BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi serta Kitab Tafsir al-Maraghi dan Al-Ghazali 1. Biografi dan Kitab Tafsir al-Maraghi a. Riwayat Hidup Al-Maraghi Ahmad Musthafa al-Maraghi yang dikenal dengan sebutan alMaraghi memiliki nama lengkap Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun‟im al-Maraghi (Ghofur, 2013: 97). Terkadang nama tersebut ditambah dengan Beik sehingga beliau dipanggil Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Lebih dikenal dengan nama al-Maraghi yang merupakan nisbah dari tempat kelahirannya. Beliau lahir pada tahun 1300 H yang bertepatan dengan tahun 1883 M di kota Maragah, provinsi Suhaj. Daerah tersebut terletak dipinggiran sungai Nil kurang lebih 70 km ke arah selatan kota Kairo, Mesir (Ghofur, 2008: 151). Al-Maraghi dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga ulama intelek (Ghofur, 2013: 98). Keluarga beliau merupakan keluarga yang sangat tekun dan cinta pada ilmu pengetahuan, sehingga dijuluki “keluarga pengarang”. Terbukti dengan banyaknya kitab yang telah ditulis oleh keluarga beliau. Kitab-kitab tersebut terdapat di Universitas Al-Azhar, Cairo University dan di perpustakaan Dar al-Kutub alMisriyyah. Beliau mempunyai delapan orang saudara dan empat di antaranya menjadi ulama-ulama besar (Madjid, 2015: 29), yaitu: 32 1) Muhammad Musthafa al-Maraghi, pernah menjadi rektorat AlAzhar dalam dua periode, yaitu pada tahun 1928-1930 dan 1935-1945. 2) „Abd al-Aziz al-Maraghi, yang merupakan dekan di Fakultas Ushuluddin al-Azhar dan menjadi imam Raja Faruk. 3) „Abdullah Musthafa al-Maraghi, yang menjabat sebagi inspektur umum di Universitas Al-Azhar. 4) Abu al-Wafa Musthafa al-Maraghi, yang menjadi sekretaris badan penelitian dan pengembangan di Universitas Al-Azhar. Keluarga al-Maraghi turun-temurun mengabdikan diri dalam bidang peradilan, maka selain dijuluki sebagai “keluarga pengarang”, keluarga beliau juga mendapat julukan “keluarga hakim” (Ghofur, 2008: 151). Ada 4 orang dari saudara al-Maraghi yang menjadi hakim (Madjid, 2015: 29), di antaranya adalah: 1) Muhammad Aziz Ahmad al-Maraghi yang menjadi hakim di kota Kairo. 2) Asim Ahmad al-Maraghi, yang menjabat sebagai seorang hakim di Peradilan Tinggi Kairo dan di Kuwait. 3) Hamid al-Maraghi, merupakan seorang hakim yang sekaligus menjadi penasihat kehakiman. 4) Ahmad Midat al-Maraghi, sebagai salah satu hakim di Kairo dan pernah menjabat sebagai wakil Menteri Kehakiman. 33 Al-Maraghi memperoleh pendidikan mengenai dasar-dasar agama Islam sebelum masuk madrasah dari keluarganya (Ghofur, 2008: 151). Al-Maraghi kecil didorong oleh kedua orang tuanya untuk mempelajari al-Qur‟an dan Bahasa Arab di kota kelahirannya, selanjutnya ia memasuki pendidikan dasar di sebuah madrasah. Ketika di madrasah inilah beliau tekun belajar al-Qur‟an dan menghafalnya, sehingga ketika usianya mencapai 13 tahun ia sudah menghafal 30 juz dari al-Qur‟an. Beliau pun menenpuh pendidikan di madrasah untuk mempelajari al-Qur‟an, tajwid dan dasar-dasar ilmu sejarah sampai tamat pendidikan tingkat menengah (Ghofur, 2008: 151). Al-Maraghi terdorong untuk menjadi ulama, sehingga setelah tamat dari pendidikan menengah beliau melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar serta Universitas Dar al-Ulum pada tahun 1314 H/ 1897 M. Pada tahun 1909 M, beliau lulus dari dua Universitas tersebut serta tercatat sebagai lulusan termuda dan terbaik. Hal ini karena kecerdasan luar biasa yang beliau miliki (Ghofur, 2013: 98). Di dua Universitas unggulan di Kairo tersebut beliau mendapat bimbingan langsung dari para tokoh ternama dan merupakan yang ahli di bidangnya. Misalnya, Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi‟i, Ahmad Rifa‟i al-Fayumi, dan Husnin al-Adawi. Karena jasa para syaikh tersebutlah, al-Maraghi tumbuh menjadi intelektual muslim yang mengusai berbagai cabang ilmu agama dan menjadi ulama yang menghasilkan banyak karya (Al-Iyazi, 1992: 358). 34 Al-Maraghi menagabdikan diri di beberapa madrasah setelah lulus dari dua Universitas unggulan tersebut. Tak berselang lama, kemudian al-Maraghi diangkat menjadi Direktur Madrasah Mu‟allimin di Fayum. Yaitu sebuah kota yang berada di 300 km barat daya kota Kairo (Ghofur, 2013: 98-99). Pada tahun 1916 M, beliau diutus untuk mengajar Fakultas Gurdun di Khurtham Sudan menjadi dosen tamu selama empat tahun. Kesibukannya mengajar tidak menghalangi beliau untuk berkarya. Sebagai bukti adalah kitab Ulum al-Balaghah disusun oleh beliau ketika menjadi dosen di Sudan (Madjid, 2015: 32). Al-Maraghi semakin matang baik sebagai intelektual muslim maupun dalam bidang birokrat. Hal ini terbukti dari sepak terjangnya menjadi hakim sempai menjabat Qadhi al-Qudhat di Sudan sampai tahun 1919 M. Pada tahun 1920 M tugas beliau di Sudan sebagai dosen tamu telah selesai, beliau kemudian kembali ke Mesir dan beliau pun menjabat sebagai Kepala Mahkamah Tinggi Syariah (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam [perh.], 2002: 166). Sebagai Mahkamah Tinggi Syariah, beliau menangani berbagai macam kasus seperti kasus warisan yang merupakan kasus besar di Mahkamah. Ada sebuah kasus waris yang rumit sehingga beliau mempelajari dan mengkajinya dengan serius dan teliti agar keputusan yang beliau ambil terhindar dari kesalahan dan dapat dipertanggung jawabkan. Waktu putusan telah tiba, manun di tengah perjalanan menuju Mahkamah beliau dihadang oleh kelompok jahat yang hendak 35 menyuap agar putusan yang beliau berikan tidak memberatka n kelompok tersebut. Berkat pertolongan Allah, beliau mampu menolak tawaran kelompok jahat tersebut kemudian melanjutkan perjalanannya ke Mahkamah untuk memberi putusan yang menurut ijtihadnya yang benar (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam [perh.], 2002: 167). Beliau juga diangkat menjadi dosen yang mengampu pelajaran Bahasa Arab di Universitas Dar al-Ulum juga menjadi dosen Ilmu Balaghah dan Kebudayaan Fakultas Bahasa Arab di Universitas alAzhar (Ghofur, 2013: 99). Masih di tahun yang sama, al-Maraghi menjadi pengajar di beberapa madrasah, di antaranya Ma‟had Tarbiyah Mu‟allimah, serta diberi kepercayaan untuk memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Pada tahun 1361 H, al-Maraghi mendapat penghargaan Mursyid at-Tulab dari raja Faruq atas jasanya di salah satu madrasah (Madjid, 2015: 36). Pada tahun 1928 M tepatnya di bulan Mei, al-Maraghi diangkat menjadi rektor Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Usia beliau baru 47 tahun ketika diangkat menjadi rektor. Karena itulah beliau menjadi rektor termuda di Univers itas Al- Azhar sepanjang sejarah (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam [perh.], 2002: 167). Selama menjabat menjadi rektor al-Azhar, al-Maraghi membuat kebijakan dengan perubahan mendasar di Universitas al-Azhar untuk mereformasi. Kebijakan beliau tersebut menimbulkan perlawanan sengit dari beberapa pihak, hingga pada klimaksnya beliau 36 mengundurkan diri setelah 6 tahun menjabat. Akhirnya, pada tahun 1935 M, beliau diminta kembali untuk menduduki jabatan rektor di Universitas al-Azhar. Jabatan sebagai rektor ini beliau emban sampai akhir hayat. Daerah Hilwan yang letaknya kurang leb ih 25 KM sebelah selatan kairo adalah tempat dimana al-Maraghi menetap dan tinggal hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada tahun 1354 H/ 1952 M ketika bulan Ramadhan (Mahmud, 2006: 330). Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, maka dijadikanlah nama beliau sebagai nama suatu jalan di daerah Hilwan. b. Karya-karya al-Maraghi Al-Maraghi termasuk ulama yang sangat mencintai ilmu, sehingga hampir semua waktunya digunakan untuk ilmu. Lewat tulisan yang beliau hasilkan, dicurahkanlah segala pemikirannya. Beliau terbilang sebagai ulama yang produktif lewat karangan-karangannya. Hal ini terukti dari banyaknya kitab yang telah beliau tulis. Karya-karya tersebut (Ghofur, 2008: 153), di antaranya adalah: 1) ‟Ulum al-Balaghah 2) Buhus wa Ara‟ fi Funun al-Balagah 3) Muqaddimah at-Tafsir 4) al-Diyanah wa al-Akhlak 5) al-Wajiz fi Usul al-Fiqh 6) Tafsir al-Maraghi 7) Hubub fi al-Islam 37 Dari sekian banyak karya yang telah beliau hasilkan, Tafsir alMaraghi merupakan karya yang paling terkenal. Dapat juga dikatakan sebagai karya terbesar beliau. Tafsir al-Maraghi dikenal sebagai kitab tafsir yang bahasanya enak dibaca sehingga mudah difahami. Hal ini dikarenakan, pengarang dari kitab Tafsir al-Maraghi (Ahmad Musthafa al-Maraghi) ingin menyajikan kitab tafsir yang mudah difahami oleh seluruh masyarakat muslim –sebagimana yang telah dijelasakan oleh pengarangnya dalam mukaddimah kitab tafsirnya- (Al-Maraghi, 1946: 4). c. Tentang Tafsir Al-Maraghi 1) Penulisan Tafsir Al-Maraghi Tafsir al-Maraghi merupakan kitab tafsir yang dikarang oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi di rumahnya yang berada di Hilwan. Kitab ini terdiri dari 30 juz yang kemudian dicetak dalam 10 jilid. Penulisan kitab tafsir ini memakan waktu tujuh tahun. Meskipun tidak diketahui kapan dimulai penuliasannya, namun –sesuai yang dikatakan oleh pengarangnya dalam mukaddimah- kitab ini selesai ditulis pada bulan Zulhijjah tahun 1365 H. Dengan begitu kitab Tafsir al-Maraghi termasuk kitab tafsir di masa modern (Madjid, 2015: 37). Dalam buku Profil Para Mufasir al-Qur‟an, disebutkan bahwa ketikan menulisk tafsirnya, al-Maraghi hanya menghabiskan 4 jam sehari dari waktunya untuk beristirahat. Adapun 20 jam sisanya 38 beliau habisakan untuk mengajar dan menulis (Ghofur, 2008: 153). Al-Maraghi memulai aktivitasnya dengan melaksanakan qiyamullail kira-kira pukul 03.00 a.m. Usai melaksanakan shalat beliau tak lupa memanjatkan doa untuk meminta petunjuk dari Allah, setelah itu barulah beliau menulis tafsir hingga beliau berangkat mengajar. Pulang dari mengajar, beliau kembali melanjutkan menulisa tafsir –ayat demi ayat- sampai larut malam (Ghofur, 2013: 100). Al-Maraghi menulis kitab tafsirnya sebagai jawaban atas banyaknya pertanyaan yang terlontar kepada beliau mengenai kitab tafsir yang mudah difahami, dipelajari dalam waktu cepat dan berguna bagi pembacanya. Pertanyaan tersebut muncul sehubungan dengan mulculnya kitab-kitab tafsir yang banyak membahas mengenai istilah nahwu, sharaf dan balaghah yang susah dimengeri sehingga menjadi menghambat pembaca untuk memahaminya. Selain itu, mereka juga mempunyai banyak persoalan hidup yang membutuhkan penyelesaian (Madjid, 2015: 37). Karena beliau merasa bertanggung jawab untuk mencarikan solusi berdasarkan alQur‟an atas berbagai problem yang sedang terjadi pada masa tersebut, maka beliau menulis kitab tafsirnya dengan bahasa yang mudah difahami. 39 2) Metode Tafsir Al-Maraghi Ada yang mengatakan bahwa Tafsir al-Maraghi merupakan penyempurna dari Tafsir al-Manar. Karena gaya yang digunakan oleh al-Maraghi dalam menulis tafsirnya hampir sama dengan strategi penulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho pada Tafsir al-Manar. Tidak dipungkiri bahwa keduanya merupakan guru serta pembaharu Islam yang menginspirasi al-Maraghi (Ghofur, 2013: 101). Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Manar mempunyai kemiripan dalam tiga komponen internalnya, yaitu dalam bentuk, metode dan corak penafsiran. Adapun metode yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi, bila dilihat dari segi urutan pembahasannya adalah metode tahlili. Terlihat dari penafsiran ayat yang dimulai dengan memberikan penjelasan mengenai pengertian kata-kata yang sulit (tafsir almufradat), kemudian menjelaskan makna ayat secara umun dan ringkas, kemudian memaparkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) serta munasabat al-ayat (hubunga antara ayat satu dengan yang lain). Pada bagian akhir berulah dijelasakan mengenai penafsiran ayat yang lebih terperinci (Madjid, 2015: 40). 3) Corak Tafsir Al-Maraghi Corak penafsiran yang digunakan dalam penulisan kitab Tafsir al-Maraghi adalah corak adabi ijtimai (sastra dan sosiologi). Ia merupakan corak tafsir dengan menguraikan ayat al-Qur‟an yang 40 rumit maknanya diungkapkan menggunakan gaya bahasa menarik dan indah, kemudian ayat tersebut diterapkan dalam hukum kemasayarakatan dan undang- undang beradaban. Penggunaan corak adabi ijtimai dalam Tafsir al-Maraghi dapat dilihat misalnya pada penafsiran surat al-An‟am ayat 164. Dalam menafsirkan ayat tersebut al-Maraghi mengaitkannya dengan keadaan sosial yang saat itu terjadi seperti mengirim bacaan al-Qur‟an kepada orang yang sudah meninggal. Hal tersebut menurut beliau adalah salah satu perbuatan bid‟ah (Madjid, 2015: 42). 4) Sistematika Tafsir Al-Maraghi Adapun sistematika yang digunakan untuk tiap penafsiran ayat al-Qur‟an dalam Tafsir al-Maraghi (Madjid, 2015: 45), sebagai berikut: a) Menyampaikan ayat-ayat di awal pembahsan, yang dimulai dengan mengemukakan satu, dua atau lebih ayat al-Qur‟an yang disusun guna memberikan pengertian yang menyatu dan menuju pada suatu tujuan tertentu. b) Menjelaskan pengertian kata-kata yang dianggap sulit bagi pembaca. c) Menjelaskan pengertian ayat secara global yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang ayat yang dibahas. 41 d) Mengungkapkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) yang dianggap mempunyai riwayat shahih dari Nabi, sahabat dan tabi‟in. e) Mengesampingkan istilah-istilah ilmu pengetahuan; nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain agar mudah dimengerti. f) Menggunakan gaya bahasa yang mudah difahami. g) Selektif dalam memilih dan mencantumkan kisah-kisah yang dimasukkan dalam kitab tafsir, dan mengukurnya dengan prinsip-prinsip agama yang tidak diperselisihkan. 2. Biografi dan Kitab Tafsir Al-Ghazali a. Riwayat Hidup al-Ghazali Abu Hamid al-Gahzali yang dikenal di Barat dengan sebutan Algazel, merupakan pemikir Islam yang ulung (Ahmad, 2003: 118). Beliau yang juga dikenal dengan panggilan al-Ghazali ini, memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Ghazali. Beliau lahir pada tahun 450 H yang bertepatan pada tahun 1058 M bertempat di kota kecil dekat Tunisia -sebuah kota di Khurasan, Iran(Iqbal, 2015: 88). Sebutan al-Ghazali merupakan misbah dari nama kampung kelahirannya yaitu Ghazalah. Adapun yang mengatakan bahwa sebutan al-Ghazali –diucapkan al-Ghazzali dengan dua zdiambil dari kata Ghazal yang mempunyai arti “tukang pemintal benang”. Hal ini dinisbatkan kepada pekerjaan ayah al- Ghazali yang 42 merupakan seorang pemintal benang wol kemudian dijual di pasar (Hermawan, 2012: 342). Ayah al-Ghazali merupakan seorang yang miskin dengan pekerjaan sebagai pemintal benang wol. Meskipun miskin harta, namun ayah beliau merupakan seorang yang shaleh dan sangat cinta kepada ilmu pengetahuan. Ayah beliau sering menimba ilmu dari para alim ulama, dan di setiap kali beliau belajar, beliau selalu berdoa agar dikaruniakan anak yang pandai dan alim seperti para ulama tersebut. Al-Ghazali ditinggal oleh ayahnya ketika beliau masih kecil. Ayah beliau meninggalkan nilai-nilai kearifan kepada anaknya untuk bersikap jujur dan mandiri (Rijal, 2003: 50). Al-Ghazali memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad. Sebelum ayahnya meninggal, al-Ghazali dan saudaranya dititipkan kepada seorang sufi untuk dididik dengan baik (Hermawan, 2012: 342). Beliau berwasiat kepada salah satu temanya yang seorang ahli sufi dengan berkata: “Saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini maka didiklah keduanya dan pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk mengurus keperluannya.” (Supriyadi, 2009: 144). Akan tetapi ketika harta warisan ayahnya telah habis, pengasuh tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan al-Ghazali dan adiknya. Kemudian keduanya diserahkan di sebuah madrasah memberikan biaya hidup bagi muridnya (Hermawan, 2012: 342). yang 43 Ketika masih kanak-kanak, al-Ghazali pernah berguru kepada Ahwad bin Muhammad ar-Radzikani di Tunisia. Pada usia 15 tahun al-Ghazali memulai pengembaraan ke Jurjan untuk mencari ilmu dan belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili. Setelah selesai beliau pun kembali lagi ke Tunisia. Diceritakan, pada suatu waktu ketika perjalanan pulang, al-Ghazali dihadang oleh sekelompok pembegal yang ingin merampas harta. Namun, yang ada di dalam tasnya hanyalah kitab-kitab tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Akhirnya al-Ghazali memohon agar kitab-kitabnya dikembalikan, karena beliau ingin mempelajarinya. Kelompok begal tersebut merasa iba dan mengembalikan kitab-kitab al- Ghazali. Sejak saat itu beliau rajin mempelajari, memahami dan mengamalkan apa yang ada di dalam kitab-kitabnya (Iqbal, 2015: 89). Al-Ghazali merasa ilmu yang beliau peroleh di Tunisia agaknya kurang memadai menjadi bekal. Oleh karena itu, pada usianya 19 atau 20 tahun, beliau pergi ke Naisabur yang pada saat itu merupakan kota ilmu pengetahuan. Di sana beliau berguru kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma‟ali al-Juwaini –ahli teologi Asy‟ariah- untuk belajar tentang teologi, ushul, ilmu kalam, filsafat, logika, sufisme dan ilmuilmu alam. Kerena kecerdasan yang beliau miliki, dalam waktu yang singkat beliau mampu menguasai semua ilmu tersebut (Supriyadi, 2009: 145). 44 Berbekal kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, alGhazali mampu mendebat semua yang tidak sesuai dengan penalaran yang benar, sehingga al-Juwaini memberinya gelar Bahrum Mughriq (laut dalam yang menenggelamkan). Al-Ghazali menulis karya pertamanya dalam bidang ilmu fikih yang berjudul Mankhul fi „Ilmi al-Ushul dan sempat ditampilkan, sehingga lengkaplah ilmu yang telah beliau peroleh di Naisabur. Dengan demikian, tampaklah bahwa beliau bibit intelektual yang akan menguasai berbagai disiplin ilmu (Zar, 2014: 160). Pada tahun 478 H al- Juwaini wafat, kemudian alGhazali pergi menuju ke kota Mu‟askar yang saat itu merupakan tempatnya para sarjana. Di sinilah al-Ghazali bertemu dengan Nidzam al-Mulk yang menjabat sebagai perdana menteri Sultan Bani Saljuk (Sibawaihi, 2004: 36). Ada sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 484 H bertepatan dengan tahun 1091 M, al-Ghazali ikut serta dalam diskusi dengan para ulama dan intelektual. Pada saat itu Nidzam al-Mulk ikut menghadiri dan melihat kecerdasan al-Ghazali yang mendapat kemenangan. Karena itulah Nidzam al-Mulk mengangkatnya menjadi dosen di Universitas Nizamiyah Baghdad, ketika itu al-Ghazali berusia 34 tahun (Zar, 2014: 160). Di sela-sela mengajar beliau juga mengarang beberapa kitab, di antaranya: al-Basith, al-Wasith, Khulashah Ilmu Fiqh, al-Munqil fi Ilm al-Jadal, Makhhad al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashim al-Ma‟akhidz dan al-Mabadi‟ wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. 45 Beliau memberi perhatian pula kepada ilmu metafisika dan mendebat mengenai kebenaran adat-istiadat nenek moyang (Iqbal, 2015: 89). Sepak terjang al-Ghazali di Baghdad semakin cemerlang. Beliau telah mempunyai kelompok pengajian yang semakin luas dan namanya semakin populer. Namun suatu saat beliau mengalami gesekan dengan golongan bathiniyah Isma‟iliyah dan kaum filosof. Saat itu pula beliau mengalami rohani karena sikap syaknya terhadap ilmu yang telah dipelajarinya, sehigga beliau mengalami sakit selama 6 bulan. Para dokter telah menyerah untuk mengobati penyakitnya ini. Akhirnya beliau meninggalkan semua jabatannya di Baghdad dan memilih Damaskus sebagai tempat menenangkan diri. Selama 2 tahun beliau melaksanakan „uzlah (mengisolasi diri, riyadhah, dan mujadalah untuk beribadah (Zar, 2014: 161). Pada tahun 490 H atau 1098 M, al- Ghazali meninggalkan Damaskus dan menuju ke Palestina. Beliau melaksanakan doa di samping makam Nabi Ibrahim as, setelah itu berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-5 (haji). Tak hanya melaksanakan ibadah haji saja, al-Ghazali pun pergi ke makam Rasulullah SAW untuk berziarah. Ketika di Mekkah dan Madinah inilah beliau memilih tasawuf untuk mengobati rasa syak yang mengakibatkan guncangan jiwanya (Zar, 2014: 161). Pada tahun 489 H, sepulang dari ibadah haji, al-Ghazali pergi ke Syam dan tinggal di Damaskus untuk beribadah di Baitul Maqdis. 46 Setelah perjalanan panjang dengan ke berbagai negara, al-Ghazali pun kembali lagi ke Tunisia. Kemudian beliau mendirikan sebuah madrasah untuk para sufi dan madrasah untuk para penuntut ilmu. Beliau menghabiskan sisa waktunya untuk berbuat kebaikan, seperti mengkhatamkan al-Quran, bertemu dengan para sufi dan mengajar, sampai ajal menjemputnya. Al-Ghazali digelari Hujjatul Islam kerena kuatnya daya ingat dan bijak dalam berhujjah. Akhirnya pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H /1111 M, beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 55 tahun, beliau meninggalkan beberapa anak perempuan (At-Taftazani, 2003: 153). b. Karya-karya al-Ghazali Al-Ghazali merupakan seorang ulama dan intelek Islam yang sangat produktif dalam hal menulis. Hal ini terbukti dari banyaknya kitab yang telah beliau karang. Dalam buku Mukhtashar Ihya Ulumuddin, dikatakan bahwa as-Subki dalam kitabnya yang berjudul Thabaqat asy-Syafi‟iyyah menyebutkan “kitab yan telah ditulis alGhazali berjumlah 58 karangan”. Dikatakan pula dalam oleh Thasi Kubra Zadeh dalam kitab Miftah as-Sa‟adah wa Misbah as-Siyadah, bahwa karya-karya beliau mencapai 80 karangan. Bahkan Thasi Kubra Zadeh mengatakan bahwa: “Buku-buku dan risalah-risalahnya tidak terhitung jumlahnya dan tidak mudah bagi seseorang mengetahui juduljudul seluruh karyanya. Hingga dikatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan. Ini memang sulit dipercaya. Tetapi, siapa yang mengenal dirinya, kemungkinan ia akan percaya” (Hermawan, 2012: 342). 47 Menurut Dr. Baedhowi Tabhana dalam mukaddimah kitab Ihya „Ulum ad-Din yang dikutip oleh Hermawan (2012: 342) menyebutkan beberapa karangan al- Ghazali yang telah disusun berdasarkan disiplin ilmunya adalah sebagai berikut: 1) Bidang Filsafat dan Ilmu Kalam, di antaranya: a) Maqasid al-Falasifah b) Al-Iqtishad fi al-I‟tiqad c) Tahaful al-Falasifah 2) Bidang Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, di antaranya: a) Al-Bastih Al-wasith b) Al-Musthaf c) Al-wajiz d) Syifakhul alil fi Qiyas wa Ta‟lim 3) Bidang Ilmu Tasawuf, di antaranya: a) Ihya „Ulum ad-Din b) Misykat al- Anwar c) Minhajul Abidin d) Bidayatul Hidayat e) Al-Mabadi wal Ghayah 4) Bidang Ilmu Tafsir, yang meliputi: a) Jawahiru al-Qur‟an wa Duroruhu b) Yaqut al-Ta‟wil fi Tafsir al-Tanzil Masih banyak lagi karya yang telah ditulis oleh al-Ghazali, namun ada yang hilang, musnah, dan yang belum ditemukan. Adapun yang 48 tersebut di atas, agaknya mampu mewakili kitab-kitab karangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu. c. Tentang kitab Tafsir Jawahiru al-Qur‟an wa Duroruhu dan Misykat al- Anwar Kitab Tafsir Jawahiru al-Qur‟an wa Duroruhu merupakan bukti bahwa al-Ghazali merupakan seorang ulama yang mempunyai wawasan luas tentang ilmu pengetahuan. Dalam kitab tersebut beliau menekankan arti pentingnya ilmu- ilmu kontemporer untuk memahami al-Qur‟an. Kerena pesan yang terkandung dalam al-Qur‟an hanya dapat difahami oleh mereka yang telah belajar ilmu yang digali dari al-Qur‟an. Misalnya tentang pergerakan matahari dan bulan (QS. 5: 5), ayat tersebut hanya dapat dipahami oleh para astronom yang telah mempelajari tentang ilmu astronomi (Al-Ghazali, 1995: 22-23). Tema tentang ketuhanan yang dibahas dalam Tafsir Jawahir alQur‟an, dalam menafsirkannya tidak boleh sembaranga. Hal ini dikarenakan sifatnya yang antropomorphisme (tajsim dan tasbih), maka harus hati-hati dalam memahami maksudnya. Al- Ghazali dalam menafsirkan ayat tentang ketuhanan beliau memilih mengarahkannya pada makna majazi atau perumpamaan. Beliau mengatakan bahwa pengetahuan mengenai ketuhanan merupakan pengetahuan yang sangat sulit untuk dijangkau oleh akal manusia. Dengan demikian, cara yang tepat adalah dengan perumpamaan yang dikembaliakan pada pensucian (Al-Ghazali, 1995: 13). 49 Tema mengenai cahaya Allah yang terdapat dalam QS. An-Nur ayat 35 dibahas secara mendalam dalam kitab lain al- Ghazali yang berjudul Misykat al- Anwar. Karya ini beliau khususkan untuk para sufi, meskipun begitu dalam penafirannya tidak hanya corak sufi saja yang beliau gunakan, namun juga corak falsafi. Hal ini terlihat dari penafsiran beliau mengenai misykat, mishbah, zujajah, dan syajaraah yang beliau ta‟wilkan dengan tingkatan ruh pada manusia. Keunikan inilah yang membuat kitab ini berbeda dengan kitab tasawuf lainnya. Oleh karena itu, maka akan dijelaskan pula mengenai kitab tersebut. Misykat al- Anwar merupakan kitab karangan al-Ghazali dengan aliran mistik-filosofis. Kitab ini ditulis mulai tahun 495H/ 1101M hingga tahun 505H/1111M yang kemudian beliau persembahkan untuk seseorang yang dipandang khusus oleh beliau dan disapa dengan sebutan “saudara yang mulia” (al-akh al-karim). Menurut beliau kitab ini tidak boleh sampai pada orang awwam dan boleh pula disembunyikan dari orang khawwas ataupun khawwas al-khawwas. Pelu diketahui, pada masa tersebut ada pengelompokkan orang-orang; orang awwam (kebanyakan orang pada umumnya), khawwas (orangorang khusus yang telah berlaku umum) dan –al- Ghazali menambahkhawwas al-khawwas (Al-Ghazali, 1996: 1). Judul Misykat al-Anwar terinspirasi dari QS. an-Nur ayat 35 ini, diambil dari kata misykat yang berarti ruang tempat cahaya yang diberikan Allah kepada manusia. K itab ini merupakan pola dan 50 aplikasi dari penafsiran sufistik. Sifat yang sangat filosofis membuat Misykat al-Anwar membuatnya memiliki daya tarik tersendiri dari Ihya „Ulumu al-Din. Meskipun bisa dikatan bahwa kitab ini merupakan lanjutan dari kitab Ihya „Ulumu al-Din. Namun terdapat perbedaan yang sangat kentara dari kedua kitab fenomenal al- Ghazali ini adalah untuk Ihya „Ulumu al-Din banyak membahas mengenai hati, sedangkan Misykat al-Anwar membahas mengenai akal (Adiwijadjayanto dan Wahyudi, 2003: 189). Misykat al-Anwar memiliki tiga bab dalam pembahsannya. Adapun pembahsannya dimulai dengan mukaddimah. Al- Ghazali memulai dengan basmalah, doa dan tak lupa beliau memuji Allah – sumber dan pelimpah segala cahaya-serta bersalawat kepad Nabi Muhammad saw. Selanjutnya masuk pada uraian tiap babnya. Secara garis besar ketiga bab tersebut adalah: bab pertama membahas mengenai hakikat cahaya: Allah merupakan sumber dari segala cahaya yang ada di dunia ini. Bab kedua, membahas tentang permisalan dalam al-Qur‟an. Dan bab ketiga, membahas mengenai penghalang sampainya cahaya Allah kepada manusia (Al-Ghazali, 1996: 1). Apabila disimpulkan dari ketiga bab yang dibahas dalam kitab Misykat al-Anwar merupakan kajian mengenai hubungan antara Allah dan manusia yang membutuhkan proses yang sangat panjang dan membutuhkan kekuatan serta kesabaran. Kitab ini juga menjelaskan bagaimana seorang hamba berhubungan dengan Tuhannya agar 51 mendapat pentunjuk, serta bagaimana mencapai ihsan setelah melampaui Iman dan Islam. yaitu memlalui aqidah dan ibadahnya. Tak hanya itu, kitab ini pun membahas mengenai mu‟amalah, yaitu hubungan manusia baik secara vertikal maupun horisontal, dan terakhir beliau membahas mengenai tasawuf (Al-Ghazali, 1996: 6). Kitab Misykat al-Anwar ini merupakan kisah dan pengalaman seorang salik dalam beribadah untuk mengharap wajah Allah yang menjadi pelengkap dari kitab tasawuf al-Ghazali. B. Perbedaaan Penafsiran antara Al-Maraghi dan Al-Ghazali terhadap Amtaal Nur Kajian atas QS. An-Nur Ayat 35 1. Redaksi QS. An-Nur Ayat 35 dan Terjemahannya ِ ض مثَل نُوِرهِ َك ِم ْش َك اةٍ فِيها ِمصب ِ ِ اح ِِف ه ْ اح الْم ٌ َْ َ ُ صَب ُ ُاَّللُ ن ُ َ ور ال هس َم َاوات َو ْاْل َْر ٍالزجاج ُة َكأَنهه ا َكوَكب د ِر ٌّي يوقَ ُد ِم ن َشجرةٍ ُّمبارَك ٍة َزي ُتونَةٍ هَّل َشرقِيهة ٍ ُزج ْ َ َ ََ ْ ُ ُّ ٌ ْ َ َ َ ُّ اج ة َ َ ِ ٍِ ور َعَل ٰى نُوٍر يَ ْه ِدي ه ُاَّلل ٌ ُّيء َولَ ْو ََْل ََتْ َس ْس ُو نَ ٌار ن ُ َوََّل َغ ْربيهة يَ َك ُاد َزْي ُت َه ا يُض ِ ٍ ِ ِ هاس و ه يم ب ه ْ َلُِنوِرهِ َمن يَ َش ُاء َوي ُ ض ِر ٌ اَّللُ ب ُك ِّل َش ْيء َعل َ ِ اَّللُ ْاْل َْمثَ َال للن Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (terj. Departemen Agama). 52 2. Penafsiran Al-Maraghi terhadap Amtsal Nur Kajian atas QS. AnNūr Ayat 35 Kata nur berasal dari wazan nara-yanaru-nauran-nuran yang mempunyai arti menerangi. Nur mempunyai kedekatan makna dengan nar, yaitu unsur ilmiyah yang dapat memacarkan cahaya, panas dan dapat membakar. Dijelaskan dalam al-Mu‟jam al-Washith, bahwa nur merupakan penerang yang menjelaskan sesuatu sehingga terlihat hakikatnya (Majma‟ Al Lughah Al Arabiyah, 1972: 962). Cahaya mempunyai sifat terang dengan sendirinya dan menerangi yang lain. Allah menyebut diri-Nya sebagai nur dalam QS. An-Nur ayat 35. Firman-Nya: ِ اَّلل نُور ال هسماو ِ ات َو ْاْل َْر ض َ َ ُ ُه Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Adapun maksud dari nurun adalah yang memiliki cahaya. Allah adalah pemilik segala cahaya, sehingga pantas apabila menyeut diri-Nya dengan nur. Penyebutan nur untuk Allah merupakan penyebutan yang sangat tepat, karena dzat Allah sendiri merupakan cahaya yang menerangi segala sesuatu yang lain. Cahaya Allah berbeda dengan cahaya yang lain, beliau merupakan cahaya hakiki yang paling tinggi kedudukannya. Cahaya hakiki yang sempurna ini merupakan penyebab munculnya sesuatu yang lain, beliau disebut pula sebagai wujud. Dengaan kata lain Allah adalah wujud yang menjadikan sesuatu yang lain ada, Ia- lah yang 53 menjadi Pencipta dan Pengatur segala yang ada di langit dan bumi (AlMaraghi, 1946:107). Kata nur apabila bersama dengan samawat (langit) dan ardh (bumi) menunjukkan akan jangkauan cahaya Allah sangat luas, yang menerangi langit dan bumi. Penggunaan kata langit dan bumi merupakan perumpamaan dari semua makhluk ciptaan Allah yang berada di alam semesta ini, baik yang di dunia nyata ataupun dunia ghaib. Oleh karena itu, makna “Allah nur al-Samawat wa al-Ardh” adalah bahwa Allah SWT adalah Cahaya seluruh semesta alam yang menyinari seluruh langit, bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Allah dengan kekuasaan tertinggi-Nya yang menyinari seluruh langit dan bumi artinya Ia mencipta dan mengatur segala sesuatu yang berada di dalamnya. Diriwayatkan dari Ali ra: ِ هللا نُور ال هسماَو َِضاءا بِنُ ِره ِ ات َواْل َْر ْ ض َونَ َش َر فِْي َها ٌ ُ َ َ اْلَ هق َوبَثَ ُو فَأ َ Allah memberi cahayanya kepada langit dan bumi, serta menaburkan yang haq kepadanya, sehingga beliau menjadi terang karena cahaya tersebut. Cahaya Allah merupakan petunjuk bagi penghuni langit dan bumi untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Petunjuk tersebut berupa syari‟at, hukum, adab dan akhlaq yang terkandung dalam ayat-ayat-Nya yang mulia. Cahaya Allah menerangi langit dan bumi dengan ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat yang Dia turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Ayat-ayat tersebut merupakan bukti atas wujud, keesaan dan sifat -sifat Allah yang sempurna (Al-Maraghi, 1946: 107). 54 Cahaya Allah yang diartikan sebagai petunjuk diumpamakan dengan perumpamaan-perumpamaan agar menjadi jelas dan dapat difahami. Adapun perumpamaan-perumpamaan tersebut sebagai berikut: a. Cahaya Allah (petunjuk) diumpamakan misykat yang di dalamnya terdapat pelita. Firman Allah: ِ ٍِ ِ اح ْ َمثَ ُل نُوِرهِ َكم ْش َكاة ف َيها م ٌ َصب Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Misykat berasal dari bahasa Habasyah yang kemudian diarabkan. Diartikan sebagai lubang atau celah di dinding yang tidak tembus (Al-Maraghi, 1946: 106). Tradisi masyarakat Arab, lubang ini dibuat pada dinding untuk meletakkan pelita/ lampu dan mereka biasanya menutup lubang tersebut dengan kaca agar pelita di dalamnya tidak padam (Kauma, 2000: 271). Ayat ini disebutkan bahwa di dalam Misykat terdapat mishbah. Menurut Fuad Kauma (2000: 271), mishbah adalah alat yang terdiri dari wadah minyak, sumbu minyak dan semprong. Mishbah adalah pelita besar yang mampu menerangi sekitarnya (Al-Maraghi, 1946: 106). “Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar” diartikan sebagai hati seorang mu‟min yang dilingkupi oleh cahaya berupa petunjuk dan hidayah dari Allah. Cahaya tersebut tidak datang dengan sendirinya, namun membutuhkan pemikiran, perenungan dan pengarahan menuju pada Allah. Oleh karena itu seseorang yang 55 ingin hatinya dilingkupi oleh cahaya Allah, ia harus mampu mendidik hatinya agar terbebas dari nafsu dunia yang membuatnya buta akan akhirat (Al-Maraghi, 1946: 109). Hati yang telah mampu menundukkan nafsu dunianya akan mencapai ketentraman. Pada tingkat berikutnya beliau kan mampu melihat terangnya cahaya (petunjuk) Allah. Al-Qur‟an membagi nafsu manusia menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) Nafsu ammarah bi as-S ‟ Nafsu ammarah bi as-S ‟ adalah nafsu dunia yang menguasai diri. Ia merupakan nafsu yang tercela, terendah dan terhina. Tabi‟atnya selalu mengajak kepada kemaksiatan, membuat seseorang yang dalam hatinya terserang nafsu ini akan merasa bangga ketika melakukan dosa. Bukan hanya itu, beliau tidak segan-segan mengajak orang lain untuk melakukan maksiat (Al-Jauziyyah, Al-Hambali, dan Al-Ghazali, 2007: 87). Semua orang tidak dapat selamat dari kejahatan nafsu ini selain orang-orang yang menjaga dan mendidik hatinya untuk mendapatkan petunjuk dari Allah. Sebagaimana firman Allah: ِ الس ِ ُ وما أُب ِر ِ ۚ وء إِهَّل َما َرِح َم َرِّب ُّ ِس َْلَهم َارٌة ب َّ َ َ َ ئ نَ ْفسي ۚ إ هن النه ْف ِ إِ هن رِب َغ ُف ]ٕٔ:ٖ٘[ يم ٌ ور هرح ٌ َّ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf/12: 53) 56 Demikian pula dengan firman-Nya: ِضل ه ِ ِ ... َح ٍد أَبَ ًدا َ اَّلل َعلَْي ُك ْم َوَر ْْحَتُ ُو َما َزَك ٰى من ُكم ّم ْن أ ُ ْ َ َولَْوََّل ف... Sekiranya tidaklah karena kurnbeliau Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. (An-N r 24: 21) Seseorang mu‟min tidak akan terlepas dari godaan nasfu ammarah bi as-S ‟ ini. Oleh karena itu, mereka harus berusaha keras untuk mengalahkan agar nafsu tersebut dapat tunduk dan patuh padanya. Dengan begitu hatinya akan senantiasa mengarahkan pemiliknya untuk memperoleh hidayah Allah sebagai bekal kebahagiaan dunia dan akhirat. Apabila Allah telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya hamba-Nya, niscaya selamatlah ia dari semua keburukan nafsu ammarah bi as-S ‟ (Al-Jauziyyah, Al-Hambali, dan Al-Ghazali, 2007: 87). 2) Nafsul lawwamah Tingkatan kedua dari nafsu yang bersemayam di hati manusia ialah nafsu lawwamah. Ia adalah nafsu yang keadaannya selalu berubah-ubah, terkadang baik tapi terkadang lalai. Seseorang yang di dalam hatinya bersemayam nafsu lawwamah sadar bahwa dirinya sering melakukan dosa, dan ia akan segera memohon ampun ketika mengingatnya. Akan tetapi ketika ia alpa, maka berbuat dosa lagi di kemudian hari. Apabila yang hatinya bersemayam nafsu lawwamah berbuat kebaikan, maka akan timbul riya dalam dirinya. Inilah salah satu ciri yang 57 ada pada orang yang hatinya dikuasai nafsu lawwamah. (AlJauziyyah, Al-Hambali, dan Al-Ghazali, 2007: 87). Berbeda antara orang yang hatinya dikuasai nafsu ammarah, orang hatinya dikuasai nafsu lawwamah tidak akan timbul perasaan puas dan bangga setelah melakukan dosa, ia juga tidak menghasut orang lain untuk bisa berbuat dosa bersama dengannya. Akan tetapi seseorang yanng dikuasai nafsu ini dia akan terjebak dalam berbuat dosa, kerena masih belum mampu meninggalkan kesenangan dari dosa terseb ut. Misalnya, seseorang yang sudah merasakan zina, maka dia akan ketagihan untuk melakukannya walau dia tahu bahwa zina termasuk dosa yang besar. Tingkatan nafsu Lawwamah di atas nafsu Ammarah, tetapi masih belum terdidik secara sempurna. Hatinya masih bermukim sifat yang menjerumuskannya melakukan perbuatan tercela. Hanya saja orang yang hatinya masih bersarang nafsu lawwamah mudah ingatkan dan hatinya mudah didorong ke arah ibadah dan kebaikan. Namun, nafsunya belum terdidik sepenuhnya. Orang yang hatinya bersemayam nafsu lawwamah, beliau belum mampu melihat cahaya Allah dengan sempurna. Oleh sebab itu, apabila ia ingin memperoleh terangnya cahaya Allah perlu berusaha mendidik hatinya untuk selalu berbuat kebaikan, sehingga nafsu dalam hatinya naik sampa i Nafsu 58 muthmainnah (Al-Jauziyyah, Al-Hambali, dan Al- Ghazali, 2007: 87). 3) Nafsul Muthmainnah Nafsu muthmainnah adalah nafsu yang tenang dan tentram dengan dzikrullah, tunduk dan patuh kepada-Nya, merindukan berjumpa dengan-Nya, (Al-Jauziyyah, Al-Hambali, dan Al-Gazali, 2007: 81). Sebagaimana firman Allah: ِكر ِ ِ ِِ ِ اضَي ًة هم ْر ِضيه ًة َ ِّس الْ ُمطْ َمئنه ُة ْارجعي إ َ َٰل َرب ُ يَا أَيهُت َها النه ْف Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS. Al-Fajr: 27-28) Orang yang berhasil melawan nafsu dunia yang mengajak melakukan dosa, maka nafsunya akan terdidik dan mencapai tingkatan nafsu muthmainnah. Seseorang yang telah mencapai ke tingkatan ini, hatinya sudah suci, tenang dan tunduk. Ia sabar dan ridha akan segala ketentuan Allah yang pada dirinya. Orang tersebut selalu sujud dan syukur di atas segala nikmat yang Allah berikan kepadanya. Meskipun ujian musibah menimpanya, dia anggap sebagai penghapus dosa di dunia dan perantara untuk mendekatkan kepada Allah. Orang yang bernafsu muthmainnah inilah yang dikatakan orang-orang bertaqwa. Yaitu orang yang mampu melaksanakan segala perintah Allah dan mampu meninggalkan segala larangan Allah. Hati orang yang di dalamnya bersemayam nafsu ini 59 adalah hati yang terang karena cahaya (petunjuk) Allah. Inilah hati yang mampu melihat cahaya Allah dan mendapat petunjuk jalan kebenaran untuk kebahagiaan hidupnya (Al-Maraghi, 1946: 109). Perumpamaan mengenai cahaya Allah seperti misykat yang di dalamya ada mishbah adalah perumpamaan dari hati seorang mu‟min yang terang karena telah mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah. Sehingga beliau selalu berada di jalan yang benar, mendapat petunjuk, dan dengannya beliau akan selamat dari kesesatan. Petunjuk Allah yang menerangi tersebut mempunyai sifatsifat sebagaimana yang Allah jelaskan pada perumpamaan yang selanjutnya (Al-Maraghi, 2006: 353). b. Pelita dalam kaca Firman Allah: ٍالْ ِمصباح ِِف ُزجاجة َ َ ُ َْ Pelita itu di dalam kaca Zujajah diartikan sebagai lampu gantung yang terbuat dari kaca sangat bening. Lampu tersebut di dalamnya terdapat sebuah pelita yang terang. Diletakkannya pelita dalam lampu kaca bermaksud untuk menjaga nyala cahaya agar tidak padam terterpa angin. Bukan hanya itu kaca tersebut juga membuat cahaya pelita semakin terang (Al-Maraghi, 1946: 108). 60 Ayat ini merupakan perumpamaan dari petunjuk Allah berupa al-Qur‟an yang terjaga keasliannya. Allah SWT menjaga lafadzlafadznya dari perubahan, baik pengurangan maupun penambahan. Ia terjaga lewat hafalan- hafalan para hafidz yang senantiasa mengulang-ulangnya setiap saat. Tidak akan mampu seorangpun yang berusaha untuk merubahnya, kecuali akan datang orang yang menjelaskan kebenarannya. Bahkan Allah sendiri yang akan langsung menjaganya. Sebagaimana firman-Nya: ِّ إِنها ََْنن نَ هزلْنَا ]ٔ٘:١[ الذ ْك َر َوإِنها لَ ُو َْلَافِظُو َن ُ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur‟an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr/15: 9) Ayat tersebut merupakan bukti atas keagungan ayat-ayat alQur‟an yang terjaga baik lafadz maupun makna. Kerena fungsinya sebagai petunjuk bagi semesta alam, maka penjagaannya akan berlangsung selama lamanya. Beliau akan menunjukkan jalan yang terang yaitu jalan kebenaran. Oleh karena itu, barang siapa yang berpegang pada al-Qur‟an, niscaya ia akan selalu berada di jalan yang benar serta akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Layaknya pelita dalam kaca, hati mu‟min yang telah terpaut dengan al-Qur‟an beliau akan bersinar dengan cahaya petunjuk Allah. Hatinya akan tenang dan terhindar dari kesesatan yang gelap dan memelingkan diri dari berbuat kebenaran. Ia akan senantiasa berada 61 pada jalan kebenaran yang membawanya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. c. Kaca seakan-akan bintang bercahaya seperti mutiara Firman Allah: ي ُّ ٌّ ب ُد ِّر ٌ اج ُة َكأَنه َها َك ْوَك َ الز َج Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara. Al-Maraghi mengatakan bahwa seolah-olah bintang yang sinarnya benderang yang seperti kumpulan mutiara. Bintang tersebut besarnya seukuran Venus dan Jupiter. Perkataan Ubay bin Ka‟ab yang dikutib oleh al-Maraghi (1946: 109) bahwa artinya adalah bintang-bintang yang bercahaya. Ini merupakan perumpamaan bagi hati orang mu‟min yang telah lolos memerangi nafsu dunia yang bergejolak di hatinya. Hati tersebut sangat bersih dan terlihat bercahaya hingga disamakan dengan mengkilapnya mutiara, hal ini dikarenakan ia telah kosong dari segala yang dapat mengotorinya. Sebelum sampai pada hati yang bersih, seorang mu‟min haruslah berperang melawan nafsu yang bergejolak di hatinya dengan susah payah. Beliau mampu mengalahkan nafsu dunia yang bergejolak di hatinya, hingga menjadi pribadi tabah dan bersih yang menuntunya kepada keadaan mampu melihat cahaya (petunjuk) Allah. Maksudnya adalah kaca yang sangat terang bagaikan bintang yang bercahaya serta mengkilap seperti mutiara merupakan perumpamaan bagi hati seorang mu‟min yang telah lolos memerangi 62 nafsu dunia di hatinya. Hati tersebut sangat bersih dan terlihat bercahaya hingga disamakan dengan mengkilapnya mutiara, hal ini dikarenakan ia telah kosong dari segala yang dapat mengotorinya. Dengan begitu, ia mampu menyerap cahaya Allah dan menrima petunjuk-Nya, sehingga segala yang ia lakukan merupakan kebenaran yang membawa kebaikan bagi dirinya sendiri dan sekitarnya. d. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah Firman Allah: ٍيوقَ ُد ِمن َشجرةٍ ُّمبارَكةٍ َزي ُتونَةٍ هَّل َشرقِهيةٍ وََّل َغربِهية ْ َ َ ََ ُ ْ َ ْ Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya , (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), Sumbu pelita tersebut dibasahi oleh minyak yang berasal dari pohon yang banyak manfaatnya, yaitu pohon zaitun. Dikatakan sebagai pohon yang banyak berkah, karena pohon zaitun mempunyai banyak keistimewaan dan manfaat pada tiap bagiannya. Misalnya, daun zaitun yang direbus lalu airnya diminum, dapat digunakan sebagai obat hipertensi dan melancarkan urine. Minyak zaitun yang dapat digunakan sebagai penghilang racun dalam tubuh juga sebagai obat cacingan. Tidak hanya itu ampas dari biji zaitun yang telah diambil minyaknya, dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman (Mubayyad, 2014: 201). 63 Berbagai manfaat tersebut menunjukkan banyaknya berkah yang ada pada pohon zaitun. Ini merupakan perumpamaan dari syari‟at Allah yang penuh hikmah, yang merupakan sumber dari cahaya hati. Hikmah yang didapat dari syariat Allah menjadikan hati bercahaya. Artinya, apabila seseorang mampu melihat hikmah dibalik pensyariatan suatu hukum, berarti hatinya telah mendapat cahaya sebagai petunjuk mengenai sebab disyari‟atkannya sesuatu hukum. Minyak zaitun juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada lampu. Jenis minyak yang paling bagus untuk nyala api diambil dari pohon zaitun yang mendapat sinaran cahaya matahari dari segala sisi, mulai dari terbit sampai terbenamnya matahari. Karena tumbuh tidak di daerah Timur dan tidak pula sebelah Barat akan mendapatkan sinar matahari sepanjang hari, sehingga tumbuh dengan subur dan minyak yang dihasilkannya jernih seakan akan bercahaya (Al-Maraghi, 2006: 353). Abu Ja‟far ar-Razi meriwayatkan dari Ubay bin Ka‟ab tentang firman Allah :“Pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” beliau berkata: “yaitu pohon zaitun yang hijau dan segar yang selalu terkena sinar matahari, bagaimanapun kondisinya, baik ketika matahari terbit maupun matahari terbenam.” Beliau melanjutkan perkataannya: seperti itulah seorang mu‟min yang terpelihara dari 64 fitnah- fitnah. Ketika ia tertimpa suatu fitnah, Allah akan meneguhkan hatinya dan ia selalu berada dalam empat keadaan berikut: apabila berkata beliau jujur, jika menghukum maka beliau berlaku adil, jika diberi cobaan maka beliau bersabar dan jika diberi nikmat beliau bersyukur (Ghoffar dan Al-Atsari [penj.], 2013: 382). e. Minyak dari pohon zaitun itu hampir- hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api Firman Allah: ِ اد َزيتُها ي ضيءُ َولَْو ََلْ َتَْ َس ْس ُو نَ ٌار ُ َ ْ ُ يَ َك Minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Buah zaitun yang matang sempurna akan mengahasilkan minyak yang jernih dan mengkilat, sehingga walaupun tidak disulut dengan api, ia pun telah bercahaya dengan sendirinya. Hal ini karena minyak tersebut murni dan sangat bening, maka ketika dilihat seakan-akan beliau bercahaya. Apabila disulut api, menjadi semakin bercahaya dan terang (Al-Maraghi, 1946: 108). Perumpamaan minyak yang jernih, diartikan dengan hati seorang mu‟min yang melakukan petunjuk sebelum mendapat pengetahuan, sehingga ketika pengetahuan itu datang maka hatinya semakin bercahaya dan semakin mantap dalam mengikuti petunjuk Allah. Hal ini d ijelaskan pula oleh Yahya bin Salman bahwa hati orang mu‟min telah mengetahui sesuatu kebenaran, meskipun belum dijelaskan kepadanya. Karena kebenaran dan hatinya mempunyai kesesuaian 65 yang sangat (Al-Maraghi, 1946: 108). Hal ini sesuai dengan sabda Rasul: ِ ٍ ِعن أب سع اس َة ْ يد ُ : قال: قال، ي َ اته ُقوا ف َر:رسول هللا َ ِّ اْلُ ْد ِر فإِنه ُو يَْنظُُر بِنُوِر هللا،امل ْؤِم ِن ُ Artinya: dari Abi Sais al-Kudriy berkata: Rasulullah SAW bersabda: berhati-hatilah terhadap firasat orang mu‟min, karena dia melihat dengan cahaya Allah (HR. Tirmidzi). Kebenaran yang ada dalam hati seorang mu‟min akan terus bertambah sesuai dengan bertambahnya cahaya Allah yang beliau peroleh. Hatinya yang awalnya bercahaya akan semakin bercahaya karena beliau mengikuti petunjuk. Cahaya tersebut akan membentuk suatu sistem cahaya yang berlapis- lapis, diisyaratkan dalam firman Allah: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) ور َعلَ ٰى نُوٍر ٌ ُّن Cahaya Allah yang berupa petunjuk kebenaran, semakin terang kerena padanya terdapat interaksi antara (cahaya) misykat, pelita dan minyak, sehingga tidak ada satupun yang terlewatkan dalam memperkuat dan menambah terang nyala cahaya. Hal ini dikarenakan pelita yang ada di dalam tempat yang sempit menyerupai lubang yang tidak tembus, beliau akan menghimpun dan memadukan seluruh cahaya, maka cahayanya lebih menerangi. Berbeda dengan apabila pelita itu berada ditempat yang luas, karena cahaya akan menyebar dan meluas. Tabung kaca merupakan alat 66 yang paling dapat menambah penerangan, demikian pula minyak dan kebeningnya (Al-Maraghi, 1946: 108). Nur atas nur, merupakan petunjuk dari pada Allah, masuk kedalam ke dalam cahaya hati orang mu‟min yang telah lepas dari nafsu dunia dan akan terus bertambah. Hati tersebut telah melawan cobaan nafsu dunia yang berat, sehingga benar-benar terbebas darinya. Hal ini bagaikan intan hati yang terus digosok hingga bening dan mengkilap, dengan begitu ia akan mampu menerima cahaya. Hati layaknya intan yang telah digosok akan mampu menerima cahaya Allah yang berupa petunjuk yang benar. Cahaya petunjuk tersebut akan selalu bertambah dan berlipat sehingga ia mampu menilik hakikat petunjuk Allah tersebut. Berbeda halnya apabila intan hati belum digosok terlebih dahulu sehingga masih dikendalikan oleh nafsu dunia, sehebat dan banyak apapun cahaya petunjuk Allah tidaklah ada artinya, hati tersebut tidak sanggup untuk menerima cahaya Allah. Demikianlah perumpamaan cahaya Allah. Cahaya tersebut merupakan petunjuk dari Allah yang didapat oleh hati orang mu‟min yang telah mampu menundukkan nafsu dunianya sehingga bersemayam di hatinya nafsu muṭmainah, dan cahaya itu adalah Islam. Islam merupakan agama yang sempurna, di dalamnya termuat syari‟at, adab, dan akhlaq yang mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat. Syari‟at tersebut disampaikan melalui al- 67 Qur‟an dan dijelaskan oleh Nabi sehingga manusia mampu melaksanakannya dengan benar (Al-Maraghi, 1946: 107). Dipahami pula bahwa, al-Qur‟an merupakan makanan bagi hati, sebab dengan al-Qur‟an hati akan mendapatkan petunjuk berupa kebenaran yang berfungsi sebagai penjaga cahaya hati. Bertambahnya perpaduan antara cahaya hati dan pancarannya bergantung kepada kadar aktualisasi seseoang terhadap kandungan al-Qur‟an. Hati seorang mu‟min akan memantulkan cahaya ini sehingga jalan baginya menjadi terang dan terang pula bagi yang lain. Cahaya Allah hanya akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagimana firman-Nya: Allah membimbing kehendaki. kepada ِ ِ يَ ْه ِدي ه ُاَّللُ لنُوِره َمن يَ َشاء cahaya-Nya siapa yang Dia Allah akan memberikan petunjuk berupa taufik untuk mencapai kebenaran kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Namun untuk mendapat taufik seorang hamba harus berusaha untuk merenungkan dan memperhatikan serta mengarahkan pikirannya menuju ridho Allah. Sebaliknya orang yang tidak mau berusaha untuk mengarahkan pikirannya pada jalan lurus untuk mencapai ridho Allah, maka ia tidak akan memperoleh taufik -cahaya Allah- (Al-Maraghi, 1946: 108). Allah menyampaikan petunjuk-Nya lewat al-Qur‟an menggunakan beberapa cara. Salah satunya adalah melalui perumpamaan yang didalamnya termuat banyak faidah. Perumpamaan tersebut 68 dimaksudkan untuk mendamaikan jiwa dan membuka pikiran agar semakin tajam untuk mencapai kebenaran. Dalam al-Qur‟an, banyak sekali hujjah yang Allah buatkan perumpamaan, agar lebih mudah difahami oleh akal dan mudah untuk dilaksanakan (Al-Maraghi, 1946: 108). Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: Dan Allah manusia. memperbuat ِ ال لِلن هاس َ َاَّللُ ْاْل َْمث ب ه ْ ََوي ُ ض ِر perumpamaan-perumpamaan bagi Allah membuat perumpamaan karena merupakan jalan termudah dalam menyampaikan hakikat suatu rahasia untuk manusia. Namun hanya manusia yang mau menggunakan kemampuannya yang akan mempu memahami hakikat perumpamaan tersebut. Oleh karena itu, Allah yang maha mengetahui akan memberikan petunjuknya kepada manusia sesuai dengan kesiapan hati masing- masing. Hanya orang yang hatinya bersih mampu menerima petunjuk tersebut. Merekalah yang siap untuk menerima petunjuk dan akan melaksanakannya. Sifat maha mengetahui tersebut merupakan maksud dari firman-Nya: dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ِ ٍ يم َو ه ٌ اَّللُ بِ ُك ِّل َش ْيء َعل Dari pemaparan di atas, terdapat janji dan kebar gembira bagi manusia yang mau memikirkan dan memperhatikan perumpamaan tersebut, serta ancaman bagi mereka yang tidak mau menggunakan kemampuannya untuk memikirkan perumpamaan sehingga mereka tidak akan mencapai kebenaran dan tidak pula mmengikuti jalan Allah. 69 Terakhir, dapat disimpulkan bahwa, ayat ini merupakan perumpamaan cahaya Allah yang berupa petunjuk dan hidayah di dalam hati seorang mu‟min. Dan petunjuk tersebut akan semakin bertambah sehingga semakin menerangi hatinya. Apabila ia mengikuti dan mengerjakannya maka ia akan mendapat jalan kebenaran dan kebahagiaan dunia dan akhirat (Al-Maraghi, 1946: 109). 3. Penafsiran al-Ghazali terhadap Amtsal Nur Kajian atas QS. An-Nur Ayat 35 Kata nur berakar dari kata yang terdiri dari nun, waw dan ra ( ن و )ر, yang berarti berubah-ubah atau tidak tenang. Begitu juga dengan kata nur yang terangnya mampu berubah-ubah dengan pergerankan yang sengat cepat (Ahmad, t.th: 363). Al-Ghazali (1964: 41) mengartikan nur sesuai dengan tiga golongan dan tingkatan pemahaman manusia, yaitu: a. Pengertian Nur di Golongan Orang Awam Orang awam merupakan golongan orang dengan cara berfikir yang sederhana. Mereka mengartikan nur dengan sesuatu (cahaya) yang tampak oleh panca indera. Peranan panca indera bagi orang awam sangat penting. Karena mereka terkadang hanya mengandalkan kebenaran panca indera, terutama penglihatan. Padahal penampakan suatu oleh panca indera adalah bersifat nisbi, terkadang sesuatu itu nampak jelas oleh penglihatan dan adakalanya ia tersembunyi (Al-Ghazali, 1964: 41). 70 Ada tiga kategori benda yang tampak oleh panca indera, di antaranya: 1) Benda itu tampak karena benda lain, misalnya: benda gelap. 2) Benda itu tampak dengan sendirinya, namun tidak membuat benda lain terlihat, misalnya: bintang. 3) Benda tersebut tampak dengan sendirinya dan membuat benda lain terlihat karena sinarannya, misalnya: bulan dan matahari. Adapun yang dimaksudkan dengan cahaya bagi orang awam adalah kategori nomer tiga, yaitu benda yang memang dengan sendirinya tanpak dan membuat benda lain terlihat karenanya. Dengan begitu istilah nur bagi orang awan adalah sesuatu yang yang terlihat oleh mata lahir yang sendirinya tampak karena memang dia bersinar dan menyinari sehingga benda yang lain tampa pula kerena mendapat pantulan dari sinarnya (Al-Ghazali, 1964: 42). Pandangan orang awam dengan penglihatan panca indera (mata lahiriyah)- nya memiliki kekurangan dan kelemahan. Penglihatan panca indera terkadang memberkan pengertian yang menipu, benda besar yang jaraknya jauh terlihat lebih kecil dibangding benda kecil yang jaraknya dekat. Karena ia hanya mampu melihat sesuatu dari luarnya saja bukan subtansi esoterisnya. Oleh karena itu, penglihatan panca indera yang serba 71 terbatas dengan kekurangan dan kelemahan, belum tepat apabila disebut nur (Al-Ghazali, 1964: 42). b. Pengertian Nur di Golongan Orang Khawwas (Khusus) Golongan Khawwas merupakan kalangan orang-orang yang mempunyai akal tajam dan mampu berfikir secara mendalam. Mereka mendefinisikan nur dengan sangat cara pandang yang berbeda dibanding orang awam. Hal ini terjadi karena kedua kalangan tersebut mempunyai perbedaan titik tolok dalam memandang sesuatu. Bagi orang awam titik tolok yang digunakannya adalah mata lahiriyah (penglihatan mata), sedangkan bagi kalangan khawwas akal budi atau lebih dekenal dengan istilah aql atau ruh. Manusia mempunyai mata yang bersifat sempurna, yaitu yang disebut dengan aql (akal), ruh atau jiwa. Ia sangat berbeda dengan mata inderawi yang mempunyai kekurangan, terkadang beliau tidak mampu meliahat benda yang jaraknya jauh ataupun benda yang berada di balik dinding. Aql atau ruh yang jernih lebih pantas disebut nur, karena unggul apabila dibandingkan dengan mata inderawi (Al-Ghazali, 1964: 43). Al-Ghazali (1964: 44-47) menyebutkan sekurangnya ada tujuh kelebihan aql atau ruh yang jernih dari mata panca indera, yaitu: 72 1) Dapat mengetahui sifat dirinya (subjek yang mengetahui dan mempunyai daya cipta) dan subjek lain . 2) Dapat melihat objek yang sajuh maupun dekat. 3) Mampu menembus dinding penghalang dalam melihat suatu objek. 4) Mampu melihat ke dalam subtansi esotoris dan rahasbeliau sesuatu. 5) Mampu mengetahui sesuatu yang bersifat intelegible (ma‟quliyat). 6) Mengetahui pengetahuan yang tidak terbatas. 7) Pengetahuan yang dihasilkan sesuai dengan kenyataan c. Pengertian Nur di Kalangan Khawwas Al-Khawwas Disebut nur karena sesuatu itu mampu melihat dirinya sendiri dan benda lain. Namun apabila ada sesuatu yang mampu melihat dirinya dan benda lain serta membuat benda lain mampu melihat yang lainnya, maka ialah yang paling tepat mendapat predikat nur (Al-Ghazali, 1964: 41). Dengan demikian pastilah nur yang dimaksudkan adalah Allah SWT, yang ada dengan sendirinya dan membuat ada yang lainnya. Dapat disimpulkan bahwa pengertian nur yang dimaksudkan oleh kalangan khawwas al-khawwas adalah Allah SWT. Hal ini sejalan dengan perkataan Al-Ghazali (1964: 41) bahwa: “Anda ketahui tingkatan dan hakikat nur yang dinisbatkan pada golongan khawwas al-khawwas adalah bahwa Allah 73 merupakan nur yang tertinggi dan terakhir dan Ia merupakan nur yang hakiki dan sebenarnya, tiada sekutu bagi-Nya”. Ditegaskan pula oleh beliau bahwa cahaya hakiki adalah cahaya yang menjadi sumber dari semua cahaya yang ada di dunia ini, Ia yang wujud dan menjadikan menjadikan yang lainnya ada. Nur hakiki ini tidak tersentuh oleh kegelapan dan ketiadaan. Ia bukan hanya menampakkan sesuatu yang awalnya tidak tampak menjadi terlihat, namun Ialah yang memjadikan sesuatu yang awalnya tidak ada me njadi ada (menciptakan). Oleh karena itu, nur yang dimaksudkan adalah Allah yang ada (wujud) dan mencipta dari ketiadaan (Al-Ghazali, 1964: 54). Al-Ghazali (1999: 180) menjelasakan mengenai ma‟rifat dzat Allah, bahwa pokok pertamanya adalah mengenal adanya (wujud) Allah SWT. Beliau merupakan nur pertama yang menyinari segala sesuatu –memberi petunjuk- untuk mengenalinya dengan cara memandang dan memperhatikan. Allah mengalirkan cahaya dari dzatNya kepada semua yang ada di langit dan di bumi. Sebagaimana firman-Nya: ِ اَّلل نُور ال هسماو ِ ات َو ْاْل َْر ض َ َ ُ ُه Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Hujjatul Islam memaknai ayat di atas, dengan penafsiran bahwa kata nur merupakan slah satu nama Allah berarti yang menyinari. Allah adalah cahaya hakiki yang sejatinya merupakan wujud sebenarnya (hakiki), yang ada karena dirinya sendiri dan mengadakan 74 (mewujudkan) yang lain. Beliau juga mengatakan bahwa dalam ayat tersebut Allah menyamakan nur dengan akal, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dengan akal disebut dengan ruh dan kehidupan (AlGhazali, 1964: 48) Al-Ghazali dalam kitab tafsirnya Jawahiru al-Qur‟an wa Daroruhu menyebutkan bahwa Allah merupakan sumber dari segala cahaya. Dijelaskannya lebih lanjut bahwa Allah menyinari langit dengan para malaikat-Nya dan bumi dengan para Nabi dan Ulama, atau menyinari langit dan bumi dengan ayat-ayat-Nya yang menunjukkan akan ke-Esaan dzat dan sifat-Nya. Cahaya Allah yang menyinari langit dan bumi besifat material yang dapat dilihat dengan mata kepala, maupun unmaterial seperti cahaya kebenaran, pengetahuan, keimanan,dan lain-lain yang dirasakan dengan aql atau ruh. Untuk menangkap dan memahami maksud cahaya-Nya yang terdapat dalam QS.an-N r ayat 35 dengan jelas, manusia membutuhkan proses yang panjang melalui tingkatan daya ruhani (cahaya) yang dimilikinya. Yaitu: ruh inderawi (panca indera), ruh khayali (imajinasi), ruh aql (akal), ruh fikr (reflektif) dan daya suci atau kenabian (alGhazali, 1964: 76). Adapun lima tingkatan daya ruhani manusia yang menurut al-Ghazali adalah padanan dari perumpamaan QS. an-N r ayat 35, sebagai berikut: 75 a. Ruh inderawi yang diumpamakan dengan misykat Ruh inderawi merupakan dasar dari makhluk hidup yang berfungsi untuk menerima sesuatu yang dikirimkan panca indera (al-Ghazali, 1964: 76). Karakteristik ruh inderawi adalah cahayanya akan keluar melalui lubang seperti kedua mata sebagaimana misykat yang merupakan celah atau lubang yang tidak tembus (Kauma, 2000: 271). Oleh karena itu dipilih misykat sebagai perumpamaan dari ruh inderawi (Al-Ghazali, 1946: 79). Pada firman Allah: ٍمثَل نُوِرهِ َك ِم ْش َكاة ُ َ Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Perumpamaan tersebut merupakan gambaran dari potensi pertama manusia dalam menagkap cahaya Allah. Pada tingkat ini manusia hanya mampu menangkap dengan panca inderanya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa apa yang diperoleh panca indera bisa saja menipu dan hanya mampu melihat lahirnya saja. Maka, pada tingkatan ini manusia belum mampu memahami hakikat dari cahaya Allah. Oleh karena itu sesuatu yang telah diperoleh panca indera membutuhkan akal untuk menyingkap dan membuka kebenaran yang azali. b. Ruh Aql yang diumpamakan dengan mishbah Ruh aql (akal) disamakan dengan mishbah karena persepsi yang terjadi di akal merupakan persepsi tehadap pengetahuan 76 ilahiyah yang mulia. Perumpamaan ini seperti cahaya ilahi yang menerangi seluruh dunia, sebagaimana mishbah yang memberikan penerangan pada sekitanya (Al-Ghazali, 1964: 77). Mishbah yang diartiakan dengan akal sebagai penerima informasi merupakan daya tangkap tingkat kedua. Akal merupakan sumber tempat tercipta dan dasar dari pengetahuan. Ia merupakan potensi dalam diri manusia yang bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan usia dan kapasitas tiap individu (Al- Ghazali, 1995: 147). Perumpamaan ini tercermin dari firman Allah: ِ ٍِ ِ اح ْ َمثَ ُل نُوِرهِ َكم ْش َكاة ف َيها م ٌ َصب Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Menurut al- Ghazali, pengetahuan yang sudah diterima panca indera seterusnya akan dikirim ke akal. Penglihatan panca indera yang sering salah membutuhkan akal yang telah terbuka tabir penutupnya agar memberoleh kebenaran. Akan tetapi pengetahuan yang diperoleh panca indera tidak langsung sampai pada akal, namun beliau harus direkam dan disimpan agar saat akal membutuhkannya pengetahuan tersebut akan muncul dengan sendirinya, dalam hal ini ruh khayalilah yang berperan. Dengan begitu tingkatan daya manusia menangkap cahaya Allah pada tingkatan selamnjutnya adalah ruh khayali (imajinasi). 77 c. Ruh Khayali yang diumpamakan dengan zujajah Adapun tingkatan daya manusia menangkap cahaya Allah yang ketiga adalah ruh khayali, beliau berperan untuk menangkap dan menyimpan sesuatu yang dikirimkan oleh panca indera. Ruh khayali (imajinasi) diumpamakan dengan zujajah karena mempunyai sifat yang sama. Adapun sifat-sifatnya adalah: pertama, berasal dari materi yang padat, beliau memiliki ukuran dan bentuk. Kedua, bersifat pekat namun dapat dijernihkan, layaknya imajinasi yang dapat di haluskan agar menjadi sesuatu yang rasional dan mengarah pada cahaya. Ketiga, imajinasi sangat dibutuhkan untuk menyusun pengetahuan rasional sehingga kebenaran azali akan terwujud (Al-Ghazali, 1964: 79). Perumpamaan imajinasi seperti yang telah disebutkan diatas, dalam dunia ini sangat cocok dengan kaca. Kaca tersebut merupakan perumpamaan dari semprong apabila cahaya berasal dari lampu teplok (mishbah), ia yang berperan untuk menjaga api dari terpaan angin yang membuatnya padam. Ia pula yang menjadi pembias cahaya sehingga terang (Al-Ghazali, 1964: 80). Perumpamaan ini tercermin dari firman Allah: Pelita itu di dalam kaca. ٍاْل ِمصباح ِِف ُزجاجة َ َ ُ َْ Mishbah/ lampu itu berada di dalam zujajah/kaca. Zujajah dalam ayat ini berarti kaca penutup nyala lampu itu (semprong). 78 Apabila kaca yang digunakan jernih, maka cahaya yang terpancar akan terang. Bahkan cahaya tersebut hampir seperti terangnya bintang. Begitu pula apabila daya imajinasi digunakan untuk berkonsentrasi dalam mencari kebenaran. Maka pengetahuan yang diperoleh panca indera akan dijernihkan sehingga akan tercapai kebenaran azali dalam akal. Sebagaimana firman Allah: ي ُّ ٌّ ب ُد ِّر ٌ اجةُ َكأَنه َها َك ْوَك َ الز َج Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara. Dengan demikian maksud dari “Pelita itu di dalam kaca, Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara” merupakan perumpamaan daya imajinasi yang digunakan untuk berkonsentrasi dalam kebenaran yang lama-kelamaan akan terasah dan menajdi jernih sehingga pengetahuan yang akan sampai pada akal adalah pengetahuan azali. Pada tingkat ini yang mampu melakukan adalah kalangan khawwas, karena aql atau ruhnya telah menyerap pancaran cahaya Allah. Akal dalam menghasilkan pengetahuan yang benar, selain membutuhkan imajinasi, beliau juga membutuhkan wahyu –alQur‟an dan al-Sunah-. Akal dengan keterbatasannya membutuhkan wahyu untuk memperoleh informasi yang akan diolah menjadi pengetahuan. Wahyu akan berperan dalam memberikan informasi mengenai apa saja yang tidak diketahui oleh akal sperti; keadaan ghaib dan hari kiamat. Beliau dan wahyu merupakan sumber 79 pengetahuan yang saling melengkapi (Al-Ghazali, 1995: 27-28). Dengen demikian, akal akan menghasilkan pengetahuan yang azali. d. Ruh Fikr yang diumpamakan dengan syajarah mubarakah Pada tingkatan selanjutnya, setelah akal berhasil memperoleh kebenaran azali, selanjutnya ia akan berfikir untuk mengahsilkan kesimpulan. Ruh fikrlah yang akan berperan dalam prosesnya. Ia merupakan akal yang berfungsi untuk melakukan pemikiran argumentasi. Hasil dari daya ruh ini adalah pemikiran dualisme antara tesis dan anti tesis, sehingga menimbulkan sintesis. Ruh fikr dengan syajarah mubarakah (pohon yang diberkahi), karena asifatnya yang bercabang-cabang. Ruh fikr berasal dari satu bercabang menjadi dua, kemudian masing- masing dari dua tersebut bercabang lagi dan seterusnya. Sifat ini layaknya pohon yang yang berasal dari satu batang dan bercabang menjadi banyak (al-Ghazali, 1964: 80). Ketika berfikir akal akan merefleksi pengetahuan menjadi beberapa cabang banyak, akhirnya menghasilkan kesimpulan yang rasional. Adapun yang dimaksud dengan yang pohon yang diberkahi adalah pohon zaitun. Pohon zaitun adalah pohon yang memiliki banyak keistimewaan. Minyak dari buah zaitun memiliki ciri khas tersendiri apabila digunakan sebagai bahan bakar lampu. Yaitu mudah menyala dan cahaya yang dihasilkan sangat terang. Oleh masyarakat Arab pohon zaitun disebut sebagi pohon yang dibekahi 80 karena dapat menghasilkan buah yang tidak mengenal batas (AlGhazali, 1964: 80). Minyak zaitun yang paling bagus untuk nyala api yang terang dihasilkan dari tumbuhan yang cukup mendapat sinaran matahari. Ia mendapat cahaya matahari sepanjang hari tanpa ada yang menghalangi. Tumbuhan seperti ini ditanam tidak di sebelah timur ataupun sebelah barat. Kondisi seperti ini sama halnya kondisi akal yang berfikir rasional, karena ia tidak memiliki arah dan jarak, sehingga berfikir penuh konsentrasi (Al-Ghazali, 1964: 81). Dari penjelasan diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa penafsiran al-Ghazali mengenai firman Allah: ٍيوقَ ُد ِمن َشجرةٍ ُّمبارَكةٍ َزيتُونَةٍ هَّل َشرقِيهةٍ وََّل َغربِيهة ْ َ َ ََ ْ َ ْ ُ Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya). Adalah keadaan akal manusia dalam berfikir argumentasi yang menimbulkan banyak cabang dan berakhir pada kesimpulan yang rasional. Dengan begitu pada tingkatan ruh fikr ini manusia mampu menyingkap tabir penutup hakikat cahaya ilahi dengan berfikir rasional mengenai tanda dan petunjuk Allah di dunia ini. e. Ruh Suci atau Nabi yang diumpamakan dengan al-zait Tingkatan terakhir adalah ruh suci atau Nabi. Pada tingkatan ini al- Ghazali menyamakan ruh suci atau Nabi dengan 81 perumpamaan ار ٌ َن ِ ُاد َزيْتُ َها يُضيءُ َولَْو ََلْ َتَْ َس ْسو ُ يَ َك “Minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api”. Beliau merujuk pada kesucian dan kemurnian ruh para Nabi yang langsung dibimbing oleh Allah (Al-Ghazali, 1964: 81). Ruh Nabi merupakan ruh yang dimiliki para Nabi yang berfungsi untuk menerima hakikat yang tak dapat dijangkau oleh akal fikiran. Berbeda dengan ruh aql dan ruh fikr yang membutuhkan pengajran, ruh Nabi ini mengetahui hakikat tersebut tanpa pengajaran dan motifasi dari luar. Ilmu para Nabi adalah sesuatu yang langsung dari bimbingan Allah. Ilmu tersebut merupakan cahaya yang menerangi segala sesuatu. Karena Nabi merupakan penyampai risalah Allah kepada manusia, tepat kiranya ilmu yang mereka miliki merupakan penerang jalan menuju Allah (Al-Ghazali, 1964: 50). Bukan hanya Nabi yang mampu memahami hakikat cahaya Allah, tetapi manusia biasa yang menggunakan akalnya dengan sengguh-sungguh dan mendapatkan pengajaran akan sampai pada tingkatan ini. Daya cahaya mausbeliau biasa untuk mencapai ruh suci ini harus melewati satu demi satu tingkatan –sesuai dengan tingkatan daya cahaya manusia yang dimulai dari ruh inderawi, ruh aql, ruh khayali, ruh fikr sampai ruh suci atau Nabi-. Apabila daya cahaya tersebut membentuk satu sistem, maka akan membentuk 82 cahaya yang bertingkat-tingkat (Al- Ghazali, 1964: 81). Dalam alQur‟an diilustrasikan dengan “cahaya di atas cahaya” ى نُوٍر ٰ ََعل ور ٌ ُّن. Tingkatan cahaya tersebut bersumber pada cahaya Allah yang merupakan cahaya (petunjuk) langit dan bumi. Hanya orang yang akalnya terdidik saja yang mempu memperoleh cahaya Allah. Beliau akan selalu bertambah sampai tak terhingga. Cahaya ini akan dikarunikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagimana firman-Nya: Allah membimbing kehendaki. kepada ِ ِ يَ ْه ِدي ه ُاَّللُ لنُوِره َمن يَ َشاء cahaya-Nya siapa yang Dia Maksudnya Allah mengarahkan cahaya syariat-Nya kepada hamba yang Dia kehendaki atau Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari orang mu‟min. Jadi yang dimaksud dengan ُ( َمن يَ شَاءsiapa yang Dia kehendaki) ialah manusia yang telah berhasil membimbing akalnya, sehingga mereka memperoleh petunjuk yang diberikan Allah (Al- Ghazali, 1964: 82). Petunjuk tersebut disampaikan lewat bermacam cara, salah satunya dengan permisalan, Allah berfirman: ِ ٍ ِ ال لِلن يم هاس َو ه َ َاَّللُ ْاْل َْمث ب ه ْ ََوي ٌ اَّللُ بِ ُك ِّل َش ْيء َعل ُ ض ِر Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. bagi 83 Ayat tamtsil di atas mengandung hakikat makna yang sangat dalam, sehingga tidak semua orang mengetahui hakikatnya. Memang seperi itulah perumpamaan, beliau mengandung berbagai makna sesuai daya dan potensi tiap-tiap manusia. Namun, orang yang akalnya telah terbimbing dan mencapai ruh suci atau Nabi maka beliau akan mampu menyingkap hakikat makna dari tamtsil, sehingga beliau mendapati jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Al-Ghazali, 1964: 81). Hal ini sesuai dengan firman Allah: ِ ض ِربُ َها لِلن هاس َوَما يَ ْع ِقلُ َها إِهَّل الْ َعالِ ُمو َن ُ َك ْاْل َْمث ْ َال ن َ َْوتِل Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS. Al-Ankabut/29: 43). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya, cahaya yang dimaksud dalam QS. An-N r ayat 35 adalah Allah. Cahaya tersebut di karuniakan kepada manusia melalui daya ruhani yang dimilikinya, meliputi ruh inderawi, ruh aql, ruh khayali, ruh fikr dan ruh suci atau Nabi. Kadar cahaya (perunjuk) Allah yang mampu diserap oleh manusia adalah sesuai dengan kadar dayanya masing- masing. Namun hanya ruh suci atau Nabi sajalah yang akan mampu menyingkap hakikat dari cahay Allah yang paling sempurna. Oleh karena itu, abapila manusia ingin mengetahui hakikat cahaya Allah maka ia harus menggunakan daya-daya tersebut semaksimal mungkin. 84 4. Perbedaan Penafsiran antara Al-Maraghi dan Al-Ghazali terhadap Amtsal Nur Kajian atas QS. An-Nur Ayat 35 Pemaparan mengenai penafsiran al-Maraghi dan al- Ghazali mengenai amtsal nur QS. An-Nur ayat 35 terlihat perbedaan anatar keduanya dalam menafsirkan, sebagaimana tercantum dalam tabel: Al-Maraghi Al-Ghazali Ayat Allah adalah wujud yang menjadikan Allah adalah dzat sesuatu yang lain yang ada, Ia- lah memjadikan yang sesuatu ِ اَّلل نُور ال هسماو ات َ َ ُ ُه ِ َو ْاْل َْر ض yang menjadi Pencipta awalnya tidak ada dan Pengatur menjadi ada segala yang ada di (menciptakan). No. Allah cahaya 1 (Pemberi) (kepada) langit dan bumi. langit dan bumi. Hati seorang mu‟min yang dilingkupi oleh cahaya petunjuk berupa dan hidayah dari Allah. Daya manusia diluruskan akal menyingkap inderawi yang dengan untuk dan membuka kebenaran yang azali. ٍمثَل نُوِرهِ َك ِم ْش َكاة ُ َ ِ ِ اح ْ ف َيها م ٌ َصب Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Hati mu‟min yang telah dengan beliau bersinar cahaya terpaut Daya al-Qur‟an digunakan untuk akan berkonsentrasi dalam dengan mencari kebenaran. petunjuk ِ اح ِِف ْ الْم ُ َصب ٍُزجاجة َ َ imajinasi Pelita itu di dalam kaca 2 3 85 Allah. Hati sangat bersih dan terlihat bercahaya hingga disamakan dengan mengkilapnya mutiara, hal ini dikarenakan beliau telah kosong dari segala yang dapat mengotorinya yang dari terpelihara fitnah-fitnah, karana ketika beliau tertimpa suatu fitnah, Allah akan meneguhkan hatinya. Hati untuk berkinsentrasi dalam kebenaran yang lama-kelamaan akan teraasah dan menajdi jernih sehingga pengetahuan yang akan sampai pada akal Akal manusia dalam berfikir argumentasi yang menimbulkan banyak cabang dan berakhir pada kesimpulan yang rasional tanda dan petunjuk seorang Kesucian Allah di dan yang kemurnian ruh para melakukan Nabi yang langsung sebelum dibimbing oleh mendapat Allah, sehingga pengetahuan, beliau langsung sehingga اج ُة َكأَنه َها ُّ َ الز َج ي ٌّ ب ُد ِّر ٌ َك ْوَك 4 Kaca itu seakanakan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara. adalah dunia ini. mu‟min petunjuk digunakan pengetahuan azali. mu‟min Seorang Daya imajinasi yang ketika menerima cahaya ٍيُوقَ ُد ِمن َش َجرة َ ُّمبَ َارَكةٍ َزْي ُتونَةٍ هَّل ٍَشرقِيهةٍ وََّل غَربِيهة ْ َ ْ Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya , 5 (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya). ِ ُ يَ َك ُاد َزْيتُ َها يُضيء َولَْو ََلْ َتَْ َس ْس ُو نَ ٌار Minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. 6 86 pengetahuan datang itu Allah maka pengajaran hatinya dalam ada atau semakin motifasi dari luar. bercahaya semakin tanpa dan mantap mengikuti petunjuk Allah. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa al-Maraghi mengartikan maksud dari perumpamaan cahaya Allah pada amtsal nur QS. An-Nur ayat 35 merupakan petunjuk dari Allah yang didapat oleh hati orang mu‟min yang bersih dan jernih. Hati tersebut mampu menerima petunjuk berupa syari‟at yang diturunkan dalam al-Qur‟an yang terjaga keasliannya. Syari‟at tersebut mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat. Berbeda halnya dengan al-Ghazali, beliau mengartikan maksud perumpamaan cahaya Allah pada amtsal nur QS. An-Nur ayat 35, adalah petunjuk berupa kebenaran yang mampu diperoleh manusia sesuai tingkatan daya manusia dalam menangkap nur/cahaya Allah. Yaitu dari ruh inderawi, ruh aql, ruh khayali, ruh fikr dan yang paling atas adalah ruh suci atau Nabi. Al-Ghazali menyebut ruh sebagi kemampuan akal masusia. Apabila manusia telah sampai pada tingkatan ruh suci maka beliau akan mampu menangkap hakikat cahaya Allah, sehingga beliau selalu berada dalam jalan kebenaran. Perbedaan tersebut nampak pada objek penerima petunjuk Allah. al-Maraghi berpendapat bahwa petunjuk Allah diterima oleh hati orang 87 mikmin yang bersih karena telah mampu mengalahkan nafsu dunianya. Lain halnya dengan al-Ghazali, beliau berpendapat pada tingkatan ruhakal- suci manusia akan mampu menerima cahaya Allah dan beliau mampu menyingkap hakikat dari cahaya tersebut. C. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Amtsal Nur A -Nūr ayat 35 Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kegiatan pendidikan, kerana dengan adanya pendidikan dapat menjdikan manusia beradab dan berpengetahuan. Rasulullah pun diutus untuk menyelamatkan manusia dari kubangan kejahiliyahan yang diperbudak oleh hawa nafsu menuju manusia yang akhlak mulia. Semua dapat terwujud apabila pendidikan mempunyai dasar dan tujuan yang jelas. Al-Qur‟an dan al-Sunah yang merupakan sumber pendidikan Islam mengandung nilai- nilai pendidikan. Hampir semua ayat-ayat dalam al-Qur‟an mengandung nilai- nilai pendidikan yang menjadi landasan untuk pendidikan Islam. Begitu juga QS. An-Nur ayat 35 yang merupakan ayat tentang perumpamaan cahaya Allah di dalamnya pun terkandung nilai- nilai pendidikan Islam. Pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai penafsiran kedua tokoh terhadap QS. An-Nur ayat 35. Setelah mengetahui penasfiran dari alMaraghi dan al-Ghazali terhadap amtsal nur dalam QS. An-Nur ayat 35 dan apa yang telah disebutkan dalam kerangka teori, dengan berpandangan pada tiga pilar utama nilai dalam al-Qur‟an (i‟tiqadiyah, khuluqiyah, amaliyah), 88 dapat disimpulkan nilai- nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam amtsal nur QS. An-N r ayat 35 sebagai berikut: 1. Nilai Pendidikan I’tiqadiyah (aqidah) Kata i‟tiqadiyah berasal dari akar kata aqada ya‟qidu aqdan aqidatan yang mempunyai arti ikatan, simpul, kokoh dan perjanjian. Setelah dibentuk menjadi aqidah maka berarti keyakinan atau kepercayaan (Ilyas, 2013: 1). Adapun arti aqidah secara istilah adalah iman atau keyakinan yang menjadi pegangan hidup bagi setiap muslim, dan selalu dikaitkan dengan rukun iman yang menjadi dasar agama Islam (Ali, 2007: 2). Pendapat al-Jazairy (1978) yang dikutip oleh Yunahar Ilyas (2013: 2) mengenai makna aqidah secara istilah, aqidah merupakan kebenaran wahyu yang dapat diterima oleh akal dan fitrah manusia yang terpatri dalam hati dengan penuh keyakinan dan menolak segala yang bertentangan dengan kebenarannya. Istilah i‟tiqadiyah dan aqidah adalah sama dari segi arti, karena keduanya mempunyai akar kata yang sama pula. Aqidah dalam bahasa Indonesia disebut dengan akidah yang berarti mempercayai atau meyakini bahwa sesuatu (yang diyakini) itu merupakan kebenaran dan nyata adanya. Ada pula yang menyamakan istilah Aqidah dengan iman, namun ada pula yang membedakan. Mereka yang membedakan berpendapat bahwa aqidah menyangkut masalah hati, sedangkan iman adalah bukti dari aqidah pada aspek luar. Pendapat ini didasarkan pada pengertian iman menurut ulama salaf yaitu sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh hati, diucapkan 89 dengan lisan dan direalisasikan dengan amal perbuatan anggota badan (Ilyas, 2013: 2). Yunahar Ilyas (2013: 3) menjelaskan bahwa seandainya istilah iman dan aqidah adalah dua istilah yang berbeda, maka istilah iman yang dimaksud mencakup hati, lisan dan amal, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Mu‟minun ayat 1-10. Apabila istilah iman dan aqidah adalah dua istilah yang sama maka sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Ashr ayat 3: ِ ِ إِهَّل اله ِذين آمنُوا وع ِملُوا ال ه ص ِْب ْ ِاص ْوا ب اص ْوا بِال ه ََ َ َ َ اْلَ ِّق َوتَ َو َ صاْلَات َوتَ َو Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Dalam ayat ini yang dimaksud beriman adalah orang yang beraqidah. Iman tidak hanya menuntut adanya pengetahuan dan keyakinan yang kuat, juga menuntut adanya ketundukan dan kepatuhan hati serta bersedia melakukan segala perintah dan ketentuan Allah dengan ikhlas dan rela hati. Dunia pendidikan Islam menjadikan pendidikan aqidah sebagai perhatian utama dan harus menjadi perhatian utama untuk pendidik. Karena aqidah adalah dasar dari bangunan Islam yang apabila beliau kokoh maka bangunan tidak akan mudah roboh, namun apabila dasar lemah maka bangunan akan mudah ambruk (Ilyas, 2013: 10). Pentingnya pendidikan pendidikan aqidah dikisahkan Allah dalam dalam QS. Luqman ayat 13. Firman-nya: ِ يم ال لُْق َما ُن َِّلْبنِوِ َو ُى َو يَعِظُ ُو يَا بُ َهَن ََّل تُ ْش ِرْك بِ ه َ ََواِ ْذ ق ِّ اَّللِ إِ هن ٌ الش ْرَك لَظُلْ ٌم َعظ 90 Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu beliau memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Kisah Luqman di atas mengisyaratkan bahwa pendidikan aqidah merupakan pendidikan pertama kali yang harus diberikan kepada anakanak. Pendidikan aqidah tersebut diharapkan mampu menjadi dasar dari segala tingkah laku. Pendidikan aqidah atau pendidikan keimanan merupakan proses belajar mengajar mengenai aspek kepercayaan. Apabila konteksanya adalah pendidikan Islam, maka kepercayaan yang diajarkan adalah kepercayaan menurut ajaran Islam yaitu rukun iman. Dengan demikian nilai- nilai yang terkandung dalam pendidikan aqidah adalah nilai yang berkaitan dengan keimanan seorang hamba, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, Rasul-Nya, kitab, hari akhir dan takdir, yang kesemuanya bertujuan untuk menata kepercayaan individu. Ruang lingkup pendidikan aqidah menurut Hasan al-Banna yang dikutip oleh Yunahar Ilyas (2013: 6), meliputi: a. Ilahiyat yaitu pembahasan mengenai Ilah atau Tuhan. b. Nubuwat yaitu pembahasan mengenai semua yang berhubungan dengan kenabian. c. Ruhiyat yaitu pembahasan mengenai segala yang berhubungan dengan alam metafisik atau alam yang kasat mata. d. Sam‟iyat yaitu pembahasan mengenai segala sesuatu yang dapat diketahui dari al-Qur‟an dan al-Sunah. 91 Lingkup pembahasan ilahiyat terdapat tema paling utama dalam pendidikan aqidah yaitu tauhid. Yang merupakan pengesaan Allah dalam dzat-Nya, nama dan sifat-Nya. Beliau merupakan prima causa dari seluruh keyakinan dalam Islam dan menjadi tema sentral dalam pandidikan aqidah atau iman. Oleh karena itu, aqidah dan iman identik dengan istilah tauhid (Ilyas, 2013: 5). Tauhid terbagi menjadi 3 tingkatan (Ilyas, 2013: 18), yaitu: a. Tauhid rububiyah Merupakan pengesaan Allah dalam hal penciptaan, pengurusan dan pemilikan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah: ِ ِ إِ هن ربه ُكم ه ض ِِف ِستهةِ أَيه ٍام ُثُه َ اَّللُ الهذي َخلَ َق ال هس َم َاوات َو ْاْل َْر ُ َ ِ ِ س ْ ْ استَ َو ٰى َعلَى الْعَْر ِش يُ ْغشي اللهْي َل الن َهه َار يَطْلُبُ ُو َحثيثًا َوالش َ هم ٍ والْ َقمر والنُّجوم مس هخر اْلَلْ ُق َو ْاْل َْم ُر ۚ تَبَ َارَك ْ ات بِأ َْم ِرهِ ۚ أَََّل لَ ُو َ َ ُ َ ُ َ ََ َ ] ٤:٘ٗ[ ي ه ُّ اَّللُ َر َ ب الْ َعالَ ِم Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masingmasing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-A‟raf 7: 54) b. Tauhid mulkiyah Merupakan pengimanan bahwasanya hanya Allah yang merupakan raja dari alam semesta beserta isinya. Dia yang berhak berkehendak apa saja pada alam semesta ini. Dengan begitu 92 manusia harus patuh dan tunduk pada segala perintah-Nya. Salah satu ayat yang menunjukkan hal ini adalah: ِ ك ال هسماو ِ ات َو ْاْل َْر ض ۚ َوَما لَ ُكم ِّمن أَ ََلْ تَ ْعلَ ْم أَ هن ه َ َ ُ ْاَّللَ لَ ُو ُمل ِ َاَّللِ ِمن وٍِل وََّل ن ِ ٍص ] ٕ:ٔٓ٤[ ي َ ّ َ ُدون ه Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (AlBaqarah/2: 107) c. Tauhid ilahiyah Merupakan bentuk pengimaman tehadap Allah sebagai satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah –diibadahi-. Allah berfirman: ص ََل َة لِ ِذ ْك ِري إِنهَِن أَنَا ه اعبُ ْدِِن َوأَقِ ِم ال ه ْ َاَّللُ ََّل إِلَٰ َو إِهَّل أَنَا ف Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha/20: 14) Ketiga tauhid tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu seandainya mengatakan mengimani Allah berarti harus percaya di dalam hatinya dengan ketiga tauhid tersbeut di atas. Ketauhidan yang telah tertanam dalam hati manusia dan lahir darinya perilaku, atau dengan kata lain ketauhidan tersebut telah menjadi ideologi dalam hidupnya, itulah yang dinamakan aqidah. Nilai pendidikan aqidah dalam mentauhidkan Allah peneliti menemukan dalam am al n r QS. An-N r ayat 35 tercermin dalam lafat: ِ اَّلل نُور ال هسماو ِ ات َو ْاْل َْر ض َ َ ُ ُه Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. 93 Al-Maraghi dan al-Ghazali memang tidak menyebutkan secara eksplisit dalam tafsirannya, namun dari penafsiran keduanya menunjukkan adanya nilai pendidikan aqidah. Kedua tokoh tersebut sama dalam menafsirkan “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” yaitu Allah adalah pencipta langit dan bumi. Wujud Allah adalah penyebab adanya yang lainnya. Dia pula lah yang memberi petunjuk kepada seluruh makhlukNya dengan cahaya-Nya. Ayat ini menegaskan mengenai tauhid Allah, karena Dia merupakan satu-satunya wujud yang menjadikan adanya wujud lain. Aqidah yang berdiri pada keimanan yang benar merupakan dasar pertama membangun kepribadian seorang mu‟min. Ia akan menjadi pendorong untuk senantiasa berbuat kebaikan. Kerena iman adalah pondasi yang Islam gunakan untuk membangun pribadi mu‟min. Ia pula yang menjadi penggerak emosi dan pengarah segala keinginan. Apabila unsur iman yang benar mendominasi jiwa seorang mu‟min, maka pastilah ia akan mampu istiqamah di jalan kebenaran (Ali, 2007: 7). Iman (aqidah) kuat yang tertanam dalam jiwa seseorang merupakan hal penting dalam perkembangan pendidikan. Salah satu hal yang bisa menguatkan aqidah seseorang adalah adanya nilai pengorbanan dalam diri demi membela aqidah yang diyakini kebenarannya. Semakin kuat nilai pengorbanannnya, maka akan semakin kokoh pula aqidah yang ia miliki. 94 Nilai pendidikan aqidah merupakan landasan bagi kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Kerana manusia mempunyai sifat kecenderungan untuk mengakui adanya Tuhan (Ali, 2007: 7). Al-Maraghi mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah, artinya beliau lahir dengan hati yang membawa fitrah Islam dan mengajak kepada tauhidullah. Fitrah ini sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh akal sehat (Madjid, 2015: 76). Al-Ghazai (2001: 9) berpendapat bahwa „pembinaan akal manusia akan menghasilkan ilmu‟. Ilmu itulah yang akan menuntun menemukan fitrah bertuhan. Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa merupakan fitrah manusia yang dibutuhkan dalam hidupnya. Dengan dengan mengenali diri dan memikrkan tentang dunia, maka akan mengenal Tuhan. Pembinaan fitrah dimaksudkan agar manusia mampu manjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia. Pentingnya fitrah bertuhan dalam diri manusia untuk dijaga dan dipelihara. Hal ini sebagaimana yang ada dalam firman Allah: ِ اَّللِ الهِِت فَطَر النهاس علَيها ََّل تَب ِلدي ِن حنِي ًفا ف ِّ ِك ل ِفَأَق يل د ت ر ط ه ج و م ْ ه َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ِّ ك ِ ين اْل َقيِّ ُم َولَٰكِ هن أَ ْكثَ َر الن هاس ََّل يَ ْعلَ ُمو َن ِْلَْل ِق ه َ ِاَّللِ َٰذل ُ الد Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Ar-Rum/30: 30). Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia mempunyai fitrah bertuhan, beliau mempunyai kebutuhan spiritual, sadar atau tidak sadar beliau akan 95 merindukan Tuhan, Sang Pencipta dan Pelindungnya. Dengan fitrah tersebut manusia yang telah ditetapkan oleh Allah sebagaimana dalam ayat di atas, maka manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mengembangkan fitrahnya. Pemeliharaan dan pengembangan fitrah ketuhanan yang dimiliki manusia, salah satu caranya adalah dengan pendidikan aqidah. Ini merupakan langkah utama untuk menuntun dan menjaga hati manusia dalam kebenaran bahwa tiada Tuhan selain Allah, tidak menyekutukan dengan selain-Nya. Hal ini akan membebaskan hati manusia menuju kesucian, sehingga tidak ada yang menghalanginya memperoleh cahaya Allah. Begitu pula pada akal –daya manusia menurut al- Ghazali-, beliau akan terdidik dan terbina sehingga mengetahui dan mengenal Allah yang merupakan satu-satunya Pencipta. Pendidikan aqidah sangat ditekankan dalam pendidikan Islam. Hal ini didasarkan pada esensi pendidikan Islam yang berupaya melatih perasaan manusia sesuai dengan fitrahnya, tertanam pula kesadaran dalam dirinya selaku hamba Allah yang memiliki kewajiban mengabdi pada-Nya. Oleh sebeb itu, peran keluarga, sekolah dan lingkungan sangat berpengaruh pada penanaman dan menguatkan nilai pendidikan aqidah dalam diri seseorang. 2. Nilai Pendidikan Khuluqiyah (akhlaq) Kata akhlaq (Indo: akhlak) pada kehidupan sehari-hari biasanya disamakan dengan istilah budi pekerti, kesusilaan dan sopan-santun dalam 96 bahasa Indonesia. Kata akhlaq dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan dengan budi pekerti atau kelakuan (Depdiknas, 2008: 27), dan tidak berbeda dengan arti kata moral, ethic di dalam bahasa Inggris. Sejalan dengan hal tersebut, dalam bahasa Yunani, kata ethos, ethiko yang kemudian menjadi etika yang digunakan untuk kata yang mempunyai pengertian sama dengan kata akhlaq (Mustaqim, 2007: 1). Kata khuluq adalah bentuk tunggal dari kata akhlaq. Beliau merupakan lawan dari kata khalq. Khuluq merupakan bentuk batin sedangkan khalq merupakan bentuk lahir (Nasirudin, 2010: 31). Kata akhlaq barasal dari kata khalaqa-yakhluku yang secara etimologi berarti mencipta, membuat, atau menjadikan. Masdarnya adalah khuluqun, yang berarti perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Dari pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa terciptanya akhlaq membutuhkan keterpaduan antara kehendak Khaliq dan perilaku makhluq (Ilyas, 2012: 1). Pengertian akhlaq secara terminologi dikemukakan oleh beberapa tokoh, salah satunya adalah al-Ghazali. Beliau mendefinisikan akhlaq dengan kondisi mental dalam jiwa yang tertanam dengan kuat, dan darinya timbul perbuatan dengan spontan tanpa pemikiran dan pertimbangan (Mustaqim, 2007: 2). Menurut Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Da‟wah sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas (2012: 2) bahwa akhlak merupakan niali- nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya seseorang mampu menilai dan menimbang 97 antara perbuatan baik dan buruk, kemudian dipilih untuk meninggalkannya atau mengerjakannya. Menurut yang lainnya akhlaq adalah tingkah laku seseorang yang timbul karena didorong oleh keinginan secara sadar tanpa pertimbangan untuk melakukukan suatu perbuatan (Ali, 2007: 29). Dari tiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasanya akhlaq adalah hal ihwal yang berada di dalam jiwa manusia, dan darinya timbul perbuatanperbuatan yang spontan tanpa dipikirkan. Apabila hal ihwal atau tingkah laku tersebut menimbulkan perbuatan yang baik di mata akal dan Islam, maka beliau dinamakan akhlaq mahmudah atau akhlak terpuji. Sebaliknya, apabila perbuatan yang ditimbulkan adalah perbuatan buruk, maka tingkah laku itu dinamakan akhlaq mazmumah atau akhlak tercela (Ali, 2007: 30). Manusia akan menjadi sempurna jika mempunyai akhlak terpuji (akhlaq mahmudah) serta menjauhkan segala akhlak tercela (akhlaq mazmumah) (Mansur, 2005: 221). Akhlaq merupakan tingkah laku seseorang yang dilakukan karena dorongan jiwa bukan paksaan dari luar dan telah dilakukan berulang-ulang dan terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan. Tujuan akhlaq adalah menciptakan manusia menjadi makhluk yang tinggi dibanding makhluk lainnya. Oleh karena itu akhlaq butuh pembinaan agar manusia senantiasa berada dalam kebenaran dan jalan yang lurus digariskan oleh Allah SWT, sehingga ia akan menemukan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Nashihin, 2015: 5). 98 Karena akhlaq tidak hanya perlu ilmu dengan mengetahui baik dan buruk, namun ia perlu dibentuk dan dibina agar yang tercipta adalah akhlaq yang terpuji, maka prosesnya (Mustaqim, 2007: 12) sebagai berikut: a. Melalui keteladanan dengan memberikan contoh yang baik dalam berprilaku. b. Melalui pengajaran misalnya dengan mengajarkan empati dan sikap disiplin. c. Melalui pembiasaan dengan perbuatan baik sehingga membentuk kepribadiaanya. d. Dengan pemberian motivasi untuk selalu berbuat baik. e. Memberikan hukuman apabila yang beliau lakukan adalah perbuatan yang tidak terpuji. Proses pendidikan akhlaq yang mulia melibatkan peranan penting hati dan akal. Keduanya berperan besar di dalam pembentukannya. Akal mempunyai peran utama dalam pendidikan akhlaq. Adapun prosesnya yaitu rangsangan yang datang akan dianalisa oleh akal dengan kemampuan kognitifnya yang didasari dengan kebenaran al-Qur‟an dan Sunnah, sehingga mampu menentukan untuk melakukan perbuata n baik. Akal- lah yang akan menyimpan informasi mengenai perbuatan baik tersebut dan seandainya dihadapkan pada keadaan yang sama beliau akan spontan melakukan perbuatan yang sama. Tidak semua akal akan mampu membedakan yang baik dan buruk, hanya akal bersih yang terbimbing oleh 99 kebenaran (al-Qur‟an dan Sunnah) yang akan mampu membedakannya. Akal tersebut bersih tidak luput dari dari hati yang bersih, karena seseorang yang hatinya bersih akan melahirkan pemikiran yang bersih pula (Ali, 2007: 30). Adapun peranan hati dalam membentuk akhlaq yang baik adalah beliau memainkan peranan sentral dalam seluruh aktivitas dan perilaku manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, apabila beliau baik maka baiklah semunaya, namun apabila beliau rusak maka rusaklah semuanya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu bernama hati” (HR. Bukhari dan Muslim) Syarah ahadits tersebut menjelaskan bahwa manusia mempunyai hati yang berfungsi sebagai pengatur kebaikan yang diinginkan. Ia juga mampu melihat baik dan buruk. Hati yang mampu memahami mana yang benar dan mana yang salah adalah hati yang al-Qur‟an terinternalisasi di dalamnya, sehingga al-Qur‟an terintegral dalam dirinya. Apabila al-Qur‟an telah terintegral dalam dirinya, maka beliau akan senantiasa melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah sebagai bukti ketaatannya (Ali, 2007: 31). Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan khuluqiyah atau dapat disebut pula nilai pendidikan akhlaq merupakan nilai pendidikan yang berhubungan dengan tingkah laku yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku yang tercela dan menumbuhkan perilaku yang terpuji. Nilai pendidikan akhlaq yang merupakan ide dasar dari pendidikan akhlaq yang merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari- hari, karena 100 seseorang yang tidak memiliki akhlaq akan menjadikan dirinya berbuat merugikan orang lain (Ali, 2007: 30). Dalam QS. An-Nur ayat 35 mengenai amtsal nur, nilai pendidikan akhlak tercermin dalam lafat: ٍي يوقَ ُد ِمن َشجرةٍ ُّمبارَكة ُ ٌّ ُد ِّر َ َ ََ Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi. Al-Maraghi mengartikan perumpamaan di atas dengan hati yang tersinari dengan cahaya Allah karena telah mampu menemukan hikma h dibalik syari‟at yang ditetapkan oleh Allah. Seseorang yang tela h mampu menemukan hikmah dalam pensyari‟atan suatu hukum, ia aka n dengan senang hati melakukan segala perbuatan yang diperintah dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Sang Khaliq. Perbuatan yang diperintahkan oleh Sang Khaliq pastilah berupa perbuatan baik dan terpuji yang mendatangkan manfaat bagi d iri sendir i maupun sesama makhluk. Hati yang senantiasa mendorong berbuat baik adalah hati yang di dalamnya terang dengan cahaya Allah. Manusia tidak langsung mendapatkan hati yang telah terang dengan cahaya Allah, namun belia u harus melatih hatinya. Membuang dan memerangi segala nafsu yang membuat keruh dengan cara membiasakan dirinya berbuat sesua i dengan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hati nurani manusia yang didalamnya bersemayam fitrah bertuhan dapat menjadi ukuran baik dan buruk. Hal ini dikarenaka n 101 dengan adanya fitrah tersebut hati akan cenderung untuk mencinta i kebaikan dan cenderung pada kebenaran. Hati tersebut selalu mendambakan dan merindukan kebenaran sehingga akan mengikuti semua ajaran-ajaran yang telah Allah tetapkan. Dengan begitu setiap yang perbuatan dilakukan sesuai ajaran pastilah perbuatan tersebut merupakan perbuatan baik (Ilyas, 2012: 4). Orang selalu melakukan perbuatan yang diperintah oleh Sang Khaliq dengan sendirinya perbuatan tersebut akan terpatri dalam hatinya. Suatu saat apabila ada faktor yang mendorong beliau untuk melakuka n perbuatan baik tersebut dengan spontan beliau akan melakukannya. Dengan begitu perbuatan tersebut disebut akhlaq, karena telah melekat pada dirinya disebabkan beliau melakukannya secara berulang-ulang atau terus-menerus. Di sisi lain, al- Ghazali mengartikan “Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi” adalah kemampuan ruh fikr (akal yang digunakan untuk berfikir. Akal merupakan salah satu potensi yang dimiliki manusia untuk mencari dan menimbang anrata kebaikan dan keburukan. Akal yang penuh konsentrasi dan petunjuk dari al-Qur‟an dan Sunnah agar tercipta pemikiran yang benar. Pemikiran tersebutlah yang menjadi dasar dari perbuatannya. Beliau hanya akan memilih untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan yang buruk. Pada tingkatan akal ini manusia telah mampu menyerap cahayapetunjuk Allah sehingga terang baginya antara yang baik dan buruk. 102 Seseorang yang akalnya terbimbing dengan kebenaran maka beliau akan memilih untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Perbuatan baik yang dilakukan terus menerus akan tertanam dalam diri secara tidak sadar. Sesuatu yang telah tertanam tersebut akan muncul dengan sendirinya atau secara spontan dalam perilaku sehari- hari, dan itulah yang disebut dengan akhlaq. Terdapat perbedaan anatara al-Maraghi dan al- Ghazali dalam mengartikan pelita. Al-Maraghi mengartikannya sebagi hati, sedangkan alGhazali mengartikannya sebagai ruh fikr atau akal fikir. Keduanya jelas merupakan sesuatu yang berbeda. Namun, apabila dilihat dari peranannya dalam pembentukan akhlaq seseorang, keduanya (hati dan akal) mempunyai peran yang sama pentingnya. Akal dan hati akan berpadu dalam menanamkan akhlaq yang mulbeliau dalam diri seseorang. Seorang yang telah tertanam akhlaq terpuji dalam dirinya beliau akan memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini sama dengan sifat “pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi yang minyaknya menyala walau tak tersentuh api” yang mana cahaya dari minyak tersebut mampu menerangi sekitarnya. Begitu pula dengan akhlaq yang terpuji, beliau tidak hanya akan membawa kebahagiaan bagi si empunya, akan tetapi yang ada di sekitarnya pun akan mampu merasakan yang sama. Dengan begitu manfaat akhlaq seseorang tidak hanya akan perdampak pada kelangsungan pelakunya, namun juga lingkungan di sekitarnya. 103 Minyak yang dihasilkan dari pohon yang diberkahi adalah minyak yang sangat terang, sehingga walaupun tak tersentuh api beliau akan tetap bercahaya. Al-Ghazali pun mengatakan bahwa ketika daya seseorang telah mencapai ruh suci, beliau akan melaksanakan kebaikan meskipun belum mendapatkan petunjuk dan dorongan dari luar. Begitu halnya perwujudan dari akhlaq yang akan spontan mendorong untuk melakukan sesuatu tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan terlebuh dahulu. Hal ini disebabkan karena perbuatan tersebut telah berulang-ulang dilakukan sehingga diri akan spontan untuk melakukannya ketika dibutuhkan. Dengan demikian, akhlaq mulbeliau merupakan perwujudan dari kepatukan dan ketundukan sikap mental seorang hamba kepada Tuhannya, serta taat menjalankan dan menerapkan aturan (syariat) yang telah ditetapkan oleh sang Khaliq. Seorang yang telah mempunyai akhlaq mulbeliau berarti beliau juga telah memahami peranannya sebagai makhluk ciptaan sang Khaliq yang harus memberikan pencerahan, kebaikan dan kedamaian kepada sesama makhluk. Karena dalam dirinya telah tertanam nilai pendidikan akhlaq yang akan membawa dampak baik dalam kehidupan. Ini dapat dilihat dari peranan akhlaq dalam kehidupan. Menurut Jalaluddin yang dikutip oleh Mansur (2005: 221), menyebutkan bahwa peranan akhlak dalam kehidupan ada tiga yaitu: 104 a. Mewujudkan kesejahteraan Akhlaq merupakan alat yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya potensi manusia untuk menciptakan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat. b. Mengungkapkan masalah dengan objektif. Objektivitas lebih dipercaya masyarakat dibangdingkan dengan unsur subjektif, ini menjadikan akhlaq mahmudah dapat diterima sebagai sebuah konsep yang mampu memberikan jaminan manusia untuk selamat di dunia dan akhirat. c. Meningkatkan motivasi dalam menggali ilmu Keyakinan kebenaran akhlaq mahmudah yang didasarkan atas pembuktian secara ilmiah akan menghilangkan keraguan. Manusia akan menggali hikmah dibalik syari‟at, sehingga mengetahuinya. Setelah itu ia akan berada dalam keyakinan kebenaran yang ia peroleh. Selain itu memiliki manfaat seperti yang disebutkan di atas, akhlaq juga mempunyai kedudukan yang istimewa dalam Islam. ada beberapa keistimewaannya (Ilyas, 2012: 6-8), antara lain: a. Akhlaq mahmudah atau akhlaq yang terpuji merupakan pokok risalah Nabi Muhammad, sebagimana sabda beliau: َخَلَ ِق َ ْ «إِهّنَا بُعِْث ُ َّل ََت َم َم َكا ِرَم اْل:هِب صلى هللا عليو وسلم ُّ ِقال الن Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik (HR. Baihaqi). 105 b. Akhlaq yang terpuji akan memberatkan timbangan seorang hamba pada hari kiamat, sabda Nabi: ٍ ما ِمن َش اْلُلُ ِق ْ يء ْأث َق ُل ِف املِ َيز ِان ِم ْن ُح ْس ِن ْ َ Tidak ada satupun yan lebih memberatkan timbangan seorang hamba selain dari akhlaq yang baik (HR. Tirmidzi). c. Ukuran baik buruk iman seseorng tergantung pada baik tidaknya Akhlaq yang ia miliki. Sebagimana sabda Rasulullah: أَ ْك َم ِل ًأح َسنُ ُه ْم ُخلُقا َ ْ ًاملؤمني إميانا Orang mu‟min yang imannya paling sempurna adalah yang paling baik akhlaqnya (HR. Tirmidzi) Dari keistimewaan tersebut, jelaslah bahwa akhlaq merupakan ajaran pokok dalam Islam yang tidak bisa dinafikan. Oleh karena itu, adanya penanaman nilai pendidikan akhlaq merupakan keharusan dalam pendidikan Islam. Hal ini juga membutuhkan peran bebrapa pihak yaitu; keluarga, sekolah dan lingkungan untuk menanamkan nilai pendidikan akhlaq dalam diri seseorang sehingga perangai yang tercipta adalah akhlaq yang terpuji dan akan membawanya pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 3. Nilai Pe didika ‘Amaliyah Nilai pendidikan merupakan nilai yang berkaitan dengan pengendalian perbuatan dan kelakuan. Ia meliputi segala perbuatan yang dilakukan manusia terhadap Tuhannya (ibadah) serta perbuatan terhadap manusia (mu‟amalah). Nilai pendidikan „amaliyah dibagi menjadi dua yaitu: 106 a. Nilai Pendidikan Ibadah Kata ibadah secara bahasa (etimologi) diartikan dengan merendahkan diri, menyembah, memuja dan mengabdi serta tunduk kepada yang diibadahi. Sedangkan secara istilah (terminologi), ibadah mempunyai beberapa definisi, akan tetapi makna dan maksud sama (Jawas, 2004: 185). Di antaranya: 1) Ibadah merupakan ketaatan kepada Allah dengan cara melaksanakan segala yang diperintahkan oleh-Nya dan disampaikan melalui risalah dan lisan para Rasul-Nya. 2) Ibadah merupakan sikap merendahkan diri kepada Allah pada dengan ketundukan yang paling tinggi dan disertai rasa cinta yang paling besar sehingga mampu mengorbankan segalanya untuk cintanya tersebut. 3) Ibadah merupakan penamaan untuk segala sesuatu yang mencakup ucapan dan perbuatan baik nampak maupun batin yang denganya menimbulkan cinta dan ridha dari Allah. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan segala sesuatu yang silakukan oleh hamba sebagi bentuk ketaan dan kepatuhan serta rasa cinta yang besar kepada Allah yang dikerjakan karena ingin mendapatkan cinta dan ridho dari-Nya. Manusia diciptakan di dunia ini tak lain adalah untuk menghamba kepada Allah. Penghambaan atau pengabdian tersebut dimanifestasikan dan dinyatakan dengan cara beribadah kepada-Nya. 107 ibadah adalah kepatuhan tanpa batas yang dilakukan oleh hamba untuk mengagungkan yang disembah dengan perasaan hati yang ikhlas (Qardhawi, tt: 33). Ia juga merupakan bentuk penyerahan diri seorang hamba kepada sang Pencipta, serta bukti nyata bagi seorang muslim dalam keyakinan dan pembuktian akan aqidah Islamiyah yang beliau pegang. Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk selalu mengingat dan menyembah kepada-Nya dengan segenap jiwa dan raga, karena Dialah yang teah memberikan kehidupan serta kenikmatan hidup di dunia. Mengabdi dan menyembah Allah merupakan bukti dari rasa syukur atas nikamat dan karunbeliau yang telah diberikan. Adapun cara mengabdi dan menghamba kepada Allah adalah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dalam menjalani kehidupan sehari- hari. Ibadah yang beliau laksanakan haruslah yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah yang merupakan pedoman hidup bagi muslim. Dengan begitu, apabila seseorang beribadah secara benar sesuai dengan syar'i‟at Islam, maka itu merupakan implementasi secara langsung dari sebuah rasa syukur dan penghambaan dirinya kepada Allah. Allah SWT menyatakan bahwa apabila seseorag hamba melaksanakan ibadahnya dengan penuh rasa ikhlas dan rendah diri maka akan mendapatkan derajat tinggi yaitu akan digolongkan 108 sebagai orang yang bertaqwa. Dengan demikian kunci dari diterimanya ibadah adalah adanya rasa ikhlas dalam hati hamba. Ibadah tersebut bisa diakukan kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, sebagai seorang hamba, manusia harus mengingat Allah baik ketika sedang berdiri, berbaring, senang maupun susah. Ibadah dalam Islam secara garis besar terbagi menjadi dua jenis, yaitu ibadah mahdhah (ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdhah (ibadah umum). Ibadah mahdah yaitu ibadah yang telah ada ketetuannya baik waktu dan tata caranta, misalnya; shalat, haji, zakat, puasa. Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang tidak ada ketentuan yang mengikat baik waktu maupun tata caranya, meliputi segala yang dilakukan dengan tujuan memperoleh ridha Allah, misalnya senyum, sedekah dan lain sebagainya (Mahfud, 2011: 23). Semua ibadah yang Islam anjurkan bertujuan untuk menjadikan manusia agar selalu ingat dan patuh kepada Allah. Hal ini disebabkan kerena ibadah merupakan tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi. Allah berfirman: ِ اْلنس إِهَّل لِي عب ُد ِْ وما خلَْق ون ُ َ ََ ُ ْ َ َ ِْ اْل هن َو Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku ( QS. Adz Dzaariyat/ 50: 56 ). Ibadah yang dimaksud bukan ibadah ritual saja tetapi ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah dalam arti umum dan khusus. 109 Seseorang tidak akan langsung mampu melakukan ibadah sesuai dengan aturan Islam, dengan kata lain ia membutuhkan bimbingan dan pengajaran. Pembinaan ketaatan beribadah pada diri seseorang merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu, agar manusia mampu menjadi hamba yang taat beribadah dengan ibadah yang benar, membutuhkan pendidikan. Pendidikan ibadah merupakan salah satu ranah dalam pendidikan Islam yang membutuhkan perhatian. Ia merupakan penyempurnaan dari pendidikan aqidah, serta merupakan cerminan dari pendidikan aqidah. kerana beribadah kepada Allah, merupakan titik perubahan dari kekacauan dan ketidak teraturan dari kebingungan kepada tujuan yang pasti. Mengenai nilai pendidikan ibadah yang terdapat dalam am al n r QS. An-N r ayat 35, tercermin dalam lafat ِ ٍِ ِ اح ْ م ْش َكاة ف َيها م ٌ َصب Sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Al-Maraghi mengertikanya hati seorang mu‟min yang di dalamnya terdapat cahaya Allah. Dapat juga dikatakan sebagai seorang mu‟min yang hatinya diterangi oleh cahaya Allah, sehingga ia mengetahui hakikat segala sesuatu termasuk hakikat dirinya. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis, bahwa hakikat manusia adalah untuk mengabdi dan menghamba kepada Allah. Dengan begitu apabila seseorang telah mengetahui akan 110 hakikat dirinya, ia akan beribadah kepada Allah sebagai pengimplementasian terhadap pengabdian dan penghambaannya kepada Allah. Pengabdian dan penghambaan dibuktikan dengan beribadah. Beribadah merupakan salah satu cara mendapatkan ketenangan hati. Hati yang tenang berarti di dalamnya telah bersemayam cahaya Allah. Adapun al-Ghazali mengertikan “sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar” adalah panca indera manusia yang diluruskan oleh daya akal yang terbimbing oleh kebenaran (al-Qur‟an dan Sunnah). Panca indera yang dimiliki oleh manusia tidaklah selalu memberikan pengetahuan yang benar akan hakikat sesuatu. Oleh karena itu, dilengkapinya manusia dengan daya akal adalah untuk meluruskan kesalahan yang diperoleh dari panca indera. Hal ini sesuai dengan dampak dari ibadah, yang merupakan titik perubahan dari kekacauan, ketidak teraturan dan kebingunan kepada tujuan yang pasti. Seseorang hamba yang melakukan ibadah dengan benar sesuai dengan perintah Tuhannya, maka akan tertanam dalam dirinya sifat disiplin. Misalnya, seseorang yang dulunya merupakan orang yang tidak teratur dalam berbagai hal, kemudian ia menjadi rajin dalam beribadah lambat laun dalam dirinya akan tertanam sifat disiplin. Hal ini dikarenakan ibadah yang pelaksanaannya harus dengan ketentuan yang telah ditetapkan syara‟, dalam 111 pelaksanaannya harus dipenuhi, sehingga seseorang yang melaksanakannya pastilah mengikuti ketentuan tersebut. Dengan begitu sadar atau tidak sadar dalam dirinya akan tertanam sikap kedisiplinan. Sebagaimana pelita di dalam celah yang terjaga dari angin sehingga ia akan stabil. Karakteristik manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, dengan dibekali dua daya yang membedakannya dengan makhluk lain yaitu daya akal dan daya kalbu. Kedua daya tersebut dapat dikembangkan dan dipertajam dengan beribadah kepada Allah sesuai yang diperintahkan-Nya. Oleh karena itu, daya akal yang terbimbing oleh kebenaran merupakan hasil dari ibadah. (Ali, 2007: 15). ibadah adalah salah satu cara untuk pengendalikan jiwa dari nafsu yang membuatnya keruh. Yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan sadar dan insyaf mampu mengurangi penyakit hati. Ibadah kepada Allah akan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa, ia akan menjadikannya selalu merasa di awasi oleh Allah. Ibadah mampu meredam gejolak kejiwaan dan mengendalikan hawa nafsu, sehingga jiwanya akan lurus melalui munajat kepada Allah. Hal ini dapat terlaksana apabilah seseorang telah mengerti hakikat ibadah. Melalui hatinya beliau yakin akan perintah Allah dan dengan akalnya ia mengetahui bagaimana cara beribadah yang sesuai dengan 112 syari‟at Islam. Dengan begitu pendidikan ibadah mengarah pada penyucian hati dan mempertajam akal. Pendidikan ibadah pastilah mengandung nilai- nilai pendidikan ibadah dalam proses penanamannya. Nilai ibadah akan menjadi pendorong semangat dalam beribadah untuk mengingat Allah. Dengan begitu dapat dikatakan nilai pendidikan ibadah bagi seseorang akan membiasakannya mengingat Allah yang berujung pada perbuatan baik sebagai wujud ibadahnya kepada Allah. Perlu diketahui bahwa, fungsi ibadah dalam Islam ada tiga aspek (Ali, 2007: 17-18) : 1) Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Orang yang dalam hatinya ada keimanan, dirinya akan selalu merasa diawasi oleh Allah kapanpun dan di manapun. Oleh sebab itu, beliau akan selalu berupaya menyesuaikan segala perilakunya dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dengan demikian beliau akan selalu menjalankan kewajibannya kepada Allah dan menggantungkan segala kebutuhannya kepada Allah. Atas dasar itulah manusia akan terbebas dari penghambaan terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya, serta harta benda dan hawa nafsunya. 113 2) Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya Masnusia yang senantiasa beribadah akan timbul sikap empati dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan sikap ini, mereka akan selalu ingat bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sengan yang lainnya. Hal ini dikuatkan pula dengan banyaknya ayat al-Qur'an ketika berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan juga dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. Salah satu firman Allah yang menyebutkan hal tersebut adalah ibadah shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar, sehingga akan menimbulkan rasa aman untuk sekitarnya. Sebagaimana firman-Nya: ِ ك ِمن الْكَِت ِ ِ ص ََل َة تَْن َه ٰى ص ََل َة إِ هن ال ه اب َوأَقِ ِم ال ه َ َ ا ْت ُل َما أُوح َي إلَْي صَن ُعو َن اَّللِ أَ ْكَب ُر َو ه َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمن َك ِر َولَ ِذ ْك ُر ه ْ َاَّللُ يَ ْعَل ُم َما ت Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu alQur‟an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah diri dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Ankabut: 45) 3) Melatih diri untuk berdisiplin Merupakan suatu kenyataan bahwa segala ibadah menuntut untuk berdisiplin dalam mengerjakannya. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan suatu ibadah yang menuntut adanya tartib/ urut dalam pelaksanaannya. Misalnya ibadah shalat yang 114 mengharuskan wudlu terlebih dahulu kemudian mendirikan shalat dengan tata cara yang telah ditentukan. Dengan demikian, seandainya seseorang rajin dalam beribadah pastilah kesisiplinan terwujud dalam dirinya. Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwasanya nilai pendidikan ibadah yang terdapat dalam QS. An-N r ayat 35, menurut peneliti tercermin dalam lafat ص َباح ْ “ ِم شْكَا ةٍ ِفي َها ِمSebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar”. Memang dari kedua tokoh baik al-Maraghi dan al- Ghazali tidak secara langsung menyebutkannya dalam menafsirkan. Akan tetapi penafsiran tersebut mencerminkan adanya nilai pendidikan ibadah, karean secara urut keduanya menafsirkan mengenai ketenangan hati dan pikiran yang merupakan buah dari ibadah. Dengan begitu secara tersirat dalam penafsiran keduanya tersirat adanya nilai pendidikan ibadah. b. Nilai Pendidikan Mu’amalah (sosial) Perkataan mu‟amalah mempunyai makna mengenai pengaturan hubungan antar manusia. Hubungan yang diatur adalah hubungan perdata , yaitu hubungan yang mengatur antara individu dengan individu, serta hubungan publik yang mengatur hubungan individu dengan masyarakat umum atau negara (Ali, 1998: 297). Dapat disimpulkan bahwa pendidikan mu‟amalah merupakan pendidikan yang memuat pengaturan hubungan antara manusia baik 115 secara individu maupun kelompok. Dalam bahasa indonesia pendidikan mu‟amalah dapat disebut pula pendidikan sosial. Pendidikan mu‟amalah/ sosial didasarkan pada nilai yang menjadi acuannya. Nilai tersebut adalah Nilai pendidikan mu‟amalah (sosial) yang mengacu pada hubungan individu dengan dengan orang lain dalam sebuah masyarakat. Nilai sosial penanaman mencakup berbagai norma baik kesusilaan, kesopanan dan segala macam produk hukum yang ditetapkan manusia, seperti gototng royong, toleransi, ramah tamah, kerjasama, kasih sayang sesama, solidaritas, simpati dan empati terhadap orang sekitarnya. Selain itu,bagaimana seseorang harus bersikap, menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk di dalamnya nilai sosial. Dengan keanekaragaman masyarakat maka sangat penting adanya pengendalian diri untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Nilai sosial dapat digunakan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Dalam QS. An-N r ayat 35 mengenai am al n r, menurut penulis yang berindikasi mengandung nilai pendidikan mu‟amalah atau sosial adalah Pohon yang diberkahi. ٍَشجرةٍ ُّمبارَكة َ َ ََ 116 Yang dimaksudkan adalah pohon zaitun. Baik Al-Maraghi maupun Al-Ghazali menjelaskan bahwa zaitun dinamai pohon yang diberkahi karena mempunyai banyak manfaat dan keistimewaannya. Ia merupakan pohon yang berbuah dalam jumlah yang banyak. Ia juga merupakan pohon yang memiliki banyak manfaat, hampir semua dari bagian tubuhnya mampu dimanfaatkan oleh manuasia. Begitu juga seharusnya manusia yang beriman. Seseorang yang beriman haruslah memberi manfaat kepada orang disekitarnya. ِ أَنْ َف ُع ُه ْم للن:هاس ِ َخْي ُر الن هاس Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (HR. Asy-Syihab alQażai) Orang yang beriman merupakan digolongkan sebagai orang baik apabila ia mampu memberikan manfaat bagi sekitarnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, seseorang yang beriman hendaknya menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama di semua ranah baik masyarakat maupun negara. Karena hal tersebut merupakan implementasi dari nilai keimanan yang tertanam dalam jiwanya. Peran orang beriman dalam bentuk kepedulian sosial atau dalam masyarakat, sangat erat hubungannya dengan implementasi dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhkan aspek-aspek aqidah dan akhlak pada setiap diri. Seterusnya dari diri dan membentuk keluarga, sehingga pada akhirnya akan terbentuk suatu masyarakat 117 yang seimbang dalam kesejahteraan dan keadilan. Sebab pribadi yang seimbang akan menumbuhkan masyarakat yang seimbang. Kesejehteraan sosial dimulai dengan ajaran Islam, yaitu penyerahan diri seorang muslim kepada Allah SWT. Karena tenangnya jiwa akan tercipta apabila kerukunan da n kesejahteraan tercipta. Kesejahteraan sosial akan tumbuh dan berkembang dari kesadaran bahwa pilihan Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya dalam kondisi apapun mempunyai bermanfaat dan selalu mengandung hikmah bagi manusia. Allah memerintahkan manusia untuk berusaha dengan maksimal sebelum berserah kepada Allah. Hal ini merupakan pendidikan kejiwaan bagi tiap individu, keluaraga, dan masyarakat, misalnya kesediaan membatu sebelum dimintai pertolongan oleh orang yang membutuhkan, atau bersedia untuk mengorbankan seseuatu demi kepentingan banyak orang. Inilah yang dinamakan kepedulian sosial. Bentuk kepedulian sosial dalam masyarakat mencakup segala jenis antuan, baik yang berupa materi dan non materi atau fisik maupun non fisik. Salah satu dasar hukum dari kepedulian sosial yang berbentuk non materi adalah hadits Nabi berikut ini: ِِ ِِ ِ ِ ِ ْ فَإِ ْن ََل. فَإِ ْن ََلْ يَ ْستَط ْع فَبِل َسانو.َم ْن َرأَى مْن ُك ْم ُمْن َكرا فَ ْليُغَِّْيُه بِيَده ِ َف ا ِْلمي ان ْكأ َ ِ َو ٰذل.ِيَ ْستَ ِط ْع فَبَِقلْبِو ُ َض َع Dari Abu Sa‟id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wasallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan 118 lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim) Hadits tersebut mencerminkan kualitas keimanan seseorang dalam bentuk kepedulian sosial non materi. Lain halnya dengan kepedulian sosial dalam bentuk materi yang mengandung pesan bahwa setiap orang muslim harus ikut merasakan nikmat tidaknya suatu kejadian dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi dasar penghubung mengenai keterkaitan adalah adanya rasa senasib dan seperjuangan. Salah satu ayat yang mencerminkan kepedulian dalam bentuk materi adalah: ِ ِّ ِأَرأَي اله ِذي ي َك ِّذب ب ِ ُّ ك اله ِذي ي ُد ض َعَل ٰى ُّ يم َوََّل ََُي َ الدي ِن فَ َٰذل َ َْ ُ ُ َ َ ع اْلَيت ِ ِطَ َع ِام الْ ِم ْسك ي Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. Al-Ma‟un: 1-3) Ayat di atas menjelasakan bahwa menganjurkan memberi pangan, membantu kesulitan orang lain mencerminkan kepedulian sosial seseorang yang lahir dari keimanannya (Ali, 2007: 65-67). Dengan nilai pendidikan mu‟amalah atau pendidikan sosial yang tertanam dalam jiwa orang yang beriman, diharapkan mampu menjadikannya pribadi-pribadi yang berguna bagi sesama baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sebagaimana pohon zaitun yang mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan manusia. 119 4. Persamaan dan Perbedaan Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Amṡal “Nūr” Kajian atas QS. An-Nūr Ayat 35 berdasar penafsiran AlMaraghi dan Al-Ghazali Nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam QS. An-N r Ayat 35, penafsiran kedua tokoh mencerminkannya pada lafat yang sama pada tiap nilai pendidikan. Akan tetapi dalam objek yang dibimbing keduanya berbeda, al-Maraghi lebih kepada pembimbingan hati sedangkan alGhazali pada akal. Namun keduanya saling berkaitan dan memiliki peranan masing- masing dalam menanamkan nilai pendidikan Islam. Dengan demikian agaknya tidak ada perbedaan besar antara keduanya. Tidak hanya nilai- nilai pendidikan aqidah, akhlaq, dan amaliyah saja yang terdapat dalam amtsal nur QS. An-N r Ayat 35, sebenarnya masih banyak lagi nilai pendidikan yang dapat digali dari amtsal nur dalam QS. An-Nur Ayat 35, namun dalam penelitian ini hanya dibatasi dengan tiga nilai pendidikan sebagaimana telah disampaikan dalam kerangka teori sebelumnya. Seandainya bila diteliti lagi salah satu dari nilai pendidikan tersebut adalah nilai pendidikan spiritualitas. Beliau merupakan nilai pendidikan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang kuat dan berperan sebagai pengokoh hubungan antara seorang muskmin dengan Tuhannya, serta sebagai penghubung faktor duniawi dan faktor ukhrawi. Pendidikan spiritualitas dalam Islam merupakan pembersihan jiwa dan menjernihan akal menuju Allah. Dalam prosesnya membutuhkan 120 peatihan dan pendidikan yang berat dan susah payah. Beliau harus melawan penyakit-penyakit yang dapat menganggu kesehatan jiwa dan akalnya. Hal ini sejalan dengan penafsiran al-Maraghi mengenai cahaya Allah yang hanya dapat diperoleh apabila hati seorang hamba telah kosong dari nafsu dunianya. Begitu pula dengan penafsiran al-Ghazali yang mengatakan manusia harus berjuang dengan kemampuan akalnya untuk memperoleh cahaya Allah, akal yang bersih dan penuh konsentrasilah yang akan sanggup.