Perilaku prososial

advertisement
PERILAKU PROSOSIAL
Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima,
tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku
prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik
atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara
material maupun psikologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan
untuk membantu meningkatkan well being orang lain.
Lebih jauh lagi, pengertian perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan: sharing
(membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty
(kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan
orang lain.
Perilaku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan
untuk menolong, tanpa memperhatikan motif penolongnya. Perilaku prososial mencakup
kategori yang lebih luas yaitu meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong.
Beberapa jenis perilaku prososial tidak merupakan tindakan altruistik(tindakan sukarela yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan
imbalan apa pun).
Lebih tandas, Brigham (1991) menyatakan bahwa perilaku peososial mempunyai
maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Ada tiga indikator yang menjadi tindakan
prososial, yaitu:
1. tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keunrungan pada pihak pelaku.
2. tindakan itu dilahirkan secara sukarela.
3. tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Berdasarkan batasan-batasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah
segala bentuk perilaku yang memberikan konsekwensi positif bagi penerima, baik dalam bentuk
materi, fisik maupun psikologis, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya.
Menurut Staub (1978) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk
bertindak prososial, yaitu:
1.
Self-gain
Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu.
2.
Personal values and norms
Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasi oleh individu selama mengalami
sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial.
3.
Empathy
Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.
Kemampuan untuk empati ini erat kaitanya dengan pengambilalihan peran. Jadi prasyarat
untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan
pengambilan peran.
Ada beberapa faktor personal maupun situasional yang menetukan tindakan prososial. Ada tiga
faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku prososial, yaitu:
1.
karakteristik situasional, seperti situasi yang kabur atau samar-samar dan jumlah orang yang
melihat kejadian.
2.
karakteristik orang yang melihat kejadian seperti usia, gender, ras, kemampuan untuk
menolong, dan
3.
karakteristik korban seperti jenis kelamin, ras, daya tarik
Dengan demikian beberapa faktor yang termasuk dalam faktor situasional yaitu
a. Kehadiran orang lain
Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Darley dan Latane (1969)
menunjukkan hasil bahwa orng yng melihat kejadian darurat akan lebih suka memberikan
pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi
kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab.
b. Pengorbanan yang harus dikeluarkan
Meskipun calon penolong tidak mengalami kekaburan tanggung jawab, tetapi bila
pengorbanan (misalnya; uang, tenaga, waktu, resiko terluka fisik) diantisipasikan terlalu banyak,
maka kecil kemungkinan baginya untuk bertindak prososial. Biasanya seseorang akan
membandingkan antara besarnya pengorbanan jika ia menolong dengan besarnya
pengorbanan jika ia tidak menolong. Jika pengorbanan untuk menolong rendah, sedangkan jika
pengorbanan jika tidak menolong tinggi, tindak pertolongan secara langsung akan terjadi. Jika
pengorbanan untuk menolong tinggi dan pengorbanan jika tidak menolong rendah, ia mungkin
akan menghindari atau meninggalkan situasi darurat itu. Jika keduanya relatif sama tinggi
kemungkinan ia akan melakukan pertolongan secara tidak langsung, atau mungkin akan
melakukan interpretasi ulang secara kognitif terhadap situasi tersebut. Demikian pula
sebaliknya jika keduanya, baik pengorbanan untuk menolong atau pun tidak
menolong diinterpretasikan sama rendahnya, ia akan menolong atau tidak tergantung normanorma yang dipersepsi dalam situasi itu.
c. Pengalaman dan suasana hati.
Seseorang akan lebih suka memberikan pertolongan pada orang lain, bila sebelumnya
mengalami kesuksesan atau hadiah dengan menolong. Sedang pengalaman gagal akan
menguranginya. Demikian pula orang yang mengalami suasana hati yang gembira akan lebih
suka gembira. Sedangkan dalam suasana hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan
pertolongan.
d. Kejelasan stimulus
semakin jelas stimulus dari situasi darurat, akan meningkatkan kesiapan calon penolong untuk
bereaksi. Sebaliknya situasi darurat yang sifatnya samar-samar akan membingungkan dirinya
dan membuatnya ragu-ragu, sehingga ada kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya
untuk memberikan pertolongan.
e. Adanya norma-norma sosial.
Norma sosial yang berkaitan dengan tindakan prososial adalah resipprokal (timbal balik) dan
norma tanggung jawan sosial, artinya seseorang cenderung memberikan bantuan kepada
mereka yang pernah memberikan bantuan kepadanya sehingga dengan ini dapat
dipertahankan adanya keseimbangan dalam hubungan interpersonal. Biasanya didalam
masyarakat berlaku pula norma bahwa kita harus menolong orang yang membutuhkan
pertolongan. Masing-masing orang memiliki tanggung jawab sosial untuk menolong mereka
yang lemah.
f. Hubungan antara calon penolong dengan si korban
makin jelas dan dekat hubungan antara calon penolong dengan calon penerima bantuan akan
memberi dorongan yang cukup besar pada diri calon penolong untuk lebih cepat dan bersedia
terlibat secara mendalam dalam melakukan tindakan pertolongan. Kedekatan hubungna ini
dapat terjadi karena adanya pertalian keluarga, kesamaan latar belakang atau ras.
Tingkah Laku Prososial
Tingkah laku Prososial (Prosocial behavior) adalah segala tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain, tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang
yang melakukannya ,dan mungkin membahayakan dirinya sendiri. Misalnya: Santi lari ke dalam
rumah yang sedang terbakar demi menyelamatkan seorang anak kecil yang terperangkap di
dalamnya. Dalam hal ini, perilaku Santi disebut dengan perilaku Prososial. Lain ceritanya bila
yang masuk ke rumah tersebut adalah ibu dari anak yang terperangkap itu, karena ibunya samasama diuntungkan karena tidak kehilangan anaknya. Sementara itu Altruisme (Altruism) adalah
melakukan tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.
Dalam studi tingkah laku prososial, dikenal konsep bystander yang didalamnya ada efek
bystander—fakta menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berespons prososial pada keadaan
darurat dipengaruhi oleh jumlah bystander yang ada. Sejalan dengan meningkatnya jumlah
bystander, probabilitas bahwa seorang bystander akan menolong menurun dan lamanya waktu
sebelum pertolongan diberikan meningkat. Contoh: di tengah kerumunan orang banya di pasar,
seorang ibu terjatuh dan barang belanjaannya tercecer kemana-mana. Dalam kondisi banyak
orang seperti itu, besar kemungkinan tidak ada yang menolong ibu tersebut karena terjadi
penyebaran tanggung jawab—suatu pendapat bahwa jumlah tanggung jawab yang diasumsikan
oleh bystander pada suatu keadaan darurat dibagi di antara mereka. Jika hanya ada 1 orang
bystander, dia menanggung keseluruhan tanggung jawab. Jika hanya ada 2 orang bystander,
masing-masing menanggung 50% dari tanggung jawab. Jika ada 100 orang bystander, masingmasing menanggung 1% tanggung jawab. Makin banyak bystander, mereka makin merasa
kurang bertanggung jawab untuk bertindak.
Beberapa Istilah :
Altruisme : Tingkah laku yang murni dilakukan untuk menolong orang lain secara sukarela
tanpa mengharapkan imblan
Restitusi : Tingkah laku menolong yang melibatkan pemikiran tentang akibat dari tingkah
lakunya terhadap relasi sosial
Terdapat 5 langkah yang dapat menentukan untuk melakukan tindakan prososial atau
tindakan berdiam diri saja:
1. Menyadari adanya keadaan darurat. Contoh: Di jalan tol Susi mendengar teriakan minta
tolong, dan ternyata ada kecelakaan di jalan tol,lalu dia juga mendengar anak kecil yang
menangis. Namun, seseorang yang terlalu sibuk untuk memperhatikan lingkungan sekitarnya
gagal untuk menyadari situasi darurat yang nyata-nyata terjadi. Pertolongan tidak diberikan
karena tidak adanya kesadaran bahwa keadaan darurat itu terjadi. Contoh: bisa saja saat itu Susi
terlalu asyik dengan mp4 nya sehingga tidak memperhatikan tanda-tanda akan adanya keadaan
darurat.
2. Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat. Contoh: setelah menyadari
adanya keadaan darurat di jalan tol tadi, Susi kemudian menilai apakah kejadian tersebut
darurat? Seberapa daruratnya kah?, dst. Ketika orang yang potensial menolong tidak yakin
sepenuhnya apa yang terjadi, mereka cenderung untuk menahan diri dan menunggu informasi
lebih lanjut. Kecenderungan yang berada dalam sekelompok orang asing untuk menahan diri dan
tidak berbuat apa pun disebut sebagai pengabaian majemuk (pluralistic ignorance). Yaitu, karena
bystander tidak tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi, masing-masing bergantung pada yang
lain untuk memberi petunjuk.
3. Mengasumsikan bahwa dirinya bertanggung jawab untuk menolong. Contoh: setelah Susi
menginterpretasik bahwa kejadian itu adalah bahaya—yaitu terjadi kecelakaan di jalan tol dia
kemudian akan berpikir: apakah saya harus menolongnya? Berapa banyak orang yang bisa
datang membantu? Apakah saya harus ikut membantu?. Salah satu alasan bahwa bystander yang
seorang diri lebih mungkin untuk bertindak prososial adalah karena tidak ada orang lain yang
dapat bertanggung jawab.
4. Mengetahui apa yang harus dilakukan. Contoh: setelah mengasumsikan bahwa dirinya
harus menolong, Susi berpikir tindakan apa yang harus dilakukan? Pertama dia akan menelpon
nomor darurat 911 dan ambulance lalu dia akan mencari korban yang mungkin tertindih di selasela mobil. Beberapa keadaan darurat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang
tidak dimiliki oleh ebanyakan bystander, seperti menolong korban tenggelam.
5. Mengambil keputusan untuk menolong. Contoh: Susi akhirnya memutuskan untuk
menolong korban kecelakaan tersebut. Ini adalah tahap yang paling menentukan: apakah
bystander akhirnya memutuskan untuk menolong korban tersebut atau hanya berdiam diri?
Factor-faktor yang mendorong tindakan prososial ada 7, yaitu:
1, Daya tarik fisik. Apa pun factor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander pada
korban akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons prososial apabila individu tersebut
membutuhkan pertolongan atau orang menolong orang lain karena orang tersebut punya
kemiripan dengan kita.
2. Atribusi pada korban. Contoh: ketika Santi melihat ada orang terjatuh, dan setelah melihat
ternyata orang tersebut membawa botol minuman keras, Santi akan menilai bahwa orang tersebut
terjatuh karena kesalahannya sendiri sehingga tidak perlu ditolong.
3. Pengalaman pada kejadian prososial. Contoh: Susi pernah membantu seorang ibu-ibu yang
terjatuh di pasa. Ternyata ib tersebut adalah seorang pencopet dan langsung saja setelah ditolong
ia merampas dompet Susi dan melarikan diri. Kejadian ini dapat mempengaruhi Susi untuk
melakukan tindakan prososial di masa mendatang.
4. Kondisi emosional bystander. Kondisi suasana hati yang baik akan meningkatkan peluang
terjadinya tingkah laku menolong orang lain, sedangkan kondisi suasana hati yang tidak baik
akan menghambat pertolongan. Namun, Jika tingkah laku prososial dapat merusak suasana baik
hati seseorang, suasana hati yang baik menyebabkan berkurangnya perilaku menolong.
Sebaliknya juga bila perilaku prososial dapat memberikan pengaruh positif pada emosi yang
negatif, makasuasana hati yang buruk dapat menyebabkan meningkatnya perilaku menolong.
Rasa kesedihan dan kehilangan juga dapat meningkatkan perilaku prososial karena dapat
menjadi kompensasi atas rasa kehilangannya.
5. Empati—respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distress emosional orang lain.
Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik
dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Download