pandangan muhammadiyah terhadap poligami

advertisement
PANDANGAN IBU-IBU 'AISYIYAH DI MALANG
TERHADAP POLIGAMI
OLEH:
ANNE LOUISE DICKSON
07210565
AUSTRALIAN CONSORTIUM FOR IN-COUNTRY
INDONESIAN STUDIES
ANGKATAN KE-24
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
JUNI 2007
HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL PENELITIAN: PANDANGAN IBU-IBU 'AISYIYAH DI MALANG
TERHADAP POLIGAMI
NAMA PENELITI:
ANNE LOUISE DICKSON (07210565)
Malang, Juni 2007
Mengetahui:
Drs. Budi Suprapto, M.Si.
Dr. H. Hamidi, M.Si.
Dekan FISIP
Dosen Pembimbing
Philip King, Ph.D
H. Moh. Mas’ud Said, Ph.D
Resident Director ACICIS
Ketua ACICIS-UMM
i
ABSTRAK
Poligami adalah masalah yang sering diperhatikan di Indonesia, salah satu
negara yang memperbolehkan poligami dengan syarat tertentu. Poligami memang
termasuk ajaran agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Namun demikian, pemahaman orang Islam terhadap poligami dalam
ajaran agama berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa poligami dianjurkan
dalam keadaan tertentu; ada juga yang percaya bahwa poligami seharusnya
ditinggalkan pada masa kini. Dalam media massa Indonesia, sering ada berita
tentang poligami. Kasus Aa Gym, seorang kyai dari Bandung yang menikah lagi
pada tahun 2006, memicu perdebatan luas dalam masyarakat Indonesia tentang
topik yang kontroversial ini.
Dalam penelitian ini, pandangan sekelompok ibu Islam terhadap poligami
diteliti. Alasannya, para ibu merupakan kelompok yang paling diresahkan oleh
masalah poligami dan poligami biasanya dibahas di Indonesia dengan merujuk
kepada agama Islam. Ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang dipilih sebagai sumber
informasi.
'Aisyiyah
adalah
bagian
perempuan
dari
Persyarikatan
Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia.
Selain mengetahui pandangan informan terhadap poligami secara umum,
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap ibu-ibu 'Aisyiyah tentang
keterlibatan diri sendiri dalam perkawinan poligami dan untuk mengetahui faktor
apa saja yang mempengaruhi pandangan informan.
Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Data dikumpulkan
lewat wawancara terstruktur kemudian dianalisa dengan memakai teknik desriptif.
Enam belas ibu 'Aisyiyah dijadikan sebagai informan. Semuanya sudah menikah.
Usianya rata-rata 43,4 tahun. Ibu dari segala tingkat pendidikan diwawancarai,
meliputi ibu lulusan SD sampai ibu lulusan S3. Informan termasuk pengurus
'Aisyiyah tingkat wilayah, daerah, cabang dan ranting dan peserta ranting.
Satu informan sangat mendukung poligami, sedangkan informan lainnya
kurang suka. Hanya sedikit keuntungan keluarga poligami disebut oleh informan,
sedangkan kerugiannya banyak, khususnya untuk para istri dan anak. Walaupun
demikan, hanya dua informan secara tegas menentang poligami dalam keadaan
apapun pada masa kini. Sebagian besar informan setuju jika poligami dijalankan
ii
dalam keadaan tertentu. Poligami diibaratkan sebagai ‘pintu darurat’ yang boleh
digunakan oleh seorang suami jika istrinya sakit atau mandul sehingga kurang
mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Mengenai keyakinan agama, hampir semua informan berpendapat bahwa
seorang laki-laki yang mau berpoligami diharuskan mampu berlaku adil dalam hal
lahir dan batin terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Menurut sembilan informan,
ada pahala bagi pelaku poligami asalkan syarat tertentu dipenuhi dan menurut
sepuluh informan ada pahala bagi istri yang rela dimadu.
Bagaimanapun juga, hanya satu informan yang mau suaminya menikah lagi.
Tiga informan sama sekali menolak dimadu dalam keadaan apapun. Sepuluh
informan tidak mau dimadu tetapi mengatakan bahwa mereka dapat (atau
mungkin dapat) menerima sekarang atau dalam keadaan tertentu.
Menurut peneliti, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi pandangan
informan terhadap poligami. Dari faktor pertama, yaitu pengamatan mereka
terhadap pelaksanaan poligami, informan cenderung kurang suka kebiasaan ini.
Namun, faktor ini sering bertentangan dengan kedua faktor lainnya, yaitu
keyakinan agama informan serta kepercayaan mereka tentang fitrah dan peran
laki-laki dan perempuan. Meskipun sebagian besar informan menganggap
poligami sebagai praktek yang biasanya merugikan keluarga, poligami tidak
ditolak pada dasarnya. Para informan rata-rata percaya bahwa poligami itu
dibolehkan dalam agama Islam dan sampai sekarang merupakan ‘hak dan
kebutuhan laki-laki’.
Pandangan kelompok Muslim lain di Malang terhadap masalah poligami
dapat diteliti oleh peneliti selanjutnya, termasuk pandangan bapak-bapak
Muhammadiyah; pandangan perempuan 'Aisyiyah yang belum menikah, ibu
'Aisyiyah yang janda dan ibu 'Aisyiyah yang suaminya berpoligami; ataupun ibuibu dari aliran Islam yang berbeda. Saran umum yang diajukan peneliti adalah
para suami yang berkehendak untuk menikah lagi sebaiknya mempertimbangkan
pendapat keluarganya terlebih dahulu. Untuk menghindari kesalahpahaman dan
menjaga
kerukunan
keluarga,
sebaiknya
semua
pasangan
suami-istri
membicarakan masalah poligami ini secara mendalam.
iii
ABSTRACT
Polygamy is an issue which often draws attention in Indonesia, a country
which permits the practice when certain conditions are met. Indeed, teaching
about polygamy is included in Islam, the religion followed by the majority of
Indonesia’s population. However, Muslims hold various views concerning
polygamy in their religion. Some believe that polygamy is advised in certain
situations, while others hold that it should no longer be practised. News related to
polygamy is often presented by the Indonesian media. The case of Aa Gym, an
Islamic leader from Bandung who took a second wife in 2006, triggered
widespread debate within the Indonesian community about this controversial
issue.
In this research, the views of a group of Muslim women are investigated,
because it is women who are most concerned about polygamy and in Indonesia
this issue is usually discussed with reference to Islam. Women from the
organisation 'Aisyiyah in Malang were chosen as the source of information.
'Aisyiyah is the women’s component of Persyarikatan Muhammadiyah, the
second largest Islamic organisation in Indonesia.
Other than finding out the informants’ views on polygamy as a whole, the
aim of this research was to find out the attitudes of 'Aisyiyah women towards they
themselves being involved in a polygamous marriage and to consider what factors
influence their views.
This research takes a qualitative approach. Data was gathered through
structured interviews and then analysed using the descriptive technique. The
informants consist of sixteen 'Aisyiyah women, all of whom are married. Their
average age is 43.4 years. Women of all education levels were interviewed, from
women with only a primary school education to women with postgraduate
qualifications. The informants include leaders of 'Aisyiyah at the provincial,
regional, sub-regional and local level, as well as women who participate in the
activities of the organisation without holding a leadership position.
Besides one informant who strongly supports polygamy, the impression
conveyed by the informants is that they dislike the practice. Few advantages and
many disadvantages of a polygamous family, especially for women and children,
iv
were mentioned by the informants. Although this is the case, only two informants
firmly oppose the practice of polygamy, no matter what the circumstances. Most
informants accept polygamy if it is practised in certain situations. Polygamy is
described as an ‘emergency exit’ which may be used by a husband if his wife is
sick or infertile and thus incapable of fully carrying out her duties as a wife.
In relation to religious convictions, almost all the informants believe that a
man who wants to practise polygamy must be capable of acting fairly towards his
wives and children in all matters. According to nine informants, there is a reward
for those who practise polygamy as long as certain conditions are fulfilled. Ten
informants believe that wives who are willing to have their husbands take a
second wife will be rewarded.
Only one informant, however, wants her husband to take another wife.
Three informants totally oppose the idea of their husbands practising polygamy
under any circumstance. Ten informants do not want their husbands to take
another wife, but say that they could (or maybe could) accept their husbands
marrying again either now or if certain situations arise in the future.
There seems to be three main factors which influence the views of
informants towards polygamy. From their observation of polygamy in society,
informants are inclined to dislike the practice. However, this factor often conflicts
with the other two factors, that is, the informants’ religious convictions and their
beliefs about the inherent nature and roles of men and women. Although most
informants view polygamy as a practice which usually has negative effects on
families, the practice is not rejected in principle. Generally, the informants believe
that polygamy is allowed in Islam and up until now is the ‘right and need of men’.
The views of other Muslim groups in Malang towards polygamy could be
investigated by future researchers, including the views of men from the
organisation Muhammadiyah; views of 'Aisyiyah women who are unmarried,
widows, or whose husbands practise polygamy; or women from different Muslim
organisations. General recommendations of the researcher are that husbands who
wish to practise polygamy consider the opinions of their families first. To avoid
misunderstandings and to maintain family harmony, married couples should
discuss this matter in depth.
v
KATA PENGANTAR
Peneliti bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan untuk
melakukan penelitian di Malang selama semester ini. Tujuan penulisan laporan ini
adalah untuk menyajikan hasil penelitian mengenai pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah
di Malang terhadap poligami, termasuk kesediaan perempuan Islam dari aliran
Muhammadiyah ini untuk dimadu serta faktor apa saja yang mempengaruhi
pandangan mereka.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Malang dan Bapak Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang memberi kesempatan kepada
mahasiswa ACICIS untuk belajar di UMM.
2. Staf Program Australian Consortium of In-Country Indonesian Studies
(ACICIS), khususnya Resident Director ACICIS, Philip King, Ph.D dan
Ketua
ACICIS-UMM,
H.
Moh.
Mas’ud
Said,
Ph.D,
yang
menyelenggarakan programnya dan memberi saran kepada peneliti.
3. Dosen pembimbing, Dr. H. Hamidi, M.Si., untuk masukannya mengenai
cara meneliti dan menulis laporan ini.
4. Mahasiswa ACICIS angkatan ke-24, khususnya Hannah Al-Rashid dan
Elisa Brewis, untuk dukungannya.
5. Maria Imakulata Zakariah, yang membantu peneliti dari awal sampai
akhir semester ini. Dia membantu peneliti mencari fokus penelitian,
sering menemani peneliti waktu mewawancarai informan dan memeriksa
naskah laporan ini.
6. Semua ibu-ibu 'Aisyiyah yang diwawancarai oleh peneliti. Mereka tidak
hanya bersedia menjelaskan pandangan mereka secara panjang lebar,
tetapi menghubungkan peneliti dengan ibu-ibu 'Aisyiyah lain serta
meminjamkan buku dan majalah yang bermanfaat.
Anne Dickson
Malang, Juni 2007
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
i
ABSTRAK .....................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................
4
BAB II: KAJIAN PUSTAKA .......................................................................
5
2.1. Dasar Poligami dalam Agama Islam ........................................................
5
2.2. Hukum Indonesia Berkaitan dengan Poligami .........................................
7
2.3. Kesaksian Anggota Keluarga Poligami ...................................................
9
2.3.1 Kesaksian Pelaku Poligami .............................................................
9
2.3.2. Kesaksian Para Istri yang Ikhlas ....................................................
11
2.3.3. Kesaksian Para Istri yang tidak Ikhlas ...........................................
14
2.3.4. Kesaksian Para Anak dari Keluarga Poligami ...............................
15
2.4. Organisasi 'Aisyiyah ................................................................................
16
2.4.1. Sejarah 'Aisyiyah ...........................................................................
17
2.4.2. Tujuan 'Aisyiyah ............................................................................
17
2.4.3. Susunan Organisasi 'Aisyiyah ........................................................
18
2.5. Hasil Penelitian Sejenis Terdahulu ..................................................
19
2.5.1. Pandangan Perempuan Islam terhadap Poligami:
Feillard, 1995 .................................................................................
19
2.5.2. Persepsi Pimpinan 'Aisyiyah Kota Malang terhadap Poligami:
Muhtadawan, 2003 .........................................................................
19
BAB III: METODE PENELITIAN .............................................................
21
3.1. Pendekatan Penelitian ..............................................................................
21
vii
3.2. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................
21
3.2.1. Susuanan Pertanyaan Wawancara ..................................................
22
3.3. Sumber Informasi .....................................................................................
22
3.4. Teknik Analisa Data .................................................................................
23
BAB IV: HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN .................................
25
4.1. Monografi Lapangan ................................................................................
25
4.1.1. 'Aisyiyah Kota Malang ..................................................................
25
4.1.2. 'Aisyiyah Kabupaten Malang .........................................................
26
4.2. Profil Informan .........................................................................................
26
4.2.1. Umur ..............................................................................................
27
4.2.2. Pendidikan Terakhir dan Pekerjaan ...............................................
27
4.2.3. Jumlah Anak ..................................................................................
28
4.2.4. Status dalam 'Aisyiyah ...................................................................
28
4.3. Pandangan Informan terhadap Poligami ..................................................
29
4.3.1. Apakah Informan Setuju dengan Poligami? ..................................
29
4.3.2. Bentuk Perkawinan yang Paling Baik ............................................
31
4.3.3. Alasan Orang Terlibat dalam Perkawinan Poligami ......................
32
4.3.3.1. Pelaku ................................................................................
32
4.3.3.2. Istri Pertama .......................................................................
33
4.3.3.3. Istri Kedua/Ketiga/Keempat ..............................................
34
4.3.4. Dampak Poligami terhadap Keluarga dan Masyarakat ..................
35
4.3.4.1. Keuntungan Keluarga Poligami .........................................
35
4.3.4.2. Kesulitan dan Tantangan Keluarga Poligami ....................
35
4.3.4.3. Dampak terhadap Masyarakat Indonesia jika Poligami
Meluas ...............................................................................
36
4.3.5. Cerita Informan tentang Keluarga Poligami yang Mereka Kenal ..
37
4.3.6. Tokoh Islam Indonesia yang Berpoligami .....................................
38
4.3.6.1. Kyai-Kyai di Indonesia yang Berpoligami ........................
38
4.3.6.2. Kasus Aa Gym ...................................................................
39
4.3.7. Syarat-Syarat ..................................................................................
40
4.3.7.1. Persetujuan dari Istri/Istri-Istri ...........................................
40
viii
4.3.7.2. Kekurangan pada Istri ........................................................
42
4.3.8. Ajaran Agama Islam tentang Poligami ....................................
42
4.3.8.1. Alasan Nabi Muhammad Berpoligami ..............................
42
4.3.8.2. Syarat Adil .........................................................................
42
4.3.8.3. Pahala untuk Poligami .......................................................
44
4.4. Kesediaan Informan Dimadu ...................................................................
45
4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pandangan Informan terhadap
Poligami ...................................................................................................
49
4.5.1. Kesan dan Pengamatan Pribadi terhadap Pelaksanaan Poligami ...
50
4.5.2. Keyakinan Agama ..........................................................................
51
4.5.3. Kepercayaan tentang Fitrah serta Peran Laki-Laki dan
Perempuan ......................................................................................
52
BAB V: PENUTUP .......................................................................................
55
5.1. Kesimpulan ..............................................................................................
55
5.2. Saran .........................................................................................................
57
5.2.1. Saran untuk Peneliti Selanjutnya ...................................................
57
5.2.2. Saran Umum ..................................................................................
58
DAFTAR SUMBER ......................................................................................
60
1. Daftar Pustaka .............................................................................................
60
2. Daftar Wawancara .......................................................................................
63
LAMPIRAN ...................................................................................................
64
1. Daftar Pertanyaan untuk Wawancara ..........................................................
64
2. Angket .........................................................................................................
68
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Poligami: Apakah Sunah Rasulullah yang membawa berkat jika diamalkan?
Apakah sebagai pintu darurat yang seharusnya hanya digunakan dalam keadaan
tertentu? Ataukah lembaga patriarkal yang harus ditinggalkan sama sekali pada
zaman
modern
ini?
Pertanyaan-pertanyaan
serupa
ini
kini
banyak
diperbincangkan dalam masyarakat Indonesia. Poligami memang merupakan
bahan pembicaraan yang menarik dan topik yang kontroversial.
Arti dari istilah poligami adalah perkawinan dengan lebih dari satu
pasangan. Poligami termasuk poligini, yaitu perkawinan dengan lebih dari satu
istri, dan poliandri, yaitu perkawinan dengan lebih dari satu suami
(Encyclopaedia Britannica, 2004). Istilah poligami sering dipakai untuk mengacu
kepada poligini saja karena praktek ini lebih sering diamalkan daripada poliandri.
Demikian juga dalam laporan ini, poligami dipakai sebagai sinonim poligini.
Menurut sejarah, poligami dilakukan oleh banyak bangsa, termasuk bangsa
Ibrani, Arab, Jerman, Saxon, Afrika, Hindu India, Cina dan Jepang (Sabiq 1987,
hlm.169). Dewasa ini, poligami tetap sah di banyak negara termasuk sebagaian
besar negara Islam, kecuali Turki dan Tunisia (Mulia 2005, hlm.205). Dalam
Undang-Undang negara Indonesia, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat
tertentu.
Belakangan ini, pemberitaan serangkaian kasus poligami menghebohkan
masyarakat Indonesia sehingga masalah poligami banyak dibicarakan. Salah satu
kasus yang terkenal adalah kasus Aa Gym. Pada bulan Desember 2006, pemilik
1
Pesantren Darut Tauhid Bandung ini mengakui bahwa pernikahan keduanya telah
berlangsung selama tiga bulan. Banyak di antara para muslimah Indonesia, yang
dulu mengagumi kyai ini, merasa marah terhadap Aa Gym dan mengasihani istri
pertamanya. Hal yang membuat ibu-ibu makin kecewa adalah Aa Gym pernah
mengatakan bahwa “ia tidak akan berpoligami karena sudah cukup bahagia
dengan keluarganya” (Setiati 2007, hlm.98). Perilaku tokoh agama yang dihormati
ini dikhawatirkan akan diteladani oleh para suami. Kasus Aa Gym ini memicu
perdebatan luas dalam masyarakat Indonesia tentang pro dan kontra poligami
serta ajaran agama Islam. Seringkali ada berita dalam televisi, surat kabar dan
majalah tentang poligami. Pada tanggal 21 Februari 2007, misalnya, sebanyak
lima artikel tentang poligami diterbitkan dalam Jawa Pos, termasuk laporan
tentang kasus Angel Lelga, wawancara dengan seorang ahli dan laporan tentang
hasil penelitian.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas tentang poligami adalah AnNisaa’ [4]: 3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”
(Departemen Agama Republik Indonesia 1992)
Penafsiran ayat-ayat dari Al-Qur’an dan Hadits mengenai poligami berbeda-beda.
Pendapat orang Islam terhadap poligami dapat digabungkan ke dalam tiga
kelompok utama. Kelompok pertama berpendapat bahwa orang yang berpoligami
mengikuti Sunah Nabi Muhammad maka secara otomatis mendapatkan pahala.
2
Menurut kelompok ini, poligami dianjurkan bagi laki-laki yang mampu
melaksanakannya. Poligami “dijadikan sebagai alat ukur keimanan seorang lakilaki” (Setiati 2007, hlm.23). Menurut kelompok kedua, poligami tidak dianjurkan
dalam agama melainkan diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Sebagai contoh,
poligami dapat diamalkan oleh seorang suami untuk mencegah perzinaan, untuk
menolong janda-janda miskin, atau jika istrinya sakit atau mandul sehingga
kurang mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kelompok ketiga percaya
bahwa poligami itu seharusnya tidak dijalankan pada masa kini. Menurut
kelompok ini, poligami dilakukan oleh Nabi Muhammad karena kondisi tertentu
yang ada pada zaman itu, yaitu masa perang yang menimbulkan banyak janda dan
anak yatim yang perlu dilindungi. Maksud ayat QS An-Nisaa’ [4]: 3 adalah untuk
membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi dan “menghapuskan poligini/poligami
secara perlahan” (Chodjim 2007, hlm.55). Ketidakmampuan laki-laki selain Nabi
Muhammad untuk berlaku adil terhadap istri-istri mereka ditekankan oleh orang
Islam dari kelompok ini.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan mengajukan
tiga pertanyaan di bawah ini:
1. Bagaiamana pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang terhadap poligami?
2. Apakah ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang bersedia terlibat dalam perkawinan
poligami?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di
Malang terhadap poligami?
3
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang terhadap poligami;
2. sikap ibu-ibu 'Aisyiyah tentang keterlibatan diri sendiri dalam
perkawinan poligami;
3. faktor apa saja yang mempengaruhi pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di
Malang terhadap poligami.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Dasar Poligami dalam Agama Islam
Al-Qur’an surat An-Nisaa’ [4]: 3 merupakan dasar ajaran agama Islam
tentang poligami.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
(Departemen Agama Republik Indonesia 1992)
Apa hubungan antara hukum tentang anak yatim dan hukum tentang poligami
dalam ayat ini? Ada beberapa pendapat tentang hal tersebut. Namun, penjelasan
yang disampaikan oleh 'Aisyah, salah satu istri Nabi Muhammad, adalah
penafsiran yang paling sering diterima. Menurut 'Aisyah, maksud ayat tersebut
adalah: wali anak peremuan yatim ingin menikahi anak yang diayominya karena
harta dan kecantikannya, tetapi tidak mau menenuhi kewajibannya dalam
memberikan mahar. Jika demikian, wali itu tidak boleh menikahi anak yatim
tersebut. Dia boleh menikahi perempuan lain (Sabiq 1987, hlm.147 & Kisyik
1994, hlm.20).
Dalam An-Nisaa’ [4]: 3, telah jelas bahwa seorang laki-laki tidak boleh
menikahi lebih dari empat istri. Demikian pula, dalam Hadits diceritakan bahwa
Harits bin Qais dan Ghailan bin Umayyah Attsaqafi yang masing-masing
5
mempunyai delapan dan sepuluh istri, disuruh oleh Nabi Muhammad untuk
memilih empat saja di antara mereka dan menceraikan yang lain (Sabiq 1987,
hlm.150).
Menurut An-Nisaa’ [4]: 3, seorang suami yang mau berpoligami harus
meyakini dia dapat berlaku adil. Hal ini ditekankan dalam Hadits juga, di mana
diperintahkan bahwa seorang pelaku poligami yang tidak berlaku adil akan
dihukum (Setiyaji 2006, hlm.65). Bagaimanapun juga, ketidakmampuan seorang
suami berbuat adil dinyatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ [4]: 129
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung...”
(Departemen Agama Republik Indonesia 1992)
Ada dua pandangan utama mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah ‘adil’
dalam An-Nisaa’ [4]: 3. Menurut pandangan pertama, seorang suami diwajibkan
oleh An-Nisaa’ [4]: 3 berbuat adil dalam hal lahir saja. Dia harus membagi waktu
dan hartanya antara istri-istrinya secara adil. Dalam hal batin, yaitu cinta, dia tidak
dituntut bahkan tidak mampu berbuat adil. Inilah yang dimaksudkan dengan AnNisaa’ [4]: 129. Dengan demikian, menurut pandangan pertama ini, tidak ada
pertentangan antara satu ayat Al-Qur’an dengan yang lain (Sabiq 1987, hlm.153;
Shihab 1996, hlm.201; Setiati 2007, hlm.13). Menurut pandangan kedua, AnNisaa’ [4]: 3 mewajibkan seorang suami berbuat adil dalam segala hal, termasuk
hal batin. Jika dia tidak mampu berbuat adil dalam segala hal, seharusnya dia
memiliki seorang istri saja. Penafsiran ini dijelaskan antara lain oleh A. Chodjim
6
(2007, hlm.54); I. Rais, Wakil Ketua Bagian Dikdasmen Pimpinan Pusat
'Aisyiyah (2005, hlm.167); dan E. Jasman, mantan Ketua 'Aisyiyah (Feillard,
1998, hlm.239).
Dalam bahasan tentang poligami, penulis Muslim sering merujuk kepada
kehidupan pernikahan Nabi Muhammad. Pada saat Nabi Muhammad menikahi
istri pertamanya, seorang janda bernama Sayyidah Khadijah, beliau berumur dua
puluh lima tahun dan istrinya berumur empat puluh tahun (Kisyik 1994, hlm.39).
Mereka tinggal bersama di Mekah sampai wafatnya Khadijah dua puluh lima
tahun kemudian (Chodjim 2007, hlm.54). Selama sepuluh tahun terakhir
kehidupan Nabi Muhammad, beliau menjalankan poligami di Madinah, pada
masa perang (Rais 2005, hlm.167). Beliau menikahi sepuluh istri. 'Aisyah adalah
satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi Muhammad, yang lain adalah janda.
Menurut penulis Muslim, Nabi Muhammad tidak menikah untuk kepentingan
pribadi
melainkan
untuk
“menyukseskan dakwah atau membantu dan
menyelamatkan para perempuan yang kehilangan suami” (Tabloid Republika:
Dialog Jumat 8 Desember 2006, hlm.4).
2.2. Hukum Indonesia Berkaitan dengan Poligami
Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang ada di Indonesia
mengenai perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975,
PP Nomor 10 Tahun 1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990 (Budiarti et al. 2006,
hlm.20).
UU Nomor 1 Tahun 1974 memperbolehkan poligami asalkan syarat-syarat
tertentu dipenuhi. Seorang suami yang ingin berpoligami harus mengajukan
7
permohonan kepada Pengadilan (Pasal 4:1). Dia dapat diberikan ijin untuk
menikah lagi jika salah satu dari syarat alternatif dipenuhi (Pasal 4:2):
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain memenuhi salah satu syarat tersebut, semua syarat kumulatif di bawah
harus dipenuhi (Pasal 5:1):
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak
anak mereka.
PP Nomor 10 Tahun 1983 mempersulit Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk
terlibat dalam perkawinan poligami. PNS laki-laki yang mau berpoligami dan
PNS perempuan yang mau menjadi istri kedua/ketiga/keempat seorang yang
bukan PNS harus memperoleh ijin dari pejabat (Pasal 4:1 & 3). PNS perempuan
tidak boleh menjadi istri kedua/ketiga/keempat seorang PNS (Pasal 4:2). PP
Nomor 45 Tahun 1990 merupakan revisi PP Nomor 10 Tahun 1983. Pada bulan
Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta PP tersebut
direvisi kembali supaya peraturan yang ada tentang poligami mencakup bukan
hanya PNS tetapi juga pejabat negara, pejabat pemerintah dan masyarakat umum.
Presiden Republik Indonesia juga berencana memperketat sanksi kepada
pelanggar PP (Setiati 2007, hlm.61-62).
8
2.3. Kesaksian Anggota Keluarga Poligami
2.3.1 Kesaksian Pelaku Poligami
Pada bulan Desember 2006, Aa Gym mendapatkan Surat Ijin Poligami dari
Pengadilan Agama Negeri Bandung. Menurut ketua pengadilan tersebut, Aa Gym
memenuhi syarat hukum Indonesia untuk poligami, termasuk ijin dari istri
pertama, kemampuan berlaku adil dan kemampuan secara ekonomi (Kompas 12
Desember 2006). Sebenarnya sudah lama
Aa Gym berencana untuk
berpoligami— sejak tahun 2001 (Setiyaji 2006, hlm.79). Aa Gym memilih
berpoligami untuk memperbaiki dirinya dan mendekatkan dirinya kepada Allah.
Dia mengatakan bahwa tindakannya “didasari ikhtiar untuk meraih ridha Allah,
ingin meningkatkan amal, melatih kesabaran serta keikhlasan dan bersih hati agar
disukai Allah SWT” (Setiyaji 2006, hlm.102). Dengan mengamalkan poligami,
Aa Gym mau menunjukkan bahwa poligami itu bukan hal buruk. Dia
menyayangkan bahwa poligami, yang diperbolehkan oleh Allah, sering dianggap
aib sedangkan pergaulan bebas diterima (Setiyaji 2006, hlm.102 & Setiati 2007,
hlm.96). Sebagaimana busana jilbab yang dianggap aneh dua puluh tahun yang
lalu dewasa ini sudah menjadi lumrah, Aa Gym berharap ajaran agama tentang
poligami dapat diterima masyarakat Islam Indonesia (Setiyaji 2006, hlm.103 &
158). Aa Gym ingin istri pertama dan anak-anaknya belajar lebih mencintai Allah
daripada dia sendiri akibat menempuh kehidupan baru dalam keluarga poligami
(Setiyaji 2006, hlm.57). Dia menjelaskan, dia “hanyalah sekadar makhluk yang
tiada daya dan upaya” sehingga tidak layak dicintai istrinya secara berlebihan
(Setiyaji 2006, hlm.103).
9
Walaupun dia sendiri mencari hikmah yang ada di dalam poligami, Aa Gym
tidak menganjurkan para suami untuk menikah lagi. Katanya, “pemahaman yang
arif dan kesiapan mental” diperlukan (Kusumaputra 2007) dan syaratnya berat.
Dia mengimbau, “kalau tidak ada ilmunya, lebih baik jangan” (Tabloid
Republika: Dialog Jumat 8 Desember 2006, hlm.5).
Sikap Puspo Wardoyo terhadap poligami berbeda dengan sikap Aa Gym.
Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo yang beristri empat ini
mempersilakan para suami yang mampu “secara materi, spiritual, maupun yang
lainnya” (Rahman 2006, hlm.25) untuk berpoligami. Dalam majalah yang
dipimpinnya, dia memberi nasihat singkat kepada para suami yang “telah terbukti
sukses dengan satu istri... selayaknya mau berpoligami (pindah tugas baru kepada
perempuan lain yang membutuhkan kepemimpinannya)” (Wardoyo 2007,
hlm.11). Pada tahun 2003, Puspo Wardoyo menciptakan ‘Poligami Award’ (Ihsan
2003). Menurut pelaku poligami ini, salah satu keuntungan poligami untuk dia
sendiri adalah istri-istrinya membantu dalam usahanya. Dia bertanya, “bagaimana
bisa ngurusi bisnis kalau istri satu?” (Rahman 2006, hlm.25).
Fauzan Al-Anshari mengatakan bahwa niatnya untuk berpoligami adalah
untuk menolong perempuan. Kabid Data dan Informasi Majelis Mujahidin
Indonesia yang memiliki empat istri ini berpendapat bahwa laki-laki dapat
menolong janda dan perawan tua melalui poligami (Rahman 2006, hlm.25).
Demikian juga, Diki Candra, seorang pengusaha dari Jakarta yang menikahi tiga
istri, menganggap dirinya sebagai penolong wanita. Dia mengatakan bahwa dia
“rela membagi kepemimpinan untuk tiga istri menuju ridho Allah” (Arief 2007,
hlm.4).
10
Salah satu keuntungan poligami yang sering disebut adalah untuk mencegah
perselingkuhan dan perzinaan. Antara lain, keuntungan ini diutarakan oleh Fauzan
Al-Anshari dan Noer Muhammad Iskandar, pengasuh pondok pesantren di Jakarta
yang beristri dua (Rahman 2006, hlm.25).
2.3.2. Kesaksian Para Istri yang Ikhlas
Teh Ninih, istri pertama Aa Gym, mengakui bahwa reaksinya waktu dia
mengetahui suaminya mau berpoligami sama dengan kebanyakan istri— kaget
dan sedih. Dia bertanya apa kekurangan pada dirinya sebagai istri (Lugito &
Siregar 2006, hlm.23). “Selama lima tahun saya dipersiapkan oleh Aa Gym untuk
menerima konsep poligami,” ujarnya (Setiyaji 2006, hlm.77). Lama-kelamaan dia
ikhlas bahkan membantu suaminya mencari istri kedua (Setiyaji 2006, hlm.92).
Dia menjelaskan bahwa seorang istri “harus menaati suami, selama suami sesuai
dengan syariat Islam... saya harus ikhlas” (Setiyaji 2006, hlm.70). Teh Ninih takut
jika menolak sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Allah (Setiyaji 2006, hlm.77 &
91). Keuntungan poligami bagi Teh Ninih adalah dia belajar mencintai dan
mengandalkan Allah, bukan suaminya. “Saya selama ini terlalu mencintai suami...
ini saatnya saya kembali kepada Allah,” katanya pada tanggal 4 Desember 2006
(Setiyaji 2006, hlm.93). Walaupun ada keuntungannya, Teh Ninih pernah merasa
cemburu karena pernikahan kedua suaminya. Misalnya, dia menceritakan saat di
Malaysia pada awal bulan Desember 2006, dia mau menikmati makan bersama
suaminya. Dia kesal melihat Aa Gym sibuk mengirim SMS dan menelpon istri
keduanya (Setiyaji 2006, hlm.59).
11
Rini Purwanti, istri pertama Puspo Wardoyo, menangis waktu dia
mengetahui bahwa suaminya sudah berpoligami selama enam bulan (Setiati 2007,
hlm.91). Akhirnya dia menerima perkawinan kedua suaminya. Akan tetapi, Rini
menganjurkan pasangan suami-istri lain untuk membicarakan masalah poligami
sebelum dilaksanakan (Setiati 2007, hlm.93). Menurut Rini, poligami dibolehkan
untuk para suami yang mampu secara ekonomi, fisik dan mental. Keinginan
suaminya untuk melakukannya merupakan “fitrah seorang laki-laki” (Setiati 2007,
hlm.91). Rini begitu ikhlas dimadu sampai dia membantu suaminya melamar istri
ketiganya dan membantu memilih istri keempat. Rini mengakui bahwa rumah
tangga poligaminya tidak selalu rukun. Namun, konflik yang muncul diatasi
melalui keterbukaan (Setiati 2007, hlm.93).
Gina Puspita, seorang istri pertama dari empat istri, sering menyuarakan
dukungan terhadap poligami melalui artikel dan wawancara. Keinginannya untuk
dimadu muncul waktu perempuan lulusan S3 Struktur Aeronatika ini
menyaksikan kerukunan rumah tangga guru besarnya yang beristri empat. Gina
Puspita mencarikan istri untuk suaminya dengan cara bertanya kepada karyawan
dalam perusahannya siapa yang mau menikah dengan suaminya (Indah 2007,
hlm.57). Kebaikan dari poligami yang merupakan alasan lain yang mendorong
Gina Puspita untuk berbagi suami adalah “untuk mendekatkan diri pada Allah...
membuatku tak selalu tergantung dengan suami... saya bisa mandiri, dan segala
hidupku untuk Allah,” ucapnya (Indah 2007, hlm.57). Pandangan ini senada
dengan yang diutarakan oleh Teh Ninih. Gina Puspita mengakui bahwa pada
awalnya dia merasa cemburu akibat berbagi suami tetapi sekarang “masalah
cemburu itu jadi hal yang kecil” (Indah 2007, hlm.57). Ternyata, sisi positif
12
kehidupan poligami lebih ditekankan oleh perempuan ini. Gina Puspita dan ketiga
madunya tinggal bersama. Mereka senang makan bersama dan dapat dirawat oleh
sesama istri jika sakit. Jika sedang sibuk, Gina Puspita terkadang “bersyukur...
karena ada yang bisa menggantikan kewajiban saya terhadap suami” (Indah 2007,
hlm. 57).
Dihan Fahimsyah, yang suaminya berpoligami, juga menikmati keuntungan
poligami dalam rumah tangganya. Menurut dia, para istri yang suaminya
berpoligami dapat lebih mandiri dan punya waktu untuk mengejar cita-citanya
sendiri karena ada lebih dari satu istri untuk menanggung pekerjaan rumah tangga.
Dia tidak dapat bergantung pada suaminya melainkan harus mempertahankan
identitas sendiri karena suaminya sering tidak ada (Fahimsyah 2004, hlm.12).
Cerita Endang Budiarti Candra, istri pertama Diki Candra, agak mirip
dengan pengalaman Teh Ninih. Sebagai “penentang keras poligami”, Endang
Budiarti Candra langsung terkejut waktu suaminya mengatakan dia mau menikah
lagi (Arief 2007, hlm.4). Setelah dia minta nasihat dari keluarganya, akhirnya
perempuan lulusan S1 Ekonomi ini mengerti bahwa “poligami merupakan puncak
dari cobaan terberat seorang wanita, namun akan lebih mendekatkan diri ke
surga” (Arief 2007, hlm.4)— seperti yang dijelaskan oleh Gina Puspita. Sama
dengan Teh Ninih, Endang Budiarti Candra dibantu oleh suaminya untuk
menerima poligami. Melalui menjalankan kehidupan poligami, dia merasakan
beberapa keuntungan. Imannya lebih teguh, dia belajar kesabaran dan
ketawakalan, dan dia akrab dengan kedua madunya. Endang Budiarti Candra
yakin bahwa suaminya memiliki niat yang baik untuk berpoligami, yang “tidak
13
lepas dari tujuan perjuangannya” dan bermaksud untuk membantu perempuan
(Arief 2007, hlm.4).
Kedua madu Endang Budiarti Candra percaya bahwa menempuh kehidupan
poligami menguntungkan secara iman dan untuk memperbaiki diri sendiri.
Menurut Dyah Fitri Kusumadewi, istri kedua Diki Candra, poligami itu
merupakan latihan “untuk mengendalikan hawa nafsu (atas rasa cemburu, marah,
iri, dengki, dll)” sehingga “mendapatkan pelajaran kesabaran, rasa syukur,
ketenangan jiwa dan kestabilan iman” (Arief 2007, hlm.4). “Keikhlasannya...
menjalani poligami dalam kerangka jihad,” menurut Titani Sri Wikanihati Candra,
istri ketiga Diki Candra, “akan menambah pahala sebagai pencuci dosa-dosa masa
lalu saya” (Arief 2007, hlm.4). Menurut perempuan lulusan S1 Komunikasi ini,
poligami merupakan latihan kesabaran. Kedua wanita ini merasa poligami adalah
semacam perjuangan karena perbuatannya ditentang oleh banyak orang, termasuk
orang Islam.
Sebagai kesimpulan dari cerita-cerita tersebut, para istri yang ikhlas dalam
kehidupan poligami umumnya percaya bahwa poligami itu termasuk ajaran Allah
sehingga mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan sikap ikhlas
mereka. Walaupun kehidupan poligami berat, ada banyak keuntungan, khususnya
dalam rangka melatih diri menjadi wanita yang solehah tetapi juga dalam berbagi
tugas rumah tangga.
2.3.3. Kesaksian Para Istri yang tidak Ikhlas
Dewi Yull, seorang penyanyi terkenal, memilih bercerai daripada dimadu.
Ray Sahetapi, suami Dewi, mau menikah lagi waktu pernikahan pertamanya
14
sudah berlansung selama dua puluh tiga tahun dan menghasilan empat anak. Dewi
mengambil keputusan untuk menggugat cerai karena merasa tidak dapat ikhlas
berbagi suaminya dalam hal cinta (Lely 2007, hlm.38). Melalui cobaan ini, iman
Dewi tambah teguh dan dia merasa lebih dekat dengan Allah— ironisnya sama
dengan yang diungkapkan oleh banyak istri yang iklas dimadu (lihat bagian
2.3.2). Sekarang Dewi mengandalkan Allah dan tidak lagi mencintai salah satu
makhluknya secara berlebihan (Lely 2007, hlm.38).
Machica Muchtar menikah siri dengan Pak Moerdiono “karena beliau
adalah seorang pria mapan, berposisi strategis, dan pria yang bertanggung jawab”
(Ima 2007, hlm.39). Dia terpaksa menyembunyikan pernikahannya di depan
umum dan merasa cemburu karena dia tidak diutamakan seperti istri pertama.
Machica Muchtar dan suaminya bercerai waktu putranya berumur dua tahun.
Menurut perempuan ini, tidak mungkin dapat meraih kebahagiaan dengan
perkawinan poligami karena tidak mungkin berlaku adil dalam hal cinta. Machica
Muchtar sudah menikah lagi dan menganggap monogami sebagai “perkawinan
yang ideal” sedangkan “poligami adalah perkawinan yang tidak sehat” (Ima 2007,
hlm.39).
2.3.4. Kesaksian Para Anak dari Keluarga Poligami
Seorang anak yang bapaknya berpoligami menceritakan pengalamannya
dalam Kompas (6 Oktober 2003). Penulis ini mempunyai kenangan indah dengan
bapaknya waktu masih kecil. Akan tetapi, saat bapaknya menikah lagi, dia dan
delapan saudaranya merasa tidak diperhatikan lagi. Menurut penulis ini, bapaknya
tidak berlaku adil. Misalnya, kedua istrinya melahirkan anak perempuan dengan
15
selisih hanya beberapa minggu. Untuk anak dari istri mudanya dilaksanakan
kenduri, sedangkan untuk anak dari istri tuanya tidak diadakannya upacara apaapa. Menurut penulis, adik bungsunya ini menjadi pemberontak karena dia tidak
pernah merasakan kasih sayang dari bapaknya. Penulis mengasihani bapaknya
karena dia sudah tua tetapi masih harus bekerja keras untuk menafkahi
keluarganya. Ceritanya diakhiri dengan kalimat ini: “Begitupun poligami, itu
sesuatu yang halal, tetapi aku benci poligami.”
Pada sisi lain, ada pendukung poligami di antara anak-anak dari keluarga
poligami, termasuk Syarif. Menurut Syarif, semua anggota keluarganya bahagia,
termasuk bapak, istri-istri dan anak-anaknya. Walaupun ekonomi keluarganya
pas-pasan, Syarif dan adik-adiknya berpendidikan bahkan Syarif sendiri menjadi
calon doktor (Syarif 2007, hlm.8).
Salah satu anak Ustadz Muhammad Umar, pelaku poligami dengan empat
istri, tampaknya senang dengan keluarganya. Anak yang berumur delapan tahun
ini mengatakan, “saya senang jadi punya banyak umi, dan banyak saudara”
(Setiyaji 2006, hlm.170).
2.4. Organisasi 'Aisyiyah
'Aisyiyah adalah bagian dari Persyarikatan Muhammadiyah, yang kini telah
menjadi organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia. 'Aisyiyah adalah organisasi
yang khusus untuk wanita.
16
2.4.1. Sejarah 'Aisyiyah
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 di
Yogyakarta oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Tujuannya untuk mendorong umat
Islam untuk menganut agama Islam yang murni, tidak lagi dicampur dengan
kebatinan dan kepercayaan lain (Persyarikatan Muhammadiyah 2007). Bersama
istrinya, KH Ahmad Dahlan mengadakan kelompok pengajian perempuan yang
disebut Sapa Tresna. Kelompok pengajian ini dijadikan organisasi resmi pada
tanggal 19 Mei 1917 di Yogyakarta dan diberi nama 'Aisyiyah (Pimpinan Pusat
'Aisyiyah 2006). Sampai sekarang, 'Aisyiyah bergerak dalam bidang keagamaan,
sosial, pendidikan dan kesehatan. Taman kanak-kanak, sekolah, rumah sakit,
lembaga kesehatan lain, panti asuhan dan lembaga ekonomi telah didirikan serta
dikelola oleh 'Aisyiyah. Gerakan 'Aisyiyah sudah tersebar di seluruh Indonesia
(Pimpinan Pusat 'Aisyiyah 2006).
2.4.2. Tujuan 'Aisyiyah
Tujuan 'Aisyiyah adalah untuk:
“Menegakkan ajaran Islam yang rahmatan lil'alamin sehingga tercipta masyarakat
yang sejahtera dan berkeadilan serta menciptakan semangat beramal yang dijiwai
ruh berpikir yang Islami dan menjawab tantangan, serta menyelesaikan persoalan
kehidupan” (Pimpinan Pusat 'Aisyiyah 2006).
17
2.4.3. Susunan Organisasi 'Aisyiyah
Pimpinan Pusat 'Aisyiyah (PPA)
31 Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah (PWA)
331 Pimpinan Daerah 'Aisyiyah (PDA)
1979 Pimpinan Cabang 'Aisyiyah (PCA)
5450 Pimpinan Ranting 'Aisyiyah (PRA)
Pimpinan Pusat 'Aisyiyah (PPA) membawahi Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah
(PWA) yang mengurus 'Aisyiyah pada tingkat propinsi. Pimpinan Wilayah
'Aisyiyah membawahi Pimpinan Daerah 'Aisyiyah (PDA) yang mengurus
'Aisyiyah pada tingkat kabupaten/kotamadya. Pimpinan Daerah 'Aisyiyah
membawahi Pimpinan Cabang 'Aisyiyah (PCA) yang mengurus 'Aisyiyah pada
tingkat kecamatan atau kotamadya. Pimpinan Cabang 'Aisyiyah membawahi
Pimpinan Ranting 'Aisyiyah (PRA) yang mengurus 'Aisyiyah pada tingkat desa
atau kelurahan. Sekarang terdapat 31 PWA, 331 PDA, 1979 PCA dan 5450 PRA
di Indonesia (Pimpinan Pusat 'Aisyiyah 2006).
Kegiatan 'Aisyiyah tahun 2005-2010 dilaksanakan oleh tujuh majelis dan
empat lembaga, yaitu Majelis Tabligh; Majelis Kesejahteraan Sosial; Majelis
Kesehatan dan Lingkungan Hidup; Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah;
Majelis Ekonomi; Majelis Pembinaan Kader; Majelis Pendidikan Tinggi;
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan; Lembaga Kebudayaan; Lembaga
Hubungan Organisasi, Hukum, dan Advokasi; dan Lembaga Hubungan
Masyarakat dan Penerbitan (Pimpinan Pusat 'Aisyiyah 2006).
18
2.5. Hasil Penelitian Sejenis Terdahulu
2.5.1. Pandangan Perempuan Islam terhadap Poligami: Feillard, 1995
Dr. Andree Feillard, seorang peneliti dari Perancis, meneliti tentang
pandangan perempuan Islam Indonesia terhadap poligami pada bulan Oktober dan
Nopember 1995. Informannya termasuk tokoh perempuan Muslimat (Nahdlatul
Ulama), perempuan 'Aisyiyah dan perempuan dari Lembaga Swadaya
Masyarakat. Katanya, 22/23 informannya menentang poligami. Tidak ada alasan
yang diberikan oleh informannya yang berdasarkan agama. Alasan menolaknya
poligami termasuk “penderitaan ibu, laki-laki tidak bisa adil, tidak sesuai dengan
zaman” (Billah 1998, hlm.265).
2.5.2. Persepsi Pimpinan 'Aisyiyah Kota Malang terhadap Poligami:
Muhtadawan, 2003
Pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang terhadap poligami pernah diteliti
oleh seorang mahasiwa jurusan Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas
Muhammadiyah Malang. Judul skripsinya Persepsi pimpinan 'Aisyiyah Kota
Malang terhadap poligami (perspektif Syariah Islam dan hukum positif)
(Muhtadawan 2003).
Sumber informasi adalah empat puluh orang dari pimpinan 'Aisyiyah Kota
Malang. Dalam penelitiannya, Muhtadawan membahas pemahaman informan
tentang ajaran agama Islam mengenai poligami dan pandangan informan tentang
Undang-Undang Indonesia mengenai poligami dan apakah Undang-Undang
tersebut
sesuai
atau
bertentangan
dengan
hukum
Islam.
Muhtadawan
19
“mengkuatifikasi data kualtitatif” yang diperoleh lewat angket. Sebagian hasil
penelitiannya adalah:
- Menurut 75% informan, monogami merupakan bentuk perkawinan yang paling
baik.
- Menurut 95% informan, poligami dalam agama Islam dibolehkan dengan syarat
yang tidak ringan. Menurut 5% informan, poligami dianjurkan bahkan
diwajibkan.
- Menurut 97.5% informan, berlaku adil adalah syarat mutlak dalam perkawinan
poligami. Satu informan (2.5%) tidak menjawab.
- Menurut 97.5% informan, ‘adil’ dalam ajaran agama Islam meliputi baik hal
materi maupun non-materi. Hanya satu informan (2.5%) berpendapat bahwa
‘adil’ itu mengacu kepada hal materi saja.
Hasil penelitian yang disajikan memang menarik, tetapi tidak dapat
menjelaskan pandangan responden terhadap poligami secara menyeluruh.
Akhirnya kita hanya mengerti pandangan informan terhadap poligami dari sisi
hukum saja. Menurut peneliti, kita belum dapat memahami hati kecil informan.
Apa pandangan informan yang sungguh-sungguh terhadap poligami, selain
keyakinan agamanya? Apa saja alasan informan untuk jawaban-jawaban mereka?
Adalah sulit untuk mengerti cara berpikir informan jika data diperoleh lewat
angket saja. Walaupun demikian, skripsi ini dapat digunakan sebagai titik tolak
untuk memahami pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang secara mendalam.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dalam
hal ini, peneliti ingin membahas pandangan pribadi orang. Pandangan masingmasing orang berbeda-beda. Kadang-kadang perbedaan pandangan ini sangat
jelas. Bagaimanapun juga, kadang-kadang pandangan orang agak mirip. Untuk
mengetahui selisih perbedaan pandangan yang sedikit ini, alasan informan dan
penjelasan secara rinci perlu digali. Peneliti ingin memahami dan menggambarkan
pandangan informan yang rumit itu secara mendalam, bukan secara garis besar
saja. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif dianggap paling cocok untuk
penelitian ini.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Data tentang pandangan informan dikumpulkan lewat wawancara. Sebelum
diwawancarai, informan mengisi angket tentang keterangan pribadi (lihat
lampiran-2) supaya data tersebut dapat dikumpulkan dengan cepat dan tepat.
Teknik wawancara digunakan supaya informan dapat menyampaikan penjelasan
lengkap tentang pandangan mereka serta dapat berbagi cerita dari pengalaman dan
pengamatan mereka sendiri. Teknik wawancara terstruktur dipakai untuk
memastikan bahwa semua aspek ditanggapi oleh informan. Daftar pertanyaan
untuk wawancara terdiri dari dua puluh enam pertanyaan pokok (lihat lampran-1).
Kadang-kadang pertanyaan tambahan langsung diajukan supaya informan
menerangkan maksudnya atau memberi penjelasan lebih rinci. Wawancara
21
dengan seorang informan biasanya menghabiskan waktu kurang lebih dua jam.
Jika ada sesuatu yang kurang jelas mengenai jawaban informan, informan
dihubungi lagi untuk menerangkan pandangannya.
3.2.1. Susuanan Pertanyaan Wawancara
Daftar pertanyaan untuk wawancara dengan informan disusun secara teratur.
Keyakinan agama informan baru ditanyakan mulai dari pertanyaan (20) dan
pertanyaan ‘Apakah Ibu setuju dengan poligami’ adalah pertanyaan (15). Peneliti
berharap informan merasa nyaman untuk memberi tanggapan yang jujur terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang sikap dan reaksi mereka jika terlibat dalam
perkawinan poligami serta pandangan mereka terhadap pelaksanaan poligami,
sebelum poligami ditinjau dari segi agama. Jika memang keyakinan agama sangat
berpengaruh dalam membentuk pandangan seorang informan, faktor agama ini
secara wajar akan mengarahkan semua jawaban informan. Akan tetapi, mungkin
ada informan yang cenderung menyikapi poligami tanpa pengaruh besar dari
faktor agama. Jika pertanyaan (15) dan pertanyaan (20)-(26) mengenai keyakinan
agama diajukan pada awalnya, ada kemungkinan bahwa para informan merasa
terpaksa menjawab pertanyaan selanjutnya sesuai dengan keyakinan agamanya
sehingga pertanyaan-pertanyaan pribadi ini dijawab bukan dengan sikap ‘menurut
saya, seperti ini’ melainkan ‘dengan pertimbangan agama, seharusnya seperti ini’.
3.3. Sumber Informasi
Para ibu Indonesia paling diresahkan oleh masalah poligami karena mereka
yang dapat dijadikan ‘korban’ perkawinan poligami. Di Indonesia, poligami
22
biasanya dibicarakan dalam konteks agama Islam, karena agama yang
mengandung ajaran tentang poligami ini dipeluk oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana masalah poligami ini
disikapi oleh para ibu Islam? Atas dasar ini, para ibu 'Aisyiyah di Malang dipilih
sebagai sumber informasi. Di antara ibu-ibu 'Aisyiyah yang dijadikan sebagai
informan adalah ibu-ibu yang sudah menikah dan yang suaminya masih hidup.
Alasannya, yang sudah menikah dapat lebih mengerti masalah rumah tangga.
Pada awalnya, peneliti mencari informan di antara dosen Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) karena kebanyakan dosen perempuan di UMM
adalah anggota 'Aisyiyah. Setelah itu, peneliti melanjutkan penelitiannya terhadap
ibu-ibu 'Aisyiyah di luar UMM. Teknik ‘snow-ball sampling’ digunakan untuk
mencari informan lain. Dengan kata lain, informan menghubungkan peneliti
dengan ibu-ibu 'Aisyiyah lain untuk diwawancarai. Di pertemuan 'Aisyiyah
ranting Sengkaling pada tanggal 9 Maret 2007, peneliti sempat bertemu dengan
banyak ibu 'Aisyiyah dan mencari informan. Jumlah informan untuk penelitian ini
adalah enam belas ibu.
Untuk mencari informasi tentang organisasi 'Aisyiyah di Malang, peneliti
berkunjung ke kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang dan kantor
Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kabupaten Malang, pada tanggal 16 Mei 2007.
3.4. Teknik Analisa Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Tidak semua informasi yang
diperoleh melalui wawancara dianggap sebagai data dan digunakan untuk laporan
ini. Hanya informasi tertentu yang secara jelas menunjukkan pandangan informan
23
diambil sebagai data untuk penelitian. Data ini diringkaskan, dikelompokkan,
diuraikan. Akhirnya data ini disajikan sebagai gambaran sebuah fenomena sosial,
yaitu pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang terhadap poligami. Peneliti juga
meninjau hasil wawancara secara keseluruhan untuk mengetahui faktor apa saja
yang mempengaruhi pandangan informan.
24
BAB IV
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
4.1. Monografi Lapangan
'Aisyiyah di Malang didirikan pada tahun 1927-an. Pada awalnya, 'Aisyiyah
di Malang merupakan satu kesatuan tetapi akhirnya dibagi dua— 'Aisyiyah Kota
Malang dan 'Aisyiyah Kabupaten Malang. Sekarang dua bagian ini dipimpin oleh
Pimpinan Daerah masing-masing (Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kota Malang
2004).
4.1.1. 'Aisyiyah Kota Malang
Sekilas 'Aisyiyah Kota Malang
Jumlah Cabang: 6
Jumlah Ranting: 45
Jumlah Majelis: 6
Ketua: Dra. Hj. Rukmini Fadlan
'Aisyiyah Kota Malang terdiri dari enam cabang: Klojen, Lowokwaru,
Blimbing, Kedungkandang, Sukun dan UMM. Cabang 'Aisyiyah Khusus UMM
dibentuk pada tanggal 21 Desember 2006 dan beranggotakan karyawan dan dosen
perempuan UMM (Bestari Februari 2007, hlm.7). Keenam cabang tersebut
membawahi empat puluh lima ranting (Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kota Malang
2004).
Dalam susunan 'Aisyiyah Kota Malang, ada enam majelis: Tabligh;
Kesehatan dan Lingkungan Hidup; Pendidikan Dasar dan Menengah; Ekonomi;
Kesejahteraan Sosial Masyarakat; dan Kader & Sumber Daya Insani (Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Malang 2007).
25
4.1.2. 'Aisyiyah Kabupaten Malang
Sekilas 'Aisyiyah Kabupaten Malang
Jumlah Cabang: 20
Jumlah Ranting: 51+
Jumlah Majelis: 6
Ketua: Dra. Hj. Wadjdiyah Abdillah
'Aisyiyah Kota Malang terdiri dari dua puluh cabang: Lawang, Singosari,
Tumpang, Pakis, Gondang Legi, Turen, Tajinan, Bulu Lawang, Pagak,
Donomulyo, Sumber Pucung, Kepanjen, Pakisaji, Ngajum, Dau, Wagir, Karang
Ploso, Ngantang, Kasembon dan Pujon. Cabang Ngantang, Kasembon dan Pujon
baru bergabung dengan 'Aisyiyah Kabupaten Malang pada bulan April 2007. Pada
tanggal 16 Mei 2007, kantor Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kabupaten Malang
belum menerima laporan mengenai berapa ranting yang dibawahi ketiga cabang
tersebut. Ketujuhbelas cabang yang lebih lama membawahi lima puluh satu
ranting.
Dalam susunan 'Aisyiyah Kabupaten Malang, ada enam majelis: Tabligh;
Pembinaan Kesehatan; Pendidikan Dasar dan Menengah; Ekonomi; Pembinaan
Kesejahteraan Sosial; dan Pembinaan Kader (Pimpinan Daerah 'Aisyiyah
Kabupaten Malang 2007).
4.2. Profil Informan
Jumlah informan yang diwawancarai adalah 16.
26
4.2.1. Umur
Umur
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
Jumlah informan
3
1
7
2
1
0
2
Umur informan di atas adalah umur informan saat diwawancarai. Umur
sebagian besar informan di bawah 50 tahun. Hampir separuh (7/16) informan
berumur antara 40 dan 44 tahun. Rata-rata, umur informan adalah 43,4 tahun.
4.2.2. Pendidikan Terakhir dan Pekerjaan
Tingkat
Pendidikan
SD
SMP
SMA
S1
S2/S3
Jumlah
informan
3
2
3
3
5
Pekerjaan
2 ibu rumah tangga, 1 pedagang (jual nasi)
1 wiraswasta, 1 swasta
1 pedagang (ketring), 2 ibu rumah tangga
1 pensiunan kepala sekolah SD, 1 guru SMK, 1 guru SD
5 dosen
Peneliti sengaja memilih untuk mewawancarai ibu dari latar belakang
pendidikan yang berbeda-beda. Pendidikan terakhir separuh (8/16) informan
adalah SMA ke bawah dan separuh (8/16) informan sudah lulus dari universitas,
termasuk S1, S2 dan S3.
Pekerjaan informan bermacam-macam. Informan yang lulusan S2/23 adalah
dosen dan yang lulusan S1 adalah guru sekolah atau pensiunan guru sekolah.
Separuh yang berpendidikan SMA ke bawah (4/8) adalah ibu rumah tangga,
sedangkan yang lainnya adalah pedagang atau bekerja di bidang swasta.
4.2.3. Jumlah Anak
27
Jumlah anak
0
1
2
3
4
5
Jumlah informan
1
1
6
2
4
2
Rata-rata jumlah anak informan adalah 2,8 anak.
4.2.4. Status dalam 'Aisyiyah
Status (Kota Malang)
Pengurus, PWA Jawa Timur
Pengurus, PDA Kota Malang
Pengurus, PCA Khusus UMM
Jumlah informan
1
4
1
Status (Kabupaten Malang)
Pengurus, PCA Dau
Pengurus, PRA
Peserta Ranting Sengkaling
Peserta Ranting Jetis
Peserta Ranting Wunut Sari
Jumlah informan
3
4
2
2
1
Keterangan:
PWA= Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah
PDA= Pimpinan Daerah 'Aisyiyah
PCA= Pimpinan Cabang 'Aisyiyah
PRA= Pimpinan Ranting 'Aisyiyah
Pengurus= Ketua, Wakil Ketua, Ketua Majelis, Anggota Majelis, Wakil Sekretaris
Jumlah informan di atas adalah 18 karena ada dua informan yang memiliki
dua jabatan sekaligus dalam 'Aisyiyah. Salah satu informan adalah Pengurus,
PWA, Jawa Timur merangkap Pengurus, PDA, Kota Malang dan salah satu
informan lain adalah Pengurus, PCA, Dau merangkap Ketua Ranting.
Ibu-ibu 'Aisyiyah yang diwawancarai meliputi pengurus 'Aisyiyah dan
peserta dari Kota Malang dan Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Pengurus
'Aisyiyah yang diwawancarai meliputi pengurus wilayah, daerah, cabang dan
ranting.
28
4.3. Pandangan Informan terhadap Poligami
Lihat daftar wawancara untuk daftar orang yang diwawancarai. Lihat
lampiran-1 untuk daftar pertanyaan yang diajukan kepada informan.
4.3.1. Apakah Informan Setuju dengan Poligami?
Ternyata pertanyaan (15), ‘Apakah Ibu setuju dengan poligami?’, kurang
bermanfaat untuk menggali informasi tentang pandangan informan yang
sebenarnya. Jawaban informan untuk pertanyaan ini harus dicocokkan dengan
jawaban mereka untuk pertanyaan lain supaya pandangan informan dapat
dipahami secara lengkap. Untuk pertanyaan (15) ini, satu informan menjawab
“sangat setuju”, lima informan menjawab “setuju”, delapan informan menjawab
“tidak”, dan dua informan tidak mau mengatakan bahwa mereka setuju atau tidak
setuju. B1 “sangat setuju” dengan poligami karena termasuk ajaran agama.
Menurut informan ini, poligami dibolehkan oleh Allah karena “sek laki-laki lebih
kuat— lebih baik [berpoligami] daripada selingkuh dan menyeleweng”.
Dari jawaban mereka untuk pertanyaan lain, dapat dilihat bahwa kelima
informan yang menjawab “setuju” untuk pertanyaan (15) sebenarnya kurang suka
poligami pada umumnya. Misalnya, untuk pertanyaan (8), ketika keuntungan
poligami ditanyakan, B2 dan C3 mengatakan bahwa keuntungannya sedikit dan
menurut C2 tidak ada keuntungannya bagi para istri dan anak. A3, B2 dan D1
“setuju” dengan poligami. Namun, mereka langsung mengkualifikasikan jawaban
mereka dengan kata “tergantung...”— “tergantung sikapnya dan lain-lain” (A3),
“tergantung untuk siapa” (B2) “tergantung sikon” (D1). Untuk menjelaskan
mengapa mereka setuju dengan poligami, C2 dan D1 mengatakan bahwa poligami
29
dibolehkan dalam agama Islam. Kelihatannya mereka merasa harus mengatakan
“setuju” karena poligami dibolehkan dalam agama yang mereka anut, padahal
mereka kurang suka.
Sama halnya dengan A2 dan A5, yang ragu-ragu menjawab pertanyaan (15)
ini. Dari jawabannya untuk pertanyaan lain, terlihat jelas bahwa dua informan
tersebut kurang nyaman dengan konsep poligami. Meskipun demikian, mereka
tidak mau mengatakan bahwa mereka tidak setuju dengan poligami karena tidak
mau menentang Allah. A2 “tidak mengatakan tidak setuju. Boleh karena dalam
Al-Qur’an. Kalau tidak setuju berarti menentang agama. Syarat adil berat.”
Menurut A5, poligami itu “dari agama dibolehkan dengan syarat... Kalau saya
bilang ‘haram’, menentang Allah. Bisa haram... bisa Sunah... [jawaban saya]
antara ‘ya’ dan ‘tidak’.”
Antara kedelapan informan yang menjawab “tidak”, hanya satu yang
memberi perkecualian. A4 “tidak setuju, kecuali untuk keadaan yang
mengharuskan— habis perang, istri sakit berat dan lain-lain”. Padahal untuk
pertanyaan (17), lima informan lain setuju bahwa poligami itu ‘pintu darurat’
yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu. Lima informan ini termasuk
seorang lulusan SMA, seorang lulusan SMP dan tiga orang lulusan SD. Mungkin
jawaban kelima informan tersebut kurang lengkap bahkan bertentangan dengan
jawaban mereka sendiri untuk pertanyaan lain karena pendidikannya lebih rendah.
Jika semua jawaban informan ditinjau, ternyata hanya dua informan (A1, B3)
sama sekali tidak setuju dengan poligami dalam keadaan apapun. Bahkan jika
seandainya A1 menjadi presiden dia “mau UU sama sekali tidak boleh”.
30
4.3.2. Bentuk Perkawinan yang Paling Baik
Menurut dua informan, monogami dan poligami sama baiknya. Hal yang
menentukan yang mana yang lebih baik untuk suatu keluarga adalah sifat dan
keadaan suaminya. Menurut B1, “kalau mampu bijaksana, ya poligami. Kalau
tidak mampu bijaksana, adil— monogami.” Menurut C3, “kalau sudah nyaman,
satu cukup” tetapi jika si suami “sangat membutuhkan” karena istrinya mandul
atau “tidak memuaskan” dia, “lebih baik poligami” kemudian “kalau kyai-kyai
yang kaya raya, dibutuhkan orang— harus [berpoligami]”.
Menurut dua belas informan, monogami adalah bentuk perkawinan yang
paling baik, tetapi poligami merupakan ‘pintu darurat’ yang dapat dipakai dalam
keadaan tertentu, misalnya jika istrinya sakit, mandul atau tidak dapat melayani
suaminya. A5 mengibaratkan, “dalam pesawat ada pintu darurat. Kok dipakai
kalau kondisi normal!” Menurut empat informan (A2, A3, B2, C2), lebih mudah
jika istrinya satu saja untuk menghindari konflik dan masalah dan “menjaga
keutuhan keluarga” (B2). C2 menjelaskan, “rumah tangga tidak bisa 100%
bahagia apalagi kalau dua! Masalah baru— dulu satu soal dijadikan dua soal!”
A1 dan B3 membela monogami sebagai satu-satunya bentuk perkawinan
yang baik. Menurut mereka, poligami bukan ‘pintu darurat’ karena seharusnya
tidak digunakan dalam keadaan apapun. Jika si istri sakit, “suami harus
membantu... dia sakit, suami ikut sakit,” ucap A1. Informan ini berpendapat
bahwa jika salah satu pihak tidak subur, solusi lain dapat dicari, misalnya IVF
atau adopsi. Dari sudut pandangan A1, poligami beralasan tidak mempunyai anak
tidak adil dan tidak masuk akal. “Bagaimana kalau laki-laki yang tidak subur?
31
Poliandri? Tidak! Tidak bisa punya anak bukan alasan... apapun yang terjadi
harus dihadapi bersama.”
Maka 87.5% (14/16) informan berpendapat bahwa monogami adalah bentuk
perkawinan yang paling baik. Persentase ini lebih besar lagi daripada persentase
hasil penelitian Muhtadawan (75%) untuk pertanyaan yang sama yang diajukan
kepada ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang (2003, lihat bagian 2.5.2).
4.3.3. Alasan Orang Terlibat dalam Perkawinan Poligami
4.3.3.1. Pelaku
Hampir semua informan (13/16) menyebut nafsu seksual atau kebutuhan
biologis sebagai alasan laki-laki memilih berpoligami. Adalah sulit untuk
mengetahui sejauh mana para informan merasa alasan ini dapat dimakhlumi dan
sejauh mana mereka kurang menghormati para suami yang berpoligami
berdasarkan alasan ini. Menurut beberapa informan, alasan ini dapat dimakhlumi
karena laki-laki memang memiliki dorongan seksual yang tinggi. Mungkin satu
istri memang tidak cukup untuk si suami karena istrinya kurang mampu melayani
dia secara seksual atau karena si suami memiliki kelainan seksual. Selain itu,
“nggak bisa disalahkan laki-laki saja” untuk keputusan mereka untuk
berpoligami menurut A1. Ada “faktor wanita” juga, misalnya “yang nakal
dengan pakaian yang tidak sopan”, sehingga laki-laki tergoda.
Pada sisi lain, alasan nafsu seksual ini dianggap kurang mulia oleh banyak
informan. Menurut A2, biasanya motivasi orang yang berpoligami hanya seksual
dan“tidak banyak yang menjadi teladan”. A4 dan D2 menyebut bahwa orang
yang berpoligami sekarang tidak mencontoh Nabi Muhammad. “Biasanya tidak
32
mengikuti Sunah Rasulullah... mesti lebih cantik, lebih muda,” kata A4. Menurut
A5 dan B3, agama digunakan sebagai pembenar atau alat saja. “Agama sering
dijadikan alasan saja... di dalamnya fakor-faktor lain— cinta dan nafsu saja,”
ucap A5.
Hanya dua informan menyebut alasan menolong wanita secara tegas. Lakilaki yang berpoligami mau “menegakkan syariat... menolong sesama, mengikuti
Sunah” menurut B1, dan “sekarang terlalu banyak wanita, mereka mau
melindungi” menurut D1.
4.3.3.2. Istri Pertama
Menurut enam informan, salah satu alasan para istri pertama mengijinkan
suaminya berpoligami adalah untuk mencegah perselingkuhan atau karena dia
tidak dapat melayani suaminya dengan baik. Si suami kuat secara biologis tetapi
istrinya tidak mampu memuaskan dia, misalnya karena dia sudah tua atau sakit.
Menurut B1, “sek orang laki-laki sepuluh kali lipat seorang perempuan.
Daripada berselingkuh diberi kesempatan.”
Lima informan menggunakan kata “terpaksa”, secara ekonomi, untuk
menjelaskan mengapa istri pertama mengijinkan suaminya menikah lagi.
Perempuan itu “tidak berdaya untuk menolak. Kalau cerai, ‘anak saya makan
apa?’” menjelaskan A4. Perempuan seperti itu “terlalu tergantung” pada
suaminya, sehingga terpaksa menerima dimadu, menurut D1.
Lima informan menyebut kepercayaan agama sebagai alasan untuk
merelakan suami menikah lagi. Menurut A4, C2 dan E3, si istri merasa poligami
33
dibolehkan dalam agama sehingga ajarannya ditaati. Istri pertama ikhlas antara
lain karena dia mencari pahala dengan berbagi cinta suami, menurut A1 dan A2.
4.3.3.3. Istri Kedua/Ketiga/Keempat
Dari jawaban mereka untuk pertanyaan (7), jelas bahwa sebagian besar
informan kurang menghormati perempuan yang menikah dengan laki-laki yang
sudah memiliki istri. Hampir semua informan (13/16) menyebut ekonomi sebagai
alasan perempuan mau menikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri.
Tiga informan dari tiga belas informan tersebut juga menganggap pangkat atau
status seorang laki-laki yang sudah beristri sebagai daya tarik untuk perempuan.
Menurut lima informan, ada perempuan yang tidak peduli bahwa laki-laki yang
mereka sukai sudah menikah. “Yang penting [untuk mereka] dapat uang
walaupun ‘merusak’ rumah tangga orang,” ucap A5. Tiga informan menyebut
alasan diperbolehkan dalam agama. Menurut B1, untuk perempuan yang menikah
dengan laki-laki yang beristri, pilihan mereka merupakan “perjalanan hidup dari
Allah— kalau tidak takdir pasti tidak mau”. Menurut A5, ada perempuan yang
berkeyakinan bahwa dalam Islam poligami dianjurkan dan “poligami itu bukan
salah, wajar-wajar aja menurut mereka”. Islam digunakan “sebagai alasan”
untuk menikah dengan laki-laki yang sudah beristri, menurut A2.
34
4.3.4. Dampak Poligami terhadap Keluarga dan Masyarakat
4.3.4.1. Keuntungan Keluarga Poligami
Ketika keuntungan keluarga poligami ditanyakan, banyak informan bingung
dan mengalami kesulitan dalam mencari sisi positif dari poligami, khususnya
untuk para istri dan anak. “Tidak ada,” menurut tiga informan (A1, A4, E1),
sedangkan A2 dan C1 “belum lihat” keuntungan keluarga poligami. Banyak
informan malah mulai menyebut kerugiannya. Salau satu keuntungan yang
disebut tiga informan (B1, B2, C3) adalah masalah kelebihan wanita dapat diatasi
melalui poligami. Keuntungan lain yang disebut informan termasuk keturunan
diperbanyak (6— B1, B2, D1, D2, E2, E3) sekaligus anak-anak tambah saudara
(5— A5, B1, D1, E2, E3). Menurut informan, keuntungan poligami bagi para istri
hanya sedikit, termasuk beban tugas rumah tangga (A3, A5) atau melayan suami
(B2) dapat dibagi antara istri, dan istrinya seperti saudara (D2, E2). Walaupun
keuntungan ini disebut oleh informan, ada yang meragukan berapa sering
keuntungannya muncul. Misalnya, A5 mengatakan, “mungkin ada” keuntungan
untuk istri-istri dan anak-anak sebelum dia menyebutnya. Sesudah D1 menyebut
keuntungan “banyak saudara” untuk anak-anak, dia mengatakan, “jarang seperti
itu”.
4.3.4.2. Kesulitan dan Tantangan Keluarga Poligami
Ternyata kesulitan dan tantangan keluarga poligami jauh lebih mudah
dijelaskan oleh informan daripada keuntungannya. Kesulitan suami berlaku adil,
misalnya dalam membagi waktu dan harta, disebut oleh enam informan (A2, A4,
A5, C1, C3, D2). Tantangan ekonomi atau kesusahan yang dialami karena gajinya
35
harus dibagi disebut oleh enam informan. Enam informan ini meliputi kelima
informan lulusan SD dan SMP. Hal ini mungkin disebabkan oleh perempuan yang
dari segi ekonominya lebih rendah ini dapat membayangkan kesusahan yang akan
dialami mereka sendiri jika suaminya berpoligami. Banyak kesulitan yang
dihadapi oleh para istri disebut, termasuk penderitaan secara emosi— sakit hati,
sedih, iri, cemburu (5— A3, A4, A5, C3, D2), kurang perhatian dari suaminya
(4— B1, D1, D2, E2) dan tantangan berhubungan baik dengan istri lain (4— A2,
C2, C3, E3). Bagi anak-anak, kerugian yang disebut termasuk rasa kecewa dan
cemburu serta kasih sayang dari bapaknya kurang bahkan mereka terlantar. Dua
informan (A4, A5) mengatakan bahwa mungkin anak perempuan tidak mau
menikah karena dia menyaksikan penderitaan ibunya.
4.3.4.3. Dampak terhadap Masyarakat Indonesia jika Poligami Meluas
Jika poligami meluas di Indonesia, tanggapan B1 adalah, “Alhamdulillah!
Lebih baik— tidak ada penyelewengan. Masyarakat lebih sehat.” Menurut enam
informan
lain,
dampaknya
terhadap
masyarakat
positif
asalkan
yang
melakukannya tidak sembarangan orang. A2 beranggapan bahwa jika niat
pelakunya adalah untuk menolong orang miskin, dampaknya positif. Poligami
dapat berdampak positif jika istri pertama iklas, menurut dua informan (A3, C3)
dan pelakunya mampu, menurut empat informan (A3, B2, C3, D1).
Sembilan informan sama sekali tidak setuju jika poligami meluas di
Indonesia karena dampak negatifnya terhadap keluarga, khususnya perempuan
dan anak-anak. Akibat poligami, “wanita semakin dilecehkan, korban-korban
anak,” menurut A1, dan “banyak yang sakit hati, keluarga pertama terlantar,”
36
kata A4. Menurut D1, meluasnya poligami akan menimbulkan “perang terus,
bertengar terus”.
4.3.5. Cerita Informan tentang Keluarga Poligami yang Mereka Kenal
Selain ketiga ibu lulusan SD yang tidak mempunyai saudara atau teman dari
keluarga poligami, semua informan berbagi cerita dari pengamatan pribadi. Tidak
mengherankan bahwa kesan terhadap keluarga poligami yang mereka kenal sesuai
dengan pandangan mereka masing-masing terhadap poligami secara umum.
Menurut B1, anak saudaranya yang berpoligami “saling memperkuat, saling
menyatu” dan dalam keluarga kenalan lain, istri-istrinya “gotong royong,
mendukung” dan suaminya “adil, tidak ada masalah”. A3 berbagi dua cerita
yang mendukung kesimpulannya bahwa berhasil tidaknya poligami “tergantung
sikap suami dan istri”. Pamannya A3 dicarikan istri kedua oleh istri pertamanya.
Menurut A3, “karena pikiran poligami dari istri dan sikap suami adil—
berhasil”. Cerita keluarga poligami yang tidak baik diambil dari pengalaman
suaminya. Suami A3 menjadi “korban” sebagai anak pertama dari istri pertama.
“Bapaknya mampu secara ekonomi tapi tidak adil,” menjelaskan A3. Dari
pengamatan C3, poligami itu “umumnya tidak baik” tetapi ada yang berhasil.
Cerita tentang keluarga poligami yang disampaikan oleh sepuluh informan
lain dianggap kurang berhasil atau menimbulkan masalah. Dalam cerita tiga
informan (A1, B2, C2), akhirnya istri kedua diceraikan. Dalam dua keluarga lain,
yang diceritakan A5 dan D1, kedua istri menyuruh suaminya pergi ke rumah istri
yang lainnya. Istri pertama dalam cerita A5 mengatakan kepada suaminya, “tidak
usah di sini!” kemudian istri keduanya menyuruh suaminya, “ke sana aja!”,
sehingga “suami di tempat lain— tidak tahu di mana— di mesjid atau di mana
37
dia menginap”. Masalah lain yang dialami keluarga poligami yang dikenal oleh
informan termasuk istri-istrinya kurang bahagia dan tidak rukun, anak-anaknya
tidak setuju serta kesulitan dalam ekonomi.
4.3.6. Tokoh Islam Indonesia yang Berpoligami
4.3.6.1. Kyai-Kyai di Indonesia yang Berpoligami
Informan-informan menceritakan budaya pesantren tertentu di mana
poligami dianggap sebagai suatu kebiasaan. Orang tua santri sering menawarkan
putrinya kepada kyai karena mereka bangga memiliki kyai sebagai menantu,
bahkan santrinya senang dinikahi. Para kyai menganggap dirinya telah mengikuti
Sunah Rasulullah dengan mengamalkan poligami. Mereka mampu secara
ekonomi dan mungkin mempunyai nafsu seksual yang tinggi sehingga mau
menikah lagi. Tujuh informan (A2, A5, B1, B2, C3, D1, E2) tidak menentang
fenomena tersebut. Menurut A2 dan C3, kyai-kyai boleh saja berpoligami asalkan
syarat tertentu dipenuhi. “Terserah— boleh dalam Islam. Kalau istri pertama
ikhlas— tidak dipaksa, diintimidasi— saya tidak protes,” ucap A2. C3 setuju
asalkan kyai itu memang perlu menikah lagi agar tidak berzina, dia mampu secara
ekonomi dan sudah menjelaskan kehendaknya kepada istri-istrinya. B2 “bukan
nggak setuju. Boleh-boleh saja. Kyainya mampu.” Tanggapan D1 adalah,
“santrinya mau—nggak apa-apa”.
Sembilan informan kurang setuju dengan perilaku kyai-kyai yang
berpoligami. Menurut tiga informan (A1, A4, D2), kyai-kyai tersebut salah
menafsirkan ajaran agama Islam tentang poligami atau agama digunakan sebagai
alasan saja. Tiga informan (A1, B3, E3) tidak setuju karena tidak ada manusia
38
yang mampu berbuat adil. Lima infomran (A1, A3, C1, C2, D2) kurang setuju
karena mereka yakin bahwa kyai-kyai menikah lagi karena nafsu.
4.3.6.2. Kasus Aa Gym
Masyarakat seharusnya tidak langsung heboh dan menilai Aa Gym yang
boleh saja menikah lagi, menurut B1 dan B2. Empat informan lain setuju atau
tidak apa-apa jika Aa Gym berpoligami. Aa Gym dapat menolong seorang janda
dan anak-anak, menurut C2, dan dia mampu secara ekonomi, menurut D1. E2
“setuju ae— bukan tetangga, saudara”. Namun, sebentar lagi sikapnya berubah
dan dia mengatakan, “aslinya tidak setuju— bukan tetangga biarin saja”.
Walaupun mereka mengatakan bahwa mereka setuju, C2 dan E2 “kasihan”
terhadap Teh Ninih, istri pertama Aa Gym.
Menurut C1 dan C3, Teh Ninih “hebat” karena dia rela dimadu. C1
“setengah setuju, setengah tidak” karena dia mengagumi Teh Ninih sekaligus
merasa tidak ada alasan baik untuk pernikahan kedua Aa Gym.
Sembilan informan kurang setuju dengan pernikahan kedua Aa Gym. Tujuh
informan dari kesembilan informan tersebut kurang setuju karena mereka
mengasihani Teh Ninih. Menurut kelima informan lulusan S2/S3, istri pertama Aa
Gym ini kelihatannya terpaksa menerima dimadu, padahal dia tidak mau. “Dia
ikhlas karena benar-benar ikhlas atau karena didoktrin terus selama bertahuntahun?” menanyakan A2. Tiga informan (A1, A3, E3) meragukan niat murni Aa
Gym, mengingat istri keduanya cantik. Walaupun A2 dan A5 kurang setuju
dengan tindakan Aa Gym, mereka ragu-ragu menghakimi dia. “Kalau niatnya
benar tidak berdosa tapi masih kecewa... [saya] tidak akan mengecam dia... tapi
39
tetap kecewa,” kata A2. A5 merasa “tidak bisa menghakimi dia— tidak ada
larangan”.
4.3.7. Syarat-Syarat
Jawaban A1 dan B3 tidak terhitung untuk bagian 4.3.7 ini karena mereka
tidak setuju dengan poligami dalam keadaan apapun. Maka sampel untuk bagian
ini adalah empat belas informan. Para informan sepakat bahwa harus ada
kepastian bahwa seorang suami yang mau berpoligami akan berlaku adil dan
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.
4.3.7.1. Persetujuan dari Istri/Istri-Istri
Pertanyaan (18b) mengenai perlu tidaknya ada persetujuan dari istri/istriistri sebelum seorang laki-laki menikah lagi, ternyata kurang dapat menggali
pendapat informan yang sebenarnya. Semua informan setuju bahwa sebaiknya ada
persetujuan dari istri/istri-istri sebelum seorang laki-laki berpoligami. Dua
informan (A5, C3) menjelaskan bahwa persetujuan tersebut bukan syarat dalam
agama Islam, tetapi “etikanya saja, pantas-pantas saja” (A5). Pada awalnya, dua
belas informan mengatakan bahwa harus ada persetujuan atau si suami harus
minta ijin dulu. Dari penjelasan mereka selanjutnya, ternyata tujuh informan
percaya bahwa seorang laki-laki yang mau berpoligami boleh saja tanpa ijin dari
istri/istri-istrinya. Pandangan ini jelas bertentangan dengan hukum Indonesia yang
menetapkan persetujuan dari istri/istri-istri sebagai salah satu syarat poligami (UU
Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 5:1, lihat bagian 2.2). Jika si istri tidak ikhlas, si
suami “bisa memilih cerai istri pertama atau cari jalan lain biar istri pertama
taat agama,” menurut B1. Menurut C3, “tidak harus ada izin tapi harus jujur,
40
harus terus terang”. Untuk menggali informasi lebih lanjut agar pandangan
mereka jelas, pertanyaan tambahan diajukan kepada informan-informan jika
diperlukan. Menurut lima informan (A4, B2, C2, D2, E3), jika seorang istri sakit
dan tetap menolak memberi ijin, suaminya boleh menikah lagi tanpa persetujuan
dari istrinya. “Istrinya tidak punya hak untuk melarang,” kata C2. “Kalau sakit
atau mandul, udah ditinggal aja istri pertama, walaupun tidak setuju. Kalau
nggak ada anak, rugi suaminya,” menjelaskan D2.
Menurut tujuh informan lain, jika seorang laki-laki mau menikah lagi, tetapi
istrinya tidak memberi ijin, sebaiknya si suami tidak berpoligami. A2
menjelaskan, “harus ada persetujuan, harus tanpa tekanan, dinyatakan secara
spontan, bukan karena doktrin terus-menerus”. Menurut A2, si istri memiliki hak
untuk minta cerai jika dia menolak dimadu. A3 dan E2 dengan tegas mengatakan
bahwa jika seorang istri yang sakit tidak mengijinkan suaminya menikah lagi,
suaminya tidak boleh berpoligami. Menurut D1, dalam keadaan tersebut “suami
harus mengerti perasaan istri”. Jika imannya suami kuat, dia tidak akan
berpoligami, walaupun istrinya sakit atau mandul, menurut C1. Menurut A2 dan
A5, lebih baik jika si suami tidak berpoligami dalam kondisi tersebut. Walaupun
E1 mengatakan bahwa sebelum seorang laki-laki berpoligami harus ada
persetujuan dari istri/istri-istrinya, dia tidak memberi tanggapannya tentang boleh
tidaknya si suami menikah lagi tanpa ijin dari istrinya jika istrinya sakit atau
mandul. Dari ketujuh informan tersebut, empat informan (A2, A5, C1, D1)
mengatakan bahwa lebih baik dalam keadaan tersebut si istri mengijinkan
suaminya menikah lagi.
41
4.3.7.2. Kekurangan pada Istri
Bertentangan dengan hukum Indonesia (UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal
5:1, lihat bagian 2.2), dua belas informan mengatakan bahwa kekurangan pada
istri bukan syarat poligami. Jika istri sehat mengijinkan suaminya menikah lagi, si
suami boleh berpoligami. Namun demikian, lebih mudah diterima orang lain jika
istrinya sakit atau mandul, menurut A2 dan A5.
Dua informan (E1, E2) tidak memberi tanggapan mereka mengenai boleh
tidaknya seorang suami menikah lagi dalam keadaan si istri sehat dan dia
memberi ijin. Menurut E2, istrinya “harus sakit” dan menurut E1, seorang lakilaki boleh menikah lagi jika ada alasan, misalnya istri sakit atau mandul.
4.3.8. Ajaran Agama Islam tentang Poligami
4.3.8.1. Alasan Nabi Muhammad Berpoligami
Kepercayaan para informan mengenai mengapa Nabi Muhammad
berpoligami sama dengan kepercayaan umat Islam pada umumnya. Semua
informan, termasuk mereka yang menentang poligami, yakin bahwa alasan Nabi
Muhammad berpoligami bersifat mulia, yakni untuk menolong janda-janda dan
anak yatim dan untuk “berjuang di jalan Allah” (B3). Tiga informan (A2, A4,
A5) menceritakan kehidupan perkawinan Nabi Muhammad dan menjelaskan
bahwa beliau mengamalkan monogami lebih lama daripada poligami.
4.3.8.2. Syarat Adil
Menurut 14/15 informan yang menjawab pertanyaan (22), seorang suami
yang mau berpoligami dituntut harus adil dalam hal lahir dan batin. B2
42
merupakan perkecualian. Menurut dia, artinya ‘adil’ dalam An-Nisaa’ [4]: 3
meliputi “waktu, harta, perhatian. Cinta sangat pribadi, tidak bisa adil tapi
jangan diungkap!” Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Muhtadawan
(2003, lihat bagian 2.5.2). Dalam penelitian sejenis terdahulu ini, 39/40 informan
percaya bahwa ‘adil’ itu mengacu kepada hal lahir saja. Hasil penelitian ini juga
senada dengan pandangan I. Rais, Wakil Ketua Bagian Dikdasmen Pimpinan
Pusat 'Aisyiyah dan E. Jasman, mantan Ketua 'Aisyiyah (lihat bagian 2.1).
Delapan informan kurang pasti, atau jawabannya kurang jelas mengenai
kemampuan seorang suami yang berpoligami berlaku adil. Empat informan
menekankan bahwa lebih banyak yang tidak mampu. “Jarang” ada yang dapat
berbuat adil, kata A3, “maka banyak konflik”. B1 dan B2 mengatakan bahwa
seorang pelaku poligami seharusnya berusaha berbuat adil. Menurut B1,
kemampuan seorang suami yang berpoligami berbuat adil “terbatas— kecuali
Muhammad... diusahakan. Sebatas kemampuan suami, bisa.”
Delapan informan dengan tegas mengatakan bahwa tidak mungkin seorang
suami yang berpoligami berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Di
antara informan tersebut, ada yang menjelaskan bahwa dalam hal harta dan waktu,
mungkin dapat berlaku adil, tetapi dalam hal batin/cinta tidak mungkin. Atas
dasar ketidakmampuan seorang suami yang berpoligami berlaku adil, A1 dan B3
sama sekali tidak setuju dengan poligami. Dua-duanya menjelaskan bahwa
poligami dibolehkan sekaligus tidak dibolehkan dalam Al-Qur’an karena tidak
mungkin seorang suami berlaku adil. Menurut kedua informan ini, Nabi
Muhammad adalah perkecualian dan pada masa kini poligami seharusnya tidak
dilaksanakan. Menurut B3, dari Al-Qur’an, “kalau bisa adil silakan tapi nggak
43
ada manusia yang bisa adil... Kalau dikaji benar, tidak dilakukan. Muhammad
dan kita beda sekali. Nabi disuci bersih. Dia perkecualian karena manusia
pilihanNya.”
4.3.8.3. Pahala untuk Poligami
Sampel untuk bagian 4.3.8.3 ini adalah empat belas informan. E1 tidak
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pahala, sedangkan
peneliti kurang yakin E2 memahami maksud pertanyaannya.
Lima informan (A1, A4, B3, C1, D2) mengatakan bahwa poligami itu
bukan Sunah, yaitu tidak berpahala bagi mereka yang melakukannya. Menurut
sembilan informan, ada pahala bagi pelaku poligami asalkan mereka memenuhi
syarat tertentu, misalnya jika pelakunya membahagiakan atau menolong orang
(A2, C2, C3, E3) atau poligami itu dijalankan dengan “pertimbangan ibadah”
(B2). Tiga dari kesembilan informan tersebut (A5, C2, D1) mengatakan bahwa
“tergantung niatnya”.
Hanya dua informan (A1, A4) mengatakan bahwa tidak ada pahala untuk
wanita yang rela dimadu. “Yang menyuruh suami nikah lagi karena pikir dapat
pahala, dari mana dapat idea itu?” menanyakan A1. Dua informan (A5, B3)
kurang tahu apakah ada pahala atau tidak bagi seorang istri yang rela dimadu.
Sepuluh informan mengatakan bahwa ada pahala. Ternyata banyak informan
menganggap perempuan yang rela dimadu sebagai perempuan yang patut
dihormati. B1 berpendapat bahwa ada pahala baik sekarang, yaitu “kedamaian
hidup”, maupun nanti, pada hari kiamat. Menurut D2, “ada pahala— sangat taat
kepada suami. Jaminan surga.” Kata B2 dan C2, ada pahala bagi perempuan
44
yang rela dimadu untuk “menyelamatkan suami” dari dosa perzinaan. Sebagian
dari informan yang meyakini ada pahala bagi perempuan yang rela dimadu
percaya bahwa pahalanya hanya untuk keadaan tertentu. Misalnya, menurut tiga
informan (A2, A3, E3), ada pahala jika si istri benar-benar ikhlas.
4.4. Kesediaan Informan Dimadu
Hanya satu informan mengatakan bahwa dia mau dimadu. B1 “mau,
berapapun mau, senang” bahkan jika suaminya mau menikah lagi “saya
lamarkan, uruskan”. Seandainya suaminya mengakui bahwa dia sudah menikah
lagi selama setahun, B1 ikhlas. Keikhlasan B1 untuk dimadu berdasarkan
keyakinan agamanya. Dia meyakini poligami termasuk ajaran Allah yang harus
diterima. Poligami itu “pasti ada gunanya karena diturunkan dari Allah”. Dia
ikhlas, katanya, daripada suaminya berzina. B1 senang dimadu karena dengan
poligami keturunan dapat diperbanyak sehingga jumlah umat Islam bertambah.
Akan tetapi, suami B1 tidak mau berpoligami. Menurut B1, suaminya mampu
tetapi “takut... tidak ada keberanian... minder”.
Meskipun mereka tidak mau dimadu, dua informan lain menekankan bahwa
poligami termasuk ajaran agama Islam, sehingga merasa harus rela jika suami
mereka mau berpoligami— asalkan dia mampu berbuat adil. Jika suaminya mau
menikah lagi, C2 akan, “berusaha ikhlas, Insya Allah ikhlas... dalam hati kecil
tidak mau tapi ada dalam agama”. Ketika reaksinya jika suaminya sudah
terlanjur menikah lagi ditanyakan, jawabannya, “itu mungkin yang bikin kaget.
Kalau sudah resmi nggak apa-apa.” Kelihatannya D1 merasa kurang nyaman
45
menjawab pertanyaan tentang kesediaannya dimadu. Katanya, “meskipun berat,
ada aturan”.
B2 dan C1 bersedia dimadu pada keadaan tertentu tetapi kurang jelas jika
dalam keadaan yang sekarang. Dua-duanya tidak mau dimadu. Akan tetapi,
menurut C1, “istri yang baik mengizinkan, suami yang baik tidak akan menikah
lagi... seharusnya ikhlas dari ajaran Islam”. Demikian pula, menurut B2, jika
seorang suami “mampu— bisa membagi waktu, ekonomi— harus berlapang”.
Dua kutipan tersebut memberi kesan bahwa dua informan ini merasa harus rela
dimadu sebagai perempuan Islam. Padahal dua-duanya menunjukkan bahwa
mereka malah tidak menerima dimadu dalam keadaan yang sekarang. Mereka rela
hanya jika tidak mampu melayani suami. Kata B2, dia “bisa memenuhi kewajiban
sebagai istri. Pada masa depan kalau tidak bisa melayani, harus beri peluang
kepada suami.” C1 ikhlas “kalau ada alasan murni”, yaitu dia tidak mampu
melayani suaminya karena sakit. Jika suaminya mengatakan bahwa dia sudah
menikah lagi, C1 ikhlas jika alasannya baik, walaupun “pada awalnya kecewa,
marah”. Akan tetapi, jika tidak ada alasan yang dapat diterima dan ternyata
suaminya menikah lagi karena “playboy saja”, C1 akan bercerai. Sedangkan,
menurut B2, jika suaminya sudah menikah lagi “tidak bisa putus aja. Ini
merupakan cobaan dalam hidup.”
Enam informan tidak ikhlas dimadu untuk saat ini dalam keadaan normal
tetapi tidak menutup kemungkinan dapat menerima pada masa depan. Hal yang
berbeda adalah kondisi apa yang memungkinkan dan derajat kesediaan mereka
dimadu pada kondisi tertentu itu. Untuk saat ini, A2 “tidak siap menerima
persaingan dalam cinta” dan jika suaminya mau menikah lagi dia “marah,
46
protes, menolak”. D2 akan memberi saran kepada suaminya jika dia mau menikah
lagi: “agama boleh, keluarga tidak boleh— biar tidak pecah belah”. C3
mengagumi Teh Ninih, istri Aa Gym yang rela dimadu, tetapi C3 sendiri tidak
ikhlas. Dalam keadaan tertentu ada kemungkinan bahwa keenam informan ini
beralih pikiran dan memperbolehkan suaminya menikah lagi. Jika A4 “tidak bisa
melayani suami, mengurus rumah tangga, cacat”, sikap yang diambilnya adalah
“berat hati tapi silakan”. Jika alasan yang diberikan oleh suami A3 untuk
menikah lagi “masuk akal”, misalnya A3 sakit, “mau tidak mau, daripada
berselingkuh, ikhlas”. C3 dapat menerima dimadu misalnya jika suaminya bekerja
jauh dan lama, “daripada dia jatuh dalam yang tidak benar, dibolehkan”. C3
juga “pasrahlah” kepada suaminya sebagai pemimpin keluarga jika dia mau
menikah lagi karena nafsu seksualnya yang kuat dan C3 tidak mampu
memuaskannya. A2, A5 dan D2 sangat tidak nyaman mengatakan bahwa mereka
membolehkan suami mereka berpoligami dalam keadaan tertentu. Seandainya
suami A2 mau menikah lagi karena A2 sakit dan tidak mampu melayani
suaminya, A2 tidak tahu sikap apa yang akan diambilnya— apakah dia dapat
menerima atau tidak. “Kalau menimpa saya, saya tidak tahu reaksi saya,”
ucapnya. A5 juga ragu mengatakan bahwa dia dapat menerima dimadu dalam
keadaan tertentu. “Kalau kondisinya sangat amat terpaksa. Kalau betul-betul
sakit, dengan sangat terpaksa— tapi berat.” Jika D2 tidak mampu melayani
suaminya, hal kesediaan dimadu akan “dipikirkan lagi. Barangkali suami
perlu...”
Jika ditanyakan tentang reaksi jika hari ini suami mereka mengakui bahwa
pernikahan keduanya sudah berlangsung selama setahun, jawaban keenam
47
informan tersebut berbeda-beda. Sama dengan A1 dan B3 yang tidak bersedia
dimadu dalam keadaan apapun, A2, A4 dan D2 akan menyuruh suami mereka
memilih salau satu istrinya dan menceraikan yang lainnya dalam keadaan
tersebut. Jika suami C3 mengakui bahwa dia sudah menikah lagi dan alasannya
dapat diterima, C3 pasrah. Jika alasannya tidak dapat diterima, dia akan minta
diceraikan atau “kalau kita bisa memaafkan, lebih baik”. Walaupun A5 “tidak
bisa terima— marah, benci, kecewa” jika suaminya menikah lagi tanpa
pengetahuannya, dia merasa “harus memaafkan— sudah terjadi”. Alasannya
untuk menjaga keutuhan keluarga untuk kepentingan anak-anaknya dan karena
perceraian dibenci Allah. Menurut A3, tidak mungkin suaminya menikah lagi
tanpa pengetahuannya.
E1 dan E3 tidak mau suami mereka berpoligami, tetapi tidak menjelaskan
apakah mereka dapat menerima jika keadaan tertentu muncul pada masa depan.
Kelihatannya, alasan kedua ibu lulusan SD ini mengatakan bahwa mereka tidak
akan bercerai jika suami mereka menikah lagi adalah faktor ekonomi. Mereka
tidak ikhlas dimadu, tetapi E3 “tetap karena terpaksa” dan E1 tidak mau bercerai
karena dia takut anak-anaknya nanti terlantar.
Tiga informan lain sama sekali tidak rela dimadu. Dalam keadaan apapun
dan apapun alasan suaminya mau berpoligami, mereka menentang. Seandainya
suaminya sudah menikah lagi, A1 dan B3 akan menyuruh suaminya memilih
salah satu istri dan bercerai dengan yang lain. A1 khuatir tentang dampaknya
terhadap anak-anaknya jika suaminya berpoligami. Dia “tidak mengijinkan
karena mau membina keutuhan, keharmonisan keluarga”. A1 mau tetap sebagai
keluarga monogami sebagai contoh keluarga ideal kepada anak-anaknya dan
48
supaya mereka “merasa terlindung”. B3 tidak mengijinkan suaminya berpoligami
karena “nggak bisa adil dalam cinta”. Jika suami E2 mau berpoligami “marahmarah semua, anak dan cucu”. Walaupun E2 tidak dapat menerima jika suaminya
berpoligami, dia tidak mau bercerai karena sudah tua.
4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pandangan Informan terhadap
Poligami
Cara enam belas ibu 'Aisyiyah yang diwawancarai dalam menanggapi
poligami kadang-kadang kurang konsisten. Misalnya, tidak ada unsur baik dalam
cerita 10/13 informan yang berkenalan dengan paling sedikit satu anggota
keluarga poligami sedangkan sebelas informan tidak menutup kemungkinan
bahwa mereka rela dimadu sekarang atau pada masa depan. Bahkan jawabanjawaban satu informan sering bertentangan antara jawaban yang satu dengan yang
lainnya. Misalnya, pada satu sisi, E3 mengatakan bahwa poligami merugikan bagi
kaum istri bahkan dia “tidak setuju, diperintahkan tapi nggak setuju” dengan
poligami. Akan tetapi, pada sisi lain, jika ada seorang istri yang sakit atau
mempunyai kekurangan lain dan tetap menolak memberi ijin kepada suaminya
untuk berpoligami, tanggapan E3 adalah, “kalau terpaksa, nikah aja, kawin lagi,
nggak apa-apa walaupun nggak ada izin”. Kadang-kadang, sikap informan yang
sesungguhnya kurang jelas karena dilema yang dialaminya. Dilemanya:
Bagaimana dia dapat menanggapi poligami sesuai dengan kesannya terhadap
pelaksanaannya, keyakinannya sebagai orang Islam serta kepercayaannya
mengenai fitrah dan peran laki-laki dan perempuan sekaligus? Tiga faktor tersebut
49
merupakan faktor utama yang mempengaruhi pandangan informan terhadap
poligami.
4.5.1. Kesan dan Pengamatan Pribadi terhadap Pelaksanaan Poligami
Para informan menyaksikan dan menilai sendiri keberhasilan poligami dari
pengamatan pribadi mereka. Dua belas informan berkenalan dengan paling sedikit
satu keluarga atau anggota dari keluarga poligami yang dianggapnya kurang
berhasil atau bahagia (lihat bagian 4.3.5). Pandangan informan juga dipengaruhi
oleh pengamatan mereka terhadap cerita yang disampaikan oleh media massa,
misalnya kasus Aa Gym. Sembilan informan tidak setuju dengan pernikahan
kedua Aa Gym dan dua informan lain mengatakan bahwa mereka mengasihani
istri pertamanya (lihat bagian 4.3.6.2).
Kebanyakan informan berpendapat bahwa pelaku poligami biasanya
menikah lagi bukan karena keinginan menolong, melainkan karena nafsu atau
kebutuhan biologisnya (lihat bagian 4.3.3.1). Istri kedua biasanya mau menikah
dengan seorang laki-laki yang sudah beristri untuk kepentingan sendiri saja,
misalnya karena laki-laki itu kaya atau dihormati orang (lihat bagian 4.3.3.3).
Keuntungan poligami sedikit sedangkan kerugiannya banyak (lihat bagian 4.3.4).
Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar informan kurang suka poligami
karena pengamatan pribadi mereka. Oleh karena itu, 14/16 informan mengatakan
bahwa monogami adalah bentuk perkawinan yang paling baik (lihat bagian 4.3.2)
dan 15/16 informan tidak mau dimadu (lihat bagian 4.4).
50
4.5.2. Keyakinan Agama
Para informan menyadari poligami termasuk ajaran agama Islam, sehingga
sebagian besar percaya bahwa poligami boleh dilaksanakan (lihat bagian 4.3.1 &
4.3.2) bahkan bermanfaat dalam keadaan tertentu, walaupun mereka sendiri jarang
atau belum pernah melihat sisi positif itu. Karena keyakinan agama mereka,
semua informan setuju dengan kehidupan poligami Nabi Muhammad (lihat bagian
4.3.8.1). Menurut kebanyakan informan, jika pelaku poligami benar-benar
mengikuti Sunah Nabi Muhammad— niatnya murni dan poligami dijalankan
dengan adil— maka poligami dapat bermanfaat. Dengan kata lain, secara teoretis,
poligami dapat bermanfaat. Maka menurut 7/16 informan, meluasnya poligami
dapat bedampak positif terhadap masyarakat Indonesia (lihat bagian 4.3.4.3) dan
menurut 9/14 informan, poligami berpahala bagi pelakunya asalkan mereka
memenuhi syarat tertentu (lihat bagian 4.3.8.3).
Kayakinan agama informan juga mempengaruhi kesediaan mereka dimadu.
Walaupun mereka kurang suka poligami, sebelas informan rela dimadu atau
mungkin rela dalam keadaan tertentu (lihat bagian 4.4). Bahkan sepuluh informan
percaya bahwa ada pahala bagi perempuan yang ikhlas dimadu (lihat bagian
4.3.8.3).
Dalam hati kecil, para informan rata-rata tidak suka poligami, tetapi mereka
‘terpaksa’ oleh keyakinan agamanya untuk menerima praktek ini pada asasnya.
Pertentangan antara pengamatan pribadi dan tuntutan agama ini sangat jelas dalam
pernyataan E3: “Kalau saya pribadi tidak setuju. Al-Qur’an ada jadi saya
percaya boleh berpoligami.” Informan ini tidak suka poligami, tetapi tidak mau
51
menolak ajaran agama. Antara lain, pertentangan antara dua faktor tersebut
terlihat jelas dari jawaban informan yang disajikan dalam bagian 4.3.1 dan 4.4.
Walaupun kelihatannya banyak informan merasa ‘terpaksa’ sebagai orang
Islam untuk menerima poligami, ada cara lain faktor keyakinan agama ini dapat
ditinjau. Informan tidak ‘terpaksa’ oleh keyakinannya melainkan membentuk
pandangan mereka tentang poligami mengingat faktor-faktor lain (misalnya,
pengamatan terhadap pelaksanaannya dan kepercayaan tentang fitrah serta peran
laki-laki dan perempuan), kemudian memilih penafsiran yang sesuai dengan
pandangan ini. Teori ini dapat menjelaskan keanekaragaman pandangan informan.
Baik B1, yang sangat mendukung poligami, maupun A1 dan B3, yang sangat
menentang poligami, memberi alasan untuk pandangan mereka dari pengertian
agama mereka masing-masing (lihat bagian 4.3.1 & 4.3.8.2). Mungkin keyakinan
agama informan dapat dianggap sebagai faktor yang sangat menentukan
pandangan terhadap poligami sekaligus sesuatu yang dicocokkan sesuai dengan
pandangan yang telah dibentuk— tergantung masing-masing perorangan teori
yang mana yang lebih benar.
4.5.3. Kepercayaan tentang Fitrah serta Peran Laki-Laki dan Perempuan
Faktor ketiga ini tidak dapat dipisahkan dengan faktor kedua tersebut, yaitu
faktor keyakinan agama. Keyakinan agama, budaya Jawa dan hal-hal lain
membentuk kepercayaan informan tentang kodrat, naluri dan peran laki-laki dan
perempuan. Banyak informan percaya bahwa kaum laki-laki memiliki dorongan
hawa nafsu yang lebih besar daripada kaum perempuan dan dorongan ini tidak
selalu dapat dikendalikan. Oleh karena dorongan hawa nafsu ini, harus ada ‘jalan
52
keluar’ yang halal supaya kaum laki-laki tidak menyeleweng. Para istri harus
mengerti fitrah laki-laki tersebut dan bersedia jika suaminya ‘terpaksa’ menikah
lagi. Pandangan ini senada dengan yang diutarakan oleh istri pertama Puspo
Wardoyo, yang menganggap keinginan untuk berpoligami sebagai “fitrah seorang
laki-laki” (lihat bagian 2.3.2). Kata C1, seorang istri yang tidak mampu
menjalankan kewajibannya sebagai istri “harus mengizinkan daripada suami
lewat belakang”. Menurut B2, “kalau tidak cukup satu [istri] sebaiknya izinkan”.
Para informan menekankan hak dan kebutuhan seorang suami, yang
meliputi hak untuk memiliki keturunan dan untuk dipuaskan secara seksual oleh
istrinya. Menurut A5, jika “istri sakit atau mandul, harus rela untuk kepentingan
biologis suami— tidak boleh melarang hak orang lain dapat ketururnan”.
Oleh karena hak dan kebutuhan tersebut, tujuh informan mengatakan bahwa
seorang suami boleh berpoligami tanpa ijin dari istri/istri-istrinya (lihat bagian
4.3.7.1). Peran istri adalah untuk melayani suami, yang berperan sebagai kepala
keluarga. Bahkan menurut C3, “wanita tercipta untuk melayani suami”.
Kebutuhan atau perasaan istri tidak sepenting kebutuhan suami, sehingga istri
harus pasrah dan menerima nasibnya jika suaminya menikah lagi. Sikap ini mirip
dengan sikap Teh Ninih yang merasa harus ikhlas dimadu sebagai istri yang taat
kepada suaminya (lihat bagian 2.3.2).
Ketiga faktor tersebut, yaitu pengamatan informan terhadap pelaksanaan
poligami; keyakinan agama mereka; dan kepercayaan informan tentang fitrah
serta peran laki-laki dan perempuan, dapat menimbulkan suatu pertentangan pada
informan dalam menyikapi poligami. Jika kita memahami faktor-faktor tersebut,
kita dapat lebih mengerti mengapa para informan rata-rata menjawab pertanyaan
53
dengan cara yang kedengarannya kurang konsisten. Harus disadari bahwa,
informan menanggapi poligami dengan merujuk kepada beberapa faktor, sehingga
pandangan mereka dapat dikatakan rumit.
54
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah di Malang terhadap poligami berbeda-beda.
Enam informan mengatakan bahwa mereka setuju dengan poligami, delapan
informan tidak setuju dan dua informan tidak menjawab dengan tegas ketika hal
ini langsung ditanyakan. Namun demikian, jelas dari pertanyaan lain bahwa
mengetahui pandangan orang terhadap poligami tidak sesederhana itu.
Nampaknya, satu informan (B1) sangat mendukung poligami. Dua informan
(A1, B3) menentang poligami dan tidak setuju jika poligami dijalankan dalam
keadaan apapun pada masa kini. Selain tiga informan tersebut yang pandangannya
sangat tegas dan mudah diketahui, pandangan informan benar-benar rumit.
Ketigabelas informan tersebut kurang suka poligami, tetapi setuju jika poligami
dilakukan oleh orang tertentu dan dalam keadaan tertentu. Walaupun mereka
menganggap monogami sebagai bentuk perkawinan yang paling baik, duabelas
informan setuju bahwa poligami itu adalah ‘pintu darurat’ yang dapat dipakai oleh
seorang suami, misalnya jika istrinya tidak mampu menjalankan kewajibannya
sebagai istri karena dia sakit atau mandul. Bahkan tujuh informan percaya bahwa
seorang suami boleh berpoligami tanpa ijin dari istri/istri-istrinya. Para informan
sepakat bahwa seorang laki-laki yang mau berpoligami harus mampu berlaku adil.
Empat belas informan berpendapat bahwa syarat adil dalam Al-Qu’ran mengacu
kepada hal lahir maupun batin walaupun delapan informan yakin bahwa tidak
mungkin seorang suami berbuat adil. Menurut sembilan informan, poligami dapat
berpahala bagi pelakunya jika dijalankan dengan baik.
55
Informan rata-rata menganggap nafsu seksual atau kebutuhan biologis
sebagai
alasan
utama
laki-laki
berpoligami.
Alasan
yang
biasanya
melatarbelakangi istri kedua/ketiga/keempat terlibat dalam perkawinan poligami,
yaitu untuk kepentingan ekonomi, dianggap informan kurang mulia lagi. Menurut
informan, istri pertama mengijinkan suaminya menikah lagi karena suaminya
memang membutuhkan, karena terpaksa dari segi ekonomi atau karena dia merasa
seharusnya rela dimadu sebagai penganut agama Islam. Keuntungan keluarga
poligami yang disebut oleh informan sedikit, sedangkan kesulitan dan
tantangannya banyak.
Kesan informan terhadap kasus-kasus poligami juga diteliti. Sembilan
informan kurang setuju dengan kebiasaan kyai-kyai yang berpoligami dan
sembilan informan kurang setuju dengan pernikahan kedua Aa Gym. Jika
pendapat informan tentang keluarga poligami yang mereka kenal ditanyakan, ratarata kesan yang disampaikan mirip. Tiga belas informan mempunyai kenalan dari
keluarga poligami. Kesan sepuluh informan terhadap keluarga-keluarga poligami
yang mereka kenal itu tidak ada unsur baiknya.
Mengenai kesediaan dimadu, hanya satu informan mau suaminya
berpoligami. Dua informan merasa harus rela dimadu jika suaminya memenuhi
syarat agama. Enam informan tidak ikhlas dimadu untuk saat ini tetapi mungkin
dapat menerima dalam keadaan tertentu, misalnya jika tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri. Dua informan lain bersedia dimadu dalam keadaan
tertentu tetapi kurang jelas apakah mereka bersedia untuk saat ini. Tiga informan
sama sekali tidak bersedia dimadu dalam keadaan apaun. Dua informan lain tidak
ikhlas dimadu, tetapi tidak menjelaskan apakah bersedia dalam keadaan tertentu.
56
Menurut peneliti, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi pandangan
informan terhadap poligami: pengamatan pribadi terhadap pelaksanaan poligami;
keyakinan agama; dan kepercayaan tentang fitrah serta peran laki-laki dan
perempuan. Kedua faktor terakhir ini sering bertentangan dengan faktor pertama
tersebut, sehingga kadang-kadang pandangan informan membingungkan. Pada
umumnya, informan mengamati kasus-kasus poligami kemudian kurang suka
praktek ini. Namun demikan, keyakinan agama dan kepercayaan tentang fitrah
serta peran laki-laki dan perempuan adalah faktor yang sangat berpengaruh bagi
sebagian besar informan, sehingga mereka tidak menolak poligami pada dasarnya.
Kelihatannya para informan rata-rata menganggap poligami sebagai
kebiasaan yang merugikan perempuan, khususnya istri pertama, sedangkan
poligami diperlukan oleh kaum laki-laki sebagai ‘pintu darurat’ dalam keadaan
tertentu. Bahkan, poligami itu dibolehkan dalam agama Islam. Menurut sebagian
besar informan, poligami bukan ‘hak dan kebutuhan perempuan’ seperti
ditegaskan dalam tabloid yang dipimpin oleh Puspo Wardoyo, melainkan ‘hak
dan kebutuhan laki-laki’.
5.2. Saran
5.2.1. Saran untuk Peneliti Selanjutnya
Selama melaksanakan penelitian tentang pandangan ibu-ibu 'Aisyiyah,
peneliti berbicara dengan beberapa bapak yang mengatakan bahwa fokus
penelitian ini terlalu sempit sehingga tidak adil. Menurut bapak-bapak tersebut,
seharusnya para bapak diwawancarai juga supaya hasil penelitian tidak berat
sebelah. Untuk penelitian selanjutnya, pasti menarik untuk mengikuti saran
57
tersebut dan meneliti pandangan bapak-bapak Muhammadiyah di Malang supaya
pandangan aliran ini terhadap poligami dapat dimengerti secara lebih lengkap.
Bagaimana pendapat mereka tentang pelaksanaan poligami? Apa keyakinan
agama mereka mengenai poligami? Apa kepercayaan mereka tentang fitrah serta
peran laki-laki dan perempuan? Apakah mereka menganggap poligami sebagai
‘hak dan kebutuhan laki-laki’? Apa perbedaan antara pandangan para bapak
Muhammadiyah dan para ibu dari aliran yang sama?
Untuk penelitian ini, para ibu 'Aisyiyah yang sudah menikah diwawancarai.
Untuk penelitian selanjutnya, pandangan ibu-ibu tersebut dapat dibandingkan
dengan pandangan perempuan 'Aisyiyah yang belum menikah, ibu 'Aisyiyah yang
janda dan ibu 'Aisyiyah yang suaminya berpoligami.
Kelompok ibu lain yang dapat dijadikan informan untuk penelitian sejenis
selanjutnya adalah ibu-ibu dari aliran agama Islam yang lain di Malang.
Bagaimana ibu-ibu Muslimat (Nahdlatul Ulama), misalnya, menanggapi masalah
poligami? Apa perbedaan antara pandangan para ibu 'Aisyiyah dan para ibu dari
aliran yang lain?
5.2.2. Saran Umum
Menurut peneliti, para suami yang mempunyai cita-cita untuk berpoligami
sebaiknya mempertimbangkan pendapat, perasaan dan kepentingan istri dan anakanaknya terlebih dahulu. Mungkin istrinya menerima dimadu, tetapi ada
kemungkinan besar bahwa dalam hati kecilnya dia menentang kehendak
suaminya. Jangan sampai berpoligami seenaknya saja, menggunakan agama
sebagai alasan tanpa memikirkan perasaan orang lain.
58
Ibu-ibu Islam seharusnya membicarakan masalah poligami dengan
suaminya secara mendalam. Pasangan suami-istri sebaiknya berbagi kesan mereka
masing-masing terhadap pelaksanaan poligami, keyakinan agama dan kodrat lakilaki dan perempuan supaya dapat saling mengerti pandangan dan perasaan
pasangan mereka terhadap masalah hangat ini. Dengan demikian, kepercayaan
dan keterbukaan dalam komunikasi dan tindakan dapat dijaga dan dibina bersama,
sehingga keluarga tetap rukun.
59
DAFTAR SUMBER
1. Daftar Pustaka
Arief, D 2007, ‘Diki Candra: entrepreneur, relawan poligami dari Jakarta’,
Poligami: hak dan kebutuhan perempuan, ed.2, hlm.4.
Billah, M M 1998, dalam Hasyim. S (red), Menakar ‘harga’ perempuan:
eksplorasi lanjut atas hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, Penerbit
Mizan, Bandung.
Budiarti R T, Mohammad H & Bahaweres R A 2006, ‘Provokasi gunung es
poligami’, Gatra, 20 Desember 2006, hlm.18-22.
Chodjim, A 2007, ‘Benarkah poligami dibenarkan dalam Islam?’, Paras: bacaan
utama wanita Islam, No.41/Tahun IV/Feb 07, hlm.54-55.
Departemen Agama Republik Indonesia 1992, Al Qur’an dan terjemahnya, PT
Tanjung Mas Inti, Semarang.
Encyclopaedia Britannica, 2004.
Fahimsyah, D 2004, ‘The cases for polygamy’, Reform: a magazine for
reformers, No.25, hlm.12-13.
Feillard, A 1998, dalam Hasyim. S (red), Menakar ‘harga’ perempuan: eksplorasi
lanjut atas hak-hak reproduksi prempuan dalam Islam, Penerbit Mizan,
Bandung.
Ihsan, M M 2003, ‘“Polygamy award” & wajah seksualitas kita ..!’, Kompas, 5
Agustus 2003.
Ima 2007, ‘Machica Muchtar: “materi bisa saja adil, tapi perasaan tidak!”’, Paras:
bacaan utama wanita Islam, No.41/Tahun IV/Feb 07, hlm.39.
Indah 2007, ‘Dr. Ing. Gina Puspita: “Poligami bisa mendekatkanku pada Tuhan
dengan cara berbagi”’, Paras: bacaan utama wanita Islam, No.41/Tahun
IV/Feb 07, hlm.56-57.
Jawa Pos, 21 Februari 2007.
60
‘Kesaksian ucok tentang poligami...!’, Kompas, 6 Oktober 2003.
Kisyik, A H 1994 (diterjemahkan oleh Nursida, I), Hikmah pernikahan Rasulullah
saw: mengapa Islam membolehkan poligami?, Penerbit Al-Bayan
(Kelompok Penerbit Mizan) Anggota IKAPI, Bandung.
Kusumaputra, R A 2007,‘Aa Gym: poligami bukan kejahatan’, Kompas, 8 Januari
2007.
Lely 2007, ‘Dewi Yull: memilih bercerai daripada harus dimadu’, Paras: bacaan
utama wanita Islam, No.41/Tahun IV/Feb 07, hlm.38.
Lugito, H & Siregar, B 2006, ‘Cinta terbelah di Gegerkalong’, Gatra, 20
Desember 2006, hlm.22-24.
Muhtadawan, I 2003, Persepsi pimpinan 'Aisyiyah Kota Malang terhadap
poligami (perspektif Syariah Islam dan hukum positif).
Mulia, S M 2005, ‘Perempuan dalam hukum perkawinan di Indonesia (krtitik
Muhammadiyah)’ dalam Gunawan, W & Inayati, E S (red), Wacana fiqh
perempuan dalam perspektif Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta &
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta.
‘Pengadilan izinkan Aa Gym poligami’, Kompas, 12 Desember 2006.
‘Perempuan-perempuan di samping Khadijah RA dan Aisyah RA’, Tabloid
republika: dialog Jumat, 8 Desember 2006, hlm. 4.
Persyarikatan Muhammadiyah 2007, Yogyakarta, dilihat 3 Juni 2007,
<www.muhammadiyah.or.id>.
Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kabupaten Malang 2007, kunjungan pribadi ke
kantor, 16 Mei 2007.
Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kota Malang 2004, Laporan kegiatan tahun 20002004 Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kota Malang periode 2000-2005 (sic),
Malang.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang 2007, kunjungan pribadi ke
kantor, 16 Mei 2007.
Pimpinan Pusat 'Aisyiyah 2006, Yogyakarta, dilihat 3 Juni 2007,
61
<www.aisyiyah-pusat.or.id>.
Rahman, M 2006, ‘Suara pelaku poligami’, Gatra, 20 Desember 2006, hlm.25.
Rais, I 2005, ‘Perempuan dalam figh munakahat: perspektif Muhammadiyah’
dalam Gunawan, W & Inayati, E S (red), Wacana fiqh perempuan dalam
perspektif Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta & Universitas Muhammadiyah Prof.
DR. HAMKA Jakarta.
Sabiq, S 1987, (diterjemahkan oleh Thalib, M) Fikih Sunnah, jld.6, PT Alma’arif,
Bandung.
Setiati, E 2007, Hitam putih poligami: menelaah perkawinan poligami sebagai
sebuah fenomena, Cisera Publishing, Jakarta.
Setiyaji, A 2006, Aa Gym: mengapa berpoligami?: testimoni seorang jurnalis,
QultumMedia, Jakarta.
Shihab, M Q 1996, Wawasan Al-Qur’an: tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan
umat, Penerbit Mizan: Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, Bandung.
Syarif 2007, ‘Calon doktor dari keluarga poligami sederhana’, Poligami: hak dan
kebutuhan perempuan, ed.2, hlm.8.
‘UMM bentuk cabang Aisiyah (sic)’, Bestari, No.223/TH.XX/Februari 2007.
Wardoyo, P 2007, ‘Ideal sukses poligami (bibit unggul)’, Poligami: hak dan
kebutuhan perempuan, ed.2, hlm.11.
62
2. Daftar Wawancara
Wawancara dengan Informan Lulusan S2/S3
A1, 12/3/07 & 10/4/07, di UMM
A2, 12/3/07 & 4/4/07, di UMM
A3, 19/3/07, di rumah A3
A4. 21/3/07 & 25/5/07, di UMM
A5, 26/3/07 & 9/4/07, di UMM
Wawancara dengan Informan Lulusan S1
B1, 5/3/07 & 20/3/07 & 11/4/07, di rumah B1
B2, 15/4/07, di rumah B2
B3, 17/4/07, di rumah B3
Wawancara dengan Informan Lulusan SMA
C1, 9/4/07, di rumah C1
C2, 11/4/07, di rumah C2
C3, 13/4/07 & 14/4/07, di rumah C3
Wawancara dengan Informan Lulusan SMP
D1, 16/4/07, di rumah D1
D2, 21/4/07, di rumah D2
Wawancara dengan Informan Lulusan SD
E1, 13/4/07, di rumah E1
E2, 21/4/07, di rumah E2
E3, 21/4/07, di rumah E3
63
LAMPIRAN
1. Daftar Pertanyaan untuk Wawancara
1. (a) Bagaimana pendapat Ibu kalau suami Ibu mau berpoligami? Ibu ikhlas
kalau dimadu? Mengapa?
(b) Apakah Ibu selalu berpendapat begitu? Kalau tidak, mengapa Ibu beralih
pikiran?
(c) Pada masa depan, ada kemungkinan Ibu akan beralih pikiran? Mengapa?
(d) Bagaimana reaksi Ibu kalau hari ini suami Ibu mengatakan bahwa dia mau
menikah lagi?
(e) Bagaimana reaksi Ibu kalau hari ini suami Ibu mengakui bahwa dia sudah
menikah dengan perempuan lain selama setahun?
(f) Seandainya suami Ibu mau menikah lagi, apakah Ibu merasa kecewa karena
cinta suami beralih kepada wanita lain? Apakah Ibu merasa suami tidak
setia terhadap Ibu dan anak-anak Ibu?
(g) Apakah Ibu lebih senang kalau dimadu atau kalau tidak dimadu?
2. Kalau suami Ibu menikah lagi, apa dampaknya terhadap Ibu? Misalnya,
terhadap gaya hidup, iman dan lain-lain.
3. Ada yang berkata, ‘Jika seorang istri tidak mengijinkan suami beristri lagi,
sama artinya dia menyukai suami berhubungan seks dengan wanita lain secara
diam-diam.’ Bagaimana tanggapan Ibu tentang pernyataan tersebut?
4. Apakah suami Ibu mau berpoligami? Mengapa?
5. Apa alasan laki-laki memilih berpoligami, baik alasan yang berdasarkan
ajaran agama Islam maupun alasan lain?
6. Mengapa istri pertama suami yang berpoligami setuju dimadu?
7. Mengapa istri kedua/ketiga/keempat suami yang berpoligami mau menikah
dengan seorang laki-laki yang sudah punya istri?
64
8. Apa keuntungan keluarga yang berpoligami?
(a) Bagi suami?
(b) Bagi istri-istrinya?
(c) Bagi anak-anaknya?
9. Kesulitan dan tantangan apa yang dihadapi keluarga yang berpoligami?
(a) Bagi suami?
(b) Bagi istri-istrinya?
(c) Bagi anak-anaknya?
10. Bagaimana dampak terhadap anak-anak kalau bapaknya berpoligami?
(Misalnya, dampak psikologis karena mereka jarang bertemu dengan
bapaknya?)
11. Apakah Ibu pernah punya teman atau saudara dari keluarga yang berpoligami?
Bagaimana kesan Ibu tentang keluarga itu?
12. Mengapa kyai-kyai di Indonesia sering berpoligami? Bagaimana pendapat Ibu
tentang fenomena itu?
13. Bagaimana pendapat Ibu tentang kasus Aa Gym?
14. Bagaimana pendapat Ibu kalau poligami menjadi semacam perkawinan yang
biasa di Indonesia dan dilakukan oleh banyak orang? Bagaimana dampak
terhadap masyarakat?
15. Apakah Ibu setuju dengan poligami?
16. Ada yang berkata, ‘Poligami adalah bentuk hubungan timpang antar lelaki dan
perempuan... poligami adalah lembaga patriakal yang menempatkan
65
perempuan sebagai pecundang.’ Bagaimana tanggapan Ibu tentang pernyataan
tersebut?
17. (a) Bentuk perkawinan apa yang paling baik, monogami atau poligami?
Mengapa?
(b) Apakah poligami itu seperti ‘jalan darurat’ untuk keadaan tertentu?
18. (a) Seharusnya ada syarat-syarat tertentu yang dipenuhi sebelum seorang lakilaki boleh berpoligami?
(b) Haruskah ada persetujuan dari istri/istri-istri?
(pertanyaan tambahan: Kalau si istri sakit atau mandul dan tetap menolak
memberi ijin, bagaimana? Si suami boleh menikah lagi tidak?)
(c) Haruskah adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istriistri dan anak-anaknya?
(d) Haruskah adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya?
(e) Haruskah istri seorang laki-laki mempunyai kekurangan? Misalnya, tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; atau mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau tidak dapat melahirkan
keturunan?
(petanyaan tambahan: Kalau si istri sehat tetapi mengijinkan suaminya
berpoligami, si suami boleh menikah lagi tidak?)
19. Siapa yang boleh diambil sebagai istri kedua? Seharusnya dia seorang janda?
Bagaimana kalau dia muda dan cantik?
20. Mengapa poligami dilakukan oleh Nabi Muhammad?
21. Tolong jelaskan landasan ajaran agama Islam tentang poligami dari Al-Qur’an
dan Hadits.
66
22. Menurut Al-Qur’an, seorang suami yang berpoligami harus berbuat adil. Apa
definisi ‘adil’ dalam konteks ini? (‘Adil’ ini mengacu kepada keadilan dalam
hal lahir saja atau hal lahir dan batin/cinta?)
23. Dapatkah seorang suami yang berpoligami berbuat adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya?
24. Apakah seorang Muslimah harus rela dimadu? Adakah pahala bagi wanita
yang rela dimadu?
25. Apakah benar poligami itu Sunah, yaitu berpahala bagi yang melakukannya?
26. Memang ajaran tentang poligami termasuk dalam Al-Qur’an. Kalau seorang
Muslim tidak setuju dengan poligami, benarkah itu termasuk menentang Allah
dan menolak firmannya?
67
2. Angket
Nama:
Alamat:
Tempat/Tanggal Lahir:
Pendidikan Terakhir:
Pekerjaan:
Status Pernikahan:
Jumlah dan Umur Anak:
Status dalam 'Aisyiyah:
Nomor Telpon:
68
Download