BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini yang banyak menjadi perhatian orang tua adalah rendahnya
nafsu makan pada anak. Mengingat pentingnya asupan nutrisi untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak, maka banyak dari orang tua yang
bersedia melakukan apapun demi meningkatkan nafsu makan si anak.
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan nafsu makan anak
berkurang, yaitu dapat berupa faktor psikis, faktor fisik, maupun faktor
pola makan (Sunarto, 2009).
Dorongan untuk makan umumnya didasarkan pada nafsu makan
dan rasa lapar. Dua hal tersebut adalah gejala yang berhubungan tetapi
memiliki arti yang berbeda. Nafsu makan adalah keadaan yang mendorong
seseorang untuk memuaskan keinginannya dalam hal makan, hal ini
berhubungan dengan konsep budaya yang berbeda antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lainnya. Sedangkan lapar menggambarkan suatu
keadaan kekurangan gizi dan merupakan suatu konsep fisiologis (Foster &
Anderson,1986). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi pangan
keluarga (Lutviana & Budiono, 2010).
Status gizi merupakan bagian penting dari status kesehatan
seseorang. Berdasarkan penelitian dari Maryam (2001), terdapat hubungan
1
2
yang positif antara kondisi status gizi dan kesehatan dengan prestasi
belajar. Kekurangan gizi pada usia dini dapat mengganggu pertumbuhan
fisik, perkembangan mental dan kecerdasan anak (Amelia et al, 1995).
Sampai saat ini, masyarakat di negara-negara berkembang biasanya
mengatasi sendiri gejala-gejala sakit yang dideritanya dengan pengobatan
tradisional, dengan sekedar beristirahat, minum jamu, dan pergi ke dukun
atau ahli pengobatan tradisional. Pada masyarakat Jawa upaya menjaga
kesehatan, mencegah penyakit, maupun pengobatan suatu penyakit yang
diderita biasa dilakukan dengan meminum ramuan tradisional atau lebih
dikenal dengan jamu (Hardon, et al, 1995). Kemajuan pengetahuan dan
teknologi modern tidak mampu menggantikan peranan obat tradisional,
bahkan pada saat ini pemerintah tengah menggalakkan pengobatan
kembali ke alam (back to nature) (Wijayakususma, 1999).
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber
bahan obat alam yang secara turun temurun telah digunakan sebagai
ramuan obat tradisional. Pengobatan tradisional dengan tanaman obat
diharapkan
dapat
berperan
dalam
masyarakat.
Dari
beberapa
tanaman obat Indonesia
dikembangkan,
ada
beberapa
upaya
tanaman
peningkatan
yang
kesehatan
yang telah
berpotensi
dalam
meningkatkan nafsu makan, salah satunya yang sudah banyak digunakan
sebagai bahan dalam pembuatan sediaan penambah nafsu makan yaitu
temulawak ( Curcuma xanthorrhiza Roxb).
3
Temulawak adalah tanaman asli Indonesia yang sudah sangat
dikenal oleh masyarakat Indonesia karena berbagai macam manfaatnya,
yang salah satunya dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan. Salah satu
penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kandungan minyak
atsiri dalam temulawak memiliki sifat koleretik (Sudarsono et al., 1996),
yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat pengosongan
lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus (Ozaki dan Liang,
1988).
Sediaan penambah nafsu makan berbahan dasar temulawak sudah
relatif banyak di pasaran, namun penelitian yang terkait yang mendukung
efek farmakologi temulawak sebagai penambah nafsu makan masih sangat
terbatas. Oleh sebab itu, saat ini penelitian tentang efek farmakologi
temulawak sebagai penambah nafsu makan masih terus dikembangkan,
dengan harapan nantinya dapat menjadi dasar ilmiah dalam pemanfaatan
temulawak dalam sediaan penambah nafsu makan.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan uji
efektifitas sediaan penambah nafsu makan, hewan uji yang digunakan
merupakan hewan uji yang berada dalam kondisi normal bukan hewan
yang mengalami gangguan nafsu makan. Untuk itu diperlukan suatu
metode yang sesuai untuk dapat mengetahui secara pasti efek dari sediaan
penambah nafsu makan yang diuji dengan menggunakan subjek uji berupa
hewan yang mengalami gangguan nafsu makan. Gangguan nafsu makan
4
ini dapat dibuat dengan memberikan perlakuan berupa penurunan nafsu
makan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah dalam upaya
pengembangan temulawak sebagai penambah nafsu makan, serta dapat
menjadi dasar bagi produsen sediaan penambah nafsu makan berbahan
dasar temulawak, sehingga nantinya dapat meningkatkan efektifitas dari
produk yang diproduksi.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan Emulsi® dalam berbagai
dosis terhadap berat badan, jumlah asupan makanan, dan jumlah
asupan minuman pada tikus yang ditekan nafsu makannya dengan
dietilpropion HCl ?
2. Adakah keterkaitan antara jumlah konsumsi makanan dan minuman
terhadap kenaikan berat badan tikus yang ditekan nafsu makannya
dengan dietilpropion HCl ?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian
sediaan Emulsi® dalam berbagai dosis terhadap berat badan, jumlah
konsumsi makanan pada tikus, serta jumlah konsumsi minuman pada tikus
yang ditekan nafsu makannya dengan dietilpropion HCl.
5
D. Luaran yang diharapkan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah dalam
pengembangan temulawak sebagai bahan herbal penambah nafsu makan,
serta dapat menjadi dasar bagi para produsen dalam upaya pemanfaatan
temulawak dalam sediaan penambah nafsu makan sehingga dapat
dihasilkan produk yang memiliki kualitas, efikasi, dan keamanan yang
sesuai dengan yang dipersyaratkan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Temulawak
a. Deskripsi temulawak
Temulawak
merupakan
tanaman
asli
Indonesia
yang
penyebarannya merata diberbagai daerah. Oleh Karena itu pula
penyebutan tanaman ini pun berbeda-beda di beberapa daerah
(Anonim, 1979).
Temulawak merupakan terna ( Herbaceous ) berbatang semu,
dengan tinggi lebih kurang 2 meter, berwarna hijau atau coklat gelap.
Tiap batang mempunyai daun 2 sampai 9 lembar. Bentuk bundar
memanjang, berwarna hijau atau coklat keunguan. Perbungaan lateral,
tangkai ramping, berbulu, sisik berbentuk garis, berbulu halus. Bentuk
bulir bulat memanjang berdaun pelindung yang banyak, mahkota
bunga berbentuk tabung berwarna putih atau kekuningan, helaian
bunga berbentuk bundar telur sungsang berwarna jingga, serta buah
6
berbulu (Anonim, 1993). Akar berupa umbi beraroma yang agak tajam
dan dagingnya berwarna jingga dan mengandung minyak (Aliadi et al.,
1996).
b. Klasifikasi
Klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Tjitrosoepomo, 2004).
c. Nama daerah
Penyebutan nama tanaman temulawak di beberapa daerah
antara lain : temulawak (Sumatra), koneng gede (Sunda), temulawak
(Jawa), temo labak (Madura), dan temulawak (Indonesia) (Anonim,
1979) .
d. Kandungan kimia
Rimpang temulawak mengandung kurkumin, xanthorizol,
kurkuminoid,
minyak
atsiri
dengan
komponen
α-kurkumen,
germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor (Anonim, 2010).
Fraksi pati merupakan kandungan terbesar, jumlah bervariasi antara
7
48-54% tergantung dari ketinggian tempat tumbuh, makin tinggi
tempat tumbuh maka kadar patinya semakin rendah dan kadar minyak
atsirinya semakin tinggi. Pati temulawak terdiri dari abu, protein,
lemak, karbohidrat, serat kasar, kurkuminoid, kalium, natrium,
kalsium, magnesium, besi, mangan, dan cadmium. Fraksi kurkuminoid
memiliki aroma khas, tidak toksik, terdiri dari kurkumin yang
mempunyai aktivitas antiradang dan demetoksikurkumin (Dalimartha,
2006).
Kandungan terpenting temulawak yaitu minyak atsiri (minimal
5%) terdiri dari begamoten, germakren B, kurserenon, dan germakron
serta
warna
kuning
difeuloilmetana
yaitu
kurkumin
dan
demetoksikurkumin (Dalimartha, 2006).
e. Penggunaan secara tradisional
Menurut Tampubolon (1981), secara tradisonal, temulawak
telah banyak digunakan sebagai obat diare, ambeian, sembelit, dan
menambah pengeluaran cairan empedu. Selain itu temulawak juga
digunakan dalam pengobatan sakit ginjal, demam, sakit kuning,
penyakit kurang darah, radang lambung, kencing darah, ayan, kurang
darah sehabis nifas, exsim, kejang-kejang, jerawat, kurang nafsu
makan, cacar air (Aliadi et al., 1996) . Serta sebagai pelancar ASI,
pelancar pencernaan, penurun panas, serta menurunkan kolesterol
(Sudarsono et al., 2006). Sedangkan menurut Anonim (2010),
temulawak dapat digunakan sebagai pengobatan sakit perut karena flu,
8
luka infeksi, cacar, mual, dan mencegah radang rahim pasca
melahirkan.
f. Penelitian tentang temulawak terkait dengan peningkatan nafsu
makan
Menurut Anonim (2010), kurkuminoid temulawak dapat
menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah, serta dapat
menaikkan kadar asam empedu darah kelinci dalam keadaan
hiperlipidemia. Minyak atsiri temulawak yang telah dijenuhkan dapat
menghambat penyerapan glukosa dalam usus halus tikus dan dan
penyerapan ini bersifat reversibel. Campuran kurkuminoid dan minyak
atsiri menghambat penyerapan glukosa pada mencit, dan ikatan
keduanya bersifat reversibel.
Cairan infus temulawak yang diberikan
pada dosis rendah
berulang kali akan mempercepat kerja usus halus. Namun sebaliknya
pada dosis yang lebih besar akan menghambat atau menghentikan
kerja usus halus hewan uji (Sudarsono et al., 2006).
2. Sediaan Emulsi®
Sediaan Emulsi® merupakan produk suplemen penambah nafsu
makan yang diproduksi oleh PT. Soho.
a) Komposisi sediaan Emulsi®
i.
Vitamin A (850 IU)
Vitamin A terutama terdapat pada mentega, telur, hati dan
daging, dan terdapat dalam beberapa bentuk misalnya retinol
9
(Vitamin A1), dan 3-dehidro-retinol (vitamin A2). Asam retinoat
(tretinoin, isotretinoin) merupakan hasil oksidasi grup alkohol dari
retinol. Vitamin A juga berasal dari karoten yang merupakan
pigmen tumbuh-tumbuhan. Terdapat beberapa jenis karoten yaitu
karoten alfa, beta, dan gama, dan bentuk yang paling aktif adalah
beta karoten. Hanya 1/3 karoten diubah menjadi vitamin A pada
dinding usus halus (Ganiswara, 1995).
Vitamin A diperlukan untuk penglihatan, dan untuk
pembentukan kulit yang sehat. Vitamin A juga membantu sistem
kekebalan tubuh, dan karena sifat antioksidan yang besar dapat
untuk melindungi terhadap polusi dan penyebab kanker serta
penyakit lainnya. Selain itu juga membantu indera perasa serta
membantu pencernaan dan saluran kemih (Meyer, 2013).
Dosis vitamin A yang digunakan pada sediaan ini masih
dibawah dosis yang seharusnya digunakan. Dimana dosis yang
dibutuhkan setiap hari untuk mencegah kekurang zat ini yaitu
untuk pria 5.000 IU per hari (setara 1.000 mg), wanita 4.000 IU per
hari (setara dengan 800 mg), meskipun 10.000 IU per hari biasanya
digunakan dalam suplemen (Meyer, 2013).
ii.
Vitamin B1, B2, B6, B12
a) Vitamin B1 (3 mg).
Vitamin B1 atau Thiamin, digunakan dalam banyak
fungsi tubuh yang berbeda namun vitamin ini sangat sedikit
10
disimpan dalam tubuh, dan pelepasan vitamin ini dapat terjadi
dalam waktu 14 hari (Meyer, 2013).
Tiamin digunakan untuk berbagai neuritis yang
disebabkan oleh defisiensi tiamin, misalnya pada (1) neuritis
alkoholik yang terjadi karena sumber kalori hanya alkohol saja;
(2) wanita hamil yang kurang gizi; atau (3) penderita emesis
gravidum. Pada trigeminal neuralgia, neuritis yang menyertai
anemia, penyakit infeksi dan pemakaian obat tertentu,
pemberian tiamin dapa memberikan perbaikan. Tiamin juga
digunakan untuk pengobatan oenyakit jantung dan gangguan
saluran cerna yang disebabkan karena defisiensi tiamin
(Ganiswara, 1995).
Dosis minimum untuk menjaga kondisi tubuh adala pria
1,4 mg/hari dan wanita 1,0 mg/hari, dan untuk suplemen
biasanya digunakan sebanyak 50mg/hari (Meyer, 2013). Dosis
vitamin B1 yang digunakan pada sediaan ini yaitu sebesar 3
mg, sehingga dapat dikatakan bahwa dosis ini sesuai dengan
dosis yang ditujukan untuk menjaga kondisis tubuh, namun
tidak sesuai dengan dosis yang biasa digunakan untuk
suplemen.
b) Vitamin B2 (2 mg).
Riboflavin (vitamin B2) diproduksi dalam tubuh oleh
flora usus dan sangat mudah diserap, meskipun jumlah yang
11
sangat kecil disimpan, sehingga ada kebutuhan konstan untuk
vitamin ini. Vitamin ini diperlukan oleh tubuh untuk
metabolisme asam amino, asam lemak, dan karbohidrat.
Riboflavin lebih lanjut diperlukan untuk mengaktifkan vitamin
B6
(pyridoxine),
membantu
pembentukan
niasin
dan
membantu kerja dari kelenjar adrenal, selai itu dapat digunakan
untuk pembentukan sel darah merah, produksi antibodi,
respirasi sel, dan berperan dalam proses pertumbuhan,
membantu dalam pencegahan dan pengobatan katarak. Selain
itu vitamin B2 diperlukan untuk kesehatan selaput lendir di
saluran pencernaan dan membantu penyerapan zat besi dan
vitamin B6 (Meyer, 2013). Didalam tubuh, riboflavin diubah
menjadi riboflavin fosfat atau flavin mononukleutida (FMN)
dan flavin adenosin dinukleutida (FAD), yang keduanya
merupakan bentuk aktif dari riboflavin dan berperan sebagai
koenzim dalam berbagai metabolism (Ganiswara, 1995).
Dosis vitamin B2 yang digunakan pada sediaan ini yaitu
sebesar 2 mg, dosis ini juga tidak sesuai dengan dosis umum
untuk suplemen, namun cukup untuk tujuan perawatan kondisis
tubuh. Dimana dosis normal untuk perawatan kondisi tubuh
yaitu pria 1,6 mg/hari dan wanita 1.2 mg/hari , dan dosis paling
umum untuk suplemen adalah 50mg/hari (Meyer, 2013).
12
c) Vitamin B6 (5 mg).
Dalam alam vitamin ini terdapat dalam tiga bentuk
yaitu piridoksin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, serta
piridoksal dan piridoksamin yang teruama berasal dari hewan.
Ketiga bentuk piridoksin tersebut dalam tubuh diubah menjadi
piridoksal fosfat (Ganiswara, 1995).
Vitamin B6 diperlukan untuk menjaga keseimbangan
hormonal pada wanita serta membantu sistem kekebalan tubuh
dan pertumbuhan sel-sel baru. Selain itu juga digunakan dalam
pengolahan dan metabolisme protein, lemak dan karbohidrat,
serta membantu
mengontrol suasana hati dan perilaku
seseorang. Piridoksin membantu dalam keseimbangan natrium
dan kalium serta mempromosikan produksi sel darah merah
serta dapat pula membantu anak-anak dengan masalah
kesulitan belajar (Meyer, 2013).
Dosis pengunaan Vitamin B6 yaitu pada pria 2 mg/hari
dan wanita 2 mg/ hari (Meyer, 2013). Dosis yang digunakan
pada sediaan Emulsi® ini tidak sesuai dengan dosis yang
dianjurkan. Namun, menurut Ganiswara (1995), efek samping
dari penggunaan vitamin B6 baru muncul pada penggunaan
jangka panjang dengan dosis 50mg-2 gram per hari. Sehingga
dapat dikatakan bahwa dosis yang digunakan pada sediaan ini
masih aman.
13
d) Vitamin B12 (5 mcg).
Vitamin
B12
atau
cyanocobalamin,
cobolamin
diperlukan dalam pembuatan sel darah merah dan pemeliharaan
sel-sel darah merah serta
merangsang nafsu makan, dan
mempercepat pertumbuhan dan pelepasan energi. Vitamin B12
sering digunakan oleh orang-orang usia lanjut sebagai
suplemen
untuk
penambah
energi,
membantu
dalam
pencegahan gangguan kerusakan mental dan membantu
mempercepat proses berpikir. Selain itu, vitamin B12 dapat
memberikan perlindungan terhadap alergi dan kanker, serta
berfungsi pula dalam metabolisme lemak, protein dan
karbohidrat (Meyer, 2013).
Dosis yang digunakan pada sediaa Emulsi® sesuai
dengan dosis normal yang dianjurkan yaitu dosis minimum pria
dan wanita sebanyak 3 mcg/hari (Meyer, 2013).
iii.
Dekspantenol (3 mg).
Dekspantenol adalah
bentuk
alkohol
dari
asam
pantotenat (vitamin B3) yang berguna sebagai anti aging
(Elizabeth, et al., 2013). Dekspanteol setelah berpenetrasi ke kulit
segera diubah menjadi asam pantothenat. Asam pantotenat akan
berikatan dengan koenzim A (CoA) pada jalur biokimiawi (Siklus
Krebs) dan menjadi sumber energi sel. Energi disimpan dalam
14
bentuk ATP, berperan pada proliferasi sel epidermis, fibroblas, dan
kolagen pada saat terjadi proses penyembuhan luka.
Kebutuhan manusia akan asam pantotenat adalah
sebesar 5-10 mg per hari, sehingga dosis yang digunakan pada
sediaan Emulsi® belum mampu memenuhi kebutuhan asam
pantotenat pada manusia.
iv.
Vitamin D (100 IU).
Vitamin D juga disebut sebagai calciferol atau dapat
disebut juga sebagai vitamin sinar matahari, karena tubuh dalam
iklim yang cerah dapat memproduksi nutrisi ini dari sinar matahari
pada kulit dengan menggunakan kolesterol dari tubuh. Vitamin D
membantu meningkatkan penyerapan kalsium, membantu dalam
pertumbuhan tulang dan integritas tulang dan dapat membantu
dalam pembentukan gigi yang kuat. Selain itu vitamin ini juga
membantu mengatur jumlah fosfor dalam tubuh serta membantu
dalam kesehatan jantung dan sistem saraf (Meyer, 2013). Absorpsi
vitamin D melalui saluran cerna cukup baik. Vitamin D3 diabsopsi
lebih cepat dan lebih sempurna. Gangguan fungsi hati, kandung
empedu, dan saluran cerna seperti steatore akan mengganggu
absorbs vitamin D (Ganiswara, 1995).
Dosis minimum yang direkomendasikan dalam keadaan
normal adalah pada pria 400 IU, dan wanita 400 IU (Meyer, 2013).
15
Sehingga dosis yang digunakan pada sediaan ini belum memenuhi
dosis vitamin D yang dianjurkan.
v.
Asam arakidonat (AA), Asam dokosaheksaenoat (DHA),
Frukto oligosakarida (FOS).
Asam Arakidonat adalah sebuah asam lemak esensial
jenuh, yang dapat ditemukan pada hewan dan lemak manusia serta
dalam hati, otak, dan organ kelenjar, dan merupakan konstituen
dari fosfatida hewan. Asam arakidonat dibentuk oleh sintesis dari
asam linoleat dan merupakan prekursor dalam biosintesis
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien (Anonim, 2011).
Asam dokosaheksaenoat adalah asam lemak omega-3
yang merupakan komponen struktural utama dari otak manusia,
korteks
serebral,
kulit,
sperma,
testis
dan
retina.
Asam
dokosaheksaenoat dapat disintesis dari asam alfa-linolenat atau
diperoleh langsung dari air susu ibu atau minyak ikan (Guesnet dan
Alessandri , 2011). Menurut Horrocks (1999), konsumsi harian
rutin setidaknya 200 mg DHA dapat mencegah penyakit
kardiovaskular. Dosis DHA yang digunakan pada sediaan belum
memenuhi dosis DHA yang dapat meberikan efek farmakologi.
Frukto oligosakarida adalah campuran oligosakarida
yang terdiri dari glukosa terkait dengan unit fruktosa. Mereka tidak
dicerna dalam usus kecil manusia tetapi difermentasi dalam usus
besar, di mana mereka secara khusus dapat mempromosikan
16
pertumbuhan beberapa jenis mikroflora normal dalam tubuh,
terutama bifidobacteria (Bouhnik et al., 1996). FOS berfungsi
sebagai prebiotik dengan dosis penggunaan 4 gram/hari (Gibson,
1998). Pada sediaan digunakan FOS dengan dosis sebesar 500 mg,
dosis ini masih sangat kurang dari dosis yang dianjurkan.
vi.
Minyak ikan kod
Menurut Moghadasian,2008 dan Cleland, 2006 minyak
ikan adalah minyak yang berasal dari jaringan ikan berminyak.
Minyak
ikan
mengandung
asam
omega-3
asam
lemak
eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA), yang
merupakan prekursor eikosanoid tertentu yang dikenal untuk
mengurangi peradangan dalam tubuh.
vii.
Ekstrak Curcuma (10 mg)
Ekstrak Curcuma yang dimaksud disini adalah ekstrak
dari Curcuma xanthorrhiza , Roxb, sebagaimana dapat dilihat pada
Anonim (1979), bahwa secara umum
disebut sebagai curcuma. Kandungan
bertanggung
jawab dalam
efek
Curcuma xanthorrhiza
temulawak yang diduga
peningkatan
nafsu
makan
adalah minyak atsirinya (Awalin,1996).
b)
Indikasi sediaan emulsi®
Membantu memenuhi kebutuhan vitamin pada masa
pertumbuhan, membantu memperbaiki nafsu makan, membantu
memelihara daya tahan tubuh.
17
c)
Takaran pemakaian sediaan Emulsi®
Dewasa
: sehari 3 x 1 sendok makan (15 mL)
Anak-anak
: 6 - 12 tahun, sehari 2 x 1 sendok makan
1- 6 tahun, sehari 1 x 1 sendok makan
6 bulan - 1 tahun, sehari 1 x ½ sendok makan
d)
Sediaaan yang tersedia dipasaran
: dus/botol 120 mL,
175 mL, 200 mL
3.
Dietilpropion Hidroklorida
Gambar 1 . Struktur Dietilpropion Hidroklorida
Senyawa dengan rumus molekul C13H19NO. HCl
ini
memiliki nama kimia 1-Propanon, 2-(dietilamino)-1-fenil-, hidroklorid,
serta nama IUPAC dari dietilpropion adalah 2-(dietilamino)-1-fenilpropan1-on (Anonim, 2009).
Dietilpropion adalah senyawa cincin feniletilamin dengan sifat
simpatomimetik
dan dengan efek stimulan yang lebih ringan dari
amfetamin (Cercato et
al.,
2009).
Dietilpropion telah disetujui
penggunaanya sebagai antiobesitas sejak 1959 (Kang et al., 2012), dan
sampai saat ini masih merupakan obat pilihan dalam penanganan obesitas,
18
hal ini dapat dilihat dari MIMS yang masih merokemendasikan
penggunaan obat ini.
a. Pemerian
Dietilpropion HCl berupa serbuk kristal yang halus, dengan
warna putih atau tidak berwarna, dengan bau yang sedikit khas.
Dietilpropion HCl memiliki berat molekul 241,76, titik lebur sebesar
168˚, dapat larut denan baik di air, kloform, dan alkohol, dan tidak
larut dalam eter (Anonim, 2009).
b. Absorbsi, metabolisme, dan ekskresi
Dietilpropion dengan cepat diserap dari saluran pencernaan
setelah pemberian oral. Secara ekstensif dimetabolisme melalui jalur
kompleks biotransformasi melibatkan N-dealkylation dan reduction.
Banyak
metabolitnya
yang
aktif
secara
biologis
dan
dapat
berpartisipasi dalam tindakan terapi dari dietilpropion. Dietilpropion
dan / atau metabolit aktif diyakini melintasi sawar otak dan plasenta.
Dietilpropion dan metabolitnya diekskresikan terutama oleh ginjal
(Anonim, 2008).
c. Efek farmakologi
Obat-obatan anoreksia bertindak terutama pada pusat
kenyang di hipotalamus untuk menghasilkan anoreksia. Mereka juga
memiliki berbagai efek metabolik yang melibatkan metabolisme lemak
dan karbohidrat, tapi banyak diantaranya yang dapat memberikan efek
sekunder sebagai penurun berat badan. Sebagian besar obat yang
19
terkait langsung maupun tidak langsung dengan amfetamin bertindak
dengan meningkatkan aktivitas fisik secara umum. Obat-obatan
anoreksia cenderung kehilangan efeknya setelah beberapa bulan, dan
sebagian dari pengurangan efek ini terjadi mungkin karena perubahan
kimiawi yang dihasilkan oleh obat-obatan di otak. Dietilpropion
menjadi obat pilihan utama dari kelas amfetamin karena insiden efek
sampingnya yang lebih ringan bila dibandingkan dengan obat
sejenisnya (Craddock, 1976).
Obat untuk mengobati obesitas dapat dibagi menjadi tiga
kelompok: obat-obat yang mengurangi asupan makanan, yang
mengubah metabolisme, dan yang meningkatkan termogenesis.
Monoamina yang bekerja pada reseptor noradrenergik, reseptor
serotonin, reseptor dopamin, dan reseptor histamin dapat mengurangi
asupan makanan. Sejumlah peptida juga mempengaruhi asupan
makanan. Dietilpropion yang merupakan salah satu obat noradrenergik
disetujui hanya untuk penggunaan jangka pendek (Bray, 2000), dengan
dosis terapi yang biasanya digunakan adalah 75 – 150 mg perhari
(Anonim, 2009).
Dietilpropion HCl bekerja dengan merangsang pelepasan
norepinefrin dari saraf prasinaptik sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi
neurotransmitter
adrenergik
yang
mengaktifkan
hipotalamus.
Pengaktifan saraf di hipotalamus mengakibatkan
20
penurunan nafsu makan dan asupan makanan (Khairuddin et al.,
2012).
Dietilpropion HCl secara spesifik menstimulasi sistem syaraf
pusat, Efek samping penggunaan dietilpropion HCl yang sering
muncul adalah pusing, mulut kering serta konstipasi. Efek samping
seperti euforia, insomnia dan tremor jarang dijumpai pada pasien yang
menggunakan obat ini. Obat ini dapat menimbulkan masalah pada
jantung jika terjadinya overdosis. Selain itu dapat menimbulkan
ketergantungan (Anonim, 2009).
Dietilpropion merangsang pelepasan norepinefrin dan / atau
dopamin dari situs penyimpanan di terminal saraf di pusat makan
hipotalamus lateral, sehingga menghasilkan efek penurunan nafsu
makan. Diethilpropion bekerja dipusat berpikir yang bertindak
terutama melalui jalur katekolamin di otak (Reimer et al., 1995).
Dietilpropion
HCl
yang
merupakan
derivat
amfetamin
ini
menstimulasi neuron untuk melepaskan sejumlah kelompok partikel
neurotransmiter yang tinggi dikenal sebagai katekolamin (termasuk
dopamine dan norefenefrin), kadar yang tinggi dari katekolamin ini
akan memberikan sinyal untuk menekan lapar dan nafsu makan. Selain
itu, juga bisa secara tidak langsung memberikan pengaruh pada kadar
leptin di otak. Secara teori,
dietilpropion HCl bisa meningkatkan
kadar leptin yang memberikan sinyal kenyang, serta meningkatkan
kadar katekolamin yang ikut bertanggung jawab untuk menghentikan
21
aksi neurotransmiter lain yaitu NPY yang memiliki efek untuk
memulai makan, mengurangi pengeluaran energi, dan meningkatan
penimbunan lemak (Anonim, 2006).
4. Olanzapin
Olanzapin adalah antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua
dengan efek samping yang lebh ringan dari generasi sebelumnya), yang
telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1996, yang
digunakan untuk mengobati baik gejala positif dan negatif dari skizofrenia,
kegilaan akut dengan gangguan bipolar, agitasi, dan gejala psikotik pada
demensia (Anonim, 2013), dan merupakan salah satu anggota dari kelas
thienobenzodiazepin (Prommer, 2012)
Gambar 2. Struktur Olanzapin (Jenkins dan Raaf., 1998)
Nama IUPAC untuk olanzapin adalah 2-metil-4-(4-metilpiperazin-1il)-5H-tieno[3,2-c][1,5]benzodiazepin,
dengan
rumus
molekul
C17H20N4S, dan dengan berat molekul sebesar 312,43 .
a. Pemerian
Olanzapin berbentuk serbuk Kristal tanpa warna atau putih
sampai dengan kekuningan, tidak berbau dengan pH 6,1. Titik
lebur olanzapin adalah 192.8° - 195 °C, dan titik didihnya 462,6°
22
C. Olanzapin praktis tidak larut dalam air, namun larut dalam
dimetil formamida dan diklorometana (Anonim, 2009).
b. Absorbsi, metabolisme, dan ekskresi
Olanzapin diserap dengan baik, dimetabolisme dihati, dan
dieliminasi secara luas oleh first pass metabolism, dengan sekitar
40% dari
keseluruhan dosis telah dimetabolisme sebelum
mencapai sirkulasi sistemik, dan 7% dari dosis olanzapin telah
mencapai urin sebagai bentuk yang tidak berubah, menunjukkan
bahwa metabolisme olanzapin sangat tinggi (Anonim, 2013).
c. Efek farmakologis
Olanzapin mengikat reseptor alpha (1), dopamin, histamin
H1, muskarinik, dan serotonin tipe 2 (5-HT2). Olanzapin sebagai
antipsikotik dikarenakan kombinasi dari antagonisme pada reseptor
D2 di jalur mesolimbik dan reseptor 5HT2A di korteks frontal.
Antagonisme pada reseptor D2 mengurangi gejala positif
sementara antagonisme pada reseptor 5HT2A mengurangi gejala
negatif skizofrenia (Anonim, 2013).
Pada penderita gangguan skizofrenia gangguan penggunaan dosis
awal adalah 10 mg/hari. Pada pasien gangguan maniak dosis
awalnya 15 mg sebagai dosis harian tunggal dalam monoterapi
atau 10 mg sehari dalam terapi kombinasi. Dalam pencegahan
kambuhnya gangguan bipolar dosis awalnya 10 mg/hari. Dosis
harian dapat disesuaikan 5-20 mg/hari. Pada lansia, pasien yang
23
mengalami gangguan ginjal atau hati dosis awal adalah 5 mg/hari
(Anonim, 2013).
Kenaikan berat badan merupakan efek samping yang paling
umum yang terkait pengobatan dengan olanzapin. Penyebab yang
memungkinkan dalam
perangsangan nafsu makan
diduga
melibatkan serotonin 5-HT2C dan histamin antagonis reseptor H-1,
yang dapat meningkatkan keinginan untuk makan. Melkersson &
Hulting (2001), menyatakan
bahwa pengaruh olanzapin pada
perubahan
mungkin
tingkat
leptin
berhubungan
dengan
kemampuannya untuk menginduksi kenaikan berat badan. Terjadi
lonjakan tingkat
regulasi leptin sebelum kenaikan berat badan
selama pengobatan olanzapin. Selain itu, peningkatan BMI (Body
Mass Index) didahului oleh peningkatan yang signifikan dari
tingkat leptin. Meskipun mekanisme tetap tidak diketahui, mereka
berspekulasi bahwa elevasi pesat dalam tingkat sirkulasi leptin
diatur oleh efek langsung dari olanzapin pada sistem saraf simpatis
manusia, tidak hanya dalam
peningkatan lemak tubuh, karena
mungkin terdapat interaksi antara leptin dan sistem saraf simpatik
manusia (Wang et al ., 2006).
Median tingkat insulin secara signifikan lebih tinggi pada
pasien yang menerima olanzapin dibandingkan mereka yang
menerima agen konvensional, meskipun BMI yang sama, hal ini
24
menunjukkan kemungkinan penaruh olanzapin pada sekresi
insulin.
Leptin adalah hormon protein yang dikode oleh gen
obesitas (ob gene) dan telah ditemukan dalam cumulus dan sel
granulose (Kakisiana, 2008). Perbedaan gender berpengaruh
terhadap jumlah leptin, yaitu perempuan biasanya memiliki tingkat
leptin lebih tinggi daripada laki-laki. Namun pada penelitian yang
telah dilakukan oleh Melkersson & Hulting (2001), menunjukkan
bahwa tingkat leptin secara signifikan lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pada laki-laki dalam kelompok agen konvensional,
tapi tidak pada kelompok olanzapin. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi perubahan regulasi pada leptin selama perlakuan dengan
olanzapin. Penelitian lain yang sejenis dilakukan oleh Wetterling
(2000), menunjukkan terjadinya peningkatan berat badan yang
sangat tinggi pada pasien yang diobati dengan olanzapin.
Peningkatan berat badan yang paling sering terjadi pada mingguminggu pertama pengobatan. Pasien underweight berada pada
risiko tertinggi dalam penambahan berat badan.
Afinitas reseptor relatif antipsikotik atipikal untuk histamin
H1 serta finitas reseptor 5-HT2 / D2 tampaknya berkorelasi
terhadap berat badan. Selain itu, induksi sekresi leptin mungkin
memiliki dampak penting pada kenaikan berat badan pada subyek
diobati dengan neuroleptik atipikal .
25
5. Nafsu makan , Kenyang, dan Lapar
Istilah nafsu makan sering dinyatakan sebagai hasrat akan jenis
makanan spesifik, bukan makanan pada umumnya. Oleh karena itu, nafsu
makan membantu seseorang memilih kualitas makanan yang dimakan.
Istilah kenyang berarti perasaan pemenuhan dalam pencarian makanan.
Kenyang biasanya akibat dari pengisian makanan, khususnya bila depot
cadangan makanan, jaringan adiposa dan cadangan glikogen telah terisi (
Guyton,1990).
Nafsu makan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor hedonik
(palatabilitas atau derajat kesukaan terhadap makanan tertentu, rasa,
tekstur, bau), kesukaan dan keengganan yang diketahui (bait shynes, selera
makan yang tidak spesifik), pengaruh
farmakologis (obat-obatan
anoreksia dan naloxone), selera makan spesifik (NaCl), perubahan
psikologis akibat pengaruh dari penyakit (diabetes, obesitas, kanker),
pengaruh metabolik (kebutuhan kalori tingkat neuro transmitter, hormon
adrenalin, hormon seks), pengaruh lingkungan (temperatur) dan pengaruh
sosial (kebudayaan, agama) (Olson, 1987).
Sedangkan lapar berarti sangat membutuhkan makanan, dan hal ini
dihubungkan dengan sejumlah sensasi objektif. Hal ini menyebabkan
perasaan tercekik atau perih pada lambung dan kadang-kandang
menyebabkan rasa nyeri yang dinamakan “hunger pangs”. Selan itu orang
yang lapar lebih tegang dan gelisah daripada biasanya ( Guyton,1990).
26
Lapar merupakan satu rangkaian isyarat dari dalam tubuh yang
mengandung usaha untuk meperoleh dan mengkonsumsi makanan.
Isyarat-isyarat ini berasal dari otak atau syaraf perifer atau dapat
berkembang sebagai suatu kebiasaan. Faktor-faktor tersebut membantu
sistem kontrol yang mengatur system keseimbangan kalori. Rasa lapar
timbul dari beberapa faktor yang menimbulkan inisiatif makan dengan
merangsang apa yang disebut a final common path. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya lapar yaitu system syaraf pusat, syaraf
perifer, pengaruh lingkungan, status penyakit dan faktor emosi
(Olson,1987).
Oleh sebab itu, apabila terjadi gangguan pada nafsu makan
nantinya akan menimbulkan banyak masalah, yang salah satunya adalah
kekurangan gizi. Gangguan pada nafsu makan telah menjadi masalah yang
sering terjadi pada anak-anak. Gangguan nafsu makan terjadi pada 25%45% anak yang berkembang normal dan 80% pada anak yang terlambat
perkembangannya (Waugh, 2010).
Gangguan nafsu makan umumnya dialami anak-anak usia 1-3
tahun atau usia prasekolah. Pada usia ini anak menjadi sulit makan karena
pertumbuhan fisiknya melambat dibanding ketika ia masih bayi. Fase sulit
makan ini di negara Barat dikenal sebagai fase Johnny won’t eat. Selain itu
periode usia 1-3 tahun disebut juga usia food jag, yaitu anak hanya mau
memakan makanan yang disukai sehingga terkesan terlalu pilih-pilih dan
sulit makan. Sulit makan dianggap wajar selama tidak mengganggu
27
kesehatan dan pertumbuhan anak dan akan hilang dengan sendirinya.
Akan tetapi keadaan sulit makan yang berkepanjangan dapat berdampak
pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual anak (Limananti &
Triratnawati, 2003).
6. Pengaturan Pemasukan Makanan
Perangsangan hipotalamus lateral menyebabkan binatang makan
dengan lahap, sedangkan perangsangan nuclei ventromedialis hipotalamus
menyebabkan kenyang total dan bahkan dengan adanya makanan yang
sangat merangsang nafsu
makan, binatang tetap tidak mau makan.
Sebaliknya, lesi desdruktif pada nukleus ventromedalis menyebabkan efek
yang sama seperti perangsangan pada nukleus lateral hipotalamus, yaitu
makan dengan lahap dan terus menerus sampai binatang menjadi sangat
kegemukan. Lesi pada nukleus lateral hipotalamus menyebabkan efek
yang sangat belawanan, yaitu tidak ada hasrat sama sekali terhadap
makanan dan secara progresif binatang menjadi kelaparan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa nuklei lateralis hipotalamus sebagai pusat lapar
atau pusat makan, sedangkan nuklei ventromedalis hipotalamus sebagai
pusat kenyang (Guyton, 1990).
7. Kromatografi
Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling
umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat
dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif,
atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan
28
sebagainya. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang
menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase).
Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan
menjadi : kromatografi absorbsi, kromatografi partisi,
kromatografi
pasangan ion, kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran,
dan kromatografi afinitas. Berdasarkan pada alat yang digunakan.
Kromatografi dapat dibgi atas : kromatografi kertas, kromatografi lapis
tipis; yang keduanya sering disebut kromatografi planar, kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT), dan kromatografi gas (KG) (Gandjar dan Rohman,
2007).
a. Kromatografi lapis tipis (KLT)
Ide penggunaan kromatografi serapan dalam bentuk lapisan
tipis yang dilekatkan pada suatu penyokong telah diutamakan
penggunaannya pada tahun 1983. Stahl mengembangkan kromatografi
jenis ini dengan membuat cara-cara pembuatan potongan gelas dengan
cara melapiskannya dan menunjukkan bahwa kromatografi lapis tipis
dapat digunakan untuk keperluan yang luas dalam berbagai pemisahan.
Selain memberikan hasil pemisahan yang lebih baik, kromatografi
lapis
tipis
juga
(Sastrohamidjojo,
membutuhkan
2002).
waktu
Keuntungan
lain
yang
lebih
cepat
dari
KLT
adalah
pelaksanaannya yang lebih mudah dan murah dibandingkan dengan
kromatografi kolom, serta peralatan yang digunakan pada kromatografi
ini lebih sederhana (Gandjar dan Rohman, 2007).
29
Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan
yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung
oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Fase gerak
pada KLT akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler
pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh
gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Kromatografi Lapis Tipis sekarang digunakan secara universal
karena kecepatannya dan penggunaan analit yang relatif sangat sedikit
sehingga kromatografi lapis tipis sangat ideal untuk laboratorium
apotek. Prosedur ini dapat digunakan untuk : pemeriksaan identitas
dan kemurnian senyawa obat, untuk pemeriksaan simplisia tanaman
dan hewani, pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat
menurut label deklarasi, serta untuk penentuan kuantitatif masingmasing senyawa aktif campuran senyawa obat (Roth, 1981).
b. Kromatografi gas (KG)
Kromatografi gas adalah suatu cara untuk memisahkan
senyawa atsiri dengan meneruskan arus gas melalui fase diam. Bila
fase diam berupa zat padat, kita menyebutnya sebagai kromatografi
gas padat (KGP). Bila fase diam berupa zat cair, maka disebut
kromatografi gas cair (KGC). Dasar pemisahan kromatografi gas
adalah penyebaran culikan di antara dua fase. Alasan utama meluasnya
penggunaan kromatografi gas adalah karena kepekaannya. Alasan lain
30
yaitu karena analisisnya yang relatif cepat, daya pisah yang tinggi,
dapat digunakan sebagai analisis kuantitatif maupun kualitatif, serta
cara pengoprasiaannya yang mudah (McNair & Bonelli, 1968).
KG dapat diotomatisasi untuk analisis sampel-sampel padat,
cair, dan gas. Sampel padat dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam
suatu pelarut sehingga dapat diinjeksikan ke system KG, demikian
juga sampel gas dapat langsung diambil dengan penyuntik (syringe)
yang peka terhadap gas (Gandjar dan Rohman, 2007).
8. Spektrometri Massa
Spektrometri massa telah digunakan secara luas dalam kimia
organik sejak tahun 1960. Sejak saat itu terjadi kenaikan penggunaan yang
sangat besar terhadap metode ini. Hal tersebut terjadi karena dua alas an,
yaitu yang pertama, telah ditemukannaya alat yang dapat menguapkan
hamper semua senyawa organik dan mengionkan uap; kedua, fragmen
bermuatan yang dihasilkan dari molekul dapat dihubungkan dengan
struktur molekulnya (Sudjadi, 1983) .
Dalam spektometri massa, molekul-molekul organik ditembak
dengan berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif yang
bertenaga tinggi (ion-ion molekuler atau ion-ion induk), yang dapat pecah
menjadi ion-ion yang lebih kecil (ion-ion pecahan atau ion-ion anak);
dimana lepasnya elektron dari molekul menghasilkan radikal kation dan
proses ini dapat dinyatakann sebagai M
M+ . Ion molekul M+ biasanya
terurai menjadi sepasang pecahan atau fragmen, yang dapat berupa radikal
31
dan ion, atau molekul yang kecil dan radikal kation (Sastrohamidjojo,
1991).
F. Landasan Teori
Menurut Afifah (2005),
senyawa germakron pada temulawak
memiliki efek farmakologi berupa anti-inflamasi dan penghambat oedema,
senyawa p-toluilmetillkarbinol dan seskuiterpen d-kamfer memiliki efek
farmakologi berupa peningkatan produksi dan sekresi empedu, sedangkan
senyawa turmeron memiliki efek farmakologi berupa antimikroba
(antibiotik).
Kandungan
temulawak yang diduga bertanggung jawab dalam
efek peningkatan nafsu makan adalah minyak atsirinya (Awalin, 1996).
Efek
peningkatan
nafsu
makan
oleh
minyak
atsiri
temulawak
dimungkinkan karena sifat koleretiknya yaitu mempercepat sekresi
empedu sehingga mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan
dan absorpsi lemak di usus yang kemudian akan mensekresi berbagai
hormon yang yang dapat menimbulkan rasa lapar dan meregulasi
peningkatan nafsu makan (Ozaki dan Liang, 1988); (Wijayakusuma,
2003).
32
G. Hipotesis
Pemberian sediaan Emulsi® berpengaruh terhadap nafsu makan
tikus yang ditekan nafsu makannya dengan parameter perubahan berat
badan tikus yang diukur setiap minggu, serta jumlah asupan makanan dan
minuman setiap harinya dibandingkan dengan kontrol negatif yaitu
dietilpropion HCl sebagai penekan nafsu makan.
Download