22 BAB II PERMAINAN TRADISIONAL DAN TINGKAH LAKU PROSOSIAL A. Permainan Tradisional 1. Pengertian Permainan Tradisional Dunia anak adalah dunia bermain. Anak dan bermain adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Melalui bermain, anak akan mendapatkan stimulus yang mampu merangsang perkembangan fisik maupun psikisnya. Lebih jauh lagi, aktivitas bermain memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan anak. Pada dasarnya, bermain merupakan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang karena bermain dapat memberikan efek kesenangan bagi anak. Kondisi demikian akan mendukung perkembangan anak untuk tumbuh secara optimal. Bermain merupakan suatu proses alamiah yang dengan sendirinya akan dilakukan oleh anak. Anak tidak perlu disuruh atau dilarang untuk bermain. Karena secara naluriah anak akan melakukan aktivitas bermain.1 Melalui bermain anak-anak dapat mengeksplorasi semua perasaan. Selain itu, dengan bermain anak akan berlatih menyelesaikan konflik yang dialaminya misalnya dengan teman sebaya. Inilah salah satu fungsi dari bermain bagi anak. Dalam buku Biarkan Anakmu Bermain karya Dwi Sunar Prasetyono menjelaskan bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Bagi 1 Rani Yuliani I, Permainan yang Meningkatkan Kecerdasan Anak (Jakarrta: Laksar Aksara, 2011), hlm. 7. 22 23 anak-anak kegiatan bermain selalu menyenangkan. Melalui kegiatan bermain, anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial.2 Permainan merupakan kesibukan yang dipilih sendiri tanpa ada unsur paksaan dan tanpa didesak oleh rasa tanggung jawab. Permainan tidak mempunyai tujuan tertentu. Tujuan permainan terletak dalam permainan itu sendiri dan dapat dicapai pada waktu bermain.3 Anak hanya bermain sesuai dengan kehendaknya karena anak hanya memenuhi dorongannya untuk mencari kesenangan. Tidak ada tujuan yang spesifik dalam bermain, anak hanya berusaha agar terpenuhinya kebutuhan rohani berupa kesenangan. Karena jika anak merasakan kesenangan, besar kemungkinan anak akan mencapai perkembangan yang optimal. Permainan adalah salah satu media untuk melatih perkembangan baik fisik dan psikis anak. Sedangkan dalam buku yang berjudul Psikologi Perkembangan karya Desmita bahwa permainan adalah suatu aktivitas sosial yang dominan pada masa awal anak-anak. Sebab anak menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah untuk bermain dengan teman sebayanya. Karena itu, kebanyakan hubungan sosial dengan teman sebaya dalam masa ini terjadi dalam bentuk permainan. 4 Jadi, anak dan permainan adalah dua hal yang saling terkait sebab bermain adalah media 2 Dwi Sunar Prasetyono, Biarkan Anakmu Bermain (Yogyakarta: DIVA Press, 2008), 3 Zulkifli L, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 39. Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 141. hlm. 11. 4 24 bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Sehingga perkembangan sosial anak dapat tercapai melalui permainan. Schwartzman dalam Soemantri Patmonodewo mengemukakan suatu batasan bermain sebagai berikut: Bermain bukan bekerja; bermain adalah pura-pura; bermain bukan sesuatuyang sungguh-sungguh; bermain bukan suatu kegiatan yang produktif; dan sebagainya… bekerja pun dapat diartikan bermian sementara kadang-kadang bermain dapat dialami sebagai bekerja; demikian pula anak yang sedang bermain dapat membentuk dunianya sehingga seringkali dianggap nyata, sungguh-sungguh, produktif, dan menyerupai kehidupan yang sebenarnya.5 Heckel dalam Zulkifli L merumuskan pendapat bahwa anak-anak selalu mengulangi apa yang dilakukan nenek moyangnya sejak dari masa dahulu sampai kepada masa yang sekarang. Teori ini dinamakan atavitis.6 Teori dari Hackel sejalan dengan permainan tradisional yang sudah ada dari dulu dan diturunkan dari generasi ke generasi. Permainan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya sesuatu yang digunakan untuk bermaian. 7 Sedangkan tradisional berarti menurut tradisi (adat). 8 Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian permainan tradisional adalah segala hal yang digunakan untuk bermain dan bentuk permainan yang merupakan warisan budaya. 5 Soemantri Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), hlm. 102. 6 Zulkifli, loc. cit., hlm. 39. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cet. Ke-4 (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 858. 8 Ibid., hlm. 1483. 25 2. Jenis-jenis Permaianan Tradisional Permainan tradisional merupakan salah satu budaya Bangsa yang sudah semestinya dilestarikan. Akan tetapi, semakin gencarnya teknologi turut menenggelamkan aset budaya yang satu ini. Perlu adanya kerja keras dan upaya nyata dari berbagai lapisan masyarakat untuk melestarikan permainan tradisional. Hal tersebut perlu adanya mengingat sudah semakin jarang permainan tradisional dimainkan, bahkan jika terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan punah. Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak pulau, suku, bahasa, dan ras. Hal inilah yang menjadi sebab kekayaan budaya Indonesia. Di setiap daerah di Indonesia pasti memiliki budaya tertentu termasuk permainan tradisionalnya. Menurut Badrova dan Leong dalam Diane E. Papalia “Frekuensi bentuk spesifik dari permainan akan berbeda dari satu kultur ke kultur lainnya dan dipengaruhi oleh lingkungan permainan yang dirancang oleh orang dewasa untuk anak-anak yang pada gilirannya merefleksikan nilai kultural”. 9 Jadi jelaslah bahwa disetiap daerah memiliki permainan tradisional yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Di Jawa khususnya Jawa Tengah memiliki berbagai macam permainan tradisional yang dibagi menjadi tiga jenis permainan, yaitu: 9 Diane E. Papalia, dkk, Human Development, alih bahasa A.K Anwar (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 398. 26 a. Permainan dengan bernyanyi dan atau berdialog Permainan dengan pola bernyanyi dan atau berdialog adalah permainan yang pada waktu bermain diawali atau diselingi dengan nyanyian, dialog, atau keduanya. Nyanyian atau dialog menjadi inti dari permainan tersebut. Permainan yang dilakukan dengan bernyanyi, dimainkan dengan irama tertentu sambil bertepuk tangan atau dengan gerakan-gerakan fisik tertentu.Jenis permainan ini dilakukan secara berkelompok.Sifat dari jenis permainan ini pada umumnya bersifat rekreatif, interaktif, yang mengekspresikan pengenalan tentang lingkungan, hubungan sosial, tebak-tebakan, dan sebagianya.10 Permainan jenis ini memiliki fungsi untuk mengajarkan anak tentang bagaimana berinteraksi yang baik, bersosialisasi, bersifat responsif, dan menghaluskan budi. Ada beberapa permainan yang termasuk dalam jenis permainan dengan bernyanyi dan atau berdialog yaitu sebagai berikut: 1) Cublak-cublak suweng 2) Dhingklik oglak-aglik/ Jae-jae sarimpang 3) Jamuran 4) Sepur-sepuran 5) Kubuk Manuk 6) Epek-epek, dan lain-lain. b. Permainan olah pikir Jenis permainan ini lebih banyak membutuhkan konsentrasi berpikir, ketenangan, kecerdikan, dan strategi. Pada umumnya,jenis permainan ini bersifat kompetitif perorangan sehingga tidak 10 Sukirman Dharmamulya, dkk, Permainan Tradisional Jawa Press, 2005), hlm. 37. (Purwanggan: Kepel 27 memerlukan arena permainan yang luas. 11 Adapun permainan yang termasuk dalam jenis permainan olah pikir adalah: 1) Bas-basan sepur 2) Congklak/ Dor-doran 3) Macanan 4) Dam-daman/ Lencengan c. Permianan adu ketangkasan Permainan adu ketangkasan adalah jenis permainan yang lebih mengandalkan ketahanan dan kekuatan fisik, membutuhkan alat permainan meskipun sederhana serta tempat bermain yang relatif luas. 12 Permainan jenis ini biasanya bersifat kompetitif artinya pada akhir permainan ada yang menang dan ada yang kalah. Ada sanksi bagi yang kalah seperti menggendong yang menang, bernyanyi, menyerahkan hasil permainan, dan lain sebagainya. Permainan-permainan yang termasuk dalah jenis permainan adu ketangkasan adalah sebagai berikut: 1) Dhul-dhulan 2) Engklek 3) Otak-atik 4) Kucing-kucingan 5) Pasang rembet, dan lain-lain. 3. Cara Memainkan Permainan Tradisional 11 12 Ibid.,hlm. 123. Ibid., hlm. 139. 28 Di Indonesia ada berbagai macam permainan tradisional. Masingmasing daerah memiliki permainan tradisional yang menjadi ciri khasnya. Meskipun demikian, permainan tradisional sudah jarang dimainkan oleh anak-anak. Bahkan ada beberapa permainan tradisional yang bisa dikatakan sudah punah. Walaupun zaman sudah berubah, tetapi ada beberapa permainan tradisional yang masih digunakan untuk bermain, seperti: a. Jamuran Jamuran adalah jenis permainan dengan bernyanyi, biasanya dimainkan oleh anak berumur 4-12 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Permainan ini tidak membutuhkan alat khusus, hanya membutuhkan ruangan atau tanah lapang secukupnya tergantung jumlah pemainnya. Selain itu, jamuran memiliki lagu yang harus dinyanyikan setiap ronde. Lagunya sebagai berikut: Jamuran ge ge gemprang Siram bayung jamur apa? Jalan permainannya diawali dengan melakukan undian atau hompimpa untuk menentukan siapa yang jaga atau masang. Anak yang masang akan jongkok ditengah lingkaran anak-anak yang lain. Sementara itu, anak-anak yang membentuk lingkaran berputar sambil bernyanyi. Setelah lagu selesai dinyanyikan pada bait terakhir “…jamur apa?” maka pemain yang berdiri menjadi berjongkok dan pemain yang jaga menjawab pertanyaan tadi. Jawaban dari pertanyaan 29 tersebut bisa bermacam-macam tergantung kepandaian dari pemain yang jaga. Biasanya pemain jaga akan memberikan jawaban yang sulit untuk dilakukan oleh pemain lainnya agar pemain lain bisa menjadi pemain jaga menggantikan pemain jaga sebelumnya. Contoh jawaban jamur parut: para pemain supaya menyiapkan telapak kaki atau kedua lengannya untuk digaruk-garuk oleh pemain jaga. Apabila digaruk merasa geli dan tertawa maka pemain tersebut kalah dan berubah menjadi pemain jaga.13 Jamur kethek menek: para pemain supaya menirukan monyet yang sedang memanjat, bisa dengan memanjat pohon, bangku, atau yang lainnya yang penting tidak menginjak tanah. b. Ayam-ayaman Jenis permainan ini biasanya dilakukan dengan jumlah pemain sekitar 8-12 anak. Permainan ayam-ayaman ini tergolong dalam jenis permainan adu ketangkasan. Untuk anak usia 3-6 tahun, sebaiknya pemain dibatasi maksimal 6 anak juga harus didampingi oleh pengawas atau orang dewasa. Cara bermain permainan ini adalah sebagai berikut:14 1) Tentukan dua teman yang menjadi “induk ayam” dan “musang”, bisa dengan cara hompimpa. Dua teman tadi harus suit untuk menentukan yang menang jadi induk ayam dan yang kalah menjadi musang. 13 14 3. Ibid., hlm. 85. Nina Mutmainah Armando (Editor), Bermain Asyik (PT Nestle Indonesia, 2006), hlm. 30 2) Pemain yang lain menjadi anak ayam dan berbaris dibelakang induk ayam dan musang berdiri di depan induk ayam. Musang akan mengejar dan menangkap anak ayam dari baris paling belakang. 3) Induk ayam harus berusaha menjaga anak ayam agar tidak tertangkap oleh musang dengan merentangkan tangan dan berlari kekiri dan kekanan. 4) Jika ada anak ayam yang tertangkap, maka anak ayam diam dipinggir. Kemudian induk ayam kembali berusaha melindungi anak ayam agar tidak tertangkap oleh musang. 5) Jika semua anak ayam tertangkap maka permainan berakhir dan bisa dimulai dari awal. Permainan ayam-ayaman ini memberikan banyak manfaat bagi anak-anak yaitu:15 1) Learning to know, mengajarkan untuk saling melindungi antar sesama. Hal ini tercermin pada induk ayam yang melindungi anakanaknya dari musang. 2) Learning to do, melatih ketangkasan fisik dengan menggerakgerakkan tangan dan kaki sehingga menyehatkan untuk anak. 3) Learning to live together atau belajar bekerjasama atau bersosialisasi, membantu mengembangkan EI Intelegent) anak agar lebih peduli terhadap sesama. 15 Ibid., hlm. 4. (Emotional 31 4) Learning to be, mengembangkan kemandirian anak, belajar mengikuti aturan, jujur, dan menerima kekalahan. c. Congklak Congklak adalah permainan yanag biasa dimainkan oleh anak perempuan, alat yang digunakan berupa 98 butir biji-bijian bisa kerikil, biji sawo, atau biji-biji yang lain, dan dimainkan diatas meja khusus congklak. Permainan ini dilakukan oleh dua orang. Papan terdiri atas 16 lubang, dimana 14 lubang kecil saling berhadapan dan dua lubang besar di sisinya. Dua lubang besar merupakan milik masing-masing pemain dan pada awal permainan tidak diisi biji. Sedangkan ke-14 lubang kecil diisi masing-masing tujuh biji. Selanjutnya, tentukan siapa yang main lebih dulu kemudian memilih salah satu lubang dan biji yang ada dilubang tersebut disebarkan satu per satu pada setiap lubang searah dengan jarum jam. Jika biji terakhir jatuh pada lubang yang ada bijinya maka permainan dilanjut kembali. Jangan lupa untuk mengisi lubang besar milik sendiri. Lubang besar milik lawan tidak diisi. Bila biji terakhir masuk pada lubang besar atau pada lubang kosong maka permainan berakhir dilanjutkan oleh pemain lawan. Namun jika lubang tempat biji terakhir itu ada disalah satu dari tujuh lubang yang ada dibaris kita, maka biji yang ada di seberang menjadi milik kita. Setelah semua kosong, maka permainan berakhir dan bisa dimulai lagi dengan mengisi tujuh lubang yang kosong masing-masing tujuh biji. 32 Beberapa manfaat permainan tradisional congklak bagi anak antara lain melatih kemampuan motorik halus, melatih kesabaran dan ketelitian, melatih jiwa sportifitas, melatih kemampuan menganalisa, dan menjalin kontak sosial.16 d. Kucing-kucingan Permainan ini mirip cerita kartun Tom and Jerry. Permainan ini seperti kucing sedang mengejar tikus. Permainan kucing-kucingan dilakukan dengan membuat lingkaran dengan cara berpegangan tangan antara para pemain. Salah seorang pemain menjadi “kucing” dan seorang pemain lainnya menjadi “tikus”. Pemain-pemain yang bergandengan tangan bertugas menjaga si tikus dari kejaran sang kucing. Jika si tikus berada di dalam lingkaran, maka harus dilindungi dengan menghalangi kucing masuk. Begitu sebaliknya, jika tikus berada di luar dan kucing di dalam, maka mereka harus mengahalangi kucing agar tidak keluar dan menangkap tikus. Akan tetapi, jika keduanya ada di luar, maka si tikus harus berjuang sendiri untuk lari menghindari kejaran kucing. Untuk menyelamatkan diri, tikus juga bisa berusaha lari masuk ke dalam lingkaran. Permainan ini dapat membuat suasana menjadi meriah karena pasti penuh dengan teriakan-teriakan. Selain itu, juga dapat 16 Rani Yuliani I, op. cit., hlm. 63. 33 merangsang tubuh untuk bergerak. Apalagi untuk anak-anak yang harus banyak bergerak untuk mendukung proses pertumbuhannya.17 e. Engklek Permainan ini dilakukan dengan berjalan melompat dengan satu kaki. Permainan engklek bersifat kompetitif tetapi tidak ada hukuman bagi yang kalah. Engklek melatih keterampilan, ketangkasan, juga persahabatan antar sesama pemain. Permainan ini minimal dapat dimainkan oleh dua orang. Engklek membutuhkan sebidang tanah atau lantai yang dibuat pola atau digambari pola berupa petak-petak juga patah berupa pecahan genting atau batu kecil pipih. Mula-mula para pemain harus menentukan siapa yang main dahulu dengan hompimpa atau sut. Pemain kemudian melempar patah pada setiap petak secara bertahap dengan ingkling atau berjalan melompat dengan satu kaki. Jika patah keluar garis pada petak maka pemain tersebut kalah dan berganti pemain selanjutnya. Reward dari permainan ini berupa sawah atau petak yang menjadi hak milik sehingga tidak boleh dilewati oleh pemain lainnya. Sawah iniharus dilewati tanpa harus menginjak sawah lawan. 4. Manfaat Bermain dan Permainan Menurut Aristoteles dalam Mutiah permainan itu berfungsi sebagai saluran untuk menyalurkan segala emosi yang tertahan dan perasaan yang 17 Anonim. “Permainan Tradisional Dimasa http://tradisinusantara.blogspot.com/2013/02/permainan-tradisional-di-masa-kecil.htm. (18Februari 2013). Diakses, 3 Desember 2013. Kecil” 34 tidak dapat dinyatakan ke arah yang baik. 18 Salah satu fungsi dari permianan adalah menyalurkan emosi. Emosi merupakan gejolak-gejolak atau perasaan yang dituangkan dalam bentuk reaksi tubuh. Melalui permainan anak akan diarahkan untuk menuangkan emosinya kearah yang positif sebab anak pada umumnya belum mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Anak hanya mengerjakan sesuatu yang diinginkan tanpa mengetahui terlebih dulu baik buruknya. Manfaat bermain untuk anak-anak adalah sebagai berikut:19 a. Sarana untuk membawa anak dalam masyarakat b. Mampu mengenal kekuatan diri sendiri c. Mendapatkan kesempatan mengembangankan fantasi dan menyalurkan kecenderungan pembawaannya d. Berlatih menempa perasaanya e. Memperoleh kegembiraan, kesenangan, dan kepuasan f. Melatih diri untuk menaati peraturan yang berlaku Bermain di sekolah dapat membantu perkembangan anak apabila guru cukup memberikan waktu, ruang, materi, dan kegiatan bermain untuk muridnya.20 Baik bermain di sekolah maupun dimana saja dapat membantu perkembangan anak. Melalui bermain, perkembangan kognitif dapat dicapai anak seperti dengan menjelajahi lingkungan, mempelajari objek- 18 Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.92. 19 Zulkifrli L, op. cit., hlm. 41-42. 20 Soemantri Patmonodewo, op. cit., hlm.110. 35 objek di sekitar, dan belajar memecahkan masalah. 21 Selain itu, perkembangan sosial juga diperoleh anak dengan bermain karena anak secara langsung berinteraksi dengan teman-temannya. Belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin juga merupakan fungsi dari permainan yaitu tercapainya perkembangan emosional. Permainan merupakan salah satu alat pendidikan sebab dengan permainan anak akan belajar dengan kegembiraan sehingga akan lebih mudah anak untuk berkembang baik secara fisik maupun psikis. Dengan adanya permainan anak belajar untuk disiplin dan taat, karena dalam beberapa permainan ada peraturan-peraturan yang mengendalikan permainan itu sendiri. Jadi, anak akan mematuhi peraturan permainan jika anak ingin bermain. Selain itu, anak juga belajar mengenai dinamika kelompok, anak akan berusaha menjadi teman yang baik untuk teman bermainnya dengan bersikap jujur, loyal, mematuhi peraturan dan larangan-larangan B. Tingkah Laku Prososial 1. Pengertian Tingkah Laku Prososial Setiap anak dilahirkan belum bersifat sosial dalam arti bahwa anak belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain dalam lingkungannya. Anak harus belajar untuk mencapai kematangan sosial dari berbagai pengalaman bergaul dengan orang-orang yang berada di 21 Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),hlm. 141. 36 sekitarnya. Oleh karena itu, peran dari lingkungan sekitar sangat penting untuk perkembangan sosial anak. Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi; melebur menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. 22 Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Apabila lingkungan sosialnya memfasilitasi dan memberikan peluang bagi perkembangan anak secara positif, maka anak akan mencapai perkembangan sosial yang matang. Namun jika lingkungan sosial kurang kondusif yang diterima anak, maka perkembangan sosial anak akan terganggu. Perkembangan sosial dapat dilihat dari tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-harinya. Jika perkembangan sosial anak matang maka anak akan cenderung memiliki tingkah laku yang prososial seperti bekerja sama, simpati, menolong, berbagi, penyelamatan, berkorban, dan lain sebagainya. Tingkah laku prososial memiliki banyak definisi. Menurut Eisenberg dan Fabes yang dikutip dalam buku Psikologi Perkembangan Peserta Didik karya Desmita mendefinisikan tingkah laku prososial sebagai “voluntary behavior intented to benefit another” 23 Jadi yang dimaksud tingkah laku prososial menurut Eisenberg dan Fabes adalah 22 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.122. 23 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 235. 37 tingkah laku yang dilakukan secara sukarela dengan maksud untuk memberikan keuntungan kepada orang lain. Adapun pengertian tingkah laku prososial menurut Sri Utari Pidada dalam Desmita adalah suatu tingkah laku yang memiliki suatu akibat atau konsekuensi positif bagi si partner interaksi. 24 Sementara itu Brigham dalam Tri Dayakisni menyatakan bahwa: Perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku, tindakan itu dilahirkan secara sukarela, dan tindakan itu menghasilkan kebaikan.25 Menurut Baron, Byrne, dan Branscombe yang dikutip oleh Sarlito W. Sarwono, perilaku prososial adalah tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong. Berdasarkan batasan-batasan tersebut diatas maka dapat 26 ditarik kesimpulan bahwa tingkah laku prososial adalah segala bentuk tingkah laku yang diberikan secara sukarela serta dapat memberikan manfaat bagi si penerima. 2. Jenis-jenis Tingkah Laku Prososial Tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang memberi manfaat kepada si penerima bantuan dan dilakukan secara sukarela. 24 Ibid., hlm.236. Tri Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 175. 26 Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hlm.123. 25 38 Menurut Brigham dalam Desmita mengungkapkan wujud tingkah laku prososial meliputi27: a. Altriusme b. Menolong (helping) c. Murah hati (charity) d. Persahabatan (frienship) e. Kerjasama (Cooperation) f. Penyelamatan (rescuing) g. Pengorbanan (sacrificing) h. Berbagi/ memberi (sharing) 3. Dinamika Tingkah Laku Prososial Tingkah laku prososial tidak datang begitu saja. Ada proses dimana seseorang menginterpretasikan suatu kejadian. Kemudian seseorang akan mengambil keputusan apakah perlu adanya tindak prososial atau tidak. Darley dan Latene dalam Desmita mengajukan konsep bahwa respon menolong merupakan kulminasi dari serangkaian pilihan-pilihan kognitif.28 Ada beberapa tahap mengapa seseorang bertindak prososial atau tidak, sebagai berikut: a. Menyadari adanya keadaan darurat Individu harus mendeteksi bahwa ada suatu kejadian dan menaruh perhatian terhadap kejadian itu. Namun jika individu 27 28 Desmita, loc. cit., hlm 236. Desmita, op. cit., hlm. 184. 39 dipenuhi oleh kekhawatiran pribadi misalkan sedang buru-buru, tingkah laku prososial cenderung tidak terjadi. Oleh karena itu, seseorang dengan kesibukan sendiri dan tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya berarti gagal untuk menyadari keadaan darurat yang terjadi. b. Menginterpretasi keadaan sebagai keadaan darurat Pada tahap ini derajat ambiguitas situasi atau kejadian sangat menentukan. 29 Bystander akan berupaya untuk menafsirkan kejadian yang terjadi dengan mencari informasi tentang kejadian tersebut, untuk memastikan bahwa kejadian itu benar-benar darurat. Ketika seseorang berpotensial untuk menolong tidak yakin sepenuhnya apa yang terjadi, maka cenderung untuk menahan diri dan menunggu informasi lebih lanjut. c. Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong Tingkah laku prososial akan dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong. Bystander yang seorang diri besar kemungkinan untuk bertindak prososial jika dibanding dengan bystander dalam kelompok. Hal ini karena terjadi penyebaran tanggung jawab pada bystander dalam kelompok. 29 Ibid., hlm. 185. 40 d. Mengetahui apa yang harus dilakukan Setelah bystander mengambil tanggung jawab untuk bertindak prososial. Pada tahap ini, yang muncul pada bystander adalah apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. e. Mengambil keputusan untuk menolong. Dalam fase ini, tingkat bahaya yang akan dihadapi calon penolong dan tingkat kemampuan atau kekuasaan menjadi penentu bagi tindakan yang diambil. Juga dalam hal ini calon penolong akan mempertimbangkan pengorbanan jika ia melakukan pertolongan. 41 Skema 1 Tahap Pengambilan Keputusan Bertindak Prososial30 Bystander dihadapkan pada situasi darurat Tahap 1: Apakah bystander memperhatikan situasi tersebut. Tahap 2: Apakah bystander menginterpretasi keadaan tersebut sebagai keadaan darurat. Tahap 3: Apakah bystander mengasumsikan adanya tanggung jawab untuk mengambil tindakan tidak Tidak bertindak prososial karena tidak memperhatikan situasi tidak Pertolongan tidak diberikan karena minginterpretasi sebagai keadaan bukan darurat tidak Tahap 4: Apakah bystander memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan untuk menyediakan pertolongan tidak Tahap 5: Apakah bystander memutuskan untuk bertindak prososial tidak Pertolongan tidak diberikan karena adanya asumsi bahwa orang lain seharusnya melakukan sesuatu Pertolongan tidak diberi karena tidak dimilikinya pengetahuan atau keterampilan Pertolongan tidak diberikan karena ketakutan akan konsekuensi negatif Bystander bertindak prososial 30 Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, op. cit., hlm. 139. 42 4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkah Laku Prososial Tingkah laku prososial harus dimiliki oleh setiap orang sebab dengan adanya tingkah laku prososial, maka dengan sendirinya manusia telah melestarikan kodratnya sebagai makhluk sosial. Sulit dibayangkan jika perilaku prososial tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia akan cenderung bersifat individualis, selfish, dan kurang peduli terhadap sesamanya. Mengingat pentingnya tingkah laku prososial maka perilaku ini haruslah ditanamkan sejak dini. Salah satu cara untuk menumbuhkan perilaku prososial adalah dengan membangun hubungan interpersonal yang berdasarkan pada perhatian, pemahaman, dan kemauan untuk menolong orang lain. Untuk menciptakan perilaku prososial ada beberapa faktor yang memengaruhi atau mendasari seseorang untuk berperilaku prososial yaitu faktor situasional dan faktor kepribadian. a. Faktor-faktor situasional yang berpengaruh dalam perilaku prososial 1) Kehadiran orang lain (Bystander) Bystander atau orang yang ada disekitar tempat kejadian memiliki peran sangat besar untuk memengaruhi seseora ng saat memutuskan menolong atau tidak menolong pada kejadian tertentu. Kecenderungan untuk berespons prososial pada keadaan darurat dipengaruhi oleh jumlah bystander yang ada. Sejalan dengan meningkatnya jumlah bystander, probabilitas bahwa seorang bystander akan menolong menurun. Dalam kondisi banyak 43 orang ketika terjadi suatu insiden yang membutuhkan pertolongan, besar kemungkinan tidak ada yang menolong karena terjadi penyebaran tanggung jawab. Jika hanya ada satu orang bystander berarti dia menanggung keseluruhan tanggung jawab. Jika ada 100 orang bystander berarti masing-masing menanggung 1% tanggung jawab. Dengan kata lain makin banyak bystander maka mereka makin merasa kurang bertanggung jawab untuk bertindak. Efek bystander yang terjadi karena pengaruh sosial, hambatan penonton, dan penyebaran tanggung jawab. 31 Yang dimaksud dengan pengaruh sosial adalah seseorang akan menolong jika ada orang lain yang menolong juga. Hambatan penonton ini menjadi efek byastander karena si bystander merasa dirinya dinilai orang lain. Penyebaran tanggung jawab membuat tanggung jawab untuk menolong menjadi tersebar karena banyaknya bystander. 2) Atribusi terhadap korban Proses yang dilakukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa atau apa sebabnya atas perilaku orang lain atau diri sendiri disebut dengan atribusi.32 Dalam situasi sosial kita berusaha memahami perilaku orang lain kemudian kita menarik kesimpulan apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut. Proses atribusi ini penting untuk membantu pemahaman atas penyebab perilaku dan sebagai mediator terhadap lingkungan sosial. 31 32 Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, op. cit., hlm. 132. Tri Dayakisni dan Hudaniyah, op. cit., hlm. 41. 44 Kaitannya dengan perilaku prososial, atribusi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam perilaku prososial. Melalui proses atribusi calon penolong akan memperkirakan apa yang akan ia lakukan, apa yang akan terjadi jika ia tidak menolong, dan lain sebagainya. 3) Nilai-nilai dan norma sosial Hidup dalam masyarakat tentunya memiliki norma-norma yang berlaku dan bersifat mengikat. Norma-norma tersebut harus dijalankan karena jika tidak, maka akan ada sanksi tersendiri baginya. Norma sosial yang berkaitan dengan tingkah laku prososial adalah resiprokal dan norma tanggung jawab sosial. 33 Hal tersebut bisa diartikan bahwa seseorang akan cenderung bertindak prososial hanya kepada orang yang telah memberikan bantuan kepadanya. Jadi seseorang yang telah mendapatkan keuntungan maka ia wajib untuk membalas kebaikan meskipun kepada orang lain. Masing-masing Negara memiliki norma-norma tersendiri yang lazim dilakukan. Masyarakat Indonesia pada umumnya, memiliki norma untuk menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan. Berbeda dengan masyarakat Amerika misalnya, masyarakat Amerika yang individualis tidak merasa berkewajiban membantu teman dan orang asing, bahkan orang tua yang memiliki 33 Ibid., hlm. 178. 45 kebutuhan kecil.34 Kaitannya dengan masyarakat Indonesia, berarti masing-masing anggota masyarakat memiliki tanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada yang lemah. Apalagi jika orang yang membutuhkan bantuan adalah orang yang cukup dekat dengan calon penolong baik adanya ikatan keluarga, satu latar belakang atau ras, dan sebagainya. Maka akan semakin besar dorongan untuk bertindak prososial. 4) Model-model prososial Adanya model dalam tingkah laku prososial dapat mendorong atau memotivasi seseorang untuk ikut memberi pertolongan pada orang lain. Contoh dalam kehidupan sehari-hari, misalnya banyak tempat-tempat seperti rumah makan yang menyediakan kotak amal dan sudah ada uang didalamnya. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk menarik perhatian pengunjung yang akan datang ke tempat tersebut agar mau turut menyumbang. 35 Adanya bystander juga berkaitan dengan hal ini. Apabila keberadaan bystander lainnya yang tidak merespon kejadian tertentu maka dapat menghambat tingkah laku prososial, juga jika bystander menolong misalnya, maka bystander telah memberi model sosial yang kuat diantara bystander lainnya. Model-model prososial dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma 34 Carole Wade dan Carole Travis, Psikologi, alih bahasa Benedictine Widyasinta dan Darma Juwono (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm. 307. 35 Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, op. cit., hlm. 133. 46 sosial yang mendukung tingkah laku prososial. 36 Contohnya televisi yang menyediakan berbagai tayangan di dalamnya memuat salah satunya tentang tolong menolong maka besar kemungkinan akan berpengaruh pada tingkah laku orang yang menonton televisi. b. Faktor dalam diri yang berpengaruh dalam perilaku prososial 1) Suasana hati (Mood) Emosi positif secara umum seperti gembira dapat meningkatkan tingkah laku prososial atau menolong. Sementara itu, jika seseorang memiliki emosi negatif seperti sedih maka kemungkinan bertindak prososial lebih kecil. Namun, jika dirasa dengan berlaku prososial atau menolong akan membuat suasana hati senang, maka seseorang tersebut akan menolong. Sehingga suasana hati atau mood dapat berpengaruh terhadap perilaku prososial. 2) Sifat atau kepribadian Sifat atau kepribadian yang dimiliki oleh seseorang turut menunjang seseorang untuk bertingkah laku prososial atau tidak. Penelitian yang dilakukan Staub menunjukan bahwa individu yang bertindak prososial, biasanya memiliki karakter seperti memiliki harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain, dan rendahnya menghindari tanggung jawab. 37 Pada anak-anak kecenderungan prososial dapat menjadi bagian dari 36 Robert A. Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jilid 2,Edisi 10, alih bahasa Ratna Djuwita, dkk (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hlm. 105. 37 Tri Dayakisni dan Hudaniyah, op. cit., hlm. 179. 47 skema diri dan kemudian diaplikasikan dalam situasi yang lebih khusus dimana pertolongan dibutuhkan.38 3) Jenis kelamin (Gender) Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong misalnya sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. 39 Laki-laki akan cenderung menolong jika situasinya membahayakan atau membutuhkan tenaga yang lebih atau yang bersifat maskulin. Misalnya ada penjambretan dijalan maka laki-laki akan cenderung mengejar penjambret dari pada perempuan meskipun yang dijambret adalah perempuan. Lain halnya dengan perempuan, perempuan lebih condong bertindak prososial sesuai dengan sifatnya yang feminim. Contohnya memberikan dukungan atau semangat, merawat, berbagi, sebagai tempat bercerita, dan lain sebagainya. 38 39 Robert A. Baron dan Donn Byrne, op. cit., hlm.116. Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, op. cit., hlm. 136.