BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tanah
merupakan tempat yang dipergunakan bagi manusia untuk mendirikan tempat
tinggalnya,
selain itu tanah juga merupakan tempat bagi mereka guna
melaksanakan aktivitas yang mendukung penghidupannya, seperti pertanian,
perkebunan, perikanan, industri dan sebagainya. Semakin berkembangnya
kehidupan manusia, membuat fungsi tanah tidak hanya sebagai tempat bagi
manusia
guna
menjalani
kehidupannya.
Sifat
alamiah
manusia
hidup
berkelompok tidak menafikkan kenyataan bahwa manusia juga individu yang
membutuhkan pengakuan eksistensi diri dalam hal kepemilikan benda atau
yang lainnya. Manusia berkelompok sekaligus mahluk individu, kebutuhan
individu berbeda satu sama lain. Hal ini menciptakan situasi permintaan dan
penawaran (demand and supply). Lebih jauh munculah mekanisme pertukaran,
peminjaman dan jual-beli.
Setelah mengetahui bahwa fungsi tanah bisa
diperjual belikan bahkan bisa untuk
dibarter
atau dihibahkan maupun
diwasiatkan maka fungsi tanah berubah mempunyai nilai ekonomi. Pada fase
inilah
muncul konflik.
Konflik
membutuhkan perangkat pengadil.
Maka
hukum lahir mengatur hal-hal berkaitan batasan hak dan kewajiban individu
manusia terhadap tanah1 .
Sebelum lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5
Tahun 1960 pengaturan mengenai hukum tanah di Indonesia mengalami
dualisme, dimana peraturan mengenai tanah dapat dijumpai dalam Hukum
Adat (Hukum Tanah Adat) dan Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek)2 .
“Thus it was that, prior to the passage of the BAL in 1960, Indonesian
land law remained governed by two separate and distinct bodies of
law. The first was known as “Western land law,” as it was regulated
1
I Made Sandy, Catatan Singkat tentang Hambatan-Hambatan Pelaksanaan UUPA, Jurnal
Analisis CSIS No. 2 Tahun XX, Jakarta: CSIS, 1991, hal143.
2
Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press: Jakarta, 1982, Hal.11
2
by the Civil Code and included a system of hierarchical rights ranging
from ownership (eigendom) to lease (erfpacht) and use (gebruik). The
second was adat law, the nature of which will be considered below.
This division of law led, in turn, to a distinction between “Western
land” and “Indonesian land. ”Western land was land subject to
Western land rights but could be held by foreigners, autochthonous
Indonesians, and the “Oriental Group” alike. Indonesian land was
subject either to adat rights or to the special “native” proprietary
right known as agrarische eigendom. From 1870 to 1875, it could be
leased or purchased by non-autochthonous Indonesians. From 1875,
however, alienation to non-natives of land held under adat rights was
significantly restricted.”3
Tanah yang diatur dalam hukum barat muncul di saat datangnya
Belanda di Indonesia, mereka membawa perangkat Hukum Belanda tentang
tanah yang mula-mula masih merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan
pada hukum kebiasaan yang tidak tertulis, misalnya Bataviasche Grondhuur,
dan hukum tertulis seperti Overschrijvings Ordonnantie,
Stbl.1834-27.
Kemudian pada tahun 1848 mulai diberlakukan suatu ketentuan hukum barat
yang tertulis yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai sekarang masih kita
kenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perlu dijelaskan disini,
bahwa motivasi yang mendorong timbulnya Hukum tanah barat tersebut antara
lain karena banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk
Perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota
dengan hak Erfpacht (Pasal 720 BW) dan rumah tinggal atau tempat usaha di
dalam kota dengan Hak Eigendom dan Hak Opstal. 4
Sementara itu, Hukum tanah adat merupakan hukum sejak yang berlaku
di kalangan masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa
Portugis, Belanda, Inggris dan sebagainya. Tanah- tanah dengan hak pribumi
tersebut adalah tanah yang tunduk pada hukum agraria adat antara lain adalah
tanah ulayat, tanah milik yasan, tanah usaha dan tanah gogolan5 . Sebagian
3
Daniel Fitzpatrick, „Disputes and Pluralism in Modern Indonesian Land Law”, Yale Journal of
International Law, Vol.22, 1997.
4
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko,
Hukum Pertanahan di belanda dan Indonesia: Pustaka Larasan, Denpasar,2012, hal 133-134
5
Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik , Kanisius:
Jogjakarta, 2001, Hal.49,
3
besar hukum tanah adat merupakan tanah yang belum terdaftar kecuali tanah
swapraja yang diatur oleh hukum tanah swapraja. Hukum tanah swapraja
adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di
daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dan
Deli.Hukum tanah swapraja. Tanah swapraja ini pada dasarnya adalah hukum
tanah adat yang diciptakan oleh pemerintah swapraja dan sebagian diciptakan
Pemerintah Hindia Belanda,
Misal Stbl.1915-474
yang intinya memberi
wewenang kepada penguasa swapraja untuk memberikan
tanahnya kepada
hak-hak barat.
Daerah Surakarta merupakan suatu kerajaan yang didasarkan pada
kehidupan masyarakat yang bersifat agraris. Sebagai kerajaan yang bersifat
agraris, maka tanah merupakan masalah yang utama yang hubungan dengan
birokrasi
pemerintahan
untuk
membiayai
kelangsungan
hidup
kerajaan,
sebagian besar didukung oleh penghasilan tanah yang dikuasai oleh kerajaan.
Tanah yang merupakan wilayah kekuasaan Kasunanan di Surakarta secara
mutlak adalah milik Sunan atau Pejabatnya. Penguasaan oleh Sunan tersebut
dimaksudkan agar Sunan dapat secara mudah dalam mengatur pengelolaan
administrasi wilayahnya sebagai daerah Swapraja, membagi tanahnya tersebut
kepada sentana dalem dan abdi dalem sebagai tanah lungguh atau tanah
apanage (lahan yang luas dan subur).6
Pola
pengaturan
pertanahan
Keraton
Surakarta tercantum dalam
Rijksblad Surakarta Nomor 9 dan 10 Tahun 1938 dimana Keraton Surakarta
memiliki wewenang atas tanah yang berada di luar tembok keraton, yaitu
sebagai berikut:
1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat
swapraja untuk menggaduh tanah;
2. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan
kepada rakyat swapraja untuk menggaduh tanah secara turun temurun;
6
Dr.Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, PT
Tiara Wacana: Yogyakarta, 1991, hal.1
4
3 Wewenang Andarbeni, yaitu hak milik atas tanah yang diberikan Raja
kepada rakyat swapraja
4. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji kepada
abdi dalem, lurah desa beserta bahawannya;
5. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah beserta
bawahannya yang sudah pensiun. Apabila Lurah atau bawahannya
tersebut meninggal dunia maka tanah tersebut kembali ke kas desa.
6. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta
pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan untuk
diberikan turun menurun. Tanah Kas Desa diberikan untuk keperluan
penghasilan desa
Sementara hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Keraton Surakarta
yang berada di dalam tembok Keraton Surakarta adalah:
1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi
dalem yang tidak bersifat turun temurun;
2. Wewenang Anggaduh Turun Temurun, yaitu hak atas tanah yang
diberikan kepada abdi dalem yang dapat dipakai secara turun temurun;
3. Paringan Dalem, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada anak raja
yang sudah dewasa.
Dualisme dalam hukum pertanahan sendiri juga mengakibatkan adanya
dualisme dalam prosedur penyelenggaraan dan peralihan hak atas tanah, oleh
karena itu lahirlah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor
5 Tahun
1960 pada tanggal 24 September 1960. UUPA sendiri menganut asas unifikasi
hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air, artinya hanya ada sistem yaitu
yang ditetapkannya dan hal ini akan lebih jelas jika kita membaca ketentuan
dalam Pasal 5 UUPA, sebagai berikut:
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
5
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
7
Dengan
demikian dinyatakan oleh ketentuan tersebut bahwa sistem pertanahan yang
akan berlaku hanyalah satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air,
bukan lagi ketentuan dari BW maupun bukan lagi dari ketentuan Hukum Adat
yang bersifat kedaerah di seluruh tanah air, ataupun disamping ketentuan yang
lama menurut BW maupun ketentuan baru berdasarkan UUPA tetapi suatu
ketentuan Hukum Adat yang tafsirannya telah diberikan oleh pasal 5 UUPA
tersebut.8 “Article 5 of the BAL states that Indonesia’s agrarian law is the adat
law, i.e. Indonesian customary law, “as long as it does not conflict with
national interests,” “Indonesian socialism,” “religious laws,” or other
regulations set out in the Basic Agrarian Law”.9
Segera setelah diundangkanya UUPA tersebut maka pada saat itu pula
terjadi unifikasi di bidang hukum tanah,
antara lain unifikasi hak-hak
perorangan atas tanah yang sudah dipunyai oleh orang-orang dan badan-badan
hukum berdasarkan Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat dengan cara
mengubah (dikonversi) menjadi salah satu hak-hak perorangan atas tanah
menurut UUPA, berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi dalam diktum
kedua UUPA10 . Dari penjelasan di atas, maka dapat kita ketahui bahwa
keberadaan tanah hak milik adat yang ada pada masa kolonial Belanda masih
dapat diketemukan pada masa sekarang ini, sebagai contoh adalah tanah bekas
swapraja yaitu tanah yang dahulu keseluruhan peraturan tentang pertanahan
yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta,
Surakarta, Cirebon, dan Deli.
Dalam Diktum Kedua Pasal 2 ketentuan–ketentuan mengenai konversi
dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa:
7
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, CV Mandar Maju:Medan,
2008, hal.113
8
A,P Parlindungan, Konversi Hak -hak atas tanah, CV Mandar Maju: Medan, 1990, hal.1
9
Martin E. Gold & Russel B. Zuckerman , “Indonesian Land Rights and Development” Columbia
Journal of Asian Law, Vol.28 No.1, 2014.
10
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko , Opcit,
2012, hal.135
6
“(1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti
yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom,
milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht,
hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan
nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak
milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut
dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing,
warganegara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21
ayat 2 menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai
dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria11 .”
Dalam Diktum Kedua Pasal 6 UUPA:
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut
dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgerbruik, gebruik, grant
controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok,
lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam
pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana
yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undangundang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini12 .”
Konversi atau perubahan terjadinya karena hukum (van rechtswege)
dan secara serentak sejak tanggal 24 september 1960. Ini berarti bahwa
terhitung sejak tanggal tersebut tidak berlaku lagi lembaga-lembaga atau hakhak atas tanah yang diatur oleh hukum tanah barat maupun hukum tanah adat.
Demikian pula tidak ada lagi Hak Hipotik dan Hak Credietverband sebagai hak
jaminan atas tanah yang telah dikonversi menjadi hak tanggungan (pasal 51, 57
11
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Diktum
Kedua
12
Ibid
7
jo.UU
No.4/1996).
Hak-hak
perseorangan
atas
tanah
tersebut
telah
diubah/dikonversi menjadi salah satu hak baru berdasarkan UUPA. Jika akan
menegaskan bahwa hak atas tanah yang baru berasal dari konversi hak atas
tanah yang lama, maka sebutan bagi hak atas tanah yang lama harus
(didahului) sebutan “bekas”, misalnya bekas Hak Milik Adat yang belum
bersertipikat, bekas tanah swapraja di Surakarta dan Yogyakarta, bekas Hak
Grant Sultan di Medan dan sekitarnya, bekas Hak Eigendom, bekas Hak
Erfpacht (pasal 1 PMA No.2/1960).13
Pelaksanaan
konversi
merupakan
bagian
dari
penyelenggaraan
pendaftaran tanah, khusunya pendaftaran tanah untuk pertama kali.
Pengertian
pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1997 yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara
terus
menerus,
berkesinambungan
dan
teratur,
meliputi
pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.14 Definisi pendaftaran tanah
dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan
dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat 2
Peraturaran Pemerintah No.10 Tahun 1961 yang hanya meliputi: pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta
pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat. 15
Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 adalah untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
13
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko , Opcit,
2012, hal. 189
14
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 1 Angka (1)
15
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju:
Bandung, 2008,
hal.18- 19
8
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum,
kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Dalam Pasal 19 Ayat 2 huruf c UUPA dinyatakan bahwa akhir kegiatan
pendaftaran tanah yang diadakan oleh Pemerintah adalah pemberian surat
tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktianyang kuat. UUPA tidak
menyebut nama surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Baru pada Pasal
13 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan bahwa surat
tanda bukti hak atas tanah yang didaftar dinamakan sertifikat, yaitu salinan
buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan
suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.16
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat
tanda bukti hal, yaitu berupa sertifikat. Pengertian sertifikat menurut Pasal 1
angka 20 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, adalah surat tanda bukti
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak
atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun
dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah
yang bersangkutan. Maksud diterbitkan sertifikat dalam kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali adalah agar pemegang hak dengan mudah dapat
membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang haknya. Sertifikat diterbitkan
untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik
dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. 17
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas,
maka dari itu penulis ingin meneliti mengenai pelaksanaan konversi tanah
bekas swapraja dan hambatan-hambatan serta solusi-solusi yang ditemui saat
melaksanakan konversi tanah bekas swapraja di Kota Surakarta khusus bagi
tanah bekas swapraja yang berada di luar tembok Keraton Surakarta. Penulis
ingin
mengadakan
penelitian
tersebut
dengan
judul
“PELAKSANAAN
KONVERSI HAK ATAS TANAH BEKAS SWAPRAJA BERDASARKAN
16
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, Pasal 13 Ayat (3)
Urip Santoso SH,MH, Pendaftaran dan pengalihan hak atas tanah , Kencana Prenada Media
Grup: Jakarta 2010, hal.42-43
17
9
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN
DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Studi di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta)”.
B. Perumusan Masalah
Rumusan
masalah
dimaksudkan
untuk
penegasan
masalah-
masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta
pencapaian
sasaran.
Dalam
penelitian
ini dirumuskan
permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas swapraja di
Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan?
2. Apakah hambatan yang timbul dalam proses pelaksanaan konversi
hak atas tanah bekas swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta?
3. Bagaimana solusi yang ada dalam menyelesaikan hambatan yang
timbul dalam proses pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas
swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar
penelitian tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan
penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh
peneliti.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
1. Tujuan umum
a. Untuk menganalisis pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas
swapraja berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang
Peraturan
Dasar
Pokok-pokok
Agraria,
Peraturan
10
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di
Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
b. Untuk
menganalisis
pelaksanaan konversi
hambatan
yang
timbul
dalam
proses
hak atas tanah bekas swapraja di Kantor
Pertanahan Kota Surakarta
c. Untuk menganalisis solusi dalam menyelesaikan hambatan yang
timbul dalam proses pelaksanaan konversi
hak atas tanah bekas
swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
2. Tujuan khusus
a. Untuk
memberikan
gambaran,
menambah
pengetahuan
serta
mengembangkan wawasan peneliti terkait dengan pelaksanaan
pendaftaran konversi hak atas tanah bekas swapraja berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
b. Untuk
memenuhi
salah
satu
persyaratan
akademis
guna
memperoleh gelar Magister di bidang Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat penelitian
Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dillakukan, sebab besar
kecilnya manfaat peneitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian
tersebut. adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:
11
1. Manfaat teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis pribadi di
bidang ilmu hukum khususnya kenotariatan.
b. Memberikan
masukan
bagi
perkembangan
ilmu
pengetahuan
hukum khususnya di bidang Hukum Pertanahan.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan
dinamis
penulis
daya penalaran dan membentuk
serta
mengetahui kemampuan
pola pikir
penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi
masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait
dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang
berminat pada masalah yang sama, serta mampu menjawab
masalah yang diteliti.
Download