Bab I A. Latar Belakang Masalah Di dalam perkembangan kehidupannya, manusia dengan sendirinya dituntut untuk berjuang mengatasi rintangan dan penderitaan yang muncul dalam kehidupan. Manusia juga harus bersaing dalam kehidupan karena kepentingan dan kebutuhan mereka saling berlawan atau berbeda satu dengan yang lainnya. Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa hidup manusia selalu diselimuti oleh berbagai keinginan yang beragam dan berbeda. Keinginan tersebut kadang menentukan derajat manusia dengan sesamanya, manusia tidak dapat menyempurnakan diri tanpa keberhasilannya untuk memenuhi keinginannya dan biasanya keinginan itu menjiwai kehidupan dan segala perbuatan manusia. Kekuasan sebagai bagian dari tindakan manusia oleh Hannah Arendt digambarankan secara fenomenologis mengenai kekuasaan. Baginya kekuasaan (power) harus dibedakan dengan kekerasan (violence), kekuatan (strength), pemaksaan (force), dan otoritas (otority) (Hannah Arendt, 1969, 35). Di antara keinginan-keinginan manusia yang tidak terbatas banyaknya, yang paling penting adalah keinginan mendapatkan kekuasaan dan keagungan (Russell, 1975, 8). Selama ini kekuasaan selalu dianggap “kotor”. Hal ini bisa saja benar karena kecenderungan masyarakat yang melihat kekuasaan selalu bersifat membelenggu dan membatasi kelompok yang dikuasai untuk dapat berkuasa seperti kelompok penguasanya. Kekuasaan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengemudikan orang lain. Kemampuan tersebut selalu dilakukan untuk mencapai maksud yang diinginkan oleh pihak yang memiliki kemampuan tersebut (Gie,1981,31). Kekuasaan selalu erat dengan pendekatan sosial-politik. Akhir-akhir ini banyak terlihat pergolakan-pergolakan sistem sosial-politik yang tidak sedikit disebabkan oleh tumpang tindihnya kekuasaan dalam negara atau kelompok tertentu. Secara garis besar, pijakan yang digunakan sebagai acuan dalam bagi penelitian ini adalah tidak dapat terpisahnya kekuasaan dan politik dalam pandangan masyarakat yang memberikan gambaran bahwa kekuasaan selalu bersifat personal dan tidak melihat kepentingan orang banyak. Hanya melihat kekuasaan sebagai ajang gagahgagahan dalam menjalankan suatu sistem. Adanya berbagai penjelmaan kekuasaan yang berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat yang mendorong untuk berkuasa atau menjadi penguasa tanpa mengenal batas. Menurut Johan Galtung yang dikutip oleh I. Marsana Windhu, ada dua jenis dimensi kekuasaan, yaitu pertama, kekuasaan atas diri sendiri atau otonomi, yaitu kemampuan menentukan tujuan-tujuan bagi dirinya dan mengerjakan tujuan itu. Kedua, kekuasaan atas orang lain sebagai lawan dari otonomi. Dimensi kekuasaan ini berusaha memaksakan kepentingan dan pengaruhnya pada orang lain (Windhu,1992; 32). Masyarakat saat ini cenderung memiliki kekurangan dalam minat membaca, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk memilih film sebagai bahan penelitian ini. Film dianggap mampu memberikan visualisasi secara lebih mudah daripada membaca novel. Novel terjemahan terkadang tidak bisa kita mengerti hanya dengan membacanya sekali. Film dianggap memudahkan dalam pembacaan plot cerita yang di dalam novel biasanya lebih terasa rumit dimengerti. Analisa filosofis, kini dapat diperoleh melalui analisis terhadap film. Pada dasarnya film merupakan sarana multimedia yang juga memiliki pengaruh yang sangat efektif dalam perenungan filosofis. Film pada kasus tertentu sangat membantu memberi gambaran atas persoalan filosofis yang yang umum atau abstrak. Menurut Ariek Nur Rahman yang dikutif dalam skripsi Fedi Dwiantoro disebutkan jika ada beberapa hal dalam film yang membuatnya menjadi media perenungan filosofis. Pertama film mampu menyingkap pergulatan batin eksistensial tersembunyi manusia dalam dunia yang spesifik. Kedua, bahasa film bukanlah bahasa konsep, melainkan bahasa pengalaman, maka ia tidak hanya menantang pikiran tetapi terutama merangsang partisipasi sang penonton untuk mengalaminya. Ketiga, terutama dalam film fiksi ilmiah, film mampu membukakan kemungkinan baru untuk memahami realitas saat ini maupun masa depan secara grafis, kreatif dan imajinatif (Fedi Dwiantoro,2012,3). Untuk melihat bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern saat ini dapat kita lihat dalam film The Godfather. The Godfather merupakan film yang menonjolkan sisi kekuasaan dalam hal korporasi bisnis keluarga yang berlatarkan konflik keluarga mafia migran dari Italia yang bergerak dalam bisnis di amerika tahun 1940an. Film tersebut dapat menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk kekuasaan yang didasarkan pada kekuasaan ekonomi dan kekuasaan jaringan politik sebagai bentuk kekuasaan strategis untuk menjaga stabilitas nama keluarga. Dipilihnya film ini karena dapat memberikan contoh gambaran untuk mengkaji kekuasaan yang terjadi pada masyarakat kontemporer saat ini. Kekuasaan mungkin selalu dikaitkan dengan sisi negatifnya karena cenderung berkutat pada persoalan penggunaan kekuasaan itu secara otoriter dan berlebihan sehingga memunculkan apatisme tentang pembahasan kekuasaan. Film The Godfather (1972) arahan Francis Ford Coppola diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Mario Puzo. Film ini dianggap banyak pengamat sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Film ini sukses meraih tiga Oscar dari sepuluh yang dinominasikan yakni, film terbaik, aktor utama, dan naskah adaptasi terbaik. Pada masa rilisnya The Godfather juga menjadi film terlaris sepanjang tahun dengan pemasukan kotor, 134 juta US$. Sukses film ini juga memicu produksi sekuelnya, The Godfather Part II (1974) yang kurang lebih sama suksesnya. Film The Godfather Part III dibuat pada tahun 1990 yang jarak pembuatannya sangat jauh dari sekuel film sebelumnya yang dibuat pada tahun 1974. Film The Godfather Part III memiliki cerita yang jauh berbeda, karena sudah mulai meceritakan kemerosotan keluarga Corleone yang dipimpin oleh anak dari Michael atau generasi ketiga keluarga Corleone. Ketiga bagian film The Godfather memiliki kerumitan cerita masing-masing. Part I menggambarkan kejayaan keluarga Corleone dengan berbagai bentuk usaha dan kerjasama dengan keluarga mafia lain di New York. Sedangkan part II dan part III hanya menggambarkan bentuk untuk mempertahankan kejayaan keluarga Corleone sepeninggal kepala keluarganya. Film The Godfather I memberikan penggamabaran tentang pembangunan bisnis keluarga hingga masa transisi ke arah pergantian kepala keluarga yang juga pergantian bentuk kekuasaan yang dibangun. Peneliti ingin mencoba bagaimana kemudian film The Godfather diteliti menggunakan pemikiran Hannah Arendt. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji yakni sebagai berikut : A.Apa kritik Hannah Arendt terhadap kekuasaan ? B. Apa konsep kekuasaan dalam film The Godfather ? C.Bagaimana konsep kekuasaan film The Godfather bila ditinjau menurut perspektif Hannah Arendt? 2. Keaslian Penelitian Sejauh yang diketahui dan ditelusuri,penulis belum menemukan adanya penelitian yang membahas tentang konsep kekuasaan dalam film The Godfather ditinjau dari konsep kekuasaan Hannah Arendt di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, melainkan ada beberapa penelitian dalam format skripsi, tesis, maupun jurnal yang membahas tentang kekuasaan, The Godfather dan Hannah Arendt : a. Salam, Badrus. 1992. Konsep Kekuasaan Manusia menurut Bertrand Russell; Telaah Arti Psikologis dan Arti Sosiologis. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. b. Santosa, Heri. 1994. Dimensi Kekuasaan dalam Ilmu dan Teknologi menurut Herbert Marcuse. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. c. Patrianti, Kristi Noor. 1991. Makna Kekuasaan dalam Filsafat Sosial Politik Bertrand Russell. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. d. Donbosko, Yohanes. 1995. Rasionalisasi Kekuasaan sebagai Kerja Habermas Membangun Demokrasi Massa. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. e. Rohmawati, Ari. 2010. Makna Kebebasan dalam Perspektif Filsafat Politik Hannah Arendt. Tesis Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. f. Veranita Indah, Astrid. 2012. Jatidiri Manusia dalam Filsafat Tindakan Hannah Arendt Perspektif Filsafat Manusia; Relevansinya dengan Pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 di Indonesia. Tesis Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. g. Daru Kuncara, Singgih. 2013. Analisis Terjemahan Tindak Tutur pada Novel The Godfather dan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Program Pascasarjana Linguistik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan beberapa penelitian lain, perbedaannya terletak pada penggunaan film sebagai obyek material yang kemudian menjadikan pandangan tentang kekuasaan Hannah Arendt sebagai obyek formal. Penulis berani mengutarakan bahwa analisis pembahasan dalam penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. 3. Manfaat yang diharapkan Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi : a. Bagi peneliti Diharapkan penelitian ini menambah kemampuan peneliti untuk menulis secara ilmiah dan memberi pemahaman baru tentang analisis terhadap karya seni film The Godfather dengan teori kekuasaan Hannah Arendt. b. Bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang analisa filosofis memalui sebuah karya seni yakni film. Penelitian ini diharapkan dapat menambah perspektif baru tentang konsep kekuasaan yang ada di dalam film The Godfather dan juga menambah perbendaharaan informasi tentang kajian teori kekuasaan Hannah Arendt. B. Tujuan penelitian Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini kemudian bertujuan untuk menjawab persoalan yang terdapat dalam rumusan masalah diatas,yaitu : 1. Memaparkan tentang deskripsi film The Godfather karya Francis Ford Coppola kemudian menarik analisa dan kritik tentang konsep kekuasaan yang terdapat dalam film The Godfather 2. Menganalisis konsep kekuasaan yang terdapat dalam film The Godfather yang kemudian ditinjau melalui perspektif kekuasaan Hannah Arendt. 3. Merefleksikan konsep kekuasaan dalam film The Godfather yang ditinjau melalui perspektif kekuasaan Hannah Arendt, terkait dengan kondisi pergolakan sosial politik dewasa ini. C. Tinjauan pustaka Muhammad Asa di dalam penelitiannya menjelaskan bagaimana film dapat dijadikan sebagai bahan penelitian. Film tidak hanya dipahami sebagai suatu karya seni maupun barang dagangan melainkan juga dimaknai sebagai media penyampaian informasi. Menurut irwansyah yang ditulis oleh Muhammah Asa Bakti dalam skripsinya, film menceritakan perihal suatu kehidupan dan disebut sebagai representasi dari dunia nyata. Film yang baik adalah film yang mampu merepresentasikan dan menggambarkan sedekat mungkin kenyataan kehidupan sehari hari. Film merupakan suatu perangkat yang memiliki pertentangan-pertentangan besar dan cakupan luas yang saling berkaitan antara pembuat film dan subyek, psikologi dan politik, gambar dan suara. Film juga merupakan suatu kelengkapan kode dan subkode yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan asasi hubungan antara kehidupan dan seni, relitas dan bahasa (Muhammad Asa,2011;4- 9). Berhubungan dengan teori kekuasaan Hannah Arendt, adapun penelitian Astrid Veranita Indah yang menganalisis jati diri manusia yang ditinjau melalui filsafat tindakan Hannah arendt yang didalam penelitiannya dipaparkan bahwa kekuasaan juga merupakan bagian tindakan dari manusia. Menurutnya identitas diri bukan hanya masa sekarang, namun juga masa lalu dan proyeksinya akan masa depan. Manusia memiliki kepribadian yang sadar untuk berfikir dan menghadapi situasi yang cenderung berhubungan dengan kekuasaan yang otoriter (Astrid, 2012; x). Ari Rohmawati dalam penelitiannya membahas filsafat politik Hannah Arendt yang digunakan sebagai perspektif untuk memaparkan makna kebebasan. Dalam penelitiannya Ari menyinggung kekuasaan sebagai turunan dari vita activa manusia yang bersinggungan langsung dengan pruralitas manusia terutama dalam bertindak bersama. Kekuasaan menurutnya tidak dimiliki oleh seorangpun, tetapi kekuasaan muncul sebagai bentuk tindakan bersama manusia dan kekuasaan akan hilang bersamaan dengan hilangnya kebersamaan manusia tersebut (Ari, 2010; 140). Menurut Montesquieu yang dikutip oleh Soehino dalam bukunya, dijelaskan ada dua sifat manusia yang berhubungan dengan kekuasaan, yang pertama bahwa orang senang akan kekuasaan, apabila kakuasaan itu dipergunakan dan diperuntukan bagi kepentingan dirinya sendiri. Yang kedua sekali orang itu memiliki kekuasaan, ia senantiasa ingin (Soehino,1983.239). meluaskan serta memperbesar kekuasaan tersebut Dari apa yang dikutip tersebut bisa dilihat bagaimana sebenarnya sifat kodrat manusia dalam mengelola kekuasaan yang dimilikinya. Dan kekuasaan tentunya tidak dapat dipandang sempit dalam politik. Pada zaman modern sekarang ini orang menganggap bahwa kekuasaan ekonomi sebagai sumber dari jenis kekuasaan lainnya. Menurut H.J. Schmandt dalam bukunya dijelaskan bahwa kekuasaan dibedakan menjadi dua dasar teori yaitu teori organik dan teori mekanistik. Pandangan teori organik menurutnya , kekuasaan merupakan lembaga etis dengan tujuan moral,yang merupakan sebuah masyarakat,kumpulan orang-orang yang disatukan dalam upaya kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Sedang teori mekanistik cenderung untuk mengabaikan karakter sosial manusia dengan memandang kekuasaan sebagai sebuah lembaga artifisial yang didasarkan atas klaimklain individu. Teori ini hanya menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana atau mesin yang muncul sebagai akibat kesepakatan diantara para individu yang ingin memuaskan keinginan-keinginan jangka pendek mereka yang tidak peduli dengan tujuan-tujuan bersama yang mencakup anggota-anggota lain dari kelompoknya (Schmandt, 2002, 15) Penelitian mengenai The Godfather pernah disinggung dalam penelitian Singgih Daru Kuncara yang membahas tentang analisis penerjemahan tindak tutur direktif pada novel The Godfather dan penerjemahaannya dalam bahasa Indonesia. Sinngih memberikan pemaparan tentang penerjemahan suatu tuturan memerlukan perhatian khusus dikarenakan terkadang dalam suatu tuturan ada maksud lain dari penutur atau penulisnya. Maksud lain inilah yang kemudian menurut Singgih harus diungkap oleh seorang penerjemah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan fungsi tindak tutur direktif, penggunaan teknik penerjemahannya ke dalam bahasa indonesia dan dampaknya terhadap kualitas hasil penerjemahannya (Singgih,2013;1). Dari pemaparan penelitian-penelitian diatas menunjukan bahwa fenomena kekuasaan dan penelitian tentang film sudah sering dilakukan, namun dari serangkaian penelitian tersebut belum ada yang benar-benar fokus mengangkat teori kekuasaan dari suatu film melalui pemikiran filsafat politik Hannah Arendt. Kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam penelitian-penelitian tentang film, kekuasaan dan Hannah Arendt diatas menjadi sebuah referensi tersendiri bagi penulis dalam membantu jalannya penelitian ini. D. Landasan Teori Setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk melihat kepentingan yang ada disekitarnya lewat kepentingan diri sendiri. Manusia senantiasa mengamati melalui kacamata sendiri untuk melihat kenyataan alamiah yang terjadi. Kekuasaan sebagai bagian dari kenyataan alamiah harus kita mengerti sebagaimana jika ingin mengerti dan menyingkap berbagai hal lain di alam nyata. Berusaha menyingkap alam nyata dengan menggunakan analisis terhadap bekerjanya mesin politik dan proses kekuasaan yang riil. Jika melihat kehidupan modern saat ini, masalah politik menjadi perhatian utama. Dalam politik kemudian mucul pertikaian-pertikaian yang berhubungan dengan kekuasaan. Kekuasaan memang sebuah istilah yang memiliki pengertian yang jamak dan digunakan oleh berbagai cabang pengetahuan. Salah satu cabang pengetahuan yang membahas tentang kekuasaan adalah politik. Kekuasaan dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Politik adalah salah satu bentuk untuk memperoleh kekuasaan “how to get the power”. Ketika membicarakan politik maka sebenarnya membicarakan suatu strategi bagaimana mendapatkan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dapat dipertahankan. Menurut Leo Straus dan Sheldon Wolin yang dikutip oleh Joseph Losco mengemukakan bahwa teori poltik digunakan untuk mempelajari dan mendapatkan kearifan tentang sifat-sifat manusia. Study teori politik juga dipahami sebagai sebuah wacana reflektif mengenai makna politik yang perlu memperjelas hubungan antara kesinambungan dan perubahan dalam kehidupan manusia. Tujuan politik dapat dirangkum dalam tiga pengertian yaitu, comprehend (memahami), conserve (memelihara) dan critisize (mengkritik). Comprehend bertujuan untuk memberikan penggambaran hubungan saling keterkaitan dengan memperhitungakan bentuk- bentuk dan perilaku manusia yang hubungannya dengan praktik politik. Conserve disini memiliki arti bahwa study politik dapat membantu memelihara warisan budaya. Critisize sebagai cara untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen teoritis maupun fenomena-fenomena politik (Losco.2005;3). Ada juga kemudian create dalam tujuan politik menurut John Nelson yang dipaparkan oleh Joseph Losco. Create merupakan tujuan untuk membentuk cara pandang terhadap politik yang dapat memberikan wawasan kedalam masalah-masalah dan kesempatan-kesempatan yang muncul dalam kehidupan politik (Losco.2005;3). Politik merupakan sesuatu yang manusia lakukan, bukan sesuatu yang manusia miliki, gunakan, lihat atau pikirkan. Filsafat politik merupakan salah satu cabang filsafat yang berbeda dengan ilmu politik. Ilmu politik merupakan teori politik yang membicarakan persoalan institusi-institusi dan kekuatan-kekuatan politis (organisasi pemerintah, hukum, program, kelompok-kelompok kepentingan, kekuasaan dan kebiasaan-kebiasaan sosial), sedangkan filsafat politik lebih membicarakan pada tatanan politik yang baik atau jujur secara moral. Filsafat politik juga berusaha menjawab persoalan-persoalan yang muncul dari hubungan otoritas pemerintah dan masyarakatnya. Pemikiran filsafat politik Hannah Arendt mencoba menjawab persoalan politik melalui analisa antropologi dalam hal ini manusia dan sosiologi tentang bagaimana hubungan alam dan masyarakat. Arendt menggambarkan manusia sebagai makhluk yang otonom, memiliki hal-hal fundamental yang tidak dapat dihapuskan yaitu pluralitas dan kebebasan yang sifatnya inherent dengan natalitas manusia. Pluralitas dan kebebasan ini hanya dapat diwujudkan melalui ruang publik yang didasarkan melalui komunikasi (Rohmawati.2010.18). Bagi Arendt, politik adalah tindakan yang diwujudkan dalam wicara di ruang publik mengenai kepentingan bersama sebagai aktivitas yang digambarkan sebagai partisipasi semua warga dalam hidup bernegara. Selanjutnya Arendt memaparkan konsep filsafat politiknya dalam The Human Condition dengan pembagian segi fundamental kehidupan manusia atau vita activa. Dalam bukunya tersebut Arendt memunculkan konsep kekuasaan publik yang merupakan gagasan Arendt untuk menyanggah idealisme Archimedean tentang kekuasaan sebagai keuntungan strategis. Arendt mengawali pemikirannya dengan asumsi bahwa seandainya kekuasaan bersifat publik maka kekuasaan tersebut hanya bisa dipegang pada kondisi pluralitas manusia, kondisi dimana ruang publik dapat terbentuk. Kekuasaan tersebut kemudian juga bergantung pada keterkaitan dan keberbedaan seseorang dengan orang-orang lain berdasarkan segmen-segmen. Kekuasaan tidak bisa dijalankan sebagai keuntungan strategis atas yang lain; kekuasaan hanya ada dalam hubungan-hubungan bersama manusia. Kekuasaan yang secara umum dipahami oleh banyak orang adalah energi yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok untuk memuluskan tujuan yang ingin dicapainya. Kekuasaan dalam politik artinya menghimpun dan menempatkan energi setiap orang dalam kelompok untuk memperoleh kekuatan dalam memuluskan dan mencapai tujuan yang hendak dicapainya. Kekuasaan dalam politik kadang kelihatannya sangat “kotor”, karena strategi seseorang atau kelompok dalam berpolitik memungkinkan menggunakan berbagai cara yang pada akhirnya harus mengorbankan seseorang atau kelompok lainnya. Dalam konteks politik, seperti model politik machiavellian yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang cenderung dilanggenngkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara dan cara yang dipergunakan tidak menjadi persoalaan asalkan kekuasaan tersebut dapat dipertahankan. Dengan berbagai alasan, apakah tidak satu ideologi sampai kepada tidak sepaham secara budaya atau dogmatis agama. Kekuasaan yang diperoleh karena politik adalah upaya untuk menguasai masyarakat banyak secara ideological sehingga pemilik kekuasaan berada pada posisi tertinggi atau sering disebut kaum “penguasa”. Kaum pemegang kekuasaan sebagai minoritas adalah kelompok mayoritas dalam kekuasaan, sehingga segala bentuk perilaku masyarakat kebanyakan sering diartikan sebagai perilaku yang harus seragam. Keseragaman dalam kacamata politik berbentuk statement yang kemudian diturunkan menjadi sebuah kebijakan bagi masyarakat kebanyakan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kaum penguasa akan mengatur segala perilaku orang dalam menjalankan dan memberikan sumbangsih terhadap kehidupan, baik dalam kehidupan bernegara bahkan sampai kepada kehidupan bermasyarakat. Kekuasaan seolah sangat erat hubungannya dengan kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan yang sifatnya persuasif atau paksaan. Kekerasan kadang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Menurut Hannah Arendt Kekerasan hanya dapat dibenarkan sebagai pertahanan terakhir dalam menghadapi pengacau dan pembangkang kekuasaan demokratis( Yeremias Jena,2011,179). Dari sisi lain, penggunaan kekerasan sebagai pertahanan terkahir dapat juga menciptakan kesewenang-wenangan sebuah negara dalam menindas rakyatnya yang mengatasnamakan keamanan nasional. Kekuasaan dibangun dalam tindakan komunikatif. Kekuasaan adalah efek dari ucapan kolektif dimana pencapaian kesepakatan menjadi tujuan akhir dari semua yang terlibat, kekuasaan dikonsolidasikan dan dilembagakan dalam lembaga politik untuk menyelamatkkan pelbagai bentuk kehidupan yang terpusat pada percakapan timbal balik. Dorongan untuk berkuasa pada banyak orang saat ini seakan tidak mengenal batas. Nafsu untuk berkuasa seperti tidak ada batasnya karena himpitan kehidupan modern saat ini. Kehidupan saat ini menjadikan manusia berada dalam dua pilihan besar, yakni menguasai atau dikuasai. Masyarakat saat ini lebih tertarik untuk menguasai ketimbang dikuasai karena berkaitan dengan konsep kebebasan dan hak mereka dalam kehidupan. Kekuasaan yang terjadi pada masyarakat kontemporer saat ini mungkin selalu dikaitkan dengan sisi negatifnya karena cenderung berkutat pada persoalan penggunaan kekuasaan itu secara otoriter dan berlebihan sehingga memunculkan apatisme tentang pembahasan kekuasaan. Melalui pemikiran Hannah Arendt, peneliti ingin mencoba membedah konsep kekuasaan dalam film The Godfather. Permasalahan tentang kekuasaan diharapkan dapat mengerucut atau bahkan dapat memberikan suatu usulan pemikiran baru tentang kekuasaan saat ini. Kekuasaan saat ini juga cenderung disalahgunakan untuk kepentingan pribadi,misalnya kasus-kasus korupsi yang baru-baru ini menjerat institusi negara yang erat hubungannya dengan legitimasi hukum. Kekuasaan untuk pengaturan hukum yang sifatnya untuk kepentingan umum saja dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. E. Metode penelitian 1. Bahan dan materi penelitian Penelitian ini adalah penelitian pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku dan film yang berkaitan dengan bentuk kekuasaan pada film The Godfather dan konsep kekuasaan hannah arendt. Bahan dan materi penelitian terdiri dari dua bagian, yaitu; A. Sumber primer a. Film The Godfather karya Francis Coppola b. Buku-buku karya Hannah Arendt : 1. Arendt Hannah.1972. Crisis of the Republic. Harcourt Brace Jovanovich. New York 2. Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. University of Chicago Press. Chicago. 3. Arendt, Hannah. 1965. On Revolution. Penguin Book. London. 4. Arendt, Hannah. 1969. On Violence. A Harvest Book. New York. B. Sumber sekunder Data sekunder dalam penelitian diperoleh dari : a. Skripsi yang berkaitan dengan tema b. Artikel surat kabar, majalah, jurnal dan media elektronik ( televisi, radio dan internet) tentang film The Godfather, kekuasaan dan pemikiran Filsafat Hannah Arendt 2. Jalan penelitian Jalannya penelitian ini akan mencakup beberapa tahapan yaitu pengumpulan data atau bahan yang meliputi dua hal yaitu data dari film dan data hasil studi kepustakaan,kemudian pengkategorisasian data yang telah berhasil diperoleh melalui pengumpulan data, lalu mengklasifikasikan data kedalam beberapa kategori sehingga menjadi sistematis. Data primer dan data sekunder yang telah dikelompokkan kemudian dianalisa secara kritis dan filosofis. Setelah tahapan tersebut dilakukan, kemudian hasil akhir dituangkan dalam bentuk laporan penelitian. 3. Analisi Data Penelitian ini menggunakan metode sistematis reflektif untuk membahas kekuasaan sebagai salah satu fenomena kehidupan manusia yang sentral (Bakker,1990;99) dengan unsur sebagai berikut : a. Deskripsi Menggambarkan secara komprehensif mengenai konsep kekuasaan dalam film The Godfather yang ditinjau dari konsep kekuasaan Hannah Arendt b. Interprestasi Peneliti berusaha untuk memahami dan mengerti tentang konsep kekuasaan dalam film The Godfather, kemudian dianalisis serta diinterpretasi ke dalam bentuk tulisan. c. Kesinambungan Historis Peneliti berusaha menemukan pemahaman baru tentang konsep kekuasaan dalam film The Godfather yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman. Makna kekuasaan yang telah dipahami akan dilihat dengan tinjauan sosial politik berdasar keyakinan peneliti d. Koherensi Intern Permasalahan kekuasaan dalam film The Godfather kemudian ditinjau dari konsep kekuasaan dari Hannah Arendt sehingga ditemukan kelebihan dan kekurangannya. F. Hasil yang Dicapai Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan pemahaman secara deskriptif konsep kekuasaan dalam film The Godfather 2. Memperoleh pemahaman, khususnya mengenai konsep kekuasaan Hannah Arendt. 3. Memahami penjelasan hubungan antara konsep kekuasaan dalam film The Godfather ditinjau dari konsep kekuasaan Hannah Arendt G.Sistematika penulisan Penelitian ini akan disusun dalam lima bab sebagai berikut : BAB 1: berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan. BAB 2: berisi tentang pembahasan mengenai obyek formal kekuasaan menurut Hannah Arendt, mendeskripsikan pengertian politik dan kekuasaan. BAB 3: memuat tentang pembahasan obyek material terkait hasil analisa terhadap konsep kekuasaan yang terdapat dalam film The Godfather. BAB 4: memuat isi analisis mengenai konsep kekuasaan Hannah Arendt terhadap konsep kekuasaan dalam film The Godfather. BAB 5: berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dalam karya tulis ini.