BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan protein yang tinggi masyarakat Indonesia yang tidak disertai oleh kemampuan untuk pemenuhannya menjadi masalah bagi bangsa Indonesia. Harper dkk. (1985) melaporkan bahwa protein yang biasa dikonsumsi penduduk Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (protein nabati), sehingga kebutuhan protein hewani yang bersumber pada susu masih harus ditingkatkan. Peningkatan produksi susu yang sehat dan berkualitas merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam mewujudkan hal tersebut maka kesehatan sapi perah termasuk lingkungannya harus mendapatkan perhatian khusus. Salah satu kendala dalam peternakan sapi perah adalah adanya penyakit radang ambing atau mastitis. Mastitis merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi pada sapi perah. Penyakit ini merupakan masalah utama dalam peternakan yang menyebabkan kerugian sehubungan dengan penurunan produksi susu, kualitas susu, dan biaya penanganannya (Abbrar dkk., 2003). Oliver (2000) menambahkan, secara ekonomi mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kejadian mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi yaitu mencapai 85%, dan kejadian ini sebagian besar merupakan infeksi subklinis (Sudarwanto, 1999; Wibawan dkk., 1999). Tingkat kejadian mastitis subklinis pada masing-masing wilayah berbeda, seperti dilaporkan oleh Wahyuni (2008) kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Yogyakarta memiliki rata-rata tingkat kejadian 72%, Jawa Tengah 65 % dan Jawa Timur 44,66%. Kejadian mastitis subklinis dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar terutama karena turunnya produksi susu yang dapat mencapai 25% dari total produksi (Han dkk., 2000). Beberapa bakteri dilaporkan sebagai penyebab mastitis. Staphylococcus aureus merupakan bakteri utama penyebab mastitis klinis maupun subklinis pada sapi perah. Pengobatan mastitis sampai sekarang masih menggunakan antibiotik, sementara penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan resistensi S. aureus terhadap antibiotik. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah salah satu strain bakteri yang telah menjadi masalah serius di seluruh dunia dan sering diasosiasikan sebagai penyebab mastitis pada sapi. Bakteri MRSA merupakan strain S. aureus yang tahan terhadap berbagai antibiotik termasuk metisilin. Gen mecA merupakan suatu gen yang mengkode modifikasi Penicillin Binding Protein (PBP2a) sehingga resisten terhadap antibiotik metisilin. Saat ini MRSA telah muncul di seluruh dunia sebagai bakteri patogen nosokomial pada hewan dan manusia, serta bersifat zoonosis. Permasalahan dalam mengatasi penyebab penyakit ini adalah resistensi antibiotik. Menurut Tato (2012), kejadian infeksi MRSA di Indonesia cukup tinggi dan biasanya strain bakteri ini resisten terhadap multipel antibiotik. Strategi pengendalian infeksi S. aureus dari berbagai negara ditentukan berdasarkan karakter bakteri; eksistensi bakteri setelah mengalami seleksi terhadap tekanan dari berbagai antibiotik, faktor virulensi yang dimiliki, kondisi geografis tempat bakteri berkembang dan beradaptasi terhadap lingkungan, dan faktor-faktor lain. Faktor-faktor tersebut menyebabkan infeksi yang disebabkan S. aureus menjadi sulit untuk dilakukan pengobatan. Pada penelitian ini, keberadaan gen penyandi methicillin resistance (mecA) dideteksi dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) (Todar, 2008). Selanjutnya hasil PCR akan disekuensing untuk memastikan kebenaran gen mecA hasil PCR. B. Rumusan Masalah Staphylococcus aureus merupakan bakteri utama penyebab mastitis klinis maupun subklinis pada sapi perah. Pengobatan mastitis sampai sekarang masih menggunakan antibiotik, sementara penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan resistensi S. aureus terhadap antibiotik. Methicillin resistant Staphylococcus aureus adalah salah satu strain S. aureus yang resisten terhadap metisilin (Todar, 2002). Pertama kali, terdeteksi pada susu sapi yang menderita mastitis dan merupakan bakteri patogen pada manusia (Anonim, 2007). Permasalahan dalam mengatasi penyebab mastitis ini adalah resistensi antibiotik. Beberapa strain S. aureus dilaporkan telah resisten terhadap beberapa antibiotik komersial, meskipun belum banyak dilaporkan resisten terhadap metisilin (Todar, 2002). Strain MRSA resisten terhadap semua antibiotik beta-laktam, tidak hanya tergantung pada produksi beta-laktamase namun bergantung pada modifikasi Penicillin Binding Protein (PBP2a) dalam bakteri yang mempunyai afinitas rendah terhadap semua antibiotik beta-laktam. Gen mecA merupakan gen yang mengkode modifikasi Penicillin Binding Protein (PBP2a) dan bertanggungjawab terhadap resistensi metisilin, namun dilaporkan juga bahwa gen mecA ditemukan juga pada S. aureus yang sensitif terhadap metisilin (Tato, 2012). Staphylococcus aureus banyak ditemukan dari susu sapi perah baik susu normal, mastitis klinis, maupun subklinis, sedangkan di Indonesia penelitian tentang MRSA yang berasal dari susu sapi perah normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis belum dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah gen mecA dapat ditemukan pada S. aureus yang resisten dan sensitif terhadap metisilin? 2. Apakah strain MRSA dapat ditemukan dari susu normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis? Mengingat bahwa identifikasi karakter resistensi dan sensitivitas S. aureus terhadap antibiotik metisilin baik secara konvensional dan molekuler yang berasal dari susu sapi perah di wilayah Boyolali, Pacitan, dan Ponorogo belum pernah dilaporkan, maka dilakukan penelitian ini. C. Keaslian Penelitian Identifikasi bakteri MRSA pada kasus mastitis sapi perah telah dilakukan Turutoglu dkk. (2009), dari 18 isolat MRSA yang resisten terhadap antibiotik oxacillin, hanya tiga isolat yang ditemukan adanya gen mecA. Hal ini menunjukkan bahwa gen mecA tidak dapat digunakan sebagai penanda genetik Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik oxacillin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asfour dan Darwish (2011), MRSA banyak ditemukan pada kasus mastitis subklinis dibandingkan mastitis klinis. Methicillin resistant coagulase negative S. aureus merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan pada kasus mastitis subklinis. Secara konvensional, MRSA ditunjukkan dengan adanya resistensi terhadap antibiotik cefoxitin dan oxacillin. Setelah dilakukan kajian molekuler, beberapa S. aureus yang resisten terhadap kedua antibiotik tersebut, tidak ditemukan adanya gen mecA, sehingga keberadaan gen mecA tidak dapat digunakan sebagai penanda genetik. Kajian secara konvensional dan molekuler MRSA dari susu sapi perah juga telah dilakukan oleh Tato (2012), deteksi MRSA dengan teknik molekuler lebih sensitif dan akurat dibanding dengan metode klasik disc diffusion. Penelitian tentang penentuan sifat resisten dan sensitif terhadap metisilin serta deteksi gen mecA dari S. aureus isolat susu sapi perah normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis dari wilayah Boyolali, Pacitan, dan Ponorogo belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi ulang secara konvensional isolat S. aureus dari susu sapi perah normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis dari wilayah Boyolali, Pacitan, dan Ponorogo. 2. Mengidentifikasi secara molekuler isolat S. aureus dari susu sapi perah normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis dari wilayah Boyolali, Pacitan, dan Ponorogo. 3. Menentukan S. aureus yang sensitif dan resisten terhadap metisilin. 4. Mendeteksi gen mecA S. aureus yang sensitif dan resisten terhadap metisilin. 5. Menentukan persentase MRSA dari susu normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang distribusi methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA) dan sensitivitasnya terhadap beberapa antibiotik yang berasal dari susu sapi perah di wilayah Boyolali, Pacitan, dan Ponorogo. Dengan penelitian tersebut dapat digunakan sebagai informasi bagi dokter hewan dalam menentukan pengendalian yang tepat terhadap infeksi MRSA dan menjaga kualitas dan kuantitas susu sapi perah.