PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM Oleh: LUSIANA NIM: 0033218845 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Sosial Oleh: LUSIANA NIM: 0033218845 Di Bawah Bimbingan: Dra. Gefarina Djohan, M.A. Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP: 150 295 488 NIP: 150 299 478 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Perjuangan Politik Mohamad Roem” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah pada tanggal 04 Juni 2007, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 04 Juni 2007 Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Dra. Hj. Hermawati, M.A. NIP. 150 227 408 Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP. 150 270 808 Anggota Penguji I Penguji II A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP. 150 326 915 Zaki Mubarok, M.A. NIP. 150 371 093 Pembimbing I Pembimbing II Dra. Gefarina Djohan, M.A. NIP. 150 295 488 Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP. 150 299 478 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, berkat taufik dan hidayahNya. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya walaupun masih dalam bentuk yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, dan segenap sahabatnya yang telah membawa umatnya kearah kemuliaan dan kebahagiaan didunia dan diakhirat nanti, serta telah membimbing kita kepada jalan yang diridhai Allah SWT. Dalam upaya penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan kemampuan, namun berkat adanya bantuan dan saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu, antara lain: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Amsal Baktiar selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (yang saat ini sudah menjabat sebagai Purek II). 2. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti Sadjaroh, M.Si, selaku Sekjur yang dengan sabarnya melayani penulis dalam menyelesaikan administrasi. 3. Ibu Dra. Gefarina Djohan, M.A, dan Drs. Agus Nugraha, M.Si, selaku pembimbing yang sangat baik dalam membimbing dan mengarahkan penulis guna menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT meridhoi semua amal baiknya, Amiin. 4. Kepada seluruh staf karyawan perpustakaan Utama, perpustakan Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih telah membantu memudahkan penulis dalam mencari buku-buku referensi. 5. Terima kasih yang terdalam pada Bapak Idris Thaha dan keluarga yang telah bersedia memberikan pinjaman referensi pada penulis. 6. Terima kasih kepada Mamah (Etih) dan Bapak (H. Mudasir) tercinta karena berkat dorongan mereka akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Juga tidak ketinggalan pula saudara-saudara penulis yang manis-manis (Ka’ Melan, Dhia, Mira, juga Linda) yang selalu membantu menjaga buah hati penulis dengan baik. 7. Terima kasih untuk Suami (Ardian) tercinta yang telah memberikan motivasi dan segenap pengertiannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dan tak lupa untuk buah hatiku tercinta Amira Zahra yang selalu ditinggal oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Teruntuk teman-teman di PPI yang baik hati yang selalu mendorong penulis intuk menyelesaikan skripsi ini, Eka, Rotu, Ide, Lilis, Sauki, dan Ifan yang sama-sama berjuang untuk mneyelesaikan skripsi secepatnya. Juga temanteman lain yang baik hati. 9. Terima kasih juga buat Rental Inovasi (Mas Syukron) yang membantu dalam memberikan fasilitas kepada penulis dalam mengetik. 10. Terima kasih untuk anak-anak TPA Al- Mujahidin dan guru-gurunya yang sudah begitu pengertian, juga Ibu-ibu pengajian yang telah mendoakan penulis, agar bisa cepat menyelesaikan skripsi ini. Terhadap semua jasa dan amal baik mereka yang sangat berharga itu, penulis tidak dapat membalasnya, semoga Allah melimpahkan rahmat dan hidayahNya dengan balasan yang setimpal dan semoga memperoleh kebahagiaan didunia dan diakhirat nanti. Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan skripsi ini, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Jakarta, 19 Mei 2007 Penulis DAFTAR ISI PENGESAHAN KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. iv BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................... 6 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... 7 D. Metode Penelitian................................................................... 8 E. Sistematika Penelitian ............................................................ 8 BAB II. RIWAYAT HIDUP MOHAMAD ROEM A. Latar Belakang Keluarga........................................................ 10 B. Latar Belakang Pendidikan .................................................... 13 C. Riwayat Jabatan ..................................................................... 16 BAB III. MOHAMAD ROEM: PERJUANGAN DAN PERGERAKAN A. Peranan dalam Perjuangan dan Pergerakan A.1. Sebelum Kemerdekaan.................................................. 20 a. Zaman Penjajahan Belanda...................................... 20 b. Zaman Pendudukan Jepang ..................................... 25 A.2. Sesudah Kemerdekaan ................................................... 30 B. Perjuangan Mohamad Roem dalam Bidang Politik .............. 35 BAB IV. PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM A. Dasar Pemikiran Politik Mohamad Roem.............................. 43 B. Negara Islam Perspektif Mohamad Roem ............................. 48 C. Relevansi Pemikiran Politik Mohamad Roem dengan Perpolitikan di Indonesia, Kaitannya dengan Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Amien Rais ................................... 66 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 71 B. Saran .................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74 ] BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Jika sejarah dipandang sebagai rentetan jejak langkah orang besar, maka Mohamad Roem adalah salah seorang yang jejak langkahnya paling mudah dikenali, serta paling banyak diakui dan dihargai, dalam sejarah negara kita Indonesia merdeka. Sekalipun Mohamad Roem sendiri mungkin kurang suka mendengarnya disebabkan oleh kerendahan hatinya menurut tuntutan agama yang diyakininya secara benar bahwa semua yang telah terjadi dalam sejarah negeri adalah “Takdir” tuhan yang maha kuasa, namun kiranya tetap dikatakan bahwa diantara tonggak bagi berdiri tegaknya Republik kita ini hasil jerih payah Mohamad Roem. Para ahli Indonesia yang berkumpul sekitar Prof. George McTurnan Kahin di Universitas Cornell di Amerika, dan yang kemudian menyebar kemanamana hampir diseluruh dunia, semuanya menunjukan sikap penghargaan yang seragam kepada tokoh Mohamad Roem ini, bukan karena apa-apa selain dari keahlian dan kewenangannya sebagai seorang negarawan modern dan seorang “pemecah masalah ” yang efektif. Menurut Herbert Feith dalam bukunya: tentang “Masa kemunduran Demokrasi Konstitusional di Indonesia”, sebagaimana tercermin dari kutipan diatas. Mohamad Roem bersama dengan Sultan Hamengkubuwono, Ir. Djuanda, Prof. Mr. tambunan dan Ij. Kasimo, adalah jenis para pemimpin administrators dengan Bung Hatta sebagai tokoh utamanya. Mereka ini adalah “lawan” kelompok lain yang disebut Feith sebagai solidarity makers (penggalang solidaritas), yaitu para pemimpin yang dijiwai oleh, serta dilambangkan dalam gaya kepemimpinan Bung Karno.1 Mohamad Roem juga aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Namun ketika partai ini dilanda kemelut, bersama Haji Agus Salim, Mohamad Roem mendirikan partai penyadar. Dimasa pendudukan Jepang Mohamad Roem menjadi Ketua Muda Barisan Hizbullah Jakarta. Di Masyumi, ia pernah duduk sebagai anggota pimpinan pusat. Sedang jabatan di pemerintahan, Ketua Komite Nasional Jakarta Raya. Komisaris Agung Indonesia di Belanda, Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir (1950-1953 ), dan Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957). Dilapangan diplomasi, hampir tidak ada perundingan Internasional yang tidak melibatkan Mohamad Roem. Yang paling monumental adalah perundingan dengan Van Roijen (17 Januari 1949), yang melahirkan kesepakatan Konferensi Meja Bundar (14 april 1949). Konferensi ini menandai era baru perjuangan Repulik Indonesia. Karena secara eksplisit mendorong pengakuan Belanda atas kemerdekaan Republik Indonesia. Sewaktu Belanda melancarkan Agresi kedua tahun 1947, Mohamad Roem bersama para pemimpin Indonesia lainnya diasingkan kepulau bangka. Mohamad Roem kembali mendekam di ganjar setelah Masyumi dibubarkan oleh pemerintah orde lama. Selama empat tahun (1962-1966) Mohamad Roem mendekam dipenjara atas tuduhan berada dibalik percobaan pembunuhan Bung Karno. 1 Kustiniyati Mochtar, Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia, 1989), h. xv-xvi. Tuduhan yang tidak pernah terbukti. Dari buku dan artikel- artikelnya, terekam betapa luas perhatian Mohamad Roem terhadap berbagai persoalan.2 Mohamad Roem adalah seorang aktifis berbagai kegiatan kepemudaan, keagamaan, politik dan masalah-masalah sosial lainnya. Mohamad Roem termasuk salah satu tokoh nasional yang hidup pada tiga zaman (pada penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan). Pada masa penjajahan Belanda, bersama-sama dengan pemuda jawa lainnya, aktif di Jong Java. Mohamad Roem pun ikut berpartisipasi dalam pembentukan Jong Islamiten Bond (JIB). Dalam JIB ini Mohamad Roem menjadi panitia kongres di Jakarta (1930/ 1349 H). Mohamad Roem juga aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan pernah menjadi ketua panitia kongres PSII di Jakarta (1932 /1351H ). Pada tahun 1937, bersama dengan Yusuf Wibisono dan kawan- kawan lainnya, Mohamad Roem mendirikan organisasi kemahasiswaan. Student Islam Studie Club (SIS), dan ia sendiri menjadi ketuanya. Dan ketika SIS membuat majalah Muslimehe Revielle, ia menjadi anggota dewan redaksinya. Selain itu untuk mengembangkan bukunya yang pernah digelutinya di RHS, Mohamad Roem membuka kantor advokat di Jakarta. Ia pun menjadi pengacara pada rumah muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto. Keluar dari tahanan politik (1966), kegiatan tersebut diteruskan kembali, bahkan ia kemudian memegang jabatan penting lagi (diluar pemerintahan), antara lain : Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta 1971 2 Hadi Musthofa, Jakarta: Republika, 1995, h. 8. dan anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami 1975. Disamping itu ia aktif mengikuti beberapa Konferensi Internasional, seperti Konferensi Internasional tentang Bangladesh di New Delhi 1971, Konferensi Menterimenteri Luar Negeri Islam di Tripoli dan Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura 1977.3 Karena turut serta dalam PSII dengan sendirinya Mohamad Roem dekat dan menghayati sepak terjang politik pemuka-pemuka partai tersebut. Tokoh utama yang memperoleh pengakuan nasional secara menyeluruh adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Tokoh ini menjadi bapak dari pemimpin-pemimpin politik bangsa Indonesia berikutnya, baik dari kalangan Islam maupun nasional. Perintis kemerdekaan, pahlawan nasional dan pemimpin umat islam yang terkenal ini dengan sangat tepat dilukiskan oleh Mohamad Roem dalam artikel yang berjudul “Kongres Nasional pertama Central Serikat Islam”.4 Mohamad Roem sebagai perunding (diplomat) memang menempati kedudukan yang khas dalam sejarah negara Indonesia. walaupun kegiatannya dalam perundingan itu sudah sekaligus termasuk dalam rangkaian perjuangannya, masih perlu untuk mengemukakan Mohamad Roem sebagai perunding, diberi tempat tersendiri secara khusus pula. Kasman juga menjelaskan: “bahwa Mohamad Roem sangat dekat dan mengagumi Haji Agus Salim, mengikuti jejaknya sangat dekat adalah wajar, bahwa nama Mohamad Roem kemudian muncul sebagai perunding selalu disebut dalam buku-buku tentang Indonesia dari penulis-penulis luar negeri. Tidak bedanya seperti dialami oleh H. Agus Salim sebagai pendahulunya.”5 3 4 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1922), h. 679-681. Mohamad Roem, 70 Tahun Pejuang dan Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 39. 5 Ibid., 115. Kita tidak tahu, apakah untuk menjadi seorang diplomat hal itu bisa dipelajari semata-mata, ataukah memerlukan sesuatu bakat yang harus dimiliki semenjak muda, mungkin juga seorang diplomat terbentuk dari bakatnya semenjak kecil digabungkan dengan pelajaran yang diperolehnya kemudian, dan mungkin lebih jelas lagi ditambah dengan pengalaman yang ditemui sepanjang hidupnya. Diplomasi atau perundingan yang dilakukan oleh seorang diplomat merupakan karya gabungan dari pemberian bakat, ditambah pelajaran dan dilengkapi dengan pengalaman sebab diplomasi bukan yang dilakukan secara resmi dibelakang meja perundingan saja. Tetapi termasuk juga berunding secara tidak resmi dalam kesempatan yang lebih leluasa.6 Mohamad Roem adalah seorang penulis yang produktif, yang banyak mewariskan beberapa buku penting antara lain: Bunga Rampai dari Sejarah (sebanyak 4 jilid), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, dan Tidak ada Negara Islam: Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Dalam salah satu tulisannya, Mohamad Roem membuat catatan pribadi tentang beberapa perundingan dengan Belanda yang diikutinya. Mohamad Roem mengakui, bahwa pada setiap perundingan yang akan atau sedang berlangsung memang selalu ada pro dan kontra ditengah masyarakat. Menurut Mohamad Roem, hal itu bisa dimaklumi, karena banyak pendapat yang timbul, tergantung pada sisi mana 6 Ibid., h. 115-118. perundingan itu dilihat. Dan Mohamad Roem menyadari bahwa tidak sedikit yang tidak sepakat dengan persetujuan Roem-Royen yang pernah dilakukan.7 Dengan melihat kondisi yang banyak terjadi pada saat sekarang ini guna memberikan sebuah kontribusi yang baik bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia maka penulis merasa perlu untuk mengangkat tema “Perjuangan Politik Mohamad Roem”. Sebab perjuangan Mohamad Roem dalam menentukan langkah-langkah politik khususnya sebagai seorang diplomat yang handal mempunyai peranan yang sangat penting, agar dapat kita pelajari. Dan menjadi seorang diplomat bukan hanya membawa diri sendiri, tetapi juga membawa nama negaranya agar senantiasa dihargai oleh negara lain. Demi terciptanya suatu keadilan dan persamaan hak yang merata. Selain itu juga penulis ingin memunculkan pemikiran-pemikiran politik Mohamad Roem berkisar pandangannya mengenai Negara Islam, karena penulis membaca bahwa Mohamad Roem adalah salah seorang tokoh yang tidak setuju dengan sebutan Negara Islam, yang terpenting bagi Mohamad Roem adalah substansi atau tata nilai dalam suatu negara yang berlandaskan pada Islam. Dan kalau penulis melihat dan membaca sudah ada beberapa tulisan yang mengungkap tentang sejarah perjuangan Mohamad Roem, tetapi sedikit yang memunculkan Pejuangan politiknya secara lebih mendalam. Oleh sebab itu penulis merasa perlu untuk mengangkat hal tersebut agar dapat dimunculkan sebagai tambahan pengetahuan politik bagi kepentingan penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca. 7 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h.40. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah Pembatasan penulisan skripsi ini berkisar pada tokoh Mohamad Roem (19081983). Dengan ide dan gagasan serta perjuangan politik Mohamad Roem tentang kancah perpolitikan pada zamannya, dimana Mohamad Roem selalu berusaha untuk menjadi seorang diplomat yang bisa membawa nama negaranya kemanapun Mohamad Roem pergi, dengan berbagai kemampuannya dia kerahkan baik didalam perjuangan dan berbagai macam perundingan yang telah jalaninya. Sedangkan untuk lebih fokusnya penulisan ini maka penulis perlu merumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Mengapa Mohamad Roem begitu tertarik dengan dunia perpolitikan? 2. Apa yang menyebabkan Mohamad Roem dikenal sebagai seorang pejuang dan juga seorang perunding yang dapat dihandalkan? 3. Apa saja peranan Mohamad Roem sebagai seorang diplomat? 4. Bagaimana pandangan Mohamad Roem mengenai Negara Islam? Tujuan dan kegunaan penelitian Tujuan dari pada penelitian ini adalah bahwasanya disini penulis ingin mengetahui Bagaimana perjuangan politik Mohamad Roem, kemudian apa saja peranan Mohamad Roem sebagai seorang pejuang dalam mencapai keberhasilannya dimeja perundingan sebagai seorang diplomat. dan penulis ingin meletakkan figur seorang Mohamad Roem menurut proporsi yang sebenarnya dalam sejarah bangsa. Juga yang terakhir adalah penulis ingin mencari hubungan latar belakang kehidupan Mohamad Roem dengan kehadirannya sebagai seorang diplomat pada masanya. Kegunaan penelitian ini adalah untuk menjadikan penelitian ini sebagai pijakan dan input yang baik bagi perkembangan perjuangan politik Islam dari segi aspek politik Islam, serta diharapkan penelitian ini bisa berguna untuk para pembaca agar bisa mengembangkan ilmu politik yang sedang dipelajari. Dan penelitian ini barguna bagi penulis sebagai syarat untuk meraih gelar S1 pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Metode Penelitian Penulisan skripsi ini berdasarkan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (Library Research) berupa buku-buku dan tulisan yang berhubungan dengan masalah diatas. Metode pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif dan analistis, guna menjelaskan secara objektif dan kompherensif dari gagasan dan pemikiran tokoh Mohamad Roem ini bagi perkembangan Politik Islam Indonesia. Teknik penulisan skripsi ini menunjuk pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi, yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press, 2007, cetakan pertama. Sistematika Penulisan. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, pembahasan akan disusun secara sistematis menjadi lima bab, dan tiap bab menjadi sub-sub bab yang secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan, berisikan dasar pemikiran yang mencerminkan isi seluruh skripsi, kemudian pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Membahas tentang riwayat hidup Mohamad Roem dari segi latar belakang pendidikan dan latar belakang keluarga, dan membahas tentang riwayat jabatan-jabatan yang pernah dijalani semasa hidupnya. Bab III : Menjelaskan tentang peranan Mohamad Roem dalam perjuangan dan pergerakan pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, kemudian menjelaskan perjuangan Mohamad Roem di dalam bidang politik demi memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia agar mendapatkan kemerdekaan secara utuh dan sempurna. Bab IV : Pembahasan mengenai dasar pemikiran politik Mohamad Roem, serta pembahasan mengenai pandangan Mohamad Roem tentang Negara Islam, dan kemudian pembahasan tentang relevansi pemikiran politik Mohamad Roem terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid dan Amien Rais mengenai kaitannya dengan perpolitikan di Indonesia. Bab V : Merupakan penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran yang mungkin dapat penulis berikan. BAB II RIWAYAT HIDUP MOHAMAD ROEM Latar Belakang Keluarga Mohamad Roem lahir pada sabtu pahing, 16 Mei 1908 di Desa Klewongan, Kawedanan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ia adalah anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan suami istri Dulkarnaen Djojosasmito (Lurah Desa Klewongan) dan Siti Tarbijah. Masa kecil Mohamad Roem dilewatkan di dua tempat, yakni Parakan (1908-1919) dan Pekalongan Jawa Tengah (1919-1924).8 Mohamad Roem menikah dengan Markisah Dahlia di Malang, Jawa Timur, pada 11 Juni 1932. Mereka dikarunia dua orang anak: Roemoso dan Rumeisa.9 Parakan sebagai tempat kelahiran Mohamad Roem memberikan kenangan tersendiri baginya. Di kota inilah, Mohamad Roem tinggal bersama nenek, ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Nenek memegang peranan penting dalam keluarga Dulkarnaen Djojosasmito, sedangkan sang ayah seolah hanya memegang peranan kedua. Keberadaan nenek dalam keluarga Mohamad Roem dapat dikatakan sebagai pendidik utama anak-anak. Meskipun demikian, pengaruh ayah bagi Mohamad Roem cukup kuat. Mohamad Roem cenderung lebih tunduk terhadap ayahnya daripada kepada nenek, sedangkan ibu Mohamad Roem kurang menjalankan peranan penting dalam keluarga itu. 8 Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang: Indonesiatera, 2002), h. 1. 9 Nina M.Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,2005), h. 40. Selama Mohamad Roem tinggal di Parakan, perkembangan kepribadiannya banyak dipengaruhi oleh sistem pengasuhan anak yang saling bertolak belakang antara nenek dan ayahnya. Di satu sisi, nenek Mohamad Roem menerapkan pola pengasuhan anak yang cenderung feodalistik, sedangkan disisi lain ayahnya menerapkan pola pengasuhan anak yang lebih demokratis. Namun, sebagai seorang ayah sekaligus anak, Dulkarnaen Djojosasmito tidak pernah bersikap konfrontatif terhadap nenek Mohamad Roem yang menerapkan pola pengasuhan anak yang kurang demokratis. Di lihat dari latar belakang kehidupannya, sudah sewajarnya apabila nenek Mohamad Roem masih memiliki sifat-sifat feodal. Menurut Mohamad Roem, nenek adalah putri seorang priyayi. Pada waktu itu anak priyayi dilarang keras berbaur dengan anak kampung. Pandangan nenek tentang larangan itu diterapkannya kepada Mohamad Roem. Berbeda dengan neneknya yang cenderung bersifat konservatif, pola pengasuhan Dulkarnaen Djojosasmito, ayah Mohamad Roem, lebih bersifat demokratis. Ia tidak pernah melarang Mohamad Roem untuk bergaul dengan siapa pun dan dari kalangan mana pun juga. Ayah Mohamad Roem memiliki sikap yang berkebalikan dengan sang nenek yang melarangnya bergaul dengan anak kampung. Menyikapi prinsip ayahnya itu, Mohamad Roem berpendapat, “Ayah adalah seorang yang mempunyai visi, pendapat tentang hidup, tetapi tidak articulate. Artinya, anak diberi kebebasan berkembang dengan sendirinya”. Prinsip Mohamad Roem yang memandang bahwa anak kampung dan anak priyayi memiliki derajat yang sama. Mohamad Roem mampu bersahabat dengan siapa saja dari berbagai golongan. Mohamad Roem yang merupakan tokoh besar Islam, tenyata dapat berteman dekat dengan Ignatius Josef Kasimo dan Petrus Kanisius Ojong yang beragam katolik, dan T.B Simatupang dan Leimena wakil dari agama Protestan, dan Sjahrir, Anak Agung, serta Soebadio yang sangat fasih dengan nilai-nilai sosialis. Bahkan, dalam rangka mempererat persahabatannya dengan I.J. Kasimo dan P.K. Ojong, Mohamad Roem mengadakan pertemuan secara rutin, yakni pada 1 Januari di rumah I.J. Kasimo dan pada I Syawal di rumah Mohamad Roem sendiri. Kehidupan Mohamad Roem bersama nenek, ayah, ibu, dan kakak terpaksa harus ditinggalkannya ketika Parakan di landa wabah penyakit kolera, pes, dan influenza sekitar tahun 1919. Mohamad Roem dan adik perempuannya yakni Siti Chatijah kemudian tinggal bersama kakak perempuan mereka (Mutiah) di Pekalongan. Kepindahan Mohamad Roem dari Parakan ke Pekalongan, mulanya hanya bersifat sementara, yakni hanya sampai wabah penyakit menular di Parakan mereda. Tetapi ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 1920, Pekalongan menjadi tempat kedua bagi Mohamad Roem dalam menempuh pendidikan dasar. Pekalongan menjadi tempat penting bagi Mohamad Roem karena di sinilah dalam usia 11 tahun, Mohamad Roem mengalami proses sosialisasi gerakan sosial Islam. Ide-ide tentang sosialisme Islam dicetuskan oleh H.O.S. Tjokroaminoto berpadu dengan semangat puritanisme Muhamadiyah. Pada waktu itu memang masih ada kerjasama yang erat antara Sarekat Islam (SI) dengan Muhamadiyah. Karena itu, pemimpin dari kedua organisasi itu dimungkinkan menjadi pemimpin yang merangkap. Mohamad Roem yang sejak di Parakan sering mengaji di rumah Pak Wongso, seorang Kyai di desa Klewongan, akhirnya semakin memperdalam ilmu agamanya dalam asuhan kakak ipar yang juga tokoh Muhamadiyah itu. Pendidikan agama yang diperoleh Mohamad Roem selama di Pekalongan maupun parakan merupakan landasan fundamental dalam dirinya yang terkristal dalam pribadi muslim sejati. Landasan ini semakin kuat setelah Mohamad Roem berkecimpung dalam JIB dibawah asuhan Haji Agus Salim, bapak kaum intelektual muslim Indonesia.10 Mohamad Roem adalah seorang aktifis berbagai kegiatan kepemudaan, keagamaan, politik dan masalah-masalah social lainnya. Ia termasuk salah seorang tokoh nasional yang hidup pada tiga zaman (zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang dan zaman kemerdekaan).11 Latar Belakang Pendidikan Pendidikan formal pertama yang ditempuh Mohamad Roem adalah pendidikan Sekolah Desa (Volkschool) tahun 1915. Di sekolah ini Mohamad Roem mengikuti pendidikan selama dua tahun. Setelah dua tahun mengikuti pendidikan di sekolah itu, Mohamad Roem kemudian masuk ke HIS (Hollands Inlandshe School) di Temanggung. Jarak antara Parakan-Temanggung ditempuhnya dengan naik kereta api. 10 Insaniwati, Mohamad Roem Karier politik dan perjuangnnya, h. 1-7. Ahmad Syafii Maarif dan Adi Sasono, Tidak Ada Negara Islam, surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Djambatan, 1977), h. 109. 11 Pendidikan di HIS ditempuhnya antara tahun 1917-1924 di dua tempat, yaitu Temanggung (1917-1919) dan pekalongan (1919-1924). Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu, kepindahan Mohamad Roem ke Pekalongan mulanya hanya bersifat sementara, tetapi ketika sang ayah meninggal dunia pada tahun 1920, Pekalongan dijadikannya sebagai tempat kedua dalam menempuh pendidikan dasar. Karena itu, Mohamad Roem menempuh sekolah di HIS Temanggung hanya sampai di kelas III, selanjutnya ia pindah ke HIS Pekalongan sampai lulus pada tahun 1924. Setelah tamat di HIS Pekalongan, Mohamad Roem mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke STOVIA (School tot Opeleiding van Indische Artsen) di Jakarta. STOVIA adalah sekolah untuk mendidik dokter pribumi. Lama pendidikan di sekolah tersebut adalah 10 tahun yang kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Persiapan selama 3 tahun, dan bagian Geneeskundig (kedokteran) selama 7 tahun. Suatu keuntungan bagi Mohamad Roem setelah lulus saringan masuk STOVIA, penerimaan untuk STOVIA dihentikan karena pada tahun 1927 sekolah tersebut dihapuskan. Untuk dapat melanjutkan pelajaran, mereka dapat masuk ke NIAS (Nederlandsh Indische Artsen School). Antara tahun 1924 sampai dengan 1927 Mohamad Roem menyelesaikan pelajarannya pada bagian persiapan di STOVIA. Kemudian Mohamad Roem masuk AMS pada tahun 1927 dan lulus pada tahun 1930. Selama dua tahun pertama sebagai pelajar STOVIA, Mohamad Roem tinggal di asrama STOVIA yang terletak di gedung Kwini, sekarang disebut Gedung Kebangkitan Nasional di Jalan Dokter Abdurachman Saleh 22 Jakarta. Ketika gedung itu berubah menjadi sekolah AMS, maka dua kelas terendah dipindah ke asrama Jan Pieterzoon Coen di Jalan Guntur Jakarta. Di asrama kedua tersebut, Mohamad Roem tinggal selama 4 tahun. Jadi, selama 6 tahun (3tahun di STOVIA, 3 tahun di AMS) Mohamad Roem telah hidup dalam suasana kepanduan, serta suasana yang berbau politik, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negara. Tahun 1930, setelah tamat dari AMS, Mohamad Roem meneruskan pendidikannya ke GHS (Geneeskundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jalan Salemba selama dua tahun, tetapi tidak berhasil lulus. Ujian pertama gagal, demikian pula dengan ujian yang kedua. Mohamad Roem kemudian berhenti menjadi mahasiswa GHS. Tahun 1932, Mohamad Roem masuk RHS (Rechts Hoogeschool) di Jakarta dan lulus pada tahun 1939. Melalui RHS inilah Mohamad Roem mendapat gelar “Meester in de Rechten” (Mr) atau Sarjana Hukum. Setelah itu Mohamad Roem memulai kariernya sebagai seorang advokat yang membela rakyat kecil.12 STOVIA dibubarkan diganti dengan Geneeskundige Hogeschool (1927), memakan waktu, 10 tahun sesudah sekolah dasar. Maka STOVIA adalah sekolah yang tertinggi yang dapat dicapai oleh pribumi. Tapi, meskipun orang mempunyai pendidikan tertinggi, Mohamad Roem dapat membatasi diri dalam profesinya. Bangsa Indonesia dapat merasa bersyukur, bahwa putra-putranya yang pertama mendapat pendidikan tinggi, menyadari bahwa justru karena itu mereka 12 Ibid.,h. 7-9. memikul kewajiban untuk mengangkat rakyat dari kebodohan dan kemelaratan. Mereka tahu apa yang tercantum dalam peribahasa: nobless oblige, mereka yang memiliki kelebihan, memikul kewajiban. 13 Mohamad Roem adalah seorang terpelajar dan tokoh Nasional tiga zaman: penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan Indonesia merdeka. Ia juga seorang pemimpin, politikus, pendidik, dan perunding, yang mengikuti perundingan penting antara lain perundingan Renville, persetujuan Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar.14 C. Riwayat Jabatan Nurcholish Madjid (cendikiawan muslim Indonesia) mengatakan bahwa Mohamad Roem adalah orang yang paling berjasa diurutan ketiga setelah Soekarno (proklamator, presiden pertama Indonesia; 1901-1970) dan Mohammad Hatta (negarawan, proklamator, Wakil Presiden pertama Indonesia; 1902-1980). Mohamad Roem berperan sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam perjuangan Roem-Royen (7 Mei 1949) yang membuka jalan Konferensi Meja Bundar (KMB), dan kemudian menghasilkan kedaulatan resmi bagi Indonesia pada 27 Desember 1949. Mohamad Roem masuk dalam urutan para Pahlawan Nasional. Mohamad Roem adalah seorang aktivis dalam organisasi kepemudaan, keagamaan, dan politik, misalnya Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB), dan Nationale Indonesische Padvinderij (Natipij, Kepanduan Nasional Indonesia). Bersama Yusuf Wibisono dan kawan-kawannya. Mohamad Roem mendirikan 13 Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah II (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 83- 14 Armando, Ensiklopedi Islam, h. 40. 84. Studenten Islam Studie Club, dan menjadi ketuanya. Ketika organisasi kemahasiswaan ini menerbitkan majalah Muslimche Reveille, ia menjadi dewan redaksinya. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum yang diperolehnya di RHS, Mohamad Roem membuka kantor Advokat dengan papan nama “Mr. Mohamad Roem”di Jakarta. Mohamad Roem juga menjadi pengacara pada Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Puwokerto. Di dalam dunia politik, Mohamad Roem aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) tahun 1932. Karena terjadi kemelut dalam partai ini, Mohamad Roem bersama Haji Agus Salim (pejuang kemerdekaaan Indonesia; 1884-1954) mendirikan Partai Penyadar. Dalam partai baru ini, Mohamad Roem menjadi Ketua Komite Central Executif (Lajnah tanfiziyah). Mohamad Roem juga pernah menjadi Ketua Muda Hizbullah Jakarta. Pada masa kemerdekaan , Mohamad Roem menduduki berbagai jabatan penting, antara lain Ketua KNIP Jakarta (1945), Menteri Dalam Negeri (1946-1948), delegasi Indonesia dalam persetujuan KMB (1949), anggota Pimpinan Pusat Masyumi(1950), Menteri Luar Negeri (1950-1951),Wakil Perdana Menteri (1956-1957), Wakil Ketua Masyumi (19581960), dan Ketua Umum Parmusi (1968). Selama aktif pada Partai Politik Islam, Masyumi, Mohamad Roem pernah tiga kali menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (dalam Kabinet Sjahrir III dan Kabinet Ali Sastroamidjojo, Kabinet pertama setelah pemilu 1955). Mohamad Roem lebih dikenal sebagai mantan Menteri Luar Negeri, walaupun memangku jabatan ini hanya sekali pada masa Kabinet M. Natsir. Kemudian pernah manjadi Menteri Pertepel (portofolio) dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) dibawah pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Mohamad Roem adalah seorang diplomat ulung. Banyak pertemuan dan perundingan penting yang diikutinya, Internasional, antara lain baik berskala Nasional maupun penandatanganan perundingan Renville (17 Januari 1948), persetujuan Roem-Royen (14 April 1949), KMB di Den Haaq, Belanda (2 November 1949), Conference For Moeslim and Christian Cooperation di Iskandariah, Mesir (1955), dan berbagai perjalanan penting kebeberapa negara. Di dunia pendidikan, Mohamad Roem pernah menjadi Rektor Universitas Islam Sumatera Utara (1953-1956) dan Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta (1971), setelah keluar dari tahanan politik, sejak Partai Masyumi dibubarkan pada 17 Agustus 1960, Mohamad Roem tidak aktif lagi di pemerintahan. Namun Mohamad Roem masih menghadiri dan memberikan ceramah pada beberapa pertemuan Ilmiah Internasional. Mohamad Roem juga menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975) dan aktif sebagai tokoh Organisasi Konferensi Islam (OKI).15 Sebagai tenaga berpendidikan tinggi, tempat karyanya adalah dalam bidang kepemimpinan, pengarahan dan pemikiran; sehingga langsung menempatkannya dalam kursi pimpinan tingkat pusat. Dan kedudukannya di tingkat pusat tersebut, menyebabkan terbuka hubungan yang dekat dengan tokohtokoh politik yang utama. Begitu pula tempat tinggal yang sejak lama berada di Jakarta sebagai pusat politik negara, memberi peluang lebih banyak untuk dekat 15 Armando, Ensiklopedi Islam, h. 40-42. dengan Haji Agus Salim daripada kepada H.O.S. Tjokroaminoto. Hubungan dan pergaulan dengan Haji Agus Salim tidak terbatas pada suasana politik dan pergerakan saja, tetapi juga meliputi hubungan persahabatan yang akrab dengan seluruh keluarganya.16 Bagi seorang pejuang, apalagi berjuang di bidang politik dan kenegaraan dalam jangka waktu yang cukup panjang seperti Mohamad Roem, tentu wajar ditemui kawan dan lawan. Namun begitu kita akan sulit untuk menanyakan, siapa lawan-lawan Mohamad Roem kepadanya. Dia tidak akan memberikan jawaban siapa lawan-lawannya, baik siapa yang melawan kepadanya, ataupun siapa yang dilawan olehnya. Dia hanya menunjukkan cita-cita perjuangannya, yang dilakukannya dengan pedoman-pedoman tertentu menurut ajaran agamanya dan menurut sopan-santun politik yang wajar dalam perangkat hukum yang adil dan benar. Tetapi kalau kita bertanya siapa teman dan sahabatnya, maka Mohamad Roem akan memberikan urutan nama yang panjang. Dan di muka sendiri dari nama-nama itu hanyalah almarhum Haji Agus Salim. Setelah itu tidak sanggup pula dia dengan jelas menyebut satu-persatu secara urut. Sebab bagi Mohamad Roem teman-teman seperjuangannya itu cukup banyak, satu tidak lebih dari yang lain, semuanya adalah teman, sahabat, kawan seperjuangan yang menyenangkan sepanjang masa. Mohamad Roem seorang pejuang muslim, demokrat.17 Rasanya kesibukan dan kegiatan Mohamad Roem pada usia tua, sekitar 70 tahunan, tidak begitu berbeda dan berkurang dari dalam masa mudanya dahulu. 16 Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 44. 17 Ibid., h. 103 Sekali lagi yang demikian itu hanya memperkuat pembenaran, bahwa Mohamad Roem memang seorang pejuang.18 18 Ibid., h.19 BAB III MOHAMMAD ROEM: PERJUANGAN DAN PERGERAKAN B. Peranannya Dalam Perjuangan Dan Pergerakan 1. Sebelum Kemerdekaan a. Zaman Penjajahan Belanda Sesungguhnya Mohamad Roem termasuk sebagian anak-anak Jawa yang beruntung. Tahun-tahun itu merupakan masa dilaksanakannya kebijaksanaan baru penjajah yang lebih memperhatikan bumiputera. Kritik-kritik kaum sosialis dan kaum etisi Belanda yang dilancarkan sejak tahun 1891 telah mendorong lahirnya kebijaksanaan baru program pemerintah Belanda tentang Hindia. Pada Januari 1901, didepan parlemen, Ratu Wilhelmina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Katanya, bangsa Belanda berutang budi kepada rakyat Hindia karena eksploitasi yang dilaksanakan sebelumnya telah melimpahkan keuntungan besar kepada Belanda. Dengan perubahan kebijaksanaan ini, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda memperluas kesempatan kepada anak-anak Indonesia golongan atas untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah yang berbahasa Belanda. Mohamad Roem termasuk salah seorang diantara anak-anak Hindia Belanda yang terpilih memperoleh kesempatan tersebut.19 19 Yanto Basri dan Retno suffatni ed., Sejarah Tokoh Bangsa (Yogyakarta: PT Lkis, 2005), h. 219-220. Penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung pada awal abad ke-20 diwarnai dengan munculnya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda 1901. Kebijakan yang terkenal dengan nama “Politik Etis” itu terdiri dari irigasi, edukasi, dan emigrasi. Kebijakan tersebut telah membawa angin segar bagi bangsa Indonesia. Edukasi bagi bangsa pribumi yang diusahakan oleh pemerintah Belanda pada gilirannya menghasilkan elite baru yang semakin lama semakin menyadari tentang kedudukannya yang dibedakan dalam masyarakat kolonial. Dari slogan inilah muncul pembaharuan yang direalisasikan dalam bentuk pergerakan modern. Dimulai dari Budi Utomo (1908), satu persatu pergerakan nasional tumbuh di Indonesia, seperti Sarekat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, organisasi lokal dan regional, seperti Rukun Minahasa (1912), Perkumpulan Pasundan (1914), Sarekat Ambon (1920), Sarekat Celebes (1930) bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Pemuda atau pelajar tidak ketinggalan untuk ikut serta mendirikan organisasi yang dikhususkan bagi mereka, sehingga lahirlah organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Java (1918), Jong Islamieten Bond (1925), Jong Celebes, dan lain-lain. Berkaitan dengan itu, Mohamad Roem yang sedang tumbuh sebagai pemuda dengan segenap potensinya mulai tertarik untuk belajar berorganisasi melalui organisasi pemuda atau pelajar yang ada pada saat itu. Mohamad Roem mulai belajar arti berorganisasi ketika melanjutkan studinya dari HIS di Temanggung ke STOVIA di Jakarta 1924. Saat itulah Mohamad Roem mulai mengenal dunia organisasi pemuda atau pelajar, seperti Jong Java (1924) dan Jong Islamieten Bond (1925) yang berkembang dilingkungan STOVIA. Walaupun Jong Java (pada awal berdirinya) dan Jong Islamieten Bond bukan organisasi politik, justru melalui kedua organisasi pemuda itulah Mohamad Roem berkenalan dengan dunia perpolitikan Indonesia sehingga wajar bila karier politik Mohamad Roem diawali dari keanggotaannya dalam Jong Java dan Jong Islamieten Bond yang kemudian dilanjutkan dengan kiprahnya dalam Partai Sarekat Islam Indonesia dan gerakan penyadar. Selama menjadi anggota Jong Java, banyak kegiatan yang dilakukan oleh Mohamad Roem dalam organisasi itu, antara lain kegiatan yang berkaitan dengan olah raga maupun kegiatan menari Jawa. Selain itu, Mohamad Roem rajin menyimak ceramah-ceramah yang diberikan kakakkakak kelasnya Berdirinya JIB tersebut memberikan kesempatan bagi Mohamad Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasakan Islam, agama yang semakin diperdalamnya ketika Mohamad Roem masih tinggal di Pekalongan. Ketika Mohamad Roem masuk menjadi anggota JIB (1925), keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Namun demikian, bila dibandingkan dengan Jong Java, Mohamad Roem lebih aktif lagi dalam JIB, suatu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam yang keanggotaanya bersifat terbuka bagi pemuda atau pelajar dari berbagai daerah. Bagi Mohamad Roem, ada satu hal yang sangat penting dalam perjalananya berkecimpung dalam organisasi pemuda khususnya JIB, yakni perkenalannya dengan Haji Agus Salim yang kala itu menjadi penasihat JIB. Mohamad Roem pertama kali berkenalan dengan Haji Agus Salim pada 1925, ketika Mohamad Roem masih duduk di STOVIA bagian persiapan. Hubungan yang dekat antara Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohamad Roem kelak di kemudian hari. Dengan demikian kedekatan Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim telah mendorongnya untuk berkiprah dalam PSII dan kemudian Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim, dan lain-lain. Mohamad Roem mulai tertarik pada partai politik, khususnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sewaktu Mohamad Roem masih menjadi anggota JIB. Kiprah Mohamad Roem dalam panggung politik Indonesia pada waktu itu bukan atas nama anggota JIB, melainkan atas nama perorangan. Walaupun JIB bukan organisasi politik, organisasi Islam ini tidak melarang anggota-anggotanya untuk berkiprah dalam panggung politik. Hal ini dimaksudkan agar para anggota JIB dapat berbuat atau menonjol sejak masa mudanya dan dapat berperan saat terjun ke arena politik. Mohamad Roem secara resmi masuk menjadi anggota PSII pada tahun 1932, walaupun sebelumya telah banyak turut serta dalam kegiatankegiatan seperti menjadi Ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta 1932. Ia masuk menjadi anggota PSII tanpa menjadi anggota SIAP (Syarikat Islam Afdeling Pandu) atau pemuda muslim terdahulu. Keaktifan Mohamad Roem waktu itu adalah membela nasib atau perkara orang-orang PSII didepan pengadilan negeri pemerintah kolonial Belanda. Sebagian besar perkara yang dibelanya menyangkut persoalan tanah partikelir dan sikap tuan tanah yang sewenang-wenang terhadap bawahan. Semua kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama dengan Haji Agus Salim. Tindakan Abikusno Tjokrosujoso yang tidak memasukkan Haji Agus Salim dalam jajaran pengurus PSII sehingga mengakibatkan terpecahnya anggotanya banyak mengundang keprihatian para pemimpin partai. Haji Agus Salim dengan segenap kesungguhannya mencoba menyadarkan kawan-kawan seperjuangan, terutama tentang bahaya yang akan muncul akibat perpecahan tesebut. Bersama dengan yang lain, gagasan untuk menyadarkan kawan-kawan seperjuangannya kemudian dilembagakan ke dalam satu organisasi baru yaitu Barisan Penyadar PSII. Sebagai organisasi politik, pergerakan penyadar tidak berhaluan nonkooperasi seperti yang dianut oleh PSII. Alasan pergerakan penyadar untuk tidak berhaluan nonkooperasi menurut Haji Agus Salim adalah bahwa kemajuan yang hendak diusahakan ditengah-tengah rakyat, bersama dengan rakyat dan untuk rakyat itu pada hakikatnya hanya dapat diusahakan dalam keadaan tertib, aman, dan damai di dalam negeri.20 Perjuangan politik umumnya, dan perjuangan politik umat Islam khususnya, Di zaman penjajahan Belanda itu menunjukkan suatu 20 Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang: Indonesiatera, 2002) h. 13-24. kehidupan politik yang bersemangat dan segar. Pejuang-pejuang politik bangsa Indonesia bisa menunjukkan kepribadian politiknya dengan sempurna, dan memperoleh saluran walaupun tak sempurna tetapi sangat terjamin dengan jelas dalam ketentuan-ketentuan hukum. Bahkan adanya artikel-artikel yang merupakan ranjau yang ganas bagi pemerintah penjajah untuk dapat memindah sewaktu-waktu para pejuang politik bangsa Indonesia, tetap masih cukup memberikan peluang bergerak bagi pejuangpejuang politik pada waktu itu untuk mencapai cita-cita mereka. Maka tidak heran, bahwa suasana dan keadaan seperti itu telah melahirkan tokohtokoh politik yang berbobot dan bernilai. Pemimpin-pemimpin politik bangsa Indonesia menjadi terlatih dan tergembleng secukupnya, siap kelak untuk menghasilkan kemerdekaan penuh bagi bangsa dan tanah air mereka.21 b. Zaman Pendudukan Jepang Masa pendudukan Jepang di Indonesia berawal dari runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda yang ditandai dengan menyerahnya Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer berserta komandan KNIL Letnan Jenderal Hein Ter poorten kepada Jenderal Hitoshi Imamura tanpa syarat di Kalijati, Jawa Barat pada tanggal 8 Maret 1942. Jauh sebelum invasi ke Indonesia, Jepang sudah melakukan penyelidikan-penyelidikan untuk mengetahui keadaan masyarakat di Indonesia dan bagaimana tanggapan mereka terhadap 21 Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun pejuang-perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 38-39. pemerintah Hindia Belanda melalui orang-orangnya yang menyamar sebagai pedagang yang membuka toko-toko di Indonesia. Berdasarkan penyelidikan tersebut, Jepang mengetahui bagaimana keadaan rakyat Indonesia yang sudah terlalu kecewa terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Meluapnya perasaan kecewa rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Hindia Belanda memberikan peluang kepada Jepang untuk melakukan propaganda. Melalui propaganda tersebut, Jepang menyatakan keinginannya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan bangsa Barat. Di samping itu, Jepang menyatakan bahwa setelah Belanda (bangsa Barat) terusir dari Indonesia (Asia), Jepang bertekad untuk “memajukan” bangsa Indonesia (Asia) sehingga mereka setaraf dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Propaganda Jepang memberikan secercah harapan bagi bangsa Indonesia akan datangnya kesejahteraan dari pemerintah Jepang. Namun, harapan tinggal harapan, Jepang yang menyatakan dirinya sebagai “saudara tua” dan sebagai “pembebas” justru melakukan penindasan dengan kejam, baik secara ekonomis maupun politis. Secara ekonomis, pemerintah Jepang melakukan perampasan kekayaan Indonesia untuk menghidupi indusri guna mempertahankan peperangan. Secara politis, Jepang melakukan penindasan deengan cara mengeluarkan Undang-undang No. 3 tertanggal 30 Maret 1942 yang menyebutkan bahwa pemerintahan Jepang melarang semua pembicaraan tentang pergerakan nasional Indonesia, masa depan negara Indonesia, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengibarkan sang Merah Putih. Undang-undang No. 3 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Jepang tersebut menimbulkan perubahan terhadap kondisi nasional Indonesia. Pergerakan nasional yang telah tumbuh pada masa penjajahan Belanda, khususnya pada abad ke-20, terpaksa mengalami kemunduran, bahkan kematian ketika pemerintah Jepang menginjakan kakinya ke bumi pertiwi ini. Kondisi pergerakan nasional yang kian melemah dirasakan pula oleh Mohamad Roem. Pergerakan penyadar yang diikutinya turut terkena peraturan pemerintah Jepang mengenai pembubaran semua partai politik yang ada pada waktu itu. Saat itu, untuk sementara waktu Mohamad Roem tidak berkecimpung dalam dunia perpolitikan. Mohamad Roem melanjutkan praktik sebagai pengacara. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, seluruh partai politik dibubarkan, termasuk Pergerakan Penyadar. Kendati demikian, pengalaman Mohamd Roem dengan Haji Agus Salim memberikan arah aktivitas politik Mohamad Roem sebagai perunding dan pejuang Seiring dengan berjalannya waktu, Jepang yang selalu membuktikan kekuatan dan keunggulan angkatan perangnya dalam berbagai pertempuran harus mengalami kenyataan pahit setelah aramada Jepang dipukul mundur oleh sekutu dalam pertempuran di Laut karang pada 7 Mei 1942. Pertempuran itu merupakan titik balik Jepang karena setelah itu Jepang mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran. Pada akhir September 1944. Barisan pelopor melatih para pemuda dengan latihan-latihan militer, walaupun senjata yang digunakan hanya senapan kayu atau bambu runcing. Mereka juga dikerahkan untuk mendengarkan pidato dari pemimpin-pemimpin nasionalis, bahkan dianjurkan kepada mereka agar meneruskan pidato-pidato itu kepada rekan-rekannya yang tidak hadir. Mereka juga dilatih dengan cara-cara menggerakan massa rakyat, memperkuatkan pertahanan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Dalam barisan pelopor inilah Mohamad Roem yang semula tidak aktif dalam dunia perpolitikan mulai terlibat lagi ke panggung politik Indonesia. Ia diangkat menjadi Kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang (kampung tempat tinggalnya). Menurut Mohamad Roem, pengangkatannya berawal dari undangan menjadi anggota Barisan Pelopor Kampung Kwitang. Pengalaman yang paling berkesan bagi Mohamad Roem ketika menjadi kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang adalah ketika ia ikut serta dalam pekerjaan umum yang dipimpin Soekarno sendiri. Pekerjaan yang dilakukan ketika itu adalah membuat tanah lapang yang sekarang menjadi lapangan terbang internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng Jakarta Barat. Pekerjaan ini dilakukan bersama kelompok Barisan Pelopor lainnya. Karena itu, mereka diharuskan berkumpul di lapangan Banteng. Selain dalam Barisan Pelopor, Mohamad Roem juga pernah aktif dalam Barisan Hizbullah (Tentara Allah) yang didirikan pada 14 Oktober 1944. Hizbullah merupakan organisasi khas pemuda Islam yang didukung oleh pihak Jepang, di samping organisasi lain yang memperoleh latihan militer seperti keibondan (pertahanan sipil), seinendan (korps pemuda) yang bisa dimasuki oleh kalangan pemuda Islam. Keterlibatan Mohamad Roem dalam barisan Hizbullah berakhir ketika berakhir ketika Masyumi yang didirikan pada masa pendudukan Jepang dibubarkan berkaitan dengan menyerahnya pemerintah Jepang pada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Dengan demikian, pada awal pendudukan Jepang di Indonesia, Mohamad Roem yang belum lama lulus dari Sekolah Tinggi Hukum (1939) lebih banyak mencurahkan waktunya untuk praktik sebagai pengacara. Ketika Jepang merestui berdirinya Barisan Pelopor di bawah Jawa Hokokai dan Barisan Hizbullah di bawah Masyumi, barulah Mohamad Roem aktif kembali dalam dunia pergerakan nasional Indonesia.22 Segala suasana dan keadaan masyarakat dan kenegaran di Indonesia (Hindia Belanda), tiba-tiba mengalami perubahan yang terbalik, sewaktu pecah Perang Pasifik dalam tahun 1942, dan tentara Jepang menguasai seluruh tanah air Indonesia. Dalam masa pendudukan tantara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun berikutnya, kehidupan politik terhenti sama sekali. Dan pada masa itu terjadi pergeseran tata-nilai 22 Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h. 27-33. mengenai segala macam masalah Indonesia, yang menyebabkan orang tidak banyak dapat berbuat atau berkarya. Suasana baru itu, yang sebagian besarnya belum pernah terbayangkan kejadiannya oleh bangsa kita, menyebabkan banyak orang menunggu waktu untuk menempatkan diri atau menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya. Rupanya demikian pula tak terkecuali dengan Mohamad Roem, yang praktis tidak kelihatan menonjol dalam kegiatan dan peranan seperti masa sebelumnya. Keadaan terselimut dan terdiam itu baru mulai tesingkap kembali, setelah terjadi proklamasi kemerdekaan Indonesia bulan Agustus 1945.23 2. Sesudah Kemerdekaan Hari-hari pertama kemerdekaan Indonesia penuh dengan suasana yang tegang, terutama disebabkan karena tentara pendudukan Jepang dari Perang Dunia masih utuh ada di sini. Dan tentara Jepang itu menerima tugas sebagai pihak yang kalah dalam perang, atas nama negara-nagara “Sekutu” sebagai pihak yang menang, memelihara keadaan keamanan di wilayah Indonesia. Padahal waktu itu semangat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sudah meluap-luap di mana-mana, tidak sudi lagi diperintah lagi oleh bangsa asing manapun juga. Ketegangan tersebut memuncak pada saat dilangsungkan suatu rapat raksasa di Jakarta Raya, sebagai suatu pembuktian tekad bangsa dan rakyat Indonesia yang bulat mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara.24 23 24 Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding, h. 44-45. Ibid., h. 45. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai dimulainya babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang terus bergulir seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia telah disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perangkat kenegaraan. Pada hari-hari pertama setelah proklamasi kemerdekaan, kesibukkan ditujukan untuk melengkapi perangkat kenegaraan yang bersifat pokok, seperti memilih presiden dan wakil presiden, menyusun Undang-Undang Dasar, menyusun lembaga perwakilan rakyat darurat, dan disusul dengan membentuk kabinet pertama Republik Indonesia. Hasil dari kegiatan tersebut adalah diangkatnya Ir. Soekarno sebagai presiden pertama dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden yang pertama, disusunnya suatu UUD 1945, dibentuknya suatu Komite Nasioanal Indonesia Pusat yang pertama dan diketuai oleh Mr. Kasman Singodimedjo, serta dibentuknya Kabinet pertama Republik Indonesia yang terrdiri dari 15 orang menteri dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang merupakan Kabinet Presidentil menurut UUD 1945. Di antara perangkat kenegaraan yang dibentuk oleh bangsa Indonesia yang baru merdeka itu, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi tempat pertama bagi Mohamad Roem dalam mengabdikan dirinya untuk kepentingan bangsa dan negara. KNIP merupakan suatu badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan untuk membentuk Komite Nasional di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Dalam proses perkembangan berikut, Komite Nasional Indonesia (KNI) dikembangkan menjadi KNIP. Dalam KNIP yang beranggotakan 136 orang, hanya 15 orang yang termasuk dari kalangan Islam, sedangkan dalam Badan Pekerja hanya 2 orang yang dapat mewakili kalangan Islam. Mohamad Roem termasuk salah satu dari 15 orang yang berasal dari kalangan Islam. Mohamad Roem kemudian memperoleh kedudukan sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Jakarta Raya. Sebagai Ketua KNI Jakarta Raya, Mohamad Roem banyak berhubungan dengan Walikota Jakarta Raya yang dijabat oleh Suwirjo. Salah satu kerjasama antara Mohamad Roem dengan Suwirjo dapat dilihat dari peristiwa 19 September 1945, yakni rapat raksasa di Lapangan Ikada (Lapangan Merdeka). Selama Masyumi berdiri yakni antara tahun 1945-1960 (kurang dari 15 tahun), Masyumi telah tujuh kali mengadakan pemilihan Pimpinan Pusat Masyumi, yakni tahun 1945, 1949, 1951, 1952, 1954, 1956, dan 1959. Selama tujuh kali pula Mohamad Roem duduk dalam Pimpinan Pusat Masyumi. Bila diurut, kedudukan Mohamad Roem dalam pimpinaan pusat Masyumi adalah sebagai berikut: periode 1 tahun 1945-1949, Mohamad Roem menjabat sebagai anggota; periode II tahun 1949-1951, juga duduk sebagai anggota; periode III tahun 1951-1952, Mohamad Roem menjabat sebagai Wakil Ketua; periode IV tahun 1952-1954, periode V 1954-1956, dan periode tahun VI tahun 1956-1959 kembali Mohamad Roem menjabat sebagai anggota pimpinan pusat; dan pada periode terakhir, yaitu periode VII tahun 1959-1960, Mohamad Roem menjabat sebagai Wakil Ketua III. Dari Sususan Pengurus Pusat Masyumi tersebut, terlihat bahwa Mohamad Roem termasuk salah satu anggota Pengurus Pusat Masyumi yang dibentuk dalam Muktamar pertama tahun 1945 sampai Muktamar terakhir 1959. Selama menjadi anggota Masyumi, Mohamad Roem banyak terlibat dalam bidang pemerintahan yang berkali-kali mendudukkannya sebagai menteri dalam berbagai kabinet dan pernah satu kali menjadi Wakil Perdana Menteri. Mohamad Roem lebih banyak menyumbangkan tenaganya kepada pemerintah, dan tidak begitu menonjol dalam kepartaian secara langsung. Setelah tidak terlalu lama Masyumi berdiri di Yogyakarta, Mohamad Roem kembali ke Jakarta untuk menjalankan tugasnya sebagai Ketua KNI Jakarta Raya. Ketika peristiwa penembakan terhadap Mohamad Roem terjadi (sekitar November 1945), untuk sementara Mohamad Roem berhenti dari berbagai kegiatan, termasuk kegiatan Partai Politik Masyumi pada awal berdirinya. Baru tiga bulan aktif dalam pengurus pusat Masyumi di Yogyakarta, Mohamad Roem terpaksa melepaskan kembali kepengurusannya karena berkaitan dengan pengangkatan dirinya sebagai menteri dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947). Ketika Kabinet Sjahrir III jatuh dan digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifuddin, Mohamad Roem pun ikut duduk dalam kabinet itu sebagai Menteri Dalam Negeri (11 November 1947-29 Januari 1948). Antara 20 Desember 1949-6 Desember 1950, Mohamad Roem menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) setelah sebelumnya sibuk berunding dengan Belanda yang membuahkan pernyataan Roem-Royen dan KMB. Antara 6 September 1950-27 April 1951, Mohamad Roem duduk sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Mohammad Natsir. Ketika Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Soekiman (1951-1952), Mohamad Roem tidak duduk lagi dalam kabinet. Mohamad Roem kembali aktif dalam partai dan menyiapkan dirinya turun ke daerah-daerah diseluruh Indonesia, menghadiri konferensi dan rapat-rapat. Pada tahun 1952 Kabinet Soekiman jatuh dan digantikan oleh Kabinet Wilopo (3 April-30 Juli 1953), dan Mohamad Roem kembali duduk dalam kabinet menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kabinet Wilopo pun akhirnya jatuh dan digantikan secara berturut-turut adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dan Kabinet Burhanuddin Harahap (19551957). Dalam dua kabinet terakhir tersebut, Mohamad Roem tidak duduk dalam kabinet, baru setelah Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh dan digantikan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-9 April 1957), Mohamad Roem duduk kembali dalam kabinet sebagai Wakil Perdana Menteri. Kedudukan Mohamad Roem dalam bidang pemerintahan berakhir ketika kabinet ini pun jatuh dan diganti dengan Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959) yang merupakan masa transisi menjelang munculnya Demokrasi Terpimpin tahun 1956-1966. Mohamad Roem kemudian lebih mencurahkan perhatiannya terhadap Masyumi sampai partai ini bubar pada 13 September 1960 sehubungan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no. 200/1960 tertanggal 17 Agustus 1960.25 Tidaklah mengherankan jika Mohamad Roem, walau menjadi anggota Masyumi, memutuskan untuk duduk dalam satu kabinet yang tidak didukung oleh Masyumi. Tidak ada keterangan apakah sikapnya ini menimbulkan ketegangan antara Mohamad Roem dengan pemimpin Masyumi. Akan tetapi, yang jelas, sikap inilah yang berlanjut sampai tahun 1968 ketika Mohamad Roem terpilih menjadi Ketua Umum PMI, atau ketika menerima pencalonannya sebagai anggota parlemen dalam pemilu 197226. 25 26 Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya, h. 34-46. Basri dan Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, h. 231. B. Perjuangan Mohamad Roem Dalam Bidang Politik Faktor yang amat mempengaruhi Mohamad Roem sebagai diplomat dan perunding bukanlah semata-mata bakat atau warisan ketrampilan yang diperoleh dari Agus Salim, melainkan bentukan pribadi yang bebas. Dengan bentukan itu, Mohamad Roem terbebas dari rasa risih untuk bertindak sebagai perunding sebab waktu itu kelompok-kelompok kekuatan perlawanan terhadap Belanda lebih menekankan perjuangan fisik daripada perundingan. Debut pertama diplomasinya berlangsung ketika kekuasaan Republik Indonesia semakin lama semakin tergerogoti. Ketika Mohamad Roem menerima jabatan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III, Mohamad Roem sangat sadar bahwa wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang efektif hanya di yogyakarta dan Aceh. Alasan ini mendorong Mohamad Roem bersedia menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati, Walau Masyumi, partainya sendiri, menolak perjanjian tersebut. Perjuangan diplomasi ini merupakan jalan panjang yang mendebarkan sebab setiap tahap perundingan melahirkan kekeruhan, walau hasil yang dicapai dapat dijadikan dasar berpijak dalam perudingan selanjutnya. Perundingan pun merupakan jalan bertahap menuju kemerdekaan. Perundingan Linggarjati merupakan kelanjutan dari perundingan-perundingan informal lainnya, termasuk antara Soekarno-Hatta atas desakan Inggris dengan Belanda, atau antara Sjahrir sebagai perdana menteri dan Dr. Van Mook sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda serta Christison wakil dari tentara sekutu. Perundingan Linggarjati yang lebih dulu diawali dengan praperundingan di Jakarta 7-14 Oktober 1945, melahirkan gencatan senjata yang memungkinkan pertemuan berikutnya. Betapa pun perjanjian Linggarjati diliputi kekeruhan, kondisi struktural mengharuskan perjuangan diplomasi berjalan terus. Serangan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia membangkitkan amarah dunia yang menyebabkan pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya permusuhan di Indonesia dihentikan dan diselesaikan dengan satu perantara atau dengan cara yang lain, perdamaian. Dalam waktu hampir bersamaan dengan tekanan-tekanan internasional itu, di Indonesia terjadi perubahan-perubahan politik yang menentukan nasib Mohamad Roem di dunia diplomasi. Kegagalan perjanjian Linggarjati telah menimbulkan krisis kepemimpinan Sjahrir. Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin inilah, atas prakarsa KTN, usaha-usaha perundingan Indonesia-Belanda dilaksanakan kembali. Perundingan ini terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 diatas kapal Renville, yang kemudian dikenal sebagai perjanjian Renville, dengan Mohamad Roem sebagai anggota. Keikutusertaan dalam perundingan Linggarjati tetap mengikat Mohamad Roem untuk terus menekuni bidang ini sampai terjadi krisis Kabinet Amir Sjarifuddin. Setalah itu dibentuk kabinet baru dibawah pimpinan Hatta. Sekali lagi, Mohamad Roem dipercaya sebagai ketua delegasi Indonesia untuk perundingan-perundingan selanjutnya. Kabinet baru ini mencanangkan 4 pasal program: pertama, berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville; kedua, meningkatkan pembentukan Indonesia Serikat; ketiga, rasionalisasi tentara dan ekonomi; keempat, pembangunan fisik akibat kerusakan-kerusakan selama pendudukan jepang.27 Campur tangan Dewan Keamanan PBB ini melahirkan sebuah panitia jasa-jasa baik yang meskipun tak memiliki wewenang kecuali wewenang moril. Dengan demikian jelas, bahwa persetujuan Renville ini merupakan hasil antara panitia jasa-jasa baik dengan suatu Badan Internasional yang tingkatnya tinggi sekali, yaitu Dewan Keamanan PBB. Kemudian harinya, panitia jasa-baik ini diberi tugas untuk memantau tanpa wewenang yang mengikat pelaksanaan dari persetujuan 27 Ibid., h. 231-237. Renville ini. Namun demikian, sejarah pun berulang dan nasib persetujuan ini sama saja dengan persetujuan Linggarjati. Perlu juga diterangkan bahwa sejak Dewan Keamanan PBB membentuk Panitia Jasa-Jasa Baik, sengketa Indonesia-Belanda ini, di mana perlu, dibicarakan dalam forum Dewan Keamanan. Dan karena itulah, sampai berakhirnya sengketa Indonesia dilakukannya penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang mengenai sengketa itu, lebih dari 90 kali.28 Pada tanggal 14 April 1949 mulailah perundingan Belanda-Indonesia dengan prakarsa Komisi Tiga Negara PBB yang sudah memperoleh kekuasaan lebih besar dari “Pedoman Kanada” Indonesia diwakili oleh Mohamad Roem, Belanda diwakili Dr. J.H. Van Royen, dan ketua KTN adalah Cochran. Nada pidato Van Royen lemah lembut, barangkali untuk menghapuskan kesan negatif dirinya sewaktu aktif di PBB. Tetapi pidato pembukaan Mohamad Roem sangat tegas dan keras: “Agresi Militer Belanda yang kedua telah mengakibatkan hilangnya sama sekali kepercayaan Rakyat Indonesia bagi berhasilnya perundingan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Setelah itu baru soal-soal lain bisa dibicarakan kemudian.”29 Perundingan Mohamad Roem-Van Royen yang beberapa kali juga disaksikan oleh Cochran, ternyata merupakan karya puncak Mohamad Roem dalam diplomasi. Hasil dari karya diplomat tersebut berupa suatu pernyataan Van Royen dan Mohamad Roem, yang merupakan dokumen bersejarah yang penting bagi kelanjutan tegaknya Republik Indonesia. Dengan demikian dokumen Roem- 28 Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 7-8. 29 Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding, h.153. Royen menempati kedudukan yang khas yang dikenal oleh seluruh dunia. Ini pula telah menempatkan Mohamad Roem dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan sebutan namanya pribadi.30 Mengenai persetujuan Roem-Royen, Mohamad Roem dalam wawancara yang diberikan kepada Alastrair Taylor menjelaskan sebagai berikut: “perundingan-perundingan itu didasarkan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949, yang sebagian terbesarnya sesungguhnya ditolak oleh Belanda. Belanda menandinginya dengan Rencana Beel dan usul Konferensi Meja Bundar. Kami berpendapat, kalau kami menerima hal itu berarti kami tidak memiliki dukungan apa-apa di belakang kami pada saat memasuki ruang konferensi tersebut, dan kami hanya tampil sebagai perorangan saja. Selalu menjadi pendirian kami untuk menerima sesuatu usul yang isinya tidak seluruhnya buruk walaupun misalnya Belanda tidak menolak Resolusi 28 Januari 1949 tersebut. Maka kami berkata: kami hanya bersedia datang ke Konferensi Meja Bundar sebagai Republik Indonesia, dan kami hanya mau berangkat dari Yogyakarta, bukan dari Bangka. Hasilnya adalah suatu kemacetan.”31 Konferensi Meja Bundar di Den Haaq, yang sudah disetujui oleh kedua pihak dalam pernyatan Roem-Royen, dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 dan selesai pada tanggal 2 November 1949. Pada saat itu Republik Indonesia sudah merasa sangat terkejar waktu, sebab tetap ingin melaksanakan cita-cita lama yaitu mencapai Indonesia berdaulat dan merdeka selambat-lambatnya pada I Januari 1950, seperti pernah tercantum dalam persetujuan Linggarjati. Cita-cita tersebut ternyata dapat dikejar, karena pada tanggal 27 Desenber 1949, jadi sebelum batas akhir waktumya yaitu pada tanggal 1 Januari 1950, pada saat bersamaan, di Amsterdam dan di Jakarta berlangsung upacara penyerahan dan 30 31 Ibid., h.154. Ibid., h. 156-157. pengakuan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat, di Amsterdam pada jam 10.00 dan di Jakarta pada jam 17.00.32 Ketika Demokrasi Terpimpin dibawah rezim Soekarno tumbang dan diganti oleh Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, umat Islam menginginkan terbentuknya kembali wadah baru bagi mereka sebagai pengganti Masyumi yang telah bubar saat masa pemerintahan Soekarno. Umat Islam zaman Orba akhirnya di bawah Badan Koordinasi Amal Muslimin membentuk “panitia Tujuh” untuk melahirkan suatu partai baru. Ketujuh panitia anggota tersebut ialah Fakih Usman, Anwar Harjono, Agus Sudono, Ny. Sjamsuridjal, Hasan Baru, E. Z. Muttaqien, dan Marzuki Jatim.33 Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto pada awalnya memberikan harapan baru bagi tegaknya keadilan dan kebenaran di negeri kita. Hukum memperoleh udara segar kembali untuk ditegakkan, dan demokrasi mendapat siraman semangat yang mengairahkan. “Waktu itulah umumnya kaum politisi memberikan tafsiran, bahwa lembaran kehidupan politik dan kenegaraan baru akan benar-benar dimulai”.34 Mohamad Roem dengan tekun mengikuti permasalahan dan sewaktuwaktu memberikan tanggapan dan komentarnya secara tertulis, dimuat dalam surat kabar atau majalah atau diterbitkan sendiri dalam bentuk brosur. Sampai pun pada pemilihan umum yang ke-II dalam pemerintahan Presiden Soeharto, masih banyak hal-hal yang tidak wajar berlaku didalamnya. Oleh karena itu sikap 32 Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak perjuangan RI, h. 14. Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h. 46. 34 Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun pejuang-perunding, h. 95. 33 Mohamad Roem terhadap pemilihan umum tanggal 2 Mei 1977, tidak berbeda dengan sikapnya terhadap pemilihan umum tahun 1971. Sikap itu adalah tidak berselera.35 Kemampuan Mohamad Roem sebagai diplomat tidak hanya kedekatannya dengan Haji Agus Salim, tetapi juga karena pengaruh pendidikannya di bidang hukum. Gelar Sarjana Hukum yang berhasil diraihnya terbukti mampu mendukung kemampuan Mohamad Roem dalam berdiplomasi. Hal ini bisa dilihat dari kejeliannya dalam mengkaji kata demi kata yang sudah dituangkan dalam naskah perundingan. Dari penelaahan tersebut, Mohamad Roem bisa melihat apakah kalimat-kalimat dalam naskah perundingan yang belum ditandatangani itu bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda atau tidak. Selain faktor pengalaman pendidikan, ada satu faktor lagi yang ikut mendukung kemampuannya, yaitu keyakinan yang mendalam akan ajaran agama Islam yang dipeluknya. Islam dijadikan dasar dalam segala hal, sebab faktor demokrasi dan hak asasi manusia dalam Islam dijunjung tinggi mengingat Islam sendiri memandang kedudukan manusia dihadapan Allah SWT adalah sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan berlandaskan keimanan yang kuat, Mohamad Roem sangat gigih mempertahankan segala sesuatu yang dianggapnya benar dan adil. Mohamad Roem berpendapat bahwa sesuatu yang benar dan adil bila diperjuangkan dengan gigih, cepat atau lambat akan memperoleh kemenangan. 35 Ibid., h 101. Karena itulah, Mohamad Roem kemudian terjun dalam bidang diplomasi sepenuh hati. Segala usaha diniatkannya dengan ikhlas untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang ditujukan bagi kedaulatan bangsa dan negara Indonesia sepenuhnya. Walaupun pada masa itu perjuangan Mohamad Roem terkadang menimbulkan berbagai tanggapan yang bersifat kontroversial, tetapi sejarah membuktikan bahwa perjuangannya tidak sia-sia karena Indonesia berhasil meraih kembali kedaulatannya secara penuh pada tanggal 27 Desember 194936. Dalam konteks inilah medan perundingan dan Mohamad Roem harus dipahami. Sebab, setelah menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, Lovink, Wakil Ratu Belanda di Indonesia, bersama Mohamad Roem berangkat ke lapangan terbang Kemayoran untuk kembali ke Belanda. Kendaraan yang membawa mereka ke Kemayoran masih mengibarkan bendera Tiga Warna. Akan tetapi, setelah pulang dari Kemayoran kendaraan Mohamad Roem dihiasi bendera Merah Putih yang berkibar-kibar dengan lincahnya. Lovink pergi, setelah Konferensi Meja Bundar selesai pada 22 November. Bersamaan dengan keberangkatan itu, Hatta terbang ke Nederland untuk menerima pengakuan kedaulatan de jure dari Belanda. Berdasarkan KMB inilah setelah diselingi munculnya Republik Serikat (RIS) yang hanya berumur 7 bulan Republik Kesatuan Indonesia tercapai. Bahwa perkembangan Republik Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang sangat pesat adalah benar. Meski demikian, kemajuan-kemajuan 36 Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h.58-59. itu harus tegak berdiri atas dasar pembentukan landasan yang dirintis secara perlahan dan bertahap melalui periode perundingan yang diselingi dengan hingar bingarnya pertempuran didaerah pinggiran. Mohamad Roem hampir sepenuhnya berada dalam dunia diplomasi, suatu dunia nonpersenjataan yang ikut memberikan andil tidak kecil lagi bagi kemerdekaan Indonesia, justru pada saatsaat senjata fisik Indonesia tidak lagi berbicara banyak.37 37 Bashri dan Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, h. 243-244. BAB IV PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM Dasar Pemikiran Politik Mohamad Roem Masa muda Mohamad Roem diakhiri setelah hidupnya berkeluarga, dan menjadi seorang Bapak. Begitu juga masa muda itu berlalu, setelah dimulainya kehidupan dalam masyarakat mengabdi melalui keahlian yang dipelajari selama bersekolah sebagai ahli hukum. Dibukanya kantor advokat, pembela, dengan papan nama jabatannya”Mr. Mohamad Roem” di Jakarta. Sebelum berdiri secara penuh itupun, sesungguhnya telah ditempuhnya pula kegiatan bidang pekerjaan tersebut sewaktu dia masih menjadi mahasiswa, dan mengikuti team-team pembela dari Partai Syarikat Islam di muka pengadilan negeri. Ini berarti Mohamad Roem telah memilih jalan kehidupannya, berdiri berusaha sendiri, dan tidak pernah bekerja menjadi pegawai negeri pemerintahan kolonial Belanda dan pemerintahan pendudukan Jepang. Di pilihnya peranan dan kesibukkan yang dekat kepada rakyat, dekat pada lingkungan pejuang-pejuang, dan bersimpati kepada mereka yang mengalami nasib kurang menyenangkan atau menderita.38 Berkaitan dengan itu, Mohamad Roem yang sedang tumbuh sebagai pemuda dengan segenap potensinya mulai tertarik untuk belajar berorganisasi melalui organisasi pemuda atau pelajar yang ada pada saat itu. Mohamad Roem mulai belajar berorganisasi ketika ia melanjutkan studinya dari HIS di Temanggung ke STOVIA di Jakarta 1924. Menurutnya, radikalisme PSII dan gerakan lainnya harus dilihat dari konteks yang lebih luas. Sekitar tahun 1920-an depresi ekonomi menyebabkan lahirnya perubahan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Menurunnya tingkat 38 Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 15. ekspor mendorong runtuhnya perusahaan-perusahaan Barat. Keadaan ini menyebabkan dilaksanakannya penghematan dana. Pajak ekspor dihapus, sementara pajak rakyat naik mencapai 34 juta gulden pada tahun 1925. Akibatnya, pengangguran meningkat dan menyebabkan tumbuhnya radikalisasi gerakan nasionalis.39 Perkumpulan pemuda dalam pergerakan Jong Java dan JIB mempunyai arti penting sebagai dasar perjuangan selanjutnya. Hal ini diakui sendiri oleh Mohamad Roem: “Didalam pergerakan Jong Java dan JIB itu kami semua umumnya sudah menyadari bahwa dengan berorganisasi itu kami kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di kemudian hari. Waktu itu kaum terpelajar bangsa kita menyadari bahwa mereka mendapat kesempatan untuk maju. Karena itu, mereka harus mempunyai tekad untuk memimpin bangsanya yang masih sangat tertinggal di segala bidang kehidupan.”40 Dalam hiruk pikuk suasana gerakan nasionalisme ini Mohamad Roem muncul. Sebagai orang pilihan yang memiliki kesempatan mengecap dunia pendidikan suasana semacam itu sangat mempengaruhi persepsi Mohamad Roem ketika berhadapan dengan kenyataan sosial politik bangsanya. Pilihan hidup yang dijalaninya kemudian, sebagaimana Mohamad Roem yang dikenal sekarang, menunjukkan pengaruh suasana itu kedalam dirinya. Mohamad Roem tidak muncul sebagai tokoh nasionalis “Sekular”, walau secara umum baik dengan Hatta, Sukarno, Ali Sastroamidjojo, maupun Sjahrir memiliki persepsi yang sama tentang masa depan bangsanya. Pilihan afiliasinya pada kelompok gerakan nasionalis Islam ditentukan oleh proses sosialisasi nilai 39 Yanto Bashri dan Retno Suffatni, ed.,Sejarah Tokoh Bangsa (Yogyakarta: PT Lkis, 2005), h. 225. 40 Iin Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang: Indonesiatera, 2002), h.19. yang berlangsung ketika Mohamad Roem masih kanak-kanak. Dulkarnaen Djojosasmito, ayah Mohamad Roem, menyerahkan pendidikan agama anakanaknya kepada Pak Wongso. Lewat Kiai inilah Mohamad Roem mempelajari Islam. Dulkarnaen-sebagaimana diakui Mohamad Roem-sebenarnya bukanlah seorang ahli agama, bahkan dari berbagai segi menunjukkan adanya pembauran antara nilai Jawa dan Islam sehingga mempersulit memasukkannya ke dalam kelompok santri. Hanya setidak-tidaknya Dulkarnaen adalah pribadi yang memiliki kesadaran historis.41 Tampaknya dalam konteks Haji Agus Salim inilah Mohamad Roem harus dipahami, yakni dalam sikap realistis dan berusaha berdialog dengan kenyataan. Interaksinya dengan Haji Agus Salim dipergunakan dengan baik untuk mengembangkan pribadinya. Rumusan pandangan realistis dituangkan dengan pembentukan pribadi yang bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi. Bentukan sikap seperti inilah yang kemudian menentukan putusanputusan politik pribadinya.42 Hubungan yang dekat antara Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohamad Roem kelak di kemudian hari. Dalam hal ini Mohamad Roem pernah mengungkapkan pendapatnya tentang pengaruh kedekatannya dengan Haji Agus Salim: “Sebagai akibat yang tidak langsung kita berkenalan lebih rapat dengan penasehat JIB dan lain-lain pemimpin seperti namanya yang disebut di atas (Haji Agus Salim dan H.O.S Tjokroaminoto). Dengan sendirinya kita tertarik oleh perjuangannya. Meskipun mereka tidak langsung mengajak kita menurut jejak langkah mereka, tapi terutama pemimpin-pemimpin JIB melihat mereka dari dekat apa yang dikerjakan, apa artinya menjalankan tugas sebagai pemimpin umat.”43 41 Bashri dan Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, h. 222-223. Ibid., h. 230-231. 43 Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan perjuangannya, h. 20. 42 Dengan demikian kedekatan Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim telah mendorongnya untuk berkiprah dalam PSII dan kemudian Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim dan lain-lain.44 Dampak perubahan kebijaksanaan ini mulai terlihat pada waktu Mohamad Roem menyelesaikan pendidikannya, baik di HIS, STOVIA, maupun AMS. Dampak tersebut memperlihatkan diri sebagaimana konsep Kahin (Genesis of the Indonesian Nationalist Movement). Mereka yang memperoleh pendidikan Barat menyadari bahwa masa depan kemerdekaan politik Indonesia tidak akan dapat berarti jika tidak disertai dengan kemerdekaan ekonomi. Dalam pandangan masyarakat dimana nonpribumi menguasai hampir seluruh modal bangsa, cita-cita Indonesia merdeka untuk menguasai kehidupan ekonomi menjadi sangat penting. Perasan seperti ini muncul bersamaan dengan kurang terbukanya lapangan pekerjaan baik di kalangan terdidik maupun tidak sehingga menimbulkan kelompok elit yang frustasi. Diskriminasi pekerjaan antara kelompok terdidik pribumi dan Belanda walau mempunyai title dan ketrampilan sama tetap berlangsung. Gejala-gejala ini merupakan bagian dari proses pembentukan nasionalisme Indonesia.45 Maka Mohamad Roem, selaku alumnus Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di Jakarta, adalah seorang tokoh dengan perlengkapan uantuk mampu memahami masalah-masalah modern sebuah negara, dan berkat perlengkapan itu ia tidak terdorong kepada praktek-praktek sloganeering kepemimpinanya. 44 45 Ibid., h.20-21. Bashri dan Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, h.220-221. guna mendukung Dalam suatu masyarakat yang masih amat tradisional, yang didominasi oleh kebutaanhuruf rakyat, pendekatan-pendekatan “dingin” dan “teknokratis” gaya Mohamad Roem dan para pemimpin sejenis memang tidak menarik orang banyak. Namun ia diibaratkan fondasi sebuah pencakar langit, yang tidak nampak mata karena terbenam jauh di dalam tanah. Maka “pencakar langit” Republik Indonesia pun tidak bisa terbayangkan berdiri tegak tanpa batu-batu fondasi yang disumbangkan oleh para pemimpin “pemecah masalah” seperti Mohamad Roem.46 Menurut Mohamad Roem, sesuai dengan perundingan di KMB yang membawa penyerahan dan pengakuan kedaulatan Indonesia, negara-negara didunia seolah-olah berlomba mengakui Indonesia. Dengan pengakuan itu, dirasakan perlunya formulasi politik luar negeri, terlebih PBB telah menerima Indonesia sebagai anggotanya. Formulasi politik luar negeri itu adalah seperti dibuat oleh Mohamad Roem, “politik bebas tidak tanpa batas dan aktif tidak immoral.” Pemikiran ini membuktikan bahwa Mohamad Roem termasuk tokoh yang memberi corak politik luar negeri yang bebas dan aktif.47 Dunia diplomasi bagi Mohamad Roem adalah suatu dunia yang tidak asing lagi. Sebelum Indonesia merdeka, ia telah mulai menekuni bidang ini bersama Haji Agus Salim yang juga seorang politikus dan diplomat ulung, oleh Mohamad Roem dijadikan sebagai “guru” yang membimbingnya baik dibidang agama, 46 Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia, 1989), h xvi-xvii. 47 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h.42. poltik, maupun diplomasi yang pada akhirnya membawa Mohamad Roem sebagai salah satu diplomat besar di Asia.48 Negara Islam Perspektif Mohamad Roem Dalam sejarah ketatanegaran pengertian tentang negara senantiasa berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh karena alam pikiran dari penciptaannya tidak bebas dari kenyataan disekitarnya. Kenyataan itu bisa berupa agama, aliranaliran atau paham-paham lainnya yang mempengaruhi manusia dalam pandangan hidupnya. Dari pandangan hidupnya itu tidak heran lagi jika pengertian tentang negara itu berbeda-beda sepanjang perkembangan sejarah yang berbeda.49 Secara keseluruhan negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.50 Dalam usaha kita menempatkan istilah negara secara proposional, kita akan mulai dengan mengajukan bermacam-macam teori tentang timbulnya suatu negara, yang pernah diajukan oleh berbagai ahli pikir, baik dahulu maupun sekarang. Meski demikian, dalam buku ini hanya dikemukakan satu teori saja, 48 49 Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h.58. Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 170. 50 Mohamad Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), h. 47. yang kita anggap dominan di dalam teori pembentukkan negara. Teori itu adalah teori perjanjian masyarakat. Deliar Noer, pakar ilmu politik muslim dalam bukunya, “Pengantar ke Pemikiran Politik”, menyimpulkan antara lain sebagai berikut:”Negara adalah semacam bentuk ikatan antarmanusia, semacam bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat menggunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Bentuk ikatan ini, pada umumnya, ada dua macam. Pertama, yang meliputi keseluruhan segi kehidupan manusia. Kedua, yang meliputi hanya sebagian segi-segi hidup itu. Dalam sejarah bernegara, terhadap kedua macam ikatan itu, yang satu lebih dominan daripada yang lain. Dalam negara yang kekuasaan bersifat mutlak dan bulat pada pihak penguasa, mungkin sekali terjadi bahwa segala segi kehidupan rakyat termasuk segi rohaniahnya dikuasai oleh negara. Sebaliknya, dalam negara yang tidak membulatkan kekuasaan pada tangan penguasa, tapi memberikan kebebasan pada warganya, hanya beberapa segi kehidupan sosial warga yang dikuasai oleh negara. Dalam hal ini, kekuasaan negara terbatas. Batasbatasnyapun ditentukan secara bersama pula. Ikatan bernegara, dengan sendirinya, tidak bersifat menyeluruh.51 Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir se-abad lalu hingga saat ini, tetapi belum terpecahkan secara tuntas. Diskusi ini bahkan belakangan makin hangat, ketika kebangkitan Islam menemui momentumnya, yang hampir melanda seluruh dunia Islam. Pengalaman yang 51 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h.1,9. terjadi dalam masyarakat Islam, terutama usai perang dunia II mengesankan hubungan yang canggung antara Islam (dien) dan negara (dawlah), atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan antara dien dengan konsep dan kultur politik Masyarakat muslim dan eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara dan politik juga berbeda-beda. Sampai saat ini perdebatan panjang tentang pertanyaan; Apakah negara Islam? Dan negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang yang benar-benar merupakan prototype (pola dasar) dari apa yang disebut sebagai “Negara Islam”. Dan seperti apakah bentuk dari negara Islam?.52 Negara menurut pandangan Islam bukanlah seperti negara yang dikenal dunia sebelum dan sesudah Islam. Menurut al Qordhawi negara Islam bukanlah negara kaum agamawan atau teokrasi yang menjerat dan mengendalikan masyarakat mengatasnamakan hak Illahi. Bukan pula negara kaum pendeta yang mendakwakan bahwa mereka mewakili keinginan sang pencipta di dunia yang fana, akan tetapi negara Islam adalah negara madani yang berlandaskan Islam, ditegakkan berdasarkan bai’at dan musyawarah dimana pemimpin yang diangkat adalah dari orang-orang yang jujur dan terpercaya, kuat dan penuh perhatian.53 Dalam sejarahnya, bentuk pemerintahan Islam tidaklah baku, menurut Haikal, Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itu adalah prinsip tauhid, 52 53 Ibid., h. 421. Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h. 30. sunatullah dan persamaan manusia. Dengan demikian apapun bentuk dan sistem suatu pemerintahan selama dijalankan untuk tujuan merealisasikan prinsip-prinsip dasar negara Islam dan ditegakkan diatas landasan prinsip-prinsip tersebut, tetap saja disebut pemerintahan Islam.54 Pemerintahan Islam bersifat konstitusional bukanlah absolut karena ia terikat oleh kehendak rakyat dan perintah dan larangan Allah dan para penguasa dalam negara Islam harus bermusyawarah dengan rakyatnaya dan terikat dengan hasil musyawarah tersebut. Menurut Haikal bahwa pemerintahan Islam berbentuk demokrasi namun menurutnya sistem demokrasi tersebut berbeda dengan demokrasi barat. ia menjelaskan bahwa meskipun terlihat persamaan, namun tetap ada perbedan yang sangat mendasar. Bahwa demokrasi yang dibangun Islam mengacu pada ajaran Islam dan mempunyai landasan kuat pada ajaran agama. Sedang demokrasi barat tidak ada kaitannya dengan agama.55 Konsepsi tentang negara dikalangan pemikir Islam menjadi perdebatan, bahkan mengarah kepada perbedaan persepsi tentang hakekat negara itu sendiri. Perbedaan tersebut muncul dari persepsi yang besifat teologis, yaitu tidak adanya keterangan tegas tentang negara dalam sumber-sumber Islam baik dalam AlQur’an maupun as-Sunnah. Memang terdapat beberapa istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalifah, dawlah, atau hukumah. Namun istilah-istilah terrsebut berada dalam kategori ayat-ayat Zanniyat yang 54 Musdah Nulia, Negara Islam, Pemikiran politik Husain Haikal (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 203. 55 Ibid., h.208. memungkinkan penafsiran Al-Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara, konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan.56 Hubungan integral antara agama dengan politik dalam Islam dan penegasan himbauan pihak muslim untuk merealisir ketetapan Allah, memperlihatkan refleksinya dalam kecenderungan meninjau pemberontakanpemberontakan politik dan sosial. (seumpama perang Riddat, hak-hak sosial bagi muslim non-Arab, pemisahan politik oleh pihak Syi’ah maupun Khawarij) bukan sekedar permasalahan politik tapi pula permasalahan keagamaan. Pemberontakan suku-suku Arab sesudah Muhammad wafat bukan suatu pengkhianatan (treason) akan tetapi belot agama (apostasy). Penjelmaan sistematik dari ide Islam termuat dalam hukum Islam. Walau bagaimanapun, seperti dapat kita saksikan, realitas sejarah sering dihadapkan kepada keganjilan-keganjilan ditilik dari ide yang formatif itu. Ekspansi luar biasa pada permulaan beserta perkembangan Islam sebagai negara memestikan keputusan-keputusan yang segera dari pihak para Khalifah dan para Panglima daripada perencanaan yang reflektif dari pihak sarjana (scholars=ulama) dan perumus politik (policy makers). Infrastuktur dalam bidang politik maupun sosial pada masa Umayyah maupun Abbasiah bukan lahir dari penafsiran-penafsiran yang sistematik dan aplikasi ideology Islam akan tetapi akibat menampung kebijaksanaan rezim yang digantikan, terutama dari pihak Bizantium dan dari pihak Sassanids. Tuntutan yang luas dari pandangan Islam dalam perbandingannya dengan watak yang berbeda dari pemerintahan Islam, yakni diskrepansi yang tajam antara 56 Din Syamsuddin, Etika Agama, Dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos, 2002), h. 77. idea yang diwahyukan dengan realiatas politik, menyebabkan timbul tantangan bagi kesadaran pihak muslim, terlebih khusus bagi pihak ulama yang menganggap dirinya”the guardians of Islam”, yakni pihak yang menjaga dan mempertahankan Islam.57 Politik Islam adalah sebuah nomenklatur berkenaan dengan adanya perjuangan nilai (baca: Islam) dalam kancah politik. Bermula dari adanya pemahaman bahwa Islam tak dapat dipisahkan dengan politik, maka kalangan Islam integralistik ini kemudian menetapkan berbagai agenda dan strategi untuk menjadikan gerakan politik sebagai ‘prolog’ tegaknya ajaran Islam. Tujuan fragmatis dari Islam integralistik ini adalah terakomodasinya kepentingan politik kaum muslimin. Sementara itu, realisai gerakan Islam integralistik terjewantah ke dalam pendirian partai politik berasaskan Islam, pembentukkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengusung visi legalistik Islam maupun dalam bentuk organisasi kemasyarakatan umumnya. Era politik aliran sudah berlalu memang, namun partai politik berdasarkan agama khususnya orientalis yang diwakili Oliver Roy, menganggap bahwa politik Islam mengalami kegagalan. Dengan kata lain. Konsepsi Islam tentang kehidupan, khususnya dalam berpolitik, selesai sudah, karena tidak menawarkan konsep apapun yang baru.58 Mula-mula Nabi mengajarkan Islam di Mekkah dengan cara sembunyisembunyi. Pada waktu itu orang-orang Islam yang jumlahnya masih sedikit, kalau hendak shalat bersama-sama mereka keluar dari kota dan berkumpul di salah satu 57 58 93. John L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h. 38. Aay Muhammad Furkon, Menggugat teori politik Islam Oliver Roy, Sabili Juli 2004, h. daerah perbukitan di sekitar Mekkah. Baru pada akhir tahun ketiga dari awal kenabian, Nabi mulai menyiarkan agama Islam yang dibawanya dengan cara terang-terangan, yang kemudian berakibat makin meningkatnya tindakan permusuhan dan penganiayaan oleh orang-orang kafir Mekkah terhadap Orangorang Islam. Belum cukup dua tahun sejak Nabi menyebarkan Islam secara terbuka, tindakan permusuhan dan penganiyaan itu sedemikian memuncak, sampai banyak di antara para pengikut Nabi yang seakan-akan tidak tahan lagi menanggung deritanya. Maka atas anjuran Nabi mereka mengungsi ke Abesinia. Mereka berada di negeri Afrika itu selama tiga bulan, kemudian pulang kembali ke Mekkah karena mendengar berita bahwa suku Quraisy telah menerima baik agama yang diajarkan oleh Nabi. Tetapi, ternyata berita itu tidak benar, dan bahkan mereka makin kejam terhadap pengikut-pengikut Nabi yang lemah, banyak umat Islam yang mengungsi ke Abesinia dalam jumlah yang lebih besar daripada waktu pengungsian yang pertama. Sementara Nabi sendiri tetap bertahan di Mekkah. Pada musim haji tahun berikutnya, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi atau masuk Islam, juga berbaiat atau berjanji kepada Nabi bahwa mereka tidak mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah sebagai Bai’at Aqabah pertama. Kemudian pada musim haji tahun berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yatsrib yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk hijrah ke Yatsrib dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu di tempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat bahwa mereka akan membela Nabi sebagaimana membela isteri dan anak mereka. Dalam pada itu Nabi akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabatsahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini dikenal sebagai Bai’at Aqabah Kedua. Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, dua baiat itu, Bai’at Aqabah Pertama dan Bai’at Aqabah Kedua, dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan Negara Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yatsrib pada akhir tahun itu juga, dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah bergabung dengan mereka.59 Mekkah bagi Nabi tidak cocok untuk dijadikan bumi negara Islam saat itu karena melihat penduduknya yang begitu keras menentang beliau beserta para pengikutnya, khususnya dari para tokoh Quraisy. Dan Nabi telah berusaha keras untuk menemukan wilayah yang dapat dijadikan tempat tinggal bagi kaum Muslimin dan menjadi cagar bagi da’wah Islamiyah. Untuk itu beliau melakukan 59 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah, pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 8-9. upaya untuk mewujudkan apa yang beliau harapkan dengan mengamati keadaan negeri-negeri lain beserta penduduknya.60 Persoalan yang pertama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik. Sewaktu Nabi Muhammad mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri, umat Islam waktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi Muhammad bersama umat Islam yang lainnya seperti kita ketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah ke Yatsrib, yang kemudian terkenal dengan nama Madinah, yaitu Kota Nabi. Di kota ini keadaan Nabi Muhammad dan umat Islam mengalami perubahan yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat yang lemah dan tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi Muhammad sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara; suatu negara yang daerah kekuasaanya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah Nabi muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.61 Hijrah Nabi Muhammad pada tahun 622 menunjukan permulaan kegiatan politiknya. Namun, ia tidak dengan tiba-tiba mendapatkan kekuatan politik yang 60 61 92. Musthalah Maufur, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press, 2000),, h.91. Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), h. begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-lahan; kesepakatankesepakatan dengan warga Madinah yang akan ia masuki (ketika ia masih berada di Mekkah) berarti pendirian badan politik baru, yang di dalamnya terdapat kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an.62 Rasulullah bersama-sama dengan para sahabatnya, pada tahun pertama Hijriyah (622 M), telah membuat suatu “Perjanjian Masyarakat” (Kontrak Sosial) dengan seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya, baik yang muslim maupun nonmuslim. Perjanjian masyarakat ini dikenal dengan nama Piagam Madinah atau “Piagam Nabi Muhammad Saw.” Karena Piagam Madinah dibuat secara tertulis, secara histories piagam itu merupakan “Perjanjian Masyarakat” tertulis tertua di dunia.63 Berkat ketabahan hati Nabi dan pemeluk Islam, maka selangkah demi selangkah umat Islam mencapai kemajuan, tidak saja karena bertambah banyaknya pengikut kepercayaan itu, malah Nabi juga menyusun masyarakat berdasar atas ajaran Islam. Maka setelah menjadi orang buronan dari yang berkuasa di Mekkah, pada akhir hidupnya Nabi berhasil menjadi orang yang berkuasa di daerah yang lebih luas, yaitu seluruh Jazirah Arab, dengan pengakuan dari dan dipandang oleh negara-negara sekelilingnya. Masyarakat itu lain dari yang selama ini ada, masyarakat baru itu bukan merupakan negara yang modern serupa dengan negara pada abad ke-20 yang kita kenal kini. Yang menjadi kepala dari Masyarakat itu adalah Nabi sendiri, meskipun tidak diangkat dengan pemilihan umum seperti pada zaman sekarang, tapi 62 Hamid Fahmi Zarkasyi, Pergolakan Pemikiran Politik Islam (sebuah kajian sejarah) (Jakarta: PT. Beunebi Cipta,1987), h. 4. 63 Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi Islam, h.19. pengikut-pengikut Nabi, yaitu orang-orang Islam, memilih Islam tanpa paksaan, malah ikut mengalami berbagai ancaman dan penganiyaan. Katakanlah masyarakat itu sudah merupakan sebuah negara. Apa nama negara itu, kita tidak tahu, dan tidak ada hadits yang menjyebutkan bahwa negara itu mempunyai nama. Yang terang dan jelas, negara itu mempunyai peraturan yang datangnya langsung dari Tuhan sendiri, dan pada saat ayat 3 Surat Al Maa-idah itu diturunkan, hukum dari negara sudah sempurna. Bagi negara itu seluruh al-Qur’an merupakan undang-undang dasarnya. Nabi, dengan sendirinya mendapat fungsi “Kepala Negara”. Juga tidak ada sebuah Hadits pun yang mengatakan, bahwa sebagai “Kepala Negara”, Nabi mempunyai nama yang resmi. Nabi adalah seorang yang diangkat oleh Tuhan sendiri untuk menyampaikan agama Islam kepada umat manusia, dan dalam perkembangan mempraktekkan ajaran Tuhan, Nabi menduduki fungsi Kepala Negara.64 Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Seperti diketahui dari sejarah penganti beliau yang pertama ialah Abu Bakar. Abu Bakar menjadi Kepala Negara yang ada pada waktu itu dengan nama gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah pengganti (Inggris: Successor). Kemudian setelah Abu Bakar wafat, Umar Ibn Khattab menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi Khilafah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalanpersoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan mengambarkan Usman sebagai 64 24. Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah IV (Jakarta: Bulan Bintang,1988), h. 23- seorang yang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu. Usman mengangkat mereka menjadi Gubernur di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur yang diangkat oleh Umar, Khalifah yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai Khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang yang ingin mencalonkan dirinya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang, di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai Gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir itu.65 Tapi, Doktrin Sekularisme mengenai pemisahan antara negara dan agama itu mempunyai pengaruh yang negatif, sampai orang mengatakan, bahwa agama itu soal pribadi, semacam persiapan untuk menghadapi hidup di akhirat. Malah ada yang mengumpamakan agama itu seperti baju, yang hanya dipakai kalau 65 Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek jilid I, h. 92-93. menghadap Tuhan di Gereja, atau kalau pulang ke akhirat baju itu harus ditinggal dirumah, kalau kita pergi ketempat kerja atau sedang mengurus masyarakat. Dalam sejarah agama Islam pertentangan kekuasaan semacam itu tidak ada, yang mempunyai wewenang untuk menentukan hukum menurut agama adalah al-Qur’an dan Hadits yang dilaksanakan dalam dan oleh Sunnah Rasul Allah. Muhammad adalah Rasul penutup dan segala sesuatu yang berkenaan dengan agama, keputusan terakhir dikembalikan pada al-Qur’an dan Hadits tidak ada kekuasaan didunia yang berwenang untuk menentukan sesuatu yang bersifat perintah agama, melainkan menafsirkan dan mengambil kesimpulan.66 Dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk bernegara. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan ketatanegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kapada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein. 66 Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah II (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 212. Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat dalam sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Dr. Mohammad Husein Haikal, seorang pengarang Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi. 67 Menurut sejarah umat manusia, yaitu sejarah nabi-nabi dan agama. Maka manusia sampai kepada kepercayaan ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah melalui ajaran Nabi dengan sarana Kitab Suci yang diwahyukan. Selanjutnya ajaran Nabi itu tidak bertentangan dengan akal manusia, akal sehat. Oleh sebab itu agama Islam juga mengajarkan, bahwa tidak ada paksaan dalam agama, suatu hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Jadi kalau ada orang yang menyatakan, ia tidak beragama akan tetapi dapat menerima Pancasila, maka bagi negara ia pun akan diterima. Orang Islam sesuai dengan kesaksian Haji Agus Salim menerima Pancasila, karena Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Aqidah agama Islam, sebagaimana pengikut agama lain menerima ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Aqidah masing-masing. Penerimaan itu Mohamad Roem rasa sudah 67 Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, h. 1-2. cukup, karena tidak mungkin jika membayangkan orang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pemikiran yang lain. Maka seperti dikatakan oleh majelis-majelis agama dalam maklumatnya pada hari Sabtu malam, 6 November 1982 (Harian Kompas, 8 November 1982, halaman satu): “Wadah musyawarah antar umat beragama menegaskan kembali bahwa majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi keagamaan sebagai pembina umatnya masing-masing, bertujuan untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pengikut pemeluk agama yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais.”68 Seorang Kristen yang taat agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Ia tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila falsafah negara.69 Begitulah, tidak kurang dan tidak lebih bunyi kepala karangan yang dimuat dalam panjimas No.376, tanggal 14 Muharram 1403/1 November 1982. Keterangan yang tegas terdapat dari wawancara dengan Dr. M. Amien Rais. Tentu kalimat tersebut disertai keterangan, yang dikutip oleh Mohamad Roem: ”al-Qur’an menyuruh kaum muslim untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang mengunakan Islam sebagai patokan kepemimpinnya, bukannya orang yang munafik dan kafir”.70 “Sedangkan khilafah, menurut saya, adalah suatu misi kaum Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya al-Qur’an tidak secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Islamic State atau Negara Islam, saya kira tidak ada dalam al68 Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 86. 69 Ibid,. h.85-86. Ahmad Syafii Maarif dan Adi Sasono, Tidak ada Negara Islam Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Djambatan, 1997), h.1. 70 Qur’an maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam,” demikianlah keterangan Dr. Amien Rais.71 Jika Dr. Amien Rais mengatakan:” Tidak ada Negara Islam” dalam Sunnah, Mohamad Roem nampaknya setuju, karena di Indonesia istilah Negara Islam, lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, bahkan ada yang alergi mendengar istilah tersebut. Meskipun Mohamad Roem tidak melakukan pembuktian dengan menunjukkan teks al-Qur’an maupun Hadits yang terkait, namun jika diteliti Mohamad Roem telah menunjukkan pandangan serupa dengan tidak mencantumkan pemikiran tentang Negara Islam pada statuten dan anggaran Masyumi.72 Posisi Mohamad Roem pada organisasi Masyumi di zamannya pada waktu itu. Mohamad Roem pernah menempati beberapa kedudukan penting didalam organisasi tersebut yaitu berkisar antara tahun 1945-1960 (kurang dari 15 tahun). Organisasi Masyumi telah tujuh kali mengadakan pemilihan pimpinan pusat Masyumi, dan selama tujuh kali pula Mohamad Roem duduk dalam pimpinan pusat. Mohamad Roem pernah menjabat sebagai anggota pimpinam pusat Masyumi sampai pada jabatan sebagai wakil ketua pernah dijabat olehnya. Tentu saja semua itu dijalani oleh Mohamad Roem sebelum pada akhirnya organisasi Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960.73 Mohamad Roem membuat analogi terhadap keberadaan OKI (Organisasi Konferensi Islam) dengan membuat ulasan sebagai berikut: 71 Ibid., 1. Ibid., 2. 73 Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya, h.42. 72 “Sejak beberapa waktu ada Organisasi Internasional, yang resminya bernama Organisasi konferensi Islam, yang berdiri karena Israel mencaplok Kota Baitul Maqdis, yang sudah beratus-ratus tahun di tangan orang Islam, di mana senantiasa ada ketenangan dan kedamaian. Siapa pun dapat beribadah menurut agama masing-masing. Jika organisasi itu mengadakan konferensi, maka tidak sering dinamakan konferensi dengan nama teknis benar, melainkan yang lebih mudah, yaitu konferensi negaranegara Islam. Organisasi itu mempunyai sekretariat di Mekkah. Tiap tahun mengadakan konferensi, tempatnya berpindah-pindah. Adapun yang datang di konferensi tahunan itu menteri-menteri luar negeri dari negara yang ikut serta. Dengan mudah konferensi itu dinamakan konferensi Menteri Luar Negeri Negara-negara Islam. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia hadir disitu. Tapi kita akan kurang bijaksana, jika kita menamakan Bapak Mochtar Kusumaatmadja (pada Kabinet Pembangunan III, 1982-Penyunting) sebagai menteri luar negeri Islam. Ia adalah menteri Luar negeri Republik Indonesia.”74 Menurut Mohamad Roem jika ingin menyebut negara Indonesia dengan tidak melupakan kata Islam, cukup dengan mengatakan “Republik Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam”. Namun tentu menjadi tidak efisien, karena harus berkali-kali mengucapkan kalimat yang panjang itu.75 Pandangan Mohamad Roem mengenai masalah politik Islam, misalnya pembenaran terhadap pendapat Amien Rais yang menyatakan bahwa tidak ada Negara Islam dalam Sunnah Rasulullah Saw. Bagi Mohamad Roem pandangan Amien Rais tidak hanya benar, tapi juga bijaksana. Mohamad Roem menganjurkan, agar istilah itu tidak dipakai di Indonesia karena banyak yang tidak menyukainnya. Mohamad Roem sebenarnya tidak pernah mengecek langsung teks alQur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw Mengenai kebenaran tidak adanya negara Islam. Namun Mohamad Roem menegaskan bahwa perbuatan sia-sia kalau 74 Maarif dan sasono, Tidak Ada Negara Islam, h. 2-3. Ibid., h.3. 75 istilah itu dicari di dalam sunnah Nabi Saw, yang jumlahnya sangat banyak Nabi saw memang menyusun dan memimpin masyarakat Islam di Yatsrib (Madinah), dan kemudian mempersatukannya dengan Mekkah, yang pada hakikatnya suatu negara. Namun Nabi Saw sendiri tidak menyebutnya dengan nama Negara Islam. Negara yang dipimpin nabi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, tetapi Nabi Saw tidak memberinya nama negara Islam. Mohamad Roem mengakui, didunia ini memang pernah ada Negara Islam tidak dalam nama, tetapi dalam substansi atau hakikatnya. Dalam soal perjuangan, Mohamad Roem menyarankan agar umat Islam di Indonesia mengembangkan dialog berdasarkan niat amar ma’ruf nahi munkar. Dialog ini bertujuan untuk ikut berpartisipasi kearah membangun masyarakat yang adil dan makmur. Peserta dialog pun tidak hanya terbatas dengan sesama umat Islam, tetapi pada semua kalangan masyarakat di Indonesia harus dilibatkan dalam dialog tersebut, dan didalamnya mereka membicarakan tentang kepentingan bangsa bukan hanya semata-mata mengenai kepentingan umat Islam.76 Mohamad Roem beranggapan bahwa, jika Dr. Amien Rais mengatakan bahwa tidak ada Negara Islam atau Islamic State, memang benar. Oleh karena itu Mohamad Roem berpendapat bahwa yang disusun oleh Nabi di Yatsrib, kemudian bersatu dengan Mekkah, yang pada hakekatnya adalah suatu negara, tetapi tidak dinamakan Negara Islam oleh Nabi sendiri. 76 42. Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. Untuk merekapitulasi: Pada akhir hayat Nabi, pada saat surat al Maaidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan dipimpin oleh Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusus oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedangkan hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna. Yang menjadi pemimpin, tidak memakai gelar atau title tersendiri adalah Nabi Rasulullah, seorang yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Mohamad Roem berpendapat bahwa “Negara Islam” atau Islamic State tidak dalam nama (What is in a name), melainkan dalam substance, pada hakekatnya. Mohamad Roem berpendapat bahwa tidak ada lagi negara yang dapat menyamai negara itu yang dipimpin oleh Nabi Saw, sebab siapapun orangnya yang memimpin, tidak dapat menyamai Nabi yang mempunyai kedudukan sebagai seorang Rasul. Menurut Mohamad Roem Paling Negara Islam itu dapat menjadi cita-cita. Suatu cita-cita yang baik untuk dimiliki, akan tetapi tidak pernah tercapai, melainkan hanya bisa mendekatinya sebaik mungkin.77 Inti dari pada pemikiran politik Mohamad Roem mengenai Negara Islam adalah bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi Islam hanya menyediakan seperangkat tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang mana realisasinya tergantung pada Ijtihad masing-masing.78 Non- Muslim yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia itu mempunyai ciri ambiguity (remang-remang, dapat mempunyai berbagai arti) tidak mempunyai pengertian, bahwa Islam itu bukan hanya bagi bangsa Arab atau negara Arab saja. 77 Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, h.240. Agus Nugraha, “ Pemikiran Politik Islam: Sutu pengantar awal,” Refleksi vol IV, no. 3 (2002): h.41-42. 78 Justru ambiguity itu adalah ciri, yang khas, artinya, bahwa Islam itu dapat berkembang menurut garis sendiri di berbagai Negara. Islam di Indonesia tidak perlu merupakan “accurate copy” dari Islam di Saudi Arabia atau Islam di manapun. Apalagi Ijtihad adalah ajaran yang penting bagi mengamalkan Islam.79 Relevansi Pemikiran Politik Mohamad Roem dengan Perpolitikan di Indonesia, Kaitannya dengan Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Dr. Amien Rais. Sekitar 20 partai politik Islam yang ikut serta dalam pemilu demokratis kedua pada 1999. Dari jumlah tersebut hanya 10 partai Islam yang meraih satu kursi atau lebih dalam parlemen. Kesepuluh partai Islam itu meliputi PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (I kursi), PSII (I kursi), PPII Masyumi (1 kursi), dan PKU (1 kursi). Disini hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa tanpa melihat kenyataan mayoritas Indonesia beragama Islam, partai-partai Islam tetap tidak mampu menggalang dukungan mayoritas secara keseluruhan, dalam pemilu kedua ini. Mereka hanya memperoleh 37,5% suara (172 kursi), termasuk PKB dan PAN, yang enggan diidentifikasi sebagai partai Islam. Tanpa kedua partai terakhir ini, mereka hanya mamperoleh 17,8% suara (87 kursi).80 Gus Dur adalah seseorang yang memililki paham kebangsaan yang tinggi, yang sangat cinta terhadap tanah air dan bangsa sehingga segala sesuatu yang dia 79 80 Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI , h.243. Bahtiar Effendy, “Islam Politik Pasca Soeharto,” Refleksi,vol. V, no.2 (2003): h.18 perbuat demi keutuhan bangsa Indonesia. Berawal dari partai yang didirikan oleh Gus Dur yaitu Partai Kebangkitan Bangsa yang sangat identik sekali akan paham kebangasaan yang diberi nama bukan atas nama Islam (agamanya). Kemudian melalui partai tersebut Gus Dur menginginkan agar partai yang didirikannya bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa, yang tujuannya hanya semata-mata untuk keutuhan negara Indonesia. Dan Gus Dur termasuk orang yang menghargai sejarah dari para tokoh terdahulu, kaitan antara Gus Dur dengan Mohamad Roem terletak pada paham kebangsaan yang mereka miliki mengenai tata nilai yang terpenting dalam negara agar tercipta keutuhan dalam hidup bernegara sesama bangsa dan agama. Dikalangan pemuda NU pembaru, popularitas Abdurrahman Wahid didukung oleh cara-caranya yang demokratis dan merakyat. Dan sudah tentu bahwa kenyataan ini sangat berbeda dengan tata cara dunia pesantren. Meskipun begitu, Gus Dur tetap menunjukkan sikap hormatnya kepada dunia ulama. Di lingkungan pesantren, pada awal 1990-an Gus Dur merupakan sosok kebanggaan sebagai seorang pemimpin NU yang mempunyai peran nasional, tenar di kalangan Internasional, dan terutama dapat menjadi tokoh penting dalam membela keadilan sosial. Kekuatan Gus Dur di kalangan NU juga sebagai cucu dari pendiri partai NU, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Banyak para Kiai yang mengatakan bahwa mereka sering bermimpi para leluhur muncul melindungi Gus Dur pada saat-saat yang paling gawat. Kemudian selain itu juga didalam kalangan masyarakat tradisionalis juga berpendapat bahwa keturunan seseorang yang luar biasa pasti juga memiliki sesuatu yang istimewa pula. Bahkan para ulama dikalangan NU sendiri sering ragu untuk berurusan dengan cucu pendiri NU ini, sehingga para pemuda dapat secara bebas meniru sikapnya yang jauh dari formalisme keagamaan, dan Gus Dur adalah termasuk orang yang lebih mementingkan nilai dan etika. Pada tahun 1994, dengan terpilihnya kembali Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah, dari kubu pembaruan NU telah membuktikan bahwa mereka bukanlah ciptaan pihak penguasa sepuluh tahun lalu, melainkan memang merupakan jawaban atas kebutuhan nyata bagi masyarakatnya.81 Kiprah NU dalam percaturan politik Indonesia pasca-Soeharto, harus diakui sangat mencengangkan. Puncaknya adalah dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden adalah merupakan buah kiprah dari politik NU sebagai jami’iyah keagamaan, dakwah, sosial dan pendidikan yang secara tidak resmi adalah keringat dari “sayap politik” NU, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Perjalanan Gus Dur menuju RI terpilih karena ‘berkah’ daripada reformasi. Hasil pemilu 1999 membuat Partai Golkar tidak lagi sebagi kekuatan mayoritas dalam parlemen. Di antara kekuatan-kekuatan yang ada, naiknya Gus Dur mengisyaratkan NU masih dipandang sebagai kekuatan yang signifikan. Padahal, akibat dibukanya kran demokrasi NU pun mengalami kegamangan ketika 81 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, pencarian, isi, bentuk dan makna (Yogyakarta: Lkis, 1999), h. 409-410. menghadapi arus kuat politik yang menyedotnya dan tak terhindarkan, terjadilah gejolak dalam tubuh NU sendiri. Seperti kita ketahui, bahwa pemilu 1999 memunculkan istilah telor dan kotoran ayam, itu terlontar dari mulut Gus Dur, akibat munculnya partai-partai NU di luar PKB, seperti PNU, PKU, dan Partai SUNI. Selain masalah internal tadi, kemampuan NU merespon perkembangan politik di luar dirinya kembali menghadapi batu ujian. Fragmentasi sebuah politik nasional dan konflik berkepanjangan diantara elit politik nasional. Jelas posisi seperti ini membuat NU semakin sulit untuk memilih bentuk respon yang diberikan baik secara nyata, maupun tersembunyi disini terdapat perbedaan respon ketika berhadapan dengan dunia luar.82 Pada awal bergulirnya reformasi, Amien Rais didaulat oleh berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Lelaki kelahiran Solo 26 April 1944, ini sangat menonjol dengan berbagai aktivitas dan pernyataan-pernyataan cerdas dan keras pada waktu itu. Keberhasilan Amien Rais dalam menggalang partai-partai berbasis Islam membentuk poros tengah, suatu bukti kepiawaiannya dalam berpolitik. Pembentukkan poros tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan perpecahan bangsa, sebagai dari akibat kerasnya persaingan perebutan jabatan presiden antara Bj. Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati Soekarnoputri (PDIP). 82 Eman Mulyatman, “Rute Zig Zag NU,” Sabili, Juli 2004, h. 47. Karier politik Amien Rais, mulai muncul setelah masa rezim Orde Baru. Amien Rais berkesempatan untuk memimpin Muhammadiyah (1995-2000). Kesempatan itu diperoleh setelah Amien Rais menjabat sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah dan Asisten Ketua ICMI (1991-1995). Dan kemudian Amien Rais menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI. Hal lain yang menjadi catatan untuk Amien Rais adalah yang sering mengucapkan Selamat Natal dan hari besar agama lain. Dengan sikap Amien Rais menggandeng Siswono juga disebut sebagian kalangan dari berbagai contoh inkonsistensinya. Amien Rais dulu mencaci Orde Baru, tapi kini Amien Rais menggandeng mantan pejabat pada Orde Baru, “ia tidak bisa dipegang,” demikian pendapat dari beberapa tokoh partai. Ibarat main bola, Amien Rais memang lihai mengecoh lawan dan mengoper bola. Tapi, ia tidak bisa menciptakan gol. Karena itulah membuat sebagian kaum muslimin pada akhirnya ragu untuk memberikan dukungan pada Amien Rais.83 Letak daripada relevansi antara pemikiran Mohamad Roem, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid yaitu mereka semua sama-sama seorang pemikir dalam perpolitikan Indonesia dan mereka semua mempunyai semangat jiwa nasionalis yang tinggi, yang sangat cinta pada kebangsaan dan tanah air. Dan pendapat mereka yang terpenting bagi Negara Indonesia adalah pola pengaturan ajaran Islam dalam segi substansi atau tata nilai dan etika dalam bernegara bukan pada nama negaranya. Sehingga menurut mereka dengan begitu bisa tercipta keadilan yang merata bagi pertumbuhan negara. 83 164-165. Hepi Andi Bastoni, “Amien Rais-Siswono jujur, cerdas dan berani,” Sabili, Juli 2004, h. Amien Rais sepakat dengan pendapat Mohamad Roem mengenai pembahasan tentang wawasan Islam dalam hubungannya dengan Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, bahwa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila.84 84 Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1996), h. 56-57. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Berawal dari latar belakang pendidikan Mohamad Roem, yakni di STOVIA, disana Mohamad Roem secara tidak langsung menghadapi suasana yang berbau politik, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan persoalanpersoalan yang sedang dihadapi oleh negara. Mulai dari sanalah perjuangan politik Mohamad Roem dimulai. Terlebih lagi karena Mohamad Roem mengikuti berbagai macam organisasi yang pada akhirnya bisa membuka jalan bagi Mohamad Roem untuk berjuang dalam membela tanah air dan bangsa Indonesia yang masih tertinggal oleh kehidupan bangsa lain. Mohamad Roem adalah orang yang berjiwa nasionalis, yang sangat cinta terhadap bangsa dan tanah air Republik Indonesia. Sehingga segala sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kecintaanya terhadap tanah air. Selain itu juga bagi Mohamad Roem sosok Haji Agus Salim mempunyai peranan penting dalam menentukan langkah-langkah politik Mohamad Roem untuk selanjutnya. 2. Mohamad Roem sampai saat ini dikenal sebagai seorang pejuang dan seorang perunding, karena pemikiran Mohamad Roem berorientasi sepenuhnya pada perjuangan bangsa Indonesia, yang menurut Mohamad Roem dari segi kehidupannya masih terbelakang karena adanya para penjajah. Perjuangannya dimulai atas beberapa dekade yaitu pada masa panjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan pada masa Kemerdekaan. Selain itu juga segala perjuangan yang Mohamad Roem lakukan pada akhirnya membuahkan hasil yaitu keberhasilan Indonesia untuk mencapai kedaulatan penuh yang berhasil dicapai pada tanggal 27 Desember 1949. 3. Sebagai seorang diplomat Mohamad Roem mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai kedaulatan penuh negara Indonesia, karena Mohamad Roem termasuk sebagai anggota delegasi perundingan. Dengan berjiwa semangat dan juga tegas didalam pencapaian perundingan, sehingga Mohamad Roem sampai pada saat sekarang ini dikenal sebagai seorang diplomat terbaik di Asia. Diantaranya peranan Mohamad Roem dalam berbagai perundingan, yaitu sebagai Anggota Delegasi Perundingan Linggarjati (1946), Perundingan Renville (1947-1948), Ketua Delegasi Perundingan Roem-Royen (1949), dan sebagai Wakil Ketua Delegasi Konferensi Meja Bundar (1949). Segala keberhasilan yang dicapai oleh Mohamad Roem tidak lain didasari oleh semangat yang tinggi untuk memperjuangkan Negara Republik Indonesia agar dapat diakui oleh mata dunia. 4. Berawal dari pembenaran pendapat Dr. Amien Rais mengenai “Tidak Ada Negara Islam,” Mohamad Roem sepakat dengan pendapat tersebut, menurutnya itu adalah sebuah pernyataan yang sangat bijaksana, dan lebih baik jangan dipakai karena banyak orang yang tidak menyukainya. Dan Mohamad Roem mengakui bahwa dia belum pernah mengecek langsung dalam al-Qur’an dan Hadits, karena Mohamad Roem berfikir semua itu adalah perbuatan yang sia-sia. Selain itu juga setahu Mohamad Roem, Nabi Muhammad tidak pernah mengakui bahwa nama negara yang didirikan di Yastrib dan bersatu dengan Mekkah itu adalah Negara Islam. Walaupan secara tidak langsung negara yang dipimpin oleh Nabi itu sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara. Yang terpenting bagi Mohamad Roem adalah substansi atau tata nilai yang terdapat dalam negara berdasarkan pada aturan-aturan Islam, berguna untuk mengatur kehidupan negara, bukan pada nama negara itu sendiri. B. SARAN Alangkah lebih baik jika masih ada orang yang mempunyai jiwa Mohamad Roem, karena mempunyai rasa kepedulian yang tinggi di dalam memperjuangkan keutuhan Negara Republik Indonesia. Perjuangan-perjuangan yang Mohamad Roem lakukan sepenuhnya disumbangkan untuk kepentingan negara Indonesia, dari mulai masa penjajahan sampai mencapai kedaulatan penuh untuk Negara Republik Indonesia. Menurut pandanagan penulis, memang masih banyak diplomat-diplomat Indonesia pada saat ini, tetapi mungkin sangat sedikit di Indonesia pada saat ini seorang diplomat seperti Mohamad Roem yang selalu mempunyai semangat perjuangan yang tinggi untuk memperjuangkan negara dan memiliki jiwa yang bersahaja. Penulis rasa bahwa pada saat ini negara Indonesia banyak para pemerintah atau pejabat yang hanya memperdulikan dirinya dan golongannya sendiri. Sudah sangat sedikit pejabat yang benar-benar memperjuangkan rakyat kecil pada saat ini, karena kalau penulis lihat pada akhirnya kemakmuran belum sepenuhnya merata bagi rakyat Indonesia banyak dari mereka yang kehidupannya masih sangat terbelakang. DAFTAR PUSTAKA Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005. Bashri, Yanto dan Suffatni, Retno, ed. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: PT Lkis, 2005. Bastoni, Hepi Andi. ”Amien Rais-Siswono jujur, cerdas, dan berani.” Sabili, Juli 2004. Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal menurut konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Effendy, Bachtiar. ”Islam Politik Pasca Soeharto di Indonesia.” Refleksi Vol. V. no. 2, 2003. Feillard, Andree. NU Vis-a-Vis Negara. Pencarian isi, bentuk, dan makna. Yogyakarta:Lkis, 1999. Furkon, Aay Muhammad. ”Menggugat teori politik Islam Oliver Roy.” Sabili Juli 2004. Insaniwati, Iin Nur. Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya. Magelang: Indonesiatera, 2002. Kusnadi, Mohamad dan R. Saragih, Bintan. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya media Pratama, 2000. L. Esposito, John. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang,1990. Maarif, Ahmad Syafii dan Sasono, Adi. Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Jakarta: Djambatan, 1977. Maufur, Musthalah. Sistem Politik Islam. Jakarta: Robbani Press, 2000. Mochtar, Kustiniyati, Mohamad Roem: Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI. Jakarta: Gramedia, 1989. Mulyatman, Eman. ”Rute Zig Zag NU.” Sabili, Juli 2004. Musthofa, Hadi. Jakarta: Republika, 1995. Nasution, Harun. Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1922. _______. Islam ditinjau dari berbagai aspek, jilid I . Jakarta: UI Press, 1985. Nugraha, Agus. ”Pemikiran Politik Islam: Suatu Pengantar Awal.” Refleksi Vol. IV. no. 3, 2002. Nulia, Musdah. Negara Islam, Pemikiran politik Husain Haikal. Jakarta: Paramadina, 1999. Qardhawy, Yusuf. Fiqih Negara. Jakarta: Rabbani Press, 1997. Rais, Amien. Cakrawala Islam.Bandung: Mizan, 1996. Roem Mohamad, Bunga Rampai dari Sejarah II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. _______. Bunga Rampai dari Sejarah IV. Jakarta: Bulan Bintang,1988. Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah, pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993. Soemarsono, Soemarso. Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Syamsuddin, Din. Etika Agama, Dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Logos, 2002. Zarkasyi, Hamid Fahmi. Pergolakan Pemikiran Politik Islam (sebuah kajian sejarah) .Jakarta: PT. Beunebi Cipta,1987.