25 BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) 1. Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Tanggung jawab sosial merupakan salah satu bagian dari empat pilar tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu perusahaan diluar tanggung jawab ekonomi dimana suatu perusahaan harus menghasilkan keuntungan atau laba, tanggung jawab dalam menaati hukum, dan tanggung jawab etis (Nursahid, 2006: 2). Menurut Budimanta, Prasetyo & Rudianto (2004: 72) Corporate Social Responsibility diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas. Kotler dan Lee (2005: 3) mendefinisikan pertanggungjawaban sosial perusahaan sebagai berikut: “Corporate social responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business practice and contributions of corporate resource.” “Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktek bisnis dan kontribusi dari sumber daya perusahaan.” 26 Menurut Wibisono (2007: 8) CSR merupakan tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif, dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan dari berbagai macam definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Corporate Social Responsibility merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan kepada stakeholder yang melibatkan baik pekerja maupun masyarakat sekitar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap pengembangan ekonomi yang berkelanjutan, yang mana tindakan tersebut dinilai baik untuk bisnis dan pengembangannya. Ketidakseragaman dalam mendefinisikan CSR disetiap negara akan memicu ketidakseragaman dalam penerapan dan pelaksanaannya. Hal ini mendorong munculnya ISO 26000 sebagai panduan dalam penerapan dan pelaksanaan CSR. Panduan dalam ISO 26000 menggunakan istilah Social Responsibility karena pedoman ini bukan hanya diperuntukkan bagi bentuk usaha korporasi, tetapi juga bagi semua organisasi, baik swasta maupun publik. ISO 26000 mendefinisikan CSR sebagai berikut : Responsibility of an organization for the impacts of its decision and activities on society and the environment, through transparent and ethical behavior that contributes to sustainable development, health and the 27 welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norm and behavior, and is integrated through put the organization and practiced in its relationships. “Tanggung jawab organisasi terhadap dampak kebijakan dan aktifitas publik serta lingkungan sekitar, melalui transparansi dan perilaku etik memberikan kontribusi untuk perkembangan/pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kemakmuran rakyat; dengan memperhitungkan harapan dari stakeholder; harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma dan perilaku internasional, dan terintegrasi di seluruh organisasi dan dipraktekkan dalam hubungan-hubungannya”. Dari definisi ISO 26000 dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan tanggung jawab organisasi terhadap dampak dari suatu keputusan dan aktifitas yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat, melalui transparansi dan perilaku etis yang berkontribusi terhadap pengembangan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, memperhitungkan ekspektasi dari para stakeholder, dengan cara mentaati hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma dan perilaku internasional, dan diintegrasikan melalui penempatan organisasi dan dipraktekannya dalam hubungan kekerabatan. Menurut Holmes dan Watts (dalam Septira, 2011) menjelaskan maksud CSR sebagai suatu, “Komitmen perusahaan yang berkelanjutan untuk selalu bertindak etis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi 28 sembari meningkatkan kualitas hidup para karyawan dan keluarganya, komunitas lokal maupun masyarakat luas.” Menurut Suharto (2008) dalam komitmen dan aktivitas CSR pada intinya merujuk pada aspek-aspek perilaku perusahaan (firm’s behaviour), termasuk kebijakan dan program perusahaan yang menyangkut dua elemen kunci : 1. Good corporate governance: etika bisnis, manajemen sumber daya manusia, jaminan sosial bagi pegawai, serta kesehatan dan keselamatan kerja. 2. Good corporate responsibility: pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat, perlindungan hak asasi manusia, perlindungan konsumen, relasi dengan pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak pemangku kepentingan lainnya. Dengan demikian, perilaku atau cara perusahaan memperhatikan dan melibatkan semua stakeholder merupakan konsep utama CSR. Pandangan lebih komprehensif mengenai CSR dikemukakan oleh Carrot (dalam Nursahid, 2006: 14-15) dalam Teori Piramida Tanggung Jawab Perusahaan (gambar 1). Tanggung jawab perusahaan dapat dilihat dari empat jenjang yang merupakan satu kesatuan. Untuk memenuhi tanggung jawab ekonomi perusahaan harus menghasilkan laba sebagai pondasi untuk berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Namun, dalam mencapai tujuan laba, perusahaan juga harus bertanggung jawab secara hukum dengan mentaati hukum yang berlaku. Selain itu, perusahaan juga bertanggung jawab secara etis dengan mempraktikan hal-hal yang baik dan benar sesuai nilai-nilai etis. Perusahaan juga 29 mempunyai tanggung jawab filantropis yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sejalan dengan operasi bisnisnya. Philanthropic Responsibility BE A GOOD CITIZEN Ethical Responsibility BE ETHICAL Legal Responsibility OBEY THE LAW Economic Responsibility BE PROFITABLE Sumber: Nursahid, F. 2006. Tanggung Jawab Sosial BUMN. Piramedia Hal 15. Gambar 1 Piramida Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR yang baik memadukan empat prisip good corporate governance yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility secara harmonis (Suharto, 2008: 59). Menurut Supomo (dalam Suharto, 2008) terdapat perbedaan mendasar diantara keempat prisip tersebut. Tiga prinsip utama cenderung bersifat shareholders-driven, karena lebih memperhatikan kepentingan shareholders. 30 Sedangkan, prisip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Crowther David (dalam Septira, 2011) mengurai prisip-prisip tanggung jawab sosial menjadi tiga, yaitu: 1. Sustainability, berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitasnya tetap memperhitungkan keberlanjutan sumber daya di masa depan. 2. Accountability, merupakan upaya perusahaan untuk terbuka dan bertanggung jawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan ketika aktivitas perusahaan dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan eksternal. 3. Transparency, merupakan prinsip yang penting bagi pihak eksternal karena bersinggungan dengan pelaporan aktivitas perusahaan berikut dampak terhadap pihak eksternal. 2. Sifat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Untung (2008:10) menyebutkan terdapat dua sifat corporate social responsibility, yaitu sebagai berikut : 1. Sifatnya kedalam atau internal CSR yang sifatnya kedalam menyangkut transparansi, sehingga ada yang namanya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good coorporate governance), yaitu mekanisme bagaimana sumber daya 31 perusahaan dialokasikan menurut aturan hak dan kuasa. Di kalangan perusahaan publik diukur dengan keterbukaan informasi. 2. Sifatnya keluar atau eksternal CSR yang sifatnya keluar menyangkut lingkungan tempat perusahaan berada. Perusahaan harus memperhatikan polusi, limbah maupun partisipasi lainnya. Stakeholder perusahaan diluar dapat dikategorikan, ada masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Hendaknya dalam setiap pelaksanaan CSR harus memperhatikan lingkungan internal maupun eksternalnya. Apabila perusahaan ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, lingkungan, stakeholder dan semua hal lain yang terlibat didalamnya, maka perusahaan harus mengetahui apa yang lingkungan tersebut butuhkan, bukan sekedar apa yang perusahaan ingin buat. Oleh karena itu, diharapkan adanya komunikasi sebelum membuat program CSR. 3. Konsep dan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Elkington (1998), mengenalkan konsep “3P – Profit, People and Planet”. Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi diharapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak hanya pada single bottom lines, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu berupa finansial, 32 sosial, dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila korporasi juga turut memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Hal serupa juga dinyatakan oleh Suharto (2006:102), merujuk pada konsep John Elkinton, secara konseptual tanggung jawab sosial perusahaan sebagai bentuk kepedulian perusahaan, didasari pada tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu: 1. Profit, perusahaan tetap berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk tetap beroperasi dan berkembang. 2. People, perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program tanggung jawab sosial perusahaan, seperti pemberian beasiswa, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan. 3. Planet, perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan keragaman hayati. Beberapa program tanggung jawab sosial perusahaan yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, dan lain-lain. Berdasarkan konsep tersebut, telah berkembang mengenai elemen elemen pokok yang terkandung dalam suatu Corporate Social Responsibility. Menurut World Business Council for Sustainable Development, Corporate Social Responsibility dibagi dalam tujuh skala prioritas, yaitu : (1) Human rights; (2) Employee rights; (3) Environmental protection; (4) Supplier relation; (5) Community 33 involvement;(6) Stakeholder rights; (7) Corporate Social responsibility performance monitoring and assessment. Menurut Darwin, dalam Majalah Akuntan Indonesia (Edisi No. 12: 2008), secara umum CSR mencakup lima komponen pokok, antara lain : 1. Hak Asasi Manusia, sikap perusahaan dalam menanggapi masalah HAM dan strategi, serta kebijakan yang dilakukan untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM di lingkungan perusahaan. 2. Tenaga kerja (buruh), bentuk perhatian perusahaan terhadap kondisi tenaga kerja mulai dari sistem penggajian, kesejahteraan, dan keselamatan kerja, peningkatan ketrampilan, dan profesionalisme karyawan. 3. Lingkungan hidup, strategi kebijakan yang berhubungan dengan masalah lingkungan hidup, mengatasi dampak lingkungan atas produk atau jasa mulai dari pengadaan bahan baku sampai pada masalah buangan limbah, serta dampak lingkungan yang diakibatkan proses produksi dan distribusi produk. 4. Sosial masyarakat, strategi serta kebijakan dalam bidang sosial dan pengembangan setempat (community development), dampak operasi perusahaan terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. 5. Dampak produk dan jasa terhadap pelanggan, perusahaan memastikan bahwa produk dan jasa yang dihasilkan bebas dari dampak negatif seperti, mengganggu kesehatan, mengancam keamanan, dan produk terlarang. 34 ISO 26000, yang saat ini dapat digunakan sebagai pedoman dan petunjuk dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility, mengembangkan bentuk Social Responsibility kedalam tujuh pokok bahasan, yaitu : (1) Pengembangan masyarakat; (2) Konsumen; (3) Praktik kegiatan institusi yang sehat; (4) Lingkungan; (5) Ketenagakerjaan; (6) Hak asasi manusia; (7) Organizational governance. Berdasarkan penjelasan mengenai konsep-konsep dan prinsip-prisip CSR tersebut, dapat diambil simpulan bahwa tanggung jawab sosial merujuk pada tiga dimensi tanggung jawab. Sebagaimana yang dinyatakan Post (dalam Hadi 2011), ketiga dimensi tanggung jawab tersebut antara lain: a. Economic Responsibility Sehubungan dengan keberadaan perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai bagi stakeholder dan kreditur dalam hal kepastian perusahaan dalam memenuhi kewajibannya. b. Legal Responsibility Perusahaan bertanggung jawab dalam mematuhi peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai bagian dari masyarakat di tempat perusahaan berada. Termasuk bertanggung jawab dalam menjalankan operasi bisnisnya yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. c. Social Responsibility Dimensi yang paling utama dalam Corporate Social Responsibility karena hal ini merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap 35 lingkungan dan pemangku kepentingan. Hal ini dapat menjadi sebuah tuntutan bagi perusahaan ketika kegiatan operasional perusahaan benarbenar mempengaruhi pihak eksternal, seperti pemanfaatan sumber daya sekitar, pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan, dan lainlain. 4. Struktur Organisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Kedudukan Corporate Social Responsibility dalam struktur suatu perusahaan tidak selalu sama. Laksmono dan Suhardi (2011:45) menyatakan bahwa keseriusan perusahaan dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility dapat ditinjau dari struktur organisasinya. Secara umum, struktur organisasi Corporate Social Responsibility dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: 1. Corporate Social Responsibility merupakan bagian dari aktivitas departemen atau divisi lain. Dalam kategori ini Corporate Social Responsibility menjadi bagian dari departemen atau divisi lain, sehingga bukan merupakan sebuah departemen atau divisi yang sifatnya otonom dan bertanggung jawab kepada manajer departemen. Oleh karena itu, umumnya pengelolaan program Corporate Social Responsibility hanya pada level staf. 2. Corporate Social Responsibility sebagai departemen atau divisi otonom. Dalam kategori ini, Corporate Social Responsibility tidak menjadi bagian dari departemen lain dan bersifat mandiri independen. Perencanaan anggaran dan program, implementasi serta evaluasi 36 dilakukan secara mandiri sehingga departemen ini sejajar dengan departemen yang lain dan bertanggung jawab langsung kepada direktur atau pimpinan perusahaan. Berdasarkan penjelasan dari kedua kategori di atas, dapat digambarkan posisi penanggung jawab Corporate Social Responsibility di dalam struktur organisasi perusahaan seperti yang terlihat pada gambar 2 dan gambar 3. Direktur Top Level M Middle Level Power Level Manager HRD Training Development Personalia Manager Humas CSR Sumber: Laksmono dan E. Suhardi. 2011. Panduan Praktis Pengelolaan CSR (Corporate Social Responsibility). Samudra Biru. Yogyakarta. Gambar 2 Corporate Sosial Responsibility sebagai Bagian dari Aktivitas Departemen atau Divisi Lain Gambaran struktur tersebut memperlihatkan bahwa pada gambar 2 CSR menjadi bagian dari departemen lain dan hanya pada LowerLevel Management. Hal ini menunjukkan sedikit lemahnya komitmen perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility dan dapat berpengaruh sampai pada produk kebijakan. Berbeda dengan gambar 2, Corporate Social responsibility yang berdiri sebagai departemen sendiri seperti yang terlihat pada gambar 3 menunjukkan besarnya 37 komitmen perusahaan terhadap pelaksanaan Corporate Social Responsibility. Para pelaku tersebar pada middle level dan lower level sehingga adanya kepemimpinan manajer dapat memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap kebijakankebijakan yang nantinya akan diambil. Selain itu, pada struktur ini menunjukkan adanya diferensiasi tugas yang jelas. Direktur Top Level Middle Level Power Level Manager CSR CSR Eksternal CSR Internal Manager HRD Training Development Sumber: Laksmono dan E. Suhardi. 2011. Panduan Praktis Pengelolaan CSR (Corporate Social Responsibility). Samudra Biru. Yogyakarta. Gambar 3 Corporate Social Responsibility sebagai Departemen atau Divisi Lain 5. Tujuan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Tujuan dari CSR adalah agar hubungan antara perusahaan dan stakeholders tidak lagi bersifat pengolahan saja, tetapi sekaligus melakukan kolaborasi, yang dilakukan secara terpadu dan fokus kemitraan. Tanggung jawab sosial yang mulanya diberikan oleh perusahaan pada kesejahteraan stakeholders, pada akhirnya akan mengumpan balik pada perusahaan. Kemitraan ini tidak 38 menciptakan persaingan negatif yang berpengaruh kepada keberlanjutan perusahaan tersebut (Budimanta, Prasetyo dan Rudianto, 2004: 72-73). Terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional suatu perusahaan seperti yang diungkapkan oleh Wibisono (dalam Rahmatullah dan Kurniati, 2011: 6-7). Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat sehingga wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. CSR berfungsi sebagai kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan. CSR juga sebagai kompensasi sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya mempunyai hubungan simbiosis mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. 6. Manfaat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Beberapa manfaat yang diperoleh oleh perusahaan jika melakukan program CSR (Wibisono, 2007: 84-87) yaitu : 1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan. 2. Layak mendapatkan social license to operate. 3. Mereduksi resiko bisnis perusahaan. 4. Melebarkan akses sumber daya. 5. Membentangkan akses menuju market. 6. Mereduksi biaya. 39 7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders. 8. Memperbaiki hubungan dengan regulator. 9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. 10. Peluang mendapatkan penghargaan. Menurut Suharto (2008),dipandang dari perspektif bisnis progresif CSR fokus terhadap perluasan kesempatan-kesempatan baru sebagai cara untuk merespon tuntutan pasar yang dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dan juga mendorong inovasi perusahaan untuk terus-menerus melakukan perbaikan di segala bidang. Menurutnya, CSR dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Memperkuat kinerja dan keuntungan ekonomi yang lebih efisien dan berkelanjutan. 2. Meningkatkan komitmen para pekerja. 3. Memantapkan akuntabilitas perusahaan terkait investasi sosial dan kemasyarakatan. 4. Mengurangi kerentanan dan instabilitas operasi perusahaan terkait menguatnya hubungan dengan masyarakat. 5. Mempertegas reputasi dan citra perusahaan. Dari manfaat-manfaat diatas, dapat disimpulkan bahwa manfaat dari CSR adalah menciptakan brand image bagi perusahaan di tengah pasar yang kompetitif sehingga akan mampu menghasilkan customer loyalty dan membangun atau mempertahankan reputasi bisnis. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit ditiru oleh para pesaingnya. Selain itu, CSR juga 40 membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate dari pemerintah maupun masyarakat. Singkat kata, CSR dapat menjadi semacam iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan. 7. Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Zadek et al. (Glautier & Underdown, 2001: 367-368) membagi tanggung jawab sosial perusahaan menjadi enam bagian yaitu : 1. Evironmental protection Adalah upaya untuk melindungi lingkungan dari kerusakan yang meliputi aspek lingkungan dalam produksi, mencegah polusi selama proses produksi, mencegah atau memperbaiki kerusakan lingkungan akibat dari proses sumber daya alam dan peremajaan sumber daya alam yang digunakan. Tujuan sosial perusahaan dapat ditemukan dalam usaha menanggulangi efek sosial perusahaan yang berdampak negatif dan dalam mengadopsi teknologi yang lebih efisien untuk meminimalkan penggunaan sumber daya alam yang tidak bisa digantikan dan produksi limbah. 2. Energy saving Meliputi efisiensi energi dalam hubungannya dengan operasi bisnis dan meningkatkan efisiensi konsumsi energi dari pemakaian produk yang dihasilkan perusahaan. 41 3. Human resources Berhubungan dengan aktivitas-aktivitas para pihak yang ada dalam perusahaan dan menguntungkan pihak manajemen dalam perusahaan. 4. Fair business practice Memusatkan perhatian pada hubungan antara perusahaan dengan kelompok kepentingan khusus tertentu. Berhubungan dengan hal pemberian kerja dan kemajuan pihak-pihak minoritas, penggunaan tata cara yang legal saat berhubungan dengan pemasok dan pelanggan, dan pemberian label yang jelas pada setiap produk. 5. Community involvement Meliputi aktivitas yang melibatkan dan berhubungan dengan masyarakat serta menguntungkan masyarakat. 6. Product Menyangkut aspek kualitatif dari produk yang dihasilkan, misalnya keamanan dan jangka waktu pemakaian, termasuk kepuasan pelanggan, pengemasan, dan pelabelan produk. Menurut Anatan (2009), terdapat sembilan program kerja yang dapat dilakukan perusahaan dalam melaksanakan CSR, yaitu : 1. Employe Programs Jaminan untuk karyawan perlu diperluas sehingga tidak hanya dari sisi jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi perlu adanya perluasan program seperti work life balance program dan decision making empowerment program. 42 2. Community and Broader Society Implementasi pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan melalui : a. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhan. b. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhankebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab. 3. Environment Programs Program yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan, misalnya dengan menghasilkan produk yang aman, tidak berbahaya bagi kesehatan, dan ramah lingkungan. 4. Reporting and Communication Programs Perusahaan melaporkan hasil kegiatan CSRnya melalui annual CSR report, sehingga terdapat bukti riil partisipasi perusahaan dalam melaksanakan tanggungjawab sosialnya. 5. Governance or Code of Conduct Programs Perusahaan menitikberatkan kegiatan sosial yang dilakukan berdasarkan sistem yang diatur oleh pemerintah. Hal utama yang harus diperhatikan adalah bagaimana stakeholders, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dapat membuat ketentuan yang disepakati bersama untuk mengefektifkan program CSR. 43 6. Stakeholder Engagement Programs Upaya menciptakan “effective engagement program” sebagai kunci utama untuk mencapai kesuksesan strategi CSR dan sustainability strategy. 7. Supplier Programs Pembinaan hubungan yang baik atas dasar kepercayaan, komitmen, pembagian informasi antara perusahaan dengan mitra bisnisnya, misalnya melalui pengelolaan rantai pasokan atau jejaring bisnis. 8. Customer/Product Stewardship Programs Perlunya perhatian perusahaan terhadap keluhan konsumen dan jaminan kualitas produk yang dihasilkan perusahaan. 9. Shareholder Programs Program meningkatkan share value bagi shareholder, karena shareholder merupakan prioritas bagi perusahaan. Jeremy Moon (dalam Nursahid, 2006:17) mengelompokkan pendekatan Corporate Social Responsibility dalam tiga gelombang, yaitu: 1. Keterlibatan komunitas 2. Proses produksi yang bertanggung jawab sosial 3. Hubungan pekerja yang bertanggung jawab sosial Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, Nursahid (2006:17) menjelaskan, gelombang pertama, yakni keterlibatan komunitas merupakan pendekatan tradisional dimana CSR merupakan bagian terpisah dari aktivitas usaha dalam bentuk filantropi, kemitraan, sponsor dan alisiansi strategis yang dapat bekerja 44 bersama pemerintah ataupun organisasi komunitas. Sedangkan gelombang kedua dan ketiga, merefleksikan perubahan paradigma dimana CSR merupakan refleksi dari praktik bisnis dan menjadi bagian yang melekat di dalam kebijakan suatu perusahaan. Oleh karena itu, dari ketiga pendekatan tersebut, maksud dari CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada stakeholder dapat terwujud. Menurut Saidi dan Abidin (2004:64-65) sedikitnya ada empat model atau pola Corporate Social Responsibility yang umumnya diterapkan di Indonesia. Pertama, keterlibatan langsung. Dalam hal ini perusahaan terlibat secara langsung dalam menyelenggarakan kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan langsung ke masyarakat. Kedua, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Dalam hal ini perusahaan mendirikan yayasan atau organisasi sosial sendiri dibawah naungan perusahaan atau grupnya. Perusahaan akan menyediakan dana tersendiri untuk kegiatan yayasan. Ketiga, bermitra dengan pihak lain. Perusahaan dapat bekerja sama dengan pihak luar untuk menjalankan kegiatan sosialnya, baik dalam mengelola dana maupun dalam pelaksanaannya. Keempat, mendukung atau bergabung dalam suatu konsorium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota, atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Wibisono (2007:133) mengklasifikasi Corporate Social Responsibility dengan cakupan yang lebih spesifik. Corporate Social Responsibility dibagi menjadi tiga bidang dengan beberapa macam lingkup yang dapat dipilih oleh 45 perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya, seperti yang terlihat pada tabel 1. Tabel 1 Contoh Lingkup Program Corporate Social Responsibility No. Bidang Jenis 1. Bidang Sosial a. b. c. d. e. f. g. h. Pendidikan/pelatihan Kesehatan Kesejahteraan sosial Kepemudaan/kewanitaan Keagamaan Kebudayaan Penguatan kelembagaan Dan lain-lain 2. Bidang Ekonomi a. b. c. d. 3. Bidang Lingkungan a. Penggunaan energi secara efisien b. Proses produksi yang ramah lingkungan c. Pengendalian polusi d. Penghijauan e. Pengelolaan air f. Pelestarian alam g. Pengembangan ekowisata h. Penyehatan lingkungan i. Perumahan dan pemukiman Kewirausahaan Pembinaan UKM Agribisnis Pembukuan lapangan kerja e. Sarana dan prasarana ekonomi f. Usaha produksi lainya Sumber: Wibisono, Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Fascho Publishing. Gresik. 46 8. Motivasi Dunia Bisnis Melakukan CSR Saidi danAbidin (2004: 69) membuat matriks yang menggambarkan tiga tahap atau paradigma yang berbeda, diantaranya : 1. Corporate Charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan. 2. Corporate Philanthropy, yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan kemerataan sosial. 3. Corporate Citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Ambadar (dalam Anatan, 2009) mengemukakan beberapa motivasi dan manfaat yang diharapkan perusahaan dengan melaksanakan CSR, yaitu : 1. Perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa mempedulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan. 2. Kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja. 3. Mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan, khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. 47 4. Perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi dengan lancar. Tabel 2 Karakteristik Tahap-Tahap Kedermawanan Sosial Paradigma Charity Phylantrophy Corporate Citizenship Motivasi Agama, tradisi, adaptasi Norma, etika, dan hukum universal Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial Misi Mengatasi masalah setempat Mencari dan mengatasi akar masalah Memberikan kontibusi kepada masyarakat Pengelolaan Jangka pendek, mengatasi masalah sesaat Terencana, Terinternalisasi dalam terorganisir kebijakan perusahaan dan terprogram Pengorganisasian Kepanitiaan Yayasan/dana abadi/ profesionalitas Keterlibatan bank dana maupun sumber daya lain Penerima Manfaat Orang miskin Masyarakat luas Masyarakat luas dan perusahaan Kontribusi Hibah sosial Hibah pembangunan Hibah (pembangunan serta keterlibatan sosial) Inspirasi Kewajiban Kepentingan bersama Sumber: Anatan, L. 2009. Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teoritis dan Praktis di Indonesia. Jurnal Jurusan Manajemen - Universits Kristen Maranatha, Vol. 8, No. 2. Hal 5. 9. Landasan Pelaksanaan CSR di Indonesia Pada tanggal 20 Juli 2007, pemerintah mengesahkan UU No.40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Undang-undang ini diundangkan secara resmi pada tanggal 16 48 Agustus 2007. Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan dalam Pasal 74 yang menjelaskan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Selengkapnya tentang Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tersebut adalah sebagai berikut : Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah 49 2.1.2. Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial 1. Definisi Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial Akuntansi pertanggungjawaban juga merupakan sistem yang dirancang untuk mengakumulasikan dan melaporkan biaya, serta mengukur hasil dari tiap level pusat pertanggungjawaban, sehingga apabila terjadi penyimpangan dapat ditelusuri penyebab dan penanggungjawabnya. Akuntansi pertanggungjawaban menunjukkan bermacam-macam konsep dan alat yang digunakan untuk mengukur kinerja karyawan dan departemen dalam mencapai tujuan atau behavior congruence. Menurut Hansen dan Mowen (2003:530) “Responsibility Accounting is a system that measures the results of each responsibility center according to the information managers need to operate their centers”, Akuntansi pertanggungjawaban adalah sebuah sistem yang mengukur perencanaan (dengan anggaran) dan pelaksanaan (dengan hasil aktual) dari tiap-tiap pusat pertanggungjawaban. Menurut Lee (dalam Usmansyah, 1989:35), secara esensial konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial adalah suatu perluasan dari prinsip, praktik, dan terutama keahlian dari akuntan dan akuntansi konvensional. Menurut Komar (dalam Muhammad, 2005:19), socioeconomic accounting adalah suatu proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan, ukuran, dan prosedur pengukuran yang secara sistematis mengembangkan informasi yang bermanfaat, mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada kelompok sosial yang tertarik, baik di dalam maupun di luar perusahaan. 50 Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa akuntansi pertanggungjawaban sosial merupakan sebuah proses mengukur dan menilai sejauh mana peran aktif perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. 2. Tujuan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial Menurut Hendriksen (1994) tujuan akuntansi sosial adalah memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Menurut Belkaoui (dalam Septira, 2011), “the main objective of socioeconomic accounting is to encourage the business entities that function in a free market system to account for the impact of their private production activities on the social environment throught measurement, internalization and disclosure in their financial statement’’. Tujuan socioeconomic accounting adalah untuk mengukur dan mengungkapkan dengan tepat seluruh biaya dan manfaat bagi masyarakat, yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan produksi suatu perusahaan. Ramanathan (dalam Suadi, 1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : 1. Mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi social neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di 51 internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda. 2. Membantu menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain. 3. Memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan. Seperti yang diungkapkan Lee D. Parker dan dikutip oleh Marlyn Neimark dalam Advance in Public Interest (dalam Usmansyah, 1989) bahwa akuntansi pertanggungjawaban sosial bertujuan untuk : 1. Menilai dampak sosial dari kegiatan-kegiatan perusahaan. 2. Mengukur efektifitas dari program perusahaan yang bersifat sosial. 3. Melaporkan sampai seberapa jauh perusahaan memenuhi tanggung jawab sosialnya. 4. Sistem informasi eksternal dan internal yang memungkinkan penilaian menyeluruh terhadap sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya baik sosial maupun ekonomi. 52 3. Pengukuran dan Pelaporan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial Menurut Glautier and Underdown (1986) terdapat tiga pendekatan yang bisa digunakan sebagai pedoman pengukuran dalam pelaporan akuntansi pertanggungjawaban sosial, yaitu : 1. Pendekatan Deskriptif (The descriptive approach) Pendekatan deskriptif dipandang sebagai pendekatan yang umum digunakan. Dalam laporan sosial deskriptif, informasi mengenai semua aktivitas sosial perusahaan dilaporkan dalam bentuk uraian (deskriptif). Jadi, pada pendekatan ini, aktivitas-aktivitas sosial perusahaan dalam pelaporannya tidak dikuantifikan dalam satuan uang. 2. Pendekatan biaya yang dikeluarkan (The cost of outlay approach) Pendekatan biaya yang dikeluarkan menggambarkan semua aktivitas sosial perusahaan, dikuantifikasikan dalam satuan uang dan menjadi hal yang sebaliknya dari pendekatan deskriptif. Sehingga laporan yang dihasilkan oleh pendekatan biaya yang dikeluarkan mempunyai kemampuan untuk diperbandingkan antara laporan suatu tahun tertentu dengan laporan tahun yang lain. Sedang kelemahannya adalah tidak disajikannya manfaat yang diperoleh sehubungan dengan telah dikeluarkannya biaya untuk suatu kegiatan. 3. Pendekatan biaya manfaat (The cost benefit approach) Pendekatan biaya manfaat mengungkapkan baik biaya maupun manfaat dari aktivitas-aktivitas sosial perusahaan. Pendekatan biaya manfaat mungkin merupakan pendekatan yang paling ideal. Namun, dalam 53 kenyataannya sulit untuk menerapkannya, antara lain karena tidak adanya alat ukur manfaat dari yang dihasilkan atas biaya yang telah dikeluarkan untuk aktivitas-aktivitas sosial perusahaan. Sedangkan pelaporan akuntansi pertanggungjawaban sosial merupakan laporan tambahan di luar laporan keuangan konvensional yang dibuat oleh perusahaan. Pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 paragraf 9 menyebutkan bahwa perusahaan boleh membuat laporan tambahan, seperti laporan lingkungan hidup dan laporan nilai tambah. Kasali Reinald (dalam Septira, 2011) mengatakan bahwa keterbukaan perusahaan atas aktivitas tanggung jawab sosial menentukan respon masyarakat bagi perusahaan. Namun, informasi yang bersifat negatif justru menjadi boomerang bagi perusahaan, dan cenderung memunculkan image negatif. Harahap (2002) mengemukakan beberapa metode yang bisa dipakai dalam pengukuran akuntansi sosial, yaitu : 1. Menggunakan penilaian dengan menghitung Opportunity cost approach 2. Menggunakan data kuisioner 3. Menggunakan hubungan antara kerugian massa; dengan permintaan untuk barang perorangan dalam menghitung kerugian masyarakat 4. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga. 54 Estes (dalam Sonhadji, 1989), praktik pelaporan akuntansi sosial terdiri dari : 1. Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak disertai dengan data kuantitatif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya 2. Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai dengan data kuantitatif 3. Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga menyusun laporannya dalam bentuk neraca. 2.1.3. Pertumbuhan Berkelanjutan (Sustainable Growth) Dalam istilah yang sederhana dan dengan mengacu pada bisnis, pertumbuhan yang berkelanjutan adalah pertumbuhan realistis yang dapat dicapai sebuah perusahaan tanpa mendapatkan suatu masalah. Menurut European Commision (2011), pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) berarti : 1. Membangun low-carbon economy yang lebih kompetitif yang membuat penggunaan sumber daya secara efisien dan berkelanjutan. 2. Melindungi lingkungan, mengurangi emisi, dan mencegah hilangnya keanekaragaman hayati. 3. Memanfaatkan kepemimpinan Eropa dalam mengembangkan teknologi hijau baru dan metode produksi. 4. Memperkenalkan efficient smart electricity grids. 55 5. Memanfatkan EU-scale networks untuk memberikan keuntungan kompetitif tambahan bagi bisnis (terutama perusahaan-perusahaan manufaktur kecil) 6. Meningkatkan lingkungan bisnis, khusunya bagi UKM. 7. Membantu konsumen dalam membuat pilihan yang terinformasi dengan baik. Menurut Rahmatullah dan Kurniati (2011: 1), dalam bisnis apapun, prioritas utama adalah keberlanjutan usaha. Keberlanjutan yang tanpa ditopang kepedulian terhadap aspek lingkungan dan sosial berpotensi menimbulkan kendala-kendala yang tentunya akan menghambat pencapaian keuntungan perusahaan karena ospek sosial dan lingkungan merupakan parameter untuk mengetahui apakah ada dampak positif atau negatif dari kehadiran perusahaan sebagai komunitas baru terhadap komunitas lokal. Meraih pertumbuhan yang berkelanjutan adalah perhatian utama dari semua perusahaan. Tetapi, mencapai tujuan ini bukanlah sesuatu yang mudah karena adanya isu-isu ekonomi yang berubah dengan cepat. Isu-isu tersebut memberikan tantangan unik untuk perusahaan dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Terdapat beberapa pendapat bahwa bisnis tidak mungkin mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan tanpa berfokus pada strategi pertumbuhan dan kemampuan pertumbuhan. 56 2.1.4. Penjualan 1. Definisi Penjualan Definisi penjualan atau pemasaran menurut Kotler (1997) adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Swastha (2005 : 10) mendefinisikan konsep pemasaran sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan hidup perusahaan. Bagian pemasaran pada suatu perusahaan memegang peranan yang sangat penting dalam rangka mencapai besarnya volume penjualan, karena dengan tercapainya sejumlah volume penjualan yang diinginkan berarti kinerja bagian pemasaran dalam memperkenalkan produk telah berjalan dengan benar. Penjualan dan pemasaran sering dianggap sama tetapi sebenarnya berbeda. Tujuan utama konsep pemasaran adalah melayani konsumen dengan mendapatkan sejumlah laba, atau dapat diartikan sebagai perbandingan antara penghasilan dengan biaya yang layak. Ini berbeda dengan konsep penjualan yang menitikberatkan pada keinginan perusahaan. Falsafah dalam pendekatan penjualan adalah memproduksi sebuah pabrik, kemudian meyakinkan konsumen agar bersedia membelinya. Sedangkan pendekatan konsep pemasaran menghendaki agar manajemen menentukan keinginan konsumen terlebih dahulu, setelah itu baru melakukan bagaimana caranya memuaskan. 57 2. Jenis-Jenis Penjualan Ada beberapa jenis penjualan menurut Swasta (1998:11), yaitu : a. Trade Selling Dapat terjadi bilamana produsen dan pedagang besar mempersilahkan pengecer untuk berusaha memperbaiki distributor produk-produk mereka. Hal ini melibatkan para penyalur dengan kegiatan promosi, peragaan, persediaan dan pengadaan produk baru, jadi titik beratnya pada “penjualan melalui” penyalur daripada “penjualan ke” pembeli akhir. b. Missionary Selling Dalam missionary selling penjualan berusaha ditingkatkan dengan mendorong pembeli untuk membeli barang-barang dari penyalur perusahaan. Dalam hal ini perusahaan yang bersangkutan memiliki penyalur sendiri dalam pendistribusian produknya. c. Technical Selling Berusaha meningkatkan penjualan dengan pemberian saran dan nasehat pada pembeli akhir dari barang dan jasanya dengan menunjukkan bagaimana produk dan jasa yang ditawarkan dapat mengatasi masalah tersebut. d. New Business Selling Berusaha membuka transaksi baru dengan merubah calon pembeli menjadi pembeli. Jenis penjualan ini sering dipakai oleh perusahaan asuransi. 58 e. Responsive Selling Dua jenis penjualan utama disini adalah route driving dan retailling. Jenis penjualan seperti ini tidak akan menciptakan penjualan yang terlalu besar meskipun layanan yang baik dan hubungan pelanggan yang menyenangkan dapat menjurus pada pembeli ulang. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjualan Dalam prakteknya perencanaan penjualan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Swastha (1998:129) faktor-faktor tersebut yaitu : a. Kondisi dan Kemampuan Penjual Transaksi jual beli merupakan pemindahan hak milik secara komersial atas barang dan jasa, pada prinsipnya melibatkan dua pihak yaitu penjual sebagai pihak pertama dan pembeli sebagai pihak kedua. Disini penjual harus dapat meyakinkan kepada pembelinya agar dapat mencapai sasaran penjualan yang diharapkan. Untuk maksud tersebut para penjual harus memahami beberapa masalah penting yang sangat berkaitan yaitu : a) Jenis dan karakteristik barang yang akan ditawarkan b) Harga produk c) Syarat penjualan, seperti : pembayaran, penghantaran, pelayanan purna jual dan sebagainya. 59 b. Kondisi Pasar Pasar sebagai kelompok pembeli atau pihak yang menjadi sasaran dalam penjualan dapat pula mempengaruhi kegiatan penjualan. Adapun faktor-faktor kondisi pasar yang perlu diperhatikan adalah: a) Jenis pasarnya, apakah pasar konsumen, pasar penjual, pasar industri, pasar pemerintah /pasar internasional. b) Kelompok pembeli atau segmen pasarnya c) Daya belinya d) Frekuensi pembeliannya e) Keinginan dan kebutuhannya c. Modal Akan lebih sulit bagi penjual untuk menjual barangnya apabila barang yang dijual itu belum dikenal oleh pembeli atau apabila lokasi pembeli jauh dari tempat penjual. Dalam keadaan seperti ini, penjual harus memperkenalkan dahulu/membawa barangnya ketempat pembeli. Untuk adanya saran diperlukan transportasi. Tempat melaksanakan serta peraga baik usaha diluar maksud tersebut maupun tersebut sepertialat didalam perusahaan. Usaha promosi dan sebagainya semua ini hanya dapat dilakukan apabila penjual memiliki sejumlah modal yang diperlukan oleh perusahaan. 60 d. Kondisi Organisasi Perusahaan Pada perusahaan besar biasanya masalah penjualan ditangani oleh bagian penjualan yang dipegang oleh orang-orang tertentu/ ahli dibidang penjualan. Lain halnya dengan perusahaan kecil masalahmasalah penjualan ditangani oleh orang-orang yang juga melakukan fungsi lain. Hal ini disebabkan oleh tenaga kerjanya yang lebih sedikit. Sistem organisasi juga lebih sederhana, masalah-masalah yang dihadapinya juga tidak sekompleks perusahaan besar. Biasanya masalah perusahaan ini ditangani oleh perusahaan dan tidak diberikan kepada orang lain. e. Faktor Lain Faktor-faktor yang sering mempengaruhi penjualan yaitu periklanan, peragaan, kampanye, dan pemberian hadiah. Namun untuk melaksanakannya diperlukan dana yang tidak sedikit. Bagi perusahaan yang memiliki modal yang kuat kegiatan ini secara rutin dapat dilakukan, sebaliknya perusahaan kecil jarang melakukan karena memiliki modal sedikit. 61 4. Langkah-langkah dalam Melakukan Proses Penjualan Menurut Kotler (1997) langkah-langkah dalam proses penjualan meliputi : a. Memilih Prospek dan Menilai Langkah pertama dalam proses penjualan adalah memilih prospek (prospecting), yaitu mencari siapa yang dapat masuk sebagai pelanggan potensial. Tenaga penjual perlu mengetahui cara menilai prospek (qualify) artinya cara mengenali calon yang baik dan menyisihkan calon yang jelek. Prospek dapat dinilai dengan meneliti kemampuan keuangan, volume bisnis, kebutuhan spesial, lokasi dan kemungkinan untuk tumbuh. b. Prapendekatan Sebelum mengunjungi seorang calon pembeli, tenaga penjual sebaiknya mempelajari sebanyak mungkin mengenai organisasi (apa yang dibutuhkan, siapa yang terlibat dalam pembelian) dan pembelinya (karakteristik dan gaya membeli). Langkah-langkah ini dikenal dengan istilah prapendekatan. Wiraniaga sebaiknya menetapkan tujuan kunjungan yang mungkin untuk menilai calon, mengumpulkan informasi, atau membuat penjualan langsung. c. Pendekatan Dalam langkah ini, wiraniaga sebaiknya mengetahui caranya bertemu dan menyapa pembeli serta menjalin hubungan menjadi awal yang baik. Langkah ini mencakup penampilan wiraniaga katakata pembukaan, dan tindak lanjutan. 62 d. Presentasi dan Demonstrasi Dalam langkah presentasi dari proses penjualan, tenaga penjual menceritakan riwayat produk kepada pembeli, menunjukkan bagaimana produk akan menghasilkan dan menghemat uang. Presentasi penjualan dapat diperbaiki dengan alat bantu demonstrasi, seperti buku kecil, pita video, dan sampel produk. e. Mengatasi Keberatan Pelanggan hampir selalu mempunyai keberatan selama presentasi atau ketika diminta untuk memesan. Dalam mengatasi keberatan wiraniaga harus menggunakan pendekatan positif, menggali keberatan tersembunyi, meminta pembeli untuk menjelaskan keberatan, menggunakan keberatan sebagai peluang untuk memberikan informasi lebih banyak dan mengubah keberatan menjadi alasan untuk membeli. f. Menutup Menutup merupakan langkah dalam proses penjualan ketika wiraniaga meminta pelanggan untuk memesan. Tenaga penjual harus mengetahui cara mengenali tanda-tanda penutupan dari pembeli termasuk gerakan fisik, komentar dan pertanyaan. g. Tindak Lanjut Merupakan langkah terakhir dalam proses penjualan ketika wiraniaga melakukan tindak lanjut setelah penjualan untuk memastikan kepuasan pelanggan dan bisnis berulang 63 2.2. Penelitian Terdahulu Pada penelitian terdahulu pernah diteliti tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada PT Semen Gresik dalam mencapai Pertumbuhan Berkelanjutan oleh Septira (2011). Penelitian sekarang dan penelitian Septira (2011) memiliki persamaan karena keduanya fokus terhadap penerapan corporate social responsibility dan membutuhkan data-data CSR perusahaan dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Perbedaan antara kedua penelitian adalah obyek penelitian. Jika obyek penelitian Septira (2011) merupakan suatu perusahaan BUMN dan mengambil data CSR pada tahun 2009. Sedangkan, obyek penelitian sekarang merupakan perusahaan swasta yang mengalami pertumbuhan tersebut kemungkinan atas penerapan CSR. pertumbuhan, dimana 64 2.3. Rerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini: Permasalahan: Penerapan CSR pada PT Suprama dalam mencapai sustainable growth Metode Penelitian: Teori: Pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (Moleong, 2004) a. Pohle and Hittner, 2008 b. UU No. 40 Tahun 2007 Kebijakan CSR PT Suprama Evaluasi penerapan CSR dengan tujuan mencapai sustainable growth Menyimpulkan hasil penelitian serta memberi evaluasi bagi manajemen PT Suprama dalam menjalankan CSR Gambar 4 Rerangka Pemikiran