perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KEHIDUPAN PESANTREN DALAM NOVEL GENI JORA KARYA ABIDAH EL KHALIEQY ( KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA ) Disusun oleh: Ana Fitria Vivi S. X 1206023 Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta, 4 Juli 2011 Persetujuan Pembimbing, Pembimbing I Pembimbing II Drs. Suyitno, M. Pd. Dr. Nugraheni Eko W. S.S,.M.Hum NIP 19520122198003 1 001 NIP 1970716200212 2 001 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Pada hari : Rabu Tanggal : 13 Juli 2011 Tim Penguji Skripsi Nama Terang Tanda Tangan 1. Ketua : Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd _____________ 2. Sekretaris : Sri Hastuti, S.S, M. Pd. _____________ 3. Anggota I : Drs. Suyitno, M. Pd. _____________ 4. Anggota II : Dr. Nugraheni Eko W. S.S,.M.Hum _____________ Disahkan oleh: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP 19600727 198702 1 001 commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Ana Fitria Vivi Suhartina. X1206023. KEHIDUPAN PESANTREN DALAM NOVEL GENI JORA KARYA ABIDAH EL KHALIEQY (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy; (2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Data yang diperoleh peneliti berasal dari novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy, wawancara dengan Dosen bahasa dan sastra indonesia serta pembaca yaitu mahasiswa. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara atau percakapan. Data objektif diperoleh dari novel novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy, data afektif diperoleh dari hasil wawancara dengan pembaca tentang novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Validitas data diperoleh melalui trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode. Trianggulasi sumber data dengan mengumpulkan data yang sama dengan tujuan untuk memberikan kebenaran dan memperoleh kepercayaan terhadap data yang diperoleh dari sumber yang berbeda, serta trianggulasi metode digunakan untuk mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda yaitu melalui wawancara. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis Interaktif yang meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yaitu: (a) Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora , (b) Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora , (c) Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora , (d) Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora (2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy adalah selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini settingnya ada di Pesantren. commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Ana Fitria Vivi Suhartina. X1206023. PESANTREN LIFE IN THE NOVEL GENI JORA BY ABIDAH EL KHALIEQY (A LITERARY SOCIOLOGICAL STUDY). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, July 2011. This research aims to describe: (1) social cultural aspect of pesantren in the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy; (2) readers’ respond to novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy. This study belongs to a descriptive qualitative, using literary sociological approach. The data obtained by the writer derived from the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy, interview with the Indonesian language and letter lecturer as well as the reader namely the students. The sampling technique used was purposive sampling technique. The data collecting in this research was done using interview or conversation technique. The objective data was obtained from the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy, affective data was obtained from the result interview with the readers about the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy. The data validation was done using data source and method triangulations. The data source triangulation was done by collecting the same data in the objective of providing truth and to obtain trust in the data obtained from the different source, as well as method triangulation was done to collect the similar data using various different method, through interview. Technique of analyzing data used was interactive analysis one including: data reduction, data display, and conclusion drawing. The conclusions of research are: (1) Social cultural aspect of pesantren in the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy includes: (a) the position of Pondok Pesantren in novel Geni Jora, (b) the position of Kyai as the bearer of social cultural values in the novel Geni Jora, (c) Mosque and Pesantren Community in novel Geni Jora, (d) Santri, Kyai, and Pondok Pesantren in novel Geni Jora. (2) the readers’ respond to the novel novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy is that in addition to telling about feminism, this novel also contains much religious values particularly Islam religion because the setting of novel is in Pesantren. commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO Kemenangan kita bukan karena tidak pernah jatuh, namun kita berani bangkit setiap kita jatuh (oliver Goldmith) Mungkin kita dapat belajar senyum dari bunga, belajar kuat dari elang, kesetiaan dari merpati, ketertiban dan kekompakan dari lebah, dan kerja keras dari semut. Jika kamu tidak mengajari dirimu sendiri untuk mencari setiap kesempatan melakukan kebaikan, maka setidaknya jangan sampai melepaskan kesempatan itu jika kamu melihatnya. Kesabaran adalah sebuah anugrah yang tak ternilai harganya dari sang Maha Kuasa, dan kesabaran seseorang bukan diukur dari seberapa lama orang itu menunggu, melainkan seberapa gentar usahanya untuk menghadapi rintangan meraih kesuksesan, dengan kesabaran pula kita bisa belajar banyak hal tentang romantika kehidupan. commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Kupersembahkan skripsi ini untuk: 1. Ibu-Bapak terkasih di rumah, anugerah terbesar yang dihadiahkan Allah SWT 2. Si mbok Rah; Simbahku tersayang yang membuatku merasa menjadi cucu tersayangnya. 3. Dik Riva tersayang; semangat yang selalu menyala dan membuatku menjadi kakak yang merasa dicinta. 4. Dwi; suamiku tercinta yang selalu memberiku dukungan dan cinta kasih. 5. Rasya; putra pertamaku yang selalu memberiku semangat dan kesempurnaan hidup. 6. Afni, Yulian, Eni, Yuli, Asih, Shiro, Trimbil dan Dyas; sahabat kehidupanku. commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada: 1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin untuk penyusunan skripsi; 2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini; 3. Dr. Andayani, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini; 4. Drs. Suyitno, M. Pd., dan Dr. Nugraheni Eko W. S.S,.M.Hum., selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini; 5. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., selaku Pembimbing Akademis yang membimbing dengan penuh kesabaran dan keikhlasan; 6. Bapak/ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan beragam ilmu yang bermanfaat bagi penulis; 7. Keluarga besarku yang memberikan keceriaan bagi hidupku; 8. Saudara-saudaraku yang jauh maupun yang dekat yang selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik; dan commit to user 9. Kawan-kawanku Bastind angkatan 2006. viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga amal kebaikan semua pihak tersebut dapat imbalan dari Allah SWT. Amin. Surakarta, 4 Juli 2011 Penulis commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman JUDUL ......................................................................................................... i PERSETUJUAN ............................................................................................. ii PENGESAHAN ....................................... ....................................................... iii ABSTRAK ..................................................................................................... iv MOTTO ......................................................................................................... vi PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Rumusan Masalah...................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 7 BAB II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori .......................................................................... 8 1. Pengertian Novel ................................................................. 8 2. Pendekatan Sosiologi Sastra ................................................ 15 3. Resepsi Sastra ...................................................................... 19 4. Agama Islam……………………………………. ............... 20 5. Pondok Pesantren.................................. .............................. 27 6. Pendidikan Pondok Pesantren.................................. ........... 48 7. Sosial Budaya Pondok Pesantren.................................. ...... 54 B. Penelitian yang Relevan …………………………………....... 58 commit to user C. Kerangka Berpikir ..................................................................... 59 x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................... 60 B. Pendekatan Penelitian ................................................................ 60 C. Bentuk dan Strategi Penelitian .................................................. 61 D. Teknik Sampling ........................................................................ 62 E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 62 F. Validitas Data ............................................................................ 63 G. Teknik Analisis Data ................................................................. 64 H. Prosedur Penelitian .................................................................... 66 BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian………………………………………............. 68 B. Pembahasan…………………………………………... ........... 91 BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan ................................................................................... 95 B. Implikasi ................................................................................... 99 C. Saran ......................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………….. 102 commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Jumlah Pesantren, Madrasah, dan Santri di Jawa ........................................ 47 1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ............................................. 60 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Alur Kerangka berpikir ................................................................................ 59 2. Komponen- komponen Analisis Data Model Interaktif ............................... 65 3Skema Prosedur Penelitian............................................................................. 67 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Sinopsis Novel ............................................................................................ 103 2. Biografi Pengarang ...................................................................................... 104 3. Hasil Wawancara dengan Penulis ............................................................... 107 4. Hasil Wawancara dengan Sasatrawan ......................................................... 110 5. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa ........................................................ . 114 commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Selain itu, sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya dari pada fiksi (Wellek dan Warren, 1993:3-11). Sebuah karya sastra mencerminkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, sesama manusia, dan dengan Tuhannya. Walaupun berupa khayalan, bukan berarti karya sastra merupakan khayalan saja, melainkan penghayatan dan perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dari segi kreativitas sebagai karya seni. Sebagai hasil imajinatif, karya sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan dan berguna menambah pengalaman batin pembacanya. Membicarakan sastra yang bersifat imajinatif, berhadapan dengan tiga jenis genre sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Istilah fiksi dalam pengertian ini adalah cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000:2). Karya fiksi adalah salah satu hasil dari karya sastra. Karya fiksi sering disebut sebagai cerita rekaan. Fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran dan mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 2) Pengarang menciptakan karya sastra memang untuk dinikmati, dipahami, serta dimanfaatkan oleh masyarakat (pembaca) dengan mengambil nilai-nilai penting dalam karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan ide, buah pikiran, sikap dan perasaan pengarang terhadap kehidupan yang merupakan sebuah bentuk akibat dari suatu persoalan yang muncul dalam diri pengarang ataupun dalam commit user sastra menyumbangkan tata nilai suatu masyarakat dimana ia berada. Disinitokarya 1 perpustakaan.uns.ac.id 2 digilib.uns.ac.id figur dan tuntunan masyarakat, hal ini merupakan ikatan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat. Pada kenyataannya sastra juga mampu memberikan manfaat berupa nilai-nilai moral bagi pembacanya. Sastra selalu menampilkan gambaran kisah sebuah perjalanan hidup manusia sedangkan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan tersebut akan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang yang ada di lingkungannya, serta hubungan antarmanusia dengan peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Karya sastra merupakan potret dari kehidupan zaman karya sastra itu dilahirkan, yang dapat dibaca dan dapat dinikmati dalam kurun waktu yang berbeda. Di samping itu, karya sastra juga mampu mengungkapkan corak budaya dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Karya sastra tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan lugas, tetapi juga kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, infektif, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan dan bertendens. Sastrawan ketika menciptakan karya sastranya tidak saja didorong oleh hasrat ingin menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menciptakan pikiran-pikirannya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu (Suyitno, 1986: 3). Unsur-unsur pembangun novel mengangkat permasalahan kehidupan yang di bangun secara kompleks. Seorang pengarang mampu mengarang sebuah karya fiksi, termasuk novel dengan baik biasanya tema-tema yang diangkat diambil dari kehidupan yang pernah ia alami baik yang ia alami sendiri atau ia lihat dan dengar, bahkan dapat pengarang angkat dari hasil imajinasi pengarang. Dengan demikian, novel memotret kehidupan manusia yang di dalamnya berkisar kesedihan, kebahagiaan, tragedi, dan bahkan komedi. Dalam konteks itulah, novel banyak menggambarkan banyak aspek kehidupan, utamanya aspek sosial kehidupan manusia. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang diungkapkannya kembali commit to user Salah satu jenis prosa adalah melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id novel. Novel merupakan bagian dari karya fiksi yang memuat pengalaman manusia secara menyeluruh atau merupakan suatu terjemahan tentang perjalanan hidup yang bersentuhan dengan kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa karya fiksi berupa novel adalah suatu potret realitas yang terwujud melalui bahasa yang estetis. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain – lain. Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan dibuat manusia/ tokoh (Siswantoro, 2005: 29). Pengarang dalam karyanya berusaha mengungkapkan aspek sosial kemanusiaan. Oleh sebab itu ada hubungan antara sastra dengan sosiologi, namun hubungan sastra dengan sosiologi bersifat tidak langsung. Sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan sosiologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku sosial manusia. Meskipun berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Anggapan lain menyatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang indah berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dapat mencerminkan masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan. Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau gambaran kebudayaan yang hadir di dalamnya. Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawansastrawan seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, N.H Dini, Cak Nun, Joko Pinurbo, sampai Habiburachaman, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, nama Abidah El Khalieqy merupakan satu nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di Tanah Air. Lewat karyakarya yang dihadirkannya, Abidah melukiskan kisah perempuan dengan aneka commit to user perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di negeri ini. Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok pesantren digunakan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya. Di luar itu, kehidupan dalam pondok pesantren merupakan kehidupan yang cenderung tertata dengan aneka ragam aturan di dalamnya. Pondok pesantren dapat juga diindentifikasikan sebagai tempat menutut ilmu agama seklaigus ilmu umum. Pondok pesantren mengatur segala tata cara yang dilakoni orang - orang yang hidup di dalamnya. Cara mereka makan, mandi, mengaji, dan bersih-bersih, atau hal-hal kecil yang lain tidak lepas dari aturan yang disorot oleh pengurus pondok pesantren. Aturan yang kadang terlalu kolot dan kuno pada beberapa pondok pesantren membuat beberapa pengarang / novelis memilih keadaan tersebut sebagai salah satu sumber ide kreatif untuk membuat karya sastra yang dapat dinikmati pembaca. Dalam hal ini, Abidah El Khalieqy menangkap peluang itu. Peluang untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati oleh pembaca. Dalam karyakarya yang dibuatnya, Abidah sering menggunakan latar kehidupan pondok pesantren sebagai setting novel yang dibuatnya. Latar belakang kehidupannya yang juga berasal dari kalangan pondok pesantren jugalah yang diyakini sebagai modal kuat baginya untuk menggambarkan kehidupan pondok pesantren dalam sebuah karya sastra. Abidah pernah memperoleh penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia juga memperoleh penghargaan Sastra Adab Award tahun 2009 atas novelnya Perempuan Berkalung Surban dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Abidah juga menerima penghargaan dari Ikapi dan Balai Bahasa Award pada tahun 1997. Selain prestasi dan penghargaan yang diterimanya, Abidah telah diposisikan sebagai perempuan pengarang yang memiliki karakter karya khas lainnya dan agak berbeda dengan karya-karya pengarang perempuan Indonesia commit to user lainnya. Ekspresi kreatif Abidah telah menunjukkan eksistensi dan konsistensinya perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id dalam mendedah masalah-masalah kultural, intlektualitas, dan spiritualitas kaum perempuan. Oleh karena itu banyak kritikus dan pengamat sastra Indonesia yang menilai bahwa karya-karyanya memiliki kekuatan tematis yang unik dan berkaitan langsung dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan harkat, martabat, dan derajat kaum perempuan. Beberapa karyanya merupakan karya yang mendapat predikat best seller. Kemampuan menulisnya sudah mendapat pengakuan di antara penulis sastra, terutama penulis perempuan. Dalam karya-karya yang di hasilkannya, Abidah sering mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau pendididkan Islam yang lain. Ini jugalah yang menimbulkan kontroversi pada setiap hasil karya yang terbit atas namanya. Aneka ragam penilaian atas karya yang dihasilkan muncul ke permukaan setelah tulisannya sampai kepada penikmat sastra. Beberapa karya Abidah El Khalieqy mampu menjuari beberapa sayembara sastra pun tidak lepas dari kontroversi semacam ini. Di luar kontroversi tersebut, karya-karya sastra Abidah dinilai telah berhasil membuka tabir tradisi dunia pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Karyanya juga menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk idealitas perempuan dalam pandangan Islam. Ahmadun Yosi Herfanda bahkan menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia dan novel-novelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami bukan fiksi pop Islami ( Aning Ayu, 2009 : 34) Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy membawa idealisme dan pemikiran pengarangnya dalam menyikapi fenomena kehidupan masyarakat. Abidah tidak hanya fokus dalam salah satu latar yang selama ini sensitif untuk diteropong, yaitu pesantren perempuan akan tetapi, juga melihat dari lingkungan sekitar dalam novel tersebut. Abidah El Khalieqy sebagai pengarang novel Geni Jora juga ingin mengungkapkan realitas sosial dan budaya yang berlaku, serta konflik-konflik yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam kehidupan khususnya dalam pesantren perempuan. Geni Jora lebih halus mengungkapkan ideologinya dalam commit to user 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kemasan panorama dunia pesantren perempuan yang menumbuhkan ketertarikan bagi masyarakat Indonesia. Novel Geni Jora merupakan ekspresi Abidah yang mengungkapkan suatu keinginan kuat dari seorang perempuan untuk menggugat relasi patrikal yang menelikung kehidupannya. Eksistansinya yang senantiasa diposisikan sebagai subordinat dari relasi laki-laki perempuan menumbuhkan kesadaran seorang perempuan Kejora untuk meluruskan garis yang demikian berseberangan itu menjadi sejajar. Menguak Kejora adalah mengenali satu lagi tipikal perempuan Indonesia dengan latar berbeda. Kehidupan masa kecil yang kesepian dalam feodalisme gaya Timur Tengah dan Jawa Timur yang menjeratnya untuk menjadi subordinat dari entitas dan komunitas kaum lelaki. Inilah yang melatar belakangi peneliti untuk mengkaji karya-karya Abidah El Khalieqy khususnya novel Geri Jora yang menuai cukup banyak kontroversi dalam penerbitannya. Penelitian ini berjudul Kehidupan Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai beikut : 1. Apa sajakah aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy? 2. Bagaimanakah tanggapan pemabaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan : 1. Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Mengetahui tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. 1. Manfaat teoretis a. Menambah khasanah penilitian sastra Indonesia, khususnya penelitian novel Indonesia sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan karya sastra Indonesia. b. Menjadi titik tolak untuk memahami dan mendalami karya sastra pada umumnya dan novel Geni Jora pada khususnya. 2. Manfaat praktis a. Untuk meningkatkan daya apresiasi terhadap novel. b. Dapat menambah wawasan kepada penikmat karya sastra, khususnya informasi tentang kehidupan dan tata adat yang berlaku dalam kehidupan pesantren. c. Mampu mengungkapkan pesan-pesan yang terdapat dalam novel, baik yang tersurat, maupun yang tersirat, disertai dengan bukti dan alasan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori 1. Pengertian Novel a. Pengertian Novel Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel merupakan hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Selain novel ada pula roman dan cerita pendek (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 2). Novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan di bandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman (Herman J. Waluyo, 2002: 36). Burhan Nurgiyantoro (1994: 9) berpendapat bahwa istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novellet (Inggris; novellet), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek. Senada dengan pendapat tersebut, Abrams menyatakan bahwa sebutan novel dalam Bahasa Inggris dan yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari Bahasa Italia novella (yang dalam Bahasa Jerman: novella). Secara harfiah novella berarti “Sebuah barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek (short story) dalam bentuk prosa. Novel muncul karena pengaruh filsafat John Locke yang menekankan pentingnya fakta dan pengalaman serta memandang berpikir terlalu fantastis adalah sesuatu yang ada bahayanya ( Herman J. Waluyo, 2002:36 ). Pembacapembaca dari golongan kaya, menengah dan terpelajar di Inggris tidak menyukai puisi dan drama yang kurang realistis dan lebih menyukai cerita yang berdasarkan fakta, oleh karena itu novel lebih mudah diterima sebagai cabang kesenian yang baru. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa dalam to tokoh user cerita, (b) ada beberapa episode novel terdapat: (a) perubahan commit nasib dari 8 perpustakaan.uns.ac.id 9 digilib.uns.ac.id dalam kehidupan tokoh utamanya, dan (c) biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Dalam novel juga tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi dan setting seperti dalam cerita pendek. Perbedaan utama dari cerita pendek tidak terletak pada panjang pendeknya namun dalam intensitas ceritanya. Dalam novel memungkinkan adanya penyajian secara meluas “expands” tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Suminto A. Sayuti, 1997: 6-7). Masyarakat tentunya berkaitan dengan dimensi ruang/ tempat. Sedangkan tokoh dalam masyarakat berkembang dalam dimensi waktu. Semua itu membutuhkan deskripsi yang mendetail supaya diperoleh suatu keutuhan yang berkesinambungan. Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika penulis menceritakan tokoh dari mulai masa kanak-kanak hingga dewasa. Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail perkembangan tokoh dan pendeskripsian ruang. Novel oleh Suminto A. Sayuti (1997:7) dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat formal. Bagi pembaca umum, pengkategorian ini dapat menyadarkan bahwa sebuah fiksi maupun bentuknya diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi sastra akan lebih baik. Pengkategorian ini berarti juga novel yang kita anggap sulit dipahami, tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca tidak mungkin meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut anggapan pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah. Karena setiap novel yang diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu pula. Selain itu Burhan Nurgiyantoro (1994: 4) mengatakan bahwa “ di dalam sebuah novel menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui unsur instrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, dan sudut pandang yang tentu saja kesemuanya bersifat imajiner.” Dikatakan menawarkan model kehidupan yang diidealkan, karena di dalam novel terdapat suatu model kehidupan yang menampilkan commit to user aspek kehidupan manusia secara mendalam. perpustakaan.uns.ac.id 10 digilib.uns.ac.id Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa novel adalah bentuk cerita prosa fiktif yang mempunyai panjang tertentu yang di dalamnya terdapat unsur-unsur instrinsik yang kesemuanya bersifat imajiner. Meskipun demikian, di dalam sebuah novel mengangkat sebuah cerita kehidupan yang diidealkan karena menampilkan kehidupan manusia secara mendalam dan kejadiannya pun luar biasa. b. Ciri-Ciri Novel Zaidan Hendy (1993: 225) memberikan sejumlah ciri- ciri novel sebagai berikut: a. Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian. b. Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang. c. Penyajian cerita berlandaskan pada alur pokok atau alur utama yang menjadi batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri). d. Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut. e. Karakter dalam tokoh- tokoh utama dalam novel berbeda- beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu dalam novel dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak tetap dari awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya, bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap. c. Macam-Macam Novel Banyak novel yang diterbitkan pada tahun 80-an, sehingga menyebabkan para pengamat mengklasifikasikan novel menjadi dua jenis, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang commit tonovel user pop adalah novel yang nilai bernilai sastra (tinggi), sedangkan 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya (Herman J. Waluyo, 2002: 38). Herman J. Waluyo (2002: 39) menambahkan, ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir adalah tidak menggarap realitas kehidupan (realisme) yang ditampilkan adalah tokoh dan cerita diluar cerita kehidupan. Selanjutya akan dibahas mengenai novel populer dan novel serius. a) Novel Populer Aprinus Salam (2008: 369) mengungkapkan pembagian karya sastra sebagai berikut. (1) fiksi yang tidak mengakomodasi intense populer atau yang diresmikan oleh segelintir elite terdidik; (2) fiksi populer (termasuk sinetron), yakni fiksi yang mengakomodasi intense penulis dan pembaca, meskipun dalam studi diperguruan tinggi; dan (3) fiksi yang dipisahkan, yakni karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah karena secara kebahasaan tidak komunikatif untuk bangsa Indonesia. Berbeda dengan Aprinus Salam, Heryanto (http//jurnal- humaniora.ugm.ac.id, 2008) mengungkapkan empat ragam kesusasteraan Indonesia, meliputi: (1) kesusastraan yang diresmikan, diabsahkan, (2) kesusastraan yang dilarang, (3) kesusastraan yang diremehkan, dan (4) kesusastraan yang dipisahkan. Kesusastraan yang diresmikan (kanon) adalah kesusastraan yang sejauh ini banyak dipelajari di pendidikan (tinggi). Kesusastraan yang dilarang adalah karya-karya yang dianggap mengganggu status quo (kekuasaan) seperti yang sudah terjadi pada zaman Balai Pustaka yaitu karya Marco Kartodikromo. Pada zaman Orde Baru, karya –karya Pramudya Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, menjadi contoh yang terlarang pula. Karya sastra yang dipisahkan adalah karya sastra daerah yang ditulis dalam bahasa daerah. Dengan demikian karya sastra yang diremehkan adalah karya sastra yang dianggap populer; sastra hiburan. Cecep Syamsul Hari (2005: 27) menyatakan bahwa novel populer memiliki ciri arbitrasi yang seragam, baik dari aspek lingkungan sosial, cultural, psikologis, maupun lingkungan kebahasaan. Atar Semi (1993:71commit to usermudah dinikmati karena masalah 72) menjelaskan bahwa novel populer perpustakaan.uns.ac.id 12 digilib.uns.ac.id yang ditampilkan ringan, tetapi aktual dan menarik yang digunakan sebagai hiburan langsung dari ceritanya. Novel populer juga mempunyai jalan cerita yang menarik, mudah diikuti, dan mengikuti selera pembaca. Selera pembaca yang dimaksudkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegemaran naluriah pembaca, seperti motif-motif seksual, humor, dan heroism sehingga pembaca merasa tertarik untuk selalu mengikuti kisah ceritanya. Cecep juga menyatakan bahwa dalam perkembangan sastra barat (Eropa dan Amerika), novel telah menjadi genre karya sastra yang tersendiri. Novel berkembang kedalam berbagai jenis dalam kerangka kerjanya yang luas, seperti: novel gotik, novel fiksi ilmiah, novel otobiografi, novel sejarah, novel remaja, novel spiritual, dan novel epistolary. Jenis novel juga dirujuk melalui penandaan sejarah perkembangan kesusasteraan yang ditandai dengan pandangan dunia yang dominan pula pada masa tertentu, contohnya novel-novel romantik (masa ketika kaum romantik dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra) dan novel realis (masa ketika kaum realis dan pandanganpandangannya dominan dalam dunia sastra (Cecep Syamsul Hari, 2005: 27) Burhan Nurgiantoro menjelaskan bahwa novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel jenis ini menampilkan masalah yang aktual pada saat novel itu muncul. Pada umumnya novel populer bersifat artificial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya. Sekali lagi, seiring dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (Burhan Nurgiantoro, 2005: 18). Di sisi lain, novel populer lebih mudah dibaca dan mudah dinikmati karena semata-mata menyampaikan cerita (Stanton dalam Burhan Nurgiantoro 2005: 19). Novel populer tidak mengejar efek estetis seperti yang terdapat dalam novel serius. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 13 digilib.uns.ac.id Cerita dalam novel populer mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena, fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat. Semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relative baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang paling menggemari novel populer. b) Novel Serius Novel serius atau sering disebut dengan novel sastra sangat berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar. Novel sastra merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dalam sejarah sastra. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius dibandingkan dengan novel populer. Novel sastra menuntut aktivitas pembaca secara lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca. Burhan Nurgiyantoro (2005: 18) mengungkapkan bahwa membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini disamping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir adalah tidak menganggap realitas kehidupan ( realisme). Hal yang ditampilkan adalah tokoh dan cerita di luar realitas kehidupan. Hal ini menyebabkan munculnya tokoh-tokoh eksistensialistis (absurd) seperti karya-karya Iwan Simatupang, tokoh-tokoh sufi seperti dalam karya Danarto, tokoh-tokoh aneh dalam karya Budi Darma (Herman J. Waluyo, 2002: 39). Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Justru novel ini mampu user bertahan dari waktu ke commit waktu to misalnya, roman Romeo Juliet karya 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id William Shakespheare atau karya Sutan Takdir, Amir Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang timbul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 21). d. Fungsi Novel Fungsi novel pada dasarnya yaitu untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya terkandung juga didalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Wallek dan Warren (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 3) membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Menurut Jakob Sumardjo (dalam Jacob Sumardjo dan Saini K.M,1986: 89) bahwa fungsi novel sebagai berikut: a. Karya sastra (novel) memberi kesadaran para pembacanya tentang suatu kebenaran. b. Karya sastra (novel) juga memberikan kepuasan batin, hiburan ini adalah hiburan intelektual. c. Karya sastra (novel) dapat memberikan kita sebuah penghayatan yang mendalam tentang apa yang kita ketahui. d. Membaca karya sastra (novel) adalah karya seni indah dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahan adalah kodrat manusia. 2. Pendekatan Sosiologi Sastra Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839 dari seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Mickel Bal dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) berpendapat bahwa sosiologi sebagai ilmu yang relatif muda ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive philosophy yang ditulis Auguste Comte (1798-1857). Kemudian sosiologi berkembang pesat pada setengah abad sesudahnya yang disusul dengan terbitnya user buku Principles of Sociology yangcommit ditulis to oleh Herbert Spencer (1820-1903). perpustakaan.uns.ac.id 15 digilib.uns.ac.id Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata socios yang berarti "kawan" logos yang berarti "ilmu". Bouman (1976: 24) menyimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesama individu, antara individu dengan kelompok serta sifat dan perubahan lembagalembaga dan ide-ide sosial. la mengusahakan suatu sintesis dan ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial sehingga dengan ilmu itu dapat mengerti hakikat sosial dalam hubungan kebudayaan umum. Sosiologi diketahui sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Atar Semi, 1993: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko Darmono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Sosiologi sastra adalah ilmu yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Untuk mendekati maupun mengakrabi karya sastra perlu menggunakan suatu pendekatan sosio kultural. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami commit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id secara selengkap-lengkapnya dan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau peradaban yang telah menghasilkannya. (Wiyatmi, 2006: 102). Garbstein (dalam Wiyatmi, 2006: 17) mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu: 1) Karya sastra tidak mungkin dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya. 2) Gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dalam bentuk teknik penulisannya. 3) Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah sebuah prestasi. 4) Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arch: sebagai faktor material istimewa dan sebagai tradisi. 5) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih. 6) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. 7) Secara epistemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin membangun suatu sosiologi sastra general yang meliputi seluruh pendekatan. 8) Mengenai sosiologi sastra Marxis, garis besarnya sebagai berikut: pertama, manusia harus hidup dahulu sebelum dapat berpikir clan yang kedua, struktur sosial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem produksi ekonomi, yaitu antara infrastruktur dan suprastrutur. 9) Sastra merupakan fenomena kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, yaitu ekonomi. Wellek dan Warren (1993: 111) menyatakan setidaknya ada tiga pendekatan dalam sosiologi sastra yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan pengarang, sosiologi sastra yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang berkaitan dengan pembaca. Yang perlu dicatat adalah adanya keterkaitan antara sosiologi dan sastra yang keduanya berhubungan dengan masyarakat. Tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra. commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1) Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; 2) Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan 3) Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah. Novel merupakan salah sate di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 1994: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnyaKenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti la seperti kenyataan hidup yang sebenamya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya. Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman barn bagi pembacanya, karma apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna Nyoman Kutha, 2004: 63) karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan oranglain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan commit to user manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sastra merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam karya sastra. Fananie Zaenudin (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Secara implisit, di dalam teks sastra terdapat proposisi-proposisi bahwa manusia tidak pernah hidup sendiri dan lebih dari itu manusia memiliki masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang atau seolah-olah merupakan sebuah oracle (sabda dewa atau gars yang pasti dilalui). Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup, yang selalu berkembang dan dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diperlakukan sebagai data jadi, melainkan merupakan data mentah yang masih hares diolah dengan fenomena lain. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun, dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat. 3. Resepsi Sastra Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Teori Resepsi Sastra pada tataran dasar secara singkat dapat disebut sebagai teori yang menjelaskan bahwa teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca (penikmat) yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Teori tentang resepsi sastra ini dikemukakan oleh Felix Vodicka dengan memperjelas peranan pembaca. Karya sastra bagi Vodicka diletakkan sebagai commit todihidupkan user sebuah artefak yang coati, baru kemudian oleh pembaca melalui apa perpustakaan.uns.ac.id 19 digilib.uns.ac.id yang disebut kongkretisasi. Pada proses tersebut, semuanya bergantung kepada hubungan pembaca dengan tempat, waktu, tatar sosialnya, dan karya bersangkutan. Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan teori resepsi sastra. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Robert Jausz yang melontarkan gagasan tentang tanggapan dan efek/rezeption and wirkung (A Teeuw, 1984: 92). Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh horison harapan. Horison harapan ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak. Resepsi sastra oleh Jausz disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca atau penikmat sastra yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai (Pradopo Rahmat Djoko, 1995: 206). Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan masyarakat pembaca Pada penelitian ini objek analisis adalah novel yang tergolong dalam kategori karya sastra tulis. Masyarakat berusaha untuk memaknai tanda ataupun makna yang terkandung dalam sebuah cerita yang merangkum dalam novel. Kemudian muncullah istilah horizon harapan yang berpijak dari perbedaan pemahaman masing–masing pembaca. Horizon harapan merupakan interaksi antara karya sastra dan pembaca atau penikmat dan mencakup interpretasi dalam masyarakat. Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik dan unsur ekstrinsik tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga commit to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya. (Wellek dan Werren, 1995: 106) Beberapa ahli berpendapat bahwa suatu teks sastra dianggap berbobot atau tidak ditentukan oleh nilai estetik sastra yang dikandungnya. Hal tersebut misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren: cara lain untuk merumuskan apa yang disebut sastra ialah dengan membatasi sastra pada puncak-puncak karya sastra saja tanpa memperhatikan apa pokok pembicaraannya asal menarik perhatian karena bentuk sastranya atau karena ekspresinya. Jadi, ukurannya hanya bernilai estetik saja atau nilai estetika dengan kombinasi nilai-nilai intelek Jain (Wellek, Renne dan Austin Warren. 1990: 11). Berdasar pada pendapat-pendapat ahli yang ada, paling tidak secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan basil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure (Fananie Zaenudin, 2000: 6) 4. Agama Islam Kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “tidak kacau”. Kata agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”, sehingga mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris dan religie dalam Bahasa Belanda, dimana keduanya berasal dari bahasa Latin yaitu religio, berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat (Dadang Kahmad 2002 :13). Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini tanpa kecuali. Agama merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat dan dapat dilihat sebagai commit di to samping user unsur dari kebudayaan suatu masyarakat unsur-unsur yang lain, seperti 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan dan sistem organisasi sosial. Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu sebagai berikut : 1. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjektif atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi ini biasa disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi ini hampir sama dengan konsep “Religius Emotion” yang diutarakan Emile Durkheim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “makhluk Tuhan”. Dimensi religiusitas merupakan inti dari keberagamaan yang membangkitkan solidaritas seseorang menjadi orang yang saleh dan takwa. 2. Segi objektif (Objective state), yaitu segi luar yang disebut sebagai kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan. Dalam segi ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat (Dadang Kahmad 2002 : 14). Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Seperti masyarakat non-agama umumnya demikian pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti misalnya kelompokkelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama. Penjelasan bahwa masyarakat agama sebagai sasaran bukan berarti agama sebagai suatu sistem ajaran, melainkan agama dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang. Sosiologi Agama mengkonstatasi (menyaksikan) akibat empiris kebenaran-kebenaran commit istilah to user masyarakat agama. Masyarakat “supraempiris”, yaitu disebut dengan 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id agama adalah persekutuan hidup (entah dalam lingkup sempit atau luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan (Hendro puspito 1983 : 8-9). Sosiologi Agama berusaha mencari dimensi sosiologis, sampai sejauh mana agama dan nilai-nilai kegamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi kegiatan manusia, seperti seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian para pemeluknya. Berdasarkan hasil studi para sosiolog, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu atau kelompok yang memiliki hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung (interdependence) dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun. Islam ialah agama samawi yang terkandung dalam Al-Quran, yang dianggap penganutnya sebagai kalam Allah, kata demi kata, serta ajaran dan contoh normatif nabi terakhir Nabi Muhammad S.A.W. Perkataan Islam bermaksud "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Seorang penganut Islam dikenali sebagai Muslim, bermaksud "seorang yang tunduk (kepada Allah)". Muslim percaya bahwa Allah itu Esa dan tujuan hidup ialah untuk menyembah Tuhan. Muslim juga percaya bahawa Islam merupakan versi lengkap dan sejagat kepercayaan monoteistik ajaran Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan lain-lain nabi. Nabi Muhammad S.A.W. bukanlah pengasas agama baru, sebaliknya menjadi pemulih keimanan monoteistik ajaran nabi-nabi terdahulu. Tradisi Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristian memutarbalikkan wahyu yang Allah berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks atau memperkenalkan tafsiran palsu, atau kedua-duanya. Amalan keagamaan Islam termasuklah Rukun Islam, yang merupakan lima tanggungjawab yang menyatukan Muslim ke dalam sebuah masyarakat. Selain itu, terdapat syariat Islam (syari'ah) yang menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktik seperti hukum to user pemakanan dan perbankan kepadacommit jihad dan zakat. (www.wikipedia.org) perpustakaan.uns.ac.id 23 digilib.uns.ac.id a. Islam Sinkretik Islam sinkretik adalah Islam Jawa yang merupakan campuran antara Islam, Hindu, Budha, dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu-Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam, dan keyakinan lokal, maka tidak ditemui unsur tersebut di dalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika Islam datang ke Jawa, mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat. Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan politik. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun di atas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz commit to user adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang Jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa. Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neomodernisme. Corak ke-Islaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya. Tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masingmasing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi, misalnya Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan, upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 25 digilib.uns.ac.id Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan, dengan kata lain substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda. Koentjaraningrat (1994: 326) membagi keberagaman masyarakat Jawa menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Kategori yang pertama kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsurunsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, dan mereka inilah yang disebut sebagai masyarakat sinkretik, sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran agama Islam dan bersifat puritan. Meski sudah memeluk Agama Islam, namun masih banyak masyarakat yang menjalankan berbagai ritual animisme dinamisme, sehingga disebut sebagai Islam abangan. Segala macam ritual dan meditasi yang bersifat religus banyak ditujukan untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib. Berbagai macam ritual tersebut disebut dengan tindakan-tindakan keagamaan. Dalam Agama Jawa, tindakan-tindakan keagamaan yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa halusnya disebut dengan wilujengan atau dalam bahasa ngoko disebut sebagai selamatan. Selamatan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agami Jawi khususnya. Suatu upacara selametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga, kerabat, temanteman, dan sebagainya. Rangkaian selametan biasanya terdiri dari nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk dan pelengkapnya (Koentjaraningrat, 1994 : 345). Masyarakat Jawa melakukan acara ritual untuk menghormati leluhur ataupun danyang. Perbedaan Islam pesisir dan pedalaman memang pernah terjadi dalam to user seiring dengan perubahan sosial rentangan panjang sejarah Islam commit Jawa. Namun 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi didapatkan. Hal ini terjadi adanya perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan. Islam pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki perbedaanperbedaan yang unik. Perbedaan itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat perbedaan Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh. Lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang. b. Islam Puritan Islam puritan adalah aliran yang identik dengan fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, dan jahidis. Islam Puritan menentang konsep-konsep seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan pengakuan akan peran perempuan. Sejarah Islam Puritan lebih tepatnya dikatakan dari kaum Wahhabi, dimana dasardasar teologi Wahhabi dibangun oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab yang sangat fanatik pada abad ke-18. Perlu dipahami bahwa Islam Puritan sangat menentang modernitas (Barat), menurut mereka umat muslim wajib kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus. Artinya, umat Islam tidak boleh bersahabat dengan dengan mereka yang bukan muslim atau muslim yang dinilai bidaah.( Khaleb A. El Fadl, 2006: 27). Bagi Islam puritan menafsirkan agama dalam proses penjadian sama commit to user oleh Allah. Kaum puritan selalu dengan mengkhianati apa yang telah diberikan 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id membesar-besarkan peran teks dan menafihkan peran aktif manusia yang menafsirkan teks keagamaan, dan karena kemampuan manusia dalam menafsirkan teks diabaikan maka estetika dan wawasan moralitas dinilai tidak relevan dan tidak berguna. Karena teks menjadi pegangan maka kehidupan yang berada di luar hukum Tuhan dinilai tidak benar sehingga harus diperangi atau dihukum. Hukum yang dimaksud disini adalah Al-Quran dan Tradisi Nabi (hadist dan sunah), menurut mereka 90% (dalam syari’at) dari apa yang mereka anggap hukum yang terwayuhkan tidak terbuka bagi perdebatan, tidak boleh dipertanyakan, dan hanya 10% dari hukum yang terbuka bagi perdebatan. 5. a. Pondok Pesantren Hakikat Pondok Pesantren Definisi dari kosakata pondok pesantren dapat dikaji dengan memperhatikan makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent). Dikatakan seperti itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu kondisi yang menuntut adanya sebuah totalitas. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren dikenal sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna fiddîn (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita mengenal nama-nama seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto, Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi. Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni pesantren yang menjadi ulama besar dikemudian hari. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 28 digilib.uns.ac.id Salah satu ciri khas ulama lulusan pesantren adalah, mereka bukan hanya memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlaq yang tinggi. Hal ini terkait dengan metode pendidikan yang dikembangkan para kiai di pesantren. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar untuk menerima etik (peraturan moral) agama di atas etik-etik lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamankan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah. (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 20-21) Pesantren dianggap sebagai salah satu pilar benteng pertahanan umat. Hal ini sangat disadari musuh-musuh Islam. Sehingga mereka berusaha melemahkan peran pesantren agar tidak lagi memiliki peran. Keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup -bahkan seluruh aspek kehidupan manusia- merupakan kunci kesejahteraan. Stabilitas hidup memerlukan keseimbangan dan kelestarian di segala bidang, baik yang bersifat kebendaan mau pun yang berkaitan dengan jiwa, akal, emosi, nafsu dan perasaan manusia. Islam sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits juga menuntut keseimbangan dalam hal-hal tersebut, keseimbangan mana sering disebut al- tawassuth atau al-i’tidal. Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini merupakan akibat dari pelbagai kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan- kemungkinan yang terjadi di masa mendatang yang akan menyulitkan generasi berikut. Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting artinya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia mau pun akhirat, di commit to user mana aspek-aspeknya tidak dapat terlepas dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan benda-benda lain sebagai unsur pendukung. Keseimbangan dan keserasian antara semua unsur tersebut sangat rnempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap rasional manusia yang berwawasan luas dengan penuh pengertian yang berorientasi pada kemaslahatan makhluk. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendilikan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah mau pun jasmaniah. Pesantren yang menyatu dengan masyarakat tahu benar denyut nadi masyarakat. Sebagaimana masyarakat pun tahu siapa pesantren dengan kiai dan para santrinya. Para santri di pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga di dalam kehidupan nyata mereka belajar tentang hidup. Karena bersatunya santri dan masyarakat itulah, pesantren kemudian tidak kebingungan meneliti lingkungan hidup. Bilamana mereka harus mengabdi kepada masyarakat, mereka merumuskan sikapnya terhadap masyarakat sejak masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren itu sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat. Atau dapat juga disebut, kehidupan pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah dan pelayanan masyarakat. Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Bertolak dari prinsip itu, pesantren memberikan commitdengan to userberbagai macam aspeknya. arahan pendidikan lingkungan hidup perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id Pada gilirannya para santri tahu dirinya sebagai makhluk sosial yang di dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun, tidak bisa lepas dari keterkaitan mereka dalam pelbagai konteks sosial, di mana rnereka berarti mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan, terhadap dirinya sendiri dan orang lain maupun terhadap Allah SWT. Dalam hal tersebut pesantren menekankan pentingnya arti tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, berarti keharusan meningkatkan kemampuan pribadi untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung jawab terhadap orang lain, merupakan sikap dan perilaku yang rasional di dalam berkomunikasi dengan orang lain dan alam di mana kehidupan manusia secara lahiriah selalu tergantung padanya. Kemudian tanggung jawab terhadap Allah SWT adalah dalam bentuk disiplin norma dan ajaran di dalam pengelolaan alam. Disiplin sosial sesuai dengan norma mu'asyarah dan mu’amalah antar sesama makhuk. Ini dalam rangka meningkatkan “keakroman" yang dapat menumbuhkan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari. Upaya pembinaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan dua pokok pendekatan. Pertama, pendekatan proyek dan kedua, pendekatan motivasi. Atau keduanya sekaligus dilakukan secara terpadu. Pendekatan kedua (motivasi) walaupun akan memerlukan waktu yang relatif panjang, akan berdampak lebih positif karena pihak sasaran secara berangsur akan mau mengubah sikap dan perilaku secara persuasif. Perilaku dan sikap acuh tak acuh terhadap masalah ingkungan hidup akan berubah menjadi suatu sikap dinamis yang terus berkembang yang akan berkulminasi pada stabilitas pembinaan lingkungan hidup. Pendekatan motivasi seperti itu dapat dilakukan dalam pola pendidikan di pesantren. Kesadaran akan keseimbangan lingkungan hidup yang muncul dari pengertian dasar tentang masalah-masalahnya serta implikasinya terhadap kesejahteraan ukhrawi dan duniawi dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui jalur pendidikan di pesantren. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id Keterlibatan pesantren memberi pengertian mengenai dampak lingkungan hidup secara duniawi dan ukhrawi, merupakan peranan dan peran serta nyata dalam pembinaan lingkungan hidup. Bila peranan itu mampu dilembagakan, akan banyak berpengaruh positif di kalangan masyarakat sekelilingnya. Mengingat posisi pesantren sebagai lembaga dakwah, berfungsi pula sebagai titik sentral legitimasi keilmuan agama Islam bagi masyarakatnya, melalui kegiatan pendidikan formal pesantren (yaitu madrasah) dan pengajian weton maupun pengajian rutin yang melibatkan masyarakat di sekelilingnya. Pendidikan itu dilakukan secara integratif ke dalam komponen-komponen akidah, syari'ah dan akhlak. Namun diberikan atau dikenalkan dalam satu paket ikhtiar peningkatan sarana keberhasilan sa'adatud darain. Faktor integratif yang mengatur pola hubungan antar sesama di tengah-tengah masyarakat di dalam menyumbangkan nilai-nilai kehidupan, juga merupakan peranan lain yang mampu dilakukan oleh pesantren untuk mengembangkan dirinya dan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya pembinaan lingkungan hidup. Pesantren dengan fungsi dan peranannya seperti tadi, sarat dengan pelbagai kegiatan edukatif mau pun pelayanan masyarakat. Sehingga untuk diperansertakan dalam pembinaan lingkungan hidup, perlu adanya pola pendekatan yang tidak mengganggu tugas-tugasnya. Lebih-lebih tidak akan mengganggu identitas pesantren. Langkah awal yang perlu ditempuh, adalah pengenalan masalah-masalah lingkungan hidup dan implikasinya terhadap segala aspek kehidupan. Kemudian penumbuhan kesamaan wawasan keagamaan yang berkait dengan lingkungan hidup yang mampu memotivasi pesantren dalam mencari sendiri alternatif-alternatif pemecahannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Kesiapan pesantren untuk melakukan pembinaan lingkungan hidup sangat mempengaruhi efektivitas kerja secara dinamis. Namun kesiapan itu akan banyak tergantung pada wawasan dan potensinya. Sementara itu masih ada pesantren yang berwawasan eksklusif di dalam mencerna ajaran Islam. Oleh to user dimaksud, memerlukan pola karenanya pengenalan dan commit penumbuhan 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pendekatan yang berorientasi pada kenyataan di masing-masing pesantren yang berbeda-beda, dalam hal wawasan, potensi antisipasi ke depan maupun tenaga ahli dan tenaga dukungnya. Kemungkinan-kemungkinan proyeksi pesantren pada pembinaan lingkungan hidup itu perlu perumusan matang. Apakah pesantren bertindak sebagai penunjang atau pelengkap, ataukah sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator? Semuanya akan menuntut adanya program tertentu yang tentu akan berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan status tersebut Di Indonesia pondok pesantren bisa berkembang pesat berkat kerjasama dari lembaga- lembaga Islam, salah satunya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU) adalah suatu organisasi dengan keanggotaan yang diperkirakan lebih dari 35 juta orang, merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yang keberadaannya dipandang memiliki kekuatan, baik dalam organisasi Islam maupun dalam gerakan Islam. NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama terkemuka yang hampir seluruhnya merupakan para pemimpin pondok pesantren dibawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari. Tujuan didirikannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren. Karena pada tahun 1920-an banyak ulama yang merasa prihatin terhadap pesatnya perkembangan modernisme Islam dan keberhasilannya menarik banyak umat Islam dari wilayah ajaran dan praktek Islam tradisional. Dalam pondok pesantren NU akan lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan dan ekonomi, diantaranya dengan meningkatkan komunikasi antar ulama, memperbaiki mutu sekolah-sekolah Islam, menyeleksi kitab-kitab yang dipelajari di pesantren dan mendirikan badan-badan untuk membantu kegiatan pertanian dan perdagangan umat Islam. Pesantren menawari suatu model pendidikan yang tidak hanya sekadar pendidikan sekuler tetapi juga pendidikan ilmu agama Islam. Bahkan ada pesantren yang hanya menawari pendidikan ilmu agama Islam saja. Yang to user menarik di sini adalah bahwa commit pendidikan pesantren di Indonesia sama sekali perpustakaan.uns.ac.id 33 digilib.uns.ac.id belum testandardisasi secara kurikulumnya dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Pondok pesantren di Jawa membentuk macam-macam jenis pondok pesantren yang dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Hasyim (1998: 39) memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam sebuah pesantren antara lain, Kyai, masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. 1) Kyai Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999: 144). Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, "kyai garuda kencana" dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55). Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai spritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah commit to userjika mereka benar-benar menjadi SWT). Jadi orang bisa dikatakan Kyai, perpustakaan.uns.ac.id 34 digilib.uns.ac.id guru yang selalu memberikan ilmu pengetehuan agama dan moral (ahlak) kepada santri-santinya. Seorang Kyai bukan hanya mengajar ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan pola hidup yang sehat dan sederhana. Kyai juga memiliki keahlian dan ketrampilan bermacam-macam. Ada seorang Kyai yang khusus mengajar al-Qur’an, sehingga melahirkan santri-santri penghafal al-Qur’an, begitu juga khusus Ilmu hadis. Memang tidak menafikan bahwa pada realitasnya, banyak Kyai memiliki keahlian pengobatan tradisional (alternative), yang Lazim disebut dengan (Tabib). Ada juga yang memiliki keahlian ceramah dan menulis buku. Ada juga yang menekuni bidang Ekonomi hingga menjadi Kyai Yang kaya Raya (Konglomerat) sebagaimana Usman Ibn Affan dan Imam Abu Hanifah. Ada juga Kyai yang Ahli Falak, Hisab (Astronomi), serta statistik, metafisika. Ada juga Kyai yang menekuni bidang kepemimpinan dan politik praktis hingga menjadi seorang menteri atau presiden. Dari sekian keahlian dan ketrampilan sang Kyai, kebanyakan dari mereka mendalami ilmu agama, seperti Fikih, hadist, tafsir, serta cabang-cabang ilmu agama yang lain. Kyai mengeluarkan untuk perannya baik di dalam maupun di luar pondok pesantren tergantung pada prioritas setiap kyai. Misalnya, Pak Kyai Hashim Muzadi, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, memprioritaskan peran dan tugasnya sebagai ketua NU daripada perannya sebagai kyai. Oleh karena kesibukan dengan tugas di luar pondok pesantren, dia jarang berada di PP Al Hikam, maka para Ustad bertanggung jawab untuk mengajar dan mendidik santrinya. Namun demikian, perannya di dalam masyarakat umum masih sangat penting. Menurut K.H. Aslam, peran kyai dalam masyarakat umum adalah “untuk membantu masyarakat dalam kepentingan baik tingkat moral maupun material dan juga untuk memberikan input ke dalam masyarakat.” Maka K.H. Aslam terlibat dalam macam-macam aspek kehidupan masyarakat, terutama bidang politik dan keagamaan. Kegiatan commit to user K.H. Aslam tersebut menunjukkan bahwa dia sejak dulu sudah seorang perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id yang mempunyai peran penting dalam masyarakat lokal. Sebelum diberi gelar kyai, seorang harus sudah memainkan peran dalam urusan masyarakat, dan peran tersebut memang tambah penting dan luas kalau sudah menjadi kyai. Salah satu peran kyai dalam pondok pesantren adalah untuk memberi pengajian kepada santrinya. Pemberian pengajian tersebut juga merupakan peran kyai di luar pondok pesantren. Perannya di luar pondok pesantren dapat dilihat dari kegiatan-kegiatannya dalam bidang politik dan urusan keagamaan masyarakat Muslim. Kyai di Jawa merupakan jaringan tokoh masyarakat Indonesia yang sejak dulu memiliki peran penting, terutama dalam bidang politik dan agama. Pendapat ini juga dimiliki Zamakhsyari Dhofier (1985: 56) yang dalam penelitian mengenai pandangan hidup kyai, Tradisi Pesantren, dia menyampaikan kesimpulan bahwa “sebagai suatu kelompok, para kyai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa yang merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.” 2) Masjid Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran. Dalam konteks sejarah dakwah, masjid adalah tempat pertama yang dibangun Rasulullah Muhammad SAW untuk menunjang aktivitas dakwahnya. Pada saat itu, masjid adalah pusat segala kegiatan yang terperinci ke dalam tiga fungsi. Yaitu fungsi religi, fungsi pendidikan, dan commit to user fungsi sosial, pemberdayaan serta pengembangan ekonomi masyarakat. 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id a.) Fungsi Religi, masjid adalah tempat orang bersujud mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah bersabda: diantara sekian ibadah manusia kepada Tuhannya, sujud merupakan momentum yang paling dekat dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya (aqrobu ‘abdin ilallahi wahuwa saajidun). Dalam bingkai sujud inilah seorang hamba biasanya mengadukan persoalannya, meminta, dan memohon ampunan-Nya. b.) Fungsi kedua adalah fungsi pendidikan yaitu untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk muslim di daerah luar termasuk di dalam pondok pesantren. c.) Fungsi ketiga adalah fungsi sosial. Pada masa rasul, masjid adalah pusat melakukan studi atas segala hal yang terjadi di masyarakat. Jikalau ada satu jamaah saja yang sakit, maka jama'ah yang lain akan segera mengetahui keadaannya. Dari masjid ini pula seluruh jama'ah yang tidak mampu didata, kemudian dibantu dan diberdayakan secara ekonomi. Maka tidak heran jika pada masa itu muncul para dermawan seperti sahabat Abu Bakar dan Sayyidina Utsman yang memberikan seluruh hartanya untuk membantu para fakir miskin jamaah masjid. Pendidikan Islam dan masjid berkaitan sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting di dalam masyarakat, misalnya sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai "tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik" (Dhofier 1985: 49). Masjid di dalam dan diluar pondok pesantren tidak jauh beda commit to user perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id berdasarkan fungsinya, hanya saja masjid di dalam pondok pesantren lebih diprioritaskan untuk kegiatan para santri dalam menunutut ilmu. 3) Santri Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahaptahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh citacita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52). Orang-orang santri ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan seterusnya. Identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007). Meskipun pencitraan ini realistis, namun ada kesan inferioritas di sana, sebab pencitraan seperti di atas, juga disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan klenik, berbau commit anti-modernitas. to user kuno/klasik, dan seolah-olah Banyak orang yang 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengaitkan pesantren dengan hal-hal yang berlandaskan keyakinan mistis, takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman. Peran santri dalam masyarakat menurut Azyumardi Azra (2001:80), santri memainkan peran penting dalam kecenderungan islamisasi atau reislamisasi di kalangan umat Islam Indonesia. Proses ‘kebangkitan Islam’ ini diindikasikan oleh bertambahnya jumlah masjid dan tempat ibadah lainnya di Indonesia, pertumbuhan jumlah orang yang pergi haji ke Arab Saudi, dan berdirinya organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Islam baru, seperti Bank Islam dan Asuransi Islam. Istilah selain dari kebangkitan Islam yang sering dipakai di Indonesia untuk menggambarkan kecenderungan tersebut adalah ‘santrinisasi’. Proses santrinisasi adalah santri yang mengalami re-islamisasi selama pendidikannya di pesantren karena proses penanaman ajaran dan praktik-praktik Islam lebih intens di lingkungan sistem pendidikan pesantren daripada sistem pendidikan lain. Menurut teori Azyumardi Azra (2001: 80), santri bahkan mengajarkan kepada orangtua mereka yang acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam. Umumnya orang tua merasa malu akibat ketidaktahuan mereka mengenai ajaran dan praktik Islam tertentu kepada anak-anaknya sehingga mereka mulai mempelajari Islam. Para santri dididik supaya memiliki keterampilan kemandirian dan menghayati tugasnya serta perannya menurut ajaran Islam di dalam masyarakat sebagai perempuan, Ibu, isteri, tetangga, pekerja dan seorang alim. Pada saat pulang kampung, santri-santri membawa ilmu barunya ke rumah dan berbagi pengalamannya kepada orang tuanya, saudaranya dan temannya tentang apa yang mereka lakukan di pondok dan apa yang pernah dipelajari. Peran santri dalam proses kebangkitan Islam sangatlah penting, karena beberapa macam fakta lain seperti keadaan politik di Indonesia dan di arena internasional yang mempengaruhi perkembangan agama Islam di Indonesia. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 39 digilib.uns.ac.id 4) Pondok Definisi singkat istilah 'pondok' adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama pars santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang lugs dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri clan rumah kyai, termasuk perumahan ustadz, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu manfaat pondok selain dari yang digunakan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi, santri untuk mengembangkan keterampilan kemandiriannya agar mereka slap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985: 45). 5) Kitab-Kitab Islam Klasik Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warm kertas, edisi-edisi kitab kebanyakan commit to user berwarna kuning. 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Dhofier (1985: 50), "pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren." Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab. yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitabkitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999: 144). Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1. Nahwu dan shorof (morfologi); 2. Fiqh; 3. Ushul fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawwuf dan etika; dan 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah clan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51). 1.) Nahwu dan shorof (morfologi) Nahwu adalah kaidah-kaidah Bahasa Arab untuk mengetahui bentuk kata dan keadaan-keadaannya ketika masih satu kata (Mufrod) atau ketika sudah tersusun (Murokkab). Termasuk didalamnya adalah pembahasan Shorof. Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya ketika mufrodnya. 2.) Fiqh Fiqih menurut bahasa berarti paham. Sedangkan menurut istilah Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalildalilnya yang terperinci, maksudnya bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu. Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber: commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id a. AL QUR’AN Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. b. AS-SUNNAH As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat bagaimana tatacaranya yang terdapat dalam asSunnah. Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki. c. IJMA’ Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad SAW atas suatu hukum syar’i dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin. Apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya. commit to user 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d. QIYAS Qiyas adalah mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antarkeduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan. Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’. Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan. 3.) Ushul Fiqh Pengertian Ushul Fiqh yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalildalilnya yang terperinci. Adapun ilmu-ilmu dalam Ushul Fiqh, antara lain: 1. Dalil-dalil syarak: merangkumi dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati. 2. Dilalah: merangkumi kaedah-kaedah istinbat hukum dari nasnas Al-Quran dan As-Sunnah. 3. Ta'arudh dan Tarjih: perbahasan tantang percanggahan antara dalil-dalil serta Jalan jalan penyelesaiannya. 4. Ijtihad dan Mujtahid: merangkumi persoalan taqlid dan muqallid. 5. Hukum-hukum Kulli: merangkumi hukum-hukum taklifi dan hukum wad'ie. commit to user 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4.) Hadist Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah AlQur'an. Ada banyak ulama periwayat hadits, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah. 5.) Tafsir Pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Tafsir merupakan sebuah kata yang dengannya kita mampu menjelaskan segala sesuatu, baik yang belum jelas, kurang jelas, tidak jelas, maupun yang sudah jelas agar lebih jelas untuk memudahkan dan menambah pemahaman dalam perenungan sesuatu, sehingga semakin mendekatkan pada penghayatan. 6.) Tauhid Tauhid diambil kata : Wahhada-Yuwahhidu-Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. ( alBaqarah 163 Muhammad 19 ). Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan muwahhidin ( yang memperjuangkan tauhid ). Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim. a. Rububiyah Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. b. Uluhiyah/Ibadah Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bangi-Nya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan.” c. Asma wa Sifat Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagungan-Nya. Umat Islam mengenal 99 asma’ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah. 7.) Tasawwuh Tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. 8.) Tarikh Tarikh adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturanuser perbuatan (ketentuan-ketentuan aturan yang berkaitan commit dengan to aqidah), 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk). 9.) Balaghah Balaghah ialah menyampaikan makna yang agung secara jelas dengan menggunakan kata-kata yang benar dan fasih, yang memiliki kesan dalam hati dan cukup menarik, serta sesuai setiap kalimatnya kepada kondisi atau situasi sekaligus orang-orang yang diajak bicara. b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia clan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan barn. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar hares mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas, dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah (Dhofier, 1985: 41). Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan commit topendidikan user pemerintah penjajahan Belanda terhadap Islam di Indonesia. Namun 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluasluasnya dan membuka secara lugs jabatan-jabatan dalam administrasi modem bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum, yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil yang berhenti, dikarenakan santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985: 41). Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan clan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya clan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997: 150) bahwa jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia. Menurut Laporan Departemen Agama RI di Jawa tahun 2004 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1. Tabel 1: Jumlah Pesantren, Madrasah dan Santri di Jawa pada tahun 2009 (Laporan Departemen Agama RI) Propinsi Daerah Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jumlah Pesantren Dan Madrasah Jumlah Santri 87 20.050 4.320 564.150 2.572 commit to user 388.968 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tawa Timur 4.402 1.114.155 Jumlah: 11.381 2.087.323 Tabel 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1990 (Laporan Departemen Agama RI) Propinsi Daerah Jakarta Jumlah Pesantren 27 Jumlah Santri 15.767 2.237 305.74 Jawa Tengah 430 7 65.070 Tawa Timur 1.051 290.79 3.745 0 677.37 Jawa Barat Jumlah: 4 Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 2009 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama 'Islam Negeri (STAIN), namun secara lugs, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985: 20). Data-data tersebut menunjukkan bahwa pesantren sanggup bertahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan clan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memodernkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, commit to user 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. 6. Pendidikan Pondok Pesantren Dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan di pesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domain pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “attitude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attutude) maupun psikomotorik (skill) Pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, pesantren tetap survive bahkan beberapa diantaranya muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Magelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980. Pemecahan masalah-masalah sosial masyarakat desa tersebut, antara lain: 1) Masalah pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif dan bukannya negatif. 2) Masalah inflasi Inflasi adalah indikator pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. commit to user Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah nilai suatu inflasi perpustakaan.uns.ac.id 49 digilib.uns.ac.id berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyaraka. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. 3) Masalah pengangguran Masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk dari faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Efektifitas pesantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gus Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu-ibu rumah tangga di desa-desa lingkungan pesantren, dan sekitarnya. Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai, dan sikap hidup bersama dimasyarakat. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup di masyarakat. Pondok Pesantren mencoba memecahkan permasalahan sosial dengan menggunakan caranya sendiri. Pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan-keunggulan itu sesunggunhnya merupakan kekayaan Bangsa ini yang mendapat dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak commit user berharga bagi perbaikan bangsa mungkin ia akan menjadi mutiara yang to sangat perpustakaan.uns.ac.id 50 digilib.uns.ac.id Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat. Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan. Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain : 1. Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi, dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah. 2. System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang. 3. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang di udara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah. Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi sekeder transfer ilmu pengetahuan. Meskipun di pondok pesantren santri lebih mengutamakan capaian commit to user substansial keilmuannya ketimbang capaian-capaian formal, akan tetapi tetap ada perpustakaan.uns.ac.id 51 digilib.uns.ac.id tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global. Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari ”bawah”, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian (riyadhah) secara intensif dan benar. Dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi demikian signifikan dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini. Di pesantren lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami user dan menalar ilmu-ilmu itu, diakuicommit bahwatokemampuan mengingat dan menghafal perpustakaan.uns.ac.id 52 digilib.uns.ac.id bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan, maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Apabila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz. Pendidikan di pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada Education For The Brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan Over Educated Society, semakin banyaknya pengangguran elit intelektual, misalnya dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai : 1. Lembaga pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik. 2. Pusat rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren) 3. Sebagai pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ). Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam. Lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang user ini. Pada masa awal berdirinya semenjak masa awal kedatangan commit Islam ditonegeri 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian Al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah ustadz. Secara mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor yang terpisah. Sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta diperhatikan nasehat-nasehatnya. Pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas. Sebagaimana telah dijelaskan atau dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan. Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di Tanah Air ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya pendidikan Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Terbukti semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasiindikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam menanggapi sistem pendidikan yang ada di Tanah Air ini dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan bijaksana. commit to user 54 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 7. Sosial Budaya Pesantren Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri-ciri: 1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiai, 2. Santri taat dan patuh kepada kiainya, 3. Para santri hidup secara mandiri dan sederhana, 4. Adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan, dan 5. Diajarkannya kitab-kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. Sementara secara fisik pesantren minimalnya mempunyai sarana dasar berupa, masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan keluarganya, pondok sebagai tempat tinggal para santri dan ruangan-ruangan untuk belajar. Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda walaupun tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya ini terutama dibuat dari fakta lingkungan pondok yang sangat terbatas, sifat kyai dan sifat para santri. Oleh karena lingkungan pondok sangat terbatas dan banyak waktu harus dilewatkan di dalam satu tempat itu, maka harus ada kehormatan dan kesabaran yang tinggi sekali. Santri-santri harus bisa bekerja sama dan saling paham untuk menciptakan suasana yang tenang dan cocok untuk belajar dan beribadah. Kegiatan-kegiatan dasar yang memenuhi hari-hari para santri pada umumnya bisa dikelompokkan ke dalam empat bagian, yaitu: 1. Kegiatan pribadi, misalnya mandi, mencuci pakaian, membersihkan kamar, makan, membaca, mengobrol dengan teman, dan istirihat; 2. Kegiatan belajar, termasuk waktu belajar di kelas, mengaji di musholla dan mengerjakan PR atau belajar sendiri; 3. Kegiatan sembahyang; dan 4. Kegiatan ekstrakurikuler, misalnya olahraga yang dilakukan dua kali seminggu, pramuka, kesenian atau tugas-tugas sebagai ketua bagian Pondok Pesantren Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilihat di jadwal harian dasar santri di commit to user bawah: perpustakaan.uns.ac.id 55 digilib.uns.ac.id Jadwal Harian Dasar Santri 4.15 – bangun, wudlu 4.30 – salat Subuh 4.40 – pengajian dipimpin Pak Kyai 5.30 – mandi, membersihkan kamar…dll 6.15 – sarapan 6.45 – masuk ruang kelas 7.00 – masuk kelas pertama 12.00 – kelas terakhir selesai 12.15 – wudlu 12.30 – salat Dhuhur 12.45 – makan siang 13.00 – kelas 13.45 – waktu bebas/belajar 15.00 – salat Ashar 15.15 – pengajian 16.00 – kegiatan ekstrakurikuler 17.00 – mandi, wudlu…dll 17.30 – salat Maghrib 17.45 – pengajian 19.00 – salat Ishya 19.30 – makan malam 19.45 – waktu bebas/belajar 22.00 – tidur Salah satu aspek kehidupan sehari-hari para santri adalah ketidak perluannya untuk diawasi atau dikelola oleh para guru atau kyai. Tentu saja kadang terjadi kasus spesifik di mana kyai perlu ikut campur, tetapi pada umumnya kedisiplinan para santri di Pondok Pesantren sangat tinggi sehingga sorang santri mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia sudah kerjakan. Ada dua alasan bagi para santri untuk mengelola sendiri kegiatan seharicommit to user harinya. Pertama, peraturan-peraturan pondok dan jadwal sehari-hari yang sangat 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ketat berarti santri cuma tinggal ikut kegiatan-kegiatan yang dimasukkan jadwal untuk hari tertentu. Kedua, pelajaran ketrampilan kepemimpinan yang diperkenalkan lewat Organisasi Santri Pondok Pesantren ( OSPP ). OSPP terdiri dari bagian-bagian yang perlu dikelola dalam kehidupan sehari-hari di pondok seperti administrasi, keamanan, kegiatan olahraga dan lain-lain. Lewat OSPP santri diberikan kesempatan untuk menjadi ketua salah satu bagian OSPP dan mengalami sendiri seperti apa tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Dengan adanya santri sebagai pemimpin, rasa saling hormat di antara anak kelas bawah dan anak kelas atas harus tinggi. Aspek lain kehidupan sehari-hari bagi para santri di Pondok Pesantren adalah kurang banyak keragaman dalam kegiatan yang bisa dilakukan selama waktu istirihat tersebut dan kurang banyak kesempatan untuk bergaul dengan orang dari luar pondok. Maksud tersebut adalah jika santri tidak lagi mandi, makan, membersih-bersihkan atau sholat, biasanya mereka baru belajar. Dan kalau tidak ada tamu yang datang ke pondok untuk bertemu dengan para santri, selama mereka menetap di pondok, mereka tidak pernah akan bergaul dengan orang selain santri-santri lain, para Ustad dan keluarga Kyai. Di dalam pondok pesantren, kegiatan hiburan bagi santri sangat terbatas. Mereka bisa membaca majalah dan buku yang dibawah dari rumah, mendengarkan musik dan radio, mengobrol dengan temannya, maupun menonton televise diakhir minggu. Dibandingkan dengan pemuda-pemudi yang tinggal di luar pondok pesantren yang menikmati kehidupan yang lebih bebas di mana ada televisi, mainan komputer, internet, bioskop, museum, tempat wisata seperti taman rekreasi, mall dan kesempatan untuk jalan-jalan. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut. 1. Penelitian yang dilakukan oleh Setya Prihatin tahun 2009. Novel Laskar Pelangi (Analisis Struktur, Resepsi commitPembaca, to user dan Nilai Pendidikan ). Hasil 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id penelitian ini memaparkan unsur- unsur struktural dalam novel Laskar Pelangi serta tanggapan pembaca tentang novel Laskar pelangi sehingga dapat dijadikan bahan pemikiran peneliti dalam pemilihan novel Laskar Pelangi sebagai materi ajar. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Moh Erfan Taufik Hadi tahun 2010. Analisis novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ( tinjauan sosiologi sastra ). Hasil penelitian ini adalah maslah sosial dari novel Laskar Pelangi sefta tanggapan pembaca mengenai novel Laskar Pelangi. Dari penelitian ini penulis mendapatkan gambaran mengenai tanggaan komunitas pembaca terhadap novel tersebut sehingga penulis menjadikan novel ini sebaagai materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas VII. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Rahman 2007. Analisis novel Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy( tinjauan sosiologi sastra ). Hasil penelitian ini adalah masalah sosial dari novel Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy. C. Kerangka Berpikir Novel sebagai salah satu kajian dari karya sastra yang merupakan hasil rekaan yang mengutamakan perasaan dan keindahan. Walaupun rekaan tetapi novel tidak lepas dari kenyataan sosial, baik yang dilihat maupun yang dialami sendiri oleh pengarang. Novel yang berjudul Geni Jora karya Abidah El Khalieqy mengungkapkan realitas sosial dan budaya yang berlaku, serta konflik-konflik yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam kehidupan khususnya dalam pesantren perempuan. Bertolak dari hal di atas, maka penulis bermaksud menelaah novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendeskripsian bagaimana cara pengarang mengangkat masalah dalam novel dan dihubungkan dengan keadaan sosial setempat. Dalam novel Geni Jora karya commit to user 58 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Abidah El Khalieqy menggambarkan keterkaitan tokoh dengan pondok, tokoh dengan kyai, dan tokoh dengan aturan-aturan di dalam Pondok Pesantren. Pemilihan novel Geni Jora sebagai bahan kajian dilatar belakangi oleh adanya keinginan untuk memahami aspek-aspek sosial budaya pesantren. Dengan sosiologi sastra akan dapat diketahui seberapa jauh peran Kejora dalam Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dalam hal menyikapi keadaan sosial di dalam Pondok Pesantren. commit to user 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Secara sistematis kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat ada bagan di bawah ini : Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy Aspek sosial budaya dalam Tanggapan Pembaca novel Geni Jora terhadap novel Geni Jora Kedudukan Kedudukan Kyai Pondok Pesantren sebagai dalam Novel Geni Nilai Sosial Budaya Pesantren Jora dalam Novel Geni Novel Geni Jora Pembawa Masjid dan Masyarakat Pondok dalam Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir commit to user Santri, Kyai, dan Pesantren dalam Novel geni Jora perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini tidak terikat oleh tempat karena merupakan studi kepustakaan. Penelitian ini bukan merupakan penelitian lapangan yang statis, melainkan analisis yang dinamis. Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu bulan Desember sampai Juni. Objek penelitian ini adalah Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy yang berjumlah 222 halaman yang diterbitkan Yogyakarta pada tahun 2004. Rincian waktu dan jenis kegiatan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini Tabel 2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian BULAN Jenis Kegiatan Rincian Waktu DES 1. Pengajuan judul xx-- 2. Penyusunan proposal JAN FEB xx-- --xx 3. pengumpulan data MAR APRIL --xx x--- 4. Analisisis data 5.Penyusunan -xx laporan MEI JUNI xx-- xx-- --xx xxxx Skripsi B. Pendekatan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Dalam hal ini peneliti mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai faktafakta dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2004: 3) “Metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” commit to user 60 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Data dari hasil analisis penelitian deskriptif berbentuk deskriptif, fenomena, bukan berupa angka-angka atau hubungan antara variabel. Dari penelitian tersebut peneliti memperoleh data dari hasil yang berlatang belakang ilmiah. Penelitian ini akan menghasilkan data berupa kata-kata tertentu atau lisan dari objek penelitian dengan menggambarkan atau melukiskan yang sebenarnya. C. Bentuk dan Strategi Penelitian Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khususnya yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong, 2007: 6). Dengan definisi-definisi tentang penelitian kualitatif di atas, maka bentuk penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskrifsikan atau menggambarkan melukiskan fenomena atau hubungan antar fenomena yang diteliti dengan sistematis, faktual, dan akurat . Strategi penelitian adalah analisis isi ( Content Analysis). Analisis isi digunakan untuk mengungkapkan makna dari novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy serta data tentang penciptaan novel Geni Jora yang diambil melalui wawancara langsung dengan penulis novel Geni Jora D. Sumber Data Menurut Lofland yang di kutip oleh lexy J. Moleong (2004: 112) mengemukakan bahwa “ Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lainnya”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata dan tindakan dari orang-orang yang diamati atau diwawancara merupakan sumber utama, sedangkan dokumen dan lain-lainnya merupakan data tambahan. commit to user 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah: 1. Dokumen, Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy ini didalamnya terdapat beberapa masalah sosial budaya dalam pesantren yang saling berhubungan dan berkaiatan antara satu dengan yang lainnya. Buku ini berjumlah 222 halaman yang diterbitkan Yogyakarta pada tahun 2004. 2. Informan, yaitu hasil wawancara berisi pendapat para pembaca mengenai Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy. Pembaca yang diwawancarai oleh peneliti adalah dosen bahasa dan sastra indonesia serta pembaca yaitu mahasiswa. E. Teknik Sampling Teknik yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel yang pemilikannya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang di pandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan tujuan penelitian. Purposive Sampling adalah pengambilan data yang dilakukan dengan cara memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (H.B Sutopo, 2002: 56). Teknik ini peneliti pergunakan dengan tujuan agar diperoleh data-data yang tepat dan akurat, sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Sampel dalam penelitian ini adalah Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy yang menceritakan beberapa masalah sosial budaya dalam pesantren. Dalam hal ini peneliti menentukan sampel yang sudah membaca novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy dengan cara memilih pambaca dengan latar belakang yang berbeda. F. Teknik Pengumpulan Data 1. Dokumen Analisis isi digunakan untuk mengungkapkan kehidupan pesntren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy. Dokumen yang dipakai adalah novel novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy. commit to user 63 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Wawancara Teknik ini dipakai peneliti untuk mendapatkan hasil wawancara berisi pendapat para pembaca mengenai novel Geni Jora. Pembaca yang diwawancarai peneliti adalah Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd selaku pembaca dan juga sastrawan, Sri hastuti S. S., M. Pd., selaku dosen bahasa Indonesia, Yulia dan Kartika, selaku mahasiswa . G. Validitas Data Sebuah data diperoleh, selanjutnya data diperiksa keabsahannya, melalui teknik triangulasi. Peneliti dalam menentukan keabsahan data menggunakan triangulasi. Menurut Lexy J. Moleong (1994: 178), triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi sebagai pembanding atau mengecek terhadap data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari data itu. Selanjutnya menurut Patton dalam H.B Sutopo ( 2002 : 78 ) menyatakan bahwa “Ada empat macam teknik trianggulasi yaitu trianggulasi data, trianggulasi peneliti, trianggulasi metodologis,dan trianggulasi teoritis.” Adapun penjelasannya sebagai berikut : 1. Trianggulasi data (data triangulation) atau tringgulasi sumber adalah penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis. 2. Trianggulasi peneliti (investigator triangulation) yang dimaksudkan dengan cara trianggulasi ini adalah hasil penelitian baik data maupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. 3. Trianngulasi metodologis (methodological triangulation) jenis trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seseorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. 4. Trianggulasi teoritis (theorical triangulation) trianggulasi ini digunakan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. commit to user 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode. Trianggulasi sumber data dengan mengumpulkan data yang sama dengan tujuan untuk memberikan kebenaran dan memperoleh kepercayaan terhadap data yang diperoleh dari sumber yang berbeda, dimana data yang satu akan dikontrol dengan dengan sumber data yang sama pada situasi yang berbeda. Trianggulasi metode digunakan untuk mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda yaitu melalui wawancara dengan Dosen Bahasa Indonesia yaitu Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd, Sri hastuti S. S., M. Pd dan Mahasiswa yaitu Yulia dan Kartika, maupun dokumen yaitu Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy H. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis yaitu analisis interaktif. Analisis interaktif yaitu interaksi dari tiga komponen utama. Namun, dalam penelitian ini peneliti tetap menggunakan empat komponen yaitu proses pengumpulan data, reduksi data, penyajian data sampai dengan penarikan kesimpulan, vertifikasinya yang dilakukan selama proses pengumpulan data berlangsung. Menurut Miles dan Huberman seperti yang dikutip oleh H.B Sutopo (2002:72) keempat komponen tersebut adalah: 1. Pengumpulan data, langkah pengumpulan data ini sesuai dengan teknik pengumpulan data-data yang telah diuraikan di atas, yang terdiri dari wawancara, observasi analisis dokumen. Pengumpulan data dilakukan selama data yang diperlukan belum memadai dan akan dihentikan apabila data yang diperlukan telah memadai dalam penagambilan kesimpulan. 2. Reduksi data, merupakan bagian analisis yang berlangsung terus-menerus selama kegiatan penelitian bahkan sebelum data benar-benar terkumpul artinya sebelum data terkumpul secara keseluruhan, proses analis data sudah dilakukan. Menurut Lexy J. Moleong (2005: 247) “Reduksi data dilakukan dengan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.” Dengan demikian reduksi data merupakan bentuk analisiscommit yangto user menajamkan, menggolongkan dan 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisir data sehingga dapat diambil kesimpulan akhir. 3. Penyajian data, untuk menghindari kesulitan dalam melakukan penarikan kesimpulan, data yang sudah terkumpul perlu disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk terpadu. Penyajian data juga dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menyusun sekumpulan informasi yang telah diperoleh di lapangan, untuk kemudian data tersebut disajikan secara jelas dan sistematis sehingga akan memudahkan peneliti dalam memahami dan menginterpretasikan apa yang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan tersebut dengan teori-teori yang relevan. 4. Penarikan simpulan, kegiatan analisis terakhir adalah penarikan kesimpulan yang merupakan analisis rangkaian data yang berupa gejala kasus yang terdapat di lapangan. Penarikan kesimpulan bukanlah langkah final dari suatu analisis karena kesimpulan tersebut masih perlu diveritifikasi. Apabila kesimpulan yang telah diambil ternyata belum diperoleh data yang valid, maka proses analisis diulang kembali sampai sampai diperoleh data yang benar-benar akurat, cocok dan kokoh sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kegiatan-kegaitan tersebut di atas dapat ditunjukan dengan bagan sebagai berikut : Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Gambar 2. Komponen- komponen Analisis Data Model Interaktif ( H.B. Sutopo commit user 2002:to96) 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id I. Prosedur Penelitian Untuk mempermudah penulisan Laporan Penelitian, maka perlu ditetapkan prosedur penelitian yang sistematis. Prosedur penelitian merupakan langkahlangkah yang dilaksanakan dari penelitian dari awal sampai akhir. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa tahap yaitu : 1. Tahap persiapan, merupakan tahap pengumpulan bahan informasi dan teori yang dapat mendukung perumusan masalah. Tahap ini dimulai dari pembuatan rancangan penelitian, pemilihan lokasi, mengurusi perijinan dan persiapan pelaksanaan teknis. 2. Tahap pelaksanaan, didasarkan pada tujuan yang akan dicapai, dimulai dari mnegadakan observasi, survey sampai dengan pengumpulan data di lapangan. 3. Tahap analisis, untuk analisis awal penelitian dilakukan sejak pengumpulan data di lapangan, sedangkan analisis akhir dilakukan setelah penggalian data dianggap cukup mendukung maksud dan tujuan penelitian. Tahap analisis merupakan tahap dalam penarikan kesimpulan. 4. Tahap penulisan laporan penelitian, merupakan tahap akhir di mana peneliti mulai menyusun hasil laporan yang telah disusun secara rapi dilanjutkan dengan penggadaan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Untuk lebih memudahkan penelitian dalam melangkah peneliti sajikan skematis prosedur penelitian : commit to user 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Proposal Pengumpulan Data dan Analisis awal Analisis Akhir Persiapan Pelaksanaan Penarikan Kesimpulan Penulisan Laporan Perbanyak Laporan Gambar 3: Skema Prosedur Penelitian Sumber : Hurber dan Milles dalam Soetardi (2002:25) commit to user 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Aspek Sosial Budaya Pesantren yang Terdapat dalam Novel Geni Jora Pendekatan sosiologi sastra merupakan salah satu pendekatan sastra yang mengkhususkan diri dalam menelaah karya satra dengan mempertimbangkan segi- segi sosial kemasyarakatan. Salah satu yang sering dikaji dalam sosiologi sastra adalah dinamika masyarakat di dalamnya, salah satunya adalah permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Masalah sosial adalah ketidak sesuaian antara unsur- unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga sosial tersebut sehingga meyebabkan kepincangan sosial. Masalah sosial budaya muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Dengan bahasa yang lebih sederhana, masalah sosial adalah gejala- gejala sosial yang tidak sesuai antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi. Masalah social satu akan menjadi pangkal dan menyebakan timbulnya beberapa masalah sosial yang lain. Pangkal sebab itulah yang harus diteliti untuk dicari solusinya. Ini jugalah yang kemudian menjadi keresahan bagi beberapa penulis wanita di Indonesia. Abidah El Khalieqy dengan novel Geni Jora membidik tema ini dan mulai menulis untuk menemukan satu jalan sebagai usahanya melawan budaya patriarki yang telah berakar kuat terutama bagi para perempuan di Indonesia. Pada novel Geni Jora, Abidah menggunakan latar pondok pesantren sebagai setting tempatnya yang disempurnakan dengan suasana dan kondisi pesantren serta kebiasaan yang biasa dilakukan di pondok pesantren. Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy ini di dalamnya terdapat beberapa masalah sosial budaya dalam pesantren yang saling berhubungan commit to user dan berkaiatan antara satu dengan yang lainnya. Muara atau dasar dari semua 68 perpustakaan.uns.ac.id 69 digilib.uns.ac.id masalah sosial budaya yang timbul dalam novel ini adalah lingkungan pesantren yang ketat dengan segala peraturan serta hubungan sosial para santri yang kesemuanya adalah perempuan. Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda walaupun tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya ini terutama dibuat dari fakta lingkungan pondok yang sangat terbatas, sifat kyai dan sifat para santri. Oleh karena lingkungan pondok sangat terbatas dan banyak waktu harus dilewatkan di dalam satu tempat itu, maka harus ada kehormatan dan kesabaran yang tinggi sekali. Santri-santri harus bisa bekerja sama dan saling paham untuk menciptakan suasana yang tenang dan cocok untuk belajar dan beribadah. Aspek lain kehidupan sehari-hari bagi para santri di Pondok Pesantren adalah kurang banyak keragaman dalam kegiatan yang bisa dilakukan selama waktu istirihat tersebut dan kurang banyak kesempatan untuk bergaul dengan orang dari luar pondok. Maksud tersebut adalah jika santri tidak lagi mandi, makan, membersih-bersihkan atau sholat, biasanya mereka baru belajar. Dan kalau tidak ada tamu yang datang ke pondok untuk bertemu dengan para santri, selama mereka menetap di pondok, mereka hanya akan bergaul dengan orang selain santri-santri lain, para Ustad dan keluarga Kyai. Dengan adanya budaya pondok pesantren yang seperti ini menyebabkan masalah- masalah sosial yang dialami para santri yang ada dalam pesantren. Dalam novel Geni Jora terdapat masalah sosial khususnya yang terjadi di pondok pesantren yaitu kedudukan Pondok Pesantren dalam novel Geni Jora, Kedudukan Kyai sebagai pembawa nilai sosial budaya dalam novel Geni Jora, masjid dan masyarakat dalam novel Geni Jora serta Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam novel Geni Jora. Untuk lebih jelasnya, beberapa masalah sosial di atas akan diuraikan seperti berikut : a. Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai commit to user yang mampu mengembangkan fungsi ganda, sebagai lembaga pendidikan 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah maupun jasmaniah. Oleh karena itu banyak orang tua yang memasukkan anakanaknya ke pesantren walaupun mreka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan kurangnya intensitas bertemu dengan anak- anak mereka karena jarak pesantren yang jauh. Hal ini tampak pada: “ Kami datang dari seluruh penjuru negeri ini, sari Bogor, dari sumbawa, Padang, Bali, Kalimantan, Jakarta, Kendari bahkan Ambon, juga Malaysia , India dan Brunai. Terdapat juga beberapa santri dari Pataya, Thailan.” ( Khalieqy, 2004: 41) “ Karena mahalnya tarif sekolah di pesantren ini, Hanya kalangan tertentu dari pribumi yang masuk ke sana.“ (Khalieqy, 2004: 41) “ Semakin tinggi kelas kami, kami akan menghuni kamar dengan penghuni lebih sedikit, empat atau dua santri saja, dengan toilet pribadi, kulkas dan telepon. Ini namanya, kamae santri senior.” (Khalieqy, 2004: 41) “Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namya berpikir,bukankah setiap berangkat dan pulang dari pesantren menuju kampong halaman di Lombok sana,ia selalu naik pesawat?Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu, Mohamet Naufal al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?Bagaimana mungki Ustaz Omar menyamakan dirinya dengan manusia Badui?”( Khalieqy, 2004: 38) Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Pendidikan ini di dapat santri bukan hanya dikelas tetapi juga dalam kehidupan selama di asrama. Hal ini tampak pada: commit to user 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “ Satu hal kuperingatkan pada kalian bahwa Tuhan kita Yang maha Hebat, maha Ganteng dan Maha Kaya, Maha dari yang Maha.” (Khalieqy, 2004: 37) “ Aku sangat senang saat mengetahui bahwamudirul ma’had berkeputusan untuk mengembalikan para santri baru yang telah kronis penyakit moralnya ke hadapan orangtua mereka masingmasing, dengan pertimbangan bahwa pesantren ini dikhususkan untuk tempat thalabul ‘ilmi.” (Khalieqy, 2004: 56) Tujuan pondok yang awalnya memberikan pendidikan umum maupun pendidikan agama, menjadi berubah karena adanya beberapa santri yang dikirim orang tuanya bukan hanya untuk menuntut ilmu di pesantren tetapi dengan maksud tertentu. Banyak orang tua yang beranggapan pesantren sebagai tempat penampungan maupun rehabilitasi kepribadian santri yang bisa dikatakan sudah bobrok. Hal ini tampak pada : “ Agaknya selama di pesantren pekerjaan mereka hanya hura- hura dengan makanan yang bejibun, segala coklat yang berkarduskardus.” ( Khalieqy, 2004: 55) “ Sering aku berfikir tentang kanker pesantren ini yang terus menggerogoti kesehatan jiwa- jiwa santri yang lain yang kedatangannya benar- benar ingin thalabul ilmi. ( Khalieqy, 2004: 55) “ Karena terlalu bandel dan orangtua mereka kelabakan untuk mengatasinya, dilemparkanlah mereka ke pesantren. Kadilah pesantren ini tempat penampungan pribadi- pribadibobrok yang telah akut untuk dapat disembuhkan.” ( Khalieqy, 2004: 56) “ Seorang santri yang berperawakan gemuk bundar, dua mingggu masuk pesantren terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena hendak melahirkan. ( Khalieqy, 2004: 56) “ Dokter pun membisiki Encik Rahmahyang mengantarkannya dan dan mengatakan bahwa pasien baru saja melahirkan entah dimana, yang pasti di rumah orangtuanya. ( Khalieqy, 2004: 56) commit to user 72 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tidak hanya bentuk bangunan pesantren tetapi juga peraturan- peraturan yang juga menunjukkan pesantren ini berada dalan tataran pesantren kelas atas. Hal ini tampak pada ; “ Di samping kurikulum yang bagus, Pesantren kami dikenal sangat disiplin dan ketat. Saat masuk pesantren, pemandangan aneh yang pertama kulihat adalah saat memasuki pintu ketiga. Ada tiga pintu terakhir ini, terdapat sebuah ruangan berbama ‘Ruang pemeriksaan.”( Khalieqy, 2004: 42) “ Setiap seorang santri yang memasuki ruangan di pintu ketiga ini, Encik rahmah akan menggerayangi seluruh badannya, seprti seorang petuggas kepolisian yang tengah menggerayangi seseorang yang dicurigai untuk memastikan tidak terdapat barang curian atau barang terlarang dalam lipatan tubuhnya. “(Khalieqy, 2004: 42) “ Di pesantren kami ,setiap kamar di huni enam atau delapan santri . Kami memakai ranjang tingkat untuk tidur dan lemari tingkat juga untuk menyimpan pakaian dan buku-buku. Satu kamar biasanya memuat tiga ranjang tingkat dan tiga lemari dua pintu . Kamar yang memuat empat ranjang tingkat, akan di huni delapan santri dan seterusnya.Semakin tinggi kelas kami ,kami akan menghuni kamar dengan penghuni lebih sedikit ,empat atau dua santri saja , dengan toilet pribadi , kulkas dan telephone. Ini namanya ,kamar santri senior . Biasanya kakak santri kelas enam saja yang memiliki fasilitas semacam itu .” (Khalieqy, 2004: 40) “ Segala jenis mie terus mengalir setiap minggu, setiap dua minggu, setiap para orang tua santri datang berkunjung pada saat hari kunjungan” “ Di pesantren kami ,setiap kamar di huni enam atau delapan santri . Kami memakai ranjang tingkat untuk tidur dan lemari tingkat juga untuk menyimpan pakaian dan buku-buku. Satu kamar biasanya memuat tiga ranjang tingkat dan tiga lemari dua pintu . Kamar yang memuat empat ranjang tingkat, akan di huni delapan santri dan seterusnya.Semakin tinggi kelas kami ,kami akan menghuni kamar dengan penghuni lebih sedikit ,empat atau dua santri saja , dengan toilet pribadi , kulkas dan telephone. Ini namanya ,kamar santri senior . Biasanya kakak santri kelas enam saja yang memiliki fasilitas semacam itu .” (Khalieqy, 2004: 54) ”Kamipun berlalu kearah tangga menuju lantai dua. Di lantai dua ini terdapat kelas- kelas, aula II, perpustakaan dan kantor redaksi majalah redaksi dan kafetaria.” (Khalieqy, 2004: 52) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 73 digilib.uns.ac.id Dalam novel ini, diceritakan bagaimana keadaan pondok pesantren dengan segala peraturan- peraturan dan kegiatan yang harus dilakukan para santri secara rutin. Hal ini tampak pada : “ Jam tidur kami adalah jam sepuluh malam, tetapisatu jam sebelumnya, ada bel berbunyi merupakan bel peringatan bagi santri- santri yang suka keluyuran untuk segera memasuki kamar masing- masing.” (Khalieqy, 2004: 44) Di atas pukul sepuluh malam, tak ada stu santri pun yang boleh berada di luar kamar, kecuali untuk keperluan kamar mandi. Baru diatas pukul dua belas malam, diperbolehkan keluar untuk qiyamullail atau belajar di musal, di kelas atau di tempat- tempat yang terang, seperti di atas jalan layang yang membentang antara kamar enam hingga kamar khusus para ustazah atau di atas panggung pertunjukan dengan lampu yang cukup terang. “ (Khalieqy, 2004: 44) “Semua gaun yang boleh dipakai di pesantren merupakan baju sederhana dengan bawayan sarung perempuan, sebagai bentuk penerapan kehidupan sederhana dan menjauhi kehidupan musyifin alias jor- joran. Peraturan semacam ini membuat Sonya terrtekan untuk tidak memamerkan gaun barunya yang dirancang oleh seorang desainer beken dari ibukota. Sonya hanya bias memakai gaun- gaunnya di malah hari saat jam tidur berbunyi.” (Khalieqy, 2004: 43) Dengan adanya peraturan- peraturan yang ditetapkan pesantren diharapkan para santri hidup dengan teratur, seimbang dan dinamis. Akan tetapi bukan peraturan dan tata tertib namanya kalau tidak ada pelanggaran dan sangsi di dalamnya. Hal ini tampak pada : Dua di antara mereka telah menjalani hukuman cambuk karena kasus lesbian. Satu diantara mereka pernah menjalani hukuman cukur gundul karena kasus pencurian. “ (Khalieqy, 2004: 56) “ Dalam kasus pencurian yang kini tengah kami tangani, dengan pertuduh seorang santri bernama Detty, tim Majelis Taklim menemukan kesulitan yang tidak biasa berkaitan dengan interogasi yang tidak memadahi, karena isu yang beredar tentang pencuri bertopeng dan hanya uang tertentu yang dicuri, khusus uang yang ada dalam tabungan berbentuk ayam jago. Pencuri merauh isi tabungan tanpa merusak pintu masuk tabungan yang relative kecil, hanya pas untuk masuknya commit to sebutir user logam perak gopek. Disinilah perpustakaan.uns.ac.id 74 digilib.uns.ac.id misterinya. Tetapi aku tidak kehabisan akal untuk membuat manover balik”.( Khalieqy, 2004: 53-54) “ Biasanya para pelaku lesbian akan dihuklum cambuk sebanyak delapan puluh kali dengan rincian, dua puluh kali untuk yangan kanan, dua puluh kali untuk tangan kiri, dua puluh kali untuk kaki kanan, dua puluh kali untuk kaki kiri. “(Khalieqy, 2004: 94) “ Telah berkali- kali kusaksikan perilaku Encik Rahmah yang melanggar itu. Pada akhirnya ia pun digeser kedudukannya oleh encik lain, namanya Encik Barkah” (Khalieqy, 2004: 43) b. Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Keberadaan kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari peran dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik, karena selain memimpin lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya bertugas menyusun kurikulum, membuat tata tertib, merancang sistem evaluasi sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan dengan ilmu agama yang diasuhnya, dia juga sebagai pembina, pendidik umat serta pemimpin masyarakat. Dalam novel ini kyai digambarkan seorang yang sangat disegani dan ditakuti oleh para santri. Hal ini tampak pada: “Ustaz Omar kembali mengetukan pulpenya didepan meja Namnya.Ketukan pulpen itu terasa seperti ketukan palu sang hakim yang tengah memutus sebuah perkara.Ruangan kembali senyap mungkin banyak teman menahan nafas sembari menahan sesuatu yang akan terjadi.Namya cegukan di jalan raya.,mobil polisi meraung-raung dengan sirinenya. Tanpa diduga Namya nyeletuk begitu saja. “ada maling, Ustaz.” commit to user “Kaulah maling!”bentak Ustaz Omar.( Khalieqy, 2004: 37) perpustakaan.uns.ac.id 75 digilib.uns.ac.id (Ternyata Namya tidak berani memandang mata Ustaz Omar. Ia terus menunduk dan tetap cegukan)”( Khalieqy, 2004: 37) “Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namya berpikir,bukankah setiap berangkat dan pulang dari pesantren menuju kampong halaman di Lombok sana,ia selalu naik pesawat?Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu,Mohamet Naufal al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?Bagaimana mungki Ustaz Omar menyamakan dirinya dengan manusia Badui?( Khalieqy, 2004: 38) “Cara berpikir seperti itulah yang disebut primitife,Namya Seekor monyet juga bias naik pesawat.Tetapi tidak berarti bahwa sang monyet telah berperadapan karena ia telah naik pesawat.”( Khalieqy, 2004: 38) Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai spiritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah SWT). Oleh karena itu sosok seorang kyai dalam pesantren sangat dihormati dan dihargai oleh kebanyakan santri terkecuali mereka yang bandel dan tidak suka dengan aturan yang dibuat oleh pesantren ataupun kyai. Hal ini tampak pada: “ Aku tergagap. Sulit bagiku untuk membohongi Ustaz Omar. Tetapi sulit juga bagiku untuk membuka kedok Namnya. Kini posisiku berada diantara dua titik rawan yang menghendaki sebuah kearifan untuk menghakimi. Jika berpihak pada Ustaz Omar, Namnya akan marah dan mungkin membenciku. Sebaliknya jika memihak Namnya, ia akan merajarela dan ustaz Omar kehilanagan kepaercayaan kepadaku. Tak ada cara yang lain;quill haqqa walaw kaana murran, katakan kebenaran, sepahit apapun”. (Khalieqy, 2004: 36) “ Tak salah lagi,itu pasti suara Namya al Katiri,adiknya Sonya al Katiri.Dua bersaudara yang meiliki karakter sama,tak pernah sehari pun membiarkan para santri teman-temanya duduk tenang sambil membaca buku atau berdiri konsentrasi dalam salat. Karuan suasana kelas dimana ujian tengah berlangsung menjadi bingung oleh tawa,sebelum ahkirnya Ustaz Omar menggelar dengan ultimatumnya.”Uskat kalam”( Khalieqy, 2004: 35) “ Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Umar”. commit to user (Khalieqy, 2004: 37) perpustakaan.uns.ac.id 76 digilib.uns.ac.id “(Tak kusangka, Namnya masih mampu berbisik mengancam: akan ku balas kau! Omar Basalamah!)” (Khalieqy, 2004: 38) “Omar si jubah Hitam menyampaikan inta dengan Baduy Nggak terbaik nih ? Rumah tipe 46 ,mobil Volvo ronsokan ah….!sudahlah!Nanti kita amplopi haremnya yang tebal, biar lulus ujian inti.”( Khalieqy, 2004: 38) Dalam pesantren terdapat banyak santri yang masing- masing memiliki watak dan kepribadian yang berbeda- beda, maka dari itu seorang kyai harus dapat bersikap sesuai dengan apa yang dihadapi, baik itu menghadapai santri yang pandai ataupun santri yang bandel sekalipun. Kebijaksanaan dan ketegasan harus dimiliki oleh seorang kyai. Hal ini tampak pada: "Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat" "Hanya ada satu hal, Ustadz" "iya. Sebutkan" Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia dengan jawabnya? "Tidak memiliki imajinasi" (Khalieqy, 2004: 33) “ Aku tidak menyangkal bahwa jawabanmu sangat bagus, tetapi tidak benar. Ini ruang ujian pesantren dan kau adalah santri di sini. Dan Fiqh adalah mata pelajaran yang tengah diujikan. Jadi kamu harus menjawab berdasar ketentuan ilmu Fiqh. Paham?”( Khalieqy, 2004: 33) “Terpana Ustaz Omar.Membionar matanya. Refleks saja saat beliaujuga mengikuti gerakankepalaku,tersenyum-senyum dan mendecak kagum.Senyap ruang ujian dan kurasakan semua mata tertuju padaku,pada gerakan mulutku. Ujian lisan pun usai dan kini aku boleh duduk kembali.Sebelum giliran santri selanjutnya,Ustat Omar member komentar singkat. “Andai ada seribu Kejora,malam hari lupa gulita.Andai….”( Khalieqy, 2004: 35) “ Lalu Ustaz Omar dengan jubahnya yang berkibar-kibar, dengan pecut rotan ditangan kanan, berjalan menuju tenagh lapangan olahraga, saat waktu menunjuk dua belas siang, dimana sekuruh santri sudah berkumpul menglilingi lapangan unatuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id 77 digilib.uns.ac.id menaysikkan eksekusi yang bakal dilaksanakan. Ekskusi? Tidak!”.( Khalieqy, 2004: 93) “ Tak salah lagi, itu pasti suara Namya al Katiri,adiknya Sonya al Katiri.Dua bersaudara yang meiliki karakter sama,tak pernah sehari pun membiarkan para santri teman-temanya duduk tenang sambil membaca buku atau berdiri konsentrasi dalam salat. Karuan suasana kelas dimana ujian tengah berlangsung menjadi bingung oleh tawa,sebelum ahkirnya Ustaz Omar menggelar dengan ultimatumnya.”Uskat kalam”( Khalieqy, 2004: 35) c. Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora Pondok pesantren pada umumnya yang pertama kali oleh seorang kyai atau seorang pendiri pesantren yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. “ Kulihat jauh di depan sana sebuah langkah terayu, menuju mushala. Seorang santri mushala tengah bersiap membangunkan mimpi para santri dengan alunan ayat- ayat suci alqur’an.” (Khalieqy, 2004:37) “Aku bangkit berdiri dan melepas tangan Elya pelan, mencari sasaran lain untuk titik perhatian. Musala. Disanalah kubebaskan kecambuk demam dari jangkauan mata Elya.” (Khalieqy 2004:58) “ Jika lantunan ayatsuci tidak menggema dari speaker di mushala, teriakan Elya melesat sejauh sepuluh kamar bahkan lebih.” (Khalieqy, 2004:58) “ Kami shalat tahajud di musala dan mengitari malam bersama penuh sesak kata- kata.” (Khalieqy, 2004: 91) “ Telah habis malam, Elya. Hayyabinaa ilaa al mushall. Kita akan berdialog dengan kekasih kesayangan.” (Khalieqy, 2004:58) Masyarakat dalam pesantren yang dituangkan dalam novel ini sanga t beranekan ragam, mulai dari santri yang sangat penurut serta cerdas sampai pada santri yang berkelakuan sangat tidak baik karena memang watak mereka commit to user yang sangat sulit untuk diluruskan. Hal ini tampak pada: perpustakaan.uns.ac.id 78 digilib.uns.ac.id “Seharian Sonya uring-uringan . Ia mendiamkan ku .Jika naik ranjang menjelang tidur , kakinya menginjak tangga ranjang tingkat kami dengan keras hingga menimbulkan getaran yang cukup mengganggu . Ia akan mengulang-ulang tingkahnya hingga melihat aku kehabisan akal untuk menahan kesabaran . Dari atas ranjangnya, Sonya akan membersihkan debu kasur ,kadang dengan memukul-mukulnya agar semua debu keluar mengotori permukaan wajah ku dan menggangu pernapasan ku selagi aku tidur di bawahnya .Ranjangku ada di bawahnya. (Khalieqy, 2004: 40) “ Hanya kau yang bisa menolong Namya! Lakukanlah sesuatu!” “ nada bicaramu seperti majikan terhadap budaknya. Kau pikir siapa aku siapa dirimu,” aku menjawab ketus. “ Waduh! Baru jadi ‘ Bintang Kelas’ sudah sombong, tak terbayangkan jika ‘ bintang pelajar’. Mendingan Zahra Bajned yang dijagokan, tidak sombong dan ringan tangan.” “ Memangnya menjadi ‘bintang pelajar’ pakai jago-jagoan? Kayak pertandingan tinju saja,” aku kian sarkatis. (Khalieqy, 2004: 39) “ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap, menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri yang lain, Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42) “Terpana Ustaz Omar.Membionar matanya. Refleks saja saat beliaujuga mengikuti gerakankepalaku,tersenyum-senyum dan mendecak kagum.Senyap ruang ujian dan kurasakan semua mata tertuju padaku,pada gerakan mulutku. Ujian lisan pun usai dan kini aku boleh duduk kembali.Sebelum giliran santri selanjutnya,Ustat Omar member komentar singkat. “Andai ada seribu Kejora, malam hari lupa gulita.Andai….”( Khalieqy, 2004: 35) Selain santri banyak encik dan kyai yang memiliki karakter yang berbeda-beda dalam menjalankan tugasnya sebaga tonggak pesantren. Hal ini terlihat pada: “ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap, menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri yang lain, commit to user Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun perpustakaan.uns.ac.id 79 digilib.uns.ac.id jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42) “ Setiap seorang santri yang memasuki ruangan di pintu ketiga ini, Encik rahmah akan menggerayangi seluruh badannya, seprti seorang petuggas kepolisian yang tengah menggerayangi seseorang yang dicurigai untuk memastikan tidak terdapat barang curian atau barang terlarang dalam lipatan tubuhnya. “(Khalieqy, 2004: 42) “ Ustaz Mu’ammal bermurah hati memberikan kesempatan sekali lahi untuk satu soalnya, namun aku tak mampu mengikuti kemurah hatian yang diajarkan. Sekalipun aku tahu seluruh jawaban yang sesuai dengan kitab fiqh, tetapi lidahku enggan mengatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan jawaban- jawaban yang tertera.”( Khalieqy, 2004: 33) d. Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Jika murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang dialaminya di pesantren. Relasi sosial kiai- santri commit to user perpustakaan.uns.ac.id 80 digilib.uns.ac.id dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santri pada kiai disebabkan mengharapkan barokah, sebagaimana dipahami dari konsep sufi. Upaya santri untuk berhubungan dengan kiai selalu diwujudkan dalam sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat. Hanya saja terkadang penghormatan santri terhadap kiainya dinilai kebablasan dalam konteks interaksi belajar mengajar sehingga santri kehilangan daya kritisnya terutama ketika berhadapan dengan kyai. Hal ini tampak pada: "Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat" "Hanya ada satu hal, Ustadz" "iya. Sebutkan" Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia dengan jawabnya? "Tidak memiliki imajinasi" (Khalieqy, 2004: 33) “Ustaz Omar kembali mengetukan pulpenya didepan meja Namnya.Ketukan pulpen itu terasa seperti ketukan palu sang hakim yang tengah memutus sebuah perkara.Ruangan kembali senyap mungkin banyak teman menahan nafas sembari menahan sesuatu yang akan terjadi.Namya cegukan di jalan raya.,mobil polisi meraung-raung dengan sirinenya. Tanpa diduga Namya nyeletuk begitu saja. “ada maling, Ustaz.” “Kaulah maling!”bentak Ustaz Omar.( Khalieqy, 2004: 37) “(Tak kusangka, Namnya masih mampu berbisik mengancam: akan ku balas kau! Omar Basalamah!)” (Khalieqy, 2004: 38) “ Seseorang yang tidak memiliki imajinasi, ia tidak pernah bisa sholat. Jikapoun ia melaksanakan sholat, itu hanya ritual kosong yang bisa dilaksanakan oleh semua robot. Hanya orang yang memiliki imajinasi yang bisa melaksakan dan benar-benar salat”.( Khalieqy, 2004: 33) Novel Geni Jora memiliki beberapa tokoh yang berpengaruh dalam jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Penokohan dalam novel dibagi menjadi tokoh utama yaitu tokoh yang sering muncul dan beberapa tokoh tambahan. Dalam pesantren juga diceritakan beberapa tokoh commit to user yang saling berhubungan dan didalamnya mengandung aspek sosial budaya. 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Banyak konflik yang terjadi antar tokoh dalam pesantren, hal ini disebabkan oleh persaingan ataupun kesenjangan sosial antara para santri. “ Mungkin sudah menjadi watak remaja di seluruh bumi : memberontak. Tak terkecuali di pesantren "galak" ini, ada saja santri-santri badung yang senangnya melanggar peraturan dan disiplin pesantren. Ada persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada geng-gengan yang saling bermusuhan, sampai dengan skandal asmara sejenis alias lesbianisme.” (Khalieqy, 2004: 59) Hubungan antar tokoh dalam pesantren sangatlah bermacam- macam. Hari- hari mereka adalah hari- hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai bertemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Hal ini tampak pada : “ Di atas pukul sepuluh malam, tak ada stu santri pun yang boleh berada di luar kamar, kecuali untuk keperluan kamar mandi. Baru diatas pukul dua belas malam, diperbolehkan keluar untuk qiyamullail atau belajar di musal, di kelas atau di tempat- tempat yang terang, seperti di atas jalan layang yang membentang antara kamar enam hingga kamar khusus para ustazah atau di atas panggung pertunjukan dengan lampu yang cukup terang. “(Khalieqy, 2004: 44) “ Di pesantren kami ,setiap kamar di huni enam atau delapan santri . Kami memakai ranjang tingkat untuk tidur dan lemari tingkat juga untuk menyimpan pakaian dan buku-buku. Satu kamar biasanya memuat tiga ranjang tingkat dan tiga lemari dua pintu . Kamar yang memuat empat ranjang tingkat, akan di huni delapan santri dan seterusnya.Semakin tinggi kelas kami ,kami akan menghuni kamar dengan penghuni lebih sedikit ,empat atau dua santri saja , dengan toilet pribadi , kulkas dan telephone. Ini namanya ,kamar santri senior . Biasanya kakak santri kelas enam saja yang memiliki fasilitas semacam itu.” (Khalieqy, 2004: 40) Konflik- konflik sosial budaya tercipta antara para santri, baik itu yang negatif maupun positif. Misalnya saja tentang kecemburuan antar tokoh. Hal ini diceritakan dalam : commit to user perpustakaan.uns.ac.id 82 digilib.uns.ac.id “Waduh!Baru jadi ‘bintang kelas’sudah sombog,tak terbayangkan jika ‘bintang pelajar’. Mendingan Zahra Bajned yang dijagokan, tidak sobong dan rintang tangan.”( Khalieqy, 2004: 39) “Seharian Sonya uring-uringan . Ia mendiamkan ku .Jika naik ranjang menjelang tidur , kakinya menginjak tangga ranjang tingkat kami dengan keras hingga menimbulkan getaran yang cukup mengganggu . Ia akan mengulang-ulang tingkahnya hingga melihat aku kehabisan akal untuk menahan kesabaran . Dari atas ranjangnya, Sonya akan membersihkan debu kasur ,kadang dengan memukul-mukulnya agar semua debu keluar mengotori permukaan wajah ku dan menggangu pernapasan ku selagi aku tidur di bawahnya .Ranjangku ada di bawahnya. (Khalieqy, 2004: 40) “ Agaknya kembali mesra,dua kejora dimabuk asmara”. Nada-nada seperti itu terus berputar, seakan kaset bobrok yang sulit dihentikan, memaksa telinga terus mendengarnya sekalipun gendang telinga menjadi udeg dan berkeping-keping. Mau tahu cara mengatsinya? Haruslah disetel kaset baru dengan suara-suara nyaring melengking atau nada-nada yang menggemuruh, yang mamou menelan bulat-bulat kemrisik lagu-lagu rongsok tadi. Putarlah Hosam atau Shoba untuk mengatasi bising Shakira dan Britney Spears. Putar Bach atau Beethoven untuk menelan Michael Jackson”. (Khalieqy, 2004: 111 ) “ Hanya kau yang bisa menolong Namya! Lakukanlah sesuatu!” “ nada bicaramu seperti majikan terhadap budaknya. Kau pikir siapa aku siapa dirimu,” aku menjawab ketus. “ Waduh! Baru jadi ‘ Bintang Kelas’ sudah sombong, tak terbayangkan jika ‘ bintang pelajar’. Mendingan Zahra Bajned yang dijagokan, tidak sombong dan ringan tangan.” “ Memangnya menjadi ‘bintang pelajar’ pakai jago-jagoan? Kayak pertandingan tinju saja,” aku kian sarkatis. (Khalieqy, 2004: 39) Tidak itu saja yang dilakukan Sonya terhadap Kejora, tetapi Sonya juga melakukan tuduhan lesbian kepada Kejora dan Elya. Saat menghadapi tuduhan lesbian Kejora tidak menunjukkan emosinya tetapi sebaliknya ia selalu memohon pertolongan kepada Allah untuk menujukkan kebenaran, seperti kutipan dibawah ini : “Astaghfirullah! Aku ber-istighfar pada-Mu ya Allah! Jika ada kejahatan yang hamba lakukan. commit to user Pecut-Mu lebih menaklukkan. perpustakaan.uns.ac.id 83 digilib.uns.ac.id Namun kejahatan fitnah. Hanya Engkau maha tahu cara mengembalikan. Amin”. (Khalieqy, 2004: 94 ) “ Kututup wajahku dan kutulikan pendengaranku. Kuarasakan kengerian dari hantu-hantu fitnah, seperti monster, puluhan monster yang menggiringku melopati jurang yang dalam dan gelap, dimana belukar segala ular dan belatung, bersatu memperebutkan kehidupanku, kesegaran jasad dan kemilau nuraniku. Lihatlah monster-monster itu. Boleh jadi mereka adalah Sonya beserta gengnya, para pendukung kejahatan dan para santri yang mudah ditipu. “(Khalieqy, 2004: 93) Kejora selalu dicaci dan dimaki oleh teman-temanya setelah muncul isu lesbian. Semua hinaan dilontarkan, dapat membuat emosi Kejora meninggi. Setelah Kejora bisa berpikir dan menilai sebuah kenyataan hidup yang harus dijalani membuatnya dapat menerima semua kenyataan. Kejora dapat mengusai emosinya sendiri. Kejora tidak merespon atas semua hinaan yang telah dilakukan teman-temannya tidak perlu ditanggapi. Seperti kutipan dibawah ini. “ Agaknya kembali mesra,dua kejora dimabuk asmara”. Nada-nada seperti itu terus berputar, seakan kaset bobrok yang sulit dihentikan, memaksa telinga terus mendengarnya sekalipun gendang telinga menjadi udeg dan berkeping-keping. Mau tahu cara mengatsinya? Haruslah disetel kaset baru dengan suara-suara nyaring melengking atau nada-nada yang menggemuruh, yang mamou menelan bulat-bulat kemrisik lagu-lagu rongsok tadi. Putarlah Hosam atau Shoba untuk mengatasi bising Shakira dan Britney Spears. Putar Bach atau Beethoven untuk menelan Michael Jackson”. (Khalieqy, 2004: 111 ) Hal itulah yang tampak pada tokoh utama dalam novel ini. Tidak hanya hubungan yang kurang baik dengan tokoh lain yang ditampilkan dalam novel ini, tetapi juga hubungan yang membangun dan sangat baik yang ditunjukkan antara Kejora dan teman karibnya. Hal ini tampak pada : “ Aku mengagumimu, Jora.” “ Kamu mengagumi dirimu sendiri.” “Wallahi! Segala yang kau miliki, membangkitkan rasa cemburu.” (Tak kusangka, dadaku berdebar dan bibirku gemetar saat mengucapkan pertanyyan (Khalieqy, 2004: 58) commit kepadanya)” to user perpustakaan.uns.ac.id 84 digilib.uns.ac.id “ Dari pucuk kerinduannya, Elya menjawab. “ Kamu tengah dimabuk cinta, Kejora. Ruhmu gelisah sebab engkau terpisah. Temui dia dimanapun ia berada.” (Khalieqy, 2004: 106) “ Sebab itu aku mengagumimu, Jora. Dalam setiap keindahan dan kebaikan, agaknya Tuhan selalu berpihak padamu. Mata elya begitu sendu. Nada suaranya begitu romantis. Dan kata- kata yang keluar dari lubuk hatinya sangat menyentuh. Aku tak tahan dengan semuanya. Kini demam itu menyerang kembali, mengirim semburat merah di wajahku. Aku tertunduk malu, diliputi rasa tersanjung dan dicinta. (Khalieqy, 2004: 101) Tokoh lain yang tampak pada novel ini adalah kyai dan encik yang mengelola pesantren. Tidak semua pengelola pesantren memiliki kepribadian yang baik dalam melaksanakan aturan dan tata tertib. Tetapi banyak pula kyai yang sangat arif dan bijaksana dalam mengatasi berbagai macam watak para santrinya: “ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap, menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri yang lain, Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42) “ Setiap seorang santri yang memasuki ruangan di pintu ketiga ini, Encik rahmah akan menggerayangi seluruh badannya, seprti seorang petuggas kepolisian yang tengah menggerayangi seseorang yang dicurigai untuk memastikan tidak terdapat barang curian atau barang terlarang dalam lipatan tubuhnya. “(Khalieqy, 2004: 42) “ Tak salah lagi,itu pasti suara Namya al Katiri,adiknya Sonya al Katiri.Dua bersaudara yang meiliki karakter sama,tak pernah sehari pun membiarkan para santri teman-temanya duduk tenang sambil membaca buku atau berdiri konsentrasi dalam salat. Karuan suasana kelas dimana ujian tengah berlangsung menjadi bingung oleh tawa,sebelum ahkirnya Ustaz Omar menggelar dengan ultimatumnya.”Uskat kalam”( Khalieqy, 2004: 35) “Terpana Ustaz Omar.Membionar matanya. Refleks saja saat beliaujuga mengikuti gerakankepalaku,tersenyum-senyum dan mendecak kagum.Senyap commit toruang user ujian dan kurasakan semua mata tertuju padaku,pada gerakan mulutku. Ujian lisan pun usai dan perpustakaan.uns.ac.id 85 digilib.uns.ac.id kini aku boleh duduk kembali.Sebelum giliran santri selanjutnya,Ustat Omar member komentar singkat. “Andai ada seribu Kejora,malam hari lupa gulita.Andai….”( Khalieqy, 2004: 35) “ Lalu Ustaz Omar dengan jubahnya yang berkibar-kibar, dengan pecut rotan ditangan kanan, berjalan menuju tenagh lapangan olahraga, saat waktu menunjuk dua belas siang, dimana sekuruh santri sudah berkumpul menglilingi lapangan unatuk menaysikkan eksekusi yang bakal dilaksanakan. Ekskusi? Tidak!”.( Khalieqy, 2004: 93) “ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap, menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri yang lain, Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42) Hal yang tampak adalah bagaimana tokoh yang satu menyikapi tokoh yang lain, baik itu dalam hal yang sifatnya menyimpang ataupun tokoh dengan kepribadian yang baik. “ Dalam kasus pencurian yang kini tengah kami tangani, dengan pertuduh seorang santri bernama Detty, tim Majelis Tahkim menemukan kesulitan yang tidak biasa berkaitan dengan interogasi yang tidak memadahi, karena isu yang beredar tentang pencuri bertopeng dan hanya uang tertentu yang dicuri, khusus uang yang ada dalam tabungan berbentuk ayam jago. Pencuri merauh isi tabungan tanpa merusak pintu masuk tabungan yang relative kecil, hanya pas untuk masuknya sebutir logam perak gopek. Disinilah misterinya. Tetapi aku tidak kehabisan akal untuk membuat manover balik”.( Khalieqy, 2004: 53-54) “ Kututup wajahku dan kutulikan pendengaranku. Kuarasakan kengerian dari hantu-hantu fitnah, seperti monster, puluhan monster yang menggiringku melopati jurang yang dalam dan gelap, dimana belukar segala ular dan belatung, bersatu memperebutkan kehidupanku, kesegaran jasad dan kemilau nuraniku. Lihatlah monster-monster itu. Boleh jadi mereka adalah Sonya beserta gengnya, para pendukung kejahatan dan para santri yang mudah ditipu. “(Khalieqy, 2004: 93) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 86 digilib.uns.ac.id “ 00.03. Dini hari. Entah sampai di mana ruhku mengembara. Kucari dirimu, Elya, dari pelosok paling jauh dan sunyi hingga kota-kota ramai, dari hutan-hutan gelap yang liar, hijau dan rimbun, menyisir sungai-sungai dengan alirannya yang tenang, lembah-lembah yang ramah dan jurang-jurang menganga, pantai-pantai dengan pasirnya yang putih dan aromanya yang purba, mendung menggantung rendah dan gunung-gunung yang perkasa, di mana engkau bersembunyi, Elya?”( Khalieqy, 2004: 107) “ Setiap hari kusaksikan Sonya Alkatiri, Nor bahanan, Faiga Huraidi maupun Najwa Balbed, teman-temanku sekamar, jungkir balik salat sembari lirik kiri kanan, senggol kiri kanan, kadang ngikik kadang menarik narik mukena yang lain, bahkan aroma CO2 sudah menyebar kemna-mana tetap tak ada yang mau mwngaku dan tidak mau memperbaharui wudhunya, dapatkah kucerna sebuah ketentuan tentang “ hal-hal yang mebatalkan salat?” (Khalieqy, 2004: 34) Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam. Tentu diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang jebolan sekolah umum. Kejora mewakili gambaran seorang santri ideal tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini : "Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat" "Hanya ada satu hal, Ustadz" "iya. Sebutkan" Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia dengan jawabnya? "Tidak memiliki imajinasi" (( Khalieqy, 2004: 33) “ Ustaz Mu’ammal bermurah hati memberikan kesempatan sekali lahi untuk satu soalnya, namun aku tak mampu mengikuti commit to user kemurah hatian yang diajarkan. Sekalipun aku tahu seluruh perpustakaan.uns.ac.id 87 digilib.uns.ac.id jawaban yang sesuai dengan kitab fiqh, tetapi lidahku enggan mengatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan jawaban- jawaban yang tertera.”( Khalieqy, 2004: 33) “ Seseorang yang tidak memiliki imajinasi, ia tidak pernah bisa sholat. Jikapoun ia melaksanakan sholat, itu hanya ritual kosong yang bisa dilaksanakan oleh semua robot. Hanya orang yang memiliki imajinasi yang bisa melaksakan dan benar-benar salat”. ( Khalieqy, 2004: 33) “ setiap hari kusaksikan Sonya Alkatiri, Nor bahanan, Faiga Huraidi maupun Najwa Balbed, teman-temanku sekamar, jungkir balik salat sembari lirik kiri kanan, senggol kiri kanan, kadang ngikik kadang menarik narik mukena yang lain, bahkan aroma CO2 sudah menyebar kemna-mana tetap tak ada yang mau mwngaku dan tidak mau memperbaharui wudhunya, dapatkah kucerna sebuah ketentuan tentang “ hal-hal yang mebatalkan salat?” ( Khalieqy, 2004: 34) Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsalbangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Akan tertapi tak sedikit pula yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, kepandaian yang dimiliki dijadikan senjata yang sangat merugikan untuk diri sendiri maupun orang lain. 2. Tanggapan Pembaca terhadap novel Geni Jora Tanggapan pembaca mengenai novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy sangat beraneka ragam. Novel ini merupakan novel yang secara kritis membedah dunia pesantren. Menyorot sisi- sisi hubungan laki- laki dan perempuan kaitannya dalam masalah gender. Pemberontakan tokoh utama atas sikap patriarkis yang dinilainya tidak adil seperti yang diungkapkan oleh Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd yaitu : ” Gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini sudah tergambar cukup jelas dan mendalam dalam novel commit to user Geni Jora, artinya suasana yang dilukiskan pengarang 88 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sudah sesuai dengan realitas yang ada. Realitas yang dimaksud disini adalah kuatnya budaya patriarki, sikap lebih mengutamakan laki- laki daripada wanita” ( CLHW. No 1) Hal senada juga diungkapkan oleh Kartika Fitri Yuniarti . Sebagai seorang pembaca dia menilai novel ini sangat dekat dengan penyejajaran hak antara laki- laki dan perempuan. “ Menurut saya novel Geni Jora sudah cukup menggambarkan kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini. Kejora menggambarkan sesosok aktifis emansipasi wanita yang berusaha mensejajarkan hak antara perempuan dan laki- laki. Namun pada kenyataannya kita tidak sempat mengubah hukum alam bahwa laki- laku lebih berkuasa daripada perempuan.” ( CLHW. No 4 ). Selain menggambarkan mengenai feminisme dan patriarki dalam novel ini juga secara jelas menceritakan tentang kehidupan Pondok Pesantren. Dalam novel ini dapat dilihat bahwa pengarang sangat faham betul dan sangat fasih bicara tentang kehidupan pesantren. Hal ini di darenakan memang penulis mempunyai latar belakang pendidikan di pesantren. “Di sini pengarang memotret realitas yang pernah dialaminya dengan penghayatan yang mendalam ketika dulu ia pernah nyantri di Pesantren. “ (CHLW. No 1) Hal ini benar adanya karena pengarang sendiri bercerita bahwa lewat novel ini Abidah mencoba menggambarkan kehidupan di Pesantren baik pada jaman sekarang maupun dahulu saat dia masih tinggal di Pesantren. “ Kejora dalam diri saya. Tokoh Kejora dalam novel ini memang menggambarkan tentang diri saya terutama pada saat saya ada dalam pondok pesantren di daerah Jawa Timur.” (CLHW. No 1) Selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini commit to user perpustakaan.uns.ac.id 89 digilib.uns.ac.id settingnya ada di Pesantren. Hal ini diungkapkan oleh Yulia Sri Astuti sebagai pembaca yang telah membaca novel ini. “Ya. novel Geni Jora banyak sekali nilai- nilai pendidikan agama. Banyak contoh- contoh yang bisa diambil hikmahnya dari pendidikan agama.” (CLHW. No 4) Pendapat senada juga diungkapkan oleh Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd yang mengatakan bahwa dalam penceritaan ilmu agama dalam novel ini sangat pas, artinya tidak berlebihan sehingga terkesan tidak menggurui atau seperti buku agama yaitu : “Sedikit banyak dalam novel ini dihadirkan aneka pengetahuan tentang agama islam, sesuai karakter kehidupan dan dunia pesantren yang menjadi inti permasalahan ( bukan sekedar latar budaya ), namun tidaklah terlalu detail seperti buku pelajaran agama. Artinya, disini pengarang bertindak cukup proporsional, sehingga penyampaian materi agamanya tidak terasa menggurui. “ (CLHW. No 2) Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh Kartika Fitri Yuniarti yang mengungkapkan bahwa selain memberikan pengetahuan umun Pesantren juga memberikan pengetahuan tentang agama yaitu: “Sekarang di Pesantren juga mengajarkan pendidikan umum jadi saya rasa sekarang sama dengan pendidikan umum. Malah pesantren memiliki nilai lebih karena di Pesantren mendapat bekal agama yang mendalam.”( CLHW. No 5). Pembaca lain juga beranggapan bahwa saat ini pesantren tidak hanya mengajarkan tentang pendidikan agama saja tetapi mengajarkan juga pengetahuan umun sama seperti sekolah pada umumnya, sehingga pesantren saat ini tidak kalah dengan sekolah- sekolah formal. “ Pendidikan di pokdok pesantren tidak kalah dari pendidikan umum karena sekarang banyak pesantren yang mengajarkan pendidikan agama dan umum.” ( CLHW. No 3) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 90 digilib.uns.ac.id Memang dalam novel ini digambarkan oleh penulis secara detail tentang kehidupan di pesantren serta gaya hidup para santri yang cenderung berdampak positif. Hal ini diungkapkan oleh Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd yaitu : “ Pendapat saya tentang pendidikan di Pondok Pesantren hanya saya ketahui secara umum dan selintas ( dari baca buku dan pengalaman anak saya yang pernah sekolah disana yaitu pendalaman mengenai syariat Islam penuh dengan materi- materi keagamaan, untuk diamalkan dalam kehidupan sehari- hari. Disana ditanamkan ketaatan pada perintah- perintah Allah, menjauhi arangan-Nya, hidup sederhana, tekun, jujur, disiplin, menghormati ustadz- ustadzah, punya kepedulian terhadap lingkungan, disampaikan menjadi figur yang membawa rahmat bagi semesta alam.” (CLHW. No 3) Selain kelebihan, tentunya kehidupan pesantren juga memiliki kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Yulia Sri Astuti yaitu : “ Pondok Pesantren ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya siswa benar- benar dipersiapkan untuk urusan dunia dan akhirat, serta dengan alkhlak mulia. Kekurangannya santri kadang jadi tertekan, dan tidak mampu beradaptasi dengan dunia luar. Banyak jebolan pesantren jadi nakal karena mereka tidak mampu menyeleraskan kehidupan ini dengan benar.” ( CLHW. No 4) Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan pesantren sesuai dengan apa yang dicanangkan pemerintah, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa tidah sesuai. Seperti diungkapkan para pembaca sebagai berikut: “ Rata- rata kehidupan di Pondok Pesantren sudah sesuai dengan yang dicanangkan Pemerintah. Artinya, di sana diajakan sikap dan tindakan untuk menjadi Warga Negara yang baik, ketaatan terhadap ajaran agama, sesuai bermaslahat, jauh koridor amar makhruf nahi munkar, menjadi insan yang dari tindakan yang mengarah pada kemudaratan, apalagi terorisme. “(CLHW. No 1) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 91 digilib.uns.ac.id “ Sesuai dan mendukung. Bahkan sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan kehidupan yang sejahtera.” (CLHW. No 4) “ Hanya menurut saya mungkin saja pesantren sudah menerapkan aturan itu karena pesantren selalu menghasilkan santri- santri yang dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.” (CLHW. No 3) Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Baik dan tidaknya sebuah karya sastra dapat dilihat dari bagaimana para pembaca dan penikmat sastra terhadap karya sastra tersebut. B. Pembahasan 1. Aspek Sosial Budaya Pesantren yang Terdapat dalam Novel Geni Jora a. Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora. Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy sangar kental dengan lingkungan pondok pesantren. Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Pendidikan ini di dapat santri bukan hanya dikelas tetapi juga dalam kehidupan selama di asrama. Tujuan pondok yang awalnya memberikan pendidikan umum maupun pendidikan agama, menjadi berubah karena adanya beberapa sntri yang dikirim orang tuanya bukan hanya untuk menuntut ilmu di pesantren tetapi dengan maksud tertentu. Dalam novel Geni Jora Abidah El Khaliqy di ceritakan banyak orang tua yang beranggapan pesantren sebagai tempat penampungan maupun rehabilitasi kepribadian santri yang bisa dikatakan sudah bobrok. Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda walaupun tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya yang diciptakan dalam commit to user pesantren dalam novel ini adalah budaya pesantren berkelas yang didalamnya perpustakaan.uns.ac.id 92 digilib.uns.ac.id terdapat banyak santri dari keluarga konglomerat sehingga pesantren ini dapat dikatakan pesantren berkelas. Peraturan- peraturan yang sangat ketat juga ditampilkan dalam novel ini sehingga benar- benar tercipta santri yang sangat berkwalitas. Santri yang tidak hanya pandai dalam ilmu umum dan ilmu agama tetapi juga santri yang memiliki kepribadian yang mandiri dan bertanggung jawab. b. Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Kyai dengan kharisma yang dimilikinya tidak hanya dikategorikan sebagai elit agama, tetapi juga elit pesantren dan tokoh masyarakat yang memiliki otoritas tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan pengetahuan keagamaan Islam serta berkompeten dalam mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan terutama dalam pesantren. Tipe kharismatik yang melekat pada dirinya menjadi tolok ukur kewibawaan pesantren. Dilihat dari segi kehidupan santri, kharisma kyai merupakan karunia yang diperoleh dari kekuatan dan anugerah Tuhan. Dalam hal pendidikan baik yang menyangkut format kelembagaan, kurikulum dan metode yang diterapkan tidak lepas dari kebijakan kyai. Segala aspek policy pendidikan maupun manajerial, pihak lain hanyalah sebagai pelengkap. Ketika terjadi perbedaan pendapat antara santri dan kyai, belum pernah dalam sejarah kepesantrenan para santri mengalahkan kehendak kyai. Dalam novel Geni Jora Abidah El Khaliqy digambarken jelas kyai sangat berperan penting dalam segala kegiatan pesantren. Semua warga commit to user pesantren segan dan sangat hormat dengan kyai. 93 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam pesantren, masjid dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Masjid adalah salah satu tempat yang dipakai oleh masyarakat pesantren maupun masayrakat yang berasa di sekeliling pesantren tersebut. Adanya hubungan baik antara masyarakat yang berada di dalam pesantren dan masyarakat di sekeliling pesantren salah satunya karena adanya masjid. Walaupun dalam novel tidak banyak diceritakan bagaimana santri melakukan kegiatan di masjid, tetapi masjid diceritakan sebagai tempat yang sangat suci dalam pesantren. Masjid menjadi tempat berkumpul para santri. d. Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora Hubungan santri, kyai, dan pondok pesantren dalam novel ini sangatlah kental. Santri yang sebagian besar hormat dan patuh pada kyai, tetapi tetap ada sebagian santri yang terkesan menyepelekan kyai. Hal ini dikarenakan adanya kecemburuan sosial karena sikap kyai dalam menghadapi santri yang bandel. Hubungan yang tidak baik itu tidak hanya terjadi pada santri dan kyai saja, hubungan antar santri demikian pula. Hal ini terlihat dalam segala hal baik itu dalam kelas maupun pergaulan keseharian mereka. Kesenjangan sosial sering kali tak terhindarkan mengingat mereka adalah satu jenis. 2. Tanggapan Pembaca terhadap novel Geni Jora Novel ini menceritakan tentang kehidupan pesantren yang sarat dengan pengetahuan tentang agama. Hanya saja masih ada yang harus dibenahi, yang harus disesuaikan dengan keadaan pesantren pada umumnya. commit to user 94 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini sudah tergambar cukup jelas dan mendalam dalam novel Geni Jora, artinya suasana yang dilukiskan pengarang sudah sesuai dengan realitas yang ada. Realitas yang dimaksud disini adalah kuatnya budaya patriarki, sikap lebih mengutamakan laki- laki daripada wanita. Gambaran sosial budaya dalam novel Geni Jora mencerminkan keadaan sosial budaya yang sebenarnya di Pondok Pesantren. commit to user 95 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Aspek Sosial Budaya Pesantren yang Terdapat dalam Novel Geni Jora adalah : a. Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah maupun jasmaniah. Oleh karena itu banyak orang tua yang memasukkan anak- anaknya ke pesantren walaupun mreka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan kurangnya intensitas bertemu dengan anak- anak mereka karena jarak pesantren yang jauh. Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Tujuan pondok yang awalnya memberikan pendidikan umum maupun pendidikan agama, menjadi berubah karena adanya beberapa sntri yang dikirim orang tuanya bukan hanya untuk menuntut nilmu di pesantren tetapi dengan maksud tertentu. Banyak orang tua yang beranggapan pesantren sebagai tempat penampungan maupun rehabilitasi commit to usersudah bobrok. kepribadian santri yang biasa dikatakan 95 96 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam novel ini, diceritakan bagaimana keadaan pondok pesantren dengan segala peraturan- peraturan dan kegiatan yang harus dilakukan para santri secara rutin. Dengan adanya peraturan- peraturan yang ditetapkan pesantren diharapkan para santri hidup dengan teratur, seimbang dan dinamis. Akan tetapi bukan peraturan dan tata tertib namanya kalau tidak ada pelanggaran dan sangsi di dalamnya. b. Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Keberadaan kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari peran dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik, karena selain memimpin lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya bertugas menyusun kurikulum, membuat tata tertib, merancang sistem evaluasi sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan dengan ilmu agama yang diasuhnya, dia juga sebagai pembina, pendidik umat serta pemimpin masyarakat. Dalam novel ini kyai digambarkan seorang yang sangat dise4gani dan ditakuti oleh para santri. Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai spritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah SWT). Oleh karena itu sosok seorang kyai dalam pesantren sangat dihormati dan dihargai oleh kebanyakan santri terkecuali mereka yang bandel dan tidak suka dengan aturan yang dibuat oleh pesantren ataupun kyai. c. Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora Pondok pesantren pada umumnya yang pertama kali oleh seorang to user kyai atau seorang pendiricommit pesantren yang ingin mengembangkan sebuah 97 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. d. Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Upaya santri untuk berhubungan dengan kyai selalu diwujudkan dalam sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat. Hanya saja terkadang penghormatan santri terhadap kiainya dinilai kebablasan dalam konteks interaksi belajar mengajar sehingga santri kehilangan daya kritisnya terutama ketika berhadapan dengan kyai. Novel Geni Jora memiliki beberapa tokoh yang berpengaruh dalam jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Penokohan dalam novel dibagi menjadi tokoh utama yaitu tokoh yang sering muncul dan beberapa tokoh tambahan. Dalam pesantren juga diceritakan beberapa tokoh yang saling berhubungan dan didalamnya mengandung aspek sosian budaya. Banyak konflik yang terjadi antar tokoh dalam pesantren, hal ini disebabkan oleh persaingan ataupun kesenjangan sosial antara para santri. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 98 digilib.uns.ac.id Hubungan antar tokoh dalam pesantren sangatlah bermacammacam. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Hal itulah yang tampak pada tokoh utama dalam novel ini. Tidak hanya hubungan yang kurang baik dengan tokoh lain yang ditampilkan dalam nobel ini tetapi juga hubungan yang membangun dan sanagt baik yang titunjukkan antara Kejora dan teman karinya. Tokoh lain yang tampak pada novel ini adalah kyai dan encik yang mengelola pesantren. Tidak semua pengelola pesantren memiliki kepribadian yang baik dalam melaksanakan aturan dan tata tertib. Tetapi banyak pula kyai yang sangat arif dan bijaksana dalam mengatasi berbagai macam watak para santrinya Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam. Tentu diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang jebolan sekolah umum. Kejora mewakili gambaran seorang santri ideal tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Akan tertapi tak sedikit pula yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, kepandaian yang dimiliki dijadikan senjata yang sangat merugikan untuk diri sendiri maupun orang lain. commit to user 99 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Tanggapan Pembaca terhadap Novel Geni Jora Tanggapan pembaca mengenai novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy sangat beraneka ragam. Novel ini merupakan novel yang secara kritis membedah dunia pesantren. Menyorot sisi- sisi hubungan laki- laki dan perempuan kaitannya dalam masalah gender. Selain menggambarkan mengenai feminisme dan patriarki dalam novel ini juga secara jelas menceritakan tentang kehidupan Pondok Pesantren. Dalam novel ini dapat dilihat bahwa pengarang sangat faham betul dan sangat fasih bicara tentang kehidupan pesantren. Selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini settingnya ada di pesantren. Dalam novel ini digambarkan oleh penulis secara detail tentang kehidupan di pesantren serta gaya hidup para santri yang cenderung berdampak positif. Selain kelebihan, tentunya kehidupan pesantren juga memiliki kelemahan. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan pesantren sesuai dengan apa yang dicanangken pemerintah, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa tidak sesuai. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Baik dan tidaknya sebuah karya sastra dapat dilihat dari bagaimana para pembaca dan penikmat sastra terhadap karya sastra tersebut. B. Implikasi Penelitian ini memiliki implikasi dengan dunia pendidikan khususnya dalam pengajaran sastra. Hakikat Pendidikan di Indonesia dewasa ini banyak mengalami perubahan. Hal ini terlihat dari kurikulum yang selalu berubah. Kurikulum merupakan dasar dari pembuatan silabus. Yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dirumuskan. Kurikulum yang sekarang digunakan adalah kurikulum yang berlaku sekarang adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum ini menyertakan membaca dan mengapresiasi karya to user sastra sebagai kegiatan yang haruscommit dilakukan siswa. perpustakaan.uns.ac.id 100 digilib.uns.ac.id Kurikulum KTSP menekankan pada pencapaian tujuan dan karakteristik sekolah masing- masing tetapi juga memenekankan pada standart kompetensi. Pemerintah pusat memberi rambu- rambu untuk menyusun materi pelajaran sedangkan guru menentukan silabus yang disesuaikan dengan tujuan dan karakter sekolah masing- masing. Dengan demikian guru dan sekolah diberi kebebasan untuk memilih materi materi yang diatur pemerintah. Dalam kurikulum KTSP, pengajaran sastra di sekolah menengah pertama kelas VII mencantumkan novel sebagai bahan ajar. Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dianalisis dengan menggunakan sosiologi sastra yang dilakukan dengan mencari unsur sosial budaya novel. Dengan adanya kurikulum KTSP, guru memberi keleluasaan untuk mengembangkan materi pelajaran karena pemerintah hanya memberi rambu- rambu berupa standar kompetensi dan kompetensi dasar wajib dipenuhi. Dari hasil penelitian ini dapat diungkapkan adanya unsur- unsur intrinsik yang membangun dalam Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini meliputi tema, alur, setting, penokohan, sudut pandang, dan amanat. Unsur- unsur intrinsik ini dapat dijadikan bahan ajar khususnya dalam hal apresisi sastra. Kajian tokoh yang terdapat dalam Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy memuat tentang watak- watak tokoh yang terdapat dalam novel tersebut. Dengan demikian Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini dijadikan sebagai bahan materi pengajaran sastra dengan kajian apresiasi. Berdasarkan uraian diatas, implikasi yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Implikasi Teoretis Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk mengembangkan pengajaran sastra di SMP khususnya novel- novel indonesia dari berbagai angkatan. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan pengajaran sastra yang lebih kreatif dan inovatif. 2. Implikasi Praktis Sebagai bahan asukan bagi guru untuk meningkatkan pengajaran sastra di SMP, khususnya tentag novel- novel Indonesia yang dirasa sangat kurang to user dipahami oleh guru Bahasa commit dan Sastra Indonesia. Sebagai sarana bagi siswa 101 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id untuk memahami dan mengerti tentang apresiasi novel, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. C. Saran Berdaasarkan hasil penelitian di atas, peneliti dapat memberikan saransaran sebagai berikut : 1. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Karya sastra berupa novel Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan ajar sastra di SMP karena sesuai dengan kurikulum yang ada. Novel ini memiliki banyak amanat sehingga sangat baik jika digunakan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra. Pembelajaran ini dapat berupa siswa diberi tugas membaca penggalan atau sinopsis Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy kemudian mengapresiasi unsur intrinsik dan ekstrinsik serta nilai edukatif dalam novel ini kemudian dibahas dan didiskusikan bersama- sama. 2. Bagi Peneliti Lain Melihat kelebihan dari novel ini serta kualitas yang bermutu , peneliti mengharapkan adanya penelitian- penelitian lain mengenai novel ini melalui pendekatan yang berbeda dengan pendekatan psikologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini. 3. Bagi Penikmat Sastra Penelitian ini dapat dijadikan jembatan bagi sarana penghubung antara karya sastra dengan penikmatnya itu sendiri. Melalui penelitian ini diharapkan karya sastra tidak lagi menjadi sebuah hal asing di mata pembaca serta pembaca lebih dapat meresapi, menghayati dan menikmati sebuah karya sastra. commit to user