Dalam Memperpendek Siklus Ranggah dan Meningkatkan Libido

advertisement
54
PEMBAHASAN
Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan
Aktivitas harian adalah semua aktivitas yang biasa dilakukan satwa sehari-hari
sejak ia keluar dari sarangnya atau tempat bermalam pada pagi hari sampai satwa
bersangkutan masuk kembali ke tempatnya bermalam (Galdileus 1984 dalam
Wibowo 1985). Selanjutnya Wibowo (1985) melaporkan bahwa yang termasuk
aktivitas harian adalah aktivitas mencari pakan, mencari perlindungan, aktivitas
istirahat, berpindah tempat dan sebagian besar aktivitas lokomotorik lainnya. Batasan
pengertian dalam perilakuan harian yang diteliti dalam penelitian ini hanya meliputi
perilaku makan, perilaku istirahat dan perilaku lokomosi saja.
Perilaku Makan
Analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku makan
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) yang selanjutnya
dilakukan uji least significant different atau LSD (Tabel 4). Pada Tabel tersebut juga
memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan perilaku makan baik frekuensi
maupun waktu yang digunakan untuk aktivitas makan, dimana semakin tinggi dosis
yang diberikan semakin rendah perilaku makannya.
Kecenderungan penurunan nafsu makan ini disebabkan rusa dalam kondisi
berahi atau meningkat libidonya, dimana
dalam kondisi berahi salah satunya
ditandai dengan kurangnya nafsu makan. Pada saat itu
waktunya lebih banyak
digunakan untuk aktivitas seksual yang hanya tercurah perhatian pada betina berahi
sehingga waktu yang digunakan untuk aktivitas makan menjadi berkurang. Semakin
tinggi tingkat libidonya akan semakin turun nafsu makannya. Sedangkan pada rusa
yang tidak berahi (kontrol) terlihat nafsu makannya cukup tinggi, karena pada saat
itu tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, istirahat dan berjalan. Hal ini
sesuai yang dikatakan Toelihere (1985) bahwa hewan yang sedang berahi pada
umumnya nafsu makannya akan menurun. Demikian juga hasil penelitian dari
Wibowo (1985) yang melaporkan
bahwa rusa jantan saat berahi menunjukkan
55
kecenderungan waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas perilaku
seksualnya dan sedikit sekali waktu yang digunakan untuk merumput.
Perilaku makan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
meliputi kondisi fisiologi reproduksi, kesehatan dan bobot badan. Faktor luar
meliputi ketersediaan pakan, palatabilitas pakan, musim, temperatur dan cahaya.
Lack (1970) mengatakan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
konsumsi makan antara lain adalah kebiasaan makan, ketersediaan pakan yang
dibutuhkan, bobot tubuh dan musim. Motivasi dalam perilaku makan ini antara lain
timbul karena interaksi dorongan oleh rasa lapar yaitu adanya kontraksi perut dan
hambatan oleh proses menjadi kenyang (Marler and Hamilton 1966). Sedangkan
menurut Pollard and Littlejohn (1994) dari hasil pengamatannya pada rusa merah di
padang penggembalaan bahwa aktivitas makan dipengaruhi oleh tingkat cahaya.
Perilaku makan yang diamati adalah menyangkut kegiatan merumput, makan
pakan tambahan, makan hijauan tambahan dan aktivitas makan pakan yang berair
atau minum. Hal ini sesuai dengan pedapat
Tanudimadja dan Kusumamihardjo
(1985) mengatakan bahwa perilaku makan mencakup konsumsi pakan atau bahan
pakan yang bermanfaat, baik yang padat maupun yang cair. Dari hasil pengamatan
perilaku makan diketahui bahwa aktivitas makan dilakukan secara menggerombol
(Gambar 6). Rusa mulai merumput pada pagi hari antara jam 05.30 pagi sampai jam
07.00 pagi, yang dilanjutkan dengan makan pakan tambahan berupa ubi dan pisang.
Selanjutnya akan merumput kembali sampai jam 07.30 pagi. Aktivitas selanjutnya
lebih banyak digunakan untuk istirahat sampai jam 12.00 siang. Perilaku istirahat ini
lebih banyak diisi oleh aktivitas duduk, tidur dan memamah biak. Aktivitas makan
akan dimulai lagi pada jam 12.00 siang dengan makan pakan tambahan berupa dedak
yang dilanjutkan dengan perilaku istirahat
sampai menjelang
makan hijauan
tambahan yang biasanya diberikan pada jam 16.00 sore. Pada jam 16.30-17.00 rusarusa biasanya sudah melakukan perilaku istirahat.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas merumput hanya dilakukan
pada siang hari, sedangkan pada malam hari lebih banyak dilakukan untuk aktivitas
istirahat saja. Hal ini berbeda
dengan hasil laporan Kurniawan (1997) yang
56
mengatakan bahwa kegiatan mencari makan di pulau peucang tidak saja pada siang
hari tetapi juga pada malam hari. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena rusa di
pulau peucang merupakan habitat asli, sehingga rusa tersebut harus aktif mencari
pakan sendiri tanpa bantuan manusia. Sedangkan kondisi di penangkaran tempat
penelitian, disamping padang rumput telah tersedia, juga diberikan pakan tambahan.
Pakan tambahan ini diberikan baik pada pada pagi, siang dan sore hari dalam jumlah
yang sudah memenuhi kebutuhan yaitu 4 kg rumput tambahan dan 2 kg pakan
penguat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rusa selalu dalam kondisi kenyang
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas minum jarang dilakukan. Hal
ini disebabkan disamping rusa merupakan satwa yang mempunyai kecenderungan
tidak banyak minum, penyebab lain adalah kondisi lingkungan penangkaran cukup
rindang,
sehingga mengurangi proses penguapan atau keluarnya keringat tubuh.
Menurut Kurniawan (1997) bahwa konsumsi air minum rusa sebagian besar telah
dipenuhi oleh air yang terdapat pada hijauan. Lebih lanjut dikatakan bahwa rusa
merupakan satwa yang tahan terhadap daerah kering dan jarang sekali terlihat turun
untuk mencari minum. Pernyataan terrsebut didukung juga oleh
Semiadi dan
Nugraha (2004) yang menyatakan bahwa rusa yang banyak bergerak dan kurang
naungan pada iklim yang panas memerlukan banyak air dibandingkan dengan rusa
yang hanya digembalakan biasa.
Perilaku Istirahat
Dari hasil pengolahan data pada pengamatan terhadap waktu yang digunakan
untuk aktivitas istirahat dapat diketahui bahwa rusa dengan dosis sanrego tertinggi
atau 10.000 mg (T3) mempunyai waktu istirahat yang rendah atau singkat
dibandingkan dengan T0, T1 atau T2. Perbedaan ini terlihat jelas terutama pada saat
puncak libido (Tabel 5 dan Gambar 6). Dari Tabel 5
memperlihatkan adanya
kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat dimana semakin
tinggi dosis sanrego yang diberikan semakin rendah/singkat waktu yang digunakan
untuk istirahat. Kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat ini,
57
terutama disebabkan ternak dalam kondisi birahi atau libidonya meningkat, sehingga
Lama istirahat (jam)
sebagian besar waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksualnya.
25
20
0 Mg
15
6000 Mg
10
8000 Mg
5
10000 Mg
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 6 Perilaku istirahat rusa timor jantan berbagai perlakuan.
Semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktifitas yang
digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina seperti mendekati, mencium,
menggosokkan ranggahnya, agonistik dan sebagainya sehingga semakin kecil atau
semakin rendah waktu yang tersedia untuk istirahat. Hal ini sesuai yang dinyatakan
Guiness et al., (1971 ) bahwa rusa jantan berahi akan menunjukkan sifat agresif
dengan sebagian besar aktivitasnya ditunjukkan untuk memperhatikan betina.
Aktivitas istirahat banyak dilakukan pada interval periode makan, dimana rusa
lebih banyak melakukan aktivitas memamah biak sambil duduk atau berbaring
dibawah pohon
yang rindang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Aktivitas
istirahat ini umumnya dilakukan dibawah naungan pohon dan biasanya di mulai
sekitar jam 07.30-08.00 pagi. Garsetiasih dan Sutrisno (1997) menyatakan bahwa
aktivitas istirahat dilakukan dibawah naungan pohon karena dirasakan dapat
menimbulkan kondisi yang nyaman. Sedangkan Hoogerwerf (1970) berpendapat
bahwa rusa akan melakukan aktivitas istirahat sekitar jam 10-11 siang untuk
berjemur dan berbaring sampai jam 12.30 siang. Demikian juga hasil penelitian
Kurniawan (1997) melaporkan bahwa aktivitas istirahat pada rusa terjadi pada saat
tengah hari dan terik matahari mencapai maksimum. Pendapat ini juga didukung oleh
58
wibowo (1985) yang mengatakan bahwa pada rusa
aktivitas istirahat dilakukan
hampir sepanjang siang dengan cara berbaring pada daerah berbukit yang rimbun
sambil bersembunyi. Perbedaan waktu ini bisa terjadi karena disamping rusa-rusa
penelitian kebutuhannya makannya jauh lebih tercukupi, juga perbedaan tersebut
dapat disebabkan karena habitat yang berbeda yaitu antara habitat asli (hutan) dan
habitat bukan asli (penangkaran).
Perilaku Lokomosi
Perilaku lokomosi atau bergerak berpindah merupakan perpindahan untuk
penjelajah daerah lingkungan maupun untuk untuk memilih dan mencari makan
(Garsetiasih dan Sutrisno 1977). Sedangkan batasan pengertian dalam penelitian ini
yang dimaksud perilaku lokomosi adalah perpindahan dari tempat mencari makan
satu ke tempat lain atau perpindahan dari tempat aktifitas mencari makan ke tempat
berteduh atau istirahat atau perpindahan dari tempatari berteduh atau istirahat satu
berpindah ke tempat berteduh yang lain. Hasil penelitian Gersetiasih dan Sutrisno
(1977) melaporkan bahwa aktivitas bergerak rusa biasanya dilakukan pada waktu
pemilihan makanan atau dalam rangka mencari tempat berteduh atau beristirahat.
Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku lokomosi tidak berbeda nyata (P<0,05) antara rusa yang diberi dengan rusa
tanpa diberi perlakuan. Rataan perilaku lokomosi yang terlihat pada Tabel 5 juga
tidak menunjukkan adanya kecenderungan penurunan maupun kenaikan frekuensi
perilaku lokomosi rusa timor dengan pemberian tingkat dosis yang berbeda. Hal ini
disebabkan Pola perilaku lokomosi tidak dipengaruhi oleh perilaku seksual tetapi
lebih banyak ditentukan oleh
kesehatan
faktor ketersediaan rumput atau pakan yang ada,
dan lingkungan seperti cuaca, adanya predator, lawan atau musuh.
Sedangkan Polland and Littlejohn (1994) mengatakan bahwa perilaku lokomosi rusa
meningkat dikarenakan adanya rangsangan atau stimulus yang menyebabkan rasa
takut dalam aktivitas menjelajah.
.
59
Perilaku Sosial
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya rusa timor dewasa baik
jantan maupun betina jarang sekali melakukan aktivitas sosial. Sedangkan dari hasil
pengamatan diketahui bahwa baik pada rusa kontrol (T0 atau tanpa perlakuan)
maupun rusa-rusa perlakuan 1, 2 dan T3) tidak menunjukkan perilaku sosial.
Perilaku sosial lebih banyak ditunjukkan oleh rusa muda yang berumur kurang dari
satu tahun dengan aktivitas berlari-lari atau pada perilaku betina dengan anak yang
baru lahir. Perilaku ini ditunjukkan dengan aktivitas betina menjilati dan menyusui
anaknya.
Pengaruh Sanrego Dalam Memperpendek Perubahan dari Ranggah Muda
(Velvet) Ke Ranggah Keras
Waktu dan Lama Terkelupasnya Velvet (Shedding)
Waktu dan lama terkelupasnya velvet dari hasil pengamatan pada berbagai
perlakuan terjadi perbedaan, dimana semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan
semakin cepat timbul pengelupasan velvet dan semakin pendek waktu yang
dibutuhkan untuk mengubah dari ranggah lunak (velvet) ke ranggah keras sehingga
semakin pendek pula siklus ranggahnya. Ini dapat terjadi karena kadar testosteron
darah pada perlakuan T3 lebih tinggi daripada perlakuan lain. Namun demikian dari
ketiga perlakuan mengalami pengelupasan velvet dengan kondisi dan lama
pengelupasan
velvet
yang
berbeda.
Dengan
adanya
pengelupasan
velvet
menunjukkan adanya peningkatan endrogen serum pada kadar yang berbeda. Hal
ini sesuai dengan pendapat Dradjat (2002) yang mengatakan bahwa pembuktian
fungsi steroid dilakukan dengan cara pemberian hormon testosteron pada tahap
ranggah velvet ternyata dapat menyebabkan ranggah muda akan mengalami osifikasi
dan velvet akan mengelupas. Lebih lanjut dikatakan bahwa testosteron tersebut
adalah hormon steroid yang berpengaruh untuk meningkatkan metabolisme jaringan
dan nekrosis kulit selubung ranggah muda terjadi karena konstriksi pembuluh darah
60
yang menuju ke ranggah. Dalam satu siklus perkembangan ranggah atau peningkatan
panjang ranggah sejalan dengan peningkatan konsentrasi androgen (dradjat 2002;
Masyud 1989;
Bartechi and Jaczewski
1983). Lebih lanjut dikatakan bahwa
pertumbuhan ranggah berhubungan dengan siklus reproduksi rusa jantan.
Handarini (2006) melaporkan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya
perbedaan konsentrasi hormon testosteron yang nyata (P<0,05) antara tahap ranggah
keras (16,67±7,28 ng/ml). Dan tahap ranggah velvet (2,01 ± 1,65 ng/ml). Lebih
lanjut dilaporkan bahwa tingginya kualitas semen juga berkaitan dengan tahap keras.
Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa masa aktif reproduksi rusa timor jantan
berada pada tahap pertumbuhan ranggah keras. Sedangkan Goss (1983) mengatakan
bahwa tahap ranggah keras ditandai dengan tingkah laku rusa yang mengasahkan
ranggahnya pada benda keras sehingga kulitnya mengelupas. Demikian juga dari
hasil penelitian Handarini R (2005) yang melaporkan bahwa tingginya kualitas
semen juga berkaitan dengan tahap keras. Dari hasil penelitiannya disimpulkan
bahwa masa aktif reproduksi rusa timor jantan berada pada tahap pertumbuhan
ranggah keras.
T3
T2
Gambar 7. Perbedaan kondisi velvet yang mulai mengelupas antara T2 dan T3.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa lama pengelupasan velvet (proses
ossifikasi) dari berbagai perlakuan (T3, T2 dan T1) antara 6,7 hari- 17,6 hari.
61
Sedangkan hasil penelitian Lincoln (1992) yang melaporkan bahwa lama proses
ossifikasi pada rusa sambar belangsung selama 6 sampai 22 hari. Lebih pendeknya
lama proses ossifikasi karena rusa-rusa perlakuan mendapatkan hormon tambahan
dari luar sehingga proses ossifikasi atau terkelupasnya velvet dapat dipercepat.
Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Seksual Rusa Timor Jantan
Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku seksual
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Pada Tabel 7
menunjukkan adanya perbedaan perlakuan akan berpengaruh kepada perbedaan
perilaku seksualnya. Dari ke tiga perlakuan tersebut maka perlakuan pada dosis
10.000 mg bubuk daun sanrego (T3) memperlihatkan perilaku seksual yang paling
tinggi.
Ada beberapa kelebihan ditunjukkan oleh T3 (dosis 10.000 mg). Hal ini terlihat
pada Tabel 6, 7, 8 dan 9. Kelebihan tersebut diantaranya memperlihatkan munculnya
waktu pengelupasan ranggah lunak (velvet) paling awal yaitu pada hari ke 5
semenjak diberi perlakuan, lama proses ossifikasi atau perubahan velvet ke ranggah
keras paling pendek yaitu selama 6,7 hari, waktu penampakan libido paling awal
(hari ke 4), penampakan perilaku seksual terpanjang (9 hari), intensitas perilaku
seksual tertinggi, penampakan perilaku menaiki punggung betina paling awal ( hari
ke 8) dan paling panjang (2 hari), serta menunjukkan penampakan perilaku kopulasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa T3 merupakan perlakuan pemberian dosis
yang paling tepat diantara ke tiga perlakuan.
Perbedaan intensitas berbagai perilaku seksual yang ditunjukkan oleh T1, T2
dan T3 ini disebabkan adanya perbedaan steroid yang terkandung dalam tubuh
(konsentrasi steroid dalam serum) rusa tersebut. Semakin tinggi dosis sanrego yang
diberikan, semakin naik konsentrasi androgen (testosteron) serumnya. Setelah
mengalami proses pencernakan, maka steroid yang terkandung dalam sanrego yang
bersifat sebagai androgenik, akan diserap dan masuk dalam peredaran darah. Steroid
yaitu testosteron dalam darah akan memberikan reaksi pada organ-organ sasarannya
atau menimbulkan perilaku seksual yang lebih jelas. Sanrego mengandung senyawa-
62
senyawa bioaktif, salah satu diantaranya adalah steroid. Dalam tubuh steroid akan
bekerja atau berfungsi seperti androgen (testosteron) yang dihasilkan oleh sel-sel
interstitial (sel Leydig) yang terdapat diantara tubuli seminiferi testis, yang kemudian
disekresikan dan masuk pada peredaran darah yang kemudian akan mempengaruhi
kelakuan reproduksinya atau peningkatan libidonya.
Sanrego (Lunasia amara BLANCO) merupakan salah satu
tumbuhan
afrodisiaka. Tumbuhan yang dikelompokkan dalam afrodisiaka mempunyai fungsi
dapat membangkitkan gairah seksual. Hasil analisa laboratorium Bio Farmaka IPB
pada bubuk daun sanrego
menunjukkan adanya kandungan steroid yang cukup
tinggi kadarnya (+++ ). Hasil penelitian Widyatmoko ( 2000) dan Hotimah (2000)
melaporkan bahwa aktivitas androgenik dari daun sanrego terhadap anak ayam jantan
White Leghorn menunjukkan hasil yang positif yaitu dengan pertambahan ukuran
dan berat jengger, berat testis dan berat bursa fabrisius Pendapat tersebut didukung
oleh Toelihere (1985) yang mengatakan bahwa hormon steroid memegang peranan
dalam aspek-aspek kelakuan reproduksi. Seperti tingkah laku berahi atau kawin,
bunting, melahirkan, pemeliharaan dan perkembangan organ-organ reproduksi serta
pengaturan siklus reproduksi. Toelihere (1985) dan (Partodihardjo 1987) menyatakan
bahwa jenis steroid yang berperan dalam kelakuan seksual pada hewan jantan adalah
testosteron. Steroid memegang peranan penting atas aspek-aspek reproduksi seperti
kelakuan berahi dan kelakuan kawin (keinginan kawin atau libido), kesanggupan
untuk ereksi dan ejakulasi, pemeliharaan organ-organ reproduksi dan pemeliharaan
sifat-sifat sekunder.
Hasil uji LSD yang terdapat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa antar berbagai
tingkat perlakuan tidak semuanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat
terjadi karena intensitas kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hormonal saja,
tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain.Telah diketahui bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah hormon dan syaraf yang
keduanya bekerja peran yang berbeda tetapi saling ketergantungan dan berinteraksi
yang disebut
neurohormonal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
63
perilaku seksual adalah adanya rangsangan luar seperti adanya betina birahi.
Rangsangan dari luar tersebut dapat berupa suara, penglihatan, perabaan dan bau atau
penciuman.. Sedangkan Frazer (1980) menyatakan bahwa meskipun telah diketahui
steroid adalah hormon yang bertanggungjawab atas kelakuan reproduksinya, namun
tidak jelas diketahui hubungan antara jumlah hormon tersebut dengan intensitas
kelakuan kelamin yang ditampakkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa derajat kelakuan
kelamin (reproduksi) ditunjukkan tidak tergantung pada level hormon saja melainkan
secara prinsipal berlangsung dibawah kendali faktor-faktor syaraf karena rangsangan.
Rangsangan dapat berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Sedangkan Masyud (1989)
melaporkan bahwa rangsangan yang berasal dari dalam tubuh tersebut antara lain
dapat berupa faktor fisiologis seperti sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan dan
insentif akibat dari perangsangan mekanisme syaraf.
Wodzicha (1991) menyatakan bahwa pakan dan sistim pemberian pakan tidak
diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting pada reproduksi hewan.
rangsangan yang berasal dari luar dapat berbentuk suara (pendengaran), penglihatan,
tenaga mekanis dan kimia. Sedangkan Toelihere (1985) menyatakan bahwa pada
kebanyakan mamalia, timbulnya rangsangan pertama kearah perilaku kawin datang
dari tubuh betina dalam keadaan birahi. Menurut Anwar (2001) bahwa tumbuhan
yang digolongkan dalam kelompok afrodisiaka menunjukkan adanya aktivitas
hormonal yaitu hormon androgenik. Hormon androgenik adalah hormon untuk
hewan jantan dimana androgenik mempunyai peranan dalam aktifitas atau
tingkahlaku kawin hewan jantan. Peningkatan hormon androgenik akan berpengaruh
terhadap peningkatan libido seksualnya.
Perilaku Mendekati Betina
Hasil analisa statistika melalui uji
F Rancangan Acak Lengkap (RAL)
terhadap perilaku mendekati betina menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) antara
rusa yang diberi perlakuan dengan rusa tanpa diberi perlakuan. Pada Tabel 7,8 dan 9
memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku mendekati betina yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi
64
mendekati tertinggi (27 kali) , lama mendekati tertinggi (123,3 menit), penampakan
mendekati betina yang lebih awal (4,7 hari) dan lama mendekati betina dari
munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada
perlakuan lainnya.
40
Jumlah Mendekati
35
30
0 Mg
25
6000 Mg
20
8000 Mg
15
10000 Mg
10
5
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 8 Frekuensi mendekati betina pada berbagai perlakuan.
Perbedaan intensitas perilaku mendekati betina ini disebabkan perbedaan
kandungan steroid dalam darah akibat dari perlakuan yang berbeda. Perilaku
mendekati betina yang merupakan salah satu wujud dari peningkatan libido akan
terpengaruhi pula dengan adanya perlakuan yang berbeda. Semakin tinggi tingkat
dosis sanrego yang diberikan maka akan semakin tinggi steroid yang ada dalam
darah sehingga semakin tinggi pula libido seksualnya. Peningkatan libido tersebut
salah satunya ditunjukkan dalam bentuk perilaku mendekati betina berahi.
Masyud (1989) menyatakan bahwa perilaku kawin pada rusa dimulai dengan
adanya rusa jantan mengikuti, mendekati atau mengejar betina dan dilanjutkan
dengan menjilati tubuh bagian belakang betina. Pernyataan tersebut didukung oleh
pendapat Hart (1985) yang menyatakan bahwa
ditandai dengan perilaku mendekati betina.
salah satu respon pra kopulasi
65
Perilaku Mencium Alat Kelamin Luar Rusa Betina
Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku mencium alat kelamin luar rusa betina adalah
berbeda nyata (P<0,05).
Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku mencium betina
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan
dengan frekuensi dan lama mencium yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lain. Frekuensi mencium lebih dari 73 kali, lama mencium 127 detik.
Muncul perilaku mencium paling awal (hari ke 5) dan lama perilaku mencium dari
munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada
perlakuan lainnya.
Intensitas perilaku mencium pada T3 lebih tinggi daripada perlakuan lainnya.
Hal ini disebabkan dosis sanrego yang dikonsumsi lebih besar dengan demikian
steroid yang masuk dalam tubuh juga lebih besar akibatnya perilaku seksual yang
ditimbulkan akan lebih besar pula. Perilaku
mendekati pada umumnya diikuti
dengan perilaku mencium betina berahi. Perilaku menciumi ini dilakukan pada rusarusa jantan yang sedang meningkat libidonya. Semakin tinggi tingkat libidonya akan
semakin tinggi pula frekuensi menciuminya. Lama mencium antara satu sampai 4
detik. Dimikian juga semakin tinggi tingkat dosis sanrego yang diberikan, semakin
tinggi frekuensi dan semakin lama waktu yang digunakan untuk menciuminya.
Jumlah Mencium
90
80
70
60
0 Mg
50
40
6000 Mg
30
20
10000 Mg
8000 Mg
10
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 9 Frekuensi mencium betina pada berbagai perlakuan.
66
Wibowo (1985) melaporkan bahwa pada rusa jantan yang sedang meningkat
libidonya, waktunya lebih banyak untuk memburu dan menciumi betina. Hal ini
sesuai dengan pendapat Houpt and Hudson (1993) yang menyatakan bahwa perilaku
seksual satwa dilakukan dengan komunikasi penciuman yang dikirim oleh betina
dengan rangsangannya. Hewan jantan dapat merespon seekor betina ketika dalam
keadaan estrus. Stimulus penciuman jantan karena mendapatkan feromon androgen
dalam efek siklus seksual rusa betina. Adanya penciuman, jantan dapat membedakan
kondisi berahi betina melalui urine yang dikeluarkannya. Hal ini sesuai pendapat
Hart (1985) bahwa perilaku seksual jantan ditandai dengan respon pra kopulasi yaitu
merespon rangsangan seksual betina dengan cara menjilati daerah alat kelamin dan
membaui urine betina.
Perilaku Nyengir (Flahmen)
Perilaku flahmen ditunjukkan dengan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi
dengan bibir atas berkerut-kerut dan sedikit membuka. Hasil analisa statistika
melalui uji
F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku myengir
menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3
mempunyai perilaku myengir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi nyengir (17 kali), lama nyengir (68
detik), muncul perilaku nyengir paling awal dan lama nyengir dari munculnya
penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan
lainnya. Daripada perlakuan lainnya. Besarnya frekuensi dan lama nyengir pada T3
disebabkan rusa tersebut
dalam kondisi peningkatan libido seksual yang lebih
tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang
ditunjukkan lebih jelas pula.
Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran
sekret (lendir) yang jernih
dan berbau khas.
yang biasanya terlihat jelas
dipermukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam
dinding serviks, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa
67
masuk menemui ovum. Ini yang menyebabkan urine betina birahi baunya khas dan
tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat
terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk
mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka ( flahmen).
Jumlah Nyengir
20
15
0 Mg
6000 Mg
10
8000 Mg
10000 Mg
5
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 10 Frekuensi nyengir (flahmen) rusa timor jantan pada berbagai perlakuan.
Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran
sekret (lendir) yang jernih
dan berbau khas.
yang biasanya terlihat jelas
dipermukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam
dinding servik, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa
masuk menemui ovum. Ini yang me nyebabkan urine betina berahi baunya khas dan
tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat
terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk
mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka ( flahmen).
Masyud (1989) menyatakan pada saat rusa musim berahi rusa jantan yang
libidonya sedang naik, akan mengikuti dan menjilati bagian belakang tubuh betina.
Apabila betina ada respon (berahi penuh) maka betina akan mengangkat ekornya
sehingga pejantan lebih leluasa untuk menjilatinya. Kejadian tersebut berlangsung
berulang-ulang sampai betina memberikan reaksinya. Dikatakan lebih lanjut oleh
Andijarso (1988)
pada saat betina mengangkat ekornya akan disertai
kencing,
kemudian rusa jantan akan menaruh moncongnya dibawah tetesan air kencing
tersebut. Kemudian jantan tersebut akan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan
68
bibir yang sedikit membuka (nyengir). Bibir atasnya berkerut-kerut dan kadangkadang keluar air liurnya .
Perilaku Menggosok-Gosokkan Velvet Ke Pohon/Semak/Tanah
Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku mennggosok-gosokkan velvet menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel
7dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku menggosok-gosokkan velvet
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan
dengan frekuensi dan lama menggosok yang lebih lama daripada perlakuan lain yaitu
dengan frekuensi lebih dari 14 kali dengan lama 45 menit dan lama menggosokgosokkan velvet dari munculnya
penampakan sampai akhir penampakan paling
panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Seperti juga pada berbagai perilaku
seksual lainnya besarnya frekuensi dan lamanya menggosokkan velvet pada
T3
disebabkan rusa tersebut (dosis 10.000 mg) dalam kondisi libido yang lebih tinggi
daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan
akan lebih jelas.
Jumlah menggaruk
20
15
0 Mg
6000 Mg
10
8000 Mg
10000 Mg
5
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 11 Frekuensi menggosok-gosokkan velvet pada berbagai perlakuan.
Hasil pengamatan diketahui ranggah yang sering digosok-gosokkan atau diasah
adalah cabang ranggah bagian depan, karena bagian depan yang akan digunakan
untuk beradu pada saat agonistik. Telah dijelaskan bahwa rusa yang diambil untuk
penelitian adalah rusa masa pertumbuhan ranggah lunak (velvet). Dari hasil
pengamatan diketahui bahwa setelah diberi perlakuan, velvet-velvet tersebut banyak
69
yang terkelupas dan luka. Diketahui pula, semakin tinggi dosis sanrego yang
diberikan akan semakin tinggi pula baik frekuensi maupun lamanya menggarukgarukkan velvetnya. Dengan demikian maka terlihat jelas bahwa pada T3 sebagian
besar velvetnya terkelupas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tingginya kadar
testosteron dalam darah maka secara eksterior akan ditunjukkan dengan semakin
tinggi pula pertumbuhan ranggah. Pertumbuhan ranggah sejalan dengan kenaikan
androgen dalam darah. Pertumbuhan ranggah yang dimaksud adalah semakin besar,
panjang dan
keras, yang akhirnya diikuti dengan pengelupasan velvet menjadi
ranggah yang keras. Oleh sebab itu dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan dengan
dosis tertinggi (T3) mempunyai konsentrasi steroid yaitu androgen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga T3 lebih awal mengelupas, lebih
lama dan sering melakukan aktivitas menggosokkan velvet dibandingkan T0,T1
maupun T2.
Perkembangan dan peningkatan ranggah dalam siklusnya sejalan
dengan meningkatnya konsentrasi androgen serum. Lebih jauh dikatakan bahwa
hubungan pola hormonal androgen dengan siklus perkembangan ranggah tidak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidup rusa. (Bartecki and Jaczewski
1983; Masyud 1997; Dradjat 2002; Handarini 2006).
Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa rusa jantan akan memasuki musim
berahi segera setelah velvet dalam ranggahnya rontok. Dalam
usaha untuk
merontokkan velvet tersebut, rusa jantan sering menggosok-gosokkan ranggahnya di
pohon atau tanah malah sering ranggahnya dihantam-hantamkannya. Pernyataan itu
juga didukung oleh pendapat Guenness et al., 1971 dalam Masyud 1997 yang
mengatakan bahwa salah satu ciri utama kelakuan berahi pada rusa adalah sifat
agresif dengan menggosok-gosokkan gigi dan tanduknya.
Wibowo, 1985 dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa
perilaku
menggosok-gosokkan tanduknya ke pohon, semak atau tanah adalah suatu usaha
untuk mengelupaskan velvetnya serta untuk menajamkan ranggahnya. Sedangkan
Dradjat (2002) menyatakan ranggah berfungsi sebagai senjata dan digunakan pula
untuk menanduk dan menjatuhkan pohon sehingga memudahkan rusa betina untuk
70
mendapatkan makanannya. Pohon yang telah digores juga sebagai tanda wilayah
territori rusa yang dominan tersebut.
Perilaku Berkubang
Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku berkubang menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7 dan 9
memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku berkubang
yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi
berkubang (10,3 kali), lama berkubang 81 menit, muncul perilaku berkubang paling
awal dan lama berkubang dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan
paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya.
Tingginya perilaku berkubang ini karena adanya peningkatan libido yang lebih
tinggi akibat dari mengkonsumsi jumlah daun sanrego yang lebih besar dari
perlakuan
lainnya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa Perilaku berkubang
biasanya terjadi pada rusa yang menunjukkan peningkatan libido, dimana semakin
tinggi tingkat libido, aktivitas berkubang semakin meningkat, baik frekuensinya
maupun lama berkubang. Perilaku berkubang ini dilakukan oleh rusa jantan.
Sedangkan pada betina berahi jarang terlihat.
Perilaku
berkubang antara rusa dalam tingkat libido yang berbeda akan
menunjukkan perilaku berkubang yang berbeda pula. Pada puncak libido, perilaku
berkubang ditunjukkan dengan mengguling-gulingkan badan dan kepalanya di
tempat kubangan sehingga seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur. Dari hasil
pengamatan diketahui semakin tinggi libidonya, perilaku berkubang semakin tinggi
pula.Setelah selesai berkubang dilanjutkan dengan perilaku menggosokkan ranggah
di semak-semak, sehingga terlihat rusa keluar dari semak dengan kepala penuh
dihiasi daun-daunan yang tampak lebih gagah dan menarik. Berbeda dengan rusa
yang belum penuh libidonya, maka perilaku berkubang hanya berendam saja di
tempat kubangan dengan waktu yang tidak begitu lama. Hanya bagian kaki dan
sebagian badan saja yang basah atau terkena lumpur. Dari penampilan rusa setelah
71
berkubang dapat diketahui apakah rusa tersebut dalam kondisi puncak libido atau
tidak, dapatdihat dari penampilannya.
Perilaku berkubang dapat terjadi pada rusa dalam kondisi libido yang
meningkat. Pada saat itu tingkahlakunya cenderung lebih agresif. Biasanya
ditunjukkan dengan perilaku agonistiknya. Untuk melakukan agonistik dibutuhkan
tenaga yang tinggi. Tenaga tersebut dihasilkan dari pemecahan glikogen oleh O2
darah menjadi energi, air dan karbon dioksida. Dengan adanya energi yang
meningkat tersebut maka untuk menstabilkan suhu tubuh kembali, salah satunya
dilakukan dengan cara berendam atau berkubang di lumpur atau air.
Wibowo (1985) menyatakan bahwa kadang-kadang rusa-rusa yang ada di hutan
atau di lapangan rumput ditemukan rusa yang tubuhnya berlumuran lumpur, yang
menandakan dia habis berkubang. Lebih lanjut dikatakan bahwa
akibat dari
menghantam-hantamkan tanduk disemak-semak maka ranggah terselimuti oleh
tanaman/daun-daunan. Hal ini didukung oleh pendapat Hoogerwerf (1970) bahwa
perilaku berkubang pada rusa jantan menunjukkan bahwa rusa tersebut sedang
kondisi libido dan siap melayani betina yang sedang birahi. Sedangkan Semiadi dan
Nugraha (2004) menyatakan pada saat puncak birahi, perilaku berkubang sering
timbul, dimana apabila sumber air tidak dijumpai maka air kencingnya sendiri
dipakai sebagai sumber kubangan.
Perilaku Agonistik.
Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku agonistik menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05). Pada Tabel 7 dan 9
memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku agonistik
yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi
agonistik yang mencapai 24 kali, lama agonistik adalah 58,3 menit dan muncul
perilaku agonistik paling awal dan lama agonistik dari munculnya penampakan
sampai
akhir
penampakan
paling
panjang
(lama)
daripada
perlakuan
lainnya.Besarnya frekuensi dan lamanya agonistik pada T3 disebabkan rusa tersebut
72
kondisi libidonya jauh lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda
perilaku seksual yang ditunjukkan jauh lebih jelas pula.
40
35
Jumlah
30
0 Mg
25
6000 Mg
20
8000 Mg
15
10000 Mg
10
5
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 12 Frekuensi aktivitas agonistik pada berbagai perlakuan.
Pola perilaku agonistik dapat diterangkan sbb:
1. Pejantan yang lebih tinggi libidonya akan mendekati lawannya yaitu jantan
lain yang lebih rendah tingkat libidonya. Pejantan yang lebih kuat adalah
jantan yang tingkat intensitas libidonya tinggi dan ranggahnya lebih keras.
2. Dengan langkah tegap (kaki depan diangkat lebih tinggi dari berjalan biasa
dan kepala diangkat tinggi-tinggi) jantan tersebut mendekati lawannya.
3. Jantan lain atau lawan yang lebih rendah akan lari menghindar dan tidak
melayani untuk beradu ranggah, tetapi apabila lawannya hampir sama tingkat
libidonya maka akan terjadi adu ranggah . Adu ranggah ini terjadi dengan
waktu antara satu sampai 6 menit, dengan frekuensi per hari dapat mencapai
17 sampai 20 kali pada saat puncak libidonya.
Pada peristiwa agonistik, dua rusa jantan yang beradu ranggah pada umumnya
mempunyai kondisi libido yang hampir sama, walau kadang-kadang ukuran ranggah
maupun tubuhnya tidak sama. Apabila terjadi agonistik pada rusa dalam kondisi
libido yang tidak sama, maka agonistik tidak akan berlangsung lama dan biasanya
sebelum beradu, musuhnya sudah menghindar lebih dulu.
Perbedaan perilaku agonistik tersebut disebabkan perbedaan tingkat libidonya
dari masing-masing rusa. Telah diketahui bahwa sanrigo merupakan salah satu dari
73
tanaman yang berpotensi sebagai afrodisiaka yang mengandung senyawa steroid
yang akan berpengaruh terhadap nafsu seksualnya. Dengan demikian semakin tinggi
dosis yang diberikan akan semakin tinggi nafsu seksualnya dan berakibat frekuensi
agonistik samakin tinggi pula.
Menurut Masyud (1997), rusa jantan yang sedang mengalami birahi sering
terjadi perkelahian antar pejantan untuk memperebutkan betina birahi. Hal yang
serupa dikemukakan juga oleh Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa semangat untuk
bertarung
di saat ranggah dalam keadaan keras
adalah sangat tinggi dan ini
berhubungan dengan sifat untuk mempertahankan daerah kekuasaan dan betina yang
diinginkannya sebanyak mungkin. Gambar 20. dibawah ini menunjukkan rusa dalam
perilaku agonistik.
Perilaku Menaiki Punggung Betina
Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku menaiki punggung betina
menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05). Pada
Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku menaiki betina yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan
aktivitas perilaku menaiki terpanjang yaitu tiga hari (hari ke 9-11), frekuensi menaiki
tertinggi (30,3 kali), lama menaiki betina tertinggi (34 detik) dan
menaiki betina yang lebih awal ( hari ke 9) daripada perlakuan lainnya.
45
40
Jumlah (kali)
35
30
0 Mg
25
6000 Mg
20
8000 Mg
15
10000 Mg
10
5
0
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Gambar 13 Frekuensi menaiki betina pada berbagai perlakuan.
penampakan
74
Pada tingkat
libido seksual mencapai puncaknya,
proses mendekati dan
menciumi alat kelamin betina tersebut akan diikuti dengan perilaku menaiki
punggung betina. Pada saat itu kegiatan menaiki punggung betina sering dilakukan.
Pada hasil pengamatan mencapai 39 kali sebelum terjadi kopulasi. Hal ini bisa
terjadi karena betina masih dalam kondisi pro estrus dan belum mencapai puncak
birahinya. Pada kondisi tersebut betina masih menghindar dan lari apabila ingin
dinaiki pejantan. Apabila pejantan belum dapat melakukan kopulasi maka pejantan
tersebut akan berusaha terus untuk mendapatkannya, sampai akhirnya si betina akan
diam dan memberi respon untuk dinaiki.
Selama betina masih dalam kondisi estrus, maka lama menaiki cukup singkat
yaitu antara satu sampai dua detik. Hal ini terjadi karena betina selalu menghindar
dan lari atau maju melangkah ke depan sehingga kopulasi tidak terjadi.Wibowo
(1985) dalam hasil penelitiannya dikatakan bahwa perilaku rusa jantan menaiki
betina berlangsung hanya sekitar satu sampai dua detik. Demikian juga dari hasil
penelitian Andijarso (1988) yang mengatakan puncak dari perilaku kawin adalah
rusa jantan akan mencoba menaiki betina.
Perilaku Kopulasi
Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap
perilaku kopulasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Pada Tabel
7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa hanya T3 (dosis 10.000 mg) saja yang sampai
melakukan aktivitas kopulasi. Perilaku kopulasi terjadi setelah hari ke 9 perlakuan,
dalam waktu 4 detik. Tabel 6 menunjukkan perlakuan dengan dosis 10000 mg (T3)
saja yang mau menunjukkan perilaku kopulasi, yaitu pada ulangan pertama ( rusa J ).
Gambar 14 dibawah ini menunjukkan bahwa intensitas perilaku seksual pada
rusa J (ulangan pertama) lebih besar daripada rusa K dan rusa L (ulangan ke2 dan 3).
Hal ini merupakan faktor utama mengapa rusa K dan rusa L tidak sampai
menunjukkan perilaku kopulasi, disamping factor-faktor lain yang kemungkinan
75
menyebabkan rusa K dan L tidak ada kesempatan untuk melakukan perkawinan atau
kopulasi.
400
350
jumlah nilai skor
300
ulangan
250
I (rusa J)
200
II (rusa K)
150
III(rusa L)
100
50
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
hari ke
Gambar 14 Intensitas perilaku seksual pada T3 (ulangan1, 2 da 3).
Intensitas perilaku seksual pada rusa J (ulangan pertama) yang ditunjukkan
pada Gambar 14 terlihat lebih besar daripada rusa K dan rusa L (ulangan ke2 &3).
Hal ini merupakan faktor utama mengapa rusa K dan rusa L tidak sampai
menunjukkan perilaku kopulasi, disamping faktor-faktor lain yang kemungkinan
menyebabkan rusa K dan L tidak ada kesempatan untuk melakukan perkawinan atau
kopulasi. Dalam Gambar 14 dapat dilihat bahwa intensitas perilaku seksual pada
rusa J lebih tinggi dibandingkan dengan rusa K maupun L. Rusa J mempunyai
intensitas perilaku seksual yang lebih tinggi daripada rusa K maupun L. Hal ini bisa
dijelaskan bahwa intensitas perilaku seksual ditentukan oleh dua faktor yaiu faktor
dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri atas faktor hormonal dan syaraf saling
bekerjasama, berinteraksi dan saling membutuhkan dimana sistim kerja kedua faktor
tersebut biasa dikenal neurohormonal. Sedangkan faktor luar yang juga berperan
dalam mengendalikan perilaku seksual adalah adanya betina berahi. Rangsangan
tersebut dapat melalui penglihatan, penciuman dan perabaan.
Faktor lain kemungkinan tidak terjadinya kopulasi pada rusa K dan L adalah :
1. Dalam penelitian ini, antara rusa perlakuan dengan rusa yang ada di
penangkaran tidak dipisahkan, sehingga kesempatan untuk mendapat betina
berahi tidak sama
76
2. Imbangan kelamin antara jantan dengan betina dewasa tidak seimbang.
(jantan: 25 ekor; betina: 20 ekor) sehingga sangat kompetitif dalam
memperebutkan betina berahi.
3. Kondisi ranggah antara rusa perlakuan dengan rusa penangkaran tidak sama,
sehingga bagi rusa yang mulai
mengelupas akan kalah bersaing dalam
mendapatkan betina yang mempunyai ranggah lebih keras.
4. Intensitas seksual selain diengaruhi oleh faktor dalam
yaitu hormon dan
syaraf juga dipengaruhi oleh faktor luar. Disamping itu kepekaan individu
terhadap sesuatu zat (steroid) kemungkinan tidak sama.
Hasil pengamatan diketahui pula bahwa lama waktu kopulasi adalah 4 detik.
Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Joebearden and Fuquay (1984) yang mengatakan
bahwa tujuan utama dari perilaku kawin adalah kopulasi baik itu terjadi pada hewan
jantan maupun hewan betina. Sedangkan Andijarso (1988) dalam penelitiannya
melaporkan bahwa Puncak perilaku kawin adalah menaiki dan menusukkan
penisnya dengan hentakan yang cukup kuat, dimana kejadian tersebut berlangsung
antara 2 – 3 detik saja. Hal ini didukung oleh Siregar (1983) yang mengatakan
bahwa pada tingkahlaku reproduksi pada rusa jantan lebih binal daripada rusa betina
dimana perkawinan dilakukan secara alami dengan waktu koitus relatif cepat dan
singkat.
400
jum lah nilai skor
350
300
250
I (rusa J)
200
II (rusa K)
150
III (rusa L)
100
50
0
hari 9
hari 10
hari 11
hari 12
hari 13
hsri perlakuan diberhentikan
Gambar 15 Intensitas perilaku seksual sejak pemberian sanrego dihentikan pada T3.
77
Gambar 15 memperlihatkan bahwa stelah perlakuan pemberian sanrego
diberhentikan, rusa perlakuan (rusa J, K dan L) masih menunjukkan perlaku seksual.
Pada Gambar 15 terlihat jelas bahwa rusa J masih menunjukkan perilaku seksual
selama 2 hari, dimana pada hari ke 9 yaitu setelah terjadi kopulasi, maka perilaku
seksual terlihat turun secara drastis bila dibanding dengan rusa K dan rusa L. Hal ini
bisa dijelaskan bahwa diantara ketiga rusa (T3) maka hanya pada ulangan pertama
(rusaJ) saja yang menunjukkan perilaku kopulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Semiadi dan Nugraha 2004) yang mengatakan bahwa setelah terjadi perkawinan,
maka si jantan akan memisahkan diri dan rusa pejantan akan berusaha memisahkan
diri, memulihkan kembali energi dan berat badannya yang hilang selama perlakuan.
Perilaku teritori sering ditunjukkan pada rusa jantan di musim kawin. Area
teritori terletak di sekitar rusa betina yang akan dikawini. Daerah teritori ini ditandai
dengan bau-bauan atau tanda lain pada vegetasi. Dari hasil pengamatan rusa yang
ada di penangkaran rusa Jonggol, ternyata tidak memperlihatkan daerah teritorinya.
Tidak adanya perilaku teritori ini kemungkinan karena jumlah betina yang
cukup kecil. Dari hasil pengamatan, dalam satu hari maksimal hanya ada satu atau
dua betina yang menunjukkan birahi. Dengan demikian rusa yang paling dominan
tersebut dengan mudah dapat menguasai dan mengusir jantan lain yang ingin
mendekat. Menurut Hoogerwerf (1970) bahwa teritori ini terletak disekitar rusa
betina yang bertujuan untuk mempertahankan betina-betina yang akan dikawininya
dari jantan lain yang berusaha untuk mendekatinya. Lebih lanjut dikatakan bahwa
perilaku teritori ini biasanya hanya terjadi di habitat aslinya, tetapi tidak dilakukan di
penangkaran.
Pola Perilaku Kawin
Pola Perilaku Kawin (kopulasi). Dari hasil pengamatan terhadap pola perilaku
kawin yang terjadi pada salah satu dari rusa yang diberi perlakuan pemberian bubuk
daun sanrego selama waktu 9 hari dapat dilihat pada Tabel 10.
78
Tabel 10 Tahapan proses perilaku kawin
____________________________________________________________________
Tahapan
____________________Diskripsi Perilaku_______________________
Jantan
Betina
____________________________________________________________________
- pra percumbuan
- berusaha mendekati betina
- vulva bengkak, kemerah
- berkubang
an dan mengeluarkan
- menggosok-gosokkan
cairan/lendir
ranggah pada pohon
- berjalan/ berlari kecil
- velvet mengelupas
- mulut agak terbuka
- terjadi peningkatan libido
- kondisi pro estrus
- Percumbuan
- memisahkan betina yang birahi
- mengeluarkan suara
- mengejar pejantan yang lebih
khas
rendah tingkat libidonya
- banyak pejantan yang
Lanjutan
___________________________________________________________________
Tahapan
____________________Diskripsi Perilaku_______________________
Jantan
Betina
____________________________________________________________________
- agonistik
mengikutinya
- mencium alat kelamin betina
- melangkah/berjalan
- flehmen(berdiri tegang,meke depan
rentangkan kepalanya pada
posisi horisontal)diteruskan
nyengir
- mengendus-endus, leluasa
- menanggapi, mengmenjilati dan menciumnya
angkat ekornya
- menaruh moncongnya di- kadang-kadang mebawah tetesan air kencing
ngeluarkan air kencing
- ereksi
- pengeluaran atau penonjolan
- pro estrus
penis dari selubungnya
- libido terus meningkat
____________________________________________________________________
- penunggangan - menaiki punggung betina
- lari/ berjalan kedepan
beberapa kali
- pejantan meletakkan dagunya
- diam dan memberi respon
pada bagian belakang
dengan berdiri atau
- pejantan tsb. naik, memfikser kaki
memberi tekanan pada
depannyanya pada pinggul betina,
punggung.
mendekapnya erat-erat dan mengadakan dorongan- dorongan pelvis
ritmik ke depan.
____________________________________________________________________
- Intromisi
- penis dimasukkan ke dalam vagina
79
____________________________________________________________________
- Ejakulasi
- kaki belakang berkontraksi
- pernafasan bertambah cepat
- kepala menunduk
- terjadi hentakan yang cukup kuat
selama 3 detik
- pejantan turun
- penis beretraksi ke dalam preputium
____________________________________________________________________
- Refraktorinese -tidak menunjukkan aktivitas seksual
- berjalan menyendiri (menjauhi betina tsb)
____________________________________________________________________
Gambar 16 menunjukkan pola perilaku kawin secara lengkap dari mulai pra
percumbuan, menggosok-gosokkan velvet, berkubang, mencium dan menjilati urine
betina berahi, agonistik, menaiki punggung betina sampai terjadi aktivitas kopulasi
yang terjadi pada T3. Pola perilaku kawin ini dalam waktu 9 hari.
Gambar 16 Pola perilaku kawin rusa timur jantan.
Download