BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker
PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian merupakan
tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi,
ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker. Dalam
melakukan praktek profesinya di apotek seorang apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi
Apoteker (STRA) dan Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA). STRA adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada Apotek atau
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 standar kompetensi yang
harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan pelayanan kefarmasian, diantaranya
1. Dapat memberi serta menyediakan pelayanan yang baik.
Apoteker berkedudukan sebagai pengelola apotek diharapkan dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang profesional. Saat melakukan pelayanan kepada pasien,
apoteker sebaiknya mampu untuk mengintegrasikan pelayanan yang diberikan pada
sistem pelayanan kesehatan11 secara menyeluruh. Dengan hal tersebut, diharapkan
dapat dihasilkan suatu sistem pelayanan kesehatan berkesinambungan.
2. Memiliki kemampuan dalam menentukan keputusan yang profesional.
Sebagai apoteker, diharapkan untuk berkompeten dalam bidangnya dan terus mau
untuk belajar sesuai profesinya, sehingga apoteker tersebut dapat melakukan
pengambilan keputusan yang tepat sesuai dengan efikasi, efektifitas dan efisiensi
terkait pengobatan maupun perbekalan kesehatan lain.
3. Dapat melakukan komunikasi yang baik.
Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh apoteker adalah mampu
untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pasien ataupun profesi kesehatan
lainnya sehingga diharapkan pengobatan yang dilakukan tepat dan tujuan pengobatan
dapat tercapai.
4. Mampu menjadi pemimpin
Apoteker diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau
group. Apoteker harus mampu untuk mengambil suatu keputusan yang efektif dan
tepat, dapat menyebarkan informasi tersebut dan dapat melakukan pengelolaan
terhadap suatu hasil keputusan.
5. Apoteker diharapkan bisa dan memiliki kemampuan dalam mengatur dan mengelola
sumber daya yang ada.
6. Belajar sepanjang masa.
Pengobatan akan selalu berkembang seiring perkembangan pengetahuan dan
teknologi, sehingga diharapkan apoteker akan selalu belajar untuk mengikuti
perkembangan tersebut, sehingga keilmuan yang dimiliki selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengobatan.
7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan.
Berdasarkan
PP 51 Tahun 2009 terkait pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa dalam
melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat pelayanan kefarmasian seperti apotek, rumah sakit
dll, seorang apoteker dapat :
a. Memiliki seorang Apoteker Pendamping untuk menggantikan tugas Apoteker Pengelola
yang telah di lengkapi dengan SIPA;
b. Melakukan penggantian obat bermerk dagang dengan obat generic dimana zat aktif yang
terkandung dalam kedua obat tersebut adalah sama dan meminta persetujuan kepada
pasien/ dan dokter; dan
c. Melakukan penyerahan obat keras, obat psikotropika dan obat narkotika kepada pasien
atas resep dokter berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku.
d. Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia sebagai apoteker.
Apoteker merupakan tenaga kesehatan professional yang banyak berhubungan langsung
dengan masyarakat sebagai sumber informasi obat. Oleh karena itu, informasi obat yang
diberikan pada pasien haruslah informasi yang lengkap dan mengarah pada orientasi pasien
bukan pada orientasi produk. Dalam hal sumber informasi obat seorang apoteker harus mampu
memberi informasi yang tepat dan benar sehingga pasien memahami dan yakin bahwa obat yang
digunakannya dapat mengobati penyakit yang dideritanya dan merasa aman menggunakannya.
Dengan demikian peran seorang apoteker di apotek sungguh-sungguh dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat (Menkes RI, 2014).
2.2
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kep Men Kes Nomor:
1027/Menkes/SK/IX/2004
Latar
belakang
dikeluarkannya
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor:
027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek adalah pelayanan
yang saat ini orientasinya telah bergeser dari obat kepada pasien yang disebut dengan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical Care). Dengan pergeseran orientasi tersebut, maka apoteker
dituntut untuk lebih aktif dalam berinteraksi langsung dengan pasien dan memberikan pelayanan
kefarmasian yang beriorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian antara lain pelayanan
swamedikasi terhadap pasien, melakukan pelayanan obat, melaksnakan pelayanan resep, maupun
pelayanan terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta dilengkapi dengan pelayanan
konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait
terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan memiliki
dokumentasi yang baik. Oleh karena itu, apoteker perlu untuk terus meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku sehingga diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien
(Depkes RI, 2008).
Ditetapkannya standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk digunakan sebagai
pedoman oleh apoteker dalam menjalankan praktek keprofesiannya, memberikan perlindungan
kepada masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, serta melindungi profesi dalam
menjalankan praktek. Apoteker dituntut untuk melakukan pelayanan kefarmamsian yang
bertanggungjawab dan professional sehingga tujuan pengobatan pasien dapat tercapai dan
kualitas hidup pasien meningkat (Depkes RI, 2008).
Pelayanan resep adalah permintaan tertulis dokter, dokter hewan, dokter gigi kepada
apoteker untuk menyiapkan dan memberikan obat kepada pasien berdasarkan aturan perundangundangan yang berlaku. Adapaun yang termasuk dalam pelayanan resep antara lain : skrining
resep, penyediaan dan penyerahan sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan kepada pasien.
Pelayanan resep terdiri dari pelayanan resep obat (golongan keras, bebas terbatas, dan obat
bebas), pelayanan resep obat yang mengandung psikotropika dan obat narkotika (Depkes RI,
2008).
Pelayanan informasi obat merupakan suatu pelayanan kefarmasian oleh apoteker dimana
apoteker harus dapat memberikan keterangan/informasi secara tepat dan jelas kepada pasien
sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai. Promosi merupakan suatu kegiatan yang
memberdayakan masyarakat dengan melakukan motivasi melalui pemberian inspirasi kepada
masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat termotivasi untuk dapat melakukan peningkatan
kualitas hidupnya secara mandiri. Edukasi merupakan suatu kegiatan yang memberdayakan
masyarakat
melalui
pemberian
pengetahuan
terkait
tentang
terapi
pengobatan
dan
mengikutsertakan pasien dalam pengambilan keputusan, yang bertujuan agar tujuan pengobatan
dapat tercapai secara optimal. Sedangkan, konseling adalah suatu proses yang sistematis untuk
melakukan identifikasi sehingga dapat menyelesaikan masalah pasien terkait dengan terapi
pengobatan yang dijalani oleh pasien (Depkes RI, 2008).
Pengelolaan sediaan farmasi maupun perbekalan kesehatan merupakan suatu kegiatan
manajemen yang dimulai dari merencanakan, mengadakan, menerima, menyimpan dan
menyerahkan kepada pasien. Adapun dengan pengelolaan diharapkan dapat tersedia sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan jenis, jumlah, waktunya tepat dan memiliki kualitas yang baik
(Depkes RI, 2008).
2.3 Penelitian-penelitian di Indonesia tentang Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan yang berorientasi
kepada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien tentang kebiasaan/pola hidup
untuk mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberikan informasi tentang program
pengobatan yang dijalani oleh pasien, memonitoring hasil pengobatan dan bekerja sama dengan
profesi lain untuk mendukung tercapainya kualitas hidup pasien yang lebih baik. Berdasarkan hal
tersebut, untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat maka dikeluarkan
KepMenKes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Dalam standar tersebut menyebutkan bahwa yang berhak melakukan pelayanan
kefarmasian adalah tenaga kefarmasian yaitu asisten apoteker sebagai tenaga teknis kefarmasian
dan apoteker sebagai penanggungjawab dalam pengobatan kepada pasien. Walaupun standar
mutu pelayanan kefarmasian telah ditetapkan sejak tahun 2004, namun sampai saat ini mutu
pelayanan kefarmasian masih dibawah standar. Penelitian di Kota Padang (Monita, 2009)
menemukan bahwa standar pelayanan kefarmasian dengan kategori baik hanya mencapai 3%,
kategori sedang 16% dan kategori kurang 81%. Diketahui bahwa faktor pendukung pelaksanaan
standar pelayanan kefarmasian yaitu (1) motivasi apoteker dalam bekerja, (2) dukungan PSA dan
seluruh staf di apotek, (3) dukungan dan komitmen bersama stakeholder terkait yaitu pembuat
kebijakan dan regulasi, (4) instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan pembinaan, (5)
perguruan tinggi, (6) organisasi profesi. Sedangkan faktor penghambat adalah (1) apoteker
belum berperan di apotek, (2) lemahnya dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen apotek,
termasuk pengadaan sarana dan prasarana, (3) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan (4) lemahnya
kontrol regulasi oleh aparat terkait.
Penelitian di Provinsi NTB tahun 2012 tentang pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian pada 3 Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C menemukan bahwa persentase
pencapaian standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit masih kurang dari 75%. Pencapaian
standar pelayanan kefarmasian untuk Rumah Sakit A yaitu 52,17%, Rumah sakit B 54,78% dan
Rumah Sakit C 44,35%. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang
optimal adalah (1) lemahnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan
farmasi, (2) pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum
memadai, (3) kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi, (4) sistem dokumentasi
instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya
peningkatan kinerja instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012).
Penelitian dilakukan di Jakarta tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian pada apotek di DKI Jakarta. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA)
dan mengetahui hubungan antara kepemilikan apotek, omset apotek, kehadiran APA dengan
perolehan skor pelaksanaan SPKA. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi
penelitian adalah seluruh APA di Jakarta. Pada penelitian ini dilakukan analisis univariat tentang
karakteristik subjek, analisis bivariat untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel.
dan analisis multivariate. Variabel bebas meliputi kepemilikan apotek, omset apotek, dan
kehadiran APA, sedangkan variabel tergantung yaitu perolehan jumlah skor rerata pelayanan
obat bebas, pelayanan KIE, pelayanan obat resep dan pengelolaan obat. Hasil penelitian ini
menunjukkan rerata skor pelaksanaan SPKA pada apotek di DKI Jakarta termasuk dalam
kategori kurang baik dengan skor terendah 39 dan skor tertinggi 88. Terdapat hubungan
bermakna antara kepemilikan apotek, omset apotek dan kehadiran APA terhadap pelaksanaan
SPKA. Pelaksanaan SPKA dipengaruhi oleh kepemilikan apotek, omset apotek dan kehadiran
APA. Apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik apabila APA
sebagai pemilik seluruh atau sebagian modal apotek. APA yang lebih sering hadir di apotek
mempunyai kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Demikian pula pada omset apotek
yang tinggi mempengaruhi perolehan skor
rerata SPKA tinggi pula. Secara keseluruhan
kepemilikan dan kehadiran APA sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian
apotek.
Penelitian dilakukan di Kota Medan tentang Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian
di apotek tahun 2008. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dengan model penelitian
survey dan bersifat cross-sectional. Data dikumpulkan dari 68 responden melalui pengisian
angket, metode pengambilan sampel adalah stratifikasi sampling. Berdasarkan penelitian
tersebut, diketahui bahwa rata-rata skor penilaian pelayanan kefarmasian di apotek Kota Medan
tahun 2008 adalah 47,63% yang termasuk dalam kategori kurang. Diketahui berdasarkan faktor
kepemilikan apotek, sebesar 67,65% apotek milik PMA dan dari jumlah tersebut apoteker yang
tidak hadir di apotek setiap hari sebanyak 52,94%. Persentase tertinggi kehadiran apoteker
dengan status kepemilikan apotek milik APA yaitu sebesar 78,57%. Sedangkan persentase
kehadiran apotek dihubungkan dengan status APA (pekerjaan lain APA), persentase kehadiran
paling tinggi adalah APA dengan pekerjaan lain-lain (Ginting, 2009).
Berdasarkan penelitian-penelitian tentang pelayanan kefarmasian yang pernah dilakukan
diketahui bahwa, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kefarmasian oleh apoteker
di apotek yaitu kehadiran APA, motivasi APA, status APA dan kepemilikan apotek.
a. Kehadiran APA
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker (Depkes RI, 2009). Apoteker bertanggung jawab terhadap
setiap kegiatan di apotek mulai dari pelayanan obat maupun resep, dispensing obat,
memberikan KIE kepada pasien, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
kegiatan administrasi di apotek hingga melakukan monitoring terhadap obat yang
diberikan kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai (IAI, 2014). Oleh
karena itu, kehadiran apoteker menjadi salah satu faktor penting yang
mempengaruhi
kualitas
pela yanan
kefarmasian
di
sarana
pe la yan an
kesehatan se perti apotek. APA ya ng lebih se ring hadi r di apotek me mpunyai
skor pela yanan kefarmasian lebi h tinggi dibandingkan dengan APA yang
jarang hadir di apotek. Semaki n tinggi tingkat kehadi ran APA di apotek,
kualitas pela yanan kefarmasiannya sem akin bai k (Ha rianto, dkk., 2008).
b. Motivasi APA
Motivasi APA merupakan alasan yang menjadikan dorongan APA untuk hadir dan
melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Motivasi merupakan kekuatan yang dapat
membangkitkan dorongan seseorang. Motivasi berupa rangsangan keinginan dan pemberian
daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama,
bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasaan
(Hasibuan, 2007). Kurangnya motivasi karyawan dalam bekerja dapat mempengaruhi
produktivitas, sehingga mengakibatkan karyawan bekerja tidak optimal dan tujuan
perusahaan tidak tercapai. Dengan meningkatkan produktivitas diharapkan akan tercapai
tujuan dari perusahaan serta dapat meningkatkan barang atau jasa yang dihasilkan (Adryanto,
2012).
c. Status APA
Status APA merupakan status pekerjaan apoteker penanggungjawab apotek dalam
menjalankan praktek profesinya dalam beberapa tempat atau posisi. Status APA dapat
dikategorikan menjadi status APA merangkap dan APA tidak merangkap. Status APA adalah
beberapa posisi dan tanggung jawab yang diduduki oleh apoteker, misalnya sebagai pegawai
negeri, apoteker di apotek lain ataupun pegawai swasta. Jika APA melakukan pekerjaan
profesinya sebagai apoteker di apotek lain atau APA memiliki pekerjaan lain selain sebagai
penanggungjawab apotek, maka apoteker tersebut dikategorikan sebagai APA status
merangkap. Sedangkan jika APA hanya melakukan praktek kefarmasiannya pada 1 apotek
tanpa ada pekerjaan lain di luar pekerjaan profesinya maka dikategorikan sebagai APA tidak
merangkap. Berdasarkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian dinyatakan bahwa apoteker
sebagai penanggungjawab hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Sedangkan untuk apoteker pendamping dapat
melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit (Depkes, 2009). Kualitas pelayanan kefarmasian pada kelompok APA yang
tidak merangkap lebih baik dibandingkan dengan kualitas pelayanan kefarmasian pada APA
yang merangkap (Handayani, 2006).
d. Kepemilikan Apotek
Kepemilikan apotek merupakan status kepemilikan dari sarana dan prasarana yang ada di
apotek. APA yang memiliki sebagian atau seluruh saham di apotek cenderung memiliki
kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik dibandingkan dengan apotek yang seluruhnya
dimiliki olek pemilik modal (PMA) (Harianto, dkk., 2008). Struktur kepemilikan memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan. Semakin meningkat proporsi
kepemilikan saham perusahaan maka semakin baik kinerja perusahaan (Ardianingsih, 2010).
2.4 Apotek sebagai Tempat Pelayanan Kefarmasian
Fasilitas kesehatan merupakan sarana yang digunakan tenaga kesehatan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah apotek. Apotek
merupakan salah satu fasilitas kefarmasian yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan
pekerjaan dan pelayanan kefarmasian oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian. Apotek
adalah sarana farmasi dalam melakukan peracikan, pencampuran, pengubahan bentuk, maupun
penyerahan obat dan perbekalan farmasi yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata
(Depkes RI, 2008).
Berdasarkan PP 51 tahun 2009 pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi
atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sedangkan pelayanan
kefarmasian merupakan pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian diperlukan
sarana dan prasarana kefarmasian yang biasanya disebut fasilitas kefarmasian (PP 51, 2009).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1027/MenKes/SK/IX/2004 menyatakan bahwa
apotek adalah tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi,
perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Yang termasuk sediaan farmasi yaitu obat,
bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan
selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Apotek
dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh seorang apoteker yaitu dalam hal ini adalah Apoteker
Pengelola Apotek (APA). APA harus memiliki izin praktek untuk melakukan pelayanan dan
pekerjaan kefarmasian di apotek. Selain memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) untuk
dapat melakukan pelayanan dan pekerjaan kefamasian di apotek, apotek harus dilengkapi dengan
Surat Izin Apotek (SIA) yang masa berlakunya disesuaikan dengan kontrak yang dilakukan
antara APA dengan PMA (Pemilik Modal Apotek).
2.5 Pekerjaan Kefarmasian oleh Asisten Apoteker
Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tenaga kefarmasian
adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Yang termasuk dalam tenaga kefarmasian
adalah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian/Asisten Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian
terdiri atas sarjana farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek, apoteker dapat dibantu oleh
Apoteker Pendamping (APING) dan atau Asisten Apoteker. Dalam menjalankan tugasnya pada
fasilitas pelayanan kesehatan seorang asisten apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi
Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh
Menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi. Selain harus teregistrasi,
asisten apoteker juga harus memiliki Surat Ijin Kerja Asisten Apoteker (SIKAA). SIKAA adalah
bukti tertulis yang diberikan pemegang Surat Izin Kerja Asisten Apoteker untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian di sarana kefarmasian. Sarana kefarmasian merupakan tempat yang
digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian antara lain industri farmasi, instalasi farmasi,
apotek dan toko obat (Depkes RI, 2009).
Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh asisten apoteker adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Asisten Apoteker dilakukan dibawah
pengawasan apoteker (Depkes RI, 2003).
2.6 Teori Perilaku
Beberapa teori perilaku di bidang kesehatan diantaranya
Teori ABC yang
dicetuskan oleh Sulzer, Azaroff dan Mayer, Teori Reaction-action yang dicetuskan oleh
Fesbein dan Ajzen, Teori Thought anf Feeling yang dirumuskan oleh WHO dan Teori
Preced-Proceed yang dicetuskan oleh Lawrence Green. Dari sekian banyak teori perilaku
kesehatan yang ada, Teori Lawrence Green merupakan yang paling populer dan paling
banyak digunakan karena mudah dimengerti. Teori Lawrence Green membagi faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing
factor) (Notoadmojo S, 2007).
Untuk menelaah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan
kefarmasian di apotek teori yang sesuai adalah Teori Lawrence Green tentang perilaku
kesehatan. Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek pada dasarnya merupakan perilaku
dari orang-orang yang berkompenten dalam bidang farmasi dalam hal ini adalah apoteker
yang bertanggungjawab atas obat-obatan yang diserahkan kepada pasien untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Kualitas pelayanan kefarmasian di apotek sangat dipengaruhi oleh
perilaku dari apotekernya, yaitu sejauh mana apoteker tersebut mau dan mampu untuk
melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatan pasien.
Apoteker memiliki peranan yang sangat penting untuk terciptanya kualitas pelayanan
kefarmasian yang lebih baik. Apoteker yang memiliki tanggung jawab terhadap obat yang
diserahkan kepada pasien. Apoteker juga berperan sentral di apotek yaitu sebagai pelaksana
pelayanan resep, pelayanan obat, pelayanan KIE dan pengelolaan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan teori sebelumnya, disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas pelayanan kefarmasian di apotek adalah kehadiran APA, status APA, motivasi APA
dan kepemilikan apotek. Dari keempat faktor tersebut yang dapat dipengaruhi oleh perilaku
apoteker yaitu faktor kehadiran APA, status APA dan motivasi APA. Dalam pendekatan
menggunakan teori Lawrence Green, kehadiran APA dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor
predisposisi yang meliputi gaji, sikap APA, dan pengetahuan APA; faktor pemungkin
meliputi jarak ke apotek, peran PMA, ketenagaan di apotek, situasi dan hubungan kerja di
apotek dan kelengkapan apotek; dan faktor penguat meliputi peraturan dan pelatihan tentang
pelayanan
kefarmasian, serta peran IAI. Motivasi APA dalam memberikan pelayanan dipengaruhi juga
oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi meliputi pengetahuan, sikap dan gaji; faktor
pemungkin meliputi omzet apotek, bonus, fasilitas apotek, jumlah pasien, jumlah lembar
resep (LR), situasi dan hubungan kerja di apotek; faktor penguat meliputi pelatihan,
peraturan dan peran IAI. Sedangkan keputusan APA untuk merangkap atau tidak merangkap
(status APA) dipengaruhi oleh faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap dan gaji;
faktor pemungkin meliputi peran Pemilik Modal Apotek (PMA) dan ketenagaan; faktor
penguat meliputi pelatihan dan peraturan tentang pelayanan kefarmasian.
Download