BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penamaan, menurut Kridalaksana (2008:160), merupakan proses pencarian lambang bahasa untuk menggambarkan objek, konsep, proses, dan sebagainya. Proses ini biasanya dilakukan dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada, seperti dengan perubahan-perubahan makna yang mungkin atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata. Hal yang sama dilakukan oleh para nelayan di Pantai Depok, Kabupaten Bantul, DIY yakni dengan menggunakan bahasa keseharian mereka untuk menamai ikan-ikan laut yang berhasil mereka tangkap. Misalnya, perubahan makna untuk penamaan dapat dilihat dari nama pari kikir yang diperoleh dari ciri punggung yang bergerigi atau disebut kikir dalam Bahasa Jawa. Kikir yang memiliki arti bergigi-gigi atau bergerigi telah diambil maknanya untuk ikan berpunggung gerigi ini. Tak hanya itu, nama ikan montormabur juga didapat dari perubahan makna kata montormabur (dalam bahasa Indonesia berarti pesawat terbang). Dalam kasus ini, karena ciri fisik ikan yang menyerupai pesawat helikopter yakni memiliki kepala yang besar, penyangga tubuh sebagai sirip serta ekor yang panjang, maka ikan tersebut dinamai montormabur. Adapun penamaan ikan juga ada yang memiliki bentuk referen yang sama tetapi memiliki nama yang berbeda. Misalnya, pada jenis ikan hiu, yaitu hiu martil (nama yang diketahui secara umum) dan hiu tononggo (nama di daerah Pantai Depok). Ikan hiu ini merupakan satu jenis ikan yang sama, bentuknya pun 1 2 sama. Akan tetapi, dasar penamaannya berbeda yaitu (1) mengacu pada bentuk kepala yang berbentuk martil (palu) yang dilihat secara horizontal dan (2) mengacu pada lokasi mata yang tononggo (bertetangga). Penamaan ikan laut hasil tangkapan masyarakat nelayan Pantai Depok ini berbeda dengan penamaan yang diberikan kepada orang ataupun suatu bangunan. Penamaan terhadap orang dan bangunan tentunya dimaksudkan untuk memberikan doa atau suatu harapan. Akan tetapi, dalam PIMD, penamaan ikan memiliki kaitan dengan pola pikir penutur bahasa di daerah tersebut. Perubahan mata pencaharian masyarakat yang sebelumnya sebagai petani lalu menjadi nelayan tentu memberikan pengetahuan baru mengenai ciri fisik ikan hasil tangkapan. Hal ini selanjutnya berpengaruh dalam proses pemberian nama ikan yang khas dan sesuai dengan kebudayaan mereka. Selanjutnya, dengan mengetahui latar belakang kebudayaan masyarakat nelayan Pantai Depok, penelitian ini akan dikaji secara etnolinguistik sebab cabang dari linguistik ini mempelajari bahasa dalam konteks budaya secara mendalam dan berusaha mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa (Foley, 2001:3—5). Aspek kebahasaan dalam penelitian ini berupa penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, yang juga merupakan landasan utama dalam menamai berbagai jenis ikan. Secara khusus, penelitian ini akan menilik cara pandang masyarakat nelayan Pantai Depok, Kabupaten Bantul, dalam hal memberi nama terhadap ikan-ikan hasil tangkapan mereka. 3 1.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dikonsentrasikan pada satu daerah penelitian, yaitu di sekitar Pantai Depok yang terletak di Desa Bungkus, Kecamatan Depok, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebab daerah tersebut merupakan area pemukiman nelayan terbesar antara Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Pantai Depok dipilih karena merupakan pusat kuliner ikan air laut dan komunitas nelayan terbesar di daerah Bantul sehingga pantai tersebut memiliki potensi untuk dijadikan pusat penelitian tentang ikan laut di Kabupaten Bantul. Sementara itu, kajian tentang penamaan difokuskan pada ikan laut saja. Data yang digunakan berupa nama-nama ikan laut yang diketahui oleh narasumber yaitu masyarakat nelayan Pantai Depok. Fokus penelitian ini adalah bentuk-bentuk satuan kebahasaan dalam PIMD, hal-hal yang mendasari PIMD, dan aspek budaya atau aspek antropologis di balik penamaan ikan tersebut. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut. 1.3.1 Apa bentuk satuan kebahasaan dalam penamaan ikan oleh masyarakat nelayan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta? 1.3.2 Bagaimana masyarakat nelayan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menamai ikan hasil tangkapan mereka? 4 1.3.3 Mengapa penamaan ikan oleh masyarakat nelayan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki referen yang khas? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, diperoleh tujuan penelitian yaitu : 1.4.1 mendeskripsikan bentuk satuan kebahasaan dalam penamaan ikan oleh masyarakat nelayan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1.4.2 memaparkan referen yang mendasari penamaan ikan oleh masyarakat nelayan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1.4.3 mengungkapkan hubungan referen penamaan ikan yang khas dengan latar belakang kebudayaan masyarakat nelayan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.5 Manfaat Penelitian Secara teoretis, manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi kajian tentang penamaan ikan masyarakat nelayan pesisir Pantai Depok dalam bidang etnolinguistik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji penamaan ikan laut dengan sudut pandang etnolinguistik. 5 Adapun secara praktis, penelitian mengenai penamaan ikan laut ini untuk mengungkap penggunaan bahasa, khususnya dalam hal penamaan oleh masyarakat nelayan di Pantai Depok, serta merupakan bentuk pendataan terhadap istilah-istilah kenelayanan. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber tertulis bagi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar Pantai Depok, Bantul, untuk mengenal budaya sendiri. 1.6 Tinjauan Pustaka Pembahasan utama dalam penelitian ini adalah istilah kebahasaan masyarakat nelayan Pantai Depok tentang penamaan ikan laut. Adapun tinjauan pustaka dari penelitian lain yang pernah dilakukan, tertera di bawah ini dan telah diurutkan berdasar kedekatan kajian terhadap pembahasan mengenai penamaan. Penamaan dalam lingkup maritim pernah dikaji oleh Madjid (2010) yang meneliti tentang kategorisasi nama dalam tesisnya yang berjudul “Sistem Pengetahuan Teknologi Nelayan Puger yang Tercantum dalam Satuan Lingual Bahasa Jawa, Alat Transportasi Melaut dan Alat Tangkap”. Madjid menerangkan bahwa pengetahuan nelayan mengenai fungsi dan filosofi dari setiap bagian dan bentuk dalam kapal itu berbeda-beda. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Wardani (2010). Penelitian yang dijadikan sebagai tugas akhir S2 Linguistik tersebut berjudul “Kategori Linguistik dan Strategi Adaptasi di Balik Satuan Lingual Bahasa Jawa Mengenai IWAK “Ikan” dan KARANGAN “Rumput Laut”: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Nelayan Baron, Gunung Kidul. Dalam penelitian tersebut, Wardani membahas 6 tentang kategorisasi ikan dan rumput laut di masyarakat nelayan pantai Baron berdasarkan referen dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penelitian tentang penamaan yang berkaitan dengan alam di luar lingkup maritim pernah dilakukan oleh Seyari (2007) dalam tesisnya “Panyadra Bentuk Tubuh Indah dalam Masyarakat Jawa”. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa panyadra merupakan cara masyarakat Jawa dalam menyebutkan nama bagianbagian tubuh manusia, khususnya tubuh perempuan, dengan disamakan atau diserupakan dengan hal lain. Seyari mengemukakan bahwa nyadra sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana masyarakat itu hidup dan berinteraksi. Umumnya, kategorisasi nyadra berkaitan dengan pola hidup agraris. Penamaan terkait latar belakang budaya dengan menjelaskan penggunaan istilah yang terkait dengan alam juga pernah dilakukan Suhandano (2004). Dalam disertasi yang berjudul “Kategori Tumbuh-Tumbuhan Wit dan Suket dalam bahasa Jawa”, Suhandano membahas tentang kategorisasi tumbuh-tumbuhan wit dan suket dalam bahasa Jawa, mulai dari istilah yang sering digunakan maupun yang jarang dijadikan tindak tutur di keseharian masyarakat Jawa. Tak hanya Suhandano, Purwandari (2011) juga menulis tesis dengan judul “Penamaan Pola Batik Semen” yang membahas penamaan tiap-tiap pola batik merupakan representasi dari simbol-simbol alam yang beragam. Simbol-simbol alam tersebut adalah bentuk visual dengan makna mendalam yang layak diabadikan dalam bentuk pola. Damarwarih (2013) pun menulis skripsi dengan topik yang tak jauh berbeda. Skripsi yang berjudul “Leksikon Warna dalam Bahasa Indonesia” 7 menjelaskan bahwa penamaan suatu leksikon warna dapat mendeskripsikan bentuk dan pemakaian warna dalam suatu idiom tertentu. Pemakaian warna dalam idiom menunjukkan bahwa suatu warna bisa memiliki makna yang berbeda dengan makna leksikalnya. Adapun kajian penamaan dalam skripsi Retnaningsih (2006) dengan judul “Nama Tempat Usaha di Yogyakarta”, menerangkan tentang nama sebuah tempat usaha mengacu pada unsur-unsur komersial, nama binatang, doa/harapan, alamat, nama daerah, identifikasi kepemilikan, janjian mutu, penggambaran citra, penyebutan jenis usaha, dan penggunaan kosa kata baru dengan dengan alasan membentuk citra, kepercayaan, kualitas. Kiswari (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Nama Makanan Kecil dalam Bahasa Jawa: Sebuah Kajian Etnolinguistik”, juga menerangkan bahwa nama makanan kecil dalam bahasa Jawa memiliki hubungan arti dengan bahan utama yang digunakan, bagaimana cara memeasak, tampilan fisik, rasa dan fungsi yang keseluruhan itu merupakan inovasi dari masyarakat jogja sendiri untuk member nama pada makanan yang dibuat. Kajian etnolinguistik pernah dilakukan oleh Anam (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Perubahan Nama-Nama Berbahasa Arab di Krapyak Kulon: Kajian Sosioetnolinguistik”. Anam membuat kategorisasi perubahan nama berdasarkan tiga fase tahun yaitu fase pramodern, fase modern, fase post modern. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nama-nama penduduk yang tinggal di daerah Krapyak Kulon. 8 Adapun kajian tentang Etnolinguistik di luar penamaan pernah dikaji oleh Yudi (2012) yang menganggap penting hubungan antara bahasa dan budaya di suatu wilayah dalam tesisnya yang berjudul “Lelakaq dalam Budaya Sasak”. Di dalam tesis tersebut, Yudi menjelaskan bahwa ungkapan bahasa dalam tradisi upacara tradisional sasak mencerminkan bahasa lelakaq yang menyerupai pantun yaitu terdiri dari 2 baris sampiran dan 2 baris isi. Bahasa lelakaq ini merupakan bentuk representasi masyarakat Sasak dalam menggunakan istilah bahasa dan budaya Sasak serta peradaban yang terbangun di dalamnya. Penelitian dengan kajian yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh Kurniati (2006) dalam tesis “Wacana dalam Adat Perkawinan Sorong Serah Aji Krama di Kalangan Masyarakat Sasak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat”. Kurniati mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa sangat berperan penting dalam wacana-wacana dalam adat perkawinan karena merupakan bagian dari tata aturan budaya masyarakat Sasak dalam menjalankan proses peribadatan mereka. Kajian etnolinguistik lainnya juga pernah diteliti oleh Bagea (2013) dalam tesis yang berjudul “Wacana Kabanti Menari pada Masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara”. Bagea membahas Kabanti sebagai bentuk nasihat orang-orang tua kepada anak-anaknya, terutama kepada anak yang sedang merantau. Dari studi pustaka di atas, diketahui bahwa pembahasan mengenai ranah kenelayanan, kelautan dan kebudayaan sudah pernah ada. Akan tetapi, kajian etnolinguistik terkait penamaan ikan pada masyarakat nelayan Pantai Depok, Kabupaten Bantul, belum pernah dilakukan sebelumnya. Dalam pemberian nama 9 ikan oleh masyarakat nelayan memiliki kekhasan tersendiri yang berbedaan dengan nama-nama ikan secara umum di Indonesia, hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan adanya pengaruh penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian mereka. Adapun faktor dari ciri-ciri fisik ikan juga mempengaruhi penamaan ikan di masyarakat Pantai Depok. Untuk itu, secara garis besar penelitian ini hanya berfokus pada penamaan ikan laut yang didasari oleh latar belakang kebudayaan yang ada di masyarakat nelayan Pantai Depok. 1.7 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kajian sintaksis dan semantik, serta kajian etnolinguistik. Berikut pemaparan lebih lanjut. 1.7.1 Bentuk satuan kebahasaan Menurut Ramlan (2005:19), sintaksis merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas seluk beluk wacana. Jika dijelaskan secara rinci, satuan wacana terdiri dari unsur-unsur yang berupa kalimat, satuan kalimat terdiri dari unsur atau unsurunsur yang berupa klausa, satuan klausa terdiri dari unsur-unsur yang berupa frasa, dan frasa terdiri dari unsur-unsur yang berupa kata. Dalam sintaksis, kata merupakan satuan terkecil yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis. Menurut Ramlan (2005:21), morfologi adalah ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata serta perubahan-perubahan bentuk kata, baik secara gramatikal maupun semantik. Sementara itu, frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya non predikatif (Kridalaksana, 10 2008:66). Klausa merupakan sekumpulan kata yang terdiri dari subjek dan predikat, dan berpotensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2007:208). Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Penamaan ikan laut akan ditinjau dari tataran sintaksis yakni dengan menggunakan teori dari Ramlan dari bukunya yang berjudul Sintaksis untuk mengetahui satuan kebahasaan yang digunakan. 1.7.2 Dasar penamaan Cakupan dasar penamaan ini kemudian termasuk dalam ranah semantik. Hal itu sesuai dengan definisi semantik menurut Chaer (2009:2) bahwa semantik merupakan istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Secara singkat, semantik merupakan bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Analisis kajian semantik dalam penelitian ini adalah mencari makna dari setiap bentuk penamaan ikan laut. Pemberian nama dapat diartikan sebagai lambang untuk sesuatu yang dilambangkannya yang bersifat arbitrer, tidak ada hubungan wajib sama sekali (Chaer, 2009:44). Sebab-sebab terjadinya penamaan atau penyebutan terhadap sejumlah kata dalam bahasa Indonesia terjadi karena beberapa hal yang melatarbelakangi, seperti peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, penemu dan pembuat, tempat asal, bahan, keserupaan, pemendekan, dan penamaan baru (Chaer, 2009:44—52). Dengan demikian, penamaan dapat 11 dihubungkan dengan latar belakang kebudayaan masyarakatnya. Setiawan dalam Retnaningsih (2006:11) mengutarakan bahwa nama merupakan produk sosial yang terkait erat dengan budaya masyarakat pemberi nama tersebut, dengan latar budaya yang berbeda-beda mengakibatkan adanya sistem pemberian nama yang berbeda pula. 1.7.3 Latar belakang budaya Bahasa, dari perspektif antropologi, merupakan bagian dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990:182). Kebudayaan pada umumnya diwariskan secara lebih seksama melalui bahasa; artinya bahasa merupakan wahana utama bagi pewarisan, sekaligus pengembangan kebudayaan. Duranti (2000:27) bahkan secara tegas mengatakan bahwa mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa. Selanjutnya, kerangka pikir utama dari penelitian ini bersumber dari teori Linguistik Antropologi dari Duranti (2000) yang menjelaskan bahwa terdapatdapatnya hubungan interdisipliner antara ilmu bahasa (linguistik) dengan ilmu antropologi. Duranti menegaskan bahwa etnolinguistik merupakan bentuk dari perkembangan area interdisipliner (interdisciplinary field) yang mempelajari bahasa sebagai sumber budaya (cultural resource) dan ujaran (speaking) sebagai bentuk kegiatan budaya (cultural practice). Kajian etnolinguistik juga menggambarkan inspirasi intelektual (intellectual inspiration) yang berasal dari hubungan interaksional serta berdasarkan pada perspektif aktivitas dan pemikiran manusia di suatu daerah. Dengan kata lain, aktivitas ujaran manusia berdasarkan 12 pada aktivitas budaya sehari-hari (culture of everyday life) dan bahasa merupakan piranti yang paling kuat (powerful tool) dalam kehidupan sosial masyarakat. Singkatnya, penamaan dalam suatu masyarakat tak bisa dilepaskan dari latar belakang kebudayaan masyarakat tersebut. 1.8 Data dan Metode Penelitian Dalam memaparkan hasil penelitian ini akan digunakan tiga tahap metode, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data dan tahap penyajian hasil analisis data. Penyediaan data dilakukan dengan metode observasi ke daerah penelitian pada bulan Juni hingga September 2014. Adapun untuk mengetahui lingkungan masyarakat nelayan, penelitian lapangan dilakukan dengan cara terlibat langsung dalam kegiatan masyarakat nelayan di Pantai Depok. Selanjutnya, pengumpulan data dilakukan dengan cara mewawancarai masyarakat nelayan yang ada di wilayah pesisir Pantai Depok, Kabupaten Bantul, dengan teknik simak libat cakap. Terdapat lima narasumber utama yaitu Sudarwan selaku kepala persatuan nelayan Depok, Tugiran selaku sesepuh nelayan sekaligus pemilik warung sea food Depok, Tarmanto selaku ketua TPI Depok, Kabulrustanto selaku wakil ketua TPI Depok, Karmanto selaku seksi timbang TPI Depok, dan Naryo selaku ketua persatuan nelayan Trisik. Saat penerapan teknik simak libat cakap ini juga disertai teknik rekam yaitu merekam dialog atau keterangan yang diberikan oleh informan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Rekaman ini selanjutnya ditranskripsikan dengan teknik catat (Sudaryanto, 1993:133). Dari 13 penelitian tersebut, ditemukan populasi data yang berjumlah tujuh puluh sembilan nama ikan. Tahap analisis data dimulai dengan mencari bentuk satuan kebahasaan dalam penamaan melalui kajian sintaksis. Selanjutnya, makna dari satuan kebahasaan tersebut dianalisis dengan teori penamaan dalam kajian semantik untuk mengetahui dasar penamaan. Tak hanya itu, latar belakang penamaan yang digunakan oleh masyarakat Pantai Depok, Kabupaten Bantul, serta hubungan penamaan dengan latar belakang budaya masyarakat tersebut akan dikupas pada pembahasan terakhir menggunakan kajian etnolinguistik. Tahap penyajian data digunakan metode formal dan informal. Dalam metode formal digunakan tabel data berupa nama-nama ikan dan dalam bentuk gambar beberapa ikan yang dijadikan pembahasan utama. Dalam metode penyajian informal, hasil analisis akan disajikan dengan uraian atau kata-kata. Pelaksanaan kedua metode tersebut dibantu dengan teknik yang merupakan perpaduan dari kedua metode tersebut yaitu penggunaan kata-kata dan tanda-tanda atau lambang (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian hasil analisis juga mengikuti proses deduktif dan induktif dengan tujuan pemaparannya tidak monoton. 1.9 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, ruang lingkup penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang bentuk satuan 14 kebahasaan dalam PIMD. Bab III berisi tentang dasar-dasar PIMD. Bab IV berisi tentang latar belakang kebudayaan dalam PIMD. Selanjutnya, Bab V merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.