KONSEP PERWALIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA

advertisement
KONSEP PERWALIAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PERDATA BARAT DAN HUKUM PERDATA ISLAM
(Studi Komparasi)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum Islam Jurusan Peradilan Agama
Pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar
Oleh:
NURSALAM RAHMATULLAH
NIM: 10100112031
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Nursalam Rahamatullah
NIM
: 10100112031
Tempat/Tgl. Lahir
: Poso, 17 Maret 1995
Jurusan
: Peradilan Agama
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Alamat
: Perum. Bumi Bosowa Blok A1/15 Minasa Upa, Makassar
Judul
:Konsep Perwalian Dalam Perspektif Hukum Perdata Barat dan
Hukum Perdata Islam (Studi Komparasi).
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini
benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka
skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, 29 Februari 2016
Penyusun,
NURSALAM RAHMATULLAH
NIM: 10100112031
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul, “Konsep Perwalian Dalam Perspektif Hukum Perdata
Barat dan Hukum Perdata Islam (Studi Komparasi)”, yang disusun oleh Nursalam
Rahmatullah, NIM: 10100112031, mahasiswa Jurusan Peradilan Agama pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan dipertahankan
dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Senin, tangggal 29
Februari 2016 M, bertepatan dengan 20 Jumadil Awal 1437 H, dinyatakan telah dapat
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu
Syariah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama (dengan beberapa perbaikan).
Makassar, 29 Februari
2016 M.
20 Jumadil Awal 1436 H.
DEWAN PENGUJI
Ketua
: Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag. (......................................)
Sekretaris
: Dr. Hj. Patimah, M.Ag.
(......................................)
Munaqisy I
: Dr. Supardin, M.Hi.
(......................................)
Munaqisy II
: Zulhas’ari Mustafa, S.Ag, M.Ag.
(......................................)
Pembimbing I : Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.
(......................................)
Pembimbing II: Istiqamah, S.H, M.H.
(......................................)
Diketahui oleh:
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar,
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
NIP: 19621016 199003 1 003
III
KATA PENGANTAR
‫ﺑِ ۡﺴ ِﻢ ٱ ﱠ ِ ٱﻟﺮ ۡﱠﺣ ٰ َﻤ ِﻦ ٱﻟ ﱠﺮ ِﺣ ِﯿﻢ‬
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta, atas izin-Nya jua, sehingga penulisan
skripsi dengan judul “Konsep Perwalian dalam Perspektif Hukum Perdata Barat
dan
Hukum Perdata Islam (Studi Komparasi)”, dapat terselesaikan.
Salawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw., sebagai
suri teladan terbaik sepanjang zaman, sosok pemimpin yang paling berpengaruh
sepanjang sejarah kepemimpinan, sosok yang mampu mengangkat derajat manusia
dari lembah kemaksiatan menuju alam yang mulia, yang dengannya manusia mampu
berhijrah dari satu masa yang tidak mengenal peradaban menuju kepada satu masa
yang berperadaban.
Disadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak dan selayaknya menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas
bantuan dan andil dari mereka semua, baik materil maupun moril. Untuk itu, terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.SI. selaku Rektor UIN Alauddin
Makassar;
2. Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum. Serta, para dosen/tenaga pengajar Fakultas Syari’ah dan
Hukum;
3. Bapak Dr. Supardin, M.HI, dan Ibu Dr. Hj. Fatimah, M.Ag., selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Peradilan Agama yang telah banyak meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan dan motivasi, serta tak lupa penulis
iv
v
menghaturkan terima kasih kepada Ibu Sri Hajati, SHi selaku Staf Jurusan
peradilan Agama;
4. Bapak Dr. H. Kasjim, S.H., M.Th.I. dan Ibu Istiqamah, S.H., M.H. selaku
pembimbing I dan II yang telah banyak mengarahkan dalam perampungan
penulisan skripsi ini;
5. Kedua orang tua penulis yang teramat mulia, ayahanda Rahmatullah dan
Ibunda St. Aminah yang telah mendidik serta, membesarkan penulis sehingga
dapat menapaki jenjang pendidikan Strata 1 (S1).
6. Rekan-rekan seperjuangan, mahasiswa (i) angkatan 2012 Jurusan Peradilan
Agama, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang telah bersama dengan
penulis menimba ilmu di negeri rantau, selama menapaki jenjang pendidikan
Strata 1 (S1) demi menggapai segenggam asa dan sebuah harapan di masa
depan.
Penulis menyadari sepenuhnya, karya kecil ini merupakan sebuah karya
sederhana yang sarat dengan kekurangan serta, jauh dari kesempurnaan. Kritik dan
saran sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan penulisan di masa mendatang.
Samata, 29 Februari 2016
Penulis
NURSALAM RAHMATULLAH
NIM: 10100112031
DAFTAR ISI
JUDUL ......................................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................................
ii
PENGESAHAN ........................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
iv
DAFTAR ISI .............................................................................................
vi
PEDOMAN TRASLITERASI..................................................................
viii
ABSTRAK ................................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1-12
A Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B Rumusan Masalah .......................................................................
7
C Pengertian Judul .........................................................................
7
D Kajian Pustaka.............................................................................
9
E Metodologi Penelitian ................................................................
10
F Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................
11
BAB II TINJAUAN UMUM PERWALIAN............................................
13-26
A Pengertian Perwalian .................................................................
13
B Sumber hukum perwalian dalam hukum perdata barat dan
hukum perdata Islam ..................................................................
24
C Macam-macam perwalian dalam hukum perdata barat dan
hukum perdata Islam ...................................................................
vi
24
vii
BAB III PERWALIAN DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS…….…...
27-42
A Al-Qur’an ....................................................................................
27
B Hadis ..........................................................................................
40
BAB IV PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PERDATA BARAT
DAN
HUKUM
PERDATA
ISLAM
TENTANG
PERWALIAN............ .................................................................
43-65
A. Konsep perwalian dalam hukum perdata barat ..........................
43
B. Konsep perwalian dalam hukum perdata Islam ..........................
50
C. Analisis perbandingan antara hukum perdata barat dan hukum
perdata Islam.................... ...........................................................
59
BAB V PENUTUP....................................................................................
66-67
A. KESIMPULAN...........................................................................
66
B. IMPLIKASI PENELITIAN........................................................
67
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
68-69
LAMPIRAN.............................................................................................. 70-103
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..................................................................
104
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Huruf Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
Nama
Huruf Latin
Nama
Alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ba
b
be
ta
t
te
sa
s
es (dengan titik di atas)
jim
j
je
ha
h
ha (dengan titk di bawah)
kha
kh
ka dan ha
dal
d
De
zal
z
zet (dengan titik di atas)
ra
r
Er
zai
z
Zet
sin
s
Es
syin
sy
es dan ye
sad
s
es (dengan titik di bawah)
dad
d
de (dengan titik di bawah)
ta
t
te (dengan titik di bawah)
za
z
zet (dengan titk di bawah)
‘ain
‘
apostrop terbalik
gain
g
Ge
fa
f
Ef
viii
ix
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
‫ء‬
‫ي‬
qaf
q
Qi
kaf
k
Ka
lam
l
El
mim
m
Em
nun
n
En
wau
w
We
ha
H
Ha
hamzah
,
Apostop
ya
Y
Ye
Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda
apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda ( ‘ ).
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tungggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut :
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
Fathah
a
A
Kasrah
i
I
Dammah
u
U
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat
dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu :
x
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
fathah dan ya
ai
a dan i
fathah dan wau
au
a dan u
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :
Harkat dan Huruf
Nama
Huruf dan Tanda
fathah dan alif
a
atau ya
kasrah dan ya
Nama
a dan garis di
atas
i
i dan garis di
atas
xi
dammah dan wau
u
u dan garis di
atas
4. Ta Marbutah
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua, yaitu: ta marbutah yang hidup atau
mendapat harkat fathah, kasrah, dan dammah, yang transliterasinya adalah [t].
ta marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun
Sedangkan
transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbutah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbutah itu transliterasinya dengan [h].
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydid (
), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
Jika huruf
kasrah
(‫ي‬
‫ي‬
ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
), maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (i).
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
‫( ﻻ‬alif
lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah Maupun huruf
qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang
xii
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-).
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrop (‘) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak
di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata,istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,istilah atau
kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa
Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi
ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari alQur’an), sunnah,khusus dan umum. Namun, bila kata-katatersebut menjadi
bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara
utuh.
9. Lafz al-Jalalah
(‫)ﷲ‬
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi tanpa huruf
hamzah.
Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz a-ljalalah,
ditransliterasi dengan huruf [t].
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan
huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku
xiii
(EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal
nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat.
Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang
tersebut menggunakan huruf kapital (AL-). Ketentuan yang sama juga berlaku
untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-,
baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,
CDK, dan DR).
ABSTRAK
Nama
NIM
Judul
: Nursalam Rahmatullah
: 10100112031
: Konsep Perwalian Dalam Perspektif Hukum Perdata Barat dan Hukum
Perdata Islam (Studi Komparasi)
Perwalian adalah salah satu permasalahan yang penting dikalangan
masyarakat Indonesia yang bertumpu pada hukum yang mengatur hubungan antara
perorangan yang disebut dengan hukum perdata, dengan melihat pertumbuhan kasuskasus penemuan bayi yang tidak memiliki orang tua, tentunya hukum yang berkaitan
dan mengatur hal-hal tersebut harus tersusun dengan rapi agar dapat menyelesaikan
hal-hal tersebut, walaupun di Negara Indonesia sudah ada aturan yang mengatur hal
tersebut, namun penulis merasa masih perlu diadakan penelitian hukum dengan
membandingkan aturan yang baru dengan aturan yang lama, agar penulis dapat
mengetahui apakah aturan yang berlaku sekarang memiliki nilai tambah dari aturan
yang sebelumnya atau sebaliknya.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan
yuridis normatif, yakni melihat objek yang dibahas dari sudut pandang peraturan
perundang-undangan dan hukum positif Indonesia. Penelitian ini tergolong library
research, data dikumpulkan dengan mengutip, menyadur dan menganalisis beberapa
literatur yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas serta
menyesuaikannya dengan dasar-dasar hukum perwalian yang terdapat dalam alQur’an dan Hadis dalam sebuah perbandingan.
Setelah mengadakan penelitian terhadap konsep perwalian dalam perspektif
hukum perdata barat yaitu KUH Perdata (BW) dan hukum perdata Islam yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam dapat ditarik kesimpulan yang menunjukkan bahwa hukum
perdata barat lebih luas mengatur ketentuan tentang perwalian jika dibandingkan
dengan hukum perdata Islam akan tetapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dalam penulisan skripsi ini dikategorikan
sebagai hukum perdata Islam lebih sesuai dengan Ideologi Negara Indonesia, yakni
Pancasila, yang memuat ketentuan untuk menghormati agama dan kepercayaan anak
yang berada dalam perwaliannya serta Kompilasi Hukum Islam yang memuat
ketentuan bahwa wali tidak hanya memberikan pendidikan melainkan juga bimbingan
agama yang mencerminkan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa
yang kemudian perbedaan konsep kedua hukum tersebut penulis bedakan ke dalam 6
bagian, yakni 1) Mengenai ketentuan umur, 2) Pengangkatan wali, 3) Kewajiban wali
terhdap diri anak, 4) Kewajiban wali terhadap harta anak, 5) Ketentuan perwalian
terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, dan 6) Ketentuan tentang perwalian
pengawas, perwalian oleh perkumpulan, yayasan, dan lembaga social, 7) Wali nikah.
Tentunya dengan adanya hasil dari penelitian yang dilakukan penulis dapat
menjadi pertimbangan ke depan dalam pembentukan hukum perdata di masa yang
akan datang terkhusus dalam bidang perwalian.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya Hukum Perdata yang selama ini kita kenal dan ketahui
merupakan serangkaian aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang
yang satu dengan yang lainnya. Dengan menitik beratkan kepada kepentingan
perseorangan saja, yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
yang dikenal dengan istilah BW. Begitu juga dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
atau disingkat dengan (KHI) yang pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi
pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan
oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu
dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.1
Maka dengan demikian bahwa baik itu, KUH Perdata (BW), Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam, tidak
akan terlepas pembahasannya mengenai perwalian, karena definisi daripada Hukum
Perdata tersebut yaitu hukum yang mengatur tentang kepentingan perseorangan dalam
hal keperdataan.
Oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang mengatur tentang
kepentingan perseorangan yang dikategorikan sebagai Hukum Perdata maka perlulah
sekiranya untuk diketahui konsep dari pada perwalian baik dari segi hukum perdata
barat maupun hukum perdata Islam. Selain alasan tersebut penulis juga merasa perlu
1
Muhammad Daud Ali, dkk, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet ke1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 1.
1
2
untuk mengkajinya lebih dalam, apakah hukum perdata Islam yakni UU RI No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur secara detail tentang ketentuanketentuan hukum yang berkaitan dengan hal perwalian, yang merupakan aturan baru
yang berlaku untuk lingkungan pengadilan agama dan pengadilan negeri, atau malah
sebaliknya, yang seharusnya aturan yang baru harus melengkapi ketentuan-ketentuan
yang tidak dimuat dalam aturan yang lama.
Penulis merasa penting untuk mengkaji hal tersebut karena pada dasarnya
perwalian merupakan hal penting bagi kelangsungan hidup seseorang khususnya anak
kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri
seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun dalam
mengurus keperluan hidupnya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih
belum bisa atau belum cakap dalam bertindak hukum. Oleh karena itu maka perlulah
adanya orang atau sekelompok orang yang dapat mengurus, memelihara dan
membimbing mereka demi keselamatan jiwa dan hartanya.
Dalam Hukum Islam Perwalian terbagi menjadi 3 macam, para Ulama
mengelompokkannya menjadi : a. Perwalian jiwa (diri pribadi); b. Perwalian harta;
c. Perwalian jiwa dan harta. Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap
bertindak dalam hukum, seperti orang gila yang termasuk dalam kategori perwalian
jiwa dan harta. Ini artinya si wali berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula
harta orang di bawah perwaliannya.2 Sebagaimana ayat yang difirmankan Alah Swt
dalam QS. al-Nisa/4: 5:
2
Susanti,
Konsep
Perwalian
Dalam
http://digilib.uinsby.ac.id/1347/5/Bab%202.pdf. (7 Juni 2015), h. 25.
Hukum
Islam,
3
ْ ُ‫ﻮا ٱﻟ ﱡﺴﻔَﮭَﺎٓ َء أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَ ُﻜ ُﻢ ٱﻟﱠﺘِﻲ َﺟ َﻌ َﻞ ٱ ﱠ ُ ﻟَ ُﻜﻢۡ ﻗِ ٰﯿَ ٗﻤﺎ َو ۡٱر ُزﻗُﻮھُﻢۡ ﻓِﯿﮭَﺎ َو ۡٱﻛﺴُﻮھُﻢۡ َوﻗُﻮﻟ‬
ْ ُ‫َو َﻻ ﺗُ ۡﺆﺗ‬
ۡ‫ﻮا ﻟَﮭُﻢ‬
ٗ ‫ﻗَ ۡﻮ ٗﻻ ﱠﻣ ۡﻌﺮ‬
٥ ‫ُوﻓﺎ‬
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.3
Berkata Ibnul Mundzir,’’Sebagian ulama-ulama di negeri-negeri Islam
berpendapat bahwa pembatasan itu dikenakan kepada setiap orang yang menghamburhamburkan hartanya, baik itu anak-anak ataupun orang dewasa4
Dengan kekhawatiran itulah perwalian menjadi sangat urgen bagi anak-anak
yang belum sempurna akalnya. Apalagi anak-anak yatim dan harta mereka umumnya
menimbulkan resiko.5 Oleh karena itu Islam memberikan perhatian khusus terhadap
perlindungan mereka melalui perwalian. Allah swt. berfirman dalam QS AlBaqarah/2: 220:
ۡ ِ‫ﻚ َﻋ ِﻦ ۡٱﻟﯿَ ٰﺘَ َﻤ ٰ ۖﻰ ﻗُ ۡﻞ إ‬
‫ ۖﺮ َوإِن ﺗُ َﺨﺎﻟِﻄُﻮھُﻢۡ ﻓَﺈ ِ ۡﺧ ٰ َﻮﻧُ ُﻜﻢۡۚ َوٱ ﱠ ُ ﯾَ ۡﻌﻠَ ُﻢ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﻔ ِﺴ َﺪ‬ٞ ‫ح ﻟﱠﮭُﻢۡ َﺧ ۡﯿ‬ٞ ‫ﺻ َﻼ‬
َ َ‫ۗ◌ َوﯾَ ۡﺴَٔﻠُﻮﻧ‬
ۡ ‫ِﻣﻦَ ۡٱﻟ ُﻤ‬
٢٢٠ ‫ﯿﻢ‬ٞ ‫َﺰﯾ ٌﺰ َﺣ ِﻜ‬
ِ ‫ﺢ َوﻟَ ۡﻮ َﺷﺎٓ َء ٱ ﱠ ُ َﻷَ ۡﻋﻨَﺘَ ُﻜﻢۡۚ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ﻋ‬
ِ ۚ ِ ‫ﺼﻠ‬
Terjemahnya:
Dan mereka berkata kepadamu tentang anak yatim , katakanlah: “menyelesaikan
urusan mereka secara patut merupakan kebaikan , dan jika kamu bergaul dengan
mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah Maha mengathui siapa yang
memebuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah
3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tejemah, (Jakarta: Al-Huda, 2002), h. 78.
4
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 14, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988). h. 204.
5
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 277.
4
menghendaki, niscaya Dia dapat melimpahkan kepadamu; sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.6
Hal tersebut juga dinyatakan oleh Hasyim7, yaitu perwalian terhadap anak
menurut hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan
perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam
bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta
memberi pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam
segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut
adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta
bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk
mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan
hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah
selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri
sendiri.
Adapun pengertian perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut: “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama
anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup tidak cakap
melakukan perbuatan hukum”.8
Dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya: pasal 1079
1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau
belum pernah melangsungkan perkawinan
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tejemah, h. 36.
7
Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh, di download dari
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. (27 Mei 2015).
8
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta; t.p, 2001), h. 1
9
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 31.
5
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
Perwalian juga memiliki peranan yang penting dalam hal perkawinan, selain
perwalian terhadap anak di bawah umur terdapat pula perwalian dalam hal perkawinan
yang masuk dalam kategori perwalian jiwa (diri pribadi) anak.
Sedangkan perwalian menurut KUH Perdata (Burgerlijk Weetboek) yakni
telah dibahas dalam pasal 331 dalam hukum keluarga “Perwalian adalah anak-anak
yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan
bimbingan dan oleh karena itu harus ditunjuk wali, yaitu orang-orang atau
perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.
Wali ditetapkan oleh hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum
meninggal: sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang mempunyai
pertalian darah dari si anak itu sendiri.
Sedangkan tentang arti perwalian menurut Peraturan Perundang-undangan
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan Hukum Perdata Nasional
yang pada penulisan skripsi ini dimasukkan ke dalam kategori Hukum Perdata Islam
yang berlaku saat ini adalah anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun, belum pernah melangsungkan pernikahan, yang tidak berada dalam kekuasaan
orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai peribadi anak
yang bersangkutan maupun harta benda.
Dari beberapa konsep perwalian tersebut, baik yang diambil dari konsep KUH
Perdata, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tentu memiliki persamaan sekaligus perbedaan konsep walaupun ada
salah satu dari peraturan tersebut yang sudah tidak diberlakukan lagi tetapi pernah
menjadi sumber hukum tentang perwalian di Negara Republik Indonesia.
6
Dengan demikian banyak hal yang perlu diketahui sebagai seorang warga
Negara Indonesia dan sudah semestinya mengetahui dan memahami mengenai
hukum yang diterapkan di negara Indonesia ini, terutama mengenai hukum perdata,
lebih lebih mengenai ketentuan tentang perwalian karena perwalian ini menyangkut
masalah yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan. Walaupun dalam
kenyataannya bahwa hukum perdata barat yang mengatur tentang perwalian sudah
tidak berlaku lagi, salah satunya ketentuan tentang umur 21 tahun untuk usia anak di
bawah umur yang tercantum dalam pasal 330 KUH Perdata, yang tergantikan dengan
usia 18 tahun yang tercantum dalam pasal 50 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang diwarnai dengan Hukum Islam, tapi perlu digaris bawahi, bahwa
setelah adanya peraturan yang baru kita harus mengetahui ketentuan-ketentuan apa
saja yang mengalami perubahan dalam bagian perwalian. Maka perlulah untuk dikaji
dan ditelaah kembali, agar masyarakat dapat memahami kedua konsep hukum
tersebut.
Adapun hal yang ingin penulis kaji dalam penelitian ini adalah perbandingan
hukumnya, antara Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Islam, dalam masalah
Perwalian. Selain itu juga peneliti berkeinginan untuk memahami secara mendalam
kedua model Hukum tersebut baik itu pengertianya, kedudukan hukumnya, dan hal-hal
yang berhubungan dengan perwalian. Sehingga dengan demikian maka masalah
perwalian dapat penulis ketahui dengan jelas. Disamping itu juga bermanfaat bagi
masyarakat luas, yang ingin mengetahui masalah wali dalam hukum perdata, baik
dalam KUH Perdata (BW), Kompilasi Hukum Islam maupun dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Karena inilah salah satu dari tujuan
penelitian ini.
7
Selain itu, salah satu masalah yang perlu diperhatikan oleh masyarakat adalah
bagaimana kedudukan hukum anak-anak yang terlantar dengan berkaca terhadap
kasus-kasus yang marak terjadi yaitu tentang penemuan bayi-bayi yang diterlantarkan
oleh orang tuanya.
Oleh sebab itu mengingat betapa urgensinya permasalahan tersebut untuk
dikaji dan diteliti lebih dalam bagi si peneliti maupun bagi masyarakat umum. Maka
penulis akan membahasnya melalui penulisan Skripsi ini dengan judul Konsep
Perwalian dalam persepektif Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Islam ( Studi
Komparasi).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penyusun kemukakan, maka pokok
permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini yaitu berkaitan dengan bagaimana
Konsep Perwalian dalam persepektif Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Islam
(Studi Komparasi). Agar masalah tersebut dapat dipahami dengan mudah dan jelas,
maka penyusun membaginya dalam sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep perwalian dalam Hukum Perdata Barat?
2. Bagaimana konsep perwalian dalam Hukum Perdata Islam ?
3. Bagaimana analisis perbandingan antara Hukum Perdata Barat dengan Hukum
Perdata Islam tentang Perwalian?
C. Pengertian Judul
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan penafsiran pembaca terhadap istilah
teknis yang terkandung dalam judul skripsi ini, maka penulis menjelaskan beberapa
istilah dalam judul ini sebagai berikut:
8
1. “Perwalian” dalam konteks hukum dan kajian ini adalah perwalian
sebagaimana terdapat dalam pasal 50-54 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 107112 Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang menyatakan bahwa perwalian
adalah “ sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi
kepentingan atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak
mampu melakukan perbuatan hukum.10 Sedangkan Amin Summa dalam
bukunya “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam “ mengatakan bahwa
perwalian ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara
langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bertanggung (terikat)
atas izin orang lain.11
2. “Hukum Perdata Islam” adalah sebagian hukum islam yang telah berlaku
secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia,
yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini
menjadi hukum berdasarkan atau karena ditunjuk oleh Peraturan Perundangundangan .12
3. “Hukum Perdata Barat” adalah hukum warisan belanda yang berasal dari code
civil yang konsepnya sebenarnya berasal dari kerajaan romawi, yaitu corpus
luris civilis yaitu hukum perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang
perseorangan yang satu terhadap yang lainnya dari dalam hubungan
10
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 31.
11
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dalam Dunia Islam. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 134.
12
Muhammad Daud Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009). h. 5.
9
kekeluargaan dan didalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya
diserahkan kepada masing-masing pihak13
D. Kajian Pustaka
Dalam skripsi ini penulis menggunakan beberapa literatur yang masih
berkaitan dengan pembahasan yang dimaksud, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Sayyid Sabiq, 1988, Buku fikih sunnah Jilid 14 yang membahas tentang dasar
hukum peradilan, dakwaan dan bukti, ikrar, wakaf, hibah, al-hajru
(pembatasan) yang meliputi pembatasan terhadap anak di bawah umur, wasiat,
faraidh.
2. Muhammad Amin Summa, 2005, Buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam
yang yang membahas hukum-hukum keluarga yang antaranya hukum
perkawinan, talak, rujuk, iddah.
3. Ali Afandi, 2002, Buku hukum waris, hukum keluarga, hukum pembuktian,
yang memuat hukum-hukum tentang keluarga yang menyangkut masalah
perwalian.
4. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum, 1999, Buku aneka masalah
hukum perdata Islam di Indonesia yang membahas tentang hukum perkawinan
di indonesia, masalah pengakuan anak dalam hukum Islam dan hubungannya
dengan kewenangan peradilan agama, dan beberapa masalah lain tentang
waris, hibah dan wasiat.
13
Titik Triwulan Tutik, SH., MH, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006), h. 2.
10
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa tidak
ada satupun yang membahas mengenai masalah perwalian secara rinci, maka daripada
itu saya sebagai penulis merasa perlu untuk mengkaji hal ini lebih jauh yang akan di
bentuk menjadi karya tulis ilmiah atau skripsi.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis sesuai dengan judul
skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan jenis penelitian
deskriptif kualitatif .
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah pendekatan
yuridis normatif, yakni melihat objek yang dibahas dari sudut pandang peraturan
perundang-undangan, hukum positif Indonesia dan syari’at Islam.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini data dikumpulkan dengan cara mengutip,
menyadur dan menganalisis beberapa literatur yang memiliki relevansi dengan
masalah yang dibahas yakni, konsep perwalian dalam perspektif hukum perdata barat
dan hukum perdata Islam, serta menyesuaikannya dengan dasar-dasar hukum
perwalian yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis dalam sebuah perbandingan.
4. Instrumen penelitian
Adapun alat-alat yang menjadi pendukung penelitian ini adalah:
a. Buku catatan, yang digunakan penulis sebagai media untuk mencatat beberapa
literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.
11
b. Alat tulis, seperti pensil dan pulpen sebagai media tulis yang digunakan oleh
penulis untuk menulis/menyalin beberaapa literatur yang berkaitan dengan
penelitian.
c. Notebook, yang merupakan instrumen paling penting dalam proses penelitian ini,
mengingat kegunaannya yang multifungsi. Oleh penulis notebook digunakan
sebagai media untuk mengolah analisis data.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Adapun teknik pengolahan dan analisis data yang penulis maksud meliputi,
editing, klasifikasi, verifikasi, dan kesimpulan.
Editing
: Melihat data yang memiliki kejelaksan makna, kesesuaian, dan
relevansi dengan data yang lain.
Klasifikasi
: Pengelompokan data/sumber data yang berkaitan dengan objek
yang dibahas dari berbagai referensi dan literatur yang berkaitan.
Verifikasi
: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data/sumber data yang
diperoleh untuk menentukan keshahihan data yang telah diperoleh.
Kesimpulan : Meramu data/sumber data yang telah didapat untuk mendapat
jawaban atas permasalahan yang dibahas.
F. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsep perwalian dalam perspektif hukum perdata barat (BW).
b. Untuk mengetahui konsep perwalian dalam perspektif hukum perdata Islam.
c. Untuk mengetahui perbandingan antara huksum perdata barat (BW) dan hukum
perdata Islam tentang perwalian.
12
2. Kegunaan penelitian
a. Ilmiah
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya hukum perkawinan di Indonesia dalam perspektif
Islam.
b. Praktis
Penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak yang
terkait dalam menangani masalah hukum perkawinan di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERWALIAN
A. Pengertian Perwalian
Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong yang
mencintai.1 Perwalian dalam istilah bahasa juga memiliki beberapa arti, diantaranya
adalah kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya. Kata ini berasal
dari bahasa Arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literatur
fiqih Islam, perwalian disebut dengan al-walayah (alwilayah), (orang yang mengurus
atau yang mengusai sesuatu), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan
ad-dilalah. Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti, di antaranya adalah cinta
(al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) dan juga berarti kekuasaan atau otoritas
(as-saltah wa-alqudrah) seperti dalam ungkapan al-wali, yakni “orang yang
mempunyai kekuasaan”. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah “tawalliy alamr”, (mengurus atau menguasai sesuatu). 2
Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah, yang berarti penguasaan dan
perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqh ialah penguasaan penuh yang
diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau
barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.3 Untuk memperjelas
tentang pengertian perwalian, maka penulis memaparkan beberapa arti antara lain:
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren AlMunawir, 1984 ), h. 1960.
2
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 134-135.
3
Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, (Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawian), (Yogyakarta: liberty, 1986), h. 41.
13
14
a. Perwalian yang berasal dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku
pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum
dewasa atau belum akil baligh dan melakukan perbuatan hukum.4
b. Dalam Kamus praktis bahasa Indonesia, wali berarti orang yang menurut hukum
(agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum
anak itu dewasa atau pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah ( yaitu
orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki ).5
c. Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya” Fiqih Imam Ja’far Shadiq” AlWalayah (posisi sebgai wali, selanjutnya disebut sebagai perwalian) dalam
pernikahan adalah hak kuasa syar’i, yang diberikan kepada seseorang
yang
memiliki kekurangan dan kembalinya kemaslahatan kepadanya.6
d. Amin Suma mengatakan dalam bukunya “Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam” perwalian ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk
secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung
(terikat) atas izin orang lain.7
e. Sayyid Sabiq mengatakan, Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya
menurut beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah
yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.8
4
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 60.
5
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 176.
6
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq 3, cet. Ke-1, (Jakarta: Lentera,
2009), h. 343.
7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 134.
8
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, h. 7.
15
f. Menurut Dedi Junaedi, Perwalian dalam Islam dibagi kedalam dua kategori
yaitu: Perwalian umum biasanya mencakup kepentingan bersama (Bangsa atau
rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti Gubernur) dan sebagainya, sedangkan
perwalian khusus adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti
terhadap anak yatim.”9Perwalian khusus yaitu meliputi perwalian terhadap diri
pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya.
g. Menurut Ali Afandi, Perwalian adalah pengawasan pribadi dan pengurusan
terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang
tuanya telah bercerai atau salah satu dari mereka atau semuanya meninggal
dunia, ia berada dibawah perwalian.10
Dengan demikian pada intinya perwalian adalah pengawasan atas orang
sebagaimana diatur dalam Undang-undang, dan pengelolaan barang-barang dari anak
yang belum dewasa (pupil).11 Demikian juga dengan penguasaan dan perlindungan
terhadap seseorang sebagai wali, orang tersebut mempunyai hubungan hukum dengan
orang yang dikuasai dan dilindungi, anak-anaknya atau orang lain selain orang tua
yang telah disahkan oleh hukum untuk bertindak sebagai wali.
Oleh karena itu perwalian tersebut adalah suatu kewenangan yang diberikan
kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
9
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Cet ke-1, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), h.
104.
10
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta,
1997 ), h. 156.
11
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), h. 150.
16
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang
tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Perwalian menurut hukum Islam (fiqih) merupakan tanggung jawab orang tua
terhadap anak. Dalam hukum Islam diatur dalam (hadlanah), yang diartikan “
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan, atau
yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, dan menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawabnya.12 Dalam hal ini, kedua orang tua wajib memelihara
anaknya, baik pemeliharaan mengenai jasmani maupun rohaninya. Keduannya
bertanggung jawab penuh mengenai perawatan, pemeliharaan, pendidikan, akhlak,
dan agama anaknya.
Penguasaan dan perlindungan terhadap orang dan benda, bahwa seseorang
(wali) berhak menguasai dan melindungi satu barang, sehingga orang yang
bersangkutan mempunyai hukum dengan benda tersebut, misalnya benda miliknya
atau hak milik orang lain yang telah diserahterimakan secara umum kepadanya. Jadi,
ia melakukan penguasaan dan perlindungan atas barang tersebut ialah sah hukumnya.
Adapun yang dimaksudkan dengan perwalian dalam terminologi para Fuqaha
(pakar hukum Islam) seperti di formulasikan Wahbah Al- Zuhayli ialah “kekuasaan
atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu
tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atau seizin orang lain.”Orang yang
mengurusi atau menguasai sesuatu (akad/transaksi), disebut wali seperti dalam
penggalan ayat: fal-yumlil waliyyuhu bil-adli. Kata al-waliyyu muannatsnya al-
12
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, h. 173.
17
waliyyah dan jamaknya al-awliya, berasal dari kata wala-yali-walyan-wa-walayatan,
secara harfiah berarti yang mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu,
pengikut, pengasuh dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang.13
Masalah perwalian anak tidak lepas dari suatu perkawinan, karena dari
hubungan perkawinanlah lahirnya anak dan bila pada suatu ketika terjadi perceraian,
salah satu orang tua atau keduanya meninggal dunia, maka dalam hal ini akan timbul
masalah perwalian, dan anak-anak akan berada dibawah lembaga perwalian. Wali
merupakan orang yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap kepentingan anakanak tersebut baik mengenai diri si anak maupun harta benda milik anak tersebut.
Sebelum perwalian timbul, maka anak anak berada dibawah kekuasaan orang
tua, yang merupakan kekuasaan yang dilakukan oleh ayah atau ibu, selama ayah atau
ibu masih terikat dalam perkawinan. Kekuasaan itu biasanya dilakukan oleh si ayah,
namun jika si ayah berada diluar kemungkinan untuk melakukan kekuasaan tersebut
maka si ibu yang menjadi wali. Pada umumnya, kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak yang belum dewasa, meskipun orang tua dari anak yang
belum dewasa tersebut kehilangan hak menyelenggarakan kekuasaan orang tua atau
menjadi wali, hal itu tidak membebaskan orang tua si anak dari kewajiban untuk
memberikan tunjangan untuk membayar pemeliharaan atau pendidikannya sampai
anak tersebut menjadi dewasa. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 9 dan 10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, yaitu:
13
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 135.
18
Pasal 9
Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas
terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun social.
Pasal 10
1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya sebagaimana
termaksud dalam pasal 9, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa
asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk
orang atau badan sebagai wali.
2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban
orang tua yang bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan
kemampuannya, penghidupan dan pemeliharan, dan pendidikan
anaknya.14
Menurut hukum Islam “perwalian” terbagi dalam tiga kelompok. Para ulama
mengelompokan:
a. Perwalian terhadap jiwa ( Al-walayah ‘alan-nafs );
b. Perwalian terhadap harta (Al-walayah ‘alal-mal);
c. Perwalian terhadap jiwa dan harta (Al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma’an).15
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan-nafs, yaitu
perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang
berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan
dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak
kepengawasan pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang
lain. Perwalian terhadap harta ialah perwallian yang berhubungan dengan ihwal
pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan, pemeliharaan (pengawasan)
14
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang PERADILAN ANAK, Cet ke-6, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h. 55.
15
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 135.
19
dan pembelanjaan. Adapun perwalian terhadap jiwa dan harta ialah perwalian yang
meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan, dan hanya berada ditangan ayah
dan kakek.16
Adapun pengertian perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
sebagai berikut: “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas
nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup tidak
cakap melakukan perbuatan hukum”,
17
yang Pada dasarnya merupakan kekuasaan
yang diberikan kepada seseorang untuk mewakili anak yang belum dewasa dalam
melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan kebaikan si anak, yang meliputi
perwalian terhadap diri juga harta kekayaanya. Selain perwalian terhadap anak kecil
terdapat juga wali orang gila dan safih yang dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Anak Kecil
Anak kecil ini tidak sah tindakannya kecuali bila memenuhi dua syarat:
1) Telah mencapai usia dewasa.
2) Mempunyai kecerdasan dalam mempergunakan harta.
Allah swt. berfirman dalam QS. al-Nisa/4: 6:
16
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 136.
17
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, h. 31.
20
ْ ُ‫َو ۡٱﺑﺘَﻠ‬
ْ ‫ﻮا ۡٱﻟﯿَ ٰﺘَ َﻤ ٰﻰ َﺣﺘﱠ ٰ ٓﻰ إِ َذا ﺑَﻠَ ُﻐ‬
‫ﻮا ٱﻟﻨﱢ َﻜﺎ َح ﻓَﺈ ِ ۡن َءاﻧَ ۡﺴﺘُﻢ ﱢﻣ ۡﻨﮭُﻢۡ ر ُۡﺷ ٗﺪا ﻓَ ۡﭑدﻓَﻌ ُٓﻮ ْا إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢۡۖ َو َﻻ‬
ۚ
ۡ
ۖ ۡ ِ‫ُوا َوﻣﻦ َﻛﺎنَ َﻏﻨِ ٗﯿّﺎ ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺴﺘَ ۡﻌﻔ‬
ٗ ِ‫ﻒ َو َﻣﻦ َﻛﺎنَ ﻓَﻘ‬
‫ﯿﺮا ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺄ ُﻛ ۡﻞ‬
َ ْ ‫ﺗَﺄ ُﻛﻠُﻮھَﺎٓ إِ ۡﺳ َﺮ ٗاﻓﺎ َوﺑِﺪَارًا أَن ﯾَ ۡﻜﺒَﺮ‬
ْ ‫ُوف ﻓَﺈ ِ َذا َدﻓَ ۡﻌﺘُﻢۡ إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢۡ ﻓَﺄ َ ۡﺷ ِﮭ ُﺪ‬
٦ ‫وا َﻋﻠَ ۡﯿ ِﮭﻢۡۚ َو َﻛﻔَ ٰﻰ ﺑِﭑ ﱠ ِ َﺣ ِﺴﯿﺒٗ ﺎ‬
ِ ۚ ‫ﺑِ ۡﭑﻟ َﻤ ۡﻌﺮ‬
Terjemahnya:
Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta mereka……)18
Ayat ini turun mengenai Tsabit bin Rifa’ah dan pamannya; yaitu bahwa
Rifa’ah telah meninggal dunia, sedang dia meninggalkan seorang anak lelaki yang
masih kecil (namanya Tsabit). Lalu paman Tsabit ini datang kepada Nabi saw.
Katanya: sesungguhnya aku memelihara anak yatim; maka apakah yang halal bagiku
dari hartanya, dan kapan aku menyerahkan hartanya kepadanya? Maka Allah swt.
menurunkan ayat ini.19
Adapun tentang perwaliannya para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak
kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali
menurut pendapat sebagian ulama Syafi‟i.20
Selanjutnya, para ulama mazhab berbeda pendapat tentang wali yang bukan
ayah.
Hambali dan Maliki mengatakan: Wali sesudah ayah adalah orang yang
menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak mempunyai orang yang di wasiati,
maka perwalian jatuh ke tangan hakim syar’iy. Sedangkan kakek, sama sekali tidak
18
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77.
19
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, h. 206-207.
20
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja;fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali ), h. 693.
21
punya hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak bisa mempercayai
posisi ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah sudah seperti itu, maka apa lagi
kakek dari pihak ibu.
Hanafi mengatakan: Para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima
wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima
wasiat darinya, dan kalau tidak ada, maka perwalian jatuh ke tangan qadhi.
Syafi‟i mengatakan: perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek
kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya, kepada penerima wasiat
kakek, dan sesudah itu kepada qadhi.
Imamiyah mengatakan: perwalian, pertama-tama berada ditangan ayah dan
kakek (dari pihak ayah) dalam derajat yang sama, di mana masing- masing mereka
berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang lain. Yang
mana saja di antara keduanya yang lebih dulu bertindak sebagai wali maka dialah
yang dinyatakan sebagai wali anak itu, sepanjang dia bisa melaksanakan
kewajibannya. Apabila mereka berdua saling berebut menjadi wali si anak, maka
yang di dahulukan adalah perwalian kakek. Sedangkan bila masing-masing mereka
bertindak dalam bentuk yang bertentangan satu sama lain, maka yang di dahulukan
adalah tindakan yang lebih dulu, sedangkan yang terkemudian dianggap tidak
berlaku. Akan tetapi bila terjadi bersamaan, maka yang di dahulukan adalah kakek.
Sedangkan bila tidak ada ayah dan kakek, perwalian jatuh ke tangan orang yang
menerima wasiat dari seorang diantara keduanya. Dalam hal ini kakek di dahulukan
22
dari penerima wasiat ayah. Bila tidak ada ayah, kakek, dan tidak pula terdapat
penerima wasiat kedua orang tersebut, perwalian jatuh ke tangan hakim syar’iy.21
Para ulama mazhab juga sepakat bahwa, anak kecil juga dilarang
menggunakan hartanya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang pembelanjaan harta
yang dilakukan anak yang pandai, kalau akad sudah sempurna dan usia baligh sudah
tiba, maka anak tersebut dianggap telah dewasa, sehingga semua tindakannya dalam
menggunakan harta dinyatakan berlaku.
Imamiyah dan Syafi’I mengatakan: apabila seorang anak telah mencapai usia
sepuluh tahun, maka wasiatnya dalam hal kebajikan dan kebaikan, dinyatakan sah.
Tanggungan
Apabila seorang gila atau anak kecil membuat kerusakan atau menghabiskan
harta milik orang lain tanpa izin pemiliknya, maka mereka berdua wajib memberikan
tanggungan (pengganti). Sebab tanggungan seperti itu merupakan hukum positif (alahkam wadh’iah), dimana orang yang dikenai hukum tidak diharuskan berakal dan
baligh. Kalau mereka berdua mempunyai
harta yang berada ditangan wali-nya
masing-masing, maka penggantian tersebut dimintakan dari harta mereka tersebut.
Sedangkan bila mereka tidak mempunyai harta, maka pemilik harta yang dihabiskan
tersebut harus menunggu hingga orang gila teresbut sembuh, dan anak kecil tadi
menjadi dewasa. Baru sesudah itu, dia menuntut haknya.22
21
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja;fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali), h. 693-694.
22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hambali, Idrus Al-Kaff, h. 684.
23
2. Orang Gila
Hukum orang gila persis dengan anak kecil, dan dikalangan ulama mazhab
terdapat kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil
maupun sesudah baligh dan mengerti. Berbeda dari pendapat di atas, adalah pendapat
segolongan mazhab Imamiyah, yang membedakan antara orang-orang gila sejak kecil
dengan orang-orang yang gila sesudah mereka menginjak dewasa dan mengerti. Para
ulama mazhab Imamiya mengatakan: perwalian ayah dan kakek berlaku atas orang
gila jenis pertama, sedangkan orang gila yang tergolong jenis kedua, perwaliannya
berada di tangan hakim.23
3. Anak Safih
Imamiyah, Hambali dan Hanafi sepakat bahwa apabila seorang anak kecil
telah menginjak baligh dalam keadaan mengerti lalu terkena ke-safih-an (idiot), maka
perwaliannya berada di tangan hakim, tidak ada ayah dan kakek, apalagi pada orangorang yang menerima wasiat dari mereka berdua.24
Sementara itu imam Syafi’I tidak membuat perbedaan antara perwalian atas
anak kecil, orang gila dan safih, dan tidak pula antara ke-safihan yang terjadi
semenjak kecil dengan yang muncul sesudah baligh dan mengerti.25
23
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja;fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali ), h. 694-695.
24
Abd. Rahman ghazaly, Fiqh Munakahat, Cet ke-1 (Bogor: Kencana, 2003), h. 166-169.
25
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hambali, Idrus Al-Kaff, h. 696.
24
B. Sumber Hukum Tentang Perwalian Dalam Hukum Perdata Barat Dan
Hukum Perdata Islam
1. Sumber Hukum Perwalian Dalam Hukum Perdata Barat.
Ketentuan perwalian dalam Hukum Perdata Barat dimuat dalam Pasal 330418 KEBELUMDEWASAAN DAN PERWALIAN Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
2. Sumber Hukum Perwalian Dalam Hukum Perdata Islam
a. Pasal 50-54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
b. Pasal 19-23 (wali nkah) dan Pasal 107-112 (perwalian anak di bawah umur)
Kompilasi Hukum Islam
C. Macam-Macam Perwalian Dalam Hukum Perdata Barat Dan Hukum Perdata
Islam
1. Macam-macam perwalian dalam hukum perdata barat (KUH Perdata)
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
1) Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345-354
KUH Perdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan:
" Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian
terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh
orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat
dari kekuasaan orang tuanya."26
Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami-istri yang hidup
terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang.
26
Niniek Suparni, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), h. 98.
25
Jadi, bila ayah -setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah
maka si-lbu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
2) Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri.
Pasal 355 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa:
" Orang tua masing-masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau
perwalian atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas
anak itu apabila sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang
tua yang lain baik dengan sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti
termasuk dalam pasal 353 ayat 5 KUH Perdata.27
Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau
memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut
memang masih terbuka.
3) Perwalian yang diangkat oleh hakim.
Pasal 359 KUH Perdata menentukan:
" Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang
diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan.28
2. Macam-Macam Perwalian dalam Hukum Perdata Islam.
Dalam Hukum Perdata Islam hanya terdapat dua macam perwalian, yang
pertama adalah perwalian berdasarkan wasiat yang dilakukan oleh salah satu dari
kedua orang tua yang termasuk dalam perwalian bagi anak di bawah umur
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 51 ayat kesatu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa:
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2
(dua) orang saksi.29
27
Niniek Suparni, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), h.102.
28
Niniek Suparni, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), h. 103.
26
Diperkuat dengan Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk
melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia
meninggal dunia.30
dan yang kedua adalah wali nikah, yang dijelaskan dalam pasal 19 KHI,
bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.31
29
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 533.
30
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, h. 31.
31
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, h. 6.
BAB III
PERWALIAN DALAM AL-QURAN DAN HADIS
A. Al-Quran
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyinggung permasalahan
tentang perwalian antara lain dalam QS al-Nisa/4: 5:
ْ ُ‫ﻮا ٱﻟ ﱡﺴﻔَﮭَﺎٓ َء أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَ ُﻜ ُﻢ ٱﻟﱠﺘِﻲ َﺟ َﻌ َﻞ ٱ ﱠ ُ ﻟَ ُﻜﻢۡ ﻗِ ٰﯿَ ٗﻤﺎ َو ۡٱر ُزﻗُﻮھُﻢۡ ﻓِﯿﮭَﺎ َو ۡٱﻛﺴُﻮھُﻢۡ َوﻗُﻮﻟ‬
ْ ُ‫َو َﻻ ﺗُ ۡﺆﺗ‬
ۡ‫ﻮا ﻟَﮭُﻢ‬
ٗ ‫ﻗَ ۡﻮ ٗﻻ ﱠﻣ ۡﻌﺮ‬
٥ ‫ُوﻓﺎ‬
Terjemahnya:
dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.1
Allah swt melarang memberikan wewenang kepada orang-orang yang lemah
akalnya dalam mengelola keuangan yang dijadikan Allah swt sebagai sumber
penghidupan. Artinya, dengan pengelolaan harta tersebut kehidupan mereka menjadi
tegak (berkesinambungan) seperti dikelola untuk perdagangan atau yang lainnya.
Dari sinilah diambil hukum, bahwa pelimpahan wewenang dalam pengelolaan harta
terhadap orang-orang safih (yang belum sempurna akalnya) harus ditangguhkan.
Penangguhan itu sendiri memiliki berbagai bentuk. Ada penangguhan untuk
anak-anak (karena belum cukup umur). Hal ini karena anak-anak itu tidak dapat
dipertangungjawabkan perkataannya. Ada pula penangguhan disebabkan pailit, yaitu
apabila utang-piutangnya telah melilitnya, sedangkan harta yang dimiliki tidak dapat
menutupi pembayarannya. Sehingga, disaat para kreditur (yang memberikan
1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78.
27
28
pinjaman) memita hakim untuk menyita harta tersebut, niscaya hakim pun akan
melakukan penyitaan.2
Kalimat “yang belum sempurna akalnya” hal ini memang dialamatkan kepada
anak yatim, tetapi ungkapannya umum sekali, dan menetapkan dasar-dasar seperti
mereka yang berada di bawah chancery (mahkamah tinggi) dalam Undang-Undang
Inggris atau court of words (dibawah perwalian) dalam Undang-Undang India. Harta
itu tidak saja menjadi haknya, tetapi juga menjadi tanggung jawabnya. Mungkin si
pemilik tidak bertindak sebagaimana mestinya apa yang sebenarnya dikehendaki;
haknya itu dibatasi demi kebaikan masyarakat umumnya yang dia sendiri salah
seorang anggotanya, dan bila dia tidak mampu mengatasi hal itu maka
kepengawasannya
harus dialihkan. Ini tidak berarti dia dapat diperlakukan
sewenang-wenang. Sebaliknya segala kepentingannya harus tetap dilindungi, dan
justru karena ketidakmampuannya itu dia harus diperlakukan dengan cara yang lebih
bijaksana.3
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra tentang firman Allah swt:
(‫“ )وﻻ ﺗﻮﺗﻮا اﻟﺴﻔﮭﺎء اﻣﻮاﻟﻜﻢ‬Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaannmu),”ia
berkata: “mereka adalah anak-anak dan kaum wanita.”4 Demikian pula yang
dikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra.
2
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2006), h. 425-426.
3
Abdullah yusuf ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirannya JUZ I s/d XV, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), h. 179.
4
Ath- Thabari (VII/563) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 2, h. 426.
29
Al-Hakam bin ‘Uyainah, al-Hasan dan adh-Dahhak mengatakan: “Mereka adalah
anak-anak yatim.”5
Adapun Mujahid, ‘Ikrimah dan Qatadah mengatakan: “Mereka adalah kaum
wanita.6
Sedangkan kata “harta kamu; pada dasarnya semua harta menjadi milik
masyarakat, dan dimaksudkan untuk menunjang kamu juga, yakni masyarakat. Harta
itu harus dipegang oleh orang yang tahu benar arti amanat. Kalau dia tidak mampu,
dikeluarkan, tetapi dengan baik-baik dan bijaksana. Sementara ia masih belum
mampu melakukan segala tugas dan tanggung jawab akan beralih kepada walinya
yang bahkan akan lebh ketat daripada ketika ditangan pemilik aslinya; sebab dia
tidak boleh mengambil keuntungan apapun untuk dirinya sendiri, kecuali ia memang
orang yang tidak mampu, dan dalam keadaan yang demikian
upah yang akan
diterima atas jerih payahnya harus dalam ukuran yang tidak lebih daripada sekedar
pantas dan masuk akal. 7
Anda masih ingat ayat pertama surah ini yang dimulai dengan wahai seluruh
manusia? Maka dapat dipahami bahwa ayat ini pun berarti ditujukan juga kepada
mereka. Karena itu pula, walaupun ayat ini pada dasarnya melarang para wali
memberi kepada orang-orang yang tidak mampu mengelola harta mereka, tetapi
redaksi yang digunakan ayat ini dalam
(‫)اﻣﻮاﻟﻜﻢ‬
amwalakum harta kamu, itu untuk
menunjukkan bahwa harta mereka atau harta siapapun sebenarnya merupakan “milik”
55
Ath-Thabari (VII/563) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 2, h. 426.
6
Ath-Thabari (VII/564) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 2, h. 426.
7
Abdullah Yusuf Ali , Qur’an Terjemahan dan Tafsirannya JUZ I s/d XV, h. 179.
30
bersama, dalam arti ini ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Yang
membeli sesuatu dengan harta ini mendapatkan untung, demikian juga penjual,
demikian pula penyewa dan yang menyewakan barang, penyedekah dan penerima
sedekah, dan lain-lain. Semua hendaknya meraih keuntungan, karena harta itu “milik”
manusia sekalian, dan dia telah dijadikan Allah
(‫)ﻗﯿﺎﻣﺎ‬,
yakni sebagai pokok
kehidupan.
Apabila harta berkurang dalam suatu masyarakat, maka kebutuhan hidup
mereka pasti serba kekurangan pula. Jika anggaran belanja dan pendapatan
perkapitanya pun rendah, demikian pula sebaliknya, dan ketika itu, kemiskinan akan
melanda mereka, dan ini pada gilirannya menjadikan mereka tergantung pada
masyaraka/Negara lain yang tidak mustahil merendahkan
martabat masyarakat
bangsa itu, bahkan menjajahnya. Itulah sebabnya ayat ini menyatakan harta kamu,
yakni kamu semua, wahai manusia. Ini diperkuat lagi dengan firman-Nya pada
lanjutan ayat yang menyifati harta tersebut sebagai yang dijadikan Allah untuk kamu
sebagai pokok kehidupan.
“Saya tidak menduga ada seorang pakar ekonomi yang mendahului al-Qur’an
menjelaskan hakikat ini”. Demikian tulis Muhammad Thahir ibn Asyur, setelah
menguraikan pendapat diatas.8
Kemudian firman Allah swt, (
‫وارزﻛﻮھﻢ ﻓﯿﮭﺎ واﻛﺴﻮھﻢ وﻗﻮﻟﻮ ﻟﮭﻢ ﻗﻮﻻ‬
‫ ”)ﻣﻌﺮوﻓﺎ‬berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik,”Ali bin Abi Thalhah rahimahullah
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: Janganlah kamu mengandalkan kepada
8
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;an, volume
2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 330.
31
hartamu dan apa yang Allah anugerahkan untuk kehidupanmu (tanpa mengelolanya
dengan baik, sehingga hartamu akan habis) karena kamu memberikannya kepada
isteri atau anak-anakmu. Sehingga akhirnya kamu hanya memperhatikan harta milik
mereka. Akan tetapi kelolalah dengan baik hartamu itu, dan hendaklah engkau sendiri
yang memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian, makanan dan rizki (biaya
hidup) mereka.”9 Firman-Nya: war zuquhum fiha, bukan minha, menurut para pakar
tafsir bertujuan untuk memberi isyarat
bahwa harta hendaknya dikembangkan.
Modal yang ada hendaknya tidak dibiarkan begitu saja, tetapi harus produktif dan
menghasilkan keuntungan, sehingga biaya hidup mereka yeng belum mampu
mengelola harta itu diambil keuntungan pengelolaan, bukan modal. Seandainya ayat
ini menggunakan kata minha yang berarti darinya, maka biaya hidup itu diambil dari
modal dan isyarat di atas tidak akan tergambar.
Memang, pada prinsipnya dalam pandangan al-Qur’an, modal tidak boleh
menghasilkan dari dirinya sendiri, tapi hasilnya harus dari usaha baik manusia.
Karena itu, riba dan perjudian dilarang, dan itu pula salah satu hikmah ditetapkannya
kadar tertentu dari zakat terhadap uang (walau tidak digunakan) agar mendorong
aktivitas ekonomi, perputaran dana, sekaligus mengurangi spekulasi dan penimbunan.
Kendati uang merupakan modal dan salah satu faktor produksi yang penting,
tetapi ia bukan yang terpenting. Manusia menempati posisi tertinggi. Hubungan
harmonis antar warga harus terus dipelihara, dan karena itu pula ayat ini ditutup
dengan perintah ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.10
9
Ath-Thabari (VII/565) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 2, h. 426.
10
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume
2, h. 330
32
Mujahid berkata (mengenai ayat ini): (‫ﻣﻌﺮوﻓﺎ‬
‫)وﻗﻮﻟﻮا ﻟﮭﻢ ﻗﻮﻻ‬
“Dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” yaitu dalam kebaikan dan
silaturrahim.
Ayat yang mulia ini memerintahkan untuk berbuat ihsan (kebaikan) kepada
keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya dengan memberikan
nafkah berupa pakaian dan rizki (biaya hidup), serta dengan kata-kata dan akhlak
yang baik.
Sebelumnya ayat kedua dan ketiga surah ini memerintahkan memberi harta
anak yatim, serta larangan mengawininya kalau karena kecantikan dan hartanya
dengan tidak berlaku adil terhadap mereka. Seanjutnya, ayat ini memerintahkan
memeberi maskawin yang merupakan hak seorang istri. Demikian ayat ayat yang lalu
memerintahkan memberi harta kepada pemiliknya. Kedua perihal tersebut boleh jadi
menimbulkan dugaan dalam benak para wali bahwa semua pemilik harta harus diberi
hartanya. Nah, untuk menghapus kesan itu, maka ayat ini melarang member harta
kepada para pemilik yang tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Ini agaknya
sengaja ditempatkan disini bukan sebelum perintah yang lalu agar larangan ayat ini
tidak menjadi dalih bagi siapapun yang enggan memberi harta itu kepada mereka dan
semua orang bahwa Allah memerintahkan.
Dan janganlah kamu, wahai para wali, suami atau siapa saja, menyerhakan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, baik yatim, anak kecil, orang
dewasa, pria atau wanita, harta kamu atau harta mereka yang ada dalam kekuasaan
atau wewenang kamu, karena harta itu dijadikan Allah untuk kamu sebagai pokok
kehidupan sehingga harus dipelihara dan tidak boleh diboroskan atau digunakan
bukan pada tempatnya. Pelihara dan kembangkan harta itu tanpa mengabaikan
33
kebutuhan
yang wajar dari pemiliknya yang tidak mampu mengelola harta itu.
Karena itu, berilah mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik. Adalah tindakan yang bijkasana bila
menjelaskan mengapa kamu menempuh jalan itu sehingga hati mereka tenang dan
hubungan kalian tetap harmonis.
Ayat 6:
ْ ‫ﻮا ۡٱﻟﯿَ ٰﺘَ َﻤ ٰﻰ َﺣﺘﱠ ٰ ٓﻰ إِ َذا ﺑَﻠَ ُﻐ‬
ْ ُ‫َو ۡٱﺑﺘَﻠ‬
‫ﻮا ٱﻟﻨﱢ َﻜﺎ َح ﻓَﺈ ِ ۡن َءاﻧَ ۡﺴﺘُﻢ ﱢﻣ ۡﻨﮭُﻢۡ ر ُۡﺷ ٗﺪا ﻓَ ۡﭑدﻓَﻌ ُٓﻮ ْا إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢۡۖ َو َﻻ‬
ۚ
ۡ
ۖۡ ِ‫ُوا َوﻣﻦ َﻛﺎنَ َﻏﻨِ ٗﯿّﺎ ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺴﺘَ ۡﻌﻔ‬
ٗ ِ‫ﻒ َو َﻣﻦ َﻛﺎنَ ﻓَﻘ‬
‫ﯿﺮا ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺄ ُﻛ ۡﻞ‬
َ ْ ‫ﺗَﺄ ُﻛﻠُﻮھَﺎٓ إِ ۡﺳ َﺮ ٗاﻓﺎ َوﺑِﺪَارًا أَن ﯾَ ۡﻜﺒَﺮ‬
ْ ‫ُوف ﻓَﺈ ِ َذا َدﻓَ ۡﻌﺘُﻢۡ إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢۡ ﻓَﺄَ ۡﺷ ِﮭ ُﺪ‬
٦ ‫وا َﻋﻠَ ۡﯿ ِﮭﻢۡۚ َو َﻛﻔَ ٰﻰ ﺑِﭑ ﱠ ِ َﺣ ِﺴﯿﺒٗ ﺎ‬
ِ ۚ ‫ﺑِ ۡﭑﻟ َﻤ ۡﻌﺮ‬
Terjemahnya:
dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta
itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada
mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu)
bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).11
Setelah melarang pemberian harta kepada yang tidak mampu mengelolanya
seperti anak-anak yatim maka dalam ayat ini ditegaskan bahwa larangan itu tidak
terus menerus. Wali hendaknya memperhatikan keadaan mereka, sehingga bila para
pemilik itu telah dinilai memapu mengelola harta dengan baik, maka harta mereka
harus segera diserahkan. Selanjutnya, karena dalam rangkaian ayat-ayat yang lalu
anak yatim yang pertama disebut sebab merekalah yang paling lemah, maka disini
mereka pun yang pertama disebut. Kepada para wali diperintahkan: ujilah anak yatim
11
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77.
34
itu dengan memperhatikan keadaan mereka dalam hal penggunaan harta, serta
latihlah mereka sampai hampir mencapai umur yang menjadikan mereka mampu
memasuki gerbang perkawinan.
Mengenai firman Allah swt (wabtalul yatam)”dan ujilah anak yatim itu.” Ibnu
“Abbas, Mujahid, al-Hasan, as-Saudi dan Muqatil bin Hayyan berkata: “Artinya
ujilah mereka.12 (hatta idza balagunnikaha)” sampai mereka cukup umur untuk
kawin,” Mujahid berkata: “Yakni ketika baligh.13
Maka ketika itu,
jika kamu telah mengetahui, yakni pengetahuan yang
menjadikan kamu tenang karena adanya pada mereka kecerdasan, yakni kepandaian
memelihara harta serta kestabilan mental. Maka serahkanlah kepada mereka hartaharta mereka, karena ketika itu tidak ada lagi alasan untuk menahan harta mereka.
ْ ُ‫ﺎل ۡٱﻟﯿَﺘِ ِﯿﻢ إِ ﱠﻻ ﺑِﭑﻟﱠﺘِﻲ ِھ َﻲ أَ ۡﺣ َﺴ ُﻦ َﺣﺘﱠ ٰﻰ ﯾَ ۡﺒﻠُ َﻎ أَ ُﺷ ﱠﺪ ۥۚهُ َوأَ ۡوﻓ‬
ْ ‫ َو َﻻ ﺗ َۡﻘ َﺮﺑ‬:‫ﻗﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎل‬
‫ﻮا ﺑِ ۡﭑﻟ َﻌ ۡﮭ ۖ ِﺪ إِ ﱠن‬
َ ‫ُﻮا َﻣ‬
ٗ ُٔ‫ۡٱﻟ َﻌ ۡﮭ َﺪ َﻛﺎنَ َﻣ ۡﺴ‬
٣٤ ‫ﻮﻻ‬
ْ ‫ ) َو َﻻ ﺗ َۡﻘ َﺮﺑ‬:‫ﻗﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎل‬
‫ اﻋﻠﻢ اﻧﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﮭﻰ ﻋﻦ‬.‫ُﻮا َﻣﺎ َل ۡٱﻟﯿَﺘِ ِﯿﻢ إِ ﱠﻻ ﺑِﭑﻟﱠﺘِﻲ ِھ َﻲ أَ ۡﺣ َﺴ ُﻦ( اﻻﯾﺔ‬
‫ وﯾﻮﺟﺐ اﻧﻘﻄﺎع‬,‫ وذاﻟﻚ ﻣﻨﻊ ﺗﺮﺑﯿﺔ اﻻوﻻد‬,‫ وﻗﺪ ذﻛﺮﻧﺎ اﻧﮫ ﯾﻮﺟﺐ ﻋﻦ اﺣﺘﻼط اﻻﻧﺴﺎب‬,‫اﻟﺰﻧﺎ‬
‫ ﻓﺎ اﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﻟﺰﻧﺎ و ﻋﻦ اﻟﻘﺘﻞ ﯾﺮﺟﻊ ﺣﺼﯿﻠﮫ اﻟﻰ‬,‫ وذاﻟﻚ ﻣﺎﻧﻊ ﻣﻦ دﺧﻮاﻟﻨﺎس ﻓﻲ اﻟﻮﺟﻮد‬,‫اﻟﻨﺴﻞ‬
‫ ﻻن اﻋﺰ اﻻﺷﯿﺎء ﺑﻌﺪ‬,‫ ﻓﻠﻤﺎ ذﻛﺮه ﺗﻌﺎﻟﻰ اﺗﺒﻌﮫ ﺑﺎﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﺗﻼف اﻻﻣﻮال‬,‫اﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﺗﻼف اﻟﻨﻔﻮس‬
‫ وﻛﻤﺎل‬,‫ وﺿﻌﻔﮫ‬,‫ ﻻن ﻟﺼﻐﺮه‬,‫ واﺣﻖ اﻟﻨﺎس ﺑﺎﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﺗﻼف اﻻﻣﻮال ھﻮ اﻟﯿﺘﯿﻢ‬,‫اﻟﻨﻔﻮس اﻻﻣﻮال‬
‫ ﻓﻘﺎل‬,‫ ﻓﻠﮭﺎذا ﺧﺼﮭﻢ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎ ﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﺗﻼف اﻣﻮاﻟﮭﻢ‬,‫ﻋﺠﺰه ﯾﻌﻈﻢ ﺿﺮره ﺑﺎ ﺗﻼف ﻣﺎﻟﮫ‬
ْ ‫) َو َﻻ ﺗ َۡﻘ َﺮﺑ‬:‫ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
‫ ) َو َﻻ ﺗ َۡﺄ ُﻛﻠُﻮھَﺎٓ إِ ۡﺳ َﺮ ٗاﻓﺎ َوﺑِﺪَارًا‬:‫ُﻮا َﻣﺎ َل ۡٱﻟﯿَﺘِ ِﯿﻢ إِ ﱠﻻ ﺑِﭑﻟﱠﺘِﻲ ِھ َﻲ أَ ۡﺣ َﺴ ُﻦ( ﻧﻈﯿﺮه ﻗﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
ۚ
ۖۡ ِ‫ُوا َوﻣﻦ َﻛﺎنَ َﻏﻨِ ٗﯿّﺎ ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺴﺘ َۡﻌﻔ‬
ٗ ِ‫ﻒ َو َﻣﻦ َﻛﺎنَ ﻓَﻘ‬
‫ )إِ ﱠﻻ‬:‫ اﻟﻤﺮاد ﺑﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬.(‫ُوف‬
ِ ۚ ‫ﯿﺮا ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺄ ُﻛ ۡﻞ ﺑِ ۡﭑﻟ َﻤ ۡﻌﺮ‬
َ ْ ‫أَن ﯾَ ۡﻜﺒَﺮ‬
12
Ath-Thabari (VII/574) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 2, h. 427.
13
Ath-Thabari (VII/575) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 2, h. 426.
35
‫ ﻗﺎل اذا‬,‫ وروى ﻣﺠﺎھﺪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس‬.‫ﺑِﭑﻟﱠﺘِﻲ ِھ َﻲ أَ ۡﺣ َﺴ ُﻦ( اى اﻻ ﺑﺎﻟﺘﺼﺮف اﻟﺬى ﯾﻨﻤﯿﮫ و ﯾﻜﺜﺮه‬
.‫ ﻓﻼ ﺷﻲء ﻋﻠﯿﮫ‬,‫ ﻓﺎن ﻟﻢ ﯾﻮﺳﺮ‬,‫ واذا اﯾﺲ ﻗﻀﺎه‬,‫اﺣﺘﺎج اﻛﻞ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف‬
‫ﻛﻤﺎ ﺑﯿﻨﮫ‬,‫ وھﻮ ﺑﻠﻮغ اﻟﻨﻜﺎح‬,‫ اﻧﻤﺎ ﺗﺒﻘﻲ وﻻﯾﺘﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﯿﺘﯿﻢ اﻟﻰ ان ﯾﺒﻠﻎ اﺷﺪه‬,‫واﻋﻠﻢ ان اﻟﻮﻟﻲ‬
ْ ُ‫ ) َو ۡٱﺑﺘَﻠ‬:‫ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﮫ‬
ْ‫ﻮا ٱﻟﻨﱢ َﻜﺎ َح ﻓَﺈ ِ ۡن َءاﻧَ ۡﺴﺘُﻢ ﱢﻣ ۡﻨﮭُﻢۡ ر ُۡﺷ ٗﺪا ﻓَ ۡﭑدﻓَﻌ ُٓﻮا‬
ْ ‫ﻮا ۡٱﻟﯿَ ٰﺘَ َﻤ ٰﻰ َﺣﺘﱠ ٰ ٓﻰ إِ َذا ﺑَﻠَ ُﻐ‬
‫ اﻟﻤﺮاد ﺑﺎﻻﺷﺪ ھﺎ ھﻨﺎ ﺑﻠﻮﻏﮫ اﻟﻰ ﺣﯿﺚ ﯾﻤﻜﻨﮫ ﺑﺴﺒﺐ ﻋﻘﻠﮫ ورﺷﺪه اﻟﻘﯿﺎم ﺑﻤﺼﺎﻟﺢ‬.( ۖ ۡ‫إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢ‬
14
.‫ ﻟﻢ ﺗﺰال اﻟﻮﻻﯾﺔ ﻋﻨﮫ‬,‫ ﻓﺎن ﺑﻠﻎ ﻏﯿﺮ ﻛﻤﺎل اﻟﻌﻘﻞ‬,‫ ﻓﺤﯿﻨﺌﺬ ﺗﺰول وﻻﯾﺔ ﻏﯿﺮه ﻋﻨﮫ‬,‫ﻣﺎﻟﮫ‬
Boleh jadi ada diantara wali yang tamak, maka ayat ini melanjutkan
tuntunannya dengan menegaskan bahwa janganlah kamu, para wali, memakan, yakni
memanfaatkan untuk kepentingan kamu harta anak yatim dengan kamu yang
mengelolanya sehingga memanfaatkannya untuk kepentingan kamu harta anak yatim
dengan kamu yang mengelolanya sehingga memanfaatkannya lebih dari batas
kepatutan, dan jangan juga kamu membelanjakan harta itu dalam keadaan tergesagesa sebelum mereka dewasa, karena kamu kahwatir bila mereka dewasa kamu tidak
dapat mengelak untuk tidak menyerahkannya. Barangsiapa diantara pemelihara itu
yang mampu, maka hendaknya ia menahan diri, yakni tidak mengunakan harta anak
yatim itu dan mencukupkan dengan anugerah Allah yang diperolehnya, dan barang
siapa yang miskin, maka hendaklah bolehlah ia makan dan memanfaatkan harta itu,
bahkan mengambil upah atau imbalan menurut yang patut. Lalu apabila kamu
menyerahkan harta mereka yang sebelumnya berada dalam kekuasaan kamu kepada
mereka, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas mereka tentang penyerahan itu
bagi mereka. Dan cukuplah Allah menjadi pengawas atas persaksian itu.
14
Imam Ibn ‘Adil al-Hanbali, Al-Lubab fi ‘Ulumul-Kitab, Jilid 12 Cet ke-2, (Lebanon: Dar AlKotob Al-Ilmiyah, 2011), h. 276-277.
36
Ulama sepakat bahwa ujian yang dimaksud adalah dalam soal pengelolaan
harta, misalnya dengan memberi yang diuji itu sedikit harta sebagai modal. Jika dia
berhasil memelihara dan mengembangkannya, maka ia dapat dinilai telah lulus dan
wali berkewajiban
dilaksanakan sebelum
menyerahkan harta miliknya itu kepadanya. Ujian itu
yang bersangkutan dewasa. Ada juga yang berpendapat
sesudahnya. Sebagian ulama menambahkan bahwa diuji yakni diamati juga
pengalaman agamanya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak yatim yang telah dewasa tidak
otomatis diserahkan kepadanya hartanya, kecuali setelah terbukti kemampuannya
mengelola harta. Ini berdasar ayat ini dan ayat sebelumnya. Imam Abu Hanifah
menolak pendapat itu. Menurutnya, apa dan bagaimanapun keadaan anak yatim , bila
dia telah mencapai usia dua puluh tahun lima tahun, maka wali harus menyerahkan
harta itu kepadanya, walau dia fasik atau boros. Pendapatnya didasarkan pada
pertimbangan bahwa usia dewasa adalah delapan belas tahun. Tujuh tahun setelah
dewasa yang menggenapkan usia menjadi dua puluh lima tahun adalah waktu yang
cukup untuk terjadinya perubahan-perubahan dalam diri manusia.
Makna kata (‫ )رﺷﺪ‬rasyada adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini
lahir kata rusyd yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang
menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid adalah
pemberi petunjuk /bimbingan yang tepat. Orang yang telah menyandang sifat itu
secara sempurna dinamai rasyid yang oleh Imam Ghazail diartikan sebagai “dia yang
mengalir penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk pembenaran
atau bimbingan dari siapapun”.
37
Kata (‫ )ﺑﺪارا‬bidaran terambil dari kata al-badru yang berarti “bersegara
menuju sesuatu”. Patron kata bidaran menunjukkan adanya dua pihak yang saling
bersegera. Ayat ini bermaksud menggambarkan keinginan pihak yang berwenang
(wali) untuk segera membelanjakan harta anak yatim, dan di pihak lain, keinginan
anak yatim untuk segera dewasa agar dapat mengambil hartanya dari dan selama ini
berwenang mengelolanya.
Ayat diatas tidak menyifati anak itu sebagai seorang yang rasyid, tetapi
memiliki
rusyd.
kata
rusyd
yang
digunakan
pun
bukan
dalam
bentuk
definite/ma’rifah. Atas dasar itu, kecerdasan dan kestabilan mental yang dimaksud
adalah yang sesuai dengan usianya, yakni usia seorang anak yang sedang memasuki
gerbang kedewasaan.
Kata (‫ )ﺣﺴﯿﺒﺎ‬hasiban yang diterjemahkan diatas dengan “Pengawas” ada juga
yang memahaminya dalam arti “yang memberi kecukupan” yang mengandalkannya”.
Imam Ghazali menguraikan bahwa al-Hasib bermakna” dia yang mencukupi
siapa yang mengandalkannya”. Sifat ini tidak dapat disandang secara sempurna
kecuali oelh Allah sendiri, karena hanya Allah saja yang dapat mencukupi lagi
dihandalkan oleh setiap makhluk. Allah sendiri yang dapat mencukupi semua
makhluk,
mewujudkan
kebutuhan
mereka,
melanggengkannya
bahkan
menyempurnakannya”. Jangan duga jika anda membutuhkan makanan, minuman,
bumi, langit, dan matahari bahwa anda membutuhkan selain-Nya sehingga bukan
lagi Allah yang mencukupi kebutuhan anda, karena pada hakikatnya Dia juga yang
Maha Mencukupi itu, yang menciptakan makanan, minuman, bumi, langit dan lainlain. Jangan duga bayi
yang membutuhkan ibu
yang menyusukan dan
memeliharanya, bukan Allah yang mencukupinya, karena Allah yang menciptakan
38
ibunya serta air susu yang diisapnya, Allah pula yang mengilhaminya mengisap, serta
menciptakan rasa kasih sayang di kalbu ibu kepadanya”. Demikian al-Ghazali.
Seseorang yang meyakini bahwa Allah adalah Hasib bagi dirinya akan merasa
tentram, tidak terusik oleh gangguan, tidak kecewa oleh kehilangan materi atau
kesempatan, karena dia selalu merasa cukup dengan Allah.
Nasehat ini harus dicamkam oleh setiap orang, khususnya yang tadi
mengelola harta anak yatim yang boleh jadi mengandalkannya, tetapi setelah sang
anak dewasa ia harus menyerahkan kembali harta itu.
Kata hasiban juga dapat dipahami dalam arti ”menghitung”. Allah yang
menyandang sifat ini, antara lain dia yang melakukan perhitungan menyangkut amalamal baik dan buruk manusia secara amat teliti lagi amat cepat perhitungan-Nya,
sebagaimana firman-Nya: “kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari
kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Jika (amalan itu) hanya
seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami
sebagai Pembuat Perhitungan”(QS. al-Anbiya/21:47)
Jika kita memahami penggalan ayat diatas dalam makna ini, maka ia
merupakan ancaman bagi setiap orang termasuk para wali yang menggunakan harta
anak yatim bukan pada tempat yang dibenarkan Allah dan rasul-Nya.15
QS. Al-Ma’un/107: 1-2
َ ‫أَ َر َء ۡﯾ‬
١ ‫ﺖ ٱﻟﱠ ِﺬي ﯾُ َﻜ ﱢﺬبُ ﺑِﭑﻟﺪﱢﯾ ِﻦ‬
٢ ‫ﻚ ٱﻟﱠ ِﺬي ﯾَ ُﺪ ﱡع ۡٱﻟﯿَﺘِﯿ َﻢ‬
َ ِ‫ﻓَ ٰ َﺬﻟ‬
15
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume
2, h. 330-335.
39
Terjemahnya:
tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?Itulah orang yang menghardik
anak yatim. 16
Dalam surah ini, Allah swt, ingin memberitahu kita tentang siapa-siapa yang
layak disebut sebagai pendusta agama, agar orang-orang yang membenarkan agama
dapat mengetahu secara jelas. Surah ini dimulai dengan pertanyaan,” tahukah kamu
siapa itu orang yang mendustakan agama? Ini untuk mengingatkan si pendengar
bahwa hakikat hal tersebut tersembunyi bagi orang yang tertutup dari bisikan hati
nuraninya sendiri, dan terkelabui oleh khayalannya yang sesat. Pertanyaan tersebut
ditujukan kepada siapa saja yang mampu memahaminya,” Adakah jelas bagimu siapa
si pendusta agama?
Yaitu orang yang menghardik anak yatim… Yakni yang mengusir si yatim
atau mengeluarkan ucpan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu
yang diperlukannya semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan
tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi keperluannya. Juga
terdorong oleh kesombongannya karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih
mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan
gambaran tentang kelemahan dan keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja
yang menghinanya, ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan
setiap yang memerlukan pertolongan.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa orang yang mendustakan agama, adalah
yang tidak mau mengakui hak orang lain, disebabkan merasa kuat dengan harta
maupun kedudukannya. Dan setiap manusia yang berprilaku zalim dan suka
16
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 602.
40
melanggar hak-hak orang lain adalah pendusta agama, baik yang kezalimannya
banyak atau sedikit.17
B. Al-Hadis
Ciri-ciri seseorang telah cukup umur atau dewasa adalah: telah bermimpi,
tumbuh kumis serta bulu kemaluannya, selain itu, kata dewasa sering dikaitkan
dengan jumlah umur seseorang, karena seperti yang kita ketahui, bahwa dalam KUH
Perdata, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan KHI juga menetapkan hal itu, akan
tetapi ketiga peraturan tersebut berbeda pendapat tentang penentuan batas usia di
bawah umur, ada yang menetapkan 18 tahun dan ada yang menetapkan 21 tahun.
Dalam hadis berikut dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. tidak
memberi izin kepada seseorang anak untuk berperang hingga umurnya mencapai 15
tahun.
Ibnu ‘Umar r.a. menerangkan:
‫ﻋﺮﺿﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﻮم اﺣﺪ واﻧﺎ اﺑﻦ ارﺑﻊ ﻋﺸﺮةﺳﻨﺔ ﻓﻠﻢ‬
18
‫ وﻋﺮﺿﺖ ﯾﻮم اﻟﺨﻨﺪق واﻧﺎاﺑﻦ ﺧﻤﺲ ﻋﺸﺮة ﺳﻨﺔ ﻓﺎﺟﺎز ﻧﻰ‬,‫ﯾﺠﺰﻧﻰ‬
Artinya:
“Aku dihadapkan kepada Nabi saw. Pada waktu perang uhud, sedang waktu itu
aku adalah seorang anak yang berumur empat belas tahun, maka beliau tidak
mengizinkan aku ikut perang. Lalu aku dihadapkan lagi kepada beliau pada
waktu perang Khandak, sedang pada waktu itu aku adalah seorang anak yang
berumur 15, maka beliau memberikan izin kepadaku untuk ikut perang.’’(HR.
Abu Daud)
Jumhur ulama berpendapat bahwa salah satu ciri orang dianggap telah baligh,
adalah bila dia sudah bermimpi. Seseorang baru bisa dibebani hukum, bila sudah
17
Muhammad ‘Abduh, TAFSIR JUZ ‘AMMA, (Bandung: Mizan, 2001), h. 330-331.
18
Abu Daud Ibn Sulaiman al-Asyats al-Sijistan, Sunan Abi Daud, (Lebanon: Dar Al-Fikr,
t.th), h. 152/2.
41
berusia dewasa. dan menyatakan bahwa apabila seseorang anak lelaki telah berusia
lima belas tahun, atau telah tumbuh kumis dan bulu kemaluannya, dipandang telah
dewasa.
Sedangkan Menurut Abu Hanifah, anak lelaki dianggap baligh pada saat dia
berusia 18 tahun, sedangkan anak perempuan pada saat dia memasuki 17
tahun.19Mengingat perkembangan masyarakat saat ini, kami condong dengan
pendapat Abu Hanifah yang menetapkan usia dewasa seseorang lelaki jika dia telah
memasuki usia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.20
Berdasarkan beberapa hadis diatas, belum ada yang menjelaskan secara rinci
dan memiliki persepsi yang sama dengan peraturan perundang-undangan mengenai
batas usia di bawah umur, akan tetapi pendapat Abu Hanifah mempunyai kesamaan
walau hanya sebagian dari pendapatnya yaitu mengenai batas usia anak di bawah
umur bagi anak lelaki.
Adapun hadis yang berkaitan dengan wali nikah adalah hadis dari ‘Aisyah ra.
yang sebagai berikut:
‫ )اﯾﻤﺎ اﻣﺮاة ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﯿﺮ اذن‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ ﻓﺎن اﺷﺘﺠﺮوا‬,‫ ﻓﺎن دﺧﻞ ﺑﮭﺎ ﻓﻠﮭﺎ اﻟﻤﮭﺮ ﺑﻤﺎ اﺳﺘﺤﻞ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﮭﺎ‬,‫وﻟﯿﮭﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﮭﺎ ﺑﺎطﻞ‬
‫ و اﺑﻦ‬,‫ وﺻﺤﺤﮫ اﺑﻮ ﻋﻮاﻧﺔ‬,‫ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎن وﻟﻲ ﻣﻦ ﻻ وﻟﻲ ﻟﮫ( اﺧﺮﺟﮫ اﻟﻌﺮﺑﻌﺔ اﻻ اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ‬
21
.‫ﺣﺒﺎن واﻟﺤﺎﻛﻢ‬
19
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum Jilid 7, cet. Ke-3,
(Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 156.
20
Nailul Authar V: 370, 373 dalam Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum Jilid 7, h. 157.
21
Muhammad ben Isa al-Tirmidi, Sunan al-Tirmidi, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2008), h. 285.
42
Artinya:
Dari ‘Aisyah ra. berkata: Bersabda Rasulullah saw, siapa saja wanita yang
nikah tanpa wali maka nikahnya batal, maka jika ia telah dicampuri maka
baginya mahar yang menghalalkan farjinya, jika ia tidak mempunyai wali maka
penguasa (hakimah) walinya wanita yang tidak punya wali”.
dan hadis dari ‘Imran Ibn Husaini yang sebagai berikut:
22
.[‫ ]ﻻ ﻧﻜﺎح إﻻ ﺑﻮﻟﻲ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ ﻗﺎل‬
Artinya:
dari Abi Musa berkata: Nabi bersabda saw. “tidak ada nikah melainkan dengan
wali”. (HR. Tirmidzi)
Pernyataan “tidak” pada hadis ini maksudnya “tidak sah”, yang merupakan
arti yang terdekat dari pokok persoalan ini, jadi nikah tanpa wali adalah batal,23
sebagaimana yang dijelaskan pada hadis sebelumnya.
22
Muhammad ben Isa al-Tirmidi, Sunan al-Tirmidi, h. 283.
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1988), h. 131.
BAB IV
PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PERDATA BARAT DAN HUKUM
PERDATA ISLAM TENTANG PERWALIAN
A. Konsep perwalian dalam hukum perdata barat
Konsep perwalian dalam hukum perdata barat (KUH Perdata) dapat dibagi ke
dalam 13 bagian yakni:
1) Kebelumdewasaan
Kebelumdewasaan yang dimaksud pada bagian ini adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan mereka yang belum pernah
melangsungkan perkawinan, akan tetapi mereka yang perkawinannya dibubarkan
sebelum umur mereka mencapai 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus
belum dewasa.
2) Perwalian pada umumnya.
Perwalian dalam KUH Perdata memuat beberapa asas yaitu:
a. Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaaraeid)
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali (pasal 331 KUH Perdata). Asas
tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaaraeid). Asas ini mempunyai pengecualian dalam dua
hal:
1. Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling
lama (langslevende) maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd
(wali serta/wali peserta) berdasarkan pasal 351 KUH Perdata.
2. Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus
barang-barang minderjarije diluar Indonesia berdasar pasal 361 KUH Perdata.
43
44
b. Asas persetujuan dari keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga
tidak ada, maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu. sedangkan pihak
keluarga, kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan, dapat dituntut berdasarkan
pasal 524 KUH Perdata.1
3) Perwalian oleh ayah dan ibu.
Perwalian yang dimaksud pada bagian ini adalah:
a. Perwalian bagi salah satu dari orang tua yang hidup lebih lama, sejauh orang tua
tersebut tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua. Jika ternyata
wali yang hidup lebih lama itu adalah seorang ibu yang kemudian
melangsungkan perkawinan kembali, maka demi hukum suami tersebut menjadi
wali peserta selama tidak terjadi pisah meja dan ranjang atau tidak ada pisah
harta benda.
b. Perwalian oleh bapak dan ibu yang telah dewasa dan telah mengakui anaknya,
demi hukum tidak sah, kecuali bapak ibu tersebut dikecualikan dari perwalian
atau orang lain telah ditugaskan sebagai wali selama ayah dan ibu itu belum
dewasa atau telah mendapat tugas sebagai wali sebelum anak itu diakui. Dan jika
pengakuan tersebut dilakukan pada waktu yang sama, maka demi hukum,
bapaklah yang memangku perwalian.
c. Perwalian terhadap anak diluar perkawinan yang telah diakuinya, kemudian
hendak melakukan perkawinan agar anaknya menjadi sah, maka ia harus
mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.
1
R. Soetjono dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet ke-4, (Bandung: Alumni,
1972), h. 188.
45
4) Perwalian yang diperintahkan oleh bapak atau ibu.
Perwalian yang diperintahkan oleh bapak atau ibu adalah perwalian dimana
masing-masing orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua terhadap seorang
atau beberapa orang anak, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anaknya itu,
jika sesudah ia meninggal dunia atau karena penetapan hakim.
5) Perwalian yang diperintahkan oleh hakim.
Perwalian yang diperintahkan oleh hakim adalah perwalian terhadap anak
yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua yang
sebelumnya
perwaliannya
tidak
di
atur
dengan
cara
yang
sah,
karena
ketidakmampuan orang tua untuk semetara waktu melakukan kekuasaan orang tua
atau perwalian, karena permintaan keluarga sedarah dan pihak yang berkepentingan
juga terhadap anak yang tidak mempunyai tempat tinggal di Indonesia maka oleh
hakim harus mengangkat seorang wali,
6) Perwalian oleh perkumpulan, yayasan, dan lembaga sosial.
Perwalian yang dalam segala hal seorang hakim harus mengangkat seorang
wali, maka perwalian itu boleh diperintahkan kepada perkumpulan berbadan hukum
yang berkedudukan di Indonesia, kepada suatu yayasan atau kepada lembaga sosial
yang berkedudukan di Indonesia yang menurut anggaran dasarnya, akta pendiriannya
atau reglemennya mengatur pemeliharaan anak yang belum dewasa untuk waktu yang
lama.
7) Perwalian pengawas.
Perwalian pengawas adalah perwalian yang dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalan yang telah diperintahkan oleh hakim untuk menjadi wali pengawas
46
terhadap para wali dalam menjalankan tugas perwalian terhadap anak yang berada di
bawah kekuasaannya serta mewakili kepentingan anak tersebut berdasarkan surat
instruksinya yang diberikan pada waktu Balai Harta Peninggalan itu diperintahkan
memangku perwalian pengawas.
8) Alasan-alasan yang dapat melepaskan diri dari perwalian.
Alasan yang dapat melepaskan diri dari perwalian adalah alasan yang diajukan
karena beberapa hal, yakni:
1. Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada diluar Indonesia.
2. Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya.
3. Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau untuk
suatu waktu tertentu harus berada di luar propinsi.
4. Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun.
5. Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh.
6. Mereka yang tidak mempunyai anak sendiri tetapi dibebani tugas memangku
dua perwalian.
7. Mereka yang ditugaskan memangku perwalian sedangkan ia memiliki seorang
anak atau lebih.
8. Mereka yang waktu diangkat menjadi wali mempunyai lima orang anak sah.
9. Wanita-wanita yang tidak dalam keadaan bersuami telah menerima perwalian
boleh minta untuk dibebaskan, bila ia kawin.
10. Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
dengan anak yang dimaksud, sedangkan dalam daerah hukum pengadilan
tersebut terdapat keluarga sedarah atau semenda yang cakap memangkunya.
47
Sedang bapak dan ibu tidak diperbolehkan untuk meminta pembebasan oleh
dikarenakan salah satu hal di atas. Begitupula bagi seseorang yang sedang memangku
perwalian berdasarkan permintaan sendiri.
9) Pengecualian, pembebasan dan pemecatan dari perwalian.
Menurut pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang
digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :
1. Mereka yang sakit ingatan.
2. Mereka yang belum dewasa.
3. Mereka yang berada dibawah pengampuan.
4. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau
perwalian atau penetapan pengadilan.
5. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara,
juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau
anak tiri mereka sendiri.
Sedangkan pemecatan terhadap wali dapat dikarenakan salah satu atau lebih
dari hal-hal berikut:
1. Mereka yang berkelakuan buruk.
2. Mereka yang melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan
kecakapannya.
3. Mereka yang telah dipecat dari perwalian lain menurut no 10o dan nomor 2o
pasal ini.
4. Jika wali dalam keadaan pailit.
5. Mereka yang untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan
terhadap si anak tersebut.
48
6. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
7. Mereka yang mendapat hukuman badan yang tidak dapat diubah lagi selama
dua tahun atau lebih.
10) Pengawasan wali atas pribadi anak belum dewasa.
Dalam hal ini wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan
anak yang berada di bawah perwaliannya menurut kemampuan harta kekayaannya
dan harus mewakilinya dalam segala tindakan perdata.
11) Tugas pengurus wali.
Kewajiban-kewajiban serta larangan yang harus dilakukan pengurus wali
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Wali harus mengurus harta kekayaan anak yang berada di bawah
perwaliannya laksana seorang bapak rumah tangga yang baik dan bertanggung
jawabnatas biaya, kerugian dan bunga yang diperkirakan timbul karena
pengurusan yang buruk.
2. Wali harus membuat daftar barang-barang kekayaan anak yang berada di
bawah perwaliannya.
3. Wali tidak boleh meminjam uang untuk kepentingan anak yang berada di
bawah perwaliannya, juga tidak boleh mengasingkan atau mengadaikan
barang-barang tak bergerak serta menjual dan memindahtangankan surat-surat
utang-piutang serta andil-andil tanpa memperoleh kuasa untuk itu.
4. Wali tidak boleh menerima warisan yang diperuntukkan bagi anak belum
dewasa, selain dengan hak istimewa serta tidak boleh menolak warisan tanpa
izin untuk itu yang diperoleh dengan cara yang ditentukan dalam pasal 393.
49
12) Perhitungan pertangungjawaban perwalian.
Setiap wali wajib mengadakan perhitungan penutup dan pertangungjawaban
yang mana kedua hal tersebut harus dilakukan atas biaya anak belum dewasa yang
ditangguhkan hingga ia dewasa atau kepada ahli warisnya bila ia telah meninggal,
atau kepada pengganti pengurus, tetapi dibayar terlebih dahulu oleh walinya.
13) Balai Harta Peninggalan dan Dewan Perwalian.
Dalam daerah hukum setiap Pengadilan Negeri ada Balai Harta Peninggalan,
yang daerah dan tempat kedudukannya sama dengan daerah dan tempat kedudukan
Pengadilan Negeri. Pemerintah boleh menentukan, bahwa segala kekuasaan yang
diberikan kepada suatu Balai Harta Peninggalan beserta usaha-usahanya, dipangku
dan dijalankan oleh atau atas nama salah satu Balai Harta Peninggalan yang lain.
Dalam hal demikian, Balai Harta Peninggalan tersebut terakhir harus diwakili oleh
seorang anggota perwakilan yang berkantor di tempat Balai Harta Peninggalan
tersebut pertama. Kecuali dalam hal yang ditunjukkan dalam instruksi untuk semua
Balai Harta Peninggalan, anggota perwakilan itu selamanya berkuasa untuk bertindak
atas nama Balai Harta Peninggalan. Instruksi untuk semua Balai Harta Peninggalan
ditentukan oleh pemerintah. Setelah mendengar Mahkamah Agung. Instruksi ini
mengatur susunan dan peraturan dalam tiap-tiap Balai Harta Peninggalan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baru.
Sedangkan dalam daerah hukum setiap Pengadilan Negeri, ada sebuah dewan
perwalian, yang ditugaskan melakukan segala usaha pemeliharaan, kecuali campur
tangan yang dengan tegas disebutkan dalam kitab undang-undang ini dan peraturanperaturan pemerintah lainnya, bagi anak belum dewasa yang dipercayakan kepadanya
50
dengan putusan Hakim menurut Pasal 214, Pasal 319f alinea kelima, atau Pasal 382
alinea ketiga seperti juga bagi anak-anak diserahkan kepadanya oleh Kejaksaan
menurut Pasal 319i atau Pasal 382a.
B. Konsep Perwalian dalam Hukum Perdata Islam
Ketentuan perwalian menurut UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
terdapat pada pasal 50 yaitu :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang
tua, berada dibawah kekuasaan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.2
1) Syarat-syarat
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh
perwalian adalah :
1. Anak yang belum berusia 18 tahun.
2. Anak-anak yang belum kawin.
3. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
4. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
5. Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Sedangkan menurut ketentuan pasal 107 Kompilasi Hukum Islam, bahwa
syarat-syarat anak untuk memperoleh perwalian adalah:
1. Anak yang belum berusia 21 tahun.
2
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 532.
51
2. Anak yang belum melangsungkan perkawinan.
Menurut UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 51, syarat
terjadinya perwalian adalah:
1. Adanya penunjukan oleh salah satu dari orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan
lisan di hadapan dua orang saksi.3
Adapun menurut pasal 107 ayat 3&4 dan pasal 108 KHI, perwalian terjadi
karena:
1. Penunjukan oleh Pengadilan Agama kepada salah seorang kerabat untuk
bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, Bila wali tidak
mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya.
2. Wasiat yang dilakuakan orang tua kepada seseorang atau badan hukum untuk
melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah
ia meninggal dunia.4
Dalam pasal 51 ayat (2) dianjurkan agar penunjukkan wali diambil dari
keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik, didasarkan kepada
sabda Rasulullah saw. Riwayat dari al-Barra’ Ibn Azib yang mengutamakan keluarga
perempuan.
‫ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﻀﻰ ﻓﻲ اﺑﻨﺔ ﺣﻤﺰة ﻟﺨﺎﻟﺘﮭﺎ وﻗﺎل اﻟﺨﺎﻟﺔ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ اﻻم‬
5
(‫)اﺧﺮﺟﮫ اﻟﺒﺨﺎري‬
3
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 532-533.
4
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 31.
5
Al-Shan’any, Subul al-Salam, juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, 1960), h. 229.
52
Artinya:
sesungguhnya nabi saw. Memutuskan (wali) bagi anak perempuan Hamzah
kepada saudara perempuan ibu (khalah)nya, dan beliau bersabda :”saudara
perempuan ibu (menempati) kedudukan ibu” (Riwayat al-Bukhari).
6
(‫واﻟﺠﺎرﯾﺔ ﻋﻨﺪ ﺧﺎﻟﺘﮭﺎ ﻓﺎن اﻟﺨﺎﻟﺔ واﻟﺪة )اﺧﺮﺟﮫ اﺣﻤﺪ‬
Artinya:
Rasulullah bersabda.”bagi anak perempuan (jariyah), (perwalian) pada saudara
perempuan ibunya, karena ia adalah orang tua perempuan (walidah)nya”
(Riwayat Ahmad dari Ali ra).
2) Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974
menyatakan:
1. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak
itu.
2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak tersebut .
3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan dan
kelalaiannya.7
Adapun menurut pasal 110 dan 111 KHI, wali berkewajiban untuk:
6
Al-Shan’any, Subul al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Araby, 1960). h. 229.
7
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 533.
53
1. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya
dengan
sebaik-baiknya
dan
berkewajiban
memberikan
bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan
orang yang berada di bawah perwaliannya.
2. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan
atau kelalaiannya.
3. Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4)
Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3)
harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.8
4. Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau
telah menikah. 9
Memperhatian bunyi pasal 50 dan 51 tersebut, yang perlu diperhatikan adalah,
meskipun penunjukan melalui surat wasiat atau lisan, sifatnya pilihan yang tidak
bersifat imperatif, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang dapat mempunyai
kekuatan hukum atau akta otentik. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal
yang merugikan kepentingan anak. Sejalan dengan asas menolak mudarat
dan
mengambil manfaat, asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala
bentuk
hubungan
perdata
yang
mendatangkan
8
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 31-32.
9
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 32.
kerugian
(mudarat)
dan
54
mengembangkan
(hubungan perdata) yang bermanfaat
bagi diri sendiri dan
masyarakat.10
3) Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48
Undang-undang ini, yakni:
Orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur
18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.11
Sama hal nya dengan pasal 110 ayat (2) yang menyatakan:
Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang
berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan
bagi orang yang berada dibawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
4) Hilangnya Hak Perwalian
Pasal 53 UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan wali
dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49
Undang-undang ini, yaitu dalam hal :
1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
2. Wali berkelakuan buruk sekali sebagai walinya.12
Alasan
daripada
mengalihkan barang
penunjukkan
wali,
termasuk
kekayaan anak yang berada dalam
wewenangnya
untuk
perwaliannya, hanya
10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Cet ke-19 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 133-134.
11
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 532.
12
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 532.
55
diperbolehkan apabila kepentingan anak menghendakinya (pasal 48jo.52 UU
Perkawinan). Apabila dalam kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan
tugas-tugasnya dengan baik, atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan
beriktikad tidak baik, maka hak perwaliannya dicabut. Prosedur dan tatacaranya
dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan atau pengadilan
agama untuk mencabutnya. Sebagaimana yang diperjelas dalam pasal 109 KHI yaitu
pencabutan kekuasaan perwalian dilakukan atas permohonan kerabatnya
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain
sebagai (pasal 53 (2) UU RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut
ketentuan pasal 54 UU RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada
dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti
kerugian tersebut.13
Sama halnya dengan pasal 110 ayat (3) KHI yang mengaharuskan wali
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
5) Berakhirnya Perwalian
Perwalian seseorang berakhir, apabila anak dibawah perwaliannya telah
mencapai usia 18 tahun menurut pasal 50 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan usia 21 (dua puluh satu) tahun menurut pasal 11 KHI atau telah
kawin.
13
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 533.
56
Umur 21 tahun yang tercantum dalam KHI atau telah kawin dianggap telah
dapat hidup mandiri. Menurut bahasa al-Quran sebenarnya tidak ada penegasan
secara definitif tentang batas usia. Hanya ayat al-Quran (al-Nisa 4:6) menegaskan
agar sebelum harta bendanya diserahkan, anak tersebut diuji kecakapannya. Tentang
pembatasan atau berakhirnya perwalian dalam kompilasi dinyatakan dalam pasal
111:
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau
telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang
mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah
perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.14
Pembatasan usia 21 tahun atau telah kawin tersebut ditentukan berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan dan kemandirian anak. Ini dapat dianalogikan dengan
janda, apabila berkeinginan untuk kawin, ia dapat melakukannya tanpa persetujuan
walinya, karena ia lebih berhak atas dirinya.
‫ اﻻﯾﻢ اﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﮭﺎ‬: ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
15
(‫ﻣﻦ وﻟﯿﮭﺎ واﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺎذن واذﻧﮭﺎ ﺳﻜﻮﺗﮭﺎ )رواه ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya:
Riwayat dari Ibn Abbas ra., Nabi saw bersabda: “janda lebih berhak atas
dirinya daripada walinya, dan gadis diminta izinnya, dan izinnya adalah
diamnya” (Riwayat Muslim).
Secara metodologis, penentuan batas usia 21 tahun telah kawin berdasarkan
pada metode istislah atau maslahat mursalah, yaitu kebaikan anak yang bersangkutan
14
Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 32.
15
Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, (Jakarta: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th). h. 594.
57
hakikatnya sejalan dengan maksud syari’ah dalam menetapkan hukum. Kendatipun
demikian, apabila dalam
kenyataannya usia 21 tahun, anak tersebut belum
menunjukkan kecakapannya maka perwalian dapat diteruskan, demi kepentingan
anak. Maka dalam hal ini, pesan ayat wabtalul al-yatama atau menguji kecakapan
anak tersebut, perlu dipertimbangkan sebelum mengembalikan harta kekayaannya.
Ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan antara orang tua dan
wali. Di samping kesamaannya baik dalam hadanah atau perwaliannya, orang tua
tetap bertanggung jawab memenuhi kebutuhan nafkah (material) anak, sementara
wali lebih bertanggung jawab dalam pemeliharaan, seperti mendidik, mengajari
keterampilan, dan lain-lain. Karena itu apabila wali tidak mampu secara material,
namun ia sanggup melaksanakan tugas-tugas perwalian, maka ia dibenarkan
mengambil harta anak tersebut secara ma’ruf untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebolehan ini ditunjuk oleh surah an-Nisa 4: 6 yang dituangkan dalam pasal 112
kompilasi: wali dapat mempergunakan harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau
bil ma’ruf kalau wali itu fakir”.
Selain dari persoalan perwalian seperti telah dikemukakan di atas, terutama
dalam hal anak yatim, perlu diperhatikan petunjuk dalam QS. al-Ma’un, 107:1-2:
َ ‫أَ َر َء ۡﯾ‬
١ ‫ﺖ ٱﻟﱠ ِﺬي ﯾُ َﻜ ﱢﺬبُ ﺑِﭑﻟﺪﱢﯾ ِﻦ‬
٢ ‫ﻚ ٱﻟﱠ ِﺬي ﯾَ ُﺪ ﱡع ۡٱﻟﯿَﺘِﯿ َﻢ‬
َ ِ‫ﻓَ ٰ َﺬﻟ‬
Terjemahnya:
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim.16
16
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 603.
58
Terlebih lagi mereka karena sesuatu hal dalam posisi yang belum beruntung,
yaitu miskin, perlu mendapat perhatian yang memadai.
QS. al-Ma’un, 107: 3:
٣ ‫َو َﻻ ﯾَﺤُﺾﱡ َﻋﻠَ ٰﻰ طَ َﻌ ِﺎم ۡٱﻟ ِﻤ ۡﺴ ِﻜﯿ ِﻦ‬
Terjemahnya:
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.17
Ketiga ayat tersebut memberi gambaran yang jelas bahwa bagi siapa saja yang
tidak memperhatikan nasib anak yatim dan orang miskin, adalah termasuk orang
yang mendustakan agama, terlebih lagi mereka yang secara resmi ditunjuk sebagai
wali mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan namun mulia, oleh karena itu,
adalah tindakan yang amat mulia melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya
itu secara maksimal dan sebaik-baiknya.18
6) Wali Nikah
Selain dari ketentuan-ketentuan tersebut terdapat ketentuan lain yang
merupakan ketentuan perwalian bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya, yang disebut sebagai wali nikah yang harus memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, akil dan baligh yang terdiri dari:
a. Wali nasab, wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya
susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
17
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 603.
18
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013). h. 205-211.
59
1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah dan seterusnya.
2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.
3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek
dan keturunan laki-laki mereka.
b. Wali hakim.
C. Analisis Perbandingan Antara Hukum Perdata Islam dan Hukum Perdata
Dalam Hal Perwalian
Berdasarkan penjelasan tersebut, penyusun mengerti bahwa bukan hanya
Hukum Perdata dan Hukum Perdata Islam saja yang memiliki perbedaan konsep akan
tetapi, antara Hukum Pedata Islam sendiri juga memiliki konsep yang berbeda yang
dapat di jelaskan sebagai berikut:
I. Ketentuan Umur
a. Menurut Hukum Perdata (KUH Perdata) anak-anak yang menerima perwalian
adalah anak yang belum berumur 21 tahun atau belum kawin (pasal 330 (3) KUH
Perdata).
b. Menurut Hukum Perdata Islam

Menurut UU No.1 tahun 1974 yang menerima perwalian adalah anak yang
belum mecapai umur 18 tahun atau belum kawin (pasal 50 (1).

Menurut Kompilasi Hukum Islam yang menerima perwalian adalah anak yang
60
belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
II. Pengangkatan wali
a. Menurut Hukum Perdata (KUH Perdata)
Dalam hal pengangkatan wali KUH perdata membedakannya ke dalam tiga
jenis perwalian, yaitu:
1. Perwalian dari suami atau isteri yang hidup lebih lama (pasal 345-354 KUH
Perdata).
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu (pasal 355 (1) KUH Perdata).
3. Perwalian yang diangkat oleh hakim (pasal 359 KUH Perdata).
b. Menurut Hukum Perdata Islam.
Dalam hukum perdata Islam yaitu UU RI No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan bahwa:
1. Wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di
hadapan 2 (dua) orang saksi (pasal 51 ayat (1).
2. Wali di tunjuk oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seseorang dicabut,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, (pasal 53).
Adapun menurut KHI yakni:
1. Perwalian berdasarkan wasiat yang dilakukan oleh orang tua kepada
seseorang atau badan hukum setetah ia meninggal (pasal 108).
61
III. Kewajiban wali terhadap diri anak.
Dalam penyelenggaraan perwalian, Hukum Perdata (KUH Perdata) wali
hanya diperintahkan untuk menyelenggarakan pendidikan tanpa menjelaskan dan
tanpa adanya penekanan bahwa pendidikan itu penting demi masa depan anak yang
berada di bawah perwaliannya (pasal 383 KUH Perdata).
Sedangkan Hukum Perdata Islam memberikan perhatian penting mengenai hal
tersebut, seperti yang tercantum dalam pasal 51 ayat (3) UU RI No. 1 Tahun 1974,
yaitu wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaannya dan pasal 110 KHI
yang menjelaskan bahwa wali berkewajiban mengurus diri orang yang berda di
bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan
bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang
yang berada dibawah perwaliannya.
Menurut penyusun pendidikan formal dan agama itu sangat perlu diperhatikan
oleh setiap wali dan perlu mendapat perhatian yang khusus dalam hal perwalian
karena Negara kita yaitu Negara Indonesia dibangun dengan dasar-dasar dan nilainilai Ketuhanan yang tercermin dalam sila pertama yaitu: Ketuhanan yang Maha Esa
dan untuk mewujudkan sila kelima Pancasila yaitu: Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
IV. Kewajiban wali terhadap harta anak.
Hukum perdata (KUH Perdata) menetapkan bahwa wali dalam menjalankan
tugas perwaliannya harus mengurus harta kekayaan anak yang berada di bawah
perwaliannya laksana seorang bapak rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab
62
atas biaya, kerugian dan bunga yang diperkirakan timbul karena pengurusan yang
buruk. Selain hal yang bersifat umum tersebut ada beberapa ketentuan yang berbeda
mengenai penggunaan harta anak yang berada di bawah perwaliannya yaitu Wali
tidak boleh meminjam uang untuk kepentingan anak yang berada di bawah
perwaliannya, juga tidak boleh mengasingkan atau mengadaikan barang-barang tak
bergerak serta menjual dan memindah tangankan surat-surat utang-piutang serta
andil-andil tanpa memperoleh kuasa untuk itu serta Wali tidak boleh menerima
warisan yang diperuntukkan bagi anak belum dewasa, selain dengan hak istimewa
serta tidak boleh menolak warisan tanpa izin untuk itu yang diperoleh dengan cara
yang ditentukan dalam pasal 393.
Sedangkan dalam Hukum Perdata Islam terdapat kebolehan dan pengecualian
terhadap hal-hal tersebut, yaitu Pasal 112 KHI menyatakan lain, bahwa wali dapat
mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan bil ma’ruf kalau wali fakir,
sebagaimana yang disampaiakan oleh ‘Aisyah ra:
‫ و ﻣﻦ ﻛﺎن ﻓﻘﯿﺮا ﻓﻠﯿﺎﻛﻞ ﺑﺎ‬,‫ )وﻣﻦ ﻛﺎن ﻏﻨﯿﺎ ﻓﻠﯿﺴﺘﻌﻔﻒ‬:‫ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﮭﺎ( ﻓﻲ ﻗﻮﻟﮫ‬
‫ اﻧﮫ ﯾﺎﻛﻞ ﻣﻨﮫ ﻣﻜﺎﻧﺎ ﻗﯿﺎﻣﮫ ﻋﻠﯿﮫ‬:‫ اﻣﻨﺎ ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ واﻟﻲ اﻟﯿﺘﯿﻢ اذا ﻛﺎن ﻓﻘﯿﺮا‬,{6 :‫ﻟﻤﻌﺮوف(}اﻟﻨﺴﺎء‬
19
.‫ﺑﻤﻌﺮوف‬
dan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 110 yaitu wali dilarang mengikatkan,
membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya,
kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya yang tidak dapat di hindarkan.
19
Imam Mubarak Ibnu Muhammad Ibnu al-Atsir al-Juzri, Jami’ul Ushul fi Ahadisi ar-Rasul,
Jilid 2, (t.t, Dar al-Fikr, 1983), h. 89.
63
V.
Ketentuan terhadap anak yang lahir di luar perkawinan
Ketentuan terhadap anak di luar perkawinan dijelaskan dalam Hukum Perdata
(KUH Perdata) yaitu pada pasal 331b ayat (3) yang menyatakan: bila anak belum
dewasa yang lahir di luar perkawinan diakui menurut Undang-Undang, pada saat
berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya si anak, atau pada saat
pemberian surat pengesahan yang diatur dalam pasal 274 KUH Perdata.
Sedangkan Hukum Perdata Islam memiliki pendapat lain mengenai hal itu,
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 43 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan, bahwa:
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Dalam sebuah hadis dijelaskan pula bahwa seorang anak yang lahir di luar
perkawinan atau zina, maka anak tersebut tidak memiliki hubungan terhadap ayahnya
melainkan, kepada ibu atau majikan ibu jika ia seorang sahaya sebagaimana yang di
riwayatkan oleh Imam Abu Daud:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﯿﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮر وﻣﺴﺪد ﻗﺎﻻ اﺧﺒﺮﻧﺎ ﺳﻔﯿﺎن ﻋﻦ اﻟﺰھﺮى ﻋﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ‬
‫ﻋﺎﺋﺸﺔ }اﺧﺘﺼﻢ ﺳﻌﺪ اﺑﻦ اﺑﻰ وﻗﺎص وﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ اﻟﻰ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ‬
‫ اوﺻﺎﻧﻰ اﺧﻰ ﻋﺘﺒﺔ اذا ﻗﺪ ﻣﺖ ﻣﻜﮫ ان اﻧﻈﺮ اﻟﻰ‬:‫ ﻓﻘﺎل ﺳﻌﺪ‬,‫وﺳﻠﻢ ﻓﻲ اﺑﻦ اﻣﺔ زﻣﻌﺔ‬
,‫ وﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﺮاش اﺑﻰ‬,‫اﺑﻦ اﻣﺔ ﻓﺎﻗﺒﻀﮫ ﻓﺎﻧﮫ اﺑﻨﮫ وﻗﺎل ﻋﺒﺪ اﺑﻦ زﻣﻌﺔ اﺧﻰ اﺑﻦ اﻣﺔ اﺑﻰ‬
64
‫ اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش وﻟﻠﻌﺎھﺮ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬,‫ﻓﺮاى رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺷﺒﮭﺎ ﺑﯿﻨﺎ ﺑﻌﺘﺒﺔ‬
20
.‫ ھﻮ اﺧﻮك ﯾﺎ ﻋﺒﺪ‬:‫ زاد ﻣﺴﺪد ﻓﻰ ﺣﺪﯾﺜﮫ ﻓﻘﺎل‬.‫اﻟﺤﺠﺮ و اﺣﺘﺠﺒﻰ ﻣﻨﮫ ﯾﺎ ﺳﻮدة‬
VI. Ketentuan tentang perwalian pengawas, perwalian oleh perkumpulan,
yayasan, dan lembaga sosial
Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dengan jelas dalam hukum perdata
barat (KUH Perdata) yaitu dalam segala hal, seorang hakim harus mengangkat
seorang wali, maka perwalian itu boleh diperintahkan kepada perkumpulan berbadan
hukum yang berkedudukan di Indonesia, kepada suatu yayasan atau kepada lembaga
sosial yang berkedudukan di Indonesia yang menurut anggaran dasarnya, akta
pendiriannya atau reglemennya mengatur pemeliharaan anak yang belum dewasa
untuk waktu yang lama serta mengatur perwalian pengawas yang dilakukan oleh
Balai Harta Peninggalan yang telah diperintahkan oleh hakim untuk menjadi wali
pengawas terhadap para wali dalam menjalankan tugas perwalian terhadap anak yang
berada di bawah kekuasaannya serta mewakili kepentingan anak tersebut berdasarkan
surat instruksinya yang diberikan pada waktu Balai Harta Peninggalan itu
diperintahkan memangku perwalian pengawas.
Sedangkan dalam Hukum Perdata Islam, baik UU RI No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan KHI tidak mengatur hal-hal tersebut.
VII.
Ketentuan mengenai wali nikah
Dalam hal ini, KUH Perdata tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
wali nikah. Adapun wali nikah dijelaskan dalam pasal 19-23 Kompilasi Hukum
20
‘Abdul Rahman Muhammad ‘Utsman, ‘AUNUL MA’BUD Syarah Sunan Abu Daud dan
Syarah Ibnu Qiyamul Jauziyyah, Jilid 6, (t.t: Dar Al-Fikr, 1979), h. 365.
65
Islam, yang menjelaskan mengenai macam-macam wali nikah, dan siapa-siapa yang
berhak menjadi wali bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya serta pasal 14 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
mengatur bahwa wali nikah merupakan salah satu pihak yang berhak untuk mencegah
terjadinya perkawinan.
Tabel analisis perbedaan antara hukum perdata barat dan hukum perdata Islam.
Ketentuan-ketentuan
KUHPerdata
UU RI No.1/1974 tentang
KHI
Perkawinan
Ketentuan umur
Umur 18
Tidak
Ya
Tidak
Umur 21
Pengangkatan wali
1. Perwalian oleh
ayah dan ibu
2. Perwalian
berdasarkan
penunjukan oleh
ayah dan ibu
3. Perwalian
berdasarkan
penunjukan
hakim
Kewajiban wali terhadap
diri anak
1. Pendidikan
2. Bimbingan
agama
Kewajiban wali terhadap
harta anak yang
berkaitan dengan hal
penggunaan harta anak
Ketentuan perwalian
terhadapa anak di luar
nikah
1. Hubungan
perdata kepada
ayah
2. Hubungan
perdata dengan
ibu
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
66
Ketentuan perwalian
pengawas, yayasan, dan
lembaga pengawas
Wali nikah
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep perwalian dalam hukum perdata barat
Dalam hukum perdata barat terdapat 13 bagian yang tersusun secara teratur
yang dapat menggambarkan bagaimana konsep perwalian yang terdapat dalam Kita
Undang-Undang Hukum Perdata yang dikenal dengan sebutan hukum perdata barat
yang dimulai dari pasal 330 sampai 418 KUH Perdata, yaitu: 1. Kebelumdewasaan, 2.
Perwalian pada umumnya, 3. Perwalian oleh bapak dan ibu, 4. Perwalian yang
diperintahkan oleh bapak atau ibu, 5. Perwalian yang diperintahkan oleh hakim, 6.
Perwalian oleh perkumpulan, yayasan, dan lembaga sosial, 7. Perwalian pengawas, 8.
Alasan-alasan yang dapat melepaskan diri dari perwalian, 9. Pengecualian,
pembebasan dan pemecatan dari perwalian, 10. Pengawasan wali atas pribadi anak
belum dewasa, 11. Tugas pengurus wali, 12. Perhitungan pertangungjawaban
perwalian, 11. Balai Harta Peninggalan dan Dewan Perwalian.
2. Konsep Perwalian dalam Hukum Perdata Islam
Ketentuan-ketentuan perwalaian dalam Hukum Perdata Islam dapat kita
temukan dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI yang memuat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Batas usia anak di bawah umur, 2. Syaratsyarat terjadinya perwalian, 3. Kewajiban wali, 4. Larangan bagi wali, 5. Hilangnya
hak perwalian, 6. Berakhirnya perwalian, 7. Wali nikah.
66
67
3. Analisis Perbandingan Antara Hukum Perdata Islam dan Hukum Perdata
Dalam Hal Perwalian
Setelah peneliti melakukan penelitian terhadapat Hukum Perdata Barat dan
Hukum Perdata Islam maka penulis dapat mengetahui perbedaan yang mendasar
antara kedua hukum tersebut dan mengelompokkan perbedaan tersebut ke dalam 6
bagian, yaitu: 1, Ketentuan Umur, 2. Pengangkatan wali, 3. Kewajiban wali terhadap
diri anak, 4. Kewajiban wali terhadap harta anak, 5. Ketentuan terhadap anak yang
lahir di luar perkawinan, 6. Ketentuan tentang perwalian pengawas, perwalian oleh
perkumpulan, yayasan, dan lembaga sosial. Selain dari perbedaan-perbedaan tersebut,
terdapat pula perbedaan yang Istimewa yang hanya terdapat dalam hukum perdata
Islam, yaitu wali nikah bagi anak perempuan yang tidak mengenal batas usia yang
diatur dalam pasal 19 -23 KHI dan pasal 14 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
B. Implikasi penelitian
Implikasi penelitian yang diharapkan melalui penelitian yang dilakukan oleh
penulis, terhadap konsep perwalian dalam perspektif hukum perdata dan hukum
perdata Islam yakni, sebagai berikut;
1. Pemahaman masyarakat umum dan para pelajar lebih mendalam terhadap
hukum yang mengatur tentang ketentuan perwalian.
2. Ketentuan-ketentuan mengenai perwalian dapat menjadi perhatian khusus dari
pihak-pihak yang berkuasa agar dapat memberikan perubahan dalam bentuk
pembaharuan yang lebih baik sehubungan masih banyak aturan yang diatur
68
secara terpisah dari Undang-undang Perkawinan yang tergolong ke dalam
hukum perdata Nasional di negara kita yaitu Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, TAFSIR JUZ ‘AMMA, Bandung: Mizan, 2001.
Abdul Rahman Muhammad ‘Utsman, ‘AUNUL MA’BUD Syarah Sunan Abu Daud
dan Syarah Ibnu Qiyamul Jauziyyah, Jilid 6, t.t: Dar Al-Fikr, 1979.
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka
Cipta, 1997.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Perdata Islam, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009.
---------------------------, Roihan A, Rasyid, Yahya Harahap, Taufiq, Kompilasi Hukum
Isam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ali, Abdullah yusuf, Qur’an Terjemahan dan Tafsirannya JUZ I s/d XV, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Bogor:
Pustaka Ibnu Katsir, 2006.
Al-Shan’any, Subul al-Salam, juz 3, Kairo: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, 1960.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum Jilid 7, cet.
Ke-3, Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tejemah, Jakarta: Al-Huda, 2002.
Doi, A. Rahman I, penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003.
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Hasyim, Abdul Manan, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf.
Imam Mubarak Ibnu Muhammad Ibnu al-Atsir al-Juzri, Jami’ul Ushul fi Ahadisi arRasul, Jilid 2, t.t, Dar al-Fikr, 1983.
Imam Ibn ‘Adil al-Hanbali, Al-Lubab fi ‘Ulumil-Kitab, Jilid 12 Cet ke-2, Lebanon:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2011.
Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan , Jakarta: Akademika Pressindo, 2000.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:t.tp, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Imam Ja’far Shadiq 3, Jakarta: Lentera, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir, Jogjakarta: Pondok Pesantren AlMunawir, 1984.
Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, Jakarta: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th.
68
69
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang PERADILAN ANAK,Cet ke-6, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Rusli, Hardijan, Metode Penelitian Hukum Normative: Bagaimana?”’, Jakarta: Pelita
Harapan, 2006.
Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah 14, Bandung: Al-Ma’arif, 1988.
Shihab, M. Quraish, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;an,
volume 2, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan
Singkat, Cet ke-11. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, ( Undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawian ), Yogyakarta: liberty, 1986
Soetjono, R. dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet ke-4, Bandung:
Alumni, 1972.
Soimin, Soedaryo, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Subekti, R. dan R Tjitrosudibio, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
BURGERLIJK WETBOEK dengan tambahan Undang-Undang Pokok Agraria
dan Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-33, Jakarta: Pradnya Paramita,
2003.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & PeraturanPelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,Jakarta: Rajawali Pers,
2008.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam Dalam Dunia Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005.
Suparni, Niniek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Cet. Ke-7,
Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2007.
Susanti,
Konsep
Perwalian
Dalam
Hukum
Islam,
http://digilib.uinsby.ac.id/1347/5/Bab%202.pdf.
Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006.
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj I.S Adiwimarta Jilid 1, Jakarta:
Rajawali Pers, 1997.
LAMPIRAN
KEBELUMDEWASAAN DAN PERWALIAN
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Untuk
Kebelumdewasaan, Berlaku Ketentuan-ketentuan Golongan Timur
Asing IA sub c,
yang Mengandung Ketentuan Yang Sama Seperti Ketentuan Pasal 330
Alinea Pertama dan Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
BAGIAN 1
Kebelumdewasaan
Pasal 330
Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur
dalam Bagian 3, 4, 5 dan 6 dalam bab ini.
Penentuan tentang arti istilah "belum dewasa" yang dipergunakan
dalam beberapa peraturan undang-undang terhadap penduduk Indonesia.
Untuk menghilangkan keraguan-raguan yang disebabkan oleh
adanya Ordonansi tanggal 21 Desember 1971 dalam S.1917-738, maka
Ordonansi ini dicabut kembali, dan ditentukan sebagai berikut:
1. Bila peraturan-peraturan menggunakan istilah "belum dewasa", maka
sejauh mengenai penduduk Indonesia, dengan istilah ini dimaksudkan
semua orang yang belum genap 21 tahun dan yang sebelumnya tidak
pernah kawin.
2. Bila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka berumur 21 tahun,
maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
3. Dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan anak-anak.
BAGIAN 2
Perwalian Pada Umumnya
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 331
Dalam setiap perwalian, hanya ada seorang wali, kecuali yang
ditentukan dalam Pasal 351 dan 361.
Perwalian untuk anak-anak dari bapak dan ibu yang sama, harus
dipandang sebagai suatu perwalian, sejauh anak-anak itu mempunyai
seorang wali yang sama.
Pasal 331a Perwalian mulai berlaku:
1. bila oleh Hakim diangkat seorang wali yang hadir, pada saat
pengangkatan itu dilakukan, atau apabila pengangkatan itu dihadirinya,
pada waktu pengangkatan diberitahukan kepadanya;
2. bila seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua, pada saat
pengangkatan itu, karena meninggalnya pihak yang mengangkat,
70
71
memperoleh kekuatan untuk berlaku dan pihak yang diangkat
menyatakan kesanggupannya untuk menerima pengangkatan itu;
3. bila seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali oleh Hakim
atau oleh salah seorang dan kedua orang tua, pada saat ia, dengan
bantuan atau kuasa dari suaminya, atau atas kuasa Hakim, menyatakan
sanggup menerima pengangkatan itu;
4. bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas
permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali,
pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu;
5. dalam hal termaksud dalam Pasal 358, pada saat Pengesahan;
6. bila seorang menjadi wali demi hukum, pada saat terjadinya peristiwa
yang mengakibatkan perwalian itu.
Dalam segala hal, bila pemberitahuan tentang pengangkatan wali
ditentukan dalam pasal ini atau pasal-pasal yang lain, balai harta
peninggalan wajib melaksanakan pemberitahuan ini secepat-cepatnya.
Pasal 331b
Bila bagi anak-anak belum dewasa yang ada di bawah perwalian,
diangkat seorang wali lain atau karena hukum orang lain menjadi wali,
maka perwalian yang pertama berakhir pada saat perwalian lain mulai
berlaku, kecuali jika hakim menentukan saat lain.
Perwalian berakhir:
1. bila anak belum dewasa, setelah berada di bawah perwalian, kembali
kekuasaan orang tua, karena bapak atau ibunya mendapat kekuasaan
kembali, pada saat penetapan sehubungan dengan itu diberitahukan
kepada walinya;
2. bila anak belum dewasa, setelah berada di bawah perwalian, kembali di
bawah kekuasaan orang tua berdasarkan Pasal-pasal 206b atau 323a,
pada saat berlangsungnya perkawinan;
3. bila anak belum dewasa yang lahir di luar perkawinan diakui menurut
undang-undang, pada saat berlangsungnya perkawinan yang
mengakibatkan sahnya si anak, atau pada saat pemberian surat
pengesahan yang diatur dalam Pasal 274; 4°.bila dalam hal yang diatur
dalam Pasal 453 orang yang berada di bawah pengampuan memperoleh
kembali kekuasaan orang tuanya, pada saat pengampuan itu berakhir.
Pasal 332
Kecuali apa yang ditentukan dalam pasal berikut, barangsiapa
sehubungan dengan Bagian 8 dan 9 dalam bab ini tidak dikecualikan atau
dibebaskan dari perwalian, wajib menerima perwalian tersebut.
Bila orang yang diangkat menjadi wali menolak atau lalai
menjalankan perwalian itu, balai harta peninggalan sebagai pengganti dan
atas tanggung jawab wali, harus melakukan tindakan-tindakan sementara
guna mengurus pribadi dan harta benda anak belum dewasa dengan cara
seperti yang diatur dalam instruksi untuk balai harta peninggalan.
Dalam hal itu wali bertanggung jawab atas tindakan-tindakan balai
harta peninggalan, tanpa mengurangi tuntutan terhadapnya.
Pasal 332a
72
Baik orang yang diangkat menjadi wali oleh salah seorang dari
kedua orang tua, maupun wanita bersuami yang diangkat oleh salah seorang
dari kedua orang tua, maupun wanita bersuami yang diangkat menjadi wali,
tidaklah wajib menerimanya. Pengangkatan itu tidak mengakibatkan suatu
apa pun bila mereka tidak menyatakan sanggup menerima. Pernyataan ini
harus dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat tinggal anak
yang belum dewasa dalam waktu enam puluh hari, setelah pengangkatan itu
diberitahukan kepada mereka.
Bila yang diangkat bertempat tinggal sejauh lebih dan lima belas pal
dari kepaniteraan Pengadilan Negeri itu, pernyataan tersebut boleh diajukan
secara tertulis di atas kertas tanpa materai.
Pemberitahuan ini bila menyangkut wanita bersuami, harus
dilakukan baik kepadanya maupun kepada suaminya.
Pemberitahuan tidak diwajibkan bila di kepaniteraan Pengadilan
Negeri telah dilakukan atau diajukan pernyataan, bahwa pengangkatan itu
ditolak.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas berlaku terhadap perkumpulan,
yayasan dan lembaga sosial tersebut dalam Pasal 365, kecuali jika perwalian
itu diperintahkan atas permintaan atau kesanggupan mereka sendiri.
Pasal 332b
Wanita bersuami tidak boleh menjadi wali tanpa bantuan atau izin
tertulis dari suami.
Bila suami telah memberikan bantuan atau izin atau bila ia kawin
dengan wanita tersebut setelah perwalian dimulai, seperti halnya bila wanita
tersebut menurut Pasal 112 atau Pasal 114 telah menerima perwalian itu
berdasarkan kuasa Hakim, maka wali wanita bersuami itu, seperti tidak
bersuami, berhak melakukan segala tindakan perdata berkenaan dengan
perwalian itu dan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan itu, tanpa
pemberian kuasa atau bantuan apa pun juga.
Perintah untuk melimpahkan perwalian kepada suatu perkumpulan,
yayasan atau lembaga sosial memberikan kekuatan hukum kepada
perjanjian-perjanjian yang dilakukan perempuan bersuami itu selaku
pengurus perwalian tersebut tanpa adanya bantuan atau pemberian kuasa
suaminya.
Pasal 333
Bila sehubungan dengan ketentuan-ketentuan kitab undang-undang
ini ikut sertanya keluarga sedarah atau semenda dan anak belum dewasa
diharuskan, maka sedapat-dapatnya harus selalu dipanggil sejumlah empat
orang dipilih dari keluarga terdekat dan sedapat-dapatnya dari garis kedua
pihak, dengan catatan bahwa yang dipanggil Hakim adalah mereka yang
bertempat tinggal atau berkediaman di daerah hukum Pengadilan Negeri
yang bersangkutan; sedangkan bila dipandang perlu mendengar anggota
sedarah atau semenda yang bertempat tinggal atau berkediaman di luar
daerah hukum tersebut maka pemanggilan dan pemeriksaan mereka boleh
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya
orang-orang itu bertempat tinggal atau berkediaman atau kepada kepala
daerah setempat, yang akan mengirimkan berita acara yang dibuatnya
kepada Pengadilan Negeri tersebut pertama.
73
Keluarga sedarah atau semenda yang harus dipanggil adalah mereka
yang telah dewasa dan bertempat tinggal atau berkediaman di Indonesia.
Semua panggilan termaksud dalam pasal ini dilakukan dengan surat tercatat.
Pasal 334
Setiap kali diperlukan kehadiran para keluarga sedarah atau semenda
dari anak belum dewasa, mereka dapat diwakili oleh seorang kuasa khusus.
Surat kuasa bebas dari bea materai. Yang diberi kuasa boleh bertindak atas
nama satu orang saja.
Pasal 335
Dalam waktu satu bulan setelah perwalian mulai berjalan atau bila
sepanjang perwalian harta anak belum dewasa sangat bertambah, dalam
waktu satu bulan setelah mendapat teguran dari Balai Harta Peninggalan,
setiap kali, kecuali perkumpulan, yayasan dan lembaga sosial tersebut dalam
Pasal 365, atas kerelaan balai harta peninggalan tersebut dan guna menjamin
pengurusan mereka, wajib menaruh suatu ikatan jaminan, memberikan
hipotek atau gadai atau menambah jaminan yang telah ada.
Hipotek itu harus didaftarkan atas permintaan Balai Harta
Peninggalan.
Dalam hal perbedaan pendapat tentang cukup tidaknya jaminan yang
ditaruh antara wali dan Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri
memutuskannya atas permintaan pihak yang lebih dulu siap memintanya.
Bila harta anak belum dewasa dianggap kurang, Balai Harta
Peninggalan berwenang untuk membebaskan si wali dari kewajiban tersebut
dalam alinea pertama pasal ini, tetapi sewaktu-waktu boleh menuntut
penaruhan jaminan menurut alinea pertama dan ketiga.
Pasal 336
Bila wali Ialai dalam waktu yang ditentukan dalam alinea pertama
pasal yang lalu untuk menaruh salah satu jaminan tersebut di dalamnya,
Balai Harta Peninggalan harus melakukan pendaftaran hipotek atas beban
wali tersebut.
Bila si wali berkeberatan karena pendaftaran yang baru itu diambil
untuk jumlah uang yang terlampau besar atau atas barang-barang yang lebih
banyak daripada seperlunya guna menjamin anak belum dewasa, maka
persoalan ini harus diputus oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 337
Baik wali yang telah menanggung pendaftaran semacam itu maupun
wali yang dengan sukarela telah menaruh jaminan, setiap waktu untuk
mengakhiri akibatnya dengan meletakkan jaminan lain atas kerelaan Balai
Harta Peninggalan atau dalam hal adanya perbedaan pendapat dengan balai
harta peninggalan tentang cukup tidaknya jaminan yang ditawarkan, dengan
keputusan Pengadilan Negeri menurut ketentuan Pasal 335.
Bila soalnya diselesaikan di luar Pengadilan, maka penghapusan
hipotek berlangsung berdasarkan tuntutan Balai Harta Peninggalan; dalam
hal kebalikannya penghapusan itu dilakukan berdasarkan perintah Hakim
74
yang dilangsungkan oleh penyimpan hipotek karena jabatannya dengan
penunjukkan perintah Hakim.
Wali itu boleh minta pengurangan jaminan yang telah ditaruhnya,
bila sepanjang pengurusan harta kekayaan anak belum dewasa sangat
mengalami kemerosotan di luar kesalahannya. Bila ada perbedaan pendapat
tentang hal itu antara wali dan Balai Harta Peninggalan, Pengadilan Negeri
memutuskannya atas permintaan pihak yang lebih dulu memintanya.
Pasal 338
Bila dalam tenggang waktu yang ditentukan untuk itu, wali lalai
menaruh ikatan jaminan atau gadai dan tidak memiliki harta benda tak
bergerak yang cukup, maka atas tuntutan Balai Harta Peninggalan
pengurusan harta kekayaan anak belum dewasa harus dicabut oleh
Pengadilan Negeri dan diberikan kepada Balai Harta Peninggalan sampai
wali memberikan jaminan secukupnya; yaitu bila atas permintaan wali,
Pengadilan Negeri setelah mendengar Balai Harta Peninggalan,
menyerahkan tugas tersebut kembali kepada wali.
Wali yang telah dicabut pengurusannya, tetap ditugaskan
memelihara anak-anak yang belum dewasa dengan dasar dan cara yang jika
perlu akan ditentukan oleh Pengadilan Negeri. Atas usul Balai Harta
Peninggalan.
Akan tetapi bila pengurusan harta tak bergerak dan anak belum
dewasa memerlukan pengawasan terus menerus, Pengadilan Negeri setelah
mendengar Balai Harta Peninggalan, dapat menentukan bahwa tugas
pengurusan itu tetap berada si wali asal saja wali itu menyerahkan kepada
Balai Harta Peninggalan semua uang tunai, barang-barang berharga dan
surat-surat berharga milik anak yang belum dewasa; dalam hal yang
demikian Balai Harta Peninggalan akan memberikan uang secukupnya
kepada wali untuk pemeliharaan dan pendidikan anak belum dewasa dan
untuk keperluan sehari-hari pengurusan barang-barang tak bergerak, dengan
kewajiban pula bagi wali supaya setiap tahun memberikan kepada Balai
Harta Peninggalan pertanggungjawaban tentang pemakaian uang itu
menurut cara yang ditetapkan dalam Pasal 372.
Pasal 338a
Wali yang berminat meninggalkan Indonesia boleh mengajukan
surat permohonan kepada Pengadilan Negeri agar memperoleh pencabutan
jaminan benda yang telah diberikan olehnya atau yang telah diambil atas
tanggungannya.
Permohonan itu harus didahului dengan pertanggungjawaban yang
lengkap kepada Balai Harta Peninggalan menurut cara yang diatur dalam
Pasal 372 dan dalam surat permohonan itu harus dilampirkan surat
keterangan dari Balai Harta Peninggalan bahwa Balai Harta Peninggalan itu
telah menyetujui pertanggungjawaban yang diserahkan kepadanya.
Pengadilan Negeri akan mengeluarkan penetapan setelah mendengar
Balai Harta Peninggalan dan keluarga sedarah beserta semenda.
Permohonan akan dikabulkan bila ternyata si wali telah memenuhi
kewajibannya sebagai wali.
Bila karena ini pencabutan jaminan diizinkan, maka jaminan itu
harus diganti dengan penyerahan tanggungan; apabila hal ini tidak bisa
dijalankan, harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan pasal yang lalu.
75
Pasal 339
Bila wali itu meninggalkan Indonesia bersama si anak yang belum
dewasa, maka atas permintaan wali tersebut dan setelah mendengar Balai
Harta Peninggalan, tugas pengurusan yang dicabut menurut Pasal 338, oleh
Pengadilan Negeri boleh dikembalikan kepadanya, seluruhnya atau
sebagian, dengan penentuan sebagaimana dianggap perlu oleh Pengadilan
Negeri bagi kepentingan anak belum dewasa.
Pasal 340
Penanggung-penanggung
yang
diikatkan
sedapat-dapatnya
bertempat tinggal dalam daerah hukum Pengadilan Negeri, tanpa
mengurangi syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 341
Bila seorang penanggung meninggalkan Indonesia karena pindah
atau meninggal dunia, maka Pengadilan Negeri atas permintaan Balai Harta
Peninggalan boleh memerintahkan kepada wali, supaya dalam tenggang
waktu yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, ditunjuk penanggung baru
yang setelah penunjukkan diterima, penanggung yang pertama atau ahli
warisnya demi hukum bebas dari ikatan.
Dalam hal si wali tidak mematuhi perintah itu, maka berlakulah
ketentuan Pasal 336 dan 338.
Pasal 342
Penanggung dan hak gadai berakhir, dan hipotek-hipotek yang
didaftarkan harus dihapuskan, bila tugas pengurusan wali berakhir dan bila
pertanggungan jawab pun berakhir dengan memberi perhitungan,
menyerahkan surat-surat dan membayar uang sisa.
Pasal 343
Akta untuk penyelenggaraan pendaftaran hipotek dan penghapusan
yang harus dilakukan menurut bagian ini tidak dikenakan biaya dan pajak,
kecuali uang upah bagi penyimpan hipotek yang masuk tanggungan anak
yang belum dewasa.
Pasal 344
Segala penetapan Pengadilan Negeri tersebut dalam bagian ini
diambil atas surat permintaan, setelah mendengar pertimbangan Kejaksaan,
tanpa adanya bentuk acara dan tidak dapat dimintakan banding.
BAGIAN 3
Perwalian Oleh Ayah dan Ibu
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa,Tetapi
Berlaku BagiGolongan Tionghoa)
Pasal 345
76
Bila salah satu dari orang tua meninggal dunia, maka perwalian anak
belum dewasa dipangku demi hukum oleh orang tua yang masih hidup,
sejauh orang tua itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua.
Pasal 346
Dicabut dengan S. 1927-31 jis. 390, 421. Pasal 347 Dicabut dengan
S. 1927-31 jis. 390, 421.
Pasal 348
Jika setelah suami meninggal dunia, isteri menerapkan, atau setelah
dipanggil secara sah untuk itu, mengaku bahwa ia sedang mengandung,
maka balai harta peninggalan harus jadi pengampu atas buah kandungan itu
dan wajib mengadakan segala tindakan yang perlu dan yang mendesak guna
menyelamatkan dan mengurus harta kekayaannya, baik demi kebaikan anak
bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang
berkepentingan.
Bila anak itu lahir hidup, ketentuan-ketentuan biasa tentang
perwalian harus diperhatikan.
Pasal 349
Dicabut dengan S. 1927 -31 jis. 390, 421.
Pasal 350
Dicabut dengan S. 1927 -31 jis. 390, 421.
Pasal 351
Bila wali ibu kawin, maka suaminya, kecuali jika ia dikecualikan
atau dipecat dari perwalian, selama dalam perkawinan antara suami dan
isteri tidak ada pisah meja dan ranjang atau tidak ada pisah harta benda,
demi hukum menjadi wali peserta dan di samping isterinya bertanggung
jawab secara tanggung-menanggung sepenuhnya atas segala perbuatan yang
dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Perwalian peserta suami berakhir, bila ia dipecat dari perwalian atau
si ibu berhenti menjadi wali.
Pasal 352
Wali bapak atau wali ibu yang kawin lagi, bila wali pengawas
menghendakinya, sebelum atau sesudah perkawinan itu dilangsungkan,
wajib menyampaikan daftar lengkap harta kekayaan anak belum dewasa
kepada wali pengawas.
Bila yang dimaksud dalam alinea terdahulu tidak dipenuhi dalam
waktu satu bulan, maka wali pengawas, dengan melampirkan bukti tentang
permintaannya untuk itu, boleh mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri supaya wali itu dipecat; Pengadilan Negeri harus membuat
penetapan sesuai dengan permohonan itu, kecuali bila dalam jangka waktu
yang ditentukan oleh Pengadilan Negeri dan diberitahukan kepadanya, si
77
wali masih menyampaikan daftar yang dikehendakinya kepada Pengadilan
Negeri; ketetapan diambil tanpa suatu bentuk acara.
Sedapat-dapatnya dalam penetapan yang sama, yang berisi
pemecatan itu, oleh Pengadilan Negeri diangkat pula wali yang baru.
Pasal 353
Seorang anak tidak sah, demi hukum berada di bawah perwalian
bapaknya atau ibunya yang telah dewasa dan telah mengakui anak itu,
kecuali jika bapak atau ibu ini dikecualikan dari perwalian, atau orang lain
telah ditugaskan sebagai wali selama ayah atau ibu itu belum dewasa, atau
orang tua telah mendapat tugas sebagai wali sebelum anak itu diakui.
Bila pengakuan itu dilakukan oleh kedua orang tua, maka perwalian
terhadap anak itu, dengan pengecualian yang sama, dilakukan oleh orang
tua yang lebih dulu mengakui dan bila pengakuan itu dilakukan pada waktu
yang sama, bapaklah yang memangku perwalian.
Bila orang tua yang melakukan perwalian berdasarkan ketentuanketentuan yang lalu meninggal dunia, dipecat dari perwalian, ditempatkan di
bawah pengampuan, atau dalam hal tersebut dalam Pasal 354 tidak
dipertahankan sebagai wali atau tidak diangkat sekali lagi sebagai wali,
maka orang tua yang satu lagi demi hukum menjadi wali, kecuali jika ia
telah dikecualikan atau dipecat dari perwalian atau telah kawin. Bila bapak
atau ibu yang menurut ketentuan yang lalu memangku perwalian tidak
hadir, maka Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali.
Bila bapak atau ibu yang tidak dikecualikan atau dibebaskan dari
perwalian dan telah kawin dan oleh karena itu menurut alinea yang lalu
demi hukum tidak memangku perwalian, mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri supaya diangkat menjadi wali, maka Pengadilan Negeri
harus mengabulkannya, kecuali jika kepentingan anak tidak
mengizinkannya; Pengadilan Negeri mengambil ketetapan setelah
mendengar atau memanggil dengan sah suami atau istri si pemohon dan,
jika orang tua yang lain masih hidup, juga dia dan wali pengawas. Terhadap
pemeriksaan orang-orang ini berlaku ketentuan alinea keempat Pasal 206.
Terhadap wali ibu atas di luar kawin yang diakui dan terhadap suaminya
berlaku Pasal 351, kecuali bila karena perkawinan tersebut anak menjadi
sah.
Pasal 354
Bila orang yang melakukan perwalian terhadap anak di luar kawin
yang telah diakuinya, hendak kawin, maka kecuali jika dengan perkawinan
itu anaknya akan menjadi sah, ia harus mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri. supaya dapat meneruskan perwalian. Pengadilan Negeri
mengambil ketetapan setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang
tua yang lain, sekiranya ia telah mengakui anak itu, dan juga wali pengawas.
Terhadap pemeriksaan orang-orang tersebut berlaku alinea keempat Pasal
206.
Orang yang lalai memenuhi ketentuan termuat dalam kalimat
pertama alinea pertama, demi hukum kehilangan haknya untuk menjadi
wali; kedua suami istri bertanggung jawab secara tanggung-menanggung
sepenuhnya atas segala akibat perwalian, yang dilakukannya tanpa hak.
Kehilangan hak untuk menjadi wali seperti yang ditentukan di atas,
tidak menghalang-halangi orang yang berdasarkan alinea yang lalu
78
kehilangan perwalian, sekiranya ada alasan-alasan, untuk diangkat oleh
Pengadilan Negeri menjadi wali dengan memperhatikan ketentuanketentuan dalam Bagian 5 bab ini.
Pasal 354a
Bila perwalian diserahkan kepada orang lain dalam salah satu hal
yang dimaksud dalam alinea pertama Pasal 353, maka bapak yang telah
dewasa atau ibu yang telah dewasa dari anak tidak sah yang diakuinya,
sejauh mereka tidak dikecualikan, dibebaskan atau dipecat dari perwalian,
boleh mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri supaya diangkat
menjadi wali sebagai pengganti wali yang lain itu.
Pengadilan Negeri mengambil ketetapan atas permohonan itu setelah
mendengar atau memanggil dengan sah si pemohon, wali, wali pengawas,
suami atau isteri pemohon bila pemohon ini telah kawin lagi, dan orang tua
yang lain bila ia ikut mengakui anak dan masih hidup, serta dewan
perwalian. Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan mi, kecuali jika
ada kekhawatiran yang mendasar, bahwa bapak dan ibu akan melalaikan si
anak.
Ketentuan dalam kalimat terakhir Pasal 253 berlaku dalam hal ini.
Terhadap pemeriksaan orang-orang tersebut di atas berlaku
ketentuan alinea keempat Pasal 206 dengan penyesuaian sekedarnya.
BAGIAN 4
Perwalian yang Diperintahkan oleh Bapak atau Ibu
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 355
Masing-masing orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua
atau perwalian atas seorang atau beberapa orang anaknya, berhak
mengangkat seorang wali bagi anak-anaknya itu, jika sesudah ia meninggal
dunia, demi hukum atau karena penetapan Hakim yang dimaksud dalam
alinea terakhir Pasal 353, perwalian tidak dilakukan pihak lain dari orang
tua.
Badan hukum tidak boleh diangkat beberapa orang dengan urutan
pengangkatan, sehingga yang diangkat belakang bertindak sebagai wali, bila
yang Iebih dulu tidak ada
Pasal 356
Pengangkatan seorang wali tidak mempunyai akibat apa pun bila
orang tua yang melakukan pengangkatan itu pada saat meninggal dunia
tidak melakukan perwalian atas anak-anaknya atau tidak menjalankan
kekuasaan orang tua.
Pasal 357
Pasal 319g dan Pasal 382d tetap berlaku, juga bila yang bertindak
sebagai wali adalah orang yang diangkat oleh salah seorang dan kedua
orang tua.
79
Bila selama pengampuan salah seorang dari kedua orang tua yang
karena sebab lain belum pernah kehilangan kekuasaan orang tua atau
perwalian, orang tua yang lain telah mengangkat seorang wali dan
meninggal dunia, maka perwalian dari wali yang diangkat itu berakhir demi
hukum, dengan berakhirnya pengampuan.
Pasal 358
Pengangkatan seorang wali bagi anak di luar kawin yang dengan sah
diakui oleh ayah atau ibunya yang telah dipertahankanñ sebagai wali atau
telah diangkat menjadi wali lagi, tidak mempunyai kekuatan, kecuali bila
disahkan oleh Pengadilan Negeri.
BAGIAN 5
Perwalian yang Diperintahkan oleh Pengadilan Negeri
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 359
Bila anak belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua dan yang perwaliannya sebelumnya tidak diatur dengan cara yang
sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar
atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.
Bila pengangkatan itu diperlukan karena ketidakmampuan untuk
sementara waktu melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, maka oleh
Pengadilan Negeri diangkat juga seorang wali untuk waktu selama
ketidakmampuan itu ada. Wali ini diberhentikan lagi oleh Pengadilan
Negeri atas permohonan orang yang digantinya bila alasan-alasan yang
menyebabkan ia diangkat. Bila pengangkatan itu diperlukan karena bapak
atau ibu tidak diketahui ada tidaknya, tempat tinggal atau tempat kediaman
mereka, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat juga seorang wali.
Atas permohonan orang yang digantinya, wali ini diberhentikan oleh
Pengadilan Negeri, bila alasan yang menyebabkan pengangkatan tidak ada
lagi.
Atas permohonan ini Pengadilan Negeri mengambil ketetapan
setelah mendengar atau memanggil dengan sah pemohon, wali, wali
pengawas, para keluarga sedarah atau semenda anak belum dewasa, dan
dewan perwalian bila permohonan ini menyangkut perwalian anak di luar
kawin, maka Pengadilan Negeri mengambil ketetapan setelah mendengar
atau memanggil secara sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 354a.
Permohonan dikabulkan kecuali jika ada kekhawatiran yang berdasar kalaukalau bapak atau ibu menelantarkan anak. Terhadap pemeriksaan orangorang ini, ketentuan dalam alinea keempat Pasal 206 berlaku dengan
sekedar penyesuaian.
Selama perwalian termaksud dalam alinea kedua dan ketiga berjalan,
penunaian kekuasaan orang tua ditangguhkan.
Dalam hal diperlukan pengangkatan seorang wali, maka bila perlu
oleh Balai Harta Peninggalan, baik sebelum maupun setelah pengangkatan
itu, diadakan tindakan-tindakan seperlunya guna mengurus diri dan harta
kekayaan anak belum dewasa, sampai perwalian itu mulai berlaku.
Pasal 360
80
Pengangkatan seorang wali atas permintaan keluarga sedarah anak
yang belum dewasa, atas permintaan para kreditur atau pihak lain yang
berkepentingan, atas permintaan Balai Harta Peninggalan, atas tuntutan
jawatan Kejaksaan, ataupun karena jabatan, oleh Pengadilan Negeri yang di
daerah hukumnya anak belum dewasa itu bertempat tinggal.
Bila anak belum dewasa tidak mempunyai tempat tinggal di
Indonesia atau bila tempat tinggalnya tidak diketahui, maka pengangkatan
itu dilakukan oleh Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya yang terakhir di
Indonesia, sedangkan bila ini juga tidak ada, oleh Pengadilan Negeri di
Jakarta.
Pegawai Catatan Sipil wajib memberitahukan kepada Balai Harta
Peninggalan semua peristiwa kematian yang harus dibukukan dalam daftar
dengan keterangan apakah orang-orang yang meninggal itu meninggalkan
anak belum dewasa, dan memberitahukan segala perlangsungan perkawinan
yang akan dibukukan mengenai orang-orang tua yang mempunyai anak
yang belum dewasa.
Pasal 361
Bila seorang anak belum dewasa yang berdiam di Indonesia
mempunyai harta kekayaan di Negeri Belanda atau di daerah jajahannya di
luar Indonesia, maka atas permintaan seorang pengurus di Negeri Belanda
dan di daerah jajahan tersebut.
Dalam hal itu wali tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan
pengurusan itu.
Pengurus dipilih dengan cara yang sama seperti wali.
Pasal 362
Wali, segera setelah perwaliannya mulai berlaku, di hadapan Balai
Harta Peninggalan wajib mengangkat sumpah, bahwa ia akan menunaikan
perwalian yang dipercayakan kepadanya dengan baik dan tulus hati.
Bila di tempat kediaman wali itu atau dalam jarak lima belas pal dari
tempat itu tidak ada Balai Harta Peninggalan atau tidak ada perwakilannya
maka sumpah boleh diangkat di hadapan Pengadilan Negeri atau kepala
pemerintahan daerah tempat kediaman wali.
Tentang pengambilan sumpah itu harus dibuat berita acara.
Pasal 363
Tanpa mengurangi ketentuan alinea kedua Pasal 354a dan alinea
keempat Pasal 359, perwalian anak di luar kawin diatur oleh Pengadilan
Negeri tanpa Iebih dulu mendengar siapa pun.
Pasal 364
Ketetapan-ketetapan Pengadilan Negeri tentang perwalian tidak bisa
dimintakan banding, kecuali jika ada ketentuan sebaliknya.
BAGIAN 6
Perwalian oleh Perkumpulan, Yayasan dan Lembaga Sosial
81
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 365
Dalam segala hal, bila Hakim harus mengangkat seorang wali, maka
perwalian itu boleh diperintahkan kepada perkumpulan berbadan hukum
yang berkedudukan di Indonesia, kepada suatu yayasan atau kepada
lembaga sosial yang berkedudukan di Indonesia yang menurut anggaran
dasarnya, akta pendiriannya atau reglemennya mengatur pemeliharaan anak
belum dewasa untuk waktu yang lama.
Pasal 362 tidak berlaku.
Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial itu, sehubungan dengan
perwalian yang ditugaskan kepadanya, mempunyai hak-hak dan kewajibankewajiban yang sama dengan yang diberikan atau yang diperintahkan
kepada wali, kecuali jika undang-undang menentukan lain.
Para anggota pengurus masing-masing bertanggung jawab secara
pribadi dan tanggung menanggung atas pelaksanaan perwalian itu, selama
perwalian itu dilakukan oleh pengurus dan selama anggota-anggota
pengurus ini tidak menunjukkan pada Hakim, bahwa mereka telah
mencurahkan segala usaha guna melaksanakan perwalian sebagaimana
mestinya atau mereka dalam keadaan tidak mampu menjaganya.
Pengurus boleh memberi kuasa secara tertulis kepada seorang
anggotanya atau lebih untuk melakukan perwalian terhadap anak-anak yang
belum dewasa tersebut dalam surat kuasa itu.
Pengurus berhak pula atas kehendaknya menyerahkan pengurusan
harta kekayaan anak-anak belum dewasa yang dengan tegas ditunjuknya,
asalkan secara tertulis, kepada Balai Harta Peninggalan, yang dengan
demikian wajib menerima pengurusan itu dan menyelenggarakannya
menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadapnya. Penyerahan ini
tidak dapat dicabut.
Pasal 365a
Panitera Pengadilan Negeri yang memerintahkan perwalian
memberitahukan perintah itu kepada dewan perwalian dan Kejaksaan
Negeri yang dalam daerah hukumnya perkumpulan, yayasan, atau lembaga
sosial itu berkedudukan.
Pengurus perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial melaporkan
secara tertulis penempatan anak belum dewasa di suatu rumah atau lembaga
kepada dewan perwalian dan Kejaksaan yang dalam daerah hukumnya
terletak rumah atau lembaga tersebut. Rumah atau lembaga yang
dimaksudkan ini, dikunjungi oleh pejabat Kejaksaan atau oleh seorang
petugas yang ditunjuknya dan oleh dewan perwalian tiap kali dipandang
perlu dan patut guna meneliti keadaan anak belum dewasa yang
ditempatkan di dalamnya.
Bila dikehendakinya, wali pengawas diberi kesempatan tiap-tiap
minggu mengunjungi anak belum dewasa yang ada dalam pengawasannya.
BAGIAN 7
Perwalian Pengawas
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
82
Pasal 366
Dalam setiap perwalian yang diperintahkan di dalamnya, Balai Harta
Peninggalan ditugaskan sebagai wali pengawas.
Pasal 367
Ketentuan dalam pasal yang lalu tidak berlaku dan tidak membawa
perubahan dalam perwalian pengawas yang diperintahkan di Negeri
Belanda untuk anak belum dewasa yang kemudian berdiam di Indonesia.
Bila wali pengawas yang diangkat di Negeri Belanda tidak berada di
Indonesia dan tidak menunjuk seorang kuasa khusus guna mewakili dirinya
dalam segala kejadian yang memerlukan kehadiran dan keikutsertaannya,
maka dianggaplah bahwa terhadap tugas yang harus dilakukannya di
Indonesia, ia telah memerintahkan perwakilannya kepada Balai Harta
Peninggalan di tempat tinggal anak belum dewasa, yang oleh karenanya
harus diterima oleh Balai Harta Peninggalan tersebut.
Pasal 368
Para wali tersebut dalam Bagian 3 bab ini, segera setelah perwalian
mulai berjalan, wajib memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai
Harta Peninggalan. Bila para wali tersebut lalai, mereka boleh
diberhentikan, tanpa mengurangi penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Pasal 369
Dalam segala hal, bila perwalian diperintahkan oleh Hakim, Panitera
Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus segera memberitahukan secara
tertulis adanya pengangkatan itu kepada Balai Harta Peninggalan, dengan
keterangan, apakah pengangkatan itu terjadi dengan dihadiri oleh wali itu,
atau jika perwalian itu diperintahkan kepada perkumpulan, yayasan atau
lembaga sosial, dengan keterangan, apakah hal itu terjadi atas permintaan
atau kesanggupan sendiri.
Panitera juga wajib dengan cara yang sama memberitahukan
pernyataan-pernyataan yang menurut Pasal 332a diucapkan di kepaniteraan
atau yang dikirimkan kepadanya; demikian pula pengesahan dimaksudkan
dalam Pasal 358.
Pasal 370
Kewajiban wali pengawas adalah mewakili kepentingan anak belum
dewasa, bila kepentingan ini bertentangan dengan kepentingan wali tanpa
mengurangi kewajiban-kewajiban khusus, yang dibebankan kepada Balai
Harta Peninggalan dalam surat instruksinya pada waktu Balai Harta
Peninggalan itu diperintahkan memangku perwalian pengawas.
Dengan ancaman hukuman mengganti biaya, kerugian dan bunga,
wali pengawas wajib memaksa wali untuk membuat daftar atau perincian
barang-barang harta peninggalan dalam segala warisan yang jatuh ke tangan
anak belum dewasa.
Pasal 371
83
Dengan ancaman mengganti biaya, kerugian, dan bunga, Balai Harta
Peninggalan wajib melakukan segala tindakan yang ditentukan dalam
undang-undang agar setiap wali, sekalipun tidak diperintahkan oleh Hakim,
memberikan jaminan secukupnya, atau setidak-tidaknya menyelenggarakan
pengurusan dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang.
Pasal 372
Setiap tahun wali pengawas harus minta kepada wali (kecuali bapak
dan ibu) supaya memberikan suatu perhitungan ringkas dan
pertanggungjawaban dan memperlihatkan kepadanya surat-surat andil dan
surat-surat berharga milik anak belum dewasa.
Perhitungan ringkas itu harus dibuat di atas kertas tak bermeterai dan
diserahkan tanpa suatu biaya dan tanpa suatu bentuk hukum apa pun.
Pasal 373
Bila seorang wali enggan melaksanakan ketentuan pasal yang lalu
atau bila wali pengawas dalam perhitungan ringkas menemukan tanda-tanda
kecurangan atau kealpaan besar, maka wali pengawas harus menuntut
pemecatan wali itu.
Demikian pula ia harus menuntut pemecatan dalam hal-hal lain yang
ditentukan undang-undang.
Pasal 374
Bila perwalian kosong atau ditinggalkan karena ketidakhadiran wali,
atau bila untuk sementara waktu wali tidak mampu menjalankan tugasnya,
maka wali pengawas, dengan ancaman hukuman mengganti biaya, kerugian
dan bunga, harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk
mengangkat wali baru atau wali sementara.
Pasal 375
Perwalian pengawas mulai dan berakhir pada saat yang sama dengan
mulainya dan berakhirnya perwalian.
BAGIAN 8
Alasan-alasan yang Dapat Melepaskan Diri dari Perwalian
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 376
Dihapus dengan S. 1927-31 jis. 390,421.
Pasal 377
Yang boleh melepaskan diri dari perwalian ialah:
1. mereka yang melakukan tugas negara di luar Indonesia;
2. para anggota angkatan darat dan laut;
84
3. mereka yang melakukan tugas negara di luar keresidenan atau mereka
yang karena tugas negara pada saat-saat tertentu ada di luar
keresidenan;
Orang-orang tersebut dalam tiga nomor di atas ini boleh meminta agar
dibebaskan dan perwalian, bila alasan-alasan dimaksud terjadi setelah
mereka diangkat menjadi wali;
4. mereka yang telah genap enam puluh tahun; bila mereka diangkat
sebelumnya, mereka boleh minta dibebaskan dari perwalian pada waktu
berumur 65 tahun;.
5. mereka yang terganggu oleh suatu penyakit atau penderitaan berat yang
dapat dibuktikan;
Mereka ini boleh minta dibebaskan dari perwalian, bila penyakit atau
penderitaan itu timbul setelah mereka diangkat menjadi wali;
6. mereka yang tidak mempunyai anak sendiri, tetapi dibebani tugas
memangku dua perwalian;
7. mereka yang ditugaskan memangku satu perwalian, sedangkan mereka
sendiri mempunyai seorang anak atau lebih;
8. mereka yang pada waktu diangkat sebagai wali mempunyai lima orang
anak sah termasuk di antaranya anak yang telah meninggal dalam dinas
ketentaraan;
9. wanita-wanita; Wanita yang dalam keadaan tidak bersuami telah
menerima suatu perwalian boleh minta dibebaskan, bila ia kawin;
10. mereka yang tidak berhubungan keluarga sedarah atau semenda dengan
anak belum dewasa, bila dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
tempat perwalian itu diperintahkan ada keluarga sedarah atau semenda
yang cakap memangkunya.
Bapak dan ibu tidak diperbolehkan minta dibebaskan dari perwalian
anak-anak mereka sendiri, karena salah satu alasan tersebut di atas.
Pasal 378
Barang siapa hendak melepaskan diri dari perwalian, harus
memohon pembebasan dari Hakim yang memerintahkan perwalian atau,
bila sebelumnya tidak ada pengangkatan oleh Hakim, dari Pengadilan
Negeri tempat tinggalnya.
Kecuali orang-orang yang disebutkan dalam Pasal 377 nomor 5
pemohon diwajibkan, dengan ancaman kehilangan hak, untuk mengajukan
permohonan dalam tenggang waktu tiga puluh hari sejak hari mulai
berlakunya perwalian itu bila pemohon berdiam di Indonesia, dan dalam
tenggang waktu sembilan puluh hari bila ia berdiam di luar Indonesia.
Permohonan tidak dapat diterima, bila perwalian itu dibebankan
padanya karena pernyataannya sendiri, bahwa ia sanggup menerima
perwalian itu.
Hakim mengambil ketetapan tanpa bentuk acara dan tanpa banding.
Meskipun wali telah mengemukakan alasan-alasan untuk
melepaskan diri, ia masih wajib memangku perwalian itu sampai diambil
keputusan terakhir tentang alasan-alasan itu.
BAGIAN 9
Pengecualian. Pembebasan dan Pemecatan dari Perwalian
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
85
Pasal 379
Selain pegawai-pegawai Kehakiman bangsa Eropa yang
dikecualikan dari perwalian menurut ketentuan dalam Pasal 9 Reglemen
Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di Indonesia, mereka
yang dikecualikan dari perwakilan adalah:
1.
2.
3.
4.
orang yang sakit ingatan;
orang belum dewasa;
orang yang ada di bawah pengampuan;
mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua, maupun dari
perwalian; akan tetapi yang demikian itu hanya terdapat anak belum
dewasa, yang dengan ketetapan Hakim kehilangan kekuasaan orang tua
atau perwalian tanpa mengurangi ketentuanketentuan dalam Pasal 3l9g
dan pasal 382d.
5. ketua, wakil ketua, anggota, panitera. panitera pengganti, bendahara,
pemegang buku, dan agen Balai Harta Peninggalan, kecuali terhadap
anak-anak atau anak-anak tiri mereka sendiri.
Pasal 380
Bila Hakim berpendapat bahwa kepentingan anak-anak belum
dewasa secara mutlak menghendakinya, maka dapatlah dipecat dan
perwalian, baik terhadap semua anak belum dewasa, maupun terhadap
seorang anak atau lebih yang bernaung di bawah satu perwalian:
1. mereka yang berkelakuan buruk;
2. mereka yang dalam menunaikan perwalian menunjukkan
ketidakcakapan
mereka,
menyalahgunakan
kekuasaan
atau
mengabaikan kewajiban mereka;
3. mereka yang telah dipecat dari perwalian lain menurut nomor 10 dan
nomor 2°pasal ini atau telah dipecat dari kekuasaan orang tua menurut
pasal 319 alinea kedua nomor 1° dan nomor 2°;
4. mereka yang berada dalam keadaan pailit;
5. mereka yang untuk diri sendiri atau yang bapaknya, ibunya, isteri/
suaminya atau anakanaknya berperkara di muka hakim melawan anak
belum dewasa dalam hal yang melibatkan kedudukan, harta kekayaan
atau sebagian besar harta kekayaan anak belum dewasa;
6. mereka yang dihukum dengan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, karena dengan sengaja telah
ikut serta dalam suatu kejahatan terhadap anak belum dewasa yang ada
dalam kekuasaan mereka;
7. mereka yang mendapat hukuman yang telah mempunyai kekuatan tetap,
karena melakukan suatu kejahatan yang tercantum dalam Bab XIII,
XIV, XV, XVI, XIX dan XX Buku Kedua Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, yang dilakukan terhadap anak belum dewasa yang ada
dalam kekuasaan mereka;
8. mereka yang mendapat hukuman badan yang tidak dapat diubah lagi
selama dua tahun atau lebih.
Bapak dan ibu tidak boleh dipecat, baik karena hal-hal tersebut pada
nomor 4° dan nomor 5°, maupun karena tidak cakap.
Suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial boleh dipecat dari
perwaliannya dalam hal-hal tersebut di bawah nomor-nomor 2°, 3°, 4°,
86
dan 5°, bila hakim berpendapat bahwa kepentingan anak belum dewasa
secara mutlak menghendakinya.
Badan-badan itu juga boleh dipecat, bila pemberitahuan tertulis tersebut
dalam Pasal 365a alinea kedua dilalaikannya atau bila kunjungankunjungan yang diatur di dalamnya dihalanghalanginya.
Dalam pengertian kejahatan dalam pasal ini termasuk juga usaha
membantu dan mencoba untuk melakukannya.
Pasal 381
Pemecatan seorang wali dilakukan oleh Pengadilan Negeri tempat
tinggalnya atau, bila tempat tinggalnya tidak ada, oleh Pengadilan Negeri
tempat tinggal terakhir, atas permohonan wali pengawas, atas permohonan
salah satu keluarga sedarah atau keluarga semenda anak belum dewasa
sampai dengan derajat keempat, atas permohonan dewan perwalian, atau
atas tuntutan Kejaksaan.
Pemecatan bapak atau ibu yang diangkat menjadi wali setelah
adanya perceraian, dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang mengadili
gugatan perceraian.
Permintaan atau tuntutan itu harus memuat peristiwa-peristiwa dan
keadaan-keadaan yang merupakan dasarnya pula harus memuat daftar nama
orang tua wali dan wali pengawas serta tempat kediaman dan tempat tinggal
mereka, sejauh ini diketahui, nama dan tempat tinggal keluarga sedarah atau
keluarga semenda yang menurut Pasal 333 harus dipanggil, demikian pula
nama dan tempat tinggal saksi-saksi yang kiranya dapat menguatkan
peristiwa yang dikemukakan dalam permohonan atau tuntutan itu. Kecuali
jika permohonan atau tuntutan itu beserta surat-surat yang dilampirkan
untuk menguatkannya, harus segera dikirim oleh panitera kepada dewan
tersebut. Pada surat permohonan atau tuntutan itu, oleh panitera Pengadilan
Negeri dicatat hari masuknya.
Pasal 381a
Pengadilan Negeri mengambil ketetapan setelah mendengar atau
memanggil dengan sah kedua orang tua, wali dan wali pengawas, keluarga
sedarah dan keluarga semenda anak belum dewasa dan dewan perwalian.
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan pemanggilan saksi-saksinya guna
diperiksa di bawah sumpah, yakni yang ditunjuk dan dipilihnya, baik dari
keluarga sedarah dan semenda maupun dari luar keluarga.
Bila mereka yang akan diperiksa itu, yakni kedua orang tua, wali,
wali pengawas atau saksi, bertempat tinggal atau berkediaman di luar daerah
hukum Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri boleh
dilimpahkan dengan cara yang sama, seperti yang ditentukan dalam Pasal
333 terhadap keluarga sedarah atau semenda Anak kalimat terakhir dalam
alinea keempat Pasal 206 berlaku terhadap orang tua, wali dan wali
pengawas.
Segala panggilan dilakukan menurut cara yang ditentukan dalam
Pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan semenda bila ada panggilan
terhadap seorang yang tempat kediamannya tidak diketahui, maka panggilan
itu harus segera dimuatkan dalam satu surat kabar atau lebih yang ditunjuk
oleh Pengadilan Negeri. Panggilan terhadap seseorang yang dimohonkan
atau dituntut pemecatannya harus disertai dengan pemberian secara ringkas
87
tentang isi permintaan atau tuntutan, kecuali jika tempat kediaman orang itu
tidak diketahui.
Bila dipandang perlu, Pengadilan Negeri boleh mendengar orangorang selain yang telah ditentukan di atas menghadap pada hari yang telah
ditentukan, dan boleh juga memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi ini harus
disebutkan dalam penetapan lebih lanjut dan harus dipanggil dengan cara
yang sama.
Pasal 381b
Selama pemeriksaan, tiap-tiap penduduk di Indonesia yang berhak
melakukan perwalian dan pengurus tiap-tiap perkumpulan, yayasan, dan
lembaga sosial tersebut dalam Pasal 365 boleh mengajukan diri kepada
Pengadilan Negeri dengan surat permohonan supaya diperkenankan
memangku perwalian itu. Pengadilan Negeri boleh memerintahkan
pemanggilan mereka untuk didengar tentang permohonan itu.
Alinea keempat Pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan orangorang tersebut dengan penyesuaian seperlunya.
Bila permintaan atau tuntutan itu dikabulkan, Pengadilan Negeri
menetapkan pengangkatan wali.
Dalam keputusan tentang pemecatan wali, wali yang dipecat harus
dihukum mengadakan pertanggungjawaban tentang pengurusannya kepada
penggantinya.
Pasal 382
Pemeriksaan perkara berlangsung dalam sidang dengan pintu
tertutup.
Penetapan disertai dengan alasan-alasannya diucapkan dalam sidang
terbuka dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah berlangsung
pemeriksaan terakhir; penetapan ini boleh dinyatakan segera dapat
dilaksanakan sekalipun ada perlawanan atau banding dengan atau tanpa
jaminan, semua itu atas naskah aslinya.
Selama pemeriksaan berjalan, Pengadilan Negeri leluasa untuk
menghentikan penunaian perwalian itu seluruhnya atau sebagian dan
memberi kekuasaan atas diri anak belum dewasa dan harta kekayaannya
menurut pertimbangan Pengadilan Negeri, kepada seorang yang ditunjuknya
atau kepada dewan perwalian.
Terhadap penetapan termaksud dalam alinea yang lalu tidak boleh
dimintakan peradilan yang lebih tinggi. Penetapan itu tetap berlaku sampai
keputusan tentang pemecatan memperoleh kekuatan tetap.
Ketentuan dalam alinea ketujuh dan kedelapan Pasal 319 f berlaku
dalam hal ini.
Pasal 382a
Baik berdasarkan atas peristiwa yang dapat menyebabkan
pemecatan, maupun karena anak belum dewasa ditinggalkan atau tanpa
suatu pengawasan, Jaksa berwenang mempercayakan anak belum dewasa
itu untuk sementara waktu kepada dewan perwalian, sampai Pengadilan
Negeri mengangkat seorang wali atau dinyatakan, bahwa pengangkatan itu
tidak perlu dan penetapan itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
88
Ketentuan dalam alinea ketujuh dan kedelapan Pasal 318f berlaku
dalam hal ini. Bila Jaksa menggunakan wewenang tersebut di atas sebelum
mengajukan permintaan atau tuntutan akan pemecatan atau pengangkatan
seorang wali, ía wajib segera melakukan segala sesuatu agar pengadilan
mengangkat seorang wali.
Bila penyerahan anak belum dewasa kepada dewan perwalian
ditolak. Jaksa boleh menyuruh membawa anak itu képada juru sita atau
kepada Polisi yang diberi tugas untuk melaksanakan surat perintahnya.
Ketentuan-ketentuan dalam alinea-alinea ketiga, keempat dan kelima Pasal
319h berlaku dalam hal ini.
Perintah penyerahan anak belum dewasa kepada dewan perwalian
menurut alinea pertama pasal ini menghentikan perwalian anak itu, sekedar
mengenai diri si anak.
Pasal 382b
Bila orang yang diminta atau dituntut pemecatannya tidak datang
menghadap atas panggilan, ia boleh mengajukan perlawanan dalam waktu
30 hari, setelah penetapan atau akta yang dibuat berdasarkan penetapan itu
atau pelaksanaannya diberitahukan kepadanya atau setelah ia melakukan
suatu perbuatan yang secara mutlak memberi kesimpulan, bahwa penetapan
itu atau permulaan pelaksanaannya sudah diketahui olehnya.
Orang yang permohonannya akan pemecatan ditolak, atau jawatan
Kejaksaan yang tuntutannya ditolak pula, dan orang yang dipecat dari
perwaliannya meskipun ia menyangkal, seperti orang yang perlawanannya
ditolak boleh mengajukan permohonan banding terhadap keputusan
Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari setelah keputusan diucapkan.
Pasal 382c
Bila wali bapak dan wali ibu tidak cakap atau tidak mampu
menunaikan kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka dan
kepentingan anak-anak dari segi lain tidak bertentangan dengan pembebasan
mereka dari perwalian maka atas permintaan dewan perwalian atau tuntutan
Jaksa, mereka berdua boleh dibebaskan dari perwalian terhadap seorang
anak atau Iebih oleh Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka atau jika
tidak ada, oleh Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka yang terakhir.
Pembebasan bapak atau ibu yang diangkat menjadi wali setelah bercerai,
dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang telah mengadili tuntutan akan
perceraian itu. Dalam surat permohonan atau tuntutan atau pembebasan
sedapatdapatnya harus dikemukakan pula bagaimana pergantian wali itu
kiranya dapat diselenggarakan. Pembebasan ini tidak boleh diperintahkan,
bila pihak yang diminta atau yang dituntut pembebasannya, menentang hal
ini.
Berdasarkan surat permintaan sendiri, wali-wali lainnya boleh
dibebaskan oleh Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka dari perwalian,
baik terhadap semua, maupun terhadap seorang atau beberapa dan anakanak belum dewasa, yang ada di bawah kekuasaan mereka, bila seorang
penduduk Indonesia yang berhak menjalankan perwalian, atau pengurus
salah satu perkumpulan, yayasan dan lembaga sosial tersebut dalam Pasal
365, menyatakan sanggup dengan surat untuk mengganti mereka, dan
Pengadilan Negeri menimbang pergantian tersebut baik untuk kepentingan
anak-anak.
89
Pengadilan Negeri mengambil keputusan setelah mendengar atau
memanggil dengan sah kedua orang tua, wali dan wali pengawas, para
keluarga atau semenda anak-anak belum dewasa dan dewan perwalian, serta
mengangkat wali, bila permintaan atau tuntutan dikabulkan. Ketentuan
dalam alinea ketiga Pasal 381 dan alinea-alinea kedua, ketiga dan keempat
Pasal 381a berlaku dalam hal ini. Pemeriksaan perkara berlangsung dalam
sidang tertutup. Dalam waktu yang selekas-lekasnyasetelah pemeriksaan
terakhir, penetapan dengan alasan-alasannya diucapkan dalam siding
terbuka dan boleh dinyatakan segera dapat dilaksanakan, sekalipun ada
perlawanan atau banding dengan atau tanpa jaminan, semuanya itu atas
naskah asli.
Bila seseorang yang dimintakan atau dituntut pembebasannya
berdasarkan alinea pertama, tidak datang menghadap, maka terhadap
pembebasan ini ia boleh mengajukan perlawanan dalam waktu 30 hari sejak
penetapan itu, atau akta yang dibuat berdasarkan penetapan itu atau untuk
melaksanakannya, diberitahukan kepadanya secara pribadi atau setelah ia
melakukan suatu perbuatan yang secara mutlak memberi kesimpulan, bahwa
penetapan itu atau permulaan pelaksanaan telah diketahui olehnya. Orang
yang permintaan akan pembebasannya ditolak, atau jawatan Kejaksaan yang
tuntutannya akan hal yang sama ditolak, dan orang yang dibebaskan dari
perwalian kendati datang menghadap atas panggilan, seperti juga orang
yang perlawanannya ditolak, semuanya dapat mengajukan permohonan
banding dalam waktu 30 hari setelah putusan Pengadilan Negeri diucapkan.
Terhadap penetapan-penetapan termaksud dalam alinea kedua tidak
boleh dimintakan banding.
Pasal 382d
Seorang bapak atau Ibu yang dibebaskan atau dipecat dari perwalian
terhadap anak-anaknya sendiri, baik atas permintaannya sendiri maupun atas
permintaan mereka yang berhak meminta pembebasan, ataupun
pemecatannya, ataupun atas tuntutan jawatan Kejaksaan boleh dipulihkan
kembali dalam perwalian, bila ternyata bahwa peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan pembebasan atau pemecatannya tidak lagi berlawanan
dengan pemilihan itu. Permintaan atau tuntutan untuk itu harus diajukan
kepada Pengadilan Negeri yang telah mengadili pemintaan atau tuntutan
akan pembebasan atau pemecatannya, kecuali jika perkawinan orang yang
dibebaskan atau dipecat itu telah dibubarkan karena perceraian dalam hal
mana permintaan atau tuntutan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri
yang telah mengadili tuntutan akan perceraian itu.
Pengadilan Negeri mengambil keputusan setelah mendengar atau
memanggil dengan sah, bila mungkin kedua orang tua, demikian pula wali
atau pengurus perkumpulan, yayasan dan lembaga sosial yang mengaku
perwalian itu, wali pengawas, para anggota keluarga sedarah atau semenda
dari anak-anak dan dewan perwalian.
Bila dipandang perlu, Pengadilan Negeri boleh memerintahkan
supaya didengar di bawah sumpah saksi-saksi yang dipilihnya dan keluarga
sedarah atau semenda atau dari luar mereka.
Alinea-alinea ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh Pasal
319 berlaku dalam hal ini
382e.
90
Bila anak belum dewasa nyata-nyata berada dalam kekuasaan
seseorang atau kekuasaan pengurus perkumpulan, yayasan dan lembaga
sosial yang diwajibkan melakukan perwalian menurut putusan Hakim
sebagaimana dimaksudkan dalam bagian ini, atau dalam kekuasaan
seseorang atau kekuasaan dewan perwalian yang kepadanya dipercayakan
anak-anak itu menurut penetapan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal
382 alinea ketiga maka dalam penetapan yang sama diperintahkan juga
penyerahan anak-anak itu kepada pihak yang menurut penetapan mendapat
kekuasaan atas anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan dalam alinea-alinea
kedua, ketiga, keempat dan kelima Pasal 319h berlaku dalam hal ini.
Pasal 382f
Ketentuan Pasal 31 berlaku terhadap pembebasan atau pemecatan
seorang bapak atau ibu dari perwalian terhadap anak-anak sendiri.
Pasal 382g
Semua surat permohonan, tuntutan penetapan, pemberitahuan semua
surat lain yang dibuat guna memenuhi ketentuan-ketentuan dalam bagian ini
adalah bebas dari meterai.
Segala permintaan termaksud dalam bagian ini, yang berasal dari
dewan perwalian, harus dilayani dengan cuma-cuma, demikian pula segala
salinan pertama, salinan dan petikan yang diminta oleh dewan perwalian
guna kepentingan tugas yang diperintahkan kepadanya, oleh panitera
diberikan kepadanya dengan cuma-cuma.
BAGIAN 10
Pengawasan Wali atas Pribadi Anak Belum Dewasa
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 383
Wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan bagi
anak belum dewasa menurut kemampuan harta kekayaannya dan harus
mewakili anak belum dewasa itu dalam segala tindakan perdata.
Anak belum dewasa harus menghormati walinya.
Pasal 384
Bila wali, berdasarkan alasan-alasan yang penting, merasa tidak puas
terhadap kelakuan anak belum dewasa, maka atas permintaan wali sendiri
atau atas permintaan dewan perwalian, asal saja dewan diminta oleh wali
untuk itu, Pengadilan Negeri boleh memerintahkan penempatan anak itu
untuk waktu tertentu dalam sebuah lembaga negara atau swasta yang akan
ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penempatan itu dilakukan atas biaya
anak belum dewasa, dan bila ia tidak mampu, atas biaya wali; penempatan
semacam itu hanya boleh dilakukan selama-lamanya enam bulan berturutturut, bila pada hari penetapan Hakim anak belum dewasa belum mencapai
91
umur empat belas tahun, atau selama-lamanya satu tahun bila pada hari
penetapan ia telah mencapai umur tersebut, dan sekali-kali tidak boleh
melewati saat anak belum dewasa menjadi dewasa.
Pengadilan Negeri tidak boleh memerintahkan penempatan itu
sebelum mendengar atau memanggil secara sah wali, pengawas, para
keluarga sedarah dan semenda dari anak belum dewasa, dewan perwalian
dan, tanpa mengurangi ketentuan dalam alinea berikut, juga anak belum
dewasa sendiri.
Bila anak belum dewasa tidak datang menghadap pada hari yang
ditentukan untuk mendengarnya, maka Pengadilan Negeri menunda
pemeriksaan sampai pada hari yang ditentukan, dan memerintahkan agar
anak belum dewasa itu pada hari tersebut, di bawa ke depannya oleh juru
sita atau polisi; penetapan ini dilaksanakan atas perintah jawatan Kejaksaan,
bila ternyata anak belum dewasa pada hari itu pun tidak datang menghadap,
maka Pengadilan Negeri, tanpa mendengarnya, memerintahkan atau
menolak penempatannya.
Dalam hal ini tidak perlu diperhatikan bentuk acara lebih lanjut,
melainkan perintah penempatan itulah yang harus diberikan, tetapi itu pun
tidak perlu dimuat alasan-alasannya.
Bila Pengadilan Negeri dalam penetapannya memutuskan, bahwa
anak belum dewasa dan wali tidak mampu membiayai penempatan itu,
maka semua biaya menjadi beban negara.
Penetapan yang memerintahkan suatu penempatan, dilaksanakan atas
perintah, setelah ada permintaan dan pihak wali.
Pasal 384a
Dengan penetapan Menteri Kehakiman, anak belum dewasa
sewaktu-waktu boleh dikeluarkan dari lembaga termaksud dalam pasal yang
lalu, bila alasan-alasan yang mengakibatkan penempatan itu telah tiada atau
bila keadaan jasmani dan rohani anak belum dewasa itu tidak mengizinkan
penempatan lebih lama.
Wali selalu leluasa untuk mempersingkat waktu penempatan yang
telah ditentukan dalam perintah. Untuk memperpanjang waktu penempatan,
perlu diperhatikan lagi ketentuan dalam pasal yang lalu.
Pengadilan Negeri hanya boleh memerintahkan perpanjangan waktu
itu, tiap-tiap kali tidak lebih dari enam bulan berturut-turut; perintah itu
tidak boleh diberikan sebelum mendengar permintaan itu dari kepala
lembaga tempat anak belum dewasa itu tinggal pada waktu permintaan
perpanjangan diajukan atau dari seorang penggantinya.
BAGIAN 11
Tugas Pengurusan Wali
(Tidak berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 385
Wali harus mengurus harta kekayaan anak belum dewasa laksana
seorang bapak rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab atas biaya,
kerugian dan bunga yang diperkirakan timbul karena pengurusan yang
buruk.
92
Bila kepada anak yang belum dewasa, baik dengan suatu akta antara
orang-orang yang masih hidup, maupun dengan sebuah wasiat, telah
dihibahkan atau dihibah wasiatkan sejumlah harta benda dan pengurusannya
itu dipercayakan kepada seorang pengurus atau lebih yang telah ditunjuk,
maka ketentuan-ketentuan Pasal 307, yang berlaku bagi pemangku
kekuasaan orang tua, berlaku juga bagi wali.
Pasal 386
Dalam waktu sepuluh hari setelah perwalian mulai berlaku, wali
harus menuntut pengangkatan penyegelan, bila penyegelan ini telah
dilakukan, dan dengan dihadiri oleh wali pengawas, segera membuat atau
menyuruh membuat daftar barang-barang kekayaan anak belum dewasa.
Daftar barang-barang atau inventaris itu boleh dibuat di bawah
tangan, tetapi dalam segala hal keberesannya harus dikuatkan di bawah
sumpah oleh wali sendiri di hadapan Balai Harta Peninggalan; bila
inventaris itu dibuat di bawah tangan, inventaris itu harus diserahkan kepada
Balai Harta Peninggalan.
Pasal 387
Bila anak belum dewasa berutang kepada wali, maka hal itu harus
dijelaskan dalam inventaris; dalam hal tidak ada penjelasan dalam inventaris
yang demikian itu, wali tidak akan diperbolehkan menagih sesuatu yang
dipiutangkannya, sebelum anak belum dewasa itu menjadi dewasa,
tambahan lagi, ia akan kehilangan segala bunga dan angsuran atas jumlah
pokok yang sedianya dapat ditagih semenjak pembuatan inventaris sampai
saat anak belum dewasa menjadi dewasa; tetapi selama masa itu, bagi wali,
lewat waktu tidak berlaku.
Pasal 388
Pada permulaan setiap perwalian, kecuali yang dilakukan oleh bapak
atau ibu, Balai Harta Peninggalan, setelah mendengar wali pengawas, dan
setelah memanggil keluarga sedarah atau semenda anak belum dewasa,
menurut perkiraan dan dalam keseimbangan dengan harta kekayaan yang
harus diurus, harus menentukan jumlah uang yang diperlukan untuk biaya
hidup anak belum dewasa itu beserta biaya yang diperlukan guna mengurus
harta kekayaan; semuanya itu tidak mengurangi kemungkinan campur
tangan Pengadilan Negeri, bila Balai Harta Peninggalan tidak menyetujui
pendapat sebagian besar keluarga anak belum dewasa yang hadir.
Dalam akta yang sama harus ditentukan pula apakah wali dalam
menjalankan pengurusan, diperkenankan pula dengan upah menggunakan
seorang pengurus khusus atau lebih, yang akan mewakili wali dan di bawah
tanggung jawab wali.
Pasal 389
Wali wajib mengusahakan supaya dijual segala meja, kursi atau
perkakas rumah tangga yang pada permulaan atau selama perwalian jatuh ke
dalam kekayaan anak belum dewasa, demikian juga barang-barang yang
menurut alamnya dapat disimpan, asal saja dengan persetujuan Balai Harta
Peninggalan dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali
93
pengawas, bila yang menjadi wali pengawas bukan Balai Harta Peninggalan
sendiri, serta keluarga sedarah atau semenda.
Penjualan harus dilakukan di muka umum oleh petugas yang berhak
dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan setempat, kecuali jika
Pengadilan, setelah mendengar dan memanggil seperti di atas, kiranya
memerintahkan, bahwa barang-barang tertentu yang ditunjuk, untuk
kepentingan anak belum dewasa, harus dijual di bawah tangan dengan harga
atau di atas harga yang sudah ditaksir oleh ahli-ahli yang diangkat untuk itu.
Pengadilan Negeri boleh juga, setelah mendengar seperti di atas,
mengizinkan penjualan di muka umum atau di bawah tangan akan barangbarang bergerak yang sehubungan dengan ketentuan alinea pertama pasal ini
telah disimpan dalam wujud asli, bila kepentingan anak belum dewasa
menghendakinya.
Barang-barang dagangan boleh dijual di bawah tangan oleh wali
dengan perantaraan makelar, komisioner atau orang lain yang sejajar,
dengan harga kurs yang berlaku, sedangkan hasil-hasil tanah hendaknya
dijual di pasar atau di mana saja dengan harga pasar.
Pasal 390
Bapak atau ibu, sejauh menurut undang-undang mempunyai hak
menikmati hasil atas kekayaan anak belum dewasa, bebas dari kewajiban
menjual perabot rumah tangga atau barang-barang bergerak Iainnya, bila
mereka lebih suka menyimpannya dengan maksud mengembalikannya
dalam keadaan aslinya kelak kepada anak belum dewasa.
Dalam hal itu mereka, atas biaya sendiri, harus menyuruh seorang
ahli, yang akan diangkat oleh wali pengawas dan mengangkat sumpah di
depan kepala pemerintahan daerah, untuk menaksir harga sebenarnya
barang-barang tersebut. Barang-barang yang tidak dapat diserahkan kembali
dalam wujud aslinya harus ditanggung dengan sejumlah uang taksiran.
Pasal 391
Wali diwajibkan membungakan sisa penghasilan setelah pendapatan
dikurangi dengan pengeluaran, bila saldo untung melebihi seperempat
daripada pendapatan biasa anak belum dewasa.
Mereka tidak boleh membungakan uang tunai anak belum dewasa,
selain dengan cara membeli surat-surat pendaftaran dalam buku utang besar
Kerajaan Belanda, membeli surat-surat piutang atas beban Indonesia, dan
memindahkannya atas nama anak belum dewasa, membeli barang-barang
tetap atau membeli surat-surat piutang berbunga, dan dengan memberi
jaminan hipotek atas barang-barang tak bergerak, yang harganya dibebaskan
dari segala beban sekurang-kurangnya sepertiga lebih dari jumlah uang yang
diperbungakan.
Bila wali lalai dalam satu tahun untuk membungakan sejumlah uang
dengan cara seperti diperintahkan dalam pasal ini, mereka harus membayar
bunga uang itu menurut undang-undang.
Pasal 392
Bila dalam harta kekayaan anak belum dewasa terdapat sertifikatsertifikat utang nasional, wali wajib memindahkannya ke dalam buku besar
atas nama anak belum dewasa.
94
Surat piutang atas beban Indonesia pun harus dipindahkannya atas
nama anak belum dewasa. Dengan ancaman hukuman membayar biaya,
kerugian dan bunga, wali pengawas harus berusaha agar peraturan ini
dilaksanakan.
Bagaimana Balai Harta Peninggalan menurut pasal ini dan pasalpasal 371 dan 374 harus melaksanakan kewajiban untuk membayar ganti
kerugian bagi semua anggota majelis bersamasama atau bagi setiap anggota
khususnya, diatur oleh pemerintah dalam sebuah instruksi bagi semua Balai
Harta Peninggalan.
Pasal 393
Wali tidak boleh meminjam uang untuk kepentingan anak belum
dewasa, juga tidak boleh mengasingkan atau menggadaikan barang-barang
tak bergerak, pula tidak boleh menjual atau memindahtangankan surat-surat
utang negara, piutang-piutang dan andil-andil, tanpa memperoleh kuasa
untuk itu dari Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri tidak akan memberikan
kuasa ini, kecuali atas dasar keperluan yang mutlak atau bila jelas
bermanfaat dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga
semenda atau sedarah anak belum dewasa dan wali pengawas.
Pasal 394
Bila wali hendak menjual barang-barang tak bergerak, maka surat
permohonan yang diajukan oleh wali harus dilampiri sebuah daftar segala
harta kekayaan anak belum dewasa dan dalam daftar itu harus disebutkan
barang-barang yang hendak dijual.
Pengadilan Negeri berwenang untuk mengizinkan penjualan barangbarang itu, baik barang-barang yang ditunjuk maupun barang-barang lain,
yang menurut pertimbangan Pengadilan Negeri penjualan barang-barang itu
tidak menimbulkan begitu banyak kerugian bagi anak belum dewasa.
Pasal 395
Penjualan harus dilakukan di muka umum, di hadapan wali
pengawas, oleh pegawai yang berhak dan menurut kebiasaan setempat.
Pasal 396
Pengadilan Negeri boleh mengizinkan penjualan di bawah tangan
suatu barang tak bergerak dalam hal-hal yang luar biasa dan bila
kepentingan anak belum dewasa menghendakinya.
Izin itu tidak akan diberikan, kecuali atas permintaan wali yang
harus disertai alasan-alasannya dan dengan persetujuan bersama dari wali
pengawas dan keluarga sedarah atau semenda.
Bila keluarga sedarah atau semenda tidak semua datang menghadap
atas panggilan, maka cukup persetujuan bersama dari mereka yang datang.
Barang tidak bergerak itu tidak boleh dijual dengan harga yang lebih
rendah dari harga yang sebelum pemberian izin telah ditaksir oleh tiga orang
ahli yang diangkat oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 397
95
Segala bentuk acara yang ditentukan dalam Pasal 393 tidak berlaku,
bila dalam suatu putusan pengadilan, atas permintaan salah seorang di
antara beberapa orang pemilik barang yang belum dibagi, diperintahkan
menjualnya, kecuali bahwa penjualan itu selalu harus dilakukan di muka
umum.
Pasal 398
Bila Hakim sehubungan dengan Pasal 393, mengizinkan penjualan
surat-surat berharga milik anak belum dewasa, maka boleh ditetapkan
bahwa penjualan itu hendaknya dilakukan di bawah tangan, asalkan suratsurat tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga harga atau pemberitahuan
sejenis itu, sebagaimana lazimnya dikeluarkan di Indonesia.
Pasal 399
Wali tidak boleh menjual barang: tak bergerak anak belum dewasa
selain dengan lelang umum.
Dalam hal itu pembelian tidak akan mempunyai kekuatan, sebelum
disahkan oleh Pengadilan Negeri menurut syarat-syaratnya dan ketentuan
dalam alinea-alinea kedua, ketiga dan keempat pasal 396.
Pasal 400
Wali tidak boleh menyewa atau mengambil sebagai hak usaha untuk
diri sendiri barang-barang anak belum dewasa, kecuali Pengadilan Negeri
telah mengizinkan syarat-syaratnya setelah mendengar atau memanggil
dengan sah keluarga sedarah atau semenda anak belum dewasa dan wali
pengawas; dalam hal demikian, wali-pengawaslah yang berhak mengadakan
perjanjian dengan wali.
Tanpa izin yang sama, wali tidak boleh menerima penyerahan hak
atau piutang terhadap mereka yang ada di bawah perwaliannya.
Pasal 401
Wali tidak boleh menerima warisan yang diperuntukkan bagi anak
belum dewasa, selain dengan hak istimewa akan pendaftaran harta
peninggalan.
Wali tidak boleh menolak warisan tanpa izin untuk itu yang
diperoleh dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 393.
Pasal 402
Izin yang sama diperlukan juga untuk menerima sebuah hibah yang
diperuntukkan bagi anak belum dewasa akibat hibah yang demikian adalah
sama seperti akibat hibah yang diberikan kepada seorang yang telah dewasa.
Pasal 403
Sebelum mengajukan gugatan di muka Hakim untuk anak belum
dewasa, atau sebelum membelanya terhadap suatu gugatan, atas tanggung
jawab sendiri wali boleh meminta kepada Balai Harta Peninggalan supaya
dikuasakan untuk itu; balai itu, atas permintaan tersebut, harus menanyakan
96
terlebih dahulu pendapat para keluarga sedarah atau semenda anak belum
dewasa, demikian pula pendapat wali pengawas, sekiranya perwalian
pengawas tidak dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan sendiri.
Wali yang tanpa izin tersebut mengajukan gugatan di muka Hakim
atau mengadakan pembelaan atas suatu gugatan dan dapat dihukum oleh
Hakim untuk membayar biaya perkara dengan uangnya sendiri, bila
dipandangnya bahwa tidak dengan alasan yang layak perkara itu dimulainya
atau dipertahankannya; hal ini tidak mengurangi kewajiban wali untuk
membayar biaya, kerugian dan bunga, kiranya ada alasannya untuk itu.
Hukuman yang sama dapat juga diberikan bila ternyata bahwa izin
tersebut didapatnya karena penuturan yang bohong atau penyembunyian
keadaan yang sebenarnya.
Pasal 404
Dalam suatu perkara yang diajukan terhadap anak belum dewasa,
wali tidak leluasa menyatakan menerima putusan tanpa kuasa untuk itu dari
Balai Harta Peninggalan dengan cara yang disebutkan dalam permulaan
pasal yang lalu.
Pasal 405
Wali diharuskan mendapat izin yang sama, bila ia hendak meminta
pemisahan atau pembagian tetapi tanpa izin ia boleh menjawab tuntutan
akan pemisahan atau pembagian yang diajukan terhadap anak belum
dewasa.
Pasal 406
Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam hal pemisahan
dan pembagian harta yang menyangkut kepentingan anak belum dewasa,
ditetapkan dalam Bab XVII Buku Kedua yang berjudul Pemisahan Harta
Peninggalan.
Pasal 406a
Bila anak-anak belum dewasa yang berada di bawah beberapa orang
wali mempunyai harta kekayaan yang sama, Pengadilan Negeri boleh
menunjuk salah seorang dari mereka atau orang lain untuk
menyelenggarakan pengurusan harta kekayaan itu sampai pemisahan dan
pembagian selesai, atas jaminan yang ditentukan Pengadilan Negeri.
Pasal 407
Tanpa izin yang dibicarakan dalam Pasal 393, wali tidak boleh
mengadakan perdamaian atas nama anak belum dewasa, pula tidak
diperbolehkan menyerahkan penyelesaian suatu perkara kepada wasit.
Pasal 408
Jika bapak atau ibu dan isterinya atau suaminya yang telah lebih
dulu meninggal dunia, dulunya kawin dengan harta bersama secara penuh
atau terbatas, maka Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil
97
dengan sah para keluarga sedarah atau semenda beserta walipengawas,
boleh memberi kuasa kepadanya agar selama waktu yang ditentukan,
bahkan sampai anak yang belum dewasa menjadi dewasa, terus menguasai
harta kekayaan itu, pendapatan perusahaan, perdagangan, pabrik atau yang
sejenis itu.
Izin ini tidak dapat diberikan, kecuali jika setelah Pengadilan Negeri
melihat daftar kekayaan, ternyata bahwa kepentingan anak belum dewasa
adalah sangat besar dan ada jaminan yang diberikan oleh wali atau walipengawas. Izin tersebut atas permohonan wali atau walipengawas, boleh
dicabut setelah mendengar seperti di atas.
Bahkan Kejaksaan, karena jabatan, boleh menuntut pencabutan izin
itu.
BAGIAN 12
Perhitungan Pertanggungjawaban Perwalian
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi
Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 409
Setiap wali,
pertanggungjawaban.
wajib
mengadakan
perhitungan
penutup
dan
Pasal 410
Perhitungan dan pertanggungjawaban itu harus dilakukan atas biaya
dan kepada anak belum dewasa bila ia telah menjadi dewasa, atau kepada
ahli warisnya bila ia telah meninggal, atau kepada pengganti pengurus.
Wali harus membayar lebih dulu biaya-biaya untuk itu.
Dalam perhitungan itu, untuk semua pengeluaran yang perlu, yang
pantas dan yang cukup beralasan, wali harus mendapat penggantian.
Pasal 411
Semua wali, kecuali bapak, ibu dan wali-peserta, boleh
memperhitungkan upah sebesar tiga persen dari segala pendapatan, dua
persen dari segala pengeluaran, dan satu setengah persen dari modal yang
mereka terima, kecuali jika mereka lebih suka menerima upah yang
ditentukan dengan surat wasiat atau dengan akta otentik tersebut dalam
Pasal 355; dalam hal yang demikian mereka tidak boleh memperhitungkan
upah yang lebih besar.
Pasal 412
Setiap persetujuan mengenai perwalian dan perhitungan perwalian,
yang telah diadakan antara wali dan anak belum dewasa yang sementara itu
menjadi dewasa, adalah batal dan tidak berharga, bila persetujuan itu tidak
didahului perhitungan yang baik dan pertanggungjawaban dengan alat-alat
bukti yang diperlukan; semuanya itu harus dinyatakan dengan pengakuan
tertulis dari pihak yang kepadanya harus dilakukan perhitungan itu, yang
diberikan sekurangkurangnya sepuluh hari sebelum persetujuan.
98
Pasal 413
Perhitungan penutup yang harus diadakan oleh wali, tanpa ditagih
pun harus memberikan bunga sejak hari perhitungan ditutup.
Segala bunga dari apa yang masih menjadi utang anak belum dewasa
terhadap walinya tidak akan berjalan, kecuali sejak hari teguran pelaksanaan
pembayaran, setelah perhitungan dan pertanggungjawaban ditutup.
Pasal 414
Segala tuntutan anak belum dewasa terhadap walinya berkenaan
dengan tindakan-tindakan perwalian, gugur karena lewat waktu setelah
lewat sepuluh tahun, terhitung sejak anak menjadi dewasa.
BAGIAN 13
Balai Harta Peninggalan dan Dewan Perwalian
(Berlaku Bagi Semua Golongan Timur Asing)
Pasal 415
Dalam daerah hukum setiap Pengadilan Negeri ada Balai Harta
Peninggalan, yang daerah dan tempat kedudukannya sama dengan daerah
dan tempat kedudukan Pengadilan Negeri.
Pemerintah boleh menentukan, bahwa segala kekuasaan yang
diberikan kepada suatu Balai Harta Peninggalan beserta usaha-usahanya,
dipangku dan dijalankan oleh atau atas nama salah satu Balai Harta
Peninggalan yang lain. Dalam hal demikian, Balai Harta Peninggalan
tersebut terakhir harus diwakili oleh seorang anggota perwakilan yang
berkantor di tempat Balai Harta Peninggalan tersebut pertama. Kecuali
dalam hal yang ditunjukkan dalam instruksi untuk semua Balai Harta
Peninggalan, anggota perwakilan itu selamanya berkuasa untuk bertindak
atas nama Balai Harta Peninggalan.
Bila pemerintah telah mempergunakan kekuasaan yang diberikan
kepadanya dalam alinea yang lalu, maka Balai Harta Peninggalan yang
diperintahkan bertugas untuk Balai Harta Peninggalan lain, dalam segala
urusan yang mengenai majelis tersebut terakhir, dianggap mempunyai
tempat tinggal semata-mata di kantor anggota perwakilan tersebut. Untuk
setiap Balai Harta Peninggalan harus diangkat agen-agen di tempat-tempat
yang benar membutuhkannya. Penunjukkan wakil semua Balai Harta
Peninggalan di Negeri Belanda dilakukan oleh Menteri Urusan Daerah
Seberang Lautan, yang harus membuat instruksi bagi perwakilan tersebut.
Pasal 416
Instruksi untuk semua Balai Harta Peninggalan ditentukan oleh
pemerintah. Setelah mendengar Mahkamah Agung. Instruksi ini mengatur
susunan dan peraturan dalam tiap-tiap Balai Harta Peninggalan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baru.
Pasal 416a
Dalam daerah hukum setiap Pengadilan Negeri, ada sebuah dewan
perwalian, yang ditugaskan melakukan segala usaha pemeliharaan, kecuali
99
campur tangan yang dengan tegas disebutkan dalam kitab undang-undang
ini dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya, bagi anak belum dewasa
yang dipercayakan kepadanya dengan putusan Hakim menurut Pasal 214,
Pasal 319f alinea kelima, atau Pasal 382 alinea ketiga seperti juga bagi
anak-anak diserahkan kepadanya oleh Kejaksaan menurut Pasal 319i atau
Pasal 382a.
Daerah dan tempat kedudukan dewan perwalian sama dengan daerah
dan tempat kedudukan Pengadilan Negeri.
Biaya yang dikeluarkan dewan perwalian dibebankan kepada negara.
Bila dewan perwalian, menurut bab ini atau Bab X, Xl, XIV dan
XIVA buku ini, maju ke pengadilan, maka bantuan seorang pengacara atau
advokat tidak diharuskan.
Dewan perwalian harus berusaha, agar segala uang yang dibayar
oleh orang-orang yang menurut buku ini wajib memberikan tunjangan untuk
nafkah dan pendidikan anak belum dewasa, digunakan sesuai dengan
maksudnya.
Pasal 416b
Tanpa mengurangi ketentuan alinea berikut, dewan perwalian terdiri
dari Balai Harta Peninggalan setempat, dengan jumlah anggota yang
ditentukan oleh pemerintah.
Bila pemerintah mempergunakan kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh alinea kedua Pasal 415 maka dewan perwalian terdiri dari
anggota perwakilan Balai Harta Peninggalan yang berkedudukan di lain
daerah, yaitu anggota yang berkantor di daerah setempat, dan sejumlah
anggota yang ditentukan oleh presiden.
Pegawai Balai Harta Peninggalan melakukan tugas pada dewan
perwalian sama seperti pada Balai Harta Peninggalan. Cara dewan
perwalian menunaikan tugasnya, diatur oleh pemerintah.
Untuk tiap dewan perwalian, di tempat-tempat yang
membutuhkannya diangkat agen-agen.
Pasal 417
Setiap Balai Harta Peninggalan dan dewan perwalian boleh
mewakilkan atau menguasakan dirinya kepada salah seorang anggota atau
pegawainya, atau kepada seorang agennya dalam hal bila mereka selaku
majelis harus menunaikan tugas di luar gedung rapat mereka.
Dalam hal-hal, bila Balai Harta Peninggalan dan dewan perwalian
minta pertimbangan, mereka harus menyatakan pendapatnya secara tertulis
dengan alasan-alasannya.
Pasal 418
Balai Harta Peninggalan dan dewan perwalian tidak bisa
dikesampingkan dari segala campur tangan, yang diperintahkan kepada
mereka menurut ketentuan undang-undang.
Segala perbuatan dan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan
di atas adalah batal dan tidak berharga.
Pasal 418a
100
Kepala Daerah dan Pegawai Catatan Sipil wajib sedapat mungkin
memberikan keterangan-keterangan dengan cuma-cuma kepada Balai Harta
Peninggalan dan dewan perwalian, dan dengan cuma-cuma pula
memberikan semua salinan dan petikan dari daftar-daftar yang diminta oleh
majelis tersebut untuk kepentingan tugas yang harus mereka lakukan;
salinan dan petikan yang diberikan itu bebas dari meterai.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
BAB XI PERWALIAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan
di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan
anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawa
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada bawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut
dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana di maksud
pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai
wali.
101
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta bendaanak yang di
bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
Pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara lakilaki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat
yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni samasama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka
sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
102
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun
dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas
perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk
melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya
sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan
hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya
bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau
menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan
orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan
bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa
depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang
yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut
103
menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang
tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat
kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat
(4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut
ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu
tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21
tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang
mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah
perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
RIWAYAT HIDUP
Penulis
skrpsi
yang
berjudul,”KONSEP
PERWALIAN
DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PERDATA BARAT DAN HUKUM PERDATA
ISLAM (Studi Komparasi)” bernama Nursalam Rahmatullah, NIM: 10100112031,
merupakan anak tengah dari 3 (tiga) bersaudara. Terlahir dari kedua orang tua yang
teramat mulia, ayahanda Rahmatullah dan Ibunda St. Aminah, penulis dilahirkan di
Poso pada tanggal 17 Maret 1995. Masa kecil yang penuh bahagia hingga memasuki
usia remaja, penulis habiskan di berbagai tempat, yang telah memberikan berbagai
pengalaman, sejumlah kenangan, serta tempaan dalam mengarungi derasnya
samudera kehidupan.
Penulis tidak sempat menapaki jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak
(TK) dikarenakan terjadi kerusuhan di tempat kelahiran penulis yaitu Kabupaten
Poso, akan tetapi penulis menapaki jenjang penddikan pertama kali di bangku kelas 1
Sekolah Dasar Pembina Kabupaten Toli-toli pada tahun 2000-2006, kemudian
dilanjutkan untuk mengenyam pendidikan di MTS dan MAS selama 6 tahun di
Pondok Pesantren Al-Istiqamah Ngata Baru, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten
Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2006-2012.
Selama penulis menyandang status sebagai mahasiswa jurusan Peradilan
Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum penulis pernah bergelut pada organisasi HMJ
Peradilan Agama, dan terakhir pada struktur kepengurusan DEMA Fak. Syariah dan
Hukum (FSH).
104
Download