1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan tempat yang dipergunakan bagi manusia untuk mendirikan tempat tinggalnya, selain itu tanah juga merupakan tempat bagi mereka guna melaksanakan aktivitas yang mendukung penghidupannya, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, industri dan sebagainya. Semakin berkembangnya kehidupan manusia, membuat fungsi tanah tidak hanya sebagai tempat bagi manusia guna menjalani kehidupannya. Sifat alamiah manusia hidup berkelompok tidak menafikkan kenyataan bahwa manusia juga individu yang membutuhkan pengakuan eksistensi diri dalam hal kepemilikan benda atau yang lainnya. Manusia berkelompok sekaligus mahluk individu, kebutuhan individu berbeda satu sama lain. Hal ini menciptakan situasi permintaan dan penawaran (demand and supply). Lebih jauh munculah mekanisme pertukaran, peminjaman dan jual-beli. Setelah mengetahui bahwa fungsi tanah bisa diperjual belikan bahkan bisa untuk dibarter atau dihibahkan maupun diwasiatkan maka fungsi tanah berubah mempunyai nilai ekonomi. Pada fase inilah muncul konflik. Konflik membutuhkan perangkat pengadil. Maka hukum lahir mengatur hal-hal berkaitan batasan hak dan kewajiban individu manusia terhadap tanah1 . Sebelum lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 pengaturan mengenai hukum tanah di Indonesia mengalami dualisme, dimana peraturan mengenai tanah dapat dijumpai dalam Hukum Adat (Hukum Tanah Adat) dan Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek)2 . “Thus it was that, prior to the passage of the BAL in 1960, Indonesian land law remained governed by two separate and distinct bodies of law. The first was known as “Western land law,” as it was regulated 1 I Made Sandy, Catatan Singkat tentang Hambatan-Hambatan Pelaksanaan UUPA, Jurnal Analisis CSIS No. 2 Tahun XX, Jakarta: CSIS, 1991, hal143. 2 Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press: Jakarta, 1982, Hal.11 2 by the Civil Code and included a system of hierarchical rights ranging from ownership (eigendom) to lease (erfpacht) and use (gebruik). The second was adat law, the nature of which will be considered below. This division of law led, in turn, to a distinction between “Western land” and “Indonesian land. ”Western land was land subject to Western land rights but could be held by foreigners, autochthonous Indonesians, and the “Oriental Group” alike. Indonesian land was subject either to adat rights or to the special “native” proprietary right known as agrarische eigendom. From 1870 to 1875, it could be leased or purchased by non-autochthonous Indonesians. From 1875, however, alienation to non-natives of land held under adat rights was significantly restricted.”3 Tanah yang diatur dalam hukum barat muncul di saat datangnya Belanda di Indonesia, mereka membawa perangkat Hukum Belanda tentang tanah yang mula-mula masih merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan pada hukum kebiasaan yang tidak tertulis, misalnya Bataviasche Grondhuur, dan hukum tertulis seperti Overschrijvings Ordonnantie, Stbl.1834-27. Kemudian pada tahun 1848 mulai diberlakukan suatu ketentuan hukum barat yang tertulis yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perlu dijelaskan disini, bahwa motivasi yang mendorong timbulnya Hukum tanah barat tersebut antara lain karena banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk Perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota dengan hak Erfpacht (Pasal 720 BW) dan rumah tinggal atau tempat usaha di dalam kota dengan Hak Eigendom dan Hak Opstal. 4 Sementara itu, Hukum tanah adat merupakan hukum sejak yang berlaku di kalangan masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggris dan sebagainya. Tanah- tanah dengan hak pribumi tersebut adalah tanah yang tunduk pada hukum agraria adat antara lain adalah tanah ulayat, tanah milik yasan, tanah usaha dan tanah gogolan5 . Sebagian 3 Daniel Fitzpatrick, „Disputes and Pluralism in Modern Indonesian Land Law”, Yale Journal of International Law, Vol.22, 1997. 4 Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko, Hukum Pertanahan di belanda dan Indonesia: Pustaka Larasan, Denpasar,2012, hal 133-134 5 Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik , Kanisius: Jogjakarta, 2001, Hal.49, 3 besar hukum tanah adat merupakan tanah yang belum terdaftar kecuali tanah swapraja yang diatur oleh hukum tanah swapraja. Hukum tanah swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dan Deli.Hukum tanah swapraja. Tanah swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh pemerintah swapraja dan sebagian diciptakan Pemerintah Hindia Belanda, Misal Stbl.1915-474 yang intinya memberi wewenang kepada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya kepada hak-hak barat. Daerah Surakarta merupakan suatu kerajaan yang didasarkan pada kehidupan masyarakat yang bersifat agraris. Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka tanah merupakan masalah yang utama yang hubungan dengan birokrasi pemerintahan untuk membiayai kelangsungan hidup kerajaan, sebagian besar didukung oleh penghasilan tanah yang dikuasai oleh kerajaan. Tanah yang merupakan wilayah kekuasaan Kasunanan di Surakarta secara mutlak adalah milik Sunan atau Pejabatnya. Penguasaan oleh Sunan tersebut dimaksudkan agar Sunan dapat secara mudah dalam mengatur pengelolaan administrasi wilayahnya sebagai daerah Swapraja, membagi tanahnya tersebut kepada sentana dalem dan abdi dalem sebagai tanah lungguh atau tanah apanage (lahan yang luas dan subur).6 Pola pengaturan pertanahan Keraton Surakarta tercantum dalam Rijksblad Surakarta Nomor 9 dan 10 Tahun 1938 dimana Keraton Surakarta memiliki wewenang atas tanah yang berada di luar tembok keraton, yaitu sebagai berikut: 1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja untuk menggaduh tanah; 2. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja untuk menggaduh tanah secara turun temurun; 6 Dr.Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, PT Tiara Wacana: Yogyakarta, 1991, hal.1 4 3 Wewenang Andarbeni, yaitu hak milik atas tanah yang diberikan Raja kepada rakyat swapraja 4. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji kepada abdi dalem, lurah desa beserta bahawannya; 5. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah beserta bawahannya yang sudah pensiun. Apabila Lurah atau bawahannya tersebut meninggal dunia maka tanah tersebut kembali ke kas desa. 6. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan untuk diberikan turun menurun. Tanah Kas Desa diberikan untuk keperluan penghasilan desa Sementara hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Keraton Surakarta yang berada di dalam tembok Keraton Surakarta adalah: 1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang tidak bersifat turun temurun; 2. Wewenang Anggaduh Turun Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang dapat dipakai secara turun temurun; 3. Paringan Dalem, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada anak raja yang sudah dewasa. Dualisme dalam hukum pertanahan sendiri juga mengakibatkan adanya dualisme dalam prosedur penyelenggaraan dan peralihan hak atas tanah, oleh karena itu lahirlah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960. UUPA sendiri menganut asas unifikasi hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air, artinya hanya ada sistem yaitu yang ditetapkannya dan hal ini akan lebih jelas jika kita membaca ketentuan dalam Pasal 5 UUPA, sebagai berikut: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan 5 mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 7 Dengan demikian dinyatakan oleh ketentuan tersebut bahwa sistem pertanahan yang akan berlaku hanyalah satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, bukan lagi ketentuan dari BW maupun bukan lagi dari ketentuan Hukum Adat yang bersifat kedaerah di seluruh tanah air, ataupun disamping ketentuan yang lama menurut BW maupun ketentuan baru berdasarkan UUPA tetapi suatu ketentuan Hukum Adat yang tafsirannya telah diberikan oleh pasal 5 UUPA tersebut.8 “Article 5 of the BAL states that Indonesia’s agrarian law is the adat law, i.e. Indonesian customary law, “as long as it does not conflict with national interests,” “Indonesian socialism,” “religious laws,” or other regulations set out in the Basic Agrarian Law”.9 Segera setelah diundangkanya UUPA tersebut maka pada saat itu pula terjadi unifikasi di bidang hukum tanah, antara lain unifikasi hak-hak perorangan atas tanah yang sudah dipunyai oleh orang-orang dan badan-badan hukum berdasarkan Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat dengan cara mengubah (dikonversi) menjadi salah satu hak-hak perorangan atas tanah menurut UUPA, berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi dalam diktum kedua UUPA10 . Dari penjelasan di atas, maka dapat kita ketahui bahwa keberadaan tanah hak milik adat yang ada pada masa kolonial Belanda masih dapat diketemukan pada masa sekarang ini, sebagai contoh adalah tanah bekas swapraja yaitu tanah yang dahulu keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dan Deli. Dalam Diktum Kedua Pasal 2 ketentuan–ketentuan mengenai konversi dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa: 7 A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, CV Mandar Maju:Medan, 2008, hal.113 8 A,P Parlindungan, Konversi Hak -hak atas tanah, CV Mandar Maju: Medan, 1990, hal.1 9 Martin E. Gold & Russel B. Zuckerman , “Indonesian Land Rights and Development” Columbia Journal of Asian Law, Vol.28 No.1, 2014. 10 Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko , Opcit, 2012, hal.135 6 “(1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21. (2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria11 .” Dalam Diktum Kedua Pasal 6 UUPA: “Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgerbruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undangundang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini12 .” Konversi atau perubahan terjadinya karena hukum (van rechtswege) dan secara serentak sejak tanggal 24 september 1960. Ini berarti bahwa terhitung sejak tanggal tersebut tidak berlaku lagi lembaga-lembaga atau hakhak atas tanah yang diatur oleh hukum tanah barat maupun hukum tanah adat. Demikian pula tidak ada lagi Hak Hipotik dan Hak Credietverband sebagai hak jaminan atas tanah yang telah dikonversi menjadi hak tanggungan (pasal 51, 57 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Diktum Kedua 12 Ibid 7 jo.UU No.4/1996). Hak-hak perseorangan atas tanah tersebut telah diubah/dikonversi menjadi salah satu hak baru berdasarkan UUPA. Jika akan menegaskan bahwa hak atas tanah yang baru berasal dari konversi hak atas tanah yang lama, maka sebutan bagi hak atas tanah yang lama harus (didahului) sebutan “bekas”, misalnya bekas Hak Milik Adat yang belum bersertipikat, bekas tanah swapraja di Surakarta dan Yogyakarta, bekas Hak Grant Sultan di Medan dan sekitarnya, bekas Hak Eigendom, bekas Hak Erfpacht (pasal 1 PMA No.2/1960).13 Pelaksanaan konversi merupakan bagian dari penyelenggaraan pendaftaran tanah, khusunya pendaftaran tanah untuk pertama kali. Pengertian pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.14 Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat 2 Peraturaran Pemerintah No.10 Tahun 1961 yang hanya meliputi: pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat. 15 Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar 13 Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko , Opcit, 2012, hal. 189 14 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 1 Angka (1) 15 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahman Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju: Bandung, 2008, hal.18- 19 8 dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. Dalam Pasal 19 Ayat 2 huruf c UUPA dinyatakan bahwa akhir kegiatan pendaftaran tanah yang diadakan oleh Pemerintah adalah pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktianyang kuat. UUPA tidak menyebut nama surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Baru pada Pasal 13 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan bahwa surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar dinamakan sertifikat, yaitu salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.16 Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hal, yaitu berupa sertifikat. Pengertian sertifikat menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Maksud diterbitkan sertifikat dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah agar pemegang hak dengan mudah dapat membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang haknya. Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. 17 Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka dari itu penulis ingin meneliti mengenai pelaksanaan konversi tanah bekas swapraja dan hambatan-hambatan serta solusi-solusi yang ditemui saat melaksanakan konversi tanah bekas swapraja di Kota Surakarta khusus bagi tanah bekas swapraja yang berada di luar tembok Keraton Surakarta. Penulis ingin mengadakan penelitian tersebut dengan judul “PELAKSANAAN KONVERSI HAK ATAS TANAH BEKAS SWAPRAJA BERDASARKAN 16 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, Pasal 13 Ayat (3) Urip Santoso SH,MH, Pendaftaran dan pengalihan hak atas tanah , Kencana Prenada Media Grup: Jakarta 2010, hal.42-43 17 9 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Studi di Kantor Pertanahan Kota Surakarta)”. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah- masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran. Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan? 2. Apakah hambatan yang timbul dalam proses pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta? 3. Bagaimana solusi yang ada dalam menyelesaikan hambatan yang timbul dalam proses pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar penelitian tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Tujuan umum a. Untuk menganalisis pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas swapraja berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan 10 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Untuk menganalisis pelaksanaan konversi hambatan yang timbul dalam proses hak atas tanah bekas swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta c. Untuk menganalisis solusi dalam menyelesaikan hambatan yang timbul dalam proses pelaksanaan konversi hak atas tanah bekas swapraja di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 2. Tujuan khusus a. Untuk memberikan gambaran, menambah pengetahuan serta mengembangkan wawasan peneliti terkait dengan pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah bekas swapraja berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. b. Untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memperoleh gelar Magister di bidang Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat penelitian Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dillakukan, sebab besar kecilnya manfaat peneitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 11 1. Manfaat teoritis a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis pribadi di bidang ilmu hukum khususnya kenotariatan. b. Memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Pertanahan. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan dinamis penulis daya penalaran dan membentuk serta mengetahui kemampuan pola pikir penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama, serta mampu menjawab masalah yang diteliti.