SKRIPSI - ANA FITRIA VIVI SUHARTINI

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEHIDUPAN PESANTREN DALAM NOVEL GENI JORA
KARYA ABIDAH EL KHALIEQY
( KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA )
Disusun oleh:
Ana Fitria Vivi S.
X 1206023
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan
Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, 4 Juli 2011
Persetujuan Pembimbing,
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Suyitno, M. Pd.
Dr. Nugraheni Eko W. S.S,.M.Hum
NIP 19520122198003 1 001
NIP 1970716200212 2 001
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari
: Rabu
Tanggal
: 13 Juli 2011
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang
Tanda Tangan
1. Ketua
: Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd
_____________
2. Sekretaris
: Sri Hastuti, S.S, M. Pd.
_____________
3. Anggota I : Drs. Suyitno, M. Pd.
_____________
4. Anggota II : Dr. Nugraheni Eko W. S.S,.M.Hum
_____________
Disahkan oleh:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.
NIP 19600727 198702 1 001
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Ana Fitria Vivi Suhartina. X1206023. KEHIDUPAN PESANTREN DALAM
NOVEL GENI JORA KARYA ABIDAH EL KHALIEQY (KAJIAN
SOSIOLOGI SASTRA). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Aspek sosial budaya
pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy; (2) Tanggapan
pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.
Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif, dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Data yang diperoleh peneliti berasal dari novel Geni
Jora karya Abidah El Khaliqy, wawancara dengan Dosen bahasa dan sastra
indonesia serta pembaca yaitu mahasiswa. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan wawancara atau percakapan. Data objektif diperoleh dari novel
novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy, data afektif diperoleh dari hasil
wawancara dengan pembaca tentang novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.
Validitas data diperoleh melalui trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode.
Trianggulasi sumber data dengan mengumpulkan data yang sama dengan tujuan
untuk memberikan kebenaran dan memperoleh kepercayaan terhadap data yang
diperoleh dari sumber yang berbeda, serta trianggulasi metode digunakan untuk
mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda
yaitu melalui wawancara. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis
Interaktif yang meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) Aspek sosial budaya pesantren
dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yaitu: (a) Kedudukan Pondok
Pesantren dalam Novel Geni Jora , (b) Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai
Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora , (c) Masjid dan Masyarakat Pesantren
dalam Novel Geni Jora , (d) Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel
Geni Jora (2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El
Khalieqy adalah selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak
mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini
settingnya ada di Pesantren.
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Ana Fitria Vivi Suhartina. X1206023. PESANTREN LIFE IN THE NOVEL
GENI JORA BY ABIDAH EL KHALIEQY (A LITERARY SOCIOLOGICAL
STUDY). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta
Sebelas Maret University, July 2011.
This research aims to describe: (1) social cultural aspect of pesantren in
the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy; (2) readers’ respond to novel Geni
Jora By Abidah El Khalieqy.
This study belongs to a descriptive qualitative, using literary sociological
approach. The data obtained by the writer derived from the novel Geni Jora By
Abidah El Khalieqy, interview with the Indonesian language and letter lecturer as
well as the reader namely the students. The sampling technique used was
purposive sampling technique. The data collecting in this research was done using
interview or conversation technique. The objective data was obtained from the
novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy, affective data was obtained from the
result interview with the readers about the novel Geni Jora By Abidah El
Khalieqy. The data validation was done using data source and method
triangulations. The data source triangulation was done by collecting the same data
in the objective of providing truth and to obtain trust in the data obtained from the
different source, as well as method triangulation was done to collect the similar
data using various different method, through interview. Technique of analyzing
data used was interactive analysis one including: data reduction, data display, and
conclusion drawing.
The conclusions of research are: (1) Social cultural aspect of pesantren in
the novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy includes: (a) the position of Pondok
Pesantren in novel Geni Jora, (b) the position of Kyai as the bearer of social
cultural values in the novel Geni Jora, (c) Mosque and Pesantren Community in
novel Geni Jora, (d) Santri, Kyai, and Pondok Pesantren in novel Geni Jora. (2)
the readers’ respond to the novel novel Geni Jora By Abidah El Khalieqy is that
in addition to telling about feminism, this novel also contains much religious
values particularly Islam religion because the setting of novel is in Pesantren.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Kemenangan kita bukan karena tidak pernah jatuh, namun kita berani bangkit
setiap kita jatuh (oliver Goldmith)
Mungkin kita dapat belajar senyum dari bunga, belajar kuat dari elang, kesetiaan
dari merpati, ketertiban dan kekompakan dari lebah, dan kerja keras dari semut.
Jika kamu tidak mengajari dirimu sendiri untuk mencari setiap kesempatan
melakukan kebaikan, maka setidaknya jangan sampai melepaskan kesempatan itu
jika kamu melihatnya.
Kesabaran adalah sebuah anugrah yang tak ternilai harganya dari sang Maha
Kuasa, dan kesabaran seseorang bukan diukur dari seberapa lama orang itu
menunggu, melainkan seberapa gentar usahanya untuk menghadapi rintangan
meraih kesuksesan, dengan kesabaran pula kita bisa belajar banyak hal tentang
romantika kehidupan.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Ibu-Bapak terkasih di rumah, anugerah
terbesar yang dihadiahkan Allah SWT
2. Si mbok Rah; Simbahku tersayang yang
membuatku
merasa
menjadi
cucu
tersayangnya.
3. Dik Riva tersayang; semangat yang
selalu menyala dan membuatku menjadi
kakak yang merasa dicinta.
4. Dwi; suamiku tercinta yang selalu
memberiku dukungan dan cinta kasih.
5. Rasya; putra pertamaku yang selalu
memberiku semangat dan kesempurnaan
hidup.
6.
Afni, Yulian, Eni, Yuli, Asih, Shiro,
Trimbil dan Dyas; sahabat kehidupanku.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada:
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin
untuk penyusunan skripsi;
2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
persetujuan penyusunan skripsi ini;
3. Dr. Andayani, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP UNS yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi
ini;
4. Drs. Suyitno, M. Pd., dan Dr. Nugraheni Eko W. S.S,.M.Hum., selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan
bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;
5. Drs.
Yant
Mujiyanto,
M.Pd.,
selaku
Pembimbing
Akademis
yang
membimbing dengan penuh kesabaran dan keikhlasan;
6. Bapak/ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah memberikan beragam ilmu yang bermanfaat bagi penulis;
7. Keluarga besarku yang memberikan keceriaan bagi hidupku;
8. Saudara-saudaraku yang jauh maupun yang dekat yang selalu memberikan
doa, semangat, dan dukungan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik; dan
commit to user
9. Kawan-kawanku Bastind angkatan 2006.
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga amal
kebaikan semua pihak tersebut dapat imbalan dari Allah SWT. Amin.
Surakarta, 4 Juli 2011
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL
.........................................................................................................
i
PERSETUJUAN .............................................................................................
ii
PENGESAHAN ....................................... .......................................................
iii
ABSTRAK .....................................................................................................
iv
MOTTO .........................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Rumusan Masalah......................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
6
D. Manfaat Penelitian .....................................................................
7
BAB II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori ..........................................................................
8
1. Pengertian Novel .................................................................
8
2. Pendekatan Sosiologi Sastra ................................................ 15
3. Resepsi Sastra ...................................................................... 19
4. Agama Islam……………………………………. ............... 20
5. Pondok Pesantren.................................. .............................. 27
6. Pendidikan Pondok Pesantren.................................. ........... 48
7. Sosial Budaya Pondok Pesantren.................................. ...... 54
B. Penelitian yang Relevan …………………………………....... 58
commit to user
C. Kerangka Berpikir ..................................................................... 59
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................... 60
B. Pendekatan Penelitian ................................................................ 60
C. Bentuk dan Strategi Penelitian .................................................. 61
D. Teknik Sampling ........................................................................ 62
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 62
F. Validitas Data ............................................................................ 63
G. Teknik Analisis Data ................................................................. 64
H. Prosedur Penelitian .................................................................... 66
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian………………………………………............. 68
B.
Pembahasan…………………………………………... ........... 91
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan ................................................................................... 95
B. Implikasi ................................................................................... 99
C. Saran ......................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………….. 102
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Jumlah Pesantren, Madrasah, dan Santri di Jawa ........................................ 47
1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ............................................. 60
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Alur Kerangka berpikir ................................................................................ 59
2. Komponen- komponen Analisis Data Model Interaktif ............................... 65
3Skema Prosedur Penelitian............................................................................. 67
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Sinopsis Novel ............................................................................................ 103
2. Biografi Pengarang ...................................................................................... 104
3. Hasil Wawancara dengan Penulis ............................................................... 107
4. Hasil Wawancara dengan Sasatrawan ......................................................... 110
5. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa ........................................................ . 114
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Selain itu,
sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya
dari pada fiksi (Wellek dan Warren, 1993:3-11). Sebuah karya sastra
mencerminkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan, sesama manusia, dan dengan Tuhannya. Walaupun berupa khayalan,
bukan berarti karya sastra merupakan khayalan saja, melainkan penghayatan dan
perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif yang dilandasi kesadaran
dari segi kreativitas sebagai karya seni. Sebagai hasil imajinatif, karya sastra
berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan dan berguna menambah
pengalaman batin pembacanya. Membicarakan sastra yang bersifat imajinatif,
berhadapan dengan tiga jenis genre sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Prosa
dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif, atau wacana naratif.
Istilah fiksi dalam pengertian ini adalah cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu
disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada
kebenaran sejarah (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000:2).
Karya fiksi adalah salah satu hasil dari karya sastra. Karya fiksi sering
disebut sebagai cerita rekaan. Fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang
bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran dan
mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. (Burhan Nurgiyantoro,
1994: 2)
Pengarang menciptakan karya sastra memang untuk dinikmati, dipahami,
serta dimanfaatkan oleh masyarakat (pembaca) dengan mengambil nilai-nilai
penting dalam karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan ide, buah pikiran,
sikap dan perasaan pengarang terhadap kehidupan yang merupakan sebuah bentuk
akibat dari suatu persoalan yang muncul dalam diri pengarang ataupun dalam
commit
user sastra menyumbangkan tata nilai
suatu masyarakat dimana ia berada.
Disinitokarya
1
perpustakaan.uns.ac.id
2
digilib.uns.ac.id
figur dan tuntunan masyarakat, hal ini merupakan ikatan timbal balik antara karya
sastra dengan masyarakat. Pada kenyataannya sastra juga mampu memberikan
manfaat berupa nilai-nilai moral bagi pembacanya. Sastra selalu menampilkan
gambaran kisah sebuah perjalanan hidup manusia sedangkan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan tersebut akan
mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang yang ada di
lingkungannya, serta hubungan antarmanusia dengan peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang.
Karya sastra merupakan potret dari kehidupan zaman karya sastra itu
dilahirkan, yang dapat dibaca dan dapat dinikmati dalam kurun waktu yang
berbeda. Di samping itu, karya sastra juga mampu mengungkapkan corak budaya
dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Karya sastra tidak saja lahir
dari fenomena-fenomena kehidupan lugas, tetapi juga kesadaran penulisnya
bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, infektif, juga harus melayani
misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan dan bertendens. Sastrawan ketika
menciptakan karya sastranya tidak saja didorong oleh hasrat ingin menciptakan
keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menciptakan pikiran-pikirannya, dan
kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu (Suyitno, 1986: 3).
Unsur-unsur pembangun novel mengangkat permasalahan kehidupan yang
di bangun secara kompleks. Seorang pengarang mampu mengarang sebuah karya
fiksi, termasuk novel dengan baik biasanya tema-tema yang diangkat diambil dari
kehidupan yang pernah ia alami baik yang ia alami sendiri atau ia lihat dan
dengar, bahkan dapat pengarang angkat dari hasil imajinasi pengarang. Dengan
demikian, novel memotret kehidupan manusia yang di dalamnya berkisar
kesedihan, kebahagiaan, tragedi, dan bahkan komedi. Dalam konteks itulah, novel
banyak menggambarkan banyak aspek kehidupan, utamanya aspek sosial
kehidupan manusia.
Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang diungkapkannya kembali
commit
to user Salah satu jenis prosa adalah
melalui sarana fiksi sesuai dengan
pandangannya.
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
novel. Novel merupakan bagian dari karya fiksi yang memuat pengalaman
manusia secara menyeluruh atau merupakan suatu terjemahan tentang perjalanan
hidup yang bersentuhan dengan kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan
bahwa karya fiksi berupa novel adalah suatu potret realitas yang terwujud melalui
bahasa yang estetis.
Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang
berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui
berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang,
dan lain – lain. Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang
di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan dibuat manusia/
tokoh (Siswantoro, 2005: 29).
Pengarang dalam karyanya berusaha mengungkapkan aspek sosial
kemanusiaan. Oleh sebab itu ada hubungan antara sastra dengan sosiologi, namun
hubungan sastra dengan sosiologi bersifat tidak langsung. Sastra berhubungan
dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni,
sedangkan sosiologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku sosial manusia.
Meskipun berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya
berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian.
Anggapan lain menyatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang indah
berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dapat mencerminkan
masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan. Karya sastra yang baik mampu
menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau gambaran
kebudayaan yang hadir di dalamnya.
Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai
menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawansastrawan seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar
Lubis, N.H Dini, Cak Nun, Joko Pinurbo, sampai Habiburachaman, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, nama Abidah El Khalieqy merupakan satu
nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di Tanah Air. Lewat karyakarya yang dihadirkannya, Abidah melukiskan kisah perempuan dengan aneka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di
negeri ini.
Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren
dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok
pesantren digunakan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya.
Di luar itu, kehidupan dalam pondok pesantren merupakan kehidupan yang
cenderung tertata dengan aneka ragam aturan di dalamnya. Pondok pesantren
dapat juga diindentifikasikan sebagai tempat menutut ilmu agama seklaigus ilmu
umum. Pondok pesantren mengatur segala tata cara yang dilakoni orang - orang
yang hidup di dalamnya. Cara mereka makan, mandi, mengaji, dan bersih-bersih,
atau hal-hal kecil yang lain tidak lepas dari aturan yang disorot oleh pengurus
pondok pesantren. Aturan yang kadang terlalu kolot dan kuno pada beberapa
pondok
pesantren membuat beberapa pengarang / novelis memilih keadaan
tersebut sebagai salah satu sumber ide kreatif untuk membuat karya sastra yang
dapat dinikmati pembaca.
Dalam hal ini, Abidah El Khalieqy menangkap peluang itu. Peluang untuk
membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati oleh pembaca. Dalam karyakarya yang dibuatnya, Abidah sering menggunakan latar kehidupan pondok
pesantren sebagai setting novel yang dibuatnya. Latar belakang kehidupannya
yang juga berasal dari kalangan pondok pesantren jugalah yang diyakini sebagai
modal kuat baginya untuk menggambarkan kehidupan pondok pesantren dalam
sebuah karya sastra.
Abidah pernah memperoleh penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia juga memperoleh penghargaan Sastra Adab
Award tahun 2009 atas novelnya Perempuan Berkalung Surban dari Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Abidah juga menerima penghargaan
dari Ikapi dan Balai Bahasa Award pada tahun 1997.
Selain prestasi dan penghargaan yang diterimanya, Abidah telah
diposisikan sebagai perempuan pengarang yang memiliki karakter karya khas
lainnya dan agak berbeda dengan karya-karya pengarang perempuan Indonesia
commit
to user
lainnya. Ekspresi kreatif Abidah telah
menunjukkan
eksistensi dan konsistensinya
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
dalam mendedah masalah-masalah kultural, intlektualitas, dan spiritualitas kaum
perempuan. Oleh karena itu banyak kritikus dan pengamat sastra Indonesia yang
menilai bahwa karya-karyanya memiliki kekuatan tematis yang unik dan berkaitan
langsung dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan harkat, martabat, dan
derajat kaum perempuan.
Beberapa karyanya merupakan karya yang mendapat predikat best seller.
Kemampuan menulisnya sudah mendapat pengakuan di antara penulis sastra,
terutama penulis perempuan. Dalam karya-karya yang di hasilkannya, Abidah
sering mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau
pendididkan Islam yang lain. Ini jugalah yang menimbulkan kontroversi pada
setiap hasil karya yang terbit atas namanya. Aneka ragam penilaian atas karya
yang dihasilkan muncul ke permukaan setelah tulisannya sampai kepada penikmat
sastra.
Beberapa karya Abidah El Khalieqy mampu menjuari beberapa sayembara
sastra pun tidak lepas dari kontroversi semacam ini. Di luar kontroversi tersebut,
karya-karya sastra Abidah dinilai telah berhasil membuka tabir tradisi dunia
pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Karyanya juga menawarkan paradigma
baru yang lebih substansial untuk idealitas perempuan dalam pandangan Islam.
Ahmadun Yosi Herfanda bahkan menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis
terbaik di Indonesia dan novel-novelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami
bukan fiksi pop Islami ( Aning Ayu, 2009 : 34)
Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy membawa idealisme dan
pemikiran pengarangnya dalam menyikapi fenomena kehidupan masyarakat.
Abidah tidak hanya fokus dalam salah satu latar yang selama ini sensitif untuk
diteropong, yaitu pesantren perempuan akan tetapi, juga melihat dari lingkungan
sekitar dalam novel tersebut.
Abidah El Khalieqy sebagai pengarang novel Geni Jora juga ingin
mengungkapkan realitas sosial dan budaya yang berlaku, serta konflik-konflik
yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam kehidupan khususnya dalam
pesantren perempuan. Geni Jora lebih halus mengungkapkan ideologinya dalam
commit to user
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemasan panorama dunia pesantren perempuan yang menumbuhkan ketertarikan
bagi masyarakat Indonesia.
Novel Geni Jora merupakan ekspresi Abidah yang mengungkapkan suatu
keinginan kuat dari seorang perempuan untuk menggugat relasi patrikal yang
menelikung kehidupannya. Eksistansinya yang senantiasa diposisikan sebagai
subordinat dari relasi laki-laki perempuan menumbuhkan kesadaran seorang
perempuan Kejora untuk meluruskan garis yang demikian berseberangan itu
menjadi sejajar.
Menguak Kejora adalah mengenali satu lagi tipikal perempuan Indonesia
dengan latar berbeda. Kehidupan masa kecil yang kesepian dalam feodalisme
gaya Timur Tengah dan Jawa Timur yang menjeratnya untuk menjadi subordinat
dari entitas dan komunitas kaum lelaki.
Inilah yang melatar belakangi peneliti untuk mengkaji karya-karya Abidah
El Khalieqy khususnya novel Geri Jora yang menuai cukup banyak kontroversi
dalam penerbitannya. Penelitian ini berjudul Kehidupan Pesantren dalam Novel
Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai beikut :
1. Apa sajakah aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya
Abidah El Khalieqy?
2. Bagaimanakah tanggapan pemabaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah
El Khalieqy?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan :
1. Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El
Khalieqy.
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Mengetahui tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El
Khalieqy.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat secara
teoretis dan praktis.
1. Manfaat teoretis
a. Menambah khasanah penilitian sastra Indonesia, khususnya penelitian
novel Indonesia sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan karya
sastra Indonesia.
b. Menjadi titik tolak untuk memahami dan mendalami karya sastra pada
umumnya dan novel Geni Jora pada khususnya.
2. Manfaat praktis
a. Untuk meningkatkan daya apresiasi terhadap novel.
b. Dapat menambah wawasan kepada penikmat karya sastra, khususnya
informasi tentang kehidupan dan tata adat yang berlaku dalam kehidupan
pesantren.
c. Mampu mengungkapkan pesan-pesan yang terdapat dalam novel, baik
yang tersurat, maupun yang tersirat, disertai dengan bukti dan alasan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1.
Pengertian Novel
a. Pengertian Novel
Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel merupakan hasil khayalan
atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Selain novel ada pula roman dan
cerita pendek (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 2). Novel berasal dari bahasa
latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru.
Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis
cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan di bandingkan dengan cerita
pendek (short story) dan roman (Herman J. Waluyo, 2002: 36).
Burhan Nurgiyantoro (1994: 9) berpendapat bahwa istilah novella dan
novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novellet
(Inggris; novellet), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek. Senada dengan
pendapat tersebut, Abrams menyatakan bahwa sebutan novel dalam Bahasa
Inggris dan yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari Bahasa Italia
novella (yang dalam Bahasa Jerman: novella). Secara harfiah novella berarti
“Sebuah barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai cerita
pendek (short story) dalam bentuk prosa.
Novel muncul karena pengaruh filsafat John Locke yang menekankan
pentingnya fakta dan pengalaman serta memandang berpikir terlalu fantastis
adalah sesuatu yang ada bahayanya ( Herman J. Waluyo, 2002:36 ). Pembacapembaca dari golongan kaya, menengah dan terpelajar di Inggris tidak
menyukai puisi dan drama yang kurang realistis dan lebih menyukai cerita
yang berdasarkan fakta, oleh karena itu novel lebih mudah diterima sebagai
cabang kesenian yang baru. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa dalam
to tokoh
user cerita, (b) ada beberapa episode
novel terdapat: (a) perubahan commit
nasib dari
8
perpustakaan.uns.ac.id
9
digilib.uns.ac.id
dalam kehidupan tokoh utamanya, dan (c) biasanya tokoh utama tidak sampai
mati. Dalam novel juga tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi dan
setting seperti dalam cerita pendek. Perbedaan utama dari cerita pendek tidak
terletak pada panjang pendeknya namun dalam intensitas ceritanya.
Dalam novel memungkinkan adanya penyajian secara meluas “expands”
tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan
manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Suminto A. Sayuti,
1997: 6-7). Masyarakat tentunya berkaitan dengan dimensi ruang/ tempat.
Sedangkan tokoh dalam masyarakat berkembang dalam dimensi waktu.
Semua itu membutuhkan deskripsi yang mendetail supaya diperoleh suatu
keutuhan yang berkesinambungan. Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk
menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika
penulis menceritakan tokoh dari mulai masa kanak-kanak hingga dewasa.
Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail perkembangan
tokoh dan pendeskripsian ruang.
Novel oleh Suminto A. Sayuti (1997:7) dikategorikan dalam bentuk karya
fiksi yang bersifat formal. Bagi pembaca umum, pengkategorian ini dapat
menyadarkan bahwa sebuah fiksi maupun bentuknya diciptakan dengan tujuan
tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi sastra akan lebih
baik. Pengkategorian ini berarti juga novel yang kita anggap sulit dipahami,
tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca tidak mungkin
meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut anggapan
pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah. Karena setiap novel yang
diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.
Selain itu Burhan Nurgiyantoro (1994: 4) mengatakan bahwa “ di dalam
sebuah novel menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang
diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui unsur instrinsik seperti
peristiwa, plot, tokoh, latar, dan sudut pandang yang tentu saja kesemuanya
bersifat imajiner.” Dikatakan menawarkan model kehidupan yang diidealkan,
karena di dalam novel terdapat suatu model kehidupan yang menampilkan
commit
to user
aspek kehidupan manusia secara
mendalam.
perpustakaan.uns.ac.id
10
digilib.uns.ac.id
Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa novel adalah bentuk cerita prosa fiktif yang mempunyai panjang
tertentu yang di dalamnya terdapat unsur-unsur instrinsik yang kesemuanya
bersifat imajiner. Meskipun demikian, di dalam sebuah novel mengangkat
sebuah cerita kehidupan yang diidealkan karena menampilkan kehidupan
manusia secara mendalam dan kejadiannya pun luar biasa.
b. Ciri-Ciri Novel
Zaidan Hendy (1993: 225) memberikan sejumlah ciri- ciri novel sebagai
berikut:
a. Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari
roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian.
b. Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat
dengan ramuan fiksi pengarang.
c. Penyajian cerita berlandaskan pada alur pokok atau alur utama yang
menjadi batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur
penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri).
d. Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema
bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut.
e. Karakter dalam tokoh- tokoh utama dalam novel berbeda- beda.
Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu dalam novel
dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah
tokoh yang digambarkan berwatak tetap dari awal hingga akhir.
Tokoh dinamis sebaliknya, bisa mempunyai beberapa karakter yang
berbeda atau tidak tetap.
c. Macam-Macam Novel
Banyak novel yang diterbitkan pada tahun 80-an, sehingga
menyebabkan para pengamat mengklasifikasikan novel menjadi dua jenis,
yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang
commit tonovel
user pop adalah novel yang nilai
bernilai sastra (tinggi), sedangkan
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya (Herman J.
Waluyo, 2002: 38). Herman J. Waluyo (2002: 39) menambahkan, ciri-ciri
novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir adalah tidak menggarap realitas
kehidupan (realisme) yang ditampilkan adalah tokoh dan cerita diluar cerita
kehidupan. Selanjutya akan dibahas mengenai novel populer dan novel serius.
a) Novel Populer
Aprinus Salam (2008: 369) mengungkapkan pembagian karya sastra
sebagai berikut. (1) fiksi yang tidak mengakomodasi intense populer atau
yang diresmikan oleh segelintir elite terdidik; (2) fiksi populer (termasuk
sinetron), yakni fiksi yang mengakomodasi intense penulis dan pembaca,
meskipun dalam studi diperguruan tinggi; dan (3) fiksi yang dipisahkan,
yakni karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah karena secara
kebahasaan tidak komunikatif untuk bangsa Indonesia.
Berbeda
dengan
Aprinus
Salam,
Heryanto
(http//jurnal-
humaniora.ugm.ac.id, 2008) mengungkapkan empat ragam kesusasteraan
Indonesia, meliputi: (1) kesusastraan yang diresmikan, diabsahkan, (2)
kesusastraan yang dilarang, (3) kesusastraan yang diremehkan, dan (4)
kesusastraan yang dipisahkan. Kesusastraan yang diresmikan (kanon)
adalah kesusastraan yang sejauh ini banyak dipelajari di pendidikan
(tinggi). Kesusastraan yang dilarang adalah karya-karya yang dianggap
mengganggu status quo (kekuasaan) seperti yang sudah terjadi pada zaman
Balai Pustaka yaitu karya Marco Kartodikromo. Pada zaman Orde Baru,
karya –karya Pramudya Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki Panji
Kusmin, Langit Makin Mendung, menjadi contoh yang terlarang pula.
Karya sastra yang dipisahkan adalah karya sastra daerah yang ditulis
dalam bahasa daerah. Dengan demikian karya sastra yang diremehkan
adalah karya sastra yang dianggap populer; sastra hiburan.
Cecep Syamsul Hari (2005: 27) menyatakan bahwa novel populer
memiliki ciri arbitrasi yang seragam, baik dari aspek lingkungan sosial,
cultural, psikologis, maupun lingkungan kebahasaan. Atar Semi (1993:71commit
to usermudah dinikmati karena masalah
72) menjelaskan bahwa novel
populer
perpustakaan.uns.ac.id
12
digilib.uns.ac.id
yang ditampilkan ringan, tetapi aktual dan menarik yang digunakan
sebagai hiburan langsung dari ceritanya. Novel populer juga mempunyai
jalan cerita yang menarik, mudah diikuti, dan mengikuti selera pembaca.
Selera pembaca yang dimaksudkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan
kegemaran naluriah pembaca, seperti motif-motif seksual, humor, dan
heroism sehingga pembaca merasa tertarik untuk selalu mengikuti kisah
ceritanya.
Cecep juga menyatakan bahwa dalam perkembangan sastra barat
(Eropa dan Amerika), novel telah menjadi genre karya sastra yang
tersendiri. Novel berkembang kedalam berbagai jenis dalam kerangka
kerjanya yang luas, seperti: novel gotik, novel fiksi ilmiah, novel
otobiografi, novel sejarah, novel remaja, novel spiritual, dan novel
epistolary.
Jenis novel juga dirujuk melalui penandaan sejarah
perkembangan kesusasteraan yang ditandai dengan pandangan dunia yang
dominan pula pada masa tertentu, contohnya novel-novel romantik (masa
ketika kaum romantik dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia
sastra) dan novel realis (masa ketika kaum realis dan pandanganpandangannya dominan dalam dunia sastra (Cecep Syamsul Hari, 2005:
27)
Burhan Nurgiantoro menjelaskan bahwa novel populer adalah novel
yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya
pembaca dikalangan remaja. Novel jenis ini menampilkan masalah yang
aktual pada saat novel itu muncul. Pada umumnya novel populer bersifat
artificial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak
memaksa orang untuk membacanya. Sekali lagi, seiring dengan
munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya
(Burhan Nurgiantoro, 2005: 18). Di sisi lain, novel populer lebih mudah
dibaca dan mudah dinikmati karena semata-mata menyampaikan cerita
(Stanton dalam Burhan Nurgiantoro 2005: 19). Novel populer tidak
mengejar efek estetis seperti yang terdapat dalam novel serius.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13
digilib.uns.ac.id
Cerita dalam novel populer mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit.
Alur cerita yang mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena,
fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat. Semua itu memungkinkan
penerimaan bagi genre yang boleh disebut relative baru dalam khazanah
sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan
remaja sebagai kalangan yang paling menggemari novel populer.
b) Novel Serius
Novel serius atau sering disebut dengan novel sastra sangat berbeda
dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar. Novel sastra
merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dalam
sejarah sastra. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih
serius dibandingkan dengan novel populer. Novel sastra menuntut
aktivitas pembaca secara lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan
sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan
pembaca.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 18) mengungkapkan bahwa membaca
novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya
konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini
disamping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan
pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak
pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh
tentang permasalahan yang dikemukakan.
Ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir adalah tidak
menganggap realitas kehidupan ( realisme). Hal yang ditampilkan adalah
tokoh dan cerita di luar realitas kehidupan. Hal ini menyebabkan
munculnya tokoh-tokoh eksistensialistis (absurd) seperti karya-karya Iwan
Simatupang, tokoh-tokoh sufi seperti dalam karya Danarto, tokoh-tokoh
aneh dalam karya Budi Darma (Herman J. Waluyo, 2002: 39).
Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya
pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Justru novel ini mampu
user
bertahan dari waktu ke commit
waktu to
misalnya,
roman Romeo Juliet karya
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
William Shakespheare atau karya Sutan Takdir, Amir Pane, Sanusi Pane
yang memunculkan polemik yang timbul pada dekade 30-an yang hingga
saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 21).
d. Fungsi Novel
Fungsi novel pada dasarnya yaitu untuk menghibur para pembaca.
Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya terkandung juga
didalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang
dikatakan Wallek dan Warren (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 3)
membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasan batin.
Menurut Jakob Sumardjo (dalam Jacob Sumardjo dan Saini
K.M,1986: 89) bahwa fungsi novel sebagai berikut:
a. Karya sastra (novel) memberi kesadaran para pembacanya tentang suatu
kebenaran.
b. Karya sastra (novel) juga memberikan kepuasan batin, hiburan ini adalah
hiburan intelektual.
c. Karya sastra (novel) dapat memberikan kita sebuah penghayatan yang
mendalam tentang apa yang kita ketahui.
d. Membaca karya sastra (novel) adalah karya seni indah dan memenuhi
kebutuhan manusia terhadap naluri keindahan adalah kodrat manusia.
2.
Pendekatan Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839 dari seorang
ahli filsafat berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Mickel Bal dkk
(dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) berpendapat bahwa sosiologi sebagai
ilmu yang relatif muda ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive
philosophy yang ditulis Auguste Comte (1798-1857). Kemudian sosiologi
berkembang pesat pada setengah abad sesudahnya yang disusul dengan terbitnya
user
buku Principles of Sociology yangcommit
ditulis to
oleh
Herbert Spencer (1820-1903).
perpustakaan.uns.ac.id
15
digilib.uns.ac.id
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata socios yang berarti "kawan"
logos yang berarti "ilmu". Bouman (1976: 24) menyimpulkan bahwa sosiologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesama
individu, antara individu dengan kelompok serta sifat dan perubahan lembagalembaga dan ide-ide sosial. la mengusahakan suatu sintesis dan ilmu jiwa sosial
dan ilmu bentuk sosial sehingga dengan ilmu itu dapat mengerti hakikat sosial
dalam hubungan kebudayaan umum.
Sosiologi diketahui sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses
sosial. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri
dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur
sosial.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi
pengaruh terhadap masyarakat (Atar Semi, 1993: 73). Sastra dapat dikatakan
sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya
tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah
masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan
berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat
berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa yang
ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu
hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko Darmono
dalam Wiyatmi, 2006: 97). Sosiologi sastra adalah ilmu yang membicarakan
hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Untuk mendekati
maupun mengakrabi karya sastra perlu menggunakan suatu pendekatan sosio
kultural. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara selengkap-lengkapnya dan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau
peradaban yang telah menghasilkannya. (Wiyatmi, 2006: 102).
Garbstein (dalam Wiyatmi, 2006: 17) mengungkapkan konsep tentang
sosiologi sastra, yaitu:
1)
Karya
sastra
tidak
mungkin
dapat
dipahami
selengkapnya
tanpa
dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya.
2)
Gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dalam bentuk
teknik penulisannya.
3)
Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah sebuah prestasi.
4)
Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arch: sebagai faktor material
istimewa dan sebagai tradisi.
5)
Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa
pamrih.
6)
Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra
masa depan.
7)
Secara epistemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin membangun
suatu sosiologi sastra general yang meliputi seluruh pendekatan.
8)
Mengenai sosiologi sastra Marxis, garis besarnya sebagai berikut: pertama,
manusia harus hidup dahulu sebelum dapat berpikir clan yang kedua,
struktur sosial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan
khususnya sistem produksi ekonomi, yaitu antara infrastruktur dan
suprastrutur.
9)
Sastra merupakan fenomena kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, yaitu
ekonomi.
Wellek dan Warren (1993: 111) menyatakan setidaknya ada tiga
pendekatan dalam sosiologi sastra yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan
pengarang, sosiologi sastra yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, dan
sosiologi sastra yang berkaitan dengan pembaca. Yang perlu dicatat adalah adanya
keterkaitan antara sosiologi dan sastra yang keduanya berhubungan dengan
masyarakat. Tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra.
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
2)
Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan
3)
Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial
budaya atau peristiwa sejarah.
Novel merupakan salah sate di antara bentuk sastra yang paling peka
terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 1994: 45-46) novel
mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan
sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat
kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnyaKenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti la seperti kenyataan
hidup yang sebenamya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah
melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus
terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman
barn bagi pembacanya, karma apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis
dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa
pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi
pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna
Nyoman Kutha, 2004: 63)
karya seni sastra memberikan lebih banyak
kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra
sebagai cermin kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan kedudukan
pengarang sebagai anggota masyarakat. sehingga secara langsung atau tidak
langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam
lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan oranglain di dalam
komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan
interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas
sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan
commit
to user
manusia. Dengan demikian, antara
karya
sastra dengan sosiologi sebenarnya
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sastra
merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu tes dialektika
antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan
penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam karya sastra.
Fananie Zaenudin (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa
bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial
dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film.
Secara implisit, di dalam teks sastra terdapat proposisi-proposisi bahwa
manusia tidak pernah hidup sendiri dan lebih dari itu manusia memiliki masa
lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang atau seolah-olah merupakan
sebuah oracle (sabda dewa atau gars yang pasti dilalui). Karena itu, nilai yang
terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup, yang selalu berkembang dan
dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diperlakukan sebagai data jadi, melainkan
merupakan data mentah yang masih hares diolah dengan fenomena lain.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas
masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra
dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca.
Namun, dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran
pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.
3.
Resepsi Sastra
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti
teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks itu. Teori Resepsi Sastra pada tataran dasar secara singkat
dapat disebut sebagai teori yang menjelaskan bahwa teks sastra (lisan maupun
tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca (penikmat) yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks tersebut.
Teori tentang resepsi sastra ini dikemukakan oleh Felix Vodicka dengan
memperjelas peranan pembaca. Karya sastra bagi Vodicka diletakkan sebagai
commit todihidupkan
user
sebuah artefak yang coati, baru kemudian
oleh pembaca melalui apa
perpustakaan.uns.ac.id
19
digilib.uns.ac.id
yang disebut kongkretisasi. Pada proses tersebut, semuanya bergantung kepada
hubungan pembaca dengan tempat, waktu, tatar sosialnya, dan karya
bersangkutan.
Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan teori resepsi sastra.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Robert Jausz yang melontarkan gagasan
tentang tanggapan dan efek/rezeption and wirkung (A Teeuw, 1984: 92). Pembaca
selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial
budaya. Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan terhadap
sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh horison harapan. Horison harapan
ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu pihak dan sistem interpretasi
dalam masyarakat penikmat di lain pihak.
Resepsi sastra oleh Jausz disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika
(ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi
pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca
atau penikmat sastra yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena
ada pembaca yang menilai (Pradopo Rahmat Djoko, 1995: 206).
Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada
pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan
masyarakat pembaca Pada penelitian ini objek analisis adalah novel yang
tergolong dalam kategori karya sastra tulis. Masyarakat berusaha untuk memaknai
tanda ataupun makna yang terkandung dalam sebuah cerita yang merangkum
dalam novel. Kemudian muncullah istilah horizon harapan yang berpijak dari
perbedaan pemahaman masing–masing pembaca. Horizon harapan merupakan
interaksi antara karya sastra dan pembaca atau penikmat dan mencakup
interpretasi dalam masyarakat.
Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood
bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya
dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra Dengan kata lain,
sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai unsur
ekstrinsik dan unsur ekstrinsik tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya.
(Wellek dan Werren, 1995: 106)
Beberapa ahli berpendapat bahwa suatu teks sastra dianggap berbobot
atau tidak ditentukan oleh nilai estetik sastra yang dikandungnya. Hal tersebut
misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren: cara
lain untuk merumuskan apa yang disebut sastra ialah dengan membatasi sastra
pada puncak-puncak karya sastra saja tanpa memperhatikan apa pokok
pembicaraannya asal menarik perhatian karena bentuk sastranya atau karena
ekspresinya. Jadi, ukurannya hanya bernilai estetik saja atau nilai estetika dengan
kombinasi nilai-nilai intelek Jain (Wellek, Renne dan Austin Warren. 1990: 11).
Berdasar pada pendapat-pendapat ahli yang ada, paling tidak secara global
dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan basil kreasi
berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek
estetik, baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika
bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface
structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure
(Fananie Zaenudin, 2000: 6)
4.
Agama Islam
Kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “tidak kacau”.
Kata agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu “a” yang berarti “tidak” dan
“gama” yang berarti “kacau”, sehingga mengandung pengertian bahwa agama
adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.
Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata
religion dalam Bahasa Inggris dan religie dalam Bahasa Belanda, dimana
keduanya berasal dari bahasa Latin yaitu religio, berasal dari akar kata religare
yang berarti mengikat (Dadang Kahmad 2002 :13). Agama dalam pengertian
sosiologi adalah gejala yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada
di dunia ini tanpa kecuali. Agama merupakan salah satu aspek dalam kehidupan
sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat dan dapat dilihat sebagai
commit di
to samping
user
unsur dari kebudayaan suatu masyarakat
unsur-unsur yang lain, seperti
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan dan sistem organisasi
sosial. Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi
yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu sebagai berikut :
1. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjektif atau kondisi
dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut
agama. Kondisi ini biasa disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh
dan taat kepada yang disembah. Kondisi ini hampir sama dengan konsep
“Religius Emotion” yang diutarakan Emile Durkheim. Emosi keagamaan
seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut
agama yang membuat dirinya merasa sebagai “makhluk Tuhan”. Dimensi
religiusitas merupakan inti dari keberagamaan yang membangkitkan
solidaritas seseorang menjadi orang yang saleh dan takwa.
2. Segi objektif (Objective state), yaitu segi luar yang disebut sebagai kejadian
objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama
dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis,
ritual maupun persekutuan. Dalam segi ini mencakup adat istiadat, upacara
keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan,
kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat (Dadang
Kahmad 2002 : 14).
Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang
langsung. Seperti masyarakat non-agama umumnya demikian pula masyarakat
agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti misalnya kelompokkelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang mempunyai ciri pola
tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar menurut norma-norma dan
peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.
Penjelasan bahwa masyarakat agama sebagai sasaran bukan berarti agama
sebagai
suatu
sistem
ajaran,
melainkan
agama
dalam
bentuk-bentuk
kemasyarakatan yang nyata atau agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta
sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang. Sosiologi Agama
mengkonstatasi
(menyaksikan)
akibat
empiris
kebenaran-kebenaran
commit istilah
to user masyarakat agama. Masyarakat
“supraempiris”, yaitu disebut dengan
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agama adalah persekutuan hidup (entah dalam lingkup sempit atau luas) yang
unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan (Hendro
puspito 1983 : 8-9).
Sosiologi Agama berusaha mencari dimensi sosiologis, sampai sejauh
mana agama dan nilai-nilai kegamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas
eksistensi
kegiatan
manusia,
seperti
seberapa
jauh
unsur
kepercayaan
mempengaruhi pembentukan kepribadian para pemeluknya. Berdasarkan hasil
studi para sosiolog, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan
hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu atau kelompok yang
memiliki
hubungan
saling
mempengaruhi
dan
saling
bergantung
(interdependence) dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di
masyarakat mana pun.
Islam ialah agama samawi yang terkandung dalam Al-Quran, yang
dianggap penganutnya sebagai kalam Allah, kata demi kata, serta ajaran dan
contoh normatif nabi terakhir Nabi Muhammad S.A.W. Perkataan Islam
bermaksud "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Seorang
penganut Islam dikenali sebagai Muslim, bermaksud "seorang yang tunduk
(kepada Allah)". Muslim percaya bahwa Allah itu Esa dan tujuan hidup ialah
untuk menyembah Tuhan. Muslim juga percaya bahawa Islam merupakan versi
lengkap dan sejagat kepercayaan monoteistik ajaran Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa
a.s., Nabi Isa a.s., dan lain-lain nabi. Nabi Muhammad S.A.W. bukanlah pengasas
agama baru, sebaliknya menjadi pemulih keimanan monoteistik ajaran nabi-nabi
terdahulu.
Tradisi
Islam
menegaskan
bahwa
agama
Yahudi
dan
Kristian
memutarbalikkan wahyu yang Allah berikan kepada nabi-nabi ini dengan
mengubah teks atau memperkenalkan tafsiran palsu, atau kedua-duanya. Amalan
keagamaan Islam termasuklah Rukun Islam, yang merupakan lima tanggungjawab
yang menyatukan Muslim ke dalam sebuah masyarakat. Selain itu, terdapat syariat
Islam (syari'ah) yang menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan
kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktik seperti hukum
to user
pemakanan dan perbankan kepadacommit
jihad dan
zakat. (www.wikipedia.org)
perpustakaan.uns.ac.id
23
digilib.uns.ac.id
a. Islam Sinkretik
Islam sinkretik adalah Islam Jawa yang merupakan campuran antara Islam,
Hindu, Budha, dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan
yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) justru
tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu-Budha di dalamnya.
Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama Hindu di India, yang
dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai
paduan antara Hindu, Islam, dan keyakinan lokal, maka tidak ditemui unsur
tersebut di dalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah
Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan Jogyakarta.
Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam
Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya.
Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi
dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan
sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang
genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang
harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks
vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika Islam datang ke Jawa, mau tidak mau juga
harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat
pengetahuan bagi penduduk setempat.
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun
1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya
Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini
adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran
inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan
sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan politik. Pada masyarakat Jawa, aliran
ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan.
Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan
segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun di
atas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz
commit to
user
adalah pandangannya tentang dinamika
hubungan
antara Islam dan masyarakat
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang
Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan
seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur
sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya.
Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi.
Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang
tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa
disetting
berdasarkan
hitungan-hitungan
yang
diyakini
keabsahannya.
Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau
tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi
yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang Jawa tidak dengan
segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah
awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah
arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang
sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak
tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak
tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neomodernisme. Corak ke-Islaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di
Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya
maupun antropologisnya.
Tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun
berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masingmasing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi
keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara
pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang
bervariasi, misalnya Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya
adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan, upacara wiwit
dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi
akan tiba.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25
digilib.uns.ac.id
Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara
hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi
ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan
rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir
dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Perbedaan antara tradisi Islam pesisir
dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan,
namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan, dengan kata lain
substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.
Koentjaraningrat (1994: 326) membagi keberagaman masyarakat Jawa
menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Kategori yang
pertama kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsurunsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, dan mereka inilah yang disebut sebagai
masyarakat sinkretik, sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran
agama Islam dan bersifat puritan. Meski sudah memeluk Agama Islam, namun
masih banyak masyarakat yang menjalankan berbagai ritual animisme dinamisme,
sehingga disebut sebagai Islam abangan. Segala macam ritual dan meditasi yang
bersifat religus banyak ditujukan untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib.
Berbagai macam ritual tersebut disebut dengan tindakan-tindakan
keagamaan. Dalam Agama Jawa, tindakan-tindakan keagamaan yang terpenting
adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa halusnya disebut dengan
wilujengan atau dalam bahasa ngoko disebut sebagai selamatan. Selamatan atau
wilujengan adalah suatu upacara pokok atau terpenting dari hampir semua ritus
dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agami
Jawi khususnya. Suatu upacara selametan biasanya diadakan di rumah suatu
keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga, kerabat, temanteman, dan sebagainya. Rangkaian selametan biasanya terdiri dari nasi tumpeng
lengkap dengan lauk pauk dan pelengkapnya (Koentjaraningrat, 1994 : 345).
Masyarakat Jawa melakukan acara ritual untuk menghormati leluhur ataupun
danyang.
Perbedaan Islam pesisir dan pedalaman memang pernah terjadi dalam
to user seiring dengan perubahan sosial
rentangan panjang sejarah Islam commit
Jawa. Namun
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi
didapatkan.
Hal
ini
terjadi
adanya
perbedaan
dalam
simbol-simbol
performansinya, namun memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label
ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam
substansinya memiliki kesamanaan.
Islam pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki perbedaanperbedaan yang unik. Perbedaan itu anehnya justru menjadi daya tarik karena
masing-masing memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat
petani bisa saja terdapat perbedaan Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel
bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama
ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan
berdiri kokoh.
Lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal
terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah
terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah
yang tidak vakum budaya. Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal
pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.
b. Islam Puritan
Islam puritan adalah aliran yang identik dengan fundamentalis, militan,
ekstrimis, radikal, fanatik, dan jahidis. Islam Puritan menentang konsep-konsep
seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan pengakuan akan peran perempuan.
Sejarah Islam Puritan lebih tepatnya dikatakan dari kaum Wahhabi, dimana dasardasar teologi Wahhabi dibangun oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab yang
sangat fanatik pada abad ke-18. Perlu dipahami bahwa Islam Puritan sangat
menentang modernitas (Barat), menurut mereka umat muslim wajib kembali
kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus. Artinya, umat Islam
tidak boleh bersahabat dengan dengan mereka yang bukan muslim atau muslim
yang dinilai bidaah.( Khaleb A. El Fadl, 2006: 27).
Bagi Islam puritan menafsirkan agama dalam proses penjadian sama
commit
to user oleh Allah. Kaum puritan selalu
dengan mengkhianati apa yang telah
diberikan
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membesar-besarkan peran teks dan menafihkan peran aktif manusia yang
menafsirkan teks keagamaan, dan karena kemampuan manusia dalam menafsirkan
teks diabaikan maka estetika dan wawasan moralitas dinilai tidak relevan dan
tidak berguna. Karena teks menjadi pegangan maka kehidupan yang berada di luar
hukum Tuhan dinilai tidak benar sehingga harus diperangi atau dihukum.
Hukum yang dimaksud disini adalah Al-Quran dan Tradisi Nabi (hadist
dan sunah), menurut mereka 90% (dalam syari’at) dari apa yang mereka anggap
hukum yang terwayuhkan tidak terbuka bagi perdebatan, tidak boleh
dipertanyakan, dan hanya 10% dari hukum yang terbuka bagi perdebatan.
5.
a.
Pondok Pesantren
Hakikat Pondok Pesantren
Definisi dari kosakata pondok pesantren dapat dikaji dengan memperhatikan
makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai
untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal
dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari
kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal
para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat
tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa pondok pesantren
mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent). Dikatakan seperti
itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu kondisi yang
menuntut adanya sebuah totalitas.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren dikenal
sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama
pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna fiddîn (para ahli
agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita
mengenal nama-nama seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto,
Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi.
Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni pesantren yang menjadi ulama
besar dikemudian hari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28
digilib.uns.ac.id
Salah satu ciri khas ulama lulusan pesantren adalah, mereka bukan hanya
memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlaq yang tinggi. Hal ini terkait dengan
metode pendidikan yang dikembangkan para kiai di pesantren. Tujuan
pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan
murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar untuk
menerima etik (peraturan moral) agama di atas etik-etik lain. Tujuan
pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang
dan keagungan duniawi, tetapi ditanamankan kepada mereka bahwa belajar
adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah. (Zamakhsyari
Dhofier, 1982: 20-21)
Pesantren dianggap sebagai salah satu pilar benteng pertahanan umat. Hal
ini sangat disadari musuh-musuh Islam. Sehingga mereka berusaha
melemahkan peran pesantren agar tidak lagi memiliki peran. Keseimbangan
dan kelestarian lingkungan hidup -bahkan seluruh aspek kehidupan manusia-
merupakan kunci kesejahteraan. Stabilitas hidup memerlukan keseimbangan
dan kelestarian di segala bidang, baik yang bersifat kebendaan mau pun yang
berkaitan dengan jiwa, akal, emosi, nafsu dan perasaan manusia. Islam
sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits juga menuntut
keseimbangan dalam hal-hal tersebut, keseimbangan mana sering disebut al-
tawassuth atau al-i’tidal.
Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser
dari keseimbangannya. Ini merupakan akibat dari pelbagai kecenderungan
untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin
sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi di masa mendatang yang akan menyulitkan generasi
berikut. Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting
artinya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia mau pun akhirat, di
commit
to user
mana aspek-aspeknya tidak dapat
terlepas
dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan benda-benda lain sebagai unsur pendukung. Keseimbangan dan keserasian
antara semua unsur tersebut sangat rnempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap
rasional manusia yang berwawasan luas dengan penuh pengertian yang
berorientasi pada kemaslahatan makhluk.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai
fungsi ganda, sebagai lembaga pendilikan yang mampu mengembangkan
pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda
dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar,
sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan
mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan
perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah mau pun jasmaniah.
Pesantren yang menyatu dengan masyarakat tahu benar denyut nadi
masyarakat. Sebagaimana masyarakat pun tahu siapa pesantren dengan kiai dan
para santrinya. Para santri di pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama,
akan tetapi juga di dalam kehidupan nyata mereka belajar tentang hidup.
Karena bersatunya santri dan masyarakat itulah, pesantren kemudian tidak
kebingungan meneliti lingkungan hidup.
Bilamana
mereka
harus
mengabdi
kepada
masyarakat,
mereka
merumuskan sikapnya terhadap masyarakat sejak masih dalam status
kesantriannya. Kehidupan di pesantren itu sendiri merupakan deskripsi ideal
bagi kehidupan luas di masyarakat.
Atau dapat juga disebut, kehidupan
pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sehingga fungsi sosial
pesantren seperti di atas mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan
baru atau perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan
dakwah dan pelayanan masyarakat.
Tujuan
umum
pendidikan
di
pesantren,
ialah
membentuk
atau
mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT.) dan
shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola,
memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya
mencapai sa'adatu al-darain. Bertolak dari prinsip itu, pesantren memberikan
commitdengan
to userberbagai macam aspeknya.
arahan pendidikan lingkungan hidup
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
Pada gilirannya para santri tahu dirinya sebagai makhluk sosial yang di
dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain dan alam.
Sebagaimana orang lain dan alam pun, tidak bisa lepas dari keterkaitan mereka
dalam pelbagai konteks sosial, di mana rnereka berarti mempunyai tanggung
jawab atas apapun yang mereka lakukan, terhadap dirinya sendiri dan orang
lain maupun terhadap Allah SWT.
Dalam hal tersebut pesantren menekankan pentingnya arti tanggung jawab.
Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, berarti keharusan meningkatkan
kemampuan pribadi untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam)
dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung jawab terhadap
orang lain, merupakan sikap dan perilaku yang rasional di dalam
berkomunikasi dengan orang lain dan alam di mana kehidupan manusia secara
lahiriah selalu tergantung padanya. Kemudian tanggung jawab terhadap Allah
SWT adalah dalam bentuk disiplin norma dan ajaran di dalam pengelolaan
alam. Disiplin sosial sesuai dengan norma mu'asyarah dan mu’amalah antar
sesama makhuk. Ini dalam rangka meningkatkan “keakroman" yang dapat
menumbuhkan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari.
Upaya pembinaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan dua pokok
pendekatan. Pertama, pendekatan proyek dan kedua, pendekatan motivasi. Atau
keduanya sekaligus dilakukan secara terpadu. Pendekatan kedua (motivasi)
walaupun akan memerlukan waktu yang relatif panjang, akan berdampak lebih
positif karena pihak sasaran secara berangsur akan mau mengubah sikap dan
perilaku secara persuasif. Perilaku dan sikap acuh tak acuh terhadap masalah
ingkungan hidup akan berubah menjadi suatu sikap dinamis yang terus
berkembang yang akan berkulminasi pada stabilitas pembinaan lingkungan
hidup. Pendekatan motivasi seperti itu dapat dilakukan dalam pola pendidikan
di pesantren. Kesadaran akan keseimbangan lingkungan hidup yang muncul
dari pengertian dasar tentang masalah-masalahnya serta implikasinya terhadap
kesejahteraan ukhrawi dan duniawi dapat ditanamkan dan dikembangkan
melalui jalur pendidikan di pesantren.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
Keterlibatan pesantren memberi pengertian mengenai dampak lingkungan
hidup secara duniawi dan ukhrawi, merupakan peranan dan peran serta nyata
dalam pembinaan lingkungan hidup. Bila peranan itu mampu dilembagakan,
akan banyak berpengaruh positif di kalangan masyarakat sekelilingnya.
Mengingat posisi pesantren sebagai lembaga dakwah, berfungsi pula sebagai
titik sentral legitimasi keilmuan agama Islam bagi masyarakatnya, melalui
kegiatan pendidikan formal pesantren (yaitu madrasah) dan pengajian weton
maupun pengajian rutin yang melibatkan masyarakat di sekelilingnya.
Pendidikan itu dilakukan secara integratif ke dalam komponen-komponen
akidah, syari'ah dan akhlak. Namun diberikan atau dikenalkan dalam satu paket
ikhtiar peningkatan sarana keberhasilan sa'adatud darain. Faktor integratif yang
mengatur pola hubungan antar sesama di tengah-tengah masyarakat di dalam
menyumbangkan nilai-nilai kehidupan, juga merupakan peranan lain yang
mampu dilakukan oleh pesantren untuk mengembangkan dirinya dan
masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya pembinaan
lingkungan hidup.
Pesantren dengan fungsi dan peranannya seperti tadi, sarat dengan
pelbagai kegiatan edukatif mau pun pelayanan masyarakat. Sehingga untuk
diperansertakan dalam pembinaan lingkungan hidup, perlu adanya pola
pendekatan yang tidak mengganggu tugas-tugasnya. Lebih-lebih tidak akan
mengganggu identitas pesantren. Langkah awal yang perlu ditempuh, adalah
pengenalan masalah-masalah lingkungan hidup dan implikasinya terhadap
segala aspek kehidupan. Kemudian penumbuhan kesamaan wawasan
keagamaan yang berkait dengan lingkungan hidup yang mampu memotivasi
pesantren dalam mencari sendiri alternatif-alternatif pemecahannya sesuai
dengan potensi yang dimiliki.
Kesiapan pesantren untuk melakukan pembinaan lingkungan hidup sangat
mempengaruhi efektivitas kerja secara dinamis. Namun kesiapan itu akan
banyak tergantung pada wawasan dan potensinya. Sementara itu masih ada
pesantren yang berwawasan eksklusif di dalam mencerna ajaran Islam. Oleh
to user dimaksud, memerlukan pola
karenanya pengenalan dan commit
penumbuhan
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendekatan yang berorientasi pada kenyataan di masing-masing pesantren yang
berbeda-beda, dalam hal wawasan, potensi antisipasi ke depan maupun tenaga
ahli dan tenaga dukungnya.
Kemungkinan-kemungkinan
proyeksi
pesantren
pada
pembinaan
lingkungan hidup itu perlu perumusan matang. Apakah pesantren bertindak
sebagai penunjang atau pelengkap, ataukah sebagai motivator, dinamisator dan
fasilitator? Semuanya akan menuntut adanya program tertentu yang tentu akan
berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan status tersebut Di Indonesia
pondok pesantren bisa berkembang pesat berkat kerjasama dari lembaga-
lembaga Islam, salah satunya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU)
adalah suatu organisasi dengan keanggotaan yang diperkirakan lebih dari 35
juta orang, merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia
yang keberadaannya dipandang memiliki kekuatan, baik dalam organisasi
Islam maupun dalam gerakan Islam. NU didirikan pada tanggal 31 Januari
1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama terkemuka yang hampir seluruhnya
merupakan para pemimpin pondok pesantren dibawah pimpinan K.H. Hasyim
Asy’ari.
Tujuan didirikannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan Islam
tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren. Karena pada tahun 1920-an
banyak ulama yang merasa prihatin terhadap pesatnya perkembangan
modernisme Islam dan keberhasilannya menarik banyak umat Islam dari
wilayah ajaran dan praktek Islam tradisional. Dalam pondok pesantren NU
akan lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan
dan ekonomi, diantaranya dengan meningkatkan komunikasi antar ulama,
memperbaiki mutu sekolah-sekolah Islam, menyeleksi kitab-kitab yang
dipelajari di pesantren dan mendirikan badan-badan untuk membantu kegiatan
pertanian dan perdagangan umat Islam.
Pesantren menawari suatu model pendidikan yang tidak hanya sekadar
pendidikan sekuler tetapi juga pendidikan ilmu agama Islam. Bahkan ada
pesantren yang hanya menawari pendidikan ilmu agama Islam saja. Yang
to user
menarik di sini adalah bahwa commit
pendidikan
pesantren di Indonesia sama sekali
perpustakaan.uns.ac.id
33
digilib.uns.ac.id
belum testandardisasi secara kurikulumnya dan tidak terorganisir sebagai satu
jaringan pesantren Indonesia. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai
kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang
sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti.
Pondok pesantren di Jawa membentuk macam-macam jenis pondok
pesantren yang dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola
kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Hasyim (1998: 39)
memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam sebuah pesantren
antara lain, Kyai, masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka
menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1) Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan
dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling
esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah,
1999: 144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa
Jawa (Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai
untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan
bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, "kyai garuda
kencana" dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton
Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.
Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam
klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55).
Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai
spritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah
commit to
userjika mereka benar-benar menjadi
SWT). Jadi orang bisa dikatakan
Kyai,
perpustakaan.uns.ac.id
34
digilib.uns.ac.id
guru yang selalu memberikan ilmu pengetehuan agama dan moral (ahlak)
kepada santri-santinya. Seorang Kyai bukan hanya mengajar ilmu agama
saja, akan tetapi juga mengajarkan pola hidup yang sehat dan sederhana.
Kyai juga memiliki keahlian dan ketrampilan bermacam-macam. Ada
seorang Kyai yang khusus mengajar al-Qur’an, sehingga melahirkan
santri-santri penghafal al-Qur’an, begitu juga khusus Ilmu hadis. Memang
tidak menafikan bahwa pada realitasnya, banyak Kyai memiliki keahlian
pengobatan tradisional (alternative), yang Lazim disebut dengan (Tabib).
Ada juga yang memiliki keahlian ceramah dan menulis buku. Ada juga
yang menekuni bidang Ekonomi hingga menjadi Kyai Yang kaya Raya
(Konglomerat) sebagaimana Usman Ibn Affan dan Imam Abu Hanifah.
Ada juga Kyai yang Ahli Falak, Hisab (Astronomi), serta statistik,
metafisika. Ada juga Kyai yang menekuni bidang kepemimpinan dan
politik praktis hingga menjadi seorang menteri atau presiden. Dari sekian
keahlian dan ketrampilan sang Kyai, kebanyakan dari mereka mendalami
ilmu agama, seperti Fikih, hadist, tafsir, serta cabang-cabang ilmu agama
yang lain.
Kyai mengeluarkan untuk perannya baik di dalam maupun di luar
pondok pesantren tergantung pada prioritas setiap kyai. Misalnya, Pak
Kyai Hashim Muzadi, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang,
Jawa Timur, memprioritaskan peran dan tugasnya sebagai ketua NU
daripada perannya sebagai kyai. Oleh karena kesibukan dengan tugas di
luar pondok pesantren, dia jarang berada di PP Al Hikam, maka para Ustad
bertanggung jawab untuk mengajar dan mendidik santrinya. Namun
demikian, perannya di dalam masyarakat umum masih sangat penting.
Menurut K.H. Aslam, peran kyai dalam masyarakat umum adalah
“untuk membantu masyarakat dalam kepentingan baik tingkat moral
maupun material dan juga untuk memberikan input ke dalam
masyarakat.” Maka K.H. Aslam terlibat dalam macam-macam aspek
kehidupan masyarakat, terutama bidang politik dan keagamaan. Kegiatan
commit to user
K.H. Aslam tersebut menunjukkan
bahwa dia sejak dulu sudah seorang
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
yang mempunyai peran penting dalam masyarakat lokal. Sebelum diberi
gelar kyai, seorang harus sudah memainkan peran dalam urusan
masyarakat, dan peran tersebut memang tambah penting dan luas kalau
sudah menjadi kyai.
Salah satu peran kyai dalam pondok pesantren adalah untuk memberi
pengajian kepada santrinya. Pemberian pengajian tersebut juga merupakan
peran kyai di luar pondok pesantren. Perannya di luar pondok pesantren
dapat dilihat dari kegiatan-kegiatannya dalam bidang politik dan urusan
keagamaan masyarakat Muslim. Kyai di Jawa merupakan jaringan tokoh
masyarakat Indonesia yang sejak dulu memiliki peran penting, terutama
dalam bidang politik dan agama. Pendapat ini juga dimiliki Zamakhsyari
Dhofier (1985: 56) yang dalam penelitian mengenai pandangan hidup kyai,
Tradisi Pesantren, dia menyampaikan kesimpulan bahwa “sebagai suatu
kelompok, para kyai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat
Jawa yang merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik
Indonesia.”
2) Masjid
Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim.
Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut
musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan
pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari
besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering
dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut
memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga
kemiliteran.
Dalam konteks sejarah dakwah, masjid adalah tempat pertama yang
dibangun Rasulullah Muhammad SAW untuk menunjang aktivitas
dakwahnya. Pada saat itu, masjid adalah pusat segala kegiatan yang
terperinci ke dalam tiga fungsi. Yaitu fungsi religi, fungsi pendidikan, dan
commit
to user
fungsi sosial, pemberdayaan
serta pengembangan
ekonomi masyarakat.
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a.) Fungsi Religi, masjid adalah tempat orang bersujud mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah bersabda:
diantara sekian ibadah manusia kepada Tuhannya, sujud merupakan
momentum yang paling dekat dalam hubungan antara seorang hamba
dengan Tuhannya (aqrobu ‘abdin ilallahi wahuwa saajidun). Dalam
bingkai
sujud
inilah
seorang
hamba
biasanya
mengadukan
persoalannya, meminta, dan memohon ampunan-Nya.
b.) Fungsi kedua adalah fungsi pendidikan yaitu untuk mendekatkan
generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa
Arab
sering
sekali
dijadikan
pelajaran
di
beberapa
negara
berpenduduk muslim di daerah luar termasuk di dalam pondok
pesantren.
c.) Fungsi ketiga adalah fungsi sosial. Pada masa rasul, masjid adalah
pusat melakukan studi atas segala hal yang terjadi di masyarakat.
Jikalau ada satu jamaah saja yang sakit, maka jama'ah yang lain akan
segera mengetahui keadaannya. Dari masjid ini pula seluruh jama'ah
yang tidak mampu didata, kemudian dibantu dan diberdayakan secara
ekonomi. Maka tidak heran jika pada masa itu muncul para dermawan
seperti sahabat Abu Bakar dan Sayyidina Utsman yang memberikan
seluruh hartanya untuk membantu para fakir miskin jamaah masjid.
Pendidikan Islam dan masjid berkaitan sangat dekat dan erat dalam
tradisi Islam di seluruh dunia. Kaum muslimin selalu memanfaatkan
masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga
pendidikan Islam. Masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang
sangat penting di dalam masyarakat, misalnya sebagai pusat kehidupan
rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam. Dalam rangka pesantren,
masjid dianggap sebagai "tempat yang paling tepat untuk mendidik para
santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan
sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik" (Dhofier
1985: 49). Masjid di dalam dan diluar pondok pesantren tidak jauh beda
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
berdasarkan fungsinya, hanya saja masjid di dalam pondok pesantren lebih
diprioritaskan untuk kegiatan para santri dalam menunutut ilmu.
3) Santri
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di
pondok pesantren. Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam
perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahaptahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang
untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah
seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai
membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan
santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap
dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai
mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari
daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi
pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam
pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu,
kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh
merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh citacita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52).
Orang-orang santri ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini
dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah),
ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan
seterusnya. Identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena
telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk
mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007). Meskipun pencitraan ini realistis,
namun ada kesan inferioritas di sana, sebab pencitraan seperti di atas, juga
disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan klenik, berbau
commit anti-modernitas.
to user
kuno/klasik, dan seolah-olah
Banyak orang yang
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengaitkan pesantren dengan hal-hal yang berlandaskan keyakinan mistis,
takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.
Peran santri dalam masyarakat menurut Azyumardi Azra (2001:80),
santri memainkan peran penting dalam kecenderungan islamisasi atau reislamisasi di kalangan umat Islam Indonesia. Proses ‘kebangkitan Islam’
ini diindikasikan oleh bertambahnya jumlah masjid dan tempat ibadah
lainnya di Indonesia, pertumbuhan jumlah orang yang pergi haji ke Arab
Saudi, dan berdirinya organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Islam
baru, seperti Bank Islam dan Asuransi Islam. Istilah selain dari
kebangkitan Islam yang sering dipakai di Indonesia untuk menggambarkan
kecenderungan tersebut adalah ‘santrinisasi’.
Proses santrinisasi adalah santri yang mengalami re-islamisasi
selama pendidikannya di pesantren karena proses penanaman ajaran dan
praktik-praktik Islam lebih intens di lingkungan sistem pendidikan
pesantren daripada sistem pendidikan lain. Menurut teori Azyumardi Azra
(2001: 80), santri bahkan mengajarkan kepada orangtua mereka yang
acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam. Umumnya orang tua
merasa malu akibat ketidaktahuan mereka mengenai ajaran dan praktik
Islam tertentu kepada anak-anaknya sehingga mereka mulai mempelajari
Islam.
Para santri dididik supaya memiliki keterampilan kemandirian dan
menghayati tugasnya serta perannya menurut ajaran Islam di dalam
masyarakat sebagai perempuan, Ibu, isteri, tetangga, pekerja dan seorang
alim. Pada saat pulang kampung, santri-santri membawa ilmu barunya ke
rumah dan berbagi pengalamannya kepada orang tuanya, saudaranya dan
temannya tentang apa yang mereka lakukan di pondok dan apa yang
pernah dipelajari. Peran santri dalam proses kebangkitan Islam sangatlah
penting, karena beberapa macam fakta lain seperti keadaan politik di
Indonesia dan di arena internasional yang mempengaruhi perkembangan
agama Islam di Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
4) Pondok
Definisi singkat istilah 'pondok' adalah tempat sederhana yang
merupakan tempat tinggal kyai bersama pars santrinya (Hasbullah, 1999:
142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya
pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai
pondok yang memiliki tanah yang lugs dengan jumlah santri lebih dari tiga
ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita
selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari
asrama santri clan rumah kyai, termasuk perumahan ustadz, gedung
madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau
lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh
kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk
mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu manfaat pondok selain dari yang digunakan sebagai
tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi, santri untuk
mengembangkan keterampilan kemandiriannya agar mereka slap hidup
mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus
memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti
memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang
membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam
lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau
atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985: 45).
5) Kitab-Kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk
pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan
Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering
disebut kitab kuning oleh karena warm kertas, edisi-edisi kitab kebanyakan
commit to user
berwarna kuning.
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Dhofier (1985: 50), "pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan
dalam lingkungan pesantren." Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah
mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga
penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam
klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai
dengan kitab-kitab. yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitabkitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui
dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999: 144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam
kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1. Nahwu dan shorof (morfologi);
2. Fiqh; 3. Ushul fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawwuf dan
etika; dan 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis
kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya,
misalnya: tingkat dasar, menengah clan lanjut. Kitab yang diajarkan di
pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).
1.) Nahwu dan shorof (morfologi)
Nahwu adalah kaidah-kaidah Bahasa Arab untuk mengetahui
bentuk kata dan keadaan-keadaannya ketika masih satu kata (Mufrod)
atau ketika sudah tersusun (Murokkab). Termasuk didalamnya adalah
pembahasan Shorof. Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu
yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya
ketika mufrodnya.
2.) Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti paham. Sedangkan menurut istilah
Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalildalilnya yang terperinci, maksudnya bahwa satu persatu dalil
menunjuk kepada suatu hukum tertentu. Semua hukum yang terdapat
dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
commit to user
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan
menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama
bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu
permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab
Allah guna mencari hukumnya.
b. AS-SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan. As-Sunnah adalah sumber
kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari
suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada
as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan
hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi
dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas
al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti
perintah shalat bagaimana tatacaranya yang terdapat dalam asSunnah. Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian
hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti
pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
c. IJMA’
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat
Muhammad SAW atas suatu hukum syar’i dan beramal dengan
apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Ijma’
merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan
didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal
yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai
oleh para ulama muslimin. Apabila sudah, maka wajib bagi kita
mengambilnya dan beramal dengannya.
commit to user
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. QIYAS
Qiyas adalah mencocokan perkara yang tidak didapatkan
didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas
yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan
antarkeduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’apabila kita tidak
mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan.
Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as
Sunnah dan Ijma’. Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil),
2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada
dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang
diqiyaskan.
3.) Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh yaitu dalil-dalil bagi hukum syara'
mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum
bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalildalilnya yang terperinci. Adapun ilmu-ilmu dalam Ushul Fiqh, antara
lain:
1.
Dalil-dalil syarak: merangkumi dalil-dalil yang disepakati
dan dalil-dalil yang tidak disepakati.
2.
Dilalah: merangkumi kaedah-kaedah istinbat hukum dari nasnas Al-Quran dan As-Sunnah.
3.
Ta'arudh dan Tarjih: perbahasan tantang percanggahan antara
dalil-dalil serta Jalan jalan penyelesaiannya.
4.
Ijtihad dan Mujtahid: merangkumi persoalan taqlid dan
muqallid.
5.
Hukum-hukum Kulli: merangkumi hukum-hukum taklifi dan
hukum wad'ie.
commit to user
43
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.) Hadist
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan
dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum
dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah AlQur'an. Ada banyak ulama periwayat hadits, yakni Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad,
Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
5.) Tafsir
Pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan
maknanya serta hikmah-hikmahnya. Tafsir merupakan sebuah kata
yang dengannya kita mampu menjelaskan segala sesuatu, baik yang
belum jelas, kurang jelas, tidak jelas, maupun yang sudah jelas agar
lebih jelas untuk memudahkan dan menambah pemahaman dalam
perenungan
sesuatu,
sehingga
semakin
mendekatkan
pada
penghayatan.
6.) Tauhid
Tauhid diambil kata : Wahhada-Yuwahhidu-Tauhidan yang
artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti
satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu
berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat
La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. ( alBaqarah 163 Muhammad 19 ).
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan
norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama
tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan
commit to user
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan muwahhidin ( yang
memperjuangkan tauhid ).
Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah,
uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi
syirik merupakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah
diikrarkan oleh seorang muslim.
a. Rububiyah
Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang
memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara,
memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta
menjaga seluruh Alam Semesta.
b. Uluhiyah/Ibadah
Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah,
tidak ada sekutu bangi-Nya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan
keadilan.”
c. Asma wa Sifat
Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul
husna) yang sesuai dengan keagungan-Nya. Umat Islam mengenal
99 asma’ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah.
7.) Tasawwuh
Tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin
dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya
senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
8.) Tarikh
Tarikh
adalah
peraturan
atau
ketentuan-ketentuan
yang
ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw
untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturanuser perbuatan (ketentuan-ketentuan
aturan yang berkaitan commit
dengan to
aqidah),
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak
(tentang nilai baik dan buruk).
9.) Balaghah
Balaghah ialah menyampaikan makna yang agung secara jelas
dengan menggunakan kata-kata yang benar dan fasih, yang memiliki
kesan dalam hati dan cukup menarik, serta sesuai setiap kalimatnya
kepada kondisi atau situasi sekaligus orang-orang yang diajak bicara.
b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat
kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum
Indonesia dijajah Belanda karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang
dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang
membawa kemajuan teknologi ke Indonesia clan memperkenalkan sistem dan
metode pendidikan barn. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan
kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia,
yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat
kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.
Pada
tahun
1882
pemerintah
Belanda
mendirikan
Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun
1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar hares
mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat
pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran
mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat
memberantas, dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah (Dhofier, 1985: 41).
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan
commit topendidikan
user
pemerintah penjajahan Belanda terhadap
Islam di Indonesia. Namun
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa
kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949,
pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluasluasnya dan membuka secara lugs jabatan-jabatan dalam administrasi modem bagi
bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak
kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan
Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu
tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak
muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum, yang baru saja diperluas.
Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil yang berhenti, dikarenakan
santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985: 41).
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan
pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI,
memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan clan
pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup
pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya clan
pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997: 150) bahwa jiwa
Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia.
Menurut Laporan Departemen Agama RI di Jawa tahun 2004 mencatat
jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam
Tabel 1.
Tabel 1: Jumlah Pesantren, Madrasah dan Santri di Jawa
pada tahun 2009 (Laporan Departemen Agama RI)
Propinsi Daerah
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jumlah Pesantren
Dan Madrasah
Jumlah Santri
87
20.050
4.320
564.150
2.572
commit to user
388.968
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tawa Timur
4.402
1.114.155
Jumlah:
11.381
2.087.323
Tabel 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1990
(Laporan Departemen Agama RI)
Propinsi Daerah
Jakarta
Jumlah
Pesantren
27
Jumlah
Santri
15.767
2.237
305.74
Jawa Tengah
430
7
65.070
Tawa Timur
1.051
290.79
3.745
0
677.37
Jawa Barat
Jumlah:
4
Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa
kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali.
Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada
tahun 2009 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa
sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh
masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat
dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi
Sekolah Tinggi Agama 'Islam Negeri (STAIN), namun secara lugs, kekuatan
pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985: 20).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa pesantren sanggup bertahan dan
berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan clan kesulitan yang
dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI. Hal ini dikarenakan
sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang
karena siap menyesuaikan dan memodernkan tergantung pada keadaan yang
sebenarnya
ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah
mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial,
commit to user
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat
umum.
6.
Pendidikan Pondok Pesantren
Dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia
Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan
kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama
(tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan di pesantren
ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa
arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan
bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat
yang bergerak pada wilayah dan domain pendidikan hati yang lebih menekankan
pada aspek “afektif pendidikan “ atau “attitude pendidikan” . Namun sebagian
yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan
dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara
integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attutude) maupun psikomotorik (skill)
Pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian
integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam
mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, pesantren tetap survive bahkan
beberapa diantaranya muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan
masalah-masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren
Pabelan di Magelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Pemecahan masalah-masalah sosial masyarakat desa tersebut, antara lain:
1)
Masalah pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan
positif dan bukannya negatif.
2)
Masalah inflasi
Inflasi adalah indikator pergerakan harga-harga barang dan jasa secara
umum, yang secara bersamaan juga berkaitan dengan kemampuan daya beli.
commit
to user
Inflasi mencerminkan stabilitas
harga,
semakin rendah nilai suatu inflasi
perpustakaan.uns.ac.id
49
digilib.uns.ac.id
berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Inflasi
juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyaraka.
Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi
sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan
kenaikan upah riil.
3)
Masalah pengangguran
Masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan
khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara
berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran
karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk dari
faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Efektifitas pesantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk
karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat
belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gus Dur
pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut
memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu-ibu rumah tangga di
desa-desa lingkungan pesantren, dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi
pembentukan pandangan, nilai nilai, dan sikap hidup bersama dimasyarakat.
Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi
juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup di
masyarakat.
Pondok Pesantren mencoba memecahkan permasalahan sosial dengan
menggunakan caranya sendiri. Pesantren tidak menggunakan teori pembanguan
seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan
pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman
keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup
masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan-keunggulan itu sesunggunhnya
merupakan kekayaan Bangsa ini yang mendapat dukungan yang lebih signifikan
dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak
commit
user berharga bagi perbaikan bangsa
mungkin ia akan menjadi mutiara
yang to
sangat
perpustakaan.uns.ac.id
50
digilib.uns.ac.id
Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia
pesantren dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat,
tentu tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan
terbebas dari berbagai kelemahan. Para pakar pendidikan mencatat beberapa
kelemahan mendasar, antara lain :
1. Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi, dan tujuan
pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang
jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat
alamiyah.
2. System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga
acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak
perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu
ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada
posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat
orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah,
kaki satunya melayang layang di udara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu
resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari
tangga terbawah. Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan
variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa
fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman pengetahuan
tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian / budi
pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial.
Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar mengajar, konsep
tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang terjadi di
pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi sekeder transfer
ilmu pengetahuan.
Meskipun di pondok pesantren santri lebih mengutamakan capaian
commit
to user
substansial keilmuannya ketimbang
capaian-capaian
formal, akan tetapi tetap ada
perpustakaan.uns.ac.id
51
digilib.uns.ac.id
tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning,
yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap
teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau
bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah
dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik
merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan
dalam rangka menjawab berbagai tantangan global.
Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi yang tidak
sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah
sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu),
melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah
sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi
bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari ”bawah”,
melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”.
Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar
dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan
segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang
mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi
spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan
kerohanian (riyadhah) secara intensif dan benar.
Dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang
murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa
uluran tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada
Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi
demikian signifikan dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan
bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan
sebujur mayat ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan
melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di
jaman serba canggih ini.
Di pesantren lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami
user
dan menalar ilmu-ilmu itu, diakuicommit
bahwatokemampuan
mengingat dan menghafal
perpustakaan.uns.ac.id
52
digilib.uns.ac.id
bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan
menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan, maka dengan sendirinya santri
menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses
pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada proses pendalaman,
pemahaman dan kajian. Apabila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya
tahafudz.
Pendidikan di pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika
pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan
kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang
cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya
system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada Education
For The Brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya
hampir bisa dipastikan akan menghasilkan Over Educated Society, semakin
banyaknya pengangguran elit intelektual, misalnya dalam tehnik tapi merayap
dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati
kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya.
Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik
untuk memainkan peran sebagai :
1. Lembaga pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik,
pragmatik, idealistik dan realistik.
2. Pusat rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan
psikologi spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3. Sebagai pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni
Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan
Spiritual (SQ).
Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok
pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran serta
memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan
tumbuhnya pendidikan Islam. Lembaga pendidikan yang mengajarkan agama
Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang
user ini. Pada masa awal berdirinya
semenjak masa awal kedatangan commit
Islam ditonegeri
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian Al-Qur’an dan
tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah
ustadz.
Secara mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar
keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya
masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan
bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai
sektor yang terpisah. Sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat
dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan
sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta
diperhatikan nasehat-nasehatnya.
Pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi
santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan
lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan
pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana telah dijelaskan atau dideskripsikan pada pembahasan
sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan
tempat tercapainya suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni tercapainya tujuan
pembangunan nasional bidang pendidikan. Secara realistis banyak kalangan
menilai bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di Tanah Air ini masih belum
mampu mengantarkan tercapainya pendidikan Islam, yaitu membangun manusia
Indonesia seutuhnya.
Terbukti semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi pengedaran
narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik
dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada separatisme,
rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasiindikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah
pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam menanggapi
sistem pendidikan yang ada di Tanah Air ini dan dituntut adanya penyikapan yang
arif dan bijaksana.
commit to user
54
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7.
Sosial Budaya Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri-ciri:
1.
Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiai,
2.
Santri taat dan patuh kepada kiainya,
3.
Para santri hidup secara mandiri dan sederhana,
4.
Adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan, dan
5.
Diajarkannya kitab-kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama.
Sementara secara fisik pesantren minimalnya mempunyai sarana dasar
berupa, masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan
keluarganya, pondok sebagai tempat tinggal para santri dan ruangan-ruangan
untuk belajar.
Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat
unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda walaupun
tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya ini terutama dibuat dari fakta
lingkungan pondok yang sangat terbatas, sifat kyai dan sifat para santri. Oleh
karena lingkungan pondok sangat terbatas dan banyak waktu harus dilewatkan di
dalam satu tempat itu, maka harus ada kehormatan dan kesabaran yang tinggi
sekali. Santri-santri harus bisa bekerja sama dan saling paham untuk menciptakan
suasana yang tenang dan cocok untuk belajar dan beribadah.
Kegiatan-kegiatan dasar yang memenuhi hari-hari para santri pada
umumnya bisa dikelompokkan ke dalam empat bagian, yaitu:
1.
Kegiatan pribadi, misalnya mandi, mencuci pakaian, membersihkan
kamar, makan, membaca, mengobrol dengan teman, dan istirihat;
2.
Kegiatan belajar, termasuk waktu belajar di kelas, mengaji di musholla dan
mengerjakan PR atau belajar sendiri;
3.
Kegiatan sembahyang; dan
4.
Kegiatan ekstrakurikuler, misalnya olahraga yang dilakukan dua kali
seminggu, pramuka, kesenian atau tugas-tugas sebagai ketua bagian
Pondok Pesantren
Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilihat di jadwal harian dasar santri di
commit to user
bawah:
perpustakaan.uns.ac.id
55
digilib.uns.ac.id
Jadwal Harian Dasar Santri
4.15 – bangun, wudlu
4.30 – salat Subuh
4.40 – pengajian dipimpin Pak Kyai
5.30 – mandi, membersihkan kamar…dll
6.15 – sarapan
6.45 – masuk ruang kelas
7.00 – masuk kelas pertama
12.00 – kelas terakhir selesai
12.15 – wudlu
12.30 – salat Dhuhur
12.45 – makan siang
13.00 – kelas
13.45 – waktu bebas/belajar
15.00 – salat Ashar
15.15 – pengajian
16.00 – kegiatan ekstrakurikuler
17.00 – mandi, wudlu…dll
17.30 – salat Maghrib
17.45 – pengajian
19.00 – salat Ishya
19.30 – makan malam
19.45 – waktu bebas/belajar
22.00 – tidur
Salah satu aspek kehidupan sehari-hari para santri adalah ketidak
perluannya untuk diawasi atau dikelola oleh para guru atau kyai. Tentu saja
kadang terjadi kasus spesifik di mana kyai perlu ikut campur, tetapi pada
umumnya kedisiplinan para santri di Pondok Pesantren sangat tinggi sehingga
sorang santri mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia sudah kerjakan.
Ada dua alasan bagi para santri untuk mengelola sendiri kegiatan seharicommit
to user
harinya. Pertama, peraturan-peraturan
pondok
dan jadwal sehari-hari yang sangat
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketat berarti santri cuma tinggal ikut kegiatan-kegiatan yang dimasukkan jadwal
untuk hari tertentu. Kedua, pelajaran ketrampilan kepemimpinan yang
diperkenalkan lewat Organisasi Santri Pondok Pesantren ( OSPP ). OSPP terdiri
dari bagian-bagian yang perlu dikelola dalam kehidupan sehari-hari di pondok
seperti administrasi, keamanan, kegiatan olahraga dan lain-lain. Lewat OSPP
santri diberikan kesempatan untuk menjadi ketua salah satu bagian OSPP dan
mengalami sendiri seperti apa tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin.
Dengan adanya santri sebagai pemimpin, rasa saling hormat di antara anak kelas
bawah dan anak kelas atas harus tinggi.
Aspek lain kehidupan sehari-hari bagi para santri di Pondok Pesantren
adalah kurang banyak keragaman dalam kegiatan yang bisa dilakukan selama
waktu istirihat tersebut dan kurang banyak kesempatan untuk bergaul dengan
orang dari luar pondok. Maksud tersebut adalah jika santri tidak lagi mandi,
makan, membersih-bersihkan atau sholat, biasanya mereka baru belajar. Dan
kalau tidak ada tamu yang datang ke pondok untuk bertemu dengan para santri,
selama mereka menetap di pondok, mereka tidak pernah akan bergaul dengan
orang selain santri-santri lain, para Ustad dan keluarga Kyai.
Di dalam pondok pesantren, kegiatan hiburan bagi santri sangat terbatas.
Mereka bisa membaca majalah dan buku yang dibawah dari rumah,
mendengarkan musik dan radio, mengobrol dengan temannya, maupun menonton
televise diakhir minggu. Dibandingkan dengan pemuda-pemudi yang tinggal di
luar pondok pesantren yang menikmati kehidupan yang lebih bebas di mana ada
televisi, mainan komputer, internet, bioskop, museum, tempat wisata seperti
taman rekreasi, mall dan kesempatan untuk jalan-jalan.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan penulis
adalah sebagai berikut.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Setya Prihatin tahun 2009. Novel Laskar
Pelangi (Analisis Struktur, Resepsi
commitPembaca,
to user dan Nilai Pendidikan ). Hasil
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian ini memaparkan unsur- unsur struktural dalam novel Laskar Pelangi
serta tanggapan pembaca tentang novel Laskar pelangi sehingga dapat
dijadikan bahan pemikiran peneliti dalam pemilihan novel Laskar Pelangi
sebagai materi ajar.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Moh Erfan Taufik Hadi tahun 2010. Analisis
novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ( tinjauan sosiologi sastra ). Hasil
penelitian ini adalah maslah sosial dari novel Laskar Pelangi sefta tanggapan
pembaca mengenai novel Laskar Pelangi. Dari penelitian ini penulis
mendapatkan gambaran mengenai tanggaan komunitas pembaca terhadap
novel tersebut sehingga penulis menjadikan novel ini sebaagai materi
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas VII.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Rahman 2007. Analisis novel Novel Geni
Jora Karya Abidah El Khalieqy( tinjauan sosiologi sastra ). Hasil penelitian
ini adalah masalah sosial dari novel Novel Geni Jora Karya Abidah El
Khalieqy.
C. Kerangka Berpikir
Novel sebagai salah satu kajian dari karya sastra yang merupakan hasil
rekaan yang mengutamakan perasaan dan keindahan. Walaupun rekaan tetapi
novel tidak lepas dari kenyataan sosial, baik yang dilihat maupun yang dialami
sendiri oleh pengarang.
Novel
yang
berjudul
Geni
Jora
karya
Abidah
El
Khalieqy
mengungkapkan realitas sosial dan budaya yang berlaku, serta konflik-konflik
yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam kehidupan khususnya dalam
pesantren perempuan.
Bertolak dari hal di atas, maka penulis bermaksud menelaah novel Geni
Jora karya Abidah El Khalieqy dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Pendeskripsian bagaimana cara pengarang mengangkat masalah dalam novel dan
dihubungkan dengan keadaan sosial setempat. Dalam novel Geni Jora karya
commit to user
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Abidah El Khalieqy menggambarkan keterkaitan tokoh dengan pondok, tokoh
dengan kyai, dan tokoh dengan aturan-aturan di dalam Pondok Pesantren.
Pemilihan novel Geni Jora sebagai bahan kajian dilatar belakangi oleh
adanya keinginan untuk memahami aspek-aspek sosial budaya pesantren. Dengan
sosiologi sastra akan dapat diketahui seberapa jauh peran Kejora dalam Novel
Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dalam hal menyikapi keadaan sosial di
dalam Pondok Pesantren.
commit to user
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara sistematis kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat ada
bagan di bawah ini :
Novel Geni Jora Karya
Abidah El Khalieqy
Aspek sosial budaya dalam
Tanggapan Pembaca
novel Geni Jora
terhadap novel Geni
Jora
Kedudukan
Kedudukan
Kyai
Pondok Pesantren
sebagai
dalam Novel Geni
Nilai Sosial Budaya
Pesantren
Jora
dalam Novel Geni
Novel Geni Jora
Pembawa
Masjid
dan
Masyarakat
Pondok
dalam
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
commit to user
Santri, Kyai, dan
Pesantren
dalam Novel geni
Jora
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini tidak terikat oleh tempat karena merupakan studi kepustakaan.
Penelitian ini bukan merupakan penelitian lapangan yang statis, melainkan
analisis yang dinamis. Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu bulan
Desember sampai
Juni. Objek penelitian ini adalah Novel Geni Jora karya
Abidah El Khaliqy yang berjumlah 222 halaman yang diterbitkan Yogyakarta
pada tahun 2004. Rincian waktu dan jenis kegiatan dapat dilihat pada Tabel 2
berikut ini
Tabel 2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
BULAN
Jenis Kegiatan
Rincian Waktu
DES
1. Pengajuan judul
xx--
2. Penyusunan proposal
JAN
FEB
xx--
--xx
3. pengumpulan data
MAR
APRIL
--xx
x---
4. Analisisis data
5.Penyusunan
-xx
laporan
MEI JUNI
xx--
xx--
--xx
xxxx
Skripsi
B. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Dalam hal ini
peneliti mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai faktafakta dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Menurut Bogdan dan Taylor
yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2004: 3) “Metode kualitatif adalah sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”
commit to user
60
61
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Data dari hasil analisis penelitian deskriptif berbentuk deskriptif, fenomena,
bukan berupa angka-angka atau hubungan antara variabel. Dari penelitian tersebut
peneliti memperoleh data dari hasil yang berlatang belakang ilmiah. Penelitian ini
akan menghasilkan data berupa kata-kata tertentu atau lisan dari objek penelitian
dengan menggambarkan atau melukiskan yang sebenarnya.
C. Bentuk dan Strategi Penelitian
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khususnya yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong,
2007: 6).
Dengan definisi-definisi tentang penelitian kualitatif di atas, maka bentuk
penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian deskriptif adalah penelitian
yang berusaha mendeskrifsikan atau menggambarkan melukiskan fenomena atau
hubungan antar fenomena yang diteliti dengan sistematis, faktual, dan akurat .
Strategi penelitian adalah analisis isi ( Content Analysis). Analisis isi
digunakan untuk mengungkapkan makna dari novel Geni Jora karya Abidah El
Khaliqy serta data tentang penciptaan novel Geni Jora yang diambil melalui
wawancara langsung dengan penulis novel Geni Jora
D. Sumber Data
Menurut Lofland yang di kutip oleh lexy J. Moleong (2004: 112)
mengemukakan bahwa “ Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah
kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lainnya”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata
dan tindakan dari orang-orang yang diamati atau diwawancara merupakan sumber
utama, sedangkan dokumen dan lain-lainnya merupakan data tambahan.
commit to user
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah:
1.
Dokumen, Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy ini didalamnya terdapat
beberapa masalah sosial budaya dalam pesantren yang saling berhubungan
dan berkaiatan antara satu dengan yang lainnya. Buku ini berjumlah 222
halaman yang diterbitkan Yogyakarta pada tahun 2004.
2. Informan, yaitu hasil wawancara berisi pendapat para pembaca mengenai
Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy. Pembaca yang diwawancarai oleh
peneliti adalah dosen bahasa dan sastra indonesia serta pembaca yaitu
mahasiswa.
E. Teknik Sampling
Teknik yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel yang
pemilikannya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang di pandang
mempunyai sangkut paut yang erat dengan tujuan penelitian. Purposive Sampling
adalah pengambilan data yang dilakukan dengan cara memilih informan yang
dianggap mengetahui informasi dan masalahannya secara mendalam dan dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (H.B Sutopo, 2002: 56).
Teknik ini peneliti pergunakan dengan tujuan agar diperoleh data-data yang tepat
dan akurat, sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Sampel dalam penelitian
ini adalah Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy yang menceritakan beberapa
masalah sosial budaya dalam pesantren. Dalam hal ini peneliti menentukan
sampel yang sudah membaca novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy dengan
cara memilih pambaca dengan latar belakang yang berbeda.
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Dokumen
Analisis isi digunakan untuk mengungkapkan kehidupan pesntren dalam
novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy. Dokumen yang dipakai adalah
novel novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy.
commit to user
63
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Wawancara
Teknik ini dipakai peneliti untuk mendapatkan hasil wawancara berisi
pendapat para pembaca mengenai novel Geni Jora. Pembaca yang
diwawancarai peneliti adalah Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd selaku pembaca dan
juga sastrawan, Sri hastuti S. S., M. Pd., selaku dosen bahasa Indonesia, Yulia
dan Kartika, selaku mahasiswa .
G. Validitas Data
Sebuah data diperoleh, selanjutnya data diperiksa keabsahannya, melalui
teknik triangulasi. Peneliti dalam menentukan keabsahan data menggunakan
triangulasi. Menurut Lexy J. Moleong (1994: 178), triangulasi merupakan teknik
pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi sebagai pembanding atau mengecek
terhadap data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari data itu.
Selanjutnya menurut Patton dalam H.B Sutopo ( 2002 : 78 ) menyatakan
bahwa “Ada empat macam teknik trianggulasi yaitu trianggulasi data, trianggulasi
peneliti, trianggulasi metodologis,dan trianggulasi teoritis.”
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Trianggulasi data (data triangulation) atau tringgulasi sumber adalah
penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk
mengumpulkan data yang sejenis.
2.
Trianggulasi peneliti (investigator triangulation) yang dimaksudkan dengan
cara trianggulasi ini adalah hasil penelitian baik data maupun simpulan
mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari
beberapa peneliti.
3.
Trianngulasi metodologis (methodological triangulation) jenis trianggulasi
ini bisa dilakukan oleh seseorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis
tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang
berbeda.
4.
Trianggulasi teoritis (theorical triangulation) trianggulasi ini digunakan oleh
peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam
membahas permasalahan yang dikaji.
commit to user
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi sumber data dan trianggulasi
metode. Trianggulasi sumber data dengan mengumpulkan data yang sama dengan
tujuan untuk memberikan kebenaran dan memperoleh kepercayaan terhadap data
yang diperoleh dari sumber yang berbeda, dimana data yang satu akan dikontrol
dengan dengan sumber data yang sama pada situasi yang berbeda.
Trianggulasi metode digunakan untuk mengumpulkan data sejenis dengan
menggunakan berbagai metode yang berbeda yaitu melalui wawancara dengan
Dosen Bahasa Indonesia yaitu Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd, Sri hastuti S. S., M.
Pd dan Mahasiswa yaitu Yulia dan Kartika, maupun dokumen yaitu Novel Geni
Jora karya Abidah El Khaliqy
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis yaitu analisis interaktif.
Analisis interaktif yaitu interaksi dari tiga komponen utama. Namun, dalam
penelitian ini peneliti tetap menggunakan empat komponen yaitu proses
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data sampai dengan penarikan
kesimpulan, vertifikasinya yang dilakukan selama proses pengumpulan data
berlangsung. Menurut Miles dan Huberman seperti yang dikutip oleh H.B Sutopo
(2002:72) keempat komponen tersebut adalah:
1. Pengumpulan data, langkah pengumpulan data ini sesuai dengan teknik
pengumpulan data-data yang telah diuraikan di atas, yang terdiri dari
wawancara, observasi analisis dokumen. Pengumpulan data dilakukan selama
data yang diperlukan belum memadai dan akan dihentikan apabila data yang
diperlukan telah memadai dalam penagambilan kesimpulan.
2. Reduksi data, merupakan bagian analisis yang berlangsung terus-menerus
selama kegiatan penelitian bahkan sebelum data benar-benar terkumpul
artinya sebelum data terkumpul secara keseluruhan, proses analis data sudah
dilakukan. Menurut Lexy J. Moleong (2005: 247) “Reduksi data dilakukan
dengan
melakukan
abstraksi.
Abstraksi
merupakan
usaha
membuat
rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada di dalamnya.” Dengan demikian reduksi data
merupakan
bentuk
analisiscommit
yangto user
menajamkan,
menggolongkan
dan
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisir data
sehingga dapat diambil kesimpulan akhir.
3. Penyajian data, untuk menghindari kesulitan dalam melakukan penarikan
kesimpulan, data yang sudah terkumpul perlu disajikan dalam bentuk-bentuk
tertentu guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk terpadu.
Penyajian data juga dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menyusun
sekumpulan informasi yang telah diperoleh di lapangan, untuk kemudian data
tersebut disajikan secara jelas dan sistematis sehingga akan memudahkan
peneliti dalam memahami dan menginterpretasikan apa yang terjadi dan apa
yang seharusnya dilakukan tersebut dengan teori-teori yang relevan.
4. Penarikan simpulan, kegiatan analisis terakhir adalah penarikan kesimpulan
yang merupakan analisis rangkaian data yang berupa gejala kasus yang
terdapat di lapangan. Penarikan kesimpulan bukanlah langkah final dari suatu
analisis karena kesimpulan tersebut masih perlu diveritifikasi. Apabila
kesimpulan yang telah diambil ternyata belum diperoleh data yang valid,
maka proses analisis diulang kembali sampai sampai diperoleh data yang
benar-benar akurat, cocok dan kokoh sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Kegiatan-kegaitan tersebut di atas dapat ditunjukan dengan bagan sebagai
berikut :
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan dan
Verifikasi
Gambar 2. Komponen- komponen Analisis Data Model Interaktif ( H.B. Sutopo
commit
user
2002:to96)
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I. Prosedur Penelitian
Untuk mempermudah penulisan Laporan Penelitian, maka perlu ditetapkan
prosedur penelitian yang sistematis. Prosedur penelitian merupakan langkahlangkah yang dilaksanakan dari penelitian dari awal sampai akhir. Dalam
penelitian ini menggunakan beberapa tahap yaitu :
1.
Tahap persiapan, merupakan tahap pengumpulan bahan informasi dan teori
yang dapat mendukung perumusan masalah. Tahap ini dimulai dari
pembuatan rancangan penelitian, pemilihan lokasi, mengurusi perijinan dan
persiapan pelaksanaan teknis.
2.
Tahap pelaksanaan, didasarkan pada tujuan yang akan dicapai, dimulai dari
mnegadakan observasi, survey sampai dengan pengumpulan data di
lapangan.
3.
Tahap analisis, untuk analisis awal penelitian dilakukan sejak pengumpulan
data di lapangan, sedangkan analisis akhir dilakukan setelah penggalian data
dianggap cukup mendukung maksud dan tujuan penelitian. Tahap analisis
merupakan tahap dalam penarikan kesimpulan.
4.
Tahap penulisan laporan penelitian, merupakan tahap akhir di mana peneliti
mulai menyusun hasil laporan yang telah disusun secara rapi dilanjutkan
dengan penggadaan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
Untuk lebih memudahkan penelitian dalam melangkah peneliti sajikan
skematis prosedur penelitian :
commit to user
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Proposal
Pengumpulan
Data dan
Analisis awal
Analisis
Akhir
Persiapan
Pelaksanaan
Penarikan
Kesimpulan
Penulisan
Laporan
Perbanyak
Laporan
Gambar 3: Skema Prosedur Penelitian
Sumber : Hurber dan Milles dalam Soetardi (2002:25)
commit to user
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Aspek Sosial Budaya Pesantren yang Terdapat dalam Novel Geni Jora
Pendekatan sosiologi sastra merupakan salah satu pendekatan sastra
yang
mengkhususkan
diri
dalam
menelaah
karya
satra
dengan
mempertimbangkan segi- segi sosial kemasyarakatan. Salah satu yang sering
dikaji dalam sosiologi sastra adalah dinamika masyarakat di dalamnya, salah
satunya adalah permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
Masalah sosial adalah ketidak sesuaian antara unsur- unsur kebudayaan atau
masyarakat,
yang
membahayakan
kehidupan
kelompok
sosial
atau
menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga sosial tersebut sehingga
meyebabkan kepincangan sosial.
Masalah sosial budaya muncul akibat terjadinya perbedaan yang
mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Dengan
bahasa yang lebih sederhana, masalah sosial adalah gejala- gejala sosial yang
tidak sesuai antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi. Masalah
social satu akan menjadi pangkal dan menyebakan timbulnya beberapa
masalah sosial yang lain. Pangkal sebab itulah yang harus diteliti untuk dicari
solusinya.
Ini jugalah yang kemudian menjadi keresahan bagi beberapa penulis
wanita di Indonesia. Abidah El Khalieqy dengan novel Geni Jora membidik
tema ini dan mulai menulis untuk menemukan satu jalan sebagai usahanya
melawan budaya patriarki yang telah berakar kuat terutama bagi para
perempuan di Indonesia. Pada novel Geni Jora, Abidah menggunakan latar
pondok pesantren sebagai setting tempatnya yang disempurnakan dengan
suasana dan kondisi pesantren serta kebiasaan yang biasa dilakukan di pondok
pesantren. Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy ini di dalamnya terdapat
beberapa masalah sosial budaya dalam pesantren yang saling berhubungan
commit
to user
dan berkaiatan antara satu dengan
yang
lainnya. Muara atau dasar dari semua
68
perpustakaan.uns.ac.id
69
digilib.uns.ac.id
masalah sosial budaya yang timbul dalam novel ini adalah lingkungan
pesantren yang ketat dengan segala peraturan serta hubungan sosial para santri
yang kesemuanya adalah perempuan.
Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat
unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda
walaupun tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya ini terutama dibuat dari
fakta lingkungan pondok yang sangat terbatas, sifat kyai dan sifat para santri.
Oleh karena lingkungan pondok sangat terbatas dan banyak waktu harus
dilewatkan di dalam satu tempat itu, maka harus ada kehormatan dan
kesabaran yang tinggi sekali. Santri-santri harus bisa bekerja sama dan saling
paham untuk menciptakan suasana yang tenang dan cocok untuk belajar dan
beribadah.
Aspek lain kehidupan sehari-hari bagi para santri di Pondok Pesantren
adalah kurang banyak keragaman dalam kegiatan yang bisa dilakukan selama
waktu istirihat tersebut dan kurang banyak kesempatan untuk bergaul dengan
orang dari luar pondok. Maksud tersebut adalah jika santri tidak lagi mandi,
makan, membersih-bersihkan atau sholat, biasanya mereka baru belajar. Dan
kalau tidak ada tamu yang datang ke pondok untuk bertemu dengan para
santri, selama mereka menetap di pondok, mereka hanya akan bergaul dengan
orang selain santri-santri lain, para Ustad dan keluarga Kyai.
Dengan adanya budaya pondok pesantren yang seperti ini menyebabkan
masalah- masalah sosial yang dialami para santri yang ada dalam pesantren.
Dalam novel Geni Jora terdapat masalah sosial khususnya yang terjadi di
pondok pesantren yaitu kedudukan Pondok Pesantren dalam novel Geni Jora,
Kedudukan Kyai sebagai pembawa nilai sosial budaya dalam novel Geni
Jora, masjid dan masyarakat dalam novel Geni Jora serta Santri, Kyai, dan
Pondok Pesantren dalam novel Geni Jora. Untuk lebih jelasnya, beberapa
masalah sosial di atas akan diuraikan seperti berikut :
a.
Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai
commit
to user yang mampu mengembangkan
fungsi ganda, sebagai lembaga
pendidikan
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia
muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat
sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran
sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu
melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah maupun
jasmaniah. Oleh karena itu banyak orang tua yang memasukkan anakanaknya ke pesantren walaupun mreka harus mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit dan kurangnya intensitas bertemu dengan anak- anak mereka karena
jarak pesantren yang jauh. Hal ini tampak pada:
“ Kami datang dari seluruh penjuru negeri ini, sari Bogor, dari
sumbawa, Padang, Bali, Kalimantan, Jakarta, Kendari bahkan
Ambon, juga Malaysia , India dan Brunai. Terdapat juga beberapa
santri dari Pataya, Thailan.” ( Khalieqy, 2004: 41)
“ Karena mahalnya tarif sekolah di pesantren ini, Hanya kalangan
tertentu dari pribumi yang masuk ke sana.“ (Khalieqy, 2004: 41)
“ Semakin tinggi kelas kami, kami akan menghuni kamar dengan
penghuni lebih sedikit, empat atau dua santri saja, dengan toilet
pribadi, kulkas dan telepon. Ini namanya, kamae santri senior.”
(Khalieqy, 2004: 41)
“Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namya
berpikir,bukankah setiap berangkat dan pulang dari pesantren
menuju kampong halaman di Lombok sana,ia selalu naik
pesawat?Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu, Mohamet
Naufal al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?Bagaimana mungki
Ustaz Omar menyamakan dirinya dengan manusia Badui?”(
Khalieqy, 2004: 38)
Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau
mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT)
dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola,
memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan
akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Pendidikan ini di dapat santri
bukan hanya dikelas tetapi juga dalam kehidupan selama di asrama. Hal
ini tampak pada:
commit to user
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Satu hal kuperingatkan pada kalian bahwa Tuhan kita Yang maha
Hebat, maha Ganteng dan Maha Kaya, Maha dari yang Maha.”
(Khalieqy, 2004: 37)
“ Aku sangat senang saat mengetahui bahwamudirul ma’had
berkeputusan untuk mengembalikan para santri baru yang telah
kronis penyakit moralnya ke hadapan orangtua mereka masingmasing, dengan pertimbangan bahwa pesantren ini dikhususkan
untuk tempat thalabul ‘ilmi.” (Khalieqy, 2004: 56)
Tujuan pondok yang awalnya memberikan pendidikan umum
maupun pendidikan agama, menjadi berubah karena adanya beberapa
santri yang dikirim orang tuanya bukan hanya untuk menuntut ilmu di
pesantren tetapi dengan maksud tertentu. Banyak orang tua yang
beranggapan pesantren sebagai tempat penampungan maupun rehabilitasi
kepribadian santri yang bisa dikatakan sudah bobrok. Hal ini tampak pada
:
“ Agaknya selama di pesantren pekerjaan mereka hanya hura- hura
dengan makanan yang bejibun, segala coklat yang berkarduskardus.” ( Khalieqy, 2004: 55)
“ Sering aku berfikir tentang kanker pesantren ini yang terus
menggerogoti kesehatan jiwa- jiwa santri yang lain yang
kedatangannya benar- benar ingin thalabul ilmi. ( Khalieqy, 2004:
55)
“ Karena terlalu bandel dan orangtua mereka kelabakan untuk
mengatasinya, dilemparkanlah mereka ke pesantren. Kadilah
pesantren ini tempat penampungan pribadi- pribadibobrok yang
telah akut untuk dapat disembuhkan.” ( Khalieqy, 2004: 56)
“ Seorang santri yang berperawakan gemuk bundar, dua mingggu
masuk pesantren terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena hendak
melahirkan. ( Khalieqy, 2004: 56)
“ Dokter pun membisiki Encik Rahmahyang mengantarkannya dan
dan mengatakan bahwa pasien baru saja melahirkan entah dimana,
yang pasti di rumah orangtuanya. ( Khalieqy, 2004: 56)
commit to user
72
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tidak hanya bentuk bangunan pesantren tetapi juga peraturan- peraturan
yang juga menunjukkan pesantren ini berada dalan tataran pesantren kelas atas.
Hal ini tampak pada ;
“ Di samping kurikulum yang bagus, Pesantren kami dikenal
sangat disiplin dan ketat. Saat masuk pesantren, pemandangan aneh
yang pertama kulihat adalah saat memasuki pintu ketiga. Ada tiga
pintu terakhir ini, terdapat sebuah ruangan berbama ‘Ruang
pemeriksaan.”( Khalieqy, 2004: 42)
“ Setiap seorang santri yang memasuki ruangan di pintu ketiga ini,
Encik rahmah akan menggerayangi seluruh badannya, seprti
seorang petuggas kepolisian yang tengah menggerayangi seseorang
yang dicurigai untuk memastikan tidak terdapat barang curian atau
barang terlarang dalam lipatan tubuhnya. “(Khalieqy, 2004: 42)
“ Di pesantren kami ,setiap kamar di huni enam atau delapan santri
. Kami memakai ranjang tingkat untuk tidur dan lemari tingkat juga
untuk menyimpan pakaian dan buku-buku. Satu kamar biasanya
memuat tiga ranjang tingkat dan tiga lemari dua pintu . Kamar
yang memuat empat ranjang tingkat, akan di huni delapan santri
dan seterusnya.Semakin tinggi kelas kami ,kami akan menghuni
kamar dengan penghuni lebih sedikit ,empat atau dua santri saja ,
dengan toilet pribadi , kulkas dan telephone. Ini namanya ,kamar
santri senior . Biasanya kakak santri kelas enam saja yang memiliki
fasilitas semacam itu .” (Khalieqy, 2004: 40)
“ Segala jenis mie terus mengalir setiap minggu, setiap dua
minggu, setiap para orang tua santri datang berkunjung pada saat
hari kunjungan” “ Di pesantren kami ,setiap kamar di huni enam
atau delapan santri . Kami memakai ranjang tingkat untuk tidur dan
lemari tingkat juga untuk menyimpan pakaian dan buku-buku. Satu
kamar biasanya memuat tiga ranjang tingkat dan tiga lemari dua
pintu . Kamar yang memuat empat ranjang tingkat, akan di huni
delapan santri dan seterusnya.Semakin tinggi kelas kami ,kami
akan menghuni kamar dengan penghuni lebih sedikit ,empat atau
dua santri saja , dengan toilet pribadi , kulkas dan telephone. Ini
namanya ,kamar santri senior . Biasanya kakak santri kelas enam
saja yang memiliki fasilitas semacam itu .” (Khalieqy, 2004: 54)
”Kamipun berlalu kearah tangga menuju lantai dua. Di lantai dua
ini terdapat kelas- kelas, aula II, perpustakaan dan kantor redaksi
majalah redaksi dan kafetaria.” (Khalieqy, 2004: 52)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73
digilib.uns.ac.id
Dalam novel ini, diceritakan bagaimana keadaan pondok pesantren
dengan segala peraturan- peraturan dan kegiatan yang harus dilakukan
para santri secara rutin. Hal ini tampak pada :
“ Jam tidur kami adalah jam sepuluh malam, tetapisatu jam
sebelumnya, ada bel berbunyi merupakan bel peringatan bagi
santri- santri yang suka keluyuran untuk segera memasuki kamar
masing- masing.” (Khalieqy, 2004: 44)
Di atas pukul sepuluh malam, tak ada stu santri pun yang boleh
berada di luar kamar, kecuali untuk keperluan kamar mandi. Baru
diatas pukul dua belas malam, diperbolehkan keluar untuk qiyamullail atau belajar di musal, di kelas atau di tempat- tempat yang
terang, seperti di atas jalan layang yang membentang antara kamar
enam hingga kamar khusus para ustazah atau di atas panggung
pertunjukan dengan lampu yang cukup terang. “ (Khalieqy, 2004:
44)
“Semua gaun yang boleh dipakai di pesantren merupakan baju
sederhana dengan bawayan sarung perempuan, sebagai bentuk
penerapan kehidupan sederhana dan menjauhi kehidupan musyifin
alias jor- joran. Peraturan semacam ini membuat Sonya terrtekan
untuk tidak memamerkan gaun barunya yang dirancang oleh
seorang desainer beken dari ibukota. Sonya hanya bias memakai
gaun- gaunnya di malah hari saat jam tidur berbunyi.” (Khalieqy,
2004: 43)
Dengan adanya peraturan- peraturan yang ditetapkan pesantren
diharapkan para santri hidup dengan teratur, seimbang dan dinamis. Akan
tetapi bukan peraturan dan tata tertib namanya kalau tidak ada pelanggaran
dan sangsi di dalamnya. Hal ini tampak pada :
Dua di antara mereka telah menjalani hukuman cambuk karena
kasus lesbian. Satu diantara mereka pernah menjalani hukuman
cukur gundul karena kasus pencurian. “ (Khalieqy, 2004: 56)
“ Dalam kasus pencurian yang kini tengah kami tangani, dengan
pertuduh seorang santri bernama Detty, tim Majelis Taklim
menemukan kesulitan yang tidak biasa berkaitan dengan interogasi
yang tidak memadahi, karena isu yang beredar tentang pencuri
bertopeng dan hanya uang tertentu yang dicuri, khusus uang yang
ada dalam tabungan berbentuk ayam jago. Pencuri merauh isi
tabungan tanpa merusak pintu masuk tabungan yang relative kecil,
hanya pas untuk masuknya
commit to sebutir
user logam perak gopek. Disinilah
perpustakaan.uns.ac.id
74
digilib.uns.ac.id
misterinya. Tetapi aku tidak kehabisan akal untuk membuat
manover balik”.( Khalieqy, 2004: 53-54)
“ Biasanya para pelaku lesbian akan dihuklum cambuk sebanyak
delapan puluh kali dengan rincian, dua puluh kali untuk yangan
kanan, dua puluh kali untuk tangan kiri, dua puluh kali untuk kaki
kanan, dua puluh kali untuk kaki kiri. “(Khalieqy, 2004: 94)
“ Telah berkali- kali kusaksikan perilaku Encik Rahmah yang
melanggar itu. Pada akhirnya ia pun digeser kedudukannya oleh
encik lain, namanya Encik Barkah” (Khalieqy, 2004: 43)
b. Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni
Jora
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan
dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling
esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.
Keberadaan kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari peran
dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang
unik, karena selain memimpin lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya
bertugas menyusun kurikulum, membuat tata tertib, merancang sistem
evaluasi sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan
dengan ilmu agama yang diasuhnya, dia juga sebagai pembina, pendidik
umat serta pemimpin masyarakat. Dalam novel ini kyai digambarkan
seorang yang sangat disegani dan ditakuti oleh para santri. Hal ini tampak
pada:
“Ustaz Omar kembali mengetukan pulpenya didepan meja
Namnya.Ketukan pulpen itu terasa seperti ketukan palu sang
hakim yang tengah memutus sebuah perkara.Ruangan kembali
senyap mungkin banyak teman menahan nafas sembari menahan
sesuatu yang akan terjadi.Namya cegukan di jalan raya.,mobil
polisi meraung-raung dengan sirinenya. Tanpa diduga Namya
nyeletuk begitu saja. “ada maling, Ustaz.”
commit to user
“Kaulah maling!”bentak Ustaz Omar.( Khalieqy, 2004: 37)
perpustakaan.uns.ac.id
75
digilib.uns.ac.id
(Ternyata Namya tidak berani memandang mata Ustaz Omar. Ia
terus menunduk dan tetap cegukan)”( Khalieqy, 2004: 37)
“Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namya
berpikir,bukankah setiap berangkat dan pulang dari pesantren
menuju kampong halaman di Lombok sana,ia selalu naik
pesawat?Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu,Mohamet
Naufal al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?Bagaimana
mungki Ustaz Omar menyamakan dirinya dengan manusia
Badui?( Khalieqy, 2004: 38)
“Cara berpikir seperti itulah yang disebut primitife,Namya Seekor
monyet juga bias naik pesawat.Tetapi tidak berarti bahwa sang
monyet telah berperadapan karena ia telah naik pesawat.”(
Khalieqy, 2004: 38)
Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai
spiritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah
SWT). Oleh karena itu sosok seorang kyai dalam pesantren sangat
dihormati dan dihargai oleh kebanyakan santri terkecuali mereka yang
bandel dan tidak suka dengan aturan yang dibuat oleh pesantren ataupun
kyai. Hal ini tampak pada:
“ Aku tergagap. Sulit bagiku untuk membohongi Ustaz Omar.
Tetapi sulit juga bagiku untuk membuka kedok Namnya. Kini
posisiku berada diantara dua titik rawan yang menghendaki
sebuah kearifan untuk menghakimi. Jika berpihak pada Ustaz
Omar, Namnya akan marah dan mungkin membenciku.
Sebaliknya jika memihak Namnya, ia akan merajarela dan ustaz
Omar kehilanagan kepaercayaan kepadaku. Tak ada cara yang
lain;quill haqqa walaw kaana murran, katakan kebenaran, sepahit
apapun”. (Khalieqy, 2004: 36)
“ Tak salah lagi,itu pasti suara Namya al Katiri,adiknya Sonya al
Katiri.Dua bersaudara yang meiliki karakter sama,tak pernah
sehari pun membiarkan para santri teman-temanya duduk tenang
sambil membaca buku atau berdiri konsentrasi dalam salat.
Karuan suasana kelas dimana ujian tengah berlangsung menjadi
bingung oleh tawa,sebelum ahkirnya Ustaz Omar menggelar
dengan ultimatumnya.”Uskat kalam”( Khalieqy, 2004: 35)
“ Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Umar”.
commit to user
(Khalieqy, 2004: 37)
perpustakaan.uns.ac.id
76
digilib.uns.ac.id
“(Tak kusangka, Namnya masih mampu berbisik mengancam:
akan ku balas kau! Omar Basalamah!)” (Khalieqy, 2004: 38)
“Omar si jubah Hitam menyampaikan inta dengan Baduy Nggak
terbaik nih ? Rumah tipe 46 ,mobil Volvo ronsokan
ah….!sudahlah!Nanti kita amplopi haremnya yang tebal, biar
lulus ujian inti.”( Khalieqy, 2004: 38)
Dalam pesantren terdapat banyak santri yang masing- masing
memiliki watak dan kepribadian yang berbeda- beda, maka dari itu
seorang kyai harus dapat bersikap sesuai dengan apa yang dihadapi, baik
itu menghadapai santri yang pandai ataupun santri yang bandel sekalipun.
Kebijaksanaan dan ketegasan harus dimiliki oleh seorang kyai. Hal ini
tampak pada:
"Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat"
"Hanya ada satu hal, Ustadz"
"iya. Sebutkan"
Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz
Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia
dengan jawabnya?
"Tidak memiliki imajinasi" (Khalieqy, 2004: 33)
“ Aku tidak menyangkal bahwa jawabanmu sangat bagus, tetapi
tidak benar. Ini ruang ujian pesantren dan kau adalah santri di
sini. Dan Fiqh adalah mata pelajaran yang tengah diujikan. Jadi
kamu harus menjawab berdasar ketentuan ilmu Fiqh. Paham?”(
Khalieqy, 2004: 33)
“Terpana Ustaz Omar.Membionar matanya. Refleks saja saat
beliaujuga mengikuti gerakankepalaku,tersenyum-senyum dan
mendecak kagum.Senyap ruang ujian dan kurasakan semua mata
tertuju padaku,pada gerakan mulutku. Ujian lisan pun usai dan
kini aku boleh duduk kembali.Sebelum giliran santri
selanjutnya,Ustat Omar member komentar singkat.
“Andai ada seribu Kejora,malam hari lupa gulita.Andai….”(
Khalieqy, 2004: 35)
“ Lalu Ustaz Omar dengan jubahnya yang berkibar-kibar, dengan
pecut rotan ditangan kanan, berjalan menuju tenagh lapangan
olahraga, saat waktu menunjuk dua belas siang, dimana sekuruh
santri sudah berkumpul menglilingi lapangan unatuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77
digilib.uns.ac.id
menaysikkan eksekusi yang bakal dilaksanakan. Ekskusi?
Tidak!”.( Khalieqy, 2004: 93)
“ Tak salah lagi, itu pasti suara Namya al Katiri,adiknya Sonya al
Katiri.Dua bersaudara yang meiliki karakter sama,tak pernah
sehari pun membiarkan para santri teman-temanya duduk tenang
sambil membaca buku atau berdiri konsentrasi dalam salat.
Karuan suasana kelas dimana ujian tengah berlangsung menjadi
bingung oleh tawa,sebelum ahkirnya Ustaz Omar menggelar
dengan ultimatumnya.”Uskat kalam”( Khalieqy, 2004: 35)
c. Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora
Pondok pesantren pada umumnya yang pertama kali oleh seorang kyai
atau seorang pendiri pesantren yang ingin mengembangkan sebuah pesantren
adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. Sangkut
paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di
seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk
tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam.
“ Kulihat jauh di depan sana sebuah langkah terayu, menuju
mushala. Seorang santri mushala tengah bersiap membangunkan
mimpi para santri dengan alunan ayat- ayat suci alqur’an.”
(Khalieqy, 2004:37)
“Aku bangkit berdiri dan melepas tangan Elya pelan, mencari
sasaran lain untuk titik perhatian. Musala. Disanalah kubebaskan
kecambuk demam dari jangkauan mata Elya.” (Khalieqy 2004:58)
“ Jika lantunan ayatsuci tidak menggema dari speaker di mushala,
teriakan Elya melesat sejauh sepuluh kamar bahkan lebih.”
(Khalieqy, 2004:58)
“ Kami shalat tahajud di musala dan mengitari malam bersama
penuh sesak kata- kata.” (Khalieqy, 2004: 91)
“ Telah habis malam, Elya. Hayyabinaa ilaa al mushall. Kita
akan berdialog dengan kekasih kesayangan.” (Khalieqy, 2004:58)
Masyarakat dalam pesantren yang dituangkan dalam novel ini sanga t
beranekan ragam, mulai dari santri yang sangat penurut serta cerdas sampai
pada santri yang berkelakuan sangat tidak baik karena memang watak mereka
commit to user
yang sangat sulit untuk diluruskan. Hal ini tampak pada:
perpustakaan.uns.ac.id
78
digilib.uns.ac.id
“Seharian Sonya uring-uringan . Ia mendiamkan ku .Jika naik
ranjang menjelang tidur , kakinya menginjak tangga ranjang tingkat
kami dengan keras hingga menimbulkan getaran yang cukup
mengganggu . Ia akan mengulang-ulang tingkahnya hingga melihat
aku kehabisan akal untuk menahan kesabaran . Dari atas
ranjangnya, Sonya akan membersihkan debu kasur ,kadang dengan
memukul-mukulnya agar semua debu keluar mengotori permukaan
wajah ku dan menggangu pernapasan ku selagi aku tidur di
bawahnya .Ranjangku ada di bawahnya. (Khalieqy, 2004: 40)
“ Hanya kau yang bisa menolong Namya! Lakukanlah sesuatu!”
“ nada bicaramu seperti majikan terhadap budaknya. Kau pikir
siapa aku siapa dirimu,” aku menjawab ketus.
“ Waduh! Baru jadi ‘ Bintang Kelas’ sudah sombong, tak
terbayangkan jika ‘ bintang pelajar’. Mendingan Zahra Bajned
yang dijagokan, tidak sombong dan ringan tangan.”
“ Memangnya menjadi ‘bintang pelajar’ pakai jago-jagoan? Kayak
pertandingan tinju saja,” aku kian sarkatis. (Khalieqy, 2004: 39)
“ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha
mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap,
menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga
kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri yang lain,
Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun
jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur
lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang
ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42)
“Terpana Ustaz Omar.Membionar matanya. Refleks saja saat
beliaujuga mengikuti gerakankepalaku,tersenyum-senyum dan
mendecak kagum.Senyap ruang ujian dan kurasakan semua mata
tertuju padaku,pada gerakan mulutku. Ujian lisan pun usai dan
kini aku boleh duduk kembali.Sebelum giliran santri
selanjutnya,Ustat Omar member komentar singkat.
“Andai ada seribu Kejora, malam hari lupa gulita.Andai….”(
Khalieqy, 2004: 35)
Selain santri banyak encik dan kyai yang memiliki karakter yang
berbeda-beda dalam menjalankan tugasnya sebaga tonggak pesantren. Hal ini
terlihat pada:
“ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha
mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap,
menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga
kaleng permen cina
kesukaannya.
Dihadapan santri yang lain,
commit
to user
Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun
perpustakaan.uns.ac.id
79
digilib.uns.ac.id
jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur
lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang
ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42)
“ Setiap seorang santri yang memasuki ruangan di pintu ketiga ini,
Encik rahmah akan menggerayangi seluruh badannya, seprti
seorang petuggas kepolisian yang tengah menggerayangi seseorang
yang dicurigai untuk memastikan tidak terdapat barang curian atau
barang terlarang dalam lipatan tubuhnya. “(Khalieqy, 2004: 42)
“ Ustaz Mu’ammal bermurah hati memberikan kesempatan sekali
lahi untuk satu soalnya, namun aku tak mampu mengikuti
kemurah hatian yang diajarkan. Sekalipun aku tahu seluruh
jawaban yang sesuai dengan kitab fiqh, tetapi lidahku enggan
mengatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan
jawaban- jawaban yang tertera.”( Khalieqy, 2004: 33)
d. Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan
sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun
pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari
seorang alim. Jika murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru
seorang alim itu bisa disebut kyai dan membangun fasilitas yang lebih lengkap
untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam
pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti
suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah
sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri
mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan
biasanya berasal dari daerah jauh.
Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia
harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi
sendiri tantangan yang dialaminya di pesantren. Relasi sosial kiai- santri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80
digilib.uns.ac.id
dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santri pada kiai disebabkan
mengharapkan barokah, sebagaimana dipahami dari konsep sufi.
Upaya santri untuk berhubungan dengan kiai selalu diwujudkan dalam
sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat. Hanya saja terkadang
penghormatan santri terhadap kiainya dinilai kebablasan dalam konteks
interaksi belajar mengajar sehingga santri kehilangan daya kritisnya terutama
ketika berhadapan dengan kyai. Hal ini tampak pada:
"Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat"
"Hanya ada satu hal, Ustadz"
"iya. Sebutkan"
Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz
Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia
dengan jawabnya?
"Tidak memiliki imajinasi" (Khalieqy, 2004: 33)
“Ustaz Omar kembali mengetukan pulpenya didepan meja
Namnya.Ketukan pulpen itu terasa seperti ketukan palu sang
hakim yang tengah memutus sebuah perkara.Ruangan kembali
senyap mungkin banyak teman menahan nafas sembari menahan
sesuatu yang akan terjadi.Namya cegukan di jalan raya.,mobil
polisi meraung-raung dengan sirinenya. Tanpa diduga Namya
nyeletuk begitu saja. “ada maling, Ustaz.”
“Kaulah maling!”bentak Ustaz Omar.( Khalieqy, 2004: 37)
“(Tak kusangka, Namnya masih mampu berbisik mengancam:
akan ku balas kau! Omar Basalamah!)” (Khalieqy, 2004: 38)
“ Seseorang yang tidak memiliki imajinasi, ia tidak pernah bisa
sholat. Jikapoun ia melaksanakan sholat, itu hanya ritual kosong
yang bisa dilaksanakan oleh semua robot. Hanya orang yang
memiliki imajinasi yang bisa melaksakan dan benar-benar salat”.(
Khalieqy, 2004: 33)
Novel Geni Jora memiliki beberapa tokoh yang berpengaruh dalam
jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Penokohan dalam
novel dibagi menjadi tokoh utama yaitu tokoh yang sering muncul dan
beberapa tokoh tambahan. Dalam pesantren juga diceritakan beberapa tokoh
commit to user
yang saling berhubungan dan didalamnya mengandung aspek sosial budaya.
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Banyak konflik yang terjadi antar tokoh dalam pesantren, hal ini disebabkan
oleh persaingan ataupun kesenjangan sosial antara para santri.
“ Mungkin sudah menjadi watak remaja di seluruh bumi :
memberontak. Tak terkecuali di pesantren "galak" ini, ada saja
santri-santri badung yang senangnya melanggar peraturan dan
disiplin pesantren. Ada persaingan akademis yang berbuah
kecemburuan, ada geng-gengan yang saling bermusuhan, sampai
dengan skandal asmara sejenis alias lesbianisme.” (Khalieqy, 2004:
59)
Hubungan antar tokoh dalam pesantren sangatlah bermacam- macam.
Hari- hari mereka adalah hari- hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para
guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai bertemu pagi
lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama,
lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Hal ini
tampak pada :
“ Di atas pukul sepuluh malam, tak ada stu santri pun yang boleh
berada di luar kamar, kecuali untuk keperluan kamar mandi. Baru
diatas pukul dua belas malam, diperbolehkan keluar untuk qiyamullail atau belajar di musal, di kelas atau di tempat- tempat yang
terang, seperti di atas jalan layang yang membentang antara kamar
enam hingga kamar khusus para ustazah atau di atas panggung
pertunjukan dengan lampu yang cukup terang. “(Khalieqy, 2004:
44)
“ Di pesantren kami ,setiap kamar di huni enam atau delapan santri
. Kami memakai ranjang tingkat untuk tidur dan lemari tingkat juga
untuk menyimpan pakaian dan buku-buku. Satu kamar biasanya
memuat tiga ranjang tingkat dan tiga lemari dua pintu . Kamar
yang memuat empat ranjang tingkat, akan di huni delapan santri
dan seterusnya.Semakin tinggi kelas kami ,kami akan menghuni
kamar dengan penghuni lebih sedikit ,empat atau dua santri saja ,
dengan toilet pribadi , kulkas dan telephone. Ini namanya ,kamar
santri senior . Biasanya kakak santri kelas enam saja yang memiliki
fasilitas semacam itu.” (Khalieqy, 2004: 40)
Konflik- konflik sosial budaya tercipta antara para santri, baik itu yang
negatif maupun positif. Misalnya saja tentang kecemburuan antar tokoh. Hal
ini diceritakan dalam :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82
digilib.uns.ac.id
“Waduh!Baru jadi ‘bintang kelas’sudah sombog,tak terbayangkan
jika ‘bintang pelajar’. Mendingan Zahra Bajned yang dijagokan,
tidak sobong dan rintang tangan.”( Khalieqy, 2004: 39)
“Seharian Sonya uring-uringan . Ia mendiamkan ku .Jika naik
ranjang menjelang tidur , kakinya menginjak tangga ranjang tingkat
kami dengan keras hingga menimbulkan getaran yang cukup
mengganggu . Ia akan mengulang-ulang tingkahnya hingga melihat
aku kehabisan akal untuk menahan kesabaran . Dari atas
ranjangnya, Sonya akan membersihkan debu kasur ,kadang dengan
memukul-mukulnya agar semua debu keluar mengotori permukaan
wajah ku dan menggangu pernapasan ku selagi aku tidur di
bawahnya .Ranjangku ada di bawahnya. (Khalieqy, 2004: 40)
“ Agaknya kembali mesra,dua kejora dimabuk asmara”. Nada-nada
seperti itu terus berputar, seakan kaset bobrok yang sulit
dihentikan, memaksa telinga terus mendengarnya sekalipun
gendang telinga menjadi udeg dan berkeping-keping. Mau tahu
cara mengatsinya? Haruslah disetel kaset baru dengan suara-suara
nyaring melengking atau nada-nada yang menggemuruh, yang
mamou menelan bulat-bulat kemrisik lagu-lagu rongsok tadi.
Putarlah Hosam atau Shoba untuk mengatasi bising Shakira dan
Britney Spears. Putar Bach atau Beethoven untuk menelan Michael
Jackson”. (Khalieqy, 2004: 111 )
“ Hanya kau yang bisa menolong Namya! Lakukanlah sesuatu!”
“ nada bicaramu seperti majikan terhadap budaknya. Kau pikir
siapa aku siapa dirimu,” aku menjawab ketus.
“ Waduh! Baru jadi ‘ Bintang Kelas’ sudah sombong, tak
terbayangkan jika ‘ bintang pelajar’. Mendingan Zahra Bajned
yang dijagokan, tidak sombong dan ringan tangan.”
“ Memangnya menjadi ‘bintang pelajar’ pakai jago-jagoan? Kayak
pertandingan tinju saja,” aku kian sarkatis. (Khalieqy, 2004: 39)
Tidak itu saja yang dilakukan Sonya terhadap Kejora, tetapi Sonya juga
melakukan tuduhan lesbian kepada Kejora dan Elya. Saat menghadapi
tuduhan lesbian Kejora tidak menunjukkan emosinya tetapi sebaliknya ia
selalu memohon pertolongan kepada Allah untuk menujukkan kebenaran,
seperti kutipan dibawah ini :
“Astaghfirullah!
Aku ber-istighfar pada-Mu ya Allah!
Jika ada kejahatan yang hamba lakukan.
commit to user
Pecut-Mu lebih menaklukkan.
perpustakaan.uns.ac.id
83
digilib.uns.ac.id
Namun kejahatan fitnah.
Hanya Engkau maha tahu cara mengembalikan.
Amin”. (Khalieqy, 2004: 94 )
“ Kututup wajahku dan kutulikan pendengaranku. Kuarasakan
kengerian dari hantu-hantu fitnah, seperti monster, puluhan
monster yang menggiringku melopati jurang yang dalam dan
gelap, dimana belukar segala ular dan belatung, bersatu
memperebutkan kehidupanku, kesegaran jasad dan kemilau
nuraniku. Lihatlah monster-monster itu. Boleh jadi mereka adalah
Sonya beserta gengnya, para pendukung kejahatan dan para santri
yang mudah ditipu. “(Khalieqy, 2004: 93)
Kejora selalu dicaci dan dimaki oleh teman-temanya setelah muncul isu
lesbian. Semua hinaan dilontarkan, dapat membuat emosi Kejora meninggi.
Setelah Kejora bisa berpikir dan menilai sebuah kenyataan hidup yang harus
dijalani membuatnya dapat menerima semua kenyataan. Kejora dapat
mengusai emosinya sendiri. Kejora tidak merespon atas semua hinaan yang
telah dilakukan teman-temannya tidak perlu ditanggapi. Seperti kutipan
dibawah ini.
“ Agaknya kembali mesra,dua kejora dimabuk asmara”. Nada-nada
seperti itu terus berputar, seakan kaset bobrok yang sulit
dihentikan, memaksa telinga terus mendengarnya sekalipun
gendang telinga menjadi udeg dan berkeping-keping. Mau tahu
cara mengatsinya? Haruslah disetel kaset baru dengan suara-suara
nyaring melengking atau nada-nada yang menggemuruh, yang
mamou menelan bulat-bulat kemrisik lagu-lagu rongsok tadi.
Putarlah Hosam atau Shoba untuk mengatasi bising Shakira dan
Britney Spears. Putar Bach atau Beethoven untuk menelan Michael
Jackson”. (Khalieqy, 2004: 111 )
Hal itulah yang tampak pada tokoh utama dalam novel ini. Tidak hanya
hubungan yang kurang baik dengan tokoh lain yang ditampilkan dalam novel
ini, tetapi juga hubungan yang membangun dan sangat baik yang ditunjukkan
antara Kejora dan teman karibnya. Hal ini tampak pada :
“ Aku mengagumimu, Jora.”
“ Kamu mengagumi dirimu sendiri.”
“Wallahi! Segala yang kau miliki, membangkitkan rasa cemburu.”
(Tak kusangka, dadaku berdebar dan bibirku gemetar saat
mengucapkan pertanyyan
(Khalieqy, 2004: 58)
commit kepadanya)”
to user
perpustakaan.uns.ac.id
84
digilib.uns.ac.id
“ Dari pucuk kerinduannya, Elya menjawab. “ Kamu tengah
dimabuk cinta, Kejora. Ruhmu gelisah sebab engkau terpisah.
Temui dia dimanapun ia berada.” (Khalieqy, 2004: 106)
“ Sebab itu aku mengagumimu, Jora. Dalam setiap keindahan dan
kebaikan, agaknya Tuhan selalu berpihak padamu. Mata elya
begitu sendu. Nada suaranya begitu romantis. Dan kata- kata yang
keluar dari lubuk hatinya sangat menyentuh. Aku tak tahan dengan
semuanya. Kini demam itu menyerang kembali, mengirim
semburat merah di wajahku. Aku tertunduk malu, diliputi rasa
tersanjung dan dicinta. (Khalieqy, 2004: 101)
Tokoh lain yang tampak pada novel ini adalah kyai dan encik yang
mengelola pesantren. Tidak semua pengelola pesantren memiliki kepribadian
yang baik dalam melaksanakan aturan dan tata tertib. Tetapi banyak pula kyai
yang sangat arif dan bijaksana dalam mengatasi berbagai macam watak para
santrinya:
“ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya, berusaha
mengambil kembali barang- barang terlarangnya dengan suap,
menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan pala atau tiga
kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri yang lain,
Encik rahmah akan menolak suap dan membentak Sonya. Namun
jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya akan menggempur
lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih barang- barang
ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42)
“ Setiap seorang santri yang memasuki ruangan di pintu ketiga ini,
Encik rahmah akan menggerayangi seluruh badannya, seprti
seorang petuggas kepolisian yang tengah menggerayangi seseorang
yang dicurigai untuk memastikan tidak terdapat barang curian atau
barang terlarang dalam lipatan tubuhnya. “(Khalieqy, 2004: 42)
“ Tak salah lagi,itu pasti suara Namya al Katiri,adiknya Sonya al
Katiri.Dua bersaudara yang meiliki karakter sama,tak pernah
sehari pun membiarkan para santri teman-temanya duduk tenang
sambil membaca buku atau berdiri konsentrasi dalam salat.
Karuan suasana kelas dimana ujian tengah berlangsung menjadi
bingung oleh tawa,sebelum ahkirnya Ustaz Omar menggelar
dengan ultimatumnya.”Uskat kalam”( Khalieqy, 2004: 35)
“Terpana Ustaz Omar.Membionar matanya. Refleks saja saat
beliaujuga mengikuti gerakankepalaku,tersenyum-senyum dan
mendecak kagum.Senyap
commit toruang
user ujian dan kurasakan semua mata
tertuju padaku,pada gerakan mulutku. Ujian lisan pun usai dan
perpustakaan.uns.ac.id
85
digilib.uns.ac.id
kini aku boleh duduk kembali.Sebelum giliran santri
selanjutnya,Ustat Omar member komentar singkat.
“Andai ada seribu Kejora,malam hari lupa gulita.Andai….”(
Khalieqy, 2004: 35)
“ Lalu Ustaz Omar dengan jubahnya yang berkibar-kibar, dengan
pecut rotan ditangan kanan, berjalan menuju tenagh lapangan
olahraga, saat waktu menunjuk dua belas siang, dimana sekuruh
santri sudah berkumpul menglilingi lapangan unatuk
menaysikkan eksekusi yang bakal dilaksanakan. Ekskusi?
Tidak!”.( Khalieqy, 2004: 93)
“ Beberapa santri yang bandel seperti Sonya dan Namya,
berusaha mengambil kembali barang- barang terlarangnya
dengan suap, menyogok Encik rahmah dengan sekilo manisan
pala atau tiga kaleng permen cina kesukaannya. Dihadapan santri
yang lain, Encik rahmah akan menolak suap dan membentak
Sonya. Namun jika telah sepi dan hanya tinggal berdua, Sonya
akan menggempur lagi pertahanan Encik Rahmah hingga meraih
barang- barang ekslusifnya.” (Khalieqy, 2004: 42)
Hal yang tampak adalah bagaimana tokoh yang satu menyikapi tokoh
yang lain, baik itu dalam hal yang sifatnya menyimpang ataupun tokoh dengan
kepribadian yang baik.
“ Dalam kasus pencurian yang kini tengah kami tangani, dengan
pertuduh seorang santri bernama Detty, tim Majelis Tahkim
menemukan kesulitan yang tidak biasa berkaitan dengan
interogasi yang tidak memadahi, karena isu yang beredar tentang
pencuri bertopeng dan hanya uang tertentu yang dicuri, khusus
uang yang ada dalam tabungan berbentuk ayam jago. Pencuri
merauh isi tabungan tanpa merusak pintu masuk tabungan yang
relative kecil, hanya pas untuk masuknya sebutir logam perak
gopek. Disinilah misterinya. Tetapi aku tidak kehabisan akal
untuk membuat manover balik”.( Khalieqy, 2004: 53-54)
“ Kututup wajahku dan kutulikan pendengaranku. Kuarasakan
kengerian dari hantu-hantu fitnah, seperti monster, puluhan
monster yang menggiringku melopati jurang yang dalam dan
gelap, dimana belukar segala ular dan belatung, bersatu
memperebutkan kehidupanku, kesegaran jasad dan kemilau
nuraniku. Lihatlah monster-monster itu. Boleh jadi mereka
adalah Sonya beserta gengnya, para pendukung kejahatan dan
para santri yang mudah ditipu. “(Khalieqy, 2004: 93)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86
digilib.uns.ac.id
“ 00.03. Dini hari. Entah sampai di mana ruhku
mengembara. Kucari dirimu, Elya, dari pelosok paling jauh dan
sunyi hingga kota-kota ramai, dari hutan-hutan gelap yang liar,
hijau dan rimbun, menyisir sungai-sungai dengan alirannya yang
tenang, lembah-lembah yang ramah
dan
jurang-jurang
menganga, pantai-pantai dengan pasirnya yang putih dan
aromanya yang purba, mendung menggantung rendah dan
gunung-gunung yang perkasa, di mana engkau bersembunyi,
Elya?”( Khalieqy, 2004: 107)
“ Setiap hari kusaksikan Sonya Alkatiri, Nor bahanan, Faiga
Huraidi maupun Najwa Balbed, teman-temanku sekamar, jungkir
balik salat sembari lirik kiri kanan, senggol kiri kanan, kadang
ngikik kadang menarik narik mukena yang lain, bahkan aroma
CO2 sudah menyebar kemna-mana tetap tak ada yang mau
mwngaku dan tidak mau memperbaharui wudhunya, dapatkah
kucerna sebuah ketentuan tentang “ hal-hal yang mebatalkan
salat?” (Khalieqy, 2004: 34)
Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin
keras berdasarkan syariat Islam. Tentu diajarkan pula ilmu pengetahuan
umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak
diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan
pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang
jebolan sekolah umum. Kejora mewakili gambaran seorang santri ideal
tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya
terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini :
"Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat"
"Hanya ada satu hal, Ustadz"
"iya. Sebutkan"
Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz
Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia
dengan jawabnya?
"Tidak memiliki imajinasi" (( Khalieqy, 2004: 33)
“ Ustaz Mu’ammal bermurah hati memberikan kesempatan sekali
lahi untuk satu soalnya, namun aku tak mampu mengikuti
commit to user
kemurah hatian yang diajarkan. Sekalipun aku tahu seluruh
perpustakaan.uns.ac.id
87
digilib.uns.ac.id
jawaban yang sesuai dengan kitab fiqh, tetapi lidahku enggan
mengatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan
jawaban- jawaban yang tertera.”( Khalieqy, 2004: 33)
“ Seseorang yang tidak memiliki imajinasi, ia tidak pernah bisa
sholat. Jikapoun ia melaksanakan sholat, itu hanya ritual kosong
yang bisa dilaksanakan oleh semua robot. Hanya orang yang
memiliki imajinasi yang bisa melaksakan dan benar-benar salat”.
( Khalieqy, 2004: 33)
“ setiap hari kusaksikan Sonya Alkatiri, Nor bahanan, Faiga
Huraidi maupun Najwa Balbed, teman-temanku sekamar, jungkir
balik salat sembari lirik kiri kanan, senggol kiri kanan, kadang
ngikik kadang menarik narik mukena yang lain, bahkan aroma
CO2 sudah menyebar kemna-mana tetap tak ada yang mau
mwngaku dan tidak mau memperbaharui wudhunya, dapatkah
kucerna sebuah ketentuan tentang “ hal-hal yang mebatalkan
salat?” ( Khalieqy, 2004: 34)
Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model
pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat kita selami
dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsalbangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar
dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Akan tertapi tak sedikit pula
yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, kepandaian yang dimiliki
dijadikan senjata yang sangat merugikan untuk diri sendiri maupun orang lain.
2. Tanggapan Pembaca terhadap novel Geni Jora
Tanggapan pembaca mengenai novel Geni Jora karya Abidah El
Khalieqy sangat beraneka ragam. Novel ini merupakan novel yang secara
kritis membedah dunia pesantren. Menyorot sisi- sisi hubungan laki- laki dan
perempuan kaitannya dalam masalah gender. Pemberontakan tokoh utama atas
sikap patriarkis yang dinilainya tidak adil seperti yang diungkapkan oleh Drs.
Yant Mujiyanto, M. Pd yaitu :
” Gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini
sudah tergambar cukup jelas dan mendalam dalam novel
commit
to user
Geni Jora, artinya
suasana
yang dilukiskan pengarang
88
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sudah sesuai dengan realitas yang ada. Realitas yang
dimaksud disini adalah kuatnya budaya patriarki, sikap
lebih mengutamakan laki- laki daripada wanita” (
CLHW. No 1)
Hal senada juga diungkapkan oleh Kartika Fitri Yuniarti . Sebagai
seorang pembaca dia menilai novel ini sangat dekat dengan penyejajaran hak
antara laki- laki dan perempuan.
“ Menurut saya novel Geni Jora sudah cukup
menggambarkan kehidupan sosial budaya masyarakat
saat ini. Kejora menggambarkan sesosok aktifis
emansipasi wanita yang berusaha mensejajarkan hak
antara perempuan dan laki- laki. Namun pada
kenyataannya kita tidak sempat mengubah hukum alam
bahwa laki- laku lebih berkuasa daripada perempuan.” (
CLHW. No 4 ).
Selain menggambarkan mengenai feminisme dan patriarki dalam novel
ini juga secara jelas menceritakan tentang kehidupan Pondok Pesantren.
Dalam novel ini dapat dilihat bahwa pengarang sangat faham betul dan sangat
fasih bicara tentang kehidupan pesantren. Hal ini di darenakan memang
penulis mempunyai latar belakang pendidikan di pesantren.
“Di sini pengarang memotret realitas yang pernah
dialaminya dengan penghayatan yang mendalam ketika
dulu ia pernah nyantri di Pesantren. “ (CHLW. No 1)
Hal ini benar adanya karena pengarang sendiri bercerita bahwa lewat
novel ini Abidah mencoba menggambarkan kehidupan di Pesantren baik pada
jaman sekarang maupun dahulu saat dia masih tinggal di Pesantren.
“ Kejora dalam diri saya. Tokoh Kejora dalam novel ini
memang menggambarkan tentang diri saya terutama
pada saat saya ada dalam pondok pesantren di daerah
Jawa Timur.” (CLHW. No 1)
Selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak
mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89
digilib.uns.ac.id
settingnya ada di Pesantren. Hal ini diungkapkan oleh Yulia Sri Astuti sebagai
pembaca yang telah membaca novel ini.
“Ya. novel Geni Jora banyak sekali nilai- nilai
pendidikan agama. Banyak contoh- contoh yang bisa
diambil hikmahnya dari pendidikan agama.” (CLHW.
No 4)
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd
yang mengatakan bahwa dalam penceritaan ilmu agama dalam novel ini
sangat pas, artinya tidak berlebihan sehingga terkesan tidak menggurui atau
seperti buku agama yaitu :
“Sedikit banyak dalam novel ini dihadirkan aneka
pengetahuan tentang agama islam, sesuai karakter
kehidupan dan dunia pesantren yang menjadi inti
permasalahan ( bukan sekedar latar budaya ), namun
tidaklah terlalu detail seperti buku pelajaran agama.
Artinya, disini pengarang bertindak cukup proporsional,
sehingga penyampaian materi agamanya tidak terasa
menggurui. “ (CLHW. No 2)
Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh Kartika Fitri
Yuniarti yang mengungkapkan bahwa selain memberikan pengetahuan umun
Pesantren juga memberikan pengetahuan tentang agama yaitu:
“Sekarang di Pesantren juga mengajarkan pendidikan
umum jadi saya rasa sekarang sama dengan pendidikan
umum. Malah pesantren memiliki nilai lebih karena di
Pesantren mendapat bekal agama yang mendalam.”(
CLHW. No 5).
Pembaca lain juga beranggapan bahwa saat ini pesantren tidak hanya
mengajarkan tentang pendidikan agama saja tetapi mengajarkan juga
pengetahuan umun sama seperti sekolah pada umumnya, sehingga pesantren
saat ini tidak kalah dengan sekolah- sekolah formal.
“ Pendidikan di pokdok pesantren tidak kalah dari
pendidikan umum karena sekarang banyak pesantren
yang mengajarkan pendidikan agama dan umum.” (
CLHW. No 3) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90
digilib.uns.ac.id
Memang dalam novel ini digambarkan oleh penulis secara detail tentang
kehidupan di pesantren serta gaya hidup para santri yang cenderung
berdampak positif. Hal ini diungkapkan oleh Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd
yaitu :
“ Pendapat saya tentang pendidikan di Pondok Pesantren
hanya saya ketahui secara umum dan selintas ( dari baca
buku dan pengalaman anak saya yang pernah sekolah
disana yaitu pendalaman mengenai syariat Islam penuh
dengan materi- materi keagamaan, untuk diamalkan
dalam kehidupan sehari- hari. Disana ditanamkan
ketaatan pada perintah- perintah Allah, menjauhi
arangan-Nya, hidup sederhana, tekun, jujur, disiplin,
menghormati ustadz- ustadzah, punya kepedulian
terhadap lingkungan, disampaikan menjadi figur yang
membawa rahmat bagi semesta alam.” (CLHW. No 3)
Selain kelebihan, tentunya kehidupan pesantren juga memiliki
kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Yulia Sri Astuti yaitu :
“ Pondok Pesantren ada kelebihan dan kekurangannya.
Kelebihannya siswa benar- benar dipersiapkan untuk
urusan dunia dan akhirat, serta dengan alkhlak mulia.
Kekurangannya santri kadang jadi tertekan, dan tidak
mampu beradaptasi dengan dunia luar. Banyak jebolan
pesantren jadi nakal karena mereka tidak mampu
menyeleraskan kehidupan ini dengan benar.” ( CLHW.
No 4)
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan pesantren sesuai
dengan apa yang dicanangkan pemerintah, tetapi ada juga yang berpendapat
bahwa tidah sesuai. Seperti diungkapkan para pembaca sebagai berikut:
“ Rata- rata kehidupan di Pondok Pesantren sudah sesuai dengan
yang dicanangkan Pemerintah. Artinya, di sana diajakan sikap dan
tindakan untuk menjadi Warga Negara yang baik, ketaatan
terhadap ajaran agama, sesuai bermaslahat, jauh koridor amar
makhruf nahi munkar, menjadi insan yang dari tindakan yang
mengarah pada kemudaratan,
apalagi terorisme. “(CLHW. No 1)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
91
digilib.uns.ac.id
“ Sesuai dan mendukung. Bahkan sangat membantu pemerintah
dalam melaksanakan kehidupan yang sejahtera.” (CLHW. No 4)
“ Hanya menurut saya mungkin saja pesantren sudah menerapkan
aturan itu karena pesantren selalu menghasilkan santri- santri yang
dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.” (CLHW. No 3)
Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu
dan golongan sosial budaya. Baik dan tidaknya sebuah karya sastra dapat
dilihat dari bagaimana para pembaca dan penikmat sastra terhadap karya
sastra tersebut.
B. Pembahasan
1. Aspek Sosial Budaya Pesantren yang Terdapat dalam Novel Geni Jora
a. Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora.
Novel Geni Jora karya Abidah El Khaliqy sangar kental dengan
lingkungan pondok pesantren. Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah
membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada
Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas,
mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan
akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Pendidikan ini di dapat santri bukan
hanya dikelas tetapi juga dalam kehidupan selama di asrama.
Tujuan pondok yang awalnya memberikan pendidikan umum maupun
pendidikan agama, menjadi berubah karena adanya beberapa sntri yang
dikirim orang tuanya bukan hanya untuk menuntut ilmu di pesantren tetapi
dengan maksud tertentu. Dalam novel Geni Jora Abidah El Khaliqy di
ceritakan banyak orang tua yang beranggapan pesantren sebagai tempat
penampungan maupun rehabilitasi kepribadian santri yang bisa dikatakan
sudah bobrok.
Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat
unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda
walaupun tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya yang diciptakan dalam
commit to user
pesantren dalam novel ini adalah budaya pesantren berkelas yang didalamnya
perpustakaan.uns.ac.id
92
digilib.uns.ac.id
terdapat banyak santri dari keluarga konglomerat sehingga pesantren ini dapat
dikatakan pesantren berkelas.
Peraturan- peraturan yang sangat ketat juga ditampilkan dalam novel ini
sehingga benar- benar tercipta santri yang sangat berkwalitas. Santri yang
tidak hanya pandai dalam ilmu umum dan ilmu agama tetapi juga santri yang
memiliki kepribadian yang mandiri dan bertanggung jawab.
b. Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel
Geni Jora
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling
esensial.Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan kyai.
Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah
tokoh sentral dalam pesantren. Kyai dengan kharisma yang dimilikinya tidak
hanya dikategorikan sebagai elit agama, tetapi juga elit pesantren dan tokoh
masyarakat yang memiliki otoritas tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan
pengetahuan keagamaan Islam serta berkompeten dalam mewarnai corak dan
bentuk kepemimpinan terutama dalam pesantren. Tipe kharismatik yang
melekat pada dirinya menjadi tolok ukur kewibawaan pesantren. Dilihat dari
segi kehidupan santri, kharisma kyai merupakan karunia yang diperoleh dari
kekuatan dan anugerah Tuhan.
Dalam hal pendidikan baik yang menyangkut format kelembagaan,
kurikulum dan metode yang diterapkan tidak lepas dari kebijakan kyai. Segala
aspek policy pendidikan maupun manajerial, pihak lain hanyalah sebagai
pelengkap. Ketika terjadi perbedaan pendapat antara santri dan kyai, belum
pernah dalam sejarah kepesantrenan para santri mengalahkan kehendak kyai.
Dalam novel Geni Jora Abidah El Khaliqy digambarken jelas kyai
sangat berperan penting dalam segala kegiatan pesantren. Semua warga
commit
to user
pesantren segan dan sangat hormat
dengan
kyai.
93
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora
Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan
politik, dan pendidikan
Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting
bagi masyarakat. Dalam pesantren, masjid dianggap sebagai tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang
lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik.
Masjid adalah salah satu tempat yang dipakai oleh masyarakat pesantren
maupun masayrakat yang berasa di sekeliling pesantren tersebut. Adanya
hubungan baik antara masyarakat yang berada di dalam pesantren dan
masyarakat di sekeliling pesantren salah satunya karena adanya masjid.
Walaupun dalam novel tidak banyak diceritakan bagaimana santri
melakukan kegiatan di masjid, tetapi masjid diceritakan sebagai tempat yang
sangat suci dalam pesantren. Masjid menjadi tempat berkumpul para santri.
d. Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
Hubungan santri, kyai, dan pondok pesantren dalam novel ini sangatlah
kental. Santri yang sebagian besar hormat dan patuh pada kyai, tetapi tetap ada
sebagian santri yang terkesan menyepelekan kyai. Hal ini dikarenakan adanya
kecemburuan sosial karena sikap kyai dalam menghadapi santri yang bandel.
Hubungan yang tidak baik itu tidak hanya terjadi pada santri dan kyai
saja, hubungan antar santri demikian pula. Hal ini terlihat dalam segala hal
baik itu dalam kelas maupun pergaulan keseharian mereka. Kesenjangan
sosial sering kali tak terhindarkan mengingat mereka adalah satu jenis.
2. Tanggapan Pembaca terhadap novel Geni Jora
Novel ini menceritakan tentang kehidupan pesantren yang sarat dengan
pengetahuan tentang agama. Hanya saja masih ada yang harus dibenahi, yang
harus disesuaikan dengan keadaan pesantren pada umumnya.
commit to user
94
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini sudah tergambar
cukup jelas dan mendalam dalam novel Geni Jora, artinya suasana yang
dilukiskan pengarang sudah sesuai dengan realitas yang ada. Realitas yang
dimaksud disini adalah kuatnya budaya patriarki, sikap lebih mengutamakan
laki- laki daripada wanita. Gambaran sosial budaya dalam novel Geni Jora
mencerminkan keadaan sosial budaya yang sebenarnya di Pondok Pesantren.
commit to user
95
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Aspek Sosial Budaya Pesantren yang Terdapat dalam Novel Geni Jora
adalah :
a. Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai
fungsi ganda, sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan
pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia
muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat
sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran
sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat,
mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah maupun
jasmaniah.
Oleh karena itu banyak orang tua yang memasukkan anak- anaknya
ke pesantren walaupun mreka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
dan kurangnya intensitas bertemu dengan anak- anak mereka karena jarak
pesantren yang jauh. Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah
membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa
kepada Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam
arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan)
dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain.
Tujuan pondok yang awalnya memberikan pendidikan umum
maupun pendidikan agama, menjadi berubah karena adanya beberapa sntri
yang dikirim orang tuanya bukan hanya untuk menuntut nilmu di
pesantren tetapi dengan maksud tertentu. Banyak orang tua yang
beranggapan pesantren sebagai tempat penampungan maupun rehabilitasi
commit
to usersudah bobrok.
kepribadian santri yang biasa
dikatakan
95
96
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam novel ini, diceritakan bagaimana keadaan pondok pesantren
dengan segala peraturan- peraturan dan kegiatan yang harus dilakukan
para santri secara rutin. Dengan adanya peraturan- peraturan yang
ditetapkan pesantren diharapkan
para santri hidup dengan
teratur,
seimbang dan dinamis. Akan tetapi bukan peraturan dan tata tertib
namanya kalau tidak ada pelanggaran dan sangsi di dalamnya.
b. Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel
Geni Jora
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan
dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling
esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.
Keberadaan kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari peran dan
fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik,
karena selain memimpin lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya
bertugas menyusun kurikulum, membuat tata tertib, merancang sistem
evaluasi sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan
dengan ilmu agama yang diasuhnya, dia juga sebagai pembina, pendidik
umat serta pemimpin masyarakat. Dalam novel ini kyai digambarkan
seorang yang sangat dise4gani dan ditakuti oleh para santri.
Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai
spritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah
SWT). Oleh karena itu sosok seorang kyai dalam pesantren sangat
dihormati dan dihargai oleh kebanyakan santri terkecuali mereka yang
bandel dan tidak suka dengan aturan yang dibuat oleh pesantren ataupun
kyai.
c. Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora
Pondok pesantren pada umumnya yang pertama kali oleh seorang
to user
kyai atau seorang pendiricommit
pesantren
yang ingin mengembangkan sebuah
97
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah
kyai. Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat
dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum
muslimin selalu
memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat
lembaga pendidikan Islam.
Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan
Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting
bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai tempat
yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.
d. Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan
sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun
pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari
seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru
seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang
lebih lengkap untuk pondoknya.
Upaya santri untuk berhubungan dengan kyai selalu diwujudkan
dalam sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat. Hanya saja terkadang
penghormatan santri terhadap kiainya dinilai kebablasan dalam konteks
interaksi belajar mengajar sehingga santri kehilangan daya kritisnya
terutama ketika berhadapan dengan kyai.
Novel Geni Jora memiliki beberapa tokoh yang berpengaruh dalam
jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Penokohan dalam
novel dibagi menjadi tokoh utama yaitu tokoh yang sering muncul dan
beberapa tokoh tambahan. Dalam pesantren juga diceritakan beberapa
tokoh yang saling berhubungan dan didalamnya mengandung aspek sosian
budaya. Banyak konflik yang terjadi antar tokoh dalam pesantren, hal ini
disebabkan oleh persaingan ataupun kesenjangan sosial antara para santri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98
digilib.uns.ac.id
Hubungan antar tokoh dalam pesantren sangatlah bermacammacam. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman
sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam
sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama,
orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang
seperti itu pula. Hal itulah yang tampak pada tokoh utama dalam novel
ini. Tidak hanya hubungan yang kurang baik dengan tokoh lain yang
ditampilkan dalam nobel ini tetapi juga hubungan yang membangun dan
sanagt baik yang titunjukkan antara Kejora dan teman karinya.
Tokoh lain yang tampak pada novel ini adalah kyai dan encik yang
mengelola pesantren. Tidak semua pengelola pesantren memiliki
kepribadian yang baik dalam melaksanakan aturan dan tata tertib. Tetapi
banyak pula kyai yang sangat arif dan bijaksana dalam mengatasi berbagai
macam watak para santrinya
Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin
keras berdasarkan syariat Islam. Tentu diajarkan pula ilmu pengetahuan
umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak
diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan
pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang
jebolan sekolah umum. Kejora mewakili gambaran seorang santri ideal
tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya
terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya
Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model
pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat kita selami
dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di
bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan
tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Akan tertapi
tak sedikit pula yang pernah mengenyam pendidikan pesantren,
kepandaian yang dimiliki dijadikan senjata yang sangat merugikan untuk
diri sendiri maupun orang lain.
commit to user
99
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tanggapan Pembaca terhadap Novel Geni Jora
Tanggapan pembaca mengenai novel Geni Jora karya Abidah El
Khalieqy sangat beraneka ragam. Novel ini merupakan novel yang secara
kritis membedah dunia pesantren. Menyorot sisi- sisi hubungan laki- laki
dan perempuan kaitannya dalam masalah gender.
Selain menggambarkan mengenai feminisme dan patriarki dalam
novel ini juga secara jelas menceritakan tentang kehidupan Pondok
Pesantren. Dalam novel ini dapat dilihat bahwa pengarang sangat faham
betul dan sangat fasih bicara tentang kehidupan pesantren.
Selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak
mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam
novel ini settingnya ada di pesantren. Dalam novel ini digambarkan oleh
penulis secara detail tentang kehidupan di pesantren serta gaya hidup para
santri yang cenderung berdampak positif.
Selain kelebihan, tentunya
kehidupan pesantren juga memiliki kelemahan.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan pesantren
sesuai dengan apa yang dicanangken pemerintah, tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa tidak sesuai. Pembaca selaku pemberi makna adalah
variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Baik dan
tidaknya sebuah karya sastra dapat dilihat dari bagaimana para pembaca
dan penikmat sastra terhadap karya sastra tersebut.
B. Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi dengan dunia pendidikan khususnya dalam
pengajaran sastra. Hakikat Pendidikan di Indonesia dewasa ini banyak mengalami
perubahan. Hal ini terlihat dari kurikulum yang selalu berubah. Kurikulum
merupakan dasar dari pembuatan silabus. Yang digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan yang dirumuskan. Kurikulum yang sekarang digunakan adalah
kurikulum yang berlaku sekarang adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Dalam kurikulum ini menyertakan membaca dan mengapresiasi karya
to user
sastra sebagai kegiatan yang haruscommit
dilakukan
siswa.
perpustakaan.uns.ac.id
100
digilib.uns.ac.id
Kurikulum KTSP menekankan pada pencapaian tujuan dan karakteristik
sekolah masing- masing tetapi juga memenekankan pada standart kompetensi.
Pemerintah pusat memberi rambu- rambu untuk menyusun materi pelajaran
sedangkan guru menentukan silabus yang disesuaikan dengan tujuan dan karakter
sekolah masing- masing. Dengan demikian guru dan sekolah diberi kebebasan
untuk memilih materi materi yang diatur pemerintah.
Dalam kurikulum KTSP, pengajaran sastra di sekolah menengah pertama
kelas VII mencantumkan novel sebagai bahan ajar. Novel Geni Jora karya Abidah
El Khalieqy dianalisis dengan menggunakan sosiologi sastra yang dilakukan
dengan mencari unsur sosial budaya novel. Dengan adanya kurikulum KTSP,
guru memberi keleluasaan untuk mengembangkan materi pelajaran karena
pemerintah hanya memberi rambu- rambu berupa standar kompetensi dan
kompetensi dasar wajib dipenuhi.
Dari hasil penelitian ini dapat diungkapkan adanya unsur- unsur intrinsik
yang membangun dalam Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini meliputi
tema, alur, setting, penokohan, sudut pandang, dan amanat. Unsur- unsur intrinsik
ini dapat dijadikan bahan ajar khususnya dalam hal apresisi sastra. Kajian tokoh
yang terdapat dalam Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy memuat tentang
watak- watak tokoh yang terdapat dalam novel tersebut.
Dengan demikian Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini dijadikan
sebagai bahan materi pengajaran sastra dengan kajian apresiasi. Berdasarkan
uraian diatas, implikasi yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Implikasi Teoretis
Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk mengembangkan
pengajaran sastra di SMP khususnya novel- novel indonesia dari berbagai
angkatan. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan
pengajaran sastra yang lebih kreatif dan inovatif.
2. Implikasi Praktis
Sebagai bahan asukan bagi guru untuk meningkatkan pengajaran sastra
di SMP, khususnya tentag novel- novel Indonesia yang dirasa sangat kurang
to user
dipahami oleh guru Bahasa commit
dan Sastra
Indonesia. Sebagai sarana bagi siswa
101
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk memahami dan mengerti tentang apresiasi novel, sehingga dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari- hari.
C. Saran
Berdaasarkan hasil penelitian di atas, peneliti dapat memberikan saransaran sebagai berikut :
1. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Karya sastra berupa novel Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini
dapat digunakan sebagai salah satu bahan ajar sastra di SMP karena sesuai
dengan kurikulum yang ada. Novel ini memiliki banyak amanat sehingga
sangat baik jika digunakan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra.
Pembelajaran ini dapat berupa siswa diberi tugas membaca penggalan atau
sinopsis Novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy kemudian mengapresiasi
unsur intrinsik dan ekstrinsik serta nilai edukatif dalam novel ini kemudian
dibahas dan didiskusikan bersama- sama.
2. Bagi Peneliti Lain
Melihat kelebihan dari novel ini serta kualitas yang bermutu , peneliti
mengharapkan adanya penelitian- penelitian lain mengenai novel ini melalui
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan psikologi sastra yang digunakan
dalam penelitian ini.
3. Bagi Penikmat Sastra
Penelitian ini dapat dijadikan jembatan bagi sarana penghubung antara
karya sastra dengan penikmatnya itu sendiri. Melalui penelitian ini diharapkan
karya sastra tidak lagi menjadi sebuah hal asing di mata pembaca serta
pembaca lebih dapat meresapi, menghayati dan menikmati sebuah karya
sastra.
commit to user
Download