1 pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Allah SWT potensi sumberdaya ikan
yang sangat besar dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yaitu
memiliki sekitar 3.000 jenis ikan di perairan laut dan tawar (DKP 2006 dan
2007a).
Belum lagi posisi Indonesia yang berada di wilayah pusat segitiga
terumbu karang dunia atau biasa disebut “the coral reef triangle” yang dikenal
pula oleh masyarakat dunia sebagai wilayah “the amazone sea”, memiliki
berbagai jenis terumbu karang yang tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia
yang keanekaragamannya hampir mencapai 75% dari seluruh terumbu karang
dunia (DKP 2007g). Indonesia juga memiliki berbagai jenis mangrove, lamun
dan sumberdaya ikan lainnya, sehingga sangat pantas bila masyarakat dunia
menempatkan Indonesia sebagai negara mega biodiversity (Dahuri
2003;
BAPPENAS 2003). Kekayaan sumberdaya ikan tersebut merupakan aset nasional
yang sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 harus digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya terjadi
paradoks, terbukti dengan 8.090 desa pesisir dan 16,42 juta jiwa penduduknya,
yang terdiri dari 3,91 juta KK masih miskin dengan poverty headcount index
sebesar 0,3214 atau 32,14% (DKP
2007b dan 2007c) belum lagi penduduk
miskin lainnya yang bermukim di pedesaan di luar wilayah pesisir.
Kondisi tersebut diperparah dengan status sumberdaya ikan yang diduga
telah terdegradasi sehingga stok sumberdaya ikan menurun. Data terbaru DKP
(2008) menyatakan bahwa sebagian besar wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
Indonesia telah overfishing dan dalam kondisi kritis. Walaupun sebenarnya tidak
hanya di Indonesia, bahkan secara global terjadi penurunan produksi perikanan
yang sangat tajam dan diperkirakan lebih dari 75% stok ikan dalam kondisi fully
atau heavely-exploited dan overexploited atau depleted mencapai 24% sejak
pertengahan tahun 1970’an (FAO 2004). Produksi perikanan tangkap dunia
diperkirakan menurun hanya mencapai 7,8% atau 1,6% per tahun selama lima
tahun (1995-1999). Terjadinya penurunan produksi tersebut sangat merugikan
masyarakat dan memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Oleh sebab
2
itu diperlukan berbagai upaya untuk menangani penurunan stok ikan,
antara lain melalui pengelolaan perikanan berkelanjutan sebagaimana mandat
dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Berbagai instrumen juga terus dikembangkan dalam upaya pengelolaan
perikanan berkelanjutan, mulai dari pendekatan biologi dengan penerapan
maximum sustainable yield (MSY) dan ekonomi dengan maximum economic yield
(MEY) yang hingga saat ini di Indonesia masih diterapkan (walaupun di negara
maju sudah ditinggalkan sejak sekitar tahun 1960), hingga penerapan instrumen
pengelolaan perikanan tangkap
melalui prinsip-prinsip ekonomi rasionalisasi.
Walaupun faktanya cukup berhasil diterapkan di negara maju, namun tidak begitu
berhasil di negara-negara berkembang dan oleh sebab itu instrumen tersebut mulai
ditinggalkan sejak tahun 1980’an (Fauzi dan Anna 2005).
Fakta berikutnya adalah berkembangnya konsep pengelolaan perikanan
berkelanjutan dengan kebijakan pengembangan kawasan konservasi laut (KKL)
atau lebih populer marine protected area (MPA), yang merupakan salah satu
alternatif
kebijakan yaitu sebagai instrumen untuk mewujudkan perikanan
berkelanjutan yang mulai bergema pada tahun 1990’an. Sebenarnya instrumen ini
telah diperkenalkan oleh pemerintah Finlandia sejak tahun 1800’an, dengan
membangun kawasan seperti itu di wilayah perairan pesisirnya (Fauzi dan Anna
2005). Penerapan kebijakan ini sungguh menggembirakan, dilaporkan sampai
dengan tahun 2000’an telah terbangun lebih dari 1000 KKL di seluruh dunia, dan
pada tahun 2020 diharapkan akan terbangun KKL seluas area 10% dari seluruh
wilayah laut di dunia (Anna 2006).
Namun dari berbagai jenis instrumen
kebijakan, KKL adalah instrumen yang paling banyak menimbulkan kontroversi
terutama di negara berkembang. Kontroversi tersebut diantaranya bahwa
pengembangan KKL diyakini masyarakat cenderung hanya mengutamakan aspek
perlindungan sumberdaya ikan semata, tidak mensejahterakan masyarakat dan
bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan karena dirusak masyarakat yang
menganggap KKL merugikan mereka.
Di Indonesia sendiri, kebijakan pengembangan KKL sejak lama dimulai
yaitu sekitar tahun 1990’an, ketika Departemen Kehutanan mengembangkan
Taman Nasional Laut dan sejenisnya, sebagai implementasi dari Undang-undang
3
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.
Demikian pula Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan yang
mengembangkan suaka perikanan sebagai mandat Undang-undang No. 9 tahun
1987 tentang Perikanan. Pengembangan KKL yang sangat pesat, dimulai dengan
telah dimandatkan perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan perikanan
berkelanjutan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
khususnya pada pasal 1 angka (8) dan pasal 13 ayat (1) dan (2); dimana undangundang tersebut diubah menjadi Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Kemudian pengaturan lebih lanjut tentang KKL dalam Peraturan Pemerintah No.
60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Kebijakan ini disambut
hangat oleh masyarakat, seiring dengan penempatan kelautan dan perikanan
sebagai prime mover perekonomian Indonesia pada tahun 2000’an. Walaupun
sebenarnya instrumen kebijakan pengembangan KKL merupakan instrumen
komplemen dari berbagai instrumen yang ada, seperti instrumen MSY dan MEY,
namun telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan terutama terkait
dengan luasan areanya.
Sampai dengan akhir tahun 2009, di Indonesia telah terbangun KKL lebih
kurang seluas 13.529.067,00 Ha (KKP 2010), yang institusi pengelolanya
dibedakan atas tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan dan juga
Kementerian Kehutanan. Diharapkan sampai dengan tahun 2020 dapat terbangun
KKL seluas 20 juta Ha di seluruh Indonesia (Komitmen Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya pada COP-8 Convention
on Biological Diversity di Brazil 20-31 Maret 2006) (Haryani et al.
2008).
Kemudian dari hasil World Ocean Conference di Manado pada Mei 2009 yang
lalu, yang telah menghasilkan Manado Ocean Declaration yang didalam
substansinya menyebutkan pula bahwa, pengelolaan ekosistem pesisir merupakan
kesepakatan kelautan global yang menjadi dasar penting bagi penguatan strategi
pengelolaan ekosistem ini, yang didalamnya termasuk pula pengembangan KKL.
Selain pengembangan KKL sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam
rangka pengelolaan perikanan berkelanjutan, perkembangan paradigma berikutnya
adalah dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu
4
berkembangnya prinsip-prinsip integrated coastal managament (ICM) yang
kemudian menjadi integrated coastal and oceans management (ICOM), yang
keduanya
sama-sama
menempatkan
pentingnya
pengembangan
KKL.
Berkembangnya paradigma tersebut di atas telah menambah kompleksitas
permasalahan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan juga telah mendorong
berkembangnya KKL, yang diminati para stakeholders terutama Pemerintah
Daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi dan juga nasional. Demikian pula
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pengembangan
KKL baik internasional maupun nasional seolah berlomba bermunculan. Bahkan
dengan di syahkannya Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang didalamnya juga mengatur tentang
KKL, maka semakin bermunculanlah KKL baru di wilayah perairan Indonesia.
Pertanyaan mendasar kemudian, apakah memang stakeholders telah memahami
kontroversi-kontroversi pengembangan KKL sebagaimana telah disebutkan di
atas? Atau kelompok tertentu saja yang memahami, sementara masyarakat terus
mempertanyakan keuntungannya bahkan mungkin menjadi korban?
Pengembangan KKL secara ekologis memang dirasa cukup tepat pada
kondisi beberapa perairan laut di Indonesia, yang diduga telah mengalami
kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak,
yang mengancam keberlanjutan keanekaragaman sumberdaya ikan. Di sisi lain
dampak sosio-ekonomi pengembangan KKL bagi masyarakat masih diragukan,
terutama nelayan skala kecil yang memang kelompok dominan di negara-negara
berkembang,
yang
biasanya
mata pencahariannya
hanya
mengandalkan
sumberdaya ikan di laut. Bahkan di pertemuan-pertemuan para pakar tingkat
dunia, pengembangan KKL selalu menjadi bahan pembahasan. Seperti halnya
Vivekanandan (2007) pada suatu pertemuan di Belanda menggambarkan bahwa
pengembangan KKL sebagai instrumen independen dalam melindungi ekosistem
laut, cenderung menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang berdampak pada
penurunan pendapatan nelayan skala kecil yang jumlahnya memang dominan,
karena ditutupnya sebagian dari kawasan penangkapan ikan mereka. Failler
(2007) selanjutnya menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di sekitar KKL
menunjukkan adanya perlawanan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam
5
jangka pendek penetapan KKL memang sering menimbulkan konflik, sehingga
perlu mekanisme untuk meyakinkan bahwa KKL menguntungkan masyarakat
baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Masyarakat berpendapat bahwa
sebaiknya penetapan KKL harus lebih mengedepankan perlindungan terhadap
endangered species daripada penetapan area fisik.
Dalam kondisi seperti ini, hal yang paling penting dilakukan adalah
justifikasi mengenai dampak dari pembangunan KKL, yaitu selain dampak biologi
yang sudah pasti sangat menguntungkan karena dampak spill over, di mana pada
kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari
pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, juga dampak positif
terhadap kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitarnya. Belum lagi manfaat
positif lainnya, yaitu perannya dalam perubahan iklim.
Karena kondisi yang
terpelihara dari terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang ada di dalam
perairan di lokasi KKL, sangat penting perannya sebagai sumber dan penyerap
karbon (CO2), yang sangat penting dalam strategi adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim (Haryani et al. 2008).
Justifikasi ini selain akan menjadi bahan
pertimbangan bagi Pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini, juga sebagai
bahan sosialisasi pada masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap dan
masyarakat pesisir lainnya. Justifikasi yang berkaitan dengan bio-sosio-ekonomi
sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada stakeholders akan arti
pembangunan KKL, sehingga dapat menjelaskan strategi pengembangan KKL
yang optimal secara bio-sosio-ekonomi yang dapat menjamin lestarinya
keanekaragaman sumberdaya ikan, terkelolanya perubahan iklim di laut dan
sejahteranya masyarakat secara keseluruhan.
Justifikasi bio-sosio-ekonomi lebih mendalam penting pula dilakukan,
bahwa KKL secara optimal dapat dikembangkan selain di perairan laut terbuka
dapat pula dikembangkan di perairan laut wilayah gugus pulau-pulau kecil, yang
sudah pasti masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Berdasar data
DKP (2007f) dari seluruh KKL yang ada di Indonesia, hampir 70%
dikembangkan di gugus pulau-pulau kecil, karena ekosistem pulau-pulau kecil
biasanya memiliki potensi sumberdaya ikan yang tinggi, karakteristik sumberdaya
ikan yang unik dengan tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi (DKP 2001,
6
2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006).
Sayangnya ekosistem pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan ekologis,
berada di wilayah terisolasi, masyarakat di sekitarnya biasanya miskin dan
kehidupannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan setempat, sementara itu
sebenarnya pemanfaatan sumberdaya di pulau-pulau kecil bersifat multi guna
(multiple use) dimana berbagai kegiatan memiliki hak atas akses dan pemanfaatan
sumberdaya di kawasan ini (DKP 2001, 2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan
Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006).
Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi
yang sarat akan pembatasan aktivitas misalnya pembatasan area penangkapan
ikan. Walaupun secara nasional salah satu pemanfaatan pulau-pulau kecil yang
direkomendasikan
oleh
Pemerintah
adalah
untuk
pengembangan
KKL,
sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 41 tahun 2000 Jo. No. 67 tahun 2002. Alternatif pengembangan KKL di
pulau-pulau kecil memang sangat memungkinkan, interaksi dinamis juga akan
terjadi dengan peran masing-masing komponen yang saling bertentangan tersebut.
Oleh sebab itu harus diikuti pengelolaan yang dapat menjamin pengalokasian
sumberdaya pada luasan dan spatial yang tepat, sehingga dapat mendatangkan
kesejahteraan masyarakat, namun tetap menjamin lestarinya sumberdaya ikan.
Sebuah fakta bahwa KKL di pulau-pulau kecil memang sangat unik dan di
Indonesia telah berkembang sejak tahun 1990’an, ketika Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu, yang merupakan gugus pulau kecil, dengan luas 107.489 Ha
ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
No. 162/Kpts-II/1995 tanggal 23 Maret 1995. Kemudian baru-baru ini telah
berkembang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Raja Ampat,
Propinsi Papua Barat, yang diinisiasi oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah
daerah setempat, serta telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
sebagai KKL pada tanggal 12 Mei 2007, dengan kondisi ekosistemnya berada di
gugus pulau kecil yang masih relatif alami dan terjaga. Keberadaan KKL di gugus
pulau kecil sangat menarik untuk dikaji dan digunakan untuk
menganalisis
pengembangan dan efektivitas pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil.
7
Selain justifikasi dan fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, menarik
pula untuk dibuktikan bahwa pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang
menguntungkan secara biologi, sosial dan ekonomi. Pembuktiannya tentu tidak
mudah karena berbagai variabel harus dianalisis, yang sudah pasti variablevariable tersebut bukanlah variable sederhana melainkan sangat kompleks. Oleh
sebab itu perlu didekati dengan pengembangan sebuah pemodelan bioekonomi
untuk pengembangan KKL, yang dapat menyederhanakan variable-variable
kompleks tersebut, yang dapat menjelaskan bahwa pengembangan KKL di pulaupulau kecil menguntungkan dan menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan.
Pada penelitian-penelitian ataupun referensi yang ada, pemodelan yang
sudah berkembang untuk pengelolaan sumberdaya ikan adalah model sederhana
yaitu model bioekonomi sumberdaya perikanan (Fauzi dan Anna 2005). Model
untuk pengelolaan pulau-pulau kecil yang ada sampai dengan saat ini hanyalah
model-model klasik yang mengkaji tentang interaksinya dengan perikanan
ataupun pariwisata (Efrizal
2005 dan Parwinia
2007). Sementara itu untuk
pemodelan bioekonomi pengembangan KKL, juga masih sangat sederhana yang
hanya menganalisis interaksi sosial ekonomi, namun belum memadukan dengan
aspek biologinya (Fauzi dan Anna 2005). Bahkan Fauzi dan Anna 2005, juga
baru mengembangkan pemodelan bioekonomi untuk KKL dengan faktor luasan
KKL sebagai indikatornya, namun belum memasukkan dampak spill offer dalam
pemodelannya, sementara dampak spill offer sebenarnya merupakan indikator
dominan keberhasilan KKL.
Dalam rangka menjembatani kelemahan dari pemodelan yang telah ada
dan untuk mendapatkan pemodelan yang tepat, diperlukan kajian-kajian ilmiah
yang komprehensif. Pemodelan yang tepat dapat berupa pemodelan hybrid
bioekonomi untuk pengelolaan KKL yang dapat menghitung potensi dan nilai
ekonomi sumberdaya ikan dan keuntungan-keuntungan biologi, sosial dan
ekonomi secara tepat, dengan mempertimbangkan sifat dan paradigma
pengembangan KKL dan keinginan masyarakat. Model hybrid bioekonomi dapat
merupakan kombinasi dari beberapa model bioekonomi yang sudah ada, atau
penambahan parameter tertentu kedalam model konvensional yang sudah ada
untuk mendapatkan penyempurnaan, sehingga pemodelannya lebih elastis (Hicks
8
1964). Oleh sebab itu disertasi ini disusun untuk menjawab permasalahan diatas
dan menjawab keinginan masyarakat bahwa KKL perlu terus dikembangkan,
pulau-pulau kecil terus dimanfaatkan, namun tetap dapat menjamin pengelolaan
sumberdaya ikan berkelanjutan, keanekaragaman hayati laut tetap terjaga,
fenomena perubahan iklim dapat diantisipasi dan masyarakat sejahtera.
1.2
Identifikasi Masalah
1.2.1 Keberlanjutan sumberdaya perikanan
Menurut Nikijuluw (2002) bahwa dua per tiga wilayah Indonesia adalah
perairan laut yang terdiri dari perairan pesisir, laut lepas, teluk dan selat.
Keseluruhannya adalah bagian dari perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta
km 2 . Selain itu Indonesia juga memiliki hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan
di zona ekonomi eksklusif (ZEE), yaitu perairan yang berada 12 mil hingga 200
mil dari garis pantai titik-titik terluar kepulauan Indoensia. Luas ZEE sekitar 2,7
juta km2 dengan demikian Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya hayati dan
non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. Selain sumberdaya
perairan, Indonesia juga memiliki sekitar 17.508 pulau yang menjadikan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sekitar
81.000 km.
Nikijuluw (2005) selanjutnya menyebutkan bahwa secara nasional potensi
lestari (MSY) sumberdaya ikan Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun,
dengan tingkat pemanfaatan sekitar 72%, yang berarti telah mengalami kondisi
pemanfaatan yang tinggi, hampir jenuh. Oleh sebab itu melalui Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, telah disebutkan bagaimana pengelolaan
perikanaan Indonesia harus dilakukan dengan melalui 11 WPP yaitu: (1) WPP-RI
571 meliputi perairan Selat Malaka dan LautAndaman, (2) WPP-RI 572 meliputi
perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, (3) WPP-RI
573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah
Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat, (4) WPP-RI
711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan,
(5) WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa, (6) WPP-RI 713 meliputi perairan
9
Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali, (7) WPP-RI 714 meliputi
perairan Teluk Tolo dan Laut Banda, (8) WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk
Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau, (9) WPP-RI
716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera,
(10) WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik,
dan (11) WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor
bagian Timur.
Kondisi sumberdaya ikan sebagaimana tersebut diatas dapat dikonversi
dalam moneter dan non moneter dan dalam kondisi keseimbangan akan
memberikan manfaat optimum, namun sebaliknya akan memberikan manfaat
minimal bahkan sangat merugikan apabila dalam kondisi tidak seimbang, yaitu
manakala pada beberapa perairan di Indonesia masih memiliki potensi yang
berlebih, sedangkan pada beberapa perairan lainnya mengalami gejala penurunan
jumlah tangkapan ikan (depresiasi sumberdaya perikanan), baik karena eksploitasi
yang berlebihan maupun karena menurunnya kualitas perairan, sebagaimana yang
terjadi saat ini di wilayah perairan laut Indonesia.
Fauzi dan Anna (2002a)
menyebutkan bahwa sumberdaya ikan di perairan pantai Utara Jawa telah
terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun.
Pada skala global telah terjadi pula hal yang sama, besarnya dampak dari
depresiasi sumberdaya ikan ini diilustrasikan dengan estimasi biaya yang
dikeluarkan untuk produksi global perikanan laut sekitar U$ 124 milyar dollar per
tahun, namun hanya menghasilkan penerimaan sebesar U$70 milyar dollar (Mace
1997). Sebesar U$ 54 milyar dollar ternyata merepresentasikan berbagai subsidi
pemerintah terhadap industri perikanan, yang justru menambah tingkat tangkap
lebih dan inefisiensi ekonomi dari industri perikanan (Davis dan Garthside 2001).
Demikian pula di Asia Tenggara, bahwa seluruh perairan pesisir sampai 12 mil
dari darat telah mengalami over fishing (FAO 2004).
Kemudian sebagai negara pusat segitiga terumbu karang dunia (the coral
reef triangle), Indonesia memiliki keanekaragaman jenis hampir 75% dari
terumbu karang dunia, dengan lebih dari 600 spesies (DKP 2007g). Estimasi luas
terumbu karang di Indonesia sekitar 51.000 km2, dengan kondisi lingkungan yang
terus menurun kualitasnya, proporsi terumbu karang yang terdegradasi meningkat
10
dari 10-50% (Suharsono 1998). Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia
dalam kondisi sangat baik (excellent = tutupan lebih dari 50% terumbu karang
hidup), sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (hanya terdiri dari
25% tutupan terumbu karang hidup) (Suharsono 1998). Kemudian untuk
penurunan keanekaragaman hayatinya berkisar 30-60% (DKP 2007h).
Demikian pula untuk sumber daya pesisir lainnya seperti mangrove,
kondisinya boleh dikatakan telah terdegradasi, dengan sekitar 70% dalam kondisi
rusak, sebagai akibat dari illegal logging, pemanfaatan mangrove untuk
pengembangan industri pulp, bangunan, kayu bakar, arang bakau, kawasan
pemukiman, wisata, maupun untuk pembukaan kawasan budidaya tambak
(Kementerian Kehutanan 2009).
Di kawasan Segara Anakan misalnya,
diperkirakan sekitar 1.454 Ha ekosistem mangrove telah hilang dan dikonversi
menjadi berbagai penggunaan lainnya seperti tambak ikan, lahan pertanian,
pemukiman, dan lain-lain (Fauzi dan Anna 2002b). Belum lagi kondisi padang
lamun dan sumberdaya pesisir dan laut lainnya, yang kemudian telah
menyebabkan menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan di perairan laut
Indonesia, sehingga pada beberapa jenis telah dinyatakan terancam punah dan
harus dimanfaatkan terbatas, bahkan ada yang telah dinyatakan punah.
Permasalahan-permasalahan di atas merupakan ancaman serius bagi
keberlanjutan sumberdaya ikan yang harus dicarikan solusinya, agar tidak terjadi
paradoks sebagaimana selama ini, yaitu wilayah pesisir dan laut memiliki
kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun relatif rendah laju
pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah
tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini masyarakat pesisir di
Indonesia yang mengandalkan pada potensi sumberdaya ikan adalah masyarakat
yang masih dililit kemiskinan. Hal ini diakibatkan oleh sumberdaya alam masih
dianggap sebagai satu-satunya andalan yang paling mudah digali, terutama oleh
nelayan dan merupakan sumberdaya yang open acsess.
Dimana sebenarnya letak kesalahan kita sehingga kondisi-kondisi di atas
terjadi? Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ikan dan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut, pada dasarnya hal paling mendasar yang menjadi tulang
11
punggung keberhasilannya adalah masalah perencanaan. Di samping itu juga
aspek pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan yang memang
masih lemah. Kemudian penerapan instrument apakah yang dapat digunakan
untuk mengatasi permasalahn tersebut? Bagaimana pengelolaan sumberdaya ikan
yang benar agar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat namun dapat
menjamin keberlanjutan sumber dayanya?
1.2.2 Kawasan konservasi laut
Prinsip KKL adalah spill over effect atau dampak limpahan (Fauzi dan
Anna 2005). Selanjutnya KKL memiliki banyak manfaat signifikan yang akan
membantu pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. Sebagaimana
dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan dijelaskan bahwa KKL dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Li (2000) yang diacu
dalam Fauzi dan Anna (2005) juga menjelaskan bahwa KKL bermanfaat untuk
peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement).
Manfaat-manfaat tersebut yang sebagian merupakan manfaat langsung
yang bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak
langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa KKL memiliki nilai ekonomi yang tidak
hanya bersifat tangible (terukur), namun juga tidak terukur (intangible). Manfaat
terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan, baik yang dikonsumsi
maupun tidak, sementara manfaat tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan
yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang. Secara
ekonomi, KKL dapat diibaratkan sebagai investasi sumber daya di masa
mendatang (Fauzi dan Anna 2005).
Beberapa studi berkaitan dengan penerapan KKL mengindikasikan bahwa
proteksi kawasan laut dari akivitas penangkapan ikan akan menyebabkan
perubahan cepat dan dramatis terhadap populasi dan habitat ikan (Gell and
Roberts 2002). Sebagai gambaran secara nasional, berdasarkan data pada KKP
(2010), bahwa luas KKL sampai dengan akhir tahun 2009 yang diinisiasi oleh
Kementerian Kehutanan adalah 5.426.092 Ha dan diinisiasi oleh Kementerian
12
Kelautan dan Perikanan serta Pemda sekitar 20.270.629 Ha. Inisiasi Kementerian
Kehutanan terdiri dari: (1) 4.045.049,00 Ha Taman Nasional Laut (TNL),
(2) 767.610,15 Ha Taman Wisata Alam Laut (TWAL), (3) 274.215,45 Ha Cagar
Alam Laut (CAL) dan (4) 339.218,25 Suaka Margasatwa Laut (SML). Inisiasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Pemda terdiri dari: (1) 3.521.130 Ha
Kawasan Konservasi Perairan Nasional (Taman Nasional Perairan Laut Sawu),
(2) 3.155.572 Ha Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), (3) 13.591.406 Ha
calon KKLD, (4) 2.086 Ha Daerah Perlindungan Laut/Mangrove (DPL/DPM) dan
(5) 453 Ha Suaka Perikanan.
Bermunculannya KKL tersebut dan pendapat
masyarakat yang pro dan kontra, perlu penanganan serius dan perlu justifikasi
oleh Pemerintah secara jelas, agar tujuan pengelolaan KKL benar-benar dapat
memenuhi tujuan biologi dan tetap dapat mensejahterakan masyarakat, sehingga
pro dan kontra bisa menjadi minimal.
1.2.3 Dampak pembangunan terhadap pulau-pulau kecil
Pelaksanaan pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil yang diarahkan
pada kesejahteraan masyarakat, merupakan suatu proses yang akan membawa
suatu perubahan pada sumberdaya alam.
Perubahan-perubahan tersebut akan
membawa pengaruh pada lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas
pembangunan yang dilaksanakan maka semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan
sumberdaya dan perubahan lingkungan yang akan terjadi di pulau-pulau kecil
tersebut. Oleh karena itu diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat dalam
pengelolaannya.
Pola pengelolaan sumberdaya alam yang baik harus dapat menempatkan
sumberdaya alam tersebut sebagai subyek dan obyek pembangunan sehingga
dapat berperan dalam pembangunan regional maupun nasional secara menyeluruh,
berlanjut dan berkesinambungan, dimana pembangunan suatu wilayah pada
hakekatnya merupakan suatu upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam
yang ada untuk kesejahteraan manusia secara lestari. Sehingga dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, terlebih lagi dalam suatu
gugusan pulau-pulau kecil, akan timbul permasalahan jika kegiatan pembangunan
dan hasil yang akan dicapai tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan yang
13
diharapkan. Adapun tujuan pengelolaan yang diharapkan adalah agar sumberdaya
yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, dalam arti
kesejahteraan masyarakat dapat meningkat tanpa menimbulkan terjadinya
kerusakan dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat merugikan
kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Pembangunan yang berkesinambungan di wilayah pulau-pulau kecil
menjadi perhatian penting mengingat dampak positif dan negatif yang akan
ditimbulkan. Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil sebagaimana dijelaskan
dalam DKP (2001, 2005, 2007d, 2007e), Retraubun dan Atmini (2004) dan
Bengen dan Retraubun (2006), akan mendatangkan dampak positif atau manfaat
antara lain:
(1) Secara ekonomi potensi sumberdaya hayati dan non hayati begitu besar
sehingga jika pulau-pulau kecil berhasil dikembangkan secara optimal dan
berkelanjutan, maka akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru;
(2) Secara sosial pengembangan kawasan pulau-pulau kecil akan meningkatkan
harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di kawasan pulau-pulau kecil
serta dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah;
(3) Secara geopolitik pengembangan pulau-pulau kecil terutama di kawasan
perbatasan akan menjamin keamanan dan ketahanan wilayah Indonesia.
Dengan berkembangnya wilayah perbatasan, akan mudah mendeteksi
ancaman yang datangnya dari negara lain; dan
(4) Secara ekologis pengembangan pulau-pulau kecil akan semakin meningkatkan
pengawasan terhadap ancaman kerusakan ekosistem akibat faktor alam atau
manusia.
Beberapa dampak negatif yang dapat terjadi sebagai akibat pengembangan
pulau-pulau kecil yang antara lain bersifat fulnerable dan isolated area, dapat
dijelaskan dalam DKP (2001, 2005, 2007d, 2007e), Retraubun dan Atmini (2004)
dan Bengen dan Retraubun (2006), antara lain adalah:
(1) Degradasi lingkungan perairan pulau-pulau kecil, yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan/perkembangan jenis-jenis biota laut yang ada diperairan pesisir
dan laut;
14
(2) Degradasi lingkungan wilayah daerah aliran sungai (inland) pada pulau-pulau
kecil;
(3) Pencemaran/polusi;
(4) Sedimentasi karena faktor alam (akibat arus/gelombang laut) maupun faktor
kegiatan manusia; dan
(5) Erosi pantai akibat faktor alam dan aktivitas manusia.
Kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan di wilayah
pulau-pulau kecil diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman dalam mengatur,
mengarahkan serta mengendalikan berbagai aktivitas masyarakat dalam upaya
pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir di kepulauan secara terpadu
(integrated) dan lestari.
Dengan demikian sumberdaya pesisir akan mampu
menunjang kegiatan investasi dan usaha masyarakat yang berkelanjutan
(sustainable). Adanya dampak positif dan negatif apabila wilayah pulau-pulau
kecil dikembangkan, harus menjadi perhatian Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam pengembangan pulau-pulau kecil. Upaya meminimalisasi dampak negatif
harus menjadi prioritas. Oleh sebab itu apakah pengembangan KKL di pulaupulau kecil menguntungkan atau ideal? Atau dampak negatif yang ditimbulkannya
dapat minimal? Penting dilakukan suatu upaya untuk pengembangan pulau-pulau
kecil yang memberikan manfaat optimum baik secara biologi, sosial dan ekonomi,
sehingga dapat mensejahterakan masyarakat baik jangka pendek maupun panjang,
serta dampak negatifnya menjadi minimal.
1.2.4 Pemodelan bioekonomi KKL di pulau-pulau kecil
Model yang dapat diadopsi sebagai dasar pengembangan KKL adalah
model bioekonomi sumberdaya perikanan, dengan pemodelan yang sederhana.
Model bioekonomi ini pada dasarnya merupakan pemodelan yang menyangkut
bagaimana mengelola sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, yang
dimulai dengan model Gordon-Schaefer (Gordon 1954) dan kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Clark dan Munro (1975).
Model untuk
pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang
perikanan dan pariwisata (Brander dan Taylor 1998; Casagrandi dan Rinaldi
2002; Maanema 2003), atau Convergen Dual Track Model (CD TRAM) yang
15
mengkaji pengembangan pulau-pulau kecil, interaksi antara perikanan dengan
ekosistem mangrove dan dampak kesejahteraannya bagi masyarakat (Efrizal,
2005). Selain itu, Haryadi (2004) mengkaji tentang ada tidaknya manfaat sosial
ekonomi KKL di kawasan pulau-pulau kecil dan Parwinia (2007) mengkaji
tentang ko-eksistensi pariwisata dan perikanan dengan menggunakan analisis
Konvergensi-Divergensi (KODI) serta Indra (2007) yang mengembangkan model
bioekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam rangka
rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan. Selanjutnya, Fauzi dan Anna
(2005) mengembangkan model valuasi ekonomi untuk menentukan apakah suatu
KKL dapat dijadikan sebagai kawasan wisata dan sekaligus kawasan perikanan,
yang juga mengembangkan model pengelolaan KKL melalui pendekatan
bioekonomi dan pendekatan multiple use yang mengakomodasi kepentingan
ekonomi di KKL.
Dari berbagai contoh hasil penelitian pemodelan yang telah dikembangkan
sebagaimana tersebut diatas, menunjukkan bahwa pemodelan yang dikembangkan
hanya kajian bioekonomi saja, atau kajian di wilayah pulau-pulau kecil saja, atau
di wilayah KKL saja, atau dampak kesejahteraan saja, atau interaksi pariwisata
saja, tanpa melihat interaksi pulau-pulau kecil yang dikembangkan untuk KKL.
Kemudian dari pemahaman adanya kompleksitas pengelolaan pulau-pulau kecil
interaksi dengan KKL, mengharuskan pemikiran untuk mengembangkan suatu
pemodelan yang dapat menjawab kondisi tersebut.
menjembatani
sebagaimana
kelemahan-kelemahan
tersebut
diatas,
maka
dari
Oleh sebab itu untuk
model-model
perlu
dilakukan
yang
telah
penelitian
ada
yang
menghubungkan antara manfaat biologi, sosial dan ekonomi dari pengembangan
KKL di pulau-pulau kecil, antara lain melalui pengembangan pemodelan hybrid
bioekonomi untuk pengembangan KKL di gugus pulau-pulau kecil.
1.3 Perumusan Masalah
Salah satu upaya penting yang mulai banyak diterapkan dalam mengurangi
dampak degradasi sumberdaya ikan adalah pengembangan konservasi melalui
pengembangan KKL. Langkah ini dipandang sebagai cara efektif untuk
melindungi keanekaragaman hayati laut beserta nilai ekonomi yang terkandung di
16
dalamnya. KKL dibentuk dalam suatu wilayah pesisir dan laut dengan batas
geografis yang tegas dan jelas, ditetapkan untuk dilindungi melalui perangkat
hukum atau aturan mengikat lainnya, dengan tujuan konservasi sumberdaya hayati
dan kegiatan perikanan yang berkelanjutan di sekitar (luar) wilayah KKL. Secara
hakiki, maksud ditetapkannya KKL adalah untuk dapat melestarikan fungsi dan
pelayanan dari ekosistem (ecosystem services) tersebut bagi keseimbangan
ekologis dan kesejahteraan manusia.
Kemudian upaya pengelolaan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia
masih relatif baru jika dibandingkan dengan upaya-upaya yang sama di wilayah
darat. Sementara itu, perangkat kebijakan berkaitan dengan konservasi antara lain
Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan
Ekosistemnya, Undang-undang No. 17 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, Undang-undang
No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan atau Undang-undang No. 45 tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah No. 69 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, serta peraturan-peraturan yang
diterbitkan oleh beberapa Pemerintah Daerah.
Selanjutnya dari berbagai referensi dan juga pemberitaan, suatu kewajaran
apabila berkembang pemahaman pro dan kontra di masyarakat, antara lain bahwa
penetapan sebagian wilayah laut sebagai KKL tidak mensejahterakan masyarakat,
karena diikuti dengan penetapan prohibited areas, yang diartikan oleh masyarakat
dilarangnya menangkap ikan di kawasan tersebut, sehingga menurunkan hasil
tangkapan mereka. Terjadinya pemahaman negatif tersebut oleh masyarakat,
disebabkan karena kurangnya informasi mengenai keuntungan ekonomi dan sosial
yang diperoleh dari penetapan KKL, serta ketiadaan pengetahuan mengenai
manfaat berkelanjutan untuk keperluan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh sebab
itu, berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana tersebut pada sub sub
17
sebelumnya dan beberapa uraian tersebut diatas disusun bagan alir pada Gambar 1
untuk merumuskan permasalahan pengelolaan sumberdaya ikan di KKL di pulaupulau kecil, serta untuk merumuskan permasalahan pemodelan bioekonomi untuk
pengembangan KKL di pulau-pulau kecil, guna menjelaskan perumusan
permasalahan secara menyeluruh dari penelitian ini.
Kawasan Perairan dan Pulau-Pulau Kecil (PPK)
Potensi SDA
Kebijakan
Pemanfaatan Kawasan
(Penangkapan ikan)
Konservasi
(Pengembangan KKL)
Insufficient/
Ketidaksempurnaan?
Permasalahan
 Terjadi overcapacity
(FAO 2000)
 Terjadi overfishing
(DKP 2008)
 Terjadi depresiasi
(Fauzi dan Anna 2005)
 Terjadi degredasi
(Fauzi dan Anna 2005)
Permasalahan
 KKL dianggap kurang
efektif (Fauzi & Anna
2005)
 Menyebabkan
kesejahteraan menurun
(Vivekanandan 2007)
 Sosialisasi & informasi
terhadap nelayan
kurang (Failler 2007)
 Terjadi benturan sosial
budaya (Failler 2007)
Mengapa ?
 Aspek sosial dan
ekonomi kurang
diperhatikan?
 Persepsi masyarakat
kurang
diperhatikan?
Diatasi dengan:
Model Hybrid Bioekonomi dan Pengembangan KKL
Gambar 1 Perumusan masalah pengelolaan sumberdaya ikan di KKL di pulaupulau kecil
Permasalahan yang sangat penting pula, bahwa sumberdaya alam di pulaupulau kecil perlu dimanfaatkan dengan berkelanjutan dan memberikan dampak
kesejahteraan
bagi
masyarakat
secara
permasalahan
dari
pengembangan
signifikan.
KKL
di
Pada
pulau-pulau
dasarnya
kecil
akar
adalah
pengelolaannya yang belum optimal dan sosialisasi terhadap masyarakat yang
kurang. Sementara apabila dilihat dari tujuan mengembangan KKL sudah pasti
akan memberikan dampak bio-sosio-ekonomi yang sangat signifikan, sehingga
sudah pasti akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat baik jangka
pendek dan panjang.
18
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah tersebut di atas, muncul
beberapa pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut:
(1)
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap performance ataupun kondisi
umum sumberdaya ikan dan pengelolaannya di lokasi penelitian? Artinya
bagaimana kondisi biogeofisik dan pemanfaatan sumberdaya ikan
berdasarkan persepsi masyarakat di lokasi penelitian? Khususnya ditinjau
dari aspek mengapa dikembangkan KKL, apakah KKL menguntungkan dan
bagaimana persepsi masyarakat terhadap tingkat keberlanjutan sumberdaya
ikan?
(2)
Berapa nilai parameter biologi sumberdaya ikan di lokasi penelitian?
Artinya apakah nilai biomas (x), pertumbuhan alami (r), koefisien daya
tangkap (q) dan kemampuan daya dukung lingkungan (K) di lokasi
penelitian berada pada level yang menjamin pengelolaan sumberdaya ikan
berkelanjutan?
(3)
Bagaimana performance baseline (keadaan tanpa dan dengan instrumen
pengelolaan KKL) perikanan tangkap aktual dan kondisi sustainable (MSY
dan MEY) di lokasi penelitian? Artinya berapa nilai dan level biomas,
produksi, effort dan rente sumberdaya ikan di KKL di pulau-pulau kecil
pada kondisi sultainable yield, economic yield dan open access?
(4)
Berapa luasan KKL di pulau-pulau kecil di lokasi penelitian yang menjamin
manfaat biologi, ekonomi dan sosial dengan optimal?
(5)
Berapa potensi dan nilai ekonomi KKL di pulau-pulau kecil di lokasi
penelitian? Berapa pula nilai manfaat dan non manfaat sumberdaya ikan di
lokasi penelitian dalam kaitan dengan potensi keanekaragaman hayati?
(6)
Bagaimana nilai spill over effect KKL terhadap keberlanjutan pengelolaan
perikanan tangkap di lokasi penelitian? Artinya adakah perubahan
produktivitas di lokasi penelitian sebagai dampak penerapan KKL? Atau
bagaimana menghitung spill over effect dan bagaimana mengelolanya?
(7)
Bagaimana dampak ekonomi dan sosial pada penerapan KKL di pulaupulau kecil? Artinya bagaimana pengaruh terhadap kesejahteraan ataupun
income masyarakat (pelaku perikanan tangkap)? Bagaimana pula dampak
penerapan KKL terhadap pemerintah?
19
(8)
Bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal
berkaitan dengan penerapan KKL di pulau-pulau kecil yang menjamin
manfaat biologi, sosial dan ekonomi maksimum?
1.4
Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian
1.4.1 Tujuan penelitian
Atas dasar identifikasi dan perumusan permasalahan sebagaimana tersebut
di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah “mengembangkan model hybrid
bioekonomi untuk pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil, berbasis perikanan
tangkap yang dapat mensejahterakan masyarakat”. Tujuan umum tersebut
kemudian dijabarkan kedalam 4 (empat) tujuan khusus, yaitu:
(1) Menganalisis kondisi umum sumberdaya ikan, KKL dan masyarakat;
(2) Menganalisis performance baseline (sebelum penerapan KKL) perikanan
tangkap pada kondisi MSY, MEY/sole owner dan open access, dibandingkan
dengan performance setelah penerapan KKL di pulau-pulau kecil;
(3) Menganalisis dampak sosial ekonomi pengembangan KKL terhadap nelayan
perikanan tangkap; dan
(4) Menyusun model bioekonomi KKL yang mempertimbangkan faktor dominan
dalam pengelolaan KKL.
1.4.2 Kegunaan hasil penelitian
Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dihasilkan model
hybrid bioekonomi KKL yang dapat digunakan untuk pengembangan KKL.
Model tersebut dapat dihasilkan dengan menganalisis aspek biologi-sosialekonomi dalam pengembangan KKL, sehingga didapatkan gambaran yang jelas
dan komprehensif untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan. Hasil
penelitian juga dapat digunakan untuk menentukan model pengelolaan KKL di
pulau-pulau kecil yang efisien sehingga dapat mengklarifikasi pro dan kontra
masyarakat tentang pengembangan KKL di pulau-pulau kecil. Pemodelan
bioekonomi yang dihasilkan dari penelitian ini, diharapkan dapat digunakan pula
untuk mengkuantifikasi spill over effect di kawasan KKL, sehingga dapat
20
membantu Pemerintah dalam penentuan kebijakan pengelolaan KKL di pulaupulau kecil yang terukur.
1.5
Kerangka Pemikiran
KKL merupakan “marine reserve” yang dinilai cukup penting dan handal
sebagai fisheries management toll untuk menjamin pengelolaan perikanan
berkelanjutan (Cote dan Finney 2006). Pengembangan KKL di Indonesia sebagian
besar yaitu hampir 70% berada di wilayah pulau-pulau kecil (DKP 2007f). Disisi
lain pulau-pulau kecil secara fisik, ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya sangat
rentan terhadap dampak kegiatan manusia maupun faktor alam. Dari berbagai
pengamatan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil, sebagaimana disebutkan
dalam DKP (2001, 2005, 2007d, 2007e), Retraubun dan Atmini (2004) dan
Bengen dan Retraubun (2006), bahwa ditemukan permasalahan mendasar dalam
pemanfaatan dan pengelolaan PPK antara lain:
(1)
Secara ekologis pulau-pulau kecil rentan terhadap pemanasan global, angin
topan dan gelombang tsunami;
(2)
Memiliki banyak spesies endemik dan keaneka-ragaman hayati tipikal yang
bernilai tinggi, sehingga bila terjadi perubahan lingkungan maka akan
mengancam keberadaan spesies-spesies endemik tersebut;
(3)
Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas
sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan;
(4)
Pemanfaatan potensi sumberdaya laut dan alam yang belum optimal karena
letak dan kondisi geografis yang jauh dan terisolir, sehingga kebanyakan
pulau-pulau kecil tidak berpenghuni atau lebih banyak dimanfaatkan oleh
penduduk sekitar pulau sebagai lahan pertanian dan perkebunan;
(5)
Pembangunan aksesibilitas merupakan salah satu permasalahan yang sangat
besar dalam pengembangan pulau-pulau kecil;
(6)
Lemahnya pengawasan dan pengamanan di pulau-pulau kecil terhadap
berbagai kegiatan, antara lain: pembuangan limbah, penyelundupan,
penangkapan ikan karang, pencurian jenis biota laut penting, dan
penambangan pasir laut;
21
(7)
Masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil biasanya taraf hidup dan
tingkat kesejahteraannya rendah, terisolir dan sumber penghidupannya
tergantung pada sumberdaya alam yang ada disekitarnya;
(8)
Diperlukan
investasi
besar
bagi
pengembangan,
pengelolaan
dan
pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil;
(9)
Terbatasnya dana bagi pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil;
(10) Belum ada klasifikasi keadaan biofisik dan sosial ekonomi pulau-pulau kecil
sebagai acuan dalam pengelolaan alokasi sumberdaya alam agar efektif.
Pulau-pulau kecil menghadapi masalah dalam pengembangannya karena
sifatnya yang multiple use, letaknya yang menyebar, dan tidak seluruhnya
berpenduduk serta memiliki potensi ekonomi. Interaksi pemanfaatan antara yang
satu dengan lainnya akan menimbulkan pergesekan jika tidak ada koordinasi,
seperti pemanfaatan perikanan tangkap dengan penerapan KKL. Pengelolaan
perikanan tangkap identik dengan “produksi dan kesejahteraan masyarakat”
sedangkan penerapan KKL identik dengan “perlindungan sumberdaya dan non
profit”. Kemudian pengembangan pulau-pulau kecil identik dengan “kerentanan,
keterbatasan dan pelestarian sumberdaya”. Interaksi di antaranya dapat
digambarkan dengan kerangka pikir Gambar 2, yang dapat menjelaskan adanya
permasalahan-permasalahan dalam interaksi tersebut, yang dipengaruhi pula oleh
penerapan kebijakan nasional yang kemudian mempengaruhi pengelolaan
perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil.
Dari karakteristik, potensi, permasalahan dan kebijakan yang ada terkait
KKL dan pulau-pulau kecil, kemudian digunakan sebagai input pengembangan
pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengembangan KKL. Hal ini selanjutnya
akan dapat digunakan sebagai solusi kelemahan model bioekonomi yang ada
sehingga dihasilkan model hybrid bioekonomi yang lebih tepat untuk diterapkan
dalam pengembangan KKL di pulau-pulau kecil, yaitu model bioekonomi KKL
yang memperhatikan faktor dominan dalam pengembangan KKL yaitu spill over
effect. Model tersebut diharapkan dapat menjamin aspek keberlanjutan
sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat, dengan bentuk pemodelan yang lebih
dinamis dan lentur yang menjamin pengembangan KKL di pulau-pulau kecil
efektif, optimal dan berkelanjutan dari tinjauan aspek biologi, sosial dan ekonomi.
22
Karakteristik internal KKL
di PPK
Potensi & masalah perikanan
tangkap & KKL di PPK
Kebijakan nasional
KKL & PPK
Potensi Pengembangan Model
Model yang ada saat ini:
- Model bioekonomi KKL
dengan luasan, Fauzi
dan Anna (2005)
- Model PPK-Wisata/
Budidaya, Maanema
(2003); PPKKeberlanjutan, Susilo
(2003)
Perikanan Tangkap
Karakteristik PPK
KKL
Integrasi
Menjawab masalah dan
kelemahan model
Kekurangan model:
- Spill over effect tidak
eksplisit didalam model;
- Aspek/dampak sosial
dan tata kelola belum
dipertimbangkan,
dengan faktor/indikator
terbatas.
Analisis:
- Tingkat keberlanjutan;
- Kondisi baseline KKL/non
KKL
- Dampak sosial ekonomi
dari KKL
Model Hybrid Bioekonomi &
Policy Recommendation
Modified Model
Gambar 2 Kerangka pikir penelitian untuk melihat interaksi antara karakteristik,
permasalahan dan kebijakan KKL serta pemodelan bioekonomi
Terdapat interaksi yang kompleks dalam pengembangan perikanan
tangkap, KKL dan pulau-pulau kecil, yang ditandai adanya berbagai
permasalahan, misalnya telah terjadi overcapacity, overfishing, degradasi,
deplesi, pengembanagn KKL dianggap tidak efektif, tidak mensejahterakan
masyarakat, bahkan menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan. Permasalahan
tersebut menjadi penghambat dalam melajunya pengembangan pengelolaan
perikanan berkelanjutan (Gambar 3).
Dengan adanya interaksi yang kompleks dan permasalahan tersebut, pada
dasarnya pengelolaan perikanan tangkap dan KKL di pulau-pulau kecil dapat
dilakukan dengan benar-benar diarahkan untuk menuju pengelolaan perikanan
berkelanjutan.
Pada
prinsipnya
penerapan
KKL
dalam
kaitan
untuk
pengembangan perikanan tangkap adalah adanya spill over effect, yang kemudian
perlu dikelola dengan baik agar dapat memberikan manfaat biologi, sosial dan
ekonomi optimal serta berkelanjutan (Gambar 3).
23
- Terjadi overcapacity (FAO 2000);
- Terjadi overfishing (DKP 2008);
- Terjadi depresiasi (Fauzi & Anna 2005);
- Terjadi degradasi (Fauzi & Anna 2005);
PERMASALAHAN:
- KKL dianggap kurang efektif (Fauzi & Anna 2005);
- Kesejahteraan menurun (Vivekanandan 2007);
- Sosialisasi dan informasi kurang (Failler 2007);
- Terjadi benturan sosial budaya (Failler 2007).
Interaksi Perikanan Tangkap
dan KKL di PPK
Bagaimana
Mengelola
Spill Over Effect
Spill Over
Effect
Ya
Apakah
spill over effect sdh
dipertimbangkan?
Analisis Persepsi
Masyarakat (PSR) thd
Kondisi Bio-Sos-Ek
sekitar KKL di PPK
Tidak
Karakteristik Perikanan
Tangkap di KKL di PPK
Karakteristik KKL
di PPK
Karakteristik Sosek
disekitar KKL di PPK
Optimasi Perikanan
Tangkap di KKL
di PPK
Perubahan
Produktivitas KKL
di PPK
Direct/Indirect Income
Masyarakat di sekitar
KKL di PPK
Bioekonomi KKL
di PPK
Valuasi Ekonomi
KKL di PPK
Direct Survey dan
Secondary Sources
Dampak Biologi, Sosial dan Ekonomi
Penerapan Instrumen KKL di PPK
Implikasi keberadaan KKL di PPK
dalam pengelolaan perikanan tangkap
yang berkelanjutan
Policy:
Model bioekonomi dan pengembangan
KKL di PPK yang optimal secara biososio-ekonomi dan berkelanjutan
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian untuk melihat keterkaitan antara spill over
effect dan solusi pemodelan yang dapat dikembangkan
Untuk mengetahui dampak penerapan KKL di pulau-pulau kecil
diperlukan identifikasi karakteristik perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau
kecil, karakteristik KKL di pulau-pulau kecil dan karakteristik sosial ekonomi
masyarakat di sekitar KKL di pulau-pulau kecil. Dari identifikasi tersebut dapat
24
diperoleh optimasi perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil, perubahan
produktivitas KKL di pulau-pulau kecil, direct/indirect income masyarakat di
sekitar KKL di pulau-pulau kecil, dengan melakukan analisis bioekonomi, valuasi
ekonomi dan direct survey/secondary sources. Hasil akhir dari analisis tersebut
dapat diketahui dampak biologi, ekonomi dan sosial dari penerapan KKL di
pulau-pulau kecil (Gambar 3).
Diharapkan dengan mengetahui dampak biologi, sosial dan ekonomi dari
penerapan
instrumen KKL di pulau-pulau kecil
dapat disusun implikasi
keberadaan KKL di pulau-pulau kecil dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan
dan dapat dirumuskan model pengembangan KKL di pulau-pulau kecil yang
optimal secara biologi, ekonomi dan sosial serta berkelanjutan dan diperoleh pula
solusi pemodelan hybrid bioekonomi yang sesuai, dengan spill over effect sebagai
faktor dominan pengembangan KKL (Gambar 3).
1. 6 Kebaruan (Novelty) Penelitian
Dengan melalui serangkaian penelitian, dari perumusan masalah,
penentuan kerangka pikir, metodologi, pelaksanaan analisis dan perumusan hasil,
diperoleh kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah model hybrid bioekonomi
yang diberi nama model Haryani-Fauzi atau model HF, yang dikembangkan
dengan memodifikasi model bioekonomi konvensional Gordon-Schaefer, yaitu
memasukkan faktor limpahan (spill over effect) sebesar  (beta). Model HF
tersebut adalah:
dx
 rx (1  x / K )   x  qxE
dt
(1.1)
Nilai x dihitung dengan model HF-1 yaitu:
x
KqE K
 (r   )
r
r
(1.2)
dan nilai h dihitung dengan model HF-2 yaitu:
h
q2 K 2 
qK 
E   qK 
r
r


E

(1.3)
25
serta nilai TR dihitung dengan model HF-3 yaitu:
T R 
pq 2 K 2 
qK  
E   qK 
E
r
r 

(1.4)
Dengan model numerik hybrid bioekonomi tersebut, dapat dijelaskan bahwa
model Haryani-Fauzi atau model HF, adalah model hybrid bioekonomi yang
melihat aspek besaran spill over effect sangat penting dalam keberhasilan
pengelolaan KKL, dengan memberikan keragaan lebih baik jika dibandingkan
dengan model bioekonomi KKL lainnya.
Download