STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SKRIPSI Judul Skripsi : Nama Mahasiswa Nomor Pokok : : STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Muhammad Firly Talib C64104065 Disetujui, Dosen pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA NIP. 131 292 004 Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP. 132 090 871 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799 Tanggal lulus : 27 Oktober 2008 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2008 Muhammad Firly Talib C64104065 RINGKASAN MUHAMMAD FIRLY TALIB. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN dan MUJIZAT KAWAROE Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola zonasi (sebaran) mangrove, struktur mangrove dan makrozoobenthos (moluska) yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove, serta keterkaitan mangrove dengan makrozoobenthosnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2008 di desa Tanah Merah dan desa Oebelo Kecil, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, FPIK IPB, dan P2O LIPI Oseanografi, Jakarta Utara. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, refraktometer, pH-Eh meter, GPS, Roll meter, tali rafia, gunting, kamera, kantung plastik, label beserta alat-alat tulis, data sheet, skop, dan buku penuntun identifikasi mangrove dan makrozoobenthos (moluska), sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan formalin 10%. Pengukuran kondisi ekosistem mangrove dilakukan menggunakan transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m (kategori pohon), 5 m x 5 m (kategori anakan) dan 1 m x 1 m (kategori semai), sedangkan populasi makrozoobenthos menggunakan transek kuadrat 1 m x 1 m. Analisis Koresponden digunakan untuk mengkaji hubungan antara vegetasi mangrove dengan makrozoobenthos (moluska). Ekosistem mangrove di lokasi penelitian relatif heterogen dan ditemukan mencapai 11 spesies mangrove. Kondisi hutan mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo kecil sebagian besar sudah rusak akibat adanya aktifitas pembukaan lahan tambak garam abu. Keanekaragaman makrozoobenthos tinggi pada lokasi yang memiliki kondisi hutan mangrove relatif baik. Makrozoobenthos (moluska) memiliki hubungan yang erat dengan mangrove, tetapi tidak semua jenis makrozoobenthos (moluska) yang ditemukan memiliki hubungan yang erat dengan vegetasi mangrove. KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobenthos yang berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten kupang. Dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, tuntunan, dan pengetahuan 2. Rowi selaku asisten lapang yang telah memberikan banyak bantuan dalam pengambilan data di lapangan 3. BPTP Kupang yang telah memberikan pinjaman alat selama penelitian 4. Keluarga di Kupang terutama Nenek, Baed, Ratna, dan Rahmi yang yang memberikan tempat tinggal, makan, serta bantuan-bantuan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu 5. Kelompok tani Dalekesa Oebelo Kecil yang memberikan pinjaman kapal dan membantu dalam proses penelitian di lapangan 6. Pak Ruslan MSP yang banyak membantu dalam proses identifikasi makrozoobenthos 7. Orang tua tercinta, Kakak, dan Adik yang banyak memberikan dukungan, semangat, dan kasih sayang 8. Rissa Maritsa Oktarina yang banyak membantu dalam proses pembuatan skripsi 9. Pusat penelitian Oceanografi (P2O LIPI) yang memberikan sarana dalam proses identifikasi makrozoobenthos (moluska) 10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Oktober 2008 Muhammad Firly Talib DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ........... .............................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................ 3 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 2.1 Pengertian mangrove................................................................................... 4 2.2 Fungsi dan peranan mangrove …................................................................ 6 2.3 Zonasi mangrove.............................................. .......................................... 6 2.4 Karakteristik vegetasi mangrove.................................................................. 9 2.5 Makrozoobenthos yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove............. 10 3. BAHAN DAN METODE …………………….........…………. .................. 12 3.1 Waktu dan tempat..................................................................................... 12 3.2 Alat dan bahan............................................................................................ 12 3.3 Metode kerja............................................................................................... 12 3.3.1 Penentuan stasiun penelitian............................................................. 12 3.3.2 Pengambilan Contoh Vegetasi Mangrove......................................... 14 3.3.3 Pengambilan data parameter fisika-kimia ………………..………. 15 3.3.4 Pengambilan contoh makrozoobenthos............................................. 16 3.4 Analisis data …….……………….........................…...…………………. 16 3.4.1 Vegetasi mangrove ……..............….................................………… 16 3.4.1.1 Kerapatan jenis dan kerapatan relatif................................... 17 3.4.1.2 Frekuensi jenis dan frekuensi relatif.................................... 17 3.4.1.3 Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis…………...….. 18 3.4.1.4 Indeks nilai penting…….…………………………...…….. 19 3.4.2 Struktur komunitas makrozoobenthos……………..…..................... 19 3.4.2.1 Kepadatan …………...……………………………...…….. 19 3.4.2.2 Keanekaragaman …………...………….…………...…….. 19 3.4.4.2 Keseragaman ………………..……………………...…….. 20 3.4.4.2 Dominansi …………………..……………………...…….. 21 3.4.2.5 Indeks Bray-Curtis.....................................................…….. 22 3.4.2.5. Hubungan makrozoobenthos-mangrove menggunakan analisis koresponden .......................................................... 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………. .................. 23 4.1. Keadaan umum lokasi penelitian............................................................. 23 4.2 Struktur Vegetasi Mangrove..................................................................... 25 4.2.1 Komposisi jenis ……...................….................................………… 25 4.2.2 Kerapatan jenis ……....................….................................………… 28 4.2.3 Indeks nilai penting (INP).…................…........................………… 37 4.2.4 Pola zonasi (sebaran) mangrove …………………………………... 42 4.3 Karakteristik fisika dan kimia di perairan................................................. 46 4.3.1 Suhu …….............…........................................................………… 46 4.3.2 Salinitas ……..............................….................................………… 50 4.3.3 Derajat keasaman (pH) dan reduksi-oksidasi (Eh) tanah….........… 51 4.3.4. Substrat…….............…....................................................………… 52 4.4 Struktur komunitas makrozoobenthos (moluska) .................................... 53 4.4.1 Komposisi jenis dan kepadatan makrozoobenthos (moluska)…..… 53 4.4.2 Keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D).......... 64 4.4.3 Similaritas antar stasiun penelitian…...............................………… 66 4.4.4 Hubungan antara spesies makrozoobenthos dengan vegetasi mangrove tertentu ............................................................................................. 68 5. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 72 5.1. Kesimpulan......................................................................................... 72 5.2. Saran................................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 74 LAMPIRAN....................................................................................................... 77 RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 86 DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter lingkungan mangrove dan makrozoobenthos serta metode atau alat pengukurannya .............................................................................................. 15 2. Indeks nilai penting pohon..............................................………………….... 38 3. Indeks nilai penting anakan...................................................................…….. 39 4. Indeks nilai penting semai..............................…………………..........…….. 41 5. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) makrozoobenthos.......................................………………………..........….. 64 6. Matriks similaritas antar stasiun...................................................................... 66 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola zonasi mangrove (Bengen, 2004) ............................……....………….. 8 2. Peta lokasi stasiun penelitian di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil....….. 13 3. Skematik penempatan transek pengukuran vegetasi mangrove di lokasi pengamtan...................................................................................................... 14 4. Transek pengukuran vegetasi mangrove berdasarkan kategori pohon (10m X 10m), anakan (5m X 5m), dan semai (1m X 1m) …………............……..… 15 5. Transek pengukuran makrozoobenthos …………………............…………. 16 6. Gambaran umum lokasi penelitian di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil. 24 7. Komposisi (%) spesies mangrove pohon ...................................................... 26 8. Komposisi (%) spesies mangrove anakan...................................................... 26 9. Komposisi (%) spesies mangrove semai ..................................................... 27 10. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 1. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai.....................................................................…….........................….. 29 11. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 2. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai ....................................................................………........................... 30 12. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 3. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai.................................................................... ..............…...........…….. 32 13. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 4. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai.................................................................... ....................................... 34 14. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 5. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai.................................................................... ....................................... 36 15. Indeks nilai penting pohon ........................................................................... 38 16. Indeks nilai penting anakan ……………….........................................…..... 40 17. Indeks nilai penting semai.......................................................................….. 41 18. Pola zonasi hutan mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil pada bulan Maret ………………………..............….........................………….. 43 19. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan pertama ........................................................................................................................ 47 20. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan kedua ........................................................................................................................ 48 21. Komposisi (%) spesies makrozoobethos ........................................................ 53 22. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 1......…..........…...............… 56 23. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 2........................................... 56 24. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 3........................................... 58 25. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 4 ……........................…….. 60 26. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 5 ....……….......................... 62 27. Dendrogram similaritas antar stasiun ........................................................... 67 28. Grafik hubungan antara makrozoobenthos dan mangrove ............................ 70 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Waktu pengambilan data...................................................………………...... 77 2. Indeks disimilaritas dan similaritas antar 2 lokasi/stasiun…................……... 77 3. Tabel parameter fisika-kimia............................………………................….. 78 4. Tipe substrat pada stasiun pengamatan ............................…….................….. 79 5. Matriks kepadatan makrozoobenthos terhadap mangrove............................... 80 6. Hasil pengolahan correspondence analysis..................................................... 81 7. Proses pengambilan dan pengolahan data........................................................ 83 8. Foto-foto makrozoobenthos............................................................................. 84 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Zonasi merupakan suatu fenomena ekologi yang menarik di perairan pesisir, yang merupakan daerah yang terkena ritme pasang-surut air laut. Pengaruh dari pasang-surut air laut yang berbeda untuk tiap zona memungkinkan berkembangnya komunitas yang khas untuk masing masing zona di daerah ini (Peterson, 1991). Studi zonasi di perairan pantai berbatu telah banyak dilakukan, sebaliknya studi zonasi di perairan pantai bersubstrat lunak (pasir dan lumpur) masih sangat kurang. Demikian pula informasi mengenai zonasi di perairan pantai di daerah subtropis lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan di daerah tropis (Morton, 1990). Hal ini disebabkan karena penelitian mengenai zonasi di perairan pantai daerah tropis masih belum banyak dilakukan, tidak terkecuali di Indonesia. Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan, serta berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Ekosistem mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, dan serangga. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Menurut Bengen (2004) tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dsb). Banyak fauna khususnya bentos yang berkoeksistensi di hutan mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti kepiting bakau, beberapa jenis krustasea, kerang-kerangan, dan gastropoda. Pemerintah kabupaten Kupang menyatakan bahwa kawasan pesisir di kabupaten Kupang terkena dampak degradasi sumberdaya pesisir akibat kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang di sepanjang 10 km garis pantai selama beberapa dasawarsa terakhir. Walaupun dengan keterbatasan sumberdaya pesisir seperti tersebut di atas sumberdaya manusia pesisir masih mempertahankan mata pencahariannya di bidang perikanan dengan cara ekspansi wilayah. Pemanfaatan potensi yang ada secara maksimal sangat perlu dilakukan agar hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat, dan data sumberdaya pesisir (khususnya hutan mangrove) sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan pengembangan potensi perikanan di kabupaten Kupang, sementara ini data yang tersedia masih sedikit. Ekosistem mangrove berpotensi sebagai penyedia sumberdaya seperti kayu, berbagai jenis kepiting, kerang, udang, moluska yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, ekosistem mangrove juga berperan sebagai penyedia jasa lingkungan , seperti ekowisata. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil topik Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi di Dalamnya. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur dan pola zonasi (sebaran) mangrove; dan struktur komunitas makrozoobenthos (moluska) yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove serta keterkaitan antara sebaran mangrove dan jenis dari makrozoobenthos (moluska) yang ada. Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan adanya pengaruh dari pola zonasi mangrove terhadap sebaran dari jenis-jenis makrozoobenthos (moluska) yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian mangrove Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006). Mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohonan yang khas atau semak yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut (Nybakken, 1992). Anwar et al, (1984) mendefinisikan hutan mangrove sebagai formasi tumbuhan litoral yang tumbuh di daerah pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya tersebar di daerah tropis dan subtropis, sedangkan pengertian dari kata mangrove menurut Darsidi (1986) adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang-surut tetapi mereka juga terdapat pada pantai karang dan daratan koral mati yang di atasnya ditimbuni selapis pasir (lumpur) atau pada pantai berlumpur. Dengan demikian hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Peristiwa pasang-surut yang berpengaruh langsung terhadap ekosistem mangrove menyebabkan komunitas ini umumnya didominasi oleh spesies-spesies pohon yang keras atau semak-semak yang mempunyai manfaat pada perairan payau. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi komunitas mangrove, yaitu salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dan substrat dasar (Nybakken, 1992). Kondisi fisika kimia perairan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh volume air tawar dan air laut yang bercampur. Mangrove tumbuh dengan baik dari ketinggian permukaan laut sampai dengan rata-rata permukaan pasang. Jenis tanaman tersebut bukan saja harus toleran terhadap garam, melainkan juga harus mampu untuk menahan kondisi tergenang dan kondisi-kondisi bawah yang anaerobik. Menurut Bengen dan Dutton (2004) dalam Northcote dan Hartman (2004) karakteristik utama ekosistem mangrove di Indonesia adalah sebagai berikut; tidak dipengaruhi oleh faktor iklim; dipengaruhi oleh kondisi pasang surut; terletak pada tanah yang sebagian besar terdiri dari lumpur dan pasir yang tergenang oleh air laut; terletak pada daerah pantai yang landai; tidak terstruktur berdasarkan penutupannya/stratifikasi berdasarkan tegakan; jenis-jenis pohon mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera, dan Nypa fruiicans; terdiri dari pohon-pohon yang dapat tumbuh mencapai lebih dari 30 meter; komposisi vegetasinya dari pantai adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Rhizophora/Bruguiera, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera, dan Nypa fructicans; komposisi dari spesies-spesies vegetasi yang berasosiasi adalah Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius, A. Ebracteatus. Ekosistem mangrove ini sering disebut juga sebagai hutan payau karena tumbuh di air payau, sedangkan hutan mangrove yang didominasi oleh jenis-jenis bakau disebut hutan bakau. Mangrove tumbuh paling baik di daerah muara sungai dan aliran air dimana terjadi pengendapan tanah liat yang membentuk dataran rendah berlumpur. Kecepatan aliran sungai berkurang di muara yang memungkinkan tanah liat mengendap . 2.2. Fungsi dan peranan mangrove Mangrove merupakan contoh ekosistem yang banyak ditemui di sepanjang pantai tropis dan estuari. Ekosistem ini memiliki fungsi sebagai penyaring bahan nutrisi dan penghasil bahan organik, serta berfungsi sebagai daerah penyangga antara daratan dan lautan. Bengen (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat, antara lain; sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan pohon mangrove; daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp); pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya; dan sebagai tempat pariwisata. 2.3. Zonasi mangrove Ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik pada zona pasang-surut di sepanjang garis pantai daerah tropis seperti laguna, rawa, delta, dan muara sungai. Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks, karena di dalam ekosistem mangrove dan perairan maupun tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Dinamis, karena ekosistem mangrove dapat terus tumbuh dan berkembang serta mengalami suksesi serta perubahan zonasi sesuai dengan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Kusmana, 1995). Pertumbuhan mangrove akan menurun jika suplai air tawar dan sedimen rendah. Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika dibandingkan dengan hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi lahan hutan mangrove yang senantiasa atau secara periodik digenangi oleh air laut, sehingga mempunyai salinitas yang tinggi dan berpengaruh terhadap keberadaan jenisnya. Jenis yang dapat tumbuh pada ekosistem mangrove adalah jenis halofit, yaitu jenis-jenis tegakan yang mampu bertahan pada tanah yang mengandung garam dari genangan air laut. Kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien daripada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai. Faktor-faktor lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuhtumbuhan mangrove muda serta predasi terseleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan berpengaruh terhadap pen-zonaan. Gambar 1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004) Watson (1928) dalam Kusmana (1995) berpendapat bahwa hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadangkadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza. Menurut Bengen dan Dutton (2004) dalam Northcote dan Hartman (2004) zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin, toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut. Zonasi yang menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis akan menentukan komposisi jenis tiap zonasi. 2.4. Karakteristik vegetasi mangrove Jenis-jenis mangrove di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 spesies yang terbagi menjadi 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis efifit dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), bogem (Sonneratia spp), tancang (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tengar (Ceriops spp), dan buta-buta (Excoecaria spp). Menurut Istomo (1992), ciri khusus habitat vegetasi mangrove adalah keadaan tanah yang berlumpur atau berpasir, salinitas, penggenangan, pasang surut, dan kandungan oksigen tanah. Untuk itu vegetasi mangrove akan beradaptasi melalui perubahan dan ciri khusus fisiologi, morfologis, fenologi, fisiognomi, dan komposisi struktur vegetasinya. Ekosistem hutan mangrove dengan sifatnya yang khas dan kompleks menyebabkan hanya organisme tertentu saja yang mampu bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menunjukkan keanekaragaman jenis fauna hutan mangrove yang berafinitas laut kecil, tetapi kepadatan masing-masing jenis umunya besar (Kartawinata et al, 1979). Adaptasi pohon mangrove terhadap keadaan tanah (lumpur) dan kekurangan oksigen dalam tanah adalah pembentukan morfologi sistem perakaran yang berfungsi sebagai akar nafas (Pneumatofora) dan penunjang tegaknya pohon. Menurut Bengen (2004), ada empat bentuk sistem perakaran pada hutan mangrove, yaitu; Akar lutut, seperti yang terdapat pada Bruguiera spp; Akar cakar ayam, seperti yang terdapat pada Sonneratia spp, Avicennia spp, dan kadangkadang Xylocarpus moluccensis; Akar tongkat/penyangga, seperti yang terdapat pada Rhizophora spp; dan Akar papan seperti yang terdapat pada Ceriops spp. 2.5. Makrozoobenthos yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan ataupun secara umum merupakan sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya berbagai flora dan fauna. Mulai dari perkembangan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan dan hewan-hewan laut kecil lainnya. Pada gilirannya akan menjadi makanan hewan yang lebih besar dan akhirnya menjadi mangsa predator besar termasuk pemanfaatan oleh manusia. Misalnya kepiting, ikan blodok, larva udang dan lobster memakan plankton dan detritus di habitat ini. Kepiting diambil dan dimanfaatkan manusia sebagai makanan. Kelompok fauna perairan / akuatik yang berkoeksistensi di ekosistem hutan mangrove (Irwanto, 2006), terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Beberapa jenis invertebrata makrobentik yang bisa dijumpai di habitat mangrove antara lain adalah; dari jenis krustasea seperti lobster lumpur (Thalassina sp.), kepiting bakau, serta beberapa jenis dari gastropoda, polychaeta, brachyurans, dan sipunculida. Masing-masing dari invertebrata makrobentik tersebut ada yang hidup sebagai epifauna (hidup di atas permukaan substrat) maupun infauna (hidup di dalam substrat). 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan tempat Pengambilan data makrozoobenthos dan parameter fisika-kimia air dan sedimen dilakukan sebanyak dua kali pada tanggal 8 dan 24 Maret 2008, sedangkan pengambilan data mangrove hanya dilakukan satu kali pada tanggal 8 Maret 2008. Penelitian dilakukan di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lokasi penelitian untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 2. Pengidentifikasian vegetasi dan makrozoobenthos dilakukan di laboratorium biologi laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan adalah termometer air raksa, refraktometer, pH meter, GPS, Roll meter, transek quadrat (1 m2), tali rafia, gunting, kamera, kompas, kantung plastik, label beserta alat-alat tulis, data sheet, skop, dan buku penuntun identifikasi mangrove dan makrozoobenthos, sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan formalin 10% untuk pengawetan makrozoobenthos. 3.3. Metode Kerja 3.3.1. Penentuan stasiun penelitian Stasiun penelitian dipusatkan di bagian dalam ekosistem mangrove. Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 5 stasiun dengan area sepanjang transek garis yang dibentangkan mulai dari batas daratan tumbuhnya mangrove sampai batas laut dimana mangrove masih tumbuh. Pada masing-masing stasiun ditentukan 5 Desa Oebelo Kecil Desa Tanah Merah Gambar 2. Peta lokasi stasiun penelitian di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil pada bulan Maret plot transek , kecuali Stasiun 1 yang hanya memiliki 4 transek dan Stasiun 5 yang hanya memiliki 3 transek.. Transek pertama dimulai dari arah laut menuju ke daratan dan tegak lurus garis pantai. Untuk daerah hutan yang sempit minimal harus terdapat tiga plot transek seperti pada Stasiun 5. Masing-masing plot transek memiliki jarak sekitar 150 meter, sedangkan jarak antar stasiun sekitar 500 meter. Posisi Transek diperlihatkan pada Gambar 3. 5 Line transect 4 Laut Transect 3 Darat 2 Stasiun U 1 Gambar 3. Skematik penempatan transek pengukuran vegetasi mangrove di lokasi pengamtan 3.3.2. Pengambilan contoh vegetasi mangrove Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan transek garis (line transec). Transek garis ditarik dari titik acuan (pohon mangrove terluar) dengan arah tegak lurus garis pantai sampai ke daratan. Identifikasi jenis mangrove langsung ditentukan pada transek tersebut (Bengen, 2004) dan dibuat petak-petak contoh dengan menurut tingkat tegakan : 1. Kategori pohon. Pada petak contoh (10 X 10) meter2 dengan diameter batang lebih besar dari 4 cm pada ketinggian > 1 meter 2. Kategori anakan. Pada petak contoh (5 X 5) m2 dengan diameter batang kurang dari 4 cm pada ketinggian > 1 m 3. Kategori semai. Pada petak contoh (1 X 1) m2 dengan ketinggian < 1 m Contoh transek pengukuran vegetasi mangrove diperlihatkan pada Gambar 4. 10 m 5m 10 m 1m 5m 1m Gambar 4. Transek pengukuran vegetasi mangrove berdasarkan kategori pohon (10m X 10m), anakan (5m X 5m), dan semai (1m X 1m) 3.3.3 Pengambilan data parameter fisika-kimia Metode pengambilan dan alat dalam pengambilan data parameter fisika-kimia ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter lingkungan mangrove dan makrozoobenthos serta metode atau alat pengukurannya. Parameter Metode/alat pH dan Eh tanah pH meter Suhu air dan udara (oC) Termometer Air Raksa Tipe substrat Secara visual Salinits air (‰) Refraktometer Tegakan mangrove Penghitungan dilakukan terhadap jumlah tegakan pohon, anakan, dan semai, dimana masing-masing kategori menggunakan luasan transek yang berbeda Keliling batang mangrove Penghitungan dilakukan terhadap keliling batang pohon, anakan, dan semai, dimana masing-masing kategori menggunakan luasan transek yang berbeda Jumlah makrozoobenthos Penghitungan dilakukan terhadap jumlah makrozoobenthos yang berada di substrat dan mangrove 3.3.4 Pengambilan contoh makrozoobenthos (moluska) Makrozoobenthos yang diambil sebagai sampel hanya dari kelompok moluska. Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan di dalam transek pengamatan vegetasi 10m X 10m. Dalam setiap plot transek 10m X 10m tersebut dibuat sub petak dengan lima titik, dimana masing-masing titik tersebut menggunakan transek (1 X 1) m2. Contoh transek pengukuran makrozoobenthos yang digunakan diperlihatkan pada Gambar 5. 10 m 10 m 1m 1m Gambar 5. Transek pengukuran makrozoobenthos Pengambilan contoh makrozoobenthos dilakukan dengan pada masing-masing sub petak, pengambilan biota dilakukan pada substrat, batang dan akar mangrove. Contoh biota yang diambil selanjutnya disaring dan diawetkan dengan menggunakan formalin 10% kemudian diidentifikasi di laboratorium. 3.4. Analisis data 3.4.1. Vegetasi mangrove Analisa data yang dilakukan menggunakan analisa Bengen (2004) mencangkup nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif, dan indeks nilai penting. 3.4.1.1. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area: ni A Di = Keterangan: Di : Kerapatan jenis ke-i ni : Jumlah total tegakan ke-i A : Luas area total pengambilan contoh Kerapatan relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i dan jumlah total tegakan seluruh jenis (∑n) RD i = ni ∑n × 100% Keterangan: RDi : Kerapatan relatif jenis ke-i ni : Jumlah total tegakan dari jenis ke-i ∑n : Jumlah total tegakan seluruh jenis 3.4.1.2. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif Frekuensi (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati Fi = Pi ∑P Keterangan: Fi : Frekuensi jenis ke-i Pi : Junlah plot ditemukannya jenis ke-i ∑P : Jumlah plot pengamatan Frekuensi relative (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (∑F) RFi = Fi ∑F ×100% Keterangan: RFi : Frekuensi relative jenis i Fi : Frekuensi jenis ke-i ∑F : Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis 3.4.1.3. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area Ci = ∑ BA A Keterangan: Ci : Luas penutupan jenis i BA πDBH 2 : , (π = 3.1416) A A : Luas total area pengambilan contoh (plot) Penutupan relatif jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan total luas area penutupan untuk seluruh jenis (∑C) RC i = Ci × 100% ∑C Keterangan: RCi : Penutupan relatif jenis i Ci : Luas penutupan jenis ke-i ∑C : Total luas area penutupan untuk seluruh jenis 3.4.1.4. Indeks nilai penting Indeks nilai penting adalah jumlah nilai kerapatan jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi), dan penutupan relatif jenis (RCi). INP = RD i + RFi + RC i Nilai penting ini untuk memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem tersebut. Indeks nilai penting memiliki kisaran antara 0-300. 3.4.2. Struktur komunitas makrozoobenthos (moluska) 3.4.2.1. Kepadatan Kepadatan adalah jumlah jenis individu per satuan luas (Brower dan Zar, 1989) Di = ni A Keterangan: Di : Kepadatan individu jenis ke-i (individu / m2) ni : Jumlah individu jenis ke-i yang diperoleh A : Luas total area pengambilan contoh 3.4.2.2. Keanekaragaman Keanekaragaman spesies dapat diartikan sebagai heterogenitas spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas. Formula yang digunakan untuk menghitung keanekaragaman spesies didasarkan pada indeks Shannon (Brower dan Zar, 1989), yaitu : s H' = −∑ Pi (Log 2 Pi ) i =1 Keterangan: H’: Indeks keanekaragaman Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total dimana Pi = ni / N ni : Jumlah total individu semua spesies s : Jumlah spesies atau taksa 3.4.2.3. Keseragaman Keseragaman dapat diartikan sebagai penyebaran individu antar spesies yang berbeda dan dapat diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H’) dengan keanekaragaman maksimal. Keseragaman juga dapat dikatakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi individu tiap jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks keseragaman (Brower dan Zar, 1989) dinyatakan sebagai berikut : E= H' H max Keterangan: E : Indeks keseragaman (evennes) H’ : Indeks keanekaragaman H max : Log2s = 3.3219 Log s s : Jumlah spesies atau taksa Nilai indeks keseragaman spesies ini berkisar antara 0-1. Bila indeks keseragaman mendekati 0, maka dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominasi spesies yang disebabkan adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila nilai indeks keseragaman mendekati 1, maka ekosistem tersebut berada dalam kondisi yang relatif merata, yaitu jumlah individu untuk setiap spesies relatif sama dan perbedaannya tidak terlalu mencolok (Brower dan Zar, 1989). 3.4.2.4. Dominasi Dominasi dari spesies tertentu dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Dominasi Simpson (Brower dan Zar, 1989), dengan rumus : ⎡n ⎤ D = ∑⎢ i ⎥ i =1 ⎣ N ⎦ s 2 Keterangan: D : Indeks dominasi Simpson ni : Jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah total individu dari semua spesies s : Jumlah spesies atau taksa Nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1. Jika nilai indeks dominasi mendekati 0, berarti tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti dengan nilai indeks keseragaman yang besar. Apabila nilai indeks dominasi mendekati 1 berarti ada salah satu genera yang mendominasi dan biasanya diikuti dengan nilai indeks keseragaman yang kecil (Odum,1971). 3.4.2.5. Indeks Bray-Curtis Indeks Bray-Curtis dipergunakan untuk menentukan ketidaksamaan (disimilaritas) antar dua habitat berdasarkan jumlah anggota spesies antar kedua habitat tersebut (Bengen, 2000), dengan rumus : n B= ∑x lj − x ik ∑ (x ij + x ik ) i =1 n i =1 Keterangan: B : Indeks ketidaksamaan n : Banyaknya spesies dalam contoh pengamatan xik dan xij : Banyaknya individu spesies ke-i dalam setiap contoh ke-j dan ke-k. Indeks similaritas dapat ditentukan dengan cara mengurangi 1 dengan nilai dari indeks disimilaritas (1 –B) 3.4.2.5. Hubungan antara makrozoobenthos dan mangrove Makrozoobenthos yang berasosiasi dengan mangrove dianalisis dengan menggunakan analisis koresponden (correspondence analysis). Eratnya hubungan antara jenis mangrove dengan spesies makrozoobenthos tertentu ditentukan dengan banyaknya jumlah individu makrozoobenthos yang ditemukan pada lokasi jenis mangrove. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan umum lokasi penelitian. Lokasi penelitian secara umum berada di teluk Kupang, tepatnya di Kabupaten Kupang sekitar 30 kilometer dari kota Kupang ke arah timur, yaitu di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil. Wilayah pesisir di sepanjang teluk Kupang di tumbuhi oleh mangrove yang sebagian besarnya merupakan ekosistem mangrove alami. Keberadaan mangrove tersebut memberikan nuansa hijau di daerah pesisir teluk Kupang. Gambaran umum lokasi penelitian secara visual diperlihatkan pada Gambar 6. Ekosistem mangrove pada lokasi penelitian rata-rata memiliki lebar mencapai 600 meter, dan panjang hutan yang dijadikan lokasi penelitian mencapai 2 kilometer yang dibagi menjadi 5 stasiun. Terdapat beberapa lokasi hutan yang sudah rusak karena adanya pembukaan lahan hutan untuk dijadikan daerah tambak garam abu, tetapi sekarang tambak tersebut sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat sekitar. Selain itu, beberapa kerusakan yang terjadi juga diakibatkan oleh aktifitas penebangan hutan oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Ekosistem mangrove pada lokasi penelitian dilewati oleh sungai kecil yang memotong di tengah-tengah area hutan (Gambar 6). Sungai ini kemudian bercabang menjadi 3 sungai kecil dan bermuara masih di areal lokasi penelitian. Sebagian hutan di lokasi penelitian ada yang dijadikan sebagai areal rehabilitasi oleh pemerintah dan kelompok tani setempat. Beberapa areal hutan mangrove masih memiliki kerapatan yang relatif sangat tinggi, sehingga cukup menyulitkan untuk berjalan menembus areal tersebut. 0 0 .5 k m 1 km Muara Keterangan : Permukiman Mangrove Pantai Teluk Kupang Sungai Perairan Tambak Garam Daratan Gambar 6. Gambaran umum lokasi penelitian di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Nelayan sekitar menjadikan daerah hutan mangrove terutama di sungai sebagai lokasi penangkapan udang, keong-keongan (gastropoda dan bivalvia), kepiting, dan ikan. Dekat dengan lokasi penelitian terdapat lokasi pembibitan tanaman mangrove yang dikelola oleh kelompok tani daerah tersebut, dimana hasil bibitnya ada yang ditanam kembali di areal hutan sekitar dan ada yang dijual. 4.2 Struktur vegetasi mangrove. 4.2.1 Komposisi jenis Mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil merupakan hutan mangrove alami. Vegetasi mangrove yang ditemukan dibedakan antara pohon, anakan, dan semai berdasarkan ukuran diameter batangnya. Ditemukan 11 spesies mangrove pada 5 stasiun pengamatan, yaitu Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Sonneratia casseolaris, Avicennia marina, Lumnitzera racemosa, Bruguera sp, Ceriops decandra, Avicennia alba, Nypa fruticans, Aegiceras corniculatum, dan Acanthus ilicifolius. Komposisi jenis vegetasi mangrove diperlihatkan pada Gambar 7, 8 dan 9. Komposisi spesies mangrove pohon yang tertinggi pada lokasi pengamatan adalah Rhizophora mucronata sebesar 20,38%, dan yang terendah adalah Aegiceras corniculatum sebesar 0,47% (Gambar 7). Rhizophora mucronata memiliki komposisi yang tertinggi karena karakteristik yang dimiliki oleh lokasi penelitian ini cocok dengan karakteristik yang dimiliki oleh Rhizophora mucronata. Steenis (1958) dalam Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan baik pada tipe substrat lumpur yang relatif tebal, pH tanah yang berkisar 6,6 dan 6,2. Rhizophora berkembang dengan 0.47 7.58 Sonneratia alba 20.85 Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris 20.38 Avicennia marina Lumnitzera racemosa 2.37 Bruguiera sp 6.64 Ceriops decandra 1.90 9.95 Avicennia alba Nypa fruticans 15.64 9.48 Aegiceras corniculatum Gambar 7. Komposisi (%) spesies mangrove pohon baik pada kisaran salinitas 10 – 30‰ (Bengen dan Dutton, 2004 dalam Northcote dan Hartman, 2004). Rizophora mucronata ditemukan pada Stasiun 1 Transek 2, Stasiun 2 Transek 2, 3, dan 4, serta Stasiun 4 Transek 2, 3, 5. Aegiceras Sonneratia alba 7.33 3.14 6.81 1.57 0.52 5.24 4.71 corniculatum hanya ditemukan pada Stasiun 2 Transek 5. Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris Avicennia marina Lumnitzera racemosa 3.14 22.51 45.03 Bruguiera sp Ceriops decandra Avicennia alba Nypa fruticans Aegiceras corniculatum Gambar 8. Komposisi (%) spesies mangrove anakan Komposisi spesies mangrove anakan yang tertinggi adalah Ceriops decandra sebesar 45,03%, sedangkan komposisi anakan yang terkecil adalah Aegiceras corniculatum, yaitu sebesar 0,52% (Gambar 8). Meskipun Ceriops decandra memiliki nilai komposisi yang tertinggi, namun spesies ini tumbuh mengelompok dengan jumlah tinggi dan tidak tumbuh menyebar. Ceriops decandra hanya ditemukan pada Stasiun 2 Transek 3, dan Stasiun 4 Transek 4. Aegiceras corniculatum hanya ditemukan pada Stasiun 2 Transek 5 dengan jumlah yang sedikit. 10.14 8.70 4.35 Sonneratia alba Rhizophora mucronata 17.39 28.99 Avicennia marina Lumnitzera racemosa Ceriops decandra Avicennia alba 11.59 Acanthus ilicifolius Aegiceras corniculatum 14.49 4.35 Gambar 9. Komposisi (%) spesies mangrove semai Vegetasi semai dengan nilai komposisi tertinggi ditemukan pada spesies asosiasi mangrove, yaitu Acanthus ilicifolius sebesar 28,99%, sedangkan yang terendah adalah Rhizophora mucronata dan Ceriops decandra, yaitu sebesar 4,35% (Gambar 9). Acanthus ilicifolius ditemukan pada Stasiun 1 Transek 4, Stasiun 2 Transek 5, dan sangat melimpah jumlahnya di Stasiun 3 Transek 5, dimana lokasi-lokasi ini merupakan lokasi yang kondisi hutannya sudah rusak. Menurut Bengen (2004), Acanthus ilicifolius merupakan tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur, dan merupakan tumbuhan yang dominan tumbuh di hutan mangrove yang rusak. 4.2.2 Kerapatan jenis Kerapatan jenis mangrove pohon merupakan jumlah individu mangrove yang ditemukan dibagi dengan luas area pengamatan, yaitu 100m2 yang merupakan luas dari transek yang dipergunakan. Dengan menghitung kerapatan jenis mangrove pada masing-masing stasiun, maka akan terlihat jenis spesies-spesies apa saja yang ditemukan pada masing-masing transek, sehingga distribusi dari masingmasing jenis dapat terlihat dengan jelas. Kerapatan jenis pada Stasiun 1 diperlihatkan pada Gambar 10. Sonneratia alba merupakan jenis pohon mangrove yang mendiami Transek 1 dengan kerapatan sebesar 0,01 ind/m2, untuk anakan ditemukan Avicennia marina dengan kerapatan jenis sebesar 0,04 ind/m2, sedangkan untuk mangrove semai yang ditemukan adalah Avicennia marina dengan kerapatan jenis sebesar 3 ind/m2 (Gambar 10). Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba untuk kategori pohon ditemukan pada Transek 2 dengan besar kerapatan jenis masing-masing adalah 0,08 ind/m2 dan 0,04 ind/m2, selain itu pada transek 2 juga ditemukan Rhizophora mucronata dalam ukuran anakan dan semai dengan kerapatan jenis masing- masing sebesar 0,12 ind/m2 dan 1 ind/m2 (Gambar 10). Sonneratia alba juga ditemukan pada Transek 3 dengan jumlah yang lebih sedikit daripada Transek 2 dengan kerapatan jenis sebesar 0,02 ind/m2 (Gambar 10). Selain itu, pada Transek 3 juga terdapat Sonneratia casseolaris dengan ukuran pohon dan anakan yang memiliki kerapatan jenis sebesar 0,09 ind/m2 untuk pohon dan 0,12 ind/m2 untuk anakan (Gambar 10). Transek 4 hanya dihuni oleh Sonneratia casseolaris pohon Kerapatan Jenis (Di) 0.1 0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 0.09 0.08 0.08 0.04 0.02 0.01 Sonneratia alba Rhizophora mucronata 1 Sonneratia alba Sonneratia alba 2 Sonneratia casseolaris Sonneratia casseolaris 3 4 Transek Kerapatan jenis (Di) ( i ) Pohon 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0.12 0.12 Avicennia marina Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris 1 2 3 0.04 4 Transek Kerapatan jenis (Di) ( ii ) Anakan 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 4 3 1 Avicennia marina Rhizophora mucronata 1 2 Acanthus ilicifolius 3 4 Transek ( iii ) Semai Gambar 10. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 1 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai yang ditemukan dengan kerapatan jenis yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0,08 ind/m2 dan Acanthus ilicifolius dengan kerapatan jenis sebesar ind/m2 (Gambar 10). Kerapatan jenis (Di) 1 1 2 4 2 0.24 3 3 3 0.28 4 4 6 Transe k ( iii ) Semai Gambar 11. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 2 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai 0.02 0.12 corniculatum fruticans Aegiceras mucronata Nypa alba Rhizophora decandra Avicennia 0.3 Aegiceras corniculatum 2 Ceriops Bruguiera sp 0.01 0.02 0.03 Nypa fruticans 2.5 mucronata Rhizophora Bruguiera sp 0.08 Rhizophora mucronata 0.48 Ceriops decandra 1 racemosa 0.01 marina Lumnitzera mucronata Avicennia marina Rhizophora Avicennia Kerapatan jenis (Di) 0.09 Bruguiera sp 0.5 Lumnitzera racemosa 1 Avicennia marina Kerapatan jenis (Di) 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0.44 0.27 0.12 0.01 5 Transek ( i ) Pohon 2.28 2 1.5 0.84 0 0.08 Transe k 5 ( ii ) Anakan 5 5 3 2 2 1 0 Ceriops decandra Rizophora m ucronata Acanthus ilicifolius 3 4 5 Stasiun 2 merupakan stasiun yang memiliki kondisi ekosistem yang paling baik dan memiliki keanekaragaman jenis yang terbanyak dibandingkan dengan stasiun-stasiun yang lainnya. Transek 1 yang langsung berhadapan dengan laut dihuni oleh spesies Avicennia marina dengan kerapatan jenis sebesar 0,09 ind/m2 untuk pohon dan 0,48 ind/m2 untuk anakan (Gambar 11). Lumnitzera racemosa merupakan spesies yang mendominasi Transek 2 dengan kepadatan sebesar 0,3 ind/m2 untuk pohon dan sebesar 0,84 ind/m2 untuk anakan (Gambar 11), tetapi ditemukan juga spesies lainnya pada Transek 2 dengan kerapatan yang kecil, seperti; Rhizophora mucronata, Avicennia marina, dan Bruguera sp. Pada Transek 3 ditemukan adanya 4 spesies pohon mangrove, yaitu Rhizophora mucronata, Bruguera sp, Avicennia alba, dan Ceriops decandra yang merupakan jenis pohon dengan kerapatan tertinggi pada Transek 3, yaitu sebesar 0,12 ind/m2 untuk kategori pohon, 2,28 ind/m2 kategori anakan, dan 3 ind/m2 kategori semai (Gambar 11). Rhizophora mucronata ditemukan tumbuh dengan jumlah yang banyak pada Transek 4 dengan kerapatan sebesar 0,27 ind/m2 untuk kategori pohon, 0,28 ind/m2 anakan, dan sebesar 2 ind/m2 semai (Gambar 11). Pada Transek 5 ditemukan Nypa fruticans dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu dengan kerapatan jenis sebesar 0,44 ind/m2 untuk pohon, dan untuk 0,12 ind/m2 anakan. Acanthus ilicifolius semai cukup banyak ditemukan pada Transek 5 dengan kerapatan jenis sebesar 5 ind/m2, sedangkan Aegiceras corniculatum yang berukuran pohon dan anakan juga ditemukan meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Kerapatan jenis (Di) 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 0.03 0.02 0.01 0.01 Avicennia alba Lumnitzera racemosa Lumnitzera racemosa Sonneratia alba 1 2 4 5 3 Transek ( i ) Pohon 1.4 1.16 Kerapatan jenis 1.2 1 0.8 0.6 0.36 0.4 0.2 1 2 alba Sonneratia alba Avicennia 0 3 4 5 Transek ( ii ) Anakan 11 10 8 6 6 5 3 4 1 2 Acanthus ilicifolius Lumnitzera racemosa 2 Lumnitzera racemosa 1 Sonneratia alba 0 Aviccenia marina Kerapatan jenis (Di) 12 3 4 5 Transe k ( iii ) Semai Gambar 12. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 3 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai Stasiun 3 memiliki kondisi ekosistem yang sudah rusak parah sehingga hanya sedikit pohon yang masih tersisa. Avicennia alba ditemukan pada Transek 1 dengan kerapatan jenis sebesar 0,03 ind/m2 untuk pohon dan 0,36 ind/m2 (Gambar 12). Lumnitzera racemosa merupakan satu-satunya jenis pohon mangrove yang masih tersisa pada Transek 2 dengan kerapatan jenis sebesar 0,01 ind/m2 (Gambar 12), sedangkan untuk semai yang ditemukan pada Transek 2 adalah Lumnitzera racemosa dan Avicennia marina dengan kerapatan jenis masing-masing sebesar 3 ind/m2 dan 1 ind/m2. Tidak ditemukan adanya pohon mangrove pada Transek 3 dan hanya ditemukan Sonneratia alba yang masih berupa anakan dan semai dengan masing-masing kerapatan jenis 1,16 ind/m2 untuk pohon dan 6 ind/m2 untuk semai (Gambar 12). Transek 3 merupakan bekas daerah tambak garam abu sehingga sebagian besar daerahnya masih gundul dan baru sedikit tanamantanaman muda yang mulai tumbuh pada daerah ini. Lumnitzera racemosa ditemukan juga pada Transek 4 dengan kerapatan jenis yang kecil, yaitu sebesar 0,01 ind/m2 untuk kategori pohon dan 5 ind/m2 untuk kategori semai (Gambar 12). Pada Transek 5 ditemukan Sonneratia alba pohon dengan kerapatan yang relatif rendah, yaitu sebesar 0,02 ind/m2 (Gambar 12), dan Acanthus ilicifolius semai dengan kerapatan sebesar 11 ind/m2. Selain itu di dekat lokasi Transek 5 juga terlihat adanya Hibiscus tiliaceus/Waru yang merupakan tumbuhan asosiasi mangrove (Kitamura, C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba, 1997). 1.03 1 2 Sonneratia mucronata Rhizophora Ceriops decandra mucronata Rhizophora 3 0.04 0.01 4 casseolaris 0.02 0.01 alba mucronata Sonneratia 0.07 Rhizophora Keraptan jenis (Di) 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 5 Transek ( i ) Pohon Kerapatan jenis (Di) 1.4 1.16 1.2 1 0.8 0.56 0.6 0.4 0.24 0.16 0.2 0.16 0.08 0.12 3 Sonneratia casseolaris Lumnitzera racemosa Rhizophora mucronata Sonneratia alba 2 Ceriops decandra 1 Lumnitzera racemosa Sonneratia alba 0 4 5 Transe k ( ii ) Anakan 8 Kerapatan jenis (Di) 7 6 7 6 5 4 4 3 2 2 1 0 Sonneratia alba Lumnitzera racemosa 1 2 3 Aegiceras corniculatum Avicennia alba 4 5 Transek ( iii ) Semai Gambar 13. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 4 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai Stasiun 4 merupakan stasiun yang dilewati sungai terbanyak, terdapat 3 sungai yang cukup besar memotong melewati Stasiun 4. Tidak ditemukan adanya pohon dan anakan mangrove pada Transek 1 dan hanya ditemukan semai, yaitu Sonneratia alba dengan kerapatan jenis sebesar 6 ind/m2 (Gambar 13). Rhizophora mucronata pohon ditemukan dengan kerapatan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 1,03 ind/m2 pada Transek 2 (Gambar 13), sedangkan spesies lain yang ditemukan dalam jumlah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Rhizophora mucronata adalah Lumnitzera racemosa yang memiliki kerapatan jenis 0,24 ind/m2 untuk anakan dan 2 untuk ind/m2 semai, serta Sonneratia alba anakan dengan kerapatan jenis 0,16 ind/m2. Transek 3 dihuni oleh spesies mangrove, yaitu Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, dan Lumnitzera racemosa dengan kerapatan pohon tertinggi dimiliki oleh Sonneratia alba sebesar 0,07 ind/m2 (Gambar 13), sedangkan kerapatan jenis anakan tertinggi adalah Rhizophora mucronata sebesar 0,16 ind/m2 (Gambar 13). Spesies Ceriops decandra ditemukan pada Transek 4 dengan kerapatan jenis abakan yang tinggi, yaitu sebesar 1,16 ind/m2 (Gambar 13), sedangkan kerapatan jenis pohonnya relatif rendah, yaitu hanya 0,02 ind/m2 (Gambar 13). Aegiceras corniculatum semai juga ditemukan pada Transek 4 dengan kerapatan jenis sebesar 7 ind/m2 (Gambar 13). Pada Transek 5 terdapat Sonneratia casseolaris dengan kerapatan jenis 0,04 ind/m2 untuk pohon dan 0,12 ind/m2 untuk anakan (Gambar 13), sedangkan Rhizophora mucronata memiliki kerapatan jenis relatif lebih kecil dibandingkan Sonneratia casseolaris, yaitu hanya sebesar 0,01 ind/m2 untuk kategori pohon (Gambar 13). 1 2 Tran s e k racemosa marina Lumnitzera 0.01 Aviccenia Kerapatanjenis (Di) 0.03 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 3 0.08 0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 1 2 racemosa Lumnitzera Kerapatan jenis (Di) ( i ) Pohon 3 Trasn e k ( ii ) Anakan 7 6 6 Avicennia alba Avicennia m arina Kerapatan jenis (Di) 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 Tran se k ( iii ) Semai Gambar 14. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 5 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai Kondisi hutan mangrove yang sudah rusak sangat parah ditemukan pada Stasiun 5, hampir seluruh hutan sudah gundul dan hanya sedikit vegetasi yang masih tersisa. Pada Transek 1 hanya terdapat Avicennia alba semai dengan kerapatan jenis sebesar 6 ind/m2, sedangkan pada Transek 2 juga hanya ditemukan semai, yaitu Avicennia marina dengan kerapatan jenis 6 ind/m2. Pohon dan anakan hanya ditemukan pada Transek 3, yaitu Avicennia marina dan Lumnitzera racemosa yang keduanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dengan kerapatan jenis sebesar 0,03 ind/m2 untuk Avicennia marina pohon, 0,01 ind/m2 untuk Lumnitzera racemosa pohon, dan 0,08 ind/m2 untuk Lumnitzera racemosa anakan (Gambar 14). 4.2.3 Indeks nilai penting (INP) Indeks Nilai Penting berguna untuk menentukan dominansi suatu spesies terhadap spesies lainnya pada suatu kawasan, dan juga menentukan seberapa besar peranan atau pengaruh suatu jenis terhadap lingkungan sekitarnya. Vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah tentu akan memiliki pengaruh atau peranan terhadap lingkungan sekitarnya, besarnya pengaruh atau peranan suatu jenis vegetasi pada suatu lokasi biasa ditentukan dengan INP (Indeks Nilai Penting), semakin banyak jumlah vegetasi yang ditemukan, semakin tinggi frekuensi ditemukannya, semakin besar diameter batang yang dimilikinya tentu akan memperbesar nilai dari INP tersebut. INP memiliki kisaran sebesar 0 - 300, jika semakin sedikit jenis vegetasi yang ditemukan pada suatu maka akan semakin besar pula nilai INP dari jenis vegetasinya. Pada Tabel 2 berikut ini disajikan INP dari pohon pada lokasi pengamatan. Tabel 2. Indeks nilai penting pohon. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Spesies Sonneratia alba Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris Avicennia marina Lumnitzera racemosa Bruguiera sp Ceriops decandra Avicennia alba Nypa fruticans Aegiceras corniculatum S1 93,55 56,70 149,75 - S2 75,59 34,15 38,86 20,75 25,00 13,12 64,67 27,85 Stasiun S3 150,40 79,14 70,46 - S4 89,64 109,10 81,72 19,54 - S5 209,75 90,25 - Kisaran INP pohon pada lokasi penelitian adalah 13,12 – 209,75 (Tabel 2). Spesies Sonneratia alba terlihat memiliki nilai INP terbesar pada Stasiun1 dan 3, yaitu berturut-turut sebesar 93,55 dan 150,33 (Tabel 2). Rhizophora mucronata memiliki INP terbesar pada Stasiun 2 sebesar 75,59 dan pada Stasiun 4 sebesar 109,10 (Tabel 2), sedangkan Avicennia marina memiliki INP terbesar pada Stasiun 5 sebesar 209,75 (Tabel 2). Secara grafik (diagram batang) sebaran INP tiap jenis mangrove pohon yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 15. 250 Indeks Nilai Penting (INP) Sonneratia alba 200 Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris 150 Avicennia marina Lumnitzera racemosa 100 Bruguiera sp Ceriops decandra Avicennia alba Nypa fruticans 50 Aegiceras corniculatum 0 S1 S2 S3 S4 S5 Stasiun Gambar 15. Indeks nilai penting pohon Indeks Nilai Penting terendah pada Stasiun 1 dimiliki oleh Rhizophora mucronata sebesar 56,70 (Gambar 15), INP terendah pada Stasiun 2 dimiliki oleh Avicennia alba, yaitu sebesar 13,12 (Gambar 15), untuk Stasiun 3 yang memiliki INP terendah adalah Avicennia alba sebesar 70,46 (Gambar 15), pada Stasiun 4 INP terendah dimiliki oleh Ceriops decandra sebesar 19,54 (Gambar 15), sedangkan pada Stasiun 5 yang memiliki INP terendah adalah Lumnitzera racemosa sebesar 90,25 (Gambar 15). Tabel 3. Indeks nilai penting anakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Spesies Sonneratia alba Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris Avicennia marina Lumnitzera racemosa Bruguiera sp Ceriops decandra Avicennia alba Nypa fruticans Aegiceras corniculatum S1 128,40 102,79 68,81 - S2 32,84 44,46 60,39 23,45 100,70 22,32 15,84 Stasiun S3 102,14 197,86 - S4 48,52 27,15 25,20 89,15 109,99 - S5 300,00 - Indeks Nilai Penting untuk anakan memiliki kisaran sebesar 15,84 – 300,00 (Tabel 3). INP terendah di lokasi penelitian dimiliki oleh Aegiceras corniculatum pada Stasiun 2, dan yang tertinggi dimiliki oleh Lumnitzera racemosa pada Stasiun 5. Sebaran INP tiap jenis mangrove anakan yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 16. 300 Indeks Nilai Penting Sonneratia alba 250 Rhizophora m ucronata Sonneratia casseolaris 200 Avicennia m arina Lum nitzera racem osa 150 Bruguiera sp Ceriops decandra 100 Avicennia alba Nypa fruticans 50 Aegiceras corniculatum 0 S1 S2 S3 S4 S5 Stasiun Gambar 16. Indeks nilai penting anakan Spesies Avicennia marina pada Stasiun 1 memiliki INP terendah, yaitu sebesar 68,81, sedangkan INP tertinggi pada Stasiun 1 dimiliki oleh Rhizophora mucronata sebesar 128,40. INP tertinggi pada Stasiun 2 adalah sebesar 100,70 yang dimiliki oleh Ceriops decandra. Stasiun 3 memiliki INP tertinggi dengan nilai 197,86 yang merupakan INP dari spesies Avicennia alba, dan yang terendah dimiliki oleh Sonneratia alba dengan INP sebesar 102,14. Ceriops decandra juga memiliki INP tertinggi pada Stasiun 4, yaitu sebesar 109,99, sedangkan yang terendah adalah Sonneratia casseolaris dengan INP sebesar 25,20. Pada Stasiun 5 INP tertinggi ditemukan pada jenis Lumnitzera racemosa dengan INP sebesar 300, karena spesies ini merupakan satu-satunya anakan yang terdapat di lokasi Stasiun 5. Tabel 4. Indeks nilai penting semai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Spesies Sonneratia alba Rhizophora mucronata Sonneratia casseolaris Avicennia marina Lumnitzera racemosa Bruguiera sp Ceriops decandra Avicennia alba Nypa fruticans Acanthus ilicifolius Aegiceras corniculatum S1 84,54 120,57 94,89 - Stasiun S3 62,02 52,57 103,15 82,27 - S2 70,77 74,53 154,69 - S4 96,49 35,95 89,29 78,27 S5 131,35 168,66 - Kategori vegetasi semai memiliki kisaran INP sebesar 35,95 – 168,66. INP terendah ini dimiliki oleh Lumnitzera racemosa pada Stasiun 4, dan tertinggi dimiliki oleh Avicennia alba pada Stasiun 5 (Tabel 4). Berikut ini ditampilkan secara grafik sebaran INP tiap jenis mangrove semai yang ditemukan di lokasi pada Gambar 17. 200 Sonneratia alba Indeks Nilai Penting Rhizophora m ucronata 150 Sonneratia casseolaris Avicennia m arina Lumnitzera racemosa 100 Bruguiera sp Ceriops decandra Avicennia alba 50 Nypa fruticans Acanthus ilicifolius Aegiceras corniculatum 0 S1 S2 S3 S4 S5 Stasiun Gambar 17. Diagram batang Indeks Nilai Penting semai Stasiun 1 memiliki INP terendah sebesar 84,54 yang dimiliki oleh Rhizophora mucronata, sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh Avicennia marina sebesar 120,56. Pada Stasiun 2 INP dengan nilai yang tertinggi ditemukan pada spesies Acanthus ilifolius, yaitu sebesar 154,69, dan INP dengan nilai terendah terlihat pada Rhizophora mucronata yang hanya sebesar 70,77. Stasiun 3 memiliki INP tertinggi sebesar 103,15 yang dimiliki oleh Lumnitzera racemosa, sedangkan yang terendah dengan nilai 52,57 adalah Avicennia marina. Sonneratia alba merupakan jenis semai dengan INP tertinggi pada Stasiun 4, yaitu sebesar 96,49, sedangkan INP terendah ditemukan pada jenis Lumnitzera racemosa dengan INP sebesar 35,95. Pada Stasiun 5 ditemukan INP tertinggi sebesar 168,66 yang dimiliki oleh Avicennia alba, dan untuk INP terendah ditemukan pada spesies Avicennia marina dengan INP-nya adalah 131,35 (Gambar 17). 4.2.4 Pola zonasi (sebaran) mangrove Pola zonasi hutan mangrove terbentuk karena adanya pengaruh dari beberapa faktor lingkungan. Menurut Bengen dan Dutton (2002) dalam Northcote dan Hartman (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi zonasi dari hutan mangrove adalah salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin, toleransi terhadap lumpur (substrat) dan frekuensi genangan air. Pola zonasi vegetasi mangrove pada lokasi penelitian secara visual diperlihatkan pada Gambar 18. Zonasi vegetasi yang terbentuk pada Stasiun 1 adalah Sonneratia alba dan Avicennia marina pada Transek 1, Rhizophora mucronata dan sedikit Sonneratia alba pada Transek 2, Sonneratia casseolaris dan sebagian kecil ditumbuhi juga oleh Sonneratia alba, dan pada zona terakhir (Transek 4) ditumbuhi oleh Sonneratia casseolaris dan juga Acanthus ilifolius yang merupakan tumbuhan asosiasi mangrove (Kitamura, C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba, 1997). Keterangan Avicennia marina Avicennia alba Aegiceras corniculatum Acanthus ilicifolius Bruguiera sp Ceriops decandra Lumnitzera racemosa Nypa fruticans Rhizophora mucronata Sonneratia alba Sonneratia casseolaris Teluk Kupang U Daratan 0 0.25 Km Gambar 18. Pola zonasi hutan mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil pada bulan Maret 0.5 Km Zonasi yang terbentuk pada Stasiun 2 diawali dengan Avicennia marina yang tumbuh pada Transek 1, Avicennia marina dan Rhizophora mucronata ditemukan dalam jumlah yang tidak terlalu signifikan, sedangkan Lumnitzera racemosa anakan ditemukan cukup padat pada Transek 2, Ceriops decandra ditemukan sangat padat dan terlihat mendominasi pada Transek 3, meskipun juga ditemukan spesies lain dalam jumlah yang relatif sedikit seperti; Rhizophora mucronata, Avicennia alba, dan Bruguiera sp, Rhizophora mucronata merupakan satu- satunya vegetasi yang ditemukan pada Tansek 4 dalam jumlah yang cukup banyak, sedangkan pada Transek 5 ditemukan 3 jenis vegetasi mangrove, yaitu Nypa fruticans yang ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak, Aegiceras corniculatum yang ditemukan dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan Nypa fruticans, dan Acanthus ilicifolius yang ditemukan cukup banyak pada transek ini. Stasiun 3 memiliki zonasi vegetasi yang diawali oleh Avicennia alba pada Transek 1, kemudian dilanjutkan oleh Lumnitzera racemosa dan Avicennia marina yang ditemukan pada Transek 2, sedangkan pada Transek 3 hanya dapat dijumpai Sonneratia alba dalam jumlah kecil saja, karena daerah transek ini merupakan bekas areal tambak garam abu, demikian halnya pada Transek 4 hanya dapat dijumpai satu spesies tumbuhan saja, yaitu Lumnitzera racemosa yang ditemukan dalam jumlah yang kecil, karena areal ini pun merupakan bekas areal tambak garam abu, dan pada Transek 5 ditemukan Sonneratia alba pohon dengan ukuran yang besar, tetapi dalam jumlah yang sedikit, sedangkan Acanthus ilicifolius dengan jumlah yang sangat melimpah pada Transek 4. Zonasi yang terbentuk pada Stasiun 3 ini tidak terlalu baik karena vegetasi yang ada sangat sedikit jumlahnya. Stasiun 4 memiliki zonasi vegetasi yang cukup baik, karena Staiun 4 memiliki keanekaragaman jenis yang cukup banyak dan jumlah vegetasinya pun masih cukup banyak. Transek 1 ditumbuhi oleh Sonneratia alba yang masih berupa semai, pada Transek 2 Rhizophora mucronata yang cukup melimpah dan terlihat mendominasi, meskipun terdapat juga spesies lainnya seperti; Sonneratia alba dan Lumnitzera racemosa dengan jumlah yang relatif kecil. Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, dan Lumnitzera racemosa menempati Transek 3 dengan kerapatan jenis yang tidak terlalu signifikan berbeda, sedangkan Ceriops decandra dengan jumlah sangat melimpah terdapat di Transek 4 ditemani oleh Aegiceras corniculatum yang ditemukan masih dalam ukuran semai. Pada transek 5 Sonneratia casseolaris terlihat lebih mendominasi dibandingkan dengan Avicennia alba yang masih berupa semai. Stasiun 5 Transek 1 hanya dihuni oleh Avicennia alba semai, untuk Transek 2 hanya dihuni oleh Avicennia marina semai, dan pada Transek 3 baru ditemukan adanya pohon beserta anakan dengan spesies Avicennia marina (pohon) dan Lumnitzera racemosa (pohon dan anakan). Selain keragaman jenisnya yang kurang, vegetasi mangrove yang ada mayoritas masih terbilang muda (semai), dan jumlah vegetasinya pun terlalu sedikit. Belum terbentuk zonasi pada stasiun 5. Lokasi penelitian secara umum dibagi menjadi 3 zona, yaitu : Zona 1, Zona 2, dan Zona 3. Zona 1 merupakan zona yang berbatasan langsung dengan laut dan merupakan zona dari Avicennia marina, Avicennia alba, dan Sonneratia alba. Zona 2 adalah zona pertengahan yang merupakan zona dari Rhizophora mucronata, Lumnitzera racemosa, dan Ceriops decandra. Zona 3 adalah zona yang berbatasan langsung dengan hutan bukan mangrove dan merupakan zona dari Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius,dan Sonneratia casseolaris. 4.3 Karakteristik fisika dan kimia di perairan Penelitian ini melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter fisikakimia, yaitu; suhu (udara dan air), pH dan Eh tanah, substrat (visual), serta salinitas. Rataan dari hasil pengamatan parameter fisika-kimia diperlihatkan pada Gambar 19 dan 20. 4.3.1 Suhu Suhu merupakan salah satu parameter yang penting bagi keberlangsungan hidup biota laut. Suhu dapat mempengaruhi proses-proses seperti fotosentesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Selain itu, suhu atau temperatur juga dapat menjadi faktor pembatas bagi biota tertentu, seperti kepiting (Aksornkoae, 1993). Suhu air terendah pada pengambilan data ulangan pertama ditemukan pada Stasiun 2, yaitu sebesar 28 oC, sedangkan suhu udara terendah pada pengambilan data ulangan pertama juga ditemukan pada Stasiun 2, yaitu sebesar 27 oC. Variasi suhu yang rendah ini disebabkan oleh turunnya hujan pada saat pengambilan data. Suhu air tertinggi ditemukan pada Stasiun 4 sebesar 35 oC, sedangkan suhu udara tertinggi ditemukan pada Stasiun 5 sebesar 40 oC. Pengambilan data yang dilakukan pada siang hari atau sekitar pukul 12.00 WITA dimana intensitas cahaya matahari yang diterima oleh permukaan air tinggi dan sedikitnya air yang tergenang pada lokasi menyebabkan tingginya temperatur air. Variasi suhu yang tinggi ini disebabkan oleh kondisi cuaca yang sangat cerah (tanpa awan) dan juga 1 5 4 5 1 0.5 3 0 5 1 0 1 2 3 4 2 3 4 1 5 1 2 2 3 4 5 1 2 3 3 4 4 2 5 S ta si u n S ta si u n 3 6. 0 0 Darat 3 4. 0 0 3 3. 0 0 3 2. 0 0 60 3 1. 0 0 50 3 0. 0 0 40 Nilai Eh Suhu air (Celcius) 3 5. 0 0 2 9. 0 0 2 8. 0 0 1 2 3 4 5 S ta si un 30 20 10 Teluk K upang 0 1 n u i as Nilai pH St 2 km 3 4 5 4 5 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 1 km 2 S ta si un U 0 20 5 18 20.3 24.3 20 25 20 2 25 1 4 10 5 10 25.5 15 15 5 20 20 25.5 25 10 30 17 25 35 15 30 40 Salinitas (‰) Suhu udara (Celcius) 45 2 3 S ta si u n Gambar 19. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan pertama 3 27.5 27.3 23 23 21 23 24 26 24 10 5 5 0 0 0 10 3 15 15 1 0 1 2 3 4 5 2 3 4 1 1 2 3 4 5 0 20 20 7 25 27 25 23 25 30 21 30 35 Salinitas(‰) Suhu udara (Celcius) 40 1 2 2 3 4 S ta si un 1 2 3 4 5 4 1 2 3 5 S ta s i u n 45.00 Darat 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 Nilai Eh S uh u ai r (Celc ius ) 5 3 10.00 5.00 0.00 1 2 3 4 5 Stasiun Teluk Kupang 6 0 .0 0 5 5 .0 0 5 0 .0 0 4 5 .0 0 4 0 .0 0 3 5 .0 0 3 0 .0 0 2 5 .0 0 2 0 .0 0 1 5 .0 0 1 0 .0 0 5 .0 0 0 .0 0 1 2 3 4 5 4 5 U St n u i as Nilai pH S t a s iu n 7 . 40 7 . 20 7 . 00 6 . 80 6 . 60 6 . 40 6 . 20 6 . 00 5 . 80 5 . 60 5 . 40 1 0 1 km 2 km 2 3 S ta siu n Gambar 20. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan kedua langsung terkenanya termometer oleh sinar matahari. Berdasarkan data pada kisaran suhu udara pada lokasi pengamatan pada ulangan pertama adalah 27 - 40 o C, sedangkan untuk suhu air memiliki kisaran sebesar 28 – 35 oC. Suhu air terendah pada pengambilan data ulangan kedua ini ditemukan di Stasiun 1 sebesar 22,5 oC, kondisi air yang masih relatif dingin karena pengambilan data dilakukan sekitar pukul 7.00 WITA menyebabkan suhu perairan rendah. Variasi suhu udara terendah yang ditemukan pada Stasiun 5, yaitu sebesar 27 oC. Hal ini terjadi disebabkan oleh keadaan cuaca yang mendung ditambah lagi dengan turunnya gerimis, selain itu pengambilan data dilakukan pada pagi hari (pukul 7.45 WITA). Suhu air tertinggi ditemukan pada stasiun 2 sebesar 38 oC, sedangkan suhu udara tertinggi ditemukan pada Stasiun 1 dan 2, yaitu sebesar 34,8 oC. Tingginya suhu air dan udara disebabkan oleh pengambilan data yang dilakukan pada siang hari dimana intensitas cahaya matahari yang diterima oleh permukaan bumi tinggi ditambah lagi dengan sedikitnya air yang tergenang pada lokasi menyebabkan suhu air semakin meningkat. Berdasarkan data pada kisaran suhu udara pada lokasi pengamatan pada ulangan kedua adalah 27 – 34,8 oC, sedangkan untuk suhu air memiliki kisaran sebesar 22,5 – 38 oC. Fluktuasi suhu air dan udara yang terjadi antar masing-masing stasiun tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan waktu pengukuran di setiap stasiun yang berhubungan dengan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan perairan, kondisi cuaca, ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan, dan banyak sedikitnya volume air yang tergenang menyebabkan terjadinya fluktuasi suhu air dan udara antara masing-masing stasiun. 4.3.2 Salinitas Salinitas dan kisaran salinitas perairan merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan, kemampuan bertahan, dan zonasi dari spesies mangrove (Bowman, 1917; Macnae dan Kalk, 1968; Mogg, 1963; Macnae, 1968; Teas, 1979; dan Semeniuk, 1983 dalam Aksornkoae, 1993). Salinitas pada lokasi penelitian untuk ulangan pertama menunjukkan kisaran antara 0,5 – 25,5 ‰. Salinitas yang tertinggi ditemukan pada stasiun 2, yaitu sebesar 25,5 ‰, dan salinitas terendah ditemukan pada Stasiun 1. Gambar 19 menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas antar transek cukup tinggi, salinitas tertinggi ditemukan pada Stasiun 2 Transek 1 dan 2 sebesar 25,5 ‰, sedangkan salinitas terendah ditemukan pada Stasiun 1 Transek 4, yaitu sebesar 0,5 ‰. Sedikitnya pengaruh dari air tawar dibandingkan dengan transek yang lain dan sangat dekatnya lokasi transek dengan laut menyebabkan salinitas pada Stasiun 2 Transek 1 dan 2 lebih tinggi daripada transek-transek yang lain. Rendahnya nilai salinitas disebabkan oleh pengaruh air tawar yang lebih besar dibandingkan dengan pengaruh air laut khususnya ketika sedang surut. Hal ini terjadi berkenaan dengan lokasi Transek 4 Stasiun 1 yang sangat dekat dengan beberapa rumah penduduk. Turunnya hujan ketika pengambilan sampel menyebabkan salinitas pada Stasiun 2 Transek 3, 4, dan 5 menjadi relatif rendah (Gambar 19). Fluktuasi salinitas yang tinggi ini juga terjadi karena terdapat cukup banyaknya sungai yang melewati Stasiun 2, 3, 4, dan bermuara di dekat lokasi Stasiun 5 Transek 1, sehingga pengaruh pasokan air tawar terhadap ekosistem relatif cukup tinggi. Kisaran salinitas pada pengamatan ulangan kedua adalah sebesar 0 – 27,5 ‰, dimana kisaran ini tidak terlalu berbeda jauh dengan pengamatan ulangan pertama. Salinitas tertinggi terdapat pada Stasiun 4 sebesar 27,5 ‰, sedangkan salinitas yang terendah terdapat pada Stasiun 2 dan 3, yaitu sebesar 0 ‰. Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa fluktuasi salinitas relatif cukup tinggi, rendahnya salinitas pada Stasiun 2 Transek 4 dan 5, serta Stasiun 3 Transek 5 disebabkan karena lokasi transek tidak terkena pasang ketika pengambilan data. Pengaruh air tawar juga cukup tinggi karena dalam 2 hari pengambilan data selalu turun hujan. Tidak adanya data salinitas pada beberapa transek disebabkan karena tidak adanya air yang tergenang pada lokasi transek ketika pengambilan data. 4.3.3 Derajat keasaman (pH) dan reduksi-oksidasi (Eh) tanah Nilai pH tanah pada pengamatan ulangan pertama yang tertinggi adalah sebesar 5 terdapat pada Stasiun 2 sedangkan yang terendah adalah 7 ditemukan di semua stasiun. Nilai Eh yang terbesar terdapat pada stasiun 4, yaitu sebesar 67, sedangkan nilai Eh terendah sebesar 0 dapat ditemukan di setiap stasiun. Nilai kisaran pH yang tidak terlalu besar diperlihatkan oleh Gambar 19 hanya berkisar 6,14 – 7, sedangkan untuk Eh berkisar 0 – 29. Hal ini diungkapkan oleh Aksornkoae (1993), bahwa tanah mangrove di bagian permukaan memiliki pH yang rendah dan bersalinitas tinggi. Semakin rendah nilai dari pH akan diikuti oleh nilai Eh yang rendah juga. Rendahnya nilai Eh mengindikasikan proses produksi dan respirasi yang terjadi berjalan hampir seimbang, untuk nilai Eh bernilai 0 menunjukkan bahwa kedua proses tersebut berjalan dengan seimbang. Nilai pH tertinggi pada pengamatan ulangan kedua ditemukan di Stasiun 1, yaitu sebesar 5 dan yang terendah adalah 7 ditemukan di semua stasiun. Nilai Eh tertinggi ditemukan pada Stasiun 1 sebesar 60 dan yang terendah adalah 0 ditemukan di semua stasiun. Nilai rata-rata pH relatif rendah berkisar 6,08 – 6,90, sedangkan Eh berkisar 0,20 – 27,38. Kondisi ini menunjukkan nilai pH dan Eh yang relatif rendah dimana tidak terlalu berbeda dengan pengamatan pada ulangan pertama. 4.3.4. Substrat Karakteristik dari tanah merupakan faktor utama yang membatasi pertumbuhan dan distribusi tanaman mangrove (Gledhill, 1963; Aksornkoae, 1975; Giglioli dan King, 1966; Clark dan Hannon, 1967; Aksornkoae et al, 1985 dalam Aksornkoae, 1993). Aksornkoae (1993), menemukan bahwa perbedaan dari karakteristik fisik dan kimia tanah akan menyebabkan perbedaan pada zonasi mangrove. Levin (1984) dalam Chapman et al (2006) menyatakan bahwa benthos dapat merubah pola distribusi lokalnya sebagai respon terhadap sediment atau substratnya. Pengamatan tipe substrat dilakukan secara visual pada setiap transek dan hampir di semua stasiun tipe substrat yang terbanyak adalah lumpur. Tipe substrat pasir hanya ditemukan di 2 lokasi saja, yaitu di Stasiun 2 Transek 1 dan Stasiun 4 Transek 1. Tipe substrat yang berupa lumpur berpasir ditemukan pada Stasiun 1 Transek 2 dan Stasiun 3 Transek 3. Tipe substrat yang ditemukan pada kedua periode pengamatan relatif sama. 4.4 Struktur komunitas makrozoobenthos (moluska) 4.4.1 Komposisi jenis dan kepadatan makrozoobenthos (moluska) Makrozoobenthos (moluska) umumnya ditemukan menempel pada batang, akar, dan daun tumbuhan mangrove, tapi ada juga yang ditemukan di substrat. Menurut Aksornkoae (1993) beberapa jenis spesies gastropod seperti Littorina, Cerithidea, Telescopium, Terebralis, dan Nerita merupakan jenis yang sering ditemukan melimpah pada hutan mangrove. Komposisi dari spesies makrozoobenthos yang ditemukan ditampilkan pada Gambar 21. 0.08 0.54 0.03 0.16 0.24 0.19 0.16 0.05 9.75 0.03 0.03 0.05 0.03 2.72 0.32 26.82 49.37 0.05 0.65 0.03 0.27 5.20 0.19 3.04 Neritina turrita Terebralia palustris Cerithidea quadrata Cassidula aurisfelis Bulla vernicosa Litorina scabra Nerita planospira Clithon oulaniensis Telescopium telescopium Onchidium Melanoides torulosa Terebralia Cassidula nucleus Spisula solida Neritina communis Cerithidea Cerithium maculatum Polinices sordidus Pythia scarabeus Nassarius pullus Vexillum virgo Cantharus undosus Neritina Ellobium aurisjudae Gambar 21. Komposisi (%) spesies makrozoobethos Komposisi spesies makrozoobenthos yang ditemukan terdiri dari 24 spesies. Cerithidea quadrata merupakan spesies yang ditemukan dengan komposisi tertinggi, yaitu sebesar 49,37 % (Gambar 21). Spesies ini ditemukan dibanyak lokasi transek dengan jumlah yang melimpah. Kusnoto (1956) menyatakan umumnya Cerithidea quadrata ditemukan menempel di dahan-dahan pohon. Spesies yang juga memiliki komposisi yang tinggi adalah Melanoides torulosa, yaitu sebesar 26,82 % (Gambar 21), sedangkan komposisi spesies makrozoobenthos terendah, yaitu sebesar 0,03 % ditemukan pada Clithon oulaniensis, Cerithidea, Vexillum virgo, Cantharus undosus, dan Ellobium aurisjudae. 79 K e p a d a ta n 21 1 1 1 4 9 1 2 2 1 1 1 1 2 3 7 1 1 2 1 1 1 2 3 3 1 5 1 1 3 1 1 C a ssid u la a u risfe lis P y th ia sc a ra b e u s L itto rin a sc a b ra 2 C e rith id e a q u a d ra ta C lith o n o u la n ie n sis N e ritin a tu rrita M e la n o id e s to ru lo sa N e ritin a c o m m u n is T e re b ra lia 2 C e rith id e a q u a d ra ta C e rith iu m m a c u la tu m N a ssa riu s p u llu s V e x illu m v irg o P o lin ic e s so rd id u s C a n th a ru s u n d o su s C e rith id e a q u a d ra ta T e le sc o p iu m te le sc o p iu m C a ssid u la n u c le u s N e ritin a tu rrita T e re b ra lia 3 C a ssid u la a u risfe lis L itto rin a sc a b ra P y th ia sc a ra b e u s C a ssid u la a u risfe lis T e le sc o p iu m te le sc o p iu m N e ritin a tu rrita C e rith id e a q u a d ra ta M e la n o id e s to ru lo sa S p isu la so lid a L itto rin a sc a b ra C a ssid u la n u c le u s P y th ia sc a ra b e u s N e ritin a 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 4 Transek Gambar 22. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 1 Spesies yang diperoleh pada Stasiun 1 mencapai 18 spesies, yang terdiri dari 17 jenis gastropoda dan 1 jenis bivalvia, yaitu Spisula solida. Cerithidea quadrata memiliki nilai kepadatan yang tertinggi pada Transek 1 sebesar 3 ind/m2, sedangkan spesies dengan nilai kepadatan terkecil dimiliki oleh Vexillum virgo dan Cantharus undosus, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 22). Seluruh biota pada Transek 1 ditemukan di substrat. Transek ke-2 memiliki 8 jenis gastropoda, dengan Cerithidea quadrata spesies yang memiliki nilai kepadatan tertinggi pada Transek 2, yaitu sebesar 21 ind/m2 (Gambar 22). Seluruh biota pada Transek 2 ditemukan melekat pada batang mangrove. Terdapat 9 jenis gastropoda dan 1 jenis bivalvia pada Transek 3 Stasiun 1. Cassidula aurisfelis memiliki kepadatan tertinggi di Transek 3, yaitu sebesar 9 ind/m2 (Gambar 22). Melanoides torulosa, Cassidula nucleus, Phytia scarabeus memiliki kepadatan terendah, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 22). Hampir seluruh biota pada Transek 3 ditemukan melekat pada batang mangrove, meskipun ada beberapa yang ditemukan pada substrat. Melanoides torulosa memiliki nilai kepadatan yang sangat tinggi pada Transek 4, yaitu mencapai 79 ind/m2, kemudian diikuti oleh Neritina turrita yang memiliki nilai kepadatan yang cukup tinggi, yakni sebesar 5 ind/m2 (Gambar 22). Selain itu, terdapat juga spesies lainnya, seperti; Littorina scabra, Clithon oulaniensis, dan Terebralia yang memiliki nilai kepadatan terkecil, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2. Biota pada Transek 4 ada yang ditemukan pada substrat dan sebagian besar ditemukan melekat pada batang substrat. Pada saat air laut pasang hampir seluruh biota memiliki kecenderungan menghindari air laut dengan cara naik dan melekat pada batang-batang mangrove yang tidak terendam air laut. Distribusi makrozoobenthos yang terbentuk pada Stasiun 1 adalah Transek 1 dihuni oleh Cerithidea quadrata dengan kepadatan tertinggi, lalu diikuti oleh Cerithium maculatum, Cantharus undosus, Polinices sordidus, Nassarius pullus dan Vexillum virgo. Transek 2 dihuni oleh 8 jenis gastropoda, yaitu Cerithidea quadrata yang memiliki kepadatan tertinggi, Cassidula nucleus, Neritina turrita, Telescopium telescopium, Terebralia, Phytia scarabeus, Littorina scabra, dan Cassidula aurisfelis. Transek 3 merupakan transek dengan keanekaragaman jenis tertinggi pada Stasiun 1 karena terdapat sebanyak 9 jenis gastropoda dan 1 jenis bivalvia yang menempati transek ini. Cassidula aurisfelis merupakan spesies dengan kepadatan tertinggi yang mendiami Transek 3. Spesies lainnya yang mendiami transek ini adalah Melanoides torulosa, Cerithidea quadrata, Littorina scabra, Neritina, Phytia scarabeus, Cassidula nucleus, Telescopium telescopium, Neritina turrita, dan satu-satunya bivalvia pada transek ini adalah Spisula solida. Terdapat sebanyak 9 jenis gastropoda pada transek 4. Melanoides torulosa memiliki kepadatan tertinggi pada transek ini. Spesies lainnya yang terdapat pada Transek 4 adalah Cerithidea quadrata, Neritina turrita, Neritina communis, Clithon oulaniensis,Littorina scabra, Phytia scarabeus , Neritina, dan Cassidula aurisfelis. 117 49 40 1 1 2 3 1 2 1 1 1 1 11 3 1 6 1 1 T e re b ra lia M e la n o id e s to ru lo sa E llo b iu m a u risju d a e T e re b ra lia p a lu stris C e rith id e a q u a d ra ta L itto rin a sc a b ra C e rith iu m m a c u la tu m N e rita p la n o sp ira T e re b ra lia p a lu stris C a ssid u la a u risfe lis C e rith id e a q u a d ra ta P y th ia sc a ra b e u s N e ritin a tu rrita S p isu la so lid a M e la n o id e s to ru lo sa 1 C e rith id e a q u a d ra ta C e rith id e a q u a d ra ta B u lla v e rn ic o sa 1 L itto rin a sc a b ra T e re b ra lia 2 3 1 1 1 1 1 6 1 1 1 O n c h id iu m N e ritin a tu rrita N e rita p la n o sp ira C e rith id e a q u a d ra ta P y th ia sc a ra b e u s 19 T e re b ra lia P o lin ic e s so rd id u s B u lla v e rn ic o sa M e la n o id e s to ru lo sa N e ritin a c o m m u n is K e p a d a ta n 140 120 100 80 60 40 20 0 4 5 Transek Gambar 23. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 2 Stasiun 2 merupakan stasiun yang memiliki kondisi ekosistem mangrove yang relatif paling baik diantara stasiun-stasiun yang lainnya, sehingga stasiun ini memiliki keanekaragaman jenis makrozoobenthos yang cukup beragam, dan pada atasiun ini ditemukan sekitar 16 jenis spesies makrozoobenthos. Pada Transek 1 ditemukan sebanyak 3 spesies gastropoda, yaitu Littorina scabra yang memiliki kepadatan tertinggi pada transek ini sebesar 2 ind/m2, dan Terebralia beserta Cerithidea quadrata yang keduanya memiliki kepadatan sebesar 1 ind/m2 dan 1 ind/m2 (Gambar 23). Seluruh makrozoobenthos yang ditemukan pada Transek 1 didapati melekat pada batang mangrove. Transek 2 hanya memiliki sebanyak 2 jenis gastropoda, yaitu Cerithidea quadrata dengan kepadatan tertinggi, yaitu sebesar 19 ind/m2, dan Bulla vernicosa dengan kepadatan sebesar 1 ind/m2 (Gambar 23). Pada Transek 2 makrozoobenthos ditemukan melekat pada batang mangrove dan di substrat. Terebralia sp ditemukan dengan kepadatan yang tertinggi pada Transek 3, yaitu mencapai 49 ind/m2, dan yang terendah dimiliki oleh Ellobium aurisjudae dan Cerithium maculatum dengan kepadatan hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 23). Makrozoobenthos di Transek 3 ditemukan pada batang mangrove dan substrat. Pada Transek 4 ditemukan sebanyak 11 jenis makrozoobenthos, dengan kepadatan tertinggi pada transek ini dimiliki oleh Cassidula aurisfelis, yaitu sebesar 11 ind/m2, sedangkan kepadatan terkecil adalah sebesar 1 ind/m2 dimiliki oleh Terebralia, Spisula solida, dan Polinices sordidus (Gambar 23). Spesies pada Transek 4 ada yang ditemukan melekat di batang mangrove dan ada yang ditemukan pada substrat. Melanoides torulosa merupakan spesies dengan kepadatan tertinggi yang ditemukan pada Transek 5, kepadatannya mencapai 117 ind/m2 (Gambar 23), sedangkan kepadatan terendah yang ditemukan pada Transek 5 hanya sebesar 1 ind/m2 yang merupakan kepadatan dari Onchidium sp, Cerithidea quadrata, dan Phytia scarabeus (Gambar 23). Distribusi horizontal makrozoobenthos pada Stasiun 2 diawali oleh Littorina scabra, Terebralia sp, dan Cerithidea quadrata yang menghuni Transek 1. Pada Transek 2 hanya ditemukan 2 jenis gastropoda saja, yaitu Cerithidea quadrata, dan Bulla vernicosa. Terdapat 7 spesies gastropoda yang ditemukan pada Transek 3, spesies-spesies tersebut adalah Terebralia sp yang memiliki kepadatan tertinggi, Melanoides torulosa, Cerithidea quadrata, Terebralia palustris, Cerithium maculatum, Littorina scabra, dan Ellobium aurisjudae. Pada Transek 4 ditemukan sebanyak 11 spesies makrozoaobenthos, yaitu Cassidula aurisfelis yang memiliki kepadatan tertinggi pada transek ini, lalu diikuti oleh Neritina turrita, Nerita planospira, Bulla vernicosa, Polinices sordidus, Spisula solida, Terebralia sp, Melanoides torulosa, Phytia scarabeus, Terebralia palustris serta Cerithidea quadrata. Terdapat sekitar 7 jenis gastropoda pada Transek 5 Stasiun 2, yaitu Melanoides torulosa dengan kepadatan sangat tinggi, Neritina communis, Phytia scarabeus, Cerihidea quadrata, Nerita planospira, Neritina turrita, dan 113 65 35 1 18 1 1 2 3 1 1 1 1 Pythia scarabeus Cerithidea quadrata Melanoides torulosa 1 Terebralia 3 Cerithidea quadrata 2 Terebralia 1 Pythia scarabeus Cerithidea quadrata Littorina scabra Neritina turrita Terebralia palustris Cerithidea quadrata Littorina scabra 1 Cerithidea 120 100 80 60 40 20 0 Nerita planospira Kepadatan Onchidium sp. 4 5 Transek Gambar 24. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 3 Stasiun 3 memiliki kondisi ekosistem mangrove yang sudah rusak. Kondisi ini mempengaruhi keanekaragaman dari makrozoobenthos yang mendiami stasiun ini. Stasiun 3 hanya memiliki 9 spesies gastropoda, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 2 yang memiliki kondisi hutan relatif lebih terjaga. Menurut Aksornkoae (1993), fauna mangrove terdistribusi secara horizontal mengikuti zonasi dari vegetasi-vegetasi mangrove yang terbentuk dan terdistribusi secara vertikal berdasarkan substrat mangrove, akar, daun, dan tutupan atau atap hutan mangrove. Oleh karena itu, dengan rusaknya hutan, maka akan mengurangi keragaman dari fauna yang hidup di dalamnya. Pada Stasiun 3 transek 1 dihuni oleh 2 spesies gastropoda, yaitu Nerita planospira, dan Cerithidea dengan kepadatan sebesar 1 ind/m2 untuk kedua spesies (Gambar 24). Transek 2 dihuni oleh 5 spesies dengan Cerithidea quadrata sebagai spesies dengan kepadatan tertinggi pada transek ini, yaitu mencapai 35 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah dimiliki oleh Neritina turrita hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 24). Makrozoobenthos di Transek 2 ditemukan melekat pada batang mangrove dan di substrat. Pada Transek 3 ditemukan sebanyak 3 jenis gastropoda, yaitu Cerithidea quadrata dengan kepadatan yang relatif tinggi mencapai 65 ind/m2 (Gambar 24), dan terendah dimiliki oleh Littorina scabra dan Terebralia, yaitu sebesar 1 ind/m2. Sama seperti Transek 2 makrozoobenthos Transek 3 ada yang ditemukan melekat pada batang mangrove dan ada yang ditemukan pada substrat. Cerithidea quadrata kembali ditemukan dengan kepadatan yang sangat tinggi mencapai 113 ind/m2 yang merupakan kepadatan tertinggi pada Transek 4, dan diikuti oleh Terebralia yang memiliki kepadatan sebesar 18 ind/m2 (Gambar 24). Sebagian besar benthos di Transek 4 ditemukan di substrat dan hanya sebagian kecil saja yang ditemukan melekat pada batang vegetasi mangrove. Pythia scarabeus merupakan makrozoobenthos dengan kepadatan tertinggi yang ditemukan pada Transek 5, yaitu sebesar 1 ind/m2, sedangkan untuk 2 spesies lainnya yang ditemukan di Transek 5, yaitu Cerithidea quadrata, dan Melanoides torulosa memiliki kepadatan yang sama, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 24). Pada Transek 5 makrozoobenthos dijumpai di substrat dan melekat pada batang mangrove.. Distribusi horizontal makrozoobenthos yang terbentuk pada Stasiun 3 ini diawali oleh Nerita planospira, dan Cerithidea yang mendiami Transek 1 dengan kepadatan yang relatif rendah, kemudian terdapat Cerithidea quadrata, Phytia scarabeus, Littorina scabra, Neritina turrita, ,dan Terebralia palustris yang menghuni Transek ke-2, lalu Cerithidea quadrata, Littorina scabra, dan Terebralia ditemukan di Transek 3, sedangkan pada Transek 4 ditemukan Cerithidea quadrata dengan kelimpahan yang tinggi dan Terebralia. Sebanyak 3 spesies dengan kepadatan yang tidak terlalu berbeda signifikan ditemukan pada Transek 5, yaitu Pythia scarabeus, Cerithidea quadrata, dan Melanoides torulosa. Kondisi hutan mangrove pada Stasiun 3 yang terburuk setelah Stasiun 5 yang rusak akibat adanya aktifitas pembukaan lahan hutan, hal inilah yang menjadi 12 10 8 6 4 2 0 10 10 7 6 4 1 1 2 1 2 1 2 1 1 Onchidium Littorina scabra Terebralia Cerithidea quadrata Telescopium telescopium Littorina scabra Terebralia Cerithidea quadrata Littorina scabra Cerithidea quadrata Bulla vernicosa Littorina scabra Cassidula aurisfelis 1 Cerithidea quadrata Kepadatan penyebab tidak terlalu banyaknya spesies makrozoobenthos pada stasiun ini. 2 3 4 5 Transek Gambar 25. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 4 Stasiun 4 dihuni oleh 7 jenis makrozoobenthos. Kondisi hutan pada stasiun ini relatif lebih baik dibandingkan Stasiun 3 dan 5 yang sudah rusak parah akibat pembukaan lahan hutan menjadi lahan tambak garam abu, tetapi aktifitas pembukaan lahan hutan juga terjadi pada stasiun ini, sehingga makrozoobenthos yang terdapat di stasiun ini pun tidak terlalu beragam. Pada Transek 1 tidak ditemukan adanya makrozoobenthos. Terdapat 4 jenis makrozoobenthos pada Transek 2. Cerithidea quadrata merupakan spesies yang memiliki kepadatan tertinggi pada transek ini, yaitu sebesar 6 ind/m2, sedangkan Onchidium sp merupakan spesies dengan kepadatan terendah, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 25). Makrozoobenthos yang ditemukan pada Transek 2 hampir semuanya ditemukan menempel pada batang mangrove dan hanya sedikit yang ditemukan pada subtrat. Cerithidea quadrata kembali ditemukan dengan kepadatan tertinggi pada Transek 3, yaitu sebesar 10 ind/m2, dan Telescopium telescopium ditemukan dengan kepadatan terendah, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 25). Pada transek ini makrozoobenthos ditemukan di substrat dan juga menempel pada batang mangrove. Pada Transek 4 hanya ditemukan 2 benthos saja, yaitu Cerithidea quadrata dengan kepadatan sebesar 7 ind/m2 dan Bulla vernicosa dengan kepadatan sebesar 1 ind/m2 (Gambar 25). Hampir semua makrozoobenthos yang ditemukan pada transek ini terdapat di atas substrat dan hanya sedikit saja yang menempel pada batang mangrove. Transek 5 dihuni oleh 4 jenis gastropoda. Cerithidea quadrata memiliki kepadatan tertinggi sebesar 7 ind/m2, sedangkan Bulla vernicosa ditemukan dengan kepadatan terendah, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 26). Pada transek ini spesies makrozoobenthos ada yang ditemukan melekat pada batang dan ada yang di substrat. Tidak ditemukan adanya makrozoobenthos pada Transek 1 Stasiun 4, sehingga distribusi horizontal makrozoobenthos dimulai dari Transek 2 yang dihuni oleh Cerithidea quadrata dengan kepadatan tertinggi, Littorina scabra, Terebralia, dan Onchidium sp yang memiliki kepadatan terendah. Cerithidea quadrata kembali ditemukan dengan kepadatan tertinggi pada Transek 3 diikuti oleh Littorina scabra, Terebralia, dan Telescopium telescopium yang memiliki kepadatan relatif rendah dibandingkan Cerihidea quadrata. Pada Transek 4 hanya terdapat 2 spesies sebagai saja, yaitu Ceritidea quadrata dan Littorina scabra, sedangkan Transek 5 dihuni oleh Cerithidea quadrata, Bulla vernicosa, Littorina 29 1 2 2 Pythia scarabeus 1 Cerithidea quadrata 1 Terebralia 3 Littorina scabra 2 Terebralia 1 Littorina scabra 23 Cerithidea quadrata 35 30 25 20 15 10 5 0 Spisula solida Kepadatan scabra, dan Cassidula aurisfelis. 3 Transek Gambar 26. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 5 Stasiun 5 merupakan stasiun dengan kondisi ekosistem mangrove terburuk. Kondisi hutan pada stasiun ini rusak karena adanya pembukaan lahan hutan untuk dijadikan lahan tambak garam abu. Keanekaragaman pada Stasiun 5 merupakan yang terendah dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya, karena pada stasiun ini hanya ditemukan 5 spesies makrozoobenthos saja. Spisula solida yang merupakan jenis bivalvia (kerang-kerangan) ditemukan sebagai penghuni tunggal pada Transek 1 dengan kepadatan sebesar 1 ind/m2. Spisula solida ditemukan pada substrat. Littorina scabra ditemukan sebagai spesies dengan kepadatan tertinggi di Transek 2, yaitu sebesar 3 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah dimiliki oleh Terebralia, yaitu sebesar 1 ind/m2 (Gambar 26). Makrozoobenthos di Transek 2 ditemukan melekat pada batang mangrove. Cerithidea quadrata ditemukan dalam jumlah yang cukup melimpah pada Transek 3, yaitu dengan kepadatan mencapai 29 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah dimiliki oleh Phytia scarabeus, yaitu hanya sebesar 1 ind/m2 (Gambar 26). Seluruh Makrozoobenthos yang terdapat di Transek 5 ditemukan melekat pada batang mangrove. Distribusi horizontal makrozoobenthos yang terbentuk pada Stasiun 5 kurang baik, karena hutan mangrove yang tersisa tidak cukup tebal, sehingga pengamatan hanya dapat dilakukan pada 3 transek saja. Pada Transek 1 ditemukan Spisula solida sebagai penghuni tinggal, sedangkan pada Transek 2 ditemukan sebanyak 3 spesies saja, yaitu Littorina scabra, Cerithidea quadrata, dan Terebralia. Pada Transek 3 dapat dijumpai 4 spesies makrozoobenthos, yaitu Littorina scabra, Terebralia, Phytia scarabeus, dan Cerihtidea quadrata yang ditemukan dengan kepadatan tertinggi. Cerithidea quadrata merupakan spesies yang paling banyak ditemukan di setiap stasiun dan dalam jumlah yang melimpah. Menurut Ijzerman dalam Kusnoto (1956), Cerithidea quadrata merupakan spesies yang sering ditemukan melekat pada batang mangrove sama seperti Cerithidea obtusa. Cerithidea obtusa sering ditemukan melekat pada pohon mangrove, seperti; Rhizophora dan Avicennia (Ijzerman dalam Kusnoto, 1956), spesies ini bahkan ditemukan sampai di areal yang ditumbuhi Acanthus ilicifolius yang biasanya merupakan daerah batas hutan mangrove (Peflugfelder, 1930 dalam Kusnoto, 1956). Selain itu, spesies ini juga memiliki habitat pada daerah bersalinitas rendah (Kusnoto, 1956). 4.4.2 Keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) Keanekaragaman dicirikan dengan tingkat keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) dari suatu organisme. Selain mempunyai peran untuk menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas, nilai-nilai tersebut dapat memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu tiap jenis (Odum, 1971). Keanekaragaman berkaitan dengan dua hal utama, yaitu banyaknya spesies yang berada pada suatu komunitas dan kelimpahan dari masing-masing spesies tersebut. Setiap stasiun memiliki keanekaragaman berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) makrozoobenthos Stasiun H' E D 2,00 0,44 0,39 1 1,95 0,43 0,35 2 0,52 0,11 0,84 3 0,99 0,22 0,66 4 1,13 0,25 0,51 5 Indeks keanekaragaman yang ditemukan pada lokasi penelitian memiliki kisaran sebesar 0,52 – 2,00. Indeks keanekaragaman terendah ditemukan di Stasiun 3, yaitu sebesar 0,52, sedangkan untuk indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada Stasiun 1, yaitu sebesar 2,00. Rendahnya keanekaragaman spesies di Stasiun 3 disebabkan karena spesies Cerithidea quadrata yang terlalu mendominasi dibandingkan dengan spesies lainnya. Selain itu, Cerithidea quadrata hampir dapat ditemukan di setiap transek dengan kelimpahan relatif lebih tinggi dari spesies lainnya pada transek yang sama. Keanekaragaman tertinggi ditemukan pada Stasiun 1. Tingginya keanekaragaman pada Stasiun 1 mencerminkan bahwa jumlah spesies yang terdapat pada Stasiun 1 lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya. Banyaknya jumlah spesies makrozoobenthos yang ditemukan pada Stasiun 1 disebabkan karena masih bagusnya kondisi hutan mangrove pada stasiun tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aksornkoae (1993), yang menyatakan bahwa distribusi dari makrozoobenthos akan tergantung zonasi dari vegetasi mangrove yang terbentuk, baik secara spasial maupun vertikal. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0,11 – 0,44. Indeks keseragaman tertinggi yang diperoleh adalah sebesar 0,44 yang ditemukan pada Stasiun 1, sedangkan indeks keseragaman terendah ditemukan pada Stasiun 3, yaitu sebesar 0,11. Tingginya indeks keseragaman menandakan bahwa jumlah individu antar masing-masing spesies relatif sama dan tidak berbeda terlalu signifikan, sedangkan rendahnya indeks keseragaman menandakan bahwa kekayaan individu yang dimiliki oleh masing-masing spesies sangat jauh berbeda, hal ini dapat dilihat pada Stasiun 3 dimana Cerihidea quadrata ditemukan dengan kepadatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan spesies lainnya. Nilai indeks dominansi yang ditemukan pada lokasi pengamatan memiliki kisaran antara 0,35 – 0,84. Indeks dominansi tertinggi yang ditemukan adalah sebesar 0,84 yang terdapat di Stasiun 3, sedangkan indeks dominansi terendah ditemukan pada Stasiun 1, yaitu sebesar 0,35. Tingginya nilai indeks dominansi pada Stasiun 3 disebabkan karena adanya dominasi oleh Cerithidea quadrata yang memiliki nilai kepadatan jauh lebih tinggi dibandingkan spesies lainnya, dan spesies ini pun menempati di sebagian besar transek pada stasiun ini. 4.4.3 Similaritas antar stasiun penelitian Besarnya similaritas antar stasiun dengan menggunakan Indeks Bray-Curtis ditentukan berdasarkan kesamaan spesies beserta jumlah individu masing-masing spesies yang terdapat pada stasiun tersebut. Besarnya indeks similaritas antar stasiun diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Matriks similaritas antar stasiun ulangan pertama 1 2 3 4 5 1 0 0,6605 0,1964 0,3771 0,3376 2 0,6605 0 0,3348 0,2403 0,2126 3 0,1964 0,3348 0 0,2637 0,2365 4 0,3771 0,2403 0,2637 0 0,7830 5 0,3376 0,2126 0,2365 0,7830 0 Indeks similaritas tertinggi terdapat antara Stasiun 4 dan 5, yaitu mencapai sebesar 0,7830, sedangkan indeks similaritas terkecil terdapat antara Stasiun 1 dan 3, yaitu hanya sebesar 0,1964 (Tabel 6). Umumnya setiap stasiun yang memiliki indeks similaritas tinggi memiliki kesamaan jenis spesies atau seluruh spesies pada stasiun yang satu dapat ditemukan juga pada stasiun yang satunya. Pengelompokan setiap stasiun berdasarkan indeks similaritasnya diperlihatkan pada Gambar 27. 0 0.26 S 0.44 0.66 0.78 1 1 2 4 5 3 Stasiun Gambar 27. Dendrogram similaritas antar stasiun Similaritas tertinggi terdapat pada Stasiun 4 dan 5, yakni mencapai sebesar 0,78, kemudian diikuti oleh Stasiun 1 dan 2 dengan similaritas sebesar 0,66 (Gambar 27). Tingginya similaritas antara Stasiun 4 dan 5 disebabkan karena hampir seluruh spesies makrozoobenthos yang terdapat pada Stasiun 5 dapat ditemukan juga pada Stasiun 4, yaitu Littorina scabra, Terebralia, dan Cerithidea quadrata. Adanya daerah hutan yang gundul pada kedua stasiun ini akibat aktifitas pembukaan hutan juga menjadi salah satu penyebab tingginya kesamaan spesies antar kedua stasiun, karena spesies makrozoobenthos seperti Cerithidea quadrata ditemukan melimpah pada daerah-daerah yang tidak tertutup hutan mangrove (daerah yang gundul). Similaritas tertinggi kedua ditemukan pada Stasiun 1 dan 2, yaitu mencapai sebesar 0,66 (Gambar 27). Tingginya kesamaan spesies pada kedua stasiun lebih disebabkan karena keduanya sama-sama memiliki kondisi hutan yang relatif masih baik, sehingga keduanya memiliki keanekaragaman spesies yang terbilang tinggi. Ditemukannya kesamaan vegetasi pada kedua stasiun seperti Rhizophora mucronata dalam jumlah yang melimpah menjadi salah satu penyebab kedua stasiun memiliki kesamaan spesies makrozoobenthos yang tinggi, seperti yang dinyatakan oleh Sandra Vilardy dan Jaime Polania (2002), bahwa keanekaragaman moluska ditentukan oleh ketersediaannya daerah perlindungan dan feeding ground oleh akar mangrove (vegetasi), sehingga sedikitnya akar mangrove (vegetasi) akan memicu organisme tersebut untuk bermigrasi. Sistem perakaran dari Rhizophora tidak hanya dapat melindungi makrozoobenthos dari panasnya sinar matahari tropis, tetapi juga merupakan feeding ground dari beberapa biota (Kamarudin, Ulare, dan Sangare, 2004). 4.4.4 Hubungan antara spesies makrozoobenthos dengan vegetasi mangrove tertentu Correspondence analysis digunakan untuk mengetahui hubungan atau asosiasi antara spesies makrozoobenthos tertentu dengan jenis vegetasi mangrove tertentu. Analisis hanya dilakukan pada 1 dan 2 sumbu saja, karena tidak ada vegetasi mangrove yang berkontribusi cukup signifikan pada sumbu ketiga, keempat dan seterusnya. Selain itu, sumbu 1 dan 2 sudah dapat merepresentasikan 85,9 % hubungan atau asosiasi yang terjadi. 1.5 Sumbu 2 N 1 BCd O 0.5 Rm I Sumbu 1 Q 0 U -1 B r -0.5K C Lr E Sa A D L 0 Sc 0.5 Ai Nf Ac R 1 1.5 P -0.5 AZ Am F -1 X -1.5 (i) Sumbu 1 dan sumbu 2 2 O K Sumbu 3 AZ 1.5 D Q1 -1 V Sa Rm X U BC Br N Lr E -0.5 Cd Am F A 0.5 P L Sumbu 1 I 0 0 Sc 0.5 -0.5 -1 (ii) Sumbu 1 dan sumbu 3 1 Ac R AiNf 1.5 2 AZ Sumbu 3 K 1.5 O D 1 V 0.5 P X -1.5 Sa U -1 -0.5 Lr Am F Q Sc A Rm L R C 0 Ai Br AcNf 0 Sumbu 2 I B 0.5 1 Cd N W 1.5 -0.5 -1 (iii) Sumbu 2 dan sumbu 3 Keterangan: Sa : Sonneratia alba Rm : Rhizophora mucronata Am : Avicennia marina Lr : Lumnitzera racemosa Cd : Ceriops decandra Aa : Avicennia alba Ai : Acanthus ilicifolius Ac : Aegiceras corniculatum B : Terebralia palustris C : Cerithidea quadrata E : Bulla vernicosa F : Littorina scabra K : Telescopium telescopium M : Melanoides torulosa N : Terebralia sp P : Pythia scarabeus Q : Spisula solida U : Cerithium maculatum W : Ellobium aurisjudae X : Nassarius pullus Sc : Sonneratia casseolaris Br : Bruguiera sp Nf : Nypa fruticans A : Neritina turitta D : Cassidula aurisfelis I : Nerita planospira L : Onchidium sp O : Cassidula nucleus R : Neritina communis V : Polinices sordidus AZ: Neritina sp Gambar 28. Grafik hubungan antara makrozoobenthos dan mangrove Neritina turrita memiliki hubungan yang paling erat dengan mangrove Sonneratia casseolaris, meskipun demikian Nerita planospira juga memiliki hubungan yang cukup erat dengan spesies mangrove S. casseolaris. Spesies Terebralia palustris dan genus Terebralia memiliki hubungan yang cukup erat dengan jenis mangrove Ceriops decandra dan Avicennia alba, seperti yang diungkapkan oleh Aksornkoae (1993) bahwa Terebralia palustris umum ditemukan pada daerah zonasi vegetasi Ceriops sp sampai zona Avicennia sp. Slim et al (1997) dalam E. Pape, A. Muthumbi, C. P. Kamanu, dan A. Vanreusel (2007) menambahkan bahwa spesies T. palustris dengan kepadatan rata-rata yang cukup tinggi umum ditemukan pada zonasi Ceriops sp. Cerithidea quadrata merupakan spesies yang ditemukan paling dominan pada lokasi penelitian, spesies ini dapat ditemukan hampir di seluruh transek setiap stasiun. Pada lokasi penelitian C. quadrata ditemukan memiliki hubungan yang erat dengan jenis vegetasi Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Lumnitzera racemosa, dan Bruguiera sp. C. quadrata biasa ditemukan menempel pada batang dan akar mangrove Rhizophora dan Avicennia sama seperti C. Obtusa (Pflugfelder, 1930 dalam Kusnoto 1956), spesies ini bahkan ditemukan sampai di areal yang ditumbuhi Acanthus ilicifolius yang biasanya merupakan daerah batas hutan mangrove dengan salinitas rendah (Peflugfelder, 1930 dalam Kusnoto, 1956). Ellobium aurisjudae memiliki hubungan yang cukup erat dengan jenis vegetasi mangrove Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius, dan Aegiceras corniculatum, tetapi hubungan yang paling erat dengan jenis vegetasi mangrove tersebut dimiliki oleh Melanoides torulosa. Menurut Aksornkoae (1993) Ellobium aurisjudae biasa ditemukan pada zona vegetasi mangrove Rhizophora sampai pada zona Nypa sp. Untuk spesies makrozoobenthos yang lainnya memiliki keeratan hubungan yang tidak terlalu erat dengan vegetasi mangrove. Selain dicirikan dengan dekatnya koordinat antara makrozoobenthos dengan mangrove pada grafik keeratan hubungan juga dicirikan oleh tingginya jumlah individu makrozoobenthos yang ditemukan pada vegetasi mangrove. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Mangrove yang terdapat pada lokasi penelitian merupakan ekosistem alami, dimana kondisinya sendiri sudah rusak akibat adanya aktivitas penebangan oleh penduduk sekitar, baik itu untuk pembukaan lahan tambak garam abu, maupun dimanfaatkan kayunya untuk dijadikan kayu bakar dan pagar rumah. Stasiun 1 dan 2 merupakan stasiun yang memiliki kondisi paling baik, dengan Rhizophora mucronata merupakan spesies yang paling tersebar hampir di seluruh stasiun. Keanekaragaman makrozoobenthos yang tinggi ditemukan pada lokasi mangrove yang kondisinya relatif masih baik. Cerithidea quadrata merupakan spesies makrozoobenthos yang ditemukan paling banyak dan dapat ditemukan di seluruh stasiun pengamatan. Stasiun 1 dan 2 merupakan stasiun dengan tingkat similaritas tertinggi untuk ulangan pertama, sedangkan Stasiun 4 dan 5 memiliki tingkat similaritas tertinggi pada ulangan kedua. Stasiun dengan similaritas tinggi menunjukkan adanya kesamaan jenis makrozoobenthos dan jumlah individu dari masing-masing jenisnya. Baik pada Stasiun 1 dan 2 maupun Stasiun 4 dan 5 masing-masing memiliki beberapa kesamaan jenis vegetasi mangrove dan kesamaan kondisi lingkungan, sehingga menimbulkan adanya kesamaan spesies makrozoobenthos. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara zonasi (sebaran) mangrove dengan keanekaragaman makrozoobenthos di lokasi penelitian. Tidak semua spesies makrozoobenthos memiliki asosiasi atau hubungan yang erat dengan jenis vegetasi mangrove tertentu yang ditemukan di lokasi penelitian. 5.2. Saran Penelitian lanjutan mengenai pola zonasi mangrove dan makrozoobenthos yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove perlu dilakukan pada kondisi musim yang berbeda-beda, agar dapat melihat struktur dan dinamika komunitas makrozoobenthos yang terbentuk pada setiap musim. DAFTAR PUSTAKA Abbot, R. T. 1991. Seashells of Southeast Asia. Tynron Press. Scotland. Aksornkoe. 1993. Ecology and management of mangrove. IUCN. Bangkok. Thailand. Anwar, J. S. J. Damanik dan M. Hisyam. 1984. Ekologi ekosistem Sumatera. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Bengen, D. G. 2004. Pedoman teknis: Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL-IPB. Bogor. Bengen. D. G. dan I. M. Dutton 2004. Interaction: mangroves, fisheries and forestry management in Indonesia. H. 632-653. Dalam Northcote. T. G. dan Hartman (Ed), Worldwide watershed interaction and management. Blackwell science.. Oxford. UK. Bengen, D. G. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. PKSPL-IPB. Bogor. Bengen, D.G. dan R. Dahuri, 1999. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Makalah pada tutorial pengetahuan lingkungan seri III: Dasardasar ekologi dan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dan sistem informasi lingkungan, 30 Nopember 1999. ITENAS. Bandung. Brower, J dan J. Zar. 1989. General ecology, field and laboratory methods. Brown Company Publ. Dubugue. Iowa.3. Chapman, M. G. dan T. J. Tolhurst. 2006. Relationship between benthic macrofauna and biochemical properties of sediments at different spatial scales and among different habitats in mangrove forest. Journal of experimental marine biology and ecology. 343 (2007): 96-109. Darsidi, A. 1986. Perkembangan pemanfaatan hutan mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove, Denpasar, Bali. 5 – 8 Agustus 1986. Dharma, B. 1988. Siput dan kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha. Jakarta. Indonesia. Elliot, J. M. 1977. Some methods for the statistical snalysis of sample of benthic invertebrates, 2th Edition. Scientific Publication. USA. 153p. Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. http://www.irwantoshut.com Istomo. 1992. Tinjauan ekologi mangrove dan pemanfaatannya di Indonesia. Lab. Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Kamardin, N. N., C. Ulare dan M. Sangare. 2006. Peculiarities of adaptive behaviour of mangrove molluscs at the Guinea Coast. Journal of evolutionary biochemistry and physiology. 42(1): 38-42. Kartawinata, K. S. Adisoemarno, S. Soemodiharjo dan I.G.M. Tantan 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia in S. Soemodiharjo dkk. (eds) Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago dan S. Baba. 1997. Buku panduan mangrove di Indonesia. ISME. Denpasar. Indonesia. Kusmana, C. 1995. Manajemen hutan mangrove Indonesia. Lab Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Kusnoto. 1956. A journal of zoology, hydrobiology and oceanography of the Indo-Australian archipelago. Museum Zoologicum Bogoriense. Bogor. Indonesia. Morton, J. 1990. The shore ecology of the tropical Pacific. Unesco Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta. 282 pp. Nontji, A. 1987. Laut nusantara. Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologis (Terjemahan oleh : M. Eidman, Koessoebiono dan D. G. Bengen, M. Hutomo dan Sukristijono). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Indonesia. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of ecology. Third Edition. Wb. Sounder Company Ltd. Philadelphia. Pape, E., A. Muthumbi, C. P. Kamanu dan A. Vanreusel. 2007. Size-dependent distribution and feeding habits of Terebralia palustris in mangrove habitats of Gazi Bay, Kenya. Estuarine, coastal and shelf science. 76(2008): 797-808. Peterson, C.H. 1991. Intertidal zonation of marine invertebrates in sand and mud. American Scientist. 79: 236 – 249. Sofia. Molluscan faunal distribution in Florida Bay, Past and Present : An Integration of Down Core and Mofern Data. http://sofia.usgs.gov/publication/papers/mollusc_distribution/results.html. Vilardy, S. dan J. Polania. 2002. Mollusc fauna of the mangrove root-fouling community at the Colombian Archipelago of San Andres and Old Providence. Wetlands ecology and management. 10: 273-282. Wilhm, J. L. 1975. Biological indicators of pollution. Dalam B. A. Whitton (Ed). River Ecological. Blackwell Scientific Publication. Oxford. London. LAMPIRAN LAMPIRAN Lampiran 1. Waktu pengambilan data Stasiun 1 2 3 4 5 8 Maret 2008 9 Maret 2008 24 Maret 2008 Waktu (WITA) 16.00 11.00 7.00 - Waktu (WITA) 17.45 9.00 14.00 - Waktu (WITA) 7.00 11.10 7.20 9.56 7.40 - 25 Maret 2008 Waktu (WITA) 7.30 7.14 10.00 Keterangan : Pengambilan data pada tanggal 24 – 25 maret 2008 untuk data pada Transek 1 di setiap stasiun diambil terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya pasang naik. Lampiran 2. Indeks disimilaritas dan similaritas antar 2 lokasi/stasiun Tanggal 8 - 9 Maret 2008 24 - 25 Maret 2008 Stasiun 1 dan 2 1 dan 3 1 dan 4 1 dan 5 2 dan 3 2 dan 4 2 dan 5 3 dan 4 3 dan 5 4 dan 5 1 dan 2 1 dan 3 1 dan 4 1 dan 5 2 dan 3 2 dan 4 2 dan 5 3 dan 4 3 dan 5 4 dan 5 Disimilaritas 0.4688 0.8829 0.7087 0.7451 0.6933 0.7964 0.7500 0.7897 0.7353 0.2426 0.3512 0.7152 0.6429 0.7770 0.6590 0.7134 0.8357 0.6678 0.8006 0.4109 Similaritas 0.5312 0.1171 0.2913 0.2549 0.3067 0.2036 0.2500 0.2103 0.2647 0.7574 0.6488 0.2848 0.3571 0.2230 0.3410 0.2866 0.1643 0.3322 0.1994 0.5891 Lampiran 3. Tabel parameter fisika-kimia Parameter Suhu air (°C) Kisaran Rata-rata Suhu udara (°C) Kisaran Rata-rata Salinitas (‰) Kisaran Rata-rata Ph tanah Kisaran Rata-rata Eh (%) tanah Kisaran Rata-rata Parameter Suhu air (°C) Kisaran Rata-rata Suhu udara (°C) Kisaran Rata-rata Salinitas (‰) Kisaran Rata-rata Ph tanah Kisaran Rata-rata Eh (%) tanah Kisaran Rata-rata Hasil Pengukuran Pertama Pada Ulangan Pertama Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 29 - 32.5 30.73 28 - 33.5 30.34 32 - 32.3 32.15 33 - 35 34 30.8 32.1 31.27 27.5 - 33 30.875 27 - 34.2 30.36 28.8 - 29.8 29.28 29 - 34 32.1 40 40 0.5 - 17 10.625 4 - 25.5 13 1 25 13 20 - 25 22.325 18 - 20.3 19.433333 6.8 - 7 6.9 5 7 6.5 6.2 - 7 6.68 5.6 - 7 6.14 7 7 0 - 6.5 3.25 0 - 60 0 - 25 0 - 67 0 13.36 10.2 29 0 Hasil Pengukuran Pada Ulangan Kedua Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 22.5 - 34 30.65 28.1 - 38 34.37 29.7 - 34.5 31.5 28 28 27.9 28.3 28.07 29.5 - 34.8 32.65 28.9 - 34.8 32.66 29.3 - 32.7 31.32 27.9 - 28 27.96 27 - 28.1 27.67 21 - 27 24 0 - 26 12.5 0 - 24 13.5 3 - 27.5 19.27 21 - 23 22.33 5 7 6.075 6.2 - 7 6.8 6.4 - 7 6.84 6.9 - 7 6.98 6.8 - 7 6.9 0 - 60 27.375 0 - 25 5.4 0 - 28 6 0-7 0.2 0-7 4.67 Lampiran 4. Tipe substrat pada stasiun pengamatan Stasiun 1 Transek 1 2 3 2 4 1 3 2 3 4 5 1 4 2 3 4 5 1 2 3 4 5 5 1 2 3 Substrat Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Pasir Lumpur berpasir Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur Pasir Lumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Pasir berbatu Lumpur berpasir Lumpur Lumpur Lumpur berpasir Lampiran 5. Matriks kepadatan makrozoobenthos terhadap mangrove A B C D E F I K L M N O P Q R U V W X AZ Sa 22 0 531 47 0 25 0 24 1 2 17 2 4 3 0 8 2 0 6 2 Rm 40 10 495 56 3 31 5 18 1 19 261 49 4 1 0 1 1 1 0 0 Sc 33 0 78 57 1 15 0 6 0 393 1 1 5 3 4 0 0 0 0 2 Am 0 1 375 0 4 129 0 0 0 0 9 0 1 0 0 8 2 0 6 0 Lr 1 2 1051 0 4 146 0 1 1 0 109 0 8 0 0 0 0 0 0 0 B 0 6 289 0 4 3 0 0 0 14 33 0 0 0 0 1 0 1 0 0 Cd 0 6 243 0 0 7 0 0 0 14 241 0 0 0 0 1 0 1 0 0 Aa 0 6 227 2 1 11 1 0 0 14 241 0 0 2 0 1 0 1 0 0 Nf 27 0 1 0 0 0 4 0 1 583 0 0 1 0 3 0 0 0 0 0 Ai 48 0 16 13 0 1 4 0 1 976 1 0 7 0 7 0 0 0 0 0 Ac 27 0 48 0 0 11 4 0 1 583 0 0 1 0 3 0 0 0 0 0 Lampiran 6. Hasil pengolahan correspondence analysis COLONNES Sa Rm Sc Am Lr B Cd Aa Nf Ai Ac ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** AXES PRINCIPAUX POIDS (en %) 8.82 12.62 7.59 6.78 16.76 4.45 6.50 6.42 7.86 13.61 8.59 AXE ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** -0.643 -0.621 0.817 -0.757 -0.757 -0.684 -0.739 -0.730 1.328 1.275 1.150 1 0.414 0.441 0.674 0.360 0.705 0.563 0.367 0.356 0.983 0.995 0.976 AXE 4.4 5.8 6.1 4.7 11.5 2.5 4.3 4.1 16.6 26.5 13.6 * * * * * * * * * * * -0.447 0.434 -0.090 -0.801 -0.396 -0.177 0.901 0.915 0.033 0.021 -0.033 2 0.200 0.215 0.008 0.403 0.193 0.038 0.547 0.558 0.001 0.000 0.001 AXE 8.0 10.8 0.3 19.8 11.9 0.6 24.0 24.5 0.0 0.0 0.0 * * * * * * * * * * * 0.510 0.444 0.429 -0.347 -0.212 -0.105 -0.305 -0.290 -0.130 -0.065 -0.143 3 0.261 0.225 0.186 0.076 0.055 0.013 0.062 0.056 0.009 0.003 0.015 ETUDE DES LIGNES (Observations) DU TABLEAU -----------------------------------------POUR CHAQUE 1RE 2E 3E LIGNES AXE : COLONNE : COORDONNEE COLONNE : COSINUS CARRES (QUALITE DE LA REPRESENTATION) COLONNE : CONTRIBUTION RELATIVE A L'INERTIE EXPLIQUEE PAR L'AXE AXES PRINCIPAUX AXE 24.6 26.7 15.0 8.8 8.1 0.5 6.5 5.8 1.4 0.6 1.9 * 0.239 * -0.226 * -0.058 * -0.469 * 0.087 * 0.448 * 0.069 * 0.020 * 0.016 * 0.014 * 0.003 4 0.057 0.059 0.003 0.138 0.009 0.241 0.003 0.000 0.000 0.000 0.000 AXE 13.5 17.4 0.7 40.0 3.4 24.0 0.8 0.1 0.1 0.1 0.0 * * * * * * * * * * * 0.193 -0.228 0.250 0.143 -0.100 -0.217 0.160 0.202 -0.064 -0.023 -0.066 5 0.037 0.060 0.063 0.013 0.012 0.057 0.017 0.027 0.002 0.000 0.003 13.3 26.5 19.1 5.6 6.8 8.5 6.7 10.6 1.3 0.3 1.5 * * * * * * * * * * * POIDS (en %) 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** 2.51 0.39 42.50 2.22 0.22 4.80 0.23 0.62 0.08 32.92 11.57 0.66 0.39 0.11 0.22 0.25 0.06 0.05 0.15 0.05 AXE ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** 0.638 -0.756 -0.695 -0.021 -0.680 -0.672 0.680 -0.502 0.316 1.250 -0.764 -0.650 0.128 -0.189 1.264 -0.765 -0.749 -0.759 -0.766 0.096 1 0.569 0.306 0.870 0.000 0.266 0.258 0.377 0.084 0.172 0.997 0.303 0.070 0.034 0.014 0.921 0.176 0.161 0.203 0.106 0.002 AXE 1.2 0.3 24.6 0.0 0.1 2.6 0.1 0.2 0.0 61.6 8.1 0.3 0.0 0.0 0.4 0.2 0.0 0.0 0.1 0.0 * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 0.056 0.865 -0.236 0.003 -0.423 -0.814 0.375 -0.167 -0.138 0.013 1.138 0.832 -0.297 0.155 -0.027 -0.843 -0.879 1.105 -1.330 -0.573 2 0.004 0.401 0.100 0.000 0.103 0.379 0.115 0.009 0.033 0.000 0.673 0.114 0.186 0.009 0.000 0.213 0.221 0.431 0.320 0.064 AXE 0.0 1.3 10.8 0.0 0.2 14.5 0.1 0.1 0.0 0.0 68.1 2.1 0.2 0.0 0.0 0.8 0.2 0.3 1.2 0.1 * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 0.536 -0.056 -0.007 1.346 -0.229 -0.433 0.104 1.511 0.220 -0.069 -0.173 1.462 0.337 0.977 0.085 0.171 0.504 -0.210 0.267 1.540 3 0.403 0.002 0.000 0.875 0.030 0.107 0.009 0.764 0.083 0.003 0.015 0.353 0.239 0.368 0.004 0.009 0.073 0.015 0.013 0.462 AXE 7.8 0.0 0.0 43.2 0.1 9.7 0.0 15.2 0.0 1.7 3.7 15.1 0.5 1.2 0.0 0.1 0.2 0.0 0.1 1.3 * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * -0.117 0.111 0.120 -0.134 -0.138 -0.650 -0.283 0.149 0.114 0.010 -0.077 -1.063 0.018 0.206 -0.024 -0.396 -0.711 0.402 -0.596 0.470 4 0.019 0.007 0.026 0.009 0.011 0.242 0.065 0.007 0.022 0.000 0.003 0.187 0.001 0.016 0.000 0.047 0.145 0.057 0.064 0.043 AXE 0.9 0.1 16.3 1.1 0.1 54.6 0.5 0.4 0.0 0.1 1.8 20.0 0.0 0.1 0.0 1.1 0.9 0.2 1.4 0.3 * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * -0.043 -0.301 -0.045 0.386 -0.347 0.122 -0.547 0.250 -0.305 -0.005 0.101 -1.287 0.033 1.061 0.167 0.827 0.564 -0.132 1.067 1.406 5 0.003 0.048 0.004 0.072 0.069 0.008 0.244 0.021 0.160 0.000 0.005 0.273 0.002 0.435 0.016 0.205 0.091 0.006 0.206 0.385 0.2 1.4 3.5 13.3 1.0 2.9 2.8 1.6 0.3 0.0 4.7 44.0 0.0 5.2 0.2 7.0 0.8 0.0 7.0 4.0 * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Lampiran 7. Proses pengambilan dan pengolahan data Pengambilan data Parameter fisika kima Fisika (suhu air dan udara, tipe substrat) Vegetasi mangrove Kimia (Salinitas, pH, Eh Deskripsi Deskripsi Spesies makrozoobenth os Diameter batang Jumlah Identifikasi Kerapatan jenis Penutupan jenis INP Frekuensi jenis Spesies Jumlah Identifikasi Kerapatan jenis Keanekaragaman, Dominansi, Keseragaman Indeks similaritas BrayCurtis Lampiran 8. Foto-foto makrozoobenthos Neritina turrita Cassidula aurisfelis Nerita planospira Onchidium sp Cassidula nucleus Terebralia palustris Bulla vernicosa Neritina sp Melanoides torulosa Pythia scarabeus Cerithidea quadrata Littorina scabra Telescopium telescopium Terebralia Spisula solida Neritina communis Cerithidea sp Cerithium maculatum Polinices sordidus Ellobium aurisjudae Nassarius pullus Vexillum virgo Cantharus undosus Neritina sp DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, 10 Juli 1986, dari Ayah Chalid Talib dan Ibu Nuril Hidayati. Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara, Muhammad Fachrial Talib, dan Muhammad Chairil Talib. Sekolah Menengah Umum penulis tempuh di SMUN 5 Bogor. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui SPMB. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis menjadi Asisten Mata Kuliah Ekologi Laut Tropis tahun 2007-2008. Pengalaman organisasi penulis antara lain, pengurus Fisheries Diving Club (FDC) tahun 2005-2006, dan ketua Marine Art Society (MAS) Ilmu dan Teknologi Kelautan tahun 2007-2008. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Struktur dan Pola Zonasi Hutan Mangrove serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang