BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Pengertian istilah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Pengertian istilah poligami
Secara etimologis, istilah poligami berasal dari dua kata Yunani yaitu kata πολύς (polus) yang
berarti banyak dan kata γάμέιν (gamein) yang berarti kawin. Dari asal kata ini dapat dilihat
bahwa definisi dari poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang laki-laki atau
perempuan memiliki isteri atau suami lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Menurut
tinjauan antropologi sosial (sosio antropologi) pengertian dari poligami adalah seorang laki
laki kawin dengan banyak perempuan atau sebaliknya, perempuan kawin dengan banyak lakilaki. Menurut Bibit Suprapto, poligami dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu :
a. Poliandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
b. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan.
c. Gabungan antara poligini dan poliandri, dimana ada jumlah tertentu dari laki-laki
menggauli jumlah tertentu dari perempuan sebagai suami isteri dengan hak yang diakui di
antara mereka.1
Berdasar uraian diatas, istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri.
Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang sekali dipakai, bahkan bisa dikatakan
istilah ini tidak dipakai lagi kecuali di kalangan antropolog saja.2 Karenanya, istilah poligami
lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara lain yang memakai hukum
Islam sebagai hukum negara. Kemudian, istilah poligami akhirnya menggantikan secara
langsung istilah poligini. Berdasarkan hal ini, penyusun memutuskan bahwa setiap kata
poligami yang digunakan dalam tulisan ini berarti poligini, perkawinan antara seorang lakilaki dengan beberapa perempuan3 dan bukan poliandri.
Istilah lain yang digunakan di Indonesia untuk poligami adalah permaduan. Bermadu, di Jawa
terkenal dengan nama wayuh. Suami dikatakan bermadu, sedangkan isteri dimadu. Antara
masing-masing isteri yang dimadu disebut madu atau maru dalam Bahasa Jawa. Sebenarnya,
1
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, Jogjakarta, Al Kautsar ,1990, p.71, (selanjutnya disebut Bibit Suprapto)
Bibit Suprapto, p.72
3
Dalam skripsi ini digunakan istilah perempuan untuk menyebut manusia yang bukan laki-laki. Karena penyusun
setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa istilah “perempuan” secara etimologis memiliki arti yang labih baik
dari pada istilah “wanita”. Perempuan berasal dari kata “empu” yang berarti ahli, namun istilah “wanita” berasal dari
kata “watina” yang biasa digunakan untuk menyebut binatang yang berjenis kelamin bukan jantan.
2
2
kata maru tidak hanya dipergunakan untuk predikat antar masing-masing isteri yang dimadu,
tetapi juga dipergunakan antara isteri dengan bekas isteri dari seorang laki-laki.4
2. Sejarah praktek poligami
Praktek poligami adalah gaya hidup yang diakui dan dipraktekkan di pusat-pusat peradaban
manusia. Nyatanya praktek poligami sudah ada dan berkembang jauh sebelum lahirnya Islam
pada tahun 610 Masehi. Bahkan bisa dikatakan bahwa kelahiran poligami hampir bersamaan
dengan lahirnya manusia pertama di dunia, walaupun tidak dapat diketahui secara pasti tahun
berapa poligami pertama kali dilaksanakan dan siapa laki-laki yang pertama mempraktekkan
poligami. Karenanya, bagian ini akan memaparkan sejarah poligami di dalam berbagai masa,
agama dan kebudayaan :
a. Sejarah Poligami dalam Berbagai Kerajaan dan Budaya di Dunia.
Praktek poligami sejak jaman purba telah berjalan dengan wajar di kalangan masyarakat,
terutama di kalangan menengah ke atas, baik di kalangan nabi, rohaniawan, tokoh politik,
perwira militer bangsawan dan raja-raja. Pada saat itu, berkembang anggapan bahwa lakilaki yang berani atau berhasil bermadu, berhasil kawin dengan banyak perempuan, bukan
laki-laki sembarangan. Dia adalah laki-laki sejati, laki-laki hebat, laki-laki jagoan, bukan
hanya jago kawin tapi juga jago segala hal. Pokoknya, laki-laki yang berpoligami
dianggap sebagai manusia yang memiliki nilai lebih dibanding manusia laki-laki lain yang
tidak berpoligami. Semakin banyak isterinya, semakin jantan laki-laki itu.5 Karenanya,
bisa dikatakan hampir tidak ada seorang rajapun di dunia ini yang hanya memiliki seorang
isteri, seorang raja biasanya memiliki baik permaisuri maupun selir dan para isteri lain
yang berkedudukan lebih rendah. Selain pembuktian kejantanan diatas, praktek poligami
dilaksanakan di berbagai kerajaan karena jumlah isteri dan anak dari keluarga kerajaan
sangat menentukan kelangsungan hidup kerajaan itu. Praktek poligami yang dilaksanakan
oleh raja-raja jaman itu seringkali juga bermotif politis, raja menikahi banyak perempuan
yang memiliki status sosial tertentu untuk memperbesar atau memperluas wilayah
kekuasaan. 6
Bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia, terutama yang maju dan
berusia panjang, mengenal praktek poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang
normal dan formal. Dr. Yusuf Al-Qardawi, dalam bukunya “Ruang Lingkup Wanita
4
Bibit Suprapto, p.73
Bibit Suprapto, p.77
6
Bibit Suprapto, p.107
5
3
Muslimah“, menulis bahwa di masa lalu, peradaban manusia sudah mengenal poligami
dalam bentuk yang sangat mengerikan karena seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan
hanya 4 isteri, tetapi lebih dari itu ada yang sampai 10 bahkan ratusan isteri. Disebutkan
pula bahwa peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa Yahudi mengenal
poligami. Demikian pula peradaban yang melahirkan bangsa Rusia, Lituania, Estonia,
Chekoslowakia dan Yugoslavia mengenal praktek poligami. Hal yang sama juga terjadi
pada bangsa Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. 7
Selain berbagai kebudayaan diatas, poligami juga dipraktekkan dalam budaya Jawa.
Praktek poligami terlihat dari penggambaran perempuan ideal Jawa, yang disampaikan
oleh Hariwijaya (2004) berikut ini :
Seorang isteri yang dapat disebut berhasil dalam perkawinan adalah seorang perempuan yang pasrah
terhadap apa saja yang terjadi pada dirinya. Walaupun dimadu, seorang isteri hendaknya dapat
memelihara dirinya agar tetap cantik, bertingkah laku manis, penuh pengabdian, berbakti, setia dan
taat kepada suaminya. 8
Ukuran perempuan ideal ini bersumber pada lima isteri Arjuna. Lima perempuan ini
digambarkan memiliki kelebihannya masing-masing. Para tokoh perempuan ini menjadi
panutan ideal karena dianggap sebagai perempuan yang memiliki kecantikan lahir batin,
membela kebenaran dan keadilan dan terutama adalah kesetiaan dalam mendampingi
suami meskipun dimadu.9 Berdasarkan idealitas perempuan Jawa yang bersedia dimadu,
dapat dilihat bahwa dalam budaya Jawapun praktek poligami telah dilakukan dan bahkan
menjadi sebuah ukuran ideal seorang perempuan sebagai isteri.
b. Sejarah Poligami dalam berbagai Agama
Berikut beberapa sejarah praktek poligami dalam beberapa tradisi agama yang ada dan
berkembang di dunia.
1) Agama Hindu
Hukum perkawinan agama Hindu tidak membatasi jumlah isteri yang boleh dikawini
seorang laki-laki. Kitab Mahabarata dan Ramayana menggambarkan situasi
masyarakat dan kerajaan-kerajaan lama di India yang bergelimang dengan kehidupan
poligamis. Dalam kitab Mahabarata, banyak tokoh Pandawa dan Kurawa yang
digambarkan melaksanakan praktek poligami. Dalam kitab Ramayana juga
digambarkan bahwa Raja Ayodya, Prabu Dastrarata mempunyai tiga orang isteri yang
7
http:/swaramuslim.com/more.php?id=2188_0_1_0_M, diakses tgl. 6 Maret 2006
Hariwijaya, Seks Jawa Klasik, Yogyakarta, Niagara, 2004, p. 66 (selanjutnya disebut Hariwijaya)
9
Hariwijaya, p. 65
8
4
masing-masing memiliki putra yang nantinya para putra ini akan menentukan pewaris
kerajaan Ayodya.10
2) Agama Yahudi
Dalam Perjanjian Lama memang tidak ada ayat yang memperbolehkan atau juga
melawan praktek poligami. Namun, beberapa tokoh dalam Perjanjian Lama disebutsebut melaksanakan praktek poligami. Beberapa diantaranya adalah Abraham yang
memiliki lebih dari dua orang isteri, Yakub juga melaksanakan poligami, bahkan dia
berpoligami dengan dua orang perempuan kakak-beradik dan dua orang budak
isterinya. Selain itu, disebut pula bahwa Raja Daud memiliki seratus orang isteri dan
raja Sulaiman (Salomo) melakukan akad nikah sebanyak 700 kali dengan isteriisterinya, sedang ia memiliki 300 orang selir disamping para isterinya. Pendeknya,
poligami adalah sistem perkawinan yang sangat lumrah dijalankan bahkan oleh para
nabi Yahudi. Praktek poligami ini terus dilakukan oleh orang Yahudi sampai abad
ke11.11
3) Agama Kristen
Para pengajar Kristen awal tidak merasa perlu menyalahkan poligami, karena poligami
adalah kebiasaan yang sudah terjadi di kalangan masyarakat tempat agama Kristen itu
disebarkan. Tidak ada satupun dewan gereja pada abad permulaan yang menyalahkan
poligami. Sebaliknya, banyak tokoh Kristen membicarakannya dengan penuh
toleransi. Misalnya Santo Agustinus atau Luther yang menyetujui perkawinan
poligami yang dilakukan oleh Philip Hesse. Sampai Abad XVI, beberapa reformis
Jerman menerima sahnya pemberkatan nikah yang kedua bahkan yang ketiga. Pada
tahun 1650, beberapa tokoh Kristen memutuskan bahwa setiap laki-laki hanya
diijinkan menikah dengan dua orang perempuan.12
Namun dalam perkembangannya, Kekristenan kemudian mengesahkan monogami
mutlak sebagai perkawinan yang ideal dan melarang praktek poligami. Praktek ajaran
monogami dalam agama Kristen ini sesungguhnya tidak ada dasar perintahnya. Karena
10
http:/swaramuslim.com/more.php?id=2188_0_1_0_M, diakses tgl. 6 Maret 2006
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, Jogjakarta, Fajar
Pustaka Baru, 2002, p. 146 (selanjutnya disebut A. Jawad)
12
Haifaa A. Jawad, p. 148
11
5
Injil tidak secara eksplisit melarang poligami atau memerintahkan untuk monogami13.
Demikian juga dengan Yesus, karena Ia tidak menikah sepanjang hidupNya, tidak ada
teladan untuk monogami atau poligami. Karena Ia tidak melaksanakan baik praktek
monogami atau poligami.14
4) Poligami di Masa Jahiliyah (Pra-Islam)
Demikian pula yang terjadi di Arab pra-Islam, poligami adalah sebuah praktek yang
umum dilakukan. Seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan berapapun jumlah
istri tanpa batasan. Tidak adanya aturan dan batasan dalam praktek poligami saat itu
menyebabkan hanya pihak suami yang bisa menentukan isteri mana yang paling
dicintai dan istri mana yang paling diperhatikan. Isteri-isteri yang dinikahi juga boleh
berasal dari mana saja, termasuk perempuan yang bersaudara yang dinikahi bersamasama. Jumlah istri yang tidak terbatas ini adalah sebuah kompensasi dari kurangnya
jumlah laki-laki yang disebabkan pengurangan jumlah laki-laki sesudah peperangan
antar suku yang sering terjadi. Dari pada hidup tanpa suami yang berarti tanpa
perlindungan di tengah-tengah peperangan, isteri-isteri ini harus menerima saja
nasibnya tanpa keberatan apapun. Demikianlah keadaan jazirah Arab saat kelahiran
Islam, poligami sudah membudaya dengan mapan tanpa aturan atau batasan yang
jelas.15
Dari uraian sejarah poligami diatas, ternyata ada agama dan kebudayaan yang menganut
praktek poligami yang tidak terbatas pada apapun, laki-laki bisa memiliki berapapun isteri
yang ia suka. Namun di sisi lain, dapat dikatakan bahwa ajaran Kristen memang lebih
bersifat monogamis dibandingkan dengan agama lain. Meski demikian, perlu ditekankan
bahwa agama Kristen tidak pernah mengenalkan monogami ke dalam dunia barat dan juga
tidak pernah memperkuatnya karena kebutuhan reformasi sosial. Karena monogami sudah
dipraktekkan dalam budaya barat sebelum agama Kristen diperkenalkan. Hal ini didukung
kuat oleh fakta bahwa agama Kristen dulu mengakar di kelas-kelas merdeka yang tidak
terlalu kaya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu berpoligami karena
13
Penyusun tidak setuju dengan pendapat ini, memang tidak ada dasar Alkitabiah yang melarang praktek poligami
namun Alkitab cenderung menganjurkan monogami sebagai sistem perkawinan yang paling ideal.
(Lih. Mrk 10:2-13, Mat 5:1-32;19:2-12 dan Luk 16:18)
14
Bibit Suprapto, p.126
15
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, Jogjakarta, IRCiSoD,
2003, p.134 (Selanjutnya disebut Ali Engineer, Matinya Perempuan)
6
terbatasnya kemampuan finansial, kemudian sistem pernikahan monogami dibuat.16
Sampai saat ini hukum gereja dalam keristenan menganut monogami dan menolak praktek
poligami. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada dua kutub dalam sejarah praktek poligami.
Ada yang menganut praktek poligami tanpa batas dan ada juga yang menolak sama sekali
praktek poligami.
c. Poligami dalam Islam
Dengan datangnya Islam, konsep poligami jahiliyah didefinisikan ulang sampai keakarakarnya. Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi paling banyak empat orang
saja. Lebih dari itu, beberapa bentuk poligami yang lazim berlaku di Arabia dilarang oleh
Islam. Misalnya, Islam melarang kebiasaan menikahi dua orang perempuan yang
bersaudara secara bersamaan atau menikahi seorang perempuan bersamaan dengan
bibinya secara bersamaan. Ayat yang memperbolehkan poligami adalah An Nisa : 3 yang
seringkali ditafsirkan bersama An Nisa 129. Kedua ayat ini diwahyukan kepada Nabi
SAW setelah perang Uhud yang menewaskan banyak laki-laki muslim. Perang ini
mengakibatkan meningkatnya jumlah anak yatim dan para janda yang harus dilindungi
oleh laki-laki.17
Melalui dua ayat ini, Islam mengatasi dua kutub praktek poligami dalam agama dan
budaya pra-Islam. Islam datang dengan lebih moderat dan lebih manusiawi, tidak terlalu
bebas tapi juga tidak melarang praktek poligami. Islam tidak membela salah satu kutub
yang ada, namun mengambil posisi diantara keduanya. Tidak membela poligami bebas,
tapi juga tidak mengharuskan monogami mutlak. Pada dasarnya, Islam menganut
monogami namun Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki untuk
memiliki isteri lebih dari satu. Islam memperbolehkan laki-laki untuk berpoligami sebagai
alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi masalah penyaluran nafsu syahwat laki-laki
atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya, agar ia tidak sampai jatuh
ke dalam perzinahan atau pelacuran yang jelas-jelas diharamkan oleh agama. Pada intinya,
praktek poligami adalah alternatif yang diberikan Islam bagi laki-laki yang tidak puas
dengan satu isteri karena berbagai macam sebab. Poligami yang dihalalkan oleh Islam
akan menghindarkan umat muslim dari lembah perzinahan dan pelacuran.18
16
A. Jawad, p. 148
sda
18
Bibit Suprapto, p.133-135
17
7
Namun, ternyata tidak semua umat Muslim menyetujui praktek poligami. Ada pihak-pihak
yang berusaha memperketat pelaksanaan praktek poligami dengan menyatakan bahwa
syarat-syarat yang diberikan Islam untuk berpoligami adalah syarat yang sangat berat dan
sulit untuk dilakukan. Lebih dari itu, ada juga pihak yang bertujuan untuk menghapuskan
ketentuan poligami dalam Islam. Argumen yang dikemukakan adalah karena poligami
dianggap tidak manusiawi dan bahwa poligami adalah sebuah praktek penindasan
terhadap perempuan. Jadi. dapat dilihat bahwa ternyata ada kontroversi yang terjadi dalam
Islam, dimana masing-masing pihak memiliki berbagai latar belakang dan argumentasi
yang mendasari sikap dan pandangan mereka terhadap poligami. Salah satu pihak yang
terlibat dalam kontroversi ini adalah kaum feminis Islam.
3. Poligami dalam Undang-undang Indonesia.19
Poligami tidak hanya terdapat dalam berbagai budaya dan agama, namun juga terdapat dalam
Undang-undang Negara Indonesia, yakni UU Nomor I Tahun 1979, yang mengatur masalah
perkawinan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat suku bangsa,
asal-usul maupun agama yang dipeluknya. Undang-undang ini juga tidak melihat warga asli
atau keturunan asing, Undang-undang ini menjamin suatu unifikasi atau keseragaman dalam
hal perkawinan di Indonesia. Undang-undang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun1983.
Pada dasarnya, Undang-undang di Indonesia menganut asas monogami, seorang laki-laki
hanya memiliki satu orang isteri dan seorang isteri hanya memiliki satu orang suami. Tetapi
undang-undang ini masih tetap mentolerir laki-laki yang hendak melaksanakan poligami,
berarti Undang-undang Negara ini memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk beristeri
lebih dari seorang dengan syarat-syarat tertentu.20 Tentu saja perundang-undangan ini berarti
juga mendukung salah satu pihak dalam kontroversi mengenai praktek poligami yang ada.
Penjelasan mengenai rincian dan analisis terhadap Undang-undang tersebut akan dibahas
dalam Bab selanjutnya.
B. Fokus Masalah
19
Undang-undang Negara Indonesia yang dibahas dalam bagian ini adalah sebagai pengantar bagi Bab-bab
selanjutnya yang akan membahas poligami dalam Undang-undang Negara dengan lebih mendetil.
20
Bibit Suprapto, p. 152
8
Dari latar belakang diatas, tidak bisa diingkari bahwa ada pro-kontra di seputar praktek
poligami, yang merupakan sebuah diskusi aktual yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam
Islam dan juga didukung oleh Undang-undang Negara Indonesia. Diskusi mengenai poligami
penuh kontroversi menarik dan tidak pernah berhenti. Karenanya penyusun merasa perlu
membuat kajian yang membahas mengenai poligami dalam Islam dan membahasnya dengan
menggunakan perspektif feminis Islam dan mencoba memahami bagaimana pihak-pihak
dalam Islam melihat dan bergumul dalam masalah praktek poligami itu sendiri. Perspektif
feminis Islam21 menarik bagi penyusun, karena ternyata terjadi pula kontroversi dan
perdebatan sengit mengenai ada tidaknya feminisme di dalam Islam. Ada pihak yang
menyatakan bahwa feminisme dalam Islam ada dan berkembang untuk memperjuangkan
keadilan gender dalam Islam melalui rekonstruksi terhadap penafsiran hukum Islam. Namun
di pihak lain terjadi juga penolakan keras terhadap feminisme, hal ini didasarkan anggapan
bahwa feminisme adalah produk barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang telah adil
gender dan bahwa tidak ada ketidakadilan gender didalam Islam.
Karena itu, fokus tulisan ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut. Yang pertama,
bagaimana kontroversi mengenai praktek poligami yang memuat berbagai pandangan dapat
dipetakan dan dimanakah posisi Undang-undang di Indonesia dalam kontroversi yang ada.
Setelah pertanyaan diatas ditemukan jawabannya, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan
kedua yaitu bagaimana tinjauan perspektif feminis Islam terhadap kontroversi yang
berkembang di seputar praktek poligami. Berbagai tinjauan dari perspektif feminis ini akan
disistematisasi dengan harapan dapat ditemukan apakah arti dari ketentuan poligami menurut
perspektif feminis Islam. Tinjauan feminis Islam ini tidak hanya diberlakukan pada ketentuan
poligami dalam Islam, namun juga terhadap Undang-undang di Indonesia.
Berdasar jawaban dari dua pertanyaan diatas, penyusun berharap untuk dapat menyimpulkan,
apakah perspektif feminis Islam memang memandang poligami sebagai salah satu produk
Islam yang didukung Undang-undang untuk melanggengkan budaya patriarki. Jika tidak
demikian, lalu apakah makna dari diperbolehkannya poligami menurut feminis Islam. Dari
tinjauan perspektif feminis Islam terhadap kontroversi yang ada, dapat pula ditemukan
21
Penggunaan perspektif ini adalah salah satu cara kerja antropologi yang disebut emic yang menekankan
interpretasi peneliti dari pengalaman asli kelompok tertentu. Perspektif ini digunakan oleh penyusun berdasar pada
diskusi yang dilakukan dengan Farsijana Adeney-Risakkota seorang antropolog yang bersedia membantu penyusun
dalam penulisan skirpsi ini.
Lih, Farsijana Adeney-Risakkota, Politics, Ritual, Identity in Indonesia a Moluccan History of Religion and Social
Conflict, Disertasi, Belanda, Radbond Universiteit van Nijmegen, 2005
9
jawaban dari pertanyaan apakah Islam adalah salah satu lembaga yang melanggengkan
ketidakadilan terhadap perempuan. Dari sini, diharapkan teologi feminis Kristen dapat
berefleksi dari kontroversi yang ada dalam wacana poligami dan dapat mengambil pelajaran
dari apa yang telah dilakukan kaum feminis Islam dalam meninjau poligami, sehingga
akhirnya dapat membangun teologi yang adil terhadap perempuan.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan fokus tulisan di atas, didapatkan beberapa hal yang menjadi tujuan penulisan
dalam skripsi ini :
1. Memetakan kontroversi yang ada pada wacana poligami dan bagaimana Undang-undang
di Indonesia ikut terlibat dalam kontroversi yang ada.
2. Melihat dan menstrukturkan tinjauan feminis Islam terhadap tiap komponen yang terlibat
dalam kontroversi yang ada mengenai praktek poligami. Sehingga didapatkan kesimpulan,
apa makna praktek poligami yang dihalalkan dalam Islam menurut feminis Islam.
3. Dari dua hal diatas diharapkan dapat ditemukan bagaimana sikap Islam terhadap
perempuan. Darinya akan ditarik sebuah refleksi oleh Kekristenan, agar muncul sebuah
teologi antar agama yang adil kepada perempuan.
Penyusun menyadari bahwa upaya untuk mendapatkan teologi yang adil gender belum berarti
perempuan mendapatkan keadilan seutuhnya. Karena meninjau kembali atau mengubah
tataran gender dalam masyarakat bukan perkara mudah dan sederhana. Karena upaya ini
secara psikologis berkaitan dengan pembongkaran dan pencabutan sistem nilai dan perilaku
yang sudah terinternalisasi serta berakar dalam diri masyarakat, baik laki – laki maupun
perempuan.22 Karena itu, mungkin tulisan ini tidak mampu untuk mengubah tatanan gender
yang ada. Namun, paling tidak melalui tulisan ini didapatkan deskripsi kritis dari refleksi
perjuangan para teolog feminis yang berjuang untuk melawan ketidakadilan terhadap
perempuan.
D. Batasan Penulisan
Telah disebutkan bahwa praktek dan wacana poligami memang sudah ada dan berkembang
dalam berbagai kebudayaan dan agama, jauh sebelum Islam lahir. Agama dan budaya ini
22
Wardah Hafidz, “Pola Relasi Gender dan Permasalahannya“, dalam Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif
Gender, Yogyakarta, Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta bekerjasama dengan OXFAM UK/I, 1997, p. 25
(selanjutnya disebut Wadah Hafidz)
10
memiliki bentuk dan pandangannya sendiri mengenai praktek poligami. Namun, poligami
yang dimaksud dan dibahas dalam tulisan ini adalah wacana dan praktek yang berkembang
dan ada dalam Islam sebagai sebuah institusi Agama. Dalam tulisan ini, perspektif feminis
Islam adalah perspektif utama dalam meninjau poligami Islam sebab memiliki dinamika
dalam pergumulannya menjawab isu poligami.
Dengan mengutip Margot Bardan, Yunahar Ilyas menggolongkan tokoh-tokoh sebagai
feminis Islam dengan mempertimbangkan tiga karakteristik,23 yaitu :
a. Kesadaran gender.
Mereka yang memiliki kesadaran gender dan memperjuangkan penghapusan
ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, sebagaimana menjadi benang
merah yang mengikat semua paham dan gerakan feminisme.
b. Agama Islam
Mereka yang beragama Islam atau yang paling kurang datang dari lingkungan dunia
Islam, yang mempersoalkan ajaran Islam. Baik dari sisi normativitas atau terutama dari
sisi historisitasnya.
c. Mereka berjenis kelamin perempuan
Dalam hal jenis kelamin perempuan, Ilyas tidak sependapat dengan Margot Bardan, karena
Ilyas tidak mensyaratkan feminis sebagai seorang perempuan. Banyak pula laki-laki yang
menjadi feminis seperti Asghar Ali Engineer dari India, asal dua kriteria sebelumnya dapat
dipenuhi.24 Namun, jika ada feminis yang beragama Islam yang tidak mempersoalkan ajaran
Islam baik normatif ataupun historis, tidak digolongkan sebagai feminis Islam. Mungkin saja
para pemikir ini termasuk golongan feminisme liberal, radikal, Marxis, sosialis atau aliran
feminis lainnya yang tidak termasuk feminis Islam. Jadi, tulisan ini tidak meninjau poligami
dari perspektif feminis Kristen atau barat, karena hal ini mengakibatkan ketidakadilan dalam
menilai praktek poligami. Pembatasan ini akan digunakan untuk memilih sumber-sumber
bacaan dan juga nara sumber yang diwawancarai.
Perspektif feminis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pandangan yang menaruh perhatian
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan keberadaan, status dan peran perempuan.
Tulisan ini menggunakan perspektif feminis dan bukan perspektif perempuan, karena
23
Drs. H. Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer, Jogjakarta, Pustaka
Pelajar, 1997, p.55 (selanjutnya disebut Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan
Kontemporer)
24
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer, p. 55
11
perspektif feminis tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan saja tetapi karena ada pula lakilaki yang memiliki keprihatinan yang sama, meski berbeda porsi dan pengalamannya. Hal ini
dapat terjadi karena masih ada perempuan yang masih memiliki pandangan yang sangat
patriakal dan sebaliknya cukup banyak laki-laki yang mulai memperhatikan keprihatinan
feminis.25 Di dalam pembahasan tentang isu poligami, tidak bisa dihindarkan untuk juga
membahas mengenai hukum – hukum yang mengatur mengenai poligami. Hukum – hukum
yang ditafsirkan baik oleh pihak-pihak yang berkontroversi dan juga tafsiran dari perspektif
feminis Islam. Tulisan ini bukan sekedar teori-teori pembahasan mengenai hukum-hukum
tersebut, melainkan akan dipaparkan berbagai macam interpretasi perspektif feminis terhadap
hukum-hukum tersebut.
E. Judul dan alasan Pemilihan Judul
Berdasarkan uraian di atas, penyusun mengajukan judul :
Tinjauan Feminis Islam terhadap Kontroversi Praktek Poligami
Alasan pemilihan Judul :
1. Wacana perempuan dan isu gender adalah topik yang senantiasa menarik dan popular
untuk diperbincangkan dan dikaji. Selain itu, masalah kemitraan antara laki – laki dan
perempuan juga senantiasa berkembang dinamis. Dalam tataran realitas sosial – kultural –
agama, antara laki – laki dan perempuan senantiasa terjadi ketidakadilan gender. Poligami
adalah salah satu isu dalam Islam yang dinilai mengandung ketidakadilan gender.
Mungkin bukan kapasitas penyusun untuk mengupas masalah poligami dari sudut teologi
Islam, namun dengan mengkaji poligami dari perspektif feminis diharapkan dapat
ditemukan sesuatu yang baru dalam tulisan ini.
2. Fakta kehidupan dalam masyarakat kita adalah adanya sejarah panjang dominasi laki –
laki atas perempuan dalam sebagian besar sektor yang dibangun. Sebuah tatanan dimana
laki – laki ditempatkan sebagai pihak superior (kuat) di hadapan perempuan yang inferior
(lemah). Pertanyaan yang muncul di benak penyusun apakah dapat dibenarkan dengan
alasan seperti ini laki – laki dapat melakukan poligami dengan memiliki lebih dari seorang
perempuan menjadi isterinya. Ini merupakan salah satu alasan Judul tersebut ditetapkan.
3. Judul ini akan berusaha memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan besar, bagaimanakah
tinjauan feminis Islam terhadap kontroversi mengenai praktek poligami.
25
Pdt. Augustien Kapahang-Kaunang, “Berteologi Kontekstual dari Perspektif Feminis” dalam Perempuan
Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks, disunting oleh Asnath Niwa Natar, Yogyakarta, Pusat Studi Feminis
Fakultas Teologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004, p.27
12
F. Metodologi
Metode penulisan yang digunakan untuk mengolah data adalah deskriptif analitis. Penelitian
yang ada dalam tulisan ini bersifat kepustakaan, karena sumber datanya didapatkan dari
berbagai data literer. Data ini berasal dari berbagai macam buku sebagai sumber primer dan
juga dari berbagai artikel penunjang. Selain buku dan artikel sebagai sumber tertulis,
penyusun juga melakukan wawancara untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam
penulisan skripsi ini. Wawancara dilakukan dengan para feminis Islam sebagai nara sumber26,
dengan tujuan agar didapat pula pendapat kaum muslimat saat ini mengenai poligami.
Pemilihan nara sumber ini sesuai dengan Batasan Penulisan (poin E) mengenai batasan
feminis Islam. Adapun daftar pertanyaan dan laporan wawancara terhadap setiap nara sumber,
dilampirkan di bagian akhir skripsi ini.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara induktif dan
komparatif. Induktif digunakan untuk memperoleh gambaran utuh mengenai pandangan dari
berbagai pihak yang berkontroversi tentang beberapa argumentasi yang diajukan untuk
mendukung
praktek
poligami.
Sedangkan,
metode
komparatif
digunakan
untuk
membandingkan dan memetakan berbagai pandangan dalam kontroversi poligami. Dan dalam
kontroversi yang ada dan berkembang inilah, perspektif feminis juga memberikan analisisnya.
G. Sistematika Penulisan
Bab I : PENDAHULUAN
26
Nara sumber yang diwawancarai adalah :
1. Dra. Umi Mahmudah, M.Pd,
Dosen Pengajar Mata Kuliah Sastra Arab di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Malang.
Saat ini, beliau tengah menempuh pendidikan Pasca Sarjana bergelar Doktor dalam bidang Teknologi Pendidikan
di Universitas Negeri Malang. Sebelum memulai studi pasca sarjananya, beliau aktif di Pusat Studi Gender UIN
Malang
2. Dra. Lilik Nurcholida, M.Ag ,
Dosen Pengajar Pendidikan Agama Islam di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, selain menjadi dosen
pengajar, beliau juga menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Malang.
3. Dra. Pratiwi Retnaningdyah, M.Hum
Sekretaris Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Surabaya. Mengambil Pasca Sarjana di Texas University-San
Marcos Amerika Serikat.
4. Dra. Rr. Nanik Setyowati, M.Si
Dosen Pengajar Jurusan Pendidikan Moral Pancasila-Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Surabaya yang mengajar mata kuliah Hukum Islam,Hubungan Internasional, Psikologi Sosial, Etika, Pendidikan
Budi Pekerti dan lain-lain. Beliau adalah aktivis gender yang sering memberikan ceramah kepada kaum
muslimat, khususnya ceramah yang berkaitan dengan praktek ketidakadilan gender. Beliau juga salah satu
personel dari tim khusus yang mendaratkan konsep Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang telah
disahkan.
13
Bab ini berisi deskripsi umum mengenai poligami, termasuk pengertian istilah
poligami dan sejarah praktek poligami dalam berbagai kebudayaan dan agama.
Selain itu dijelaskan pula fokus, tujuan dan batasan masalah sehingga didapatkan
sebuah judul yang dapat merepresentasikan hal-hal tersebut. Kemudian dijelaskan
pula metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.
Bab II : PETA KONTROVERSI POLIGAMI DAN HUKUM DI INDONESIA
Bab ini berusaha memetakan kontroversi yang terjadi dalam wacana poligami.
Didalamnya akan diterangkan bahwa ada dua pihak yang saling bertentangan dalam
menyikapi poligami. Dalam Bab ini akan dijelaskan siapa pihak-pihak yang
berkontroversi dan apa saja argumentasi yang diberikan berdasar tafsiran ketentuan
poligami dalam Islam oleh masing-masing pihak. Dari sini dapat disimpulkan apa
akar masalah yang mendasari kontroversi yang terjadi.
Selain itu, dipaparkan pula Undang-undang Indonesia yang juga mengatur mengenai
praktek poligami dan bagaimanakah posisi negara dalam kontroversi yang ada.
Bab III : TINJAUAN FEMINIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK POLIGAMI DAN
HUKUM NEGARA
Sebelum memaparkan dan menstrukturkan berbagai macam pendapat para feminis
Islam yang berkaitan dengan poligami, Bab ini mendeskripsikan interaksi
feminisme dengan Islam. Interaksi feminisme dengan Islam ternyata tidak berjalan
dengan mulus, karena ternyata terdapat pro-kontra pula mengenai teologi feminis
Islam sendiri. Dalam Sub Bab ini, penyusun memutuskan untuk menggunakan
perspektif feminis Islam yang ternyata ada dan berkembang sebagai respon terhadap
isu gender.
Kemudian dipaparkan dan distrukturkan berbagai pandangan dari tokoh-tokoh
feminis Islam. Tokoh-tokoh yang dikutip pendapatnya dipilih berdasarkan Batasan
Masalah (Bab I poin E) mengenai batasan feminis Islam. Yang ditinjau oleh feminis
Islam adalah argumentasi yang berkembang dalam kontroversi mengenai poligami
yang telah dibahas sebelumnya. Argumentasi yang ditinjau dari perspektif feminis
adalah dasar teologis yang mendasari ketentuan poligami dan alasan-alasan yang
dikemukakan untuk melegitimasi praktek poligami. Dari sini kemudian dapat
disimpulkan bagaimana tinjauan feminis Islam terhadap wacana poligami.
14
Setelah itu, dipaparkan pula berbagai tinjauan feminis Islam terhadap Hukum
Negara Indonesia yang dinilai terlibat dan cenderung mendukung pelaksanaan
praktek poligami. Keterlibatan negara inilah yang dipandang sebagai ketidakadilan
dan kekerasan yang dilakukan negara terhadap perempuan.
Bab IV : REFLEKSI TEOLOGIS
Bab ini berisi analisis dan refleksi yang dapat ditarik oleh kekristenan dari uraian
dalam Bab-bab terdahulu. Hal ini dilakukan dengan harapan agar ditemukan teologi
yang adil terhadap perempuan.
Bab V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang didapatkan penyusun dari uraian dan
analisis yang dilakukan dalam tiap Bab yang ada.
Download