KOMPOSISI TUMBUHAN BAWAH DI TAHURA NIPA-NIPA DESA SOROPIA KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE SULAWESI TENGGARA SKRIPSI Oleh : MUH. RISAL M D1B5 09 076 JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016 KOMPOSISI TUMBUHAN BAWAH DI TAHURA NIPA-NIPA DESA SOROPIA KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE SULAWESI TENGGARA SKRIPSI Oleh: Muh.Risal M diajukan kepada program studi manajemen hutan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi manajemen hutan. JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS HALU OLEO 2016 ii PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANA PUN. APABILA DIKEMUDIAN HARI TERBUKTI ATAU DAPAT DIBUKTIKAN BAHWA SKRIPSI INI HASIL JIPLAKAN. MAKA SAYA BERSEDIA MENERIMA SANKSI SESUAI PERATURAN YANG BERLAKU. Kendari, April 2016 MUH.RISAL M NIM. D1B5 09 076 iii iv v ABSTRAK MUH.RISAL M (D1B509076). Komposisi Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara (dibimbing oleh NIKEN PUJIRAHAYU sebagai pembimbing I dan ASRIANTI ARIEF sebagai pembimbing II). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Sulawasei Tenggara. Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober sampai Desember 2015. Metode penelitian ini menggunakan analisis vegetasi kuantitatif dengan pengambilan data di lokasi penelitian. Bentuk desain sampel metode garis berpetak dibuat tiga transek (100 m dpl, 200 m dpl dan 300 m dpl). Tiap transek terdiri 10 petak, masing-masing petak contoh berukuran 2 x 2 meter dengan jarak antara petak 10 meter diharapkan mewakili tiap komposisi vegetasi dan jarak antara transek 100 meter pada tiap ketinggian yang berbeda. Hasil penelitian komposisi tumbuhan bawah terdapat 20 jenis dalam 16 famili. Jenis yang memiliki kerapatan, frekuensi dan indeks nilai penting tertinggi yaitu jenis Rumput teki (Cyperus cyperiodes (L) O.K), Melastoma affine, Paku hata (Ligadium circnatum (Burn) Sw dari famili Cyperaceae, Melastomataceae dan Poaceae. Total indeks keanekaragaman tesebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) masuk kategori sedang. Kata Kunci: Komposisi, Keanekaragaman jenis, Tumbuhan bawah. vi ABSTRACT MUH.RISAL M (D1B509076). Composition Of Understorey In Tahura Nipa-nipa on Soropia village, Soropia district, Konawe of southeast Sulawesi (guided by NIKEN PUJIRAHAYU as mentor I and ASRIANTI ARIEF as mentor II). This studies aims to determined the Composition Of Understorey In Tahura Nipa-nipa on Soropia village, Soropia District Konawe of Southeast Sulawesi. This studied was conducted since October until December 2015. This research method using vegetation analysis of quantitative data collection in the field. The Sample design form line method terraced made three transects (100 m dpl, 200 m dpl and 300 m dpl), sample plots each measuring 2 x 2 meter by 10 meter spacing between plots are expected to represent each composition vegetation and the distance between transects of 100 meters at each study site at different heights. Results of the study of composition species under there are 20 species in 16 families. The kind that has a density, frequency and the index value of highest importance are the type of (Cyperus cyperuides (L) O, K), (Melastoma affine), (Ligodium circnatum (Burn) Sw) of the family Cyperaceae, Melastomataceae and Poaceae. The total index of diversity indicates that the community diversity index (H ') in the category of medium. Keywords: Composition, diversity, understorey. vii RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Desa Konaweha Kecamatan Samaturu Kabupaten Kolaka pada tanggal 12 Desember 1988 yang merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara anak dari pasangan Bapak H. Mursalim dan Ibu Hj. Asnia. Pada tahun 2002 penulis lulus dari SD Negeri 1 Konaweha, tahun 2005 lulus dari SLTP Negeri 2 Samaturu dan pada tahun 2008 penulis lulus dari SMK Negeri 1 Samaturu. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Halu Oleo melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun2009 pada Program Studi Manajemen Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, yang sekarang ini telah menjadi Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan. viii KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Komposisi Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe” untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari. Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghormatan kepada Ibu Niken Pujirahayu, S.Hut., MP selaku Pembimbing I dan Ibu Asrianti Arief, SP, M.Si selaku Pembimbing II, yang telah banyak membantu baik secara moral maupun bimbingan, saran, kritik, nasehat, serta permohonan maaf atas segala kesalahan penulis perbuat, baik sengaja maupun tidak sengaja mulai dari awal sampai akhir pembimbingan. Terimah kasih penulis tujukan kepada Ayahanda dan bunda atas perhatian dan do‟anya kepada penulis. Pada kesempatan ini pula penulis dengan kerendahan hati ingin menyampaikan terima kasih dengan penuh rasa hormat kepada : 1. Rektor Universitas Halu Oleo serta Dekan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Universitas Halu Oleo (UHO). 2. Bapak Zulkarnain, S.Hut., M.Si dan Ibu Niken Pujirahayu, S.Hut., MP, selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari. ix 3. Bapak Alamsyah Flamin selaku Ketua Program Studi Manajemen Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari. 4. Bapak Dr. Nur Arafah, SP., M,Si Selaku penasehat akademik yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat yang sangat berarti selama mengikuti pendidikan di Universitas Halu Oleo. 5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Universitas Halu Oleo. 6. Kekasihku Rahmawati yang selalu memberiku semangat dan dukungan serta doa yang tulus. 7. Saudara saya Muh.Japar, dan Teman-teman saya, Atfal, Dilla, Lirman, Nani marlina, Suci, Isra, Fian, Reisal, Asdawar arsamid, Murtato, Tini, Reisal dan masih banyak lagi serta rekan-rekan 09 - 015 yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan kekompakkan yang telah diperjuangkan bersama, semoga senantiasa tetap terjaga. Akhirnya penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis dengan segala kerendahan hati menerima segala bentuk saran dan kritik yang sifatnya membangun, guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang senantiasa mendapat hidayah dari Allah SWT. Kendari, Penulis x 2016 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL .................................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN........................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iv ABSTRACT .................................................................................................... v RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vii KATA PENGANTAR.................................................................................... viii DAFTAR ISI................................................................................................... x DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................... B. Rumusan Masalah ............................................................................... C. Tujuan dan Manfaat ............................................................................ 1 3 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori..................................................................................... 1. Pengertian Hutan dan Fungsinya................................................... 2. Komposisi Vegetasi....................................................................... 3. Tumbuhan Bawah ......................................................................... 4. Habitus (Bentuk Pertumbuhan)..................................................... 5. Parameter Kualitatif Dan Kuantitatif Dalam Analisis Tumbuhan 6. Metode Pengambilan Contoh Untuk Analisis Tumbuhan............ . B. Kerangka Pikir...................................................................................... 4 4 6 7 10 13 17 19 III. METODE PENELITIAN A. B. C. D. E. F. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. Alat dan Bahan.................................................................................... Populasi dan Tehnik Pengambilan Sampel ........................................ Jenis dan Sumber Data ....................................................................... Analisis Data ....................................................................................... Konsep Operasional ............................................................................ xi 21 21 22 23 24 26 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI A. Letak geografis dan Luas wilayah ...................................................... B. Jenis tanah dan Iklim .......................................................................... 29 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil pengamatan................................................................................ 1. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang ditemukan .................................... 2. Komposisi jenis berdasarkan Kerapatan (K), Frekuensi (F) dan Indeks Nilai Penting (INP) dari jenis tumuhan bawah .................................. 3. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah............................................ B. Pembahasan......................................................................................... 1. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang ditemukan berdasarkan famili ..... a. Faktor yang mempengaruhi Tumbuhan Bawah di lokasi penilitian........................................................................................ 2. Komposisi jenis berdasarkan Kerapatan (K), Frekuensi (F) dan Indeks Nilai Penting (INP) dari jenis tumuhan bawah .................................. 3. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah............................................ 31 31 32 37 38 39 40 43 48 VI. PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ B. Saran.................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA xii 52 52 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Jenis, Jumlah, dan Famili Tumbuhan Bawah di Hutan Soropia ........ 2. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura NipaNipa Desa Soropia pada ketinggian 100 mdpl................................... 3 35 Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura NipaNipa Desa Soropia pada Keseluruhan Petak Sampel......................... 6 34 Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura NipaNipa Desa Soropia pada ketinggian 300 mdpl................................... 5 33 Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura NipaNipa Desa Soropia pada ketinggian 200 mdpl................................... 4 31 36 Perbandingan Keanekaragaman Jenis dari Tumbuhan Bawah di Hutan Soropia Pada Tiap Ketinggian Tempat .............................................. xiii 37 DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. Teks Halaman Alur kerangka pikir penelitian……………………………………… Desain petak contoh dengan metode garis berpetak……………….. Peta Lokasi Penelitian……………………………………………… Gambar. Pengamatan jenis tumbuhan bawah……………………… xiv 20 23 67 69 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Teks Halaman 1. Rekapitulasi Jenis, Jumlah, dan Famili Tumbuhan Bawah di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia……………………… 58 2. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan tiap Petak di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia……...……………. 59 3. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan pada Ketinggian 100 m dpl di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia….. 60 4. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan pada Ketinggian 200 m dpl di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia…. 61 5. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan pada Ketinggian 300 m dpl di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia… 62 6. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada Keseluruhan Petak Sampel………………………………….…… 63 7. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 100 m dpl..……………………………………...…… 8. 64 Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 200 mdpl. …………………………………………… 65 9. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 300 mdpl……………………………………………… xv 66 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Nipa-nipa yang ada di kawasan pegunungan Nipa-Nipa, Kendari merupakan salah satu dari 16 kawasan konservasi alam di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1999 penetapan Tahura Nipa-nipa sebagai kawasan hutan tetap seluas 7.877,5 Ha, (Keputusan Mentri Kehutanan No 103/Kpts-II/1999). Taman Hutan Raya Nipa-nipa memiliki beraneka keunikan, mulai dari jenis flora dan fauna, hingga keindahan alamnya. Aneka jenis flora yang terdapat di Tahura Nipa-nipa, di antaranya tumbuh-tumbuhan kecil, seperti aneka jenis semak, perdu, dan aneka pohon mulai dari batang yang berdiameter di bawah 10 cm sampai yang lebih besar (Rustam BR, 2011). Tumbuhan bawah adalah suatu tipe vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan, kecuali permudaan pohon hutan, yang meliputi rerumputan, herba dan semak belukar. Lingkungan stratifikasi hutan hujan tropika, tumbuhan bawah menempati stratum D yakni lapisan perdu, semak dan lapisan tumbuhan penutup tanah pada stratum E (Soerinegara dan Indrawan, 2008). Tumbuhan bawah berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Keberadaan tumbuhan bawah di lantai hutan dapat berfungsi sebagai penahan pukulan air hujan dan aliran permukaan sehingga meminimalkan bahaya erosi. Tumbuhan bawah juga sering dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah dan penghasil serasah dalam meningkatkan kesuburan tanah serta sumber pangan bagi 2 flora bakteri. Selain itu, sebagian besar jenis tumbuhan bawah bisa dijadikan sebagai obat-obatan sehingga tumbuhan tersebut harus terjaga kelestariannya (Indriyanto, 2009). Jenis tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas hutan hujan tropis, penetrasi cahaya matahari yang sampai pada lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalang oleh lapisan-lapisan tajuk pohon yang ada pada hutan tersebut, sehingga tumbuhan bawah yang tumbuh dekat permukaan tanah kurang mendapat cahaya, sedangkan cahaya matahari bagi tumbuhan merupakan salah satu faktor penting dalam proses perkembangan, pertumbuhan dan reproduksi (Gusmaylina, 1983 dalam Nirwani, 2010). Sehubungan dengan keberadaan tumbuhan bawah yang perlu mendapat perhatian dan kurangnya informasi tentang tumbuhan bawah pada hutan konservasi Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe maka dianggap penting untuk melakukan penelitian tentang Komposisi Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tumbuhan bawah yang berada di hutan konservasi Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. 3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana komposisi jenis tumbuhan bawah yang berada di Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia? 2. Bagaimana tingkat keanekaragaman tumbuhan bawah yang berada di Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia? C. Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui komposisi jenis tumbuhan bawah yang berada di Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia. 2. Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman tumbuhan bawah di Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia. D. Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan informasi bagi peneliti di kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia. 2. Sebagai pengembangan pengetahuan mengenai Hutan Konservasi di kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Hutan dan Fungsinya Hutan adalah komunitas hidup terdiri dari asosiasi pohon dan vegetasi secara umum serta hewan lain. Suatu komunitas tiap individu berkembang, tumbuh menjadi dewasa, tua dan mati. Lebih lanjut, hutan adalah suatu komunitas biologi dari tumbuhan dan hewan yang hidup dalam suatu kondisi tertentu, berinteraksi secara kompleks dengan komponen lingkungan tak hidup (abiotik) yang meliputi faktorfaktor seperti: tanah, iklim dan fisiografi. Lebih khusus, maka hutan adalah komunitas tumbuhan yang lebih didominasi oleh pohon dan tumbuhan berkayu dengan tajuk yang rapat (Robert et al, 2010). Berdasarkan Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, secara tersurat dinyatakan pada pertimbangan pertama (butir a): bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya dengan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, penerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: 5 1. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 3. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 2. Komposisi Vegetasi Komposisi vegetasi dapat diartikan sebagai variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas dan merupakan daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas. Daftar floristik sangat berguna karena dapat dipakai sebagai salah satu parameter vegetasi untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan dalam ekosistem dan komuniatas. Jenis tumbuhan yang ada dalam ekosistem dapat diketahui melalui pengumpulan atau koleksi secara periodik dan identifikasi di lapangan (Ferianita, 2007). Komposisi merupakan langkah awal studi komunitas untuk mengetahui jenis atau kelompok organisme penyusun komunitas dan biasanya disusun dalam bentuk tabel berdasarkan taksonomi, dan struktur merupakan studi selanjutnya yang mempelajari tentang kontribusi dari masing-masing jenis komunitas, serta bagaimana jenis-jenis organisme itu hidup bersama dalam menyusun komunitas (Suin, 2002). 6 Struktur komunitas digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman tajuk serta kesinambungan jenis. Struktur suatu ekosistem dengan komposisinya tertentu akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan atau habitatnya (Ferianti dan Fachrul, 2007). Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan komposisi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh–tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter, dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan. Kelompokkelompok tegakan vegetasi mempunyai karakteristik tertentu yang membentuk asosiasi yang kemudian disebut tipe-tipe hutan. Penandaan tipe hutan merupakan klasifikasi inventarisasi hutan pada tiap tegakan. Tegakan dinyatakan murni bila 90% atau lebih pohon-pohon dominan atau kodominan berjenis sama. Tegakan biasa mempunyai tumbuhan bawah jenis lain tanpa mengubah arti murni tegakan itu (Indriyanto, 2006). 3. Tumbuhan Bawah Tegakan hutan dapat berupa kumpulan dari beberapa spesies tumbuhan atau satu spesies saja. Namun, di dalam tegakan hutan pasti akan dijumpai stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Stratifikasi terjadi karena dua hal penting yang dialami atau dimiliki tumbuhan dalam persekutuan 7 hidupnya dengan tumbuhan lain, yakni akibat persaingan tumbuhan dan akibat sifat toleransi spesies pohon terhadap instensitas radiasi matahari (Indriyanto, 2006). Tumbuhan bawah adalah komunitas tanaman yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu rendah. Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya anggota dari suku-suku Poaceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, paku-pakuan dan lain-lain. Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Aththorick, 2005 dalam Nirwani, 2010). Kehadiran tumbuhan bawah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor biotik maupun abiotik, dalam waktu yang lama menghasilkan pola khusus. Polunin (1990) dalam Miranti (2007) menyatakan bahwa suatu hutan dengan susunan tajuk yang rapat, hanya terdapat sedikit saja perkembangan tumbuhan bawah (under growth) dan tumbuhan penutup tanah, sehingga batang-batang pokok pohon tampak menonjol, dan persaingan antara pohon-pohon akan terjadi untuk mendapatkan cahaya. Sedangkan pada hutan yang lapisan pohon-pohonnya tidak begitu lebat menyebabkan cukup cahaya untuk menembus ke lantai hutan, sehingga vegetasi bawah dapat berkembang. Menurut (Arief, 1994; Ewusie, 1990, dalam Indriyanto, 2006) stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika dipisahkan oleh beberapa stratum antara lain: a. Stratum A: merupakan lapisan teratas terdiri dari pohon-pohon yang tingginya sekitar 80 meter ke atas. Pepohonan tersebut umumnya mempunyai 3 atau 4 8 lapisan tajuk, batang yang tumbuh lurus, tinggi serta batang cabangnya cukup tinggi. b. Stratum B: terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 18-30 meter dengan tajuk yang beraturan (kontinu). Batang pohon umumnya bercabang dan batang bebas cabangnya tidak begitu tinggi. Jenis pohon pada stratum ini kurang memerlukan cahaya atau naungan (toleran). c. Stratum C: terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 4-18 meter dan bertajuk kontinu. Pohon-pohon dalam sratum ini rendah, kecil dan bercabang banyak, lapisannya bersinambungan dan agak rapat. d. Stratum D: terdiri dari lapisan tumbuhan semak dan perdu yang mempunyai tinggi 1-4 meter. Termasuk di dalamnya adalah pohon-pohon muda, palmapalma kecil, herba besar dan paku-pakuan besar. e. Stratum E: terdiri dari lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 meter. Salah satu komponen dalam masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, yang meliputi rerumputan, herba dan semak belukar. Dalam stratifikasi hutan hujan tropika, tumbuhan bawah menempati stratum D yakni lapisan perdu, semak dan lapisan tumbuhan penutup tanah pada stratum E (Soerianegara dan Indrawan, 2008 dalam Dahlan, 2011). Keanekaragaman tumbuhan bawah memperlihatkan tingkatan keanekaragaman yang tinggi berdasarkan komposisinya. Perbedaan bentang lahan, tanah, faktor iklim 9 serta perbandingan keanekaragaman spesies vegetasi tumbuhan bawah, memperlihatkan banyak perbedaan, baik dalam kekayaan jenisnya maupun pertumbuhannya (Nirwani, 2010). Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, sehingga dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Siklus hara akan berlangsung sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto 2007 dalam Nirwani, 2010). Pada lahan atau tegakan hutan, tumbuhan bawah seringkali dianggap sebagai gulma. Menurut Nazif dalam Dahlan, (2011) gulma adalah tumbuhan yang mengganggu tanaman budidaya, sebab gulma memiliki kemampuan yang bersaing dengan tanaman pokok dalam hal unsur hara, cahaya, air dan tempat tumbuh. Selain itu juga dapat berperan sebagai perantara dari hama penyakit dan juga dapat bersifat alelopati yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis bagi tanaman pokok. Lebih lanjut Soerianegara dan Idrawan (2008) dalam Dahlan (2011) mengemukakan bahwa jenis-jenis pohon kecil (perdu), semak-semak dan tumbuhan bawah serta liana di pelajari juga karena tumbuh-tumbuhan ini antara lain : a. Mungkin merupakan indikator tempat tumbuh. b. Merupakan penganggu bagi pertumbuhan permudaan pohon-pohon penting. c. Penting sebagai penutup lahan. d. Penting dalam pencampuran serasah dan pembentukan bunga tanah. 10 4. Habitus (Bentuk Pertumbuhan) Habitus didefinisikan sebagai bentuk atau sosok tubuh. Habitus erat kaitannya dengan bentuk pertumbuhan. Bentuk pertumbuhan merupakan penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk pertumbuhan yang umum diantaranya pohon, perdu, herba dan liana (Indriyanto, 2006). Adapun menurut Depdikbud 1989 dalam Prinando, 2011) definisi dari masing-masing bentuk pertumbuhan dan umumnya lebih dikenal sebagai habitus adalah: a. Pohon, merupakan tumbuhan yang berbatang keras dan besar b. Semak merupakan tumbuhan sperti perdu, tetapi lebih kecil dan rendah, hanya cabang utamanya yang berkayu. c. Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang bercabang-cabang, tumbuh rendah dekat dengan permukaan tanah, dan tidak mempunyai batang yang tegak. d. Herba merupakan tumbuhan yang mempunyai batang basah karena banyak mengandung air dan tidak mempunyai kayu. e. Liana merupakan tumbuhan yang merambat hanya ada di hutan tropis mempunyai batang berkayu panjang dan terkadang berbentuk unik. Bentuk pertumbuhan yang dapat dipengaruhi oleh faktor klimatik dan fakto edafik berdasarkan lingkungannya. a. Ketinggian tempat tumbuh Ketinggian tempat tumbuh merupakan kondisi lingkungan yang di dalamnya dapat mencakup keragaman kondisi yang dapat membatasi ataupun mendukung 11 pertumbuhan tanaman (Duryat, 2008). Ketinggian tempat tumbuh termasuk faktor fisiografis, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan bentuk dan struktur dari permukaan tanah. Elevasi tanah berpengaruh terhadap keadaan lingkungan tempat tumbuh tanaman, terutama suhu, kelembaban, kadar oksigen di udara dan keadaan tanahnya. Ketinggian tempat memiliki korelasi positif dengan kelembaban udara. Tingkat ketinggian tempat yang semakin tinggi menyebabkan kelembaban udara juga semakin tinggi (Daryono, 2002). b. Intensitas cahaya Cahaya sangat penting dalam siklus hidup tumbuhan karena merupakan faktor kunci utama produksi senyawa yaitu sebagai pasokan energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya fotosintesis (Cseke et al, 2006). Proses fotosintesis akan menghasilkan metabolit primer yang digunakan untuk metabolisme tanaman sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan. Di samping itu, metabolit primer dipakai untuk menyusun metabolit sekunder yang mendukung proses adaptasi dan proteksi tanaman (Purwanti, 2007). Aktivitas sintesis zat-zat makanan ini juga berbeda-beda tergantung pada banyaknya cahaya matahari yang mengenai tanaman. Hal ini mempengaruhi sifat hasil tanaman obat yang diperoleh. Cahaya juga mempengaruhi kerja hormon-hormon pertumbuhan (auksin) yang berperan pada pembesaran dan pemanjangan sel pada tanaman (Hopkins & Huner, 2009). Tumbuhan terdiri atas spesies yang mampu tumbuh terpapar cahaya dan dengan naungan (tempat teduh), tergantung pada kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap pancaran sinar matahari (Hopkins & Huner, 2009). Setiap tanaman 12 memiliki toleransi (kemampuan menerima cahaya) yang berbeda-beda. Beberapa tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat terbuka sedangkan yang lainnya dapat tumbuh dengan baik di tempat teduh (bernaungan) hingga batas tertentu. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap intensitas cahaya yang harus diterima. Naungan dapat menyebabkan terjadinya perubahan terhadap radiasi matahari yang diterima tanaman, baik intensitas maupun kualitasnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap berbagai aktivitas tanaman (Suryawati et al, 2007). c. pH tanah Nilai pH tanah merupakan gambaran kepekatan ion hidrogen dalam partikel tanah. Semakin tinggi kadar H+, tanah tersebut dikatakan asam dan jika semakin rendah dikatakan basa. Keasaman tanah merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai indikator kualitas tanah. pH tanah termasuk faktor edafik, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan keadaan tanah. Kondisi keasaman mempengaruhi bahan fisik tanah, ketersediaan mineral tertentu, serapan unsur hara, adanya unsur-unsur beracun, dan aktivitas biologi di dalam tanah sehingga berpengaruh kuat pada pertumbuhan tanaman. Kebanyakan tanaman tumbuh baik pada tanah yang netral, agak asam, atau sedikit basa. Perubahan kondisi keasaman bisa menyebabkan perubahan dalam proses biokimia dan fisiologi pada semua tanaman (Gerendas & Raticliffe, 2000). d. Kelembaban tanah Kelembaban tanah termasuk faktor edafik. Kelembaban tanah merupakan kondisi lingkungan yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi laju 13 metabolisme dan pertumbuhan tanaman. Kelembaban tanah menunjukkan kadar air di dalam tanah. Kelembaban tanah optimal bagi suatu jenis tumbuhan tidak selalu optimal bagi tumbuhan bawah. Saat musim kemarau, kelembaban tanah rendah sehingga kandungan zat-zat aktif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman pada musim hujan kelembaban tanah tinggi (Rost et al, 2004). 5. Parameter Kualitatif dan Kuantitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan parameter kualitatif, hal ini sesuai dengan sifat komunitas tumbuhan itu sendiri bahwa dia memiliki sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Beberapa parameter kualitatif komunitas tumbuhan antara lain: fisiognomi, fenologi, stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, bentuk pertumbuhan, dan periodisitas (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto, 2006). Masing-masing parameter ini diuraikan sebagai berikut: 1. Fisiognomi Fisiognomi adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang dapat dideskripsikan berdasarkan kepada penampakan spesies tumbuhan dominan, penampakan tinggi tumbuhan, dan warna dari tetumbuhan yang tampak oleh mata. 2. Fenologi Fenologi adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya. Bentuk dari tetumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurnya, sehingga spesies yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur komunitas 14 yang berbeda. Perbedaan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. 3. Periodisitas Periodisitas adalah kejadian musiman dari berbagai proses dalam kehidupan tumbuhan. Kejadian musiman pada tumbuhan dapat ditunjukkan oleh perwujudan bentuk daun dan ukurannya, masa pembungaan, masa bertunas, dan peluruhan buah dan biji. 4. Stratifikasi Stratifikasi adalah distribusi tetumbuhan dalam ruangan vertikal. Semua spesies tetumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya, serta secara vertikal tidak menempati ruang yang sama. Dalam ekosistem hutan, stratifikasi tersebut diciptakan oleh susunan tajuk pohon-pohon menurut arah vertikal dan terjadi karena adanya pohon-pohon yang menduduki kelas pohon dominan, pohon kodominan, pohon tengahan, pohon tertekan, dan pohon bawah/mati. 5. Kelimpahan Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. 6. Penyebaran Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain random, seragam, dan berkelompok. 15 7. Daya Hidup Daya hidup atau vitalitas adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi. Daya hidup akan menentukan setiap spesies organisme untuk memelihara kedudukannya dalam komunitas. 8. Bentuk Pertumbuhan Bentuk pertumbuhan adalah penggolongan tetumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk pertumbuhan yang umum dan mudah disebut misalnya pohon, semak, perdu, herba, dan liana. Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2006), untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif antara lain: densitas, frekuensi, dan dominansi. Kusmana (1997) dalam Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter kuantitatif yang penting, antara lain densitas, frekuensi, dan kelindungan. Di antara beberapa parameter yang telah disebutkan di atas akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut: 1. Densitas Densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai arti sama dengan densitas dan sering digunakan adalah kerapatan diberi notasi K. 16 2. Frekuensi Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannnya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas ditemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem. 3. Indeks Nilai Penting Indeks Nilai Penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006). Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. 4. Indeks Dominansi Indeks Dominansi (index of dominance) adalah parameter yang menyatakan tingkat terpusatnya dominansi (penguasaan) spesies dalam suatu komunitas. Penguasaan atau dominansi spesies dalam komunitas bisa terpusat pada satu spesies, beberapa spesies, atau pada banyak spesies yang dapat diprakirakan dari tinggi rendahnya indeks dominansi (ID). 5. Indeks Keanekaragaman Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk 17 menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas. 6. Metode Pengambilan Contoh untuk Analisis Tumbuhan Pengambilan contoh untuk analisis data komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot), metode jalur, ataupun metode kuadran (Soegianto, 1994; Gopal dan Bhardwaj, 1979; Kusmana, 1997 dalam Indriyanto). a. Metode Petak Metode petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan. Petak yang digunakan dapat berbentuk segi empat, persegi atau lingkaran. Di samping itu, untuk kepentingan komunitas tumbuhan dapat digunakan petak tunggal atau petak ganda. 1) Petak Tunggal Di dalam metode petak tunggal, hanya dibuat satu petak contoh dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan hutan atau suatu komunitas tumbuhan. Ukuran minimum petak contoh dapat di tentukan menggunakan kurva spesies area. Luas minimum petak contoh itu ditetapkan dengan dasar bahwa penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah spesies lebih dari 5%. 2) Petak Ganda Pengambilan contoh vegetasi pada metode petak ganda di lakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebut merata pada areal yang 18 dipelajari, dan peletakan petak contoh sebaiknya secara sistematik. Ukuran tiap petak contoh di sesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan bentuk tumbuhnya. Menurut Kusmana (1997) dalam Indriyanto (2006), ukuran petak contoh untuk pohon dewasa adalah 20 m x 20 m, fase tiang adalah 10 m x 10 m, fase sapihan adalah 5 m x 5 m dan fase semai serta tumbuhan bawah menggunakan petak contoh ukuran 1 m x 1 m atau 2 m x 2 m. b. Metode Jalur Metode Jalur merupakan metode yang paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi, dan elevasi. Jalurjalur contoh dibuat memotong garis kontur (garis tinggi/garis topografi) dan sejajar satu dengan yang lainnya. pendekatan, cara ini untuk amplikasi di lapangan misalnya jalur-jalur contoh dibuat tegak lurus pantai, memotong sungai atau naik turung lereng gunung. Jumlah jalur disesuaikan dengan intensitas samplingnya. Jalur contoh yang dibuat berukuran lebar 20 cm dapat dibuat dengan intensitas samplingnya 2-10% ( Indriyanto, 2006). c. Metode Garis Berpetak Metode ini dianggap sebagai modifikasi dari metode petak ganda atau metode jalur, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur, sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. semua parameter kuantitatif dapat dihitung menggunakan rumus-rumus seperti yang telah diuraikan di atas, dan cara perghitungan semua parameter kuantitatif sama dengan cara pada petak ganda maupun pada cara jalur. 19 d. Metode Kombinasi Metode kombinasi adalah kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak dalam metode tersebut, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur, yaitu pada jalur-jalur yang lebarnya 20 m. Petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan pohon, petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengamatan tiang, petak berukuran 5 m x 5 m untuk pengamatan pancang, sampling dan seedling, serta metode garis berpetak berukuran 2 m x2 m untuk pengamatan semai atau tumbuhan bawah. e. Metode Kuadran Metode kuadran umumnya dipergunakan untuk pengambilan contoh vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi yang menjadi obyek kajiannya, (Indriyanto, 2006). B. Kerangka Pikir Kerangka pikir dari Penelitian ini yaitu untuk mengetahui komposisi jenis tumbuhan bawah di Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, hutan konservasi Tahura Nipa-nipa yang berada di Desa Soropia tidak hanya terdapat vegetasi pohonnya melainkan juga terdapat tumbuhan bawahnya, tumbuhan bawah banyak memiliki fungsi yaitu berfungsi sebagai penutup tanah, dapat juga berfungsi untuk perlindungan unsur hara, dan juga memperbaiki sifat tanah sehingga pertumbuhan vegetasi menjadi baik, maka dilakukan penelitian analisis vegetasi dengan variabel yang diamati meliputi Densitas (kerapatan), Frekuensi, Indeks Nilai Penting serta variabel tingkat keragaman. Melalui penelitian ini akan di peroleh data informasi mengenai tumbuhan bawah pada Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan 20 Soropia Kabupaten Konawe. Dari tahapan-tahapan diatas untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut ini. Kerangka fikir dari penelitian ini adalah : Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tumbuhan Bawah Variabel tingkat keragaman : Keanekaragaman jenis tumbuhan Vegetasi pohon Variabel komposisi jenis : - Densitas (kerapatan) - Frekuensi - Indeks Nilai Penting (INP) Data informasi tentang komposisi tumbuhan bawah di Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2015. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Tallysheet pengamatan, 2. Buku panduan tumbuhan bawah. Alat yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini meliputi: 1. Patok kayu untuk tanda batas 2. Meteran rol untuk pengukuran petak dan garis rintis, 3. Parang untuk membersihkan petak atau plot pengamatan, 4. Kompas untuk membantu penentuan arah garis, 5. Tali rafia untuk membuat batas plot pengamatan, 6. Alat tulis menulis untuk mencatat data, 7. Global Positioning System GPS untuk penentuan koordinat posisi 100, 200 dan 300 mdpl di Hutan Tahura Nipa nipa Desa Soropia, 8. Kamera untuk dokumentasi. 22 C. Populasi dan Tehknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan bawah yang terdapat di Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe dengan luas 374 Ha. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah jenis-jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada plot/petak pengamatan. Penentuan titik sampling dilakukan secara purposive sampling yaitu lokasi sampel ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan jenis tumbuhan bawah yang ada di Hutan Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia. Alasan menggunakan teknik purposive sampling karena jenis tumbuhan bawah di lokasi penelitian tidak tersebar secara merata, sehingga penentuan titik sampling dapat dilakukan secara sengaja. Bentuk desain sampel yang digunakan untuk mengetahui jenis tumbuhan bawah yang berada di Hutan Tahura Nipa-nipa Desa Soropia adalah pada tiap lokasi penelitian dibuat tiga transek (100 m dpl, 200 m dpl dan 300 m dpl) jarak antara transek 100 meter pada ketinggian yang berbeda, sejajar dengan garis kontur yang diharapkan mewakili tiap ketinggian tempat. Penentuan desain petak contoh menggunakan metode garis berpetak. Masing-masing petak contoh berukuran 2 x 2 meter Tiap transek terdiri 10 petak, dengan jarak antar petak 10 meter diharapkan mewakili tiap kompisisi vegetasi (Indriyanto, 2009). Desain petak contoh dengan metode garis berpetak dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut. 23 300 mdpl 200 mdpl 100 mdpl Keterangan : : Petak Contoh ukuran 2 meter x 2 meter : Garis transek : Jarak antar Transek 100 meter : Jarak antar petak 10 meter D. Jenis dan Sumber Data Sesuai dengan tujuan penelitian, jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 1) Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh melalui metode survei dan pengamatan langsung di lapangan. Sebelum pengumpulan data primer dilakukan terlebih dulu melakukan survei lapangan untuk menetapkan lokasi pengamatan yang dianggap akan mewakili jenis tumbuhan bawah pada Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia. 24 Jenis tumbuhan bawah yang dapat dikenali dengan jelas nama jenisnya dapat langsung dicatat baik itu nama lokal, Indonesia, maupun nama ilmiahnya. Namun pada jenis-jenis yang belum dapat diketahui nama ilmiah, maupun nama Indonesianya, identifikasi jenis dapat dilakukan menggunakan buku literatur tentang tumbuhan bawah ( Tjitrosoedirdjo et al, 2011), Buku Tumbuhan Obat Di Sulut Jilid 1 (Kinho, et al, 2006), Buku Some Important Invasive Of Species Weeds of Forest Plantation Areas In Indonesia (Wibowo A, 2008), Buku Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV (Heyne K, 1987 Terjemahan : de Nuttige Planten van Indonesia. Dephut Jakarta) dan literatur-literatur yang berhubungan dengan tumbuhan bawah. 2) Data Sekunder Data sekunder di peroleh dari berbagai sumber terpercaya atau instansi/dinas /lembaga, studi pustaka maupun dari hasil-hasil penelitian/publikasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. E. Variabel Penelitian Adapun variabel dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Komposisi tumbuhan bawah yang ditemukan. 2. Keanekaragaman jenis tumbuan bawah. 25 F. Analisis Data Analis data dalam penelitian ini secara garis besar dibedakan menjadi dua variabel pengamatan jenis tumbuhan bawah dan variabel keanekaragaman jenis. Variabel komposisi meliputi densitas, frekuensi, Indeks Nilai Penting (INP). Untuk variabel keanekaragaman jenis yaitu indeks keragaman jenis tumbuhan. 1. Densitas Densitas adalah jumlah individu perunit luas atau perunit volume. Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai arti sama dengan densitas dan sering digunakan adalah kerapatan diberi notasi K. Perbandingan kerapatan suatu jenis dengan kerapatan seluruh jenis yang dinyatakan dalam persen disebut kerapatan relatif (KR). Dapat dihitung menggunakan rumus Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2006) sebagai berikut: Jumlah individu Kerapatan (K) = Luas seluruh petak contoh Kerapatan suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) = x100% Kerapatan seluruh jenis 26 2. Frekuensi Untuk kepentingan analisis tumbuhan, frekuensi spesies (F) dan frekuensi relatif spesies (FR). Dihitung dengan rumus Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2006) sebagai berikut: Jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies Frekuensi (F) = Jumlah seluruh petak contoh Frekuensi suatu jenis FR = x100% Frekuensi seluruh jenis 3. Indeks Nilai Penting Indeks niali penting (Importance Value Index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam satu komunitas tumbuhan. Spesies-Spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai yang sangat besar. Jenis dominan tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Soegianto (1994) dalam indriyanto (2006) yaitu Indeks Nilai Penting (%) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif INP (%) = KR + FR 4. Keanekaragaman Jenis Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan 27 memiliki keanekaragaman jenis yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies dominan. Untuk menentukan besarnya keragaman jenis tumbuhan dilakukan analisis dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2006) sebagai berikut: H’ = - Σ {(n.i/N) ln (n.i/N)} …………………………………….. (1) dengan : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener n.i = nilai penting dari spesies N = total nilai penting Nilai derajat keanekaragaman (H’) suatu komunitas biasanya lebih besar dari nol. Menurut Shannon-Wiener (1963) dan Fachrul (2008) dalam Prinando (2011), apabila derajat keanekaragaman : (H’)<1 maka keanekaragamanya rendah, 1≤H’≥3 keanekaragamannya sedang, dan H‟>3 maka keanekaragamannya tinggi G. Konsep Operasional Konsep operasional di Kawasan Hutan Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe mempunyai batasan operasional dari beberapa istilah yang berhubungan dengan penelitian ini. 1. Tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, yang meliputi rerumputan, 28 herbal atau semak belukar yang menempati stratum D yakni lapisan perdu, semak dan lapisan tumbuhan penutup tanah pada stratum E. 2. Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang bercabang-cabang, tumbuh rendah dekat dengan permukaan tanah, tidak mempunyai batang yang tegak dan tinggi 1-4 meter. 3. Semak merupakan tumbuhan sperti perdu, tetapi lebih kecil dan rendah, hanya cabang utamanya yang berkayu. 4. Herba merupakan tumbuhan yang mempunyai batang basah karena banyak mengandung air dan tidak mempunyai kayu. 5. Liana merupakan tumbuhan yang merambat hanya ada di hutan tropis mempunyai batang berkayu panjang dan terkadang berbentuk unik. BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI A. Letak georafis dan luas wilayah Desa Soropia merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Wilayah Desa Soropia terletak di sepanjang pesisir pantai Soropia, Pola pemukiman masyarakat mengikuti alur sepenjang pantai dan wilayah perbukitan. Luas wilayah Desa Soropia ± 549, Ha, dengan rincian penggunaan sebagai berikut : No Penggunaan lahan Luas 1 Pemukiman 12 Ha 2 Pekarangan 5,5 Ha 3 Perkebunan 145 Ha 4 Jalan 3 Ha 5 Kuburan 1 Ha 6 Perkantoran,Sekolah/sarana lain 7 Lainnya 8 Hutan Negara 3,5 Ha 5 Ha 374 Ha Batas-batas Wilayah Desa Soropia meliputi: Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Nipa- Nipa Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sawapudo Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Waworaha, 30 B. Jenis tanah dan Iklim Berdasarkan informasi dari peta tanah kawasan Tahura Nipa-Nipa Kota Kendari skala 1:250.000 tahun 1985, dan hasil observasi lapangan Juni 2009. Jenis tanah daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel berikut. Luas No 1. 2. Jenis Tanah Hektar (Ha) Kambisol Podsolik 106,9 7.770,6 Total 7.877,5 Sumber: Data Sekunder UPT Balai Tahura Nipa-Nipa, 2012. Persen (%) 1,36 98,64 100,00 Tanah podsolik merupakan tanah sangat tercuci yang berwarna abu-abu muda sampai kekuningan pada horison permukaan sedang lapisan bawah berwarna merah atau kuning dengan kadar bahan organik dan kejenuhan basa yang rendah serta reaksi tanah yang masam sampai sangat masam (pH 4.2 – 4.8). Sedangkan jenis tanah kambisol merupakan tanah yang mempunyai horison B kambik dan horison A umbrik atau molik, dan tidak terdapat gejala hidromorfik. Berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmidt dan Fergusson Kawasan Tahura Nipa-Nipa termasuk iklim tipe C dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.592 mm, musim penghujan terjadi pada bulan November-Maret. Bulan kering jatuh pada bulan Agustus-Oktober dengan suhu berkisar antara 19 relatif 83% (Rustam BR, 2011). O C sampai 33 O C dan kelembaban BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil pengamatan 1. Jenis-Jenis Tumbuhan Bawah Yang Ditemukan Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di Kawasan Tahura NipaNipa Desa Soropia Kecamatan Soropia, maka jenis tumbuhan bawah yang teridentifikasi sebanyak 20 jenis dalam 16 famili. Data hasil identifikasi jenis dan famili tumbuhan bawah diuraikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis, Jumlah, dan Famili Tumbuhan Bawah di Hutan Soroia. No. Famili Jenis Tumbuhan Jumlah individu 1 Cyperaceae Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) 90 2 Melastomataceae 3 Poaceae 4 Schizaeaceae 5 Asteraceae Harendong (Melastoma affine) Rumput sarang buaya (Ottochloa nodosa) Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg) Rumput setaria (Seteria flavidum) Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw Paku Sayur (Diplazium dietrichianum (Luerss) C.Chr) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena odorata (L). Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) 80 46 6 1 52 3 17 10 6 Ophioglosscaceae Paku tajuk langit (Helminthostachys zeynalica (L) Kaulf 25 7 Amaranthaceae Garutan (Donax cahrformis K. Schum) 22 8 Piperaceae Sirih Hutan (Piper betle) 22 9 Gleicheniacea Resam (Dicrenopteris linearsis Burm. F) 20 10 Araceae Sirih gading (Epipremnum aureum) 19 11 Zingiberaceae Kunyit Hutan (Curcuma indica) 13 12 Thelyteriduceae Cristella parasitica (L) Lew 5 13 Martiaceae Paku Gajah (Angiopteris evecta) 2 14 Verbenaceae Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl 2 15 Pandanaceae Pandan Hutan (Pandanus nidus) 1 16 Roscaceae Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) 1 Total Sumber: Data Primer, diolah 2015 20 437 32 Tabel 1 menunjukkan bahwa Kawasan Hutan Tahura Nipa-nipa Desa Soropia, terdapat jenis tumbuhan bawah sebanyak 20 jenis dalam 16 famili. Dimana berdasarkan Tabel tersebut dapat dilihat bahwa jenis-jenis tumbuhan bawah yang terdapat di lokasi penelitian adalah dari famili Poaceae, Cyperaceae, Zingiberaceae, Schizaeaceae, Marantaceae, Roscaceae, Ophioglosscaceae, Araceae, Pandanaceae, Melastomataceae, Asteraceae, Gleicheniaceae, Martiaceae, Piperaceae,Verbenaceae ,Thelyteriduceae. 2. Komposisi Jenis berdasarkan Kerapatan (K), Frekuensi (F) dan Indeks Nilai Penting (INP) dari Jenis Tumbuhan Bawah Berdasarkan hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah disekitar Hutan Soropia, maka diperoleh nilai kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR) dan indeks nilai penting (INP) pada tiap ketinggian disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada ketinggian 100 m dpl, jenis yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) yaitu 22500 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah Rumput sateria (Seteria fladium) yaitu 250 Ind/Ha. Kemudian Jenis yang memiliki frekuensi paling tertinggi ditemukan pada jenis Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) O.K yaitu 1 sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah adalah Pandan Hutan (Pandanus nidus) yaitu 0,10. Jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi adalah Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K)yaitu 50,16%. 33 Sedangkan jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling rendah Pandan Hutan (Pandanus nidus) yaitu 1,43%. Tabel 2. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 100 m dpl. 1 FR (%) 19,23 50,16 11,00 0,50 9,62 20,61 5250 7,22 0,40 7,69 14,91 1000 1,37 0,70 13,46 14,84 6750 9,28 0,20 3,85 13,12 6 Sirih Hutan (Piper betle) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) Sirih gading (Epipremnum aureum) 4500 6,19 0,30 5,77 11,95 7 Garutan (Donax Cahrformis K. Schum) 5500 7,56 0,10 1,92 9,48 8 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. 2500 3,44 0,30 5,77 9,21 9 Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F) 5000 6,87 0,10 1,92 8,80 10 Patah kemudi (Elophantopus Mollis Kunth) 750 1,03 0,40 7,69 8,72 11 Rumput sarang buaya (Ottochloa nodosa) 3250 4 0,20 3,85 8,31 12 Kunyit (Curcuma indica) 3250 4,47 0,20 3,85 8,31 13 Cristlla parasitica (L) Lew 1250 1,72 0,10 1,92 3,64 14 Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg) Paku Sayur(Diplazium Dietrichianum(Luerss) C,Chr,) 750 1,03 0,10 1,92 2,95 750 1,03 0,10 1,92 2,95 16 Paku Gajah (Angiopteris evecta) 500 0,69 0,10 1,92 2,61 17 Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl. 500 0,69 0,10 1,92 2,61 18 Pandan Hutan (Pandanus nidus) 250 0,34 0,10 1,92 2,27 19 Pandan suji Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) 250 0,34 0,10 1,92 2,27 20 Rumput setaria (Seteria flavidum) 250 0,34 0,10 1,92 2,27 72750 100 5,20 100 200 No 1 2 3 4 5 15 Jenis Tumbuhan Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) Paku tajuk langit (Helminthostachys zeynalica (L) Kaulf) Harendong (Melastoma affine) Total K (Ind/Ha) 22500 KR (%) 30,93 8000 F Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting). INP 34 Tabel 3. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 200 m dpl. No Jenis Tumbuhan K (Ind/Ha) KR (%) F FR (%) INP 1 Harendong (Melastoma affine) 7000 27,45 0,50 20 47,45 2 Rumput sarang buaya (Ottochloa nodosa) 5750 22,55 0,50 20 42,55 3 Sirih Hutan (Piper betle) 4500 17,65 0,60 24 41,65 5500 21,57 0,40 16 37,57 7,84 0,30 12 19,84 750 2,94 0,20 8 10,94 25500 100 3 100 200 4 5 6 Paku tajuk langit (Helminthostachys zeynalica (L) Kaulf) Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw. Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg) Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 2000 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting). Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ketinggian 200 m dpl, jenis yang yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Harendong (Melastoma affine) yaitu 7000 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada jenis Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg) yaitu 750 Ind/Ha. Kemudian jenis yang memiliki frekuensi paling tinggi adalah Sirih Hutan (Piper betle) yaitu 0,60 sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah adalah Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg) yaitu 0,20. Jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi adalah Harendong (Melastoma affine) 47,45%. Sedangkan jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling rendah yaitu Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg) yaitu 10,94%. 35 Tabel 4. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 300 m dpl. No Jenis Tumbuhan K (Ind/Ha) KR (%) F FR (%) INP 1 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw. 10500 40,78 0,80 38,10 78,87 2 Harendong (Melastoma affine) 7000 27,18 0,30 14,29 41,47 3500 13,59 0,30 14,29 27,88 2750 10,68 0,30 14,29 24,97 3 4 Rumput sarang buaya (Ottochloa nodosa) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L) 5 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) 1750 6,80 0,30 14,29 21,08 6 Sirih gading (Epipremnum aureum) 250 0,97 0,10 4,76 5,73 25750 100 2 100 200 Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada ketinggian 300 m dpl, jenis yang yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) yaitu 10500 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada jenis Sirih gading (Epipremnum aureum) yaitu 250 Ind/Ha. Kemudian jenis yang memiliki frekuensi paling tinggi adalah Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw, yaitu 0,80 sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah adalah Sirih gading (Epipremnum aureum) yaitu 0,10. Jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw yaitu 78,87 sedangkan jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling rendah yaitu Sirih gading (Epipremnum aureum) yaitu 5,73%. 36 Tabel 5. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada Keseluruhan Petak Sampel. No Jenis Tumbuhan K (Ind/Ha) KR (%) F FR (%) INP 1 Harendong (Melastoma affine) 7083,33 17,60 0,40 14,12 31,72 2 Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) 7500 18,63 0,33 11,76 30,40 3 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw) 5000 12,42 0,47 16,47 28,89 4 Rumput sarang buaya (Ottochloa nodosa) 4083,33 10 0,33 11,76 21,91 5 Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) 3333,33 8,28 0,17 5,88 14,16 2666,67 6,63 0,17 5,88 12,51 1833,33 4,55 0,23 8,24 12,79 7 Paku tajuk langit (Helminthostachys zeynalica (L) Kaulf) Sirih Hutan (Piper betle) 8 Sirih gading (Epipremnum aureum) 1583,33 3,93 0,13 4,71 8,64 9 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) 833,33 2,07 0,13 4,71 6,78 10 Garutan (Donax cahrformis K. Schum) 1833,33 4,55 0,03 1,18 5,73 11 Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F) 1666,67 4,14 0,03 1,18 5,32 12 Kunyit (Curcuma indica) 1083,33 2,69 0,07 2,35 5,04 13 Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg,) 500 1,24 0,10 3,53 4,77 14 Cristlla parasitica (L) Lew 416,67 1,04 0,03 1,18 2,21 15 Paku Sayur (Diplazium dietrichianum(Luerss) C.Chr) 250 0,62 0,03 1,18 1,80 16 Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl, 166,67 0,41 0,03 1,18 1,59 17 Paku Gajah (Angiopteris evecta) 166,67 0,41 0,03 1,18 1,59 18 Rumput setaria (Seteria flavidum) 83,33 0,21 0,03 1,18 1,38 19 Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) 83,33 0,21 0,03 1,18 1,38 20 Pandan Hutan (Pandanus nidus) 83,33 0,21 0,03 1,18 1,38 40250 100 2,83 100 200 6 Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting) Tabel 5 menunjukkan bahwa pada keseluruhan petak contoh, jenis yang yang ditemukan memiliki Kerapatan tertinggi yaitu Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) 37 O.K) yaitu 7500 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki Kerapatan terendah adalah pada jenis Rumput setaria (Seteria flavidum) yaitu 83,33 Ind/Ha. Kemudian jenis yang memiliki frekuensi paling tinggi adalah Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw yaitu 0,47 sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah adalah Pandan Hutan (Pandanus nidus) yaitu 0,03. Jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi Harendong (Melastoma affine) yaitu 31,72 %, sedangkan jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling rendah yaitu Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) yaitu 1,38 %. 3. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berdasarkan hasil perhitungan terhadap parameter kuantitatif Indeks keanekaragaman, keanekaragaman jenis dari Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Perbandingan Keanekaragaman Jenis dari Tumbuhan Bawah di Hutan Soropia Pada Tiap Ketinggian Tempat. Transek Ketinggian Tempat (mdpl) H' 1 100 2,60 2 200 2 3 300 2 Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : H’ (keanekaragaman Jenis) Berdasarkan data diatas mengenai perbandingan keanekaragaman jenis berdasarkan tempat ketinggian, nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada transek 1 dengan tempat ketinggian 100 m dpl yaitu 2,60 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) pada tingkat suksesi atau kestabilan dari suatu komunitas untuk tingkat vegetasi tumbuhan bawah masuk dalam kategori 38 sedang, selanjutnya nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada transek 2 dengan tempat ketinggian 200 m dpl yaitu 2 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) masuk dalam kategori sedang, dan nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada transek 3 dengan tempat ketinggian 300 m dpl yaitu 2 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) masuk dalam kategori sedang. B. Pembahasan Komposisi keanekaragaman tumbuhan bawah dipengaruhi beberapa faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis (Nirwani, 2010). Di daerah tropis secara umum dicirikan oleh keadaan iklim yang hampir seragam. Namun dengan adanya perbedaan geografis seperti perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl) akan menimbulkan perbedaan cuaca dan iklim secara keseluruhan pada tempat tersebut, terutama suhu, kelembaban dan curah hujan. Unsur-unsur cuaca dan iklim tersebut banyak dikendalikan oleh letak lintang, ketinggian, jarak dari laut, topografi, jenis tanah dan vegetasi. Pada dataran rendah ditandai oleh suhu lingkungan, tekanan udara dan oksigen yang tinggi. Sedangkan dataran tinggi banyak mempengaruhi penurunan tekanan udara dan suhu udara serta peningkatan curah hujan. Laju penurunan suhu akibat ketinggian memiliki variasi yang berbeda-beda untuk setiap tempat (Sangadji, 2001). Hal tersebut yang mempengaruhi perbedaan keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat pada tiap ketinggian tempat. 39 1. Jenis-Jenis Tumbuhan Bawah Yang Ditemukan Berdasarkan Famili Beberapa jenis berdasarkan famili yang ditemukan memberikan gambaran bahwa komposisi jenis tumbuhan bawah dikawasan lokasi penelitian cukup tinggi keanekaragamannya tersaji pada Tabel 1 bahwa terdapat jenis tumbuhan bawah sebanyak 20 jenis dalam 16 famili. Keseluruhan tumbuhan bawah tersebut memiliki cara perkembangbiakan yang berbeda-beda dikarenakan beberapa faktor salah satunya karena sinar matahari yang di halangi vegetasi tingkat tinggi. Oleh karena itu, intensitas naungan sangat berpengaruh juga terhadap pertumbuhan. Banyaknya serasah dan batu-batuan dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan bawah. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Endriani (2015) yang melakukan penelitian di Hutan Andowia, pada kawasan hutan yang berada di Kecamatan Andowia, memiliki kondisi yang berbeda dengan hutan lainnya termasuk kondisi hutan di bawah tegakan. Komunitas tumbuhan bawah pada lokasi penelitian memiliki tingkat keanekaragaman vegetasi kategori sedang. Jenis-jenis yang ditemukan terdiri dari famili Poaceae atau golongan rumputrumputan meliputi jenis Jukut Pahit (Paspalum conjugatum Berg), Ottochloa nodosa, dan Seteria fladiu. Sedangkan famili lainnya yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu Famili Cyperaceae terdiri dari jenis Rumput Teki (Cyperus cyperoides (L) O.K). Famili Verbenaceae terdiri dari jenis Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vahl). Famili Melastomaceae hanya meliputi jenis Harendong (Melastoma affine D. Don). Famili Asteraceae (Compositae) terdiri dari jenis 40 Kirinyuh (Chromolaena odorata (L.) dan Patah Kemudi (Elephantopus mollis Kunth). Famili Zingiberaceae terdiri dari jenis Kunyit (Curcuma indica). Famili Martiaceae terdiri dari jenis Paku Gajah (Angiopteris evecta). Famili Amaranthaceae terdiri dari jenis Garutan (Donax cahrformis K. Schum). Famili Araceae terdiri dari jenis Sirih gading (Epipremnum aureum). Selanjutnya Athyriaceae hanya terdiri dari jenis Paku Sayur (Diplazium dietrichianum (Luerss) C.Chr), dan famili Schizaeaceae hanya terdiri dari jenis Paku Hata (Lygodium circinatum (Burm.) Sw), Famili Roscaceae dari jenis Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb), Famili Ophioglosscaceae dari jenis Helminthostachys zeinalica (L) Kaulf, Famili Thelypteridaceae hanya terdiri dari Christella parasitica (L) Lev. Famili Piperaceae dari jenis Sirih Hutan (Piper betle), dan Famili Pandanaceae terdiri dari jenis Pandan Hutan (Pandanus nidus). Total 20 jenis yang diketahui, jenis yang selalu dijumpai pada petak contoh yaitu jenis Paku Hata (Lygodium circinatum (Burm) Sw). Jenis ini termasuk dalam famili Schizaeaceae dimana umumnya tumbuh secara teresterial dan epifit pada tempat terbuka maupun dibawah naungan (Kinho J, 2008). a. Faktor yang mempengaruhi Tumbuhan Bawah di lokasi penilitian. Faktor ekologi atau faktor lingkungan yang dapat diperebutkan oleh tetumbuhan dalam persaingan antara lain cahaya, air tanah, oksigen, unsur hara dan karbon dioksida. Di atas tanah, cahaya merupakan faktor penting dalam persaingan antartetumbuhan. Tetumbuhan yang memerlukan cahaya (intoleran) dan tetumbuhan yang memerlukan naungan (toleran) dapat hidup berdampingan tetapi persaingan 41 tetap terjadi diantara mereka. Kecepatan pertumbuhan akar pada tanaman bergantung kemampuan fotosintesis, pertumbuhan pucuk yang bagus menyebabkan kemampuan bersaing untuk memperoleh cahaya sebagai energi utama dalam proses fotosintesis dan pada akhirnya akan berpengaruh pada semua pertumbuhan organ baik batang, daun, maupun pertumbuhan akar (Indriyanto, 2006). Tumbuhan bawah yang dapat bersaing di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia yaitu tumbuhan Paku Hata (Lygodium circinatum (Burm) Sw) tumbuh pada jenis tanah podsolik yang sesuai ditemukan di lapangan. Tanah ini dijumpai pada ketinggian antara 50-300 meter. Podsolik merupakan tanah sangat tercuci yang berwarna abu-abu muda sampai kekuningan pada horison permukaan sedang lapisan bawah berwarna merah atau kuning dengan kadar bahan organik dan kejenuhan basa yang rendah serta reaksi tanah yang masam sampai sangat masam (pH 4.2 – 4.8). Pada horison bawah permukaan terjadi akumulasi liat dengan struktur tanah gumpal dengan permeabilitas rendah. Tanah mempunyai bahan induk batu endapan bersilika, napal, batu pasir dan batu liat. Tanah ini dijumpai pada ketinggian antara 50 – 350 m dengan curah hujan antara 2500 – 3500 mm/tahun (Dudal dan Supraptoharjo, 1992). Jenis Harendong (Melastoma affine D. Don) juga yang memiliki nilai penting dalam komunitas yang ditemukan pada tiap ketinggian dimana jenis ini dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan apapun dibawah naungan dan tempat terbuka. Jenis Harendong (Melastoma affine D. Don) merupakan tanaman yang tumbuh di lahan asam dengan kandungan Almonium (Al) tinggi dan mampu 42 mengakumulasi Al pada akar dan daun tanpa mengalami gangguan. Kemampuan adaptasi ini dimungkinkan bahwa tumbuhan ini mempunyai mekanisme detoksifikasi Al secara internal dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber gen untuk pemuliaan ketahanan pH rendah. Kemampuan tumbuh pada pH rendah dan aluminium yang tinggi, memungkinkan Melastoma affine dapat dijadikan sebagai perangkat untuk rehabilitasi lahan kritis, khususnya yang mempunyai pH rendah (Watanabe, et al, 2005). Selanjutnya jenis individu yang paling banyak tumbuh adalah jenis Rumput Teki (Cyperus cyperoides (L) O.K) dari jenis Famili Cyperaceae. Sedangkan Famili Poaceae merupakan famili yang paling banyak ditemukan pada lokasi penelitian yang terdiri dari jenis Jukut Pahit (Paspalum conjugatum Berg), Ottochloa nodosa, dan Rumput sateria (Seteria fladium). Famili Poaceae merupakan tumbuhan bawah yang memiliki alat perkembangbiakan yang ringan dan mudah dipencarkan serta memiliki syarat hidup yang sederhana sehingga mudah hidup pada berbagai tipe habitat. Holm (1978) dan Sastroutomo (1990) dalam Aththorick (2005) menyatakan bahwa dari 250 jenis tumbuhan bawah yang tumbuh diantara tanaman pokoknya 40% diantaranya termasuk ke dalam famili Poaceae dan Asteraceae, Famili Poaceae memiliki daya adaptasi yang tinggi, distribusi luas dan mampu tumbuh pada lahan kering maupun tergenang (Rukmana dan Saputra, 1999 dalam Aththorick, 2005). Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa famili Poaceae (Gramineae) yang merupakan family yang paling banyak ditemukan pada lokasi penelitian. 43 2. Komposisi Jenis berdasarkan Kerapatan (K), Frekuensi (F) dan Indeks Nilai Penting (INP) dari Jenis Tumbuhan Bawah Banyaknya individu dari jenis tumbuhan yang dapat ditaksir atau dihitung, apabila banyaknya individu tumbuhan dinyatakan per satuan luas maka nilai itu disebut kerapatan (density) (Fachrul, 2007). a. Densitas (Kerapatan) Pada ketinggian 100 m dpl, jenis yang yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) yaitu 22500 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada jenis Pandan suji, Pandan Hutan (Pandanus nidus), dan Seteria fladium yaitu 250 Ind/Ha. Pada ketinggian 200 m dpl, jenis yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Melastoma affine yaitu 7000 Ind/Ha, sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada jenis Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg) yaitu 750 Ind/Ha. Sedangkan pada ketinggian 300 mdpl, jenis yang yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw, yaitu 10500 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada jenis Sirih gading (Epipremnum aureum) yaitu 250 Ind/Ha. Perbedaan tiap ketinggian tempat berdasarkan penempatan transek 1,2 dan 3 menunjukan bahwa nilai kerapatan pada masing-masing ketinggian diperoleh dari jenis yang berbeda-beda. Pada Transek 1 (100 mdpl) menunjukan bahwa jenis Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) yang memiliki kerapatan tertinggi mampu beradaptasi pada 44 daerah yang memiliki kelembaban cukup tinggi dengan penutupan tajuk yang lebih rapat. Hal ini dikaitkan dengan kondisi dilapangan yang memang memiliki kondisi demikian dan diareal tersebut terdapat aliran sungai yang mendukung kondisi areal yang memiliki kelembaban tersebut. Sedangkan pada jenis Rumput sateria (Seteria fladium) yang memiliki kerapatan rendah, hal ini dikaitkan bahwa jenis ini memang kurang ditemukan di lokasi penelitian. Meski kondisi lingkungan mendukung untuk salah satu jenis ini dapat hidup dengan baik tetapi jenis tanah tempat hidup tumbuhan ini kurang baik dimana jenis tanah yang ditemukan lebih dominan adalah jenis tanah berpasir dan beberapa bebatuan yang berasal dari sungai kecil pada areal tersebut, dengan kondisi demikian jenis yang dapat bertahan yakni jenis Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K). Pada ketinggian 200 m dpl, jenis yang yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Harendong (Melastoma affine), jenis dapat hidup pada kondisi yang kurang mendapat naungan. Dikaitkan dengan kondisi dilapangan bahwa ini disebabkan oleh struktur tajuk tegakan yang kurang rapat sehingga menyebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk cukup tinggi (60-70%). Akibatnya jenis Harendong (Melastoma affine), tumbuh dominan dan menekan pertumbuhan vegetasi lainnya. Sedangkan pada ketinggian 300 m dpl, jenis yang yang ditemukan memiliki kerapatan tertinggi yaitu Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw, jenis ini juga lebih dominan dari vegetasi lainnya karena jenis ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan apapun. 45 Dari keseluruhan petak contoh yang ditemukan memiliki kerapatan jenis tertinggi yaitu Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) yaitu 7500 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada jenis Rumput sateria (Seteria fladium) yaitu 83,33 Ind/Ha. Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) tumbuh dominan dan menekan pertumbuhan vegetasi lainnya kususnya pada transek 1. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang lain kurang dapat berkompetisi dalam pemenuhan kebutuhan unsur hara dibandingkan dengan jenis-jenis yang lebih dominan pada transek 1,2 dan 3. Hal ini seperti diungkapkan oleh McIlroy (1977) dalam Octavia (2004), bahwa kelimpahan suatu jenis dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: persistensi (daya tahan), agresivitas (daya saing), kemampuan tumbuh kembali akibat manipulasi lahan, sifat tahan kering dan tahan dingin, penyebaran produksi musiman, kemampuan menghasilkan biji, kesuburan tanah, serta iklim terutama curah dan distribusi hujan. Kartawinata (1989) menyatakan bahwa topografi medan, sifat-sifat fisik dan kimia tanah sangat berpengaruh terhadap kondisi tersebut. b. Frekuensi Frekuensi diketemukannya tiap jenis tumbuhan juga bervariasi dari tiap ketinggian yaitu pada ketinggian 100 m dpl yaitu berkisar 0,10-1, ketinggian 200 m dpl yaitu berkisar 0,20-0,60, dan ketinggian 300 m dpl berkisar 0,10-0,80. Sedangkan Frekuensi ditemukannya pada keseluruhan petak contoh yaitu berkisar 0,03-0,47 dengan nilai Frekuensi Relatif yakni 1,18-16,47% dengan kata lain jenis tumbuhan bawah masuk dalam kategori kelas A. 46 Menurut Raunkiaer dalam Indriyanto (2006) kriteria tersebut menggolongkan frekuensi terdiri atas 5 kelas, yaitu kelas A adalah spesies yang mempunyai frekuensi 1-20% tergolong kategori sangat rendah, kelas B adalah spesies yang mempunyai frekuensi 21-40% tergolong kategori rendah, kelas C adalah spesies yang mempunyai frekuensi 41-60% tergolong kategori sedang, kelas D adalah spesies yang mempunyai frekuensi 61-80% tergolong kategori tinggi dan kelas E adalah spesies yang mempunyai frekuensi 81-100% tergolong kategori sangat tinggi. Sedangkan nilai frekuensi tiap jenis tumbuhan Nilai frekuensi tertinggi tumbuhan bawah pada keseluruhan petak contoh pada transek 1,2 dan 3 ditunjukkan oleh jenis Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw, dengan nilai frekuensi 0,47. Fachrul (2007) menyatakan bahwa frekuensi dipakai sebagai parameter vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Dengan demikian, dari hasil penelitian menggambarkan bahwa jenis Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw memiliki penyebaran paling luas atau ditemukan pada semua petak pengamatan. Beberapa jenis tumbuhan bawah yang memiliki frekuensi tertinggi pada tiap transek (ketinggian) yaitu pada transek 1 (100 mdpl) yaitu Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah terdiri dari 9 jenis yaitu Garutan (Donax Cahrformis K. Schum), Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb), Seteria fladium, Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl, Paku Sayur (Diplazium Dietrichianum(Luerss) C.Chr), Resam (Dicrenopteris 47 Linearsis Burm. F), Pandan Hutan (Pandanus nidus), Paku Gajah (Angiopteris evecta), Cristlla parasitica (L) Lew, dan Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg). Pada transek 2 (200 m dpl) yaitu frekuensi paling tinggi adalah Sirih Hutan (Piper betle) sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah adalah Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg). Sedangkan pada Transek 3 (300 m dpl) yaitu jenis yang memiliki frekuensi paling tinggi adalah Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw sedangkan jenis yang memiliki frekuensi paling rendah adalah Sirih gading (Epipremnum aureum). Indriyanto (2006) menyatakan bahwa apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, semakin banyak petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti semakin besar frekuensi spesies tersebut. Sebaliknya, jika semakin sedikit petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, semakin kecil frekuensi spesies tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang dipelajari, meskipun belum dapat menggambarkan tentang pola penyebarannya. Spesies organisme yang penyebarannya luas akan memiliki nilai frekuensi perjumpaan yang besar. c. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006). Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa spesies-spesies yang dominan (yang 48 berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Indeks Nilai Penting tertinggi ditemukan pada keseluruhan petak contoh yaitu terdiri dari 7 jenis diantaranya jenis Melastoma affine yaitu 31,72%, Rumput teki (Cyperus cyperuides (L) O.K) yaitu 30,40%, Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw, yaitu 28,89%, Ottochloa nodosa yaitu 21,91%, Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) yaitu 14,16%, Sirih Hutan (Piper betle) yaitu 12,79, Cristlla parasitica (L) Lew yaitu 12,51%. Parameter INP (Indeks Nilai Penting). Sutisna (1981) dan Rosalia (2008) dalam Prinando (2011) mengemukakan bahwa suatu spesies tumbuhan dapat dikatakan berperan atau berpengaruh dalam suatu komunitas apabila memiliki INP untuk tingkat semai ≥ 10%, begitu juga dengan tumbuhan bawah. Hal ini berarti bahwa terdapat 7 jenis yang memiliki INP ≥ 10%, merupakan spesies-spesies yang berpengaruh di masing-masing komunitasnya. Sementara itu, spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan biasanya memiliki INP paling tinggi diantara spesies lainnya. Selain itu, besarnya nilai INP juga menandakan besar atau tidaknya pengaruh spesies tersebut dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2006 dalam Prinando, 2011). 3. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Indeks keanekaragaman merupakan parameter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk mempelajari 49 pengaruh gangguan faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas. Karena dalam suatu komunitas pada umumnya terdapat berbagai jenis tumbuhan, maka semakin tua atau semakin stabil keadaan suatu komunitas, makin tinggi keanekaragaman jenis tumbuhannya (Fachrul, 2007). Penentukan besarnya keragaman jenis tumbuhan digunakan nilai indeks Shannon-Wiener (H’). Apabila derajat keanekaragaman (H’) dalam suatu komunitas <1, maka keanekaragaman rendah, 1≤H’≥3 keanekaragaman sedang, dan H’>3 maka keanekaragaman tinggi (Shannon-Wienner, 1963 dan Fachrul, 2008 dalam Prinando, 2011). Keanekaragaman dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur kestabilan suatu komunitas. Semakin tinggi keanekaragaman, maka komunitas tersebut akan lebih stabil. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman, maka komunitas tersebut akan mudah mengalami ganguan. Sedikit besarnya gangguan sangat mempengaruhi komposisi penyusutan di lokasi penelitian. Holdridge (1967) dalam Ewusie (1990) menunjukan bahwa berkurangnya keanekaragaman dalam jumlah jenis dapat dikaitkan dengan berkurangnya intensitas curah hujan. Fitter dan Hay (1998); Setyawan dkk (2006) dalam Dahlan (2011) menyatakan bahwa salah satu kondisi lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan, tumbuhan di bawah tegakan antara lain cahaya matahari dan naungan. Menurut Marsono (1991) dalam Marlina (2014), ada beberapa faktor yang 50 menentukan suatu jenis habitus tumbuhan ditemukan di suatu tempat seperti flora setempat, habitat (iklim, tanah dll), waktu dan kesempatan. Pada umumnya pertumbuhan herba, epifit dan tumbuhan bawah sangat bergantung pada sinar matahari, karena semakin banyak cahaya matahari yang menembus lantai hutan, maka akan memacu pertumbuhan flora tersebut. Berdasarkan data mengenai perbandingan keanekaragaman jenis berdasarkan tempat ketinggian, nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada transek 1 dengan tempat ketinggian 100 m dpl yaitu 2,60 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) pada tingkat suksesi atau kestabilan dari suatu komunitas untuk tingkat vegetasi tumbuhan bawah masuk dalam kategori sedang. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada transek 2 dengan tempat ketinggian 200 m dpl yaitu 2 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) masuk dalam kategori sedang, dan nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada transek 3 dengan tempat ketinggian 300 m dpl yaitu 2 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas (H’) masuk dalam kategori sedang dengan kriteria H’ 1-3 atau tingkat keanekaragaman jenis sedang. Perbedaan tingkat keanekaragaman ini, berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dapat diketahui bahwa jenis tanahnya adalah podsolik yang terdapat pada ketinggian 50 m dpl-300 m dpl. Hal ini diduga menjadi faktor penyebab rendahnya 51 keragaman jenis tumbuhan bawah dimana ada jenis yang dapat beradaptasi pada jenis tanah ini dan ada juga yang tidak dapat beradaptasi. Keanekaragaman tertinggi terdapat pada transek 1 dengan ketinggian 100 m dpl, hal ini dikarenakan pada ketinggian ini intensitas cahaya masuk sampai ke lantai hutan kurang karena struktur penutupan tajuk yang begitu tinggi sehingga kelembaban yang tercipta juga tinggi. Jika dikaitkan dengan kondisi tanah, tanah pada areal ini cukup subur dengan adanya unsur hara yang berasal dari serasah dari tegakan pohon maupun sumber bahan organik selain berasal dari serasah juga berasal dari vegetasi tumbuhan bawah itu sendiri. Keanekaragaman jenis pada transek 2 (200 m dpl) dan 3 (300 m dpl) masingmasing adalah sama yaitu 2. Kondisi yang tercipta pada daerah ini hampir sama yaitu struktur penutupan tajuk yang kurang sehingga intensitas cahaya yang masuk pada lantai hutan lebih banyak ketimbang pada areal transek 1 sehingga tercipta kondisi yang memiliki kelembaban yang kurang. BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Komposisi jenis tumbuhan bawah yang teridentifikasi yang berada di Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia yaitu sebanyak 20 jenis dalam 16 famili yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi Melastoma affine yaitu 31,72% dan Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K yaitu 30,40%. Sedangkan Indeks Nilai Penting (INP) terendah yaitu Pandan Hutan (Pandanus nidus) sebanya 1,38 %. 2. Tingkat keanekaragaman (H’) tumbuhan bawah yang berada di Kawasan Hutan Konservasi Tahura Nipa-nipa Desa Soropia menunjukkan komunitas tumbuhan bawah pada lokasi penelitian yang berbeda ketinggian tempat 100 m dpl yaitu (2,60). Sedangkan ketinggian 200 m dpl dan 300 m dpl memiliki tingkat keanekaragaman yang sama yaitu (2). Tingkat keanekaragaman jenis masuk kategori sedang menurut Shannon-Wiener, 1963. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, komposisi tumbuhan bawah di Tahura Nipa-nipa Desa Soropia Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, tumbuhan bawah yang teridentifikasi dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat-obatan sehingga perlu dijaga kelestariannya. 53 DAFTAR PUSTAKA Aththorick, T,A,, 2005, Kemiripan komunitas tumbuhan bawah pada beberapa tipe ekosistem perkebunan di Kabupaten Labuhan Batu, Jurnal Komunikasi Penelitian, Vol, 17, No, 5, (http://repository,usu,ac,id/ diakses pada tanggal 25 November 2015), Arief, A., 1994. Hutan hakikat dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Cseke, L.J., Kirakosyan, A., Kaufman, P.B., Warber, S.L., Duke, J.A., & Brielmann H.L., 2006, Natural Product from Plants, 2nd Edition, 97-98, 102, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton, Florida. Departemen Kehutanan. 1999. Undang – Undang Repoblik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta. (Diakses pada tanggal 19 september 2014). Dahlan, M.M., 2011. Komposisi Jenis Tumbuhan Bawah Pada Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria L., Nielsen) ( Studi Kasus Di Areal Kampus IPB Darmaga). Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Daryono, 2002, Identifikasi Unsur Iklim, Sifat Hujan, Evaluasi Zone Iklim Olderman dan Schmidt-Fergusson Daerah Bali Berdasarkan Pemutakhiran Data, Tesis, Program Studi Magister Pertanian Lahan Kering Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Duryat, 2008, Pengaruh Faktor Fisiografis Terhadap Produksi Damar Mata Kucing (Shorea javanica K.et.V) di Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat, dalam Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, 48-54, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Lampung. Dudal dan Supraptoharjo, 1992. Klasifikasi Tanah Indonesia. Pusat Penelitian Tanah Bogor. Bogor. Endriani, S. 2015. Komposisi Dan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Pada Hutan Lindung Di Desa Lamondowo Kecamatan Andowia Kabupaten Konawe Utara. Skripsi Sarjana, Fakultas Kehutanan, Universitas Haluoleo Kendari. 54 Ferianti dan Fachrul Melati. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Gerendas, J. & Raticliffe, R.G., 2000, Intracellular pH Regulation In Maize Root Tips Exposed to Ammonium at High External pH, Journal of Experimental Botany, 51, 207-219. Hopkins, W.G. & Huner, N.P.A., 2009, Introduction to Plant Physiology, Edisi IV, 225-229, 262-263, 305-322, John Wiley & Sons Inc., Ontario. Indriyanto, 2006. Ekologi hutan, PT, Bumi Aksara, Jakarta, Indriyanto, 2009. Komposisi Jenis Dan Pola Penyebaran Tumbuhan Bawah Pada Komunitas Hutan Yang Dikelola Petani di Register 19 Provinsi Lampung. Dalam: Seminar Hasil Penelitian & Pengapdian Kepada Masyarakat, Unila. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, (online), (http://lemlit.unila.ae.id/file/ diakses pada tanggal 23 Maret 2015). Kinho J, 2008. Mengenal Beberapa Jenis Tumbuhan Paku Di Kawasan Hutan Payahe Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Kinho, J. Arini D. ID. Tabba.S, Kama, H, Kafiar Y, Shabri, S. Karundeng M.C, 2011. Tumbuhan Obat Tradisional Di Sulawesi Utara Jilid 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. Kementrian Kehutanan. Manado. Diakses Juni 2015. Marlina, N, 2014, Inventarisasi Jenis Flora yang Berpotensi Sebagai Objek Daya Tarik Wisata Alam Di Kawasan Tanjung Peropa, Skripsi Sarjana, Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, Universitas Halu Oleo, Kendari. Miranti, 2007. Keanekaragaman tumbuhan herba pada persentase penutupan tajuk yang berbeda di kawasan hutan Kemaraya Taman Hutan Raya Murhum Kendari. Skripsi Sarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Haluoleo, Kendari. (tidak dipublikasikan). Nirwani, Z., 2010. Keanekaragaman Tumbuhan Bawah yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat Di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan. 55 Prinando, M, 2011, Keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif di kampus IPB Darmaga, Bogor, Skripsi Sarjana, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Purwanti, E., 2007, Senyawa Bioaktif Tanaman Sereh (Cymbopogon nardus) Ekstrak Kloroform dan Etanol Serta Pengaruhnya Terhadap Mikroorganisme Penyebab Diare, Laporan Penelitian, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Rustam, BR. 2011. Refleksi Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Nipa-Nipa Kabupaten Konawe dan Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Balai Taman Hutan Raya Nipa-Nipa. Kendari. Robert J. Kodoatie dan Roestam yarief, 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta. Rost, T.L., Barbour, M.G., Thornton R.M., Weier, T.E., Stocking, C.R., 2004, Botany : A Brief Introduction to Plant Biology, 2nd Edition, 135-137, John Wiley & Sons, Canada. Suin, N. 2002. Metoda Ekologi. Andalas University Press, Padang. Sangadji, S. 2001. Pengaruh Iklim Tropis di Dua Ketinggian Tempat yang Berbeda Terhadap Potensi Hasil Tanaman Soba (Fagopyrum esculentum Moench.). Tesis. IPB, Bogor. Suryawati, S., Djunaedy, A. & Trieandari, A., 2007, Respon Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) Nees Akibat Naungan dan Selang Penyiraman Air, Embryo, 4 (2), 146-155. Suhardi, L.A., 2007. Tumbuhan Bawah Herbaceous di Hutan Silui Dan Potensi Pemanfaatannya di Desa Porabua Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka Profinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi Sarjana Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo Kendari. Soerianegara I dan Indrawan. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institu Pertanian Bogor. Sopandie, D.M.A., Chozin, Sastrosumarjo, S., Juhacti, T. & Sahardi, 2003, Toleransi Padi Gogo Terhadap Naungan, Hayati, 10 (2), 71-75. Tjitrosoedirdjo, S.S., Tjitrosoedirdjo, S., Mochtar, M. dan Cicuzza, D., 2011. Pengelolaan gulma dalam sistem agroforestri Kakao di Sulawesi Tengah. PT. Penerbit IPB Press. Kampus IPB Taman Kencana Bogor. Indonesia 56 Tahura Nipa-nipa, 2012. Lembar Informasi Tahura Nipa-nipa 2012. Tahura Nipanipa.Kendari. Watanabe, T., M. Osaki, T. Tadano. 2005. Al uptake kineticsin roots of Melastoma malabathricum L. – an Al accumulator plant. Plant Soil 231:283-291. Wibowo, A. 2008. Some Important Invasive Species as Weeds of Forest Plantation Areas in Indonesia. Centre For Plantation Forest Research and Development. Bogor. Indonesia. LAMPIRAN 58 Lampiran 1. Rekapitulasi Jenis, Jumlah, dan Famili Tumbuhan Bawah di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia. No Jenis Tumbuhan Famili Jumlah Individu 90 1 Cyperus cyperuides (L) O.K Cyperaceae 2 Melastoma affine Melastomataceae 80 3 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. Schizaeaceae 52 4 Ottochloa nodosa Poaceae 46 5 Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf Ophioglosscaceae 25 6 Garutan (Donax cahrformis K. Schum) Amaranthaceae 22 7 Sirih Hutan (Piper betle) Piperaceae 22 8 Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F.) Gleicheniacea 20 9 Araceae 19 Asteraceae 17 11 Sirih gading (Epipremnum aureum) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) Kunyit (Curcuma indica) Zingiberaceae 13 12 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) Asteraceae 10 13 Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg.) Poaceae 6 14 Cristlla parasitica (L) Lew Paku Sayur (Diplazium dietrichianum(Luerss.) C.Chr.) Thelyteriduceae 5 Schizaeaceae 3 16 Paku Gajah (Angiopteris evecta) Martiaceae 2 17 Pandan Hutan (Pandanus nidus) Pandanaceae 1 18 Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl. Verbenaceae 2 19 Seteria fladium Poaceae 1 20 Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) Roscaceae 1 10 15 Total Jenis Sumber: Data primer, diolah 2015 437 59 Lampiran 2. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan tiap Petak di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia. No Jenis Tumbuhan Famili Jumlah Individu 19 Petak yang ditemukan Jenis 1,3.9. 4 Jumlah Petak 4 1 Sirih gading (Epipremnum aureum) Araceae 2 Cyperus cyperuides (L) O.K Cyperaceae 90 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. 10 3 Kunyit (Curcuma indica) Zingiberaceae 13 1,3 2 4 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. Schizaeaceae 60 2,6,8. 1,6,10. 1,2,3,4,5,6,8,9, 14 5 Amaranthaceae 22 3, 1 Roscaceae 1 3, 1 7 Garutan(Donax cahrformis K. Schum) Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf Ophioglosscaceae 32 4, 2,4,7,9 5 8 9 10 Cristlla parasitica (L) Lew Melastoma affine Ottochloa nodosa Thelyteriduceae Melastomataceae Poaceae 5 85 49 4, 4,5,8,9. 1,4,5,7,9. 6,9,10. 5,10. 1,3,5,7,10. 2,3,10. 1 12 10 11 Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg.) Poaceae 6 6. 3,9. 3 12 Piperaceae 22 6. 1,5,6,8,9,10. 7 Asteraceae 40 7,10. 3,6,10. 5 14 15 Sirih Hutan (Piper betle) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F.) Paku Gajah (Angiopteris evecta) Gleicheniacea Martiaceae 20 2 7, 7, 1 1 16 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) Asteraceae 10 7. 3,5,8. 4 17 Pandan Hutan (Pandanus nidus) Pandanaceae 1 9, 1 Schizaeaceae 3 8, 1 Poaceae 1 10, 1 Verbenaceae 2 10, 1 6 13 Paku Sayur (Diplazium dietrichianum(Luerss.) C.Chr.) 19 Seteria fladium Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) 20 Vanl. Sumber: Data primer, diolah 2015 18 60 Lampiran 3. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan pada Ketinggian 100 mdpl di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia Araceae Cyperaceae Zingiberaceae Jumlah Individu 18 90 13 Petak yang ditemukan Jenis 1,3.9. 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. 1,3 Jumlah Petak 3 10 2 Schizaeaceae 10 2,6,8. 3 Amaranthaceae 22 3, 1 Roscaceae 1 3, 1 Ophioglosscaceae 32 4, 2,4,7,9 5 Cristlla parasitica (L) Lew Melastoma affine Ottochloa nodosa Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg.) Thelyteriduceae Melastomataceae Poaceae Poaceae 5 21 13 3 4, 4,5,8,9. 5,10. 6, 1 4 2 1 Sirih Hutan (Piper betle) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F.) Piperaceae 4 6, 7 Asteraceae 27 7,10. 2 Gleicheniacea 20 7, 1 Martiaceae 2 7, 1 Asteraceae 3 7, 4 Pandanaceae 1 9, 1 Schizaeaceae 3 8, 1 Poaceae 1 10, 1 Verbenaceae 2 10, 1 No Jenis Tumbuhan 1 2 3 7 Sirih gading (Epipremnum aureum) Rumput teki Cyperus cyperuides (L) O.K Kunyit (Curcuma indica) Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. Garutan (Donax cahrformis K. Schum) Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf 8 9 10 11 12 4 5 6 13 14 15 Paku Gajah (Angiopteris evecta) Patah kemudi (Elophantopus mollis 16 Kunth) 17 Pandan Hutan (Pandanus nidus) Paku Sayur (Diplazium 18 dietrichianum(Luerss.) C.Chr.) 19 Seteria fladium Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) 20 Vanl. Sumber: Data primer, diolah 2015 Famili 61 Lampiran 4. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan pada Ketinggian 200 mdpl di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia No Jenis Tumbuhan Famili Jumlah Individu 8 Petak yang ditemukan Jenis Jumlah Petak 1,6,10. 3 1 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. Schizaeaceae 2 Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf Ophioglosscaceae 22 2,4,7,9 4 3 Melastoma affine Melastomataceae 28 1,4,5,7,9. 5 4 Ottochloa nodosa Poaceae 23 1,3,5,7,10. 5 5 Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg.) Poaceae 3 3,9. 2 Piperaceae 18 1,5,6,8,9,10. 6 Sirih Hutan (Piper betle) 6 Sumber: Data primer, diolah 2015 Lampiran 5. Frekuensi Jenis Tumbuhan Bawah yang ditemukan pada Ketinggian 300 mdpl di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia No Jenis Tumbuhan Famili Jumlah Individu 1 Petak yang ditemukan Jenis Jumlah Petak 4, 1 1 Sirih gading (Epipremnum aureum) Araceae 2 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. Schizaeaceae 42 1,2,3,4,5,6,8,9, 8 3 Melastoma affine Melastomataceae 28 6,9,10. 3 4 Ottochloa nodosa Poaceae 14 2,3,10. 3 5 Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena odorata (L)) Asteraceae 11 3,6,10. 3 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) Asteraceae 3,5,8. 3 6 Sumber: Data primer, diolah 2015 7 62 Lampiran 6. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada Keseluruhan Petak Sampel No Jenis Tumbuhan Jumlah K KR % F FR % INP H' 1583.33 7500 1083.33 3.93 18.63 2.69 0.13 0.33 0.07 4.71 11.76 2.35 8.64 30.40 5.04 0.14 0.29 0.09 1 2 3 Sirih gading (Epipremnum aureum) Cyperus cyperuides (L) O.K Kunyit (Curcuma indica) 19 4 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. 60 5 Garutan(Donax Cahrformis K. Schum) Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) 22 7 8 9 10 Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf Cristlla parasitica (L) Lew Melastoma affine Ottochloa nodosa 32 11 12 90 13 5000.00 12.42 0.47 16.47 28.89 0.28 1833.33 4.55 0.03 1.18 5.73 0.10 83.33 0.21 0.03 1.18 1.38 0.03 5 85 49 2666.67 416.67 7083.33 4083.33 6.63 1.04 17.60 10 0.17 0.03 0.40 0.33 5.88 1.18 14.12 11.76 12.51 2.21 31.72 21.91 0.17 0.05 0.29 0.24 Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg.) 6 500 1.24 0.10 3.53 4.77 0.09 22 1833.33 4.55 0.23 8.24 12.79 0.18 14 Sirih Hutan (Piper Hetle) Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F.) 20 1666.67 4.14 0.03 1.18 5.32 0.10 15 Paku Gajah (Angiopteris evecta) 2 166.67 0.41 0.03 1.18 1.59 0.04 833.33 83.33 2.07 0.21 0.13 0.03 4.71 1.18 6.78 1.38 0.11 0.03 18 Patah kemudi (Elophantopus Mollis Kunth) Pandan Hutan Paku Sayur (Diplazium Dietrichianum(Luerss.) C.Chr.) 10 1 3 250 0.62 0.03 1.18 1.80 0.04 19 Seteria fladium 1 83.33 0.21 0.03 1.18 1.38 0.03 6 13 16 17 1 40 3333.33 8.28 0.17 5.88 14.16 0.19 63 Lanjutan Lampiran 6- No 20 Jenis Tumbuhan Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl. Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Jumlah Individu K KR % F FR % INP H' 2 166.67 0.41 0.03 1.18 1.59 0.04 40250.00 100 2.83 100 200 2.54 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting), H’(Keanekaragaman Jenis)s. 64 Lampiran 7. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 100 mdpl. No Jenis Tumbuhan Jumlah Individu 18 K KR % F FR % INP H' 4500 6.19 0.30 5.77 11.95 0.17 1 Sirih gading (Epipremnum aureum) 2 Cyperus cyperuides (L) O.K 90 22500 30.93 1 19.23 50.16 0.35 3 Kunyit (Curcuma indica) 13 3250 4.47 0.20 3.85 8.31 0.13 4 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. 10 2500 3.44 0.30 5.77 9.21 0.14 5 Garutan(Donax cahrformis K. Schum) 22 5500 7.56 0.10 1.92 9.48 0.14 6 Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) 1 250 0.34 0.10 1.92 2.27 0.05 7 Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf 32 8000 11.00 0.50 9.62 20.61 0.23 8 Cristlla parasitica (L) Lew 5 1250 1.72 0.10 1.92 3.64 0.07 9 Melastoma affine 21 5250 7.22 0.40 7.69 14.91 0.19 10 Ottochloa nodosa 13 3250 4 0.20 3.85 8.31 0.13 11 Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg.) 3 750 1.03 0.10 1.92 2.95 0.06 12 Sirih Hutan (Piper betle) 4 1000 1.37 0.70 13.46 14.84 0.19 13 Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena Odorata (L)) 27 6750 9.28 0.20 3.85 13.12 0.18 14 Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F.) 20 5000 6.87 0.10 1.92 8.80 0.14 15 Paku Gajah (Angiopteris evecta) 2 500 0.69 0.10 1.92 2.61 0.06 16 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) 3 750 1.03 0.40 7.69 8.72 0.14 17 Pandan Hutan (Pandanus nidus) 1 250 0.34 0.10 1.92 2.27 0.05 18 Paku Sayur (Diplazium dietrichianum(Luerss.) C.Chr.) 3 750 1.03 0.10 1.92 2.95 0.17 65 No Jenis Tumbuhan Jumlah Individu K KR % F FR % INP H' 19 Seteria fladium 1 250 0.34 0.10 1.92 2.27 0.06 20 Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl. 2 500 0.69 0.10 1.92 2.61 0.05 291 72750.00 100 5.20 100 200 0.06 Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting), H’(Keanekaragaman Jenis)s. Lampiran 8, Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 200 mdpl. No Jenis Tumbuhan Jumlah Individu 8 K KR % F FR % INP H' 2000 7.84 0.30 12 19.84 0.23 1 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. 2 Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf 22 5500 21.57 0.40 16 37.57 0.31 3 Melastoma affine 28 7000 27.45 0.50 20 47.45 0.34 4 Ottochloa nodosa 23 5750 22.55 0.50 20 42.55 0.33 5 Jukut pahit (Paspalum Conjugtum Berg.) 3 750 2.94 0.20 8 10.94 0.16 6 Sirih Hutan (Piper betle) 18 4500 17.65 0.60 24 41.65 0.33 25500 100 3 100 200 2 Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting), H’(Keanekaragaman Jenis)s. 66 Lampiran 9. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Tumbuhan Bawah Di Tahura Nipa-Nipa Desa Soropia pada ketinggian 300 mdpl. No Jenis Tumbuhan Jumlah Individu 1 K KR % F FR % INP H' 250 0.97 0.10 4.76 5.73 0.10 1 Sirih gading (Epipremnum aureum) 2 Paku hata (Ligodium circnatum (Burn)Sw. 42 10500 40.78 0.80 38.10 78.87 0.37 3 Melastoma affine 28 7000 27.18 0.30 14.29 41.47 0.33 4 Ottochloa nodosa 14 3500 13.59 0.30 14.29 27.88 0.27 5 Komba-komba/Kirinyuh (Choromolaena odorata (L)) 11 2750 10.68 0.30 14.29 24.97 0.26 6 Patah kemudi (Elophantopus mollis Kunth) 7 1750 6.80 0.30 14.29 21.08 0.24 25750 100 2 100 200 2 Total Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), INP (indeks nilai penting), H’(Keanekaragaman Jenis). 67 68 69 Gambar 1. Rumput Teki (Cyperus cyperuides (L) O.K ) Gambar 2. Harendong (Melastoma affine) GA Gambar 3. Paku hata (Ligodium circnatum (Burn) Sw. Gambar 5. Paku Gajah (Angiopteris evecta) Gambar 4. Rumput sarang buaya (Ottochloa nodosa) Gambar 6. Paku tajuk langit (Helminthostachys Zeinalica (L) Kaulf ) 70 Gambar 7. Resam (Dicrenopteris Linearsis Burm. F.) Gambar 9. Sirih Hutan (Piper betle) Gambar 8. Jukut pahit (Paspalum conjugtum Berg.) Gambar 10. Garutan (Donax cahrformis K. Schum) Gambar 11. Komba-komba/Kirinyuh Gambar 12. Patah kemudi (Elophantopus mollis (Choromolaena Odorata (L) Kunth) 71 Gambar 13. Sirih gading (Epipremnum Gambar 14. Rumput setaria (Seteria aureum) flavidum) Gambar 15. Paku Sayur (Diplazium dietrichianum(Luerss.) C.Chr.) Gambar 16. Pandan Hutan (Pandanus nidus) Gambar 17. Jarong (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vanl. Gambar 18. Kunyit hutan (Curcuma indica) 72 Gambar 19. Pandan suji (Dracaena angustifolia (Medik) Roxb) Gambar 21. Pembuatan plot transek 1 ketinggian 100 mdpl Gambar 23. Pemasangan patok plot transek 1 ketinggian 100 mdpl Gambar 20. (Cristlla parasitica (L) Lew) Gambar 22. Pembuatan plot transek 1 ketinggian 100 mdpl Gambar 24. Pengamatan pada tumbuhan transek 1 ketinggian 100 mdpl 73 Gambar 25. Pengamatan pada jenis tumbuhan di transek 1 ketinggian 100 mdpl Gambar 26. Pengamatan pada jenis tumbuhan di transek 1 ketinggian 100 mdpl Gambar 27. Pengamatanpada jenis tumbuhan di transek 1 ketinggian 100 mdpl Gambar 28. Pengukuran patok plot transek 1 ketinggian 100 mdpl Gamabar 29. Pembuatan jalur transek 2 ketinggian 200 mdpl Gamabar 30. Pembuatan jalur transek 2 ketinggian 200 mdpl 74 Gambar 31. Pengamatan pada tumbuhan transek 2 ketinggian 200 mdpl Gambar 32. Pembuatan plot di transek 2 ketinggian 200 mdpl Gambar 33. Pengamatan pada tumbuhan transek 2 ketinggian 200 mdpl Gambar 34. Pengamatan pada tumbuhan transek 2 ketinggian 200 mdpl Gambar 35. Pembuatan jalur transek 3 ketinggian 300 mdpl Gambar 36. Pembuatan jalur transek 3 ketinggian 300 mdpl 75 Gambar 37. Pembuatan plot di transek 3 ketinggian 300 mdpl Gambar 39. Pengamatan pada tumbuhan transek 3 ketinggian 300 mdpl Gambar 38. Pengamatan pada tumbuhan transek 3 ketinggian 300 mdpl Gambar 40. Pengamatan pada tumbuhan transek 3 ketinggian 300 mdpl