BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi serta Kitab Tafsir al-Maraghi dan Al-Ghazali
1. Biografi dan Kitab Tafsir al-Maraghi
a. Riwayat Hidup Al-Maraghi
Ahmad Musthafa al-Maraghi yang dikenal dengan sebutan alMaraghi memiliki nama lengkap Ahmad Musthafa bin Muhammad bin
Abdul Mun‟im al-Maraghi (Ghofur, 2013: 97). Terkadang nama
tersebut ditambah dengan Beik sehingga beliau dipanggil Ahmad
Musthafa al-Maraghi Beik. Lebih dikenal dengan nama al-Maraghi
yang merupakan nisbah dari tempat kelahirannya. Beliau lahir pada
tahun 1300 H yang bertepatan dengan tahun 1883 M di kota Maragah,
provinsi Suhaj. Daerah tersebut terletak dipinggiran sungai Nil kurang
lebih 70 km ke arah selatan kota Kairo, Mesir (Ghofur, 2008: 151).
Al-Maraghi dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga
ulama intelek (Ghofur, 2013: 98). Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sangat tekun dan cinta pada ilmu pengetahuan, sehingga dijuluki
“keluarga pengarang”. Terbukti dengan banyaknya kitab yang telah
ditulis oleh keluarga beliau. Kitab-kitab tersebut terdapat di Universitas
Al-Azhar, Cairo University dan di perpustakaan Dar al-Kutub alMisriyyah. Beliau mempunyai delapan orang saudara dan empat di
antaranya menjadi ulama-ulama besar (Madjid, 2015: 29), yaitu:
32
1) Muhammad Musthafa al-Maraghi, pernah menjadi rektorat AlAzhar dalam dua periode, yaitu pada tahun 1928-1930 dan
1935-1945.
2) „Abd al-Aziz al-Maraghi, yang merupakan dekan di Fakultas
Ushuluddin al-Azhar dan menjadi imam Raja Faruk.
3) „Abdullah Musthafa al-Maraghi, yang menjabat sebagi inspektur
umum di Universitas Al-Azhar.
4) Abu al-Wafa Musthafa al-Maraghi, yang menjadi sekretaris
badan penelitian dan pengembangan di Universitas Al-Azhar.
Keluarga al-Maraghi turun-temurun mengabdikan diri dalam
bidang peradilan, maka selain dijuluki sebagai “keluarga pengarang”,
keluarga beliau juga mendapat julukan “keluarga hakim” (Ghofur,
2008: 151). Ada 4 orang dari saudara al-Maraghi yang menjadi hakim
(Madjid, 2015: 29), di antaranya adalah:
1) Muhammad Aziz Ahmad al-Maraghi yang menjadi hakim di
kota Kairo.
2) Asim Ahmad al-Maraghi, yang menjabat sebagai seorang hakim
di Peradilan Tinggi Kairo dan di Kuwait.
3) Hamid al-Maraghi, merupakan seorang hakim yang sekaligus
menjadi penasihat kehakiman.
4) Ahmad Midat al-Maraghi, sebagai salah satu hakim di Kairo dan
pernah menjabat sebagai wakil Menteri Kehakiman.
33
Al-Maraghi memperoleh pendidikan mengenai dasar-dasar
agama Islam sebelum masuk madrasah dari keluarganya (Ghofur,
2008: 151). Al-Maraghi kecil didorong oleh kedua orang tuanya untuk
mempelajari al-Qur‟an dan Bahasa Arab di kota kelahirannya,
selanjutnya ia memasuki pendidikan dasar di sebuah madrasah. Ketika
di madrasah inilah beliau tekun belajar al-Qur‟an dan menghafalnya,
sehingga ketika usianya mencapai 13 tahun ia sudah menghafal 30 juz
dari al-Qur‟an. Beliau pun menenpuh pendidikan di madrasah untuk
mempelajari al-Qur‟an, tajwid dan dasar-dasar ilmu sejarah sampai
tamat pendidikan tingkat menengah (Ghofur, 2008: 151).
Al-Maraghi terdorong untuk menjadi ulama, sehingga setelah
tamat dari pendidikan menengah beliau melanjutkan studi ke
Universitas Al-Azhar serta Universitas Dar al-Ulum pada tahun 1314
H/ 1897 M. Pada tahun 1909 M, beliau lulus dari dua Universitas
tersebut serta tercatat sebagai lulusan termuda dan terbaik. Hal ini
karena kecerdasan luar biasa yang beliau miliki (Ghofur, 2013: 98). Di
dua Universitas unggulan di Kairo tersebut beliau mendapat bimbingan
langsung dari para tokoh ternama dan merupakan yang ahli di
bidangnya. Misalnya, Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad
Bukhait al-Muthi‟i, Ahmad Rifa‟i al-Fayumi, dan Husnin al-Adawi.
Karena jasa para syaikh tersebutlah, al-Maraghi tumbuh menjadi
intelektual muslim yang mengusai berbagai cabang ilmu agama dan
menjadi ulama yang menghasilkan banyak karya (Al-Iyazi, 1992: 358).
34
Al-Maraghi menagabdikan diri di beberapa madrasah setelah
lulus dari dua Universitas unggulan tersebut. Tak berselang lama,
kemudian al-Maraghi diangkat menjadi Direktur Madrasah Mu‟allimin
di Fayum. Yaitu sebuah kota yang berada di 300 km barat daya kota
Kairo (Ghofur, 2013: 98-99). Pada tahun 1916 M, beliau diutus untuk
mengajar Fakultas Gurdun di Khurtham Sudan menjadi dosen tamu
selama empat tahun. Kesibukannya mengajar tidak menghalangi beliau
untuk berkarya. Sebagai bukti adalah kitab Ulum al-Balaghah disusun
oleh beliau ketika menjadi dosen di Sudan (Madjid, 2015: 32).
Al-Maraghi semakin matang baik sebagai intelektual muslim
maupun dalam bidang birokrat. Hal ini terbukti dari sepak terjangnya
menjadi hakim sempai menjabat Qadhi al-Qudhat di Sudan sampai
tahun 1919 M. Pada tahun 1920 M tugas beliau di Sudan sebagai dosen
tamu telah selesai, beliau kemudian kembali ke Mesir dan beliau pun
menjabat sebagai Kepala Mahkamah Tinggi Syariah (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam [perh.], 2002: 166).
Sebagai Mahkamah Tinggi Syariah, beliau menangani berbagai
macam kasus seperti kasus warisan yang merupakan kasus besar di
Mahkamah. Ada sebuah kasus waris yang rumit sehingga beliau
mempelajari dan mengkajinya dengan serius dan teliti agar keputusan
yang beliau ambil terhindar dari kesalahan dan dapat dipertanggung
jawabkan. Waktu putusan telah tiba, manun di tengah perjalanan
menuju Mahkamah beliau dihadang oleh kelompok jahat yang hendak
35
menyuap agar putusan yang beliau berikan tidak memberatka n
kelompok tersebut. Berkat pertolongan Allah, beliau mampu menolak
tawaran kelompok jahat tersebut kemudian melanjutkan perjalanannya
ke Mahkamah untuk memberi putusan yang menurut ijtihadnya yang
benar (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam [perh.], 2002: 167).
Beliau juga diangkat menjadi dosen yang mengampu pelajaran
Bahasa Arab di Universitas Dar al-Ulum juga menjadi dosen Ilmu
Balaghah dan Kebudayaan Fakultas Bahasa Arab di Universitas alAzhar (Ghofur, 2013: 99). Masih di tahun yang sama, al-Maraghi
menjadi pengajar di beberapa madrasah, di antaranya Ma‟had Tarbiyah
Mu‟allimah, serta diberi kepercayaan untuk memimpin Madrasah
Utsman Basya di Kairo. Pada tahun 1361 H, al-Maraghi mendapat
penghargaan Mursyid at-Tulab dari raja Faruq atas jasanya di salah satu
madrasah (Madjid, 2015: 36). Pada tahun 1928 M tepatnya di bulan
Mei, al-Maraghi diangkat menjadi rektor Universitas al-Azhar, Kairo,
Mesir. Usia beliau baru 47 tahun ketika diangkat menjadi rektor.
Karena itulah beliau menjadi rektor termuda di Univers itas Al- Azhar
sepanjang sejarah (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam [perh.], 2002:
167).
Selama menjabat menjadi rektor al-Azhar, al-Maraghi membuat
kebijakan dengan perubahan mendasar di Universitas al-Azhar untuk
mereformasi. Kebijakan beliau tersebut menimbulkan perlawanan
sengit
dari beberapa
pihak,
hingga
pada
klimaksnya
beliau
36
mengundurkan diri setelah 6 tahun menjabat. Akhirnya, pada tahun
1935 M, beliau diminta kembali untuk menduduki jabatan rektor di
Universitas al-Azhar. Jabatan sebagai rektor ini beliau emban sampai
akhir hayat. Daerah Hilwan yang letaknya kurang leb ih 25 KM sebelah
selatan kairo adalah tempat dimana al-Maraghi menetap dan tinggal
hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada tahun 1354 H/ 1952 M ketika
bulan Ramadhan (Mahmud, 2006: 330). Sebagai bentuk penghormatan
kepada beliau, maka dijadikanlah nama beliau sebagai nama suatu jalan
di daerah Hilwan.
b. Karya-karya al-Maraghi
Al-Maraghi termasuk ulama yang sangat mencintai ilmu,
sehingga hampir semua waktunya digunakan untuk ilmu. Lewat tulisan
yang beliau hasilkan, dicurahkanlah segala pemikirannya. Beliau
terbilang sebagai ulama yang produktif lewat karangan-karangannya.
Hal ini terukti dari banyaknya kitab yang telah beliau tulis. Karya-karya
tersebut (Ghofur, 2008: 153), di antaranya adalah:
1) ‟Ulum al-Balaghah
2) Buhus wa Ara‟ fi Funun al-Balagah
3) Muqaddimah at-Tafsir
4) al-Diyanah wa al-Akhlak
5) al-Wajiz fi Usul al-Fiqh
6) Tafsir al-Maraghi
7) Hubub fi al-Islam
37
Dari sekian banyak karya yang telah beliau hasilkan, Tafsir alMaraghi merupakan karya yang paling terkenal. Dapat juga dikatakan
sebagai karya terbesar beliau. Tafsir al-Maraghi dikenal sebagai kitab
tafsir yang bahasanya enak dibaca sehingga mudah difahami. Hal ini
dikarenakan, pengarang dari kitab Tafsir al-Maraghi (Ahmad Musthafa
al-Maraghi) ingin menyajikan kitab tafsir yang mudah difahami oleh
seluruh masyarakat muslim –sebagimana yang telah dijelasakan oleh
pengarangnya dalam mukaddimah kitab tafsirnya- (Al-Maraghi, 1946:
4).
c. Tentang Tafsir Al-Maraghi
1) Penulisan Tafsir Al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi merupakan kitab tafsir yang dikarang oleh
Ahmad Musthafa al-Maraghi di rumahnya yang berada di Hilwan.
Kitab ini terdiri dari 30 juz yang kemudian dicetak dalam 10 jilid.
Penulisan kitab tafsir ini memakan waktu tujuh tahun. Meskipun
tidak diketahui kapan dimulai penuliasannya, namun –sesuai yang
dikatakan oleh pengarangnya dalam mukaddimah- kitab ini selesai
ditulis pada bulan Zulhijjah tahun 1365 H. Dengan begitu kitab
Tafsir al-Maraghi termasuk kitab tafsir di masa modern (Madjid,
2015: 37).
Dalam buku Profil Para Mufasir al-Qur‟an, disebutkan bahwa
ketikan menulisk tafsirnya, al-Maraghi hanya menghabiskan 4 jam
sehari dari waktunya untuk beristirahat. Adapun 20 jam sisanya
38
beliau habisakan untuk mengajar dan menulis (Ghofur, 2008: 153).
Al-Maraghi
memulai
aktivitasnya
dengan
melaksanakan
qiyamullail kira-kira pukul 03.00 a.m. Usai melaksanakan shalat
beliau tak lupa memanjatkan doa untuk meminta petunjuk dari
Allah, setelah itu barulah beliau menulis tafsir hingga beliau
berangkat mengajar. Pulang dari mengajar, beliau kembali
melanjutkan menulisa tafsir –ayat demi ayat- sampai larut malam
(Ghofur, 2013: 100).
Al-Maraghi menulis kitab tafsirnya sebagai jawaban atas
banyaknya pertanyaan yang terlontar kepada beliau mengenai kitab
tafsir yang mudah difahami, dipelajari dalam waktu cepat dan
berguna bagi pembacanya. Pertanyaan tersebut muncul sehubungan
dengan mulculnya kitab-kitab tafsir yang banyak membahas
mengenai istilah nahwu, sharaf dan balaghah yang susah dimengeri
sehingga menjadi menghambat pembaca untuk memahaminya.
Selain itu, mereka juga mempunyai banyak persoalan hidup yang
membutuhkan penyelesaian (Madjid, 2015: 37). Karena beliau
merasa bertanggung jawab untuk mencarikan solusi berdasarkan alQur‟an atas berbagai problem yang sedang terjadi pada masa
tersebut, maka beliau menulis kitab tafsirnya dengan bahasa yang
mudah difahami.
39
2) Metode Tafsir Al-Maraghi
Ada yang mengatakan bahwa Tafsir al-Maraghi merupakan
penyempurna dari Tafsir al-Manar. Karena gaya yang digunakan
oleh al-Maraghi dalam menulis tafsirnya hampir sama dengan
strategi penulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho pada
Tafsir al-Manar. Tidak dipungkiri bahwa keduanya merupakan
guru serta pembaharu Islam yang menginspirasi al-Maraghi
(Ghofur,
2013: 101). Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Manar
mempunyai kemiripan dalam tiga komponen internalnya, yaitu
dalam bentuk, metode dan corak penafsiran.
Adapun metode yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi,
bila dilihat dari segi urutan pembahasannya adalah metode tahlili.
Terlihat dari penafsiran ayat yang dimulai dengan memberikan
penjelasan mengenai pengertian kata-kata yang sulit (tafsir almufradat), kemudian menjelaskan makna ayat secara umun dan
ringkas, kemudian memaparkan asbabun nuzul (sebab turunnya
ayat) serta munasabat al-ayat (hubunga antara ayat satu dengan
yang lain). Pada bagian akhir berulah dijelasakan mengenai
penafsiran ayat yang lebih terperinci (Madjid, 2015: 40).
3) Corak Tafsir Al-Maraghi
Corak penafsiran yang digunakan dalam penulisan kitab
Tafsir al-Maraghi adalah corak adabi ijtimai (sastra dan sosiologi).
Ia merupakan corak tafsir dengan menguraikan ayat al-Qur‟an yang
40
rumit maknanya diungkapkan menggunakan gaya bahasa menarik
dan indah, kemudian ayat tersebut diterapkan dalam hukum
kemasayarakatan dan undang- undang beradaban. Penggunaan
corak adabi ijtimai dalam Tafsir al-Maraghi dapat dilihat misalnya
pada penafsiran surat al-An‟am ayat 164. Dalam menafsirkan ayat
tersebut al-Maraghi mengaitkannya dengan keadaan sosial yang
saat itu terjadi seperti mengirim bacaan al-Qur‟an kepada orang
yang sudah meninggal. Hal tersebut menurut beliau adalah salah
satu perbuatan bid‟ah (Madjid, 2015: 42).
4) Sistematika Tafsir Al-Maraghi
Adapun sistematika yang digunakan untuk tiap penafsiran
ayat al-Qur‟an dalam Tafsir al-Maraghi (Madjid, 2015: 45),
sebagai berikut:
a) Menyampaikan ayat-ayat di awal pembahsan, yang dimulai
dengan mengemukakan satu, dua atau lebih ayat al-Qur‟an
yang disusun guna memberikan pengertian yang menyatu dan
menuju pada suatu tujuan tertentu.
b) Menjelaskan pengertian kata-kata yang dianggap sulit bagi
pembaca.
c) Menjelaskan pengertian ayat secara global yang dimaksudkan
untuk memberikan gambaran umum tentang ayat yang
dibahas.
41
d) Mengungkapkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) yang
dianggap mempunyai riwayat shahih dari Nabi, sahabat dan
tabi‟in.
e) Mengesampingkan istilah-istilah ilmu pengetahuan; nahwu,
sharaf, balaghah dan lain-lain agar mudah dimengerti.
f)
Menggunakan gaya bahasa yang mudah difahami.
g) Selektif dalam memilih dan mencantumkan kisah-kisah yang
dimasukkan dalam kitab tafsir, dan mengukurnya dengan
prinsip-prinsip agama yang tidak diperselisihkan.
2. Biografi dan Kitab Tafsir Al-Ghazali
a. Riwayat Hidup al-Ghazali
Abu Hamid al-Gahzali yang dikenal di Barat dengan sebutan
Algazel, merupakan pemikir Islam yang ulung (Ahmad, 2003: 118).
Beliau yang juga dikenal dengan panggilan al-Ghazali ini, memiliki
nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Ghazali.
Beliau lahir pada tahun 450 H yang bertepatan pada tahun 1058 M
bertempat di kota kecil dekat Tunisia -sebuah kota di Khurasan, Iran(Iqbal, 2015: 88). Sebutan al-Ghazali merupakan misbah dari nama
kampung kelahirannya yaitu Ghazalah. Adapun yang mengatakan
bahwa sebutan al-Ghazali –diucapkan al-Ghazzali dengan dua zdiambil dari kata Ghazal yang mempunyai arti “tukang pemintal
benang”. Hal ini dinisbatkan kepada pekerjaan ayah al- Ghazali yang
42
merupakan seorang pemintal benang wol kemudian dijual di pasar
(Hermawan, 2012: 342).
Ayah al-Ghazali merupakan seorang yang miskin dengan
pekerjaan sebagai pemintal benang wol. Meskipun miskin harta,
namun ayah beliau merupakan seorang yang shaleh dan sangat cinta
kepada ilmu pengetahuan. Ayah beliau sering menimba ilmu dari para
alim ulama, dan di setiap kali beliau belajar, beliau selalu berdoa agar
dikaruniakan anak yang pandai dan alim seperti para ulama tersebut.
Al-Ghazali ditinggal oleh ayahnya ketika beliau masih kecil. Ayah
beliau meninggalkan nilai-nilai kearifan kepada anaknya untuk
bersikap jujur dan mandiri (Rijal, 2003: 50).
Al-Ghazali memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad.
Sebelum ayahnya meninggal, al-Ghazali dan saudaranya dititipkan
kepada seorang sufi untuk dididik dengan baik (Hermawan, 2012:
342). Beliau berwasiat kepada salah satu temanya yang seorang ahli
sufi dengan berkata: “Saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk
itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya
ini maka didiklah keduanya dan pergunakanlah sedikit harta yang saya
tinggalkan ini untuk mengurus keperluannya.” (Supriyadi, 2009: 144).
Akan tetapi ketika harta warisan ayahnya telah habis, pengasuh
tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan al-Ghazali dan adiknya.
Kemudian
keduanya
diserahkan
di
sebuah
madrasah
memberikan biaya hidup bagi muridnya (Hermawan, 2012: 342).
yang
43
Ketika masih kanak-kanak, al-Ghazali pernah berguru kepada
Ahwad bin Muhammad ar-Radzikani di Tunisia. Pada usia 15 tahun
al-Ghazali memulai pengembaraan ke Jurjan untuk mencari ilmu dan
belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili. Setelah selesai beliau pun
kembali lagi ke Tunisia. Diceritakan, pada suatu waktu ketika
perjalanan pulang, al-Ghazali dihadang oleh sekelompok pembegal
yang ingin merampas harta. Namun, yang ada di dalam tasnya
hanyalah kitab-kitab tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Akhirnya
al-Ghazali memohon agar kitab-kitabnya dikembalikan, karena beliau
ingin mempelajarinya. Kelompok begal tersebut merasa iba dan
mengembalikan kitab-kitab al- Ghazali. Sejak saat itu beliau rajin
mempelajari, memahami dan mengamalkan apa yang ada di dalam
kitab-kitabnya (Iqbal, 2015: 89).
Al-Ghazali merasa ilmu yang beliau peroleh di Tunisia agaknya
kurang memadai menjadi bekal. Oleh karena itu, pada usianya 19 atau
20 tahun, beliau pergi ke Naisabur yang pada saat itu merupakan kota
ilmu pengetahuan. Di sana beliau berguru kepada Imam al-Haramain
Abu al-Ma‟ali al-Juwaini –ahli teologi Asy‟ariah- untuk belajar
tentang teologi, ushul, ilmu kalam, filsafat, logika, sufisme dan ilmuilmu alam. Kerena kecerdasan yang beliau miliki, dalam waktu yang
singkat beliau mampu menguasai semua ilmu tersebut (Supriyadi,
2009: 145).
44
Berbekal kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, alGhazali mampu mendebat semua yang tidak sesuai dengan penalaran
yang benar, sehingga al-Juwaini memberinya gelar Bahrum Mughriq
(laut dalam yang menenggelamkan). Al-Ghazali menulis karya
pertamanya dalam bidang ilmu fikih yang berjudul Mankhul fi „Ilmi
al-Ushul dan sempat ditampilkan, sehingga lengkaplah ilmu yang
telah beliau peroleh di Naisabur. Dengan demikian, tampaklah bahwa
beliau bibit intelektual yang akan menguasai berbagai disiplin ilmu
(Zar, 2014: 160). Pada tahun 478 H al- Juwaini wafat, kemudian alGhazali pergi menuju ke kota Mu‟askar yang saat itu merupakan
tempatnya para sarjana. Di sinilah al-Ghazali bertemu dengan Nidzam
al-Mulk yang menjabat sebagai perdana menteri Sultan Bani Saljuk
(Sibawaihi, 2004: 36).
Ada sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 484 H bertepatan
dengan tahun 1091 M, al-Ghazali ikut serta dalam diskusi dengan para
ulama dan intelektual. Pada saat itu Nidzam al-Mulk ikut menghadiri
dan melihat kecerdasan al-Ghazali yang mendapat kemenangan.
Karena itulah Nidzam al-Mulk mengangkatnya menjadi dosen di
Universitas Nizamiyah Baghdad, ketika itu al-Ghazali berusia 34
tahun (Zar, 2014: 160). Di sela-sela mengajar beliau juga mengarang
beberapa kitab, di antaranya: al-Basith, al-Wasith, Khulashah Ilmu
Fiqh, al-Munqil fi Ilm al-Jadal, Makhhad al-Khalaf, Lubab al-Nadzar,
Tashim al-Ma‟akhidz dan al-Mabadi‟ wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf.
45
Beliau memberi perhatian pula kepada ilmu metafisika dan mendebat
mengenai kebenaran adat-istiadat nenek moyang (Iqbal, 2015: 89).
Sepak terjang al-Ghazali di Baghdad semakin cemerlang. Beliau
telah mempunyai kelompok pengajian yang semakin luas dan
namanya semakin populer. Namun suatu saat beliau mengalami
gesekan dengan golongan bathiniyah Isma‟iliyah dan kaum filosof.
Saat itu pula beliau mengalami rohani karena sikap syaknya terhadap
ilmu yang telah dipelajarinya, sehigga beliau mengalami sakit selama
6 bulan. Para dokter telah menyerah untuk mengobati penyakitnya ini.
Akhirnya beliau meninggalkan semua jabatannya di Baghdad dan
memilih Damaskus sebagai tempat menenangkan diri. Selama 2 tahun
beliau
melaksanakan „uzlah
(mengisolasi diri,
riyadhah,
dan
mujadalah untuk beribadah (Zar, 2014: 161).
Pada tahun 490 H atau 1098 M, al- Ghazali meninggalkan
Damaskus dan menuju ke Palestina. Beliau melaksanakan doa di
samping makam Nabi Ibrahim as, setelah itu berangkat ke Mekkah
dan Madinah untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-5 (haji). Tak
hanya melaksanakan ibadah haji saja, al-Ghazali pun pergi ke makam
Rasulullah SAW untuk berziarah. Ketika di Mekkah dan Madinah
inilah beliau memilih tasawuf untuk mengobati rasa syak yang
mengakibatkan guncangan jiwanya (Zar, 2014: 161).
Pada tahun 489 H, sepulang dari ibadah haji, al-Ghazali pergi ke
Syam dan tinggal di Damaskus untuk beribadah di Baitul Maqdis.
46
Setelah perjalanan panjang dengan ke berbagai negara, al-Ghazali pun
kembali lagi ke Tunisia. Kemudian beliau mendirikan sebuah
madrasah untuk para sufi dan madrasah untuk para penuntut ilmu.
Beliau menghabiskan sisa waktunya untuk berbuat kebaikan, seperti
mengkhatamkan al-Quran, bertemu dengan para sufi dan mengajar,
sampai ajal menjemputnya. Al-Ghazali digelari Hujjatul Islam kerena
kuatnya daya ingat dan bijak dalam berhujjah. Akhirnya pada tanggal
14 Jumadil Akhir 505 H /1111 M, beliau menghembuskan nafas
terakhirnya pada usia 55 tahun, beliau meninggalkan beberapa anak
perempuan (At-Taftazani, 2003: 153).
b. Karya-karya al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan seorang ulama dan intelek Islam yang
sangat produktif dalam hal menulis. Hal ini terbukti dari banyaknya
kitab yang telah beliau karang. Dalam buku Mukhtashar Ihya
Ulumuddin, dikatakan bahwa as-Subki dalam kitabnya yang berjudul
Thabaqat asy-Syafi‟iyyah menyebutkan “kitab yan telah ditulis alGhazali berjumlah 58 karangan”. Dikatakan pula dalam oleh Thasi
Kubra Zadeh dalam kitab Miftah as-Sa‟adah wa Misbah as-Siyadah,
bahwa karya-karya beliau mencapai 80 karangan. Bahkan Thasi Kubra
Zadeh mengatakan bahwa:
“Buku-buku dan risalah-risalahnya tidak terhitung jumlahnya
dan tidak mudah bagi seseorang mengetahui juduljudul seluruh
karyanya. Hingga dikatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan.
Ini memang sulit dipercaya. Tetapi, siapa yang mengenal dirinya,
kemungkinan ia akan percaya” (Hermawan, 2012: 342).
47
Menurut Dr. Baedhowi Tabhana dalam mukaddimah kitab Ihya
„Ulum ad-Din yang dikutip oleh Hermawan (2012: 342) menyebutkan
beberapa karangan al- Ghazali yang telah disusun berdasarkan disiplin
ilmunya adalah sebagai berikut:
1) Bidang Filsafat dan Ilmu Kalam, di antaranya:
a) Maqasid al-Falasifah
b) Al-Iqtishad fi al-I‟tiqad
c) Tahaful al-Falasifah
2) Bidang Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, di antaranya:
a) Al-Bastih Al-wasith
b) Al-Musthaf
c) Al-wajiz
d) Syifakhul alil fi Qiyas wa Ta‟lim
3) Bidang Ilmu Tasawuf, di antaranya:
a) Ihya „Ulum ad-Din
b) Misykat al- Anwar
c) Minhajul Abidin
d) Bidayatul Hidayat
e) Al-Mabadi wal Ghayah
4) Bidang Ilmu Tafsir, yang meliputi:
a) Jawahiru al-Qur‟an wa Duroruhu
b) Yaqut al-Ta‟wil fi Tafsir al-Tanzil
Masih banyak lagi karya yang telah ditulis oleh al-Ghazali, namun ada
yang hilang, musnah, dan yang belum ditemukan. Adapun yang
48
tersebut di atas, agaknya mampu mewakili kitab-kitab karangan beliau
dalam berbagai disiplin ilmu.
c. Tentang kitab Tafsir Jawahiru al-Qur‟an wa Duroruhu dan Misykat
al- Anwar
Kitab Tafsir Jawahiru al-Qur‟an wa Duroruhu merupakan bukti
bahwa al-Ghazali merupakan seorang ulama yang mempunyai
wawasan luas tentang ilmu pengetahuan. Dalam kitab tersebut beliau
menekankan arti pentingnya ilmu- ilmu kontemporer untuk memahami
al-Qur‟an. Kerena pesan yang terkandung dalam al-Qur‟an hanya
dapat difahami oleh mereka yang telah belajar ilmu yang digali dari
al-Qur‟an. Misalnya tentang pergerakan matahari dan bulan (QS. 5: 5),
ayat tersebut hanya dapat dipahami oleh para astronom yang telah
mempelajari tentang ilmu astronomi (Al-Ghazali, 1995: 22-23).
Tema tentang ketuhanan yang dibahas dalam Tafsir Jawahir alQur‟an, dalam menafsirkannya tidak boleh sembaranga. Hal ini
dikarenakan sifatnya yang antropomorphisme (tajsim dan tasbih),
maka harus hati-hati dalam memahami maksudnya. Al- Ghazali dalam
menafsirkan ayat tentang ketuhanan beliau memilih mengarahkannya
pada makna majazi atau perumpamaan. Beliau mengatakan bahwa
pengetahuan mengenai ketuhanan merupakan pengetahuan yang
sangat sulit untuk dijangkau oleh akal manusia. Dengan demikian,
cara yang tepat adalah dengan perumpamaan yang dikembaliakan
pada pensucian (Al-Ghazali, 1995: 13).
49
Tema mengenai cahaya Allah yang terdapat dalam QS. An-Nur
ayat 35 dibahas secara mendalam dalam kitab lain al- Ghazali yang
berjudul Misykat al- Anwar. Karya ini beliau khususkan untuk para
sufi, meskipun begitu dalam penafirannya tidak hanya corak sufi saja
yang beliau gunakan, namun juga corak falsafi. Hal ini terlihat dari
penafsiran beliau mengenai misykat, mishbah, zujajah, dan syajaraah
yang beliau ta‟wilkan dengan tingkatan ruh pada manusia. Keunikan
inilah yang membuat kitab ini berbeda dengan kitab tasawuf lainnya.
Oleh karena itu, maka akan dijelaskan pula mengenai kitab tersebut.
Misykat al- Anwar merupakan kitab karangan al-Ghazali dengan
aliran mistik-filosofis. Kitab ini ditulis mulai tahun 495H/ 1101M
hingga tahun 505H/1111M yang kemudian beliau persembahkan
untuk seseorang yang dipandang khusus oleh beliau dan disapa
dengan sebutan “saudara yang mulia” (al-akh al-karim). Menurut
beliau kitab ini tidak boleh sampai pada orang awwam dan boleh pula
disembunyikan dari orang khawwas ataupun khawwas al-khawwas.
Pelu diketahui, pada masa tersebut ada pengelompokkan orang-orang;
orang awwam (kebanyakan orang pada umumnya), khawwas (orangorang khusus yang telah berlaku umum) dan –al- Ghazali menambahkhawwas al-khawwas (Al-Ghazali, 1996: 1).
Judul Misykat al-Anwar terinspirasi dari QS. an-Nur ayat 35 ini,
diambil dari kata misykat yang berarti ruang tempat cahaya yang
diberikan Allah kepada manusia. K itab ini merupakan pola dan
50
aplikasi dari penafsiran sufistik. Sifat yang sangat filosofis membuat
Misykat al-Anwar membuatnya memiliki daya tarik tersendiri dari
Ihya „Ulumu al-Din. Meskipun bisa dikatan bahwa kitab ini
merupakan lanjutan dari kitab Ihya „Ulumu al-Din. Namun terdapat
perbedaan yang sangat kentara dari kedua kitab fenomenal al- Ghazali
ini adalah untuk Ihya „Ulumu al-Din banyak membahas mengenai
hati, sedangkan Misykat al-Anwar membahas mengenai akal
(Adiwijadjayanto dan Wahyudi, 2003: 189).
Misykat al-Anwar memiliki tiga bab dalam pembahsannya.
Adapun pembahsannya dimulai dengan mukaddimah. Al- Ghazali
memulai dengan basmalah, doa dan tak lupa beliau memuji Allah –
sumber dan pelimpah segala cahaya-serta bersalawat kepad Nabi
Muhammad saw. Selanjutnya masuk pada uraian tiap babnya. Secara
garis besar ketiga bab tersebut adalah: bab pertama membahas
mengenai hakikat cahaya: Allah merupakan sumber dari segala cahaya
yang ada di dunia ini. Bab kedua, membahas tentang permisalan
dalam al-Qur‟an. Dan bab ketiga, membahas mengenai penghalang
sampainya cahaya Allah kepada manusia (Al-Ghazali, 1996: 1).
Apabila disimpulkan dari ketiga bab yang dibahas dalam kitab
Misykat al-Anwar merupakan kajian mengenai hubungan antara Allah
dan manusia yang membutuhkan proses yang sangat panjang dan
membutuhkan kekuatan serta kesabaran. Kitab ini juga menjelaskan
bagaimana seorang hamba berhubungan dengan Tuhannya agar
51
mendapat pentunjuk, serta bagaimana mencapai ihsan setelah
melampaui Iman dan Islam. yaitu memlalui aqidah dan ibadahnya.
Tak hanya itu, kitab ini pun membahas mengenai mu‟amalah, yaitu
hubungan manusia baik secara vertikal maupun horisontal, dan
terakhir beliau membahas mengenai tasawuf (Al-Ghazali, 1996: 6).
Kitab Misykat al-Anwar ini merupakan kisah dan pengalaman seorang
salik dalam beribadah untuk mengharap wajah Allah yang menjadi
pelengkap dari kitab tasawuf al-Ghazali.
B. Perbedaaan Penafsiran antara Al-Maraghi dan Al-Ghazali terhadap
Amtaal Nur Kajian atas QS. An-Nur Ayat 35
1. Redaksi QS. An-Nur Ayat 35 dan Terjemahannya
ِ ‫ض مثَل نُوِرهِ َك ِم ْش َك اةٍ فِيها ِمصب‬
ِ
ِ
‫اح ِِف‬
‫ه‬
ْ ‫اح الْم‬
ٌ َْ َ
ُ ‫صَب‬
ُ ُ‫اَّللُ ن‬
ُ َ ‫ور ال هس َم َاوات َو ْاْل َْر‬
ٍ‫الزجاج ُة َكأَنهه ا َكوَكب د ِر ٌّي يوقَ ُد ِم ن َشجرةٍ ُّمبارَك ٍة َزي ُتونَةٍ هَّل َشرقِيهة‬
ٍ ‫ُزج‬
ْ َ َ ََ
ْ
ُ ُّ ٌ ْ َ
َ َ ُّ ‫اج ة‬
َ َ
ِ
ٍِ
‫ور َعَل ٰى نُوٍر يَ ْه ِدي ه‬
ُ‫اَّلل‬
ٌ ُّ‫يء َولَ ْو ََْل ََتْ َس ْس ُو نَ ٌار ن‬
ُ ‫َوََّل َغ ْربيهة يَ َك ُاد َزْي ُت َه ا يُض‬
ِ ٍ
ِ
ِ ‫هاس و ه‬
‫يم‬
‫ب ه‬
ْ َ‫لُِنوِرهِ َمن يَ َش ُاء َوي‬
ُ ‫ض ِر‬
ٌ ‫اَّللُ ب ُك ِّل َش ْيء َعل‬
َ ِ ‫اَّللُ ْاْل َْمثَ َال للن‬
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya
ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu (terj. Departemen Agama).
52
2. Penafsiran Al-Maraghi terhadap Amtsal Nur Kajian atas QS. AnNūr Ayat 35
Kata nur berasal dari wazan nara-yanaru-nauran-nuran yang
mempunyai arti menerangi. Nur mempunyai kedekatan makna dengan
nar, yaitu unsur ilmiyah yang dapat memacarkan cahaya, panas dan
dapat membakar. Dijelaskan dalam al-Mu‟jam al-Washith, bahwa
nur merupakan penerang yang menjelaskan sesuatu sehingga terlihat
hakikatnya (Majma‟ Al Lughah Al Arabiyah, 1972:
962). Cahaya
mempunyai sifat terang dengan sendirinya dan menerangi yang lain.
Allah menyebut diri-Nya sebagai nur dalam QS. An-Nur ayat
35. Firman-Nya:
ِ ‫اَّلل نُور ال هسماو‬
ِ ‫ات َو ْاْل َْر‬
‫ض‬
َ َ ُ ُ‫ه‬
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Adapun maksud dari nurun adalah yang memiliki cahaya. Allah adalah
pemilik segala cahaya, sehingga pantas apabila menyeut diri-Nya dengan
nur. Penyebutan nur untuk Allah merupakan penyebutan yang sangat
tepat, karena dzat Allah sendiri merupakan cahaya yang menerangi
segala sesuatu yang lain. Cahaya Allah berbeda dengan cahaya yang lain,
beliau merupakan cahaya hakiki yang paling tinggi kedudukannya.
Cahaya hakiki yang sempurna ini merupakan penyebab munculnya
sesuatu yang lain, beliau disebut pula sebagai wujud. Dengaan kata lain
Allah adalah wujud yang menjadikan sesuatu yang lain ada, Ia- lah yang
53
menjadi Pencipta dan Pengatur segala yang ada di langit dan bumi (AlMaraghi, 1946:107).
Kata nur apabila bersama dengan samawat (langit) dan ardh
(bumi) menunjukkan akan jangkauan cahaya Allah sangat luas, yang
menerangi langit dan bumi. Penggunaan kata langit dan bumi merupakan
perumpamaan dari semua makhluk ciptaan Allah yang berada di alam
semesta ini, baik yang di dunia nyata ataupun dunia ghaib. Oleh karena
itu, makna “Allah nur al-Samawat wa al-Ardh” adalah bahwa Allah
SWT adalah Cahaya seluruh semesta alam yang menyinari seluruh langit,
bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Allah dengan kekuasaan
tertinggi-Nya yang menyinari seluruh langit dan bumi artinya Ia
mencipta dan mengatur segala sesuatu yang berada di dalamnya.
Diriwayatkan dari Ali ra:
ِ ‫هللا نُور ال هسماَو‬
ِ‫َضاءا بِنُ ِره‬
ِ ‫ات َواْل َْر‬
ْ ‫ض َونَ َش َر فِْي َها‬
ٌ ُ
َ َ ‫اْلَ هق َوبَثَ ُو فَأ‬
َ
Allah memberi cahayanya kepada langit dan bumi, serta
menaburkan yang haq kepadanya, sehingga beliau menjadi
terang karena cahaya tersebut.
Cahaya Allah merupakan petunjuk bagi penghuni langit dan bumi
untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Petunjuk tersebut berupa
syari‟at, hukum, adab dan akhlaq yang terkandung dalam ayat-ayat-Nya
yang mulia. Cahaya Allah menerangi langit dan bumi dengan ayat-ayat
kauniyah dan ayat-ayat yang Dia turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
Ayat-ayat tersebut merupakan bukti atas wujud, keesaan dan sifat -sifat
Allah yang sempurna (Al-Maraghi, 1946: 107).
54
Cahaya Allah yang diartikan sebagai petunjuk
diumpamakan
dengan perumpamaan-perumpamaan agar menjadi jelas dan dapat
difahami. Adapun perumpamaan-perumpamaan tersebut sebagai berikut:
a. Cahaya Allah (petunjuk) diumpamakan misykat yang di dalamnya
terdapat pelita. Firman Allah:
ِ ٍِ ِ
‫اح‬
ْ ‫َمثَ ُل نُوِرهِ َكم ْش َكاة ف َيها م‬
ٌ َ‫صب‬
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Misykat berasal dari bahasa Habasyah yang kemudian diarabkan.
Diartikan sebagai lubang atau celah di dinding yang tidak tembus
(Al-Maraghi, 1946: 106). Tradisi masyarakat Arab, lubang ini dibuat
pada dinding untuk meletakkan pelita/ lampu dan mereka biasanya
menutup lubang tersebut dengan kaca agar pelita di dalamnya tidak
padam (Kauma, 2000: 271). Ayat ini disebutkan bahwa di dalam
Misykat terdapat mishbah. Menurut Fuad Kauma (2000: 271),
mishbah adalah alat yang terdiri dari wadah minyak, sumbu minyak
dan semprong. Mishbah adalah pelita besar yang mampu menerangi
sekitarnya (Al-Maraghi, 1946: 106).
“Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar” diartikan
sebagai hati seorang mu‟min yang dilingkupi oleh cahaya berupa
petunjuk dan hidayah dari Allah. Cahaya tersebut tidak datang
dengan sendirinya, namun membutuhkan pemikiran, perenungan dan
pengarahan menuju pada Allah. Oleh karena itu seseorang yang
55
ingin hatinya dilingkupi oleh cahaya Allah, ia harus mampu
mendidik hatinya agar terbebas dari nafsu dunia yang membuatnya
buta akan akhirat (Al-Maraghi, 1946: 109).
Hati yang telah mampu menundukkan nafsu dunianya akan
mencapai ketentraman. Pada tingkat berikutnya beliau kan mampu
melihat terangnya cahaya (petunjuk) Allah. Al-Qur‟an membagi
nafsu manusia menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Nafsu ammarah bi as-S ‟
Nafsu ammarah bi as-S ‟ adalah nafsu dunia yang
menguasai diri. Ia merupakan nafsu yang tercela, terendah dan
terhina. Tabi‟atnya selalu mengajak kepada kemaksiatan,
membuat seseorang yang dalam hatinya terserang nafsu ini akan
merasa bangga ketika melakukan dosa. Bukan hanya itu, beliau
tidak segan-segan mengajak orang lain untuk melakukan
maksiat (Al-Jauziyyah, Al-Hambali, dan Al-Ghazali, 2007: 87).
Semua orang tidak dapat selamat dari kejahatan nafsu ini
selain orang-orang yang menjaga dan mendidik hatinya untuk
mendapatkan petunjuk dari Allah. Sebagaimana firman Allah:
ِ ‫الس‬
ِ ُ ‫وما أُب ِر‬
ِ
ۚ ‫وء إِهَّل َما َرِح َم َرِّب‬
ُّ ِ‫س َْلَهم َارٌة ب‬
َّ َ َ
َ ‫ئ نَ ْفسي ۚ إ هن النه ْف‬
ِ ‫إِ هن رِب َغ ُف‬
]ٕٔ:ٖ٘[ ‫يم‬
ٌ ‫ور هرح‬
ٌ َّ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang. (QS. Yusuf/12: 53)
56
Demikian pula dengan firman-Nya:
ِ‫ضل ه‬
ِ ِ
... ‫َح ٍد أَبَ ًدا‬
َ ‫اَّلل َعلَْي ُك ْم َوَر ْْحَتُ ُو َما َزَك ٰى من ُكم ّم ْن أ‬
ُ ْ َ‫ َولَْوََّل ف‬...
Sekiranya tidaklah karena kurnbeliau Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari
kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar
itu) selama-lamanya. (An-N r 24: 21)
Seseorang mu‟min tidak akan terlepas dari godaan nasfu
ammarah bi as-S ‟ ini. Oleh karena itu, mereka harus berusaha keras
untuk mengalahkan agar nafsu tersebut dapat tunduk dan patuh
padanya. Dengan begitu hatinya akan senantiasa mengarahkan
pemiliknya untuk memperoleh hidayah Allah sebagai bekal
kebahagiaan dunia dan akhirat. Apabila Allah telah memberikan
petunjuk dan hidayah-Nya hamba-Nya, niscaya selamatlah ia
dari semua keburukan nafsu ammarah bi as-S ‟ (Al-Jauziyyah,
Al-Hambali, dan Al-Ghazali, 2007: 87).
2) Nafsul lawwamah
Tingkatan kedua dari nafsu yang bersemayam di hati
manusia
ialah nafsu lawwamah. Ia adalah nafsu yang
keadaannya selalu berubah-ubah, terkadang baik tapi terkadang
lalai. Seseorang yang di dalam hatinya bersemayam nafsu
lawwamah sadar bahwa dirinya sering melakukan dosa, dan ia
akan segera memohon ampun ketika mengingatnya. Akan tetapi
ketika ia alpa, maka berbuat dosa lagi di kemudian hari. Apabila
yang hatinya bersemayam nafsu lawwamah berbuat kebaikan,
maka akan timbul riya dalam dirinya. Inilah salah satu ciri yang
57
ada pada orang yang hatinya dikuasai nafsu lawwamah. (AlJauziyyah, Al-Hambali, dan Al-Ghazali, 2007: 87).
Berbeda antara orang yang hatinya dikuasai nafsu
ammarah, orang hatinya dikuasai nafsu lawwamah tidak akan
timbul perasaan puas dan bangga setelah melakukan dosa, ia
juga tidak menghasut orang lain untuk bisa berbuat dosa
bersama dengannya. Akan tetapi seseorang yanng dikuasai nafsu
ini dia akan terjebak dalam berbuat dosa, kerena masih belum
mampu meninggalkan kesenangan dari dosa terseb ut. Misalnya,
seseorang yang sudah merasakan zina, maka dia akan ketagihan
untuk melakukannya walau dia tahu bahwa zina termasuk dosa
yang besar.
Tingkatan nafsu Lawwamah di atas nafsu Ammarah,
tetapi masih belum terdidik secara sempurna. Hatinya masih
bermukim sifat yang menjerumuskannya melakukan perbuatan
tercela. Hanya saja orang yang hatinya masih bersarang nafsu
lawwamah mudah ingatkan dan hatinya mudah didorong ke arah
ibadah dan kebaikan. Namun,
nafsunya belum terdidik
sepenuhnya. Orang yang hatinya bersemayam nafsu lawwamah,
beliau belum mampu melihat cahaya Allah dengan sempurna.
Oleh sebab itu, apabila ia ingin memperoleh terangnya cahaya
Allah perlu berusaha mendidik hatinya untuk selalu berbuat
kebaikan, sehingga nafsu dalam hatinya naik sampa i Nafsu
58
muthmainnah (Al-Jauziyyah, Al-Hambali, dan Al- Ghazali,
2007: 87).
3) Nafsul Muthmainnah
Nafsu muthmainnah adalah nafsu yang tenang dan
tentram dengan dzikrullah, tunduk dan patuh kepada-Nya,
merindukan berjumpa dengan-Nya, (Al-Jauziyyah, Al-Hambali,
dan Al-Gazali, 2007: 81). Sebagaimana firman Allah:
ِ‫كر‬
ِ ِ ِِ ِ
‫اضَي ًة هم ْر ِضيه ًة‬
َ ِّ‫س الْ ُمطْ َمئنه ُة ْارجعي إ َ َٰل َرب‬
ُ ‫يَا أَيهُت َها النه ْف‬
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS. Al-Fajr:
27-28)
Orang yang berhasil melawan nafsu dunia yang
mengajak melakukan dosa, maka nafsunya akan terdidik dan
mencapai tingkatan nafsu muthmainnah. Seseorang yang telah
mencapai ke tingkatan ini, hatinya sudah suci, tenang dan
tunduk. Ia sabar dan ridha akan segala ketentuan Allah yang
pada dirinya. Orang tersebut selalu sujud dan syukur di atas
segala nikmat yang Allah berikan kepadanya. Meskipun ujian
musibah menimpanya, dia anggap sebagai penghapus dosa di
dunia dan perantara untuk mendekatkan kepada Allah.
Orang yang bernafsu muthmainnah inilah yang dikatakan
orang-orang bertaqwa. Yaitu orang yang mampu melaksanakan
segala perintah Allah dan mampu meninggalkan segala larangan
Allah. Hati orang yang di dalamnya bersemayam nafsu ini
59
adalah hati yang terang karena cahaya (petunjuk) Allah. Inilah
hati yang mampu melihat cahaya Allah dan mendapat petunjuk
jalan kebenaran untuk kebahagiaan hidupnya (Al-Maraghi,
1946: 109).
Perumpamaan mengenai cahaya Allah seperti misykat yang di
dalamya ada mishbah adalah perumpamaan dari hati seorang
mu‟min yang terang karena telah mendapat petunjuk dan bimbingan
dari Allah. Sehingga beliau selalu berada di jalan yang benar,
mendapat petunjuk, dan dengannya beliau akan selamat dari
kesesatan. Petunjuk Allah yang menerangi tersebut mempunyai sifatsifat sebagaimana yang Allah jelaskan pada perumpamaan yang
selanjutnya (Al-Maraghi, 2006: 353).
b. Pelita dalam kaca
Firman Allah:
ٍ‫الْ ِمصباح ِِف ُزجاجة‬
َ َ
ُ َْ
Pelita itu di dalam kaca
Zujajah diartikan sebagai lampu gantung yang terbuat dari
kaca sangat bening. Lampu tersebut di dalamnya terdapat sebuah
pelita yang terang. Diletakkannya pelita dalam lampu kaca
bermaksud untuk menjaga nyala cahaya agar tidak padam terterpa
angin. Bukan hanya itu kaca tersebut juga membuat cahaya pelita
semakin terang (Al-Maraghi, 1946: 108).
60
Ayat ini merupakan perumpamaan dari petunjuk Allah berupa
al-Qur‟an yang terjaga keasliannya. Allah SWT menjaga lafadzlafadznya dari perubahan, baik pengurangan maupun penambahan.
Ia terjaga lewat hafalan- hafalan para hafidz yang senantiasa
mengulang-ulangnya setiap saat. Tidak akan mampu seorangpun
yang berusaha untuk merubahnya, kecuali akan datang orang yang
menjelaskan kebenarannya. Bahkan Allah sendiri yang akan
langsung menjaganya. Sebagaimana firman-Nya:
ِّ ‫إِنها ََْنن نَ هزلْنَا‬
]ٔ٘:١[ ‫الذ ْك َر َوإِنها لَ ُو َْلَافِظُو َن‬
ُ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur‟an dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al
Hijr/15: 9)
Ayat tersebut merupakan bukti atas keagungan ayat-ayat alQur‟an yang terjaga baik lafadz maupun makna. Kerena fungsinya
sebagai petunjuk bagi semesta alam, maka penjagaannya akan
berlangsung selama lamanya. Beliau akan menunjukkan jalan yang
terang yaitu jalan kebenaran. Oleh karena itu, barang siapa yang
berpegang pada al-Qur‟an, niscaya ia akan selalu berada di jalan
yang benar serta akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Layaknya pelita dalam kaca, hati mu‟min yang telah terpaut
dengan al-Qur‟an beliau akan bersinar dengan cahaya petunjuk Allah.
Hatinya akan tenang dan terhindar dari kesesatan yang gelap dan
memelingkan diri dari berbuat kebenaran. Ia akan senantiasa berada
61
pada jalan kebenaran yang membawanya pada kebahagiaan dunia
dan akhirat.
c. Kaca seakan-akan bintang bercahaya seperti mutiara
Firman Allah:
‫ي‬
ُّ
ٌّ ‫ب ُد ِّر‬
ٌ ‫اج ُة َكأَنه َها َك ْوَك‬
َ ‫الز َج‬
Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara.
Al-Maraghi mengatakan bahwa seolah-olah bintang yang
sinarnya benderang yang seperti kumpulan mutiara. Bintang tersebut
besarnya seukuran Venus dan Jupiter. Perkataan Ubay bin Ka‟ab
yang dikutib oleh al-Maraghi (1946: 109) bahwa artinya adalah
bintang-bintang yang bercahaya. Ini merupakan perumpamaan bagi
hati orang mu‟min yang telah lolos memerangi nafsu dunia
yang
bergejolak di hatinya. Hati tersebut sangat bersih dan terlihat
bercahaya hingga disamakan dengan mengkilapnya mutiara, hal ini
dikarenakan ia telah kosong dari segala yang dapat mengotorinya.
Sebelum sampai pada hati yang bersih, seorang mu‟min haruslah
berperang melawan nafsu yang bergejolak di hatinya dengan susah
payah. Beliau mampu mengalahkan nafsu dunia yang bergejolak di
hatinya, hingga menjadi pribadi tabah dan bersih yang menuntunya
kepada keadaan mampu melihat cahaya (petunjuk) Allah.
Maksudnya adalah kaca yang sangat terang bagaikan bintang
yang bercahaya serta mengkilap seperti mutiara merupakan
perumpamaan bagi hati seorang mu‟min yang telah lolos memerangi
62
nafsu dunia di hatinya. Hati tersebut sangat bersih dan terlihat
bercahaya hingga disamakan dengan mengkilapnya mutiara, hal ini
dikarenakan ia telah kosong dari segala yang dapat mengotorinya.
Dengan begitu, ia mampu menyerap cahaya Allah dan menrima
petunjuk-Nya, sehingga segala yang ia lakukan merupakan
kebenaran yang membawa kebaikan bagi dirinya sendiri dan
sekitarnya.
d. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah
Firman Allah:
ٍ‫يوقَ ُد ِمن َشجرةٍ ُّمبارَكةٍ َزي ُتونَةٍ هَّل َشرقِهيةٍ وََّل َغربِهية‬
ْ َ َ ََ
ُ
ْ َ ْ
Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya , (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya),
Sumbu pelita tersebut dibasahi oleh minyak yang berasal dari
pohon yang banyak manfaatnya, yaitu pohon zaitun. Dikatakan
sebagai pohon yang banyak berkah, karena pohon zaitun mempunyai
banyak keistimewaan dan manfaat pada tiap bagiannya. Misalnya,
daun zaitun yang direbus lalu airnya diminum, dapat digunakan
sebagai obat hipertensi dan melancarkan urine. Minyak zaitun yang
dapat digunakan sebagai penghilang racun dalam tubuh juga sebagai
obat cacingan. Tidak hanya itu ampas dari biji zaitun yang telah
diambil minyaknya, dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman
(Mubayyad, 2014: 201).
63
Berbagai manfaat tersebut menunjukkan banyaknya berkah
yang ada pada pohon zaitun. Ini merupakan perumpamaan dari
syari‟at Allah yang penuh hikmah, yang merupakan sumber dari
cahaya hati. Hikmah yang didapat dari syariat Allah menjadikan hati
bercahaya. Artinya, apabila seseorang mampu melihat hikmah
dibalik pensyariatan suatu hukum, berarti hatinya telah mendapat
cahaya sebagai petunjuk mengenai sebab disyari‟atkannya sesuatu
hukum.
Minyak zaitun juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar
pada lampu. Jenis minyak yang paling bagus untuk nyala api diambil
dari pohon zaitun yang mendapat sinaran cahaya matahari dari
segala sisi, mulai dari terbit sampai terbenamnya matahari. Karena
tumbuh tidak di daerah Timur dan tidak pula sebelah Barat akan
mendapatkan sinar matahari sepanjang hari, sehingga tumbuh
dengan subur dan minyak yang dihasilkannya jernih seakan akan
bercahaya (Al-Maraghi, 2006: 353).
Abu
Ja‟far
ar-Razi
meriwayatkan
dari
Ubay
bin
Ka‟ab tentang firman Allah :“Pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),”
beliau berkata: “yaitu pohon zaitun yang hijau dan segar yang selalu
terkena sinar matahari, bagaimanapun kondisinya, baik ketika
matahari terbit maupun matahari terbenam.” Beliau melanjutkan
perkataannya: seperti itulah seorang mu‟min yang terpelihara dari
64
fitnah- fitnah.
Ketika
ia
tertimpa suatu
fitnah,
Allah akan
meneguhkan hatinya dan ia selalu berada dalam empat keadaan
berikut: apabila berkata beliau jujur, jika menghukum maka beliau
berlaku adil, jika diberi cobaan maka beliau bersabar dan jika diberi
nikmat beliau bersyukur (Ghoffar dan Al-Atsari [penj.], 2013: 382).
e. Minyak dari pohon zaitun itu hampir- hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api
Firman Allah:
ِ ‫اد َزيتُها ي‬
‫ضيءُ َولَْو ََلْ َتَْ َس ْس ُو نَ ٌار‬
ُ َ ْ ُ ‫يَ َك‬
Minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api.
Buah zaitun yang matang sempurna akan mengahasilkan
minyak yang jernih dan mengkilat, sehingga walaupun tidak disulut
dengan api, ia pun telah bercahaya dengan sendirinya. Hal ini karena
minyak tersebut murni dan sangat bening, maka ketika dilihat
seakan-akan beliau bercahaya. Apabila disulut api, menjadi semakin
bercahaya dan terang (Al-Maraghi, 1946: 108). Perumpamaan
minyak yang jernih, diartikan dengan hati seorang mu‟min yang
melakukan petunjuk sebelum mendapat pengetahuan, sehingga
ketika pengetahuan itu datang maka hatinya semakin bercahaya dan
semakin mantap dalam mengikuti petunjuk Allah. Hal ini d ijelaskan
pula oleh Yahya bin Salman bahwa hati orang mu‟min telah
mengetahui
sesuatu
kebenaran,
meskipun
belum
dijelaskan
kepadanya. Karena kebenaran dan hatinya mempunyai kesesuaian
65
yang sangat (Al-Maraghi, 1946: 108). Hal ini sesuai dengan sabda
Rasul:
ِ
ٍ ِ‫عن أب سع‬
‫اس َة‬
ْ ‫يد‬
ُ :‫ قال‬:‫ قال‬، ‫ي‬
َ ‫ اته ُقوا ف َر‬:‫رسول هللا‬
َ
ِّ ‫اْلُ ْد ِر‬
‫ فإِنه ُو يَْنظُُر بِنُوِر هللا‬،‫امل ْؤِم ِن‬
ُ
Artinya: dari Abi Sais al-Kudriy berkata: Rasulullah SAW
bersabda: berhati-hatilah terhadap firasat orang mu‟min,
karena dia melihat dengan cahaya Allah (HR. Tirmidzi).
Kebenaran yang ada dalam hati seorang mu‟min akan terus
bertambah sesuai dengan bertambahnya cahaya Allah yang beliau
peroleh. Hatinya yang awalnya bercahaya akan semakin bercahaya
karena beliau mengikuti petunjuk. Cahaya tersebut akan membentuk
suatu sistem cahaya yang berlapis- lapis, diisyaratkan dalam firman
Allah:
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)
‫ور َعلَ ٰى نُوٍر‬
ٌ ُّ‫ن‬
Cahaya Allah yang berupa petunjuk kebenaran, semakin
terang kerena padanya terdapat interaksi antara (cahaya) misykat,
pelita dan minyak, sehingga tidak ada satupun yang terlewatkan
dalam memperkuat dan menambah terang nyala cahaya. Hal ini
dikarenakan pelita yang ada di dalam tempat yang sempit
menyerupai lubang yang tidak tembus, beliau akan menghimpun dan
memadukan seluruh cahaya, maka cahayanya lebih menerangi.
Berbeda dengan apabila pelita itu berada ditempat yang luas, karena
cahaya akan menyebar dan meluas. Tabung kaca merupakan alat
66
yang paling dapat menambah penerangan, demikian pula minyak dan
kebeningnya (Al-Maraghi, 1946: 108).
Nur atas nur, merupakan petunjuk dari pada Allah, masuk
kedalam ke dalam cahaya hati orang mu‟min yang telah lepas dari
nafsu dunia dan akan terus bertambah. Hati tersebut telah melawan
cobaan nafsu dunia yang berat, sehingga benar-benar terbebas
darinya. Hal ini bagaikan intan hati yang terus digosok hingga
bening dan mengkilap, dengan begitu ia akan mampu menerima
cahaya. Hati layaknya intan yang telah digosok akan mampu
menerima cahaya Allah yang berupa petunjuk yang benar. Cahaya
petunjuk tersebut akan selalu bertambah dan berlipat sehingga ia
mampu menilik hakikat petunjuk Allah tersebut. Berbeda halnya
apabila intan hati belum digosok terlebih dahulu sehingga masih
dikendalikan oleh nafsu dunia, sehebat dan banyak apapun cahaya
petunjuk Allah tidaklah ada artinya, hati tersebut tidak sanggup
untuk menerima cahaya Allah.
Demikianlah perumpamaan cahaya
Allah.
Cahaya
tersebut
merupakan petunjuk dari Allah yang didapat oleh hati orang mu‟min
yang telah mampu menundukkan nafsu dunianya sehingga bersemayam
di hatinya nafsu muṭmainah, dan cahaya itu adalah Islam. Islam
merupakan agama yang sempurna, di dalamnya termuat syari‟at, adab,
dan akhlaq
yang
mengatur kehidupan
manusia agar terwujud
kebahagiaan dunia dan akhirat. Syari‟at tersebut disampaikan melalui al-
67
Qur‟an
dan
dijelaskan
oleh
Nabi
sehingga
manusia
mampu
melaksanakannya dengan benar (Al-Maraghi, 1946: 107).
Dipahami pula bahwa, al-Qur‟an merupakan makanan bagi hati,
sebab dengan al-Qur‟an hati akan mendapatkan petunjuk berupa
kebenaran yang berfungsi sebagai penjaga cahaya hati. Bertambahnya
perpaduan antara cahaya hati dan pancarannya bergantung kepada kadar
aktualisasi seseoang terhadap kandungan al-Qur‟an. Hati seorang
mu‟min akan memantulkan cahaya ini sehingga jalan baginya menjadi
terang dan terang pula bagi yang lain.
Cahaya Allah hanya akan diberikan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya, sebagimana firman-Nya:
Allah membimbing
kehendaki.
kepada
ِ ِ ‫يَ ْه ِدي ه‬
ُ‫اَّللُ لنُوِره َمن يَ َشاء‬
cahaya-Nya
siapa
yang
Dia
Allah akan memberikan petunjuk berupa taufik untuk mencapai
kebenaran kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Namun untuk
mendapat taufik seorang hamba harus berusaha untuk merenungkan dan
memperhatikan serta mengarahkan pikirannya menuju ridho Allah.
Sebaliknya orang yang tidak mau berusaha untuk mengarahkan
pikirannya pada jalan lurus untuk mencapai ridho Allah, maka ia tidak
akan memperoleh taufik -cahaya Allah- (Al-Maraghi, 1946: 108).
Allah
menyampaikan
petunjuk-Nya
lewat
al-Qur‟an
menggunakan beberapa cara. Salah satunya adalah melalui perumpamaan
yang didalamnya termuat banyak faidah. Perumpamaan tersebut
68
dimaksudkan untuk mendamaikan jiwa dan membuka pikiran agar
semakin tajam untuk mencapai kebenaran. Dalam al-Qur‟an, banyak
sekali hujjah yang Allah buatkan perumpamaan, agar lebih mudah
difahami oleh akal dan mudah untuk dilaksanakan (Al-Maraghi, 1946:
108). Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
Dan Allah
manusia.
memperbuat
ِ ‫ال لِلن‬
‫هاس‬
َ َ‫اَّللُ ْاْل َْمث‬
‫ب ه‬
ْ َ‫َوي‬
ُ ‫ض ِر‬
perumpamaan-perumpamaan
bagi
Allah membuat perumpamaan karena merupakan jalan termudah
dalam menyampaikan hakikat suatu rahasia untuk manusia. Namun
hanya manusia yang mau menggunakan kemampuannya yang akan
mempu memahami hakikat perumpamaan tersebut. Oleh karena itu,
Allah yang maha mengetahui akan memberikan petunjuknya kepada
manusia sesuai dengan kesiapan hati masing- masing. Hanya orang yang
hatinya bersih mampu menerima petunjuk tersebut. Merekalah yang siap
untuk menerima petunjuk dan akan melaksanakannya. Sifat maha
mengetahui tersebut merupakan maksud dari firman-Nya:
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
ِ ٍ
‫يم‬
‫َو ه‬
ٌ ‫اَّللُ بِ ُك ِّل َش ْيء َعل‬
Dari pemaparan di atas, terdapat janji dan kebar gembira bagi
manusia yang mau memikirkan dan memperhatikan perumpamaan
tersebut, serta ancaman bagi mereka yang tidak mau menggunakan
kemampuannya untuk memikirkan perumpamaan sehingga mereka tidak
akan mencapai kebenaran dan tidak pula mmengikuti jalan Allah.
69
Terakhir, dapat disimpulkan bahwa, ayat ini merupakan
perumpamaan cahaya Allah yang berupa petunjuk dan hidayah di dalam
hati seorang mu‟min. Dan petunjuk tersebut akan semakin bertambah
sehingga semakin menerangi hatinya. Apabila ia mengikuti dan
mengerjakannya maka
ia akan mendapat jalan kebenaran dan
kebahagiaan dunia dan akhirat (Al-Maraghi, 1946: 109).
3. Penafsiran al-Ghazali terhadap Amtsal Nur Kajian atas QS. An-Nur
Ayat 35
Kata nur berakar dari kata yang terdiri dari nun, waw dan ra ( ‫ن و‬
‫)ر‬, yang berarti berubah-ubah atau tidak tenang. Begitu juga dengan kata
nur yang terangnya mampu berubah-ubah dengan pergerankan yang
sengat cepat (Ahmad, t.th: 363). Al-Ghazali (1964: 41) mengartikan nur
sesuai dengan tiga golongan dan tingkatan pemahaman manusia, yaitu:
a. Pengertian Nur di Golongan Orang Awam
Orang awam merupakan golongan orang dengan cara berfikir
yang sederhana. Mereka mengartikan nur dengan sesuatu (cahaya)
yang tampak oleh panca indera. Peranan panca indera bagi orang
awam
sangat
penting.
Karena
mereka
terkadang
hanya
mengandalkan kebenaran panca indera, terutama penglihatan.
Padahal penampakan suatu oleh panca indera adalah bersifat nisbi,
terkadang sesuatu itu nampak jelas oleh penglihatan dan
adakalanya ia tersembunyi (Al-Ghazali, 1964: 41).
70
Ada tiga kategori benda yang tampak oleh panca indera, di
antaranya:
1) Benda itu tampak karena benda lain, misalnya: benda gelap.
2) Benda itu tampak dengan sendirinya, namun tidak membuat
benda lain terlihat, misalnya: bintang.
3) Benda tersebut tampak dengan sendirinya dan membuat
benda lain terlihat karena sinarannya, misalnya: bulan dan
matahari.
Adapun yang dimaksudkan dengan cahaya bagi orang awam
adalah kategori nomer tiga, yaitu benda yang memang dengan
sendirinya tanpak dan membuat benda lain terlihat karenanya.
Dengan begitu istilah nur bagi orang awan adalah sesuatu yang
yang terlihat oleh mata lahir yang sendirinya tampak karena
memang dia bersinar dan menyinari sehingga benda yang lain
tampa pula kerena mendapat pantulan dari sinarnya (Al-Ghazali,
1964: 42).
Pandangan orang awam dengan penglihatan panca indera
(mata
lahiriyah)- nya
memiliki kekurangan dan kelemahan.
Penglihatan panca indera terkadang memberkan pengertian yang
menipu, benda besar yang jaraknya jauh terlihat lebih kecil
dibangding benda kecil yang jaraknya dekat. Karena ia hanya
mampu melihat sesuatu dari luarnya saja bukan subtansi
esoterisnya. Oleh karena itu, penglihatan panca indera yang serba
71
terbatas dengan kekurangan dan kelemahan, belum tepat apabila
disebut nur (Al-Ghazali, 1964: 42).
b. Pengertian Nur di Golongan Orang Khawwas (Khusus)
Golongan Khawwas merupakan kalangan orang-orang yang
mempunyai akal tajam dan mampu berfikir secara mendalam.
Mereka
mendefinisikan nur dengan sangat cara pandang yang
berbeda dibanding orang awam. Hal ini terjadi karena kedua
kalangan tersebut mempunyai perbedaan titik tolok dalam
memandang sesuatu.
Bagi orang awam titik
tolok
yang
digunakannya adalah mata lahiriyah (penglihatan mata), sedangkan
bagi kalangan khawwas akal budi atau lebih dekenal dengan istilah
aql atau ruh.
Manusia mempunyai mata yang bersifat sempurna, yaitu
yang disebut dengan aql (akal), ruh atau jiwa. Ia sangat berbeda
dengan mata inderawi yang mempunyai kekurangan, terkadang
beliau tidak mampu meliahat benda yang jaraknya jauh ataupun
benda yang berada di balik dinding. Aql atau ruh yang jernih lebih
pantas disebut nur, karena unggul apabila dibandingkan dengan
mata inderawi (Al-Ghazali, 1964: 43).
Al-Ghazali (1964: 44-47) menyebutkan sekurangnya ada
tujuh kelebihan aql atau ruh yang jernih dari mata panca indera,
yaitu:
72
1) Dapat mengetahui sifat dirinya (subjek yang mengetahui dan
mempunyai daya cipta) dan subjek lain .
2) Dapat melihat objek yang sajuh maupun dekat.
3) Mampu menembus dinding penghalang dalam melihat suatu
objek.
4) Mampu melihat ke dalam subtansi esotoris dan rahasbeliau
sesuatu.
5) Mampu
mengetahui sesuatu
yang bersifat
intelegible
(ma‟quliyat).
6) Mengetahui pengetahuan yang tidak terbatas.
7) Pengetahuan yang dihasilkan sesuai dengan kenyataan
c. Pengertian Nur di Kalangan Khawwas Al-Khawwas
Disebut nur karena sesuatu itu mampu melihat dirinya sendiri
dan benda lain. Namun apabila ada sesuatu yang mampu melihat
dirinya dan benda lain serta membuat benda lain mampu melihat
yang lainnya, maka ialah yang paling tepat mendapat predikat nur
(Al-Ghazali, 1964: 41). Dengan demikian pastilah nur yang
dimaksudkan adalah Allah SWT, yang ada dengan sendirinya dan
membuat ada yang lainnya. Dapat disimpulkan bahwa pengertian
nur yang dimaksudkan oleh kalangan khawwas al-khawwas adalah
Allah SWT. Hal ini sejalan dengan perkataan Al-Ghazali (1964: 41)
bahwa:
“Anda ketahui tingkatan dan hakikat nur yang dinisbatkan
pada golongan khawwas al-khawwas adalah bahwa Allah
73
merupakan nur yang tertinggi dan terakhir dan Ia merupakan
nur yang hakiki dan sebenarnya, tiada sekutu bagi-Nya”.
Ditegaskan pula oleh beliau bahwa cahaya hakiki adalah cahaya
yang menjadi sumber dari semua cahaya yang ada di dunia ini, Ia yang
wujud dan menjadikan menjadikan yang lainnya ada. Nur hakiki ini
tidak tersentuh oleh kegelapan dan ketiadaan. Ia bukan hanya
menampakkan sesuatu yang awalnya tidak tampak menjadi terlihat,
namun Ialah yang memjadikan sesuatu yang awalnya tidak ada me njadi
ada (menciptakan). Oleh karena itu, nur yang dimaksudkan adalah
Allah yang ada (wujud) dan mencipta dari ketiadaan (Al-Ghazali, 1964:
54).
Al-Ghazali (1999: 180) menjelasakan mengenai ma‟rifat dzat
Allah, bahwa pokok pertamanya adalah mengenal adanya (wujud)
Allah SWT. Beliau merupakan nur pertama yang menyinari segala
sesuatu –memberi petunjuk-
untuk
mengenalinya dengan cara
memandang dan memperhatikan. Allah mengalirkan cahaya dari dzatNya kepada semua yang ada di langit dan di bumi. Sebagaimana
firman-Nya:
ِ ‫اَّلل نُور ال هسماو‬
ِ ‫ات َو ْاْل َْر‬
‫ض‬
َ َ ُ ُ‫ه‬
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Hujjatul Islam memaknai ayat di atas, dengan penafsiran bahwa kata
nur merupakan slah satu nama Allah berarti yang menyinari. Allah
adalah cahaya hakiki yang sejatinya merupakan wujud sebenarnya
(hakiki),
yang
ada
karena
dirinya
sendiri dan
mengadakan
74
(mewujudkan) yang lain. Beliau juga mengatakan bahwa dalam ayat
tersebut Allah menyamakan nur dengan akal, sedangkan pengetahuan
yang diperoleh dengan akal disebut dengan ruh dan kehidupan (AlGhazali, 1964: 48)
Al-Ghazali dalam kitab tafsirnya Jawahiru al-Qur‟an wa
Daroruhu menyebutkan bahwa Allah merupakan sumber dari segala
cahaya. Dijelaskannya lebih lanjut bahwa Allah menyinari langit
dengan para malaikat-Nya dan bumi dengan para Nabi dan Ulama, atau
menyinari langit dan bumi dengan ayat-ayat-Nya yang menunjukkan
akan ke-Esaan dzat dan sifat-Nya. Cahaya Allah yang menyinari langit
dan bumi besifat material yang dapat dilihat dengan mata kepala,
maupun
unmaterial
seperti
cahaya
kebenaran,
pengetahuan,
keimanan,dan lain-lain yang dirasakan dengan aql atau ruh.
Untuk menangkap dan memahami maksud cahaya-Nya yang
terdapat dalam QS.an-N r ayat 35 dengan jelas, manusia membutuhkan
proses yang panjang melalui tingkatan daya ruhani (cahaya) yang
dimilikinya. Yaitu: ruh inderawi (panca indera), ruh khayali (imajinasi),
ruh aql (akal), ruh fikr (reflektif) dan daya suci atau kenabian (alGhazali, 1964: 76). Adapun lima tingkatan daya ruhani manusia yang
menurut al-Ghazali adalah padanan dari perumpamaan QS. an-N r ayat
35, sebagai berikut:
75
a. Ruh inderawi yang diumpamakan dengan misykat
Ruh inderawi merupakan dasar dari makhluk hidup yang
berfungsi untuk menerima sesuatu yang dikirimkan panca indera
(al-Ghazali,
1964: 76).
Karakteristik
ruh
inderawi adalah
cahayanya akan keluar melalui lubang seperti kedua mata
sebagaimana misykat yang merupakan celah atau lubang yang tidak
tembus (Kauma, 2000: 271). Oleh karena itu dipilih misykat
sebagai perumpamaan dari ruh inderawi (Al-Ghazali, 1946: 79).
Pada firman Allah:
ٍ‫مثَل نُوِرهِ َك ِم ْش َكاة‬
ُ َ
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus.
Perumpamaan tersebut merupakan gambaran dari potensi
pertama manusia dalam menagkap cahaya Allah. Pada tingkat ini
manusia hanya mampu menangkap dengan panca inderanya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa apa yang
diperoleh panca indera bisa saja menipu dan hanya mampu melihat
lahirnya saja. Maka, pada tingkatan ini manusia belum mampu
memahami hakikat dari cahaya Allah. Oleh karena itu sesuatu
yang telah diperoleh panca indera membutuhkan akal untuk
menyingkap dan membuka kebenaran yang azali.
b. Ruh Aql yang diumpamakan dengan mishbah
Ruh aql (akal) disamakan dengan mishbah karena persepsi
yang terjadi di akal merupakan persepsi tehadap pengetahuan
76
ilahiyah yang mulia. Perumpamaan ini seperti cahaya ilahi yang
menerangi seluruh dunia, sebagaimana mishbah yang memberikan
penerangan pada sekitanya (Al-Ghazali, 1964: 77). Mishbah yang
diartiakan dengan akal sebagai penerima informasi merupakan
daya tangkap tingkat kedua. Akal merupakan sumber tempat
tercipta dan dasar dari pengetahuan. Ia merupakan potensi dalam
diri manusia yang bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan
perkembangan usia dan kapasitas tiap individu (Al- Ghazali, 1995:
147). Perumpamaan ini tercermin dari firman Allah:
ِ ٍِ ِ
‫اح‬
ْ ‫َمثَ ُل نُوِرهِ َكم ْش َكاة ف َيها م‬
ٌ َ‫صب‬
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Menurut al- Ghazali, pengetahuan yang sudah diterima panca
indera seterusnya akan dikirim ke akal. Penglihatan panca indera
yang sering salah membutuhkan akal yang telah terbuka tabir
penutupnya agar memberoleh kebenaran. Akan tetapi pengetahuan
yang diperoleh panca indera tidak langsung sampai pada akal,
namun beliau harus direkam dan disimpan agar saat akal
membutuhkannya pengetahuan tersebut akan muncul dengan
sendirinya, dalam hal ini ruh khayalilah yang berperan. Dengan
begitu tingkatan daya manusia menangkap cahaya Allah pada
tingkatan selamnjutnya adalah ruh khayali (imajinasi).
77
c. Ruh Khayali yang diumpamakan dengan zujajah
Adapun tingkatan daya manusia menangkap cahaya Allah
yang ketiga adalah ruh khayali, beliau berperan untuk menangkap
dan menyimpan sesuatu yang dikirimkan oleh panca indera. Ruh
khayali
(imajinasi)
diumpamakan
dengan
zujajah
karena
mempunyai sifat yang sama. Adapun sifat-sifatnya adalah: pertama,
berasal dari materi yang padat, beliau memiliki ukuran dan bentuk.
Kedua, bersifat pekat namun dapat dijernihkan, layaknya imajinasi
yang dapat di haluskan agar menjadi sesuatu yang rasional dan
mengarah pada cahaya. Ketiga, imajinasi sangat dibutuhkan untuk
menyusun pengetahuan rasional sehingga kebenaran azali akan
terwujud (Al-Ghazali, 1964: 79).
Perumpamaan imajinasi seperti yang telah disebutkan diatas,
dalam dunia ini sangat cocok dengan kaca. Kaca tersebut
merupakan perumpamaan dari semprong apabila cahaya berasal
dari lampu teplok (mishbah), ia yang berperan untuk menjaga api
dari terpaan angin yang membuatnya padam. Ia pula yang menjadi
pembias
cahaya
sehingga
terang (Al-Ghazali,
1964: 80).
Perumpamaan ini tercermin dari firman Allah:
Pelita itu di dalam kaca.
ٍ‫اْل ِمصباح ِِف ُزجاجة‬
َ َ
ُ َْ
Mishbah/ lampu itu berada di dalam zujajah/kaca. Zujajah
dalam ayat ini berarti kaca penutup nyala lampu itu (semprong).
78
Apabila kaca yang digunakan jernih, maka cahaya yang terpancar
akan terang. Bahkan cahaya tersebut hampir seperti terangnya
bintang. Begitu pula apabila daya imajinasi digunakan untuk
berkonsentrasi dalam mencari kebenaran. Maka pengetahuan yang
diperoleh panca indera akan dijernihkan sehingga akan tercapai
kebenaran azali dalam akal. Sebagaimana firman Allah:
‫ي‬
ُّ
ٌّ ‫ب ُد ِّر‬
ٌ ‫اجةُ َكأَنه َها َك ْوَك‬
َ ‫الز َج‬
Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara.
Dengan demikian maksud dari “Pelita itu di dalam kaca,
Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara”
merupakan perumpamaan daya imajinasi yang digunakan untuk
berkonsentrasi dalam kebenaran yang lama-kelamaan akan terasah
dan menajdi jernih sehingga pengetahuan yang akan sampai pada
akal adalah pengetahuan azali. Pada tingkat ini yang mampu
melakukan adalah kalangan khawwas, karena aql atau ruhnya telah
menyerap pancaran cahaya Allah.
Akal dalam menghasilkan pengetahuan yang benar, selain
membutuhkan imajinasi, beliau juga membutuhkan wahyu –alQur‟an dan al-Sunah-. Akal dengan keterbatasannya membutuhkan
wahyu untuk memperoleh informasi yang akan diolah menjadi
pengetahuan. Wahyu akan berperan dalam memberikan informasi
mengenai apa saja yang tidak diketahui oleh akal sperti; keadaan
ghaib dan hari kiamat. Beliau dan wahyu merupakan sumber
79
pengetahuan yang saling melengkapi (Al-Ghazali, 1995: 27-28).
Dengen demikian, akal akan menghasilkan pengetahuan yang azali.
d. Ruh Fikr yang diumpamakan dengan syajarah mubarakah
Pada
tingkatan
selanjutnya,
setelah
akal
berhasil
memperoleh kebenaran azali, selanjutnya ia akan berfikir untuk
mengahsilkan kesimpulan. Ruh fikrlah yang akan berperan dalam
prosesnya. Ia merupakan akal yang berfungsi untuk melakukan
pemikiran argumentasi. Hasil dari daya ruh ini adalah pemikiran
dualisme antara tesis dan anti tesis, sehingga menimbulkan sintesis.
Ruh fikr dengan syajarah mubarakah (pohon yang
diberkahi), karena asifatnya yang bercabang-cabang. Ruh fikr
berasal dari satu bercabang menjadi dua, kemudian masing- masing
dari dua tersebut bercabang lagi dan seterusnya. Sifat ini layaknya
pohon yang yang berasal dari satu batang dan bercabang menjadi
banyak (al-Ghazali, 1964: 80). Ketika berfikir akal akan merefleksi
pengetahuan
menjadi
beberapa
cabang
banyak,
akhirnya
menghasilkan kesimpulan yang rasional.
Adapun yang dimaksud dengan yang pohon yang diberkahi
adalah pohon zaitun. Pohon zaitun adalah pohon yang memiliki
banyak keistimewaan. Minyak dari buah zaitun memiliki ciri khas
tersendiri apabila digunakan sebagai bahan bakar lampu. Yaitu
mudah menyala dan cahaya yang dihasilkan sangat terang. Oleh
masyarakat Arab pohon zaitun disebut sebagi pohon yang dibekahi
80
karena dapat menghasilkan buah yang tidak mengenal batas (AlGhazali, 1964: 80).
Minyak zaitun yang paling bagus untuk nyala api yang
terang dihasilkan dari tumbuhan yang cukup mendapat sinaran
matahari. Ia mendapat cahaya matahari sepanjang hari tanpa ada
yang menghalangi. Tumbuhan seperti ini ditanam tidak di sebelah
timur ataupun sebelah barat. Kondisi seperti ini sama halnya
kondisi akal yang berfikir rasional, karena ia tidak memiliki arah
dan jarak, sehingga berfikir penuh konsentrasi (Al-Ghazali, 1964:
81).
Dari penjelasan diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa
penafsiran al-Ghazali mengenai firman Allah:
ٍ‫يوقَ ُد ِمن َشجرةٍ ُّمبارَكةٍ َزيتُونَةٍ هَّل َشرقِيهةٍ وََّل َغربِيهة‬
ْ َ َ ََ
ْ َ ْ
ُ
Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya.
Pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya).
Adalah keadaan akal manusia dalam berfikir argumentasi yang
menimbulkan banyak cabang dan berakhir pada kesimpulan yang
rasional. Dengan begitu pada tingkatan ruh fikr ini manusia mampu
menyingkap tabir penutup hakikat cahaya ilahi dengan berfikir
rasional mengenai tanda dan petunjuk Allah di dunia ini.
e. Ruh Suci atau Nabi yang diumpamakan dengan al-zait
Tingkatan terakhir adalah ruh suci atau Nabi. Pada
tingkatan ini al- Ghazali menyamakan ruh suci atau Nabi dengan
81
perumpamaan ‫ار‬
ٌ َ‫ن‬
ِ
ُ‫اد َزيْتُ َها يُضيءُ َولَْو ََلْ َتَْ َس ْسو‬
ُ ‫يَ َك‬
“Minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api”. Beliau
merujuk pada kesucian dan kemurnian ruh para Nabi yang
langsung dibimbing oleh Allah (Al-Ghazali, 1964: 81).
Ruh Nabi merupakan ruh yang dimiliki para Nabi yang
berfungsi untuk menerima hakikat yang tak dapat dijangkau oleh
akal fikiran. Berbeda dengan ruh aql dan ruh fikr yang
membutuhkan pengajran, ruh Nabi ini mengetahui hakikat tersebut
tanpa pengajaran dan motifasi dari luar. Ilmu para Nabi adalah
sesuatu yang langsung dari bimbingan Allah. Ilmu tersebut
merupakan cahaya yang menerangi segala sesuatu. Karena Nabi
merupakan penyampai risalah Allah kepada manusia, tepat kiranya
ilmu yang mereka miliki merupakan penerang jalan menuju Allah
(Al-Ghazali, 1964: 50).
Bukan hanya Nabi yang mampu memahami hakikat cahaya
Allah, tetapi manusia biasa yang menggunakan akalnya dengan
sengguh-sungguh dan mendapatkan pengajaran akan sampai pada
tingkatan ini. Daya cahaya mausbeliau biasa untuk mencapai ruh
suci ini harus melewati satu demi satu tingkatan –sesuai dengan
tingkatan daya cahaya manusia yang dimulai dari ruh inderawi, ruh
aql, ruh khayali, ruh fikr sampai ruh suci atau Nabi-. Apabila daya
cahaya tersebut membentuk satu sistem, maka akan membentuk
82
cahaya yang bertingkat-tingkat (Al- Ghazali, 1964: 81). Dalam alQur‟an diilustrasikan dengan “cahaya di atas cahaya” ‫ى نُوٍر‬
ٰ َ‫َعل‬
‫ور‬
ٌ ُّ‫ن‬.
Tingkatan cahaya tersebut bersumber pada cahaya Allah
yang merupakan cahaya (petunjuk) langit dan bumi. Hanya orang
yang akalnya terdidik saja yang mempu memperoleh cahaya Allah.
Beliau akan selalu bertambah sampai tak terhingga. Cahaya ini
akan dikarunikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya,
sebagimana firman-Nya:
Allah membimbing
kehendaki.
kepada
ِ ِ ‫يَ ْه ِدي ه‬
ُ‫اَّللُ لنُوِره َمن يَ َشاء‬
cahaya-Nya
siapa
yang
Dia
Maksudnya Allah mengarahkan cahaya syariat-Nya kepada hamba
yang Dia kehendaki atau Allah memberi petunjuk kepada siapa
saja yang Dia kehendaki dari orang mu‟min. Jadi yang dimaksud
dengan ُ‫( َمن يَ شَاء‬siapa yang Dia kehendaki) ialah manusia yang
telah berhasil membimbing akalnya, sehingga mereka memperoleh
petunjuk yang diberikan Allah (Al- Ghazali, 1964: 82). Petunjuk
tersebut disampaikan lewat bermacam cara, salah satunya dengan
permisalan, Allah berfirman:
ِ ٍ
ِ ‫ال لِلن‬
‫يم‬
‫هاس َو ه‬
َ َ‫اَّللُ ْاْل َْمث‬
‫ب ه‬
ْ َ‫َوي‬
ٌ ‫اَّللُ بِ ُك ِّل َش ْيء َعل‬
ُ ‫ض ِر‬
Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
bagi
83
Ayat tamtsil di atas mengandung hakikat makna yang sangat
dalam, sehingga tidak semua orang mengetahui hakikatnya.
Memang seperi itulah perumpamaan, beliau
mengandung
berbagai makna sesuai daya dan potensi tiap-tiap manusia.
Namun, orang yang akalnya telah terbimbing dan mencapai ruh
suci atau Nabi maka beliau akan mampu menyingkap hakikat
makna dari tamtsil, sehingga beliau mendapati jalan kebahagiaan
di dunia dan di akhirat (Al-Ghazali, 1964: 81). Hal ini sesuai
dengan firman Allah:
ِ ‫ض ِربُ َها لِلن‬
‫هاس َوَما يَ ْع ِقلُ َها إِهَّل الْ َعالِ ُمو َن‬
ُ َ‫ك ْاْل َْمث‬
ْ َ‫ال ن‬
َ ْ‫َوتِل‬
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu (QS. Al-Ankabut/29: 43).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya, cahaya yang
dimaksud dalam QS. An-N r ayat 35 adalah Allah. Cahaya tersebut di
karuniakan kepada manusia melalui daya ruhani yang dimilikinya,
meliputi ruh inderawi, ruh aql, ruh khayali, ruh fikr dan ruh suci atau
Nabi. Kadar cahaya (perunjuk) Allah yang mampu diserap oleh
manusia adalah sesuai dengan kadar dayanya masing- masing. Namun
hanya ruh suci atau Nabi sajalah yang akan mampu menyingkap hakikat
dari cahay Allah yang paling sempurna. Oleh karena itu, abapila
manusia ingin mengetahui hakikat cahaya Allah maka ia harus
menggunakan daya-daya tersebut semaksimal mungkin.
84
4. Perbedaan Penafsiran antara Al-Maraghi dan Al-Ghazali terhadap
Amtsal Nur Kajian atas QS. An-Nur Ayat 35
Pemaparan mengenai penafsiran al-Maraghi dan al- Ghazali
mengenai amtsal nur QS. An-Nur ayat 35 terlihat perbedaan anatar
keduanya dalam menafsirkan, sebagaimana tercantum dalam tabel:
Al-Maraghi
Al-Ghazali
Ayat
Allah adalah wujud
yang
menjadikan Allah adalah dzat
sesuatu yang lain yang
ada,
Ia- lah
memjadikan
yang sesuatu
ِ ‫اَّلل نُور ال هسماو‬
‫ات‬
َ َ ُ ُ‫ه‬
ِ ‫َو ْاْل َْر‬
‫ض‬
yang
menjadi
Pencipta awalnya tidak ada
dan
Pengatur menjadi
ada
segala yang ada di (menciptakan).
No.
Allah
cahaya
1
(Pemberi)
(kepada)
langit dan bumi.
langit dan bumi.
Hati
seorang
mu‟min
yang
dilingkupi
oleh
cahaya
petunjuk
berupa
dan
hidayah dari Allah.
Daya
manusia
diluruskan
akal
menyingkap
inderawi
yang
dengan
untuk
dan
membuka kebenaran
yang azali.
ٍ‫مثَل نُوِرهِ َك ِم ْش َكاة‬
ُ َ
ِ ِ
‫اح‬
ْ ‫ف َيها م‬
ٌ َ‫صب‬
Perumpamaan
cahaya
Allah,
adalah
seperti
sebuah
lubang
yang tak tembus,
yang di dalamnya
ada pelita besar.
Hati mu‟min yang
telah
dengan
beliau
bersinar
cahaya
terpaut Daya
al-Qur‟an digunakan
untuk
akan berkonsentrasi dalam
dengan mencari kebenaran.
petunjuk
ِ
‫اح ِِف‬
ْ ‫الْم‬
ُ َ‫صب‬
ٍ‫ُزجاجة‬
َ َ
imajinasi
Pelita itu di dalam
kaca
2
3
85
Allah.
Hati sangat bersih
dan
terlihat
bercahaya
hingga
disamakan dengan
mengkilapnya
mutiara,
hal
ini
dikarenakan beliau
telah kosong dari
segala yang dapat
mengotorinya
yang
dari
terpelihara
fitnah-fitnah,
karana
ketika
beliau
tertimpa
suatu fitnah, Allah
akan
meneguhkan
hatinya.
Hati
untuk
berkinsentrasi dalam
kebenaran
yang
lama-kelamaan akan
teraasah dan menajdi
jernih
sehingga
pengetahuan
yang
akan sampai pada
akal
Akal manusia dalam
berfikir argumentasi
yang
menimbulkan
banyak cabang dan
berakhir
pada
kesimpulan
yang
rasional tanda dan
petunjuk
seorang Kesucian
Allah di
dan
yang kemurnian ruh para
melakukan
Nabi yang langsung
sebelum dibimbing
oleh
mendapat
Allah,
sehingga
pengetahuan,
beliau
langsung
sehingga
‫اج ُة َكأَنه َها‬
ُّ
َ ‫الز َج‬
‫ي‬
ٌّ ‫ب ُد ِّر‬
ٌ ‫َك ْوَك‬
4
Kaca itu seakanakan
bintang
(yang bercahaya)
seperti mutiara.
adalah
dunia ini.
mu‟min
petunjuk
digunakan
pengetahuan azali.
mu‟min
Seorang
Daya imajinasi yang
ketika menerima
cahaya
ٍ‫يُوقَ ُد ِمن َش َجرة‬
َ
‫ُّمبَ َارَكةٍ َزْي ُتونَةٍ هَّل‬
ٍ‫َشرقِيهةٍ وََّل غَربِيهة‬
ْ َ ْ
Yang dinyalakan
dengan
minyak
dari pohon yang
banyak berkahnya ,
5
(yaitu)
pohon
zaitun
yang
tumbuh tidak di
sebelah
timur
(sesuatu)
dan
tidak pula di
sebelah
barat(nya).
ِ
ُ ‫يَ َك‬
ُ‫اد َزْيتُ َها يُضيء‬
‫َولَْو ََلْ َتَْ َس ْس ُو نَ ٌار‬
Minyaknya (saja)
hampir-hampir
menerangi,
walaupun
tidak
disentuh api.
6
86
pengetahuan
datang
itu Allah
maka pengajaran
hatinya
dalam
ada
atau
semakin motifasi dari luar.
bercahaya
semakin
tanpa
dan
mantap
mengikuti
petunjuk Allah.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa al-Maraghi
mengartikan maksud dari perumpamaan cahaya Allah pada amtsal nur
QS. An-Nur ayat 35 merupakan petunjuk dari Allah yang didapat oleh
hati orang mu‟min yang bersih dan jernih. Hati tersebut mampu
menerima petunjuk berupa syari‟at yang diturunkan dalam al-Qur‟an
yang terjaga keasliannya. Syari‟at tersebut mengatur kehidupan
manusia agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berbeda halnya dengan al-Ghazali, beliau mengartikan maksud
perumpamaan cahaya Allah pada amtsal nur QS. An-Nur ayat 35,
adalah petunjuk berupa kebenaran yang mampu diperoleh manusia
sesuai tingkatan daya manusia dalam menangkap nur/cahaya Allah.
Yaitu dari ruh inderawi, ruh aql, ruh khayali, ruh fikr dan yang paling
atas adalah ruh suci atau Nabi. Al-Ghazali menyebut ruh sebagi
kemampuan akal masusia. Apabila manusia telah sampai pada tingkatan
ruh suci maka beliau akan mampu menangkap hakikat cahaya Allah,
sehingga beliau selalu berada dalam jalan kebenaran.
Perbedaan tersebut nampak pada objek penerima petunjuk Allah.
al-Maraghi berpendapat bahwa petunjuk Allah diterima oleh hati orang
87
mikmin yang bersih karena telah mampu mengalahkan nafsu dunianya.
Lain halnya dengan al-Ghazali, beliau berpendapat pada tingkatan ruhakal- suci manusia akan mampu menerima cahaya Allah dan beliau
mampu menyingkap hakikat dari cahaya tersebut.
C. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Amtsal Nur
A -Nūr ayat 35
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kegiatan pendidikan,
kerana dengan adanya pendidikan dapat menjdikan manusia beradab dan
berpengetahuan. Rasulullah pun diutus untuk menyelamatkan manusia dari
kubangan kejahiliyahan yang diperbudak oleh hawa nafsu menuju manusia
yang akhlak mulia. Semua dapat terwujud apabila pendidikan mempunyai
dasar dan tujuan yang jelas.
Al-Qur‟an dan al-Sunah yang merupakan sumber pendidikan Islam
mengandung nilai- nilai pendidikan. Hampir semua ayat-ayat dalam al-Qur‟an
mengandung nilai- nilai pendidikan yang menjadi landasan untuk pendidikan
Islam. Begitu juga QS. An-Nur ayat 35 yang merupakan ayat tentang
perumpamaan cahaya Allah di dalamnya pun terkandung nilai- nilai
pendidikan Islam.
Pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai penafsiran kedua
tokoh terhadap QS. An-Nur ayat 35. Setelah mengetahui penasfiran dari alMaraghi dan al-Ghazali terhadap amtsal nur dalam QS. An-Nur ayat 35 dan
apa yang telah disebutkan dalam kerangka teori, dengan berpandangan pada
tiga pilar utama nilai dalam al-Qur‟an (i‟tiqadiyah, khuluqiyah, amaliyah),
88
dapat disimpulkan nilai- nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam amtsal
nur QS. An-N r ayat 35 sebagai berikut:
1. Nilai Pendidikan I’tiqadiyah (aqidah)
Kata i‟tiqadiyah berasal dari akar kata aqada ya‟qidu aqdan
aqidatan yang mempunyai arti ikatan, simpul, kokoh dan perjanjian.
Setelah dibentuk menjadi aqidah maka berarti keyakinan atau kepercayaan
(Ilyas, 2013: 1). Adapun arti aqidah secara istilah adalah iman atau
keyakinan yang menjadi pegangan hidup bagi setiap muslim, dan selalu
dikaitkan dengan rukun iman yang menjadi dasar agama Islam (Ali, 2007:
2). Pendapat al-Jazairy (1978) yang dikutip oleh Yunahar Ilyas (2013: 2)
mengenai makna aqidah secara istilah, aqidah merupakan kebenaran
wahyu yang dapat diterima oleh akal dan fitrah manusia yang terpatri
dalam hati dengan penuh keyakinan dan menolak segala yang
bertentangan dengan kebenarannya.
Istilah i‟tiqadiyah dan aqidah adalah sama dari segi arti, karena
keduanya mempunyai akar kata yang sama pula. Aqidah dalam bahasa
Indonesia disebut dengan akidah yang berarti mempercayai atau meyakini
bahwa sesuatu (yang diyakini) itu merupakan kebenaran dan nyata adanya.
Ada pula yang menyamakan istilah Aqidah dengan iman, namun ada pula
yang membedakan. Mereka yang membedakan berpendapat bahwa aqidah
menyangkut masalah hati, sedangkan iman adalah bukti dari aqidah pada
aspek luar. Pendapat ini didasarkan pada pengertian iman menurut ulama
salaf yaitu sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh hati, diucapkan
89
dengan lisan dan direalisasikan dengan amal perbuatan anggota badan
(Ilyas, 2013: 2).
Yunahar Ilyas (2013: 3) menjelaskan bahwa seandainya istilah
iman dan aqidah adalah dua istilah yang berbeda, maka istilah iman yang
dimaksud mencakup hati, lisan dan amal, sebagaimana firman Allah dalam
QS. al-Mu‟minun ayat 1-10. Apabila istilah iman dan aqidah adalah dua
istilah yang sama maka sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Ashr
ayat 3:
ِ ِ ‫إِهَّل اله ِذين آمنُوا وع ِملُوا ال ه‬
‫ص ِْب‬
ْ ِ‫اص ْوا ب‬
‫اص ْوا بِال ه‬
ََ َ َ
َ ‫اْلَ ِّق َوتَ َو‬
َ ‫صاْلَات َوتَ َو‬
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.
Dalam ayat ini yang dimaksud beriman adalah orang yang beraqidah.
Iman tidak hanya menuntut adanya pengetahuan dan keyakinan yang kuat,
juga menuntut adanya ketundukan dan kepatuhan hati serta bersedia
melakukan segala perintah dan ketentuan Allah dengan ikhlas dan rela hati.
Dunia
pendidikan Islam menjadikan pendidikan aqidah sebagai
perhatian utama dan harus menjadi perhatian utama untuk pendidik.
Karena aqidah adalah dasar dari bangunan Islam yang apabila beliau
kokoh maka bangunan tidak akan mudah roboh, namun apabila dasar
lemah maka bangunan akan mudah ambruk (Ilyas, 2013: 10). Pentingnya
pendidikan pendidikan aqidah dikisahkan Allah dalam dalam QS. Luqman
ayat 13. Firman-nya:
ِ
‫يم‬
‫ال لُْق َما ُن َِّلْبنِوِ َو ُى َو يَعِظُ ُو يَا بُ َهَن ََّل تُ ْش ِرْك بِ ه‬
َ َ‫َواِ ْذ ق‬
ِّ ‫اَّللِ إِ هن‬
ٌ ‫الش ْرَك لَظُلْ ٌم َعظ‬
90
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
beliau memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Kisah Luqman di atas mengisyaratkan bahwa pendidikan aqidah
merupakan pendidikan pertama kali yang harus diberikan kepada anakanak. Pendidikan aqidah tersebut diharapkan mampu menjadi dasar dari
segala tingkah laku.
Pendidikan aqidah atau pendidikan keimanan merupakan proses
belajar mengajar mengenai aspek kepercayaan. Apabila konteksanya
adalah pendidikan Islam, maka kepercayaan yang diajarkan adalah
kepercayaan menurut ajaran Islam yaitu rukun iman. Dengan demikian
nilai- nilai yang terkandung dalam pendidikan aqidah adalah nilai yang
berkaitan dengan keimanan seorang hamba, yaitu iman kepada Allah,
malaikat-Nya, Rasul-Nya, kitab, hari akhir dan takdir, yang kesemuanya
bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
Ruang lingkup pendidikan aqidah menurut Hasan al-Banna yang
dikutip oleh Yunahar Ilyas (2013: 6), meliputi:
a. Ilahiyat yaitu pembahasan mengenai Ilah atau Tuhan.
b. Nubuwat yaitu pembahasan mengenai semua yang berhubungan
dengan kenabian.
c. Ruhiyat yaitu pembahasan mengenai segala yang berhubungan
dengan alam metafisik atau alam yang kasat mata.
d. Sam‟iyat yaitu pembahasan mengenai segala sesuatu yang dapat
diketahui dari al-Qur‟an dan al-Sunah.
91
Lingkup pembahasan ilahiyat terdapat tema paling utama dalam
pendidikan aqidah yaitu tauhid. Yang merupakan pengesaan Allah dalam
dzat-Nya, nama dan sifat-Nya. Beliau merupakan prima causa dari seluruh
keyakinan dalam Islam dan menjadi tema sentral dalam pandidikan aqidah
atau iman. Oleh karena itu, aqidah dan iman identik dengan istilah tauhid
(Ilyas, 2013: 5).
Tauhid terbagi menjadi 3 tingkatan (Ilyas, 2013: 18), yaitu:
a. Tauhid rububiyah
Merupakan pengesaan Allah dalam
hal penciptaan,
pengurusan dan pemilikan segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
ِ
ِ ‫إِ هن ربه ُكم ه‬
‫ض ِِف ِستهةِ أَيه ٍام ُثُه‬
َ ‫اَّللُ الهذي َخلَ َق ال هس َم َاوات َو ْاْل َْر‬
ُ َ
ِ
ِ
‫س‬
ْ
ْ ‫استَ َو ٰى َعلَى الْعَْر ِش يُ ْغشي اللهْي َل الن َهه َار يَطْلُبُ ُو َحثيثًا َوالش‬
َ ‫هم‬
ٍ ‫والْ َقمر والنُّجوم مس هخر‬
‫اْلَلْ ُق َو ْاْل َْم ُر ۚ تَبَ َارَك‬
ْ ‫ات بِأ َْم ِرهِ ۚ أَََّل لَ ُو‬
َ َ ُ َ ُ َ ََ َ
] ٤:٘ٗ[ ‫ي‬
‫ه‬
ُّ ‫اَّللُ َر‬
َ ‫ب الْ َعالَ ِم‬
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada
siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masingmasing)
tunduk
kepada
perintah-Nya.
Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-A‟raf 7: 54)
b. Tauhid mulkiyah
Merupakan pengimanan bahwasanya hanya Allah yang
merupakan raja dari alam semesta beserta isinya. Dia yang berhak
berkehendak apa saja pada alam semesta ini. Dengan begitu
92
manusia harus patuh dan tunduk pada segala perintah-Nya. Salah
satu ayat yang menunjukkan hal ini adalah:
ِ ‫ك ال هسماو‬
ِ ‫ات َو ْاْل َْر‬
‫ض ۚ َوَما لَ ُكم ِّمن‬
‫أَ ََلْ تَ ْعلَ ْم أَ هن ه‬
َ َ ُ ْ‫اَّللَ لَ ُو ُمل‬
ِ َ‫اَّللِ ِمن وٍِل وََّل ن‬
ِ
ٍ‫ص‬
] ٕ:ٔٓ٤[ ‫ي‬
َ ّ َ ‫ُدون ه‬
Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan
bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain
Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (AlBaqarah/2: 107)
c. Tauhid ilahiyah
Merupakan bentuk pengimaman tehadap Allah sebagai
satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah –diibadahi-. Allah
berfirman:
‫ص ََل َة لِ ِذ ْك ِري‬
‫إِنهَِن أَنَا ه‬
‫اعبُ ْدِِن َوأَقِ ِم ال ه‬
ْ َ‫اَّللُ ََّل إِلَٰ َو إِهَّل أَنَا ف‬
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku. (Thaha/20: 14)
Ketiga tauhid tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain
sehingga tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu seandainya mengatakan
mengimani Allah berarti harus percaya di dalam hatinya dengan ketiga
tauhid tersbeut di atas. Ketauhidan yang telah tertanam dalam hati manusia
dan lahir darinya perilaku, atau dengan kata lain ketauhidan tersebut telah
menjadi ideologi dalam hidupnya, itulah yang dinamakan aqidah.
Nilai pendidikan aqidah dalam mentauhidkan Allah peneliti
menemukan dalam am al n r QS. An-N r ayat 35 tercermin dalam lafat:
ِ ‫اَّلل نُور ال هسماو‬
ِ ‫ات َو ْاْل َْر‬
‫ض‬
َ َ ُ ُ‫ه‬
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
93
Al-Maraghi dan al-Ghazali memang tidak menyebutkan secara eksplisit
dalam tafsirannya, namun dari penafsiran keduanya menunjukkan adanya
nilai pendidikan aqidah. Kedua tokoh tersebut sama dalam menafsirkan
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” yaitu Allah adalah
pencipta langit dan bumi. Wujud Allah adalah penyebab adanya yang
lainnya. Dia pula lah yang memberi petunjuk kepada seluruh makhlukNya dengan cahaya-Nya. Ayat ini menegaskan mengenai tauhid Allah,
karena Dia merupakan satu-satunya wujud yang menjadikan adanya wujud
lain.
Aqidah yang berdiri pada keimanan yang benar merupakan dasar
pertama membangun kepribadian seorang mu‟min. Ia akan menjadi
pendorong untuk senantiasa berbuat kebaikan. Kerena iman adalah
pondasi yang Islam gunakan untuk membangun pribadi mu‟min. Ia pula
yang menjadi penggerak emosi dan pengarah segala keinginan. Apabila
unsur iman yang benar mendominasi jiwa seorang mu‟min, maka pastilah
ia akan mampu istiqamah di jalan kebenaran (Ali, 2007: 7).
Iman (aqidah) kuat yang tertanam dalam jiwa seseorang
merupakan hal penting dalam perkembangan pendidikan. Salah satu hal
yang bisa menguatkan aqidah seseorang adalah adanya nilai pengorbanan
dalam diri demi membela aqidah yang diyakini kebenarannya. Semakin
kuat nilai pengorbanannnya, maka akan semakin kokoh pula aqidah yang
ia miliki.
94
Nilai pendidikan aqidah merupakan landasan bagi kehidupan yang
sesuai dengan fitrah manusia. Kerana manusia
mempunyai sifat
kecenderungan untuk mengakui adanya Tuhan (Ali, 2007: 7). Al-Maraghi
mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah, artinya beliau
lahir dengan hati yang membawa fitrah Islam dan mengajak kepada
tauhidullah. Fitrah ini sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh akal sehat
(Madjid, 2015: 76).
Al-Ghazai (2001: 9) berpendapat bahwa „pembinaan akal manusia
akan menghasilkan ilmu‟. Ilmu itulah yang akan menuntun menemukan
fitrah bertuhan. Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa merupakan fitrah
manusia yang dibutuhkan dalam hidupnya. Dengan dengan mengenali diri
dan memikrkan tentang dunia, maka akan mengenal Tuhan. Pembinaan
fitrah dimaksudkan agar manusia mampu manjalankan fungsinya sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya, sesuai dengan tujuan diciptakannya
manusia.
Pentingnya fitrah bertuhan dalam diri manusia untuk dijaga dan
dipelihara. Hal ini sebagaimana yang ada dalam firman Allah:
ِ ‫اَّللِ الهِِت فَطَر النهاس علَيها ََّل تَب‬
ِ‫لدي ِن حنِي ًفا ف‬
ِّ ِ‫ك ل‬
ِ‫فَأَق‬
‫يل‬
‫د‬
‫ت‬
‫ر‬
‫ط‬
‫ه‬
‫ج‬
‫و‬
‫م‬
ْ
‫ه‬
َ
َ
َ
ْ
ْ
ْ
َ
َ
َ
ْ
َ
َ
َ
َ
َ
ِّ ‫ك‬
ِ ‫ين اْل َقيِّ ُم َولَٰكِ هن أَ ْكثَ َر الن‬
‫هاس ََّل يَ ْعلَ ُمو َن‬
‫ِْلَْل ِق ه‬
َ ِ‫اَّللِ َٰذل‬
ُ ‫الد‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(QS. Ar-Rum/30: 30).
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia mempunyai fitrah bertuhan,
beliau mempunyai kebutuhan spiritual, sadar atau tidak sadar beliau akan
95
merindukan Tuhan, Sang Pencipta dan Pelindungnya. Dengan fitrah
tersebut manusia yang telah ditetapkan oleh Allah sebagaimana dalam ayat
di atas, maka manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara dan
mengembangkan fitrahnya.
Pemeliharaan dan pengembangan fitrah ketuhanan yang dimiliki
manusia, salah satu caranya adalah dengan pendidikan aqidah. Ini
merupakan langkah utama untuk menuntun dan menjaga hati manusia
dalam kebenaran bahwa tiada Tuhan selain Allah, tidak menyekutukan
dengan selain-Nya. Hal ini akan membebaskan hati manusia menuju
kesucian, sehingga tidak ada yang menghalanginya memperoleh cahaya
Allah. Begitu pula pada akal –daya manusia menurut al- Ghazali-, beliau
akan terdidik dan terbina sehingga mengetahui dan mengenal Allah yang
merupakan satu-satunya Pencipta.
Pendidikan aqidah sangat ditekankan dalam pendidikan Islam. Hal
ini didasarkan pada esensi pendidikan Islam yang berupaya melatih
perasaan manusia sesuai dengan fitrahnya, tertanam pula kesadaran dalam
dirinya selaku hamba Allah yang memiliki kewajiban mengabdi pada-Nya.
Oleh sebeb itu, peran keluarga, sekolah dan lingkungan sangat
berpengaruh pada penanaman dan menguatkan nilai pendidikan aqidah
dalam diri seseorang.
2. Nilai Pendidikan Khuluqiyah (akhlaq)
Kata akhlaq (Indo: akhlak) pada kehidupan sehari-hari biasanya
disamakan dengan istilah budi pekerti, kesusilaan dan sopan-santun dalam
96
bahasa Indonesia. Kata akhlaq dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
diartikan dengan budi pekerti atau kelakuan (Depdiknas, 2008: 27), dan
tidak berbeda dengan arti kata moral, ethic di dalam bahasa Inggris.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam bahasa Yunani, kata ethos, ethiko yang
kemudian menjadi etika yang digunakan untuk kata yang mempunyai
pengertian sama dengan kata akhlaq (Mustaqim, 2007: 1).
Kata khuluq adalah bentuk tunggal dari kata akhlaq. Beliau
merupakan lawan dari kata khalq. Khuluq merupakan bentuk batin
sedangkan khalq merupakan bentuk lahir (Nasirudin, 2010: 31). Kata
akhlaq barasal dari kata khalaqa-yakhluku yang secara etimologi berarti
mencipta, membuat, atau menjadikan. Masdarnya adalah khuluqun, yang
berarti perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan,
ciptaan. Dari pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa terciptanya
akhlaq membutuhkan keterpaduan antara kehendak Khaliq dan perilaku
makhluq (Ilyas, 2012: 1).
Pengertian akhlaq secara terminologi dikemukakan oleh beberapa
tokoh, salah satunya adalah al-Ghazali. Beliau mendefinisikan akhlaq
dengan kondisi mental dalam jiwa yang tertanam dengan kuat, dan darinya
timbul perbuatan dengan spontan tanpa pemikiran dan pertimbangan
(Mustaqim, 2007: 2). Menurut Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang
berjudul Ushul al-Da‟wah sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas
(2012: 2) bahwa akhlak merupakan niali- nilai dan sifat yang tertanam
dalam jiwa yang dengannya seseorang mampu menilai dan menimbang
97
antara perbuatan baik dan buruk, kemudian dipilih untuk meninggalkannya
atau mengerjakannya. Menurut yang lainnya akhlaq adalah tingkah laku
seseorang yang timbul karena didorong oleh keinginan secara sadar tanpa
pertimbangan untuk melakukukan suatu perbuatan (Ali, 2007: 29). Dari
tiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasanya akhlaq adalah hal
ihwal yang berada di dalam jiwa manusia, dan darinya timbul perbuatanperbuatan yang spontan tanpa dipikirkan.
Apabila hal ihwal atau tingkah laku tersebut menimbulkan
perbuatan yang baik di mata akal dan Islam, maka beliau dinamakan
akhlaq mahmudah atau akhlak terpuji. Sebaliknya, apabila perbuatan yang
ditimbulkan adalah perbuatan buruk, maka tingkah laku itu dinamakan
akhlaq mazmumah atau akhlak tercela (Ali, 2007: 30). Manusia akan
menjadi sempurna jika mempunyai akhlak terpuji (akhlaq mahmudah)
serta menjauhkan segala akhlak tercela (akhlaq mazmumah) (Mansur,
2005: 221).
Akhlaq merupakan tingkah laku seseorang yang dilakukan karena
dorongan jiwa bukan paksaan dari luar dan telah dilakukan berulang-ulang
dan terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan. Tujuan akhlaq
adalah menciptakan manusia menjadi makhluk yang tinggi dibanding
makhluk lainnya. Oleh karena itu akhlaq butuh pembinaan agar manusia
senantiasa berada dalam kebenaran dan jalan yang lurus digariskan oleh
Allah SWT, sehingga ia akan menemukan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat (Nashihin, 2015: 5).
98
Karena akhlaq tidak hanya perlu ilmu dengan mengetahui baik dan
buruk, namun ia perlu dibentuk dan dibina agar yang tercipta adalah
akhlaq yang terpuji, maka prosesnya (Mustaqim, 2007: 12)
sebagai
berikut:
a. Melalui keteladanan dengan memberikan contoh yang baik dalam
berprilaku.
b.
Melalui pengajaran misalnya dengan mengajarkan empati dan
sikap disiplin.
c. Melalui pembiasaan dengan perbuatan baik sehingga membentuk
kepribadiaanya.
d. Dengan pemberian motivasi untuk selalu berbuat baik.
e. Memberikan hukuman apabila yang beliau lakukan adalah
perbuatan yang tidak terpuji.
Proses pendidikan akhlaq yang mulia melibatkan peranan penting
hati dan akal. Keduanya berperan besar di dalam pembentukannya. Akal
mempunyai peran utama dalam pendidikan akhlaq. Adapun prosesnya
yaitu rangsangan yang datang akan dianalisa oleh akal dengan kemampuan
kognitifnya yang didasari dengan kebenaran al-Qur‟an dan Sunnah,
sehingga mampu menentukan untuk melakukan perbuata n baik. Akal- lah
yang akan menyimpan informasi mengenai perbuatan baik tersebut dan
seandainya dihadapkan pada keadaan yang sama beliau akan spontan
melakukan perbuatan yang sama. Tidak semua akal akan mampu
membedakan yang baik dan buruk, hanya akal bersih yang terbimbing oleh
99
kebenaran (al-Qur‟an dan Sunnah) yang akan mampu membedakannya.
Akal tersebut bersih
tidak luput dari dari hati yang bersih, karena
seseorang yang hatinya bersih akan melahirkan pemikiran yang bersih pula
(Ali, 2007: 30).
Adapun peranan hati dalam membentuk akhlaq yang baik adalah
beliau memainkan peranan sentral dalam seluruh aktivitas dan perilaku
manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, apabila beliau
baik maka baiklah semunaya, namun apabila beliau rusak maka
rusaklah semuanya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu
bernama hati” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syarah ahadits tersebut menjelaskan bahwa manusia mempunyai hati yang
berfungsi sebagai pengatur kebaikan yang diinginkan. Ia juga mampu
melihat baik dan buruk. Hati yang mampu memahami mana yang benar
dan mana yang salah adalah hati yang al-Qur‟an terinternalisasi di
dalamnya, sehingga al-Qur‟an terintegral dalam dirinya. Apabila al-Qur‟an
telah terintegral dalam dirinya, maka beliau akan senantiasa melakukan
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah sebagai bukti ketaatannya (Ali,
2007: 31).
Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan khuluqiyah atau dapat
disebut pula nilai pendidikan akhlaq merupakan nilai pendidikan yang
berhubungan dengan tingkah laku yang bertujuan untuk membersihkan
diri dari perilaku yang tercela dan menumbuhkan perilaku yang terpuji.
Nilai pendidikan akhlaq yang merupakan ide dasar dari pendidikan akhlaq
yang merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari- hari, karena
100
seseorang yang tidak memiliki akhlaq akan menjadikan dirinya berbuat
merugikan orang lain (Ali, 2007: 30).
Dalam QS. An-Nur ayat 35 mengenai amtsal nur, nilai pendidikan
akhlak tercermin dalam lafat:
ٍ‫ي يوقَ ُد ِمن َشجرةٍ ُّمبارَكة‬
ُ ٌّ ‫ُد ِّر‬
َ َ ََ
Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi.
Al-Maraghi mengartikan perumpamaan di atas dengan hati yang
tersinari dengan cahaya Allah karena telah mampu menemukan hikma h
dibalik syari‟at yang ditetapkan oleh Allah. Seseorang yang tela h
mampu menemukan hikmah dalam pensyari‟atan suatu hukum, ia aka n
dengan senang hati melakukan segala perbuatan yang diperintah dan
menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Sang Khaliq.
Perbuatan yang diperintahkan oleh Sang Khaliq pastilah berupa
perbuatan baik dan terpuji yang mendatangkan manfaat bagi d iri sendir i
maupun sesama makhluk.
Hati yang senantiasa mendorong berbuat baik adalah hati yang di
dalamnya terang dengan cahaya Allah. Manusia tidak langsung
mendapatkan hati yang telah terang dengan cahaya Allah, namun belia u
harus melatih hatinya. Membuang dan memerangi segala nafsu yang
membuat keruh dengan cara membiasakan dirinya berbuat sesua i
dengan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hati nurani manusia yang didalamnya bersemayam fitrah
bertuhan dapat menjadi ukuran baik dan buruk. Hal ini dikarenaka n
101
dengan adanya fitrah tersebut hati akan cenderung untuk mencinta i
kebaikan dan cenderung pada kebenaran.
Hati tersebut selalu
mendambakan dan merindukan kebenaran sehingga akan mengikuti
semua ajaran-ajaran yang telah Allah tetapkan. Dengan begitu setiap
yang perbuatan dilakukan sesuai ajaran pastilah perbuatan tersebut
merupakan perbuatan baik (Ilyas, 2012: 4).
Orang selalu melakukan perbuatan yang diperintah oleh Sang
Khaliq dengan sendirinya perbuatan tersebut akan terpatri dalam hatinya.
Suatu saat apabila ada faktor yang mendorong beliau untuk melakuka n
perbuatan baik tersebut dengan spontan beliau akan melakukannya.
Dengan begitu perbuatan tersebut disebut akhlaq, karena telah melekat
pada dirinya disebabkan beliau melakukannya secara berulang-ulang
atau terus-menerus.
Di sisi lain, al- Ghazali mengartikan “Pelita itu dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang diberkahi” adalah kemampuan ruh fikr (akal yang
digunakan untuk berfikir. Akal merupakan salah satu potensi yang dimiliki
manusia untuk mencari dan menimbang anrata kebaikan dan keburukan.
Akal yang penuh konsentrasi dan petunjuk dari al-Qur‟an dan Sunnah agar
tercipta pemikiran yang benar. Pemikiran tersebutlah yang menjadi dasar
dari perbuatannya. Beliau hanya akan memilih untuk melakukan perbuatan
baik dan meninggalkan yang buruk.
Pada tingkatan akal ini manusia telah mampu menyerap cahayapetunjuk Allah sehingga terang baginya antara yang baik dan buruk.
102
Seseorang yang akalnya terbimbing dengan kebenaran maka beliau akan
memilih untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan
buruk. Perbuatan baik yang dilakukan terus menerus akan tertanam dalam
diri secara tidak sadar. Sesuatu yang telah tertanam tersebut akan muncul
dengan sendirinya atau secara spontan dalam perilaku sehari- hari, dan
itulah yang disebut dengan akhlaq.
Terdapat perbedaan anatara al-Maraghi dan al- Ghazali dalam
mengartikan pelita. Al-Maraghi mengartikannya sebagi hati, sedangkan alGhazali mengartikannya sebagai ruh fikr atau akal fikir. Keduanya jelas
merupakan sesuatu yang berbeda. Namun, apabila dilihat dari peranannya
dalam pembentukan akhlaq seseorang, keduanya (hati dan akal)
mempunyai peran yang sama pentingnya. Akal dan hati akan berpadu
dalam menanamkan akhlaq yang mulbeliau dalam diri seseorang.
Seorang yang telah tertanam akhlaq terpuji dalam dirinya beliau
akan memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini
sama dengan sifat “pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
diberkahi yang minyaknya menyala walau tak tersentuh api” yang mana
cahaya dari minyak tersebut mampu menerangi sekitarnya. Begitu pula
dengan akhlaq yang terpuji, beliau tidak hanya akan membawa
kebahagiaan bagi si empunya, akan tetapi yang ada di sekitarnya pun akan
mampu merasakan yang sama. Dengan begitu manfaat akhlaq seseorang
tidak hanya akan perdampak pada kelangsungan pelakunya, namun juga
lingkungan di sekitarnya.
103
Minyak yang dihasilkan dari pohon yang diberkahi adalah minyak
yang sangat terang, sehingga walaupun tak tersentuh api beliau akan tetap
bercahaya. Al-Ghazali pun mengatakan bahwa ketika daya seseorang telah
mencapai ruh suci, beliau akan melaksanakan kebaikan meskipun belum
mendapatkan petunjuk dan dorongan dari luar. Begitu halnya perwujudan
dari akhlaq yang akan spontan mendorong untuk melakukan sesuatu tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan terlebuh dahulu. Hal ini
disebabkan karena perbuatan tersebut telah berulang-ulang dilakukan
sehingga diri akan spontan untuk melakukannya ketika dibutuhkan.
Dengan demikian, akhlaq mulbeliau merupakan perwujudan dari
kepatukan dan ketundukan sikap mental seorang hamba kepada Tuhannya,
serta taat menjalankan dan menerapkan aturan (syariat) yang telah
ditetapkan oleh sang Khaliq. Seorang yang telah mempunyai akhlaq
mulbeliau berarti beliau juga telah memahami peranannya sebagai
makhluk ciptaan sang Khaliq yang harus memberikan pencerahan,
kebaikan dan kedamaian kepada sesama makhluk. Karena dalam dirinya
telah tertanam nilai pendidikan akhlaq yang akan membawa dampak baik
dalam kehidupan. Ini dapat dilihat dari peranan akhlaq dalam kehidupan.
Menurut Jalaluddin yang dikutip oleh Mansur (2005: 221),
menyebutkan bahwa peranan akhlak dalam kehidupan ada tiga yaitu:
104
a. Mewujudkan kesejahteraan
Akhlaq
merupakan
alat
yang
digunakan
untuk
mengoptimalkan sumber daya potensi manusia untuk menciptakan
kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
b. Mengungkapkan masalah dengan objektif.
Objektivitas lebih dipercaya masyarakat dibangdingkan
dengan unsur subjektif, ini menjadikan akhlaq mahmudah dapat
diterima sebagai sebuah konsep yang mampu memberikan jaminan
manusia untuk selamat di dunia dan akhirat.
c. Meningkatkan motivasi dalam menggali ilmu
Keyakinan kebenaran akhlaq mahmudah yang didasarkan
atas pembuktian secara ilmiah akan menghilangkan keraguan.
Manusia akan
menggali
hikmah dibalik
syari‟at,
sehingga
mengetahuinya. Setelah itu ia akan berada dalam keyakinan
kebenaran yang ia peroleh.
Selain itu memiliki manfaat seperti yang disebutkan di atas, akhlaq
juga mempunyai kedudukan yang istimewa dalam Islam. ada beberapa
keistimewaannya (Ilyas, 2012: 6-8), antara lain:
a. Akhlaq mahmudah atau akhlaq yang terpuji merupakan pokok
risalah Nabi Muhammad, sebagimana sabda beliau:
‫َخَلَ ِق‬
َ
ْ ‫ «إِهّنَا بُعِْث ُ َّل ََت َم َم َكا ِرَم اْل‬:‫هِب صلى هللا عليو وسلم‬
ُّ ِ‫قال الن‬
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq
yang baik (HR. Baihaqi).
105
b. Akhlaq yang terpuji akan memberatkan timbangan seorang hamba
pada hari kiamat, sabda Nabi:
ٍ ‫ما ِمن َش‬
‫اْلُلُ ِق‬
ْ ‫يء ْأث َق ُل ِف املِ َيز ِان ِم ْن ُح ْس ِن‬
ْ َ
Tidak ada satupun yan lebih memberatkan timbangan
seorang hamba selain dari akhlaq yang baik (HR. Tirmidzi).
c. Ukuran baik buruk iman seseorng tergantung pada baik tidaknya
Akhlaq yang ia miliki. Sebagimana sabda Rasulullah:
‫أَ ْك َم ِل‬
ً‫أح َسنُ ُه ْم ُخلُقا‬
َ
ْ ً‫املؤمني إميانا‬
Orang mu‟min yang imannya paling sempurna adalah yang
paling baik akhlaqnya (HR. Tirmidzi)
Dari keistimewaan tersebut, jelaslah bahwa akhlaq merupakan
ajaran pokok dalam Islam yang tidak bisa dinafikan. Oleh karena itu,
adanya penanaman nilai pendidikan akhlaq merupakan keharusan dalam
pendidikan Islam. Hal ini juga membutuhkan peran bebrapa pihak yaitu;
keluarga, sekolah dan lingkungan untuk menanamkan nilai pendidikan
akhlaq dalam diri seseorang sehingga perangai yang tercipta adalah akhlaq
yang terpuji dan akan membawanya pada kebahagiaan di dunia
dan di
akhirat.
3. Nilai Pe didika ‘Amaliyah
Nilai pendidikan
merupakan
nilai yang berkaitan dengan
pengendalian perbuatan dan kelakuan. Ia meliputi segala perbuatan yang
dilakukan manusia terhadap Tuhannya (ibadah) serta perbuatan terhadap
manusia (mu‟amalah). Nilai pendidikan „amaliyah dibagi menjadi dua
yaitu:
106
a. Nilai Pendidikan Ibadah
Kata ibadah secara bahasa (etimologi) diartikan dengan
merendahkan diri, menyembah, memuja dan mengabdi serta
tunduk
kepada
yang
diibadahi.
Sedangkan
secara
istilah
(terminologi), ibadah mempunyai beberapa definisi, akan tetapi
makna dan maksud sama (Jawas, 2004: 185). Di antaranya:
1) Ibadah merupakan ketaatan kepada Allah dengan cara
melaksanakan segala yang diperintahkan oleh-Nya dan
disampaikan melalui risalah dan lisan para Rasul-Nya.
2) Ibadah merupakan sikap merendahkan diri kepada Allah pada
dengan ketundukan yang paling tinggi dan disertai rasa cinta
yang paling besar sehingga mampu mengorbankan segalanya
untuk cintanya tersebut.
3) Ibadah merupakan penamaan untuk segala sesuatu yang
mencakup ucapan dan perbuatan baik nampak maupun batin
yang denganya menimbulkan cinta dan ridha dari Allah.
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan segala
sesuatu yang silakukan oleh hamba sebagi bentuk ketaan dan
kepatuhan serta rasa cinta yang besar kepada Allah yang dikerjakan
karena ingin mendapatkan cinta dan ridho dari-Nya.
Manusia diciptakan di dunia ini tak lain adalah untuk
menghamba kepada Allah. Penghambaan atau pengabdian tersebut
dimanifestasikan dan dinyatakan dengan cara beribadah kepada-Nya.
107
ibadah adalah kepatuhan tanpa batas yang dilakukan oleh hamba
untuk mengagungkan yang disembah dengan perasaan hati yang
ikhlas (Qardhawi, tt: 33). Ia juga merupakan bentuk penyerahan diri
seorang hamba kepada sang Pencipta, serta bukti nyata bagi seorang
muslim dalam keyakinan dan pembuktian akan aqidah Islamiyah
yang beliau pegang.
Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk selalu
mengingat dan menyembah kepada-Nya dengan segenap jiwa dan
raga, karena Dialah yang teah memberikan kehidupan serta
kenikmatan hidup di dunia. Mengabdi dan menyembah Allah
merupakan bukti dari rasa syukur atas nikamat dan karunbeliau yang
telah diberikan. Adapun cara mengabdi dan menghamba kepada
Allah adalah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya dan
meninggalkan segala larangan-Nya dalam menjalani kehidupan
sehari- hari. Ibadah yang beliau laksanakan haruslah yang sesuai
dengan al-Qur‟an dan Sunnah yang merupakan pedoman hidup bagi
muslim. Dengan begitu, apabila seseorang beribadah secara benar
sesuai dengan syar'i‟at Islam, maka itu merupakan implementasi
secara langsung dari sebuah rasa syukur dan penghambaan dirinya
kepada Allah.
Allah SWT menyatakan bahwa apabila seseorag hamba
melaksanakan ibadahnya dengan penuh rasa ikhlas dan rendah diri
maka akan mendapatkan derajat tinggi yaitu akan digolongkan
108
sebagai orang yang bertaqwa. Dengan demikian kunci dari
diterimanya ibadah adalah adanya rasa ikhlas dalam hati hamba.
Ibadah tersebut bisa diakukan kapan saja dan dimana saja. Oleh
karena itu, sebagai seorang hamba, manusia harus mengingat Allah
baik ketika sedang berdiri, berbaring, senang maupun susah.
Ibadah dalam Islam secara garis besar terbagi menjadi dua
jenis, yaitu ibadah mahdhah (ibadah khusus) dan ibadah ghairu
mahdhah (ibadah umum). Ibadah mahdah yaitu ibadah yang telah
ada ketetuannya baik waktu dan tata caranta, misalnya; shalat, haji,
zakat, puasa. Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang
tidak ada ketentuan yang mengikat baik waktu maupun tata caranya,
meliputi segala yang dilakukan dengan tujuan memperoleh ridha
Allah, misalnya senyum, sedekah dan lain sebagainya (Mahfud,
2011: 23). Semua ibadah yang Islam anjurkan bertujuan untuk
menjadikan manusia agar selalu ingat dan patuh kepada Allah. Hal
ini disebabkan kerena ibadah merupakan tujuan diciptakannya
manusia dimuka bumi. Allah berfirman:
ِ ‫اْلنس إِهَّل لِي عب ُد‬
ِْ ‫وما خلَْق‬
‫ون‬
ُ َ ََ
ُ ْ َ َ ِْ ‫اْل هن َو‬
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku ( QS. Adz Dzaariyat/
50: 56 ).
Ibadah yang dimaksud bukan ibadah ritual saja tetapi ibadah yang
dimaksud di sini adalah ibadah dalam arti umum dan khusus.
109
Seseorang tidak akan langsung mampu melakukan ibadah
sesuai dengan aturan Islam, dengan kata lain ia membutuhkan
bimbingan dan pengajaran. Pembinaan ketaatan beribadah pada diri
seseorang merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam. Oleh
karena itu, agar manusia mampu menjadi hamba yang taat beribadah
dengan ibadah yang benar, membutuhkan pendidikan.
Pendidikan ibadah merupakan salah satu ranah dalam
pendidikan Islam yang membutuhkan perhatian. Ia merupakan
penyempurnaan dari pendidikan aqidah, serta merupakan cerminan
dari pendidikan aqidah. kerana beribadah kepada Allah, merupakan
titik perubahan dari kekacauan dan ketidak
teraturan dari
kebingungan kepada tujuan yang pasti.
Mengenai nilai pendidikan ibadah yang terdapat dalam am al
n r QS. An-N r ayat 35, tercermin dalam lafat
ِ ٍِ ِ
‫اح‬
ْ ‫م ْش َكاة ف َيها م‬
ٌ َ‫صب‬
Sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita
besar.
Al-Maraghi mengertikanya hati seorang mu‟min yang di dalamnya
terdapat cahaya Allah. Dapat juga dikatakan sebagai seorang mu‟min
yang hatinya diterangi oleh cahaya Allah, sehingga ia mengetahui
hakikat segala sesuatu termasuk hakikat dirinya.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis, bahwa
hakikat manusia adalah untuk mengabdi dan menghamba kepada
Allah. Dengan begitu apabila seseorang telah mengetahui akan
110
hakikat dirinya,
ia akan beribadah kepada
Allah
sebagai
pengimplementasian terhadap pengabdian dan penghambaannya
kepada Allah. Pengabdian dan penghambaan dibuktikan dengan
beribadah. Beribadah merupakan salah satu cara mendapatkan
ketenangan hati. Hati yang tenang berarti di dalamnya telah
bersemayam cahaya Allah.
Adapun al-Ghazali mengertikan “sebuah lubang yang tak
tembus, yang di dalamnya ada pelita besar” adalah panca indera
manusia yang diluruskan oleh daya akal yang terbimbing oleh
kebenaran (al-Qur‟an dan Sunnah). Panca indera yang dimiliki oleh
manusia tidaklah selalu memberikan pengetahuan yang benar akan
hakikat sesuatu. Oleh karena itu, dilengkapinya manusia dengan
daya akal adalah untuk meluruskan kesalahan yang diperoleh dari
panca indera. Hal ini sesuai dengan dampak dari ibadah, yang
merupakan titik perubahan dari kekacauan, ketidak teraturan dan
kebingunan kepada tujuan yang pasti.
Seseorang hamba yang melakukan ibadah dengan benar
sesuai dengan perintah Tuhannya, maka akan tertanam dalam dirinya
sifat disiplin. Misalnya, seseorang yang dulunya merupakan orang
yang tidak teratur dalam berbagai hal, kemudian ia menjadi rajin
dalam beribadah lambat laun dalam dirinya akan tertanam sifat
disiplin. Hal ini dikarenakan ibadah yang pelaksanaannya harus
dengan
ketentuan
yang
telah
ditetapkan
syara‟,
dalam
111
pelaksanaannya
harus
dipenuhi,
sehingga
seseorang
yang
melaksanakannya pastilah mengikuti ketentuan tersebut. Dengan
begitu sadar atau tidak sadar dalam dirinya akan tertanam sikap
kedisiplinan. Sebagaimana pelita di dalam celah yang terjaga dari
angin sehingga ia akan stabil.
Karakteristik manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna, dengan dibekali dua daya yang membedakannya
dengan makhluk lain yaitu daya akal dan daya kalbu. Kedua daya
tersebut dapat dikembangkan dan dipertajam dengan beribadah
kepada Allah sesuai yang diperintahkan-Nya. Oleh karena itu, daya
akal yang terbimbing oleh kebenaran merupakan hasil dari ibadah.
(Ali, 2007: 15).
ibadah adalah salah satu cara untuk pengendalikan jiwa dari
nafsu yang membuatnya keruh. Yaitu ibadah yang dilaksanakan
dengan sadar dan insyaf mampu mengurangi penyakit hati. Ibadah
kepada Allah akan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa, ia
akan menjadikannya selalu merasa di awasi oleh Allah. Ibadah
mampu meredam gejolak kejiwaan dan mengendalikan hawa nafsu,
sehingga jiwanya akan lurus melalui munajat kepada Allah. Hal ini
dapat terlaksana apabilah seseorang telah mengerti hakikat ibadah.
Melalui hatinya beliau yakin akan perintah Allah dan dengan
akalnya ia mengetahui bagaimana cara beribadah yang sesuai dengan
112
syari‟at Islam. Dengan begitu pendidikan ibadah mengarah pada
penyucian hati dan mempertajam akal.
Pendidikan
ibadah
pastilah
mengandung
nilai- nilai
pendidikan ibadah dalam proses penanamannya. Nilai ibadah akan
menjadi pendorong semangat dalam beribadah untuk mengingat
Allah. Dengan begitu dapat dikatakan nilai pendidikan ibadah bagi
seseorang akan membiasakannya mengingat Allah yang berujung
pada perbuatan baik sebagai wujud ibadahnya kepada Allah. Perlu
diketahui bahwa, fungsi ibadah dalam Islam ada tiga aspek (Ali,
2007: 17-18) :
1) Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Orang yang dalam hatinya ada keimanan, dirinya akan
selalu merasa diawasi oleh Allah kapanpun dan di manapun.
Oleh sebab itu, beliau akan selalu berupaya menyesuaikan
segala perilakunya dengan aturan yang telah ditentukan oleh
Allah SWT. Dengan demikian beliau akan selalu menjalankan
kewajibannya kepada Allah dan menggantungkan segala
kebutuhannya kepada Allah. Atas dasar itulah manusia akan
terbebas dari penghambaan terhadap sesama manusia dan
makhluk lainnya, serta harta benda dan hawa nafsunya.
113
2) Mendidik
mental dan menjadikan manusia ingat akan
kewajibannya
Masnusia yang senantiasa beribadah akan timbul sikap
empati dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan
sikap ini, mereka akan selalu ingat bahwa dirinya merupakan
bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban
yang sama sengan yang lainnya. Hal ini dikuatkan pula dengan
banyaknya ayat al-Qur'an ketika berbicara tentang fungsi
ibadah menyebutkan juga dampaknya terhadap kehidupan
pribadi dan masyarakat. Salah satu firman Allah yang
menyebutkan hal tersebut adalah ibadah shalat yang mencegah
perbuatan keji dan munkar, sehingga akan menimbulkan rasa
aman untuk sekitarnya. Sebagaimana firman-Nya:
ِ ‫ك ِمن الْكَِت‬
ِ ِ
‫ص ََل َة تَْن َه ٰى‬
‫ص ََل َة إِ هن ال ه‬
‫اب َوأَقِ ِم ال ه‬
َ َ ‫ا ْت ُل َما أُوح َي إلَْي‬
‫صَن ُعو َن‬
‫اَّللِ أَ ْكَب ُر َو ه‬
‫َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمن َك ِر َولَ ِذ ْك ُر ه‬
ْ َ‫اَّللُ يَ ْعَل ُم َما ت‬
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu alQur‟an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah diri dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Ankabut: 45)
3) Melatih diri untuk berdisiplin
Merupakan suatu kenyataan bahwa segala ibadah menuntut
untuk berdisiplin dalam mengerjakannya. Hal ini dapat dilihat
dari pelaksanaan suatu ibadah yang menuntut adanya tartib/
urut dalam pelaksanaannya. Misalnya ibadah shalat yang
114
mengharuskan wudlu terlebih dahulu kemudian mendirikan
shalat dengan tata cara yang telah ditentukan. Dengan
demikian, seandainya seseorang rajin dalam beribadah pastilah
kesisiplinan terwujud dalam dirinya.
Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwasanya nilai
pendidikan ibadah yang terdapat dalam QS. An-N r ayat 35,
menurut peneliti tercermin dalam lafat ‫ص َباح‬
ْ ‫“ ِم شْكَا ةٍ ِفي َها ِم‬Sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar”.
Memang dari kedua tokoh baik al-Maraghi dan al- Ghazali tidak
secara langsung menyebutkannya dalam menafsirkan. Akan tetapi
penafsiran tersebut mencerminkan adanya nilai pendidikan ibadah,
karean secara urut keduanya menafsirkan mengenai ketenangan hati
dan pikiran yang merupakan buah dari ibadah. Dengan begitu secara
tersirat dalam penafsiran keduanya tersirat adanya nilai pendidikan
ibadah.
b. Nilai Pendidikan Mu’amalah (sosial)
Perkataan
mu‟amalah
mempunyai
makna
mengenai
pengaturan hubungan antar manusia. Hubungan yang diatur adalah
hubungan perdata , yaitu hubungan yang mengatur antara individu
dengan individu, serta hubungan publik yang mengatur hubungan
individu dengan masyarakat umum atau negara (Ali, 1998: 297).
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan mu‟amalah merupakan
pendidikan yang memuat pengaturan hubungan antara manusia baik
115
secara individu maupun kelompok. Dalam bahasa indonesia
pendidikan mu‟amalah dapat disebut pula pendidikan sosial.
Pendidikan mu‟amalah/ sosial didasarkan pada nilai yang
menjadi acuannya.
Nilai
tersebut
adalah
Nilai pendidikan
mu‟amalah (sosial) yang mengacu pada hubungan individu dengan
dengan orang lain dalam sebuah masyarakat. Nilai sosial penanaman
mencakup berbagai norma baik kesusilaan, kesopanan dan segala
macam produk hukum yang ditetapkan manusia, seperti gototng
royong, toleransi, ramah tamah, kerjasama, kasih sayang sesama,
solidaritas, simpati dan empati terhadap orang sekitarnya. Selain
itu,bagaimana seseorang harus bersikap, menyelesaikan masalah,
dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk di dalamnya nilai
sosial. Dengan keanekaragaman masyarakat maka sangat penting
adanya pengendalian diri untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Nilai sosial dapat digunakan sebagai landasan bagi masyarakat untuk
merumuskan apa yang benar dan penting dan berperan penting untuk
mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma
yang berlaku.
Dalam QS. An-N r ayat 35 mengenai am al n r, menurut
penulis yang berindikasi mengandung nilai pendidikan mu‟amalah
atau sosial adalah
Pohon yang diberkahi.
ٍ‫َشجرةٍ ُّمبارَكة‬
َ َ ََ
116
Yang dimaksudkan adalah pohon zaitun. Baik Al-Maraghi maupun
Al-Ghazali menjelaskan bahwa zaitun dinamai pohon yang diberkahi
karena mempunyai banyak manfaat dan keistimewaannya. Ia
merupakan pohon yang berbuah dalam jumlah yang banyak. Ia juga
merupakan pohon yang memiliki banyak manfaat, hampir semua
dari bagian tubuhnya mampu dimanfaatkan oleh manuasia. Begitu
juga seharusnya manusia yang beriman. Seseorang yang beriman
haruslah memberi manfaat kepada orang disekitarnya.
ِ ‫ أَنْ َف ُع ُه ْم للن‬:‫هاس‬
ِ ‫َخْي ُر الن‬
‫هاس‬
Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling
banyak manfaatnya bagi orang lain (HR. Asy-Syihab alQażai)
Orang yang beriman merupakan digolongkan sebagai orang
baik apabila ia mampu memberikan manfaat bagi sekitarnya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, seseorang yang
beriman hendaknya menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama
di semua ranah baik masyarakat maupun negara. Karena hal tersebut
merupakan implementasi dari nilai keimanan yang tertanam dalam
jiwanya.
Peran orang beriman dalam bentuk kepedulian sosial atau
dalam masyarakat, sangat erat hubungannya dengan implementasi
dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhkan aspek-aspek aqidah
dan akhlak pada setiap diri. Seterusnya dari diri dan membentuk
keluarga, sehingga pada akhirnya akan terbentuk suatu masyarakat
117
yang seimbang dalam kesejahteraan dan keadilan. Sebab pribadi
yang seimbang akan menumbuhkan masyarakat yang seimbang.
Kesejehteraan sosial dimulai dengan ajaran Islam, yaitu
penyerahan diri seorang muslim kepada Allah SWT. Karena
tenangnya jiwa akan tercipta apabila kerukunan da n kesejahteraan
tercipta. Kesejahteraan sosial akan tumbuh dan berkembang dari
kesadaran bahwa pilihan Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya
dalam kondisi
apapun
mempunyai bermanfaat
dan
selalu
mengandung hikmah bagi manusia. Allah memerintahkan manusia
untuk berusaha dengan maksimal sebelum berserah kepada Allah.
Hal ini merupakan pendidikan kejiwaan bagi tiap individu, keluaraga,
dan masyarakat, misalnya kesediaan membatu sebelum dimintai
pertolongan oleh orang yang membutuhkan, atau bersedia untuk
mengorbankan seseuatu demi kepentingan banyak orang. Inilah yang
dinamakan kepedulian sosial.
Bentuk kepedulian sosial dalam masyarakat mencakup segala
jenis antuan, baik yang berupa materi dan non materi atau fisik
maupun non fisik. Salah satu dasar hukum dari kepedulian sosial
yang berbentuk non materi adalah hadits Nabi berikut ini:
ِِ
ِِ ِ ِ
ِ
ْ‫ فَإِ ْن ََل‬.‫ فَإِ ْن ََلْ يَ ْستَط ْع فَبِل َسانو‬.‫َم ْن َرأَى مْن ُك ْم ُمْن َكرا فَ ْليُغَِّْيُه بِيَده‬
ِ َ‫ف ا ِْلمي‬
‫ان‬
ْ‫كأ‬
َ ِ‫ َو ٰذل‬.ِ‫يَ ْستَ ِط ْع فَبَِقلْبِو‬
ُ ‫َض َع‬
Dari Abu Sa‟id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya
mendengar
Rasulullah
shallallahu`alaihi
wasallam
bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah
dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan
118
lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya
dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (HR.
Muslim)
Hadits tersebut mencerminkan kualitas keimanan seseorang dalam
bentuk kepedulian sosial non materi. Lain halnya dengan kepedulian
sosial dalam bentuk materi yang mengandung pesan bahwa setiap
orang muslim harus ikut merasakan nikmat tidaknya suatu kejadian
dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi dasar
penghubung mengenai keterkaitan adalah adanya rasa senasib dan
seperjuangan. Salah satu ayat yang mencerminkan kepedulian dalam
bentuk materi adalah:
ِ
ِّ ِ‫أَرأَي اله ِذي ي َك ِّذب ب‬
ِ ُّ ‫ك اله ِذي ي ُد‬
‫ض َعَل ٰى‬
ُّ ‫يم َوََّل ََُي‬
َ ‫الدي ِن فَ َٰذل‬
َ َْ
ُ ُ
َ
َ ‫ع اْلَيت‬
ِ ِ‫طَ َع ِام الْ ِم ْسك‬
‫ي‬
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? itulah
orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin. (QS. Al-Ma‟un: 1-3)
Ayat di atas menjelasakan bahwa menganjurkan memberi pangan,
membantu kesulitan orang lain mencerminkan kepedulian sosial
seseorang yang lahir dari keimanannya (Ali, 2007: 65-67).
Dengan nilai pendidikan mu‟amalah atau pendidikan sosial
yang tertanam dalam jiwa orang yang beriman, diharapkan mampu
menjadikannya pribadi-pribadi yang berguna bagi sesama baik
dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sebagaimana pohon
zaitun yang mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan manusia.
119
4. Persamaan dan Perbedaan Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Amṡal
“Nūr” Kajian atas QS. An-Nūr Ayat 35 berdasar penafsiran AlMaraghi dan Al-Ghazali
Nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam QS. An-N r Ayat
35, penafsiran kedua tokoh mencerminkannya pada lafat yang sama pada
tiap nilai pendidikan. Akan tetapi dalam objek yang dibimbing keduanya
berbeda, al-Maraghi lebih kepada pembimbingan hati sedangkan alGhazali pada akal. Namun keduanya saling berkaitan dan memiliki
peranan masing- masing dalam menanamkan nilai pendidikan Islam.
Dengan demikian agaknya tidak ada perbedaan besar antara keduanya.
Tidak hanya nilai- nilai pendidikan aqidah, akhlaq, dan amaliyah
saja yang terdapat dalam amtsal nur QS. An-N r Ayat 35, sebenarnya
masih banyak lagi nilai pendidikan yang dapat digali dari amtsal nur
dalam QS. An-Nur Ayat 35, namun dalam penelitian ini hanya dibatasi
dengan tiga nilai pendidikan sebagaimana telah disampaikan dalam
kerangka teori sebelumnya. Seandainya bila diteliti lagi salah satu dari
nilai pendidikan tersebut adalah nilai pendidikan spiritualitas. Beliau
merupakan nilai pendidikan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang
kuat dan berperan sebagai pengokoh hubungan antara seorang muskmin
dengan Tuhannya, serta sebagai penghubung faktor duniawi dan faktor
ukhrawi.
Pendidikan spiritualitas dalam Islam merupakan pembersihan jiwa
dan menjernihan akal menuju Allah. Dalam prosesnya membutuhkan
120
peatihan dan pendidikan yang berat dan susah payah. Beliau harus
melawan penyakit-penyakit yang dapat menganggu kesehatan jiwa dan
akalnya. Hal ini sejalan dengan penafsiran al-Maraghi mengenai cahaya
Allah yang hanya dapat diperoleh apabila hati seorang hamba telah kosong
dari nafsu dunianya. Begitu pula dengan penafsiran al-Ghazali yang
mengatakan manusia harus berjuang dengan kemampuan akalnya untuk
memperoleh cahaya Allah, akal yang bersih dan penuh konsentrasilah
yang akan sanggup.
Download