BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Obat racikan masih sering diresepkan oleh dokter saat melakukan
pelayanan kesehatan terutama untuk pasien pediatri. Di Indonesia bentuk racikan
yang banyak diresepkan terutama dalam bentuk sediaan padat yaitu pulveres atau
bentuk sediaan cair yaitu sirup. Resep obat racikan tersebut selanjutnya diberikan
kepada apoteker untuk menyiapkannya. Penggunaan obat racikan sangat
memerlukan perhatian berkaitan dengan kualitas obat dan pengobatan yang
rasional.
Seorang apoteker dan tenaga peracik memerlukan kompetensi yang sesuai
untuk melakukan peracikan obat (Mashuda, 2011). Kualitas obat racikan memiliki
jaminan kualitas yang baik apabila diracik oleh seorang apoteker dan tenaga
peracik yang telah terlatih dan terdidik dalam melakukannya. Fasilitas pendukung
di dalam suatu apotek pun menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan kualitas
obat racikan. Ruangan yang memadai dan peralatan yang lengkap dibutuhkan
dalam melakukan peracikan obat (Sujudi, 2004a).
Obat racikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan pediatri
yang membutuhkan pengobatan. Berdasarkan data demografi, pediatri yang paling
banyak memperoleh obat racikan yaitu pada rentang umur 2 - < 4 tahun
(Widyaswari, 2011). Masih sedikitnya obat dengan formula dan dosis yang tepat
bagi pediatri menyebabkan obat racikan masih diperlukan di Indonesia dan untuk
1
2
mencukupi ketersediaan obat bagi pediatri. Dosis obat bagi pediatri dapat
bervariasi karena setiap pediatri memiliki kondisi yang tidak sama seperti berat
badan yang berbeda-beda karena masih dalam masa pertumbuhan.
Harga untuk obat racikan relatif lebih murah. Jika pediatri menggunakan
obat jadi produksi industri harganya lebih mahal dari obat racikan. Jika obat
racikan dihilangkan, dikhawatirkan masyarakat yang berdaya beli rendah akan
kehilangan pilihan obat dan justru mengkesampingkan kesehatan buah hatinya.
Tetapi masyarakat tetap mengkhawatirkan pemberian obat racikan kepada
anaknya (Swastiningsih, 2013). Masalah polifarmasi merupakan salah satu contoh
yang cukup mengkhawatirkan. Satu sediaan pulveres rata-rata mengandung 2,8
zat aktif (Widyaswari, 2011). Hal ini diharapkan agar pediatri dapat
mengkonsumsi obat dengan lebih praktis dan tidak berkali-kali (Wiedyaningsih,
2013). Tetapi jika terdapat efek samping setelah mengkonsumsi obat tersebut,
cukup sulit untuk mendeteksi obat mana yang menyebabkan efek samping.
Masalah lain yang timbul akibat polifarmasi adalah adanya interaksi antara
obat satu dengan obat lainnya. Interaksi obat ini dapat menyebabkan hal yang
fatal seperti terjadi efek toksik akibat terlalu tingginya kadar obat dalam tubuh.
Namun seorang dokter telah dibekali ilmu tentang interaksi obat, seorang apoteker
pun akan melakukan skrining resep sebelum meraciknya sehingga bilamana
terdapat interaksi dalam sediaan pulveres tersebut, dokter dan apoteker semestinya
telah mengevaluasi obat yang akan diberikan (Carruthers dkk., 2006).
3
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 38 rumah sakit baik swasta
maupun milik pemerintah. Salah satu rumah sakit swasta adalah rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Rumah sakit tersebut terletak pada lokasi strategis
yaitu berada di kilometer 0 pada pusat kota. Letak yang mudah dijangkau
mempengaruhi pilihan masyarakat Yogyakarta yang berjumlah 3.457.491 jiwa
untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Kusdiatmono, 2012).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, obat racikan masih akan
terus digunakan selama masih sedikitnya ketersediaan obat yang sesuai dengan
kondisi pediatri. Permintaan obat racikan pun masih cukup tinggi (25,72%)
(Swastiningsih, 2013) sehingga diperlukan penelitian untuk menggambarkan
struktur pelayanan dan proses dalam menyiapkan resep obat racikan khusus
pediatri guna meningkatkan kualitas praktik penggunaan obat yang rasional di
dunia kesehatan terutama pada rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pola peracikan resep khusus pediatri di unit farmasi Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
2.
Bagaimana struktur pelayanan praktik peracikan obat di unit farmasi
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
3.
Bagaimana proses peracikan obat yang paling sering diresepkan di unit
farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
4
C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.
Memberi gambaran tentang pola peracikan resep khusus pediatri di unit
farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
2.
Memberikan gambaran tentang struktur pelayanan praktik peracikan obat
bagian unit farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
3.
Memberikan gambaran tentang proses peracikan obat yang paling sering
diresepkan di unit farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
4.
Memberikan data bagi pembuat kebijakan dan pendidik di perguruan
tinggi dalam mengevaluasi dan memutuskan tentang peraturan peracikan
obat serta pelatihan yang perlu diberikan untuk tenaga kesehatan.
5.
Membantu apoteker untuk menjadi lebih meningkatkan kompetensinya
sebagai apoteker dibidang peracikan obat.
D. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pola peracikan resep khusus pediatri di unit farmasi rawat
jalan rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode JanuariDesember tahun 2012.
2.
Memberi gambaran struktur pelayanan praktik peracikan obat di unit
farmasi rawat jalan rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
5
3.
Memberikan gambaran tentang proses peracikan obat yang paling sering
diresepkan di unit farmasi rawat jalan rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Resep
Menurut keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep adalah permintaan tertulis
dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku
(Sujudi, 2004a). Menurut WHO peresepan yang rasional adalah memberikan obat
sesuai dengan keperluan klinik, dosis sesuai dengan kebutuhan pasien, diberikan
dalam jangka waktu yang sesuai dengan kebutuhan pasien, dan dengan biaya
termurah menurut pasien (WHO, 2002). Resep harus ditulis dengan jelas dan
lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep (Anief, 1997).
Dalam resep harus memuat :
a. Nama, alamat dan nomor ijin praktik dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
b. Tanggal penulisan resep (inscriptio).
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio).
d. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signature).
e. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan perundangundangan yang berlaku (subscriptio).
6
f. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan.
g. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya melebihi dosis maksimal (Sujudi, 2004a).
Pelayanan resep obat oleh apoteker meliputi (Sujudi, 2004a):
a. Skrining resep
1) Persyaratan administratif :
a) Nama, Surat Izin Praktik (SIP) dan alamat dokter.
b) Tanggal penulisan resep.
c) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
d) Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
e) Nama obat, potensi, dosis, jumlah obat yang diminta.
f) Cara pemakaian yang jelas.
g) Informasi lainnya.
2) Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
3) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain)
b. Penyiapan obat.
1) Peracikan.
Merupakan
kegiatan
menyiapkan,
menimbang,
mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Proses
peracikan obat dalam melaksanakannya harus dibuat suatu
prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat
serta penulisan etiket yang benar (Sujudi, 2004a).
7
2) Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca (Sujudi, 2004a).
3) Kemasan. Obat yang diserahkan hendaknya dikemas dengan rapi
dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya (Sujudi,
2004a).
4) Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus
dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat
dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien (Sujudi,
2004a).
5) Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar,
jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan
terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi,
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu
pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi (Sujudi, 2004a).
6) Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai
sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya,
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan
terhindar
dari
bahaya
penyalahgunaan
atau
penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit tertentu
seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis
lainnya,
apoteker
harus
berkelanjutan (Sujudi, 2004a).
memberikan
konseling
secara
8
7) Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada
pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan
obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular,
diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya (Sujudi, 2004a).
2.
Struktur pelayanan dan proses peracikan obat
a. Pelayanan farmasi
Surat
Keputusan
(SK)
Menteri
Kesehatan
Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi di rumah
sakit menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit merupakan
salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan
yang bermutu. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang
berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat (Sujudi, 2004b).
Instalasi farmasi rumah sakit adalah suatu unit di rumah sakit yang
dipimpin oleh seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa apoteker
pendamping. Setiap apoteker yang bertugas pada instalasi farmasi rumah
sakit harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SK Pengurus Pusat
Ikatan Apoteker Indonesia Nomor 058/SK/PP.IAI/IV/2011 tentang
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Apoteker sebagai pelaku utama
pelayanan kefarmasian yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi
9
pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang
diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya
(Mashuda, 2011).
Salah satu kegiatan pelayanan farmasi adalah produksi yang
termasuk dalam pengelolaan perbekalan farmasi (Sujudi, 2004b). Produksi
adalah kegiatan membuat, merubah bentuk dan pengemasan kembali
sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi :
1) Sediaan farmasi dengan formula khusus.
2) Sediaan farmasi dengan harga murah.
3) Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil.
4) Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran.
5) Sediaan farmasi untuk penelitian.
6) Sediaan nutrisi parenteral.
7) Rekonstruksi sediaan obat kanker.
Peralatan yang harus tersedia pada instalasi farmasi (Sujudi,
2004b):
1) Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan obat baik
nonsteril maupun aseptik.
2) Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip.
3) Kepustakaan yang mamadai untuk melaksanakan pelayanan informasi
obat.
10
4) Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika.
5) Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil.
6) Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang
baik.
7) Alarm.
b. Peracikan obat
Peresepan obat racikan merupakan bagian dari keputusan dokter
dalam melakukan pengobatan. Obat diracik dan dicampur untuk
memenuhi kebutuhan pasien yang spesifik, dalam hal ini pediatri demi
menyediakan obat yang tidak tersedia atau tidak sesuai kriteria. Seorang
apoteker telah dilatih untuk melakukan peracikan obat sesuai dengan yang
tertera di resep (Mahuda, 2011).
Hal-hal yang mendukung proses peracikan obat adalah sebagai
berikut :
1) Personel
Proses peracikan obat dilakukan oleh seorang Asisten Apoteker
dibawah pengawasan Apoteker (Depkes, 2009). Apoteker Indonesia yang
berlisensi memiliki kompetensi dalam hal pembuatan sediaan farmasi.
Kompetensi yang harus dikuasi oleh apoteker diantaranya melakukan
persiapan, melakukan pencampuran zat aktif dan zat tambahan,
menerapkan prinsip-prinsip pembuatan obat non steril, serta melakukan
pengemasan, label dan penyimpanan (Mashuda, 2011). Setiap personel
dalam instalasi farmasi hendaknya mendapatkan pelatihan tentang
11
peracikan obat dan dilakukan oleh orang yang terkualifikasi (Slamet,
2012a).
2) Fasilitas
Fasilitas bangunan, ruangan dan peralatan dalam instalasi farmasi
harus tersedia sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu (Sujudi, 2004b):
a) Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit.
b) Terpenuhinya luas yang cukup untuk penyelenggaraan asuhan
kefarmasian di rumah sakit.
c) Dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen,
pelayanan langsung pada pasien, dispensing serta ada penanganan
limbah.
d) Dipisahkan juga antara jalur steril, bersih dan daerah abu-abu,
bebas kontaminasi.
e) Persyaratan ruang tentang suhu, pencahayaan, kelembaban, tekanan
dan keamanan baik dari pencuri maupun binatang pengerat.
Fasilitas peralatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan terutama
untuk perlengkapan dispensing baik untuk sediaan steril, nonsteril,
maupun cair untuk obat luar maupun dalam (Sujudi, 2004b). Fasilitas
peracikan obat sebaiknya didesain dan dirawat dengan baik agar
mendapatkan perlindungan dari pengaruh cuaca, banjir dan hewan
pengganggu (Slamet, 2012a). Tenaga listrik, lampu, penerangan, suhu,
kelembaban dan ventilasi hendaklah tepat agar tidak mengakibatkan
12
dampak yang merugikan terhadap obat selama proses pembuatan (Slamet,
2012a).
3) Kebersihan
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada
setiap aspek pembuatan obat (Slamet, 2012a). Tenaga pengracik sebaiknya
menggunakan pakaian yang sesuai dan mencuci tangan sebelum
melakukan peracikan obat (Allen, 2008). Fasilitas dan peralatan yang
dibutuhkan dalam peracikan obat harus dalam keadaan bersih sehingga
obat racikan dapat terhindar dari kontaminasi (Allen, 2008).
4) Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam proses peracikan obat sebaiknya
sesuai dengan kebutuhan, tidak berinteraksi dengan bahan obat dan bersih
untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi (Allen, 2008). Peralatan
harus dijamin sensitif pada pengukuran dan memenuhi persyaratan,
peneraan dan kalibrasi untuk peralatan tertentu setiap tahun serta
terdokumentasi (Sujudi, 2004b; Carruthers dkk., 2006).
5) Bahan obat
Apoteker hendaknya memilih obat dengan kualitas yang baik
berdasarkan informasi standar seperti Farmakope Indonesia, tanggal
kadaluwarsa dan sertifikat dari suatu bahan baku obat (Carruthers dkk.,
2006). Dalam melakukan peracikan obat perlu diperhatikan hal-hal yang
berhubungan
dengan
bahan
obat
seperti
kelarutan,
stabilitas,
13
kompatibilitas, alergi pasien terhadap suatu bahan obat, interaksi obat, rute
pemberian dan jangka waktu pengobatan (Carruthers dkk., 2006).
6) Wadah
Wadah dan tutupnya tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan
didalamnya baik secara kimia maupun secara fisika, yang dapat
mengakibatkan perubahan khasiat, mutu atau kemurniannya (Depkes,
1979).
7) Etiket
Proses pengisian dan penutupan hendaklah segera disertai dengan
pemberian label (Slamet, 2012). Etiket atau label yang tercantum pada
wadah harus jelas, tidak memberikan penafsiran ganda, tertempel dengan
kuat dan informasi yang tertera harus tidak mudah dihapuskan (Slamet,
2012b). Dalam label obat racikan harus tercantum daftar nama obat, nomor
resep, beyond-use-date, paraf petugas peracik, cara penyimpanan dan
keterangan lainnya (Carruthers dkk., 2006; Allen, 2008).
8) Dokumentasi
Obat dan/atau bahan obat harus dikendalikan dengan prosedur tertulis
dan harus diidentifikasi serta didokumentasikan (Slamet, 2012b).
3.
Penggunaan obat yang rasional
Penggunaan obat dikatakan rasional jika sesuai dengan kebutuhan klinis
pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya yang
terendah. Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat tidak sebagaimana
14
dinyatakan dalam definisi di atas, maka itulah pengobatan tidak rasional (WHO,
2002).
Agar tercapai pengobatan yang efektif, aman, dan ekonomis maka
pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai berikut :
a. Indikasi tepat.
b. Penilaian kondisi pasien yang tepat.
c. Pemilihan obat yang tepat, yakni obat yang efektif, aman ekonomis, dan
sesuai dengan kondisi pasien.
d. Dosis dan cara pemberian obat secara tepat.
e. Informasi untuk pasien secara tepat.
f. Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat.
(Seto, 2008)
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berupa pemberian dosis yang
berlebihan (overprescribing) atau tidak memadai (underprescribing), penggunaan
banyak jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi), menggunakan
obat yang lebih toksik meskipun tersedia obat yang lebih aman, penggunaan
antibiotik untuk infrksi virus, menggunakan injeksi meskipun sediaan oral dapat
digunakan dan memberikan beberapa obat yang berinteraksi (Sadikin, 2011).
Berdasarkan WHO (2002) terdapat 12 intervensi yang dapat dilakukan
agar penggunaan obat lebih rasional :
a. Sebuah badan nasional yang mengatur kebijakan tentang penggunaan obat.
15
b. Pedoman klinis.
c. Daftar obat esensial.
d. Komite farmasi dan terapi di rumah sakit.
e. Program farmakoterapi pada pendidikan sarjana.
f. Melanjutkan pendidikan profesional kesehatan dan berlisensi.
g. Pengawasan, audit dan feedback.
h. Pusat informasi yang independen mengenai obat-obatan.
i. Pengetahuan masyarakat umum tentang obat-obatan.
j. Menghindari penggunaan biaya pengobatan yang tidak tepat.
k. Regulasi yang tepat.
l. Pemerintah menjamin ketersediaan obat dan cukup dan petugas yang
memadai.
(WHO, 2002)
4.
Pediatri
Kata pediatri diambil dari dua kata Yunani kuno yaitu paidi yang berarti
anak dan iatros yang berarti dokter. Banyak anggapan bahwa pediatri adalah
miniatur orang dewasa, hal tersebut sama sekali tidak benar. Keadaan tubuh pada
pediatri sangat berbeda dengan orang dewasa. Organ-organ dalam tubuh pediatri
belum berkembang secara sempurna, sehingga harus lebih berhati-hati dalam
pemilihan obat untuk pediatri (Aslam, 2003).
16
The Pediatric Association membagi waktu perkembangan biologis masa
anak-anak untuk menentukan dosis obat sebagai berikut :
a. Neonatus : awal kelahiran sampai usia 1 bulan ( dengan subseksi tersendiri
untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam kandungan
b. Bayi : 1 bulan sampai 2 tahun
c. Anak : 2 sampai 12 tahun ( dengan subseksi : anak dibawah usia 6 tahun
memerlukan bentuk sediaan yang sesuai)
d. Remaja : 12 sampai 18 tahun
(Aslam dkk., 2003)
Perhitungan dosis untuk pediatri adalah sebagai berikut :
a. Rumus Fried and Clark (untuk pediatri kurang dari satu tahun)
b. Rumus Young (untuk pediatri usia 1-8 tahun)
c. Rumus Dilling (untuk pediatri usia 8-20 tahun)
(Katzung, 2004)
17
Identifikasi dan pelaporan reaksi obat yang terjadi pada pediatri sangat
penting mengingat bahwa:
a. Kerja obat dan profil farmakokinetika pada pediatri berbeda dengan orang
dewasa.
b. Obat tidak selalu diujikan terlebih dahulu pada pediatri sebelum beredar di
masyarakat.
c. Kemungkinan tidak tersedianya formula yang sesuai dan dosis yang tepat
bagi pediatri.
d. Efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda antara pediatri dan
orang dewasa (Seto, 2008)
5.
Farmakokinetik pada pediatri
Farmakokinetik merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME).
Pengaruh pemberian obat dengan keadaan farmakokinetik pada pediatri sulit
diprediksi terutama untuk neonatus dan bayi lahir prematur (Anderson, 2010).
Pediatri mengalami perubahan keadaan farmakokinetik hingga mencapai keadaan
normal orang dewasa.
a. Absorpsi
1) Gastrointestinal
a)
pH lambung tinggi pada saat neonatus dan menurun secara
bertahap mulai dari usia 2 tahun hingga normal pada usia
dewasa.
18
b)
Motilitas lambung dan intestinal rendah pada saat bayi dan
kemudian meningkat pada usia anak-anak.
c)
Perkembangan dari saluran gastrourinari pada saat bayi
menyababkan absorpsi obat menjadi tidak dapat diprediksi
(Anderson, 2010).
2) Rektal
Bioavailibilitas tergantung pada sifat obat tertentu dan lama waktu
saat terkena mukosa pada rektum (Anderson, 2010).
3) Intramuskular
Keadaannya bervariasi pada saat neonatus, bayi dan anak-anak.
Aliran darah dan pembuluh darah tidak stabil, penurunan massa
dan kontraksi pada otot, dan penurunan jumlah oksigen pada otot
(Anderson, 2010).
4) Perkutan
a)
Berbanding terbalik dengan ketebalan stratum korneum dan
berhubungan dengan keadaan hidrasi pada kulit.
b)
Meningkatnya permeabilitas pada kulit
c)
Dosis perkutan dapat meningkatkan bioavailibilitas sistemik
dan potensial menyebabkan toksisitas (Anderson, 2010).
5) Intraokular
Selaput mata tipis pada neonatus dan bayi (Anderson, 2010).
19
b. Distribusi
1) Jumlah air yang ada dalam tubuh bayi tinggi kemudian secara cepat
menurun pada tahun pertama dan secara bertahap terus menerun
hingga mencapai pada nilai normal saat usia 12 tahun.
2) Proporsi ketersediaan lemak pada tubuh rendah dibandingkan pada
orang dewasa dan kemudian mulai meningkat pada usia 5 – 10 tahun.
3) Konsentrasi total protein hanya 80% pada saat lahir, kemudian nilai
normal dicapai pada usia 1 tahun
4) Keadaan blood brain barrier belum matang pada saat lahir (Anderson,
2010).
c. Metabolisme
1) Sebagian besar enzim mikrosomal ada pada saat bayi lahir walaupun
aktivitasnya masih rendah secara kuantitatif.
2) Kematangan pada organ hati berbeda pada setiap anak dan kapasitas
masing-masing enzim meningkat pada tahap yang berbeda.
3) Tingkat metabolisme meningkat bahkan 2-6 kali lebih tinggi pada
orang dewasa pada usia 2-3 bulan dan selanjutnya akan bertahan
sampai usia 8-10 tahun (Anderson, 2010).
d. Eliminasi
1) Filtrasi glomerulus dan sekresi tubular rendah pada saat bayi lahir.
2) Fungsi ginjal meningkat secara bertahap sampai dengan keadaan
normal pada usia 1-2 tahun (Anderson, 2010).
20
6.
Bentuk sediaan obat
Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV, bentuk sediaan obat secara
umum adalah sebagai berikut :
a. Pulvis (serbuk)
Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau pemakaian luar. Kerena
mempunyai luas permukaan yang luas, serbuk lebih mudah terdispersi dan
lebih larut daripada bentuk sediaan yang dipadatkan (Depkes, 1995).
b. Pulveres
Serbuk bagi adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih
kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk
sekali minum. Untuk serbuk bagi yang mengandung bahan yang mudah
meleleh atau atsiri harus dibungkus dengan kertas perkamen atau kertas
yang mengandung lilin kemudian dilapisi lagi dengan kertas logam
(Depkes, 1995).
c. Tablet (compressi)
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi.
1) Tablet kempa : dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk
atau granul menggunakan cetakan baja (Depkes, 1995).
2) Tablet cetak : dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab
dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan (Depkes, 1995).
21
3) Tablet triturat : merupakan tablet cetak atau kempa berbentuk kecil,
umumnya silindris, digunakan untuk memberikan jumlah terukur yang
tepat untuk peracikan obat (Depkes, 1995).
4) Tablet hipodermik : tablet cetak yang dibuat dari bahan yang mudah
melarut atau melarut sempurna dalam air, dulu umumnya digunakan
untuk membuat sediaan injeksi hipodermik (Depkes, 1995).
5) Tablet bukal : digunakan dengan cara meletakkan tablet diantara pipi
dan gusi (Depkes, 1995).
6) Tablet sublingual : digunakan dengan cara meletakkan tablet dibawah
lidah, sehingga zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa
mulut (Depkes, 1995).
7) Tablet efervesen : dibuat dengan cara dikempa, selain zat aktif, juga
mengandung campuran asam (asam sitrat, asam tartrat) dan natrium
bikarbonat, yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan karbon
dioksida (Depkes, 1995).
8) Tablet kunyah : dimaksudkan untuk dikunyah, memberikan residu
dengan rasa enak dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak
meninggalkan rasa pahit atau tidak enak (Depkes, 1995).
d. Capsulae (kapsul)
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin,
22
tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Keuntungan
atau tujuan sediaan kapsul yaitu :
1) Menutupi bau dan rasa yang tidak enak.
2) Menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari.
3) Dapat untuk dua sediaan yang tidak tercampur secara fisis, dengan
pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil
kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang
lebih besar.
4) Mudah ditelan (Depkes, 1995).
e. Solutiones (larutan)
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat
kimia yang terlarut, misal : terdispersi secara molekuler dalam pelarut
yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Karena
molekul-molekul
dalam
larutan
terdispersi
secara
merata,
maka
pengguanaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya memberikan
jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan
diencerkan atau dicampur (Depkes, 1995).
f. Suspensi
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak
larut yang terdispersi dalam fase cair (Depkes, 1995).
g. Emulsa (emulsi)
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya
terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak
23
yang merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa,
sistem ini disebut emulsi-minyak dalam air. Sebaliknya, jika air atau
larutan air yang merupakan fase terdispersi dan minyak atau bahan seperti
minyak merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi air dalam
minyak (Depkes, 1995).
h. Unguenta (salep)
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian
topikal pada kulit atau selaput lendir (Depkes, 1995).
7.
Rumah sakit
Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat (Setiawan, 2009). Rumah sakit melakukan pelayanan kesehatan
dengan berbagai tenaga medis yang bersatu dengan azas “patient oriented”.
Pelayanan kesehatan dilakukan demi penyelamatan nyawa dan pencegahan
pencacatan lebih lanjut. Tenaga medis tersebut diantaranya adalah dokter,
perawat, apoteker serta teknisi lain yang menunjang kegiatan di rumah sakit
(Setiawan, 2009).
SK Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit menetapkan bahwa salah satu subsistem
pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan kefarmasian yang selanjutnya disebut
unit farmasi rumah sakit. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
24
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi
klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Supari, 2008).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
340/MENKES/PESEDIAANIII/2010,
rumah
sakit
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan. Fasilitas adalah segala sesuatu
hal yang menyangkut sarana, prasarana maupun alat (baik alat medik maupun alat
non medik) yang dibutuhkan oleh rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya bagi pasien (Sedyaningsih, 2010).
Bersasarkan peraturan tersebut, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan
menjadi (Sedyaningsing, 2010) :
a. Rumah sakit umum kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik
spesialis dasar, 5 (lima) pelayanan spesialis penunjang medik, 12 (dua
belas) pelayanan medik spesialis lain dan 13 (tiga belas) pelayanan medik
subspesialis (Sedyaningsing, 2010).
b. Rumah sakit umum kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik
spesialis dasar, 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik, 8
25
(delapan) pelayanan medik spesialis lainnya dan 2 (dua) pelayanan medik
subspesialis dasar (Sedyaningsing, 2010).
c. Rumah sakit umum kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik
spesialis dasar dan 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik
(Sedyaningsing, 2010).
d. Rumah sakit umum kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) pelayanan medik
spesialis dasar (Sedyaningsing, 2010).
Download