Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI PADA IBU HAMIL DI BPM Ny. SUTINAH, Amd. Keb DI DESA GENTENGAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2012 Wibisono Soesanto**), Helmi Annucha Sary*) **) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Anemia is the result of imbalance of one or more nutrients such as iron, protein, some Vitamin C and copper deposits of these substances in the body enough namaun imbalance occurs in a relatively long time so that the red blood cells is not enough resulting in the production of hemoglobin in the blood becomes low. The purpose of this study to determine the diet of pregnant women relationship with the incidence of nutritional anemia in pregnant women in the BPM Ny. Sutinah Gentengan Jombang village Jombang District in 2012. Method : Design used in this study were of analytical methods, the population is all pregnant women in the village of JombangMuntamah Midwives working area, with a sample of 40 pregnant women. Result : Based on the research found that most pregnant women have anemia. A total of 40 pregnant women have anemia with a poor diet that is 20(91%) pregnant women, and who did not experienceas much as two nutritional anemia (9%) of pregnant women. While mother swith good diet that does not have as much nutritional anemia 14 (78%) pregnant women, and who suffered as much as 4anemia (22%) of pregnant women. Conclusion : The conclusions drawnin this study were no diet-incidence of anemia in pregnant women. Thus advised health workers also provide counselling on the I mportance to seta good diet with balanced nutrition menu. Keywords: Diet, Pregnancy, Anemia Nutrition PENDAHULUAN Dampak kurang gizi kekurangan asupan gizi pada trimester I dikaitkan dengan tingginya kejadian bayi lahir prematur, kematian janin, dan kelainan pada sistem saraf pusat bayi,sedangkan kekurangan energi terjadi pada trimester II dan III dapat menghambat pertumbuhan janin atau tak berkembang sesuai usia kehamilannya. Kekurangan zat besi paling sering dialami saat hamil, gangguan ini membuat ibu mengalami anemia atau kekurangan sel darah merah. Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah mengalami pengenceran (hemodilusi) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabay Peningkatan sel darah 18 sampai 30% dan hemoglobin sekitar 19%. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 gr%, dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia fisiologis, HB ibu akan menjadi 9,5 sampai 10 gr% Di Indonesia, anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi paling utama, dampak kekurangan zat besi pada wanita hamil dapat diamati dari besarnya angka kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakita dan kematian janin, seta peningkatan resiko terjadinya berat badan lahir rendah. Penyebab utama kematian maternal antara lain pendarahan pasca partum (disampilng eklamsia dan penyakit infeksi) dan placenta previa yang kesemuanya bersumber pada 1 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X anemia.[2].Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi bayi dan ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Berbagai penyakit dapat timbul akibat anemia, seperti: abortus, partus prematurus, partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum karena atonia uteri, syok, infeksi baik intrapartum maupun post partum, anemia yang sangat berat dengan Hb kurang dari 4 gr/100 ml dapat menyebabkan dekompensasi kordis METODE PENELITIAN Analitik corelasional, pendekatan cross sectional. Populasi; 44 ibu hamil, total sampling, teknik simple random sampling. Uji Chi-Square HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi ibu hamil di BPM Ny. sutinah di Desa Gentengan Jombang Tahun 2012 N o 1 2 3 4 5 Variabel Pendidikan a. SD b. SMP c. SMA d. PT Umur a. ≤20 tahun b. 21-30 tahun c. 31-40 tahun d. 41-50 tahun Pekerjaan a. IRT b. Petani c. Swasta PolaMakan a. Baik b. Kurangbaik KejadianAnemia a. Anemia b. TidakAnemia Ju ml ah (%) 7 18 14 1 17,5 45 35 2,5 7 24 8 1 17,5 60 20 2,5 31 6 3 77 15 8 18 22 45 55 24 16 60 40 Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabaya Tabel 2 Tabulasi Silang antara Pola Makan dengan Kejadian anemia gizi pada Ibu Hamil di BPM Ny. Sutinah Desa Bareng Jombang 2012. No Pola Makan 1 2 Baik Kurang AnemiaGizi Tidak Anemia Anemia n % n % 4 22 14 78 20 91 2 9 p = 0,001, χ2 = 16,705 Dari Tabel 2 terlihat bahwa dari 18 ibu hamil dengan pola makan baik yang tidak mengalami anemia gizi sebanyak 14 ibu hamil (78%), dan dari 22 ibu hamil dengan pola makan kurang baik terdapat 20 ibu hamil yang mengalami anemia gizi (91%).Berdasarkan uji statistik chi square menggunakan SPSS 11,5 didapatkan hasil p= 0,000 dan= 16,705 dan p= 0,000 < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada hubungan pola makan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil di BPM Ny. Gentengan Bareng Jombang. PEMBAHASAN Dari Tabel2 didapatkan bahwa dari 40 ibu hamil, ibu hamil yang memiliki pola makan yang kurang baik sebanyak 22 orang (55%). Hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pendidikan, informasi, lingkungan dan kebudayaan. Mayoritas ibu hamil dalam penelitian ini yang tinggal di sekitar BPM yang diteliti, sebanyak 18 ibu hamil hanya mampu menamatkan sekolahnya hanya sampai di bangku SMP, sehingga kemungkinan untuk memahami pola makan. Pola makan 2 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 yang baik seringkali diartikan harus menyediakan makanan yang mahal di meja makan, padahal pola makan yang baik yaitu pola makan yang menghitung nilai gizinya yang seimbang, namun tidak harus mahal, sehingga segala kebutuhan yang diperlukan oleh tubuh bisa terpenuhi. Pola makan ibu hamil kurang baik karena dipengaruhi oleh pendidikan yang rendah, ekonomi yang kurang, sosia lbudaya, dan faktor pekerjaan sehingga untuk membeli bahan makanan yang sesuai dengan gizi ibu hamil menjadi terhambat. Dari Tabel 2 yang telah di sajikan sebelumnya didapatkan dari 40 ibu hamil diperoleh 60% ibu hamil mengalami anemia, sedangkan yang tidak anemia gizi yaitu sebanyak 40% ibu hamil, dan ibu hamil mengaku teratur meminum tablet tambah darah yang diberikan oleh bidan. Anemia gizi merupakan akibat dari ketidak seimbangan satu atau lebih zat-zat gizi seperti zat besi, protein, beberapa Vitamin C dan tembaga, simpanan zat-zat tersebut cukup dalam tubuh namun terjadi ketidak seimbangan dalam waktu yang relative lama sehingga sel darah merah tidak cukup banyak di produksi yang mengakibatkan kadar Hb dalam darah menjadi rendah.[2] Anemia Gizi yang paling umum ditemukan di masyarakat adalah anemia dikarnakan kekurangan zat besi yang disebut anemia defisiensi zat besi. Pada wanita hamil prematur, kekurangan asam folat merupakan salah satu faktor kontribusi terhadap terjadinya anemia gizi. Pada orang yang sering mengalami malabsorpsi, kekurangan Vitamin B12 salah satu penyebab anemia gizi dipandang dari segi kesehatan praktis, anemia gizi selalu diasosiasikam sebagai anemia Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabay ISSN 2085-028X kurang besi, karena kekurangan asam folat dan vitamin B12. Pada dasarnya ibu hamil tentu akan mengalami hemodilusi atau pengenceran darah namun tidak semua ibu hamil dapat terjangkit penyakit anemia gizi, karena penyakit anemia gizi hanyalah penyakit yang berakibat fatal namun masih bisa diantisipasi, salah satu contohnya dengan cara banyak memakan makanan yang bergizi dan mengandung banyak asam folat juga Vitamin B12. Menurut peneliti mengapa banyak sekali ibu hamil yang mengalami anemia gizi adalah sebab ketidakperdulian ibu akan bahayanya anemia gizi tersebut. Hasil dari penelitian padaTabel 3 didapatkan bahwa dari 22 ibu hamil dengan pola makan yang kurang baik sebagian besar mengalami anemia gizi sebanyak 60 % ibu hamil, sedangkan yang tidak anemia sebanyak 40%ibu hamil. Dan dari ibu hamil dengan pola makan yang baikdidapatkan ibu hamil dengan anemia gizi sebanyak 22% ibu hamil sedangkan yang tidak mengalami anemia gizi sebanyak 78% ibu hamil. Hasil dari uji chi square menggunakan SPSS 11,5. Didapatkan hasil p= 0,000 dan χ2= 16,705 maka di peroleh p= 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak dan H1 diterima artinya ada hubungan pola makan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil. Pencegahan dan penanganan anemia yaitu dengan cara memodifikasi makanan, asupan zat besi dari makanan dapat di tingkatan melalui dua cara: pertama, pemastian konsumsi makanan yang cukup, cukup kalori yang dikonsumsi. Kedua, meningkatkan ketersediaan zat besi yang dimakan yaitu jalan mempromosikan makanan yang 3 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 dapat memicu danmenghindarkan makanan yang bisa mengganggu penyerapan zat besi.[2] Mengatur pola makan dengan cara bila ibu hamil makan pada pagi hari hanya mengkonsumsi karbohidrat dan protein pada pagi hari, maka pada siang hari dan sore hari ibu dapat mengkonsumsi karbohidrat dan sayuran, pada malam hari ibu diberikan tambahan susu formula atau susu sapi, dan memperbanyak makan buah, dengan pola makan yang teratur dan baik diharapkan ibu dapat menyerap gizi dari bahan makanan tersebut. Seperti lazimnya mengatur pola makan fortifikasi makanan merupakan salah satu cara terampuh dalam mencegah anemia gizi, hasil olahan makanan fortifikasi yang paling lazim adalah tepung gandum roti, makanan yang terbuat dari jagung serta jagung giling dan olahan susu seperti yogurt sangatlah kaya gizi, hampir semua komponen makanan sudah ada dalam bahan makanan fortifikasi. Pemberian tablet tambah darah pada wanita hamil merupakan sebuah kewajiban dikarnakan ibu hamil harus diprioritaskan dalam program suplementasi, dosis yang dianjurkan dalam satu hari adalah dua tablet (satu tablet mengandung 60mg FE dan 200 mg asam folat) (Sholihah, 2005). Anemia gizi sering kali menjangkiti ibu hamil karena umumnya ibu hamil suka sekali memilih makanan yang disukai, selain terjadi hemodilusi pada ibu hamil di tambah asupan gizi yang tidak terpenuhi sehingga ibu hamil seringkali mengalami anemia gizi dan hal ini tentu saja sangatlah berbahaya, dengan cara mengatur pola makan yang baik, dan memperbanyak makan sayur dan buah buahan, diharapkan ibu hamil Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X tidak terjangkit penyakit anemia gizi selama kehamilan. Namun demikian ibu hamil haruslah tetap mengkonsumsi tablet tambah darah setiap hari. KESIMPULAN 1) sebanyak 55% ibu hamil memiliki pola makan kurangbaik; 2) sebanyak 60% ibu hamil mengalami anemia gizi; 3) ada hubungan pola makan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil di BPM Ny. Sutinah (p = 0,000). KEPUSTAKAAN 1. Arikunto.2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 2. Arisman.2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. 3. Budiarto, Eko.2002. Biostatistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. 4. Jordan, Sue, 2004. Farmakologi Kebidanan, Jakarta : EGC. 5. Kusumawardani, Endah.2010. Waspada Penyakit Darah Mengintai Anda.Yogyakarta: Hanggar Kreator. 6. Notoatmojo, Soekidjo.2005. Ilmu Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Asdi Mahasatya. 7. Nursalam.2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrument Penelitian Keperawatan. Jakarta: YBPSP. 8. Prawiriharjo, Sarwono.2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP. 9. Soebroto, Ikhsan.2009.Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia.Yogyakarta: Bangkit!. 4 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X HUBUNGAN PERILAKU ASUPAN NUTRISI IBU HAMILDENGAN KEJADIAN PRE-EKLAMPSIA DI RSUDKABUPATEN SAMPANG Tri Ratih Agustina*), Indah Purwanti**) *) Dosen DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :In Indonesia,pre-eclampsia is one of the causes of maternal mortality ranges from1.5% -2.5%. Therefore,early diagnosis and prevent preeclampsia in order not to progress to eclampsiais the goal of treatment. The purpose of this study was to analyze the behavior of pregnant women include the relationship of knowledge, attitudes and actions of nutrients in the incidence of pre-eclampsia in Sampang district hospitals. Method :This study is ananalytical study with a retrospective approach. The study population by maternal pre-eclampsiaas many as 56 people in hospitals Sampang district while the study sample as many as 49 people. The independent variablein this study is that maternal behaviori nclude: knowledge, attitudes and actions and the dependent variable was the incidence ofpre-eclampsia. Collecting data using a questionnaire. Statistically using Chisquaretest(X2) with aconfidence level() =0.05.Result :The results showed the incidence of severe pre-eclampsia as much as 73.9% in maternal lowlevels of knowledge about nutritional intake, 73.3% in mothers receiving maternity with and attitude about nutritional intake and 73.9% in women with the action does not carry maternity on nutritional intake. Statistical test ChiSquare(X2) obtaine dp-value =0.000<(0.05), meaning that there is a maternal behavior on nutrient intakeof pregnant women against the incidence of pre-eclampsia. Conclusion :Efforts need to do is to improve maternal knowledge andp regnant women about nutrition for pregnant women, in an effort top revent pre-eclampsia during delivery Keywords: behavior, the incidence ofpre-eclampsia PENDAHULUAN Pre-eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema proteinuria yang timbul karena kehamilan dan penyakit ini umumnya terjadi pada triwulan ke-3 kahamilan. Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya sendiri yang disebut juga faktor internal sebagian lagi terletak di luar dirinya atau disebut dengan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan. Perilaku yang optimal akan memberi dampak pada status kesehatan yang optimal juga. Perilaku yang optimal adalah seluruh pola kekuatan, kebiasaan pribadi atau masyarakat, baik secara sadar ataupun tidak yang mengarah kepada upaya pribadi atau masyarakat untuk menolong dirinya 5 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sendiri dari masalah kesehatan. Pola kelakuan/kebiasaan yang berhubungan dengan tindakan promotif, preventif harus ada pada setiap pribadi atau masyarakat. Dari hasil penelitian Hayati (2008) Pengukuran perilaku kesehatan dilakukan pada ketiga domain perilaku kesehatan yaitu: Pengetahuan, Sikap dan Praktek (tindakan) Menurut WHO dalam Indonesia Development Report 2005menyatakan bahwa tingginya angka kematian ibu dan balita diIndonesia memperlihatkan rendahnya pelayanan kesehatan yangditerima ibu dan anak serta rendahnya akses informasi yang dimilikioleh ibu dan anak. Senada dengan pernyataan WHO, Depkes jugamenyatakan bahwa angka kematian ibu mencerminkan resiko ibuselama kehamilan dan melahirkan yang selain dipengaruhi olehkeadaan kesehatan yang kurang baik menjelang kehamilan, juga olehkejadian berbagai komplikasi saat kehamilan dan kelahiran serta sangat dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan prenatal dan kebidanan. METODE PENELITIAN Retrospektif, Populasi; seluruh ibu bersalin dengan pre-eklampsia 56 ibu bersali, sampel 49 ibu hamil.Teknik non probability Sampling dengan cara purposive sampling, instrumen kuesioner, statistik Exact Fisher’s. HASIL PENELITIAN 36,7% ibu bersalin berumur >35 tahun, sebanyak 32,7% ibu bersalin berumur 21-35 tahun, dan sebanyak 25,6% ibu bersalin berumur 31-40 Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X tahun.Sebanyak 67,3% ibu bersalin berpendidikan terakhir SD/sederajat, 18,4% ibu bersalin berpendidikan terakhir SMA/sederajat, dan 14,3% ibu bersalin berpendidikan SMP /sederajat. Sebanyak 42,9% ibu bersalin bekerja sebagai petani, 34,7% ibu bersalin sebagai ibu rumah tangga, dan 22,4% ibu bersalin bekerja sebagai wiraswasta. Sebanyak 36,7% ibu bersalin memiliki paritas primipara, 34,7% grandemultipara, dan 28,6% paritas multipara. Sebanyak 89,9% ibu bersalin memiliki riwayat penyakit pre-eklampsia dan 10,2% ibu bersalin tidak memiliki penyakit preeklampsia. 93,9% ibu bersalin memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang asupan nutrisi ibu hamil, dan sebanyak 6,1% ibu bersalin memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang asupan nutrisi ibu hamil. Ibu bersalin memiliki sikap tidak menerima tentang asupan nutrisi ibu hamilsebanyak 91,8% orang, dan ibu bersalin memiliki sikap menerima tentang asupan nutrisi ibu hamil sebanyak 8,2% orang. Ibu bersalin yang memiliki tindakan tidak melaksanakan tentang asupan nutrisi ibu hamil sebanyak 87,8% orang, responden yang memiliki tindakan melaksanakan tentang asupan nutrisi ibu hamil sebanyak 12,2% orang. Ibu bersalin yang pernah mengalami preeklampsia berat sebanyak 69,4% orang, dan ibu bersalin yang pernah mengalami pre-eklampsia ringan sebanyak 30,6% orang. Uji statistik dengan Exact Fisher’s pada Tabel 3 antara variabel independen (tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan) dengan variabel dependen (kejadian pre-eklampsia) adalah sebagai berikut: Dari 46 ibu bersalin yang memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang 6 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 asupan nutrisi ibu hamil didapatkan sebagian besar mengalami preeklampsia berat, yaitu sebanyak 34 orang (73,9%),sedangkan dari 3 ibu bersalin yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang asupan nutrisi ibu hamil didapatkan seluruhnya mengalami pre-eklampsia ringan, yaitu sebanyak 3 orang (100%). Hasil nilai p= 0,025 < (0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pengetahuan ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian pre-eklampsia. Dari 45 ibu bersalin yang memiliki sikap tidak menerima tentang asupan nutrisi ibu hamil didapatkan sebagian besar mengalami pre-eklampsia berat, yaitu sebanyak 33 orang (73,3%). Sedangkan dari 4 ibu bersalin yang memiliki sikap ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil didapatkan sebagian besar mengalami pre-eklampsia ringan, yaitu sebanyak 3 orang (75%). Hasil nilai p= 0,007 < (0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh sikap ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian preeklampsia. Dari 43 ibu bersalin yang memiliki tindakan tidak melaksanakan tentang asupan nutrisi ibu hamil didapatkan sebagian besar mengalami preeklampsia berat, yaitu sebanyak 33 orang (73,9%),sedangkan dari 6 ibu bersalin yang memiliki tindakan melaksanakan tentang asupan nutrisi ibu hamil didapatkan sebagian besar mengalami pre-eklampsia ringan, yaitu sebanyak 5 orang (83,3%). Hasil nilai p= 0,008 < (0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh tindakan ibu bersalin tentang asupan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X nutrisi ibu hamil terhadap kejadian pre-eklampsia. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang asupan nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 46 orang (93,9%) dan sebagian kecil responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang asupan nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 5 orang (6,1%). Hal ini dikarenakan pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dimana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga dengan perkataan lain pengetahuan manusia diperoleh dengan melihat dan mendengarkan obyek tersebut.[8] Dari penelitian ini hampir separuhnyaatau 36,7% ibu bersalin berusia >35 tahun,namun keadaan ini tidak didukung oleh pendidikan ibu bersalin, dimana dari hasil penelitian ini lebih dari separuhnya atau 67,3% ibu bersalin memiliki pendidikan SD/ sederajat, sehingga untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi mengenai persalinan ke tenaga kesehatan masih kurang. Hal ini didukung oleh hampir separuh (42,9%) ibu bersalin bekerja sebagai petani,sehingga informasi mengenai asupan nutiris ibu hamil dengan kejadian pre-eklampsia, yang dikarenakan kurang banyaknya informasi mengenai kejadian preeklampsia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden memiliki sikap tidak menerima tentang asupan nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 45 orang (91,8%) dan sebagian kecil responden memiliki 7 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sikap menerima tentang asupan nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 4 orang (8,2%). Dimana hal ini dikarenakan pendidikan ibu lebih dari separuhnya atau 67,3% ibu bersalin memiliki pendidikan SD/ sederajat dan hampir separuh (36,7%) ibu bersalin memiliki paritas primipara. Sehingga keadaan ini menyebabkan kurangnya informasi tentang asupan nutrisi ibu hamil dengan kejadian pre-eklampsia, karena orang yang berpendidikan tinggi akan lebih banyak menerima informasi yang didapat dari lingkungannya daripada orang yang memiliki pendidikan tinggi. Demikian juga ibu bersalin dengan primipara masih memiliki informasi yang kurang dibandingkan dengan ibu bersalin dengan multipara atau grandemultipara, dikarenakan pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak. Dengan demikian pengetahuannya akan bertambah yang akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya sikap seseorang.[8] Dari hasil penelitian ini dan pembahasan diatas maka dapat dikatakan bahwa adanya pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan maupun sikap (selain tindakan) akan mempengaruhi perilaku seseorang, sedangkan respon perilakunya dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap, maupun aktif (melakukan tindakan), sedangkan sikap yang diperoleh lewat pengalaman dan pengetahuan akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut lebih berupa predisposisi perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tindakan tidak melaksanakan tentang asupan nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 43 orang (87,8%) dan sebagian kecil responden memiliki tindakan melaksanakan tentang asupan nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 6 orang (12,2%). Dimana hal ini dikarenakan adanya faktor internal yang ada pada ibu hamil tersebut yaitu usia ibu bersalin hampir separuhnya (36,7%) berusia >35 tahun, pendidikan ibu bersalin lebih dari separuhnya (67,3%) ibu bersalin memiliki pendidikan SD/ sederajat, hampir separuh (42,9%) ibu bersalin bekerja sebaga petani dan sebagian besar ibu bersalin memiliki paritas primipara (36,7%). Sehingga keadaan ini menyebabkan terbatasnya pengetahuan dan informasi tentang nutirisi ibu hamil dengan kejadian pre-eklampsiayang akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya tindakan seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden pernah mengalami pre-eklampsia berat, yaitu sebanyak 34 orang (69,4%) dan sebagian kecil responden pernah mengalami pre-eklampsia ringan, yaitu sebanyak 15 orang (30,6%). Setelah dilakukan uji statistik Exact Fisher’s diperoleh hasil nilai p= 0,025 < (0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pengetahuan ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian pre-eklampsia.Hal ini dikarenakan pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dalam hal ini over behavior, karena dari pengalaman dan penelitian perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih 8 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. ibu bersalin yang tidak atau kurang mengetahui dan kurang faham mengenai makanan bergizi selama kehamilan akan mengalami preeklampsia, maka ibu bersalin tersebut tidak atau kurang membutuhkan informasi mengenai nutrisi ibu hamil. Setelah dilakukan uji statistik Exact Fisher’s diperoleh hasil nilai p= 0,007 < (0,05) sehingga H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh sikap ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian pre-eklampsia. Seorang ibu hamil apabila sudah mengetahui dan merasakan manfaat bahwa dengan mengkonsumsi makanan bergizi selama kehamilan maka tidak akan mengalami preeklampsia, maka lambat laun akan merubah sikap ibu bersalin tersebut bahwa mengkonsumsi makannan bergizi selama kehamilan agar terhindar dari pre-eklampsia merupakan suatu kebutuhan. Setelah dilakukan uji statistik Exact Fisher’s diperoleh hasil nilai p= 0,008 < (0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh tindakan ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian pre-eklampsia. Bahwa persepsi dapat mempengaruhi motivasi ibu hamil untuk bersalin ke tenaga kesehatan. KESIMPULAN ada pengaruh pengetahuan ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian preeklampsia (p= 0,025);9)ada pengaruh sikap ibu bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian pre-eklampsia (p= 0,007);10) ada pengaruh tindakan ibu Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X bersalin tentang asupan nutrisi ibu hamil terhadap kejadian preeklampsia (p = 0,008). KEPUSTAKAAN 1. Arikunto, S. 2005. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 2. Hanna. 2008. Menjaga Kehamilan. http://www.compas.com. Diakses tanggal 25 Februari 2012. 3. Hayati, Nimatul & Sri Rejeki. 2008. Perilaku Patuh Perawatan Ibu Primigravida dengan Kejadian Preeklamsi Berat Eklamsi di RSUP Soewondo Kendal; Jurnal-Unimus. Semarang. 4. Manuaba, I.B. 2004. Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC. 5. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. 6. Nursalam. 2006.Pendidikan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 7. Rochjati P, Soedarto, Prabowo RP. 1991. Pola Kasus Kehamilan Risiko Tinggi di RSUD Dr Soetomo Surabaya. MOGI. 8. Rozikhan. 2007. Faktor-Faktor Resiko Terjadinya Preeklampsia Berat, Universitas Diponegoro Semarang. 9. Sibai BM; Mc. Cubbin JH; Anderson. G.D. 2004. Eclampsia Observation From 67 Recent Cases; Obstetrics and Gynecology;Vol. 58; No 5. 9 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN RESPONS SOSIALEMOSIONAL PASIEN HIV-AIDS DI VCT RSUD KABUPATEN SIDOARJO Zufra Inayah*),Rizka Licia **) *)**) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Since the discovery ofthe virus that causes AIDS and HIV, appears a broad impactonsociety. HIV-AIDS patients facinglife situations where they often face their own conditions without the support offriends and family that impact of anxiety, depression, and suicidal thinking or behavior. Lack offamily support have an impact on the Social-Emotional responses of these patients.The purpose of this studyto determine theexecution of official relations with the Family Support Social-Emotional Response of HIV-AIDS patients. Method :Inthis study using Observational study design, the studys amplew as HIV-AIDS patients who visited the VCT Sidoarjo Hospital and as many as 67 people taken by accidental sampling. The independent variable isthe supportof family and the dependen tvariable is the Social-Emotional responses. Analysis techniques using Rank Spearman Rho test. Result :Based on the research results can be concluded that family support that is provided to HIV-AIDS sufferers in Sidoarjo District Hospital VCT is sufficient 53 (79%), the majority of Social-Emotional response to HIV-AIDS sufferers in Sidoarjo District Hospital VCT is enough emotional response 48 (72 %), anxiety responses 59 (88%), social interaction response 48 (72%), and then analyzed with a statistical test on the gain (P value <0.05). Which means there is a relationship with the family support social-emotional response to HIV-AIDS patients in Sidoarjo District Hospital VCT. Conclusion :From the above resultsare suggested to optimize institutions health services for HIV-AIDS counseling patients and their families so that families can provide supportto the patient so that the progression of the diseas eat leas tcan be inhibited and the life expectancyof HIV-AIDS patientsis longer. Keywords:Family Support, Social-emotional responses. PENDAHULUAN AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik Sejak ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Imuno Deficiency Syndrome) dan virus penyebabnya 10 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 HIV (Human Imunodeficiency Virus), muncul dampak yang begitu luas di masyarakat. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial yaitu: hidup dalam stress, depresi, merasa kurangnya dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Dukungan keluarga adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian, dari orangorang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun dari kelompok. Dengan memahami pentingnya dukungan keluarga bagi penderita HIV-AIDS, kita semua diharapkan mampu untuk memberikan partisipasi dalam pemberian dukungan sesuai dengan kebutuhan penderita. Pada individu dengan HIV positif sistem imunitasnya akan mengalami penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung pada kondisi fisik dan psikologisnya. Sejak dinyatakan terinfeksi HIV penderita mengalami stress, dikarenakan tingginya tekanan psikososial yang mereka terima baik dari keluarga maupun masyarakat. Dukungan sosial tersebut dapat sangat membantu setelah mengalami stress dan penting untuk mengurangi gangguan psikologik yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Tersedianya dukungan sosial itu sangat diperlukan sehubungan dengan rasa keputusasaan dan depresi pasien. METODE PENELITIAN Analitik, observasional, cross sectional. Populasi 80 pasien HIVAIDS di VCT RSUD Sidoarjo dengan kriteria inklusi: 1) pasien Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X HIV-AIDS yang melakukan kunjungan di VCT; dan 2) usia pasien lebih dari atau sama dengan 17 tahun. Sampel 67 sampel,non probability sampling, instrumen kuisoner, uji korelasi Rank Spearman(Rho). HASIL PENELITIAN Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan karakteristik pasien di VCT RSUD Sidoarjo sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Frekuesi Pasien di VCT RSUD Sidoarjo Bulan Juni Tahun 2012. No Variabel 1 Jenis Kelamin a. Pria b. Wanita Umur a. 15 – 24 tahun b. 25 – 40 tahun c. > 40 tahun Variabel Pendidikan a. Perguruan Tinggi b. SMA c. SMP d. SD e. Tidak sekolah Dukungan Keluarga a. Baik b. Cukup c. Kurang Respon Emosi a. Baik b. Cukup c. Kurang Respon Cemas a. Baik b. Cukup c. Kurang Respon Interaksi Sosial a. Baik b. Cukup c. Kurang 2 No 3 4 5 6 7 Jumlah (%) 56 11 84 16 9 57 1 Jumlah 14 85 1 (%) 9 44 8 3 3 14 66 12 4 4 11 53 3 17 79 4 16 48 3 24 72 4 5 59 3 8 88 4 16 48 3 24 72 4 Hasil penelitian, dapat diketahui bahwa respon interaksi sosial baik dengan dukungan keluarga yang 11 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 kurang 2 pasien (66,7%),respon interaksi sosial baik dengan dukungan keluarga yang baik terdapat 4 pasien (36,4%) dan respon interaksi sosial pasien baik dengan dukungan keluarga yang cukup terdapat 10 pasien (18,9%). Sementara respon interaksi sosial yang cukup dengan dukungan keluarga yang cukup terdapat 41 pasien (77,4%), respon interaksi sosial cukup dengan dukungan keluarga baik sebanyak 6 pasien (54,6%), dan respon interaksi sosial yang cukup dengan dukungan keluarga yang kurang sebanyak 1 pasien (33,3%). Sementara jika dibandingkan dengan respon interaksi sosial yang kurang dengan dukungan keluarga yang baik terdapat 1 pasien (9%) dan respon interaksi sosial yang kurang dengan dukungan keluarga yang cukup sebanyak 2 pasien (3,7%). Uji korelasi Rank Spearman(Rho) didapatkan nilai p <α = 0,05 artinya ada hubungan antara dukungan keluarga dengan respon sosialemosional pasien HIV-AIDS di VCT RSUD Sidoarjo. PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa pasien HIV-AIDS yang mendapat dukungan keluarga yang baik terdapat 11 pasien (17%), dukungan keluarga cukup sebanyak 53 pasien (79%), dan pasien yang dukungan keluarga kurang sebanyak 3 pasien (4%). Berdasarkan hasil pengamatan di Poli VCT Dalam RSUD Sidoarjo, Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV-AIDS karena kebanyakan pasien yang putus asa atas keadaan yang menimpa dirinya, menurut teori diatas dukungan keluarga dapat Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X memberi keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. seseorang yang merasa memperoleh dukungan secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. pasien HIV-AIDS butuh dukungan emosional, perhatian, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya sehingga progresivitas penyakit setidaknya dapat dihambat dan umur harapan hidup pasien HIV-AIDS lebih panjang. Hasil penelitian dapat menjelaskan respon emosi, respon cemas, dan respon interaksi sosial pada pasien HIV-AIDS. Respon sosial-emosional sangat mempengaruhi progresivitas penyakit pada pasien HIV-AIDS. Pada respon emosi sebagian besar pasien HIV AIDS 72% cukup, bisa juga dikatakan pasien dapat mengontrol emosi mereka agar tetap stabil untuk menjaga daya imunitas tubuh mereka, sementara respon cemas sebagian besar cukup 88%, dapat dilihat karena respon emosi mereka dapat dikontrol dengan baik maka kecemasan merekapun ikut terjaga atau membaik, sedangkan respon interaksi sosial sebagian besar adalah cukup 72% yang mengatakan bahwa rata-rata pasien masih berinteraksi kepada orang–orang di sekitarnya sehingga mereka tidak merasa sendiri dalam menghadapi keadaan penyakitnya. Rata-rata respon sosial-emosional pasien HIVAIDS di VCT RSUD Sidoarjo Sudah cukup baik dalam menghadapi keadaan penyakit yang terjadi pada dirinya sehingga mereka bisa mendapatkan peningkatkan kualitas hidup disaat menghadapi penyakitnya. 12 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 Hasil uji statistik menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan respon emosi, respon cemas, dan respon interaksi sosial pada pasien HIVAIDS di VCT RSUD Sidoarjo. Respon emosi terkait erat dengan aktifitas kognitif manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Pada penderita HIV-AIDS aktifitas kognitifnya cenderung mengarah ke maladaptif jadi dibutuhkan dukungan keluarga untuk merubah aktifitas kognitif tersebut menjadi adaptif. Berdasarkan pengamatan pada tabulasi silang dukungan keluarga dengan respon emosi Tabel 2 sebagian besar 77% mengatakan dukungan keluarga yang cukup berdampak pada respon emosi yang cukup, sebab dukungan keluarga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada seperti pendidikan, pengetahuan, ekonomi, dsb. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pemberian dukungan pada pasien ODHA, sehingga dukungan tersebut dapat bermanfaat bagi ODHA. Respon cemas suatu bagian penilaian dari emosional jadi sangat jelas terkait erat dengan dukungan keluarga. Pada pasien HIV-AIDS yang mendapatkan dukungan keluarga respon cemas mereka akan baik karena mereka masih punya keluarga untuk sharing, bertanya, dan mendapatkan perhatian dari keluarganya,sehingga mereka dapat mengendalikan kecemasannya karena penyakit yang dideritanya. Setelah diamati pada tabulasi silang antara dukungan keluarga dengan respon cemas pada Tabel 2 terdapat respon cemas yang cukup dengan dukungan keluarga yang kurang sebanyak 3 pasien (100%) yang Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X kemungkinan besar pendidikan atau pengetahuan pada keluarga mereka masih kurang sehingga berdampak kepada pemberian dukungan kepada ODHA sehingga respon cemas masih timbul pada ODHA tersebut. Respon interaksi sosial adalah hubungan dukungan antar individu satu dengan individu lainya, setelah diamati pada Tabel 2 tabulasi silang dukungan keluarga dengan respon interaksi sosial ditemukan respon interaksi sosial baik dengan dukungan keluarga yang kurang terdapat 2 pasien (66,7%), pada penderita HIV-AIDS cenderung menutup diri atau menjauh dari orang lain dan merasa diasingkan karena penyakitnya, disini dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk memberikan perhatian, mengajak ngobrol, sehingga dia tidak merasa sendiri dan diasingkan oleh orang disekitar dia. Jadi hubungan dukungan keluarga sangat erat dengan respon interaksi sosial untuk memberikan perhatian agar dia merasa tidak diasingkan oleh orangorang disekitar dia. KESIMPULAN 1) dukungan keluarga pada pasien HIV-AIDS di VCT RSUD sebanyak 79% pasien; 2) Respon sosialemosional pada pasien HIV-AIDS di VCT RSUD Sidoarjo sebanyak 72% respon emosi; respon cemas 59 pasien (88%), dan respon interaksi sosial 48 pasien (72%); 3) Terdapat hubungan yang significant antara dukungan keluarga dengan respon Sosial-Emosioal pasien HIV-AIDS dengan p < 0,05 di VCT RSUD Sidoarjo. KEPUSTAKAAN 1. Ahmadi. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. 13 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X 2. Ader, R. 1991. TheInfluence of Conditioning on Immune Response. San Diego: Academic Press. 3. Clancy, J. 1998. Basic Concept in Immunology : Student’s survival guide. New York: The Mc GrawHill Companies. 4. Dirjen PPM-PLP, DEPKES RI.1998. Prosedur Tetap Konseling HIV-AIDS Khususnya Konseling Pradan Pasca Tes.Jakarta: DepKes RI. 5. Depkes RI.2011. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di Indonesia. Jakarta: DepKes RI. 6. Green CW. 2009. Pengobatan Untuk AIDS: Ingin Mulai?.Jakarta: Yayasan Spiritia. 7. Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional Quality Manajement Refleksi, Revisi Dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Arga. 8. Nursalam& Kurniawati, ND.2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV-AIDS.Jakarta: Salemba Medika. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 14 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X PENGARUH GOLONGAN DARAH TERHADAP KEJADIAN PENYAKITJANTUNG KORONER DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN Diah JeritaEka Sari*), SetyoAdi N**) *) Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :The risk factors of heart sickness consist of some kind of the major factor like age, gender, habit of smoke, obesitas, less of athletics, blood type and the complement factor like as Diabetes Melitus and Hypertension disease. This research aim to know influence of the blood type to occurence of heart sickness. Method :This research type is analytic of observasional with using method is approach of sectional cross. Population in this research counted by 37 people. The used of sampling technique is sampling consecutive. Sampel is taken counted by 37 people. Intake of data using sheet of checklist. This research using a Logistic Regression’s test. Result :The result test of the Logistic Regression got by value of signifikasi for the influence of blood type to heart sickness which is expressed in p = 0,57 ≥ 0,05. Conclusion :A conclusion from result of this research is there are no influence of blood type to heart sickness at Disease Poli in RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. There by that of blood type is not such a major factor of heart sickness, expected to apply healthy life pattern by avoiding habit of smoke especially to men, lessening food which containing many fat, and also doing athletics routinely. Keywords : Heart sickness of coroner, Blood type PENDAHULUAN Pada dasarnya jantung adalah alat tubuh yang berfungsi sebagai pompa darah yang tidak akan berhenti selama hidup kita. Jantung terbentuk dari serabut-serabut otot bersifat khusus dan dilengkapi jaringan syaraf yang secara teratur dan otomatis memberikan rangsangan berdenyut bagi otot jantung. Denyutan ini menyebabkan jantung memompa darah yang kaya akan oksigen ke seluruh tubuh termasuk arteri koroner serta darah yang kurang oksigen ke paru-paru untuk mengambil oksigen.[4] Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Macam–Macam Penyakit Jantung Koroner: 1) Angina pektoris adalah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri, DAN 2) Infark miokard merupakan kelanjutan dari angina pektoris. Yaitu suatu keadaan dimana secara tiba-tiba terjadi pembatasan atau pemutusan aliran darah ke jantung yang menyebabkan otot jantung (miokardium) mati karena kekurangan oksigen.[16] Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena 15 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Data jumlah penderita penyakit jantung yang berkunjung ke Poli Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada tahun 2011 mencapai 473 kasus. Selama bulan Oktober – Desember, pasien yang berkunjung ke Poli Penyakit Dalam mencapai 65 orang dan yang diketahui golongan darahnya hanya 15 orang, 5 orang diantaranya bergolongan darah O, 3 orang bergolongan darah B, dan 7 orang bergolongan darah A. METODE PENELITIAN Analitik, observasional, cross sectional.[10]. Populasi 37 orang. Sampel 34 sampel. Teknik sampling consecutive sampling, Instrumen rekam medik. Uji Regresi Logistik. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penderita Penyakit Jantung diPoli Penyakit Dalam No 1 2 No 3 4 Variabel N Usia a. 20 – 30 tahun 0 b. 31 – 40 tahun 8 c. > 40 tahun 29 Jenis Kelamin a. Laki-laki 20 b. Perempuan 17 Variabel N Penyakit Jantung d. jantung 34 koroner e. lain 3 Golongan Darah c. A 14 d. B 10 e. AB 2 f. O 11 Hasil tabulasi silang sesuai Tabel 2, menunjukkan bahwa penderita penyakit jantung dapat dialami oleh semua jenis golongan darah, akan tetapi sebagian besar penderita penyakit jantung koroner dialami oleh mereka yang bergolongan darah A sebanyak 14 orang atau sekitar (41,2%). Dari hasil uji Regresi Logistik didapatkan bahwa nilai signifikasi atau kemaknaan untuk pengaruh golongan darah terhadap kejadian penyakit jantung dinyatakan nilai p =(0,57)≥ 0,05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh golongan darah terhadap kejadian penyakit jantung di poli penyakit dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Tabel 2. Tabulasi Silang Pengaruh Golongan Darah Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner No 1 2 3 4 Golongan Darah A B AB O Penyakit Jantung Penyakit Penyakit Jantung Jantung Lain Koroner n % n % 14 41,2 0 0 8 23,5 2 66,7 2 5,9 0 0 10 29,4 1 33,3 p = 0,57 (%) 0 21,62 78,38 54,05 78,38 (%) 91,89 8,11 37,84 27,02 5,41 29,73 Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya PEMBAHASAN Penderita penyakit jantung yang berkunjung ke poli penyakit dalam RSUD Bangkalan terbanyak dialami pada usia 40 tahun keatas dan sebagian besar diderita oleh laki-laki. Sesuai teori yang menyatakan bahwa penyakit jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya keturunan, jenis kelamin, dan penambahan umur. Faktor keturunan sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung. Apabila dalam suatu keluarga, orang tuanya ada yang mempunyai riwayat 16 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 penyakit jantung, kemungkinan besar anaknya akan mengalami hal yang serupa. Faktor jenis kelamin seseorang juga berpengaruh terhadap penyakit jantung dimana laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi terkena penyakit tersebut daripada perempuan, dikarenakan pada perempuan mempunyai hormonhormon yang akan melindunginya sampai taraf mencapai menopause. Faktor selanjutnya peningkatan umur. Usia lebih dari 40 tahun kemungkinan terserang penyakit jantung. Resiko paling besar terserang penyakit jantung pada lakilaki dengan usia lebih dari 45 tahun dan wanita dengan usia lebih dari 55 tahun. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap penyakit jantung adalah gaya hidup, seperti merokok terutama laki-laki. Resiko serangan penyakit jantung bagi perokok aktif, tiga sampai empat kali lebih besar daripada perokok pasif. Resiko penyakit jantung meningkat sesuai dengan peningkatan kadar kolesterol dalam darah. Jika kadar kolesterol meningkat, maka akan membuat penyempitan pada pembuluh darah akibat pengendapan plak yang berisi cairan kolesterol, sehingga aliran darah menjadi terganggu yang akan mengakibatkan terjadi kerusakan jaringan. Intensitas olahraga yang kurang menjadi resiko terjadi penyakit jantung. Olahraga dilakukan secara teratur meskipun intensitasnya rendah, maka akan dapat mengontrol kadar kolesterol darah, obesitas dan juga tekanan darah tetap normal. Gaya hidup berpengaruh terhadap penyakit jantung adalah obesitas dimana setelah dilakukan penelitian, ada sejumlah orang yang mempunyai berat badan tidak ideal. Hal ini Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X terbukti setelah dilakukan wawancara terhadap sebagian orang bahwa kecenderungan mereka mengkonsumsi jenis bahan makanan yang banyak mengandung lemak, seperti jenis daging-dagingan tanpa disertai menu sayuran sebagai menu tambahan dalam konsumsi mereka. DM dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung. Sejumlah penderita penyakit jantung diatastersebut, 5 orang diantaranya juga didiagnosa menderita penyakit DM. Ini terbukti dari hasil cek gula darah yang sudah dilakukan. Penyakit lain yang juga mempengaruhi penyakit jantung adalah Hipertensi. Penyakit ini akan meningkatkan beban jantung yang akan membuat dinding jantung menebal, sehingga jantung semakin lama akan semakin besar dan lemah yang dapat menimbulkan resiko serangan jantung. Hasil penelitian diketahuiada3 orang penderita penyakit jantungyang mempunyai riwayat hipertensi. Selain dua jenis penyakit diatas, tingkat stress yang dialami seseorang juga dapat menjadi penyebab penyakit jantung. Orang yang mulai stress dengan rutinitasnya, mereka akan berusaha mencari alternatif yang dapat mengatasi stress yang dialaminya. KESIMPULAN 1) sebanyak 91,89% orang menderita penyakit jantung koroner; 2) sebanyak 41,2% orang bergolongandarah A; 3) tidak ada pengaruh golongan darah terhadap kejadian penyakit jantung di Poli Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. KEPUSTAKAAN 1. Adam.2008. Diet Sehat Sesuai Golongan 17 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 Darah.http://www.berbagicerita. com/diet-sehat-sesuai-golongandarah/. Diakses tanggal 21 November 2011. 2. Fajar.2008. Jantung Koroner. Jurnal Keperawatan Indonesia;Bab 1:1-3. 3. Candra, A.2008. Sakit Jantung Pembunuh No. 1 di Dunia.http://nasional.kompas.co m/.Diakses tanggal 6 Agustus 2011. 4. D’Adamo, P. J. 2005. Diet Sehat Golongan Darah A. USA: The Berkley Publishing Group. 5. ________, P. J.2005. Diet Sehat Golongan Darah B. USA: The Berkley Publishing Group. 6. ________, P. J.2005. Diet Sehat Golongan Darah AB. USA: The BerkleyPublishing Group. 7. ________, P. J.2005. Diet Sehat Golongan Darah O.USA: The Berkley Publishing Group. 8. Henny.2008. Golongan Darah dan Pola Makan.http://azizah2.wordpress.c om/.Diakses tanggal15 Januari 2012. 9. Hidayat.2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.Jakarta: Salemba Medika. 10. Irawan.2008. Fisiologi Jantung.http://panji1102.blogspo t.com/2008/03/fisiologijantung.htm.Diakses tanggal 8 Desember 2011. 11. Kabo, P.2008. Mengungkap Pengobatan Penyakit Jantung Koroner.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 12. Majalah Kesehatan.2007. Gejala dan Pencegahan Penyakit Jantung.http://majalahkesehatan. com/category/kesehatan-umumgigi/kardiovaskuler/.Diakses tanggal 10 Januari 2012. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X 13. Muhammad, A.2009. Memahami Bahaya Serangan Jantung.Jogjakarta: Power Books (IHDINA). 14. Purwanto.2005. Simposium Penyakit Jantung Koroner.Semarang: Undip Press. 15. Rahayu Utaminingsih, W.2009. Mengenal dan Mencegah Penyakit Diabetes, Hipertensi, Jantung, dan Stroke Untuk Hidup Lebih Berkualitas. Yogyakarta: Media Ilmu. 16. Soeharto, I.2008. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung.Jakarta: Gramedia. 17. Sitti.2011. Penyakit Jantung, Penyebab Kematian Terbesar di Dunia.http://takunik.blogspot.co m/search/label/Jantung. Diakses tanggal 6 Februari 2011. 18. Supriyono, M.2008. Faktorfaktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Jantung.Jurnal Keperawatan UNDIP;Hal12-18. 19. Sutikno. 2005. New Trends in Cardiovascular Pharmacotherapy.Semarang: Undip Press. 20. USU Press.2006. Bunga Rampai Kardiologi.Medan: Art Design, Publishing and Printing. 21. Wikipedia.Golongan Darah.http://id.wikipedia.org/wi ki/Golongan_darah.Diakses tanggal21 November 2011. 22. Yahya, A.2009. Menaklukkan Pembunuh No. 1: Mencegah dan Mengatasi Penyakit Jantung Koroner Secara Tepat dan Cepat.Jakarta: Qanita (Mizan Group). 23. Zakiyah, D. 2008. Faktor-faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner.Jurnal FKM UI;Hal 1115. 18 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X PENGARUH TEKNIK MASSAGE PUNGGUNG BAWAH TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA IBU BERSALIN KALA I FASE AKTIF DI BPS IBU NURYANI MALANG Widiharti*), Siti Nurachmawati**) *) Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : One way to alleviate labor pain is the lower back massase techniques. Massage is a common cutaneous stimulation, massage can reduce muscle tension and increase relaxation. The purpose of this study was to analyze the effect of lower back massage techniques to decrease pain intensity on maternal when i active phase in BPS Mother Nuryani Malang. Method : In this study using pre-experimental research design (One-Group Pretest post-test design), with a sample of 12 mothers inpartu research primigravida physiologically active phase of the first stage and taken concecutive sampling. Data analysis techniques used in this study were t test. Result : The results on pain intensity maternal Kala Active Phase I before being given massage the lower back is 82% severe pain, pain intensity on maternal Kala I Phase Active after being given massage lower back pain is 92% lighter, There is influence lower back massage on reduction in pain intensity at Kala maternal Active Phase I of the test results obtained by statistical t-test p-value = 0.000 <0.05. Conclusion : the conclusions above are advised to BPS Capital Institute Nuryani Malang more encouraging health care workers to practice massage to mothers in the maternity delivery room. Keywords: Massage lower back, pain intensity, maternity mother. PENDAHULUAN Pada kala I, nyeri yang ditimbulkan bersifat ”visceral pain”, dimana nyeri terjadi pada bagian permukaan perut sebelah bawah yang beradiasi ke areal lumbal dan panggul bawah. Rangsangan nyeri tersebut disalurkan melalui saraf spinal thorakal 11 dan 12.[3] Untuk mengetahui tingkatan nyeri yang diderita oleh seseorang, dan untuk mengetahui apakah suatu tindakan terhadap nyeri berhasil atau tidak, perlu adanya suatu alat ukur. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Ada dua pendekatan dalam menanggulangi nyeri yaitu pendekatan secara medis (farmakologis) dan pendekatan secara non medis (non farmakologis). Pendekatan medis adalah pendekatan dengan menggunakan obat (analgesia dan anastesi), Banyak metode non farmakologi sebagai kontrol nyeri selama persalinan yang meliputi modulasi psikologis nyeri, relaksasi, hipnoterapi, imajinasi, psikoprovilaksis, modulasi sensorik nyeri. Massage adalah stimulasi kutaneus secara umum, massage 19 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 028X dapat menurunkan tegangan otot dan meningkatkan relaksasi dengan mekanisme gate control atau juga dapat melepaskan endorphin yaitu analgetik tubuh alami. Massage punggung bawah adalah metode untuk menurunkan nyeri dengan teknik massage pada daerah punggung bawah (thorak 10,11,12 da lumbal).[14] Selama kala I persalinan nyeri dihasilkan karena dilatasi servik, effacement dan iskemik uterin. Impuls nyeri selama kala I persalinan ditransmisikan oleh segmen saraf spinal (toracic 10-12 da asesoris torak bawah simpatis lumbal). Nyeri persalinan adalah nyeri viseral yang berlokasi dibawah abdomen dan menyebar ke area lumbal belakang. Gate Control Theory yang dikembangkan Meizak dan Wall tahun 1965,[4] teori ini membawahi banyak teknik manajemen nyeri yang digunakan selama kala I persalinan termasuk massage. Transmisi nyeri dapat dimodifikasi atau dihambat oleh pusat stimulasi selama persalinan. Selama kotraksi impuls nyeri dibawa dari uterus sepanjang small neural fiber C menuju substansia gelatinosa pada spinal column kemudian sel terdekat mentransmisikan pesan nyeri ke otak. Stimulasi kutaneus seperti massage, menghasilkan pesan yang dibawa A delta fiber (faster neural fiber). Serabut A delta fiber akan menutup gate hypothetical pada substansia gelatinosa, kemudian membloking nyeri.[4] Menurut data laporan yang diperoleh di BPS Ibu Nuryani Malang, pada tahun 2011 tercatat 114 kasus persalinan, 9 kasus (7,9%) diantaranya dirujuk karena kehabisan tenaga akibat tidak kuat ISSN 2085- menahan rasa nyeri. (Laporan BPS Ibu Nuryani Malang). METODE PENELITIAN Pre-eksperimen (One-Group Pra test-post test Desain), Populasi ibu inpartu kala I fase aktif. Sampel ibu inpartu kala I fase aktif. Teknik sampling non probability sampling yaitu consecutive sampling. Instrumen observasi menggunakan skala Bourbanais pada subyek penelitian atau responden. Subyek penelitian adalah ibu primigravida diruang bersalin RSU dr. Saiful Anwar bulan Agustus 2011 sampai dengan Februari 2012. Uji beda (t- test).H1 diterima jika nilai p-value pada kolom sig. (2 tailed) <level of significant () HASIL PENELITIAN 1. Usia Distribusi ibu berdasarkan umur 4 4 3 3 3 2 2 1 0 17-19 tahun 20-22 tahun 23-25 tahun 26-28 tahun Umur Diagram 1. Usia Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif di BPS Ibu Nuryani Malang Tahun 2012. Menunjukkkan usia terbanyak ibu bersalin kala I fase aktif di BPS Ibu NuryaniMalang yaitu usia 20-22 tahun sebanyak 33% dan 17% berusia 26-28 tahun. 2. Pendidikan ibu Distribusi ibu berdasarkan pendidikan 5 5 4 4 3 3 2 1 0 SD SMP SMA Pendidikan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 20 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 028X ISSN 2085- Diagram 2. Tingkat Pendidikan Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif di BPS Ibu Nuryani Malang Tahun 2012. Tingkat pendidikan ibubersalin kala I fase aktif di BPS Ibu Nuryani Malang yaituSMA sebanyak 42% dan 25% berpendidikan SMP. 3. Pekerjaan Nyeri Sedang 8% Nyeri ringan 92% Diagram 5. Intensitas Nyeri Pada Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif Setelah Diberikan Massage Punggung Bawah di BPS Ibu Nuryani Malang tahun 2012. Distribusi ibu berdasarkan pekerjaan 6 5 4 3 2 1 0 6 3 2 1 Sw asta IRT Tani Buruh Pekerjaan Diagram 3. Pekerjaan Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif di BPS Ibu Nuryani Malang Tahun 2012. Pekerjaan ibu bersalin kala I fase aktif di BPS Ibu Nuryani Malang yaitu ibu rumah tangga sebanyak 50% dan 8% tani. 4. Intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif sebelum diberikan massage punggung bawah. Nyeri sedang 17% Nyeri berat 83% Diagram 4. Intensitas Nyeri Pada Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif Sebelum Diberikan Massage Punggung Bawahdi BPS Ibu Nuryani Malang tahun 2012. Intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif sebelum diberikan massage punggung bawah adalah nyeri berat(82%) dan nyeri sedang (17%). 5. Intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif setelah diberikan massage punggung bawah. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Dari diagram diatas diketahui intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif setelah diberikan massage punggung bawah adalah nyeri ringan (92%) dan nyeri sedang (8%). Pengaruh massage punggung bawah terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I FaseAktif. Tabel 1. PerhitunganUji T No Variabel T hitung 1 2 Nyeri sebelum Nyeri sesudah 13,404 p-value 0,000* Keterangan * : signifikan pada α = 0,05 Analisis pengaruh massage punggung bawah terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala I fase aktif di BPS Ibu Nuryani Malang tahun 2012 menunjukkan hasil perhitungan nilai p value adalah 0,000*,sedangkan nilai Tingkat signifikan ( ) = 0,05. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji t diperoleh nilai p = 0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan ada pengaruh massagepunggung bawah terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala I fase aktif . 21 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 028X PEMBAHASAN Berdasarkan Diagram 4 diatas diketahui intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif sebelum diberikan massage punggung bawah adalah nyeri berat (82%) dan nyeri sedang (17%). Setiap orang mempunyai persepsi nyeri yang berbeda-beda. Pada penelitian ini didapatkan sebagian ibu bersalin mengalami nyeri berat dan sebagian lain mengalami nyeri sedang. Pada saat persalinan, uterus teregang maksimal dan menyebabkan pengeluaran prostagladin.[14] Prostaglandin merupakan salah satu senyawa kimia berfungsi sebagai mediator yang menyebabkan perubahan potensial nosiseptor (reseptor untuk stimulus nyeri)sehingga terjadi arus elektrobiokimiawi sepanjang akson saraf sehingga terjadi pembangkitan nyeri. Hampir seluruh ibu bersalin mengalami nyeri berat, hal ini disebabkan karena ibu mengalami ketegangan pada saat persalinan, menurut observasi dari peneliti ratarata ke 8 ibu hamil tersebut mengalami ketegangan dan kecemasan yang disebabkan antara lain perasaan khawatir, takut terhadap bayi, persalinan lama. Sesuai dengan teori menguat rasa nyeri karena proses kontraksi rahim menimbulkan perasaan takut pada ibu menjelang persalinan. Perasaan takut ini menginduksi timbulnya ketegangan vegetatif dalam otototot dan perubahan pembuluh darah. Disregulasi vegetatif ini manifestasinya berupa kekakuan mulut rahim dan rahim yang hipoksia mengakibatkan impuls nyeri semakin meningkat,[17] sedangkan 2 ibu bersalin selalu minta ditunggui oleh suaminya, hal ini yang menyebabkan nyerinya Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085- bertambah, sesuai dengan teori bahwa faktor psikologis yang memperparah nyeri persalinan adalah ibu melahirkan sendiri tanpa pendamping.(Danuatmaja & Meiliasari, 2004) Berdasarkan diagram 5 diatas diketahui intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif setelah diberikan massage punggung bawah adalah nyeri ringan (92%) dan nyeri sedang (8%).Sedangkan dari hasil analisis penurunan intensitas nyeri ada perubahan yang nyata, 10 ibu bersalin yang mulanya mengalami nyeri berat, berubah menjadi 9 ibu bersalin mengalami mengalami nyeri ringan dan 1 ibu bersalin mengalami nyeri sedang,sedangkan 2 ibu bersalin yang mulanya mengalami nyeri sedang berubah menjadi nyeri ringan. Adanya perbedaan penurunan intensitas nyeri di atas dimungkinkan karena perbedaan persepsi nyeri setiap orang atau perbedaan ambang nyeri, sedangkan 1 ibu bersalin yang mulanya mengalami nyeri berat dan penurunannya hanya sampai nyeri sedang disebabkan karena yang bersangkutan baru hamil setelah menikah selama 5 tahun, sehingga hal ini secara tidak langsung mempengaruhi psikologis dan tingkat kecemasan ibu bersalin. Massage dapat menurunkan tegangan otot dan meningkatkan relaksasi.[14]Hasil ini sejalan juga dengan teori dari Pommeranz, yaitu stimulus tertentu pada seseorang akan dapat meningkatkan atau menurunkan kadar endorphin di dalam darah dan otak yang berfungsi sebagai endomorfin. Meningkat kadar endorphin di dalam tubuh dapat meningkatkan nilai ambang nyeri di otak. 22 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 028X Wirjoatmodjo (2000) menyatakan penurunan intensitas rasa nyeri dapat diakibatkan oleh pengeluaran neurotransmitter endorphin yang merupakan analgesia endogen oleh sel otak. Selain itu juga melalui mekanisme gate cotrol. Stimulasi kulit seperti massage, menghasilkan pesan yang dibawa A delta fiber (faster neural fiber). Serabut A delta fiber akan menutup gate hypothetical pada substansia gelatinosa, kemudian membloking nyeri.[4] Hasil uji statistik diperoleh dengan menggunakan uji t diperoleh nilai p = 0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan ada pengaruh massage punggung bawah terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I Fase Aktif. Pemijatan atau massage yang dilakukan dengan baik dan benar dapat secara nyata menurunkan intensitas nyeri persalinan. Rasa nyeri timbul karena serangkaian proses kimia dalam sel saraf, sedangkan massage juga menimbulkan perubahan biokimia yang dapat mengeblok atau menghalangi penjalaran impuls nyeri. Nyeri persalinan berasal dari daerah uterus (rahim) dan cerviks. Impuls rasa nyeri kontraksi rahim pada persalinan ditransmisi melalui segmen saraf spinalis T11-12 dan saraf-saraf asesori torakal bawah serta saraf simpatik lumbal atas (Hoghs, 1992). Segmen saraf ini terletak di daerah punggung bawah. Pemijatan atau massage yang dilakukan pada area punggung bawah merupakan rangsangan yang diterima ujung-ujung saraf di kulit yang dihantarkan oleh serabut saraf A delta. Impuls ini akan menutup gate hypothetical pada substansia gelatinosa di medulla Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085- spinalis kemudian membloking [4] nyeri. Sehingga hasil akhirnya adalah penurunan intensitas nyeri dari daerah uterus dan cerviks dan hal ini bisa diamati dengan perubahan menjadi nyeri ringan. KESIMPULAN 1) intensitas nyeri pada ibu bersalin kala I fase aktif sebelum diberikan massage punggung bawah adalah hampir seluruh mengalami nyeri berat dan sebagian kecil mengalami nyeri sedang; 2) intensitas nyeri pada ibu bersalin kala I fase aktif setelah diberikan massage punggung bawah adalah hampir seluruhnya mengalami nyeri ringan dan sebagian kecil mengalami nyeri sedang; 3) ada pengaruh massage punggung bawah terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin Kala I FaseAktif. KEPUSTAKAAN 1. Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 2. Barbara, C. Long. 1995. Perawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC. 3. Bobak, Lowdermilk, Jensen. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC. 4. Cohen. M, et al. 1991. Maternal, Neonatal and Woman’s Health Nursing.Pensylvania: Sringhause Company. 5. Farrer H.2001. Perawatan Maternitas;Edisi 2. Jakarta : EGC. 6. Helen, Farrer RN. 2001. Perawatan Maternitas.Jakarta: EGC. 7. Hemayanti. 2002. Apa Yang Perlu Perawat Pahami Dalam 23 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 028X ISSN 2085- Mengurangi Nyeri Pada Ibu Saat Bersalin Dan Melahirkan. Nursing Journal Of Padjajaran University; Vol. 3; No. 6; Hal: 52-60. 8. Irene, M. Bobak. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC. 9. Mander, Rosemary. 2003. Nyeri Persalinan.Jakarta: EGC. 10. Neil Niver. 2002. Psikologi Kesehatan Edisi 2. Jakarta: EGC. 11. Nursalam. 2003. Konsepdan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan .Jakarta: Salemba Medika. 12. Nursalam & SitiPariani. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta:Sagung Seto. 13. Obstetri, Williams. 2005. Persalinan.Jakarta: EGC. 14. Pilliterrri. 1999. Maternal And Child Health Nursing Third Edition. USA: Lippincott. 15. Prawiroharjo S. 1997. Ilmu Kebidanan,Jakarta: Penerbit Yayasan Bina pustaka Sarwono Prawirohardjo. 16. Priharjo, Robert. 1995. Perawatan nyeri Dan Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Pasien.Jakarta: EGC. 17. Rosemary M. 2003. Nyeri Persalinan. Jakarta: EGC. 18. Solomon, et al. 1990. Human Anatomy & PhysiologySecond Edition. Florida: Saunders College Publishing. 19. Sulaiman S.1983. Obstetri Fisiologi.Bandung: Penerbit Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 24 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X STUDI KANKER SERVIKS BERDASARKAN GEJALA DAN FAKTOR RESIKO DI RSB PONDOK TJANDRA WARU SIDOARJO Faridah*), Sonya Lisdianawati**) *) Dosen Prodi Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Until now the cervical cancer is still a cause of death from cancer in developing countries. According diananda (2007), symptoms are: whitish, more and more stink, bleeding after intercourse, pain during sex, weight decreased, and smelling yellowish discharge mixed with blood, anemia, bleeding pervagina although it has entered a period of menoupose, pelvic pain . Factors that influence cervical cancer, namely age, age at first marriage, multipartner, the use of antiseptics, smoking, history of venereal disease, parity, oral contraceptive use in a long time and stage of cancer according to the stages I, II, III, IV. Method :This type of descriptive research with populations in the study were women with cervical cancer, amounting to 24 people. The research was conducted on 21 May to 18 June 2012. Result :The study found that a majority of more on the symptoms of cervical cancer discharge yellowish, odorless and can be mixed with the blood of 100% (24 people) and the factors that cause cervical cancer in women aged> 35 years of 100% (24 people) and the stage III cervical cancer as much as 37.6% (9 people). Conclusion :From the results of research in the field that there are many women who are less aware of the symptoms of cervical cancer, so they are less aware of the importance of papSmear as early as possible.Suggestions that enhance health promotion-related signs and symptoms of risk factors for cervical cancer with Pap importance of Smear. Keyword: symptoms, risk factors, cervical cancer PENDAHULUAN Kanker serviks adalah keganasan mulut rahim yang berkembang sagat lambat dan gejala awal beser putih yang sulit sembuh, kontak berdarah, spotting dan gangguan menstruasi.[7] Tumor masih dangkal, hanya tumbuh dilapisan sel serviks;stadium I kanker telah tumbuh dalam serviks, namun belum menyebar kemanapun; stadium II Kanker berada di bagian dekat serviks tapi bukan di luar panggul; stadium III Kanker telah menyebar ke jaringan lunak sekitar vagina/organ intim wanita (biasa disebut mrs.v) dan serviks sepanjang dinding panggul. Mungkin dapat Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya menghambat aliran urin ke kandungkemih; stadium IV kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh, seperti kandung kemih,rektum, atau paru-paru. Pemeriksaan pap smear dapat dipakai sebagai deteksi dini kanker serviks. Pemberian vaksin pada kanker serviks salah satunya gardasil. Gardasil adalah vaksin terhadap HPV-6, -12, -16 dan -18, yang semuanya dikaitkan dengan perubahan sel prakanker atau kanker di rahim (dan dubur). Uji coba klinis menunjukkan bahwa vaksin ini sangat efektif untuk mencegah 25 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 penyakit pada rahim dan kelamin terkait HPV pada perempuan yang tidak terinfeksi oleh HPV jenis ini. Hingga saat ini kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di Negara berkembang. Tingginya angka kematian ini adalah karena penyakit ini tidak mempunyai ciri yang khas. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila dilakukan program skrining atau deteksi dini namun hal ini belum dilakukan khususnya di negara berkembang. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSB pondok tjandra Waru didapatkan bahwa dari 24 orang pasien yang berobat dengan keluhan yang dirasakan sehingga membawanya datang untuk memeriksakan diri 20,8% berada pada stadium I, stadium II 20,8%, stadium III 37,5%, dan stadium IV 20,8%. Stadium semakin tinggi usia harapan hidup semakin rendah. ISSN 2085-028X No Variabel 1 Tingkat Pendidikan e. SD a. SMP b. SMA c. Perguruan Tinggi Pekerjaan a. Ibu Rumah Tangga b. Swasta/Karyawan c. Wiraswasta d. PNS Gejala f. Keputihan berbau g. Perdarahan senggama h. Sakit berhubungan seks i. Berat badan menurun j. Keluar cairan kuning berbau k. Anemia l. Perdarahan pervagina m. Timbul nyeri panggul Usia g. <20 tahun h. 20 – 35 tahun i. >35 tahun Usia Pertama Kali Menikah c. 18 – 30 tahun d. 30 – 35 tahun e. >35 tahun Multipartner d. 1 kali e. 2 kali f. ≥ 3 kali Antiseptik d. Sering e. Kadang-kadang f. Tidak pernah Merokok a. Merokok b. Tidak merokok Riwayat Penyakit Kelamin a. Benjolan b. Erosi Paritas a. 1 b. 2 c. ≥ 3 Kontrasepsi Oral a. Pil b. Suntik 3 bulan c. Suntik 1 bulan d. Spiral Kanker Serviks a. Stadium I b. Stadium II c. Stadium III d. Stadium IV 2 3 4 5 6 7 METODE PENELITIAN Desain penelitian deskriptif. Populasi adalah 24 pasien. Sampel 24 pasien dengan gejala awal kanker serviks. Pengumpulan data awal memberikan KIE (komunikasi informasi dan edukasi) tentang gejala, penyebab, pencegahan dan pemeriksaan papsmear secara rutin. Analisa uji variabel. 8 9 10 11 HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pasien di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo Pada Bulan April 2012. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 12 n (%) 6 4 10 4 25 16,7 41,6 16,7 9 7 5 3 37,5 29,1 20,9 12,5 19 19 19 14 24 14 14 14 79,16 79,16 79,16 58,33 100 58,33 58,33 58,33 0 0 24 0 0 100 19 5 0 79,2 20,8 0 15 8 1 62,5 33,4 4,1 10 12 2 41,6 50 8,4 0 24 0 100 6 18 25 75 2 8 14 8,3 8,4 58,3 3 15 1 5 12,5 62,5 4,2 20,8 5 5 9 5 20,8 20,8 37,6 20,8 26 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Stadium Kanker Serviks Dengan Gejala dan Faktor Resiko di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo Pada Bulan April 2012. NO 1 2 Gejala Gejala a. Keputihan berbau b. Perdarahan senggama c. Sakit berhubungan seks. d. Berat badan menurun. e. Keluar cairan kuning berbau f. Anemia g. Perdarahan pervagina h. Timbul nyeri panggul Faktor Resiko a. Usia b. Usia pertama kali menikah c. Multipartner d. Penggunaan antiseptik e. Merokok f. Riwayat penyakit kelamin g. Paritas h. Kontrasepsi oral PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa mayoritas usia pasien yang terkena kanker serviks di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo berumur >35 th sebanyak 24 pasien (100%) karena semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker leher rahim, sedangkan yang berumur < 20 th dan berumur 20-35 tahun yang terkena kanker servik tidak ada karena pada umur < dari 20 tahun sampai 30 tahun belum muncul terjadinya kanker serviks. Meningkatnya risiko kanker pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.[10]Pada usia > 35 tahun lebih banyak terkena kanker serviks karena melemahnya sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa mayoritas Usia Pertama Kali Menikah pasien di Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Stadium I n % Kanker serviks Stadium II Stadium III n % n % 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 20,8 0 0 0 5 5 5 0 5 0 0 0 26,32 26,32 26,32 0 20,8 0 0 0 9 9 9 9 9 9 9 9 47,36 47,36 47,36 64,28 37,6 64,28 64,28 64,28 5 5 5 5 5 5 5 5 26,32 26,32 26,32 35,72 20,8 35,72 35,72 35,72 5 5 3 3 0 5 3 0 20,8 26,3 20 25 0 27,8 21,42 0 5 4 3 2 0 5 2 1 20,8 21,1 20 16,7 0 27,8 14,28 33,4 9 7 6 5 0 4 5 2 37,6 36,9 40 41,6 0 22,2 35,72 66,6 5 3 3 2 0 4 4 0 20,8 15,7 20 16,7 0 22,2 28,58 0 Stadium IV n % RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang berumur 18-30 th sebanyak 19 pasien (79,2%) dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim dibandingkan yang berumur 30-35 tahun sebanyak 5 pasien (20,8%) karena pada umur ini sudah ada kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa banyak multipartner pasien di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang terkena kanker serviks1 kali sebanyak 15 pasien (62,5%) karena wanita menganggap dengan pasangan setia tidak ganti-ganti pasangan tidak akan terkena kanker serviks. Dibandingkan multipartner 2 kali sebanyak 8 pasien (33.4%) karena bisa tertularnya pada pasangan kedua yang terkena virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak dan tidak terkendali sehingga menjadi kanker dan multipartner ≥ 3 kali 27 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sebanyak I pasien (4,1%) karena dengan berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa banyak pasien menggunakan antiseptik di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang terkena kanker serviks kadang-kadang sebanyak 12 pasien (50%) karena pemakaian antiseptik hanya waktu tertentu saja misalnya sebelum menstruasi dan setelah menstruasi. Dibandingkan menggunakan antiseptik yang sering sebanyak 10 pasien (41,6%) karena penggunaan antiseptik lebih baik dari pada dengan sabun mandi. Menggunakan antiseptik tidak pernah sebanyak 2 pasien (8,4%) karena menganggap dengan sabun mandi sudah cukup disbanding Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.[2] Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa mayoritas tidak merokok yang datang di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang terkena kanker serviks sebanyak 24 pasien (100%) karena seorang wanita hampir tidak ada yang merokok dibandingkan dengan seorang pria. Wanita yang merokok nikotin mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru, maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsinya bisa menyebabkan kanker leher rahim. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X Risiko wanita perokok terkena 4-13 kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok.[2]. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa erosi jaringan yang normal pada permukaan dan atau mulut serviks digantikan oleh jaringan yang mengalami inflamasi dari kanalis serviks dibandingkan benjolan sebanyak 6 pasien (25%) jaringan yang tumbuh pada vagina. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa > banyak jumlah anak ≥3 yang tekena kanker serviks di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo sebanyak 14 pasien (58,3%) karena anak yang banyak diduga mengalami penurunan daya tahan tubuh. Dibandingkan jumlah anak 2 sebanyak 8 pasien (8,4%) dan jumlah anak1 pasien (8,3%) pada wanita yang memiliki anak 1 sampai 2 lebih kecil kemungkinan kena kanker servik tapi tetap juga harus melakukan pemeriksaan pap smear. Para wanita yang mempunyai anak lebih dari 3 agar melakukan papsmear agar tidak terjadi kanker serviks. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa > banyak KB pasien di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang terkena kanker serviks suntik 3 bulan sebanyak 11 pasien (45,9%) karena pada KB suntik 3 bulan tidak mengalami mentruasi dibandingkan KB spiral 5 pasien (20,8%) karena terjadi erosi pada benang spiral. KB pil 3 pasien (12,5%) karena KB pil perlu diminum setiap hari tidak boleh berhenti.dan suntik 1 bulan 1 pasien (4,2%) karena pada KB suntik 1 bulan harus disuntik tiap bulan dan jadwal untuk suntik lagi tidak boleh telat. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat 28 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Pada penelitian dilapangan didapatkan bahwa KB 3 bulan lebih banyak karena pada KB 3 bulan pasien tidak mengalami menstruasi karena hormon estrogen ditekan sehingga lebih banyak hormone progesterone. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa > banyak kanker serviks pasien di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang Stadium III sebanyak 9 pasien (45,9%) karena pada stadium ini pasien mulai ada keluhan. Apabila seorang wanita menghadapi gejala-gejala kanker serviks harus periksa ke dokter karena karena kanker serviks pengobatannya dengan operasi pada kanker serviks stadium I dan kemo therapy pada kanker serviks sadium II,III dan IV. Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 19 pasien yang mengalami perdarahan setelah senggama pada kanker serviks stadium III 47,36% (9 orang) karena terjadi nekrose jaringan bila dilakukan senggama bisa berdarah. Perdarahan setelah senggama pada kanker serviks stadium II 26,32% (5 orang) benjolan daging ini yang bisa terinfeksi lalu menjadi tukak borok yang rapuh dan mudah berdarah kalau tersentuh penis sewaktu senggama atau infeksi pada vagina (vaginitis) yang membuat dinding vagina tipis atau pun cervicitis (mulut rahim terinfeksi) sehingga menimbulkan pendarahan setelah senggama. Perdarahan setelah senggama pada kanker serviks stadium IV 26,32% (5 orang) Mekanisme dari perdarahan kontak Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X berhubungan dengan faktor penyebabnya. Salah satu diagnosis yang dapat membedakan antara perdarahan kontak dan fisiologis adalah dari gejala klinisnya. Berdasarkan Tabel 2, 19 pasien yang mengalami sakit waktu hubungan sex pada kanker serviks stadium III 47,36% (9 orang) sudah terjadi nekrosis jaringan sehingga bila dilakukan untuk berhubungan nyeri, sakit waktu hubungan sex pada kanker serviks stadium II 26,32% (5 orang) peradangan kronis yang menimbulkan nyeri di sekitar mulut vagina, sakit waktu hubungan sex. Pada kanker serviks IV 26,32% (5 orang) endometriosis, adenomiosis (myoma), radang panggul, prolapsis uterus, kista ovarium, tumor rahim (uterine fibroids), cistitis dan iritasi saluran kencing, dan sakit waktu hubungan sex pada kanker serviks stadium I tidak ada karena belum ada keluhan sehingga pasien belum mau konsultasi pada dokter. Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 14 pasien yang mengalami berat badan menurun pada kanker serviks stadium III 64,28 % (9 orang) karena pada stadium III pengobatannya dengan kemo therapy sehingga menimbulkan mual dan untuk makan malas. Berat badan menurun pada kanker serviks stadium IV 35,72% (5 orang) karena pada stadium IV pengobatannya dengan kemo therapy sehingga menimbulkan mual dan untuk makan malas dan daya tahan tubuh menurun. Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 24 pasien > banyak yang mengalami keluar cairan kuning dan berbau pada kanker serviks stadium III 37,6% (9 orang) karena pada kanker serviks stadium III merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas 29 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sehingga menimbulkan keluar cairan kuning dan bau. Dibandingkan keluar cairan kuning dan berbau pada kanker serviks stadium I,II,IV yang masing-masing sebanyak 20,8% (5 orang) karena pada kanker serviks pada stadium I pasien masih menganggap belum terjadi kanker serviks, pada kanker serviks stadium II mengalami erosi yang tidak dilakukan pengobatan sehingga menimbulkan keluar cairan kuning dan berbau dan pada kanker serviks stadium IV cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas. Berdasarkan tabel 2 diatas dari 14 pasien yang mengalami anemia pada kanker serviks stadium III 64,28% (9 orang) karena pada stadium III sudah terjadi nekrosis jaringan sehingga terjadi perdarahan, Perdarahan spontan saat berdefekasi terjadi akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala, mengakibatkan anemia. Anemia akan menyertai sebagai akibat dari perdarahan pervaginam yang berulang. Anemia pada kanker servik stadium I dan kanker servik stadium II tidak ada karena belum terjadi perdarahan. Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 14 pasien yang mengalami perdarahan pervagina memasuki menopause pada kanker serviks stadium III 64,28% (9 orang) karena pada kanker serviks stadium III wanita sudah mulai ada keluhan pengeluaran darah. Perdarahan pervagina memasuki menopause pada kanker serviks stadium IV 35,72% (5 orang) karena pada kanker serviks stadium IV pengeluaran darah lebih banyak yang dikiranya itu darah menstruasi. Perdarahan pervagina memasuki Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X menopause pada kanker servik stadium I dan kanker servik stadium II tidak ada karena sebatas porsionya yang mengalami erosi. Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 14 pasien yang mengalami nyeri panggul pada kanker serviks stadium III 64,28% (9 orang) karena Penyebaran sudah sampai dinding panggul tetapi sudah ada gangguan faal ginjal/hidronefrosis. Nyeri panggul pada kankerserviks stadium IV 35,72% (5 orang) karena proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi mukosa rektum dan/kandung kemih. Pada penderita kanker serviks stadium III telah mengalami nyeri pada panggul. KESIMPULAN Pada gejala kanker serviks di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo gejala keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah sebanyak 24 pasien (100%), sakit waktu hubungan seks yang masingmasing sebanyak 19 pasien (79,16%) dan yang mengalami gejala berat badan yang terus menurun, anemia, terjadi perdarahan pervagina meskipun telah memasuki masa menoupose, timbul nyeri panggul (Pelvis) bila ada radang panggul sebanyak 14 pasien (58,33%). Pada faktor penyebab kanker serviks di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo dijumpai lebih banyak usia ≥35 tahun , tidak merokok masingmasing sebanyak 24 pasien (100%) dibandingkan dengan usia pertama kali menikah yang berumur 18-30 th sebanyak 19 pasien (79,2%), riwayat penyakit kelamin sebanyak 18 pasien (75%), multipartner 1 kali, KB yang suntik 3 bulan masing-masing sebanyak 15 pasien (62,5%), paritas anak ≥3 sebanyak 14 pasien (58,3%) 30 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 dan menggunakan antiseptik yang kadang-kadang sebanyak 12 pasien (50%). Kanker serviks pasien di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang Stadium III sebanyak 9 pasien (37,6%). KEPUSTAKAAN 1. Benson, Ralaph C. Dkk, 2008. Buku Saku Obstetri Dan Ginekologi, Jakarta : EGC. 2. Dalimartha S, 2004. Deteksi Dini Kanker,Jakarta : Penebar Swadaya. 3. Diananda R, 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker, Yogyakarta : Katahati. 4. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, 1981. Ginekologi, Bandung : Elstar offset. 5. Farid, Aziz M. Dkk, 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi”, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 6. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analis Data, Jakarta : Salemba Medika. 7. Manuaba, Ida bagus gde, 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Dan Gynekologi Dan Keluarga Berencana,Jakarta : EGC. 8. Nursalam, 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,Jakarta : Salemba Medika. 9. Prawirohardjo, Sarwono, 2002. Ilmu Kandungan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 10. Dinkes Bone Bolang, .2007. Mengenal Kanker,Gorontalo : Dinkes Bone Bolango. 11. Nursalam, 2001.Konsep Dan Penerapan Metodologi Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X Penelitian Ilmu Keperawatan,Jakarta : Salemba Medika 12. Sugiyono, 2000. Metodologi Penelitian Administrasi, Bandung : Alfa Beta. 13. Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002. Penilaian Status Gizi, Jakarta:EGC 31 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIRDI RSUD SIDOARJO Wiwik Widiyawati*), Yuvita Putri Fatriasari**) *) Dosen Prodi ilmu Keperwatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Asphyxia is a state of the newborn babiess is not breathing spontaneously and regularly. The Asphyxia cases are the highest after the Low Birth Weight Babies cases for the top ten of high-risk diseases to neonates in RSUD Sidoarjo. In 2011, 201 of 1797 newborns suffer Asphyxia. The case is believed from many factors. Therefore, a research is needed to find the solutions. The purpose of this research is to identify the factors that cause Asphyxia for the newborn babies in RSUD Sidoarjo. Method :This research is a descriptive research with restropective research design. The subjects are 201 mothers with asphyxiated newborns. The data collecting method is using secondary data collecting. After that, the data is processed and presented in cross-tabulation. Result :The results indicate that 96 newborns (47.76%) suffer Light Asphyxia. The factors of Asphyxia are divided into three groups: the most frequent factor for mothers is prolonged labor 63 cases (31.34%), the most frequent factor for umbilical cord is umbilical cord entanglement 28 cases (13.93%), and the most frequent factor for neonates is cesarean section 103 cases (51.24%). Conclusion :From the results stated above, it can be concluded that most dominant and frequent factor that cause Light Asphyxia is cesarean section. The related medical staff is suggested to intensify the roles, skills, and knowledge of midwives as the medical staff that are able to act fast and precisely for Asphyxia cases. The actions can be learned through seminar or training programs to prevent possible complications. Keywords: Asphyxia, newborns PENDAHULUAN WHO menyimpulkan bahwa kesehatan bayi baru lahir sangat ditentukan oleh pelayanan yang didasarkan lima prinsip, yaitu persalinan yang bersih dan aman, mempertahankan suhu tubuh, dimulainya pernafasan spontan, menyusui segera sesudah lahir, pencegahan infeksi dan tata laksana penyakit. Namun dalam kenyataannya masih banyak terjadi gangguan pada bayi baru lahir. Salah satu diantanya yaitu asfiksia sebagai penyebab kedua mortalitas dan morbiditas di indonesia. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Klasifikasi Asfiksia meliputi bayi normal atau asfiksia ringan, Asfiksia sedang, Asfiksia berat. Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia akan membawa berbagai dampak pada periode neonatal. Asfiksia neonatorum akan terjadi apabila saat lahir bayi mengalami gangguan pertukaran gas dan transport oksigen sehingga menjadi kekurangan persediaan oksigen dan kesulitan dalam pengeluran karbondioksida. 32 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 Kejadian tersebut dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya yaitu partus lama, lilitan tali pusat, bayi premature dan lain-lain. Keadaan ini dapat mengakibatkan bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir dan bila keadaan tersebut tidak mendapatkan penanganan segera maka akan berlanjut pada kematian. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21 April 2012 di Ruang Neonatus RSUD Sidoarjo asfiksia menempati urutan kedua setelah BBLR dari 10 besar penyakit resiko tinggi pada neonatus. Pada tahun 2011 tercatat 201 (11,2%) bayi mengalami asfiksia dari jumlah kelahiran 1797 bayi. Oleh karena itu pencegahan asfiksia adalah sangat penting yaitu dengan pemeriksaan prenatal yang baik dan memperhatikan tanda gejala yang timbul. Penanganan dan pemberian asuhan yang baik dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dengan asfiksia dengan dilakukan secara komprehensif meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh bio-psiko-sosial dan spiritual. METODE PENELITIAN Deskriptif, retrospektif, Populasi 201 bayi dengan asfiksia. Total sampel Instrumen dokumen, publikasi, dan catatan klinik maupun pribadi. HASIL PENELITIAN Tabel 2. Distribusi frekuensi Penyebab Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir di RSUD Sidoarjo Juni 2012 Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X No 1 Variabel Usia Ibu d. <20 tahun e. 20-30 tahun f. 31-40 tahun g. >40 tahun 2 Parietas j. Primigravida k. Multigravida l. Grandemulti 3 Asfiksia a. Ringan b. Sedang c. Berat Faktor Ibu 4 Kejadian Preeklampsia f. Terjadi preeklampsia g. Tidak terjadi preeklampsia 5 Kejadian Eklampsia a. Terjadi eklampsia b. Tidak terjadi eklampsia 6 Plasenta Previa g. Plasenta Previa Totalis h. Plasenta Previa Lateralis i. Plasenta Previa Marginalis j. Tidak terjadi plasenta previa 7 Partus Lama g. Terjadi partus lama h. Tidak terjadi partus lama 8 Demam Selama Persalinan c. Terjadi demam d. Tidak terjadi demam 9 Infeksi Berat c. Malaria Terjadi malaria Tidak terjadi malaria d. Sifilis Terjadi sifilis Tidak terjadi sifilis e. TBC Terjadi TBC Tidak terjadi TBC n (%) 6 137 41 17 2,99 68,16 20,4 8,46 79 88 34 39,3 43,78 16,92 96 66 39 47,76 32,84 19,4 31 170 15,42 84,58 11 190 5,47 94,53 7 16 9 169 3,48 7,96 4,48 84,08 63 138 31,34 68,66 38 163 18,91 81,09 13 188 6,47 93,53 11 190 5,47 94,53 4 197 1,99 98,01 33 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 Kehamilan Post Matur a. Terjadi post matur b. Tidak terjadi post matur Faktor Tali Pusat 11 Lilitan Tali Pusat a. Terjadi lilitan b. Tidak terjadi lilitan 12 Tali Pusat Pendek a. Terjadi pusat pendek b. Tidak terjadi pusat pendek 13 Simpul Tali Pusat a. Terjadi simpul b. Tidak terjadi simpul 14 Tali Pusat Menumbung a. Terjadi menumbung b. Tidak terjadi menumbung Faktor Neonatus 15 Kejadian bayi prematur a. Terjadi bayi prematur b. Tidak terjadi bayi prematur 16 Persalinan Dengan Tindakan a. Vakum Ekstraksi Terjadi vakum Tidak terjadi vakum b. Forcep Ekstraksi Terjadi forcep Tidak terjadi forcep c. Seksio Sesarea Terjadi seksio Tidak terjadi seksio 17 Kelainan Kongenital a. Hernia Diafragma Terjadi Hernia Tidak Terjadi Hernia b. Atresia Koana Terjadi Atresia Tidak Terjadi Atresia c. Hidrosefalus Terjadi hidrosefalus Tidak terjadi hidrosefalus ISSN 2085-028X 10 18 40 161 19,9 80,1 28 173 13,93 86,07 22 179 10,95 89,05 12 189 5,97 94,03 18 183 8,96 91,04 43 158 21,39 78,61 18 183 8,96 91,04 1 200 0,5 99,5 103 98 51,24 48,76 7 194 3,48 96,52 14 187 6,97 93,03 3 198 1,49 98,51 Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Air Ketuban Bercampur Mekonim a. Terjadi campuran b. Tidak terjadi campuran 32 169 Hasil penelitian , didapatkan persalinan yang dilakukan seksio sesarea sebanyak melahirkan bayi dengan ringan. 15,92 84,08 dari 103 dengan 45,63% asfiksia 34 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X Tabel 3. Distribusi Frekuensi Faktor Penyebab Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Pada Bulan Juni 2012 di RSUD Sidoarjo Asfiksia No. Faktor-faktor Penyebab Asfiksia Total Ringan Σ % Sedang Σ % Berat Σ % Σ % a. Preeklampsia 8 25,81 2 6,45 21 67,74 31 100 b. Eklampsia 0 0 0 0 11 100 11 100 a. Plasenta Previa Totalis 1 14,29 6 85,71 0 0 7 100 b. Plasenta Previa Lateralis 15 93,75 1 6,25 0 0 16 100 c.Plasenta Previa Marginalis 7 77,78 2 22,22 0 0 9 100 3. Partus Lama 21 33,33 15 23,81 27 42,86 63 100 4. Demam Selama Persalinan 22 57,89 11 28,95 5 13,16 38 100 5. a. Infeksi Berat-Malaria 9 69,23 4 30,70 0 0 13 100 b. Infeksi Berat-Sifilis 5 45,45 3 27,27 3 27,27 11 100 c.Infeksi Berat-TBC 3 75 1 25 0 0 4 100 Kehamilan Post Matur 22 55 16 40 2 5 40 100 Faktor Ibu 1. 2. 6. Faktor Tali Pusat 1. Lilitan Tali Pusat 10 35,71 15 53,57 3 10,71 28 100 2. Tali Pusat Pendek 12 54,55 10 45,45 0 0 22 100 3. Simpul Tali Pusat 8 66,67 4 33,33 0 0 12 100 4. Tali Pusat Menumbung 13 72,22 2 11,11 3 16,67 18 100 Faktor Neonatus 1. Bayi Prematur 24 55,81 19 44,19 0 0 43 100 2. a. Persalinan Tindakan-Vakum Ekstraksi 8 44,44 5 27,78 5 27,78 18 100 3. 4. b. Persalinan Tindakan-Forsep Ekstraksi 0 0 1 100 0 0 1 100 c.Persalinan Tindakan-Seksio Sesarea 47 45,63 26 25,24 30 29,13 103 100 a. Kelainan Kongenital-Hernia Diafragma 3 42,86 3 42,86 1 14,28 7 100 b. Kelainan Kongenital-Atresia Koana 7 50 4 28,57 3 21,43 14 100 c.Kelainan Kongenital-Hidrosefalus 0 0 1 33,33 2 66,67 3 100 Ketuban Bercampur Mekonium 10 31,25 12 37,5 10 31,25 32 100 PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 201 kelahiran didapatkan 97 bayi (47,76%) mengalami asfiksia ringan, 67 bayi (33,33%) mengalami asfiksia sedang, dan 38 bayi (18,91%) mengalami asfiksia berat. Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya kehidupan lebih lanjut.[9] Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan danteratur segera setelah lahir.[4] Menurut Depkes RI (2006) asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu preeklampsia, eklampsia, plasenta previa, partus lama, demam selama persalinan, infeksi berat, kehamilan 35 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 post matur, lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, tali pusat menumbung, bayi prematur, persalinan dengan tindakan, kelainan kongenital, dan air ketuban bercampur mekonium Banyaknya faktor penyebab asfiksia menyebabkan kejadian asfiksia susah untuk dihindari. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksiatransiens). Proses tersebut dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping” yang kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Sebenarnya sifat asfiksia sendiri tidak mempunyai pengaruh buruk karena adaptasi bayi dapat mengatasinya namun, bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan/ persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan tersebutakan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 terbukti bahwa preeklampsia merupakan salah satu penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir. Hal tersebut didukung dengan adanya kejadian bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia berat sebanyak 21 orang (67,74%) mengalami preeklampsia. Wanita hamil dengan preeklampsia juga akan mengalami pembengkakan pada kaki dan tangan. Preeklampsia umumnya muncul pada pertengahan umur kehamilan, meskipun pada beberapa kasus ada yang ditemukan pada awal masa kehamilan. Namun bila preeklampsia tidak tertangani dengan baik maka akan berdampak lebih buruk lagi, yaitu terjadinya eklampsia. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X Hal tersebut juga terbukti dengan adanya kejadian yang telah dijelaskan pada Tabel 3 yaitu ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia berat sebanyak 11 orang (100%) mengalami eklampsia. Eklampsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak teratasi dengan baik.[14] Selain mengalami gejala preeklampsia, ibu yang terkena eklampsia juga sering mengalami kejang. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebanyak 15 orang (93,75%) mengalami plasenta previa lateralis dengan bayi mengalami asfiksia ringan. Plasenta previa lateralis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.[14] Selain itu didapatkan 7 orang (77,78%) mengalami plasenta previa marginalis melahirkan bayi dengan asfiksia ringan, sedangkan sebanyak 6 orang (85,71%) mengalami plasenta previa totalis melahirkan bayi dengan asfiksia sedang. Plasenta previa dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pada kehamilan setelah 28 minggu atau pada kehamilan lanjut (trimester III). Bila perdarahan berlangsung hebat maka kemungkinan terjadinya syok sangat besar. Syok yang terjadi pada ibu dapat menimbulkan anoksia pada janin yang akan berlanjut pada asfiksia hingga terjadi kematian janin. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 75 orang (54,35%) tidak mengalami partus lama, sedangkan ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia berat sebanyak 27 orang (42,86%) mengalami partus lama. Menurut Syaifuddin (2007) Partus lama merupakan fase laten lebih 36 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 dari 8 jam. Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di kanan garis waspada persalinan aktif. Partus lama bila belum inpartu/persalinan palsu ditandai dengan serviks tidak membuka dan tidak terdapat kontraksi uterus, fase laten memanjang ditandai dengan pembukaan serviks tidak melewati 3 cm sesudah 8 jam in partu, fase aktif memanjang ditandai dengan pembukaan serviks melewati kanan garis waspada partograf, dan kala II lama ditandai dengan pembukaan serviks lengkap, ibu ingin mengejan, tetapi tidak ada kemajuan [15] penurunan. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 dapat pastikan bahwa terjadinya demam saat proses persalinan dapat menyebabkan terjadinya asfiksia, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kejadian ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 22 orang (57,89%) mengalami demam selama persalinan. Demam selama persalinan dapat terjadi sebagai tanda adanya infeksi. Infeksi yang dapat terjadi yaitu infeksi pada saluran kemih dan infeksi pada saluran pernafasan. Tanda pasti yang ditimbulkan adalah demam dengan temperatur >380C. Demam pada proses persalinan dapat menyebabkan terjadinya asfiksia sebagai akibat adanya gangguan pada pernafasan ibu sehingga menyebabkan berkurangnya suplai O2 pada janin yang akan berlanjut pada kejadian asfiksia.[15] Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia beberapa diantaranya juga mengalami infeksi berat saat proses persalinan.Ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X sebanyak 9 orang (69,23%) mengalami infesi berat malaria. Infeksi malaria dapat menyebabkan infeksi plasenta sehingga makin mengganggu pertukaran nutrisi dan oksigen ke janin dan menimbulkan gangguan perkembangan dan pertumbuhan janin. Ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 91 orang (47,89%) tidak mengalami infeksi berat sifilis dan 5 orang (45,45%) mengalami sifilis. Pada kehamilan kurang dari 16 minggu sifilis dapat menyebabkan kematian janin, pada kehamilan lanjut menyebabkan kelahiran prematur atau gangguan pertumbuhan intrauteri ataupun dapat menimbulkan kecacatan misalnya pada saluran pernafasan janin. Ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 3 orang (75%) megalami infeksi berat TBC. Pada proses persalinan kala II, diafragma dan paruparu dapat membantu mempercepat persalinan dengan jalan mengejan dan menahan nafas. Selain itu pada kehamilan paru-paru juga dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin melalui pertukaran CO2 dan Kehamilan post matur merupakan salah satu penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir hal tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3 didapatkan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 22 orang (55%) mengalami kehamilan post matur. Kehamilan post matur dapat disebabkan karena beberapa hal, salah satunya yaitu salah dalam menentukan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) sehingga salah pula dalam menegakkan tafsiran persalinan. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya beberapa penurunan fungsi plasenta salah satunya yaitu terjadi 37 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 pengapuran plasenta yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi plasenta dalam melakukan pertukaran O2 dan CO2 serta menyalurkan sisa metabolisme menuju sirkulasi ibu untuk dibuang melalui alat ekskresi. Kehamilan post matur dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya asfiksia karena pada kehamilan lewat waktu akibat tingkat sensitifitas otot rahim terhadap rangsangan telah melemah dan fungsi plasenta juga mengalami penurunan sehingga terjadi penurunan suplai O2 pada janin. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lilitan tali pusat dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3 bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia sedang sebanyak 15 bayi (53,57%) juga mengalami lilitan tali pusat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tali pusat pendek dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3 bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia ringan sebanyak 12 bayi (54,55%) juga mengalami tali pusat pendek. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa simpul tali pusat dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3 dijelaskan bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia ringan sebanyak 8 bayi (66,67%) mengalami simpul tali pusat. Simpul tali pusat ada 2 macam, yaitu simpul palsu merupakan bagian yang menonjol dari tali pusat menyerupai simpul yang terbentuk oleh penumpukan selei Wharton atau varix dari vena umbilikalis dan simpul benar yang biasanya tidak mempunyai arti klinis Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X tapi kadang-kadang simpul dapat tertarik, sedemikian eratnya hingga menyebabkan kematian janin. Gerakan janin yang begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati. Sebagian simpul sejati ini menimbulkan asfiksia intrauteri dan kematian. Bila simpul tersebut demikian eratnya sehingga menutupi pembuluh darah umbilikalis dapat dipastikan terjadi kematian janin dalam rahim akibat tidak adanya suplai O2 pada janin.[9] Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa prolapsus funikuli atau tali pusat menumbung dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3 bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia ringan sebanyak 13 bayi (72,22%) mengalami tali pusat menumbung. Tali pusat merupakan alat utama dalam pertukaran O2 dan CO2 dari ibu ke janin sehingga bila tali pusat berada pada bagian samping bagian terendah janin maka dapat dipastikan tali pusat akan terjepit oleh jalan lahir dan bagian terendah janin saat proses persalinan berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kelahiran bayi prematur dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3 bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 24 bayi (55,81%) juga mengalami bayi prematur. Sebagai akibat perubahan lingkungan dalam uterus, maka bayi menerima rangsangan yang bersifat kimiawi, mekanik, dan teknik. Hasil perangsangan ini membuat bayi akan mengalami perubahan metabolik, pernapasan, sirkulasi dan lain-lain. Alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh 38 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sebab itu, ia mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup di luar uterus ibunya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan telah dijelaskan pada Tabel 3 bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 88 bayi (48,09%) tidak dilahirkan dengan tindakan vakum ekstraksi dan 8 bayi (44,44%) dilahirkan dengan tindakan vakum ekstraksi. Kemudian pada persalinan yang dilakukan dengan tindakan forcep ekstraksi terdapat 1 bayi (100%) yang mengalami asfiksia sedang. Selain itu pada Tabel 3 telah di jelaskan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebanyak 47 bayi (45,63%) dilahirkan dengan tindakan seksio sesarea. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia ringan sebanyak 93 bayi (47,94%) tidak mengalami kelainan kongenital hernia diafragma dan 3 bayi (42,86%) dilahirkan dengan kelainan kongenital hernia diafragma. Hernia diafragma merupakan cacat di difragma yang menyebabkan terjadi hernia isi abdomen kedalam rongga toraks.[11] Pada saat lahir, abnormalitas ini menyebabkan bayi mengalami sianosis dan sulit diresusitasi. Selain itu kelainan kongenital lain yang dapat menyababkan asfiksia adalah atresia koana. Dari Tabel 3 telah di jelaskan bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia ringan sebanyak 7 bayi (50%) mengalami kelainan kongenital atresia koana. Atresia koana menggambarkan adanya suatu penyempitan unilateral atau bilateral disaluran hidung dengan selaput jaringan atau tulang yang menyumbat nasofaring. Maka dari itu bayi dapat mengalami kesulitan saat memulai pernafasannya sendiri setelah Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X terlepas dari plasenta.[11] Kelainan kongenital lain yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu hidrocefalus. Pada Tabel 3 telah dijelaskan bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia berat sebanyak 2 bayi (66,67%) mengalami kelainan kongenital hidrosefalus. Hidrocefalus adalah jenis penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal).[17] Penyakit ini juga bisa ditandai dengan dilatasi ventrikel serebra, biasanya terjadi secara sekunder terhadap obstruksi jalur cairan serebrospinal di dalam kranium, secara tipikal ditandai dengan pembesaran kepala, menonjolnya dahi, atrofi otak, ubunubun besar melebar dan menonjol, pembuluh darah pada kulit kepala semakin jelas, gangguan penglihatan, terjadi penurunan aktivitas mental yang progresif, kejang, dan gangguan pada fungsi vital akibat peningkatan tekanan dalam ruang tengkorak yang berupa pernafasan lambat, denyut nadi turun dan naiknya tekanan darah sistolik. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa asfiksia dapat disebabkan karena air ketuban bercampur mekonium. Hal tersebut telah dituangkan dalam Tabel 3 bahwa bayi yang dilahirkan dengan asfiksia ringan sebanyak 86 bayi (50,89%) tidak mengalami air ketuban bercampur mekonium saat proses persalinan dan 12 bayi (37,5%) dilahirkan dengan ketuban bercampur mekonium. Penyebab mengapa mekonium keluar sebelum persalinan belum begitu jelas namun terkadang disebabkan karena janin tidak memperoleh oksigen yang cukup. Kekurangan oksigen dapat 39 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 meningkatkan gerakan usus dan membuat relaksasi otot anus. Dengan demikian janin mengeluarkan mekonium. Faktor dominan penyebab asfiksia pada Tabel 3 dapat di jelaskan bahwa bayi mengalami asfiksia sebanyak 103 bayi (51,24%) dilahirkan dengan tindakan seksio sesarea. Terjadinya asfiksia neonatorum dapat disebabkan karena tindakan seksio sesarea. Pada umumnya seseorang mendengarkan tindakan operasi dengan tiba-tiba tanpa adanya persiapan sebelumnya akan memberikan respon cemas yang memicu terjadinya stres. Untuk menghindari terjadinya stres maka pendampingan dan dukungan keluarga sangat diperlukan untuk mengurangi stress pada ibu yang akan dilakukan tindakan operasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir. KESIMPULAN 1) Didapatkan 47,76% bayi ysang mengalami asfiksia ringan; 2) penyebab asfiksia dari faktor ibu terdapat 31,34% ibu bersalin mengalami partus lama; 3) penyebab asfiksia dari faktor tali pusat terdapat 13,93% bayi mengalami lilitan tali pusat; 4) penyebab asfiksia dari faktor neonatus terdapat 51,24% bayi dilahirkan dengan seksio sesarea; 5) faktor dominan penyebab asfiksia adalah seksio sesarea sebesar 51,24% kasus. KEPUSTAKAAN 1. Bari, Saifuddin A, dkk. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X 2. Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2010. Data Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia. 3. http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/d okumen/1321926974_Profil_Kesehata n_Provinsi_Jawa_Timur_2010.pdf 4. Hassan, Rusepno, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak; Jilid 3. Jakarta: Infomedika. 5. Kosim, Sholeh. 2006. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 6. Liu, David T, Ed. 2008. Manual Persalinan; Edisi 3. Jakarta: EGC. 7. Markum, AH. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak; Jilid I. Jakarta: FKUI. 8. Sastrawinata S. 1993. Obstetri Fisiologi. Bandung: FK UNPAD. 9. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. 10. Myles. 2009. Buku Ajar bidan; Edisi 14. Jakarta: EGC. 11. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit; Edisi 2. Jakarta: EGC. 12. Notoatmojo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 13. Prawiriharjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawiroharjo. 14. Ruth, Johnson. 2004. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta: EGC. 15. Sudarti, Yongki, dkk. 2012. Asuhan Pertumbuhan Kehamilan, Persalinan, Neonatus, Bayi, dan Balita. Yogyakarta: Nuha Medika. 16. Surasmi, Asrining. 2003. Buku Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC. 40 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X PEMBERIAN KOLOSTRUM DITINJAU DARI PERSEPSI IBU NIFAS TENTANG PENTINGNYA KOLOSTRUM DI BPS NANIK CHOLID TAWANGSARI SIDOARJO Rizka Licia*), Zufra Inayah**) *)**) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Colostrum or breast milk (ASI), which came out of the first day to the 4th or 7th yellow to clear, containing living cells resembling "white blood cells" that can kill germs. From the results of preliminary surveys only 4 10 puerperal women post partum mothers who give colostrum, the purpose of this study was to identify the perceptions of post partum mothers about the importance of colostrum in BPS Nanik Cholid Tawangsari Sidoarjo. Method : This study uses a descriptive research design. 30 populations sampled 28 postpartum women with postpartum mothers were taken using simple random sampling system. Collecting data using questionnaires. Result : The results showed that out of 28 new mothers, new mothers are less perception of the importance of giving colostrum were 18 (64.2%) mothers and 10 (35.7%) new mothers understand the importance of giving colostrum. Of 28 puerperal women studied, 11 (39.3%) mothers who commit acts of giving colostrum and as many as 17 (60.7%) new mothers do not giving colostrums. Conclusion : From the results of this study concluded that many new mothers who do not understand the importance of giving colostrum to the baby. For health care workers is expected to further improve education to the new mothers to know and understand both the theory and the action giving colostrum. Keywords : Post partum Mothers, Colostrum. PENDAHULUAN Menyusui adalah suatu proses yang terjadi secara alamiah, meskipun demikian menyusui juga dipelajari terutama oleh ibu yang pertama kali memulai menyusui anak agar mengetahui cara menyusui yang benar dan manfaat dari Air Susu Ibu (ASI) atau kolostrum yang pertama kali keluar. Kandungan tertinggi dalam kolostrum adalah antibodi yang siap melindungi bayi ketika kondisi bayi yang sangat lemah. Kandungan protein dalam kolostrum lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan protein pada susu matur. Jenis protein globulin membuat konsistensi kolostrum menjadi pekat atau padat bayi lebih Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya lama merasa kenyang walaupun hanya mendapat sedikit kolostrum. Total kalori dalam kolostrum hanya 58 kal/100 ml kolostrum. Kolostrum juga berfungsi sebagai vitamin yang terlarut dalam lemak, mineral-mineral dan imunoglobulin. Imunoglobulin merupakan anti bodi dari ibu untuk bayi juga yang berfungsi sebagai imunitas pasif untuk bayi. Imunitas pasif akan melindungi bayi dari berbagai dan virus yang membersihkan mekonium sehingga mukosa usus bayi yang baru lahir bersih dan siap menerima ASI. Sebagian ibu khawatir dengan jumlah kolostrum yang hanya sedikit, apakah mencapai kebutuhan dari bayi ataukah harus ditambahkan 41 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 dengan susu formula. Seringkali pandangan ini yang membuat bayi diberikan susu formula. Maka diharapkan ibu nifas harus memberikan kolostrum pada bayi sejak 30 menit setelah bayi lahir sampai 5 hari tanpa pemberian cairan apapun karena pentingnya kolostrum bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Bayi harus memperoleh haknya untuk mendapatkan ASI. Namun fakta di Indonesia menunjukan hanya 4% bayi yang disusui ibunya dalam waktu satu jam setelah lahir sampai 5 hari memperoleh kolostrum. Diperkirakan 30.000 kematian bayi baru lahir (< 28 hari) antara lain akibat BBLR, asfiksia, infeksi dan kegagalan pemberian ASI dapat di cegah dengan menyusui secara teratur segera setelah lahir sampai dengan 6 bulan, bila menyusui diterapkan diseluruh Negara, diperkirakan dapat menyelamatkan satu juta nyawa bayi di dunia. Pemahaman ibu nifas bahwa kolostrum merupakan susu kotor atau basi umumnya turun temurun dari ibu atau neneknya dan lingkungan tempat tinggal yang mendukung dengan bersumber pada asumsi serta ketidaktahuan individu. Praktek ini dilakukan dengan memerah kolostrum dengan tangan atau dengan pompa susu sampai dengan keluarnya ASI yang berwarna putih. METODE PENELITIAN Desain penelitian deskriptif, cross sectional Populasi 30 ibu, sampel 28 ibu, simple random sampling. Instrumen kuisioner dan observasi, analisis deskriptif Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas di BPS Nanik Cholid Tawangsari Sidoarjo Juni 2013. No Variabel 1 Usia Ibu a. 21 – 30 tahun b. 31 – 40 tahun c. > 40 tahun Pendidikan a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi 2 No Variabel 3 Pekerjaan a. IRT b. Swasta c. PNS Jumlah Persalinan a. I b. II c. III d. IV Tindakan Ibu a. Memberikan b. Tidak Memberikan Pemberian Kolostrum a. Tidak Setuju b. Setuju 4 5 6 Jumlah (%) 20 7 1 71,5 25 3,5 5 5 16 2 17,9 17,9 57,1 7,1 Jumlah (%) 16 6 6 57,2 21,4 21,4 8 14 4 2 28,6 50 14,3 7,1 11 17 39,3 60,7 18 10 64,2 35,7 Tabel 2. Tabulasi silang pemberian kolostrum ditinjau dari persepsi ibu nifas di BPS Nanik Cholid Tawangsari Sidoarjo Juni 2013. Tindakan No 1 2 Persepsi Setuju Tidak Setuju Memberikan n 9 2 % 90 11,1 Tidak Memeberikan n % 1 10 16 88,9 Berdasarkan tabel 2, sebagian besar persepsi ibu yang setuju untuk memberikan kolostrum sebanyak 9 (90%) orang, persepsi ibu yang setuju untuk tidak memberikan kolostrum sebanyak 1(10%) orang, sedangkan persepsi ibu yang tidak setuju untuk memberikan kolostrum 42 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sebanyak 2 (11,1%) orang dan persepsi ibu yang tidak setuju untuk tidak memberikan kolostrum sebanyak 16 (88,9%) orang. PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 28 ibu nifas sebagian besar ibu nifas tidak memberikan kolostrum sebanyak 17 ibu (60,7%) dan sebagian ibu memberikan kolostrum sebanyak 11 ibu (39,3%) Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak memberikan kolostrum. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Dari ketiga faktor ini yang paling dominan adalah faktor predisposisi dimana kurangnya pengetahuan, sikap dan kepercayaan ibu tentang pentingnya kolostrum. Sebagai tenaga kesehatan harus memberikan penyuluhan atau konseling pada ibu nifas agar ibu dapat mengerti tentang kolostrum. Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 28 ibu nifas didapatkan sebanyak 18 ibu nifas tidak setuju tentang pentingnya kolostrum (64,2%) dan sebanyak 10 ibu nifas setuju tentang pentingnya kolostrum (35,7%). Menurut Proverawati, dkk (2010) di antara sejumlah zat di dalam kolostrum yang ikut memperkuat sistem kekebalan tubuh immunoglobulin A (Ig A) merupakan salah satu yang cukup mempunyai peran penting. Immunoglobulin A (Ig A) dapat membentuk lapisan pada usus bayi yang baru lahir yang masih terbuka atau bolong-bolong sehingga kuman penyakit atau alergi tidak dapat masuk ke dalam tubuhnya. Lebih dari 90 bahan bioaktif alami ada dalam kolostrum. Komponen utamanya dikelompokan menjadi dua yaitu faktor imun dan faktor Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X pertumbuhan. Faktor imunitas tubuh, adanya penyakit degenerative (keturunan) dan infeksi yang menyerang manusia disebabkan lemahnya system imunitas tubuh. Penelitian secara medis menunjukan bahwa kolostrum mempunyai faktor imunitas yang kuat (immunoglobulin), lactorin, albumin, glycoprotein, cytokinsesis, dll yang membantu melatoksin. Membantu menyeimbangkan kadar gula dalam darah dan sangat bermanfaat bagi penderita diabetes. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar ibu tidak setuju tentang pentingnya kolostrum. Dari pengetahuan yang diketahui seorang ibu merasa khawatir terhadap kesehatan anaknya sehingga ibu akan berusaha untuk melindungi anaknya agar tidak terserang penyakit seperti yang di alami oleh anak lainnya. Sebagai tenaga kesehatan harus memberikan penyuluhan atau konseling pada ibu nifas agar ibu lebih memahami tentang pentingya kolostrum. Berdasarkan tabel 2 sebagian besar persepsi ibu yang setuju untuk memberikan kolostrum sebanyak 9 orang (90%), persepsi ibu yang setuju untuk tidak memberikan kolostrum sebanyak 1 orang (10%), sedangkan persepsi ibu yang tidak setuju untuk memberikan kolostrum sebanyak 2 orang (11,1%) dan persepsi ibu yang tidak setuju untuk tidak memberikan kolostrum sebanyak 16 orang (88,9%). Dalam hal perspektif terhadap diri pribadi, kehadirannya sebagai obyek eksternal mungkin kurang nyata tetapi keberadaannya jelas dapat dirasakan. Selain itu persepsi juga timbul karena adanya informasi untuk diinterpretasikan. Informasi yang dimaksud adalah segala sesuatu yang di peroleh melalui sensasi atau 43 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 indera persepsi merupakan pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar ibu nifas yang tidak setuju untuk tidak memberikan kolostrum. Hal ini dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal yaitu dimana seorang ibu menganggap bahwa kolostrum merupakan susu kotor karena keluar pada hari-hari pertama kelahiran dan juga menganggap kolostrum adalah susu basi yang menyebabkan sakit perut. Seorang ibu nifas diharapkan untuk lebih banyak mencari informasi, pengetahuan, dari bukubuku kesehatan atau media-media kesehatan lainnya yang berhubungan dengan kolostrum. Selain itu ibu yang mempunyai pola pikir dan persepsi yang baik dan setuju dengan pentingnya kolostrum akan mudah beradaptasi pada situasi dan kondisi yang ada dilingkungannya untuk melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya sehingga ibu cepat tanggap dengan perubahan yang akan dilakukannya. Bagi tenaga kesehatan diharapkan harus memberikan penyuluhan atau konseling pada ibu hamil dan ibu nifas tentang pentingnya kolostrum. KESIMPULAN 1. Sebagian besar jumlah ibu nifas yang tidak memberikan kolostrum sebanyak 17 (60,7%) ibu 2. Sebagian besar persepsi ibu nifas yang tidak setuju tentang pentingnya kolostrum sebanyak 18 (64,2%) ibu 3. Persepsi ibu yang setuju untuk memberikan kolostrum sebanyak 9 (90%) ibu dari 10 ibu nifas dan persepsi ibu yang Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X tidak setuju untuk tidak memberikan kolostrum sebanyak 16 (88,9%) ibu dari 18 ibu nifas. KEPUSTAKAAN 1. Baskoro, A, 2008. ASI : Panduan Praktis Ibu Menyusui, Jogjakarta : Banyu Media. 2. Jensen, 2007. Perawatan Maternitas, Jakarta : EGC. 3. Depkes, 2005. Inisiasi Menyusui Dini, Jakarta : Pusat Komunikasi Publik Setjen RI 2008. 4. Dieman, 2008. Pemberian ASI, Jakarta : Pustaka Bunda. 5. Haryanti, 2008. Pemberian Kolostrum, Bandung : Alfabeta. 6. Huliana, M, 2000. Perawatan Ibu Pasca Melahirkan, Jakarta : Puspa Swara. 7. Prawirohardjo, Sarwono, 2006. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 8. Purwanti, Sri, 2004. Konsep Penetapan ASI Ekslusif, Jakata : EGC. 9. Roesli, 2000. Pemberian Kolostrum, Bandung : Alfabeta. 10. Rosita, 2008. Inisiasi Menyusui Dini, Jakarta : Pustaka Bunda. 11. Suari, 2007. Pemberian Kolostrum, Jakarta : Pustaka Bunda. 12. Sulistywati, A, 2009. Buku Ajar Kebidanan Nifas, Yogyakarta : Mitra Cendekia. 13. Suradi & Tobing, 2004. Manajemen Laktasi, Perinasia, Jakarta : Tribus Agriwidiya. 14. Utami, Rusli, 2008. Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Ekslusif, Jakarta : Pustaka Bunda. 15. Wirantara, 2008. Pengetahuan Ibu Post Partum, Jakarta : USU Instutional. 44 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X KEPATUHAN DIET DIABETES MELITUS DENGAN KADAR GLUKOSA DALAM DARAH DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD PAMEKASAN Nufi Wikhdatusa’biyah*), Wiwik Widiyawati**) *) **)Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Diabetes mellitus is a disease characterized by hyperglycemia absolute lack of insulin or the insensitivity of cells to insulin. The main factors that often lead to treatment failure is non-compliance with the patient's diet. The aim of this study was to analyze the relationship diet adherence Diabetes Mellitus with Glucose in the blood in poly diseases in hospitals Pamekasan. Method : The study design was observational with retrospective analytic approach. The population in this study were all patients with Diabetes Mellitus was 22 people. The sample was all populations by the method of type nonprobability total sampling technique using instrument observations. Correlation analysis of data using chi-square test with a significance value of α = 0.05 and SPSS 16. Result : The result showed the level of compliance of Diet in patients with Diabetes Mellitus in poly disease Pamekasan In most of the hospitals do not comply as much as 18 Diabetes Mellitus (81.82%), while adherent patients diets 2 (1818%). Results of correlation chi square test with significance value of α = 0.05 and using SPSS 16, the result ρ = 0.02 so that it can be concluded ρ <α, then H0 rejected and H1 accepted which means there is a relationship between diet compliance with Diabetes Mellitus Blood Glucose Levels in poly diseases in hospitals Pamekasan. Conclusion : It is concluded that there is a relationship between diet adherence Diabetes Mellitus with Glucose levels in the blood in poly diseases in hospitals Pamekasan. To avoid the need to increase efforts to better provide counseling on diet adherence Diabetes Mellitus, control blood sugar regularly and taking medications correctly. Keywords: Compliance, blood sugar levels. PENDAHULUAN Diabetes Mellitus atau penyakit kencing manis diketahui sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada system metabolisme karbohidrat, lemak dan juga protein dalam tubuh. Seiring perkembangan jaman angka kesakitan Diabetes Mellitus setiap tahun meningkat. Upaya untuk menurunkan jumlah penderita Diabetes Mellitus tersebut salah satu faktor yang berperan adalah cara yang benar dalam diet Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Pelaksanaan yang dapat dilakukan adalah melakukan penyuluhan dengan pemberian materi tentang diet Diabetes Melitus yang benar, terutama mengenai perlunya diet secara ketat, latihan fisik, dan juga pengetahuan tentang komplikasi, pencegahan maupun pengaturan pola aktivitas atau olah raga. Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG: self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk 45 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang memungkinkan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Dalam pola diit yang tidak teratur sering kali penderita ditemukan hiperglikemia dan glukosuria akibat dari kurangnya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolism karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolism lemak dan protein. Penderita Diabetes Mellitus yang kurang patuh dapat menghambat dalam proses penyembuhan. Pasien yang telah didiagnosa Diabetes Mellitus memerlukan pengobatan yang sangat lama dan mereka harus minum obat secara teratur. Pengobatan dan pengaturan diet yang terus menerus cenderung menimbulkan masalah kebosanan pada pasien. Tingginya angka kejadian tersebut karena faktor kepatuhan penderita tentang diet Diabetes Mellitus yang benar. Data prevalensi tersebut sangat rentan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas bagi penderita penyakit Diabetes Mellitus. Data dari medical record di Rumah Sakit Pamekasan di Poli Dalam tahun 2012 terdapat 8 orang (1,4%2,3%), tahun 2011 terdapat 10 orang dengan prevalensi (3%). Data hasil studi pendahuluan di Poli Dalam RSUD Pamekasan pada bulan AprilMei 2012 dari data 22 pasien Diabetes Mellitus diperoleh data 4 orang (18%) sangat patuh, 4 orang (18%) kurang patuh, 4 orang (18%) mengalami ketidakpatuhan diet pada Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X pasien Diabetes Mellitus dan 14 orang (82%) tidak patuh. Dari data tersebut di atas belum menjelaskan tentang pengetahuan pasien terhadap diet Diabetes Militus. METODE PENELITIAN Deskriptif korelasional, Cross Sectional. Populasi 22 orang dengan kriteria diabetes melitus tanpa komplikasi. non probability sampling. Instrumen kuesioner. Uji Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Pasien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam RSUD Pamekasan April-Mei 2012. No Variabel 1 Jenis Kelamin a. Perempuan b. Laki-laki Usia a. 15 – 25 tahun b. 25 – 35 tahun c. 35 – 65 tahun d. > 65 tahun Pendidikan a. Tidak tamat SD b. SD c. SMP d. SMA e. PT Penghasilan a. < Rp. 500 ribu b. Rp. 500 ribu – Rp. 1 juta c. Rp. 1 juta – Rp. 2 juta d. > Rp. 2 juta Pekerjaan a. Swasta b. Petani c. PNS Kepatuhan a. Patuh b. Tidak patuh Kadar Gula Darah a. Normal (<140 mmHg) b. Tidak normal (>140 mmHg) 2 3 4 5 6 7 n (%) 7 15 32 68 2 4 10 6 9 18 45 27 3 13 2 3 1 14 59 9 14 4 14 4 3 1 64 18 14 1 5 15 2 23 68 9 4 18 18 82 2 20 9 91 46 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Kepatuhan Diet Diabetes Mellitus Dengan kadar gula Dalam Darah di Poli Penyakit Dalam RSUD Pamekasan Tahun 2012. No. 1. 2. Kepatuhan Diet Patuh Tidak Patuh n % n % Normal 2 9,09 0 0 Tidak Normal 2 9,09 18 81,82 p = 0,002 Kadar Gula Darah Berdasarkan tabel 2 dapat diinterpretasikan bahwa klasifikasi patuh Diet sebanyak 4 pasien (18,18%), tidak Patuh sebanyak 18 pasien (81,82%). Hasil olah data dilanjutkan dengan uji analisis yang menggunakan uji statistik chi square dalam operasionalisasai komputer software program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16 dengan nilai kemaknaan α = 0,05 didapatkan hasil ρ = 0,002 dengan demikian nilai = 0,002 < 0,05 sehingga Ho ditolak dan H1 diterima, artinya terdapat hubungan antara kepatuhan Diet Diabetes Mellitus dengan dengan Kadar Gula Dalam Darah dipoli Dalam RSUD Pamekasan. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan Diet Diabetes Mellitus Dengan Kadar Glukosa Dalam Darah DiPoli Dalam RSUD Pamekasan didapatkan bahwa hampir seluruh responden yaitu sebanyak 4 orang (18,18%) patuh dan sebagian kecil responden yaitu sebanyak 18 responden (81,82%) tidak patuh. Dari hasil yang diperoleh di atas ada beberapa faktor yang mendasari keadaan tersebut. Salah satunya adalah faktor pendidikan dimana dalam penelitian didapatkan sebagian besar responden yaitu sebanyak 13 orang (59%) berpendidikan SD, dan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X tidak satupun yang lulusan Perguruan Tinggi (0%). Hal ini sesuai pernyataan Nursalam (2005) bahwa dengan pendidikan yang memadai seseorang akan bertambah tingkat pengetahuannya sehingga mempunyai sudut pandang yang lebih luas, lebih mudah menyerap dan memahami tentang hal-hal yang dipelajari. Dan sebaliknya tingkat pendidikan seseorang yang rendah juga akan mempengaruhi pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga dapat menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Faktor yang juga berpengaruh adalah usia, dimana dari deskripsi data umum berdasarkan usia dalam penelitian ini bahwa hampir setengah responden yaitu sebanyak 10 orang (45%) berusia 3565 tahun dan sebagian kecil responden yaitu sebanyak 2 orang (9%) berusia 15-25 tahun. Dimana usia dapat mempengaruhi tingkat kematangan dan kekuatan seseorang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Hurlock, 198 dikutip oleh Nursalam, 2001). Tetapi usia seseorang yang terlalu tua juga akan sulit untuk berfikir dan bekerja karena pada masa tua seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial sedikit demi sedikit sampai tidak dapat melakukan tugas sehari-harinya. Sedangkan hasil penelitian pada tingkat pekerjaan didapatkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 15 orang (68%) bekerja sebagai petani /tidak bekerja dan sebagian kecil responden yaitu 47 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 sebanyak 2 orang (9%) berprofesi sebagai PNS. Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menunjang kehidupan seseorang maupun keluarga. Hasil uji statistik dengan menggunakan rank spearman didapatkan nilai signifikan ρ = 0,002 lebih kecil dari 0,05 (0,002 <0,05). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima, dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan antara hubungan kepatuhan Diet Diabetes Mellitus Daengan Kadar Glukosa Dalam Darah Di Poli Dalam RSUD Pamekasan. dengan kepatuhan Diet maka akan mencegah klasifikasi tingkat Ketidak patuhan Diet DM. Kepatuhan minum obat memiliki banyak faktor. ISSN 2085-028X Keperawatan, Malang : RSU.A.dr. Syaiful Anwar. Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Sugiyono, 2008. Statistika Untuk Penelitian, Jakarta : Alfabeta KESIMPULAN 1. Tingkat kepatuhan Diet Diabetes Mellitus Dengan Kadar Glukosa Dalam Darah di Poli Dalam RSUD Pamekasan sebagian besar tidak Patuh yaitu sebanyak 18 pasien Diabets Mellitus (18,18%) 2. Klasifikasi Kadar Glukosa Dalam Darah DiPoli Dalam RSUD Pamekasan sebagian besar penderita berada pada tidak patuh yaitu sebanyak 20 pasien Diabetes Mellitus (81,82%) 3. Ada hubungan kepatuhan Diet Diabetes Mellitus Dengan Kadar Glukosa Dalam Darah DiPoli Dalam RSUD Pamekasan 2012 yaitu sebesar ρ = 0,002. KEPUSTAKAAN Sugiono, 1997. Statistik Untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta. Nur, Muhammad, 2003. ”Hubungan Faktor-Faktor Internal Perawat Dengan Pelaksanaan Pendokumentasian Asuhan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 48 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 ISSN 2085-028X POLA ASUH DAN SIKAP ORANG TUA PADA PERILAKU ANAK USIA 3-5 TAHUN DI PAUD NUSA INDAH KELURAHAN TENGGILIS MEJOYO KECAMATAN TENGGILIS MEJOYO SURABAYA Siti Mudlikah*), Ika Suciana**) *) Dosen DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Parenting and parental attitudes greatly affect the behavior of children aged 3-5 years, with parenting and attitudes appropriate buffer children grow and develop into a well mannered person, easy to get along and achieve. The purpose of this study is to describe parenting and parental attitudes on the behavior of children aged 3-5 years in PAUD Nusa Indah Surabaya. Method : Descriptive research methods. Population 40 people, a large sample of 36 people who were taken using a quota sampling technique. Research instrument using a questionnaire and checklist, the data were analyzed using frequency distributions and cross-tabulations. Result : Results showed the majority of parents applying democratic parenting style (97,2%), all parents are positive and prosocial behavior most children (97,2%). Conclusion : Conclusions, democratic parenting and positive attitude of parents influence a child’s prosocial behavior. Keywords : parenting, attitudes, behavior, children PENDAHULUAN Anak adalah individu yang tumbuh dengan kepolosan pribadi, kesederhanaan pikiran, dan proses belajar mereka dalam menangkap realitas sosial yang tidak dapat dipaksakan. Proses belajar tersebut adalah perilaku yang sering dilakukan anak. Selain merupakan proses untuk mengerti dan belajar bagaimana berperilaku, juga proses untuk tumbuh dewasa dengan belajar dari perilaku orang lain. Orang tua memiliki pengaruh yang besar kepada anak-anaknya, sikap orang tua dalam mendidik anak sejak dini berhubungan langsung dengan sikap atau perilaku dan pribadi anak di masa mendatang. Apabila orang tua salah dalam cara mengasuh yang tepat, tentu dapat membuat anak memiliki sifat dan sikap yang negatif. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya Pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan orang tua pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak baik dari segi negatif maupun positifnya. Perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif dan berperilaku normatif. Perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial demi meningkatkan kesejahteraan seseorang. Perilaku negatif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Namun, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku negatif menjadi bagian dari tahapan perkembangan mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak 49 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 hanya di rumah tetapi juga di sekolah. Peran orang tua menjadi peran utama dalam pengendalian perilaku anak. Orang tua diharapkan mampu mendisiplinkan perilaku anak, diantaranya : menyampaikan dengan jelas aturan yang orangtua inginkan agar dituruti anak, mengajarkan perilaku yang baik secara efektif, memperkuat ikatan antara orangtua dan anak (Novita Tandry, 2010). METODE PENELITIAN Desain deskriptif eksploratif, populasinya adalah orang tua yang mempunyai anak usia 3-5 tahun yang bersekolah di PAUD Nusa Indah Kelurahan Tenggilis Mejoyo Kecamatan Tenggilis Mejoyo Kota Surabaya yang berjumlah 40 orang. Sampel adalah orang tua yang mempunyai anak usia 3-5 tahun.Besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 36 orang. Teknik quota sampling. Instrument kuesioner (angket) dan ceklis. Setelah data yang terkumpul dikelola, tahap selanjutnya data diulas secara deskriptif dengan menggunakan distribusi frekuensi dalam bentuk tabel. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa 36 orang tua yang mempunyai anak usia 3-5 tahun di PAUD Nusa Indah memiliki karakteristik sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua Anak Usia 3-5 tahun di PAUD Nusa Indah Surabaya Tahun 2011 Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X No 1 2 3 4 5 Variabel Jumlah (%) 3 20 10 1 2 8,3 55,6 27,8 2,8 5,5 6 6 17 3 4 16,7 16,7 47,2 8,3 11,1 35 1 0 97,2 2,8 0 36 0 100 0 35 1 97,2 2,8 Usia Ibu a. 20 – 25 tahun b. 21 – 30 tahun c. 31 – 35 tahun d. 36 – 40 tahun e. ≥ 41 tahun Pendidikan a. SD b. SMP c. SMA d. Diploma e. Perguruan Tinggi Pola Asuh a. Demokratis b. Otoriter c. Permisif Sikap Orang Tua a. Positif b. Negatif Perilaku Anak a. Prososial b. Antisosial Tabel 2. Tabulasi Silang antara Perilaku Anak Usia 3-5 Tahun dengan Pola Asuh dan Sikap Orang Tua di PAUD Nusa Indah Surabaya Tahun 2013 Perilaku Anak No Variabel 1 Pola Asuh a. Demokratis b. Otoriter c. Permisif Sikap Orang Tua a. Positif b. Negatif 2 Prososial Antisosial n % n % 34 1 0 97,1 2,9 0 1 0 0 100 0 0 35 0 100 0 1 0 100 0 Berdasarkan tabel 2, menunjukkan bahwa dari 35 anak pola asuh demokratis, berperilaku prososial sebanyak 34 (97,1%) anak dan berperilaku antisosial sebanyak 1 (100%) anak. dari 36 anak yang orang tuanya bersikap positif, sebanyak 35 (100%) anak berperilaku prososial dan 1 (100%) anak berperilaku antisosial. 50 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1 didapatkan hampir keseluruhan orang tua siswa PAUD (97,2%) menggunakan pola asuh demokratis dalam mengasuh anaknya yang berusia antara 3-5 tahun. Dengan pola asuh demokratis orang tua mampu membentuk karakter anak yang mandiri, penuh percaya diri, dan berprestasi. Orang tua demokratis membebaskan anak untuk berkreasi dan berpendapat. Menjadi orang tua yang baik bukanlah yang selalu memberikan perintah dan hukuman, namun lebih banyak memberi contoh melalui perilaku orang tua. Sehingga nantinya anak-anak dapat menjadi generasi penerus yang terbaik yang siap menghadapi dunianya kelak, menjadi pribadi yang santun, saleh, pandai bergaul dan menghormati orang lain. Berdasarkan tabel 1 didapatkan semua orang tua siswa PAUD (100%) bersikap positif pada perilaku anaknya yang berusia 3-5 tahun. Sikap positif orang tua mempengaruhi perilaku anak. Sesibuk apapun orang tua atau seberapa banyak stress yang dialami orang tua, orang tua harus mampu mengendalikan diri agar tetap bersikap positif, sikap yang positif dari orang tua akan berpengaruh positif pula pada anak. Sikap positif orang tua yang konsisten akan menjadi patokan bagi anak dalam berperilaku. Berdasarkan tabel 1 didapatkan hampir keseluruhan anak usia 3-5 tahun di PAUD Nusa Indah berperilaku prososial yaitu sebesar 97,2%. Semua anak, terutama anak usia 3-5 tahun sedikit banyak pasti mempunyai peilaku antisosial. Dominannya perilaku prososial ini selaras dengan hasil penelitian yaitu Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X sebagian besar anak berperilaku prososial. Berdasarkan tabel 2 didapatkan anak yang berperilaku prososial sebanyak 97,1% menggunakan pola asuh demokratis. Orang tua yang sebagian besar menerapkan pola asuh demokratis membentuk anak dengan karakteristik mudah bergaul, anak yang mudah bergaul ini berarti anak selalu diterima oleh temannya karena perilaku prososialnya. Anak yang berperilaku prososial jarang membuat ketidaknyaman bagi teman-temannya. Orang tua wajib memantau saat anak bermain, perilaku anak bisa berasal dari pengaruh teman sebayanya. Pengawasan orang tua bertujuan untuk menghindari anak terpengaruh perilaku antisosial temannya. Berdasarkan tabel 2 didapatkan anak yang berperilaku prososial sebanyak 100% orang tuanya bersikap positif. Konsisten dalam bersikap positif memudahkan anak untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Orang tua harus memberi contoh yang baik sebelum menyuruh anak berbuat baik. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, jika anak berbuat kesalahan sewajarnya orang tua mendekati anaknya dengan harapan anaknya berubah menjadi lebih baik. KESIMPULAN 1. Orang tua yang menggunakan pola asuh demokratis sebanyak 35 orang (97,2%) 2. Orang tua yang mempunyai sikap positif sebanyak 36 orang (100%) 3. Anak yang mempunyai perilaku prososial sebanyak 35 anak (97,2%). 51 Vol. 4, No. 2 Desember 2012 KEPUSTAKAAN 1. Adallila, S, 2010. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini, http://sadidadallila.wordpress.co m., Diakses tanggal 24 Mei 2013. 2. Wawan & Dewi M, 2010. Teori dan Pengukuran, Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia, Yogyakarta : Nuha Medika. 3. Azwar, Saifuddin, 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 4. Badingah, S, 1993. “Agresifitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonton Film Keras”, Depok : Tesis PPS UI. 5. Baron R.A & Byrne D, 2006. Psikologi Sosial 2 Ed. 10, Jakarta : Erlangga. 6. Gowi, A, 2011. “Pengaruh Latihan Asertif terhadap Perilaku Kekerasan Orang Tua pada Anak Usia Sekolah”, Depok : Tesis Universitas Indonesia. 7. Gunarso, D. Singgih, 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut : Bunga Rampai Psikologi Perkembangan, Jakarta : Gunung Mulia. 8. Hariyanto. 2010, “Faktor Penyebab Anak Berperilaku Agresif”, http://belajarpsikologi.com/fakto r-penyebab-anak-berperilakuagresif/., Diakses tanggal 24 April 2013. 9. Hasan, M. 2009. (PAUD) Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta : Diva Press. 10. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data, Jakarta : Salemba Medika. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya ISSN 2085-028X 11. Hurlock, E. B, 1980. Psikologi Perkembangan, Jakarta : Erlangga. 12. Kartini Kartono, 1991. Patologi Sosial, Jakarta : Rajawali Pers. 13. Koeswara, 1988. Agresi Manusia, Bandung : Eresco. 14. Myers, D.G, 2010. Social Psychology 7th Edition, North America : Mc Graw-Hill Companies, Inc. 15. Monks, F. J, 1991. Psikologi Perkembangan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 16. Notoatmodjo, S, 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. 17. Notoatmojo, S, 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta. 18. Nuryati, L, 2008. Psikologi Anak, Jakarta : PT Indeks. 19. Rimm, DR. Sylvia, 2003. Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Prasekolah, Jakarta : Gramedia. 20. Santrock, J. W, 2007. Perkembangan Anak, Boston : Mc. Graw Hill. 21. Soedarmadji, B. H, 2009. Psikologi Konseling, Surabaya : UNIPA Press. 52