analisis putusan mahkamah agung mengenai putusan yang

advertisement
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN
YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus.2012
Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
JERRY THOMAS
NIM : 100200112
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN
YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)
JURNAL ILMIAH
Oleh :
JERRY THOMAS
NIM : 100200112
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh,
Penanggung Jawab
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.
NIP. 195703261986011001
Editor
Pembimbing I
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.
NIP. 195102061980021001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
ABSTRAK
Syafruddin Kalo*
Rafiqoh Lubis**
Jerry Thomas***
Ketentuan di dalam Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menegaskan bahwa majelis hakim
melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan berdasarkan pada surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dan dalam
ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP juga menegaskan agar hakim memutus
bebas seorang terdakwa apabila hasil pemeriksaan sidang menyatakan bahwa
pasal-pasal di dalam surat dakwaan tidak terbukti.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan
putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, judex factie dalam
kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan
oleh Penuntut Umum. Namun, Mahkamah Agung pada perkara yang pertama
justru menerima kasasi dengan menyatakan bahwa putusan haruslah sesuai
dengan surat dakwaan, sedangkan pada perkara kedua menolak kasasi dengan
dalih bahwa penerapan hukum yang dilakukan judex factie sudah tepat. Kedua
putusan ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum akan hukum acara pidana di
Indonesia.
Ada beberapa yurisprudensi yang memang memperbolehkan hakim untuk
memutus pasal yang tidak didakwakan di dalam surat dakwaan, seperti putusan
Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, Nomor 42 K/Kr/1956, Nomor 693
K/Pid/1986, dan Nomor 675 K/Pid/1987 yang memperbolehkan memutus pasal
sejenis dengan pasal yang didakwakan. Di lain pihak, juga terdapat yurisprudensi
yang tidak memperkenankan penjatuhan pidana terhadap pasal yang tidak
didakwakan, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983,
Nomor 47 K/Kr/1956, dan Nomor 68 K/Kr/1973 yang menegaskan bahwa
putusan pengadilan harus didasarkan pada surat dawaan.
Dari beberapa hal tersebut, maka menimbulkan kebingungan akan hukum
acara pidana Indonesia, mengingat bahwa yurisprudensi juga merupakan sumber
hukum formil. Selain itu, semakin membingungkan mengingat bahwa sistem
hukum yang dianut di Indonesia adalah sistem hukum Civil Law yang tidak
mengikat hakim untuk mengikuti yurisprudensi yang ada. Namun, satu hal yang
perlu diperhatikan, yaitu hakim dalam menjatuhkan putusannya harus
memperhatikan 3 (tiga) asas yang penting, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.
Kata Kunci: Surat Dakwaan, Putusan, Yurisprudensi
*
**
***
Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
A. Pendahuluan
Di dalam kasus atau perkara pidana yang merupakan perkara publik, yang
dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang melawan Negara yang dalam hal
ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan
sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam penyelesaian kasus pidana. Ada
beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses penyelesaian perkara
pidanatersebut sebagaimana kita kenal dengan istilah hukum acara pidana yang
diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.1
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.”
Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat
bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran
material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum
positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek,
sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang
dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi
terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada
surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi fakta-fakta
yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik) beserta aturan-aturan hukum yang
dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat
isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun
materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat
(2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan
dan pengambilan keputusan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim di
dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum,
sama dengan perkara perdata dibatasi pula oleh apa yang digugat.
1
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 7 – 8.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 33.
2
Di lain pihak, juga terdapat kemungkinan bahwa surat dakwaan yang
sudah dibuat oleh Penuntut Umum secara cermat dan teliti tersebut memberikan
hasil yang diharapkan. Pemeriksaan Pengadilan mungkin saja tidak dapat
meyakinkan hakim bahwa dakwaan atas tindak pidana terhadap terdakwa memang
benar adanya. Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat secara tersirat pada Pasal 191
ayat (1) KUHAP yang menyatakan, "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas." Secara formal ketentuan ini sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim
dalam memberikan putusan.
Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh
menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti
atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, namun
ternyata dalam praktek peradilan pidana masih ada Hakim yang menjatuhkan
putusan di luar dakwaan Penuntut Umum.
Hakim dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa meskipun tindak pidana yang dilakukan terdakwa tidak
tertulis di dalam surat dakwaan, yang pada pokoknya hal ini sebenarnya tidak
dibenarkan secara hukum dan tidak sesuai dengan isi Pasal 182 ayat (4) KUHAP
yaitu "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang." Hal ini dapat
dilihat melalui putusan majelis hakim pada kasus yang terdapat dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011.
Melalui kedua putusan atas kasus narkotika pada tingkat kasasi ini pula,
dapat dilihat penyelesaian oleh judex jurist yang berbeda terhadap dua
permasalahan yang serupa, yaitu judex factie yang menjatuhkan vonis atas tindak
pidana yang tidak terdapat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Dengan adanya perbedaan pertimbangan yang terjadi dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011
yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan tersebut menimbulkan kegamangan
akan hukum acara pidana sehingga dipandang perlu dicarikan solusi hukumnya
demi tegaknya wibawa Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas
suatu tulisan yang berjudul "ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG
DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)."
B. Permasalahan
Permasalahan yang hendak dibahas yaitu:
1. Bagaimana dasar hukum putusan hakim terhadap perbuatan yang tidak
didakwakan dalam surat dakwaan?
2. Bagaimana perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung mengenai
putusan yang dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam perkara
tindak pidana narkotika pada putusan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan
Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 ?
C. Metode Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan
adalah penelitian hukum Yuridis Normatif, dinamakan juga dengan penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Dalam hal penelitian hukum
normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan
dan berbagai literatur hukum yang berkaitan.
D. Hasil Penelitian
1. Dasar Hukum Putusan Hakim Terhadap Perbuatan Yang Tidak
Didakwakan Di Dalam Surat Dakwaan
a. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum
Menurut Montersquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu
ditekankan adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan
badan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak
kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.4
Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang
3
H. Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Pidana, Bandung: Alumni, hal. 49.
4
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti
bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya,
kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang. Demikian juga meliputi
kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan
putusan.
Seorang hakim di dalam mengemban tugasnya harus mendapatkan
perlindungan sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan
direktiva yang berasal dari:5
a. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun
legislatif, dan lain-lain;
b. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman
sendiri;
c. Pengaruh-pengaruh pihak yang beperkara;
d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun
internasional;
e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press6.”
Profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang
bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan
merugikan kebebasan orang lain.7 Adanya ketentuan bahwa hakim merdeka dan
bebas tidak berarti hakim boleh bertindak serampangan, kewajibannya adalah
menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang
berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan keadilannya serta hati
nuraninya.8 Apabila kebebasan yang dimiliki hakim kemudian diartikan menjadi
kebebasan mutlak, dapat terjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada
akhirnya akan kembali kepada suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip
kebebasan kekuasaan kehakiman.9
Implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tercermin dalam
kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pembentukan hukum
melalui putusan pengadilan, merupakan salah satu dari hasil proses pemeriksaan
perkara di muka pengadilan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan
5
H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 167.
Trial by Press atau peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa
adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan
dari satu sisi pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan sadar
dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian berakibat menjadikan
penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak
yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan.
7
Ibid.
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ketigabelas, Jakarta: Gramedia,
1991, hal. 228.
9
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 55.
6
kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan satu
landasan teori untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul dari
pembentukan hukum melalui putusan pengadilan.10
b. Putusan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut
Hukum Acara Pidana Di Indonesia
Pengambilan putusan dalam perkara pidana dilakukan oleh hakim yang
independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut berperan dalam
menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang
dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan
yang adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di
sidang terbuka untuk umum.11
Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara
pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya. Sebelum
putusan hakim diucapkan/dijatuhkan maka prosedural yang harus dilakukan
hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut:12
a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
b. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta
terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar
serta dilihatnya di persidangan.
c. Pembacaan surat dakwaan untuk Acara Biasa (Pid.B) atau catatan
dakwaan untuk Acara Singkat (Pid.S) oleh Jaksa Penuntut Umum.
d. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan
dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti lalu Penuntut
Umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan
yang diperlukan.
e. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum.
f. Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau atas keberatan tersebut
hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka
sidang dilanjutkan.
g. Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk; dan
e. Keterangan terdakwa.
10
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 46.
Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
12
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 123–124.
11
h. Kemudian pernyataan Hakim Ketua Sidang bahwa pemeriksaan
dinyatakan “selesai” dan lalu Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana
(requisitoir).
i. Pembelaan (pleidoi) terdakwa dan atau penasihat hukumnya.
j. Replik dan Duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik.
k. Pemeriksaan dinyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah
terakhir untuk menjatuhkan putusan.
c. Yurisprudensi Sebagai Dasar Hakim Memutus Di Luar Dakwaan
Di dalam perkara pidana, dasar pemeriksaan sidang pengadilan adalah
surat dakwaan. Pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap dalam pemeriksaan sidang yang didasarkan pada surat dakwaan
tersebut. Oleh karena itu, pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal
yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan.
Djoko Prakoso menyatakan: “Dapat dikatakan bahwa salah satu asas yang
paling fundamental dalam proses pidana adalah keharusan pembuatan surat
dakwaan. Ia memuat fakta-fakta yang didakwakan terhadap seorang terdakwa dan
hakim hanya boleh memutuskan atas dasar fakta-fakta tersebut, tidak boleh
kurang atau lebih. Oleh sebab itu, surat dakwaan dipandang sebagai suatu litis
contestatio13.”
Namun demikian, perlu pula diingat bahwa yurisprudensi merupakan salah
satu sumber hukum. Bahkan dalam perkembangan praktek peradilan dewasa ini
yurisprudensi telah menempatkan diri pada posisi yang sangat dominan dalam
mengisi ruang-ruang kosong yang tidak terjangkau oleh pengaturan hukum
melalui undang-undang. Yurisprudensi sebagai putusan pengadilan pada tingkat
peradilan tertinggi, akan mewarnai praktek peradilan. Karena yurisprudensi
memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang ditemukan dalam
praktek.14
Hakim di depan persidangan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa
berdasarkan surat dakwaan dari Penuntut Umum. Pada hakikatnya, hakim tidak
boleh merubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 dan hakim
juga dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan
menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut
Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 taggal 26 Mei 1984. 15 Selain
itu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret
13
Litis contestatio adalah istilah yang digunakan merujuk kepada dasar hakim untuk
menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara.
14
H.Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penuntutan Dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Penerbit : Sinar Grafika, Jakarta, 1992,
hal. 242.
15
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik,
Bandung: Alumni, 2008, hal. 41.
1957 dan Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa
putusan pengadilan harus didasarkan pada tuduhan (dakwaan).16
Akan tetapi, terhadap hal ini ada perkembangan menarik dan merupakan
terobosan baru dari Mahkamah Agung RI. Terdapat beberapa putusan pengadilan
yang memutus suatu tindak pidana yang secara tegas tidak dirumuskan dalam
surat dakwaan dapat dibenarkan, apabila tindak pidana yang dinyatakan terbukti
tersebut sejenis dengan tindak pidana yang didakwakan (yang dirumuskan secara
tegas dalam surat dakwaan). Misalnya, terdakwa didakwa secara tunggal
melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, tetapi yang terbukti adalah Pasal 360 ayat
(2) KUHP, terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai Pasal 360 ayat (2) KUHP
walaupun pasal ini tidak didakwakan.17
Yurisprudensi demikian dapat dilihat pada putusan-putusan Mahkamah
Agung berikut ini.
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984 yang menyatakan
bahwa walaupun yang dituduhkan pasal 310 KUHP, terdakwa dapat
dipersalahkan dan dihukum karena melanggar pasal 315 KUHP;
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956 tanggal 3 Oktober 1956
yang menyatakan bahwa dalam tuduhan atas “pembunuhan berencana”
termasuk pula tuduhan atas “pembunuhan,” karena pembunuhan
berencana tidak lain daripada pembunuhan yang telah direncanakan lebih
dahulu dengan ketenangan hati. Maka orang yang dituduh melanggar pasal
340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti bersalah melanggar pasal 338
KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan;
c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986
dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret
1989 menyatakan bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik
sejenis yang sifatnya lebih ringan, karena dianggap delik tersebut termasuk
di dalamnya.
Akhirnya, surat dakwaan yang merupakan dasar pemeriksaan hakim di
depan sidang pengadilan tersebut, dalam putusan haruslah dicantumkan. Hal ini
limitatif sifatnya, sebagaimana ditentukan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf c
KUHAP. Apabila hal ini dibaikan, atas pelanggaran demikian berdasarkan
ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
694 K/Pid/1984 tanggal 15 Mei 1994 mengakibatkan putusan hakim batal demi
hukum.
Mengingat bahwa yurisprudensi yang sudah menjadi tetap (yurisprudensi
konstan) selalu digunakan dan dipedomani oleh hakim, maka dapat dikatakan
bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil. Formil karena terjadi
dengan cara tertentu, yaitu oleh hakim dalam sidang pengadilan.
16
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Edisi Revisi Cetakan
kesepuluh, 2004, Malang: UMM Press, hal. 223.
17
Ibid., hal. 42.
Dalam sistem hukum Common Law, hakim terikat pada precedent atau
putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Hakim harus
berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan
pada suatu persitiwa, sehingga dianut asas “binding precedent.” Sedangkan, di
Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, putusan pengadilan bersifat
“persuasive precedent.” Jadi, putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat,
tetapi hanya sebagai kekuatan yang meyakinkan.
2. Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan Yang Dijatuhkan Di Luar
Pasal Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika
(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)
a. Surat Dakwaan Sebagai Dasar Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara Pidana
Menurut KUHAP
Munculnya suatu perkara dimulai dengan adanya tindak pidana di
masyarakat. Setelah diadakan penangkapan terhadap tersangkanya, kemudian
dilakukan pemeriksaan untuk tingkat penyidikan. Di tingkat penyidikan, dapat
dilakukan berbagai upaya seperti penggeledahan, penyitaan barang bukti, dan
pemeriksaan saksi-saksi yang tujuannya agar perkara dapat diperiksa di tingkat
berikutnya.
Hasil dari penyidikan adalah dasar dalam pembuatan surat dakwaan.
Rumusan-rumusan di dalam surat dakwaan pada dasarnya tidak lain dari hasil
penyidikan karena memang didasarkan pada hasil penyidikan. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa penyidikan merupakan pintu gerbang masuknya
perkara pidana oleh karena setiap perkara pidana tidak dapat dituntut atau
diajukan ke pengadilan sebelum melalui tingkat penyidikan.
Dari pelbagai pandangan teoretik dan praktisi hukum apabila dijabarkan
pada asasnya, surat dakwaan mempunyai dimensi tentang hal-hal sebagai
berikut:18
a. Bahwa surat dakwaan adalah suatu akta;
b. Bahwa surat dakwaan berisikan perumusan locus dan tempus delicti;
c. Bahwa surat dakwaan berisikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa
dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap;
d. Bahwa surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim melakukan
pemeriksaan di depan persidangan.
18
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum …, op. cit, hal. 38-41.
Fungsi surat dakwaan dalam sidang pengadilan merupakan landasan dan
titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasar rumusan surat dakwaan dibuktikan
kesalahan terdakwa. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang
dirumuskan dalam surat dakwaan. Jika surat dakwaan berisi tuduhan mekakukan
perampokan pada malam hari dengan mempergunakan senjata yang didahului
dengan pembongkaran dan penembakan, sepanjang ruang lingkup itulah batasbatas pemeriksaan dalam persidangan. Pemeriksaan tidak boleh melakukan
pemeriksaan terhadap kejahatan dan keadaan lain. Itulah sebabnya undang-undang
mewajibkan penuntut umum menyusun rumusan surat dakwaan yang jelas, supaya
mudah mengarahkan jalannya pemeriksaan sidang.
Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan
perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan:19
a. Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus
membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam
penjatuhan keputusan;
b. Bagi
Penuntut
Umum,
Surat
Dakwaan
merupakan
dasar
pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya
hukum;
c. Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk
mempersiapkan pembelaan.
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pembuatan Surat Dakwaan, yakni syarat-syarat yang berkenaan dengan tanggal,
tanda tangan Penuntut Umum, dan identitas lengkap terdakwa.Syarat-syarat
dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil.
Sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, syarat formil
meliputi:
a. Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum
pembuat Surat Dakwaan;
b. Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang
meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan.
Identitas diperlukan untuk mengindividualisir orang yang dijadikan
terdakwa sehingga dihindari kemungkinan adanya error in persona. Kemudian
pencantuman kebangsaan berfungsi untuk mengetahui status terdakwa yang
berkorelasi dengan hak-haknya sehubungan guna mempersiapkan pembelaannya
berdasarkan ketentuan Pasal 51 huruf b KUHAP, seperti mendapatkan juru bahasa
bagi terdakwa yang tidak mengerti Bahasa Indonesia (karena kebangsaan asing).
19
Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1994 Tentang
Pembuatan Surat Dakwaan tanggal 16 November 1993
Sedangkan pencantuman agama diperlukan dalam surat dakwaan dalam
hubungannya dengan pelaksanaan penyumpahan menurut cara agamanya ketika
terdakwa tersebut dijadikan saksi mahkota yang perkaranya dilakukan splitsing
(Pasal 142 KUHAP) dan sebelum memberikan keterangan disumpah terlebih
dahulu (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Berikutnya, mengenai pekerjaan terdakwa
berkorelasi apabila terdakwa didakwa melakukan tindak pidana jabatan
(ambstdelicten) sehingga dalam dakwaan perlu diuraikan terhadap kapasitas status
terdakwa sesuai pekerjaan, jabatan atau kedudukannya berdasarkan Surat
Keputusan Pengangkatan dalam jabatan tersebut.20
Di samping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan
harus memuat uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu tindak pidana itu
dilakukan. Syarat ini dalam praktek disebut sebagai syarat materiil.
Sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, syarat materiil
meliputi:
1. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan;
2. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.
Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum
dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa.
Dengan menempatkan kata “cermat” paling depan dari rumusan pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut
Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek dan teliti.
Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas
dalam Surat Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang
didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaannya.
Uraian secara lengkap, berarti Surat Dakwaan itu memuat semua unsur
(elemen) tindak pidana yang didakwakan.Unsur-unsur tersebut harus terlukis di
dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam Surat Dakwaan.
Secara materiil, suatu Surat Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat
apabila telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:21
a. Tindak pidana yang dilakukan;
b. Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut;
c. Dimana tindak pidana dilakukan;
20
21
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum …, op.cit, hal. 43-44.
Ibid.
d. Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan;
e. Bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan;
f. Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil);
g. Apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut
(delik-delik tertentu);
h. Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan.
Komponen-komponen tersebut secara kasuistik harus disesuaikan dengan
jenis tindak pidana yang didakwakan (apakah tindak pidana tersebut termasuk
delik formil atau delik materiil).
Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat
yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat
materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan.
Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi.
Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat
dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil
menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).
b. Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Putusan
Mahkamah Agung
b.1 Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa melanggar pasal 111 (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena ketahuan membawa 1
linting ganja dengan berat 0,25 gram. Namun, Pengadilan Negeri Bangkalan
menyatakan Terdakwa tidak terbukti melanggar pasal 111 (1) melainkan pasal
127 (penyalahguna). Atas putusan PN tersebut Penuntut Umum mengajukan
Banding, permohonan Banding Penuntut Umum tersebut dikabulkan, namun
Pengadilan Tinggi Surabaya tetap menjatuhkan terdakwa atas pasal 127 bukan
111, Pengadilan Tinggi bahkan menambahkan perintah agar Terdakwa
direhabilitasi.
Atas putusan Pengadilan Tinggi yang pada intinya memperkuat putusan
PN yang menjatuhkan hukuman atas pasal yang tidak didakwakan tersebut
Penuntut Umum kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan Kasasi Penuntut Umum tersebut, dalam
pertimbangannya MA menyatakan judex factie telah salah dalam menerapkan
hukum oleh karena menjatuhkan pidana atas pasal yang tidak didakwakan.
Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan judex factie dan mengadili
sendiri perkara tersebut. MA menyatakan Terdakwa terbukti atas dakwaan yang
diajukan Penuntut Umum, yaitu melanggar Pasal 111 (1) UU Narkotika.
Berikut kutipan pertimbangan Majelis Hakim Agung:
a. Bahwa alasan Penuntut Umum dapat dibenarkan, oleh karena Judex Factie
(Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) salah menerapkan hukum
karena putusan Judex Factie (Pengadilan Tinggi) yang mengubah amar
putusan Judex Factie (Pengadilam Negeri) yang memerintahkan agar
Terdakwa menjalani pengobatan/rehabilitasi sebagaimana tersebut dalam
amarnya: Menyatakan Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana
yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dan karena itu membebaskan
Terdakwa dari dakwaan tersebut, menyatakan Terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana, “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman bagi diri sendiri,” dan karena itu dijatuhi pidana 10
(sepuluh) bulan penjara dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang
salah, yaitu:
 Judex Factie menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana
penyalahgunaan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri
sendiri yang tindak pidana tersebut tidak didakwakan;
 Judex Factie salah menyimpulkan bahwa unsur menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman berdasarkan
pertimbangan bahwa oleh karena barang tersebut (ganja yang terdapat
pada rokok yang belum habis dihisap) adalah merupakan barang yang
dapat disamakan sebagai puntung rokok yang telah dibakar dan dihisap
oleh Terdakwa, maka barang tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai barang yang dimiliki atau menyimpan ataupun menguasai atau
menyediakan, oleh karena barang tersebut adalah sisa;
 Bahwa pertimbangan Judex Factie (Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi) tersebut jelas salah karena bernilai atau tidaknya suatu barang,
mengandung substansi atau zat tertentu , tidak tergantung kepada
tempat keberadaan atau bungkus barang tersebut, melainkan
tergantung kepada nilai atau substansi yang terkandung dalam barang
tersebut;
Dengan pertimbangan tersebut, ganja yang terdapat dalam puntung rokok
tetap mempunyai substansi sebagai ganja dan bernilai sebagai barang yang
berharga, meskipun dalam kasus ini dibatasi kepemilikan, penguasaan, dan
pemakaiannya;
b. Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas, Mahkamah
Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 675
/PID/2011/PT.SBY tanggal 21 November 2011 yang mengubah putusan
Pengadilan Negeri Bangkalan No. 142/PID.B/2011/PN.Bkl tanggal 3
Oktober 2011 tidak dapat dipertahankan lagi, karena itu harus dibatalkan
dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut;
c. Bahwa oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi/Jaksa
Penuntut Umum dikabulkan sedangkan Terdakwa tetap dipidana, maka
harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini.
b.2 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011
Dalam perkara ini, kedua Terdakwa adalah anggota Polri yang tertangkap
menggunakan sabu-sabu di sebuah hotel. Terdakwa I tertangkap saat masih
menggunakan sabu-sabu sendirian di dalam kamar hotelnya, sementara itu
Terdakwa II ditangkap di tempat pencucian mobil. Saat Terdakwa II ditangkap
ditemukan alat-alat untuk menggunakan sabu-sabu tersebut.
Penuntut Umum kemudian mendakwa kedua Terdakwa dengan dakwaan
tunggal yaitu Pasal 112 jo. Pasal 132 (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan para terdakwa tidak
bersalah atas pasal yang didakwakan, namun menyatakan para terdakwa
melanggar Pasal 127 UU Narkotika. Putusan yang menjatuhkan vonis atas pasal
yang tidak didakwakan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.
Atas putusan di luar dakwaan tersebut, Penuntut Umum kemudian
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, MA dengan tegas menolak
permohonan kasasi tersebut.
Berikut kutipan pertimbangan Majelis Hakim Agung:
a. Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena merupakan
pengulangan dari hal-hal yang sudah dikemukakan;
b. Bahwa judex factie tidak salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan
para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I;
c. Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan tersebut
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang
suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum, atau
peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan
apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex
Factie/Pengadilan Tinggi dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau peraturan perundang-undangan, maka permohonan kasasi
dari Jaksa/Penuntut Umum tersebut harus ditolak;
e. Bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Para Terdakwa dipidana, maka harus
dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.
b.3 Analisis Putusan Mahkamah Agung
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman maka kekuasaan Mahkamah
Agung (dan lain-lain Badan Kehakiman) hanyalah sebatas yang diberikan oleh
undang-undang.Banyak hal yang sebenarnya termasuk dalam ruang lingkup
kekuasaan kehakiman tetapi tidak diberikan kepada Mahkamah Agung (dan lainlain Badan Kehakiman) baik di bidang idiologi, politik, peradilan, sosial maupun
administrasi kekuasaan kehakiman.22
Salah satu kekuasaan yang diberikan kepada Mahkamah Agung yang
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung pada Pasal 28 ayat (1) yaitu
wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi.
Peradilan kita menganut suatu “Sistem kasasi,” yang juga lazim disebut
“Sistem kontinental” yang berasal dari Perancis.Berdasarkan sistem tersebut maka
Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi yang tugasnya adalah membina
keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan
undang-undang di seluruh Indonesia diterapkan secara tepat dan adil.23
Melaui kedua putusan Mahkamah Agung mengenai perkara narkotika
tersebut, dapat dilihat bahwa Penuntut Umum di dalam 2 perkara tersebut samasama menyusun surat dakwaannya dengan bentuk dakwaan tunggal, yaitu
melanggar Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika untuk perkara Putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan
melanggar Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk
perkara Putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012. Ini berarti bahwa dalam diri
Penuntut Umum telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan atau setidak-tidaknya terdakwa tidak lepas dari jerat tindak pidana
yang didakwakan. Apabila terdakwa didakwa dengan dakwaan bentuk tunggal,
sebenarnya hal ini mengandung risiko besar, karena apabila dakwaan tersebut
gagal dibuktikan Penuntut Umum di persidangan, terdakwa jelasakan dibebaskan
(vrijspraak) oleh Majelis Hakim.24
Pasal 111 ayat (1) mengatur terhadap siapa saja yang tidak memiliki hak
untuk menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Arti kata atau dalam
pasal tersebut menyatakan bahwa cukup salah satu unsur saja yang dipenuhi sudah
dapat memenuhi syarat untuk dapat dipidananya orang tersebut.
Pasal 112 ayat (1) mengatur siapa saja yang tidak memiliki hak untuk
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan
tanaman. Pasal ini memiliki makna yang sama dengan Pasal 111 sebelumnya,
hanya berbeda dalam kategori bukan tanaman saja.
Pasal 132 ayat (1) mengatur tentang percobaan atau permufakatan jahat
yang dilakukan dalam tindak pidana narkotika dan prekursornya terhadap pasal22
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran Dan Fungsi
Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal.
214.
23
Ibid., hal. 225.
24
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan
Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, hal. 111-112.
pasal tertentu. Yang dimaksud dengan percobaan adalah adanya unsur-unsur niat,
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri.25
Dalam hal tuntutan pidana yang dibuat oleh Penuntut Umum, baik dalam
perkara Putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan Putusan MA Nomor 238
K/Pid.Sus/2012, karena hanya membuat surat dakwaan dengan bentuk dakwaan
tunggal, mau tidak mau ia harus menuntut sesuai pasal tunggal dalam surat
dakwaan karena sudah yakin dengan pasal yang dilanggar oleh terdakwa tersebut.
Penuntut Umum sama-sama menuntut 5 tahun penjara kepada terdakwa
dalam kedua perkara tersebut dimana sudah memenuhi syarat hukuman minimal
sesuai undang-undang, yaitu 4 tahun. Namun, yang perlu diperhatikan adalah
adanya tambahan pidana denda dalam Putusan MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
yang dituntut sesuai dengan denda minimal, yaitu Rp 800.000.000,- (delapan ratus
juta rupiah) dan subsidair 4 bulan penjara.
Melihat putusan pada tingkat pertama, hakim pada kedua perkara samasama menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum adalah tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan, kemudian membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut.
Hal ini bertambah menarik karena hakim pada kedua perkara kemudian
menghukum Terdakwa dengan pasal yang tidak didakwakan Penuntut Umum,
yaitu tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri, yang
sebagaiman dimaksud oleh Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika.
Hal putusan hakim pada tingkat pertama ini jelas bertentangan dengan
ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa terdakwa diputus
bebas, jika dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Penjelasan Pasal 54 menyatakan bahwa korban penyalahgunaan Narkotika
adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Putusan pada tingkat banding pada kedua perkara kemudian juga samasama melakukan perubahan pada amar putusan pengadilan negeri. Pada perkara
Putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, hakim banding hanya sekedar
mengubah pidana yang dijatuhkan kepada para Terdakwa menjadi lebih ringan,
yakni dari 2 (dua) tahun menjadi 1 (satu) tahun. Sedangkan pada perkara Putusan
MA Nomor 238 K/Pid.Sus/2012, hakim banding sekedar menambah amar
memerintahkan Terdakwa untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan
(rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial).
25
Narkotika.
Penjelasan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Dalam kedua perkara tersebut juga, Penuntut Umum juga sebagai pihak
yang mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi
pemegang kekuasaan kehakiman.
Dalam hubungannya dengan fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung,
maksud dan tujuan kasasi adalah:26
a. Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan
(pengadilan negeri/pengadilan tinggi).
b. Memperbaiki kesalahan/kekeliruan dalam cara mengadili.
c. Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa tindakan yang
melampaui batas wewenangnya.
Yang dimaksudkan wewenang dalam hal ini, ialah wewenang mengadili
dari suatu pengadilan. Kewenangan tersebut sering juga disebut kekuasaan
mengadili. Kewenangan/kekuasaan mengadili tersebut dibedakan atas
kewenangan mengadili yang bersifat absolut dan kewenangan mengadili yang
bersifat relatif.27
Dalam perkara putusan MA Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, Mahkamah
Agung menolak kasasi dari Penuntut Umum karena pada pokoknya merupakan
pengulangan dari hal-hal yang sudah dikemukakan dan tidak mempersoalkan halhal yang sesuai dengan maksud dan tujuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
Suatu permohonan kasasi akan dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Agung,
apabila menurut pendapat/penilaian Mahkamah Agung, bahwa alasan dan
keberatan-keberatan yang diajukan oleh permohonan kasasi ternyata tidak dapat
dibenarkan, karena ternyata judex factietidak salah dalam penerapan hukum, tidak
terdapat kelalaian dalam acara, maupun judex factie ternyata tidak melampaui
wewenangnya. Dalam hal demikian Mahkamah Agung menolak permohonan
kasasi, kadang-kadang dengan memperbaiki putusan yang diserang, apabila
kelalaian judex factie tidak menyebabkan batalnya putusan tetapi cukup putusan
yang bersangkutan diperbaiki saja.28
Di lain pihak, Mahkamah Agung pada perkara putusan Mahkamah Agung
Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 justru menerima kasasi dari Penuntut Umum. Hakim
Mahkamah Agung pada pokoknya berpendapat bahwa Judex Factie (PN dan PT)
telah salah menerapkan hukum karena telah memutus tindak pidana
penyalahgunaan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri,
yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.Dan kemudian mengadili sendiri
perkara tersebut dengan memutus Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika sebagaimana
yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
26
Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hal. 50-
27
Ibid., hal 54.
Ibid., hal. 177-178.
53.
28
Jika dilihat pertimbangan Judex Factie dalam perkara putusan MA Nomor
238 K/Pid.Sus/2012, maka hakim mempergunakan yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor 657 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989 yang pada intinya
menyatakan bahwa, “Jika yang terbukti adalah delik sejenis yang lebih ringan
sifatnya dari delik yang sejenis yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka
meskipun delik yang lebih ringan tersebut tidak didakwakan, maka Terdakwa
dapat dipersalahkan dipidana atas dasar melakukan delik yang lebih ringan
tersebut.” Tetapi, majelis hakim agung pada perkara ini tidak membenarkan
yurisprudensi tersebut dan memutus sesuai dengan apa yang ada dalam
dakwaan.Ini berarti bahwa hakim agung dalam perkara putusan Mahkamah
Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 telah jelas menyatakan bahwa dasar daripada
putusan hakim (litis contestatio) haruslah sesuai dengan surat dakwaan.
Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984, justru menyatakan putusan batal
demi hukum sebab Terdakwa dihukum atas dakwaan yang tidak didakwakan
kepadanya. Dengan demikian, jelas bahwa putusan Pengadilan Negeri Bangkalan
Nomor 182/Pid.B/2011/PN.Bkl tanggal 26 Oktober 2011 telah bertentangan
dengan yurisprudensi tersebut.
Sementara itu, jika dilihat di dalam perkara putusan Mahkamah Agung
2497 K/Pid.Sus/2011, tidak terdapat satu pun pertimbangan yang menyinggung
mengenai dasar daripada surat dakwaan dan dalam hal penggunaan yurisprudensi.
Dengan kata lain, judex factie dalam perkara ini jelas telah melanggar ketentuan
Pasal 191 ayat (1) KUHAP dan secara subyektif memutus pasal di luar dakwaan.
Semakin menjadi miris dengan melihat Mahkamah Agung yang menolak kasasi
tanpa mencantumkan pertimbangan yang cukup jelas, dimana dengan kata lain
membenarkan putusan judex factie yang memutus pasal di luar dakwaan tersebut.
Yang menarik dari kedua perkara ini yaitu terdapat hakim agung yang
sama, yaitu Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H. yang duduk sebagai ketua
majelis di kedua perkara tersebut. Namun, walaupun terdapat perbedaan
pertimbangan yang bertolak belakang, tidak terdapat pendapat hukum yang
berbeda (dissenting opinion) dalam kedua putusan tersebut. Kedua putusan ini
juga diputus dalam waktu yang relatif berdekatan, yaitu tanggal 11 Januari 2012
dan 27 Februari 2012. Selain itu, kedua perkara ini juga terjadi di wilayah
Pengadilan Tinggi yang sama, yaitu Pengadilan Tinggi Surabaya.
Setiap pemeriksaan Pengadilan itu selalu terdiri dari dua bagian, bagian
pertama mengenai “duduk perkara” dan bagian kedua mengenai “hukumnya.” Hal
ini tercermin dalam sistematika surat putusan hakim yang selalu terdiri dari
“duduk perkara” dan “pertimbangan hukum.” Dalam pemeriksaan tingkat
banding, kedua bagian tersebut diperiksa ulang seluruhnya, sehingga pemeriksaan
banding juga disebut “pemeriksaan ulangan.” Dalam pemeriksaan kasasi maka
yang ditinjau apakah judex factie tidak salah menerapkan hukum / melanggar
hukum, tidak melampaui wewenang, atau tidak memenuhi syarat-syarat yang
berakibat batalnya putusan.29
Mengingat bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil yang
digunakan dan dipedomani hakim. Namun, sungguh mengherankan apabila
terdapat yurisprudensi yang berbenturan dan tidak sesuai isinya satu sama lain.
Walaupun sistem peradilan Indonesia menganut sistem Kontinental, yang berarti
hakim tidak terikat pada yurisprudensi ataupun putusan pengadilan yang pernah
dijatuhkan layaknya sistem Common Law. Namun, hal ini akan mengakibatkan
preseden yang buruk bagi sistem peradilan pidana ke depannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa hukum (terutama hukum kodifikasi)
bersifat statis. Ia tidak akan mengalami perubahan tanpa dilakukan perubahan oleh
badan legislatif. Sebaliknya, masyarakat bersifat dinamis. Berbagai perubahan dan
perkembangan dalam masyarakat tadi akan menyebabkan hukum tertinggal di
belakangnya. Bahkan hukum selalu tertatih-tatih dalam mengejar perkembangan
masyarakat. Dalam rangka menyesuaikan hukum dengan kebutuhan hukum
masyarakat, Mahkamah Agung melalui putusan-putusannya, berusaha
menyesuaikan hukum dengan kebutuhan masyarakat.30
Melalui kasasi ini Mahkamah Agung dapat menggariskan memimpin dan
uitbouwen dan verbouwen (mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui
yurisprudensi, dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai
dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan
sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang adequate, bahkan
kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika dari kehidupan masyarakat itu
sendiri.31
Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang hakim dilakukan
dalam kerangka menegakkan kebenaran dan berkeadilan, dengan berpegang pada
hukum, undang-undang, dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam diri
hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara
benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan
menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral
justice) dan mengenyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan
(legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social
justice). Keadilan yang dimaksudkan di sini, bukanlah keadilan proseduril
(formil), akan tetapi keadilan substantif (materiil), yang sesuai dengan hati nurani
hakim.32
29
Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, 1992, hal. 47.
Harun M. Husein, op.cit, hal. 185-186.
31
Ibid., hal. 186.
32
Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal 127-128.
30
Persoalan dari tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang,
yaitu:33
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis,
tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya;
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada
segi keadilan;
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan
pada segi kemanfaatan.
Tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh
Gustav Radbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum. Namun, dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang
hakim untuk mengakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Hakim harus
memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan
tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.
Seperti halnya dalam kedua perkara tindak pidana narkotika tersebut.Pada
putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 yang menolak kasasi,
majelis hakim agung pada saat itu lebih mengarah kepada asas keadilan, sehingga
secara otomatis menjauhi titik kepastian hukum. Putusan terhadap para Terdakwa
dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan karena memang pasal itu yang terbukti,
maka ia mengesampingkan kepastian hukum sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (1)
KUHAP. Jika majelis hakim agung lebih mendekat pada arah kepastian hukum,
maka sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, para Terdakwa haruslah
diputus bebas. Dan jika hal ini terjadi, maka tentu saja salah satu fungsi hukum
sebagai kontrol sosial tidak terwujud karena melepaskan orang yang jelas terbukti
bersalah, walaupun tidak dicantumkan kesalahannya di dalam surat dakwaan.
Dari perkara tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seorang
hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tidak selamanya terpaku
pada satu asas saja. Pada setiap perkara yang diajukan kepadanya atau secara
kasuistis, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat saja berubah-ubah dari asas
yang satu ke asas yang lainnya. Yang terpenting hakim harus mempertimbangkan
dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu dipilih asas tersebut.34
Oleh karena itu, tugas menjatuhkan putusan oleh hakim tersebut telah
termasuk pula di dalamnya adalah tugas untuk melakukan penemuan hukum
melalui putusan-putusannya. Jika dipadukan dengan metode fiksi hukum, dalam
hal hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit), maka putusan hakim
akan merupakan suatu putusan yang progresif, apabila hakim dalam putusan yang
akan dijatuhkannya, ingin keluar dari tawanan undang-undang atau melakukan
tindakan contra legem. Pintu masuk yang digunakan oleh hakim dalam hal ini
adalah Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan juga penjelasan dari pasal
33
34
Ibid., hal. 131-132.
Ibid., hal. 134.
tersebut, agar putusan yang dijatuhkannya sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan
rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka mencapai keadilan substansial. 35
Achmad Rifai menyatakan bahwa metode penemuan hukum yang sesuai
dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif tersebut adalah metode
penemuan hukum yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu
terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke depan,
tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka
pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, sehingga dapat membawa
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan
negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial.36
Menurut Achmad Rifai, putusan hakim yang sesuai dengan metode
penemuan hukum yang progresif adalah:37
a. Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistic, yakni hanya
sekadar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun
memang seharusnya hakim selalu harus legalistic karena putusannya tetap
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Putusan hakim tidak hanya sekadar memenuhi formalitas hukum atau
sekadar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi
mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi
sosial dalam pergaulan;
c. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran ke depan (visioner), yang
mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule
breaking), di mana dalam hal suatu ketentuan undang-undang yang ada
bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan
kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim
bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil
putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang
bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan;
d. Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa
dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk
kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan negara keluar dari
keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.
Namun, sebenarnya dalam kedua perkara tersebut, permasalahan kepastian
hukum akan putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan surat dakwaan dapat
dicegah oleh Penuntut Umum sendiri, dengan cara membuat surat dakwaan
dengan bentuk dakwaan alternatif. Oleh karena dengan bentuk dakwaan tunggal,
hakim hanya diberi satu pilihan pasal saja untuk diperiksa. Dengan demikian,
hakim bisa mengarah kepada asas keadilan tanpa harus mengesampingkan asas
kepastian hukum.
35
Ibid., hal. 136.
Ibid., hal. 137.
37
Ibid., hal. 137-138.
36
Pada dasarnya yurisprudensi Mahkamah Agung tidak memiliki kekuatan
mengikat secara langsung terhadap keputusan hakim judex factie. Yang paling
utama yaitu pembentukan yurisprudensi dalam menimbulkan hukum adalah
adanya kesamaan tujuan antara judex factie dengan judex jurist. Dalam hal
penjatuhan putusan, hakim melakukan pertimbangan yang menyentuh dimensi
yuridis dan sosiologis serta filosofis, dimana berujung pada usaha tercapainya asas
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Di samping itu juga terdapat faktorfaktor yang dipengaruhi dari dalam dan luar diri hakim.
Hukum mempunyai tujuan, asas. Ia memiliki roh yang biasanya
dituangkan dalam asas-asas. Roh atau asas seperti itu bisa menjadi hilang di
tengah rimba kalimat-kalimat, pasal-pasal. Memang lebih mudah dan cepat
membaca kalimat undang-undang. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi
hanya berhenti sampai di situ saja membawa “malapetaka.”38
Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan dapat
menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu
menjadi terluputkan. Kaidah itu adalah makna spiritual roh, sedangkan peraturan
adalah penerjemahannya ke dalam kata-kata dan kalimat. Maka, senantiasa ingat
akan kaidah mengisyaratkan setiap orang untuk selalu berpikir dua, tiga, empat
kali dalam membaca hukum.
Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam
penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan
tujuan hukum, yang membutuhkan perenungan yang mendalam. Meski kalimatkalimat yang namanya peraturan sudah dibaca, kita tetap merenungkan tentang
apa makna lebih dalam kalimat-kalimat itu, di mana letak rohnya (keadilannya).
Melalui perenungan logika, diharapkan kita dapat membaca roh hukum tersebut.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan
yakni:
a. Dasar hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan di luar
pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum adalah melalui
yurisprudensi. Terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang
dipedomani oleh judex factie, yang kemudian membuat putusan yang
dipedomani tersebut menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi tersebut antara
lain seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, putusan
Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956, putusan Mahkamah Agung
Nomor 693 K/Pid/1986, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675
38
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia Dan Hukum, Jakarta: Kompas, 2007, hal. 122.
K/Pid/1987. Putusan-putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa
terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik di luar isi surat dakwaan yang
sejenis dengan delik yang didakwakan, karena dianggap delik tersebut
termasuk di dalamnya. Di lain pihak, terdapat yurisprudensi yang
menyatakan hakim tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap
perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat
dakwaannya, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983,
putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956, dan putusan Mahkamah
Agung Nomor 68 K/Kr/1973. Sementara itu, bila dilihat pada Pasal 182
ayat (4) dan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka hukum acara pidana di
Indonesia menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim haruslah
berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum. Jika
pasal-pasal yang didakwakan Penuntut Umum dalam suratdakwaannya
tidak terbukti di persidangan, maka terdakwa diputus bebas. Hal ini tentu
menimbulkan kegamangan di dalam memahami hukum acara pidana di
Indonesia. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa yurisprudensi berkedudukan
sebagai salah satu sumber hukum formil. Indonesia sendiri menganut
sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental, yang berarti hakim tidak
terikat pada yurisprudensi. Jadi, hakim yang hendak memutuskan perkara
tidak wajib mengikuti atau terikat pada putusan pengadilan yang pernah
dijatuhkan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan
diputuskannya. Yurisprudensi tersebut hanyalah bersifat sebagai
persuasive precedent. Ia tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, tetapi
hanya sebagai kekuatan yang meyakinkan.
b. Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, dasar
pembuktian, dasar tuntutan pidana, dan dasar putusan (litis contestatio)
hakim. Bentuk pengesampingan surat dakwaan sebagai litis contestatio
hakim di dalam perkara narkotika pada putusan Mahkamah Agung Nomor
238 K/Pid.Sus/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2497
K/Pid.Sus/2011 merupakan juga bentuk penyimpangan Pasal 191 ayat (1)
KUHAP, karena judex factie dalam kedua perkara tersebut telah
menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan Penuntut Umum.
Namun, pada akhirnya, juga terdapat penilaian yang berbeda oleh
Mahkamah Agung di kedua perkara tersebut. Saat hakim agung pada
perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim haruslah sesuai
dengan surat dakwaan, justru hakim agung pada perkara putusan
Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 menolak kasasi yang
dengan kata lain tidak mempermasalahkan soal putusan judex factie yang
menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan Penuntut Umum.
Padahal kedua perkara tersebut diputus oleh ketua majelis hakim agung
yang sama, yaitu Prof. Komariah Emong Sapardjaja, yang juga dalam
rentangwaktu yang relatif dekat. Pada dasarnya, putusan hakim menurut
Gustav Radbruch harus memenuhi 3 (tiga) asas, yaitu asas keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan. Melalui kedua putusan dalam perkara
narkotika tersebut, dapat dilihat bahwa banyak hal dari dalam dan luar diri
hakim yang mempengaruhinya dalam menjatuhkan putusan. Dan kedua
putusan tersebut merupakan contoh konkret yang memberitahukan bahwa
di dalam sebuah putusan, sangatlah sulit untuk memenuhi sekaligus ketiga
asas tersebut. Ketika lebih condong kepada keadilan, maka putusan hakim
akan mengesampingkan kepastian hukum. Dalam hal jika mengikuti
ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka hakim telah
mengesampingkan keadilan dengan membebaskan terdakwa yang jelas
telah bersalah walaupun kesalahannya tidak didakwakan.
2. Saran
a. Harus ada persamaan persepsi antara masing-masing sub-sistem di dalam
proses peradilan pidana. Cara kerja sub-sistem harus terintegrasi (terpadu)
dengan sub-sistem lainnya. Antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum seharusnya secara
konsisten menjaga agar sistem tetap berjalan terpadu. Apabila sejak awal
telah terjadi ketidakterpaduan, maka kepercayaan masyarakat terhadap
sub-sistem tersebut secara keseluruhan akan merosot. Bahkan, lebih parah
lagi, masyarakat tidak lagi mempercayai sub-sistem secara institutif dalam
arti sempit dan sistem peradilan pidana dalam arti yang lebih luas.
b. Masih perlu dilakukan pelatihan terhadap jaksa-jaksa, terutama dalam hal
pembuatan surat dakwaan. Masih perlu ditingkatkan kemampuan dalam
merumuskan isi surat dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan. Dan dalam hal ditemukan keragu-raguan
dalam pembuatan surat dakwaan, sebaiknya dapat dibicarakan dalam
forum diskusi yang melibatkan jaksa-jaksa senior. Terkhusus dalam kedua
perkara narkotika yang ada, yaitu pada putusan Mahkamah Agung Nomor
238 K/Pid.Sus/2012 dan pada putusan Mahkamah Agung Nomor
2497 K/Pid.Sus/2011, sebenarnya masalah kepastian hukum di dalam
putusan tersebut dapat dicegah dengan pembuatan bentuk surat dakwaan
non-tunggal, bisa bentuk dakwaan alternatif ataupun subsidair. Sehingga
pada akhirnya hal ini dapat memberikan pilihan kepada hakim untuk
memberikan putusannya.
c. Hakim mungkin saja dapat melakukan penemuan hukum yang bersifat
progresif di dalam putusannya. Putusan yang bersifat progresif tersebut
adalah putusan yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu
terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke
depan, tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta
memihak dan peka pada masyarakat. Dalam membaca suatu bunyi kalimat
peraturan, hendaknya kita memahami kaidah yang terdapat di dalamnya.
Harus direnungkan terlebih dahulu apa makna di dalam kalimat tersebut,
sehingga dengan demikian tujuan daripada hukum dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arto, A. Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran Dan
Fungsi Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiarjo, Miriam. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan ketigabelas. Jakarta:
Gramedia.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan
Hukum. Cetakan kedua. Bandung: Armico.
Hamid, H. Hamrat dan Harun M. Husein. 1992. Pembahasan Permasalahan
KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab).
Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. (ed. 2). Jakarta: Sinar
Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan
Kembali. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafuika.
_____. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafika.
Hiariej, Eddy O. S. 2009. Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana. Jakarta: Erlangga.
Husein, Harun M. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Cetakan
kedelapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Koesnoe, H. M. 1998. Kedudukan Dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang
Dasar 1945. Surabaya: Ubhara Press.
Kuffal, HMA. 2004. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. (ed. revisi).
Cetakan kesepuluh. Malang: UMM Press.
M., H. Pontang Moerad B. 2012. Pembentukan Hukum Melalui Putusan
Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Cetakan kedua. Bandung: Alumni.
Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi) Bagian Kedua, Edisi
kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Cetakan
kedua. Yogyakarta: Liberty.
_____. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan keenam.
Yogyakarta: Liberty.
_____ dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 1996. Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan). Bandung: Citra Aditya
Bakti.
_____. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan
Permasalahannya. Bandung: Alumni
_____. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik.
Bandung: Alumni.
Nasution, A. Karim. 1972. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana.
Jakarta: Percetakan Negara R.I.
Nurdin, H. Boy. 2012. Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum
Di Indonesia. Bandung: Alumni.
Pradja, R. Achmad S. Soema di.1990. Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi.
Bandung: Armico.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1993. Perundang-undangan Dan
Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Prodjodikoro, Wirjono. 1962. Hukum Atjara Pidana Di Indonesia. Cetakan
kelima. Bandung: Sumur Bandung.
_____. 1983. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.
Pujiyono. 2007. Kumpulan Tulisan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan keenam. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
_____. 2008. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas.
Rifai, Achmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Sari, Ratna. 1995. Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana.
Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia.
Soetomo, A. 1989. Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen.
Jakarta: Pradnya Paramitam.
Subekti. 1992. Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni.
Supramono, Gatot. 1991. Surat Dakwaan Dan Putusan Hakim Yang Batal Demi
Hukum. Jakarta: Djambatan.
_____. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan kesebelas. Jakarta:
Ichtiar Baru.
Makalah, Jurnal, Tesis, Skripsi:
A. Hamzah. “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”. Makalah
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan
Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI,
Denpasar, 14-18 Juli 2003.
H. Elfi Marzuni. “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di
Indonesia”. Makalah pada Seminar Peran Dan Fungsi Penegakan Hukum
Dalam Menciptakan Keadilan Dan Kepastian Hukum. Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 10 April 2012.
Paulus E Lotulung. “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”.
Makalah pada Seminar Pembangunan HukumNasional VIII Tema
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Peraturan Perundang-undangan:
Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1994
tanggal 16 November 1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan.
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-607/E/11/1993
tanggal 22 November 1993 tentang Surat Dakwaan Perkara Narkotika.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undan-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sumber Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba. Narkoba, diakses tanggal 30 April 2014
pukul 11.00 WIB
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20H
AKIM-AM.pdf. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum
Acara Di Peradilan Agama. H. Abdul Manan, diakses tanggal 7 Mei 2014
pukul 14.45 WIB.
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Pers
pektif%20filsafat%20hukum.pdf. Kebebasan Hakim Dalam Memutus
Perkara (Suatu Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum). Suhartono,
diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 16.20 WIB.
http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan.
Kebebasan Hakim VS Pencari Keadilan. M. Sofyan Lubis, diakses tanggal
7 Mei 2014 pukul 17.00 WIB.
Download