perjuangan politik mohamad roem - UIN Repository

advertisement
PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM
Oleh:
LUSIANA
NIM: 0033218845
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2007 M / 1428 H
PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk memenuhi salah satu syarat mencapai
gelar Sarjana Sosial
Oleh:
LUSIANA
NIM: 0033218845
Di Bawah Bimbingan:
Dra. Gefarina Djohan, M.A.
Drs. Agus Nugraha, M.Si.
NIP: 150 295 488
NIP: 150 299 478
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2007 M / 1428 H
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Perjuangan Politik Mohamad Roem” telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah pada tanggal 04 Juni 2007, skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
Islam (S.Sos.) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 04 Juni 2007
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Hj. Hermawati, M.A.
NIP. 150 227 408
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.
NIP. 150 270 808
Anggota
Penguji I
Penguji II
A. Bakir Ihsan, M.Si.
NIP. 150 326 915
Zaki Mubarok, M.A.
NIP. 150 371 093
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Gefarina Djohan, M.A.
NIP. 150 295 488
Drs. Agus Nugraha, M.Si.
NIP. 150 299 478
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan
rahmat
dan
karuniaNya,
berkat
taufik
dan
hidayahNya.
Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya
walaupun masih dalam bentuk yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, dan segenap sahabatnya yang telah membawa umatnya kearah kemuliaan
dan kebahagiaan didunia dan diakhirat nanti, serta telah membimbing kita kepada
jalan yang diridhai Allah SWT.
Dalam upaya penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan kekurangan
dan keterbatasan kemampuan, namun berkat adanya bantuan dan saran dari
berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka dalam
kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih serta penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu,
antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Amsal Baktiar selaku dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat (yang saat ini sudah menjabat sebagai Purek II).
2. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik
Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti Sadjaroh, M.Si, selaku Sekjur yang dengan sabarnya
melayani penulis dalam menyelesaikan administrasi.
3. Ibu Dra. Gefarina Djohan, M.A, dan Drs. Agus Nugraha, M.Si, selaku
pembimbing yang sangat baik dalam membimbing dan mengarahkan penulis
guna menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT meridhoi semua
amal baiknya, Amiin.
4. Kepada seluruh staf karyawan perpustakaan Utama, perpustakan Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih telah membantu
memudahkan penulis dalam mencari buku-buku referensi.
5. Terima kasih yang terdalam pada Bapak Idris Thaha dan keluarga yang telah
bersedia memberikan pinjaman referensi pada penulis.
6. Terima kasih kepada Mamah (Etih) dan Bapak (H. Mudasir) tercinta karena
berkat dorongan mereka akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Juga
tidak ketinggalan pula saudara-saudara penulis yang manis-manis (Ka’ Melan,
Dhia, Mira, juga Linda) yang selalu membantu menjaga buah hati penulis
dengan baik.
7. Terima kasih untuk Suami (Ardian) tercinta yang telah memberikan motivasi
dan segenap pengertiannya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dan tak lupa untuk buah hatiku tercinta
Amira Zahra yang selalu ditinggal oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
8. Teruntuk teman-teman di PPI yang baik hati yang selalu mendorong penulis
intuk menyelesaikan skripsi ini, Eka, Rotu, Ide, Lilis, Sauki, dan Ifan yang
sama-sama berjuang untuk mneyelesaikan skripsi secepatnya. Juga temanteman lain yang baik hati.
9. Terima kasih juga buat Rental Inovasi (Mas Syukron) yang membantu dalam
memberikan fasilitas kepada penulis dalam mengetik.
10. Terima kasih untuk anak-anak TPA Al- Mujahidin dan guru-gurunya yang
sudah begitu pengertian, juga Ibu-ibu pengajian yang telah mendoakan
penulis, agar bisa cepat menyelesaikan skripsi ini.
Terhadap semua jasa dan amal baik mereka yang sangat berharga itu,
penulis tidak dapat membalasnya, semoga Allah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya dengan balasan yang setimpal dan semoga memperoleh kebahagiaan
didunia dan diakhirat nanti.
Akhirnya
penulis
mengharapkan
kritik
dan
saran
untuk
lebih
menyempurnakan skripsi ini, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.
Jakarta, 19 Mei 2007
Penulis
DAFTAR ISI
PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iv
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.....................................
6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...........................................
7
D. Metode Penelitian...................................................................
8
E. Sistematika Penelitian ............................................................
8
BAB II.
RIWAYAT HIDUP MOHAMAD ROEM
A. Latar Belakang Keluarga........................................................ 10
B. Latar Belakang Pendidikan .................................................... 13
C. Riwayat Jabatan ..................................................................... 16
BAB III.
MOHAMAD ROEM: PERJUANGAN DAN
PERGERAKAN
A. Peranan dalam Perjuangan dan Pergerakan
A.1. Sebelum Kemerdekaan.................................................. 20
a. Zaman Penjajahan Belanda...................................... 20
b. Zaman Pendudukan Jepang ..................................... 25
A.2. Sesudah Kemerdekaan ................................................... 30
B. Perjuangan Mohamad Roem dalam Bidang Politik .............. 35
BAB IV.
PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM
A. Dasar Pemikiran Politik Mohamad Roem.............................. 43
B. Negara Islam Perspektif Mohamad Roem ............................. 48
C. Relevansi Pemikiran Politik Mohamad Roem dengan
Perpolitikan di Indonesia, Kaitannya dengan Pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Amien Rais ................................... 66
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 71
B. Saran .................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
]
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Jika sejarah dipandang sebagai rentetan jejak langkah orang besar, maka
Mohamad Roem adalah salah seorang yang jejak langkahnya paling mudah
dikenali, serta paling banyak diakui dan dihargai, dalam sejarah negara kita
Indonesia merdeka. Sekalipun Mohamad Roem sendiri mungkin kurang suka
mendengarnya disebabkan oleh kerendahan hatinya menurut tuntutan agama yang
diyakininya secara benar bahwa semua yang telah terjadi dalam sejarah negeri
adalah “Takdir” tuhan yang maha kuasa, namun kiranya tetap dikatakan bahwa
diantara tonggak bagi berdiri tegaknya Republik kita ini hasil jerih payah
Mohamad Roem.
Para ahli Indonesia yang berkumpul sekitar Prof. George McTurnan
Kahin di Universitas Cornell di Amerika, dan yang kemudian menyebar kemanamana hampir diseluruh dunia, semuanya menunjukan sikap penghargaan yang
seragam kepada tokoh Mohamad Roem ini, bukan karena apa-apa selain dari
keahlian dan kewenangannya sebagai seorang negarawan modern dan seorang
“pemecah masalah ” yang efektif.
Menurut Herbert Feith dalam bukunya: tentang “Masa kemunduran
Demokrasi Konstitusional di Indonesia”, sebagaimana tercermin dari kutipan
diatas. Mohamad Roem bersama dengan Sultan Hamengkubuwono, Ir. Djuanda,
Prof. Mr. tambunan dan Ij. Kasimo, adalah jenis para pemimpin administrators
dengan Bung Hatta sebagai tokoh utamanya. Mereka
ini adalah “lawan”
kelompok lain yang disebut Feith sebagai solidarity makers (penggalang
solidaritas), yaitu para pemimpin yang dijiwai oleh, serta dilambangkan dalam
gaya kepemimpinan Bung Karno.1
Mohamad Roem juga aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Namun ketika partai ini dilanda kemelut, bersama Haji Agus Salim, Mohamad
Roem mendirikan partai penyadar. Dimasa pendudukan Jepang Mohamad Roem
menjadi Ketua Muda Barisan Hizbullah Jakarta. Di Masyumi, ia pernah duduk
sebagai anggota pimpinan pusat. Sedang jabatan di pemerintahan, Ketua Komite
Nasional Jakarta Raya. Komisaris Agung Indonesia di Belanda, Menteri Dalam
Negeri Kabinet Natsir (1950-1953 ), dan Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali
Sastroamijoyo (1956-1957).
Dilapangan diplomasi, hampir tidak ada perundingan Internasional yang
tidak melibatkan Mohamad Roem. Yang paling monumental adalah perundingan
dengan Van Roijen (17 Januari 1949), yang melahirkan kesepakatan Konferensi
Meja Bundar (14 april 1949). Konferensi ini menandai era baru perjuangan
Repulik Indonesia. Karena secara eksplisit mendorong pengakuan Belanda atas
kemerdekaan Republik Indonesia.
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi kedua tahun 1947, Mohamad Roem
bersama para pemimpin Indonesia lainnya diasingkan kepulau bangka. Mohamad
Roem kembali mendekam di ganjar setelah Masyumi dibubarkan oleh pemerintah
orde lama. Selama empat tahun (1962-1966) Mohamad Roem mendekam
dipenjara atas tuduhan berada dibalik percobaan pembunuhan Bung Karno.
1
Kustiniyati Mochtar, Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI
(Jakarta: Gramedia, 1989), h. xv-xvi.
Tuduhan yang tidak pernah terbukti. Dari buku dan artikel- artikelnya, terekam
betapa luas perhatian Mohamad Roem terhadap berbagai persoalan.2
Mohamad Roem adalah seorang aktifis berbagai kegiatan kepemudaan,
keagamaan, politik dan masalah-masalah sosial lainnya. Mohamad Roem
termasuk salah satu tokoh nasional yang hidup pada tiga zaman (pada penjajahan
Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan).
Pada masa penjajahan Belanda, bersama-sama dengan pemuda jawa
lainnya, aktif di Jong Java. Mohamad Roem pun ikut berpartisipasi dalam
pembentukan Jong Islamiten Bond (JIB). Dalam JIB ini Mohamad Roem menjadi
panitia kongres di Jakarta (1930/ 1349 H). Mohamad Roem juga aktif di Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan pernah menjadi ketua panitia kongres PSII di
Jakarta (1932 /1351H ).
Pada tahun 1937, bersama dengan Yusuf Wibisono dan kawan- kawan
lainnya, Mohamad Roem mendirikan organisasi kemahasiswaan. Student Islam
Studie Club (SIS), dan ia sendiri menjadi ketuanya. Dan ketika SIS membuat
majalah Muslimehe Revielle, ia menjadi anggota dewan redaksinya. Selain itu
untuk mengembangkan bukunya yang pernah digelutinya di RHS, Mohamad
Roem membuka kantor advokat di Jakarta. Ia pun menjadi pengacara pada rumah
muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.
Keluar dari tahanan politik (1966), kegiatan tersebut diteruskan kembali,
bahkan ia kemudian memegang jabatan penting lagi (diluar pemerintahan), antara
lain : Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta 1971
2
Hadi Musthofa, Jakarta: Republika, 1995, h. 8.
dan anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami 1975. Disamping itu ia
aktif
mengikuti
beberapa
Konferensi
Internasional,
seperti
Konferensi
Internasional tentang Bangladesh di New Delhi 1971, Konferensi Menterimenteri Luar Negeri Islam di Tripoli dan Member of Board Asian Conference of
Religion for Peace di Singapura 1977.3
Karena turut serta dalam PSII dengan sendirinya Mohamad Roem dekat
dan menghayati sepak terjang politik pemuka-pemuka partai tersebut. Tokoh
utama yang memperoleh pengakuan nasional secara menyeluruh adalah Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. Tokoh ini menjadi bapak dari pemimpin-pemimpin
politik bangsa Indonesia berikutnya, baik dari kalangan Islam maupun nasional.
Perintis kemerdekaan, pahlawan nasional dan pemimpin umat islam yang terkenal
ini dengan sangat tepat dilukiskan oleh Mohamad Roem dalam artikel yang
berjudul “Kongres Nasional pertama Central Serikat Islam”.4
Mohamad Roem sebagai perunding (diplomat) memang menempati
kedudukan yang khas dalam sejarah negara Indonesia. walaupun kegiatannya
dalam perundingan itu sudah sekaligus termasuk dalam rangkaian perjuangannya,
masih perlu untuk mengemukakan Mohamad Roem sebagai perunding, diberi
tempat tersendiri secara khusus pula. Kasman juga menjelaskan:
“bahwa Mohamad Roem sangat dekat dan mengagumi Haji Agus
Salim, mengikuti jejaknya sangat dekat adalah wajar, bahwa nama
Mohamad Roem kemudian muncul sebagai perunding selalu disebut
dalam buku-buku tentang Indonesia dari penulis-penulis luar negeri. Tidak
bedanya seperti dialami oleh H. Agus Salim sebagai pendahulunya.”5
3
4
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1922), h. 679-681.
Mohamad Roem, 70 Tahun Pejuang dan Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.
39.
5
Ibid., 115.
Kita tidak tahu, apakah untuk menjadi seorang diplomat hal itu bisa
dipelajari semata-mata, ataukah memerlukan sesuatu bakat yang harus dimiliki
semenjak muda, mungkin juga seorang diplomat terbentuk dari bakatnya
semenjak kecil digabungkan dengan pelajaran yang diperolehnya kemudian, dan
mungkin lebih jelas lagi ditambah dengan pengalaman yang ditemui sepanjang
hidupnya.
Diplomasi atau perundingan yang dilakukan oleh seorang diplomat
merupakan karya gabungan dari pemberian bakat, ditambah pelajaran dan
dilengkapi dengan pengalaman sebab diplomasi bukan yang dilakukan secara
resmi dibelakang meja perundingan saja. Tetapi termasuk juga berunding secara
tidak resmi dalam kesempatan yang lebih leluasa.6
Mohamad Roem adalah seorang penulis yang produktif, yang banyak
mewariskan beberapa buku penting antara lain: Bunga Rampai dari Sejarah
(sebanyak 4 jilid), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, dan Tidak ada
Negara Islam: Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Dalam
salah satu tulisannya, Mohamad Roem membuat catatan pribadi tentang beberapa
perundingan dengan Belanda yang diikutinya. Mohamad Roem mengakui, bahwa
pada setiap perundingan yang akan atau sedang berlangsung memang selalu ada
pro dan kontra ditengah masyarakat. Menurut Mohamad Roem, hal itu bisa
dimaklumi, karena banyak pendapat yang timbul, tergantung pada sisi mana
6
Ibid., h. 115-118.
perundingan itu dilihat. Dan Mohamad Roem menyadari bahwa tidak sedikit yang
tidak sepakat dengan persetujuan Roem-Royen yang pernah dilakukan.7
Dengan melihat kondisi yang banyak terjadi pada saat sekarang ini guna
memberikan sebuah kontribusi yang baik bagi perkembangan perpolitikan di
Indonesia maka penulis merasa perlu untuk mengangkat tema “Perjuangan Politik
Mohamad Roem”. Sebab perjuangan Mohamad Roem dalam menentukan
langkah-langkah politik khususnya sebagai seorang diplomat yang handal
mempunyai peranan yang sangat penting, agar dapat kita pelajari. Dan menjadi
seorang diplomat bukan hanya membawa diri sendiri, tetapi juga membawa nama
negaranya agar senantiasa dihargai oleh negara lain. Demi terciptanya suatu
keadilan dan persamaan hak yang merata.
Selain itu juga penulis ingin memunculkan pemikiran-pemikiran politik
Mohamad Roem berkisar pandangannya mengenai Negara Islam, karena penulis
membaca bahwa Mohamad Roem adalah salah seorang tokoh yang tidak setuju
dengan sebutan Negara Islam, yang terpenting bagi Mohamad Roem adalah
substansi atau tata nilai dalam suatu negara yang berlandaskan pada Islam.
Dan kalau penulis melihat dan membaca sudah ada beberapa tulisan yang
mengungkap tentang sejarah perjuangan Mohamad Roem, tetapi sedikit yang
memunculkan Pejuangan politiknya secara lebih mendalam. Oleh sebab itu
penulis merasa perlu untuk mengangkat hal tersebut agar dapat dimunculkan
sebagai tambahan pengetahuan politik bagi kepentingan penulis khususnya dan
umumnya bagi pembaca.
7
Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h.40.
Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah
Pembatasan penulisan skripsi ini berkisar pada tokoh Mohamad Roem (19081983). Dengan ide dan gagasan serta perjuangan politik Mohamad Roem tentang
kancah perpolitikan pada zamannya, dimana Mohamad Roem selalu berusaha
untuk menjadi seorang diplomat yang bisa membawa nama negaranya kemanapun
Mohamad Roem pergi, dengan berbagai kemampuannya dia kerahkan baik
didalam perjuangan dan berbagai macam perundingan yang telah jalaninya.
Sedangkan untuk lebih fokusnya penulisan ini maka penulis perlu merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.
Mengapa Mohamad Roem begitu tertarik dengan dunia perpolitikan?
2. Apa yang menyebabkan Mohamad Roem dikenal sebagai seorang pejuang
dan juga seorang perunding yang dapat dihandalkan?
3. Apa saja peranan Mohamad Roem sebagai seorang diplomat?
4. Bagaimana pandangan Mohamad Roem mengenai Negara Islam?
Tujuan dan kegunaan penelitian
Tujuan dari pada penelitian ini adalah bahwasanya disini penulis ingin
mengetahui Bagaimana perjuangan politik Mohamad Roem, kemudian apa saja
peranan Mohamad Roem sebagai seorang pejuang dalam mencapai
keberhasilannya dimeja perundingan sebagai seorang diplomat. dan penulis ingin
meletakkan figur seorang Mohamad Roem menurut proporsi yang sebenarnya
dalam sejarah bangsa. Juga yang terakhir adalah penulis ingin mencari hubungan
latar belakang kehidupan Mohamad Roem dengan kehadirannya sebagai seorang
diplomat pada masanya.
Kegunaan penelitian ini adalah untuk menjadikan penelitian ini sebagai pijakan
dan input yang baik bagi perkembangan perjuangan politik Islam dari segi aspek
politik Islam, serta diharapkan penelitian ini bisa berguna untuk para pembaca
agar bisa mengembangkan ilmu politik yang sedang dipelajari. Dan penelitian ini
barguna bagi penulis sebagai syarat untuk meraih gelar S1 pada Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini berdasarkan pengumpulan data melalui penelitian
kepustakaan (Library Research) berupa buku-buku dan tulisan yang berhubungan
dengan masalah diatas.
Metode pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif dan analistis,
guna menjelaskan secara objektif dan kompherensif dari gagasan dan pemikiran
tokoh Mohamad Roem ini bagi perkembangan Politik Islam Indonesia.
Teknik penulisan skripsi ini menunjuk pada buku pedoman penulisan skripsi,
tesis, dan disertasi, yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press, 2007, cetakan
pertama.
Sistematika Penulisan.
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, pembahasan akan disusun secara
sistematis menjadi lima bab, dan tiap bab menjadi sub-sub bab yang secara garis
besarnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab I
:
Pendahuluan, berisikan dasar pemikiran yang mencerminkan isi
seluruh skripsi, kemudian pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II
:
Membahas tentang riwayat hidup Mohamad Roem dari segi latar
belakang pendidikan dan latar belakang keluarga, dan membahas
tentang riwayat jabatan-jabatan yang pernah dijalani semasa
hidupnya.
Bab III :
Menjelaskan tentang peranan Mohamad Roem dalam perjuangan dan
pergerakan pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, kemudian
menjelaskan perjuangan Mohamad Roem di dalam bidang politik
demi
memperjuangkan
kehidupan
bangsa
Indonesia
agar
mendapatkan kemerdekaan secara utuh dan sempurna.
Bab IV :
Pembahasan mengenai dasar pemikiran politik Mohamad Roem,
serta pembahasan mengenai pandangan Mohamad Roem tentang
Negara Islam, dan kemudian pembahasan tentang relevansi
pemikiran politik Mohamad Roem terhadap pemikiran Abdurrahman
Wahid dan Amien Rais mengenai kaitannya dengan perpolitikan di
Indonesia.
Bab V
:
Merupakan penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran
yang mungkin dapat penulis berikan.
BAB II
RIWAYAT HIDUP MOHAMAD ROEM
Latar Belakang Keluarga
Mohamad Roem lahir pada sabtu pahing, 16 Mei 1908 di Desa
Klewongan, Kawedanan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ia
adalah anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan suami istri Dulkarnaen
Djojosasmito (Lurah Desa Klewongan) dan Siti Tarbijah. Masa kecil Mohamad
Roem dilewatkan di dua tempat, yakni Parakan (1908-1919) dan Pekalongan Jawa
Tengah (1919-1924).8 Mohamad Roem menikah dengan Markisah Dahlia di
Malang, Jawa Timur, pada 11 Juni 1932. Mereka dikarunia dua orang anak:
Roemoso dan Rumeisa.9
Parakan sebagai tempat kelahiran Mohamad Roem memberikan kenangan
tersendiri baginya. Di kota inilah, Mohamad Roem tinggal bersama nenek, ayah,
ibu, dan saudara-saudaranya. Nenek memegang peranan penting dalam keluarga
Dulkarnaen Djojosasmito, sedangkan sang ayah seolah hanya memegang peranan
kedua. Keberadaan nenek dalam keluarga Mohamad Roem dapat dikatakan
sebagai pendidik utama anak-anak. Meskipun demikian, pengaruh ayah bagi
Mohamad Roem cukup kuat. Mohamad Roem cenderung lebih tunduk terhadap
ayahnya daripada kepada nenek, sedangkan ibu Mohamad Roem kurang
menjalankan peranan penting dalam keluarga itu.
8
Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang:
Indonesiatera, 2002), h. 1.
9
Nina M.Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,2005), h. 40.
Selama Mohamad Roem tinggal di Parakan, perkembangan kepribadiannya
banyak dipengaruhi oleh sistem pengasuhan anak yang saling bertolak belakang
antara nenek dan ayahnya. Di satu sisi, nenek Mohamad Roem menerapkan pola
pengasuhan anak yang cenderung feodalistik, sedangkan disisi lain ayahnya
menerapkan pola pengasuhan anak yang lebih demokratis. Namun, sebagai
seorang ayah sekaligus anak, Dulkarnaen Djojosasmito tidak pernah bersikap
konfrontatif terhadap nenek Mohamad Roem yang menerapkan pola pengasuhan
anak yang kurang demokratis.
Di lihat dari latar belakang kehidupannya, sudah sewajarnya apabila nenek
Mohamad Roem masih memiliki sifat-sifat feodal. Menurut Mohamad Roem,
nenek adalah putri seorang priyayi. Pada waktu itu anak priyayi dilarang keras
berbaur dengan anak kampung. Pandangan nenek tentang larangan itu
diterapkannya kepada Mohamad Roem.
Berbeda dengan neneknya yang cenderung bersifat konservatif, pola
pengasuhan Dulkarnaen Djojosasmito, ayah Mohamad Roem, lebih bersifat
demokratis. Ia tidak pernah melarang Mohamad Roem untuk bergaul dengan siapa
pun dan dari kalangan mana pun juga. Ayah Mohamad Roem memiliki sikap yang
berkebalikan dengan sang nenek yang melarangnya bergaul dengan anak
kampung. Menyikapi prinsip ayahnya itu, Mohamad Roem berpendapat, “Ayah
adalah seorang yang mempunyai visi, pendapat tentang hidup, tetapi tidak
articulate. Artinya, anak diberi kebebasan berkembang dengan sendirinya”.
Prinsip Mohamad Roem yang memandang bahwa anak kampung dan anak priyayi
memiliki derajat yang sama.
Mohamad Roem mampu bersahabat dengan siapa saja dari berbagai
golongan. Mohamad Roem yang merupakan tokoh besar Islam, tenyata dapat
berteman dekat dengan Ignatius Josef Kasimo dan Petrus Kanisius Ojong yang
beragam katolik, dan T.B Simatupang dan Leimena wakil dari agama Protestan,
dan Sjahrir, Anak Agung, serta Soebadio yang sangat fasih dengan nilai-nilai
sosialis. Bahkan, dalam rangka mempererat persahabatannya dengan I.J. Kasimo
dan P.K. Ojong, Mohamad Roem mengadakan pertemuan secara rutin, yakni pada
1 Januari di rumah I.J. Kasimo dan pada I Syawal di rumah Mohamad Roem
sendiri.
Kehidupan Mohamad Roem bersama nenek, ayah, ibu, dan kakak terpaksa
harus ditinggalkannya ketika Parakan di landa wabah penyakit kolera, pes, dan
influenza sekitar tahun 1919. Mohamad Roem dan adik perempuannya yakni Siti
Chatijah kemudian tinggal bersama kakak perempuan mereka (Mutiah) di
Pekalongan.
Kepindahan Mohamad Roem dari Parakan ke Pekalongan, mulanya hanya
bersifat sementara, yakni hanya sampai wabah penyakit menular di Parakan
mereda. Tetapi ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 1920, Pekalongan
menjadi tempat kedua bagi Mohamad Roem dalam menempuh pendidikan dasar.
Pekalongan menjadi tempat penting bagi Mohamad Roem karena di sinilah
dalam usia 11 tahun, Mohamad Roem mengalami proses sosialisasi gerakan sosial
Islam. Ide-ide tentang sosialisme Islam dicetuskan oleh H.O.S. Tjokroaminoto
berpadu dengan semangat puritanisme Muhamadiyah. Pada waktu itu memang
masih ada kerjasama yang erat antara Sarekat Islam (SI) dengan Muhamadiyah.
Karena itu, pemimpin dari kedua organisasi itu dimungkinkan menjadi pemimpin
yang merangkap.
Mohamad Roem yang sejak di Parakan sering mengaji di rumah Pak
Wongso, seorang Kyai di desa Klewongan, akhirnya semakin memperdalam ilmu
agamanya dalam asuhan kakak ipar yang juga tokoh Muhamadiyah itu.
Pendidikan agama yang diperoleh Mohamad Roem selama di Pekalongan maupun
parakan merupakan landasan fundamental dalam dirinya yang terkristal dalam
pribadi muslim sejati. Landasan ini semakin kuat setelah Mohamad Roem
berkecimpung dalam JIB dibawah asuhan Haji Agus Salim, bapak kaum
intelektual muslim Indonesia.10
Mohamad Roem adalah seorang aktifis berbagai kegiatan kepemudaan,
keagamaan, politik dan masalah-masalah social lainnya. Ia termasuk salah seorang
tokoh nasional yang hidup pada tiga zaman (zaman penjajahan Belanda,
pendudukan Jepang dan zaman kemerdekaan).11
Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan formal pertama yang ditempuh Mohamad Roem adalah
pendidikan Sekolah Desa (Volkschool) tahun 1915. Di sekolah ini Mohamad
Roem mengikuti pendidikan selama dua tahun. Setelah dua tahun mengikuti
pendidikan di sekolah itu, Mohamad Roem kemudian masuk ke HIS (Hollands
Inlandshe
School)
di
Temanggung.
Jarak
antara
Parakan-Temanggung
ditempuhnya dengan naik kereta api.
10
Insaniwati, Mohamad Roem Karier politik dan perjuangnnya, h. 1-7.
Ahmad Syafii Maarif dan Adi Sasono, Tidak Ada Negara Islam, surat-surat politik
Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Djambatan, 1977), h. 109.
11
Pendidikan di HIS ditempuhnya antara tahun 1917-1924 di dua tempat,
yaitu Temanggung (1917-1919) dan pekalongan (1919-1924). Seperti telah
disebutkan pada bagian terdahulu, kepindahan Mohamad Roem ke Pekalongan
mulanya hanya bersifat sementara, tetapi ketika sang ayah meninggal dunia pada
tahun 1920, Pekalongan dijadikannya sebagai tempat kedua dalam menempuh
pendidikan dasar. Karena itu, Mohamad Roem menempuh sekolah
di HIS
Temanggung hanya sampai di kelas III, selanjutnya ia pindah ke HIS Pekalongan
sampai lulus pada tahun 1924.
Setelah tamat di HIS Pekalongan, Mohamad Roem mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan sekolah ke STOVIA (School tot Opeleiding van Indische
Artsen) di Jakarta. STOVIA adalah sekolah untuk mendidik dokter pribumi. Lama
pendidikan di sekolah tersebut adalah 10 tahun yang kemudian dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian Persiapan selama 3 tahun, dan bagian Geneeskundig
(kedokteran) selama 7 tahun.
Suatu keuntungan bagi Mohamad Roem setelah lulus saringan masuk
STOVIA, penerimaan untuk STOVIA dihentikan karena pada tahun 1927 sekolah
tersebut dihapuskan. Untuk dapat melanjutkan pelajaran, mereka dapat masuk ke
NIAS (Nederlandsh Indische Artsen School). Antara tahun 1924 sampai dengan
1927 Mohamad Roem menyelesaikan pelajarannya pada bagian persiapan di
STOVIA. Kemudian Mohamad Roem masuk AMS pada tahun 1927 dan lulus
pada tahun 1930.
Selama dua tahun pertama sebagai pelajar STOVIA, Mohamad Roem
tinggal di asrama STOVIA yang terletak di gedung Kwini, sekarang disebut
Gedung Kebangkitan Nasional di Jalan Dokter Abdurachman Saleh 22 Jakarta.
Ketika gedung itu berubah menjadi sekolah AMS, maka dua kelas terendah
dipindah ke asrama Jan Pieterzoon Coen di Jalan Guntur Jakarta. Di asrama kedua
tersebut, Mohamad Roem tinggal selama 4 tahun. Jadi, selama 6 tahun (3tahun di
STOVIA, 3 tahun di AMS) Mohamad Roem telah hidup dalam suasana
kepanduan, serta suasana yang berbau politik, khususnya yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negara.
Tahun 1930, setelah tamat dari AMS, Mohamad Roem meneruskan
pendidikannya ke GHS (Geneeskundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jalan Salemba selama dua tahun, tetapi tidak berhasil lulus. Ujian
pertama gagal, demikian pula dengan ujian yang kedua. Mohamad Roem
kemudian berhenti menjadi mahasiswa GHS. Tahun
1932, Mohamad Roem
masuk RHS (Rechts Hoogeschool) di Jakarta dan lulus pada tahun 1939. Melalui
RHS inilah Mohamad Roem mendapat gelar “Meester in de Rechten” (Mr) atau
Sarjana Hukum. Setelah itu Mohamad Roem memulai kariernya sebagai seorang
advokat yang membela rakyat kecil.12
STOVIA dibubarkan diganti dengan Geneeskundige Hogeschool (1927),
memakan waktu, 10 tahun sesudah sekolah dasar. Maka STOVIA adalah sekolah
yang tertinggi yang dapat dicapai oleh pribumi. Tapi, meskipun orang mempunyai
pendidikan tertinggi, Mohamad Roem dapat membatasi diri dalam profesinya.
Bangsa Indonesia dapat merasa bersyukur, bahwa putra-putranya yang
pertama mendapat pendidikan tinggi, menyadari bahwa justru karena itu mereka
12
Ibid.,h. 7-9.
memikul kewajiban untuk mengangkat rakyat dari kebodohan dan kemelaratan.
Mereka tahu apa yang tercantum dalam peribahasa: nobless oblige, mereka yang
memiliki kelebihan, memikul kewajiban. 13
Mohamad Roem adalah seorang terpelajar dan tokoh Nasional tiga zaman:
penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan Indonesia merdeka. Ia juga seorang
pemimpin, politikus, pendidik, dan perunding, yang mengikuti perundingan
penting antara lain perundingan Renville, persetujuan Roem-Royen, dan
Konferensi Meja Bundar.14
C. Riwayat Jabatan
Nurcholish Madjid (cendikiawan muslim Indonesia) mengatakan bahwa
Mohamad Roem adalah orang yang paling berjasa diurutan ketiga setelah
Soekarno (proklamator, presiden pertama Indonesia; 1901-1970) dan Mohammad
Hatta (negarawan, proklamator, Wakil Presiden pertama Indonesia; 1902-1980).
Mohamad Roem berperan sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam perjuangan
Roem-Royen (7 Mei 1949) yang membuka jalan Konferensi Meja Bundar
(KMB), dan kemudian menghasilkan kedaulatan resmi bagi Indonesia pada 27
Desember 1949. Mohamad Roem masuk dalam urutan para Pahlawan Nasional.
Mohamad Roem adalah seorang aktivis dalam organisasi kepemudaan,
keagamaan, dan politik, misalnya Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB), dan
Nationale Indonesische Padvinderij (Natipij, Kepanduan Nasional Indonesia).
Bersama Yusuf Wibisono dan kawan-kawannya. Mohamad Roem mendirikan
13
Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah II (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 83-
14
Armando, Ensiklopedi Islam, h. 40.
84.
Studenten Islam Studie Club, dan menjadi ketuanya. Ketika organisasi
kemahasiswaan ini menerbitkan majalah Muslimche Reveille, ia menjadi dewan
redaksinya. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum yang diperolehnya di RHS,
Mohamad Roem membuka kantor Advokat dengan papan nama “Mr. Mohamad
Roem”di Jakarta. Mohamad Roem juga menjadi pengacara pada Rumah Piatu
Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Puwokerto.
Di dalam dunia politik, Mohamad Roem aktif dalam Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) tahun 1932. Karena terjadi kemelut dalam partai ini, Mohamad
Roem bersama Haji Agus Salim (pejuang kemerdekaaan Indonesia; 1884-1954)
mendirikan Partai Penyadar. Dalam partai baru ini, Mohamad Roem menjadi
Ketua Komite Central Executif (Lajnah tanfiziyah). Mohamad Roem juga pernah
menjadi Ketua Muda Hizbullah Jakarta. Pada masa kemerdekaan , Mohamad
Roem menduduki berbagai jabatan penting, antara lain Ketua KNIP Jakarta
(1945), Menteri Dalam Negeri (1946-1948), delegasi Indonesia dalam persetujuan
KMB (1949), anggota Pimpinan Pusat Masyumi(1950), Menteri Luar Negeri
(1950-1951),Wakil Perdana Menteri (1956-1957), Wakil Ketua Masyumi (19581960), dan Ketua Umum Parmusi (1968).
Selama aktif pada Partai Politik Islam, Masyumi, Mohamad Roem pernah
tiga kali menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (dalam Kabinet Sjahrir III dan
Kabinet Ali Sastroamidjojo, Kabinet pertama setelah pemilu 1955). Mohamad
Roem lebih dikenal sebagai mantan Menteri Luar Negeri, walaupun memangku
jabatan ini hanya sekali pada masa Kabinet M. Natsir. Kemudian pernah manjadi
Menteri Pertepel (portofolio) dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS)
dibawah pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta.
Mohamad Roem adalah seorang diplomat ulung. Banyak pertemuan dan
perundingan penting yang diikutinya,
Internasional, antara lain
baik
berskala
Nasional
maupun
penandatanganan perundingan Renville (17 Januari
1948), persetujuan Roem-Royen (14 April 1949), KMB di Den Haaq, Belanda (2
November 1949), Conference For Moeslim and Christian Cooperation di
Iskandariah, Mesir (1955), dan berbagai perjalanan penting kebeberapa negara.
Di dunia pendidikan, Mohamad Roem pernah menjadi Rektor Universitas
Islam Sumatera Utara (1953-1956) dan Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah
Tinggi Kedokteran Islam Jakarta (1971), setelah keluar dari tahanan politik, sejak
Partai Masyumi dibubarkan pada 17 Agustus 1960, Mohamad Roem tidak aktif
lagi di pemerintahan. Namun Mohamad Roem masih menghadiri dan memberikan
ceramah pada beberapa pertemuan Ilmiah Internasional. Mohamad Roem juga
menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975) dan aktif
sebagai tokoh Organisasi Konferensi Islam (OKI).15
Sebagai tenaga berpendidikan tinggi, tempat karyanya adalah dalam
bidang kepemimpinan, pengarahan
dan pemikiran; sehingga langsung
menempatkannya dalam kursi pimpinan tingkat pusat. Dan kedudukannya di
tingkat pusat tersebut, menyebabkan terbuka hubungan yang dekat dengan tokohtokoh politik yang utama. Begitu pula tempat tinggal yang sejak lama berada di
Jakarta sebagai pusat politik negara, memberi peluang lebih banyak untuk dekat
15
Armando, Ensiklopedi Islam, h. 40-42.
dengan Haji Agus Salim daripada kepada H.O.S. Tjokroaminoto. Hubungan dan
pergaulan dengan Haji Agus Salim tidak terbatas pada suasana politik dan
pergerakan saja, tetapi juga meliputi hubungan persahabatan yang akrab dengan
seluruh keluarganya.16
Bagi seorang pejuang, apalagi berjuang di bidang politik dan kenegaraan
dalam jangka waktu yang cukup panjang seperti Mohamad Roem, tentu wajar
ditemui kawan dan lawan. Namun begitu kita akan sulit untuk menanyakan, siapa
lawan-lawan Mohamad Roem kepadanya. Dia tidak akan memberikan jawaban
siapa lawan-lawannya, baik siapa yang melawan kepadanya, ataupun siapa yang
dilawan olehnya. Dia hanya menunjukkan cita-cita perjuangannya, yang
dilakukannya dengan pedoman-pedoman tertentu menurut ajaran agamanya dan
menurut sopan-santun politik yang wajar dalam perangkat hukum yang adil dan
benar.
Tetapi kalau kita bertanya siapa teman dan sahabatnya, maka Mohamad
Roem akan memberikan urutan nama yang panjang. Dan di muka sendiri dari
nama-nama itu hanyalah almarhum Haji Agus Salim. Setelah itu tidak sanggup
pula dia dengan jelas menyebut satu-persatu secara urut. Sebab bagi Mohamad
Roem teman-teman seperjuangannya itu cukup banyak, satu tidak lebih dari yang
lain, semuanya adalah teman, sahabat, kawan seperjuangan yang menyenangkan
sepanjang masa. Mohamad Roem seorang pejuang muslim, demokrat.17
Rasanya kesibukan dan kegiatan Mohamad Roem pada usia tua, sekitar
70 tahunan, tidak begitu berbeda dan berkurang dari dalam masa mudanya dahulu.
16
Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 44.
17
Ibid., h. 103
Sekali lagi yang demikian itu hanya memperkuat pembenaran, bahwa Mohamad
Roem memang seorang pejuang.18
18
Ibid., h.19
BAB III
MOHAMMAD ROEM: PERJUANGAN DAN PERGERAKAN
B.
Peranannya Dalam Perjuangan Dan Pergerakan
1. Sebelum Kemerdekaan
a. Zaman Penjajahan Belanda
Sesungguhnya Mohamad Roem termasuk sebagian anak-anak Jawa
yang beruntung. Tahun-tahun itu merupakan masa dilaksanakannya
kebijaksanaan baru penjajah yang lebih memperhatikan bumiputera.
Kritik-kritik kaum sosialis dan kaum etisi Belanda yang dilancarkan sejak
tahun 1891 telah mendorong lahirnya kebijaksanaan baru program
pemerintah Belanda tentang Hindia. Pada Januari 1901, didepan parlemen,
Ratu Wilhelmina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa
mendatang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Katanya, bangsa
Belanda berutang budi kepada rakyat Hindia karena eksploitasi yang
dilaksanakan sebelumnya telah melimpahkan keuntungan besar kepada
Belanda. Dengan perubahan kebijaksanaan ini, perlahan-lahan pemerintah
Hindia Belanda memperluas kesempatan kepada anak-anak Indonesia
golongan atas untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah tingkat dasar
dan menengah yang berbahasa Belanda. Mohamad Roem termasuk salah
seorang diantara anak-anak Hindia Belanda yang terpilih memperoleh
kesempatan tersebut.19
19
Yanto Basri dan Retno suffatni ed., Sejarah Tokoh Bangsa (Yogyakarta: PT Lkis,
2005), h. 219-220.
Penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung pada awal abad ke-20
diwarnai dengan munculnya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah
kolonial Belanda 1901. Kebijakan yang terkenal dengan nama “Politik Etis” itu
terdiri dari irigasi, edukasi, dan emigrasi. Kebijakan tersebut telah membawa
angin segar bagi bangsa Indonesia. Edukasi bagi bangsa pribumi yang
diusahakan oleh pemerintah Belanda pada gilirannya menghasilkan elite baru
yang semakin lama semakin menyadari tentang kedudukannya yang dibedakan
dalam masyarakat kolonial. Dari slogan inilah muncul pembaharuan yang
direalisasikan dalam bentuk pergerakan modern.
Dimulai dari Budi Utomo (1908), satu persatu pergerakan nasional
tumbuh di Indonesia, seperti Sarekat Islam (1912), Muhammadiyah
(1912), dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, organisasi lokal dan
regional, seperti Rukun Minahasa (1912), Perkumpulan Pasundan (1914),
Sarekat Ambon (1920), Sarekat Celebes (1930) bermunculan bagaikan
cendawan di musim hujan. Pemuda atau pelajar tidak ketinggalan untuk
ikut serta mendirikan organisasi yang dikhususkan bagi mereka, sehingga
lahirlah organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Sumatranen Bond
(1917), Jong Java (1918), Jong Islamieten Bond (1925), Jong Celebes, dan
lain-lain.
Berkaitan dengan itu, Mohamad Roem yang sedang tumbuh sebagai
pemuda dengan segenap potensinya mulai tertarik untuk belajar
berorganisasi melalui organisasi pemuda atau pelajar yang ada pada saat
itu. Mohamad Roem mulai belajar arti berorganisasi ketika melanjutkan
studinya dari HIS di Temanggung ke STOVIA di Jakarta 1924.
Saat itulah Mohamad Roem mulai mengenal dunia organisasi
pemuda atau pelajar, seperti Jong Java (1924) dan Jong Islamieten Bond
(1925) yang berkembang dilingkungan STOVIA. Walaupun Jong Java
(pada awal berdirinya) dan Jong Islamieten Bond bukan organisasi politik,
justru melalui kedua organisasi pemuda itulah Mohamad Roem berkenalan
dengan dunia perpolitikan Indonesia sehingga wajar bila karier politik
Mohamad Roem diawali dari keanggotaannya dalam Jong Java dan Jong
Islamieten Bond yang kemudian dilanjutkan dengan kiprahnya dalam
Partai Sarekat Islam Indonesia dan gerakan penyadar.
Selama menjadi anggota Jong Java, banyak kegiatan yang
dilakukan oleh Mohamad Roem dalam organisasi itu, antara lain kegiatan
yang berkaitan dengan olah raga maupun kegiatan menari Jawa. Selain itu,
Mohamad Roem rajin menyimak ceramah-ceramah yang diberikan kakakkakak kelasnya
Berdirinya JIB tersebut memberikan kesempatan bagi Mohamad
Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasakan Islam, agama yang
semakin diperdalamnya ketika Mohamad Roem masih tinggal di
Pekalongan. Ketika Mohamad Roem masuk menjadi anggota JIB (1925),
keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Namun demikian, bila
dibandingkan dengan Jong Java, Mohamad Roem lebih aktif lagi dalam
JIB, suatu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam
yang keanggotaanya bersifat terbuka bagi pemuda atau pelajar dari
berbagai daerah.
Bagi Mohamad Roem, ada satu hal yang sangat penting dalam
perjalananya berkecimpung dalam organisasi pemuda khususnya JIB,
yakni perkenalannya dengan Haji Agus Salim yang kala itu menjadi
penasihat JIB. Mohamad Roem pertama kali berkenalan dengan Haji Agus
Salim pada 1925, ketika Mohamad Roem masih duduk di STOVIA bagian
persiapan.
Hubungan yang dekat antara Mohamad Roem dengan Haji Agus
Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohamad Roem
kelak di kemudian hari. Dengan demikian kedekatan Mohamad Roem
dengan Haji Agus Salim telah mendorongnya untuk berkiprah dalam PSII
dan kemudian Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim,
dan lain-lain.
Mohamad Roem mulai tertarik pada partai politik, khususnya Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII) sewaktu Mohamad Roem masih menjadi
anggota JIB. Kiprah Mohamad Roem dalam panggung politik Indonesia
pada waktu itu bukan atas nama anggota JIB, melainkan atas nama
perorangan. Walaupun JIB bukan organisasi politik, organisasi Islam ini
tidak melarang anggota-anggotanya untuk berkiprah dalam panggung
politik. Hal ini dimaksudkan agar para anggota JIB dapat berbuat atau
menonjol sejak masa mudanya dan dapat berperan saat terjun ke arena
politik.
Mohamad Roem secara resmi masuk menjadi anggota PSII pada
tahun 1932, walaupun sebelumya telah banyak turut serta dalam kegiatankegiatan seperti menjadi Ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta 1932. Ia
masuk menjadi anggota PSII tanpa menjadi anggota SIAP (Syarikat Islam
Afdeling Pandu) atau pemuda muslim terdahulu.
Keaktifan Mohamad Roem waktu itu adalah membela nasib atau
perkara orang-orang PSII didepan pengadilan negeri pemerintah kolonial
Belanda. Sebagian besar perkara yang dibelanya menyangkut persoalan
tanah partikelir dan sikap tuan tanah yang sewenang-wenang terhadap
bawahan. Semua kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama dengan Haji
Agus Salim.
Tindakan Abikusno Tjokrosujoso yang tidak memasukkan Haji
Agus Salim dalam jajaran pengurus PSII sehingga mengakibatkan
terpecahnya anggotanya banyak mengundang keprihatian para pemimpin
partai. Haji Agus Salim dengan segenap kesungguhannya mencoba
menyadarkan kawan-kawan seperjuangan, terutama tentang bahaya yang
akan muncul akibat perpecahan tesebut. Bersama dengan yang lain,
gagasan untuk menyadarkan kawan-kawan seperjuangannya kemudian
dilembagakan ke dalam satu organisasi baru yaitu Barisan Penyadar PSII.
Sebagai organisasi politik, pergerakan penyadar tidak berhaluan
nonkooperasi seperti yang dianut oleh PSII. Alasan pergerakan penyadar
untuk tidak berhaluan nonkooperasi menurut Haji Agus Salim adalah
bahwa kemajuan yang hendak diusahakan ditengah-tengah rakyat, bersama
dengan rakyat dan untuk rakyat itu pada hakikatnya hanya dapat
diusahakan dalam keadaan tertib, aman, dan damai di dalam negeri.20
Perjuangan politik umumnya, dan perjuangan politik umat Islam
khususnya, Di zaman penjajahan Belanda itu menunjukkan suatu
20
Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang:
Indonesiatera, 2002) h. 13-24.
kehidupan politik yang bersemangat dan segar. Pejuang-pejuang politik
bangsa Indonesia bisa menunjukkan kepribadian politiknya dengan
sempurna, dan memperoleh saluran walaupun tak sempurna tetapi sangat
terjamin dengan jelas dalam ketentuan-ketentuan hukum. Bahkan adanya
artikel-artikel yang merupakan ranjau yang ganas bagi pemerintah penjajah
untuk dapat memindah sewaktu-waktu para pejuang politik bangsa
Indonesia, tetap masih cukup memberikan peluang bergerak bagi pejuangpejuang politik pada waktu itu untuk mencapai cita-cita mereka. Maka
tidak heran, bahwa suasana dan keadaan seperti itu telah melahirkan tokohtokoh politik yang berbobot dan bernilai. Pemimpin-pemimpin politik
bangsa Indonesia menjadi terlatih dan tergembleng secukupnya, siap kelak
untuk menghasilkan kemerdekaan penuh bagi bangsa dan tanah air
mereka.21
b. Zaman Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berawal dari runtuhnya kekuasaan
Hindia Belanda yang ditandai dengan menyerahnya Gubernur Jenderal Tjarda
van Starkenborg Stachouwer berserta komandan KNIL Letnan Jenderal Hein
Ter poorten kepada Jenderal Hitoshi Imamura tanpa syarat di Kalijati, Jawa
Barat pada tanggal 8 Maret 1942. Jauh sebelum invasi ke Indonesia, Jepang
sudah melakukan penyelidikan-penyelidikan untuk mengetahui keadaan
masyarakat di Indonesia dan bagaimana tanggapan mereka terhadap
21
Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun pejuang-perunding (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 38-39.
pemerintah Hindia Belanda melalui orang-orangnya yang menyamar sebagai
pedagang yang membuka toko-toko di Indonesia.
Berdasarkan penyelidikan tersebut, Jepang mengetahui bagaimana
keadaan
rakyat
Indonesia
yang
sudah
terlalu
kecewa
terhadap
pemerintahan Hindia Belanda. Meluapnya perasaan kecewa rakyat
Indonesia terhadap pemerintahan Hindia Belanda memberikan peluang
kepada Jepang untuk melakukan propaganda. Melalui propaganda
tersebut, Jepang menyatakan keinginannya untuk membebaskan rakyat
Indonesia dari penjajahan bangsa Barat. Di samping itu, Jepang
menyatakan bahwa setelah Belanda (bangsa Barat) terusir dari Indonesia
(Asia), Jepang bertekad untuk “memajukan” bangsa Indonesia (Asia)
sehingga mereka setaraf dengan bangsa-bangsa yang telah maju.
Propaganda Jepang memberikan secercah harapan bagi bangsa
Indonesia akan datangnya kesejahteraan dari pemerintah Jepang. Namun,
harapan tinggal harapan, Jepang yang menyatakan dirinya sebagai
“saudara tua” dan sebagai “pembebas” justru melakukan penindasan
dengan kejam, baik secara ekonomis maupun politis.
Secara ekonomis, pemerintah Jepang melakukan perampasan
kekayaan Indonesia untuk menghidupi indusri guna mempertahankan
peperangan. Secara politis, Jepang melakukan penindasan deengan cara
mengeluarkan Undang-undang No. 3 tertanggal 30 Maret 1942 yang
menyebutkan bahwa pemerintahan Jepang melarang semua pembicaraan
tentang pergerakan nasional Indonesia, masa depan negara Indonesia,
menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengibarkan sang Merah Putih.
Undang-undang No. 3 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
Jepang tersebut menimbulkan perubahan terhadap kondisi nasional
Indonesia. Pergerakan nasional yang telah tumbuh pada masa penjajahan
Belanda, khususnya pada abad ke-20, terpaksa mengalami kemunduran,
bahkan kematian ketika pemerintah Jepang menginjakan kakinya ke bumi
pertiwi ini.
Kondisi pergerakan nasional yang kian melemah dirasakan pula
oleh Mohamad Roem. Pergerakan penyadar yang diikutinya turut terkena
peraturan pemerintah Jepang mengenai pembubaran semua partai politik
yang ada pada waktu itu. Saat itu, untuk sementara waktu Mohamad Roem
tidak
berkecimpung
dalam
dunia
perpolitikan.
Mohamad
Roem
melanjutkan praktik sebagai pengacara.
Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, seluruh partai politik
dibubarkan,
termasuk
Pergerakan
Penyadar.
Kendati
demikian,
pengalaman Mohamd Roem dengan Haji Agus Salim memberikan arah
aktivitas politik Mohamad Roem sebagai perunding dan pejuang
Seiring
dengan
berjalannya
waktu,
Jepang
yang
selalu
membuktikan kekuatan dan keunggulan angkatan perangnya dalam
berbagai pertempuran harus mengalami kenyataan pahit setelah aramada
Jepang dipukul mundur oleh sekutu dalam pertempuran di Laut karang
pada 7 Mei 1942. Pertempuran itu merupakan titik balik Jepang karena
setelah itu Jepang mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran.
Pada akhir September 1944. Barisan pelopor melatih para pemuda
dengan latihan-latihan militer, walaupun senjata yang digunakan hanya
senapan kayu atau bambu runcing. Mereka juga dikerahkan untuk
mendengarkan pidato dari pemimpin-pemimpin nasionalis, bahkan
dianjurkan kepada mereka agar meneruskan pidato-pidato itu kepada
rekan-rekannya yang tidak hadir. Mereka juga dilatih dengan cara-cara
menggerakan massa rakyat, memperkuatkan pertahanan, dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat.
Dalam barisan pelopor inilah Mohamad Roem yang semula tidak
aktif dalam dunia perpolitikan mulai terlibat lagi ke panggung politik
Indonesia. Ia diangkat menjadi Kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang
(kampung
tempat
tinggalnya).
Menurut
Mohamad
Roem,
pengangkatannya berawal dari undangan menjadi anggota Barisan Pelopor
Kampung Kwitang.
Pengalaman yang paling berkesan bagi Mohamad Roem ketika
menjadi kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang adalah ketika ia ikut
serta dalam pekerjaan umum yang dipimpin Soekarno sendiri. Pekerjaan
yang dilakukan ketika itu adalah membuat tanah lapang yang sekarang
menjadi lapangan terbang internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng
Jakarta Barat. Pekerjaan ini dilakukan bersama kelompok Barisan Pelopor
lainnya. Karena itu, mereka diharuskan berkumpul di lapangan Banteng.
Selain dalam Barisan Pelopor, Mohamad Roem juga pernah aktif
dalam Barisan Hizbullah (Tentara Allah) yang didirikan pada 14 Oktober
1944. Hizbullah merupakan organisasi khas pemuda Islam yang didukung
oleh pihak Jepang, di samping organisasi lain yang memperoleh latihan
militer seperti keibondan (pertahanan sipil), seinendan (korps pemuda)
yang bisa dimasuki oleh kalangan pemuda Islam.
Keterlibatan Mohamad Roem dalam barisan Hizbullah berakhir
ketika berakhir ketika Masyumi yang didirikan pada masa pendudukan
Jepang dibubarkan berkaitan dengan menyerahnya pemerintah Jepang
pada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Dengan demikian, pada awal
pendudukan Jepang di Indonesia, Mohamad Roem yang belum lama lulus
dari Sekolah Tinggi Hukum (1939) lebih banyak mencurahkan waktunya
untuk praktik sebagai pengacara. Ketika Jepang merestui berdirinya
Barisan Pelopor di bawah Jawa Hokokai dan Barisan Hizbullah di bawah
Masyumi, barulah Mohamad Roem aktif kembali dalam dunia pergerakan
nasional Indonesia.22
Segala suasana dan keadaan masyarakat dan kenegaran di
Indonesia (Hindia Belanda), tiba-tiba mengalami perubahan yang terbalik,
sewaktu pecah Perang Pasifik dalam tahun 1942, dan tentara Jepang
menguasai seluruh tanah air Indonesia. Dalam masa pendudukan tantara
Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun berikutnya, kehidupan
politik terhenti sama sekali. Dan pada masa itu terjadi pergeseran tata-nilai
22
Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h. 27-33.
mengenai segala macam masalah Indonesia, yang menyebabkan orang
tidak banyak dapat berbuat atau berkarya. Suasana baru itu, yang sebagian
besarnya belum pernah terbayangkan kejadiannya oleh bangsa kita,
menyebabkan banyak orang menunggu waktu untuk menempatkan diri
atau menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya. Rupanya demikian pula
tak terkecuali dengan Mohamad Roem, yang praktis tidak kelihatan
menonjol dalam kegiatan dan peranan seperti masa sebelumnya. Keadaan
terselimut dan terdiam itu baru mulai tesingkap kembali, setelah terjadi
proklamasi kemerdekaan Indonesia bulan Agustus 1945.23
2. Sesudah Kemerdekaan
Hari-hari pertama kemerdekaan Indonesia penuh dengan suasana yang
tegang, terutama disebabkan karena tentara pendudukan Jepang dari Perang Dunia
masih utuh ada di sini. Dan tentara Jepang itu menerima tugas sebagai pihak yang
kalah dalam perang, atas nama negara-nagara “Sekutu” sebagai pihak yang
menang, memelihara keadaan keamanan di wilayah Indonesia. Padahal waktu itu
semangat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sudah meluap-luap di
mana-mana, tidak sudi lagi diperintah lagi oleh bangsa asing manapun juga.
Ketegangan tersebut memuncak pada saat dilangsungkan suatu rapat raksasa di
Jakarta Raya, sebagai suatu pembuktian tekad bangsa dan rakyat Indonesia yang
bulat mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara.24
23
24
Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding, h. 44-45.
Ibid., h. 45.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai dimulainya babak
baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang terus bergulir seiring dengan
berjalannya waktu. Sebagai negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia telah
disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perangkat
kenegaraan. Pada hari-hari pertama setelah proklamasi kemerdekaan, kesibukkan
ditujukan untuk melengkapi perangkat kenegaraan yang bersifat pokok, seperti
memilih presiden dan wakil presiden, menyusun Undang-Undang Dasar,
menyusun lembaga perwakilan rakyat darurat, dan disusul dengan membentuk
kabinet pertama Republik Indonesia.
Hasil dari kegiatan tersebut adalah diangkatnya Ir. Soekarno sebagai
presiden pertama dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden yang
pertama, disusunnya suatu UUD 1945, dibentuknya suatu Komite Nasioanal
Indonesia Pusat yang pertama dan diketuai oleh Mr. Kasman Singodimedjo, serta
dibentuknya Kabinet pertama Republik Indonesia yang terrdiri dari 15 orang
menteri dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang merupakan Kabinet
Presidentil menurut UUD 1945.
Di antara perangkat kenegaraan yang dibentuk oleh bangsa Indonesia yang
baru merdeka itu, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi tempat
pertama bagi Mohamad Roem dalam mengabdikan dirinya untuk kepentingan
bangsa dan negara. KNIP merupakan suatu badan pembantu presiden yang
pembentukannya didasarkan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan untuk membentuk Komite
Nasional di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Dalam proses
perkembangan berikut, Komite Nasional Indonesia (KNI) dikembangkan menjadi
KNIP.
Dalam KNIP yang beranggotakan 136 orang, hanya 15 orang yang
termasuk dari kalangan Islam, sedangkan dalam Badan Pekerja hanya 2 orang
yang dapat mewakili kalangan Islam. Mohamad Roem termasuk salah satu dari 15
orang yang berasal dari kalangan Islam. Mohamad Roem kemudian memperoleh
kedudukan sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Jakarta Raya.
Sebagai Ketua KNI Jakarta Raya, Mohamad Roem banyak berhubungan dengan
Walikota Jakarta Raya yang dijabat oleh Suwirjo. Salah satu kerjasama antara
Mohamad Roem dengan Suwirjo dapat dilihat dari peristiwa 19 September 1945,
yakni rapat raksasa di Lapangan Ikada (Lapangan Merdeka).
Selama Masyumi berdiri yakni antara tahun 1945-1960 (kurang dari 15
tahun), Masyumi telah tujuh kali mengadakan pemilihan Pimpinan Pusat
Masyumi, yakni tahun 1945, 1949, 1951, 1952, 1954, 1956, dan 1959. Selama
tujuh kali pula Mohamad Roem duduk dalam Pimpinan Pusat Masyumi. Bila
diurut, kedudukan Mohamad Roem dalam pimpinaan pusat Masyumi adalah
sebagai berikut: periode 1 tahun 1945-1949, Mohamad Roem menjabat sebagai
anggota; periode II tahun 1949-1951, juga duduk sebagai anggota; periode III
tahun 1951-1952, Mohamad Roem menjabat sebagai Wakil Ketua; periode IV
tahun 1952-1954, periode V 1954-1956, dan periode tahun VI tahun 1956-1959
kembali Mohamad Roem menjabat sebagai anggota pimpinan pusat; dan pada
periode terakhir, yaitu periode VII tahun 1959-1960, Mohamad Roem menjabat
sebagai Wakil Ketua III.
Dari Sususan Pengurus Pusat Masyumi tersebut, terlihat bahwa Mohamad
Roem termasuk salah satu anggota Pengurus Pusat Masyumi yang dibentuk dalam
Muktamar pertama tahun 1945 sampai Muktamar terakhir 1959. Selama menjadi
anggota Masyumi, Mohamad Roem banyak terlibat dalam bidang pemerintahan
yang berkali-kali mendudukkannya sebagai menteri dalam berbagai kabinet dan
pernah satu kali menjadi Wakil Perdana Menteri. Mohamad Roem lebih banyak
menyumbangkan tenaganya kepada pemerintah, dan tidak begitu menonjol dalam
kepartaian secara langsung.
Setelah tidak terlalu lama Masyumi berdiri di Yogyakarta, Mohamad
Roem kembali ke Jakarta untuk menjalankan tugasnya sebagai Ketua KNI Jakarta
Raya. Ketika peristiwa penembakan terhadap Mohamad Roem terjadi (sekitar
November 1945), untuk sementara Mohamad Roem berhenti dari berbagai
kegiatan, termasuk kegiatan Partai Politik Masyumi pada awal berdirinya.
Baru tiga bulan aktif dalam pengurus pusat Masyumi di Yogyakarta,
Mohamad Roem terpaksa melepaskan kembali kepengurusannya karena berkaitan
dengan pengangkatan dirinya sebagai menteri dalam Kabinet Sjahrir III (2
Oktober 1946-27 Juni 1947). Ketika Kabinet Sjahrir III jatuh dan digantikan oleh
Kabinet Amir Sjarifuddin, Mohamad Roem pun ikut duduk dalam kabinet itu
sebagai Menteri Dalam Negeri (11 November 1947-29 Januari 1948). Antara 20
Desember 1949-6 Desember 1950, Mohamad Roem menjabat sebagai Menteri
Negara dalam Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) setelah sebelumnya sibuk
berunding dengan Belanda yang membuahkan pernyataan Roem-Royen dan
KMB.
Antara 6 September 1950-27 April 1951, Mohamad Roem duduk sebagai
Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Mohammad Natsir. Ketika Kabinet Natsir
jatuh dan digantikan oleh Kabinet Soekiman (1951-1952), Mohamad Roem tidak
duduk lagi dalam kabinet. Mohamad Roem kembali aktif dalam partai dan
menyiapkan dirinya turun ke daerah-daerah diseluruh Indonesia, menghadiri
konferensi dan rapat-rapat. Pada tahun 1952 Kabinet Soekiman jatuh dan
digantikan oleh Kabinet Wilopo (3 April-30 Juli 1953), dan Mohamad Roem
kembali duduk dalam kabinet menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kabinet
Wilopo pun akhirnya jatuh dan digantikan secara berturut-turut adalah Kabinet
Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dan Kabinet Burhanuddin Harahap (19551957). Dalam dua kabinet terakhir tersebut, Mohamad Roem tidak duduk dalam
kabinet, baru setelah Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh dan digantikan Kabinet
Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-9 April 1957), Mohamad Roem duduk
kembali dalam kabinet sebagai Wakil Perdana Menteri.
Kedudukan Mohamad Roem dalam bidang pemerintahan berakhir ketika
kabinet ini pun jatuh dan diganti dengan Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli
1959) yang merupakan masa transisi menjelang munculnya Demokrasi Terpimpin
tahun 1956-1966. Mohamad Roem kemudian lebih mencurahkan perhatiannya
terhadap Masyumi sampai partai ini bubar pada 13 September 1960 sehubungan
dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no. 200/1960 tertanggal 17 Agustus
1960.25
Tidaklah mengherankan jika Mohamad Roem, walau menjadi anggota
Masyumi, memutuskan untuk duduk dalam satu kabinet yang tidak didukung oleh
Masyumi. Tidak ada keterangan apakah sikapnya ini menimbulkan ketegangan
antara Mohamad Roem dengan pemimpin Masyumi. Akan tetapi, yang jelas,
sikap inilah yang berlanjut sampai tahun 1968 ketika Mohamad Roem terpilih
menjadi Ketua Umum PMI, atau ketika menerima pencalonannya sebagai anggota
parlemen dalam pemilu 197226.
25
26
Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya, h. 34-46.
Basri dan Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, h. 231.
B. Perjuangan Mohamad Roem Dalam Bidang Politik
Faktor yang amat mempengaruhi Mohamad Roem sebagai diplomat dan
perunding bukanlah semata-mata bakat atau warisan ketrampilan yang diperoleh
dari Agus Salim, melainkan bentukan pribadi yang bebas. Dengan bentukan itu,
Mohamad Roem terbebas dari rasa risih untuk bertindak sebagai perunding sebab
waktu itu kelompok-kelompok kekuatan perlawanan terhadap Belanda lebih
menekankan perjuangan fisik daripada perundingan.
Debut pertama diplomasinya berlangsung ketika kekuasaan Republik Indonesia
semakin lama semakin tergerogoti. Ketika Mohamad Roem menerima jabatan
Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III, Mohamad Roem sangat sadar
bahwa wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang efektif hanya di yogyakarta
dan Aceh. Alasan ini mendorong Mohamad Roem bersedia menjadi anggota
delegasi perjanjian Linggarjati, Walau Masyumi, partainya sendiri, menolak
perjanjian tersebut.
Perjuangan diplomasi ini merupakan jalan panjang yang mendebarkan
sebab setiap tahap perundingan melahirkan kekeruhan, walau hasil yang dicapai
dapat dijadikan dasar berpijak dalam perudingan selanjutnya. Perundingan pun
merupakan jalan bertahap menuju kemerdekaan. Perundingan Linggarjati
merupakan kelanjutan dari perundingan-perundingan informal lainnya, termasuk
antara Soekarno-Hatta atas desakan Inggris dengan Belanda, atau antara Sjahrir
sebagai perdana menteri dan Dr. Van Mook sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda serta Christison wakil dari tentara sekutu. Perundingan Linggarjati yang
lebih dulu diawali dengan praperundingan di Jakarta 7-14 Oktober 1945,
melahirkan gencatan senjata yang memungkinkan pertemuan berikutnya.
Betapa pun perjanjian Linggarjati diliputi kekeruhan, kondisi struktural
mengharuskan perjuangan diplomasi berjalan terus. Serangan Belanda terhadap
kedaulatan Indonesia membangkitkan amarah dunia yang menyebabkan pada
tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya permusuhan
di Indonesia dihentikan dan diselesaikan dengan satu perantara atau dengan cara
yang lain, perdamaian. Dalam waktu hampir bersamaan dengan tekanan-tekanan
internasional itu, di Indonesia terjadi perubahan-perubahan politik yang
menentukan nasib Mohamad Roem di dunia diplomasi. Kegagalan perjanjian
Linggarjati telah menimbulkan krisis kepemimpinan Sjahrir.
Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin inilah, atas prakarsa KTN, usaha-usaha
perundingan Indonesia-Belanda dilaksanakan kembali. Perundingan ini terjadi
pada tanggal 8 Desember 1947 diatas kapal Renville, yang kemudian dikenal
sebagai perjanjian Renville, dengan Mohamad Roem sebagai anggota.
Keikutusertaan dalam perundingan Linggarjati tetap mengikat Mohamad Roem
untuk terus menekuni bidang ini sampai terjadi krisis Kabinet Amir Sjarifuddin.
Setalah itu dibentuk kabinet baru dibawah pimpinan Hatta. Sekali lagi, Mohamad
Roem dipercaya sebagai ketua delegasi Indonesia untuk perundingan-perundingan
selanjutnya. Kabinet baru ini mencanangkan 4 pasal program: pertama, berunding
dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville; kedua, meningkatkan
pembentukan Indonesia Serikat; ketiga, rasionalisasi tentara dan ekonomi;
keempat, pembangunan fisik akibat kerusakan-kerusakan selama pendudukan
jepang.27
Campur tangan Dewan Keamanan PBB ini melahirkan sebuah panitia jasa-jasa
baik yang meskipun tak memiliki wewenang kecuali wewenang moril. Dengan
demikian jelas, bahwa persetujuan Renville ini merupakan hasil antara panitia
jasa-jasa baik dengan suatu Badan Internasional yang tingkatnya tinggi sekali,
yaitu Dewan Keamanan PBB. Kemudian harinya, panitia jasa-baik ini diberi tugas
untuk memantau tanpa wewenang yang mengikat pelaksanaan dari persetujuan
27
Ibid., h. 231-237.
Renville ini. Namun demikian, sejarah pun berulang dan nasib persetujuan ini
sama saja dengan persetujuan Linggarjati.
Perlu juga diterangkan bahwa sejak Dewan Keamanan PBB membentuk
Panitia Jasa-Jasa Baik, sengketa Indonesia-Belanda ini, di mana perlu, dibicarakan
dalam forum Dewan Keamanan. Dan karena itulah, sampai berakhirnya sengketa
Indonesia dilakukannya penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949,
selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan
sidang mengenai sengketa itu, lebih dari 90 kali.28
Pada tanggal 14 April 1949 mulailah perundingan Belanda-Indonesia
dengan prakarsa Komisi Tiga Negara PBB yang sudah memperoleh kekuasaan
lebih besar dari “Pedoman Kanada” Indonesia diwakili oleh Mohamad Roem,
Belanda diwakili Dr. J.H. Van Royen, dan ketua KTN adalah Cochran. Nada
pidato Van Royen lemah lembut, barangkali untuk menghapuskan kesan negatif
dirinya sewaktu aktif di PBB. Tetapi pidato pembukaan Mohamad Roem sangat
tegas dan keras:
“Agresi Militer Belanda yang kedua telah mengakibatkan hilangnya sama sekali kepercayaan Rakyat Indonesia
bagi berhasilnya perundingan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 harus
dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di
Yogyakarta. Setelah itu baru soal-soal lain bisa dibicarakan kemudian.”29
Perundingan Mohamad Roem-Van Royen yang beberapa kali juga
disaksikan oleh Cochran, ternyata merupakan karya puncak Mohamad Roem
dalam diplomasi. Hasil dari karya diplomat tersebut berupa suatu pernyataan Van
Royen dan Mohamad Roem, yang merupakan dokumen bersejarah yang penting
bagi kelanjutan tegaknya Republik Indonesia. Dengan demikian dokumen Roem-
28
Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI
(Jakarta: Gramedia, 1989), h. 7-8.
29
Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding, h.153.
Royen menempati kedudukan yang khas yang dikenal oleh seluruh dunia. Ini pula
telah menempatkan Mohamad Roem dalam deretan nama-nama diplomat dunia
dengan hasil karya yang senafas dengan sebutan namanya pribadi.30
Mengenai persetujuan Roem-Royen, Mohamad Roem dalam wawancara
yang diberikan kepada Alastrair Taylor menjelaskan sebagai berikut:
“perundingan-perundingan itu didasarkan atas Resolusi Dewan
Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949, yang sebagian terbesarnya
sesungguhnya ditolak oleh Belanda. Belanda menandinginya dengan
Rencana Beel dan usul Konferensi Meja Bundar. Kami berpendapat, kalau
kami menerima hal itu berarti kami tidak memiliki dukungan apa-apa di
belakang kami pada saat memasuki ruang konferensi tersebut, dan kami
hanya tampil sebagai perorangan saja. Selalu menjadi pendirian kami
untuk menerima sesuatu usul yang isinya tidak seluruhnya buruk
walaupun misalnya Belanda tidak menolak Resolusi 28 Januari 1949
tersebut. Maka kami berkata: kami hanya bersedia datang ke Konferensi
Meja Bundar sebagai Republik Indonesia, dan kami hanya mau berangkat
dari Yogyakarta, bukan dari Bangka. Hasilnya adalah suatu kemacetan.”31
Konferensi Meja Bundar di Den Haaq, yang sudah disetujui oleh kedua
pihak dalam pernyatan Roem-Royen, dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 dan
selesai pada tanggal 2 November 1949. Pada saat itu Republik Indonesia sudah
merasa sangat terkejar waktu, sebab tetap ingin melaksanakan cita-cita lama yaitu
mencapai Indonesia berdaulat dan merdeka selambat-lambatnya pada I Januari
1950, seperti pernah tercantum dalam persetujuan Linggarjati. Cita-cita
tersebut ternyata dapat dikejar, karena pada tanggal 27 Desenber 1949, jadi
sebelum batas akhir waktumya yaitu pada tanggal 1 Januari 1950, pada saat
bersamaan, di Amsterdam dan di Jakarta berlangsung upacara penyerahan dan
30
31
Ibid., h.154.
Ibid., h. 156-157.
pengakuan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat, di Amsterdam
pada jam 10.00 dan di Jakarta pada jam 17.00.32
Ketika Demokrasi Terpimpin dibawah rezim Soekarno tumbang dan
diganti
oleh
Orde
Baru
dibawah
pimpinan
Soeharto, umat Islam
menginginkan terbentuknya kembali wadah baru bagi mereka sebagai pengganti
Masyumi yang telah bubar saat masa pemerintahan Soekarno. Umat Islam zaman
Orba akhirnya di bawah Badan Koordinasi Amal Muslimin membentuk “panitia
Tujuh” untuk melahirkan suatu partai baru. Ketujuh panitia anggota tersebut ialah
Fakih Usman, Anwar Harjono, Agus Sudono, Ny. Sjamsuridjal, Hasan Baru, E. Z.
Muttaqien, dan Marzuki Jatim.33
Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto pada
awalnya memberikan harapan baru bagi tegaknya keadilan dan kebenaran di
negeri kita. Hukum memperoleh udara segar kembali untuk ditegakkan, dan
demokrasi mendapat siraman semangat yang mengairahkan. “Waktu itulah
umumnya kaum politisi memberikan tafsiran, bahwa lembaran kehidupan
politik dan kenegaraan baru akan benar-benar dimulai”.34
Mohamad Roem dengan tekun mengikuti permasalahan dan sewaktuwaktu memberikan tanggapan dan komentarnya secara tertulis, dimuat dalam
surat kabar atau majalah atau diterbitkan sendiri dalam bentuk brosur. Sampai pun
pada pemilihan umum yang ke-II dalam pemerintahan Presiden Soeharto, masih
banyak hal-hal yang tidak wajar berlaku didalamnya. Oleh karena itu sikap
32
Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak perjuangan RI, h. 14.
Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h. 46.
34
Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun pejuang-perunding, h. 95.
33
Mohamad Roem terhadap pemilihan umum tanggal 2 Mei 1977, tidak berbeda
dengan sikapnya terhadap pemilihan umum tahun 1971. Sikap itu adalah tidak
berselera.35
Kemampuan Mohamad Roem sebagai diplomat tidak hanya kedekatannya
dengan Haji Agus Salim, tetapi juga karena pengaruh pendidikannya di bidang
hukum. Gelar Sarjana Hukum yang berhasil diraihnya terbukti mampu
mendukung kemampuan Mohamad Roem dalam berdiplomasi. Hal ini bisa dilihat
dari kejeliannya dalam mengkaji kata demi kata yang sudah dituangkan dalam
naskah perundingan. Dari penelaahan tersebut, Mohamad Roem bisa melihat
apakah kalimat-kalimat dalam naskah perundingan yang belum ditandatangani itu
bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda atau tidak.
Selain faktor pengalaman pendidikan, ada satu faktor lagi yang ikut
mendukung kemampuannya, yaitu keyakinan yang mendalam akan ajaran agama
Islam yang dipeluknya. Islam dijadikan dasar dalam segala hal, sebab faktor
demokrasi dan hak asasi manusia dalam Islam dijunjung tinggi mengingat Islam
sendiri memandang kedudukan manusia dihadapan Allah SWT adalah sama, yang
membedakan hanyalah ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan berlandaskan
keimanan yang kuat, Mohamad Roem sangat gigih mempertahankan segala
sesuatu yang dianggapnya benar dan adil. Mohamad Roem berpendapat bahwa
sesuatu yang benar dan adil bila diperjuangkan dengan gigih, cepat atau lambat
akan memperoleh kemenangan.
35
Ibid., h 101.
Karena itulah, Mohamad Roem kemudian terjun dalam bidang diplomasi
sepenuh hati. Segala usaha diniatkannya dengan ikhlas untuk memperjuangkan
kebenaran dan keadilan yang ditujukan bagi kedaulatan bangsa dan negara
Indonesia sepenuhnya. Walaupun pada masa itu perjuangan Mohamad Roem
terkadang menimbulkan berbagai tanggapan yang bersifat kontroversial, tetapi
sejarah membuktikan bahwa perjuangannya tidak sia-sia karena Indonesia
berhasil meraih kembali kedaulatannya secara penuh pada tanggal 27 Desember
194936.
Dalam konteks inilah medan perundingan dan Mohamad Roem harus
dipahami. Sebab, setelah menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal
27 Desember 1949, Lovink, Wakil Ratu Belanda di Indonesia, bersama Mohamad
Roem berangkat ke lapangan terbang Kemayoran untuk kembali ke Belanda.
Kendaraan yang membawa mereka ke Kemayoran masih mengibarkan bendera
Tiga Warna. Akan tetapi, setelah pulang dari Kemayoran kendaraan Mohamad
Roem dihiasi bendera Merah Putih yang berkibar-kibar dengan lincahnya. Lovink
pergi, setelah Konferensi Meja Bundar selesai pada 22 November. Bersamaan
dengan keberangkatan itu, Hatta terbang ke Nederland untuk menerima
pengakuan kedaulatan de jure dari Belanda. Berdasarkan KMB inilah setelah
diselingi munculnya Republik Serikat (RIS) yang hanya berumur 7 bulan
Republik Kesatuan Indonesia tercapai.
Bahwa perkembangan Republik Indonesia dewasa ini mengalami
kemajuan yang sangat pesat adalah benar. Meski demikian, kemajuan-kemajuan
36
Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h.58-59.
itu harus tegak berdiri atas dasar pembentukan landasan yang dirintis secara
perlahan dan bertahap melalui periode perundingan yang diselingi dengan hingar
bingarnya pertempuran didaerah pinggiran. Mohamad Roem hampir sepenuhnya
berada dalam dunia diplomasi, suatu dunia nonpersenjataan yang ikut
memberikan andil tidak kecil lagi bagi kemerdekaan Indonesia, justru pada saatsaat senjata fisik Indonesia tidak lagi berbicara banyak.37
37
Bashri dan Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, h. 243-244.
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM
Dasar Pemikiran Politik Mohamad Roem
Masa muda Mohamad Roem diakhiri setelah hidupnya berkeluarga, dan menjadi
seorang Bapak. Begitu juga masa muda itu berlalu, setelah dimulainya kehidupan
dalam masyarakat mengabdi melalui keahlian yang dipelajari selama bersekolah
sebagai ahli hukum. Dibukanya kantor advokat, pembela, dengan papan nama
jabatannya”Mr. Mohamad Roem” di Jakarta.
Sebelum berdiri secara penuh itupun, sesungguhnya telah ditempuhnya
pula kegiatan bidang pekerjaan tersebut sewaktu dia masih menjadi mahasiswa,
dan mengikuti team-team pembela dari Partai Syarikat Islam di muka pengadilan
negeri.
Ini berarti Mohamad Roem telah memilih jalan kehidupannya, berdiri
berusaha sendiri, dan tidak pernah bekerja menjadi pegawai negeri pemerintahan
kolonial Belanda dan pemerintahan pendudukan Jepang. Di pilihnya peranan dan
kesibukkan yang dekat kepada rakyat, dekat pada lingkungan pejuang-pejuang,
dan bersimpati kepada mereka yang mengalami nasib kurang menyenangkan atau
menderita.38
Berkaitan dengan itu, Mohamad Roem yang sedang tumbuh sebagai pemuda
dengan segenap potensinya mulai tertarik untuk belajar berorganisasi melalui
organisasi pemuda atau pelajar yang ada pada saat itu. Mohamad Roem mulai
belajar berorganisasi ketika ia melanjutkan studinya dari HIS di Temanggung ke
STOVIA di Jakarta 1924.
Menurutnya, radikalisme PSII dan gerakan lainnya harus dilihat dari
konteks yang lebih luas. Sekitar tahun 1920-an depresi ekonomi menyebabkan
lahirnya perubahan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Menurunnya tingkat
38
Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 15.
ekspor mendorong runtuhnya perusahaan-perusahaan Barat. Keadaan ini
menyebabkan dilaksanakannya penghematan dana. Pajak ekspor dihapus,
sementara pajak rakyat naik mencapai 34 juta gulden pada tahun 1925. Akibatnya,
pengangguran meningkat dan menyebabkan tumbuhnya radikalisasi gerakan
nasionalis.39
Perkumpulan pemuda dalam pergerakan Jong Java dan JIB mempunyai arti
penting sebagai dasar perjuangan selanjutnya. Hal ini diakui sendiri oleh
Mohamad Roem:
“Didalam pergerakan Jong Java dan JIB itu kami semua umumnya
sudah menyadari bahwa dengan berorganisasi itu kami kelak akan menjadi
pemimpin-pemimpin bangsa di kemudian hari. Waktu itu kaum terpelajar
bangsa kita menyadari bahwa mereka mendapat kesempatan untuk maju.
Karena itu, mereka harus mempunyai tekad untuk memimpin bangsanya
yang masih sangat tertinggal di segala bidang kehidupan.”40
Dalam hiruk pikuk suasana gerakan nasionalisme ini Mohamad Roem
muncul. Sebagai orang pilihan yang memiliki kesempatan mengecap dunia
pendidikan suasana semacam itu sangat mempengaruhi persepsi Mohamad Roem
ketika berhadapan dengan kenyataan sosial politik bangsanya. Pilihan hidup yang
dijalaninya kemudian, sebagaimana Mohamad Roem yang dikenal sekarang,
menunjukkan pengaruh suasana itu kedalam dirinya.
Mohamad Roem tidak muncul sebagai tokoh nasionalis “Sekular”, walau
secara umum baik dengan Hatta, Sukarno, Ali Sastroamidjojo, maupun Sjahrir
memiliki persepsi yang sama tentang masa depan bangsanya. Pilihan afiliasinya
pada kelompok gerakan nasionalis Islam ditentukan oleh proses sosialisasi nilai
39
Yanto Bashri dan Retno Suffatni, ed.,Sejarah Tokoh Bangsa (Yogyakarta: PT Lkis,
2005), h. 225.
40
Iin Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang:
Indonesiatera, 2002), h.19.
yang berlangsung ketika Mohamad Roem masih kanak-kanak. Dulkarnaen
Djojosasmito, ayah Mohamad Roem, menyerahkan pendidikan agama anakanaknya kepada Pak Wongso. Lewat Kiai inilah Mohamad Roem mempelajari
Islam. Dulkarnaen-sebagaimana diakui Mohamad Roem-sebenarnya bukanlah
seorang ahli agama, bahkan dari berbagai segi menunjukkan adanya pembauran
antara nilai Jawa dan Islam sehingga mempersulit memasukkannya ke dalam
kelompok santri. Hanya setidak-tidaknya Dulkarnaen adalah pribadi yang
memiliki kesadaran historis.41
Tampaknya dalam konteks Haji Agus Salim inilah Mohamad Roem harus
dipahami, yakni dalam sikap realistis dan berusaha berdialog dengan kenyataan.
Interaksinya dengan Haji Agus Salim dipergunakan dengan baik untuk
mengembangkan pribadinya. Rumusan pandangan realistis dituangkan dengan
pembentukan pribadi yang bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau
organisasi. Bentukan sikap seperti inilah yang kemudian menentukan putusanputusan politik pribadinya.42
Hubungan yang dekat antara Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim
sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohamad Roem kelak di
kemudian hari. Dalam hal ini Mohamad Roem pernah mengungkapkan
pendapatnya tentang pengaruh kedekatannya dengan Haji Agus Salim:
“Sebagai akibat yang tidak langsung kita berkenalan lebih rapat dengan penasehat JIB dan lain-lain pemimpin
seperti namanya yang disebut di atas (Haji Agus Salim dan H.O.S Tjokroaminoto). Dengan sendirinya kita
tertarik oleh perjuangannya. Meskipun mereka tidak langsung mengajak kita menurut jejak langkah mereka, tapi
terutama pemimpin-pemimpin JIB melihat mereka dari dekat apa yang dikerjakan, apa artinya menjalankan
tugas sebagai pemimpin umat.”43
41
Bashri dan Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, h. 222-223.
Ibid., h. 230-231.
43
Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan perjuangannya, h. 20.
42
Dengan demikian kedekatan Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim
telah mendorongnya untuk berkiprah dalam PSII dan kemudian Pergerakan
Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim dan lain-lain.44
Dampak perubahan kebijaksanaan ini mulai terlihat pada waktu Mohamad
Roem menyelesaikan pendidikannya, baik di HIS, STOVIA, maupun AMS.
Dampak tersebut memperlihatkan diri sebagaimana konsep Kahin (Genesis of the
Indonesian Nationalist Movement). Mereka yang memperoleh pendidikan Barat
menyadari bahwa masa depan kemerdekaan politik Indonesia tidak akan dapat
berarti jika tidak disertai dengan kemerdekaan ekonomi. Dalam pandangan
masyarakat dimana nonpribumi menguasai hampir seluruh modal bangsa, cita-cita
Indonesia merdeka untuk menguasai kehidupan ekonomi menjadi sangat penting.
Perasan seperti ini muncul bersamaan dengan kurang terbukanya lapangan
pekerjaan baik di kalangan terdidik maupun tidak sehingga menimbulkan
kelompok elit yang frustasi. Diskriminasi pekerjaan antara kelompok terdidik
pribumi dan Belanda walau mempunyai title dan ketrampilan sama tetap
berlangsung. Gejala-gejala ini merupakan bagian dari proses pembentukan
nasionalisme Indonesia.45
Maka Mohamad Roem, selaku alumnus Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di
Jakarta, adalah seorang tokoh dengan perlengkapan uantuk mampu memahami
masalah-masalah modern sebuah negara, dan berkat perlengkapan itu ia tidak
terdorong
kepada
praktek-praktek
sloganeering
kepemimpinanya.
44
45
Ibid., h.20-21.
Bashri dan Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, h.220-221.
guna
mendukung
Dalam suatu masyarakat yang masih amat tradisional, yang didominasi
oleh kebutaanhuruf rakyat, pendekatan-pendekatan “dingin” dan “teknokratis”
gaya Mohamad Roem dan para pemimpin sejenis memang tidak menarik orang
banyak. Namun ia diibaratkan fondasi sebuah pencakar langit, yang tidak nampak
mata karena terbenam jauh di dalam tanah. Maka “pencakar langit” Republik
Indonesia pun tidak bisa terbayangkan berdiri tegak tanpa batu-batu fondasi yang
disumbangkan oleh para pemimpin “pemecah masalah” seperti Mohamad Roem.46
Menurut Mohamad Roem, sesuai dengan perundingan di KMB yang
membawa penyerahan dan pengakuan kedaulatan Indonesia, negara-negara
didunia seolah-olah berlomba mengakui Indonesia. Dengan pengakuan itu,
dirasakan perlunya formulasi politik luar negeri, terlebih PBB telah menerima
Indonesia sebagai anggotanya. Formulasi politik luar negeri itu adalah seperti
dibuat oleh Mohamad Roem, “politik bebas tidak tanpa batas dan aktif tidak
immoral.” Pemikiran ini membuktikan bahwa Mohamad Roem termasuk tokoh
yang memberi corak politik luar negeri yang bebas dan aktif.47
Dunia diplomasi bagi Mohamad Roem adalah suatu dunia yang tidak asing
lagi. Sebelum Indonesia merdeka, ia telah mulai menekuni bidang ini bersama
Haji Agus Salim yang juga seorang politikus dan diplomat ulung, oleh Mohamad
Roem dijadikan sebagai “guru” yang membimbingnya baik dibidang agama,
46
Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI
(Jakarta: Gramedia, 1989), h xvi-xvii.
47
Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
h.42.
poltik, maupun diplomasi yang pada akhirnya membawa Mohamad Roem sebagai
salah satu diplomat besar di Asia.48
Negara Islam Perspektif Mohamad Roem
Dalam sejarah ketatanegaran pengertian tentang negara senantiasa
berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh karena alam pikiran dari penciptaannya
tidak bebas dari kenyataan disekitarnya. Kenyataan itu bisa berupa agama, aliranaliran atau paham-paham lainnya yang mempengaruhi manusia dalam pandangan
hidupnya. Dari pandangan hidupnya itu tidak heran lagi jika pengertian tentang
negara itu berbeda-beda sepanjang perkembangan sejarah yang berbeda.49
Secara keseluruhan negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia
adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia
dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang
dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.50
Dalam usaha kita menempatkan istilah negara secara proposional, kita
akan mulai dengan mengajukan bermacam-macam teori tentang timbulnya suatu
negara, yang pernah diajukan oleh berbagai ahli pikir, baik dahulu maupun
sekarang. Meski demikian, dalam buku ini hanya dikemukakan satu teori saja,
48
49
Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h.58.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.
170.
50
Mohamad Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya media Pratama,
2000), h. 47.
yang kita anggap dominan di dalam teori pembentukkan negara. Teori itu adalah
teori perjanjian masyarakat.
Deliar Noer, pakar ilmu politik muslim dalam bukunya, “Pengantar ke
Pemikiran Politik”, menyimpulkan antara lain sebagai berikut:”Negara adalah
semacam bentuk ikatan antarmanusia, semacam bentuk kumpulan yang pada
akhirnya dapat menggunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Bentuk
ikatan ini, pada umumnya, ada dua macam. Pertama, yang meliputi keseluruhan
segi kehidupan manusia. Kedua, yang meliputi hanya sebagian segi-segi hidup itu.
Dalam sejarah bernegara, terhadap kedua macam ikatan itu, yang satu lebih
dominan daripada yang lain. Dalam negara yang kekuasaan bersifat mutlak dan
bulat pada pihak penguasa, mungkin sekali terjadi bahwa segala segi kehidupan
rakyat termasuk segi rohaniahnya dikuasai oleh negara. Sebaliknya, dalam negara
yang tidak membulatkan kekuasaan pada tangan penguasa, tapi memberikan
kebebasan pada warganya, hanya beberapa segi kehidupan sosial warga yang
dikuasai oleh negara. Dalam hal ini, kekuasaan negara terbatas. Batasbatasnyapun ditentukan secara bersama pula. Ikatan bernegara, dengan sendirinya,
tidak bersifat menyeluruh.51
Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah
satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak
hampir se-abad lalu hingga saat ini, tetapi belum terpecahkan secara tuntas.
Diskusi ini bahkan belakangan makin hangat, ketika kebangkitan Islam menemui
momentumnya, yang hampir melanda seluruh dunia Islam. Pengalaman yang
51
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), h.1,9.
terjadi dalam masyarakat Islam, terutama usai perang dunia II mengesankan
hubungan yang canggung antara Islam (dien) dan negara (dawlah), atau bahkan
politik pada umumnya. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan
antara dien dengan konsep dan kultur politik Masyarakat muslim dan eksperimen
itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara
dan politik juga berbeda-beda. Sampai saat ini perdebatan panjang tentang
pertanyaan; Apakah negara Islam? Dan negara manakah yang dapat disebut
sebagai negara yang yang benar-benar merupakan prototype (pola dasar) dari apa
yang disebut sebagai “Negara Islam”. Dan seperti apakah bentuk dari negara
Islam?.52
Negara menurut pandangan Islam bukanlah seperti negara yang dikenal
dunia sebelum dan sesudah Islam. Menurut al Qordhawi negara Islam bukanlah
negara kaum agamawan atau teokrasi yang menjerat dan mengendalikan
masyarakat mengatasnamakan hak Illahi. Bukan pula negara kaum pendeta yang
mendakwakan bahwa mereka mewakili keinginan sang pencipta di dunia yang
fana, akan tetapi negara Islam adalah negara madani yang berlandaskan Islam,
ditegakkan berdasarkan bai’at dan musyawarah dimana pemimpin yang diangkat
adalah dari orang-orang yang jujur dan terpercaya, kuat dan penuh perhatian.53
Dalam sejarahnya, bentuk pemerintahan Islam tidaklah baku, menurut
Haikal, Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan
dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itu adalah prinsip tauhid,
52
53
Ibid., h. 421.
Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h. 30.
sunatullah dan persamaan manusia. Dengan demikian apapun bentuk dan sistem
suatu pemerintahan selama dijalankan untuk tujuan merealisasikan prinsip-prinsip
dasar negara Islam dan ditegakkan diatas landasan prinsip-prinsip tersebut, tetap
saja disebut pemerintahan Islam.54
Pemerintahan Islam bersifat konstitusional bukanlah absolut karena ia
terikat oleh kehendak rakyat dan perintah dan larangan Allah dan para penguasa
dalam negara Islam harus bermusyawarah dengan rakyatnaya dan terikat dengan
hasil musyawarah tersebut.
Menurut Haikal bahwa pemerintahan Islam berbentuk demokrasi namun
menurutnya sistem demokrasi tersebut berbeda dengan demokrasi barat. ia
menjelaskan bahwa meskipun terlihat persamaan, namun tetap ada perbedan yang
sangat mendasar. Bahwa demokrasi yang dibangun Islam mengacu pada ajaran
Islam dan mempunyai landasan kuat pada ajaran agama. Sedang demokrasi barat
tidak ada kaitannya dengan agama.55
Konsepsi tentang negara dikalangan pemikir Islam menjadi perdebatan,
bahkan mengarah kepada perbedaan persepsi tentang hakekat negara itu sendiri.
Perbedaan tersebut muncul dari persepsi yang besifat teologis, yaitu tidak adanya
keterangan tegas tentang negara dalam sumber-sumber Islam baik dalam AlQur’an maupun as-Sunnah. Memang terdapat beberapa istilah yang sering
dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalifah, dawlah, atau hukumah.
Namun istilah-istilah terrsebut berada dalam kategori ayat-ayat Zanniyat yang
54
Musdah Nulia, Negara Islam, Pemikiran politik Husain Haikal (Jakarta: Paramadina,
1999), h. 203.
55
Ibid., h.208.
memungkinkan penafsiran Al-Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas
tentang bentuk negara, konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan.56
Hubungan integral antara agama dengan politik dalam Islam dan
penegasan
himbauan
pihak
muslim
untuk
merealisir
ketetapan
Allah,
memperlihatkan refleksinya dalam kecenderungan meninjau pemberontakanpemberontakan politik dan sosial. (seumpama perang Riddat, hak-hak sosial bagi
muslim non-Arab, pemisahan politik oleh pihak Syi’ah maupun Khawarij) bukan
sekedar permasalahan politik tapi pula permasalahan keagamaan. Pemberontakan
suku-suku Arab sesudah Muhammad wafat bukan suatu pengkhianatan (treason)
akan tetapi belot agama (apostasy). Penjelmaan sistematik dari ide Islam termuat
dalam hukum Islam. Walau bagaimanapun, seperti dapat kita saksikan, realitas
sejarah sering dihadapkan kepada keganjilan-keganjilan ditilik dari ide yang
formatif itu. Ekspansi luar biasa pada permulaan beserta perkembangan Islam
sebagai negara memestikan keputusan-keputusan yang segera dari pihak para
Khalifah dan para Panglima daripada perencanaan yang reflektif dari pihak
sarjana (scholars=ulama) dan perumus politik (policy makers). Infrastuktur dalam
bidang politik maupun sosial pada masa Umayyah maupun Abbasiah bukan lahir
dari penafsiran-penafsiran yang sistematik dan aplikasi ideology Islam akan tetapi
akibat menampung kebijaksanaan rezim yang digantikan, terutama dari pihak
Bizantium dan dari pihak Sassanids.
Tuntutan yang luas dari pandangan Islam dalam perbandingannya dengan
watak yang berbeda dari pemerintahan Islam, yakni diskrepansi yang tajam antara
56
Din Syamsuddin, Etika Agama, Dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta:
Logos, 2002), h. 77.
idea yang diwahyukan dengan realiatas politik, menyebabkan timbul tantangan
bagi kesadaran pihak muslim, terlebih khusus bagi pihak ulama yang menganggap
dirinya”the guardians of Islam”, yakni pihak yang menjaga dan mempertahankan
Islam.57
Politik Islam adalah sebuah nomenklatur berkenaan dengan adanya
perjuangan nilai (baca: Islam) dalam kancah politik. Bermula dari adanya
pemahaman bahwa Islam tak dapat dipisahkan dengan politik, maka kalangan
Islam integralistik ini kemudian menetapkan berbagai agenda dan strategi untuk
menjadikan gerakan politik sebagai ‘prolog’ tegaknya ajaran Islam. Tujuan
fragmatis dari Islam integralistik ini adalah terakomodasinya kepentingan politik
kaum muslimin. Sementara itu, realisai gerakan Islam integralistik terjewantah ke
dalam pendirian partai politik berasaskan Islam, pembentukkan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengusung visi legalistik Islam maupun dalam
bentuk organisasi kemasyarakatan umumnya.
Era politik aliran sudah berlalu memang, namun partai politik berdasarkan
agama khususnya orientalis yang diwakili Oliver Roy, menganggap bahwa politik
Islam mengalami kegagalan. Dengan kata lain. Konsepsi Islam tentang kehidupan,
khususnya dalam berpolitik, selesai sudah, karena tidak menawarkan konsep
apapun yang baru.58
Mula-mula Nabi mengajarkan Islam di Mekkah dengan cara sembunyisembunyi. Pada waktu itu orang-orang Islam yang jumlahnya masih sedikit, kalau
hendak shalat bersama-sama mereka keluar dari kota dan berkumpul di salah satu
57
58
93.
John L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h. 38.
Aay Muhammad Furkon, Menggugat teori politik Islam Oliver Roy, Sabili Juli 2004, h.
daerah perbukitan di sekitar Mekkah. Baru pada akhir tahun ketiga dari awal
kenabian, Nabi mulai menyiarkan agama Islam yang dibawanya dengan cara
terang-terangan, yang kemudian berakibat makin meningkatnya tindakan
permusuhan dan penganiayaan oleh orang-orang kafir Mekkah terhadap Orangorang Islam. Belum cukup dua tahun sejak Nabi menyebarkan Islam secara
terbuka, tindakan permusuhan dan penganiyaan itu sedemikian memuncak,
sampai banyak di antara para pengikut Nabi yang seakan-akan tidak tahan lagi
menanggung deritanya.
Maka atas anjuran Nabi mereka mengungsi ke Abesinia. Mereka berada di
negeri Afrika itu selama tiga bulan, kemudian pulang kembali ke Mekkah karena
mendengar berita bahwa suku Quraisy telah menerima baik agama yang diajarkan
oleh Nabi. Tetapi, ternyata berita itu tidak benar, dan bahkan mereka makin kejam
terhadap pengikut-pengikut Nabi yang lemah, banyak umat Islam yang mengungsi
ke Abesinia dalam jumlah yang lebih besar daripada waktu pengungsian yang
pertama. Sementara Nabi sendiri tetap bertahan di Mekkah.
Pada musim haji tahun berikutnya, tahun kedua belas dari awal kenabian,
dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib menemui Nabi di tempat yang sama,
Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi atau masuk Islam, juga berbaiat
atau berjanji kepada Nabi bahwa mereka tidak mempersekutukan Allah, tidak
akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan
mengkhianati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah sebagai Bai’at Aqabah
pertama.
Kemudian pada musim haji tahun berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga
penduduk Yatsrib yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka
mengundang Nabi untuk hijrah ke Yatsrib dan menyatakan lagi pengakuan
mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi
menemui tamu-tamunya itu di tempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya,
Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat bahwa mereka akan membela
Nabi sebagaimana membela isteri dan anak mereka. Dalam pada itu Nabi akan
memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabatsahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu.
Baiat ini dikenal sebagai Bai’at Aqabah Kedua. Oleh kebanyakan pemikir
politik Islam, dua baiat itu, Bai’at Aqabah Pertama dan Bai’at Aqabah Kedua,
dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan Negara Islam. Berdasarkan
dua baiat itu maka Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke
Yatsrib pada akhir tahun itu juga, dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri
hijrah bergabung dengan mereka.59
Mekkah bagi Nabi tidak cocok untuk dijadikan bumi negara Islam saat itu
karena melihat penduduknya yang begitu keras menentang beliau beserta para
pengikutnya, khususnya dari para tokoh Quraisy. Dan Nabi telah berusaha keras
untuk menemukan wilayah yang dapat dijadikan tempat tinggal bagi kaum
Muslimin dan menjadi cagar bagi da’wah Islamiyah. Untuk itu beliau melakukan
59
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah, pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993), h. 8-9.
upaya untuk mewujudkan apa yang beliau harapkan dengan mengamati keadaan
negeri-negeri lain beserta penduduknya.60
Persoalan yang pertama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah
persoalan
tentang keyakinan malahan persoalan politik. Sewaktu Nabi
Muhammad mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat
membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri, umat Islam waktu itu
baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang
kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi Muhammad
bersama umat Islam yang lainnya seperti kita ketahui, terpaksa meninggalkan kota
ini dan pindah ke Yatsrib, yang kemudian terkenal dengan nama Madinah, yaitu
Kota Nabi.
Di kota ini keadaan Nabi Muhammad dan umat Islam mengalami
perubahan yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat
yang lemah dan tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik
dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi Muhammad
sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang
akhirnya merupakan suatu negara; suatu negara yang daerah kekuasaanya diakhir
zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah
Nabi muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga
mempunyai sifat Kepala Negara.61
Hijrah Nabi Muhammad pada tahun 622 menunjukan permulaan kegiatan
politiknya. Namun, ia tidak dengan tiba-tiba mendapatkan kekuatan politik yang
60
61
92.
Musthalah Maufur, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press, 2000),, h.91.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), h.
begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-lahan; kesepakatankesepakatan dengan warga Madinah yang akan ia masuki (ketika ia masih berada
di Mekkah) berarti pendirian badan politik baru, yang di dalamnya terdapat
kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an.62
Rasulullah bersama-sama dengan para sahabatnya, pada tahun pertama
Hijriyah (622 M), telah membuat suatu “Perjanjian Masyarakat” (Kontrak Sosial)
dengan seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya, baik yang muslim maupun
nonmuslim. Perjanjian masyarakat ini dikenal dengan nama Piagam Madinah atau
“Piagam Nabi Muhammad Saw.” Karena Piagam Madinah dibuat secara tertulis,
secara histories piagam itu merupakan “Perjanjian Masyarakat” tertulis tertua di
dunia.63
Berkat ketabahan hati Nabi dan pemeluk Islam, maka selangkah demi
selangkah umat Islam mencapai kemajuan, tidak saja karena bertambah
banyaknya pengikut kepercayaan itu, malah Nabi juga menyusun masyarakat
berdasar atas ajaran Islam. Maka setelah menjadi orang buronan dari yang
berkuasa di Mekkah, pada akhir hidupnya Nabi berhasil menjadi orang yang
berkuasa di daerah yang lebih luas, yaitu seluruh Jazirah Arab, dengan pengakuan
dari dan dipandang oleh negara-negara sekelilingnya. Masyarakat itu lain dari
yang selama ini ada, masyarakat baru itu bukan merupakan negara yang modern
serupa dengan negara pada abad ke-20 yang kita kenal kini.
Yang menjadi kepala dari Masyarakat itu adalah Nabi sendiri, meskipun
tidak diangkat dengan pemilihan umum seperti pada zaman sekarang, tapi
62
Hamid Fahmi Zarkasyi, Pergolakan Pemikiran Politik Islam (sebuah kajian sejarah)
(Jakarta: PT. Beunebi Cipta,1987), h. 4.
63
Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi Islam, h.19.
pengikut-pengikut Nabi, yaitu orang-orang Islam, memilih Islam tanpa paksaan,
malah ikut mengalami berbagai ancaman dan penganiyaan. Katakanlah
masyarakat itu sudah merupakan sebuah negara. Apa nama negara itu, kita tidak
tahu, dan tidak ada hadits yang menjyebutkan bahwa negara itu mempunyai nama.
Yang terang dan jelas, negara itu mempunyai peraturan yang datangnya langsung
dari Tuhan sendiri, dan pada saat ayat 3 Surat Al Maa-idah itu diturunkan, hukum
dari negara sudah sempurna. Bagi negara itu seluruh al-Qur’an merupakan
undang-undang dasarnya. Nabi, dengan sendirinya mendapat fungsi “Kepala
Negara”. Juga tidak ada sebuah Hadits pun yang mengatakan, bahwa sebagai
“Kepala Negara”, Nabi mempunyai nama yang resmi. Nabi adalah seorang yang
diangkat oleh Tuhan sendiri untuk menyampaikan agama Islam kepada umat
manusia, dan dalam perkembangan mempraktekkan ajaran Tuhan, Nabi
menduduki fungsi Kepala Negara.64
Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk
memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai
Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Seperti diketahui dari sejarah penganti beliau
yang pertama ialah Abu Bakar. Abu Bakar menjadi Kepala Negara yang ada pada
waktu itu dengan nama gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah pengganti (Inggris:
Successor). Kemudian setelah Abu Bakar wafat, Umar Ibn Khattab menggantikan
beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi
Khilafah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalanpersoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan mengambarkan Usman sebagai
64
24.
Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah IV (Jakarta: Bulan Bintang,1988), h. 23-
seorang yang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang
kaya dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu.
Usman mengangkat mereka menjadi Gubernur di daerah-daerah yang
tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur yang diangkat oleh Umar, Khalifah yang
terkenal sebagai orang yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau
kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini
menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai
Khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya
berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang yang ingin
mencalonkan dirinya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang
timbul itu.
Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang, di Mesir Amr Ibn Al-Aas
dijatuhkan sebagai Gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari
anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus
pemberontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan suasana di
Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka
pemberontak di Mesir itu.65
Tapi, Doktrin Sekularisme mengenai pemisahan antara negara dan agama
itu mempunyai pengaruh yang negatif, sampai orang mengatakan, bahwa agama
itu soal pribadi, semacam persiapan untuk menghadapi hidup di akhirat. Malah
ada yang mengumpamakan agama itu seperti baju, yang hanya dipakai kalau
65
Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek jilid I, h. 92-93.
menghadap Tuhan di Gereja, atau kalau pulang ke akhirat baju itu harus ditinggal
dirumah, kalau kita pergi ketempat kerja atau sedang mengurus masyarakat.
Dalam sejarah agama Islam pertentangan kekuasaan semacam itu tidak
ada, yang mempunyai wewenang untuk menentukan hukum menurut agama
adalah al-Qur’an dan Hadits yang dilaksanakan dalam dan oleh Sunnah Rasul
Allah. Muhammad adalah Rasul penutup dan segala sesuatu yang berkenaan
dengan agama, keputusan terakhir dikembalikan pada al-Qur’an dan Hadits tidak
ada kekuasaan didunia yang berwenang untuk menentukan sesuatu yang bersifat
perintah agama, melainkan menafsirkan dan mengambil kesimpulan.66
Dikalangan umat Islam sampai sekarang
terdapat tiga aliran tentang
hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa
Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah
suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala
aspek kehidupan manusia termasuk bernegara.
Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan ketatanegaraan. Menurut aliran
ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul
sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kapada kehidupan
yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah
dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh
terkemuka dari aliran ini antara lain Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.
66
Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah II (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 212.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi
aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha penciptanya.
Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat dalam sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara
tokoh-tokoh dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Dr.
Mohammad Husein Haikal, seorang pengarang Islam yang cukup terkenal dan
penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi. 67
Menurut sejarah umat manusia, yaitu sejarah nabi-nabi dan agama. Maka
manusia sampai kepada kepercayaan ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah melalui
ajaran Nabi dengan sarana Kitab Suci yang diwahyukan. Selanjutnya ajaran Nabi
itu tidak bertentangan dengan akal manusia, akal sehat. Oleh sebab itu agama
Islam juga mengajarkan, bahwa tidak ada paksaan dalam agama, suatu hak asasi
yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Jadi kalau ada orang yang menyatakan,
ia tidak beragama akan tetapi dapat menerima Pancasila, maka bagi negara ia pun
akan diterima.
Orang Islam sesuai dengan kesaksian Haji Agus Salim menerima
Pancasila, karena Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Aqidah agama Islam,
sebagaimana pengikut agama lain menerima ketuhanan Yang Maha Esa sesuai
dengan Aqidah masing-masing. Penerimaan itu Mohamad Roem rasa sudah
67
Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, h. 1-2.
cukup, karena tidak mungkin jika membayangkan orang percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa berdasarkan pemikiran yang lain.
Maka seperti dikatakan oleh majelis-majelis agama dalam maklumatnya
pada hari Sabtu malam, 6 November 1982 (Harian Kompas, 8 November 1982,
halaman satu):
“Wadah musyawarah antar umat beragama menegaskan kembali bahwa
majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi keagamaan sebagai
pembina umatnya masing-masing, bertujuan untuk membina umatnya
masing-masing agar menjadi pengikut pemeluk agama yang taat, sekaligus
warga negara yang Pancasilais.”68
Seorang Kristen yang taat agamanya sekaligus warga negara yang
Pancasilais. Ia tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan
Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila menurut agama identik dengan
Pancasila falsafah negara.69
Begitulah, tidak kurang dan tidak lebih bunyi kepala karangan yang dimuat
dalam panjimas No.376, tanggal 14 Muharram 1403/1 November 1982.
Keterangan yang tegas terdapat dari wawancara dengan Dr. M. Amien Rais. Tentu
kalimat tersebut disertai keterangan, yang dikutip oleh Mohamad Roem:
”al-Qur’an menyuruh kaum muslim untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia
atau pemimpin yang mengunakan Islam sebagai patokan kepemimpinnya, bukannya orang yang munafik dan
kafir”.70
“Sedangkan khilafah, menurut saya, adalah suatu misi kaum
Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan
sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun
cara pelaksanaanya al-Qur’an tidak secara terperinci, tetapi dalam bentuk
global saja. Islamic State atau Negara Islam, saya kira tidak ada dalam al68
Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.
86.
69
Ibid,. h.85-86.
Ahmad Syafii Maarif dan Adi Sasono, Tidak ada Negara Islam Surat-surat politik
Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Djambatan, 1997), h.1.
70
Qur’an maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam
Islam untuk menegakkan Negara Islam,” demikianlah keterangan Dr.
Amien Rais.71
Jika Dr. Amien Rais mengatakan:” Tidak ada Negara Islam” dalam
Sunnah, Mohamad Roem nampaknya setuju, karena di Indonesia istilah Negara
Islam, lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai,
bahkan ada yang alergi mendengar istilah tersebut. Meskipun Mohamad Roem
tidak melakukan pembuktian dengan menunjukkan teks al-Qur’an maupun Hadits
yang terkait, namun jika diteliti Mohamad Roem telah menunjukkan pandangan
serupa dengan tidak mencantumkan pemikiran tentang Negara Islam pada statuten
dan anggaran Masyumi.72
Posisi Mohamad Roem pada organisasi Masyumi di zamannya pada waktu
itu. Mohamad Roem pernah menempati beberapa kedudukan penting didalam
organisasi tersebut yaitu berkisar antara tahun 1945-1960 (kurang dari 15 tahun).
Organisasi Masyumi telah tujuh kali mengadakan pemilihan pimpinan pusat
Masyumi, dan selama tujuh kali pula Mohamad Roem duduk dalam pimpinan
pusat. Mohamad Roem pernah menjabat sebagai anggota pimpinam pusat
Masyumi sampai pada jabatan sebagai wakil ketua pernah dijabat olehnya. Tentu
saja semua itu dijalani oleh Mohamad Roem sebelum pada akhirnya organisasi
Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960.73
Mohamad Roem membuat analogi terhadap keberadaan OKI (Organisasi
Konferensi Islam) dengan membuat ulasan sebagai berikut:
71
Ibid., 1.
Ibid., 2.
73
Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya, h.42.
72
“Sejak beberapa waktu ada Organisasi Internasional, yang resminya
bernama Organisasi konferensi Islam, yang berdiri karena Israel
mencaplok Kota Baitul Maqdis, yang sudah beratus-ratus tahun di tangan
orang Islam, di mana senantiasa ada ketenangan dan kedamaian. Siapa pun
dapat beribadah menurut agama masing-masing. Jika organisasi itu
mengadakan konferensi, maka tidak sering dinamakan konferensi dengan
nama teknis benar, melainkan yang lebih mudah, yaitu konferensi negaranegara Islam. Organisasi itu mempunyai sekretariat di Mekkah. Tiap tahun
mengadakan konferensi, tempatnya berpindah-pindah. Adapun yang
datang di konferensi tahunan itu menteri-menteri luar negeri dari negara
yang ikut serta. Dengan mudah konferensi itu dinamakan konferensi
Menteri Luar Negeri Negara-negara Islam. Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia hadir disitu. Tapi kita akan kurang bijaksana, jika kita
menamakan Bapak Mochtar Kusumaatmadja (pada Kabinet Pembangunan
III, 1982-Penyunting) sebagai menteri luar negeri Islam. Ia adalah menteri
Luar negeri Republik Indonesia.”74
Menurut Mohamad Roem jika ingin menyebut negara Indonesia dengan
tidak melupakan kata Islam, cukup dengan mengatakan “Republik Indonesia yang
mayoritas rakyatnya beragama Islam”. Namun tentu menjadi tidak efisien, karena
harus berkali-kali mengucapkan kalimat yang panjang itu.75
Pandangan Mohamad Roem mengenai masalah politik Islam, misalnya
pembenaran terhadap pendapat Amien Rais yang menyatakan bahwa tidak ada
Negara Islam dalam Sunnah Rasulullah Saw. Bagi Mohamad Roem pandangan
Amien Rais tidak hanya benar, tapi juga bijaksana. Mohamad Roem
menganjurkan, agar istilah itu tidak dipakai di Indonesia karena banyak yang
tidak menyukainnya.
Mohamad Roem sebenarnya tidak pernah mengecek langsung teks alQur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw Mengenai kebenaran tidak adanya
negara Islam. Namun Mohamad Roem menegaskan bahwa perbuatan sia-sia kalau
74
Maarif dan sasono, Tidak Ada Negara Islam, h. 2-3.
Ibid., h.3.
75
istilah itu dicari di dalam sunnah Nabi Saw, yang jumlahnya sangat banyak Nabi
saw memang menyusun dan memimpin masyarakat Islam di Yatsrib (Madinah),
dan kemudian mempersatukannya dengan Mekkah, yang pada hakikatnya suatu
negara. Namun Nabi Saw sendiri tidak menyebutnya dengan nama Negara Islam.
Negara yang dipimpin nabi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, tetapi Nabi
Saw tidak memberinya nama negara Islam. Mohamad Roem mengakui, didunia
ini memang pernah ada Negara Islam tidak dalam nama, tetapi dalam substansi
atau hakikatnya.
Dalam soal perjuangan, Mohamad Roem menyarankan agar umat Islam di
Indonesia mengembangkan dialog berdasarkan niat amar ma’ruf nahi munkar.
Dialog ini bertujuan untuk ikut berpartisipasi kearah membangun masyarakat
yang adil dan makmur. Peserta dialog pun tidak hanya terbatas dengan sesama
umat Islam, tetapi pada semua kalangan masyarakat di Indonesia harus dilibatkan
dalam dialog tersebut, dan didalamnya mereka membicarakan tentang
kepentingan bangsa bukan hanya semata-mata mengenai kepentingan umat
Islam.76
Mohamad Roem beranggapan bahwa, jika Dr. Amien Rais mengatakan
bahwa tidak ada Negara Islam atau Islamic State, memang benar. Oleh karena itu
Mohamad Roem berpendapat bahwa yang disusun oleh Nabi di Yatsrib, kemudian
bersatu dengan Mekkah, yang pada hakekatnya adalah suatu negara, tetapi tidak
dinamakan Negara Islam oleh Nabi sendiri.
76
42.
Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h.
Untuk merekapitulasi: Pada akhir hayat Nabi, pada saat surat al Maaidah
ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh
dan dipimpin oleh Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusus oleh Nabi, akan
tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedangkan hukumnya oleh
Tuhan sudah dinamakan sempurna. Yang menjadi pemimpin, tidak memakai gelar
atau title tersendiri adalah Nabi Rasulullah, seorang yang dipilih oleh Tuhan
sendiri. Mohamad Roem berpendapat bahwa “Negara Islam” atau Islamic State
tidak dalam nama (What is in a name), melainkan dalam substance, pada
hakekatnya.
Mohamad Roem berpendapat bahwa tidak ada lagi negara yang dapat
menyamai negara itu yang dipimpin oleh Nabi Saw, sebab siapapun orangnya
yang memimpin, tidak dapat menyamai Nabi yang mempunyai kedudukan
sebagai seorang Rasul. Menurut Mohamad Roem Paling Negara Islam itu dapat
menjadi cita-cita. Suatu cita-cita yang baik untuk dimiliki, akan tetapi tidak
pernah tercapai, melainkan hanya bisa mendekatinya sebaik mungkin.77
Inti dari pada pemikiran politik Mohamad Roem mengenai Negara Islam
adalah bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi Islam
hanya menyediakan seperangkat tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, yang mana realisasinya tergantung pada Ijtihad masing-masing.78
Non- Muslim yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia itu mempunyai
ciri ambiguity (remang-remang, dapat mempunyai berbagai arti) tidak mempunyai
pengertian, bahwa Islam itu bukan hanya bagi bangsa Arab atau negara Arab saja.
77
Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, h.240.
Agus Nugraha, “ Pemikiran Politik Islam: Sutu pengantar awal,” Refleksi vol IV, no. 3
(2002): h.41-42.
78
Justru ambiguity itu adalah ciri, yang khas, artinya, bahwa Islam itu dapat
berkembang menurut garis sendiri di berbagai Negara. Islam di Indonesia tidak
perlu merupakan “accurate copy” dari Islam di Saudi Arabia atau Islam di
manapun. Apalagi Ijtihad adalah ajaran yang penting bagi mengamalkan Islam.79
Relevansi Pemikiran Politik Mohamad Roem dengan
Perpolitikan di Indonesia, Kaitannya dengan Pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Dr. Amien Rais.
Sekitar 20 partai politik Islam yang ikut serta dalam pemilu demokratis
kedua pada 1999. Dari jumlah tersebut hanya 10 partai Islam yang meraih satu
kursi atau lebih dalam parlemen. Kesepuluh partai Islam itu meliputi PPP (58
kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5
kursi), PP (I kursi), PSII (I kursi), PPII Masyumi (1 kursi), dan PKU (1 kursi).
Disini hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa tanpa melihat kenyataan mayoritas
Indonesia beragama Islam, partai-partai Islam tetap tidak mampu menggalang
dukungan mayoritas secara keseluruhan, dalam pemilu kedua ini. Mereka hanya
memperoleh 37,5% suara (172 kursi), termasuk PKB dan PAN, yang enggan
diidentifikasi sebagai partai Islam. Tanpa kedua partai terakhir ini, mereka hanya
mamperoleh 17,8% suara (87 kursi).80
Gus Dur adalah seseorang yang memililki paham kebangsaan yang tinggi,
yang sangat cinta terhadap tanah air dan bangsa sehingga segala sesuatu yang dia
79
80
Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI , h.243.
Bahtiar Effendy, “Islam Politik Pasca Soeharto,” Refleksi,vol. V, no.2 (2003): h.18
perbuat demi keutuhan bangsa Indonesia. Berawal dari partai yang didirikan oleh
Gus Dur yaitu Partai Kebangkitan Bangsa yang sangat identik sekali akan paham
kebangasaan yang diberi nama bukan atas nama Islam (agamanya). Kemudian
melalui partai tersebut Gus Dur menginginkan agar partai yang didirikannya bisa
diterima oleh seluruh komponen bangsa, yang tujuannya hanya semata-mata
untuk keutuhan negara Indonesia.
Dan Gus Dur termasuk orang yang menghargai sejarah dari para tokoh
terdahulu, kaitan antara Gus Dur dengan Mohamad Roem terletak pada paham
kebangsaan yang mereka miliki mengenai tata nilai yang terpenting dalam negara
agar tercipta keutuhan dalam hidup bernegara sesama bangsa dan agama.
Dikalangan pemuda NU pembaru, popularitas Abdurrahman Wahid
didukung oleh cara-caranya yang demokratis dan merakyat. Dan sudah tentu
bahwa kenyataan ini sangat berbeda dengan tata cara dunia pesantren. Meskipun
begitu, Gus Dur tetap menunjukkan sikap hormatnya kepada dunia ulama. Di
lingkungan pesantren, pada awal 1990-an Gus Dur merupakan sosok kebanggaan
sebagai seorang pemimpin NU yang mempunyai peran nasional, tenar di kalangan
Internasional, dan terutama dapat menjadi tokoh penting dalam membela keadilan
sosial.
Kekuatan Gus Dur di kalangan NU juga sebagai cucu dari pendiri partai
NU, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Banyak para Kiai yang mengatakan bahwa
mereka sering bermimpi para leluhur muncul melindungi Gus Dur pada saat-saat
yang paling gawat. Kemudian selain itu juga didalam kalangan masyarakat
tradisionalis juga berpendapat bahwa keturunan seseorang yang luar biasa pasti
juga memiliki sesuatu yang istimewa pula.
Bahkan para ulama dikalangan NU sendiri sering ragu untuk berurusan
dengan cucu pendiri NU ini, sehingga para pemuda dapat secara bebas meniru
sikapnya yang jauh dari formalisme keagamaan, dan Gus Dur adalah termasuk
orang yang lebih mementingkan nilai dan etika.
Pada tahun 1994, dengan terpilihnya kembali Gus Dur sebagai Ketua
Tanfidziyah, dari kubu pembaruan NU telah membuktikan bahwa mereka
bukanlah ciptaan pihak penguasa sepuluh tahun lalu, melainkan memang
merupakan jawaban atas kebutuhan nyata bagi masyarakatnya.81
Kiprah NU dalam percaturan politik Indonesia pasca-Soeharto, harus
diakui sangat mencengangkan. Puncaknya adalah dengan terpilihnya Gus Dur
sebagai Presiden RI yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua
Tanfidziyah NU. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden adalah merupakan buah
kiprah dari politik NU sebagai jami’iyah keagamaan, dakwah, sosial dan
pendidikan yang secara tidak resmi adalah keringat dari “sayap politik” NU,
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Perjalanan Gus Dur menuju RI terpilih karena ‘berkah’ daripada reformasi.
Hasil pemilu 1999 membuat Partai Golkar tidak lagi sebagi kekuatan mayoritas
dalam parlemen. Di antara kekuatan-kekuatan yang ada, naiknya Gus Dur
mengisyaratkan NU masih dipandang sebagai kekuatan yang signifikan. Padahal,
akibat dibukanya kran demokrasi NU pun mengalami kegamangan ketika
81
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, pencarian, isi, bentuk dan makna (Yogyakarta:
Lkis, 1999), h. 409-410.
menghadapi arus kuat politik yang menyedotnya dan tak terhindarkan, terjadilah
gejolak dalam tubuh NU sendiri. Seperti kita ketahui, bahwa pemilu 1999
memunculkan istilah telor dan kotoran ayam, itu terlontar dari mulut Gus Dur,
akibat munculnya partai-partai NU di luar PKB, seperti PNU, PKU, dan Partai
SUNI.
Selain masalah internal tadi, kemampuan NU merespon perkembangan
politik di luar dirinya kembali menghadapi batu ujian. Fragmentasi sebuah politik
nasional dan konflik berkepanjangan diantara elit politik nasional. Jelas posisi
seperti ini membuat NU semakin sulit untuk memilih bentuk respon yang
diberikan baik secara nyata, maupun tersembunyi disini terdapat perbedaan respon
ketika berhadapan dengan dunia luar.82
Pada awal bergulirnya reformasi, Amien Rais didaulat oleh berbagai
kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Lelaki kelahiran Solo 26 April 1944,
ini sangat menonjol dengan berbagai aktivitas dan pernyataan-pernyataan cerdas
dan keras pada waktu itu.
Keberhasilan Amien Rais dalam menggalang partai-partai berbasis Islam
membentuk poros tengah, suatu bukti kepiawaiannya dalam berpolitik.
Pembentukkan poros tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kericuhan dan perpecahan bangsa, sebagai dari akibat kerasnya persaingan
perebutan jabatan presiden antara Bj. Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati
Soekarnoputri (PDIP).
82
Eman Mulyatman, “Rute Zig Zag NU,” Sabili, Juli 2004, h. 47.
Karier politik Amien Rais, mulai muncul setelah masa rezim Orde Baru.
Amien Rais berkesempatan untuk memimpin Muhammadiyah (1995-2000).
Kesempatan itu diperoleh setelah Amien Rais menjabat sebagai Wakil Ketua
Muhammadiyah dan Asisten Ketua ICMI (1991-1995). Dan kemudian Amien
Rais menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI.
Hal lain yang menjadi catatan untuk Amien Rais adalah yang sering
mengucapkan Selamat Natal dan hari besar agama lain. Dengan sikap Amien Rais
menggandeng Siswono juga disebut sebagian kalangan dari berbagai contoh
inkonsistensinya. Amien Rais dulu mencaci Orde Baru, tapi kini Amien Rais
menggandeng mantan pejabat pada Orde Baru, “ia tidak bisa dipegang,” demikian
pendapat dari beberapa tokoh partai. Ibarat main bola, Amien Rais memang lihai
mengecoh lawan dan mengoper bola. Tapi, ia tidak bisa menciptakan gol. Karena
itulah membuat sebagian kaum muslimin pada akhirnya ragu untuk memberikan
dukungan pada Amien Rais.83
Letak daripada relevansi antara pemikiran Mohamad Roem, Amien Rais,
dan Abdurrahman Wahid yaitu mereka semua sama-sama seorang pemikir dalam
perpolitikan Indonesia dan mereka semua mempunyai semangat jiwa nasionalis
yang tinggi, yang sangat cinta pada kebangsaan dan tanah air. Dan pendapat
mereka yang terpenting bagi Negara Indonesia adalah pola pengaturan ajaran
Islam dalam segi substansi atau tata nilai dan etika dalam bernegara bukan pada
nama negaranya. Sehingga menurut mereka dengan begitu bisa tercipta keadilan
yang merata bagi pertumbuhan negara.
83
164-165.
Hepi Andi Bastoni, “Amien Rais-Siswono jujur, cerdas dan berani,” Sabili, Juli 2004, h.
Amien Rais sepakat dengan pendapat Mohamad Roem mengenai
pembahasan tentang wawasan Islam dalam hubungannya dengan Indonesia yang
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, bahwa aspirasi hukum Islam
sepenuhnya dapat ditampung dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
pada UUD 1945 dan Pancasila.84
84
Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1996), h. 56-57.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Berawal dari latar belakang pendidikan Mohamad Roem, yakni di STOVIA,
disana Mohamad Roem secara tidak langsung menghadapi suasana yang
berbau politik, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan persoalanpersoalan yang sedang dihadapi oleh negara. Mulai dari sanalah perjuangan
politik Mohamad Roem dimulai. Terlebih lagi karena Mohamad Roem
mengikuti berbagai macam organisasi yang pada akhirnya bisa membuka jalan
bagi Mohamad Roem untuk berjuang dalam membela tanah air dan bangsa
Indonesia yang masih tertinggal oleh kehidupan bangsa lain.
Mohamad Roem adalah orang yang berjiwa nasionalis, yang sangat cinta
terhadap bangsa dan tanah air Republik Indonesia. Sehingga segala sesuatu
yang dikerjakan berdasarkan kecintaanya terhadap tanah air. Selain itu juga
bagi Mohamad Roem sosok Haji Agus Salim mempunyai peranan penting
dalam
menentukan
langkah-langkah
politik
Mohamad
Roem
untuk
selanjutnya.
2. Mohamad Roem sampai saat ini dikenal sebagai seorang pejuang dan seorang
perunding, karena pemikiran Mohamad Roem berorientasi sepenuhnya pada
perjuangan bangsa Indonesia, yang menurut Mohamad Roem dari segi
kehidupannya masih terbelakang karena adanya para penjajah. Perjuangannya
dimulai atas beberapa dekade yaitu pada masa panjajahan Belanda,
pendudukan Jepang, dan pada masa Kemerdekaan. Selain itu juga segala
perjuangan yang Mohamad Roem lakukan pada akhirnya membuahkan hasil
yaitu keberhasilan Indonesia untuk mencapai kedaulatan penuh yang berhasil
dicapai pada tanggal 27 Desember 1949.
3. Sebagai seorang diplomat Mohamad Roem mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mencapai kedaulatan penuh negara Indonesia, karena Mohamad
Roem termasuk sebagai anggota delegasi perundingan. Dengan berjiwa
semangat dan juga tegas didalam pencapaian perundingan, sehingga Mohamad
Roem sampai pada saat sekarang ini dikenal sebagai seorang diplomat terbaik
di Asia. Diantaranya peranan Mohamad Roem dalam berbagai perundingan,
yaitu sebagai Anggota Delegasi Perundingan Linggarjati (1946), Perundingan
Renville (1947-1948), Ketua Delegasi Perundingan Roem-Royen (1949), dan
sebagai Wakil Ketua Delegasi Konferensi Meja Bundar (1949). Segala
keberhasilan yang dicapai oleh Mohamad Roem tidak lain didasari oleh
semangat yang tinggi untuk memperjuangkan Negara Republik Indonesia agar
dapat diakui oleh mata dunia.
4. Berawal dari pembenaran pendapat Dr. Amien Rais mengenai “Tidak Ada
Negara Islam,” Mohamad Roem sepakat dengan pendapat tersebut,
menurutnya itu adalah sebuah pernyataan yang sangat bijaksana, dan lebih
baik jangan dipakai karena banyak orang yang tidak menyukainya. Dan
Mohamad Roem mengakui bahwa dia belum pernah mengecek langsung
dalam al-Qur’an dan Hadits, karena Mohamad Roem berfikir semua itu adalah
perbuatan yang sia-sia.
Selain itu juga setahu Mohamad Roem, Nabi Muhammad tidak pernah mengakui bahwa nama negara yang didirikan
di Yastrib dan bersatu dengan Mekkah itu adalah Negara Islam. Walaupan secara tidak langsung negara yang
dipimpin oleh Nabi itu sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara. Yang terpenting bagi Mohamad Roem adalah
substansi atau tata nilai yang terdapat dalam negara berdasarkan pada aturan-aturan Islam, berguna untuk mengatur
kehidupan negara, bukan pada nama negara itu sendiri.
B. SARAN
Alangkah lebih baik jika masih ada orang yang mempunyai jiwa Mohamad Roem, karena mempunyai rasa kepedulian
yang tinggi di dalam memperjuangkan keutuhan Negara Republik Indonesia. Perjuangan-perjuangan yang Mohamad
Roem lakukan sepenuhnya disumbangkan untuk kepentingan negara Indonesia, dari mulai masa penjajahan sampai
mencapai kedaulatan penuh untuk Negara Republik Indonesia.
Menurut pandanagan penulis, memang masih banyak diplomat-diplomat
Indonesia pada saat ini, tetapi mungkin sangat sedikit di Indonesia pada saat ini
seorang diplomat seperti Mohamad Roem yang selalu mempunyai semangat
perjuangan yang tinggi untuk memperjuangkan negara dan memiliki jiwa yang
bersahaja. Penulis rasa bahwa pada saat ini negara Indonesia banyak para
pemerintah atau pejabat yang hanya memperdulikan dirinya dan golongannya
sendiri. Sudah sangat sedikit pejabat yang benar-benar memperjuangkan rakyat
kecil pada saat ini, karena kalau penulis lihat pada akhirnya kemakmuran belum
sepenuhnya merata bagi rakyat Indonesia banyak dari mereka yang kehidupannya
masih sangat terbelakang.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Bashri, Yanto dan Suffatni, Retno, ed. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: PT
Lkis, 2005.
Bastoni, Hepi Andi. ”Amien Rais-Siswono jujur, cerdas, dan berani.” Sabili, Juli
2004.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal menurut konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1995.
Effendy, Bachtiar. ”Islam Politik Pasca Soeharto di Indonesia.” Refleksi Vol. V.
no. 2, 2003.
Feillard, Andree. NU Vis-a-Vis Negara. Pencarian isi, bentuk, dan makna.
Yogyakarta:Lkis, 1999.
Furkon, Aay Muhammad. ”Menggugat teori politik Islam Oliver Roy.” Sabili Juli
2004.
Insaniwati, Iin Nur. Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya.
Magelang: Indonesiatera, 2002.
Kusnadi, Mohamad dan R. Saragih, Bintan. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya media
Pratama, 2000.
L. Esposito, John. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang,1990.
Maarif, Ahmad Syafii dan Sasono, Adi. Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat
Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Jakarta: Djambatan, 1977.
Maufur, Musthalah. Sistem Politik Islam. Jakarta: Robbani Press, 2000.
Mochtar, Kustiniyati, Mohamad Roem: Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan
RI. Jakarta: Gramedia, 1989.
Mulyatman, Eman. ”Rute Zig Zag NU.” Sabili, Juli 2004.
Musthofa, Hadi. Jakarta: Republika, 1995.
Nasution, Harun. Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1922.
_______. Islam ditinjau dari berbagai aspek, jilid I . Jakarta: UI Press, 1985.
Nugraha, Agus. ”Pemikiran Politik Islam: Suatu Pengantar Awal.” Refleksi Vol.
IV. no. 3, 2002.
Nulia, Musdah. Negara Islam, Pemikiran politik Husain Haikal. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Qardhawy, Yusuf. Fiqih Negara. Jakarta: Rabbani Press, 1997.
Rais, Amien. Cakrawala Islam.Bandung: Mizan, 1996.
Roem Mohamad, Bunga Rampai dari Sejarah II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
_______. Bunga Rampai dari Sejarah IV. Jakarta: Bulan Bintang,1988.
Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah, pemikiran. Jakarta:
UI Press, 1993.
Soemarsono, Soemarso. Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding. Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Syamsuddin, Din. Etika Agama, Dalam Membangun Masyarakat Madani.
Jakarta: Logos, 2002.
Zarkasyi, Hamid Fahmi. Pergolakan Pemikiran Politik Islam (sebuah kajian
sejarah) .Jakarta: PT. Beunebi Cipta,1987.
Download