ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus.2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011) JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : JERRY THOMAS NIM : 100200112 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011) JURNAL ILMIAH Oleh : JERRY THOMAS NIM : 100200112 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh, Penanggung Jawab Ketua Departemen Hukum Pidana Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001 Editor Pembimbing I Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. NIP. 195102061980021001 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 ABSTRAK Syafruddin Kalo* Rafiqoh Lubis** Jerry Thomas*** Ketentuan di dalam Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menegaskan bahwa majelis hakim melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dan dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP juga menegaskan agar hakim memutus bebas seorang terdakwa apabila hasil pemeriksaan sidang menyatakan bahwa pasal-pasal di dalam surat dakwaan tidak terbukti. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, judex factie dalam kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Namun, Mahkamah Agung pada perkara yang pertama justru menerima kasasi dengan menyatakan bahwa putusan haruslah sesuai dengan surat dakwaan, sedangkan pada perkara kedua menolak kasasi dengan dalih bahwa penerapan hukum yang dilakukan judex factie sudah tepat. Kedua putusan ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum akan hukum acara pidana di Indonesia. Ada beberapa yurisprudensi yang memang memperbolehkan hakim untuk memutus pasal yang tidak didakwakan di dalam surat dakwaan, seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, Nomor 42 K/Kr/1956, Nomor 693 K/Pid/1986, dan Nomor 675 K/Pid/1987 yang memperbolehkan memutus pasal sejenis dengan pasal yang didakwakan. Di lain pihak, juga terdapat yurisprudensi yang tidak memperkenankan penjatuhan pidana terhadap pasal yang tidak didakwakan, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983, Nomor 47 K/Kr/1956, dan Nomor 68 K/Kr/1973 yang menegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada surat dawaan. Dari beberapa hal tersebut, maka menimbulkan kebingungan akan hukum acara pidana Indonesia, mengingat bahwa yurisprudensi juga merupakan sumber hukum formil. Selain itu, semakin membingungkan mengingat bahwa sistem hukum yang dianut di Indonesia adalah sistem hukum Civil Law yang tidak mengikat hakim untuk mengikuti yurisprudensi yang ada. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan 3 (tiga) asas yang penting, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Kata Kunci: Surat Dakwaan, Putusan, Yurisprudensi * ** *** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan Di dalam kasus atau perkara pidana yang merupakan perkara publik, yang dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang melawan Negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam penyelesaian kasus pidana. Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses penyelesaian perkara pidanatersebut sebagaimana kita kenal dengan istilah hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.1 “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi fakta-fakta yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik) beserta aturan-aturan hukum yang dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan pengambilan keputusan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim di dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum, sama dengan perkara perdata dibatasi pula oleh apa yang digugat. 1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 7 – 8. Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 33. 2 Di lain pihak, juga terdapat kemungkinan bahwa surat dakwaan yang sudah dibuat oleh Penuntut Umum secara cermat dan teliti tersebut memberikan hasil yang diharapkan. Pemeriksaan Pengadilan mungkin saja tidak dapat meyakinkan hakim bahwa dakwaan atas tindak pidana terhadap terdakwa memang benar adanya. Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat secara tersirat pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas." Secara formal ketentuan ini sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim dalam memberikan putusan. Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, namun ternyata dalam praktek peradilan pidana masih ada Hakim yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan Penuntut Umum. Hakim dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa meskipun tindak pidana yang dilakukan terdakwa tidak tertulis di dalam surat dakwaan, yang pada pokoknya hal ini sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum dan tidak sesuai dengan isi Pasal 182 ayat (4) KUHAP yaitu "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang." Hal ini dapat dilihat melalui putusan majelis hakim pada kasus yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011. Melalui kedua putusan atas kasus narkotika pada tingkat kasasi ini pula, dapat dilihat penyelesaian oleh judex jurist yang berbeda terhadap dua permasalahan yang serupa, yaitu judex factie yang menjatuhkan vonis atas tindak pidana yang tidak terdapat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Dengan adanya perbedaan pertimbangan yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan tersebut menimbulkan kegamangan akan hukum acara pidana sehingga dipandang perlu dicarikan solusi hukumnya demi tegaknya wibawa Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul "ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)." B. Permasalahan Permasalahan yang hendak dibahas yaitu: 1. Bagaimana dasar hukum putusan hakim terhadap perbuatan yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan? 2. Bagaimana perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung mengenai putusan yang dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam perkara tindak pidana narkotika pada putusan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 ? C. Metode Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum Yuridis Normatif, dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur hukum yang berkaitan. D. Hasil Penelitian 1. Dasar Hukum Putusan Hakim Terhadap Perbuatan Yang Tidak Didakwakan Di Dalam Surat Dakwaan a. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Menurut Montersquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu ditekankan adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan badan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.4 Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang 3 H. Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni, hal. 49. 4 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya, kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang. Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan putusan. Seorang hakim di dalam mengemban tugasnya harus mendapatkan perlindungan sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang berasal dari:5 a. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain; b. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri; c. Pengaruh-pengaruh pihak yang beperkara; d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional; e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press6.” Profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain.7 Adanya ketentuan bahwa hakim merdeka dan bebas tidak berarti hakim boleh bertindak serampangan, kewajibannya adalah menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan keadilannya serta hati nuraninya.8 Apabila kebebasan yang dimiliki hakim kemudian diartikan menjadi kebebasan mutlak, dapat terjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya akan kembali kepada suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.9 Implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tercermin dalam kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan, merupakan salah satu dari hasil proses pemeriksaan perkara di muka pengadilan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan 5 H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 167. Trial by Press atau peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan. 7 Ibid. 8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ketigabelas, Jakarta: Gramedia, 1991, hal. 228. 9 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 55. 6 kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan satu landasan teori untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul dari pembentukan hukum melalui putusan pengadilan.10 b. Putusan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia Pengambilan putusan dalam perkara pidana dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut berperan dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan yang adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.11 Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya. Sebelum putusan hakim diucapkan/dijatuhkan maka prosedural yang harus dilakukan hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut:12 a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. b. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar serta dilihatnya di persidangan. c. Pembacaan surat dakwaan untuk Acara Biasa (Pid.B) atau catatan dakwaan untuk Acara Singkat (Pid.S) oleh Jaksa Penuntut Umum. d. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti lalu Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. e. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. f. Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau atas keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka sidang dilanjutkan. g. Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; dan e. Keterangan terdakwa. 10 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 46. Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 12 Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 123–124. 11 h. Kemudian pernyataan Hakim Ketua Sidang bahwa pemeriksaan dinyatakan “selesai” dan lalu Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir). i. Pembelaan (pleidoi) terdakwa dan atau penasihat hukumnya. j. Replik dan Duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik. k. Pemeriksaan dinyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. c. Yurisprudensi Sebagai Dasar Hakim Memutus Di Luar Dakwaan Di dalam perkara pidana, dasar pemeriksaan sidang pengadilan adalah surat dakwaan. Pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang didasarkan pada surat dakwaan tersebut. Oleh karena itu, pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan. Djoko Prakoso menyatakan: “Dapat dikatakan bahwa salah satu asas yang paling fundamental dalam proses pidana adalah keharusan pembuatan surat dakwaan. Ia memuat fakta-fakta yang didakwakan terhadap seorang terdakwa dan hakim hanya boleh memutuskan atas dasar fakta-fakta tersebut, tidak boleh kurang atau lebih. Oleh sebab itu, surat dakwaan dipandang sebagai suatu litis contestatio13.” Namun demikian, perlu pula diingat bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Bahkan dalam perkembangan praktek peradilan dewasa ini yurisprudensi telah menempatkan diri pada posisi yang sangat dominan dalam mengisi ruang-ruang kosong yang tidak terjangkau oleh pengaturan hukum melalui undang-undang. Yurisprudensi sebagai putusan pengadilan pada tingkat peradilan tertinggi, akan mewarnai praktek peradilan. Karena yurisprudensi memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang ditemukan dalam praktek.14 Hakim di depan persidangan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa berdasarkan surat dakwaan dari Penuntut Umum. Pada hakikatnya, hakim tidak boleh merubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 dan hakim juga dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 taggal 26 Mei 1984. 15 Selain itu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 13 Litis contestatio adalah istilah yang digunakan merujuk kepada dasar hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara. 14 H.Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Penerbit : Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 242. 15 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik, Bandung: Alumni, 2008, hal. 41. 1957 dan Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada tuduhan (dakwaan).16 Akan tetapi, terhadap hal ini ada perkembangan menarik dan merupakan terobosan baru dari Mahkamah Agung RI. Terdapat beberapa putusan pengadilan yang memutus suatu tindak pidana yang secara tegas tidak dirumuskan dalam surat dakwaan dapat dibenarkan, apabila tindak pidana yang dinyatakan terbukti tersebut sejenis dengan tindak pidana yang didakwakan (yang dirumuskan secara tegas dalam surat dakwaan). Misalnya, terdakwa didakwa secara tunggal melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, tetapi yang terbukti adalah Pasal 360 ayat (2) KUHP, terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai Pasal 360 ayat (2) KUHP walaupun pasal ini tidak didakwakan.17 Yurisprudensi demikian dapat dilihat pada putusan-putusan Mahkamah Agung berikut ini. a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984 yang menyatakan bahwa walaupun yang dituduhkan pasal 310 KUHP, terdakwa dapat dipersalahkan dan dihukum karena melanggar pasal 315 KUHP; b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956 tanggal 3 Oktober 1956 yang menyatakan bahwa dalam tuduhan atas “pembunuhan berencana” termasuk pula tuduhan atas “pembunuhan,” karena pembunuhan berencana tidak lain daripada pembunuhan yang telah direncanakan lebih dahulu dengan ketenangan hati. Maka orang yang dituduh melanggar pasal 340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti bersalah melanggar pasal 338 KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan; c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989 menyatakan bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik sejenis yang sifatnya lebih ringan, karena dianggap delik tersebut termasuk di dalamnya. Akhirnya, surat dakwaan yang merupakan dasar pemeriksaan hakim di depan sidang pengadilan tersebut, dalam putusan haruslah dicantumkan. Hal ini limitatif sifatnya, sebagaimana ditentukan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP. Apabila hal ini dibaikan, atas pelanggaran demikian berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 694 K/Pid/1984 tanggal 15 Mei 1994 mengakibatkan putusan hakim batal demi hukum. Mengingat bahwa yurisprudensi yang sudah menjadi tetap (yurisprudensi konstan) selalu digunakan dan dipedomani oleh hakim, maka dapat dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil. Formil karena terjadi dengan cara tertentu, yaitu oleh hakim dalam sidang pengadilan. 16 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Edisi Revisi Cetakan kesepuluh, 2004, Malang: UMM Press, hal. 223. 17 Ibid., hal. 42. Dalam sistem hukum Common Law, hakim terikat pada precedent atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu persitiwa, sehingga dianut asas “binding precedent.” Sedangkan, di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, putusan pengadilan bersifat “persuasive precedent.” Jadi, putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi hanya sebagai kekuatan yang meyakinkan. 2. Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan Yang Dijatuhkan Di Luar Pasal Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011) a. Surat Dakwaan Sebagai Dasar Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara Pidana Menurut KUHAP Munculnya suatu perkara dimulai dengan adanya tindak pidana di masyarakat. Setelah diadakan penangkapan terhadap tersangkanya, kemudian dilakukan pemeriksaan untuk tingkat penyidikan. Di tingkat penyidikan, dapat dilakukan berbagai upaya seperti penggeledahan, penyitaan barang bukti, dan pemeriksaan saksi-saksi yang tujuannya agar perkara dapat diperiksa di tingkat berikutnya. Hasil dari penyidikan adalah dasar dalam pembuatan surat dakwaan. Rumusan-rumusan di dalam surat dakwaan pada dasarnya tidak lain dari hasil penyidikan karena memang didasarkan pada hasil penyidikan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penyidikan merupakan pintu gerbang masuknya perkara pidana oleh karena setiap perkara pidana tidak dapat dituntut atau diajukan ke pengadilan sebelum melalui tingkat penyidikan. Dari pelbagai pandangan teoretik dan praktisi hukum apabila dijabarkan pada asasnya, surat dakwaan mempunyai dimensi tentang hal-hal sebagai berikut:18 a. Bahwa surat dakwaan adalah suatu akta; b. Bahwa surat dakwaan berisikan perumusan locus dan tempus delicti; c. Bahwa surat dakwaan berisikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap; d. Bahwa surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim melakukan pemeriksaan di depan persidangan. 18 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum …, op. cit, hal. 38-41. Fungsi surat dakwaan dalam sidang pengadilan merupakan landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasar rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Jika surat dakwaan berisi tuduhan mekakukan perampokan pada malam hari dengan mempergunakan senjata yang didahului dengan pembongkaran dan penembakan, sepanjang ruang lingkup itulah batasbatas pemeriksaan dalam persidangan. Pemeriksaan tidak boleh melakukan pemeriksaan terhadap kejahatan dan keadaan lain. Itulah sebabnya undang-undang mewajibkan penuntut umum menyusun rumusan surat dakwaan yang jelas, supaya mudah mengarahkan jalannya pemeriksaan sidang. Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan:19 a. Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan; b. Bagi Penuntut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum; c. Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan. Pasal 143 ayat (2) KUHAP menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan Surat Dakwaan, yakni syarat-syarat yang berkenaan dengan tanggal, tanda tangan Penuntut Umum, dan identitas lengkap terdakwa.Syarat-syarat dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil. Sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi: a. Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum pembuat Surat Dakwaan; b. Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan. Identitas diperlukan untuk mengindividualisir orang yang dijadikan terdakwa sehingga dihindari kemungkinan adanya error in persona. Kemudian pencantuman kebangsaan berfungsi untuk mengetahui status terdakwa yang berkorelasi dengan hak-haknya sehubungan guna mempersiapkan pembelaannya berdasarkan ketentuan Pasal 51 huruf b KUHAP, seperti mendapatkan juru bahasa bagi terdakwa yang tidak mengerti Bahasa Indonesia (karena kebangsaan asing). 19 Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1994 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan tanggal 16 November 1993 Sedangkan pencantuman agama diperlukan dalam surat dakwaan dalam hubungannya dengan pelaksanaan penyumpahan menurut cara agamanya ketika terdakwa tersebut dijadikan saksi mahkota yang perkaranya dilakukan splitsing (Pasal 142 KUHAP) dan sebelum memberikan keterangan disumpah terlebih dahulu (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Berikutnya, mengenai pekerjaan terdakwa berkorelasi apabila terdakwa didakwa melakukan tindak pidana jabatan (ambstdelicten) sehingga dalam dakwaan perlu diuraikan terhadap kapasitas status terdakwa sesuai pekerjaan, jabatan atau kedudukannya berdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan dalam jabatan tersebut.20 Di samping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu tindak pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek disebut sebagai syarat materiil. Sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, syarat materiil meliputi: 1. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan; 2. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata “cermat” paling depan dari rumusan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek dan teliti. Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaannya. Uraian secara lengkap, berarti Surat Dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) tindak pidana yang didakwakan.Unsur-unsur tersebut harus terlukis di dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam Surat Dakwaan. Secara materiil, suatu Surat Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:21 a. Tindak pidana yang dilakukan; b. Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut; c. Dimana tindak pidana dilakukan; 20 21 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum …, op.cit, hal. 43-44. Ibid. d. Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan; e. Bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan; f. Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil); g. Apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik-delik tertentu); h. Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan. Komponen-komponen tersebut secara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang didakwakan (apakah tindak pidana tersebut termasuk delik formil atau delik materiil). Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan. Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig). b. Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Putusan Mahkamah Agung b.1 Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dalam perkara ini Terdakwa didakwa melanggar pasal 111 (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena ketahuan membawa 1 linting ganja dengan berat 0,25 gram. Namun, Pengadilan Negeri Bangkalan menyatakan Terdakwa tidak terbukti melanggar pasal 111 (1) melainkan pasal 127 (penyalahguna). Atas putusan PN tersebut Penuntut Umum mengajukan Banding, permohonan Banding Penuntut Umum tersebut dikabulkan, namun Pengadilan Tinggi Surabaya tetap menjatuhkan terdakwa atas pasal 127 bukan 111, Pengadilan Tinggi bahkan menambahkan perintah agar Terdakwa direhabilitasi. Atas putusan Pengadilan Tinggi yang pada intinya memperkuat putusan PN yang menjatuhkan hukuman atas pasal yang tidak didakwakan tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi Penuntut Umum tersebut, dalam pertimbangannya MA menyatakan judex factie telah salah dalam menerapkan hukum oleh karena menjatuhkan pidana atas pasal yang tidak didakwakan. Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan judex factie dan mengadili sendiri perkara tersebut. MA menyatakan Terdakwa terbukti atas dakwaan yang diajukan Penuntut Umum, yaitu melanggar Pasal 111 (1) UU Narkotika. Berikut kutipan pertimbangan Majelis Hakim Agung: a. Bahwa alasan Penuntut Umum dapat dibenarkan, oleh karena Judex Factie (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) salah menerapkan hukum karena putusan Judex Factie (Pengadilan Tinggi) yang mengubah amar putusan Judex Factie (Pengadilam Negeri) yang memerintahkan agar Terdakwa menjalani pengobatan/rehabilitasi sebagaimana tersebut dalam amarnya: Menyatakan Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dan karena itu membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut, menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri,” dan karena itu dijatuhi pidana 10 (sepuluh) bulan penjara dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang salah, yaitu: Judex Factie menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri yang tindak pidana tersebut tidak didakwakan; Judex Factie salah menyimpulkan bahwa unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman berdasarkan pertimbangan bahwa oleh karena barang tersebut (ganja yang terdapat pada rokok yang belum habis dihisap) adalah merupakan barang yang dapat disamakan sebagai puntung rokok yang telah dibakar dan dihisap oleh Terdakwa, maka barang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai barang yang dimiliki atau menyimpan ataupun menguasai atau menyediakan, oleh karena barang tersebut adalah sisa; Bahwa pertimbangan Judex Factie (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) tersebut jelas salah karena bernilai atau tidaknya suatu barang, mengandung substansi atau zat tertentu , tidak tergantung kepada tempat keberadaan atau bungkus barang tersebut, melainkan tergantung kepada nilai atau substansi yang terkandung dalam barang tersebut; Dengan pertimbangan tersebut, ganja yang terdapat dalam puntung rokok tetap mempunyai substansi sebagai ganja dan bernilai sebagai barang yang berharga, meskipun dalam kasus ini dibatasi kepemilikan, penguasaan, dan pemakaiannya; b. Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 675 /PID/2011/PT.SBY tanggal 21 November 2011 yang mengubah putusan Pengadilan Negeri Bangkalan No. 142/PID.B/2011/PN.Bkl tanggal 3 Oktober 2011 tidak dapat dipertahankan lagi, karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut; c. Bahwa oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi/Jaksa Penuntut Umum dikabulkan sedangkan Terdakwa tetap dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini. b.2 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 Dalam perkara ini, kedua Terdakwa adalah anggota Polri yang tertangkap menggunakan sabu-sabu di sebuah hotel. Terdakwa I tertangkap saat masih menggunakan sabu-sabu sendirian di dalam kamar hotelnya, sementara itu Terdakwa II ditangkap di tempat pencucian mobil. Saat Terdakwa II ditangkap ditemukan alat-alat untuk menggunakan sabu-sabu tersebut. Penuntut Umum kemudian mendakwa kedua Terdakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 112 jo. Pasal 132 (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan para terdakwa tidak bersalah atas pasal yang didakwakan, namun menyatakan para terdakwa melanggar Pasal 127 UU Narkotika. Putusan yang menjatuhkan vonis atas pasal yang tidak didakwakan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Atas putusan di luar dakwaan tersebut, Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, MA dengan tegas menolak permohonan kasasi tersebut. Berikut kutipan pertimbangan Majelis Hakim Agung: a. Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena merupakan pengulangan dari hal-hal yang sudah dikemukakan; b. Bahwa judex factie tidak salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I; c. Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum, atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP; d. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Factie/Pengadilan Tinggi dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau peraturan perundang-undangan, maka permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum tersebut harus ditolak; e. Bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Para Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini. b.3 Analisis Putusan Mahkamah Agung Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman maka kekuasaan Mahkamah Agung (dan lain-lain Badan Kehakiman) hanyalah sebatas yang diberikan oleh undang-undang.Banyak hal yang sebenarnya termasuk dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman tetapi tidak diberikan kepada Mahkamah Agung (dan lainlain Badan Kehakiman) baik di bidang idiologi, politik, peradilan, sosial maupun administrasi kekuasaan kehakiman.22 Salah satu kekuasaan yang diberikan kepada Mahkamah Agung yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung pada Pasal 28 ayat (1) yaitu wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Peradilan kita menganut suatu “Sistem kasasi,” yang juga lazim disebut “Sistem kontinental” yang berasal dari Perancis.Berdasarkan sistem tersebut maka Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi yang tugasnya adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh Indonesia diterapkan secara tepat dan adil.23 Melaui kedua putusan Mahkamah Agung mengenai perkara narkotika tersebut, dapat dilihat bahwa Penuntut Umum di dalam 2 perkara tersebut samasama menyusun surat dakwaannya dengan bentuk dakwaan tunggal, yaitu melanggar Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk perkara Putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan melanggar Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk perkara Putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012. Ini berarti bahwa dalam diri Penuntut Umum telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidak-tidaknya terdakwa tidak lepas dari jerat tindak pidana yang didakwakan. Apabila terdakwa didakwa dengan dakwaan bentuk tunggal, sebenarnya hal ini mengandung risiko besar, karena apabila dakwaan tersebut gagal dibuktikan Penuntut Umum di persidangan, terdakwa jelasakan dibebaskan (vrijspraak) oleh Majelis Hakim.24 Pasal 111 ayat (1) mengatur terhadap siapa saja yang tidak memiliki hak untuk menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Arti kata atau dalam pasal tersebut menyatakan bahwa cukup salah satu unsur saja yang dipenuhi sudah dapat memenuhi syarat untuk dapat dipidananya orang tersebut. Pasal 112 ayat (1) mengatur siapa saja yang tidak memiliki hak untuk memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Pasal ini memiliki makna yang sama dengan Pasal 111 sebelumnya, hanya berbeda dalam kategori bukan tanaman saja. Pasal 132 ayat (1) mengatur tentang percobaan atau permufakatan jahat yang dilakukan dalam tindak pidana narkotika dan prekursornya terhadap pasal22 A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran Dan Fungsi Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 214. 23 Ibid., hal. 225. 24 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, hal. 111-112. pasal tertentu. Yang dimaksud dengan percobaan adalah adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri.25 Dalam hal tuntutan pidana yang dibuat oleh Penuntut Umum, baik dalam perkara Putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan Putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012, karena hanya membuat surat dakwaan dengan bentuk dakwaan tunggal, mau tidak mau ia harus menuntut sesuai pasal tunggal dalam surat dakwaan karena sudah yakin dengan pasal yang dilanggar oleh terdakwa tersebut. Penuntut Umum sama-sama menuntut 5 tahun penjara kepada terdakwa dalam kedua perkara tersebut dimana sudah memenuhi syarat hukuman minimal sesuai undang-undang, yaitu 4 tahun. Namun, yang perlu diperhatikan adalah adanya tambahan pidana denda dalam Putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 yang dituntut sesuai dengan denda minimal, yaitu Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan subsidair 4 bulan penjara. Melihat putusan pada tingkat pertama, hakim pada kedua perkara samasama menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum adalah tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, kemudian membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut. Hal ini bertambah menarik karena hakim pada kedua perkara kemudian menghukum Terdakwa dengan pasal yang tidak didakwakan Penuntut Umum, yaitu tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri, yang sebagaiman dimaksud oleh Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Hal putusan hakim pada tingkat pertama ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa terdakwa diputus bebas, jika dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Penjelasan Pasal 54 menyatakan bahwa korban penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika. Putusan pada tingkat banding pada kedua perkara kemudian juga samasama melakukan perubahan pada amar putusan pengadilan negeri. Pada perkara Putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, hakim banding hanya sekedar mengubah pidana yang dijatuhkan kepada para Terdakwa menjadi lebih ringan, yakni dari 2 (dua) tahun menjadi 1 (satu) tahun. Sedangkan pada perkara Putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012, hakim banding sekedar menambah amar memerintahkan Terdakwa untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan (rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial). 25 Narkotika. Penjelasan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Dalam kedua perkara tersebut juga, Penuntut Umum juga sebagai pihak yang mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman. Dalam hubungannya dengan fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung, maksud dan tujuan kasasi adalah:26 a. Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan (pengadilan negeri/pengadilan tinggi). b. Memperbaiki kesalahan/kekeliruan dalam cara mengadili. c. Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa tindakan yang melampaui batas wewenangnya. Yang dimaksudkan wewenang dalam hal ini, ialah wewenang mengadili dari suatu pengadilan. Kewenangan tersebut sering juga disebut kekuasaan mengadili. Kewenangan/kekuasaan mengadili tersebut dibedakan atas kewenangan mengadili yang bersifat absolut dan kewenangan mengadili yang bersifat relatif.27 Dalam perkara putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, Mahkamah Agung menolak kasasi dari Penuntut Umum karena pada pokoknya merupakan pengulangan dari hal-hal yang sudah dikemukakan dan tidak mempersoalkan halhal yang sesuai dengan maksud dan tujuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Suatu permohonan kasasi akan dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Agung, apabila menurut pendapat/penilaian Mahkamah Agung, bahwa alasan dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh permohonan kasasi ternyata tidak dapat dibenarkan, karena ternyata judex factietidak salah dalam penerapan hukum, tidak terdapat kelalaian dalam acara, maupun judex factie ternyata tidak melampaui wewenangnya. Dalam hal demikian Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi, kadang-kadang dengan memperbaiki putusan yang diserang, apabila kelalaian judex factie tidak menyebabkan batalnya putusan tetapi cukup putusan yang bersangkutan diperbaiki saja.28 Di lain pihak, Mahkamah Agung pada perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 justru menerima kasasi dari Penuntut Umum. Hakim Mahkamah Agung pada pokoknya berpendapat bahwa Judex Factie (PN dan PT) telah salah menerapkan hukum karena telah memutus tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri, yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.Dan kemudian mengadili sendiri perkara tersebut dengan memutus Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum. 26 Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hal. 50- 27 Ibid., hal 54. Ibid., hal. 177-178. 53. 28 Jika dilihat pertimbangan Judex Factie dalam perkara putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012, maka hakim mempergunakan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 657 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989 yang pada intinya menyatakan bahwa, “Jika yang terbukti adalah delik sejenis yang lebih ringan sifatnya dari delik yang sejenis yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka meskipun delik yang lebih ringan tersebut tidak didakwakan, maka Terdakwa dapat dipersalahkan dipidana atas dasar melakukan delik yang lebih ringan tersebut.” Tetapi, majelis hakim agung pada perkara ini tidak membenarkan yurisprudensi tersebut dan memutus sesuai dengan apa yang ada dalam dakwaan.Ini berarti bahwa hakim agung dalam perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 telah jelas menyatakan bahwa dasar daripada putusan hakim (litis contestatio) haruslah sesuai dengan surat dakwaan. Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984, justru menyatakan putusan batal demi hukum sebab Terdakwa dihukum atas dakwaan yang tidak didakwakan kepadanya. Dengan demikian, jelas bahwa putusan Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor 182/Pid.B/2011/PN.Bkl tanggal 26 Oktober 2011 telah bertentangan dengan yurisprudensi tersebut. Sementara itu, jika dilihat di dalam perkara putusan Mahkamah Agung 2497 K/Pid.Sus/2011, tidak terdapat satu pun pertimbangan yang menyinggung mengenai dasar daripada surat dakwaan dan dalam hal penggunaan yurisprudensi. Dengan kata lain, judex factie dalam perkara ini jelas telah melanggar ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dan secara subyektif memutus pasal di luar dakwaan. Semakin menjadi miris dengan melihat Mahkamah Agung yang menolak kasasi tanpa mencantumkan pertimbangan yang cukup jelas, dimana dengan kata lain membenarkan putusan judex factie yang memutus pasal di luar dakwaan tersebut. Yang menarik dari kedua perkara ini yaitu terdapat hakim agung yang sama, yaitu Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H. yang duduk sebagai ketua majelis di kedua perkara tersebut. Namun, walaupun terdapat perbedaan pertimbangan yang bertolak belakang, tidak terdapat pendapat hukum yang berbeda (dissenting opinion) dalam kedua putusan tersebut. Kedua putusan ini juga diputus dalam waktu yang relatif berdekatan, yaitu tanggal 11 Januari 2012 dan 27 Februari 2012. Selain itu, kedua perkara ini juga terjadi di wilayah Pengadilan Tinggi yang sama, yaitu Pengadilan Tinggi Surabaya. Setiap pemeriksaan Pengadilan itu selalu terdiri dari dua bagian, bagian pertama mengenai “duduk perkara” dan bagian kedua mengenai “hukumnya.” Hal ini tercermin dalam sistematika surat putusan hakim yang selalu terdiri dari “duduk perkara” dan “pertimbangan hukum.” Dalam pemeriksaan tingkat banding, kedua bagian tersebut diperiksa ulang seluruhnya, sehingga pemeriksaan banding juga disebut “pemeriksaan ulangan.” Dalam pemeriksaan kasasi maka yang ditinjau apakah judex factie tidak salah menerapkan hukum / melanggar hukum, tidak melampaui wewenang, atau tidak memenuhi syarat-syarat yang berakibat batalnya putusan.29 Mengingat bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil yang digunakan dan dipedomani hakim. Namun, sungguh mengherankan apabila terdapat yurisprudensi yang berbenturan dan tidak sesuai isinya satu sama lain. Walaupun sistem peradilan Indonesia menganut sistem Kontinental, yang berarti hakim tidak terikat pada yurisprudensi ataupun putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan layaknya sistem Common Law. Namun, hal ini akan mengakibatkan preseden yang buruk bagi sistem peradilan pidana ke depannya. Sebagaimana diketahui, bahwa hukum (terutama hukum kodifikasi) bersifat statis. Ia tidak akan mengalami perubahan tanpa dilakukan perubahan oleh badan legislatif. Sebaliknya, masyarakat bersifat dinamis. Berbagai perubahan dan perkembangan dalam masyarakat tadi akan menyebabkan hukum tertinggal di belakangnya. Bahkan hukum selalu tertatih-tatih dalam mengejar perkembangan masyarakat. Dalam rangka menyesuaikan hukum dengan kebutuhan hukum masyarakat, Mahkamah Agung melalui putusan-putusannya, berusaha menyesuaikan hukum dengan kebutuhan masyarakat.30 Melalui kasasi ini Mahkamah Agung dapat menggariskan memimpin dan uitbouwen dan verbouwen (mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi, dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang adequate, bahkan kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika dari kehidupan masyarakat itu sendiri.31 Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan kebenaran dan berkeadilan, dengan berpegang pada hukum, undang-undang, dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengenyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice). Keadilan yang dimaksudkan di sini, bukanlah keadilan proseduril (formil), akan tetapi keadilan substantif (materiil), yang sesuai dengan hati nurani hakim.32 29 Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, 1992, hal. 47. Harun M. Husein, op.cit, hal. 185-186. 31 Ibid., hal. 186. 32 Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal 127-128. 30 Persoalan dari tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang, yaitu:33 a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya; b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan; c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatan. Tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun, dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan. Seperti halnya dalam kedua perkara tindak pidana narkotika tersebut.Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 yang menolak kasasi, majelis hakim agung pada saat itu lebih mengarah kepada asas keadilan, sehingga secara otomatis menjauhi titik kepastian hukum. Putusan terhadap para Terdakwa dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan karena memang pasal itu yang terbukti, maka ia mengesampingkan kepastian hukum sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Jika majelis hakim agung lebih mendekat pada arah kepastian hukum, maka sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, para Terdakwa haruslah diputus bebas. Dan jika hal ini terjadi, maka tentu saja salah satu fungsi hukum sebagai kontrol sosial tidak terwujud karena melepaskan orang yang jelas terbukti bersalah, walaupun tidak dicantumkan kesalahannya di dalam surat dakwaan. Dari perkara tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tidak selamanya terpaku pada satu asas saja. Pada setiap perkara yang diajukan kepadanya atau secara kasuistis, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat saja berubah-ubah dari asas yang satu ke asas yang lainnya. Yang terpenting hakim harus mempertimbangkan dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu dipilih asas tersebut.34 Oleh karena itu, tugas menjatuhkan putusan oleh hakim tersebut telah termasuk pula di dalamnya adalah tugas untuk melakukan penemuan hukum melalui putusan-putusannya. Jika dipadukan dengan metode fiksi hukum, dalam hal hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit), maka putusan hakim akan merupakan suatu putusan yang progresif, apabila hakim dalam putusan yang akan dijatuhkannya, ingin keluar dari tawanan undang-undang atau melakukan tindakan contra legem. Pintu masuk yang digunakan oleh hakim dalam hal ini adalah Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan juga penjelasan dari pasal 33 34 Ibid., hal. 131-132. Ibid., hal. 134. tersebut, agar putusan yang dijatuhkannya sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka mencapai keadilan substansial. 35 Achmad Rifai menyatakan bahwa metode penemuan hukum yang sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif tersebut adalah metode penemuan hukum yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke depan, tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, sehingga dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial.36 Menurut Achmad Rifai, putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah:37 a. Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistic, yakni hanya sekadar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistic karena putusannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Putusan hakim tidak hanya sekadar memenuhi formalitas hukum atau sekadar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan; c. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran ke depan (visioner), yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking), di mana dalam hal suatu ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan; d. Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan. Namun, sebenarnya dalam kedua perkara tersebut, permasalahan kepastian hukum akan putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan surat dakwaan dapat dicegah oleh Penuntut Umum sendiri, dengan cara membuat surat dakwaan dengan bentuk dakwaan alternatif. Oleh karena dengan bentuk dakwaan tunggal, hakim hanya diberi satu pilihan pasal saja untuk diperiksa. Dengan demikian, hakim bisa mengarah kepada asas keadilan tanpa harus mengesampingkan asas kepastian hukum. 35 Ibid., hal. 136. Ibid., hal. 137. 37 Ibid., hal. 137-138. 36 Pada dasarnya yurisprudensi Mahkamah Agung tidak memiliki kekuatan mengikat secara langsung terhadap keputusan hakim judex factie. Yang paling utama yaitu pembentukan yurisprudensi dalam menimbulkan hukum adalah adanya kesamaan tujuan antara judex factie dengan judex jurist. Dalam hal penjatuhan putusan, hakim melakukan pertimbangan yang menyentuh dimensi yuridis dan sosiologis serta filosofis, dimana berujung pada usaha tercapainya asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Di samping itu juga terdapat faktorfaktor yang dipengaruhi dari dalam dan luar diri hakim. Hukum mempunyai tujuan, asas. Ia memiliki roh yang biasanya dituangkan dalam asas-asas. Roh atau asas seperti itu bisa menjadi hilang di tengah rimba kalimat-kalimat, pasal-pasal. Memang lebih mudah dan cepat membaca kalimat undang-undang. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai di situ saja membawa “malapetaka.”38 Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan dapat menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. Kaidah itu adalah makna spiritual roh, sedangkan peraturan adalah penerjemahannya ke dalam kata-kata dan kalimat. Maka, senantiasa ingat akan kaidah mengisyaratkan setiap orang untuk selalu berpikir dua, tiga, empat kali dalam membaca hukum. Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan tujuan hukum, yang membutuhkan perenungan yang mendalam. Meski kalimatkalimat yang namanya peraturan sudah dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa makna lebih dalam kalimat-kalimat itu, di mana letak rohnya (keadilannya). Melalui perenungan logika, diharapkan kita dapat membaca roh hukum tersebut. E. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni: a. Dasar hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum adalah melalui yurisprudensi. Terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang dipedomani oleh judex factie, yang kemudian membuat putusan yang dipedomani tersebut menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi tersebut antara lain seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956, putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675 38 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum, Jakarta: Kompas, 2007, hal. 122. K/Pid/1987. Putusan-putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik di luar isi surat dakwaan yang sejenis dengan delik yang didakwakan, karena dianggap delik tersebut termasuk di dalamnya. Di lain pihak, terdapat yurisprudensi yang menyatakan hakim tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983, putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/Kr/1973. Sementara itu, bila dilihat pada Pasal 182 ayat (4) dan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka hukum acara pidana di Indonesia menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim haruslah berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum. Jika pasal-pasal yang didakwakan Penuntut Umum dalam suratdakwaannya tidak terbukti di persidangan, maka terdakwa diputus bebas. Hal ini tentu menimbulkan kegamangan di dalam memahami hukum acara pidana di Indonesia. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa yurisprudensi berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum formil. Indonesia sendiri menganut sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental, yang berarti hakim tidak terikat pada yurisprudensi. Jadi, hakim yang hendak memutuskan perkara tidak wajib mengikuti atau terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Yurisprudensi tersebut hanyalah bersifat sebagai persuasive precedent. Ia tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, tetapi hanya sebagai kekuatan yang meyakinkan. b. Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, dasar pembuktian, dasar tuntutan pidana, dan dasar putusan (litis contestatio) hakim. Bentuk pengesampingan surat dakwaan sebagai litis contestatio hakim di dalam perkara narkotika pada putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 merupakan juga bentuk penyimpangan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, karena judex factie dalam kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan Penuntut Umum. Namun, pada akhirnya, juga terdapat penilaian yang berbeda oleh Mahkamah Agung di kedua perkara tersebut. Saat hakim agung pada perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim haruslah sesuai dengan surat dakwaan, justru hakim agung pada perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 menolak kasasi yang dengan kata lain tidak mempermasalahkan soal putusan judex factie yang menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan Penuntut Umum. Padahal kedua perkara tersebut diputus oleh ketua majelis hakim agung yang sama, yaitu Prof. Komariah Emong Sapardjaja, yang juga dalam rentangwaktu yang relatif dekat. Pada dasarnya, putusan hakim menurut Gustav Radbruch harus memenuhi 3 (tiga) asas, yaitu asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Melalui kedua putusan dalam perkara narkotika tersebut, dapat dilihat bahwa banyak hal dari dalam dan luar diri hakim yang mempengaruhinya dalam menjatuhkan putusan. Dan kedua putusan tersebut merupakan contoh konkret yang memberitahukan bahwa di dalam sebuah putusan, sangatlah sulit untuk memenuhi sekaligus ketiga asas tersebut. Ketika lebih condong kepada keadilan, maka putusan hakim akan mengesampingkan kepastian hukum. Dalam hal jika mengikuti ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka hakim telah mengesampingkan keadilan dengan membebaskan terdakwa yang jelas telah bersalah walaupun kesalahannya tidak didakwakan. 2. Saran a. Harus ada persamaan persepsi antara masing-masing sub-sistem di dalam proses peradilan pidana. Cara kerja sub-sistem harus terintegrasi (terpadu) dengan sub-sistem lainnya. Antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem tetap berjalan terpadu. Apabila sejak awal telah terjadi ketidakterpaduan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sub-sistem tersebut secara keseluruhan akan merosot. Bahkan, lebih parah lagi, masyarakat tidak lagi mempercayai sub-sistem secara institutif dalam arti sempit dan sistem peradilan pidana dalam arti yang lebih luas. b. Masih perlu dilakukan pelatihan terhadap jaksa-jaksa, terutama dalam hal pembuatan surat dakwaan. Masih perlu ditingkatkan kemampuan dalam merumuskan isi surat dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Dan dalam hal ditemukan keragu-raguan dalam pembuatan surat dakwaan, sebaiknya dapat dibicarakan dalam forum diskusi yang melibatkan jaksa-jaksa senior. Terkhusus dalam kedua perkara narkotika yang ada, yaitu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, sebenarnya masalah kepastian hukum di dalam putusan tersebut dapat dicegah dengan pembuatan bentuk surat dakwaan non-tunggal, bisa bentuk dakwaan alternatif ataupun subsidair. Sehingga pada akhirnya hal ini dapat memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan putusannya. c. Hakim mungkin saja dapat melakukan penemuan hukum yang bersifat progresif di dalam putusannya. Putusan yang bersifat progresif tersebut adalah putusan yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke depan, tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada masyarakat. Dalam membaca suatu bunyi kalimat peraturan, hendaknya kita memahami kaidah yang terdapat di dalamnya. Harus direnungkan terlebih dahulu apa makna di dalam kalimat tersebut, sehingga dengan demikian tujuan daripada hukum dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Buku: Arto, A. Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran Dan Fungsi Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiarjo, Miriam. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan ketigabelas. Jakarta: Gramedia. Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum. Cetakan kedua. Bandung: Armico. Hamid, H. Hamrat dan Harun M. Husein. 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab). Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafuika. _____. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafika. Hiariej, Eddy O. S. 2009. Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga. Husein, Harun M. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Balai Pustaka. Koesnoe, H. M. 1998. Kedudukan Dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Surabaya: Ubhara Press. Kuffal, HMA. 2004. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. (ed. revisi). Cetakan kesepuluh. Malang: UMM Press. M., H. Pontang Moerad B. 2012. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Cetakan kedua. Bandung: Alumni. Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi) Bagian Kedua, Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Cetakan kedua. Yogyakarta: Liberty. _____. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan keenam. Yogyakarta: Liberty. _____ dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mulyadi, Lilik. 1996. Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan). Bandung: Citra Aditya Bakti. _____. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan Permasalahannya. Bandung: Alumni _____. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik. Bandung: Alumni. Nasution, A. Karim. 1972. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana. Jakarta: Percetakan Negara R.I. Nurdin, H. Boy. 2012. Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni. Pradja, R. Achmad S. Soema di.1990. Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi. Bandung: Armico. Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1993. Perundang-undangan Dan Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Prodjodikoro, Wirjono. 1962. Hukum Atjara Pidana Di Indonesia. Cetakan kelima. Bandung: Sumur Bandung. _____. 1983. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. Pujiyono. 2007. Kumpulan Tulisan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan keenam. Bandung: Citra Aditya Bakti. _____. 2008. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas. Rifai, Achmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Sari, Ratna. 1995. Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana. Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia. Soetomo, A. 1989. Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen. Jakarta: Pradnya Paramitam. Subekti. 1992. Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni. Supramono, Gatot. 1991. Surat Dakwaan Dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum. Jakarta: Djambatan. _____. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan. Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan kesebelas. Jakarta: Ichtiar Baru. Makalah, Jurnal, Tesis, Skripsi: A. Hamzah. “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. H. Elfi Marzuni. “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”. Makalah pada Seminar Peran Dan Fungsi Penegakan Hukum Dalam Menciptakan Keadilan Dan Kepastian Hukum. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 10 April 2012. Paulus E Lotulung. “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”. Makalah pada Seminar Pembangunan HukumNasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Peraturan Perundang-undangan: Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1994 tanggal 16 November 1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-607/E/11/1993 tanggal 22 November 1993 tentang Surat Dakwaan Perkara Narkotika. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undan-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sumber Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba. Narkoba, diakses tanggal 30 April 2014 pukul 11.00 WIB http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20H AKIM-AM.pdf. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama. H. Abdul Manan, diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 14.45 WIB. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Pers pektif%20filsafat%20hukum.pdf. Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Suatu Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum). Suhartono, diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 16.20 WIB. http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan. Kebebasan Hakim VS Pencari Keadilan. M. Sofyan Lubis, diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 17.00 WIB.