PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT DENGAN AKAD WADI’AH DAN PENERAPANNYA PADA PERBANKAN SYARIAH Siti Aisyah Dosen Ekonomi Islam Universitas Islam Indragiri Abstrak Wadi’ah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi posisinya sebagai pihak penolong. Karena itulah, sifat dari wadi’ah adalah amanah. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.” Dalam menjalankan praktek wadi’ah, dana nasabah yang dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala resiko yang terjadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan ‘bagi hasil’. Tulisan ini mencoba memaparkan bagaimana penerapan produk perbankan syariah yang menggunakan akad wadi’ah dihubungkan dengan fiqih muamalah? Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitabkitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. Kata Kunci: Wadi’ah, Perbankan Syariah 110 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 A. Pendahuluan Salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian adalah Perbankan. Peran strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama perbankan sebagai financial intermediary, yaitu sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efesien. Perbankan syariah pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep ekonomi Islam, terutama dalam bidang keuangan. Perbankan syariah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking. Pertumbuhan setiap Bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah bank yang paling utama adalah dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa atau dengan kata lain bank menjadi tidak berfungsi sama sekali. Prinsif operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsif Mudharabah dan Wadi’ah, perbedaan yang mendasar mekanisme kerja penghimpunan dana syariah terletak pada tidak adanya bunga yang lazim digunakan oleh bank konvensional dalam memberikan keuntungan kepada nasabah. Ketentuan tentang haramnya menggunakan mekanisme bunga bagi bank syariah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) tahun 2000 nomor 1 tentang giro, nomor 2 tentang tabungan dan nomor 3 tentang deposito. Berdasarkan fatwa DSN. Jurnal ini membahas penghimpuanan dana masyarakat dengan prinsif wadi’ah dan penerapannya pada Perbankan Syariah, dengan Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 111 Siti Aisyah produk wadi’ahnya bank syariah siap menampung dana masyarakat dengan keuntungan bagi hasil sebagai ganti dari bunga ada di bank konvensional. Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan 'bagi hasil'. B. Pembahasan Secara etimologi, kata wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Wadi’ah juga berarti titipan murni dari satu pihak ke pihak lain. Baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.1 Bank Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan bank.2 Titipan murni adalah surat berharga seperti uang, barang, dokumen surat berharga. Bank sebagai penerima titipan dapat mengenakan biaya penitipan tersebut atas jasa dalam menjaga barang atau uang titipan. Sebaliknya penerima titipan, khususnya yang menggunakan akad yad ad dhaman merasa mendapat manfaat atas 1 M.syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta:Tazkia Institute,1999), h.121. 2 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2007), h.251. 112 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 sesuatu yang dititipi, maka bank dapat memberikan bonus kepada penitip dari hasil pemanfaatannya dengan syarat:3 1. Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) dari bank sebagai penerima titipan. 2. Bonus tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlah yang diberikan, baik dalam prosentase maupun nominal tidak ditetapkan dimuka. Berdasarkan Fatwa DSN tentang tabungan wadi’ah baik giro wadi’ah dan tabungan, wadi’ah sifatnya adalah titipan yang bisa diambil kapan saja oleh penitip tanpa ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat suka rela. Dilihat dari segi sifat Akad wadi’ah, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa akad wadi’ah mengikat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad. Apabila seseorang dititipi barang/dana oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang/dana titipan, namun demikian apakah tanggung jawab memelihara barang atau dana itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (ad dhaman)? Dalam kaitan dengan ini, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa status wadi’ah ditangan orang yang dititipi bersifat amanah (titipan murni tanpa ganti rugi), tetapi dikembangkan dalam bentuk yad addhamanah (dengan resiko ganti rugi) oleh perbankan syariah dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Disamping itu, atas kehendak perbankan syariah, tanpa adanya 3 Sofyan Syafri Harahap, dkk., Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta: LPEE Usakti, 2010), h.131. Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 113 Siti Aisyah persetujuan sebelumnya dengan pemilik barang/dana dapat memberikan semacam bonus kepada nasabah wadi’ah4 . Wadi’ah terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Wadi’ah Yad Al Amanah, dengan karakteristik yaitu: merupakan titipan murni, barang/dana yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip, sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab, sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya titipan. 2. Wadiah Yad dhamanah dengan karakteristik yaitu: merupakan pengembangan dari wadi’ah yad al amanah yang disesuaikan dengan aktivitas perekonomian. penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kehilangan/kerusakan barang tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada pemilik barang/dana bank dapat diberikan semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya.5 Wadi’ah yad dhamanah dalam usaha bank Islam dapat diaplikasikan pada rekening giro (Current Account) dan rekening tabungan (Saving Account), bank dapat menggunakan titipan tersebut 4 Harun, Fiqh…., h.247 Ibid . 5 114 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 terbatas, karena pemilik barang/dana bisa mengambil barang/dananya sewaktu-waktu melalui cek, bilyet giro atau pemindahbukuan lainnya. C. Penerapan Akad Wadiah pada Perbankan Syariah Dikaitkan dengan Fiqih Muamalah Al-wadi’ah adalah amanah bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali firman Allah SWT; َ ُ ۡ َّ ٞ ٰ َ َ ٗ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ َ ٰ َ َ ۡ ُ ُ َ فَإ ۡن أَمِنٞۖ ٞوضة َتدوا َكت ِبا ف ِرهن مقب ِ ۞ِإَون كنتم لَع سف ٖر ولم ِ َ َّ َ ُ ۡ َ ٗ ۡ َ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ َّ ٱؤتُ ِم َن أ َمٰنَ َت ُهۥ َو ۡۡلَ َّتق ٱّلل َر َّب ُهۥ َوَل ِي ٱَّل ِبعضكم بعضا فليؤد ِ َ ُ َ ۡ َ َ َ َ َ ٰ َ َّ ْ ُ ُ ۡ َ ُ َّ ِم قَ ۡل ُب ُهۥ َوٞ ك ُت ۡم َها فَإنَّ ُهۥ َءاث ٱّلل ب ِ َما ت ۡع َملون تكتموا ٱلشهدة ومن ي ِ ٞ ِ َعل ٢٨٣ يم “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah (2): 283). Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 115 Siti Aisyah dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Dalam penjelasan undQS. Al-Baqarah (2): 283).ang-undang perbankan syari’ah tahun 2008, pasal 19, ayat 1, huruf a, dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.” Definisi ini selaras dengan definisi wadi’ah dalam ilmu fiqih. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.” Dapat diketahui bahwa wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Selain itu, menurut Bank Indonesia, wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang. Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan. 116 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah, karena di dalam praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun Tabungan Wadi’ah, bank meminta pihak penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil yang diperoleh dari pemanfaatan titipan nasabah, yang dengan kata lain bank tidak dikenai tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya. Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar prinsip wadi’ah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadi’ah dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard. Wadi’ah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi posisisnya sebagai pihak penolong. Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan ‘bagi hasil’. Jika kita bandingkan antara menitipkan di perbankan syariah dan menabung di bank konvensional, menabung di perbankan konvensional, paling sedikit kita mendapatkan dua ‘keuntungan': Pertama, dana aman dan kedua, bunga tabungan yang didapatkan setiap bulan. Sedangkan besaran bunga yang ada didapatkan setiap bulan, sesuai dengan suku Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 117 Siti Aisyah bunga yang ditetapkan bank. Dengan memahami dua konsep transaksi ini, secara sederhana kita bisa menangkap adanya kemiripan antara konsep wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional, jika mengacu bahwa menitipkan uang harus mendapat kelebihan. Dapat dicermati lebih lanjut, bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada dananya. Ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari atau yang secara bahasa bermakna account. Sehingga apa yang diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadi’ah. Bila demikian tidak diragukan keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba, berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’:“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba” (alQawaid an-Nuraniyah, hlm. 116) Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. dengan segala konsekwensinya, berbagai hukum 118 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah. Permasalahan ini harus dikuasai dan senantiasa diingat, agar tidak terkecoh dengan perubahan nama atau sebutan riba. Masyarakat pada zaman ini telah mengubah nama riba menjadi bunga atau faidah, dan mengubah nama piutang menjadi tabungan atau wadi’ah. Piutang (al-qardhu) adalah suatu akad berupa memberikan harta kepada orang yang akan menggunakannya dan kemudian ia berkewajiban mengembalikan gantinya. Adapun akad tabungan atau wadi’ah adalah menyerahkan menjaganya/menyimpankannya harta (baca kepada Mughni orang yang al-Muhtaj, 3/79, Kifayah al-Akhyaar oleh Taqiyuddin al-Hishny, 2/11 dan asy-Syarhu al-Mumti’, 10/285). D. Analisa Wadi’ah dalam praktek Perbankan syariah Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujua keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang titipan tesebut, dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan. Dalam akad hendakya dijelaskan tujuan wadi’ah, cara penyimpanan lamanya waktu penitipan biaya yang dibebankan pada pemilik barang dan hal-hal lain yang dianggap penting. Dapat dikaji lebih dalam tentang wadi’ah yang diterapkan dalam syariah dengan yang diterapkan pada perbankan syariah agar kita memahami berbagai hal yang membedakan Wadi'ah Syariah (WS) dengan Wadi’ah Perbankan (WB). Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 119 Siti Aisyah WS: Penerima titipan (wadi’ah), tidak dibenarkan untuk menggunakan uang yang disimpankan kepadanya, kecuali atas seizin pemilik uang. Bila ia menggunakannya maka ia telah berkhianat, dan bila terjadi kehilangan ia berkewajiban menanggungnya. WB: Penerima wadi’ah (pihak Bank syariah) sepenuhnya dibenarkan untuk menggunakan uang titipannya, baik dengan dibelanjakan atau diutangkan kembali kepada orang lain. WS: Kerusakan yang tidak disengaja, atau tanpa ada kelalaian dari penerima titipan, tidak menjadi bertanggung jawab penerima titipan untuk menggantinya . WB: Bila uang atau barang rusak atau hilang, setelah akad wadi’ah, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab (bank), walau semuanya terjadi tanpa kesengajaan.WS: Pemilik uang tidak mendapatkan imbalan atau bonus apapun. WB: Pemilik uang (nasabah) mendapatkan bonus, yang diistilahkan 'bagi hasil' WS: Bila penerima wadi’ah memungut upah dari pemilik uang atau barang, otomatis akadnya berubah menjadi akad sewa-menyewa atau jual-beli jasa penitipan. Dan tentu konsekwensi hukumnya turut berubah. WB: Bank dibenarkan memungut upah (uang administrasi) atas dana nasabahnya. WS: Kepemilikan barang tidak pernah berpindah tangan menjadi milik penyimpan. Dan wewenang penerima wadi’ah terbatas. WB: Dana nasabah yang disetorkan ke bank, secara otomatis menjadi milik bank, karenanya mutlak berwenang mutlak untuk mengelolanya. 120 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 Mencermati perbedaan di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari [arab: ]الحساب الجاريatau yang secara bahasa bermakna account. Kesimpulannya, apa yang diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadiah. Bila demikian tidak diragukan keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba, berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’: كل قرض جر منفعة فهو ربا "Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatn maka itu adalah riba” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116) Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala konsekwensinya, berbagai hukum utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah di negri kita. Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 121 Siti Aisyah E. PENUTUP Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito, akad yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarkat adalah dengan akad wadi’ah dan mudharabah. Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan hutang-piutang . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. 122 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016 DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Fajar Indra “Tanggung Jawab Wadii’ kepada Muwaddi’ dalam akad wadiah Dihubungkan dengan Fiqih Muamalah”, Jurnal Analisis, Juni 2012, Vol 1 No. 1. Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta:Tazkia Institute. _______. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani. _______. 2007. Bank Syari’ah. Jakarta: Gema Insani. Arifin, Zainul. 1999. Memahami Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alvabet Harahap, Sofyan Syafri, dkk. 2010. Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta:LPEE Usakti. Hoaren, Nasrun. 2000. Fiqh Mu’amalah, Cet. 1,Jakarta: Gaya Media Pratama Karim, Adi Warman A,. 2003. Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia Riai, Veithzal, dkk. 2007. Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia Syistem. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sabir, Muh., dkk, “Pengaruh Rasio Kesehatan Bank Terhadap Kinerja Keuangan Bank Umum Syariah Dan Bank Konvensional Di Indonesia,” Jurnal Analisis, Juni 2012, Vol 1 No. 1