PEREMPUAN DAN GENDER DI ABAD-ABAD PERTAMA KEKRISTENAN Edison R. L. Tinambunan Abstract Women and gender are subjects which are very real in our time. This article tries to examine Women and Gender in the early Christian period. This study begins with background of Women and Gender in that period and at the end of the research shows the development of Women and Gender in that early Christian time. There are some researches of the subjects, yet research which is based on the early experience of Christianity has not been done extensively. My research could still be regarded as a tentative study on women and gender in the those early periods. Tradition of Judaism and Helenism contributes some pivotal points of research on the topics. And, at last Christianity employs new sense of the existence of women as well as gender. Keywords: Perempuan, Gender, Laki-laki, Tradisi, Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen awali. Sekitar tiga puluh tahun terakhir, Perempuan dan Gender semakin diminati oleh para ilmuan baik itu sebagai study maupun dalam bentuk perkumpulan. Terlebih-lebih mengenai study, para ilmuan berusaha membuat penelitian dari berbagai aspek mengenai Perempuan dan Gender untuk menunjukkan eksistensi yang sebenarnya. Hal yang biasa terjadi bahwa semakin banyak ahli yang menggeluti bidang tertentu, semakin banyak juga pendapat yang berkembang baik itu positif maupun negatif bahkan bisa juga pendapat yang bertentangan dari ahli yang satu dengan yang lainnya. Demikian juga halnya dengan deskripsi Gender, ada berbagai deskripsi yang bermunculan. Akan tetapi deskripsi yang umum diterima merumuskan bahwa Gender itu adalah sistim kultur yang membentuk perbedaan biologis/anatomi satu dengan yang lain.1 1 Ross Shepard Kraemer, Women and Gender, The Oxford Handbook of Early Christian Studies, Edited by Susan Ashbrook Harvey and David G. Hunter, Oxford, University Press, 2008, 467. 220 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 Bisa dikatakan bahwa study mengeni Perempuan dan Gender saat ini sangat aktual sekali. Dengan alasan inilah maka penulis berusaha mencari suatu aspek yang kurang disentuh para ilmuan selama ini, yaitu Perempuan dan Gender pada abad-abad pertama, zaman Kristen awali. Kalau kita mengamati tulisan-tulisan pada zaman itu, maka pendapat yang bisa kita lontarkan ialah bahwa periode ini memiliki beberapa aspek akan Perempuan dan Gender. Periode yang sulit untuk dianalisa, karena menyangkut banyak aspek yang harus dipelajari. Pertama-tama, karena periode yang sudah jauh dari zaman kita, sehingga butuh penelitian yang membutuhkan pemahaman akan situasi akan zaman tersebut. Aspekaspek yang juga sangat berpengaruh adalah sosial dan politik yang berkembang pada waktu itu. Aspek-aspek inilah yang perlu dibahas untuk menemukan kondisi dan eksistensi Perempuan dan Gender pada periode awali tersebut. Sebenarnya aspek lain yang sangat mempengaruhi Perempuan dan Gender pada periode ini ialah eksistensi tiga budaya yang sangat berperan, Yahudi, Yunani dan Romawi. Dengan latar belakang dan kekhasan masing-masing, ketiga budaya ini sangat mengkondisikan pandangan Perempuan dan Gender pada abad-abad pertama. Ketiga budaya ini juga berusaha mempolitisir Perempuan dan Gender di dalam kehidupan soial. 1. Perempuan dan Gender dalam tradisi Yudaisme Perempuan dan Gender dalam tradisi Yahudi, praktis menghiasi sejarah bangsa ini yang narasumbernya ada dalam Alkitab. Bangsa ini diikat dengan perjanjian dengan Tuhan dan mereka berusaha mentaatinya; perjanjian ini juga membuat mereka menjadi bangsa yang spesial di hadapan Tuhan (Kel 19:5-6). Perjanjian ini mengikat cara hidup mereka baik itu secara individual maupun komunitas atau bangsa. Perjanjian itu juga berfungsi sebagai pengatur cara hidup yang memberikan konsekuensi hukuman jika dilanggar. Perempuan dan Gender yang diatur di dalam Alkitab tampak dalam hidup perkawinan dan dalam berinteraksi. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, hanya beberapa perempuan yang mendapat peran penting yang menekankan matriarkis. Mereka itu ialah Sara, Rebekka, Lea dan Rakel yang bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian. Walau mereka hanya berstatus sebagai istri, akan tetapi mereka memberikan kontribusi yang sangat penting dalam garis sejarah eksistensi bangsa ini. Perempuan yang lain yang juga biasa disebutkan adalah Debora (Kitab Hakim-hakim 45), nabi Miriam (Kel. 20:20-21) dan Huldah (2 Raj. 22:14-16) memberikan gambaran sebagai pemimpin dan perempuan yang penuh dedikasi di dalam aktivitas keluarga. Ada juga perempuan lain yang memberikan dedikasi dan inspirasi seperti Hagar (Kej. 16); kemudian Tamar, anak perempuan David yang Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 221 diculik oleh saudaranya (2 Sam. 13); Rut yang sangat loyal dalam hidupnya dan menjadi contoh perempuan bagi bangsa Israel dalam kultur dan beragama. Kelima anak perempuan Zelafehad (Bil. 27) menjadi motor untuk mendobrak tradisi dalam hal warisan. Bangsa ini menerapkan bahwa anak laki-lakilah yang harus mendapat warisan sedangkan perempuan tidak. Akan tetapi, kelima anak perempuan ini menjadi pendobrak tradisi dengan prinsip bahwa anak perempuan juga berhak untuk mendapat harta warisan. Figur yang terakhir adalah Hawa (Kej. 3:6); ia digambarkan sebagai perempuan yang menginginkan kebijaksanaan. Dari tokoh-tokoh perempuan yang ditampilkan dalam Kitab Suci ini sebenarnya tidak sebanding dengan tokoh-tokoh laki-laki. Kepopuleran dan perannya dalam perjalanan sejarah, Gender Laki-laki jauh lebih dominan dibandingkan dengan Gender Perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Gender Perempuan dalam Alkitab jauh dibawah Gender Laki-laki. Dalam tulisan-tulisan lain yang dimiliki orang Yahudi, Talmud,2 hanya menyebutkan Perempuan di beberapa tempat dan hanya menyebutkan secara umum saja atau disinggung kalau ada hubungannya dengan kaum laki-laki dalam menjalankan kewajibannya sebagai ibu atau istri. Dalam literatur Yahudi lainnya, situasinya juga tidak jauh berbeda. Dari segi keagamaan, seperti menjadi imam, sudah dimonopoli oleh suku Levi dan yang bisa menjadi imam sudah jelas sekali hanya kaum lakilaki. Kelompok kaum Farisi,3 dan Saduki,4 praktis didominasi Gender Laki-laki. Dalam kehidupan sosial, Perempuan dan Gender juga dikesampingkan. Dalam Kitab Kejadian (30:1) disebutkan kelahiran anak perempuan Jacob yang bernama Dina, akan tetapi kehadirannya tidak selalu ditampilkan dibandingkan dengan anak-anak Yakub lainnya. Selama waktu perbudakan bangsa Israel di Mesir, raja Firaun membunuh semua bayi laki-laki dan membiarkan bayi perempuan hidup. Firaun melihat bahwa bangsa ini hanya mengenal garis paternal dan mengesampingkan garis maternal. Dengan alasan inilah maka tradisi Yahudi selalu menekankan pentingnya kelahiran seorang anak laki-laki. Perbedaan Gender Laki-laki dan Perempuan juga tampak sekali dalam pelaksanaan ritual setelah kelahiran anak. Jika seorang ibu melahirkan bayi laki-laki, maka sang ibu akan mentahirkan dirinya antara 7 sampai dengan 33 hari; dan jika yang lahir adalah perempuan, maka sang ibu harus mentahirkan dirinya lebih lama, antara 14 sampai dengan 2 Talmud ialah kumpulan teks-teks mengenai studi dan istruksi dari hasil diskusi para Rabbin yang berisikan hukum, moral, filsafat, tradisi dan sejarah. 3 Kaum Farisi adalah kelompok yang melihat diri mereka sebagai penjaga dan penafsir ajaran-ajaran Torah, ke Lima Buku Musa. 222 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 66 hari. 5 Ritual berikutnyapun tetap menjadi semacam diskriminasi, karena jika bayi laki-laki yang lahir, setelah berumur delapan hari, maka ia disunat dan diberi nama; sedangkan jika bayi perempuan, orang tua hanya membawanya ke bait Allah, itupun dengan waktu yang tidak ditentukan dan upacaranyapun hanya sekedar ucapan syukur dan pemberian nama. Itu berarti bahwa pentahiran seorang ibu yang melahirkan serang bayi perempuan, butuh waktu dua kali lebih banyak dibandingkan dengan kelahiran bayi laki-laki. Apakah perempuan membawa lebih ketidaktahiran dibandingkan dengan laki-laki? Sehubungan dengan Perempuan dan Gender dalam tradisi Yahudi, perempuan yang sedang datang bulan juga dianggap najis, oleh sebab itu perlu pentahiran dan bahkan tidak boleh menyentuh dan disentuh orang atau hal-hal yang bukan najis.6 Dari praktek kultural religius, lebih mengenaskan lagi karena perempuan praktis tidak memiliki andil untuk mengambil bagian pada perayaan persembahan. Seorang ayah memiliki kewajiban untuk mengajar anaknya hukum dan tradisi Yahudi (halakhah), jika anaknya seorang laki-laki; akan tetapi bukan menjadi suatu kewajiban sang ayah bagi anaknya perempuan. Memang, pada perkembangan selanjutnya terlebih-lebih di zaman modern, peraturan ini menjadi lebih lunak. Sangat menarik untuk diketahui bagaimana Alkitab menyebutkan dalam hidup perkawinan, karena ada beberapa orang yang dianggap sangat penting dalam sejarah bangsa Yahudi hidup poligami atau hidup bersama, seperti cerita keluarga Abraham dan Sara dan Hagar, Yakub, Lea dan Rachel, David dan Salomo. Memang benar bahwa selama periode Talmut, poligami diijinkan. Belum lagi sepekulasi yang mengatakan bahwa dalam keseluruhan Talmud terdapat 2800 para Rabi hidup dalam poligami.7 Kalau memperhatikan kehidupan keluarga, bisa dikatakan bahwa sebagian besar contoh keluarga dari Alkitab kurang ideal dalam kacamata sekarang. Alasannya sangat mendasar, karena menampilkan kecemburuan dan persoalan dalam keluarga. Keluarga Yakub misalnya, tidak luput dari kedua masalah ini. Memang, ada juga aspek positif yang bisa dipetik dari sikap Yakub dalam usahanya untuk memperistrikan Rahel. Ia harus bekerja selama 14 tahun kepada Laban, agar bisa mendapatkannya untuk dijadikan istri.8 Sikap Yakup ini menggambar- 4 Kaum Saduki biasa disebut juga dengan orang-orang Bait Allah. 5 Im. 12:1-5. 6 7 Ross Shepard Kraemer, Women and Gender, 199. Ross Shepard Kraemer, Women and Gender, 203-204. 8 Kej. 29:14-28. Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 223 kan perjuangan dan devosi yang sangat tinggi yang bisa diterapkan pada hubungan suami istri.9 Tidak menyangkal bahwa tradisi Yahudi dalam diri Sara, Rebekka, Lea dan Rahel, walaupun dilihat sebagai aspek dorongan individual, tetapi juga menekankan aspek maternal, walaupun secara umum bangsa ini lebih menekankan aspek paternal. Berdasarkan sosok para perempuan ini maka bisa dikatakan bahwa secara umum tradisi Yahudi tidak menonjolkan Perempuan dan Gender. Memang, contoh yang ditampilkan tidak begitu banyak, karena hanya mereka inilah yang sangat dikenal dalam Alkitab sebagai perempuan-perempuan yang terkenal. Sikap yang diterima para perempuan ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Gender Perempuan adalah subordinasi dari Gender Laki-laki. 2. Perempuan dan Gender dalam tradisi Yunani Perempuan dan Gender dalam tradisi Yunani agak berbeda dengan tradisi Yahudi, karena pengaruh filsuf besar seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Sebenarnya ada dua aliran akan Gender Perempuan dalam pemikiran filosofis Yunani. Aliran pertama, para filsuf yang menyejajarkan perempuan dengan laki-laki yang dipromotori Socrates dan Plato. Aliran yang kedua, yang berlawanan dengan Socrates dan Plato, melihat Gender Perempuan sebagai subordinasi dari laki-laki, yang praktis memiliki kesamaan dengan Yudaisme. Aliran filosofis ini dipromotori Aristoteles dan para filsuf stocisme. Aliran platonisme mensejajarkan Gender Perempuan dengan Gender Laki-laki. Hal ini ditunjukkan dalam partisipasi perempuan untuk mengambil bagian dalam berfilsafat. Akan tetapi Perempuan dibatasi dalam aktivitas politik dan pengadilan; sektor ini didominasi Gender Lakilaki. Efek perempuan berpartisipasi untuk berfilsafat ialah bahwa Perempuan Yunani memiliki kebebasan dalam hidup sosial dan bisa berkontak dengan orang lain, juga termasuk lawan jenis mereka. Situasi ini membawa dampak yang kurang baik dalam hidup berkeluarga yang sering dikesampingkan; perempuan juga lebih otonom dibandingkan dengan tradisi Yahudi. Dalam berfilsafat pada zaman Socrates (469-399) dan muridnya Plato 428/7-348/7) mengajak Perempuan untuk melihat nilai-nilai hidup dan kebijaksanaan. Salah satu unsur itu ialah dalam hubungannya dengan laki-laki dalam kehidupan suami istri. Hubungan ini dianggap perlu mendapat perhatian, karena ada semacam sebab akibat untuk kepentingan negara. Jika hubungan suami istri baik, maka hidup 9 Bdk. Ross Shepard Kraemer, Women and Gender, 204. 224 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 bernegarapun akan baik pula. Jika hubungan suami istri tidak baik, maka hidup bernegara akan jelek dan menjadi kehancuran negara. Dengan alasan ini, maka pemerintah sangat memperhatikan hidup berfilsafat dalam kehidupan masyarakat. Berfilsafat atau menjadi bijak menjadi prinsip yang penting sekali untuk membangun negara.10 Hal ini bisa dimengerti karena rakyat yang bijak akan tau bagaimana sebaiknya hidup berrumahtangga seperti hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan orang lain. Sikap seperti ini dengan sendirinya juga diterapkan dalam bernegara. Orang yang bijak akan selalu mencari dan menunjukkan yang terbaik dalam hidupnya dalam segala aktivitas. Secara umum bisa dikatakan bahwa Perempuan dan Gender dijunjung tinggi, walau ada perbedaan secara anatomis antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan ini menyangkut pada tugas dan tanggungjawab di dalam rumah tangga. Perempuan secara anatomis melahirkan dan secara tidak langsung ia lebih sering melakukan pekerjaan rumah tangga dan laki-laki lebih terarah pada pekerjaan di luar rumah. Walaupun sebenarnya kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk memajukan keluarga, terlebih-lebih untuk memberikan falsafah dan etika kepada anak-anak. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa kaum perempuan dan laki-laki berbagi tugas secara alamiah berdasarkan anatomis.11 Plato sangat keras mengingatkan kaum laki-laki agar jangan memperlakukan perempuan seperti binatang yang harus tinggal di rumah dan hanya memiliki kewajiban untuk melahirkan dan menjaga anakanak. Ia juga menekankan bahwa perempuan bukan menjadi obyek nafsu. Perempuan tidak lebih lemah dari laki-laki, tidak lebih rendah dari lakilaki. Semuanya harus sesuai dengan anatomis dan fisik. Oleh sebab itu perempuan harus diperlakukan sebagaimana mestinya perempuan. Perempaun harus juga berfilsafat, karena mereka memiliki hak untuk pendidikan.12 Thargelia dari Mileto adalah salah satu perempuan yang menjadi penasehat raja dari Persia dan raja Aspasia yang kebetulan juga berasal dari Mileto. Ia dikenal dengan seorang perempuan jenius. Saffo adalah perempuan Yunani yang tidak kalah kejeniusannya dari Thargelia. Mereka inilah pionir perempuan Yunani yang sangat dikenal. 10 La coppia nei padri, Introduzione, traudzione e note di Giulia Sfameni Gasparro, Cesare Magazzù, Concetta Aloe Spada, Milano, Edizioni Paoline, 1991, 56-58. 11 La coppia nei padri, 58-59. 12 Plato, Republic, 5,451c-461e (Complete Works, Edited, with Introduction and Notes, by John M. Cooper, Associate Editor D. S. Hutchinson, Indianapolis/Cambridge, Hackett Publishing Company, 1997). Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 225 Di tempat lain Plato menambahkan bahwa perempuan bukan hanya mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki, melainkan juga berhak untuk mendapatkan posisi dalam pekerjaan dalam pemerintahan. 13 Legitimasi dalam hidup perkawinan juga dijunjung tinggi yang diatur dalam pemerintahan.14 Sistim ini perlu untuk melindungi Perempuan dan Gender, agar laki-laki tidak seenaknya untuk meninggalkan istri begitu saja dan hidup bersama dengan perempuan lain. Disamping itu, juga perlu untuk selalu membina nilai-nilai hidup perkawinan, karena akan memiliki konsekuensi untuk stabilitas negara. Pemikiran platonisme ini kemudian diikuti oleh para filsuf sesudahnya, Pitagoras (abad IV), Epicuros (abad IV) dan juga Antistene (abad IV). Efek aliran platonisme akan Perempuan dan Gender menunjukkan bahwa Gender Perempuan sejajar dengan Gender Laki-laki. Oleh sebab itu perempuan adalah rekan untuk berdiskusi, berfilsafat dan memiliki kedudukan yang sama pentingnya di dalam negara, tidak menilai Gender Perempuan lebih rendah dari Gender Laki-laki. Walaupun perempuan Yunani dikenal dengan berpendidikan, tetapi dalam kenyataan, perempuan jarang pergi ke theater, kecuali kalau menemani suami. Sementara Aristoteles (382-322) dan aliran filosofisnya memiliki pendapat yang bertentangan dengan aliran platonisme. Mereka memperlakukan perempuan hampir sama dengan pandangan tradisi Yudaisme, subordinasi. Perempuan seharusnya memiliki pekerjaan di rumah, domestik. Konsekuensinya ialah bahwa pemikiran ini tidak mengindahkan nilai-nilai luhur hidup perkawinan.15 Akibatnya Gender Perempuan dilihat sebagai hanya pelengkap bagi kaum laki-laki, bukan teman untuk berdialog, bersifat kekuasaan dan dominasi. 3. Gender Perempuan dalam tradisi Romawi Perlakuan Perempuan dan Gender dalam kekaisaran romawi semacam kombinasi antara dua tradisi yang telah dibahas sebelumnya, Yahudi dan Yunani. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa sebelumnya tradisi Romawi memilkiki hubungan kultural dengan tradisi Yunani. Selama kejayaan kekaisaran, perempuan memiliki kebebasan dan bahkan ada kecendrungan berlebihan. Maka tidak jarang perempuan biasa ditemui di tempat-tempat umum bahkan juga di tempat-tempat hiburan. Mereka dengan bebas bisa pergi ke tempat tersebut. Kadang mereka harus mendampingi suami atau bahkan pergi bersama dengan teman-teman. Walau tidak semua tempat hiburan bisa dikunjungi 13 Plato, Lows, 7,804e-806e. 14 Plato, Lows, 7,771e. 15 Bdk. La coppia nei padri, 60-65; bdk. Aristoteles, La Politica, I (A),5,1254b; 13,1260a. 226 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 perempuan dengan bebas, seperti sirkus misalnya. Perempuan hanya bisa masuk ke tempat ini, hanya kalau mendampingi suami. Alasannya ialah, karena tempat hiburan ini lebih diutamakan bagi kaum laki-laki. Perempuan juga bisa belajar di sekolah seperti kaum laki-laki. Di kekaisaran romawi, pelajaran sudah sangat maju seperti matematika, logika, astronomi, kedokteran dan terlebih-lebih retorika. Pengetahuan yang terakhir ini sangat populer dan diminati, terlebih-lebih mereka yang berkecimpung dalam pengajaran dan politik. Hasil pelajaran retorika tersbut, ialah bahwa perempuan Romawi memiliki kecendrungan untuk suka berbicara dan selalu berusaha mempertanggjungjawabkan apa yang diperbuat atau dikatakan, walaupun secara nalar tidak dapat dibenarkan. Kebiasaan ini masih tetap berlanjut sampai beberapa waktu setelah kejayaan kekaisaran romawi. Sayangnya, walau perempuan bisa maju di dalam pengetahuan, mereka toh dibatasi di bidang politik dan hakim.16 Selama kejayaan kekaisaran Romawi, kaum perempuan telah berusaha memperjuangkan kesamaan Gender Perempuan dengan Gender Lakilaki. 17 Dalam hidup perkawinan, perempuan mendapat tanggungjawab lebih besar untuk mengurusi keluarga, terlebih-lebih anak-anak, walau dalam memberikan pengajaran, suami istri diharapkan bekerjasama. Lakilaki umumnya lebih banyak memiliki aktivitas di luar rumah seperti menjadi politikus, rektor, pengajar dan hakim. Pada umumnya suami istri selalu saling membantu baik itu di dalam maupun di luar rumah tangga. Suatu hal yang perlu dicatat, bahkan menjadi kekhasan tradisi ini, bahwa perempuan atau istri bisa mengajukan cerai akan suaminya dan ia (istri) juga memiliki hak untuk mendapatkan harta warisan yang menjadi bagiannya.18 Dengan pergaulan bebas baik itu perempuan maupun laki-laki, maka di kekaisaran ada semacam kemerosotan moral. Tidak jarang baik itu laki-laki maupun perempuan keluar malam terlebih-lebih pada musim panas untuk makan bersama atau sekedar jalan bersama dan berkumpul. Bahkan sampai larut malam dan tidak jarang juga sampai pada penyelewengan kehidupan perkawinan. Di kota-kota, tidak sulit menemukan lokasi hiburan malam. Salah satu tempat hiburan yang banyak dikunjungi adalah theatre. Tempat lokalisasi, sudah biasa ditemukan di mana mana. Tidak jarang kaum perempuan melacurkan diri di tempat itu dan kaum laki-laki juga termasuk mereka yang sudah hidup dalam perkawinan, mengunjungi tempat-tempat hiburan tersebut.19 16 17 18 19 Bdk. La coppia nei padri, 72. http://it.wikipedia.org/wiki/Donna_romana_%28I_-_II_sec._d.C.%29 (07-09-2010, 09.30) Bdk. La coppia nei padri, 73-74. http://it.wikipedia.org/wiki/Donna_romana_%28I_-_II_sec._d.C.%29 (07-09-2010, 09.45) Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 227 4. Gender Perempuan dalam Kristen awali Tidak gampang untuk menganalisa situasi Gender Perempuan pada zaman Kristen awali, karena di samping senggang waktu yang begitu jauh, juga karena berbagai aspek yang harus dilihat. Walaupun demikian, penelitian ini akan memberikan rangkuman berbagai aspek tersebut. Tiga tradisi yang telah dibahas sebelumnya, Yahudi, Yunani dan Romawi turut mengambil andil sebagai latarbelakang akan Gender Perempuan dalam dunia Kristen. Bisa juga dikatakan bahwa sikap Kristen pada periode ini sebagai reaksi atas ketiga tradisi tersebut yang ikut mempengaruhi dunia Kristen awali, walau mungkin dalam beberapa hal masih tetap memegang tradisi yang melatarbelakangi. 4.1. Perjanjian Baru Dalam Alkitab Perjanjian Baru kita tidak menemukan banyak tokoh perempuan. Mungkin sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan Alkitab Perjanjian Lama yang telah dibahas sebelumnya. Akan tetapi bukan berarti Kitab Perjanjian Baru tidak membahas Perempuan dan Gender. Maria sosok perempuan yang angat sering tampil di dalam Perjanjian Baru dan sangat dominan di Kitab Injil dibandingkan dengan perempuan lainnya. Maria bersama dengan Elisabet (Luk 1:39-45) yang masih ada hubungan kekeluargaan, menampilkan peranan perempuan yang sangat penting dalam sejarah keselamatan. Maria dalam perjalanan waktu selanjutnya menjadi panutan dalam segala aspek sehingga ia bisa dikatakan menjadi figur dalam hidup. Maria bersama dengan Hawa, juga kemudian menjadi figur pada zaman berikutnya, terlebih-lebih Maria menjadi pusat devosional yang sangat kuat bahkan sampai sekarang. Selama pewartaan Yesus, selain para murid, sebenarnya beberapa diantara pengikut-Nya (murid?) juga perempuan-perempuan, bahkan mereka bertindak sebagai penyokong pewartaan. Mereka itu adalah Maria Magdalena, Yohanna, Susanna, Maria ibu Yakobus dan Yusuf, ibu anak-anak Zebedeus dan Salome. Di antara mereka bahkan sampai mengikuti Yesus di salib, walau mereka melihat-Nya dari jauh (Luk 8:13; Mat 27:55-56; Mrk 15:40-41; Luk 23:49). Sokongan perempuanperempuan ini kelihatannya mengarah pada kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan mencuci pakaian. 20 Keunggulan perempuanperempuan ini dibandingkan dengan para rasul, tidak hanya kesetiaan mereka kepada Yesus tetapi juga menjadi saksi pertama akan kubur kosong dan kebangkitan Yesus. Bahkan bisa dikatakan bahwa mereka 20 Bdk. Mary T. Malone, Women and Christianity, Volume one: The First Thousand Years, Dublin, Clolour Books, 2000, 47-48. 228 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 menjadi pewarta pertama akan Kristus yang bangkit walaupun pada saat kejadian itu mereka sendiri belum sampai pada pemahaman sejauh itu (Mat 27:57-61; Mrk 15:42-47; Luk 23:50-56a; Yoh 19:38-42).21 Dua perempuan yang sangat banyak dikenal di kemudian hari ialah Marta dan Maria, saudari Lazarus yang dibangkitkan Yesus. Mereka ini berasal dari Betania. Maria sangat terpuji di hadapan Yesus dibandingkan dengan saudarinya Marta, karena Maria mengurapi kaki Yesus dan mendengarkan pembicaraan-Nya; sementara Marta sibuk dengan kebutuhan-kebutuhan vital di dapur (Yoh 12:1-8 bdk. Mat 26:6-13; Mrk 14:3-9). Kemudian di tempat lain, Marta malah mengingatkan Yesus agar saudarinya Maria menolongnya (Luk 10:38-42). Dalam adegan ini, tampak bahwa peran Marta malah lebih penting dibandingkan dengan Maria, karena ia lebih berinisiatif untuk berbicara dengan Yesus dan mau menunjukkan bahwa sikap dan perbuatannya perlu diperhitungkan. Sebenarnya kedua perempuan ini dikenal sebagai figur akan hidup kontemplatif dan aktif yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, karena keduanya saling melengkapi. Hidup aktif juga perlu dan bukan hanya yang kontemplatif saja; cara hidup yang satu dengan yang lain bukan sebagai pelengkap. Dalam pelayanan, Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun kerasukan roh dan bahkan ia sudah sampai bungkuk. Penyembuhan ini terjadi pada waktu hari Sabat (Luk 13:1017). Pada kesempatan lain, Yesus membuat keajaiban dua kali hampir dalam waktu yang bersamaan kepada perempuan; yang pertama Ia menyembuhkan seorang perempuan yang telah mengalami sakit pendarahan selama dua belas tahun, kemudian Ia membangkitkan anak perempuan Yairus (Mat 9:18-26; Mrk 5:21-43; Luk 8:40-56). Dalam penyembuhan dan keajaiban kebangkitan putri Yairus, Yesus memberikan belas kasihan kepada semua orang, terlebih-lebih mereka yang sangat menderita termasuk kaum perempauan.22 Pertemuan perempuan Samaria dengan Yesus di sumur Yakub adalah salah satu peristiwa yang menarik untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan Gender Perempuan. Perikop ini (Joh 4:1-42) digemari para kaum feminisme, karena menunjukkan peran perempuan yang sangat penting dalam hubungannya dengan pewartaan Yesus. Perempuan Samaria ini bahkan mengambil peran untuk memperkenalkan Yesus kepada orang-orang Samaria. Hal yang lebih penting dicatat ialah bahwa berdasarkan percakapan Perempuan ini dengan Yesus, lahirlah 21 Injil Yohanes hanya menyebutkan Maria Magdalena, oleh sebab dialah yang menjadi saksi pertama akan kubur kosong, Kristus bangkit dan pewarta Kristus yang bangkit. 22 Bdk. Mary T. Malone, Women and Christianity, 50. Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 229 ajaran: Air yang diberikan Yesus akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal (Yoh 4:14). 23 Berdasarkan kutiban-kutiban dari Alkitab Perjanjian Baru ini, kita bisa melihat bahwa Yesus sebenarnya tidak hanya melibatkan kaum laki-laki (para murid) dalam pewartaan melainkan juga kaum Perempuan dan peran merekapun sangat vital dalam tugas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus membuat suatu dobrakan akan tradisi Yahudi yang melihat bahwa posisi perempuan adalah subordinasi. Apalagi kalau melihat latar belakang perempuan Samaria yang hidup bersama dengan yang kelima laki-laki dan ditambah lagi dengan Maria Magdalena yang sebelumnya adalah pelacur, akan tetapi Yesus mengangkat Gender mereka, maka pantas orang-orang Yahudi menegur dan memusuhi Yesus karena dianggap pembangkang tradisi. Akan tetapi Yesus tidak menghiraukan teguran itu demi kebaikan kaum perempuan dan tujuan pewartaan; Ia melakukan itu bukan untuk kesenangan-Nya melainkan untuk mengoreksi tradisi Yahudi yang memandang Gender Perempuan subordinasi dari Gender Laki-laki. 4.2. Periode para rasul Zaman para rasul, situasi Gender Perempuan lebih baik lagi karena praktis perempuan dilibatkan dan bahkan ikut serta dalam pelaksanaan tugas-tugas pewartaan. Pentekosta (Kis 2:1-13) praktis menjadi titik tolak perubahan total pandangan terhadap perempuan dari tradisi Yudaisme, Yunani dan Romawi ke Kristianisme. Sesudah peristiwa itu, Kristianisme bagaikan bunga yang mekar, karena dalam waktu yang singkat, berkembang menjadi jumlah yang sangat banyak. Para rasul bersama dengan orang Kristen lainnya, tidak membedakan laki-laki dan perempuan untuk menyebarkan Kristianisme ke segala penjuru Timur Tengah termasuk juga ke Eropa dan Asia. Para rasul disibukkan dengan kotbah dan pengajaran dan perempuan juga tidak kalah sibuknya untuk mengambil bagian dalam bentuk tugas yang lain. Mereka menganggap diri sebagai saudara dan saudari untuk mengemban tugas yang sama terlebih-lebih dalam hidup. Situasi kultur juga sangat berbeda yang bisa digambarkan dengan inter-kultural, karena mereka yang menjadi Kristen datang dari berbagai latarbelakang, Yudaisme, Yunani, Romawi, dari Afrika, dari Eropa dan bahkan juga dari Asia. Walaupun mereka memiliki latarbelakang budaya yang berbeda, mereka menjadi satu kultur, Kristianisme. Kristianisme juga bergerak di dalam hal perkumpulan, seperti doa bersama, makan bersama, melakukan karitas bersama dan bahkan tidak 23 Bdk. Mary T. Malone, Women and Christianity, 53-54. 230 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 ada lagi orang yang mengatakan milik pribadi, melainkan milik bersama (Kis 2:41-43; 4:32-37). Mereka, laki-laki dan perempuan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah dan juga tidak kalah pentingnya kunjungan ke penjara (Kis 8:3), karena waktu itu Kristianisme dalam pengejaran, sehingga banyak mereka dimasukkan di penjara untuk menantikan hukuman mati. Yunias (Rm 16:7) walaupun banyak diskusi mengenai nama tersebut bahkan sudah sejak zaman Krisostomus dan Ambrosiaster apakah perempuan atau laki-laki, akan tetapi menurut penelitian terakhir adalah nama perempuan. Alasannya ialah bahwa dalam tradisi Yunani nama Yonias atau dalam Vulgata disebut dengan Julia (Yulia) menunjuk pada nama perempuan.24 Kalau memang ia adalah perempuan, maka ia pantas diperhitungkan di antara para rasul dan ia juga aktif dalam pewartaan. Kita tidak mendengar banyak tentang dia, kemungkinan ia ditangkap dan ditahan karena pewartaannya. Dalam Surat Paulus kepada jemaat di Roma (16:1-2) Paulus juga menyebut Febe, seorang perempuan yang banyak membantu komunitas Kristen dan juga Paulus sendiri; bahkan kelihatannya Paulus memberikan kuasa pelayanan kepadanya (“jabatan diakon”). 25 Sepasang suami istri Yahudi yang bernama Akwila dan Priskila tinggal di Korintus dan Paulus singgah di rumah mereka. Keluarga ini sebelumnya tinggal di Roma, dan karena orang Yahudi diusir kaisar Klaudius, maka mereka pindah ke Korintus. Mereka menjadi Kristen dan banyak ikut mengambil bagian dalam pelayanan untuk mempertobatkan orang-orang Yahudi (Kis 18:1-4). Tiga nama perempuan lain yang juga penting pada zaman Kristen awali ialah Cloe (1 Kor 1:11), Lidia yang berasal dari Eropa dan menjadi Kristen (Kis 16:14-15) dan Nimfa (Kol 4:15). Ketiga perempuan ini kelihatannya memiliki kedudukan di dalam komunitas Kristen di tempat mereka masing-masing. Bahkan Lidia adalah seorang perempuan yang memiliki finansial yang baik dan banyak membantu komunitas Kristen, walaupun ia baru saja menjadi Kristen setelah mendengarkan pewartaan Paulus. Dalam Surat-Surat Paulus, kita menemukan bahwa perempuan mengambil tugas dalam bentuk kesaksian dan pewartaan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing baik itu di komunitas sendiri maupun di komunitas lainnya. Dasar tanggungjawab ini ada dalam Surat Paulus Kepada Jemaat di Galatia 3:27-28 yang mengatakan bahwa mereka 24 Ute E. Eisen, Women Officeholders in Early Christianity, Epigraphical and Literary Studies, Preface by Gary Macy, Translated by Linda M. Maloney, Collegeville-Minnesota, The Litrugical Press, 2000, 47-48. 25 Mary T. Malone, Women and Christianity, 71-72. Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 231 yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus, sehingga dalam hal ini tidak ada lagi orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang meredeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena semuanya satu di dalam Kristus. Oleh sebab itu setiap orang yang telah menjadi Kristen, memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk tugas pewartaan, termasuk juga perempuan. Salah satu Surat Paulus yang banyak menyertakan dan bahkan menyebut perempuan adalah Kepada Jemaat di Koritus. Memang telah disebutkan sebelumnya beberapa nama dan sebagai tambahan dalam Surat ini ialah bahwa Paulus banyak berbicara sehubungan dengan perempuan, seperti pernikahan dan menikah kembali, otoritas, pakean yang sering menjadi perhatian khusus bagi perempuan termasuk juga makanan (1 Kor 5-14). Akan tetapi pada Surat yang sama, Paulus juga mengarah pada pembicaraan subordinasi perempuan dengan berkata bahwa kepala perempuan ialah laki-laki (1 Kor 11:3). Di kesempatan lain Paulus juga menyinggung subordinasi perempuan (Kol 3:18-4:1). Hal ini juga tampak dalam Surat Paulus kepada Timoteus (1 Tim 2:12-12) yang mengatakan bahwa perempuan tidak diijinkan untuk mengajar dan memerintah lakilaki, hendaklah ia berdiam diri (bdk. 1 Kor. 14:34-36). Sedangkan dalam Surat-Surat Pastoral lainnya praktis menunjukkan peranan perempuan dalam memajukan perkembangan Kristianisme.26 Sehubungan dengan itu, bahkan para janda juga diberikan instruksi bagaimana mereka seharusnya dalam bersikap dan apa yang harus mereka lakukan (1 Tim 5:3-16). 4.3. Periode Kristen awali Perempuan dan Gender dalam periode Kristian awali berbeda dengan tradisi yang sebelumnya yang telah telah dibahas. Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa tradisi tersebut masih mempengaruhi cara berpikir dan bersikap terhadap Gender Perempuan yang tampak dari pemikiran berapa penulis pada zaman itu yang masih melihat Gender Perempuan lebih rendah dari Gender Laki-laki. Kita tidak tau persis mengapa pemikiran itu timbul, akan tetapi besar kemungkinan metode penafsiran allegoris yang merupakan salah satu penafsiran yang sangat populer zaman Kristian awali. Titik tolak pemikiran mereka yang melihat Gender Perempuan inferior ialah peristiwa jatuhnya Hawa ke dalam dosa yang mendatangkan malapetaka bagi manusia. 27 Disamping itu penciptaan juga menunjukkan ketergantungan Gender Perempuan pada 26 Elizabeth A, Clark, “Women”, in Encyclopedia of Early Christian, Second Edition, Editor: Everett Ferguson, New York-London, Garland Publishing, 1998, 1181-1182. 27 Kej. 3:1-24. 232 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 Gender Laki-laki atau bahkan mengarah pada subordinasi.28 Pendapat seperti ini juga muncul dari pengkotbah si mulut emas Crisostomus,29 walaupun di kotbahnya yang lain dia mengoreksinya. 30 Kita tidak menemukan banyak bahwa Gender Perempuan dilihat inferior dibandingkan dengan Gender Laki-laki, mungkin karena mereka mengalami kesulitan untuk melihat dua titik dalam Kitab Kejadian tersebut. Pemikiran yang negatif akan Gender Perempuan dari segelintir penulis berdasarkan Kitab Kejadian tersebut sebenarnya langsung dikoreksi dengan menampilkan figur Maria. Cara yang dipakai untuk mengoreksi pemikiran negatif akan Gender Perempuan dari Kitab Kejadian itu dengan metode penafsiran tipologis yang berlawanan, yang berusaha melihat kejadian itu adalah lingkup rencana sejarah keselamatan. Metode penafsiran itu menunjukkan bahwa Hawa tidak taat kepada Tuhan, sedangkan Maria taat. Akibat dari ketidak taatan Hawa adalah kematian kepada manusia, sedangkan berkat ketaatan Maria, mendatangkan kehidupan kepada manusia.31 Karena satu orang yaitu Hawa, menghilangkan keselamatan, akan tetapi berkat satu orang yaitu Maria, semua orang memperoleh kembali keselamatan itu.32 Penafsiran tipologis seperti ini mau menunjukkan perjalan menuju kesempurnaan. Pemikiran tipologis ini juga usaha para penulis zaman Kristen awali untuk mengangkat dan menyamakan Gender Perempuan sama dengan lakilaki dan mau memisahkan diri dari tradisi Yahudi, Yunani dan Romawi yang masih sangat kuat di kalangan para masyarakat pada waktu itu. Masih tetap sehubungan dengan Maria sebagai figur untuk menjunjung tinggi Gender Perempuan tampak dalam pemikiran Ambrosius, Agustinus dan Isidorus dari Sevilla serta beberapa penulis lainnya yang mengatakan bahwa Maria adalah tipologi Gereja. Sebagaimana Maria adalah perempuan yang murni walaupun menikah, tetapi ia tetap tanpa noda, tetap perawan, melahirkan penyelamat. Demikian juga dengan Gerja adalah murni, tanpa noda, perawan dan melahirkan penyelamatan melalui baptisan.33 28 Ireneus, Adv. Haer., 3,22,4; Tertulianus, De C. Fem., 1,1; Ambrosius, Hex., 5,18; De par., 14,70; Rufinus, Symb., 21; Yohannes Crisostomus, De Vir., 46,1; Agustinus, In Psalm., 48,1,6. 29 Yohannes Crisostomus, Hom., 10,3. 30 Yohannes Crisostomus, Hom., 5,5. 31 Yustinus, Dial, 100; bdk. Celius Sedulius, Carmen, 2,3-34. 32 Celius Sedulius, Elegia, 5-8; Carmen, 4,265-269; Petrus Crisogonus, Serm., 99,5; Hilarius dari Poitiers, In Mt., 33,9; Gregorius Agung, Mor. in Job., XIV, 49,57. 33 Ambrosius, Exp. in Luc., 2, 7; De Ins. Vir., 94; Exp. in Luc., 2, 24; Agustinus, Ser. Denis 25, 7; 25,8; Misc. Agostiniana, 163; 164; De S. Ver., 2; 5; 6; Sermo 192, 2; Isidorus dari Sevilla, Ques. in Genesim 2, 18; De Eccl. Officiis 2, 18; Hironimus, In Mt., 15,22; 26,12-14; In Mc., 5,34; Yohannes Crisostomus, In Mt. Hom., 51; Cirillus dari Yerusalem, Catech., 12,29; Hilarius Poitiers, In Mt., 33,39; Gregorius Magnus, Mor. in Job., XIV,49,57. Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 233 Peran perempuan pada waktu kubur kosong yang telah dibahas sebelumnya menjadi salah satu sarana pada zaman Kristen awali untuk mengangkat derajat Gender Perempuan, bahkan melebihi Gender Lakilaki. Alasannya ialah bahwa Perempuanlah yang pertama sekali melihat Yesus telah bangkit dari kubur dan perempuanlah yang pertama sekali menjadi pewarta kebangkitan. Ironisnya pewartaan perempuan ini ditujukan kepada Gender Laki-laki, para rasul.34 Dari aspek spiritual Gender Perempuan tidak kalah dengan Gender laki-laki. Bahkan beberapa dari mereka menjadi “atelit” yang sangat unggul dalam hal iman. Sebelum pemerintahan kaisar Konstantinus, dunia Kristen praktis dalam pengejaran dan presekusi. Bisa dikatakan bahwa periode ini adalah periode martir. Artinya menjadi Kristen berarti hidup riskan. Akan tetapi, walaupun demikian, “atelit” iman ini tidak menyurutkan niat mereka untuk berlaga di lapangan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Bahkan beberapa dari perempuan bukan hanya menjadi figur bagi Gereja, tetapi juga bagi Gender Perempuan, karena mereka berhasil mejalankan kewajiban mereka sebagai “atelit” pemenang dan menunjukkan nilai Gender Perempuan yang tidak kalah dengan Gender Laki-laki. Figur pertama datang dari Blandina yang mendapat kemartiran sekitar tahun 177. Ia berasal dari Lion, Prancis. Dia waktu itu bertindak semacam pemimpin para budak perempuan dan ia berusaha memberikan semangat dan tetap berpegang teguh pada iman yang menyelamatkan. Ia sendiri memberikan teladan itu dengan mengorbankan hidupnya menjadi martir. 35 Figur berikutnya adalah Perpetua dan Felicitas. Kedua martir ini berstatus sebagai ibu, yang berasal dari Afrika Utara, Cartago. Perpetua ditangkap dan masih sedang menyusui anaknya dan dipenjarakan. Sedangkan Felisitas, masih sedang mengandung 8 bulan ketika ia ditangkap dan juga dipenjarakan. Keduanya berasal dari keluarga yang terpandang baik itu materil maupun di masyarakat. Perpetua mendapat kemartiran lebih awal dibandingkan dengan Felisitas, karena pada waktu itu ada peraturan bahwa orang yang mengandung, harus menunggu anaknya lahir dulu, baru bisa menghadapi kemartiran, agar darah anak yang dikandung tidak dilimpahkan pada mereka yang menjatuhkan hukuman. Setelah anak Felisitas lahir, maka iapun menghadapi kemartiran. Mereka berdua dijadikan martir pada tahun 162. 36 34 Origenes, Comm. In Jo., 13,29,179; Cirillus dari Yerusalem, Catech., XIV, 12; Hironimus, In Mat., 28,9; Ambrosius, In Lc., 2,28; Agustinus, In Jo., 1; In I Jo., 3,2. 35 Mary T. Malone, Women and Christianity, 105. 36 Atti dei martiri dei primi tre secoli, Scelti e presentati da Victor Saxer, Padova, Edizioni Messaggero, 1989, 112-134; Atti dei martiri, Introduzione, traduzione e note di Giuliana Caldarelli, Milano, Paolone, 1985, 118-122. 234 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 Nilai positif lain yang ditunjukkan Gender Perempuan tampak dalam hidup monastik yang mulai muncul pada awal abad kedua. Hidup monastik ini adalah alternatif untuk mengikuti Kristus secara lebih dekat, selain menjadi martir. Alasan cara hidup ini disejajarkan dengan martir, karena memiliki disiplin yang sangat ketat, askese yang sangat berat dan cara hidup yang penuh dengan perjuangan. Oleh sebab itu cara kehidupan ini biasa disebut dengan kemartiran putih, sedangkan mati sebagai martir disebut dengan kemartiran merah, karena mereka harus mempertaruhkan hidup mereka sampai mati untuk iman. Kehidupan seperti ini dilaksanakan bukan hanya kaum laki-laki, tetapi juga Gender Perempuan. Kenyataannya kwalitas Gender Perempuan tidak kalah dengan kwalitas Gender Laki-laki. Maria, saudari Pakomius, Melania, Paula, Makrina saudari Gregorius dari Nissa dan Basilius dari Cesarea, Olimpias, Cesaria saudari dari Cesarius dari Arles adalah nama-nama Perempuan yang menjadi pionir dalam kehidupan monastik dan askese. Mereka ini menjadi pendiri dari kehidupan monastik untuk Gender Perempuan dan memberikan kwalitas hidup yang sangat bernilai. Mereka mempengaruhi abad Pertengahan yang menjembatani zaman modern. Cara hidup ini mereka sebut dengan perkawinan spiritual kepada Tuhan yang menjadi tujuan tertinggi cara hidup ini.37 Salah satu bentuk cara hidup Gender Perempuan yang tidak kalah pentingnya pada zaman Kristen awali diungkapkan dalam bentuk “diakon” perempuan. Bentuk cara hidup ini sudah dimulai sejak zaman para rasul, terlebih-lebih Paulus dalam komunitas yang didirikannya,38 dan dilanjutkan pada zaman Kristen awali. Memang para ahli masih tetap meragukan apakah perempuan sungguh-sungguh menerima tahbisan diakon sebagaimana lazimnya Laki-laki. Atau Perempuan hanya mengambil alih pelayanan sebagai “diakon” untuk tujuan pastoral khusus, karena dalam konsili Nicea39 “diakon” perempuan masuk ke dalam kelompok awam dan dalam ritus “menjadi diakon” tidak dengan penumpangan tangan, walau dalam ritus Siria dengan penumpangan tangan uskup.40 Apakah keputusan ini dilihat sebagai diskriminasi Gender, tergantung dari sudut mana menilainya. Akan tetapi kwalitas “diakon” perempuan dalam pelayanan pastoral tidak perlu diragukan dibandingkan dengan diakon laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari, Perempuan pada zaman Kristen awali juga memberikan hidup dalam keperawanan, sebagai ibu rumah tangga 37 Bdk. Elizabeth A. Clark, Women, 1182-1183. 38 1 Kor 11:4-5; Rom 16:1. Di zaman Kristen awali kita bisa lihat dalam: Clemen, Strom., 3,6,53; Origenes, Comm. Rom., 10,17; Didasc. Apost., II,26,4-6; III,12,1; III,13,1. 39 Kan. 19. 40 Constitusi Apostolik, VIII,20,1-2. Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 235 dan janda yang sesuai dengan Kitab Suci. Cara hidup ini menjadi figur bagi kultur Romawi, Yunani dan Yahudi untuk lebih mengangkat Gender Perempuan. Salah satu contoh yang paling dominan adalah Monica, ibu Agustinus.41 5. Penutup Perempuan dan Gender secara historis bukan hal yang baru, walau akhir-akhir ini sangat aktual. Berdasarkan pembahasan yang telah ditampilkan, kita bisa melihat bahwa Perempan dan Gender sudah mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang sekali bukan dimulai sejak zaman Kristiani awali, melainkan sudah jauh sebelumnya. Dalam perjalanan sejarah itu Perempuan dan Gender kadang mendapat penekanan yang baik dalam arti suatu usaha untuk menyejajarkan Gender Perempuan dengan Gender Laki-laki; kadang juga Gender Perempuan dilihat sebagai subordinasi dari Gender Laki-laki. Dalam tradisi Kristen awali, Gender Perempuan mendapat prosi yang sejajar dengan Gender Laki-laki yang bisa tampak dalam berbagai bentuk aktivitas dan kedudukan dan cara yang untuk mengangkat derajat Perempuan dan Gender pada periode itu ialah kwalitas hidup yang dihadirkan para Perempuan tidak kalah dengan kwalitas kaum Laki-laki. *) Edison R. L. Tinambunan Doktor teologi dari Universitas Angelicum; mengajar teologi patristik di STFT Widya Sasana, Malang. BIBLIOGRAFI _____, Atti dei martiri dei primi tre secoli, Scelti e presentati da Victor Saxer, Padova, Edizioni Messaggero, 1989. _____, Atti dei martiri, Introduzione, traduzione e note di Giuliana Caldarelli, Milano, Paolone, 1985. Clark, Elizabeth A, Women, in Encyclopedia of Early Christian, Second Edition, Editor: Everett Ferguson, New York-London, Garland Publishing, 1998. Eisen, Ute E., Women Officeholders in Early Christianity, Epigraphical and Literary Studies, Preface by Gary Macy, Translated by Linda M. 41 Maria Grazia Mara, Donna, in Dizionario patristico e di antichità cristiana, (Institutum Patristicum Augustinianum Roma) diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994, 1034-1035. 236 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010 Maloney, Collegeville-Minnesota, The Litrugical Press, 2000. _____, La coppia nei padri, Introduzione, traudzione e note di Giulia Sfameni Gasparro, Cesare Magazzù, Concetta Aloe Spada, Milano, Edizioni Paoline, 1991. Malone, Mary T., Women and Christianity, Volume one: The First Thousand Years, Dublin, Clolour Books, 2000. Mara, Maria Grazia, Donna, in Dizionario patristico e di antichità cristiana, (Institutum Patristicum Augustinianum Roma) diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994. Plato, Complete Works, Edited, with Introduction and Notes, by John M. Cooper, Associate Editor D. S. Hutchinson, Indianapolis/Cambridge, Hackett Publishing Company, 1997. Shepard Kraemer, Ross, Women and Gender, The Oxford Handbook of Early Christian Studies, Edited by Susan Ashbrook Harvey and David G. Hunter, Oxford, University Press, 2008. Edison R.L. Tinambuan, Perempuan dan Gender 237