PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR ATAS PENGALOKASIAN LAHAN OLEH BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN DAN PELABUHAN BEBAS BATAM Pristika Handayani Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Indonesia [email protected] ABSTRAK Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial- ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni social. Kata Kunci : Penelantaran, tanah. A. PENDAHULUAN Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya , masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang di cita-citakan. Dalam pada itu hukum agraria yang berlaku sekarang ini, seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat daripada tercapainya cita-cita di atas. Hal itu disebabkan terutama: a. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini; b. Karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain 69 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa.,1 c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum. Undang-Undang itu formil tiada bedanya dengan Undang-Undang lainnya yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat – tetapi mengingat sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat di dalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal dalam garis besarnya saja dan oleh karena disebut Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya disingkat UUPA. Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan.Tanah berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi manusia.tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Prinsip dasar itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945 menyebutkan bahwa :2 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang selanjutnya disingkat(UUPA)menyebutkan: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan: “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) adalah hubungan yang bersifat 1 Urip Santoso, Hukum Agrarian Dan Hak-Hak Atas Tanah, Himpunan Peraturan-Peraturan 2005, Jakarta, Hlm. 149-150 2 Urip santoso, op, cit, hlm. 50 Hukum Tanah , 70 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 abadi”. Hubungan yang bersifat abadi artinya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya.Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau ditelantarkan.Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat, terutama bagi golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat.Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif.3 Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial- ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengertian akan pentingnya arti penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan peruntukkannya, sehingga tercapai penggunaan tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan antara berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tertib penggunaan tanah merupakan sarana untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah secara optimal. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disebut RPJMN II Tahun 2010-2014, Buku II, Bab IX, sub 3 tentang Arah kebijakan dan Strategi 3 Suhariningsih, Tanah Terlantar,Penerbit: Prestasi Pustaka Karya, 2009, Jakarta, hlm. 26. 71 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 Pembangunan mengenai pertanahan dinyatakan arah kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai sasaran pembangunan pertanahan adalah “Melaksanakan pengelolaan pertanahan secara utuh dan terintegrasi melalui Reforma Agraria, sehingga tanah dapat dimanfaatkan secara berkeadilan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan turut mendukung pembangunan berkelanjutan”. Arah kebijakan tersebut ditempuh melalui strategi sebagai berikut : peningkatan penyediaan peta pertanahan dalam rangka legalisasi asset dan kepastian hukum hak atas tanah; pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) termasuk pengurangan tanah terlantar; peningkatan kinerja pelayanan pertanahan; penataan dan penegakan hukum pertanahan serta pengurangan potensi sengketa. Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Fungsi sosial hakhak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Selain pengalokasihan lahan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Batam tidak saja hanya mempunyai kewenangan mengalokasihkan lahan, tetapi juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam Surat Injin Prinsip (IP), Surat Penjanjian dan Peryataan Kesanggupan yang diisi oleh Pemohon tentang kesanggupannya berupa pembayaran Uang Wajib Tahunan 72 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 Otorita (UWTO), jadwal pembangunan, pembebasan lahan atas tuntutan ganti rugi dan lainlainnya dari pihak lain. Hal-hal prinsip tentang pengalokasian lahan diatur dalam Surat Penjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh Badan Pengusahaan Batam dengan pihak penerima alokasi lahan tersebut, namun dalam pelaksanaan Badan Pengusahaan Batam belum menunjukan keberaniannya menegakan hukum terhadap pihak yang melanggar isi perjanjian dan bahkan bukan hanya saja sampai pada isi perjanjian, namun sampai saat ini menurut pengamatan penulis Badan Pengusahaan Batam juga tidak pernah melaksanakan perintah yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Bahwa di dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar diatur tentang hal-hal mengenai peringatan terhadap pemohon yang telah mendapat alokasi lahan yang sudah melewati waktu 3 (tiga) tahun dan sampai dengan pembatalan alokasi lahan yang tidak dibangun sampai dengan pembatalan sertifikat, jika telah memiliki sertifikat atas tanah tersebut, bahkan sampai pada lokasi yang sudah bersertifikat4. Namun belum dibangun seluruhnya sesuai dengan rencana pembangunan (master plan) yang disahkan/disetujui oleh Badan Pengusahaan Batam, maka terhadap lokasi yang belum dibangun tersebut dapat dibatalkan, namun faktanya Badan Pengusahaan Batam belum pernah melaksanakan amanat dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar, sehingga banyak lokasi di Batam tidak dibangun, tetapi tidak tersentuh oleh hukum, termasuk beberapa lokasi yang berada di sekitar Kantor Badan Pengusahaan Batam dan tidak melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar berarti Badan Pengusahaan Batam telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka rumusan masalah adalah Bagaimana Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 4 2010 Tentang Penertiban Dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Penertiban & Pendayagunaan Tanah Terlantar Cetakan Pertama, 2010, Penerbit Navindo Pustaka Mandiri, hal 7. 73 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 Pendayagunaan Tanah Terlantar Atas Pengalokasian Lahan Oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Dan Pelabuhan Bebas Batam? B. METODELOGI PENELITIAN Metode penelitian ini adalah penelitian normatif untuk mengkaji tingkat keterbacaan sebuah teks, atau untuk menentukan tingkat pencapaian pemahaman terhadap topik tertentu dari sebuah teks. Sumber Data a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Kantor Badan Pertanahan Nasional Batam dan Lokasi Tanah Terlantar Kota Batam. b. Data Sekunder adalah data yang berasal dari perundang-undangan, buku-buku, ataupun kamus-kamus sebagai penunjang data primer. Dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1) Bahan Hukum Primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Hukum Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, penelitian, literatur-literatur, dokumen-dokumen, tulisan para ahli yang berkaitan dengan objek yang diteliti. 3) Bahan Hukum Tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, Koran dan internet yang relevan atau ada kaitan dengan penelitian, serta brosur-brosur, bahan-bahan seminar, workshop dan lokakarya tentang Tanah Terlantar. Analisa Data Pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktifkualitatif serta analisisnya terhadap dinamikahubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan dudkungan data kuantitatif tetapi penekanannya tidak pengujian hiposkripsi melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berfikir formal dan argumentatif. 74 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 C. PEMBAHASAN Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar Kewenangan berasal dari kata “wewenang5” yang artinya adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Menurut Juanda, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-Undang, yang disebut kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, misalnya wewenang menandatangani surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri atau Gubernur, sedangkan kewenangannya tetap berada ditangan Menteri atau Gubernur, sehingga dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang. Jadi di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Dengan demikian kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan tindakantindakan hukum tertentu berdasarkan ketentuan dalam peraturan yang telah ditetapkan baik oleh legislatif maupun eksekutif.Pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat melakukan berbagai macam perbuatan hukum.Perbuatan hukum pemerintah yang bersifat mengatur itu haruslah sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keabsahan perbuatan pemerintah itu memiliki tiga fungsi yaitu :6 1. Bagi aparat pemerintah, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuurnormen). 2. Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan untuk mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden). 3. Bagi Hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden). Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, kewenangan merupakan konsep inti dalam rangka hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara diberi wewenang untuk mengatur yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use), menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, 5 6 Pustaka Phoenix, op,cit, hlm 945 Suhariningsih, op,cit, hlm. 259. 75 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan kepada Menteri.7 Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan di bidang pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat didasarkan pada beberapa hal, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Kedua, seluruh bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Ketiga, hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah bersifat abadi.Dengan demikian kewenangan untuk mengurus bidang pertanahan ada pada Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan Pemerintah Pusat. Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah (Presiden) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden “. Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Susunan keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat ketentuan tersebut terjadi kekaburan norma karena instansi terkait yang dimaksud dalam pasal tersebut di atas tidak disebutkan secara jelas. 8 Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No.11 Tahun 2010 dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010, dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang 7 Umar Said Sugiharto, Suratman,Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah, 2015, Penerbit: Setara Press, Malang, Hlm. 2. 8 Ibid, hlm. 7 76 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 berkaitan dengan peruntukan tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan pada PP No. 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Adapun wewenang yang dimiliki adalah : Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 19 Perraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa : 1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor Wilayah; 2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksud dikuasai langsung oleh Negara.9 Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Pemberian hak-hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan 9 Ibid, hlm. 196. 77 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 pemberian haknya.Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada maksud agar tidak menelantarkan tanah. Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar dapat dikemukakan sebagai berikut: 10 a) Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan : “Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”. b) Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan (Pasal 34 e) c) Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan (Pasal 40 e) Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Ruang lingkup tanah terlantar berdasarkan UUPA meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Dalam rangka mencegah terjadinya tanah-tanah yang ditelantarkan pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998 menyatakan, “Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguaasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .” Selanjutnya Pasal 2 menyatakan bahwa : “Peraturan Pemerintah ini mengatur tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, ruang lingkup obyek penertiban tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan atau dasar penguasaan atas tanah11. Apabila disimak ketentuan Pasal 2 PP 10 11 Supriadi, Hukum Agraia, 2008, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 64. Ibid, hlm 65 78 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 No.11 Tahun 2010 yang mengatur obyek penertiban tanah terlantar, maka tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang berbentuk Badan Hukum atau yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi obyek penertiban tanah terlantar, karena Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, begitu juga tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dikecualikan atau tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : o Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan o Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar didasarkan pada alasan karena Pemegang Hak perseorangan tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi, untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dari pemberian haknya.Begitu juga karena keterbatasan anggaran Negara atau daerah untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya. Di Kota Batam tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan Pemerintah Kota Batam, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar diruas jalan utama kota seperti di Jalan Engku Putri, Jalan Okarina Batam Centre, Jalan Jend. Sudirman Baloi, Jalan Bengkong nusantara .Bukan hanya lahan yang mangrak, bangunan yang sudah ada juga ada yang mangkrak.Hal 79 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 ini terjadi dikawasan Engku Putri12 .Kondisi ini dapat membuat kawasan ini tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata dengan baik.Dari banyaknya lahan atau tanah yang terbengkalai atau terindikasi terlantar ini, kebanyakan berstatus Hak Guna Bangunan. Pendayagunaan tanah terlantar dalam kaitannya dengan penatagunaan tanah di kota batam Pembangunan yang dilaksanakan di Kota Batam semakin pesat dan kompleks, sehingga kebijakan pemerintahan Kota Batam ke depan diarahkan untuk mewujudkan pembangunan Kota Batam yang Madani dan berwawasan budaya. Melihat kondisi fisik dan potensi Kota Batam tersebut maka peranan tanah sangatlah besar sekali dalam kehidupan ini.Penanganan masalah pertanahan bukan hanya teknis, yuridis, administrasi saja melainkan juga menyangkut aspek sosial, politik dan hankam sehingga penanganannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu pelayanan di bidang pertanahan lebih ditingkatkan secara profesionalisme sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Badan Pertanahan Nasional yaitu memberikan pelayanan pendaftaran tanah yang cepat dan terjamin kepastian hukum menuju Catur Tertib Pertanahan yaitu Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum, instansi pemerintah yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sehingga berdayaguna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dewasa ini banyak bidang-bidang tanah di Kota Batam yang menunggu dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong atau terlantar, sehingga tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat. Di Kota Batam tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan Pemerintah Kota Batam, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar di 90 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar diruas jalan utama kota. Kondisi ini dapat membuat kawasan kotaindustri daerah tujuan wisata internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata dengan baik. 12 Suharingsih, op,cit, hlm. 285. 80 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 Berdasarkan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, PP No. 11 Tahun 2010, Pemerintah Kota Batam dapat memanfaatkan tanah-tanah kosong atau tanah terlantar. Tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan negara lainnya. Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Batam, tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat harus disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 10 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam. Dalam Perda No. 10 Tahun 1999 sudah ditetapkan wilayah-wilayah yang dijadikan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Jika tanah-tanah terlantar itu letaknya di kawasan budidaya pertanian maka tanah terlantar didayagunakan untuk program strategis Negara di sektor pertanian atau dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau dan juga untuk taman kota sehingga Kota Batam sebagai kotaindustry dan kota tujuan wisata tampak indah, sejuk dan asri. Tanah-tanah terlantar yang letaknya dikawasan budidaya non pertanian maka dapat didayagunakan untuk perumahan dan pemukiman, pariwisata, Hankam/militer, prasarana perdagangan dan jasa, prasarana transportasi, prasarana sosial. D. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan kajian dalam permasalahan penulisan ini maka dapat disimpulkan bahwa Implementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Atas Pengalokasian Lahan Oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Dan Pelabuhan Bebas Batam belum efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : Belum adanya ketegasan dari pimpinan BP Batam baik terhadap bawahannya sendiri maupun kepada pemegang hak atas tanah sehingga penertiban tanah masih terkendala. Adanya pembayaran Uang Wajib Tahunan yang dibayar oleh penerima hak atas penguasaan tanah selama 30 tahun. Adanya uang jaminan pembangunan dari penerima hak penguasaan atas tanah kepada BP Batam. Sedangkan untuk BPN Batam sendiri sampai pada saat penulis menyusun skrip ini, dari hasil wawancara dengan Bapak Abdullah Effendi, S.H. (kasubsi pengendalian pertanahan) mengatakan bahwaPeraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang 81 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Atas Lahan yang telah memiliki sertifikat belum efektif dikarenakan belum adanya ketegasan dari Kanwil BPN Propinsi tentang peraturan dimaksud. Adanya tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dengan BPN Batam sehingga Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Buku Hartanto Andy, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah Yang Belum Terdaftar Ha Katas Tanahnya, Penerbit: Laksbang Justitia-Surabaya, Cetakan Kedua, Malang, April 2014. Indonesia Legal Center Publising, Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit: Indonesia Legal Center Publising, Cet. Ketiga, November 2013 Pustaka Phonix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Cetakan Keenam, 2012. Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Bw),Penerbit: Sinar Grafika, Cetakan Kesembilan, Jakarta, April 2014. Sangsun SP Florinus, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Penerbit: Visimedia, Cet. Keempat, juni 2008. Santoso Urip, ,Hukum Agrarian & Hak-Hak Atas Tanah, penerbit Prenada Media, Jakarta, 2005. Sodiki Achmad, Politik Hukum Agraria, penerbit konstitusi press (konpress), Juni 2013 Sugiharto Umar Said, Suratman, Muchsin Noorhudha, Hukum Pengadaan Tanah, Penerbit: Setara Press, Cetakan Kedua, Malang, Mei 2015 Suhariningsih, Tanah Terlantar, Penerbit Prestasi Pustaka Karya, 2009. Supriadi, Hukum Agraria, penerbit Sinar Grafika, April 2008. Suroso. R, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, Penerbit Sinar Grafika, Agustus 201 Sutami Siti, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Refika Aditama, Cet. Ketujuh, Desember 2011. 82 PETITA, VOL 1 No.1 Juni 2014 Perundang-Undangan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah( Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 53). Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah( Lembaran Negara RI tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4385 ). Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 51) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar( Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5098). Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 60) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. 83