Rahmawati et al./ Maternal, Obstetric, and Infant Factors and Their Association Maternal, Obstetric, and Infant Factors and Their Association with the Risk of HIV Infection in Infants at Dr. Moewardi Hospital, Surakarta Deni Nur Fauzia Rahmawati 1), Supriyadi Hari Respati 2), Diffah Hanim 3) 1)Masters Program of Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta of Obstetrics and Ginecology, Dr. Moewardi Hospital, Surakarta 3) Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta 2)Department ABSTRACT Background: Incidence of HIV infection by mother to child transmission has been increasing for the past few years. This study aimed to determine the association between maternal, obstetric, infant factors, and the risk of HIV infection in infant. Subjects and Method: This was an analytic observational study using case control design. This study was conducted at Dr. Moewardi Hospital, Surakarta. A total of 68 study subjects, consisting of 34 HIV infected infants, and 34 non HIV infected infants, were selected for this study by fixed disease sampling. The dependent variable was HIV infection. The independent variable included maternal nutrirional status, opportunistic infection, antenatal care, type of labor, birth weight, and prematurity. The data were collected by a set of questionnaire and analyzed using logistic regression model. Results: Maternal HIV opportunistic infection (OR= 10.09; 95% CI= 1.99 to 51.20; p=0.005) and pervaginam labor (OR=5.21; 95% CI=0.92 to 29.58; p=0.063) increase the risk of HIV infection in infant, and they were statistically significant. Maternal body weight (BMI<18.5)(OR=2.71; 95% CI=0.44 to 16.53; p=0.280), antenatal care <4 times (OR=1.94; 95% CI= 0.42 to 9.00; p=0.395), birth weight <2,500 g (OR=1.09; 95%CI=0.19 to 6.05;p=0.924) and prematurity (OR= 1.65; 95% CI=0.36 to 7.61; p=0.523), each increased the risk of HIV infection but statistically non-significant. Conclusion: Maternal HIV opportunistic infection and pervaginam labor are strong and significant predictors for the risk of infant HIV infection. Health personnel should pay special attention on these significant risk factors when assisting birth delivery, in order to prevent HIV infection in infants. Key words: maternal, obstetric, infant risk factors, HIV infection. Correspondences: Deni Nur Fauzia Rahmawati. Masters of Public Health Program, Sebelas Maret University. Email: [email protected] LATAR BELAKANG Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan makrofag komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau meng ganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh (Hoyle, 2006). Infeksi HIV dalam kehamie-ISSN: 2549-0257 (online) lan berhubungan erat dengan komplikasi pada ibu hamil dan bersalin. Infeksi HIV dikaitkan dengan hasil kehamilan yang merugikan dan yang substansial yaitu kematian ibu dengan jumlah CD4 tinggi, meskipun dengan ketersediaan ARV. Tingkat kematian ibu telah dilaporkan akan menjadi lima kali lebih tinggi pada wanita terinfeksi HIV dibandingkan pada wanita tidak terinfeksi dan hal ini menjadi penyebab 20% dari semua kematian karena penyebab obstetrik langsung. Data terakhir juga menun73 Journal Maternal and Child Health (2016), 1(2): 73-82 https://doi.org/10.26911/thejmch.2016.01.02.02 jukkan peningkatan penularan HIV selama kehamilan merupakan risiko perempuan yang disebabkan dari pasangannya, sehingga kehamilan merupakan faktor risiko penularan HIV (Gray, 2007). Penularan HIV dari ibu ke anak dapat dicegah dengan intervensi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Negara berkembang atau negara miskin minim akses intervensi sehingga risiko penularan meningkat menjadi 25%–45%. Meskipun berbagai upaya telah dilaksanakan selama beberapa tahun, ternyata cakupan layanan PPIA masih rendah, yaitu 10% di tahun 2004, meningkat menjadi 35% di tahun 2007 dan 45% di tahun 2008. Tahun 2010 cakupan layanan PPIA di Indonesia hanya sebesar 6%. Agar penularan HIV dari ibu ke anak dapat ditekan, perlu upaya peningkatan cakupan layanan sejalan dengan peningkatan pelaksanaan program PPIA (Kemenkes, 2012). Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)sangat efektif dan memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Tahun 2001, Majelis Umum Perserikatan Bangsa–Bangsa menetapkan target untuk 80% dari wanita hamil dan anak-anak mereka memiliki akses penting pencegahan, pengobatan dan perawatan sampai 2010 untuk mengurangi proporsi bayi yang terinfeksi HIV sebesar 50%. Pedoman PPIA memperkenalkan sejumlah praktik inovatif perawatan pada bayi untuk mengurangi infeksi, seperti ASI eksklusif, dengan tujuan untuk meningkatkan akses ARV untuk wanita hamil, perempuan dan anak-anak (WHO, 2010). Terapi antiretroviral (ARV) sekarang tersedia luas di rumah sakit, pengobatan secara signifikan meningkatkan fungsi fisik dan aktivitas seksual pasien terinfeksi HIV. Prospek hamil dan memiliki bayi HIV negatif akan secara signifikan meningkat dengan peningkatan ketersediaan ARV, 74 karena hubungannya dengan penurunan risiko dari ibu ke anak atau penularan vertikal HIV. Ini dapat mengakibatkan kecenderungan peningkatan insiden kehamilan di antara wanita terinfeksi HIV (Kabami, 2014). Upaya mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, dilaksanakan program pencegahan secara komprehensif meliputi empat strategi yaitu pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif, pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta anak dan keluarganya (Mofenson, 2010). Hasil laporan Ditjen PP dan PL Kemenkes RI 2014 jumlah penderita terbanyak HIV AIDS adalah ibu rumah tangga sebesar 6.539 kasus didapatkan dari suami pengidap HIV AIDS. Prosentase bayi HIV AIDS sebesar 0.4% diperoleh dari penularan vertikal ibu. Laporan jumlah penderita HIV di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2012, rawat inap dan rawat jalan sebanyak 207 kasus, tahun 2013 sebanyak 164 kasus, tahun 2014 sebanyak 198 kasus. Kehamilan ibu rumah tangga yang tidak terencana dapat menularkan secara vertikal kepada bayinya. Oleh karena itu untuk menurunkan angka penularan vertikal maka pengenalan faktor risiko ibu, obstetrik dan bayi yang paling dominan sangat penting. SUBJEK DAN METODE Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan case control. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta pada bulan April-Juni 2016. Populasi penelitian adalah ibu dengan HIV positif yang datang ke Klinik VCT. Subjek penelitian sebanyak 68 orang, 34 ibu HIV positif dengan bayi HIV positif e-ISSN: 2549-0257 (online) Rahmawati et al./ Maternal, Obstetric, and Infant Factors and Their Association (kelompok kasus) dan 34 ibu HIV positif dan bivariat dengan uji Chi Square (X2). dengan bayi HIV negatif (kelompok konAnalisis multivariat dengan uji regresi trol) dipilih menggunakan exhaustive logistik ganda menggunakan aplikasi SPSS sampling didapatkan sampel 22 (Murti, 2013). Variabel dependen adalah bayi HIV positif dan variabel independen adalah HASIL status gizi saat hamil, penyakit infeksi Berdasarkan Tabel 1 tentang deskripsi oportunistik, kunjungan ANC, faktor risiko variabel penelitian adalah sebagai berikut: obstetrik (jenis persalinan), dan faktor 1) Sebagian besar subjek penelitian mengrisiko bayi (berat badan lahir dan alami status gizi baik sebanyak 46 orang prematuritas). Alat ukur yang digunakan (67.6%) dan sisanya 22 orang (32.4%) kuesioner. Data dianalisis secara univariat mengalami status gizi kurang. Tabel 1. Hasil uji univariat variabel penelitian Variabel Faktor risiko ibu: Status gizi Kurang (< 18.4) Baik (≥ 18.5) Infeksi oportunistik Ada infeksi Tidak ada ANC <4 kali ≥4 kali Faktor risiko obstetrik: Jenis persalinan Pervaginam Seksio sesarea Faktor risiko bayi: Berat bayi BBLR (< 2,500 g) Tidak BBLR (≥ 2,500 g) Prematuritas Prematur (< 37 minggu) Aterm (≥ 37 minggu) Kejadian HIV Positif Negatif 2) Sebagian besar subjek penelitian tidak mengalami infeksi oportunistik sebanyak 43 orang (63.2%) dan 25 orang (36.8%) mengalami infeksi. 3) Sebagian besar subjek penelitian melakukan ANC ≥ 4 kali adalah sebanyak 55 e-ISSN: 2549-0257 (online) n % 22 46 32.4 67.6 25 43 36.8 63.2 13 55 19.1 80.9 10 58 14.7 85.3 25 43 36.8 63.2 19 49 27.9 72.1 34 34 50 50 orang (80.9%) dan 13 orang (19.1%) melakukan ANC < 4 kali. 4) Sebagian besar subjek penelitian melahirkan secara seksio sesarea sebanyak 58 orang (85.3%) dan 10 orang (14.7%) melahirkan secara per vaginam. 75 Journal Maternal and Child Health (2016), 1(2): 73-82 https://doi.org/10.26911/thejmch.2016.01.02.02 5) Sebagian besar bayi memiliki berat badan lahir normal sebanyak 43 orang (63.2%) dan 25 bayi lahir dengan berat badan rendah <2,500 g (36.8%). 6) Sebagian besar bayi tidak prematur sebanyak 49 orang (72.1%) dan 19 orang (27.9%) lahir prematur. Berdasarkan hasil analisis multivariat regresi logistik pada Tabel 3 dijelaskan hubungan atara variabel independen dengan variabel dependen, yaitu: 1. Terdapat hubungan positif tetapi secara statistik tidak signifikan antara status gizi dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan status gizi kurang kemungkinan untuk terjadi HIV 2.71 lebih tinggi dibandingkan ibu dengan status gizi baik (OR= 2.71, CI 95% = 0.44 hingga 16.53; p= 0.280).Terdapat hubungan positif dan secara statistik signifikan antara ibu berpenyakit infeksi oportunistik dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan penyakit infeksi oportunistik memiliki kemungkinan mendapatkan bayi HIV 10.09 lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai penyakit infeksi oportunistik (OR = 10.09, CI 95% = 1.99 hingga 51.20; p=0.005). 2. Terdapat hubungan positif tetapi secara statistik tidak signifikan antara ibu dengan kunjungan ANC kurang dari 4 kali dengan kejadian bayi HIV positif. Ibu hamil dengan kunjungan ANC <4 kali memiliki kemungkinan mendapatan bayi HIV 1.94 lebih tinggi dibadingkan dengan ibu yang melakukan kunjungan ANC ≥4 kali. (OR = 1.94; CI 95% = 0.42 hingga 9.00; p = 0.395). Tabel 2. Uji bivariat faktor risiko ibu dengan kejadian bayi HIV Status HIV Bayi Variabel Faktor risiko ibu: Status gizi Kurang (< 18.4) Bayi ( ≥ 18.5) Infeksi oportunistik Ada infeksi Tidak ada ANC <4 kali ≥4 kali Fakor risiko obstetrik: Jenispersalinan Pervaginam Seksio sesarea Faktor risiko bayi: Berat bayi BBLR (< 2500 gr) Tidak BBLR (≥ 2500 gr) Prematuritas Prematur (< 37 minggu) Tidak prematur (≥ 37 minggu) 76 OR CI(95%) Batas bawah atas p Positif (%) Negatif (%) 18 (81.8%) 16 (34.8%) 4 (18.2%) 30 (65.2%) 0.12 0.03 0.41 <0.001 21 (84.0%) 13 (30.2%) 4 (18.2%) 30 (12.5%) 0.08 0.02 0.29 <0.001 7 (53.8%) 27 (49.1%) 6 (46.2%) 28 (50.9%) 0.83 0.25 2.78 0.758 7 (70%) 27 (46.6%) 3 (30%) 31 (53.4%) 0.37 0.09 1.59 0.171 19 (76.0%) 15 (34.9%) 6 (12.5%) 28 (65.1%) 0.17 0.06 0.51 0.001 12 (63.2%) 22 (44.9%) 7 (36.8%) 27 (55.1%) 0.48 0.16 1.41 0. 177 e-ISSN: 2549-0257 (online) Rahmawati et al./ Maternal, Obstetric, and Infant Factors and Their Association Tabel 3. Uji regresi logistik faktor risiko ibu, obstetrik dan bayi dengan kejadian bayi HIV Variabel OR CI 95% Batas bawah Batas atas p Status gizi ibu (BMI <18.5) Infeksi oportunistik (ada infeksi) ANC (<4 kali) 2.71 10.09 1.94 0.44 1.99 0.42 16.53 51.20 9.00 0.280 0.005 0.395 Jenis persalinan (pervaginam) Berat bayi lahir (< 2500kg) Prematuritas (< 37 minggu) n observasi = 68 5.21 1.09 1.65 0.92 0.19 0.36 29.58 6.05 7.61 0.063 0.924 0.523 -2 Log likehood = 67.255 Nagelkerke R Square = 43.7% 3. Terdapat hubungan positif yang secara statistik tidak signifikan antara jenis persalinan dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan persalinan pervaginam memiliki kemungkinan mendapatkan bayi HIV 5.21 kali lebih tinggi dari pada ibu yang bersalin secara seksio sesarea (OR = 5.21; CI 95% = 0.92 hingga 29.58; p = 0.063). 4. Terdapat hubungan positif yang secara statistik tidak signifikan antara berat bayi lahir dengan kejadian bayi HIV. Bayi dengan berat bayi lahir rendah <2,500 g memiliki kemungkinan mengalami HIV 1.25 kali lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lahir normal (≥2,500 g) (OR = 1.09 CI 95% = 0.19 hingga 6.05; p = 0.924). 5. Terdapat hubungan positif yang secara statistik tidak signifikan antara berat bayi lahir dengan kejadian bayi HIV. Bayi lahir dengan prematuritas memiliki kemungkinan mengalami HIV 1.65 kali lebih tinggi daripada bayi yang lahir aterm ≥37 minggu (OR = 1.65; CI 95% = 0.36 hingga 7.61; p = 0.523). Berdasarkan hasil analisis multivariat pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa dari variabel yang diuji, diperoleh faktor infeksi penyakit oportunistik yang berpengaruh secara signifikan dengan kejadian bayi HIV. e-ISSN: 2549-0257 (online) PEMBAHASAN 1. Hubungan status gizi dengan kejadian HIV Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari status gizi ibu berhubungan positif tetapi secara statistik tidak signifikan dengan kejadian bayi HIV. Berdasarkan data hasil penelitian tersebut, status gizi kurang memiliki kemungkinan meningkatkan terjadinya kejadian bayi HIV. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu (Mehta, 2011; Lartey, 2012) menunjukkan bahwa status gizi ibu yang rendah meningkatkan risiko penularan HIV pada bayi. Status gizi kurang pada ibu hamil dengan HIV dapat meningkatan kejadian anemia. Ibu hamil dengan anemia lebih mungkin melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dibandingkan dengan dengan ibu tidak anemia, risiko berat bayi lahir rendah 1.6 kali dan 4.8 kali lebih tinggi untuk anak-anak yang lahir dari perempuan anemia. Ibu hamil dengan anemia meningkatkan penularan HIV dari ibu ke anak (Msuya et al., 2011). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lainnya, studi status gizi berhubungan dengan anemia dalam kehamilan dan infeksi HIV pada bayi. Pendidikan 77 Journal Maternal and Child Health (2016), 1(2): 73-82 https://doi.org/10.26911/thejmch.2016.01.02.02 kesehatan tentang personal hygiene dan screening faktor risiko HIV harus dilaksanakan. 2. Hubungan infeksi oportunistik dengan kejadian bayi HIV Hasil penelitian pada infeksi oportunistik terdapat hubungan positif yang secara statistik signifikan antara ibu dengan penyakit infeksi oportunistik dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan penyakit infeksi memiliki kemungkinan mendapatkan bayi HIV lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai penyakit infeksi oportunistik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mwapasa et al., (2012) yang menyebutkan ibu hamil HIV yang menderita infeksi oportunistik 17.6% melahirkan bayi dengan HIV. Dari hasil tersebut disarankan untuk dilakukan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak sejak masa kehamilan, dengan melakukan deteksi dini penyakit infeksi dan pengobatan penyakit infeksi ibu hamil dengan HIV. Pada ibu hamil yang mengalami keputihan yang abnormal dan polimorfonuklear serviks menyebabkan meningkatkan kelahiran bayi prematur. Adanya infeksi vaginosis bakteri ini meningkatkan 3 kali lipat terjadinya kecil masa kehamilan, yang dapat menyebabkan peningkatan 6 kali lipat terjadinya bayi dengan HIV juga berhubungan dengan kelahiran prematur. Infeksi vaginosis bakteri meningkatan 3 kali lipat terjadinya kecil masa kehamilan. Kecil masa kehamilan berhubungan dengan peningkatan 6 kali lipat terjadinya infeksi HIV bayi yang dapat menyebabkan kematian (Slyker et al., 2014). Menurut hasil penelitian Singhal (2011) infeksi virus di kehamilan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin. Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan virus terjadi sebagai awal infeksi dan kemudian secara bertahap 78 menginfeksi sel imunologis. Hal ini asimtomatik, tersembunyi dan karenanya tidak terdiagnosa, terus-menerus dan sulit diobati. Infeksi yang umum adalah HSV, HPV, HBV, HIV dan CMV (cytomegalovirus). Sebagian besar dipancarkan selama periode intrapartum. Screening yang tepat, identifikasi dan perawatan yang ditawarkan selama periode prenatal dapat membantu dalam mencegah komplikasi. Wanita dengan riwayat herpes genital 25% memiliki infeksi selama satu bulan terakhir kehamilan. Seksio sesarea dianjurkan hanya jika lesi herpes genital menghalangi jalan lahir. Penularan HIV dari ibu ke bayi menunjukkan 15 – 30% saat kehamilan dan bersalin, dan 5-20% lebih lanjut transmisi terjadi melalui menyusui. 3. Hubungan kunjungan ANC dengan kejadian bayi HIV Hasil penelitian pada kunjungan ANC terdapat hubungan positif yang secara statistik tidak sigifikan antara terdapat kunjungan ANC dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan kunjungan ANC <4 kali memiliki kemungkinan mendapatkan bayi HIV lebih besar jika dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan ANC ≥4 kali. Barry (2011) menyatakan kunjungan ANC <2 kunjungan dalam masa kehamilan, pasien tidak memulai terapi ARV secara aktif, dan hal ini memiliki peran penting dalam meningkatkan penularan HIV pada bayi dan anak-anak. Penelitian Gondo (2011) hasilnya mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan e-ISSN: 2549-0257 (online) Rahmawati et al./ Maternal, Obstetric, and Infant Factors and Their Association untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga ODHA, atau mencegah penularan bila pasangan bukan ODHA. Menurut Bianco et al., (2014) menyatakan bahwa 6% bayi mengalami infeksi HIV. Hal ini terjadi karena ANC yang tidak memadai serta kegagalan menerima ARV selama kehamilan, sehingga muatan virus terdeksi meningkat serta penyalahgunaan obat intravena. Peningkatan penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 3 kali lebih tinggi pada ibu yang melakukan ANC kurang dari standar. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi dengan memastikan akses ANC yang tepat, termasuk proses persalinan, terapi ARV dan mengatasi penggunaan narkotika. 4. Hubungan jenis persalinan dengan kejadian bayi HIV Hubungan positif yang secara statistik tidak signifikan antara jenis persalinan dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan persalinan pervaginam memiliki kemungkinan mendapatkan bayi HIV lebih besar dibandingkan ibu yang melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Hasil penelitian dari Purnaningtyas (2011) bahwa ibu hamil dengan HIV yang bersalin secara pervaginam meningkakan risiko penularan terhadap kejadian HIV pada bayi. Lina (2012) menyatakan bahwa Ibu rumah tangga penderita HIV/AIDS dalam upaya pencegahan dan penularan terhadap keturunannya melakukan proteksi diri dengan melahirkan dengan seksio sesarea. Hal ini ditegaskan oleh penelitian Gondo (2011) bahwa persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada ODHA. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat e-ISSN: 2549-0257 (online) resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66%. Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi. Faktor risiko obstetrik yang berkaitan dengan peningkatan risiko HIV bayi yaitu persalianan pervaginam, partus lama, ketuban pecah dini, dan prosedur invasif atau dengan tindakan (Wilson et al., 2016). American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan Public Health Service (PHS) AS menganjurkan agar ibu hamil terinfeksi HIV dengan viral load >1,000 dapat konseling mengenai manfaat kelahiran seksio sesarea secara elektif. Sejak pedoman tersebut diterbitkan, angka kelahiran seksio sesarea di antara ibu terinfeksi HIV di AS meningkat secara dramatis. Morbiditas setelah lahir yang berat tidak umum, dan kelahiran seksio sesarea di antara ibu terinfeksi HIV relatif aman dan hemat biaya. 5. Hubungan berat bayi lahir dengan kejadian bayi HIV Hasil penelitian pada berat badan bayi lahir terdapat hubungan positif yang secara statistik tidak signifikan antara berat bayi lahir dengan kejadian bayi HIV. Ibu dengan berat bayi lahir rendah rendah memiliki kemungkinan mendapatkan bayi HIV lebih besar dari pada bayi dengan berat lahir normal. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Magezi (2011) insiden berat badan lahir rendah memiliki kemungkinan 8.4% mendapatkan bayi HIV dibandingkan dengan berat bayi lahir normal. Menurut Slyker et al., (2014) Tingkat HIV-1RNA ibu hamil berhubungan dengan peningkatan kejadian BBLR. Bayi yang mengalami BBLR meningkat 6 kali terjadi infeksi HIV. 79 Journal Maternal and Child Health (2016), 1(2): 73-82 https://doi.org/10.26911/thejmch.2016.01.02.02 Hal yang menyebabkan terjadinya BBLR yaitu HIV-1 RNA dan infeksi genital menjadi faktor risiko penting untuk terjadinya kelahiran prematur dengan BBLR pada bayi HIV. 6. Hubungan prematuritas bayi dengan kejadian bayi HIV Hasil penelitian pada prematuritas bayi hubungan positif yang secara statistik tidak signifikan antara prematuritas bayi dengan kejadian bayi HIV. Bayi dengan lahir prematur memiliki kemungkinan mengalami HIV lebih tinggi dari pada bayi lahir tidak prematur. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gabiano et al., (2012) bahwa tingkat bayi prematur yang diamati 24% lebih tinggi daripada yang ditemukan dalam populasi yang terinfeksi HIV lainnya. Sebuah studi di Amerika Serikat di awal 1990 menemukan, 19% dari bayi lahir terinfeksi HIV berasal dari ibu yang melahirkan dengan prematuritas. Kekurangan berat badan selama kehamilan berhubungan dengan kelahiran prematur. Ibu hamil dengan HIV dapat mengalami penyulit kehamilan, salah satunya persalinan kurang bulan yang mengakibatkan bayi lahir prematur, hambatan pertumbuhan bayi, lahir mati, dan bayi terinfeksi HIV (Leveno et al., 2009). Prematuritas merupakan faktor risiko terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, dari beberapa studi menyarankan bahwa bayi yang lahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV mungkin sangat rentan terhadap infeksi intrapartum. Ibu yang melahirkan bayi dengan prematur (<34 minggu) dengan muatan virus <400 kopi/ml memiliki risiko untuk terjadi infeksi HIV lebih tinggi dibandingkan dengan bayi dengan aterm. Seksio sesarea elektif maupun darurat pada bayi prematur berhubungan dengan peningkatan risiko penularan HIV dari ibu ke anak (Throne et al., 2011). 80 Bayi lahir prematur dari wanita yang terinfeksi HIV memiliki tingkat infeksi HIV lebih tinggi daripada bayi yang matur (Wilson et al., 2016). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor infeksi penyakit oportunistik yang berpengaruh secara signifikan dengan kejadian bayi HIV. Penelitian ini menyarankan, keluarga harus melakukan pendampingan kepada ibu hamil dengan HIV agar memiliki kesadaran merawat diri dengan melakukan ANC dan melaksanakan anjuran dokter atau konselor, meningkatkan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak melalui penyebaran informasi seperti leaflet poster, sehingga memberikan informasi keseluruh lapisan masyarakat dan melaksanakan program pemeriksaan HIV bagi setiap ibu hamil. Perlunya dilakukan peneliti lebih lanjut tentang faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan HIV pada bayi dan analisis lain misalnya analisis jalur. DAFTAR PUSTAKA American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG) Practice bulletin (2010). Vaginal Birth after Previous Cesarean Delivery. Clinical Management Guidelines for ObstetricianGynecologist. No.115. Barry OM, Anne MB, Jennifer DM, Elise E, Trace SK, Brian WCF (2011). Development of Measures of The PatientProvider Relationship in A ANC And Its Importance in PMCT. Journal AIDS care. 24 (6): 680-686. Bianco DG, Bell CS, Benjamins LJ, Pérez, N, Rodriguez G, Murphy J, Heresi GP (2014). Persistently High Perinatal Transmission of HIV: Assessment of Risk Factors. Pediatric infectious disease journal. 33 (6): e151–e157. Gabiano CG, Pier-Angelo T, Maunzio de M, Luisa G, Carlo G, Anna L, Mariangela e-ISSN: 2549-0257 (online) Rahmawati et al./ Maternal, Obstetric, and Infant Factors and Their Association CS, Marcello G, Gabriella F, Laura R, Desiree C, Giuseppe S, Susanna L, Aristide C, Marco R, Domenico V, Antonio M, Antonio F, Alberto ET, Nazano C (2012). Mother-to-Child Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type 1 Risk of Infection and Correlates of Transmission. Pediatrics. 90(3): 369. Gondo, Tjokorda (2011). Ultrasonografi Buku Ajar Obstetric Ginekologi. Jakarta: EGC. Gray GE, Mc IJA (2007). HIV and Pregnancy. BMJ. 337. Hoyle, Brian (2006). AIDS/HIV the Information Series on Current Topics. Texas : Information Plus. Kabami J, Eleanor T, Sam B, Francis B (2014). Increasing Incidence of Pregnancy among Women Receiving HIV Care and Treatment at a Large Urban Facility in Western Uganda. Biomed central. 11 (81). Kemenkes RI (2012a). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI. ____ (2012b). Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Edisi Kedua , Jakarta. ____ (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, Jakarta. Lartey A (2012). Maternal and Child Nutrition in Sub Sahara Africa: Chalenges and Intervention. The nutrition society. 67(1): 105-108. Leveno KJF, Gary C, Norman FG, James MA, Steven LB, Brian MC, Jodi SD, Jeanne SS, Nicole PY (2009). Obstetri e-ISSN: 2549-0257 (online) Williams: Panduan Ringkas Edisi 21. Jakarta: EGC. Lina RK (2012). Upaya Pencegahan Transmisi dari Ibu ke Anak pada Ibu Rumah Tangga Penderita HIV/AIDS di Kota Yogyakarta. Electronic Dissertations Gadjah Mada University. Magezi SR, Joyce K, Roger W (2011). Feeding and Nutritional Characteristics of Infants on PMTCT Programs. Oxford Journals. 55(1): 32-35. Mehta S, Karim PM, Alicia MY, Elizabeth B, Charles C, Taha ET, Jennifer RR, Robert (2011). Nutritional Indicators of Adverse Pregnancy Outcomes and Mother TCT of HIV among Infected Women. Am j clin nutr. 87(6): 1639– 1649. Mofenson LM (2010) Prevention in Neglected Subpopulations: Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV Infection. Clinical Infectious Diseases. Oxford journals. 50(3): S130-S148. Msuya SE, Tamara HH, Jacqueline U, Noel ES, Babill SP (2011). Anaemia among Pregnant Women in Northern Tanzania: Prevalence, Risk Factors and Effect on Perinatal Outcomes. Tanzania Journal of health Research. 13(1). Murti B (2013). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuntitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Mwapasa V, Stephen JR, Jesse JK, Paul EW, Danny M, Malcolm EM, Deborah DK, Eyob T, Ebbie C, Steven RM (2012). Maternal Syphilis Infection is Associated with Increased Risk of Mother-To-Child Transmission of HIV in Malawi. AIDS. 20 (14): 1869– 1877. Purnaningtyas AD, Dewantiningrum J (2011). Persalinan Pervaginam dan Menyusui sebagai Faktor Risiko Ke81 Journal Maternal and Child Health (2016), 1(2): 73-82 https://doi.org/10.26911/thejmch.2016.01.02.02 jadian HIV pada Bayi. Media Medika Indonesia. Singhal PS, Naswa YS, Martllia (2011). Pregnancy and Sexually Transited Viral Infecion. Indian Journal of Sexually Transmitted Diseases and AIDS. 30(2): 71–78. Slyker JA, Janna P, Gwen A, Barbara AR, Elizabeth MO, Rose B, Dorothy MN, Carey F, Grace JS (2014). Correlates and Outcomes of Pretrem Birth, Low Risk Weight and Small for Gestational Age in HIV-exposed Infected Infants. BMC Pregnancy and Childbirth. 14:7. Throne C, Boer K, Godfried MH (2012). Mode of delivery in HIV-infected pregnant women and prevention of mother-to-child transmission: chang- 82 ing practices in Western Europe. Europe PMC Funders Group. 11(6): 368-378. WHO (2010). PMTCT Strategic Vition 2010–2015 Preventing mother-tochild transmission of HIV to reach the UNGASS and Millennium Development Goals. Geneva: WHO. Wilson CB, Victor N, Yvonne M, Jerome OK, Jacks R (2016). Remington and Kleins Infectious Disease of the Fetus and Newborn Infant. Elsevier Saunders Vol 8. e-ISSN: 2549-0257 (online)