1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
1. Permasalahan
Dan kamu, kamu wanita Indonesia,-achirnja nasibmu adalah di
tangan kamu sendiri. Saja memberi peringatan kepada kaum laki-laki
itu untuk memberi kejakinan kepada mereka hargamu dalam
perdjoangan, tetapi kamu sendiri harus mendjadi sadar, kamu sendiri
harus terdjun mutlak dalam perdjoangan (Soekarno, 1963:320).
Masalah politik dan kekuasaan selama ini identik dengan laki-laki,
seperti halnya isu lain yang dianggap lazim ada di wilayah publik seperti masalah
keadilan, kebebasan, kesejahteraan dan kemerdekaan. Plato sejak jaman Yunani
telah melakukan pembagian ruang privat dan ruang publik dan selama ini telah
diinternalisasi oleh masyarakat bahwa posisi dan peran utama perempuan ada di
wilayah privat yang berhubungan dengan masalah reproduksi keturunan, produksi
pangan bagi anggota keluarga, sedangkan wilayah publik wilayah laki-laki yang
berhubungan dengan masalah politik, hubungan antara manusia satu dengan
manusia yang lain (Nugroho, 2011:17). Pembicaraan politik yang dihubungkan
dengan jenis kelamin perempuan bagi sebagian laki-laki dianggap sesuatu yang
meragukan. Keraguan tersebut secara eksplisit muncul dalam pertanyaan, apakah
bisa perempuan berpolitik?, apakah perempuan mampu?, apakah perempuan dapat
bersikap objektif dan adil? Jika perempuan pada akhirnya sudah membuktikan
mampu tampil ke wilayah publik melakukan kegiatan politik, maka muncullah
anggapan lain, bahwa keterlibatan perempuan hanya bermodalkan fisik,
keterlibatan perempuan hanya karena mendompleng popularitas suami atau
1
2
keluarga. Apakah tidak bisa perempuan berpolitik tampil di ruang publik, atas
nama diri sendiri dan dengan segenap kemampuan sendiri. Pertanyaan ini yang
sulit untuk dijawab, ketika patokan dan aturan yang digunakan untuk menilai
kemampuan dan keterlibatan perempuan, ditentukan oleh laki-laki. Sementara itu
politik dan ruang publik merupakan wilayah kekuasaan laki-laki, maka lengkap
sudah apa yang menjadi penderitaan perempuan.
Eksistensi perempuan yang tampil di wilayah publik dan melakukan
kegiatan politik, khususnya di Indonesia sesungguhnya sudah cukup lama. Ratu
Shima yang disebutkan dalam sebuah prasasti di Cina yang menceritakan adanya
seorang Ratu dari kerajaan Ho-Ling Yang, sebuah wilayah di Nusantara pada
tahun 674, sosok ratu yang memimpin dengan penuh ketegasan dan keadilan
(Adam, 2007:52). Wilayah Ho-Ling ini di kemudian hari terkenal dengan nama
Kaling, sebuah kecamatan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Keberadaan
pemimpin perempuan juga dibuktikan pada abad 15, di masa Kerajaan Majapahit
tersebutlah nama Rajapatni dan Tribhuana Tunggadewi ratu yang sangat
berpengaruh sehingga Hayam Wuruk memberikan penghormatan dengan upacara
besar yang kemudian dilukiskan panjang lebar dalam Negarakertagama (Rizal,
2007:24).
Kedatangan penjajah di wilayah Nusantara mendapat reaksi dari pemimpin
perempuan, salah satunya Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang sangat terkenal
karena keberaniannya, bahkan pada tahun 1550, raja Johor mengirimkan surat
kepada Ratu Kalinyamat yang berisi anjuran kepada ratu untuk melakukan perang
jihad terhadap Portugis di Malaka. Ratu Kalinyamat, menyetujui ajakan tersebut
3
dengan mengirimkan armada laut yang tangguh pada tahun 1551. Terdapat 400
kapal yang tergabung dalam persekutuan muslim, dan 40 kapal diantaranya
berasal dari Jepara yang mengangkut 4000-5000 prajurit bersenjata. Kehebatan
Ratu Kalinyamat mendapatkan pengakuan dari orang-orang Portugis dan ditulis
dalam buku De Cauto dengan menyebut Ratu Kalinyamat sebagai rainha de
Japara, sembora poderosa e rica yang berarti : Ratu Jepara, seorang wanita yang
kaya dan berkuasa. Ratu Kalinyamat juga mendapat sebutan De kranige dame,
yang artinya seorang wanita pemberani, hal ini ditunjukkan dengan keberaniannya
menyerang Portugis di Malaka (Nugroho, 2011:14).
Kedatangan Belanda di wilayah Aceh juga mendapat reaksi dari
Laksamana Keumala Hayati, seorang perempuan yang memimpin armada Aceh
melawan Belanda. Menurut sejarah, Kemala Hayati memiliki seratus kapal perang
dan setiap kapal perang dapat mengangkut 400 prajurit atau tentara.
Kepemimpinan perempuan Aceh dilanjutkan dengan adanya empat orang
perempuan penerus pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang telah memerintah
Aceh selama 60 tahun (1641-1699). Mereka adalah Sri Sultanah Tajul alam Safiah
Ad-din. Kedua, Sultanah Nurul Alam Natiyyah Ad-din, Sri Sultanah Zakiah Addin Johar Shah, dan terakhir adalah Sultanah Kemala Ad-din (Nugroho, 2004:7).
Seiring dengan perubahan kekuasaan di Indonesia, maka pada masa
pendudukan Belanda, terutama pada masa Pergerakan Nasional, perempuan
Indonesia mulai bergerak membentuk organisasi dan memberikan kontribusi bagi
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Poetri Mardika yang dibentuk
di Jakarta tahun 1912, Keradjinan Amai Setia yang didirikan di Padang tahun
4
1914, Pawiyatan Wanito yang didirikan di Magelang tahun 1915, Percintaan Ibu
Kepada Anak Temurun (PIKAT), yang didirikan di Manado tahun 1917, Aisyiyah
sebagai organisasi pendamping Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta
tahun 1917, Poeteri Boedi Sedjati didirikan di Surabaya tahun 1919 (Nugroho,
2012:5).
Kemerdekaan Indonesia, membawa angin segar bagi perempuan untuk
berpolitik, memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, salah satunya Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) yang merupakan organisasi perempuan modern, yang
memiliki garis perjuangan yang jelas, yang oleh beberapa kalangan, organisasi
Gerwani dianggap sebagai organisasi perempuan yang berpikiran maju, dianggap
cukup kuat dan tangguh dengan anggota tidak kurang satu juta orang (Arivia,
2006:32). Seiring dengan perubahan politik di Indonesia, kemunculan Orde Baru
membawa perubahan pola pergerakan organisasi perempuan di Indonesia. Pada
tahun 1966 Gerwani merupakan organisasi underbow PKI, partai yang dianggap
melakukan kudeta pada peristiwa 30 September 1965, maka dinyatakan sebagai
partai terlarang. Anggota Gerwani dicap sebagai perempuan liar yang tidak
berperikemanusiaan karena ikut melakukan penyiksaan kepada jenderal-jenderal
TNI Angkatan Darat yang diculik oleh PKI di Lubang Buaya. Masa Orde Baru
ini, masa kemunduran bagi perempuan, karena secara sistematis pemerintah
melakukan depolitisasi kepada perempuan. Politik Ibuisme yang diusung oleh
pemerintah, telah menjadikan organisasi perempuan yang selalu dihubungkan
dengan posisi suami dan hanya mengurus masalah domestik, seperti Dharma
Wanita, Persit Kartika Candra dan Bhayangkari.
5
Reformasi 1999, gerakan politik perempuan mulai bangkit lagi, terutama
untuk melakukan penyadaran perempuan untuk kembali berpartisipasi dalam
politik (Nugroho, 2012:8). Hingga tahun 2014 ketika sudah berlangsung Pemilu
legislatif dan Pemilu Presiden, masih juga terdapat keraguan yang ada dalam diri
perempuan, pertama berhubungan dengan trauma terhadap sejarah politik di
Indonesia yang dapat dikatakan kelam, sarat dengan pembantaian dan kekerasan.
Alasan kedua bahwa perempuan selama ini merasa aman dan nyaman
ditempatkan di wilayah privat. Budaya patriarki secara masif dan intensif
mengindoktrinasi perempuan, bahwa politik itu kotor dan perempuan adalah ibu,
makhluk yang suci, sehingga tidak pantas dalam wilayah publik untuk melakukan
tindakan politik. Ketika perempuan berhasil masuk ke wilayah publik dan
berpolitik, masih saja dihembuskan berbagai macam stigma yang menganggap
perempuan tidak mampu bersuara, perempuan tidak mampu bernegosiasi dengan
laki-laki dan berbagai macam stigma negatif yang lain.
Kesuksesan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya dengan
bekerja di wilayah publik dan mendapat penghasilan yang layak, ternyata tidak
secara otomatis mampu mengurangi beban penderitaan perempuan. Fakta
memperlihatkan bahwa ternyata, perempuan masih berada di bawah dominasi
laki-laki yaitu suami. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat
kematian istri atau suami serta masalah pengorganisasian tanggung jawab
keluarga yang selalu saja menguntungkan pihak laki-laki merupakan masalah
penting yang dialami perempuan karier. Slogan the personal is political yang
dikemukakan oleh Betty Friedan tahun 1963 dalam bukunya The Feminine
6
Mystique, kiranya sangat tepat untuk menggambarkan peran dan posisi perempuan
yang bergumul dengan isu publik yang ternyata di wilayah privat peran dan
posisinya tidak berubah (Arivia, 2003:101). Ketika perempuan pekerja di wilayah
publik, bekerja hingga sore, sesampainya di rumah tetap memiliki tanggung
jawab besar untuk bekerja di ruang domestik, memasak makan malam,
menidurkan anak, hingga bangun paling pagi untuk mempersiapkan sarapan pada
keesokan harinya. Ini beban ganda yang diterima perempuan.
Perubahan yang harus dilakukan menurut Feminisme Marxis, bukan hanya
masalah keterbukaan akses bagi perempuan untuk bekerja di wilayah publik,
sehingga memiliki persamaan posisi dengan laki-laki di wilayah publik, namun
yang lebih penting perubahan struktur dalam masyarakat. Artinya bahwa ideologi
patriarki yang telah mengakar kuat pada seluruh ruang kehidupan masyarakat
harus diganti. Pandangan umum tentang tugas perempuan untuk menyelesaikan
pekerjaan di wilayah domestik harus dinilai sama dengan pekerjaan laki-laki di
wilayah publik. Selain itu perlunya tindakan afirmatif untuk mendorong laki-laki
agar mau berbagi tugas, menyelesaikan pekerjaan domestik bersama dengan
perempuan.
Bagaimana harus menyuarakan beban ganda yang dipikul oleh perempuan
dan bagaimana agar laki-laki mau ikut serta bertanggung jawab menyelesaikan
pekerjaan domestik? Salah satunya melalui terjun langsung di wilayah publik
dengan berpolitik. Dengan demikian diperlukan sebuah keberanian perempuan
untuk berpolitik secara praktis. Menurut Ani Sucipto, perlu sebuah tindakan
afirmatif untuk membuat ruang publik lebih terbuka sehingga dapat meredefinisi
7
bidang publik khususnya politik yang selama ini dianggap tabu bagi perempuan
(Arivia, 2006:299). Keterlibatan perempuan di wilayah publik saat ini merupakan
sebuah keniscayaan. Hal tersebut disebabkan, pertama, ketika perempuan terlibat
di wilayah publik maka perempuan akan terlibat dengan semakin banyak orang
yang dapat menyuarakan suara kaumnya secara langsung. Dengan demikian,
kedudukan perempuan di parlemen merupakan wakil perempuan, sehingga akan
menyuarakan suara perempuan (Sjarifudin, 2009:36). Misalnya masalah analisis
gender budgeting yang sesungguhnya merupakan jalan ke luar paling sesuai untuk
memerangi angka kematian ibu hamil, ibu melahirkan, memerangi kebodohan
perempuan, memerangi angka anak kekekurangan gizi dan banyaknya anak putus
sekolah (Venny, 2006:5). Kasus kebijakan anggaran yang tidak responsif gender
yang tidak berhasil disuarakan oleh anggota legislatif, sehingga terjadi
pengurangan anggaran untuk kesehatan ibu hamil dan anak. Hal tersebut
mengakibatkan semakin banyak perempuan meninggal ketika melahirkan dan
meningkatnya anak yang mengalami gizi buruk. Ini alasan yang menyebabkan
adanya penyebutan bahwa kemiskinan di Indonesia sering digambarkan berwajah
perempuan (Subiyantoro, 2006:66).
Kedua, perempuan akan mengusung berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan masalah dan dunia perempuan itu sendiri, yang selama ini sulit
untuk disuarakan oleh laki-laki. Sebagai contoh kasus penggunaan alat
kontrasepsi, selama ini terdapat pemaksaan oleh negara, bahwa yang harus
menggunakan alat kontrasepsi perempuan. Masalah penggunaan alat kontrasepsi
merupakan wilayah kekuasaan perempuan, karena perempuan yang mengetahui
8
tubuh dan perempuan juga yang berhak menguasai tubuh mereka sendiri. Contoh
lain masalah perjuangan membela TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang ada di luar
negeri yang mengalami penyiksaan hingga pemerkosaan, hal ini hanya mungkin
dilakukan dengan sungguh-sungguh jika yang menyuarakan perempuan, karena
apa yang dilakukan perempuan bukan semata-mata karena alasan kewajiban
seperti halnya pihak kedutaan besar atau kementerian tenaga kerja yang
didominasi oleh laki-laki, namun kemampuan perempuan untuk bersimpati dan
empati merupakan dasar penting untuk dapat memperjuangkan nasib TKW secara
lebih sungguh-sungguh. Melihat alasan-alasan tersebut di atas, kiranya perlu
dipikirkan keterlibatan perempuan untuk berpolitik dan yang lebih penting
memikirkan sebuah politik alternatif untuk mengimbangi dominasi politik
maskulin, yaitu politik perempuan.
Jika dalam pemaparan tersebut di atas telah banyak dibahas tentang
perempuan yang melakukan kegiatan politik di ruang publik, bagaimana dengan
strategi yang dilakukan untuk berpolitik, apakah perspektif dan cara pandang yang
dilakukan sama dengan laki-laki dengan kata lain pendekatan yang dilakukan
terhadap kekuasaan menggunakan cara seperti halnya laki-laki, ataukah
menggunakan cara berbeda, yaitu cara khas perempuan?
Politik perempuan merupakan sebuah perspektif dan cara pandang yang
dilakukan oleh perempuan untuk menyuarakan masalah-masalah yang dialami
perempuan, mulai kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan alat kontrasepsi
hingga masalah rusaknya lingkungan yang berdampak pada kehidupan
perempuan.
Politik
perempuan
didasari
oleh
keyakinan
bahwa
politik
9
konvensional merupakan politik maskulin, sehingga perempuan harus memiliki
cara pandang yang berbeda yaitu cara pandang yang didasarkan pada pengalaman
khas perempuan (Adelina, 2014:56). Praktik politik perempuan pada dasarnya
dapat dilakukan dalam lingkup kegiatan pemberdayaan perempuan, kegiatan
kemasyarakatan dan juga dengan bergabung dalam lembaga politik, seperti partai
dan parlemen.
Salah satu filsuf yang banyak mengangkat peran dan keterlibatan manusia
dalam politik di ruang publik Hannah Arendt. Sebagai seorang neomarxis,
pemikiran Arendt sedikit banyak dipengaruhi oleh Marx, mulai dari konsep kerja,
tindakan, pembagian wilayah publik, privat hingga teori alienasi.
Sepanjang sejarah filsafat Barat, keberadaan filsuf perempuan yang
menggeluti filsafat politik dapat dikatakan sangat sedikit. Di antara nama yang
muncul di permukaan, nama Mary Wollstonecraft, Harriet Taylor dan Hannah
Arendt. Berbeda dengan dua nama sebelumnya, nama Hannah Arendt, bukan
hanya berbicara tentang filsafat politik, tetapi mengalami langsung terjun dalam
politik itu sendiri (Hardiman, 2002:4).
Sebagai konsekuensi keterlibatannya dalam politik praktis, Hannah Arendt
tidak pernah memaparkan ide-ide besar seperti halnya yang ada dalam teori besar
filsafat politik seperti
keadilan, kebebasan, konsep warga negara hingga
demokrasi. Hal ini sesuai dengan slogan yang sering diungkapkan kaum
fenomenologi Zu den sachen selbst, kembalilah kepada benda-benda itu sendiri
(Nugroho, 2009: 12), oleh karena itu tulisan Arendt tentang Asal Usul
10
Totaliterisme dan Banalitas Kejahatan merupakan hasil perenungan, pengalaman
hidupnya dibawah rezim anti-Semitisme dan diktator Nazi.
Pengalaman pribadi Arendt hidup dalam suasana teror yang sarat dengan
kekerasan telah banyak memberikan pengaruh pada konsep-konsep yang digagas.
Konsep kekuasaan, pentingnya kebebasan, serta penolakan Arendt terhadap
kekerasan merupakan konsep yang original (asli) muncul dari pengalaman pribadi
Arendt hidup di bawah totalitarianisme NAZI. Alasan ini yang menarik bagi
peneliti, untuk mencari benang merah pengalaman Arendt sebagai korban
totalitarianisme dengan pengalaman perempuan yang ada di bawah dominasi dan
hegemoni budaya patriarki. Tindakan dan strategi apa yang dapat dilakukan oleh
perempuan, untuk dapat berjuang dan mendapatkan pengakuan kesetaraan
bersama dengan laki-laki. Berdasar argumentasi di atas, menarik untuk diteliti
politik perempuan dalam pemikiran filsafat politik Hannah Arendt.
2. Rumusan Masalah
Penelitian yang berjudul “Konsep Politik Perempuan Hannah Arendt
dalam Perspektif Filsafat Politik” merupakan penelitian dengan menggunakan
perspektif filsafat politik. Objek material yang akan diteliti adalah tindakan politik
perempuan yang ada dalam pemikiran filsafat politik Hannah Arendt. Rumusan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Apa konsep tindakan politik menurut Hannah Arendt ?
b. Bagaimana politik perempuan yang digagas Feminisme?
c. Apa konsep politik perempuan dalam filsafat politik Hannah Arendt?
11
d. Apa relevansi politik perempuan dalam perkembangan diskursus politik
perempuan di Indonesia saat ini dan di masa depan?
3.
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pemikiran Hannah Arendt telah banyak dilakukan,
demikian juga tentang tindakan politik. Berikut ini dipaparkan beberapa penelitian
tentang pemikiran Hannah Arendt, antara lain:
1. Alexander Seran, 2009, Antara Dasein dan Caritas Pemikiran Hannah
Arendt Tentang Kekuasaan, hasil penelitian dalam jurnal Respon
Universitas Atmajaya. Tulisan ini memaparkan pandangan Arendt tentang
konsep cinta sesama yang memiliki dasar metafisika eksistensial.
2. Alois Agus Nugroho, 2009, Menggali Warisan Hannah Arendt dalam
”Asal-Usul Totalitarisme”, tulisan ini merupakan salah satu tulisan dalam
jurnal Respon, Universitas Atmajaya Jakarta. Agus Nugroho memaparkan
konsep kekuasaan dalam pandangan Arendt yang salah satuya berakibat
pada lahirnya Totalitarianisme.
3. Benyamin Molan, 2009, Hannah Arendt: Kekerasan Bukan Tindakan
Politik, namun Bukan Tanpa Resiko, merupakan hasil penelitian yang
ditulis dalam Jurnal Respon, Universitas Atmajaya Jakarta. Penelitian ini
berisi pandangan Arendt tentang kekerasan yang sesungguhnya bukan
merupakan tindakan politik, namun kekerasan sering digunakan dalam
politik.
4. Ari Rohmawati, tahun 2010 tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Filsafat,
Fakultas Filsafat UGM dengan judul Makna Kebebasan dalam Perspektif
12
Filsafat Politik Hannah Arendt. Ari Rohmawati dalam tesisnya
mendeskripsikan makna kebebasan dalam pemikiran Arendt.
5. Rieke Dyah Pitaloka, 2010, tulisan dengan judul Banalitas Kejahatan: Aku
yang Tak Mengenal Diriku. Telaah Hannah Arendt Perihal Kekerasan
Negara. Tulisan ini merupakan tesis Program Pascasarjana UI, yang telah
dibukukan oleh penerbit Koekoesan, Jakarta. Dalam tesis ini Rieke Dyah
Pitaloka memapakarkan konsep kekerasan yang dilakukan negara kepada
warganya sebagai akibat kesalahpahaman dalam mengartikan konsep
kekuasaan dan kekerasan.
6. Eddie S.Riyadi, tahun 2011 menulis makalah diskusi, tidak diterbitkan
dengan judul Manusia Politis menurut Hannah Arendt. Makalah Eddie
memaparkan makna dari manusia politis yang sebagai sebuah keniscayaan.
7. Kardi Laksono, tahun 2012, disertasi Program Ilmu Filsafat, dengan judul
Seni dalam Filsafat Politik Hannah Arendt: Relevansinya dengan
Pemahaman Undang-Undang Pornografi di Indonesia.
8. Agus Sudibyo, tahun 2012, Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan
dalam Pemikiran Hannah Arendt. Buku ini merupakan tesis progran S2
Pascasarjana Universitas Indonesia, yang telah dibukukan dan diterbitkan
oleh Marjin Kiri, Tangerang. Buku ini membahas pandangan Arendt
tentang politik yang dihubungkan dengan kondisi di Indonesia.
9. Azkal Azkiyak, 2014, skripsi program S1 Fakultas Filsafat UGM, dengan
judul Konsep Kekuasaan dalam film The Godfather ditinjau dari Konsep
Kekuasaan Hannah Arendt. Azkal dalam skripsinya menggunakan konsep
13
kekuasaan Arendt sebagai sudut pandang untuk melihat kekuasaan yang
dipratekkan dalam film The God Father.
Berdasarkan pemaparan tersebut, kiranya jelas bahwa disertasi dengan
judul Konsep Politik Perempuan Hannah Arendt dalam Perspektif Filsafat Politik
merupakan sebuah ide baru, yang berusaha untuk mengeksplorasi politik
perempuan dalam pemikiran filsafat politik Hannah Arendt, yang selama ini
belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini secara khusus memiliki objek
material politik perempuan dalam filsafat politik Hannah Arendt dan objek formal
penelitian ini adalah filsafat politik.
4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Bagi ilmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala filsafat dan khasanah
ilmiah filsafat politik terutama untuk mengkaji politik perempuan dalam
pemikiran filsafat politik Hannah Arendt.
b. Bagi pembangunan bangsa dan negara, pemikiran Hannah Arendt ini dapat
dijadikan sebagai konsep alternatif yang mendasari proses pengambilan
keputusan dan kebijakan untuk mengikutsertakan nilai-nilai feminin dalam
politik perempuan.
c. Bagi kaum perempuan, konsep Hannah Arendt ini diharapkan dapat
menjadi pembelajaran, pendorong dan penyemangat bagi laki-laki dan
perempuan untuk berperan dan berjuang memajukan politik khas
perempuan di antara dominasi dan hegemoni politik maskulin saat ini.
14
B. Tujuan Penelitian
a. Mengeksplorasi dan merumuskan konsep tindakan politik menurut
Arendt.
b. Mengeksplorasi politik perempuan dalam pemikiran Feminisme.
c. Mengeksplorasi dan menganalisis politik perempuan dalam pemikiran
filsafat politik Hannah Arendt.
d. Mengungkap
implementasi
mengungkapkan
akses,
politik
meningkatkan
perempuan
partisipasi
dalam
rangka
serta
kontrol
perempuan dalam berpolitik di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Hannah Arendt, salah satu anak modernisme yang sangat peduli dengan
tema-tema filsafat politik, memiliki pandangan yang menarik tentang pembedaan
ruang publik dan privat. Alois Agus Nugroho, 2009, Menggali Warisan Hannah
Arendt dalam ”Asal-usul Totalitarisme”. Menurut Alois Agus Nugroho, karya
besar
pertama Arendt The Origin of Totalitarianism, karya pertama yang
menandai Arendt sebagai filsuf yang terjun dan tertarik dengan masalah politik.
Dalam buku tersebut Arendt menjelaskan dengan sangat jernih awal mula
bangkitnya Antisemitisme di Eropa Barat dan Eropa Tengah abad 19 sebagai
kebangkitan gerakan massa yang rasistis (Nugroho, 2009:13). Dalam buku
tersebut Arendt juga melakukan pembedaan antara manusia sebagai manusia
(human qua human) dan manusia sebagai warga negara (human qua citizen). Hakhak yang tertulis dalam Declaration of Human Rights merupakan hak-hak yang
15
melekat pada manusia sebagai manusia (human qua human) yang tidak dapat
dicabut oleh siapapun. Ini yang membedakan dengan hak manusia sebagai warga
negara (hak nasional) yang dimiliki manusia setelah menjadi warga negara
tertentu (Nugroho, 2009:20). Berkaitan dengan masalah hak-hak perempuan, hakhak ini harus dilihat dalam konteks manusia sebagai manusia, bukan perempuan
sebagai warga negara yang seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua.
Hal yang menarik dari pemikiran Hannah Arendt yaitu terkait dengan
tradisi filsafat barat. Dalam buku Human Condition, Arendt menyatakan bahwa
tradisi filsafat Barat selama ini terlalu sibuk dengan kehidupan kontemplasi dan
hanya
bergulat
dengan
masalah
esensi
(vita
contemplativa),
sehingga
mendevaluasi dunia aksi (vita activa). Biang utamanya Plato, dengan ajaran
metafisika telah mensubordinasi tindakan dan dunia inderawi ke dalam dunia ideide yang abadi Plato menggambarkan dunia manusia sebagai bayangan dan
kegelapan, dan menginstruksikan kepada siapa saja yang mendambakan
kebenaran untuk berpaling dari hal-hal duniawi untuk mendapatkan “langit bersih
yang penuh dengan ide-ide abadi” (Arendt, 1958:14-16).
Menurut Arendt, manusia hidup di dunia pada dasarnya memiliki dua
kondisi mendasar, pertama merupakan kondisi dasariah yang sifatnya “given”
mulai dari hidup itu sendiri, pluralitas, kelahiran dan kematian. Ini ide-ide besar
yang dibicarakan filsuf-filsuf masa Yunani. Kondisi kedua lebih merupakan
kondisi yang dikreasikan oleh manusia itu sendiri yang lebih berhubungan dengan
hubungan antarmanusia seperti kasih sayang, keamanan, kemerdekaan, dan
perdamaian (Ivakovic, 2002:621). Kondisi manusia kedua yang selama ini
16
diabaikan dan dianggap tabu oleh filsuf-filsuf Yunani, padahal kondisi ini penting
untuk dibahas dan didiskusikan dalam konteks kefilsafatan.
Maurizio Passerin D’entrves memaparkan hasil interpretasinya terhadap
karya Arendt, Human Condition, bahwa manusia harus hidup dalam kondisikondisi yang diciptakan oleh manusia sendiri, yang secara radikal berbeda dengan
kondisi yang diciptakan alam untuk mereka. Oleh karena itu ketika membahas
tentang kondisi manusia jelas akan berbeda dengan pembahasan tentang hakikat
manusia (d’Etreves, 1994:59). Pada bagian pembuka buku Human Condition,
Arendt menjelaskan bahwa dalam kondisinya manusia melakukan aktivitas kerja,
karya dan tindakan yang kesemua dilakukan di ruang privat dan ruang publik.
Tingkatan tertinggi kondisi manusia adalah ketika berpolitik di ruang publik
dengan melakukan tindakan politik bersama-sama manusia lain, dengan
melakukan komunikasi satu sama lain.
Dalam makalah yang disampaikan Eddie S. Riyadi dikemukakan bahwa
menurut Arendt, politik bukan sebuah alternatif bagi kehidupan manusia,
melainkan sebuah pencapaian puncak eksistensi manusia, yaitu ketika manusia
menemukan kebenaran, sehingga politik merupakan aletheia, disclosure,
penyingkapan). Hanya melalui politik-lah manusia mendapatkan kebebasan,
melakukan tindakan (vita activa) dan menggagas pemikiran (vita contemplativa)
(Riyadi, 2011:1).
Bagaimana dengan politik perempuan? Perempuan sebagai bagian jenis
kelamin manusia, apakah sama dengan manusia yang lain? Apakah dapat
mencapai eksistensinya melalui politik? Terdapat kesulitan tersendiri untuk
17
berbicara tentang politik perempuan, mengingat Arendt sangat menekankan
pentingnya demarkasi antara ruang publik dan ruang privat (Sudibyo, 2012:207).
Apakah mungkin berbicara tentang politik perempuan untuk mewujudkan slogan
besar feminisme, the personal is political?, sementara Arendt sangat mewaspadai
adanya urusan wilayah privat, jangan sampai masuk ke wilayah publik.
Pengalaman personal perempuan yang bermula dan bersumber di ruang privat,
apakah bisa dibawa ke ruang publik sebagai tindakan politik seperti yang digagas
oleh Arendt.
Politik perempuan, merupakan sebuah perspektif baru yang ditawarkan
oleh para feminis sebagai sebuah alternatif baru terhadap adanya dominasi lakilaki dalam politik. Politik ini berangkat dari pengalaman perempuan yang
menguasai wilayah domestik/privat mulai dengan kemampuan melahirkan,
mengasuh dan mendidik anak. Pengalaman perempuan dalam menangani politik
domestik ini sangat berbeda dengan pengalaman laki-laki, sehingga ketika politik
perempuan ditawarkan dan dibawa oleh perempuan ke ruang publik, diharapkan
dapat membawa isu-isu ketidaksetaraan, marginalisasi dan subordinasi yang
dialami oleh perempuan secara langsung (Adelina, 2014:56).
Politik perempuan menurut Jaggar merupakan strategi yang dilakukan
oleh gerakan Feminisme yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lampau dan
politik perempuan ini memiliki sebuah dasar pijakan seperti kata :
Standpoint feminism problematized such approaches by arguing that
women’s experiences of oppression and particularly household and
reproductive labor provided not an epistemological foundation for
reinterpreting social relations, that women’s experience provided just a
different set of information or knowledge claims, but different ways of
18
understanding reality and of evaluating knowledge claims (Jaggar,
2007:147).
Berbeda
dengan
laki-laki,
pengalaman
perempuan
mengalami
penindasan, menangani masalah rumah tangga dan yang terpenting mengurus
masalah reproduksi (hamil, melahirkan, mengasuh, mendidik) merupakan dasar
epistemologi bagi terbentuknya pengetahuan perempuan. Dasar epistemologi ini
yang sesungguhnya dapat dikembangkan sebagai sebuah politik perempuan.
Pandangan Arendt tentang politik pernah dikaji oleh Yi Huah Jiang,
menurutnya, Arendt menggunakan kata politik merujuk pada dua hal. Pertama,
untuk menyebut proses artikulasi kepentingan politik dan perebutan kekuasaan,
seperti yang kebanyakan dilakukan orang selama ini. Pengertian politik seperti ini
menurut Arendt merupakan "tingkat terendah urusan manusia". Kedua, Hannah
Arendt juga mempromosikan "politik" sebagai pencapaian utama dari peradaban
manusia yang pernah tercapai, yaitu ketika manusia mengaktualisasikan seluruh
potensi manusiawi untuk bertindak, ini yang disebut Arendt sebagai "tingkat
tertinggi urusan manusia" (Jiang, 2005:2). Di dalam politik yang ada kebebasan
dan komunikasi antarmanusia di ruang publik, namun saat ini apa yang terjadi?,
walaupun Arendt tidak menyebut hal tersebut sebagai akibat praktik politik khas
laki-laki, namun dapat dipastikan bahwa tindakan kekerasan dalam politik telah
menyebabkan terjadinya kerusakan ruang publik. Konsep kekuasaan maskulin
yang ada dalam politik di ruang publik, terjadi karena kesalahpamahaman tentang
kekuasaan. Politik yang selama ini salah dipahami sering diidentikkan dengan
kekerasan dan teror. Ini yang dialami Arendt dalam rezim NAZI.
19
Rieka Dyah Pitakola menjelaskan bahwa dalam ilmu politik selama ini
tidak ada pemilahan dan pembedaan antara konsep kekuasaan (power), kekuatan
(strenght), daya (force), otoritas (authority), dan kekerasan (violence). Menurut
Arendt, konsep kekuasaan, kekuatan, otoritas dan kekerasan memiliki makna yang
berbeda dan fenomena yang berbeda, sehingga menyebabkan kebutaan terhadap
realitas politik (Pitaloka, 2010:39). Kebutaan realitas politik tersebut yang pada
akhirnya melahirkan totalitarianisme dan munculnya banalitas kejahatan.
Benyamin Molan menjelaskan dalam tulisannya tentang Arendt yang
berjudul “Kekerasan Bukan Tindakan Politik”, mempunyai pandangan serupa
dengan Pitaloka, bahwa pencampuradukan antara kekerasan, kekuasaan, kekuatan,
wewenang, vita contemplativa, vita activa, kerja, karya, kegiatan, sebenarnya
merupakan kebodohan. Kebodohan yang dimaksud tentu bukan dalam arti
rendahnya tingkat pendidikan, karena banyak elit politik dan penguasa yang
merupakan orang berpendidikan justru menggunakan kekerasan sebagai instrumen
ketika kekuasaan mengancamnya (Molan, 2009:66). Dengan penjelasan tersebut,
terlihat konsep kekuasaan yang diusung Arendt memiliki perspektif yang agak
berbeda dengan filsuf-filsuf pada umumnya seperti Hobbes hingga Marx. Jika
selama ini para filsuf menekankan pentingnya kekerasan sebagai salah satu
instrumen dari kekuasaan maka Arendt memiliki pandangan yang berbeda, bahwa
kekuasaan merupakan aktualisasi dari hubungan antarmanusia yang terjadi di
wilayah publik, sehingga dalam kekuasaan harus ada komunikasi yang baik,
saling mendengarkan dan memahami antaranggota wilayah publik (Sumarwan,
2002:48).
20
Alexander Seran dalam penelitiannya tentang kekuasaan dalam
perspektif Arendt lebih banyak menyoroti kekuasaan dari sudut pandang
fenomenologi, yaitu kekuasaan yang dikaitkan Dasein. Arendt menempatkan
Dasein antara masa lampau dan masa depan untuk mengingatkan adanya harapan
kontinuitas eksistensi dalam apa yang diciptakan kebudayaan. Berdasar hal ini,
maka politik bagi Arendt kekuasaan untuk mengatasi kesementaraan dan
kesendirian dalam kebersamaan (Seran, 2009:99).
Penelitian Yi Huah Jiang dengan judul Hannah Arendt’s Idea of Politics
Revisited, Arendt memaparkan :
…..the meaning of politics is freedom, to be political is to be free. The
definition is simple and concise, but as Arendt explains its simplicity and
conclusive force lie in the very fact that politics exists in the human
world. Freedom is raison d’etre and the essence of politics. It is raison
d’etre because human beings live together,act together, or even fight
together, with the view of enjoying the experience of being free. It is the
essence of political life because without freedom, action would deteorate
into behaviora, and speech would (Jiang,2005:5)
Gambaran Arendt yang sangat menjunjung tinggi kebebasan tampak jelas
pada kutipan di atas. Sejalan dengan tulisan Jiang, Zerilly juga menengarai bahwa
Arendt menekankan berkali-kali bahwa politik hanya dapat eksis ketika semua
orang berinteraksi satu sama lain dan kebebasan nilai terbesar yang mendasari
interaksi tersebut (Jane, 2007:790).
Hannah Arendt tidak pernah menulis dan memaparkan konsep tentang
perempuan dan dalam penelitian ini pula bukan untuk mencari pemikiran Arendt
tentang perempuan, namun lebih kepada usaha untuk merefleksikan pemikiran
Arendt tentang filsafat politik untuk kemudian diadopsi dan digunakan sebagai
alat bagi perjuangan perempuan. Sebagai seorang perempuan Yahudi, Arendt
21
mengalami langsung diskriminasi dan kekejaman yang dilakukan oleh Nazi. Hal
ini bukan hanya karena dia Yahudi, tetapi karena dia juga perempuan. (Cutting,
1993:35-54). Jenis kelamin perempuan dan kebangsaan Yahudi yang dimiliki,
sedikit banyak telah berpengaruh terhadap pemikiran Arendt tentang perempuan
dan gerakan feminisme, namun pandangan dan pemikiran tersebut tidak
diungkapkan secara langsung. Melalui penelitian ini diangkat dan dikonstruksikan
adanya politik perempuan dalam pemikiran Hannah Arendt serta memberikan
argumentasi ilmiah bahwa Hannah Arendt memiliki pemikiran yang dapat
digunakan sebagai alternatif bagi perjuangan perempuan untuk mewujudkan
kesetaraan.
Alan B.Wood dalam buku Imagining Freedom, menjelaskan bahwa
menurut Arendt kebebasan yang dimanifestasikan dalam politik selalu melebihi
hal-hal yang sifatnya instrumental dan hanya akan menjadi nyata ketika
berhubungan dengan orang lain, yaitu dalam pluralitas realitas publik. Kebebasan
yang dimaksud meliputi kemampuan individu yang beragam untuk datang
bersama-sama dan membangun sebuah dunia di antara manusia melalui tindakan
politik. Pandangan Arendt tentang kebebasan politik ini yang dianggap beberapa
ahli memberikan jalan ke luar dari perdebatan status subjek feminis, karena ketika
terdapat kebebasan, individu tampil sebagai subjek yang memiliki perbedaan
antara satu dengan yang lain, sehingga muncullah keberagaman.
“women” is not a pre-given category with determinate list of goals to be
achieved through the mechanism of politics; rather,”women” is a
political work in progress, as individual women relate to one another in
the space of appearances, forming and pursuing their shared interests
and, in so acting and speaking together, enacting their freedom as
women (Wood, 2006:792).
22
Ani Rohmawati yang melakukan penelitian tentang kebebasan dalam
pemikiran Arendt, mengemukakan bahwa Arendt secara khusus membedakan
antara liberation dan freedom. Istilah liberation lebih merupakan gagasan negatif
tentang kebebasan (liberty), seperti yang dikemukakan Arendt, to be free from
oppression, sedangkan istilah freedom disebutkan oleh Arendt sebagai the
political way of life begin. Perbedaan istilah ini, berimplikasi pada bentuk
pemenuhan kebutuhan bagi manusia yang ada di dalamnya, artinya ketika
manusia ingin bebas dari penindasan maka pemerintahan yang dapat menjamin
adalah pemerintahan berbentuk monarki, sedangkan jika manusia ingin bebas
secara politik dan melakukan tindakan politik secara bebeas, yang dapat menjamin
adalah bentuk pemerintahan demokrasi (Rohmawati, 2010:122).
Selain konsep kebebasan, Arendt juga sangat menekankan aspek
pluralitas, seperti diungkapkan “the fact that men, not Man, live on the earth and
inhabit the world,” and says that it is the condition of human action “because we
are all the same, that is, human, in such a way that nobody is ever the same as
anyone else who ever lived, lives, or will live ” (Alwahaib, 2006:137). Pluralitas
dimaksudkan adalah berhubungan dengan kesetaraan dan adanya perbedaan
sekaligus. Fakta memperlihatkan, manusia memiliki perbedaan-perbedaan antara
satu dengan yang lain, meskipun terdapat perbedaan, antara manusia satu dengan
manusia yang lain memiliki posisi yang setara, sebagai manusia.
Feminis sekaligus filsuf kontemporer Seyla Benhabib, mempunyai
interpretasi yang berbeda pandangan Arendt. Menurut Benhabib, Arendt
sebagaimana pemikir modernis lainnya, tentu sepakat dengan adanya Deklarasi
23
Universal Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, yang mengasumsikan bahwa
perempuan sebagai manusia juga berhak atas hak-hak politik dan sipil yang sama
dengan pria (Benhabib, 1996:138). Hak-hak politik yang dimaksud tentu bukan
hanya dalam konteks politik domestik, namun politik dalam arti lebih luas, yaitu
menyangkut eksistensinya di ruang publik untuk bersama-sama dengan
perempuan lain dan juga bersama laki-laki menyelesaikan masalah yang dialami
perempuan.
Pandangan Arendt tentang kekerasan telah banyak diteliti, salah satunya
yaitu tulisan Rieke Dyah Pitaloka, yang berjudul Banalitas Kekerasan. Buku ini
membahas secara komprehensif tentang kejahatan yang sudah dianggap sebagai
hal yang biasa oleh masyarakat dan negara (Pitaloka, 2010:17). Teori Arendt
tentang kekerasan ini, sangat sesuai untuk menggambarkan kekerasan yang
seringkali dialami oleh perempuan. Hal ini disebabkan negara terbiasa
menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
Berdasarkan pemaparan penelitian-penelitian terdahulu yang pernah
dilakukan, maka penelitian ini mengkaji politik perempuan dalam filsafat politik
Hannah Arendt yang disoroti melalui perspektif filsafat politik.
D. Landasan Teori
Filsafat politik merupakan sebuah kajian yang mulai ada dan menjadi
perhatian banyak filsuf ketika manusia hidup bersama dan terdapat perbedaanperbedaan kepentingan di dalamnya. Selama ini politik dipahami sebagai the
practice of, and the study of, the power to govern (Frazer,1998:50). Dengan
definisi tersebut maka dalam politik terdapat berbagai macam kegiatan yang di
24
dalamnya berhubungan dengan tata cara melakukan berorganisasi, bagaimana
mempengaruhi orang lain dalam organisasi dan dalam pemerintahan, serta
masalah kekuasaan pemerintahan. Pengertian politik diartikan sebagai pendekatan
politik secara deskriptif, yang melihat bagaimana pemerintahan yang absah
dijalankan, analisis terhadap berbagai fenomena yang berhubungan dengan
otoritas, kekuasaan, hukum, dan pengambilan keputusan. Sementara itu, terdapat
pendekatan lain yang berhubungan dengan bagaimana pemerintahan seharusnya
dijalankan yang berhubungan dengan konsep-konsep kesetaraan, keadilan,
kebebasan, hak dan kewajiban dan berbagai cita-cita yang harus diwujudkan oleh
pemerintahan. Pendekatan ini disebut sebagai politik perskriptif, yang tidak lain
adalah filsafat politik. Dalam pengertian terakhir ini, politik lebih banyak
dianalisis berdasar aspek-aspek normatif.
Matravers dalam buku Debates in Contemporary Political Philosophy
menyebutkan bahwa perbedaan antara kajian politik dengan filsafat politik
sesungguhnya terdapat pada dataran normatif.
As the terrain of political philosophy has become more clearly and
decidedly normative it has become closer to ethics. In fact, it is now
much easier to see distinction between political theory and political
philosophy ( the latter is normative, the former not), and much more
difficult to see a clear distinction between political philosophy and ethics
(Matravers, 2003:2).
Filsafat politik merupakan sebuah kajian yang lebih dekat dengan tataran
moral karena masalah-masalah abadi yang dipertanyakan oleh para filsuf sangat
berhubungan dengan masalah etika, seperti bagaimana hubungan antara individu
25
dengan masyarakat, apakah batas-batas kebebasan yang dimiliki individu, apakah
kriteria pemerintahan yang baik?
Filsafat politik bukan sebuah kegiatan intelektual yang berisi deskripsi
ensiklopedis dan terminologis, namun yang lebih penting dari itu memberikan
penjelasan tentang makna bahasa, konsep dengan cara penalaran politik untuk
mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan aspek normatif. Dengan demikian
dalam kajian filsafat politik, sangat ditekankan adanya kemampuan untuk
berpikir, merefleksikan kenyataan politik yang ada untuk dapat mengambil
kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Perkembangan masalah yang dialami manusia sangat berpengaruh
terhadap isu yang berkembang dalam filsafat politik. Pada masa kehidupan Plato
dan Aristoteles keberadaan negara dengan jumlah penduduknya masih relatif
kecil, maka isu yang diangkat politik yaitu yang berhubungan dengan gambaran
pemerintahan ideal yang dicita-citakan filsuf. Gambaran pemerintahan ideal
pemerintahan yang mampu menjamin kebebasan warganya untuk berbicara
sehingga demokrasi merupakan sebuah sistem yang dianggap paling tepat. Seiring
dengan perubahan jaman, pada abad Renaissance, isu
kebebasan manusia
menjadi isu penting, sehingga filsuf-filsuf mulai Hobbes, Locke, Rousseau hingga
Mill, semua menyerukan pentingnya kebebasan bagi manusia.
Abad kontemporer telah mengubah orientasi pemikiran filsafat politik.
Saat ini yang ditekankan bukan hanya masalah kebebasan dan keadilan, namun
yang penting adalah masalah kesetaraan. Menurut Kymlicka (2004:317), isu
kesetaraan menjadi salah satu isu penting dalam filsafat politik dengan asumsi
26
dasar bahwa dalam tataran egalitarian (egalitarian plateu) terdapat sebuah
komitmen pada gagasan bahwa seluruh anggota masyarakat harus diperlakukan
secara setara (equal).
Sementara itu Alison Jaggar menyebutkan bahwa tujuan filsafat politik
tidak lain untuk menyerukan visi masyarakat yang menekankan kesetaraan.
Filsafat Politik sarat dengan nilai-nilai yang implisit, misalnya nilai keadilan yang
muncul, sebagai akibat dari adanya kondisi atau situasi ketidakadilan yang
dirasakan semua anggota masyarakat. Filsafat politik juga menekankan
pentingnya sebuah keyakinan terhadap adanya perpindahan perubahan kondisi
dari kondisi tertindas, di bawah tekanan ke arah kebebasan, kemerdekaan di masa
depan, misalnya isu yang diusung Nasionalisme dan Feminisme (Jaggar,
1987:17). Dalam konteks, ini Feminisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat
politik merupakan sebuah kajian yang penting, utnuk memperjuangkan posisi
kesetaraan bagi perempuan yang selama ini ada dalam dominasi dan hegemoni
budaya patriarki.
E. Metode Penelitian
1.
Bahan Penelitian
a. Bahan utama penelitian ini hasil karya pemikiran filsafat politik
Hannah Arendt. Karya-karya ini diteliti lebih lanjut untuk
mengetahui bagaimana konsep tindakan politik dalam filsafat
politik oleh Hannah Arendt.
27
b. Pustaka primer penelitian ini meliputi karya-karya Hannah Arendt
yang berhubungan dengan konsep tindakan politik dan kebebasan.
Karya-karya tersebut meliputi:
1958, Human Condition, The University of Chicago Press.
Chicago.
1965, Eichmann in Jerusalem, Viking Press, New York.
1965, On Revolution, Viking Press, New York.
1968, Between Past and Future, Viking Press, New York.
1974, The Origins of Totalitarianism, Harcourt Brace Jovanovich,
New York
c. Pustaka sekunder berupa pustaka-pustaka dan artikel yang
menelaah tentang pemikiran filsafat politik Hannah Arendt. Karya
lain yaitu berupa pustaka dan artikel yang berhubungan dengan
Hannah Arendt, Feminisme dan politik perempuan.
d. Pustaka tertier berupa aneka ragam pustaka yang berbicara tentang
metodologi penelitian filsafat, sejarah filsafat barat, filsafat politik,
feminisme serta filsafat kontemporer yang berhubungan dengan
pemikiran Hannah Arendt.
2. Jalan Penelitian
Keseluruhan prosedur penelitian menempuh tujuh tahap yang
secara garis besar sebagai berikut:
a. membuat desain penelitian
b. pengumpulan data, meliputi studi pustaka
28
c. kategorisasi data
d. analisis data
e. evaluasi hasil
f. penyusunan draft hasil penelitian
g. penulisan laporan hasil penelitian setelah terlebih dahulu
diadakan revisi
Jadi, pada tahap ini dilakukan tindakan pengumpulan data dan
instrumentasi. Adapun teknik yang digunakan dalam tindakan ini
meliputi studi dokumentasi, studi kepustakaan sebagai langkah
pendukung guna kesempurnaan dan kejelasan analisis terhadap
data yang sudah diperoleh.
3. Analisis Hasil
a. Analisis Hasil
Penelitian ini merupakan model penelitian konsep sepanjang sejarah
(Bakker, 1990:7). Data yang sudah diperoleh, selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan metode hermeneutika filosofis dengan unsurunsur metodis sebagai berikut :
1. Interpretasi
Langkah ini dimaksudkan untuk menafsirkan konsep-konsep dalam
pemikiran Hannah Arendt untuk menemukan filsafat tersembunyi
di dalamnya.
29
2. Induksi dan Deduksi
Pemakaian konsep Hannah Arendt sebagai case study untuk
menginventarisasi semua arti, mengikuti semua hubungan antar
konsep-konsep yang dikemukakan Arendt dan terakhir membentuk
suatu sintesis (induksi). Pemahaman secara menyeluruh yang telah
diperoleh selanjutnya direfleksikan dalam kasus khusus, sehingga
lebih mudah diartikan, dimengerti dan dipahami (deduksi).
3. Koherensi intern
Langkah ini dimaksudkan untuk melakukan kesesuaian semua
konsep
satu
sama
lain
secara
konsisten
dengan
cara
membandingkan dan menghubungkan antara data yang telah
diperoleh serta konsep-konsep filosofis lain yang dapat ditemukan.
4. Kesinambungan historis
Langkah ini dimaksudkan untuk meletakkan situasi problem aktual
yang diteliti dalam konteks historis, dari kemunculannya sampai
perkembangannya, sehingga dapat ditemukan konsepsi-konsepsi
yang mempengaruhinya.
5. Idealisasi
Pemahaman terhadap perkembangan konsep politik perempuan
dalam pemikiran Hannah Arendt diusahakan semurni mungkin.
Penyimpangan-penyimpangan dari proses “bersih” dalam masingmasing periode harus dimaklumi, tetapi tidak diberi tempat penting,
30
agar
dinamika
konsep
yang
bersangkutan
tampil
dengan
seuniversal dan seideal mungkin.
6. Heuristika
Dimungkinkannya adanya pemahaman dan interpretasi baru
berdasarkan bahan baru atau pendekatan baru dalam perjalanan
penelitian
7. Bahasa inklusif
Pemakaian bahasa pada pengarang atau jaman yang sedang
dibicarakan, dengan demikian akan dipergunakan bermacammacam model bahasa, tetapi tidak dapat lepas satu sama
lain,melainkan dalam suatu kesatuan dinamis yang mengarah ke
pemahaman final dalam penyimpulan (Bakker, 1990:32).
E. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disusun sebagai berikut
Bab I, berisi latar belakang penelitian, permasalahan, rumusan masalah,
keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian yang didalamnya terdapat bahan atau materi
penelitian, jalan penelitian dan analisis serta sistematika penulisan disertasi.
Bab II, pemaparan tentang objek formal filsafat politik yang dihubungkan
dengan Feminisme berisi tentang deskripsi dan argumentasi Feminisme sebagai
aliran dalam Filsafat Politik, sejarah kemunculan Feminisme beserta aliran-aliran
31
di dalamnya, selain itu juga membahas hubungan antara politik perempuan
dengan Feminisme.
Bab III pemaparan tentang pemikiran Hannah Arendt dan secara khusus
membahas tentang tindakan politik dalam filsafat politik Hannah Arendt. Bab ini
dimulai dengan pemaparan riwayat hidup Hannah Arendt, toko yang
mempengaruhi pemikiran Hannah Arendt dan pemikiran filsafat politik termasuk
di dalamnya ada tindakan politik.
Bab IV inti dari penelitian ini berjudul Konsep Politik Perempuan Hannah
Arendt dalam Perspektif Filsafat Politik. Sesungguhnya berisi tentang politik
perempuan dalam pemikiran Hannah Arendt tentang isu perempuan, ada yang pro
dan kontra. Selanjutnya pemaparan tentang politik perempuan dalam Vita Activa
yang di dalamnya ada politik reproduksi, etika feminin dan strategi politik
perempuan.
Bab V penutup dari penelitian, yang berisi kesimpulan dan saran.
Download