Hembusan Topo Tawui dalam Persalinan Sri Handayani Lia Churniawati Salahuddin Niniek Lely Pratiwi i Hembusan Topo Tawui dalam Persalinan ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Sri Handayani Lia Churniawati Salahuddin Niniek Lely Pratiwi Editor Niniek Lely Pratiwi Desain Cover Agung Dwi Laksono Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected] ISBN 978-602-1099-14-8 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. ii Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos iii Koordinator wilayah : 1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon iv KATA PENGANTAR Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam v penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini. Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI. drg. Agus Suprapto, M.Kes vi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK v vii x xi xiii BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Metode 1.4. Sekilas tentang Kabupaten Mamuju Utara 1.5. Pemilihan Lokasi Penelitian 1.6. Waktu Penelitian 1.7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 1 5 5 5 8 10 10 BAB 2 KEBUDAYAAN SUKU KAILI DA’A 13 2.1. Sejarah 2.1.1 Asal Usul (Babat) 2.1.2 Sejarah Suku Kaili Da’a Di Desa Wulai 2.1.3 Perkembangan Desa 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi 2.2.2. Kependudukan 2.2.3. Pola Tempat Tinggal 2.3. Sistem Religi 2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional 2.3.2 Praktek Keagamaan 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 13 13 15 18 18 18 23 25 30 30 40 43 vii 2.4.1. Sistem Kekerabatan 2.4.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal 2.5. Pengetahuan 2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit 2.5.2. Penyembuhan Tradisional 2.5.3. Teknik Penyembuhan 2.5.4. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal 2.5.5. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.5.6. Pengetahuan Makanan dan Minuman 2.6. Bahasa 2.7. Kesenian 2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan 43 47 51 51 56 59 60 BAB 3 POTRET KESEHATAN 79 3.1. Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja 3.1.2. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil 3.1.3. Hamil 3.1.4. Menjelang Persalinan 3.1.5. Proses Persalinan 3.1.6. Masa Nifas 3.1.7. Masa Menyusui 3.1.8. Neonatus dan Bayi 3.1.9. Anak dan Balita 3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.2.1. Pemakaian Jamban 3.2.2. Penggunaan Air Bersih 3.2.3. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.2.4. Kebiasaan Merokok 79 79 86 viii 61 68 70 71 72 76 88 92 95 101 104 106 113 117 118 120 122 123 3.2.5. Aktivitas Fisik 3.2.6. Konsumsi Buah dan Sayur 3.3. Penyakit Menular 3.3.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas 3.3.2. Diare 3.3.3. Malaria 3.3.4. Tuberkulosis 3.4. Penyakit Tidak Menular 3.4.1 Hipertensi 3.4.2 Diabetes Mellitus 3.4.3 Penyakit Gondok 3.4.4. Penyakit Jantung 127 128 128 128 130 133 134 144 144 146 147 148 BAB 4 HEMBUSAN TOPO TAWUI DALAM PERSALINAN 151 4.1. Latar Belakang 4.2. Kasus Kematian Bayi 4.3. Pemilihan Penolong Persalinan antara Topo Tawui dengan Bidan Kesehatan 4.4. Kematian Bayi di Mata Masyarakat Kaili Da’a Wulai 4.5. Kasus Kematian Bayi di Desa Wulai dari Perspektif Kesehatan 4.6. Potensi dan Kendala 151 152 171 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 205 5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi 5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak 5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan secara Umum 205 209 209 210 INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH 211 216 219 224 ix 190 192 197 DAFTAR TABEL Tabel 1. 1. Persentase dan Luas Wilayah Desa Tabel 2. 1. Fasilitas Pendidikan di Desa Wulai Tabel 2. 2. Fasilitas Ibadah di Desa Wulai Tabel 2. 3. Data Kunjungan Pasien Poskesdes Wulai MeiJuni 2014 Tabel 2. 4. Tenaga Kesehatan Puskesmas Randomayang Tabel 3. 1. Distribusi Jenis Alat Kontrasepsi yang Digunakan PUS di Desa Wulai Tahun 2013 Tabel 3. 2. Kunjungan Balita ke Posyandu di Desa Wulai x 8 25 43 66 68 103 115 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. 1. Peta Mamuju Utara Gambar 1. 2. Peta Desa Wulai Gambar 2. 1. Pipa Sumber Air Bersih Gambar 2. 2. Sumur Gali dan Pompa air Gambar 2. 3. Aktivitas Masyarakat di Sungai Pinora’a Gambar 2. 4. Air sungai saat meluap dan Kondisi Jalan Desa Gambar 2. 5. Rumah tinggi suku Kaili Da’a Gambar 2. 6. Rumah di Perkampungan Desa Wulai Gambar 2. 7. Rumah di Perkampungan di Desa Wulai Gambar 2. 8. Bantaya Gambar 2. 9. Pasar di Desa Wulai Gambar 2. 10. Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual Gambar 2. 11. Aktivitas Keagamaan Sekolah Minggu Gambar 2. 12. Penyembuhan yang dilakukan Topo tawui Gambar 2. 13. Daun-daunan untuk pengobatan tradisional Gambar 2. 14. Poskesdes Wulai Gambar 2. 15. Puskesmas Randomayang Gambar 2. 16. Makanan Sehari-hari Masyarakat Wulai Gambar 2. 17. Alat musik tradisional (musik bambu) Gambar 2. 18. Coklat yang sedang dikeringkan Gambar 2. 19. Aktivitas menanam jagung Gambar 2. 20. Tungku yang digunakan untuk memasak Gambar 2. 21. Ayunan (lou) Gambar 3. 1. Proses persalinan yang dilakukan dirumah Gambar 3. 2. Alat untuk memotong tali pusat bayi Gambar 3. 3. Ibu yang sedang menyusui bayinya Gambar 3. 4. Bayi yang sedang tidur di ayunan Gambar 3. 5. Ritual nitau Gambar 3. 6. Balita disuapi nasi dicampur dengan air xi 7 9 20 20 21 22 27 27 28 29 30 34 41 59 61 65 67 69 71 73 73 77 78 97 98 105 107 109 111 Gambar 3. 7. Acara Penyerahan Bayi (Anak) Gambar 3. 8. Pelaksanan Posyandu di Dusun Watubete Gambar 3. 9. Pelaksanaan posyandu di Dusun Saluwu Gambar 3. 10. Jamban milik warga bantuan dari Dinas Sosial Gambar 3. 11. Warga menggali sumur untuk sumber air bersih Gambar 3. 12. Perempuan Desa Wulai yang sedang merokok Gambar 3. 13. Perlengkapan mompongo Gambar 3. 14. Rumah di Desa Wulai Gambar 4. 1. Kondisi sungai yang kering Gambar 4. 2. Kondisi sungai setelah turun hujan Gambar 4. 3. Ibu yang mau melahirkan ditandu ketika xii 112 113 116 119 122 124 125 137 184 185 186 DAFTAR GRAFIK Grafik 1. 1. Jumlah Kematian Bayi menurut Puskesmas Grafik 3. 1. Suspek TB dan Penderita TB di Desa Wulai xiii 4 135 xiv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di Negara maju dan di Negara berkembang seperti Indonesia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, balita stunting 36,8% dan akses sanitasi 43%, hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah penyakit tidak menular, gizi dan PHBS. Data Riskesdas 2010 menunjukkan masih banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan, terbukti 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2 % melahirkan di rumah. Jumlah ibu yang melahirkan di rumah 51,9 persen ditolong bidan dan masih ada 40,2 persen yang ditolong dukun bersalin (Riskesdas 2010). 1 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa setahun sebelum survei, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan namun masih ada kesenjangan antara pedesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah, terkait dengan berbagai faktor sosial budaya. Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktifitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga bisa menjadi pedoman masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005:16). Hasil penelitian riset etnografi kesehatan 2012 di 12 etnik di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait dengan budaya kesehatan yang ada pada masyarakat. Kepercayaan tentang hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil. Guna melengkapi penelitian Riset Etnografi Kesehatan tahun 2012 maka perlu dilakukan riset serupa di kabupaten lain dengan komunitas etnik yang berbeda. Pada tahun 2014 dilaksanakan riset etnografi kesehatan di 20 kabupaten salah satunya adalah di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Kondisi kesehatan Kabupaten Mamuju Utara belum 2 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat termasuk baik, terlihat dari rangking Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) kabupaten ini yang berada di rangking 405 dari 440 kabupaten di Indonesia (Data IPKM 2007). Kondisi kesehatan Kabupaten Mamuju Utara terlihat dari profil kesehatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara. Pada tahun 2009 AKB sebesar 32 per 1000 KH atau 36 dari 1.811 KH, Pada tahun 2010 angka kematian bayi sebesar 15.8 per 1000 KH atau 36 dari 2.274 KH. Sedangkan tahun 2011 mengalami peningkatan yakni sebesar 19.2 per 1000 KH atau 47 dari 2.449 KH. Pada tahun 2012 menurun menjadi 16.6 per 1000 kelahiran hidup atau 43 dari 2.598 Kelahiran Hidup. Jumlah Kematian Bayi pada tahun 2012 terendah ada di wilayah kerja PKM Karossa dan wilayah kerja PKM Lilimori masing-masing satu kasus. Jumlah kematian tertinggi terjadi di wilayah kerja PKM Pasangkayu (10 kasus) (Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara, 2012). Berdasarkan wawancara dengan staf Sub bid KIA Dinkes Mamuju Utara didapatkan informasi jumlah kematian ibu absolut sebanyak enam kasus selama enam bulan dari bulan Januari sampai Juni 2014. Angka ini cukup besar jika dilihat jumlah penduduk kabupaten Mamuju Utara yaitu sebanyak 142.075 penduduk, maka proporsi ibu hamil diprediksi sebanyak 3.552 (2.5%xjumlah penduduk). Setahun jumlah kematian diperkirakan 12/3.552 kelahiran yang artinya dalam 1000 kelahiran ada 4 ibu bersalin yang meninggal. Hal ini sesuai dengan angka SDKI tahun 2012 yaitu sebesar 3,59/1000 kelahiran (SDKI 2012). Disamping AKB yang cukup tinggi, Kabupaten Mamuju Utara juga masih menghadapi masalah AKI yang cukup tinggi. AKI di Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2012 sebanyak 13 orang dari 2.598 kelahiran hidup, yang terdiri dari kematian ibu hamil 1 orang, ibu bersalin 10 orang dan ibu nifas 2 orang. 3 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Grafik 1.1. Jumlah Kematian Bayi Menurut Puskesmas Tahun 2012 Sumber: Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara Tahun 2012 Selain masalah AKI dan AKB Kabupaten Mamuju Utara juga masih menghadapi masalah dalam penanggulangan penyakit menular seperti malaria dan Tubercolosis (TB). Kabupaten Mamuju Utara merupakan daerah endemis sedang malaria. Jumlah Kasus malaria klinis di Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2012 tercatat sebesar 3.908 penderita dan malaria positif (pemeriksaan sediaan darah) sebesar 27,5 %. Untuk kasus TB, salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR) , yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Pada tahun 2012 pencapaian CDR sebesar 36,2 % dari 282 perkiraan kasus. Pada tahun 2011, Kejadian KLB diare terjadi di empat Kecamatan enam Desa dengan jumlah penderita sebanyak 55 orang, jumlah kematian sebanyak 3 orang. Sedangkan data tahun 2012 penderita Diare sebanyak 5.211 orang, dengan persentase 86,7 % 4 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dari 6.010 kasus (Profil Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara, 2012). 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Kabupaten Mamuju Utara. 1.3. Metode Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode etnografi. Etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna ini terekspresikan secara langsung dalam bahasa, dan banyak yang diterima dan disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan untuk memahami orang lain, serta untuk memahami dunia dimana mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka. (Spradley, 1997: 5) 1.4. Sekilas tentang Kabupaten Mamuju Utara Kabupaten Mamuju Utara adalah salah satu dari lima kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan yang resmi berdiri pada tahun 2004. Kabupaten Mamuju Utara merupakan pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang dimekarkan menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Mamuju, 5 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Mamuju Utara dan Mamuju Tengah pada tahun 2003. Slogan Kabupaten Mamuju Utara adalah Smart yang artinya Sejahtera, Mandiri, dan Bermartabat. Logo slogan smart adalah tugu kelapa sawit yang menandakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Mamuju Utara adalah bertanam kelapa sawit. Kabupaten Mamuju Utara terletak di bagian Utara Propinsi Sulawesi Barat yang jaraknya sekitar 276 km dari ibukota provinsi (Mamuju). Lama perjalanan dari Mamuju ke Pasang Kayu (ibukota Mamuju Utara) kurang lebih sekitar tujuh jam jika menggunkan mobil travel. Jarak yang cukup jauh dari Mamuju membuat masyarakat lebih memilih untuk pergi ke Palu untuk membeli berbagai barang yang mereka butuhkan dengan jarak hanya 130 Km dari Pasang Kayu. Apabila ditempuh menggunakan mobil travel lama perjalanannya sekitar tiga jam. Kabupaten Mamuju Utara terdiri dari 12 kecamatan dengan luas wilayah 3.043,75 km. Secara geografis Kabupaten Mamuju Utara terletak pada koordinat antara 3° 39° - 4° 16° LS dan 119° 53° - 120° 127° BT dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah; Sebelah Selatan : Kabupaten Mamuju; Sebelah Timur : Kabupaten Luwu Utara; Sebelah Barat : Selat Makassar. Berdasarkan data proyeksi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mamuju Utara, jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 142.075 jiwa yang terdiri dari 74.272 penduduk laki-laki dan 67.803 penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin dengan kepadatan adalah 46,7. Rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Mamuju Utara tahun 2012 sebesar 109 yang artinya jumlah penduduk laki-laki 9% lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Nilai ini berarti 6 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat bahwa setiap 100 perempuan terdapat 109 laki-laki. (Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara, 2012). Gambar 1.1. Peta Mamuju Utara Sumber: Profil Kesehatan Dinkes Kab. Mamuju Utara 2012 Wilayah Kabupaten Mamuju Utara sebagian besar adalah wilayah perkebunan (133.197 ha) yang terdiri dari perkebunan coklat, kelapa sawit dan jeruk. Sisanya adalah wilayah pemukiman sebesar 2.315 ha , persawahan 1.211 ha, lahan tambak 1.281 ha dan wilayah hutan yang cukup luas yaitu sebesar 165.187 ha (http://mamujuUtarakab.go.id). Sektor perekonomian utama yang berkembang di Kabupaten Mamuju Utara adalah sektor pertanian. Tahun 2002 sektor pertanian menyumbang Produk Domestik Regional Bruto 7 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 (PDRB) sebesar Rp 238,67 miliar yang setara dengan 78,32% dari total kegiatan ekonomi sebesar Rp 304,72 miliar. Sektor pertanian didominasi oleh perkebunan sebagai sektor utama yang menghasilkan kurang lebih Rp 195,62 miliar. (http://kemendagri.go.id). Setelah Mamuju Utara menjadi Kabupaten maka terbentuklah Kecamatan Bambalomotu yang terdiri dari Desa Randomayang, Desa Kalola, Desa Wulai, Desa Polewali dan Desa Pangiang. Berikut tabel luas wilayah desa-desa tersebut: Tabel 1.1. Persentase dan Luas Wilayah Desa di Kecamatan Bambalamotu Nama Desa Persentase Luas Wilayah Randomayang 6.94% 16.92 km² Wulai 24.67% 60.11 km² Kalola 40.11% 97.72 km² Polewali 14.18% 34.54 km² Pangiang 8.63% 21.03 km² Sumber: Profil Kecamatan Bambalamotu, BPS 2013. Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat luas wilayah Desa Wulai adalah kedua terbesar (24.67%) setelah Desa Kalola di Kecamatan Bambalamotu. 1.5. Pemilihan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Wulai yang terletak di Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara. Pertimbangan pemilihan Desa Wulai dikarenakan mayoritas penduduknya merupakan Etnik Kaili Da’a dan di Desa tersebut terdapat permasalahan kesehatan terkait kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan data dari bidan desa setempat, pada bulan 8 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Januari hingga Maret tahun 2014 terdapat dua kasus kematian bayi dan satu kematian neonatus. Desa Wulai terdiri dari lima dusun yaitu Dusun Watubete, Dusun Wulai Satu, Dusun Saluwu, Dusun Sinjanga dan Dusun Ujung Baru. Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a kecuali di Dusun Ujung Baru. Oleh karena itu masyarakat yang tinggal di Dusun Ujung Baru tidak termasuk masyarakat yang diteliti karena mayoritas penduduk dusun ini adalah etnik pendatang seperti Mandar, Bugis dan Makassar. Gambar 1.2. Peta Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Aparat Desa Wulai Desa Wulai berbatasan dengan Desa Kalukunangka di sebelah Utara. Dusun yang berbatasan langsung dengan Desa Kalukunangka adalah Dusun Saluwu. Namun tidak ada jalan penghubung yang dapat dilalui sepeda motor, jalan yang ada hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Desa Wulai berbatasan 9 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Timur, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kalola dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Randomayang. 1.6. Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 10 (sepuluh bulan) dengan waktu pengumpulan data selama dua bulan (60 hari). Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 4 Mei 2012 dan berakhir pada tanggal 2 Juli 2014. 1.7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara/teknik di antaranya; observasi partisipatif, wawancara mendalam, wawancara sambil lalu, penelusuran dokumen/tinjauan pustaka dan data visual. Hal ini dimaksudkan supaya data yang diperoleh lebih valid dan akurat. a. Observasi partisipasi Observasi partisipasi adalah cara yang dapat digunakan untuk memahami perilaku masyarakat dan mengetahui apa makna dari tindakan yang dilakukan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti berbaur dengan masyarakat dengan cara tinggal bersama dengan masyarakat Desa Wulai selama kurang lebih 60 hari. Dengan cara ini peneliti dapat mengamati keseharian kehidupan masyarakat Wulai terutama aktivitas atau kegiatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS). Observasi partisipasi dilakukan dengan cara mengikuti aktivitas keseharian masyarakat Wulai seperti aktivitas dalam kegiatan rumah tangga, pekerjaan, dan acara-acara yang berlangsung di Desa Wulai. 10 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat b. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari masalah yang sedang diteliti. Informan yang diwawancarai adalah masyarakat yang mengetahui budaya masyarakat dan yang mengetahui masalah kesehatan di Desa Wulai. Wawancara mendalam dilakukan terhadap tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, remaja, pasangan suami istri yang belum memiliki anak, ibu hamil, ibu nifas, ibu yang memiliki bayi dan balita, ibu nifas, suami ibu hamil/nifas/bayi dan balita. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada masyarakat yang menderita penyakit tertentu, pengobat tradisional, penolong persalinan tradisional, kader kesehatan dan tenaga kesehatan. c. Wawancara Sambil Lalu Selain wawancara mendalam, dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara sambil lalu atau sepintas. Wawancara ini dilakukan kapan saja dan di mana saja, dalam artian waktu dan tempat wawancara dapat tidak terduga. Hasil dari wawancara sambil lalu dapat digunakan sebagai data penunjang dari hasil data observasi dan wawancara mendalam. d. Penelusuran dokumen/tinjauan pustaka Sebagai pelengkap data primer maka penelitian ini ditunjang dengan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara, Kecamatan Bambalamotu, Puskesmas Randomayang Kecamatan Bambalamotu, data profil Desa Wulai, dan Poskesdes Wulai. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari buku, artikel, atau publikasi di media cetak dan elektronik terkait masalah kesehatan. e. Data visual Data visual diperoleh dari hasil dokumentasi peneliti, berupa foto atau rekaman video, terkait dengan gambaran kehidupan masyarakat Desa Wulai terutama tentang masalah 11 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kesehatan. Data visual bertujuan untuk menunjang atau memperjelas data hasil observasi dan wawancara sehingga diperoleh gambaran menyeluruh dari sebuah peristiwa atau kejadian. 12 BAB 2 KEBUDAYAAN ETNIK KAILI DA’A 2.1. Sejarah 2.1.1. Asal Usul Pada awalnya Desa Wulai merupakan nama sebuah dusun yang merupakan bagian dari wilayah Desa Randomayang. Pada saat itu Desa Randomayang merupakan bagian dari Kecamatan Pasang Kayu yang terletak di wilayah Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Selatan. Dahulu Dusun Wulai merupakan perkampungan biasa yang tidak ada namanya. Asal usul nama Wulai terkait dengan adanya sumber mata air yang sering digunakan sebagai sumber air bersih. Mata air ini merupakan satu-satunya sumber mata air yang ada di pemukiman tersebut. Penduduk yang bermukim di wilayah ini sangat menjaga kebersihan mata air. Oleh karena itu masyarakat menamakan perkampungan ini dengan sebutan Wulai yang artinya adalah air. Berawal dari kesepakatan warga untuk membentuk desa sendiri, maka pada tahun 2007 Wulai yang awalnya hanyalah sebuah dusun dari Desa Randomayang berubah menjadi sebuah desa. Sebelum pemilihan kepala desa dilaksanakan, dipilihlah bapak AR selaku pejabat sementara. Pada tahun 2009 barulah diselenggarakan pemilihan kepala desa yang diikuti oleh dua calon kepala desa yaitu bapak SI dan bapak AR. Berdasarkan 13 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 perolehan suara terbanyak maka bapak SI terpilih menjadi kepala desa pertama Wulai yang berasal dari etnik Kaili Da’a. Pada awalnya, Desa Wulai terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Bendungan, Wulai Satu dan Wulai Dua. Dusun Wulai satu merupakan pemukiman tertua sedangkan Dusun Wulai Dua sebelumnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Satu. Saat ini Desa Wulai sudah mulai berkembang menjadi lima dusun dengan tambahan dua dusun yaitu Dusun Sinjanga dan Dusun Saluwu. Dusun Sinjanga pada awalnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Dua dan Dusun Saluwu bagian dari Desa Kalukunangka. Selain penambahan jumlah dusun, juga terjadi pergantian nama yaitu Dusun Bendungan menjadi Dusun Ujung baru dan Dusun Wulai Dua menjadi Dusun Watubete. Dusun Watubete terbentuk ketika masyarakat mulai membuka lahan untuk berkebun yang kemudian berkembang menjadi areal pemukiman hingga akhirnya terbentuk menjadi sebuah dusun. Watubete dalam bahasa setempat berarti batu besar. Dinamakan Dusun Watubete dikarenakan di dusun tersebut terdapat sebuah batu besar yang terletak di tepi sungai. Dari Dusun Watubete penduduk menyebar lagi membentuk pemukiman baru yaitu Dusun Sinjanga yang berada di sebelah Selatan Watubete. Daerah Dusun Watubete juga terdiri dari beberapa perkampungan seperti perkampungan Salo’otu dan Pinora’a yang letaknya cukup jauh dari pusat dusun. Perkampungan Salo’otu ditempuh dengan jalan pendakian dari pusat Dusun Watubete. Jika berjalan kaki, diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk menuju perkampungan tersebut. Jalan menuju perkampungan tersebut berupa jalan setapak bebatuan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Untuk melintasi jalan setapak ini cukup sulit karena harus mendaki dan apabila turun hujan jalan menjadi licin. Selain melewati jalan setapak, untuk 14 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat menuju perkampungan Salo’otu sebelumnya melewati sungai dan perkebunan sawit dan coklat. Kondisi jalan yang sulit juga terjadi jika hendak menuju perkampungan Pinora’a. Perkampungan ini harus ditempuh dengan melewati sungai. Apabila hujan lebat akses menuju perkampungan tersebut menjadi sulit dikarenakan arus sungai yang cukup deras. Perkampungan Pinora’a terdiri dari sekitar 20 rumah yang sebagian diantaranya ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki melewati sungai atau dapat pula menumpang truk milik perusahaan batu dan pasir milik PT Pasako Utama Jaya. Perkampungan tersebut terletak di sebelah Timur dari pusat Dusun Sinjanga dan untuk menuju kampung tersebut ditempuh dengan jalan mendaki serta harus melewati sungai Sinape. 2.1.2. Sejarah Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai Etnik Kaili Da’a merupakan salah satu rumpun dari Etnik Kaili yang berasal dari Sulawesi Tengah. Dalam bahasa Kaili, para etnik Kaili menyebut kelompok etnik mereka sebagai to kaili yang berarti orang Kaili. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kata “kaili” tersebut diambil dari nama sebuah pohon yang dikenal dengan nama pohon kaili. Jenis pohon ini biasanya tumbuh di kawasan hutan yang terdapat di kawasan tepi sungai palu dan teluk palu. Di daerah lain, pohon kaili disebut dengan pohon woea, rao atau rago. Pada zaman dahulu, kerajan etnik kaili membentuk sebuah dewan permusyawaratan rakyat yang disebut Libu Nto Dea. Forum ini merupakan forum perwakilan rakyat dari Kota Pitunggota (tujuh penjuru wilayah) atau Patanggota (empat penjuru wilayah). Forum ini dketuai oleh salah seorang perwakilan yang disebut Baligau. Menurut salah seorang budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing, anggota Pitunggota tersebut adalah perwakilan dari tujuh sub-etnik etnik Kaili. Pada dasarnya, sub-sub etnik dalam etnik kaili tersebut 15 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dibedakan berdasarkan pada dialek bahasa yang digunakan dalam kesehariannya. Dalam hal ini, sub etnik etnik Kaili tersebut antara lain adalah kaili ledo, kaili ija, kaili ado, kaili unde, kaili rai, kaili da’a dan, kailitara. Selain ketujuh sub-etnik yang tergabung dalam Pitunggota atau Patanggota tersebut, sebenarnya masih ada beberapa sub-etnik etnik kaili. Secara keseluruah, sub-etnik etnik kaili terhitung mencapai 21 sub-etnik (Faidi, 2013). Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai awalnya berasal dari daerah Pinembani di Sulawesi Tengah. Menurut sejarahnya, di daerah Pinembani terdapat dua kerajaan yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik yaitu Kerajaan Pinembani dan Kerajaan Dombu. Pada perkembangannya Kerajaan Dombu lebih memiliki pengaruh dibandingkan dengan Kerajaan Pinembani. Sebagian besar penduduk Wulai berasal dari kerajaan Dombu sedangkan keturunan kerajaan Pinembani berada di daerah Pakawa. Menurut informan Wa yang merupakan ketua lembaga adat Etnik Kaili Da’a, sejarah Etnik Kaili Da’a tidak bisa diceritakan sembarangan. Ketika seseorang membahas tentang sejarah Etnik Kaili Da’a maka orang tersebut akan menyebut nama nenek moyang mereka. Apabila dalam penyebutan nama ataupun silsilah ada ada yang tidak tepat maka orang yang bercerita akan sakit. Penyakit timbul karena arwah nenek moyang akan marah karena nama mereka salah disebut. Dalam bahasa Kaili Da’a penyakit seperti ini disebut dengan istilah kabuaga artinya kurang sehat, seperti penjelasan informan Wa berikut ini: “...kalo salah ngomong, kalo menurut bahasa orangtua akan menimbulkan kabuaga kaya kurang sehat begitu, inikan bicara sejarah, nama orangtua kalo mengikuti jalur mengikuti nama pertamanya, kalo semua nama disebutkan dilarang itu.” 16 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai pada awalnya hidup berpindah-pindah (nomaden) di daerah pegunungan Tasinamawu. Mereka akan berpindah ke lahan baru jika sudah selesai masa panen karena mereka menganggap lahan baru lebih subur dan akan lebih banyak mendatangkan hasil. Cerita asal usul Etnik Kaili Da’a dituturkan informan Al berikut ini: “Sebagian orang disini dari Pinembani Sulawesi Tengah dan dari Dombu. Disini ada banyak gunung tapi gunung yang tertinggi yaitu Gunung Tasinamawu jadi patokan mereka. Dari pegunungan itu mereka kan nomaden sampai mereka ke tempat ini. Karena habis buka lahan setelah panen dianggap sudah tidak subur lagi, buka lagi lahan baru. Kalo mereka lihat hasil panen sudah berkurang itu berarti tidak subur kemudian mereka buka lahan baru.” Pada awalnya Etnik Kaili Da’a tidak mengetahui batas wilayah provinsi, mereka hanya mengetahui bahwa hutan adalah milik mereka. Mereka mulai mau turun dari pegunungan dan tinggal di perkampungan ketika ada prajurit TNI yang melakukan pendekatan kepada mereka. Prajurit TNI tersebut awalnya bertugas untuk menumpas pemberontak Permesta yang terjadi pada akhir tahun 1950-an awal tahun 1960-an. Setelah pemberontak berhasil ditumpas prajurit TNI melakukan pendekatan ke masyarakat agar mereka mau tinggal di perkampungan. Perkampungan pertama yang terbentuk adalah perkampungan Pinora’a. Arti kata Tasinamawu adalah air laut sampai di sana. Pada pinggiran gunung Tasinamawu terdapat susunan beberapa batu cadas yang biasanya hanya ada di pantai. Hal ini membuat masyarakat beranggapan bahwa di tengah gunung tersebut terdapat sebuah laut. Menurut legenda yang berkembang, pada saat masyarakat tinggal di Gunung Tasinamawu, air laut sampai 17 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 disana. Menurut mitos mereka air laut ini turun karena digonggong oleh anjing yang berukuran sebesar kuda dan merupakan peliharaan rajanya (madikanya). Bukti dari mitos tersebut terlihat dari adanya batu cadas di pinggir pantai yang dekat dengan daerah pinggiran Gunung Tasinamawu. 2.1.3 Perkembangan Desa Pada awalnya etnik Kaili Da’a di Desa Wulai lebih banyak yang tinggal di bukit atau gunung dibandingkan yang tinggal di perkampungan. Mereka tinggal di beberapa pondok kecil terbuat dari bambu yang tingginya mencapai 20 meter dari permukaan tanah. Pada tahun 1994, kehidupan etnik Kaili Da’a sudah mulai berubah dengan mulai banyaknya masyarakat pendatang seperti etnik Bugis, Makassar atau Mandar. Mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat dari etnik lain. Walaupun pada awalnya Etnik Kaili Da’a akan lari jika bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya. Kemudian tahun 1997 Dinas Sosial memberikan bantuan perumahan untuk Etnik Kaili Da’a karena dikategorikan sebagai etnik terasing. Saat mendapat bantuan perumahan semua penduduk dipanggil turun gunung. Pada awalnya sebagian besar masyarakat etnik Kaili Da’a kurang dapat menerima bantuan perumahan tersebut sehingga banyak rumah yang dijual karena mereka merasa kepanasan tinggal di rumah bantuan tersebut. Selain itu Desa Wulai juga semakin berkembang dengan dibangunnya jalan desa yang dibangun sekitar tahun 1995. 2.2. Geografi Dan Kependudukan 2.2.1. Geografi Berdasarkan profil Desa Wulai tahun 2013, luas wilayah Desa Wulai adalah 57,97 km² yang terdiri dari area pertanian 2,5 18 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat km², area perkebunan 20 km², area hutan 22,87 km², area pegunungan 10 km² dan tanah kosong seluas 0,5 km². Desa Wulai dilewati beberapa sungai yang dalam bahasa setempat disebut dengan koala. Sungai yang terdapat disekitar Desa Wulai yaitu Sungai Wulai, Sungai Ujung Baru, Sungai Sinape, Sungai Pinora’a, Sungai Sinjanga, Sungai Saluwu dan Sungai Salo’otu. Sumber air bersih di Desa Wulai salah satunya berasal dari sumber mata air yang terdapat di gunung yang kemudian disambungkan melalui pipa ke beberapa rumah warga. Namun pipa ini tidak dapat memenuhi kebutuhan air bersih seluruh masyarakat di lima dusun. Pipa ini hanya mengalir di Dusun Watubete, Dusun Wulai dan Dusun Saluwu, itupun tidak semua masyarakat di dusun tersebut dapat memanfaatkannya. Pipa air ini bukanlah pipa permanen sehingga jika hujan turun dengan deras maka sambungan pipa akan terlepas dan air tidak dapat mengalir. Air kembali mengalir jika sudah ada penduduk desa yang naik ke gunung untuk membetulkan sambungan pipa. Pipa air minum dibangun sekitar awal tahun 2000-an dan dana pembangunannya merupakan bantuan dari Australia. Pembuatan pipa dilakukan secara bergotong royong oleh warga masyarakat. Selain bantuan dari Australia, sekitar tahun 2010 juga ada bantuan pembuatan sumur air dari Pamsimas. Pamsimas membangun tempat penampungan air dan pipa yang nantinya mengalirkan air ke rumah penduduk. Agar mesin air dapat terus berjalan diperlukan bahan bakar, oleh karena itu masyarakat diminta untuk membayar iuran setiap bulannya. Pada awalnya mesin air dapat berjalan namun karena masyarakat keberatan untuk membayar iuran maka program ini tidak dapat dilanjutkan. Tidak hanya sumber air perpipaan yang dimanfaatkan sebagai sumber air bersih, masyarakat Wulai juga memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih. Masyarakat mengambil air sungai dengan cara membuat sumur. Sumur dibuat dengan cara 19 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menggali pasir yang ada di tepi sungai. Setelah pasir digali maka air yang keruh dibuang terlebih dahulu. Setelah air agak jernih barulah air dimasukkan ke jerigen untuk persediaan air bersih. Gambar 2.1. Pipa Sumber Air Bersih Sumber: Dokumentasi Peneliti Gambar 2.2. Sumur Gali dan Pompa air Sumber: Dokumentasi Peneliti 20 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Biasanya jika akan turun hujan, masyarakat secepatnya mengambil air untuk disimpan sebagai persediaan air bersih sebelum hujan turun. Pada saat turun hujan air sungai akan meluap dan airnya menjadi keruh. Sumber air bersih lainnya adalah air yang berasal dari sumur atau pompa. Sumur ada yang bentuknya sudah permanen dan ada juga sumur yang berupa lubang tanpa disemen. Pompa kebanyakan ada di Dusun Sinjanga yang dibangun oleh PNPM. Selain dimanfaatkan sebagai sumber air minum, kebanyakan masyarakat Wulai menggunakan sungai untuk sarana mandi cuci kakus (MCK). Biasanya orang dewasa akan mandi di sungai ketika matahari sudah terbenam agar tidak terlihat orang lain. Kebanyakan mereka juga buang air besar di sungai karena mereka menganggap buang air besar di sungai lebih praktis. Berbeda dengan buang air besar di MCK yang ada di Desa Wulai, mereka harus mengangkat air terlebih dahulu. Fasilitas MCK di Desa Wulai memang masih sedikit dan kebanyakan MCK yang ada letaknya jauh dari sumber air. Gambar 2.3. Aktivitas Masyarakat di Sungai Pinora’a Sumber: Dokumentasi Peneliti 21 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 2.4. Kondisi Jalan Desa dan Air sungai saat meluap Sumber: Dokumentasi Peneliti Pada mulanya sarana transportasi di Desa Wulai terdapat ojek namun saat kini masyarakat jarang memanfaatkan ojek tersebut. Masyarakat lebih memilih berjalan kaki atau menggunakan kendaraan motor pribadi atau menumpang truk perusahaan batu (Pasakora) yang melewati jalan desa tersebut untuk menuju jalan Trans Sulawesi Randomayang. Biaya ojek dari desa jalan Trans Sulawesi Randomayang dengan jarak ± 6 km sekitar Rp. 10.000,- sedangkan untuk menuju Pasangkayu, Ibukota Kab. Matra dengan jarak ± 40 km diperlukan biaya Rp. 50.000 untuk sekali jalan. Jika menggunakan sepeda motor diperlukan waktu sekitar 20 menit dari pusat Desa Wulai menuju jalan Trans Sulawesi Randomayang, sedangkan untuk tiba di Pasang Kayu dibutuhkan waktu sekitar 45 menit. Beberapa masyarakat di Desa Wulai sudah memiliki kendaraan sebagai sarana transportasi dan diperkirakan secara keseluruhan terdapat sekitar tujuh puluh motor dan tujuh unit mobil. Dari tujuh unit mobil tersebut dua diantaranya merupakan taksi yaitu pick up yang biasa disewa masyarakat untuk mengirim 22 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat hasil panen kelapa, cokelat maupun jagung ke Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. Sarana transportasi yang digunakan ketika merujuk penduduk yang sakit atau melahirkan ke RSUD Ako yang terletak di Pasang Kayu adalah ambulans Puskesmas. Namun ambulans ini tidak gratis, untuk sekali pulang pergi pasien mesti membayar sekitar tiga ratus ribu rupiah. 2.2.2. Kependudukan Berdasarkan data profil Desa Wulai tahun 2013, jumlah penduduk Desa Wulai adalah 1.918 jiwa dimana 1061 berjenis kelamin laki-laki dan 857 perempuan. Penduduk paling banyak tinggal di Dusun Watubete yaitu sebanyak 564 jiwa, sisanya di dusun lain yaitu sebanyak 386 jiwa di Dusun Wulai Satu, 226 jiwa di Dusun Sinjanga, 370 jiwa di Dusun Ujung Baru, dan 185 jiwa di Dusun Saluwu. Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a yaitu sebanyak 1040 jiwa. Namun orang di luar etnik Kaili Da’a menyebut mereka sebagai etnik Binggi atau Bunggu. Sebutan Binggi diperuntukkan untuk etnik Kaili Da’a yang tinggal di daerah pantai sedangkan Bunggu untuk mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Masyarakat Kaili Da’a sendiri tidak suka jika mereka disebut dengan Etnik Binggi atau Bunggu karena mengesankan mereka adalah masyarakat yang terbelakang. Komunitas Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai oleh Dinas Sosial digolongkan sebagai komunitas etnik terasing karena dulunya mereka hidup berpindah-pindah dan hidup terpisah dari komunitas etnik lainnya. Hal ini dikemukakan oleh informan Si yang adalah Kepala Desa Wulai berikut ini: “Orang luar sering menyebut kami dengan etnik Binggi atau Bunggu padahal kami ini adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah. Menurut pandangan 23 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mereka kami adalah etnik terasing karena menurut mereka kami ini masih terbelakang.“ Namun seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan mereka sekarang telah berubah, sudah banyak yang tinggal di perkampungan berbaur dengan masyarakat dari etnik lain. Masuknya etnik pendatang di Desa Wulai dimulai dari tahun 1994. Mereka awalnya datang ke Desa Wulai sebagai buruh pekerja proyek pembangunan jalan yang kemudian menetap tinggal di Desa Wulai. Sampai saat ini beberapa etnik pendatang yang tinggal di Desa Wulai adalah Etnik Mandar 437 jiwa, Bugis 58 jiwa, Makassar 27 jiwa, dan Toraja 19 jiwa. Dari lima dusun, mayoritas etnik pendatang tinggal di Dusun Ujung Baru, oleh karena itu masyarakat yang tinggal di Dusun Ujung Baru tidak termasuk subjek penelitian ini. Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Wulai antara lain lima sekolah dasar dan dua Sekolah Menengah Pertama. Hampir di setiap dusun ada sekolah dasar kecuali di Dusun Sinjanga. Siswa SD yang tinggal di Dusun Sinjanga bersekolah di SD yang ada di Dusun Watubete dimana di dusun ini ada dua SD yaitu satu SD negeri dan satu SD swasta yang didirikan oleh gereja Bala Keselamatan. Kebanyakan remaja di Desa Wulai yang berusia 16 tahun keatas akan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga diluar desa bahkan hingga keluar kota. Hal itu dikarenakan ketiadaan fasilitas sekolah menengah atas (SMA) didesa. Adapun remaja yang melanjutkan ke pendidikan tingkat SMA lebih memilih untuk bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) daripada di SMA dengan harapan keahlian yang dimiliki setelah sekolah dan dapat segera bekerja. 24 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Tabel 2.1. Fasilitas Pendidikan di Desa Wulai Nama Sekolah Murid Laki-laki Murid Perempuan SDN Bendungan 53 49 SDN Watubete 45 46 SDN Saluwu 31 29 SDS BK Watubete 47 54 SDS BK Wulai 26 54 SMP Satu Atap SMP Ujung Baru Sumber: Profil Kec.Bambalamotu Tahun 2012 2.2.3. Pola Tempat Tinggal Pada awalnya etnik Kaili Da’a hidup berpindah-pindah (nomaden). Mereka akan tinggal di tempat mereka membuka lahan. Setelah selesai masa panen mereka akan pindah ke tempat lain karena mereka menganggap kesuburan tanah akan berkurang dan hasil panen berikutnya tidak akan sebanyak hasil panen pertama. Pada masa ini rumah yang mereka tempati adalah rumah yang tingginya sekitar 20 meter, terbuat dari bambu. Letak rumah satu dengan rumah yang lainnya berjauhan. Pada perkembangannya pola tempat tinggal etnik Kaili Da’a pun berubah seiring dengan adanya bantuan rumah dari Dinas Sosial. Saat ini kebanyakan etnik Kaili Da’a tinggal di perkampungan tetapi ada juga yang tinggal di daerah pegunungan. Salah satu lokasi pemukiman yang terletak di pegunungan berada di Salo’otu yang termasuk wilayah Dusun Watubete. Rumah penduduk yang tinggal di Salo’otu berupa rumah-rumah tinggi seperti rumah yang mereka tempati ketika mereka masih hidup nomaden. 25 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pada umumnya rumah di daerah Salo’otu lantai dan dindingnya terbuat dari bambu dengan atap terbuat dari daun sagu. Tinggi rumah sekitar dua sampai tiga meter bahkan ada juga yang mencapai enam meter. Rumah tersebut kebanyakan tidak menggunakan paku, hanya diikat dengan menggunakan rotan yang diperoleh dari hutan. Hal ini dijelaskan oleh informan To berikut ini yang merupakan ketua adat: “Rumah kami terbuat dari bambu dimana tiangnya terbuat dari bambu, lantainya dari bambu dan kami tidak menggunakan paku, kami mengikatnya dengan menggunakan rotan, pemilihan bambu juga tidak sembarang bambu usianya minimal harus 5 tahun”. Proses pembangunan rumah masyarakat Kaili Da’a memerlukan persiapan yang matang. Pemilihan bahannya juga diperlukan waktu yang cukup lama terutama bahan untuk pembuatan tiang. Bahan untuk pembuatan tiang adalah bambu yang sudah siap untuk ditebang, minimal berumur lima tahun. Atapnya terbuat dari daun sagu yang pembuatannya memakan waktu satu minggu untuk satu rumah, itupun tergantung dari besarnya rumah tersebut. Untuk naik ke atas rumah tinggi maka digunakan sebilah bambu yang dilubangi sedikit setiap 50 cm sebagai tempat pijakan kaki. Ruangan dalam rumah biasanya terdiri dari tiga ruang yaitu ruang bagian depan, ruang tidur dan dapur. Dapur biasanya juga berada di dalam rumah. Untuk mencegah lantai yang terbuat dari bambu terbakar maka tungku dapur dialasi tanah liat. 26 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Gambar 2.5. Rumah Tinggi Etnik Kaili Da’a Sumber: Dokumentasi Peneliti Gambar 2.6. Rumah di Perkampungan Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti 27 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kebanyakan rumah di Desa Wulai baik rumah tinggi ataupun bukan tidak memiliki tempat khusus pembuangan sampah. Mereka biasanya mengumpulkan sampah di belakang atau pekarangan rumah kemudian membakarnya. Saat ini kebanyakan masyarakat Kaili Da’a sudah tinggal di perkampungan, namun mereka juga memiliki rumah pondok di kebun mereka. Sehari-hari masyarakat lebih banyak tinggal di pondok yang ada di kebun mereka dan mereka akan turun pada hari Sabtu sore karena hari minggunya mereka akan beribadah di gereja. Gambar 2.7. Rumah di perkampungan di Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti Masyarakat Kaili Da’a memiliki bangunan khusus tempat diadakannya pertemuan atau upacara adat. Bangunan ini disebut dengan bantaya. Jika ada permasalahan yang harus diselesaikan dengan adat maka masyarakat akan berkumpul di bantaya. Pertemuan ini akan dipimpin oleh ketua adat dengan mengundang pihak yang bermasalah beserta beberapa orang 28 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat masyarakat sebagai saksi. Selain itu bantaya juga digunakan untuk acara perkawinan atau upacara adat. Setiap dusun di Desa Wulai memiliki bantaya kecuali di Dusun Ujung Baru karena hanya sedikit etnik Kaili Da’a yang tinggal di dusun ini. Gambar 2.8. Bantaya Sumber: Dokumentasi Peneliti Desa Wulai memiliki dua pasar yaitu yang berlangsung di Dusun Watubete setiap hari minggu pukul 07.00-10.00 WITA dan pasar di Dusun Ujung Baru setiap hari Rabu jam 07.00-12.00 WITA. Pasar ini bersifat sementara dan orang yang berjualan pun tidak banyak. Pasar yang cukup besar adalah Pasar Randomayang yang berlangsung setiap hari Sabtu dari pukul 07.00-12.00 WITA. Pasar ini terletak di pinggir jalan trans Sulawesi Randomayang. Untuk menuju Pasar Randomayang terdapat dua jalan yang dapat dilalui. Jalan pertama melewati sungai Ujung baru yang merupakan muara dari semua aliran sungai di Desa Wulai. Pada saat musim hujan, sungai ini sulit dilalui karena air sungai meluap. Jalan kedua melewati bukit di Dusun Wulai yang baru selesai dibuat oleh perusahaan. Kondisi jalan di bukit tersebut 29 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 berkerikil dan cukup terjal membuat masyarakat harus berhatihati jika melewati jalan ini terlebih saat hujan turun, jalan akan menjadi licin. Gambar 2.9. Pasar di Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti 2.3. Sistem Religi 2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional Pada awalnya etnik Kaili Da’a adalah penganut animisme. Mereka menyembah arwah leluhur melalui perantara gunung, pohon atau batu. Kemudian pada akhir tahun 1960-an agama Kristen mulai masuk yang dibawa oleh seorang pendeta dari etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah. Pendeta tersebut menyebarkan agama Kristen dengan cara masuk ke hutan di daerah pegunungan tempat etnik Kaili Da’a tinggal. Dengan pendekatan yang dilakukannya pendeta tersebut dapat membuat etnik Kaili Da’a memeluk agama Kristen. Sebelum memeluk agama Kristen masyarakat Kaili Da’a memiliki ritual-ritual adat yang rutin mereka lakukan seperti 30 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat ritual membuka lahan, pesta panen ataupun ritual menyambut hari lahir seorang anak yang disebut dengan Powati. Ketika masyarakat Kaili Da’a sudah memeluk agama Kristen berbagai ritual tersebut sudah tidak rutin dilakukan. Hal ini disebabkan pendeta melarang masyarakat melakukan ritual adat karena beberapa diantaranya dianggap masih terpengaruh animisme, seperti uraian informan Al berikut ini yang adalah pendeta di Desa Wulai: “Contohnya mereka membuat adat salah satunya ‘Powati’, akan dibuatkan. Setiap anak didandani dengan memakai pakaian kulit kayu supaya anak itu bebas dari gangguan roh-roh jahat. Setelah dibuatkan adatnya anak itu akan selamat. Kadang-kadang ada hal yang bertentangan dengan agama seperti sesajen yang diperuntukkan untuk roh-roh itu.” Penduduk Desa Wulai yang masih melakukan ritual adat adalah masyarakat Kaili Da’a yang tinggal di Dusun Saluwu. Untuk dusun lainnya mereka melakukan beberapa ritual adat secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh pendeta. Dusun yang seperti ini adalah dusun yang ada Gereja Bala Keselamatan yaitu Dusun Watubete, Wulai Satu dan Sinjanga. Pendeta dari Gereja Bala Keselamatan melarang masyarakat melakukan ritual adat tertentu karena ada perbuatan yang dianggap menyekutukan Tuhan. Ritual pesta panen dilarang untuk dilakukan karena memanggil roh-roh yang sudah meninggal ditambah lagi dengan adanya sesajian yang dipersiapkan untuk arwah leluhur. Meskipun pelaksanaan acara tersebut dilarang oleh gereja Bala Keselamatan namun mereka masih sering melakukan ritual adat secara sembunyi-sembunyi atau melaksanakan ritual tersebut di desa lain. 31 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.3.1.1. Ritual Adat Nompo Poyu Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari daerah Gunung Pinembani di Sulawesi Tengah. Mereka sampai ke daerah Mamuju Utara untuk mencari lahan perkebunan baru. Setelah menemukan lahan perkebunan baru sebelumnya mereka akan mengadakan ritual adat nompo poyu. Tujuan dari ritual adat nompo poyu adalah untuk meminta keselamatan dan perlindungan terhadap hal-hal ghaib yang dapat mengganggu kehidupan mereka. Ritual ini dimulai ketika pemimpin adat menyembelih seekor ayam jantan kemudian jantung dan empedunya dipisahkan dari dagingnya. Setelah jantung dan empedunya dipisahkan, pemimpin adat akan memperhatikan dengan saksama kedua organ ayam tersebut. Apabila kondisinya baik menurut kepercayaan mereka maka mereka akan pindah ke tempat yang telah mereka pilih sebagai lahan perkebunan dan pemukiman baru. Namun apabila kondisi kedua organ ayam kurang baik maka mereka tidak dapat menempati lokasi lahan perkebunan yang telah mereka pilih karena dianggap belum direstui oleh arwah leluhur mereka. Masyarakat Kaili Da’a mempercayai setiap tanah itu ada penghuninya maka setiap mereka hendak menempati tanah baru mereka harus menyembelih seekor babi dan darahnya dicurahkan ke tanah. Kegiatan ini disebut porantana yang dalam bahasa Kaili Da’a artinya tanah itu meminta darah. Darah yang dicurahkan ke tanah bertujuan untuk meminta keselamatan kepada makhluk ghaib yang menempati tanah tersebut. 2.3.1.2. Ritual Adat Pesta Panen Ritual adat lain yang biasa dilakukan Etnik Kaili Da’a adalah ritual pesta panen. Ritual ini dilakukan ketika masa panen 32 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat tiba sebagai ucapan syukur kepada leluhur mereka atas hasil panen yang mereka peroleh selama setahun. Sebelum ritual ini dimulai, dipersiapkan sesajian makanan, daun sikakuri dan daun salembangu yang digunakan untuk menyadarkan orang yang kemasukan setan. Sebagai makanan khas dibuatlah nasi yang dibungkus daun kemudian dimasukkan ke dalam bambu untuk disantap bersama-sama. Selama ritual ini ada prosesi pemanggilan arwah-arwah leluhur melalui nyanyian yang mereka lantunkan yang disebut dengan povae. Nyanyian dalam povae menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa keseharian masyarakat Kaili Da’a. Bahasa nyanyian ini adalah bahasa yang digunakan oleh leluhur mereka yang mengandung arti penyembahan, hal ini membuat tidak sembarang orang bisa menyanyikannya. Povae biasanya dilakukan sambil duduk oleh lebih dari lima orang yang bernyanyi sambil bersahut-sahutan. Dahulu povae dilakukan sambil memakai pakaian kulit kayu yang merupakan pakaian khas Etnik Kaili Da’a. Namun saat ini pemakaian pakaian kulit kayu sudah jarang dilakukan dikarenakan yang memiliki pakaian kulit kayu jumlahnya tinggal sedikit. Povae biasanya dilakukan sambil barego atau potaro. Barego adalah tarian persahabatan, tarian pesta. Potaro adalah tarian perang karena terdapat unsur magisnya ditandai dengan adanya orang yang dapat berjalan di atas api, memegang besi panas, badan ditusuk benda tajam, namun orang tersebut tidak apa-apa. Saat ini di Desa Wulai ritual pesta panen sudah jarang dilakukan dikarenakan adanya larangan dari Gereja Bala Keselamatan. Sebagai penggantinya dilakukan acara ucapan syukur di gereja untuk bersyukur kepada Tuhan atas hasil panen yang didapat. Selain itu pesta panen juga jarang dilakukan karena 33 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 saat ini hanya sedikit masyarakat yang menanam padi jagung di lahan mereka. Gambar 2.10. Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual Sumber: Dokumentasi Peneliti 2.3.1.3. Ritual Adati Powati Powati biasa dilakukan untuk memperingati ulang tahun yang dilakukan sekali seumur hidup dan biasanya dilakukan pada masa kanak-kanak. Powati dilakukan agar anak tidak diganggu oleh makhluk halus dan terhindar dari penyakit. Pantangan bagi orang yang belum melakukan Powati yaitu tidak boleh mengkonsumsi minyak kelapa, tidak boleh memegang kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), dan tidak boleh memegang bunga warna merah yang dipakai saat acara Powati. Apabila hal tersebut dilanggar menurut kepercayaan masyarakat dipercayai nantinya muncul luka di kepala, gatal-gatal, sering sakit seperti sakit malaria, seperti penjelasan ibu NK berikut ini: “Powati tidak terhitung dari umur berapa, sekali seumur hidup diundang semua. Kalau Powati tidak dilaksanakan nanti pertumbuhan anak tidak sehat.” 34 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Ritual Powati dapat dilakukan secara bersama-sama hingga pesertanya bisa mencapai sepuluh orang, dimana setiap peserta harus menyerahkan satu ekor babi. Sebelum ritual ini dimulai, beberapa perlengkapan perlu disiapkan seperti piring batu, loyang, dulang, kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), satu ekor ayam, tiga hingga sepuluh bulu burung siora. Semua perlengkapan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya dibacakan mantera. Sehari sebelum ritual Powati dimulai, anak yang akan diPowati tidak boleh keluar rumah. Kemudian seekor ayam dipotong dan dibakar. Sebelumnya agar makhluk halus tidak mengganggu ayam dibacakan mantera terlebih dahulu. Keesokan paginya ritual Powati dilaksanakan, anak-anak keluar rumah dengan menuruni anak tangga untuk menginjak babi yang masih hidup di bawah tangga rumah. Sebagai tanda bahwa ritual Powati sedang dilaksanakan maka di depan rumah diletakkan bambu kuning yang diikat di batang kayu dan ketupat yang digantung. Selepas babi tersebut diinjak, maka salah seorang anggota keluarga membunuh babi tersebut dengan tombak kemudian memotong dan membakar babi tersebut. Tiga bagian tubuh babi seperti usus dan kedua telinga babi disimpan untuk dimakan oleh anak yang di Powati pada hari ketiga usai acara. Hal ini bertujuan agar anak tidak gampang sakit. Kemudian ketua adat memakaikan kalung adat ke anak yang di Powati secara bergantian. Ritual Powati tidak boleh sembarang dilakukan dan harus mengikuti rangkaian adat orangtuanya terdahulu. Misalnya, jika anak yang di-Powati anak dari pihak ayah maka perlengkapan yang harus disiapkan adalah perlengkapan yang sama dengan ketika ayah anak tersebut di-Powati. Apabila perlengkapannya tidak sama maka Powati harus diulang karena dianggap tidak sah. Powati juga berlaku bagi orang dewasa yang sebelumnya belum 35 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pernah melakukan Powati. Bagi sebagian masyarakat menganggap jika Powati terlambat dilakukan atau baru dilakukan saat dewasa maka penyakit akan cepat datang. 2.3.1.4. Perkawinan Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai mengenal dua jenis perkawinan yaitu perkawinan secara adat dan secara agama. Perkawinan secara agama dilakukan di gereja dan disahkan oleh pendeta sedangkan perkawinan secara adat disahkan oleh ketua adat. Kebanyakan masyarakat Wulai melakukan perkawinan secara agama dan adat. Namun terkadang ada masyarakat yang melakukan perkawinan secara adat saja. Hal ini biasanya dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Jika ada pasangan yang hendak menikah, pertama kali harus memberitahu ketua adat. Selanjutnya ketua adat akan mencari tahu apakah kedua pasangan ini masih memiliki hubungan keluarga atau tidak. Selain itu jika perkawinan terjadi karena pihak keluarga perempuan melapor kepada ketua adat maka ketua adat akan mempelajari kesalahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Kemudian denda disesuaikan dengan adat yang dimiliki oleh perempuan. Dalam hukum adat masyarakat Kaili Da’a ada aturan yang melarang laki-laki dan perempuan yang belum menikah berduaan di malam hari. Jika ketahuan berduaan dan ada yang pihak yang melapor ke ketua adat maka mereka akan dikenakan denda adat. Biasanya yang melapor dari pihak perempuan dan yang harus membayar denda adat adalah pihak laki-laki. Bila ditinjau secara adat, mahar seorang wanita ialah babi satu ekor, ayam dan dulang. Secara adat terdapat larangan menikah bagi masyarakat yang masih memiliki hubungan darah atau keluarga dekat. Keluarga dekat seperti saudara sepupu 36 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat sekali hingga dua kali maupun kemenakan yang menikah dengan pamannya. Perkawinan yang paling dilarang adalah ketika paman hendak menikahi keponakannya. Apabila perkawinan ini terjadi maka pihak laki-laki ini harus membayar denda adat minimal lima ekor babi. Jika terjadi perkawinan antar sepupu maka yang paling berat dendanya adalah pernikahan antar sepupu satu kali. Selain tambahan babi, denda adat juga berupa tambahan kain adat (mesa), kalung yang terbuat dari kuningan yang tahan terbakar api (putiara goronasi), gelang kuningan asli, dan biji-biji kalung (wuku saya). Untuk menentukan mahar dilihat dari adat yang dipakai oleh orangtua calon pengantin perempuan ketika menikah. Adat ini berlaku turun temurun dari nenek moyang calon pengantin perempuan. Dalam menentukan mahar terdapat dua adat yaitu adat tujuh (poki papitu) dan adat sembilan (poki sasio). Perbedaan adat tujuh dengan adat sembilan ialah jumlah dulang atau piring batu yang dipakai. Apabila menggunakan adat tujuh maka diperlukan tujuh buah dulang atau piring batu sedangkan dalam adat sembilan diperlukan sembilan buah dulang. Saat ini untuk mendapatkan dulang atau piring batu cukup sulit sehingga berdasarkan keputusan ketua adat piring batu tersebut dapat diganti dengan menggunakan piring keramik. Apabila dulang tersebut diganti dengan piring keramik maka adat tujuh dan adat sembilan dikalikan dengan sepuluh buah piring, untuk adat tujuh maka diperlukan 70 buah piring sedangkan adat sembilan diperlukan 90 buah piring. Mahar untuk pernikahan dapat dicicil atau dibayarkan setelah pernikahan berlangsung. Setelah mahar ditetapkan dan semua perlengkapan perkawinan dipersiapkan maka tibalah waktu perkawinan. Pada malam sebelum perkawinan dilangsungkan maka dilaksanakan pemotongan ayam dan babi yang darahnya dicurahkan ke tanah. 37 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Tujuan pemotongan hewan ini agar pasangan yang hendak menikah diberikan keselamatan dan terhindar dari masalah atau bencana. Setelah babi dipotong kemudian jantung babi dipisahkan dari dagingnya. Menurut kepercayaan etnik Kaili Da’a, jantung babi merupakan benda sakral yang dapat menjadi petanda kelanjutan hidup dari mereka dalam segi kesehatan, keselamatan, rejeki. Jantung babi yang dianggap memberi petanda baik adalah jantung babi yang sudah keras dan warnanya merah kebiruan. Selain memotong babi juga dilakukan pemotongan ayam. Ketika hari perkawinan, jika perkawinan dilakukan secara agama dan adat maka pada pagi harinya pengantin menikah dulu di gereja yang disahkan oleh pendeta. Kemudian dilanjutkan dengan acara adat yang biasanya dilakukan di bantaya. Jika calon pengantin berusia dibawah umur maka pernikahan biasa dilakukan di rumah yang disahkan oleh pendeta. Saat ini tidak semua perkawinan di Desa Wulai dilaksanakan dengan mengikuti adat Etnik Kaili Da’a. Beberapa perkawinan sudah dilakukan secara modern baik dari segi pakaian ataupun hiburan yang ditampilkan. Dari segi pakaian, pengantin menggunakan busana modern yaitu jas bagi pengantin pria dan gaun putih bagi pengantian wanita. Hiburan yang ditampilkan adalah musik organ tunggal yang terkadang diiringi dengan ma’dero. Ma’dero dilakukan oleh penonton pria dan wanita, mereka menari dengan diiringi dengan irama musik dari organ tunggal. 2.3.1.5. Kematian Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai biasaya akan mengadakan acara peringatan hari kematian jika ada anggota keluarganya yang meninggal. Acara ini dilakukan mulai dari 38 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat malam ketiga, malam ketujuh, malam ke-40 dan malam ke-100. Tujuan pelaksanaan upacara adat keagamaan ini adalah untuk mengenang dan mendoakan orang yang meninggal. Sebagian masyarakat memiliki kepercayaan jika orang yang meninggal belum 14 hari, maka keluarga yang ditinggalkan belum dapat beraktifitas. Setelah 14 hari anggota keluarga yang ditinggalkan baru boleh beraktifitas seperti bercocok tanam. Apabila hal ini dilanggar maka mereka tidak akan mendapatkan hasil dari bercocok tanam. Pada acara malam ke-40 atau ke-100 malam acara yang dilakukan termasuk ke dalam pesta besar. Maka untuk menyediakan tamu yang diundang dilakukan pemotongan babi. Pada malam ketiga atau ketujuh cukup dilakukan pemotongan ayam atau menyediakan kue-kue untuk para tamu. Selain memotong babi pada acara malam ke-40 terkadang juga disertai dengan acara madero. Acara ini biasanya dilakukan setelah selesai acara berdoa. Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga mempercayai adanya makhluk ghaib atau setan yang dapat menyebabkan kematian. Mereka menyebutnya pok-pok dimana pok-pok adalah manusia biasa yang memiliki ilmu hitam yang bisa terbang melayanglayang pada waktu malam hari. Biasanya orang yang pok-pok datangi meninggal karena isi perutnya dipercaya sudah tidak ada lagi karena telah dimakan oleh pok-pok. Pada siang hari pok-pok adalah manusia namun pada malam hari dia berubah menjadi hantu pok-pok. Ketika malam hari kepalanya dapat meninggalkan tubuhnya dan mencari orang-orang yang dapat diganggu. Kehadiran pok-pok biasa diketahui dari langkahnya yang berbunyi “pok..pok” ketika melewati atap rumah sehingga masyarakat menyebutnya hantu pok-pok. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pokpok seringkali mendatangi orang yang akan meninggal selain itu 39 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pok-pok dipercaya dapat menjadi penyebab kematian. Menurut masyarakat untuk mengetahui siapa pok-pok yang datang menganggu saat malam hari biasanya mereka berbicara dari dalam rumah seraya memberikan janji untuk memberi garam atau cabe esok hari. Pada pagi buta biasanya pok-pok akan datang menagih janjinya. 2.3.2. Praktek Keagamaan Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah penganut agama Kristen Protestan. Terdapat tiga gereja Bala Keselamatan di Desa Wulai yaitu Gereja Pinora’a yang ada di Dusun Watubete, Gereja Wulai di dusun Wulai Satu, gereja Sinjanga di dusun Sinjanga sedangkan di Dusun Saluwu gereja yang ada adalah Gereja Toraja-Mamasa. Pada dusun yang terdapat Gereja Bala Keselamatan ibadah biasa dipimpin oleh opsir atau pendeta yang tinggal di dusun tersbut. Di Dusun Saluwu pendeta tidak menetap tinggal di dusun tersebut dan biasanya pendeta akan datang setiap hari Minggu. Pendeta tersebut tinggal di Desa Kalukunangka yang bersebelahan dengan Dusun Saluwu. Apabila pendeta tidak datang pemimpin kegiatan peribadatan dapat digantikan oleh asisten pendeta yang tinggal menetap di Dusun Saluwu. Kegiatan keagamaan yang dilakukan gereja Bala Keselamatan berbeda dengan Gereja Toraja Mamasa. Kegiatan ibadah Gereja Bala Keselamatan terdiri dari Ibadah pemuda jumat malam (malam sabtu). Ibadah ini diperuntukkan untuk pemuda yang berumur 12-25 tahun. Pada hari sabtu pukul empat sore diadakan ibadah untuk kaum ibu disebut juga Persekutuan Kaum Wanita (PKW). Biasanya jumlah jamaat yang datang sekitar 30 orang. Kadang kala di PKW ada acara seperti berbagai lomba untuk kaum wanita. 40 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Kemudian setiap bulan di mingggu ketiga PKW juga mengadakan penyuluhan kesehatan yang diisi oleh ibu bidan. Topik penyuluhan tergantung dari buku penuntun PKW dari pusat yang memberi penyuluhan kesehatan adalah ibu bidan. Pada hari minggu pagi dari pukul delapan sampai sembilan pagi diadakan sekolah minggu untuk anak-anak dan dilanjutkan dengan ibadah umum untuk jamaat laki-laki dan perempuan dari pukul 10.00-11.00. Kemudian dilanjutkan dengan ibadah kaum bapak pada pukul 11.00-12.00. Bagi mereka yang tidak sempat beribadah pada minggu pagi maka ada ibadah pengganti yang dilaksanakan pada pukul 18.00-19.00. Gambar 2.11. Aktivitas Keagamaan Sekolah Minggu Sumber: Dokumentasi Peneliti Selain itu setiap senin pagi juga dilaksanakan doa pagi di gereja dari jam 05 - 5.30. Ibadah ini bisa dilakukan semua orang tidak hanya untuk sedang melakukan pergumulan pribadi. Ibadah doa pagi ini untuk mengawali awal minggu agar tuhan menjauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Berbeda dengan Gereja Bala Keselamatan, kegiatan ibadah Gereja Toraja-Mamasa di Dusun Saluwu berlangsung pada 41 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 hari minggu dari pukul 10.00 sampai pukul 11.00 setelah itu dilanjutkan ibadah rumah tangga di rumah. Hari minggu adalah hari yang terlarang untuk bekerja karena hari minggu adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah. Gereja Toraja-Mamasa di Dusun Saluwu dibangun pada tahun 2001. Sebelum gereja dibangun kegiatan ibadah dilakukan di bantaya yang biasa digunakan untuk pertemuan adat. Pada saat pendeta belum masuk ke Dusun Saluwu, orangtua yang dianggap cukup memiliki pengetahuan agama yang diminta untuk memberikan ceramah ketika ibadah dilaksanakan. Perayaan keagamaan yang dirayakan secara besarbesaran adalah ketika hari raya Natal. Ketika natal tiba seluruh anggota keluarga berkumpul termasuk mereka yang biasanya tinggal di kota. Selain itu acara ibadah luar dilaksanakan setiap hari raya Kenaikan Isa Al-Masih. Pada hari raya ini hampir seluruh jamaat gereja di Desa Wulai pergi berekreasi ke Pantai Oge yang terletak di Pasang Kayu. Sebelum berangkat ke pantai diadakan doa bersama terlebih dahulu di gereja yang dipimpin oleh pendeta. Gereja Bala Keselamatan berasal dari Inggris yang dinamakan dengan Salvation Army yang dulunya disebut dengan bala tentara. Bala keselamatan adalah gereja yang lebih banyak melakukan misi sosial. Bala keselamatan secara internasional berada di 127 negara. Bala keselamatan telah ada di Indonesia sejak tahun 1913. Bala keselamatan secara historis tidak lepas dari gereja Protestan tetapi menjadi aliran sendiri. Pendeta yang bertugas di Gereja Bala Keselamatan memiliki kepangkatan sama dengan kemiliteran seperti kapten, letnan, mayor, sersan. Ketika pelaksanaan ibadah, pendeta selalu menggunakan seragam yang sudah menjadi ciri khas Gereja Bala Keselamatan. Disamping agama Kristen, sebagian kecil penduduk Desa Wulai beragama Islam. Kebanyakan penduduk yang beragama 42 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Islam adalah etnik pendatang seperti Mandar, Makassar dan Bugis. Setiap dusun memiliki satu bangunan masjid seperti di Dusun Watubete masjid Asy-Syakirin berdiri pada tahun 1996. Masjid ini dibangun ketika masyarakat pendatang mulai tinggal di Dusun Watubete. Masjid di setiap dusun memiliki imam yang bertugas memimpin kegiataan keagamaan. Adapun fasilitas ibadah yang ada di Desa Wulai adalah empat bangunan gereja dan dua masjid. Berikut tabel fasilitas ibadah yang ada di Desa Wulai: Tabel 2. 1. Fasilitas Ibadah di Desa Wulai Fasilitas Peribadatan Dusun Jumlah Gereja BK Pinora’a Watubete 1 Masjid As Syakirin Watubete 1 Gereja BK Sinjanga Sinjanga 1 Gereja BK Wulai Wulai satu 1 Masjid Wulai satu 1 Gereja Toraja Mamasa Saluwu 1 Masjid Ujung baru Sumber: Profil Kec.Bambalamotu Tahun 2012 2.4. Organisasi Sosial Dan Kemasyarakatan 2.4.1. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai adalah patrilineal yaitu mengambil garis keturunan dari pihak laki-laki yaitu pihak bapak. Tetapi masyarakat Kaili Da’a Wulai tidak mengenal pemakaian marga dalam nama mereka. Nama mereka tidak diikuti nama keluarga di belakang nama mereka. 43 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pemberian nama berdasarkan kesepakatan antara pihak suami dan istri. Seperti penuturan informa NX berikut ini: “Kalau soal penamaan anak tergantung kesepakatan keluarga tidak harus mencantumkan nama orang tuanya”. Walaupun menerapkan sistem patrilineal dalam masyarakat Kaili Da’a mengenal istilah anak bapak dan anak ibu. Anak bapak adalah anak kedua dan anak selanjutnya yang urutan genap. Anak ibu adalah anak pertama dan anak selanjutnya yang urutan ganjil. Kategori anak bapak dan anak ibu ini berpengaruh terhadap ritual adat yang nanti akan dilakukan anak tersebut. Misalnya jika anak tersebut akan melakukan ritual adat Powati (ritual adat memperingati hari lahir) maka barang-barang yang harus disiapkan tergantung dari apakah anak tersebut anak bapak atau anak ibu. Jika anak tersebut anak kedua maka anak tersebut adalah anak bapak maka barang-barang yang harus disiapkan adalah barang-barang yang sama ketika bapak dari anak tersebut di-Powati. Ketentuan ini membuat tidak semua orangtua melaksanakan ritual adat Powati untuk anaknya karena barang-barang yang digunakan bapak atau ibu anak tersebut ketika diPowati sudah sulit dicari, seperti penuturan informan AJ berikut ini: “Saya dan saudara-saudara saya waktu kecil tidak pernah di-Powati karena orangtua saya ketika diPowati menggunakan barang-barang yang sekarang sulit dicari. Karena itu orangtua saya memutuskan untuk tidak memPowati anak-anaknya. Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai menganggap anak laki-laki dan perempuan sama saja namun demikian ada juga pasangan suami istri yang menginginkan anak laki-laki. Mereka menganggap anak laki-laki dapat membantu orang tuanya 44 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat berkebun, sedangkan anak perempuan hanya membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah saja. Dalam hal pembagian harta warisan, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Biasanya pembagian harta warisan tergantung dari kesepakatan keluarga. Mengenai usia perkawinan, kebanyakan masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai menikah pada umur 15 tahun untuk perempuan dan usia 17 tahun untuk laki-laki. Sebelumnya usia pernikahan ini dianggap usia yang ideal oleh masyarakat karena pada usia tersebut baik pihak laki-laki ataupun perempuan sudah siap untuk bekerja di kebun. Namun seiring dengan banyaknya penduduk usia tersebut yang bersekolah sampai tingkat SMP atau SMU maka mereka yang menikah pada usia 15-17 tahun dianggap menikah karena keterpaksaan. Dalam artian mereka terpaksa menikah karena telah melanggar hukum adat. Setelah menikah kebanyakan masyarakat Kaili Da’a Wulai akan mencari tempat tinggal baru yang terpisah dari rumah orangtua mereka (neo lokal). Lokasi baru yang mereka tempati terkadang tidak jauh dengan rumah orangtua mereka. Rumah yang ditempati pasangan suami istri yang baru menikah beberapa diantaranya adalah rumah sementara berupa pondok sederhana. Namun ada juga yang memilih tinggal di rumah orangtua istri atau suami tergantung dari kesepakatan mereka. Dalam kehidupan masyarakat Wulai suami dan istri saling membantu ketika bekerja di kebun. Mereka pergi bersama-sama ke kebun terkadang sampai hari minggu baru pulang ke rumah untuk beribadah. Kebanyakan anak-anak juga turut membantu orangtuanya di kebun. Sejak kecil anak–anak di Desa Wulai sudah diajarkan untuk membantu pekerjaan orangtua di rumah seperti halnya memasak, mencuci, menjaga saudaranya ketika orangtua bekerja di kebun. Ketika beranjak remaja mereka akan 45 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 membantu orangtua di kebun seperti memotong rumput, menanam jagung, memetik cokelat, dan hingga memanen sawit. Pekerjaan rumah tangga sehari-hari seperti memasak atau mencuci biasanya dilakukan oleh istri. Pengasuhan anak dilakukan bersama-sama oleh suami dan istri. Hal ini tampak dari tidak segan-segannya suami menjaga anaknya ketika istri sibuk bekerja mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam masyarakat Kaili Da’a dikenal istilah sepupu satu kali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Sepupu satu kali adalah anak dari saudara bapak atau ibu. Jika anak dari saudara bapak atau ibu memiliki anak maka disebut sepupu dua kali, begitu seterusnya. Kelompok atau organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa Wulai salah satunya adalah kelompok ibu-ibu PKK. Kelompok PKK kepengurusannya sudah terbentuk di Desa Wulai namun kegiatannya belum berjalan. Kelompok arisan atau tabungan juga tidak ada di Desa Wulai. Jika ada masyarakat yang ditimpa kedukaan seperti anggota keluarganya ada yang meninggal maka sumbangan kedukaan diberikan oleh pihak gereja. Dalam aturan gereja Bala Keselamatan setiap ibadah hari minggu dilaksanakan maka setiap jama’at wajib memberikan sumbangan yang disebut dengan persembahan diakoniya. Hal ini diungkapkan oleh informan Me, seorang pendeta yang bertugas di Desa Wulai: “Kalo ada kedukaan seharusnya ibu PKK harus aktif. Selama ini di Desa Wulai tidak ada kegiatan ibu PKK. Kalo ada kedukaan yang mempersiapkan keluarga sendiri. Untuk memberikan sumbangan kepada keluarga yang ditimpa kedukaan ada persembahan ‘diakoniya’.” Selain sumbangan setiap hari minggu setiap jama’at juga harus memberikan sumbangan bulanan. Jika bulan ini jema’at tidak memberikan sumbangan maka besarnya sumbangan 46 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat terakumulasi di bulan berikutnya. Sumbangan bulanan ini berlaku untuk jama’at Gereja Bala Keselamatan sedangkan jama’t Gereja Toraja Mamasa hanya menerapkan sumbangan ketika ibadah dilakukan. Seperti penjelasan informan RI berikut ini: “Kalau gereja BK lain sumbangan ketika ibadah lain per KK setiap bulan ada iuran wajib. Kalo minggu ini belum bayar minggu depan tetap tertulis ada utang. Kalo Gereja Toraja Mamasa tidak ada hanya persembahan di awal dan pertengahan ibadah.” Rasa kegotongroyongan masyarakat Desa Wulai terlihat masih tinggi. Hal ini terlihat jika ada anggota masyarakat yang mengadakan acara seperti perkawinan atau acara syukuran maka masyarakat akan bergotongroyong membantu persiapan pesta dari mulai pendirian tenda, memasak masakan pesta sampai selesai acara perkawinan. Saat membangun rumah pun masyarakat akan membantu jika ada salah satu warga ada yang ingin membangun rumahnya. Selain itu jika ada warga yang ingin menanam jagung di kebunnya maka anggota masyarakat lain akan datang membantu. Biasanya mereka bekerja tanpa bayaran dan sebagai balas jasa pemilik kebun jagung akan menyediakan makanan dan minuman. 2.4.2 Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal Pada adat masyarakat Kaili Da’a tidak ada aturan yang secara jelas membagi masyarakat menjadi lapisan atas atau bawah. Namun pada kenyataannya anggota masyarakat yang masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Dombu atau Pinembani akan lebih dihormati dibandingkan dengan anggota masyarakat yang lain. Keturunan raja yang paling dihormati adalah yang disebut ummah. Ummah adalah keturunan raja dari kalangan etnik Kaili Da’a. Apabila raja memiliki tiga orang anak 47 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 maka bukan ke tiga-tiganya akan mendapat gelar ummah karena untuk mendapatkan gelar ummah seseorang harus memiliki sifat yang menyerupai orangtua dari raja tersebut. Selain keturunan raja, posisi ketua adat juga mendapat penghormatan yang lebih di masyarakat. Ketua adat memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat. Ketua adat memiliki peranan menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi di masyarakat. Masing-masing dusun di Desa Wulai memiliki satu orang ketua adat kecuali di Dusun Ujung Baru yang mayoritas penduduknya bukan etnik Kaili Da’a. Ketua adat dipilih oleh masyarakat tiap dusun secara musyawarah. Ketua adat yang dipilih adalah mereka yang memahami tentang tata cara dan hukum adat. Penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Kaili Da’a Wulai dilakukan secara musyawarah. Jika konflik terkait dengan sengketa tanah maka pada awal penyelesaian dilakukan oleh kepala dusun. Jika kepala dusun tidak dapat menemukan titik temu maka akan dilaporkan ke kepala desa. Pada jenis masalah yang terkait dengan pelanggaran hukum adat maka akan diselesaikan di bantaya dengan memanggil ketua adat. Hal ini diutarakan informan SO berikut ini: “Iya masing-masing dusun ada ketua adat, jadi kalau ada masalah yang tidak bisa yang mereka selesaikan disana baru ada kebersamaan di setiap dusun itu untuk menyelesaikan. Saling memanggil mereka, tokoh-tokoh adat itu bagaimana merampungkan sampai bisa selesai.” Pada kehidupan masyarakat Kaili Da’a terdapat hukum adat yang mengatur tata cara kehidupan. Hukum adat ini mengatur perbuatan atau perilaku apa saja yang tidak boleh dilakukan. Apabila masyarakat melakukan perbuatan yang dilanggar maka akan terkena sanksi adat berupa denda yang besarnya bervariasi tergantung pelanggaran yang dilakukan. 48 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Salah satu hukum adat dalam masyarakat Kaili Da’a mengatur tentang tata cara pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Mereka yang belum menikah tidak boleh terlihat berduaan di malam hari tanpa ada orang lain yang dapat menjelaskan alasan mereka berdua-duaan. Jika hal ini terjadi dan dari pihak perempuan ada yang melapor ke ketua adat maka akan terkena sanksi adat. Pada umumnya denda tersebut berupa satu ekor babi dan tiga buah dulang dimaksudkan untuk denda adat sedangkan satu ekor babi dan tiga dulang untuk mahar. Apabila dari pihak lakilaki bertanggung jawab maka akan diurus atau dinikahkan, sedangkan apabila tidak mau menikah maka akan berlaku denda berupa satu ekor babi, piring batu (dulang) dan lima belas piring keramik dan jumlah denda tersebut tergantung dari keputusan ketua adat. Denda yang cukup berat bagi masyarakat berlaku manakala perempuan sudah hamil dan laki-laki tidak mau bertanggungjawab. Laki-laki tersebut akan didenda babi tiga ekor dan loyang jaman dahulu (dulang) sesuai dengan adat yang dimiliki oleh perempuan yaitu adat tujuh atau adat sembilan. Total jumlah piring tersebut dapat ditambah dua buah piring jadi dari jumlah tujuh puluh menjadi tujuh puluh dua untuk adat tujuh sedangkan untuk adat sembilan dari yang mulanya sembilan puluh menjadi sembilan puluh dua. Satu ekor babi dan tiga buah dulang digunakan untuk keselamatan tanah leluhur atau desa tersebut. Ada bahasa tertentu atau mantera yang dibacakan oleh ketua adat untuk berbicara dengan penguasa alam sebagai permohonan maaf atas apa yang dilakukan oleh anak cucu mereka agar ditanah tersebut tidak ditimpa bencana ke masyarakat sekitar. Tidak hanya itu laki-laki tersebut juga akan didenda berupa uang dan memberikan makan perempuan yang 49 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dihamili tersebut sampai dengan tiga bulan setelah anaknya lahir. Berikut penjelasan ketua adat SG: “Misalnya perempuan hamil kalo laki-laki tidak mau itu berat lagi itu dendanya, kalo dia hamil dan perempuannya tidak mau dia kawini itu berat lagi itu. Tidak hanya babi itu, kalo orang disini mahal. Uang, Berat.. Babi, Uang, baru dikasih makan mamanya dikasih makan anaknya didalam sampai 3 bulan. Misalnya lahir bulan ini maka sampai 3 bulan kemudian baru lepas”. Pada kasus perceraian juga mendapat perhatian khusus secara adat. Apabila terjadi perceraian maka ketua adat akan memanggil pasangan suami istri tersebut dan mencari penyebab dari akar permasalahan tersebut. Apabila sumber dan penyebab dari perceraian tersebut diketahui maka akan diputuskan siapa yang bersalah dan kemudian ketua adat memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak. Pertanyaan pertama ditujukan pada pihak perempuan yaitu apakah ia ingin mengakhiri pernikahannya. Apabila ia menginginkan bercerai dengan suaminya maka pihak perempuan akan mendapatkan denda sekalipun perempuan tersebut tidak bersalah. Denda tersebut berupa mengembalikan mahar pernikahan. Apabila suami yang memutuskan untuk bercerai maka suami harus membayar denda berupa dua ekor babi. Jika suami masih mempunyai tanggungan mahar yang belum dibayar maka pada saat itu suami juga harus membayar semua mahar istrinya. Selain tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan, dalam hukum adat juga ada larangan untuk mencuri. Jika seseorang mencuri maka akan terkena denda adat yaitu harus mengganti benda yang sama dengan yang baru dan jumlahnya dilipatgandakan. Denda dilipatgandakan untuk memberikan efek jera supaya orang tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya. 50 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Denda adat juga berlaku bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain (membunuh). Orang yang membunuh dikenakan denda memberikan lahan kepada keluarga yang dibunuh yang luasnya seperti luas satu gunung. Denda lahan ini diterapkan sebagai pengganti nyawa manusia. Menurut keterangan informan SM, di Desa Wulai pernah terjadi kasus pembunuhan. Kasus tersebut terjadi pada seorang perempuan yang dicekik oleh teman laki-lakinya. Untuk menggantikan nyawa perempuan tersebut maka orangtua perempuan meminta diberlakukan denda berupa lima puluh pohon kelapa dengan luas tanah sekitar satu hektar. Si pembunuh juga diwajibkan merawat dan memperbaiki makam perempuan tersebut serta membiayai acara peringatan kematian. Selain denda lahan, seorang pembunuh juga dikenakan denda menyerahkan piring dulu yang berbentuk seperti mangkok sejumlah dua buah. Piring dulu digunakan untuk menutupi bagian tubuh tertentu dari orang yang dibunuh sebelum dikuburkan. Apabila pembunuh kesulitan mencari piring dulu maka dapat diganti dengan uang untuk memudahkan. Berbeda dengan zaman dulu dimana barang tersebut harus diberikan dan tidak boleh diganti uang. 2.5. Pengetahuan 2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit Bagi masyarakat Wulai arti sehat (nabelomo) identik dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti pergi bekerja ke kebun. Sedangkan arti sakit (ju’a) adalah saat mereka tidak dapat bekerja di kebun, tidak dapat berdiri dan tidak bisa makan, seperti diungkapkan informan PW berikut, “Sehat itu bisa bekerja, bisa ke kebun tiap hari. Kalo sakit itu tidak bisa bekerja.” 51 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Menurut masyarakat Wulai, sakit terdiri dari dua jenis yaitu sakit ringan dan sakit berat. Sakit ringan adalah ketika mereka sakit namun masih bisa beraktivitas. Beberapa contoh sakit ringan seperti batuk (nenteke) atau sakit kepala (ju’a vo’o). Sedangkan sakit berat (ju’a ntomo) merupakan sakit ketika tidak bisa beraktivitas sama sekali, hanya bisa berbaring, tidak bisa jalan dan tidak bisa makan sama sekali. Masyarakat juga mempercayai seseorang dapat menjadi sakit jika diganggu makhluk ghaib atau setan yang dalam bahasa Kaili Da’a disebut dengan kabunakana (keteguran). Menurut informan NI yang adalah seorang topo tawui, seseorang dapat sakit apabila diganggu setan. Setan ini dapat mengganggu melalui mimpi. Tanda orang diganggu setan adalah matanya berwarna kuning dan bola mata orang tersebut terlihat tidak baik, seperti penuturannya berikut ini: “Nentaku mata ena anu vesena makagae, ngana dilia ada seta.” (Kalo dilihat dari sini katanya anu mata ini terlihat ada setan-setannya) Selain itu keteguran juga dapat terjadi ketika seseorang mendatangi atau melewati beberapa tempat tertentu yang dianggap banyak setannya seperti di sungai, pantai, hutan. Kemudian orang tersebut sakit karena diganggu oleh setan penghuni tempat tersebut, seperti pernyataan informan SA yang adalah seorang topo tawui berikut ini: “Sumber penyakit banyak dari jin-jin, setan kan dari situ. Kalo setan jin dari situ semua penyakit. Semua kampung ada jin ada setan. Biar dimana-mana ada dia.” Pengalaman keteguran dialami ibu JN yang merasa anaknya keteguran setelah pulang dari pantai. Anaknya sudah sakit berhari-hari, sudah diberi obat penurun panas dan dibawa 52 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat ke bidan namun tidak sembuh-sembuh juga. Maka ia meminta bantuan topo tawui untuk melihat apakah anaknya mengalami keteguran atau tidak. Konsep sehat sakit masyarakat Kaili Da’a juga terkait dengan adanya pantangan (pali) yang tidak boleh mereka lakukan. Salah satunya adalah pantangan tidak boleh makan udang karena dapat membuat sakit, seperti diutarakan oleh informan PM berikut ini: “Ada juga larangan itu barangkali kita makan udang kita dapat penyakit itu. Kalo kami itu tidak bisa, dilarang itu. Dari orangtua dulu, dilarang memang, gara-gara itu nanti dapat penyakit.” Pernyataan informan PM diperkuat dengan pengamatan peneliti ketika pergi ke pasar bersama ibu Ji salah seorang penduduk Desa Wulai yang biasa memasak makanan untuk peneliti. Pada saat itu peneliti membeli udang, ketika ibu Ji ditawarkan apakah mau dibelikan udang, ia menolak. Saat ia selesai memasak udang, ibu Ji juga tidak mau memakan udang tersebut. Ibu Ji tidak mau memakan udang yang ia masak sendiri karena masyarakat Kaili Da’a memiliki pantangan tidak boleh memakan udang. Udang yang tidak diboleh dimakan adalah udang bakar. Selain dibakar udang rebus juga tidak boleh dimakan jika ketika memasak udang air rebusannya menetes sampai ke api, seperti pernyataan informan SI berikut ini: “Oo... itu banyak seperti udang to tidak bisa dibakar, kalo direbus bisa tapi airnya tidak boleh kena api. Begitu memang orangtua dulu, kalo dibakar itu e bisa bikin sakit.” Jika pantangan memakan udang dilanggar maka akan menimbulkan penyakit seperti kena luka bakar dan gatal-gatal. Selain tidak boleh makan udang, pantangan lain adalah tidak 53 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 boleh memakan terung yang berwarna merah yang dibakar. Akibat dari melanggar pantangan ini adalah dapat menyebabkan gatal-gatal, seperti uraian informan SM berikut ini: “Terong warna merah tidak boleh dibakar tapi airnya tidak boleh kena api. Nanti bisa gatal-gatal pokoknya sakit to karena tidak biasa.” Menurut masyarakat Wulai ada dua jenis penyakit yaitu penyakit medis dan penyakit non medis. Penyakit medis adalah penyakit yang dapat disembuhkan oleh tenaga kesehatan seperti bidan. Namun masyarakat juga meminta bantuan dukun untuk mengobati penyakit medis. Penyakit kedua adalah penyakit non medis yang disebabkan oleh guna-guna ilmu hitam (gane-gane). Penyakit ini hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dukun dalam bahasa Kaili Da’a disebut dengan istilah topo tawui. Penyakit yang disebabkan guna-guna ilmu hitam ada dua jenis yaitu yang disebut dengan kotu dan doti. Penyakit pertama disebut dengan istilah kotu. Kotu adalah penyakit akibat gunaguna ilmu hitam yang ditandai dengan adanya benda yang keluar dari tubuh seperti paku. Benda tersebut dikirimkan ke dalam tubuh orang yang menjadi sasaran dengan menggunakan ilmu ghaib. Kotu juga dapat disebar di jalan sehingga jika orang yang melewati jalan tersebut nantinya akan terkena kotu, seperti penjelasan informan RI berikut ini: “Kotu itu perbuatan dari yang tidak bisa lihat Alkitab. Kalau kotu batu bisa masuk ke tubuh kita kalau tidak ada yang bakasih keluar itu mati kita, tidak bisa jalan, tidak bisa bangun, kayu juga bisa dikasih masuk. Kotu kayu yang dikasih masuk. Kotu dan doti bedanya dari cara meniupnya”. Penyakit kedua adalah doti yang disebabkan oleh gunaguna ilmu hitam tetapi tidak ada benda yang keluar dari tubuh. 54 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Jika seseorang kena doti maka dapat berisiko mengalami kematian dalam waktu singkat, seperti pernyataan informan SI berikut ini yang adalah topo tawui: “Kalo itu penyakitnya parah juga itu seperti bebangkak karena kalo kotu kita tidak liat dia masuk to rumputrumput itu dia kasih hidup baru masuk sama kita. Ada juga barang yang dimasukkan batu, bisa juga kayu, paku, pokoknya parah itu bisa juga. Kalo doti dari orang. Kalo doti itu dikasih orang anu tidak cukup satu jam dua jam bisa mati kita.” Masyarakat Kaili Da’a juga memiliki kepercayaan jika ada orang yang sakit berat tidak boleh tinggal di rumah yang seharihari ia tinggali. Namun kepercayaan ini tidak diyakini seluruhnya oleh masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai. Masyarakat yang mempercayai hal ini adalah mereka yang tinggal di Dusun Saluwu. Mereka mempercayai jika ada orang yang sakit berat maka akan dibuatkan pondok kecil di samping rumahnya. Hal ini bertujuan jika orang yang sakit itu meninggal, arwahnya tidak akan mengganggu keluarga yang ditinggalkan. Rumah tempat orang yang sakit tidak boleh ditempati oleh anggota keluarganya yang lain setelah orang tersebut sembuh atau meninggal. Rumah tersebut akan ditinggalkan begitu saja atau dihancurkan dan tidak boleh dibakar. Mereka mempercayai jika rumah tersebut dibakar maka anggota keluarga yang lain bisa sakit juga, seperti penuturan informan SM berikut ini: “Kalo rumah gini to siapa tau dia senang, kan itu kebiasaan dulu-dulunya to, kalo uda sembuh kasih tinggal saja rumahnya. Kasih tinggal atau dihancurkan terserah tapi tidak bisa dibakar. Kalo itu dibakar itu bisa sakit itu dia juga to, entah itu anaknya sakit mamanya sakit. Biar satu kayu tidak ada yang dibakar.” 55 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.5.2. Penyembuhan Tradisional Dalam istilah masyarakat Kaili Da’a Wulai, dukun yang dapat menyembuhkan penyakit disebut dengan topo tawui yang artinya orang yang bisa bertiup. Topo tawui ada yang berjenis kelamin laki-laki dan ada juga yang perempuan. Topo tawui di desa Wulai jumlahnya cukup banyak namun yang sering didatangi masyarakat jumlahnya sekitar dua sampai tiga orang di setiap dusun. Topo tawui yang sering didatangi adalah yang dianggap masyarakat telah banyak menyembuhkan orang yang sakit. Beberapa topo tawui di Desa Wulai adalah ketua adat yang merupakan orang yang cukup disegani di mata masyarakat. Topo tawui dapat menyembuhkan hampir semua jenis penyakit bahkan topo tawui juga dapat membantu orang melahirkan. Namun masyarakat Kaili Da’a Wulai tidak menyebut topo tawui yang dapat membantu orang melahirkan sebagai dukun beranak. Tidak semua orang bisa menjadi topo tawui, hanya orang terpilih yang dapat menjadi topo tawui. Topo tawui memperoleh ilmunya ada yang dari mimpi dan ada juga yang dari keturunan. Seorang topo tawui yang sebelumnya tidak memiliki riwayat keluarga sebagai topo tawui biasanya mendapatkan ilmu tersebut dari mimpi. Biasanya mimpi ini hanya datang satu kali ketika sudah tengah malam. Dalam mimpi topo tawui bertemu dengan seseorang yang memberitahu bagaimana cara melakukan pengobatan beserta beberapa manteranya (dowa) dimana mantera penyembuhan setiap penyakit berbeda-beda. Walaupun mereka mendapat mimpi, mereka tidak serta merta dapat dinyatakan sebagai topo tawui, hal ini harus dibuktikan dengan adanya orang yang meminta bantuan untuk disembuhkan oleh calon topo tawui. Apabila calon topo tawui berhasil menyembuhkan orang yang sakit barulah ia dapat dinyatakan sebagai topo tawui. Menurut keterangan beberapa informan yang merupakan topo tawui, mimpi yang mereka dapat 56 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat adalah mimpi yang berasal dari Tuhan bukan dari roh-roh jahat atau setan, seperti penjelasan informan Sa berikut ini: “…barang itu kita dapat cuma mimpi. Kan Dia kasih tau juga ini untuk ini. Begitu juga orang yang sakit, kalo ada orang yang sakit dibantu ditiup. Kan itu dari..Tuhan bukan dari setan kan setan itu berbahaya”. Hal senada diutarakan oleh informan Ri, menurutnya mimpi yang didapat topo tawui bersumber dari Tuhan. Jika topo tawui mendapatkan mimpi yang tidak menyebut nama Tuhan sama sekali berarti mimpi tersebut berasal dari roh-roh jahat, berikut penuturannya: “Setahu saya misalnya mimpi mengenal nama Tuhan berarti asalnya dari Tuhan, seumpama yang meniup tidak ada dikaitkan dengan nama Tuhan sumbernya dari roh-roh yang jahat.” Topo tawui berpendapat mimpi yang bersumber dari rohroh jahat adalah ilmu hitam yang dapat membuat seseorang mengirimkan guna-guna seperti kotu atau doti. Salah satu ciri topo tawui yang mendapat mimpi dari roh-roh jahat adalah mereka tidak pernah beribadah di gereja. Mereka juga tidak bisa melihat atau membaca kitab suci (Injil). Kedua perbuatan ini adalah pantangan bagi topo tawui yang mendapatkan ilmunya dari roh-roh jahat. Seorang topo tawui tidak hanya mendapatkan ilmu pengobatan dari mimpi. Mereka juga dapat mendapatkan ilmu melalui keturunan. Biasanya mereka mendapatkan ilmu pengobatan dari orangtua mereka. Orangtua juga tidak sembarangan menurunkan ilmu kepada anaknya. Pada umumnya orangtua akan menurunkan ilmunya jika anak tersebut bersedia, namun sebelumnya orangtua akan mempelajari kepribadian 57 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 anaknya apakah mampu atau tidak untuk menjadi seorang topo tawui. Beberapa persyaratan seorang anak dianggap dapat menjadi topo tawui adalah anak tersebut tidak boleh sombong, tidak boleh cepat marah dan tidak boleh panjang mulut. Mempelajari bacaan atau mantera topo tawui sebaiknya dilakukan ketika tidak banyak orang dan hanya dilakukan berdua saja. Oleh karena itu, anak tersebut tidak boleh memberitahukan kepada orang lain kalau dia sedang belajar menjadi topo tawui begitu juga orangtuanya. Jika ada orang lain yang mengetahui dikhawatirkan ilmu yang dipelajari tidak ampuh lagi untuk menyembuhkan orang sakit. Selain itu orangtua juga lebih memprioritaskan untuk menurunkan ilmu yang dimilikinya pada anak bapak dan jika anak tersebut tidak bersedia baru digantikan anak ibu. Dalam satu keluarga terdapat pembagian anak yang dimiliki oleh ibu dan bapak. Anak bapak berada pada urutan kelahiran ganjil sedangkan anak ibu berada pada urutan kelahiran genap. Agar ilmu pengobatan yang dimiliki topo tawui tetap ampuh, maka terdapat beberapa pantangan (pali) atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan topo tawui. Setiap topo tawui memiliki pantangan yang berbeda-beda karena pantangan juga bersumber dari mimpi yang dialami setiap topo tawui, seperti penuturan informan RJ berikut ini: “Misalnya saya yang bertiup ini pantangannya, dalam waktu ini jangan dulu ubi kau makan, misalkan ini nasi jangan dimakan, kalau dimakan kan sakitnya tetap kesana, untuk sementara jangan dulu.” Topo tawui juga tidak boleh memberitahukan pada orang lain caranya memperoleh ilmu pengobatan maupun bacaan atau mantera untuk menyembuhkan penyakit karena dikhawatirkan pengobatan yang dia lakukan menjadi tidak mempan lagi. 58 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat 2.5.3. Teknik Penyembuhan Teknik penyembuhan yang dilakukan topo tawui adalah dengan cara meniup bagian tubuh yang sakit. Pengobatan yang dilakukan topo tawui tidak memerlukan waktu lama hanya sekitar lima menit dengan cara meniup dan memijat pada bagian yang sakit. Jika seseorang sakit kepala maka yang ditiup adalah bagian kepala dan jika perutnya yang sakit maka yang ditiup adalah perutnya. Biasanya sebelum meniup bagian yang sakit, topo tawui akan menggosok kedua tangannya sambil mulutnya komat-kamit membaca mantera (dowa). Kemudian ia akan mengusapkan ludahnya ke tubuh orang yang sakit, setelah itu meniup beberapa kali bagian tubuh yang sakit. Gambar 2.12. Penyembuhan yang dilakukan Topo tawui Sumber: Dokumentasi Peneliti Agar pengobatan yang dilakukan mendatangkan kesembuhan, topo tawui akan memberikan beberapa pantangan kepada orang sakit yang meminta bantuannya. Pantangan tersebut berupa jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi seperti tidak boleh memakan cabe yang berwarna merah, 59 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bawang, telur. Selain itu agar penyakit tidak kambuh lagi maka setelah sembuh orang yang sakit akan memotong ayam kemudian darah yang keluar dari jengger ayam ditempelkan ke dahinya. Pantangan ini akan berbeda-beda tergantung jenis penyakit dan siapa topo tawui-nya. Apabila pantangan ini dilanggar maka seringkali pengobatan menjadi sia-sia dan penyakit akan cepat kambuh, seperti uraian informan NC berikut ini: “Kalo berobat ke topo tawui supaya berhasil ada pantangannya seperti tidak boleh makan rica (cabe). Pantangannya pun tergantung dari siapa topo tawui nya dan apa penyakitnya.” 2.5.4. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal Sebagian masyarakat Kaili Da’a jika sakit pada awalnya akan melakukan pengobatan sendiri salah satunya dengan meminum ramuan tradisional. Salah satu tanaman yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit adalah jahe. Jahe dapat menyembuhkan penyakit magg dengan cara meminum ramuan jahe yang diparut yang dicampur dengan air panas. Penyakit magg juga dapat diobati dengan mengunyah bawang merah. Selain itu ramuan jahe juga dapat menyembuhkan sakit batuk. Penyembuhan penyakit batuk juga bisa menggunakan perasan jeruk nipis yang ditambah dengan garam kemudian diberi air. Ramuan lain untuk mengobati batuk adalah dengan meminum air rebusan daun mayana sebanyak sembilan lembar. Untuk mengobati luka dapat disembuhkan dengan daun mantipulu (patikan kerbau) atau disebut juga daun amphicilin (gambar 2.13 kiri). Caranya dengan mematahkan batang daun tersebut sampai keluar getahnya kemudian getah ditempelkan ke bagian tubuh yang luka. dengan mematahkan batang daun ini 60 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Sakit gigi dapat disembuhkan dengan daun tawunggala (gambar 2.13 kanan) Gambar 2.13. Daun-daunan untuk pengobatan tradisional Sumber: Dokumentasi Peneliti Selain meminum ramuan tradisional, sebagian masyarakat juga ada yang mengobati sendiri dengan meminum obat-obatan yang dijual di warung. Beberapa obat (pakuli) yang biasa mereka konsumsi adalah obat antibiotik seperti obat merk Am dan Amp. Obat tersebut mereka dapatkan tanpa resep dokter dan manfaat dari obat tersebut mereka ketahui dari mulut ke mulut. Sebagai contoh obat Am dan Amp mereka gunakan untuk mempercepat penyembuhan luka. Obat tersebut ditumbuk halus dan kemudian ditempelkan pada luka agar segera sembuh. 2.5.5. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan Sebagian masyarakat Kaili Da’a Wulai ketika sakit akan melakukan pengobatan sendiri terlebih dahulu. Jika belum sembuh (nalino) mereka akan meminta bantuan topo tawui. Jika sudah ditolong topo tawui penyakit belum sembuh juga biasanya mereka akan mencari topo tawui yang lainnya yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit mereka. Jika mereka sudah meminta bantuan beberapa orang topo tawui namun penyakit 61 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tidak kunjung sembuh barulah mereka meminta bantuan tenaga kesehatan seperti bidan, seperti pernyataan informan RI berikut ini: “Ada penyakit yang bisa diobati oleh topotawui ada penyakit yang bisa diobati oleh bidan kesehatan. Seumpamanya ditiup tidak bisa kita butuh pertolongan bidan. Kalau dulu orang patah cuma diurut atau ditiup saja bisa sembuh.” Tetapi ada juga sebagian masyarakat yang jika sudah melakukan pengobatan sendiri seperti meminum ramuan tradisional atau membeli obat di warung namun penyakitnya tidak sembuh, mereka langsung pergi ke Poskesdes tanpa meminta bantuan topo tawui, seperti diungkapkan informan SK berikut ini: “Kalo cuma sakit-sakit perut ya pake obat kampung. Ujung daun jambu itu disiram saja pake air panas. Banyak juga daun pana. Terserah dari kita mau berapa lembar tapi kasih ganjil. Kalo tidak sembuh baru dibawa ke bidan.” Selain meminta bantuan topo tawui atau berobat ke bidan kesehatan, orang yang sakit juga ada yang melakukan pergumulan. Pergumulan adalah berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk mengenai penyebab penyakit yang dideritanya. Jika penyakit disebabkan karena guna-guna maka setelah pergumulan orang yang bergumul akan memimpikan orang yang mengirimkan guna-guna. Pergumulan dilakukan dengan cara melakukan puasa selama tiga hari tiga malam, tidak makan dan minum setelah jam 12 malam dan tidak boleh kena asap rokok. Namun menurut pendeta ME, pergumulan sebenarnya tidak dianjurkan karena terkadang mimpi yang 62 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat datang bukan petunjuk dari Tuhan melainkan dari iblis atau setan, seperti pernyataannya berikut ini: “Contohnya saya berteman dgn seseorang dan saya memimpikan seseorang tersebut dan di dalam mimpi tsb saya lihat seseorang itu yang mengguna-guna saya. Belum tentu kan mimpi itu benar.” Biasanya masyarakat yang langsung berobat ke bidan adalah yang tinggal di Dusun Watubete dimana letak rumah mereka tidak terlalu jauh dengan Poskesdes. Bagi mereka yang letak rumahnya cukup jauh dari Poskesdes seperti di Dusun Saluwu atau perkampungan Pinora’a mereka lebih memilih ditolong topo tawui jika mereka sakit karena rumah topo tawui lebih dekat. Disamping itu mereka juga beranggapan jika sakit ditolong topo tawui lebih cepat sembuh dibanding ditolong bidan, seperti pernyataan informan PW yang lebih memilih berobat ke topo tawui. Menurutnya jika berobat ke topo tawui penyakit akan lebih cepat kambuh dibandingkan berobat ke bidan, berikut pernyataannya: “Kalo di-tawui kadang satu jam itu sudah bisa sembuh, cuman karena sering kembali itu penyakit. Mungkin kalo seperti kayu itu ada akarnya ketinggalan. kalo berobat di bidan, kalo ibaratkan kayu atau rumput tercabut semua itu akarnya. Jadi walaupun pelan-pelan dia sehat itu sembuh caranya lebih bagus lagi kalo ke bidan. Tapi agak lama baru sembuh.” Disamping itu adanya larangan dari pihak Gereja Bala Keselamatan agar tidak berobat ke topo tawui membuat sebagian masyarakat Wulai sembunyi-sembunyi jika meminta bantuan topo tawui. Mereka tidak mau jika mereka berobat ke topo tawui diketahui oleh pendeta. Masyarakat yang seperti ini adalah yang tinggal di dusun dimana terdapat Gereja Bala 63 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Keselamatan seperti di Dusun Watubete, Wulai Satu dan Sinjanga. Adanya larangan ini juga membuat masyarakat di ketiga dusun tersebut lebih banyak yang berobat ke bidan kesehatan dibandingkan dengan di Dusun Saluwu dimana pendeta tidak melarang masyarakat berobat ke topo tawui karena gerejanya adalah Gereja Toraja Mamasa. Pendeta dari Gereja Bala Keselamatan selalu mengarahkan masyarakat agar berobat ke bidan bukan ke topo tawui. Pengobatan yang dilakukan topo tawui menurut pendeta tidak sesuai dengan ajaran agama karena sama saja dengan menduakan Tuhan. Menurut pendeta pengobatan yang dilakukan topo tawui tidak bersumber dari Tuhan tetapi dari ilmu hitam, seperti penjelasan informan ME berikut ini yang bertugas sebagai pendeta di salah satu dusun di Desa Wulai: “Saya tekankan kepada Jamaat agar kalo datang sama hamba Tuhan jangan bercabang. Maksudnya jika sudah berobat ke bidan atau dokter jangan berobat ke dukun tiup. Orang yang bertiup itu pakai ilmu hitam, jarang ke gereja.” Adapun alasan lain yang membuat sebagian masyarakat enggan berobat ke Poskesdes adalah karena pada jam-jam tertentu jika berobat ke Poskesdes dikenakan biaya. Pelayanan di Poskesdes pada pukul tujuh pagi sampai pukul dua siang gratis jika memiliki kartu Jamkesmas. Namun jika lewat dari jam dua siang dikenakan biaya walaupun punya kartu Jamkesmas. Biaya yang dikenakan tergantung dari obat yang diberikan oleh bidan. Menurut keterangan bidan yang bertugas di Poskesdes, ia menarik biaya karena obat-obatan yang diberikan tidak semuanya berasal dari Puskesmas Randomayang, beberapa obat ada yang dibeli sendiri oleh bidan. Jika pasien yang datang tidak membawa kartu Jamkesmas kan dikenakan tarif umum yaitu sekitar Rp. 15.000,- - Rp 20.000,-. Adanya tarif pengobatan ini 64 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dikeluhkan oleh masyarakat karena tidak semua masyarakat memiliki kartu Jamkesmas. Gambar 2.14. Poskesdes Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti Sarana fasilitas kesehatan yang ada di Desa Wulai adalah Poskesdes yang terletak di Dusun Watubete. Pada awalnya Poskesdes ini adalah Puskesmas pembantu (pustu) yang dibangun pada tahun 2000. Pustu dibangun pada tahun 2000 namun pada saat itu belum ada petugas kesehatan yang tinggal menetap di desa. Pada tahun 2005 sudah ada bidan desa yang tinggal menetap di Pustu sampai sekarang. Selain Poskesdes, sebelumnya sempat ada klinik milik gereja dimana ada perawat yang tinggal menetap dan melakukan pengobatan kepada masyarakat. Saat ini klinik tersebut tidak berfungsi karena tidak ada petugasnya. Tenaga kesehatan yang bertugas di Desa Wulai ada dua orang yaitu bidan yang sudah PNS yang telah tinggal di Desa Wulai sejak tahun 2005 dan satu orang bidan PTT yang bertugas 65 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sejak Januari 2014 namun tidak tinggal di desa. Bidan PTT tidak setiap hari datang ke Poskesdes Wulai. Hal ini dikarenakan jika hujan turun terus menerus air sungai akan meluap dan akses jalan masuk ke Desa Wulai terputus. Biasanya asisten bidan datang hari Senin sampai Jumat dari pukul sepuluh pagi sampai jam dua siang. Bidan di Desa Wulai lebih banyak melayani pengobatan umum dibandingkan melakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Adapun penyakit yang paling banyak diderita pasien Poskesdes Wulai pada bulan Mei 2014 adalah sakit kepala. Pada bulan Juni 2014 penyakit yang paling banyak diderita adalah penyakit infeksi saluran pernafasan. Berikut data kunjungan pasien Poskesdes Wulai selama bulan Mei-Juni 2014 secara lengkap: Tabel 2.2. Data Kunjungan Pasien Poskesdes Wulai Mei-Juni 2014 Nama Penyakit Sakit Kepala Alergi Demam Rematik Batuk UHS Diare Suspect Malaria ISPA Hipertensi Asma Anemia Disentri Lain-lain Total Jumlah Penderita Mei 2014 21 15 13 8 7 6 3 3 2 2 2 82 Sumber: Data Rekapitulasi Bidan Poskesdes Wulai 66 Jumlah Penderita Juni 2014 10 6 11 6 7 20 8 12 4 20 104 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Selain Poskesdes Wulai, masyarakat Wulai juga ada yang langsung mendatangi Puskesmas Kecamatan Bambalamotu yang bernama Puskesmas Randomayang yang terletak di pinggir jalan Trans Sulawesi Randomayang. Penduduk Desa Wulai yang tinggal di Dusun Ujung Baru jika sakit lebih banyak yang datang ke Puskesmas Randomayang dibandingkan ke Poskesdes Wulai karena jarak Puskesmas Randomayang lebih dekat. Bagi penduduk yang tinggal di dusun lain seperti di Dusun Watubete, Saluwu atau Sinjanga untuk menuju Puskesmas Randomayang cukup sulit karena harus melewati dua sungai yang apabila hujan turun terus menerus air sungainya akan meluap. Pasien yang berobat ke Puskesmas Randomayang tidak dikenakan biaya jika memiliki kartu Jamkesmas. Jika pasien tidak memiliki kartu Jamkesmas dikenakan biaya Rp 5000. Gambar 2.15. Puskesmas Randomayang Sumber: Dokumentasi Peneliti Tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Randomayang terdiri dari perawat dan bidan. Tidak ada dokter 67 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang bertugas di Puskesmas ini karena dokter PTT sebelumnya telah habis masa tugasnya dan belum ada penggantinya. Berikut tabel tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Randomayang secara lengkap: Tabel 2.3. Tenaga Kesehatan Puskesmas Randomayang No Tenaga Kesehatan Jumlah 1 Perawat PNS 8 2 Perawat PTT 4 3 Perawat Gigi 1 4 SKM 2 5 Bidan PNS 2 6 Bidan PTT 6 7 Farmasi 2 8 Gizi 1 9 Sanitarian 1 Jumlah Tenaga 27 Sumber: Data Profil Puskesmas Randomayang 2.5.6. Pengetahuan Makanan dan Minuman Makanan pokok masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah nasi dan nasi jagung. Mereka biasanya makan nasi dua kali sehari yaitu pagi atau siang hari dan malam hari. Sehari-hari mereka biasa makan nasi dengan sayur. Nasi diperoleh dengan membeli beras di warung dengan harga per liternya sekitar tujuh ribu rupiah. Saat ini hanya sedikit penduduk Desa Wulai yang menanam padi di kebunnya sehingga kebanyakan dari mereka membeli beras di warung. Beberapa penduduk Desa Wulai juga ada yang mengkonsumsi ubi jalar atau ubi kayu sebagai makanan 68 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat pokok mereka karena mereka tidak mempunyai uang untuk membeli beras. Mereka memasak ubi dengan cara direbus kemudian memakannya dengan sayur. Sayur yang mereka konsumsi adalah sayur daun keladi, daun kelor, daun ubi kayu (daun singkong) atau kangkung. Sayursayuran ini diperoleh dari kebun mereka. Sayur dimasak dengan kuah santan atau ditumis. Lauk pauk yang mereka konsumsi adalah ikan namun ikan dibeli jika ada uang. Selama satu minggu mereka memasak ikan sekitar satu atau dua kali seminggu. Ikan diperoleh dari penjual ikan yang biasa datang ke Desa Wulai setiap hari. Ikan yang dijual biasanya adalah ikan cakalang, ikan tembang, ikan bandeng. Ikan diolah dengan menggunakan kuah santan. Daging ayam dan babi merupakan lauk yang biasa mereka konsumsi hanya pada saat pesta karena dianggap makanan tersebut merupakan makanan ‘mahal’ dan tidak untuk dikonsumsi setiap hari. Saat memasak mereka tidak terlalu menggunakan banyak garam. Untuk menambah rasa terkadang mereka menggunakan vetsin atau masako. Gambar 2.16. Makanan Sehari-Hari Masyarakat Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti Makanan selingan yang mereka konsumsi adalah ubi jalar atau ubi kayu direbus yang dimakan dengan sambal. Selain itu berbagai kue yang mereka buat biasanya juga terbuat dari ubi. 69 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Produk makanan olahan seperti mie instan, masyarakat Wulai tidak terlalu sering memakannya. Mereka baru akan memasak mi instan ketika sedang malas untuk memasak makanan. Mengenai minuman yang dikonsumsi sehari-hari, kopi adalah minuman yang paling disukai masyarakat Kaili Da’a Wulai. Mereka biasanya akan meminum kopi pada pagi hari atau sore hari. Kopi yang mereka konsumsi adalah kopi bubuk hitam produk lokal. Bagi mereka yang sehari-hari bekerja di kebun terutama laki-laki biasa meminum minuman berenergi merk KB. Mereka menganggap dengan meminum minuman ini tenaga mereka bertambah ketika bekerja di kebun. Selain itu remaja di Desa Wulai juga ada yang mengkonsumsi minuman keras. Mereka menyukai minuman keras bermerk CT, namun tidak semua warung di Desa Wulai menjual minuman keras. Terkadang mereka harus membelinya di desa lain. Harga minuman keras yang dijual sekitar sepuluh ribu rupiah per 1,5 liter. Mereka biasa mengkonsumsi minuman keras bersama teman-teman atau pada saat acara tertentu seperti pesta. Meminum minuman keras sebenarnya dilarang oleh pihak gereja, namun seringkali mereka mengkonsumsi minuman tersebut secara sembunyi-sembunyi. Kadangkala mereka mencampur minuman keras dengan obatobatan tertentu. 2.6. Bahasa Kebanyakan masyarakat Kaili Da’a menggunakan bahasa Kaili Da’a sebagai bahasa sehari-hari. Etnik Kaili terbagi atas beberapa bagian atau sekitar lebih kurang terdiri atas 27 etnik yaitu Kaili Inde, Kalili Ra’I, Kaili Unde, Kaili Ledo, etnik Da’a dan lainnya. Pelafalan dalam berbicara pada etnik Da’a berbeda dengan etnik Kaili lainnya. Biasanya orangtua yang berumur di atas 50 tahun banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka yang fasih 70 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat berbahasa Indonesia adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal. Pelafalan huruf pada bahasa Kaili Da’a ada yang berbeda dengan yang tertulis seperti huruf “w” dilafalkan dengan huruf “v”. Misalnya kata tawui jika dilafalkan menjadi tavui. Bahasa yang digunakan pada ritual adat berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari terutama pada saat mereka menyanyi untuk memanggil roh-roh halus. 2.7. Kesenian Alat musik tradisional masyarakat desa Wulai berupa permainan musik dengan menggunakan musik bambu. Musik bambu terdiri dari alat-alat musik tiup yang terbuat dari bambu dan biasa dimainkan secara berkelompok. Susunan alat musik tradisional tersebut memberikan harmoni dan suara yang cukup merdu. Tidak banyak warga masyarakat yang bisa membuat alat musik tersebut. Gambar 2.17. Alat Musik Tradisional (Musik Bambu) Sumber: Dokumentasi Peneliti 71 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.8. Mata Pencaharian Mayoritas penduduk Desa Wulai bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Pada awalnya ketika masyarakat Kaili Da’a masih hidup berpindah-pindah tanaman utama yang mereka tanam di ladang mereka adalah padi. Namun sekarang hanya sedikit yang menanam padi ladang karena hasil panen yang didapat sedikit. Biasanya hasil panen padi ladang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada sistem irigasi yang dapat mengalirkan air ke ladang, sehingga untuk menanam padi ladang sekarang cukup sulit karena air yang dipakai untuk mengairi ladang adalah air hujan. Tidak mencukupinya hasil panen ladang membuat masyarakat kemudian mengganti padi dengan coklat sebagai tanaman utama yang mereka tanam di kebun mereka. Sebagian besar petani di Desa Wulai sekarang menanam coklat di kebun mereka. Hal ini tampak dari banyaknya penduduk yang mengeringkan coklat di halaman rumah mereka. Selama setahun coklat bisa dipanen tiga sampai empat kali. Setelah dipanen biji coklat akan dipisahkan dari kulitnya dan kemudian dikeringkan sampai kering. Biasanya proses pengeringan ini bisa memakan waktu sampai tiga hari. Mereka kemudian menjual coklat ke pedagang yang ada di desa. Biasanya jika mereka menjual coklat ke pedagang yang ada di desa harga coklat per kilonya lebih rendah yaitu sekitar Rp 28.000 dibandingkan jika mereka langsung menjual coklat ke Donggala (Sulawesi Tengah) harganya berkisar antara Rp. 31.000 – 32.000. 72 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Gambar 2.18. Coklat yang sedang dikeringkan Sumber: Dokumentasi Peneliti Gambar 2.19. Aktivitas menanam jagung Sumber: Dokumentasi Peneliti Selain menanam coklat, masyarakat Wulai kebanyakan juga menanam jagung di kebunnya. Ketika menanam jagung hal 73 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang dilakukan pertama kali adalah membersihkan lahan dari rumput-rumput. Setelah lahan dibersihkan dari rumput, lahan kemudian disemprotkan pestisida. Setelah itu tali dipasang satu jalur untuk meluruskan dan menandakan area yang mau dikerjakan. Setelah itu tanah dilubangi (babolo) dengan menggunakan bambu. Kedalaman lubang sekitar lima cm, jarak antar lubang sekitar 50 cm. Kemudian biji jagung dimasukkan ke setiap lubang sebanyak 3-4 biji. Biji jagung yang didapat dari jagung yang dilepaskan dari tongkol yang rapat. Untuk mengairi lahan digunakan air hujan, tidak ada sistem pengairan khusus. Jagung dapat dipanen setiap tiga hingga empat bulan sekali dengan harga jual per kilonya sekitar Rp. 2.200. Selain coklat dan jagung, masyarakat Wulai juga ada yang menanam kelapa sawit. Harga satu pohon kelapa sawit yang siap panen sekitar satu juta rupiah. Usaha kelapa sawit cukup menggiurkan bagi masyarakat. Mengingat jumlah uang yang mereka dapat setiap memanen sawit cukup banyak, hal itu membuat masyarakat Wulai mulai beralih menanam kelapa sawit dibandingkan menanam coklat. Perusahaan kelapa sawit pun telah masuk ke Desa Wulai yang akan memulai operasionalnya pertengahan tahun 2014. Disamping itu masyarakat Wulai juga ada yang menanam kelapa biasa yang nantinya dikeringkan untuk dijadikan kopra. Harga jual kopra sekitar Rp. 4.000 sampai Rp 6.000 per kilo. Pada umumnya masyarakat biasa pergi ke kebun di pagi hari dan pulang ketika senja tiba, namun ada pula beberapa masyarakat yang memutuskan untuk tinggal di kebun dengan membangun pondok sederhana meskipun sudah mempunyai rumah di kampung. Menurut sebagian besar masyarakat Da’a kebun merupakan salah satu bagian dari hidupnya yang teramat penting dalam hidupnya. Mereka lebih senang apabila tinggal di kebun daripada di perkampungan dikarenakan apabila tinggal di 74 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat kampung seringkali banyak keributan dan tidak seperti bila tinggal di kebun dan dapat menjaga kebunnya dari binatang perusak tanaman. Sebagian masyarakat Desa Wulai ada yang berternak ayam namun ayam tersebut jarang dikonsumsi oleh mereka dan hanya untuk dijual dengan harga Rp 70.000 per ekor. Selain ayam mereka juga ada yang memelihara babi. Harga babi akan melambung ketika pembeli berdatangan untuk mencari babi. Biasanya babi dijual sekitar 1-2 juta per ekor. Penghasilan yang didapat masyarakat Wulai dari hasil kebunnya tidaklah seberapa. Mereka juga tidak mengalokasikan penghasilan mereka ke dalam bentuk tabungan. Jika mereka membutuhkan uang untuk keperluan mendesak seperti biaya rumah sakit mereka akan menjual kebun mereka. Biaya pendidikan anak mereka untuk bersekolah di sekolah menengah atas pun sulit untuk dipenuhi. Kondisi ini membuat remaja di Desa Wulai yang bersekolah di luar desa terutama di Kota Palu bersekolah sambil bekerja. Kota Palu merupakan kota tujuan sebagian besar remaja untuk menuntut ilmu maupun mencari pekerjaan. Jarak tempuh membuat para remaja memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga mereka, tak jarang mereka tinggal dirumah orang lain dan membantu pekerjaan rumah tangganya. Beberapa remaja yang telah usai menuntut ilmu di luar desa, akan kembali ke desa untuk mengabdi sebagai guru atau pekerjaan lainnya. Berbeda halnya dengan sebagian remaja putus sekolah yang seringkali mencoba peruntungan di Kota Palu dengan bekerja sebagai penjaga toko, pembantu rumah tangga, hingga buruh bangunan. 75 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.9. Teknologi dan Peralatan Kehidupan masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai dapat tergolong sudah modern. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penduduk yang memiliki telepon genggam. Penggunaan telepon genggam mulai marak sejak tahun 2008 ketika menara jaringan salah satu provider sudah dibangun. Namun sinyal jaringan tidak dapat menjangkau seluruh desa. Sinyal cukup kuat ketika berada di Dusun Ujung Baru yang letaknya dekat dengan jalan Trans Sulawesi. Untuk dusun lainnya, sinyal cukup kuat hanya di tempat-tempat tertentu saja. Masyarakat menggunakan handphone sebagai sarana berkomunikasi. Kadangkala handphone digunakan untuk menghubungi ibu bidan jika ada anggota keluarganya yang sakit parah atau ada ibu yang mau melahirkan. Biasanya mereka yang menghubungi ibu bidan adalah yang rumahnya cukup jauh dari Poskesdes. Masyarakat Kaili Da’a memiliki senjata tradisional yaitu sumpit. Pada zaman dahulu sumpit merupakan senjata rahasia yang digunakan untuk menjatuhkan orang yang mereka anggap sebagai musuh. Sumpit ini digunakan dengan cara ditiup dan dapat melumpuhkan musuh dari jarak jauh. Sumpit terbuat dari bambu yang bulat, ujungnya dibuat tajam dan bagian tengahnya berlubang. Sumpit ini hanya digunakan untuk melukai orang yang mengganggu mereka dan mereka anggap sebagai musuh. Untuk melukai musuh maka di dalam sumpit dimasukkan peluru kemudian ditiup. Jika terkena sumpit hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyembuhkan lukanya. Untuk memasak makanan, kebanyakan masyarakat menggunakan tungku api dengan bahan bakar kayu. Mula-mula untuk membuat tungku api mereka meletakkan tanah liat sebagai alas agar tidak terbakar. Setelah itu tiga buah batu diletakkan di atas tanah liat yang berfungsi sebagai tungku untuk 76 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat memasak. Pada umumnya di dalam satu dapur hanya terdapat satu hingga dua tungku yang digunakan untuk memasak. Biasanya satu tungku mereka gunakan untuk memanaskan air dan tungku yang lain digunakan untuk memasak sayur. Sebelum memasak mereka membelah kayu bakar yang telah diambil sebelumnya menjadi dua bagian ditambah dengan beberapa potongan kecil kayu bakar. Sampah plastik juga turut mereka bakar untuk menyalakan api. Agar nyala api menjadi besar dan tetap menyala mereka juga biasa meniup tungku. Peralatan memasak yang digunakan cukup sederhana yaitu menggunakan kuali. Sebagian besar peralatan makan seperti piring dan gelas terbuat dari bahan plastik. Gambar 2.20. Tungku yang digunakan untuk memasak Sumber: Dokumentasi Peneliti Fasilitas listrik mulai ada di Desa Wulai sejak tahun 2013, namun tidak semua dusun sudah mendapat aliran listrik seperti di Dusun Saluwu belum ada fasilitas listrik. Masyarakat di dusun ini menggunakan pelita sebagai penerangan. Masuknya listrik 77 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 diprakarsai oleh program PNPM Mandiri. Setiap bulannya masyarakat membayar biaya untuk listrik sebesar Rp 17.000 per bulan untuk biaya satu lampu dan Rp 35.000 untuk biaya satu televisi. Gambar 2.21. Ayunan (lou) Sumber: Dokumentasi Peneliti Peralatan yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak adalah penggunaan ayunan (lou) yang terbuat dari kain yang digantungkan di atap rumah dengan menggunakan besi. Selain itu untuk memotong tali pusat bayi yang baru lahir digunakan bambu dan ubi jalar sebagai alasnya. 78 BAB 3 POTRET KESEHATAN 3.1. Kesehatan Ibu Dan Anak 3.1.1. Remaja Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan pada masa remaja akan sangat menentukan bagi kehidupan masa depan selanjutnya. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah remaja dengan rentang umur 10-24 tahun sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa. Remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual. Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Salah satunya ialah rendahnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi remaja (BKKBN, 2012). Situasi mengenai gambaran pengetahuan kesehatan reproduksi juga terjadi pada remaja di Desa Wulai. Pada umumnya para remaja belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi. Program pendidikan pengetahuan secara komperehensif mengenai kesehatan reproduksi tidak pernah mereka dapatkan di pendidikan formal. Selain itu, mereka juga tidak pernah mendapat informasi 79 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mengenai kesehatan reproduksi dari lingkungan rumah seperti keluarga atau orangtua. Rasa enggan remaja untuk bertanya kepada orangtua dikarenakan rasa malu dan masalah kesehatan reproduksi dianggap tidak layak untuk dibicarakan bersama orangtua. Hal tersebut diungkapkan oleh remaja AD berikut, “Ah.. mereka itu mana pernah bilang (menjelaskan tentang kesehatan reproduksi) gitu.” Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia dapat dimaklumi karena masyarakat umumnya masih menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka. Orangtua biasanya enggan untuk memberikan penjelasan masalah-masalah seksualitas dan reproduksi kepada remajanya, dan anak pun cenderung malu bertanya secara terbuka kepada orangtuanya (Habsjah A, 1995). Melalui komunikasi, orangtua seharusnya menjadi sumber informasi dan pendidik utama tentang kesehatan reproduksi dalam penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja. Orangtua sering menghadapi kesulitan untuk membicarakan masalah tersebut kepada remajanya, begitu pun sebaliknya. Norma dan budaya masyarakat yang sebagian masih menganggap tabu tentang isu kesehatan reproduksi dapat menjadi penghambat terhadap pendidikan seksualitas remaja (BKKBN, 2012). Remaja yang sedang mengalami masa peralihan, mengalami berbagai perubahan seperti perubahan status sosial, perubahan penampilan, perubahan sikap, perubahan seks dan perubahan organ-organ reproduksi yang secara khusus ditandai oleh menstruasi (haid) yang pertama disebut dengan menarche (Suryati, 2012). Begitu pula yang terjadi pada remaja perempuan di Desa Wulai yang telah mengalami menarche. Mereka baru mengetahui 80 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat bahwa dirinya telah mengalami menstruasi dari teman sepergaulan. Kebanyakan dari mereka cenderung untuk menutupi atau tidak memberitahukan pada siapapun terlebih pada orangtua mereka ketika pertama kali mendapatkan haid pertama (menarche). Mereka merasa malu apabila orangtua mengetahui kalau ia sudah menstruasi. Seksualitas bagi orangtua masih dianggap hal yang kotor dan tabu untuk dibicarakan dengan anak, sehingga pengetahuan anak mengenai pubertas dan seksualitas menjadi kurang. Hal ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan saat menghadapi menarche (Anggraeni, E., 2008). Seperti halnya pengalaman remaja perempuan OV ketika pertama kali menstruasi berikut ini: “Seharian saya sempat berendam di sungai (koala) karena takut apa itu. Awalnya saya takut apa ini dan, apa kena jarum ato apa. Sempat kepikiran periksa ke bidan tapi malu nanti kalo dia (bidan) anu liat kelamin saya”. Menstruasi dalam bahasa Kaili Da’a disebut dengan istilah ratana atau ratanoa. Tidak terdapat pelaksanaan ritual adat yang dilakukan saat remaja perempuan mengalami haid pertama. Orangtua pun tidak mengetahui kapan persisnya menarche yang dialami oleh anaknya. Terkadang mereka baru mengetahui anaknya telah menstruasi setelah beberapa bulan kemudian. Kebanyakan orangtua mendapatkan informasi bahwa anaknya telah mengalami menstruasi dari teman anaknya. Para remaja perempuan menganggap orangtua mereka mengetahui dirinya mengalami menstruasi ketika melihat raut wajah mereka yang pucat selama menstruasi. Pada umumnya tidak terdapat pantangan makanan selama menstruasi berlangsung, namun terdapat pantangan perbuatan yang tidak boleh dilakukan selama menstruasi. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perempuan yang sedang menstruasi sebaiknya tidak mandi di sungai pada sore 81 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 hari. Jika hal ini dilanggar maka dikhawatirkan perempuan tersebut diganggu oleh makhluk halus yang disebut dengan pokpok. Mereka menganggap pok-pok memiliki penciuman tajam dan lebih menyukai darah perempuan yang sedang haid. Jika bertemu dengan perempuan yang sedang haid maka pok-pok akan menghisap darah menstruasi. Tanda bahwa pok-pok menghisap darah mereka ialah manakala darah haid banyak keluar dengan waktu haid yang lama. Selain itu, menurut mereka apabila sedang menstruasi maka kebersihan pembalut harus diperhatikan. Pembalut yang telah dipergunakan harus dicuci bersih sebelum dibuang. Mereka percaya apabila darah haid dijilat hewan seperti anjing nantinya mereka dapat jatuh sakit, seperti penuturan remaja IC berikut ini: “Jangan sampai dijilat anjing, kalo sampai dijilat anjing nanti akan sakit-sakit kaya demam-demam gitu terus muka pucat.” Permasalahan kesehatan reproduksi yang sering dialami oleh remaja adalah menstruasi yang tidak lancar. Remaja perempuan di Desa Wulai mengaku mendapatkan siklus bulanan 3-5 bulan setelah menarche dan mereka menganggap sebagai hal yang wajar. Berbeda dengan remaja OV yang baru mendapat siklus bulanannya kembali setelah sembilan bulan menarche. Ia menganggap hal tersebut diakibatkan guna-guna orang yang tidak suka terhadap dirinya. Penyembuhan dari guna-guna hanya dapat dilakukan oleh topo tawui. Cara penyembuhan yang dilakukan topo tawui adalah dengan meniup bagian perut. Pada umumnya laki-laki di Desa Wulai telah disunat saat sudah berusia lima tahun namun sebelum disunat mereka harus melakukan adat Powati terlebih dahulu. Sunat biasa dilakukan oleh anggota keluarga yang dapat melakukan sunat atau dilakukan oleh topo tawui. Alat yang digunakan ketika melakukan 82 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat sunat adalah pisau. Agar darah berhenti setelah disunat biasa ditiup oleh topo tawui. Tidak terdapat tradisi adat yang dilakukan manakala seorang laki-laki usai disunat. Mengenai pengetahuan penyakit menular yang cukup berbahaya seperti HIV/AIDS, kebanyakan remaja Wulai tidak mengetahuinya. Mereka tidak pernah mendengar sebelumnya mengenai penyakit tersebut. Minimnya informasi mengenai HIV/AIDS dikarenakan mereka tidak pernah mendapat informasi ini dari sekolah maupun pelayanan kesehatan. Dalam hal perilaku konsumsi makanan, remaja di Desa Wulai biasa makan satu hingga dua kali sehari dengan menu nasi dan sayur. Biasanya mereka akan makan pada siang hari dan malam hari. Nasi putih atau nasi yang dicampur jagung adalah makanan pokok yang biasa mereka konsumsi. Jenis sayur yang biasa dikonsumsi adalah daun ubi kayu, daun keladi, daun kelor, daun pepaya, daun pakis, nangka dan lain-lain. Lauk pauk seperti ikan dan telur jarang mereka konsumsi. Harga ikan yang dijual oleh pedagang keliling di Desa Wulai seharga lima ribu rupiah untuk tiga ekor ikan. Biasanya mereka mengkonsumsi ikan sekali sampai dua kali saja per minggu, tergantung dari ada tidaknya uang untuk membeli ikan. Jenis ikan yang biasa dikonsumsi seperti ikan cakalang dan ikan tembang. Sayur maupun ikan biasanya akan mereka olah dengan menggunakan kuah santan. Menu makanan yang mengandung gorengan sesekali mereka konsumsi. Minyak yang digunakan untuk menggoreng ikan adalah minyak kelapa. Biasanya minyak kelapa mereka olah sendiri atau dibeli di pasar. Mengenai interaksi remaja di Desa Wulai, pada umumnya mereka saling membina hubungan pertemanan dalam satu desa. Mereka biasa berkumpul di sungai pada saat malam terang bulan. Selain itu sesekali mereka mengunjungi air terjun bersama dengan para remaja lainnya. Desa Wulai memiliki dua air terjun 83 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yaitu air terjun yang terletak di Dusun Saluwu dan Dusun Salo’otu. Pengunjung dari desa lain seringkali mengunjungi air terjun tersebut. Kebanyakan remaja di Desa Wulai juga biasa bertemu ketika ada pesta. Pada acara pesta biasanya mengadakan hiburan tarian dero yaitu tarian yang berasal dari Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Tarian ini cukup sederhana, biasanya dilakukan di tempat atau lapangan yang luas. Tarian ini disebut juga dengan Tari pontanu atau sejenis tarian yang mengajak para penonton ikut menari. Siapapun yang mau mengikuti tarian ini bisa bergabung tanpa harus memikirkan keahlian menari. Untuk melakukan tarian ini tidaklah sulit, para penari membuat sebuah lingkaran sambil berpegangan tangan kemudian melakukan hentakan kaki dua kali ke kiri dan dua kali ke kanan. Gerakantersebut disesuaikan dengan irama musik seperti electone maupun irama pantun yang mengiringinya (Lutfi, 2014). Biasanya remaja Wulai akan menyambut dengan antusias jika acara madero dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan dero merupakan salah satu sarana hiburan bagi remaja di Desa Wulai. Para remaja akan memberitahukan informasi pada remaja di desa lain untuk turut bergabung dan meramaikan acara madero di desanya. Acara ini merupakan kesempatan remaja Wulai untuk bertemu dengan remaja dari desa lain. Melalui acara ini terjadi perkenalan antara remaja laki-laki dan perempuan yang terkadang berlanjut ke hubungan yang lebih serius sampai ke jenjang pernikahan. Kebanyakan remaja Wulai telah mengenal pacaran. Menurut mereka pacaran adalah hal yang wajar dilakukan. Walaupun terkadang mereka merasa malu dan menyembunyikannya dari orangtua. Di Desa Wulai tidak terdapat larangan untuk berpacaran, namun terdapat hukum adat yang mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki 84 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dan perempuan tidak boleh berduaan di tempat gelap tanpa ada pihak ketiga. Jika ada pihak yang melapor ke ketua adat maka akan diberikan sanksi adat. Menurut masyarakat apabila ada laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan suami istri di luar nikah, maka alam akan memberikan pertanda seperti hujan yang tidak kunjung berhenti dan beberapa penyakit yang menyerang masyarakat. Denda yang berlaku bertujuan untuk memohon ampun pada penguasa alam atas perbuatan yang melanggar norma. Adapun bagi remaja yang telah memiliki alat komunikasi seperti handphone, mereka biasa mendapat kenalan baru dengan cara menghubungi nomor telepon secara acak. Apabila cocok di hati, maka dapat berlanjut ke hubungan lebih serius seperti pacaran. Pacaran ini mereka sebut sebagai ‘pacaran udara’ dikarenakan pacaran yang mereka lakukan hanya sebatas lewat telepon saja. Jika serius mereka dapat bertemu satu sama lain. Pacaran udara ini juga dapat berlanjut ke jenjang lebih serius seperti pernikahan. Kebanyakan usia pernikahan pemuda di Desa Wulai sekitar 16-20 tahun dan biasanya pasangan yang menikah kebanyakan bersekolah hanya sampai jenjang Sekolah Dasar (SD). Seperti halnya pernuturan AL berikut ini: “Pernikahan di bawah usia itu adalah kasus yang cukup menonjol di wilayah ini. Sebenarnya pada prinsipnya gereja mengacu kepada aturan pemerintah. Batasan usia anak yang dikatakan dewasa itu 18 tahun keatas. Tapi pada kenyataannya yang menikah di sini bahkan ada yang mau menikah ini usia 15 tahun...” Pernikahan usia muda di Desa Wulai dapat terjadi karena kawin paksa yaitu pernikahan yang dilakukan setelah dihadapkan pilihan untuk membayar denda adat atau menikah. Mereka terpaksa menikah dikarenakan denda yang harus mereka bayar. 85 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Meskipun demikian apabila mereka telah menikah masih terdapat tanggung jawab orangtua untuk tetap membimbing dan mengawasi anak-anak mereka, seperti pernyataan informan AL berikut ini: “…adat sudah menetapkan menikah, bagaimana dengan gereja. Hal yang kami lakukan untuk mengantisipasi itu adalah memberi pengertian kepada mereka, sekalipun mereka sudah menikah anak ini, mereka tetap berada dibawah pengawasan orangtua.” Untuk memenuhi kebutuhan hidup setelah menikah, mereka bekerja sebagai petani. Tanaman yang biasanya mereka tanam di kebun mereka adalah cokelat, jagung, kelapa atau kacang. Suami dan istri saling bekerjasama untuk mengolah kebun mereka. 3.1.2. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Jumlah pasangan usia subur (PUS) di Desa Wulai tahun 2013 sebanyak 277 pasang. Dusun Watubete merupakan dusun yang memiliki jumlah PUS terbanyak diantara dusun lainnya yaitu sebanyak 84 PUS. Jumlah PUS paling sedikit ada di Dusun Saluwu yaitu sebanyak 21 PUS. Kebanyakan PUS di Desa Wulai memiliki anak lebih dari tiga hingga enam anak. Bagi kebanyakan pasangan usia subur, jenis kelamin anak bukanlah sesuatu hal yang penting. Mereka menganggap anak laki-laki maupun perempuan sama saja. Meskipun demikian, anak laki-laki merupakan anak yang mereka dambakan. Mereka menganggap anak laki-laki kelak dapat membantu orangtuanya di kebun. Bagi pasangan suami istri yang telah lama menikah namun belum dikaruniai anak, kebanyakan mereka mengaku pasrah dan tidak terlalu banyak berusaha untuk mendapatkan keturunan. Mereka menerima kondisi ini karena menurut mereka 86 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat hal ini merupakan kehendak Tuhan. Sedangkan bagi pasangan muda yang belum dikarunia keturunan, hal ini dianggap bukan sebagai masalah. Mereka ada yang beralasan ingin menikmati saat-saat berdua bersama pasangan tanpa memikirkan anak terlebih dahulu. Salah satu pasangan muda LS dan OK yang menikah lebih dari dua tahun lamanya mengaku masih belum ingin memiliki anak terlebih dahulu namun apabila Tuhan memberikan, maka akan mereka terima. Bagi pasangan yang telah lama menikah, lamanya mendapatkan keturunan terkadang menjadi beban bagi pasangan. Seperti pasangan suami istri LN dan RI yang sudah lebih dari 13 tahun menikah dan belum memiliki keturunan. Beberapa tetangga mereka menyarankan untuk mendatangi penyembuh tradisional untuk dipijat namun istri takut dipijat. Salah satu bentuk usaha yang dilakukan pasangan suami istri ini yaitu dengan mengunjungi pelayanan kesehatan seperti Puskesmas. Petugas Puskesmas menyatakan tidak ada masalah yang cukup berarti pada mereka. Saat ini mereka memasrahkan semuanya kepada Tuhan dengan tetap berusaha dan berdoa. Mendatangi dukun pijat merupakan salah satu bentuk usaha untuk mendapatkan keturunan di Desa Wulai. Dukun pijat tidak hanya dapat membantu pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan namun juga membantu ibu hamil yang mengalami keluhan selama kehamilan. Salah seorang dukun pijat yang ada di Desa Wulai adalah pendatang yang berasal dari Mamasa. Ia adalah orang Toraja dan sudah 15 tahun tinggal di Desa Wulai. Walaupun dukun pijat tersebut pendatang, pasangan suami istri yang meminta bantuannya tidak hanya sesama etnik pendatang, masyarakat Kaili Da’a pun juga ada yang meminta bantuannya. Cara yang ia lakukan adalah dengan memijat ibu yang ingin memiliki anak setiap sebulan sekali. Pemijatan 87 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dilakukan sampai ibu tersebut hamil. Kebanyakan ibu akan hamil setelah dipijat dua kali. Menurut dukun pijat, kesulitan untuk mendapatkan keturunan biasanya disebabkan karena wanita mengalami masalah kandungan. 3.1.3. Hamil Masyarakat Kaili Da’a Wulai mempercayai beberapa pantangan makanan yang tidak boleh dikonsumsi ibu hamil. Beberapa pantangan makanan antara lain ibu hamil tidak boleh memakan durian dikarenakan bayi yang dikandungnya akan menjadi besar sehingga sulit dilahirkan. Selain itu mengkonsumsi durian yang berlebihan dianggap dapat membuat perut menjadi panas. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat perut menjadi mudah sakit sebelum waktunya melahirkan. Selain memakan durian, ibu hamil juga tidak boleh meminum es karena dipercayai dapat membuat bayi di dalam kandungan menjadi besar. Selain es, telur, makanan berkuah santan, gorengan, kelapa muda dan kue yang manis juga tidak boleh dikonsumsi ibu hamil karena dipercaya dapat membuat bayi di dalam kandungan bertambah besar. Mereka menganggap jika bayi di dalam kandungan menjadi besar nantinya akan menyebabkan kesulitan dalam persalinan. Makanan lain yang menjadi pantangan ibu hamil adalah buah kelapa yang masih memiliki tunas (tombo). Apabila ibu hamil memakan tombo, dikhawatirkan ketika melahirkan plasenta atau ari-ari (tavuni) akan sulit keluar atau tertinggal di dalam perut. Ibu hamil juga tidak boleh memakan buah nanas terutama pada usia awal kehamilan karena nanti mengalami keguguran. Mengenai makanan yang dikonsumsi ibu hamil di Desa Wulai, biasanya tidak berbeda dengan makanan masyarakat sehari-hari. Mereka biasa makan dua kali sehari dengan menu 88 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat nasi dengan sayur. Mereka akan makan ikan sekali-kali jika memiliki uang. Jenis sayuran yang biasa mereka konsumsi adalah daun kelor, kangkung, pepaya, dan daun ubi. Sayur tidak dimasak dengan santan dikarenakan santan merupakan pantangan makanan selama kehamilan. Selain pantangan makanan, juga terdapat pantangan perbuatan yang tidak boleh dilakukan ibu hamil. Masyarakat mempercayai ibu hamil tidak boleh duduk di depan pintu rumah karena dapat membuat bayi susah keluar pada saat persalinan. Ibu hamil juga tidak boleh membiarkan rambut terurai dikarenakan dapat dikejar oleh kuntilanak. Apabila ada orang yang hendak bertamu di rumah ibu hamil, maka harus dipersilahkan sampai masuk rumah dan tidak boleh tamu tersebut cuma di depan rumah. Hal ini dapat membuat ibu nanti susah melahirkan. Perbuatan lain yang harus dihindari ibu hamil adalah tidak boleh kikir karena dapat membuat bayi lama keluar ketika melahirkan. Selama masa kehamilan ibu hamil juga tidak boleh tidur terlentang tetapi harus tidur miring karena dikhawatirkan darah dalam perut akan terbagi menjadi dua sehingga nantinya anak yang dilahirkan kembar. Berikut penuturan ibu hamil EN: “Baru kalo kita hamil jangan betidur lurus begini harus miring terus. Kembar bayi. Jangan tidur lurus begini tabelah itu anu darah. Pokoknya bemiring terus jangan lurus terus haih.. jangan lama kalo lama tebelah itu darah.” Ibu hamil juga tidak boleh keluar rumah setelah jam empat sore karena dapat diganggu setan. Salah satu setan yang dipercaya masyarakat dapat mengganggu ibu hamil adalah pokpok. Ia biasa berkeliaran di sungai pada sore hari. Penciuman tajam yang dimiliki pok-pok membuat ibu hamil tidak boleh keluar rumah pada sore hari. Jika ibu hamil hendak keluar pada 89 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sore atau malam hari maka ibu hamil memakai sarung sebagai penutup kepala, agar tidak ada setan yang mengganggu. Sebagai jimat penangkal setan, ibu hamil dianjurkan membawa bawang merah dan bawang putih yang ditancapkan ke paku (kariango) atau membawa pisau. Pantangan perbuatan tidak hanya berlaku pada ibu hamil, namun juga pada suaminya. Selama kehamilan, suami tidak diperbolehkan untuk memotong ataupun membunuh binatang. Mereka mempercayai apabila suami membunuh binatang maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti bayi yang dilahirkan dapat menyerupai binatang yang dibunuh. Suami ibu hamil juga tidak boleh makan secara sembunyi-sembunyi di rumah orang lain, jika suami makan di rumah orang lain maka sesampainya di rumah suami harus memberitahu istrinya bahwa dia telah makan di luar. Jika suami tidak memberitahu istrinya maka dikhawatirkan pada saat melahirkan ibu akan mengeluarkan kotoran sebelum bayi lahir. Mengenai perawatan selama masa kehamilan, kebanyakan ibu hamil di Desa Wulai jarang yang memeriksakan kehamilan ke bidan desa. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilan ke bidan kebanyakan bukan atas kemauannya sendiri melainkan karena permintaan bidan. Seringkali bidan menyarankan kepada masyarakat untuk memeriksakan kehamilan di Poskesdes. Biasanya bidan juga memberikan pengumuman di gereja, seperti halnya penuturan MD berikut, “Coba to kalo hamil harus periksa, kalo mau melahirkan datang ke Poskesdes kan tidak bayar.” Ibu hamil yang tidak mau memeriksakan kehamilannya ke pelayanan kesehatan dikarenakan merasa malu dan takut untuk disuntik. Biasanya mereka cenderung menutupi kehamilannya agar tidak diketahui orang lain kalau sedang hamil. Seperti ibu NA 21 tahun, salah seorang ibu yang sedang hamil sembilan bulan 90 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat saat penelitian berlangsung, selama kehamilan ia tidak pernah memeriksakan diri ke bidan karena takut disuntik, ia mengaku dari kecil tidak pernah disuntik. Selain itu ia juga malas ke bidan karena jarak dari rumahnya ke Poskesdes cukup jauh. Ia pun berencana akan melahirkan di rumah tanpa bantuan tenaga kesehatan seperti bidan. Hal senada diungkapkan ibu SH yang mengaku hanya tiga kali memeriksakan kehamilan ke bidan dikarenakan malas. Ia menceritakan bahwa pertama kali pergi ke bidan dikarenakan seorang kader menyuruhnya menemui bidan. Ia mengaku pertama periksa hamil ketika usia kandungan sudah enam bulan dan diberikan pil penambah darah oleh bidan tapi tidak diminum karena merasa pusing setelah minum pil penambah darah. Seringkali bidan dibantu kader untuk mendapatkan informasi apabila ada ibu hamil di desa. Beberapa waktu yang lalu bidan memberikan upah berupa uang Rp. 20.000 untuk memancing keaktifan kader yang berhasil membuat ibu hamil pergi memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Selain memeriksakan kehamilan ke bidan, kebanyakan ibu hamil lebih memilih mengunjungi topo tawui apabila ada keluhan selama kehamilan. Apabila bayi dalam kandungan mengalami salah posisi atau salampeto maka topo tawui biasa memijat perut ibu hamil untuk memperbaiki posisi bayi sambil meniup perutnya. Beberapa pantangan juga akan diberikan oleh topo tawui setelah memperbaiki kesalahan posisi bayi dalam rahim. Seperti ibu hamil NV, sudah hampir tiga minggu ia mengalami sakit perut. Usia kehamilannya pun sudah menginjak usia delapan bulan. Ia lebih memilih untuk mengunjungi topo tawui daripada bidan. Keputusan tersebut didukung oleh suaminya. Menurut topo tawui, ibu NV mengalami salampeto atau kesalahan posisi bayi. Topo tawui hanya meniup perutnya serta memberikan air yang sudah diberi mantera atau bacaan 91 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 untuk dioleskan ke perutnya apabila sakit. Pantangan makanan juga diberikan pada ibu NV setelah ditiup yaitu tidak boleh memakan telur, mie instant, bawang merah, dan bawang putih. Apabila hal tersebut dilanggar maka dapat menyebabkan sakitnya kembali kambuh. Ibu NV berencana untuk melahirkan di rumah dengan bantuan topo tawui yang sudah cukup berpengalaman membantu persalinan. Berdasarkan pengamatan peneliti, ada juga ibu hamil yang rutin memeriksakan kehamilan ke bidan. Ibu HS adalah orang Bugis dan baru sembilan bulan tinggal di Desa Wulai. Ia bukan penduduk asli Desa Wulai, ia adalah warga pendatang. Sebelumnya ia tinggal di daerah Sulawesi Tengah. Saat ini ibu HS berusia 38 tahun sedang hamil enam bulan dan mengandung anak ke sembilan. Ibu HS rajin datang ke Posyandu untuk memeriksakan kehamilannya ke bidan. Pada kehamilan anak sebelumnya ia tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke bidan. Saat ini ia merasa perlu memeriksakan kehamilan ke bidan dikarenakan usianya yang sudah di atas 30 tahun. Sebelumnya ia melahirkan kedelapan anaknya dibantu oleh ibunya yang tinggal di Sulawesi Tengah. Disamping memeriksakan kehamilan ke bidan dan topo tawui, ibu hamil di Desa Wulai juga ada yang memeriksakan kehamilan ke dukun pijat yang bukan penduduk asli Desa Wulai. Ia adalah orang Toraja, ia sudah tinggal di Desa Wulai hampir sepuluh tahun. Untuk mengetahui masalah yang terjadi pada kandungan ia akan meraba perut ibu hamil. Melalui teknik meraba ia akan mengetahui apakah kandungan ibu hamil turun atau terjadi kesalahan letak posisi bayi. Jika terjadi masalah ia akan melakukan pemijatan pada perut ibu hamil. Untuk memperbaiki kesalahan posisi bayi, ibu hamil akan dipijat satu hingga tiga kali. Dalam satu hari ibu hamil yang mengalami keluhan kehamilan dipijat sebanyak dua kali yaitu pagi dan sore 92 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat hari. Pemijatan yang dilakukan biasa dengan menggunakan minyak kelapa ataupun minyak tawon. Dukun pijat memberikan saran pada ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan pada bidan terlebih dahulu. Ibu hamil perlu disuntik anti tetanus ketika hamil untuk mencegah terjadinya tetanus ketika melahirkan. Ibu hamil di Desa Wulai kebanyakan telah mendapat suntikan tetanus ketika hamil. Kebanyakan dari mereka disuntik di rumah mereka ketika petugas imunisasi dari Puskesmas datang ketika pelaksanaan Posyandu di setiap dusun. 3.1.4. Menjelang Persalinan Aktivitas ibu hamil tidak berbeda dengan aktivitas ibu lainnya sewaktu tidak hamil. Ibu hamil biasanya melakukan pekerjaan rumah tangga dan pergi berkebun. Kebanyakan suami ibu hamil hanya membantu pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak manakala ibu hamil sedang sakit atau kurang enak badan saja. Pada saat menjelang persalinan agar nantinya persalinan dapat dilakukan dengan normal dan tidak ada kendala, ibu hamil dianjurkan untuk aktif bekerja dan mengangkat beban berat. Masyarakat menganggap ketika hamil sebaiknya ibu hamil tetap beraktivitas seperti biasanya terutama menginjak usia kehamilan di atas tujuh bulan. Ibu hamil disarankan untuk tetap berkebun sekalipun untuk menuju kebun ditempuh dengan mendaki. Jarak kebun dari rumah mereka tergolong jauh yaitu ditempuh 30 menit berjalan kaki. Seperti halnya yang dilakukan oleh ibu hamil SH yang pernah ditemui peneliti sedang memikul tumpukan kelapa di pundaknya pada saat usia kehamilannya sembilan bulan. Masyarakat menganggap dengan aktif bekerja dan mengangkat beban berat dapat membuat pinggul ibu menjadi 93 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 longgar sehingga nantinya proses persalinan tidak susah. Selain itu menjelang waktu melahirkan dianjurkan juga membuka semua pintu dan jendela supaya ibu tidak susah melahirkan karena semua jalan lahir sudah terbuka. Ibu hamil dianjurkan minum madu dicampur telur atau minum susu menjelang persalinan untuk menambah stamina ibu hamil ketika melahirkan. Ketika waktu persalinan semakin dekat, suami ibu hamil akan membangun pondok di dekat rumah untuk tempat melahirkan. Bagi sebagian masyarakat Kaili Da’a Wulai terutama yang tinggal di Dusun Saluwu, ibu hamil tidak boleh melahirkan di rumah yang sehari-hari ia tinggali. Hal itu dimaksudkan agar persalinan lancar dan tidak mendapat gangguan dari roh halus seperti setan. Jika persalinan diganggu setan dikhawatirkan keselamatan ibu dan bayi akan terancam. Selain itu lantai pondok yang terbuat dari bambu membuat darah ibu ketika melahirkan dapat langsung mengalir ke bawah. Pondok kecil yang dibuat di dekat rumah berupa rumah tinggi yang terbuat dari bambu. Atap yang digunakan juga tidak boleh menggunakan seng melainkan harus atap rumbia. Seperti halnya penuturan topo tawui SM berikut ini: “Dibikinkan pondok lagi kecil disedia tempat. Kalo yang dulu to tidak sama kalo rumah dulu begitu memang biasa tidak sama seperti sekarang kalo disini biasa tidak baik untuk anak melahirkan siapa tau dia lahir mati, karena itu barang ini seperti yang dulu to harus ikut nenek moyang. Dibikin atapnya tidak bisa dibikin atap seng gini, biar satu lembar asal rumbia.” Sebelum membuat pondok, topo tawui akan melakukan ritual untuk menentukan lokasi pondok yang baik. Awalnya topo tawui akan memasukkan air ke dalam bambu dan kemudian membaca mantera. Setelah itu air ditutup dengan daun tanpa 94 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat diikat dengan tali. Ia kemudian membalik bambu hingga bagian yang tertutup daun menjadi bagian bawah. Selanjutnya topo tawui akan mengelilingi tiang pondok yang ditanam sebanyak tiga kali. Jika air di bambu tidak tumpah maka lokasi tersebut dianggap sebagai lokasi yang tepat untuk membangun pondok. Hal itu dikarenakan pada lokasi tersebut terdapat makhluk yang dianggap dapat menjaga keselamatan. Setelah lokasi rumah ditentukan maka suami ibu hamil akan membangun pondok. Ketika ibu hamil sudah mulai sakit perut, maka ibu hamil akan pindah ke pondok. Selesai melahirkan ibu hamil dapat kembali ke rumah tempat tinggalnya sehari-hari. Pondok yang telah dibangun untuk bersalin pun dapat mereka tempati maupun mereka tinggalkan begitu saja hingga hancur. Pondok yang digunakan untuk melahirkan tidak boleh dibakar apabila tidak digunakan. Mereka mempercayai apabila pondok tersebut dibakar dapat membuat bayi maupun ibunya sakit. Seperti halnya penuturan SM berikut ini: “…kasih tinggal atau dihancurkan terserah tapi tidak bisa dibakar. Kalo itu dibakar itu bisa sakit itu dia juga to, entah itu anaknya sakit mamanya sakit. Biar satu kayu tidak ada yang dibakar.” 3.1.5. Proses Persalinan Kebanyakan ibu hamil di Desa Wulai lebih memilih melahirkan (mangote ngana) di rumah dengan dibantu keluarga dan dukun (topo tawui) daripada melahirkan di fasilitas kesehatan seperti di Poskesdes dengan ditolong tenaga kesehatan (bidan). Mereka menganggap persalinan normal adalah persalinan yang dilakukan di rumah tanpa dibantu bidan. Selain itu menurut mereka melahirkan di rumah merupakan sesuatu yang wajar dan sudah turun temurun dilakukan oleh 95 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 keluarga mereka. Adapun alasan lain untuk melahirkan di rumah dikarenakan mereka merasa malu apabila melahirkan ditolong bidan alat kelamin mereka akan terlihat. Pihak yang terlibat dalam persalinan yang dilakukan di rumah adalah keluarga dari ibu bersalin dan dukun tiup (topo tawui). Topo tawui adalah dukun yang dapat menyembuhkan semua penyakit namun tidak semua topo tawui dapat membantu melahirkan. Selain topo tawui terkadang keluarga juga memanggil pendeta untuk turut berdoa agar proses persalinan berjalan lancar. Sedangkan anggota keluarga yang terlibat dalam persalinan adalah suami dan orang yang dituakan seperti ibu dari ibu bersalin, kakek atau nenek atau tante. Adapun teknik melahirkan di rumah yang dilakukan yaitu dengan cara duduk diatas bangku kecil yang terbuat dari kayu. Dalam posisi duduk kaki ditekuk dan dibuka lebar sembari berpegang pada kain yang digantungkan di tiang rumah. Pada saat akan melahirkan ibu biasa memakai sarung yang digunakan untuk menutupi dada hingga kaki. Terkadang perut bagian atas diikat dengan menggunakan sarung atau bisa juga dipegangi sendiri. Suami ibu hamil memeluk ibu yang akan melahirkan dari belakang. Pada saat persalinan berlangsung topo tawui memberikan tiupan dan mantera agar bayi segera lahir dengan selamat. Selain itu topo tawui juga akan memberikan air putih yang telah ditiup kepada ibu pada saat menjelang persalinan. Topo tawui menganggap sakit perut yang dialami ibu yang akan melahirkan dikarenakan bayi didalam kandungan sedang mencari jalan keluar. Topo tawui akan mengusap bagian punggung dan kepala ibu sembari membacakan dowa (mantera) apabila bayi sudah mau keluar. Menurut mereka apabila setelah ditiup maka rasa sakit di perut ibu akan berkurang. Apabila sakit perut kembali 96 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat datang dan dalam satu jam bayi belum keluar, maka topo tawui akan meniupnya kembali. Berikut penuturan topo tawui SM: “…kita liat dulu to sakitnya kalo mau keluar baru kita ditiup karena itu anak-anak didalam begitu satu jam atau setengah jam dia masih berputar-putar to. Kalo satu jam belum keluar ditiup lagi.” Tiupan yang dilakukan topo tawui sembari membaca mantera dimaksudkan agar bayi segera lahir. Tiupan ini juga bertujuan untuk mengusir roh halus atau setan yang dapat mengganggu ibu selama proses persalinan. Selain topo tawui yang mendampingi ibu bersalin, keluarga ibu yang dituakan akan duduk di dekat lutut ibu untuk mengambil bayi ketika sudah lahir. Gambar 3.1. Proses persalinan yang dilakukan dirumah Sumber: Dokumentasi Peneliti Bayi yang telah lahir kemudian diangkat oleh orang yang dituakan. Selain itu orang yang dituakan juga akan menunggu hingga ari-ari bayi keluar. Apabila tali pusat atau air-ari tidak 97 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 keluar, maka orang yang dituakan akan membantu mengeluarkannya. Ketika tali pusat (valaampuse) sudah dikeluarkan maka tali pusat dipotong dengan menggunakan bambu (volo) yang diruncingkan. Gambar 3.2. Alat untuk memotong tali pusat bayi Sumber: Dokumentasi Peneliti Kemudian panjang tali pusat diukur terlebih dahulu hingga sepanjang lutut bayi. Setelah itu untuk menentukan bagian mana yang akan dipotong akan dicari bagian yang tipis pada bagian tulang rawan tali pusat untuk selanjutnya dilakukan pemotongan. Pemotongan tali pusat dilakukan dengan menggunakan bambu yang diruncingkan dengan ubi jalar sebagai alas penopang. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pemotongan tali pusat yang licin. Tali pusat yang telah dipotong kemudian diikat dengan benang jahit atau benang yang lebih kuat dari benang jahit yang didapat dari hutan (valagombe). Tali pusat diberi kunyit yang telah ditumbuk halus atau obat merah untuk mengobati luka bayi akibat pemotongan tali pusat. 98 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Tali pusat bayi yang baru lahir biasanya dikeringkan. Setelah kering kemudian dibungkus dengan kain untuk dijadikan kalung, diikat di pinggang maupun disimpan begitu saja. Pada umumnya masyarakat Wulai menganggap plasenta adalah saudara si bayi dan harus diperlakukan dengan baik. Plasenta (tavuni) bayi dicuci hingga bersih kemudian dibungkus dengan kain kemudian diikat dan selanjutnya dikubur di pekarangan yang berdekatan dengan tiang rumah oleh ayah si bayi. Apabila pada malam hari bayi rewel maka orangtuanya akan meletakkan pelita diatas tempat mengubur ari-ari. Proses persalinan di rumah salah satunya terjadi pada ibu SH. Ketika peneliti menemui ibu SH pertama kali, ibu SH sedang hamil sembilan bulan dan dari pertemuan awal dengan ibu SH terlihat bahwa ibu SH berencana melahirkan dibantu dengan bidan. Dua minggu kemudian ibu SH melahirkan di rumah dengan dibantu keluarganya dan topo tawui. Berikut penuturan tante ibu SH yaitu ibu SR yang menceritakan kronologis proses melahirkan ibu SH: “Ibu Sh sudah melahirkan jam 7 pagi tadi. Melahirkan dengan cara berduduk pakai bantal. Sakitnya tidak sampai satu jam. Saya bantu di depan memegang perutnya, kasih turun anak. Suaminya Sherly di belakang, baku ganti. Tidak sampai satu jam keluar bayi. Tali pusar dipotong oleh papa Steven pakai bambu. Ketika melahirkan banyak mengeluarkan darah, ditiup saja. Ibu Sherly sudah melahirkan jam 7 pagi tadi. Melahirkan dengan cara berduduk pakai bantal. Sakitnya tidak sampai satu jam. Saya bantu di depan memegang perutnya, kasih turun anak. Suaminya Sherly di belakang, baku ganti. Tidak sampai satu jam keluar bayi. Tali pusar dipotong oleh papa Steven pakai bambu. Ketika melahirkan banyak mengeluarkan darah, ditiup saja.” 99 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Apabila bidan mengetahui ada ibu hamil yang akan melahirkan, biasanya bidan akan menyarankan agar ibu melahirkan di Poskesdes. Seringkali bidan mendapatkan penolakan apabila harus meminta ibu ke Poskesdes. Hingga mereka pun ada yang seolah terpaksa melahirkan di Poskesdes. Seperti halnya penuturan TR berikut ini: “Ya melahirkan di Pustu dulu itu, mau gimana bidan tidak mau pergi-pergi (pergi dari rumah). Dia (bidan) tunggu disini lama terus bawa letnan (pendeta), ya mau gimana lagi.” Untuk mendapatkan informasi siapa saja ibu hamil yang sudah melahirkan di rumah, biasanya bidan meminta bantuan kader kesehatan untuk memberikan informasi. Jika ada ibu hamil yang melahirkan di rumah akan didenda 300-500 ribu. Namun peraturan ini tidak dapat diterapkan ke semua warga. Hal itu harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian keluarga di Desa Wulai. Jika tidak mampu maka denda tidak diterapkan. Jika ibu hamil melahirkan di rumah tidak memiliki jamkesmas dan memanggil bidan untuk membantu melakukan persalinan di rumah dikenakan biaya Rp. 300-500 ribu. Apabila ada ibu yang akan melahirkan dan bidan tidak dapat menangani persalinan biasanya ibu akan dirujuk ke RSUD Kab. Mamuju Utara atau Rumah Sakit Undata di Palu. Bidan akan berkonsultasi terlebih dahulu melalui telepon apakah pasien dapat ditangani di RSUD Kab Mamuju Utara dan apabila tidak dapat ditangani biasanya bidan akan segera melakukan rujukan ke Palu. Bidan membantu mengurus proses rujukan pasien, apabila pasien tidak memiliki kartu jamkesmas bidan akan membantu mengusahakan dengan meminjamkan kartu jamkesmas milik orang lain. Pasien yang akan dirujuk biasanya dijemput dengan menggunakan ambulans. Apabila merujuk pasien ke rumah sakit kabupaten maka harus membayar biaya 100 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat ambulans sebesar Rp. 150.000 untuk sekali jalan. Sedangkan apabila dirujuk ke Rumah sakit Undata Palu maka biaya ambulans sebesar Rp. 850.000 untuk sekali jalan. 3.1.6. Masa Nifas Untuk mengeringkan vagina setelah melahirkan dapat dilakukan dengan cara menggunakan air hangat yang disiramkan ke vagina. Sedangkan untuk memperlancar keluarnya darah pasca melahirkan dapat menggunakan ampas buah papaya. Buah papaya dipanggang diatas api, kemudian ditempelkan di perut untuk mengurangi rasa sakit perut. Hal ini dilakukan sampai rasa sakit perut hilang dan agar sisa-sisa darah keluar sedikit demi sedikit. Adapun untuk menghentikan darah yang keluar pasca melahirkan biasanya topo tawui akan meniup bagian perut ibu sembari membaca mantra agar darah cepat berhenti. Apabila hal itu dilakukan biasanya masa nifas hanya berlangsung sekitar 15 hingga 30 hari. Bagi ibu yang melahirkan dengan dibantu oleh topo tawui, terdapat pantangan makanan setelah melahirkan. Biasanya mereka tidak diperbolehkan memakan cabe yang berwarna merah dan minyak kelapa. Jika hal ini dilanggar maka pengaruh dari tiupan akan hilang sehingga ibu hamil membutuhkan waktu lama untuk pulih. Pemulihan kondisi tubuh pasca melahirkan biasa dilakukan dengan cara mengkonsumsi obat. Bagi ibu yang melahirkan di rumah, maka biasanya mereka meminum obat antibiotika bermerk AM yang dijual bebas di warung. Obat yang dibeli seharga seribu rupiah per tablet diminum sehari sekali untuk meringankan rasa nyeri yang dirasakan pasca melahirkan agar dapat berangsur sembuh. Menurut mereka obat saja tidak cukup untuk membantu memulihkan kondisi tubuh mereka seperti diungkapkan informan SH berikut, “Kalo cuma minum obat tidak sehat kita.” 101 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Selain meminum obat, mereka juga menggunakan air yang telah ditiup oleh topo tawui, hal ini dilakukan untuk mengembalikan kondisi ibu pasca melahirkan agar kembali sehat. Air tiupan topo tawui berfungsi untuk mengeringkan atau mempercepat penghentian darah. Biasanya topo tawui memberikan air sebanyak 1,5 liter yang sudah dibacakan mantera dan ditiup. Air tersebut dapat dicampur dengan air biasa untuk dipakai mandi. Semangkok air yang ditiup dicampur dengan seember air yang biasa digunakan untuk mandi. Apabila air yang ditiup telah habis maka mereka dapat meminta kembali kepada topo tawui. Agar kondisi ibu cepat pulih pasca melahirkan, ibu juga dianjurkan untuk banyak makan. Menu makanan yang dikonsumsi ibu sama halnya yang biasa dikonsumsi setiap harinya yaitu nasi dan sayur. Terdapat pantangan makanan yang diberikan oleh topo tawui bagi ibu pasca melahirkan di rumah, seperti halnya ibu SH yang tidak boleh makan sayur nangka karena apabila dikonsumsi dapat membuat tubuh sakit. Jenis sayur yang dapat dikonsumsi seperti sayur daun ubi, sayur daun paku, dan daun keladi yang mereka masak dengan menggunakan kuah santan. Lauk pauk seperti ikan juga mereka konsumsi, namun hal itu juga tergantung ada tidaknya uang untuk membeli ikan. Selain mengkonsumsi makanan seperti nasi dan sayur. Pemulihan kondisi tubuh pasca melahirkan juga biasa mereka lakukan dengan meminum susu. Biasanya susu diminum setiap hari agar tubuh kembali pulih. Seperti halnya ibu SH yang kami temui pada pasca melahirkan rutin meminum susu cap EN setiap hari. Setelah melahirkan bagi ibu yang belum memiliki keinginan untuk segera memiliki anak lagi maka mereka menggunakan alat kontrasepsi. Adapun alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah pil KB. Mereka biasa membeli pil 102 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat KB di Poskesdes setiap satu bulan sekali seharga lima ribu rupiah. Sedangkan di Dusun Saluwu kader Posyandu biasa mendatangi Poskesdes untuk membeli pil KB yang telah dipesan oleh warga dusun. Jarak dari Dusun Saluwu menuju Poskesdes di Dusun Watubete ditempuh selama ± 45 menit dengan berjalan kaki sehingga mereka meminta bantuan kader untuk membelikan pil KB. Tabel 3.1. Distribusi Jenis Alat Kontrasepsi yang digunakan PUS di Desa Wulai Tahun 2013 Dusun Jml PUS Suntik Jenis Kontrasepsi Tidak Pil Implan KB Saluwu 21 3 10 0 8 Watubete 81 11 22 30 18 Wulai 64 13 31 8 12 Sinjanga 61 4 12 15 30 Total 277 31 75 53 68 Sumber: Data Poskesdes Wulai Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui dari keseluruhan 277 PUS di Desa Wulai sebanyak 68 PUS tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan 30 PUS diantaranya merupakan warga Dusun Sinjanga. Jenis kontrasepsi suntik kurang diminati oleh PUS yaitu hanya 31 orang disusul kemudian implan sejumlah 53 orang. Meskipun demikian alat kontrasepsi jenis implan tidak diminati masyarakat di Dusun Saluwu. Masyarakat Desa Wulai juga mempunyai obat kampung yang dapat digunakan untuk mencegah kehamilan seperti dengan meminum air rebusan daun sinaguri. 103 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3.1.7. Masa Menyusui Pada umumnya bayi yang baru lahir di Desa Wulai tidak langsung diberikan ASI, mereka menganggap bayi yang baru lahir masih kenyang setelah sekian lama didalam perut ibu. Masyarakat di Desa Wulai biasanya baru akan memberikan ASInya setelah tiga hari. Sebelum tiga hari mereka akan memberikan air teh manis kepada bayinya. Hal ini menandakan kebanyakan ibu tidak melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) ketika bayinya baru lahir. Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dipercaya akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit-penyakit yang berisiko kematian tinggi. Misalnya kanker syaraf, leukemia, dan beberapa penyakit lainnya. Jika bayi diberi kesempatan menyusu dalam satu jam petama dengan dibiarkan kontak kulit ke kulit ibu maka 22% nyawa bayi di bawah 28 hari dapat diselamatkan (Dinartiana, 2011). Sebagian besar ibu di Desa Wulai juga tidak memberikan air susu yang pertama kali keluar (kolostrum) kepada bayinya. Mereka menganggap kolostrum tersebut tidak baik diberikan pada bayi karena dapat membuat bayi sakit, seperti pernyataan informan DC berikut ini: “Dibuang saja. Kasih keluar dulu air kuning itu tidak baik lagi untuk batetek. Kasih keluar dulu yang kuning itu. Kalo sudah putih baru batetek. Dibuang saja itu.” Ketika ibu DC baru melahirkan, ia tidak langsung memberikan ASI kepada bayinya. Ia berpendapat setelah berumur tiga hari bayi baru dapat diberikan ASI. Sebelum tiga hari ia memberikan bayinya susu formula, seperti uraiannya berikut ini: 104 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat “….kan belum menangis itu. Itu dulu kasih dot. Belum kasih air susu kan itu 3 malam itu baru batetek. Itu kasih dot. Itu susu anu SGM itu. SGM 1. Masih baru lahir 1 malam itu kan sudah menangis dia. Tiga malam baru bisa kita batetek. Semua begitu disini. Disini biasa tiga malam kalo belum menangis tidak dikasih apa-apa.” Berbeda halnya dengan kebanyakan ibu lainnya, ibu ET memberikan air susu yang pertama kali keluar (kolostrum) kepada bayinya. Ibu ET melakukan hal ini karena menurutnya kolostrum bermanfaat bagi kesehatan bayi. Pengetahuan tentang manfaat kolostrum ia dapatkan dari penjelasan bidan Desa Wulai. Gambar 3.3. Ibu yang sedang menyusui bayinya Sumber: Dokumentasi Peneliti Ibu yang sedang menyusui memiliki pantangan makanan yaitu makanan yang digoreng. Mereka menganggap gorengan mengandung minyak yang akan membuat kulit bayinya menjadi luka. Makanan yang digoreng mengandung minyak, merupakan salah satu larangan bagi bayi yang belum melakukan adat Powati. 105 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pada umumnya bayi yang baru lahir tidak langsung di-Powati. Anak yang belum di-Powati berpantang mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak, karena dipercaya dapat membuat kulit luka. Untuk memperlancar keluarnya ASI, biasanya mereka meminum susu. Selain meminum susu, ibu menyusui di Desa Wulai juga mengkonsumsi sayur agar air susu menjadi banyak dan memperlancar ASI-nya. Menurut mereka sayur daun papaya dapat memperlancar ASI dan baik untuk ibu menyusui. 3.1.8. Neonatus dan Bayi Pada umumnya bayi di Desa Wulai langsung dimandikan sesaat setelah dilahirkan dengan menggunakan air dingin. Mereka menganggap tubuh bayi yang baru lahir kotor karena terkena darah ibunya, sehingga harus segera dimandikan. Memandikan bayi yang baru dilahirkan dimaksudkan agar bayi tidak sakit, seperti halnya penuturan SM berikut, “Pokoknya kalo sudah lahir baru dikasih mandi itu. Kalo tidak dikasih mandi anak itu sakit menanggis terus.” Apabila bayi baru lahir sakit, maka dapat dimandikan dengan menggunakan air yang sudah ditiup oleh topo tawui. Selain dimandikan dengan air yang sudah ditiup topo tawui, apabila bayi demam juga dapat dimandikan dengan air yang sudah dicelupkan tali pusat yang sudah dikeringkan. Tindakan ini dianggap dapat membuat bayi kembali sehat. Bayi yang baru lahir memiliki pantangan tidak boleh dibawa keluar rumah selama tiga hari sebelum dibuatkan adat turun tanah (nitau). Masyarakat mempercayai apabila bayi keluar rumah sebelum di-nitau maka bayi akan diganggu oleh makhluk halus atau setan. Menurut masyarakat jika bayi diganggu setan maka bayi akan sakit. Apabila bayi lahir di Poskesdes biasanya satu hari setelah lahir bayi dibawa pulang ke rumah dan tidak 106 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat boleh ke luar rumah sampai tiga hari. Ibu dari si bayi tetap tinggal di Poskesdes sampai selesai masa pemulihan. Bayi yang belum di-nitau memiliki pantangan tidak boleh ditertawakan oleh orang dewasa karena dipercaya akan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti munculnya petir (kebulu) secara tiba-tiba. Selain itu, masyarakat khususnya di Dusun Saluwu menganggap apabila anak yang belum di-nitau tidak boleh dipegang orang selain keluarganya. Apabila hal tersebut dilanggar maka anak dapat sakit, seperti penjelasan informan SM berikut, “Tidak boleh kalo kita belum pegang itu tidak boleh ada yang berpegang apalagi menyuntik.” Gambar 3.4. Bayi yang sedang tidur di ayunan (loa) Sumber: Dokumentasi Peneliti Pada malam sebelum acara nitau, dilakukan pemotongan ayam. Daging ayam kemudian dioleskan ke mulut si bayi. Selanjutnya jengger ayam diiris dengan parang dan darahnya dioleskan ke dahi si bayi. Keesokan harinya bayi akan menjalani ritual nitau dimana sebelumnya telah diletakkan beberapa perlengkapan di depan tangga rumah. Perlengkapan ini tergantung dari bayi yang di-nitau termasuk anak dari pihak 107 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bapak atau ibu. Secara adat anak dibagi menjadi dua yaitu anak bapak atau anak ibu. Anak ibu berada pada urutan ganjil kelahiran sedangkan anak bapak berada pada urutan genap. Jika anak yang di-nitau adalah anak ibu maka proses adat yang dilakukan seperti perlengkapannya mengikuti adat ketika ibunya di-nitau, begitu pula sebaliknya dengan anak bapak. Ketika ritual nitau dilakukan, di depan tangga rumah diletakkan daun goronasi dan daun kunyit yang diikat dengan kapak untuk bayi perempuan atau parang untuk bayi laki-laki. Setelah itu, orangtua si bayi mengaliri air ke kepala bayi dengan menggunakan batang pisang. Kemudian dahi bayi digosok dengan kelapa dan kunyit. Selanjutnya orangtua bayi akan menginjak daun goronasi dan kunyit yang telah diikat dengan parang atau kapak. Kemudian orangtua bayi akan mengelilingi halaman rumah sebanyak tiga kali. Setelah itu untuk bayi perempuan orangtua bayi akan mencabut rumput di sekitar halaman rumah. Sedangkan untuk bayi laki-laki akan menanam tanaman. Tindakan ini dilakukan agar nantinya ketika dewasa anak tersebut tidak malas bekerja. Jenis tanaman yang biasa ditanam adalah kelapa dan pisang. Buah dari tanaman yang ditanam tidak boleh diambil orang lain. Hanya anak yang di-nitau yang boleh pertama kali memetik buahnya. Hal ini dilakukan agar rezeki anak tersebut tidak diambil orang lain. Setelah menanam tanaman, bayi kemudian dibawa masuk ke dalam rumah. Biasanya acara nitau dilakukan dengan mengundang keluarga dekat dan topo tawui yang membantu proses kelahiran. Ayam yang telah dipotong tersebut kemudian dibakar. Mereka kemudian menyiapkan tujuh buah nasi yang dibungkus daun lopi. Dua bungkus diberikan pada topo tawui yang menolong persalinan untuk digosokkan pada lututnya agar badan menjadi kuat. Kemudian dua bungkusan nasi tersebut dibuang ke belakang. Lima buah nasi yang lainnya dibawa pulang 108 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat oleh topo tawui. Apabila bayi sudah di-nitau maka bayi sudah boleh dibawa keluar rumah. Gambar 3.5. Ritual nitau Sumber: Dokumentasi Peneliti Mengenai imunisasi, pada umumnya bayi yang dilahirkan di rumah dengan bantuan topo tawui tidak langsung mendapat imunisasi. Mereka baru diimunisasi ketika bidan mendapatkan informasi dari kader bahwa ada ibu yang baru saja melahirkan. Kemudian bidan akan mendatangi rumah ibu bersalin dan melakukan imunisasi pada bayi. Terkadang bidan mendapat penolakan dari keluarga bayi saat akan melakukan imunisasi, seperti halnya ibu SH yang melahirkan di rumah, ia sempat menolak kehadiran bidan yang akan mengimunisasi anaknya. Namun setelah mendapat penjelasan barulah ia mau mengimunisasi anaknya. Ibu SH tidak menginginkan bayinya disuntik karena khawatir setelah disuntik bayinya sakit dan ia tidak bisa beristirahat di malam hari, seperti penjelasannya berikut ini: 109 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Naeka aku, nageo navengina anek noupuni suntik. Da’a mala mama turu.” (Takut saya, biasa dia menangis malamnya kalo habis disuntik. Tidak bisa mamanya ini tidur) Begitu pula dengan ibu TD, ia mengaku tidak pernah mengimunisasi anaknya dikarenakan ibunya melarang ia mengimunisasi anaknya. Ibu dari ibu TD berpendapat jika bayi diimunisasi tidak akan cocok dengan darah si bayi. Hal ini kemudian dapat membuat bayi menjadi sakit setelah diimunisasi. “Kata Neneknya itu tidak cocok dia disuntik karena darahnya tidak cocok untuk disuntik. Biasanya kalo disuntik anaknya dapat sakit atau kenapa. Biasanya kalo tidak cocok untuk disuntik itu sakit terus itu (ibu TD).” Perihal pemberian ASI eksklusif, sebagian besar bayi di Desa Wulai telah mendapatkan makanan selain ASI sebelum usia enam bulan. Apabila ASI tidak mencukupi biasanya bayi diberikan susu formula. Seperti halnya bayi RF yang meminum susu formula karena ASI tidak cukup. Selain diberi ASI atau susu formula, bayi juga sudah diberi makanan tambahan seperti bubur pada usia kurang dari enam bulan. Seperti halnya bayi ibu SH yang pada usia enam hari sudah diberi bubur instan. Ia memberikan bayinya bubur karena bayinya menangis terus dan tidak mau diberi ASI. Menurutnya bayinya menangis terus karena lapar, seperti penjelasannya berikut ini: “Na melo panggoni, da’a dota aku betetek. na melo panggoni, anek vai tetek da’a dotaku na melo panggoni.” (Kan dia cari makan to, tidak mau dia betetek. Cari makan itu dia. Kalo kasih tetek tidak mau berarti dia cari makan) 110 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Hal serupa diutarakan ibu SA yang juga telah memberikan makanan tambahan pada bayinya saat usia bayi tiga bulan. Makanan tambahan yang diberikan berupa pisang yang dikerok dan disiram dengan air panas kemudian dihaluskan dengan air. Selain pisang, terkadang bayi juga diberikan ubi rebus yang dihaluskan dan ditambahkan air. Disamping itu ada juga ibu yang memberikan nasi yang dicampur dengan air yang ditambahkan sedikit garam. Makanan pendamping ASI diberikan dua kali sehari pada bayinya yaitu pada pagi dan sore hari. Gambar 3.6. Balita disuapi nasi dicampur dengan air Sumber: Dokumentasi Peneliti Pada umumnya bayi yang baru lahir tidak langsung diberi nama oleh keluarganya. Keluarga hanya memanggil dengan sebutan ‘dei’ yang berarti adik. Penolong persalinan seperti bidan maupun pendeta biasa memberikan nama untuk bayi. Gereja Bala Keselamatan juga turut mendoakan dan menyerahkan bayi (anak) kepada Tuhan dalam acara penyerahan bayi. Setelah bayi diberi nama baru kemudian dapat mengikuti acara ini. Penyerahan bayi (anak) dimaksudkan agar Tuhan menyertai kehidupan anak mereka dan memberikan keselamatan dalam 111 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 hidup. Biasanya bayi berumur mulai dari kurang satu bulan hingga anak remaja yang belum diserahkan oleh orangtuanya sewaktu kecil juga bisa mengikuti acara ini. Bayi atau anak akan mendapatkan surat penyerahan dari gereja yang dapat digunakan sebagai syarat untuk mendaftar sekolah dan pernikahan karena tanpa surat penyerahan dapat dikenai denda berupa uang. Acara penyerahan bayi (anak) biasa dilakukan dalam satu tahun sekali. Pada saat penelitian berlangsung terdapat acara penyerahan bayi (anak) yang dihadiri oleh pendeta dari luar desa. Penyerahan bayi juga menjadi salah bentuk pencatatan yang dilakukan oleh gereja disamping pencatatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Gambar 3.7. Acara Penyerahan Bayi (Anak) Sumber: Dokumentasi Peneliti Acara penyerahan bayi diawali dengan ibadah yang dipimpin oleh pendeta. Setelah melakukan ibadah maka pendeta memanggil satu per satu anak yang akan diserahkan beserta 112 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat orangtuanya dan kemudian pendeta mendoakan keselamatan anak dibawah bendera Bala Keselamatan. 3.1.9. Anak dan Balita Untuk memantau kesehatan dan perkembangan balita di Desa Wulai, maka dilaksanakan kegiatan Posyandu di lima dusun setiap bulannya. Posyandu dilaksanakan bergiliran, dimulai dari Dusun Sinjanga pada tanggal lima, Dusun Wulai Satu pada tanggal enam, Dusun Watubete pada tanggal tujuh, Dusun Saluwu pada tanggal delapan dan terakhir Dusun Ujung baru pada tanggal sembilan. Pelaksanaan Posyandu dilakukan di salah satu rumah kader Posyandu kecuali di Dusun Watubete dilakukan di Poskesdes Desa Wulai. Gambar 3.8. Pelaksanan Posyandu di Dusun Watubete Sumber: Dokumentasi Peneliti Posyandu Dusun Watubete bernama “Posyandu Sayang Ibu dan Anak” yang sampai dengan bulan Mei 2014 jumlah balita 113 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di ini sebanyak 58 balita. Berdasarkan catatan kader Posyandu Watubete pada bulan Mei balita yang datang ke Posyandu sebanyak 30 orang. Dari 30 balita tersebut 20 balita adalah Etnik Kaili Da’a dan sepuluh orang dari Etnik Bugis, Makassar dan Mandar dengan jumlah yang Bawah Garis Merah (BGM) 3 balita. Biasanya balita yang tidak datang akan disuruh datang menimbang pada hari minggu di gereja. Mengenai gizi balita, di Desa Wulai tidak ditemukan balita yang gizi buruk ataupun gizi kurang. Namun pada pelaksanaan Posyandu Dusun Watubete di bulan April 2014 ditemukan tiga balita BGM. Salah satu balita BGM adalah FF berumur 14 bulan dengan berat badan 6,5 kg. Berat badann FF pada waktu lahir sebesar 2,2 kg. FF merupakan peserta Posyandu yang setiap bulan aktif melakukan penimbangan. Pada saat FF dinyatakan sebagai balita BGM maka kader kemudian mengukur tinggi badan FF. Kader Posyandu kemudian melaporkan kepada bidan mengenai temuan balita BGM. Bidan kemudian berkoordinasi dengan pihak Puskesmas untuk memberikan susu bagi balita BGM. Sehari-hari FF biasa makan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari berupa nasi yang diberi air dan ditambahkan sedikit garam. FF mulai diberi makan pada saat usianya mencapai enam bulan dan hingga saat ini FF masih mendapatkan ASI dari ibunya. Pada bulan lalu berat badan FF mengalami penurunan dari yang semula 6,6 kg menjadi 5,5 kg. Menurut ibu FF hal tersebut dikarenakan FF sering sakit. Menurut ibu DM seorang kader dari etnik Kaili Da’a yang telah menjadi kader selama 10 tahun, sekarang etnik Kaili Da’a telah banyak berubah sudah banyak yang mau ke Posyandu dan diimunisasi. Sebelum ada kader dari etnik Kaili Da’a kebanyakan etnik Kaili Da’a tidak mau anaknya diimunisasi karena takut anaknya panas akibat reaksi dari vaksin imunisasi, selain itu juga karena ada faktor orang tua malas membawa anaknya ke 114 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Posyandu. Senada dengan yang diungkap oleh kader di Dusun Watubete, demikan pula yang terjadi di Dusun Saluwu sebagaimana penuturan DC berikut, “Kalo kata ibunya itu sakit. Katanya liwat diimunisasi itu anaknya panas sudah.” Kader Posyandu juga membantu bidan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi, namun hal tersebut tidak memberikan perubahan yang berarti. Mereka hanya datang untuk mengetahui berat badan balitanya dan setelah ditimbang biasanya mereka pulang. Bahkan kebanyakan dari ibu balita cenderung tidak mendatangi Posyandu pada saat anaknya harus diimunisasi. Upaya jemput bola yang dilakukan kader dengan mengunjungi rumah balita agar datang ke Posyandu telah dilakukan meskipun hasilnya belum memuaskan. Tabel 3. 2. Kunjungan Balita ke Posyandu di Desa Wulai Tahun Bulan Jan Feb 2013 Mar Apr Mei Jun Jul Agsts Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Sasaran (S) 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 KMS (K) 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 183 2014 183 183 183 183 Sumber: Data Rekap Bidan Desa Wulai Ditimbang (D) 145 143 165 161 157 156 147 150 159 171 160 153 Naik (N) 38 75 55 52 72 75 65 61 82 61 83 64 Persentase (D/S) 79.21 78.14 84.69 87.98 85.79 85.25 85.25 81.97 86.89 93.44 87.43 83.61 147 155 147 58 63 67 80.33 84.69 80.33 115 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Berdasarkan Tabel 3.2 menunjukkan bahwa dari keseluruhan 183 balita di Desa Wulai lebih dari 75% di antaranya telah ditimbang di Posyandu. Biasanya kegiatan Posyandu dilakukan di rumah kader. Selain itu ada juga Posyandu yang dilakukan dari rumah ke rumah seperti halnya Posyandu di Dusun Saluwu. Gambar 3.9. Pelaksanaan Posyandu di Dusun Saluwu Sumber: Dokumentasi Peneliti Sudah hampir satu tahun Posyandu di Dusun Saluwu dilakukan dengan mengunjungi balita dari rumah ke rumah. Sebelumnya Dusun Saluwu mendapatkan bantuan tempat untuk kegiatan Posyandu dari yayasan Gereja Toraja-Mamasa (GTM) yang terletak di depan gereja. Namun saat ini masyarakat cenderung tidak datang setiap kegiatan Posyandu. Oleh sebab itu kader memutuskan untuk mengunjungi satu persatu rumah balita. Seperti halnya penuturan DC berikut ini: “Orang disini tidak datang ke Posyandu dibilang dumumkan ini datang batimbang di Posyandu tidak datang terpaksa kita bu batimbang di rumahnya.” 116 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Kader Posyandu di Dusun Saluwu terdiri dari lima orang, namun hanya tiga orang yang aktif. Dua diantaranya duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP). Kegiatan Posyandu di Dusun Saluwu seringkali dilakukan di sore hari setelah kader pulang dari sekolah. Meskipun penimbangan balita sudah dilakukan dari rumah ke rumah, namun masih ada juga balita yang tidak ditimbang. Adapun alasannya ialah dikarenakan orangtua yang turut membawa serta anaknya pergi berkebun. Kader biasanya akan melakukan kunjungan ulang kerumah balita pada sore hari yaitu setelah pulang dari kebun. Berbeda halnya di Dusun Sinjanga, apabila ada balita yang tidak hadir saat Posyandu, maka kegiatan penimbangan dilakukan kembali pada hari minggu bersamaan dengan kegiatan ibadah di gereja. Kader menyelipkan kegiatan penimbangan sebelum atau sesudah ibadah di gereja. Disamping kegiatan penimbangan bayi/balita, pemeriksaan kehamilan juga dilakukan di Posyandu, hanya saja tidak semua ibu hamil di Desa Wulai datang ke Posyandu untuk memeriksakan kehamilannya. Bidan Desa Wulai dan petugas imunisasi dari Puskesmas Randomayang tidak selalu bisa hadir dalam kegiatan Posyandu di semua dusun. Kondisi geografis Desa Wulai yang dipisahkan oleh sungai di setiap dusunnya menjadi kendala petugas imunisasi dari Puskesmas Randomayang untuk mengunjungi Posyandu di setiap dusun. Namun pelayanan lima meja pelayanan di Posyandu sudah tidak selengkap dahulu. Pelayanan penimbangan dan pencatatan hasil timbangan yang biasanya dilakukan. 3.2. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, 117 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Depkes, 2011:7). Terdapat sepuluh indikator PHBS yang telah ditetapkan dalam mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan rumah tangga. Sepuluh indikator tersebut antara lain pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI eksklusif pada bayi, penimbangan balita setiap bulan, menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik nyamuk, mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas fisik setiap hari dan tidak merokok di dalam rumah. Beberapa indikator PHBS seperti pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI ekslusif, dan menimbang balita setiap bulan, telah dibahas pada bagian sebelumnya. 3.2.1. Pemakaian Jamban Pada tahun 1997, Desa Wulai mendapat bantuan perumahan dari Dinas Sosial berupa rumah panggung sederhana dan beratapkan seng. Bantuan perumahan tersebut dilengkapi dengan fasilitas jamban jenis leher angsa sederhana. Jamban tersebut dibangun terpisah dengan rumah utama. Jamban ditutupi dinding yang terbuat dari anyaman kayu dan tanpa atap. Seiring berjalannya waktu, dinding jamban sudah banyak yang usang dan rusak. Adapun dinding jamban yang rusak biasa mereka perbaiki sendiri dengan menutup terpal maupun karung bekas. Pembangunan fasilitas jamban terhambat dikarenakan akses terhadap ketersediaan air pada tiap-tiap rumah masih kurang. Kurangnya ketersediaan air menjadi kendala bagi masyarakat yang akan buang air besar. Apabila mereka hendak buang air besar di jamban maka sebelumnya harus mengambil air terlebih dahulu di sungai maupun sumur yang jaraknya cukup 118 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat jauh. Ketidaktersediaan air membuat masyarakat menutup lubang pembuangan dengan kayu dan berharap kotoran dapat segera hilang. Sehingga jamban bantuan tersebut banyak yang rusak oleh karena sengaja dirusak maupun karena tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Gambar 3.10. Jamban milik warga bantuan dari Dinas Sosial Sumber: Dokumentasi Peneliti Pada umumnya rumah di Desa Wulai saat ini tidak dilengkapi dengan fasilitas jamban. Mereka memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk buang air besar. Tidak terdapat lokasi tertentu di sungai yang mereka gunakan khusus untuk membuang air besar. Sebagian masyarakat yang memiliki kebiasaan buang air besar di sungai mengaku tidak bisa buang air besar di jamban. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah karena buang air besar di sungai lebih praktis, airnya banyak dan arusnya deras, kotoran mereka pun dapat langsung terbawa arus sungai, terlebih saat hujan tiba, seperti halnya penuturan informan ES berikut, “Podo’ na bete leke uwe, anek WC dinjuju’ 119 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ala kaku uwe.” (Enaknya koala besar, airnya kencang. Kalo WC basiram lagi ambil air lagi). Pada tahun 2013 Desa Wulai mendapat bantuan dua unit WC umum dari calon anggota legislatif. WC umum tersebut terletak di tengah desa berdekatan dengan kantor desa dan kantor Badan Pembangunan Daerah (BPD). Pada umumnya WC bantuan digunakan oleh masyarakat yang tinggal disekitar WC umum itu. Masyarakat yang paling sering memanfaatkan WC umum untuk keperluan mandi dan buang air besar adalah masyarakat pendapatang seperti Etnik Bugis dan Mandar. Sedangkan masyarakat Kaili Da’a jarang memanfaatkan fasilitas WC umum. Mereka beralasan di WC umum tersebut tidak ada airnya, mereka harus mengambil air terlebih dahulu di sumur atau pipa air yang letaknya jauh dari WC umum. 3.2.2. Penggunaan Air Bersih Selain bantuan perumahan dari Dinas Sosial, Desa Wulai juga mendapat bantuan dari persatuan agama Kristen di Australia. Pada tahun 2000-an mereka mendapat bantuan berupa pembangunan saluran perpipaan air dari gunung. Pembuatan pipa dilakukan secara bergotong royong oleh warga masyarakat. Namun dari kelima dusun hanya dua dusun yang mendapatkan bantuan tersebut yaitu Dusun Watubete dan Dusun Saluwu. Berdasarkan pengamatan peneliti, air perpipaan yang bersumber dari dari gunung tidak berwarna atau jernih. Apabila hujan turun air menjadi keruh dan berwarna kecokelatan. Seringkali air perpipaan tidak mengalir dikarenakan sambungan pipa yang mengaliri rumah warga terputus saat musim hujan. Jangkauan bantuan sumber air bersih berupa saluran perpipaan tidak semuanya mengalir di seluruh rumah warga. Adapun masyarakat yang ingin mengalirkan air ke 120 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat rumahnya maka sebelumnya harus membeli pipa terlebih dahulu. Selain air bersih yang bersumber dari gunung, pada umumnya masyarakat Wulai memanfaatkan air sungai untuk keperluan minum sehari-hari. Desa Wulai memang dikelilingi oleh sungai di setiap dusunnya. Sebelum hujan turun sebagian besar masyarakat mulai mengambil air sungai untuk keperluan memasak ataupun minum. Hal itu dikarenakan apabila hujan turun, air sungai akan meluap dengan aliran yang cukup deras. Air sungai pun akan berwarna kecokelatan atau keruh. Hal ini membuat masyarakat akan kesulitan untuk mengambil air yang mereka anggap bersih. Meskipun mereka mengambil air sungai untuk keperluan minum, namun tidak sembarang air yang bisa mereka ambil. Hal itu dikarenakan sungai juga merupakan salah satu tempat buang air besar. Mereka biasanya membuat sumur terlebih dahulu sebelum mengambil airnya. Berikut penuturan informan NK mengenai alasan untuk menggali sumur di sungai, “Ah, nabelo uwe (air tak baik itu)... ada orang diatas kalo buang air. Busuk itu tak baik.” Mereka menganggap air yang berasal dari sumur yang digali di sungai merupakan air yang baik atau bersih. Masyarakat menganggap air kotor ialah air yang berbau dan berwarna kekuningan atau kecokelatan. Selain digunakan untuk keperluan sumber air minum. Air sungai juga dimanfaatkan masyarakat untuk mandi. Mandi merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan untuk menjaga kebersihan tubuh. Sebagian besar masyarakat Desa Wulai biasa mandi satu kali dalam sehari yaitu sesudah pulang dari kebun. Sedangkan pagi hari sebelum berangkat ke kebun mereka biasanya hanya mencuci muka saja. Adapun kebiasaan menggosok gigi mereka lakukan pada saat mandi. Anak-anak juga sudah dibiasakan untuk menggosok gigi sejak kecil. 121 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 3.11. Warga menggali sumur untuk sumber air bersih Sumber: Dokumentasi Peneliti 3.2.3. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun Mencuci tangan merupakan salah satu bentuk perilaku sehat dalam upaya mencegah terjadinya penyakit. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, ternyata dapat mengurangi insiden diare sampai 50% atau sama dengan menyelamatkan sekitar satu juta anak didunia dari penyakit tersebut setiap tahunnya (Rosidi, dkk., 2010). Pada umumnya masyarakat Desa Wulai tidak mempunyai kebiasaan cuci tangan sebelum makan. Hanya beberapa masyarakat yang memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Mencuci tangan biasa mereka lakukan dengan menggunakan air tanpa sabun. Air yang digunakan untuk mencuci tangan biasanya merupakan air yang mereka ambil dari 122 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat sungai. Cuci tangan sebelum menggunakan air yang mengalir. makan dilakukan dengan 3.2.4. Kebiasaan merokok Kebanyakan masyarakat di Desa Wulai memiliki kebiasaan merokok. Baik laki-laki dan perempuan memiliki kebiasaan merokok. Pada umumnya para perokok aktif mulai merokok saat berusia remaja yaitu sekitar 15 tahun atau biasa dilakukan sebelum menikah. Mereka menganggap bahwa kebiasaan merokok adalah hal yang wajar, hal ini dikarenakan kebiasaan merokok telah mereka lakukan sejak kecil. Terlebih banyak diantara mereka yang tidak pernah bersekolah sehingga tidak pernah mendapat larangan untuk merokok, seperti penuturan informan NS berikut ini: “Oo.. lama.. masih kecil saya merokok. Kalo ndak salah itu umur 10 tahun saya merokok. 15 tahun sudah mulai belajar merokok. Asal sudah tau bekerja sudah boleh merokok, kalo tidak dia tau ya tidak boleh merokok.” Jenis rokok yang biasa mereka konsumsi adalah rokok filter (PO, GE, dan GA) dengan kisaran harga Rp. 6.000-9.000 dan rokok kretek yang dikonsumsi seperti rokok merk NM atau CM dengan harga Rp. 15.000. Rokok kretek dan rokok filter samasama memiliki kandungan nikotin. Berdasarkan hasil pengukuran kadar nikotin dengan menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi per batang rokok, kandungan nikotin dalam rokok kretek lebih besar dibandingkan rokok filter. Nikotin yang terdapat dalam asap rokok arus samping empat sampai enam kali lebih besar dari asap rokok arus utama (Susanna, dkk., 2003). 123 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 3. 12. Perempuan Desa Wulai yang sedang merokok Sumber: Dokumentasi Peneliti Tidak hanya rokok kretek dan rokok filter yang biasa mereka gunakan untuk merokok, lempek dan jole merupakan jenis rokok yang juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat Desa Wulai. Lempek merupakan salah satu jenis rokok berupa tembakau kering dengan pembungkus terpisah. Sebelumnya tembakau kering harus digulung terlebih dahulu dengan menggunakan kertas pembungkus rokok. Lempek dijual di warung seharga tiga ribu rupiah. Jole merupakan tembakau kering yang dibungkus kulit jagung yang sudah kering. Mereka biasa menanam tembakau di kebun dan menggunakannya untuk merokok. Pada umumnya tembakau jenis ini dikonsumsi oleh kalangan usia lanjut. Selain lempek dan jole mereka juga menggunakan tembakau sirih pinang atau yang biasa disebut mompongo. Mompongo atau menginang masih menjadi kebiasaan masyarakat terutama untuk kalangan lanjut usia. Kebiasaan menginang atau mompongo dipercaya dapat mencegah kemasukan setan saat melakukan ritual adat. Selain itu mereka 124 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat menganggap bahwa mompongo dapat mencegah sakit gigi, seperti uraian informan MO berikut ini: “Kalo orangtua yang makan sirih itu kuat memang giginya, kayaknya itu dia punya bahan itu banyak obat yang dikasih kesitu. Ee..sirih, tembakau. Dia gigi kalah itu gigi anak muda” Gambar 3.13. Perlengkapan mompongo Sumber: Dokumentasi Peneliti Sampai saat ini merokok merupakan kebiasaan masyarakat desa Wulai yang belum bisa mereka tinggalkan. Mereka biasa menghisap rokok sekitar empat hingga enam batang rokok dalam sehari. Menurut mereka apabila tidak merokok dapat membuat sakit kepala, seperti pernyataan informan SG berikut, “Da’a nabelo raraku, ju’a vo’o.” (perasan tidak enak, sakit kepala). Senada dengan informan SG, bagi informan NS merokok adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti halnya makan. Apabila tidak merokok akan menimbulkan perasaan tidak enak dan ia merasa sulit untuk berfikir, seperti uraiannya berikut ini: 125 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Aih.. seperti bagaimana perasaan itu tidak baik lagi, seperti kita memikirkan anu makanan juga. Kalo tidak makan kita lapar, begitu juga merokok, kalo tidak merokok itu susah, otak tidak berjalan, berarti kita pusing memikirkan jalan dimana tidak tau lagi akhirnya buntu” Terlepas dari alasan yang mendorong seseorang untuk merokok, dengan merokok seseorang akan memperoleh perasaan yang menyenangkan. Pada kondisi inilah bangkit hasrat untuk mengulangi perilaku tersebut (conditioning). Pada saat yang bersamaan, nikotin pada rokok dapat menimbulkan perasaan tergantung. Efek toleran yang disebabkan oleh nikotin sesungguhnya relatif ringan, tetapi sifat adiktifnya dapat menyebabkan tubuh tergantung dan termanifestasi dalam bentuk pusing-pusing, mudah gugup, lesu, sakit kepala, dan perasaan cemas (Sari, dkk., 2003). Merokok diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Masyarakat Desa Wulai menganggap bahwa rokok dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Mereka menganggap TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan karena kebiasaan merokok. Hal tersebut diungkapkan oleh informan ES berikut, “TBC itu salah satu akibat rokok...” Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok mempunyai risiko sebelas kali untuk mengidap penyakit paruparu dibandingkan bukan perokok (Sari, dkk., 2003). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lingkungan dengan asap rokok merupakan penyebab terjadinya penyakit yang juga dapat mengenai orang sehat yang bukan perokok. Paparan asap rokok yang dialami terus-menerus pada orang dewasa yang sehat dapat menambah risiko terkena penyakit paru-paru dan penyakit jantung sebesar 20-30 persen (Susanna, dkk., 2003). 126 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Pada umumnya masyarakat Wulai tidak memiliki kebiasaan merokok di tempat khusus yang diperuntukkan untuk merokok. Para perokok biasanya merokok dimana saja baik di dalam maupun di luar ruangan. Bayi, anak-anak dan perempuan yang bukan perokok juga turut menghisap asap rokok mereka. Pada saat penelitian berlangsung, seringkali dijumpai mereka merokok didalam rumah bersama anggota keluarga yang lain. Risiko terjadinya penyakit yang disebabkan oleh karena asap rokok tidak tidak hanya mengenai perokok (aktif) saja, tetapi juga orang-orang di sekitar perokok. Perokok pasif merupakan orang yang tidak merokok tetapi harus menghirup asap rokok atau orang yang berada di sekitar perokok. Perokok pasif secara tidak langsung telah memasukkan zat-zat yang berbahaya ke dalam tubuh bersamaan dengan asap rokok yang tanpa sengaja terhisap. Kondisi ini lebih membahayakan karena tubuh perokok pasif tidak terbiasa dengan asap yang terhisap ke dalam tubuh mereka. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sekitar 20%-30% kejadian terkena risiko penyakit kanker paruparu dialami oleh perokok pasif (Sari dkk., 2003). 3.2.5. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010:10). Sehari-hari aktivitas masyarakat Desa Wulai ialah berkebun. Mereka biasa berkebun mulai pukul 07.00 hingga tengah hari atau sore hari pukul 17.00. Kegiatan berkebun yang dilakukan seperti memotong rumput, menanam jagung, dan bertanam cokelat mereka lakukan setiap harinya. Jarak rumah 127 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menuju ke kebun cukup jauh bahkan ada yang harus ditempuh selama satu jam berjalan kaki. Seringkali mereka pulang membawa atau memikul hasil panen untuk dijual di warung. Aktivitas yang mereka lakukan sehari tergolong dalam aktivitas berat. 3.2.6. Konsumsi Buah dan Sayur Masyarakat Desa Wulai biasa mengkonsumsi sayur setiap harinya. Jenis sayur yang dikonsumsi seperti sayur daun kelor, daun ubi, daun kangkung dan lain-lain. Mereka akan mengambil sayur dari kebun maupun pekarangan rumah mereka sebelum dimasak. Sedangkan untuk buah-buahan tidak setiap hari mereka konsumsi melainkan hanya pada saat musim panen buah tiba. Jenis buah yang dikonsumsi seperti mangga, durian dan langsat. Buah durian dan langsat biasa berbuah pada satu tahun sekali yaitu bulan Juli-September. Pada umumnya mereka akan mengambil buah yang telah masak untuk dikonsumsi. Biasanya dalam sehari mereka mengkonsumsi buah lebih dari satu kali. Selain untuk dikonsumsi sendiri mereka juga biasa menjual durian keluar desa hingga dipasok ke Kota Palu. Satu buah durian berukuran besar dijual seharga lima ribu rupiah. 3.3. Penyakit Menular 3.3.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada balita (22,8%) dan penyebab kematian bayi kedua setelah gangguan perinatal. Hal ini diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan kualitas penatalaksanaannya belum memadai. Infeksi saluran 128 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudah terjadi pada musim hujan (Depkes, 2005:1). Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di Desa Wulai menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak. Terdapat peningkatan kasus ISPA dengan sebagian besar kasus terjadi pada anak dan balita. Pada bulan Mei tahun 2014, kasus ISPA di Desa Wulai sejumlah dua penderita sedangkan pada bulan Juni meningkat menjadi dua puluh penderita. Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting disamping karena penyebarannya sangat luas yaitu pada bayi, anak-anak dan dewasa, komplikasinya yang membahayakan serta menyebabkan hilangnya hari kerja ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya pneumonia) (Depkes, 2005:1). Pada umumnya masyarakat Desa Wulai tidak mengetahui apa penyebab dari ISPA atau yang biasa disebut dengan baingus. Mereka menganggap hal itu dikarenakan kondisi perubahan cuaca seperti hujan. Apabila masyarakat mengalami baingus biasanya mereka hanya membiarkan saja. Untuk meringankan demam, biasanya mereka menggunakan obat kampung seperti meminum air rebusan daun pepaya yang masih muda. Jika demam tidak kunjung sembuh maka mereka biasa membeli obat di warung seperti obat IZ untuk anak atau obat MG untuk dewasa. Apabila tidak terdapat kesembuhan setelah meminum obat dari warung, maka mereka akan mengunjungi topo tawui. Penyembuhan yang dilakukan oleh topo tawui dengan cara meniup pada bagian tubuh yang sakit sembari mengoleskan air ludahnya. Mantera dibacakan oleh topo tawui pada saat melakukan penyembuhan. Pada umumnya masyarakat mengunjungi pelayanan kesehatan ketika usaha yang mereka lakukan seperti membeli obat di warung hingga meminta penyembuhan topo tawui tidak kunjung sembuh. Petugas 129 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kesehatan seringkali tidak memberikan informasi mengenai penyakit yang dideritanya dan hanya memberikan obat. 3.3.2 Diare Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat global, diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18% kematian balita dari 3.070 juta balita (Depkes, 2011). Diare termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak di Desa Wulai. Diare atau yang biasa disebut dengan ju’a ta’i yang artinya sakit perut. Masyarakat menganggap ju’a ta’i disebabkan karena salah makan. Masyarakat menganggap makanan yang tidak cocok bagi tubuh apabila dimakan dapat menyebabkan penolakan. Ju’a ta’i merupakan salah satu reaksi penolakan makanan, seperti penuturan informan NO berikut, “Gara-gara makan apa sembarang. umpama gara-gara kita makan pisang.” Selain karena salah makan ju’a ta’i juga disebabkan karena meminum air yang belum dimasak. Seperti pengalaman informan PW yang pernah mengalami diare akibat meminum air yang tidak dimasak. Sejak itu, ia selalu memasak air yang akan diminumnya, berikut pernyataan informan PW: “Nggak tau juga makanya itu kalo saya minum air tidak dimasak sudah kena penyakit itu sudah. Makanya sekarang saya takut sekalo kalo kosong air panas di rumah.” 130 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Masyarakat di Desa Wulai biasa memasak air terlebih dahulu Untuk keperluan air minum, namun terkadang mereka juga ada yang meminum air mentah atau tidak dimasak. Mereka akan meminum air mentah bila sedang berkebun dikarenakan tidak membawa air matang dari rumah. Memasak air mereka lakukan hingga air mendidih. Mereka biasa memasak air di belanga dan menyisakan setengah dari air yang dimasak. Air yang sudah masak didinginkan semalaman dan kemudian dikonsumsi. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Dusun Saluwu. Kebanyakan masyarakat di Dusun Saluwu biasa meminum air yang tidak dimasak. Mereka menganggap air yang tidak dimasak mempunyai rasa yang enak dan segar. Hal tersebut sebagaimana penuturan DC berikut ini: "Bisa juga kita disini langsung minum air di koala itu katanya kalo langsung diminum itu enak, tidak seperti dipanas. Biasnya kalo minum air panas tidak hilang hausnya minum lagi air mentah." Air yang digunakan untuk keperluan minum berasal dari air sungai maupun mata air pegunungan yang dialirkan melalui perpipaan. Di Dusun Saluwu hanya terdapat satu perpipaan yang bersumber dari pegunungan. Air tersebut dialirkan di rumah milik salah satu warga dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat sekitar. Masyarakat Dusun Saluwu biasa memasak air apabila hendak membuat minumn seperti kopi saja, seperti halnya penuturan OS berikut ini: “Kalo saya minum kopi memasak air klo tidak minum kopi hanya air mentah saja supaya diminum enak. Kalo air masak tenggorok itu terasa apa itu..” Selain disebabkan karena meminum air yang tidak dimasak, masyarakat Wulai juga ada yang berpendapat diare disebabkan memakan makanan basi yang masih dipanaskan 131 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kembali. Untuk penyembuhan diare (ju’a ta’i) masyarakat juga mengenal beberapa jenis tanaman seperti daun jambu biji dan daun kayu ampana. Mereka biasa merebus tiga lembar daun jambu biji atau jambu batu kemudian meminum air rebusan sebanyak satu sendok makan untuk tiga kali sehari. Selain itu daun kayu ampana yang disiram dengan air mendidih dan kemudian diminum dipercaya dapat mengobati diare. Pengetahuan mengenai obat kampung diperoleh dari orangtuanya dulu. Bagi masyarakat yang enggan untuk meminum obat kampung, mereka biasa meringankan diare dengan cara mengikat kuat perut dengan tali, hal tersebut dilakukan agar sakit perut yang dialaminya mulai berangsur sembuh. Apabila sakit perut yang dideritanya tidak kunjung sembuh maka masyarakat akan mengunjungi topo tawui untuk ditiup pada bagian perut. Mereka akan mengunjungi beberapa topo tawui hingga mendapatkan kesembuhan. Sebagian masyarakat juga ada menggunakan obat yang biasa disebut sebagai “Obat Cina” untuk meringankan diare yang dideritanya. “Obat Cina” merupakan minyak gosok yang dijual di warung seharga Rp. 5.000. Mereka menggunakan “Obat Cina” dengan cara mencampurkan 1-2 tetes dengan air putih untuk selanjutnya diminum. Penggunaan minyak gosok yang seharusnya untuk penggunaan luar mereka gunakan dengan cara diminum. Informasi cara penggunaan mereka dapat dari penjual obat di warung. Masyarakat baru akan mengunjungi pelayanan kesehatan setelah mencoba pengobatan kampung hingga megunjungi topo tawui dan tidak kunjung mengalami kesembuhan. 132 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat 3.3.3. Malaria Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Malaria merupakan salah satu indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs), dimana ditargetkan untuk menghentikan penyebaran dan mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015 yang dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan dan angka kematian akibat malaria (Depkes, 2011). Pada umumnya masyarakat di Desa Wulai mengetahui malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk dimalam hari. Untuk mencegah gigitan nyamuk dimalam hari, masyarakat biasa menggunakan kelambu pada waktu tidur. Selain itu mereka juga biasa membuat perapian di luar rumah dan memanfaatkan asap api untuk mengusir nyamuk. Penggunaan obat nyamuk bakar kurang diminati oleh masarakat dikarenakan ketidaknyamanan terhadap bau asap yang ditimbulkan obat nyamuk bakar. Kebanyakan masyarakat Desa Wulai tidak menggunakan rapelen untuk menghindari gigitan nyamuk. Menurut masyarakat, gejala yang ditimbulkan bila seseorang terkena malaria berupa demam dan menggigil. Bila badan sudah dirasa mulai demam maka untuk mengobatinya dapat menggunakan obat kampung. Obat kampung yang digunakan untuk mengobati rasa menggigil saat sakit malaria dapat menggunakan air rebusan benalu pohon (pomponga paja). Selain itu untuk menyembuhkan malaria juga dilakukan dengan meminum air rebusan daun papaya yang ditumbuk bersama akarnya. Tidak hanya obat kampung yang dapat digunakan untuk mengobati malaria. Pilihan obat malaria yang dijual bebas 133 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 diwarung pun biasa mereka konsumsi. Obat malaria RB atau dikenal sebagai obat segitiga dapat mereka minum untuk mengobati malaria. Selain obat kampung dan obat warung, mereka juga biasa mengunjungi topo tawui untuk menyembuhkan sakit malaria. Hampir segala macam jenis penyakit dapat disembuhkan oleh topo tawui. Oleh karena itu mereka biasa mengunjungi topo tawui terlebih dahulu sebelum ke pelayanan kesehatan. Apabila belum sembuh barulah mereka mengunjungi fasilitas kesehatan seperti Poskesdes atau Puskesmas. Bagi mantan penderita malaria memakan buah mangga adalah suatu pantangan karena Menurut malaria dapat kambuh kembali, seperti diungkapkan informan OS berikut, “Kalo makan mangga memang menular itu. Makan mangga yang besar-besar itu…” 3.3.4. Tuberkulosis Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang penting baik secara global maupun nasional (PDPI, 2006). Diperkirakan sepertiga dari keseluruhan penduduk dunia pernah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (WHO, 2002). Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan kedaruratan global penyakit TB, dimana pada saat itu setiap tahunnya diperkirakan terdapat tujuh sampai delapan juta kasus dan 1,3 – 1,5 juta kematian akibat TB (WHO, 2012:16). Poskesdes Wulai termasuk dalam pos TB desa dan memiliki satu petugas penanggung jawab Pos TB Desa. Petugas TB bertugas menjaring suspek TB Paru secara aktif untuk mau dilakukan pemeriksaan dahak dan diobati. Suspek TB Paru akan diberikan pot dahak untuk dilakukan pemeriksaan TB. Pot dahak tersebut kemudian dibawa ke Puskesmas Sarjo untuk diperiksa 134 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat laboratorium. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemeriksaan TB Paru di laboratorium Puskesmas Randomayang. Apabila terjadi kasus TB Paru klinis dengan BTA negatif maka Puskesmas akan melakukan rujukan pemeriksaan rontgen ke Rumah Sakit Undata di Palu dikarenakan fasilitas rontgen di RSUD Kabupaten Mamuju Utara belum memadai. Saat ini sudah hampir dua bulan terhitung sejak penelitian berlangsung yaitu bulan Mei-Juni petugas TB Desa Wulai sudah tidak aktif. Menurut pemegang program TB di Puskesmas Randomayang keberadaan penanggung jawab pos TB desa dirasa tidak efektif. Hal itu dikarenakan penanggung jawab pos TB dengan status honorer dan tidak digaji membuat pihak Puskesmas tidak dapat menuntut lebih untuk pekerjaannya. Saat ini tugas penanggung jawab pos TB Desa digantikan oleh bidan desa. Bidan menjaring suspek TB Paru dari pelayanan pengobatan di Poskesdes maupun Posyandu. Pada saat penelitian berlangsung terdapat salah satu suspek TB Paru dan dilakukan pemeriksaan dahak, namun sudah hampir sepuluh hari ia belum mendapat informasi hasil dari pemeriksaan tersebut. Grafik 3.1. Suspek TB dan Penderita TB di Desa Wulai Bulan Januari-Mei 2014 Sumber: Data Puskesmas Randomayang 135 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Berdasarkan Grafik 3.1, diketahui pada bulan Januari jumlah suspek TB Paru lebih tinggi daripada bulan lainnya. Pada bulan Januari hingga Maret terjadi penurunan total suspek TB Paru yang dilakukan pemeriksaan di Puskesmas Randomayang. Terjadi peningkatan total suspek TB Paru pada bulan April, dari yang semula tidak terdapat suspek TB Paru menjadi tiga orang. Petugas TB Desa Wulai melakukan pencarian dengan menginformasikan kepada para warga apabila ada yang mempunyai gejala batuk lebih dari dua minggu untuk segera dilakukan pemeriksaan. Menurut Fahmi (2005), faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi dua kelompok faktor risiko, yaitu faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan ketinggian). Konstruksi rumah dan lingkungannya yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan (Keman, 2005). Menurut petugas Puskesmas Randomayang kondisi kebanyakan rumah di Desa Wulai tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal itu dapat memicu penularan TB. Kebanyakan rumah di Desa Wulai dihuni oleh satu rumah tangga yang meliputi orangtua dan anak-anak mereka. Dalam satu rumah tangga jumlah anak yang mereka miliki sekitar 4-6 anak. Pada umumnya rumah di Desa Wulai terbuat dari bambu atau kayu. Pada bagian atap rumah terbuat dari daun sagu dan dinding rumah terbuat dari kayu dengan berlantaikan bambu. Berdasarkan pengamatan peneliti, kondisi pencahayaan dalam rumah tergolong kurang baik. Sinar matahari juga tidak sampai 136 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat masuk dalam rumah. Hal tersebut dikarenakan daun rumbia yang menutup keseluruhan rumah. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994). Gambar 3.14. Rumah di Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti 137 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pada umumnya ventilasi pada rumah –rumah di Desa Wulai kurang dari 10 persen luas lantai. Luas ventilasi rumah yang kurang dari 10% dari luas lantai akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberculosis. Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena selalu terjadi pertukaran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan (Fatimah, 2008). Pada umumnya masyarakat Wulai menganggap penyebab penyakit TB Paru disebabkan konsumsi rokok maupun keturunan yang didapat dari orangtua. Mereka menganggap penderita TB Paru yang tidak mempunyai kebiasaan merokok mendapatkan penyakit TB Paru dari orangtuanya yang menderita TB Paru. Misalnya dalam satu keluarga memiliki lima orang anak maka salah satu diantaranya akan mendapat keturunan TB Paru dari orangtuanya, seperti penjelasan informan NO berikut ini: “Umpamanya lima orang bersaudara, satu mengikuti ibunya yang TBC itu. Misalnya saya punya anak tiga maka satu yang kena TBC tidak semuanya kena.” 138 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Senada dengan informan NO, informan YL juga berpendapat penyebab dirinya terkena TB Paru adalah karena keturunan yang didapat dari orangtuanya. Berikut penuturan informan YL: “….TBC itu juga karena keturunan dari orangtua sampai anak-anak sampai cucu begitu terus kalo tidak diobati. Dari situ sudah penyakit turunan menular.” Adapun pengetahuan mengenai gejala TB Paru. Masyarakat Desa Wulai menganggap penderita TB biasanya mempunyai gejala batuk darah dan memiliki perawakan tubuhnya kurus. Mantan penderita TB yaitu DM mengalami batuk selama satu bulan hingga mengalami batuk darah. DM melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan setelah mengalami batuk darah. Senada dengan DM, informan YL mengalami batuk-batuk sebelum didiagnosis TB. Berikut pengakuan informan YL: “Nenteke dowe (batuk tidak putus) biar kita berkeringat itu kalo tidak dikasih minum air tidak berhenti. Baru di tenggorokan gatal dan sempit” Salah satu bentuk upaya untuk menyembuhkan gejala TB Paru seperti batuk ialah dengan meminum obat kampung. Seperti halnya DM meminum daun mayana atau dalam bahasa setempat disebut daun simambu. Daun direbus dengan air hingga mendidih dan diminum sehari tiga kali untuk meredakan batuk. Setelah meminum daun Mayana batuk yang dialami berangsur sembuh dan merasa ada kesembuhan. Berikut pernyataan informan DM, “…tapi memang ada perubahan saya minum obat itu sembuh juga saya rasa.” Selain dengan meminum obat kampung, penderita TB Paru juga mengunjungi topo tawui untuk mengobati penyakitnya. Teknik penyembuhan yang dilakukan dengan cara meniup bagian 139 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 leher hingga dada penderita TB Paru sembari membaca mantera. Topo tawui tidak memberikan ramuan khusus hanya air putih yang ditiup kemudian diminta untuk meminumnya. Biasanya setelah meminum air tiupan topo tawui esok harinya sudah merasa sembuh. Apabila mereka tidak kunjung mengalami kesembuhan setelah minum obat ataupun ditiup oleh topo tawui barulah mereka berobat ke pelayanan kesehatan. Berdasarkan informasi petugas TB di Puskesmas Randomayang, kebanyakan penderita TB di Desa Wulai tidak rutin minum obat. Beberapa upaya dilakukan pihak Puskesmas seperti mengancam penderita TB tersebut untuk mengambil barang berharga yang dimiliki seperti sepeda motor. Hal tersebut dilakukan agar penderita TB tersebut patuh minum obat. Berikut penjelasan RM yang adalah petugas Puskesmas Randomayang: “...karena pasien-pasien disana harus ditakut-takuti seperti itu walaupun sebenarnya obatnya memang gratis. Kalo ndak seperti itu mereka tidak mau. asal enak badannya sudah berhenti.” Pada umumnya pengetahuan penderita TB Paru mengetahui bahwa obat TB tidak boleh lupa diminum namun kebanyakan mereka pernah sesekali lupa meminum obat. Rasa bosan melanda penderita TB manakala diharuskan meminum obat selama enam bulan, seperti penuturan informan NS berikut, “Aih.. bosan itu tetap dipaksa minum itu. Iya pernah itu 1-2 hari saya tidak minum itu. Lupa, dua kotak itu.” Senada dengan NS, penderita TB lain yaitu DM mengaku merasa bosan meminum obat TB. Disamping itu ia juga merasakan efek samping dari obat TB yaitu rasa mual dan pendengarannya berkurang, seperti uraiannya berikut ini: “Iya mual, pokoknya mau muntah begitu. makanya saya sekarang ini sudah agak anu sedikit. Saya tanya dokter 140 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat kenapa saya ini kaya kurang pendengaran. Mungkin ibu kan kena penyakit itu kena dari akibat obat tinggi sekali katanya dosisnya” Meskipun mereka seringkali lupa untuk minum obat namun mereka mengaku telah menyelesaikan pengobatan selama enam bulan. Obat TB Paru mereka peroleh secara cumacuma dari Puskesmas. Sebelum melakukan pengobatan mereka mendapatkan informasi dari petugas kesehatan bahwa obat TB tidak boleh lupa untuk diminum, seperti penjelasan informan YL berikut ini: “Itu obat itu tidak boleh satu hari ditinggal. Kalo ditinggal tidak mempan dia, kalo ditinggal diulang lagi tidak bisa diteruskan jadi jangan lupa itu. Talongu sanggoni raome (tiga tablet satu kali minum).” Namun informan YL menghentikan pengobatan TB Paru pada bulan ke lima dikarenakan hamil. Bidan menyarankan YL untuk menghentikan pengobatan selama hamil. Setelah melahirkan YL hanya disarankan untuk melakukan rontgen di rumah sakit Undata Palu namun karena ketiadaan biaya, YL tidak melakukan pemeriksaan rontgen ke rumah sakit Undata Palu. Menurut petugas Puskesmas Randomayang apabila terdapat kasus TB Klinis yang harus dirujuk hingga ke rumah sakit Undata Palu biasanya masyarakat akan memikirkan mengenai proses rujukannya seperti transport, uang makan dan biaya lain sehingga mereka lebih memilih untuk membiarkan penyakitnya begitu saja. “Belum habis obat saya minum hamil sudah saya, tinggal satu dos saya minum. Begitu bidan kasih tau sama saya. Itu obatmu ada disana tinggal satu dos bagaimana kamu sudah hamil. Tidak boleh memang kalo kita hamil…” (informan YL). 141 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Selain meminum obat TB, mereka juga tidak diperbolehkan merokok. Petugas kesehatan menyarankan penderita TB Paru untuk tidak merokok selama pengobatan TB. Kebiasaan merokok penderita TB Paru yang sudah lama mereka lakukan membuat mereka merasa sulit meninggalkan kebiasaan merokok. Merokok telah menjadi kebiasaan mereka dan untuk meninggalkan kebiasaan merokok tidaklah mudah, seperti pernyataan NS salah seorang penderita TB paru berikut, “Cuma ini rokok dilarang, tidak boleh merokok. Tapi saya tidak bisa dilarang itu merokok tetap merokok.” Setelah penyakit TB Paru mereka sembuh maka supaya tidak kambuh mereka biasa mengkonsumsi obat antibiotika seperti AM apabila mulai merasa flu dan batuk. Obat-obatan antibiotik seperti AM dan AP dijual bebas baik pasar maupun di warung yang terdapat di Desa Wulai. AP merupakan antibiotik yang saat ini sudah tidak tersedia di Puskesmas bisa mereka dapatkan di warung. Masyarakat mengenal obat AP sebagai obat yang dapat digunakan untuk penyembuhan luka. Sedangkan AM biasa mereka minum untu menyembuhkan batuk. Antibiotik biasa dijual seribu rupiah per tablet. “…misalnya kalo sudah ada kelainan begitu. saya sekarang saya punya obat itu Amoxilin kan itu antibiotiknya. Kalo saya sudah agak rasa mau flu begitu apalagi kalo mau batuk begitu minum. Kan begitu petunjuk dokter to, minum obat Amoxilin saja tidak usah obat sembarang…”(informan DM). Selain itu dilakukan pula upaya pencegahan agar tidak penyakit TB Paru tidak dapat menurun ke anak cucunya. Salah satu bentuk pencegahan yang dilakukan yaitu dengan memisahkan peralatan makan penderita dengan orang yang sehat. Setelah dinyatakan negatif TB, DM menguburkan semua peralatan makan yang telah dipakainya selama sakit. 142 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Selain TB Paru masyarakat juga mengenal penyakit menular lain seperti kusta. Mereka mengetahui penyakit kusta setelah mengetahui salah seorang warganya menderita kusta. Menurut mereka dahulu memang ada satu penderita kusta di Desa Wulai namun sekarang dia sudah pindah dan tinggal di desa lain. Stigma bagi penderita kusta di masyarakat terihat dari bagaimana mereka memperlakukan penderita kusta. Masyarakat cenderung akan menjauhi penderita bahkan menganggap penderita kusta harus ditempatkan dirumah sendirian atau diisolasi agar kuman tidak menyebar. Mereka bahkan tidak mau meminjamkan peralatan makan seperti piring, gelas, dan belanga kepada penderita kusta. Kebanyakan masyarakat menganggap kusta merupakan salah satu penyakit menular yang lebih berbahaya daripada TB Paru. Menurut masyarakat Desa Wulai, kusta merupakan suatu keadaan ketika anggota tubuh seperti jari tangan, kaki atau bagian tubuh lain tidak sempurna seperti terputus. Mereka menganggap kusta disebabkan oleh karena kuman dan penularannya dapat terjadi secara cepat. Kuman kusta dapat menyebar dalam satu ruangan tidak sampai satu jam. Kebanyakan masyarakat menganggap apabila ada penderita kusta yang bermukim dan mandi disungai bagian hilir maka kuman kusta dapat naik keatas mengenai orang yang mandi di hulu sungai. “Menular itu cepat sekali, kalo kita duduk-duduk begini dia punya kutu/kuman sudah jalan-jalan. Tidak cukup itu satu jam, kalo kusta itu hati-hati,” (informan YL). “Kalo kusta itu katanya kalo kita mandi diatas sedangkan dia mandi dibawah naik keatas itu kumannya. Kalo dibawah tidak apa itu asal jangan diatas. Saya tanya 143 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kenapa bisa begitu, dia bilang begitu sudah.” (informan DM). 3.4. Penyakit Tidak Menular Penyakit tidak menular saat ini menjadi masalah kesehatan yang cukup serius. Penyakit tidak menular (PTM) menyumbang hampir (60%) kematian di dunia dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 PTM merupakan penyebab kematian (73%) dan seluruh kesakitan (60%) di dunia (WHO, 2013). Perubahan pola struktur masyarakat, khususnya masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil pada perubahan pola fertilitas, gaya hidup, sosial ekonomi yang pada gilirannya dapat memacu meningkatnya penyakit tidak menular (Arisman, 2010:1). 3.4.1. Hipertensi Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi permasalahan kesehatan yang serius saat ini. Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, diabetes dan lain-lain (Syahrini, dkk., 2012). Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang masuk dalam sepuluh penyakit terbanyak di Desa Wulai. Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal dengan sebutan nopaponera atau napone vonda yang artinya darah naik ke atas. Menurut masyarakat, penyebab darah tinggi adalah karena banyak pikiran atau emosi (nagau). Biasanya orang yang mengalami tekanan darah tinggi akan cenderung sering marahmarah. 144 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Masyarakat juga beranggapan penyakit darah tinggi dapat disebabkan karena terlalu banyak memakan ikan yang mengandung banyak darah. Ikan besar dianggap mengandung banyak darah seperti sedangkan ikan kecil-kecil tidak terlalu banyak darah. Apabila ikan besar seperti ikan cakalang dikonsumsi dipercayai dapat membuat tekanan darah menjadi tinggi. Masyarakat Wulai berpendapat penderita hipertensi memiliki pantangan makanan yang tidak boleh dimakan. Penderita hipertensi tidak boleh makan terlalu banyak garam dan sayur-sayuran seperti daun bayam, daun ubi, dan sayur kangkung. Selain itu buah-buahan yang rasanya asam seperti mangga dan langsat juga tidak boleh dikonsumsi penderita hipertensi. Penderita hipertensi juga tidak boleh terlalu banyak minum kopi dan merokok. Pantangan makanan membuat penderita tekanan darah tinggi lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Seharihari tidak jarang mereka hanya makan nasi dan sambal. Kebiasaan yang tidak bisa dihindari penderita tekanan darah tinggi ialah kebiasaan minum kopi dan merokok. Seperti halnya MM yang memiliki kebiasaan minum kopi lima gelas sehari dan tidak dapat meninggalkan kebiasaan merokoknya. Menurutnya bekerja tanpa merokok membuat perasaannya tidak enak. MM mengalami tekanan darah tinggi sejak tujuh tahun yang lalu. Tekanan darah sistol yang biasa ia alami berada pada kisaran 130-160 mmHg. Menurut MM tekanan darah sistol normal berada pada kisaran 120 mmHg. Pada awalnya gejala yang timbul akibat darah tinggi adalah sakit kepala (ju’a vo’o). Ketika ia merasakan gejala hipertensi maka ia meminta bantuan ayahnya yang adalah topo tawui. Teknik penyembuhan yang dilakukan adalah dengan meniup bagian kepala sambil memijat bagian pelipis dan dahi sembari mengucapkan mantera (dowa), 145 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 seperti penuturan MM berikut, “Itu dulu bisa sembuh kalo ditiup saya punya papa itu yang betiup sedangkan sekarang ini papa sudah meninggal.” Selain diobati oleh topo tawui mereka juga menggunakan obat kampung yang digunakan masyarakat untuk meringankan sakit kepala saat tekanan darah tinggi muncul yaitu meminum daun sumpiku yang direndam dengan air panas selama satu sampai lima menit. Air rendaman daun sumpiku diminum tiga kali sehari sehabis makan. Menurut MM bidan juga menyarankan untuk meminum obat kampung berupa air rendaman daun kelalo dengan air panas kemudian diminum tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore. Apabila sakit kepala yang dirasakan tidak terlalu hebat, MM hanya meminum obat kampung saja. Sedangkan jika sudah merasakan gejala sakit kepala yang cukup hebat disertai rasa tidak enak badan maka MM biasa menyuruh anggota keluarganya untuk membeli obat di Poskesdes. Ia menganggap sakit kepala yang hebat dikarenakan tekanan darahnya sedang naik. Ia biasa membeli obat seharga lima ribu rupiah per enam tablet. Sudah dua kali MM tidak sadarkan diri ketika sakit kepala. Menurut MM hal tersebut dipicu oleh banyaknya pikiran sehingga tekanan darah sistol (TDS) mencapai 170 mmHg, untuk menghindari pingsan akibat tekanan darah naik maka MM pergi berkebun. Menurutnya dengan berkebun maka ia bisa sedikit melupakan masalah yang sedang dialaminya. Ia lebih memilih untuk pergi berkebun daripada hanya berdiam diri dirumah. 3.4.2. Diabetes Mellitus Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa (gula) dan lipid (lemak), disertai oleh komplikasi kronik penyempitan pembuluh-pembuluh darah, 146 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dengan akibat terjadinya kemunduran fungsi sampai dengan kerusakan organ-organ tubuh (Darmono, 2005). Diabetes Mellitus atau penyakit kencing manis dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan na ju’a na pere pere. Merupakan suatu keadaan atau kondisi dengan gejala air kencing yang keluar sedikit-sedikit dan apabila keluar akan terasa sakit. Menurut mereka hal itu dikarenakan terlalu banyak minum yang mengandung gula. Apabila masyarakat mengalami hal tersebut maka biasanya akan segera mengunjungi topo tawui untuk segera dilakukan pengobatan. 3.4.3. Penyakit Gondok Penyakit gondok merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan pembengkakan pada leher yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid. Kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Penyakit gondok sering terdapat di daerah-daerah yang sumber air minumya kurang mengandung yodium. Dampak penyakit gondok terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. (Darmayanti, 2012). Masyarakat Kaili Da’a Wulai menyebut penyakit gondok dengan sebutan naponte. Pada umumnya masyarakat menganggap penyakit gondok disebabkan karena kebiasaan makan langsung dari belanga. Penyakit gondok dialami sebagian kecil masyarakat salah satunya ibu ME. Sudah hampir sepuluh tahun ME mengalami naponte namun ME tidak mengetahui apa penyebab penyakit yang dideritanya. Pada awalnya sakit yang dialami hanya berupa benjolan kecil di leher yang seiring dengan berjalannya waktu mengalami pembesaran. Salah satu upaya yang dilakukan ibu ME untuk menyembuhkan penyakit gondok adalah meminum obat yang dijual oleh pedagang obat keliling. 147 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Harga obat tersebut Rp 285.000 dan sudah tiga kali ia konsumsi namun sampai saat ini tidak membuahkan hasil. ME pernah berkonsultasi ke bidan mengenai penyakitnya, ia bertanya ke bidan apakah bidan dapat menyembuhkan penyakitnya, jika tidak maka menurutnya sia-sia saja ia berobat. Bidan menjelaskan untuk menyembuhkan penyakitnya ME harus dioperasi. Namun biaya operasi yang cukup besar membuat ME tidak bersedia untuk dioperasi. Berikut ungkapan informan, “Pernah tanya ke bidan kalo disana mampu ataukah tidak, kalo tidak mampu ya mau diapa daripada sia-sia.” 3.4.4. Penyakit Jantung Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2010, penyakit jantung merupakan penyebab kematian di urutan pertama (48%). Lebih dari sembilan juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun. Penyakit jantung koroner merupakan suatu kondisi adanya plak di dinding sebelah dalam pembuluh darah koroner sehingga terjadi penyempitan dan kekakuan pembuluh darah yang akan mengurangi aliran darah ke otot jantung. Plak ini terbentuk dari lemak, kolesterol, kalsium dan substansi lain di darah (http://www.nhlbi.nih.gov). Pada umumnya masyarakat Wulai tidak mengetahui penyebab penyakit jantung (ju’a sule). Biasanya orang yang sakit jantung merasa sakitnya berawal dari sakit maag yang mereka alami. Biasanya tidak ada penegakan diagnosa dari tenaga kesehatan mengenai sakit jantung yang dialami. Mereka hanya menyimpulkan dari gejala yang dialaminya berupa sakit pada bagian dada sebelah kiri. Seperti pengalaman informan PW, ia mengalami sakit yang gejalanya mirip serangan jantung pada pukul tujuh malam. Saat itu keluarganya menyarankan untuk datang ke topo tawui. Kemudian topo tawui meniup seluruh 148 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat badan terutama pada bagian dada, ia pun berangsur sembuh. Menurutnya jika tidak ada topo tawui mungkin saat itu ia sudah meninggal. Berikut pernyataan informan PW: “Ah..pernah itu setelah jam tujuh malam kena penyakit itu kalo tiada orangtua (topo tawui) begini (batiup) mungkin malam itu juga meninggal.” Biasanya orang yang berobat ke topo tawui akan diberitahu pantangan yang tidak boleh dilakukan agar penyakit tidak kembali lagi. Untuk penyakit jantung, topo tawui memberikan pantangan tidak boleh memakan jantung babi. Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga mempercayai apabila seseorang memiliki penyakit jantung tidak boleh keluar rumah pada pukul enam sore, seperti halnya penuturan informan PW berikut ini: “…kena sakit jantung begitu biasa itu jam-jam enam sore jangan keluar lagi. Kecuali sudah jam tujuh malam bisa keluar. Kalo jam enam itu kan matahari sudah terus terbenam tidak bisa lagi anak-anak keluar karena menjaga penyakit itu. Karena orangtua bilang begitu.” 149 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 150 BAB 4 HEMBUSAN TOPO TAWUI DALAM PERSALINAN 4.1. Latar Belakang Salah satu indikator pencapaian MDGs yang keempat adalah penurunan angka kematian bayi sebesar 23 per seribu kelahiran hidup. Namun pada saat ini berdasarkan SDKI (2012), Angka kematian bayi (AKB) hanya sedikit mengalami penurunan dari pencapaian tahun 2007, yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2013). Kematian bayi baru lahir merupakan suatu bentuk hambatan dalam penurunan kematian anak untuk lebih lanjut (Unicef, 2012). Salah satu Kabupaten di Indonesia yang memiliki AKB yang cukup tinggi adalah Kabupaten Mamuju Utara yaitu sebesar 16.6 per 1000 pada tahun 2012 kelahiran hidup atau 43 dari 2.598 kelahiran hidup. Pada tahun 2013 AKB menurun menjadi 5 per 1000 kelahiran hidup. Namun pada tahun 2013 angka bayi lahir mati naik menjadi 16 per 1000 kelahiran hidup dari sebelumnya 15,5 per 1000 kelahiran pada tahun 2012 (Profil Dinkes Mamuju Utara, 2012). Tingginya kasus kematian bayi juga terjadi di Desa Wulai. Pada tahun 2014 dari awal tahun sampai dengan bulan Juni 2014 telah terjadi dua kasus bayi lahir mati dan dua kasus kematian neo natus. Ketiga kasus terjadi dalam waktu tiga bulan yaitu 151 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Januari sampai Maret 2014. Satu kasus lainnya terjadi ketika penelitian berlangsung yaitu pertengahan bulan Juni 2014. Melihat tingginya kasus kematian bayi di Desa Wulai maka dalam bab ini peneliti akan secara khusus membahas mengapa kasus ini dapat terjadi. Pembahasan akan mempergunakan dua perspektif yaitu perspektif emik dan etik. Menurut Koentjaraningrat (1982: xviii-xix dalam http://www.unr.ac.id) pandangan emik adalah pandangan tentang kebudayaan sendiri dari warga masyarakat yang bersangkutan yang merupakan pandangan dari dalam. Sedangkan pandangan etik adalah pandangan yang dikuasai oleh nilai-nilai, norma-norma dan teori-teori ilmiah yang merupakan pandangan dari luar. Selanjutnya akan dibahas potensi dan kendala yang ada pada masyarakat Wulai khususnya Etnik Kaili Da’a untuk mengatasi permasalahan tersebut. 4.2. Kasus Kematian Bayi Kasus Kematian Bayi Ibu Sari Sari (bukan nama sebenarnya), sulung dari tiga bersaudara saat ini genap berusia 23 tahun. Sari adalah salah satu warga Desa Wulai yang sempat merantau untuk mencari pekerjaan di luar desa. Pada tahun 2009, saat ia berusia 18 tahun, ia menikah. Pernikahan Sari dilakukan di Gorontalo dan tanpa dihadiri pihak keluarga Sari. Ketika menikah Sari berpindah agama mengikuti agama suaminya. Setelah menikah ia tinggal bersama suaminya di Gorontalo selama sembilan bulan. Pekerjaan suaminya yang berpindah-pindah membuat ia sering berpindah tempat tinggal dari satu kota ke kota lainnya. Ia pernah tinggal di Kota Ambon selama beberapa waktu. Moda transportasi kapal laut mereka gunakan untuk menuju kesana. 152 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Setelah tinggal di Kota Ambon, Sari dan suaminya pindah ke Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara. Setelah beberapa tahun menikah tepatnya ketika pernikahan mereka menginjak tahun keempat, Sari pun hamil. Namun ketika hamil Sari menghadapi masalah rumah tangga dengan suaminya sehingga ia memutuskan meninggalkan suaminya yang pada saat itu masih bertugas di Ternate. Ia memutuskan pulang ke rumah orangtuanya di Desa Wulai. Sari pun pulang seorang diri ke Desa Wulai dalam kondisi hamil muda dengan menggunakan transportasi kapal laut. Ia pulang ke Desa Wulai tanpa membawa surat-surat berharga seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, surat nikah, Jamkesmas. Sari pun tiba di Desa Wulai, ia kemudian tinggal kembali bersama kedua orangtua dan saudaranya. Aktivitas sehari-hari yang biasa ia lakukan adalah menjaga warung. Warung tersebut menjual keperluan rumah tangga dan makanan ringan. Rumah Sari terletak di pinggir sungai perkampungan Pinora’a di Dusun Watubete. Lokasi rumah Sari cukup strategis, karena merupakan pintu masuk menuju pabrik batu. Setiap harinya rumah Sari dilewati oleh truk PT. Pasako Utama Jaya (Pasakora). Seringkali para supir truk singgah di warung Sari untuk membeli rokok. Pada siang hari beberapa rumah di Pinora’a yang terletak dekat pabrik mendapat aliran listrik dari pabrik. Rumah Sari merupakan salah satu rumah yang mendapat aliran listrik pada siang hari. Sari biasanya menonton televisi sembari menjaga warung miliknya pada siang hari. Aktivitas menonton televisi ia lakukan sambil tidur. Pada saat trimester terakhir kehamilannya, seringkali peneliti menjumpainya di warung sedang berbaring menonton televisi. Ia sering terlihat memakai koyo yang ia tempelkan di dahinya, sesekali menghirup aroma balsam untuk meringankan sakit kepala. Menurut tetangganya, selama hamil Sari tidak pernah bekerja di kebun, sehari-hari ia lebih banyak 153 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menjaga warung. Keluarganya memberikan perhatian selama ia hamil termasuk suaminya walaupun hanya lewat sms atau telepon. Suaminya sedang bekerja di Ternate dan tidak dapat menemaninya selama hamil, terkadang Sari juga tidak perduli dengan sms yang dikirim suaminya, seperti penuturannya berikut, "...malas saya itu. kalo dia sms kemari ah..cuek saya... Tidak tau kah nanti saya melahirkan kah tidak." Pada saat hamil ia tidak mengidam yang macam-macam. Ia hanya mengidam buah dengan rasa masam, selama hamil ia tidak berpantang makanan. Sehari-hari ia makan dua kali sehari dengan menu nasi dan sayur. Salah satu bentuk upaya dalam menjaga kehamilan ialah dengan memeriksakan kehamilan ke pelayanan kesehatan. Selama hamil ia mengaku tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke bidan. Adapun salah satu alasannya karena takut disuntik. Ia mengaku sejak kecil tidak pernah disuntik. Seringkali ia menutupi perutnya dengan sarung agar tidak disuruh untuk pergi ke bidan. Saat berbelanja keperluan di pasar ia bertemu dengan bidan. Saat itu bidan menanyakan alasannya tidak pernah memeriksakan kehamilan. Bidan juga memperingatkannya apabila ia tidak pernah periksa kehamilan maka bidan tidak mau membantu Sari saat melahirkan. Sari tidak terlalu memperdulikan ucapan bidan, ia mengatakan, “buat apa cari-cari bidan”. Hal itu dikarenakan ia memang berencana untuk melahirkan di rumah dengan bantuan topo tawui. Oleh sebab itu ia tidak berniat untuk memeriksakan kehamilannya ke bidan. Menurutnya tidak hanya bidan saja yang bisa membantu menolong persalinan. Terlebih ia juga mempunyai mertua seorang dukun yang malang melintang di Gorontalo. Ada juga pasien rujukan dari RS yang mendatangi mertua Sari, dikarenakan ketiadaan biaya untuk perawatan lebih lanjut seperti operasi. Jadi untuk apa harus meminta bantuan 154 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat bidan. Ia juga mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan apabila bersalin di fasilitas kesehatan. Sabtu Malam tepat tanggal 7 Juni 2014 Sari mulai merasakan rasa sakit pada bagian perut seperti mau melahirkan. Pada saat itu ia ditemani keluarga yaitu ayah, ibu dan saudaranya di rumah. Keluarga Sari memberitahukan pada suami Sari bahwa istrinya akan melahirkan. Besar harapan keluarga agar suaminya pulang untuk memberikan dukungan pada Sari. Namun sayang suaminya tidak datang selama proses persalinan berlangsung. “…suami Sari di Ternate, sedangkan dia disana dipanggil kesini tidak mau dia.” Meskipun tidak didampingi suami namun keluarganya selalu menemani Sari. Pada hari ke-empat, barulah keluarganya memanggil topo tawui. Hal itu dikarenakan Sari mulai tidak tahan dengan rasa sakit perut yang dialaminya, seperti penuturan papa Sari berikut ini: “….mulai (sakit perut) hari sabtu itu nanti kamis pagi baru melahirkan. Namanya manusia begitu memang ada yang menderita. Nanti mulai malam rabu itu saya panggil neneknya…(topo tawui)”. Topo tawui datang ke rumah Sari untuk membantu persalinannya. Ia meniup kepala dan mengusap punggung Sari sambil meniup dan membacakan mantera untuk memperlancar proses persalinan. Pada saat membantu menolong persalinan, topo tawui tidak pulang sama sekali dan menunggu hingga bayi lahir. Seperti halnya saat menolong persalinan Sari, ia tidak pulang sama sekali ke rumahnya. Menurut topo tawui Sari susah melahirkan dikarenakan perbuatannya kepada orangtuanya yang dirasa kurang sopan. Menurutnya Sari memperlakukan kedua orangtuanya layaknya kakak adik. Dalam berbicarapun tidak ada sopan santunnya. Menurut topo tawui pantangan perbuatan selama hamil salah 155 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 satunya ialah harus menghormati orangtua dan tidak boleh memperlakukan mereka layaknya seorang teman. Apabila hal itu dilanggar maka dapat menyebabkan persalinan sulit. Topo tawui mengalami kesulitan saat membantu persalinan Sari. Namun ia tidak membuatkan adat untuk memperlancar persalinan Sari. Hanya tiupan dan mantera yang ia berikan pada Sari. Keesokan harinya Pada hari Rabu, 11 Juni ia meminta keluarga Sari untuk memanggil bidan. Sekitar pukul sembilan pagi keluarga Sari memanggil bidan, namun bidan baru datang kerumahnya pada sore hari, seperti uraian Sari berikut ini: "Sambung saya punya ipar, tidak mau itu dia itu. Bagaimana itu dia kasih tau. Mana itu bidan, tidak kemari?, kemudian bidan baru datang jam lima.” Senada dengan Sari, mama Sari membenarkan kejadian tersebut. Menurutnya bidan capek sehingga tidak bisa segera ke rumah Sari, "Datang panggil bidan tidak datang, nanti sore jam 4 baru dateng. Apa dia bilang katanya capek." Selain itu menurut salah seorang tetangga Sari salah satu penyebab keterlambatan bidan datang ke rumah Sari dikarenakan ia tidak pernah periksa ke bidan sama sekali. Setelah bidan datang ke rumah Sari, ia kemudian memeriksa kondisi Sari. Pada saat itu bidan juga memberikan infus untuk Sari. Pada saat itu bidan tidak mampu menangani Sari. Oleh sebab itu bidan menyarankan Sari untuk segera di rujuk ke RS AKO. Orangtua Sari sempat meminta bidan untuk merujuk langsung ke Palu. Namun hal itu tidak dapat dilakukan karena menurutnya Sari masih bisa ditangani di RS AKO. Untuk meminimalisir biaya persalinan yang harus dikeluarkan selama dirujuk, keluarga Sari meminjam kartu jamkesmas dan KTP pada tetangganya. Mereka berharap dengan 156 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat meminjam kartu dapat meringankan biaya rumah sakit. Hal tersebut dikarenakan Sari meninggalkan surat-surat penting seperti KTP dan jamkesmasnya di Ternate, seperti penjelasan ibu dari Sari berikut ini: “…disini baku pinjam atas nama gitu, pake punya mama Lilis… Sari inderia Jamkesmasnya naboli di Ternate Jamkesmasnya (Sari tidak ada jamkesmasnya tertinggal di Ternate Jamkesmasnya)." Berkas yang dipinjam seperi KTP dan kartu jamkesmas ia fotokopi untuk dibawa ke RS AKO. Merujuk pasien dari Desa Wulai tidaklah mudah mengingat kondisi geografis yang terkadang sulit untuk dilalui. Pada umumnya setiap dusun dipisahkan oleh sungai. Apabila musim hujan arus sungai menjadi deras dan sulit untuk dilalui moda transportasi. Ketiadaan jembatan sebagai penghubung antar dusun juga menjadi salah satu kendala untuk menuju dusun lain terlebih bila harus keluar desa. Seperti halnya Sari yang harus dirujuk ke RSUD Kabupaten Mamuju Utara (RSUD AKO). Sebelum di bawa ke RSUD AKO bidan menelpon ambulans. Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengganti uang bensin ambulans ke RSUD AKO sebesar 150 ribu rupiah untuk sekali jalan. “Dibayar semua itu 150 ribu. Dari bendungan lain juga itu 150 ribu.” Ambulans tidak dapat menjemput Sari di rumahnya yang terletak di Dusun Watubete, ambulans menunggu di bendungan Dusun Ujung baru dikarenakan tidak dapat melewati arus sungai. Untuk menuju Dusun Ujung baru dari Dusun Watubete ditempuh dengan melewati Sungai Wulai dan Sungai Ujung baru. Oleh karena itu tetangga Sari meminta bantuan truk pabrik untuk mengantarnya ke Dusun Ujung baru. Mengangkat ibu hamil ke atas truk tidaklah mudah namun Sari tinggal di rumah tinggi yang memudahkannya dipindahkan ke dalam truk. 157 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Aih..setengah mati, banyak kami kasih naik itu, pokoknya sekitar lima orang kami diatas baru berapa orang dibawah, dorong di bawah.” (Informan Ka, Saudara Sari) Sari dibawa ke RS AKO pada hari Rabu, 11 Juni 2014 sekitar pukul 18.00. Sari yang sedang dalam kondisi lemah duduk dibelakang supir. Bersama kedua orangtuanya, paman, topo tawui dan bidan mereka turut mengantar Sari ke RS AKO. Keluarga mengajak serta topo tawui dengan harapan topo tawui dapat membantunya mengambil keputusan. Setelah naik truk pasakora menuju ke Dusun Ujung baru. Rupanya ambulans sudah menunggu di bendungan Dusun Ujung baru. Perjalanan dari Desa Wulai menuju RS AKO ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. “Naik mobil Pasakora jam 6, baru tinggi juga. diangkat dari warung kemudian ditaruh dibelakang sopir. Ambulans menunggu di bendungan.” (Nanto, Tetangga Sari) Sesampainya di rumah sakit. Sari ditangani oleh petugas di RS AKO. Ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan mereka saat memeriksanya. Menurutnya mereka kurang sopan dikarenakan mereka memeriksa sambil tertawa. Selama dirawat di RS ia mendapatkan dua infus. Pada saat ia pulang, ia tidak mendapat obat, suntikan dan lain-lain. Ia pun diminta membayar untuk dua infus sebesar 250 ribu rupiah. Berikut seperti halnya penuturan Mama Sari, "…berapa jam memang itu. Baru infus dicabut semua. Baru berapa infus saya bayar 250 ribu cuma satu jam tiada kasih obat.” Tak lama berselang, keluarga Sari mendapat informasi bahwa ia tidak dapat melahirkan di RS AKO dengan alasan belum cukup bulan untuk melahirkan. Padahal menurutnya sudah 158 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat hampir 10 bulan ia mengandung. Mereka memberikan batasan waktu untuk segera membawa Sari ke Palu. "Pas turun dari mobil sampe sana sudah pulang itu ambulans itu yang kita naik dari sini kasih tau itu tidak mampu disini. Dia bilang “Eh jangan melahirkan disini, kalo terjadi apa-apa tidak bertanggung jawab” soalnya bayinya masih anu belum apa itu belum genap bulan." (Sari). “Disini pak jam 9 batasnya disini, kalo jam 9 kalo ada apa-apa lagi kita punya risiko itu bukan kami lagi. Saya tanya lagi itu jam 9 kapan besok? Bukan jam 9 sekarang ini, gelisah sudah saya punya hati ini.” (Papa Sari) Dikarenakan RS AKO tidak mampu menangani maka mereka meminta pihak keluarga Sari untuk menandatangani persetujuan. RS AKO juga tidak bertanggung jawab apabila terjadi apa-apa dengan Sari bila lewat dari jam sembilan malam. Kala itu keluarga Sari seolah dalam kebimbangan. Pertimbangan demi pertimbangan mulai dipikirkan. Persoalan mengenai biaya yang harus dikeluarkan menjadi pemikiran utama mereka. Mulai dari uang pengganti bahan bakar ambulans ke Palu yang mencapai Rp. 850 ribu untuk sekali jalan. Terlebih Sari tidak mempunyai kartu Jamkesmas. Pengalaman dari orang lain pun juga turut menjadi pertimbangan mereka. “Oo kalo jadi ke Palu itu berpikir anu itu. Sedangkan dari sini sekitar 850 sekali jalan, sedangkan disana belum tentu itu kartu tidak ada, tidak lengkap apalagi orang Tosonde pergi ke Palu sudah lengkap bayar 2,5 juta itu…” (Papa Sari) 159 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Mereka juga meminta saran topo tawui bagaimana baiknya. Topo tawui menyarakan untuk membawanya pulang ke rumah. Berikut seperti halnya penuturan papa Sari: “...tinggal sudah mau tanda tangan itu waktu mau pigi ke Palu. Cuma saya batolak itu, bapikir itu lama saya berpikir itu Saya tanya ke kakak, bagaimana itu kalo kamu ikut saya ke Palu. Tidak tahan saya dia bilang baru bawa ke atas saja (pulang ke desa).” Akhirnya mereka memutuskan untuk membawa Sari pulang. Petugas rumah sakit menyayangkan kondisi ini. Dia mengatakan “hai na rugi komi manjili, kasian anak itu manjili (hei rugi kamu kalau pulang. Kasian itu anak kalo pulang)". Pertimbangan biaya menjadi satu alasan Sari tidak dibawa ke Palu. Apabila harus dibawa ke Palu keluarga juga harus memikirkan biaya lain yaitu uang untuk mereka makan selama disana, seperti halnya penuturan Mama Sari berikut, “Biar jo, baru ditanya berapa ambulans pergi menuju ke Palu Rp. 850 perginya, belum uang makannya, belum apanya.” Sebelum pulang mereka mengurus administrasi atau biaya perawatan selama di rumah sakit. Saat itu mereka menunjukkan kartu Jamkesmas yang dipinjam dari tetangganya. Sayang harapan untuk mendapat perawatan gratis dengan menunjukkan kartu Jamkesmas tidak mereka dapatkan. Hal itu dikarenakan Jamkesmas yang mereka bawa bukanlah milik Sari melainkan pinjam dari tetangganya. Berikut penuturan mama Sari: “Tiada terima, dikomputer semua. Tidak bisa kalo tidak ada KTP nya. Diliat sama mukanya baru diliat semua muka baru ditau sudah mukanya ini namanya ini. Jangan memang dicoba-coba. Kalo mau dicuri jangan memang, tidak bisa itu dicuri. enta lenje e nentani la lenje, e nulina inde sangana e lenje e sangana (dilihat mukanya tidak 160 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat sama, ini bukan namanya. Lain muka lain namanya). Apalagi pake mencuri, terima kasih. Biar dimana kamu sudah tau semua.” Akhirnya keluarga Sari membayar biaya perawatan rumah sakit. Total biaya yang dikeluarkan untuk merujuk Sari tanpa jamkesmas ialah 550 ribu rupiah. Dengan rincian 250 ribu biaya perawatan di RS dan 300 ribu biaya ambulans pulang pergi. Hal itu pula yang mendukung keputusan untuk membawanya pulang, seperti uraian Mama Sari berikut ini: “Lebih baik age manjili. mana mo. inde na mampu Palu. Manjili. Melau di Palu doi inderia. Manjili.” (lebih baik segera pulang, tidak bisa. Tidak mampu di Palu. Pulang. Pergi ke Palu uang tidak ada. Pulang). Setelah menyelesaikan pembayaran mereka kembali pulang dengan diantar ambulan. Awalnya ambulan hanya mau mengantar sampai di bendungan Dusun Ujung baru. Hal tersebut dikhawatirkan bila mobil ambulan mogok saat melewati sungai. Pada saat itu air sungai hanya mencapai lutut. Marah dan kecewa Papa Sari rasakan saat itu, seperti penuturan saudara Sari berikut ini: “Maunya dia kasih turun di bendungan marah sudah bapak Sari. Bagaimana kamu kalo kasih turun disini dorang sakit begitu tidak bisa jalan, kami pake apa antar mereka begini. Dia paksa sudah sampai disni. Maunya dia kasih turun disana disebrang koala baru dia pulang.” Hal itu membuat papa Sari dalam kebingungan dan mulai mencari jalan keluar. Membawa ibu hamil menyebrangi sungai pada malam hari tidaklah mudah. Akhirnya ia meminta bantuan operator alat berat untuk mengangkat ambulan apabila mogok di sungai. Berikut penuturan Papa Sari: 161 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Sedangkan satu yang terakhir yang mau naik itu saya paksa dia itu. Tdak mau lagi dia baku bantah lagi itu kita, saya kasih bangun itu orang basecamp disitu, kalo ternanam mobil kita bantu dulu, air cuma sampai lutut tidak mau dia.” Akhirnya ambulans pun mau mengantar Sari. Pada saat itu keluarga Sari tidak langsung membawanya pulang ke rumah. Mereka mampir ke Poskesdes Wulai untuk meminta pertimbangan bidan bagaimana baiknya. Namun sayang rasa kecewa kedua kalinya mereka alami. Pada saat itu mereka tidak bisa menemui bidan di Poskesdes dikarenakan bidan bermalam dikebunnya. “Sampai dibawa disitu (Poskesdes) dikampung ditanya bidan dimana bidan tiada disini dikebun saja. Astaga.. lebih baik pulang saja. Kalo tidak mampu bidan bawa pulang saja.” (Mama Sari) Pukul sepuluh malam Sari baru sampai dirumahnya. Keluarga Sari agaknya menyesal karena sudah membawa Sari ke AKO tetapi tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya merekapun kembali pulang dalam kondisi Sari belum juga melahirkan. Uang yang mereka keluarkan juga tidaklah sedikit. Merekapun telah mengalami kelelahan fisik setelah lima hari merawat Sari dirumah. Berikut penjelasan Papa Sari: “Aih... lebih baik di rumah sendiri saja kalo begitu. cuma itu sore-sorenya bidan datang itu bilang lebih baik datang ke AKO saja jangan bertahan disini. Kalo tidak kesana itu tetap disini. Cuma disuruh tidak enak juga, tidak juga bisa menolak kita tugasi di kampung juga.” Sesampainya di rumah, rasa sakit di perut Sari semakin menjadi. Topo tawui berusaha membantunya untuk melahirkan. Tiupan demi tiupan diberikan pada Sari. Ia merasakan lelah 162 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dikarenakan tidak beristirahat terlebih ditambah menemani Sari ke rumah sakit. Hingga akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk pulang sebelum Sari melahirkan. Berikut pernyataan saudari Sari berikut ini: "...sedangkan itu Pak Li menyerah juga dia, belum melahirkn dia sudah pulang itu, sekitar jam dua dia pulang. Tidak mampu lagi dia itu." Topo tawui juga manusia. Sebagai layaknya manusia ia pun mempunyai keterbatasan. Ia menyerah dan meninggalkan Sari dan keluarganya. Disaat Sari akan melahirkan, saat itu juga ia pulang. Tinggallah Sari, keluarga dan saudaranya yang masih bertahan menunggu Sari. Apabila pada kebanyakan persalinan di rumah dilakukan dengan duduk diatas bangku kecil. Namun, dikarenakan kondisi Sari yang semakin lemah. Ia melahirkan sambil tidur atau berbaring. Saat itu tidak banyak lagi yang menemaninya saat melahirkan. Hanya kedua orangtuanya, pamannya dan sesekali saudaranya menengok ke rumah Sari. Tidak ada tiupan atau mantera yang diberikan pada Sari. “Cuma begitu saja diliat-liat begitu saja. dikasih biar begitu saja. Cuma kuasa Tuhan saja…” Sekitar pukul tiga dini hari ia melahirkan bayi perempuan. Kemudian dengan cekatan Pak Ijak yang merupakan paman Sari memotong tali pusar bayi. Pada saat lahir bayinya tidak menangis. Tampak kulit bayi berwarna kuning. Bayinya sempat bernafas meski hanya sesaat. “Ada sedikit itu, barangkali tidak cukup lima menit baru mukanya kuning-kuning. Kata dokter disana masih kurang bulan. Kalo kami disini kalo sudah ada kukunya berarti udah cukup.” (Papa Sari) Dan kini bayi perempuan itu telah meninggal. Bayi Sari yang belum diberi nama itu dibungkus dengan menggunakan 163 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kain sebelum akhirnya dimakamkan. Menurut masyarakat apabila bayi mati ketika usia kandungan diatas tujuh bulan, maka akan dimakamkan disamping rumah. Berbeda halnya apabila bayi yang mati karena keguguran. Berikut seperti halnya penuturan JS berikut ini: "Disini kalo anak kecil lahir umpama lahir mati dikubur pinggir rumah, kalo baru gugur enam bulan atau tujuh baru dibawah rumah." Cucu pertama yang mereka dambakan telah meninggal. Pun demikian dengan Sari, ia tidak sedih maupun menangis ketika mendapati bayinya telah tiada. Hal itu dikarenakan sudah menjadi ajal bagi bayinya. “Menangis-menangis makin pusing, terakhir kita juga yang ikut bayi. Biar kita menangis mana mungkin hidup ulang, paling-paling kita tidak tau janjinya entah itu pagi atau siang, kalo mati dibunuh baru menangis. kalo mati diambil Tuhan tidak bisa menangis." (Sari) Sari dan keluarganya sudah pasrah dengan meninggalnya bayi Sari. Kalaupun keluarga Sari mengikuti perintah petugas di RS AKO untuk merujuk ke Palu, belum tentu bayinya hidup. Lima hari sudah ia mengalami sakit perut. Menurut Sari air ketubannya sudah kering. Jadi apabila dibawa ke Palu mungkin bayinya tetap meninggal. Berbeda halnya apabila ia ditolong mertuanya yang juga seorang dukun di Gorontalo. Kemungkinan besar bayinya masih hidup bila melahirkan ditolong oleh mertuanya dibandingkan dirujuk lagi ke Palu. "Kalo di mertua saya berani saya, tapi belum tentu juga dioperasi apa mertua saya dukun to. Sedangkan kalo dari rumah sakit kalo tidak mampu panggil dia..." (Sari) 164 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Kematian bayi yang baru saja dialami keluarga Sari merupakan hal yang biasa. Mereka pun tidak terlalu memikirkan hal itu. Pemulihan Sari pasca melahirkan lebih penting daripada menyesali kematian bayi. Setelah melahirkan Sari hanya tidur dan berbaring dirumahnya. Sari tidur di beranda rumahnya. Hembusan dinginnya angin pada malam hari nampaknya tidak ia hiraukan. Hingga hari ke dua pasca melahirkan ia hanya tidurtiduran. Terlihat sarung yang digunakan untuk menutup tubuhnya. Menurut Mama Sari saat ini anaknya masih sakit dan apabila banyak bergerak. Sehingga Sari hanya menggunakan sarung. Ia tidak diberi apa-apa termasuk obat untuk memulihkan kondisinya. Hanya istirahat yang cukup yang ia lakukan saat ini. “Kasih biar saja dia, tiada uang bebeli obat.” Kasus Kematian Bayi Ibu Yani Kematian bayi di Desa Wulai juga terjadi di Dusun Saluwu pada tahun 2013. Dusun Saluwu berada di sebelah Utara Dusun Watubete. Untuk menuju Dusun Saluwu tidaklah mudah, jalan setapak bebatuan harus dilalui sepanjang jalan menuju dusun. Jalan ini hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. Dari Dusun Watubete diperlukan sekitar 45 menit dengan berjalan kaki. Sedangkan apabila menggunakan sepeda motor dapat ditempuh sekitar 15 menit. Saat hujan deras turun, akses menuju dusun akan terputus dikarenakan meluapnya air sungai. Jalanan pun menjadi licin sehingga harus lebih hati-hati melewati jalan ini selama perjalanan. Kematian bayi yang terjadi di Dusun Saluwu merupakan bayi dari Yani (bukan nama sebenarnya). Kasus ini terjadi tepatnya pada bulan Oktober 2013. Ini merupakan kehamilan pertamanya setelah tiga tahun menikah. Pada tanggal 25 September 2010 ia menikah dengan AR yang adalah asisten 165 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pendeta Gereja Toraja Mamasa di Dusun Saluwu. AR berasal dari Desa Kalukunangka dan pernikahan dengan ibu Yani adalah pernikahan keduanya. Mereka bertemu di desa itu dan tak lama berselang memutuskan untuk menikah. Sebelumnya dari pernikahan pertamanya ia telah dikaruniai empat orang anak. Keseluruhan anak dari istri pertamanya dilahirkan di rumah dengan bantuan topo tawui di Desa Kalukunangka. Saat ini semua anaknya berada dalam pengasuhan mantan istrinya. Setelah menikah dengan Yani, AR tinggal di Desa Wulai. Setiap hari minggu suami Yani memimpin ibadah di Gereja Toraja Mamasa di Dusun Saluwu. Selain sebagai pendeta, aktivitas sehari-hari yang dilakukannya adalah bercocok tanam. Yani pun turut membantu pekerjaan suaminya di kebun. Mereka berangkat ke kebun pada pagi hari dan pulang saat senja tiba. Aktivitas berkebun juga dilakukan Yani ketika sedang hamil. Ketika hamil, Yani tiga kali memeriksakan kehamilan ke bidan yang bertugas di Poskesdes. Saat memeriksakan kehamilan ia ditemani suaminya pergi ke Poskesdes dengan menggunakan sepeda motor. Meskipun sering memeriksakan kehamilan ke bidan namun ia tidak merencanakan melahirkan di fasilitas kesehatan. Ia merencanakan persalinan di rumah dengan bantuan topo tawui. Oleh sebab itu keluarganya tidak mempersiapkan biaya persalinan. Persalinan dengan bantuan topo tawui tidak mengeluarkan banyak uang. Mereka akan memberikan uang semampunya dan berdasar keikhlasan saja. Pada umumnya mereka memberikan Rp. 50.000. Selain uang mereka juga memberikan ayam peliharaannya. Topo tawui akan memotong sedikit bagian belakang jengger ayam. Kemudian topo tawui akan mengusapkan sedikit darahnya ke dahinya dan dahi ibu yang melahirkan sembari membaca mantera. Menjelang persalinan, suami Yani membangun pondok yang berupa rumah tinggi yang dibangun di sebelah rumah 166 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat tempat tinggal mereka. Rumah tinggi yang dibangun itu disiapkan khusus untuk persalinannya. Setelah itu, saat persalinan pun tiba, ketika perut Yani sakit suaminya memanggil topo tawui. Jika topo tawui tidak mampu menangani baru bidan akan dipanggil, seperti penjelasan suami ibu Yani berikut ini: "Iya ditiup dulu. Kan tidak mampu lagi. Ditiup dulu kalo tidak mampu dukunnya dibawa ke bidan. Kalo tidak mampu bidan bawa di rumah sakit." Pada saat persalinan, topo tawui meniup bagian kepala dan punggung ibu Yani sambil mengucapkan mantera. Setelah dua hari dua malam bayi dalam kandungan Yani belum lahir juga. Menurut topo tawui, persalinan sulit yang dialami Yani dikarenakan adanya gangguan roh-roh halus yang masuk dalam binatang peliharaan. Menurut kepercayaan masayarakat di Desa Wulai jin atau setan dapat memasuki tubuh hewan peliharaan seperti anjing, kucing, dan babi yang diyakini dapat mengganggu proses persalinan. Agar jin atau setan tidak mengganggu proses persalinan maka topo tawui membuatkan adat untuk mengusir gangguan jin. Untuk mengetahui hewan yang dirasuki oleh jin atau setan maka topo tawui melakukan ritual adat yaitu ntari. Dilakukan dengan menjengkalkan telapak tangan kanan topo tawui mulai dari ujung lengan kirinya hingga mempertemukan kembali kedua telapak tangan. Ntari dilakukan sembari membaca mantera hingga kedua telapak tangan bertemu. Apabila kedua telapak tangan tidak pas saling bertemu satu sama lain, dipercaya bahwa proses persalinan mengalami kesulitan dikarenakan hewan tertentu. Topo tawui mengetahui hewan apa yang menganggu proses persalinan. Hewan peliharaan seperti anjing, ayam dan babi 167 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang telah ditunjuk oleh topo tawui harus segera dibunuh. Seperti halnya penuturan SM berikut ini: “…seumpama dia tidak keluar to baru dia bikin biasa dibikin itu ayam, babi, atau anjing. Sebelumnya juga ada ceritanya to (menjengkalkan tangan ke lengan). Apabila tidak sampai lagi. Itu namanya ntari. Kalo sudah setuju atau pas kedua telapak tangan bertemu berarti itu babi. Dibunuh ato dipotong terserah itu, kalo tidak sampai pas kita cari lagi berapapun itu kita punya ayam atau babi kita cari lagi. Kalo tidak anu babinya pindah ke ayam lagi to.” Begitu pula yang terjadi ketika persalinan yang dialami Yani mengalami kesulitan. Menurut topo tawui yang membantu proses persalinannya hal itu dikarenakan gangguan roh yang merasuki binatang. Ia pun melalukan adat ntari agar diketahui binatang yang menganggu selama proses persalinan. Menurut topo tawui, anjing peliharaan Yani yang telah dirasuki setan mengganggu proses persalinannya. Topo tawui pun meminta suami Yani untuk membunuh anjing yang telah ditunjuk olehnya. Demi kelancaran persalinan istrinya ia pun membunuh anjing peliharaan yang telah ditunjuk oleh topo tawui. ”Pas itu bunuh saja itu anjing.” Membunuh binatang peliharaan merupakan salah satu bentuk usaha yang ia lakukan agar persalinan istrinya lancar. Menurut suami Yani apabila membunuh binatang yang mengganggu selama persalinan maka bayi akan segera lahir. Meskipun demikian ia mengakui upaya tersebut seringkali tidak membuahkan hasil, berikut penuturannya, “Selama saya liat-liat ada betulnya. Kita bunuh itu binatang langsung lahir…” Sama halnya yang terjadi pada istrinya. Bayi yang dikandung istrinya tidak segera lahir. Padahal ia telah membunuh anjing peliharaan yang telah ditunjuk oleh topo tawui. Tidak ada 168 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat perubahan signifikan pada istrinya. Ia pun memutuskan untuk memanggil bidan. Meminta bantuan bidan untuk menolong persalinan bukanlah perkara mudah. Pengambilan keputusan untuk melahirkan dibantu bidan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari topo tawui. Maksud persetujuan ini ialah apabila topo tawui merasa sudah tidak mampu lagi saat menolong persalinan maka ia menyarankan kepada keluarga untuk memanggil bidan. Adat ntari yang dilakukan topo tawui bukanlah adat terakhir. Masih ada adat sambulu yang dapat dilakukan agar persalinan lancar. Oleh sebab itu keluarga besar Yani juga tidak memberikan ijin untuk membawa Yani ke Poskesdes. Mengingat masih banyak adat lain yang bisa dilakukan oleh topo tawui. Namun rasa tanggung jawab sebagai seorang suami tidak membuatnya diam. Ia pun bersikeras untuk memanggil bidan. “Itupun kalo keluarga bilang kalo dia bilang jangan. Tapi itu tanggung jawab saya. Kalo satu kali dua kali ditiup tidak ada perubahan jelas...” (Suami Yani) Belajar dari pengalaman sebelumnya ketika menghadapi persalinan mantan istrinya. Menurutnya kebanyakan persalinan sulit biasa dialami saat wanita pertama kali melahirkan. Ia pun menyadari posisi istrinya saat ini juga baru kali pertama melahirkan. Berbekal niat dan tekad yang bulat ia memanggil bidan ke rumahnya, tak lama berselang kemudian bidan datang memeriksa kondisi istrinya. Bidan meminta agar Yani segera dibawa ke Poskesdes. Membawa ibu yang akan bersalin ke Poskesdes bukanlah perkara mudah. Kondisi geografis dan akses jalan menuju Poskesdes merupakan salah satu bentuk kendala. Ia membonceng istrinya dengan menggunakan sepeda motor ke Poskesdes. Hampir empat jam istrinya dirawat di Poskesdes. Tak 169 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 lama berselang kemudian bidan meminta untuk segera di rujuk ke Rumah sakit Undata Palu. Bidan kemudian mengatakan “kalo bisa kita urus berkas-berkasnya kita urus ke Palu”. Tidak dapat dibayangkan sebelumnya mengenai biaya persalinan yang akan dikeluarkan. Hal itu dikarenakan mereka tidak berencana untuk melahirkan di rumah sakit. Dengan berbekal jamkesmas dan kelengkapan berkas yang ia miliki, ia membawa istrinya ke Palu. Bidan memanggil ambulans untuk mengantar ke Rumah sakit Undata Palu. Ia pun harus mengeluarkan biaya sekitar tujuh ratus ribu rupiah untuk sekali jalan. Pada saat itu ia tidak memiliki simpanan uang sama sekali. Ia pun kemudian memutuskan untuk meminjam kepada saudaranya. Dengan berbekal kelengkapan berkas ia ditemani adiknya merujuk istrinya ke Palu. Ambulans yang telah dipanggil bidan sudah menunggu di bendungan Dusun Ujung Baru. Tidaklah mudah untuk menuju bendungan dari Poskesdes yang terletak di Dusun Watubete. Hal itu dikarenakan untuk menuju Dusun Ujung baru harus menyeberang Sungai Wulai dan Sungai Ujung Baru. Ia memikul istrinya menuju bendungan dengan dibantu warga sekitar tepat pukul satu dini hari. Berikut penuturan suami Yani: “Ambulans jemput di bendungan. Kalo di Poskesdes dipikul jam satu malam. Panggil topo tawui tidak ada perubahan.” Sesampainya di Rumah Sakit Undata Palu, istrinya kemudian melahirkan putri pertamanya melalui persalinan normal. Dua jam pasca melahirkan pihak rumah sakit menginformasikan bahwa anaknya sakit. Pada saat itu ia tidak mengetahui dengan jelas mengenai penyakit anaknya. Pihak rumah sakit juga menginstruksikan untuk mengurus berkas administrasi agar segera dilakukan perawatan lebih lanjut pada bayinya. Namun takdir berkehendak lain. Putri pertamanya telah 170 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dipanggil oleh yang maha kuasa. Kesedihan pun menyelimuti keluarga kecil mereka. Ada rasa penyesalan dalam benaknya. Seandainya ia membawa istrinya untuk melahirkan dengan bantuan bidan mungkin anaknya masih bisa selamat. Apalagi tiupan topo tawui tidak membuahkan hasil selama dua hari dua malam. Berikut pernyataan suami Yani: “Ini pengaruhnya terlalu lama seandainya begitu sakit langsung ke RS mungkin selamat, seandainya saya tidak berkeras tidak dibawa kesana. Ini nyawa bukan kita yang menentukan” Belajar dari pengalaman ia pun menyarankan kepada ibu yang akan bersalin di topo tawui sebaiknya tidak perlu menunggu lama pengaruh tiupan topo tawui. Apabila satu atau dua kali ditiup dan tidak ada perubahan sebaiknya segera meminta bantuan bidan. Tidak perlu menunggu hingga berhari-hari sampai bayi lahir melainkan cukup satu hari saja, seperti penuturannya berikut, “Seumpama ada orang hamil atau melahirkan satu malam tidak bisa ditiup lebih baik bawa ke bidan.” 4.3. Pemilihan Penolong Persalinan antara Topo Tawui dengan Bidan Kesehatan Berdasarkan dua studi kasus kematian bayi yang terjadi di Desa Wulai maka cukup memperlihatkan kecenderungan masyarakat Wulai yang memilih melahirkan ditolong dukun (topo tawui) dibandingkan ditolong tenaga kesehatan (bidan). Persalinan dengan ditolong dukun merupakan salah satu bentuk permasalahan kesehatan yang masih banyak terjadi di Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat lebih memilih melahirkan dengan ditolong oleh dukun. Tradisi dan adat istiadat setempat menjadi salah satu alasan pemilihan penolong persalinan (Anggorodi, R., 2009). 171 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Masyarakat Kaili Da’a Wulai terbiasa melahirkan di rumah dengan bantuan dukun atau yang mereka sebut dengan topo tawui (orang yang bisa bertiup). Topo tawui adalah orang yang dapat menyembuhkan penyakit, ada yang laki-laki dan perempuan, namun tidak semua topo tawui dapat membantu persalinan. Saat ini topo tawui yang terkenal dapat membantu persalinan di Desa Wulai ada tiga orang yaitu Bapak AS, LI, dan SI. Bapak AS biasa membantu persalinan masyarakat yang tinggal di Dusun Wulai Satu dan Sinjanga. Bapak LI membantu persalinan masyarakat yang tinggal di perkampungan Pinora’a Dusun Watubete dan Bapak SI di Dusun Saluwu. Usia mereka sekitar 50 tahun ke atas dan terkadang masyarakat menyebut mereka dengan sebutan orang tua. Teori perilaku kesehatan dari Lawrence Green digunakan untuk membahas mengapa masyarakat Wulai lebih memilih melahirkan di rumah dengan ditolong topo tawui. Menurut Lawrence Green kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor yaitu (Sarwono, 1993: 65): 1. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. 2. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. 3. Faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan 172 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Faktor Predisposisi Pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka perubahan pola pikir dan perilaku dalam masyarakat (Amilda, 2010). Faktor predisposisi yang terlihat pada masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah masyarakat memiliki pengetahuan bahwa melahirkan di rumah dengan dibantu keluarga atau topo tawui adalah hal yang biasa saja atau sesuatu yang wajar dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Mereka terbiasa melahirkan di rumah karena sudah dilakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka dan sudah merupakan tradisi, seperti pernyataan informan NT berikut ini: "Bagaimana mau takut yang begitu (melahirkan di rumah) tidak ada yang perlu ditakuti. Kalo dikejar dengan parang memang baru takut apa luka kita itu, pasti luka mati, kalo yang begitu kan jalannya bayi lahir. Orang-orang dari nenek moyang sudah itu memang. Penyakit orang banyak itu bukan hanya satu...” Persalinan dianggap hal yang biasa juga terlihat pada pengalaman ibu ET ketika melahirkan anak kelimanya. Ketika ia melahirkan tidak ada seorang pun yang mengetahui. Saat itu ibu ET baru saja berjalan keluar mengambil air kemudian perutnya terasa sakit. Ia merasa sudah waktunya ia melahirkan maka ia segera mengambil sarung kemudian menggantungkannya ke tiang rumah. Tidak ada rasa kekhawatiran pada dirinya ketika hanya seorang diri melahirkan karena keempat anak sebelumnya juga lahir di rumah tanpa bantuan bidan. Setelah itu ia duduk di atas bangku kayu kecil. Ia pun mengedan sambil tangannya memegang sarung yang diikat ke tiang sebagai tumpuan. Sesudah bayinya lahir, baru adiknya datang kemudian memanggil bidan untuk memotong tali pusat. 173 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kalo yang si kecil itu, berapa e 2 jam itu. Disini saya bawa jalan-jalan saja beambil air, kalo tidak bisa berjalan ini sudah mi keluar dulu dia. Jadi tidak ditau orang. Nanti kalo sudah ada suara anak-anak baru di tau. Masyarakat Kaili Da’a Wulai lebih memilih melahirkan ditolong topo tawui dibandingkan ditolong bidan dikarenakan mereka lebih mempercayai kemampuan topo tawui dalam menolong persalinan. Masyarakat lebih mempercayai topo tawui karena topo tawui dapat menolong persalinan tanpa menggunakan alat. Topo tawui hanya meniup kepala dan perut ibu hamil sambil mengucapkan mantera (dowa). Berbeda dengan bidan yang menggunakan peralatan medis ketika membantu persalinan, seperti penuturan topo tawui SM berikut ini: “…kita liat dulu to sakitnya kalo mau keluar baru kita ditiup karena itu anak-anak didalam begitu satu jam atau setengah jam dia masih berputar-putar to. Kalo satu jam belum keluar ditiup lagi”. Hal serupa diungkapkan oleh ibu SE yang menyatakan jika melahirkan ditolong topo tawui cukup dengan ditiup saja. Berbeda jika ditolong bidan dimana tangan bidan akan masuk ke kemaluan dan jika bayi tidak kunjung keluar maka kemaluan akan digunting, berikut penuturan ibu SE: “Yang batiup itu topo tawui, ditiup kepala dan perut. Kalo sama ibu bidan kemaluan dilihat pake senter, dipegang-dipegang, tangan bidan masuk. Kalo tidak keluar anak, kemaluan digunting.” Masyarakat Kaili Da’a mempercayai bahwa makhluk ghaib seperti setan dapat mengganggu manusia. Salah satu alasan yang dikemukakan masyarakat mengapa tidak mau melahirkan di Poskesdes adalah karena banyak setan. Jika ibu yang akan melahirkan diganggu setan maka proses persalinannya akan 174 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat terganggu yang dapat mengancam keselamatan ibu dan bayinya, seperti diungkapkan oleh ibu TE berikut, “Kalau melahirkan di Poskesdes atau Puskesmas itu banyak yang mengganggu.” Selain itu sebagian masyarakat juga mempercayai bahwa ibu tidak boleh melahirkan di rumah yang ia tinggali sehari-hari. Ibu mesti melahirkan di pondok kecil yang dibangun disamping rumah. Untuk menentukan lokasi pondok ini maka topo tawui akan melakukan ritual membawa air di dalam bambu dalam posisi terbalik kemudian mengelilingi tiang pondok tersebut. Jika air di dalam tumpah tidak maka lokasi pondok tersebut sudah tepat karena disitulah tinggal makhluk yang dapat menjaga keselamatan ibu dan anak. Hal ini dijelaskan oleh informan RI berikut ini: “Diisi air di dalam bambu itu kemudian ditawui baru dikasih keliling mana tiang yang kita tanam disitu, kalo balik kesini kesana itu tidak tetumpah air maka disitulah tempat pondok itu, bisa untuk tempat melahirkan.” Faktor lain yang membuat masyarakat Kaili Da’a Wulai lebih memilih melahirkan di rumah dibandingkan di Poskesdes atau Puskesmas adalah adanya kepercayaan bahwa bayi yang baru lahir tidak boleh dibawa keluar sebelum tiga malam setelah dilahirkan. Mereka mempercayai jika bayi yang belum berusia tiga malam dibawa keluar rumah maka bayi akan diganggu setan yang dapat mendatangkan penyakit bagi bayi. Setelah tiga malam bayi boleh keluar rumah karena telah melakukan ritual adat Nitau, seperti uraian ibu ET berikut ini: “Kalo kita melahirkan di Puskesmas kalo belum cukup 3 malam belum bisa pulang begitu, itu anak-anak kecil itu belum bisa turun itu. Itu kalo kita melahirkan di Puskesmas jauh begitu usahakan hari itu lahir usahakan hari itu juga pulang jangan bermalam. Kalo sudah bermalam kita disitu kita tidak bisa pulang itu. Nanti tiga 175 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 malam tu. Habis semua itu anu adatnya kita baru bisa pulang.” Senada dengan penuturan ET, informan MW menjelaskan apabila bayi yang lahir di pelayanan kesehatan seperti Poskesdes sebaiknya segera dibawa pulang setelah dilahirkan agar dapat melakukan adat turun tanah (nitau) setelah ketiga malamnya. Biasanya pihak keluarga akan membawa pulang bayi setelah dilahirkan. Sedangkan ibu bayi berada di Poskesdes untuk menjalani tahap pemulihan pasca melahirkan. Berikut penuturan informan MW, “Kalo lahir di pustu bawa pulang memang satu hari baru nanti tiga hari tidak boleh kemana-mana sampai di nitau.” Terlepas dari hal tersebut masyarakat Wulai mempercayai bahwa setiap penyakit ada sumbernya dan sumber penyakit bisa bermacam-macam. Penyakit bisa bersumber dari binatang, adat yang tidak terselesaikan atau melanggar pantangan. Dalam kasus persalinan, jika ibu tidak kunjung melahirkan setelah dua atau tiga hari sakit perut, maka topo tawui akan mencari sumber dari kesulitan ibu. Cara yang dilakukan topo tawui adalah dengan melakukan ntari yaitu menjengkalkan jari tangannya dari bahu sampai telapak tangan sambil membaca mantera. Ketika kedua telapak tangan topo tawui sudah bertemu itu artinya topo tawui sudah mengetahui binatang apa yang harus dipotong untuk menghilangkan sumber penyakit. Berikut penjelasan informan SM yang adalah topo tawui: “…seumpama dia tidak keluar to baru dia bikin biasa dibikin itu ayam, babi, atau anjing. Sebelumnya juga ada manteranya to (menjengkalkan tangan ke lengan). Apabila tidak sampai lagi. Itu namanya ntari. Kalo sudah setuju atau pas kedua telapak tangan bertemu berarti itu babi. Dibunuh ato dipotong terserah itu, kalo tidak 176 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat sampai pas kita cari lagi berapapun itu kita punya ayam atau babi kita cari lagi. Kalo tidak anu babinya pindah ke ayam lagi to.” Apabila setelah melakukan adat ntari bayi tidak kunjung lahir maka topo tawui akan membuat adat yang disebut sebagai sambulu. Adat sambulu juga biasa ditemui pada saat upacara pernikahan adat berlangsung. Topo tawui kemudian menyiapkan daun sirih, pinang yang dibelah dua dan abu dari kerangka siput (tela). Sembari membacakan mantera ia meminta bantuan pada penguasa alam agar persalinan berjalan lancar. Sambulu merupakan upaya terakhir yang dibuat oleh topo tawui. Kebanyakan masyarakat menganggap setelah melakukan sambulu maka beberapa saat kemudian anak akan lahir. Jika kedua adat ini sudah dilakukan hingga kemudian topo tawui menyerah maka barulah meminta pertolongan bidan, seperti pernyataan informan DC berikut ini: “Jadi pada saat barangkali belum itu lahir itu lama biar satu hari satu malam tidak dipanggil itu bidan, kalo sudah menyerah dukun baru itu panggil bidan. Karena itu dukun banyak mantra-mantranya”. Namun tidak semua topo tawui melakukan hal ini, yang biasa melakukan adat ini topo tawui yang tinggal di Dusun Saluwu, seperti yang terjadi pada kasus kematian bayi ibu Yani. Suami ibu Yani membunuh anjing karena menurut topo tawui anjing tersebut kemasukan roh jahat yang menyebabkan istrinya sulit melahirkan. Setelah anjing dibunuh istrinya belum juga melahirkan sehingga keluarga memanggil bidan. Bidan juga tidak bisa menangani maka istrinya harus dirujuk ke rumah sakit. Keputusan kapan saatnya memanggil bidan terletak pada topo tawui. Jika semua adat telah dilaksanakan dan bayi tidak kunjung lahir maka topo tawui baru akan menyerah dan 177 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menyarankan keluarga untuk memanggil bidan. Apabila topo tawui tidak dapat menangani maka masyarakat baru akan memanggil bidan, seperti diungkapkan informan RJ berikut ini: “Disini kebanyakan melahirkan dirumah, dia kembali di tauwi (ditiup) tadi itu bahasa disini. Dia kembali ditawui melalui dukun yang betawui itu tadi. Kalo topo tawui tidak bisa baru kita kembali ke bidan kesehatan itu tadi” Penyebab sulitnya persalinan juga dapat disebabkan adanya adat yang tidak terselesaikan pada saat perkawinan. Dalam artian ketika menikah mahar ibu yang akan melahirkan ada yang belum diberikan oleh suaminya. Suami kemudian diminta untuk mengingat mahar apa yang belum ia berikan ke istrinya. Jika misalnya ternyata suami belum memberikan piringpiring zaman dulu maka suami harus mencari piring-piring tersebut, seperti penjelasan informan RI berikut ini: “Misalnya istri saya punya adat wukusaya, butiga, buyabalatu, barangkali suaminya belum selesai adatnya itu nah itu nanti dikasih keluar baru topo tawui karena sumbernya penyakit barangkali dari situ adatnya belum lunas ketika menikah.” Pelaksanaan adat ini terjadi pada kasus ibu PI yang ketika bayinya tidak kunjung lahir dikarenakan saat menikah ada mahar yang belum dibayarkan suaminya. Ibu PI pun dirujuk ke rumah sakit namun ketika sampai di halaman rumah sakit bayi ibu PI sudah keluar tetapi dalam keadaan tidak bernyawa, tetapi ibu PI tidak mau turun dari ambulans, ia mau pulang saja. Pihak rumah sakit mengizinkan dengan syarat keluarga ibu PI menandatangani surat bahwa pihak rumah sakit tidak bertanggungjawab jika terjadi sesuatu dengan ibu PI. Salah satu faktor lain yang menyebabkan ibu hamil di Desa Wulai tidak mau melahirkan ditolong oleh bidan adalah 178 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat karena adanya perbedaan posisi ketika melahirkan. Jika melahirkan di rumah ditolong topo tawui posisi ibu ketika melahirkan adalah duduk di bangku kayu kecil. Ibu juga akan memakai sarung sampai menutupi kakinya. Berbeda dengan melahirkan ditolong bidan dimana posisi ibu terlentang dengan alat kelamin terbuka. Posisi melahirkan telentang dengan alat kelamin yang terlihat dianggap sebagai hal yang tabu bagi masyarakat Kaili Da’a Wulai. Mereka merasa malu jika harus melahirkan dengan posisi alat kelamin terlihat oleh bidan. Hal tersebut juga dibenarkan oleh bidan Desa Wulai seperti penuturannya berikut, “Dorang itu malu diliat anu nya. Barangnya (kemaluannya) begitu.” Hal senada juga diungkapkan oleh asisten bidan yang bertugas di Desa Wulai bahwa ibu hamil di Desa Wulai merasa malu melahirkan kemaluannya dilihat dan dipegang-pegang oleh bidan. Beberapa diantara mereka yang melahirkan di Poskesdes ada yang menolak kemaluannya dipegang oleh bidan. Jika hal itu terjadi bidan hanya menunggu bayi keluar sendiri. Berbeda halnya apabila melahirkan dirumah. Persalinan dirumah tidak boleh dilihat secara langsung. Adapun yang boleh melihat hanya keluarganya saja. Seperti ibu SH yang lebih memilih untuk melahirkan di rumah daripada di pelayanan kesehatan seperti Poskesdes dikarenakan malu bila melahirkan dilihat orang lain yang tidak ada hubungannya saudara serta tidak suka bila orang lain (bidan) melihat kemaluannya dengan senter apalagi memasukkan jari-jarinya di jalan lahir bayi. Berikut pernyataan ibu SH, “Enak melahirkan dirumah, kalau di rumah sakit sambil tidur. Ah.. banyak sekali orang, disenter lagi.” Untuk melihat kemajuan janin, bidan biasanya akan memasukkan jari tangannya ke kemaluan ibu atau menyenternya. Tindakan ini juga tidak disukai oleh ibu-ibu di 179 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Desa Wulai karena mereka terbiasa dengan metode persalinan tradisional yang tanpa alat, seperti pernyataan ibu MA berikut, “Contohnya saya, lima orang anak saya tidak ada yang lahir di bidan, semuanya lahir di rumah karena saya malu dipegang.” Masyarakat Kaili Da’a Wulai menganggap apabila kemaluan dilihat orang lain adalah dosa. Apalagi sebelumnya jika ada yang melahirkan di Poskesdes masyarakat banyak yang berkumpul di Poskesdes. “Inde mala mu na enta (menunjuk bagian bawah perut/kemaluan) roa na nanu na dosa, iyo na dosa na kita…” (informan NW). (Tidak boleh kita melihat kemaluan orang lain karena dosa, iya dosa kamu..) “Orang-orang takut memang itu tidak mau dia melahirkan di bidan. Takut diliat-liat apalagi banyak teman-teman, orang-orang yang menonton” (informan Li). Faktor Pendukung (enabling factors) Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan masyarakat untuk mau mendatangi sarana dan fasilitas kesehatan adalah biaya. Salah satu kemudahan yang diinginkan masyarakat adalah tidak adanya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mempergunakan sarana dan fasilitas kesehatan. Dalam konteks masyarakat Desa Wulai, pekerjaan mereka sebagai petani tidaklah dapat mendatangkan penghasilan yang cukup banyak. Besarnya penghasilan mereka setiap bulan cenderung tidak menentu. Kebanyakan masyarakat Wulai bercocok tanam coklat atau jagung di kebun mereka. Coklat dan jagung dapat dipanen tiga 180 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat sampai empat kali dalam setahun. Hal ini membuat mereka mendapatkan uang hanya ketika masa panen tiba. Uang ini dipergunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sampai masa panen berikutnya. Namun terkadang uang hasil panen sudah habis sebelum masa panen tiba kembali. Situasi ini membuat masyarakat Wulai tidak memiliki tabungan jika suatu saat terjadi keperluan yang mendesak seperti untuk membiayai persalinan atau biaya pengobatan di rumah sakit. Apabila persalinan ditolong oleh bidan dan dilakukan di rumah maka masyarakat harus membayar sebesar Rp 500.000. Biaya persalinan akan gratis apabila persalinan dilaksanakan di Poskesdes. Biaya yang cukup besar ini dirasakan sangat membebani masyarakat sedangkan kebanyakan ibu hamil tidak mau melahirkan di Poskesdes. Mereka yang tidak mau melahirkan di Poskesdes kebanyakan adalah mereka yang rumahnya cukup jauh dari Poskesdes Wulai yang terletak di Dusun Watubete. Masyarakat Dusun Watubete sendiri ada yang tidak mau melahirkan di Poskesdes terutama mereka yang tinggal di perkampungan Pinora’a dan Salootu. Seperti informan JN yang menceritakan ketika istrinya melahirkan ia diharuskan membayar Rp 500.000 padahal ketika memanggil bidan. Padahal waktu itu bidan juga tidak dapat menangani istrinya yang mengharuskan istrinya dirujuk ke rumah sakit Kabupaten Mamuju Utara yaitu RSUD AKO di Pasang Kayu. Pada kasus ibu Sari yang telah diceritakan di atas juga memperlihatkan faktor biaya juga menyebabkan dirinya enggan untuk melahirkan ditolong bidan, seperti penyataannya berikut ini: “Kalo melahirkan panggil bidan ke rumah bayar 500 ribu nanti kalo bidan tidak bisa menangani dikirim ke RS Ako kalo tidak bisa lagi di RS Ako dikirim ke Palu, jauh.” 181 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Masyarakat lebih memilih melahirkan ditolong topo tawui karena tidak mengeluarkan biaya. Biasanya jika melahirkan ditolong topo tawui cukup memberikan satu ekor ayam, rokok satu bungkus dan beras yang berasal dari padi gunung sebanyak satu liter, seperti pernyataan informan RI berikut, “Kalau melahirkan panggil topo tawui hanya memberi ayam satu ekor, rokok 1 bungkus, beras dulu (padi gunung) 1 liter.” Selain itu masyarakat Wulai takut jika melahirkan ditolong oleh bidan akan dirujuk ke rumah sakit di Pasang Kayu bahkan sampai ke Palu. Mereka melihat contoh kasus yang terjadi pada persalinan sebelumnya jika bidan tidak bisa ditangani kemudian dirujuk ke rumah sakit. Jika harus melahirkan di rumah sakit mereka khawatir akan biaya yang mesti mereka keluarkan. Apalagi jika mereka tidak memiliki Jamkesmas maka mereka harus membayar biaya persalinan di rumah sakit. Bagi yang memiliki Jamkesmas pun mereka masih mengkhawatirkan biaya yang mesti keluarkan untuk keluarga yang menemani di rumah sakit terutama untuk biaya makannya, seperti penuturan informan JO berikut, “…yang kita pikir lagi disana keluarga ini menjaga yang sakit disana apalagi yang kita makan disana, di Palu…” Biaya untuk ambulans pun dirasakan masyarakat cukup memberatkan. Mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp 150.000 sekali jalan dari Desa Wulai ke RSUD AKO. Apabila harus dirujuk ke Palu biaya untuk ambulans lebih besar lagi yaitu sekitar Rp 800.000 untuk sekali jalan. Mekanisme yang dilakukan bidan apabila akan merujuk ibu bersalin ke RSUD AKO di Pasang Kayu atau Rumah Sakit Undata di Palu adalah bidan akan menghubungi pihak RSUD AKO terlebih dahulu. Jika pasien dapat ditangani di RSUD AKO maka pasien akan dikirim ke rumah sakit tersebut. Jika RSUD AKO tidak dapat menangani misalnya dikarenakan dokter obgyn tidak ada 182 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat maka bidan akan segera membuat rujukan ke rumah sakit di Palu. Bidan Desa Wulai membantu keluarga pasien dalam mengurus proses rujukan. Apabila pasien tidak memiliki kartu Jamkesmas, bidan akan membantu mengusahakan dengan meminjamkan kartu Jamkesmas milik orang lain. Pasien yang akan dirujuk biasanya dijemput dengan menggunakan ambulans. Kasus serupa dialami oleh informan AB yang baru pertama kali mengunjungi rumah sakit untuk mengantar istrinya melahirkan saat dirujuk ke RSUD AKO di Pasang Kayu. Dengan ditemani oleh tiga orang keluarga yang turut menjaga istrinya, ia berangkat dari Desa Wulai ke RSUD AKO. Selama satu minggu menemani istrinya, ia mengeluarkan uang sekitar satu juta rupiah untuk biaya makan dirinya dan tiga orang keluarganya. Menurutnya apabila baru pertama kali ke rumah sakit seringkali merasakan kebingungan dalam menjawab pertanyaan pihak rumah sakit, beruntung dia mempuyai teman yang berpengalaman dan dapat membantunya selama di rumah sakit. Dengan berbekal kartu Jamkesmas, kartu keluarga dan KTP yang dibawa menuju rumah sakit, ia berharap sama sekali tidak mengeluarkan biaya perawatan istrinya di rumah sakit. Untuk menyelamatkan nyawa bayi dan istrinya maka dokter menyarankan untuk segera dilakukan operasi. Pada saat itu diharuskan membayar Rp. 1.200.000 untuk biaya benang, obat bius dan infus padahal ia memiliki kartu Jamkesmas dan berkas pendukungnya pun sudah lengkap. Pada saat itu ia juga mempertanyakan mengapa peserta Jamkesmas masih diharuskan untuk membayar, seperti penuturan informan AB berikut ini: “…masalahnya macam benang jahitan dengan obat bius, infus kenapa itu dibayar semua katanya tidak dibayar itu. Obat dikasih anu kuitansinya, mo hamma seratus lebih satu botol anu obat apa itu apotik. Ya mau diapa kita tidak tau. Itu dibilang catatan dikasih itu dia dibayar.” 183 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pada hari ketiga dokter sudah memperbolehkan pasien pulang namun karena ketiadaan uang membuatnya tidak dapat membawa istrinya pulang. Pada saat itu dia juga meminjam uang para tetangga dan menjual kebun untuk membayar biaya rumah sakit. Kasus tersebut memperlihatkan ketakutan masyarakat terhadap biaya yang akan dikeluarkan jika ada keluarganya yang melahirkan di rumah sakit. Saat ini masyarakat Wulai belum mengetahui tentang program BPJS. Masyarakat dan petugas kesehatan termasuk bidan desa juga masih bingung tentang pelaksanaan BPJS. Biaya persalinan bagi masyarakat pun belum bisa menggunakan BPJS. Gambar 4.1. Kondisi sungai yang kering Sumber: Dokumentasi Peneliti Disamping faktor biaya, kondisi geografis Desa Wulai yang dikelilingi oleh sungai dan berbukit-bukit turut menjadi faktor yang menyebabkan masyarakat Wulai jarang yang melahirkan di fasilitas kesehatan. Desa Wulai memiliki lima dusun dimana setiap dusunnya dibatasi oleh sungai. Sungai ini merupakan akses jalan untuk keluar masuk Desa Wulai. Kondisi sungai dapat dilalui 184 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat jika debit air sungai tidak terlalu banyak seperti terlihat pada gambar 4.1. Jika hujan terus menerus maka debit air sungai akan bertambah dan membuat akses jalan keluar Desa Wulai akan tertutup, seperti terlihat pada gambar 4.2. Gambar 4. 2. Kondisi Sungai Setelah Turun Hujan Sumber: Dokumentasi Peneliti Kasus ibu Sari juga memperlihatkan kendala geografis yang harus dihadapi ketika ia harus dirujuk ke rumah sakit. Ibu Sari tinggal di perkampungan Pinora’a yang terletak cukup jauh dari Poskesdes Wulai. Jika berjalan kaki dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit untuk sampai ke perkampungan ini dari Poskesdes Wulai. Apabila ibu yang akan melahirkan ada yang harus dirujuk ke rumah sakit, ambulans dari Puskesmas Randomayang tidak dapat menjemput ke rumah ibu yang mau melahirkan. Ambulans akan menunggu di Poskesdes atau di bendungan yang terletak di Dusun Ujung Baru. Ketika ibu Sari harus dirujuk, ia dinaikkan ke truk Pasakora sampai ke bendungan Dusun Ujung Baru. Kendala geografis juga terjadi ketika ibu PI yang tinggal di Dusun Saluwu hendak melahirkan. Ibu PI sudah sakit perut dua 185 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 malam, pertama kali sakit perut ibu PI memanggil topo tawui. Namun sudah dua hari bayinya tidak lahir juga, topo tawui pun menyerah. Keluarga ibu PI kemudian memanggil bidan. Saat itu sungai yang lokasinya dekat Dusun Saluwu sedang meluap akibat hujan yang turun terus menerus. Untuk menuju Dusun Saluwu harus melewati jalan kecil mendaki yang lebarnya kira-kira satu meter yang hanya dapat dilalui kendaraan roda dua. Bidan pun datang agak lama karena kondisi jalan yang sulit dilalui. Namun bidan tidak dapat menangani ibu PI, bidan memutuskan ibu PI harus dirujuk ke RSUD AKO. Ibu PI harus ditandu untuk menuju ambulans yang menunggu di Poskesdes Wulai. Gambar 4.3. Ibu yang Mau Melahirkan Ditandu Ketika Hendak Dirujuk ke Rumah Sakit Sumber: Dokumentasi Asisten Bidan Desa Wulai Faktor lain yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk melahirkan di fasilitas kesehatan adalah kelengkapan tenaga kesehatan. Masyarakat menginginkan jika ibu bersalin 186 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dirujuk ke RSUD AKO yang terletak di ibukota kabupaten, tidak perlu lagi dirujuk ke rumah sakit di Palu. Namun sejak setahun terakhir, di RSUD AKO tidak ada lagi tenaga dokter obgyn yang bertugas. Maka terkadang jika ibu bersalin harus dioperasi sesar maka akan dirujuk ke Rumah Sakit Undata di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Seperti pada kasus Sari, awalnya ia dirujuk ke RSUD AKO namun karena tidak ada dokter obgyn yang bertugas maka harus dirujuk ke Rumah Sakit Undata di Palu. Orangtua Sari menyayangkan kenapa bidan tidak langsung saja merujuk Sari ke Palu jika tidak ada dokter yang menangani. Ketika bidan tidak dapat menangani Sari dan menyuruh Sari dirujuk ke RSUD AKO, orangtua Sari menanyakan kenapa tidak langsung dirujuk ke rumah sakit di Palu saja. Hal ini diungkapkan ibunda Sari berikut ini: “Sama saja dengan bidan disitu, kalo tiada mampu disitu begitu juga di sana di AKO. Lebih baik langsung ke Palu. Saya bilang sama bidan disitu bukan dibawa di AKO ini bidan lebih baik ini langsung di bawa ke Palu lalu bidan bilang jangan dulu bawa di Palu bawa dulu di AKO. Astaga.. Kalo tidak mampu kita disini begitu juga disana nanti tiada juga mampu. Iyo bawa juga disana kalo disana tidak mampu bawa ke Palu. Jadi klo tiada uang bidan bagaimana? Ya terserah.. astaga matilah berpikir ini.” Pernyataan yang hampir sama diungkapkan Bapak AM yang menceritakan pengalamannya saat sekitar bulan Maret 2014, anaknya SI harus dirujuk ke rumah sakit Undata di Palu karena tidak ada dokter yang dapat menangani di RSUD AKO, berikut pernyataannya: “Di RSUD AKO sebenarnya bisa ditangani kalo ada dokternya, saya punya sepupu satu ini dioperasi di RSUD 187 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 AKO. Dokternya datang sewaktu-waktu aja. Kalo waktu ke sana ada dokternya syukur.” Saat SI di RSUD AKO salah satu tangan bayinya sudah keluar namun tidak ada dokter yang dapat mengoperasi SI maka ia dirujuk ke Palu. Ia pun dirujuk ke rumah sakit di Palu dalam keadaan satu tangan bayinya sudah keluar. Bayinya pun telah meninggal dalam kandungan. Faktor Pendorong (reinforcing factors) Faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan. Bidan yang bertugas di Desa Wulai telah tinggal di desa tersebut dari tahun 2005. Ia berasal dari Kota Palu Sulawesi Tengah. Ia pun dapat berbicara bahasa Kaili Da’a dengan fasih. Kehadiran bidan di Desa Wulai tidak serta merta dapat menggantikan peran topo tawui yang telah lama membantu masyarakat ketika sakit atau pada saat mau melahirkan. Oleh karena itu bidan perlu melakukan usaha dan pendekatan yang ekstra untuk menggantikan topo tawui sebagai penolong persalinan. Pada kasus persalinan Sari yang telah diceritakan di bagian awal, terlihat bahwa Sari lebih memilih melahirkan di rumah dengan ditolong topo tawui. Pada akhirnya bidan dipanggil dikarenakan topo tawui sudah tidak bisa menangani Sari lagi. Sari lebih memilih ditolong topo tawui dikarenakan hal tersebut sudah menjadi tradisi di keluarganya yang dilakukan secara turun temurun. Selain itu bidan desa Wulai kurang melakukan pendekatan kepada Sari agar mau melahirkan ditolong olehnya. Hal ini terlihat saat secara tidak sengaja Sari bertemu dengan ibu bidan di pasar. Pada waktu itu ibu bidan 188 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat baru mengetahui bahwa Sari sedang hamil dan ia bertanya mengapa Sari tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke Poskesdes. Bidan juga memperingatkan Sari kalau tidak pernah periksa kehamilan kepada dirinya jika tiba saat melahirkan jangan meminta pertolongan darinya, seperti penuturan Sari berikut ini: “Bidan bilang kenapa tidak pernah pergi periksa hamil di Poskesdes, kalo tidak pernah berperiksa nanti melahirkan jangan cari-cari saya ya.” Sikap bidan yang seperti ini membuat Sari tidak termotivasi untuk memeriksakan kehamilannya. Sampai menjelang melahirkan ia sama sekali tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke bidan. Hal inilah yang kemudian membuat bidan terlambat datang ketika dipanggil ke rumah Sari saat topo tawui tidak lagi bisa membantu Sari melahirkan. Menurut keterangan tetangga Sari, pada pagi hari bidan sudah dipanggil untuk datang ke rumah Sari tetapi bidan baru datang pada sore hari. Menurutnya ibu bidan sebenarnya enggan menolong Sari karena tidak pernah memeriksakan kehamilan pada dirinya, seperti pernyataan informan NT yang adalah tetangga Sari berikut ini: "...bagaimana juga ibu bidan dipanggil dia tidak mau alasannya dia bilang maka itu dari pertamanya hamil selagi muda bawa memang kamu diperiksa dulu, tapi memang betul juga dia.” Ibu hamil di Desa Wulai memang hanya sedikit yang memeriksakan kehamilannya ke bidan. Berdasarkan pengamatan peneliti selama dua bulan berada di Desa Wulai ibu hamil yang pernah memeriksakan kehamilannya hanya satu orang dari lima orang ibu hamil. Ibu hamil yang memeriksakan diri tersebut bukan Etnik Kaili Da’a melainkan dari Etnik Bugis. 189 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Akibat sedikitnya ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya terkadang bidan Desa Wulai tidak mengetahui jika ada ibu hamil terutama mereka yang lokasi rumahnya jauh dari Poskesdes seperti di perkampungan Pinora’a. Pada saat pelaksanaan Posyandu di bulan Mei, ada laki-laki muda berusia sekitar 17 tahun yang membawa bayinya yang baru lahir untuk mengikuti Posyandu. Laki-laki muda tersebut tinggal cukup jauh dari Poskesdes yaitu di perkampungan Pinora’a. Laki-laki muda tersebut datang bersama saudaranya, istrinya tidak ikut karena malu jika bertemu orang banyak. Saat itu ibu bidan terlihat kaget karena ia tidak mengetahui kalau ada ibu hamil dan baru saja melahirkan di perkampungan Pinora’a. Istri dari laki-laki muda tersebut sama sekali tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke ibu bidan dan melahirkan di rumah dengan ditolong topo tawui. Selain itu bidan Desa Wulai tidak selalu datang ke Posyandu yang dilaksanakan di setiap dusun. Posyandu yang selalu dihadirinya adalah Posyandu di Dusun Watubete yang dilaksanakan di Poskesdes Wulai. Bidan Desa Wulai juga tidak selalu setiap saat ada di Poskesdes Wulai terkadang ia berada di kebun membantu pekerjaan suaminya. Asisten bidan yang bertugas di Desa Wulai tidak setiap hari datang ke Poskesdes. Ia bertugas setiap hari senin sampai jumat namun jika hujan turun ia tidak datang karena akses jalan yang tertutup akibat air sungai yang meluap. 4.4. Kematian Bayi di Mata Masyarakat Kaili Da’a Wulai Kematian bagi masyarakat Kaili Da’a Wulai dianggap sebagai sebuah takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Menurut mereka kematian sesuatu yang tidak dapat terhindarkan yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Sakit pun mereka anggap bukanlah penyebab utama dari kematian 190 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat karena kapan seseorang akan meninggal sudah ditentukan waktunya oleh Tuhan. Adanya anggapan ini membuat mereka terkadang bersikap pasrah jika ada anggota keluarganya yang sakit, seperti penjelasan informan AL yang adalah tokoh agama di Desa Wulai berikut ini: “Prinsip mereka mati hari ini dengan besok sama. Kalau ada yang sakit biarkan saja kalau memang mau mati memang dia sudah mau mati. Mereka bilang mati..mati saja.” Beberapa kasus kematian bayi yang terjadi di Desa Wulai baik bayi meninggal ketika di dalam kandungan atau beberapa jam setelah dilahirkan, pada umumnya keluarga dapat menerima kematian tersebut. Mereka menganggap sudah takdir dari Tuhan bayi tersebut mau meninggal atau hidup. Seperti pernyataan informan SI yang anak keduanya meninggal ketika dilahirkan, berikut pernyataannya, “Ya begitu sudah takdirnya tidak bisa melihat dunia.” Pernyataan serupa diungkapkan oleh paman dari ibu Sari yang menyatakan bayi Sari meninggal merupakan sudah ditakdirkan Tuhan karena setiap manusia sudah memiliki perjanjian dengan Tuhan kapan ia lahir dan meninggal. Menurutnya, apabila Sari sempat dibawa ke rumah sakit di Palu belum tentu juga bayinya akan selamat, berikut pernyataannya: “...tapi biar di Palu kalo janjinya belum sampai saat. sampai saat sudah nyawanya sudahlah tetap meninggal. Bukan kita menentukan janji. Kalo dia mau mati pa le anak-anak kecil begitu kita orangtua ini sudah. kalo sudah waktunya sudah." Bagi Sari kematian bayinya merupakan takdir dari Tuhan dan ia sebagai manusia tidak dapat melawan kehendak Tuhan. Ia hanya bisa pasrah dan menurutnya menangis merupakan 191 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 perbuatan yang sia-sia karena tidak dapat mengembalikan nyawa bayinya. Berbeda dengan kematian akibat dibunuh yang menurut Sari baru dapat ditangisi karena bukan kehendak dari Tuhan, berikut penjelasan Sari: “Menangis-menangis makin pusing, terakhir kita juga yang ikut bayi. Biar kita menangis mana mungkin hidup ulang, paling-paling kita tidak tau janjinya entah itu pagi atau siang, kalo mati dibunuh baru menangis. kalo mati diambil Tuhan tidak bisa menangis." 4.5. Kasus Kematian Bayi di Desa Wulai dari Perspektif Kesehatan Pada bagian ini akan dibahas penyebab kematian bayi di Desa Wulai dari perspektif kesehatan. Salah satu penyebab kematian bayi adalah persalinan lama atau partus kasep. Partus kasep merupakan satu fase akhir dari suatu persalinan yang telah berlangsung lama dan tidak mengalami kemajuan sehingga timbul komplikasi pada ibu, janin atau keduanya. Persalinan normal rata-rata berlangsung tidak lebih dari 24 jam dihitung dari awal pembukaan sampai lahirnya anak. Apabila terjadi perpanjangan dari fase laten (pada primipara 20 jam, multipara 14 jam) dan fase aktif (pada primipara 1,2 cm per jam dan 1,5 cm perjam pada multipara) atau kala pengeluaran (primipara 2 jam dan multipara 1 jam), maka kemungkinan dapat terjadi partus kasep (Nugraha, 2014). Partus kasep adalah merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehigga timbul gejala – gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin. Pasien dikategorikan partus kasep bila terdapat tanda-tanda kelelahan pada ibu. (Nugraha, 2014). 192 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Komplikasi yang timbul karena perjalanan partus lama adalah mengalami kelelahan karena tanpa makan dan minum serta berpengaruh pada kondisi janin dalam rahim. Janin dapat mengalami asfiksia ringan sampai terjadi kematian dalam rahim. Air ketuban keruh dan bercampur mekonium karena asfiksia dalam rahim (Mardani, 2012). Pada umumnya persalinan kasep di Desa Wulai terjadi hingga lebih dari 1x24 jam. Ritual adat yang dilakukan oleh topo tawui untuk melancarkan persalinan biasa dilakukan satu hingga dua hari. Selain itu, mereka juga harus menunggu keputusan topo tawui untuk membawa ibu ke pelayanan kesehatan. Kondisi tersebut dapat memicu kelelahan yang dialami oleh ibu, seperti halnya penuturan informan DC berikut ini: “Jadi pada saat barangkali belum itu lahir itu lama biar satu hari satu malam tidak dipanggil itu bidan, kalo sudah menyerah dukun baru itu panggil bidan. Karena itu dukun banyak mantra-mantranya.” Beberapa faktor yang dapat menyebabkan persalinan lama antara lain: 1. Kelainan power (kekuatan atau tenaga) Kekuatan atau tenaga untuk melahirkan terdiri dari his atau kontraksi uterus dan tenaga mengejan dari ibu. Power merupakan tenaga primer atau kekuatan utama yang dihasilkan oleh adanya kontraksi dan retraksi otot-otot rahim (pemendekan otot-otot rahim yang menetap setelah terjadinya kontraksi), jika mengalami kekurangan maka persalinan mengalami hambatan atau kemacetan. 2. Kelainan janin (passenger) Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin. Kelainan bentuk dan besar janin seperti hidrosefalus, kelainan letak janin 193 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 seperti letak sungsang, letak lintang, presentasi rangkap (kepal tangan, kepala kaki, kepala tali pusar). 3. Kelainan jalan lahir Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan. (http://pondokibu.com) Kasus kematian janin atau neonatus di Desa Wulai salah satunya disebabkan karena persalinan lama. Salah satu penyebab persalinan lama adalah ibu tidak memiliki kekuatan atau tenaga untuk mengejan. Kebanyakan ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun tidak memiliki kekuatan atau tenaga yang cukup ketika melahirkan. Seperti pada kasus ibu Ol yang masih berusia 18 tahun, ketika melahirkan ia harus dirujuk ke RSUD AKO karena ia tidak memiliki kekuatan ketika mengedan, seperti pernyataan informan MA berikut: “Bulan lalu ibu Ol melahirkan saya bawa ke bidan kemudian dirujuk ke RS Ako bayar 530 ribu. Dia melahirkan anak pertama, belum tahu bakuat (mengejan) dia. Kalo sudah sakit bakuat (mengejan) dia supaya keluar bayinya”. Usia ibu hamil yang kurang dari 20 tahun dapat terjadi karena cukup banyaknya pernikahan dini terjadi di Desa Wulai. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam masyarakat Kaili Da’a terdapat hukum adat yang mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu aturannya adalah laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak boleh berduaan di malam hari tanpa ada orang lain di sekitar mereka. Jika ada pihak yang melapor ke ketua adat maka mereka akan dikenakan denda adat. Biasanya yang melapor adalah pihak dari keluarga perempuan dan yang dikenakan denda adat adalah pihak laki-laki. Denda tergantung dari kesalahan yang dilakukan, 194 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat jika perempuan sudah hamil maka jumlah denda babi yang harus dibayarkan lebih banyak lagi. Denda menjadi tidak berlaku jika pihak laki-laki bersedia bertanggung jawab dengan cara menikahi pihak perempuan. Mahalnya harga babi yaitu sekitar dua juta rupiah membuat kebanyakan laki-laki yang dilaporkan ke ketua adat memilih untuk menikah dibandingkan membayar denda adat. Kebanyakan pasangan yang dilaporkan adalah masih berusia muda dan masih bersekolah. Rata-rata usia mereka adalah 14 sampai 17 tahun. Mereka pun terpaksa untuk meninggalkan bangku sekolah karena menikah. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun termasuk ke dalam kehamilan berisiko. Pada umur di bawah 20 tahun, rahim dan panggul seringkali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami persalinan lama atau macet atau gangguan lainnya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua (http://bidanku.com/kehamilan-yang-perlu-diwaspadai). Kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Anatomi panggul yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan kematian neonatus. anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses kehamilan maupun melahirkan (Fadlyana, 2009). Selain itu ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun juga memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Hal ini terjadi karena mereka belum matur dan 195 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa (http://www.ibudanbalita.net). Kasus BBLR terjadi pada ibu MD yang bayinya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Kejadian ini terjadi pada awal tahun 2014. Ibu MD berusia 18 tahun dan hamil anak pertama. Awalnya ia melahirkan di Poskesdes Desa Wulai karena kebetulan rumahnya berada di seberang Poskesdes Wulai. Namun bidan tidak dapat menangani dan ia pun dirujuk ke RSUD AKO karena kelahirannya termasuk prematur. Saat melahirkan usia kehamilannya masih tujuh bulan dan bayinya pun meninggal sesaat setelah dilahirkan karena prematur dengan kondisi BBLR. Disamping usia ibu hamil yang kurang dari 20 tahun, persalinan lama dapat terjadi karena adanya kelainan pada janin seperti letak bayi sungsang. Persalinan yang dapat dilakukan di rumah dengan bantuan keluarga atau topo tawui hanyalah persalinan normal. Jika terjadi kelainan janin maka ibu harus dirujuk ke rumah sakit. Kehadiran topo tawui ini sebenarnya adalah untuk memberikan kekuatan kepada ibu yang akan melahirkan. Berhasil atau tidaknya proses persalinan sepenuhnya tergantung dari kekuatan ibu untuk mengejan. Namun jika bayi mengalami kelainan seperti letak bayi sungsang atau bayi terlilit tali pusat maka proses persalinan normal sulit untuk dilakukan. Kasus bayi sungsang terjadi pada kematian bayi ibu SI. Pada waktu hamil ia merasakan sakit di perutnya, ia pun pergi ke ibu AT yang biasa memijat ibu hamil yang mengalami masalah dengan kandungannya. Ibu AT tidak disebut sebagai topo tawui karena ia bukan dari Etnik Kaili Da’a tetapi dari Etnik Toraja. Namun ia pun tidak memeriksakan kandungannya ke ibu bidan. Ketika melahirkan ia sudah dirujuk bidan ke RSUD AKO. Namun ia tidak langsung berangkat karena perutnya belum begitu sakit. Keesokkan harinya ia baru pergi ke RSUD AKO ternyata tangan 196 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat bayinya sudah keluar duluan dan ia harus dirujuk ke rumah sakit Palu. Bayinya pun tidak dapat diselamatkan. 4.6. Potensi dan Kendala Pada bagian ini akan dianalisis masalah kesehatan ibu dan anak pada masyarakat Kaili Da’a Wulai dengan menggunakan teori perilaku kesehatan dari Fred Ell Dun. Menurut Fred Ell Dun dalam Kalangie, faktor-faktor perilaku manusia yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu 1) perilaku yang dilakukan secara sengaja atau sadar dan 2) perilaku yang dilakukan secara tidak sengaja atau tidak sadar. Ada perilaku-perilaku yang disengaja atau tidak disengaja membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok, sebaliknya ada yang disengaja atau tidak disengaja merugikan kesehatan (Kalangie 1994; 43). Analisis empat kuadran digunakan untuk mengidentifikasi kedua perilaku tersebut, yang terdiri dari: Menguntungkan (U) Potensi Merugikan (R) Kendala Sadar/Tahu (S) Tdk Sadar/ Tdk Tahu (TS) 1 4 2 3 Kotak 1 menunjukkan kegiatan manusia yang secara sengaja ditujukan untuk menjaga, meningkatkan kesehatan dan menyembuhkan diri dari penyakit atau gangguan kesehatan. Kegiatan ini berupa segi preventif, promotif dan kuratif. Segi- 197 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 segi ini mencakup baik tradisional, modern atau formal atau biomedis (Kalangie 1994: 44) Kotak 2 mencakup semua bentuk perilaku baik merugikan atau merusak kesehatan bahkan berdampak kematian, yang secara sadar atau sengaja dilakukan. Kotak 3 berhubungan dengan semua tindakan yang tidak disadari sedikit atau banyak berakibat mengganggu kesehatan individu atau kelompok sosial. Kotak 4 adalah kegiatan-kegiatan atau gejala-gejala yang secara tidak disadari atau tidak sengaja membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok sosial. Sadar 1 (Menguntungkan) Ibu hamil memeriksakan kehamilan ke bidan atau ke topo tawui Ibu hamil disuntik tetanus Ibu hamil membawa jimat untuk menghindari gangguan setan Ibu hamil membawa beban berat menjelang melahirkan 2 (Merugikan) 198 Tidak Sadar 4 (Potensi) Ibu hamil tidak boleh keluar rumah pada sore atau malam hari. Jika terpaksa harus keluar rumah memakai penutup kepala Persalinan dilakukan dengan dibantu oleh keluarga terutama suami Larangan bayi tidak boleh ke luar rumah sebelum 3 hari sebelum melakukan ritual adat nitau Posisi melahirkan secara teknis kebidanan mirip dengan posisi semi fowler yang dianjurkan 3 (Kendala) Ibu hamil tidak mau memeriksakan kehamilan ke Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat bidan Masyarakat lebih memilih melahirkan di rumah ditolong keluarga atau topo tawui Adanya ritual adat yang dilakukan ketika persalinan sulit membuat ibu terlambat dirujuk ke rumah sakit Ibu hamil sehari-hari hanya makan nasi dengan sayur Pemotongan tali pusat bayi menggunakan bambu Berdasarkan pengelompokkan perilaku di atas maka ada perilaku masyarakat Kaili Da’a Wulai yang dapat dimasukkan ke dalam perilaku kotak 1, 3 dan 4. Pada kotak pertama perilaku masyarakat Wulai yang secara sadar dilakukan dan menguntungkan adalah memeriksakan kehamilan ke bidan atau topo tawui. Ibu hamil ada yang memeriksakan kehamilannya ke bidan desa dan ada juga yang ke topo tawui. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilan ke bidan telah mengetahui manfaat dari tindakannya ini yaitu untuk memantau kesehatan diri dan janin yang dikandungnya. Namun berdasarkan pengamatan peneliti selama penelitian berlangsung hanya satu orang ibu hamil yang rajin memeriksakan kehamilannya ke bidan desa. Bagi ibu hamil yang memeriksakan kehamilan ke topo tawui biasanya dilakukan ketika perut terasa sakit. Perilaku lain yang termasuk kotak pertama adalah ketika ibu hamil disuntik tetanus oleh bidan. Suntikan ini bermanfaat untuk mencegah terjadinya infeksi ketika ibu melahirkan. Namun tidak semua ibu hamil memiliki keinginan sendiri untuk disuntik. Beberapa diantara mereka ada yang mau disuntik karena bidan datang ke rumah mereka ketika pelaksanaan Posyandu. Biasanya 199 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ibu yang didatangi di rumahnya adalah ibu hamil yang tidak mau memeriksakan diri sama sekali ke bidan. Sebagian masyarakat Kaili Da’a Wulai menggunakan jimat untuk menangkal gangguan makhluk ghaib atau setan pada masa kehamilan. Jimat tersebut berupa bawang merah atau bawang putih yang ditancapkan di paku kemudian dibawa jika ibu keluar rumah. Dalam bahasa lokal jimat ini disebut dengan kariango. Perilaku lain yang dapat digolongkan ke dalam kotak satu adalah perilaku ibu hamil membawa beban berat menjelang persalinan. Dalam pandangan masyarakat perilaku ini membawa manfaat dapat memperlancar proses persalinan karena membuat pinggul menjadi longgar. Pada kotak tiga adalah pengelompokkan perilaku yang dilakukan secara tidak sadar dan merugikan dan menjadi kendala dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Desa Wulai. Perilaku tersebut antara lain adanya ibu hamil yang tidak mau memeriksakan kehamilannya ke bidan. Perilaku ini dapat merugikan karena kesehatan ibu dan bayinya tidak dapat dikontrol oleh bidan. Apabila terjadi kelainan pada janin yang dikandung tidak dapat diketahui sejak masa kehamilan. Kemudian seperti yang telah dijelaskan di bagian pemilihan penolong persalinan dimana masyarakat Wulai lebih memilih melahirkan di rumah dengan ditolong keluarga atau topo tawui, perilaku ini merupakan kendala utama untuk menekan terjadinya angka kematian bayi di Desa Wulai. Perilaku ini tergolong perilaku yang tidak sadar dilakukan masyarakat namun merugikan karena masyarakat Wulai memiliki pandangan bahwa melahirkan di rumah ditolong keluarga atau topo tawui adalah hal yang lumrah yang telah dilakukan oleh keluarga mereka secara turun temurun. Namun jika terjadi persalinan sulit topo tawui tidak bisa menangani dan bidan baru dipanggil. Biasanya bidan dipanggil ketika topo tawui sudah menyerah. 200 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Untuk sebagian masyarakat Wulai terutama yang tinggal di Dusun Saluwu biasanya jika bayi tidak kunjung lahir akan topo tawui akan melakukan ritual ntari atau sambulu terlebih dahulu. Menurut pandangan masyarakat ritual ini bertujuan untuk mencari penyebab dari penyulit persalinan. Namun ritual ini dapat membuat ibu terlambat dirujuk karena ketika topo tawui menyerah biasanya sudah dua sampai tiga hari setelah perut ibu pertama kali sakit. Perilaku lain yang termasuk perilaku tidak sadar dan merugikan adalah kebiasaan ibu hamil yang sehari-hari hanya makan nasi dengan sayur. Ibu hamil memerlukan nutrisi yang lebih ketika hamil. Ibu hamil harus makan makanan yang cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitas gizinya untuk pertumbuhan janin dalam kandungan. Sumber utama zat besi adalah pangan hewani, kacang-kacangan serta sayuran berwarna hijau tua. Kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat besi (Fe) adalah rendahnya tingkat penyerapan zat besi di dalam tubuh, karena konsumsi makanan hewani rendah (Depkes RI 2005: 31). Sehari-hari ibu hamil kebanyakan hanya makan nasi dengan karena mereka tidak memiliki uang jika harus membeli ikan setiap hari. Ikan dikonsumsi sekali-kali, seminggu atau dua minggu sekali. Sedangkan ayam dan daging jarang dikonsumsi karena makanan ini bukan makanan yang menjadi menu seharihari masyarakat Wulai pada umumnya. Mereka biasanya memakan ayam atau daging ketika ada acara pesta. Selain itu sebagian masyarakat juga ada yang mempercayai bahwa ibu hamil tidak boleh memakan telur karena dapat membuat bayi menjadi besar. Padahal telur mengandung protein yang cukup tinggi yang dapat meningkatkan gizi ibu dan bayi yang dikandungnya. 201 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Perilaku lain yang termasuk kedalam kendala adalah pemotongan tali pusat menggunakan bambu juga termasuk perilaku tidak sadar dan merugikan karena dapat menimbulkan infeksi pada bayi apabila bambu yang digunakan tidak steril. Kotak empat adalah perilaku yang dilakukan secara tidak sadar namun ternyata bermanfaat bagi kesehatan ibu dan anak masyarakat Wulai. Salah satu perilaku yang termasuk kelompok ini adalah adanya pantangan bagi ibu hamil untuk keluar rumah pada sore atau malam hari. Masyarakat Wulai mempercayai jika ibu hamil keluar pada sore atau malam hari ibu hamil akan diganggu setan pok-pok. Agar tidak diganggu setan maka ibu hamil dianjurkan untuk memakai penutup kepala. Secara tidak sadar perilaku ini menguntungkan bagi kesehatan ibu hamil karena dengan tidak keluar rumah pada sore atau malam hari maka ibu hamil akan terhindar dari angin malam yang dapat membuat kesehatan ibu hamil terganggu. Selain itu ketika bersalin biasanya keluarga terutama suami terlibat dalam proses persalinan. Hal ini bermanfaat untuk memberikan dukungan kepada ibu agar terus berusaha mengejan sampai bayinya lahir. Masyarakat Kaili Da’a juga mempercayai bahwa bayi baru lahir tidak boleh keluar rumah selama tiga hari sebelum melakukan ritual adat nitau. Perilaku ini secara tidak sadar menguntungkan bagi kesehatan bayi karena bayi baru lahir daya tahan tubuhnya rendah sehingga rentan terkena virus atau kuman penyakit yang dapat menyebabkan bayi menjadi sakit. Posisi melahirkan di rumah pada masyarakat Kaili Da’a Wulai secara tidak sadar bermanfaat bagi kesehatan ibu karena melahirkan dengan posisi duduk yang di dalam teknis kebidanan disebut dengan posisi semi fowler. Pada posisi ini ibu duduk sambil bersandar kepada suami. Posisi ini aman untuk pemantauan proses turunnya kepala dan memberi dukungan 202 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat mental kepada ibu (www.kompas.com). bersalin dengan kehadiran suami 203 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 204 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Desa Wulai adalah desa yang mayoritas penduduknya adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah. Awalnya etnik Kaili Da’a adalah masyarakat yang tertutup, hidup secara nomaden dan menganut animisme. Orang luar sering menyebut mereka dengan sebutan binggi atau bunggu dimana mereka sendiri tidak menyukai sebutan itu. Saat ini kehidupan mereka sudah mulai berubah. Mereka sudah banyak yang tinggal di perkampungan dan kebanyakan menganut agama Kristen Protestan. Tidak semua ritual adat etnik Kaili Da’a masih dilaksanakan oleh penduduk Desa Wulai karena ada larangan dari pihak gereja yang menganggap ritual tertentu termasuk menyekutukan Tuhan. Hukum adat masih mereka gunakan yang bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat. Pengobatan tradisional juga masih dilakukan masyarakat Kaili Da’a Wulai. Mereka akan mendatangi topo tawui (dukun) terlebih dahulu dibanding tenaga kesehatan apabila mereka sakit. Secara umum masyarakat Wulai masih mengalami masalah kesehatan terutama masalah kesehatan ibu dan anak yang ditandai dengan angka kematian bayi yang cukup tinggi. Masalah kesehatan lain adalah pengendalian penyakit menular seperti tuberkolosis, malaria, dan diare. Untuk penyakit tidak 205 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menular, hipertensi adalah penyakit yang paling banyak diderita masyarakat Wulai. Selain itu perilaku hidup bersih sehat (PHBS) juga masih menjadi masalah yang ada pada masyarakat Wulai. Masalah kesehatan ibu dan anak khususnya masalah kematian bayi dapat terjadi karena sebagian besar masyarakat lebih banyak yang memilih melahirkan di rumah dibantu keluarga atau topo tawui dibandingkan melahirkan di fasilitas kesehatan dengan dibantu bidan. Mereka baru akan memanggil bidan jika persalinan mengalami kesulitan dan topo tawui sudah menyerah. Berdasarkan teori dari Lawrence Green ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi adalah unsur-unsur yang terdapat dalam diri masyarakat termasuk budaya masyarakat. Dalam hal ini adalah adanya pengetahuan masyarakat Wulai bahwa melahirkan di rumah adalah suatu hal yang wajar. Mereka juga lebih mempercayai topo tawui yang tidak menggunakan peralatan medis dibanding bidan yang memakai peralatan medis dalam menolong persalinan. Selain itu posisi melahirkan jika ditolong bidan yaitu dengan alat kelamin terbuka merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Wulai. Mereka lebih merasa nyaman melahirkan dengan posisi duduk dengan kaki diangkat dimana bagian perut sampai kaki ditutupi oleh sarung. Kemudian apabila ditemui persalinan sulit, adanya ritual adat yang dilakukan topo tawui turut membuat terjadinya keterlambatan ibu bersalin dirujuk ke rumah sakit. Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Desa Wulai adalah Poskesdes yang terletak di Dusun Watubete. Namun bagi masyarakat yang tinggal jauh dari lokasi Poskesdes mereka akan kesulitan jika melahirkan di Poskesdes. Hal ini disebabkan kondisi geografis 206 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Desa Wulai dimana setiap dusun dibatasi oleh sungai dan masih adanya penduduk yang tinggal di wilayah perbukitan tempat kebun mereka. Kondisi geografis juga akan menjadi hambatan jika ibu bersalin harus dirujuk ke rumah sakit. Akses keluar masuk Desa Wulai harus melewati sungai dimana jika hujan turun air sungai akan meluap sehingga jalan tidak bisa dilewati. Selain itu faktor biaya juga menjadi pertimbangan masyarakat mengapa tidak mau melahirkan ditolong oleh bidan. Jika melahirkan di rumah ditolong bidan mereka harus membayar sekitar Rp 500.000 sedangkan jika ditolong topo tawui mereka hanya membayar sukarela. Apalagi jika bidan tidak dapat menangani dan ibu bersalin harus dirujuk maka mereka harus mengeluarkan biaya untuk ambulans dan biaya rumah sakit. Faktor ketiga adalah faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku bidan yang membuat masyarakat memilih melahirkan ditolong oleh bidan. Bidan di Desa Wulai kurang melakukan pendekatan terhadap ibu-ibu hamil di Desa Wulai sehingga ibu hamil jarang yang melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan. Selain itu ketidakhadiran bidan di setiap Posyandu yang dilaksanakan di setiap dusun membuat kedekatan bidan dengan masyarakat berkurang. Untuk kasus penyakit menular seperti tuberkulosis, masyarakat Wulai berpendapat bahwa penyebab utamanya adalah karena merokok dan keturunan. Pendapat ini menunjukkan pemahaman masyarakat masih kurang terhadap penyebab penyakit tuberkulosis. Sedangkan untuk penyakit malaria masyarakat Wulai telah mengetahui penyebabnya adalah karena gigitan nyamuk. Namun kebanyakan dari mereka tidak menggunakan obat anti nyamuk ketika malam hari. Dalam hal penyakit tidak menular seperti hipertensi masyarakat Wulai menganggap penyebab penyakit ini adalah karena terlalu banyak pikiran atau terlalu banyak memakan 207 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 garam. Mengenai PHBS, masalah utama yang terjadi adalah masih sedikitnya masyarakat Wulai yang menggunakan jamban sehat, mereka terbiasa buang air besar di sungai. Selain itu sumber air bersih yang ada juga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebanyakan masyarakat Wulai pun banyak yang merokok baik laki-laki atau perempuan. Mereka juga masih banyak yang merokok di dalam rumah. Berdasarkan analisis dengan menggunakan teori Fred dan El Dunn ditemukan adanya budaya masyarakat Kaili Da’a Wulai yang dapat menjadi potensi dan kendala bagi pembangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Wulai. Budaya yang dapat menjadi kendala adalah masih adanya ibu hamil yang tidak mau memeriksakan kehamilan ke bidan. Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga lebih memilih melahirkan di rumah ditolong keluarga atau topo tawui dan tali pusat bayi dipotong dengan menggunakan bambu. Selain itu ritual adat yang dilakukan topo tawui ketika persalinan sulit juga membuat ibu hamil terlambat dirujuk ke rumah sakit. Ibu hamil juga memiliki kebiasaan makan nasi dengan sayur tanpa lauk yang dapat membuat kurang mendapat asupan gizi. Potensi yang ada pada masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah adanya pantangan bagi ibu hamil untuk keluar rumah pada sore atau malam hari dimana pantangan ini menguntungkan bagi ibu hamil karena terhindar dari sakit akibat angin malam. Keterlibatan keluarga terutama suami dalam proses persalinan merupakan hal yang menguntungkan karena keluarga memberikan dukungan dan motivasi kepada ibu selama proses persalinan berlangsung. Larangan bayi keluar rumah selama tiga hari sebelum melakukan ritual adat nitau menguntungkan bayi terhindar dari penyakit. Selain itu posisi duduk pada saat persalinan dilakukan di rumah secara teknis kebidanan mirip 208 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dengan posisi semi fowler yang dianjurkan karena dapat memperlancar proses persalinan. 5.2. Rekomendasi Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka rekomendasi yang peneliti berikan untuk pembangunan kesehatan masyarakat Desa Wulai adalah sebagai berikut: 5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak Perlu adanya kemitraan antara bidan dengan topo tawui agar masyarakat Kaili Da’a Wulai mau memeriksakan kehamilan dan melakukan persalinan di fasilitas kesehatan dengan ditolong bidan. Bidan harus dapat mendekatkan dirinya dengan topo tawui untuk mewujudkan kerjasama yang baik. Ketika persalinan berlangsung bidan dapat mengizinkan topo tawui untuk melakukan tiupannya sedangkan bidan bertugas untuk mengeluarkan bayi. Peran keluarga yang cukup besar pada saat proses persalinan dapat dimaksimalkan dengan cara adanya pendampingan dari petugas kesehatan untuk mengarahkan keluarga agar dapat melakukan persalinan secara higienis. Hal ini dilakukan untuk masyarakat yang tinggal jauh dari Poskesdes Desa Wulai. Selain itu keluarga juga perlu diberikan informasi mengenai beberapa tanda kehamilan risiko tinggi pada masyarakat sehingga dapat mencegah kematian ibu dan bayi. Keluarga juga perlu diberikan pelatihan dalam memotong tali pusat agar menggunakan peralatan steril, tidak lagi menggunakan bambu runcing. Kemudian bidan seharusnya juga selalu siap sedia di Poskesdes dan memiliki inisiatif untuk melakukan kunjungan ke rumah ibu hamil terutama ibu hamil yang berisiko tinggi. 209 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan secara Umum Petugas kesehatan lebih banyak melakukan upaya preventif dan promotif pada masyarakat. Perlu meningkatkan kesadaran pada masyarakat agar masyarakat Kaili Da’a Wulai mau berobat ke fasilitas kesehatan yang telah ada. Pengobatan gratis harus dilakukan setiap saat tidak hanya pada waktu tertentu, sesuai dengan perda setempat. Selain itu petugas kesehatan yang bertugas di Poskesdes sebaiknya selalu siap sedia ketika masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan. Peran pendeta juga perlu dimaksimalkan untuk mengajak masyarakat agar mau berobat ke fasilitas kesehatan. Kemudian untuk mempermudah masyarakat yang harus dirujuk ke rumah sakit maka perlu disediakan ambulans gratis. Selanjutnya untuk meningkatkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) masyarakat Wulai maka pemerintah perlu membangun fasilitas MCK yang memenuhi kriteria jamban sehat beserta sumber air untuk keperluan MCK. Selain itu pemerintah juga perlu membangun fasilitas sumber air bersih yang mencukupi kebutuhan air bersih penduduk Desa Wulai. 210 INDEKS A agama · 11, 30, 31, 36, 38, 40, 42, 64, 120, 152, 191, 205 air mentah · 131 aktivitas · 10, 51, 93, 118, 121, 127, 166 animisme · 30, 31, 205 B bahasa · 5, 14, 15, 16, 19, 32, 33, 49, 52, 54, 70, 71, 81, 139, 178, 188, 200 bantaya · 28, 38, 42, 48 D denda · 36, 37, 48, 49, 50, 51, 85, 100, 112, 194, 195 denda adat · 36, 37, 49, 194 dialek · 16 F fasilitas kesehatan · 1, 65, 95, 134, 155, 166, 180, 184, 186, 206, 209, 210 211 G ghaib · 32, 39, 52, 54, 174, 200 gizi buruk · 114 guna-guna · 54, 57, 62, 82, 221 H haid · 80, 81, 82 hukum adat · 36, 45, 48, 49, 50, 84, 194 I ibadah · 40, 41, 42, 43, 46, 47, 112, 117, 166 ilmu hitam · 39, 54, 57, 64, 221 imunisasi · 93, 109, 114, 115, 117 Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat · 3, 216 Inisiasi Menyusui Dini · 104 J jamban · 118, 119, 208, 210 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 K kader · 11, 91, 100, 103, 109, 113, 114, 115, 116, 117 kebudayaan · 2, 5, 152 kehamilan · 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 103, 117, 154, 165, 166, 189, 195, 198, 199, 200, 207, 208, 209 kehidupan · 10, 11, 18, 24, 32, 45, 48, 79, 80, 111, 205 kekerabatan · 43 kematian · 3, 4, 9, 38, 39, 40, 51, 55, 104, 127, 128, 129, 130, 133, 134, 144, 148, 151, 152, 165, 171, 177, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 198, 200, 205, 206, 209 kepercayaan · 32, 34, 38, 39, 55, 81, 167, 172, 175 kesehatan ibu dan anak · 1 kesehatan reproduksi · 79, 80, 82 keselamatan · 32, 38, 42, 49, 94, 95, 111, 113, 175 kesenjangan · 2 Kesimpulan · 205 keteguran · 52 ketua adat · 26, 28, 35, 36, 37, 48, 49, 50, 56, 85, 194, 195 keturunan · 16, 43, 47, 48, 56, 57, 86, 87, 88, 138, 139, 207 kolostrum · 104, 105 kontrasepsi · 102, 103 212 L larangan · 2, 33, 36, 50, 53, 63, 84, 105, 123, 205 leluhur · 30, 31, 32, 33, 49, 221 M madero · 39, 84, 217 Mahar · 37 makanan · 2, 33, 47, 53, 59, 68, 69, 70, 76, 81, 83, 88, 89, 92, 101, 102, 105, 110, 111, 126, 130, 131, 145, 153, 154, 201 masa transisi · 79 masyarakat · 2, 5, 6, 9, 10, 11, 13, 14, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 30, 31, 33, 34, 36, 39, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 80, 85, 87, 88, 89, 90, 94, 99, 103, 106, 107, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 138, 141, 143, 144, 146, 147, 148, 152, 164, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 184, 186, 188, 190, 194, 197, 199, 200, 201, 202, 205, 206, 207, 208, 209, 210 melahirkan · 1, 2, 23, 56, 76, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 100, 101, 102, 104, 109, 141, 154, 155, 158, 159, Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat 162, 163, 164, 165, 166, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 188, 189, 190, 193, 194, 195, 196, 198, 199, 200, 202, 206, 207, 208 menarche · 80, 81, 82, 214 menstruasi · 80, 81, 82 merokok · 118, 123, 124, 125, 126, 127, 138, 142, 145, 207, 208 mompongo · 124, 125 N nabelomo · 51 nitau · 106, 107, 108, 109, 176, 198, 202, 208 nomaden · 17, 25, 205 nopaponera · 144 P pacaran · 84, 85 pantangan · 2, 53, 57, 58, 59, 81, 88, 89, 91, 101, 102, 105, 106, 107, 134, 145, 149, 155, 176, 202, 208 pasangan · 11, 36, 38, 44, 45, 50, 85, 86, 87, 195 patrilineal · 43, 44 pemimpin · 32, 40 pemukiman · 7, 13, 14, 25, 32 pendidikan · 24, 71, 75, 79, 80 pengantin · 37, 38 pengetahuan · 42, 79, 81, 83, 139, 140, 172, 173, 206 penguasa · 49, 85, 177 penimbangan · 114, 117, 118 penyakit · 1, 4, 10, 11, 16, 34, 36, 52, 53, 54, 56, 58, 60, 61, 62, 63, 66, 83, 85, 96, 104, 122, 126, 127, 128, 129, 130, 134, 136, 137, 138, 139, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 170, 172, 175, 176, 178, 197, 202, 205, 207, 208, 221 Penyakit Menular · 5, 128 Penyakit Tidak Menular · 5, 144 penyembuhan · 56, 59, 61, 82, 129, 132, 139, 142, 145 perceraian · 50 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat · 5, 117, 215 perkampungan · 13, 14, 15, 17, 18, 24, 25, 28, 63, 74, 153, 172, 181, 185, 190, 205 perkawinan · 29, 36, 37, 38, 45, 47, 178 perkenalan · 84 pernikahan · 37, 38, 45, 50, 84, 85, 112, 153, 166, 177, 194 persalinan · 1, 2, 11, 88, 89, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 100, 108, 111, 118, 154, 155, 156, 163, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 174, 176, 177, 178, 180, 181, 182, 184, 188, 192, 193, 194, 195, 196, 198, 200, 201, 202, 206, 208, 209 pesta · 31, 32, 33, 39, 47, 69, 70, 84, 201 213 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pesta panen · 31, 32, 33 pok-pok · 39, 82, 89, 202 porantana · 32 povae · 33 Powati · 31, 34, 35, 44, 82, 105, 221 R ramuan · 60, 61, 62, 140 Rekomendasi · 209, 210 remaja · 11, 24, 45, 70, 75, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 112, 123, 214, 215 ritual · 2, 30, 31, 32, 33, 35, 44, 71, 81, 94, 107, 108, 124, 167, 175, 198, 201, 202, 205, 206, 208, 221 roh jahat · 2, 31, 57, 177 rumah tinggi · 25, 26, 28, 94, 157, 166 S sakit · 16, 23, 34, 35, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 66, 67, 75, 76, 82, 88, 91, 93, 95, 96, 100, 101, 102, 104, 106, 107, 109, 110, 114, 115, 125, 126, 129, 130, 132, 133, 134, 141, 142, 145, 146, 147, 148, 149, 153, 155, 157, 158, 160, 161, 162, 164, 165, 167, 170, 171, 173, 176, 177, 178, 179, 181, 182, 183, 184, 185, 187, 188, 191, 194, 196, 214 198, 199, 201, 202, 205, 206, 207, 208, 210, 221 sakral · 38 sanksi adat · 48, 49, 85 sehat · 2, 10, 16, 34, 51, 53, 63, 79, 101, 102, 106, 118, 122, 126, 142, 206, 208, 210 seksualitas · 80, 81 sengketa · 48 sesajian · 31, 33 siklus bulanan · 82 Sistem Kemasyarakatan · 47 status gizi · 2, 136 status kesehatan · 1 suami istri · 11, 44, 45, 50, 85, 86, 87 sumbangan · 46, 47 T tarian · 33, 84, 217 topo tawui · 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 82, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 99, 101, 102, 106, 108, 109, 129, 132, 134, 139, 145, 146, 147, 148, 149, 154, 155, 158, 160, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 182, 186,똨188, 189, 190, 193, 196, 198, 199, 200, 201, 205, 206, 207, 208, 209 tradisional · 11, 60, 61, 62, 71, 76, 87, 180, 198, 205 tuberkulosis · 136, 137, 138, 207 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat U upacara adat · 28, 39 W warisan · 45 V volo · 98 215 GLOSARIUM Ambo Babolo Baingus Bantaya Barego Bunggu Binggi Dowa Doti Gane-gane Ju’a Ju’a Na’a Ju’a Ntomo Ju’a Sule Ju’a Tai Ju’a Vo’o Kabuaga Kabunakana Kariango Kebulu Koala Kotu Lou Madero Madika 216 Kulit Kayu Dilubangi Penyakit ISPA Bangunan tempat pelaksanaan pertemuan atau ritual adat Menari sebagai tanda persahabatan Gunung Pantai Mantera Penyakit mematikan akibat guna-guna ilmu hitam Guna-guna Sakit Sakit Ringan Sakit Berat Sakit Jantung Sakit Perut (Diare) Sakit Kepala Kurang Sehat Keteguran Jimat bawang merah dan bawang putih yang ditempelkan ke paku Petir Sungai Guna-guna akibat ilmu hitam ditandai dengan adanya benda yang keluar dari tubuh Ayunan Menari dengan iringan musik Raja Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Mangote Ngana Mantipulu Mesa Mampongo Nabelomo Nalino Napone Vonda Naponte Nenteke Nitau Ntari Nompo Poyu Pakuli Pali Pok-pok Poki Papitu Poki Sasio Porantana Potaro Povae Powati Ratana/Ratanoa Sambulu Salampeto Tavui Tavuni Tawunggala Toya Tombo Topo Tawui Melahirkan Daun untuk mengobati luka Sarung adat Mengunyah tembakau sirih pinang Sehat Sembuh Darah tinggi Sakit gondok Batuk Ritual turun tanah untuk bayi yang berusia tiga hari Ritual untuk mencari sumber penyakit Ritual adat dalam membuka lahan baru Obat Pantangan Manusia yang dapat berubah menjadi hantu akibat ilmu hitam Adat tujuh Adat sembilan Darah dicurahkan ke tanah Tarian yang ada unsur magisnya Nyanyian untuk memanggil arwah leluhur Ritual adat dalam memperingati hari lahir Menstruasi Posisi bayi yang salah dalam kandungan Ditiup Ari-ari Daun untuk obat sakit gigi Diayun Tunas Orang yang bisa bertiup (dukun) Tali Pusat (Plasenta) 217 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Valaampuse Viata Volo’ Wuku Saya Ummah 218 Sumber penyakit Bambu tajam Biji-biji kalung Keturunan raja yang paling dihormati DAFTAR PUSTAKA Ahimsa, 2005. “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya” dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: Kepel Press. Amilda, N. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi. Skripsi. Universitas Diponegoro Anggorodi, R., 2013. Dukun Bayi Dalam Persalinan Oleh Masyarakat Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 13, No 1, Juni 2009:9-14 Anggraeni, E., 2008. Peran orang tua dalam persiapan menghadapi menarche bagi remaja putri di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Skripsi, Universitas Diponegoro. Arisman. 2010. Obesitas, Diabetes Mellitus, dan Dislipidemia: konsep, teori, dan penanganan aplikatif. Jakarta: EGC. Badan Pusat Statistika, 2012. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas. BKKBN, 2012. Komunikasi efektif orang tua dengan remaja. Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan Remaja. Darmayanti, N. 2012. Endemik Goiter. ojs.unud.ac.id/ Darmono, D. (2005). Pengaturan Pola Hidup Penderita Diabetes Untuk Mencegah Komplikasi Kerusakan Organ-Organ Tubuh. Documentasi. Semarang ; Diponegoro University Press. 219 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Depkes, RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Dirjen Bina Kefarmasiaan dan Alat Kesehatan. Depkes, RI. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Depkes, RI. 2011. Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Fadlyana E dan Larasaty S. 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2009 Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Faidi, Ahmad. Etnik Kaili: Etnik Seribu Kearifan. 2013. http://sosbud.kompasiana.com. Diakses pada tanggal 19 Agustus 2014 pukul 14.30 WIB. Fatimah, S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan: Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantasari) Tahun 2008. Tesis, Universitas Diponegoro. Habsjah, dkk. 1995. Peranan Ayah vis-a-vis Ibu dan Pranata Sosial Lainnya dalam Pendidikan Seks Remaja, Jakarta: The Population Council and The Atma Jaya Research Centre. Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: PT Kosaint Blanc Indah Corp. Kehamilan Yang Perlu Diwaspadai. http://www.bidanku.com. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2014 Pukul 15.00 WIB. 220 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Keman, Soedjajadi, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman, Journal Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005. Kemenkes RI, 2010. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kemenkes RI, 2010. “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. Kemenkes RI, 2012. “Laporan Nasional Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak”. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. Keunggulan Dan Kelemahan Beberapa Posisi Saat Persalinan. http://www.internasional.kompas.com. Diakses pada tanggal 12 September 2014 pukul 12.42 WIB. Lutfi, M. “Tarian Dero atau Madero”.. http://http://www.itoday.co.id. Diakses Pada Tanggal 13 September 2014, pukul 13.00 WIB. Mardani. 2012. Hubungan Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Primagravida dan Multigravida di Rumah Sakit Umum Daerah Sragen. Maternal Volume 7 Edisi Oktober: 112-127. Naskah Pidato GB Prof Agus Suradika. http://www.unr.ac.id. Diakses pada tanggal 21 Agustus pukul 10.00 WIB. National Heart, Lung, and Blood Institute. “What Is Coronary HeartDisease”.http://www.nhlbi.nih.gov/health/healthtopics/topics/cad. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2014 Pukul 10.00 WIB. Nugraha, N. 2014. G2P1A0 Hamil Aterm Inpartu Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala dengan Partus Kasep. Medula, 2(03). 221 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Nurrizka, R dan Saputra. 2013. Arah dan Strategi Kebijakan Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia. Prakarsa Policy Papers/Public Policy/2013/01. Pengertian Dan Faktor Bayi Lahir Mati. http://www.ibudanbalita.net. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2014 pukul 12.48 WIB. Penyebab Persalinan Lama. http://www.pondokibu.com. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2014 pukul 13.00 WIB. PDPI. 2006. Tuberculosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html Profil Desa Wulai Tahun 2013. Profil Kabupaten Mamuju Utara. http://www.kemendagri.go.id. Diakses pada tanggal 21 Juni 2014 pukul 15.00 WIB. Profil Kecamatan Bambalamotu 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara Tahun 2012. Rosidi, A., Handarsari, E., Mahmudah, M. 2010. Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan dan Sanitasi Makanan dengan Kejadian Diare Pada Anak SD Negeri Podo 2 Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. J Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol 6, No.1 Th 2010:76-84 Sari, A., Ramdhani., Eliza. 2003. Empati dan Perilaku Merokok di Tempat Umum. Jurnal Psikologi 2003, No. 2, 81 – 90. Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 222 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat Selayang Pandang Kabupaten Mamuju Utara. http://www.mamujuUtarakab.go.id. Diakses pada tanggal 19 Juni 2014 pukul 20.00 WIB. Sesa, J. 2013. Hubungan Peran Orang Tua dan Sumber Informasi dengan Perilaku Seksual Remaja di SMAN 15 Semarang. http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=12872 Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Suryati, B. 2012. Perilaku Kebersihan Remaja Saat Menstruasi. Jurnal Health Quality Vol. 3 No. 1, Nop 2012 Susanna, D., Hartono, B dan Fauzan, H. 2003. Penentuan Kadar Nikotin Dalam Asap Rokok. Makara Kesehatan, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. Syahrini E, Susanto H, dan Udiyono A. 2012. Faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No.2, Tahun 2012: 315-325 WHO. 2002. The Global Plan to Stop Tuberculosis – STOP TB Partnership. Geneva: WHO Press WHO. 2010. Global Recommendations On Physical Activity For Health. Geneva: WHO Press WHO. 2012. Global Tubercolosis Report. http://www.who.int. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2014 Pukul 13.30 WIB. WHO. 2013. WHO NCD Surveillace Strategi. http://www.who.int. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2014 Pukul 13.30 WIB. 223 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya penelitian ini. Kami menyadari bahwa naskah ini tidak dapat disusun dan diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan masukan kepada kami mulai dari proposal penelitian sampai dengan penyelesaian penyusunan naskah ini. Untuk itu kami menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI beserta jajarannya. 2. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI beserta jajarannya. 3. Seluruh Pejabat Eselon III dan Eselon IV serta staf Pusat Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. 4. Ketua dan anggota PPI Pusat Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. 5. Penanggung jawab Riset Etnografi Kesehatan, ketua pelaksana, koordinator, reviewer dan tim teknis Riset Etnografi Kesehatan. 6. Koordinator Wilayah dan reviewer tim REK Mamuju Utara 7. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat beserta jajarannya. 8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara beserta jajarannya. 9. Kepala Kecamatan Bambalamotu beserta jajarannya. 10. Kepala Puskesmas Kecamatan Randomayang beserta jajarannya. 224 Etnik Kaili Da’a, Kab. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat 11. Kepala Desa Wulai beserta jajarannya dan masyarakat desa Wulai yang terlibat dalam penelitian ini. 12. Semua pihak yang telah membantu langsung maupun tidak langsung termasuk memberikan saran dalam penyusunan naskah ini. Terakhir kami ucapkan terima kasih kepada keluarga yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami. Kiranya Allah SWT yang akan membalas semua budi baik yang telah diberikan kepada kami. Penulis 225 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 226