1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Allah SWT potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yaitu memiliki sekitar 3.000 jenis ikan di perairan laut dan tawar (DKP 2006 dan 2007a). Belum lagi posisi Indonesia yang berada di wilayah pusat segitiga terumbu karang dunia atau biasa disebut “the coral reef triangle” yang dikenal pula oleh masyarakat dunia sebagai wilayah “the amazone sea”, memiliki berbagai jenis terumbu karang yang tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia yang keanekaragamannya hampir mencapai 75% dari seluruh terumbu karang dunia (DKP 2007g). Indonesia juga memiliki berbagai jenis mangrove, lamun dan sumberdaya ikan lainnya, sehingga sangat pantas bila masyarakat dunia menempatkan Indonesia sebagai negara mega biodiversity (Dahuri 2003; BAPPENAS 2003). Kekayaan sumberdaya ikan tersebut merupakan aset nasional yang sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 harus digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya terjadi paradoks, terbukti dengan 8.090 desa pesisir dan 16,42 juta jiwa penduduknya, yang terdiri dari 3,91 juta KK masih miskin dengan poverty headcount index sebesar 0,3214 atau 32,14% (DKP 2007b dan 2007c) belum lagi penduduk miskin lainnya yang bermukim di pedesaan di luar wilayah pesisir. Kondisi tersebut diperparah dengan status sumberdaya ikan yang diduga telah terdegradasi sehingga stok sumberdaya ikan menurun. Data terbaru DKP (2008) menyatakan bahwa sebagian besar wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia telah overfishing dan dalam kondisi kritis. Walaupun sebenarnya tidak hanya di Indonesia, bahkan secara global terjadi penurunan produksi perikanan yang sangat tajam dan diperkirakan lebih dari 75% stok ikan dalam kondisi fully atau heavely-exploited dan overexploited atau depleted mencapai 24% sejak pertengahan tahun 1970’an (FAO 2004). Produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan menurun hanya mencapai 7,8% atau 1,6% per tahun selama lima tahun (1995-1999). Terjadinya penurunan produksi tersebut sangat merugikan masyarakat dan memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Oleh sebab 2 itu diperlukan berbagai upaya untuk menangani penurunan stok ikan, antara lain melalui pengelolaan perikanan berkelanjutan sebagaimana mandat dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Berbagai instrumen juga terus dikembangkan dalam upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan, mulai dari pendekatan biologi dengan penerapan maximum sustainable yield (MSY) dan ekonomi dengan maximum economic yield (MEY) yang hingga saat ini di Indonesia masih diterapkan (walaupun di negara maju sudah ditinggalkan sejak sekitar tahun 1960), hingga penerapan instrumen pengelolaan perikanan tangkap melalui prinsip-prinsip ekonomi rasionalisasi. Walaupun faktanya cukup berhasil diterapkan di negara maju, namun tidak begitu berhasil di negara-negara berkembang dan oleh sebab itu instrumen tersebut mulai ditinggalkan sejak tahun 1980’an (Fauzi dan Anna 2005). Fakta berikutnya adalah berkembangnya konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan dengan kebijakan pengembangan kawasan konservasi laut (KKL) atau lebih populer marine protected area (MPA), yang merupakan salah satu alternatif kebijakan yaitu sebagai instrumen untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan yang mulai bergema pada tahun 1990’an. Sebenarnya instrumen ini telah diperkenalkan oleh pemerintah Finlandia sejak tahun 1800’an, dengan membangun kawasan seperti itu di wilayah perairan pesisirnya (Fauzi dan Anna 2005). Penerapan kebijakan ini sungguh menggembirakan, dilaporkan sampai dengan tahun 2000’an telah terbangun lebih dari 1000 KKL di seluruh dunia, dan pada tahun 2020 diharapkan akan terbangun KKL seluas area 10% dari seluruh wilayah laut di dunia (Anna 2006). Namun dari berbagai jenis instrumen kebijakan, KKL adalah instrumen yang paling banyak menimbulkan kontroversi terutama di negara berkembang. Kontroversi tersebut diantaranya bahwa pengembangan KKL diyakini masyarakat cenderung hanya mengutamakan aspek perlindungan sumberdaya ikan semata, tidak mensejahterakan masyarakat dan bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan karena dirusak masyarakat yang menganggap KKL merugikan mereka. Di Indonesia sendiri, kebijakan pengembangan KKL sejak lama dimulai yaitu sekitar tahun 1990’an, ketika Departemen Kehutanan mengembangkan Taman Nasional Laut dan sejenisnya, sebagai implementasi dari Undang-undang 3 No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Demikian pula Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan yang mengembangkan suaka perikanan sebagai mandat Undang-undang No. 9 tahun 1987 tentang Perikanan. Pengembangan KKL yang sangat pesat, dimulai dengan telah dimandatkan perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya pada pasal 1 angka (8) dan pasal 13 ayat (1) dan (2); dimana undangundang tersebut diubah menjadi Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kemudian pengaturan lebih lanjut tentang KKL dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Kebijakan ini disambut hangat oleh masyarakat, seiring dengan penempatan kelautan dan perikanan sebagai prime mover perekonomian Indonesia pada tahun 2000’an. Walaupun sebenarnya instrumen kebijakan pengembangan KKL merupakan instrumen komplemen dari berbagai instrumen yang ada, seperti instrumen MSY dan MEY, namun telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan terutama terkait dengan luasan areanya. Sampai dengan akhir tahun 2009, di Indonesia telah terbangun KKL lebih kurang seluas 13.529.067,00 Ha (KKP 2010), yang institusi pengelolanya dibedakan atas tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan dan juga Kementerian Kehutanan. Diharapkan sampai dengan tahun 2020 dapat terbangun KKL seluas 20 juta Ha di seluruh Indonesia (Komitmen Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya pada COP-8 Convention on Biological Diversity di Brazil 20-31 Maret 2006) (Haryani et al. 2008). Kemudian dari hasil World Ocean Conference di Manado pada Mei 2009 yang lalu, yang telah menghasilkan Manado Ocean Declaration yang didalam substansinya menyebutkan pula bahwa, pengelolaan ekosistem pesisir merupakan kesepakatan kelautan global yang menjadi dasar penting bagi penguatan strategi pengelolaan ekosistem ini, yang didalamnya termasuk pula pengembangan KKL. Selain pengembangan KKL sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam rangka pengelolaan perikanan berkelanjutan, perkembangan paradigma berikutnya adalah dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu 4 berkembangnya prinsip-prinsip integrated coastal managament (ICM) yang kemudian menjadi integrated coastal and oceans management (ICOM), yang keduanya sama-sama menempatkan pentingnya pengembangan KKL. Berkembangnya paradigma tersebut di atas telah menambah kompleksitas permasalahan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan juga telah mendorong berkembangnya KKL, yang diminati para stakeholders terutama Pemerintah Daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi dan juga nasional. Demikian pula lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pengembangan KKL baik internasional maupun nasional seolah berlomba bermunculan. Bahkan dengan di syahkannya Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang didalamnya juga mengatur tentang KKL, maka semakin bermunculanlah KKL baru di wilayah perairan Indonesia. Pertanyaan mendasar kemudian, apakah memang stakeholders telah memahami kontroversi-kontroversi pengembangan KKL sebagaimana telah disebutkan di atas? Atau kelompok tertentu saja yang memahami, sementara masyarakat terus mempertanyakan keuntungannya bahkan mungkin menjadi korban? Pengembangan KKL secara ekologis memang dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan laut di Indonesia, yang diduga telah mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak, yang mengancam keberlanjutan keanekaragaman sumberdaya ikan. Di sisi lain dampak sosio-ekonomi pengembangan KKL bagi masyarakat masih diragukan, terutama nelayan skala kecil yang memang kelompok dominan di negara-negara berkembang, yang biasanya mata pencahariannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan di laut. Bahkan di pertemuan-pertemuan para pakar tingkat dunia, pengembangan KKL selalu menjadi bahan pembahasan. Seperti halnya Vivekanandan (2007) pada suatu pertemuan di Belanda menggambarkan bahwa pengembangan KKL sebagai instrumen independen dalam melindungi ekosistem laut, cenderung menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang berdampak pada penurunan pendapatan nelayan skala kecil yang jumlahnya memang dominan, karena ditutupnya sebagian dari kawasan penangkapan ikan mereka. Failler (2007) selanjutnya menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di sekitar KKL menunjukkan adanya perlawanan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam 5 jangka pendek penetapan KKL memang sering menimbulkan konflik, sehingga perlu mekanisme untuk meyakinkan bahwa KKL menguntungkan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun panjang. Masyarakat berpendapat bahwa sebaiknya penetapan KKL harus lebih mengedepankan perlindungan terhadap endangered species daripada penetapan area fisik. Dalam kondisi seperti ini, hal yang paling penting dilakukan adalah justifikasi mengenai dampak dari pembangunan KKL, yaitu selain dampak biologi yang sudah pasti sangat menguntungkan karena dampak spill over, di mana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, juga dampak positif terhadap kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitarnya. Belum lagi manfaat positif lainnya, yaitu perannya dalam perubahan iklim. Karena kondisi yang terpelihara dari terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang ada di dalam perairan di lokasi KKL, sangat penting perannya sebagai sumber dan penyerap karbon (CO2), yang sangat penting dalam strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim (Haryani et al. 2008). Justifikasi ini selain akan menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini, juga sebagai bahan sosialisasi pada masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap dan masyarakat pesisir lainnya. Justifikasi yang berkaitan dengan bio-sosio-ekonomi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada stakeholders akan arti pembangunan KKL, sehingga dapat menjelaskan strategi pengembangan KKL yang optimal secara bio-sosio-ekonomi yang dapat menjamin lestarinya keanekaragaman sumberdaya ikan, terkelolanya perubahan iklim di laut dan sejahteranya masyarakat secara keseluruhan. Justifikasi bio-sosio-ekonomi lebih mendalam penting pula dilakukan, bahwa KKL secara optimal dapat dikembangkan selain di perairan laut terbuka dapat pula dikembangkan di perairan laut wilayah gugus pulau-pulau kecil, yang sudah pasti masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Berdasar data DKP (2007f) dari seluruh KKL yang ada di Indonesia, hampir 70% dikembangkan di gugus pulau-pulau kecil, karena ekosistem pulau-pulau kecil biasanya memiliki potensi sumberdaya ikan yang tinggi, karakteristik sumberdaya ikan yang unik dengan tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi (DKP 2001, 6 2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006). Sayangnya ekosistem pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan ekologis, berada di wilayah terisolasi, masyarakat di sekitarnya biasanya miskin dan kehidupannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan setempat, sementara itu sebenarnya pemanfaatan sumberdaya di pulau-pulau kecil bersifat multi guna (multiple use) dimana berbagai kegiatan memiliki hak atas akses dan pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini (DKP 2001, 2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006). Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang sarat akan pembatasan aktivitas misalnya pembatasan area penangkapan ikan. Walaupun secara nasional salah satu pemanfaatan pulau-pulau kecil yang direkomendasikan oleh Pemerintah adalah untuk pengembangan KKL, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000 Jo. No. 67 tahun 2002. Alternatif pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang sangat memungkinkan, interaksi dinamis juga akan terjadi dengan peran masing-masing komponen yang saling bertentangan tersebut. Oleh sebab itu harus diikuti pengelolaan yang dapat menjamin pengalokasian sumberdaya pada luasan dan spatial yang tepat, sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat, namun tetap menjamin lestarinya sumberdaya ikan. Sebuah fakta bahwa KKL di pulau-pulau kecil memang sangat unik dan di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1990’an, ketika Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, yang merupakan gugus pulau kecil, dengan luas 107.489 Ha ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 162/Kpts-II/1995 tanggal 23 Maret 1995. Kemudian baru-baru ini telah berkembang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat, yang diinisiasi oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah daerah setempat, serta telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai KKL pada tanggal 12 Mei 2007, dengan kondisi ekosistemnya berada di gugus pulau kecil yang masih relatif alami dan terjaga. Keberadaan KKL di gugus pulau kecil sangat menarik untuk dikaji dan digunakan untuk menganalisis pengembangan dan efektivitas pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil. 7 Selain justifikasi dan fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, menarik pula untuk dibuktikan bahwa pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang menguntungkan secara biologi, sosial dan ekonomi. Pembuktiannya tentu tidak mudah karena berbagai variabel harus dianalisis, yang sudah pasti variablevariable tersebut bukanlah variable sederhana melainkan sangat kompleks. Oleh sebab itu perlu didekati dengan pengembangan sebuah pemodelan bioekonomi untuk pengembangan KKL, yang dapat menyederhanakan variable-variable kompleks tersebut, yang dapat menjelaskan bahwa pengembangan KKL di pulaupulau kecil menguntungkan dan menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Pada penelitian-penelitian ataupun referensi yang ada, pemodelan yang sudah berkembang untuk pengelolaan sumberdaya ikan adalah model sederhana yaitu model bioekonomi sumberdaya perikanan (Fauzi dan Anna 2005). Model untuk pengelolaan pulau-pulau kecil yang ada sampai dengan saat ini hanyalah model-model klasik yang mengkaji tentang interaksinya dengan perikanan ataupun pariwisata (Efrizal 2005 dan Parwinia 2007). Sementara itu untuk pemodelan bioekonomi pengembangan KKL, juga masih sangat sederhana yang hanya menganalisis interaksi sosial ekonomi, namun belum memadukan dengan aspek biologinya (Fauzi dan Anna 2005). Bahkan Fauzi dan Anna 2005, juga baru mengembangkan pemodelan bioekonomi untuk KKL dengan faktor luasan KKL sebagai indikatornya, namun belum memasukkan dampak spill offer dalam pemodelannya, sementara dampak spill offer sebenarnya merupakan indikator dominan keberhasilan KKL. Dalam rangka menjembatani kelemahan dari pemodelan yang telah ada dan untuk mendapatkan pemodelan yang tepat, diperlukan kajian-kajian ilmiah yang komprehensif. Pemodelan yang tepat dapat berupa pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengelolaan KKL yang dapat menghitung potensi dan nilai ekonomi sumberdaya ikan dan keuntungan-keuntungan biologi, sosial dan ekonomi secara tepat, dengan mempertimbangkan sifat dan paradigma pengembangan KKL dan keinginan masyarakat. Model hybrid bioekonomi dapat merupakan kombinasi dari beberapa model bioekonomi yang sudah ada, atau penambahan parameter tertentu kedalam model konvensional yang sudah ada untuk mendapatkan penyempurnaan, sehingga pemodelannya lebih elastis (Hicks 8 1964). Oleh sebab itu disertasi ini disusun untuk menjawab permasalahan diatas dan menjawab keinginan masyarakat bahwa KKL perlu terus dikembangkan, pulau-pulau kecil terus dimanfaatkan, namun tetap dapat menjamin pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan, keanekaragaman hayati laut tetap terjaga, fenomena perubahan iklim dapat diantisipasi dan masyarakat sejahtera. 1.2 Identifikasi Masalah 1.2.1 Keberlanjutan sumberdaya perikanan Menurut Nikijuluw (2002) bahwa dua per tiga wilayah Indonesia adalah perairan laut yang terdiri dari perairan pesisir, laut lepas, teluk dan selat. Keseluruhannya adalah bagian dari perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 . Selain itu Indonesia juga memiliki hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE), yaitu perairan yang berada 12 mil hingga 200 mil dari garis pantai titik-titik terluar kepulauan Indoensia. Luas ZEE sekitar 2,7 juta km2 dengan demikian Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. Selain sumberdaya perairan, Indonesia juga memiliki sekitar 17.508 pulau yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Nikijuluw (2005) selanjutnya menyebutkan bahwa secara nasional potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 72%, yang berarti telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir jenuh. Oleh sebab itu melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, telah disebutkan bagaimana pengelolaan perikanaan Indonesia harus dilakukan dengan melalui 11 WPP yaitu: (1) WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan LautAndaman, (2) WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, (3) WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat, (4) WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, (5) WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa, (6) WPP-RI 713 meliputi perairan 9 Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali, (7) WPP-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda, (8) WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau, (9) WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, (10) WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, dan (11) WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Kondisi sumberdaya ikan sebagaimana tersebut diatas dapat dikonversi dalam moneter dan non moneter dan dalam kondisi keseimbangan akan memberikan manfaat optimum, namun sebaliknya akan memberikan manfaat minimal bahkan sangat merugikan apabila dalam kondisi tidak seimbang, yaitu manakala pada beberapa perairan di Indonesia masih memiliki potensi yang berlebih, sedangkan pada beberapa perairan lainnya mengalami gejala penurunan jumlah tangkapan ikan (depresiasi sumberdaya perikanan), baik karena eksploitasi yang berlebihan maupun karena menurunnya kualitas perairan, sebagaimana yang terjadi saat ini di wilayah perairan laut Indonesia. Fauzi dan Anna (2002a) menyebutkan bahwa sumberdaya ikan di perairan pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Pada skala global telah terjadi pula hal yang sama, besarnya dampak dari depresiasi sumberdaya ikan ini diilustrasikan dengan estimasi biaya yang dikeluarkan untuk produksi global perikanan laut sekitar U$ 124 milyar dollar per tahun, namun hanya menghasilkan penerimaan sebesar U$70 milyar dollar (Mace 1997). Sebesar U$ 54 milyar dollar ternyata merepresentasikan berbagai subsidi pemerintah terhadap industri perikanan, yang justru menambah tingkat tangkap lebih dan inefisiensi ekonomi dari industri perikanan (Davis dan Garthside 2001). Demikian pula di Asia Tenggara, bahwa seluruh perairan pesisir sampai 12 mil dari darat telah mengalami over fishing (FAO 2004). Kemudian sebagai negara pusat segitiga terumbu karang dunia (the coral reef triangle), Indonesia memiliki keanekaragaman jenis hampir 75% dari terumbu karang dunia, dengan lebih dari 600 spesies (DKP 2007g). Estimasi luas terumbu karang di Indonesia sekitar 51.000 km2, dengan kondisi lingkungan yang terus menurun kualitasnya, proporsi terumbu karang yang terdegradasi meningkat 10 dari 10-50% (Suharsono 1998). Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent = tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup), sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (hanya terdiri dari 25% tutupan terumbu karang hidup) (Suharsono 1998). Kemudian untuk penurunan keanekaragaman hayatinya berkisar 30-60% (DKP 2007h). Demikian pula untuk sumber daya pesisir lainnya seperti mangrove, kondisinya boleh dikatakan telah terdegradasi, dengan sekitar 70% dalam kondisi rusak, sebagai akibat dari illegal logging, pemanfaatan mangrove untuk pengembangan industri pulp, bangunan, kayu bakar, arang bakau, kawasan pemukiman, wisata, maupun untuk pembukaan kawasan budidaya tambak (Kementerian Kehutanan 2009). Di kawasan Segara Anakan misalnya, diperkirakan sekitar 1.454 Ha ekosistem mangrove telah hilang dan dikonversi menjadi berbagai penggunaan lainnya seperti tambak ikan, lahan pertanian, pemukiman, dan lain-lain (Fauzi dan Anna 2002b). Belum lagi kondisi padang lamun dan sumberdaya pesisir dan laut lainnya, yang kemudian telah menyebabkan menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan di perairan laut Indonesia, sehingga pada beberapa jenis telah dinyatakan terancam punah dan harus dimanfaatkan terbatas, bahkan ada yang telah dinyatakan punah. Permasalahan-permasalahan di atas merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan sumberdaya ikan yang harus dicarikan solusinya, agar tidak terjadi paradoks sebagaimana selama ini, yaitu wilayah pesisir dan laut memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun relatif rendah laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini masyarakat pesisir di Indonesia yang mengandalkan pada potensi sumberdaya ikan adalah masyarakat yang masih dililit kemiskinan. Hal ini diakibatkan oleh sumberdaya alam masih dianggap sebagai satu-satunya andalan yang paling mudah digali, terutama oleh nelayan dan merupakan sumberdaya yang open acsess. Dimana sebenarnya letak kesalahan kita sehingga kondisi-kondisi di atas terjadi? Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ikan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, pada dasarnya hal paling mendasar yang menjadi tulang 11 punggung keberhasilannya adalah masalah perencanaan. Di samping itu juga aspek pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan yang memang masih lemah. Kemudian penerapan instrument apakah yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahn tersebut? Bagaimana pengelolaan sumberdaya ikan yang benar agar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat namun dapat menjamin keberlanjutan sumber dayanya? 1.2.2 Kawasan konservasi laut Prinsip KKL adalah spill over effect atau dampak limpahan (Fauzi dan Anna 2005). Selanjutnya KKL memiliki banyak manfaat signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan dijelaskan bahwa KKL dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Li (2000) yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2005) juga menjelaskan bahwa KKL bermanfaat untuk peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement). Manfaat-manfaat tersebut yang sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa KKL memiliki nilai ekonomi yang tidak hanya bersifat tangible (terukur), namun juga tidak terukur (intangible). Manfaat terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan, baik yang dikonsumsi maupun tidak, sementara manfaat tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang. Secara ekonomi, KKL dapat diibaratkan sebagai investasi sumber daya di masa mendatang (Fauzi dan Anna 2005). Beberapa studi berkaitan dengan penerapan KKL mengindikasikan bahwa proteksi kawasan laut dari akivitas penangkapan ikan akan menyebabkan perubahan cepat dan dramatis terhadap populasi dan habitat ikan (Gell and Roberts 2002). Sebagai gambaran secara nasional, berdasarkan data pada KKP (2010), bahwa luas KKL sampai dengan akhir tahun 2009 yang diinisiasi oleh Kementerian Kehutanan adalah 5.426.092 Ha dan diinisiasi oleh Kementerian 12 Kelautan dan Perikanan serta Pemda sekitar 20.270.629 Ha. Inisiasi Kementerian Kehutanan terdiri dari: (1) 4.045.049,00 Ha Taman Nasional Laut (TNL), (2) 767.610,15 Ha Taman Wisata Alam Laut (TWAL), (3) 274.215,45 Ha Cagar Alam Laut (CAL) dan (4) 339.218,25 Suaka Margasatwa Laut (SML). Inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Pemda terdiri dari: (1) 3.521.130 Ha Kawasan Konservasi Perairan Nasional (Taman Nasional Perairan Laut Sawu), (2) 3.155.572 Ha Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), (3) 13.591.406 Ha calon KKLD, (4) 2.086 Ha Daerah Perlindungan Laut/Mangrove (DPL/DPM) dan (5) 453 Ha Suaka Perikanan. Bermunculannya KKL tersebut dan pendapat masyarakat yang pro dan kontra, perlu penanganan serius dan perlu justifikasi oleh Pemerintah secara jelas, agar tujuan pengelolaan KKL benar-benar dapat memenuhi tujuan biologi dan tetap dapat mensejahterakan masyarakat, sehingga pro dan kontra bisa menjadi minimal. 1.2.3 Dampak pembangunan terhadap pulau-pulau kecil Pelaksanaan pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil yang diarahkan pada kesejahteraan masyarakat, merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas pembangunan yang dilaksanakan maka semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan yang akan terjadi di pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat dalam pengelolaannya. Pola pengelolaan sumberdaya alam yang baik harus dapat menempatkan sumberdaya alam tersebut sebagai subyek dan obyek pembangunan sehingga dapat berperan dalam pembangunan regional maupun nasional secara menyeluruh, berlanjut dan berkesinambungan, dimana pembangunan suatu wilayah pada hakekatnya merupakan suatu upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang ada untuk kesejahteraan manusia secara lestari. Sehingga dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, terlebih lagi dalam suatu gugusan pulau-pulau kecil, akan timbul permasalahan jika kegiatan pembangunan dan hasil yang akan dicapai tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan yang 13 diharapkan. Adapun tujuan pengelolaan yang diharapkan adalah agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, dalam arti kesejahteraan masyarakat dapat meningkat tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat merugikan kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Pembangunan yang berkesinambungan di wilayah pulau-pulau kecil menjadi perhatian penting mengingat dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan. Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil sebagaimana dijelaskan dalam DKP (2001, 2005, 2007d, 2007e), Retraubun dan Atmini (2004) dan Bengen dan Retraubun (2006), akan mendatangkan dampak positif atau manfaat antara lain: (1) Secara ekonomi potensi sumberdaya hayati dan non hayati begitu besar sehingga jika pulau-pulau kecil berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, maka akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru; (2) Secara sosial pengembangan kawasan pulau-pulau kecil akan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di kawasan pulau-pulau kecil serta dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah; (3) Secara geopolitik pengembangan pulau-pulau kecil terutama di kawasan perbatasan akan menjamin keamanan dan ketahanan wilayah Indonesia. Dengan berkembangnya wilayah perbatasan, akan mudah mendeteksi ancaman yang datangnya dari negara lain; dan (4) Secara ekologis pengembangan pulau-pulau kecil akan semakin meningkatkan pengawasan terhadap ancaman kerusakan ekosistem akibat faktor alam atau manusia. Beberapa dampak negatif yang dapat terjadi sebagai akibat pengembangan pulau-pulau kecil yang antara lain bersifat fulnerable dan isolated area, dapat dijelaskan dalam DKP (2001, 2005, 2007d, 2007e), Retraubun dan Atmini (2004) dan Bengen dan Retraubun (2006), antara lain adalah: (1) Degradasi lingkungan perairan pulau-pulau kecil, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan/perkembangan jenis-jenis biota laut yang ada diperairan pesisir dan laut; 14 (2) Degradasi lingkungan wilayah daerah aliran sungai (inland) pada pulau-pulau kecil; (3) Pencemaran/polusi; (4) Sedimentasi karena faktor alam (akibat arus/gelombang laut) maupun faktor kegiatan manusia; dan (5) Erosi pantai akibat faktor alam dan aktivitas manusia. Kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan di wilayah pulau-pulau kecil diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman dalam mengatur, mengarahkan serta mengendalikan berbagai aktivitas masyarakat dalam upaya pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir di kepulauan secara terpadu (integrated) dan lestari. Dengan demikian sumberdaya pesisir akan mampu menunjang kegiatan investasi dan usaha masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Adanya dampak positif dan negatif apabila wilayah pulau-pulau kecil dikembangkan, harus menjadi perhatian Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengembangan pulau-pulau kecil. Upaya meminimalisasi dampak negatif harus menjadi prioritas. Oleh sebab itu apakah pengembangan KKL di pulaupulau kecil menguntungkan atau ideal? Atau dampak negatif yang ditimbulkannya dapat minimal? Penting dilakukan suatu upaya untuk pengembangan pulau-pulau kecil yang memberikan manfaat optimum baik secara biologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat mensejahterakan masyarakat baik jangka pendek maupun panjang, serta dampak negatifnya menjadi minimal. 1.2.4 Pemodelan bioekonomi KKL di pulau-pulau kecil Model yang dapat diadopsi sebagai dasar pengembangan KKL adalah model bioekonomi sumberdaya perikanan, dengan pemodelan yang sederhana. Model bioekonomi ini pada dasarnya merupakan pemodelan yang menyangkut bagaimana mengelola sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, yang dimulai dengan model Gordon-Schaefer (Gordon 1954) dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Clark dan Munro (1975). Model untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata (Brander dan Taylor 1998; Casagrandi dan Rinaldi 2002; Maanema 2003), atau Convergen Dual Track Model (CD TRAM) yang 15 mengkaji pengembangan pulau-pulau kecil, interaksi antara perikanan dengan ekosistem mangrove dan dampak kesejahteraannya bagi masyarakat (Efrizal, 2005). Selain itu, Haryadi (2004) mengkaji tentang ada tidaknya manfaat sosial ekonomi KKL di kawasan pulau-pulau kecil dan Parwinia (2007) mengkaji tentang ko-eksistensi pariwisata dan perikanan dengan menggunakan analisis Konvergensi-Divergensi (KODI) serta Indra (2007) yang mengembangkan model bioekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan. Selanjutnya, Fauzi dan Anna (2005) mengembangkan model valuasi ekonomi untuk menentukan apakah suatu KKL dapat dijadikan sebagai kawasan wisata dan sekaligus kawasan perikanan, yang juga mengembangkan model pengelolaan KKL melalui pendekatan bioekonomi dan pendekatan multiple use yang mengakomodasi kepentingan ekonomi di KKL. Dari berbagai contoh hasil penelitian pemodelan yang telah dikembangkan sebagaimana tersebut diatas, menunjukkan bahwa pemodelan yang dikembangkan hanya kajian bioekonomi saja, atau kajian di wilayah pulau-pulau kecil saja, atau di wilayah KKL saja, atau dampak kesejahteraan saja, atau interaksi pariwisata saja, tanpa melihat interaksi pulau-pulau kecil yang dikembangkan untuk KKL. Kemudian dari pemahaman adanya kompleksitas pengelolaan pulau-pulau kecil interaksi dengan KKL, mengharuskan pemikiran untuk mengembangkan suatu pemodelan yang dapat menjawab kondisi tersebut. menjembatani sebagaimana kelemahan-kelemahan tersebut diatas, maka dari Oleh sebab itu untuk model-model perlu dilakukan yang telah penelitian ada yang menghubungkan antara manfaat biologi, sosial dan ekonomi dari pengembangan KKL di pulau-pulau kecil, antara lain melalui pengembangan pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengembangan KKL di gugus pulau-pulau kecil. 1.3 Perumusan Masalah Salah satu upaya penting yang mulai banyak diterapkan dalam mengurangi dampak degradasi sumberdaya ikan adalah pengembangan konservasi melalui pengembangan KKL. Langkah ini dipandang sebagai cara efektif untuk melindungi keanekaragaman hayati laut beserta nilai ekonomi yang terkandung di 16 dalamnya. KKL dibentuk dalam suatu wilayah pesisir dan laut dengan batas geografis yang tegas dan jelas, ditetapkan untuk dilindungi melalui perangkat hukum atau aturan mengikat lainnya, dengan tujuan konservasi sumberdaya hayati dan kegiatan perikanan yang berkelanjutan di sekitar (luar) wilayah KKL. Secara hakiki, maksud ditetapkannya KKL adalah untuk dapat melestarikan fungsi dan pelayanan dari ekosistem (ecosystem services) tersebut bagi keseimbangan ekologis dan kesejahteraan manusia. Kemudian upaya pengelolaan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia masih relatif baru jika dibandingkan dengan upaya-upaya yang sama di wilayah darat. Sementara itu, perangkat kebijakan berkaitan dengan konservasi antara lain Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang No. 17 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan atau Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, serta peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh beberapa Pemerintah Daerah. Selanjutnya dari berbagai referensi dan juga pemberitaan, suatu kewajaran apabila berkembang pemahaman pro dan kontra di masyarakat, antara lain bahwa penetapan sebagian wilayah laut sebagai KKL tidak mensejahterakan masyarakat, karena diikuti dengan penetapan prohibited areas, yang diartikan oleh masyarakat dilarangnya menangkap ikan di kawasan tersebut, sehingga menurunkan hasil tangkapan mereka. Terjadinya pemahaman negatif tersebut oleh masyarakat, disebabkan karena kurangnya informasi mengenai keuntungan ekonomi dan sosial yang diperoleh dari penetapan KKL, serta ketiadaan pengetahuan mengenai manfaat berkelanjutan untuk keperluan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh sebab itu, berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana tersebut pada sub sub 17 sebelumnya dan beberapa uraian tersebut diatas disusun bagan alir pada Gambar 1 untuk merumuskan permasalahan pengelolaan sumberdaya ikan di KKL di pulaupulau kecil, serta untuk merumuskan permasalahan pemodelan bioekonomi untuk pengembangan KKL di pulau-pulau kecil, guna menjelaskan perumusan permasalahan secara menyeluruh dari penelitian ini. Kawasan Perairan dan Pulau-Pulau Kecil (PPK) Potensi SDA Kebijakan Pemanfaatan Kawasan (Penangkapan ikan) Konservasi (Pengembangan KKL) Insufficient/ Ketidaksempurnaan? Permasalahan Terjadi overcapacity (FAO 2000) Terjadi overfishing (DKP 2008) Terjadi depresiasi (Fauzi dan Anna 2005) Terjadi degredasi (Fauzi dan Anna 2005) Permasalahan KKL dianggap kurang efektif (Fauzi & Anna 2005) Menyebabkan kesejahteraan menurun (Vivekanandan 2007) Sosialisasi & informasi terhadap nelayan kurang (Failler 2007) Terjadi benturan sosial budaya (Failler 2007) Mengapa ? Aspek sosial dan ekonomi kurang diperhatikan? Persepsi masyarakat kurang diperhatikan? Diatasi dengan: Model Hybrid Bioekonomi dan Pengembangan KKL Gambar 1 Perumusan masalah pengelolaan sumberdaya ikan di KKL di pulaupulau kecil Permasalahan yang sangat penting pula, bahwa sumberdaya alam di pulaupulau kecil perlu dimanfaatkan dengan berkelanjutan dan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat secara permasalahan dari pengembangan signifikan. KKL di Pada pulau-pulau dasarnya kecil akar adalah pengelolaannya yang belum optimal dan sosialisasi terhadap masyarakat yang kurang. Sementara apabila dilihat dari tujuan mengembangan KKL sudah pasti akan memberikan dampak bio-sosio-ekonomi yang sangat signifikan, sehingga sudah pasti akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat baik jangka pendek dan panjang. 18 Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut: (1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap performance ataupun kondisi umum sumberdaya ikan dan pengelolaannya di lokasi penelitian? Artinya bagaimana kondisi biogeofisik dan pemanfaatan sumberdaya ikan berdasarkan persepsi masyarakat di lokasi penelitian? Khususnya ditinjau dari aspek mengapa dikembangkan KKL, apakah KKL menguntungkan dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap tingkat keberlanjutan sumberdaya ikan? (2) Berapa nilai parameter biologi sumberdaya ikan di lokasi penelitian? Artinya apakah nilai biomas (x), pertumbuhan alami (r), koefisien daya tangkap (q) dan kemampuan daya dukung lingkungan (K) di lokasi penelitian berada pada level yang menjamin pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan? (3) Bagaimana performance baseline (keadaan tanpa dan dengan instrumen pengelolaan KKL) perikanan tangkap aktual dan kondisi sustainable (MSY dan MEY) di lokasi penelitian? Artinya berapa nilai dan level biomas, produksi, effort dan rente sumberdaya ikan di KKL di pulau-pulau kecil pada kondisi sultainable yield, economic yield dan open access? (4) Berapa luasan KKL di pulau-pulau kecil di lokasi penelitian yang menjamin manfaat biologi, ekonomi dan sosial dengan optimal? (5) Berapa potensi dan nilai ekonomi KKL di pulau-pulau kecil di lokasi penelitian? Berapa pula nilai manfaat dan non manfaat sumberdaya ikan di lokasi penelitian dalam kaitan dengan potensi keanekaragaman hayati? (6) Bagaimana nilai spill over effect KKL terhadap keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di lokasi penelitian? Artinya adakah perubahan produktivitas di lokasi penelitian sebagai dampak penerapan KKL? Atau bagaimana menghitung spill over effect dan bagaimana mengelolanya? (7) Bagaimana dampak ekonomi dan sosial pada penerapan KKL di pulaupulau kecil? Artinya bagaimana pengaruh terhadap kesejahteraan ataupun income masyarakat (pelaku perikanan tangkap)? Bagaimana pula dampak penerapan KKL terhadap pemerintah? 19 (8) Bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal berkaitan dengan penerapan KKL di pulau-pulau kecil yang menjamin manfaat biologi, sosial dan ekonomi maksimum? 1.4 Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Atas dasar identifikasi dan perumusan permasalahan sebagaimana tersebut di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah “mengembangkan model hybrid bioekonomi untuk pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil, berbasis perikanan tangkap yang dapat mensejahterakan masyarakat”. Tujuan umum tersebut kemudian dijabarkan kedalam 4 (empat) tujuan khusus, yaitu: (1) Menganalisis kondisi umum sumberdaya ikan, KKL dan masyarakat; (2) Menganalisis performance baseline (sebelum penerapan KKL) perikanan tangkap pada kondisi MSY, MEY/sole owner dan open access, dibandingkan dengan performance setelah penerapan KKL di pulau-pulau kecil; (3) Menganalisis dampak sosial ekonomi pengembangan KKL terhadap nelayan perikanan tangkap; dan (4) Menyusun model bioekonomi KKL yang mempertimbangkan faktor dominan dalam pengelolaan KKL. 1.4.2 Kegunaan hasil penelitian Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dihasilkan model hybrid bioekonomi KKL yang dapat digunakan untuk pengembangan KKL. Model tersebut dapat dihasilkan dengan menganalisis aspek biologi-sosialekonomi dalam pengembangan KKL, sehingga didapatkan gambaran yang jelas dan komprehensif untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan. Hasil penelitian juga dapat digunakan untuk menentukan model pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil yang efisien sehingga dapat mengklarifikasi pro dan kontra masyarakat tentang pengembangan KKL di pulau-pulau kecil. Pemodelan bioekonomi yang dihasilkan dari penelitian ini, diharapkan dapat digunakan pula untuk mengkuantifikasi spill over effect di kawasan KKL, sehingga dapat 20 membantu Pemerintah dalam penentuan kebijakan pengelolaan KKL di pulaupulau kecil yang terukur. 1.5 Kerangka Pemikiran KKL merupakan “marine reserve” yang dinilai cukup penting dan handal sebagai fisheries management toll untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan (Cote dan Finney 2006). Pengembangan KKL di Indonesia sebagian besar yaitu hampir 70% berada di wilayah pulau-pulau kecil (DKP 2007f). Disisi lain pulau-pulau kecil secara fisik, ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya sangat rentan terhadap dampak kegiatan manusia maupun faktor alam. Dari berbagai pengamatan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil, sebagaimana disebutkan dalam DKP (2001, 2005, 2007d, 2007e), Retraubun dan Atmini (2004) dan Bengen dan Retraubun (2006), bahwa ditemukan permasalahan mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan PPK antara lain: (1) Secara ekologis pulau-pulau kecil rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami; (2) Memiliki banyak spesies endemik dan keaneka-ragaman hayati tipikal yang bernilai tinggi, sehingga bila terjadi perubahan lingkungan maka akan mengancam keberadaan spesies-spesies endemik tersebut; (3) Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan; (4) Pemanfaatan potensi sumberdaya laut dan alam yang belum optimal karena letak dan kondisi geografis yang jauh dan terisolir, sehingga kebanyakan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni atau lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar pulau sebagai lahan pertanian dan perkebunan; (5) Pembangunan aksesibilitas merupakan salah satu permasalahan yang sangat besar dalam pengembangan pulau-pulau kecil; (6) Lemahnya pengawasan dan pengamanan di pulau-pulau kecil terhadap berbagai kegiatan, antara lain: pembuangan limbah, penyelundupan, penangkapan ikan karang, pencurian jenis biota laut penting, dan penambangan pasir laut; 21 (7) Masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil biasanya taraf hidup dan tingkat kesejahteraannya rendah, terisolir dan sumber penghidupannya tergantung pada sumberdaya alam yang ada disekitarnya; (8) Diperlukan investasi besar bagi pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil; (9) Terbatasnya dana bagi pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil; (10) Belum ada klasifikasi keadaan biofisik dan sosial ekonomi pulau-pulau kecil sebagai acuan dalam pengelolaan alokasi sumberdaya alam agar efektif. Pulau-pulau kecil menghadapi masalah dalam pengembangannya karena sifatnya yang multiple use, letaknya yang menyebar, dan tidak seluruhnya berpenduduk serta memiliki potensi ekonomi. Interaksi pemanfaatan antara yang satu dengan lainnya akan menimbulkan pergesekan jika tidak ada koordinasi, seperti pemanfaatan perikanan tangkap dengan penerapan KKL. Pengelolaan perikanan tangkap identik dengan “produksi dan kesejahteraan masyarakat” sedangkan penerapan KKL identik dengan “perlindungan sumberdaya dan non profit”. Kemudian pengembangan pulau-pulau kecil identik dengan “kerentanan, keterbatasan dan pelestarian sumberdaya”. Interaksi di antaranya dapat digambarkan dengan kerangka pikir Gambar 2, yang dapat menjelaskan adanya permasalahan-permasalahan dalam interaksi tersebut, yang dipengaruhi pula oleh penerapan kebijakan nasional yang kemudian mempengaruhi pengelolaan perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil. Dari karakteristik, potensi, permasalahan dan kebijakan yang ada terkait KKL dan pulau-pulau kecil, kemudian digunakan sebagai input pengembangan pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengembangan KKL. Hal ini selanjutnya akan dapat digunakan sebagai solusi kelemahan model bioekonomi yang ada sehingga dihasilkan model hybrid bioekonomi yang lebih tepat untuk diterapkan dalam pengembangan KKL di pulau-pulau kecil, yaitu model bioekonomi KKL yang memperhatikan faktor dominan dalam pengembangan KKL yaitu spill over effect. Model tersebut diharapkan dapat menjamin aspek keberlanjutan sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat, dengan bentuk pemodelan yang lebih dinamis dan lentur yang menjamin pengembangan KKL di pulau-pulau kecil efektif, optimal dan berkelanjutan dari tinjauan aspek biologi, sosial dan ekonomi. 22 Karakteristik internal KKL di PPK Potensi & masalah perikanan tangkap & KKL di PPK Kebijakan nasional KKL & PPK Potensi Pengembangan Model Model yang ada saat ini: - Model bioekonomi KKL dengan luasan, Fauzi dan Anna (2005) - Model PPK-Wisata/ Budidaya, Maanema (2003); PPKKeberlanjutan, Susilo (2003) Perikanan Tangkap Karakteristik PPK KKL Integrasi Menjawab masalah dan kelemahan model Kekurangan model: - Spill over effect tidak eksplisit didalam model; - Aspek/dampak sosial dan tata kelola belum dipertimbangkan, dengan faktor/indikator terbatas. Analisis: - Tingkat keberlanjutan; - Kondisi baseline KKL/non KKL - Dampak sosial ekonomi dari KKL Model Hybrid Bioekonomi & Policy Recommendation Modified Model Gambar 2 Kerangka pikir penelitian untuk melihat interaksi antara karakteristik, permasalahan dan kebijakan KKL serta pemodelan bioekonomi Terdapat interaksi yang kompleks dalam pengembangan perikanan tangkap, KKL dan pulau-pulau kecil, yang ditandai adanya berbagai permasalahan, misalnya telah terjadi overcapacity, overfishing, degradasi, deplesi, pengembanagn KKL dianggap tidak efektif, tidak mensejahterakan masyarakat, bahkan menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan. Permasalahan tersebut menjadi penghambat dalam melajunya pengembangan pengelolaan perikanan berkelanjutan (Gambar 3). Dengan adanya interaksi yang kompleks dan permasalahan tersebut, pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap dan KKL di pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan benar-benar diarahkan untuk menuju pengelolaan perikanan berkelanjutan. Pada prinsipnya penerapan KKL dalam kaitan untuk pengembangan perikanan tangkap adalah adanya spill over effect, yang kemudian perlu dikelola dengan baik agar dapat memberikan manfaat biologi, sosial dan ekonomi optimal serta berkelanjutan (Gambar 3). 23 - Terjadi overcapacity (FAO 2000); - Terjadi overfishing (DKP 2008); - Terjadi depresiasi (Fauzi & Anna 2005); - Terjadi degradasi (Fauzi & Anna 2005); PERMASALAHAN: - KKL dianggap kurang efektif (Fauzi & Anna 2005); - Kesejahteraan menurun (Vivekanandan 2007); - Sosialisasi dan informasi kurang (Failler 2007); - Terjadi benturan sosial budaya (Failler 2007). Interaksi Perikanan Tangkap dan KKL di PPK Bagaimana Mengelola Spill Over Effect Spill Over Effect Ya Apakah spill over effect sdh dipertimbangkan? Analisis Persepsi Masyarakat (PSR) thd Kondisi Bio-Sos-Ek sekitar KKL di PPK Tidak Karakteristik Perikanan Tangkap di KKL di PPK Karakteristik KKL di PPK Karakteristik Sosek disekitar KKL di PPK Optimasi Perikanan Tangkap di KKL di PPK Perubahan Produktivitas KKL di PPK Direct/Indirect Income Masyarakat di sekitar KKL di PPK Bioekonomi KKL di PPK Valuasi Ekonomi KKL di PPK Direct Survey dan Secondary Sources Dampak Biologi, Sosial dan Ekonomi Penerapan Instrumen KKL di PPK Implikasi keberadaan KKL di PPK dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan Policy: Model bioekonomi dan pengembangan KKL di PPK yang optimal secara biososio-ekonomi dan berkelanjutan Gambar 3 Kerangka pikir penelitian untuk melihat keterkaitan antara spill over effect dan solusi pemodelan yang dapat dikembangkan Untuk mengetahui dampak penerapan KKL di pulau-pulau kecil diperlukan identifikasi karakteristik perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil, karakteristik KKL di pulau-pulau kecil dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat di sekitar KKL di pulau-pulau kecil. Dari identifikasi tersebut dapat 24 diperoleh optimasi perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil, perubahan produktivitas KKL di pulau-pulau kecil, direct/indirect income masyarakat di sekitar KKL di pulau-pulau kecil, dengan melakukan analisis bioekonomi, valuasi ekonomi dan direct survey/secondary sources. Hasil akhir dari analisis tersebut dapat diketahui dampak biologi, ekonomi dan sosial dari penerapan KKL di pulau-pulau kecil (Gambar 3). Diharapkan dengan mengetahui dampak biologi, sosial dan ekonomi dari penerapan instrumen KKL di pulau-pulau kecil dapat disusun implikasi keberadaan KKL di pulau-pulau kecil dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan dapat dirumuskan model pengembangan KKL di pulau-pulau kecil yang optimal secara biologi, ekonomi dan sosial serta berkelanjutan dan diperoleh pula solusi pemodelan hybrid bioekonomi yang sesuai, dengan spill over effect sebagai faktor dominan pengembangan KKL (Gambar 3). 1. 6 Kebaruan (Novelty) Penelitian Dengan melalui serangkaian penelitian, dari perumusan masalah, penentuan kerangka pikir, metodologi, pelaksanaan analisis dan perumusan hasil, diperoleh kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah model hybrid bioekonomi yang diberi nama model Haryani-Fauzi atau model HF, yang dikembangkan dengan memodifikasi model bioekonomi konvensional Gordon-Schaefer, yaitu memasukkan faktor limpahan (spill over effect) sebesar (beta). Model HF tersebut adalah: dx rx (1 x / K ) x qxE dt (1.1) Nilai x dihitung dengan model HF-1 yaitu: x KqE K (r ) r r (1.2) dan nilai h dihitung dengan model HF-2 yaitu: h q2 K 2 qK E qK r r E (1.3) 25 serta nilai TR dihitung dengan model HF-3 yaitu: T R pq 2 K 2 qK E qK E r r (1.4) Dengan model numerik hybrid bioekonomi tersebut, dapat dijelaskan bahwa model Haryani-Fauzi atau model HF, adalah model hybrid bioekonomi yang melihat aspek besaran spill over effect sangat penting dalam keberhasilan pengelolaan KKL, dengan memberikan keragaan lebih baik jika dibandingkan dengan model bioekonomi KKL lainnya.