1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut kodrat alam, manusia pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok. Sekurang-kurangnya kehidupan bersama itu tendiri dari dua orang, suami-isteri ataupun ibu dan bayinya. Aristoteles (384322 SM), seorang ahli fikir Yunani Kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah zoon politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. 1 Karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.2 Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama lazim disebut masyarakat. Jadi masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul pelbagai hubungan atau pertalian yang 1 Aristoteles dalam C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hlm. 29 2 Ibid 2 mengakibatkan bahwa yang seorang dan yang lain saling mengenal dan pengaruhmempengaruhi.3 Masyarakat sebagai bentuk pergaulan hidup bermacam-macam ragamnya dan salah satunya berdasarkan hubungan kekeluargaan seperti rumah tangga, sanak saudara, suku, bangsa dan lainnya. Adapun yang menyebabkan manusia selalu hidup bermasyarakat ialah antara lain dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia antara lain hasrat untuk mengadakan keturunan.4 Hal itu yang mendasari perlu dibentuknya suatu lembaga resmi dan peraturan yang mengatur akibat dari pergaulan hidup kekeluargaan dan juga tercapainya ketertiban dalam meneruskan keturunan. Representatif dari pengaturan pergaulan hidup kekeluargaan yaitu dibentuknya peraturan berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang lebih dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam yang digunakan oleh instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah merupakan Undang-Undang Perkawinan Nasional. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan umum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam perjelasan umum dikatakan bahwa bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku 3 4 Ibid., Hlm 30 Ibid., Hlm 32 3 berbagai golongan dalam masyarakat. Berdasarkan pada penjelasan umum tersebut dapat dimaknai bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat sebab sesuai kodrat manusia yang telah digariskan dalam QS Az-Zariyat : 49 yang menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan.5 Pancasila merupakan landasan Negara Indonesia dengan Sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan memiliki hubungan erat dengan perkawinan. Sebab pengertian perkawinan dalam pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 erat kaitannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keabsahan suatu perkawinan merupakan salah satu dari berbagai macam hal yang menunjang terjadinya perkawinan. Sah atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan bergantung pada ada atau tidaknya peraturan yang dilanggar dalam perundang-undangan tersebut. Dalam perkawinan, sah atau tidaknya harus mengikuti pasal 2 undang-undang perkawinan. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Keabsahan suatu perkawinan merupakan dasar dari diakuinya perkawinan oleh Negara dan Negara menentukan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing warga Negara. 5 Ahmad Azhar Basyir. 2007. Hukum Perkawinan Islam. UII Press. Yogyakarta. Hlm. 2 4 Mencermati hukum positif di Indonesia, perihal perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang lebih dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam dalam buku I tentang perkawinan. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12, namun secara substansial tidak disebutkan secara spesifik bahwa hal tersebut merupakan syarat sahnya suatu perkawinan. Menurut KH. Ahmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa syarat-syarat sahnya perkawinan ada 3 (tiga) hal yaitu : 1. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya; 2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki; 3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafii, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.6 Pengaturan mengenai larangan perkawinan diatur dalam pasal 8 hingga pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam buku I tentang Hukum Perkawinan pasal 39 sampai dengan 44. Dalam berbagai pasal yang mengatur mengenai larangan perkawinan, dapat digolongkan ke dalam 7 (tujuh) golongan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 6 Karena adanya hubungan darah; Karena adanya hubungan semenda; Karena adanya hubungan susuan; Karena hubungan dalam perkawinan poligami; Karena larangan agama; Karena masih terikat dalam perkawinan; Karena bercerai kedua kali.7 Ibid., Hlm. 31 K. Wantjik Saleh. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm .27 7 5 Dalam hubungannya dengan syarat perkawinan, baik hukum Islam maupun hukum nasional telah menetapkan syarat-syarat untuk melangsungkan suatu perkawinan. Syarat perkawinan dalam hukum nasional tersebut tertulis dalam pasal 6 hingga pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Persyaratan keabsahan suatu perkawinan terbuka kemungkinan untuk dimanipulasi oleh calon mempelai baik dengan sengaja ataupun tidak karena berbagai macam alasan, sehingga dimungkinkan terjadinya penipuan terhadap syarat dalam keabsahan suatu perkawinan. Mengantisipasi kemungkinan tersebut, sebenarnya undangundang perkawinan telah mengatur mengenai antisipasi terhadap penipuan terhadap syarat walaupun tidak disebutkan secara konkrit mengenai penipuan terhadap syarat. Undang-undang lebih mengunakan kata “tidak memenuhi syarat” daripada menggunakan kata “penipuan terhadap syarat”. Istilah penipuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menipu; perkara menipu (mengecoh). Sedangkan menipu yang merupakan kata kerja diartikan sebagai mengenakan tipu muslihat; mengakali; memperdayakan. Untuk pengertian tipu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijabarkan sebagai perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung; kecoh. Namun pengertian penipuan dalam ranah hukum pidana yaitu terdapat dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, 6 menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Penipuan yang dimaksud dalam penulisan ilmiah ini yaitu menurut kamus besar bahasa Indonesia. Penipuan terhadap syarat perkawinan secara tegas tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 namun lain halnya dengan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur secara tegas mengenai penipuan terhadap syarat. Tindakan penipuan terhadap syarat diantisipasi oleh Undang-undang perkawinan melalui 2 (dua) cara yaitu preventif dan represif. Cara preventif yaitu cara pencegahan terhadap tindakan yang dilakukan untuk tidak terjadinya penipuan terhadap syarat ialah dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 13 hingga 21 Undang-undang perkawinan yang secara khusus mengatur mengenai pencegahan perkawinan. Cara yang kedua yaitu cara reprsif dimana cara ini dipakai untuk membatalkan suatu perkawinan apabila terjadi tindakan tidak terpenuhinya syarat sahnya perkawinan apabila perkawinan tersebut telah berlangsung dan pengaturannya terdapat dalam Pasal 22 hingga 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Masyarakat Indonesia lebih mengenal waktu tunggu dalam sebuah perkawinan yang telah berkahir sebagai masa iddah. Arti dari iddah ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu 7 mana si suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini si isteri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.8 Ditinjau dari sebab terjadinya masa iddah maka terdapat dua hal yaitu iddah kematian dan iddah talak. Hal ini tercermin dari Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur kedua masa iddah tersebut. Dalam pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. Waktu tunggu bagi seorang janda apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. Waktu tunggu bagi seorang janda apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Pasal 39 ayat (3) berbunyi bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Tentang masa iddah atau waktu tunggu diatur lebih rinci dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 sampai pasal 155. 8 Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan ( UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Penerbit Liberty. Yogyakarta. Hlm. 120 8 Menelaah dari syarat perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apabila ada syarat yang dilanggar karena adanya penipuan terhadap syarat dalam perkawinan, maka hal tersebut telah diatur dalam Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Dalam bunyi pasal tersebut jelas bahwa dapat dilakukan pembatalan bila terjadi penipuan selama perkawinan. Dalam kaitannya dengan pembatalan perkawinan karena penipuan, terdapat kasus dalam Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt bahwa di dalam kasus tersebut disebutkan bahwa pengadilan memutuskan untuk membatalkan perkawinan tergugat I dan tergugat II dikarenakan pada saat melakukan pernikahan, tergugat I memalsukan identitas yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat sah dalam suatu perkawinan. Dan juga pada saat melangsungkan perkawinan, tergugat I masih dalam masa iddah dari perkawinannya terdahulu. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis melakukan penelitian dengan judul : “PENIPUAN TERHADAP SYARAT PERKAWINAN SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt)“. 9 B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimanakah pertimbangan hukum hakim mengenai alasan pembatalan karena adanya unsur penipuan terhadap syarat perkawinan dalam memutus perkara nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt ? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian dimaksud untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam kasus penipuan terhadap syarat perkawinan yang menjadi alasan pembatalan suatu perkawinan dalam memutus perkara nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt. D. KEGUNAAN PENELITIAN Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya tulis ini adalah : 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum Perkawinan khususnya pembatalan perkawinan dikarenakan penipuan terhadap syarat dalam melangsungkan suatu perkawinan. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi pembaca dan bagi instansi terkait dengan perkawinan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi pembaca dan bagi instansi terkait pembatalan perkawinan. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengaturan Perkawinan Pengaturan Perkawinan yang berlaku saat ini terdapat dalam Undang- Undang tentang Perkawinan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian, ketika diberlakukan hukum perkawinan nasional yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka teori “resepsi” seperti diajarkan di jaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan sendirinya. Mahadi berpendapat bahwa : “Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata diresapi oleh dan dalam Hukum Adat, maka dengan melihat pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragu-raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantuan/perantaraan Hukum Adat.”9 Sekalipun tak menampik bahwa Undang-Undang Perkawinan Nasional diperuntukkan bagi semua warga Negara tanpa terkecuali, secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perawinan yang menentukan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan undang-undang perkawinan tetap berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, oleh sebab itu kita masih bisa merujuk pada hukum perkawinan Islam apabila hukum perkawinan nasional tidak mengatur hal tersebut. 9 Mahadi dalam Soemiyati., Ibid., Hlm 1 11 Hukum perkawinan Islam bersumber dari Al-Qur‟an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. 10 Ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengatur permasalahan perkawinan dapat disebutkan mulai adanya penegasan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, baik dalam dunia manusia, binatang maupun tumbuhtumbuhan, untuk memungkinkan terjadinya perkembangbiakan, guna melangsungkan kehidupan jenis masing-masing. Hal tersebut tercakup dalam Qur‟an Surah Az-Zariyat ayat 49, Qur‟an Surah Yasin ayat 36, Qur‟an Surah AlHujurat ayat 13, Qur‟an Surah An-Nisa ayat 1, Qur‟an Surah An-Nahl ayat 72. Dari ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup yang tujuannya antara lain adalah untuk memperoleh keturunan guna melangsungkan kehidupan jenis. 11 Dan masih terdapat ayat-ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan perkawinan. Al-Qur‟an meskipun telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dengan amat terperinci, masih diperlukan adanya penjelasanpenjelasan Sunah Rasul, baik mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an secara garis besar. Beberapa contoh Sunah Rasul mengenai hal-hal yang tidak disinggung dalam AlQur‟an dapat disebutkan antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 10 Hal-hal yang berhubungan dengan walimah; Tata cara peminangan; Saksi dan wali dalam akad nikah; Hak mengasuh anak apabila terjadi perceraian; Syarat yang disertakan dalam akad nikah. Ahmad Azhar Basyir. Op.cit. Hlm 2 Mohd. Idris Ramulyo. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Suatu Analisis dari UndangUndang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Bumi Angkasa. Jakarta Hlm 34 11 12 Beberapa contoh penjelasan Sunah Rasul tentang hal-hal yang disebutkan dalam Al-Qur‟an secara garis besar antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Pengertian quru, yang disebut dalam Al-Qur‟an mengenai masa iddah perempuan yang ditalak suaminya; Bilangan susunan yang mengakibatkan hubungan mahram; Besar kecil mahar (mas kawin); Izin keluar rumah bagi perempuan yang mengalami iddah talak raj’i; Perceraian yang terjadi karena lian merupakan talak yang tidak memungkinkan bekas suami isteri kembali nikah lagi.12 Baik Al-Qur‟an maupun Sunah Rasul telah memberikan ketentuanketentuan hukum perkawinan secara terperinci, namun dalam beberapa masalah pemahaman tentang masalah-masalah itu seringkali memerlukan adanya pemikiran para fuqaha. Di samping itu, dalam hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Sunah Rasul diperlukan adanya ijtihad untuk memperoleh ketentuan hukumnya. 13 Hal yang tidak disinggung dalam Al-Qur‟an atau Sunah Rasul, tetapi memerlukan ketentuan hukum dengan ijtihad misalkan mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, perkawinan wanita hamil karena zina, dan akibat pembatalan pertunangan terhadap hadiah-hadiah pertunangan. Cita-cita masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mempunyai sebuah Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan secara nasional, yang berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat Indonesia, yakni suatu unifikasi, telah lama ada dan sudah diperjuangkan untuk mewujudkan baik oleh organisasiorganisasi dalam masyarakat maupun pemerintah. Barulah pada 1974, tepatnya tanggal 2 Januari 1974, cita-cita tersebut terkabul dan menjadi kenyataan, dengan 12 13 Ibid. Hlm. 7 Ibid. Hlm. 8 13 disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.14 Undang-undang Perkawinan 1974, yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 adalah Undang-undang Perkawinan Nasional, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umumnya. Adanya suatu Undangundang yang bersifat nasional itu memang mutlak perlu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia, yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan golongan penduduk. Maka Undang-Undang Perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas hukum Perkawinan Nasional, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat tersebut.15 Tak lama setelah Undang-undang perkawinan disahkan, disahkannya pula Peraturan Pmerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tujuan dikeluarkan dan disahkannya peraturan pemerintah ini yaitu untuk kelancaran pelaksanaan undang-undang perkawinan. Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur hal-hal teknis lainnya yang tidak diatur oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan peruntukan peraturan pemerintah itu dibuat. Karena Peraturan Pemerintah dibuat untuk menjelaskan tindak lanjut dari suatu undang-undang dibuat karena undang-undang pada dasarnya mengatur hal-hal atau ketentuan-ketentuan umum saja sedangkan 14 15 K. Wantjik Saleh. Op.cit. Hlm 1 Ibid. Hlm 3 14 peraturan yang bersifat teknis diatur lebih lanjut dengan peraturan dibawah undang-undang. Tahun 1991 merupakan tahun yang dianggap sebagai penyempurnaan peraturan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia khususnya warga Negara yang beragama islam karena pada tahun tersebut dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 yang mengistruksikan dibentuknya Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 (tiga) buku yaitu: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan; b. Buku II tentang Hukum Kewarisan; c. Buku III tentang Hukum Perwakafan. Dalam buku I Kompilasi Hukum Islam, diatur secara terperinci segala hal tentang perkawinan. Mulai dari pengertian-pengertian dari segala hal yang berhubungan dengan perkawinan hingga masa berkabung yang semua diatur dalam 170 pasal. 2. Pengertian Perkawinan Pengertian Perkawinan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang, baik itu dari sudut pandang Islam maupun yang lainnya. Bila melihat pengertian dari sudut pandang Islam, maka berdasarkan Qur‟an Surah Az-Zariyat ayat 49, Qur‟an Surah Yasin ayat 36, Qur‟an Surah Al-Hujurat ayat 13, Qur‟an Surah An-Nisa ayat 1 dan Qur‟an Surah An-Nahl ayat 72 dapat ditarik suatu pengertian bahwa perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup yang tujuannya antara lain adalah untuk 15 memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenis. 16 Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami isteri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Hanafi).17 Pada dasarnya Islam menganjurkan kawin, apabila ditinjau dari keadaan untuk melaksanakan sebuah perkawinan, perkawinan dapat dikenai hukum: 1. 2. 3. 4. 5. wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.18 Perkawinan menjadi wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kehkawatiran apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina. Alasan ketentuan tersebut adalah menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan perkawinan, bagi orang tersebut melakukan suatu perkawinan hukumnya adalah wajib. Qa’idah fihqiyah mengatakan, “Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib”.19 Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada 16 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit. Hlm 2 Mohd. Idris Ramulyo.Op.cit. Hlm 1 18 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit. Hlm 14 19 Ibid. 17 16 kekhawatiran akan berbuat zina. Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits-hadits Nabi. Diantaranya Qur‟an Surah Ar-Rum ayat 21 yang artinya berbunyi “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kamu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang diantara kamu...”. Dan Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Mas‟ud r.a. memerintahkan : “Wahai para pemuda semuanya, barangsiapa diantara kamu telah mampu memikul biaya perkawinan, hendaklah kawin sebab perkawinan itu lebih mampu menundukkan mata dan lebih mampu menjaga kehormatan. Barangsiapa belum berkemampuan hendaklah berpuasa sebab puasa itu baginya merupakan perisai yang mampu menahannya dari perbuatan zina.” Kebanyakan ulama berpendapat bahwa berdasarkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits-hadits Nabi, hukum dasar perkawinan adalah sunnah. Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan berakibat menyusahkan isterinya. Al-Qurtubi, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki berpendapat bahwa calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk isterinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak isteri, tidak halal mengawini seseorang kecuali apabila ia menjelaskan perihal keadaannya itu kepada calon isteri; atau bersabar sampai 17 merasa akan dapat memenuhi hak-hak isterinya, barulah ia boleh melakukan perkawinan.20 Perkawinan hukumnya makruh bagi seseorang yang mampu dalam segi materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap isterinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak isteri; misalnya, calon isteri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin. Imam Ghozali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada yang disebutkan di atas. Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawinpun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap isteri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama.21 Perkawinan dapat dilihat dari 3 (tiga) segi pandangan yaitu: a. Segi hukum; b. Segi sosial; c. Segi agama. Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian oleh QS. An-Nisa : 21, dinyatakan “Perkawinan adalah perjanjian yang sangat 20 21 Ibid. Hlm 15 Ibid. Hlm 16 18 kuat”, disebut dengan kata-kata “miitsaaghan ghaliizhan”. Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkwinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya: a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu. b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh, syiqaq dan sebagainya. Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai/mengandung tiga karakter khusus, yaitu: a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak. b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban maisng-masing pihak.22 Persetujuan perkawinan itu pada sadarnya tidaklah sama dengan persetujuan-persetujuan yang lain misalnya persetujuan jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar dan lainnya. Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro. S.H., perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan yang lainnya adalah dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya penuh merdeka untuk 22 Soemiyati. Op.cit. Hlm. 10 19 menentukan sendiri isi dari persetujuan-persetujuan itu sesuka hatinya, asal saja persetujuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan antara suami isteri itu.23 Segi sosial dari suatu perkawinan dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.24 Qur‟an Surah An-Nisa ayat 3 berbunyi: “… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Firman Allah tersebut di atas ditentukan bahwa orang boleh kawin lebih dari satu dan paling banyak empat dengan syarat harus berlaku adil terhadap semua isterinya, sedangkan kalau takut tidak dapat berlaku adil sebaiknya kawin satu saja. Karena kawin dengan hanya mengawini seorang saja, akan terhindarilah tindakan yang menyebabkan orang lain menderita.25 Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh Qur‟an Surah AtTaubah ayat 1. Menurut Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa : 23 Mohd. Idris Ramulyo. Op.cit. Hlm 18 Thalib Sajuti. 1982. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta. 24 Hlm. 47 25 Loc. cit 20 “Perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.”26 Pengertian perkawinan dari sudut pandang Islam terlah dijabarkan di atas, dan ada baiknya melihat pengertian perkawinan berdasarkan pada hukum nasional. Dalam Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikianlah pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut undang-undang ini perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, tentulah tidak dinamakan perkawinan apabila yang terikat dalam perjanjian itu dua orang pria saja (homo sexual) ataupun dua orang wanita saja (lesbian). 27 Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam Pasal 2 yaitu Perkawinan miitsaaqan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pengertian perkawinan menurut hukum Islam apabila dibandingkan dengan pengertian perkawinan menurut Undang-undang perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974, maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut Undang-undang tidak terdapat perbedaan prinsipil.28 26 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit. Hlm 11 Mohd. Idris Ramulyo. Op.cit. Hlm 54 28 Loc.cit 27 21 Pengertian perkawinan menurut undang-undang memiliki pertimbangan yaitu sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi memiliki unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.29 Asas atau prinsip dalam hukum perkawinan tak lepas kaitannya dengan hukum Islam dan hukum perkawinan nasional pada umumnya. Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu: a. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak. b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab adanya ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan. c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya. 29 Mohd. Idris Ramulyo. Op. cit. Hlm 3 22 e. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggungjawab pimpinan keluarga ada pada suami.30 Prinsip-prinsip atau Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, disebutkan di dalam penjelasan umumnya sebagai berikut : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogamy. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Dan dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami-isteri harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. 30 Soemiyati. Op.cit. Hlm. 4-5 23 e. Undang-Undang Perkawinan juga menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.31 Bisa dilihat benang merahnya bahwa prinsip-prinsip atau asas-asas dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Undang Perkawinan dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil. 3. Syarat Perkawinan Hal multak yang harus dipenuhi agar tercapainya suatu perkawinan yang sah baik di mata hukum maupun di mata agama ialah syarat. Syarat merupakan suatu ketentuan yang wajib dipenuhi. Dalam hukum perkawinan Islam, terdapat yang dinamakan rukun perkawian dan syarat perkawinan yang kemudian diadopsi ke dalam kompilasi hukum Islam. Antara rukun dan syarat perkawinan itu terdapat perbedaan dalam pengertiannya. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud 31 Ibid. Hlm 6-7 24 dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk dalam perkawinan itu sendiri.32 Hal yang termasuk dalam rukun perkawinan, yaitu hakekat dari suatu perkawinan, agar perkawinan dapat dilaksanakan ialah : a. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan mempelai wanita; b. Wali; c. Saksi; d. Akad Nikah. Syarat perkawinan untuk calon kedua mempelai yaitu Islam dan Baligh. Syarat tambahan untuk mempelai wanita yaitu: a. Tidak mempunyai hubungan nasab/darah; b. Tidak mempunyai hubungan semenda; c. Tidak mempunyai hubungan sepersusuan; d. Tidak mempunyai hubungan pernikahan Rukun perkawinan dalam Islam sendiri diadopsi ke dalam hukum perkawinan nasional melalui Kompilasi Hukum Islam yang mengatur diatur mengenai rukun dan syarat perkawinan. Rukun Perkawinan yaitu: 1. Calon mempelai (Pria dan Wanita); 2. Wali Nikah; 3. Dua orang saksi; 4. Ijab dan Qabul.33 32 Ibid., Hlm 30 25 Perkawinan di Indonesia dewasa ini, syarat perkawinan agama dan syarat perkawinan nasional tidak dapat dipisah mengingat bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Atas dasar pasal tersebutlah syarat perkawinan yang sah tak lepas dari syarat perkawinan menurut hukum agama dan perkawinan menurut hukum nasional. Menurut KH. Ahmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa syarat-syarat sahnya perkawinan ada 3 (tiga) hal yaitu : 1. 2. 3. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya; Dihadiri dua orang saksi laki-laki; Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafii, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.34 Melihat syarat dari hukum perkawinan Islam maka terdapat syarat perempuan yang haram atau tidak boleh dikawini. Berdasarkan Qur‟an Surah An-Nisaa ayat 22 sampai dengan ayat 24 menyebutkan bahwa perempuan yang haram dikawini dapat dibagi menjadi dua yaitu haram untuk dikawini untuk selamanya dan haram untuk dikawini untuk sementara.35 Sebab-sebab perempuan haram dinikah selamanya ada 4 (empat) macam, yaitu: a. Perempuan yang haram dinikah karena hubungan nasab 1) Ibu; 2) Anak perempuan; 33 Mohd. Idris Ramulyo. Op. cit. Hlm 72-73 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit., Hlm. 31 35 Ibid., Hlm. 31 34 26 3) Saudara perempuan kandung; 4) Bibi; 5) Kemenakan perempuan. b. Perempuan haram dinikah karena hubungan susuan. 1) Ibu susuan; 2) Nenek susuan; 3) Bibi susuan; 4) Kemenakan perempuan susuan; 5) Saudara perempuan sesusuan. c. Perempuan haram dinikah karena hubungan semenda. 1) Mertua; 2) Anak tiri; 3) Menantu; 4) Ibu tiri. d. Perempuan haram dinikah arena sumpah li’an. Sedangkan sebab-sebab perempuan haram dinikah untuk sementara yaitu: a. Mengumpulkan antara 2 (dua) perempuan bersaudara menjadi isteri seseorang; b. Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain; c. Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah; d. Perempuan yang ditalak 3 (tiga) kali; e. Perkawinan orang yang sedang ikhram; f. Kawin dengan pezina; 27 g. Mengawini wanita musyrik.36 Mohd. Idris Ramulyo berpendapat bahwa sahnya perkawinan menurut hukum Islam harus memenuhi rukum-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. Syarat Umum; Syarat Khusus; Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon mempelai; Harus ada wali nikah; Harus ada 2 (dua) orang saksi, Islam, dewasa dan adil; Bayar mahar (mas kawin); Pernyataan Ijab dan Qabul.37 Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan bahwa syarat sahnya suatu perkawinan tetap mengacu pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan, dijelaskan bahwa dalam melakukan perkawinan yang sah harus memenuhi persyaratan yang telah diatur oleh undang-undang tersebut. Secara garis besar, syarat sahnya suatu perkawinan dibagi menjadi 2 persyaratan yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan Pasal 22 sampai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur mengenai batalnya suatu perkawinan. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang disimpulkan oleh Mohd. Idris Ramulyo, sebagai berikut : a. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon isteri, berarti tidak ada paksaan di dalam perkawinan. 36 37 Ibid. Hlm. 32-36 Mohd. Idris Ramulyo. Op. cit. Hlm 50-53 28 b. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu isteri bagi satu suami dan sebaliknya hanya satu suami bagi satu isteri, kecuali mendapat dispensasi oleh Pengadilan Agama dengan syarat-syaratnya yang berat umtuk boleh beristeri lebih dari satu dan harus ada izin dari isteri pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil, terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun. d. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 (dua pulu satu) tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun. e. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 (dua) orang yang : 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan ibu/bapak tiri. 4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bbi/paman susuan. 5. Berhubungan saudara dengan isteri (ipar) atau sebagai bibi atau keponakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri, lebih dari seorang. 29 6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. f. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dispensasi oleh pengadilan. g. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. h. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. i. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.38 Secara umum pasal 6 mengatur mengenai kesepakatan/persetujuan para pihak dalam melangsungkan perkawinan. Kemudian pasal 7 mengatur mengenai usia perkawinan kedua calon mempelai walaupun bisa dilakukan penyimpangan namun dengan syarat tertentu. Pasal 8 mengatur tentang larangan kawin dengan wanita karena sesuatu hal dan pada pasal 9 mengatur mengenai larangan kawin dengan wanita yang sudah kawin, sedangkan pada pasal 10 menegaskan larangan kawin dengan wanita yang sudah ditalak. Pasal 11 menegaskan larangan kawin dalam masa iddah dan pada pasal 12 mengatur mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan. 38 Ibid. Hlm 58-59 30 B. Pembatalan Perkawinan 1. Pengaturan Pembatalan Perkawinan Hukum perkawinan Islam terdiri dari 3 (tiga) sumber seperti dijelaskan sebelumnya yaitu Al Qur‟an, Hadits dan Ijtihad para ulama. Dalam kaitannya dengan pembatalan perkawinan, sumber utama hukum Islam yaitu Al-Qur‟an tidak mengatur secara spesifik tentang pembatalan perkawinan namun diatur dalam sumber setelah Al-Qur‟an yaitu Hadits Nabi. Pembatalan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam dikenal dengan adanya fasakh. Dasar dari putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh ini adalah Hadits Nabi, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang isinya : “Rosul membolehkan seorang wanita sesudah dia kawin baru mengetahui bahwa dia tidak sekufu‟ (tidak sederajat dengan suaminya), untuk memilih tetap diteruskannya hubungan perkawinannya itu atau apakah dia ingin difasakhan; Wanita itu memilih terus (tetap dalam hubungan perkawinan dengan suami yang lebih rendah derajatnya itu)”.39 Menurut ketentuan hukum Islam, perkawinan dapat putus karena : 1. 2. 3. 4. 5. Kematian; Talak; Fasakh; Lian; Nusyus dan syaqaq40 Sedangkan menurut Soemiyati, yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 39 40 Talak; Khulu‟; Syiqaq; Fasakh; Ta‟lik talak; Ila; Zhihar; Soemiyati. Op.cit. Hlm. 114 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit., Hlm 69 31 8. 9. Li‟an; Kematian.41 Berdasarkan dua pendapat di atas, sudah jelas bahwa hukum Islam mengatur mengenai pembatalan perkawinan melalui apa yang disebut fasakh. Pengaturan pembatalan perkawinan bersumber pada sumber-sumber hukum perkawinan. Dalam hukum nasional, sumber dari pembatalan perkawinan terdapat pada Undang-undang Perkawinan dalam bab IV mengenai batalnya perkawinan yang ditaur dalam pasal 22 sampai pasal 28. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 37 dan pasal 38. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam, pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 70 hingga pasal 76. 2. Pengertian Pembatalan Perkawinan Pengertian pembatalan perkawinan tidak dirinci dalam undang-undang perkawinan, namun dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila ada syarat dari sahnya suatu perkawinan tidak terpenuhi maka dapat dibatalkan perkawinan tersebut. Kompilasi Hukum Islam pun tidak merumuskan definisi mengenai pembatalan perkawinan. Dalam kompilasi hukum islam lebih mengatur sebab dan akibat dari pembatalan perkawinan tersebut. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, 41 Soemiyati. Op.cit. Hlm. 105 32 pengertian batal yaitu tidak berlaku atau tidak sah. Sedangkan kata pembatalan memiliki arti proses, cara, perbuatan batal. Atau definisi lainnya yaitu pernyataan batal. Dan pengertian perkawinan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dapat di telaah bahwa pembatalan perkawinan yaitu proses atau cara untuk menyatakan tidak sah atau tidak berlaku ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Tujuan dari adanya pembatalan perkawinan dapat ditinjau dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyiratkan bahwa tujuan dari pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Dapat dikatakan bahwa bila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan dan pada saat itu perkawinan telah dilangsungkan maka dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Sedangkan syaratsyarat perkawinan belum terpenuhi dan perkawinan belum dilaksanakan maka dapat dilakukan pencegahan perkawinan. Hukum Islam telah mengatur mengenai pembatalan perkawinan. Kata fasakh atau fasid dalam bahasa Arab diartikan merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Fasakh dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilakukan dan dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dilakukan dan hidup perkawinan berlangsung.42 42 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit., Hlm 85 33 Nikahul fasid terdiri dari dua perkataan yaitu “nikah” dan “fasid”. Pengertian nikah secara harfiah sebagaimana yang tersebut dalam fiqh Syafi‟i adalah “berkumpul atau bercampur” tetapi menurut pengertian fuqaha adalah “wathi” sedangkan arti majazi adalah “aqad”. Pengertian fasid adalah “yang rusak”. Dengan demikian nikah fasid adalah “pernikahan yang rusak”. Para fuqaha juga membedakan nikah fasid dengan nikah bathil. Menurut Al Jaziri yang dimaksud dengan nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh syara‟. Hukum nikah kedua bentuk pernikahan itu adalah sama saja yaitu tidak sah. 43 Fasakh ialah suatu lembaga pmutusan hubungan perkawinan karena tertipu atau karena tidak mengetahui sebelum perkawinan bahwa isteri yang telah dinikahinya itu ada cacat celanya.44 Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah perbuatan yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapapun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakan. Hukum Islam menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh 43 Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama. Penerbit : Pustaka Bangsa. Jakarta. Hlm 40-41 44 Mohd. Idris Ramulyo. Op. cit. Hlm 141 34 keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam telah terpenuhi.45 Al Jaziri meyatakan bahwa: “Jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan, yang melakukan perkawinan itu dipandang tidak berdosa, jika telah terjadi persetubuhan maka itu dipandang sebagai wathi‟ syubhat, tidak dipandang sebagai perzinaan, yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi zina, isteri diharuskan beriddah apabila pernikahan telah dibatalkan, anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dipandang bukan sebagai anak zina dan nasabnya teta dipertalikan kepada ayah ibunya. Tetapi jika perkawinan yang dilakukan oleh seorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu, suratsurat palsu atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka perkawinan yang demikian itu wajib dibatalkan. Jika perkawinan yang dilaksanakan itu belum terjadi persetubuhan maka isteri tersebut tidak wajib beriddah, orang yang melaksanakan perkawinan itu dipandang bersalah dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana, persetubuhan itu dipandang sebagai perzinahan dan terkena had, nasab anak yang dilahirkan tidak dapat dipertalikan kepada ayahnya, hanya dipertalikan kepada ibunya.”46 Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedang dalam penjelasan disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal ini adalah dapat dibatalkan apabila menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang memiliki dua kemungkinan akibat hukum yaitu batal demi hukum atau dapat dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan 45 46 perkawinan tersebut atas permohonan Al Jaziri dalam Abdul Manan. Op.cit., Hlm. 42-43 Ibid pihak-pihak yang 35 berkepentingan. Perkawinan batal demi hukum apabila dilakukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 KHI dan perkawinan dapat dibatalkan apabila dilakukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 dan 72 KHI.47 Menurut M. Yahya Harahap menyatakan bahwa secara teoritis Undangundang Perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum (van rechtswegwnietif) sampai ikut campur tangan pengadilan. 48 Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 di mana dkatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan. Apa yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap ini sangatlah realistis, rasionya karena suatu perkawinan sudah dilaksanakan melalui yuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah melalui putusan pengadilan. Tentang hal ini tidak peduli apakah perkawinan itu kurang rukun atau syarat-syarat yang ditemukan oleh hukum agama masing-masing pihak dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatalan perkawinan atas dasar putusan pengadilan itu diperlukan agar adanya kepastian hukum terutama bagi pihak yang bersangkutan, pihak ketiga dan masyarakat yang sudah terlanjur mengetahui adanya perkawinan tersebut. Jadi legalitas pembatalan perkawinan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih luas jangkauannya dari nikahul bathil dan nikahul fasid sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh tradisional.49 47 Ibid. Hlm 46 M. Yahya Harahap dalam Abdul Manan. Ibid., Hlm.47 49 Ibid. 48 36 3. Syarat Pembatalan Perkawinan Pembatalan perkawinan tak akan terjadi apabila tidak ada syarat perkawinan yang dilanggar. Namun sebelum menjabarkan mengenai syarat perkawinan, tentu dalam perkawinan itu sendiri terdapat hal-hal yang dilarang. Dalam membicarakan larangan perkawinan menurut Hukum Islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: a. Asas Absolut Abstrak, ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami isteri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang bersangkutan; b. Asas sekeltivitas, yaitu suatu asas dalam perkawinan di mana seorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia dilarangnya; c. Asas legalitas, yaitu suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan. 50 Sesuai dengan asas selektivitas di atas maka dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah). Ada bermacam-macam larangan kawin antara lain: a. Larangan perkawinan karena berlainan agama; b. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat; c. Larangan perkawinan karena hubungan susuan; d. Larangan perkawinan karena hubungan semenda; 50 Mohd. Idris Ramulyo.Op.cit Hlm 34 37 e. Larangan perkawinan poliandri; f. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di li’an; g. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina; h. Larangan perkawinan bekas suami terhadap wanita yang ditalak tiga; i. Larangan kawin bagi pria yang telah beristeri 4 (empat) orang.51 Syarat-syarat dalam melakukan pembatalan yaitu tentu hal pertama dilihat sebagai indikator pembatalan perkawinan adalah merujuk pada pasal 22 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi harus dilihat dahulu apakah syarat sahnya perkawinan terpenuhi semua ketika melangsungkan perkawinan atau tidak. Kemudian dilihat indokator selanjutnya yaitu siapa yang berhak mengajukan pembatalan tersebut. Mengenai hal tersebut, dapat merujuk pada pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dalam Pasal 23 mengatur mengenai siapa yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b) Suami atau isteri; c) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang tentang perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Syarat Selanjutnya terdapat pada Pasal 24 undang-undang perkawinan menentukan syarat diajukannya pembatalan yaitu barangsiapa karena perkawinan masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan 51 Ibid. Hlm 35 38 pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang perkawinan. Kompilasi Hukum Islam pun mengatur mengenai pembatalan perkawinan yang diatur secara terperinci dalam pasal 70 sampai dengan pasal 76 buku I Kompilasi Hukum Islam. Syarat pembatalan perkawinan yang dapat digolongkan batal demi hukum terdapat pada Pasal 70 KHI yang berbunyi : Perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj„i; b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili„annya; c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba„da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddah-nya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antarasaudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri; 4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan; e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. Syarat pembatalan perkawinan yang dapat digolongkan ke dalam dapat dibatalkan terdapat pada Pasal 71 KHI yang berbunyi : Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud; c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; 39 d. e. f. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang 1 Tahun 1974; perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Syarat pembatalan perkawinan yang juga dapat digolongkan lagi ke dalam dapat dibatalkan terdapat pada Pasal 72 KHI yang berbunyi : (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri; (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Kompilasi hukum Islam juga menentukan siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Hal ini telah di atur secara jelas dalam Pasal 73 KHI yang berbunyi : Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; b. suami atau isteri; c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67. Mengenai hubungan hukum dari putusan pembatalan perkawinan antara anak dan orang tuanya ditegaskan dalam Pasal 76 KHI yang menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang akan digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.52 Untuk menunjang penulisan ini digunakan beberapa pendekatan masalah, berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekaan analisis (analytical approach). Pendekatan perundangundangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum mengenai pembatalan perkawinan. Pendekatan analisis digunakan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusanputusan hukum. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini bersifat preskripsi (preskriptif), yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya agar dapat memberi rumusan tertentu.53 52 Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.: Banyumedia Publishing. Malang. Hlm. 295. 53 Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana. Hlm. 22. 41 C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa Kantor Urusan Agama dan juga di Pengadilan Agama Purwokerto. D. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini meliputi : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.54 Bahan hukum tersebut meliputi : a. Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 d. Kompilasi Hukum Islam e. Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 0829 / Pdt.G / 2012 / PA.Pwt 54 Ibid. Hlm 113 42 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia dan index. E. Metode Pengambilan Bahan Hukum Bahan hukum diperoleh dengan cara metode kepustakaan, yaitu melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka dengan mengumpulkan peraturanperaturan, undang-undang, buku-buku, literatur, hasil penelitian, artikel-artikel, majalah ilmiah, bulletin ilmiah, jurnal ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dan metode dokumenter, yaitu mengumpulkan bahan dengan menelaah dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah seperti putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, buku harian, foto, risalah rapat, laporan-laporan, mass media, internet, pengumuman, instruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada. Hal ini bertujuan untuk memperoleh landasan teoritis yang disesuaikan dengan permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kajian yang utuh. 43 F. Metode Penyajian Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks naratif, yakni penyajian dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara logis, konsisten, rasional dan sistematis yang diawali dengan penyajian bahan hukum yang kemudian dibunyikan, didialogkan, dan diinterpretasikan dalam bentuk kualitatif yaitu dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, disusun sebagai satu kesatuan yang utuh, saling berhubungan serta berkaitan dan berurutan. G. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dalam penelitian ini akan menggunakan metode analisis logika deduktif yang dilengkapi dengan metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis logika deduktif adalah menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang dihadapi. 55 Sedangkan metode analisis normatif kulitatif, yaitu pembahasan dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap norma, kaidah, maupun teori hukum yang relevan dengan pokok permasalahan. 55 Johnny Ibrahim. Op.cit. Hlm. 393. 44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan salinan putusan nomor : 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt Pengadilan Agama di Purwokerto yang mengadili perkara tertentu dalam peradilan tingkat pertama, dalam persidangan Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan dalam perkara pembatalan nikah antara : 1. Identitas Para Pihak a. Nama samaran Andi, umur 50 tahun, agama Islam, Pekerjaan Kepala KUA Kecamatan Cilongok, Tempat kediaman di RT. 03 RW.04, Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, sebagai Pemohon; b. Nama samaran Bunga, umur 25 tahun, agama Islam, Pekerjaan swasta, Tempat kediaman di RT.03 RW.06, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, sebagai Termohon I; c. Nama samaran Budi, umur 32 tahun, agama Islam, Pekerjaan swasta, Tempat kediaman di RT.03 RW.06, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, sebagai Termohon II. Termohon I dan Termohon II selanjutnya disebut sebagai Para Termohon. Dan Pengadilan Agama tersebut telah mempelajari berkas perkara dan telah mendengar keterangan Pemohon, Para Termohon dan para saksi didepan persidangan. 45 2. Tentang Duduk Perkara Pengadilan Agama Purwokerto menimbang bahwa Pemohon berdasarkan surat permohonan bertanggal 16 April 2012, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Purwokerto dengan register nomor : 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt tertanggal 16 April 2012. Pada tanggal 15 Januari 2012, Termohon I dan Termohon II melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilongok (Kutipan Akta Nikah Nomor : 0054 / 054 / I / 2012 tanggal 16 Januari 2012). Kemudian setelah pernikahan itu Termohon I dan Termohon II bertempat tinggal di rumah orang tua Termohon I kurang lebih selama 3 bulan. Selama pernikahan tersebut Termohon I dan Termohon II telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dan telah dikaruniai anak. Kemudian di tengah rumah tangga Termohon I dan Termohon II ada Pegawai Kecamatan Cilongok yang memberi informasi kepada pihak KUA Cilongok, bahwa ternyata Termohon I telah memiliki suami yang bernama Kaslim dan dikuatkan dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 154/34/II/2005 tanggal 06 Februari 2005 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilongok. Tanggal 09 Juni 2011 suami Termohon I mengajukan cerai di Pengadilan Agama Purwokerto dengan Nomor Perkara : 1052/Pdt.G/2011/PA.Pwt dan baru putus tanggal 13 Desember 2011, dan pengucapan ikrar Talak pada tanggal 10 Januari 2012, sehingga Termohon I masih dalam masa iddah. Pada saat Termohon I melaksanakan pernikahan dengan Termohon II, Termohon I mengaku berstatus perawan kepada Termohon II dan keluarganya, dan sekarang karena pihak KUA 46 Cilongok telah mengetahui perihal kejadian tersebut, maka apa yang telah dilakukan oleh Termohon I selama ini salah. Merujuk pada pasal 9 UndangUndang Perkawinan No.1 tahun 1974 “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 (2) dan pasal 4 UUP no.1 tahun 1974” maka Termohon I dan Termohon II harus dibatalkan. Dan Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini. Berdasarkan dalil-dalil di atas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Purwokerto segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi : a. Mengabulkan Permohonan Pemohon; b. Menyatakan batal demi hukum perkawinan antara Termohon I dan Termohon II yang dilakukan tanggal 15 Januari 2012 dan tercatat di KUA Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas dengan Akta Nikah Nomor 0054/054/I/2012 tanggal 16 Januari 2012 terhitung sejak dilaksanakan perkawinan tersebut; c. Membebankan biaya perkara menurut hukum, atau apabila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan lain yang seadil-adilnya. Adapun pertimbangan lain yaitu bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan Pemohon dan Para Termohon hadir dalam pesidangan dan di dalam persidangan Pemohon menyatakan tetap melanjutkan perkaranya. Dan kemudian Majelis Hakim membacakan permohonan Pemohon tersebut, yang isinya tetap mempertahankan oleh Pemohon, kemudian Para Termohon memberikan jawaban secara lisan yang isinya membenarkan semua dalil-dalil permohonan Pemohon 47 dan tidak keberatan perkawinan Para Termohon dibatalkan. Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya Pemohon telah mengajukan alat-alat bukti sebagai berikut : 1) Bukti tertulis : a) Fotocopy Kartu Pendudukan atas nama Pemohon (P.1); b) Surat Keterangan Kependudukan atas nama Termohon dari Kepala Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok Nomor 474.2/4/I/2012 tanggal 4 Januari 2012 (P.2); c) Surat Permohonan Kesediaan dari Termohon I kepada Kepala KUA Kecamatan Cilongok tanggal 4 Januari 2012 (P.3); d) Fotocopy Kutipan Akta Nikah Para Termohon yang dikeluarkan oleh KUA kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas Nomor : 0054/054/I/2012 tanggal 16 Januari 2012 (P.4); e) Kronologi perkawinan Para Termohon (P.5); Dan alat bukti yang difotocopy tersebut telah sesuai aslinya dan bermaterai cukup serta dibenarkan Para Termohon. 2) Bukti saksi : Saksi I , dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya : (a). Bahwa saksi kenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan pihak-pihak berperkara dan saksi sebagai staf atau anak buah Pemohon; (b). Bahwa Termohon I menikah dengan Termohon II pada tanggal 15 Januari 2012, yang menikahkan mereka adalah Pemohon; 48 (c). Bahwa ketika daftar menikah Termohon I memalsukan identitasnya, Termohon I mengaku masih gadis padahal sudah bersuami; (d). Bahwa saksi tahu hal itu karena setelah 3 bulan para Termohon menikah ada pegawai Kecamatan yang melapor ke KUA berisikan bahwa ketika para Termohon nikah, Termohon I masih jadi isteri lelaki lain; (e). Bahwa setelah ada laporan tersebut kemudian KUA mengecek dan memeriksa kembali berkas-berkas permohonan dan memanggil Para Termohon, ketika diperiksa Termohon I mengaku kalau status Termohon I untuk persyaratan nikah adalah masih gadis padahal sebenarnya suami lama Termohon I mengajukan cerai ke Pengadilan Agama dan telah diputus serta telah ikrar dan waktu itu Termohon I masih dalam masa iddah; Dan pihak-pihak berperkara membenarkan keterangan saksi tersebut. Saksi II, dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya : (a). Bahwa saksi kenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan pihak-pihak berperkara serta saksi selaku perangkat Desa sering ke KUA untuk mengurus warganya yang hendak nikah; (b). Bahwa Para Termohon nikah tanggal 15 Januari 2012 yang menikahkan adalah Pemohon; (c). Bahwa ketika mendaftar nikah Termohon I mengaku masih gadis padahal telah bersuami; 49 (d). Bahwa 3 bulan setelah Para Termohon menikah ada pegawai Kecamatan yang melapor ke KUA dan pada Desa saksi, bahwa ketika Para Termohon menikah status Termohon I masih mempunyai suami; (e). Bahwa kemudian KUA mengecek dan memeriksa berkas-berkas persyaratan pernikahan Para Termohon, serta Termohon I mengakui bahwa dirinya memalsukan identitas ketika pembuatan syarat untuk nikah; Dan pihak-pihak berperkara membenarkan keterangan saksi tersebut. Saksi III, tanpa disumpah menerangkan yang pada pokoknya : (a). Bahwa saksi kenal pihak-pihak berperkara karena saksi adalah ayah kandung Termohon I; (b). Bahwa ketika Para Pihak Termohon nikah, Termohon I memalsukan identitasnya sebagai gadis padahal masih bersuami; (c). Bahwa sebenarnya suami lama Termohon I sudah mendaftar perkara ke Pengadilan Agama Purwokerto dan sudah putus serta telah ikrar talak pada tanggal 10 Januari 2012; (d). Bahwa Termohon I pulang dari Jakarta dalam keadaan hamil lalu saksi segera didaftarkan nikah Para Termohon ke KUA; Dan pihak-pihak berperkara membenarkan keterangan saksi tersebut. Kemudian Para Termohon tidak mengajukan bukti apapun dan menerima bukti yang diajukan oleh Pemohon. Dan Pemohon dan Para Termohon tidak lagi mengajukan sesuatu hal kecuali mohon agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan. Kemudian untuk mempersingkat uraian putusan ini, Majelis Hakim 50 mencukupkan dengan menunjuk pada Berita Acara Persidangan perkara ini yang merupakan rangkaian tidak terpisahkan dengan putusan ini. 3. Tentang Hukumnya Menimbang maksud dan tujuan permohonan Pemohon sebagaimana disebutkan dalam duduk perkara, bahwa Pemohon tetap hendak mengajukan perkara ini dan telah dibacakan permohonan Pemohon serta Para Termohon telah memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya membenarkan semua dalildalil permohonan Pemohon. Berdasarkan alat bukti P.4 dan keterangan pihak-pihak berperkara serta keterangan para saksi maka terbukti bahwa antara Termohon I dan Termohon II telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 15 Januari 2012. Berdasarkan bukti P.1 dan P.3 serta keterangan pihak-pihak berperkara dan para saksi, terbukti Pemohon adalah Kepala KUA kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, olehnya menurut Pasal 23 huruf (c) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 huruf (c) KHI, Pemohon dapat mengajukan pembatalan perkawinannya Termohon I dengan Termohon II, juga dengan merujuk Pasal 25 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 38 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 74 ayat (1) KHI, Pengadilan Agama Purwokerto dapat menerima pengajuan perkara Pemohon untuk diperiksa. Berdasarkan bukti P.2, keterangan pihak-pihak berperkara dan para saksi ternyata perkawinan Termohon I dengan Termohon II dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2012 status Termohon I adalah masih gadis. Berdasarkan keterangan Pemohon dan saksi ketiga dapat Majelis simpulkan ada diterangkan bahwa suami 51 Teromohon I yang lama telah mengajukan cerai talak ke Pengadilan Agama Purwokerto dan telah diputus pada tanggal 13 Desember 2011 serta yang bersangkutan telah menjatuhkan talak pada tanggal 10 Januari 2012. Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat Majelis temukan pula ternyata : a. Bahwa Para Termohon telah melakukan pernikahan pada tanggal 15 Januari 2012 dengan status Termohon I sebagai gadis; b. Bahwa suami Termohon I yang lama telah menjatuhkan talak kepada Termohon I didepan sidang Pengadilan Agama Purwokerto pada tanggal 10 Januari 2012; Sehingga ketika terjadi pernikahan Para Termohon, waktu itu Termohon I masih dalam masa iddah dari suami yang lama. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka : a. Bahwa disatu sisi terjadinya pernikahan Para Termohon pada tanggal 15 Januari 2012 status Termohon I sebagai gadis padahal senyatanya Termohon I bukan seorang gadis; b. Bahwa disisi lain, terjadinya pernikahan Para Termohon pada tanggal 15 Januari 2012, dimana suami lama Termohon I menjatuhkan talaknya pada tanggal 10 Januari 2012, sehingga Termohon I sebenarnya masih dalam masa iddah; Sehingga dengan keadaan tersebut dengan merujuk Pasal 40 huruf (a) dan (b) KHI dilarang dilangsungkannya perkawinan. Berdasarkan semua pertimbangan di atas, dengan merujuk Pasal 71 huruf (c) KHI maka permohonan Pemohon dapat dikabulkan dengan amar tersebut dibawah ini. 52 Dikarenakan perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nonor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 serta telah diubah kedua oleh Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 biaya perkara dibebankan kepada Pemohon. 4. Bunyi Putusan Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan dalil- dalil syari yang bersangkutan dengan perkara ini, mengadili : a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Membatalkan perkawinan Termohon I dengan Termohon II yang dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2012 sebagaimana tercatat dalam kutipan Akta Nikah Nomor : 0054/054/I/2012 tanggal 16 Januari 2012 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas terhitung sejak tanggal dilaksanakannya pernikahan tersebut; c. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini sebesar Rp. 346.000,- (tiga ratus empat puluh enam ribu rupiah). Demikian purusan ini dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 31 Mei 2012 M. bertepatan dengan tanggal 10 Rajab 1433 H. oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Purwokerto yang terdiri dari Drs. H. Jojo Suharjo sebagai Ketua Majelis, dan Drs. Supangat serta H. Hasan Humaedi, SH sebagai Hakim-Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Mokhamad Farid, S.Ag sebagai Panitera Pengganti yang dihadiri oleh Pemohon dan Para Termohon. 53 B. Pembahasan Pertimbangan hukum hakim mengenai alasan pembatalan karena adanya unsur penipuan terhadap syarat perkawinan dalam memutus perkara nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt bahwa hakim menerapkan Pasal 22 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam kasus ini, apakah benar termohon I dan termohon II tidak memenuhi syarat perkawinan akan kita bahas. Syarat-syarat perkawinan yang tertuang dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-undang perkawinan bila dirangkum dapat menjadi beberapa syarat yaitu : 1. Persetujuan kedua mempelai; Suatu perkawinan dapat dilangsungkan apabila terdapat persetujuan dari kedua calon mempelai baik calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita. Namun jika terjadi ketidaksetujuan salah satu dari kedua mempelai ataupun dari kedua calon mempelai maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan. Apabila hendak dilangsungkan maka dapat dicegah oleh para pihak yang berkepentingan terhadap perkawinan tersebut sesuai dengan pengaturan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan apabila telah berlangsung perkawinan tersebut maka dapat dibatalkan juga oleh para pihak yang berkepentingan sesuai dengan pengaturan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dalam kasus tersebut, antara termohon I dan termohon II telah 54 sepakat dalam melangsungkan perkawinan mereka. Dan para termohon tidak ada keterpaksaan dalam melangsungkan perkawinan. Dengan demikian kedua mempelai telah telah setuju secara sukarela untuk melangsungkan perkawinan. 2. Telah mencapai umur yang telah ditentukan dalam undang-undang; Undang-undang yang dimaksud yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin orang tua. Dalam arti seseorang dapat melangsungkan pernikahan tanpa seizin orang tua calon mempelai bila umur telah mencapai 21 (duapuluh satu) tahun. Hal ini ditujukan bahwa pengaturan umur hanya untuk izin orang tua bukan mengenai batas umur minimal untuk melangsungkan suatu perkawinan. Sedangkan untuk pengaturan tentang umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Hal ini diperkuat oleh doktrin para sarjana lebih memahami batas umur seseorang dapat melangsungkan pernikahan ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi calon suami dan 16 (enam belas) tahun bagi calon isteri. Sebagai contoh yaitu pendapat Soemiyati yang menyatakan bahwa penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan 55 seorang wanita sebagai suami-isteri, haruslah dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi biologis maupun psikologis.56 Pada kasus di atas, umur dari termohon I dan termohon II telah lebih dari batas yang ditentukan oleh undang-undang yaitu umur termohon I ialah 25 tahun dan umur termohon II ialah 32 tahun. Jadi dalam kasus tersebut, tidak terjadi pelanggaran batas umur oleh para termohon. 3. Tidak melanggar apa yang dilarang dalam melangsungkan perkawinan; Larangan yang dimaksud ialah larangan yang tertuang dalam Pasal 8 Undangundang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut : Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Berdasarkan isi dari pasal 8 undang-undang perkawinan tersebut maka para termohon tidak melanggar pasal tersebut karena baik termohon I dan termohon II tidak memiliki hubungan baik hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah juga menyamping. Dan tidak juga memiliki hubungan semenda, sesusuan dan hubungan-hubungan yang dilarang oleh undang-undang. 56 Soemiyati. Op.cit. Hlm. 70 56 4. Apabila masih terikat perkawinan, maka tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi pengecualian tersebut; Pengecualian yang dimasud ialah bila sang suami ingin berpoligami maka syarat ini boleh dikesampingkan selama memenuhi syarat-syarat berpoligami yang telah ditentukan oleh undang-undang perkawinan. Dalam undangundang perkawinan hal tersebut diatur dalam pasal 3 – pasal 5. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Dan pada Pasal 3 ayat (2) menyebutkan Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (1) berbunyi dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang perkawinan, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dan pada ayat (2) berbunyi Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan Pasal 5 mengatur tentang syarat-syarat pengajuan berpoligami yaitu : a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 57 b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dalam kasus ini, termohon I berjenis kelamin wanita sehingga pengecualian tersebut tidak berlaku karena wanita secara hukum agama dilarang untuk berpoliandri dan secara otomatis hukum perkawinan nasional juga melarang sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dalam duduk perkara kasus tersebut secara jelas dinyatakan bahwa termohon I masih terikat perkawinan dengan suami pertama karena sekalipun sudah diucapkan ikrar talak, namn ada 1 aturan yang belum dijalani oleh termohon I yaitu masa iddah sehingga masih dianggap terikat perkawinan dengan suami pertamanya. 5. Bagi wanita yang telah putus perkawinannya maka berlaku masa tunggu. Hal ini juga yang dilanggar oleh termohon I karena jarak waktu antara pengucapan ikrar talak pada pernikahan pertama dengan pernikahan kedua antara termohon I dan termohon II hanya berjarak 5 hari. Sebagaimana telah diatur jarak waktu tunggu dalam Pasal 39 ayat (1) huruf (b) PP No.9 Tahun 1975 yang menegaskan bahwa waktu tunggu ialah 90 (sembilan puluh) hari apabila putusnya perkawinan karena perceraian. Berdasarkan syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh undang- undang perkawinan, dapat dilihat bahwa termohon I telah melanggar syarat-syarat 58 perkawinan sehingga perkawinan yang telah dilangsungkan antara termohon I dan termohon II harus dibatalkan. Hakim telah tepat dalam menetapkan dasar pembatalan perkawinan yaitu berdasar larangan perkawinan yang menjadi rujukan Hakim dalam memutus gugatan tersebut yaitu merujuk pada Pasal 40 huruf (a) dan (b) KHI yang berbunyi : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu : a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Karena syarat-syarat perkawinan telah dilanggar oleh termohon I dan perkawinan antara termohon I dan termohon II telah dilangsungkan maka perkawinan tersebut harus dibatalkan. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan Pemohon untuk membatalkan perkawinan berdasarkan semua pertinbangan di dalam putusan merujuk pada Pasal 71 huruf (c) KHI yang berbunyi suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. Melihat dari dasar-dasar pertimbangan hakim dalam memutus gugatan pembatalan perkawinan dengan nomor register 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt maka analisis penulis berdasarkan pertimbangan hakim dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Dalam melihat larangan perkawinan, dasar larangan perkawinan yang menjadi rujukan Hakim dalam memutus gugatan tersebut yaitu merujuk pada Pasal 40 huruf (a) dan (b) KHI. Padahal bila melihat dari kronologisnya, maka Hakim telah tepat menggunakan pasal tersebut sebagai bentuk akibat 59 dari perkawinan yang telah dilakukan oleh termohon I dan termohon II yaitu melarang perkawinan tersebut. Pasal 40 huruf (b) KHI yang melarang perkawinan seorang pria dan seorang wanita dalam keadaan tertentu. Keadaan bermakna mengkhususkan ke dalam keadaan seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. 2. Dasar pembatalan perkawinan yang dijadikan rujukan oleh Hakim yaitu pada Pasal 71 huruf (c) KHI yang berbunyi suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. Dalam hal ini, Hakim hanya menggunakan satu pasal dalam KHI untuk dijadikan dasar pembatalan perkawinan. Senyatanya bahwa pasal untuk membatalkan suatu perkawinan banyak terdapat dalam Undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Melihat dari rumusan masalah di atas, dapat dilihat bahwa dasar pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara tersebut menggunakan sejumlah pasal baik itu dalam undang-undang perkawinan ataupun dalam peraturan pemerintah pelaksanaan undang-undang perkawinan dan juga bersumber dari Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim, kita telaah dari asas-asas dalam hukum perkawinan dikorelasikan dengan pasal yang dijadikan dasar oleh Hakim dalam memutus perkara nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt. Asas atau prinsip dalam hukum perkawinan tak bisa lepas kaitannya dengan hukum Islam dan hukum perkawinan nasional pada umumnya. Sesuai dengan pendapat Soemiyati dalam bukunya menyebutkan : 60 Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu: 1. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan; 2. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria; 3. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu; 4. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selamalamanya; 5. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggungjawab pimpinan keluarga ada pada suami.57 Soemiyati juga menyebutkan bahwa Prinsip-prinsip atau Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, disebutkan di dalam penjelasan umumnya sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 57 58 Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal; Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Dan dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan; Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suamiisteri harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat; Undang-Undang Perkawinan juga menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suamiisteri.58 Soemiyati. Op.cit. Hlm. 4-5 Ibid. Hlm 6-7 61 Korelasi antara pasal-pasal yang digunakan dengan asas hukum perkawinan baik nasional maupun islam akan dibahas berikut ini. Dalam undangundang perkawinan menganut asas monogami, hal tersebut tercermin dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang berbunyi pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal tersebut juga dipertegas dalam penjelasan undang-undang perkawinan pasal 3 pada penjelasan pasal demi pasal yang menerangkan bahwa undangundang perkawinan menganut asas monogami. Begitu pula dengan hukum Islam yang menganut asas monogami. Ketentuan ini tedapat dalam Al-Quran surah AnNisa ayat 3 : “… kalau kamu tidak akan adil di antara isteri-isteri kamu itu, seyogyanyalah kamu mengawini seorang perempuan saja, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Maksud anjuran Allah S.W.T untuk beristeri satu saja adalah untuk menghindarkan seseorang berbuat sewenang-wenang dan membuat orang lain sengsara/menderita apabila orang beristeri lebih dari satu.59 Menurut pendapat dari Ahmad Azhar Basyir sehubungan dengan asas monogami, maka poligami menjadi sebuah opsi pilihan dalam bagi seseorang untuk berkeluarga. Karena poligami merupakan sebuah opsi, maka ditertibkan oleh Negara untuk menjaga agar kebolehan kawin poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam atas dasar mashlahah-mursalah, Negara dibenarkan mengadakan 59 Ibid. Hlm. 74 62 penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami. Hal ini tercermin dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 3, 4 dan 5 yang menentukan bahwa perkawinan berasas monogami, tetapi membuka kemungkinan poligami atas izin pengadilan dengan alasan-alasan isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri mandul, dan dengan syarat mendapat izin isteri/isteri-isteri yang terdahulu, mampu memberi nafkah dan dapat berlaku adil.60 Sesuai dengan pertimbangan hukum bahwa hakim menggunakan Pasal 23 (c) Undang-undang No 1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 (c) KHI sebagai dasar dari pengajuan pembatalan perkawinan. Namun sebab diajukannya pembatalan perkawinan meujuk pada Pasal 22 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang berbunyi perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai syarat-syarat dalam sebuah perkawinan. Namun bila dihubungkan dengan kasus di atas, maka ada syarat yang dilanggar khususnya pada Pasal 9 Undang Undang nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang perkawinan. Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan mengatur mengenai asas monogami dan izin poligami yang telah dibahas sebelumnya. 60 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit. Hlm. 39-40 63 Hubungan pasal 9 dengan kasus di atas berhubungan sebab pada kasus tersebut, perkawinan kedua dari termohon I terjadi tanggal 15 Januari 2012 dan pegucapan Ikrar Talak pada perkawinan pertama pada tanggal 10 Januari 2012. Hal ini mengandung arti bahwa termohon I masih dalam masa iddah. Sehingga Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Perkawinan berlaku bagi termohon I. Dan untuk rentan waktu dalam masa iddah ini telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf (b) jo. Pasal 153 ayat (2) huruf (b) yang menentukan bahwa rentan waktu tunggu dalam masa iddah terhadap perkawinan yang putus karena perceraian adalah sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari. Menurut Ahmad Azhar Basyir, Iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk memungkinkan melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain.61 Tujuan diadakannya iddah yaitu : 1. Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam. Perkawinan yang merupakan peristiwa amat penting dalam hidup manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluri hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam ibadah kepada Allah itu jangan sampai mudah diputuskan. Oleh karenanya, perkawinan merupakan peristiwa dalam hidup manusia yang harus dilaksanakan dengan cara dewasa; dipikirkan sebelum dilaksanakan dan dipikirkan masak-masak pula apabila terpaksa harus bercerai. 61 Ibid. Hlm 94 64 2. Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal. Dalam hal terpaksa terjadi perceraian pun, kekekalan perkawinan masih diinginkan. Iddah diadakan untuk memberi kesempatan suami isteri kembali lagi hidup berumah tangga, tanpa akad nikah baru. 3. Dalam perceraian karea ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama dengan keluarga suami. Dalam hal ini faktor psikologis yang meonjol. 4. Bagi perceraian yang terjadi antara suami dan isteri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim, untuk menjaga agar jangan sampai terjadi percampuran/kekacauan nasab bagi anak yang lahir.62 Jarak waktu pada masa iddah dari perkawinan pertama yang berlaku bagi termohon I selama sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari tidak diindahkan oleh termohon I karena termohon I melaksanakan perkawinan keduanya dengan termohon II dalam masa iddah yang baru berjalan 5 (lima) hari sehingga masih kurang 85 (delapan pulu lima) hari lagi. Oleh karena itu perkawinan kedua antara termohon I dan termohon II harus dibatalkan. Akibat dari pembatalan perkawinan, menurut C.S.T. Kansil menyebutkan : “Lapangan keperdataan itu memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum yang mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan, misalnya : soal perkawinan, jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, hak milik, warisan dan lain sebagainya.”63 62 63 Ibid. Hlm 94-95 C.S.T. Kansil, S.H., Op.Cit. Hlm 329 65 Makna dalam pelaksanaan kasus di atas menggunakan prosedur beracara sesuai dengan hukum acara perdata. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1) menyebutkan Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dan Pasal 25 ayat (3) menegaskan bahwa Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dialam Pasal 49 Undang-undang Nonor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 serta telah diubah kedua oleh Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. b. c. d. e. f. g. h. i. perkawinan; warta; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Atas dasar pasal tersebut maka perkara ini masuk dalam Pengadilan Agama dan diperkuat oleh Pasal 25 Undang-undang No 1 Tahun 1974 jo. Pasal 38 ayat (1) 66 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 74 ayat (1) KHI maka Pengadilan Agama memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perkara pembatalan perkawinan. Hakim dalam menetapkan dasar pertimbangan hukum atas kasus di atas mengenai pembatalan perkawinan sudah tepat menggunakan Pasal 23 (c) Undangundang No 1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 huruf (c) KHI mengenai pejabat yang berwenang yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Hakim juga melihat dalam perkara pembatalan perkawinan ini permohonan permohon dapat dikabulkan berdasarkan pertimbangan dari Pasal 40 huruf (a) dan huruf (b) KHI yang menitikberatkan pada 2 (dua) hal yaitu : 1. karena masih terikat dengan perkawinan; 2. karena masih berada dalam masa iddah. Kasus tersebut jelas memenuhi 2 (dua) hal yang dilarang dalam Pasal 40 sehingga harus dibatalkan. Hakim juga menitikberatkan pada pelanggaran atas Pasal 71 huruf (c) KHI sehingga mengabulkan permohonan pemohon. Pasal 71 huruf (c) menitikberatkan pada suatu perkawinan dapat dibatalkan karena perempuan yang dikawini masih dalam iddah dari suami lain. Hal ini menjadi pertimbangan hukum Hakim dalam mengabulkan permohonan perkara nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt. Kasus pembatalan perkawinan tersebut bila menelaah dari pertimbangan hukum Hakim, maka pasal-pasal yang dikenakan terhadap kasus tersebut lebih mengarah pada pasal-pasal yang mengatur mengenai masa iddah. Namun menurut penulis, dalam kasus tersebut ada dua faktor mengapa perkawinan kedua dari termohon I harus dibatalkan yaitu : 67 1. Pelanggaran masa iddah; 2. Penipuan Terhadap Syarat Perkawinan. Mengenai faktor pertama yaitu pelanggaran masa iddah, sudah jelas dibahas di atas. Akan tetapi ada sisi lain yang tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh Hakim yang memeriksa perkara Nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt. Sisi lain yang tidak dijadikan pertimbangan hukum Hakim yaitu penipuan terhadap syarat perkawinan. Pada kasus tersebut, ketika termohon I mendaftarkan perkawinannya dengan termohon II, termohon I mengaku masih gadis padahal termohon I telah berstatus memiliki suami atau isteri orang. Hal ini dibuktikan dengan bukti tertulis dan bukti keterangan saksi baik yang berada di bawah sumpah maupun tidak disumpah. Oleh sebab itu seharusnya Hakim juga menyertakan Pasal 27 ayat (2) yang menerangkan bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Dan Pasal 72 ayat (2) KHI yang berbunyi seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Menurut pendapat M. Yahya Harahap mengatakan bahwa : “Alasan pembatalan perkawinan tersebut dalam Pasal 27 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah alasan yang agak limitatif tetapi tidak secara mutlak. Alasan tersebut tidak menutup kemungkinan timbulnya alasan-alasan lain yang dapat dipergunakan untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang didasarkan kepada ketentuan dalam batas-batas perikemanusiaan dan kesusilaan seperti penipuan, penyakit gila dan impoten. Hal ini penting untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Perkawinan yaitu 68 mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut tidak akan tercapai kalau dalam pelaksanaan perkawinan terjadi cacat sehingga merugikan salah satu pihak.64 Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 72 ayat (2) telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dikemukakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah sangka mengenai diri suami atau isteri tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan yang tersebut di sini tidak hanya dilakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga dilakukan oleh pihak wanita. Dari pihak pria biasanya penipuan dilakukan dalam bentuk pemalsuan identitas. Misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi dikatakannya masih jejaka atau perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung. Penipuan yang dilakukan oleh pihak wanita biasanya menyembunyikan kekurangan yang ada padanya, misalnya dikatakan tidak ada cacat fisik, tetapi kenyataannya tidak demikian.65 Dalam praktek Peradilan Agama, lazimnya pembatalan perkawinan dapat dilaksanakan terhadap perkawinan yang kurang syarat dan rukunnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam. Selain dari itu pembatalan perkawinan didasarkan Pasal 26 dan 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 70 dan 71 Kompilasi Hukum Islam.66 Hal-hal yang tidak diatur secara khusus seperti mental disorder, impoten dan cacat fisik yang lainnya ayat (2) Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat 64 M. Yahya Harahap dalam Abdul Manan,. Op. cit. Hlm. 67-68 Ibid., Hlm 68 66 Ibid., Hlm 72 65 69 diperluas pengertiannya, tidak hanya kekeliruan mengenai diri orangnya tetapi juga menyangkut keadaan orangnya sehingga hal tersebut dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan. Dengan demikian tujuan perkawinan baik yang diatur dalam syari‟at Islam maupun dalam hukum positif Indonesia dapat terpenuhi. Di sini dituntut keberanian Hakim Pengadilan Agama melakukan ijtihad dan menentukan yang terbaik bagi pencari keadilan.67 67 Ibid. 70 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa perkawinan antara termohon I dan termohon II dibatalkan oleh Pengadilan karena adanya penipuan syarat perkawinan. Penipuan syarat perkawinan yang dilakukan oleh termohon I yaitu : 1. Masih terikatnya perkawinan dengan perkawinan sebelumnya; 2. Wanita yang telah putus perkawinannya maka berlaku masa tunggu. Jadi berdasarkan dua pelanggaran yang telah dilakukan oleh termohon I maka Hakim menetapkan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan antara para termohon. B. Saran Diharapkan Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara lebih menelaah pokok permasalahan dalam sebuah kasus agar dalam menjatuhkan putusan lebih tepat dasar hukum yang digunakan serta Hakim Pengadilan Agama dituntut keberaniannya melakukan ijtihad dan menentukan yang terbaik bagi pencari keadilan. 71 DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur Azhar Basyir, Ahmad. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Yogyakarta Ibrahim, Johnny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.: Banyumedia Publishing. Malang Manan, Abdul. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama. Pustaka Bangsa. Jakarta Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Ramulyo, Mohd Idris. 1996. HUKUM PERKAWINAN ISLAM : Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Bumi Angkasa. Jakarta Sajuti, Thalib. 1982. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta Saleh, K. Wantjik. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta Sidharta, Benhard Arif. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. CV. Maju Mundur. Bandung Soemiyati, Ny. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Penerbit Liberty .Yogyakarta Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) 72 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 0829/Pdt.G/2012/PA.Pwt Sumber - Sumber Lain Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta