PENDAHULUAN Dampak kurang gizi kekurangan - E

advertisement
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI PADA IBU
HAMIL DI BPM Ny. SUTINAH, Amd. Keb DI DESA GENTENGAN
KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2012
Wibisono Soesanto**), Helmi Annucha Sary*)
**) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Anemia is the result of imbalance of one or more nutrients such as iron,
protein, some Vitamin C and copper deposits of these substances in the body enough
namaun imbalance occurs in a relatively long time so that the red blood cells is not
enough resulting in the production of hemoglobin in the blood becomes low. The purpose
of this study to determine the diet of pregnant women relationship with the incidence of
nutritional anemia in pregnant women in the BPM Ny. Sutinah Gentengan Jombang
village Jombang District in 2012.
Method : Design used in this study were of analytical methods, the population is all
pregnant women in the village of JombangMuntamah Midwives working area, with a
sample of 40 pregnant women.
Result : Based on the research found that most pregnant women have anemia. A total of
40 pregnant women have anemia with a poor diet that is 20(91%) pregnant women, and
who did not experienceas much as two nutritional anemia (9%) of pregnant women.
While mother swith good diet that does not have as much nutritional anemia 14 (78%)
pregnant women, and who suffered as much as 4anemia (22%) of pregnant women.
Conclusion : The conclusions drawnin this study were no diet-incidence of anemia in
pregnant women. Thus advised health workers also provide counselling on the I
mportance to seta good diet with balanced nutrition menu.
Keywords: Diet, Pregnancy, Anemia Nutrition
PENDAHULUAN
Dampak kurang gizi kekurangan
asupan gizi pada trimester I dikaitkan
dengan tingginya kejadian bayi lahir
prematur, kematian janin, dan
kelainan pada sistem saraf pusat
bayi,sedangkan kekurangan energi
terjadi pada trimester II dan III dapat
menghambat pertumbuhan janin atau
tak
berkembang
sesuai
usia
kehamilannya. Kekurangan zat besi
paling sering dialami saat hamil,
gangguan
ini
membuat
ibu
mengalami anemia atau kekurangan
sel darah merah.
Pada kehamilan relatif terjadi anemia
karena
darah
mengalami
pengenceran (hemodilusi) dengan
peningkatan volume 30% sampai
40%
yang
puncaknya
pada
kehamilan 32 sampai 34 minggu.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabay
Peningkatan sel darah 18 sampai
30% dan hemoglobin sekitar 19%.
Bila hemoglobin ibu sebelum hamil
sekitar 11 gr%, dengan terjadinya
hemodilusi akan mengakibatkan
anemia fisiologis, HB ibu akan
menjadi 9,5 sampai 10 gr%
Di Indonesia, anemia gizi merupakan
salah satu masalah gizi paling utama,
dampak kekurangan zat besi pada
wanita hamil dapat diamati dari
besarnya angka kesakitan dan
kematian maternal, peningkatan
angka kesakita dan kematian janin,
seta peningkatan resiko terjadinya
berat badan lahir rendah. Penyebab
utama kematian maternal antara lain
pendarahan
pasca
partum
(disampilng eklamsia dan penyakit
infeksi) dan placenta previa yang
kesemuanya
bersumber
pada
1
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
anemia.[2].Anemia dalam kehamilan
memberi pengaruh kurang baik bagi
bayi dan ibu, baik dalam kehamilan,
persalinan, maupun nifas dan masa
selanjutnya. Berbagai penyakit dapat
timbul akibat anemia, seperti:
abortus, partus prematurus, partus
lama karena inertia uteri, perdarahan
post partum karena atonia uteri,
syok, infeksi baik intrapartum
maupun post partum, anemia yang
sangat berat dengan Hb kurang dari 4
gr/100 ml dapat menyebabkan
dekompensasi kordis
METODE PENELITIAN
Analitik corelasional, pendekatan
cross sectional. Populasi; 44 ibu
hamil, total sampling, teknik simple
random sampling. Uji Chi-Square
HASIL PENELITIAN
Tabel 1.
Distribusi Frekuensi
ibu hamil di BPM Ny. sutinah di
Desa Gentengan Jombang Tahun
2012
N
o
1
2
3
4
5
Variabel
Pendidikan
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. PT
Umur
a. ≤20 tahun
b. 21-30 tahun
c. 31-40 tahun
d. 41-50 tahun
Pekerjaan
a. IRT
b. Petani
c. Swasta
PolaMakan
a. Baik
b. Kurangbaik
KejadianAnemia
a. Anemia
b. TidakAnemia
Ju
ml
ah
(%)
7
18
14
1
17,5
45
35
2,5
7
24
8
1
17,5
60
20
2,5
31
6
3
77
15
8
18
22
45
55
24
16
60
40
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabaya
Tabel 2 Tabulasi Silang antara Pola
Makan dengan Kejadian
anemia gizi pada Ibu
Hamil di BPM Ny.
Sutinah Desa Bareng
Jombang 2012.
No
Pola
Makan
1
2
Baik
Kurang
AnemiaGizi
Tidak
Anemia
Anemia
n
%
n
%
4
22
14 78
20
91
2
9
p = 0,001, χ2 = 16,705
Dari Tabel 2 terlihat bahwa dari 18
ibu hamil dengan pola makan baik
yang tidak mengalami anemia gizi
sebanyak 14 ibu hamil (78%), dan
dari 22 ibu hamil dengan pola makan
kurang baik terdapat 20 ibu hamil
yang mengalami anemia gizi
(91%).Berdasarkan uji statistik chi
square menggunakan SPSS 11,5
didapatkan hasil p= 0,000 dan=
16,705 dan p= 0,000 < 0,05, maka
H0 ditolak dan H1 diterima artinya
ada hubungan pola makan dengan
kejadian anemia gizi pada ibu hamil
di BPM Ny. Gentengan Bareng
Jombang.
PEMBAHASAN
Dari Tabel2 didapatkan bahwa dari
40 ibu hamil, ibu hamil yang
memiliki pola makan yang kurang
baik sebanyak 22 orang (55%). Hal
ini juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor
diantaranya
adalah
pendidikan, informasi, lingkungan
dan kebudayaan.
Mayoritas ibu hamil dalam penelitian
ini yang tinggal di sekitar BPM yang
diteliti, sebanyak 18 ibu hamil hanya
mampu menamatkan sekolahnya
hanya sampai di bangku SMP,
sehingga
kemungkinan
untuk
memahami pola makan. Pola makan
2
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
yang baik seringkali diartikan harus
menyediakan makanan yang mahal
di meja makan, padahal pola makan
yang baik yaitu pola makan yang
menghitung nilai gizinya yang
seimbang, namun tidak harus mahal,
sehingga segala kebutuhan yang
diperlukan oleh tubuh bisa terpenuhi.
Pola makan ibu hamil kurang baik
karena dipengaruhi oleh pendidikan
yang
rendah, ekonomi yang
kurang, sosia lbudaya, dan faktor
pekerjaan sehingga untuk membeli
bahan makanan yang sesuai dengan
gizi ibu hamil menjadi terhambat.
Dari Tabel 2 yang telah di sajikan
sebelumnya didapatkan dari 40 ibu
hamil diperoleh 60% ibu hamil
mengalami anemia, sedangkan yang
tidak anemia gizi yaitu sebanyak
40% ibu hamil, dan ibu hamil
mengaku teratur meminum tablet
tambah darah yang diberikan oleh
bidan.
Anemia gizi merupakan akibat dari
ketidak seimbangan satu atau lebih
zat-zat gizi seperti zat besi, protein,
beberapa Vitamin C dan tembaga,
simpanan zat-zat tersebut cukup
dalam tubuh namun terjadi ketidak
seimbangan dalam waktu yang
relative lama sehingga sel darah
merah tidak cukup banyak di
produksi yang mengakibatkan kadar
Hb dalam darah menjadi rendah.[2]
Anemia Gizi yang paling umum
ditemukan di masyarakat adalah
anemia dikarnakan kekurangan zat
besi yang disebut anemia defisiensi
zat besi. Pada wanita hamil prematur,
kekurangan asam folat merupakan
salah satu faktor kontribusi terhadap
terjadinya anemia gizi. Pada orang
yang sering mengalami malabsorpsi,
kekurangan Vitamin B12 salah satu
penyebab anemia gizi dipandang dari
segi kesehatan praktis, anemia gizi
selalu diasosiasikam sebagai anemia
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabay
ISSN 2085-028X
kurang besi, karena kekurangan asam
folat dan vitamin B12.
Pada dasarnya ibu hamil tentu akan
mengalami
hemodilusi
atau
pengenceran darah namun tidak
semua ibu hamil dapat terjangkit
penyakit anemia gizi, karena
penyakit anemia gizi hanyalah
penyakit yang berakibat fatal namun
masih bisa diantisipasi, salah satu
contohnya dengan cara banyak
memakan makanan yang bergizi dan
mengandung banyak asam folat juga
Vitamin
B12. Menurut peneliti
mengapa banyak sekali ibu hamil
yang mengalami anemia gizi adalah
sebab ketidakperdulian ibu akan
bahayanya anemia gizi tersebut.
Hasil dari penelitian padaTabel 3
didapatkan bahwa dari 22 ibu hamil
dengan pola makan yang kurang baik
sebagian besar mengalami anemia
gizi sebanyak 60 % ibu hamil,
sedangkan yang tidak anemia
sebanyak 40%ibu hamil. Dan dari
ibu hamil dengan pola makan yang
baikdidapatkan ibu hamil dengan
anemia gizi sebanyak 22% ibu hamil
sedangkan yang tidak mengalami
anemia gizi sebanyak 78% ibu hamil.
Hasil dari
uji chi square
menggunakan
SPSS
11,5.
Didapatkan hasil p= 0,000 dan χ2=
16,705 maka di peroleh p= 0,000 <
0,05, maka Ho ditolak dan H1
diterima artinya ada hubungan pola
makan dengan kejadian anemia gizi
pada ibu hamil.
Pencegahan dan penanganan anemia
yaitu dengan cara memodifikasi
makanan, asupan zat besi dari
makanan dapat di tingkatan melalui
dua cara: pertama, pemastian
konsumsi makanan yang cukup,
cukup kalori yang dikonsumsi.
Kedua, meningkatkan ketersediaan
zat besi yang dimakan yaitu jalan
mempromosikan makanan yang
3
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
dapat memicu danmenghindarkan
makanan yang bisa mengganggu
penyerapan zat besi.[2]
Mengatur pola makan dengan cara
bila ibu hamil makan pada pagi hari
hanya mengkonsumsi karbohidrat
dan protein pada pagi hari, maka
pada siang hari dan sore hari ibu
dapat mengkonsumsi karbohidrat dan
sayuran, pada malam hari ibu
diberikan tambahan susu formula
atau susu sapi, dan memperbanyak
makan buah, dengan pola makan
yang teratur dan baik diharapkan ibu
dapat menyerap gizi dari bahan
makanan tersebut. Seperti lazimnya
mengatur pola makan fortifikasi
makanan merupakan salah satu cara
terampuh dalam mencegah anemia
gizi, hasil olahan makanan fortifikasi
yang paling lazim adalah tepung
gandum roti, makanan yang terbuat
dari jagung serta jagung giling dan
olahan susu seperti yogurt sangatlah
kaya gizi, hampir semua komponen
makanan sudah ada dalam bahan
makanan fortifikasi.
Pemberian tablet tambah darah pada
wanita hamil merupakan sebuah
kewajiban dikarnakan ibu hamil
harus diprioritaskan dalam program
suplementasi, dosis yang dianjurkan
dalam satu hari adalah dua tablet
(satu tablet mengandung 60mg FE
dan 200 mg asam folat) (Sholihah,
2005).
Anemia gizi sering kali menjangkiti
ibu hamil karena umumnya ibu hamil
suka sekali memilih makanan yang
disukai, selain terjadi hemodilusi
pada ibu hamil di tambah asupan gizi
yang tidak terpenuhi sehingga ibu
hamil seringkali mengalami anemia
gizi dan hal ini tentu saja sangatlah
berbahaya, dengan cara mengatur
pola makan yang baik, dan
memperbanyak makan sayur dan
buah buahan, diharapkan ibu hamil
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
tidak terjangkit penyakit anemia gizi
selama kehamilan. Namun demikian
ibu
hamil
haruslah
tetap
mengkonsumsi tablet tambah darah
setiap hari.
KESIMPULAN
1) sebanyak 55% ibu hamil memiliki
pola makan kurangbaik; 2) sebanyak
60% ibu hamil mengalami anemia
gizi; 3) ada hubungan pola makan
dengan kejadian anemia gizi pada
ibu hamil di BPM Ny. Sutinah (p =
0,000).
KEPUSTAKAAN
1. Arikunto.2005.
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
2. Arisman.2007. Gizi dalam Daur
Kehidupan. Jakarta: EGC.
3. Budiarto, Eko.2002. Biostatistik
Untuk
Kedokteran
Dan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
4. Jordan, Sue, 2004. Farmakologi
Kebidanan, Jakarta : EGC.
5. Kusumawardani, Endah.2010.
Waspada
Penyakit
Darah
Mengintai
Anda.Yogyakarta:
Hanggar Kreator.
6. Notoatmojo,
Soekidjo.2005.
Ilmu Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan.
Jakarta:
Asdi
Mahasatya.
7. Nursalam.2003. Konsep dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis, dan
Instrument
Penelitian
Keperawatan. Jakarta: YBPSP.
8. Prawiriharjo,
Sarwono.2007.
Ilmu
Kebidanan.
Jakarta:
YBPSP.
9. Soebroto,
Ikhsan.2009.Cara
Mudah Mengatasi Problem
Anemia.Yogyakarta: Bangkit!.
4
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN PERILAKU ASUPAN NUTRISI IBU HAMILDENGAN
KEJADIAN PRE-EKLAMPSIA DI RSUDKABUPATEN SAMPANG
Tri Ratih Agustina*), Indah Purwanti**)
*) Dosen DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :In Indonesia,pre-eclampsia is one of the causes of maternal
mortality ranges from1.5% -2.5%. Therefore,early diagnosis and prevent preeclampsia in order not to progress to eclampsiais the goal of treatment. The
purpose of this study was to analyze the behavior of pregnant women include the
relationship of knowledge, attitudes and actions of nutrients in the incidence of
pre-eclampsia in Sampang district hospitals.
Method :This study is ananalytical study with a retrospective approach. The study
population by maternal pre-eclampsiaas many as 56 people in hospitals Sampang
district while the study sample as many as 49 people. The independent variablein
this study is that maternal behaviori nclude: knowledge, attitudes and actions and
the dependent variable was the incidence ofpre-eclampsia. Collecting data using
a questionnaire. Statistically using Chisquaretest(X2) with aconfidence level()
=0.05.Result :The results showed the incidence of severe pre-eclampsia as much
as 73.9% in maternal lowlevels of knowledge about nutritional intake, 73.3% in
mothers receiving maternity with and attitude about nutritional intake and 73.9%
in women with the action does not carry maternity on nutritional intake.
Statistical test ChiSquare(X2) obtaine dp-value =0.000<(0.05), meaning that
there is a maternal behavior on nutrient intakeof pregnant women against the
incidence of pre-eclampsia.
Conclusion :Efforts need to do is to improve maternal knowledge andp regnant
women about nutrition for pregnant women, in an effort top revent pre-eclampsia
during delivery
Keywords: behavior, the incidence ofpre-eclampsia
PENDAHULUAN
Pre-eklampsia
adalah
penyakit
dengan
tanda-tanda
hipertensi,
edema proteinuria yang timbul
karena kehamilan dan penyakit ini
umumnya terjadi pada triwulan ke-3
kahamilan. Perilaku manusia adalah
refleksi dari berbagai gejala kejiwaan
seperti pengetahuan, persepsi, minat,
keinginan dan sikap. Hal-hal yang
mempengaruhi perilaku seseorang
sebagian terletak dalam diri individu
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
sendiri yang disebut juga faktor
internal sebagian lagi terletak di luar
dirinya atau disebut dengan faktor
eksternal yaitu faktor lingkungan.
Perilaku yang optimal akan memberi
dampak pada status kesehatan yang
optimal juga. Perilaku yang optimal
adalah seluruh pola kekuatan,
kebiasaan pribadi atau masyarakat,
baik secara sadar ataupun tidak yang
mengarah kepada upaya pribadi atau
masyarakat untuk menolong dirinya
5
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sendiri dari masalah kesehatan. Pola
kelakuan/kebiasaan
yang
berhubungan
dengan
tindakan
promotif, preventif harus ada pada
setiap pribadi atau masyarakat.
Dari hasil penelitian Hayati (2008)
Pengukuran
perilaku
kesehatan
dilakukan pada ketiga domain
perilaku
kesehatan
yaitu:
Pengetahuan, Sikap dan Praktek
(tindakan)
Menurut WHO dalam Indonesia
Development
Report
2005menyatakan bahwa tingginya
angka kematian ibu dan balita
diIndonesia
memperlihatkan
rendahnya pelayanan kesehatan
yangditerima ibu dan anak serta
rendahnya akses informasi yang
dimilikioleh ibu dan anak. Senada
dengan pernyataan WHO, Depkes
jugamenyatakan
bahwa
angka
kematian ibu mencerminkan resiko
ibuselama kehamilan dan melahirkan
yang selain dipengaruhi olehkeadaan
kesehatan
yang
kurang
baik
menjelang
kehamilan,
juga
olehkejadian berbagai komplikasi
saat kehamilan dan kelahiran serta
sangat dipengaruhi juga oleh
ketersediaan
dan
penggunaan
fasilitas
pelayanan
kesehatan
termasuk pelayanan prenatal dan
kebidanan.
METODE PENELITIAN
Retrospektif, Populasi; seluruh ibu
bersalin dengan pre-eklampsia 56 ibu
bersali, sampel 49 ibu hamil.Teknik
non probability Sampling dengan
cara purposive sampling, instrumen
kuesioner, statistik Exact Fisher’s.
HASIL PENELITIAN
36,7% ibu bersalin berumur >35
tahun, sebanyak 32,7% ibu bersalin
berumur 21-35 tahun, dan sebanyak
25,6% ibu bersalin berumur 31-40
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
tahun.Sebanyak 67,3% ibu bersalin
berpendidikan terakhir SD/sederajat,
18,4% ibu bersalin berpendidikan
terakhir SMA/sederajat, dan 14,3%
ibu bersalin berpendidikan SMP
/sederajat. Sebanyak 42,9% ibu
bersalin bekerja sebagai petani,
34,7% ibu bersalin sebagai ibu
rumah tangga, dan 22,4% ibu
bersalin bekerja sebagai wiraswasta.
Sebanyak 36,7% ibu bersalin
memiliki paritas primipara, 34,7%
grandemultipara, dan 28,6% paritas
multipara. Sebanyak 89,9% ibu
bersalin memiliki riwayat penyakit
pre-eklampsia dan 10,2% ibu
bersalin tidak memiliki penyakit preeklampsia. 93,9% ibu bersalin
memiliki tingkat pengetahuan rendah
tentang asupan nutrisi ibu hamil, dan
sebanyak 6,1% ibu bersalin memiliki
tingkat pengetahuan tinggi tentang
asupan nutrisi ibu hamil.
Ibu bersalin memiliki sikap tidak
menerima tentang asupan nutrisi ibu
hamilsebanyak 91,8% orang, dan ibu
bersalin memiliki sikap menerima
tentang asupan nutrisi ibu hamil
sebanyak 8,2% orang. Ibu bersalin
yang memiliki tindakan tidak
melaksanakan tentang asupan nutrisi
ibu hamil sebanyak 87,8% orang,
responden yang memiliki tindakan
melaksanakan tentang asupan nutrisi
ibu hamil sebanyak 12,2% orang. Ibu
bersalin yang pernah mengalami preeklampsia berat sebanyak 69,4%
orang, dan ibu bersalin yang pernah
mengalami pre-eklampsia ringan
sebanyak 30,6% orang.
Uji statistik dengan Exact Fisher’s
pada Tabel 3 antara variabel
independen (tingkat pengetahuan,
sikap dan tindakan) dengan variabel
dependen (kejadian pre-eklampsia)
adalah sebagai berikut:
Dari 46 ibu bersalin yang memiliki
tingkat pengetahuan rendah tentang
6
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
asupan nutrisi ibu hamil didapatkan
sebagian besar mengalami preeklampsia berat, yaitu sebanyak 34
orang (73,9%),sedangkan dari 3 ibu
bersalin yang memiliki tingkat
pengetahuan tinggi tentang asupan
nutrisi
ibu
hamil
didapatkan
seluruhnya mengalami pre-eklampsia
ringan, yaitu sebanyak 3 orang
(100%). Hasil nilai p= 0,025 <
(0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh
pengetahuan ibu bersalin tentang
asupan nutrisi ibu hamil terhadap
kejadian pre-eklampsia.
Dari 45 ibu bersalin yang memiliki
sikap tidak menerima tentang asupan
nutrisi ibu hamil didapatkan sebagian
besar mengalami pre-eklampsia
berat, yaitu sebanyak 33 orang
(73,3%). Sedangkan dari 4 ibu
bersalin yang memiliki sikap ibu
bersalin tentang asupan nutrisi ibu
hamil didapatkan sebagian besar
mengalami pre-eklampsia ringan,
yaitu sebanyak 3 orang (75%). Hasil
nilai p= 0,007 < (0,05) sehingga
Ho ditolak. Hal ini menunjukkan
bahwa ada pengaruh sikap ibu
bersalin tentang asupan nutrisi ibu
hamil terhadap kejadian preeklampsia.
Dari 43 ibu bersalin yang memiliki
tindakan tidak melaksanakan tentang
asupan nutrisi ibu hamil didapatkan
sebagian besar mengalami preeklampsia berat, yaitu sebanyak 33
orang (73,9%),sedangkan dari 6 ibu
bersalin yang memiliki tindakan
melaksanakan tentang asupan nutrisi
ibu hamil didapatkan sebagian besar
mengalami pre-eklampsia ringan,
yaitu sebanyak 5 orang (83,3%).
Hasil nilai p= 0,008 < (0,05)
sehingga Ho ditolak. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh
tindakan ibu bersalin tentang asupan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
nutrisi ibu hamil terhadap kejadian
pre-eklampsia.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hampir
seluruhnya
responden
memiliki tingkat pengetahuan rendah
tentang asupan nutrisi ibu hamil,
yaitu sebanyak 46 orang (93,9%)
dan sebagian kecil responden
memiliki tingkat pengetahuan tinggi
tentang asupan nutrisi ibu hamil,
yaitu sebanyak 5 orang (6,1%). Hal
ini
dikarenakan
pengetahuan
merupakan hasil tahu seseorang dan
ini
terjadi
setelah
seseorang
melakukan penginderaan terhadap
suatu obyek tertentu, dimana
sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh dari mata dan telinga
dengan perkataan lain pengetahuan
manusia diperoleh dengan melihat
dan mendengarkan obyek tersebut.[8]
Dari
penelitian
ini
hampir
separuhnyaatau 36,7% ibu bersalin
berusia >35 tahun,namun keadaan ini
tidak didukung oleh pendidikan ibu
bersalin, dimana dari hasil penelitian
ini lebih dari separuhnya atau 67,3%
ibu bersalin memiliki pendidikan
SD/ sederajat, sehingga untuk
mendapatkan pengetahuan atau
informasi mengenai persalinan ke
tenaga kesehatan masih kurang. Hal
ini didukung oleh hampir separuh
(42,9%) ibu bersalin bekerja sebagai
petani,sehingga informasi mengenai
asupan nutiris ibu hamil dengan
kejadian
pre-eklampsia,
yang
dikarenakan
kurang
banyaknya
informasi mengenai kejadian preeklampsia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hampir
seluruhnya
responden
memiliki sikap tidak menerima
tentang asupan nutrisi ibu hamil,
yaitu sebanyak 45 orang (91,8%) dan
sebagian kecil responden memiliki
7
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sikap menerima tentang asupan
nutrisi ibu hamil, yaitu sebanyak 4
orang (8,2%). Dimana hal ini
dikarenakan pendidikan ibu lebih
dari separuhnya atau 67,3% ibu
bersalin memiliki pendidikan SD/
sederajat dan hampir separuh
(36,7%) ibu bersalin memiliki paritas
primipara. Sehingga keadaan ini
menyebabkan kurangnya informasi
tentang asupan nutrisi ibu hamil
dengan kejadian pre-eklampsia,
karena orang yang berpendidikan
tinggi akan lebih banyak menerima
informasi
yang
didapat
dari
lingkungannya daripada orang yang
memiliki
pendidikan
tinggi.
Demikian juga ibu bersalin dengan
primipara masih memiliki informasi
yang kurang dibandingkan dengan
ibu bersalin dengan multipara atau
grandemultipara,
dikarenakan
pengalaman yang diperoleh akan
lebih banyak. Dengan demikian
pengetahuannya akan bertambah
yang akhirnya akan mempengaruhi
terbentuknya sikap seseorang.[8]
Dari hasil penelitian ini dan
pembahasan diatas maka dapat
dikatakan bahwa adanya pengalaman
serta interaksi manusia dengan
lingkungan yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan maupun sikap
(selain
tindakan)
akan
mempengaruhi perilaku seseorang,
sedangkan respon perilakunya dapat
bersifat pasif (tanpa tindakan:
berfikir,
berpendapat,
bersikap,
maupun aktif (melakukan tindakan),
sedangkan sikap yang diperoleh
lewat pengalaman dan pengetahuan
akan
menimbulkan
pengaruh
langsung
terhadap
perilaku
berikutnya.
Pengaruh
langsung
tersebut lebih berupa predisposisi
perilaku yang akan direalisasikan
hanya apabila kondisi dan situasi
memungkinkan.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki
tindakan tidak melaksanakan tentang
asupan nutrisi ibu hamil, yaitu
sebanyak 43 orang (87,8%) dan
sebagian kecil responden memiliki
tindakan melaksanakan tentang
asupan nutrisi ibu hamil, yaitu
sebanyak 6 orang (12,2%).
Dimana hal ini dikarenakan adanya
faktor internal yang ada pada ibu
hamil tersebut yaitu usia ibu bersalin
hampir separuhnya (36,7%) berusia
>35 tahun, pendidikan ibu bersalin
lebih dari separuhnya (67,3%) ibu
bersalin memiliki pendidikan SD/
sederajat, hampir separuh (42,9%)
ibu bersalin bekerja sebaga petani
dan sebagian besar ibu bersalin
memiliki paritas primipara (36,7%).
Sehingga keadaan ini menyebabkan
terbatasnya
pengetahuan
dan
informasi tentang nutirisi ibu hamil
dengan kejadian pre-eklampsiayang
akhirnya
akan
mempengaruhi
terbentuknya tindakan seseorang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lebih dari separuh responden pernah
mengalami pre-eklampsia berat,
yaitu sebanyak 34 orang (69,4%) dan
sebagian kecil responden pernah
mengalami pre-eklampsia ringan,
yaitu sebanyak 15 orang (30,6%).
Setelah dilakukan uji statistik Exact
Fisher’s diperoleh hasil nilai p=
0,025 < (0,05) sehingga Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh pengetahuan ibu bersalin
tentang asupan nutrisi ibu hamil
terhadap kejadian pre-eklampsia.Hal
ini
dikarenakan
pengetahuan
merupakan faktor yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang dalam hal ini over
behavior, karena dari pengalaman
dan penelitian perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih
8
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan.
ibu bersalin yang tidak atau kurang
mengetahui dan kurang faham
mengenai makanan bergizi selama
kehamilan akan mengalami preeklampsia, maka ibu bersalin
tersebut
tidak
atau
kurang
membutuhkan informasi mengenai
nutrisi ibu hamil. Setelah dilakukan
uji statistik Exact Fisher’s diperoleh
hasil nilai p= 0,007 < (0,05)
sehingga H0 ditolak. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh
sikap ibu bersalin tentang asupan
nutrisi ibu hamil terhadap kejadian
pre-eklampsia.
Seorang ibu hamil apabila sudah
mengetahui dan merasakan manfaat
bahwa
dengan
mengkonsumsi
makanan bergizi selama kehamilan
maka tidak akan mengalami preeklampsia, maka lambat laun akan
merubah sikap ibu bersalin tersebut
bahwa mengkonsumsi makannan
bergizi selama kehamilan agar
terhindar
dari
pre-eklampsia
merupakan suatu kebutuhan.
Setelah dilakukan uji statistik Exact
Fisher’s diperoleh hasil nilai p=
0,008 < (0,05) sehingga Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh tindakan ibu bersalin
tentang asupan nutrisi ibu hamil
terhadap kejadian pre-eklampsia.
Bahwa persepsi dapat mempengaruhi
motivasi ibu hamil untuk bersalin ke
tenaga kesehatan.
KESIMPULAN
ada pengaruh pengetahuan ibu
bersalin tentang asupan nutrisi ibu
hamil terhadap kejadian preeklampsia
(p=
0,025);9)ada
pengaruh sikap ibu bersalin tentang
asupan nutrisi ibu hamil terhadap
kejadian
pre-eklampsia
(p=
0,007);10) ada pengaruh tindakan ibu
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
bersalin tentang asupan nutrisi ibu
hamil terhadap kejadian preeklampsia (p = 0,008).
KEPUSTAKAAN
1. Arikunto, S. 2005. Prosedur
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
2. Hanna.
2008.
Menjaga
Kehamilan.
http://www.compas.com.
Diakses tanggal 25 Februari
2012.
3. Hayati, Nimatul & Sri Rejeki.
2008. Perilaku Patuh Perawatan
Ibu
Primigravida
dengan
Kejadian Preeklamsi Berat
Eklamsi di RSUP Soewondo
Kendal;
Jurnal-Unimus.
Semarang.
4. Manuaba, I.B. 2004. Kesehatan
Reproduksi Wanita. Jakarta:
EGC.
5. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005.
Dasar-Dasar
Keperawatan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
6. Nursalam.
2006.Pendidikan
Praktis
Metodologi
Riset
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
7. Rochjati P, Soedarto, Prabowo
RP.
1991.
Pola
Kasus
Kehamilan Risiko Tinggi di
RSUD Dr Soetomo Surabaya.
MOGI.
8. Rozikhan. 2007. Faktor-Faktor
Resiko
Terjadinya
Preeklampsia Berat, Universitas
Diponegoro Semarang.
9. Sibai BM; Mc. Cubbin JH;
Anderson.
G.D.
2004.
Eclampsia Observation From 67
Recent Cases; Obstetrics and
Gynecology;Vol. 58; No 5.
9
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN RESPONS SOSIALEMOSIONAL PASIEN HIV-AIDS DI VCT RSUD KABUPATEN
SIDOARJO
Zufra Inayah*),Rizka Licia **)
*)**) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Since the discovery ofthe virus that causes AIDS and HIV, appears
a broad impactonsociety. HIV-AIDS patients facinglife situations where they
often face their own conditions without the support offriends and family that
impact of anxiety, depression, and suicidal thinking or behavior. Lack offamily
support have an impact on the Social-Emotional responses of these patients.The
purpose of this studyto determine theexecution of official relations with the
Family Support Social-Emotional Response of HIV-AIDS patients.
Method :Inthis study using Observational study design, the studys amplew as
HIV-AIDS patients who visited the VCT Sidoarjo Hospital and as many as 67
people taken by accidental sampling. The independent variable isthe supportof
family and the dependen tvariable is the Social-Emotional responses. Analysis
techniques using Rank Spearman Rho test.
Result :Based on the research results can be concluded that family support that is
provided to HIV-AIDS sufferers in Sidoarjo District Hospital VCT is sufficient 53
(79%), the majority of Social-Emotional response to HIV-AIDS sufferers in
Sidoarjo District Hospital VCT is enough emotional response 48 (72 %), anxiety
responses 59 (88%), social interaction response 48 (72%), and then analyzed with
a statistical test on the gain (P value <0.05). Which means there is a relationship
with the family support social-emotional response to HIV-AIDS patients in
Sidoarjo District Hospital VCT.
Conclusion :From the above resultsare suggested to optimize institutions health
services for HIV-AIDS counseling patients and their families so that families can
provide supportto the patient so that the progression of the diseas eat leas tcan be
inhibited and the life expectancyof HIV-AIDS patientsis longer.
Keywords:Family Support, Social-emotional responses.
PENDAHULUAN
AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau
sindroma
akibat
menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV. Tubuh manusia
mempunyai
kekebalan
untuk
melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit.
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu
virus yang hanya dapat hidup dalam
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
sel atau media hidup. Seorang
pengidap HIV lambat laun akan jatuh
ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa
pengobatan.
Umumnya
keadaan AIDS ini ditandai dengan
adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur.
Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik
Sejak ditemukannya penyakit AIDS
(Acquired
Imuno
Deficiency
Syndrome) dan virus penyebabnya
10
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
HIV
(Human
Imunodeficiency
Virus), muncul dampak yang begitu
luas di masyarakat. Ketika individu
dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian
besar
menunjukkan
perubahan
karakter psikososial yaitu: hidup
dalam stress, depresi, merasa
kurangnya dukungan sosial, dan
perubahan
perilaku.
Dukungan
keluarga
adalah
keberadaan,
kesediaan, kepedulian, dari orangorang yang dapat diandalkan,
menghargai dan menyayangi kita.
Dukungan sosial tersebut diperoleh
dari individu maupun dari kelompok.
Dengan
memahami
pentingnya
dukungan keluarga bagi penderita
HIV-AIDS, kita semua diharapkan
mampu
untuk
memberikan
partisipasi
dalam
pemberian
dukungan sesuai dengan kebutuhan
penderita.
Pada individu dengan HIV positif
sistem imunitasnya akan mengalami
penurunan dan membutuhkan waktu
beberapa tahun hingga ditemukannya
gejala tahap lanjut dan dinyatakan
sebagai penderita AIDS. Hal ini
tergantung pada kondisi fisik dan
psikologisnya. Sejak dinyatakan
terinfeksi HIV penderita mengalami
stress, dikarenakan tingginya tekanan
psikososial yang mereka terima baik
dari keluarga maupun masyarakat.
Dukungan sosial
tersebut dapat
sangat membantu setelah mengalami
stress dan penting untuk mengurangi
gangguan psikologik yang berkaitan
dengan HIV-AIDS. Tersedianya
dukungan
sosial
itu
sangat
diperlukan sehubungan dengan rasa
keputusasaan dan depresi pasien.
METODE PENELITIAN
Analitik,
observasional,
cross
sectional. Populasi 80 pasien HIVAIDS di VCT RSUD Sidoarjo
dengan kriteria inklusi: 1) pasien
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
HIV-AIDS
yang
melakukan
kunjungan di VCT; dan 2) usia
pasien lebih dari atau sama dengan
17 tahun. Sampel 67 sampel,non
probability sampling, instrumen
kuisoner,
uji
korelasi
Rank
Spearman(Rho).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan
karakteristik pasien di VCT RSUD
Sidoarjo sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi Frekuesi Pasien
di VCT RSUD Sidoarjo
Bulan Juni Tahun 2012.
No
Variabel
1
Jenis Kelamin
a. Pria
b. Wanita
Umur
a. 15 – 24 tahun
b. 25 – 40 tahun
c. > 40 tahun
Variabel
Pendidikan
a. Perguruan Tinggi
b. SMA
c. SMP
d. SD
e. Tidak sekolah
Dukungan Keluarga
a. Baik
b. Cukup
c. Kurang
Respon Emosi
a. Baik
b. Cukup
c. Kurang
Respon Cemas
a. Baik
b. Cukup
c. Kurang
Respon Interaksi
Sosial
a. Baik
b. Cukup
c. Kurang
2
No
3
4
5
6
7
Jumlah
(%)
56
11
84
16
9
57
1
Jumlah
14
85
1
(%)
9
44
8
3
3
14
66
12
4
4
11
53
3
17
79
4
16
48
3
24
72
4
5
59
3
8
88
4
16
48
3
24
72
4
Hasil penelitian, dapat diketahui
bahwa respon interaksi sosial baik
dengan dukungan keluarga yang
11
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
kurang 2 pasien (66,7%),respon
interaksi
sosial
baik
dengan
dukungan keluarga yang baik
terdapat 4 pasien (36,4%) dan
respon interaksi sosial pasien baik
dengan dukungan keluarga yang
cukup terdapat 10 pasien (18,9%).
Sementara respon interaksi sosial
yang cukup dengan dukungan
keluarga yang cukup terdapat 41
pasien (77,4%), respon interaksi
sosial cukup dengan dukungan
keluarga baik sebanyak 6 pasien
(54,6%), dan respon interaksi sosial
yang cukup dengan dukungan
keluarga yang kurang sebanyak 1
pasien (33,3%). Sementara jika
dibandingkan
dengan
respon
interaksi sosial yang kurang dengan
dukungan keluarga yang baik
terdapat 1 pasien (9%) dan respon
interaksi sosial yang kurang dengan
dukungan keluarga yang cukup
sebanyak 2 pasien (3,7%).
Uji korelasi Rank Spearman(Rho)
didapatkan nilai p <α = 0,05 artinya
ada hubungan antara dukungan
keluarga dengan respon sosialemosional pasien HIV-AIDS di VCT
RSUD Sidoarjo.
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa pasien HIV-AIDS yang
mendapat dukungan keluarga yang
baik terdapat 11 pasien (17%),
dukungan keluarga cukup sebanyak
53 pasien (79%), dan pasien yang
dukungan keluarga kurang sebanyak
3 pasien (4%).
Berdasarkan hasil pengamatan di
Poli VCT Dalam RSUD Sidoarjo,
Dukungan
keluarga
sangat
dibutuhkan oleh pasien HIV-AIDS
karena kebanyakan pasien yang
putus asa atas keadaan yang
menimpa dirinya, menurut teori
diatas dukungan keluarga dapat
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
memberi keuntungan emosional atau
berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya. seseorang yang merasa
memperoleh
dukungan
secara
emosional merasa lega karena
diperhatikan, mendapat saran atau
kesan yang menyenangkan pada
dirinya. pasien HIV-AIDS butuh
dukungan emosional, perhatian,
mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan
pada
dirinya
sehingga progresivitas penyakit
setidaknya dapat dihambat dan umur
harapan hidup pasien HIV-AIDS
lebih panjang.
Hasil penelitian dapat menjelaskan
respon emosi, respon cemas, dan
respon interaksi sosial pada pasien
HIV-AIDS. Respon sosial-emosional
sangat mempengaruhi progresivitas
penyakit pada pasien HIV-AIDS.
Pada respon emosi sebagian besar
pasien HIV AIDS 72% cukup, bisa
juga
dikatakan
pasien
dapat
mengontrol emosi mereka agar tetap
stabil untuk menjaga daya imunitas
tubuh mereka, sementara respon
cemas sebagian besar cukup 88%,
dapat dilihat karena respon emosi
mereka dapat dikontrol dengan baik
maka kecemasan merekapun ikut
terjaga atau membaik, sedangkan
respon interaksi sosial sebagian besar
adalah cukup 72% yang mengatakan
bahwa rata-rata pasien masih
berinteraksi kepada orang–orang di
sekitarnya sehingga mereka tidak
merasa sendiri dalam menghadapi
keadaan penyakitnya. Rata-rata
respon sosial-emosional pasien HIVAIDS di VCT RSUD Sidoarjo Sudah
cukup baik dalam menghadapi
keadaan penyakit yang terjadi pada
dirinya sehingga mereka bisa
mendapatkan peningkatkan kualitas
hidup
disaat
menghadapi
penyakitnya.
12
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa H0 ditolak dan H1 diterima
yang artinya menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara
dukungan keluarga dengan respon
emosi, respon cemas, dan respon
interaksi sosial pada pasien HIVAIDS di VCT RSUD Sidoarjo.
Respon emosi terkait erat dengan
aktifitas kognitif manusia sebagai
hasil persepsi terhadap situasi. Pada
penderita
HIV-AIDS
aktifitas
kognitifnya cenderung mengarah ke
maladaptif jadi dibutuhkan dukungan
keluarga untuk merubah aktifitas
kognitif tersebut menjadi adaptif.
Berdasarkan
pengamatan
pada
tabulasi silang dukungan keluarga
dengan respon emosi Tabel 2
sebagian besar 77% mengatakan
dukungan keluarga yang cukup
berdampak pada respon emosi yang
cukup, sebab dukungan keluarga
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
ada seperti pendidikan, pengetahuan,
ekonomi, dsb. Faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi pemberian
dukungan pada pasien ODHA,
sehingga dukungan tersebut dapat
bermanfaat bagi ODHA.
Respon cemas suatu bagian penilaian
dari emosional jadi sangat jelas
terkait erat dengan dukungan
keluarga. Pada pasien HIV-AIDS
yang
mendapatkan
dukungan
keluarga respon cemas mereka akan
baik karena mereka masih punya
keluarga untuk sharing, bertanya,
dan mendapatkan perhatian dari
keluarganya,sehingga mereka dapat
mengendalikan
kecemasannya
karena penyakit yang dideritanya.
Setelah diamati pada tabulasi silang
antara dukungan keluarga dengan
respon cemas pada Tabel 2 terdapat
respon cemas yang cukup dengan
dukungan keluarga yang kurang
sebanyak 3 pasien (100%) yang
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
kemungkinan besar pendidikan atau
pengetahuan pada keluarga mereka
masih kurang sehingga berdampak
kepada pemberian dukungan kepada
ODHA sehingga respon cemas masih
timbul pada ODHA tersebut.
Respon interaksi sosial adalah
hubungan dukungan antar individu
satu dengan individu lainya, setelah
diamati pada Tabel 2 tabulasi silang
dukungan keluarga dengan respon
interaksi sosial ditemukan respon
interaksi
sosial
baik
dengan
dukungan keluarga yang kurang
terdapat 2 pasien (66,7%), pada
penderita HIV-AIDS cenderung
menutup diri atau menjauh dari
orang lain dan merasa diasingkan
karena penyakitnya, disini dukungan
keluarga sangat dibutuhkan untuk
memberikan perhatian, mengajak
ngobrol, sehingga dia tidak merasa
sendiri dan diasingkan oleh orang
disekitar
dia.
Jadi
hubungan
dukungan keluarga sangat erat
dengan respon interaksi sosial untuk
memberikan perhatian agar dia
merasa tidak diasingkan oleh orangorang disekitar dia.
KESIMPULAN
1) dukungan keluarga pada pasien
HIV-AIDS di VCT RSUD sebanyak
79% pasien; 2) Respon sosialemosional pada pasien HIV-AIDS di
VCT RSUD Sidoarjo sebanyak 72%
respon emosi; respon cemas 59
pasien (88%), dan respon interaksi
sosial 48 pasien (72%); 3) Terdapat
hubungan yang significant antara
dukungan keluarga dengan respon
Sosial-Emosioal pasien HIV-AIDS
dengan p < 0,05 di VCT RSUD
Sidoarjo.
KEPUSTAKAAN
1. Ahmadi. 2009. Psikologi Sosial.
Jakarta: Rineka Cipta.
13
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
2. Ader, R. 1991. TheInfluence of
Conditioning
on
Immune
Response. San Diego: Academic
Press.
3. Clancy, J. 1998. Basic Concept in
Immunology : Student’s survival
guide. New York: The Mc GrawHill Companies.
4. Dirjen
PPM-PLP,
DEPKES
RI.1998.
Prosedur
Tetap
Konseling HIV-AIDS Khususnya
Konseling
Pradan
Pasca
Tes.Jakarta: DepKes RI.
5. Depkes
RI.2011.
Laporan
Perkembangan Situasi HIV &
AIDS di Indonesia. Jakarta:
DepKes RI.
6. Green CW. 2009. Pengobatan
Untuk
AIDS:
Ingin
Mulai?.Jakarta: Yayasan Spiritia.
7. Martin, Anthony Dio. 2003.
Emotional Quality Manajement
Refleksi, Revisi Dan Revitalisasi
Hidup Melalui Kekuatan Emosi.
Jakarta: Arga.
8. Nursalam&
Kurniawati,
ND.2007. Asuhan Keperawatan
pada Pasien HIV-AIDS.Jakarta:
Salemba Medika.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
14
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
PENGARUH GOLONGAN DARAH TERHADAP KEJADIAN
PENYAKITJANTUNG KORONER DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD
SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
Diah JeritaEka Sari*), SetyoAdi N**)
*) Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :The risk factors of heart sickness consist of some kind of the major
factor like age, gender, habit of smoke, obesitas, less of athletics, blood type and
the complement factor like as Diabetes Melitus and Hypertension disease. This
research aim to know influence of the blood type to occurence of heart sickness.
Method :This research type is analytic of observasional with using method is
approach of sectional cross. Population in this research counted by 37 people.
The used of sampling technique is sampling consecutive. Sampel is taken
counted by 37 people. Intake of data using sheet of checklist. This research using
a Logistic Regression’s test.
Result :The result test of the Logistic Regression got by value of signifikasi for the
influence of blood type to heart sickness which is expressed in p = 0,57 ≥ 0,05.
Conclusion :A conclusion from result of this research is there are no influence of
blood type to heart sickness at Disease Poli in RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan. There by that of blood type is not such a major factor of heart
sickness, expected to apply healthy life pattern by avoiding habit of smoke
especially to men, lessening food which containing many fat, and also doing
athletics routinely.
Keywords : Heart sickness of coroner, Blood type
PENDAHULUAN
Pada dasarnya jantung adalah alat
tubuh yang berfungsi sebagai pompa
darah yang tidak akan berhenti
selama hidup kita. Jantung terbentuk
dari serabut-serabut otot bersifat
khusus dan dilengkapi jaringan
syaraf yang secara teratur dan
otomatis memberikan rangsangan
berdenyut
bagi
otot
jantung.
Denyutan ini menyebabkan jantung
memompa darah yang kaya akan
oksigen ke seluruh tubuh termasuk
arteri koroner serta darah yang
kurang oksigen ke paru-paru untuk
mengambil oksigen.[4]
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Macam–Macam Penyakit Jantung
Koroner: 1) Angina pektoris adalah
suatu sindrom klinis berupa serangan
nyeri dada yang khas, yaitu seperti
ditekan atau terasa berat di dada
yang sering menjalar ke lengan kiri,
DAN 2) Infark miokard merupakan
kelanjutan dari angina pektoris.
Yaitu suatu keadaan dimana secara
tiba-tiba terjadi pembatasan atau
pemutusan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan otot jantung
(miokardium)
mati
karena
kekurangan oksigen.[16]
Golongan darah adalah ciri khusus
darah dari suatu individu karena
15
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
adanya perbedaan jenis karbohidrat
dan protein pada permukaan
membran sel darah merah. Dua jenis
penggolongan darah yang paling
penting adalah penggolongan ABO
dan Rhesus (faktor Rh).
Data jumlah penderita penyakit
jantung yang berkunjung ke Poli
Penyakit Dalam RSUD Syarifah
Ambami Rato Ebu Bangkalan pada
tahun 2011 mencapai 473 kasus.
Selama bulan Oktober – Desember,
pasien yang berkunjung ke Poli
Penyakit Dalam mencapai 65 orang
dan yang diketahui golongan
darahnya hanya 15 orang, 5 orang
diantaranya bergolongan darah O, 3
orang bergolongan darah B, dan 7
orang bergolongan darah A.
METODE PENELITIAN
Analitik,
observasional,
cross
sectional.[10]. Populasi 37 orang.
Sampel 34 sampel. Teknik sampling
consecutive sampling, Instrumen
rekam medik. Uji Regresi Logistik.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi
Frekuensi
Penderita Penyakit Jantung
diPoli Penyakit Dalam
No
1
2
No
3
4
Variabel
N
Usia
a. 20 – 30 tahun
0
b. 31 – 40 tahun
8
c. > 40 tahun
29
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
20
b. Perempuan
17
Variabel
N
Penyakit Jantung
d. jantung
34
koroner
e. lain
3
Golongan Darah
c. A
14
d. B
10
e. AB
2
f. O
11
Hasil tabulasi silang sesuai Tabel 2,
menunjukkan
bahwa
penderita
penyakit jantung dapat dialami oleh
semua jenis golongan darah, akan
tetapi sebagian besar penderita
penyakit jantung koroner dialami
oleh mereka yang bergolongan darah
A sebanyak 14 orang atau sekitar
(41,2%). Dari hasil uji Regresi
Logistik didapatkan bahwa nilai
signifikasi atau kemaknaan untuk
pengaruh golongan darah terhadap
kejadian penyakit jantung dinyatakan
nilai p =(0,57)≥ 0,05 yang berarti
bahwa tidak ada pengaruh golongan
darah terhadap kejadian penyakit
jantung di poli penyakit dalam
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan.
Tabel 2. Tabulasi Silang Pengaruh
Golongan Darah Terhadap
Kejadian Penyakit Jantung
Koroner
No
1
2
3
4
Golongan
Darah
A
B
AB
O
Penyakit Jantung
Penyakit
Penyakit
Jantung
Jantung Lain
Koroner
n
%
n
%
14
41,2 0
0
8
23,5 2
66,7
2
5,9
0
0
10
29,4 1
33,3
p = 0,57
(%)
0
21,62
78,38
54,05
78,38
(%)
91,89
8,11
37,84
27,02
5,41
29,73
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
PEMBAHASAN
Penderita penyakit jantung yang
berkunjung ke poli penyakit dalam
RSUD Bangkalan terbanyak dialami
pada usia 40 tahun keatas dan
sebagian besar diderita oleh laki-laki.
Sesuai teori yang menyatakan bahwa
penyakit jantung dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang diantaranya
keturunan, jenis kelamin, dan
penambahan umur. Faktor keturunan
sangat
berpengaruh
terhadap
kejadian penyakit jantung. Apabila
dalam suatu keluarga, orang tuanya
ada yang mempunyai riwayat
16
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
penyakit jantung, kemungkinan besar
anaknya akan mengalami hal yang
serupa. Faktor jenis kelamin
seseorang juga berpengaruh terhadap
penyakit jantung dimana laki-laki
mempunyai resiko lebih tinggi
terkena penyakit tersebut daripada
perempuan,
dikarenakan
pada
perempuan mempunyai hormonhormon yang akan melindunginya
sampai taraf mencapai menopause.
Faktor selanjutnya
peningkatan
umur. Usia lebih dari 40 tahun
kemungkinan terserang penyakit
jantung. Resiko paling besar
terserang penyakit jantung pada lakilaki dengan usia lebih dari 45 tahun
dan wanita dengan usia lebih dari 55
tahun.
Faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap penyakit jantung adalah
gaya hidup, seperti merokok
terutama laki-laki. Resiko serangan
penyakit jantung bagi perokok aktif,
tiga sampai empat kali lebih besar
daripada perokok pasif.
Resiko penyakit jantung meningkat
sesuai dengan peningkatan kadar
kolesterol dalam darah. Jika kadar
kolesterol meningkat, maka akan
membuat
penyempitan
pada
pembuluh darah akibat pengendapan
plak yang berisi cairan kolesterol,
sehingga aliran darah menjadi
terganggu yang akan mengakibatkan
terjadi kerusakan jaringan. Intensitas
olahraga yang kurang menjadi resiko
terjadi penyakit jantung. Olahraga
dilakukan secara teratur meskipun
intensitasnya rendah, maka akan
dapat mengontrol kadar kolesterol
darah, obesitas dan juga tekanan
darah tetap normal.
Gaya hidup berpengaruh terhadap
penyakit jantung adalah obesitas
dimana setelah dilakukan penelitian,
ada sejumlah orang yang mempunyai
berat badan tidak ideal. Hal ini
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
terbukti
setelah
dilakukan
wawancara terhadap sebagian orang
bahwa
kecenderungan
mereka
mengkonsumsi jenis bahan makanan
yang banyak mengandung lemak,
seperti jenis daging-dagingan tanpa
disertai menu sayuran sebagai menu
tambahan dalam konsumsi mereka.
DM dapat meningkatkan resiko
terjadinya
penyakit
jantung.
Sejumlah penderita penyakit jantung
diatastersebut, 5 orang diantaranya
juga didiagnosa menderita penyakit
DM. Ini terbukti dari hasil cek gula
darah yang sudah dilakukan.
Penyakit
lain
yang
juga
mempengaruhi penyakit jantung
adalah Hipertensi. Penyakit ini akan
meningkatkan beban jantung yang
akan membuat dinding jantung
menebal, sehingga jantung semakin
lama akan semakin besar dan lemah
yang dapat menimbulkan resiko
serangan jantung. Hasil penelitian
diketahuiada3
orang
penderita
penyakit jantungyang mempunyai
riwayat hipertensi. Selain dua jenis
penyakit diatas, tingkat stress yang
dialami seseorang juga dapat
menjadi penyebab penyakit jantung.
Orang yang mulai stress dengan
rutinitasnya, mereka akan berusaha
mencari alternatif yang dapat
mengatasi stress yang dialaminya.
KESIMPULAN
1) sebanyak 91,89% orang menderita
penyakit jantung koroner; 2)
sebanyak
41,2%
orang
bergolongandarah A; 3) tidak ada
pengaruh golongan darah terhadap
kejadian penyakit jantung di Poli
Penyakit Dalam RSUD Syarifah
Ambami Rato Ebu Bangkalan.
KEPUSTAKAAN
1. Adam.2008. Diet Sehat Sesuai
Golongan
17
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
Darah.http://www.berbagicerita.
com/diet-sehat-sesuai-golongandarah/. Diakses tanggal 21
November 2011.
2. Fajar.2008. Jantung Koroner.
Jurnal
Keperawatan
Indonesia;Bab 1:1-3.
3. Candra, A.2008. Sakit Jantung
Pembunuh
No.
1
di
Dunia.http://nasional.kompas.co
m/.Diakses tanggal 6 Agustus
2011.
4. D’Adamo, P. J. 2005. Diet
Sehat Golongan Darah A. USA:
The Berkley Publishing Group.
5. ________, P. J.2005. Diet Sehat
Golongan Darah B. USA: The
Berkley Publishing Group.
6. ________, P. J.2005. Diet Sehat
Golongan Darah AB. USA: The
BerkleyPublishing Group.
7. ________, P. J.2005. Diet Sehat
Golongan Darah O.USA: The
Berkley Publishing Group.
8. Henny.2008. Golongan Darah
dan
Pola
Makan.http://azizah2.wordpress.c
om/.Diakses tanggal15 Januari
2012.
9. Hidayat.2009. Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisis
Data.Jakarta: Salemba Medika.
10. Irawan.2008.
Fisiologi
Jantung.http://panji1102.blogspo
t.com/2008/03/fisiologijantung.htm.Diakses tanggal 8
Desember 2011.
11. Kabo,
P.2008. Mengungkap
Pengobatan Penyakit Jantung
Koroner.Jakarta:
Gramedia
Pustaka Utama.
12. Majalah Kesehatan.2007. Gejala
dan
Pencegahan
Penyakit
Jantung.http://majalahkesehatan.
com/category/kesehatan-umumgigi/kardiovaskuler/.Diakses
tanggal 10 Januari 2012.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
13. Muhammad,
A.2009.
Memahami Bahaya Serangan
Jantung.Jogjakarta: Power Books
(IHDINA).
14. Purwanto.2005.
Simposium
Penyakit
Jantung
Koroner.Semarang: Undip Press.
15. Rahayu Utaminingsih, W.2009.
Mengenal
dan
Mencegah
Penyakit Diabetes, Hipertensi,
Jantung, dan Stroke Untuk Hidup
Lebih Berkualitas. Yogyakarta:
Media Ilmu.
16. Soeharto,
I.2008.
Penyakit
Jantung Koroner dan Serangan
Jantung.Jakarta: Gramedia.
17. Sitti.2011. Penyakit Jantung,
Penyebab Kematian Terbesar di
Dunia.http://takunik.blogspot.co
m/search/label/Jantung. Diakses
tanggal 6 Februari 2011.
18. Supriyono,
M.2008. Faktorfaktor Resiko Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Penyakit
Jantung.Jurnal
Keperawatan
UNDIP;Hal12-18.
19. Sutikno. 2005. New Trends in
Cardiovascular
Pharmacotherapy.Semarang:
Undip Press.
20. USU Press.2006. Bunga Rampai
Kardiologi.Medan: Art Design,
Publishing and Printing.
21. Wikipedia.Golongan
Darah.http://id.wikipedia.org/wi
ki/Golongan_darah.Diakses
tanggal21 November 2011.
22. Yahya, A.2009. Menaklukkan
Pembunuh No. 1: Mencegah dan
Mengatasi Penyakit Jantung
Koroner Secara Tepat dan
Cepat.Jakarta: Qanita (Mizan
Group).
23. Zakiyah, D. 2008. Faktor-faktor
Resiko
Penyakit
Jantung
Koroner.Jurnal FKM UI;Hal 1115.
18
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
PENGARUH TEKNIK MASSAGE PUNGGUNG BAWAH TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA IBU BERSALIN KALA I
FASE AKTIF DI BPS IBU NURYANI MALANG
Widiharti*), Siti Nurachmawati**)
*) Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : One way to alleviate labor pain is the lower back massase
techniques. Massage is a common cutaneous stimulation, massage can reduce
muscle tension and increase relaxation. The purpose of this study was to analyze
the effect of lower back massage techniques to decrease pain intensity on
maternal when i active phase in BPS Mother Nuryani Malang.
Method : In this study using pre-experimental research design (One-Group Pretest post-test design), with a sample of 12 mothers inpartu research primigravida
physiologically active phase of the first stage and taken concecutive
sampling. Data analysis techniques used in this study were t test.
Result : The results on pain intensity maternal Kala Active Phase I before being
given massage the lower back is 82% severe pain, pain intensity on maternal Kala
I Phase Active after being given massage lower back pain is 92% lighter, There is
influence lower back massage on reduction in pain intensity at Kala maternal
Active Phase I of the test results obtained by statistical t-test p-value = 0.000
<0.05.
Conclusion : the conclusions above are advised to BPS Capital Institute Nuryani
Malang more encouraging health care workers to practice massage to mothers in
the maternity delivery room.
Keywords: Massage lower back, pain intensity, maternity mother.
PENDAHULUAN
Pada kala I, nyeri yang ditimbulkan
bersifat ”visceral pain”, dimana
nyeri
terjadi
pada
bagian
permukaan perut sebelah bawah
yang beradiasi ke areal lumbal dan
panggul bawah. Rangsangan nyeri
tersebut disalurkan melalui saraf
spinal thorakal 11 dan 12.[3]
Untuk mengetahui tingkatan nyeri
yang diderita oleh seseorang, dan
untuk mengetahui apakah suatu
tindakan terhadap nyeri berhasil
atau tidak, perlu adanya suatu alat
ukur.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Ada dua pendekatan dalam
menanggulangi
nyeri
yaitu
pendekatan
secara
medis
(farmakologis) dan pendekatan
secara
non
medis
(non
farmakologis). Pendekatan medis
adalah
pendekatan
dengan
menggunakan obat (analgesia dan
anastesi), Banyak metode non
farmakologi sebagai kontrol nyeri
selama persalinan yang meliputi
modulasi
psikologis
nyeri,
relaksasi, hipnoterapi, imajinasi,
psikoprovilaksis, modulasi sensorik
nyeri. Massage adalah stimulasi
kutaneus secara umum, massage
19
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
028X
dapat menurunkan tegangan otot
dan meningkatkan relaksasi dengan
mekanisme gate control atau juga
dapat melepaskan endorphin yaitu
analgetik tubuh alami.
Massage punggung bawah adalah
metode untuk menurunkan nyeri
dengan teknik massage pada daerah
punggung bawah (thorak 10,11,12
da lumbal).[14] Selama kala I
persalinan nyeri dihasilkan karena
dilatasi servik, effacement dan
iskemik uterin. Impuls nyeri selama
kala I persalinan ditransmisikan
oleh segmen saraf spinal (toracic
10-12 da asesoris torak bawah
simpatis lumbal). Nyeri persalinan
adalah nyeri viseral yang berlokasi
dibawah abdomen dan menyebar ke
area lumbal belakang. Gate Control
Theory
yang dikembangkan
Meizak dan Wall tahun 1965,[4]
teori ini membawahi banyak teknik
manajemen nyeri yang digunakan
selama kala I persalinan termasuk
massage. Transmisi nyeri dapat
dimodifikasi atau dihambat oleh
pusat stimulasi selama persalinan.
Selama kotraksi impuls nyeri
dibawa dari uterus sepanjang small
neural fiber C menuju substansia
gelatinosa pada spinal column
kemudian
sel
terdekat
mentransmisikan pesan nyeri ke
otak. Stimulasi kutaneus seperti
massage, menghasilkan pesan yang
dibawa A delta fiber (faster neural
fiber). Serabut A delta fiber akan
menutup gate hypothetical pada
substansia gelatinosa, kemudian
membloking nyeri.[4]
Menurut data laporan yang
diperoleh di BPS Ibu Nuryani
Malang, pada tahun 2011 tercatat
114 kasus persalinan, 9 kasus
(7,9%) diantaranya dirujuk karena
kehabisan tenaga akibat tidak kuat
ISSN 2085-
menahan rasa nyeri. (Laporan BPS
Ibu Nuryani Malang).
METODE PENELITIAN
Pre-eksperimen (One-Group Pra
test-post test Desain), Populasi ibu
inpartu kala I fase aktif. Sampel ibu
inpartu kala I fase aktif. Teknik
sampling non probability sampling
yaitu consecutive sampling.
Instrumen observasi menggunakan
skala
Bourbanais pada subyek
penelitian atau responden. Subyek
penelitian adalah ibu primigravida
diruang bersalin RSU dr. Saiful
Anwar bulan Agustus 2011 sampai
dengan Februari 2012.
Uji beda (t- test).H1 diterima jika
nilai p-value pada kolom sig. (2
tailed) <level of significant ()
HASIL PENELITIAN
1. Usia
Distribusi ibu berdasarkan umur
4
4
3
3
3
2
2
1
0
17-19
tahun
20-22
tahun
23-25
tahun
26-28
tahun
Umur
Diagram 1. Usia Ibu Bersalin Kala I
Fase Aktif di BPS Ibu Nuryani
Malang Tahun 2012.
Menunjukkkan usia terbanyak ibu
bersalin kala I fase aktif di BPS Ibu
NuryaniMalang yaitu usia 20-22
tahun sebanyak 33% dan 17%
berusia 26-28 tahun.
2. Pendidikan ibu
Distribusi ibu berdasarkan pendidikan
5
5
4
4
3
3
2
1
0
SD
SMP
SMA
Pendidikan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
20
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
028X
ISSN 2085-
Diagram 2. Tingkat Pendidikan Ibu
Bersalin Kala I Fase Aktif di BPS
Ibu Nuryani Malang Tahun 2012.
Tingkat
pendidikan ibubersalin
kala I fase aktif di BPS Ibu
Nuryani
Malang
yaituSMA
sebanyak
42%
dan
25%
berpendidikan SMP.
3.
Pekerjaan
Nyeri
Sedang
8%
Nyeri ringan
92%
Diagram 5. Intensitas Nyeri
Pada Ibu Bersalin Kala I Fase
Aktif
Setelah
Diberikan
Massage Punggung Bawah di
BPS Ibu Nuryani Malang
tahun 2012.
Distribusi ibu berdasarkan pekerjaan
6
5
4
3
2
1
0
6
3
2
1
Sw asta
IRT
Tani
Buruh
Pekerjaan
Diagram 3. Pekerjaan Ibu Bersalin
Kala I Fase Aktif di BPS Ibu
Nuryani Malang Tahun 2012.
Pekerjaan ibu bersalin kala I fase
aktif di BPS Ibu Nuryani Malang
yaitu ibu rumah tangga sebanyak
50% dan 8% tani.
4. Intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I Fase Aktif
sebelum diberikan massage
punggung bawah.
Nyeri
sedang
17%
Nyeri
berat
83%
Diagram 4. Intensitas Nyeri Pada
Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif
Sebelum
Diberikan
Massage
Punggung Bawahdi BPS Ibu
Nuryani Malang tahun 2012.
Intensitas nyeri pada ibu bersalin
Kala I Fase Aktif
sebelum
diberikan
massage
punggung
bawah adalah nyeri berat(82%) dan
nyeri sedang (17%).
5. Intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I Fase Aktif
setelah diberikan massage
punggung bawah.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Dari diagram diatas diketahui
intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I Fase Aktif
setelah diberikan massage
punggung bawah adalah nyeri
ringan
(92%) dan nyeri
sedang (8%).
Pengaruh massage punggung
bawah
terhadap
penurunan
intensitas nyeri pada ibu bersalin
Kala I FaseAktif.
Tabel 1. PerhitunganUji T
No
Variabel
T hitung
1
2
Nyeri
sebelum
Nyeri sesudah
13,404
p-value
0,000*
Keterangan * : signifikan pada α = 0,05
Analisis pengaruh massage
punggung
bawah
terhadap
penurunan intensitas nyeri pada
ibu bersalin kala I fase aktif di
BPS Ibu Nuryani Malang tahun
2012
menunjukkan
hasil
perhitungan nilai p value adalah
0,000*,sedangkan nilai Tingkat
signifikan (  ) = 0,05.
Dari hasil uji statistik dengan
menggunakan uji t diperoleh
nilai p = 0,000 < 0,05. Hal ini
menunjukkan ada pengaruh
massagepunggung
bawah
terhadap penurunan intensitas
nyeri pada ibu bersalin kala I
fase aktif .
21
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
028X
PEMBAHASAN
Berdasarkan Diagram 4 diatas
diketahui intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I Fase Aktif sebelum
diberikan
massage
punggung
bawah adalah nyeri berat (82%)
dan nyeri sedang (17%). Setiap
orang mempunyai persepsi nyeri
yang berbeda-beda. Pada penelitian
ini didapatkan sebagian ibu bersalin
mengalami
nyeri berat dan
sebagian lain
mengalami nyeri
sedang.
Pada saat persalinan,
uterus teregang maksimal dan
menyebabkan
pengeluaran
prostagladin.[14]
Prostaglandin
merupakan salah satu senyawa
kimia berfungsi sebagai mediator
yang menyebabkan perubahan
potensial nosiseptor (reseptor untuk
stimulus nyeri)sehingga terjadi arus
elektrobiokimiawi sepanjang akson
saraf sehingga terjadi pembangkitan
nyeri. Hampir seluruh ibu bersalin
mengalami nyeri berat, hal ini
disebabkan karena ibu mengalami
ketegangan pada saat persalinan,
menurut observasi dari peneliti ratarata ke 8 ibu hamil tersebut
mengalami
ketegangan
dan
kecemasan yang disebabkan antara
lain perasaan khawatir, takut
terhadap bayi, persalinan lama.
Sesuai dengan teori menguat rasa
nyeri karena proses kontraksi rahim
menimbulkan perasaan takut pada
ibu menjelang persalinan. Perasaan
takut ini menginduksi timbulnya
ketegangan vegetatif dalam otototot dan perubahan pembuluh
darah. Disregulasi vegetatif ini
manifestasinya berupa kekakuan
mulut rahim dan rahim yang
hipoksia mengakibatkan impuls
nyeri
semakin
meningkat,[17]
sedangkan 2 ibu bersalin selalu
minta ditunggui oleh suaminya, hal
ini yang menyebabkan nyerinya
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-
bertambah, sesuai dengan teori
bahwa faktor psikologis yang
memperparah nyeri persalinan
adalah ibu melahirkan sendiri tanpa
pendamping.(Danuatmaja
&
Meiliasari, 2004)
Berdasarkan diagram 5 diatas
diketahui intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I Fase Aktif setelah
diberikan
massage
punggung
bawah adalah nyeri ringan (92%)
dan nyeri sedang (8%).Sedangkan
dari hasil analisis penurunan
intensitas nyeri
ada perubahan
yang nyata, 10 ibu bersalin yang
mulanya mengalami nyeri berat,
berubah menjadi 9 ibu bersalin
mengalami mengalami nyeri ringan
dan 1 ibu bersalin mengalami nyeri
sedang,sedangkan 2 ibu bersalin
yang mulanya mengalami nyeri
sedang berubah menjadi nyeri
ringan.
Adanya
perbedaan
penurunan intensitas nyeri di atas
dimungkinkan karena perbedaan
persepsi nyeri setiap orang atau
perbedaan
ambang
nyeri,
sedangkan 1 ibu bersalin yang
mulanya mengalami nyeri berat dan
penurunannya hanya sampai nyeri
sedang disebabkan karena yang
bersangkutan baru hamil setelah
menikah selama 5 tahun, sehingga
hal ini secara tidak langsung
mempengaruhi psikologis dan
tingkat kecemasan ibu bersalin.
Massage
dapat
menurunkan
tegangan otot dan meningkatkan
relaksasi.[14]Hasil ini sejalan juga
dengan teori dari Pommeranz, yaitu
stimulus tertentu pada seseorang
akan dapat meningkatkan atau
menurunkan kadar endorphin di
dalam darah dan otak yang
berfungsi sebagai endomorfin.
Meningkat kadar endorphin di
dalam tubuh dapat meningkatkan
nilai ambang nyeri di otak.
22
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
028X
Wirjoatmodjo (2000) menyatakan
penurunan intensitas rasa nyeri
dapat diakibatkan oleh pengeluaran
neurotransmitter endorphin yang
merupakan analgesia endogen oleh
sel otak. Selain itu juga melalui
mekanisme gate cotrol. Stimulasi
kulit seperti massage, menghasilkan
pesan yang dibawa A delta fiber
(faster neural fiber). Serabut A
delta fiber akan menutup gate
hypothetical
pada
substansia
gelatinosa, kemudian membloking
nyeri.[4]
Hasil uji statistik diperoleh
dengan
menggunakan
uji
t
diperoleh nilai p = 0,000 < 0,05.
Hal ini menunjukkan ada pengaruh
massage punggung bawah terhadap
penurunan intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I Fase Aktif.
Pemijatan atau massage yang
dilakukan dengan baik dan benar
dapat secara nyata menurunkan
intensitas nyeri persalinan. Rasa
nyeri timbul karena serangkaian
proses kimia dalam sel saraf,
sedangkan
massage
juga
menimbulkan perubahan biokimia
yang dapat mengeblok atau
menghalangi penjalaran impuls
nyeri. Nyeri persalinan berasal dari
daerah uterus (rahim) dan cerviks.
Impuls rasa nyeri kontraksi rahim
pada persalinan ditransmisi melalui
segmen saraf spinalis T11-12 dan
saraf-saraf asesori torakal bawah
serta saraf simpatik lumbal atas
(Hoghs, 1992). Segmen saraf ini
terletak di daerah punggung bawah.
Pemijatan atau massage yang
dilakukan pada area punggung
bawah merupakan rangsangan yang
diterima ujung-ujung saraf di kulit
yang dihantarkan oleh
serabut
saraf A delta. Impuls ini akan
menutup gate hypothetical pada
substansia gelatinosa di medulla
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-
spinalis
kemudian membloking
[4]
nyeri.
Sehingga hasil akhirnya
adalah penurunan intensitas nyeri
dari daerah uterus dan cerviks dan
hal ini bisa diamati dengan
perubahan menjadi nyeri ringan.
KESIMPULAN
1) intensitas nyeri pada ibu bersalin
kala I fase aktif sebelum diberikan
massage punggung bawah adalah
hampir seluruh mengalami nyeri
berat dan sebagian kecil mengalami
nyeri sedang; 2) intensitas nyeri
pada ibu bersalin kala I fase aktif
setelah
diberikan
massage
punggung bawah adalah hampir
seluruhnya mengalami nyeri ringan
dan sebagian kecil mengalami nyeri
sedang; 3) ada pengaruh massage
punggung
bawah
terhadap
penurunan intensitas nyeri pada ibu
bersalin Kala I FaseAktif.
KEPUSTAKAAN
1. Arikunto, Suharsimi. 1993.
Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
2. Barbara, C. Long. 1995.
Perawatan Medical Bedah.
Jakarta: EGC.
3. Bobak, Lowdermilk, Jensen.
2004. Buku Ajar Keperawatan
Maternitas. Jakarta: EGC.
4. Cohen. M, et al. 1991.
Maternal,
Neonatal
and
Woman’s
Health
Nursing.Pensylvania:
Sringhause Company.
5. Farrer H.2001. Perawatan
Maternitas;Edisi 2. Jakarta :
EGC.
6. Helen, Farrer RN. 2001.
Perawatan Maternitas.Jakarta:
EGC.
7. Hemayanti. 2002. Apa Yang
Perlu Perawat Pahami Dalam
23
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
028X
ISSN 2085-
Mengurangi Nyeri Pada Ibu
Saat Bersalin Dan Melahirkan.
Nursing Journal Of Padjajaran
University; Vol. 3; No. 6; Hal:
52-60.
8. Irene, M. Bobak. 2004. Buku
Ajar Keperawatan Maternitas.
Jakarta: EGC.
9. Mander, Rosemary. 2003. Nyeri
Persalinan.Jakarta: EGC.
10. Neil Niver. 2002. Psikologi
Kesehatan Edisi 2. Jakarta:
EGC.
11. Nursalam. 2003. Konsepdan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan
.Jakarta: Salemba Medika.
12. Nursalam & SitiPariani. 2001.
Pendekatan Praktis Metodologi
Riset
Keperawatan.
Jakarta:Sagung Seto.
13. Obstetri,
Williams.
2005.
Persalinan.Jakarta: EGC.
14. Pilliterrri. 1999. Maternal And
Child Health Nursing Third
Edition. USA: Lippincott.
15. Prawiroharjo S. 1997. Ilmu
Kebidanan,Jakarta:
Penerbit
Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
16. Priharjo,
Robert.
1995.
Perawatan
nyeri
Dan
Pemenuhan
Kebutuhan
Istirahat Pasien.Jakarta: EGC.
17. Rosemary M. 2003. Nyeri
Persalinan. Jakarta: EGC.
18. Solomon, et al. 1990. Human
Anatomy & PhysiologySecond
Edition. Florida: Saunders
College Publishing.
19. Sulaiman S.1983. Obstetri
Fisiologi.Bandung:
Penerbit
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
24
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
STUDI KANKER SERVIKS BERDASARKAN GEJALA DAN FAKTOR
RESIKO DI RSB PONDOK TJANDRA WARU SIDOARJO
Faridah*), Sonya Lisdianawati**)
*) Dosen Prodi Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Until now the cervical cancer is still a cause of death from cancer
in developing countries. According diananda (2007), symptoms are: whitish, more
and more stink, bleeding after intercourse, pain during sex, weight decreased, and
smelling yellowish discharge mixed with blood, anemia, bleeding pervagina
although it has entered a period of menoupose, pelvic pain . Factors that
influence cervical cancer, namely age, age at first marriage, multipartner, the use
of antiseptics, smoking, history of venereal disease, parity, oral contraceptive use
in a long time and stage of cancer according to the stages I, II, III, IV.
Method :This type of descriptive research with populations in the study were
women with cervical cancer, amounting to 24 people. The research was
conducted
on
21
May
to
18
June
2012.
Result :The study found that a majority of more on the symptoms of cervical
cancer discharge yellowish, odorless and can be mixed with the blood of 100%
(24 people) and the factors that cause cervical cancer in women aged> 35 years
of 100% (24 people) and the stage III cervical cancer as much as 37.6% (9
people).
Conclusion :From the results of research in the field that there are many women
who are less aware of the symptoms of cervical cancer, so they are less aware of
the importance of papSmear as early as possible.Suggestions that enhance health
promotion-related signs and symptoms of risk factors for cervical cancer with
Pap importance of Smear.
Keyword: symptoms, risk factors, cervical cancer
PENDAHULUAN
Kanker serviks adalah keganasan
mulut rahim yang berkembang sagat
lambat dan gejala awal beser putih
yang sulit sembuh, kontak berdarah,
spotting dan gangguan menstruasi.[7]
Tumor masih dangkal, hanya tumbuh
dilapisan sel serviks;stadium I
kanker telah tumbuh dalam serviks,
namun belum menyebar kemanapun;
stadium II Kanker berada di bagian
dekat serviks tapi bukan di luar
panggul; stadium III Kanker telah
menyebar ke jaringan lunak sekitar
vagina/organ intim wanita (biasa
disebut mrs.v) dan serviks sepanjang
dinding panggul. Mungkin dapat
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
menghambat
aliran
urin
ke
kandungkemih; stadium IV kanker
telah menyebar ke bagian lain tubuh,
seperti kandung kemih,rektum, atau
paru-paru.
Pemeriksaan pap smear dapat
dipakai sebagai deteksi dini kanker
serviks. Pemberian vaksin pada
kanker serviks salah satunya
gardasil. Gardasil adalah vaksin
terhadap HPV-6, -12, -16 dan -18,
yang semuanya dikaitkan dengan
perubahan sel prakanker atau kanker
di rahim (dan dubur). Uji coba klinis
menunjukkan bahwa vaksin ini
sangat efektif untuk mencegah
25
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
penyakit pada rahim dan kelamin
terkait HPV pada perempuan yang
tidak terinfeksi oleh HPV jenis ini.
Hingga saat ini kanker serviks masih
merupakan
penyebab
kematian
terbanyak akibat penyakit kanker di
Negara berkembang. Tingginya
angka kematian ini adalah karena
penyakit ini tidak mempunyai ciri
yang khas. Sesungguhnya penyakit
ini dapat dicegah bila dilakukan
program skrining atau deteksi dini
namun hal ini belum dilakukan
khususnya di negara berkembang.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan
yang dilakukan di RSB pondok
tjandra Waru didapatkan bahwa dari
24 orang pasien yang berobat dengan
keluhan yang dirasakan sehingga
membawanya
datang
untuk
memeriksakan diri 20,8% berada
pada stadium I, stadium II 20,8%,
stadium III 37,5%, dan stadium IV
20,8%. Stadium semakin tinggi usia
harapan hidup semakin rendah.
ISSN 2085-028X
No
Variabel
1
Tingkat Pendidikan
e. SD
a. SMP
b. SMA
c. Perguruan Tinggi
Pekerjaan
a. Ibu Rumah Tangga
b. Swasta/Karyawan
c. Wiraswasta
d. PNS
Gejala
f. Keputihan berbau
g. Perdarahan senggama
h. Sakit berhubungan seks
i. Berat badan menurun
j. Keluar cairan kuning berbau
k. Anemia
l. Perdarahan pervagina
m. Timbul nyeri panggul
Usia
g. <20 tahun
h. 20 – 35 tahun
i. >35 tahun
Usia Pertama Kali Menikah
c. 18 – 30 tahun
d. 30 – 35 tahun
e. >35 tahun
Multipartner
d. 1 kali
e. 2 kali
f. ≥ 3 kali
Antiseptik
d. Sering
e. Kadang-kadang
f. Tidak pernah
Merokok
a. Merokok
b. Tidak merokok
Riwayat Penyakit Kelamin
a. Benjolan
b. Erosi
Paritas
a. 1
b. 2
c. ≥ 3
Kontrasepsi Oral
a. Pil
b. Suntik 3 bulan
c. Suntik 1 bulan
d. Spiral
Kanker Serviks
a. Stadium I
b. Stadium II
c. Stadium III
d. Stadium IV
2
3
4
5
6
7
METODE PENELITIAN
Desain penelitian deskriptif. Populasi
adalah 24 pasien. Sampel 24 pasien
dengan gejala awal kanker serviks.
Pengumpulan data awal memberikan
KIE (komunikasi informasi dan
edukasi) tentang gejala, penyebab,
pencegahan
dan
pemeriksaan
papsmear secara rutin. Analisa uji
variabel.
8
9
10
11
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pasien
di RSB Pondok Tjandra
Waru Sidoarjo Pada Bulan
April 2012.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
12
n
(%)
6
4
10
4
25
16,7
41,6
16,7
9
7
5
3
37,5
29,1
20,9
12,5
19
19
19
14
24
14
14
14
79,16
79,16
79,16
58,33
100
58,33
58,33
58,33
0
0
24
0
0
100
19
5
0
79,2
20,8
0
15
8
1
62,5
33,4
4,1
10
12
2
41,6
50
8,4
0
24
0
100
6
18
25
75
2
8
14
8,3
8,4
58,3
3
15
1
5
12,5
62,5
4,2
20,8
5
5
9
5
20,8
20,8
37,6
20,8
26
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Stadium Kanker Serviks Dengan Gejala dan
Faktor Resiko di RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo Pada Bulan April 2012.
NO
1
2
Gejala
Gejala
a. Keputihan berbau
b. Perdarahan senggama
c. Sakit berhubungan seks.
d. Berat badan menurun.
e. Keluar cairan kuning berbau
f. Anemia
g. Perdarahan pervagina
h. Timbul nyeri panggul
Faktor Resiko
a. Usia
b. Usia pertama kali menikah
c. Multipartner
d. Penggunaan antiseptik
e. Merokok
f. Riwayat penyakit kelamin
g. Paritas
h. Kontrasepsi oral
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa mayoritas usia pasien yang
terkena kanker serviks di RSB
Pondok Tjandra Waru Sidoarjo
berumur >35 th sebanyak 24 pasien
(100%) karena semakin tua usia
seseorang, maka semakin meningkat
risiko terjadinya kanker leher rahim,
sedangkan yang berumur < 20 th
dan berumur 20-35 tahun yang
terkena kanker servik tidak ada
karena pada umur < dari 20 tahun
sampai 30 tahun belum muncul
terjadinya kanker serviks.
Meningkatnya risiko kanker pada
usia lanjut merupakan gabungan dari
meningkatnya
dan
bertambah
lamanya waktu pemaparan terhadap
karsinogen serta makin melemahnya
sistem kekebalan tubuh akibat
usia.[10]Pada usia > 35 tahun lebih
banyak terkena kanker serviks
karena
melemahnya
sistem
kekebalan tubuh. Berdasarkan Tabel
1 dapat diketahui bahwa mayoritas
Usia Pertama Kali Menikah pasien di
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Stadium I
n
%
Kanker serviks
Stadium II Stadium III
n
%
n
%
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
20,8
0
0
0
5
5
5
0
5
0
0
0
26,32
26,32
26,32
0
20,8
0
0
0
9
9
9
9
9
9
9
9
47,36
47,36
47,36
64,28
37,6
64,28
64,28
64,28
5
5
5
5
5
5
5
5
26,32
26,32
26,32
35,72
20,8
35,72
35,72
35,72
5
5
3
3
0
5
3
0
20,8
26,3
20
25
0
27,8
21,42
0
5
4
3
2
0
5
2
1
20,8
21,1
20
16,7
0
27,8
14,28
33,4
9
7
6
5
0
4
5
2
37,6
36,9
40
41,6
0
22,2
35,72
66,6
5
3
3
2
0
4
4
0
20,8
15,7
20
16,7
0
22,2
28,58
0
Stadium IV
n
%
RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo
yang berumur 18-30 th sebanyak 19
pasien (79,2%) dianggap terlalu
muda untuk melakukan hubungan
seksual dan berisiko terkena kanker
leher rahim dibandingkan yang
berumur 30-35 tahun sebanyak 5
pasien (20,8%) karena pada umur ini
sudah ada kematangan sel-sel
mukosa pada serviks.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa banyak multipartner pasien di
RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo
yang terkena kanker serviks1 kali
sebanyak 15 pasien (62,5%) karena
wanita
menganggap
dengan
pasangan setia tidak ganti-ganti
pasangan tidak akan terkena kanker
serviks. Dibandingkan multipartner 2
kali sebanyak 8 pasien (33.4%)
karena
bisa
tertularnya
pada
pasangan kedua yang terkena virus
ini akan mengubah sel-sel di
permukaan
mukosa
hingga
membelah menjadi lebih banyak dan
tidak terkendali sehingga menjadi
kanker dan multipartner ≥ 3 kali
27
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sebanyak I pasien (4,1%) karena
dengan berganti-ganti pasangan akan
memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human
Papilloma Virus (HPV).
Berganti-ganti
pasangan
akan
memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human
Papilloma Virus (HPV).
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa banyak pasien menggunakan
antiseptik di RSB Pondok Tjandra
Waru Sidoarjo yang terkena kanker
serviks kadang-kadang sebanyak 12
pasien (50%) karena pemakaian
antiseptik hanya waktu tertentu saja
misalnya sebelum menstruasi dan
setelah menstruasi. Dibandingkan
menggunakan antiseptik yang sering
sebanyak 10 pasien (41,6%) karena
penggunaan antiseptik lebih baik dari
pada
dengan
sabun
mandi.
Menggunakan
antiseptik
tidak
pernah sebanyak 2 pasien (8,4%)
karena menganggap dengan sabun
mandi sudah cukup disbanding
Kebiasaan pencucian vagina dengan
menggunakan obat-obatan antiseptik
maupun
deodoran
akan
mengakibatkan iritasi di serviks yang
merangsang terjadinya kanker.[2]
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa mayoritas tidak merokok
yang datang di RSB Pondok Tjandra
Waru Sidoarjo yang terkena kanker
serviks sebanyak 24 pasien (100%)
karena seorang wanita hampir tidak
ada yang merokok dibandingkan
dengan seorang pria.
Wanita yang merokok nikotin
mempermudah semua selaput lendir
sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi
terangsang, baik pada mukosa
tenggorokan, paru-paru, maupun
serviks. Namun tidak diketahui
dengan pasti berapa banyak jumlah
nikotin yang dikonsumsinya bisa
menyebabkan kanker leher rahim.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Risiko wanita perokok terkena 4-13
kali lebih besar dibandingkan wanita
bukan perokok.[2]. Berdasarkan Tabel
1 dapat diketahui bahwa erosi
jaringan
yang
normal
pada
permukaan dan atau mulut serviks
digantikan oleh jaringan yang
mengalami inflamasi dari kanalis
serviks
dibandingkan
benjolan
sebanyak 6 pasien (25%) jaringan
yang tumbuh pada vagina.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa > banyak jumlah anak ≥3
yang tekena kanker serviks di RSB
Pondok Tjandra Waru Sidoarjo
sebanyak 14 pasien (58,3%) karena
anak yang banyak diduga mengalami
penurunan daya tahan tubuh.
Dibandingkan jumlah anak 2
sebanyak 8 pasien (8,4%) dan jumlah
anak1 pasien (8,3%) pada wanita
yang memiliki anak 1 sampai 2 lebih
kecil kemungkinan kena kanker
servik tapi tetap juga harus
melakukan pemeriksaan pap smear.
Para wanita yang mempunyai anak
lebih dari 3 agar melakukan
papsmear agar tidak terjadi kanker
serviks.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa > banyak KB pasien di RSB
Pondok Tjandra Waru Sidoarjo yang
terkena kanker serviks suntik 3 bulan
sebanyak 11 pasien (45,9%) karena
pada KB suntik 3 bulan tidak
mengalami mentruasi dibandingkan
KB spiral 5 pasien (20,8%) karena
terjadi erosi pada benang spiral. KB
pil 3 pasien (12,5%) karena KB pil
perlu diminum setiap hari tidak boleh
berhenti.dan suntik 1 bulan 1 pasien
(4,2%) karena pada KB suntik 1
bulan harus disuntik tiap bulan dan
jadwal untuk suntik lagi tidak boleh
telat.
Penggunaan kontrasepsi oral yang
dipakai dalam jangka lama yaitu
lebih
dari
4
tahun
dapat
28
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
meningkatkan risiko kanker leher
rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral
mungkin dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim karena jaringan
leher rahim merupakan salah satu
sasaran yang disukai oleh hormon
steroid perempuan. Pada penelitian
dilapangan didapatkan bahwa KB 3
bulan lebih banyak karena pada KB
3 bulan pasien tidak mengalami
menstruasi karena hormon estrogen
ditekan sehingga lebih banyak
hormone progesterone.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa > banyak kanker serviks
pasien di RSB Pondok Tjandra Waru
Sidoarjo yang Stadium III sebanyak
9 pasien (45,9%) karena pada
stadium ini pasien mulai ada
keluhan. Apabila seorang wanita
menghadapi gejala-gejala kanker
serviks harus periksa ke dokter
karena karena kanker serviks
pengobatannya dengan operasi pada
kanker serviks stadium I dan kemo
therapy pada kanker serviks sadium
II,III dan IV.
Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 19
pasien yang mengalami perdarahan
setelah senggama pada kanker
serviks stadium III 47,36% (9 orang)
karena terjadi nekrose jaringan bila
dilakukan senggama bisa berdarah.
Perdarahan setelah senggama pada
kanker serviks stadium II 26,32% (5
orang) benjolan daging ini yang bisa
terinfeksi lalu menjadi tukak borok
yang rapuh dan mudah berdarah
kalau tersentuh penis sewaktu
senggama atau infeksi pada vagina
(vaginitis) yang membuat dinding
vagina tipis atau pun cervicitis
(mulut rahim terinfeksi) sehingga
menimbulkan pendarahan setelah
senggama.
Perdarahan
setelah
senggama pada kanker serviks
stadium IV 26,32% (5 orang)
Mekanisme dari perdarahan kontak
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
berhubungan
dengan
faktor
penyebabnya. Salah satu diagnosis
yang dapat membedakan antara
perdarahan kontak dan fisiologis
adalah dari gejala klinisnya.
Berdasarkan Tabel 2, 19 pasien yang
mengalami sakit waktu hubungan
sex pada kanker serviks stadium III
47,36% (9 orang) sudah terjadi
nekrosis jaringan sehingga bila
dilakukan untuk berhubungan nyeri,
sakit waktu hubungan sex pada
kanker serviks stadium II 26,32% (5
orang) peradangan kronis yang
menimbulkan nyeri di sekitar mulut
vagina, sakit waktu hubungan sex.
Pada kanker serviks IV 26,32% (5
orang) endometriosis, adenomiosis
(myoma), radang panggul, prolapsis
uterus, kista ovarium, tumor rahim
(uterine fibroids), cistitis dan iritasi
saluran kencing, dan sakit waktu
hubungan sex pada kanker serviks
stadium I tidak ada karena belum ada
keluhan sehingga pasien belum mau
konsultasi pada dokter.
Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 14
pasien yang mengalami berat badan
menurun pada kanker serviks
stadium III 64,28 % (9 orang) karena
pada stadium III pengobatannya
dengan kemo therapy sehingga
menimbulkan mual dan untuk makan
malas. Berat badan menurun pada
kanker serviks stadium IV 35,72% (5
orang) karena pada stadium IV
pengobatannya dengan kemo therapy
sehingga menimbulkan mual dan
untuk makan malas dan daya tahan
tubuh menurun. Berdasarkan Tabel 2
diatas dari 24 pasien > banyak yang
mengalami keluar cairan kuning dan
berbau pada kanker serviks stadium
III 37,6% (9 orang) karena pada
kanker serviks stadium III merusak
struktur jaringan serviks dengan
melibatkan awal fornises vagina
untuk menjadi ulkus yang luas
29
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sehingga menimbulkan keluar cairan
kuning dan bau. Dibandingkan
keluar cairan kuning dan berbau pada
kanker serviks stadium I,II,IV yang
masing-masing sebanyak 20,8% (5
orang) karena pada kanker serviks
pada stadium I pasien masih
menganggap belum terjadi kanker
serviks, pada kanker serviks stadium
II mengalami erosi yang tidak
dilakukan pengobatan sehingga
menimbulkan keluar cairan kuning
dan berbau dan pada kanker serviks
stadium IV
cenderung merusak
struktur jaringan serviks dengan
melibatkan awal fornises vagina
untuk menjadi ulkus yang luas.
Berdasarkan tabel 2 diatas dari 14
pasien yang mengalami anemia pada
kanker serviks stadium III 64,28% (9
orang) karena pada stadium III sudah
terjadi nekrosis jaringan sehingga
terjadi
perdarahan,
Perdarahan
spontan saat berdefekasi terjadi
akibat tergesernya tumor eksofitik
dari
serviks
oleh
skibala,
mengakibatkan anemia. Anemia
akan menyertai sebagai akibat dari
perdarahan
pervaginam
yang
berulang. Anemia pada kanker servik
stadium I dan kanker servik stadium
II tidak ada karena belum terjadi
perdarahan.
Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 14
pasien yang mengalami perdarahan
pervagina memasuki menopause
pada kanker serviks stadium III
64,28% (9 orang) karena pada
kanker serviks stadium III wanita
sudah
mulai
ada
keluhan
pengeluaran
darah.
Perdarahan
pervagina memasuki menopause
pada kanker serviks stadium IV
35,72% (5 orang) karena pada
kanker
serviks
stadium
IV
pengeluaran darah lebih banyak yang
dikiranya itu darah menstruasi.
Perdarahan pervagina memasuki
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
menopause pada kanker servik
stadium I dan kanker servik stadium
II tidak ada karena sebatas porsionya
yang mengalami erosi.
Berdasarkan Tabel 2 diatas dari 14
pasien yang mengalami nyeri
panggul pada kanker serviks stadium
III 64,28% (9 orang) karena
Penyebaran sudah sampai dinding
panggul tetapi sudah ada gangguan
faal
ginjal/hidronefrosis.
Nyeri
panggul pada kankerserviks stadium
IV 35,72% (5 orang) karena proses
sudah keluar dari panggul kecil, atau
sudah menginfiltrasi mukosa rektum
dan/kandung kemih. Pada penderita
kanker serviks stadium III telah
mengalami nyeri pada panggul.
KESIMPULAN
Pada gejala kanker serviks di RSB
Pondok Tjandra Waru Sidoarjo
gejala keluar cairan berwarna
kekuning-kuningan, berbau dan
dapat bercampur dengan darah
sebanyak 24 pasien (100%), sakit
waktu hubungan seks yang masingmasing sebanyak 19 pasien (79,16%)
dan yang mengalami gejala berat
badan yang terus menurun, anemia,
terjadi
perdarahan
pervagina
meskipun telah memasuki masa
menoupose, timbul nyeri panggul
(Pelvis) bila ada radang panggul
sebanyak 14 pasien (58,33%).
Pada faktor penyebab kanker serviks
di RSB Pondok Tjandra Waru
Sidoarjo dijumpai lebih banyak usia
≥35 tahun , tidak merokok masingmasing sebanyak 24 pasien (100%)
dibandingkan dengan usia pertama
kali menikah yang berumur 18-30 th
sebanyak 19 pasien (79,2%), riwayat
penyakit kelamin sebanyak 18 pasien
(75%), multipartner 1 kali, KB yang
suntik 3 bulan masing-masing
sebanyak 15 pasien (62,5%), paritas
anak ≥3 sebanyak 14 pasien (58,3%)
30
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
dan menggunakan antiseptik yang
kadang-kadang sebanyak 12 pasien
(50%). Kanker serviks pasien di
RSB Pondok Tjandra Waru Sidoarjo
yang Stadium III sebanyak 9 pasien
(37,6%).
KEPUSTAKAAN
1. Benson, Ralaph C. Dkk, 2008.
Buku
Saku
Obstetri
Dan
Ginekologi, Jakarta : EGC.
2. Dalimartha S, 2004. Deteksi Dini
Kanker,Jakarta
:
Penebar
Swadaya.
3. Diananda R, 2007. Mengenal
Seluk Beluk Kanker, Yogyakarta
: Katahati.
4. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung, 1981.
Ginekologi, Bandung : Elstar
offset.
5. Farid, Aziz M. Dkk, 2006. Buku
Acuan
Nasional
Onkologi
Ginekologi”, Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono.
6. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007.
Metode Penelitian Kebidanan
Teknik Analis Data, Jakarta :
Salemba Medika.
7. Manuaba, Ida bagus gde, 2001.
Kapita Selekta Penatalaksanaan
Rutin Obstetri Dan Gynekologi
Dan Keluarga Berencana,Jakarta
: EGC.
8. Nursalam, 2003. Konsep Dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan,Jakarta : Salemba
Medika.
9. Prawirohardjo, Sarwono, 2002.
Ilmu Kandungan, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
10. Dinkes Bone Bolang, .2007.
Mengenal Kanker,Gorontalo :
Dinkes Bone Bolango.
11. Nursalam, 2001.Konsep Dan
Penerapan
Metodologi
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Penelitian
Ilmu
Keperawatan,Jakarta : Salemba
Medika
12. Sugiyono, 2000. Metodologi
Penelitian
Administrasi,
Bandung : Alfa Beta.
13. Supariasa, I Dewa Nyoman,
2002. Penilaian Status Gizi,
Jakarta:EGC
31
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIRDI
RSUD SIDOARJO
Wiwik Widiyawati*), Yuvita Putri Fatriasari**)
*) Dosen Prodi ilmu Keperwatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Asphyxia is a state of the newborn babiess is not breathing
spontaneously and regularly. The Asphyxia cases are the highest after the Low
Birth Weight Babies cases for the top ten of high-risk diseases to neonates in
RSUD Sidoarjo. In 2011, 201 of 1797 newborns suffer Asphyxia. The case is
believed from many factors. Therefore, a research is needed to find the solutions.
The purpose of this research is to identify the factors that cause Asphyxia for the
newborn babies in RSUD Sidoarjo.
Method :This research is a descriptive research with restropective research
design. The subjects are 201 mothers with asphyxiated newborns. The data
collecting method is using secondary data collecting. After that, the data is
processed and presented in cross-tabulation.
Result :The results indicate that 96 newborns (47.76%) suffer Light Asphyxia.
The factors of Asphyxia are divided into three groups: the most frequent factor for
mothers is prolonged labor 63 cases (31.34%), the most frequent factor for
umbilical cord is umbilical cord entanglement 28 cases (13.93%), and the most
frequent factor for neonates is cesarean section 103 cases (51.24%).
Conclusion :From the results stated above, it can be concluded that most
dominant and frequent factor that cause Light Asphyxia is cesarean section. The
related medical staff is suggested to intensify the roles, skills, and knowledge of
midwives as the medical staff that are able to act fast and precisely for Asphyxia
cases. The actions can be learned through seminar or training programs to
prevent possible complications.
Keywords: Asphyxia, newborns
PENDAHULUAN
WHO
menyimpulkan
bahwa
kesehatan bayi baru lahir sangat
ditentukan oleh pelayanan yang
didasarkan lima prinsip, yaitu
persalinan yang bersih dan aman,
mempertahankan
suhu
tubuh,
dimulainya pernafasan spontan,
menyusui segera sesudah lahir,
pencegahan infeksi dan tata laksana
penyakit.
Namun
dalam
kenyataannya masih banyak terjadi
gangguan pada bayi baru lahir. Salah
satu diantanya yaitu asfiksia sebagai
penyebab kedua mortalitas dan
morbiditas di indonesia.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Klasifikasi Asfiksia meliputi bayi
normal atau asfiksia ringan, Asfiksia
sedang, Asfiksia berat. Asfiksia
neonatorum adalah suatu keadaan
bayi tidak dapat segera bernapas
secara spontan dan teratur segera
setelah
lahir.
Asfiksia
akan
membawa berbagai dampak pada
periode neonatal.
Asfiksia neonatorum akan terjadi
apabila saat lahir bayi mengalami
gangguan pertukaran gas dan
transport oksigen sehingga menjadi
kekurangan persediaan oksigen dan
kesulitan
dalam
pengeluran
karbondioksida.
32
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
Kejadian tersebut dapat disebabkan
karena beberapa hal diantaranya yaitu
partus lama, lilitan tali pusat, bayi
premature dan lain-lain. Keadaan ini
dapat mengakibatkan bayi tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir dan bila keadaan
tersebut
tidak
mendapatkan
penanganan segera maka akan
berlanjut pada kematian.
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 21 April 2012
di Ruang Neonatus RSUD Sidoarjo
asfiksia menempati urutan kedua
setelah BBLR dari 10 besar penyakit
resiko tinggi pada neonatus. Pada
tahun 2011 tercatat 201 (11,2%) bayi
mengalami asfiksia dari jumlah
kelahiran 1797 bayi. Oleh karena itu
pencegahan asfiksia adalah sangat
penting yaitu dengan pemeriksaan
prenatal yang baik dan memperhatikan
tanda gejala yang timbul. Penanganan
dan pemberian asuhan yang baik dapat
menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada bayi dengan asfiksia
dengan dilakukan secara komprehensif
meliputi aspek promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif secara terpadu
dan
berkesinambungan
serta
memandang klien sebagai satu
kesatuan yang utuh bio-psiko-sosial
dan spiritual.
METODE PENELITIAN
Deskriptif, retrospektif, Populasi 201
bayi dengan asfiksia. Total sampel
Instrumen dokumen, publikasi, dan
catatan klinik maupun pribadi.
HASIL PENELITIAN
Tabel 2.
Distribusi
frekuensi
Penyebab Asfiksia Pada Bayi Baru
Lahir di RSUD Sidoarjo Juni 2012
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
No
1
Variabel
Usia Ibu
d. <20 tahun
e. 20-30 tahun
f. 31-40 tahun
g. >40 tahun
2
Parietas
j. Primigravida
k. Multigravida
l. Grandemulti
3
Asfiksia
a. Ringan
b. Sedang
c. Berat
Faktor Ibu
4
Kejadian Preeklampsia
f. Terjadi
preeklampsia
g. Tidak terjadi
preeklampsia
5
Kejadian Eklampsia
a. Terjadi eklampsia
b. Tidak terjadi
eklampsia
6
Plasenta Previa
g. Plasenta Previa
Totalis
h. Plasenta Previa
Lateralis
i. Plasenta Previa
Marginalis
j. Tidak terjadi
plasenta previa
7
Partus Lama
g. Terjadi partus lama
h. Tidak terjadi partus
lama
8
Demam Selama
Persalinan
c. Terjadi demam
d. Tidak terjadi demam
9
Infeksi Berat
c. Malaria
 Terjadi malaria
 Tidak terjadi
malaria
d. Sifilis
 Terjadi sifilis
 Tidak terjadi
sifilis
e. TBC
 Terjadi TBC
 Tidak terjadi TBC
n
(%)
6
137
41
17
2,99
68,16
20,4
8,46
79
88
34
39,3
43,78
16,92
96
66
39
47,76
32,84
19,4
31
170
15,42
84,58
11
190
5,47
94,53
7
16
9
169
3,48
7,96
4,48
84,08
63
138
31,34
68,66
38
163
18,91
81,09
13
188
6,47
93,53
11
190
5,47
94,53
4
197
1,99
98,01
33
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
Kehamilan Post Matur
a. Terjadi post matur
b. Tidak terjadi post
matur
Faktor Tali Pusat
11 Lilitan Tali Pusat
a. Terjadi lilitan
b. Tidak terjadi lilitan
12 Tali Pusat Pendek
a. Terjadi pusat pendek
b. Tidak terjadi pusat
pendek
13 Simpul Tali Pusat
a. Terjadi simpul
b. Tidak terjadi simpul
14 Tali Pusat Menumbung
a. Terjadi menumbung
b. Tidak terjadi
menumbung
Faktor Neonatus
15 Kejadian bayi prematur
a. Terjadi bayi
prematur
b. Tidak terjadi bayi
prematur
16 Persalinan Dengan
Tindakan
a. Vakum Ekstraksi
 Terjadi vakum
 Tidak terjadi
vakum
b. Forcep Ekstraksi
 Terjadi forcep
 Tidak terjadi
forcep
c. Seksio Sesarea
 Terjadi seksio
 Tidak terjadi
seksio
17 Kelainan Kongenital
a. Hernia Diafragma
 Terjadi Hernia
 Tidak Terjadi
Hernia
b. Atresia Koana
 Terjadi Atresia
 Tidak Terjadi
Atresia
c. Hidrosefalus
 Terjadi
hidrosefalus
 Tidak terjadi
hidrosefalus
ISSN 2085-028X
10
18
40
161
19,9
80,1
28
173
13,93
86,07
22
179
10,95
89,05
12
189
5,97
94,03
18
183
8,96
91,04
43
158
21,39
78,61
18
183
8,96
91,04
1
200
0,5
99,5
103
98
51,24
48,76
7
194
3,48
96,52
14
187
6,97
93,03
3
198
1,49
98,51
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Air Ketuban
Bercampur Mekonim
a. Terjadi campuran
b. Tidak terjadi
campuran
32
169
Hasil penelitian , didapatkan
persalinan yang dilakukan
seksio sesarea sebanyak
melahirkan bayi dengan
ringan.
15,92
84,08
dari 103
dengan
45,63%
asfiksia
34
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Faktor Penyebab Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Pada
Bulan Juni 2012 di RSUD Sidoarjo
Asfiksia
No.
Faktor-faktor Penyebab Asfiksia
Total
Ringan
Σ
%
Sedang
Σ
%
Berat
Σ
%
Σ
%
a. Preeklampsia
8
25,81
2
6,45
21
67,74
31
100
b. Eklampsia
0
0
0
0
11
100
11
100
a. Plasenta Previa Totalis
1
14,29
6
85,71
0
0
7
100
b. Plasenta Previa Lateralis
15
93,75
1
6,25
0
0
16
100
c.Plasenta Previa Marginalis
7
77,78
2
22,22
0
0
9
100
3.
Partus Lama
21
33,33
15
23,81
27
42,86
63
100
4.
Demam Selama Persalinan
22
57,89
11
28,95
5
13,16
38
100
5.
a. Infeksi Berat-Malaria
9
69,23
4
30,70
0
0
13
100
b. Infeksi Berat-Sifilis
5
45,45
3
27,27
3
27,27
11
100
c.Infeksi Berat-TBC
3
75
1
25
0
0
4
100
Kehamilan Post Matur
22
55
16
40
2
5
40
100
Faktor Ibu
1.
2.
6.
Faktor Tali Pusat
1.
Lilitan Tali Pusat
10
35,71
15
53,57
3
10,71
28
100
2.
Tali Pusat Pendek
12
54,55
10
45,45
0
0
22
100
3.
Simpul Tali Pusat
8
66,67
4
33,33
0
0
12
100
4.
Tali Pusat Menumbung
13
72,22
2
11,11
3
16,67
18
100
Faktor Neonatus
1.
Bayi Prematur
24
55,81
19
44,19
0
0
43
100
2.
a. Persalinan Tindakan-Vakum Ekstraksi
8
44,44
5
27,78
5
27,78
18
100
3.
4.
b. Persalinan Tindakan-Forsep Ekstraksi
0
0
1
100
0
0
1
100
c.Persalinan Tindakan-Seksio Sesarea
47
45,63
26
25,24
30
29,13
103
100
a. Kelainan Kongenital-Hernia Diafragma
3
42,86
3
42,86
1
14,28
7
100
b. Kelainan Kongenital-Atresia Koana
7
50
4
28,57
3
21,43
14
100
c.Kelainan Kongenital-Hidrosefalus
0
0
1
33,33
2
66,67
3
100
Ketuban Bercampur Mekonium
10
31,25
12
37,5
10
31,25
32
100
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui
bahwa dari 201 kelahiran didapatkan
97 bayi (47,76%) mengalami asfiksia
ringan, 67 bayi (33,33%) mengalami
asfiksia sedang, dan 38 bayi (18,91%)
mengalami asfiksia berat. Asfiksia
neonatorum adalah keadaan bayi yang
tidak dapat bernapas spontan dan
teratur, sehingga dapat menurunkan O2
dan
meningkatkan
CO2
yang
menimbulkan akibat buruk dalam
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
kehidupan lebih lanjut.[9] Asfiksia
neonatorum ialah suatu keadaan bayi
baru lahir yang gagal bernafas secara
spontan danteratur segera setelah
lahir.[4] Menurut Depkes RI (2006)
asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir
tidak bernapas secara spontan dan
teratur. Hal tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu
preeklampsia, eklampsia, plasenta
previa, partus lama, demam selama
persalinan, infeksi berat, kehamilan
35
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
post matur, lilitan tali pusat, tali pusat
pendek, simpul tali pusat, tali pusat
menumbung, bayi prematur, persalinan
dengan tindakan, kelainan kongenital,
dan air ketuban bercampur mekonium
Banyaknya faktor penyebab asfiksia
menyebabkan kejadian asfiksia susah
untuk dihindari. Proses kelahiran
sendiri selalu menimbulkan asfiksia
ringan yang bersifat sementara pada
bayi
(asfiksiatransiens).
Proses
tersebut dianggap sangat perlu untuk
merangsang
kemoreseptor
pusat
pernafasan agar terjadi “primary
gasping” yang kemudian akan
berlanjut dengan pernafasan teratur.
Sebenarnya sifat asfiksia sendiri tidak
mempunyai pengaruh buruk karena
adaptasi bayi dapat mengatasinya
namun, bila terdapat gangguan
pertukaran gas atau pengangkutan
oksigen selama kehamilan/ persalinan
akan terjadi asfiksia yang lebih berat.
Keadaan tersebutakan mempengaruhi
fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi
akan
menyebabkan
kematian.
Berdasarkan hasil penelitian pada
Tabel 3 terbukti bahwa preeklampsia
merupakan salah satu penyebab
terjadinya asfiksia pada bayi baru
lahir. Hal tersebut didukung dengan
adanya kejadian bahwa ibu yang
melahirkan bayi dengan asfiksia berat
sebanyak
21
orang
(67,74%)
mengalami preeklampsia. Wanita
hamil dengan preeklampsia juga akan
mengalami pembengkakan pada kaki
dan tangan. Preeklampsia umumnya
muncul pada pertengahan umur
kehamilan, meskipun pada beberapa
kasus ada yang ditemukan pada awal
masa
kehamilan.
Namun
bila
preeklampsia tidak tertangani dengan
baik maka akan berdampak lebih
buruk lagi, yaitu terjadinya eklampsia.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Hal tersebut juga terbukti dengan
adanya kejadian yang telah dijelaskan
pada Tabel 3 yaitu
ibu yang
melahirkan bayi dengan asfiksia berat
sebanyak 11 orang (100%) mengalami
eklampsia. Eklampsia merupakan
kondisi lanjutan dari preeklampsia
yang tidak teratasi dengan baik.[14]
Selain mengalami gejala preeklampsia,
ibu yang terkena eklampsia juga sering
mengalami kejang.
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan sebanyak 15 orang
(93,75%) mengalami plasenta previa
lateralis dengan bayi mengalami
asfiksia ringan. Plasenta previa
lateralis
adalah
plasenta
yang
menutupi sebagian ostium uteri
internum.[14] Selain itu didapatkan 7
orang (77,78%) mengalami plasenta
previa marginalis melahirkan bayi
dengan asfiksia ringan, sedangkan
sebanyak 6 orang (85,71%) mengalami
plasenta previa totalis melahirkan bayi
dengan asfiksia sedang. Plasenta
previa dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan pada kehamilan setelah 28
minggu atau pada kehamilan lanjut
(trimester III). Bila perdarahan
berlangsung hebat maka kemungkinan
terjadinya syok sangat besar. Syok
yang terjadi pada ibu dapat
menimbulkan anoksia pada janin yang
akan berlanjut pada asfiksia hingga
terjadi kematian janin.
Berdasarkan hasil penelitian pada
Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa ibu
yang melahirkan bayi dengan asfiksia
ringan sebanyak 75 orang (54,35%)
tidak
mengalami
partus
lama,
sedangkan ibu yang melahirkan bayi
dengan asfiksia berat sebanyak 27
orang (42,86%) mengalami partus
lama. Menurut Syaifuddin (2007)
Partus lama merupakan fase laten lebih
36
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
dari 8 jam. Persalinan telah
berlangsung 12 jam atau lebih, bayi
belum lahir. Dilatasi serviks di kanan
garis waspada persalinan aktif. Partus
lama bila belum inpartu/persalinan
palsu ditandai dengan serviks tidak
membuka dan tidak terdapat kontraksi
uterus, fase laten memanjang ditandai
dengan pembukaan serviks tidak
melewati 3 cm sesudah 8 jam in partu,
fase aktif memanjang ditandai dengan
pembukaan serviks melewati kanan
garis waspada partograf, dan kala II
lama ditandai dengan pembukaan
serviks lengkap, ibu ingin mengejan,
tetapi
tidak
ada
kemajuan
[15]
penurunan.
Berdasarkan hasil penelitian pada
Tabel 3 dapat pastikan bahwa
terjadinya
demam
saat
proses
persalinan
dapat
menyebabkan
terjadinya asfiksia, hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya kejadian ibu
yang melahirkan bayi dengan asfiksia
ringan sebanyak 22 orang (57,89%)
mengalami demam selama persalinan.
Demam selama persalinan dapat
terjadi sebagai tanda adanya infeksi.
Infeksi yang dapat terjadi yaitu infeksi
pada saluran kemih dan infeksi pada
saluran pernafasan. Tanda pasti yang
ditimbulkan adalah demam dengan
temperatur >380C. Demam pada
proses persalinan dapat menyebabkan
terjadinya asfiksia sebagai akibat
adanya gangguan pada pernafasan ibu
sehingga menyebabkan berkurangnya
suplai O2 pada janin yang akan
berlanjut pada kejadian asfiksia.[15]
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa ibu yang melahirkan
bayi dengan asfiksia beberapa
diantaranya juga mengalami infeksi
berat saat proses persalinan.Ibu yang
melahirkan bayi dengan asfiksia ringan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
sebanyak
9
orang
(69,23%)
mengalami infesi berat malaria. Infeksi
malaria dapat menyebabkan infeksi
plasenta sehingga makin mengganggu
pertukaran nutrisi dan oksigen ke janin
dan
menimbulkan
gangguan
perkembangan dan pertumbuhan janin.
Ibu yang melahirkan bayi dengan
asfiksia ringan sebanyak 91 orang
(47,89%) tidak mengalami infeksi
berat sifilis dan 5 orang (45,45%)
mengalami sifilis. Pada kehamilan
kurang dari 16 minggu sifilis dapat
menyebabkan kematian janin, pada
kehamilan
lanjut
menyebabkan
kelahiran prematur atau gangguan
pertumbuhan intrauteri ataupun dapat
menimbulkan kecacatan misalnya pada
saluran pernafasan janin. Ibu yang
melahirkan bayi dengan asfiksia ringan
sebanyak 3 orang (75%) megalami
infeksi berat TBC. Pada proses
persalinan kala II, diafragma dan paruparu dapat membantu mempercepat
persalinan dengan jalan mengejan dan
menahan nafas. Selain itu pada
kehamilan paru-paru juga dibutuhkan
untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin melalui pertukaran CO2 dan
Kehamilan post matur merupakan
salah satu penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir hal tersebut telah
dijelaskan pada Tabel 3 didapatkan
bahwa ibu yang melahirkan bayi
dengan asfiksia ringan sebanyak 22
orang (55%) mengalami kehamilan
post matur. Kehamilan post matur
dapat disebabkan karena beberapa hal,
salah satunya yaitu salah dalam
menentukan Hari Pertama Haid
Terakhir (HPHT) sehingga salah pula
dalam menegakkan tafsiran persalinan.
Hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya beberapa penurunan fungsi
plasenta salah satunya yaitu terjadi
37
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
pengapuran plasenta yang dapat
menyebabkan menurunnya fungsi
plasenta dalam melakukan pertukaran
O2 dan CO2 serta menyalurkan sisa
metabolisme menuju sirkulasi ibu
untuk dibuang melalui alat ekskresi.
Kehamilan post matur dapat menjadi
salah satu faktor penyebab terjadinya
asfiksia karena pada kehamilan lewat
waktu akibat tingkat sensitifitas otot
rahim terhadap rangsangan telah
melemah dan fungsi plasenta juga
mengalami penurunan sehingga terjadi
penurunan suplai O2 pada janin.
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa lilitan tali pusat
dapat
menyebabkan
terjadinya
asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan
pada Tabel 3 bahwa bayi yang
dilahirkan dengan asfiksia sedang
sebanyak 15 bayi (53,57%) juga
mengalami lilitan tali pusat.
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa tali pusat pendek
dapat
menyebabkan
terjadinya
asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan
pada Tabel 3 bahwa bayi yang
dilahirkan dengan asfiksia ringan
sebanyak 12 bayi (54,55%) juga
mengalami
tali
pusat
pendek.
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa simpul tali pusat
dapat
menyebabkan
terjadinya
asfiksia. Hal tersebut telah dijelaskan
pada Tabel 3 dijelaskan bahwa bayi
yang dilahirkan dengan asfiksia ringan
sebanyak 8 bayi (66,67%) mengalami
simpul tali pusat. Simpul tali pusat ada
2 macam, yaitu simpul palsu
merupakan bagian yang menonjol dari
tali pusat menyerupai simpul yang
terbentuk oleh penumpukan selei
Wharton atau varix dari vena
umbilikalis dan simpul benar yang
biasanya tidak mempunyai arti klinis
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
tapi kadang-kadang simpul dapat
tertarik, sedemikian eratnya hingga
menyebabkan kematian janin. Gerakan
janin yang begitu aktif dapat
menimbulkan simpul sejati. Sebagian
simpul sejati ini menimbulkan asfiksia
intrauteri dan kematian. Bila simpul
tersebut demikian eratnya sehingga
menutupi pembuluh darah umbilikalis
dapat dipastikan terjadi kematian janin
dalam rahim akibat tidak adanya suplai
O2 pada janin.[9]
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa prolapsus funikuli
atau tali pusat menumbung dapat
menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal
tersebut telah dijelaskan pada Tabel 3
bahwa bayi yang dilahirkan dengan
asfiksia ringan sebanyak 13 bayi
(72,22%) mengalami tali pusat
menumbung. Tali pusat merupakan
alat utama dalam pertukaran O2 dan
CO2 dari ibu ke janin sehingga bila tali
pusat berada pada bagian samping
bagian terendah janin maka dapat
dipastikan tali pusat akan terjepit oleh
jalan lahir dan bagian terendah janin
saat proses persalinan berlangsung.
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa kelahiran bayi
prematur
dapat
menyebabkan
terjadinya asfiksia. Hal tersebut telah
dijelaskan pada Tabel 3 bahwa ibu
yang melahirkan bayi dengan asfiksia
ringan sebanyak 24 bayi (55,81%)
juga mengalami bayi prematur.
Sebagai akibat perubahan lingkungan
dalam uterus, maka bayi menerima
rangsangan yang bersifat kimiawi,
mekanik,
dan
teknik.
Hasil
perangsangan ini membuat bayi akan
mengalami perubahan metabolik,
pernapasan, sirkulasi dan lain-lain.
Alat tubuh bayi prematur belum
berfungsi seperti bayi matur. Oleh
38
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sebab itu, ia mengalami lebih banyak
kesulitan untuk hidup di luar uterus
ibunya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan telah dijelaskan pada Tabel
3 bahwa ibu yang melahirkan bayi
dengan asfiksia ringan sebanyak 88
bayi (48,09%) tidak dilahirkan dengan
tindakan vakum ekstraksi dan 8 bayi
(44,44%) dilahirkan dengan tindakan
vakum ekstraksi. Kemudian pada
persalinan yang dilakukan dengan
tindakan forcep ekstraksi terdapat 1
bayi (100%) yang mengalami asfiksia
sedang. Selain itu pada Tabel 3 telah di
jelaskan bahwa ibu yang melahirkan
bayi dengan asfiksia ringan sebanyak
47 bayi (45,63%) dilahirkan dengan
tindakan seksio sesarea. Berdasarkan
hasil penelitian pada Tabel 3 bahwa
bayi yang dilahirkan dengan asfiksia
ringan sebanyak 93 bayi (47,94%)
tidak mengalami kelainan kongenital
hernia diafragma dan 3 bayi (42,86%)
dilahirkan dengan kelainan kongenital
hernia diafragma. Hernia diafragma
merupakan cacat di difragma yang
menyebabkan terjadi hernia isi
abdomen kedalam rongga toraks.[11]
Pada saat lahir, abnormalitas ini
menyebabkan bayi mengalami sianosis
dan sulit diresusitasi. Selain itu
kelainan kongenital lain yang dapat
menyababkan asfiksia adalah atresia
koana. Dari Tabel 3 telah di jelaskan
bahwa bayi yang dilahirkan dengan
asfiksia ringan sebanyak 7 bayi (50%)
mengalami kelainan kongenital atresia
koana. Atresia koana menggambarkan
adanya suatu penyempitan unilateral
atau bilateral disaluran hidung dengan
selaput jaringan atau tulang yang
menyumbat nasofaring. Maka dari itu
bayi dapat mengalami kesulitan saat
memulai pernafasannya sendiri setelah
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
terlepas dari plasenta.[11] Kelainan
kongenital
lain
yang
dapat
menyebabkan
asfiksia
yaitu
hidrocefalus. Pada Tabel 3 telah
dijelaskan bahwa bayi yang dilahirkan
dengan asfiksia berat sebanyak 2 bayi
(66,67%)
mengalami kelainan
kongenital hidrosefalus. Hidrocefalus
adalah jenis penyakit yang terjadi
akibat gangguan aliran cairan di dalam
otak (cairan serebro spinal).[17]
Penyakit ini juga bisa ditandai dengan
dilatasi ventrikel serebra, biasanya
terjadi secara sekunder terhadap
obstruksi jalur cairan serebrospinal di
dalam kranium, secara tipikal ditandai
dengan
pembesaran
kepala,
menonjolnya dahi, atrofi otak, ubunubun besar melebar dan menonjol,
pembuluh darah pada kulit kepala
semakin jelas, gangguan penglihatan,
terjadi penurunan aktivitas mental
yang progresif, kejang, dan gangguan
pada fungsi vital akibat peningkatan
tekanan dalam ruang tengkorak yang
berupa pernafasan lambat, denyut nadi
turun dan naiknya tekanan darah
sistolik.
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa asfiksia dapat
disebabkan karena air ketuban
bercampur mekonium. Hal tersebut
telah dituangkan dalam Tabel 3 bahwa
bayi yang dilahirkan dengan asfiksia
ringan sebanyak 86 bayi (50,89%)
tidak
mengalami
air
ketuban
bercampur mekonium saat proses
persalinan dan 12 bayi (37,5%)
dilahirkan dengan ketuban bercampur
mekonium.
Penyebab
mengapa
mekonium keluar sebelum persalinan
belum begitu jelas namun terkadang
disebabkan
karena
janin
tidak
memperoleh oksigen yang cukup.
Kekurangan
oksigen
dapat
39
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
meningkatkan gerakan usus dan
membuat relaksasi otot anus. Dengan
demikian
janin
mengeluarkan
mekonium.
Faktor dominan penyebab asfiksia
pada Tabel 3 dapat di jelaskan bahwa
bayi mengalami asfiksia sebanyak 103
bayi (51,24%)
dilahirkan dengan
tindakan seksio sesarea. Terjadinya
asfiksia neonatorum dapat disebabkan
karena tindakan seksio sesarea. Pada
umumnya seseorang mendengarkan
tindakan operasi dengan tiba-tiba tanpa
adanya persiapan sebelumnya akan
memberikan respon cemas yang
memicu terjadinya stres. Untuk
menghindari terjadinya stres maka
pendampingan dan dukungan keluarga
sangat diperlukan untuk mengurangi
stress pada ibu yang akan dilakukan
tindakan operasi sehingga dapat
meminimalisir terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir.
KESIMPULAN
1) Didapatkan 47,76% bayi ysang
mengalami
asfiksia
ringan;
2)
penyebab asfiksia dari faktor ibu
terdapat
31,34%
ibu
bersalin
mengalami partus lama; 3) penyebab
asfiksia dari faktor tali pusat terdapat
13,93% bayi mengalami lilitan tali
pusat; 4) penyebab asfiksia dari faktor
neonatus terdapat 51,24% bayi
dilahirkan dengan seksio sesarea; 5)
faktor dominan penyebab asfiksia
adalah seksio sesarea sebesar 51,24%
kasus.
KEPUSTAKAAN
1. Bari, Saifuddin A, dkk. 2001. Buku
Acuan
Nasional
Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
2. Dinas Kesehatan Jawa Timur.
2010. Data Bayi Baru Lahir
dengan Asfiksia.
3. http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/d
okumen/1321926974_Profil_Kesehata
n_Provinsi_Jawa_Timur_2010.pdf
4. Hassan, Rusepno, dkk. 2007. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak; Jilid 3.
Jakarta: Infomedika.
5. Kosim, Sholeh. 2006. Manajemen
Asfiksia Bayi Baru Lahir. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
6. Liu, David T, Ed. 2008. Manual
Persalinan; Edisi 3. Jakarta: EGC.
7. Markum, AH. 1991. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak; Jilid I.
Jakarta: FKUI.
8. Sastrawinata S. 1993. Obstetri
Fisiologi. Bandung: FK UNPAD.
9. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998.
Ilmu
Kebidanan,
Penyakit
Kandungan
dan
Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan
Bidan. Jakarta: EGC.
10. Myles. 2009. Buku Ajar bidan;
Edisi 14. Jakarta: EGC.
11. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak
Sakit; Edisi 2. Jakarta: EGC.
12. Notoatmojo,
Soekidjo.
2002.
Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
13. Prawiriharjo, Sarwono. 2008. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka sarwono Prawiroharjo.
14. Ruth, Johnson. 2004. Buku Ajar
Praktik Kebidanan. Jakarta: EGC.
15. Sudarti, Yongki, dkk. 2012.
Asuhan Pertumbuhan Kehamilan,
Persalinan, Neonatus, Bayi, dan
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika.
16. Surasmi, Asrining. 2003. Buku
Perawatan Bayi Resiko Tinggi.
Jakarta: EGC.
40
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
PEMBERIAN KOLOSTRUM DITINJAU DARI PERSEPSI IBU NIFAS
TENTANG PENTINGNYA KOLOSTRUM DI BPS NANIK CHOLID
TAWANGSARI SIDOARJO
Rizka Licia*), Zufra Inayah**)
*)**) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Colostrum or breast milk (ASI), which came out of the first day to
the 4th or 7th yellow to clear, containing living cells resembling "white blood
cells" that can kill germs. From the results of preliminary surveys only 4 10
puerperal women post partum mothers who give colostrum, the purpose of this
study was to identify the perceptions of post partum mothers about the importance
of colostrum in BPS Nanik Cholid Tawangsari Sidoarjo.
Method : This study uses a descriptive research design. 30 populations sampled
28 postpartum women with postpartum mothers were taken using simple random
sampling system. Collecting data using questionnaires.
Result : The results showed that out of 28 new mothers, new mothers are less
perception of the importance of giving colostrum were 18 (64.2%) mothers and 10
(35.7%) new mothers understand the importance of giving colostrum. Of 28
puerperal women studied, 11 (39.3%) mothers who commit acts of giving
colostrum and as many as 17 (60.7%) new mothers do not giving colostrums.
Conclusion : From the results of this study concluded that many new mothers
who do not understand the importance of giving colostrum to the baby. For health
care workers is expected to further improve education to the new mothers to know
and understand both the theory and the action giving colostrum.
Keywords : Post partum Mothers, Colostrum.
PENDAHULUAN
Menyusui adalah suatu proses yang
terjadi secara alamiah, meskipun
demikian menyusui juga dipelajari
terutama oleh ibu yang pertama kali
memulai menyusui anak agar
mengetahui cara menyusui yang
benar dan manfaat dari Air Susu Ibu
(ASI) atau kolostrum yang pertama
kali keluar. Kandungan tertinggi
dalam kolostrum adalah antibodi
yang siap melindungi bayi ketika
kondisi bayi yang sangat lemah.
Kandungan protein dalam kolostrum
lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kandungan protein pada susu
matur. Jenis protein globulin
membuat konsistensi kolostrum
menjadi pekat atau padat bayi lebih
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
lama merasa kenyang walaupun
hanya mendapat sedikit kolostrum.
Total kalori dalam kolostrum hanya
58 kal/100 ml kolostrum.
Kolostrum juga berfungsi sebagai
vitamin yang terlarut dalam lemak,
mineral-mineral dan imunoglobulin.
Imunoglobulin merupakan anti bodi
dari ibu untuk bayi juga yang
berfungsi sebagai imunitas pasif
untuk bayi. Imunitas pasif akan
melindungi bayi dari berbagai dan
virus yang membersihkan mekonium
sehingga mukosa usus bayi yang
baru lahir bersih dan siap menerima
ASI. Sebagian ibu khawatir dengan
jumlah kolostrum yang hanya
sedikit, apakah mencapai kebutuhan
dari bayi ataukah harus ditambahkan
41
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
dengan susu formula. Seringkali
pandangan ini yang membuat bayi
diberikan susu formula. Maka
diharapkan
ibu
nifas
harus
memberikan kolostrum pada bayi
sejak 30 menit setelah bayi lahir
sampai 5 hari tanpa pemberian cairan
apapun karena pentingnya kolostrum
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan bayi. Bayi harus
memperoleh
haknya
untuk
mendapatkan ASI. Namun fakta di
Indonesia menunjukan hanya 4%
bayi yang disusui ibunya dalam
waktu satu jam setelah lahir sampai 5
hari
memperoleh
kolostrum.
Diperkirakan 30.000 kematian bayi
baru lahir (< 28 hari) antara lain
akibat BBLR, asfiksia, infeksi dan
kegagalan pemberian ASI dapat di
cegah dengan menyusui secara
teratur segera setelah lahir sampai
dengan 6 bulan, bila menyusui
diterapkan
diseluruh
Negara,
diperkirakan dapat menyelamatkan
satu juta nyawa bayi di dunia.
Pemahaman ibu nifas bahwa
kolostrum merupakan susu kotor
atau basi umumnya turun temurun
dari ibu atau neneknya dan
lingkungan tempat tinggal yang
mendukung dengan bersumber pada
asumsi serta ketidaktahuan individu.
Praktek ini dilakukan dengan
memerah kolostrum dengan tangan
atau dengan pompa susu sampai
dengan
keluarnya
ASI
yang
berwarna putih.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian deskriptif, cross
sectional Populasi 30 ibu, sampel
28 ibu, simple random sampling.
Instrumen kuisioner dan observasi,
analisis deskriptif
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi
Frekuensi
Karakteristik Ibu Nifas di BPS Nanik
Cholid Tawangsari Sidoarjo Juni
2013.
No
Variabel
1
Usia Ibu
a. 21 – 30 tahun
b. 31 – 40 tahun
c. > 40 tahun
Pendidikan
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
2
No
Variabel
3
Pekerjaan
a. IRT
b. Swasta
c. PNS
Jumlah Persalinan
a. I
b. II
c. III
d. IV
Tindakan Ibu
a. Memberikan
b. Tidak
Memberikan
Pemberian Kolostrum
a. Tidak Setuju
b. Setuju
4
5
6
Jumlah
(%)
20
7
1
71,5
25
3,5
5
5
16
2
17,9
17,9
57,1
7,1
Jumlah
(%)
16
6
6
57,2
21,4
21,4
8
14
4
2
28,6
50
14,3
7,1
11
17
39,3
60,7
18
10
64,2
35,7
Tabel 2. Tabulasi silang pemberian
kolostrum ditinjau dari persepsi ibu
nifas di BPS Nanik Cholid
Tawangsari Sidoarjo Juni 2013.
Tindakan
No
1
2
Persepsi
Setuju
Tidak Setuju
Memberikan
n
9
2
%
90
11,1
Tidak
Memeberikan
n
%
1
10
16
88,9
Berdasarkan tabel 2, sebagian besar
persepsi ibu yang setuju untuk
memberikan kolostrum sebanyak 9
(90%) orang, persepsi ibu yang
setuju untuk tidak memberikan
kolostrum sebanyak 1(10%) orang,
sedangkan persepsi ibu yang tidak
setuju untuk memberikan kolostrum
42
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sebanyak 2 (11,1%) orang
dan
persepsi ibu yang tidak setuju untuk
tidak
memberikan
kolostrum
sebanyak 16 (88,9%) orang.
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan
bahwa dari 28 ibu nifas sebagian
besar ibu nifas tidak memberikan
kolostrum sebanyak 17 ibu (60,7%)
dan sebagian ibu memberikan
kolostrum sebanyak 11 ibu (39,3%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar ibu tidak memberikan
kolostrum. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa
faktor
yaitu
faktor
predisposisi, faktor pendukung dan
faktor pendorong. Dari ketiga faktor
ini yang paling dominan adalah
faktor
predisposisi
dimana
kurangnya pengetahuan, sikap dan
kepercayaan ibu tentang pentingnya
kolostrum. Sebagai tenaga kesehatan
harus memberikan penyuluhan atau
konseling pada ibu nifas agar ibu
dapat mengerti tentang kolostrum.
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan
bahwa dari 28 ibu nifas didapatkan
sebanyak 18 ibu nifas tidak setuju
tentang
pentingnya
kolostrum
(64,2%) dan sebanyak 10 ibu nifas
setuju tentang pentingnya kolostrum
(35,7%). Menurut Proverawati, dkk
(2010) di antara sejumlah zat di
dalam
kolostrum
yang
ikut
memperkuat sistem kekebalan tubuh
immunoglobulin A (Ig A) merupakan
salah satu yang cukup mempunyai
peran penting. Immunoglobulin A (Ig
A) dapat membentuk lapisan pada
usus bayi yang baru lahir yang masih
terbuka atau bolong-bolong sehingga
kuman penyakit atau alergi tidak
dapat masuk ke dalam tubuhnya.
Lebih dari 90 bahan bioaktif alami
ada dalam kolostrum. Komponen
utamanya dikelompokan menjadi dua
yaitu faktor imun dan faktor
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
pertumbuhan. Faktor imunitas tubuh,
adanya
penyakit
degenerative
(keturunan) dan infeksi yang
menyerang manusia disebabkan
lemahnya system imunitas tubuh.
Penelitian secara medis menunjukan
bahwa kolostrum mempunyai faktor
imunitas
yang
kuat
(immunoglobulin), lactorin, albumin,
glycoprotein, cytokinsesis, dll yang
membantu melatoksin. Membantu
menyeimbangkan kadar gula dalam
darah dan sangat bermanfaat bagi
penderita diabetes. Hasil penelitian
menunjukan bahwa sebagian besar
ibu tidak setuju tentang pentingnya
kolostrum. Dari pengetahuan yang
diketahui seorang ibu
merasa
khawatir terhadap
kesehatan
anaknya sehingga ibu akan berusaha
untuk melindungi anaknya agar tidak
terserang penyakit seperti yang di
alami oleh anak lainnya. Sebagai
tenaga kesehatan harus memberikan
penyuluhan atau konseling pada ibu
nifas agar ibu lebih memahami
tentang pentingya kolostrum.
Berdasarkan tabel 2 sebagian besar
persepsi ibu yang setuju untuk
memberikan kolostrum sebanyak 9
orang (90%), persepsi ibu yang
setuju untuk tidak memberikan
kolostrum sebanyak 1 orang (10%),
sedangkan persepsi ibu yang tidak
setuju untuk memberikan kolostrum
sebanyak 2 orang (11,1%)
dan
persepsi ibu yang tidak setuju untuk
tidak
memberikan
kolostrum
sebanyak 16 orang (88,9%).
Dalam hal perspektif terhadap diri
pribadi, kehadirannya sebagai obyek
eksternal mungkin kurang nyata
tetapi keberadaannya jelas dapat
dirasakan. Selain itu persepsi juga
timbul karena adanya informasi
untuk diinterpretasikan. Informasi
yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang di peroleh melalui sensasi atau
43
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
indera
persepsi
merupakan
pandangan personal terhadap suatu
kejadian. Persepsi dibentuk oleh
harapan dan pengalaman. Hasil
penelitian
menunjukan
bahwa
sebagian besar ibu nifas yang tidak
setuju untuk tidak memberikan
kolostrum. Hal ini dipengaruhi oleh
faktor internal maupun faktor
eksternal yaitu dimana seorang ibu
menganggap
bahwa
kolostrum
merupakan susu kotor karena keluar
pada hari-hari pertama kelahiran dan
juga menganggap kolostrum adalah
susu basi yang menyebabkan sakit
perut. Seorang ibu nifas diharapkan
untuk
lebih
banyak
mencari
informasi, pengetahuan, dari bukubuku kesehatan atau media-media
kesehatan lainnya yang berhubungan
dengan kolostrum. Selain itu ibu
yang mempunyai pola pikir dan
persepsi yang baik dan setuju dengan
pentingnya kolostrum akan mudah
beradaptasi pada situasi dan kondisi
yang ada dilingkungannya untuk
melaksanakan apa yang menjadi
tanggung jawabnya sehingga ibu
cepat tanggap dengan perubahan
yang akan dilakukannya.
Bagi
tenaga kesehatan diharapkan harus
memberikan
penyuluhan
atau
konseling pada ibu hamil dan ibu
nifas tentang pentingnya kolostrum.
KESIMPULAN
1. Sebagian besar jumlah ibu
nifas yang tidak memberikan
kolostrum sebanyak 17 (60,7%)
ibu
2. Sebagian besar persepsi ibu
nifas yang tidak setuju tentang
pentingnya kolostrum sebanyak
18 (64,2%) ibu
3. Persepsi ibu yang setuju untuk
memberikan
kolostrum
sebanyak 9 (90%) ibu dari 10
ibu nifas dan persepsi ibu yang
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
tidak
setuju
untuk
tidak
memberikan
kolostrum
sebanyak 16 (88,9%) ibu dari 18
ibu nifas.
KEPUSTAKAAN
1. Baskoro, A, 2008. ASI :
Panduan Praktis Ibu Menyusui,
Jogjakarta : Banyu Media.
2. Jensen, 2007.
Perawatan
Maternitas, Jakarta : EGC.
3. Depkes, 2005. Inisiasi Menyusui
Dini, Jakarta : Pusat Komunikasi
Publik Setjen RI 2008.
4. Dieman, 2008. Pemberian ASI,
Jakarta : Pustaka Bunda.
5. Haryanti, 2008. Pemberian
Kolostrum, Bandung : Alfabeta.
6. Huliana, M, 2000. Perawatan
Ibu Pasca Melahirkan, Jakarta :
Puspa Swara.
7. Prawirohardjo, Sarwono, 2006.
Ilmu Kebidanan, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
8. Purwanti, Sri, 2004. Konsep
Penetapan ASI Ekslusif, Jakata :
EGC.
9. Roesli,
2000.
Pemberian
Kolostrum, Bandung : Alfabeta.
10. Rosita, 2008. Inisiasi Menyusui
Dini, Jakarta : Pustaka Bunda.
11. Suari,
2007.
Pemberian
Kolostrum, Jakarta : Pustaka
Bunda.
12. Sulistywati, A, 2009. Buku Ajar
Kebidanan Nifas, Yogyakarta :
Mitra Cendekia.
13. Suradi
& Tobing,
2004.
Manajemen Laktasi, Perinasia,
Jakarta : Tribus Agriwidiya.
14. Utami, Rusli, 2008. Inisiasi
Menyusui Dini Plus ASI
Ekslusif, Jakarta : Pustaka
Bunda.
15. Wirantara, 2008. Pengetahuan
Ibu Post Partum, Jakarta : USU
Instutional.
44
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
KEPATUHAN DIET DIABETES MELITUS DENGAN KADAR GLUKOSA
DALAM DARAH DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD PAMEKASAN
Nufi Wikhdatusa’biyah*), Wiwik Widiyawati**)
*) **)Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Diabetes mellitus is a disease characterized by hyperglycemia
absolute lack of insulin or the insensitivity of cells to insulin. The main factors
that often lead to treatment failure is non-compliance with the patient's diet. The
aim of this study was to analyze the relationship diet adherence Diabetes Mellitus
with Glucose in the blood in poly diseases in hospitals Pamekasan.
Method : The study design was observational with retrospective analytic
approach. The population in this study were all patients with Diabetes Mellitus
was 22 people. The sample was all populations by the method of type
nonprobability total sampling technique using instrument observations.
Correlation analysis of data using chi-square test with a significance value of α =
0.05 and SPSS 16.
Result : The result showed the level of compliance of Diet in patients with
Diabetes Mellitus in poly disease Pamekasan In most of the hospitals do not
comply as much as 18 Diabetes Mellitus (81.82%), while adherent patients diets 2
(1818%). Results of correlation chi square test with significance value of α = 0.05
and using SPSS 16, the result ρ = 0.02 so that it can be concluded ρ <α, then H0
rejected and H1 accepted which means there is a relationship between diet
compliance with Diabetes Mellitus Blood Glucose Levels in poly diseases in
hospitals Pamekasan.
Conclusion : It is concluded that there is a relationship between diet adherence
Diabetes Mellitus with Glucose levels in the blood in poly diseases in hospitals
Pamekasan. To avoid the need to increase efforts to better provide counseling on
diet adherence Diabetes Mellitus, control blood sugar regularly and taking
medications correctly.
Keywords: Compliance, blood sugar levels.
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus atau penyakit
kencing manis diketahui sebagai
suatu penyakit yang disebabkan oleh
adanya gangguan menahun terutama
pada
system
metabolisme
karbohidrat, lemak dan juga protein
dalam tubuh. Seiring perkembangan
jaman angka kesakitan Diabetes
Mellitus setiap tahun meningkat.
Upaya untuk menurunkan jumlah
penderita Diabetes Mellitus tersebut
salah satu faktor yang berperan
adalah cara yang benar dalam diet
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Pelaksanaan yang dapat dilakukan
adalah
melakukan
penyuluhan
dengan pemberian materi tentang
diet Diabetes Melitus yang benar,
terutama mengenai perlunya diet
secara ketat, latihan fisik, dan juga
pengetahuan tentang komplikasi,
pencegahan maupun pengaturan pola
aktivitas atau olah raga.
Dengan melakukan pemantauan
kadar glukosa darah secara mandiri
(SMBG: self-monitoring of blood
glucose), penderita diabetes kini
dapat mengatur terapinya untuk
45
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
mengendalikan kadar glukosa darah
secara
optimal.
Cara
ini
memungkinkan
deteksi
dan
pencegahan
hipoglikemia
serta
hiperglikemia, dan berperan dalam
menentukan kadar glukosa darah
normal yang memungkinkan akan
mengurangi komplikasi diabetes
jangka panjang.
Dalam pola diit yang tidak teratur
sering kali penderita ditemukan
hiperglikemia dan glukosuria akibat
dari kurangnya insulin efektif di
dalam tubuh, gangguan primer
terletak pada metabolism karbohidrat
yang
biasanya
disertai
juga
gangguan metabolism lemak dan
protein.
Penderita Diabetes Mellitus yang
kurang patuh dapat menghambat
dalam proses penyembuhan. Pasien
yang telah didiagnosa Diabetes
Mellitus memerlukan pengobatan
yang sangat lama dan mereka harus
minum
obat
secara
teratur.
Pengobatan dan pengaturan diet yang
terus
menerus
cenderung
menimbulkan masalah kebosanan
pada pasien. Tingginya angka
kejadian tersebut karena faktor
kepatuhan penderita tentang diet
Diabetes Mellitus yang benar.
Data prevalensi tersebut sangat
rentan
meningkatkan
angka
morbiditas dan mortalitas bagi
penderita penyakit Diabetes Mellitus.
Data dari medical record di Rumah
Sakit Pamekasan di Poli Dalam
tahun 2012 terdapat 8 orang (1,4%2,3%), tahun 2011 terdapat 10 orang
dengan prevalensi (3%). Data hasil
studi pendahuluan di Poli Dalam
RSUD Pamekasan pada bulan AprilMei 2012 dari data 22 pasien
Diabetes Mellitus diperoleh data 4
orang (18%) sangat patuh, 4 orang
(18%) kurang patuh, 4 orang (18%)
mengalami ketidakpatuhan diet pada
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
pasien Diabetes Mellitus dan 14
orang (82%) tidak patuh. Dari data
tersebut di atas belum menjelaskan
tentang pengetahuan pasien terhadap
diet Diabetes Militus.
METODE PENELITIAN
Deskriptif
korelasional,
Cross
Sectional. Populasi 22 orang dengan
kriteria diabetes melitus tanpa
komplikasi.
non
probability
sampling. Instrumen kuesioner. Uji
Chi-Square.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi
Karakteristik Pasien Pasien Diabetes
Melitus di Poli Penyakit Dalam
RSUD Pamekasan April-Mei 2012.
No
Variabel
1
Jenis Kelamin
a. Perempuan
b. Laki-laki
Usia
a. 15 – 25 tahun
b. 25 – 35 tahun
c. 35 – 65 tahun
d. > 65 tahun
Pendidikan
a. Tidak tamat SD
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. PT
Penghasilan
a. < Rp. 500 ribu
b. Rp. 500 ribu – Rp. 1 juta
c. Rp. 1 juta – Rp. 2 juta
d. > Rp. 2 juta
Pekerjaan
a. Swasta
b. Petani
c. PNS
Kepatuhan
a. Patuh
b. Tidak patuh
Kadar Gula Darah
a. Normal (<140 mmHg)
b. Tidak normal (>140 mmHg)
2
3
4
5
6
7
n
(%)
7
15
32
68
2
4
10
6
9
18
45
27
3
13
2
3
1
14
59
9
14
4
14
4
3
1
64
18
14
1
5
15
2
23
68
9
4
18
18
82
2
20
9
91
46
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
Tabel 2. Tabulasi Silang Antara
Kepatuhan Diet Diabetes Mellitus
Dengan kadar gula Dalam Darah di
Poli
Penyakit
Dalam
RSUD
Pamekasan Tahun 2012.
No.
1.
2.
Kepatuhan Diet
Patuh
Tidak Patuh
n
%
n
%
Normal
2
9,09
0
0
Tidak Normal 2
9,09 18
81,82
p = 0,002
Kadar Gula
Darah
Berdasarkan
tabel
2
dapat
diinterpretasikan bahwa klasifikasi
patuh Diet sebanyak 4 pasien
(18,18%), tidak Patuh sebanyak 18
pasien (81,82%). Hasil olah data
dilanjutkan dengan uji analisis yang
menggunakan uji statistik chi square
dalam operasionalisasai komputer
software program Statistical Product
and Service Solution (SPSS) versi 16
dengan nilai kemaknaan α = 0,05
didapatkan hasil ρ = 0,002 dengan
demikian nilai = 0,002 < 0,05
sehingga Ho ditolak dan H1
diterima, artinya terdapat hubungan
antara kepatuhan Diet Diabetes
Mellitus dengan dengan Kadar Gula
Dalam Darah dipoli Dalam RSUD
Pamekasan.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa kepatuhan Diet Diabetes
Mellitus Dengan Kadar Glukosa
Dalam Darah DiPoli Dalam RSUD
Pamekasan
didapatkan
bahwa
hampir seluruh responden yaitu
sebanyak 4 orang (18,18%) patuh
dan sebagian kecil responden yaitu
sebanyak 18 responden (81,82%)
tidak patuh.
Dari hasil yang diperoleh di atas ada
beberapa faktor yang mendasari
keadaan tersebut. Salah satunya
adalah faktor pendidikan dimana
dalam penelitian didapatkan sebagian
besar responden yaitu sebanyak 13
orang (59%) berpendidikan SD, dan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
tidak
satupun
yang
lulusan
Perguruan Tinggi (0%). Hal ini
sesuai pernyataan Nursalam (2005)
bahwa dengan pendidikan yang
memadai seseorang akan bertambah
tingkat pengetahuannya sehingga
mempunyai sudut pandang yang
lebih luas, lebih mudah menyerap
dan memahami tentang hal-hal yang
dipelajari. Dan sebaliknya tingkat
pendidikan seseorang yang rendah
juga
akan
mempengaruhi
pemahaman dan pengetahuan yang
dimiliki,
sehingga
dapat
menghambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang
baru diperkenalkan. Faktor yang juga
berpengaruh adalah usia, dimana dari
deskripsi data umum berdasarkan
usia dalam penelitian ini bahwa
hampir setengah responden yaitu
sebanyak 10 orang (45%) berusia 3565 tahun dan sebagian kecil
responden yaitu sebanyak 2 orang
(9%) berusia 15-25 tahun. Dimana
usia dapat mempengaruhi tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang
dalam berfikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat seseorang
yang lebih dewasa akan lebih
dipercaya dari orang yang belum
cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini
sebagai akibat dari pengalaman dan
kematangan jiwanya (Hurlock, 198
dikutip oleh Nursalam, 2001). Tetapi
usia seseorang yang terlalu tua juga
akan sulit untuk berfikir dan bekerja
karena pada masa tua seseorang akan
mengalami
kemunduran
fisik,
mental, dan sosial sedikit demi
sedikit
sampai
tidak
dapat
melakukan tugas sehari-harinya.
Sedangkan hasil penelitian pada
tingkat pekerjaan didapatkan bahwa
sebagian besar responden yaitu
sebanyak 15 orang (68%) bekerja
sebagai petani /tidak bekerja dan
sebagian kecil responden yaitu
47
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
sebanyak 2 orang (9%) berprofesi
sebagai PNS. Pekerjaan merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk
menunjang kehidupan seseorang
maupun keluarga.
Hasil
uji
statistik
dengan
menggunakan
rank
spearman
didapatkan nilai signifikan ρ = 0,002
lebih kecil dari 0,05 (0,002 <0,05).
Hal ini berarti H0 ditolak dan H1
diterima, dengan demikian terdapat
hubungan yang signifikan antara
hubungan kepatuhan Diet Diabetes
Mellitus Daengan Kadar Glukosa
Dalam Darah Di Poli Dalam RSUD
Pamekasan. dengan kepatuhan Diet
maka akan mencegah klasifikasi
tingkat Ketidak patuhan Diet DM.
Kepatuhan minum obat memiliki
banyak faktor.
ISSN 2085-028X
Keperawatan,
Malang
:
RSU.A.dr. Syaiful Anwar.
Nursalam, 2003. Konsep dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan,
Jakarta : Salemba Medika.
Sugiyono, 2008. Statistika Untuk
Penelitian, Jakarta : Alfabeta
KESIMPULAN
1. Tingkat kepatuhan Diet Diabetes
Mellitus Dengan Kadar Glukosa
Dalam Darah di Poli Dalam
RSUD Pamekasan sebagian besar
tidak Patuh yaitu sebanyak 18
pasien Diabets Mellitus (18,18%)
2. Klasifikasi Kadar Glukosa Dalam
Darah DiPoli Dalam RSUD
Pamekasan
sebagian
besar
penderita berada pada tidak patuh
yaitu sebanyak 20 pasien Diabetes
Mellitus (81,82%)
3. Ada hubungan kepatuhan Diet
Diabetes Mellitus Dengan Kadar
Glukosa Dalam Darah DiPoli
Dalam RSUD Pamekasan 2012
yaitu sebesar ρ = 0,002.
KEPUSTAKAAN
Sugiono, 1997. Statistik Untuk
Penelitian, Bandung : Alfabeta.
Nur, Muhammad, 2003. ”Hubungan
Faktor-Faktor
Internal
Perawat Dengan Pelaksanaan
Pendokumentasian
Asuhan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
48
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
ISSN 2085-028X
POLA ASUH DAN SIKAP ORANG TUA PADA PERILAKU ANAK USIA
3-5 TAHUN DI PAUD NUSA INDAH KELURAHAN TENGGILIS
MEJOYO KECAMATAN TENGGILIS MEJOYO SURABAYA
Siti Mudlikah*), Ika Suciana**)
*) Dosen DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Parenting and parental attitudes greatly affect the behavior of
children aged 3-5 years, with parenting and attitudes appropriate buffer children
grow and develop into a well mannered person, easy to get along and achieve.
The purpose of this study is to describe parenting and parental attitudes on the
behavior of children aged 3-5 years in PAUD Nusa Indah Surabaya.
Method : Descriptive research methods. Population 40 people, a large sample of
36 people who were taken using a quota sampling technique. Research instrument
using a questionnaire and checklist, the data were analyzed using frequency
distributions and cross-tabulations.
Result : Results showed the majority of parents applying democratic parenting
style (97,2%), all parents are positive and prosocial behavior most children
(97,2%).
Conclusion : Conclusions, democratic parenting and positive attitude of parents
influence a child’s prosocial behavior.
Keywords : parenting, attitudes, behavior, children
PENDAHULUAN
Anak adalah individu yang tumbuh
dengan
kepolosan
pribadi,
kesederhanaan pikiran, dan proses
belajar mereka dalam menangkap
realitas sosial yang tidak dapat
dipaksakan. Proses belajar tersebut
adalah
perilaku
yang
sering
dilakukan anak. Selain merupakan
proses untuk mengerti dan belajar
bagaimana berperilaku, juga proses
untuk tumbuh dewasa dengan belajar
dari perilaku orang lain.
Orang tua memiliki pengaruh yang
besar kepada anak-anaknya, sikap
orang tua dalam mendidik anak sejak
dini berhubungan langsung dengan
sikap atau perilaku dan pribadi anak
di masa mendatang. Apabila orang
tua salah dalam cara mengasuh yang
tepat, tentu dapat membuat anak
memiliki sifat dan sikap yang
negatif.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Pola asuh adalah pola perilaku yang
diterapkan orang tua pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu
ke waktu. Pola perilaku ini dapat
dirasakan oleh anak baik dari segi
negatif maupun positifnya.
Perilaku prososial adalah perilaku
yang memiliki konsekuensi positif
dan berperilaku normatif. Perilaku
prososial sebagai tindakan yang
ditujukan untuk memberi bantuan
atau kebaikan pada orang lain atau
kelompok, dengan cara-cara yang
cenderung mentaati norma sosial
demi meningkatkan kesejahteraan
seseorang.
Perilaku
negatif
sebenarnya sangat jarang ditemukan
pada anak yang berusia di bawah 2
tahun.
Namun,
ketika
anak
memasuki usia 3-7 tahun, perilaku
negatif menjadi bagian dari tahapan
perkembangan mereka dan sering
kali menimbulkan masalah, tidak
49
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
hanya di rumah tetapi juga di
sekolah.
Peran orang tua menjadi peran utama
dalam pengendalian perilaku anak.
Orang tua diharapkan mampu
mendisiplinkan
perilaku
anak,
diantaranya : menyampaikan dengan
jelas aturan yang orangtua inginkan
agar dituruti anak, mengajarkan
perilaku yang baik secara efektif,
memperkuat ikatan antara orangtua
dan anak (Novita Tandry, 2010).
METODE PENELITIAN
Desain
deskriptif
eksploratif,
populasinya adalah orang tua yang
mempunyai anak usia 3-5 tahun yang
bersekolah di PAUD Nusa Indah
Kelurahan
Tenggilis
Mejoyo
Kecamatan Tenggilis Mejoyo Kota
Surabaya yang berjumlah 40 orang.
Sampel adalah orang tua yang
mempunyai
anak
usia
3-5
tahun.Besar sampel dalam penelitian
ini adalah sebanyak 36 orang. Teknik
quota
sampling.
Instrument
kuesioner (angket) dan ceklis.
Setelah data yang terkumpul
dikelola, tahap selanjutnya data
diulas secara deskriptif dengan
menggunakan distribusi frekuensi
dalam bentuk tabel.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian pada tabel 1
menunjukkan bahwa 36 orang tua
yang mempunyai anak usia 3-5
tahun di PAUD Nusa Indah memiliki
karakteristik sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi Frekuensi
Karakteristik Orang Tua Anak Usia
3-5 tahun di PAUD Nusa Indah
Surabaya Tahun 2011
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
No
1
2
3
4
5
Variabel
Jumlah
(%)
3
20
10
1
2
8,3
55,6
27,8
2,8
5,5
6
6
17
3
4
16,7
16,7
47,2
8,3
11,1
35
1
0
97,2
2,8
0
36
0
100
0
35
1
97,2
2,8
Usia Ibu
a. 20 – 25 tahun
b. 21 – 30 tahun
c. 31 – 35 tahun
d. 36 – 40 tahun
e. ≥ 41 tahun
Pendidikan
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Diploma
e. Perguruan
Tinggi
Pola Asuh
a. Demokratis
b. Otoriter
c. Permisif
Sikap Orang Tua
a. Positif
b. Negatif
Perilaku Anak
a. Prososial
b. Antisosial
Tabel 2. Tabulasi Silang antara
Perilaku Anak Usia 3-5 Tahun
dengan Pola Asuh dan Sikap Orang
Tua di PAUD Nusa Indah Surabaya
Tahun 2013
Perilaku Anak
No
Variabel
1
Pola Asuh
a. Demokratis
b. Otoriter
c. Permisif
Sikap Orang Tua
a. Positif
b. Negatif
2
Prososial
Antisosial
n
%
n
%
34
1
0
97,1
2,9
0
1
0
0
100
0
0
35
0
100
0
1
0
100
0
Berdasarkan tabel 2, menunjukkan
bahwa dari 35 anak pola asuh
demokratis, berperilaku prososial
sebanyak 34 (97,1%) anak dan
berperilaku antisosial sebanyak 1
(100%) anak. dari 36 anak yang
orang tuanya bersikap positif,
sebanyak
35
(100%)
anak
berperilaku prososial dan 1 (100%)
anak berperilaku antisosial.
50
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 1 didapatkan
hampir keseluruhan orang tua siswa
PAUD (97,2%) menggunakan pola
asuh demokratis dalam mengasuh
anaknya yang berusia antara 3-5
tahun. Dengan pola asuh demokratis
orang tua mampu membentuk
karakter anak yang mandiri, penuh
percaya diri, dan berprestasi. Orang
tua demokratis membebaskan anak
untuk berkreasi dan berpendapat.
Menjadi orang tua yang baik
bukanlah yang selalu memberikan
perintah dan hukuman, namun lebih
banyak memberi contoh melalui
perilaku orang tua. Sehingga
nantinya anak-anak dapat menjadi
generasi penerus yang terbaik yang
siap menghadapi dunianya kelak,
menjadi pribadi yang santun, saleh,
pandai bergaul dan menghormati
orang lain.
Berdasarkan tabel 1 didapatkan
semua orang tua siswa PAUD
(100%) bersikap positif pada
perilaku anaknya yang berusia 3-5
tahun. Sikap positif orang tua
mempengaruhi
perilaku
anak.
Sesibuk apapun orang tua atau
seberapa banyak stress yang dialami
orang tua, orang tua harus mampu
mengendalikan diri agar tetap
bersikap positif, sikap yang positif
dari orang tua akan berpengaruh
positif pula pada anak. Sikap positif
orang tua yang konsisten akan
menjadi patokan bagi anak dalam
berperilaku.
Berdasarkan tabel 1 didapatkan
hampir keseluruhan anak usia 3-5
tahun di PAUD Nusa Indah
berperilaku prososial yaitu sebesar
97,2%. Semua anak, terutama anak
usia 3-5 tahun sedikit banyak pasti
mempunyai
peilaku
antisosial.
Dominannya perilaku prososial ini
selaras dengan hasil penelitian yaitu
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
sebagian besar anak berperilaku
prososial.
Berdasarkan tabel 2 didapatkan anak
yang berperilaku prososial sebanyak
97,1% menggunakan pola asuh
demokratis. Orang tua yang sebagian
besar menerapkan
pola asuh
demokratis membentuk anak dengan
karakteristik mudah bergaul, anak
yang mudah bergaul ini berarti anak
selalu diterima oleh temannya karena
perilaku prososialnya. Anak yang
berperilaku
prososial
jarang
membuat
ketidaknyaman
bagi
teman-temannya. Orang tua wajib
memantau saat anak bermain,
perilaku anak bisa berasal dari
pengaruh
teman
sebayanya.
Pengawasan orang tua bertujuan
untuk menghindari anak terpengaruh
perilaku antisosial temannya.
Berdasarkan tabel 2 didapatkan anak
yang berperilaku prososial sebanyak
100% orang tuanya bersikap positif.
Konsisten dalam bersikap positif
memudahkan
anak
untuk
membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang boleh
dan mana yang tidak boleh. Orang
tua harus memberi contoh yang baik
sebelum menyuruh anak berbuat
baik. Semua orang tua pasti
menginginkan yang terbaik bagi
anaknya, jika anak berbuat kesalahan
sewajarnya orang tua mendekati
anaknya dengan harapan anaknya
berubah menjadi lebih baik.
KESIMPULAN
1. Orang tua yang menggunakan
pola asuh demokratis sebanyak
35 orang (97,2%)
2. Orang tua yang mempunyai
sikap positif sebanyak 36 orang
(100%)
3. Anak yang mempunyai perilaku
prososial sebanyak 35 anak
(97,2%).
51
Vol. 4, No. 2 Desember 2012
KEPUSTAKAAN
1. Adallila, S, 2010. Pentingnya
Pendidikan Anak Usia Dini,
http://sadidadallila.wordpress.co
m., Diakses tanggal 24 Mei
2013.
2. Wawan & Dewi M, 2010. Teori
dan Pengukuran, Pengetahuan,
Sikap dan Perilaku Manusia,
Yogyakarta : Nuha Medika.
3. Azwar, Saifuddin, 2008. Sikap
Manusia
Teori
dan
Pengukurannya, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
4. Badingah, S, 1993. “Agresifitas
Remaja Kaitannya dengan Pola
Asuh, Tingkah Laku Agresif
Orang Tua dan Kegemaran
Menonton Film Keras”, Depok :
Tesis PPS UI.
5. Baron R.A & Byrne D, 2006.
Psikologi Sosial 2 Ed. 10,
Jakarta : Erlangga.
6. Gowi, A, 2011. “Pengaruh
Latihan
Asertif
terhadap
Perilaku Kekerasan Orang Tua
pada Anak Usia Sekolah”,
Depok : Tesis Universitas
Indonesia.
7. Gunarso, D. Singgih, 2004. Dari
Anak Sampai Usia Lanjut :
Bunga
Rampai
Psikologi
Perkembangan,
Jakarta
:
Gunung Mulia.
8. Hariyanto.
2010,
“Faktor
Penyebab Anak Berperilaku
Agresif”,
http://belajarpsikologi.com/fakto
r-penyebab-anak-berperilakuagresif/., Diakses tanggal 24
April 2013.
9. Hasan, M. 2009. (PAUD)
Pendidikan Anak Usia Dini,
Yogyakarta : Diva Press.
10. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007.
Metode Penelitian Kebidanan &
Teknik Analisis Data, Jakarta :
Salemba Medika.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
11. Hurlock, E. B, 1980. Psikologi
Perkembangan,
Jakarta
:
Erlangga.
12. Kartini Kartono, 1991. Patologi
Sosial, Jakarta : Rajawali Pers.
13. Koeswara,
1988.
Agresi
Manusia, Bandung : Eresco.
14. Myers, D.G, 2010. Social
Psychology 7th Edition, North
America : Mc Graw-Hill
Companies, Inc.
15. Monks, F. J, 1991. Psikologi
Perkembangan, Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
16. Notoatmodjo,
S,
1993.
Metodologi
Penelitian
Kesehatan, Jakarta : Rineka
Cipta.
17. Notoatmojo, S, 2005. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, Jakarta : Rineka Cipta.
18. Nuryati, L, 2008. Psikologi
Anak, Jakarta : PT Indeks.
19. Rimm, DR. Sylvia, 2003.
Mendidik dan Menerapkan
Disiplin Pada Anak Prasekolah,
Jakarta : Gramedia.
20. Santrock,
J.
W,
2007.
Perkembangan Anak, Boston :
Mc. Graw Hill.
21. Soedarmadji, B. H, 2009.
Psikologi Konseling, Surabaya :
UNIPA Press.
52
Download