PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan langsung di dalam rumah walet. Dengan unit IR-CCTV kedua kendala tersebut dapat diatasi. Kendala pertama dapat diatasi dengan kemampuan kamera inframerah menangkap gambar obyek di tempat gelap. Sinar inframerah yang dihasilkan kamera tidak terdeteksi oleh walet. Dengan kamera ini peneliti dapat mengamati perilaku walet tanpa mengganggu aktivitas hariannya. Kendala kedua dapat diatasi dengan mengamati perilaku walet dari ruang monitor. Teknik penempatan kamera (Gambar 10) mampu menghasilkan video perilaku pasangan walet dan area sarang dengan jelas. Apabila kamera diletakkan pada sisi kanan atau kiri sarang maka perilaku salah satu walet tidak teramati. Perilaku walet tidak tertangkap kamera secara jelas karena salah satu walet tertutupi oleh walet pasangan yang berada di dekat kamera. Jika kamera diletakkan tegak lurus dengan sirip maka kamera hanya mengamati bagian dorsal pasangan walet. Letak kamera yang terlalu dekat maupun terlalu jauh juga menghasilkan video perilaku kurang jelas. Yusuf et al. (1999) telah melakukan penelitian teknik penggunaan kamera konvensional. Kamera dilengkapi dengan sumber pencahayaan inframerah dan sensor gerak untuk pengamatan perilaku walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) dan seriti (Collocalia linchi). Kelemahan pada teknik tersebut yaitu rekaman video perilaku berdurasi pendek dan tidak berkesinambungan. Penyebabnya adalah proses perekaman hanya berlangsung jika objek pengamatan sedang bergerak. Dengan menggunakan perangkat IR-CCTV kelemahan tersebut dapat diatasi karena durasi perekaman relatif lama tanpa menggunakan sensor gerak. Perilaku Walet Rumahan A. Perilaku Umum Perilaku umum selama fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak menunjukkan adanya satu perilaku dominan, yaitu berdiam diri/istirahat. Perilaku berdiam diri/istirahat memiliki frekuensi tertinggi (91.62 kali/hari) yang berlangsung pada fase pembuatan sarang (Gambar 22). Durasi perilaku berdiam diri/istirahat paling tinggi sebesar 380.38 menit/hari juga terjadi pada fase pembuatan sarang (Gambar 23). Durasi perilaku berdiam diri/istirahat yang tinggi dalam penelitian ini sesuai dengan perilaku walet gua di Serawak. Lim & Cranbrook (2002) melaporkan bahwa walet (Collocalia fuciphaga) banyak melakukan perilaku istirahat selama berada di dalam ruang bersarang pada malam hari. Pasangan walet selalu kembali pada tempat yang sama sebagai tempat bersarang dan beristirahat. Kecenderungan pasangan walet selalu kembali pada tempat bersarangnya dinamakan nest-site fidelity. Perilaku istirahat walet dilakukan di dalam sarang, bertengger di bibir sarang atau menggantung di sisi kiri/kanan sarang. Selain perilaku istirahat, walet gua di Serawak juga berperilaku membentangkan sayap dan menelisik bulu berdua. Enam perilaku lainnya yang tidak disebutkan dalam laporan perilaku walet gua di Serawak yaitu: (1) menelisik bulu sendiri; (2) terbang meninggalkan sarang; (3) datang ke sarang; (4) membuang kotoran; (5) berpindah tempat ke kiri/kanan sarang; dan (6) menoleh ke kiri/kanan. Perilaku membentangkan sayap berlangsung ketika walet sedang didekati pasangannya. Perilaku menelisik bulu berdua berlangsung apabila walet telah menjadi pasangannya (Lim & Cranbrook 2002). Pada penelitian walet rumahan di Sidayu, perilaku beristirahat dan menelisik bulu berdua memiliki persamaan perilaku dengan walet gua di Serawak. Persamaannya yaitu walet beristirahat dengan cara menggantung pada suatu permukaan (dinding gua atau sirip) dan menelisik bulu kepala/leher pasangan secara bergantian. Berbeda dengan walet di Serawak, perilaku membentangkan sayap pada penelitian ini berlangsung ketika walet sedang beristirahat atau menelisik bulu sendiri. B. Perilaku Khusus pada Fase Pembuatan Sarang Pada fase pembuatan sarang, walet membangun sarang dengan cara menekankan paruh yang berisi serabut air liur pada pondasi sarang sebelumnya. Proses ini dilakukan secara berulang sampai terbentuk bidang lengkung (mangkok) sarang yang sempurna. Hasil ini berbeda dengan persepsi pemilik walet yang menyatakan bahwa proses pembuatan sarang dilakukan dengan cara pengolesan air liur secara mendatar sampai terbentuk sarang yang utuh. Proses pembangunan sarang dilakukan oleh anggota pasangan walet secara bergantian. Perilaku walet membuat sarang pada penelitian ini serupa dengan hasil yang dilaporkan Lim & Cranbrook (2002) dan Nguyen et al. (2002). Persamaannya yaitu: (1) walet membuat sarang pada tempat (dinding gua atau sirip) yang masih terdapat pondasi sarang karena berkaitan dengan nest-site fidelity; dan (2) pasangan walet membangun sarang secara bergantian. Perilaku membangun sarang memiliki frekuensi tertinggi pada hari ke-19 sebanyak 53 kali/hari (Gambar 27). Durasi tertinggi terjadi pada hari ke-31 sebesar 155.3 menit/hari (Gambar 29a). Secara umum walet memerlukan waktu membuat sarang dengan rataan 2,71 menit/perilaku dan total durasi 96,54 menit/hari. Durasi membangun sarang yang tinggi pada minggu ke-5 menunjukkan bahwa walet berusaha menyelesaikan sarang untuk ditempati bertelur, mengeram, dan pengasuhan anak. Aktivitas pembuatan sarang dilakukan walet pada sore hari (setelah berburu makanan) dan dilanjutkan pada malam hingga pagi hari. Frekuensi harian tertinggi walet membuat sarang pada penelitian ini yaitu: pukul 16.00-17.00 dan 04.0005.00. Hasil penelitian ini berbeda dengan walet gua di Vietnam. Nguyen et al. (2002) melaporkan frekuensi tertinggi pembuatan sarang walet gua di Vietnam terjadi pada pukul 24.00-01.00 dan 05.00-06.00. Walet gua di Vietnam membuat sarang memiliki rataan 4 menit/perilaku atau 25 menit/malam. Frekuensi dan durasi perilaku walet selama fase pembuatan sarang tidak dilaporkan secara lengkap. C. Perilaku Khusus pada Fase Pengeraman Walet memiliki durasi perilaku mengeram relatif sama mulai minggu kedua sampai ketiga menjelang telur menetas. Perilaku mengeram memiliki rataan durasi 20.62 menit/perilaku atau 18.97 jam/hari. Perilaku ini diduga dilakukan agar telur walet mendapatkan transfer panas dari induk walet secara teratur. Transfer panas yang stabil berpengaruh pada proses pertumbuhan embrio di dalam telur. Lim & Cranbrook (2002) melaporkan bahwa pada saat pengeraman, telurtelur dapat mengalami penurunan suhu. Penurunan suhu telur bisa disebabkan induk walet terlalu lama meninggalkan telur. Suhu telur dapat turun mendekati suhu ruang bersarangnya. Penurunan suhu mengakibatkan panas yang dibutuhkan untuk metabolisme embrio dalam telur terganggu. Kejadian ini tidak menyebabkan embrio mati, tetapi waktu yang diperlukan hingga telur menetas menjadi lebih panjang. Masa pengeraman walet rumahan di Sidayu yaitu 25 hari. Frekuensi mengeram tertinggi terjadi pada hari ke-16 yang berlangsung lebih dari 72 kali/hari (Gambar 36). Durasi mengeram tertinggi terjadi pada hari ke-22 yaitu 1419.68 menit/hari (23 jam 40 menit). Durasi mengeram terendah pada hari ke-25 yaitu 320.60 menit/hari (5 jam 21 menit) (Gambar 38a). Panjang masa mengeram dan durasi mengeram tersebut berbeda dengan walet gua di Serawak, sedangkan informasi tentang frekuensi mengeram belum ada. Lim & Cranbrook (2002) melaporkan masa pengeraman walet gua di Serawak berlangsung 19-32 hari. Durasi mengeram paling tinggi yaitu 30 jam 53 menit dan durasi terlama meninggalkan telurnya yaitu 18 jam 35 menit. Perbedaan lama masa pengeraman walet disebabkan kondisi habitat mikro masing-masing lokasi penelitian berbeda (Mardiastuti A 25 Mei 2009, komunikasi pribadi). Proporsi mengeram bergantian pada masing-masing anggota pasangan walet tidak diketahui frekuensi dan durasinya. Hal ini terjadi karena walet jantan dan betina tidak bisa dibedakan secara morfologis. Smith & Montgomerie (1992) melaporkan perilaku mengeram secara bergantian pada burung barn swallow (Hirundo rustica). Perilaku ini dilakukan induk betina karena kehilangan banyak energi setelah mengerami telur sepanjang malam hingga pagi. Pada waktu induk betina memulihkan energinya, maka induk jantan yang menggantikan mengeram pada pagi hingga siang hari. Induk jantan mengerami dengan waktu lebih pendek dari pada induk betina. Perilaku mengeram secara bergantian antara jantan dan betina juga terjadi pada burung merpati Columba livia dan Streptopelia chinensis (Saxena et al. 2008). D. Perilaku Khusus pada Fase Pengasuhan Anak Pada fase pengasuhan anak, perilaku mendekap anak memiliki frekuensi paling tinggi (55.40 kali/hari) dan durasi tertinggi (12.28 menit/perilaku atau 680.38 menit/hari). Perilaku ini diduga dilakukan oleh induk walet agar anak mendapatkan perlindungan dari ancaman hewan pengganggu dan perubahan kondisi habitat mikro ruang bersarang. Frekuensi perilaku memberi makan anak paling tinggi terjadi pada hari pertama (anak berumur 1 hari) sebanyak 10 kali (Gambar 44). Pada hari ke-34 dan ke-40 induk tidak memberi makan anak walet. Diduga walet tidak mendapat makanan pada saat hujan turun atau angin sedang bertiup kencang. Nguyen et al. (2002) melaporkan bahwa serangga terbang dapat berkurang akibat tersapu air hujan dan angin kencang. Frekuensi memberi makan anak walet rumahan di Sidayu lebih tinggi dibanding laporan Lim & Cranbrook (2002). Dalam laporannya, walet gua di Serawak tidak memberi makan anaknya secara teratur pada fase pengasuhan anak. Induk walet hanya memberi makan anaknya maksimal 3-5 kali dalam satu hari. Perilaku ini terjadi meskipun pada bulan tersebut sumber makanan walet (serangga terbang) sedang melimpah (Lim & Cranbrook 2002). Perilaku berpindah ke sisi bawah sarang dan menelisik bulu leher/kepala anak walet memiliki tujuan yang hampir sama. Kedua perilaku ini berguna agar anak walet terhindar jatuh dari sarangnya. Perilaku berpindah ke sisi bawah sarang memiliki frekuensi tertinggi pada hari ke-13. Walet induk berusaha mendorong anak agar tetap berada di dalam sarang. Hal ini dilakukan karena anak walet sering bergerak mendekati bibir sarang. Banyaknya aktivitas gerak anak walet disebabkan kedua matanya mulai dapat melihat pada minggu kedua (Mardiastuti et al. 1998). Selain itu, anak walet mendekati bibir sarang karena berusaha membuang kotoran dengan cara bertengger pada bibir sarang. Ketidak seimbangan pada saat bertengger dapat menyebabkan anak walet jatuh ke lantai. Anak walet mati karena jatuh dari sarangnya merupakan salah satu faktor utama penyebab kematian anak walet (Lim & Cranbrook 2002). Perilaku menelisik bulu leher/kepala anak pada penelitian ini memiliki frekuensi tertinggi pada hari ke-34. Perilaku ini dilakukan karena anak walet banyak melakukan aktivitas gerak. Aktivitas gerak yang tinggi dapat disebabkan anak walet sedang lapar. Akibat dari keadaan ini anak walet sangat peka terhadap suara walet dari sarang lainnya. Kejadian ini juga menyebabkan anak walet terjatuh dari sarangnya dan mati (Lim & Cranbrook 2002). Kondisi Habitat Mikro Walet Rumahan A. Suhu Suhu ruang bersarang dalam penelitian ini adalah 27-29oC. Suhu paling tinggi terjadi di bulan Oktober dan menurun sampai Desember. Suhu tersebut memiliki kisaran hampir sama dengan penelitian Mardiastuti et al. (1997) pada rumah walet di Semarang, yaitu 26-28oC. Kisaran suhu pada penelitian ini juga masih berada di dalam rentang suhu gua kering di Vietnam yaitu 25-30oC. Suhu tertinggi terjadi pada bulan Juli-September, dan terendah pada bulan DesemberPebruari (Nguyen & Voisin 1998). Suhu di dalam rumah walet Sidayu ini diduga telah sesuai dengan kondisi fisiologis walet rumahan terhadap toleransi suhu lingkungannya. Chaiyabutr (2004) melaporkan unggas di Thailand memiliki kemampuan lebih toleran terhadap perubahan suhu tinggi dibanding mamalia. Cekaman panas (heat stress) pada unggas biasanya disebabkan kombinasi antara faktor lingkungan dan dari dalam tubuh hewan. Tekanan panas eksternal direspons oleh unggas dengan perilaku bernapas secara cepat (panting) untuk mendinginkan tubuh. Pada anak ayam broiler mulai bernapas cepat pada suhu 35.5 oC dan kelembaban 50-70%. Apabila keadaan ini tetap berlanjut dapat menyebabkan kerusakan pada hipothalamus. Radiasi panas tubuh hanya bisa turun di bawah suhu tubuh ketika suhu lingkungan lebih rendah dari pada suhu tubuh. Kisaran suhu yang dapat ditoleransi (thermoneutral) hewan homeothermal adalah: 18-36oC, sedangkan suhu internal tubuh bersifat konstan. Stabilitas suhu tubuh merupakan faktor penting untuk efisiensi energi aktivitas harian (Chaiyabutr 2004) Suhu ruang bersarang selama fase pengeraman pada walet di Sidayu telah sesuai dengan kebutuhan suhu pengeraman telur. Hal ini dapat diketahui dengan lama fase pengeraman walet rumahan di Sidayu (25 hari) hampir sama dengan lama fase pengeraman walet rumahan di Semarang (rataan 23.6 hari) (Mardiastuti et al. 1997). Caldwell & Cornwell (1975) melaporkan bahwa perilaku mengeram sangat dipengaruhi oleh faktor rangsangan eksternal. Kombinasi antara suhu tubuh induk dan suhu lingkungan menghasilkan suhu yang sesuai dengan perkembangan embrio di dalam telur (36 oC). Penurunan suhu telur selama masa pengeraman terjadi karena peningkatan ukuran embrio, sirkulasi, dan panas hasil metabolisme embrio. Suhu udara di dalam sarang diperkirakan naik secara perlahan selama masa pengeraman seiring dengan turunnya gradien suhu telur. Cuaca tidak berpengaruh terhadap suhu telur pada saat dierami induknya. Suhu di dalam ruang sangat berpengaruh bila telur sedang ditinggalkan oleh induk dalam jangka waktu yang relatif lama. Peningkatan suhu ruangan juga akan mendorong induk untuk mengerami telur agar suhu optimum telur selalu terjaga. Tindakan ini diperlukan untuk mencegah panas yang berlebih pada telur hingga membawa kematian embrio. Hal ini dilakukan pada suhu di atas 27 oC. Apabila suhu telur terlalu tinggi, maka induk mengubah posisi (menjauhkan permukaan tubuhnya dari telur) untuk mendinginkan telur (Caldwell & Cornwell 1975). Penurunan suhu telur terjadi karena telur ditinggalkan oleh induknya. Induk segera akan mengerami telur sebelum suhu ruang turun sampai di bawah 20 oC (Smith & Montgomerie 1992). B. Kelembaban Relatif Kelembaban relatif ruang bersarang dalam penelitian ini adalah 81-90%. Kelembaban tersebut memiliki kisaran hampir sama dengan penelitian Mardiastuti et al. (1997) pada rumah walet di Semarang, yaitu 85-98%. Jika dibandingkan dengan laporan Nguyen & Voisin (1998), maka kelembaban pada penelitian ini relatif lebih tinggi. Kelembaban ruang bersarang walet pada gua kering di Vietnam bervariasi antara 58-85% (Nguyen & Voisin 1998). Kelembaban udara berpengaruh mendinginkan telur ketika suhu udara meningkat. Pada umumnya burung memiliki kemampuan untuk mengontrol hilangnya panas melalui kakinya bila suhu berada di bawah suhu ambang (Caldwell & Cornwell 1975). Withers (1977) melaporkan kelembaban relatif di dalam sarang burung cliff swallow (Petrochelidon phyrrhonota) sering berubah. Perubahan kelembaban terjadi karena sarang terbuat dari butiran-butiran lumpur. Kelembaban relatif sangat tinggi ketika butiran lumpur masih baru dan menurun bila telah kering. Burung ini mampu secara aktif mempertahankan kelembaban relatif di dalam sarangnya dengan menambah butiran lumpur baru. Penguapan air dari butiran lumpur dapat mendinginkan sarang. Huda et al. (2008) melaporkan kelembaban di dalam ruang bersarang sangat mempengaruhi kadar air sarang walet. Untuk memperoleh sarang walet yang berkualitas baik maka kelembaban relatif berkisar 80-85%. Kelembaban kurang dari 70% dapat menyebabkan sarang walet lepas dari dinding gua (Nguyen & Voisin 1998). Salah satu penyebab kematian anak walet adalah sarang lepas dari tempatnya sehingga anak walet jatuh bersama sarangnya (Lim & Cranbrook 2002). Berdasarkan hal tersebut, kondisi habitat mikro pada obyek penelitian ini diduga cukup baik untuk mencegah kematian anak walet karena jatuh dari sarang. Kondisi habitat mikro yang baik diperoleh melalui pola pengendalian yang telah dilakukan oleh pemilik sarang. Pengendalian habitat mikro dilakukan dengan cara menempatkan bak-bak penampung air di dalam ruang bersarang. Apabila suhu udara di luar rumah walet meningkat, pemilik membuka kran pipa air untuk menggenangi lantai rumah walet. Cara ini cukup efektif mengendalikan suhu dan kelembaban relatif agar walet dapat berperilaku secara alami.