Pengaruh Eksklusi Sosial terhadap Kecenderungan Prososial: Studi

advertisement
1
Pengaruh Eksklusi Sosial terhadap Kecenderungan Prososial: Studi
Perbandingan Antargender
Junius Hamonangan dan Amarina A. Ariyanto
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh eksklusi sosial terhadap kecenderungan prososial pada laki-laki
dan perempuan. Manipulasi terhadap eksklusi sosial dilakukan melalui pemberian umpan balik palsu (Twenge
dkk., 2007) dan pengukuran terhadap kecenderungan prososial menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari
Prosocial Tendencies Measurement (Carlo & Randall, 2002) yang terdiri dari 22 item. Partisipan penelitian ini
berjumlah 90 orang dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang seimbang. Desain penelitian adalah onegroup design, pre-test post-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksklusi sosial tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kecenderungan prososial partisipan dan tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam kecenderungan prososial.
Kata Kunci: eksklusi sosial, perilaku prososial, kecenderungan prososial
The Effect of Social Exclusion on Prosocial Tendencies: Comparative Study Between
Genders
Abstract
This research was conducted to examine the effect of social exclusion on prosocial tendencies between genders.
The manipulation of social exclusion was done by giving bogus feedback (Twenge et al., 2007) and the
measurement of prosocial tendencies was done by using an instrument adapted from Prosocial Tendencies
Measurement (Carlo & Randall, 2002) which contains 22 items. This research involved 90 participants with
balanced gender proportion. The research design that was used is one-group design, pre-test post-test. The main
results of this research show that social exclusion has no significant effect on prosocial tendencies and there is no
difference between men and women in prosocial tendencies.
Keywords: social exclusion, prosocial behavior, prosocial tendencies
Pendahuluan
Apa yang terjadi ketika seseorang mengalami penolakan sosial? Baumeister dan Leary (1995)
mengungkapkan bahwa salah satu motivasi yang paling dasar dari setiap individu adalah
kebutuhan untuk merasa diterima oleh orang lain (need to belong). Untuk bisa berfungsi
secara normal, Baumeister dan Leary (1995) menyatakan bahwa setiap individu
membutuhkan interaksi yang sering dan menyenangkan dengan orang lain karena interaksi
tersebut merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
2
akan memunculkan tekanan emosional (emotional distress) dan disorientasi kognitif
(cognitive disorientation) yang dapat berpengaruh terhadap perilaku-perilaku yang akan
ditampilkannya. Penolakan sosial merupakan salah satu ancaman terhadap kebutuhan dasar
ini dan salah satu bentuk dari penolakan sosial ini adalah eksklusi sosial. Berbagai penelitian
menemukan bahwa eksklusi sosial mengancam kebutuhan ini dan dapat memberikan banyak
dampak negatif bagi perilaku dan kehidupan sosial individu.
Eksklusi sosial dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang merasa dikeluarkan
(excluded) dari kelompok sosialnya (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008). Seseorang
dikatakan tereksklusi secara sosial ketika ia merasa bahwa ia tidak lagi menjadi bagian dari
kelompok sosialnya. Twenge, Baumeister, Tice, dan Stucke (2001) melakukan penelitian
untuk melihat pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku agresif. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa eksklusi sosial secara signifikan meningkatkan perilaku agresif individu.
Selain itu, Twenge, Catanese, dan Baumeister (2002) menemukan bahwa eksklusi sosial juga
meningkatkan kecenderungan individu untuk melakukan tindakan-tindakan yang berisiko dan
merugikan diri sendiri (self-defeating behavior). Eksklusi sosial juga berdampak pada
penurunan regulasi diri (Baumeister, DeWall, Ciarocco, & Twenge, 2005).
Penelitian lain melihat pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku prososial (Twenge,
Baumeister, DeWall, Ciarocco, & Bartels, 2007). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
eksklusi sosial dapat menurunkan perilaku prososial. Sama seperti penelitian-penelitian yang
telah dijelaskan sebelumnya, dalam penelitian ini, persepsi individu tentang eksklusi sosial
dimanipulasi melalui pemberian umpan balik palsu (bogus feedback) yang seolah-olah dibuat
berdasarkan tes kepribadian. Umpan balik tersebut divariasikan ke dalam tiga kondisi, antara
lain kondisi ditolak (future-alone), diterima (future-belonging), dan kondisi kontrol yang
berisi umpan balik negatif (misfortune-control). Umpan balik pada kondisi pertama dan kedua
berisi ramalan tentang penerimaan maupun penolakan yang akan dialami individu di masa
depan, sedangkan umpan balik pada kondisi ketiga berisi ramalan tentang kejadian-kejadian
buruk (accidents) yang akan dialami oleh individu di masa depan, namun sama sekali tidak
berhubungan dengan kehidupan sosialnya atau relasinya dengan orang lain di masa depan.
Dari penelitian-penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa eksklusi sosial terbukti menimbulkan
dampak yang negatif terhadap individu. Penelitian Twenge dkk. (2007) tentang pengaruh
eksklusi sosial terhadap perilaku prososial menjadi fokus peneliti. Temuan penelitian yang
menunjukkan penurunan perilaku prososial sebagai dampak dari eksklusi sosial membuka
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
3
peluang bagi meningkatnya perilaku antisosial individu. Papalia, Olds, dan Feldman (2009)
menyatakan bahwa perilaku prososial dan perilaku agresif merupakan isu yang dekat dengan
kehidupan remaja. Penelitian menunjukkan bahwa banyak perilaku menyimpang remaja
muncul sebagai dampak dari penolakan. Penelitian Twenge dkk. (2001) menunjukkan bahwa
eksklusi sosial dapat meningkatkan perilaku agresif. Garbarino (1999 dalam Twenge dkk.,
2001) juga menemukan bahwa banyak pelaku kejahatan yang melibatkan anak-anak muda
dikarenakan oleh penolakan dari keluarga, peers, dan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, remaja sering terlibat dalam kasus tawuran, bullying, dan kasus-kasus
lainnya yang mengarah ke tindak kriminalitas. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat
bahwa sepanjang tahun 2013, kasus tawuran pelajar telah mengalami peningkatan dari 147
kasus menjadi 255 kasus dan pada beberapa kasus tawuran, tercatat sebanyak 20 pelajar
meninggal dunia (http://jakarta.okezone.com/read/2013/12/20/500/915133/sepanjang-tahun2013-20-pelajar-tewas-akibat-tawuran). Fenomena ini cukup menggambarkan dampak negatif
dari penolakan terhadap perilaku menyimpang remaja. Selain pada remaja, psikolog
perkembangan juga menemukan bahwa anak-anak yang agresif cenderung memiliki sedikit
teman dan kurang diterima oleh peer group (Newcomb, Bukowski, & Pattee, 1993).
Dalam penelitian ini, peneliti tidak berfokus pada dampak penolakan sosial terhadap perilaku
menyimpang, melainkan pada dampak penolakan sosial terhadap perilaku prososial. Perilaku
prososial itu sendiri merupakan tindakan menolong orang lain tanpa mendatangkan
keuntungan langsung kepada penolong (Baron dkk., 2008). Perilaku prososial sangat penting
dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Dalam kehidupan remaja, banyaknya
waktu yang dihabiskan bersama teman sebaya (peers) dapat memberikan dampak positif
maupun negatif terhadap perilaku remaja. Barry dan Wentzel (2006 dalam Papalia dkk., 2009)
mengungkapkan bahwa pengaruh teman satu dengan yang lain dapat mendorong remaja untuk
terlibat dalam aktivitas prososial maupun antisosial.
Di luar kelompok remaja, penelitian McGuire dan Weisz (1982) menemukan bahwa dewasa
muda yang memiliki banyak teman lebih prososial dibandingkan dengan dewasa muda lain
yang tidak memiliki teman. Orang yang sudah menikah cenderung lebih suka menolong
(helpful) dibandingkan dengan orang yang belum memiliki pasangan (Dyer, 1980; Wright &
Hyman, 1958 dalam Twenge dkk., 2007). Asher dan Coie (1990) menemukan bahwa anakanak yang ditolak oleh teman-temannya cenderung kurang prososial dibandingkan dengan
anak-anak yang diterima. Den Hartog, De Hoogh, dan Keegan (2007) menjelaskan bahwa
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
4
penerimaan sosial membentuk rasa memiliki (belongingness) sehingga perilaku menolong
individu meningkat. Dari masa remaja hingga memasuki masa dewasa dan seiring dengan
berkembangnya kompetensi sosial, individu mengalami perubahan perilaku sosial di mana
mereka mulai mengembangkan hubungan yang stabil satu dengan yang lain. Twenge dkk.
(2007) berpendapat bahwa hubungan yang stabil dapat meningkatkan perilaku prososial.
Perkembangan perilaku prososial individu ditentukan oleh peran agen sosialisasi yang
meliputi keluarga, sekolah, dan peers (Catalano & Hawkins, 1996), serta budaya (Eisenberg
& Mussen, 1997). Perilaku prososial dapat sangat menonjol pada sebagian besar budaya.
Namun, pada budaya yang lain dengan masyarakat yang lebih individualis, perilaku prososial
kurang menonjol. Budaya mendorong masyarakat untuk prososial agar bisa diterima oleh
lingkungan sosialnya (Twenge dkk., 2007). Radke-Yarrow, Zahn-Waxler, dan Chapman
(1983 dalam Eisenberg & Mussen, 1997) menemukan bahwa perilaku prososial meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Piff, Kraus, Côté, Cheng, dan Keltner (2010) menemukan
bahwa kelas sosial (social class) juga ikut mempengaruhi perilaku prososial seseorang.
Individu dengan kelas sosial yang rendah lebih prososial dibandingkan individu dengan kelas
sosial tinggi. Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan bahwa individu dengan kelas
sosial yang rendah lebih peduli terhadap kesejahteraan orang lain.
Penelitian lainnya juga menemukan bahwa empati ikut berperan dalam memunculkan
perilaku prososial. Menurut Batson, Klein, Highberger, dan Shaw (1995), seseorang akan
menolong orang lain apabila ia merasa empati dan termotivasi untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain. Namun, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
hal ini. Eagly dan Crowley (1986) menemukan bahwa laki-laki lebih sering menampilkan
perilaku menolong untuk menunjukkan kegagahan dan keberanian, sedangkan perempuan
lebih pada konteks relasional. Carlo dan Randall (2002) menemukan bahwa remaja laki-laki
menampilkan perilaku prososial karena ingin mendapatkan pengakuan (approval) dari orang
lain, sedangkan remaja perempuan menampilkan perilaku prososial lebih karena alasan
empati. Eisenberg dan Morris (2004 dalam Papalia dkk., 2009) mengungkapkan bahwa
remaja perempuan memandang dirinya lebih empatik dan prososial dibandingkan dengan
remaja laki-laki, dan orangtua dari remaja perempuan juga lebih menekankan pentingnya
tanggung jawab sosial dibandingkan orangtua dari remaja laki-laki.
Penemuan tentang pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku prososial membuat peneliti
tertarik untuk meneliti pengaruh eksklusi sosial terhadap kecenderungan prososial individu.
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
5
Selain itu, adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berperilaku prososial
membuat peneliti tertarik untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam kecenderungan prososial. Penner, Fritzsche, Craiger, dan Freifeld (1995
dalam Záškodná, 2010) menjelaskan bahwa kecenderungan prososial relatif menetap, di mana
individu yang memiliki kecenderungan prososial cenderung memikirkan kesejahteraan orang
lain, mampu berempati, dan melakukan tindakan yang menguntungkan orang lain.
Penemuan Twenge dkk. (2007) tentang pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku prososial
membuat peneliti tertarik untuk menguji pengaruh eksklusi sosial terhadap kecenderungan
prososial pada individu yang berada pada masa perkembangan remaja akhir hingga dewasa
awal. Pada masa ini, individu dituntut untuk mengembangkan kompetensi sosial agar bisa
membangun hubungan yang stabil dengan individu lainnya (Papalia dkk., 2009). Hubungan
yang stabil meningkatkan kemungkinan individu untuk menampilkan perilaku prososial
(Twenge dkk., 2007). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan
kecenderungan prososial individu sebelum mengalami eksklusi sosial dan setelah mengalami
eksklusi sosial, serta membandingkan kecenderungan prososial antara laki-laki dan
perempuan.
Tinjauan Teoritis
Perilaku prososial dapat didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dilakukan dengan
maksud untuk menguntungkan orang atau kelompok lain (Eisenberg & Mussen, 1997).
Definisi ini menekankan pada adanya tindakan yang dilakukan secara sukarela (voluntary
actions), bukan karena paksaan (duress). Definisi ini juga menekankan pada adanya keinginan
untuk menguntungkan orang lain. Perilaku prososial dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang dapat mempengaruhi perilaku prososial adalah emosi dan empati. Baron
dkk. (2008) menjelaskan bahwa emosi, baik positif maupun negatif, dapat mempengaruhi
perilaku prososial. Penelitian menemukan bahwa seseorang lebih prososial ketika sedang
berada dalam suasana hati (mood) yang baik (Baron & Thomley, 1994 dalam Baron dkk.,
2008). Berbeda halnya dengan emosi positif, emosi negatif dapat menjadi penghambat
seseorang dalam menampilkan respon prososial. Namun, apabila menolong orang lain dapat
membuat suasana hati menjadi lebih baik, seseorang akan bersedia menolong (Cialdini,
Kenrick, & Bauman, 1982 dalam Baron dkk., 2008). Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
6
empati. Menurut Hoffman (2000), empati merupakan keterampilan sosial dasar yang
mendasari kemampuan-kemampuan penting yang berperan dalam perkembangan moral dan
perilaku prososial. Empati mengandung respon kognitif dan afektif terhadap kondisi emosi
orang lain, simpati yang merupakan keinginan untuk membantu menyelesaikan masalah orang
lain, dan kemampuan melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain.
Faktor eksternal yang dapat mendorong atau menghambat seseorang dalam menampilkan
perilaku menolong di antaranya adalah ketertarikan (attraction), atribusi (attribution), dan
model prososial (Baron & Byrne, 2000). Ketika dihadapkan dengan situasi darurat di mana
ada seseorang yang tidak dikenal membutuhkan pertolongan, faktor ketertarikan menjadi
penentu bersedia atau tidaknya seseorang untuk memberikan pertolongan. Benson,
Karabenick, dan Lerner (1976 dalam Baron dkk., 2008) menemukan bahwa orang yang
menarik secara fisik lebih banyak menerima pertolongan dibandingkan dengan orang yang
tidak menarik. Atribusi juga mempengaruhi perilaku menolong seseorang. Seseorang akan
cenderung menolong korban ketika masalah yang dialami oleh korban dipersepsikan sebagai
sesuatu yang disebabkan oleh faktor di luar diri korban. Selain itu, kehadiran model prososial
juga dapat mempengaruhi perilaku menolong seseorang. Kehadiran helpful bystander dalam
situasi darurat menjadi model prososial yang mendorong orang lain untuk menampilkan
perilaku prososial. Sebaliknya, bystander yang tidak menampilkan perilaku prososial dapat
menghambat respon orang lain dalam menampilkan perilaku prososial.
Perilaku Prososial dan Gender
Penelitian tentang perilaku prososial mengharapkan suatu penemuan yang dapat membedakan
perilaku prososial pada laki-laki dan perempuan (Eisenberg & Mussen, 1997). Namun,
sebagian besar penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil yang tidak konsisten tentang
perbedaan gender dan perilaku prososial (Bar-Tal dkk., 1982; Dunn & Munn, 1986; Yarrow
& Waxler, 1976). Berdasarkan observasi terhadap perilaku prososial, anak perempuan
ditemukan lebih prososial dibandingkan dengan anak laki-laki (Radke-Yarrow dkk., 1983;
Underwood & Moore, 1982a). Penemuan bahwa perempuan lebih altruistik dibandingkan
dengan laki-laki lebih diterima, dan perempuan dipandang lebih prososial dibandingkan anak
laki-laki oleh guru (Berman, 1980; Block, 1973; Eisenberg & Lennon, 1983; Shigetomi,
Hartmann, & Gelfand, 1981).
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
7
Beberapa penelitian dengan teknik rating menemukan bahwa anak perempuan memiliki
rating yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki dalam menampilkan tindakan,
seperti menghibur anak yang sedang sedih (Zarabatany, Hartmann, Gelfand, & Vinciguerra,
1985 dalam Eisenberg & Mussen, 1997). Pada penelitian terhadap orang dewasa, laki-laki
dewasa ditemukan lebih menolong (helpful) dibandingkan dengan perempuan, baik dalam
situasi terkontrol maupun alamiah (Eagly & Crowley, 1986). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena laki-laki lebih sering dimintai pertolongan dalam situasi-situasi atau untuk
melakukan pekerjaan berat yang tidak dapat dilakukan perempuan seorang diri, seperti
menolong mengganti ban mobil yang bocor, membantu mengantarkan ke suatu tempat, dan
lain sebagainya. Sebaliknya, perempuan lebih menolong dalam situasi-situasi yang
melibatkan dukungan psikologis dan menolong teman atau kenalan dibandingkan dengan
laki-laki. Carlo dan Randall (2002) menjelaskan bahwa laki-laki menolong untuk
mendapatkan pengakuan (approval) dari orang lain, sedangkan perempuan menolong karena
alasan empati.
Sebagai kesimpulannya, belum terdapat penemuan yang dapat menjelaskan secara konsisten
tentang perbedaan respon prososial pada laki-laki dan perempuan, meskipun perempuan
mungkin lebih sering menampilkan bentuk-bentuk tertentu dari perilaku prososial
dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan gender mungkin lebih dikarenakan oleh faktor
tertentu, misalnya anak perempuan mendapatkan afeksi yang lebih besar dari ibunya. Di
banyak budaya, tugas menolong dan merawat anak dinilai lebih cocok untuk dilakukan
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Tetapi, laki-laki lebih mungkin terdorong untuk
menolong apabila perilaku tersebut melibatkan risiko atau melibatkan perempuan sebagai
subjek yang membutuhkan pertolongan.
Tipe (Dimensi) Perilaku Prososial
Carlo dan Randall (2002) mengembangkan suatu alat ukur perilaku prososial yang disebut
dengan Prosocial Tendencies Measurement (PTM). Berdasarkan alat ukur tersebut, perilaku
prososial dibagi ke dalam 6 tipe (dimensi) berbeda. Tipe altruistic prosocial behavior
melibatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Eisenberg dan Fabes (1998 dalam
Carlo & Randall, 2002) menjabarkan dua motif utama dari tindakan altruistik, yaitu simpati
dan prinsip atau norma yang terinternalisasi (internalized norms/principles). Simpati
merupakan keprihatinan terhadap penderitaan orang lain berdasarkan persepsi dan
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
8
pemahaman terhadap kondisi emosi orang tersebut, di mana fokus terletak pada orang lain,
sedangkan norma yang terinternalisasi (internalized norms/principles) berada pada tahap
penalaran moral individu. Individu dengan tingkat penalaran moral tinggi menampilkan
perilaku yang konsisten dengan penalaran mereka karena adanya sense of responsibility
terhadap prinsip-prinsip moral yang dimiliki.
Compliant prosocial behavior merupakan tindakan menolong orang lain sebagai respon
terhadap permintaan verbal atau nonverbal (Eisenberg, Cameron, Tryon, & Dodez, 1981
dalam Carlo & Randall, 2002). Compliant helping lebih sering ditampilkan dibandingkan
dengan spontaneous helping dan penelitian terhadap jenis perilaku prososial ini lebih banyak
dilakukan pada anak-anak dibandingkan pada remaja.
Emotional prosocial behavior yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti hubungan atau
kesamaan. Pada beberapa individu, situasi emosional tinggi dapat menyebabkan terjadinya
over-arousal dan personal distress, sementara pada individu lain, respon yang mungkin
muncul adalah simpati. Respon-respon emosional ini dihubungkan dengan kemampuan
regulasi emosi dan perilaku menolong (Eisenberg & Fabes, 1998 dalam Carlo & Randall,
2002). Tipe perilaku prososial ini muncul ketika seseorang dihadapkan dengan situasi-situasi
yang emosional.
Public prosocial behavior ditampilkan di depan umum, didorong oleh motivasi untuk
mendapatkan pengakuan (approval) dan penghargaan (respect) dari orang lain, misalnya
keluarga dan peers. Selain itu, perilaku tersebut juga didorong oleh keinginan untuk
meningkatkan keberhargaan diri (self-worth). Karena memperoleh pengakuan dari orang lain
merupakan motivasi individu pada umumnya dalam menampilkan perilaku menolong, public
prosocial behavior berhubungan positif dengan penalaran moral dan social desirability.
Anonymous prosocial behavior didefinisikan sebagai tindakan menolong yang ditampilkan
secara anonim, tanpa harus diketahui oleh orang yang ditolong. Tipe perilaku prososial ini
memungkinkan seseorang untuk memberikan pertolongan kepada korban secara rahasia
supaya korban tidak tahu siapa yang memberikan pertolongan. Tipe perilaku prososial ini
biasanya ditampilkan pada acara-acara charity di mana seseorang biasanya menyumbang
tanpa menuliskan namanya.
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
9
Dire prosocial behavior mengacu pada tindakan menolong ketika dihadapkan pada situasi
darurat. Tipe perilaku prososial ini biasanya muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi
darurat.
Eksklusi sosial didefinisikan sebagai kondisi di mana individu merasa bahwa dirinya telah
dikeluarkan dari kelompok sosialnya (Baron dkk., 2008). Berdasarkan definisi tersebut,
terdapat situasi atau kondisi yang membuat seseorang merasa tertolak. Rasa tertolak tersebut
kemudian membuat seseorang merasa bahwa ia tidak lagi menjadi bagian dari kelompoknya.
Untuk dapat memahami istilah penolakan secara konseptual, Leary (1990 dalam Leary, 2001)
menggunakan istilah inclusionary-status yang didasarkan pada usaha orang lain dalam
menginklusi atau mengeksklusi individu. Inclusionary-status merupakan suatu kontinum
dengan rentang maximal inclusion, di mana orang lain secara aktif menjalin pertemanan
dengan individu, sampai maximal exclusion, di mana orang lain dengan sengaja menolak,
mengasingkan, atau meninggalkan individu.
Istilah lain yang digunakan Leary (2001) dalam mengonseptualisasi ulang istilah penerimaan
dan penolakan adalah relational evaluation yang merupakan derajat di mana seseorang
menganggap hubungannya dengan orang lain berharga, penting, dan dekat. Hubungan
individu dengan orang lain memiliki nilai yang bervariasi. Ada hubungan yang dinilai sangat
berharga dan penting, sementara hubungan dengan yang lain dinilai cukup berharga, dan
bahkan ada hubungan yang dinilai tidak berharga sama sekali. Ketika seseorang menganggap
bahwa hubungannya dengan orang lain berharga, penting, dan dekat, dapat dikatakan bahwa
orang tersebut berada pada kondisi relational evaluation yang tinggi (acceptance).
Sebaliknya, ketika seseorang menganggap bahwa hubungannya dengan orang lain tidak
berharga, penting, dan dekat, orang tersebut berada pada kondisi relational evaluation yang
rendah (rejection).
Selain relational evaluation, terdapat istilah lain yang disebut perceived relational evaluation,
yaitu persepsi individu mengenai anggapan orang lain tentang relational evaluation dari
hubungan antara keduanya. Pengalaman subjektif seseorang tentang penerimaan dan
penolakan berhubungan secara langsung dengan persepsi seseorang tentang derajat relational
evaluation dari orang lain. Seseorang akan merasa diterima ketika ia mempersepsikan bahwa
penilaiannya dan penilaian orang lain tentang hubungan keduanya memiliki derajat yang
sama. Dengan kata lain, keduanya menganggap bahwa hubungannya berharga, penting, dan
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
10
memiliki relational evaluation yang tinggi. Sebaliknya, inidividu merasa ditolak ketika ia
mempersepsikan bahwa penilaian orang lain terhadap hubungan keduanya rendah (relational
evaluation rendah). Dengan demikian, perlakuan orang lain terhadap individu dapat
menyebabkan individu tersebut merasa diterima atau ditolak tergantung dengan persepsinya
terhadap relational value.
Pada penelitian Twenge dkk. (2001), persepsi individu tentang eksklusi sosial dimanipulasi
dengan pemberian bogus feedback yang diberikan dalam tiga variasi kondisi, antara lain
kondisi ditolak (future alone), diterima (future-belonging), dan kontrol (misfortune-control).
Untuk meyakinkan partisipan terhadap kebenaran dari umpan balik yang diberikan, partisipan
terlebih dahulu diberikan tes kepribadian. Partisipan penelitian dimasukkan secara acak ke
dalam tiga kelompok kondisi lalu diberikan umpan balik palsu (bogus feedback) yang sudah
disiapkan. Partisipan diyakinkan bahwa umpan balik yang mereka terima adalah berdasarkan
hasil tes kepribadian yang telah dilakukan sebelumnya meskipun pada kenyataannya mereka
diberikan interpretasi yang salah mengenai dirinya.
Dinamika Hubungan Eksklusi Sosial dan Perilaku Prososial
Berdasarkan berbagai pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, sebagian besar
penelitian mendukung bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
menampilkan perilaku prososial. Meskipun perbedaan ini tidak jelas dan konsisten, berbagai
penelitian menerima bahwa perempuan dinilai lebih prososial dibandingkan dengan laki-laki
dalam empati (Carlo & Randall, 2002). Namun, hal ini tidak berarti bahwa laki-laki dinilai
kurang prososial dibandingkan dengan perempuan. Sebaliknya, Carlo dan Randall (2002)
menyatakan bahwa laki-laki dinilai lebih prososial dalam situasi-situasi tertentu dan tujuannya
adalah untuk mendapatkan pengakuan (approval) orang lain atas dirinya. Apabila perilaku
prososial antara laki-laki dan perempuan dinilai berbeda, peneliti menduga bahwa
kecenderungan prososial antara keduanya juga berbeda.
Dilihat dari tipe-tipe perilaku prososial Carlo dan Randall (2002), peneliti menduga bahwa
perempuan lebih prososial pada aspek tertentu, misalnya aspek emosional. Ketika dihadapkan
dengan situasi-situasi emosional, kemungkinan perempuan akan lebih termotivasi untuk
menolong dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya, laki-laki mungkin lebih prososial pada
situasi-situasi di mana mereka mendapatkan pengakuan dari orang lain, misalnya pada tipe
public prosocial behavior. Ketika dihadapkan pada situasi yang ramai dan terdapat orang
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
11
yang membutuhkan bantuan, laki-laki kemungkinan lebih termotivasi untuk menolong
dibandingkan dengan perempuan karena kehadiran orang lain dapat memenuhi kebutuhan
laki-laki akan pengakuan.
Di samping adanya perbedaan gender, penolakan sosial seperti eksklusi sosial berdampak
terhadap penurunan perilaku prososial. Individu yang diramalkan akan mengalami penolakan
di masa yang akan datang cenderung kurang prososial jika dibandingkan dengan individu lain
yang diramalkan akan mengalami penerimaan dan hubungan yang bermakna dengan orang
lain di masa yang akan datang. Namun, peneliti menilai bahwa terdapat banyak kekurangan
yang harus dipertimbangkan apabila ingin melakukan penelitian lanjutan. Penggunaan
asesmen behavioral atau observasional untuk mengukur perilaku prososial, seperti
menghitung jumlah uang yang disumbangkan kurang valid dan reliabel, cenderung bias, dan
tidak memiliki dasar yang jelas dalam menetapkan batasan-batasan atau kategori tentang
kapan seseorang dikatakan prososial dan kapan seseorang dikatakan tidak prososial (Carlo &
Randall, 2002).
Peneliti beranggapan bahwa perilaku prososial seharusnya tidak diukur berdasarkan bentukbentuk tindakan tertentu saja, seperti mendonasikan uang, bekerja sama, dan menolong
dengan sukarela. Menurut peneliti, untuk dapat menyatakan bahwa perilaku prososial
seseorang mengalami penurunan, seharusnya dilakukan dua kali pengukuran perilaku
prososial, yaitu sebelum dan sesudah dieksklusi. Ketika terdapat perbedaan skor perilaku
prososial sebelum dan sesudah diberikan perlakuan, barulah dapat dikatakan bahwa eksklusi
sosial mempengaruhi prososial (menurunkan atau meningkatkan). Peneliti menilai bahwa
pengukuran terhadap kecenderungan perilaku prososial merupakan metode yang tepat karena
kecenderungan prososial relatif menetap seperti trait kepribadian pada umumnya (Penner
dkk., 1995 dalam Záškodná, 2010). Dengan mengukur kecenderungan prososial individu,
kecenderungan untuk menampilkan tipe perilaku prososial tertentu dapat diprediksi. Selain
itu, kecenderungan prososial antara laki-laki dan perempuan pada setiap tipe (dimensi)
perilaku prososial juga dapat dibandingkan.
Pada penelitian ini, peneliti ingin menguji apakah eksklusi sosial dapat mempengaruhi
kecenderungan prososial seseorang. Peneliti melakukan pengukuran terhadap kecenderungan
prososial untuk mengetahui skor prososial partisipan sebelum diberikan perlakuan. Setelah
diberikan perlakuan, kecenderungan prososial kembali diukur dan peneliti membandingkan
skor yang diperoleh dari dua kali pengukuran tersebut. Selain itu, peneliti juga ingin
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
12
membandingkan pengaruh eksklusi sosial terhadap kecenderungan prososial pada laki-laki
dan perempuan. Berdasarkan pada pendapat Eisenberg dan Morris (2004 dalam Papalia dkk.,
2009) bahwa remaja perempuan memandang diri mereka lebih empatik dan prososial
dibandingkan dengan remaja laki-laki, peneliti ingin menguji apakah terdapat perbedaan
motivasi prososial antara remaja laki-laki dan perempuan.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis alternatif dari penelitian ini adalah:
1. H1: Terdapat perbedaan mean prososial pada setiap tipe perilaku prososial dari
alat ukur Prosocial Tendencies Measurement pada partisipan penelitian sebelum
diberikan umpan balik eksklusi dan setelah diberikan umpan balik eksklusi.
2. H2: Terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada mean setiap tipe
perilaku prososial dari alat ukur Prosocial Tendencies Measurement sebelum
diberikan umpan balik eksklusi.
Hipotesis null dari penelitian ini adalah:
1. Tidak terdapat perbedaan mean prososial di setiap tipe perilaku prososial dari alat
ukur Prosocial Tendencies Measurement pada partisipan penelitian sebelum
diberikan umpan balik eksklusi dan setelah diberikan umpan balik eksklusi.
2. Tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada mean setiap tipe
perilaku prososial dari alat ukur Prosocial Tendencies Measurement sebelum
diberikan umpan balik eksklusi.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap 90 partisipan yang terdiri dari 45 partisipan laki-laki dan 45
partisipan perempuan dengan rentang usia 18-25 tahun. Teknik pengambilan partisipan adalah
accidental sampling (Kumar, 2005). Desain penelitian ini adalah pretest-posttest one-group
design (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2009).
Penelitian ini menggunakan alat ukur Eysenck Personality Questionnaire (Twenge dkk.,
2007) dan Prosocial Tendencies Measurement (Carlo & Randall, 2002) yang telah diadaptasi.
EPQ yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 12 item. Teknik penyekoran item
menggunakan 2 skala penilaian, yaitu 1 poin untuk pilihan jawaban “YA” dan 0 poin untuk
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
13
pilihan jawaban “TIDAK”. Adaptasi EPQ dilakukan melalui proses penerjemahan ke Bahasa
Indonesia dan uji keterbacaan. Uji coba alat ukur tidak dilakukan karena hasil pengisian EPQ
sama sekali tidak diikutsertakan dalam pengolahan data.
PTM merupakan alat ukur yang dikembangkan khusus untuk mengukur 6 tipe (dimensi)
prososial pada remaja akhir dan dewasa. Jumlah item PTM yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 23 item. Penyekoran dilakukan berdasarkan skala Likert dengan 5 skala penilaian
dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Adaptasi PTM dilakukan melalui proses
penerjemahan ke Bahasa Indonesia, uji keterbacaan, dan uji coba terhadap 22 orang partisipan
(12 laki-laki dan 10 perempuan). Hasil uji coba menunjukkan bahwa PTM telah memenuhi
persyaratan reliabilitas dan validitas yang baik pada setiap tipe (dimensi) prososial yang
diukur, antara lain public prosocial behavior (α = 0,707), emotional prosocial behavior (α =
0,738), altruistic prosocial behavior (α = 0,695), compliant prosocial behavior (α = 0,857),
anonymous prosocial behavior (α = 0,809), dan dire prosocial behavior (α = 0,345). Pada tipe
dire, peneliti merevisi dua item (item 6 dan item 14) karena memiliki item-total correlation di
bawah 0,2 (0,177 dan 0,122). Meskipun reliabilitas pada tipe ini rendah, peneliti tetap
mempertahankan item agar dimensi ini tetap terwakili.
Analisi statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif untuk melihat gambaran umum
partisipan secara menyeluruh dan gambaran perilaku prososial partisipan penelitian.
Penelitian ini juga menggunakan dependent sample t-test untuk melihat perbedaan mean
perilaku prososial kelompok sebelum dan setelah diberikan treatment eksklusi, serta melihat
perbedaan kecenderungan prososial antara partisipan laki-laki dan perempuan.
Tabel 1. Contoh Item PTM
Tipe (Dimensi)
Contoh Item
Public
Saya menolong orang dengan sebaik-baiknya ketika ada yang melihat.
Emotional
Sangat memuaskan ketika saya dapat menghibur orang lain yang sangat tertekan.
Dire
Menurut saya, salah satu hal terbaik dalam menolong orang lain adalah membuat
saya terlihat baik. *)
Saya cenderung menolong orang yangbenar-benar kesulitan atau membutuhkan.
Compliant
Saya tidak pernah ragu untuk menolong orang lain ketika diminta.
Anonymous
Saya sering memberikan donasi secara anonim karena hal tersebut membuat
perasaan saya nyaman.
Altruism
*) item unfavorable.
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
14
Tabel 2. Contoh Item EPQ
No.
Pertanyaan
1.
Apakah Anda orang yang suka berbicara?
2.
Apakah Anda cukup bersemangat?
3.
Dapatkah Anda menikmati suatu pesta yang meriah?
Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner melalui media internet. Penyebaran
kuesioner online dilakukan selama satu bulan untuk memperoleh partisipan yang memenuhi
kriteria dan jumlah yang sudah ditentukan. Peneliti menyebarkan link kuesioner penelitian
melalui media sosial, seperti twitter, facebook, BlackBerry messenger, e-mail, dan media
SMS. Kuesioner tersebut dapat diakses melalui link bit.ly/T4KpQ6. Kuesioner online tersebut
terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi penjelasan tentang gambaran penelitian, kriteria
partisipan yang dibutuhkan, pernyataan persetujuan untuk menjadi partisipan penelitian,
instruksi pengisian, dan 22 item PTM untuk mengukur kecenderungan perilaku prososial.
Bagian kedua berisi instruksi pengisian, 12 item dimensi ekstraversi dari EPQ, manipulasi,
dan manipulation check. Peneliti melakukan modifikasi pada pernyataan untuk manipulasi
sebagai berikut:
“Berdasarkan skor Anda, kemungkinan besar Anda akan mengalami penolakan di
masa depan. Anda mungkin memiliki teman, pasangan, dan hubungan yang baik
dengan banyak orang saat ini. Anda juga mungkin tergabung di dalam banyak
organisasi saat ini. Namun, hal tersebut tidak akan bertahan lama. Dalam satu
sampai dua tahun ke depan, Anda akan mengalami penolakan demi penolakan,
dikeluarkan dari organisasi yang pernah Anda ikuti, hubungan Anda dengan orangorang yang telah Anda kenal akan terancam, dan setiap kali Anda mencoba
membangun hubungan yang baru dengan orang lain, Anda akan gagal dan kesulitan
untuk membangun hubungan dengan orang-orang baru.”
Bagian ketiga berisi instruksi pengisian, 22 item PTM dengan urutan yang sudah dibalik, dan
debriefing. Waktu yang diperlukan untuk melengkapi semua item dalam kuesioner ini
diperkirakan berkisar antara 10 hingga 15 menit.
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
15
Hasil Penelitian
Gambaran demografis partisipan diperoleh melalui data diri partisipan yang dilampirkan pada
kuesioner penelitian. Data diri meliputi inisial nama, usia, gender, profesi, alamat e-mail, dan
nomor telepon. Data demografis partisipan yang akan dideskripsikan adalah usia, gender, dan
pekerjaan. Berdasarkan data demografis, dapat dilihat bahwa proporsi gender partisipan
seimbang, di mana partisipan laki-laki berjumlah 45 orang dan partisipan perempuan
berjumlah 45 orang. Persebaran partisipan terbanyak berdasarkan usia adalah partisipan yang
berusia 22 tahun sebanyak 26 orang diikuti oleh partisipan berusia 21 tahun sebanyak 21
orang. Rata-rata usia partisipan secara keseluruhan adalah 21 tahun. Berdasarkan gambaran
profesi, sebagian besar partisipan penelitian berprofesi sebagai mahasiswa (86 orang).
Partisipan lainnya terdiri dari 2 orang yang berprofesi sebagai karyawan, 1 orang yang
berprofesi sebagai dokter, dan 1 orang tidak bekerja.
Hasil Utama Penelitian
Uji analisis utama yang dilakukan adalah dependent sample t-test untuk membandingkan
mean kecenderungan prososial pada kelompok yang sama sebelum dan setelah pemberian
treatment. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS. Uji statistik
menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada semua tipe (dimensi) perilaku prososial.
Artinya, tidak terdapat perbedaan mean antara perilaku prososial sebelum dan sesudah
pemberian treatment eksklusi. Pada tipe public, didapatkan nilai p = 0,138. Pada tipe
emotional, didapatkan nilai p = 0,432. Pada tipe altruistic, didapatkan nilai p = 0,253. Pada
tipe dire, didapatkan nilai p = 0,143. Pada tipe compliant, didapatkan nilai p = 0,558. Pada
tipe anonymous, didapatkan nilai p = 0,663. Signifikansi nilai p pada setiap tipe menunjukkan
hasil yang tidak signifikan pada LOS 0,05 (p < 0,05). Dengan demikian, eksklusi sosial tidak
berpengaruh terhadap kecenderungan prososial dilihat dari mean pada setiap tipe perilaku
prososial. Dengan kata lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa Ho diterima.
Tabel 3. Perbandingan Mean Tiap Dimensi pada Laki-Laki dan Perempuan (Pretest)
Tipe
Public
Emotional
Jenis Kelamin
N
M
Laki-Laki
45
9.58
Perempuan
45
9.76
Laki-Laki
45
15.67
Perempuan
45
14.87
t
p
0,307
0,760
-1,640
0,108
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
16
Altruistic
Dire
Compliant
Anonymous
Laki-Laki
45
15.18
Perempuan
45
15.13
Laki-Laki
45
10.31
Perempuan
45
10.49
Laki-Laki
45
7.84
Perempuan
45
7.11
Laki-Laki
45
20.04
Perempuan
45
18.33
-0,074
0,941
0,469
0,641
-2,512
0,016*
-3,021
0,004*
* signifikan pada LOS 0,05 (p < 0,05)
Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecenderungan prososial antara lakilaki dan perempuan pada beberapa tipe (dimensi) perilaku prososial, antara lain public,
emotional, altruistic, dan dire. Hal ini ditunjukkan melalui signifikansi nilai p di keempat
dimensi tersebut yang tidak signifikan pada LOS 0,05 (p < 0,05). Namun, terdapat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan pada tipe (dimensi) compliant dan anonymous. Pada tipe
compliant, perbedaan skor laki-laki (M = 7,84, SD = 1,205) dan perempuan (M = 7,11, SD =
1,496) secara statistik signifikan pada t(44) = -2,512, p = 0,016 (p < 0,05). Pada tipe
anonymous, perbedaan skor laki-laki (M = 20,04, SD = 2,549) dan perempuan (M = 18,33, SD
= 2,763) secara statistik signifikan pada t(44) = -3,021, p = 0,004 (p < 0,05). Dengan
demikian, terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam
kecenderungan compliant prosocial dan anonymous prosocial. Dilihat dari perbedaan mean
compliant prosocial, laki-laki (M = 7,84) memiliki kecenderungan lebih besar dari perempuan
(M = 7,11) untuk menolong ketika diminta. Demikian juga pada anonymous prosocial, lakilaki (M = 20,04) memiliki kecenderungan lebih besar dari perempuan (M = 18,33) untuk
menolong tanpa harus diketahui orang lain.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa eksklusi sosial tidak terbukti
berpengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan prososial. Meskipun telah diberikan
manipulasi berupa umpan balik eksklusi, hasil perhitungan secara statistik menunjukkan
bahwa tidak terjadi peningkatan maupun penurunan yang signifikan pada mean setiap tipe
(dimensi) prososial partisipan. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
menemukan bahwa eksklusi sosial menurunkan perilaku prososial (Twenge dkk., 2007). Pada
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
17
penelitian tersebut, Twenge dkk. (2007) melakukan pengukuran langsung terhadap perilaku
prososial dengan menggunakan metode observasi. Namun pada penelitian ini, peneliti tidak
melakukan pengukuran terhadap perilaku prososial melainkan melakukan pengukuran
terhadap kecenderungan individu untuk melakukan perilaku prososial.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecenderungan prososial
antara laki-laki dan perempuan. Eisenberg dan Morris (2004 dalam Papalia dkk., 2009)
menyatakan bahwa perempuan lebih empatik dibandingkan dengan laki-laki. Namun, hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam kecenderungan prososial secara umum. Perbedaan antara keduanya justru terletak pada
tipe compliant prosocial dan anonymous prosocial, di mana laki-laki memiliki kecenderungan
lebih tinggi dibandingkan perempuan untuk menampilkan kedua tipe perilaku prososial
tersebut. Eisenberg dkk. (1981 dalam Carlo & Randall, 2002) menyatakan bahwa anak lakilaki lebih sering menampilkan compliant prosocial behavior dibandingkan dengan anak
perempuan. Pernyataan tersebut dinilai masih sesuai dengan penemuan penelitian meskipun
partisipan penelitian berasal dari kelompok usia remaja akhir dan dewasa muda.
Penelitian ini memiliki kekurangan dalam proses pengambilan data yang dilakukan dengan
menggunakan kuesioner online. Prosedur pengambilan data ini dinilai kurang tepat dilakukan
untuk suatu penelitian eksperimental karena akan sulit untuk mengontrol variabel-variabel
eksternal yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu, peneliti juga menilai
bahwa sulit untuk mengetahui apakah partisipan memahami instruksi pengisian kuesioner
online, memastikan bahwa manipulasi yang dilakukan berhasil, memastikan bahwa partisipan
tidak mengganti jawabannya pada bagian asesmen kepribadian, dan memberikan penjelasan
yang jelas dan lengkap tentang maksud dan tujuan penelitian pada sesi debriefing. Terdapat
kemungkinan bahwa partisipan yang telah mengisi kuesioner tersebut tidak memahami
instruksi dan tidak terkondisikan untuk mengalami eksklusi di masa depan sehingga data yang
diberikan cenderung bias. Kesulitan terbesar dari penggunaan kuesioner online menurut
peneliti adalah sulit melakukan kontrol terhadap partisipan selama proses pengisian, dan itemitem PTM yang dapat memancing social desirability tinggi. Ini merupakan kelemahan dari
metode pengukuran dengan menggunakan kuesioner (Eisenberg & Mussen, 1997).
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
18
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dan hasil utama yang telah diperoleh, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat pengaruh dari eksklusi sosial terhadap kecenderungan prososial.
Artinya, tidak terdapat perbedaan mean prososial di setiap tipe perilaku prososial
dari alat ukur Prosocial Tendencies Measurement pada partisipan penelitian
sebelum diberikan umpan balik eksklusi dan setelah diberikan umpan balik
eksklusi.
2. Tidak terdapat perbedaan kecenderungan prososial antara laki-laki dan perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan mean antara lakilaki dan perempuan pada tipe (dimensi) perilaku prososial public, emotional,
altruistic, dan dire. Namun, perbedaan antara laki-laki dan perempuan ditemukan
pada tipe compliant dan anonymous.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat saran metodologis dan saran praktis yang dapat
digunakan untuk melakukan penelitian lanjutan.
Saran Metodologis
Beberapa saran metodologis yang dapat diterapkan pada penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Penelitian selanjutnya diharapkan dilakukan dalam setting laboratorium agar
kontrol terhadap variabel eksternal dapat diperketat untuk meminimalisir error.
2. Penelitian tentang hubungan antara kecenderungan prososial dan perilaku
prososial perlu dilakukan untuk menunjang hasil penelitian ini apabila penelitian
ini kembali dilakukan di masa yang akan datang.
3. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar
dengan proporsi seimbang antara partisipan laki-laki dan perempuan sehingga
hasil yang diperoleh dapat lebih representatif.
4. Pengambilan data sebaiknya tidak dilakukan dengan menggunakan kuesioner
online untuk meningkatkan kontrol dan meminimalisir error, terutama agar dapat
memudahkan manipulasi dan memastikan keberhasilan dari pemberian manipulasi
(manipulation check).
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
19
5. Melakukan pilot study untuk memperbaharui umpan balik yang akan digunakan
sebagai treatment penelitian supaya sesuai dengan karakteristik partisipan
penelitian.
6. Menggunakan alat ukur lain dengan item-item yang tidak memancing social
desirability untuk mengukur kecenderungan prososial.
Saran Praktis
Beberapa saran praktis yang dapat diterapkan pada penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menilai bahwa penelitian tentang hubungan
antara kecenderungan prososial dan perilaku prososial dapat dilakukan di masa
depan. Hasil dari penelitian korelasional tersebut dapat menunjang pelaksanaan
penelitian ini di masa yang akan datang.
2. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan
dari eksklusi sosial terhadap kecenderungan prososial. Oleh karena itu, penelitian
selanjutnya dapat menggunakan prosedur pengukuran yang berbeda untuk
mengukur perilaku prososial.
Daftar Referensi
Asher, S. R., & Coie, J. D. (1990). Peer rejection in childhood. New York: Cambridge University Press.
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2008). Social psychology (12th ed.). Boston: Pearson Education,
Inc.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social psychology (9th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Bar-Tal, D., Raviv, A., & Goldberg, M. (1982). Helping behavior among preschool children: An observational
study. Child Development, 53, 396-402.
Batson, C. D., Klein, T. R., Highberger, L., & Shaw, L. L. (1995). Immorality From Empathy-Induced Altruism:
When Compassion and Justice Conflict. Journal of Personality and Social Psychology, 68, 1042-1054.
Baumeister, R. F., DeWall, C. N., Ciarocco, N. J., & Twenge, J. M. (2005). Social exclusion impairs selfregulation. Journal of Personality and Social Psychology, 88, 589-604.
Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal attachments as a
fundamental human motivation. Psychological Bulletin, 117, 497-529.
Berman, P. W. (1980). Are women more responsive than men to the young? A review of developmental and
situational variables. Psychological Bulletin, 88, 668-695.
Block, J. H. (1973). Conceptions of sex role: Some cross-culturaland longitudinal perspectives. American
Psychologist, 28, 512-526.
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
20
Carlo, G., & Randall, B. A. (2002). The development of a measure of prosocial behaviors for late adolescents.
Journal of Youth and Adolescence, 31, 31-44. doi: 10.1023/A:1014033032440
Catalano, R. F., & Hawkins, J. D. (1996). The social development model: A theory of antisocial behavior. In J.
D. Hawkins (Ed.), Delinquency and crime: Current theories (pp. 149-197). New York: Cambridge University
Press.
Den Hartog, D. N., De Hoogh, A. H. G., & Keegan, A. E. (2007). The interactive effects of belongingness and
charisma on helping and compliance. Journal of Applied Psychology, 92, 1131-1139. doi: 10.1037/00219010.92.4.1131
Dunn, J., & Munn, P. (1986). Siblings and the development of prosocial behaviors. International Journal of
Behavioral Development, 9, 265-284.
Eagly, A. H., & Crowley, M. (1986). Gender and helping behavior: A meta-analytic review of the social
psychological literature. Psychological Bulletin, 100, 283-308.
Eisenberg, N., Lennon, R., & Roth, K. (1983). Prosocial development in childhood: A longitudinal study.
Developmental Psychology, 19, 846-855.
Eisenberg, N., & Mussen, P. H. (1997). The roots of prosocial behavior in children. Melbourne: Cambridge
University Press.
Hoffman, M. L. (2000). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. New York, NY:
Cambridge University Press.
Isnaini. (2013). Sepanjang tahun 2013, 20 pelajar tewas akibat tawuran. Diakses pada 29 Juni 2014 dari
http://jakarta.okezone.com/read/2013/12/20/500/915133/sepanjang-tahun-2013-20-pelajar-tewas-akibat-tawuran.
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners. London: SAGE Publications.
Leary, M. R. (2001). Varieties of interpersonal rejection. In K. D. Williams (Ed.), The social outcast: Ostracism,
social exclusion, rejection, and bullying. Psychology Press: New York.
McGuire, K. D., & Weisz, J. R. (1982). Social cognition and behavior correlates of preadolescent chumship.
Child Development, 53, 1478-1484.
Newcomb, A. F., Bukowski, W. M., & Pattee, L. (1993). Children’s peer relations: A meta-analytic review of
popular, rejected, neglected, controversial, and average sociometric status. Psychological Bulletin, 113, 99-128
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (3rd ed.). New York: McGraw Hill.
Piff, P. K., Kraus, M. W., Côté, S., Cheng, B. H., & Keltner, D. (2010). Having less, giving more: The influence
of social class on prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 99, 771-784. doi:
10.1037/a0020092
Radke-Yarrow, M., Zahn-Waxler, C., & Chapman, M. (1983). Prosocial dispositions and behavior. In P. Mussen
(Ed.), Manual of child psychology. Vol. 4: Socialization, personality, and social development (pp. 469-545) (E.
M. Hetherington, Ed.). New York: Wiley.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2009). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT. Indeks Gramedia.
Shigetomi, C. C., Hartmann, D. P., & Gelfand, D. M. (1981). Sex differences in children’s altruistic behaviors
and reputations for helpfulness. Developmental Psychology, 17, 434-437.
Twenge, J. M., Baumeister, R. F., DeWall, C. N., Ciarocco, N. J., & Bartels, J. M. (2007). Social exclusion
decreases prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 55-66. doi: 10.1037/00223514.92.1.56
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
21
Twenge, J. M., Baumeister, R. F., Tice, D. M., & Stucke, T. S. (2001). If you can’t join them, beat them: Effects
of social exclusion on aggressive behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 81, 1058-1069. doi:
10.1037//0022-3514.81.6.1058
Twenge, J. M., Catanese, K. R., & Baumeister, R. F. (2002). Social exclusion causes self-defeating behavior.
Journal of Personality and Social Psychology, 83, 606-615. doi: 10.1037//0022-3514.83.3.606
Underwood, B., & Moore, B. S. (1982a). The generality of altruism in children. In N. Eisenberg (Ed.), The
development of prosocial behavior (pp. 25-52). New York: Academic Press.
Yarrow, M. R., & Waxler, C. Z. (1976). Dimensions and correlates of prosocial behavior in young children.
Child Development, 47, 118-125.
Záškodná, H. (2010). Prosocial traits and tendencies of students of helping profession. Praha: University of
South Bohemia.
Pengaruh eksklusi…, Junius Hamonangan, FPsi UI., 2014
Universitas Indonesia
Download