cereus merupakan bakteri pembentuk spora. Ketika kondisi lingkungan
dengan kondisi seperti diatas, maka Bacillus cereus akan membentuk spora. Spora
ini merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi yang umum dilakukan oleh
bakteri yang mampu membentuk spora. Karena spora yang terbentuk umumnya
tahan terhadap suhu tinggi. Spora dapat diinaktifkan atau dimusnahkan jika
dipanaskan dengan suhu .
Nilii D dan Z spora Bacillus cereus yang diisolasi pada proses pemasakan
sari kedelai dari alur proses pembuatan tahu memiliki nilai D dan Z lebih tinggi
(data tidak dipublikasikan) karena spora lebih tahan terhadap panas dibanding sel
vegetatif. Spora ini berisi berisi sel vegetatif, ketika berada dalam suhu yang
optimum untuk pertumbuhan bakteri maka spora akan bergerminasi dan
membentu sel vegetatif yang kemudian akan terus bertambahan. Bacillus cereus
mampu menyebabkan kebusukan dan kerusakan pada pangan.
Jumlah mikroba pada bahan, semakin banyak jumlah mikroba maka suhu
yang dibutuhkan lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama. P ada penelitian ini
menggunakan jumlah cemaran 1,0 x 10 7 CFU/ml, jumlah ini cukup tinggi
sehingga suhu dan waktu yang dibutuhkan lebih tinggi dan lama maka nilai D dan
z yang didapat juga lebih tinggi. Begitunya juga dengan bakteri yang digunakan
75
mempunyai termo toleran karena terbiasa tumbuh pada lingkungan dengan suhu
yang tinggi.
Setiap proses pengolahan bahan makanan, suhu pemanasan merupakan
faktor yang penting untuk diperhatikan, sebab panas yang digunakan dapat
mengakibatkan kerusakan banyaknya komponen nutrisi dalam pangan tersebut,
dengan pengendalian yang tepat kerusakan ini dapat diminimalkan dan tetap dapat
menghasilkan produk akhir yang diinginkan oleh konsumen serta menghasilkan
mutu produk yang aman untuk dikonsumsi.
Salah satu tahapan proses pembuatan tahu yang memerlukan pemanasan
adalah pross pemasakan. Pemasakan yang dilakukan pada suhu dan waktu yang
sesuai akan menghasilkan produk dengan nilai dan kualitas gizi yang baik,
memperbaiki flavor sari kedelai dengan menurunkan bau langu, mena mbah masa
simpan tahu dengan mematikan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan tahu,
disamping itu pemasakan juga akan mempermudah ekstraksi protein dan padatan
lain serta mengubah bentuk protein alami sehingga pada waktu penggumpalan
akan memberikan tahu dengan kualitas baik.
Mengetahui sumber-sumber kontaminasi bakteri sehingga dapat dilakukan
pencegahan
kontaminasi
silang
sehingga
diharapkan
dapat
mengurangi
kontaminasi bakteri pada proses pembuatan tahu. Serta mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanannya masing-masing sel vegetatif
bakteri dan spora dapat merancang kombinasi suhu dan w aktu pada proses
pengolahan pangan yang tepat sehingga menghasilkan produk pangan yang
76
memenuhi standar mikrobiologi dan aman untuk dikonsumsi serta menghasilkan
produk dengan cita rasa yang disukai oleh konsumen .
77
BAB. V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus ditemukan pada
air, kedelai, bubur kedelai, sari kedelai yang dimasak, gumpalan tahu dan tahu,
dengan jumlah 10 1 -103 CFU/g. Bakteri pembentuk spora ditemukan pada air,
kedelai, bubur kedelai pada proses penggilingan, sari kedelai masak, gumpalan
tahu, kecutan dan tahu, dengan jumlah 10 2 CFU/g.
2.
Isolat Escherichia coli GMP, nilai D60C =4,83 menit dan nilai Z=22,73C.
Isolat Staphylococcus aureus GMP 4, memiliki nilai D 60C =2,72 menit dan
nilai Z =18,87C. Untuk isolat Staphylococcus aureus GMP 6, nilai D60C =2,54
menit dan nilai Z =18,18C. Sel vegetatif Bacillus cereus SK 2, memiliki nilai
D60C =5,43 menit dan nilai Z =22,72C. Untuk sel vegetatif Bacillus cereus
SK 4, memiliki nilai D 60C =5,95 menit dan nilai Z =22,22C.
3.
Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 2 memiliki ketahanan panas yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
isolat
Escherichia
coli
GMP,
Staphylococcus aureus GMP dan Bacillus cereus SK 4. Dengan nilai D60C
=5,43 menit dan nilai Z=22,72C.
B.
Saran
Air yang digunakan pada proses pembuatan tahu menggunakan air dengan
kualitas air bersih dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemer intah atau
dapat menggunakan air panas untuk pada proses pemasakan dan proses
penggumpalan untuk mencegah kontaminasi bakteri.
78
DAFTAR PUSTAKA
Agboke, A.A., Osonwa, U.E, Opurum, C.C. dan Ibezim, E.C. (2012). Evaluation
of microbiology quality of some soybean milk products consumed in
Nigeria, Pharmacologia 3(10): 513-518.
Anonim 1 (2013). Kedelai. Buletin Konsumsi Pangan . 4 (3):8-16.
Anonim 2
(2013). Staphylococcus aureus. Food Standards Australia. .
www.foodstandardsau/..../Staphylococcus aureus.pdf . (23 November
2013).
Anonim 3 (2013). Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of
Processed Foods. Food and Drug Administration Philippines.
Anonim (1995). SNI 01-3922-1995 Syarat mutu kedelai secara fisik, Badan
Standarisasi Nasional Indonesia.
Anonim (1998). SNI 01-3142-1998 Tahu, Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Anonim (1986). Tofu Standards, Recommended by Standards Commitee and
Approved by members of The Soyfoods Asso ciation of America. Hal
13.
Ashenafi, M. (1992). Microbiological evaluation of tofu and tempeh during
processing and storage. Journal Plant Foods for Human Nutrition 45:
183-189.
Asselt, E.D. dan Zwietering, M.H. (2005). A systematic approach to determine
global thermal inactivation parameters for various food pathogens.
International Journal of Food Microbiology 107:73-82.
Atlas, R.M. dan Taylor, F. (2006), Handbook of Microbiolocal Me dia for The
Examination of Food. Second Edition.
Baird-Parker, T.C. (2000). Staphylococcus aureus. Dalam : Lund, B.M., BairdParker, T.C. and Gould, G.W (ed). The Microbiological Safety and
Quality of Food. Volume II, hal 1317-1331. Aspen Publishers, Inc.
Gaithersburg, Maryland.
Byrne, B., Dunne, G. dan Bolton, D.J. (2006). Thermal inactivation of Bacillus
cereus and Clostridium perfringens vegetative cells and spores in pork
luncheon roll, International Journal of Food Microbiology 23: 803808.
Cebrian,G., Condon.S. dan Manas, P. (2009). Heat adaptation induced
thermotolerance in Staphylococcus aureus influence of the alternative
factor OB. International Journal of Food Microbiology 135:274-280.
79
Charimba, G., Hugo, CJ. dan Hugo, A. (2010). The growth, survival and thermal
inactivation of Escherichia coli O157:H7 in a traditiona l south
African sausage. Meat Science, 85: 89-95.
Corradini, M.G. dan Peleg, M. (2009). Dynamic model of heat inactivation kinetic
for bacterial adaptation. Applied and Environmental Microbiology.
Journal ASM.org. 75(8):2590-2597.
Desai, S.V. dan Varadaraj, M.C. (2010). Behavioural pattern of vegetative cells
and spores of Bacillus cereus as affected by time-temperature
combinations used in processing of India traditional foods . Journal
Food Science Technol. 47(5):549-556.
Fardiaz, D. (1996). Proses termal dalam pengendalian tahap pengolahan kritis
untuk menjamin keamanan pangan , Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB.
Gayan, E., Gonzalo, D. Garcia, A.L. dan Condon, S. (2013). Resistance of
Staphylococcus aureus to uv-c ligh and combined uv-heat treatment at
mild temperatures, International Journal of Food Microbiology. 172:
30-39.
Granum, P.E. dan Baird-Parker, T.C. (2000). Bacillus species. Dalam : Lund,
B.M., Baird-Parker, T.C. and Gould, G.W (ed). The Microbiological
Safety and Quality of Food , Volume II, hal 1029-1039. Aspen
Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland .
Han, B.Z., Sesenna, B.,Rijkelt, R.B. dan Nout, R.M. J. (2005). Behaviour of
Staphylococcus aureus during sufu production at laboratory scale .
Food Control 16: 243-247.
Hariyadi, R.D., Hadiyanto, J. , dan Purnomo, E.H. (2011). Thermal resistance of
local isolates of Staphylococcus aureus. Asian Journal Food AgroIndustry 4(04):213-221.
Hatmanti, A. (2000). Pengenalan Bacillus spp. Jurnal Oseana. XXV(1): 31-41.
Jutono., S. dan Joedoro., H.S. (1973). Pedoman Pratikum Mikrobiologi Umum
(untukperguruan tinggi). UGM.
Kooij, J.A. dan Boer, E. D. (1985). A survey of the microbiological quality of
commercial tofu in the Netherlands . International Journal of Food
Microbiology 2: 349-354.
Martins. P.R, Mateus, C., Teixeira, J.A. dan Vicente, A.A. (2006). Death kinetics
of Escherichia coli in goat milk and Bacillus licheniformis in
cloudberry jam treated by ohmic heating . 33rd International
Conferences of SSCHE. May 22-26: 112.1-112.7.
80
Nishinari, K., Fang, Y. dan Phillips, G.O. (2014). Soy protein : A review on
composition, aggregation and emulsification. Journal Food
Hydrocolloids 39:301-318.
Ouazzou, A.A., Manas, P., Condon. S., Pagan, R. d an Gonzalo, G.D. (2012). Role
of general stress-response alternative sigma factors S (RpoS) and B
bacterial heat resistance as a fuction of treatment medium pH .
International Journal of Food Microbiology 153: 358-364.
Prestamo, G., Lesmes, M., Otero , L. dan Arroyo, G. (2000). Soybean vegetable
protein (tofu) preserve with high pressure. Journal Agriculture Food
Chemical 48: 2943-2947.
Rahayu, E.S. Rahayu, S. Sidar, A., Purwadi, Tri dan Rochdyanto, S. (2012).
Teknologi Proses Produksi Tahu . Penerbit Kanisius.
Rajkovic, A., Kljajic, M., Smigic, N. , Devlieghere, F. dan Uyttendale, M. (2013).
Toxin producing Bacillus cereus persist in ready-to-reheat spaghetti
bolognese mainly in vegetative state . International Journal of Food
Microbiology 167: 236-243.
Rajkowski, K. T. (2012). Thermal inactivation of Escherichia coli O157:H7 and
Salmonella on Catfish and Tilapia, Food Microbiology 30: 427-431.
Rekha, C.R. dan Vijayalakshmi, G. (2013). Influence of processing parameters on
the quality of soycurd (tofu) , Journal Food Science Technol.
50(1):176-180.
Santoso, S.P. (2005). Teknologi Pengolahan Kedelai, Fakultas Pertanian
Universitas Widyagama, Malang .
Sarastuti, (2008). Aplikasi Pasteurisasi dan Penyimpanan Dingin untuk
Memperpanjang Masa Simpan Tahu . Skripsi jurusan Teknologi
Pangan dan Hasil Pertanian UGM, Yogyakarta
Serrazanetti, D.I., Ndagijimana, M., Miserocchi, C. d an Guezoni, M.E. (2013).
Fermented tofu: Enhancement of keeping quality and sensorial
properties. Food Control 34:336-346.
Shurleft, W. and Aoyagi, A. (1979). Tofu and Soymilk. The Book of Tofu. Volume
II. New Age Foods Study Center.
Sukasih, E., Setyadjit, H. dan Hariyadi, R.D. 2005. Analisis kecukupan panas
pada proses pasteurisasi Puree Mangga, Jurnal Pascapanen 2(2):8-17.
Valentas, K.J., Rotstan, E. dan Singh, R.P. (1997). Handbook of Food
Engineering Practice, United State America
81
Walker G.C. dan Harmon, L.G. (1966). Thermal resistance of Staphylococcus
aureus in milk, whey, and phosphate buffer. Applied and
Envionmental Microbiology. Journal ASM.org 14(4):584-590.
Willshaw, G.A., Cheasty, T. d an Smith, H.R. (2000). Escherichia coli. Dalam :
Lund, B.M., Baird-Parker, T.C and Gould, G.W (ed). The
Microbiological Safety and Quality of Food . Volume II, hal 11361164. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland .
Wirakartakusuma, M.A., Hermanianto, D. dan Andarwulan, N. 1989. Prinsip
Teknik Pangan. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan . IPB.
Bogor.
82
LAMPIRAN - LAMPIRAN
83
Lampiran 1.
Hasil Enumerasi total Bakteri
Sampel
Air
Kedelai
Bubur
kedelai
Susu kedelai
yang
dimasak
Gumpalan
Kecutan
Tahu
Batch
I
II
Pengenceran
Total
-3
1,1 x 10 5
1
119
96 10
2
99
89 10-3
9,4 x 10 4
3
103
98 10-3
1,0 x 10 5
1
143
139 10-2
1,4 x 10 4
2
144
140 10-2
1,4 x 10 4
3
142
137 10-2
1,4 x 10 4
1
90
94 10-2
9,2 x 10 3
2
93
90 10-2
9,2 x 10 3
3
93
89 10-2
9,1 x 10 3
1
137
136 10-1
1,4 x 10 3
2
138
137 10-1
1,4 x 10 3
3
135
138 10-1
1,4 x 10 3
1
25
31 10-2
2,8 x 10 3
2
31
22 10-2
2,7 x 10 3
3
26
31 10-2
2,8 x 10 3
1
119
221 10-3
1,7 x 10 5
2
117
122 10-3
1,2 x 105
3
123
119 10-3
1,2 x 10 5
1
25
27 10-2
2,6 x 10 3
2
27
32 10-2
3,0 x 10 3
3
31
27 10-2
2,9 x 10 3
84
Lampiran 2.
Hasil Analisa Kuantitatif Escherichia coli
Sampel
Total
Batch
Pengen
ceran
Total
coliform
Terduga
E.coli
I
II
Total
Peng
encer
an
Angka
E.coli
I
II
1
79
84 10-1
1,6 x 10 3
9
11
20 10-1
3,2 x 10 2
2
82
65 10-1
1,5 x 10 3
9
10
19 10-1
3,8 x 10 2
3
79
75 10-1
1,5 x 10 3
11
12
21 10-1
3,8 x 10 2
1
58
62 10-1
1,2 x 10 3
3
6
9
10
1,1 x 10 2
2
54
47 10-1
1,0 x 10 3
7
4
11
10
1,1 x 10 2
3
50
56 10-1
1,1 x 10 3
7
5
12
10
1,2 x 10 2
1
37
43 10-2
8,0 x 10 3
9
7
16
10
2,2 x 10 2
2
40
42 10-2
8,2 x 10 3
8
9
17
10
1,7 x 10 2
3
39
43 10-2
8,2 x 103
8
9
17
10
2,4 x 10 2
Susu
kedelai
yang
dimasak
1
0
0 10-1
<20
0
0
0
10
< 20
2
0
0 10
-1
<20
0
0
0
10
< 20
3
0
0 10-1
<20
0
0
0
10
< 20
Gumpalan
1
11
9 10-1
2,0 x 10 2
0
0
0
10
< 20
2
9
11 10
-1
2
1
0
1
10
2,0 x 10 1
3
11
10 10-1
2,1 x 10 2
1
1
2
10
4,0 x 10 1
1
4
7 10-1
2,0 x 10 2
0
0
0
10
< 20
2
6
7 10-1
1,3 x 10 2
0
0
0
10
< 20
3
4
7 10
-1
2
0
0
0
10
< 20
1
7
9 10-1
1,6 x 102
0
0
0
10
< 20
2
5
6 10
-1
2
1
0
1
10
2,0 x 10 1
3
6
5 10-1
1,1 x 10 2
1
1
2
10
4,0 x 10 1
Air
Kedelai
Bubur
kedelai
Kecutan
Tahu
2,0 x 10
1,1 x 10
1,1 x 10
85
Lampiran 3.
Hasil Analisa Kuantitatif Staphylococcus aureus
Total
I
Sampel
Air
1
2
Kedelai
Bubur
kedelai
Susu
kedelai
yang
dimasak
Gumpala
n
Kecutan
Tahu
II
8
5
Pngenc
eran
III
5
6
Total
Staphyloco
ccus sp
9 10
-1
10 10
-1
-1
3
4
5
2 10
1
10
8
9 10-1
2
7
9
2,2 x 10
2
2,1 x 10
2
1,1 x 10
2
Terduga
S.aureus
I
II
0
0
Pengenc
eran
Total
S.aureus
III
0
0 10-1
<10
0
0 10
-1
<10
-1
<10
0
0
0 10
2,7 x 10 2
3
3
7 10-1
1,3 x 10 1
11 10-1
2,7 x 10 2
4
4
7 10-1
<10
-1
2
3
3
4 10
-1
1,0 x 10 1
2,3 x 10
3
9
6
8 10
1
14
17
22 10-1
5,3 x 10 2
3
5
6 10-1
1,4 x 10 1
2
21
18
19 10-1
5,8 x 10 2
7
8
8 10-1
2,3 x 10 1
3
19
15
12 10-1
4,6 x 10 2
5
7
9 10-1
2,1 x 10 1
1
5
5
2 10-1
1,2 x 10 2
0
0
0 10-1
<10
-1
1
0
0
0 10
-1
<10
6,0 x 10
2
1
3
2 10
3
2
4
2 10-1
8,0 x 10 1
0
0
0 10-1
<10
1
9
10
9 10-1
2,8 x 10 2
5
6
5 10-1
1,6 x 101
2
11
9
9 10-1
2,9 x 10 2
6
2
6 10-1
2,8 x 10 1
3
8
11
9 10-1
2,8 x 10 2
2
5
3 10-1
2,0 x 10 1
1
2
0
0
0
0
0 10-1
0 10-1
< 10
< 10
0
0
0
0
0 10-1
0 10-1
<10
<10
3
0
0
0 10-1
< 10
0
0
0 10-1
<10
1
2
6
6
9
8
8
7
10
10
2,3 x 10 2
2,1 x 10 2
2
3
3
2
5
5
10
10
1,0 x 10 1
1,0 x 10 1
10
10
2,5 x 10 2
3
10
< 10
3
8
7
86
2
1
Lampiran 4.
Hasil Analisa Kuantitatif Bacillus cereus
1
2
3
Total
II
15 20
21 15
17 19
1
2
3
12
10
11
13 10-1
13 10-1
12 10-1
1,3 x 10 3
1,2 x 10 3
1,2 x 10 3
2
3
4
4 10-1
4 10-1
2 10-1
5,6 x 10 2
5,6 x 10 2
7,8 x 10 2
1
2
3
37
31
27
30 10-1
31 10-1
33 10-1
3,4 x 10 3
3,1 x 10 3
3,0 x 10 3
5
5
3
4 10-1
5 10-1
5 10-1
8,8 x 10 2
8,4 x 10 2
9,2 x 10 2
Susu kedelai
yang
dimasak
1
2
3
14
13
11
12 10-1
11 10-1
13 10-1
1,3 x 10 3
1,2 x 10 3
1,2 x 10 3
3
3
2
2 10-1
3 10-1
3 10-1
4,8 x 10 2
4,4 x 10 2
4,8 x 10 2
Gumpalan
1
2
3
16
15
18
18 10-1
18 10-1
17 10-1
1,7 x 10 3
1,7 x 103
1,8 x 10 3
1
2
1
2 10-1
1 10-1
2 10-1
3,2 x 10 2
2,8 x 10 2
2,8 x 10 2
Kecutan
1
2
3
11
11
13
12 10-1
10 10-1
10 10-1
1,2 x 10 3
1,1 x 10 3
1,2 x 10 3
0
0
0
0 10-1
0 10-1
0 10-1
<100
<100
<100
Tahu
1
2
3
14
13
15
11 10-1
11 10-1
11 10-1
1,3 x 10 3
1,2 x 10 3
1,3 x 10 3
0
1
1
0 10-1
0 10-1
1 10-1
< 100
1,2 x 10 2
2,0 x 10 2
Sampel
Air
Kedelai
Bubur
kedelai
I
Penc
10-1
10-1
10-1
Total
Bacillus
1,8 x 10 3
1,8 x 10 3
1,8 x 10 3
Total B.cereus
I
II
1
1
0
0
0
1
87
Pengc
10-1
10-1
10-1
Angka
Bcereus
2,0 x 10 2
< 100
1,0 x 10 2
Lampiran 5.
Hasil Enumerasi Bakteri Pembentuk Spora
Sampel
I
II
III IV V Total Pengc
5
8
8
32 10-1
7
7
8
34 10-1
6
9
8
32 10-1
Total bakteri
pembtk spora
3,2 x 10 2
3,4 x 10 2
3,2 x 10 2
Air
1
2
3
5
5
3
6
7
6
Kedelai
1
2
3
22
18
16
17
17
17
19
19
17
17
15
18
11
19
20
86 10-1
88 10-1
88 10-1
8,6 x 10 2
8,8 x 10 2
8,8 x 10 2
1
2
3
18
19
18
19
21
19
18
13
18
17
16
18
18
22
16
90 10-1
91 10-1
89 10-1
9,0 x 10 2
9,1 x 10 2
8,9 x 10 2
Susu kedelai
yang
dimasak
1
2
3
15
17
13
11
18
17
12
18
19
33
19
16
18
18
18
89 10-1
90 10-1
83 10-1
8,9 x 10 2
9,0 x 10 2
8,3 x 10 2
Gumpalan
1
2
3
11
17
18
31
17
20
16
19
18
18
17
21
10
24
14
86 10-1
94 10-1
91 10-1
8,6 x 10 2
9,4 x 10 2
9,1 x 10 2
Kecutan
1
2
3
6
7
6
7
6
7
4
7
5
6
7
4
7
9
5
30 10-1
36 10-1
27 10-1
3,0 x 10 2
3,6 x 10 2
2,7 x 10 2
Tahu
1
2
3
13
7
13
7
9
9
6
12
13
9
13
13
17
9
9
52 10-1
50 10-1
57 10-1
5,2 x 10 2
5,0 x 10 2
5,7 x 10 2
Bubur
kedelai
88
Lampiran 6.
Data Nilai D Isolat Escherichia coli GMP
Suhu
(C)
55
Waktu
log 
(Menit) sel
8,11
0
7,98
5
6,66
10
5,83
15
4,98
20
4,42
25
3,18
30
Suhu
(C)
65
Waktu
log 
(Menit) sel
0
8,11
1
7,60
3
6,60
5
5,44
10
4,32
12
3,23
15
2,98
Suhu
(C)
75
Waktu
log 
(Menit) sel
0
8,11
10'
7,48
1
6,41
2
5,31
3
4,32
4
3,20
5
1,90
D value
5,952381
D value
2,873563
D value
0,956938
89
Suhu
(C)
60
Waktu
(Menit)
Suhu
(C)
70
Waktu
log 
D value
(Menit) sel
0
8,11 1,140251
1
7,38
3
6,42
4
5,33
5
4,19
6
3,02
7
1,93
0
3
5
10
15
20
25
log 
D value
sel
8,11 4,830918
7,55
6,81
5,62
4,68
3,50
3,19
Lampiran7.
Data Nilai D Isolat Staphylococcus aureus GMP 4
Suhu
Waktu
log 
(Menit) sel
(C)
8,15
58
0
7,69
5
6,48
7
5,46
9
4,65
12
4,36
15
2,08
20
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
62
0
8,15
1
7,98
2
6,43
4
5,82
6
4,50
8
4,11
12
2,74
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
68
0
8,15
10'
7,57
30'
6,67
1
5,50
3
5,49
7
3,55
9
2,02
Suhu
Waktu
log 
D value
(Menit) sel
(C)
60
0
8,15 2,717391
3
7,86
6
6,76
8
5,70
12
4,88
15
2,69
19
1,54
D value
3,225806
Suhu
Waktu
log 
D value
(C)
(Menit) sel
66
0
8,15 1,184834
15"
7,94
30'
6,74
1
5,57
3
4,45
8
4,51
10
3,31
D value
2,173913
D value
1,015228
90
Lampiran 8.
Data Nilai D Isolat Staphylococcus aureus GMP 6
Suhu
Waktu
log 
(Menit) sel
(C)
8,08
58
0
7,74
5
7,01
7
6,29
9
5,68
12
4,28
15
1,78
20
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
62
0
8,08
1
8,03
2
6,81
4
5,10
6
5,20
8
3,11
12
1,00
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
68
0
8,08
10'
7,32
30'
6,30
1
5,10
3
5,18
7
3,04
9
1,48
Suhu
Waktu
log 
D value
(Menit) sel
(C)
60
0
8,08 2,538071
3
7,87
6
7,00
8
6,83
12
5,06
15
2,56
19
1,00
D value
3,115265
Suhu
Waktu
log 
D value
(C)
(Menit) sel
66
0
8,08 0,994036
15"
7,73
30'
6,59
1
6,15
3
4,51
8
3,34
10
2,30
D value
1,663894
D value
0,949668
91
Lampiran 9.
Nilai D Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 2
Suhu
Waktu
log 
(Menit) sel
(C)
7,72
55
0
7,12
5
6,59
10
5,79
15
5,58
20
4,23
25
3,49
30
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
65
0
7,72
1
7,48
3
6,83
5
5,78
10
4,62
12
3,33
15
2,74
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
75
0
7,72
10'
6,65
1
6,40
2
5,59
3
4,51
4
3,33
5
2,74
Suhu
Waktu
log 
D value
(Menit) sel
(C)
60
0
7,72 5,434783
3
7,67
5
6,79
10
6,23
15
5,44
20
4,41
25
3,06
D value
7,194245
Suhu
Waktu
log 
D value
(C)
(Menit) sel
70
0
7,72 1,221001
1
7,23
3
6,36
4
5,44
5
4,31
6
3,11
7
1,93
D value
2,932551
D value
1,193317
92
Lampiran 10.
Nilai D Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 4
Suhu
Waktu
log 
(Menit) sel
(C)
7,04
55
0
6,75
5
5,66
10
4,57
15
4,30
20
3,23
25
2,90
30
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
65
0
7,04
1
6,62
3
5,58
5
4,44
10
3,37
12
3,04
15
2,93
Suhu
Waktu
log 
(C)
(Menit) sel
75
0
7,04
10'
6,51
1
5,59
2
4,36
3
3,27
4
2,06
5
1,93
Suhu
Waktu
log 
D value
(Menit) sel
(C)
60
0
7,04 5,952381
3
6,76
5
5,72
10
4,59
15
4,33
20
3,29
25
2,98
D value
6,756757
Suhu
Waktu
log 
D value
(C)
(Menit) sel
70
0
7,04 1,287001
1
6,43
3
5,39
4
4,38
5
3,30
6
2,22
7
1,90
D value
3,521127
D value
1,054852
93
Lampiran 11.
Uji Total Plate Count (MA. PPOM
Prosedur
1.
Homogenisasi sampel
Dengan cara aseptik dipipet 25 ml atau ditimbang 25 g cuplikan,
dimasukkan kedalam kantung sampel dan
ditambahkan 225 ml NaCl,
dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik hingga diperoleh
suspensi homogen dengan pengenceran 10 -1.
2.
Pengenceran
1. Disiapkan 4 tabung atau lebih masing-masing berisi 9 ml NaCl
2. Dari suspensi pengenceran 10 -1 dipipet 1 ml ke dalam tabung tabung
pertama, hingga diperoleh suspensi pengenceran 10 -2 dan dikocok
homogen, buat pengenceran berikutnya hingga 10 -5 .
3. Pipet 1 ml dari setiap pengenceran ke dalam cawan petri dibuat duplo,
tuangkan 15-20 ml media PCA cair suhu ( 45° + 1 0) ke dalam cawan
petri
4. Buat blanko pengenceran dengan volume yang sama dengan sampel dan
tuangkan media PCA, dan buat juga blanko media agar.
5. Inkubasi pada suhu 35 - 37° selama 24 - 48 jam dengan posisi dibalik.
6. Amati dan hitung jumlah koloni yang tumbuh.
94
Lampiran 12.
Uji Angka Escherichia coli dengan Brilliance
TM
E.coli/coliform selective
medium ( Manual media Brilliance Oxoid)
1.
Homogenisasi sampel
Dengan cara aseptik dipipet 25 ml atau ditimbang 25 g cuplikan,
dimasukkan kedalam kantung sampel dan
ditambahkan 225 ml NaCl,
dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik hingga diperoleh
suspensi homogen dengan pengenceran 10 -1.
2.
Pengenceran
Disiapkan 2 tabung atau lebih yang masing -masing telah diisi dengan 9 ml
NaCl. Dipipet 1 ml dari suspensi pengenceran 10 -1 ke dalam tabung berisi NaCl
pertama hingga diperoleh suspensi pngenceran 10 -2. Dikocok sampai homogen.
Dibuat pengenceran berikutnya hingga 10 -5.
3.
Inokulasi dan inkubasi
Disiapkan cawan berisi Brilliance E.coli/ Coliform selektif media (duplo)
untuk setiap pengenceran dan dari setiap pengenceran dipipet 0,5 ml ke atas
lempeng media Brilliance E.coli/ Coliform selektif media, segera disebarratakan
menggunakan batang gelas bengko k. Inkubasi cawan dengan posisi dibalik pada
suhu 370C selama 24 jam. Pilih dan hitung koloni yang berwarna ungu.
4.
Konfirmasi dan Identifikasi
Pilihlah koloni yang spesifik yang terduga Escherichia coli kemudian
diinokulasikan ke agar miring TSA/PCA, diiku basikan pada suhu 37 0C selama
18-24 jam, kemudian diambil untuk dilakukan uji konfirmasi sebagai berikut :
95
a.
Fermentasi Karbohidrat (Glukosa dan Manitol)
Inokulasikan masing-masing 1 ose biakan pada 3 mL media glukosa dan
manitol, inkubasikan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Hasil positif jika terjadi
perubahan warna dari ungu menjadi kuning.
b.
Reduksi Nitrat
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media Nitrat broth, inkubasikan pada
suhu suhu 37C selama 24 jam. Untuk uji nitrit tambahkan 2 tetes masing masing
pereaksi Nitrat A (Alfa naftilamin) dan Nitrat B (Asam sulfanilat). Terjadi
perubahan warna merah muda atau merah dalam waktu sekitar 10 menit.
c.
Uji motiliti
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM, inkubasikan
pada suhu suhu 37C selama 24 jam. Amati pertumbuhan disekitar tusukan ose.
Escehrichia coli bersifat motil.
d.
Uji Indol
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM atau trypton
broth, inkubasikan pada suhu suhu 37 C selama 24 jam. Tambahkan beberapa
tetes reagen Kovac’s kedalam medium. Jika terbentuk cincin merah yang
terbentuk memberikan hasil positif dalam tes .
e.
Uji Merah metil
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media MR -VP, inkubasikan pada suhu
suhu 37C selama 24-48 jam. Untuk mengetahui pH dalam medium maka
ditambahakan 5 tetes reagen MR. Jika berubah warna menjadi merah maka hasil
menunjukkan positif.
96
f.
Uji Voges proskauer
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media MR -VP, inkubasikan pada suhu
suhu 37C selama 24-48 jam. Teteskanlah 0,6 ml aplha-naphthol kedalam
medium tersebut dan dikocok. 0,2 ml KOH 40% ditambahkan selanjutnya. Warna
merah yang terjadi menunjukkan hasil tes yang positif.
g.
Pengecetan gram
Bersihkan gelas benda dengan alkohol, buatlah p reparat bakteri dan
dikeringanginkan kemudian difiksasi. Tambahkan gram A (Kristal violet)
diamkan selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir. Teteskan pewarna
gram B (Iodin) selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir. Setelah itu
tambahkan gram C (Lugol) selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air
mengalir. Beri larutan gram D (Safranin) selama 30 detik, kemudian dicuci
dengan air mengalir. Kemudian dikeringkan dan diamati denga n mikroskop pada
perbesaran 100x menggunakan minyak imersi.
Hitung koloni Escherichia coli yang berwarna ungu, dan yang berwarna
merah untuk koloni coliform. Kemudian koloni yang terduga Escherichia
coli/coliform diinokulasikan ke agar miring PCA, diikubasikan pada suhu 37 0C
selama 24 jam, kemudian dilakukan uji biokimia. Setelah dinyatakan positif
sebagai Escherichia coli/coliform, hitung total Escherichia coli/coliform dengan
mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran.
97
Uji biokimia isolat Escherichia coli GMP
Uji Biokimia
Escherichia coli ATCC 25922
(kontrol +)
Isolat Escherichia coli GMP
Glukosa
Positif
Positif
Manitol
Positif
Positif
Nitrat Broth
Positif
Positif
SIM
-/+/+
-/+/+
MR
Positif
Positif
VP
Negatif
Negatif
P.Gram
Gram negatif, batang pendek
98
Gram negatif, batang pendek
Lampiran 13.
Uji Angka Staphylococcus aureus dalam Makanan dan Minuman (Metoda
Analisa PPOMN 66/MIK/2006)
1.
Homogenisasi sampel
Dengan cara aseptik dipipet 25 ml atau ditimbang 25 g cuplikan,
dimasukkan kedalam kantung sampel dan ditambahkan 225 ml BPW/NaCl,
dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik hingga diperoleh
suspensi homogen dengan pengenceran 10 -1.
2.
Pengenceran
Disiapkan 2 tabung atau lebih yang masing -masing telah diisi dengan 9 ml
BPW/NaCl. Dipipet 1 ml dari suspensi pengenceran 10 -1 ke dalam tabung berisi
BPW/NaCl pertama hingga diperoleh suspensi pngenceran 10-2. Dikocok sampai
homogen. Dibuat pengenceran berikutnya hingga 10 -3.
3.
Inokulasi dan inkubasi
Disipakan 3 cawan berisi BPA -EY (triplo) untuk setiap pengenceran dan
dari setiap pengenceran dipipet 0,3 ml; 0,3 ml; 0,4 ml ke lempeng media BPA EY, segera disebarratakan menggunakan batang gelas bengkok. Apabila inokulum
belum terserap semua oleh agar, biarkan cawan dengan posisi ke atas di dalam
inkubator selama 10-60 menit, kemudian inkubasi cawan dengan posisi dibalik
pada suhu 37 0C selama 45-48 jam. Koloni Staphylococcus aureus adalah bulat,
halus, konveks, lembab, diameter 2 -3 mm, berwarna abu-abu kehitaman ditepi
koloni, dan apabila dicuplik dengan jarum ose koloni tampak seperti mentega
sampai lengket.
99
4.
Konfirmasi dan Identifikasi
Pilihlah koloni yang s pesifik yang terduga Escherichia coli kemudian
diinokulasikan ke agar miring TSA/PCA, diikubasikan pada suhu 37 0C selama
18-24 jam, kemudian diambil untuk dilakukan uji konfirmasi sebagai berikut :
a.
Fermentasi Karbohidrat (Glukosa dan Manitol)
Inokulasikan masing-masing 1 ose biakan pada 3 mL media glukosa dan
manitol, inkubasikan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Hasil positif jika terjadi
perubahan warna dari ungu menjadi kuning.
b.
Uji motiliti
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM, inku basikan
pada suhu suhu 37C selama 24 jam. Amati pertumbuhan disekitar tusukan ose.
c.
Uji Indol
Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM atau trypton
broth, inkubasikan pada suhu suhu 37 C selama 24 jam. Tambahkan beberapa
tetes reagen Kovac’s kedalam medium. Jika terbentuk cincin merah yang
terbentuk memberikan hasil positif dalam tes .
d.
Uji koagulase
Diinokulasikan 1 sengkelit ke dalam tabung reaksi kecil berisi 0,2 -0,3 ml
BHIB, inkubasikan pada suhu 37 0C selama 18-24 jam. Ditambahkan 0,5 m l
plasma kelinci/plsma darah dan diaduk merata, diinkubasi 37 0C selama 6 jam.
Diamati terjadinya koagulasi plasma kelinci/plasma darah dalam setiap tabung
dengan membalikkan tabung, apabila media tetap ditempatnya berarti positif
Staphylococcus aureus
100
Download