penghimpunan dana masyarakat dengan akad wadi`ah dan

advertisement
PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT DENGAN
AKAD WADI’AH DAN PENERAPANNYA PADA
PERBANKAN SYARIAH
Siti Aisyah
Dosen Ekonomi Islam Universitas Islam Indragiri
Abstrak
Wadi’ah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip,
dan pihak yang dititipi posisinya sebagai pihak penolong.
Karena itulah, sifat dari wadi’ah adalah amanah. Dalam
kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan
bahwa wadi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan
menjaga suatu harta.” Dalam menjalankan praktek
wadi’ah, dana nasabah yang dititipkan di bank syariah
mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib
menanggung segala resiko yang terjadi pada dana
nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih
jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang
kemudian disebut dengan ‘bagi hasil’. Tulisan ini mencoba
memaparkan bagaimana penerapan produk perbankan
syariah yang menggunakan akad wadi’ah dihubungkan
dengan fiqih muamalah? Wadi’ah yang ada di perbankan
syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitabkitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini
dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum piutang, karena
pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai
proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan
barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan
atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah
dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga
karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka
secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad
hutang piutang dan bukan wadi’ah.
Kata Kunci: Wadi’ah, Perbankan Syariah
110 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
A. Pendahuluan
Salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam
kegiatan perekonomian adalah Perbankan. Peran strategis tersebut
terutama disebabkan oleh fungsi utama perbankan sebagai financial
intermediary, yaitu sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun
dana dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efesien.
Perbankan syariah pada dasarnya merupakan pengembangan dari
konsep ekonomi Islam, terutama dalam bidang keuangan. Perbankan
syariah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic
Banking. Pertumbuhan setiap Bank sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik
berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai.
Sebagai lembaga keuangan, masalah bank yang paling utama adalah
dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa atau
dengan kata lain bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Prinsif operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan
dana masyarakat adalah prinsif Mudharabah dan Wadi’ah, perbedaan
yang mendasar mekanisme kerja penghimpunan dana syariah terletak
pada tidak adanya bunga yang lazim digunakan oleh bank konvensional
dalam memberikan keuntungan kepada nasabah. Ketentuan tentang
haramnya menggunakan mekanisme bunga bagi bank syariah
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) tahun 2000 nomor 1
tentang giro, nomor 2 tentang tabungan dan nomor 3 tentang deposito.
Berdasarkan fatwa DSN.
Jurnal ini membahas penghimpuanan dana masyarakat dengan
prinsif wadi’ah dan penerapannya pada Perbankan Syariah, dengan
Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 111
Siti Aisyah
produk wadi’ahnya bank syariah siap menampung dana masyarakat
dengan keuntungan bagi hasil sebagai ganti dari bunga ada di bank
konvensional. Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang
dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan
syari’ah wajib menanggung segala resiko yang tejadi pada dana
nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi,
perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut
dengan 'bagi hasil'.
B. Pembahasan
Secara etimologi, kata wadi’ah berarti menempatkan sesuatu
yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Wadi’ah
juga berarti titipan murni dari satu pihak ke pihak lain. Baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
si penitip menghendaki.1 Bank Muamalat Indonesia mengartikan
wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh
digunakan bank.2 Titipan murni adalah surat berharga seperti uang,
barang, dokumen surat berharga. Bank sebagai penerima titipan dapat
mengenakan biaya penitipan tersebut atas jasa dalam menjaga barang
atau uang titipan. Sebaliknya penerima titipan, khususnya yang
menggunakan akad yad ad dhaman merasa mendapat manfaat atas
1
M.syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta:Tazkia
Institute,1999), h.121.
2
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2007), h.251.
112 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
sesuatu yang dititipi, maka bank dapat memberikan bonus kepada
penitip dari hasil pemanfaatannya dengan syarat:3
1. Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) dari bank sebagai
penerima titipan.
2. Bonus tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlah yang diberikan,
baik dalam prosentase maupun nominal tidak ditetapkan dimuka.
Berdasarkan Fatwa DSN tentang tabungan wadi’ah baik giro
wadi’ah dan tabungan, wadi’ah sifatnya adalah titipan yang bisa
diambil kapan saja oleh penitip tanpa ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat suka rela.
Dilihat dari segi sifat Akad wadi’ah, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa akad wadi’ah mengikat bagi kedua belah pihak
yang melakukan akad. Apabila seseorang dititipi barang/dana oleh
orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka
pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang/dana
titipan, namun demikian apakah tanggung jawab memelihara barang
atau dana itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (ad dhaman)?
Dalam kaitan dengan ini, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa
status wadi’ah ditangan orang yang dititipi bersifat amanah (titipan
murni tanpa ganti rugi), tetapi dikembangkan dalam bentuk yad addhamanah (dengan resiko ganti rugi) oleh perbankan syariah dan
mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank.
Disamping itu, atas kehendak perbankan syariah, tanpa adanya
3
Sofyan Syafri Harahap, dkk., Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta: LPEE
Usakti, 2010), h.131.
Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 113
Siti Aisyah
persetujuan
sebelumnya
dengan
pemilik
barang/dana
dapat
memberikan semacam bonus kepada nasabah wadi’ah4 .
Wadi’ah terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Wadi’ah Yad Al Amanah, dengan karakteristik yaitu: merupakan
titipan murni, barang/dana yang dititipkan tidak boleh digunakan
(diambil manfaatnya) oleh penitip, sewaktu titipan dikembalikan
harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, jika
selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang
menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab, sebagai
kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan
biaya titipan.
2. Wadiah Yad dhamanah dengan karakteristik yaitu: merupakan
pengembangan dari wadi’ah yad al amanah yang disesuaikan
dengan aktivitas perekonomian. penerima titipan diberi izin untuk
menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut.
Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab
terhadap kehilangan/kerusakan barang tersebut. Semua keuntungan
yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan.
Sebagai imbalan kepada pemilik barang/dana bank dapat diberikan
semacam
insentif
berupa
bonus
yang
tidak
disyaratkan
sebelumnya.5
Wadi’ah yad dhamanah dalam usaha bank Islam dapat
diaplikasikan pada rekening giro (Current Account) dan rekening
tabungan (Saving Account), bank dapat menggunakan titipan tersebut
4
Harun, Fiqh…., h.247
Ibid .
5
114 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
terbatas, karena pemilik barang/dana bisa mengambil barang/dananya
sewaktu-waktu melalui cek, bilyet giro atau pemindahbukuan lainnya.
C. Penerapan Akad Wadiah pada Perbankan Syariah Dikaitkan
dengan Fiqih Muamalah
Al-wadi’ah adalah amanah bagi orang yang menerima titipan dan
ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali
firman Allah SWT;
َ ُ ۡ َّ ٞ ٰ َ َ ٗ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ َ ٰ َ َ ۡ ُ ُ
َ‫ فَإ ۡن أَمِن‬ٞۖ ٞ‫وضة‬
‫َتدوا َكت ِبا ف ِرهن مقب‬
ِ ‫۞ِإَون كنتم لَع سف ٖر ولم‬
ِ
َ
َّ َ ُ ۡ َ ٗ ۡ َ ُ ُ ۡ َ
َ
ۡ
َ َّ ‫ٱؤتُ ِم َن أ َمٰنَ َت ُهۥ َو ۡۡلَ َّتق‬
‫ٱّلل َر َّب ُهۥ َوَل‬
‫ِي‬
‫ٱَّل‬
ِ‫بعضكم بعضا فليؤد‬
ِ
َ ُ َ
ۡ َ َ َ َ َ ٰ َ َّ ْ ُ ُ ۡ َ
ُ َّ ‫ِم قَ ۡل ُب ُهۥ َو‬ٞ ‫ك ُت ۡم َها فَإنَّ ُهۥ َءاث‬
‫ٱّلل ب ِ َما ت ۡع َملون‬
‫تكتموا ٱلشهدة ومن ي‬
ِ
ٞ ِ ‫َعل‬
٢٨٣ ‫يم‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan
persaksian.
dan
barangsiapa
yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Baqarah (2): 283).
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan
secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan
Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat
Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 115
Siti Aisyah
dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000,
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Dalam penjelasan undQS. Al-Baqarah (2): 283).ang-undang
perbankan syari’ah tahun 2008, pasal 19, ayat 1, huruf a, dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan
barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang
dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.”
Definisi ini selaras dengan definisi wadi’ah dalam ilmu fiqih.
Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa
wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dapat diketahui bahwa wadi’ah merupakan titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Selain itu, menurut Bank Indonesia, wadi’ah adalah akad penitipan
barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak
yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang/uang.
Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah
menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah.
Terkait dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya
perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah.
Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan
dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan
dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan.
116 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah,
karena di dalam praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun
Tabungan Wadi’ah, bank meminta pihak penitip (nasabah) memberikan
kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola titipan/asetnya, dan
bank memiliki hak penuh atas hasil yang diperoleh dari pemanfaatan
titipan nasabah, yang dengan kata lain bank tidak dikenai
tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan suatu
titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah
ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka akadnya pun
berubah. Di dalam fikih, yang demikian dikatakan sebagai prinsip
pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar prinsip
wadi’ah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadi’ah
dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard.
Wadi’ah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan
pihak yang dititipi posisisnya sebagai pihak penolong. Dalam
menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank
syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib
menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya
bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah
memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan ‘bagi hasil’. Jika
kita bandingkan antara menitipkan di perbankan syariah dan menabung
di bank konvensional, menabung di perbankan konvensional, paling
sedikit kita mendapatkan dua ‘keuntungan': Pertama, dana aman dan
kedua, bunga tabungan yang didapatkan setiap bulan. Sedangkan
besaran bunga yang ada didapatkan setiap bulan, sesuai dengan suku
Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 117
Siti Aisyah
bunga yang ditetapkan bank. Dengan memahami dua konsep transaksi
ini, secara sederhana kita bisa menangkap adanya kemiripan antara
konsep wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional, jika
mengacu bahwa menitipkan uang harus mendapat kelebihan.
Dapat dicermati lebih lanjut, bahwa wadi’ah yang ada di
perbankan syariah bukanlah wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab
fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih
relevan dengan hukum piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang
nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari
segala resiko yang terjadi pada dananya. Ulama kontemporer yang
mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya
mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab
al-jari atau yang secara bahasa bermakna account. Sehingga apa yang
diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad hutang piutang
yang kemudian disebut dengan wadi’ah. Bila demikian tidak diragukan
keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba,
berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’:“Setiap
piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba” (alQawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)
Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki
hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan
utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian,
bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka
secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang
dan bukan wadi’ah. dengan segala konsekwensinya, berbagai hukum
118 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh
perbankan syari’ah.
Permasalahan ini harus dikuasai dan senantiasa diingat, agar tidak
terkecoh dengan perubahan nama atau sebutan riba. Masyarakat pada
zaman ini telah mengubah nama riba menjadi bunga atau faidah, dan
mengubah nama piutang menjadi tabungan atau wadi’ah.
Piutang (al-qardhu) adalah suatu akad berupa memberikan harta
kepada orang yang akan menggunakannya dan kemudian ia
berkewajiban mengembalikan gantinya. Adapun akad tabungan atau
wadi’ah
adalah
menyerahkan
menjaganya/menyimpankannya
harta
(baca
kepada
Mughni
orang
yang
al-Muhtaj,
3/79,
Kifayah al-Akhyaar oleh Taqiyuddin al-Hishny, 2/11 dan asy-Syarhu
al-Mumti’, 10/285).
D. Analisa Wadi’ah dalam praktek Perbankan syariah
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada
pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujua keamanan. Wadi’ah
adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang titipan
tesebut, dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang
titipan. Dalam akad hendakya dijelaskan tujuan wadi’ah, cara
penyimpanan lamanya waktu penitipan biaya yang dibebankan pada
pemilik barang dan hal-hal lain yang dianggap penting. Dapat dikaji
lebih dalam tentang wadi’ah yang diterapkan dalam syariah dengan
yang diterapkan pada perbankan syariah agar kita memahami berbagai
hal yang membedakan Wadi'ah Syariah (WS) dengan Wadi’ah
Perbankan (WB).
Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 119
Siti Aisyah
WS: Penerima titipan (wadi’ah), tidak dibenarkan untuk
menggunakan uang yang disimpankan kepadanya, kecuali atas seizin
pemilik uang. Bila ia menggunakannya maka ia telah berkhianat, dan
bila terjadi kehilangan ia berkewajiban menanggungnya. WB:
Penerima wadi’ah (pihak Bank syariah) sepenuhnya dibenarkan untuk
menggunakan uang titipannya, baik dengan dibelanjakan atau
diutangkan kembali kepada orang lain.
WS: Kerusakan yang tidak disengaja, atau tanpa ada kelalaian
dari penerima titipan, tidak menjadi bertanggung jawab penerima
titipan untuk menggantinya .
WB: Bila uang atau barang rusak atau hilang, setelah akad
wadi’ah, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab (bank), walau
semuanya terjadi tanpa kesengajaan.WS: Pemilik uang tidak
mendapatkan imbalan atau bonus apapun.
WB: Pemilik uang (nasabah) mendapatkan bonus, yang
diistilahkan 'bagi hasil'
WS: Bila penerima wadi’ah memungut upah dari pemilik uang
atau barang, otomatis akadnya berubah menjadi akad sewa-menyewa
atau jual-beli jasa penitipan.
Dan tentu konsekwensi hukumnya turut berubah. WB: Bank
dibenarkan memungut upah (uang administrasi) atas dana nasabahnya.
WS: Kepemilikan barang tidak pernah berpindah tangan menjadi milik
penyimpan. Dan wewenang penerima wadi’ah terbatas. WB: Dana
nasabah yang disetorkan ke bank, secara otomatis menjadi milik bank,
karenanya mutlak berwenang mutlak untuk mengelolanya.
120 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
Mencermati perbedaan di atas, dapat diketahui dengan jelas
bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang
saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena
pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya.
Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada
dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang
mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya
mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab
al-jari [arab: ‫ ]الحساب الجاري‬atau yang secara bahasa bermakna account.
Kesimpulannya, apa yang diterapkan oleh perbankan syariah
sejatinya ialah akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan
wadiah. Bila demikian tidak diragukan keuntungan yang diperoleh
nasabah darinya adalah bunga alias riba, berdasarkan kaidah fiqih yang
telah disepakati oleh ulama’:
‫كل قرض جر منفعة فهو ربا‬
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatn maka itu adalah
riba” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)
Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki
hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan
utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) .
Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada
akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi
akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala
konsekwensinya, berbagai hukum utang piutang berlaku pada praktek
wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah di negri kita.
Penghimpung Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah…. | 121
Siti Aisyah
E. PENUTUP
Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk
giro,
tabungan dan deposito, akad yang diterapkan dalam penghimpunan
dana masyarkat adalah dengan akad wadi’ah dan mudharabah. Wadi’ah
yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam
kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini
dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum piutang, karena pihak bank
memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya
kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan
menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara
wadi’ah dan hutang-piutang . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini
telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum
akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.
122 | Jurnal Syari’ah
Vol. V, No. 1, April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Fajar Indra “Tanggung Jawab Wadii’ kepada Muwaddi’
dalam akad wadiah Dihubungkan dengan Fiqih Muamalah”,
Jurnal Analisis, Juni 2012, Vol 1 No. 1.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan
Umum, Jakarta:Tazkia Institute.
_______. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani.
_______. 2007. Bank Syari’ah. Jakarta: Gema Insani.
Arifin, Zainul. 1999. Memahami Bank Syariah. Jakarta : Pustaka
Alvabet
Harahap, Sofyan Syafri, dkk. 2010. Akuntansi Perbankan Syariah,
Jakarta:LPEE Usakti.
Hoaren, Nasrun. 2000. Fiqh Mu’amalah, Cet. 1,Jakarta: Gaya Media
Pratama
Karim, Adi Warman A,. 2003. Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan,
Jakarta: IIIT Indonesia
Riai, Veithzal, dkk. 2007. Bank and Financial Institution Management
Conventional & Sharia Syistem. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Sabir, Muh., dkk, “Pengaruh Rasio Kesehatan Bank Terhadap Kinerja
Keuangan Bank Umum Syariah Dan Bank Konvensional Di
Indonesia,” Jurnal Analisis, Juni 2012, Vol 1 No. 1
Download