A. Latar Belakang Masalah Di dalam perkembangan

advertisement
Bab I
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam perkembangan kehidupannya, manusia dengan sendirinya dituntut
untuk berjuang mengatasi rintangan dan penderitaan yang muncul dalam kehidupan.
Manusia juga harus bersaing dalam kehidupan karena kepentingan dan kebutuhan
mereka saling berlawan atau berbeda satu dengan yang lainnya. Suatu kenyataan yang
tidak dapat disangkal adalah bahwa hidup manusia selalu diselimuti oleh berbagai
keinginan yang beragam dan berbeda. Keinginan tersebut kadang menentukan derajat
manusia dengan sesamanya, manusia tidak dapat menyempurnakan diri tanpa
keberhasilannya untuk memenuhi keinginannya dan biasanya keinginan itu menjiwai
kehidupan dan segala perbuatan manusia. Kekuasan sebagai bagian dari tindakan
manusia oleh Hannah Arendt digambarankan secara fenomenologis mengenai
kekuasaan. Baginya kekuasaan (power) harus dibedakan dengan kekerasan (violence),
kekuatan (strength), pemaksaan (force), dan otoritas (otority) (Hannah Arendt, 1969,
35).
Di antara keinginan-keinginan manusia yang tidak terbatas banyaknya, yang
paling penting adalah keinginan mendapatkan kekuasaan dan keagungan (Russell,
1975, 8). Selama ini kekuasaan selalu dianggap “kotor”. Hal ini bisa saja benar karena
kecenderungan masyarakat yang melihat kekuasaan selalu bersifat membelenggu dan
membatasi kelompok yang dikuasai untuk dapat berkuasa seperti kelompok
penguasanya. Kekuasaan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengemudikan orang lain. Kemampuan tersebut selalu dilakukan untuk mencapai
maksud yang diinginkan oleh pihak yang memiliki kemampuan tersebut
(Gie,1981,31).
Kekuasaan selalu erat dengan pendekatan sosial-politik. Akhir-akhir ini
banyak terlihat pergolakan-pergolakan sistem sosial-politik yang tidak sedikit
disebabkan oleh tumpang tindihnya kekuasaan dalam negara atau kelompok tertentu.
Secara garis besar, pijakan yang digunakan sebagai acuan dalam bagi penelitian ini
adalah tidak dapat terpisahnya kekuasaan dan politik dalam pandangan masyarakat
yang memberikan gambaran bahwa kekuasaan selalu bersifat personal dan tidak
melihat kepentingan orang banyak. Hanya melihat kekuasaan sebagai ajang gagahgagahan dalam menjalankan suatu sistem. Adanya berbagai penjelmaan kekuasaan
yang berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat yang mendorong untuk
berkuasa atau menjadi penguasa tanpa mengenal batas.
Menurut Johan Galtung yang dikutip oleh I. Marsana Windhu, ada dua jenis
dimensi kekuasaan, yaitu pertama, kekuasaan atas diri sendiri atau otonomi, yaitu
kemampuan menentukan tujuan-tujuan bagi dirinya dan mengerjakan tujuan itu.
Kedua, kekuasaan atas orang lain sebagai lawan dari otonomi. Dimensi kekuasaan ini
berusaha memaksakan kepentingan dan pengaruhnya pada orang lain (Windhu,1992;
32).
Masyarakat saat ini cenderung memiliki kekurangan dalam minat membaca,
hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk memilih film sebagai bahan penelitian
ini. Film dianggap mampu memberikan visualisasi secara lebih mudah daripada
membaca novel. Novel terjemahan terkadang tidak bisa kita mengerti hanya dengan
membacanya sekali. Film dianggap memudahkan dalam pembacaan plot cerita yang
di dalam novel biasanya lebih terasa rumit dimengerti.
Analisa filosofis, kini dapat diperoleh melalui analisis terhadap film. Pada
dasarnya film merupakan sarana multimedia yang juga memiliki pengaruh yang
sangat efektif dalam perenungan filosofis. Film pada kasus tertentu sangat membantu
memberi gambaran atas persoalan filosofis yang yang umum atau abstrak. Menurut
Ariek Nur Rahman yang dikutif dalam skripsi Fedi Dwiantoro disebutkan jika ada
beberapa hal dalam film yang membuatnya menjadi media perenungan filosofis.
Pertama film mampu menyingkap pergulatan batin eksistensial tersembunyi manusia
dalam dunia yang spesifik. Kedua, bahasa film bukanlah bahasa konsep, melainkan
bahasa pengalaman, maka ia tidak hanya menantang pikiran tetapi terutama
merangsang partisipasi sang penonton untuk mengalaminya. Ketiga, terutama dalam
film fiksi ilmiah, film mampu membukakan kemungkinan baru untuk memahami
realitas saat ini maupun masa depan secara grafis, kreatif dan imajinatif (Fedi
Dwiantoro,2012,3).
Untuk melihat bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern saat ini dapat
kita lihat dalam film The Godfather. The Godfather merupakan film yang
menonjolkan sisi kekuasaan dalam hal korporasi bisnis keluarga yang berlatarkan
konflik keluarga mafia migran dari Italia yang bergerak dalam bisnis di amerika tahun
1940an. Film tersebut dapat menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk kekuasaan
yang didasarkan pada kekuasaan ekonomi dan kekuasaan jaringan politik sebagai
bentuk kekuasaan strategis untuk menjaga stabilitas nama keluarga. Dipilihnya film
ini karena dapat memberikan contoh gambaran untuk mengkaji kekuasaan yang
terjadi pada masyarakat kontemporer saat ini. Kekuasaan mungkin selalu dikaitkan
dengan sisi negatifnya karena cenderung berkutat pada persoalan penggunaan
kekuasaan itu secara otoriter dan berlebihan sehingga memunculkan apatisme tentang
pembahasan kekuasaan.
Film The Godfather (1972) arahan Francis Ford Coppola diadaptasi dari
novel laris berjudul sama karya Mario Puzo. Film ini dianggap banyak pengamat
sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Film ini sukses meraih tiga Oscar dari
sepuluh yang dinominasikan yakni, film terbaik, aktor utama, dan naskah adaptasi
terbaik. Pada masa rilisnya The Godfather juga menjadi film terlaris sepanjang tahun
dengan pemasukan kotor, 134 juta US$. Sukses film ini juga memicu produksi
sekuelnya, The Godfather Part II (1974) yang kurang lebih sama suksesnya. Film The
Godfather Part III dibuat pada tahun 1990 yang jarak pembuatannya sangat jauh dari
sekuel film sebelumnya yang dibuat pada tahun 1974. Film The Godfather Part III
memiliki cerita yang jauh berbeda, karena sudah mulai meceritakan kemerosotan
keluarga Corleone yang dipimpin oleh anak dari Michael atau generasi ketiga
keluarga Corleone. Ketiga bagian film The Godfather memiliki kerumitan cerita
masing-masing. Part I menggambarkan kejayaan keluarga Corleone dengan berbagai
bentuk usaha dan kerjasama dengan keluarga mafia lain di New York. Sedangkan part
II dan part III hanya menggambarkan bentuk untuk mempertahankan kejayaan
keluarga Corleone sepeninggal kepala keluarganya. Film The Godfather I
memberikan penggamabaran tentang pembangunan bisnis keluarga hingga masa
transisi ke arah pergantian kepala keluarga yang juga pergantian bentuk kekuasaan
yang dibangun. Peneliti ingin mencoba bagaimana kemudian film The Godfather
diteliti menggunakan pemikiran Hannah Arendt.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang akan dikaji yakni sebagai berikut :
A.Apa kritik Hannah Arendt terhadap kekuasaan ?
B. Apa konsep kekuasaan dalam film The Godfather ?
C.Bagaimana konsep kekuasaan film The Godfather bila ditinjau menurut perspektif
Hannah Arendt?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh yang diketahui dan ditelusuri,penulis belum menemukan adanya
penelitian yang membahas tentang konsep kekuasaan dalam film The Godfather
ditinjau dari konsep kekuasaan Hannah Arendt di Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada, melainkan ada beberapa penelitian dalam format skripsi, tesis, maupun
jurnal yang membahas tentang kekuasaan, The Godfather dan Hannah Arendt :
a. Salam, Badrus. 1992. Konsep Kekuasaan Manusia menurut Bertrand Russell;
Telaah Arti Psikologis dan Arti Sosiologis. Skripsi Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
b. Santosa, Heri. 1994. Dimensi Kekuasaan dalam Ilmu dan Teknologi menurut
Herbert Marcuse. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
c. Patrianti, Kristi Noor. 1991. Makna Kekuasaan dalam Filsafat Sosial Politik
Bertrand Russell. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
d. Donbosko, Yohanes. 1995. Rasionalisasi Kekuasaan sebagai Kerja Habermas
Membangun Demokrasi Massa. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
e. Rohmawati, Ari. 2010. Makna Kebebasan dalam Perspektif Filsafat Politik
Hannah Arendt. Tesis Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
f. Veranita Indah, Astrid. 2012. Jatidiri Manusia dalam Filsafat Tindakan
Hannah
Arendt
Perspektif
Filsafat
Manusia;
Relevansinya
dengan
Pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 di Indonesia. Tesis Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
g. Daru Kuncara, Singgih. 2013. Analisis Terjemahan Tindak Tutur pada Novel
The Godfather dan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Program
Pascasarjana Linguistik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan beberapa penelitian
lain, perbedaannya terletak pada penggunaan film sebagai obyek material yang
kemudian menjadikan pandangan tentang kekuasaan Hannah Arendt sebagai obyek
formal. Penulis berani mengutarakan bahwa analisis pembahasan dalam penulisan
skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
3. Manfaat yang diharapkan
Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi :
a. Bagi peneliti
Diharapkan penelitian ini menambah kemampuan peneliti untuk menulis secara
ilmiah dan memberi pemahaman baru tentang analisis terhadap karya seni film The
Godfather dengan teori kekuasaan Hannah Arendt.
b. Bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang analisa filosofis
memalui sebuah karya seni yakni film. Penelitian ini diharapkan dapat menambah
perspektif baru tentang konsep kekuasaan yang ada di dalam film The Godfather dan
juga menambah perbendaharaan informasi tentang kajian teori kekuasaan Hannah
Arendt.
B. Tujuan penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini kemudian bertujuan untuk
menjawab persoalan yang terdapat dalam rumusan masalah diatas,yaitu :
1. Memaparkan tentang deskripsi film The Godfather karya Francis Ford
Coppola kemudian menarik analisa dan kritik tentang konsep kekuasaan yang
terdapat dalam film The Godfather
2. Menganalisis konsep kekuasaan yang terdapat dalam film The Godfather yang
kemudian ditinjau melalui perspektif kekuasaan Hannah Arendt.
3. Merefleksikan konsep kekuasaan dalam film The Godfather yang ditinjau
melalui perspektif kekuasaan Hannah Arendt, terkait dengan kondisi
pergolakan sosial politik dewasa ini.
C. Tinjauan pustaka
Muhammad Asa di dalam penelitiannya menjelaskan bagaimana film dapat
dijadikan sebagai bahan penelitian. Film tidak hanya dipahami sebagai suatu karya
seni maupun barang dagangan melainkan juga dimaknai sebagai media penyampaian
informasi. Menurut irwansyah yang ditulis oleh Muhammah Asa Bakti dalam
skripsinya, film menceritakan perihal suatu kehidupan dan disebut sebagai
representasi dari dunia nyata. Film yang baik adalah film yang mampu
merepresentasikan dan menggambarkan sedekat mungkin kenyataan kehidupan sehari
hari. Film merupakan suatu perangkat yang memiliki pertentangan-pertentangan besar
dan cakupan luas yang saling berkaitan antara pembuat film dan subyek, psikologi
dan politik, gambar dan suara. Film juga merupakan suatu kelengkapan kode dan subkode yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan asasi hubungan antara kehidupan dan
seni, relitas dan bahasa (Muhammad Asa,2011;4- 9).
Berhubungan dengan teori kekuasaan Hannah Arendt, adapun penelitian
Astrid Veranita Indah yang menganalisis jati diri manusia yang ditinjau melalui
filsafat tindakan Hannah arendt yang didalam penelitiannya dipaparkan bahwa
kekuasaan juga merupakan bagian tindakan dari manusia. Menurutnya identitas diri
bukan hanya masa sekarang, namun juga masa lalu dan proyeksinya akan masa
depan. Manusia memiliki kepribadian yang sadar untuk berfikir dan menghadapi
situasi yang cenderung berhubungan dengan kekuasaan yang otoriter (Astrid, 2012;
x).
Ari Rohmawati dalam penelitiannya membahas filsafat politik Hannah
Arendt yang digunakan sebagai perspektif untuk memaparkan makna kebebasan.
Dalam penelitiannya Ari menyinggung kekuasaan sebagai turunan dari vita activa
manusia yang bersinggungan langsung dengan pruralitas manusia terutama dalam
bertindak bersama. Kekuasaan menurutnya tidak dimiliki oleh seorangpun, tetapi
kekuasaan muncul sebagai bentuk tindakan bersama manusia dan kekuasaan akan
hilang bersamaan dengan hilangnya kebersamaan manusia tersebut (Ari, 2010; 140).
Menurut Montesquieu yang dikutip oleh Soehino dalam bukunya, dijelaskan
ada dua sifat manusia yang berhubungan dengan kekuasaan, yang pertama bahwa
orang senang akan kekuasaan, apabila kakuasaan itu dipergunakan dan diperuntukan
bagi kepentingan dirinya sendiri. Yang kedua sekali orang itu memiliki kekuasaan, ia
senantiasa
ingin
(Soehino,1983.239).
meluaskan
serta
memperbesar
kekuasaan
tersebut
Dari apa yang dikutip tersebut bisa dilihat bagaimana
sebenarnya sifat kodrat manusia dalam mengelola kekuasaan yang dimilikinya. Dan
kekuasaan tentunya tidak dapat dipandang sempit dalam politik. Pada zaman modern
sekarang ini orang menganggap bahwa kekuasaan ekonomi sebagai sumber dari jenis
kekuasaan lainnya.
Menurut H.J. Schmandt dalam bukunya dijelaskan bahwa kekuasaan
dibedakan menjadi dua dasar teori yaitu teori organik dan teori mekanistik.
Pandangan teori organik menurutnya , kekuasaan merupakan lembaga etis dengan
tujuan moral,yang merupakan sebuah masyarakat,kumpulan orang-orang yang
disatukan dalam upaya kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Sedang teori
mekanistik cenderung untuk mengabaikan karakter sosial manusia dengan
memandang kekuasaan sebagai sebuah lembaga artifisial yang didasarkan atas klaimklain individu. Teori ini hanya menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana atau
mesin yang muncul sebagai akibat kesepakatan diantara para individu yang ingin
memuaskan keinginan-keinginan jangka pendek mereka yang tidak peduli dengan
tujuan-tujuan bersama yang mencakup anggota-anggota lain dari kelompoknya
(Schmandt, 2002, 15)
Penelitian mengenai The Godfather
pernah disinggung dalam penelitian
Singgih Daru Kuncara yang membahas tentang analisis penerjemahan tindak tutur
direktif pada novel The Godfather dan penerjemahaannya dalam bahasa Indonesia.
Sinngih memberikan pemaparan tentang penerjemahan suatu tuturan memerlukan
perhatian khusus dikarenakan terkadang dalam suatu tuturan ada maksud lain dari
penutur atau penulisnya. Maksud lain inilah yang kemudian menurut Singgih harus
diungkap oleh seorang penerjemah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
penerapan fungsi tindak tutur direktif, penggunaan teknik penerjemahannya ke dalam
bahasa indonesia dan dampaknya terhadap kualitas hasil penerjemahannya
(Singgih,2013;1).
Dari pemaparan penelitian-penelitian diatas menunjukan bahwa fenomena
kekuasaan dan penelitian tentang film sudah sering dilakukan, namun dari
serangkaian penelitian tersebut belum ada yang benar-benar fokus mengangkat teori
kekuasaan dari suatu film melalui pemikiran filsafat politik Hannah Arendt.
Kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam penelitian-penelitian tentang film,
kekuasaan dan Hannah Arendt diatas menjadi sebuah referensi tersendiri bagi penulis
dalam membantu jalannya penelitian ini.
D. Landasan Teori
Setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk melihat kepentingan yang
ada disekitarnya lewat kepentingan diri sendiri. Manusia senantiasa mengamati
melalui kacamata sendiri untuk melihat kenyataan alamiah yang terjadi. Kekuasaan
sebagai bagian dari kenyataan alamiah harus kita mengerti sebagaimana jika ingin
mengerti dan menyingkap berbagai hal lain di alam nyata. Berusaha menyingkap
alam nyata dengan menggunakan analisis terhadap bekerjanya mesin politik dan
proses kekuasaan yang riil. Jika melihat kehidupan modern saat ini, masalah politik
menjadi perhatian utama. Dalam politik kemudian mucul pertikaian-pertikaian yang
berhubungan dengan kekuasaan. Kekuasaan memang sebuah istilah yang memiliki
pengertian yang jamak dan digunakan oleh berbagai cabang pengetahuan. Salah satu
cabang pengetahuan yang membahas tentang kekuasaan adalah politik. Kekuasaan
dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Politik adalah salah
satu bentuk untuk memperoleh kekuasaan “how to get the power”. Ketika
membicarakan politik maka sebenarnya
membicarakan suatu strategi bagaimana
mendapatkan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dapat dipertahankan.
Menurut Leo Straus dan Sheldon Wolin yang dikutip oleh Joseph Losco
mengemukakan bahwa teori poltik digunakan untuk mempelajari dan mendapatkan
kearifan tentang sifat-sifat manusia. Study teori politik juga dipahami sebagai sebuah
wacana reflektif mengenai makna politik yang perlu memperjelas hubungan antara
kesinambungan dan perubahan dalam kehidupan manusia. Tujuan politik dapat
dirangkum dalam tiga pengertian yaitu, comprehend (memahami), conserve
(memelihara) dan critisize (mengkritik). Comprehend bertujuan untuk memberikan
penggambaran hubungan saling keterkaitan
dengan memperhitungakan bentuk-
bentuk dan perilaku manusia yang hubungannya dengan praktik politik. Conserve
disini memiliki arti bahwa study politik dapat membantu memelihara warisan budaya.
Critisize sebagai cara untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen
teoritis maupun fenomena-fenomena politik (Losco.2005;3).
Ada juga kemudian
create dalam tujuan politik menurut John Nelson yang dipaparkan oleh Joseph Losco.
Create merupakan tujuan untuk membentuk cara pandang terhadap politik yang dapat
memberikan wawasan kedalam masalah-masalah dan kesempatan-kesempatan yang
muncul dalam kehidupan politik (Losco.2005;3). Politik merupakan sesuatu yang
manusia lakukan, bukan sesuatu yang manusia miliki, gunakan, lihat atau pikirkan.
Filsafat politik merupakan salah satu cabang filsafat yang berbeda dengan
ilmu politik. Ilmu politik merupakan teori politik yang membicarakan persoalan
institusi-institusi dan kekuatan-kekuatan politis (organisasi pemerintah, hukum,
program, kelompok-kelompok kepentingan, kekuasaan dan kebiasaan-kebiasaan
sosial), sedangkan filsafat politik lebih membicarakan pada tatanan politik yang baik
atau jujur secara moral. Filsafat politik juga berusaha menjawab persoalan-persoalan
yang muncul dari hubungan otoritas pemerintah dan masyarakatnya.
Pemikiran filsafat politik Hannah Arendt mencoba menjawab persoalan
politik melalui analisa antropologi dalam hal ini manusia dan sosiologi tentang
bagaimana hubungan alam dan masyarakat. Arendt menggambarkan manusia sebagai
makhluk yang otonom, memiliki hal-hal fundamental yang tidak dapat dihapuskan
yaitu pluralitas dan kebebasan yang sifatnya inherent dengan natalitas manusia.
Pluralitas dan kebebasan ini hanya dapat diwujudkan melalui ruang publik yang
didasarkan melalui komunikasi (Rohmawati.2010.18). Bagi Arendt, politik adalah
tindakan yang diwujudkan dalam wicara di ruang publik mengenai kepentingan
bersama sebagai aktivitas yang digambarkan sebagai partisipasi semua warga dalam
hidup bernegara. Selanjutnya Arendt memaparkan konsep filsafat politiknya dalam
The Human Condition dengan pembagian segi fundamental kehidupan manusia atau
vita activa. Dalam bukunya tersebut Arendt memunculkan konsep kekuasaan publik
yang merupakan gagasan Arendt untuk menyanggah idealisme Archimedean tentang
kekuasaan sebagai keuntungan strategis. Arendt mengawali pemikirannya dengan
asumsi bahwa seandainya kekuasaan bersifat publik maka kekuasaan tersebut hanya
bisa dipegang pada kondisi pluralitas manusia, kondisi dimana ruang publik dapat
terbentuk. Kekuasaan tersebut kemudian juga bergantung pada keterkaitan dan
keberbedaan seseorang dengan orang-orang lain berdasarkan segmen-segmen.
Kekuasaan tidak bisa dijalankan sebagai keuntungan strategis atas yang lain;
kekuasaan hanya ada dalam hubungan-hubungan bersama manusia.
Kekuasaan yang secara umum dipahami oleh banyak orang adalah energi
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok untuk memuluskan tujuan yang ingin
dicapainya. Kekuasaan dalam politik artinya menghimpun dan menempatkan energi
setiap orang dalam kelompok untuk memperoleh kekuatan dalam memuluskan dan
mencapai tujuan yang hendak dicapainya. Kekuasaan dalam politik kadang
kelihatannya sangat “kotor”, karena strategi seseorang atau kelompok dalam
berpolitik memungkinkan menggunakan berbagai cara yang pada akhirnya harus
mengorbankan seseorang atau kelompok lainnya. Dalam konteks politik, seperti
model politik machiavellian yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang
cenderung dilanggenngkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara dan cara yang
dipergunakan
tidak
menjadi
persoalaan
asalkan
kekuasaan
tersebut
dapat
dipertahankan. Dengan berbagai alasan, apakah tidak satu ideologi sampai kepada
tidak sepaham secara budaya atau dogmatis agama. Kekuasaan yang diperoleh karena
politik adalah upaya untuk menguasai masyarakat banyak secara ideological sehingga
pemilik kekuasaan berada pada posisi tertinggi atau sering disebut kaum “penguasa”.
Kaum pemegang kekuasaan sebagai minoritas adalah kelompok mayoritas dalam
kekuasaan, sehingga segala bentuk perilaku masyarakat kebanyakan sering diartikan
sebagai perilaku yang harus seragam. Keseragaman dalam kacamata politik berbentuk
statement yang kemudian diturunkan menjadi sebuah kebijakan bagi masyarakat
kebanyakan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kaum penguasa akan mengatur segala
perilaku orang dalam menjalankan dan memberikan sumbangsih terhadap kehidupan,
baik dalam kehidupan bernegara bahkan sampai kepada kehidupan bermasyarakat.
Kekuasaan seolah sangat erat hubungannya dengan kekerasan baik kekerasan
fisik maupun kekerasan yang sifatnya persuasif atau paksaan. Kekerasan kadang
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Menurut Hannah Arendt Kekerasan
hanya dapat dibenarkan sebagai pertahanan terakhir dalam menghadapi pengacau dan
pembangkang kekuasaan demokratis( Yeremias Jena,2011,179). Dari sisi lain,
penggunaan kekerasan sebagai pertahanan terkahir dapat juga menciptakan
kesewenang-wenangan
sebuah
negara
dalam
menindas
rakyatnya
yang
mengatasnamakan keamanan nasional. Kekuasaan dibangun dalam tindakan
komunikatif. Kekuasaan adalah efek dari ucapan kolektif dimana pencapaian
kesepakatan
menjadi
tujuan
akhir
dari
semua
yang
terlibat,
kekuasaan
dikonsolidasikan dan dilembagakan dalam lembaga politik untuk menyelamatkkan
pelbagai bentuk kehidupan yang terpusat pada percakapan timbal balik. Dorongan
untuk berkuasa pada banyak orang saat ini seakan tidak mengenal batas. Nafsu untuk
berkuasa seperti tidak ada batasnya karena himpitan kehidupan modern saat ini.
Kehidupan saat ini menjadikan manusia berada dalam dua pilihan besar, yakni
menguasai atau dikuasai. Masyarakat saat ini lebih tertarik untuk menguasai
ketimbang dikuasai karena berkaitan dengan konsep kebebasan dan hak mereka
dalam kehidupan. Kekuasaan yang terjadi pada masyarakat kontemporer saat ini
mungkin selalu dikaitkan dengan sisi negatifnya karena cenderung berkutat pada
persoalan penggunaan kekuasaan itu secara otoriter dan berlebihan sehingga
memunculkan apatisme tentang pembahasan kekuasaan.
Melalui pemikiran Hannah Arendt, peneliti ingin mencoba membedah
konsep kekuasaan dalam film
The Godfather.
Permasalahan tentang kekuasaan
diharapkan dapat mengerucut atau bahkan dapat memberikan suatu usulan pemikiran
baru tentang kekuasaan saat ini. Kekuasaan saat ini juga cenderung disalahgunakan
untuk kepentingan pribadi,misalnya kasus-kasus korupsi yang baru-baru ini menjerat
institusi negara yang erat hubungannya dengan legitimasi hukum. Kekuasaan untuk
pengaturan hukum yang sifatnya untuk kepentingan umum saja dapat disalahgunakan
untuk kepentingan pribadi dan golongan.
E. Metode penelitian
1. Bahan dan materi penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan
diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku dan film yang berkaitan
dengan bentuk kekuasaan pada film The Godfather dan konsep kekuasaan hannah
arendt. Bahan dan materi penelitian terdiri dari dua bagian, yaitu;
A. Sumber primer
a. Film The Godfather karya Francis Coppola
b. Buku-buku karya Hannah Arendt :
1. Arendt Hannah.1972. Crisis of the Republic. Harcourt Brace
Jovanovich. New York
2. Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. University of
Chicago Press. Chicago.
3. Arendt, Hannah. 1965. On Revolution. Penguin Book. London.
4. Arendt, Hannah. 1969. On Violence. A Harvest Book. New York.
B. Sumber sekunder
Data sekunder dalam penelitian diperoleh dari :
a. Skripsi yang berkaitan dengan tema
b. Artikel surat kabar, majalah, jurnal dan media elektronik ( televisi, radio
dan internet) tentang film The Godfather, kekuasaan dan pemikiran
Filsafat Hannah Arendt
2. Jalan penelitian
Jalannya penelitian ini akan mencakup beberapa tahapan yaitu pengumpulan data atau
bahan yang meliputi dua hal yaitu data dari film dan data hasil studi
kepustakaan,kemudian pengkategorisasian data yang telah berhasil diperoleh melalui
pengumpulan data, lalu mengklasifikasikan data kedalam beberapa kategori sehingga
menjadi sistematis. Data
primer dan data sekunder yang telah dikelompokkan
kemudian dianalisa secara kritis dan filosofis. Setelah tahapan tersebut dilakukan,
kemudian hasil akhir dituangkan dalam bentuk laporan penelitian.
3. Analisi Data
Penelitian ini menggunakan metode sistematis reflektif untuk membahas
kekuasaan sebagai salah satu fenomena kehidupan manusia yang sentral
(Bakker,1990;99) dengan unsur sebagai berikut :
a. Deskripsi
Menggambarkan secara komprehensif mengenai konsep kekuasaan dalam
film The Godfather yang ditinjau dari konsep kekuasaan Hannah Arendt
b. Interprestasi
Peneliti berusaha untuk memahami dan mengerti tentang konsep
kekuasaan dalam film The Godfather, kemudian dianalisis serta
diinterpretasi ke dalam bentuk tulisan.
c. Kesinambungan Historis
Peneliti berusaha menemukan pemahaman baru tentang konsep kekuasaan
dalam film The Godfather
yang kemudian disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Makna kekuasaan yang telah dipahami akan dilihat
dengan tinjauan sosial politik berdasar keyakinan peneliti
d. Koherensi Intern
Permasalahan kekuasaan dalam film The Godfather kemudian ditinjau dari
konsep kekuasaan dari Hannah Arendt sehingga ditemukan kelebihan dan
kekurangannya.
F. Hasil yang Dicapai
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan pemahaman secara deskriptif konsep kekuasaan dalam film The
Godfather
2. Memperoleh pemahaman, khususnya mengenai konsep kekuasaan Hannah
Arendt.
3. Memahami penjelasan hubungan antara konsep kekuasaan dalam film The
Godfather ditinjau dari konsep kekuasaan Hannah Arendt
G.Sistematika penulisan
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab sebagai berikut :
BAB 1: berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan
sistematika penulisan.
BAB 2: berisi tentang pembahasan mengenai obyek formal kekuasaan menurut
Hannah Arendt, mendeskripsikan pengertian politik dan kekuasaan.
BAB 3: memuat tentang pembahasan obyek material terkait hasil analisa
terhadap konsep kekuasaan yang terdapat dalam film The Godfather.
BAB 4: memuat isi analisis mengenai konsep kekuasaan Hannah Arendt
terhadap konsep kekuasaan dalam film The Godfather.
BAB 5: berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dalam
karya tulis ini.
Download