Pendahuluan Pengetahuan tentang sejarah musik Klasik Barat

advertisement
SEJARAH MUSIK KORAL SAKRAL DUNIA
DISUSUN OLEH
AGASTYA RAMA LISTYA
1
Pendahuluan
Pengetahuan tentang sejarah musik Klasik Barat merupakan sebuah
modal dasar bagi kita yang terlibat atau berkecimpung baik sebagai musisi,
anggota paduan suara, maupun pengabah. Pengetahuan yang baik tentang
sejarah musik Klasik Barat yang mencakup karakteristik, gaya, bentuk dan
genre musik; teknik penyajian; komponis berikut karya-karyanya, akan sangat
membantu kita terutama dalam menganalis dan menginterpretasi karya yang
akan disajikan. Dengan kata lain, kurangnya pengetahuan tentang sejarah
musik Klasik Barat akan menghambat kita dalam menyajikan sebuah karya
secara benar—dalam pengertian sesuai dengan karakteristik serta bentuk
penyajian yang dikehendaki sang komponisnya. Keterbatasan ini pada gilirannya
hanya membuat kita bergantung pada rekaman-rekaman audio maupun visual
yang ada.
Sungguh bersyukur bahwa dengan merebaknya teknologi informasi
khususnya melalui internet, kita yang hidup pada masa sekarang dapat
mengakses informasi dengan baik. Kita dapat menemukan ratusan hingga
ribuan situs musik, khususnya yang menyediakan informasi berkaitan dengan
sejarah, komponis, dan karya musik yang dapat diunduh secara gratis
(www.cpdl.org dan www.imslp.org). Beberapa situs bahkan menfasilitasi
diskusi serta mempublikasi kegiatan konser musik diantara anggotanya, mis:
www.indonesianchoral.net dan www.ifcm.net.
Artikel ini sendiri mencoba untuk menyajikan secara singkat sejarah
musik Klasik Barat khususnya musik koral sakral, yang notabene merupakan
kuliah yang sekurang-kurangnya dipelajari dalam dua semester di bangku
pendidikan akademik. Keseluruhan materi akan disajikan secara berurutan
dalam beberapa seri.
1. Periode Renaissans (1450 – 1600)
Periode Renaissans memiliki rentang waktu diantara tahun 1450 hingga
1600, walaupun beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa awal dari periode ini
sebenarnya telah dimulai pada tahun 1400. Idealisme yang berkembang pada
masa ini, yaitu seorang cendekiawan haruslah merupakan seorang musisi yang
terlatih. Castaliogne menulis dalam bukunya berjudul The Book of the Courtier
(1528) sbb: “Saya tidak merasa senang apabila anggota istana bukan merupakan
seorang musisi.“2
Seperti pada periode sebelumnya, musisi pada periode ini bekerja di
gereja maupun istana. Anggota paduan suara kepausan di Roma yang semula
hanya berjumlah sepuluh orang pada tahun 1442 meningkat menjadi duapuluh
empat pada tahun 1483. Walaupun musik polifonik pada abad Pertengahan
biasanya dinyanyikan oleh beberapa orang solois, namun pada periode
Renaissans dinyanyikan oleh seluruh anggota paduan suara yang hanya terdiri
dari suara pria.
Gereja, raja, pangeran serta para bangsawan kaya merupakan patron
(pelindung) yang penting bagi para musisi terbaik pada periode ini. Sebuah
istana terkadang dapat mempekerjakan sepuluh hingga enambelas musisi,
termasuk penyanyi dan pemain instrumen musik. Para wanita pada akhir
periode Renaissans bekerja sebagai penyanyi virtuoso pada beberapa istana di
Italia.
Kebanyakan komponis terkemuka periode Renaissans berasal dari low
countries (negara-negara yang permukaan tanahnya lebih rendah dari
permukaan laut), misalnya Belanda, Belgia, dan Perancis bagian Utara.
Beberapa karakteristik musik Renaissans
a. Komponis Renaissans tertarik untuk menulis musik yang dapat
mengekspresikan arti dan emosi dari teks. Bila teks mengekspresikan
penderitaan, tangisan, ratapan dsbnya, maka harmoni yang digunakan
juga akan mengungkapkan kesedihan yang mendalam. Komponis periode
Renaissans juga sering menggunakan “word painting“ yang merupakan
sebuah representasi musikal dari gambaran puitik yang spesifik. Sebagai
contoh: frase “turun dari surga“ dapat digambarkan melalui pergerakan
melodik turun, sementara kata “berlari“ direpresentasikan melalui
serangkaian nada yang bergerak cepat.
b. Secara umum musik periode Renaissans bertekstur polifonik dan bersifat
linier.3 Sebuah komposisi koral polifonik biasanya terdiri dari empat,
lima, hingga enam suara yang masing-masing memiliki kedudukan yang
kurang lebih sama. Imitasi merupakan salah satu teknik yang lazim
digunakan dalam musik polifonik. Tekstur homofonik4 biasanya digunakan
pada musik yang berkarakter ringan semacam musik tarian.
Musik koral Renaissans tidak menggunakan iringan musik. Karena inilah
seringkali periode Renaissans disebut sebagai zaman keemasan dari
musik koral tanpa iringan (a cappella). Bila instrumen digunakan maka
biasanya hanya menduplikasi melodi vokal yang ada sehingga terdengar
lebih kuat, dan bukan bertujuan untuk mengiringi.
c. Musik Renaissans pada umumnya memiliki ritme yang lebih mengalir dan
bersifat tenang. Salah satu penyebabnya karena setiap garis melodik
memiliki kebebasan ritmik yang luarbiasa. Sebagai contoh bila seorang
penyanyi tengah memulai frase melodiknya, maka kemungkinan besar
penyanyi lainnya telah berada di tengah. Inilah sebabnya menyanyikan
komposisi Renaissans menyenangkan sekaligus menantang karena setiap
3
1
Staf pengajar musik pada Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
2
Roger Kamien, Music: An Appreciation, Fourth Brief Edition (New York, NY: McGraw-Hill
Companies, Inc., 2002), h. 76.
10 | www.indonesianchoral.net | Mei-Juni 2016
Tekstur polifonik merupakan penyajian dari dua atau lebih garis melodik yang masing-masing
memiliki daya tariknya sendiri.
4
Tekstur homofonik merupakan penyajian dari sebuah melodi utama yang diiringi oleh progresi
akor.
Mei-Juni 2016 | www.indonesianchoral.net | 11
penyanyi dituntut untuk mampu mempertahankan ritmenya masingmasing.
d. Komposisi koral Renaissans biasanya ditujukan untuk format paduan
suara kecil.
e. Frase melodik yang panjang dan halus.
f. Memiliki karakteristik vokal yang kuat.
g. Gaya musik melismatis (satu suku kata dinyanyikan dalam beberapa
nada).
h. Dua bentuk musik sakral periode Renaissans yang sering digunakan,
yaitu: motet dan misa. Keduanya memiliki kemiripan dalam hal gaya,
namun misa merupakan komposisi yang jauh lebih panjang. Motet
dipahami sebagai komposisi koral polifonik yang menggunakan teks
dalam bahasa Latin selain yang digunakan oleh misa ordinarium.
Sementara misa adalah komposisi koral polifonik yang terdiri dari lima
bagian, yaitu: Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, dan Agnus Dei.
Salah seorang komponis motet Renaissans yang terbesar adalah Josquin
Desprez (ca. 1440 – 1521). Desprez hidup pada masa Leonardo da Vinci dan
Christopher Columbus. Seperti kebanyakan komponis Flemish lainnya, ia
memiliki karir di kancah internasional. Josquin dilahirkan di propinsi Hainaut
(sekarang dikenal dengan Belgia), serta menghabiskan sebagian besar waktunya
di Italia. Di Italia ia bekerja di kapel-kapel para bangsawan maupun paduan
suara kepausan di Roma. Di kemudian hari ia bekerja pada Raja Louis XII dari
Perancis. Martin Luther memuji Josquin Desprez sebagai berikut: “Injil Tuhan
diwartakan juga melalui musik, dan hal ini dapat kita lihat melalui karya musik
Josquin, dimana seluruh karyanya bersifat ceria, tenang, lembut, dan manis.
Komposisi-komposisi ini mengalir dan bergerak tanpa dipaksa walaupun dibatasi
oleh peraturan-peraturan yang kaku dan keras, namun tetap terdengar seperti
nyanyian burung ketilang“5
Salah satu komposisi motet Josquin yang terkenal adalah Ave
Maria...Virgo Serena. Komposisi ini merupakan sebuah karya koral polifonik
untuk empat suara yang ditulis berdasarkan doa yang dipanjatkan bagi perawan
Maria. Bagian pembukaan menggunakan polifonik imitatif dengan frase melodik
pendek pada kata Ave Maria disajikan oleh sopran dan kemudian secara
berturut-turut diimitasi oleh alto, tenor, dan bas. Josquin secara trampil
melakukan variasi tekstur dalam motet ini, misalnya pada kata Ave, vera
virginitas berubah menjadi homofonik. Selain itu pada bagian ini juga terjadi
perubahan tanda sukat dari pola dua ke pola tiga. Tempo juga berubah menjadi
lebih hidup. Ave Maria berakhir dengan progresi akor yang bergerak lamban
yang sekaligus menggambarkan permohonan pribadi Josquin terhadap perawan
Maria.
Giovanni Pierlugi da Palestrina (ca. 1525 – 1594) dikenal sebagai
komponis Italia Renaissans yang terbesar. Ia mengabdikan sebagian besar
waktunya bagi gereja Katholik Roma terutama sebagai direktur musik di gereja
5
Roger Kamien, op. cit., h. 78.
12 | www.indonesianchoral.net | Mei-Juni 2016
St. Peter. Karya Palestrina meliputi seratus empat misa dan sekitar empat ratus
lima puluh karya sakrall. Palestrina merupakan salah satu tokoh penting musik
Katholik di balik pergerakan Kontra Reformasi. Dalam rangka menjawab kritik
yang masuk dari para tokoh gereja terhadap perkembangan musik gereja
Katholik, maka Konsili Trent pada akhirnya berfatwa bahwa musik gereja
haruslah bersifat tenang dan tidak memberikan kesenangan semu kepada
telinga, namun sebaliknya haruslah bersifat inspiratif terhadap kontemplasi
relijius.
Untuk menjawab tuntutan ini, maka Palestrina menggubah karya musik
sakral yang lebih tenang dan terkendali. Selama berabad-abad lamanya
pimpinan gereja menjadikan karya misa dari Palestrina sebagai model musik
gereja karena ketenangan dan memiliki kualitas “musik surgawi.“ Salah satu
misa yang ditulisnya adalah Pope Marcellus. Karya ini dipersembahkan kepada
Paus Marcellus II yang menjabat sangat singkat pada tahun 1555 tatkala
Palestrina menjadi penyanyi paduan suara kepausan. Komposisi ini ditulis untuk
paduan suara a cappella yang terdiri dari enam suara.
Bagian Kyrie bertekstur polifonik. Keenam suara saling mengimitasi satu
dengan lainnya secara bergantian. Melodi yang bergerak melengkung
mengingatkan pada karakter melodi chant Gregorian. Melodi ini bergerak
sangat halus dan mudah untuk dinyanyikan. Setiap lompatan interval kemudian
diikuti oleh pergerakan melangkah ke arah yang berlawanan.
Kyrie terdiri dari tiga bagian, yaitu:
• Kyrie eleison
Tuhan, bermurahlah kepada kami
• Christe eleison
Kristus, bermurahlah kepada kami
• Kyrie eleison
Tuhan, bermurahlah kepada kami
Berkaitan dengan warna suara pada musik periode Renaissans, para
pengabah dituntut untuk memahami bahwa paduan suara pada periode ini
sepenuhnya hanya terdiri dari penyanyi anak-anak dan pria, atau hanya pria.
Karena itu konsep tentang warna suara koral pada musik yang berasal dari
periode ini juga harus berangkat dari pemahaman mendasar ini, yaitu produksi
suara dengan sedikit atau samasekali tanpa menggunakan vibrasi. Selain itu
banyak komponis Renaissans yang membayangkan suara paduan suara seperti
halnya suara organ yang stabil. Dalam membawakan musik koral Renaissans,
paduan suara modern dapat memikirkan tentang kombinasi antara bariton atau
kontratenor yang bernyanyi dalam wilayah falsetto dengan alto. Perpaduan
keduanya dapat memperkaya serta menambah kedalaman kualitas bunyi secara
menyeluruh. Hal lain yang perlu diingat bahwa entah dalam membawakan misa
atau motet, bunyi yang dihasilkan bukanlah bersifat personal dan subjektif
melainkan sebagai pernyataan gereja secara umum.
Referensi:
Kamien, Roger. 2002. Music: An Appreciation. 4th brief edition. New York, NY:
The McGraw-Hill Companies.
Dunedin, 23 April 2016
Mei-Juni 2016 | www.indonesianchoral.net | 13
Download