BAB I PENDAHULUAN Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan langsung dengan keadaan yang kini dapat ditemukan di Jawa atau di tempat lain, tetapi sebagian lainnya hanya dapat ditelusuri melalui dokumentasi foto. Hal ini menyebabkan penelitian terkait relief menjadi menarik, karena tidak hanya berhubungan dengan masa lampau, tetapi juga dengan perkembangannya hingga masa sekarang (Kempers, dalam Atmadi, 1979:13). Salah satu relief yang menarik untuk diteliti ialah relief di Candi Borobudur. JG de Casparis dalam Haryono (2011), menyatakan bahwa secara etimologis Borobudur berasal dari kamulan i Bhumi Sambhāra yang tertulis dalam prasarti Çri Kaluhunan 842 M yang bermakna sebuah bangunan permujaan untuk Kamulan (asal-usul dinasti ailendra) bernama Bhūmisambhāra. Candi Borobudur menggambarkan makrokosmos yang berkaitan dengan Buddha, yang juga dapat dihubungkan dengan konsep Tridhatu, yaitu kamadhatu, tingkat pertama, merupakan tingkat dunia manusia biasa yang masih terkait dengan nafsu. Rupadhatu, tingkat kedua, yaitu dunia manusia yang masih terkait dengan rupa namun telah mampu mencapai kesempurnaan. Tingkat ketiga yaitu Arupadhatu, merupakan tingkat dunia kedewaan yang mengandung makna tidak berbentuk (Haryono, 2011:12-13). Pada masing-masing tingkatan tersebut dihiasi sejumlah relief yang terkait dengan ajaran dan cerita tokoh-tokoh suci (Kempers, 1976:88-121), terdiri atas: 1 2 1. Karmawibhangga Bagian ini ditemukan di kaki candi asli yang saat ini ditutup kaki tambahan sehingga tidak dapat dilihat. Relief pada tingkatan ini menceritakan tentang hukum sebab akibat atau hukum karma manusia. Semua relief yang terdapat pada tingkatan paling bawah melambangkan kehidupan dengan dunia materi yang mementingkan aspek duniawi (lihat gambar I.I). 2. Lalitavistara Arti dari Lalitavistara ialah kisah sandiwara, yang menceritakan kehidupan Buddha di dunia yang dianggap sebagai sandiwara. Dikisahkan, kehidupan sang Buddha sejak dilahirkan kembali menjadi Pangeran Sidharthā hingga mengalami pencerahan dan menyebarkan Dharma untuk pertama kalinya. Dunia yang digambarkan dalam tingkatan ini ialah gambaran dunia yang tenang dan damai, walaupun masih terkait dengan kehidupan duniawi. Relief digambarkan di teras pertama pada dinding bagian atas (lihat gambar I.I). 3. Jataka Dalam kisah ini diceritakan peristiwa yang dialami Buddha dan kehidupan Buddha yang telah lalu. Jataka mengisahkan Buddha ketika beringkarnasi menjadi hewan. Relief terletak pada bagian atas dan bawah pagar langkan tingkat ke-1 dan tingkat ke-2 (lihat gambar I.I). 4. Avadana Kisah ini merupakan bagian dari kisah Jataka, yang menggambarkan pengorbanan orang-orang suci dalam agama Buddha. Salah satunya 3 kisah tentang Pangeran Sudhana dan Putri Manohara. Relief terletak pada dinding bagian bawah tingkat ke-1 (lihat gambar I.I). 5. Gandavyuha Kisah ini menceritakan Bhodhisatva dalam pengembaraannya untuk melakukan kebajikan Buddha yang dilakukan tanpa mengenal lelah agar mencapai kesempurnaan. Relief terletak pada dinding dan pagar langkan tingkat ke-3 dan pagar langkan tingkat ke-4 (lihat gambar I.I). 6. Bhadracari Kisah ini merupakan penutup kisah sang Bhodhisatva. Dikisahkan Pangeran Sudhana yang bertekat menaati ajaran Samantabadra, sebagai tokoh Buddha akhir zaman. Relief terletak pada dinding tingkat ke-4 (lihat gambar I.I). Cerita dalam relief-relief yang terdapat pada bagian candi merupakan mahakarya yang mereprentasikan kehidupan masyarakat Jawa Kuna melalui pahatan. Meskipun tema cerita pada relief bukan kisah asli dari Jawa Kuna, namun cara penggambaran sosok tubuh manusia, jenis binatang dan pepohonan serta bentuk-bentuk bangunan yang tampil dalam relief memiliki ciri Jawa yang Khas (Kusen, 1985:28). Sehubungan dengan hal keterangan di atas, relief merupakan data yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui keadaan masyarakat pada masa relief tersebut dibuat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kemiripan antara gambar yang digambarkan dengan sumber-sumber tertulis (Astuti, 1987:133). Cara membaca relief yang terdapat di Candi Borobudur, dimulai dari gapura candi pada bagian sebelah timur, dengan cara pradaksina, yaitu 4 mengelilingi candi searah dengan jarum jam, sehingga bangunan ada di sebelah kanan. Cara ini merupakan salah satu cara penghormatan kepada dewa dan memiliki makna tiada awal dan tiada akhir. Hal ini berkaitan dengan hidup, kehidupan, dan kehidupan setelah kematian (Haryono, 2011:7). Relief yang ada di Borobudur berjumlah 1.460 buah panil, menghiasi 1900 m² area bangunan, mulai dari bagian kaki yang tertutup di bagian Kamadhatu hingga teras dua di Rupadhatu, sedangkan di bagian Arupadhatu tidak terdapat relief. Hal tersebut dikarenakan tingkatan Arupadhatu memvisualisasikan nirwana sehingga tidak ada lagi hal-hal yang menyangkut rupa, sebagai perwujudan keduniawian (Miksic, 1991:39-42). Gambar 1.1 Peletakan relief pada Candi Borobudur (Sumber: Miksic, 1991:43) Dalam relief Borobudur, setiap tokoh yang di pahatkan mengenakan perhiasan. Ragam perhiasan yang dikenakan cukup bervariasi, mulai dari perhiasan yang sederhana hingga perhiasan yang sangat raya. Oleh karena itu, di antara sejumlah relief yang ada di Candi Borobudur, penulis tertarik untuk 5 menelusuri Relief Lalitavistara, khususnya pada ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh yang ada dalam relief cerita Lalitavistara. Relief Lalitavistara menggambarkan perjalanan Boddhisatva yang diturunkan dari Swarga Tushita menjadi manusia, yang kemudian dikenal dengan sebutan Buddha Sakyamuni. Dalam kehidupannya, Ia bertugas menyebarkan kebajikan serta melepaskan samsara pada umatnya. Dikisahkan bahwa Boddhisatva dilahirkan kembali menjadi manusia, menitis pada seorang pangeran dari Kerajaan Kapilawastu, India. Ia terlahir sebagai putra Raja Śuddhodana dan Permaisuri Māyādevi dengan nama Sidharthā. Pangeran Sidharthā tumbuh menjadi manusia yang paling menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan dan pertarungan di antara manusia lainnya. Hingga pada akhirnya, Ia memutuskan untuk melakukan sebuah perjalan mencapai pencerahan, mencari kebahagiaan dan ketenangan menuju nirvana (Joesoef, 2004:102-112). Cerita Lalitavistara berlatar istana, tetapi juga menggambarkan kehidupan sosial di luar istana. Hal tersebut dapat dilihat dari setting penggambaran kisahnya. Konteks adegan dalam relief menunjukkan perbedaan latar kehidupan di dalam dan di luar istana. Oleh karena itu, relief ini dipilih sebagai objek penelitian. Terkait dengan stratifikasi masyarakat, masyarakat Jawa Kuna sudah mengenalnya, sebagaimana dikutip dari De Casparis, dalam Darmosoetopo (2003), bahwa di dalam masyarakat Jawa Kuna terdapat tiga lapisan sosial, yaitu kelompok agama, bangsawan, dan penduduk biasa. Lebih lanjut Darmosoetopo (2003) menyebutkan bahwa dalam kelompok agama, terdapat para marhyang, bihāraswami, dan pamgat. Mereka adalah orang-orang yang bertugas dalam 6 urusan upacara dan pengelolaan bangunan keagamaan. Kelompok bangsawan adalah orang-orang yang menjabat dalam stuktur pemerintahan baik di tingkat kerajaan maupun di luar kejaraan dan mempunyai lungguh. Penduduk biasa merupakan golongan yang cakupannya luas, terdiri atas beberapa kelompok, yaitu golongan petani, pedagang, pengusaha, pengrajin, dan termasuk juga hamba atau budak. Stratifikasi masyarakat Jawa Kuna tersebut divisualisasikan dengan jelas dalam relief Lalitavistara. Visualisasinya dapat dilihat dari rangkaian cerita dan peristiwa yang diwujudkan dalam adegan-adegan pada relief. Perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam relief ditengarai menjadi penanda yang membedakan tokoh satu dengan lainnya. Stratifikasi masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: kualitas serta keahlian, senioritas, keaslian, hubungan kekerabatan, pengaruh dan kekuasaan, pangkat, serta kekayaan (Koentjaraningrat, 2005:161). Selain itu terdapat prestige (gengsi) yang merupakan pandangan status atau kehormatan dari berbagai kelompok yang merupakan suatu dimensi penting dalam stratifikasi sosial. Gengsi tersebut ditentukan oleh sistem nilai yang berlaku pada suatu masyarakat dan keutamaan fungsional yang terlihat dari berbagai macam kedudukan dalam masyarakat tersebut (Warner, 1949:438). Untuk kepentingan tersebut, diperlukan penanda berupa benda. Benda yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat ialah perhiasan. Fungsi perhiasan selain untuk pelengkap fashion juga sebagai penunjuk status sosial dan identitas. Tidak hanya itu, perhiasan merupakan bagian dari kebudayaan, juga untuk mengekpresikan media estetika seorang seniman (Drutt dalam Lufiani, 2009:261). 7 Keberadaan perhiasan sebagai penunjuk stratifikasi masyarakat Jawa Kuna dapat ditelusuri melalui pasĕk-pasĕk yang diberikan sebagai hadiah. Dalam upacara penetapan sima, para pejabat desa yang menghadiri upacara penetapan sima mendapatkan pasĕk-pasĕk, baik berupa pakaian, perhiasan, ataupun uang. Jumlah pasĕk yang diterima berbeda-beda antara pejabat satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut dilatari oleh status sosial para pejabat yang menerimanya (Darmosoetopo, 2003:154-155). RUMUSAN MASALAH Melalui uraian di atas diketahui bahwa perhiasan memiliki peran sebagai penanda status sosial. Dalam Relief Lalitavistara di Candi Borobudur, ditemukan gambaran akan stratifikasi masyarakat. Salah satu penanda stratifikasi masyarakat tersebut adalah perhiasan yang dikenakan tokoh dalam relief. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji ragam perhiasan dan bagaimana keterkaitannya dengan stratifikasi masyarakat. Adapun permasalahan yang dikaji, yaitu: 1 Apa saja ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Lalitavistara? 2 Apakah perhiasan dapat menjadi tolok ukur stratifikasi masyarakat dalam cerita Lalitavistara? 8 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Lalitavistara. 2. Mengelompokkan perhiasan berdasarkan kedudukan tokoh yang mengenakan. 3. Mengidentifikasi perhiasan yang dapat menjadi penanda status dalam stratifikasi sosial masyarakat. RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini memfokuskan pada perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dalam relief Lalitavistara. Selain menceritakan kisah lahirnya ajaran Budhis, dalam visualnya Lalitavistara menyuguhkan keragaman kehidupan sosial, yang ditunjukkan antara lain melalui banyak tokoh dan perhiasan yang dikenakan. Dalam kajian ikonografi perhiasan yang dikenakan tokoh disebut abharana, yaitu pakaian dan perhiasan yang dikenakan ikon. Lingkup kajian dalam penelitian ini ialah kajian ikonografis. Dalam cakupan besar, rangkaian pigura-pigura yang menggambarkan cerita dapat dipandang sebagai ikon dari karya sastra, baik yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis. Dalam cakupan yang lebih kecil, cakupannya mengacu pada situasi kehidupan manusia yang mewakili kondisi pada saat pembuatan candi (Sedyawati, 1994:65). Implikasi dari penelitian ini adalah menentukan tipologi atribut perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dengan mengklasifikasikannya berdasarkan 9 tingkat keterincian bentuk dan jumlah perhiasan yang dikenakan sehingga dapat menunjukan status sosial tokoh dalam relief. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian tentang stratifikasi dan perhiasan dengan objek relief sebenarnya sudah dilakukan. Akan tetapi, penelitian tentang perhiasan sebagai penanda stratifikasi sosial pada masyarakat berdasarkan Relief Lalitavistara, belum dilakukan. Artinya penelitian-penelitian terdahulu, baik tentang perhiasan maupun tentang stratifikasi sosial tidak saling dikaitan. Penelitian yang dilakukan Edi Sedyawati dengan judul Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna (2009), menjelaskan perkembangan Agama Hindu dan Buddha. Di dalamnya juga memaparkan pengarcaan beserta ragam hias pada arca secara umum dan tidak spesifik. Penelitian tersebut mendeskripsikan banyak relief dan arca dari berbagai candi di Jawa, tidak terfokus pada satu cerita relief dan candi. Hasilnya tidak membuat tipologi perhiasan dalam kaitannya dengan golongan masyarakat yang tergambar pada relief. Penelitian Hendrika Tri Sumarni (2000) yang berjudul Variasi Pakaian dan Perhiasan Arca Batu Durga Mahisasuramardhini Koleksi Museum Nasional Jakarta, menghasilkan tipologi perhiasan yang dikenakan Durga dan gambaran sosial budaya pada masa tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan variasi perhiasan, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat stratifikasi masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Astuti (1987), dengan judul Pakaian Bangsawan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad XII–XV Masehi Tinjauan Berdasarkan Beberapa Relief Candi di Jawa Timur, menjelaskan tipologi pakaian bangsawan pada masa Jawa Kuna. Selain pakaian, dalam penelitian tersebut 10 juga mengidentifikasi perhiasan sebagai pelengkap pakaian yang dikenakan bangsawan. Walaupun dalam penelitian tersebut juga dipaparkan penggolongan masyarakat, namun penelitiannya hanya terfokus pada golongan bangsawan saja. Penelitian yang dilakukan oleh Inda Citraninda Noerhadi (2012), dengan judul Busana Jawa Kuna, menghasilkan beberapa tipologi pakaian yang dikenakan masyarakat Jawa Kuna melalui Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Meskipun dalam penelitian tersebut disebutkan perhiasan yang menjadi salah satu tolok ukur statifikasi masyarakat, akan tetapi identifikasi perhiasan dalam penelitian tersebut bersifat permukaan dan tidak mendalam. METODE PENELITIAN Untuk menjawab permasalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, kajian yang digunakan ialah studi Ikonografi. Ikonografi adalah kajian tentang identifikasi, deskripsi dan interpretasi ikon berdasarkan atribut yang menjadi penandanya. Salah satu bagian dari penanda ikon adalah abharana, yang terdiri atas pakaian dan perhiasan. Kemudian hasil identifikasi perhiasan dikaitkan dengan stratifikasi masyarakat yang ada dalam relief. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuantemuannya diperoleh melalui prosedur analisis non-matematis (Strauss, 2003:45). Dalam penelitian ini penalaran yang digunakan adalah induktif, yang didasarkan pada kajian fakta-fakta atau gejala khusus untuk disimpulkan sebagai gejala yang bersifat generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988:34). Penalaran ini menjadi dasar penelitian yang mengutamakan pengkajian data sebagai pangkal 11 tolak penyimpulan. Konsep-konsep dan definisi oprasional digunakan sebagai pengarah dalam penelitian. Dengan demikian, sifat penelitian ini ialah deskriptif. Pada hakekatnya, bertujuan untuk memberikan gambaran suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian. Dengan demikian penelitian ini mengutamakan kajian data, yang dikaitkan dengan kerangka ruang, waktu, dan bentuk (Tanudirjo, 1988:34). Terdapat 120 panil dalam Relief Lalitavistara yang digunakan sebagai data. Akan tetapi tidak seluruh panil dalam Lalitavistara digunakan sebagai data. Data dipilih dengan menggunakan teknik Purposive Sampling (Mantra, 1989:155). Penggunaan purposive sampling dikarenakan ditemukan beberapa relief dalam kondisi yang sudah tidak baik dan juga terdapat tokoh yang sama dalam beberapa relief, maka data relief yang diambil merupakan relief dengan kondisi baik dan terdapat tokoh yang dapat mewakili keseluruhan cerita Lalitavistara. Kriteria yang digunakan untuk memilih sample adalah tokoh, yang mewakili stratifikasi masyarakat yang digambarkan dalam relief. Cerita Lalitavistara sudah teridentifikasikan sampai dengan tokoh yang digambarkan. Acuan identifikasi cerita menggunakan publikasi yang ditulis oleh Pleyte (1901) dan Leber (2011). Tokoh yang dipilih adalah yang mewakili strata masyarakat dalam cerita dan perhiasannya dapat diamati dengan jelas penggambarannya, tidak rusak atau aus. Berdasarkan metode yang digunakan, maka tahapan penelitian adalah sebagai berikut: 12 1. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan, pengenalan dan pendokumentasian tokoh dan perhiasan yang dikenakan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, berupa semua informasi baik tentang perhiasan dan stratifikasi masyarakat Jawa Kuna sebagai data pendukung. 2. Tahap Pengolahan Data Dalam pengolahan data dilakukan pemilihan relief terbaik yang mewakili keseluruhan tokoh dalam cerita. Kemudian dilakukan pendeskripsian, berupa penjelasan secara naratif (Riyanto, 2000:10) terhadap panil-panil relief terpilih. Dalam prosesnya tersebut dilakukan deskripsi cerita, dengan fokus perhiasan yang dikenakan para tokoh. 3. Tahap Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada. Analisis yang pertama ialah pembuatan tipologi perhiasan, untuk memperoleh ragam perhiasan yang dikenakan tokoh. Tipologi dikembangan dengan tujuan spesifik, salah satunya ialah melakukan penggolongan ke dalam sistem penelitian. Dalam ilmu arkeologi, tipologi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, hal tersebut dipengaruhi oleh perumusan dan penggunaan tipologi itu sendiri. Pembuatan dan penggunaan tipologi melibatkan proses yang terpisah dari klasifikasi (menciptakan kategori) dan pemilahan (menempatkan sesuatu ke dalam kelompok tertentu) (Adams, 2008:240). 13 Pembuatan tipologi perhiasan yang dikenakan tokoh dalam Relief Lalitavistara dibuat berdasarkan kenampakkan morfologisnya. Melalui pengelompokan perhiasan yang digunakan oleh para tokoh, dapat diketahui variasi dan jumlah perhiasan yang dikenakan. Dengan mengetahui variasi dan jumlah perhiasan yang dikenakan setiap tokoh dalam Relief Lalitavistara, maka dapat dilihat status sosial pengguna perhiasan. Kemudian, dapat digolongkan dari strata manakah tokoh-tokoh tersebut. 4. Tahap Interpretasi Setelah mengetahui hasil dari analisis tipologi perhiasan maka dapat dilakukan pemilahan golongan dalam stratifikasi masyarakat yang tergambar dalam relief Lalitavistara, hasil dari analisis tersebut diinterpretasi untuk mencari makna dan implikasi dari hasil penelitian (Effendi, 1989:263). Oleh sebab itu, analisis tipologi menjadi interpretasi yang menghasilkan kesimpulan yang dapat menjawab seluruh permasalahan yang diajukan sebelumnya. 5. Tahap Kesimpulan Tahan interpretasi diakhiri dengan melakukan generalisasi empiris diperoleh dari hasil interpretasi, yang kemudian menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan dapat menjawab seluruh permasalahan yang diajukan.