2 1.2 Tujuan 1. Mengetahui kegiatan para pemangku kepentingan adaptasi perubahan iklim di beberapa sektor kelembagaan. 2. Menganalisis kegiatan adaptasi perubahan iklim di beberapa sektor sesuai dengan indikator dan kriteria kegiatan adaptasi. 3. Membuat display basis data kegiatan adaptasi perubahan iklim. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Iklim IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada kondisi iklim yang dapat diidentifikasi (misal, dengan menggunakan uji statistik) melalui perubahan-perubahan pada nilai rata-rata atau variabilitas iklim, dan perubahan-perubahan tersebut terjadi pada periode panjang, yaitu dekade atau lebih. Perubahan iklim dapat disebabkan oleh proses-proses internal alami (natural internal processes) atau picuan proses eksternal (external forcings), atau oleh perubahan yang persisten pada komposisi atmosfer atau tata-guna lahan (land use) akibat aktivitas manusia (anthropogenic). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2001), perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak hanya terjadi sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang (Kementerian Kesehatan 2011). Dalam Artikel 1 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) disebutkan pengertian perubahan iklim adalah perubahan pada iklim yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer secara global dan menambah variabilitas iklim alami dalam periode waktu tertentu. Variabilitas iklim mengacu pada variasi nilai rata-rata dan nilai statistik iklim lainnya (seperti standar deviasi, statistik kejadian iklim ekstrem, dll) pada semua skala temporal dan spasial di luar kejadian cuaca individu. Variabilitas dapat disebabkan oleh variabilitas internal terkait proses internal alami dalam sistem iklim, atau oleh variabiltas eksternal terkait variasi eksternal alam atau picuan antropogenik (IPCC 2007). Perubahan iklim disebabkan oleh adanya aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan alam sehingga meningkatkan gas rumah kaca (GRK). Proses ini menyebabkan terjadi musim hujan atau musim kemarau yang tidak menentu, dan tidak sesuai dengan periode waktu seperti biasanya. Suhu udara dan curah hujan diatur oleh keseimbangan energi yang ada di antara bumi dan atmosfer. Perubahan lainnya yaitu meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Perubahan-perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap hasil pertanian, berkurangnya salju di puncak gunung, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna. Akibat perubahan global tersebut akan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, pengembangan pendidikan dan sebagainya. Perubahan iklim di Indonesia akan menyebabkan: (a) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah subtropis; (b) pada musim kemarau wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan (Tim Sintesis Kebijakan 2008). Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan historis terlihat rata-rata curah hujan Desember-Februari dari tahun 1931-1960 di wilayah Indonesia bagian Selatan (Jawa) relatif lebih rendah dari rata-rata hujan tahun 1961-1990, sebaliknya pada daerah Indonesia bagian Utara. Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa dalam kurun waktu 60 tahun (1931-1990) curah hujan di Indonesia sudah mengalami perubahan dari segi intensitas. Wilayah Indonesia bagian Selatan (Jawa dan Indonesia Timur) mengalami peningkatan curah hujan sebaliknya Indonesia bagian Utara (Kalimantan, sebagian Sumatra dan Sulawesi) (Boer et al. 2003). Berdasarkan studi lebih lanjut dengan dengan menggunakan dua model GCM (CCCM, dan GISS), model yang hasil validasinya paling baik di antara empat model GCM (CCCM, GISS, UKMO dan GFDL), diperoleh pola yang sama (Boer et al. 2000; Khaimuddin 2000). 3 2.2 Adaptasi Perubahan Iklim Menurut IPCC (2007) adaptasi (terhadap dampak) perubahan iklim didefinisikan sebagai penyesuaian dalam sistem alam atau manusia sebagai respon terhadap rangsangan atau efek iklim aktual atau ramalan; (penyesuaian tersebut) mengurangi kerugian atau mengeksploitasi peluang yang menguntungkan. Tujuannya agar diperoleh perencanaan yang lebih baik dalam mempertimbangkan kondisi iklim yang akan datang dan juga agar dapat mengurangi kemungkinan bencana karena iklim seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, dan yang lainnya (IPCC 2001). Adaptasi perubahan iklim didefinisikan sebagai penyesuaian dalam ekologi, sistem sosial atau ekonomi, dalam menanggapi perubahan yang diamati (faktor iklim ataupun faktor luar iklim) dalam rangka mengurangi dampak negatif akibat perubahan iklim atau mengambil keuntungan dari peluang baru. Dengan kata lain, adaptasi adalah strategi dan tindakan yang diambil oleh orang-orang sebagai reaksi/ antisipasi terhadap berubahnya kondisi lingkungan untuk meningkatkan serta mempertahankan kesejahteraan hidup mereka (Smit et al. 2000). Spearman dan McGray (2011) membangun konsep adaptasi berdasarkan kontinum adaptasi sebagaimana tersaji pada Gambar 1. Konsep ini berawal dari titik pandang sisi penanganan kerentanan perubahan iklim yang memerlukan pembangunan kapasitas adaptif dan sisi penanganan perubahan iklim yang memerlukan pengelolaan variabilitas iklim. Sisi pertama fokus pada pembangunan berupa aktivitas yang bertujuan antara lain untuk mengurangi kemiskinan, termasuk yang dipicu oleh faktor non-iklim. Sisi lainnya, fokus pada perubahan iklim, melalui kegiatan yang bertujuan untuk menghadapi (mengelola) dampak langsung terkait dari perubahan iklim. Kontinum adaptasi ini menimbulkan defisit adaptasi dari adaptasi yang fokus pada pembangunan dan gap adaptasi dari adaptasi yang fokus pada perubahan iklim. Diharapkan dari defisit dan gap yang harus diisi oleh kegiatan penelitian dan operasional lainnya sehingga tercipta sinkronisasi kegiatan antar lembaga atau suatu mekanisme kerja penelitian dan operasional yang harmonis antara instansi teknis dan lembaga penelitian. Strategi adaptasi merupakan pengembangan berbagai upaya yang adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumber daya alam dan air, pertanian, infrastruktur dan lain-lain (Las 2007). Dalam melaksanakan kegiatan adaptasi, diperlukan suatu kemampuan yang adaptif (adaptive capacity), yaitu kemampuan dari suatu sistem menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman dan perubahan iklim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim dapat berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi (IPCC 2007). Gambar 1 Konsep kontinum adaptasi (Spearman dan McGray 2011). 4 Perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Selain itu, penguatan kapasitas lokal penting untuk dilakukan, termasuk peningkatan koordinasi pusat-daerah, perencanaan dan pendanaan. Masyarakat juga perlu lebih memahami isu perubahan iklim, serta ketahanan keluarga miskin dan kelompok rentan lainnya perlu ditingkatkan. Penelitian-penelitian juga perlu dilakukan untuk menambah pemahaman akan dampak lokal perubahan iklim. 2.3 Jenis Adaptasi Perubahan Iklim Berbagai jenis adaptasi antara lain adalah adaptasi antisipatif (proaktif), otonom (spontan) dan direncanakan. Adaptasi antisipatif adalah adaptasi yang dilakukan sebelum dampak perubahan iklim terjadi (Smit et al. 1999 dalam McCarthy et al. 2001). Adaptasi otonom adalah adaptasi yang bukan merupakan respon secara sadar terhadap rangsangan iklim, tetapi dipicu oleh perubahan ekologi di sistem alam, dan oleh perubahan pasar atau kesejahteraan dalam sistem manusia. Sedangkan adaptasi terencana adalah adaptasi yang merupakan hasil dari keputusan kebijakan yang disengaja, berdasarkan kesadaran bahwa kondisi telah berubah atau akan berubah (McCarthy et al. 2001). Sedangkan Spearman dan McGray (2011) membedakan tipe adaptasi menjadi tiga, yaitu adaptasi: (1) berbasis komunitas (community based), (2) kebijakan nasional (national policy), dan (3) program/ proyek (program/ project). Kegiatan adaptasi yang baik dilandasi oleh penilaian adaptasi (adaptation assessment), yaitu praktek mengidentifikasi pilihan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan mengevaluasi pilihan tersebut berdasarkan berbagai kriteria seperti ketersediaan (sumber daya), manfaat, biaya, efektivitas, efisiensi dan kelayakan (IPCC 2007). 2.4 Dimensi Adaptasi Perubahan Iklim Adaptasi perubahan iklim merupakan strategi dan tindakan yang diambil oleh orang-orang sebagai reaksi/ antisipasi terhadap berubahnya kondisi lingkungan untuk meningkatkan serta mempertahankan kesejahteraan hidup mereka. Oleh karena itu, adaptasi perubahan iklim melibatkan dua dimensi yaitu kapasitas adaptif dan aksi adaptasi. Kapasitas adaptif untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok atau organisasi agar dapat memprediksi dan beradaptasi dengan perubahan yang diperkirakan akan terjadi, sementara aksi adaptasi yaitu melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan/ kebijakan para pemangku kepentingan perubahan iklim (Smit et al. 2000). Sementara Spearman dan McGray (2011) menyebutkan bahwa adaptasi perubahan iklim memiliki tiga dimensi adaptasi (Gambar 2), yaitu: (1) kapasitas adaptif (adaptive capacity), (2) aksi adaptasi (adaptation actions), (3) pembangunan berlanjut (sustained development). Gambar 2 Dimensi adaptasi perubahan iklim (Spearman dan McGray 2011). 5 Dimensi kapasitas adaptif mendorong pemikiran, perencanaan, dan pelaksanaan kerja ke depan yang akan menghindarkan bencana dan mengambil manfaat. Suatu intervensi dikatakan memiliki dimensi kapasitas adaptif apabila meningkatkan kualitas dan ketersediaan sumber daya untuk beradaptasi, atau memperbaiki kapasitas untuk memanfaatkan sumber daya secara efektif. Indikator yang dapat dipakai adalah fungsi institusional (suatu aktifitas yang mengfungsikan suatu institusi sesuai aturan hukum atau norma yang berlaku) dan aset (sumberdaya-sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan teknologi yang tersedia yang dipakai menjadi pondasi penerapan aksi adaptasi) (Spearman dan McGray 2011). Dimensi aksi adaptasi merupakan kapasitas adaptif yang diterapkan dalam bentuk keputusan dan tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim spesifik. Tindakan adaptasi secara langsung mereduksi atau mengelola dampak biofisik dari perubahan iklim, atau mengelola faktorfaktor non-iklim yang berkontribusi pada kerentanan. Tindakan adaptif memberi manfaat sosial ekonomi dan biofisik yang jelas. Indikator yang dapat dipakai adalah bencana iklim (fokus pada manifestasi fisik dari perubahan atau bencana iklim yang menimbulkan risiko pada manusia atau ekosistem) dan pemicu kerentanan (faktorfaktor sosial, ekonomi, lingkungan, politik yang membuat penduduk, komunitas, atau ekosistem lebih rentan terhadap bencana iklim) (Spearman dan McGray 2011). Dimensi pembangunan berlanjut adalah aksi adaptasi yang terus dijalankan walaupun dampak yang timbul sudah bisa teratasi. Misalnya, kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan ekonomi terus meningkat meskipun dihadapkan pada kontinuitas perubahan iklim. Indikator yang dapat dipakai adalah manfaat ekosistem (keuntungan yang dapat diambil dari alam, yang secara langsung maupun tidak langsung mendasari manfaat ekonomi dan mata pencaharian) dan mata pencaharian (mengukur apakah kebutuhan dasar seperti pangan, nutrisi, pendapatan, aktiviitas ekonomi, pendidikan sudah terpenuhi dan dapat diakses atau belum) (Spearman dan McGray 2011). 2.5 Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Menurut GSDRC (2012), mengukur efektivitas kegiatan adaptasi (proyek, program, kebijakan dan sistem nasional) merupakan hal yang kompleks. Masih terdapat beberapa ketidakpastian konseptual tentang apa yang diukur (kapasitas adaptasi/ adaptive capacity, ketahanan/ resilience, pengurangan kerentanan/ vulnerability reduction). Intervensi kegiatan adaptasi cenderung bersifat multisektor, dan penerapannya memiliki beberapa perbedaan: (1) skala spasial (dari internasional sampai tingkat rumah tangga), (2) rentang waktu, (3) pendekatan: (a) tindakan adaptasi struktural (hard structural adaptation measures), misalnya proyek infrastruktur dan teknologi; (b) langkah-langkah kebijakan (soft policy measures/ soft adaptation), misalnya pertukaran informasi (antar stakeholders) dan perubahan perilaku. Suroso et al. (2010) juga memberikan gambaran dua tipe teknologi adaptasi yang mencakup teknologi untuk adaptasi lunak (soft adaptation) dan adaptasi keras (hard adaptation). Soft adaptation mencakup teknologi untuk pengembangan kebijakan, perencanaan, diseminasi, penilaian, basis data dan informasi dalam konteks adaptasi. Hard adaptation mencakup tindakan adaptasi terkait pembangunan konstruksi dalam konteks adaptasi, antara lain, dalam bentuk pembangunan bendungan pencegah banjir maupun penyimpan air. 2.6 Pendekatan Adaptasi Perubahan Iklim Iklim yang berubah menimbulkan perubahan pada frekuensi, intensitas, sebaran spasial, durasi, dan waktu kejadian cuaca dan iklim ekstrem, serta menghasilkan kejadian cuaca dan iklim ekstrem yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dapat mengurangi paparan (exposure) dan kerentanan (vulnerability) terhadap kejadian cuaca/ iklim ekstrem, sehingga mengurangi risiko bencana sekaligus juga meningkatkan ketahanan (resilience) terhadap risiko yang tidak dapat dihilangkan. Adaptasi perubahan iklim dan pengelolaan risiko bencana menyediakan pilihan pendekatan yang saling melengkapi dalam mengelola risiko iklim ekstrem dan bencana (akibat) iklim ekstrem (IPCC 2012). 6 Gambar 3 Pendekatan adaptasi dan pengelolaan risiko bencana (IPCC 2012). Pendekatan yang saling overlap dan simultan menurut IPCC (2012) adalah sebagai berikut: (1) menurunkan kerentanan, (2) sebagai persiapan, respon, atau pemulihan, (3) mentransfer dan mendistribusi risiko, (4) mengurangi paparan, (5) meningkatkan ketahanan terhadap risiko iklim, (6) mendorong transformasi secara bertahap maupun mendasar yang merupakan hal yang esensial untuk mereduksi risiko iklim ekstrem. Tindakan adaptasi memerlukan transformasi secara bertahap dan mendasar karena hal tersebut merupakan faktor yang esensial untuk mereduksi risiko iklim ekstrem. Transformasi bertahap bertujuan untuk memperbaiki efisiensi pada kondisi yang ada (sistem teknologi, tata kelola, dan tata nilai). Sedangkan transformasi mendasar mencakup perubahan mendasar pada atribut sistem (mencakup sistem tata nilai; rezim peraturan, legislasi, birokrasi; institusi finansial; dan sistem teknologi dan biologi) (IPCC 2012). Pengelolaan risiko yang efektif umumnya mencakup portofolia integrasi tindakan untuk mengurangi dan mentransfer risiko dan untuk merespon kejadian bencana. Integrasi tindakan tersebut akan lebih efektif bila diinformasikan secara tepat waktu pada seluruh stakeholders dan disesuaikan dengan keadaan lokal. Strategi yang efektif menggabungkan respon berbasis infrastruktur keras (hard infrastructurebased responses) dan solusi lunak (soft solutions) seperti penguatan kapasitas individu dan institusi serta respon berbasis ekosistem (IPCC 2012). Selain itu, pendekatan adaptasi dan pengelolaan risiko bencana mendukung adanya pengelolaan risiko multi-bencana; mendorong sinergi, integrasi dan koordinasi internasional terkait pemanfaatan berbagai sumber daya (termasuk finansial, teknologi, kemanusiaan); integrasi kearifan/ pengetahuan adaptasi yang berkembang di masyarakat lokal untuk mendorong adaptasi berbasis komunitas (community-based adaptation); serta selalu melakukan proses monitoring, riset, evaluasi, pembelajaran, dan inovasi yang dapat memperkecil risiko bencana dan mendorong pengelolaan adaptif dalam konteks iklim ekstrem (IPCC 2012). 2.7 Dampak Perubahan Iklim pada Berbagai Sektor di Indonesia Dampak (perubahan iklim) adalah dampak dari perubahan iklim terhadap sistem alam dan manusia (IPCC 2007). Perubahan iklim mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung pada berbagai sektor. Dampak tersebut dapat dirunut dari pengaruh satu atau gabungan dari beberapa faktor terhadap suatu sektor. Sebagai contoh, faktor kenaikan suhu atau/ dan perubahan pola curah hujan akan mempengaruhi sistem fisik dan biologi tanaman yang merupakan komponen utama sistem pertanian sehingga berujung mempengaruhi sektor pertanian dan ketahanan pangan. 7 IPCC (2007) memberikan gambaran tentang dampak perubahan iklim pada: (1) sumber daya air bersih dan pengelolaannya; (2) kondisi, sifat, dan fungsi ekosistem; (3) produk makanan/ serat/ hasil hutan; (4) sistem kawasan pesisir dan hamparan dataran rendah; (5) industri, pemukiman, dan masyarakat; dan (6) kesehatan manusia. Sejalan dengan hal tersebut, UNDP menerjemahkan sektor terdampak yang mencakup enam tematik sektor yaitu: (1) pertanian/ ketahanan pangan, (2) pembangunan wilayah pesisir, (3) kesehatan masyarakat, (4) pengelolaan sumber daya alam, (5) manajemen risiko bencana, dan (6) sumber daya dan kualitas air. Perubahan iklim memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap sektor pertanian. Pemanasan global telah memicu anomali iklim yang sulit diperhitungkan dan sangat berpengaruh terhadap kalender tanam petani. Perubahan iklim menjadikan musim panas makin panjang dan lama, sehingga mengakibatkan beberapa daerah mengalami kekeringan yang kemudian berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. Selain itu, musim kering juga menyebabkan lahan pertanian mengalami puso dan hal ini dapat merusak tingkat kesuburan lahan sehingga lahan menjadi tidak subur dan produktif. Sedangkan pada musim hujan, walaupun periode hujan menjadi lebih pendek namun dapat terjadi intensitas curah hujan di beberapa tempat sangat tinggi sehingga sering menimbulkan banjir. Akibatnya, tanaman pada lahan tersebut terendam air dan gagal panen (BSN 2009). Para petani, sudah perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman disertai dengan pengelolaan dan cara penyimpanan air yang lebih baik, serta ditunjang oleh prakiraan cuaca yang lebih akurat dan relevan yang dapat membantu menentukan awal musim tanam dan panen (UNDP 2007). Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian akan berdampak pada kondisi ketahanan pangan di wilayah-wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Wilayahwilayah termiskin juga cenderung mengalami rawan pangan. Bahkan beberapa wilayah sudah sangat rentan terhadap berubahnya kondisi iklim, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di NTT, misalnya, sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi tersebut (UNDP 2007). Perubahan iklim berdampak juga pada sektor kehutanan, salah satu ancamannya adalah kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam. Kebakaran hutan alami disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang mengakibatkan mudah terbakarnya ranting-ranting atau daun-daun akibat gesekan yang ditimbulkan. Kebakaran hutan menimbulkan bencana hilangnya ribuan hektar hutan yang dinilai ekonomis tinggi sekaligus berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya (BSN 2009). Pada sektor perikanan, perubahan iklim menyebabkan memanasnya air laut hingga mencapai 2-3oC, hal ini berdampak pada berpindahnya kehidupan jenis ikan yang sensitif terhadap naiknya suhu ke tempat yang lebih dingin sehingga membuat nelayan lokal makin terpuruk karena menurunnya hasil tangkapan ikan (BSN 2009). Sementara dampak pada masyarakat pesisir menyebabkan rumah/ tempat tinggal mereka terendam akibat muka air laut yang semakin naik, sehingga mereka harus melakukan strategi adaptasi seperti membuat perlindungan dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove, atau dengan bermukim jauh dari pantai, atau melakukan penyesuaian dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain (UNDP 2007). Perubahan iklim juga berpengaruh pada kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Cuaca yang berfluktuasi dapat menimbulkan efek akut pada kesehatan. Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh baik di kota maupun di daerah, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang menular melalui air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru sehingga dapat menimbulkan ancaman malaria dan Demam Berdarah Dengue (UNDP 2007). Sebagai contoh, perubahan cuaca antara panas dan dingin secara ekstrem dapat menimbulkan hipertemia, atau ketika musim kemarau panjang yang berdampak pada 8 timbulnya krisis air bersih sehingga berpengaruh pada wabah penyakit diare dan juga penyakit kulit. Pada musim kemarau juga terjadi peningkatan wabah penyakit DBD dan malaria karena nyamuk akan berkembang biak lebih cepat disebabkan naiknya suhu udara. Sementara pada saat musim hujan berdampak pada terjadinya bencana banjir yang berakibat pada mewabahnya penyakit kulit (BSN 2009). Dampak-dampak tersebut berdampak juga pada sektor ekonomi penduduk Indonesia yang mayoritas menggantungkan penghasilannya pada sektor kehutanan, pertanian, dan perikanan. Pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang pertanian atau perikanan sehingga sumber-sumber pendapatan mereka sangat dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di pedesaan mereka pun umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang/ banjir/ longsor. Terlalu banyak atau terlalu sedikit air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Ketika bencana melanda, mereka nyaris tidak memiliki apapun untuk menghadapinya (UNDP 2007). Jika perubahan iklim membuat lahan pertanian/ kehutanan/ perikanan mereka rusak maka penghasilan mereka akan semakin menurun. Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan pentingnya „pengelolaan yang cermat‟ terhadap bencana. Alih-alih hanya merespon setelah bencana terjadi, yang seharusnya dicapai adalah mengurangi risiko dan membuat persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi (UNDP 2007). Oleh karena itu sektor manajemen risiko bencana perlu mendapatkan perhatian khusus dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang terjadi. Sektor manajemen risiko meliputi sektor sosial, budaya, ekonomi, infrastruktur dan pendidikan (edukasi). 2.8 Kriteria Penilaian Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat dikembangkan beberapa kriteria untuk menilai apakah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu lembaga/ institusi/ komunitas dapat dikategorikan sebagai suatu kegiatan adaptasi perubahan iklim atau tidak. Berikut kriteria yang ditetapkan oleh Impron (2012), diantaranya yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Mempunyai basis ilmiah dalam menentukan adaptasi. Basis ilmiah diperlukan untuk menjustifikasi bahwa pilihan adaptasi mempunyai dasar yang mencukupi sebagai bentuk adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Diterapkan pada satu atau lebih tematik bidang terdampak (Frankel-Reed et al. 2009). Diterapkan pada satu atau lebih jenis adaptasi (Spearman dan McGray 2011), yaitu adaptasi: (1) berbasis komunitas (community based), (2) kebijakan nasional (national policy), dan (3) program/ proyek (program/ project). Mencerminkan satu, dua, atau tiga dari tiga dimensi adaptasi (Spearman dan McGray 2011). Mencerminkan pendekatan yang saling overlap dan simultan dari minimal satu pendekatan perubahan iklim (IPCC 2012). 2.9 Basis Data Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius, kompleks, dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin hingga abad ke-22. Tak ada satu negara atau kelompok masyarakat di dunia ini mampu menghindar, apalagi mencegah terjadinya ancaman terhadap peradaban bangsa tersebut. Seberapa besar dan sekuat apapun kemampuan suatu bangsa, tak akan ada yang sanggup mengatasi sendiri tantangan perubahan iklim dan pemanasan global yang terjalin erat dengan perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan teknologi, kondisi sosial ekonomi, ataupun kesepakatan internasional. Dampak negatifnya cepat meluas dari tingkat global hingga ke tingkat lokal yang terpencil sekalipun (Hadad 2010). Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu adanya penyusunan basis data kegiatan berbagai sektor yang didukung oleh data perubahan iklim. Basis data adalah koleksi atau kumpulan data yang saling berhubungan mengenai sebuah subyek atau organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Waliyanto (2000) dalam Dzacko (2007), basis data mempunyai berbagai sumber data dalam pengumpulan data, bervariasi derajat interaksi kejadian dari dunia nyata, dirancang dan dibangun agar dapat digunakan oleh beberapa user untuk