Hembusan Topo Tawui dalam Persalinan

advertisement
Hembusan Topo Tawui
dalam Persalinan
Sri Handayani
Lia Churniawati
Salahuddin
Niniek Lely Pratiwi
i
Hembusan Topo Tawui dalam Persalinan
©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Penulis
Sri Handayani
Lia Churniawati
Salahuddin
Niniek Lely Pratiwi
Editor
Niniek Lely Pratiwi
Desain Cover
Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014
Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933
e mail: [email protected]
ISBN 978-602-1099-14-8
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.
ii
Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal
3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)
Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Ketua Tim Teknis
: dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos
iii
Koordinator wilayah
:
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven
Digoel dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab.
Teluk Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab.
Kep. Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba
Timur. Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon
iv
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang
sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa
perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah
satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.
Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu
alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial
masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan
cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose
ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging)
dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di
Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20
buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan
di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting
guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah
tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan
upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan
lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh
informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam
v
penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan
pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi
Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri
dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GRAFIK
v
vii
x
xi
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Metode
1.4. Sekilas tentang Kabupaten Mamuju Utara
1.5. Pemilihan Lokasi Penelitian
1.6. Waktu Penelitian
1.7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
1
5
5
5
8
10
10
BAB 2 KEBUDAYAAN SUKU KAILI DA’A
13
2.1. Sejarah
2.1.1 Asal Usul (Babat)
2.1.2 Sejarah Suku Kaili Da’a Di Desa Wulai
2.1.3 Perkembangan Desa
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1. Geografi
2.2.2. Kependudukan
2.2.3. Pola Tempat Tinggal
2.3. Sistem Religi
2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional
2.3.2 Praktek Keagamaan
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
13
13
15
18
18
18
23
25
30
30
40
43
vii
2.4.1. Sistem Kekerabatan
2.4.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
2.5. Pengetahuan
2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit
2.5.2. Penyembuhan Tradisional
2.5.3. Teknik Penyembuhan
2.5.4. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan
Biomedikal
2.5.5. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan
2.5.6. Pengetahuan Makanan dan Minuman
2.6. Bahasa
2.7. Kesenian
2.8. Mata Pencaharian
2.9. Teknologi dan Peralatan
43
47
51
51
56
59
60
BAB 3 POTRET KESEHATAN
79
3.1. Kesehatan Ibu dan Anak
3.1.1. Remaja
3.1.2. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah
Hamil
3.1.3. Hamil
3.1.4. Menjelang Persalinan
3.1.5. Proses Persalinan
3.1.6. Masa Nifas
3.1.7. Masa Menyusui
3.1.8. Neonatus dan Bayi
3.1.9. Anak dan Balita
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
3.2.1. Pemakaian Jamban
3.2.2. Penggunaan Air Bersih
3.2.3. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
3.2.4. Kebiasaan Merokok
79
79
86
viii
61
68
70
71
72
76
88
92
95
101
104
106
113
117
118
120
122
123
3.2.5. Aktivitas Fisik
3.2.6. Konsumsi Buah dan Sayur
3.3. Penyakit Menular
3.3.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
3.3.2. Diare
3.3.3. Malaria
3.3.4. Tuberkulosis
3.4. Penyakit Tidak Menular
3.4.1 Hipertensi
3.4.2 Diabetes Mellitus
3.4.3 Penyakit Gondok
3.4.4. Penyakit Jantung
127
128
128
128
130
133
134
144
144
146
147
148
BAB 4 HEMBUSAN TOPO TAWUI DALAM PERSALINAN
151
4.1. Latar Belakang
4.2. Kasus Kematian Bayi
4.3. Pemilihan Penolong Persalinan antara Topo Tawui
dengan Bidan Kesehatan
4.4. Kematian Bayi di Mata Masyarakat Kaili Da’a Wulai
4.5. Kasus Kematian Bayi di Desa Wulai dari Perspektif
Kesehatan
4.6. Potensi dan Kendala
151
152
171
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
205
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak
5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan secara Umum
205
209
209
210
INDEKS
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
UCAPAN TERIMA KASIH
211
216
219
224
ix
190
192
197
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1. Persentase dan Luas Wilayah Desa
Tabel 2. 1. Fasilitas Pendidikan di Desa Wulai
Tabel 2. 2. Fasilitas Ibadah di Desa Wulai
Tabel 2. 3. Data Kunjungan Pasien Poskesdes Wulai MeiJuni 2014
Tabel 2. 4. Tenaga Kesehatan Puskesmas Randomayang
Tabel 3. 1. Distribusi Jenis Alat Kontrasepsi yang Digunakan
PUS di Desa Wulai Tahun 2013
Tabel 3. 2. Kunjungan Balita ke Posyandu di Desa Wulai
x
8
25
43
66
68
103
115
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1. Peta Mamuju Utara
Gambar 1. 2. Peta Desa Wulai
Gambar 2. 1. Pipa Sumber Air Bersih
Gambar 2. 2. Sumur Gali dan Pompa air
Gambar 2. 3. Aktivitas Masyarakat di Sungai Pinora’a
Gambar 2. 4. Air sungai saat meluap dan Kondisi Jalan
Desa
Gambar 2. 5. Rumah tinggi suku Kaili Da’a
Gambar 2. 6. Rumah di Perkampungan Desa Wulai
Gambar 2. 7. Rumah di Perkampungan di Desa Wulai
Gambar 2. 8. Bantaya
Gambar 2. 9. Pasar di Desa Wulai
Gambar 2. 10. Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual
Gambar 2. 11. Aktivitas Keagamaan Sekolah Minggu
Gambar 2. 12. Penyembuhan yang dilakukan Topo tawui
Gambar 2. 13. Daun-daunan untuk pengobatan tradisional
Gambar 2. 14. Poskesdes Wulai
Gambar 2. 15. Puskesmas Randomayang
Gambar 2. 16. Makanan Sehari-hari Masyarakat Wulai
Gambar 2. 17. Alat musik tradisional (musik bambu)
Gambar 2. 18. Coklat yang sedang dikeringkan
Gambar 2. 19. Aktivitas menanam jagung
Gambar 2. 20. Tungku yang digunakan untuk memasak
Gambar 2. 21. Ayunan (lou)
Gambar 3. 1. Proses persalinan yang dilakukan dirumah
Gambar 3. 2. Alat untuk memotong tali pusat bayi
Gambar 3. 3. Ibu yang sedang menyusui bayinya
Gambar 3. 4. Bayi yang sedang tidur di ayunan
Gambar 3. 5. Ritual nitau
Gambar 3. 6. Balita disuapi nasi dicampur dengan air
xi
7
9
20
20
21
22
27
27
28
29
30
34
41
59
61
65
67
69
71
73
73
77
78
97
98
105
107
109
111
Gambar 3. 7. Acara Penyerahan Bayi (Anak)
Gambar 3. 8. Pelaksanan Posyandu di Dusun Watubete
Gambar 3. 9. Pelaksanaan posyandu di Dusun Saluwu
Gambar 3. 10. Jamban milik warga bantuan dari Dinas
Sosial
Gambar 3. 11. Warga menggali sumur untuk sumber air
bersih
Gambar 3. 12. Perempuan Desa Wulai yang sedang
merokok
Gambar 3. 13. Perlengkapan mompongo
Gambar 3. 14. Rumah di Desa Wulai
Gambar 4. 1. Kondisi sungai yang kering
Gambar 4. 2. Kondisi sungai setelah turun hujan
Gambar 4. 3. Ibu yang mau melahirkan ditandu ketika
xii
112
113
116
119
122
124
125
137
184
185
186
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. 1. Jumlah Kematian Bayi menurut Puskesmas
Grafik 3. 1. Suspek TB dan Penderita TB di Desa Wulai
xiii
4
135
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN
lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan
data bahwa AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per
1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global MDGs
(Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun
2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran
hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berbagai
upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi
perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di Negara maju
dan di Negara berkembang seperti Indonesia.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi
sebesar 31,7%, balita stunting 36,8% dan akses sanitasi 43%, hal
ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada
status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah
penyakit tidak menular, gizi dan PHBS.
Data Riskesdas 2010 menunjukkan masih banyak
penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan, terbukti
55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2 %
melahirkan di rumah. Jumlah ibu yang melahirkan di rumah 51,9
persen ditolong bidan dan masih ada 40,2 persen yang ditolong
dukun bersalin (Riskesdas 2010).
1
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa
setahun sebelum survei, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan namun masih ada kesenjangan antara pedesaan
(72,5%) dan perkotaan (91,4%). Masih tingginya pemanfaatan
dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di
rumah, terkait dengan berbagai faktor sosial budaya.
Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan.
Manusia mampu melakukan aktifitas kebudayaan jika dalam
keadaan sehat, sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan
merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula
sebaliknya, kebudayaan juga bisa menjadi pedoman masyarakat
dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah
kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat
penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas
dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa,
2005:16).
Hasil penelitian riset etnografi kesehatan 2012 di 12 etnik
di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak
terkait dengan budaya kesehatan yang ada pada masyarakat.
Kepercayaan tentang hal mistis masih melekat kuat pada budaya
mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk
diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual
dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar
terhindar dari gangguan roh jahat. Pantangan mengkonsumsi
makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu
hamil sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.
Guna melengkapi penelitian Riset Etnografi Kesehatan
tahun 2012 maka perlu dilakukan riset serupa di kabupaten lain
dengan komunitas etnik yang berbeda. Pada tahun 2014
dilaksanakan riset etnografi kesehatan di 20 kabupaten salah
satunya adalah di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi
Barat. Kondisi kesehatan Kabupaten Mamuju Utara belum
2
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
termasuk baik, terlihat dari rangking Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) kabupaten ini yang berada di
rangking 405 dari 440 kabupaten di Indonesia (Data IPKM 2007).
Kondisi kesehatan Kabupaten Mamuju Utara terlihat dari
profil kesehatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamuju Utara. Pada tahun 2009 AKB sebesar 32 per 1000 KH
atau 36 dari 1.811 KH, Pada tahun 2010 angka kematian bayi
sebesar 15.8 per 1000 KH atau 36 dari 2.274 KH. Sedangkan
tahun 2011 mengalami peningkatan yakni sebesar 19.2 per 1000
KH atau 47 dari 2.449 KH. Pada tahun 2012 menurun menjadi
16.6 per 1000 kelahiran hidup atau 43 dari 2.598 Kelahiran
Hidup. Jumlah Kematian Bayi pada tahun 2012 terendah ada di
wilayah kerja PKM Karossa dan wilayah kerja PKM Lilimori
masing-masing satu kasus. Jumlah kematian tertinggi terjadi di
wilayah kerja PKM Pasangkayu (10 kasus) (Profil Kesehatan Kab.
Mamuju Utara, 2012).
Berdasarkan wawancara dengan staf Sub bid KIA Dinkes
Mamuju Utara didapatkan informasi jumlah kematian ibu absolut
sebanyak enam kasus selama enam bulan dari bulan Januari
sampai Juni 2014. Angka ini cukup besar jika dilihat jumlah
penduduk kabupaten Mamuju Utara yaitu sebanyak 142.075
penduduk, maka proporsi ibu hamil diprediksi sebanyak 3.552
(2.5%xjumlah penduduk). Setahun jumlah kematian diperkirakan
12/3.552 kelahiran yang artinya dalam 1000 kelahiran ada 4 ibu
bersalin yang meninggal. Hal ini sesuai dengan angka SDKI tahun
2012 yaitu sebesar 3,59/1000 kelahiran (SDKI 2012).
Disamping AKB yang cukup tinggi, Kabupaten Mamuju
Utara juga masih menghadapi masalah AKI yang cukup tinggi. AKI
di Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2012 sebanyak 13 orang
dari 2.598 kelahiran hidup, yang terdiri dari kematian ibu hamil 1
orang, ibu bersalin 10 orang dan ibu nifas 2 orang.
3
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Grafik 1.1.
Jumlah Kematian Bayi Menurut Puskesmas Tahun 2012
Sumber: Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara Tahun 2012
Selain masalah AKI dan AKB Kabupaten Mamuju Utara
juga masih menghadapi masalah dalam penanggulangan penyakit
menular seperti malaria dan Tubercolosis (TB). Kabupaten
Mamuju Utara merupakan daerah endemis sedang malaria.
Jumlah Kasus malaria klinis di Kabupaten Mamuju Utara pada
tahun 2012 tercatat sebesar 3.908 penderita dan malaria positif
(pemeriksaan sediaan darah) sebesar 27,5 %. Untuk kasus TB,
salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB
adalah Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR) , yaitu
proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Pada tahun 2012
pencapaian CDR sebesar 36,2 % dari 282 perkiraan kasus. Pada
tahun 2011, Kejadian KLB diare terjadi di empat Kecamatan
enam Desa dengan jumlah penderita sebanyak 55 orang, jumlah
kematian sebanyak 3 orang. Sedangkan data tahun 2012
penderita Diare sebanyak 5.211 orang, dengan persentase 86,7 %
4
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dari 6.010 kasus (Profil Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara,
2012).
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
secara menyeluruh aspek budaya masyarakat terkait masalah
kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit
Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) di Kabupaten Mamuju Utara.
1.3. Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode etnografi. Etnografi adalah upaya
memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa
orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna ini terekspresikan
secara langsung dalam bahasa, dan banyak yang diterima dan
disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata dan
perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat, orang tetap
menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur
tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan
untuk memahami orang lain, serta untuk memahami dunia
dimana mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan
mereka. (Spradley, 1997: 5)
1.4. Sekilas tentang Kabupaten Mamuju Utara
Kabupaten Mamuju Utara adalah salah satu dari lima
kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi
Barat merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan yang
resmi berdiri pada tahun 2004. Kabupaten Mamuju Utara
merupakan pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang
dimekarkan menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Mamuju,
5
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mamuju Utara dan Mamuju Tengah pada tahun 2003. Slogan
Kabupaten Mamuju Utara adalah Smart yang artinya Sejahtera,
Mandiri, dan Bermartabat. Logo slogan smart adalah tugu kelapa
sawit yang menandakan mata pencaharian sebagian besar
penduduk Mamuju Utara adalah bertanam kelapa sawit.
Kabupaten Mamuju Utara terletak di bagian Utara
Propinsi Sulawesi Barat yang jaraknya sekitar 276 km dari ibukota
provinsi (Mamuju). Lama perjalanan dari Mamuju ke Pasang Kayu
(ibukota Mamuju Utara) kurang lebih sekitar tujuh jam jika
menggunkan mobil travel. Jarak yang cukup jauh dari Mamuju
membuat masyarakat lebih memilih untuk pergi ke Palu untuk
membeli berbagai barang yang mereka butuhkan dengan jarak
hanya 130 Km dari Pasang Kayu. Apabila ditempuh menggunakan
mobil travel lama perjalanannya sekitar tiga jam.
Kabupaten Mamuju Utara terdiri dari 12 kecamatan
dengan luas wilayah 3.043,75 km. Secara geografis Kabupaten
Mamuju Utara terletak pada koordinat antara 3° 39° - 4° 16° LS
dan 119° 53° - 120° 127° BT dengan batas wilayah sebagai
berikut:
Sebelah Utara
: Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah;
Sebelah Selatan
: Kabupaten Mamuju;
Sebelah Timur
: Kabupaten Luwu Utara;
Sebelah Barat
: Selat Makassar.
Berdasarkan data proyeksi dari Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Mamuju Utara, jumlah penduduk pada tahun
2012 sebanyak 142.075 jiwa yang terdiri dari 74.272 penduduk
laki-laki dan 67.803 penduduk perempuan dengan rasio jenis
kelamin dengan kepadatan adalah 46,7. Rasio jenis kelamin
penduduk Kabupaten Mamuju Utara tahun 2012 sebesar 109
yang artinya jumlah penduduk laki-laki 9% lebih banyak
dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Nilai ini berarti
6
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
bahwa setiap 100 perempuan terdapat 109 laki-laki. (Profil
Kesehatan Kab. Mamuju Utara, 2012).
Gambar 1.1.
Peta Mamuju Utara
Sumber: Profil Kesehatan Dinkes Kab. Mamuju Utara 2012
Wilayah Kabupaten Mamuju Utara sebagian besar adalah
wilayah perkebunan (133.197 ha) yang terdiri dari perkebunan
coklat, kelapa sawit dan jeruk. Sisanya adalah wilayah
pemukiman sebesar 2.315 ha , persawahan 1.211 ha, lahan
tambak 1.281 ha dan wilayah hutan yang cukup luas yaitu
sebesar 165.187 ha (http://mamujuUtarakab.go.id).
Sektor perekonomian utama yang berkembang di
Kabupaten Mamuju Utara adalah sektor pertanian. Tahun 2002
sektor pertanian menyumbang Produk Domestik Regional Bruto
7
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
(PDRB) sebesar Rp 238,67 miliar yang setara dengan 78,32% dari
total kegiatan ekonomi sebesar Rp 304,72 miliar. Sektor
pertanian didominasi oleh perkebunan sebagai sektor utama
yang menghasilkan kurang lebih Rp 195,62 miliar.
(http://kemendagri.go.id).
Setelah Mamuju Utara menjadi Kabupaten maka
terbentuklah Kecamatan Bambalomotu yang terdiri dari Desa
Randomayang, Desa Kalola, Desa Wulai, Desa Polewali dan Desa
Pangiang. Berikut tabel luas wilayah desa-desa tersebut:
Tabel 1.1.
Persentase dan Luas Wilayah Desa di Kecamatan
Bambalamotu
Nama Desa
Persentase
Luas Wilayah
Randomayang
6.94%
16.92 km²
Wulai
24.67%
60.11 km²
Kalola
40.11%
97.72 km²
Polewali
14.18%
34.54 km²
Pangiang
8.63%
21.03 km²
Sumber: Profil Kecamatan Bambalamotu, BPS 2013.
Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat luas wilayah Desa Wulai
adalah kedua terbesar (24.67%) setelah Desa Kalola di
Kecamatan Bambalamotu.
1.5. Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Wulai yang
terletak di Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara.
Pertimbangan pemilihan Desa Wulai dikarenakan mayoritas
penduduknya merupakan Etnik Kaili Da’a dan di Desa tersebut
terdapat permasalahan kesehatan terkait kesehatan ibu dan
anak. Berdasarkan data dari bidan desa setempat, pada bulan
8
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Januari hingga Maret tahun 2014 terdapat dua kasus kematian
bayi dan satu kematian neonatus.
Desa Wulai terdiri dari lima dusun yaitu Dusun Watubete,
Dusun Wulai Satu, Dusun Saluwu, Dusun Sinjanga dan Dusun
Ujung Baru. Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili
Da’a kecuali di Dusun Ujung Baru. Oleh karena itu masyarakat
yang tinggal di Dusun Ujung Baru tidak termasuk masyarakat
yang diteliti karena mayoritas penduduk dusun ini adalah etnik
pendatang seperti Mandar, Bugis dan Makassar.
Gambar 1.2.
Peta Desa Wulai
Sumber: Dokumentasi Aparat Desa Wulai
Desa Wulai berbatasan dengan Desa Kalukunangka di
sebelah Utara. Dusun yang berbatasan langsung dengan Desa
Kalukunangka adalah Dusun Saluwu. Namun tidak ada jalan
penghubung yang dapat dilalui sepeda motor, jalan yang ada
hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Desa Wulai berbatasan
9
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Timur, di
sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kalola dan di sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Randomayang.
1.6. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 10 (sepuluh bulan)
dengan waktu pengumpulan data selama dua bulan (60 hari).
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 4 Mei 2012 dan
berakhir pada tanggal 2 Juli 2014.
1.7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa
cara/teknik di antaranya; observasi partisipatif, wawancara
mendalam,
wawancara
sambil
lalu,
penelusuran
dokumen/tinjauan pustaka dan data visual. Hal ini dimaksudkan
supaya data yang diperoleh lebih valid dan akurat.
a. Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah cara yang dapat digunakan
untuk memahami perilaku masyarakat dan mengetahui apa
makna dari tindakan yang dilakukan masyarakat. Dalam
penelitian ini, peneliti berbaur dengan masyarakat dengan cara
tinggal bersama dengan masyarakat Desa Wulai selama kurang
lebih 60 hari. Dengan cara ini peneliti dapat mengamati
keseharian kehidupan masyarakat Wulai terutama aktivitas atau
kegiatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan ibu dan
anak, penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku
hidup bersih sehat (PHBS). Observasi partisipasi dilakukan
dengan cara mengikuti aktivitas keseharian masyarakat Wulai
seperti aktivitas dalam kegiatan rumah tangga, pekerjaan, dan
acara-acara yang berlangsung di Desa Wulai.
10
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
b. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh
gambaran yang menyeluruh dari masalah yang sedang diteliti.
Informan yang diwawancarai adalah masyarakat yang
mengetahui budaya masyarakat dan yang mengetahui masalah
kesehatan di Desa Wulai. Wawancara mendalam dilakukan
terhadap tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, remaja,
pasangan suami istri yang belum memiliki anak, ibu hamil, ibu
nifas, ibu yang memiliki bayi dan balita, ibu nifas, suami ibu
hamil/nifas/bayi dan balita. Wawancara mendalam juga
dilakukan kepada masyarakat yang menderita penyakit tertentu,
pengobat tradisional, penolong persalinan tradisional, kader
kesehatan dan tenaga kesehatan.
c. Wawancara Sambil Lalu
Selain wawancara mendalam, dalam penelitian ini juga
dilakukan wawancara sambil lalu atau sepintas. Wawancara ini
dilakukan kapan saja dan di mana saja, dalam artian waktu dan
tempat wawancara dapat tidak terduga. Hasil dari wawancara
sambil lalu dapat digunakan sebagai data penunjang dari hasil
data observasi dan wawancara mendalam.
d. Penelusuran dokumen/tinjauan pustaka
Sebagai pelengkap data primer maka penelitian ini
ditunjang dengan data sekunder yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara, Kecamatan Bambalamotu,
Puskesmas Randomayang Kecamatan Bambalamotu, data profil
Desa Wulai, dan Poskesdes Wulai. Selain itu data sekunder juga
diperoleh dari buku, artikel, atau publikasi di media cetak dan
elektronik terkait masalah kesehatan.
e. Data visual
Data visual diperoleh dari hasil dokumentasi peneliti,
berupa foto atau rekaman video, terkait dengan gambaran
kehidupan masyarakat Desa Wulai terutama tentang masalah
11
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kesehatan. Data visual bertujuan untuk menunjang atau
memperjelas data hasil observasi dan wawancara sehingga
diperoleh gambaran menyeluruh dari sebuah peristiwa atau
kejadian.
12
BAB 2
KEBUDAYAAN ETNIK KAILI DA’A
2.1. Sejarah
2.1.1. Asal Usul
Pada awalnya Desa Wulai merupakan nama sebuah dusun
yang merupakan bagian dari wilayah Desa Randomayang. Pada
saat itu Desa Randomayang merupakan bagian dari Kecamatan
Pasang Kayu yang terletak di wilayah Kabupaten Mamuju,
Provinsi Sulawesi Selatan. Dahulu Dusun Wulai merupakan
perkampungan biasa yang tidak ada namanya. Asal usul nama
Wulai terkait dengan adanya sumber mata air yang sering
digunakan sebagai sumber air bersih. Mata air ini merupakan
satu-satunya sumber mata air yang ada di pemukiman tersebut.
Penduduk yang bermukim di wilayah ini sangat menjaga
kebersihan mata air. Oleh karena itu masyarakat menamakan
perkampungan ini dengan sebutan Wulai yang artinya adalah air.
Berawal dari kesepakatan warga untuk membentuk desa
sendiri, maka pada tahun 2007 Wulai yang awalnya hanyalah
sebuah dusun dari Desa Randomayang berubah menjadi sebuah
desa. Sebelum pemilihan kepala desa dilaksanakan, dipilihlah
bapak AR selaku pejabat sementara. Pada tahun 2009 barulah
diselenggarakan pemilihan kepala desa yang diikuti oleh dua
calon kepala desa yaitu bapak SI dan bapak AR. Berdasarkan
13
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perolehan suara terbanyak maka bapak SI terpilih menjadi kepala
desa pertama Wulai yang berasal dari etnik Kaili Da’a.
Pada awalnya, Desa Wulai terdiri dari tiga dusun yaitu
Dusun Bendungan, Wulai Satu dan Wulai Dua. Dusun Wulai satu
merupakan pemukiman tertua sedangkan Dusun Wulai Dua
sebelumnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Satu. Saat ini
Desa Wulai sudah mulai berkembang menjadi lima dusun dengan
tambahan dua dusun yaitu Dusun Sinjanga dan Dusun Saluwu.
Dusun Sinjanga pada awalnya merupakan bagian dari Dusun
Wulai Dua dan Dusun Saluwu bagian dari Desa Kalukunangka.
Selain penambahan jumlah dusun, juga terjadi pergantian nama
yaitu Dusun Bendungan menjadi Dusun Ujung baru dan Dusun
Wulai Dua menjadi Dusun Watubete.
Dusun Watubete terbentuk ketika masyarakat mulai
membuka lahan untuk berkebun yang kemudian berkembang
menjadi areal pemukiman hingga akhirnya terbentuk menjadi
sebuah dusun. Watubete dalam bahasa setempat berarti batu
besar. Dinamakan Dusun Watubete dikarenakan di dusun
tersebut terdapat sebuah batu besar yang terletak di tepi sungai.
Dari Dusun Watubete penduduk menyebar lagi
membentuk pemukiman baru yaitu Dusun Sinjanga yang berada
di sebelah Selatan Watubete. Daerah Dusun Watubete juga
terdiri dari beberapa perkampungan seperti perkampungan
Salo’otu dan Pinora’a yang letaknya cukup jauh dari pusat dusun.
Perkampungan Salo’otu ditempuh dengan jalan pendakian dari
pusat Dusun Watubete. Jika berjalan kaki, diperlukan waktu
sekitar 30 menit untuk menuju perkampungan tersebut. Jalan
menuju perkampungan tersebut berupa jalan setapak bebatuan
hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Untuk melintasi jalan
setapak ini cukup sulit karena harus mendaki dan apabila turun
hujan jalan menjadi licin. Selain melewati jalan setapak, untuk
14
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
menuju perkampungan Salo’otu sebelumnya melewati sungai
dan perkebunan sawit dan coklat.
Kondisi jalan yang sulit juga terjadi jika hendak menuju
perkampungan Pinora’a. Perkampungan ini harus ditempuh
dengan melewati sungai. Apabila hujan lebat akses menuju
perkampungan tersebut menjadi sulit dikarenakan arus sungai
yang cukup deras. Perkampungan Pinora’a terdiri dari sekitar 20
rumah yang sebagian diantaranya ditempuh dengan 15 menit
berjalan kaki melewati sungai atau dapat pula menumpang truk
milik perusahaan batu dan pasir milik PT Pasako Utama Jaya.
Perkampungan tersebut terletak di sebelah Timur dari pusat
Dusun Sinjanga dan untuk menuju kampung tersebut ditempuh
dengan jalan mendaki serta harus melewati sungai Sinape.
2.1.2. Sejarah Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai
Etnik Kaili Da’a merupakan salah satu rumpun dari Etnik
Kaili yang berasal dari Sulawesi Tengah. Dalam bahasa Kaili, para
etnik Kaili menyebut kelompok etnik mereka sebagai to kaili yang
berarti orang Kaili. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kata
“kaili” tersebut diambil dari nama sebuah pohon yang dikenal
dengan nama pohon kaili. Jenis pohon ini biasanya tumbuh di
kawasan hutan yang terdapat di kawasan tepi sungai palu dan
teluk palu. Di daerah lain, pohon kaili disebut dengan
pohon woea, rao atau rago. Pada zaman dahulu, kerajan etnik
kaili membentuk sebuah dewan permusyawaratan rakyat yang
disebut Libu Nto Dea. Forum ini merupakan forum perwakilan
rakyat dari Kota Pitunggota (tujuh penjuru wilayah) atau
Patanggota (empat penjuru wilayah). Forum ini dketuai oleh
salah seorang perwakilan yang disebut Baligau. Menurut salah
seorang budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing, anggota
Pitunggota tersebut adalah perwakilan dari tujuh sub-etnik etnik
Kaili. Pada dasarnya, sub-sub etnik dalam etnik kaili tersebut
15
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dibedakan berdasarkan pada dialek bahasa yang digunakan
dalam kesehariannya. Dalam hal ini, sub etnik etnik Kaili tersebut
antara lain adalah kaili ledo, kaili ija, kaili ado, kaili unde, kaili rai,
kaili da’a dan, kailitara. Selain ketujuh sub-etnik yang tergabung
dalam Pitunggota atau Patanggota tersebut, sebenarnya masih
ada beberapa sub-etnik etnik kaili. Secara keseluruah, sub-etnik
etnik kaili terhitung mencapai 21 sub-etnik (Faidi, 2013).
Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai awalnya berasal
dari daerah Pinembani di Sulawesi Tengah. Menurut sejarahnya,
di daerah Pinembani terdapat dua kerajaan yang dipimpin oleh
dua orang kakak beradik yaitu Kerajaan Pinembani dan Kerajaan
Dombu. Pada perkembangannya Kerajaan Dombu lebih memiliki
pengaruh dibandingkan dengan Kerajaan Pinembani. Sebagian
besar penduduk Wulai berasal dari kerajaan Dombu sedangkan
keturunan kerajaan Pinembani berada di daerah Pakawa.
Menurut informan Wa yang merupakan ketua lembaga
adat Etnik Kaili Da’a, sejarah Etnik Kaili Da’a tidak bisa diceritakan
sembarangan. Ketika seseorang membahas tentang sejarah Etnik
Kaili Da’a maka orang tersebut akan menyebut nama nenek
moyang mereka. Apabila dalam penyebutan nama ataupun
silsilah ada ada yang tidak tepat maka orang yang bercerita akan
sakit. Penyakit timbul karena arwah nenek moyang akan marah
karena nama mereka salah disebut. Dalam bahasa Kaili Da’a
penyakit seperti ini disebut dengan istilah kabuaga artinya
kurang sehat, seperti penjelasan informan Wa berikut ini:
“...kalo salah ngomong, kalo menurut bahasa orangtua
akan menimbulkan kabuaga kaya kurang sehat begitu,
inikan bicara sejarah, nama orangtua kalo mengikuti
jalur mengikuti nama pertamanya, kalo semua nama
disebutkan dilarang itu.”
16
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai pada awalnya
hidup berpindah-pindah (nomaden) di daerah pegunungan
Tasinamawu. Mereka akan berpindah ke lahan baru jika sudah
selesai masa panen karena mereka menganggap lahan baru lebih
subur dan akan lebih banyak mendatangkan hasil. Cerita asal usul
Etnik Kaili Da’a dituturkan informan Al berikut ini:
“Sebagian orang disini dari Pinembani Sulawesi Tengah
dan dari Dombu. Disini ada banyak gunung tapi gunung
yang tertinggi yaitu Gunung Tasinamawu jadi patokan
mereka. Dari pegunungan itu mereka kan nomaden
sampai mereka ke tempat ini. Karena habis buka lahan
setelah panen dianggap sudah tidak subur lagi, buka lagi
lahan baru. Kalo mereka lihat hasil panen sudah
berkurang itu berarti tidak subur kemudian mereka buka
lahan baru.”
Pada awalnya Etnik Kaili Da’a tidak mengetahui batas
wilayah provinsi, mereka hanya mengetahui bahwa hutan adalah
milik mereka. Mereka mulai mau turun dari pegunungan dan
tinggal di perkampungan ketika ada prajurit TNI yang melakukan
pendekatan kepada mereka. Prajurit TNI tersebut awalnya
bertugas untuk menumpas pemberontak Permesta yang terjadi
pada akhir tahun 1950-an awal tahun 1960-an.
Setelah
pemberontak berhasil ditumpas prajurit TNI melakukan
pendekatan ke masyarakat agar mereka mau tinggal di
perkampungan. Perkampungan pertama yang terbentuk adalah
perkampungan Pinora’a.
Arti kata Tasinamawu adalah air laut sampai di sana. Pada
pinggiran gunung Tasinamawu terdapat susunan beberapa batu
cadas yang biasanya hanya ada di pantai. Hal ini membuat
masyarakat beranggapan bahwa di tengah gunung tersebut
terdapat sebuah laut. Menurut legenda yang berkembang, pada
saat masyarakat tinggal di Gunung Tasinamawu, air laut sampai
17
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
disana. Menurut mitos mereka air laut ini turun karena
digonggong oleh anjing yang berukuran sebesar kuda dan
merupakan peliharaan rajanya (madikanya). Bukti dari mitos
tersebut terlihat dari adanya batu cadas di pinggir pantai yang
dekat dengan daerah pinggiran Gunung Tasinamawu.
2.1.3 Perkembangan Desa
Pada awalnya etnik Kaili Da’a di Desa Wulai lebih banyak
yang tinggal di bukit atau gunung dibandingkan yang tinggal di
perkampungan. Mereka tinggal di beberapa pondok kecil terbuat
dari bambu yang tingginya mencapai 20 meter dari permukaan
tanah. Pada tahun 1994, kehidupan etnik Kaili Da’a sudah mulai
berubah dengan mulai banyaknya masyarakat pendatang seperti
etnik Bugis, Makassar atau Mandar. Mereka mulai berinteraksi
dengan masyarakat dari etnik lain. Walaupun pada awalnya Etnik
Kaili Da’a akan lari jika bertemu dengan orang yang tidak
dikenalnya.
Kemudian tahun 1997 Dinas Sosial memberikan bantuan
perumahan untuk Etnik Kaili Da’a karena dikategorikan sebagai
etnik terasing. Saat mendapat bantuan perumahan semua
penduduk dipanggil turun gunung. Pada awalnya sebagian besar
masyarakat etnik Kaili Da’a kurang dapat menerima bantuan
perumahan tersebut sehingga banyak rumah yang dijual karena
mereka merasa kepanasan tinggal di rumah bantuan tersebut.
Selain itu Desa Wulai juga semakin berkembang dengan
dibangunnya jalan desa yang dibangun sekitar tahun 1995.
2.2. Geografi Dan Kependudukan
2.2.1. Geografi
Berdasarkan profil Desa Wulai tahun 2013, luas wilayah
Desa Wulai adalah 57,97 km² yang terdiri dari area pertanian 2,5
18
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
km², area perkebunan 20 km², area hutan 22,87 km², area
pegunungan 10 km² dan tanah kosong seluas 0,5 km². Desa Wulai
dilewati beberapa sungai yang dalam bahasa setempat disebut
dengan koala. Sungai yang terdapat disekitar Desa Wulai yaitu
Sungai Wulai, Sungai Ujung Baru, Sungai Sinape, Sungai Pinora’a,
Sungai Sinjanga, Sungai Saluwu dan Sungai Salo’otu.
Sumber air bersih di Desa Wulai salah satunya berasal dari
sumber mata air yang terdapat di gunung yang kemudian
disambungkan melalui pipa ke beberapa rumah warga. Namun
pipa ini tidak dapat memenuhi kebutuhan air bersih seluruh
masyarakat di lima dusun. Pipa ini hanya mengalir di Dusun
Watubete, Dusun Wulai dan Dusun Saluwu, itupun tidak semua
masyarakat di dusun tersebut dapat memanfaatkannya. Pipa air
ini bukanlah pipa permanen sehingga jika hujan turun dengan
deras maka sambungan pipa akan terlepas dan air tidak dapat
mengalir. Air kembali mengalir jika sudah ada penduduk desa
yang naik ke gunung untuk membetulkan sambungan pipa. Pipa
air minum dibangun sekitar awal tahun 2000-an dan dana
pembangunannya merupakan bantuan dari Australia. Pembuatan
pipa dilakukan secara bergotong royong oleh warga masyarakat.
Selain bantuan dari Australia, sekitar tahun 2010 juga ada
bantuan pembuatan sumur air dari Pamsimas. Pamsimas
membangun tempat penampungan air dan pipa yang nantinya
mengalirkan air ke rumah penduduk. Agar mesin air dapat terus
berjalan diperlukan bahan bakar, oleh karena itu masyarakat
diminta untuk membayar iuran setiap bulannya. Pada awalnya
mesin air dapat berjalan namun karena masyarakat keberatan
untuk membayar iuran maka program ini tidak dapat dilanjutkan.
Tidak hanya sumber air perpipaan yang dimanfaatkan
sebagai sumber air bersih, masyarakat Wulai juga memanfaatkan
air sungai sebagai sumber air bersih. Masyarakat mengambil air
sungai dengan cara membuat sumur. Sumur dibuat dengan cara
19
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menggali pasir yang ada di tepi sungai. Setelah pasir digali maka
air yang keruh dibuang terlebih dahulu. Setelah air agak jernih
barulah air dimasukkan ke jerigen untuk persediaan air bersih.
Gambar 2.1.
Pipa Sumber Air Bersih
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.2.
Sumur Gali dan Pompa air
Sumber: Dokumentasi Peneliti
20
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Biasanya jika akan turun hujan, masyarakat secepatnya
mengambil air untuk disimpan sebagai persediaan air bersih
sebelum hujan turun. Pada saat turun hujan air sungai akan
meluap dan airnya menjadi keruh. Sumber air bersih lainnya
adalah air yang berasal dari sumur atau pompa. Sumur ada yang
bentuknya sudah permanen dan ada juga sumur yang berupa
lubang tanpa disemen. Pompa kebanyakan ada di Dusun Sinjanga
yang dibangun oleh PNPM.
Selain dimanfaatkan sebagai sumber air minum,
kebanyakan masyarakat Wulai menggunakan sungai untuk
sarana mandi cuci kakus (MCK). Biasanya orang dewasa akan
mandi di sungai ketika matahari sudah terbenam agar tidak
terlihat orang lain. Kebanyakan mereka juga buang air besar di
sungai karena mereka menganggap buang air besar di sungai
lebih praktis. Berbeda dengan buang air besar di MCK yang ada di
Desa Wulai, mereka harus mengangkat air terlebih dahulu.
Fasilitas MCK di Desa Wulai memang masih sedikit dan
kebanyakan MCK yang ada letaknya jauh dari sumber air.
Gambar 2.3.
Aktivitas Masyarakat di Sungai Pinora’a
Sumber: Dokumentasi Peneliti
21
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 2.4.
Kondisi Jalan Desa dan Air sungai saat meluap
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada mulanya sarana transportasi di Desa Wulai terdapat
ojek namun saat kini masyarakat jarang memanfaatkan ojek
tersebut. Masyarakat lebih memilih berjalan kaki atau
menggunakan kendaraan motor pribadi atau menumpang truk
perusahaan batu (Pasakora) yang melewati jalan desa tersebut
untuk menuju jalan Trans Sulawesi Randomayang. Biaya ojek dari
desa jalan Trans Sulawesi Randomayang dengan jarak ± 6 km
sekitar Rp. 10.000,- sedangkan untuk menuju Pasangkayu,
Ibukota Kab. Matra dengan jarak ± 40 km diperlukan biaya Rp.
50.000 untuk sekali jalan. Jika menggunakan sepeda motor
diperlukan waktu sekitar 20 menit dari pusat Desa Wulai menuju
jalan Trans Sulawesi Randomayang, sedangkan untuk tiba di
Pasang Kayu dibutuhkan waktu sekitar 45 menit.
Beberapa masyarakat di Desa Wulai sudah memiliki
kendaraan sebagai sarana transportasi dan diperkirakan secara
keseluruhan terdapat sekitar tujuh puluh motor dan tujuh unit
mobil. Dari tujuh unit mobil tersebut dua diantaranya merupakan
taksi yaitu pick up yang biasa disewa masyarakat untuk mengirim
22
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
hasil panen kelapa, cokelat maupun jagung ke Kab. Donggala,
Sulawesi Tengah.
Sarana transportasi yang digunakan ketika merujuk
penduduk yang sakit atau melahirkan ke RSUD Ako yang terletak
di Pasang Kayu adalah ambulans Puskesmas. Namun ambulans ini
tidak gratis, untuk sekali pulang pergi pasien mesti membayar
sekitar tiga ratus ribu rupiah.
2.2.2. Kependudukan
Berdasarkan data profil Desa Wulai tahun 2013, jumlah
penduduk Desa Wulai adalah 1.918 jiwa dimana 1061 berjenis
kelamin laki-laki dan 857 perempuan. Penduduk paling banyak
tinggal di Dusun Watubete yaitu sebanyak 564 jiwa, sisanya di
dusun lain yaitu sebanyak 386 jiwa di Dusun Wulai Satu, 226 jiwa
di Dusun Sinjanga, 370 jiwa di Dusun Ujung Baru, dan 185 jiwa di
Dusun Saluwu. Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili
Da’a yaitu sebanyak 1040 jiwa. Namun orang di luar etnik Kaili
Da’a menyebut mereka sebagai etnik Binggi atau Bunggu.
Sebutan Binggi diperuntukkan untuk etnik Kaili Da’a yang tinggal
di daerah pantai sedangkan Bunggu untuk mereka yang tinggal di
daerah pegunungan. Masyarakat Kaili Da’a sendiri tidak suka jika
mereka disebut dengan Etnik Binggi atau Bunggu karena
mengesankan mereka adalah masyarakat yang terbelakang.
Komunitas Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai oleh Dinas Sosial
digolongkan sebagai komunitas etnik terasing karena dulunya
mereka hidup berpindah-pindah dan hidup terpisah dari
komunitas etnik lainnya. Hal ini dikemukakan oleh informan Si
yang adalah Kepala Desa Wulai berikut ini:
“Orang luar sering menyebut kami dengan etnik Binggi
atau Bunggu padahal kami ini adalah etnik Kaili Da’a
yang berasal dari Sulawesi Tengah. Menurut pandangan
23
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mereka kami adalah etnik terasing karena menurut
mereka kami ini masih terbelakang.“
Namun seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan
mereka sekarang telah berubah, sudah banyak yang tinggal di
perkampungan berbaur dengan masyarakat dari etnik lain.
Masuknya etnik pendatang di Desa Wulai dimulai dari tahun
1994. Mereka awalnya datang ke Desa Wulai sebagai buruh
pekerja proyek pembangunan jalan yang kemudian menetap
tinggal di Desa Wulai. Sampai saat ini beberapa etnik pendatang
yang tinggal di Desa Wulai adalah Etnik Mandar 437 jiwa, Bugis
58 jiwa, Makassar 27 jiwa, dan Toraja 19 jiwa. Dari lima dusun,
mayoritas etnik pendatang tinggal di Dusun Ujung Baru, oleh
karena itu masyarakat yang tinggal di Dusun Ujung Baru tidak
termasuk subjek penelitian ini.
Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Wulai antara lain
lima sekolah dasar dan dua Sekolah Menengah Pertama. Hampir
di setiap dusun ada sekolah dasar kecuali di Dusun Sinjanga.
Siswa SD yang tinggal di Dusun Sinjanga bersekolah di SD yang
ada di Dusun Watubete dimana di dusun ini ada dua SD yaitu
satu SD negeri dan satu SD swasta yang didirikan oleh gereja Bala
Keselamatan.
Kebanyakan remaja di Desa Wulai yang berusia 16 tahun
keatas akan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA) hingga diluar desa bahkan hingga keluar kota. Hal itu
dikarenakan ketiadaan fasilitas sekolah menengah atas (SMA)
didesa. Adapun remaja yang melanjutkan ke pendidikan tingkat
SMA lebih memilih untuk bersekolah di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) daripada di SMA dengan harapan keahlian yang
dimiliki setelah sekolah dan dapat segera bekerja.
24
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Tabel 2.1. Fasilitas Pendidikan di Desa Wulai
Nama Sekolah
Murid Laki-laki
Murid Perempuan
SDN Bendungan
53
49
SDN Watubete
45
46
SDN Saluwu
31
29
SDS BK Watubete
47
54
SDS BK Wulai
26
54
SMP Satu Atap
SMP Ujung Baru
Sumber: Profil Kec.Bambalamotu Tahun 2012
2.2.3. Pola Tempat Tinggal
Pada awalnya etnik Kaili Da’a hidup berpindah-pindah
(nomaden). Mereka akan tinggal di tempat mereka membuka
lahan. Setelah selesai masa panen mereka akan pindah ke
tempat lain karena mereka menganggap kesuburan tanah akan
berkurang dan hasil panen berikutnya tidak akan sebanyak hasil
panen pertama. Pada masa ini rumah yang mereka tempati
adalah rumah yang tingginya sekitar 20 meter, terbuat dari
bambu. Letak rumah satu dengan rumah yang lainnya berjauhan.
Pada perkembangannya pola tempat tinggal etnik Kaili
Da’a pun berubah seiring dengan adanya bantuan rumah dari
Dinas Sosial. Saat ini kebanyakan etnik Kaili Da’a tinggal di
perkampungan tetapi ada juga yang tinggal di daerah
pegunungan. Salah satu lokasi pemukiman yang terletak di
pegunungan berada di Salo’otu yang termasuk wilayah Dusun
Watubete. Rumah penduduk yang tinggal di Salo’otu berupa
rumah-rumah tinggi seperti rumah yang mereka tempati ketika
mereka masih hidup nomaden.
25
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada umumnya rumah di daerah Salo’otu lantai dan
dindingnya terbuat dari bambu dengan atap terbuat dari daun
sagu. Tinggi rumah sekitar dua sampai tiga meter bahkan ada
juga yang mencapai enam meter. Rumah tersebut kebanyakan
tidak menggunakan paku, hanya diikat dengan menggunakan
rotan yang diperoleh dari hutan. Hal ini dijelaskan oleh informan
To berikut ini yang merupakan ketua adat:
“Rumah kami terbuat dari bambu dimana tiangnya
terbuat dari bambu, lantainya dari bambu dan kami
tidak menggunakan paku, kami mengikatnya dengan
menggunakan rotan, pemilihan bambu juga tidak
sembarang bambu usianya minimal harus 5 tahun”.
Proses pembangunan rumah masyarakat Kaili Da’a
memerlukan persiapan yang matang. Pemilihan bahannya juga
diperlukan waktu yang cukup lama terutama bahan untuk
pembuatan tiang. Bahan untuk pembuatan tiang adalah bambu
yang sudah siap untuk ditebang, minimal berumur lima tahun.
Atapnya terbuat dari daun sagu yang pembuatannya memakan
waktu satu minggu untuk satu rumah, itupun tergantung dari
besarnya rumah tersebut.
Untuk naik ke atas rumah tinggi maka digunakan sebilah
bambu yang dilubangi sedikit setiap 50 cm sebagai tempat
pijakan kaki. Ruangan dalam rumah biasanya terdiri dari tiga
ruang yaitu ruang bagian depan, ruang tidur dan dapur. Dapur
biasanya juga berada di dalam rumah. Untuk mencegah lantai
yang terbuat dari bambu terbakar maka tungku dapur dialasi
tanah liat.
26
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Gambar 2.5.
Rumah Tinggi Etnik Kaili Da’a
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.6.
Rumah di Perkampungan Desa Wulai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
27
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kebanyakan rumah di Desa Wulai baik rumah tinggi
ataupun bukan tidak memiliki tempat khusus pembuangan
sampah. Mereka biasanya mengumpulkan sampah di belakang
atau pekarangan rumah kemudian membakarnya. Saat ini
kebanyakan masyarakat Kaili Da’a sudah tinggal di
perkampungan, namun mereka juga memiliki rumah pondok di
kebun mereka. Sehari-hari masyarakat lebih banyak tinggal di
pondok yang ada di kebun mereka dan mereka akan turun pada
hari Sabtu sore karena hari minggunya mereka akan beribadah di
gereja.
Gambar 2.7.
Rumah di perkampungan di Desa Wulai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Masyarakat Kaili Da’a memiliki bangunan khusus tempat
diadakannya pertemuan atau upacara adat. Bangunan ini disebut
dengan bantaya. Jika ada permasalahan yang harus diselesaikan
dengan adat maka masyarakat akan berkumpul di bantaya.
Pertemuan ini akan dipimpin oleh ketua adat dengan
mengundang pihak yang bermasalah beserta beberapa orang
28
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
masyarakat sebagai saksi. Selain itu bantaya juga digunakan
untuk acara perkawinan atau upacara adat. Setiap dusun di Desa
Wulai memiliki bantaya kecuali di Dusun Ujung Baru karena
hanya sedikit etnik Kaili Da’a yang tinggal di dusun ini.
Gambar 2.8.
Bantaya
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Desa Wulai memiliki dua pasar yaitu yang berlangsung di
Dusun Watubete setiap hari minggu pukul 07.00-10.00 WITA dan
pasar di Dusun Ujung Baru setiap hari Rabu jam 07.00-12.00
WITA. Pasar ini bersifat sementara dan orang yang berjualan pun
tidak banyak. Pasar yang cukup besar adalah Pasar Randomayang
yang berlangsung setiap hari Sabtu dari pukul 07.00-12.00 WITA.
Pasar ini terletak di pinggir jalan trans Sulawesi Randomayang.
Untuk menuju Pasar Randomayang terdapat dua jalan
yang dapat dilalui. Jalan pertama melewati sungai Ujung baru
yang merupakan muara dari semua aliran sungai di Desa Wulai.
Pada saat musim hujan, sungai ini sulit dilalui karena air sungai
meluap. Jalan kedua melewati bukit di Dusun Wulai yang baru
selesai dibuat oleh perusahaan. Kondisi jalan di bukit tersebut
29
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berkerikil dan cukup terjal membuat masyarakat harus berhatihati jika melewati jalan ini terlebih saat hujan turun, jalan akan
menjadi licin.
Gambar 2.9.
Pasar di Desa Wulai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
2.3. Sistem Religi
2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional
Pada awalnya etnik Kaili Da’a adalah penganut animisme.
Mereka menyembah arwah leluhur melalui perantara gunung,
pohon atau batu. Kemudian pada akhir tahun 1960-an agama
Kristen mulai masuk yang dibawa oleh seorang pendeta dari
etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah. Pendeta
tersebut menyebarkan agama Kristen dengan cara masuk ke
hutan di daerah pegunungan tempat etnik Kaili Da’a tinggal.
Dengan pendekatan yang dilakukannya pendeta tersebut dapat
membuat etnik Kaili Da’a memeluk agama Kristen.
Sebelum memeluk agama Kristen masyarakat Kaili Da’a
memiliki ritual-ritual adat yang rutin mereka lakukan seperti
30
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
ritual membuka lahan, pesta panen ataupun ritual menyambut
hari lahir seorang anak yang disebut dengan Powati. Ketika
masyarakat Kaili Da’a sudah memeluk agama Kristen berbagai
ritual tersebut sudah tidak rutin dilakukan. Hal ini disebabkan
pendeta melarang masyarakat melakukan ritual adat karena
beberapa diantaranya dianggap masih terpengaruh animisme,
seperti uraian informan Al berikut ini yang adalah pendeta di
Desa Wulai:
“Contohnya mereka membuat adat salah satunya
‘Powati’, akan dibuatkan. Setiap anak didandani dengan
memakai pakaian kulit kayu supaya anak itu bebas dari
gangguan roh-roh jahat. Setelah dibuatkan adatnya anak
itu akan selamat. Kadang-kadang ada hal yang
bertentangan dengan agama seperti sesajen yang
diperuntukkan untuk roh-roh itu.”
Penduduk Desa Wulai yang masih melakukan ritual adat
adalah masyarakat Kaili Da’a yang tinggal di Dusun Saluwu. Untuk
dusun lainnya mereka melakukan beberapa ritual adat secara
sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh pendeta. Dusun
yang seperti ini adalah dusun yang ada Gereja Bala Keselamatan
yaitu Dusun Watubete, Wulai Satu dan Sinjanga. Pendeta dari
Gereja Bala Keselamatan melarang masyarakat melakukan ritual
adat tertentu karena ada perbuatan yang dianggap
menyekutukan Tuhan. Ritual pesta panen dilarang untuk
dilakukan karena memanggil roh-roh yang sudah meninggal
ditambah lagi dengan adanya sesajian yang dipersiapkan untuk
arwah leluhur. Meskipun pelaksanaan acara tersebut dilarang
oleh gereja Bala Keselamatan namun mereka masih sering
melakukan ritual adat secara sembunyi-sembunyi atau
melaksanakan ritual tersebut di desa lain.
31
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.3.1.1. Ritual Adat Nompo Poyu
Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari
daerah Gunung Pinembani di Sulawesi Tengah. Mereka sampai
ke daerah Mamuju Utara untuk mencari lahan perkebunan baru.
Setelah menemukan lahan perkebunan baru sebelumnya mereka
akan mengadakan ritual adat nompo poyu.
Tujuan dari ritual adat nompo poyu adalah untuk
meminta keselamatan dan perlindungan terhadap hal-hal ghaib
yang dapat mengganggu kehidupan mereka. Ritual ini dimulai
ketika pemimpin adat menyembelih seekor ayam jantan
kemudian jantung dan empedunya dipisahkan dari dagingnya.
Setelah jantung dan empedunya dipisahkan, pemimpin adat akan
memperhatikan dengan saksama kedua organ ayam tersebut.
Apabila kondisinya baik menurut kepercayaan mereka maka
mereka akan pindah ke tempat yang telah mereka pilih sebagai
lahan perkebunan dan pemukiman baru. Namun apabila kondisi
kedua organ ayam kurang baik maka mereka tidak dapat
menempati lokasi lahan perkebunan yang telah mereka pilih
karena dianggap belum direstui oleh arwah leluhur mereka.
Masyarakat Kaili Da’a mempercayai setiap tanah itu ada
penghuninya maka setiap mereka hendak menempati tanah baru
mereka harus menyembelih seekor babi dan darahnya
dicurahkan ke tanah. Kegiatan ini disebut porantana yang dalam
bahasa Kaili Da’a artinya tanah itu meminta darah. Darah yang
dicurahkan ke tanah bertujuan untuk meminta keselamatan
kepada makhluk ghaib yang menempati tanah tersebut.
2.3.1.2. Ritual Adat Pesta Panen
Ritual adat lain yang biasa dilakukan Etnik Kaili Da’a
adalah ritual pesta panen. Ritual ini dilakukan ketika masa panen
32
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
tiba sebagai ucapan syukur kepada leluhur mereka atas hasil
panen yang mereka peroleh selama setahun. Sebelum ritual ini
dimulai, dipersiapkan sesajian makanan, daun sikakuri dan daun
salembangu yang digunakan untuk menyadarkan orang yang
kemasukan setan. Sebagai makanan khas dibuatlah nasi yang
dibungkus daun kemudian dimasukkan ke dalam bambu untuk
disantap bersama-sama. Selama ritual ini ada prosesi
pemanggilan arwah-arwah leluhur melalui nyanyian yang mereka
lantunkan yang disebut dengan povae.
Nyanyian dalam povae menggunakan bahasa yang
berbeda dengan bahasa keseharian masyarakat Kaili Da’a. Bahasa
nyanyian ini adalah bahasa yang digunakan oleh leluhur mereka
yang mengandung arti penyembahan, hal ini membuat tidak
sembarang orang bisa menyanyikannya. Povae biasanya
dilakukan sambil duduk oleh lebih dari lima orang yang bernyanyi
sambil bersahut-sahutan. Dahulu povae dilakukan sambil
memakai pakaian kulit kayu yang merupakan pakaian khas Etnik
Kaili Da’a. Namun saat ini pemakaian pakaian kulit kayu sudah
jarang dilakukan dikarenakan yang memiliki pakaian kulit kayu
jumlahnya tinggal sedikit.
Povae biasanya dilakukan sambil barego atau potaro.
Barego adalah tarian persahabatan, tarian pesta. Potaro adalah
tarian perang karena terdapat unsur magisnya ditandai dengan
adanya orang yang dapat berjalan di atas api, memegang besi
panas, badan ditusuk benda tajam, namun orang tersebut tidak
apa-apa.
Saat ini di Desa Wulai ritual pesta panen sudah jarang
dilakukan dikarenakan adanya larangan dari Gereja Bala
Keselamatan. Sebagai penggantinya dilakukan acara ucapan
syukur di gereja untuk bersyukur kepada Tuhan atas hasil panen
yang didapat. Selain itu pesta panen juga jarang dilakukan karena
33
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
saat ini hanya sedikit masyarakat yang menanam padi jagung di
lahan mereka.
Gambar 2.10.
Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual
Sumber: Dokumentasi Peneliti
2.3.1.3. Ritual Adati Powati
Powati biasa dilakukan untuk memperingati ulang tahun
yang dilakukan sekali seumur hidup dan biasanya dilakukan pada
masa kanak-kanak. Powati dilakukan agar anak tidak diganggu
oleh makhluk halus dan terhindar dari penyakit. Pantangan bagi
orang yang belum melakukan Powati yaitu tidak boleh
mengkonsumsi minyak kelapa, tidak boleh memegang kain dari
kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), dan tidak boleh
memegang bunga warna merah yang dipakai saat acara Powati.
Apabila hal tersebut dilanggar menurut kepercayaan masyarakat
dipercayai nantinya muncul luka di kepala, gatal-gatal, sering
sakit seperti sakit malaria, seperti penjelasan ibu NK berikut ini:
“Powati tidak terhitung dari umur berapa, sekali seumur
hidup diundang semua. Kalau Powati tidak dilaksanakan
nanti pertumbuhan anak tidak sehat.”
34
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Ritual Powati dapat dilakukan secara bersama-sama
hingga pesertanya bisa mencapai sepuluh orang, dimana setiap
peserta harus menyerahkan satu ekor babi. Sebelum ritual ini
dimulai, beberapa perlengkapan perlu disiapkan seperti piring
batu, loyang, dulang, kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat
(mesa), satu ekor ayam, tiga hingga sepuluh bulu burung siora.
Semua perlengkapan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu
dan selanjutnya dibacakan mantera.
Sehari sebelum ritual Powati dimulai, anak yang akan diPowati tidak boleh keluar rumah. Kemudian seekor ayam
dipotong dan dibakar. Sebelumnya agar makhluk halus tidak
mengganggu ayam dibacakan mantera terlebih dahulu. Keesokan
paginya ritual Powati dilaksanakan, anak-anak keluar rumah
dengan menuruni anak tangga untuk menginjak babi yang masih
hidup di bawah tangga rumah. Sebagai tanda bahwa ritual
Powati sedang dilaksanakan maka di depan rumah diletakkan
bambu kuning yang diikat di batang kayu dan ketupat yang
digantung. Selepas babi tersebut diinjak, maka salah seorang
anggota keluarga membunuh babi tersebut dengan tombak
kemudian memotong dan membakar babi tersebut. Tiga bagian
tubuh babi seperti usus dan kedua telinga babi disimpan untuk
dimakan oleh anak yang di Powati pada hari ketiga usai acara. Hal
ini bertujuan agar anak tidak gampang sakit. Kemudian ketua
adat memakaikan kalung adat ke anak yang di Powati secara
bergantian.
Ritual Powati tidak boleh sembarang dilakukan dan harus
mengikuti rangkaian adat orangtuanya terdahulu. Misalnya, jika
anak yang di-Powati anak dari pihak ayah maka perlengkapan
yang harus disiapkan adalah perlengkapan yang sama dengan
ketika ayah anak tersebut di-Powati. Apabila perlengkapannya
tidak sama maka Powati harus diulang karena dianggap tidak sah.
Powati juga berlaku bagi orang dewasa yang sebelumnya belum
35
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pernah melakukan Powati. Bagi sebagian masyarakat
menganggap jika Powati terlambat dilakukan atau baru dilakukan
saat dewasa maka penyakit akan cepat datang.
2.3.1.4. Perkawinan
Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai mengenal dua jenis
perkawinan yaitu perkawinan secara adat dan secara agama.
Perkawinan secara agama dilakukan di gereja dan disahkan oleh
pendeta sedangkan perkawinan secara adat disahkan oleh ketua
adat. Kebanyakan masyarakat Wulai melakukan perkawinan
secara agama dan adat. Namun terkadang ada masyarakat yang
melakukan perkawinan secara adat saja. Hal ini biasanya
dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama.
Jika ada pasangan yang hendak menikah, pertama kali
harus memberitahu ketua adat. Selanjutnya ketua adat akan
mencari tahu apakah kedua pasangan ini masih memiliki
hubungan keluarga atau tidak. Selain itu jika perkawinan terjadi
karena pihak keluarga perempuan melapor kepada ketua adat
maka ketua adat akan mempelajari kesalahan yang dilakukan
oleh pihak laki-laki. Kemudian denda disesuaikan dengan adat
yang dimiliki oleh perempuan.
Dalam hukum adat masyarakat Kaili Da’a ada aturan yang
melarang laki-laki dan perempuan yang belum menikah berduaan
di malam hari. Jika ketahuan berduaan dan ada yang pihak yang
melapor ke ketua adat maka mereka akan dikenakan denda adat.
Biasanya yang melapor dari pihak perempuan dan yang harus
membayar denda adat adalah pihak laki-laki.
Bila ditinjau secara adat, mahar seorang wanita ialah babi
satu ekor, ayam dan dulang. Secara adat terdapat larangan
menikah bagi masyarakat yang masih memiliki hubungan darah
atau keluarga dekat. Keluarga dekat seperti saudara sepupu
36
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
sekali hingga dua kali maupun kemenakan yang menikah dengan
pamannya.
Perkawinan yang paling dilarang adalah ketika paman
hendak menikahi keponakannya. Apabila perkawinan ini terjadi
maka pihak laki-laki ini harus membayar denda adat minimal lima
ekor babi. Jika terjadi perkawinan antar sepupu maka yang paling
berat dendanya adalah pernikahan antar sepupu satu kali. Selain
tambahan babi, denda adat juga berupa tambahan kain adat
(mesa), kalung yang terbuat dari kuningan yang tahan terbakar
api (putiara goronasi), gelang kuningan asli, dan biji-biji kalung
(wuku saya).
Untuk menentukan mahar dilihat dari adat yang dipakai
oleh orangtua calon pengantin perempuan ketika menikah. Adat
ini berlaku turun temurun dari nenek moyang calon pengantin
perempuan. Dalam menentukan mahar terdapat dua adat yaitu
adat tujuh (poki papitu) dan adat sembilan (poki sasio).
Perbedaan adat tujuh dengan adat sembilan ialah jumlah dulang
atau piring batu yang dipakai. Apabila menggunakan adat tujuh
maka diperlukan tujuh buah dulang atau piring batu sedangkan
dalam adat sembilan diperlukan sembilan buah dulang. Saat ini
untuk mendapatkan dulang atau piring batu cukup sulit sehingga
berdasarkan keputusan ketua adat piring batu tersebut dapat
diganti dengan menggunakan piring keramik. Apabila dulang
tersebut diganti dengan piring keramik maka adat tujuh dan adat
sembilan dikalikan dengan sepuluh buah piring, untuk adat tujuh
maka diperlukan 70 buah piring sedangkan adat sembilan
diperlukan 90 buah piring. Mahar untuk pernikahan dapat dicicil
atau dibayarkan setelah pernikahan berlangsung.
Setelah mahar ditetapkan dan semua perlengkapan
perkawinan dipersiapkan maka tibalah waktu perkawinan. Pada
malam sebelum perkawinan dilangsungkan maka dilaksanakan
pemotongan ayam dan babi yang darahnya dicurahkan ke tanah.
37
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Tujuan pemotongan hewan ini agar pasangan yang hendak
menikah diberikan keselamatan dan terhindar dari masalah atau
bencana.
Setelah babi dipotong kemudian jantung babi dipisahkan
dari dagingnya. Menurut kepercayaan etnik Kaili Da’a, jantung
babi merupakan benda sakral yang dapat menjadi petanda
kelanjutan hidup dari mereka dalam segi kesehatan,
keselamatan, rejeki. Jantung babi yang dianggap memberi
petanda baik adalah jantung babi yang sudah keras dan
warnanya merah kebiruan. Selain memotong babi juga dilakukan
pemotongan ayam.
Ketika hari perkawinan, jika perkawinan dilakukan secara
agama dan adat maka pada pagi harinya pengantin menikah dulu
di gereja yang disahkan oleh pendeta. Kemudian dilanjutkan
dengan acara adat yang biasanya dilakukan di bantaya. Jika calon
pengantin berusia dibawah umur maka pernikahan biasa
dilakukan di rumah yang disahkan oleh pendeta.
Saat ini tidak semua perkawinan di Desa Wulai
dilaksanakan dengan mengikuti adat Etnik Kaili Da’a. Beberapa
perkawinan sudah dilakukan secara modern baik dari segi
pakaian ataupun hiburan yang ditampilkan. Dari segi pakaian,
pengantin menggunakan busana modern yaitu jas bagi pengantin
pria dan gaun putih bagi pengantian wanita. Hiburan yang
ditampilkan adalah musik organ tunggal yang terkadang diiringi
dengan ma’dero. Ma’dero dilakukan oleh penonton pria dan
wanita, mereka menari dengan diiringi dengan irama musik dari
organ tunggal.
2.3.1.5. Kematian
Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai biasaya akan
mengadakan acara peringatan hari kematian jika ada anggota
keluarganya yang meninggal. Acara ini dilakukan mulai dari
38
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
malam ketiga, malam ketujuh, malam ke-40 dan malam ke-100.
Tujuan pelaksanaan upacara adat keagamaan ini adalah untuk
mengenang dan mendoakan orang yang meninggal.
Sebagian masyarakat memiliki kepercayaan jika orang
yang meninggal belum 14 hari, maka keluarga yang ditinggalkan
belum dapat beraktifitas. Setelah 14 hari anggota keluarga yang
ditinggalkan baru boleh beraktifitas seperti bercocok tanam.
Apabila hal ini dilanggar maka mereka tidak akan mendapatkan
hasil dari bercocok tanam.
Pada acara malam ke-40 atau ke-100 malam acara yang
dilakukan termasuk ke dalam pesta besar. Maka untuk
menyediakan tamu yang diundang dilakukan pemotongan babi.
Pada malam ketiga atau ketujuh cukup dilakukan pemotongan
ayam atau menyediakan kue-kue untuk para tamu. Selain
memotong babi pada acara malam ke-40 terkadang juga disertai
dengan acara madero. Acara ini biasanya dilakukan setelah
selesai acara berdoa.
Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga mempercayai adanya
makhluk ghaib atau setan yang dapat menyebabkan kematian.
Mereka menyebutnya pok-pok dimana pok-pok adalah manusia
biasa yang memiliki ilmu hitam yang bisa terbang melayanglayang pada waktu malam hari. Biasanya orang yang pok-pok
datangi meninggal karena isi perutnya dipercaya sudah tidak ada
lagi karena telah dimakan oleh pok-pok.
Pada siang hari pok-pok adalah manusia namun pada
malam hari dia berubah menjadi hantu pok-pok. Ketika malam
hari kepalanya dapat meninggalkan tubuhnya dan mencari
orang-orang yang dapat diganggu. Kehadiran pok-pok biasa
diketahui dari langkahnya yang berbunyi “pok..pok” ketika
melewati atap rumah sehingga masyarakat menyebutnya hantu
pok-pok. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pokpok seringkali mendatangi orang yang akan meninggal selain itu
39
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pok-pok dipercaya dapat menjadi penyebab kematian. Menurut
masyarakat untuk mengetahui siapa pok-pok yang datang
menganggu saat malam hari biasanya mereka berbicara dari
dalam rumah seraya memberikan janji untuk memberi garam
atau cabe esok hari. Pada pagi buta biasanya pok-pok akan
datang menagih janjinya.
2.3.2. Praktek Keagamaan
Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah penganut agama
Kristen Protestan. Terdapat tiga gereja Bala Keselamatan di Desa
Wulai yaitu Gereja Pinora’a yang ada di Dusun Watubete, Gereja
Wulai di dusun Wulai Satu, gereja Sinjanga di dusun Sinjanga
sedangkan di Dusun Saluwu gereja yang ada adalah Gereja
Toraja-Mamasa. Pada dusun yang terdapat Gereja Bala
Keselamatan ibadah biasa dipimpin oleh opsir atau pendeta yang
tinggal di dusun tersbut. Di Dusun Saluwu pendeta tidak menetap
tinggal di dusun tersebut dan biasanya pendeta akan datang
setiap hari Minggu. Pendeta tersebut tinggal di Desa
Kalukunangka yang bersebelahan dengan Dusun Saluwu. Apabila
pendeta tidak datang pemimpin kegiatan peribadatan dapat
digantikan oleh asisten pendeta yang tinggal menetap di Dusun
Saluwu.
Kegiatan keagamaan yang dilakukan gereja Bala
Keselamatan berbeda dengan Gereja Toraja Mamasa. Kegiatan
ibadah Gereja Bala Keselamatan terdiri dari Ibadah pemuda
jumat malam (malam sabtu). Ibadah ini diperuntukkan untuk
pemuda yang berumur 12-25 tahun. Pada hari sabtu pukul empat
sore diadakan ibadah untuk kaum ibu disebut juga Persekutuan
Kaum Wanita (PKW). Biasanya jumlah jamaat yang datang sekitar
30 orang. Kadang kala di PKW ada acara seperti berbagai lomba
untuk kaum wanita.
40
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Kemudian setiap bulan di mingggu ketiga PKW juga
mengadakan penyuluhan kesehatan yang diisi oleh ibu bidan.
Topik penyuluhan tergantung dari buku penuntun PKW dari
pusat yang memberi penyuluhan kesehatan adalah ibu bidan.
Pada hari minggu pagi dari pukul delapan sampai sembilan pagi
diadakan sekolah minggu untuk anak-anak dan dilanjutkan
dengan ibadah umum untuk jamaat laki-laki dan perempuan dari
pukul 10.00-11.00. Kemudian dilanjutkan dengan ibadah kaum
bapak pada pukul 11.00-12.00. Bagi mereka yang tidak sempat
beribadah pada minggu pagi maka ada ibadah pengganti yang
dilaksanakan pada pukul 18.00-19.00.
Gambar 2.11.
Aktivitas Keagamaan Sekolah Minggu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain itu setiap senin pagi juga dilaksanakan doa pagi di
gereja dari jam 05 - 5.30. Ibadah ini bisa dilakukan semua orang
tidak hanya untuk sedang melakukan pergumulan pribadi. Ibadah
doa pagi ini untuk mengawali awal minggu agar tuhan
menjauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Berbeda dengan Gereja Bala Keselamatan, kegiatan
ibadah Gereja Toraja-Mamasa di Dusun Saluwu berlangsung pada
41
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hari minggu dari pukul 10.00 sampai pukul 11.00 setelah itu
dilanjutkan ibadah rumah tangga di rumah. Hari minggu adalah
hari yang terlarang untuk bekerja karena hari minggu adalah hari
yang dikhususkan untuk beribadah. Gereja Toraja-Mamasa di
Dusun Saluwu dibangun pada tahun 2001. Sebelum gereja
dibangun kegiatan ibadah dilakukan di bantaya yang biasa
digunakan untuk pertemuan adat. Pada saat pendeta belum
masuk ke Dusun Saluwu, orangtua yang dianggap cukup memiliki
pengetahuan agama yang diminta untuk memberikan ceramah
ketika ibadah dilaksanakan.
Perayaan keagamaan yang dirayakan secara besarbesaran adalah ketika hari raya Natal. Ketika natal tiba seluruh
anggota keluarga berkumpul termasuk mereka yang biasanya
tinggal di kota. Selain itu acara ibadah luar dilaksanakan setiap
hari raya Kenaikan Isa Al-Masih. Pada hari raya ini hampir seluruh
jamaat gereja di Desa Wulai pergi berekreasi ke Pantai Oge yang
terletak di Pasang Kayu. Sebelum berangkat ke pantai diadakan
doa bersama terlebih dahulu di gereja yang dipimpin oleh
pendeta.
Gereja Bala Keselamatan berasal dari Inggris yang
dinamakan dengan Salvation Army yang dulunya disebut dengan
bala tentara. Bala keselamatan adalah gereja yang lebih banyak
melakukan misi sosial. Bala keselamatan secara internasional
berada di 127 negara. Bala keselamatan telah ada di Indonesia
sejak tahun 1913. Bala keselamatan secara historis tidak lepas
dari gereja Protestan tetapi menjadi aliran sendiri. Pendeta yang
bertugas di Gereja Bala Keselamatan memiliki kepangkatan sama
dengan kemiliteran seperti kapten, letnan, mayor, sersan. Ketika
pelaksanaan ibadah, pendeta selalu menggunakan seragam yang
sudah menjadi ciri khas Gereja Bala Keselamatan.
Disamping agama Kristen, sebagian kecil penduduk Desa
Wulai beragama Islam. Kebanyakan penduduk yang beragama
42
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Islam adalah etnik pendatang seperti Mandar, Makassar dan
Bugis. Setiap dusun memiliki satu bangunan masjid seperti di
Dusun Watubete masjid Asy-Syakirin berdiri pada tahun 1996.
Masjid ini dibangun ketika masyarakat pendatang mulai tinggal di
Dusun Watubete. Masjid di setiap dusun memiliki imam yang
bertugas memimpin kegiataan keagamaan. Adapun fasilitas
ibadah yang ada di Desa Wulai adalah empat bangunan gereja
dan dua masjid. Berikut tabel fasilitas ibadah yang ada di Desa
Wulai:
Tabel 2. 1. Fasilitas Ibadah di Desa Wulai
Fasilitas Peribadatan
Dusun
Jumlah
Gereja BK Pinora’a
Watubete
1
Masjid As Syakirin
Watubete
1
Gereja BK Sinjanga
Sinjanga
1
Gereja BK Wulai
Wulai satu
1
Masjid
Wulai satu
1
Gereja Toraja Mamasa
Saluwu
1
Masjid
Ujung baru
Sumber: Profil Kec.Bambalamotu Tahun 2012
2.4. Organisasi Sosial Dan Kemasyarakatan
2.4.1. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai
adalah patrilineal yaitu mengambil garis keturunan dari pihak
laki-laki yaitu pihak bapak. Tetapi masyarakat Kaili Da’a Wulai
tidak mengenal pemakaian marga dalam nama mereka. Nama
mereka tidak diikuti nama keluarga di belakang nama mereka.
43
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pemberian nama berdasarkan kesepakatan antara pihak suami
dan istri. Seperti penuturan informa NX berikut ini:
“Kalau soal penamaan anak tergantung kesepakatan
keluarga tidak harus mencantumkan nama orang
tuanya”.
Walaupun menerapkan sistem patrilineal dalam
masyarakat Kaili Da’a mengenal istilah anak bapak dan anak ibu.
Anak bapak adalah anak kedua dan anak selanjutnya yang urutan
genap. Anak ibu adalah anak pertama dan anak selanjutnya yang
urutan ganjil. Kategori anak bapak dan anak ibu ini berpengaruh
terhadap ritual adat yang nanti akan dilakukan anak tersebut.
Misalnya jika anak tersebut akan melakukan ritual adat Powati
(ritual adat memperingati hari lahir) maka barang-barang yang
harus disiapkan tergantung dari apakah anak tersebut anak
bapak atau anak ibu. Jika anak tersebut anak kedua maka anak
tersebut adalah anak bapak maka barang-barang yang harus
disiapkan adalah barang-barang yang sama ketika bapak dari
anak tersebut di-Powati. Ketentuan ini membuat tidak semua
orangtua melaksanakan ritual adat Powati untuk anaknya karena
barang-barang yang digunakan bapak atau ibu anak tersebut
ketika diPowati sudah sulit dicari, seperti penuturan informan AJ
berikut ini:
“Saya dan saudara-saudara saya waktu kecil tidak
pernah di-Powati karena orangtua saya ketika diPowati
menggunakan barang-barang yang sekarang sulit dicari.
Karena itu orangtua saya memutuskan untuk tidak
memPowati anak-anaknya.
Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai menganggap anak
laki-laki dan perempuan sama saja namun demikian ada juga
pasangan suami istri yang menginginkan anak laki-laki. Mereka
menganggap anak laki-laki dapat membantu orang tuanya
44
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
berkebun, sedangkan anak perempuan hanya membantu ibunya
melakukan pekerjaan rumah saja. Dalam hal pembagian harta
warisan, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan
perempuan. Biasanya pembagian harta warisan tergantung dari
kesepakatan keluarga.
Mengenai usia perkawinan, kebanyakan masyarakat Kaili
Da’a di Desa Wulai menikah pada umur 15 tahun untuk
perempuan dan usia 17 tahun untuk laki-laki. Sebelumnya usia
pernikahan ini dianggap usia yang ideal oleh masyarakat karena
pada usia tersebut baik pihak laki-laki ataupun perempuan sudah
siap untuk bekerja di kebun. Namun seiring dengan banyaknya
penduduk usia tersebut yang bersekolah sampai tingkat SMP
atau SMU maka mereka yang menikah pada usia 15-17 tahun
dianggap menikah karena keterpaksaan. Dalam artian mereka
terpaksa menikah karena telah melanggar hukum adat.
Setelah menikah kebanyakan masyarakat Kaili Da’a Wulai
akan mencari tempat tinggal baru yang terpisah dari rumah
orangtua mereka (neo lokal). Lokasi baru yang mereka tempati
terkadang tidak jauh dengan rumah orangtua mereka. Rumah
yang ditempati pasangan suami istri yang baru menikah
beberapa diantaranya adalah rumah sementara berupa pondok
sederhana. Namun ada juga yang memilih tinggal di rumah
orangtua istri atau suami tergantung dari kesepakatan mereka.
Dalam kehidupan masyarakat Wulai suami dan istri saling
membantu ketika bekerja di kebun. Mereka pergi bersama-sama
ke kebun terkadang sampai hari minggu baru pulang ke rumah
untuk beribadah. Kebanyakan anak-anak juga turut membantu
orangtuanya di kebun. Sejak kecil anak–anak di Desa Wulai sudah
diajarkan untuk membantu pekerjaan orangtua di rumah seperti
halnya memasak, mencuci, menjaga saudaranya ketika orangtua
bekerja di kebun. Ketika beranjak remaja mereka akan
45
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membantu orangtua di kebun seperti memotong rumput,
menanam jagung, memetik cokelat, dan hingga memanen sawit.
Pekerjaan rumah tangga sehari-hari seperti memasak
atau mencuci biasanya dilakukan oleh istri. Pengasuhan anak
dilakukan bersama-sama oleh suami dan istri. Hal ini tampak dari
tidak segan-segannya suami menjaga anaknya ketika istri sibuk
bekerja mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dalam masyarakat Kaili Da’a dikenal istilah sepupu satu
kali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Sepupu satu kali adalah
anak dari saudara bapak atau ibu. Jika anak dari saudara bapak
atau ibu memiliki anak maka disebut sepupu dua kali, begitu
seterusnya.
Kelompok atau organisasi kemasyarakatan yang ada di
Desa Wulai salah satunya adalah kelompok ibu-ibu PKK.
Kelompok PKK kepengurusannya sudah terbentuk di Desa Wulai
namun kegiatannya belum berjalan. Kelompok arisan atau
tabungan juga tidak ada di Desa Wulai. Jika ada masyarakat yang
ditimpa kedukaan seperti anggota keluarganya ada yang
meninggal maka sumbangan kedukaan diberikan oleh pihak
gereja. Dalam aturan gereja Bala Keselamatan setiap ibadah hari
minggu dilaksanakan maka setiap jama’at wajib memberikan
sumbangan yang disebut dengan persembahan diakoniya. Hal ini
diungkapkan oleh informan Me, seorang pendeta yang bertugas
di Desa Wulai:
“Kalo ada kedukaan seharusnya ibu PKK harus aktif.
Selama ini di Desa Wulai tidak ada kegiatan ibu PKK. Kalo
ada kedukaan yang mempersiapkan keluarga sendiri.
Untuk memberikan sumbangan kepada keluarga yang
ditimpa kedukaan ada persembahan ‘diakoniya’.”
Selain sumbangan setiap hari minggu setiap jama’at juga
harus memberikan sumbangan bulanan. Jika bulan ini jema’at
tidak memberikan sumbangan maka besarnya sumbangan
46
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
terakumulasi di bulan berikutnya. Sumbangan bulanan ini berlaku
untuk jama’at Gereja Bala Keselamatan sedangkan jama’t Gereja
Toraja Mamasa hanya menerapkan sumbangan ketika ibadah
dilakukan. Seperti penjelasan informan RI berikut ini:
“Kalau gereja BK lain sumbangan ketika ibadah lain per
KK setiap bulan ada iuran wajib. Kalo minggu ini belum
bayar minggu depan tetap tertulis ada utang. Kalo
Gereja Toraja Mamasa tidak ada hanya persembahan di
awal dan pertengahan ibadah.”
Rasa kegotongroyongan masyarakat Desa Wulai terlihat
masih tinggi. Hal ini terlihat jika ada anggota masyarakat yang
mengadakan acara seperti perkawinan atau acara syukuran maka
masyarakat akan bergotongroyong membantu persiapan pesta
dari mulai pendirian tenda, memasak masakan pesta sampai
selesai acara perkawinan. Saat membangun rumah pun
masyarakat akan membantu jika ada salah satu warga ada yang
ingin membangun rumahnya. Selain itu jika ada warga yang ingin
menanam jagung di kebunnya maka anggota masyarakat lain
akan datang membantu. Biasanya mereka bekerja tanpa bayaran
dan sebagai balas jasa pemilik kebun jagung akan menyediakan
makanan dan minuman.
2.4.2 Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
Pada adat masyarakat Kaili Da’a tidak ada aturan yang
secara jelas membagi masyarakat menjadi lapisan atas atau
bawah. Namun pada kenyataannya anggota masyarakat yang
masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Dombu atau
Pinembani akan lebih dihormati dibandingkan dengan anggota
masyarakat yang lain. Keturunan raja yang paling dihormati
adalah yang disebut ummah. Ummah adalah keturunan raja dari
kalangan etnik Kaili Da’a. Apabila raja memiliki tiga orang anak
47
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
maka bukan ke tiga-tiganya akan mendapat gelar ummah karena
untuk mendapatkan gelar ummah seseorang harus memiliki sifat
yang menyerupai orangtua dari raja tersebut.
Selain keturunan raja, posisi ketua adat juga mendapat
penghormatan yang lebih di masyarakat. Ketua adat memiliki
pengaruh yang cukup besar di masyarakat. Ketua adat memiliki
peranan menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi di
masyarakat. Masing-masing dusun di Desa Wulai memiliki satu
orang ketua adat kecuali di Dusun Ujung Baru yang mayoritas
penduduknya bukan etnik Kaili Da’a. Ketua adat dipilih oleh
masyarakat tiap dusun secara musyawarah. Ketua adat yang
dipilih adalah mereka yang memahami tentang tata cara dan
hukum adat.
Penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Kaili
Da’a Wulai dilakukan secara musyawarah. Jika konflik terkait
dengan sengketa tanah maka pada awal penyelesaian dilakukan
oleh kepala dusun. Jika kepala dusun tidak dapat menemukan
titik temu maka akan dilaporkan ke kepala desa. Pada jenis
masalah yang terkait dengan pelanggaran hukum adat maka akan
diselesaikan di bantaya dengan memanggil ketua adat. Hal ini
diutarakan informan SO berikut ini:
“Iya masing-masing dusun ada ketua adat, jadi kalau ada
masalah yang tidak bisa yang mereka selesaikan disana
baru ada kebersamaan di setiap dusun itu untuk
menyelesaikan. Saling memanggil mereka, tokoh-tokoh
adat itu bagaimana merampungkan sampai bisa selesai.”
Pada kehidupan masyarakat Kaili Da’a terdapat hukum
adat yang mengatur tata cara kehidupan. Hukum adat ini
mengatur perbuatan atau perilaku apa saja yang tidak boleh
dilakukan. Apabila masyarakat melakukan perbuatan yang
dilanggar maka akan terkena sanksi adat berupa denda yang
besarnya bervariasi tergantung pelanggaran yang dilakukan.
48
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Salah satu hukum adat dalam masyarakat Kaili Da’a
mengatur tentang tata cara pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang belum menikah. Mereka yang belum menikah
tidak boleh terlihat berduaan di malam hari tanpa ada orang lain
yang dapat menjelaskan alasan mereka berdua-duaan. Jika hal ini
terjadi dan dari pihak perempuan ada yang melapor ke ketua
adat maka akan terkena sanksi adat.
Pada umumnya denda tersebut berupa satu ekor babi dan
tiga buah dulang dimaksudkan untuk denda adat sedangkan satu
ekor babi dan tiga dulang untuk mahar. Apabila dari pihak lakilaki bertanggung jawab maka akan diurus atau dinikahkan,
sedangkan apabila tidak mau menikah maka akan berlaku denda
berupa satu ekor babi, piring batu (dulang) dan lima belas piring
keramik dan jumlah denda tersebut tergantung dari keputusan
ketua adat.
Denda yang cukup berat bagi masyarakat berlaku
manakala perempuan sudah hamil dan laki-laki tidak mau
bertanggungjawab. Laki-laki tersebut akan didenda babi tiga ekor
dan loyang jaman dahulu (dulang) sesuai dengan adat yang
dimiliki oleh perempuan yaitu adat tujuh atau adat sembilan.
Total jumlah piring tersebut dapat ditambah dua buah piring jadi
dari jumlah tujuh puluh menjadi tujuh puluh dua untuk adat
tujuh sedangkan untuk adat sembilan dari yang mulanya
sembilan puluh menjadi sembilan puluh dua. Satu ekor babi dan
tiga buah dulang digunakan untuk keselamatan tanah leluhur
atau desa tersebut. Ada bahasa tertentu atau mantera yang
dibacakan oleh ketua adat untuk berbicara dengan penguasa
alam sebagai permohonan maaf atas apa yang dilakukan oleh
anak cucu mereka agar ditanah tersebut tidak ditimpa bencana
ke masyarakat sekitar. Tidak hanya itu laki-laki tersebut juga akan
didenda berupa uang dan memberikan makan perempuan yang
49
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dihamili tersebut sampai dengan tiga bulan setelah anaknya lahir.
Berikut penjelasan ketua adat SG:
“Misalnya perempuan hamil kalo laki-laki tidak mau itu
berat lagi itu dendanya, kalo dia hamil dan
perempuannya tidak mau dia kawini itu berat lagi itu.
Tidak hanya babi itu, kalo orang disini mahal. Uang,
Berat.. Babi, Uang, baru dikasih makan mamanya dikasih
makan anaknya didalam sampai 3 bulan. Misalnya lahir
bulan ini maka sampai 3 bulan kemudian baru lepas”.
Pada kasus perceraian juga mendapat perhatian khusus
secara adat. Apabila terjadi perceraian maka ketua adat akan
memanggil pasangan suami istri tersebut dan mencari penyebab
dari akar permasalahan tersebut. Apabila sumber dan penyebab
dari perceraian tersebut diketahui maka akan diputuskan siapa
yang bersalah dan kemudian ketua adat memberikan pertanyaan
kepada kedua belah pihak. Pertanyaan pertama ditujukan pada
pihak perempuan yaitu apakah ia ingin mengakhiri
pernikahannya. Apabila ia menginginkan bercerai dengan
suaminya maka pihak perempuan akan mendapatkan denda
sekalipun perempuan tersebut tidak bersalah. Denda tersebut
berupa mengembalikan mahar pernikahan. Apabila suami yang
memutuskan untuk bercerai maka suami harus membayar denda
berupa dua ekor babi. Jika suami masih mempunyai tanggungan
mahar yang belum dibayar maka pada saat itu suami juga harus
membayar semua mahar istrinya.
Selain tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan,
dalam hukum adat juga ada larangan untuk mencuri. Jika
seseorang mencuri maka akan terkena denda adat yaitu harus
mengganti benda yang sama dengan yang baru dan jumlahnya
dilipatgandakan. Denda dilipatgandakan untuk memberikan efek
jera supaya orang tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya.
50
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Denda adat juga berlaku bagi orang yang menghilangkan
nyawa orang lain (membunuh). Orang yang membunuh
dikenakan denda memberikan lahan kepada keluarga yang
dibunuh yang luasnya seperti luas satu gunung. Denda lahan ini
diterapkan sebagai pengganti nyawa manusia. Menurut
keterangan informan SM, di Desa Wulai pernah terjadi kasus
pembunuhan. Kasus tersebut terjadi pada seorang perempuan
yang dicekik oleh teman laki-lakinya. Untuk menggantikan nyawa
perempuan tersebut maka orangtua perempuan meminta
diberlakukan denda berupa lima puluh pohon kelapa dengan luas
tanah sekitar satu hektar. Si pembunuh juga diwajibkan merawat
dan memperbaiki makam perempuan tersebut serta membiayai
acara peringatan kematian.
Selain denda lahan, seorang pembunuh juga dikenakan
denda menyerahkan piring dulu yang berbentuk seperti mangkok
sejumlah dua buah. Piring dulu digunakan untuk menutupi
bagian tubuh tertentu dari orang yang dibunuh sebelum
dikuburkan. Apabila pembunuh kesulitan mencari piring dulu
maka dapat diganti dengan uang untuk memudahkan. Berbeda
dengan zaman dulu dimana barang tersebut harus diberikan dan
tidak boleh diganti uang.
2.5. Pengetahuan
2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit
Bagi masyarakat Wulai arti sehat (nabelomo) identik
dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
seperti pergi bekerja ke kebun. Sedangkan arti sakit (ju’a) adalah
saat mereka tidak dapat bekerja di kebun, tidak dapat berdiri dan
tidak bisa makan, seperti diungkapkan informan PW berikut,
“Sehat itu bisa bekerja, bisa ke kebun tiap hari. Kalo sakit itu
tidak bisa bekerja.”
51
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Menurut masyarakat Wulai, sakit terdiri dari dua jenis
yaitu sakit ringan dan sakit berat. Sakit ringan adalah ketika
mereka sakit namun masih bisa beraktivitas. Beberapa contoh
sakit ringan seperti batuk (nenteke) atau sakit kepala (ju’a vo’o).
Sedangkan sakit berat (ju’a ntomo) merupakan sakit ketika tidak
bisa beraktivitas sama sekali, hanya bisa berbaring, tidak bisa
jalan dan tidak bisa makan sama sekali.
Masyarakat juga mempercayai seseorang dapat menjadi
sakit jika diganggu makhluk ghaib atau setan yang dalam bahasa
Kaili Da’a disebut dengan kabunakana (keteguran). Menurut
informan NI yang adalah seorang topo tawui, seseorang dapat
sakit apabila diganggu setan. Setan ini dapat mengganggu melalui
mimpi. Tanda orang diganggu setan adalah matanya berwarna
kuning dan bola mata orang tersebut terlihat tidak baik, seperti
penuturannya berikut ini:
“Nentaku mata ena anu vesena makagae, ngana dilia
ada seta.”
(Kalo dilihat dari sini katanya anu mata ini terlihat ada
setan-setannya)
Selain itu keteguran juga dapat terjadi ketika seseorang
mendatangi atau melewati beberapa tempat tertentu yang
dianggap banyak setannya seperti di sungai, pantai, hutan.
Kemudian orang tersebut sakit karena diganggu oleh setan
penghuni tempat tersebut, seperti pernyataan informan SA yang
adalah seorang topo tawui berikut ini:
“Sumber penyakit banyak dari jin-jin, setan kan dari situ.
Kalo setan jin dari situ semua penyakit. Semua kampung
ada jin ada setan. Biar dimana-mana ada dia.”
Pengalaman keteguran dialami ibu JN yang merasa
anaknya keteguran setelah pulang dari pantai. Anaknya sudah
sakit berhari-hari, sudah diberi obat penurun panas dan dibawa
52
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
ke bidan namun tidak sembuh-sembuh juga. Maka ia meminta
bantuan topo tawui untuk melihat apakah anaknya mengalami
keteguran atau tidak.
Konsep sehat sakit masyarakat Kaili Da’a juga terkait
dengan adanya pantangan (pali) yang tidak boleh mereka
lakukan. Salah satunya adalah pantangan tidak boleh makan
udang karena dapat membuat sakit, seperti diutarakan oleh
informan PM berikut ini:
“Ada juga larangan itu barangkali kita makan udang kita
dapat penyakit itu. Kalo kami itu tidak bisa, dilarang itu.
Dari orangtua dulu, dilarang memang, gara-gara itu nanti
dapat penyakit.”
Pernyataan informan PM diperkuat dengan pengamatan
peneliti ketika pergi ke pasar bersama ibu Ji salah seorang
penduduk Desa Wulai yang biasa memasak makanan untuk
peneliti. Pada saat itu peneliti membeli udang, ketika ibu Ji
ditawarkan apakah mau dibelikan udang, ia menolak. Saat ia
selesai memasak udang, ibu Ji juga tidak mau memakan udang
tersebut. Ibu Ji tidak mau memakan udang yang ia masak sendiri
karena masyarakat Kaili Da’a memiliki pantangan tidak boleh
memakan udang. Udang yang tidak diboleh dimakan adalah
udang bakar. Selain dibakar udang rebus juga tidak boleh
dimakan jika ketika memasak udang air rebusannya menetes
sampai ke api, seperti pernyataan informan SI berikut ini:
“Oo... itu banyak seperti udang to tidak bisa dibakar,
kalo direbus bisa tapi airnya tidak boleh kena api. Begitu
memang orangtua dulu, kalo dibakar itu e bisa bikin
sakit.”
Jika pantangan memakan udang dilanggar maka akan
menimbulkan penyakit seperti kena luka bakar dan gatal-gatal.
Selain tidak boleh makan udang, pantangan lain adalah tidak
53
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
boleh memakan terung yang berwarna merah yang dibakar.
Akibat dari melanggar pantangan ini adalah dapat menyebabkan
gatal-gatal, seperti uraian informan SM berikut ini:
“Terong warna merah tidak boleh dibakar tapi airnya
tidak boleh kena api. Nanti bisa gatal-gatal pokoknya
sakit to karena tidak biasa.”
Menurut masyarakat Wulai ada dua jenis penyakit yaitu
penyakit medis dan penyakit non medis. Penyakit medis adalah
penyakit yang dapat disembuhkan oleh tenaga kesehatan seperti
bidan. Namun masyarakat juga meminta bantuan dukun untuk
mengobati penyakit medis. Penyakit kedua adalah penyakit non
medis yang disebabkan oleh guna-guna ilmu hitam (gane-gane).
Penyakit ini hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dukun dalam
bahasa Kaili Da’a disebut dengan istilah topo tawui.
Penyakit yang disebabkan guna-guna ilmu hitam ada dua
jenis yaitu yang disebut dengan kotu dan doti. Penyakit pertama
disebut dengan istilah kotu. Kotu adalah penyakit akibat gunaguna ilmu hitam yang ditandai dengan adanya benda yang keluar
dari tubuh seperti paku. Benda tersebut dikirimkan ke dalam
tubuh orang yang menjadi sasaran dengan menggunakan ilmu
ghaib. Kotu juga dapat disebar di jalan sehingga jika orang yang
melewati jalan tersebut nantinya akan terkena kotu, seperti
penjelasan informan RI berikut ini:
“Kotu itu perbuatan dari yang tidak bisa lihat Alkitab.
Kalau kotu batu bisa masuk ke tubuh kita kalau tidak ada
yang bakasih keluar itu mati kita, tidak bisa jalan, tidak
bisa bangun, kayu juga bisa dikasih masuk. Kotu kayu
yang dikasih masuk. Kotu dan doti bedanya dari cara
meniupnya”.
Penyakit kedua adalah doti yang disebabkan oleh gunaguna ilmu hitam tetapi tidak ada benda yang keluar dari tubuh.
54
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Jika seseorang kena doti maka dapat berisiko mengalami
kematian dalam waktu singkat, seperti pernyataan informan SI
berikut ini yang adalah topo tawui:
“Kalo itu penyakitnya parah juga itu seperti bebangkak
karena kalo kotu kita tidak liat dia masuk to rumputrumput itu dia kasih hidup baru masuk sama kita. Ada
juga barang yang dimasukkan batu, bisa juga kayu, paku,
pokoknya parah itu bisa juga. Kalo doti dari orang. Kalo
doti itu dikasih orang anu tidak cukup satu jam dua jam
bisa mati kita.”
Masyarakat Kaili Da’a juga memiliki kepercayaan jika ada
orang yang sakit berat tidak boleh tinggal di rumah yang seharihari ia tinggali. Namun kepercayaan ini tidak diyakini seluruhnya
oleh masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai. Masyarakat yang
mempercayai hal ini adalah mereka yang tinggal di Dusun
Saluwu. Mereka mempercayai jika ada orang yang sakit berat
maka akan dibuatkan pondok kecil di samping rumahnya. Hal ini
bertujuan jika orang yang sakit itu meninggal, arwahnya tidak
akan mengganggu keluarga yang ditinggalkan. Rumah tempat
orang yang sakit tidak boleh ditempati oleh anggota keluarganya
yang lain setelah orang tersebut sembuh atau meninggal. Rumah
tersebut akan ditinggalkan begitu saja atau dihancurkan dan
tidak boleh dibakar. Mereka mempercayai jika rumah tersebut
dibakar maka anggota keluarga yang lain bisa sakit juga, seperti
penuturan informan SM berikut ini:
“Kalo rumah gini to siapa tau dia senang, kan itu
kebiasaan dulu-dulunya to, kalo uda sembuh kasih
tinggal saja rumahnya. Kasih tinggal atau dihancurkan
terserah tapi tidak bisa dibakar. Kalo itu dibakar itu bisa
sakit itu dia juga to, entah itu anaknya sakit mamanya
sakit. Biar satu kayu tidak ada yang dibakar.”
55
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.5.2. Penyembuhan Tradisional
Dalam istilah masyarakat Kaili Da’a Wulai, dukun yang
dapat menyembuhkan penyakit disebut dengan topo tawui yang
artinya orang yang bisa bertiup. Topo tawui ada yang berjenis
kelamin laki-laki dan ada juga yang perempuan. Topo tawui di
desa Wulai jumlahnya cukup banyak namun yang sering
didatangi masyarakat jumlahnya sekitar dua sampai tiga orang di
setiap dusun. Topo tawui yang sering didatangi adalah yang
dianggap masyarakat telah banyak menyembuhkan orang yang
sakit. Beberapa topo tawui di Desa Wulai adalah ketua adat yang
merupakan orang yang cukup disegani di mata masyarakat. Topo
tawui dapat menyembuhkan hampir semua jenis penyakit
bahkan topo tawui juga dapat membantu orang melahirkan.
Namun masyarakat Kaili Da’a Wulai tidak menyebut topo tawui
yang dapat membantu orang melahirkan sebagai dukun beranak.
Tidak semua orang bisa menjadi topo tawui, hanya orang
terpilih yang dapat menjadi topo tawui. Topo tawui memperoleh
ilmunya ada yang dari mimpi dan ada juga yang dari keturunan.
Seorang topo tawui yang sebelumnya tidak memiliki riwayat
keluarga sebagai topo tawui biasanya mendapatkan ilmu
tersebut dari mimpi. Biasanya mimpi ini hanya datang satu kali
ketika sudah tengah malam. Dalam mimpi topo tawui bertemu
dengan seseorang yang memberitahu bagaimana cara melakukan
pengobatan beserta beberapa manteranya (dowa) dimana
mantera penyembuhan setiap penyakit berbeda-beda.
Walaupun mereka mendapat mimpi, mereka tidak serta
merta dapat dinyatakan sebagai topo tawui, hal ini harus
dibuktikan dengan adanya orang yang meminta bantuan untuk
disembuhkan oleh calon topo tawui. Apabila calon topo tawui
berhasil menyembuhkan orang yang sakit barulah ia dapat
dinyatakan sebagai topo tawui. Menurut keterangan beberapa
informan yang merupakan topo tawui, mimpi yang mereka dapat
56
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
adalah mimpi yang berasal dari Tuhan bukan dari roh-roh jahat
atau setan, seperti penjelasan informan Sa berikut ini:
“…barang itu kita dapat cuma mimpi. Kan Dia kasih tau
juga ini untuk ini. Begitu juga orang yang sakit, kalo ada
orang yang sakit dibantu ditiup. Kan itu dari..Tuhan
bukan dari setan kan setan itu berbahaya”.
Hal senada diutarakan oleh informan Ri, menurutnya
mimpi yang didapat topo tawui bersumber dari Tuhan. Jika topo
tawui mendapatkan mimpi yang tidak menyebut nama Tuhan
sama sekali berarti mimpi tersebut berasal dari roh-roh jahat,
berikut penuturannya:
“Setahu saya misalnya mimpi mengenal nama Tuhan
berarti asalnya dari Tuhan, seumpama yang meniup
tidak ada dikaitkan dengan nama Tuhan sumbernya dari
roh-roh yang jahat.”
Topo tawui berpendapat mimpi yang bersumber dari rohroh jahat adalah ilmu hitam yang dapat membuat seseorang
mengirimkan guna-guna seperti kotu atau doti. Salah satu ciri
topo tawui yang mendapat mimpi dari roh-roh jahat adalah
mereka tidak pernah beribadah di gereja. Mereka juga tidak bisa
melihat atau membaca kitab suci (Injil). Kedua perbuatan ini
adalah pantangan bagi topo tawui yang mendapatkan ilmunya
dari roh-roh jahat.
Seorang topo tawui tidak hanya mendapatkan ilmu
pengobatan dari mimpi. Mereka juga dapat mendapatkan ilmu
melalui keturunan. Biasanya mereka mendapatkan ilmu
pengobatan dari orangtua mereka. Orangtua juga tidak
sembarangan menurunkan ilmu kepada anaknya. Pada umumnya
orangtua akan menurunkan ilmunya jika anak tersebut bersedia,
namun sebelumnya orangtua akan mempelajari kepribadian
57
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
anaknya apakah mampu atau tidak untuk menjadi seorang topo
tawui.
Beberapa persyaratan seorang anak dianggap dapat
menjadi topo tawui adalah anak tersebut tidak boleh sombong,
tidak boleh cepat marah dan tidak boleh panjang mulut.
Mempelajari bacaan atau mantera topo tawui sebaiknya
dilakukan ketika tidak banyak orang dan hanya dilakukan berdua
saja. Oleh karena itu, anak tersebut tidak boleh memberitahukan
kepada orang lain kalau dia sedang belajar menjadi topo tawui
begitu juga orangtuanya. Jika ada orang lain yang mengetahui
dikhawatirkan ilmu yang dipelajari tidak ampuh lagi untuk
menyembuhkan orang sakit.
Selain itu orangtua juga lebih memprioritaskan untuk
menurunkan ilmu yang dimilikinya pada anak bapak dan jika anak
tersebut tidak bersedia baru digantikan anak ibu. Dalam satu
keluarga terdapat pembagian anak yang dimiliki oleh ibu dan
bapak. Anak bapak berada pada urutan kelahiran ganjil
sedangkan anak ibu berada pada urutan kelahiran genap.
Agar ilmu pengobatan yang dimiliki topo tawui tetap
ampuh, maka terdapat beberapa pantangan (pali) atau
perbuatan yang tidak boleh dilakukan topo tawui. Setiap topo
tawui memiliki pantangan yang berbeda-beda karena pantangan
juga bersumber dari mimpi yang dialami setiap topo tawui,
seperti penuturan informan RJ berikut ini:
“Misalnya saya yang bertiup ini pantangannya, dalam
waktu ini jangan dulu ubi kau makan, misalkan ini nasi
jangan dimakan, kalau dimakan kan sakitnya tetap
kesana, untuk sementara jangan dulu.”
Topo tawui juga tidak boleh memberitahukan pada orang
lain caranya memperoleh ilmu pengobatan maupun bacaan atau
mantera untuk menyembuhkan penyakit karena dikhawatirkan
pengobatan yang dia lakukan menjadi tidak mempan lagi.
58
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
2.5.3. Teknik Penyembuhan
Teknik penyembuhan yang dilakukan topo tawui adalah
dengan cara meniup bagian tubuh yang sakit. Pengobatan yang
dilakukan topo tawui tidak memerlukan waktu lama hanya
sekitar lima menit dengan cara meniup dan memijat pada bagian
yang sakit. Jika seseorang sakit kepala maka yang ditiup adalah
bagian kepala dan jika perutnya yang sakit maka yang ditiup
adalah perutnya. Biasanya sebelum meniup bagian yang sakit,
topo tawui akan menggosok kedua tangannya sambil mulutnya
komat-kamit membaca mantera (dowa). Kemudian ia akan
mengusapkan ludahnya ke tubuh orang yang sakit, setelah itu
meniup beberapa kali bagian tubuh yang sakit.
Gambar 2.12.
Penyembuhan yang dilakukan Topo tawui
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Agar pengobatan yang dilakukan mendatangkan
kesembuhan, topo tawui akan memberikan beberapa pantangan
kepada orang sakit yang meminta bantuannya. Pantangan
tersebut berupa jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi
seperti tidak boleh memakan cabe yang berwarna merah,
59
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bawang, telur. Selain itu agar penyakit tidak kambuh lagi maka
setelah sembuh orang yang sakit akan memotong ayam
kemudian darah yang keluar dari jengger ayam ditempelkan ke
dahinya. Pantangan ini akan berbeda-beda tergantung jenis
penyakit dan siapa topo tawui-nya. Apabila pantangan ini
dilanggar maka seringkali pengobatan menjadi sia-sia dan
penyakit akan cepat kambuh, seperti uraian informan NC berikut
ini:
“Kalo berobat ke topo tawui supaya berhasil ada
pantangannya seperti tidak boleh makan rica (cabe).
Pantangannya pun tergantung dari siapa topo tawui nya
dan apa penyakitnya.”
2.5.4. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal
Sebagian masyarakat Kaili Da’a jika sakit pada awalnya
akan melakukan pengobatan sendiri salah satunya dengan
meminum ramuan tradisional. Salah satu tanaman yang dianggap
dapat menyembuhkan penyakit adalah jahe. Jahe dapat
menyembuhkan penyakit magg dengan cara meminum ramuan
jahe yang diparut yang dicampur dengan air panas. Penyakit
magg juga dapat diobati dengan mengunyah bawang merah.
Selain itu ramuan jahe juga dapat menyembuhkan sakit batuk.
Penyembuhan penyakit batuk juga bisa menggunakan perasan
jeruk nipis yang ditambah dengan garam kemudian diberi air.
Ramuan lain untuk mengobati batuk adalah dengan meminum air
rebusan daun mayana sebanyak sembilan lembar.
Untuk mengobati luka dapat disembuhkan dengan daun
mantipulu (patikan kerbau) atau disebut juga daun amphicilin
(gambar 2.13 kiri). Caranya dengan mematahkan batang daun
tersebut sampai keluar getahnya kemudian getah ditempelkan ke
bagian tubuh yang luka. dengan mematahkan batang daun ini
60
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Sakit gigi dapat disembuhkan dengan daun tawunggala (gambar
2.13 kanan)
Gambar 2.13.
Daun-daunan untuk pengobatan tradisional
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain meminum ramuan tradisional, sebagian
masyarakat juga ada yang mengobati sendiri dengan meminum
obat-obatan yang dijual di warung. Beberapa obat (pakuli) yang
biasa mereka konsumsi adalah obat antibiotik seperti obat merk
Am dan Amp. Obat tersebut mereka dapatkan tanpa resep
dokter dan manfaat dari obat tersebut mereka ketahui dari mulut
ke mulut. Sebagai contoh obat Am dan Amp mereka gunakan
untuk mempercepat penyembuhan luka. Obat tersebut ditumbuk
halus dan kemudian ditempelkan pada luka agar segera sembuh.
2.5.5. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan
Sebagian masyarakat Kaili Da’a Wulai ketika sakit akan
melakukan pengobatan sendiri terlebih dahulu. Jika belum
sembuh (nalino) mereka akan meminta bantuan topo tawui. Jika
sudah ditolong topo tawui penyakit belum sembuh juga biasanya
mereka akan mencari topo tawui yang lainnya yang diyakini
dapat menyembuhkan penyakit mereka. Jika mereka sudah
meminta bantuan beberapa orang topo tawui namun penyakit
61
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tidak kunjung sembuh barulah mereka meminta bantuan tenaga
kesehatan seperti bidan, seperti pernyataan informan RI berikut
ini:
“Ada penyakit yang bisa diobati oleh topotawui ada
penyakit yang bisa diobati oleh bidan kesehatan.
Seumpamanya ditiup tidak bisa kita butuh pertolongan
bidan. Kalau dulu orang patah cuma diurut atau ditiup
saja bisa sembuh.”
Tetapi ada juga sebagian masyarakat yang jika sudah
melakukan pengobatan sendiri seperti meminum ramuan
tradisional atau membeli obat di warung namun penyakitnya
tidak sembuh, mereka langsung pergi ke Poskesdes tanpa
meminta bantuan topo tawui, seperti diungkapkan informan SK
berikut ini:
“Kalo cuma sakit-sakit perut ya pake obat kampung.
Ujung daun jambu itu disiram saja pake air panas.
Banyak juga daun pana. Terserah dari kita mau berapa
lembar tapi kasih ganjil. Kalo tidak sembuh baru dibawa
ke bidan.”
Selain meminta bantuan topo tawui atau berobat ke
bidan kesehatan, orang yang sakit juga ada yang melakukan
pergumulan. Pergumulan adalah berdoa kepada Tuhan untuk
memohon petunjuk mengenai penyebab penyakit yang
dideritanya. Jika penyakit disebabkan karena guna-guna maka
setelah pergumulan orang yang bergumul akan memimpikan
orang yang mengirimkan guna-guna. Pergumulan dilakukan
dengan cara melakukan puasa selama tiga hari tiga malam, tidak
makan dan minum setelah jam 12 malam dan tidak boleh kena
asap rokok. Namun menurut pendeta ME, pergumulan
sebenarnya tidak dianjurkan karena terkadang mimpi yang
62
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
datang bukan petunjuk dari Tuhan melainkan dari iblis atau
setan, seperti pernyataannya berikut ini:
“Contohnya saya berteman dgn seseorang dan saya
memimpikan seseorang tersebut dan di dalam mimpi tsb
saya lihat seseorang itu yang mengguna-guna saya.
Belum tentu kan mimpi itu benar.”
Biasanya masyarakat yang langsung berobat ke bidan
adalah yang tinggal di Dusun Watubete dimana letak rumah
mereka tidak terlalu jauh dengan Poskesdes. Bagi mereka yang
letak rumahnya cukup jauh dari Poskesdes seperti di Dusun
Saluwu atau perkampungan Pinora’a mereka lebih memilih
ditolong topo tawui jika mereka sakit karena rumah topo tawui
lebih dekat. Disamping itu mereka juga beranggapan jika sakit
ditolong topo tawui lebih cepat sembuh dibanding ditolong
bidan, seperti pernyataan informan PW yang lebih memilih
berobat ke topo tawui. Menurutnya jika berobat ke topo tawui
penyakit akan lebih cepat kambuh dibandingkan berobat ke
bidan, berikut pernyataannya:
“Kalo di-tawui kadang satu jam itu sudah bisa sembuh,
cuman karena sering kembali itu penyakit. Mungkin kalo
seperti kayu itu ada akarnya ketinggalan. kalo berobat di
bidan, kalo ibaratkan kayu atau rumput tercabut semua
itu akarnya. Jadi walaupun pelan-pelan dia sehat itu
sembuh caranya lebih bagus lagi kalo ke bidan. Tapi agak
lama baru sembuh.”
Disamping itu adanya larangan dari pihak Gereja Bala
Keselamatan agar tidak berobat ke topo tawui membuat
sebagian masyarakat Wulai sembunyi-sembunyi jika meminta
bantuan topo tawui. Mereka tidak mau jika mereka berobat ke
topo tawui diketahui oleh pendeta. Masyarakat yang seperti ini
adalah yang tinggal di dusun dimana terdapat Gereja Bala
63
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Keselamatan seperti di Dusun Watubete, Wulai Satu dan
Sinjanga. Adanya larangan ini juga membuat masyarakat di ketiga
dusun tersebut lebih banyak yang berobat ke bidan kesehatan
dibandingkan dengan di Dusun Saluwu dimana pendeta tidak
melarang masyarakat berobat ke topo tawui karena gerejanya
adalah Gereja Toraja Mamasa.
Pendeta dari Gereja Bala Keselamatan selalu
mengarahkan masyarakat agar berobat ke bidan bukan ke topo
tawui. Pengobatan yang dilakukan topo tawui menurut pendeta
tidak sesuai dengan ajaran agama karena sama saja dengan
menduakan Tuhan. Menurut pendeta pengobatan yang dilakukan
topo tawui tidak bersumber dari Tuhan tetapi dari ilmu hitam,
seperti penjelasan informan ME berikut ini yang bertugas sebagai
pendeta di salah satu dusun di Desa Wulai:
“Saya tekankan kepada Jamaat agar kalo datang sama
hamba Tuhan jangan bercabang. Maksudnya jika sudah
berobat ke bidan atau dokter jangan berobat ke dukun
tiup. Orang yang bertiup itu pakai ilmu hitam, jarang ke
gereja.”
Adapun alasan lain yang membuat sebagian masyarakat
enggan berobat ke Poskesdes adalah karena pada jam-jam
tertentu jika berobat ke Poskesdes dikenakan biaya. Pelayanan di
Poskesdes pada pukul tujuh pagi sampai pukul dua siang gratis
jika memiliki kartu Jamkesmas. Namun jika lewat dari jam dua
siang dikenakan biaya walaupun punya kartu Jamkesmas. Biaya
yang dikenakan tergantung dari obat yang diberikan oleh bidan.
Menurut keterangan bidan yang bertugas di Poskesdes, ia
menarik biaya karena obat-obatan yang diberikan tidak
semuanya berasal dari Puskesmas Randomayang, beberapa obat
ada yang dibeli sendiri oleh bidan. Jika pasien yang datang tidak
membawa kartu Jamkesmas kan dikenakan tarif umum yaitu
sekitar Rp. 15.000,- - Rp 20.000,-. Adanya tarif pengobatan ini
64
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dikeluhkan oleh masyarakat karena tidak semua masyarakat
memiliki kartu Jamkesmas.
Gambar 2.14.
Poskesdes Wulai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sarana fasilitas kesehatan yang ada di Desa Wulai adalah
Poskesdes yang terletak di Dusun Watubete. Pada awalnya
Poskesdes ini adalah Puskesmas pembantu (pustu) yang
dibangun pada tahun 2000. Pustu dibangun pada tahun 2000
namun pada saat itu belum ada petugas kesehatan yang tinggal
menetap di desa. Pada tahun 2005 sudah ada bidan desa yang
tinggal menetap di Pustu sampai sekarang. Selain Poskesdes,
sebelumnya sempat ada klinik milik gereja dimana ada perawat
yang tinggal menetap dan melakukan pengobatan kepada
masyarakat. Saat ini klinik tersebut tidak berfungsi karena tidak
ada petugasnya.
Tenaga kesehatan yang bertugas di Desa Wulai ada dua
orang yaitu bidan yang sudah PNS yang telah tinggal di Desa
Wulai sejak tahun 2005 dan satu orang bidan PTT yang bertugas
65
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sejak Januari 2014 namun tidak tinggal di desa. Bidan PTT tidak
setiap hari datang ke Poskesdes Wulai. Hal ini dikarenakan jika
hujan turun terus menerus air sungai akan meluap dan akses
jalan masuk ke Desa Wulai terputus. Biasanya asisten bidan
datang hari Senin sampai Jumat dari pukul sepuluh pagi sampai
jam dua siang. Bidan di Desa Wulai lebih banyak melayani
pengobatan umum dibandingkan melakukan pelayanan
kesehatan ibu dan anak.
Adapun penyakit yang paling banyak diderita pasien
Poskesdes Wulai pada bulan Mei 2014 adalah sakit kepala. Pada
bulan Juni 2014 penyakit yang paling banyak diderita adalah
penyakit infeksi saluran pernafasan. Berikut data kunjungan
pasien Poskesdes Wulai selama bulan Mei-Juni 2014 secara
lengkap:
Tabel 2.2. Data Kunjungan Pasien Poskesdes Wulai Mei-Juni 2014
Nama Penyakit
Sakit Kepala
Alergi
Demam
Rematik
Batuk
UHS
Diare
Suspect Malaria
ISPA
Hipertensi
Asma
Anemia
Disentri
Lain-lain
Total
Jumlah Penderita
Mei 2014
21
15
13
8
7
6
3
3
2
2
2
82
Sumber: Data Rekapitulasi Bidan Poskesdes Wulai
66
Jumlah Penderita
Juni 2014
10
6
11
6
7
20
8
12
4
20
104
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Selain Poskesdes Wulai, masyarakat Wulai juga ada yang
langsung mendatangi Puskesmas Kecamatan Bambalamotu yang
bernama Puskesmas Randomayang yang terletak di pinggir jalan
Trans Sulawesi Randomayang. Penduduk Desa Wulai yang tinggal
di Dusun Ujung Baru jika sakit lebih banyak yang datang ke
Puskesmas Randomayang dibandingkan ke Poskesdes Wulai
karena jarak Puskesmas Randomayang lebih dekat. Bagi
penduduk yang tinggal di dusun lain seperti di Dusun Watubete,
Saluwu atau Sinjanga untuk menuju Puskesmas Randomayang
cukup sulit karena harus melewati dua sungai yang apabila hujan
turun terus menerus air sungainya akan meluap. Pasien yang
berobat ke Puskesmas Randomayang tidak dikenakan biaya jika
memiliki kartu Jamkesmas. Jika pasien tidak memiliki kartu
Jamkesmas dikenakan biaya Rp 5000.
Gambar 2.15.
Puskesmas Randomayang
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas
Randomayang terdiri dari perawat dan bidan. Tidak ada dokter
67
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang bertugas di Puskesmas ini karena dokter PTT sebelumnya
telah habis masa tugasnya dan belum ada penggantinya. Berikut
tabel tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas
Randomayang secara lengkap:
Tabel 2.3. Tenaga Kesehatan Puskesmas Randomayang
No
Tenaga Kesehatan
Jumlah
1
Perawat PNS
8
2
Perawat PTT
4
3
Perawat Gigi
1
4
SKM
2
5
Bidan PNS
2
6
Bidan PTT
6
7
Farmasi
2
8
Gizi
1
9
Sanitarian
1
Jumlah Tenaga
27
Sumber: Data Profil Puskesmas Randomayang
2.5.6. Pengetahuan Makanan dan Minuman
Makanan pokok masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah nasi
dan nasi jagung. Mereka biasanya makan nasi dua kali sehari
yaitu pagi atau siang hari dan malam hari. Sehari-hari mereka
biasa makan nasi dengan sayur. Nasi diperoleh dengan membeli
beras di warung dengan harga per liternya sekitar tujuh ribu
rupiah. Saat ini hanya sedikit penduduk Desa Wulai yang
menanam padi di kebunnya sehingga kebanyakan dari mereka
membeli beras di warung. Beberapa penduduk Desa Wulai juga
ada yang mengkonsumsi ubi jalar atau ubi kayu sebagai makanan
68
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
pokok mereka karena mereka tidak mempunyai uang untuk
membeli beras. Mereka memasak ubi dengan cara direbus
kemudian memakannya dengan sayur.
Sayur yang mereka konsumsi adalah sayur daun keladi,
daun kelor, daun ubi kayu (daun singkong) atau kangkung. Sayursayuran ini diperoleh dari kebun mereka. Sayur dimasak dengan
kuah santan atau ditumis. Lauk pauk yang mereka konsumsi
adalah ikan namun ikan dibeli jika ada uang. Selama satu minggu
mereka memasak ikan sekitar satu atau dua kali seminggu. Ikan
diperoleh dari penjual ikan yang biasa datang ke Desa Wulai
setiap hari. Ikan yang dijual biasanya adalah ikan cakalang, ikan
tembang, ikan bandeng. Ikan diolah dengan menggunakan kuah
santan. Daging ayam dan babi merupakan lauk yang biasa
mereka konsumsi hanya pada saat pesta karena dianggap
makanan tersebut merupakan makanan ‘mahal’ dan tidak untuk
dikonsumsi setiap hari. Saat memasak mereka tidak terlalu
menggunakan banyak garam. Untuk menambah rasa terkadang
mereka menggunakan vetsin atau masako.
Gambar 2.16.
Makanan Sehari-Hari Masyarakat Wulai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Makanan selingan yang mereka konsumsi adalah ubi jalar
atau ubi kayu direbus yang dimakan dengan sambal. Selain itu
berbagai kue yang mereka buat biasanya juga terbuat dari ubi.
69
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Produk makanan olahan seperti mie instan, masyarakat Wulai
tidak terlalu sering memakannya. Mereka baru akan memasak mi
instan ketika sedang malas untuk memasak makanan.
Mengenai minuman yang dikonsumsi sehari-hari, kopi
adalah minuman yang paling disukai masyarakat Kaili Da’a Wulai.
Mereka biasanya akan meminum kopi pada pagi hari atau sore
hari. Kopi yang mereka konsumsi adalah kopi bubuk hitam
produk lokal. Bagi mereka yang sehari-hari bekerja di kebun
terutama laki-laki biasa meminum minuman berenergi merk KB.
Mereka menganggap dengan meminum minuman ini tenaga
mereka bertambah ketika bekerja di kebun. Selain itu remaja di
Desa Wulai juga ada yang mengkonsumsi minuman keras.
Mereka menyukai minuman keras bermerk CT, namun tidak
semua warung di Desa Wulai menjual minuman keras. Terkadang
mereka harus membelinya di desa lain. Harga minuman keras
yang dijual sekitar sepuluh ribu rupiah per 1,5 liter. Mereka biasa
mengkonsumsi minuman keras bersama teman-teman atau pada
saat acara tertentu seperti pesta. Meminum minuman keras
sebenarnya dilarang oleh pihak gereja, namun seringkali mereka
mengkonsumsi minuman tersebut secara sembunyi-sembunyi.
Kadangkala mereka mencampur minuman keras dengan obatobatan tertentu.
2.6. Bahasa
Kebanyakan masyarakat Kaili Da’a menggunakan bahasa
Kaili Da’a sebagai bahasa sehari-hari. Etnik Kaili terbagi atas
beberapa bagian atau sekitar lebih kurang terdiri atas 27 etnik
yaitu Kaili Inde, Kalili Ra’I, Kaili Unde, Kaili Ledo, etnik Da’a dan
lainnya. Pelafalan dalam berbicara pada etnik Da’a berbeda
dengan etnik Kaili lainnya.
Biasanya orangtua yang berumur di atas 50 tahun banyak
yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka yang fasih
70
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
berbahasa Indonesia adalah mereka yang pernah mengenyam
pendidikan formal. Pelafalan huruf pada bahasa Kaili Da’a ada
yang berbeda dengan yang tertulis seperti huruf “w” dilafalkan
dengan huruf “v”. Misalnya kata tawui jika dilafalkan menjadi
tavui. Bahasa yang digunakan pada ritual adat berbeda dengan
bahasa yang digunakan sehari-hari terutama pada saat mereka
menyanyi untuk memanggil roh-roh halus.
2.7. Kesenian
Alat musik tradisional masyarakat desa Wulai berupa
permainan musik dengan menggunakan musik bambu. Musik
bambu terdiri dari alat-alat musik tiup yang terbuat dari bambu
dan biasa dimainkan secara berkelompok. Susunan alat musik
tradisional tersebut memberikan harmoni dan suara yang cukup
merdu. Tidak banyak warga masyarakat yang bisa membuat alat
musik tersebut.
Gambar 2.17.
Alat Musik Tradisional (Musik Bambu)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
71
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.8. Mata Pencaharian
Mayoritas penduduk Desa Wulai bermata pencaharian
sebagai petani dan buruh tani. Pada awalnya ketika masyarakat
Kaili Da’a masih hidup berpindah-pindah tanaman utama yang
mereka tanam di ladang mereka adalah padi. Namun sekarang
hanya sedikit yang menanam padi ladang karena hasil panen
yang didapat sedikit. Biasanya hasil panen padi ladang hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada sistem
irigasi yang dapat mengalirkan air ke ladang, sehingga untuk
menanam padi ladang sekarang cukup sulit karena air yang
dipakai untuk mengairi ladang adalah air hujan.
Tidak mencukupinya hasil panen ladang membuat
masyarakat kemudian mengganti padi dengan coklat sebagai
tanaman utama yang mereka tanam di kebun mereka. Sebagian
besar petani di Desa Wulai sekarang menanam coklat di kebun
mereka. Hal ini tampak dari banyaknya penduduk yang
mengeringkan coklat di halaman rumah mereka. Selama setahun
coklat bisa dipanen tiga sampai empat kali. Setelah dipanen biji
coklat akan dipisahkan dari kulitnya dan kemudian dikeringkan
sampai kering. Biasanya proses pengeringan ini bisa memakan
waktu sampai tiga hari. Mereka kemudian menjual coklat ke
pedagang yang ada di desa. Biasanya jika mereka menjual coklat
ke pedagang yang ada di desa harga coklat per kilonya lebih
rendah yaitu sekitar Rp 28.000 dibandingkan jika mereka
langsung menjual coklat ke Donggala (Sulawesi Tengah) harganya
berkisar antara Rp. 31.000 – 32.000.
72
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Gambar 2.18.
Coklat yang sedang dikeringkan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.19.
Aktivitas menanam jagung
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain menanam coklat, masyarakat Wulai kebanyakan
juga menanam jagung di kebunnya. Ketika menanam jagung hal
73
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang dilakukan pertama kali adalah membersihkan lahan dari
rumput-rumput. Setelah lahan dibersihkan dari rumput, lahan
kemudian disemprotkan pestisida. Setelah itu tali dipasang satu
jalur untuk meluruskan dan menandakan area yang mau
dikerjakan. Setelah itu tanah dilubangi (babolo) dengan
menggunakan bambu. Kedalaman lubang sekitar lima cm, jarak
antar lubang sekitar 50 cm. Kemudian biji jagung dimasukkan ke
setiap lubang sebanyak 3-4 biji. Biji jagung yang didapat dari
jagung yang dilepaskan dari tongkol yang rapat. Untuk mengairi
lahan digunakan air hujan, tidak ada sistem pengairan khusus.
Jagung dapat dipanen setiap tiga hingga empat bulan sekali
dengan harga jual per kilonya sekitar Rp. 2.200.
Selain coklat dan jagung, masyarakat Wulai juga ada yang
menanam kelapa sawit. Harga satu pohon kelapa sawit yang siap
panen sekitar satu juta rupiah. Usaha kelapa sawit cukup
menggiurkan bagi masyarakat. Mengingat jumlah uang yang
mereka dapat setiap memanen sawit cukup banyak, hal itu
membuat masyarakat Wulai mulai beralih menanam kelapa sawit
dibandingkan menanam coklat. Perusahaan kelapa sawit pun
telah masuk ke Desa Wulai yang akan memulai operasionalnya
pertengahan tahun 2014. Disamping itu masyarakat Wulai juga
ada yang menanam kelapa biasa yang nantinya dikeringkan untuk
dijadikan kopra. Harga jual kopra sekitar Rp. 4.000 sampai Rp
6.000 per kilo.
Pada umumnya masyarakat biasa pergi ke kebun di pagi
hari dan pulang ketika senja tiba, namun ada pula beberapa
masyarakat yang memutuskan untuk tinggal di kebun dengan
membangun pondok sederhana meskipun sudah mempunyai
rumah di kampung. Menurut sebagian besar masyarakat Da’a
kebun merupakan salah satu bagian dari hidupnya yang teramat
penting dalam hidupnya. Mereka lebih senang apabila tinggal di
kebun daripada di perkampungan dikarenakan apabila tinggal di
74
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
kampung seringkali banyak keributan dan tidak seperti bila
tinggal di kebun dan dapat menjaga kebunnya dari binatang
perusak tanaman.
Sebagian masyarakat Desa Wulai ada yang berternak
ayam namun ayam tersebut jarang dikonsumsi oleh mereka dan
hanya untuk dijual dengan harga Rp 70.000 per ekor. Selain ayam
mereka juga ada yang memelihara babi. Harga babi akan
melambung ketika pembeli berdatangan untuk mencari babi.
Biasanya babi dijual sekitar 1-2 juta per ekor.
Penghasilan yang didapat masyarakat Wulai dari hasil
kebunnya tidaklah seberapa. Mereka juga tidak mengalokasikan
penghasilan mereka ke dalam bentuk tabungan. Jika mereka
membutuhkan uang untuk keperluan mendesak seperti biaya
rumah sakit mereka akan menjual kebun mereka. Biaya
pendidikan anak mereka untuk bersekolah di sekolah menengah
atas pun sulit untuk dipenuhi. Kondisi ini membuat remaja di
Desa Wulai yang bersekolah di luar desa terutama di Kota Palu
bersekolah sambil bekerja.
Kota Palu merupakan kota tujuan sebagian besar remaja
untuk menuntut ilmu maupun mencari pekerjaan. Jarak tempuh
membuat para remaja memutuskan untuk tinggal terpisah
dengan keluarga mereka, tak jarang mereka tinggal dirumah
orang lain dan membantu pekerjaan rumah tangganya. Beberapa
remaja yang telah usai menuntut ilmu di luar desa, akan kembali
ke desa untuk mengabdi sebagai guru atau pekerjaan lainnya.
Berbeda halnya dengan sebagian remaja putus sekolah yang
seringkali mencoba peruntungan di Kota Palu dengan bekerja
sebagai penjaga toko, pembantu rumah tangga, hingga buruh
bangunan.
75
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.9. Teknologi dan Peralatan
Kehidupan masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai dapat
tergolong sudah modern. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penduduk yang memiliki telepon genggam. Penggunaan telepon
genggam mulai marak sejak tahun 2008 ketika menara jaringan
salah satu provider sudah dibangun. Namun sinyal jaringan tidak
dapat menjangkau seluruh desa. Sinyal cukup kuat ketika berada
di Dusun Ujung Baru yang letaknya dekat dengan jalan Trans
Sulawesi. Untuk dusun lainnya, sinyal cukup kuat hanya di
tempat-tempat tertentu saja.
Masyarakat menggunakan handphone sebagai sarana
berkomunikasi. Kadangkala handphone digunakan untuk
menghubungi ibu bidan jika ada anggota keluarganya yang sakit
parah atau ada ibu yang mau melahirkan. Biasanya mereka yang
menghubungi ibu bidan adalah yang rumahnya cukup jauh dari
Poskesdes.
Masyarakat Kaili Da’a memiliki senjata tradisional yaitu
sumpit. Pada zaman dahulu sumpit merupakan senjata rahasia
yang digunakan untuk menjatuhkan orang yang mereka anggap
sebagai musuh. Sumpit ini digunakan dengan cara ditiup dan
dapat melumpuhkan musuh dari jarak jauh. Sumpit terbuat dari
bambu yang bulat, ujungnya dibuat tajam dan bagian tengahnya
berlubang. Sumpit ini hanya digunakan untuk melukai orang yang
mengganggu mereka dan mereka anggap sebagai musuh. Untuk
melukai musuh maka di dalam sumpit dimasukkan peluru
kemudian ditiup. Jika terkena sumpit hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat menyembuhkan lukanya.
Untuk memasak makanan, kebanyakan masyarakat
menggunakan tungku api dengan bahan bakar kayu. Mula-mula
untuk membuat tungku api mereka meletakkan tanah liat
sebagai alas agar tidak terbakar. Setelah itu tiga buah batu
diletakkan di atas tanah liat yang berfungsi sebagai tungku untuk
76
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
memasak. Pada umumnya di dalam satu dapur hanya terdapat
satu hingga dua tungku yang digunakan untuk memasak.
Biasanya satu tungku mereka gunakan untuk memanaskan air
dan tungku yang lain digunakan untuk memasak sayur.
Sebelum memasak mereka membelah kayu bakar yang
telah diambil sebelumnya menjadi dua bagian ditambah dengan
beberapa potongan kecil kayu bakar. Sampah plastik juga turut
mereka bakar untuk menyalakan api. Agar nyala api menjadi
besar dan tetap menyala mereka juga biasa meniup tungku.
Peralatan memasak yang digunakan cukup sederhana yaitu
menggunakan kuali. Sebagian besar peralatan makan seperti
piring dan gelas terbuat dari bahan plastik.
Gambar 2.20.
Tungku yang digunakan untuk memasak
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Fasilitas listrik mulai ada di Desa Wulai sejak tahun 2013,
namun tidak semua dusun sudah mendapat aliran listrik seperti
di Dusun Saluwu belum ada fasilitas listrik. Masyarakat di dusun
ini menggunakan pelita sebagai penerangan. Masuknya listrik
77
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diprakarsai oleh program PNPM Mandiri. Setiap bulannya
masyarakat membayar biaya untuk listrik sebesar Rp 17.000 per
bulan untuk biaya satu lampu dan Rp 35.000 untuk biaya satu
televisi.
Gambar 2.21.
Ayunan (lou)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Peralatan yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak
adalah penggunaan ayunan (lou) yang terbuat dari kain yang
digantungkan di atap rumah dengan menggunakan besi. Selain
itu untuk memotong tali pusat bayi yang baru lahir digunakan
bambu dan ubi jalar sebagai alasnya.
78
BAB 3
POTRET KESEHATAN
3.1. Kesehatan Ibu Dan Anak
3.1.1. Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke
masa dewasa. Kehidupan pada masa remaja akan sangat
menentukan bagi kehidupan masa depan selanjutnya.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah remaja
dengan rentang umur 10-24 tahun sekitar 64 juta atau 27,6% dari
jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa. Remaja
sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi
manusia sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual.
Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja
mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan
masa transisi yang dialami remaja. Salah satunya ialah rendahnya
pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi remaja
(BKKBN, 2012).
Situasi mengenai gambaran pengetahuan kesehatan
reproduksi juga terjadi pada remaja di Desa Wulai. Pada
umumnya para remaja belum memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai kesehatan reproduksi. Program pendidikan
pengetahuan secara komperehensif mengenai kesehatan
reproduksi tidak pernah mereka dapatkan di pendidikan formal.
Selain itu, mereka juga tidak pernah mendapat informasi
79
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mengenai kesehatan reproduksi dari lingkungan rumah seperti
keluarga atau orangtua. Rasa enggan remaja untuk bertanya
kepada orangtua dikarenakan rasa malu dan masalah kesehatan
reproduksi dianggap tidak layak untuk dibicarakan bersama
orangtua. Hal tersebut diungkapkan oleh remaja AD berikut,
“Ah.. mereka itu mana pernah bilang (menjelaskan tentang
kesehatan reproduksi) gitu.”
Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas
dan kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia dapat
dimaklumi karena masyarakat umumnya masih menganggap
seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak layak untuk
dibicarakan secara terbuka. Orangtua biasanya enggan untuk
memberikan penjelasan masalah-masalah seksualitas dan
reproduksi kepada remajanya, dan anak pun cenderung malu
bertanya secara terbuka kepada orangtuanya (Habsjah A, 1995).
Melalui komunikasi, orangtua seharusnya menjadi
sumber informasi dan pendidik utama tentang kesehatan
reproduksi dalam penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja.
Orangtua sering menghadapi kesulitan untuk membicarakan
masalah tersebut kepada remajanya, begitu pun sebaliknya.
Norma dan budaya masyarakat yang sebagian masih
menganggap tabu tentang isu kesehatan reproduksi dapat
menjadi penghambat terhadap pendidikan seksualitas remaja
(BKKBN, 2012).
Remaja yang sedang mengalami masa peralihan,
mengalami berbagai perubahan seperti perubahan status sosial,
perubahan penampilan, perubahan sikap, perubahan seks dan
perubahan organ-organ reproduksi yang secara khusus ditandai
oleh menstruasi (haid) yang pertama disebut dengan menarche
(Suryati, 2012).
Begitu pula yang terjadi pada remaja perempuan di Desa
Wulai yang telah mengalami menarche. Mereka baru mengetahui
80
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
bahwa dirinya telah mengalami menstruasi dari teman
sepergaulan. Kebanyakan dari mereka cenderung untuk
menutupi atau tidak memberitahukan pada siapapun terlebih
pada orangtua mereka ketika pertama kali mendapatkan haid
pertama (menarche). Mereka merasa malu apabila orangtua
mengetahui kalau ia sudah menstruasi.
Seksualitas bagi orangtua masih dianggap hal yang kotor
dan tabu untuk dibicarakan dengan anak, sehingga pengetahuan
anak mengenai pubertas dan seksualitas menjadi kurang. Hal ini
menimbulkan ketakutan dan kecemasan saat menghadapi
menarche (Anggraeni, E., 2008). Seperti halnya pengalaman
remaja perempuan OV ketika pertama kali menstruasi berikut ini:
“Seharian saya sempat berendam di sungai (koala)
karena takut apa itu. Awalnya saya takut apa ini dan, apa
kena jarum ato apa. Sempat kepikiran periksa ke bidan
tapi malu nanti kalo dia (bidan) anu liat kelamin saya”.
Menstruasi dalam bahasa Kaili Da’a disebut dengan istilah
ratana atau ratanoa. Tidak terdapat pelaksanaan ritual adat yang
dilakukan saat remaja perempuan mengalami haid pertama.
Orangtua pun tidak mengetahui kapan persisnya menarche yang
dialami oleh anaknya. Terkadang mereka baru mengetahui
anaknya telah menstruasi setelah beberapa bulan kemudian.
Kebanyakan orangtua mendapatkan informasi bahwa anaknya
telah mengalami menstruasi dari teman anaknya. Para remaja
perempuan menganggap orangtua mereka mengetahui dirinya
mengalami menstruasi ketika melihat raut wajah mereka yang
pucat selama menstruasi.
Pada umumnya tidak terdapat pantangan makanan
selama menstruasi berlangsung, namun terdapat pantangan
perbuatan yang tidak boleh dilakukan selama menstruasi.
Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perempuan yang
sedang menstruasi sebaiknya tidak mandi di sungai pada sore
81
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hari. Jika hal ini dilanggar maka dikhawatirkan perempuan
tersebut diganggu oleh makhluk halus yang disebut dengan pokpok. Mereka menganggap pok-pok memiliki penciuman tajam
dan lebih menyukai darah perempuan yang sedang haid. Jika
bertemu dengan perempuan yang sedang haid maka pok-pok
akan menghisap darah menstruasi. Tanda bahwa pok-pok
menghisap darah mereka ialah manakala darah haid banyak
keluar dengan waktu haid yang lama. Selain itu, menurut mereka
apabila sedang menstruasi maka kebersihan pembalut harus
diperhatikan. Pembalut yang telah dipergunakan harus dicuci
bersih sebelum dibuang. Mereka percaya apabila darah haid
dijilat hewan seperti anjing nantinya mereka dapat jatuh sakit,
seperti penuturan remaja IC berikut ini:
“Jangan sampai dijilat anjing, kalo sampai dijilat anjing
nanti akan sakit-sakit kaya demam-demam gitu terus
muka pucat.”
Permasalahan kesehatan reproduksi yang sering dialami
oleh remaja adalah menstruasi yang tidak lancar. Remaja
perempuan di Desa Wulai mengaku mendapatkan siklus bulanan
3-5 bulan setelah menarche dan mereka menganggap sebagai hal
yang wajar. Berbeda dengan remaja OV yang baru mendapat
siklus bulanannya kembali setelah sembilan bulan menarche. Ia
menganggap hal tersebut diakibatkan guna-guna orang yang
tidak suka terhadap dirinya. Penyembuhan dari guna-guna hanya
dapat dilakukan oleh topo tawui. Cara penyembuhan yang
dilakukan topo tawui adalah dengan meniup bagian perut.
Pada umumnya laki-laki di Desa Wulai telah disunat saat
sudah berusia lima tahun namun sebelum disunat mereka harus
melakukan adat Powati terlebih dahulu. Sunat biasa dilakukan
oleh anggota keluarga yang dapat melakukan sunat atau
dilakukan oleh topo tawui. Alat yang digunakan ketika melakukan
82
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
sunat adalah pisau. Agar darah berhenti setelah disunat biasa
ditiup oleh topo tawui. Tidak terdapat tradisi adat yang dilakukan
manakala seorang laki-laki usai disunat.
Mengenai pengetahuan penyakit menular yang cukup
berbahaya seperti HIV/AIDS, kebanyakan remaja Wulai tidak
mengetahuinya. Mereka tidak pernah mendengar sebelumnya
mengenai penyakit tersebut. Minimnya informasi mengenai
HIV/AIDS dikarenakan mereka tidak pernah mendapat informasi
ini dari sekolah maupun pelayanan kesehatan.
Dalam hal perilaku konsumsi makanan, remaja di Desa
Wulai biasa makan satu hingga dua kali sehari dengan menu nasi
dan sayur. Biasanya mereka akan makan pada siang hari dan
malam hari. Nasi putih atau nasi yang dicampur jagung adalah
makanan pokok yang biasa mereka konsumsi. Jenis sayur yang
biasa dikonsumsi adalah daun ubi kayu, daun keladi, daun kelor,
daun pepaya, daun pakis, nangka dan lain-lain. Lauk pauk seperti
ikan dan telur jarang mereka konsumsi. Harga ikan yang dijual
oleh pedagang keliling di Desa Wulai seharga lima ribu rupiah
untuk tiga ekor ikan. Biasanya mereka mengkonsumsi ikan sekali
sampai dua kali saja per minggu, tergantung dari ada tidaknya
uang untuk membeli ikan. Jenis ikan yang biasa dikonsumsi
seperti ikan cakalang dan ikan tembang. Sayur maupun ikan
biasanya akan mereka olah dengan menggunakan kuah santan.
Menu makanan yang mengandung gorengan sesekali mereka
konsumsi. Minyak yang digunakan untuk menggoreng ikan
adalah minyak kelapa. Biasanya minyak kelapa mereka olah
sendiri atau dibeli di pasar.
Mengenai interaksi remaja di Desa Wulai, pada umumnya
mereka saling membina hubungan pertemanan dalam satu desa.
Mereka biasa berkumpul di sungai pada saat malam terang
bulan. Selain itu sesekali mereka mengunjungi air terjun bersama
dengan para remaja lainnya. Desa Wulai memiliki dua air terjun
83
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yaitu air terjun yang terletak di Dusun Saluwu dan Dusun
Salo’otu. Pengunjung dari desa lain seringkali mengunjungi air
terjun tersebut.
Kebanyakan remaja di Desa Wulai juga biasa bertemu
ketika ada pesta. Pada acara pesta biasanya mengadakan hiburan
tarian dero yaitu tarian yang berasal dari Kabupaten Poso
Sulawesi Tengah. Tarian ini cukup sederhana, biasanya dilakukan
di tempat atau lapangan yang luas. Tarian ini disebut juga dengan
Tari pontanu atau sejenis tarian yang mengajak para penonton
ikut menari. Siapapun yang mau mengikuti tarian ini bisa
bergabung tanpa harus memikirkan keahlian menari. Untuk
melakukan tarian ini tidaklah sulit, para penari membuat sebuah
lingkaran sambil berpegangan tangan kemudian melakukan
hentakan kaki dua kali ke kiri dan dua kali ke kanan. Gerakantersebut disesuaikan dengan irama musik seperti electone
maupun irama pantun yang mengiringinya (Lutfi, 2014).
Biasanya remaja Wulai akan menyambut dengan antusias
jika acara madero dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan dero
merupakan salah satu sarana hiburan bagi remaja di Desa Wulai.
Para remaja akan memberitahukan informasi pada remaja di
desa lain untuk turut bergabung dan meramaikan acara madero
di desanya. Acara ini merupakan kesempatan remaja Wulai untuk
bertemu dengan remaja dari desa lain. Melalui acara ini terjadi
perkenalan antara remaja laki-laki dan perempuan yang
terkadang berlanjut ke hubungan yang lebih serius sampai ke
jenjang pernikahan.
Kebanyakan remaja Wulai telah mengenal pacaran.
Menurut mereka pacaran adalah hal yang wajar dilakukan.
Walaupun
terkadang
mereka
merasa
malu
dan
menyembunyikannya dari orangtua. Di Desa Wulai tidak terdapat
larangan untuk berpacaran, namun terdapat hukum adat yang
mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
84
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dan perempuan tidak boleh berduaan di tempat gelap tanpa ada
pihak ketiga. Jika ada pihak yang melapor ke ketua adat maka
akan diberikan sanksi adat.
Menurut masyarakat apabila ada laki-laki dan perempuan
yang melakukan hubungan suami istri di luar nikah, maka alam
akan memberikan pertanda seperti hujan yang tidak kunjung
berhenti dan beberapa penyakit yang menyerang masyarakat.
Denda yang berlaku bertujuan untuk memohon ampun pada
penguasa alam atas perbuatan yang melanggar norma.
Adapun bagi remaja yang telah memiliki alat komunikasi
seperti handphone, mereka biasa mendapat kenalan baru dengan
cara menghubungi nomor telepon secara acak. Apabila cocok di
hati, maka dapat berlanjut ke hubungan lebih serius seperti
pacaran. Pacaran ini mereka sebut sebagai ‘pacaran udara’
dikarenakan pacaran yang mereka lakukan hanya sebatas lewat
telepon saja. Jika serius mereka dapat bertemu satu sama lain.
Pacaran udara ini juga dapat berlanjut ke jenjang lebih serius
seperti pernikahan.
Kebanyakan usia pernikahan pemuda di Desa Wulai
sekitar 16-20 tahun dan biasanya pasangan yang menikah
kebanyakan bersekolah hanya sampai jenjang Sekolah Dasar (SD).
Seperti halnya pernuturan AL berikut ini:
“Pernikahan di bawah usia itu adalah kasus yang cukup
menonjol di wilayah ini. Sebenarnya pada prinsipnya
gereja mengacu kepada aturan pemerintah. Batasan usia
anak yang dikatakan dewasa itu 18 tahun keatas. Tapi
pada kenyataannya yang menikah di sini bahkan ada
yang mau menikah ini usia 15 tahun...”
Pernikahan usia muda di Desa Wulai dapat terjadi karena
kawin paksa yaitu pernikahan yang dilakukan setelah dihadapkan
pilihan untuk membayar denda adat atau menikah. Mereka
terpaksa menikah dikarenakan denda yang harus mereka bayar.
85
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Meskipun demikian apabila mereka telah menikah masih
terdapat tanggung jawab orangtua untuk tetap membimbing dan
mengawasi anak-anak mereka, seperti pernyataan informan AL
berikut ini:
“…adat sudah menetapkan menikah, bagaimana dengan
gereja. Hal yang kami lakukan untuk mengantisipasi itu
adalah memberi pengertian kepada mereka, sekalipun
mereka sudah menikah anak ini, mereka tetap berada
dibawah pengawasan orangtua.”
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setelah menikah,
mereka bekerja sebagai petani. Tanaman yang biasanya mereka
tanam di kebun mereka adalah cokelat, jagung, kelapa atau
kacang. Suami dan istri saling bekerjasama untuk mengolah
kebun mereka.
3.1.2. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil
Jumlah pasangan usia subur (PUS) di Desa Wulai tahun
2013 sebanyak 277 pasang. Dusun Watubete merupakan dusun
yang memiliki jumlah PUS terbanyak diantara dusun lainnya yaitu
sebanyak 84 PUS. Jumlah PUS paling sedikit ada di Dusun Saluwu
yaitu sebanyak 21 PUS. Kebanyakan PUS di Desa Wulai memiliki
anak lebih dari tiga hingga enam anak. Bagi kebanyakan
pasangan usia subur, jenis kelamin anak bukanlah sesuatu hal
yang penting. Mereka menganggap anak laki-laki maupun
perempuan sama saja. Meskipun demikian, anak laki-laki
merupakan anak yang mereka dambakan. Mereka menganggap
anak laki-laki kelak dapat membantu orangtuanya di kebun.
Bagi pasangan suami istri yang telah lama menikah
namun belum dikaruniai anak, kebanyakan mereka mengaku
pasrah dan tidak terlalu banyak berusaha untuk mendapatkan
keturunan. Mereka menerima kondisi ini karena menurut mereka
86
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
hal ini merupakan kehendak Tuhan. Sedangkan bagi pasangan
muda yang belum dikarunia keturunan, hal ini dianggap bukan
sebagai masalah. Mereka ada yang beralasan ingin menikmati
saat-saat berdua bersama pasangan tanpa memikirkan anak
terlebih dahulu. Salah satu pasangan muda LS dan OK yang
menikah lebih dari dua tahun lamanya mengaku masih belum
ingin memiliki anak terlebih dahulu namun apabila Tuhan
memberikan, maka akan mereka terima.
Bagi pasangan yang telah lama menikah, lamanya
mendapatkan keturunan terkadang menjadi beban bagi
pasangan. Seperti pasangan suami istri LN dan RI yang sudah
lebih dari 13 tahun menikah dan belum memiliki keturunan.
Beberapa tetangga mereka menyarankan untuk mendatangi
penyembuh tradisional untuk dipijat namun istri takut dipijat.
Salah satu bentuk usaha yang dilakukan pasangan suami istri ini
yaitu dengan mengunjungi pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas. Petugas Puskesmas menyatakan tidak ada masalah
yang cukup berarti pada mereka. Saat ini mereka memasrahkan
semuanya kepada Tuhan dengan tetap berusaha dan berdoa.
Mendatangi dukun pijat merupakan salah satu bentuk
usaha untuk mendapatkan keturunan di Desa Wulai. Dukun pijat
tidak hanya dapat membantu pasangan suami istri untuk
mendapatkan keturunan namun juga membantu ibu hamil yang
mengalami keluhan selama kehamilan. Salah seorang dukun pijat
yang ada di Desa Wulai adalah pendatang yang berasal dari
Mamasa. Ia adalah orang Toraja dan sudah 15 tahun tinggal di
Desa Wulai.
Walaupun dukun pijat tersebut pendatang, pasangan
suami istri yang meminta bantuannya tidak hanya sesama etnik
pendatang, masyarakat Kaili Da’a pun juga ada yang meminta
bantuannya. Cara yang ia lakukan adalah dengan memijat ibu
yang ingin memiliki anak setiap sebulan sekali. Pemijatan
87
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dilakukan sampai ibu tersebut hamil. Kebanyakan ibu akan hamil
setelah dipijat dua kali. Menurut dukun pijat, kesulitan untuk
mendapatkan keturunan biasanya disebabkan karena wanita
mengalami masalah kandungan.
3.1.3. Hamil
Masyarakat Kaili Da’a Wulai mempercayai beberapa
pantangan makanan yang tidak boleh dikonsumsi ibu hamil.
Beberapa pantangan makanan antara lain ibu hamil tidak boleh
memakan durian dikarenakan bayi yang dikandungnya akan
menjadi besar sehingga sulit dilahirkan. Selain itu mengkonsumsi
durian yang berlebihan dianggap dapat membuat perut menjadi
panas. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat perut menjadi
mudah sakit sebelum waktunya melahirkan. Selain memakan
durian, ibu hamil juga tidak boleh meminum es karena dipercayai
dapat membuat bayi di dalam kandungan menjadi besar. Selain
es, telur, makanan berkuah santan, gorengan, kelapa muda dan
kue yang manis juga tidak boleh dikonsumsi ibu hamil karena
dipercaya dapat membuat bayi di dalam kandungan bertambah
besar. Mereka menganggap jika bayi di dalam kandungan
menjadi besar nantinya akan menyebabkan kesulitan dalam
persalinan.
Makanan lain yang menjadi pantangan ibu hamil adalah
buah kelapa yang masih memiliki tunas (tombo). Apabila ibu
hamil memakan tombo, dikhawatirkan ketika melahirkan
plasenta atau ari-ari (tavuni) akan sulit keluar atau tertinggal di
dalam perut. Ibu hamil juga tidak boleh memakan buah nanas
terutama pada usia awal kehamilan karena nanti mengalami
keguguran.
Mengenai makanan yang dikonsumsi ibu hamil di Desa
Wulai, biasanya tidak berbeda dengan makanan masyarakat
sehari-hari. Mereka biasa makan dua kali sehari dengan menu
88
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
nasi dengan sayur. Mereka akan makan ikan sekali-kali jika
memiliki uang. Jenis sayuran yang biasa mereka konsumsi adalah
daun kelor, kangkung, pepaya, dan daun ubi. Sayur tidak dimasak
dengan santan dikarenakan santan merupakan pantangan
makanan selama kehamilan.
Selain pantangan makanan, juga terdapat pantangan
perbuatan yang tidak boleh dilakukan ibu hamil. Masyarakat
mempercayai ibu hamil tidak boleh duduk di depan pintu rumah
karena dapat membuat bayi susah keluar pada saat persalinan.
Ibu hamil juga tidak boleh membiarkan rambut terurai
dikarenakan dapat dikejar oleh kuntilanak. Apabila ada orang
yang hendak bertamu di rumah ibu hamil, maka harus
dipersilahkan sampai masuk rumah dan tidak boleh tamu
tersebut cuma di depan rumah. Hal ini dapat membuat ibu nanti
susah melahirkan. Perbuatan lain yang harus dihindari ibu hamil
adalah tidak boleh kikir karena dapat membuat bayi lama keluar
ketika melahirkan. Selama masa kehamilan ibu hamil juga tidak
boleh tidur terlentang tetapi harus tidur miring karena
dikhawatirkan darah dalam perut akan terbagi menjadi dua
sehingga nantinya anak yang dilahirkan kembar. Berikut
penuturan ibu hamil EN:
“Baru kalo kita hamil jangan betidur lurus begini harus
miring terus. Kembar bayi. Jangan tidur lurus begini
tabelah itu anu darah. Pokoknya bemiring terus jangan
lurus terus haih.. jangan lama kalo lama tebelah itu
darah.”
Ibu hamil juga tidak boleh keluar rumah setelah jam
empat sore karena dapat diganggu setan. Salah satu setan yang
dipercaya masyarakat dapat mengganggu ibu hamil adalah pokpok. Ia biasa berkeliaran di sungai pada sore hari. Penciuman
tajam yang dimiliki pok-pok membuat ibu hamil tidak boleh
keluar rumah pada sore hari. Jika ibu hamil hendak keluar pada
89
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sore atau malam hari maka ibu hamil memakai sarung sebagai
penutup kepala, agar tidak ada setan yang mengganggu. Sebagai
jimat penangkal setan, ibu hamil dianjurkan membawa bawang
merah dan bawang putih yang ditancapkan ke paku (kariango)
atau membawa pisau.
Pantangan perbuatan tidak hanya berlaku pada ibu hamil,
namun juga pada suaminya. Selama kehamilan, suami tidak
diperbolehkan untuk memotong ataupun membunuh binatang.
Mereka mempercayai apabila suami membunuh binatang maka
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti bayi yang
dilahirkan dapat menyerupai binatang yang dibunuh. Suami ibu
hamil juga tidak boleh makan secara sembunyi-sembunyi di
rumah orang lain, jika suami makan di rumah orang lain maka
sesampainya di rumah suami harus memberitahu istrinya bahwa
dia telah makan di luar. Jika suami tidak memberitahu istrinya
maka dikhawatirkan pada saat melahirkan ibu akan
mengeluarkan kotoran sebelum bayi lahir.
Mengenai perawatan selama masa kehamilan,
kebanyakan ibu hamil di Desa Wulai jarang yang memeriksakan
kehamilan ke bidan desa. Ibu hamil yang memeriksakan
kehamilan ke bidan kebanyakan bukan atas kemauannya sendiri
melainkan karena permintaan bidan. Seringkali bidan
menyarankan kepada masyarakat untuk memeriksakan
kehamilan di Poskesdes. Biasanya bidan juga memberikan
pengumuman di gereja, seperti halnya penuturan MD berikut,
“Coba to kalo hamil harus periksa, kalo mau melahirkan datang
ke Poskesdes kan tidak bayar.”
Ibu hamil yang tidak mau memeriksakan kehamilannya ke
pelayanan kesehatan dikarenakan merasa malu dan takut untuk
disuntik. Biasanya mereka cenderung menutupi kehamilannya
agar tidak diketahui orang lain kalau sedang hamil. Seperti ibu NA
21 tahun, salah seorang ibu yang sedang hamil sembilan bulan
90
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
saat penelitian berlangsung, selama kehamilan ia tidak pernah
memeriksakan diri ke bidan karena takut disuntik, ia mengaku
dari kecil tidak pernah disuntik. Selain itu ia juga malas ke bidan
karena jarak dari rumahnya ke Poskesdes cukup jauh. Ia pun
berencana akan melahirkan di rumah tanpa bantuan tenaga
kesehatan seperti bidan.
Hal senada diungkapkan ibu SH yang mengaku hanya tiga
kali memeriksakan kehamilan ke bidan dikarenakan malas. Ia
menceritakan bahwa pertama kali pergi ke bidan dikarenakan
seorang kader menyuruhnya menemui bidan. Ia mengaku
pertama periksa hamil ketika usia kandungan sudah enam bulan
dan diberikan pil penambah darah oleh bidan tapi tidak diminum
karena merasa pusing setelah minum pil penambah darah.
Seringkali bidan dibantu kader untuk mendapatkan
informasi apabila ada ibu hamil di desa. Beberapa waktu yang
lalu bidan memberikan upah berupa uang Rp. 20.000 untuk
memancing keaktifan kader yang berhasil membuat ibu hamil
pergi memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
Selain memeriksakan kehamilan ke bidan, kebanyakan ibu
hamil lebih memilih mengunjungi topo tawui apabila ada keluhan
selama kehamilan. Apabila bayi dalam kandungan mengalami
salah posisi atau salampeto maka topo tawui biasa memijat perut
ibu hamil untuk memperbaiki posisi bayi sambil meniup
perutnya. Beberapa pantangan juga akan diberikan oleh topo
tawui setelah memperbaiki kesalahan posisi bayi dalam rahim.
Seperti ibu hamil NV, sudah hampir tiga minggu ia
mengalami sakit perut. Usia kehamilannya pun sudah menginjak
usia delapan bulan. Ia lebih memilih untuk mengunjungi topo
tawui daripada bidan. Keputusan tersebut didukung oleh
suaminya. Menurut topo tawui, ibu NV mengalami salampeto
atau kesalahan posisi bayi. Topo tawui hanya meniup perutnya
serta memberikan air yang sudah diberi mantera atau bacaan
91
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
untuk dioleskan ke perutnya apabila sakit. Pantangan makanan
juga diberikan pada ibu NV setelah ditiup yaitu tidak boleh
memakan telur, mie instant, bawang merah, dan bawang putih.
Apabila hal tersebut dilanggar maka dapat menyebabkan
sakitnya kembali kambuh. Ibu NV berencana untuk melahirkan di
rumah dengan bantuan topo tawui yang sudah cukup
berpengalaman membantu persalinan.
Berdasarkan pengamatan peneliti, ada juga ibu hamil
yang rutin memeriksakan kehamilan ke bidan. Ibu HS adalah
orang Bugis dan baru sembilan bulan tinggal di Desa Wulai. Ia
bukan penduduk asli Desa Wulai, ia adalah warga pendatang.
Sebelumnya ia tinggal di daerah Sulawesi Tengah. Saat ini ibu HS
berusia 38 tahun sedang hamil enam bulan dan mengandung
anak ke sembilan. Ibu HS rajin datang ke Posyandu untuk
memeriksakan kehamilannya ke bidan. Pada kehamilan anak
sebelumnya ia tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke
bidan. Saat ini ia merasa perlu memeriksakan kehamilan ke bidan
dikarenakan usianya yang sudah di atas 30 tahun. Sebelumnya ia
melahirkan kedelapan anaknya dibantu oleh ibunya yang tinggal
di Sulawesi Tengah.
Disamping memeriksakan kehamilan ke bidan dan topo
tawui, ibu hamil di Desa Wulai juga ada yang memeriksakan
kehamilan ke dukun pijat yang bukan penduduk asli Desa Wulai.
Ia adalah orang Toraja, ia sudah tinggal di Desa Wulai hampir
sepuluh tahun. Untuk mengetahui masalah yang terjadi pada
kandungan ia akan meraba perut ibu hamil. Melalui teknik
meraba ia akan mengetahui apakah kandungan ibu hamil turun
atau terjadi kesalahan letak posisi bayi. Jika terjadi masalah ia
akan melakukan pemijatan pada perut ibu hamil. Untuk
memperbaiki kesalahan posisi bayi, ibu hamil akan dipijat satu
hingga tiga kali. Dalam satu hari ibu hamil yang mengalami
keluhan kehamilan dipijat sebanyak dua kali yaitu pagi dan sore
92
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
hari. Pemijatan yang dilakukan biasa dengan menggunakan
minyak kelapa ataupun minyak tawon. Dukun pijat memberikan
saran pada ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan pada bidan
terlebih dahulu.
Ibu hamil perlu disuntik anti tetanus ketika hamil untuk
mencegah terjadinya tetanus ketika melahirkan. Ibu hamil di
Desa Wulai kebanyakan telah mendapat suntikan tetanus ketika
hamil. Kebanyakan dari mereka disuntik di rumah mereka ketika
petugas imunisasi dari Puskesmas datang ketika pelaksanaan
Posyandu di setiap dusun.
3.1.4. Menjelang Persalinan
Aktivitas ibu hamil tidak berbeda dengan aktivitas ibu
lainnya sewaktu tidak hamil. Ibu hamil biasanya melakukan
pekerjaan rumah tangga dan pergi berkebun. Kebanyakan suami
ibu hamil hanya membantu pekerjaan rumah seperti mencuci
dan memasak manakala ibu hamil sedang sakit atau kurang enak
badan saja.
Pada saat menjelang persalinan agar nantinya persalinan
dapat dilakukan dengan normal dan tidak ada kendala, ibu hamil
dianjurkan untuk aktif bekerja dan mengangkat beban berat.
Masyarakat menganggap ketika hamil sebaiknya ibu hamil tetap
beraktivitas seperti biasanya terutama menginjak usia kehamilan
di atas tujuh bulan. Ibu hamil disarankan untuk tetap berkebun
sekalipun untuk menuju kebun ditempuh dengan mendaki. Jarak
kebun dari rumah mereka tergolong jauh yaitu ditempuh 30
menit berjalan kaki. Seperti halnya yang dilakukan oleh ibu hamil
SH yang pernah ditemui peneliti sedang memikul tumpukan
kelapa di pundaknya pada saat usia kehamilannya sembilan
bulan.
Masyarakat menganggap dengan aktif bekerja dan
mengangkat beban berat dapat membuat pinggul ibu menjadi
93
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
longgar sehingga nantinya proses persalinan tidak susah. Selain
itu menjelang waktu melahirkan dianjurkan juga membuka
semua pintu dan jendela supaya ibu tidak susah melahirkan
karena semua jalan lahir sudah terbuka. Ibu hamil dianjurkan
minum madu dicampur telur atau minum susu menjelang
persalinan untuk menambah stamina ibu hamil ketika
melahirkan.
Ketika waktu persalinan semakin dekat, suami ibu hamil
akan membangun pondok di dekat rumah untuk tempat
melahirkan. Bagi sebagian masyarakat Kaili Da’a Wulai terutama
yang tinggal di Dusun Saluwu, ibu hamil tidak boleh melahirkan di
rumah yang sehari-hari ia tinggali. Hal itu dimaksudkan agar
persalinan lancar dan tidak mendapat gangguan dari roh halus
seperti setan. Jika persalinan diganggu setan dikhawatirkan
keselamatan ibu dan bayi akan terancam. Selain itu lantai pondok
yang terbuat dari bambu membuat darah ibu ketika melahirkan
dapat langsung mengalir ke bawah. Pondok kecil yang dibuat di
dekat rumah berupa rumah tinggi yang terbuat dari bambu. Atap
yang digunakan juga tidak boleh menggunakan seng melainkan
harus atap rumbia. Seperti halnya penuturan topo tawui SM
berikut ini:
“Dibikinkan pondok lagi kecil disedia tempat. Kalo yang
dulu to tidak sama kalo rumah dulu begitu memang
biasa tidak sama seperti sekarang kalo disini biasa tidak
baik untuk anak melahirkan siapa tau dia lahir mati,
karena itu barang ini seperti yang dulu to harus ikut
nenek moyang. Dibikin atapnya tidak bisa dibikin atap
seng gini, biar satu lembar asal rumbia.”
Sebelum membuat pondok, topo tawui akan melakukan
ritual untuk menentukan lokasi pondok yang baik. Awalnya topo
tawui akan memasukkan air ke dalam bambu dan kemudian
membaca mantera. Setelah itu air ditutup dengan daun tanpa
94
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
diikat dengan tali. Ia kemudian membalik bambu hingga bagian
yang tertutup daun menjadi bagian bawah. Selanjutnya topo
tawui akan mengelilingi tiang pondok yang ditanam sebanyak
tiga kali. Jika air di bambu tidak tumpah maka lokasi tersebut
dianggap sebagai lokasi yang tepat untuk membangun pondok.
Hal itu dikarenakan pada lokasi tersebut terdapat makhluk yang
dianggap dapat menjaga keselamatan.
Setelah lokasi rumah ditentukan maka suami ibu hamil
akan membangun pondok. Ketika ibu hamil sudah mulai sakit
perut, maka ibu hamil akan pindah ke pondok. Selesai melahirkan
ibu hamil dapat kembali ke rumah tempat tinggalnya sehari-hari.
Pondok yang telah dibangun untuk bersalin pun dapat mereka
tempati maupun mereka tinggalkan begitu saja hingga hancur.
Pondok yang digunakan untuk melahirkan tidak boleh dibakar
apabila tidak digunakan. Mereka mempercayai apabila pondok
tersebut dibakar dapat membuat bayi maupun ibunya sakit.
Seperti halnya penuturan SM berikut ini:
“…kasih tinggal atau dihancurkan terserah tapi tidak bisa
dibakar. Kalo itu dibakar itu bisa sakit itu dia juga to,
entah itu anaknya sakit mamanya sakit. Biar satu kayu
tidak ada yang dibakar.”
3.1.5. Proses Persalinan
Kebanyakan ibu hamil di Desa Wulai lebih memilih
melahirkan (mangote ngana) di rumah dengan dibantu keluarga
dan dukun (topo tawui) daripada melahirkan di fasilitas
kesehatan seperti di Poskesdes dengan ditolong tenaga
kesehatan (bidan). Mereka menganggap persalinan normal
adalah persalinan yang dilakukan di rumah tanpa dibantu bidan.
Selain itu menurut mereka melahirkan di rumah merupakan
sesuatu yang wajar dan sudah turun temurun dilakukan oleh
95
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
keluarga mereka. Adapun alasan lain untuk melahirkan di rumah
dikarenakan mereka merasa malu apabila melahirkan ditolong
bidan alat kelamin mereka akan terlihat.
Pihak yang terlibat dalam persalinan yang dilakukan di
rumah adalah keluarga dari ibu bersalin dan dukun tiup (topo
tawui). Topo tawui adalah dukun yang dapat menyembuhkan
semua penyakit namun tidak semua topo tawui dapat membantu
melahirkan. Selain topo tawui terkadang keluarga juga
memanggil pendeta untuk turut berdoa agar proses persalinan
berjalan lancar. Sedangkan anggota keluarga yang terlibat dalam
persalinan adalah suami dan orang yang dituakan seperti ibu dari
ibu bersalin, kakek atau nenek atau tante.
Adapun teknik melahirkan di rumah yang dilakukan yaitu
dengan cara duduk diatas bangku kecil yang terbuat dari kayu.
Dalam posisi duduk kaki ditekuk dan dibuka lebar sembari
berpegang pada kain yang digantungkan di tiang rumah. Pada
saat akan melahirkan ibu biasa memakai sarung yang digunakan
untuk menutupi dada hingga kaki. Terkadang perut bagian atas
diikat dengan menggunakan sarung atau bisa juga dipegangi
sendiri. Suami ibu hamil memeluk ibu yang akan melahirkan dari
belakang.
Pada saat persalinan berlangsung topo tawui memberikan
tiupan dan mantera agar bayi segera lahir dengan selamat. Selain
itu topo tawui juga akan memberikan air putih yang telah ditiup
kepada ibu pada saat menjelang persalinan. Topo tawui
menganggap sakit perut yang dialami ibu yang akan melahirkan
dikarenakan bayi didalam kandungan sedang mencari jalan
keluar. Topo tawui akan mengusap bagian punggung dan kepala
ibu sembari membacakan dowa (mantera) apabila bayi sudah
mau keluar. Menurut mereka apabila setelah ditiup maka rasa
sakit di perut ibu akan berkurang. Apabila sakit perut kembali
96
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
datang dan dalam satu jam bayi belum keluar, maka topo tawui
akan meniupnya kembali. Berikut penuturan topo tawui SM:
“…kita liat dulu to sakitnya kalo mau keluar baru kita
ditiup karena itu anak-anak didalam begitu satu jam atau
setengah jam dia masih berputar-putar to. Kalo satu jam
belum keluar ditiup lagi.”
Tiupan yang dilakukan topo tawui sembari membaca
mantera dimaksudkan agar bayi segera lahir. Tiupan ini juga
bertujuan untuk mengusir roh halus atau setan yang dapat
mengganggu ibu selama proses persalinan. Selain topo tawui
yang mendampingi ibu bersalin, keluarga ibu yang dituakan akan
duduk di dekat lutut ibu untuk mengambil bayi ketika sudah lahir.
Gambar 3.1.
Proses persalinan yang dilakukan dirumah
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bayi yang telah lahir kemudian diangkat oleh orang yang
dituakan. Selain itu orang yang dituakan juga akan menunggu
hingga ari-ari bayi keluar. Apabila tali pusat atau air-ari tidak
97
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
keluar, maka orang yang dituakan akan membantu
mengeluarkannya. Ketika tali pusat (valaampuse) sudah
dikeluarkan maka tali pusat dipotong dengan menggunakan
bambu (volo) yang diruncingkan.
Gambar 3.2.
Alat untuk memotong tali pusat bayi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kemudian panjang tali pusat diukur terlebih dahulu
hingga sepanjang lutut bayi. Setelah itu untuk menentukan
bagian mana yang akan dipotong akan dicari bagian yang tipis
pada bagian tulang rawan tali pusat untuk selanjutnya dilakukan
pemotongan. Pemotongan tali pusat dilakukan dengan
menggunakan bambu yang diruncingkan dengan ubi jalar sebagai
alas penopang. Hal itu dilakukan untuk memudahkan
pemotongan tali pusat yang licin. Tali pusat yang telah dipotong
kemudian diikat dengan benang jahit atau benang yang lebih
kuat dari benang jahit yang didapat dari hutan (valagombe). Tali
pusat diberi kunyit yang telah ditumbuk halus atau obat merah
untuk mengobati luka bayi akibat pemotongan tali pusat.
98
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Tali pusat bayi yang baru lahir biasanya dikeringkan.
Setelah kering kemudian dibungkus dengan kain untuk dijadikan
kalung, diikat di pinggang maupun disimpan begitu saja. Pada
umumnya masyarakat Wulai menganggap plasenta adalah
saudara si bayi dan harus diperlakukan dengan baik. Plasenta
(tavuni) bayi dicuci hingga bersih kemudian dibungkus dengan
kain kemudian diikat dan selanjutnya dikubur di pekarangan yang
berdekatan dengan tiang rumah oleh ayah si bayi. Apabila pada
malam hari bayi rewel maka orangtuanya akan meletakkan pelita
diatas tempat mengubur ari-ari.
Proses persalinan di rumah salah satunya terjadi pada ibu
SH. Ketika peneliti menemui ibu SH pertama kali, ibu SH sedang
hamil sembilan bulan dan dari pertemuan awal dengan ibu SH
terlihat bahwa ibu SH berencana melahirkan dibantu dengan
bidan. Dua minggu kemudian ibu SH melahirkan di rumah dengan
dibantu keluarganya dan topo tawui. Berikut penuturan tante ibu
SH yaitu ibu SR yang menceritakan kronologis proses melahirkan
ibu SH:
“Ibu Sh sudah melahirkan jam 7 pagi tadi. Melahirkan
dengan cara berduduk pakai bantal. Sakitnya tidak
sampai satu jam. Saya bantu di depan memegang
perutnya, kasih turun anak. Suaminya Sherly di belakang,
baku ganti. Tidak sampai satu jam keluar bayi. Tali pusar
dipotong oleh papa Steven pakai bambu. Ketika
melahirkan banyak mengeluarkan darah, ditiup saja. Ibu
Sherly sudah melahirkan jam 7 pagi tadi. Melahirkan
dengan cara berduduk pakai bantal. Sakitnya tidak
sampai satu jam. Saya bantu di depan memegang
perutnya, kasih turun anak. Suaminya Sherly di belakang,
baku ganti. Tidak sampai satu jam keluar bayi. Tali pusar
dipotong oleh papa Steven pakai bambu. Ketika
melahirkan banyak mengeluarkan darah, ditiup saja.”
99
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Apabila bidan mengetahui ada ibu hamil yang akan
melahirkan, biasanya bidan akan menyarankan agar ibu
melahirkan di Poskesdes. Seringkali bidan mendapatkan
penolakan apabila harus meminta ibu ke Poskesdes. Hingga
mereka pun ada yang seolah terpaksa melahirkan di Poskesdes.
Seperti halnya penuturan TR berikut ini:
“Ya melahirkan di Pustu dulu itu, mau gimana bidan
tidak mau pergi-pergi (pergi dari rumah). Dia (bidan)
tunggu disini lama terus bawa letnan (pendeta), ya mau
gimana lagi.”
Untuk mendapatkan informasi siapa saja ibu hamil yang
sudah melahirkan di rumah, biasanya bidan meminta bantuan
kader kesehatan untuk memberikan informasi. Jika ada ibu hamil
yang melahirkan di rumah akan didenda 300-500 ribu. Namun
peraturan ini tidak dapat diterapkan ke semua warga. Hal itu
harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian keluarga di Desa
Wulai. Jika tidak mampu maka denda tidak diterapkan. Jika ibu
hamil melahirkan di rumah tidak memiliki jamkesmas dan
memanggil bidan untuk membantu melakukan persalinan di
rumah dikenakan biaya Rp. 300-500 ribu.
Apabila ada ibu yang akan melahirkan dan bidan tidak
dapat menangani persalinan biasanya ibu akan dirujuk ke RSUD
Kab. Mamuju Utara atau Rumah Sakit Undata di Palu. Bidan akan
berkonsultasi terlebih dahulu melalui telepon apakah pasien
dapat ditangani di RSUD Kab Mamuju Utara dan apabila tidak
dapat ditangani biasanya bidan akan segera melakukan rujukan
ke Palu. Bidan membantu mengurus proses rujukan pasien,
apabila pasien tidak memiliki kartu jamkesmas bidan akan
membantu mengusahakan dengan meminjamkan kartu
jamkesmas milik orang lain. Pasien yang akan dirujuk biasanya
dijemput dengan menggunakan ambulans. Apabila merujuk
pasien ke rumah sakit kabupaten maka harus membayar biaya
100
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
ambulans sebesar Rp. 150.000 untuk sekali jalan. Sedangkan
apabila dirujuk ke Rumah sakit Undata Palu maka biaya ambulans
sebesar Rp. 850.000 untuk sekali jalan.
3.1.6. Masa Nifas
Untuk mengeringkan vagina setelah melahirkan dapat
dilakukan dengan cara menggunakan air hangat yang disiramkan
ke vagina. Sedangkan untuk memperlancar keluarnya darah
pasca melahirkan dapat menggunakan ampas buah papaya. Buah
papaya dipanggang diatas api, kemudian ditempelkan di perut
untuk mengurangi rasa sakit perut. Hal ini dilakukan sampai rasa
sakit perut hilang dan agar sisa-sisa darah keluar sedikit demi
sedikit. Adapun untuk menghentikan darah yang keluar pasca
melahirkan biasanya topo tawui akan meniup bagian perut ibu
sembari membaca mantra agar darah cepat berhenti. Apabila hal
itu dilakukan biasanya masa nifas hanya berlangsung sekitar 15
hingga 30 hari.
Bagi ibu yang melahirkan dengan dibantu oleh topo tawui,
terdapat pantangan makanan setelah melahirkan. Biasanya
mereka tidak diperbolehkan memakan cabe yang berwarna
merah dan minyak kelapa. Jika hal ini dilanggar maka pengaruh
dari tiupan akan hilang sehingga ibu hamil membutuhkan waktu
lama untuk pulih. Pemulihan kondisi tubuh pasca melahirkan
biasa dilakukan dengan cara mengkonsumsi obat. Bagi ibu yang
melahirkan di rumah, maka biasanya mereka meminum obat
antibiotika bermerk AM yang dijual bebas di warung. Obat yang
dibeli seharga seribu rupiah per tablet diminum sehari sekali
untuk meringankan rasa nyeri yang dirasakan pasca melahirkan
agar dapat berangsur sembuh. Menurut mereka obat saja tidak
cukup untuk membantu memulihkan kondisi tubuh mereka
seperti diungkapkan informan SH berikut, “Kalo cuma minum
obat tidak sehat kita.”
101
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Selain meminum obat, mereka juga menggunakan air
yang telah ditiup oleh topo tawui, hal ini dilakukan untuk
mengembalikan kondisi ibu pasca melahirkan agar kembali sehat.
Air tiupan topo tawui berfungsi untuk mengeringkan atau
mempercepat penghentian darah. Biasanya topo tawui
memberikan air sebanyak 1,5 liter yang sudah dibacakan mantera
dan ditiup. Air tersebut dapat dicampur dengan air biasa untuk
dipakai mandi. Semangkok air yang ditiup dicampur dengan
seember air yang biasa digunakan untuk mandi. Apabila air yang
ditiup telah habis maka mereka dapat meminta kembali kepada
topo tawui.
Agar kondisi ibu cepat pulih pasca melahirkan, ibu juga
dianjurkan untuk banyak makan. Menu makanan yang
dikonsumsi ibu sama halnya yang biasa dikonsumsi setiap harinya
yaitu nasi dan sayur. Terdapat pantangan makanan yang
diberikan oleh topo tawui bagi ibu pasca melahirkan di rumah,
seperti halnya ibu SH yang tidak boleh makan sayur nangka
karena apabila dikonsumsi dapat membuat tubuh sakit. Jenis
sayur yang dapat dikonsumsi seperti sayur daun ubi, sayur daun
paku, dan daun keladi yang mereka masak dengan menggunakan
kuah santan. Lauk pauk seperti ikan juga mereka konsumsi,
namun hal itu juga tergantung ada tidaknya uang untuk membeli
ikan. Selain mengkonsumsi makanan seperti nasi dan sayur.
Pemulihan kondisi tubuh pasca melahirkan juga biasa mereka
lakukan dengan meminum susu. Biasanya susu diminum setiap
hari agar tubuh kembali pulih. Seperti halnya ibu SH yang kami
temui pada pasca melahirkan rutin meminum susu cap EN setiap
hari.
Setelah melahirkan bagi ibu yang belum memiliki
keinginan untuk segera memiliki anak lagi maka mereka
menggunakan alat kontrasepsi. Adapun alat kontrasepsi yang
paling banyak digunakan adalah pil KB. Mereka biasa membeli pil
102
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
KB di Poskesdes setiap satu bulan sekali seharga lima ribu rupiah.
Sedangkan di Dusun Saluwu kader Posyandu biasa mendatangi
Poskesdes untuk membeli pil KB yang telah dipesan oleh warga
dusun. Jarak dari Dusun Saluwu menuju Poskesdes di Dusun
Watubete ditempuh selama ± 45 menit dengan berjalan kaki
sehingga mereka meminta bantuan kader untuk membelikan pil
KB.
Tabel 3.1. Distribusi Jenis Alat Kontrasepsi yang digunakan PUS
di Desa Wulai Tahun 2013
Dusun
Jml PUS
Suntik
Jenis Kontrasepsi
Tidak
Pil
Implan
KB
Saluwu
21
3
10
0
8
Watubete
81
11
22
30
18
Wulai
64
13
31
8
12
Sinjanga
61
4
12
15
30
Total
277
31
75
53
68
Sumber: Data Poskesdes Wulai
Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui dari keseluruhan
277 PUS di Desa Wulai sebanyak 68 PUS tidak menggunakan alat
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan 30 PUS diantaranya
merupakan warga Dusun Sinjanga. Jenis kontrasepsi suntik
kurang diminati oleh PUS yaitu hanya 31 orang disusul kemudian
implan sejumlah 53 orang. Meskipun demikian alat kontrasepsi
jenis implan tidak diminati masyarakat di Dusun Saluwu.
Masyarakat Desa Wulai juga mempunyai obat kampung yang
dapat digunakan untuk mencegah kehamilan seperti dengan
meminum air rebusan daun sinaguri.
103
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.1.7. Masa Menyusui
Pada umumnya bayi yang baru lahir di Desa Wulai tidak
langsung diberikan ASI, mereka menganggap bayi yang baru lahir
masih kenyang setelah sekian lama didalam perut ibu.
Masyarakat di Desa Wulai biasanya baru akan memberikan ASInya setelah tiga hari. Sebelum tiga hari mereka akan memberikan
air teh manis kepada bayinya. Hal ini menandakan kebanyakan
ibu tidak melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) ketika bayinya
baru lahir.
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dipercaya akan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit-penyakit
yang berisiko kematian tinggi. Misalnya kanker syaraf, leukemia,
dan beberapa penyakit lainnya. Jika bayi diberi kesempatan
menyusu dalam satu jam petama dengan dibiarkan kontak kulit
ke kulit ibu maka 22% nyawa bayi di bawah 28 hari dapat
diselamatkan (Dinartiana, 2011).
Sebagian besar ibu di Desa Wulai juga tidak memberikan
air susu yang pertama kali keluar (kolostrum) kepada bayinya.
Mereka menganggap kolostrum tersebut tidak baik diberikan
pada bayi karena dapat membuat bayi sakit, seperti pernyataan
informan DC berikut ini:
“Dibuang saja. Kasih keluar dulu air kuning itu tidak baik
lagi untuk batetek. Kasih keluar dulu yang kuning itu.
Kalo sudah putih baru batetek. Dibuang saja itu.”
Ketika ibu DC baru melahirkan, ia tidak langsung
memberikan ASI kepada bayinya. Ia berpendapat setelah
berumur tiga hari bayi baru dapat diberikan ASI. Sebelum tiga
hari ia memberikan bayinya susu formula, seperti uraiannya
berikut ini:
104
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
“….kan belum menangis itu. Itu dulu kasih dot. Belum
kasih air susu kan itu 3 malam itu baru batetek. Itu kasih
dot. Itu susu anu SGM itu. SGM 1. Masih baru lahir 1
malam itu kan sudah menangis dia. Tiga malam baru bisa
kita batetek. Semua begitu disini. Disini biasa tiga malam
kalo belum menangis tidak dikasih apa-apa.”
Berbeda halnya dengan kebanyakan ibu lainnya, ibu ET
memberikan air susu yang pertama kali keluar (kolostrum)
kepada bayinya. Ibu ET melakukan hal ini karena menurutnya
kolostrum bermanfaat bagi kesehatan bayi. Pengetahuan tentang
manfaat kolostrum ia dapatkan dari penjelasan bidan Desa Wulai.
Gambar 3.3.
Ibu yang sedang menyusui bayinya
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ibu yang sedang menyusui memiliki pantangan makanan
yaitu makanan yang digoreng. Mereka menganggap gorengan
mengandung minyak yang akan membuat kulit bayinya menjadi
luka. Makanan yang digoreng mengandung minyak, merupakan
salah satu larangan bagi bayi yang belum melakukan adat Powati.
105
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada umumnya bayi yang baru lahir tidak langsung di-Powati.
Anak yang belum di-Powati berpantang mengkonsumsi makanan
yang mengandung minyak, karena dipercaya dapat membuat
kulit luka. Untuk memperlancar keluarnya ASI, biasanya mereka
meminum susu. Selain meminum susu, ibu menyusui di Desa
Wulai juga mengkonsumsi sayur agar air susu menjadi banyak
dan memperlancar ASI-nya. Menurut mereka sayur daun papaya
dapat memperlancar ASI dan baik untuk ibu menyusui.
3.1.8. Neonatus dan Bayi
Pada umumnya bayi di Desa Wulai langsung dimandikan
sesaat setelah dilahirkan dengan menggunakan air dingin.
Mereka menganggap tubuh bayi yang baru lahir kotor karena
terkena darah ibunya, sehingga harus segera dimandikan.
Memandikan bayi yang baru dilahirkan dimaksudkan agar bayi
tidak sakit, seperti halnya penuturan SM berikut, “Pokoknya kalo
sudah lahir baru dikasih mandi itu. Kalo tidak dikasih mandi anak
itu sakit menanggis terus.”
Apabila bayi baru lahir sakit, maka dapat dimandikan
dengan menggunakan air yang sudah ditiup oleh topo tawui.
Selain dimandikan dengan air yang sudah ditiup topo tawui,
apabila bayi demam juga dapat dimandikan dengan air yang
sudah dicelupkan tali pusat yang sudah dikeringkan. Tindakan ini
dianggap dapat membuat bayi kembali sehat.
Bayi yang baru lahir memiliki pantangan tidak boleh
dibawa keluar rumah selama tiga hari sebelum dibuatkan adat
turun tanah (nitau). Masyarakat mempercayai apabila bayi keluar
rumah sebelum di-nitau maka bayi akan diganggu oleh makhluk
halus atau setan. Menurut masyarakat jika bayi diganggu setan
maka bayi akan sakit. Apabila bayi lahir di Poskesdes biasanya
satu hari setelah lahir bayi dibawa pulang ke rumah dan tidak
106
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
boleh ke luar rumah sampai tiga hari. Ibu dari si bayi tetap tinggal
di Poskesdes sampai selesai masa pemulihan.
Bayi yang belum di-nitau memiliki pantangan tidak boleh
ditertawakan oleh orang dewasa karena dipercaya akan terjadi
hal yang tidak diinginkan seperti munculnya petir (kebulu) secara
tiba-tiba. Selain itu, masyarakat khususnya di Dusun Saluwu
menganggap apabila anak yang belum di-nitau tidak boleh
dipegang orang selain keluarganya. Apabila hal tersebut
dilanggar maka anak dapat sakit, seperti penjelasan informan SM
berikut, “Tidak boleh kalo kita belum pegang itu tidak boleh ada
yang berpegang apalagi menyuntik.”
Gambar 3.4.
Bayi yang sedang tidur di ayunan (loa)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada malam sebelum acara nitau, dilakukan pemotongan
ayam. Daging ayam kemudian dioleskan ke mulut si bayi.
Selanjutnya jengger ayam diiris dengan parang dan darahnya
dioleskan ke dahi si bayi. Keesokan harinya bayi akan menjalani
ritual nitau dimana sebelumnya telah diletakkan beberapa
perlengkapan di depan tangga rumah. Perlengkapan ini
tergantung dari bayi yang di-nitau termasuk anak dari pihak
107
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bapak atau ibu. Secara adat anak dibagi menjadi dua yaitu anak
bapak atau anak ibu. Anak ibu berada pada urutan ganjil
kelahiran sedangkan anak bapak berada pada urutan genap. Jika
anak yang di-nitau adalah anak ibu maka proses adat yang
dilakukan seperti perlengkapannya mengikuti adat ketika ibunya
di-nitau, begitu pula sebaliknya dengan anak bapak.
Ketika ritual nitau dilakukan, di depan tangga rumah
diletakkan daun goronasi dan daun kunyit yang diikat dengan
kapak untuk bayi perempuan atau parang untuk bayi laki-laki.
Setelah itu, orangtua si bayi mengaliri air ke kepala bayi dengan
menggunakan batang pisang. Kemudian dahi bayi digosok
dengan kelapa dan kunyit. Selanjutnya orangtua bayi akan
menginjak daun goronasi dan kunyit yang telah diikat dengan
parang atau kapak. Kemudian orangtua bayi akan mengelilingi
halaman rumah sebanyak tiga kali. Setelah itu untuk bayi
perempuan orangtua bayi akan mencabut rumput di sekitar
halaman rumah. Sedangkan untuk bayi laki-laki akan menanam
tanaman. Tindakan ini dilakukan agar nantinya ketika dewasa
anak tersebut tidak malas bekerja. Jenis tanaman yang biasa
ditanam adalah kelapa dan pisang. Buah dari tanaman yang
ditanam tidak boleh diambil orang lain. Hanya anak yang di-nitau
yang boleh pertama kali memetik buahnya. Hal ini dilakukan agar
rezeki anak tersebut tidak diambil orang lain.
Setelah menanam tanaman, bayi kemudian dibawa masuk
ke dalam rumah. Biasanya acara nitau dilakukan dengan
mengundang keluarga dekat dan topo tawui yang membantu
proses kelahiran. Ayam yang telah dipotong tersebut kemudian
dibakar. Mereka kemudian menyiapkan tujuh buah nasi yang
dibungkus daun lopi. Dua bungkus diberikan pada topo tawui
yang menolong persalinan untuk digosokkan pada lututnya agar
badan menjadi kuat. Kemudian dua bungkusan nasi tersebut
dibuang ke belakang. Lima buah nasi yang lainnya dibawa pulang
108
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
oleh topo tawui. Apabila bayi sudah di-nitau maka bayi sudah
boleh dibawa keluar rumah.
Gambar 3.5.
Ritual nitau
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Mengenai imunisasi, pada umumnya bayi yang dilahirkan
di rumah dengan bantuan topo tawui tidak langsung mendapat
imunisasi. Mereka baru diimunisasi ketika bidan mendapatkan
informasi dari kader bahwa ada ibu yang baru saja melahirkan.
Kemudian bidan akan mendatangi rumah ibu bersalin dan
melakukan imunisasi pada bayi. Terkadang bidan mendapat
penolakan dari keluarga bayi saat akan melakukan imunisasi,
seperti halnya ibu SH yang melahirkan di rumah, ia sempat
menolak kehadiran bidan yang akan mengimunisasi anaknya.
Namun setelah mendapat penjelasan barulah ia mau
mengimunisasi anaknya. Ibu SH tidak menginginkan bayinya
disuntik karena khawatir setelah disuntik bayinya sakit dan ia
tidak bisa beristirahat di malam hari, seperti penjelasannya
berikut ini:
109
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Naeka aku, nageo navengina anek noupuni suntik. Da’a
mala mama turu.”
(Takut saya, biasa dia menangis malamnya kalo habis
disuntik. Tidak bisa mamanya ini tidur)
Begitu pula dengan ibu TD, ia mengaku tidak pernah
mengimunisasi anaknya dikarenakan ibunya melarang ia
mengimunisasi anaknya. Ibu dari ibu TD berpendapat jika bayi
diimunisasi tidak akan cocok dengan darah si bayi. Hal ini
kemudian dapat membuat bayi menjadi sakit setelah diimunisasi.
“Kata Neneknya itu tidak cocok dia disuntik karena
darahnya tidak cocok untuk disuntik. Biasanya kalo
disuntik anaknya dapat sakit atau kenapa. Biasanya kalo
tidak cocok untuk disuntik itu sakit terus itu (ibu TD).”
Perihal pemberian ASI eksklusif, sebagian besar bayi di
Desa Wulai telah mendapatkan makanan selain ASI sebelum usia
enam bulan. Apabila ASI tidak mencukupi biasanya bayi diberikan
susu formula. Seperti halnya bayi RF yang meminum susu
formula karena ASI tidak cukup. Selain diberi ASI atau susu
formula, bayi juga sudah diberi makanan tambahan seperti bubur
pada usia kurang dari enam bulan. Seperti halnya bayi ibu SH
yang pada usia enam hari sudah diberi bubur instan. Ia
memberikan bayinya bubur karena bayinya menangis terus dan
tidak mau diberi ASI. Menurutnya bayinya menangis terus
karena lapar, seperti penjelasannya berikut ini:
“Na melo panggoni, da’a dota aku betetek. na melo
panggoni, anek vai tetek da’a dotaku na melo
panggoni.”
(Kan dia cari makan to, tidak mau dia betetek. Cari
makan itu dia. Kalo kasih tetek tidak mau berarti dia cari
makan)
110
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Hal serupa diutarakan ibu SA yang juga telah memberikan
makanan tambahan pada bayinya saat usia bayi tiga bulan.
Makanan tambahan yang diberikan berupa pisang yang dikerok
dan disiram dengan air panas kemudian dihaluskan dengan air.
Selain pisang, terkadang bayi juga diberikan ubi rebus yang
dihaluskan dan ditambahkan air. Disamping itu ada juga ibu yang
memberikan nasi yang dicampur dengan air yang ditambahkan
sedikit garam. Makanan pendamping ASI diberikan dua kali
sehari pada bayinya yaitu pada pagi dan sore hari.
Gambar 3.6.
Balita disuapi nasi dicampur dengan air
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada umumnya bayi yang baru lahir tidak langsung diberi
nama oleh keluarganya. Keluarga hanya memanggil dengan
sebutan ‘dei’ yang berarti adik. Penolong persalinan seperti bidan
maupun pendeta biasa memberikan nama untuk bayi. Gereja
Bala Keselamatan juga turut mendoakan dan menyerahkan bayi
(anak) kepada Tuhan dalam acara penyerahan bayi. Setelah bayi
diberi nama baru kemudian dapat mengikuti acara ini.
Penyerahan bayi (anak) dimaksudkan agar Tuhan menyertai
kehidupan anak mereka dan memberikan keselamatan dalam
111
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hidup. Biasanya bayi berumur mulai dari kurang satu bulan
hingga anak remaja yang belum diserahkan oleh orangtuanya
sewaktu kecil juga bisa mengikuti acara ini. Bayi atau anak akan
mendapatkan surat penyerahan dari gereja yang dapat
digunakan sebagai syarat untuk mendaftar sekolah dan
pernikahan karena tanpa surat penyerahan dapat dikenai denda
berupa uang. Acara penyerahan bayi (anak) biasa dilakukan
dalam satu tahun sekali. Pada saat penelitian berlangsung
terdapat acara penyerahan bayi (anak) yang dihadiri oleh
pendeta dari luar desa. Penyerahan bayi juga menjadi salah
bentuk pencatatan yang dilakukan oleh gereja disamping
pencatatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Gambar 3.7.
Acara Penyerahan Bayi (Anak)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Acara penyerahan bayi diawali dengan ibadah yang
dipimpin oleh pendeta. Setelah melakukan ibadah maka pendeta
memanggil satu per satu anak yang akan diserahkan beserta
112
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
orangtuanya dan kemudian pendeta mendoakan keselamatan
anak dibawah bendera Bala Keselamatan.
3.1.9. Anak dan Balita
Untuk memantau kesehatan dan perkembangan balita di
Desa Wulai, maka dilaksanakan kegiatan Posyandu di lima dusun
setiap bulannya. Posyandu dilaksanakan bergiliran, dimulai dari
Dusun Sinjanga pada tanggal lima, Dusun Wulai Satu pada
tanggal enam, Dusun Watubete pada tanggal tujuh, Dusun
Saluwu pada tanggal delapan dan terakhir Dusun Ujung baru
pada tanggal sembilan. Pelaksanaan Posyandu dilakukan di salah
satu rumah kader Posyandu kecuali di Dusun Watubete dilakukan
di Poskesdes Desa Wulai.
Gambar 3.8.
Pelaksanan Posyandu di Dusun Watubete
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Posyandu Dusun Watubete bernama “Posyandu Sayang
Ibu dan Anak” yang sampai dengan bulan Mei 2014 jumlah balita
113
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
di ini sebanyak 58 balita. Berdasarkan catatan kader Posyandu
Watubete pada bulan Mei balita yang datang ke Posyandu
sebanyak 30 orang. Dari 30 balita tersebut 20 balita adalah Etnik
Kaili Da’a dan sepuluh orang dari Etnik Bugis, Makassar dan
Mandar dengan jumlah yang Bawah Garis Merah (BGM) 3 balita.
Biasanya balita yang tidak datang akan disuruh datang
menimbang pada hari minggu di gereja.
Mengenai gizi balita, di Desa Wulai tidak ditemukan balita
yang gizi buruk ataupun gizi kurang. Namun pada pelaksanaan
Posyandu Dusun Watubete di bulan April 2014 ditemukan tiga
balita BGM. Salah satu balita BGM adalah FF berumur 14 bulan
dengan berat badan 6,5 kg. Berat badann FF pada waktu lahir
sebesar 2,2 kg. FF merupakan peserta Posyandu yang setiap
bulan aktif melakukan penimbangan. Pada saat FF dinyatakan
sebagai balita BGM maka kader kemudian mengukur tinggi badan
FF. Kader Posyandu kemudian melaporkan kepada bidan
mengenai temuan balita BGM. Bidan kemudian berkoordinasi
dengan pihak Puskesmas untuk memberikan susu bagi balita
BGM. Sehari-hari FF biasa makan dua kali sehari yaitu pagi dan
sore hari berupa nasi yang diberi air dan ditambahkan sedikit
garam. FF mulai diberi makan pada saat usianya mencapai enam
bulan dan hingga saat ini FF masih mendapatkan ASI dari ibunya.
Pada bulan lalu berat badan FF mengalami penurunan dari yang
semula 6,6 kg menjadi 5,5 kg. Menurut ibu FF hal tersebut
dikarenakan FF sering sakit.
Menurut ibu DM seorang kader dari etnik Kaili Da’a yang
telah menjadi kader selama 10 tahun, sekarang etnik Kaili Da’a
telah banyak berubah sudah banyak yang mau ke Posyandu dan
diimunisasi. Sebelum ada kader dari etnik Kaili Da’a kebanyakan
etnik Kaili Da’a tidak mau anaknya diimunisasi karena takut
anaknya panas akibat reaksi dari vaksin imunisasi, selain itu juga
karena ada faktor orang tua malas membawa anaknya ke
114
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Posyandu. Senada dengan yang diungkap oleh kader di Dusun
Watubete, demikan pula yang terjadi di Dusun Saluwu
sebagaimana penuturan DC berikut, “Kalo kata ibunya itu sakit.
Katanya liwat diimunisasi itu anaknya panas sudah.”
Kader Posyandu juga membantu bidan untuk memberikan
pengertian kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi,
namun hal tersebut tidak memberikan perubahan yang berarti.
Mereka hanya datang untuk mengetahui berat badan balitanya
dan setelah ditimbang biasanya mereka pulang. Bahkan
kebanyakan dari ibu balita cenderung tidak mendatangi
Posyandu pada saat anaknya harus diimunisasi. Upaya jemput
bola yang dilakukan kader dengan mengunjungi rumah balita
agar datang ke Posyandu telah dilakukan meskipun hasilnya
belum memuaskan.
Tabel 3. 2. Kunjungan Balita ke Posyandu di Desa Wulai
Tahun
Bulan
Jan
Feb
2013
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agsts
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Sasaran
(S)
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
KMS
(K)
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
183
2014
183
183
183
183
Sumber: Data Rekap Bidan Desa Wulai
Ditimbang
(D)
145
143
165
161
157
156
147
150
159
171
160
153
Naik
(N)
38
75
55
52
72
75
65
61
82
61
83
64
Persentase
(D/S)
79.21
78.14
84.69
87.98
85.79
85.25
85.25
81.97
86.89
93.44
87.43
83.61
147
155
147
58
63
67
80.33
84.69
80.33
115
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berdasarkan Tabel 3.2 menunjukkan bahwa dari
keseluruhan 183 balita di Desa Wulai lebih dari 75% di antaranya
telah ditimbang di Posyandu. Biasanya kegiatan Posyandu
dilakukan di rumah kader. Selain itu ada juga Posyandu yang
dilakukan dari rumah ke rumah seperti halnya Posyandu di Dusun
Saluwu.
Gambar 3.9.
Pelaksanaan Posyandu di Dusun Saluwu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sudah hampir satu tahun Posyandu di Dusun Saluwu
dilakukan dengan mengunjungi balita dari rumah ke rumah.
Sebelumnya Dusun Saluwu mendapatkan bantuan tempat untuk
kegiatan Posyandu dari yayasan Gereja Toraja-Mamasa (GTM)
yang terletak di depan gereja. Namun saat ini masyarakat
cenderung tidak datang setiap kegiatan Posyandu. Oleh sebab itu
kader memutuskan untuk mengunjungi satu persatu rumah
balita. Seperti halnya penuturan DC berikut ini:
“Orang disini tidak datang ke Posyandu dibilang
dumumkan ini datang batimbang di Posyandu tidak
datang terpaksa kita bu batimbang di rumahnya.”
116
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Kader Posyandu di Dusun Saluwu terdiri dari lima orang,
namun hanya tiga orang yang aktif. Dua diantaranya duduk
dibangku sekolah menengah pertama (SMP). Kegiatan Posyandu
di Dusun Saluwu seringkali dilakukan di sore hari setelah kader
pulang dari sekolah. Meskipun penimbangan balita sudah
dilakukan dari rumah ke rumah, namun masih ada juga balita
yang tidak ditimbang. Adapun alasannya ialah dikarenakan
orangtua yang turut membawa serta anaknya pergi berkebun.
Kader biasanya akan melakukan kunjungan ulang kerumah balita
pada sore hari yaitu setelah pulang dari kebun.
Berbeda halnya di Dusun Sinjanga, apabila ada balita yang
tidak hadir saat Posyandu, maka kegiatan penimbangan
dilakukan kembali pada hari minggu bersamaan dengan kegiatan
ibadah di gereja. Kader menyelipkan kegiatan penimbangan
sebelum atau sesudah ibadah di gereja.
Disamping
kegiatan
penimbangan
bayi/balita,
pemeriksaan kehamilan juga dilakukan di Posyandu, hanya saja
tidak semua ibu hamil di Desa Wulai datang ke Posyandu untuk
memeriksakan kehamilannya. Bidan Desa Wulai dan petugas
imunisasi dari Puskesmas Randomayang tidak selalu bisa hadir
dalam kegiatan Posyandu di semua dusun. Kondisi geografis Desa
Wulai yang dipisahkan oleh sungai di setiap dusunnya menjadi
kendala petugas imunisasi dari Puskesmas Randomayang untuk
mengunjungi Posyandu di setiap dusun. Namun pelayanan lima
meja pelayanan di Posyandu sudah tidak selengkap dahulu.
Pelayanan penimbangan dan pencatatan hasil timbangan yang
biasanya dilakukan.
3.2. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan
sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran
sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,
117
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya
sendiri (mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat (Depkes, 2011:7).
Terdapat sepuluh indikator PHBS yang telah ditetapkan
dalam mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan
rumah tangga. Sepuluh indikator tersebut antara lain
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI
eksklusif pada bayi, penimbangan balita setiap bulan,
menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan sabun,
menggunakan jamban sehat, memberantas jentik nyamuk,
mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas
fisik setiap hari dan tidak merokok di dalam rumah.
Beberapa indikator PHBS seperti pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI ekslusif, dan menimbang
balita setiap bulan, telah dibahas pada bagian sebelumnya.
3.2.1. Pemakaian Jamban
Pada tahun 1997, Desa Wulai mendapat bantuan
perumahan dari Dinas Sosial berupa rumah panggung sederhana
dan beratapkan seng. Bantuan perumahan tersebut dilengkapi
dengan fasilitas jamban jenis leher angsa sederhana. Jamban
tersebut dibangun terpisah dengan rumah utama. Jamban
ditutupi dinding yang terbuat dari anyaman kayu dan tanpa atap.
Seiring berjalannya waktu, dinding jamban sudah banyak yang
usang dan rusak. Adapun dinding jamban yang rusak biasa
mereka perbaiki sendiri dengan menutup terpal maupun karung
bekas. Pembangunan fasilitas jamban terhambat dikarenakan
akses terhadap ketersediaan air pada tiap-tiap rumah masih
kurang. Kurangnya ketersediaan air menjadi kendala bagi
masyarakat yang akan buang air besar. Apabila mereka hendak
buang air besar di jamban maka sebelumnya harus mengambil air
terlebih dahulu di sungai maupun sumur yang jaraknya cukup
118
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
jauh. Ketidaktersediaan air membuat masyarakat menutup
lubang pembuangan dengan kayu dan berharap kotoran dapat
segera hilang. Sehingga jamban bantuan tersebut banyak yang
rusak oleh karena sengaja dirusak maupun karena tidak
dimanfaatkan oleh pemiliknya.
Gambar 3.10.
Jamban milik warga bantuan dari Dinas Sosial
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada umumnya rumah di Desa Wulai saat ini tidak
dilengkapi dengan fasilitas jamban. Mereka memanfaatkan
sungai sebagai tempat untuk buang air besar. Tidak terdapat
lokasi tertentu di sungai yang mereka gunakan khusus untuk
membuang air besar. Sebagian masyarakat yang memiliki
kebiasaan buang air besar di sungai mengaku tidak bisa buang air
besar di jamban. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah
karena buang air besar di sungai lebih praktis, airnya banyak dan
arusnya deras, kotoran mereka pun dapat langsung terbawa arus
sungai, terlebih saat hujan tiba, seperti halnya penuturan
informan ES berikut, “Podo’ na bete leke uwe, anek WC dinjuju’
119
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ala kaku uwe.” (Enaknya koala besar, airnya kencang. Kalo WC
basiram lagi ambil air lagi).
Pada tahun 2013 Desa Wulai mendapat bantuan dua unit
WC umum dari calon anggota legislatif. WC umum tersebut
terletak di tengah desa berdekatan dengan kantor desa dan
kantor Badan Pembangunan Daerah (BPD). Pada umumnya WC
bantuan digunakan oleh masyarakat yang tinggal disekitar WC
umum itu. Masyarakat yang paling sering memanfaatkan WC
umum untuk keperluan mandi dan buang air besar adalah
masyarakat pendapatang seperti Etnik Bugis dan Mandar.
Sedangkan masyarakat Kaili Da’a jarang memanfaatkan fasilitas
WC umum. Mereka beralasan di WC umum tersebut tidak ada
airnya, mereka harus mengambil air terlebih dahulu di sumur
atau pipa air yang letaknya jauh dari WC umum.
3.2.2. Penggunaan Air Bersih
Selain bantuan perumahan dari Dinas Sosial, Desa Wulai
juga mendapat bantuan dari persatuan agama Kristen di
Australia. Pada tahun 2000-an mereka mendapat bantuan
berupa pembangunan saluran perpipaan air dari gunung.
Pembuatan pipa dilakukan secara bergotong royong oleh warga
masyarakat. Namun dari kelima dusun hanya dua dusun yang
mendapatkan bantuan tersebut yaitu Dusun Watubete dan
Dusun Saluwu. Berdasarkan pengamatan peneliti, air perpipaan
yang bersumber dari dari gunung tidak berwarna atau jernih.
Apabila hujan turun air menjadi keruh dan berwarna
kecokelatan. Seringkali air perpipaan tidak mengalir dikarenakan
sambungan pipa yang mengaliri rumah warga terputus saat
musim hujan. Jangkauan bantuan sumber air bersih berupa
saluran perpipaan tidak semuanya mengalir di seluruh rumah
warga. Adapun masyarakat yang ingin mengalirkan air ke
120
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
rumahnya maka sebelumnya harus membeli pipa terlebih
dahulu.
Selain air bersih yang bersumber dari gunung, pada
umumnya masyarakat Wulai memanfaatkan air sungai untuk
keperluan minum sehari-hari. Desa Wulai memang dikelilingi oleh
sungai di setiap dusunnya. Sebelum hujan turun sebagian besar
masyarakat mulai mengambil air sungai untuk keperluan
memasak ataupun minum. Hal itu dikarenakan apabila hujan
turun, air sungai akan meluap dengan aliran yang cukup deras.
Air sungai pun akan berwarna kecokelatan atau keruh. Hal ini
membuat masyarakat akan kesulitan untuk mengambil air yang
mereka anggap bersih. Meskipun mereka mengambil air sungai
untuk keperluan minum, namun tidak sembarang air yang bisa
mereka ambil. Hal itu dikarenakan sungai juga merupakan salah
satu tempat buang air besar. Mereka biasanya membuat sumur
terlebih dahulu sebelum mengambil airnya. Berikut penuturan
informan NK mengenai alasan untuk menggali sumur di sungai,
“Ah, nabelo uwe (air tak baik itu)... ada orang diatas kalo buang
air. Busuk itu tak baik.”
Mereka menganggap air yang berasal dari sumur yang
digali di sungai merupakan air yang baik atau bersih. Masyarakat
menganggap air kotor ialah air yang berbau dan berwarna
kekuningan atau kecokelatan. Selain digunakan untuk keperluan
sumber air minum. Air sungai juga dimanfaatkan masyarakat
untuk mandi. Mandi merupakan salah satu aktivitas yang
dilakukan untuk menjaga kebersihan tubuh. Sebagian besar
masyarakat Desa Wulai biasa mandi satu kali dalam sehari yaitu
sesudah pulang dari kebun. Sedangkan pagi hari sebelum
berangkat ke kebun mereka biasanya hanya mencuci muka saja.
Adapun kebiasaan menggosok gigi mereka lakukan pada saat
mandi. Anak-anak juga sudah dibiasakan untuk menggosok gigi
sejak kecil.
121
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.11.
Warga menggali sumur untuk sumber air bersih
Sumber: Dokumentasi Peneliti
3.2.3. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
Mencuci tangan merupakan salah satu bentuk perilaku
sehat dalam upaya mencegah terjadinya penyakit. Kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun, ternyata dapat mengurangi
insiden diare sampai 50% atau sama dengan menyelamatkan
sekitar satu juta anak didunia dari penyakit tersebut setiap
tahunnya (Rosidi, dkk., 2010).
Pada umumnya masyarakat Desa Wulai tidak mempunyai
kebiasaan cuci tangan sebelum makan. Hanya beberapa
masyarakat yang memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan. Mencuci tangan biasa mereka lakukan dengan
menggunakan air tanpa sabun. Air yang digunakan untuk
mencuci tangan biasanya merupakan air yang mereka ambil dari
122
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
sungai. Cuci tangan sebelum
menggunakan air yang mengalir.
makan
dilakukan
dengan
3.2.4. Kebiasaan merokok
Kebanyakan masyarakat di Desa Wulai memiliki kebiasaan
merokok. Baik laki-laki dan perempuan memiliki kebiasaan
merokok. Pada umumnya para perokok aktif mulai merokok saat
berusia remaja yaitu sekitar 15 tahun atau biasa dilakukan
sebelum menikah. Mereka menganggap bahwa kebiasaan
merokok adalah hal yang wajar, hal ini dikarenakan kebiasaan
merokok telah mereka lakukan sejak kecil. Terlebih banyak
diantara mereka yang tidak pernah bersekolah sehingga tidak
pernah mendapat larangan untuk merokok, seperti penuturan
informan NS berikut ini:
“Oo.. lama.. masih kecil saya merokok. Kalo ndak
salah itu umur 10 tahun saya merokok. 15 tahun
sudah mulai belajar merokok. Asal sudah tau
bekerja sudah boleh merokok, kalo tidak dia tau ya
tidak boleh merokok.”
Jenis rokok yang biasa mereka konsumsi adalah rokok
filter (PO, GE, dan GA) dengan kisaran harga Rp. 6.000-9.000 dan
rokok kretek yang dikonsumsi seperti rokok merk NM atau CM
dengan harga Rp. 15.000. Rokok kretek dan rokok filter samasama memiliki kandungan nikotin. Berdasarkan hasil pengukuran
kadar nikotin dengan menggunakan metode kromatografi cair
kinerja tinggi per batang rokok, kandungan nikotin dalam rokok
kretek lebih besar dibandingkan rokok filter. Nikotin yang
terdapat dalam asap rokok arus samping empat sampai enam
kali lebih besar dari asap rokok arus utama (Susanna, dkk., 2003).
123
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3. 12.
Perempuan Desa Wulai yang sedang merokok
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tidak hanya rokok kretek dan rokok filter yang biasa
mereka gunakan untuk merokok, lempek dan jole merupakan
jenis rokok yang juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat Desa
Wulai. Lempek merupakan salah satu jenis rokok berupa
tembakau kering dengan pembungkus terpisah. Sebelumnya
tembakau kering harus digulung terlebih dahulu dengan
menggunakan kertas pembungkus rokok. Lempek dijual di
warung seharga tiga ribu rupiah. Jole merupakan tembakau
kering yang dibungkus kulit jagung yang sudah kering. Mereka
biasa menanam tembakau di kebun dan menggunakannya untuk
merokok. Pada umumnya tembakau jenis ini dikonsumsi oleh
kalangan usia lanjut. Selain lempek dan jole mereka juga
menggunakan tembakau sirih pinang atau yang biasa disebut
mompongo.
Mompongo atau menginang masih menjadi kebiasaan
masyarakat terutama untuk kalangan lanjut usia. Kebiasaan
menginang atau mompongo dipercaya dapat mencegah
kemasukan setan saat melakukan ritual adat. Selain itu mereka
124
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
menganggap bahwa mompongo dapat mencegah sakit gigi,
seperti uraian informan MO berikut ini:
“Kalo orangtua yang makan sirih itu kuat memang
giginya, kayaknya itu dia punya bahan itu banyak obat
yang dikasih kesitu. Ee..sirih, tembakau. Dia gigi kalah itu
gigi anak muda”
Gambar 3.13.
Perlengkapan mompongo
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sampai saat ini merokok merupakan kebiasaan
masyarakat desa Wulai yang belum bisa mereka tinggalkan.
Mereka biasa menghisap rokok sekitar empat hingga enam
batang rokok dalam sehari. Menurut mereka apabila tidak
merokok dapat membuat sakit kepala, seperti pernyataan
informan SG berikut, “Da’a nabelo raraku, ju’a vo’o.” (perasan
tidak enak, sakit kepala).
Senada dengan informan SG, bagi informan NS merokok
adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti
halnya makan. Apabila tidak merokok akan menimbulkan
perasaan tidak enak dan ia merasa sulit untuk berfikir, seperti
uraiannya berikut ini:
125
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Aih.. seperti bagaimana perasaan itu tidak baik lagi,
seperti kita memikirkan anu makanan juga. Kalo tidak
makan kita lapar, begitu juga merokok, kalo tidak
merokok itu susah, otak tidak berjalan, berarti kita
pusing memikirkan jalan dimana tidak tau lagi akhirnya
buntu”
Terlepas dari alasan yang mendorong seseorang untuk
merokok, dengan merokok seseorang akan memperoleh
perasaan yang menyenangkan. Pada kondisi inilah bangkit hasrat
untuk mengulangi perilaku tersebut (conditioning). Pada saat
yang bersamaan, nikotin pada rokok dapat menimbulkan
perasaan tergantung. Efek toleran yang disebabkan oleh nikotin
sesungguhnya relatif ringan, tetapi sifat adiktifnya dapat
menyebabkan tubuh tergantung dan termanifestasi dalam
bentuk pusing-pusing, mudah gugup, lesu, sakit kepala, dan
perasaan cemas (Sari, dkk., 2003).
Merokok diketahui dapat menyebabkan gangguan
kesehatan. Masyarakat Desa Wulai menganggap bahwa rokok
dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Mereka
menganggap TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan
karena kebiasaan merokok. Hal tersebut diungkapkan oleh
informan ES berikut, “TBC itu salah satu akibat rokok...”
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok
mempunyai risiko sebelas kali untuk mengidap penyakit paruparu dibandingkan bukan perokok (Sari, dkk., 2003). Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lingkungan dengan asap
rokok merupakan penyebab terjadinya penyakit yang juga dapat
mengenai orang sehat yang bukan perokok. Paparan asap rokok
yang dialami terus-menerus pada orang dewasa yang sehat dapat
menambah risiko terkena penyakit paru-paru dan penyakit
jantung sebesar 20-30 persen (Susanna, dkk., 2003).
126
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Pada umumnya masyarakat Wulai tidak memiliki
kebiasaan merokok di tempat khusus yang diperuntukkan untuk
merokok. Para perokok biasanya merokok dimana saja baik di
dalam maupun di luar ruangan. Bayi, anak-anak dan perempuan
yang bukan perokok juga turut menghisap asap rokok mereka.
Pada saat penelitian berlangsung, seringkali dijumpai mereka
merokok didalam rumah bersama anggota keluarga yang lain.
Risiko terjadinya penyakit yang disebabkan oleh karena
asap rokok tidak tidak hanya mengenai perokok (aktif) saja,
tetapi juga orang-orang di sekitar perokok. Perokok pasif
merupakan orang yang tidak merokok tetapi harus menghirup
asap rokok atau orang yang berada di sekitar perokok. Perokok
pasif secara tidak langsung telah memasukkan zat-zat yang
berbahaya ke dalam tubuh bersamaan dengan asap rokok yang
tanpa sengaja terhisap. Kondisi ini lebih membahayakan karena
tubuh perokok pasif tidak terbiasa dengan asap yang terhisap ke
dalam tubuh mereka. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
sekitar 20%-30% kejadian terkena risiko penyakit kanker paruparu dialami oleh perokok pasif (Sari dkk., 2003).
3.2.5. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan
oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas
fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor
risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan
diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO,
2010:10).
Sehari-hari aktivitas masyarakat Desa Wulai ialah
berkebun. Mereka biasa berkebun mulai pukul 07.00 hingga
tengah hari atau sore hari pukul 17.00. Kegiatan berkebun yang
dilakukan seperti memotong rumput, menanam jagung, dan
bertanam cokelat mereka lakukan setiap harinya. Jarak rumah
127
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menuju ke kebun cukup jauh bahkan ada yang harus ditempuh
selama satu jam berjalan kaki. Seringkali mereka pulang
membawa atau memikul hasil panen untuk dijual di warung.
Aktivitas yang mereka lakukan sehari tergolong dalam aktivitas
berat.
3.2.6. Konsumsi Buah dan Sayur
Masyarakat Desa Wulai biasa mengkonsumsi sayur setiap
harinya. Jenis sayur yang dikonsumsi seperti sayur daun kelor,
daun ubi, daun kangkung dan lain-lain. Mereka akan mengambil
sayur dari kebun maupun pekarangan rumah mereka sebelum
dimasak. Sedangkan untuk buah-buahan tidak setiap hari mereka
konsumsi melainkan hanya pada saat musim panen buah tiba.
Jenis buah yang dikonsumsi seperti mangga, durian dan langsat.
Buah durian dan langsat biasa berbuah pada satu tahun sekali
yaitu bulan Juli-September. Pada umumnya mereka akan
mengambil buah yang telah masak untuk dikonsumsi. Biasanya
dalam sehari mereka mengkonsumsi buah lebih dari satu kali.
Selain untuk dikonsumsi sendiri mereka juga biasa menjual
durian keluar desa hingga dipasok ke Kota Palu. Satu buah durian
berukuran besar dijual seharga lima ribu rupiah.
3.3. Penyakit Menular
3.3.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang
umum terjadi pada masyarakat. Penyakit ini merupakan salah
satu penyebab kematian tertinggi pada balita (22,8%) dan
penyebab kematian bayi kedua setelah gangguan perinatal. Hal
ini diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan
kualitas penatalaksanaannya belum memadai. Infeksi saluran
128
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi
lebih mudah terjadi pada musim hujan (Depkes, 2005:1).
Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di Desa Wulai
menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak.
Terdapat peningkatan kasus ISPA dengan sebagian besar kasus
terjadi pada anak dan balita. Pada bulan Mei tahun 2014, kasus
ISPA di Desa Wulai sejumlah dua penderita sedangkan pada
bulan Juni meningkat menjadi dua puluh penderita.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi
penting disamping karena penyebarannya sangat luas yaitu pada
bayi, anak-anak dan dewasa, komplikasinya yang membahayakan
serta menyebabkan hilangnya hari kerja ataupun hari sekolah,
bahkan berakibat kematian (khususnya pneumonia) (Depkes,
2005:1). Pada umumnya masyarakat Desa Wulai tidak
mengetahui apa penyebab dari ISPA atau yang biasa disebut
dengan baingus. Mereka menganggap hal itu dikarenakan kondisi
perubahan cuaca seperti hujan.
Apabila masyarakat mengalami baingus biasanya mereka
hanya membiarkan saja. Untuk meringankan demam, biasanya
mereka menggunakan obat kampung seperti meminum air
rebusan daun pepaya yang masih muda. Jika demam tidak
kunjung sembuh maka mereka biasa membeli obat di warung
seperti obat IZ untuk anak atau obat MG untuk dewasa.
Apabila tidak terdapat kesembuhan setelah meminum
obat dari warung, maka mereka akan mengunjungi topo tawui.
Penyembuhan yang dilakukan oleh topo tawui dengan cara
meniup pada bagian tubuh yang sakit sembari mengoleskan air
ludahnya. Mantera dibacakan oleh topo tawui pada saat
melakukan penyembuhan. Pada umumnya masyarakat
mengunjungi pelayanan kesehatan ketika usaha yang mereka
lakukan seperti membeli obat di warung hingga meminta
penyembuhan topo tawui tidak kunjung sembuh. Petugas
129
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kesehatan seringkali tidak memberikan informasi mengenai
penyakit yang dideritanya dan hanya memberikan obat.
3.3.2 Diare
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena
morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Diare
merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di
tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat global,
diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat
regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18%
kematian balita dari 3.070 juta balita (Depkes, 2011).
Diare termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak di Desa
Wulai. Diare atau yang biasa disebut dengan ju’a ta’i yang artinya
sakit perut. Masyarakat menganggap ju’a ta’i disebabkan karena
salah makan. Masyarakat menganggap makanan yang tidak
cocok bagi tubuh apabila dimakan dapat menyebabkan
penolakan. Ju’a ta’i merupakan salah satu reaksi penolakan
makanan, seperti penuturan informan NO berikut, “Gara-gara
makan apa sembarang. umpama gara-gara kita makan pisang.”
Selain karena salah makan ju’a ta’i juga disebabkan
karena meminum air yang belum dimasak. Seperti pengalaman
informan PW yang pernah mengalami diare akibat meminum air
yang tidak dimasak. Sejak itu, ia selalu memasak air yang akan
diminumnya, berikut pernyataan informan PW:
“Nggak tau juga makanya itu kalo saya minum air tidak
dimasak sudah kena penyakit itu sudah. Makanya
sekarang saya takut sekalo kalo kosong air panas di
rumah.”
130
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Masyarakat di Desa Wulai biasa memasak air terlebih
dahulu Untuk keperluan air minum, namun terkadang mereka
juga ada yang meminum air mentah atau tidak dimasak. Mereka
akan meminum air mentah bila sedang berkebun dikarenakan
tidak membawa air matang dari rumah. Memasak air mereka
lakukan hingga air mendidih. Mereka biasa memasak air di
belanga dan menyisakan setengah dari air yang dimasak. Air yang
sudah masak didinginkan semalaman dan kemudian dikonsumsi.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Dusun Saluwu.
Kebanyakan masyarakat di Dusun Saluwu biasa meminum air
yang tidak dimasak. Mereka menganggap air yang tidak dimasak
mempunyai rasa yang enak dan segar. Hal tersebut sebagaimana
penuturan DC berikut ini:
"Bisa juga kita disini langsung minum air di koala itu
katanya kalo langsung diminum itu enak, tidak seperti
dipanas. Biasnya kalo minum air panas tidak hilang
hausnya minum lagi air mentah."
Air yang digunakan untuk keperluan minum berasal dari
air sungai maupun mata air pegunungan yang dialirkan melalui
perpipaan. Di Dusun Saluwu hanya terdapat satu perpipaan yang
bersumber dari pegunungan. Air tersebut dialirkan di rumah milik
salah satu warga dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat Dusun Saluwu biasa memasak air apabila hendak
membuat minumn seperti kopi saja, seperti halnya penuturan OS
berikut ini:
“Kalo saya minum kopi memasak air klo tidak minum
kopi hanya air mentah saja supaya diminum enak. Kalo
air masak tenggorok itu terasa apa itu..”
Selain disebabkan karena meminum air yang tidak
dimasak, masyarakat Wulai juga ada yang berpendapat diare
disebabkan memakan makanan basi yang masih dipanaskan
131
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kembali. Untuk penyembuhan diare (ju’a ta’i) masyarakat juga
mengenal beberapa jenis tanaman seperti daun jambu biji dan
daun kayu ampana. Mereka biasa merebus tiga lembar daun
jambu biji atau jambu batu kemudian meminum air rebusan
sebanyak satu sendok makan untuk tiga kali sehari. Selain itu
daun kayu ampana yang disiram dengan air mendidih dan
kemudian diminum dipercaya dapat mengobati diare.
Pengetahuan mengenai obat kampung diperoleh dari
orangtuanya dulu.
Bagi masyarakat yang enggan untuk meminum obat
kampung, mereka biasa meringankan diare dengan cara
mengikat kuat perut dengan tali, hal tersebut dilakukan agar sakit
perut yang dialaminya mulai berangsur sembuh. Apabila sakit
perut yang dideritanya tidak kunjung sembuh maka masyarakat
akan mengunjungi topo tawui untuk ditiup pada bagian perut.
Mereka akan mengunjungi beberapa topo tawui hingga
mendapatkan kesembuhan.
Sebagian masyarakat juga ada menggunakan obat yang
biasa disebut sebagai “Obat Cina” untuk meringankan diare yang
dideritanya. “Obat Cina” merupakan minyak gosok yang dijual di
warung seharga Rp. 5.000. Mereka menggunakan “Obat Cina”
dengan cara mencampurkan 1-2 tetes dengan air putih untuk
selanjutnya diminum. Penggunaan minyak gosok yang
seharusnya untuk penggunaan luar mereka gunakan dengan cara
diminum. Informasi cara penggunaan mereka dapat dari penjual
obat di warung. Masyarakat baru akan mengunjungi pelayanan
kesehatan setelah mencoba pengobatan kampung hingga
megunjungi topo tawui dan tidak kunjung mengalami
kesembuhan.
132
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
3.3.3. Malaria
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada
kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu
malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat
menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis
di sebagian besar wilayah Indonesia. Malaria merupakan salah
satu indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs),
dimana ditargetkan untuk menghentikan penyebaran dan
mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015 yang
dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan dan angka
kematian akibat malaria (Depkes, 2011).
Pada umumnya masyarakat di Desa Wulai mengetahui
malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk dimalam hari. Untuk
mencegah gigitan nyamuk dimalam hari, masyarakat biasa
menggunakan kelambu pada waktu tidur. Selain itu mereka juga
biasa membuat perapian di luar rumah dan memanfaatkan asap
api untuk mengusir nyamuk. Penggunaan obat nyamuk bakar
kurang diminati oleh masarakat dikarenakan ketidaknyamanan
terhadap bau asap yang ditimbulkan obat nyamuk bakar.
Kebanyakan masyarakat Desa Wulai tidak menggunakan rapelen
untuk menghindari gigitan nyamuk.
Menurut masyarakat, gejala yang ditimbulkan bila
seseorang terkena malaria berupa demam dan menggigil. Bila
badan sudah dirasa mulai demam maka untuk mengobatinya
dapat menggunakan obat kampung. Obat kampung yang
digunakan untuk mengobati rasa menggigil saat sakit malaria
dapat menggunakan air rebusan benalu pohon (pomponga paja).
Selain itu untuk menyembuhkan malaria juga dilakukan dengan
meminum air rebusan daun papaya yang ditumbuk bersama
akarnya. Tidak hanya obat kampung yang dapat digunakan untuk
mengobati malaria. Pilihan obat malaria yang dijual bebas
133
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diwarung pun biasa mereka konsumsi. Obat malaria RB atau
dikenal sebagai obat segitiga dapat mereka minum untuk
mengobati malaria.
Selain obat kampung dan obat warung, mereka juga biasa
mengunjungi topo tawui untuk menyembuhkan sakit malaria.
Hampir segala macam jenis penyakit dapat disembuhkan oleh
topo tawui. Oleh karena itu mereka biasa mengunjungi topo
tawui terlebih dahulu sebelum ke pelayanan kesehatan. Apabila
belum sembuh barulah mereka mengunjungi fasilitas kesehatan
seperti Poskesdes atau Puskesmas. Bagi mantan penderita
malaria memakan buah mangga adalah suatu pantangan karena
Menurut malaria dapat kambuh kembali, seperti diungkapkan
informan OS berikut, “Kalo makan mangga memang menular itu.
Makan mangga yang besar-besar itu…”
3.3.4. Tuberkulosis
Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit
infeksi yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat yang penting baik secara global maupun
nasional (PDPI, 2006). Diperkirakan sepertiga dari keseluruhan
penduduk dunia pernah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis (WHO, 2002). Pada tahun 1993, World Health
Organization (WHO) menyatakan kedaruratan global penyakit TB,
dimana pada saat itu setiap tahunnya diperkirakan terdapat
tujuh sampai delapan juta kasus dan 1,3 – 1,5 juta kematian
akibat TB (WHO, 2012:16).
Poskesdes Wulai termasuk dalam pos TB desa dan
memiliki satu petugas penanggung jawab Pos TB Desa. Petugas
TB bertugas menjaring suspek TB Paru secara aktif untuk mau
dilakukan pemeriksaan dahak dan diobati. Suspek TB Paru akan
diberikan pot dahak untuk dilakukan pemeriksaan TB. Pot dahak
tersebut kemudian dibawa ke Puskesmas Sarjo untuk diperiksa
134
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
laboratorium. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemeriksaan TB
Paru di laboratorium Puskesmas Randomayang. Apabila terjadi
kasus TB Paru klinis dengan BTA negatif maka Puskesmas akan
melakukan rujukan pemeriksaan rontgen ke Rumah Sakit Undata
di Palu dikarenakan fasilitas rontgen di RSUD Kabupaten Mamuju
Utara belum memadai.
Saat ini sudah hampir dua bulan terhitung sejak penelitian
berlangsung yaitu bulan Mei-Juni petugas TB Desa Wulai sudah
tidak aktif. Menurut pemegang program TB di Puskesmas
Randomayang keberadaan penanggung jawab pos TB desa dirasa
tidak efektif. Hal itu dikarenakan penanggung jawab pos TB
dengan status honorer dan tidak digaji membuat pihak
Puskesmas tidak dapat menuntut lebih untuk pekerjaannya. Saat
ini tugas penanggung jawab pos TB Desa digantikan oleh bidan
desa. Bidan menjaring suspek TB Paru dari pelayanan
pengobatan di Poskesdes maupun Posyandu. Pada saat
penelitian berlangsung terdapat salah satu suspek TB Paru dan
dilakukan pemeriksaan dahak, namun sudah hampir sepuluh hari
ia belum mendapat informasi hasil dari pemeriksaan tersebut.
Grafik 3.1.
Suspek TB dan Penderita TB di Desa Wulai
Bulan Januari-Mei 2014
Sumber: Data Puskesmas Randomayang
135
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berdasarkan Grafik 3.1, diketahui pada bulan Januari
jumlah suspek TB Paru lebih tinggi daripada bulan lainnya. Pada
bulan Januari hingga Maret terjadi penurunan total suspek TB
Paru yang dilakukan pemeriksaan di Puskesmas Randomayang.
Terjadi peningkatan total suspek TB Paru pada bulan April, dari
yang semula tidak terdapat suspek TB Paru menjadi tiga orang.
Petugas TB Desa Wulai melakukan pencarian dengan
menginformasikan kepada para warga apabila ada yang
mempunyai gejala batuk lebih dari dua minggu untuk segera
dilakukan pemeriksaan.
Menurut Fahmi (2005), faktor risiko yang berperan
terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru
dikelompokkan menjadi dua kelompok faktor risiko, yaitu faktor
risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi
sosial ekonomi) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai
rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan ketinggian).
Konstruksi rumah dan lingkungannya yang tidak memenuhi
syarat kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber
penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berbasis
lingkungan (Keman, 2005).
Menurut petugas Puskesmas Randomayang kondisi
kebanyakan rumah di Desa Wulai tidak memenuhi syarat
kesehatan. Hal itu dapat memicu penularan TB. Kebanyakan
rumah di Desa Wulai dihuni oleh satu rumah tangga yang
meliputi orangtua dan anak-anak mereka. Dalam satu rumah
tangga jumlah anak yang mereka miliki sekitar 4-6 anak. Pada
umumnya rumah di Desa Wulai terbuat dari bambu atau kayu.
Pada bagian atap rumah terbuat dari daun sagu dan dinding
rumah terbuat dari kayu dengan berlantaikan bambu.
Berdasarkan pengamatan peneliti, kondisi pencahayaan dalam
rumah tergolong kurang baik. Sinar matahari juga tidak sampai
136
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
masuk dalam rumah. Hal tersebut dikarenakan daun rumbia yang
menutup keseluruhan rumah.
Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan
penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya
sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke
dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan
sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat
mematikan kuman (Depkes RI, 1994).
Gambar 3.14.
Rumah di Desa Wulai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
137
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada umumnya ventilasi pada rumah –rumah di Desa
Wulai kurang dari 10 persen luas lantai. Luas ventilasi rumah
yang kurang dari 10% dari luas lantai akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping
itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan
dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan
menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberculosis. Ventilasi
berfungsi juga untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena
selalu terjadi pertukaran udara yang terus menerus. Bakteri yang
terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari yang
masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada
di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama
udara pernafasan (Fatimah, 2008).
Pada umumnya masyarakat Wulai menganggap penyebab
penyakit TB Paru disebabkan konsumsi rokok maupun keturunan
yang didapat dari orangtua. Mereka menganggap penderita TB
Paru yang tidak mempunyai kebiasaan merokok mendapatkan
penyakit TB Paru dari orangtuanya yang menderita TB Paru.
Misalnya dalam satu keluarga memiliki lima orang anak maka
salah satu diantaranya akan mendapat keturunan TB Paru dari
orangtuanya, seperti penjelasan informan NO berikut ini:
“Umpamanya lima orang bersaudara, satu mengikuti
ibunya yang TBC itu. Misalnya saya punya anak tiga
maka satu yang kena TBC tidak semuanya kena.”
138
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Senada dengan informan NO, informan YL juga
berpendapat penyebab dirinya terkena TB Paru adalah karena
keturunan yang didapat dari orangtuanya. Berikut penuturan
informan YL:
“….TBC itu juga karena keturunan dari orangtua sampai
anak-anak sampai cucu begitu terus kalo tidak diobati.
Dari situ sudah penyakit turunan menular.”
Adapun pengetahuan mengenai gejala TB Paru.
Masyarakat Desa Wulai menganggap penderita TB biasanya
mempunyai gejala batuk darah dan memiliki perawakan
tubuhnya kurus. Mantan penderita TB yaitu DM mengalami
batuk selama satu bulan hingga mengalami batuk darah. DM
melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan setelah
mengalami batuk darah. Senada dengan DM, informan YL
mengalami batuk-batuk sebelum didiagnosis TB. Berikut
pengakuan informan YL:
“Nenteke dowe (batuk tidak putus) biar kita berkeringat
itu kalo tidak dikasih minum air tidak berhenti. Baru di
tenggorokan gatal dan sempit”
Salah satu bentuk upaya untuk menyembuhkan gejala TB
Paru seperti batuk ialah dengan meminum obat kampung.
Seperti halnya DM meminum daun mayana atau dalam bahasa
setempat disebut daun simambu. Daun direbus dengan air
hingga mendidih dan diminum sehari tiga kali untuk meredakan
batuk. Setelah meminum daun Mayana batuk yang dialami
berangsur sembuh dan merasa ada kesembuhan. Berikut
pernyataan informan DM, “…tapi memang ada perubahan saya
minum obat itu sembuh juga saya rasa.”
Selain dengan meminum obat kampung, penderita TB
Paru juga mengunjungi topo tawui untuk mengobati penyakitnya.
Teknik penyembuhan yang dilakukan dengan cara meniup bagian
139
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
leher hingga dada penderita TB Paru sembari membaca mantera.
Topo tawui tidak memberikan ramuan khusus hanya air putih
yang ditiup kemudian diminta untuk meminumnya. Biasanya
setelah meminum air tiupan topo tawui esok harinya sudah
merasa sembuh. Apabila mereka tidak kunjung mengalami
kesembuhan setelah minum obat ataupun ditiup oleh topo tawui
barulah mereka berobat ke pelayanan kesehatan.
Berdasarkan informasi petugas TB di Puskesmas
Randomayang, kebanyakan penderita TB di Desa Wulai tidak
rutin minum obat. Beberapa upaya dilakukan pihak Puskesmas
seperti mengancam penderita TB tersebut untuk mengambil
barang berharga yang dimiliki seperti sepeda motor. Hal tersebut
dilakukan agar penderita TB tersebut patuh minum obat. Berikut
penjelasan RM yang adalah petugas Puskesmas Randomayang:
“...karena pasien-pasien disana harus ditakut-takuti
seperti itu walaupun sebenarnya obatnya memang
gratis. Kalo ndak seperti itu mereka tidak mau. asal enak
badannya sudah berhenti.”
Pada umumnya pengetahuan penderita TB Paru
mengetahui bahwa obat TB tidak boleh lupa diminum namun
kebanyakan mereka pernah sesekali lupa meminum obat. Rasa
bosan melanda penderita TB manakala diharuskan meminum
obat selama enam bulan, seperti penuturan informan NS berikut,
“Aih.. bosan itu tetap dipaksa minum itu. Iya pernah itu 1-2 hari
saya tidak minum itu. Lupa, dua kotak itu.”
Senada dengan NS, penderita TB lain yaitu DM mengaku
merasa bosan meminum obat TB. Disamping itu ia juga
merasakan efek samping dari obat TB yaitu rasa mual dan
pendengarannya berkurang, seperti uraiannya berikut ini:
“Iya mual, pokoknya mau muntah begitu. makanya saya
sekarang ini sudah agak anu sedikit. Saya tanya dokter
140
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
kenapa saya ini kaya kurang pendengaran. Mungkin ibu
kan kena penyakit itu kena dari akibat obat tinggi sekali
katanya dosisnya”
Meskipun mereka seringkali lupa untuk minum obat
namun mereka mengaku telah menyelesaikan pengobatan
selama enam bulan. Obat TB Paru mereka peroleh secara cumacuma dari Puskesmas. Sebelum melakukan pengobatan mereka
mendapatkan informasi dari petugas kesehatan bahwa obat TB
tidak boleh lupa untuk diminum, seperti penjelasan informan YL
berikut ini:
“Itu obat itu tidak boleh satu hari ditinggal. Kalo ditinggal
tidak mempan dia, kalo ditinggal diulang lagi tidak bisa
diteruskan jadi jangan lupa itu. Talongu sanggoni raome
(tiga tablet satu kali minum).”
Namun informan YL menghentikan pengobatan TB Paru
pada bulan ke lima dikarenakan hamil. Bidan menyarankan YL
untuk menghentikan pengobatan selama hamil. Setelah
melahirkan YL hanya disarankan untuk melakukan rontgen di
rumah sakit Undata Palu namun karena ketiadaan biaya, YL tidak
melakukan pemeriksaan rontgen ke rumah sakit Undata Palu.
Menurut petugas Puskesmas Randomayang apabila terdapat
kasus TB Klinis yang harus dirujuk hingga ke rumah sakit Undata
Palu biasanya masyarakat akan memikirkan mengenai proses
rujukannya seperti transport, uang makan dan biaya lain sehingga
mereka lebih memilih untuk membiarkan penyakitnya begitu
saja.
“Belum habis obat saya minum hamil sudah saya, tinggal
satu dos saya minum. Begitu bidan kasih tau sama saya.
Itu obatmu ada disana tinggal satu dos bagaimana kamu
sudah hamil. Tidak boleh memang kalo kita hamil…”
(informan YL).
141
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Selain meminum obat TB, mereka juga tidak
diperbolehkan merokok. Petugas kesehatan menyarankan
penderita TB Paru untuk tidak merokok selama pengobatan TB.
Kebiasaan merokok penderita TB Paru yang sudah lama mereka
lakukan membuat mereka merasa sulit meninggalkan kebiasaan
merokok. Merokok telah menjadi kebiasaan mereka dan untuk
meninggalkan kebiasaan merokok tidaklah mudah, seperti
pernyataan NS salah seorang penderita TB paru berikut, “Cuma
ini rokok dilarang, tidak boleh merokok. Tapi saya tidak bisa
dilarang itu merokok tetap merokok.”
Setelah penyakit TB Paru mereka sembuh maka supaya
tidak kambuh mereka biasa mengkonsumsi obat antibiotika
seperti AM apabila mulai merasa flu dan batuk. Obat-obatan
antibiotik seperti AM dan AP dijual bebas baik pasar maupun di
warung yang terdapat di Desa Wulai. AP merupakan antibiotik
yang saat ini sudah tidak tersedia di Puskesmas bisa mereka
dapatkan di warung. Masyarakat mengenal obat AP sebagai obat
yang dapat digunakan untuk penyembuhan luka. Sedangkan AM
biasa mereka minum untu menyembuhkan batuk. Antibiotik
biasa dijual seribu rupiah per tablet.
“…misalnya kalo sudah ada kelainan begitu. saya
sekarang saya punya obat itu Amoxilin kan itu
antibiotiknya. Kalo saya sudah agak rasa mau flu begitu
apalagi kalo mau batuk begitu minum. Kan begitu
petunjuk dokter to, minum obat Amoxilin saja tidak usah
obat sembarang…”(informan DM).
Selain itu dilakukan pula upaya pencegahan agar tidak
penyakit TB Paru tidak dapat menurun ke anak cucunya. Salah
satu bentuk pencegahan yang dilakukan yaitu dengan
memisahkan peralatan makan penderita dengan orang yang
sehat. Setelah dinyatakan negatif TB, DM menguburkan semua
peralatan makan yang telah dipakainya selama sakit.
142
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Selain TB Paru masyarakat juga mengenal penyakit
menular lain seperti kusta. Mereka mengetahui penyakit kusta
setelah mengetahui salah seorang warganya menderita kusta.
Menurut mereka dahulu memang ada satu penderita kusta di
Desa Wulai namun sekarang dia sudah pindah dan tinggal di
desa lain.
Stigma bagi penderita kusta di masyarakat terihat dari
bagaimana mereka memperlakukan penderita kusta.
Masyarakat cenderung akan menjauhi penderita bahkan
menganggap penderita kusta harus ditempatkan dirumah
sendirian atau diisolasi agar kuman tidak menyebar. Mereka
bahkan tidak mau meminjamkan peralatan makan seperti piring,
gelas, dan belanga kepada penderita kusta.
Kebanyakan masyarakat menganggap kusta merupakan
salah satu penyakit menular yang lebih berbahaya daripada TB
Paru. Menurut masyarakat Desa Wulai, kusta merupakan suatu
keadaan ketika anggota tubuh seperti jari tangan, kaki atau
bagian tubuh lain tidak sempurna seperti terputus.
Mereka menganggap kusta disebabkan oleh karena
kuman dan penularannya dapat terjadi secara cepat. Kuman
kusta dapat menyebar dalam satu ruangan tidak sampai satu
jam. Kebanyakan masyarakat menganggap apabila ada
penderita kusta yang bermukim dan mandi disungai bagian hilir
maka kuman kusta dapat naik keatas mengenai orang yang
mandi di hulu sungai.
“Menular itu cepat sekali, kalo kita duduk-duduk begini
dia punya kutu/kuman sudah jalan-jalan. Tidak cukup itu
satu jam, kalo kusta itu hati-hati,” (informan YL).
“Kalo kusta itu katanya kalo kita mandi diatas sedangkan
dia mandi dibawah naik keatas itu kumannya. Kalo
dibawah tidak apa itu asal jangan diatas. Saya tanya
143
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kenapa bisa begitu, dia bilang begitu sudah.” (informan
DM).
3.4. Penyakit Tidak Menular
Penyakit tidak menular saat ini menjadi masalah
kesehatan yang cukup serius. Penyakit tidak menular (PTM)
menyumbang hampir (60%) kematian di dunia dan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 PTM
merupakan penyebab kematian (73%) dan seluruh kesakitan
(60%) di dunia (WHO, 2013). Perubahan pola struktur
masyarakat, khususnya masyarakat agraris ke masyarakat
industri banyak memberi andil pada perubahan pola fertilitas,
gaya hidup, sosial ekonomi yang pada gilirannya dapat memacu
meningkatnya penyakit tidak menular (Arisman, 2010:1).
3.4.1. Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang
menjadi permasalahan kesehatan yang serius saat ini. Hipertensi
merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah
yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh
sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke, penyakit
jantung koroner, gagal ginjal, diabetes dan lain-lain (Syahrini,
dkk., 2012).
Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang masuk dalam sepuluh penyakit terbanyak di Desa Wulai.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal dengan sebutan
nopaponera atau napone vonda yang artinya darah naik ke atas.
Menurut masyarakat, penyebab darah tinggi adalah karena
banyak pikiran atau emosi (nagau). Biasanya orang yang
mengalami tekanan darah tinggi akan cenderung sering marahmarah.
144
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Masyarakat juga beranggapan penyakit darah tinggi dapat
disebabkan karena terlalu banyak memakan ikan yang
mengandung banyak darah. Ikan besar dianggap mengandung
banyak darah seperti sedangkan ikan kecil-kecil tidak terlalu
banyak darah. Apabila ikan besar seperti ikan cakalang
dikonsumsi dipercayai dapat membuat tekanan darah menjadi
tinggi.
Masyarakat Wulai berpendapat penderita hipertensi
memiliki pantangan makanan yang tidak boleh dimakan.
Penderita hipertensi tidak boleh makan terlalu banyak garam dan
sayur-sayuran seperti daun bayam, daun ubi, dan sayur
kangkung. Selain itu buah-buahan yang rasanya asam seperti
mangga dan langsat juga tidak boleh dikonsumsi penderita
hipertensi. Penderita hipertensi juga tidak boleh terlalu banyak
minum kopi dan merokok.
Pantangan makanan membuat penderita tekanan darah
tinggi lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Seharihari tidak jarang mereka hanya makan nasi dan sambal.
Kebiasaan yang tidak bisa dihindari penderita tekanan darah
tinggi ialah kebiasaan minum kopi dan merokok. Seperti halnya
MM yang memiliki kebiasaan minum kopi lima gelas sehari dan
tidak dapat meninggalkan kebiasaan merokoknya. Menurutnya
bekerja tanpa merokok membuat perasaannya tidak enak.
MM mengalami tekanan darah tinggi sejak tujuh tahun
yang lalu. Tekanan darah sistol yang biasa ia alami berada pada
kisaran 130-160 mmHg. Menurut MM tekanan darah sistol
normal berada pada kisaran 120 mmHg. Pada awalnya gejala
yang timbul akibat darah tinggi adalah sakit kepala (ju’a vo’o).
Ketika ia merasakan gejala hipertensi maka ia meminta bantuan
ayahnya yang adalah topo tawui. Teknik penyembuhan yang
dilakukan adalah dengan meniup bagian kepala sambil memijat
bagian pelipis dan dahi sembari mengucapkan mantera (dowa),
145
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seperti penuturan MM berikut, “Itu dulu bisa sembuh kalo ditiup
saya punya papa itu yang betiup sedangkan sekarang ini papa
sudah meninggal.”
Selain diobati oleh topo tawui mereka juga menggunakan
obat kampung yang digunakan masyarakat untuk meringankan
sakit kepala saat tekanan darah tinggi muncul yaitu meminum
daun sumpiku yang direndam dengan air panas selama satu
sampai lima menit. Air rendaman daun sumpiku diminum tiga
kali sehari sehabis makan. Menurut MM bidan juga menyarankan
untuk meminum obat kampung berupa air rendaman daun kelalo
dengan air panas kemudian diminum tiga kali sehari yaitu pagi,
siang dan sore.
Apabila sakit kepala yang dirasakan tidak terlalu hebat,
MM hanya meminum obat kampung saja. Sedangkan jika sudah
merasakan gejala sakit kepala yang cukup hebat disertai rasa
tidak enak badan maka MM biasa menyuruh anggota
keluarganya untuk membeli obat di Poskesdes. Ia menganggap
sakit kepala yang hebat dikarenakan tekanan darahnya sedang
naik. Ia biasa membeli obat seharga lima ribu rupiah per enam
tablet. Sudah dua kali MM tidak sadarkan diri ketika sakit kepala.
Menurut MM hal tersebut dipicu oleh banyaknya pikiran
sehingga tekanan darah sistol (TDS) mencapai 170 mmHg, untuk
menghindari pingsan akibat tekanan darah naik maka MM pergi
berkebun. Menurutnya dengan berkebun maka ia bisa sedikit
melupakan masalah yang sedang dialaminya. Ia lebih memilih
untuk pergi berkebun daripada hanya berdiam diri dirumah.
3.4.2. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang
berlangsung kronik progresif, dengan manifestasi gangguan
metabolisme glukosa (gula) dan lipid (lemak), disertai oleh
komplikasi kronik penyempitan pembuluh-pembuluh darah,
146
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dengan akibat terjadinya kemunduran fungsi sampai dengan
kerusakan organ-organ tubuh (Darmono, 2005).
Diabetes Mellitus atau penyakit kencing manis dikenal
oleh masyarakat setempat dengan sebutan na ju’a na pere pere.
Merupakan suatu keadaan atau kondisi dengan gejala air kencing
yang keluar sedikit-sedikit dan apabila keluar akan terasa sakit.
Menurut mereka hal itu dikarenakan terlalu banyak minum yang
mengandung gula. Apabila masyarakat mengalami hal tersebut
maka biasanya akan segera mengunjungi topo tawui untuk
segera dilakukan pengobatan.
3.4.3. Penyakit Gondok
Penyakit gondok merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan pembengkakan pada leher yang disebabkan pembesaran
kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid. Kelainan glandula
tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan
kelenjar dan morfologinya. Penyakit gondok sering terdapat di
daerah-daerah yang sumber air minumya kurang mengandung
yodium. Dampak penyakit gondok terhadap tubuh terletak pada
pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi
kedudukan organ-organ di sekitarnya. (Darmayanti, 2012).
Masyarakat Kaili Da’a Wulai menyebut penyakit gondok
dengan sebutan naponte. Pada umumnya masyarakat
menganggap penyakit gondok disebabkan karena kebiasaan
makan langsung dari belanga. Penyakit gondok dialami sebagian
kecil masyarakat salah satunya ibu ME. Sudah hampir sepuluh
tahun ME mengalami naponte namun ME tidak mengetahui apa
penyebab penyakit yang dideritanya. Pada awalnya sakit yang
dialami hanya berupa benjolan kecil di leher yang seiring dengan
berjalannya waktu mengalami pembesaran. Salah satu upaya
yang dilakukan ibu ME untuk menyembuhkan penyakit gondok
adalah meminum obat yang dijual oleh pedagang obat keliling.
147
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Harga obat tersebut Rp 285.000 dan sudah tiga kali ia konsumsi
namun sampai saat ini tidak membuahkan hasil. ME pernah
berkonsultasi ke bidan mengenai penyakitnya, ia bertanya ke
bidan apakah bidan dapat menyembuhkan penyakitnya, jika tidak
maka menurutnya sia-sia saja ia berobat. Bidan menjelaskan
untuk menyembuhkan penyakitnya ME harus dioperasi. Namun
biaya operasi yang cukup besar membuat ME tidak bersedia
untuk dioperasi. Berikut ungkapan informan, “Pernah tanya ke
bidan kalo disana mampu ataukah tidak, kalo tidak mampu ya
mau diapa daripada sia-sia.”
3.4.4. Penyakit Jantung
Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
pada tahun 2010, penyakit jantung merupakan penyebab
kematian di urutan pertama (48%). Lebih dari sembilan juta
kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun. Penyakit
jantung koroner merupakan suatu kondisi adanya plak di dinding
sebelah dalam pembuluh darah koroner sehingga terjadi
penyempitan dan kekakuan pembuluh darah yang akan
mengurangi aliran darah ke otot jantung. Plak ini terbentuk dari
lemak, kolesterol, kalsium dan substansi lain di darah
(http://www.nhlbi.nih.gov).
Pada umumnya masyarakat Wulai tidak mengetahui
penyebab penyakit jantung (ju’a sule). Biasanya orang yang sakit
jantung merasa sakitnya berawal dari sakit maag yang mereka
alami. Biasanya tidak ada penegakan diagnosa dari tenaga
kesehatan mengenai sakit jantung yang dialami. Mereka hanya
menyimpulkan dari gejala yang dialaminya berupa sakit pada
bagian dada sebelah kiri. Seperti pengalaman informan PW, ia
mengalami sakit yang gejalanya mirip serangan jantung pada
pukul tujuh malam. Saat itu keluarganya menyarankan untuk
datang ke topo tawui. Kemudian topo tawui meniup seluruh
148
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
badan terutama pada bagian dada, ia pun berangsur sembuh.
Menurutnya jika tidak ada topo tawui mungkin saat itu ia sudah
meninggal. Berikut pernyataan informan PW:
“Ah..pernah itu setelah jam tujuh malam kena penyakit
itu kalo tiada orangtua (topo tawui) begini (batiup)
mungkin malam itu juga meninggal.”
Biasanya orang yang berobat ke topo tawui akan
diberitahu pantangan yang tidak boleh dilakukan agar penyakit
tidak kembali lagi. Untuk penyakit jantung, topo tawui
memberikan pantangan tidak boleh memakan jantung babi.
Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga mempercayai apabila seseorang
memiliki penyakit jantung tidak boleh keluar rumah pada pukul
enam sore, seperti halnya penuturan informan PW berikut ini:
“…kena sakit jantung begitu biasa itu jam-jam enam sore
jangan keluar lagi. Kecuali sudah jam tujuh malam bisa
keluar. Kalo jam enam itu kan matahari sudah terus
terbenam tidak bisa lagi anak-anak keluar karena
menjaga penyakit itu. Karena orangtua bilang begitu.”
149
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
150
BAB 4
HEMBUSAN TOPO TAWUI
DALAM PERSALINAN
4.1. Latar Belakang
Salah satu indikator pencapaian MDGs yang keempat
adalah penurunan angka kematian bayi sebesar 23 per seribu
kelahiran hidup. Namun pada saat ini berdasarkan SDKI (2012),
Angka kematian bayi (AKB) hanya sedikit mengalami penurunan
dari pencapaian tahun 2007, yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup
menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2013). Kematian
bayi baru lahir merupakan suatu bentuk hambatan dalam
penurunan kematian anak untuk lebih lanjut (Unicef, 2012).
Salah satu Kabupaten di Indonesia yang memiliki AKB
yang cukup tinggi adalah Kabupaten Mamuju Utara yaitu sebesar
16.6 per 1000 pada tahun 2012 kelahiran hidup atau 43 dari
2.598 kelahiran hidup. Pada tahun 2013 AKB menurun menjadi 5
per 1000 kelahiran hidup. Namun pada tahun 2013 angka bayi
lahir mati naik menjadi 16 per 1000 kelahiran hidup dari
sebelumnya 15,5 per 1000 kelahiran pada tahun 2012 (Profil
Dinkes Mamuju Utara, 2012).
Tingginya kasus kematian bayi juga terjadi di Desa Wulai.
Pada tahun 2014 dari awal tahun sampai dengan bulan Juni 2014
telah terjadi dua kasus bayi lahir mati dan dua kasus kematian
neo natus. Ketiga kasus terjadi dalam waktu tiga bulan yaitu
151
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Januari sampai Maret 2014. Satu kasus lainnya terjadi ketika
penelitian berlangsung yaitu pertengahan bulan Juni 2014.
Melihat tingginya kasus kematian bayi di Desa Wulai
maka dalam bab ini peneliti akan secara khusus membahas
mengapa kasus ini dapat terjadi. Pembahasan akan
mempergunakan dua perspektif yaitu perspektif emik dan etik.
Menurut
Koentjaraningrat
(1982:
xviii-xix
dalam
http://www.unr.ac.id) pandangan emik adalah pandangan
tentang kebudayaan sendiri dari warga masyarakat yang
bersangkutan yang merupakan pandangan dari dalam.
Sedangkan pandangan etik adalah pandangan yang dikuasai oleh
nilai-nilai, norma-norma dan teori-teori ilmiah yang merupakan
pandangan dari luar. Selanjutnya akan dibahas potensi dan
kendala yang ada pada masyarakat Wulai khususnya Etnik Kaili
Da’a untuk mengatasi permasalahan tersebut.
4.2. Kasus Kematian Bayi
Kasus Kematian Bayi Ibu Sari
Sari (bukan nama sebenarnya), sulung dari tiga
bersaudara saat ini genap berusia 23 tahun. Sari adalah salah
satu warga Desa Wulai yang sempat merantau untuk mencari
pekerjaan di luar desa. Pada tahun 2009, saat ia berusia 18
tahun, ia menikah. Pernikahan Sari dilakukan di Gorontalo dan
tanpa dihadiri pihak keluarga Sari. Ketika menikah Sari
berpindah agama mengikuti agama suaminya. Setelah menikah
ia tinggal bersama suaminya di Gorontalo selama sembilan
bulan.
Pekerjaan suaminya yang berpindah-pindah membuat ia
sering berpindah tempat tinggal dari satu kota ke kota lainnya.
Ia pernah tinggal di Kota Ambon selama beberapa waktu. Moda
transportasi kapal laut mereka gunakan untuk menuju kesana.
152
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Setelah tinggal di Kota Ambon, Sari dan suaminya pindah ke
Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara.
Setelah beberapa tahun menikah tepatnya ketika
pernikahan mereka menginjak tahun keempat, Sari pun hamil.
Namun ketika hamil Sari menghadapi masalah rumah tangga
dengan suaminya sehingga ia memutuskan meninggalkan
suaminya yang pada saat itu masih bertugas di Ternate. Ia
memutuskan pulang ke rumah orangtuanya di Desa Wulai. Sari
pun pulang seorang diri ke Desa Wulai dalam kondisi hamil
muda dengan menggunakan transportasi kapal laut. Ia pulang ke
Desa Wulai tanpa membawa surat-surat berharga seperti kartu
tanda penduduk, kartu keluarga, surat nikah, Jamkesmas.
Sari pun tiba di Desa Wulai, ia kemudian tinggal kembali
bersama kedua orangtua dan saudaranya. Aktivitas sehari-hari
yang biasa ia lakukan adalah menjaga warung. Warung tersebut
menjual keperluan rumah tangga dan makanan ringan. Rumah
Sari terletak di pinggir sungai perkampungan Pinora’a di Dusun
Watubete. Lokasi rumah Sari cukup strategis, karena merupakan
pintu masuk menuju pabrik batu. Setiap harinya rumah Sari
dilewati oleh truk PT. Pasako Utama Jaya (Pasakora). Seringkali
para supir truk singgah di warung Sari untuk membeli rokok.
Pada siang hari beberapa rumah di Pinora’a yang terletak
dekat pabrik mendapat aliran listrik dari pabrik. Rumah Sari
merupakan salah satu rumah yang mendapat aliran listrik pada
siang hari. Sari biasanya menonton televisi sembari menjaga
warung miliknya pada siang hari. Aktivitas menonton televisi ia
lakukan sambil tidur. Pada saat trimester terakhir kehamilannya,
seringkali peneliti menjumpainya di warung sedang berbaring
menonton televisi. Ia sering terlihat memakai koyo yang ia
tempelkan di dahinya, sesekali menghirup aroma balsam untuk
meringankan sakit kepala. Menurut tetangganya, selama hamil
Sari tidak pernah bekerja di kebun, sehari-hari ia lebih banyak
153
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menjaga warung. Keluarganya memberikan perhatian selama ia
hamil termasuk suaminya walaupun hanya lewat sms atau
telepon. Suaminya sedang bekerja di Ternate dan tidak dapat
menemaninya selama hamil, terkadang Sari juga tidak perduli
dengan sms yang dikirim suaminya, seperti penuturannya
berikut, "...malas saya itu. kalo dia sms kemari ah..cuek saya...
Tidak tau kah nanti saya melahirkan kah tidak."
Pada saat hamil ia tidak mengidam yang macam-macam.
Ia hanya mengidam buah dengan rasa masam, selama hamil ia
tidak berpantang makanan. Sehari-hari ia makan dua kali sehari
dengan menu nasi dan sayur. Salah satu bentuk upaya dalam
menjaga kehamilan ialah dengan memeriksakan kehamilan ke
pelayanan kesehatan. Selama hamil ia mengaku tidak pernah
memeriksakan kehamilannya ke bidan. Adapun salah satu
alasannya karena takut disuntik. Ia mengaku sejak kecil tidak
pernah disuntik. Seringkali ia menutupi perutnya dengan sarung
agar tidak disuruh untuk pergi ke bidan. Saat berbelanja
keperluan di pasar ia bertemu dengan bidan. Saat itu bidan
menanyakan alasannya tidak pernah memeriksakan kehamilan.
Bidan juga memperingatkannya apabila ia tidak pernah periksa
kehamilan maka bidan tidak mau membantu Sari saat
melahirkan.
Sari tidak terlalu memperdulikan ucapan bidan, ia
mengatakan, “buat apa cari-cari bidan”. Hal itu dikarenakan ia
memang berencana untuk melahirkan di rumah dengan bantuan
topo tawui. Oleh sebab itu ia tidak berniat untuk memeriksakan
kehamilannya ke bidan. Menurutnya tidak hanya bidan saja yang
bisa membantu menolong persalinan. Terlebih ia juga
mempunyai mertua seorang dukun yang malang melintang di
Gorontalo. Ada juga pasien rujukan dari RS yang mendatangi
mertua Sari, dikarenakan ketiadaan biaya untuk perawatan lebih
lanjut seperti operasi. Jadi untuk apa harus meminta bantuan
154
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
bidan. Ia juga mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan
apabila bersalin di fasilitas kesehatan.
Sabtu Malam tepat tanggal 7 Juni 2014 Sari mulai
merasakan rasa sakit pada bagian perut seperti mau melahirkan.
Pada saat itu ia ditemani keluarga yaitu ayah, ibu dan
saudaranya di rumah. Keluarga Sari memberitahukan pada
suami Sari bahwa istrinya akan melahirkan. Besar harapan
keluarga agar suaminya pulang untuk memberikan dukungan
pada Sari. Namun sayang suaminya tidak datang selama proses
persalinan berlangsung. “…suami Sari di Ternate, sedangkan dia
disana dipanggil kesini tidak mau dia.”
Meskipun tidak didampingi suami namun keluarganya
selalu menemani Sari. Pada hari ke-empat, barulah keluarganya
memanggil topo tawui. Hal itu dikarenakan Sari mulai tidak
tahan dengan rasa sakit perut yang dialaminya, seperti
penuturan papa Sari berikut ini:
“….mulai (sakit perut) hari sabtu itu nanti kamis pagi
baru melahirkan. Namanya manusia begitu memang ada
yang menderita. Nanti mulai malam rabu itu saya panggil
neneknya…(topo tawui)”.
Topo tawui datang ke rumah Sari untuk membantu
persalinannya. Ia meniup kepala dan mengusap punggung Sari
sambil meniup dan membacakan mantera untuk memperlancar
proses persalinan. Pada saat membantu menolong persalinan,
topo tawui tidak pulang sama sekali dan menunggu hingga bayi
lahir. Seperti halnya saat menolong persalinan Sari, ia tidak
pulang sama sekali ke rumahnya.
Menurut topo tawui Sari susah melahirkan dikarenakan
perbuatannya kepada orangtuanya yang dirasa kurang sopan.
Menurutnya Sari memperlakukan kedua orangtuanya layaknya
kakak adik. Dalam berbicarapun tidak ada sopan santunnya.
Menurut topo tawui pantangan perbuatan selama hamil salah
155
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
satunya ialah harus menghormati orangtua dan tidak boleh
memperlakukan mereka layaknya seorang teman. Apabila hal itu
dilanggar maka dapat menyebabkan persalinan sulit.
Topo tawui mengalami kesulitan saat membantu
persalinan Sari. Namun ia tidak membuatkan adat untuk
memperlancar persalinan Sari. Hanya tiupan dan mantera yang
ia berikan pada Sari. Keesokan harinya Pada hari Rabu, 11 Juni ia
meminta keluarga Sari untuk memanggil bidan. Sekitar pukul
sembilan pagi keluarga Sari memanggil bidan, namun bidan baru
datang kerumahnya pada sore hari, seperti uraian Sari berikut
ini:
"Sambung saya punya ipar, tidak mau itu dia itu.
Bagaimana itu dia kasih tau. Mana itu bidan, tidak
kemari?, kemudian bidan baru datang jam lima.”
Senada dengan Sari, mama Sari membenarkan kejadian
tersebut. Menurutnya bidan capek sehingga tidak bisa segera ke
rumah Sari, "Datang panggil bidan tidak datang, nanti sore jam 4
baru dateng. Apa dia bilang katanya capek."
Selain itu menurut salah seorang tetangga Sari salah satu
penyebab keterlambatan bidan datang ke rumah Sari
dikarenakan ia tidak pernah periksa ke bidan sama sekali. Setelah
bidan datang ke rumah Sari, ia kemudian memeriksa kondisi Sari.
Pada saat itu bidan juga memberikan infus untuk Sari. Pada saat
itu bidan tidak mampu menangani Sari. Oleh sebab itu bidan
menyarankan Sari untuk segera di rujuk ke RS AKO. Orangtua Sari
sempat meminta bidan untuk merujuk langsung ke Palu. Namun
hal itu tidak dapat dilakukan karena menurutnya Sari masih bisa
ditangani di RS AKO.
Untuk meminimalisir biaya persalinan yang harus
dikeluarkan selama dirujuk, keluarga Sari meminjam kartu
jamkesmas dan KTP pada tetangganya. Mereka berharap dengan
156
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
meminjam kartu dapat meringankan biaya rumah sakit. Hal
tersebut dikarenakan Sari meninggalkan surat-surat penting
seperti KTP dan jamkesmasnya di Ternate, seperti penjelasan ibu
dari Sari berikut ini:
“…disini baku pinjam atas nama gitu, pake punya mama
Lilis… Sari inderia Jamkesmasnya naboli di Ternate
Jamkesmasnya (Sari tidak ada jamkesmasnya tertinggal
di Ternate Jamkesmasnya)."
Berkas yang dipinjam seperi KTP dan kartu jamkesmas ia
fotokopi untuk dibawa ke RS AKO. Merujuk pasien dari Desa
Wulai tidaklah mudah mengingat kondisi geografis yang
terkadang sulit untuk dilalui. Pada umumnya setiap dusun
dipisahkan oleh sungai. Apabila musim hujan arus sungai
menjadi deras dan sulit untuk dilalui moda transportasi.
Ketiadaan jembatan sebagai penghubung antar dusun juga
menjadi salah satu kendala untuk menuju dusun lain terlebih
bila harus keluar desa. Seperti halnya Sari yang harus dirujuk ke
RSUD Kabupaten Mamuju Utara (RSUD AKO). Sebelum di bawa
ke RSUD AKO bidan menelpon ambulans. Biaya yang harus
dikeluarkan untuk pengganti uang bensin ambulans ke RSUD
AKO sebesar 150 ribu rupiah untuk sekali jalan. “Dibayar semua
itu 150 ribu. Dari bendungan lain juga itu 150 ribu.”
Ambulans tidak dapat menjemput Sari di rumahnya yang
terletak di Dusun Watubete, ambulans menunggu di bendungan
Dusun Ujung baru dikarenakan tidak dapat melewati arus
sungai. Untuk menuju Dusun Ujung baru dari Dusun Watubete
ditempuh dengan melewati Sungai Wulai dan Sungai Ujung
baru. Oleh karena itu tetangga Sari meminta bantuan truk pabrik
untuk mengantarnya ke Dusun Ujung baru. Mengangkat ibu
hamil ke atas truk tidaklah mudah namun Sari tinggal di rumah
tinggi yang memudahkannya dipindahkan ke dalam truk.
157
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Aih..setengah mati, banyak kami kasih naik itu,
pokoknya sekitar lima orang kami diatas baru berapa
orang dibawah, dorong di bawah.”
(Informan Ka, Saudara Sari)
Sari dibawa ke RS AKO pada hari Rabu, 11 Juni 2014
sekitar pukul 18.00. Sari yang sedang dalam kondisi lemah duduk
dibelakang supir. Bersama kedua orangtuanya, paman, topo
tawui dan bidan mereka turut mengantar Sari ke RS AKO.
Keluarga mengajak serta topo tawui dengan harapan topo tawui
dapat membantunya mengambil keputusan. Setelah naik truk
pasakora menuju ke Dusun Ujung baru. Rupanya ambulans sudah
menunggu di bendungan Dusun Ujung baru. Perjalanan dari Desa
Wulai menuju RS AKO ditempuh dalam waktu kurang lebih satu
setengah jam.
“Naik mobil Pasakora jam 6, baru tinggi juga. diangkat
dari warung kemudian ditaruh dibelakang sopir.
Ambulans menunggu di bendungan.”
(Nanto, Tetangga Sari)
Sesampainya di rumah sakit. Sari ditangani oleh petugas
di RS AKO. Ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan mereka
saat memeriksanya. Menurutnya mereka kurang sopan
dikarenakan mereka memeriksa sambil tertawa. Selama dirawat
di RS ia mendapatkan dua infus. Pada saat ia pulang, ia tidak
mendapat obat, suntikan dan lain-lain. Ia pun diminta membayar
untuk dua infus sebesar 250 ribu rupiah. Berikut seperti halnya
penuturan Mama Sari, "…berapa jam memang itu. Baru infus
dicabut semua. Baru berapa infus saya bayar 250 ribu cuma satu
jam tiada kasih obat.”
Tak lama berselang, keluarga Sari mendapat informasi
bahwa ia tidak dapat melahirkan di RS AKO dengan alasan belum
cukup bulan untuk melahirkan. Padahal menurutnya sudah
158
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
hampir 10 bulan ia mengandung. Mereka memberikan batasan
waktu untuk segera membawa Sari ke Palu.
"Pas turun dari mobil sampe sana sudah pulang itu
ambulans itu yang kita naik dari sini kasih tau itu tidak
mampu disini. Dia bilang “Eh jangan melahirkan disini,
kalo terjadi apa-apa tidak bertanggung jawab” soalnya
bayinya masih anu belum apa itu belum genap bulan."
(Sari).
“Disini pak jam 9 batasnya disini, kalo jam 9 kalo ada
apa-apa lagi kita punya risiko itu bukan kami lagi. Saya
tanya lagi itu jam 9 kapan besok? Bukan jam 9 sekarang
ini, gelisah sudah saya punya hati ini.”
(Papa Sari)
Dikarenakan RS AKO tidak mampu menangani maka
mereka meminta pihak keluarga Sari untuk menandatangani
persetujuan. RS AKO juga tidak bertanggung jawab apabila terjadi
apa-apa dengan Sari bila lewat dari jam sembilan malam. Kala itu
keluarga Sari seolah dalam kebimbangan. Pertimbangan demi
pertimbangan mulai dipikirkan. Persoalan mengenai biaya yang
harus dikeluarkan menjadi pemikiran utama mereka. Mulai dari
uang pengganti bahan bakar ambulans ke Palu yang mencapai
Rp. 850 ribu untuk sekali jalan. Terlebih Sari tidak mempunyai
kartu Jamkesmas. Pengalaman dari orang lain pun juga turut
menjadi pertimbangan mereka.
“Oo kalo jadi ke Palu itu berpikir anu itu. Sedangkan dari
sini sekitar 850 sekali jalan, sedangkan disana belum
tentu itu kartu tidak ada, tidak lengkap apalagi orang
Tosonde pergi ke Palu sudah lengkap bayar 2,5 juta
itu…” (Papa Sari)
159
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mereka juga meminta saran topo tawui bagaimana
baiknya. Topo tawui menyarakan untuk membawanya pulang ke
rumah. Berikut seperti halnya penuturan papa Sari:
“...tinggal sudah mau tanda tangan itu waktu mau pigi ke
Palu. Cuma saya batolak itu, bapikir itu lama saya
berpikir itu Saya tanya ke kakak, bagaimana itu kalo
kamu ikut saya ke Palu. Tidak tahan saya dia bilang baru
bawa ke atas saja (pulang ke desa).”
Akhirnya mereka memutuskan untuk membawa Sari
pulang. Petugas rumah sakit menyayangkan kondisi ini. Dia
mengatakan “hai na rugi komi manjili, kasian anak itu manjili (hei
rugi kamu kalau pulang. Kasian itu anak kalo pulang)".
Pertimbangan biaya menjadi satu alasan Sari tidak dibawa ke
Palu. Apabila harus dibawa ke Palu keluarga juga harus
memikirkan biaya lain yaitu uang untuk mereka makan selama
disana, seperti halnya penuturan Mama Sari berikut, “Biar jo,
baru ditanya berapa ambulans pergi menuju ke Palu Rp. 850
perginya, belum uang makannya, belum apanya.”
Sebelum pulang mereka mengurus administrasi atau
biaya perawatan selama di rumah sakit. Saat itu mereka
menunjukkan kartu Jamkesmas yang dipinjam dari tetangganya.
Sayang harapan untuk mendapat perawatan gratis dengan
menunjukkan kartu Jamkesmas tidak mereka dapatkan. Hal itu
dikarenakan Jamkesmas yang mereka bawa bukanlah milik Sari
melainkan pinjam dari tetangganya. Berikut penuturan mama
Sari:
“Tiada terima, dikomputer semua. Tidak bisa kalo tidak
ada KTP nya. Diliat sama mukanya baru diliat semua
muka baru ditau sudah mukanya ini namanya ini. Jangan
memang dicoba-coba. Kalo mau dicuri jangan memang,
tidak bisa itu dicuri. enta lenje e nentani la lenje, e nulina
inde sangana e lenje e sangana (dilihat mukanya tidak
160
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
sama, ini bukan namanya. Lain muka lain namanya).
Apalagi pake mencuri, terima kasih. Biar dimana kamu
sudah tau semua.”
Akhirnya keluarga Sari membayar biaya perawatan rumah
sakit. Total biaya yang dikeluarkan untuk merujuk Sari tanpa
jamkesmas ialah 550 ribu rupiah. Dengan rincian 250 ribu biaya
perawatan di RS dan 300 ribu biaya ambulans pulang pergi. Hal
itu pula yang mendukung keputusan untuk membawanya pulang,
seperti uraian Mama Sari berikut ini:
“Lebih baik age manjili. mana mo. inde na mampu Palu.
Manjili. Melau di Palu doi inderia. Manjili.”
(lebih baik segera pulang, tidak bisa. Tidak mampu di
Palu. Pulang. Pergi ke Palu uang tidak ada. Pulang).
Setelah menyelesaikan pembayaran mereka kembali
pulang dengan diantar ambulan. Awalnya ambulan hanya mau
mengantar sampai di bendungan Dusun Ujung baru. Hal tersebut
dikhawatirkan bila mobil ambulan mogok saat melewati sungai.
Pada saat itu air sungai hanya mencapai lutut. Marah dan kecewa
Papa Sari rasakan saat itu, seperti penuturan saudara Sari berikut
ini:
“Maunya dia kasih turun di bendungan marah sudah
bapak Sari. Bagaimana kamu kalo kasih turun disini
dorang sakit begitu tidak bisa jalan, kami pake apa antar
mereka begini. Dia paksa sudah sampai disni. Maunya
dia kasih turun disana disebrang koala baru dia pulang.”
Hal itu membuat papa Sari dalam kebingungan dan mulai
mencari jalan keluar. Membawa ibu hamil menyebrangi sungai
pada malam hari tidaklah mudah. Akhirnya ia meminta bantuan
operator alat berat untuk mengangkat ambulan apabila mogok di
sungai. Berikut penuturan Papa Sari:
161
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Sedangkan satu yang terakhir yang mau naik itu saya
paksa dia itu. Tdak mau lagi dia baku bantah lagi itu kita,
saya kasih bangun itu orang basecamp disitu, kalo
ternanam mobil kita bantu dulu, air cuma sampai lutut
tidak mau dia.”
Akhirnya ambulans pun mau mengantar Sari. Pada saat
itu keluarga Sari tidak langsung membawanya pulang ke rumah.
Mereka mampir ke Poskesdes Wulai untuk meminta
pertimbangan bidan bagaimana baiknya. Namun sayang rasa
kecewa kedua kalinya mereka alami. Pada saat itu mereka tidak
bisa menemui bidan di Poskesdes dikarenakan bidan bermalam
dikebunnya.
“Sampai dibawa disitu (Poskesdes) dikampung ditanya
bidan dimana bidan tiada disini dikebun saja. Astaga..
lebih baik pulang saja. Kalo tidak mampu bidan bawa
pulang saja.” (Mama Sari)
Pukul sepuluh malam Sari baru sampai dirumahnya.
Keluarga Sari agaknya menyesal karena sudah membawa Sari ke
AKO tetapi tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya merekapun
kembali pulang dalam kondisi Sari belum juga melahirkan. Uang
yang mereka keluarkan juga tidaklah sedikit. Merekapun telah
mengalami kelelahan fisik setelah lima hari merawat Sari
dirumah. Berikut penjelasan Papa Sari:
“Aih... lebih baik di rumah sendiri saja kalo begitu. cuma
itu sore-sorenya bidan datang itu bilang lebih baik
datang ke AKO saja jangan bertahan disini. Kalo tidak
kesana itu tetap disini. Cuma disuruh tidak enak juga,
tidak juga bisa menolak kita tugasi di kampung juga.”
Sesampainya di rumah, rasa sakit di perut Sari semakin
menjadi. Topo tawui berusaha membantunya untuk melahirkan.
Tiupan demi tiupan diberikan pada Sari. Ia merasakan lelah
162
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dikarenakan tidak beristirahat terlebih ditambah menemani Sari
ke rumah sakit. Hingga akhirnya ia menyerah dan memutuskan
untuk pulang sebelum Sari melahirkan. Berikut pernyataan
saudari Sari berikut ini:
"...sedangkan itu Pak Li menyerah juga dia, belum
melahirkn dia sudah pulang itu, sekitar jam dua dia
pulang. Tidak mampu lagi dia itu."
Topo tawui juga manusia. Sebagai layaknya manusia ia pun
mempunyai keterbatasan. Ia menyerah dan meninggalkan Sari
dan keluarganya. Disaat Sari akan melahirkan, saat itu juga ia
pulang. Tinggallah Sari, keluarga dan saudaranya yang masih
bertahan menunggu Sari. Apabila pada kebanyakan persalinan di
rumah dilakukan dengan duduk diatas bangku kecil. Namun,
dikarenakan kondisi Sari yang semakin lemah. Ia melahirkan
sambil tidur atau berbaring. Saat itu tidak banyak lagi yang
menemaninya saat melahirkan. Hanya kedua orangtuanya,
pamannya dan sesekali saudaranya menengok ke rumah Sari.
Tidak ada tiupan atau mantera yang diberikan pada Sari. “Cuma
begitu saja diliat-liat begitu saja. dikasih biar begitu saja. Cuma
kuasa Tuhan saja…”
Sekitar pukul tiga dini hari ia melahirkan bayi
perempuan. Kemudian dengan cekatan Pak Ijak yang merupakan
paman Sari memotong tali pusar bayi. Pada saat lahir bayinya
tidak menangis. Tampak kulit bayi berwarna kuning. Bayinya
sempat bernafas meski hanya sesaat.
“Ada sedikit itu, barangkali tidak cukup lima menit baru
mukanya kuning-kuning. Kata dokter disana masih
kurang bulan. Kalo kami disini kalo sudah ada kukunya
berarti udah cukup.” (Papa Sari)
Dan kini bayi perempuan itu telah meninggal. Bayi Sari
yang belum diberi nama itu dibungkus dengan menggunakan
163
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kain sebelum akhirnya dimakamkan. Menurut masyarakat
apabila bayi mati ketika usia kandungan diatas tujuh bulan,
maka akan dimakamkan disamping rumah. Berbeda halnya
apabila bayi yang mati karena keguguran. Berikut seperti halnya
penuturan JS berikut ini:
"Disini kalo anak kecil lahir umpama lahir mati dikubur
pinggir rumah, kalo baru gugur enam bulan atau tujuh
baru dibawah rumah."
Cucu pertama yang mereka dambakan telah meninggal.
Pun demikian dengan Sari, ia tidak sedih maupun menangis
ketika mendapati bayinya telah tiada. Hal itu dikarenakan sudah
menjadi ajal bagi bayinya.
“Menangis-menangis makin pusing, terakhir kita juga
yang ikut bayi. Biar kita menangis mana mungkin hidup
ulang, paling-paling kita tidak tau janjinya entah itu pagi
atau siang, kalo mati dibunuh baru menangis. kalo mati
diambil Tuhan tidak bisa menangis." (Sari)
Sari dan keluarganya sudah pasrah dengan meninggalnya
bayi Sari. Kalaupun keluarga Sari mengikuti perintah petugas di
RS AKO untuk merujuk ke Palu, belum tentu bayinya hidup. Lima
hari sudah ia mengalami sakit perut. Menurut Sari air ketubannya
sudah kering. Jadi apabila dibawa ke Palu mungkin bayinya tetap
meninggal. Berbeda halnya apabila ia ditolong mertuanya yang
juga seorang dukun di Gorontalo. Kemungkinan besar bayinya
masih hidup bila melahirkan ditolong oleh mertuanya
dibandingkan dirujuk lagi ke Palu.
"Kalo di mertua saya berani saya, tapi belum tentu juga
dioperasi apa mertua saya dukun to. Sedangkan kalo dari
rumah sakit kalo tidak mampu panggil dia..." (Sari)
164
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Kematian bayi yang baru saja dialami keluarga Sari
merupakan hal yang biasa. Mereka pun tidak terlalu memikirkan
hal itu. Pemulihan Sari pasca melahirkan lebih penting daripada
menyesali kematian bayi. Setelah melahirkan Sari hanya tidur dan
berbaring dirumahnya. Sari tidur di beranda rumahnya.
Hembusan dinginnya angin pada malam hari nampaknya tidak ia
hiraukan. Hingga hari ke dua pasca melahirkan ia hanya tidurtiduran. Terlihat sarung yang digunakan untuk menutup
tubuhnya. Menurut Mama Sari saat ini anaknya masih sakit dan
apabila banyak bergerak. Sehingga Sari hanya menggunakan
sarung. Ia tidak diberi apa-apa termasuk obat untuk memulihkan
kondisinya. Hanya istirahat yang cukup yang ia lakukan saat ini.
“Kasih biar saja dia, tiada uang bebeli obat.”
Kasus Kematian Bayi Ibu Yani
Kematian bayi di Desa Wulai juga terjadi di Dusun Saluwu
pada tahun 2013. Dusun Saluwu berada di sebelah Utara Dusun
Watubete. Untuk menuju Dusun Saluwu tidaklah mudah, jalan
setapak bebatuan harus dilalui sepanjang jalan menuju dusun.
Jalan ini hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau
menggunakan sepeda motor. Dari Dusun Watubete diperlukan
sekitar 45 menit dengan berjalan kaki. Sedangkan apabila
menggunakan sepeda motor dapat ditempuh sekitar 15 menit.
Saat hujan deras turun, akses menuju dusun akan terputus
dikarenakan meluapnya air sungai. Jalanan pun menjadi licin
sehingga harus lebih hati-hati melewati jalan ini selama
perjalanan.
Kematian bayi yang terjadi di Dusun Saluwu merupakan
bayi dari Yani (bukan nama sebenarnya). Kasus ini terjadi
tepatnya pada bulan Oktober 2013. Ini merupakan kehamilan
pertamanya setelah tiga tahun menikah. Pada tanggal 25
September 2010 ia menikah dengan AR yang adalah asisten
165
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pendeta Gereja Toraja Mamasa di Dusun Saluwu. AR berasal dari
Desa Kalukunangka dan pernikahan dengan ibu Yani adalah
pernikahan keduanya. Mereka bertemu di desa itu dan tak lama
berselang memutuskan untuk menikah. Sebelumnya dari
pernikahan pertamanya ia telah dikaruniai empat orang anak.
Keseluruhan anak dari istri pertamanya dilahirkan di rumah
dengan bantuan topo tawui di Desa Kalukunangka. Saat ini
semua anaknya berada dalam pengasuhan mantan istrinya.
Setelah menikah dengan Yani, AR tinggal di Desa Wulai.
Setiap hari minggu suami Yani memimpin ibadah di Gereja
Toraja Mamasa di Dusun Saluwu. Selain sebagai pendeta,
aktivitas sehari-hari yang dilakukannya adalah bercocok tanam.
Yani pun turut membantu pekerjaan suaminya di kebun. Mereka
berangkat ke kebun pada pagi hari dan pulang saat senja tiba.
Aktivitas berkebun juga dilakukan Yani ketika sedang hamil.
Ketika hamil, Yani tiga kali memeriksakan kehamilan ke
bidan yang bertugas di Poskesdes. Saat memeriksakan
kehamilan ia ditemani suaminya pergi ke Poskesdes dengan
menggunakan sepeda motor. Meskipun sering memeriksakan
kehamilan ke bidan namun ia tidak merencanakan melahirkan di
fasilitas kesehatan. Ia merencanakan persalinan di rumah
dengan bantuan topo tawui. Oleh sebab itu keluarganya tidak
mempersiapkan biaya persalinan. Persalinan dengan bantuan
topo tawui tidak mengeluarkan banyak uang. Mereka akan
memberikan uang semampunya dan berdasar keikhlasan saja.
Pada umumnya mereka memberikan Rp. 50.000. Selain uang
mereka juga memberikan ayam peliharaannya. Topo tawui akan
memotong sedikit bagian belakang jengger ayam. Kemudian
topo tawui akan mengusapkan sedikit darahnya ke dahinya dan
dahi ibu yang melahirkan sembari membaca mantera.
Menjelang persalinan, suami Yani membangun pondok
yang berupa rumah tinggi yang dibangun di sebelah rumah
166
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
tempat tinggal mereka. Rumah tinggi yang dibangun itu
disiapkan khusus untuk persalinannya. Setelah itu, saat
persalinan pun tiba, ketika perut Yani sakit suaminya memanggil
topo tawui. Jika topo tawui tidak mampu menangani baru bidan
akan dipanggil, seperti penjelasan suami ibu Yani berikut ini:
"Iya ditiup dulu. Kan tidak mampu lagi. Ditiup dulu kalo
tidak mampu dukunnya dibawa ke bidan. Kalo tidak
mampu bidan bawa di rumah sakit."
Pada saat persalinan, topo tawui meniup bagian kepala
dan punggung ibu Yani sambil mengucapkan mantera. Setelah
dua hari dua malam bayi dalam kandungan Yani belum lahir
juga. Menurut topo tawui, persalinan sulit yang dialami Yani
dikarenakan adanya gangguan roh-roh halus yang masuk dalam
binatang peliharaan. Menurut kepercayaan masayarakat di Desa
Wulai jin atau setan dapat memasuki tubuh hewan peliharaan
seperti anjing, kucing, dan babi yang diyakini dapat mengganggu
proses persalinan.
Agar jin atau setan tidak mengganggu proses persalinan
maka topo tawui membuatkan adat untuk mengusir gangguan
jin. Untuk mengetahui hewan yang dirasuki oleh jin atau setan
maka topo tawui melakukan ritual adat yaitu ntari. Dilakukan
dengan menjengkalkan telapak tangan kanan topo tawui mulai
dari ujung lengan kirinya hingga mempertemukan kembali
kedua telapak tangan.
Ntari dilakukan sembari membaca mantera hingga kedua
telapak tangan bertemu. Apabila kedua telapak tangan tidak pas
saling bertemu satu sama lain, dipercaya bahwa proses
persalinan mengalami kesulitan dikarenakan hewan tertentu.
Topo tawui mengetahui hewan apa yang menganggu proses
persalinan. Hewan peliharaan seperti anjing, ayam dan babi
167
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang telah ditunjuk oleh topo tawui harus segera dibunuh.
Seperti halnya penuturan SM berikut ini:
“…seumpama dia tidak keluar to baru dia bikin biasa
dibikin itu ayam, babi, atau anjing. Sebelumnya juga ada
ceritanya to (menjengkalkan tangan ke lengan). Apabila
tidak sampai lagi. Itu namanya ntari. Kalo sudah setuju
atau pas kedua telapak tangan bertemu berarti itu babi.
Dibunuh ato dipotong terserah itu, kalo tidak sampai pas
kita cari lagi berapapun itu kita punya ayam atau babi
kita cari lagi. Kalo tidak anu babinya pindah ke ayam lagi
to.”
Begitu pula yang terjadi ketika persalinan yang dialami
Yani mengalami kesulitan. Menurut topo tawui yang membantu
proses persalinannya hal itu dikarenakan gangguan roh yang
merasuki binatang. Ia pun melalukan adat ntari agar diketahui
binatang yang menganggu selama proses persalinan. Menurut
topo tawui, anjing peliharaan Yani yang telah dirasuki setan
mengganggu proses persalinannya. Topo tawui pun meminta
suami Yani untuk membunuh anjing yang telah ditunjuk olehnya.
Demi kelancaran persalinan istrinya ia pun membunuh anjing
peliharaan yang telah ditunjuk oleh topo tawui. ”Pas itu bunuh
saja itu anjing.”
Membunuh binatang peliharaan merupakan salah satu
bentuk usaha yang ia lakukan agar persalinan istrinya lancar.
Menurut suami Yani apabila membunuh binatang yang
mengganggu selama persalinan maka bayi akan segera lahir.
Meskipun demikian ia mengakui upaya tersebut seringkali tidak
membuahkan hasil, berikut penuturannya, “Selama saya liat-liat
ada betulnya. Kita bunuh itu binatang langsung lahir…”
Sama halnya yang terjadi pada istrinya. Bayi yang
dikandung istrinya tidak segera lahir. Padahal ia telah membunuh
anjing peliharaan yang telah ditunjuk oleh topo tawui. Tidak ada
168
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
perubahan signifikan pada istrinya. Ia pun memutuskan untuk
memanggil bidan. Meminta bantuan bidan untuk menolong
persalinan bukanlah perkara mudah. Pengambilan keputusan
untuk melahirkan dibantu bidan harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari topo tawui. Maksud persetujuan ini ialah
apabila topo tawui merasa sudah tidak mampu lagi saat
menolong persalinan maka ia menyarankan kepada keluarga
untuk memanggil bidan.
Adat ntari yang dilakukan topo tawui bukanlah adat
terakhir. Masih ada adat sambulu yang dapat dilakukan agar
persalinan lancar. Oleh sebab itu keluarga besar Yani juga tidak
memberikan ijin untuk membawa Yani ke Poskesdes. Mengingat
masih banyak adat lain yang bisa dilakukan oleh topo tawui.
Namun rasa tanggung jawab sebagai seorang suami tidak
membuatnya diam. Ia pun bersikeras untuk memanggil bidan.
“Itupun kalo keluarga bilang kalo dia bilang jangan. Tapi
itu tanggung jawab saya. Kalo satu kali dua kali ditiup
tidak ada perubahan jelas...” (Suami Yani)
Belajar dari pengalaman sebelumnya ketika menghadapi
persalinan mantan istrinya. Menurutnya kebanyakan persalinan
sulit biasa dialami saat wanita pertama kali melahirkan. Ia pun
menyadari posisi istrinya saat ini juga baru kali pertama
melahirkan. Berbekal niat dan tekad yang bulat ia memanggil
bidan ke rumahnya, tak lama berselang kemudian bidan datang
memeriksa kondisi istrinya. Bidan meminta agar Yani segera
dibawa ke Poskesdes.
Membawa ibu yang akan bersalin ke Poskesdes bukanlah
perkara mudah. Kondisi geografis dan akses jalan menuju
Poskesdes merupakan salah satu bentuk kendala. Ia
membonceng istrinya dengan menggunakan sepeda motor ke
Poskesdes. Hampir empat jam istrinya dirawat di Poskesdes. Tak
169
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
lama berselang kemudian bidan meminta untuk segera di rujuk
ke Rumah sakit Undata Palu. Bidan kemudian mengatakan “kalo
bisa kita urus berkas-berkasnya kita urus ke Palu”. Tidak dapat
dibayangkan sebelumnya mengenai biaya persalinan yang akan
dikeluarkan. Hal itu dikarenakan mereka tidak berencana untuk
melahirkan di rumah sakit. Dengan berbekal jamkesmas dan
kelengkapan berkas yang ia miliki, ia membawa istrinya ke Palu.
Bidan memanggil ambulans untuk mengantar ke Rumah
sakit Undata Palu. Ia pun harus mengeluarkan biaya sekitar tujuh
ratus ribu rupiah untuk sekali jalan. Pada saat itu ia tidak memiliki
simpanan uang sama sekali. Ia pun kemudian memutuskan untuk
meminjam kepada saudaranya. Dengan berbekal kelengkapan
berkas ia ditemani adiknya merujuk istrinya ke Palu. Ambulans
yang telah dipanggil bidan sudah menunggu di bendungan Dusun
Ujung Baru. Tidaklah mudah untuk menuju bendungan dari
Poskesdes yang terletak di Dusun Watubete. Hal itu dikarenakan
untuk menuju Dusun Ujung baru harus menyeberang Sungai
Wulai dan Sungai Ujung Baru. Ia memikul istrinya menuju
bendungan dengan dibantu warga sekitar tepat pukul satu dini
hari. Berikut penuturan suami Yani:
“Ambulans jemput di bendungan. Kalo di Poskesdes
dipikul jam satu malam. Panggil topo tawui tidak ada
perubahan.”
Sesampainya di Rumah Sakit Undata Palu, istrinya
kemudian melahirkan putri pertamanya melalui persalinan
normal. Dua jam pasca melahirkan pihak rumah sakit
menginformasikan bahwa anaknya sakit. Pada saat itu ia tidak
mengetahui dengan jelas mengenai penyakit anaknya. Pihak
rumah sakit juga menginstruksikan untuk mengurus berkas
administrasi agar segera dilakukan perawatan lebih lanjut pada
bayinya. Namun takdir berkehendak lain. Putri pertamanya telah
170
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dipanggil oleh yang maha kuasa. Kesedihan pun menyelimuti
keluarga kecil mereka. Ada rasa penyesalan dalam benaknya.
Seandainya ia membawa istrinya untuk melahirkan dengan
bantuan bidan mungkin anaknya masih bisa selamat. Apalagi
tiupan topo tawui tidak membuahkan hasil selama dua hari dua
malam. Berikut pernyataan suami Yani:
“Ini pengaruhnya terlalu lama seandainya begitu sakit
langsung ke RS mungkin selamat, seandainya saya tidak
berkeras tidak dibawa kesana. Ini nyawa bukan kita yang
menentukan”
Belajar dari pengalaman ia pun menyarankan kepada ibu
yang akan bersalin di topo tawui sebaiknya tidak perlu menunggu
lama pengaruh tiupan topo tawui. Apabila satu atau dua kali
ditiup dan tidak ada perubahan sebaiknya segera meminta
bantuan bidan. Tidak perlu menunggu hingga berhari-hari sampai
bayi lahir melainkan cukup satu hari saja, seperti penuturannya
berikut, “Seumpama ada orang hamil atau melahirkan satu
malam tidak bisa ditiup lebih baik bawa ke bidan.”
4.3. Pemilihan Penolong Persalinan antara Topo Tawui dengan
Bidan Kesehatan
Berdasarkan dua studi kasus kematian bayi yang terjadi di
Desa Wulai maka cukup memperlihatkan kecenderungan
masyarakat Wulai yang memilih melahirkan ditolong dukun (topo
tawui) dibandingkan ditolong tenaga kesehatan (bidan).
Persalinan dengan ditolong dukun merupakan salah satu bentuk
permasalahan kesehatan yang masih banyak terjadi di Indonesia.
Pada kenyataannya, masyarakat lebih memilih melahirkan
dengan ditolong oleh dukun. Tradisi dan adat istiadat setempat
menjadi salah satu alasan pemilihan penolong persalinan
(Anggorodi, R., 2009).
171
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Masyarakat Kaili Da’a Wulai terbiasa melahirkan di rumah
dengan bantuan dukun atau yang mereka sebut dengan topo
tawui (orang yang bisa bertiup). Topo tawui adalah orang yang
dapat menyembuhkan penyakit, ada yang laki-laki dan
perempuan, namun tidak semua topo tawui dapat membantu
persalinan. Saat ini topo tawui yang terkenal dapat membantu
persalinan di Desa Wulai ada tiga orang yaitu Bapak AS, LI, dan SI.
Bapak AS biasa membantu persalinan masyarakat yang tinggal di
Dusun Wulai Satu dan Sinjanga. Bapak LI membantu persalinan
masyarakat yang tinggal di perkampungan Pinora’a Dusun
Watubete dan Bapak SI di Dusun Saluwu. Usia mereka sekitar 50
tahun ke atas dan terkadang masyarakat menyebut mereka
dengan sebutan orang tua.
Teori perilaku kesehatan dari Lawrence Green digunakan
untuk membahas mengapa masyarakat Wulai lebih memilih
melahirkan di rumah dengan ditolong topo tawui. Menurut
Lawrence Green kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku
(non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor yaitu
(Sarwono, 1993: 65):
1. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan individu,
sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur
lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.
2. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya
sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk
mencapainya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan
perilaku petugas kesehatan
172
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Faktor Predisposisi
Pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat
dibutuhkan dalam rangka perubahan pola pikir dan perilaku
dalam masyarakat (Amilda, 2010). Faktor predisposisi yang
terlihat pada masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah masyarakat
memiliki pengetahuan bahwa melahirkan di rumah dengan
dibantu keluarga atau topo tawui adalah hal yang biasa saja atau
sesuatu yang wajar dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Mereka terbiasa melahirkan di rumah karena sudah dilakukan
secara turun temurun oleh nenek moyang mereka dan sudah
merupakan tradisi, seperti pernyataan informan NT berikut ini:
"Bagaimana mau takut yang begitu (melahirkan di
rumah) tidak ada yang perlu ditakuti. Kalo dikejar
dengan parang memang baru takut apa luka kita itu,
pasti luka mati, kalo yang begitu kan jalannya bayi lahir.
Orang-orang dari nenek moyang sudah itu memang.
Penyakit orang banyak itu bukan hanya satu...”
Persalinan dianggap hal yang biasa juga terlihat pada
pengalaman ibu ET ketika melahirkan anak kelimanya. Ketika ia
melahirkan tidak ada seorang pun yang mengetahui. Saat itu ibu
ET baru saja berjalan keluar mengambil air kemudian perutnya
terasa sakit. Ia merasa sudah waktunya ia melahirkan maka ia
segera mengambil sarung kemudian menggantungkannya ke
tiang rumah. Tidak ada rasa kekhawatiran pada dirinya ketika
hanya seorang diri melahirkan karena keempat anak sebelumnya
juga lahir di rumah tanpa bantuan bidan. Setelah itu ia duduk di
atas bangku kayu kecil. Ia pun mengedan sambil tangannya
memegang sarung yang diikat ke tiang sebagai tumpuan. Sesudah
bayinya lahir, baru adiknya datang kemudian memanggil bidan
untuk memotong tali pusat.
173
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kalo yang si kecil itu, berapa e 2 jam itu. Disini saya bawa
jalan-jalan saja beambil air, kalo tidak bisa berjalan ini
sudah mi keluar dulu dia. Jadi tidak ditau orang. Nanti
kalo sudah ada suara anak-anak baru di tau.
Masyarakat Kaili Da’a Wulai lebih memilih melahirkan
ditolong topo tawui dibandingkan ditolong bidan dikarenakan
mereka lebih mempercayai kemampuan topo tawui dalam
menolong persalinan. Masyarakat lebih mempercayai topo tawui
karena topo tawui dapat menolong persalinan tanpa
menggunakan alat. Topo tawui hanya meniup kepala dan perut
ibu hamil sambil mengucapkan mantera (dowa). Berbeda dengan
bidan yang menggunakan peralatan medis ketika membantu
persalinan, seperti penuturan topo tawui SM berikut ini:
“…kita liat dulu to sakitnya kalo mau keluar baru kita
ditiup karena itu anak-anak didalam begitu satu jam atau
setengah jam dia masih berputar-putar to. Kalo satu jam
belum keluar ditiup lagi”.
Hal serupa diungkapkan oleh ibu SE yang menyatakan jika
melahirkan ditolong topo tawui cukup dengan ditiup saja.
Berbeda jika ditolong bidan dimana tangan bidan akan masuk ke
kemaluan dan jika bayi tidak kunjung keluar maka kemaluan akan
digunting, berikut penuturan ibu SE:
“Yang batiup itu topo tawui, ditiup kepala dan perut.
Kalo sama ibu bidan kemaluan dilihat pake senter,
dipegang-dipegang, tangan bidan masuk. Kalo tidak
keluar anak, kemaluan digunting.”
Masyarakat Kaili Da’a mempercayai bahwa makhluk ghaib
seperti setan dapat mengganggu manusia. Salah satu alasan yang
dikemukakan masyarakat mengapa tidak mau melahirkan di
Poskesdes adalah karena banyak setan. Jika ibu yang akan
melahirkan diganggu setan maka proses persalinannya akan
174
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
terganggu yang dapat mengancam keselamatan ibu dan bayinya,
seperti diungkapkan oleh ibu TE berikut, “Kalau melahirkan di
Poskesdes atau Puskesmas itu banyak yang mengganggu.”
Selain itu sebagian masyarakat juga mempercayai bahwa
ibu tidak boleh melahirkan di rumah yang ia tinggali sehari-hari.
Ibu mesti melahirkan di pondok kecil yang dibangun disamping
rumah. Untuk menentukan lokasi pondok ini maka topo tawui
akan melakukan ritual membawa air di dalam bambu dalam
posisi terbalik kemudian mengelilingi tiang pondok tersebut. Jika
air di dalam tumpah tidak maka lokasi pondok tersebut sudah
tepat karena disitulah tinggal makhluk yang dapat menjaga
keselamatan ibu dan anak. Hal ini dijelaskan oleh informan RI
berikut ini:
“Diisi air di dalam bambu itu kemudian ditawui baru
dikasih keliling mana tiang yang kita tanam disitu, kalo
balik kesini kesana itu tidak tetumpah air maka disitulah
tempat pondok itu, bisa untuk tempat melahirkan.”
Faktor lain yang membuat masyarakat Kaili Da’a Wulai
lebih memilih melahirkan di rumah dibandingkan di Poskesdes
atau Puskesmas adalah adanya kepercayaan bahwa bayi yang
baru lahir tidak boleh dibawa keluar sebelum tiga malam setelah
dilahirkan. Mereka mempercayai jika bayi yang belum berusia
tiga malam dibawa keluar rumah maka bayi akan diganggu setan
yang dapat mendatangkan penyakit bagi bayi. Setelah tiga malam
bayi boleh keluar rumah karena telah melakukan ritual adat
Nitau, seperti uraian ibu ET berikut ini:
“Kalo kita melahirkan di Puskesmas kalo belum cukup 3
malam belum bisa pulang begitu, itu anak-anak kecil itu
belum bisa turun itu. Itu kalo kita melahirkan di
Puskesmas jauh begitu usahakan hari itu lahir usahakan
hari itu juga pulang jangan bermalam. Kalo sudah
bermalam kita disitu kita tidak bisa pulang itu. Nanti tiga
175
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
malam tu. Habis semua itu anu adatnya kita baru bisa
pulang.”
Senada dengan penuturan ET, informan MW
menjelaskan apabila bayi yang lahir di pelayanan kesehatan
seperti Poskesdes sebaiknya segera dibawa pulang setelah
dilahirkan agar dapat melakukan adat turun tanah (nitau)
setelah ketiga malamnya. Biasanya pihak keluarga akan
membawa pulang bayi setelah dilahirkan. Sedangkan ibu bayi
berada di Poskesdes untuk menjalani tahap pemulihan pasca
melahirkan. Berikut penuturan informan MW, “Kalo lahir di
pustu bawa pulang memang satu hari baru nanti tiga hari tidak
boleh kemana-mana sampai di nitau.”
Terlepas dari hal tersebut masyarakat Wulai mempercayai
bahwa setiap penyakit ada sumbernya dan sumber penyakit bisa
bermacam-macam. Penyakit bisa bersumber dari binatang, adat
yang tidak terselesaikan atau melanggar pantangan. Dalam kasus
persalinan, jika ibu tidak kunjung melahirkan setelah dua atau
tiga hari sakit perut, maka topo tawui akan mencari sumber dari
kesulitan ibu.
Cara yang dilakukan topo tawui adalah dengan melakukan
ntari yaitu menjengkalkan jari tangannya dari bahu sampai
telapak tangan sambil membaca mantera. Ketika kedua telapak
tangan topo tawui sudah bertemu itu artinya topo tawui sudah
mengetahui binatang apa yang harus dipotong untuk
menghilangkan sumber penyakit. Berikut penjelasan informan
SM yang adalah topo tawui:
“…seumpama dia tidak keluar to baru dia bikin biasa
dibikin itu ayam, babi, atau anjing. Sebelumnya juga ada
manteranya to (menjengkalkan tangan ke lengan).
Apabila tidak sampai lagi. Itu namanya ntari. Kalo sudah
setuju atau pas kedua telapak tangan bertemu berarti
itu babi. Dibunuh ato dipotong terserah itu, kalo tidak
176
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
sampai pas kita cari lagi berapapun itu kita punya ayam
atau babi kita cari lagi. Kalo tidak anu babinya pindah ke
ayam lagi to.”
Apabila setelah melakukan adat ntari bayi tidak kunjung
lahir maka topo tawui akan membuat adat yang disebut sebagai
sambulu. Adat sambulu juga biasa ditemui pada saat upacara
pernikahan adat berlangsung. Topo tawui kemudian menyiapkan
daun sirih, pinang yang dibelah dua dan abu dari kerangka siput
(tela). Sembari membacakan mantera ia meminta bantuan pada
penguasa alam agar persalinan berjalan lancar. Sambulu
merupakan upaya terakhir yang dibuat oleh topo tawui.
Kebanyakan masyarakat menganggap setelah melakukan
sambulu maka beberapa saat kemudian anak akan lahir. Jika
kedua adat ini sudah dilakukan hingga kemudian topo tawui
menyerah maka barulah meminta pertolongan bidan, seperti
pernyataan informan DC berikut ini:
“Jadi pada saat barangkali belum itu lahir itu lama biar
satu hari satu malam tidak dipanggil itu bidan, kalo
sudah menyerah dukun baru itu panggil bidan. Karena
itu dukun banyak mantra-mantranya”.
Namun tidak semua topo tawui melakukan hal ini, yang
biasa melakukan adat ini topo tawui yang tinggal di Dusun
Saluwu, seperti yang terjadi pada kasus kematian bayi ibu Yani.
Suami ibu Yani membunuh anjing karena menurut topo tawui
anjing tersebut kemasukan roh jahat yang menyebabkan istrinya
sulit melahirkan. Setelah anjing dibunuh istrinya belum juga
melahirkan sehingga keluarga memanggil bidan. Bidan juga tidak
bisa menangani maka istrinya harus dirujuk ke rumah sakit.
Keputusan kapan saatnya memanggil bidan terletak pada
topo tawui. Jika semua adat telah dilaksanakan dan bayi tidak
kunjung lahir maka topo tawui baru akan menyerah dan
177
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menyarankan keluarga untuk memanggil bidan. Apabila topo
tawui tidak dapat menangani maka masyarakat baru akan
memanggil bidan, seperti diungkapkan informan RJ berikut ini:
“Disini kebanyakan melahirkan dirumah, dia kembali di
tauwi (ditiup) tadi itu bahasa disini. Dia kembali ditawui
melalui dukun yang betawui itu tadi. Kalo topo tawui
tidak bisa baru kita kembali ke bidan kesehatan itu tadi”
Penyebab sulitnya persalinan juga dapat disebabkan
adanya adat yang tidak terselesaikan pada saat perkawinan.
Dalam artian ketika menikah mahar ibu yang akan melahirkan
ada yang belum diberikan oleh suaminya. Suami kemudian
diminta untuk mengingat mahar apa yang belum ia berikan ke
istrinya. Jika misalnya ternyata suami belum memberikan piringpiring zaman dulu maka suami harus mencari piring-piring
tersebut, seperti penjelasan informan RI berikut ini:
“Misalnya istri saya punya adat wukusaya, butiga,
buyabalatu, barangkali suaminya belum selesai adatnya
itu nah itu nanti dikasih keluar baru topo tawui karena
sumbernya penyakit barangkali dari situ adatnya belum
lunas ketika menikah.”
Pelaksanaan adat ini terjadi pada kasus ibu PI yang ketika
bayinya tidak kunjung lahir dikarenakan saat menikah ada mahar
yang belum dibayarkan suaminya. Ibu PI pun dirujuk ke rumah
sakit namun ketika sampai di halaman rumah sakit bayi ibu PI
sudah keluar tetapi dalam keadaan tidak bernyawa, tetapi ibu PI
tidak mau turun dari ambulans, ia mau pulang saja. Pihak rumah
sakit mengizinkan dengan syarat keluarga ibu PI menandatangani
surat bahwa pihak rumah sakit tidak bertanggungjawab jika
terjadi sesuatu dengan ibu PI.
Salah satu faktor lain yang menyebabkan ibu hamil di
Desa Wulai tidak mau melahirkan ditolong oleh bidan adalah
178
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
karena adanya perbedaan posisi ketika melahirkan. Jika
melahirkan di rumah ditolong topo tawui posisi ibu ketika
melahirkan adalah duduk di bangku kayu kecil. Ibu juga akan
memakai sarung sampai menutupi kakinya. Berbeda dengan
melahirkan ditolong bidan dimana posisi ibu terlentang dengan
alat kelamin terbuka.
Posisi melahirkan telentang dengan alat kelamin yang
terlihat dianggap sebagai hal yang tabu bagi masyarakat Kaili
Da’a Wulai. Mereka merasa malu jika harus melahirkan dengan
posisi alat kelamin terlihat oleh bidan. Hal tersebut juga
dibenarkan oleh bidan Desa Wulai seperti penuturannya berikut,
“Dorang itu malu diliat anu nya. Barangnya (kemaluannya)
begitu.”
Hal senada juga diungkapkan oleh asisten bidan yang
bertugas di Desa Wulai bahwa ibu hamil di Desa Wulai merasa
malu melahirkan kemaluannya dilihat dan dipegang-pegang oleh
bidan. Beberapa diantara mereka yang melahirkan di Poskesdes
ada yang menolak kemaluannya dipegang oleh bidan. Jika hal itu
terjadi bidan hanya menunggu bayi keluar sendiri.
Berbeda halnya apabila melahirkan dirumah. Persalinan
dirumah tidak boleh dilihat secara langsung. Adapun yang boleh
melihat hanya keluarganya saja. Seperti ibu SH yang lebih
memilih untuk melahirkan di rumah daripada di pelayanan
kesehatan seperti Poskesdes dikarenakan malu bila melahirkan
dilihat orang lain yang tidak ada hubungannya saudara serta tidak
suka bila orang lain (bidan) melihat kemaluannya dengan senter
apalagi memasukkan jari-jarinya di jalan lahir bayi. Berikut
pernyataan ibu SH, “Enak melahirkan dirumah, kalau di rumah
sakit sambil tidur. Ah.. banyak sekali orang, disenter lagi.”
Untuk melihat kemajuan janin, bidan biasanya akan
memasukkan jari tangannya ke kemaluan ibu atau
menyenternya. Tindakan ini juga tidak disukai oleh ibu-ibu di
179
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Desa Wulai karena mereka terbiasa dengan metode persalinan
tradisional yang tanpa alat, seperti pernyataan ibu MA berikut,
“Contohnya saya, lima orang anak saya tidak ada yang lahir di
bidan, semuanya lahir di rumah karena saya malu dipegang.”
Masyarakat Kaili Da’a Wulai menganggap apabila
kemaluan dilihat orang lain adalah dosa. Apalagi sebelumnya jika
ada yang melahirkan di Poskesdes masyarakat banyak yang
berkumpul di Poskesdes.
“Inde mala mu na enta (menunjuk bagian bawah
perut/kemaluan) roa na nanu na dosa, iyo na dosa na
kita…” (informan NW).
(Tidak boleh kita melihat kemaluan orang lain karena
dosa, iya dosa kamu..)
“Orang-orang takut memang itu tidak mau dia
melahirkan di bidan. Takut diliat-liat apalagi banyak
teman-teman, orang-orang yang menonton” (informan
Li).
Faktor Pendukung (enabling factors)
Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan
kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi keputusan masyarakat untuk mau
mendatangi sarana dan fasilitas kesehatan adalah biaya. Salah
satu kemudahan yang diinginkan masyarakat adalah tidak adanya
biaya yang harus mereka keluarkan untuk mempergunakan
sarana dan fasilitas kesehatan. Dalam konteks masyarakat Desa
Wulai, pekerjaan mereka sebagai petani tidaklah dapat
mendatangkan penghasilan yang cukup banyak. Besarnya
penghasilan mereka setiap bulan cenderung tidak menentu.
Kebanyakan masyarakat Wulai bercocok tanam coklat atau
jagung di kebun mereka. Coklat dan jagung dapat dipanen tiga
180
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
sampai empat kali dalam setahun. Hal ini membuat mereka
mendapatkan uang hanya ketika masa panen tiba. Uang ini
dipergunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sampai
masa panen berikutnya. Namun terkadang uang hasil panen
sudah habis sebelum masa panen tiba kembali. Situasi ini
membuat masyarakat Wulai tidak memiliki tabungan jika suatu
saat terjadi keperluan yang mendesak seperti untuk membiayai
persalinan atau biaya pengobatan di rumah sakit.
Apabila persalinan ditolong oleh bidan dan dilakukan di
rumah maka masyarakat harus membayar sebesar Rp 500.000.
Biaya persalinan akan gratis apabila persalinan dilaksanakan di
Poskesdes. Biaya yang cukup besar ini dirasakan sangat
membebani masyarakat sedangkan kebanyakan ibu hamil tidak
mau melahirkan di Poskesdes. Mereka yang tidak mau
melahirkan di Poskesdes kebanyakan adalah mereka yang
rumahnya cukup jauh dari Poskesdes Wulai yang terletak di
Dusun Watubete. Masyarakat Dusun Watubete sendiri ada yang
tidak mau melahirkan di Poskesdes terutama mereka yang tinggal
di perkampungan Pinora’a dan Salootu.
Seperti informan JN yang menceritakan ketika istrinya
melahirkan ia diharuskan membayar Rp 500.000 padahal ketika
memanggil bidan. Padahal waktu itu bidan juga tidak dapat
menangani istrinya yang mengharuskan istrinya dirujuk ke rumah
sakit Kabupaten Mamuju Utara yaitu RSUD AKO di Pasang Kayu.
Pada kasus ibu Sari yang telah diceritakan di atas juga
memperlihatkan faktor biaya juga menyebabkan dirinya enggan
untuk melahirkan ditolong bidan, seperti penyataannya berikut
ini:
“Kalo melahirkan panggil bidan ke rumah bayar 500 ribu
nanti kalo bidan tidak bisa menangani dikirim ke RS Ako
kalo tidak bisa lagi di RS Ako dikirim ke Palu, jauh.”
181
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Masyarakat lebih memilih melahirkan ditolong topo tawui
karena tidak mengeluarkan biaya. Biasanya jika melahirkan
ditolong topo tawui cukup memberikan satu ekor ayam, rokok
satu bungkus dan beras yang berasal dari padi gunung sebanyak
satu liter, seperti pernyataan informan RI berikut, “Kalau
melahirkan panggil topo tawui hanya memberi ayam satu ekor,
rokok 1 bungkus, beras dulu (padi gunung) 1 liter.”
Selain itu masyarakat Wulai takut jika melahirkan ditolong
oleh bidan akan dirujuk ke rumah sakit di Pasang Kayu bahkan
sampai ke Palu. Mereka melihat contoh kasus yang terjadi pada
persalinan sebelumnya jika bidan tidak bisa ditangani kemudian
dirujuk ke rumah sakit. Jika harus melahirkan di rumah sakit
mereka khawatir akan biaya yang mesti mereka keluarkan.
Apalagi jika mereka tidak memiliki Jamkesmas maka mereka
harus membayar biaya persalinan di rumah sakit. Bagi yang
memiliki Jamkesmas pun mereka masih mengkhawatirkan biaya
yang mesti keluarkan untuk keluarga yang menemani di rumah
sakit terutama untuk biaya makannya, seperti penuturan
informan JO berikut, “…yang kita pikir lagi disana keluarga ini
menjaga yang sakit disana apalagi yang kita makan disana, di
Palu…”
Biaya untuk ambulans pun dirasakan masyarakat cukup
memberatkan. Mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp
150.000 sekali jalan dari Desa Wulai ke RSUD AKO. Apabila harus
dirujuk ke Palu biaya untuk ambulans lebih besar lagi yaitu sekitar
Rp 800.000 untuk sekali jalan.
Mekanisme yang dilakukan bidan apabila akan merujuk
ibu bersalin ke RSUD AKO di Pasang Kayu atau Rumah Sakit
Undata di Palu adalah bidan akan menghubungi pihak RSUD AKO
terlebih dahulu. Jika pasien dapat ditangani di RSUD AKO maka
pasien akan dikirim ke rumah sakit tersebut. Jika RSUD AKO tidak
dapat menangani misalnya dikarenakan dokter obgyn tidak ada
182
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
maka bidan akan segera membuat rujukan ke rumah sakit di
Palu. Bidan Desa Wulai membantu keluarga pasien dalam
mengurus proses rujukan. Apabila pasien tidak memiliki kartu
Jamkesmas, bidan akan membantu mengusahakan dengan
meminjamkan kartu Jamkesmas milik orang lain. Pasien yang
akan dirujuk biasanya dijemput dengan menggunakan ambulans.
Kasus serupa dialami oleh informan AB yang baru
pertama kali mengunjungi rumah sakit untuk mengantar istrinya
melahirkan saat dirujuk ke RSUD AKO di Pasang Kayu. Dengan
ditemani oleh tiga orang keluarga yang turut menjaga istrinya, ia
berangkat dari Desa Wulai ke RSUD AKO. Selama satu minggu
menemani istrinya, ia mengeluarkan uang sekitar satu juta rupiah
untuk biaya makan dirinya dan tiga orang keluarganya.
Menurutnya apabila baru pertama kali ke rumah sakit seringkali
merasakan kebingungan dalam menjawab pertanyaan pihak
rumah sakit, beruntung dia mempuyai teman yang
berpengalaman dan dapat membantunya selama di rumah sakit.
Dengan berbekal kartu Jamkesmas, kartu keluarga dan KTP yang
dibawa menuju rumah sakit, ia berharap sama sekali tidak
mengeluarkan biaya perawatan istrinya di rumah sakit.
Untuk menyelamatkan nyawa bayi dan istrinya maka
dokter menyarankan untuk segera dilakukan operasi. Pada saat
itu diharuskan membayar Rp. 1.200.000 untuk biaya benang,
obat bius dan infus padahal ia memiliki kartu Jamkesmas dan
berkas pendukungnya pun sudah lengkap. Pada saat itu ia juga
mempertanyakan mengapa peserta Jamkesmas masih diharuskan
untuk membayar, seperti penuturan informan AB berikut ini:
“…masalahnya macam benang jahitan dengan obat bius,
infus kenapa itu dibayar semua katanya tidak dibayar itu.
Obat dikasih anu kuitansinya, mo hamma seratus lebih
satu botol anu obat apa itu apotik. Ya mau diapa kita
tidak tau. Itu dibilang catatan dikasih itu dia dibayar.”
183
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada hari ketiga dokter sudah memperbolehkan pasien
pulang namun karena ketiadaan uang membuatnya tidak dapat
membawa istrinya pulang. Pada saat itu dia juga meminjam uang
para tetangga dan menjual kebun untuk membayar biaya rumah
sakit.
Kasus tersebut memperlihatkan ketakutan masyarakat
terhadap biaya yang akan dikeluarkan jika ada keluarganya yang
melahirkan di rumah sakit. Saat ini masyarakat Wulai belum
mengetahui tentang program BPJS. Masyarakat dan petugas
kesehatan termasuk bidan desa juga masih bingung tentang
pelaksanaan BPJS. Biaya persalinan bagi masyarakat pun belum
bisa menggunakan BPJS.
Gambar 4.1.
Kondisi sungai yang kering
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Disamping faktor biaya, kondisi geografis Desa Wulai yang
dikelilingi oleh sungai dan berbukit-bukit turut menjadi faktor
yang menyebabkan masyarakat Wulai jarang yang melahirkan di
fasilitas kesehatan. Desa Wulai memiliki lima dusun dimana
setiap dusunnya dibatasi oleh sungai. Sungai ini merupakan akses
jalan untuk keluar masuk Desa Wulai. Kondisi sungai dapat dilalui
184
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
jika debit air sungai tidak terlalu banyak seperti terlihat pada
gambar 4.1. Jika hujan terus menerus maka debit air sungai akan
bertambah dan membuat akses jalan keluar Desa Wulai akan
tertutup, seperti terlihat pada gambar 4.2.
Gambar 4. 2.
Kondisi Sungai Setelah Turun Hujan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kasus ibu Sari juga memperlihatkan kendala geografis
yang harus dihadapi ketika ia harus dirujuk ke rumah sakit. Ibu
Sari tinggal di perkampungan Pinora’a yang terletak cukup jauh
dari Poskesdes Wulai. Jika berjalan kaki dibutuhkan waktu kurang
lebih 30 menit untuk sampai ke perkampungan ini dari Poskesdes
Wulai. Apabila ibu yang akan melahirkan ada yang harus dirujuk
ke rumah sakit, ambulans dari Puskesmas Randomayang tidak
dapat menjemput ke rumah ibu yang mau melahirkan. Ambulans
akan menunggu di Poskesdes atau di bendungan yang terletak di
Dusun Ujung Baru. Ketika ibu Sari harus dirujuk, ia dinaikkan ke
truk Pasakora sampai ke bendungan Dusun Ujung Baru.
Kendala geografis juga terjadi ketika ibu PI yang tinggal di
Dusun Saluwu hendak melahirkan. Ibu PI sudah sakit perut dua
185
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
malam, pertama kali sakit perut ibu PI memanggil topo tawui.
Namun sudah dua hari bayinya tidak lahir juga, topo tawui pun
menyerah. Keluarga ibu PI kemudian memanggil bidan. Saat itu
sungai yang lokasinya dekat Dusun Saluwu sedang meluap akibat
hujan yang turun terus menerus. Untuk menuju Dusun Saluwu
harus melewati jalan kecil mendaki yang lebarnya kira-kira satu
meter yang hanya dapat dilalui kendaraan roda dua. Bidan pun
datang agak lama karena kondisi jalan yang sulit dilalui. Namun
bidan tidak dapat menangani ibu PI, bidan memutuskan ibu PI
harus dirujuk ke RSUD AKO. Ibu PI harus ditandu untuk menuju
ambulans yang menunggu di Poskesdes Wulai.
Gambar 4.3.
Ibu yang Mau Melahirkan Ditandu Ketika
Hendak Dirujuk ke Rumah Sakit
Sumber: Dokumentasi Asisten Bidan Desa Wulai
Faktor lain yang mempengaruhi keputusan masyarakat
untuk melahirkan di fasilitas kesehatan adalah kelengkapan
tenaga kesehatan. Masyarakat menginginkan jika ibu bersalin
186
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dirujuk ke RSUD AKO yang terletak di ibukota kabupaten, tidak
perlu lagi dirujuk ke rumah sakit di Palu. Namun sejak setahun
terakhir, di RSUD AKO tidak ada lagi tenaga dokter obgyn yang
bertugas. Maka terkadang jika ibu bersalin harus dioperasi sesar
maka akan dirujuk ke Rumah Sakit Undata di Kota Palu, Sulawesi
Tengah. Seperti pada kasus Sari, awalnya ia dirujuk ke RSUD AKO
namun karena tidak ada dokter obgyn yang bertugas maka harus
dirujuk ke Rumah Sakit Undata di Palu. Orangtua Sari
menyayangkan kenapa bidan tidak langsung saja merujuk Sari ke
Palu jika tidak ada dokter yang menangani. Ketika bidan tidak
dapat menangani Sari dan menyuruh Sari dirujuk ke RSUD AKO,
orangtua Sari menanyakan kenapa tidak langsung dirujuk ke
rumah sakit di Palu saja. Hal ini diungkapkan ibunda Sari berikut
ini:
“Sama saja dengan bidan disitu, kalo tiada mampu disitu
begitu juga di sana di AKO. Lebih baik langsung ke Palu.
Saya bilang sama bidan disitu bukan dibawa di AKO ini
bidan lebih baik ini langsung di bawa ke Palu lalu bidan
bilang jangan dulu bawa di Palu bawa dulu di AKO.
Astaga.. Kalo tidak mampu kita disini begitu juga disana
nanti tiada juga mampu. Iyo bawa juga disana kalo
disana tidak mampu bawa ke Palu. Jadi klo tiada uang
bidan bagaimana? Ya terserah.. astaga matilah berpikir
ini.”
Pernyataan yang hampir sama diungkapkan Bapak AM
yang menceritakan pengalamannya saat sekitar bulan Maret
2014, anaknya SI harus dirujuk ke rumah sakit Undata di Palu
karena tidak ada dokter yang dapat menangani di RSUD AKO,
berikut pernyataannya:
“Di RSUD AKO sebenarnya bisa ditangani kalo ada
dokternya, saya punya sepupu satu ini dioperasi di RSUD
187
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
AKO. Dokternya datang sewaktu-waktu aja. Kalo waktu
ke sana ada dokternya syukur.”
Saat SI di RSUD AKO salah satu tangan bayinya sudah
keluar namun tidak ada dokter yang dapat mengoperasi SI maka
ia dirujuk ke Palu. Ia pun dirujuk ke rumah sakit di Palu dalam
keadaan satu tangan bayinya sudah keluar. Bayinya pun telah
meninggal dalam kandungan.
Faktor Pendorong (reinforcing factors)
Faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas
kesehatan yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk
melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan. Bidan yang
bertugas di Desa Wulai telah tinggal di desa tersebut dari tahun
2005. Ia berasal dari Kota Palu Sulawesi Tengah. Ia pun dapat
berbicara bahasa Kaili Da’a dengan fasih.
Kehadiran bidan di Desa Wulai tidak serta merta dapat
menggantikan peran topo tawui yang telah lama membantu
masyarakat ketika sakit atau pada saat mau melahirkan. Oleh
karena itu bidan perlu melakukan usaha dan pendekatan yang
ekstra untuk menggantikan topo tawui sebagai penolong
persalinan.
Pada kasus persalinan Sari yang telah diceritakan di
bagian awal, terlihat bahwa Sari lebih memilih melahirkan di
rumah dengan ditolong topo tawui. Pada akhirnya bidan
dipanggil dikarenakan topo tawui sudah tidak bisa menangani
Sari lagi. Sari lebih memilih ditolong topo tawui dikarenakan hal
tersebut sudah menjadi tradisi di keluarganya yang dilakukan
secara turun temurun. Selain itu bidan desa Wulai kurang
melakukan pendekatan kepada Sari agar mau melahirkan
ditolong olehnya. Hal ini terlihat saat secara tidak sengaja Sari
bertemu dengan ibu bidan di pasar. Pada waktu itu ibu bidan
188
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
baru mengetahui bahwa Sari sedang hamil dan ia bertanya
mengapa Sari tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke
Poskesdes. Bidan juga memperingatkan Sari kalau tidak pernah
periksa kehamilan kepada dirinya jika tiba saat melahirkan jangan
meminta pertolongan darinya, seperti penuturan Sari berikut ini:
“Bidan bilang kenapa tidak pernah pergi periksa hamil di
Poskesdes, kalo tidak pernah berperiksa nanti
melahirkan jangan cari-cari saya ya.”
Sikap bidan yang seperti ini membuat Sari tidak
termotivasi untuk memeriksakan kehamilannya. Sampai
menjelang melahirkan ia sama sekali tidak pernah memeriksakan
kehamilannya ke bidan. Hal inilah yang kemudian membuat
bidan terlambat datang ketika dipanggil ke rumah Sari saat topo
tawui tidak lagi bisa membantu Sari melahirkan. Menurut
keterangan tetangga Sari, pada pagi hari bidan sudah dipanggil
untuk datang ke rumah Sari tetapi bidan baru datang pada sore
hari. Menurutnya ibu bidan sebenarnya enggan menolong Sari
karena tidak pernah memeriksakan kehamilan pada dirinya,
seperti pernyataan informan NT yang adalah tetangga Sari
berikut ini:
"...bagaimana juga ibu bidan dipanggil dia tidak mau
alasannya dia bilang maka itu dari pertamanya hamil
selagi muda bawa memang kamu diperiksa dulu, tapi
memang betul juga dia.”
Ibu hamil di Desa Wulai memang hanya sedikit yang
memeriksakan kehamilannya ke bidan. Berdasarkan pengamatan
peneliti selama dua bulan berada di Desa Wulai ibu hamil yang
pernah memeriksakan kehamilannya hanya satu orang dari lima
orang ibu hamil. Ibu hamil yang memeriksakan diri tersebut
bukan Etnik Kaili Da’a melainkan dari Etnik Bugis.
189
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Akibat sedikitnya ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya terkadang bidan Desa Wulai tidak mengetahui jika
ada ibu hamil terutama mereka yang lokasi rumahnya jauh dari
Poskesdes seperti di perkampungan Pinora’a. Pada saat
pelaksanaan Posyandu di bulan Mei, ada laki-laki muda berusia
sekitar 17 tahun yang membawa bayinya yang baru lahir untuk
mengikuti Posyandu. Laki-laki muda tersebut tinggal cukup jauh
dari Poskesdes yaitu di perkampungan Pinora’a. Laki-laki muda
tersebut datang bersama saudaranya, istrinya tidak ikut karena
malu jika bertemu orang banyak. Saat itu ibu bidan terlihat kaget
karena ia tidak mengetahui kalau ada ibu hamil dan baru saja
melahirkan di perkampungan Pinora’a. Istri dari laki-laki muda
tersebut sama sekali tidak pernah memeriksakan kehamilannya
ke ibu bidan dan melahirkan di rumah dengan ditolong topo
tawui.
Selain itu bidan Desa Wulai tidak selalu datang ke
Posyandu yang dilaksanakan di setiap dusun. Posyandu yang
selalu dihadirinya adalah Posyandu di Dusun Watubete yang
dilaksanakan di Poskesdes Wulai. Bidan Desa Wulai juga tidak
selalu setiap saat ada di Poskesdes Wulai terkadang ia berada di
kebun membantu pekerjaan suaminya. Asisten bidan yang
bertugas di Desa Wulai tidak setiap hari datang ke Poskesdes. Ia
bertugas setiap hari senin sampai jumat namun jika hujan turun
ia tidak datang karena akses jalan yang tertutup akibat air sungai
yang meluap.
4.4. Kematian Bayi di Mata Masyarakat Kaili Da’a Wulai
Kematian bagi masyarakat Kaili Da’a Wulai dianggap
sebagai sebuah takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan.
Menurut mereka kematian sesuatu yang tidak dapat
terhindarkan yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Sakit
pun mereka anggap bukanlah penyebab utama dari kematian
190
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
karena kapan seseorang akan meninggal sudah ditentukan
waktunya oleh Tuhan. Adanya anggapan ini membuat mereka
terkadang bersikap pasrah jika ada anggota keluarganya yang
sakit, seperti penjelasan informan AL yang adalah tokoh agama di
Desa Wulai berikut ini:
“Prinsip mereka mati hari ini dengan besok sama. Kalau
ada yang sakit biarkan saja kalau memang mau mati
memang dia sudah mau mati. Mereka bilang mati..mati
saja.”
Beberapa kasus kematian bayi yang terjadi di Desa Wulai
baik bayi meninggal ketika di dalam kandungan atau beberapa
jam setelah dilahirkan, pada umumnya keluarga dapat menerima
kematian tersebut. Mereka menganggap sudah takdir dari Tuhan
bayi tersebut mau meninggal atau hidup. Seperti pernyataan
informan SI yang anak keduanya meninggal ketika dilahirkan,
berikut pernyataannya, “Ya begitu sudah takdirnya tidak bisa
melihat dunia.”
Pernyataan serupa diungkapkan oleh paman dari ibu Sari
yang menyatakan bayi Sari meninggal merupakan sudah
ditakdirkan Tuhan karena setiap manusia sudah memiliki
perjanjian dengan Tuhan kapan ia lahir dan meninggal.
Menurutnya, apabila Sari sempat dibawa ke rumah sakit di Palu
belum tentu juga bayinya akan selamat, berikut pernyataannya:
“...tapi biar di Palu kalo janjinya belum sampai saat.
sampai saat sudah nyawanya sudahlah tetap meninggal.
Bukan kita menentukan janji. Kalo dia mau mati pa le
anak-anak kecil begitu kita orangtua ini sudah. kalo
sudah waktunya sudah."
Bagi Sari kematian bayinya merupakan takdir dari Tuhan
dan ia sebagai manusia tidak dapat melawan kehendak Tuhan. Ia
hanya bisa pasrah dan menurutnya menangis merupakan
191
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perbuatan yang sia-sia karena tidak dapat mengembalikan nyawa
bayinya. Berbeda dengan kematian akibat dibunuh yang menurut
Sari baru dapat ditangisi karena bukan kehendak dari Tuhan,
berikut penjelasan Sari:
“Menangis-menangis makin pusing, terakhir kita juga
yang ikut bayi. Biar kita menangis mana mungkin hidup
ulang, paling-paling kita tidak tau janjinya entah itu pagi
atau siang, kalo mati dibunuh baru menangis. kalo mati
diambil Tuhan tidak bisa menangis."
4.5. Kasus Kematian Bayi di Desa Wulai dari Perspektif
Kesehatan
Pada bagian ini akan dibahas penyebab kematian bayi di
Desa Wulai dari perspektif kesehatan. Salah satu penyebab
kematian bayi adalah persalinan lama atau partus kasep. Partus
kasep merupakan satu fase akhir dari suatu persalinan yang telah
berlangsung lama dan tidak mengalami kemajuan sehingga
timbul komplikasi pada ibu, janin atau keduanya. Persalinan
normal rata-rata berlangsung tidak lebih dari 24 jam dihitung dari
awal pembukaan sampai lahirnya anak. Apabila terjadi
perpanjangan dari fase laten (pada primipara 20 jam, multipara
14 jam) dan fase aktif (pada primipara 1,2 cm per jam dan 1,5 cm
perjam pada multipara) atau kala pengeluaran (primipara 2 jam
dan multipara 1 jam), maka kemungkinan dapat terjadi partus
kasep (Nugraha, 2014).
Partus kasep adalah merupakan fase terakhir dari suatu
partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehigga timbul
gejala – gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta
asfiksia dan kematian janin. Pasien dikategorikan partus kasep
bila terdapat tanda-tanda kelelahan pada ibu. (Nugraha, 2014).
192
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Komplikasi yang timbul karena perjalanan partus lama
adalah mengalami kelelahan karena tanpa makan dan minum
serta berpengaruh pada kondisi janin dalam rahim. Janin dapat
mengalami asfiksia ringan sampai terjadi kematian dalam rahim.
Air ketuban keruh dan bercampur mekonium karena asfiksia
dalam rahim (Mardani, 2012).
Pada umumnya persalinan kasep di Desa Wulai terjadi
hingga lebih dari 1x24 jam. Ritual adat yang dilakukan oleh topo
tawui untuk melancarkan persalinan biasa dilakukan satu hingga
dua hari. Selain itu, mereka juga harus menunggu keputusan topo
tawui untuk membawa ibu ke pelayanan kesehatan. Kondisi
tersebut dapat memicu kelelahan yang dialami oleh ibu, seperti
halnya penuturan informan DC berikut ini:
“Jadi pada saat barangkali belum itu lahir itu lama biar
satu hari satu malam tidak dipanggil itu bidan, kalo
sudah menyerah dukun baru itu panggil bidan. Karena
itu dukun banyak mantra-mantranya.”
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan persalinan
lama antara lain:
1. Kelainan power (kekuatan atau tenaga)
Kekuatan atau tenaga untuk melahirkan terdiri dari his
atau kontraksi uterus dan tenaga mengejan dari ibu. Power
merupakan tenaga primer atau kekuatan utama yang dihasilkan
oleh adanya kontraksi dan retraksi otot-otot rahim (pemendekan
otot-otot rahim yang menetap setelah terjadinya kontraksi), jika
mengalami kekurangan maka persalinan mengalami hambatan
atau kemacetan.
2. Kelainan janin (passenger)
Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan
karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin. Kelainan
bentuk dan besar janin seperti hidrosefalus, kelainan letak janin
193
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seperti letak sungsang, letak lintang, presentasi rangkap (kepal
tangan, kepala kaki, kepala tali pusar).
3. Kelainan jalan lahir
Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa
menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan
kemacetan. (http://pondokibu.com)
Kasus kematian janin atau neonatus di Desa Wulai salah
satunya disebabkan karena persalinan lama. Salah satu penyebab
persalinan lama adalah ibu tidak memiliki kekuatan atau tenaga
untuk mengejan. Kebanyakan ibu hamil yang berusia kurang dari
20 tahun tidak memiliki kekuatan atau tenaga yang cukup ketika
melahirkan. Seperti pada kasus ibu Ol yang masih berusia 18
tahun, ketika melahirkan ia harus dirujuk ke RSUD AKO karena ia
tidak memiliki kekuatan ketika mengedan, seperti pernyataan
informan MA berikut:
“Bulan lalu ibu Ol melahirkan saya bawa ke bidan
kemudian dirujuk ke RS Ako bayar 530 ribu. Dia
melahirkan anak pertama, belum tahu bakuat
(mengejan) dia. Kalo sudah sakit bakuat (mengejan) dia
supaya keluar bayinya”.
Usia ibu hamil yang kurang dari 20 tahun dapat terjadi
karena cukup banyaknya pernikahan dini terjadi di Desa Wulai.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam
masyarakat Kaili Da’a terdapat hukum adat yang mengatur
pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu aturannya
adalah laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak boleh
berduaan di malam hari tanpa ada orang lain di sekitar mereka.
Jika ada pihak yang melapor ke ketua adat maka mereka akan
dikenakan denda adat. Biasanya yang melapor adalah pihak dari
keluarga perempuan dan yang dikenakan denda adat adalah
pihak laki-laki. Denda tergantung dari kesalahan yang dilakukan,
194
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
jika perempuan sudah hamil maka jumlah denda babi yang harus
dibayarkan lebih banyak lagi. Denda menjadi tidak berlaku jika
pihak laki-laki bersedia bertanggung jawab dengan cara menikahi
pihak perempuan.
Mahalnya harga babi yaitu sekitar dua juta rupiah
membuat kebanyakan laki-laki yang dilaporkan ke ketua adat
memilih untuk menikah dibandingkan membayar denda adat.
Kebanyakan pasangan yang dilaporkan adalah masih berusia
muda dan masih bersekolah. Rata-rata usia mereka adalah 14
sampai 17 tahun. Mereka pun terpaksa untuk meninggalkan
bangku sekolah karena menikah.
Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun termasuk ke
dalam kehamilan berisiko. Pada umur di bawah 20 tahun, rahim
dan panggul seringkali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa.
Akibatnya ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami persalinan
lama atau macet atau gangguan lainnya karena ketidaksiapan ibu
untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua
(http://bidanku.com/kehamilan-yang-perlu-diwaspadai).
Kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan
risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak.
Anatomi panggul yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk
terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka
kematian bayi dan kematian neonatus. anak perempuan berusia
10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun
bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara
risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19
tahun. Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses kehamilan
maupun melahirkan (Fadlyana, 2009).
Selain itu ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun
juga memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). Hal ini terjadi karena mereka belum matur dan
195
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita
dewasa (http://www.ibudanbalita.net).
Kasus BBLR terjadi pada ibu MD yang bayinya meninggal
sesaat setelah dilahirkan. Kejadian ini terjadi pada awal tahun
2014. Ibu MD berusia 18 tahun dan hamil anak pertama. Awalnya
ia melahirkan di Poskesdes Desa Wulai karena kebetulan
rumahnya berada di seberang Poskesdes Wulai. Namun bidan
tidak dapat menangani dan ia pun dirujuk ke RSUD AKO karena
kelahirannya termasuk prematur. Saat melahirkan usia
kehamilannya masih tujuh bulan dan bayinya pun meninggal
sesaat setelah dilahirkan karena prematur dengan kondisi BBLR.
Disamping usia ibu hamil yang kurang dari 20 tahun,
persalinan lama dapat terjadi karena adanya kelainan pada janin
seperti letak bayi sungsang. Persalinan yang dapat dilakukan di
rumah dengan bantuan keluarga atau topo tawui hanyalah
persalinan normal. Jika terjadi kelainan janin maka ibu harus
dirujuk ke rumah sakit.
Kehadiran topo tawui ini sebenarnya adalah untuk
memberikan kekuatan kepada ibu yang akan melahirkan. Berhasil
atau tidaknya proses persalinan sepenuhnya tergantung dari
kekuatan ibu untuk mengejan. Namun jika bayi mengalami
kelainan seperti letak bayi sungsang atau bayi terlilit tali pusat
maka proses persalinan normal sulit untuk dilakukan.
Kasus bayi sungsang terjadi pada kematian bayi ibu SI.
Pada waktu hamil ia merasakan sakit di perutnya, ia pun pergi ke
ibu AT yang biasa memijat ibu hamil yang mengalami masalah
dengan kandungannya. Ibu AT tidak disebut sebagai topo tawui
karena ia bukan dari Etnik Kaili Da’a tetapi dari Etnik Toraja.
Namun ia pun tidak memeriksakan kandungannya ke ibu bidan.
Ketika melahirkan ia sudah dirujuk bidan ke RSUD AKO. Namun ia
tidak langsung berangkat karena perutnya belum begitu sakit.
Keesokkan harinya ia baru pergi ke RSUD AKO ternyata tangan
196
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
bayinya sudah keluar duluan dan ia harus dirujuk ke rumah sakit
Palu. Bayinya pun tidak dapat diselamatkan.
4.6. Potensi dan Kendala
Pada bagian ini akan dianalisis masalah kesehatan ibu dan
anak pada masyarakat Kaili Da’a Wulai dengan menggunakan
teori perilaku kesehatan dari Fred Ell Dun. Menurut Fred Ell Dun
dalam Kalangie, faktor-faktor perilaku manusia yang
mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan menjadi dua
kategori yaitu 1) perilaku yang dilakukan secara sengaja atau
sadar dan 2) perilaku yang dilakukan secara tidak sengaja atau
tidak sadar. Ada perilaku-perilaku yang disengaja atau tidak
disengaja membawa manfaat bagi kesehatan individu atau
kelompok, sebaliknya ada yang disengaja atau tidak disengaja
merugikan kesehatan (Kalangie 1994; 43). Analisis empat
kuadran digunakan untuk mengidentifikasi kedua perilaku
tersebut, yang terdiri dari:
Menguntungkan
(U)
Potensi
Merugikan
(R)
Kendala
Sadar/Tahu
(S)
Tdk Sadar/
Tdk Tahu
(TS)
1
4
2
3
Kotak 1 menunjukkan kegiatan manusia yang secara sengaja
ditujukan untuk menjaga, meningkatkan kesehatan dan
menyembuhkan diri dari penyakit atau gangguan kesehatan.
Kegiatan ini berupa segi preventif, promotif dan kuratif. Segi-
197
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
segi ini mencakup baik tradisional, modern atau formal atau
biomedis (Kalangie 1994: 44)
Kotak 2 mencakup semua bentuk perilaku baik merugikan
atau merusak kesehatan bahkan berdampak kematian, yang
secara sadar atau sengaja dilakukan.
Kotak 3 berhubungan dengan semua tindakan yang tidak
disadari sedikit atau banyak berakibat mengganggu kesehatan
individu atau kelompok sosial.
Kotak 4 adalah kegiatan-kegiatan atau gejala-gejala yang
secara tidak disadari atau tidak sengaja membawa manfaat
bagi kesehatan individu atau kelompok sosial.
Sadar
1
(Menguntungkan)
 Ibu hamil memeriksakan
kehamilan ke bidan atau ke topo
tawui
 Ibu hamil disuntik tetanus
 Ibu hamil membawa jimat untuk
menghindari gangguan setan
 Ibu hamil membawa beban
berat menjelang melahirkan




2
(Merugikan)

198
Tidak Sadar
4
(Potensi)
Ibu hamil tidak boleh keluar
rumah pada sore atau malam
hari. Jika terpaksa harus keluar
rumah memakai penutup
kepala
Persalinan dilakukan dengan
dibantu oleh keluarga terutama
suami
Larangan bayi tidak boleh ke
luar rumah sebelum 3 hari
sebelum melakukan ritual adat
nitau
Posisi melahirkan secara teknis
kebidanan mirip dengan posisi
semi fowler yang dianjurkan
3
(Kendala)
Ibu hamil tidak mau
memeriksakan kehamilan ke
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
bidan
 Masyarakat lebih memilih
melahirkan di rumah ditolong
keluarga atau topo tawui
 Adanya ritual adat yang
dilakukan ketika persalinan sulit
membuat ibu terlambat dirujuk
ke rumah sakit
 Ibu hamil sehari-hari hanya
makan nasi dengan sayur
 Pemotongan tali pusat bayi
menggunakan bambu
Berdasarkan pengelompokkan perilaku di atas maka ada
perilaku masyarakat Kaili Da’a Wulai yang dapat dimasukkan ke
dalam perilaku kotak 1, 3 dan 4. Pada kotak pertama perilaku
masyarakat Wulai yang secara sadar dilakukan dan
menguntungkan adalah memeriksakan kehamilan ke bidan atau
topo tawui. Ibu hamil ada yang memeriksakan kehamilannya ke
bidan desa dan ada juga yang ke topo tawui. Ibu hamil yang
memeriksakan kehamilan ke bidan telah mengetahui manfaat
dari tindakannya ini yaitu untuk memantau kesehatan diri dan
janin yang dikandungnya. Namun berdasarkan pengamatan
peneliti selama penelitian berlangsung hanya satu orang ibu
hamil yang rajin memeriksakan kehamilannya ke bidan desa. Bagi
ibu hamil yang memeriksakan kehamilan ke topo tawui biasanya
dilakukan ketika perut terasa sakit.
Perilaku lain yang termasuk kotak pertama adalah ketika
ibu hamil disuntik tetanus oleh bidan. Suntikan ini bermanfaat
untuk mencegah terjadinya infeksi ketika ibu melahirkan. Namun
tidak semua ibu hamil memiliki keinginan sendiri untuk disuntik.
Beberapa diantara mereka ada yang mau disuntik karena bidan
datang ke rumah mereka ketika pelaksanaan Posyandu. Biasanya
199
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ibu yang didatangi di rumahnya adalah ibu hamil yang tidak mau
memeriksakan diri sama sekali ke bidan.
Sebagian masyarakat Kaili Da’a Wulai menggunakan jimat
untuk menangkal gangguan makhluk ghaib atau setan pada masa
kehamilan. Jimat tersebut berupa bawang merah atau bawang
putih yang ditancapkan di paku kemudian dibawa jika ibu keluar
rumah. Dalam bahasa lokal jimat ini disebut dengan kariango.
Perilaku lain yang dapat digolongkan ke dalam kotak satu adalah
perilaku ibu hamil membawa beban berat menjelang persalinan.
Dalam pandangan masyarakat perilaku ini membawa manfaat
dapat memperlancar proses persalinan karena membuat pinggul
menjadi longgar.
Pada kotak tiga adalah pengelompokkan perilaku yang
dilakukan secara tidak sadar dan merugikan dan menjadi kendala
dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Desa Wulai.
Perilaku tersebut antara lain adanya ibu hamil yang tidak mau
memeriksakan kehamilannya ke bidan. Perilaku ini dapat
merugikan karena kesehatan ibu dan bayinya tidak dapat
dikontrol oleh bidan. Apabila terjadi kelainan pada janin yang
dikandung tidak dapat diketahui sejak masa kehamilan.
Kemudian seperti yang telah dijelaskan di bagian
pemilihan penolong persalinan dimana masyarakat Wulai lebih
memilih melahirkan di rumah dengan ditolong keluarga atau topo
tawui, perilaku ini merupakan kendala utama untuk menekan
terjadinya angka kematian bayi di Desa Wulai. Perilaku ini
tergolong perilaku yang tidak sadar dilakukan masyarakat namun
merugikan karena masyarakat Wulai memiliki pandangan bahwa
melahirkan di rumah ditolong keluarga atau topo tawui adalah
hal yang lumrah yang telah dilakukan oleh keluarga mereka
secara turun temurun. Namun jika terjadi persalinan sulit topo
tawui tidak bisa menangani dan bidan baru dipanggil. Biasanya
bidan dipanggil ketika topo tawui sudah menyerah.
200
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Untuk sebagian masyarakat Wulai terutama yang tinggal
di Dusun Saluwu biasanya jika bayi tidak kunjung lahir akan topo
tawui akan melakukan ritual ntari atau sambulu terlebih dahulu.
Menurut pandangan masyarakat ritual ini bertujuan untuk
mencari penyebab dari penyulit persalinan. Namun ritual ini
dapat membuat ibu terlambat dirujuk karena ketika topo tawui
menyerah biasanya sudah dua sampai tiga hari setelah perut ibu
pertama kali sakit.
Perilaku lain yang termasuk perilaku tidak sadar dan
merugikan adalah kebiasaan ibu hamil yang sehari-hari hanya
makan nasi dengan sayur. Ibu hamil memerlukan nutrisi yang
lebih ketika hamil. Ibu hamil harus makan makanan yang cukup
baik dari segi kualitas maupun kuantitas gizinya untuk
pertumbuhan janin dalam kandungan. Sumber utama zat besi
adalah pangan hewani, kacang-kacangan serta sayuran berwarna
hijau tua. Kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat besi
(Fe) adalah rendahnya tingkat penyerapan zat besi di dalam
tubuh, karena konsumsi makanan hewani rendah (Depkes RI
2005: 31).
Sehari-hari ibu hamil kebanyakan hanya makan nasi
dengan karena mereka tidak memiliki uang jika harus membeli
ikan setiap hari. Ikan dikonsumsi sekali-kali, seminggu atau dua
minggu sekali. Sedangkan ayam dan daging jarang dikonsumsi
karena makanan ini bukan makanan yang menjadi menu seharihari masyarakat Wulai pada umumnya. Mereka biasanya
memakan ayam atau daging ketika ada acara pesta.
Selain itu sebagian masyarakat juga ada yang
mempercayai bahwa ibu hamil tidak boleh memakan telur karena
dapat membuat bayi menjadi besar. Padahal telur mengandung
protein yang cukup tinggi yang dapat meningkatkan gizi ibu dan
bayi yang dikandungnya.
201
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Perilaku lain yang termasuk kedalam kendala adalah
pemotongan tali pusat menggunakan bambu juga termasuk
perilaku tidak sadar dan merugikan karena dapat menimbulkan
infeksi pada bayi apabila bambu yang digunakan tidak steril.
Kotak empat adalah perilaku yang dilakukan secara tidak
sadar namun ternyata bermanfaat bagi kesehatan ibu dan anak
masyarakat Wulai. Salah satu perilaku yang termasuk kelompok
ini adalah adanya pantangan bagi ibu hamil untuk keluar rumah
pada sore atau malam hari. Masyarakat Wulai mempercayai jika
ibu hamil keluar pada sore atau malam hari ibu hamil akan
diganggu setan pok-pok. Agar tidak diganggu setan maka ibu
hamil dianjurkan untuk memakai penutup kepala. Secara tidak
sadar perilaku ini menguntungkan bagi kesehatan ibu hamil
karena dengan tidak keluar rumah pada sore atau malam hari
maka ibu hamil akan terhindar dari angin malam yang dapat
membuat kesehatan ibu hamil terganggu.
Selain itu ketika bersalin biasanya keluarga terutama
suami terlibat dalam proses persalinan. Hal ini bermanfaat untuk
memberikan dukungan kepada ibu agar terus berusaha mengejan
sampai bayinya lahir. Masyarakat Kaili Da’a juga mempercayai
bahwa bayi baru lahir tidak boleh keluar rumah selama tiga hari
sebelum melakukan ritual adat nitau. Perilaku ini secara tidak
sadar menguntungkan bagi kesehatan bayi karena bayi baru lahir
daya tahan tubuhnya rendah sehingga rentan terkena virus atau
kuman penyakit yang dapat menyebabkan bayi menjadi sakit.
Posisi melahirkan di rumah pada masyarakat Kaili Da’a
Wulai secara tidak sadar bermanfaat bagi kesehatan ibu karena
melahirkan dengan posisi duduk yang di dalam teknis kebidanan
disebut dengan posisi semi fowler. Pada posisi ini ibu duduk
sambil bersandar kepada suami. Posisi ini aman untuk
pemantauan proses turunnya kepala dan memberi dukungan
202
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
mental kepada ibu
(www.kompas.com).
bersalin
dengan
kehadiran
suami
203
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
204
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Desa Wulai adalah desa yang mayoritas penduduknya
adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah.
Awalnya etnik Kaili Da’a adalah masyarakat yang tertutup, hidup
secara nomaden dan menganut animisme. Orang luar sering
menyebut mereka dengan sebutan binggi atau bunggu dimana
mereka sendiri tidak menyukai sebutan itu. Saat ini kehidupan
mereka sudah mulai berubah. Mereka sudah banyak yang tinggal
di perkampungan dan kebanyakan menganut agama Kristen
Protestan.
Tidak semua ritual adat etnik Kaili Da’a masih
dilaksanakan oleh penduduk Desa Wulai karena ada larangan dari
pihak gereja yang menganggap ritual tertentu termasuk
menyekutukan Tuhan. Hukum adat masih mereka gunakan yang
bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat. Pengobatan
tradisional juga masih dilakukan masyarakat Kaili Da’a Wulai.
Mereka akan mendatangi topo tawui (dukun) terlebih dahulu
dibanding tenaga kesehatan apabila mereka sakit.
Secara umum masyarakat Wulai masih mengalami
masalah kesehatan terutama masalah kesehatan ibu dan anak
yang ditandai dengan angka kematian bayi yang cukup tinggi.
Masalah kesehatan lain adalah pengendalian penyakit menular
seperti tuberkolosis, malaria, dan diare. Untuk penyakit tidak
205
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menular, hipertensi adalah penyakit yang paling banyak diderita
masyarakat Wulai. Selain itu perilaku hidup bersih sehat (PHBS)
juga masih menjadi masalah yang ada pada masyarakat Wulai.
Masalah kesehatan ibu dan anak khususnya masalah
kematian bayi dapat terjadi karena sebagian besar masyarakat
lebih banyak yang memilih melahirkan di rumah dibantu keluarga
atau topo tawui dibandingkan melahirkan di fasilitas kesehatan
dengan dibantu bidan. Mereka baru akan memanggil bidan jika
persalinan mengalami kesulitan dan topo tawui sudah menyerah.
Berdasarkan teori dari Lawrence Green ada tiga faktor
yang mempengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi,
faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi
adalah unsur-unsur yang terdapat dalam diri masyarakat
termasuk budaya masyarakat. Dalam hal ini adalah adanya
pengetahuan masyarakat Wulai bahwa melahirkan di rumah
adalah suatu hal yang wajar. Mereka juga lebih mempercayai
topo tawui yang tidak menggunakan peralatan medis dibanding
bidan yang memakai peralatan medis dalam menolong
persalinan. Selain itu posisi melahirkan jika ditolong bidan yaitu
dengan alat kelamin terbuka merupakan hal yang tabu bagi
masyarakat Wulai. Mereka lebih merasa nyaman melahirkan
dengan posisi duduk dengan kaki diangkat dimana bagian perut
sampai kaki ditutupi oleh sarung. Kemudian apabila ditemui
persalinan sulit, adanya ritual adat yang dilakukan topo tawui
turut membuat terjadinya keterlambatan ibu bersalin dirujuk ke
rumah sakit.
Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan
kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Sarana
pelayanan kesehatan yang ada di Desa Wulai adalah Poskesdes
yang terletak di Dusun Watubete. Namun bagi masyarakat yang
tinggal jauh dari lokasi Poskesdes mereka akan kesulitan jika
melahirkan di Poskesdes. Hal ini disebabkan kondisi geografis
206
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Desa Wulai dimana setiap dusun dibatasi oleh sungai dan masih
adanya penduduk yang tinggal di wilayah perbukitan tempat
kebun mereka. Kondisi geografis juga akan menjadi hambatan
jika ibu bersalin harus dirujuk ke rumah sakit. Akses keluar masuk
Desa Wulai harus melewati sungai dimana jika hujan turun air
sungai akan meluap sehingga jalan tidak bisa dilewati. Selain itu
faktor biaya juga menjadi pertimbangan masyarakat mengapa
tidak mau melahirkan ditolong oleh bidan. Jika melahirkan di
rumah ditolong bidan mereka harus membayar sekitar Rp
500.000 sedangkan jika ditolong topo tawui mereka hanya
membayar sukarela. Apalagi jika bidan tidak dapat menangani
dan ibu bersalin harus dirujuk maka mereka harus mengeluarkan
biaya untuk ambulans dan biaya rumah sakit.
Faktor ketiga adalah faktor pendorong yaitu sikap dan
perilaku bidan yang membuat masyarakat memilih melahirkan
ditolong oleh bidan. Bidan di Desa Wulai kurang melakukan
pendekatan terhadap ibu-ibu hamil di Desa Wulai sehingga ibu
hamil jarang yang melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan.
Selain itu ketidakhadiran bidan di setiap Posyandu yang
dilaksanakan di setiap dusun membuat kedekatan bidan dengan
masyarakat berkurang.
Untuk kasus penyakit menular seperti tuberkulosis,
masyarakat Wulai berpendapat bahwa penyebab utamanya
adalah karena merokok dan keturunan. Pendapat ini
menunjukkan pemahaman masyarakat masih kurang terhadap
penyebab penyakit tuberkulosis. Sedangkan untuk penyakit
malaria masyarakat Wulai telah mengetahui penyebabnya adalah
karena gigitan nyamuk. Namun kebanyakan dari mereka tidak
menggunakan obat anti nyamuk ketika malam hari.
Dalam hal penyakit tidak menular seperti hipertensi
masyarakat Wulai menganggap penyebab penyakit ini adalah
karena terlalu banyak pikiran atau terlalu banyak memakan
207
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
garam. Mengenai PHBS, masalah utama yang terjadi adalah
masih sedikitnya masyarakat Wulai yang menggunakan jamban
sehat, mereka terbiasa buang air besar di sungai. Selain itu
sumber air bersih yang ada juga tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat. Kebanyakan masyarakat Wulai pun
banyak yang merokok baik laki-laki atau perempuan. Mereka juga
masih banyak yang merokok di dalam rumah.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan teori Fred dan
El Dunn ditemukan adanya budaya masyarakat Kaili Da’a Wulai
yang dapat menjadi potensi dan kendala bagi pembangunan
kesehatan ibu dan anak di Desa Wulai. Budaya yang dapat
menjadi kendala adalah masih adanya ibu hamil yang tidak mau
memeriksakan kehamilan ke bidan. Masyarakat Kaili Da’a Wulai
juga lebih memilih melahirkan di rumah ditolong keluarga atau
topo tawui dan tali pusat bayi dipotong dengan menggunakan
bambu. Selain itu ritual adat yang dilakukan topo tawui ketika
persalinan sulit juga membuat ibu hamil terlambat dirujuk ke
rumah sakit. Ibu hamil juga memiliki kebiasaan makan nasi
dengan sayur tanpa lauk yang dapat membuat kurang mendapat
asupan gizi.
Potensi yang ada pada masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah
adanya pantangan bagi ibu hamil untuk keluar rumah pada sore
atau malam hari dimana pantangan ini menguntungkan bagi ibu
hamil karena terhindar dari sakit akibat angin malam.
Keterlibatan keluarga terutama suami dalam proses persalinan
merupakan hal yang menguntungkan karena keluarga
memberikan dukungan dan motivasi kepada ibu selama proses
persalinan berlangsung. Larangan bayi keluar rumah selama tiga
hari sebelum melakukan ritual adat nitau menguntungkan bayi
terhindar dari penyakit. Selain itu posisi duduk pada saat
persalinan dilakukan di rumah secara teknis kebidanan mirip
208
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
dengan posisi semi fowler yang dianjurkan karena dapat
memperlancar proses persalinan.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka
rekomendasi yang peneliti berikan untuk pembangunan
kesehatan masyarakat Desa Wulai adalah sebagai berikut:
5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak
Perlu adanya kemitraan antara bidan dengan topo tawui
agar masyarakat Kaili Da’a Wulai mau memeriksakan kehamilan
dan melakukan persalinan di fasilitas kesehatan dengan ditolong
bidan. Bidan harus dapat mendekatkan dirinya dengan topo
tawui untuk mewujudkan kerjasama yang baik. Ketika persalinan
berlangsung bidan dapat mengizinkan topo tawui untuk
melakukan tiupannya sedangkan bidan bertugas untuk
mengeluarkan bayi.
Peran keluarga yang cukup besar pada saat proses
persalinan dapat dimaksimalkan dengan cara adanya
pendampingan dari petugas kesehatan untuk mengarahkan
keluarga agar dapat melakukan persalinan secara higienis. Hal ini
dilakukan untuk masyarakat yang tinggal jauh dari Poskesdes
Desa Wulai. Selain itu keluarga juga perlu diberikan informasi
mengenai beberapa tanda kehamilan risiko tinggi pada
masyarakat sehingga dapat mencegah kematian ibu dan bayi.
Keluarga juga perlu diberikan pelatihan dalam memotong
tali pusat agar menggunakan peralatan steril, tidak lagi
menggunakan bambu runcing. Kemudian bidan seharusnya juga
selalu siap sedia di Poskesdes dan memiliki inisiatif untuk
melakukan kunjungan ke rumah ibu hamil terutama ibu hamil
yang berisiko tinggi.
209
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan secara Umum
Petugas kesehatan lebih banyak melakukan upaya
preventif dan promotif pada masyarakat. Perlu meningkatkan
kesadaran pada masyarakat agar masyarakat Kaili Da’a Wulai
mau berobat ke fasilitas kesehatan yang telah ada. Pengobatan
gratis harus dilakukan setiap saat tidak hanya pada waktu
tertentu, sesuai dengan perda setempat. Selain itu petugas
kesehatan yang bertugas di Poskesdes sebaiknya selalu siap sedia
ketika masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan. Peran
pendeta juga perlu dimaksimalkan untuk mengajak masyarakat
agar mau berobat ke fasilitas kesehatan. Kemudian untuk
mempermudah masyarakat yang harus dirujuk ke rumah sakit
maka perlu disediakan ambulans gratis.
Selanjutnya untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
sehat (PHBS) masyarakat Wulai maka pemerintah perlu
membangun fasilitas MCK yang memenuhi kriteria jamban sehat
beserta sumber air untuk keperluan MCK. Selain itu pemerintah
juga perlu membangun fasilitas sumber air bersih yang
mencukupi kebutuhan air bersih penduduk Desa Wulai.
210
INDEKS
A
agama · 11, 30, 31, 36, 38, 40,
42, 64, 120, 152, 191, 205
air mentah · 131
aktivitas · 10, 51, 93, 118, 121,
127, 166
animisme · 30, 31, 205
B
bahasa · 5, 14, 15, 16, 19, 32,
33, 49, 52, 54, 70, 71, 81,
139, 178, 188, 200
bantaya · 28, 38, 42, 48
D
denda · 36, 37, 48, 49, 50, 51,
85, 100, 112, 194, 195
denda adat · 36, 37, 49, 194
dialek · 16
F
fasilitas kesehatan · 1, 65, 95,
134, 155, 166, 180, 184, 186,
206, 209, 210
211
G
ghaib · 32, 39, 52, 54, 174, 200
gizi buruk · 114
guna-guna · 54, 57, 62, 82, 221
H
haid · 80, 81, 82
hukum adat · 36, 45, 48, 49, 50,
84, 194
I
ibadah · 40, 41, 42, 43, 46, 47,
112, 117, 166
ilmu hitam · 39, 54, 57, 64, 221
imunisasi · 93, 109, 114, 115,
117
Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat · 3,
216
Inisiasi Menyusui Dini · 104
J
jamban · 118, 119, 208, 210
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
K
kader · 11, 91, 100, 103, 109,
113, 114, 115, 116, 117
kebudayaan · 2, 5, 152
kehamilan · 87, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 103, 117, 154, 165,
166, 189, 195, 198, 199, 200,
207, 208, 209
kehidupan · 10, 11, 18, 24, 32,
45, 48, 79, 80, 111, 205
kekerabatan · 43
kematian · 3, 4, 9, 38, 39, 40,
51, 55, 104, 127, 128, 129,
130, 133, 134, 144, 148, 151,
152, 165, 171, 177, 190, 191,
192, 193, 194, 195, 196, 198,
200, 205, 206, 209
kepercayaan · 32, 34, 38, 39,
55, 81, 167, 172, 175
kesehatan ibu dan anak · 1
kesehatan reproduksi · 79, 80,
82
keselamatan · 32, 38, 42, 49,
94, 95, 111, 113, 175
kesenjangan · 2
Kesimpulan · 205
keteguran · 52
ketua adat · 26, 28, 35, 36, 37,
48, 49, 50, 56, 85, 194, 195
keturunan · 16, 43, 47, 48, 56,
57, 86, 87, 88, 138, 139, 207
kolostrum · 104, 105
kontrasepsi · 102, 103
212
L
larangan · 2, 33, 36, 50, 53, 63,
84, 105, 123, 205
leluhur · 30, 31, 32, 33, 49, 221
M
madero · 39, 84, 217
Mahar · 37
makanan · 2, 33, 47, 53, 59, 68,
69, 70, 76, 81, 83, 88, 89, 92,
101, 102, 105, 110, 111, 126,
130, 131, 145, 153, 154, 201
masa transisi · 79
masyarakat · 2, 5, 6, 9, 10, 11,
13, 14, 17, 18, 19, 21, 22, 23,
24, 26, 28, 30, 31, 33, 34, 36,
39, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49,
51, 52, 53, 54, 55, 56, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 67, 68, 70, 71,
72, 73, 74, 75, 76, 78, 80, 85,
87, 88, 89, 90, 94, 99, 103,
106, 107, 115, 116, 118, 119,
120, 121, 122, 123, 124, 125,
127, 128, 129, 130, 131, 132,
133, 134, 138, 141, 143, 144,
146, 147, 148, 152, 164, 171,
172, 173, 174, 175, 176, 177,
178, 179, 180, 181, 182, 184,
186, 188, 190, 194, 197, 199,
200, 201, 202, 205, 206, 207,
208, 209, 210
melahirkan · 1, 2, 23, 56, 76,
88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95,
96, 99, 100, 101, 102, 104,
109, 141, 154, 155, 158, 159,
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
162, 163, 164, 165, 166, 169,
170, 171, 172, 173, 174, 175,
176, 177, 178, 179, 180, 181,
182, 183, 184, 185, 186, 188,
189, 190, 193, 194, 195, 196,
198, 199, 200, 202, 206, 207,
208
menarche · 80, 81, 82, 214
menstruasi · 80, 81, 82
merokok · 118, 123, 124, 125,
126, 127, 138, 142, 145, 207,
208
mompongo · 124, 125
N
nabelomo · 51
nitau · 106, 107, 108, 109, 176,
198, 202, 208
nomaden · 17, 25, 205
nopaponera · 144
P
pacaran · 84, 85
pantangan · 2, 53, 57, 58, 59,
81, 88, 89, 91, 101, 102, 105,
106, 107, 134, 145, 149, 155,
176, 202, 208
pasangan · 11, 36, 38, 44, 45,
50, 85, 86, 87, 195
patrilineal · 43, 44
pemimpin · 32, 40
pemukiman · 7, 13, 14, 25, 32
pendidikan · 24, 71, 75, 79, 80
pengantin · 37, 38
pengetahuan · 42, 79, 81, 83,
139, 140, 172, 173, 206
penguasa · 49, 85, 177
penimbangan · 114, 117, 118
penyakit · 1, 4, 10, 11, 16, 34,
36, 52, 53, 54, 56, 58, 60, 61,
62, 63, 66, 83, 85, 96, 104,
122, 126, 127, 128, 129, 130,
134, 136, 137, 138, 139, 141,
142, 143, 144, 145, 146, 147,
148, 149, 170, 172, 175, 176,
178, 197, 202, 205, 207, 208,
221
Penyakit Menular · 5, 128
Penyakit Tidak Menular · 5, 144
penyembuhan · 56, 59, 61, 82,
129, 132, 139, 142, 145
perceraian · 50
Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat · 5, 117, 215
perkampungan · 13, 14, 15, 17,
18, 24, 25, 28, 63, 74, 153,
172, 181, 185, 190, 205
perkawinan · 29, 36, 37, 38, 45,
47, 178
perkenalan · 84
pernikahan · 37, 38, 45, 50, 84,
85, 112, 153, 166, 177, 194
persalinan · 1, 2, 11, 88, 89, 92,
93, 94, 95, 96, 97, 99, 100,
108, 111, 118, 154, 155, 156,
163, 166, 167, 168, 169, 170,
171, 172, 174, 176, 177, 178,
180, 181, 182, 184, 188, 192,
193, 194, 195, 196, 198, 200,
201, 202, 206, 208, 209
pesta · 31, 32, 33, 39, 47, 69,
70, 84, 201
213
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pesta panen · 31, 32, 33
pok-pok · 39, 82, 89, 202
porantana · 32
povae · 33
Powati · 31, 34, 35, 44, 82, 105,
221
R
ramuan · 60, 61, 62, 140
Rekomendasi · 209, 210
remaja · 11, 24, 45, 70, 75, 79,
80, 81, 82, 83, 84, 85, 112,
123, 214, 215
ritual · 2, 30, 31, 32, 33, 35, 44,
71, 81, 94, 107, 108, 124,
167, 175, 198, 201, 202, 205,
206, 208, 221
roh jahat · 2, 31, 57, 177
rumah tinggi · 25, 26, 28, 94,
157, 166
S
sakit · 16, 23, 34, 35, 51, 52, 53,
54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 66, 67, 75, 76, 82, 88,
91, 93, 95, 96, 100, 101, 102,
104, 106, 107, 109, 110, 114,
115, 125, 126, 129, 130, 132,
133, 134, 141, 142, 145, 146,
147, 148, 149, 153, 155, 157,
158, 160, 161, 162, 164, 165,
167, 170, 171, 173, 176, 177,
178, 179, 181, 182, 183, 184,
185, 187, 188, 191, 194, 196,
214
198, 199, 201, 202, 205, 206,
207, 208, 210, 221
sakral · 38
sanksi adat · 48, 49, 85
sehat · 2, 10, 16, 34, 51, 53, 63,
79, 101, 102, 106, 118, 122,
126, 142, 206, 208, 210
seksualitas · 80, 81
sengketa · 48
sesajian · 31, 33
siklus bulanan · 82
Sistem Kemasyarakatan · 47
status gizi · 2, 136
status kesehatan · 1
suami istri · 11, 44, 45, 50, 85,
86, 87
sumbangan · 46, 47
T
tarian · 33, 84, 217
topo tawui · 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
82, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 99,
101, 102, 106, 108, 109, 129,
132, 134, 139, 145, 146, 147,
148, 149, 154, 155, 158, 160,
166, 167, 168, 169, 170, 171,
172, 173, 174, 175, 176, 177,
178, 179, 182, 186,똨188,
189, 190, 193, 196, 198, 199,
200, 201, 205, 206, 207, 208,
209
tradisional · 11, 60, 61, 62, 71,
76, 87, 180, 198, 205
tuberkulosis · 136, 137, 138,
207
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
U
upacara adat · 28, 39
W
warisan · 45
V
volo · 98
215
GLOSARIUM
Ambo
Babolo
Baingus
Bantaya
Barego
Bunggu
Binggi
Dowa
Doti
Gane-gane
Ju’a
Ju’a Na’a
Ju’a Ntomo
Ju’a Sule
Ju’a Tai
Ju’a Vo’o
Kabuaga
Kabunakana
Kariango
Kebulu
Koala
Kotu
Lou
Madero
Madika
216
Kulit Kayu
Dilubangi
Penyakit ISPA
Bangunan tempat pelaksanaan pertemuan
atau ritual adat
Menari sebagai tanda persahabatan
Gunung
Pantai
Mantera
Penyakit mematikan akibat guna-guna ilmu
hitam
Guna-guna
Sakit
Sakit Ringan
Sakit Berat
Sakit Jantung
Sakit Perut (Diare)
Sakit Kepala
Kurang Sehat
Keteguran
Jimat bawang merah dan bawang putih yang
ditempelkan ke paku
Petir
Sungai
Guna-guna akibat ilmu hitam ditandai dengan
adanya benda yang keluar dari tubuh
Ayunan
Menari dengan iringan musik
Raja
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Mangote Ngana
Mantipulu
Mesa
Mampongo
Nabelomo
Nalino
Napone Vonda
Naponte
Nenteke
Nitau
Ntari
Nompo Poyu
Pakuli
Pali
Pok-pok
Poki Papitu
Poki Sasio
Porantana
Potaro
Povae
Powati
Ratana/Ratanoa
Sambulu
Salampeto
Tavui
Tavuni
Tawunggala
Toya
Tombo
Topo Tawui
Melahirkan
Daun untuk mengobati luka
Sarung adat
Mengunyah tembakau sirih pinang
Sehat
Sembuh
Darah tinggi
Sakit gondok
Batuk
Ritual turun tanah untuk bayi yang berusia
tiga hari
Ritual untuk mencari sumber penyakit
Ritual adat dalam membuka lahan baru
Obat
Pantangan
Manusia yang dapat berubah menjadi hantu
akibat ilmu hitam
Adat tujuh
Adat sembilan
Darah dicurahkan ke tanah
Tarian yang ada unsur magisnya
Nyanyian untuk memanggil arwah leluhur
Ritual adat dalam memperingati hari lahir
Menstruasi
Posisi bayi yang salah dalam kandungan
Ditiup
Ari-ari
Daun untuk obat sakit gigi
Diayun
Tunas
Orang yang bisa bertiup (dukun)
Tali Pusat (Plasenta)
217
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Valaampuse
Viata
Volo’
Wuku Saya
Ummah
218
Sumber penyakit
Bambu tajam
Biji-biji kalung
Keturunan raja yang paling dihormati
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa, 2005. “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya”
dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial
Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.
Amilda, N. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Pemilihan Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi. Skripsi.
Universitas Diponegoro
Anggorodi, R., 2013. Dukun Bayi Dalam Persalinan Oleh
Masyarakat Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 13, No 1,
Juni 2009:9-14
Anggraeni, E., 2008. Peran orang tua dalam persiapan
menghadapi menarche bagi remaja putri di Kelurahan
Susukan
Kecamatan
Ungaran
Timur
Kabupaten
Semarang. Skripsi, Universitas Diponegoro.
Arisman. 2010. Obesitas, Diabetes Mellitus, dan Dislipidemia:
konsep, teori, dan penanganan aplikatif. Jakarta: EGC.
Badan Pusat Statistika, 2012. Survey Demografi Kesehatan
Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro
International, Bappenas.
BKKBN, 2012. Komunikasi efektif orang tua dengan remaja.
Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan Remaja.
Darmayanti, N. 2012. Endemik Goiter. ojs.unud.ac.id/
Darmono, D. (2005). Pengaturan Pola Hidup Penderita Diabetes
Untuk Mencegah Komplikasi Kerusakan Organ-Organ
Tubuh. Documentasi. Semarang ; Diponegoro University
Press.
219
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Depkes, RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan. Dirjen Bina Kefarmasiaan dan Alat
Kesehatan.
Depkes, RI. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Depkes, RI. 2011. Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Fadlyana E dan Larasaty S. 2009. Pernikahan Usia Dini dan
Permasalahannya. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, Agustus
2009
Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Faidi, Ahmad. Etnik Kaili: Etnik Seribu Kearifan. 2013.
http://sosbud.kompasiana.com. Diakses pada tanggal 19
Agustus 2014 pukul 14.30 WIB.
Fatimah, S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang
Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten
Cilacap (Kecamatan: Sidareja, Cipari, Kedungreja,
Patimuan, Gandrungmangu, Bantasari) Tahun 2008. Tesis,
Universitas Diponegoro.
Habsjah, dkk. 1995. Peranan Ayah vis-a-vis Ibu dan Pranata Sosial
Lainnya dalam Pendidikan Seks Remaja, Jakarta: The
Population Council and The Atma Jaya Research Centre.
Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: PT
Kosaint Blanc Indah Corp.
Kehamilan Yang Perlu Diwaspadai. http://www.bidanku.com.
Diakses pada tanggal 21 Agustus 2014 Pukul 15.00 WIB.
220
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Keman, Soedjajadi, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan
Pemukiman, Journal Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1,
Juli 2005.
Kemenkes RI, 2010. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
2007”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Kemenkes RI, 2010. “Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat”. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Kemenkes RI, 2012. “Laporan Nasional Riset Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak”. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Keunggulan Dan Kelemahan Beberapa Posisi Saat Persalinan.
http://www.internasional.kompas.com.
Diakses
pada
tanggal 12 September 2014 pukul 12.42 WIB.
Lutfi,
M.
“Tarian
Dero
atau
Madero”..
http://http://www.itoday.co.id. Diakses Pada Tanggal 13
September 2014, pukul 13.00 WIB.
Mardani. 2012. Hubungan Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum Pada Primagravida dan Multigravida di Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen. Maternal Volume 7 Edisi
Oktober: 112-127.
Naskah Pidato GB Prof Agus Suradika. http://www.unr.ac.id.
Diakses pada tanggal 21 Agustus pukul 10.00 WIB.
National Heart, Lung, and Blood Institute. “What Is Coronary
HeartDisease”.http://www.nhlbi.nih.gov/health/healthtopics/topics/cad. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2014
Pukul 10.00 WIB.
Nugraha, N. 2014. G2P1A0 Hamil Aterm Inpartu Janin Tunggal
Hidup Presentasi Kepala dengan Partus Kasep.
Medula, 2(03).
221
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Nurrizka, R dan Saputra. 2013. Arah dan Strategi Kebijakan
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi
(AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia.
Prakarsa Policy Papers/Public Policy/2013/01.
Pengertian
Dan
Faktor
Bayi
Lahir
Mati.
http://www.ibudanbalita.net. Diakses pada tanggal 20
Agustus 2014 pukul 12.48 WIB.
Penyebab Persalinan Lama. http://www.pondokibu.com. Diakses
pada tanggal 20 Agustus 2014 pukul 13.00 WIB.
PDPI.
2006.
Tuberculosis
Pedoman
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan
di
Indonesia.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
Profil Desa Wulai Tahun 2013.
Profil Kabupaten Mamuju Utara. http://www.kemendagri.go.id.
Diakses pada tanggal 21 Juni 2014 pukul 15.00 WIB.
Profil Kecamatan Bambalamotu 2012.
Profil Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara Tahun 2012.
Rosidi, A., Handarsari, E., Mahmudah, M. 2010. Hubungan
Kebiasaan Cuci Tangan dan Sanitasi Makanan dengan
Kejadian Diare Pada Anak SD Negeri Podo 2 Kecamatan
Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. J Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Vol 6, No.1 Th 2010:76-84
Sari, A., Ramdhani., Eliza. 2003. Empati dan Perilaku Merokok di
Tempat Umum. Jurnal Psikologi 2003, No. 2, 81 – 90.
Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
222
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
Selayang
Pandang
Kabupaten
Mamuju
Utara.
http://www.mamujuUtarakab.go.id. Diakses pada tanggal
19 Juni 2014 pukul 20.00 WIB.
Sesa, J. 2013. Hubungan Peran Orang Tua dan Sumber Informasi
dengan Perilaku Seksual Remaja di SMAN 15 Semarang.
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=12872
Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Suryati, B. 2012. Perilaku Kebersihan Remaja Saat Menstruasi.
Jurnal Health Quality Vol. 3 No. 1, Nop 2012
Susanna, D., Hartono, B dan Fauzan, H. 2003. Penentuan Kadar
Nikotin Dalam Asap Rokok. Makara Kesehatan, Vol. 7, No.
2, Desember 2003.
Syahrini E, Susanto H, dan Udiyono A. 2012. Faktor Risiko
Hipertensi Primer di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No.2,
Tahun 2012: 315-325
WHO. 2002. The Global Plan to Stop Tuberculosis – STOP TB
Partnership. Geneva: WHO Press
WHO. 2010. Global Recommendations On Physical Activity For
Health. Geneva: WHO Press
WHO. 2012. Global Tubercolosis Report. http://www.who.int.
Diakses pada tanggal 8 Agustus 2014 Pukul 13.30 WIB.
WHO. 2013. WHO NCD Surveillace Strategi. http://www.who.int.
Diakses pada tanggal 8 Agustus 2014 Pukul 13.30 WIB.
223
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya
penelitian ini. Kami menyadari bahwa naskah ini tidak dapat
disusun dan diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan
masukan kepada kami mulai dari proposal penelitian sampai
dengan penyelesaian penyusunan naskah ini. Untuk itu kami
menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang
terhormat :
1.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI beserta jajarannya.
2. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI beserta jajarannya.
3. Seluruh Pejabat Eselon III dan Eselon IV serta staf Pusat
Pusat
Humaniora,
Kebijakan
Kesehatan
dan
Pemberdayaan Masyarakat.
4. Ketua dan anggota PPI Pusat Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
5. Penanggung jawab Riset Etnografi Kesehatan, ketua
pelaksana, koordinator, reviewer dan tim teknis Riset
Etnografi Kesehatan.
6. Koordinator Wilayah dan reviewer tim REK Mamuju Utara
7. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat beserta
jajarannya.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara
beserta jajarannya.
9. Kepala Kecamatan Bambalamotu beserta jajarannya.
10. Kepala Puskesmas Kecamatan Randomayang beserta
jajarannya.
224
Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat
11. Kepala Desa Wulai beserta jajarannya dan masyarakat
desa Wulai yang terlibat dalam penelitian ini.
12. Semua pihak yang telah membantu langsung maupun
tidak langsung termasuk memberikan saran dalam
penyusunan naskah ini.
Terakhir kami ucapkan terima kasih kepada keluarga yang
telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami. Kiranya
Allah SWT yang akan membalas semua budi baik yang telah
diberikan kepada kami.
Penulis
225
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
226
Download