BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini akan mengkaji motivasi Cina di bawah pemerintahan Hu Jintao dibalik dukungannya terhadap proyek nuklir Iran. Sejak proyek nuklir Iran dialihkan ke Dewan Keamanan PBB, Cina memiliki peluang yang lebih besar untuk menggunakan kekuatan diplomasinya di Dewan Keamanan PBB untuk mempengaruhi setiap keputusan terkait penyelesaian polemik nuklir Iran agarsesuai dengan tujuan kepentingan nasionalnya. Kedekatan hubungan bilateral Cina dengan Iran baik secara ekonomi dan politik, membuat Cina sulit untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran lebih mengutamakan penyelesaian masalah dengan mekanisme perundingan untuk mencapai kesepakatan bagi semua pihak yang terlibat. 1.1. Latar Belakang Masalah Isu nuklir Iran telah menjadi salah satu isu politik internasional yang cukup kompleks dalam 10 tahun terakhir. Teknologi nuklir yang tengah dikembangkan Iran menjadi sumber ketakutan bagi Amerika Serikat dan sekutu terdekatnya Israel yang mencurigai program nuklir Iran bertujuan untuk memproduksi senjata. Meskipun di sisi yang berbeda, Iran selalu mengklaim dan meyakinkan dunia internasional bahwa tujuan dari program nuklirnya adalah sebagai sumber energi alternatif pembangkit listrik tenaga nuklirdan keperluan medis. Munculnya krisis nuklir Iran memperlihatkan bahwa sejak berakhirnya perang dunia II, isu pengembangan nuklir tetap menjadi salah satu terma penting dalam konstelasi global. Adanya peningkatan regulasi-regulasi yang semakin ketat ditujukan kepada negara-negara pemilik nuklir. Pengembangan nuklir yang dilakukan oleh suatu negara memicu reaksi dari berbagai kalangan. Kecaman yang datang dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang merasa pengembangan nuklir Iran merupakan ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan global tidak dapat dielakkan. 1 Permasalahan nuklir Iran secara resmi dibawa ke Dewan Keamanan PBB pada tahun 2006. Sejak saat itu Amerika Serikat terus berupaya menggalang dukungan dari negara-negara kunci yang memegang hak veto di Dewan Keamanan PBB agar bersedia menghukum Iran karena menolak menghentikan pengembangan nuklirnya. Beberapa negara Barat seperti Inggris, Prancis dan Jerman merespon positif ajakan Amerika Serikat dengan bersedia menjatuhkan sanksi kepada Iran. Berbeda dari negara-negara Eropa, Cina dan juga Rusia yang cenderung menunjukkan penolakan atas penerapan sanksi sebagai cara dalam menyelesaikan krisis nuklir. Cina tidak memiliki pandangan yang sama dengan negara-negara Barat yang menganggap proyek nuklir Iran sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. Persepsi Cina tersebut didukung dengan fakta bahwa sampai saat ini Iran masih tetap menjadi anggota NPT (Nuclear non-Proliferation Treaty), di mana di dalam mekanisme pengembangan nuklirnya masih berada di bawah kontrol IAEA (International Atomic Energy Agency). Bagi Cina, penyelesaian krisis nuklir melalui mekanisme dialog dan negosiasi lebih tepat daripada sanksi selama Iran masih bersikap kooperatif dengan IAEA terkait pengembangan nuklirnya. Kerja sama yang baik antara Iran dan IAEA menjadi penting untuk mencegah penyebaran senjata nuklir serta terjaminya hak secara legal untuk memiliki terknologi nuklir bertujuan damai bagi negara yang telah menandatangani kesepakatan NPT.1 Cina memiliki hubungan khusus dengan Iran di antara para negosiator yang tergabung di P5+1 (lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB 1 Merujuk pada artikel IV dalam traktat NPT yang menyebutkan bahwa “the inalienable right of all the Parties to the Treaty to develop research, production and use of nuclear energy for peaceful purposes without discrimination and All the Parties to the Treaty undertake to facilitate have the right to participate in, the fullest possible exchange of equipment, materials and scientific and technological information for the peaceful uses of nuclear energy”, Lihat, Department for Disarmament Affairs, United Nations, The Treaty on the non-Proliferation of Nuclear Weapons, New York, 2005. Selain itu, pada tahun 1968 Iran menandatangani perjanjian non proliferasi nuklir (NPT) kemudian meratifikasinya pada tahun 1970, berdasarkan pada perjanjian tersebut proyek nuklir Iran harus berjalan di dalam kerangka hukum internasional yang berlaku dan seluruh aktifitas nuklirnya berada di bawah kontrol dan inspeksi IAEA. Lihat, S. N. Nikou, „Timeline of Iran‟s Nuclear Activities,‟ (daring), 2015, <http://iranprimer.usip.org/resource/timeline-irans-nuclear-activities>, diakses pada 13 November 2015. 2 ditambah Jerman) baik di dalam hubungan politik, ekonomi maupun keamanan. Di bidang politik dan ekonomi, kedua negara memiliki hubungan yang baik jika dilihat dari diterimanya Iran menjadi anggota SCO dengan status observer, lebih dari itu Cina dan Iran merupakan mitra ekonomi yang kuat dalam perdagangan energi maupun non energi. Adapun di bidang keamanan, kedua negara tidak memiliki sejarah konflik militer. Oleh karena itu, untuk menganalisa motivasi Cina dalam keterlibatan aktifnya di P5+1, tidak hanya terbatas bahwa Cina sangat perhatian terhadap isu-isu keamanan internasional namun terdapat agenda besar lain yang berusaha dicapai Cina melalui dukungannya terhadap Iran. Dukungan Cina terhadap program nuklir Iran tidak terlepas dari pertimbangan nilai strategis kerja samanya dengan Iran utamanya di sektor energi. Cina melihat Iran sebagai mitra yang dapat diandalkan dalam mendukung pemenuhan energi untuk keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Dengan kata lain, mendukung Iran akan semakin membuka kesempatan bagi Cina untuk meningkatkan peranannya di Iran setelah beberapa negara Eropa mulai menghentikan kerja sama dengan Iran karena kontroversi nuklir yang sedang dihadapinya. Keberadaan sumber energi yang berlimpah di bumi Iran dengan presentase cadangan minyak mentah yang berkisar 137 milyar barel telah menjadikan Iran sebagai produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi di dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) dengan jumlah produksi sebesar 4 juta barel per hari dan sumber gas alam sebanyak 1.046 triliun cubic feet (Tcf) telah menempatkan Iran di posisi terbesar kedua setelah Rusia sebagai pemilik cadangan gas alam dunia. 2 Fakta tersebut telah mengantarkan Iran menjadi salah satu pemain penting di dalam perdagangan energi internasional yang tidak bisa diabaikan keberadaannya. Berdasarkan pada sumber energi yang dimiliki Iran, Cina melihat Iran sebagai salah satu kekuatan regional yang cukup penting bagi kepentingan Cina di Timur Tengah. Sampai saat ini Iran menjadi pengekspor minyak mentah ke Cina 2 EIA , „Iran Energy Profile: Still OPEC’s Second-Largest Oil Producer-Analysis,‟ (daring), 2011, <http://www.eurasiareview.com/22112011-iran-energy-profile-still-opecs-secondlargest-oil-producer-analysis/>, diakses pada pada tanggal 27 Juli 2015. 3 terbesar ketiga setelah Arab Saudi dan Angola. Sejalan dengan perekonomian Cina yang semakin berkembang, kebutuhan akan minyak mentah dari negara lain juga terus meningkat. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan Iran menjadi salah satu upaya Cina dalam menjaga pasokan minyak mentah tetap aman. Dukungan yang diberikan Cina terhadap nuklir Iran menjadi salah satu tantangan bagi kerja sama internasional yang dipimpin Amerika Serikat untuk mengisolasi Iran. Meskipun tidak secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap nuklir Iran, namun Cina mengakui hak legal Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir di bawah pengawasan IAEA dan meminta semua pihak untuk menghormati kebijakan Iran. Dalam kunjungan tingkat tinggi yang mempertemukan antara presiden Hu Jintao dan Ahmadinejad, nuklir Iran selalu menjadi agenda perbincangan utama. Presiden Hu Jintao mengungkapkan bahwa Cina akan selalu berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan permasalahan nuklir melalui kerja sama dan dialog dengan seluruh pihak yang terlibat. Dukungan Cina disambut baik oleh presiden Ahmadinejad yang juga menginginkan permasalahan nuklirnya dapat diselesaikan dengan damai tanpa sanksi. Presiden Ahmadinejad menegaskan bahwa pengembangan nuklir Iran akan terus berjalan di bawah kerangka hukum dan peraturan legal dari IAEA dalam pemanfaatan energi nuklir.3 Penolakan Cina mengikuti ajakan Amerika Serikat untuk menghukum Iran perihal proyek nuklirnya, dinilai banyak pihak karena Cina tidak memiliki kepentingan strategis dalam hal pelaksanaan sanksi terhadap Iran. Sebaliknya, Cina memandang Iran sebagai mitra penting dalam mensuplai kebutuhan pasokan energi ke Cina. Ketergantungannya terhadap minyak mentah Iran, membuat Cina sulit untuk menerapkan sanksi kepada Iran. 3 S. Qiang, „Hu, Ahmadinejad Discuss Iran Nuclear Issue,„ (daring), 2007, <http://www.chinadaily.com.cn/china/2007-08/16/content_6028868.htm>, diakses pada21 September 2015. 4 1.2 Rumusan Masalah Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Apa kepentingan Cina dalam mendukung program nuklir Iran di bawah Hu Jintao? 1.3 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka menjadi bahan pertimbangan untuk menunjukkan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian atau tulisan lain yang pernah dilakukan sebelumnya. Tulisan pertama berupa jurnal yang ditulis oleh LIU Jun dan WU Lei yang berjudul key issues in China-Iran relations di dalam sebuah jurnal internasional yang diterbitkan oleh Universitas Yunnan tahun 2010. 4 Dalam tulisan ini LIU dan WU memaparkan kajian tentang pentingnya Iran bagi Cina secara ekononi dan strategis. Oleh karena itu tulisan ini berupaya menganalisa benang merah dibalik hubungan Cina dan Iran yang dipaparkan setidaknya di dalam tiga dimensi utama yaitu isu ekonomi, nuklir dan strategis. Kedua penulis berpendapat bahwa hubungan Cina-Iran banyak ditentukan oleh situasi dalam negeri di kedua negara dan lingkungan strategis internasional. Dalam dimensi ekonomi, kerja sama perdagangan terjalin dalam dua area yakni general trade dan oil-gas trade. Hubungan perdagangan terus meningkat secara signifikan dari sebesar 400 juta dolar AS di tahun 1994 menjadi 29 milyar dolar AS pada tahun 2008. Peningkatan tersebut tidak lepas dari upaya-upaya yang dilakukan Cina dan Iran untuk mengeksploitasi potensi ekonomi mereka di antaranya penandatanganan beberapa perjanjian, menyelaraskan peraturan imporekspor melalui serangkaian koordinasi yang dilakukan kedua negara, menghilangkan hambatan keuangan dan perbankan dalam aktifitas perdagangan kedua negara, menetapkan arbitrase legal. Iran merupakan pasar penting bagi produk-produk dan teknologi Cina begitu sebaliknya Cina juga menjadi pasar yang menguntungkan bagi komoditas minyak mentah Iran. Lebih lanjut dalam isu nuklir, Cina tetap konsisten mendukung program nuklir Iran yang bertujuan untuk kepentingan sipil, Beijing percaya bahwa negara 4 L. Jun & W. Lei, „key issues in China-Iran relations,‟ Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia) Vol.4, No. 1, 2010. 5 berdaulat seperti Iran memiliki hak secara legal untuk mendapatkan teknologi nuklir secara damai karena Iran adalah negara yang menandatangani perjanjian NPT dan usaha perlindungan dengan IAEA yang mendapatkan hak untuk mengembangkan nuklir. Lebih dari itu, Cina dengan tegas percaya bahwa solusi damai dengan jalan diplomasi dan dialog berkelanjutan adalah pilihan terbaik dalam penyelesaian kontroversi nuklir Iran. Selanjutnya dalam isu-isu strategis, Liu dan Wu mengidentifikasi selain minyak, letak geografi Iran yang berdekatan dengan selat hormuz memiliki nilai strategis terlebih dalam hal energi mampu mengundang perhatian yang signifikan bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, Uni Eropa dan beberapa negara besar lainnya di Asia. Sebagian besar minyak dari Timur Tengah ke beberapa negara di Asia dan Eropa mewelati selat hormuz. Cina melihat Iran muncul sebagai kekuatan baru di kawasan sebagai produsen minyak dan mengontrol selat hormuz oleh karenanya memperkuat hubungan dengan Iran memudahkan Cina mencapai sumber energi di kawasan Laut Kaspia. Sebaliknya bagi Iran, membangun hubungan baik dengan Cina memberikan keuntungan bagi perekonomian Iran. Jurnal ini sebagai rujukan utama yang menjadi inspirasi peneliti untuk menganalisa perilaku Cina terhadap Iran khususnya yang berkaitan dengan isu nuklir Iran. Jurnal ini menyajikan data yang relevan tentang hubungan Cina dan Iran yang dikaji dari beberapa isu strategis sehingga bermanfaat dalam mendukung penulisan tesis ini. Tulisan kedua berupa jurnal ditulis oleh Zhao Hong dengan judul China’s Dilemma on Iran: between energy security and a responsible rising power.5 Zhao Hong memfokuskan pada strategi Cina dalam menghadapi dilema berkaitan dengan krisis nuklir Iran di mana tekanan internasional terhadap Cina semakin kuat di tengah meningkatnya investasi di sektor energi Iran. Hal tersebut menimbulkan dilema bagi pemimpin Cina di satu sisi ingin tetap mempertahankan kerja sama ekonomi dengan Iran khusunya di sektor energi, namun di sisi lain 5 Z. Hong , „China’s Dilemma on Iran: between energy security and a responsible rising power,‟ Journal of Contemporary China, Vol. 23, No. 87, 402-424, Routledge, Taylor & Francis Group, 2013. 6 Cina berkeinginan untuk meningkatkan citra sebagai negara besar yang bertanggung jawab memelihara tatanan keamanan internasional yang stabil. Dalam hal ini Iran dianggap oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, sebagai negara yang berbahaya karena dicurigai tengah membangun senjata nuklir yang dapat mengancam keamanan internasional. Sebagai negara yang berupaya kembali mereposisi kekuatannya di dunia internasional, berusaha menjaga stabilitas lingkungan internasional untuk mendorong pembangunan ekonomi dan modernisasi jangka panjang dengan menjalin hubungan baik dengan negara besar seperti Amerika Serikat sangatlah krusial, di sisi lain modernisasi juga meningkatkan konsumsi minyak domestik, sehingga mendorong Cina untuk semakin memperluas kerja sama dengan negaranegara penghasil minyak mentah seperti Iran. Krisis nuklir Iran dengan Amerika Serikat menghadapkan Cina pada tantangan baru yang memaksa Cina untuk memikirkan kembali strategi diplomasinya, oleh karena itu Beijing mengadopsi “double-track strategy,” yaitu strategi yang dijalankan melalui upaya diplomatik dan sanksi untuk menyelesaikan masalah isu nuklir Iran. Cina menginginkan permasalahan nuklir Iran diselesaikan dengan diplomasi, karena sanksi terhadap Iran tidak akan menyesaikan masalah. Meski demikian, sanksi diperlukan hanya untuk membawa Iran kembali ke meja perundingan, seperti yang terjadi setelah pemilu Iran tahun 2009, di mana Iran menolak untuk melakukan perundingan dengan Dewan Keamanan PBB. Peneliti menggunakan jurnal ini sebagai salah satu referensi karena jurnal ini memuat kesamaan topik dengan tesis yang akan diteliti yakni membahas tentang hubungan Cina dan Iran dalam kaitannya dengan krisis nuklir Iran, namun tulisan ini lebih menitikberatkan pada dilema Cina sebagai anggota tetap Dewan keamanan PBB yang aktif mencegah persebaran senjata dan mitra dekat Iran terkait keterlibatannya dalam penyelesaian krisis nuklir. Tulisan ini memuat banyak data-data yang relevan dalam menunjang penulisan tesis ini. Tulisan yang ketiga juga penelitian dalam bentuk jurnal yang ditulis oleh Lounnas Djallil dengan judul China and Iranian Nuclear Crisis: between 7 ambiguities and interests. 6 Lounnas menyoroti tentang kompleksitas hubungan antara Teheran, Cina dan Amerika Serikat dalam isu nuklir Iran. Kebijakan Cina terhadap Iran sering memperlihatkan ambiguitas antara mendukung Amerika Serikat di satu sisi dan sekaligus berupaya melindungi Iran di sisi yang lain. Dalam penelitian ini kebijakan Cina terhadap nuklir Iran mencerminkan hubungannya dengan Amerika Serikat, semakin tegang hubungan antara Cina dan Amerika Serikat, maka akan semakin baik hubungan antara Cina dan Iran begitu pun sebaliknya. Analisa Lounnas Djallil menunjukkan bahwa Cina menggunakan Iran sebagai kekuatan posisi tawarnya dengan Amerika Serikat terhadap dua isu keamanan utama yaitu Taiwan dan jaminan suplai minyak yang aman dari Timur Tengah. Dengan kata lain isu nuklir Iran dan Taiwan menjadi faktor penentu kunci perubahan interaksi antara Cina dan Amerika Serikat. Peneliti menggunakan tulisan Lounnas sebagai salah satu tinjauan pustaka karena dalam tulisan ini Lounnas menganalisa faktor yang berbeda selain energi terkait faktor pendorong keterlibatan Cina dalam krisis nuklir Iran yakni faktor Taiwan. Tulisan ini membantu penulis untuk memahami faktor-faktor yang lebih beragam dalam mempengaruhi politik luar negeri Cina terhadap Iran. Tulisan keempat juga jurnal yang berjudul The Iran Nuclear Issue: The view from Beijing.7 Tulisan ini meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan Cina terhadap Iran serta implikasinya bagi upaya PBB dalam menangani krisis nuklir Iran. Terdapat beberapa faktor penting yang membentuk pandangan Cina terhadap pengembangan nuklir Iran di antaranya : faktor pertama, sampai saat ini Cina tidak yakin akan kemampuan Iran untuk mengembangkan senjata nuklir, karena pengembangan nuklir Iran masih relatif baru, sehingga Cina memiliki pandangan yang berbeda dengan Amerika Serikat yang mencurigai kemungkinan Iran membangun senjata nuklir. Cina melihat bahwa program nuklir 6 L. Djallil, „China and Iranian Nuclear Crisis: between ambiguities and interests,‟ European Journal of East Asian Studies, Vol. 10, 2011. 7 International Crisis Group, „The Iran Nuclear Issue: The view from Beijing,‟ Crisis Group Asia Briefing, N°100, 17 February, 2010. 8 Iran bukan sebagai immediate threat dengan berdasarkan pada keterbatasan teknologinya untuk mencapai kemampuan pada level pembuatan senjata nuklir. Lebih lanjut faktor kedua, terkait tujuan pengembangan nuklir sebagai energi alternatif dan senjata, Cina mempersepsikan bahwa Amerika Serikat memiliki standart ganda dalam menyikapinya. Kurangnya kritik atau tekanan terhadap Israel yang diyakini memiliki banyak senjata nuklir namun tidak didesak untuk menandatangani perjanjian NPT, selain itu kerja sama Amerika Serikat dan India yang tertuang dalam US-India peaceful atomic energy cooperation act pada tahun 2008, secara tidak langsung telah mengizinkan India melakukan perdagangan nuklir internasional, sekalipun India tidak menandatangani perjanjian NPT. Bagi Cina hal tersebut telah menunjukkan bahwa suatu rezim NPT telah ditunggangi oleh kepentingan politik negara yang memiliki pengaruh besar di dalamnya. Amerika Serikat telah memperlihatkan sikap pilih kasih terhadap negara-negara yang mengembangkan nuklir seperti Iran. Adapun faktor ketiga terkait dengan kalkulasi politik, Cina melihat Iran memiliki pengaruh cukup signifikan di dalam kawasan. Iran menjadi mitra politik yang ideal bagi Cina ketika beberapa negara di kawasan seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Mesir, Bahrain, Israel dan Qatar merupakan sekutu Amerika Serikat. Cina dan Iran memiliki kepentingan yang sama dalam upaya memperlemah pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Tengah maupun Timur Tengah yang sangat erat kaitannya dengan politik monopoli minyak. Berdasarkan pertimbangan beberapa faktor tersebut, Cina seringkali berada pada posisi yang bersebrangan dengan Amerika Serikat dalam upaya menyelesaikan krisis nuklir Iran di Dewan Keamanan PBB. Peneliti menggunakan jurnal ini sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini karena jurnal ini banyak memberikan informasi dan data-data tentang pandangan Cina dalam melihat proyek nuklir Iran, sehingga sangat membantu peneliti dalam menganalisa sikap Cina dalam menghadapi polemik nuklir Iran. Adapun dalam tesis ini, peneliti berupaya menyajikan analisa bahwa kepentingan Cina mendukung Iran adalah karena Cina berupaya meningkatkan peranannya di Iran ketika hubungan Iran dengan negara-negara Barat semakin 9 memburuk perihal krisis nuklir. Adapun tujuan utama Cina adalah melindungi kepentingan energinya di Iran sebagai salah satu bentuk kebijakan Cina dalam mewujudkan keamanan energi. 1.4 Landasan Teori dan Konsep 1. Kepentingan Nasional Kepentingan nasional (national interest) adalah konsep yang sangat popular di dalam studi hubungan internasional. Konsep ini dapat digunakan sebagai alat untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan perilaku suatu negara dalam interaksinya dengan negara lain yang lazimnya akan diturunkan melalui kebijakan-kebijakan tertentu dalam politik luar negerinya. Oleh karena itu, para analis hubungan internasional berupaya menempatkan kepentingan nasional sebagai fokus utama dari tujuan dan orientasi kebijakan luar negeri suatu negara tertentu. Kepentingan nasional juga merupakan seperangkat tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan kebutuhan atau hal-hal yang dicita-citakan oleh negara. Dalam kecenderungannya kepentingan nasional yang relatif tetap di antara negara-negara adalah untuk mencapai keamanan dan kesejahteraan. Kedua hal tersebut menjadi dasar dalam menetapkan kepentingan nasional setiap negara. 8 Dalam hal ini jika dipandang dari perspektif keamanan dan kesejahteraan, kepentingan nasional adalah sebagai bentuk dari upaya pemenuhan hal-hal yang signifikan bagi kelangsungan hidup (survive). Oleh karena itu, keberhasilan pencapaian kepentingan nasional ini bersifat vital bagi suatu negara karena berkaitan langsung dengan eksistensinya. Dalam pandangan realisme, kepentingan nasional dipahami sebagai kepentingan negara sebagai unitary actor yang sedang berupaya untuk meningkatkan national power untuk tetap bisa bertahan di dalam dunia internasional yang anarki. Setiap tindakan politik yang dilakukan oleh negara dipandang secara langsung akan mengarah pada menjaga, meningkatkan ataupun 8 T. M. Rudy, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002, p. 116. 10 menunjukkan kekuatan. 9 Esensi power dalam pandangan kaum realis adalah kemampuan untuk mengubah perilaku dan mendominasi negara lain yang dapat dilakukan dengan militer atau kekuatan fisik.10 Merujuk pada pemikiran Morgenthau bahwa kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) adalah dua konsep yang saling berkaitan yang dianggapnya sebagai sebuah sarana dan juga tujuan dari tindakan politik internasional. 11 Negara membutuhkan kekuatan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan nasional dalam interaksinya dengan entitas-entitas politik lainnya sedangkan tujuan dari pencapaian kepentingan tidak lain akan bermuara pada penambahan dan peningkatan kekuasaan. Menurut Morgeunthau kepentingan merupakan inti dari semua politik, dengan demikian di dalam tahapannya masing-masing negara akan mengejar kepentingan nasionalnya yang umumnya didefinisikan sebagai kekuasaan. 12 Lingkungan domestik maupun internasional memainkan peran penting dalam membentuk kepentingan yang nantinya akan menentukan perilaku negara. Hal ini menekankan bahwa pencapaian kekuasaan harus beradaptasi dengan perubahan politik internasional yang berlaku. Pada hakikatnya kepentingan nasional suatu negara sangat rentan untuk bersinggungan dengan kepentingan negara lain. Oleh karena itu, di sinilah sangat dibutuhkan peran para diplomat yang memiliki kemampuan dalam menilai kebutuhan dan keinginan nasionalnya yang kemudian harus diiringi dengan upaya menyeimbangkan kepentingan negara lain. Daniel S. Papp membagi kepentingan nasional ke dalam empat kriteria yaitu economic, ideology, military security dan morality and legality.13 Pertama, Economic criteria, bagi sebagian besar pengamat, kepentingan ekonomi menjadi 9 J.P. Pham, „What is in the National Interest? Han’s Morgeunthau Realist Vision and America Foreign Policy,‟ American Foreign Policy Interests, 30: 256–265, 2008, p. 258. 10 J. Steans, et.al., An Introduction to International Relations Theory, Perspective and Themes, Third Edition, Pearson, 2010, p. 59. 11 M. Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional; Disiplin dan Metodologi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1994, p. 140. 12 Pham, p. 258. 13 D. S. Papp, Contemporary International Relations, Framework for Understanding, sixth Edition, University System of Georgi,Longman, New York San Francisco Boston, 1947, p. 50-53. 11 penentu penting dari kepentingan nasional di masing-masing negara. Setiap kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan posisi perekonomian negara dapat dipandang sebagai kepentingan nasional di antaranya meningkatkan neraca perdagangan negara, memperkuat industri negara, menjamin ketersediaan akses terhadap pasokan minyak mentah, gas alam, ataupun jenis energi lainnya yang mendukung keberlanjutan kegiatan perekonomian negara. Kedua, Ideological criteria terkadang juga sebagai penentu penting dari kepentingan nasional di mana beberapa negara baik secara formal maupun non formal menggunakan ideologi untuk membenarkan legitimasi dan kebijakan mereka. Situasi ketika Perang Dingin berlangsung memberikan contoh bagaimana ideologi mempengaruhi negara-negara untuk mengadopsi cara tertentu dalam melihat politik dunia. Namun pasca Perang Dingin, untuk sebagian negara penggunaan kriteria ideologi untuk mendefinisikan kepentingan nasional mengalami penurunan. Ketiga, Military security adalah kriteria lain yang menonjol untuk menentukan kepentingan nasional dengan kekuatan militer yang memainkan peranan penting di dalam hubungan internasional. Para pendukung kriteria ini berpendapat bahwa tanggung jawab pemimpin negara di manapun adalah memberikan keamanan bagi masyarakatnya. Keempat, morality and legality, suatu negara berupaya mendefinisikan kepentingan nasionalnya dengan mengedepankan nilai-nilai moral dan legal ketika menghadapi isu-isu yang sedang diperdebatkan dengan penekanan pada sisi right dan wrong. Yan Xuetong salah satu pakar ilmu hubungan internasional di universitas Tsinghua dalam bukunya Analysis of China’s National Interests membagi kepentingan nasional Cina ke dalam empat bidang yang menjadi perhatian utama yakni ekonomi, politik, militer dan budaya. 14 Pasca Perang Dingin berakhir, kepentingan ekonomi dan politik dipandang lebih mendesak daripada kepentingan keamanan dan budaya. Bentuk upaya dari pencapaian kepentingan ekonomi nasionalnya, Cina tidak hanya aktif menjalin kerja sama dengan negara-negara di 14 Y. Xuetong, „Analysis of China’s National Interests,‟ (daring), <mercury.ethz.ch/serviceengine/.../Analysis+of+China's+National+Interests.pdf>, diakses pada 13 februari 2016. 12 kawasan Asia timur namun juga dengan banyak negara di luar kawasan seperti Timur tengah, Eropa dan Afrika. Dalam hal ini, teori kepentingan nasional digunakan sebagai alat untuk menjelaskan motivasi Cina di balik dukungannya terhadap nuklir Iran yang sebagian besar didorong oleh kepentingan ekonomi-politik. Ketergantungan Cina terhadap sumber minyak Iran membuatnya sulit untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran sebagaimana telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negaranegara sekutunya. Sebaliknya pendirian untuk terus mendukung Iran akan semakin membuka peluang besar bagi Cina untuk menanamkan pengaruhnya yang lebih luas di Iran yang nantinya akan mendekatkan pada pencapaian kepentingan nasionalnya di Iran terutama berkaitan dengan kepentingan energi. 2. Konsep Keamanan Energi Konsep keamanan energi mulai mendapatkan banyak perhatian dalam studi hubungan internasional sejak terjadinya krisis minyak pada tahun 1973 setelah negara-negara pengimpor minyak yang tergabung dalam OPEC menjatuhkan embargo minyak kepada negara-negara Barat sehingga mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak dan harga minyak yang semakin mahal. Peristiwa tersebut menjadi salah satu pemicu munculnya kekhawatiran terhadap ancaman ketidakamanan energi dan permasalahan serius yang dihadapi oleh negara-negara yang sangat tergantung pada suplai minyak asing. Sejak saat itu, berbagai isu terkait energi telah menjadi perhatian serius dari para pengambil kebijakan luar negeri karena urgensitasnya memiliki keterkaitan langsung dengan aspek ekonomi dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi yang terus maju ke arah industrialisasi semakin meningkatkan kebutuhan akan minyak dunia. Adapun untuk mencapai ketersediaan minyak yang cukup, terciptanya stabilitas kawasan dari tempat minyak tersebut berasal dan keamanan pengiriman minyak dari luar, menjadi dua faktor penting yang berupaya diwujudkan oleh negara-negara importir minyak. Meskipun belum ada definisi tunggal yang seragam tentang konsep keamanan energi, namun secara umum keamanan energi dapat diartikan dengan ketersediaan cadangan sumber daya energi baik minyak maupun sumber energi 13 lainnya yang memadai dan dapat diandalkan dengan harga yang stabil di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. 15 Oleh karena itu, terwujudnya keamanan energi menjadi syarat penting bagi pertumbuhan perekonomian negara yang berkelanjutan. Letnan Kolonel Korps Marinir Amerika Serikat, John R. Mccaskill mendefinisikan keamanan energi : From a national power perspective, energy is intertwined with economic power, diplomatic power and military power. This entanglement provides the nexus for National Security Strategy and Energy Policy. The definition of Energy Security is the concept of using a combination of national means to achieve a stable and reliable energy portfolio.16 John R. Mccaskill menekankan adanya keterkaitan erat antara energi dengan kekuatan nasional suatu negara, di mana negara akan senantiasa menggunakan kekuatan ekonomi, diplomasi dan militernya untuk mewujudkan energi yang stabil. Para petinggi negara dituntut untuk menerapkan strategistrateginya untuk terus berusaha menjaga keamanan energi nasionalnya karena sejatinya energi sangat mempengaruhi stabilitas negara yang dipimpinnya. Kerentanan akan terjadinya gangguan keamanan dalam pengiriman minyak yang didorong oleh berbagai faktor seperti ancaman terorisme, perompak, ketidakstabilan di beberapa negara pengekspor minyak dan persaingan geopolitik telah menjadikan konsep keamanan energi menjadi bagian penting di dalam isu keamanan nasional.17 Dalam kasus Cina, kekhawatirannya tentang persediaan energi menjadi faktor penting yang membentuk perilaku internasionalnya, terutama dalam hubungannya dengan negara-negara pemasok minyak utama dari kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika. Kebutuhan Cina untuk mengimpor minyak dan gas menjadi masalah yang mendesak pada dekade awal abad ke 20, ketika 15 X. Y. Chong, „China’s Energy Security,‟ Australian Journal of International Affairs, Vol. 60, Issues. 2, August 2006, p. 266. 16 J. R. Mccaskill, Energy Security: the Nexus of National Security Strategy and Energy Policy, U.S Army War College, Pennsylvania, 2007, p. 4. 17 D. Yergin, „Ensuring Energy Security,‟ (daring), 2006, <https://www.foreignaffairs.com/articles/2006-03-01/ensuring-energy-security>, diakses pada 2 September 2015. 14 pertumbuhan ekonomi dan peningkatan permintaan energi terjadi beriringan. Terjadinya lonjakan permintaan dan menurunnya produksi minyak nasional, telah mendorong isu keamanan energi masuk ke dalam agenda kebijakan luar negeri Cina. Bagi Cina keamanan energi didefinisikan dalam dua isu : ketidakstabilan harga (price volatility) dan keamanan pengiriman (security of delivery). Kedua faktor tersebut menjadi kerentanan utama bagi keamanan energinya. 18 Oleh karena itu, Cina terus berupaya menjalankan strategi “going out” yang telah diadopsi Cina sejak tahun 1990. Para pemimpin Cina mendorong perusahaan minyak nasionalnya untuk menjamin sumber minyak luar negeri melalui eksplorasi dan pengeboran minyak luar negeri, pembelian saham luar negeri, membangun kilang minyak serta saluran pipa untuk pengiriman gas melalui jalur darat.19 Sejak presiden Hu Jintao dan perdana menteri Wen Jiabao memimpin Cina pada tahun 2002, kedua pemimpin Cina tersebut menyatakan bahwa mengamankan pasokan energi dan sumber daya alam merupakan langkah lain yang tidak hanya penting untuk pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan, namun juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keamanan nasional Cina. Sejak saat itu, mewujudkan keamanan energi telah menjadi prioritas bagi para pemimpin Cina sebagai bagian dari isu keamanan nasional.20 Di dalam buku putih yang diterbitkan Beijing pada tahun 2007, permasalahan energi menjadi fokus penting bagi para pemimpin Cina dalam strategi kebijakan luar negerinya terkait energi di antaranya meyerukan untuk melakukan eksplorasi bersama dengan negara lain, mendorong investasi asing, meningkatkan transfer teknologi energi dari negara lain, menjaga hubungan politik yang stabil dengan negara-negara produsen energi, dan mencegah dampak 18 E. S. Medeiros, China’s International Behavior ; Activism, Opportunism, Diversification, Rand Project Air Force, Pittsburgh, 2009, p. 39. 19 Chong, p. 276. 20 S. Zhao, China’s Global Search for Energy Security: Cooperation and Competition in Asia – Pacific, Journal of Contemporary China, 2008, p. 208. 15 negatif politik internasional terhadap perdagangan energi. 21 Dalam kasus ini, konsep keamanan energi digunakan untuk menganalisa kepentingan Cina terhadap Iran yang secara langsung akan mempengaruhi tindakan Cina dalam menyikapi polemik nuklir antara Iran dan Barat. 3. Harmonious World Ide Peaceful Rise (heping jueqi) dan Harmonious World (hexie shijie) menjadi konsep dasar dari politik luar negeri Cina pada era Hu Jintao yang berupaya menggambarkan politik luar negeri Cina yang lebih bersahabat dan tidak mengancam. 22 Konsep peaceful rise dan harmonious world menjadi salah satu jawaban dari kekhawatiran masyarakat internasional akan kebangkitan Cina yang dianggap mengancam tatanan dunia internasional yang telah ada. Ide membangun dunia yang harmonis (harmonious world) pertama kali diperkenalkan secara resmi oleh presiden Hu Jintao pada tahun 2005 dalam sambutannya di KTT majlis umum PBB dalam rangka memperingati 60 tahun berdirinya PBB. Presiden Hu menyebutkan terdapat 4 dimensi utama untuk membangun “dunia yang harmonis,”23 1. Multilateralism should be upheld to realize common security. "We must abandon the Cold War mentality, cultivate a new security concept featuring trust, mutual benefit, equality and cooperation, and build a fair and effective collective security mechanism aimed at preventing war and conflict and safeguarding world peace and security." 2. Mutually beneficial cooperation should be upheld to achieve common prosperity. As economic globalization has made countries' interests intertwined, their respective development depends more closely on global development 3. The spirit of inclusiveness must be upheld to build a world where all civilizations coexist harmoniously and accommodate each other. "In the course of human history, all civilizations have, in their own way, made positive contributions to the overall human progress,” 4. The UN needs "rational and necessary reform" to maintain its authority, improve its efficacy and give a better scope to its role in meeting new threats and new challenges. 21 M. Lanteigne, Chinese Foreign Policy An Introduction, Routledge, New York, 2009, p. 52. 22 N. R.Yuliantoro, Menuju Kekuatan Utama Dunia: Sekilas Politik Luar Negeri Cina, Institute ofInternational Studies, Yogyakarta, 2012, p. 44. 23 „Hu Makes 4-point Proposal for Building Harmonious World,‟ Xinhua News Agency, (daring), 2005, <http://www.china.org.cn/english/features/UN/142408.htm>, diakses pada 5 Juni 2016. 16 Poin penting dari pidato presiden Hu di atas adalah bahwa Cina menghendaki tatanan dunia internasional yang bersifat multipolar untuk mewujudkan keamanan bersama, mendorong kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai kesejahteraan bersama, membangun dunia yang harmonis di mana semua negara dapat hidup berdampingan secara damai serta perlunya reformasi PBB untuk mempertahankan otoritasnya dan efektifitasnya guna memenuhi perannya. Penekanan yang diberikan oleh presiden Hu Jintao bahwa dalam penerapannya konsep “dunia yang harmonis” mencangkup lima aspek di antaranya: Pertama, dari segi politik, semua negara harus saling menghormati satu dengan lainnya dan upaya bersama untuk mempromosikan demokrasi dalam hubungan internasional. Kedua, dari segi ekonomi, semua negara harus berkerja sama satu sama lain dalam upaya meningkatkan globalisasi ekonomi untuk mendukung pembangunan ekonomi negara masing-masing. Ketiga, dari segi budaya, menghormati keragaman dunia dan usaha bersama untuk memajukan peradaban manusia. Keempat, dalam aspek keamanan, semua negara harus membangun kepercayaan satu sama lain, memperkuat kerja sama untuk menyelesaikan masalah internasional dengan cara-cara damai daripada konfrontasi. Kelima, isu-isu lingkungan, masing-masing negara harus saling membantu dan bekerja sama dalam upaya konservasi untuk menjaga bumi yang menjadi satu-satunya rumah untuk mahluk hidup.24 Adapun yang menjadi tema sentral dari ide dunia yang harmonis adalah Cina sedang berupaya membangun hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan dengan negara-negara berkembang untuk mendukung 25 pembangunan dan kemakmuran bersama. Di Bawah pemerintah Hu Jintao Cina berupaya untuk memperluas hubungan diplomasi dengan negara-negara berkembang, berbeda denga pemimpin Cina sebelumnya, seperti Jiang Zemin yang lebih memfokuskan hubungan diplomasinya dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia dan Eropa. 24 J. F. Blanchard & S. Guo, “Harmonious World” and China’s New Foreign Policy,’ Lexington Books, United Kingdom, 2010, p.3-4. 25 Yuliantoro, p. 49. 17 Keberhasilan kebijakan luar negeri suatu negara yang ingin dicapai tidak dapat dipisahkan dari bagaimana negara tertentu menggunakan kekuatan nasionalnya meliputi hard power dan soft power. Pada kasus Cina sebagai negara yang membutuhkan lingkungan internasional yang stabil dan kondusif bagi pertumbuhan perekonomiannya, telah mendasarkan pada kebutuhan Cina untuk tidak lagi mengutamakan hard power dalam interaksinya dengan negara lain. Adapun penggunaan hard power seperti ancaman militer, isolasi politik, sanksi ekonomi, memaksakan nilai budaya dan politiknya terhadap negara lain, manipulasi beberapa aturan internasional untuk melawan kepentingan negara lain Oleh karenan itu, Cina terus mengembangkan kekuatan lunaknya (soft power) untuk membangun dunia yang harmonis sebagaimana dikehendakinya. Adapun seruan untuk mewujudkan dunia yang harmonis menjadi acuan bagi Cina untuk berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan permasalahan global sesuai dengan tujuan kepentingan nasionalnya. Dengan kata lain Cina menggunakan kekuatan lunaknya sebagai instrumen untuk mancapai kepentingan politik luar negerinya. Adapun yang termasuk dalam kategori kekuatan lunak meliputi kerja sama ekonomi berdasarkan pada kepentingan bersama, melakukan pertukaran pelajar dan kebudayaan dan melakukan kunjungan kenegaraan, aktif terlibat dalam aktifitas multilateral di dalam rezim internasional, melakukan kampanye yang efisien terhadap isu-isu global yang sensitif.26 Istilah kekuatan lunak (soft power) merujuk pada definisi yang diperkenalkan oleh Joseph Nye yang menekankan pada potensi daya non tradisional yang dimiliki oleh suatu negara tertentu untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Kekuatan lunak berbeda dengan pendekatan tongkat dan wortel (stick and carrot) yang memiliki kecenderungan memaksakan pengaruh dan kepentingan suatu negara tententu terhadap negara lain melalui intervensi ekonomi maupun militer.27 26 S. Ding, „To Build A “Harmonious World”: China’s Soft Power Wielding in the Global South,‟ dalam S. Guo & J. F. Blanchard (ed), “Harmonious World” and China’s New Foreign Policy”, Lexington Books, United Kingdom, 2010, p. 107. 27 Yuliantoro, p. 50-51. 18 Dukungan yang diberikan Cina terhadap Iran berkaitan dengan polemik nuklir yang tengah dihadapi Iran dapat dilihat dari keterlibatan aktif Cina di Dewan Keamanan PBB untuk menemukan solusi dengan mengedepankan caracara damai yang dapat diterima semua pihak baik Iran maupun anggota P5+1. Dari kasus ini terlihat bahwa Cina tengah mengupayakan penggunaan kekuatan lunaknya untuk menerapkan slogan “ dunia yang harmonis.” Cina menggunakan kemampuan diplomatiknya di Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan krisis nuklir Iran dengan mengedepankan mekanisme perundingan dan menolak penerapan sanksi, serta meminta Iran untuk terus bersikap transparan dan bekerja sama penuh dengan IAEA sangat berkaitan erat dengan implementasi “dunia yang harmonis.” 1.5 Hipotesa Dukungan Cina di bawah pemerintahan Hu Jintao terhadap proyek nuklir Iran berkaitan erat dengan kepentingannya pada sumber energi yang dimiliki Iran. Dukungan ini terlihat ketika Cina mengakui hak legal Iran untuk emngambangkan teknologi nuklir di bawah kontrol IAEA, mengedepankan mekanisme dialog dan menolak implementasi sanksi untuk menyelesaikan masalah. Sikap Cina tersebut memperlihatkan kehendak Cina untuk menggunakan kekuatan lunanknya dalam mewujudkan “dunia yang harmonis.” Adapun kepentingan utama dari dukungan ini adalah upaya Cina untuk mengamankan pasokan minyak dari Iran. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif di mana peneliti tertarik pada proses, norma, sikap, pemahaman yang diperoleh dari suatu fenomena sosial. Adapun karakteristik dalam penelitian ini bersifat induktif dengan mendasarkan pada logika berfikir yang berawal dari proposisi khusus sebagai hasil dari sebuah pengamatan yang kemudian mencapai pada sebuah kesimpulan yang bersifat umum. Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksplanasi yang bertujuan untuk menjelaskan mengapa orang, kelompok orang, negara, kelompok negara di dalam 19 sistem internasional berada dalam keadaan atau bertingkah laku tertentu. Analisis data diawali dengan pengumpulan data, kemudian mereduksi data berdasarkan kebutuhan penelitian dan kemudian data diolah melalui metode mengurutkan dari berbagai sumber datayang telah dikumpulkan sehingga menemukan berbagai pola yang saling berkaitan. Adapun untuk pengumpulan data peneliti menggunakan metode studi kepustakaan. Data dicari dan dikumpulkan dari berbagai sumber sekunder, antara lain melalui buku, surat kabar, jurnal, artikel, dan laporan penelitian. 1.6 Sistematika Penulisan Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, penelitian terdahulu, kerangka teoritik, hipotesa, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II akan membahas perspektif Cina dalam memandang polemik proyek nuklir Iran Bab III menyajikan dukungan Cina terhadap Iran di Dewan Keamanan PBB Bab IV menganalisa kepentingan Cina dibalik dukungannya terhadap program nuklir Iran. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan hasil penelitian. 20