DOKUMEN AKADEMIK FAKULTAS PETERNAKAN UGM No. Dokumen AKA-FPT- PTD 2101-02 Tgl. berlaku 3 April 2013 Revisi 00 Halaman 1 dari 65 GENETIKA TOPIK I. PENDAHULUAN (Minggu I) Ilmu Genetika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari gen sebagai dasar biologis yang mengontrol pewarisan sifat. Karena gen memegang peran utama kehidupan, menyebabkan genetika mempunyai banyak kaitannya dengan cabang lain dalam bidang biologi. Ilmu Genetika dimulai dengan adanya konsep-konsep yang dikemukakan oleh Gregor Mendel (1822-1884) pada tahun 1865. Mendel merupakan orang yang pertama kali dapat menerangkan bahwa persamaan dan perbedaan antara anak dengan tetuanya dapat diterangkan dengan teori pewarisan gen. Oleh karena itu Gregor Mendel dianggap sebagai bapak ilmu Genetika. Teori-teori yang mengarah pada pemikiran tentang ilmu genetika dimulai oleh kir kuno pertama, Thales (± 500 SM) yang berpendapat bahwa kehidupan berasal dan timbul dari air. Pada awal abad ke-17, Leeuwenhoek beranggapan bahwa kehidupan muncul begitu saja yang disebut sebagai teori generasi spontan. Kemudian teori ini diragukan oleh Redi (1621-1697) dan Spallanzani (1739-1799) yang menyatakan bahwa makhluk hidup dapat berasal dari benda mati yang disebut dengan teori abiogenesis. Pada awal abad ke-19, Pasteur (1822-1895) dan Tyndall (1820-1893) menemukan teori baru yang mengatakan bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk hidup juga, disebut teori biogenesis. Pada akhir abad ke-19, serangkaian penemuan baru telah terjadi. Struktur jaringan sel dan pembelahan sel makin dapat dipahami dengan jelas. Mula-mula ditemuukan sitoplasma dan nukleoplasma, kemudian kromatin dan akhirnya kromosom. Penemuan Mendel menunjukkan bahwa jumlah yang konstan dari kromosom pada setiap spesies dan sifat pembelahan yang konstan merupakan pola dasar dari 1 pewarisan sifat dari tetua kepada anak keturunannya. Walaupun penemuan tersebut telah dipublikasikan pada 1866, namun teori ini baru diakui kebenarannya dalam tahun 1900. Mungkin orang masih terpengaruh oleh buku Charles Darwin tentang evolusi yang tersohor sampai saat ini yang diberi judul "On the Origin of Spesies" (1859), sehingga penemuan Mendel tertutupi begitu saja. Tahun 1868 Darwin juga menerbitkan sebuah buku yang berjudul "Variation of Animals and Plants under Domestication" yang isinya menyebutkan bahwa ada perubahan berangsur dan berurutan terus menerus pada makhluk. Sedangkan penemuan Mendel memberikan klasifikasi yang tegas antara berbagai variasi dalam persilangannya dan dari dia membuat perhitungan matematika, berupa perbandingan antara berbagai variasi yang timbul. William Bateson (1861-1926) merupakan orang yang pertamakali menerapkan Mendel pada ternak. Tahun 1902, dia mempublikasikan teori-teori pewarisan pada jengger ayam dan ada tidaknya tanduk pada sapi. Tahun 1906, Bateson menyarankan penamaan cabang ilmu biologi yang khusus membicarakan tentang teori pewarisan sifat disebut sebagai Ilmu Genetika. Sementara itu pengetahuan orang tentang sitologi berkembang pesat, dan menjadi penunjang penting bagi perkembangan genetika. Setelah ditemukannya 2 buah kromosom inti ovum dan sperma, dan 4 buah dalam zigot Parascaris oleh E. Van Beneden (1883), T. Boveri (1891) mengemukakan sebuah teori, bahwa kromosom yang terkandung inti sel ialah pembawa bahan genetis. Tingkah laku materi genetis itu dikenal lebih mendalam setelah W. Flemming (1882) dan W. Roux (1883) mengamati proses pembelahan matis, yang kemudian diberi nama mitosis. A. Weismann (1887) melihat bagaimana kromosom itu membagi 2 waktu pembelahan sel dalam pembentukan gamet, yang kemudian dikenal dengan meiosis. Demikianlah WS. Sutton (1902) berkesimpulan, ada kesejajaran tingkah laku kromosom ketika sel membelah dengan segresi bahan genetis ditemukan Mendel. J. Belling (1930) berjasa dalam mengembangkan sitogenetika, karena ia menemukan cara yang mudah dan sederhana untuk mengamati tingkah laku kromosom di bawah mikroskop. T.H. Morgan (1914) menemukan, bahwa gen yang menjadi unit terkecil bahan genetis, yang istilahnya diperkenalkan oleh W. Johannsen (1903), 2 terdapat banyak dalam kromosom. Dalam proses pewarisannya kepada keturunan menyimpang dari penemuan Mendel. Sebelumnya dianggap bahwa gen berada pada kromosom sendiri-sendiri, sehingga setiap gen mengalami pemisahan yang seimbang ketika gametogenesis. Morgan menyebut gen-gen itu berangkai. Bahan genetis rupanya tidaklah baka, dapat berubah, seperti ditemukan Hugo de Vries (1901). Dia sebut perubahan genetis yang bukan karena pengaruh hibrid itu mutasi. Kemudian A.Garrod (1909) menemukan banyak penyakit bawaan disebabkan keabnormalan kegiatan enzim, sedangkan enzim-enzim itu diproduksi oleh gen. V.M. Ingram (1956) pun melihat, beda Hb (hemoglobin) normal dan abnormal terdapat pada perbedaan urutan asam-asam amino dalam molekul globinnya, dan itu karena mutasi. Tingkah laku mutasi diperdalam oleh H.J.Muller (1927). la dapat melakukan mutasi buatan (induksi) dengan meradiasi seekor hewan dengan sinar-X. Kemudian C. Auerbach (1962) memperkenalkan berbagai zat kimia yang juga dapat menimbulkan mutasi buatan. Pengetahuan genetika lebih maju lagi, dengan diketahuinya susunan molekul gen, yang terdiri dari ADN (asam deoksiribosa nukleat). Bangunannya dibuat model oleh J.D.Watson dan F. H. C. Crick (1953) dan disempurnakan oleh M.H.F. Wilkins (1961). Sejak M.W Nirenberg (1961) menyusun kode genetis yang menentukan urutan asam-asam amino dalam sintesa protein, diketahuilah bahwa gen itu bekerja menumbuhkan suatu karakter lewat sintesa protein dalam sel-sel tubuh. Selanjutnya A. Kornberg (1958) dapat mengisolasi ADN dan membuat tiruannya. Sedang H. G. Khorana (1971) dalam membuat sintesis gen itu in vitro berhasil meniru sifat gen asli, karena mampu melakukan transkripsi untuk sintesa protein dalam sel. Perkembangan genetika mutakhir ialah transformasi gen. Gen kini dapat dipindah-pindahkan dari satu individu ke individu lain dengan memperalat virus atau bakteri. Dasar transformasi ini ditemukan F. Griffith (1928) pada bakteri pneumococcus. Berpuluh-puluh tahun kemudian dikembangkan oleh banyak sarjana, seperti O. T. Avery, C. M. Macleod dan M. McCarty (1944), dan belakangan A. Hershey dan M. Chase (1952). Mereka kemudian mendapat Hadiah Nobel berkat jasa-jasa mereka yang besar dalam genetika biokimia mikroba. 3 Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 4 TOPIK II. BIOLO GI SEL (Minggu ke II dan III) 1. Biologi sel Sel dari organisme multiseluler dibagi atas dua kelas besar, eukariot yaitu sel-sel yang memiliki bentuk inti sempurna, dan prokariot yaitu sel-sel dengan bentuk inti belum sempurna. Pada sel eukariot, inti sel dipisahkan dari sisa isi sel lainnya dengan suatu membran. Sel prokariot, matriks inti sel tidak dipisahkan. Eukariot terdapat pada semua sel hewan dan tanaman, sedangkan prokariot terdapat pada bakteri, ganggang dan mikroplasma. Pada bahan kuliah ini hanya akan dibahas struktur dari eukariot saja. a. Sel eukariot Sel eukariot terdiri atas sitoplasma dan inti sel, yang terbungkus dalam suatu membran. Membran ini terdiri atas susunan protein, lemak dan karbohidrat. Bentuk dan fungsi dari membran sel bermacam-macam, ada yang ikut mengatur pertukaran materi sel satu dengan sekelilingnya dan ada yang dapat meneruskan rangsangan, misalnya pada sel syaraf. b. Sitoplasma Di dalam sitoplasma dijumpai beberapa bentukan, yang terpenting diantaranya adalah : Mitokondria. Benda kecil yang berfesikula, terutama berfungsi dalam metabolisme sel, sebagai pembentuk energi dalam metabolisme karbohidrat dan lemak, sintesis ATP dan porfirin. Aparatus golgi. Berbentuk seperti jala-jala, dapat diwarnai dengan jelas dan terutama bertugas dalam hal sekresi sel (misal, sekresi enzim). 5 Gambar 1.1. Bagan sebuah sel (Sumber: Passarge E, 1995) Retikulum endoplasma. Retikulum endoplasma merupakan bagian dari endoplasma yang berbentuk seperti jala-jala yang saling beranastosomose, berdinding rangkap dan mempunyai hubungan dengan dinding sel. Ribosom. Berupa partikel-partikel kecil yang mempunyai tugas dalam sintesis protein sel. Lisosom. Suatu bentukan yang mengandung enzim hidrolitik. Lisosom ini terdapat di dalam suatu kantong yang dibungkus oleh suatu membran. Apabila membran ini pecah, isi lisosom dapat keluar dan mendegradasi isi sel. Lisosom diduga berguna dalam pencernaan intraseluler. Sentrosom. Suatu badan yang biasanya terletak di tengah sel badan ini mengandung 2 sentriol yang berfungsi pada saat sel membelah. c. Inti sel Di bawah mikroskop elektron dapat dilihat bahwa inti sel mempunyai berlapislapis membran. Bagian terpenting di dalam inti sel adalah kromosom, yang disusun oleh kromatin yang berbentuk sebagai benang-benang. Pada pewarnaan kromosom, ada bagian yang nampak berwarna gelap disebut heterokromatin, dan bagian yang berwarna terang yang disebut eukromatin. Selain kromosom, di dalam inti sel juga dijumpai nukleolus, yaitu inti dari inti sel. 6 d. Kromosom 1) Struktur Kromosom disusun oleh kromatin yang berbentuk sebagai jaringan benangbenang kromatin tersusun oleh sederetan benda-benda kecil yang disebut nukleosom, yang dibentuk oleh ikatan DNA dengan histon. Orang yang pertamakali menemukan adalah Flemming (1879). Nama kromosom diberikan oleh Waldeyer pada tahun 1888 diambil dari bahasa latin, yaitu krom (warna) dan soma (tubuh). Bentuk kromosom selalu berubah-ubah pada saat terjadinya pembelahan sel. kebanyakan kromosom mempunyai dua lengan yang dipisahkan oleh sentromer. Kromosom berbentuk seperti benang dan selalu berpasangan, yang saling melekat satu lain pada sentromer tersebut. Sentromer berfungsi sebagai tempat berpegangnya benang-benang plasma pada saat terjadinya pembelahan sel. Berdasarkan letak dari tromer tersebut, dapat dibedakan atas: Metasentris : apabila letak sentromer tepat di tengah-tengah kromosom, sehingga kromosom tepat terbagi dua, yang pada saat terjadinya pembelahan sel, kromosom ini akan terbentuk sebagai huruf ”V”. Akosentris : apabila sentromer terletak di dekat salah satu ujung dari kromosom sehingga saat terjadinya pembelahan sel, kromosom ini akan berbentuk huruf ”J”. Telosentris : apabila kromosom terletak di ujung kromosom sehingga pada saat terjadinya pembelahan sel, kromosom ini tetap berbentuk sebagai batangan lurus. Asentris : bila kromosom tidak memiliki sentromer. Submetasentris : apabila sentromer terletak di antara posisi metasentris dan akrosentris. 7 Gambar 1.2. DNA pada kromosom metafase (Sumber: Passarge E, 1995) 2) Tipe kromosom Kromosom pada hewan dibedakan atas dua tipe yaitu otosom dan kromosom sex. Otosom adalah kromosom yang tidak ada hubungannya dengan penentuan jenis kelamin. Sedangkan kromosom sex merupakan kromosom yang menentukan jenis kelamin. Secara sitologi, kromosom pada sel eukariot dapat dibedakan atas beberapa segmen,tergantung responnya terhadap pewarnaan. Bagian yang dapat menyerap pewarnaan disebut heterokromatin yang memiliki warna pekat dan gelap. Bagian ini diduga merupakan bagian yang kurang mempunyai peran dari segi biologi sehingga 8 dapat dikatakan sebagai bagian kromosom yang kurang aktif. Bagian kromosom yang nampak dalam pewarnaan disebut eukromatin. Bagian ini merupakan tempat gen-gen yang aktif dalam penampilan fenotip dan sifat-sifat lain. Heterokromatin dibedakan atas constitutive heterochromatin dan facultatif ochromatin. Bagian heterokromatin yang selalu nampak pekat dan gelap dengan macam pewarnaan merupakan constitutive heterochromatin. Sedangkan f a c u l t a t i f o c h r o m a t i n adalah bagian heterokromatin yang pada pewarnaan tertentu saja nampak tetapi dengan sistem pewarnaan lain nampak terang sehingga menimbulkan kesan seperti eukromatin. Kromosom sex pada mamalia dibedakan atas 2 tipe, yaitu kromosom X dan kromosom Y. Mamalia jantan memiliki pasangan kromosom XY (heterogametik sex), sedang pada betina memiliki pasangan kromosom XX (homogametik sex). Sebaliknya pada unggas, yang jantan bersifat homogametik sex dengan tipe pasangan kromosom ZZ. Unggas betina memiliki tipe pasangan kromosom ZW (heterogametik sex). Kromosom sex ditemukan oleh Henking pada tahun 1891. Bentuk kromosom sex dibedakan atas bagian yang saling berpasangan antara kromosom sex X dan Y (bagian yang homolog), dengan bagian yang tidak berpasangan (non homolog). Apabila pada bagian yang homolog dari kromosom sex ini terdapat suatu gen, maka gen tersebut akan mempunyai pasangan. Gen tersebut ada pada kedua tipe kromosom sex, baik kromosom X maupun di kromosom Y. Gen yang terdapat pada bagian non-homolog dari kromosom sex tidak akan mempunyai pasangan. Gen ini hanya akan terdapat pada kromosom X saja atau pada kromosom Y saja, yang selanjutnya disebut dengan gen misigot (hemizygous). Jumlah kromosom berbeda antara spesies yang satu dengan yang lain, tetapi di dalam satu spesies selalu sama sehingga sangat bermanfaat dalam taksonomi. Berikut adalah tabel jumlah kromosom diploid pada beberapa hewan: Tabel 1.1. Jumlah kromosom diploid pada beberapa hewan Nama umum Nama ilmiah Jumlah kromosom (2n) Kalkun Meleagris gallopavo 82 9 Burung dara Itik Entog Anjing Ayam Marmot Kuda Keledai Sapi Kambing Domba Kerbau sungai Kerbau lumpur (murah) Kelinci cuniculus Tikus rumah Babi Kucing Columba livia Anas platyrhyncha Cairina moschata Canis familiaris Gallus gallus Cavia cobaya Equus caballus Equus asinus Bos taurus, bos indicus,dan bos sandaicus Capra hircus Ovis aries Buballus bubalis Buballus bubalis Orytolagus Mus musculus Sus scrofa Felis catus 80 80 80 78 78 64 64 62 60 60 54 50 48 44 40 38 38 Sumber: Hardjosubroto dan Astuti (1993) e. Pembelahan sel Ada dua macam pembelahan sel yang terjadi pada hewan yang perkembangbiakannya bersifat seksual, yaitu pembelahan biasa (mitosis) dan pembelahan reduksi (meiosis). Pembelahan mitosis dapat terjadi pada semua bagian tubuh, sedangkan pembelahan meiosis terjadi pada saat pembentukan gamet. Proses pembelahan sel secara mitosis terdiri atas empat fase, yaitu: 1) Interfase : fase permulaan atau persiapan. Pada fase ini kromosom telah membelah memanjang menjadi dua yang masing-masing masih terkait pada sentromernya sendiri-sendiri. 2) Profase : kromosom memendek dan menebal, sehingga mudah dilihat di bawah mikroskop. Setiap kromosom sudah selesai mengalami duplikasi memanjang, menjadi kromatid. 3) Metafase : Semua kromosom menuju kearah bidang ekuator (tengah) dari sel. Kromatid mulai dapat dilihat di bawah mikroskop. Sentromer kemudian membelah menjadi dua dan masing-masing belahan sentromer ini diikat oleh 10 benang halus dengan kutub-kutub yang berlawanan letaknya. Pada saat ini dinding sel menghilang. 4) Anafase : benang yang mengikat sentromer memendek sehingga sentromer memisahkan diri, menarik kromatid ke arah masing-masing kutub. Akibat tarikan ini maka masing-masing kromatid terpisah satu sama lain. 5) Telofase : dinding inti sel mulai terbentuk kembali, bangunan nukleus mulai terbentuk dan pembentukan sel anakan siap untuk diselesaikan. Pembelahan meiosis terdiri atas 2 tahap. Pada tahap pertama terjadi reduksi jumlah kromosom yang dimilikinya menjadi hanya separonya saja. Sedangkan pada tahap kedua merupakan tahap pembelahan sel biasa. Tahap pertama meiosis meliputi: Profase I. Fase ini berlangsung relatif lama dan melalui beberapa tingkatan, sebagai berikut : a) Leptonema. Kromosom masih nampak memanjang, tunggal dan halus. b) Zygonema. Kromosom yang homolog saling menempel dan membentuk pasangannya, disebut sinapsis. Dalam fase ini sering terjadi peristiwa pindah silang. c) Pakhinema. Kromosom memendek, menebal dan saling melingkar satu sama lain. Pada fase ini setiap kromosom menjadi 2 kromatid, sehingga ada empat kromatid. Keempat kelompok kromatid ini disebut sebagai tetrad. Dalam pembentukan tetrad sering terjadi pertukaran materi genetik antara kromatid satu dengan lainnya. Peristiwa ini disebut silang. d) Diplonema. Pada fase ini kromosom seolah membelah memanjang karena kromatid yang homolog saling memisahkan diri. Dalam terjadinya pindah silang, maka di suatu titik tertentu yang disebut dengan khiasma, kedua kromatid yang homolog masih nampak saling menempel. e) Diakinesis. Pada fase ini terjadi penebalan kromatid sehingga dalam pewarnaan nampak sebagai benda yang tebal. Nukleolus menghilang dan membran inti mulai menghilang. 11 Gambar 1.3. Skema pembelahan sel (Sumber: Passarge E, 1995) Metafase I. Kromosom nampak menebal. Pada fase ini tidak terjadi pembelahan sentromer, sehingga nantinya akan dihasilkan dua sel dengan jumlah kromosom setengah jumlah semula. Pembelahan sentromer baru terjadi pada pembelahan sel tahap kedua. Anafase I. Walaupun dalam fase ini telah terjadi dua kromatid, tetapi masingmasing kromatid homolog masih diikat oleh satu sentromer. Pada saat terjadinya pemisahan kromosom yang homolog, maka sentromer akan membawa kedua kromatid bergerak ke arah tetrad, sehingga menampakkan sebagai bentukan huruf "V". Telofase dan Interfase. Apabila Dyad telah mencapai kutub-kutubnya, maka terbentuklah bran inti dan segera memasuki pembelahan tahap kedua. Pada tahap kedua meiosis, kromosom memasuki tahap kedua sebagai dyad yang saling dihubungkan dengan sebuah sentromer. Segera setelah sentromer memisah, setiap kromatid (monad) yang kemudian akan memisahkan diri dan saling bergerak ke arah berlawanan satu sama lain pada stadium Anafase II. Stadium Telofase II menyusul sangat cepat yang segera diikuti dengan pembentukan sel anakan. Dengan demikian akan dihasilkan 4 buah sel yang bersifat haploid dari setiap sel diploid yang mengalami meiosis. 12 Perbedaan utama dalam mekanisme pembelahan sel meiosis dengan mitosis adalah terjadinya pasangan kromosom homolog pada profase dan tidak adanya pembelahan sentromer pada tahap pertama. Sentromer baru membelah pada pembelahan tahap kedua. f. Perkembangbiakan Ternak termasuk golongan hewan yang berkembangbiak secara seksual, artinya ternak secara seksual dibedakan adanya ternak jantan dan betina. Perbedaan sex pada jantan dan betina ditandai dengan adanya organ jantan yang menghasilkan sel kelamin jantan (spermatozoa) dan organ betina yang menghasilkan sel kelamin betina (sel telur atau ovum). Sel kelamin disebut dengan sel gamet dan proses pembentukan sel gamet disebut sebagai gametogenesis, yaitu spermatogenesis untuk proses pembentukan sperma dan oogenesis untuk proses pembentukan sel telur (Gambar 1.4). Proses bersatunya materi genetik dari spermatozoa dan sel telur disebut dengan fertilisasi. Ada beberapa arti penting dalam proses fertilisasi ini. Pertama, terjadi persatuan antara spermatozoa yang bersifat haploid dan sel telur yang juga bersifat haploid. Bersatunya kedua sel haploid tersebut akan menghasilkan sebuah sel (zigot) yang bersifat diploid kembali. Zigot ini akan tumbuh menjadi individu dewasa. Kedua, terjadi persatuan kromosom yang berasal dari induk jantan dan induk betina dalam satu zigot. 13 Gambar 1.4. Proses pembentukan sel kelamin (Sumber: Passarge E, 1995) Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 14 TOPIK II I. HUKUM ME NDEL (Minggu k e IV -VI ) Prinsip Mendel a. Percobaan Mendel Konsep peran suatu gen dalam mewariskan suatu sifat untuk pertama kalinya diselidiki secara cermat oleh Gregor Mendel. la dilahirkan di sebuah desa yang dahulu termasuk wilayah Austria. Mendel melakukan penelitian-penelitiannya dalam tahun 1856-1863 yang menghasilkan penemuan-penemuan yang kemudian menjadi dasar dari pengertian mekanisme teori pewarisan. Mula-mula Mendel membuat beberapa galur murni dari tanaman kapri atau ercis (Pisum sativum) atas dasar adanya satu beda sifat. Ada 7 macam pasangan galur dengan satu beda sifat, yaitu tanaman dengan beda sifat sebagai berikut: a. berbunga putih dengan yang berbunga ungu, b. berbiji bulat dengan berbiji keriput, c. biji berwarna kuning dengan yang berwarna hijau, d. buah polong penuh dengan buah polong yang berlekuk, e. buah polong berwarna kuning dengan buah polong berwarna hijau, f. tanaman tinggi dengan tanaman rendah, g. bunga sepanjang batang dengan bunga di ujung batang. Di awal percobaan, Mendel membentuk galur-galur murni dari ketujuh macam tanaman tersebut di atas, dengan jalan penyerbukan sendiri (self-fertilization). Dengan demikian, tanaman yang berbunga ungu diperoleh dari galur murni yang berbunga ungu, tanaman berbiji bulat diperoleh dari galur murni berbiji bulat dan seterusnya. Pada percobaan pertama, Mendel menggunakan benang sari dari tanaman yang berbunga putih untuk menyerbuk tanaman berbunga ungu. Tanaman yang dihasilkan dari penyerbukan ini menghasilkan tanaman yang seluruhnya berbunga ungu. Tanaman yang berasal dari galur disebut sebagai tanaman generasi parental (P). Tanaman hasil perkawinan dari parental ini disebut dengan generasi filial pertama (F1). Pada perkawinan resiproknya, yaitu penyerbukan antara tanaman yang berbunga ungu 15 terhadap tanaman berbunga putih menghasilkan tanaman berbunga ungu. Perkawinan antara tanaman berbunga putih x ungu akan menghasilkan keturunan yang sama dengan perkawinan tanaman berbunga ungu x putih, yaitu tanaman berbunga ungu. Gambar 2.1. Percobaan Mendel pada Pisum sativa (Sumber: Passarge E, 1995) Gambar 2.2. Percobaan Mendel pada Pisum sativa (Sumber: Passarge E, 1995) Pada percobaan lebih lanjut, penyerbukan setiap tanaman F1 dengan dirinya menghasilkan tanaman F2. Ternyata tanaman yang dihasilkannya adalah 705 berbunga ungu dan 224 berbunga putih, menunjukkan perbandingan 3:1. Kenyataan ini menunjukkan adanya suatu ”faktor” (yang dalam istilah genetika disebut sebagai gen) 16 yang bertanggungjawab terhadap munculnya suatu sifat. Pada generasi F1, salah satu faktor tersebut (warna putih) tersembunyi dan ditutupi oleh faktor lain (warna ungu) yang menjadi lawan pasangannya. Keadaan ini disebut sebagai peristiwa dominansi. Warna bersifat dominan, sedangkan warna putih bersifat resesif. Dalam penelitiannya yang menggunakan beda sifat warna biji, yaitu antara warna yang kuning dengan warna hijau, telah ditemukan bahwa turunan pertamanya semua berwarna kuning. Pada proses penyerbukan diri (selfing) dari F1 ternyata diperoleh tanaman dengan biji kuning dengan biji hijau, dengan perbandingan sebagai 3:1. Selanjutnya pada peristiwa selfing tanaman yang berbiji kuning pada generasi F2, diperoleh turunan ketiga, (F3) sebagai berikut: 166 tanaman berbiji kuning, 353 tanaman yang mempunyai biji kuning dan hijau di dalam satu tanaman, dengan imbangan antara biji yang berwarna kuning dengan yang hijau sebagai 3:1 juga. Adapun selfing dari tanaman yang berbiji hijau pada generasi F2, telah menghasilkan tanaman dengan biji hijau keseluruhannya. Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa tanaman F2 yang berbiji hijau bersifat murni hijau, sedang tanaman yang berbiji kuning pada generasi F2, yang 1/3 merupakan tanaman murni kuning sedang 2/3 bersifat hibrida seperti halnya turunan F1 yang dapat menghasilkan biji kuning dan hijau, dengan proporsi 3:1. Jadi imbangan antara tanaman berbiji kuning dengan hijau pada F2 dapat dirinci lebih lanjut sebagai : Dengan demikian maka imbangan yang telah ditemukan sebagai (3:1) dalam percobaan tersebut di atas sebetulnya dapat lebih dirinci sebagai (1+2) : 1. 17 Apabila faktor (=gen) pembawa sifat biji berwarna kuning dinyatakan dengan simbol A sedang yang berbiji hijau dengan simbol a, maka secara bagan dapat dilukiskan sebagai : P: F1: F2: AA x aa Aa Sel telur Benang sari : A a A AA kuning Aa kuning A Aa kuning Aa hijau Dengan demikian akan dihasilkan AA : Aa : aa = 1 : 2 : 1, tetapi kalau dinyatakan dalam bentuk warna biji, akan mendapatkan proporsi biji kuning : hijau sebagai 3 : 1, perbandingan mana berasal dari (1+2) : 1. Atas dasar percobaannya tersebut di atas, maka Mendel telah mengemukakan suatu yang dikenal sebagai Hukum Mendel I, yang berbunyi sebagai berikut: Hukum Mendel I : Anggota suatu pasangan gen akan terpisah satu sama lain pada proses pembentukan gamet (sel kelamin), sehingga separuh dari sel kelamin yang terbentuk akan mengandung salah satu dari pasangan lainnya. Setiap gamet hanya mengandung salah satu dari pasangan tersebut. Percobaan berikutnya dari Mendel melibatkan tanaman dengan dua beda sifat. Dalam percobaan ini digunakan tanaman yang mempunyai biji bulat dan berwarna hijau, yang disimbolkan dengan (Rryy) dengan tanaman yang mempunyai biji berkeriput dan berwarna kuning, yang disimbolkan sebagai (rrYY). Hasil percobaannya adalah sebagai berikut: (RRyy) x (rrYY) (bulat,hijau) (berkeriput, kuning) gamet : (Ry) (rY) F1: (RrYy) 18 (bulat, kuning) Dengan demikian telah diperoleh tanaman dengan 4 macam fenotip, dengan gen sebagai 9 : 3 : 3 : 1. Perbandingan ini merupakan kombinasi secara bebas antara dua macam kombinasi (3:1). Dari percobaan ini telah dikemukakan Hukum Mendel II sebagai berikut: Hukum Mendel II Pasangan-pasangan gen yang terpisah dalam pembentukan gamet akan bergabung secara bebas. Hukum ini dikenal dengan sebutan Law of independent assortment. Untuk menguji kebenaran dari penemuannya, Mendel telah membuat tanaman trihibrid, yaitu pasangan tanaman dengan tiga beda sifat, sebagai berikut: 1. Berbiji halus dengan berbiji berkeriput (S dan s) 2. Biji berwarna kuning dengan berwarna hijau (Y dan y) 3. Bunga berwarna ungu dengan bunga berwarna putih (V dan v) 19 Gambar 2.3. Independent assortment pada tanaman Pea (Sumber : Tamarin,R.H, 2002) Mendel menyilangkan tanaman berbiji halus, berwarna kuning dan berbunga ungu (SSYYVV) dengan tanaman berbiji berkeriput, berwarna hijau dan berbunga putih (ssyyvv) dan menghasilkan tanaman generasi F1 dengan fenotip mirip tetuanya yang dominan (SsYyVv). Terhadap tanaman generasi F1 ini kemudian dilakukan selfing, yang hasilnya mempunyai proporsi sebagai berikut: Halus, kuning Ungu Halus, kuning putih Halus, hijau Ungu Berkeriput, kuning Ungu Halus, hijau putih Berkeriput, kuning putih Berkeriput, hijau Ungu Berkeriput, hijau putih Hal ini dapat diterangkan dengan menganggap (27) (9) (9) (9) (3) (3) (3) (1) bahwa gamet yang dihasilkan dari tanaman F1 dengan genotip (SsYyVv) akan menghasilkan 8 macam gamet, yaitu SYV, SyV, sYV, Syv, sYv, syV dan syv. Seperti halnya dalam peristiwa dihibrid, masing-masing gamet mempunyai kesempatan yang sama untuk saling bergabung satu sama lainnya, sehingga akan dihasilkan 8 x 8 = 64 macam genotip. Hanya saja 20 karena adanya peristiwa dominansi, maka kalau dilihat dari segi macam fenotipnya, hanya akan dihasilkan 8 macam kombinasi fenotip. Percobaan dengan menggunakan tanaman trihibrid ini makin menunjukkan kebenaran dari hukum Mendel. Kedua hukum tersebut di atas dikemukakan dalam suatu makalahnya yang berjudul Versuche uber Pflanzen-Hybriden dalam tahun 1865, tetapi banyak orang pada saat itu yang menganggap penelitiannya tidak berguna. Baru dalam tahun 1900 tiga orang ahli Botani yang berasal dari negara yang berbeda, yaitu Karle Correns (Jerman), De Vries (Belanda) dan Tschermak (Austria) menggali prinsip-prinsip yang mengemukakan arti dan kebenaran dari percobaan Mendel. b. Pewarisan sifat gen otosomal Yang dimaksud dengan sifat gen otosomal adalah sifat pewarisan yang dikendalikan oleh gen-gen yang terletak di kromosom otosom. Gen tidak dapat dilihat dari luar, namun exspresinya dapat dilihat dari fenotip suatu individu. Fenotip didefinisikan sebagai semua manifestasi biologis, termasuk di dalamnya adalah struktur kimia dan tingkah laku individu, yang dapat diamati. Genotip adalah materi genetik yang dikandung individu sebagai warisan dari tetuanya dan yang akan diwariskannya kepada keturunannya kelak. Sebagai contoh misalnya gen B, mempunyai pengaruh terhadap pewarnaan bulunya yang dalam hal ini akan berwarna hitam, atau misalnya gen P yang mempunyai expresi gennya sebagai sifat tidak bertanduk. Hewan yang mempunyai gen P bentuk luarnya adalah tidak bertanduk, dan apabila hewan tadi mempunyai gen B, maka warna bulunya akan hitam. Warna bulu dan kasus tidak bertanduk ini disebut sebagai fenotip. Dua gen yang merupakan suatu pasangan yang memiliki pengaruh tertentu disebut alel. Pada beberapa kasus, alel memiliki gen yang sama, misalnya gen T dengan gen T. Pada kasus ini individu disebut sebagai memiliki genotip TT yang bila dipandang dari segi komposisi gennya, individu ini disebut sebagai dalam keadaan homosigotik. Keadaan heterosigotik dijumpai apabila dalam alelnya dijumpai pasangan 21 gen yang bersifat berlawanan terhadap gen yang pertama, misalnya gen T dengan gen t. Susunan genotip Tt disebut bersifat heterosigot. Adapun ekspresi gen pada garis besarnya dibedakan atas dua macam sifat, yaitu sifat dominan dan resesif. Gen dikatakan bersifat dominan apabila pengaruhnya dapat mengalahkan atau menutupi gen pasangannya di dalam satu alel. Misalnya gen P yang dapat menyebabkan sapi tidak mempunyai tanduk, dapat mengalahkan/menutupi pengaruh gen p yang merupakan pasangannya dalam satu alel. Pengaruh gen dominan dapat dilukiskan dalam Gambar 2.3. Hewan yang mempunyai susunan gen baik PP maupun Pp, mempunyai fenotip yang sama, yaitu tidak bertanduk, karena gen P dapat mengalahkan pengaruh gen p dalam individu Pp tersebut di atas. Gen yang pengaruhnya dapat dikalahkan atau ditutupi oleh pasangannya dalam satu alel, disebut bersifat resesif. Gen p dalam contoh tersebut di atas bersifat resesif terhadap gen P. Gen P mempunyai pengaruh mutlak yang dapat menutupi pengaruh yang ditimbulkan oleh gen p (bertanduk), sehingga individu yang mempunyai genotip Pp, mempunyai penampilan serupa dengan individu yang mempunyai genotip PP, yaitu sama-sama tidak bertanduk. Sifat dominansi yang demikian ini disebut sebagai dominan penuh. Gambar 2.4. Pengaruh gen P terhadap sifat tidak bertanduk (Sumber : Hardjosubroto,W, 2001) 22 Bagaimana sifat pewarisan gen yang demikian ini, berikut ini disampaikan contoh klasik, yaitu pengaruh gen P terhadap sifat tidak bertanduk. Untuk mengetahui sifat pewarisannya, harus diikuti seandainya perkawinan diteruskan sampai menghasilkan keturunan ke 2 (F2). Skema perkawinan tersebut di atas dapat dilukiskan sebagai berikut P: PP x pp tidak bertanduk bertanduk F I: Pp tidak bertanduk perkawinan intense: Pp x Pp F2 : PP tidak bertanduk Pp tidak bertanduk pP tidak bertanduk pp bertanduk Dengan demikian akan diperoleh peluang anak pada keturunan ke 2 dengan proporsi tidak bertanduk dengan bertanduk dengan perbandingan 3 : 1. Jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada kejadian dominan penuh, peluang fenotip anaknya akan berbanding 3 : 1 Pada unggas dijumpai beberapa gen yang bersifat dominan penuh, antara lain adalah sebagai berikut : gen Cr : kaki pendek, gen cr : kaki normal gen K : pertumbuhan bulu lambat gen k :pertumbuhan cepat gen Br : sifat mengeram, gen br : sifat tidak mengeram gen D : Jari kaki normal, gen d : jari kaki banyak Dalam hal ini gen bersifat dominan tidak penuh (incomplete dominant), maka pengaruh gen yang dominan dalam keadaan heterosigot adalah tidak sempurna. Sebagai contoh misalnya gen R yang mempunyai pengaruh berwarna merah terhadap gen r yang mempunyai pengaruh berwarna putih, dalam keadaan heterosigot (Rr), warnanya 23 bukan merah tetapi diantara merah dan putih. Berbeda dengan gen yang bersifat dominan tidak penuh, genotip yang homosigot dominan (RR) dapat dibedakan fenotipnya dengan genotip yang bersifat heterosigot (Rr). Pada kejadian dominan tidak penuh, fenotip pada keadaan heterosigot tidak akan sama dengan yang homosigot dominan maupun resesif. Kejadian dominan tidak penuh sering juga disebut sebagai terjadinya kedominan. P: F1: RR x rr Merah putih Rr Roan F2: RR merah Rr rR rr roan roan putih Pada dominan tidak penuh akan diperoleh peluang fenotip anak pada generasi keduanya dengan proporsi sebagai 1: 2 : 1. Keadaan dominan tidak penuh juga dapat dilihat pada ayam walik (frizzle). Ayam demikian ini mempunyai bulu dengan susunan anatomis yang abnormal. Bulu ayam ini keriting, terputar menyerupai pembuka tutup gabus dan tumbuh seolah membalik sehingga menyebabkan tubuhnya telanjang karena tidak tertutup dengan bulu dengan sempurna. Dipandang dari kondisi membaliknya bulu, dikenal adanya ayam yang seluruh bulunya membalik dan keriting, yang disebut dengan ayam walik sempurna dan ayam walik yang hanya sebagian dari bulunya saja yang membalik, yang disebut sebagai ayam setengah walik. Apabila ayam sempurna dikawinkan dengan ayam normal, ternyata tidak ada keturunannya yang menyerupai tetuanya, karena semua anaknya akan setengah walik, yang merupakan keadaan intermedia dari keadaan tetuanya. Ayam walik disebabkan oleh karena gen F (frizzle) dan perkawinan tersebut di atas dapat dilukiskan sebagai : P : ff x FF (normal) (walik) 24 F1: Ff (setengah walik) Kalau F1 ini disilang balik dengan kedua tetuanya, akan diperoleh keturunan sebagai berikut : P: FF (walik) x F1 : FF (walik) dan Ff (setengah walik) Ff (setengah walik) Ff (setengah walik) x Ff dan (setengah walik) ff (normal) ff (normal) Jadi dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gen F dalam keadaan heterosigot (jadi Ff) tidak dapat menutupi seluruhnya dari pengaruh gen f, namun masih dapat menunjukkan sedikit pengaruh dominansinya sehingga individu Ff berada dalam kondisi fenotip intermedia antara kedua tetuanya. Di depan sudah dijelaskan bahwa pada keadaan dominan penuh, pada final kedua akan diperoleh perbandingan fenotip sebagai 3 : 1, sedang pada dominan tidak penuh akan sebagai 1: 2: 1. Hal ini juga kan berlaku pada keadaan di mana suatu individu memiliki dua bedasifat, tetapi sifat yang satu bersifat dominan penuh sedang yang satunya lagi dominan tidak penuh. Dalam keadaan demikian ini hukum Mendel tetap berlaku. Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 25 TOPIK IV. HIBRIDA (Minggu ke VII) Perkawinan antara dua individu yang mempunyai beda sifat disebut sebagai hibrida. Yang dimaksud dengan kata "sifat" (character) di sini adalah dalam arti sempit, yaitu suatu fenotip yang sedang dalam pembahasan. Kalau misalnya sedang dibahas tentang adanya beda sifat dalam hal warna bulu, maka sifat lainnya diabaikan. Jadi apabila sedang dibahas tentang adanya satu beda sifat warna bulu, maka adanya beda sifat lainnya tidak dibahas. Dalam hal ini misalnya adanya beda sifat dalam hal bentuk jengger, sifat pertumbuhannya, sifat mengeramnya dan sebagainya, maka perbedaan-perbedaan tersebut diabaikan. Perkawinan antara dua individu dengan satu beda sifat, misalnya dalam hal ini adanya perbedaan dalam warna bulunya, disebut sebagai perkawinan monohibrida (monohibrid). Kalau adanya beda sifat dalam hal bentuk jengger juga ikut dibahas sehingga ada dua beda sifat, perkawinan demikian ini disebut perkawinan dihibrida. Untuk tiga beda sifat, disebut trihibrida, empat beda sifat, tetra hibrida dan seterusnya. a.Kombinasi gen dalam hibrida Dihibrida (dihibrid) adalah perkawinan antara dua individu yang mempunyai dua pasang gen yang berbeda. Individu yang mempunyai dua pasang gen yang berbeda sering hanya disebut sebagai memiliki dua beda sifat. Misalnya, gen P menyebabkan sapi tidak bertanduk dan gen B menyebutkan sapi berwarna hitam, maka perkawinan antara individu dengan dua bedasifat adalah sebagai berikut : P: (PPBB) x tidak bertanduk warna hitam Fl: (ppbb) bertanduk warna merah (PpBb) tidak bertanduk warna hitam Dalam percobaan genetika, perkawinan biasanya diteruskan sampai menghasilkan keturunan generasi kedua (F2) dengan jalan perkawinan interse, yaitu 26 perkawinan antara F1 dengan F1. Pada contoh tersebut di atas, maka perkawinan intersenya adalah perkawinan antara genotip (PpBb) dengan (PpBb), yang masingmasing akan menghasilkan gamet dengan kombinasi gen sebagai: PB, Pb, pB, dan pb. Apabila kedua macam kombinasi gamet tersebut dipasangkan satu sama lainnya sesuai hukum Mendel, akan dihasilkan kombinasi genotip seperti tersebut di bawah ini: Induk PB Pb pB pb PB PPBB PPBb PpBB PpBb Pb PPBb PPbb PpBb Pbbb pB PpBB PpBb ppBB ppBb Pb PpBb Ppbb ppBb Ppbb Jantan Dengan demikian akan dijumpai 9 macam genotip, dengan 4 macam fenotip yang terdiri atas : 1. tidak bertanduk, hitam 9 (P-B-) 2. tidak bertanduk, merah 3 (P-b-) 3. bertanduk, hitam 3 (ppB-) 4. bertanduk, merah 1 (ppbb) Apabila perkawinan dihibrid tersebut di atas terjadi pada tanaman, maka proporsi dari keturunan yang dihasilkan dari persilangan dihibrid pada tanaman juga akan seperti tersebut di atas, yaitu 9:3:3:1. Jadi misalnya dari persilangan ini terjadi 300 anakan tanaman, maka ke-300 tanaman tersebut akan terbagi atas 4 kelompok fenotip. Dengan imbangan jumlah dalam tiap kelompok fenotip sebagai 169:56:56:19. Akan tetapi pada ternak, terutama pada ternak besar, karena jumlah anak yang akan dilahirkan adalah terbatas, maka deretan angka proporsi tersebut di atas merupakan deretan dari peluang untuk masing-masing fenotip. Dengan demikian misalnya pada sapi yang merupakan hewan unipara, yaitu hewan yang hanya beranak satu ekor sekelahiran, maka peluang bahwa anak yang akan dilahirkan itu mempunyai fenotip tidak 27 bertanduk dengan warna bulu hitam adalah 9/16 = 56,25%, peluang anaknya tidak bertanduk dengan warna bulu merah adalah 3/16 = 18,75% dan seterusnya. Dari berbagai macam bentuk hibrida, dapat disusun suatu rumus untuk meramalkan berbagai macam efek yang ditimbulkannya, yang akan dibahas berikut ini: 1) Banyaknya macam kombinasi gamet Banyaknya gamet yang dibentuk dalam suatu persilangan atau hibrida mengikuti rumus: 2n. Angka "2" menunjukkan sepasang alel yang akan menjadi dua macam gamet. Huruf "n" adalah banyaknya beda sifat. Pada individu dengan susunan gen (Aa) disilangkan dengan (Aa) menghasilkan 2n = 21= 2, yaitu A dan a. Pada kejadian dihibrida, misalnya (AaBb) x (AaBb), akan dihasilkan 22 = 4 macam gamet, yaitu gamet AB, Ab, aB, dan ab. Demikian seterusnya untuk hibrida 3, 4, 5, dan seterusnya, akan dihasilkan macam gamet masing-masing sebesar 23 = 24 dan 25 2) Banyaknya kombinasi genotipe pada hibrida Adapun kemungkinan banyaknya kombinasi genotipe dari persilangan yang akan dihasilkan dari suatu perkawinan hibrida dapat diramal menurut rumus: (2n)2. Pada perkawinan monohibrid antara (Aa x Aa) akan menghasilkan (21)2 = 4 kombinasi, yaitu AA, Aa, aA, dan aa. Pada perkawinan dihibrida menghasilkan (22)2 = 16 kombinasi. 3) Banyaknya individu yang homosigotik Jumlah individu yang homosigotik dari perkawinan hibrida mengikuti rumus: 2/(2n)2 (kombinasi gamet dibagi dengan kombinasi genotip). Pada perkawinan monohibrida, jumlah individu yang homosigotik adalah sebesar 21/ (21)2= 2/4 atau 50%, yaitu AA dan aa. Untuk dihibrida, jumlah genotip yang homosigot adalah sebesar: 22/ (22)2= 4/16 atau 25 %, yaitu genotip AABB, AAbb, aaBB dan aabb dari 16 kombinasi yang ada. 4) Bentuk fenotip dalam hibrida Bentuk fenotip yang mungkin timbul dalam persilangan hibrida dapat diramal dengan menggunakan rumus binomium (a + b)n yang sering pula disebut sebagai Segitiga Pascal sebagai berikut: Segitiga Pascal 28 (a+ b) 1 : 1 (a + b)2 : 1 (a + b)3 : 1 (a + b)4 : 1 (a + b)5 : 1 5 (a + b)6 : 1 1 2 3 4 6 15 Hibrida 1 1 3 6 10 1 4 10 20 Hibrida 2 Hibrida 3 1 5 15 Hibrida 4 1 6 Hibrida 5 1 Hibrida 6 dan seterusnya. Penggunaan rumus tersebut di atas adalah sebagai berikut Hibrida 2 : (1 x 32) : ((2 x 31) : (1 x 30) Hibrida 2 : (1 x 33) : ((2 x 32) : (1 x 31) : (1 x 30) Hibrida 2 : (1 x 34) : ((2 x 33) : (1 x 32) : (1 x 31) : (1 x 30) dan seterusnya. Angka-angka pertama dalam kurung (1,2,1 ; 1,3,3,1, dan 1,4,6,4,1) mengikuti aturan segitiga Pascal. Angka ini menunjukkan jumlah kombinasi dari individu yang mengandung gen dominan sebanyak yang ditunjukkan oleh pangkat dari 3. Angka kedua tetap yaitu tiga dengan pangkat yang menunjukkan angka menurun, dimulai dari bilangan pangkat yang sesuai dengan tipe hibridanya. Misalnya hibrida 2, pangkatnya dimulai dengan pangkat 2, hibrida 3 dimulai dengan pangkat 3, dan seterusnya yang menurun sampai dengan pangkat nol. Pangkat tersebut menunjukkan jumlah gen dominan yang dimilikinya, sedang hasil kepangkatannya (33 = 27), menunjukkan jumlah individu yang mempunyai sejumlah gen dominan yang ditunjukkan oleh tanda pangkat tersebut. Dengan demikian maka misalnya angka (4 x 3 3) pada hybrid empat, berarti ada 4 kombinasi genotip yang mempunyai gen dominan 3 dan masingmasing kombinasi terdiri atas 27 individu (dari 3 3). Rumus binomium dapat juga digunakan untuk memperhitungkan peluang fenotipe tertentu yang memiliki dua kemungkinan kejadian, misalnya mencari peluang untuk mendapatkan anak dengan komposisi sex tertentu. Ada dua kemungkinan kejadian dalam mendapatkan anak, yaitu jantan atau betina. Dimisalkan seekor sapi 29 perah akan dipelihara hingga menghasilkan 6 anak, akan dihitung peluang bahwa keenam anak tersebut terdiri dari 4 anak betina dan 2 anak jantan. Px n! P x Q(n - x) (x! ) x (n - x)! Keterangan : Px X n (n-x) = peluang yang dicari, = jumlah kejadian, yang mempunyai peluang = p = jumlah kejadian seluruhnya = jumlah kejadian, yang mempunyai peluang = q Peluang untuk mendapatkan anak jantan adalah sebesar ½, demikian pula mendapatkan anak betina, sebesar ½. Dalam contoh kasus tersebut di atas, maka peluang untuk mendapatkan 6 anak dengan komposisi 4 betina dan 2 jantan, adalah : P(6) = 6! (1/2)4 (1/2)2 4! x 2! P(6) = 6x5x4x3x2x1 (1/2)4 (1/2)2 (4 x 3 x 2 x 1) (2 x 1) Contoh tersebut di atas, dapat pula dihitung dengan segitiga Pascal, yaitu dengan persamaan (a + b)6, yaitu dalam segitiga Pascal dilambangkan sebagai : A6 + 6asb + 15a4b2 + 20a3b3 + 15a2b4 + 6ab5 + b6 Kalau a dimisalkan peluang mendapatkan anak betina yang besarnya adalah ½ dan b peluang mendapatkan anak jantan yang besarnya juga adalah sebesar ½ , maka untuk mendapatkan 4 anak betina dan 2 anak jantan dilambangkan sebagai (15a4b2), sehingga peluangnya dapat dihitung sebesar : 15(1/2)4(1/2)2 = 15/64 = 0,23. b. Metode hibrida 1) Persilangan resiprok Persilangan resiprok adalah persilangan kebalikan dari persilangan yang ada. Dimisalkan dalam suatu persilangan antara pejantan bangsa A dengan betina bangsa B, maka persilangan resiproknya adalah perkawinan antara pejantan bangsa B dengan 30 betina bangsa A. Dalam perkawinan antara pejantan dengan genotip PP dan betina dengan genotip pp, maka persilangan resiproknya adalah pejantan dengan genotip pp dan betina dengan genotip PP. Perbandingan genotip dari keturunan yang dihasilkan perkawinan resiprok selalu sama dengan perkawinan semula, baik di F 1 maupun di F2. Pada F 1 keduanya mempunyai keturunan yang 100% mempunyai genotip Pp. Pada F2 dari perkawinan interse (F1 x F1), memiliki perbandingan genotip (PP) : (Pp) : (pp) sebesar 1 : 2 : 1 atau dengan proporsi fenotip tidak bertanduk : bertanduk = 3 : 1. Jadi pada perkawinan resiprok, akan dihasilkan proporsi genotip maupun fenotip yang sama, baik F1 maupun F2. Dalam pelaksanaan di lapangan, perkawinan resiprok sering digunakan dalam pembentukan bangsa ternak baru dengan tujuan agar diperoleh kombinasi secara lengkap, termasuk kemungkinan adanya maternal effect maupun maternal heterosis. Hal ini disebabkan adanya kemungkian bahwa dalam perkawinan antara pejantan A dengan betina B yang menghasilkan keturunan F1(A x B) walaupun mempunyai susunan genotip yang sama dengan hasil perkawinan antara pejantan B dengan induk A yang menghasilkan keturunan F1(A x B) akan mempunyai sifat-sifat kuantitatif yang berbeda, misalnya dalam hal bobot badan. 2) Silang balik (back cross) Perkawinan silang balik adalah keturunan F 1 yang dikawinkan kembali dengan salah satu bangsa tetuanya. Misalnya persilangan antara ternak bangsa P dengan bangsa Q, menghasilkan keturunan dengan komposisi darah sebagai (1/2 P, 1/2 Q). Dalam perkawinan silang balik, hasil silangan ini dikawinkan kembali dengan bangsa P sehingga akan dihasilkan keturunan dengan komposisi darah (3/4 P, 1/4 Q). Maksud dari silang balik adalah untuk memperoleh komposisi gen yang dimiliki oleh salah satu tetuanya agar di dalam keturunannya lebih besar dari komposisi gen tetua lainnya. Dalam praktek pemuliaan ternak, silang balik selalu dilakukan dengan mengawinkan kembali ternak silangannya dengan bangsa pejantannya secara 31 berulang-ulang, dengan maksud untuk mengubah ternak lokal menjadi bangsa ternak pejantannya. Peristiwa silang balik yang dilakukan secara terus menerus dengan bangsa pejantannya, dalam Ilmu Pemuliaan Ternak disebut sebagai grading up2). Contoh paling klasik adalah dilakukannya grading up bangsa sapi betina Jawa dengan pejantan sapi SO dalam program Ongolisasi, yang kemudian telah mengubah bangsa sapi Jawa menjadi sapi PO. 3) Persilangan Tes (test cross) Persilangan Tes adalah suatu persilangan untuk mengetahui apakah suatu individu itu homosigot ataukah heterosigot. Fenotip dari individu yang homosigot ataupun yang heterosigot dominan dari suatu gen yang bersifat dominan penuh adalah sama. Sehingga sulit membedakan apakah individu tersebut homosigot atau heterosigot. Misalnya gen P yang menyebabkan sapi tidak bertanduk. Dalam keadaan PP maupun Pp, sapi sama-sama tidak bertanduk. Pada pembibitan ternak murni, harus diketahui dengan pasti apakah suatu individu itu homosigot dominan atau heterosigot dominan. Demikian pula dalam pemilihan pejantan yang akan digunakan untuk inseminasi buatan, harus diyakinkan terlebih dahulu apakah homosigot atau heterosigot, untuk gen-gen tertentu. Hal demikian ini harus dilakukan, karena dalam pembibitan ternak murni dipersyaratkan adanya keseragaman fenotip, disamping kemungkinan adanya cacat-cacat genetis yang tersembunyi. Pada persilangan tes, maka individu yang akan diuji dikawinkan dengan individu yang sudah jelas homosigot resesif. Misalnya seekor sapi Angus yang berwarna hitam mulus dapat mempunyai susunan genotip BB maupun Bb. Sapi ini biasa dikawinkan dengan sapi yang sudah jelas memiliki susunan genotip homosigot resesif (bb) dengan fenotip merah. P: B(?) x (hitam) F1: bb (merah) Bb 50% hitam (?) b 50% hitam atau merah 32 Apabila keturunan pada F1 semuanya hitam dapat dipastikan individu tersebut memiliki genotip homosigot dominan. Sebaliknya apabila individu yang dites adalah hitam heterosigot (Bb), maka keturunannya 50% hitam dan 50% merah. Pada tanaman, silang uji dapat mudah dilakukan, karena tanaman dapat menghasilkan keturunan yang banyak sekali. Kesulitan pada ternak yang bukan multipara adalah karena pada setiap generasi hanya akan dihasilkan satu anak, sehingga gambaran tersebut di atas hanya merupakan jajaran peluangnya. Dengan demikian maka dalam hal ternak yang unipara, maka pejantan tersebut harus dikawinkan dengan beberapa induk yang homosigot resesif. c. Hibrida pada ternak Hibrida pada ternak sudah sering dilakukan, terutama terhadap dua spesies yang mempunyai kedekatan hubungan. Proses hibrida yang sangat menarik dan banyak dilakukan adalah pada sapi, yaitu persilangan antara Bos taurus dengan Bos indicus, sapi dengan bison dan kerbau Lumpur dengan kerbau sungai. Baik Bos taurus maupun Bos indicus, memiliki jumlah kromosom yang sama, yaitu 58 buah otosom dan kromosom XY. Perbedaan terletak pada kromosom Y, yaitu berbentuk akrosentris pada Bos indicus dan metasentris pada Bos taurus. Ada dua bentuk yang mungkin timbul pada hasil silangannya, tergantung dari bangsa pejantan yang dipakainya. Pejantan Brahman menghasilkan kromosom Y akrosentris, sedangkan pejantan Africander menghasilkan bentuk submetasentris. Pada sapi dan bison, perbedaan juga terletak pada kromosom Y. Akrosentris pada bison dan submetasentris pada sapi. 33 TOPIK V. PERLUASAN HUKUM MENDEL (Minggu ke VIII-IX) Interaksi gen dan Epistasis Interaksi gen adalah kemungkinan adanya saling pengaruh antara dua pasang gen yang terletak dalam alel yang berbeda. Sebagai contoh gen A akan menyebabkan timbulnya fenotip A, sedang gen B akan menimbulkan fenotip B. Apabila suatu individu memiliki kedua gen tersebut di atas dalam keadaan tertentu, akan menghasilkan fenotip C. Kejadian inilah yang disebut adanya interaksi antara gen A dengan gen B. Contoh : ada 2 pasang gen yang mempengaruhi bentuk jengger, gen R meyebabkan bentuk jengger rose (mawar) yang dominan terhadap gen r yang non-rose. Gen P meyebabkan bentuk pea (ercis), yang dominan terhadap gen p yang non-pea. Interaksi terjadi bila dominan R berada bersama-sama dengan dominan P, yang menyebabkan jengger berbentuk walnut (buah kenari). Apabila homosigot resesif rr bersama-sama dengan homosigot resesif pp, akan menghasilkan bentuk single (jengger tunggal). Gambar 4.1. Bentuk jengger ayam sebagai akibat adanya interaksi antara dua pasang gen (Sumber : Tamarin. H R, 2002) 34 Gambar 4.2. Independent assortment dalam penentuan bentuk jengger ayam (Sumber : Tamarin. H R, 2002) Dalam kasus persilangan antara ayam berjengger rose yang mempunyai genotip (RRpp) dengan ayam berjengger pea dengan genotip (rrPP), pada keturunan F1 akan diperoleh ayam dengan jengger walnut (RrPp), yang dalam perkawinan interse akan menghasilkan keturunan F2 dengan imbangan fenotip walnut : pea : single sebagai 9 : 3 : 3 : 1. Contoh interaksi lain yang baik adalah bahwa pasangan gen kedua dapat menghambat ekspresi gen lain yang bukan pasangannya, disebut sebagai epistasis. Hal ini terjadi pada pewarnaan bulu kelinci. Genotip B- menyebabkan kelinci berwarna hitam, sedang genotip bb berwarna coklat. Tetapi bila pada lokus C tidak mengandung gen C, artinya lokus tersebut bersifat resesif homosigot (cc), kelinci akan albino. Jadi 35 pengaruh gen B ditentukan oleh ada tidaknya gen C yang terdapat pada lokus yang berbeda. Gen C menyebabkan adanya pigmentasi, yang dominan terhadap gen c yang menyebabkan tidak adanya pigmentasi. P: F1: (CCBB) Hitam x (ccBB) albino (CcBb) coklat Sehingga kombinasi antara genotip dan fenotipnya pada F2 bila dihitung akan menunjukkan fenotip dengan proporsi sebagai berikut : hitam : coklat : albino = 9 : 3 : 4. Dari hasil perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa gen yang berepistasi adalah gen resesif homosigot (cc). Ada kalanya gen yang bersifat epistesis adalah gen yang bersifat dominan. Jadi gen tersebut bersifat dominan terhadap pasangannya dan bersifat dominan. Jadi gen tersebut bersifat dominan pasangannya dan bersifat epistesis terhadap gen lain. Ayam yang memiliki gen I akan berwarna putih, sedang pasangannya yang bersifat resesif (gen ii) meberi kesempatan ayam memiliki warna. Apabila ayam tersebut kebetulan memiliki gen S (silver) maka warnanya akan seperti perak, sedang s menyebabkan ayam berwarna ke-emasan. Perkawinan antara ayam putih (IIss) dengan ayam berwarna silver (iiSS) akan menghasilkan keturunan F, sebagai ayam putih dengan genotip (IiSs). Turunan F2, peluang antara fenotip putih : perak : emas adalah 12 : 3 : 1. Multipel alel atau Alel ganda Pada keadaan normal, bisanya satu lokus ditempai oleh salah satu dari sepasang alel, misalnya oleh gen A atau gen a sebagai pasangannya. Tetapi ada suatu kejadian, satu lokus dapat ditempati oleh beberapa macam alel. Dalam kasus multiple alel, gen a mempunyai beberapa macam bentuk, misalnya gen A1, A2 dan A3, yang kesemuanya dapat saling berpasangan dan menduduki lokus tersebut di atas. Peristiwa satu lokus dapat ditempati oleh berbagai macam alel, disebut sebagai alel ganda atau multiple alel. 36 Salah satu contoh kejadian multiple alel pada hewan adalah pada pewarnaan kelinci dan kuning. Warna kulit kelinci ditentukan oleh gen c, akan tetapi dalam penelitian lebih lanjut telah diketahui bahwa gen c ini bersifat multiple alel. Disamping adanya gen C sebagai pasangannya, ternyata telah dikenal adanya gen Cch dan ch. Ditinjau dari sifat kedominannya di antara gen-gen tersebut di atas, dapat dituliskan bahwa sifat dominan mereka adalah sebagai : C > cch > ch > c. Dengan demikian maka kemungkinan kombinasi genotip dan fenotipnya dapat dituliskan sebagai berikut : Tabel 4.1. Kemungkinan kombinasi genotip dan fenotip Genotip Fenotip Abu-abu bercampur kekuning-kuningan ch ch CC, Cc , C dan Cc Agouty/normal dan coklat, dengan ujung rambutnya kehitaman ch ch ch h ch c c , c c dan c c Chincilla Abu – abu muda Kulit berwarna putih tetapi pada ujungh h h c c dan c c Himalayan ujung telinga, hidung, ekor, dan kakinya berwarna hitam cc albino Putih mulus Dalam kasus ini maka seolah-olah Hukum Mendel juga tidak berlaku, karena bila dilihat proporsi secara fenotip, memang akan terjadi penyimpangan terhadap Hukum Mendel, namun kalau diteliti lebih lanjut secara genotip, maka Hukum Mendel masih tetap diikuti. Contoh lain multipel alel adalah penggolongan darah ABO pada manusia. Penggolongan darah ini ditemukan oleh Dr. Landsteiner pada tahun 1901. Pada sistem penggolongan darah manusia, dikenal adanya 4 macam golongan darah (=fenotip), yaitu golongan darah A, B, AB dan O. Ada 3 gen yang menentukan golongan darah tersebut di atas, tetapi hanya akan ada 2 macam gen dalam satu individu. Gen yang menentukan fenotip ini adalah gen IA dan gen IB, yang masing-masing dapat menentukan bentuk dari antigen yang dimilikinya, sedang alel I tidak dapat membentuk antigen. Pada dasarnya, alel-alel tadi berfungsi menghasilkan suatu polipeptid enzim transferase tertentu yang mampu mengkatalis pemindahan suatu gugus karbohidrat kesenyawa dasar golongan darah, yang disebut senyawa H, untuk membentuk antigen golongan 37 darah. Seseorang dengan golongan darah A (dengan fenotip IAIA atau IAi) memiliki gen untuk menghasilkan enzim transferase yang menghasilkan antigen A, sedang individu dengan golongan darah O (ii) tidak memiliki gen transferase yang menghasilkan antigen A maupun B. Dengan demikian orang dengan golongan darah O dapat menggunakan darahnya untuk donor segala macam golongan darah, sedang orang dengan golongan darah AB dapat menerima darah dari segala macam golongan. Sebab itu golongan darah O sering disebut sebagai universal donor, sedang golongan darah AB sebagai universal recipient. Tabel 4.2. Penggolongan darah sistem ABO pada manusia. Golongan darah Genotip Antigen dalam Antibodi serum A IAIA atau IBi Antigen-A Anti B eritrosit B IBIB atau IBI Antigen-B Anti B A B AB I I Antigen-A dan B O ii Tidak ada antigen Anti A dan B Kodominansi Penggolongan darah secara lain pada manusia dan domba adalah penggolongan darah secara M, N dan MN yang dikendalikan oleh 2 alel L M dan LN. Individu golongan darah M menghasilkan anti serum M, golongan darah N menghasilkan anti serum N sedang golongan darah MN menghasilkan kedua anti serum. Tetapi untungnya manusia tidak memiliki zat anti terhadap antigen ini sehingga tidak perlu dikhawatirkan adanya aglutinasi alam melakukan transfusi darah. Penggolongan darah secara MN kurang penting dalam segi praktek karena tranfusi darah dengan golongan yang berbeda tidak akan mengakibatkan terjadinya penggumpalan darah. Dengan demikian berarti bahwa individu dengan alel heterosigot LMLN memiliki sifat yang dimiliki oleh kedua sifat homosigotnya. Keadaan demikian ini disebut dengan huruf L adalah untuk menghormati Landsteiner dan Levine, yang dalam tahun 1927 menemukannya. Namun dewasa ini huruf tersebut sering ditinggalkan dan gen LM maupun LN cukup disebut sebagai M dan N saja. 38 Gen letal (lethal gene) Suatu gen yang dapat mendatangkan kondisi abnormal bagi individu disebut gen letal. Ada dua macam gen letal, yaitu yang menyebabkan kematian dan yang tidak menyebabkan kematian (semiletal). Adapun gen letal yang menyebabkan kematian penyadangnya, dapat dibedakan atas: (1) gen yang menyebabkan kematian penyandangnya sebelum atau sesaat sesudah kelahiran, misalnya kejadian bull dog pada sapi, (2) gen letal yang menyebabkan kematian sesudah kelahiran, pada umur tertentu. Pada manusia, misalnya pada kejadian huntington's chorea, (3) gen letal yang menyebabkan kematian apabila penyandang menderita keadaan tertentu. Gen letal semacam ini misalnya yang menyebabkan keadaan hemofili pada babi, yang dapat menyebabkan kematian apabila hemofili pada babi, yang dapat menyebabkan kematian apabila menderita luka dan kematian disebabkan karena perdarahan terusmenerus. Gen letal dapat pula digolongkan dalam gen letal yang bersifat dominan atau resesif, serta gen letal yang terletak pada otosom atau terpaut sex (sex-linked). Gen letal yang menyebabkan kematian pada hewan sebelum dilahirkan, misalnya gen A y. Tikus rumah biasanya berwarna kelabu dengan ujung-ujung rambutnya agak terang. Warna demikian ini disebut sebagai agouty, yang disebabkan oleh gen A. Cuenot dalm tahun 1904 menemukan tikus yang berwarna lebih muda, yaitu berwarna kuning, yang dalam penelitiannya lebih lanjut telah menemukan bahwa warna kuning, selalu bersifat heterosigot. Sebab itu dia telah mengambil suatu kesimpulan bahwa tikus dengan warna kuning yang homosigot selalu mati. Dalam hal tikus tersebut di atas, telah ditemukan bahwa genotip tikus yang berwarna kuning selalu AyA, dan tidak AyAy, karena gen Ay bila berpasangan secara homosigot selalu akan menyebabkan matinya tikus dalam kandungan. Adapun gen A y adalah gen yang menyebabkan warna kuning dan dominan terhadap gen a yang menyebabkan berwarna kelabu pekat (non-a gouty). Dari perkawinan antar individu yang heterosigot dengan satu beda sifat, hasil yang diperolehnya bukan merupakan imbangan 1 : 2 : 1 saja. Apabila dilihat dari uraian tersebut diketahui bahwa gen A mempunyai 2 pengaruh, yaitu pengaruh 39 terhadap warna kuning dan pengaruh terhadap hidup/matinya individu. Gen tersebut bersifat dominan terhadap pengaruh warna, tetapi resesif terhadap pengaruh hidup/matinya individu. Setelah gen yang dapat menimbulkan 2 macam fenotip yang berbeda disebut sebagai gen pleiotropik. Poligen atau Gen ganda Beberapa gen yang mempunyai pengaruh terhadap sifat yang sama tetapi memiliki pengaruh yang kecil terhadap sifat tersebut, disebut dengan poligen. Sebagai contoh pewarnaan hitam pada sapi ditentukan oleh 3 pasang gen: A, B dan C yang bersifat poligen. Apabila sapi dengan 6 dominan (AABBCC) memiliki warna hitam kelam (100%), maka sapi yang tidak memiliki gen dominan sama sekali (aabbcc) berwarna putih (hitam= 0%). Hubungan antara jumlah poligen dengan fenotipnya dapat dinyatakan sebagai berikut: jumlah kelas fenotip di F2 = 2n + 1 = 7. Dengan demikian pengaruh ketiga pasang gen tersebut secara hipotesis dapat dilambangkan sebagai berikut: Tabel 4.3. Jumlah gen dominan dan intensitas warna hitam Jumlah gen dominan Intensitas warna hitam 6 100 % 5 83 % 4 67 % 3 50 % 2 33 % 1 17 % 0 0% Pewarnaan kulit dan bulu pada hewan Gen yang mempengaruhi pewarnaan dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Gen penentu pola belang Gen Sv menentukan pola belang di bagian badan samping. Gen Sd menentukan pola belang sabuk putih pada sapi Belanda (Ducth belt). Gen Sh menentukan pola belang pada sapi Hereford. Gen S (spotting) menentukan pola belang yang solid atau mulus, sedangkan pola belang berbintik putih disebebkan gen resesif s. Besar kecilnya bintik 40 ditentukan oleh poligen sp. Jelas tidaknya perbatasan bintik dipengaruhi gen Si (silvering). 2) Kombinasi warna Kombinasi warna dikendalikan oleh gen E, dengan tiga kemungkinan. Genotip E- (hitam), genotip ee (kuning), dan genotip e pep mempunyai kombinasi warna kuning dan hitam. Selain itu pewarnaan kulit dipengaruhi oleh gen B- (hitam) dan gen bb (coklat). Gen B berepistesi terhadap pengaruh gen E. 3) Intersitas warna Intensitas warna dikendalikan oleh ada tidaknya gen C, dengan kemungkinan fenotip sebagai berikut: genotip CC (tidak ada pemudaran, warna tidak samar-samar), genotip ckck (warna sepia, samar-samar), dan genotip cd cd (warna coklat susu, samar-samar). 4) Pemudaran Pemudaran warna ditentukan oleh gen P. Genotip pp menyebabkan adanya pemudaran, artinya warnanya tidak kompak dan jelas. Pola belang pada sapi, sejauh ini baru dipelajari pada pewarnaan sapi Hereford, Angus dan FH. Sapi Hereford mempunyai pola warna putih pada bagian wajah, bawah tubuh depan dan atas leher. Sapi Angus memiliki pola warna polos, dan sapi FH belang putih hitam tidak beraturan. Apabila sapi-sapi tersebut disilangkan maka akan menghasilkan pola warna sebagai berikut: Hereford x Angus Hereford x FH Angus x FH (F1) : (F2) : (F1) : (F2) : (F1) : (F2) : 100% pola belang sapi Hereford ¾ hereford dan ¼ Angus 100% pola belang sapi Hereford ¾ hereford dan ¼ Angus 100% pola warna sapi Angus ¾ Angus dan ¼ FH Dalam hal ini, pola warna Hereford diatur oleh gen SH, pola warna Angus dikontrol gen S dan pola warna FH ditentukan oleh gen s. Dengan demikian derajat dominansi bisa dituliskan sebagai SH > S- > ss 41 Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 42 TOPIK VI. GEN TERKAIT KROMOSOM SEX (Minggu k e X ) Kromosom sex mengandung gen yang cara pewarisannya tidak berbeda dengan cara pewarisan gen yang berada di otosom. Gen yang terdapat pada kromosom sex akan menentukan jenis kelamin dari keturunan yang akan dihasilkannya. Sehingga ada suatu kaitan antara jenis kelamin dengan sifat yang dibawa oleh gen yang berada pada kromosom sex tersebut. Kejadian dimana sebuah atau sepasang gen terdapat pada kromosom sex disebut sebagai gen terkait sex atau sex linkage gene. Kejadian ini disebut sebagai gen terkait sex, karena sistem pewarisannya mempunyai hubungan yang erat dengan jenis kelamin dari anak keturunan yang akan dihasilkannya. Kromosom sex pada ternak terdiri atas kromosom X dan Kromosom Y. Adapun panjang kromosom X tidak sama dengan kromosom Y, sehingga ada kemungkinan suatu gen di dalam kromosom sex tidak mempunyai pasangan sebagaimana yang selalu terjadi di otosom. Gen yang demikian ini adalah gen-gen yang berlokasi di bagian yang nonhomolog. Gen demikian ini disebut sebagai gen hemisigot. Gen yang hanya terdapat di kromosom sex X dan tidak mempunyai pasangannya di kromosom sex Y, disebut sebagai gen terkait-X (X-linkage gen) dan sebaliknya gen yang terdapat di kromosom Y dan tidak mempunyai pasangannya di kromosom X, disebut gen terkait-Y (Y-linkage gen). Adapun gen yang terdapat pada bagian yang homolog dan saling dapat berpasangan satu sama lainnya, disebut gen terkait-XY. Karena keberadaan gen tersebut di atas tergantung pada jenis kelaminnya, maka kedua macam gen tersebut di atas, baik yang terkait-X maupun yang terkait-Y, dikenal dengan sebutan gen terkait sex (sex linkage gene), dan kasusnya disebut sebagai kaitan sex atau sex linkage. Kejadian adanya gen yang terkait pada sex untuk pertama kali dilaporkan oleh Morgan dalam tahun 1910. Dia mengawinkan lalat Drosophila jantan yang bermata putih dengan lalat betina yang bermata merah cerah (normal). Ternyata seluruh keturunannya bermata merah. Jadi mata putih bersifat resesif. Pada keturunan 43 F2 ada 3.470 lalat yang bermata merah dan 782 bermata putih yang ternyata lalat yang bermata putih semuanya adalah jantan. Proporsi antara mata merah dengan putih yang diperoleh ternyata jauh menyimpang dari proporsi harapan menurut Mendel. Kemudian dia mengawinkan semua lalat jantan dan lalat betina dari F1. Hasil pada keturunan F2: betina bermata merah semua, proporsi jantan bermata merah dengan yang bermata putih = 1:1. Penemuan tersebut di atas merupakan penemuan paling awal yang mengarah ke arah kemungkinan adanya gen terkait sex. XWY X jantan-putih gamet: Xw dan Y F 1: X+Y jantan-merah gamet: X+ dan Y + F2 : X Y dan XwY jantan: merah putih P: X+ X+ betina-merah X+ X+ Xw betina merah X+ dan Xw X+ X+ dan X+ Xw betina: semua merah Dan percobaan tersebut di atas, untuk pertama kali diketahui adanya hubungan antara jenis kelamin dengan fenotip. Dalam kasus tersebut, sifat mata merah terkait dengan sex. a. Cara pewarisan gen terkait sex Apabila ada gen yang menempati posisi non-homolog dari kromosom X, maka gen tersebut tidak akan mempunyai pasangan di kromosom Y. Dengan kata lain, gen tersebut hanya dapat dimiliki oleh kromosom X saja dan tidak dapat dimiliki oleh kromosom Y. Karena sex betina ditentukan oleh kromosom XX, maka individu betina dapat memiliki gen tersebut secara homosigot maupun heterosigot. Pada yang jantan hal ini akan berbeda. Karena yang jantan hanya memiliki sebuah gen X saja, akibatnya selalu tidak dalam bentuk berpasangan. Sebuah gen dapat bersifat dominan, dominan tidak penuh ataupun resesif Berikut ini berbagai pengaruh yang ditimbulkan oleh gen yang terkait pada kromosom sex, atas dasar perbedaan sifat dominansinya: 44 1) Gen terkait-X resesif Yang dimaksud dengan gen terkait-X resesif adalah gen yang terkait pada kromosom X, yang menampakkan sifat resesifnya hanya pada keturunan resesif homosigot saja. Apabila ada gen resesif yang dapat menimbulkan keadaan abnormal bila dalam keadaan homosigot resesif, dimisalkan gen tersebut adalah gen Xa, maka gen tersebut baru dapat menampakkan gejala abnormalannya pada keadaan Xa Xa atau XaY. Pada keadaan dominan homosigot ataupun heterosigot, yaitu pada keadaan sebagai X A XA , XA Xa amaupun XA Y, individu tersebut tidak menampakkan gejala abnormal. Individu yang mengandung genotip X A Xa menunjukkan fenotip yang normal, tetapi apabila dikawinkan dengan individu yang mengandung X a, akan mempunyai keturunan yang abnormal. Sehingga individu ini disebut sebagai carrier atau pembawa cacat tersembunyi. Pada kejadian gen terkait-X resesif yang dapat menyebabkan sifat abnormal, anak keturunan yang abnormal akan dijumpai lebih banyak pada anak jantan daripada anak betina. Hal tersebut dapat dijelaskan dari bagan perkawinan berikut ini (genotip di dalam kurung menunjukkan fenotip abnormal). Jantan P: XaY F1: XAY (XaY) A P: X Y F1: (X aY) P: (XaY) F1: XAY (XaY) a P: (X Y) F1: (XaY) Betina X AX a X AX A X AX a a a (X X ) X AX a X AX a X AX a (XaXa) a a (X X ) (XaXa) x x x x Dari uraian tersebut dapat dibuat ihtisar sebagai berikut : Normal x normal (carier) Normal x normal jantan normal : abnormal Betina 100% normal jantan 100% abnormal Betina 100% normal (carier) 45 = 1:1 Abnormal x normal Abnormal x abnormal jantan normal : abnormal = 1:1 Betina normal : abnormal = 1:1 jantan semua abnormal Betina semua abnormal Pada kasus perkawinan antara jantan normal dengan betina abnormal, maka semua anak betinanya akan normal (carrier) tetapi sebaliknya semua anak jantannya akan abnormal. Jadi kondisi abnormal induk akan diwariskan ke anak jantan, sebaliknya kondisi normal pada pejantan akan diwariskan ke anak betinanya. Pewarisan secara bersilang ini disebut pewarisan silang atau sering disebut sebagai criss-cross inheritance. Pewarisan secara bersilang juga dapat dilihat pada penyakit hemofili (darah sulit membeku) disebabkan oleh gen resesif terkait pada kromosom sex. Penyakit ini selain terdapat pada manusia, juga terdapat pada anjing. Pada unggas gen al merupakan gen albinisme tidak sempurna (albinoid). Pada keadaan homosigot (alal), gen ini menyebabkan defisiensi retina mata ayam. Pada kalkun dan burung, kasus ini sering menyebabkan kebutaan. Kejadian hidrosefalus atau kepala tumbuh membesar pada manusia juga disebabkan oleh gen terkait-X resesif. Apakah kasus terjadinya hidrosefalus pada ternak juga disebabkan oleh gen terkait-X sulit dibuktikan, karena pada ternak sulit untuk menelusuri silsilahnya. Contoh lain pada manusia adalah misalnya buta warna merahhijau, dan suatu kelainan yang disebut sebagai Duchene's muscular dystrophy. 2) Gen terkait-X dominan tidak penuh Yang dimaksud dengan gen terkait-X tetapi dominan tidak penuh adalah bahwa gen tersebut terkait pada kromosom sex X, tetapi gen tersebut bersifat dominan tidak penuh. Contoh gen yang menentukan warna pada kucing, yaitu gen yang menentukan warna bulu kucing yang terkait pada kromosom sex X. Genotip XBXB dan XBY (belang hitam), genotip XBXb (belang tiga macam: hitam, coklat dan kuning atau kembang-telon) dan genotip XbXbdan XbY (belang kuning). 46 Karena kucing yang tiga warna harus homogametik (XB Xb), maka kucing yang mempunyai tiga warna (kembang telon) hanya dapat ditemukan pada kucing betina saja. Apabila ditemukan adanya kucing jantan dengan tiga warna, maka hal ini terjadi sebagai akibat adanya kromosom X yang dobel, menjadikan kucing tersebut mempunyai susunan genotip XXY. 3) Gen terkait-X dominan penuh Dalam kasus gen terkait-X ini dapat menampakkan gejalanya dalam keadaan dominan homosigot maupun heterosigot. Kondisi abnormal akan nampak pada individu X A XA, XA Xa , dan XA Y. Unggas memiliki susunan kromosom sex yang berbeda. Unggas jantan memiliki kromosom sex ZZ, sedang yang betina memiliki kromosom sex ZW. Ada suatu gen yang menentukan corak warna bulu yang terakit sex, yaitu gen Z B yang menyebabkan bulu lurik atau blorok (barred) sedang pasangannya Z b menyebabkan tidak blorok. Gen tersebut terkait pada kromosom sex Z, dan bersifat dominan penuh. Berikut ini beberapa contoh perkawinan antara ayam blorok dan kemungkinan corak warna keturunannya. ZBZB x Jantan blorok F1: ZBZb x Jantan blorok P: ZbZb x Jantan tidak blorok F1: ZBZb x Jantan blorok P: ZbW betina tidak blorok ZBW betina blorok ZBW betina blorok ZbW betina tidak blorok Karena gen ZB merupakan gen terkait sex, maka dapat digunakan untuk autosexing, yaitu pembedaan sex atas dasar perbedaan fenotip jantan dan betina. Hal ini sangat penting karena dalam praktek, anak ayam betina yang baru menetas harus segera dipisahkan antara ayam jantan dengan ayam betina. 47 Tabel 5.1. Beberapa gen terakit sex pada unggas Dominan Simbol Resesif Pertumbuhan normal DW Cebol (kate) Pertumb.bulu lambat K Peertumb.bulu cepat Warna perak S Warna emas Warna lurik B Warna tidak lurik Warna kaki terang Id Warna kaki gelap Bintik di kepala kurang jelas Ko Bintik di kepala jelas Iris coklat kuning Br Iris hitam coklat Simbol dw kr s d id ko br Contoh persilangan untuk autosexing, yaitu perkawinan antara jantan Rhode Island Red yang tidak blorok, dengan betina Barred Plymoth Rock yang blorok, yang akan menghasilkan anak ayam betina yang tidak blorok dan anak ayam jantan yang blorok. Pada saat menetas, anak ayam belum dapat dibedakan mana yang blorok dan mana yang tidak blorok, karena belum adanya pertumbuhan bulunya. Tetapi karena anak ayam yang nantinya akan menjadi blorok mempunyai suatu bercak putih di belakang kepalanya, maka tanda ini dapat digunakan sebagai kriteria pemisahan jantan dan betina (sexing). 4) Gen Terkait-Y Gen semacam ini hanya terdapat pada kromosom Y. Karena kromosom Y sifatnya tidak berpasangan, maka gen tersebut hanya terdapat pada sex jantan saja. Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti ada tidaknya gen terkait-Y, tetapi setidaknya dapat diambil suatu keyakinan bahwa gen pembawa sifat "kejantanan" berada pada salah satu tempat di kromosom Y. Sebagai contoh pada kelainan jumlah kromosom sex XXY maupun XXXY, individu tersebut menunjukkan fenotip jantan walaupun jumlah kromosom sex X melampaui jumlah kromosom Y. Pada manusia diduga gen h yang bersifat resesif dapat menyebabkan tumbuhnya rambut extra (hypertrikosis) pada tepi daun telinga disebabkan oleh gen terkait-Y resesif. Hypertrikosis ini banyak dijumpai pada lelaki di India dan Pakistan. b. Gagal-Pisah (nondisjunction) 48 Pada pembelahan secara meiosis, kromosom sex XX maupun XY akan berpisah satu sama lain dari pasangannya sehingga menghasilkan dua macam gamet, yaitu gamet mengandung satu kromosom X dan gamet yang mengandung satu kromosom Y dan keduanya kemudian saling menuju ke kutub yang berlawanan. Ada suatu kejadian, kromosom yang homolog secara berpasangan tadi gagal untuk berpisah dari pasangannya. Pada saat terjadi pembelahan, kedua kromosom menuju ke satu kutub yang sama. Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa "gagal-pisah" atau nondisjunction. Gagalnya pemisahan pasangan kromosom yang homolog terjadi pada saat metafase. Dalam peristiwa nondisjunction yang terjadi pada kromosom sex, kedua kromosom sex tersebut tetap bersatu dan tidak membelah, sehingga dihasilkan sebuah gamet yang mengandung dua kromosom sex dan sebuah gamet lagi yang tidak mengandung kromosom sex. Apabila kasus nondisjunction terjadi pada tahap pertama meiosis pada hewan jantan, maka kedua kromosom sex X dan Y akan menuju ke satu kutub sehingga pada akhir pembelahan akan dihasilkan dua gamet (spermatozoa) yang mengandung kromosom sex X da Y, an dua gamet dengan 0 kromosom sex (nullo X). Pada pembelahan tahap pertama, kromosom sex X dan Y masing-masing akan bersatu dalam satu sel, sehingga dalam tahap ini akan dihasilkan satu sel XY dan satu sel tanpa kromosom sex. Kedua sel tersebut kemudian akan membelah lebih lanjut sehingga akan dihasilkan dua gamet dengan kromosom sex XY dan dua gamet tanpa kromosom sex. Nondisjunction yang terjadi pada tahap kedua meiosis akan dihasilkan gamet yang mengandung XX, YY dan 2 gamet tanpa kromosom sex. Pada hewan betina, nondisjunclion yang terjadi baik pada tahap kesatu maupun tahap kedua dalam pembelahan meiosisnya, akan menghasilkan gamet (telur) yang mengandung XX atau 0. Hal ini karena sel-sel lain akan mengalami rudimenter. c. Kromatin sex Murray Barr dan kemudian juga Bertram sekitar tahun 1940 telah menemukan suatu bintik hitam yang berupa kromatin yang hanya ditemukan pada inti sel saraf kucing betina dan tidak ada dalam inti sel saraf kucing jantan. Benda ini 49 kemudian disebut dengan "badan Barr" (Barrbody). Penelitian kemudian dilanjutkan pada sel-sel manusia yang menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa benda tadi hanya ditemukan pada sel yang berasal dari tubuh wanita. Karena hanya ditemukan pada sex betina, maka benda ini kemudian lebih terkenal dengan sebutan kromatin sex. Lyon membuat suatu hipotesis yang menyatakan bahwa semua kromosom X bersifat tidak aktif atau dengan kata lain termasuk ke dalarn golongan heterokromatin, yaitu kromosom yang dalam pewarnaan akan nampak gelap dan pekat. Dari kromosom sex X yang dimiliki, hanya ada satu yang bersifat aktif Kromosom X mana yang dapat aktif, ternyata terjadi secara acak, artinya tidak harus yang berasal dari tetua jantan atau induknya. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil persilangan antara kuda dengan keledai yang menghasilkan silangan yang disebut mule. Dalam leukosit mule, ini ternyata dapat dijumpai bentukan kromosom X aktif yang menyerupai bentukan kromosom X aktif pada kuda tetapi juga dapat dijumpai bentukan yang menyerupai bentukan kromosom X aktif pada keledai. Ada dugaan bahwa pada mamalia betina pada stadium tertentu dari perkembangannya, salah satu dan kromosom sex X pada sel somatik akan mengalami non-aktif. Sesudah itu dengan pembelahan mitosis biasa akan dihasilkan sel-sel anakan yang sudah mewarisi sifat heterokromatin pada salah satu kromosom sex X nya. Sebab itu Lyon mengemukakan hipotesisnya, bahwa jumlah kromatin sex adalah sama dengan jumlah kromosom X dikurangi satu. Jadi pada hewan betina normal dengan kromosom sex XX, akan ditemukan sebuah kromatin sex, sedang pada ternak jantan normal dengan kromoson sex XY, tidak akan ditemukan adanya kromatin sex. Individu XO tentunya tidak akan mempunyai kromatin sex. Kasus XO ini telah dijumpai pada tikus, kelinci, kucing, babi, kuda dan juga manusia. Pada manusia, kasus ini disebut sebagai sindrom Turner. Hewan dengan kromosom XO ini mempunyai bentuk fenotipe betina, tetapi steril. Kebalikan dari kurangnya satu kromosom X, adakalanya dijumpai individu dengan jumlah kromosom sex melebihi dari samestinya. Individu XXX telah ditemukan pada kuda. Dalam hal demikian ini akan ditemukan dua buah kromatin sex. individu demikian ini tetap fertil. Pada Tabel 4 disajikan beberapa kejadian abnormalitas pada jumlah kromosom sex, beserta gejalanya. 50 Tabel 5.2. Beberapa kejadian abnormalitas jumlah kromosom pada ternak Tipe kromosom Spesies Fenotipe XO Babi Intersex, hipoplasia pada ovarium Kuda Hipoplasia pada ovarium Kucing Mati sebelum dewasa XO/XX Kuda Hipoplasia pada ovarium XO/XX/XY Babi Intersex XXX Sapi Hipoplasia pada ovarium atau tidak ada pengaruhnya Kuda Infertil XXY Sapi Hipoplasia pada testesnya Domba Hipoplasia pada testesnya Babi Hipoplasia pada testesnya Anjing Hipoplasia pada testesnya Kucing Hipoplasia pada testesnya Kuda Cryptorchidism XXXY Kuda Intersex Babi Tidak ada informasi XYY sapi Tidak ada pengaruhnya Sumber : Nicholas, 1987, dimodifikasi Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 51 TOPIK VII. PERUBAHAAN TATANAN GEN (Minggu ke XI) Gen terangkai (linkage gene) Dua gen dikatakan saling terangkai apabila kedua gen tersebut terletak di dalam satu kromosom dan dal am proses pembel ahan mei osis, kedua gen ters ebut tidak sepenuhn ya terpisah secara bebas mengikuti Hukum Mendel. Hal ini disebabkan karena kedua gen tersebut menunjukkan t endensi saling menempel satu sama lain. Tergantung dari lokasin ya, dibedakan atas: 1) Gen terangkai pada otosom Percobaan yang mengarah ke arah penemuan adanya gen terangkai telah dilakukan oleh Bateson dan Punnett, yang menggunakan tanaman buncis sweat pea. Mereka men yilangkan dua tanaman bunci s yang memiliki dua beda si fat , yaitu dalam hal warna bunga dan bentuk biji. Tanaman dengan fenotip bunga ungu dengan bentuk biji panjang (PPLL), tel ah disilangkan dengan tanaman berbunga m erah biji bulat (ppll). Warna bunga dit entukan ol eh gen P (P = ungu, p = merah) dan bentuk biji ditentukan ol eh gen L (L= panjang, l= bul at). P ersil angan ini m enghasilkan keturunan F 1 dengan susunan genotip (PpLl), sehingga apabila dilakukan perkawinan interse diharapkan akan menghasilkan keturunan F 2 dengan komposisi fenotipnya sebagai 9:3:1, tetapi kenyataannya adalah tidak demikian. Ternyata telah dihasilkan tanaman dengan komposisi yang jauh men yim pang dari komposisi harapan tersebut di atas. Telah terjadi kenaikan yang sangat nyata dari proporsi genotip yang homosigot dari masing-m asing gen. Gen yang mem pengaruhi warna bunga (P dan p) dan bentuk biji (L dan l), tidak membagi secara bebas mengikuti Hukum Mendel, tetapi terangkai sedemikian rupa sehingga pada F 2 menunjukkan proporsi yang terlampau besar untuk genotip parental (yaitu P -L- dan ppll) dan terlalu sedikit menunjukkan adan ya genotip kombinasi ( yaitu P - II dan ppL-). Diduga bahwa tetuan ya ( ya it u PP LL dan ppll ) menghasilkan gam et dengan PL dan pl tetap bersatu. Jadi ada suatu kaitan antara kedua gen yang dominan (P L), serta 52 antara kedua gen yang resesif (pl ). Kedua gam et tersebut berasal dari tetuan ya. Percobaan awal dengan m enggunakan ternak t elah dilakukan oleh Hutt dengan a yam. Dia menyilangkan ayam jantan White Leghorn berbulu putih normal (IIff) dengan ayam betina berbulu berwarna, Walik (iiFF). Gen F menyebabkan ayam berbulu walik sedang gen I merupakan gen inhibitor terhadap pewarnaan bul u. Gen ii men yebabkan a yam berwarna. Keturunan F1 yang putih, walik (liFf) kemudian diuji silang (test cross) dengan jantan (iiff), hasilnya ternyata adalah sebagai berikut: (IiFf), (iiFf), (Iiff), (iiff), putih, berwarna, berwarna, berwarna, walik walik normal normal (18) (63) (63) (13) Hasilnya ternyata jauh menyimpang dari proporsi harapan 1:1:1:1. kalau dilihat proporsi walik : normal yang 81:76, masih mendekati 1:1, demikian pula ant ara putih berwarna yang 81:76, masih mendekati 1:1. Dalam silan g uji tadi pej antan (ii ff) akan menghasilkan spermatozoa yang mengandung gen (if) saja, tetapi ada 4 kemungkinan yang terkandung di dalam telur yang dihasilkan oleh induk (IiFf), yaitu (IF), (If), (iF) dan (if). Atas dasar pertimbangan fenotip keturunan ya ng dihasilkan pada silang uji, dapat disimpulkan bahwa proporsi gamet yang dihasilkan oleh induk (IiFf) tersebut di atas adalah sebagai 18(IF), 63(iF), 63(lf) dan 13(if). Jadi ada kenaikan yang menyolok dari gamet (iF) dan (if), yang merupakan kombinasi dari gamet yang dihasilkan oleh tetuanya pada generasi parental. Suatu kejadi an di mana kombinasi ant ara dua gen yang dihasilkan oleh tet uan ya m enunjukkan tendensi bergabung, disebut sebagai adanya gen terangkai (li nkage gene). Kedua gen tersebut m enunjukkan adan ya tendensi bergabung, karena terletak dalam sat u kromosom. Dalam percobaan tersebut di atas dikatakan bahwa gen i terangkai dengan gen F dan gen I dengan gen f. Jadi kombinasi antara (IF) dan (if) merupakan kombinasi baru dalam 53 persilangan tadi. Kombinasi baru dalam persilangan ant ara dua gen terangkai, disebut sebagai rekombi nasi (recombination). Adapun proporsi rekombinasi pa da kasus ini adal ah sebesar (18 +3)/ 157 = 19,7%. Dalam penulisan ada berbagai cara untuk men yat akan apakah dua gen itu saling terangkai atau tidak. Cara penulisan untuk menyatakan bahwa gen A dan B saling terangkai yang paling umum adalah sebagai AB/ab atau diberi garis di bawah kedua gen yang saling terangkai, misaln ya AB/ab. Apabila ada dua gen dominan AB yang terletak dalam satu kromosom saling terangkai, demikian juga alelnya (ab) yang terletak pada kromosom homolognya, maka gen tersebut dikatakan terangkai dalam keadaan cou pl i ng (AB/ab). Tetapi apabila sebuah gen dominan terangkai dengan sebuah gen resesif yang bukan alelnya pada satu kromosom, sedang alel resesif dari gen dominan tadi terangkai dengan alel dominan dari gen resesif tadi, maka kedua gen tersebut dikatakan terangkai dalam keadaan repulsion. Kedua gen t ersebut dapat ditulis sebagai Ab/aB. 2) Gen terangkai pada kromosom sex (sex-linked gene) Pada gen terangkai kromosom sex (sex-linked gene) dibahas adanya kaitan antara dua gen yang terlet ak di dal am satu kromosom, yang kebetulan kromosom t ersebut adal ah kromosom sex. Kait an sex (sex linkage ) membicarakan kaitann ya sebuah gen t erhadap salah satu kromosom dari kromosom sex. Ciri khas dari gen yang terangkai pada kromosom X adalah bahwa individu betina yang heterosigot akan menurunkan anak jantan yang homosigot untuk kedua gen yang terangkai tersebut. Dengan demi kian maka gam et dari induk akan m enjadi fenotip dari anak jantannya. Sebab itu dalam analisis gen terangkai pada kromosom sex, uji silang tidak diperlukan lagi. Sebagai contoh, gen B (blorok) dan gen S (silver) pada ayam juga terangkai dan terkait pada kromosom sex. Sebab itu kita dapat menghasilkan ayam blorok dari hasil perkawinan antara a yam buras putih dengan a yam White Leghorn. Genotip a yam betina White Leghorn adalah IIB-S-. Dimisalkan genotip 54 ayam jantan burasnya adalah iibbSS, maka hasil perkawinan kedua ayam yang berwarna putih tersebut akan berwarna putih juga, dengan kemungkinan susunan genotipnya adalah yang jantan IiBbSS dan yang betina lib-S-. kedua ayam tersebut akan berwarna putih, karena masing-masing memiliki gen I (inhibitor). Apabila anak yang jantan tersebut dikawinkan dengan ayam betina putih yang mempunyai genotip iibS-, maka 25% anaknya akan blorok dan 75% berwarna putih. Pindah silang (Crossing over) Gen t erangkai t erj adi terhadap dua gen yang terdapat di dalam satu kromosom yang sama. Pindah silang atau crossing over t erj adi bila ada pertukaran segmen (potongan) kromosom antara dua kromosom (kromatid) homolog. Misalnya, gen A yang semula terangkai dengan gen B dan gen a terangkai dengan gen b, kemudian terjadi pindah silang sehingga gen A berangkai dengan gen b dan gen a berangkai dengan gen B. Pindah silang terjadi pada waktu terbentuknya tetrad pada pembelahan meiosis pertama. Percobaan pada ternak telah dilakukan dengan melibatkan gen P (tidak bertanduk) dan B (warna hitam). Dalam perkawinan antara sapi PpBb x PpBb, menghasilkan turunan: 45 4 45 5 PpBb, Ppbb, ppbb, ppBb, tidak bert anduk, tidak bertanduk, bertanduk merah bert anduk, hitam merah hitam Di sini tidak didapatkan perbandingan sebagai 1:1:1:1, sebagaimana diharapkan menurut Hukum Mendel ( Lasl ey, 1972). Terdapat dua macam pindah sil ang, yaitu pindah silang tunggal dan pindah silang ganda. i) Pindah silang tunggal Pindah silang tunggal adalah suatu kejadian pindah silang yang terjadi hanya di satu tempat saja. Pada m anusi a rekom binasi pada X krom osom han ya dapat terjadi pada i ndividu wanita, karena wanita m empunyai dua X kromosom. Rekombi nasi ini dapat segera diket ahui pada anak keturunan 55 laki-laki, karena hanya mempunyai satu X kromosom. Misalnya pada perkawinan antara ibu het erosi got pembawa gen but a warna c dan hemofilia h B yang menikah dengan pria normal. Pada perkawinannya h B + c + /Y dan hb + c + /h B c, kemungkinan genotip anak lelakinya adalah mendapatkan gen non-rekombinasi (hB c/Y) dan (hB + c + /Y) jadi butawarna dan hemofilia atau normal, serta hasil pindah silang dari kromosom X ibunya, yaitu (h B + c + /Y) dan (h B + c/Y), yang berarti satu butawarna dan satu hemofili a. Hal yang sangat berbeda akan terjadi pada ayam. A yam betina justru hanya mempunyai satu kromosom sex Z sedangkan yang jantan dua kromosom sex ZZ. Perkawinan antara ayam jantan heterosigot berbulu berwarna perak (S) dan pertumbuhan bulu cepat (K) dengan ayam betina homosigot resesif berbulu warna emas (s) pertumbuhan bulu lambat (k), akan terjadi proporsi keturunannya sebagai berikut : (KS/ks) x Keturunannya : KS/ks (ks/W) (W=kromosom sex betina) Jantan non-rekombinasi ks/ks KS/W Betina non-rekombinasi ks/W Ks/ks Jantan rekombinasi kS/ks Ks/W Betina rekombinasi kS/W Rekombinasi pejantannya dapat terlihat pada keturunan betinanya. ii) Pindah silang ganda (double crossing over) Apabila dua gen saling berjauhan satu sama lain, maka kemungkinan dapat terjadi pindah silang di dua tempat, yang terjadi di antara kedua gen tersebut. Kejadian dua peristiwa pindah silang dalam satu kromosom yang terjadi secara 56 bersamaan, disebut sebagai pindah silang ganda. Kejadian ini hanya dapat diamati bila melibatkan tiga macam gen atau lebih dalam satu krom osom. Apabila diamati tiga pasang gen (ACE dan ace), pada terjadinya pindah silang tunggal akan menghasilkan gamet rekombinasi Ace/aCE atau Ace/acE, tergantung lokasi pindah silangnya. Namun karena adanya pindah silang kedua, maka gamet rekombinasi yang dihasilkan berupa AcE/aCe. Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 57 TOPIK VIII. PERUBAHAN STRUKTUR MATERI GENETIK (Minggu ke XII dan XIII) Susunan mat eri genetik tergantung pada susunan dari gen dan tergantung pul a atas bagaimana gen tersebut ditat a dal am kromosom. Adan ya suatu perubahan secara spont an ari gen yang menyusun tentunya akan berakibat adanya perubahan dari genotip individu. Perubahan mungki n dapat pul a tidak disebabkan oleh berubahnya gen yang men yu sun materi geneti k, tet api di akibatkan oleh adanya perubahan dari kromosom tempat di m ana gen -gen berada. Sebagai akibat adanya perubahan dari kromosom, maka tentunya akan mengakibatkan adanya perubahan dalam tatanan gen yang menyusun genotip individu. Hal ini tentunya dapat berpengaruh terhadap fenotipn ya. Mutasi Perubahan materi genetik disebut mutasi. Istilah "mutasi" dalam Ilmu Genetika adalah suatu perubahan mendadak dari kom posisi genetik y ang disebabkan oleh adanya perubahan dari gen yang menyusunnya. Mutasi atau perubahan dari suatu gen penting artinya, karena gen yang telah mengalami mutasi inipun dapat diwariskan kepada anak keturunannya. Mutasi dapat dibedakan atas mutasi gen dan mutasi kromosom. Mutasi gen Mutasi gen terj adi bilamana suat u gen mengal ami mutasi dan berubah menjadi al el yang lain. Dalam Ilm u Genetika telah disepakati bahwa bentuk asli dari suatu indivi du atau bentuk individu yang dianggap sebagai bentuk standar di dal am laboratori um, disebut sebagai wild-type. Semua perubahan dari bentuk standar ini disebut sebagai mutasi ke depan (forward mutation) sedang bila ke arah sebaliknya, yaitu dari bentuk yang tidak standar menjadi bentuk standar kembali, disebut sebagai mutasi ke belakang (backward mut ation,at au reverse mutation). 58 Mutasi ke depan misalnya : gen A + ---- a atau gen D ---- d, sedang mutasi ke belakangnya adalah bila gen a --- a + atau gen d --- D. Gen yang telah m engalami mut asi disebut sebgai gen mutan. Mutasi merupakan kejadian secara spontan dan acak yang dapat terjadi setiap saat pada sel manapun, baik pada sel somatik maupun sel germinatif. Mutasi yang terjadi pada sel somatis tidak dapat diwariskan kepada anak keturunannya, kecuali mutasi yang terjadi pada tanam an yang dapat berkembangbiak secara pemotongan dahan. Mutasi pada sel germinatif dapat diwariskan kepada keturunannya. Mutasi pada sel germinatif hanya dapat terdeteksi bila telah t erj adi fertilis asi. Zi got hasil fertilisasi akan m enjadi individu dew asa. Mut asi han ya nampak bila ada pengaruh terhadap fenotipn ya. Mutasi k romosom Mutasi kromosom terjadi bila segm en dari suatu kromosom atau seluruh bagi an dari suatu kromosom mengalami perubahan, Mutasi kromosom lebih ke arah terjadinya perubahan dari u rutan gen semul a. Hal ini dapat mengakibatkan exspresi gen berubah. P erubahan dari susunan gen ini dapat disebabkan oleh mutasi kromosom atau aberasi kromosom, yaitu: Perubahan struktur kromosom Delesi kromosom adalah hil angn ya sebagian dari kromosom. Ada dua kemungki nan penyebabnya, yaitu : a) pengurangan sebagi an dari m ateri kromosom b) terbentuknya lingkaran dari salah satu kromosom sehingga berbentuk cincin. Bagian yang tidak mengandung sent romer akan hilang dari inti sel. Atas das ar l okasi t erj adin ya delesi: c) delesi terminal, apabila ujung dari kromosom patah dan hilang d) delesi interstisial, apabila yang mengalami delesi adalah bagian dalam kromosom. Delesi dapat meni mbulkan pseudo -dominan, yaitu expresi gen res esif pada keadaan tunggal . Misaln ya g en b yang resesi f terletak pada kromosom normal. Pasangan krom osom tersebut kemudi an mengal ami 59 delesi t epat pada lokus gen tersebut, sehingga gen b tidak mempun yai pasangan. Sehingga dalam keadaan khusus dapat menampakkan sifat dominan yang semu. Duplikasi adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan kromosom, segmen kromosom at aupun gen, terkopi lebih banyak daripada biasanya secara normal. Kej adian ini biasan ya karena sebagian dari kromosom patah dan salah satu patahannya melekat pada anggota pasangan yang h omol og sehingga terjadi penggandaan dari bagian kromosom tadi. Ada kemungkinan pula patahan kromosom ini m elekat pada kromosom yang tidak homolog, atau bahkan berdi ri sendiri dengan sent romern ya. Inversi k romosom adalah perubahan yang t erj adi apabila sebagian kromosom membalik sehingga sebagian urutan genn ya m emili ki susunan terbalik. Ada dua m acam inversi: a) parasentris: apabi la sent rom ern ya tidak mengalami inversi b) perisentris: apabi la inversi m eliputi sentrom ern ya Kejadian ini sebagai akibat melin gkarn ya kromosom yang kemudi an patah dan men yam bung l agi dengan urut an gen yang t erbalik. Translokasi kromosom adalah perubahan st ruktur krom osom yang diaki batkan ol eh adan ya pertukaran segm en -segm en antara dua (at au lebih) kromosom yang bukan hom olog. Translokasi kromosom yang terkenal dilaporkan oleh Robertson dalam tahun 1916. Translokasi Robertson terjadi sebagai akibat adan ya dua kromosom yang non -homolog dan masing-masing berbentuk akrosentris, saling menempel menjadi satu kromosom yang metasentris. Kedua sentromer kromosom tersebut ikut melebur menjadi satu sentromer. Sebab itu kasus ini sering juga disebut sebagai penyatuan sentromer (centric fusion). Ternak yang heterosigot apabila mengalami translokasi Robertson, akan kehilangan sebuah kromosom, sedang dalam keadaan homosigot akan kehilangan dua buah kromosom. Translokasi Robertson pada terak pertama kali dilaporkan dalam tahun 1964 pada sapi Swedish Red and White. Pada ternak, translokasi yang sering dijumpai adalah translokasi 1/29, yaitu antara kromosom 1 dengan 29. Kecuali pada sapi, 60 translokasi Robertson telah pula ditemukan pada domba, kambing dan babi. Pada hewan atau ternak pada umumnya, translokasi dapat mendatangkan kerugian karena dapat menurunkan reproduktivitasnya, karena dalam pembentukan zigot akan terganggu sebagai akibat terjadinya ketidak-seimbangan kromosom. Perubahan jumlah kromosom (euploid, aneuploid) Perubahan jumlah kromosom terjadi adanya penambahan atau pengurangan kromosom. Dibedakan adanya perubahan jumlah kromosom sebagai berikut: Euploid: perbanyakan kromosom secara sempurna yang merupakan kelipatan dari jumlah kromosom haploid menjadi diploid (2n), triploid (3n), tetraploid (4n) dan sebagainya. Aneuploid: penyimpangan jumlah kromosom haploid, sehingga terbentuk monosomi (2n - 1), nullisomi (2n - 2), trisomi (2n + 1), pentasomi (2n + 3) dan sebagainya. Monoploid jarang terdapat pada hewan, kecuali pada lebah madu jantan berkembangbiak secara partenogenesis. Pada hewan diploi d, kelainan monoploid menyebabkan gangguan pertumbuhan pada embrio. Poliploid ban yak dijumpai pada tanaman, misaln ya pada bunga mawar, serta rumput -rumputan. Pada hewan dan manusia, poliploid yang melibatkan kromosom sex, menyebabkan ketidak-seimbangan dal am penentuan jenis kelamin dan mengakibatkan hewa n atau manusia menjadi majir atau bahkan keguguran dari embrio yang dikandungnya. Beberapa kasus aneuploid pada hewan telah dipelajari, antara lain ditemukannya kasus XO pada tikus, kelinci, kucing, babi dan kuda. Hewan dengan kromosom sex XO menunjukkan fenotip sebagai betina yang steril. Kasus euploid dengan kromosom XXX telah ditemukan pada kuda, XXY dan XXXY pada sapi, domba, babi, kucing dan anjing. Hewan dengan susunan kromosom sex demikian ini menunjukkan fenotip jantan. Euploid yang paling terkenal pada hewan adalah ditemukannya kucing jantan dengan tiga warna, dengan susunan kromosom sex sebagai XXY. Pada manusia, aneuploid yang terkenal adalah sindrom Turner (2n-1), sindrom Down (2n+1) dan sindrom Klinefelter (2n+1). Sindrom Turner dan sindrom Klinefelter 61 merupakan aneuploidi pada kromosom sex, sedang sindrom Down pada otosom (kromosom-21). Telah pula dilaporkan adanya trisomi pada kromosom ke 13 dan ke 18 pada manusia. Ada kasus lain yang disebut sebagai Endopoliploid, yaitu perbanyakan kromosom sebagai akibat penggandaan kromosom normal yang tidak melalui pembelahan mitosis. Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetik 62 TOPIK IX. SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF (Minggu ke XIV) Sifat kualitatif Sifat kualitatif adalah suatu sifat dimana individu-individu dapat diklasifikasikan ke dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan itu berbeda jelas satu sama lain. Ini berlawanan dengan sifat kuantitatif dimana tidak ada pengelompokan yang jelas. Sifat-sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen. Sifat kualitatif biasanya bersifat aditif. Dalam arti luas, sifat-sifat kualitatif dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Sifat luar Sifat luar yang tampak dengan sedikit atau bahkan tak ada hubungannya dengan kemampuan produksi. Kelompok ini termasuk sifat-sifat seperti warna, bentuk dan panjang telinga, panjang ekor, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Walaupun mungkin ada sedikit hubungannya dengan kemampuan produksi tetapi mungkin pentig bagi pemula sebagai cap dagang (trade marks). Sifat-sifat ini dapat netral, bermanfaat atau merugikan tergantung dari keadaan dimana ternak itu dipelihara. Contohnya tanduk pada sapi mungkin berguna untuk menyerang predator di daerah dimana hal itu merupakan masalah, tetapi untuk ternak yang dipelihara dalam kandang sempit akan mengakibatkan ternak itu melukai satu sama lain. 2. Cacat genetik Cacat genetik berkisar dari yang hanya sedikit pengaruhnya terhadap kemampuan produksi (hanya didapatkan pada beberapa keadaan saja), sampai yang mematikan yaitu mematikan individu yang cacat. Pengaruh letal muncul dan terlihat pada saat yang berbeda misalnya segera setelah pembuahan terjadi pada saat individu sudah dewasa atau bahkan sampai saat akhir hidupnya. Kebanyakkan cacat genetik adalah resesif. Apabila homosigot resesif tidak mampu berkembang biak, maka terjadi seleksi otomatis melawan gen resesif dan biasanya cukup untuk menjaga frekuensi sifat cacat dalam populasi agak rendah. 63 3. Polimorfisme genetik Kelompok sifat-sifat ini dapat diketahui pada seekor ternak hanya dengan penelitian laboratorium pada cairan atau jarigan. Sifat-sifat ini berguna untuk menentukan asal-usul dalam masalah pertengkaran dan untuk menentukan hubungan filogenetis antara spesies, bangsa dan tipe ternak yang berbeda. Sifat kuantitatif Sifat-sifat yang telah digunakan selama ini sebagai contoh bersifat kualitatif dengan perbedaan tipe yang tajam dan mudah dipisahkan. Akan tetapi lebih banyak sifat-sifat penting pada pemuliaan ternak bersifat kuantitatif dengan perbedaan yang tidak tajam antara yang baik dan yang jelek. Sifat-sifat kuantitatif sangat dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan. Sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak pasangan gen yang aksinya bersifat aditif. Biasanya hubungan antaralel yang paling umum adalah kodominan atau dominan tidak penuh. Contoh-contoh sifat kuantitatif pada ternak yaitu: pertambahan berat badan harian, produksi susu, produksi telur, laju pertumbuhan sebelum dan sesudah sapih serta sifat-sifat fertilitas seperti jumlah anak per kelahiran, presentase kebuntingan, daya tetas, sifat-sifat karkas pada sapi pedaging, kecepatan lari kuda dan insting berburu anjing. Tugas dan Latihan: Tersedia di http://elisa.ugm.ac.id, pada Komunitas Genetika 64 DAFTAR PUSTAKA Alberts, B., D. Bray, J. Lewis, M. Raff, K. Roberts and D.J. Watson. 1994. Molecular Biology of the Cell. 3rd Ed., Gardland Publ. Inc., London. Davies, K.E. and A.P. Read. 1992. Molecular Basis of Inherited Diseases. 2nd Ed., Oxford: IRL Press. Harjosubroto, W. 2001. Genetika Hewan. Diktat Kuliah, Fakultas Peternakan UGM. Harjosubroto, W dan Astuti J.M. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Gardner, E.J., M.J. Simmons and D.P Snudtad. 1991. Principles of Genetics. John Wiley & Sons, New York, Brisbane, Toronto and Singapore. Lasley, J.E. 1972. Genetics of Livestock Improvement.Prentice Hall,Inc., Englewood Cliffs. New York. New Jersey Noor, R.R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Passarge, E. 1995. Color Atlas of Genetics.Thieme Medical Publishers, Inc., 381 Park Avenue South, New York. Russel, P.J. 1992. Genetics. 3rd Ed., Harper Collins Publ., New York Suryo. 2001. Genetika Strata 1. Gadjah Mada University Press Suryo, 1997. Genetika Manusia. Gadjah Mada University Press. Tamarin, R.H. 2002. Principles of Genetics, 7th Ed. McGraw-Hill Companies, Inc. Watson, J.D., M. Gilman, J. Witowski and M. Zoller. 1992. Recombinant DNA. 2nd Ed., W H. Freeman, New York. Wildan,Y. 1996. Genetika. Penerbit Tarsito. Bandung. 65