54 PEMBAHASAN Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan Aktivitas harian adalah semua aktivitas yang biasa dilakukan satwa sehari-hari sejak ia keluar dari sarangnya atau tempat bermalam pada pagi hari sampai satwa bersangkutan masuk kembali ke tempatnya bermalam (Galdileus 1984 dalam Wibowo 1985). Selanjutnya Wibowo (1985) melaporkan bahwa yang termasuk aktivitas harian adalah aktivitas mencari pakan, mencari perlindungan, aktivitas istirahat, berpindah tempat dan sebagian besar aktivitas lokomotorik lainnya. Batasan pengertian dalam perilakuan harian yang diteliti dalam penelitian ini hanya meliputi perilaku makan, perilaku istirahat dan perilaku lokomosi saja. Perilaku Makan Analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku makan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) yang selanjutnya dilakukan uji least significant different atau LSD (Tabel 4). Pada Tabel tersebut juga memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan perilaku makan baik frekuensi maupun waktu yang digunakan untuk aktivitas makan, dimana semakin tinggi dosis yang diberikan semakin rendah perilaku makannya. Kecenderungan penurunan nafsu makan ini disebabkan rusa dalam kondisi berahi atau meningkat libidonya, dimana dalam kondisi berahi salah satunya ditandai dengan kurangnya nafsu makan. Pada saat itu waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksual yang hanya tercurah perhatian pada betina berahi sehingga waktu yang digunakan untuk aktivitas makan menjadi berkurang. Semakin tinggi tingkat libidonya akan semakin turun nafsu makannya. Sedangkan pada rusa yang tidak berahi (kontrol) terlihat nafsu makannya cukup tinggi, karena pada saat itu tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, istirahat dan berjalan. Hal ini sesuai yang dikatakan Toelihere (1985) bahwa hewan yang sedang berahi pada umumnya nafsu makannya akan menurun. Demikian juga hasil penelitian dari Wibowo (1985) yang melaporkan bahwa rusa jantan saat berahi menunjukkan 55 kecenderungan waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas perilaku seksualnya dan sedikit sekali waktu yang digunakan untuk merumput. Perilaku makan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi kondisi fisiologi reproduksi, kesehatan dan bobot badan. Faktor luar meliputi ketersediaan pakan, palatabilitas pakan, musim, temperatur dan cahaya. Lack (1970) mengatakan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makan antara lain adalah kebiasaan makan, ketersediaan pakan yang dibutuhkan, bobot tubuh dan musim. Motivasi dalam perilaku makan ini antara lain timbul karena interaksi dorongan oleh rasa lapar yaitu adanya kontraksi perut dan hambatan oleh proses menjadi kenyang (Marler and Hamilton 1966). Sedangkan menurut Pollard and Littlejohn (1994) dari hasil pengamatannya pada rusa merah di padang penggembalaan bahwa aktivitas makan dipengaruhi oleh tingkat cahaya. Perilaku makan yang diamati adalah menyangkut kegiatan merumput, makan pakan tambahan, makan hijauan tambahan dan aktivitas makan pakan yang berair atau minum. Hal ini sesuai dengan pedapat Tanudimadja dan Kusumamihardjo (1985) mengatakan bahwa perilaku makan mencakup konsumsi pakan atau bahan pakan yang bermanfaat, baik yang padat maupun yang cair. Dari hasil pengamatan perilaku makan diketahui bahwa aktivitas makan dilakukan secara menggerombol (Gambar 6). Rusa mulai merumput pada pagi hari antara jam 05.30 pagi sampai jam 07.00 pagi, yang dilanjutkan dengan makan pakan tambahan berupa ubi dan pisang. Selanjutnya akan merumput kembali sampai jam 07.30 pagi. Aktivitas selanjutnya lebih banyak digunakan untuk istirahat sampai jam 12.00 siang. Perilaku istirahat ini lebih banyak diisi oleh aktivitas duduk, tidur dan memamah biak. Aktivitas makan akan dimulai lagi pada jam 12.00 siang dengan makan pakan tambahan berupa dedak yang dilanjutkan dengan perilaku istirahat sampai menjelang makan hijauan tambahan yang biasanya diberikan pada jam 16.00 sore. Pada jam 16.30-17.00 rusarusa biasanya sudah melakukan perilaku istirahat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas merumput hanya dilakukan pada siang hari, sedangkan pada malam hari lebih banyak dilakukan untuk aktivitas istirahat saja. Hal ini berbeda dengan hasil laporan Kurniawan (1997) yang 56 mengatakan bahwa kegiatan mencari makan di pulau peucang tidak saja pada siang hari tetapi juga pada malam hari. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena rusa di pulau peucang merupakan habitat asli, sehingga rusa tersebut harus aktif mencari pakan sendiri tanpa bantuan manusia. Sedangkan kondisi di penangkaran tempat penelitian, disamping padang rumput telah tersedia, juga diberikan pakan tambahan. Pakan tambahan ini diberikan baik pada pada pagi, siang dan sore hari dalam jumlah yang sudah memenuhi kebutuhan yaitu 4 kg rumput tambahan dan 2 kg pakan penguat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rusa selalu dalam kondisi kenyang Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas minum jarang dilakukan. Hal ini disebabkan disamping rusa merupakan satwa yang mempunyai kecenderungan tidak banyak minum, penyebab lain adalah kondisi lingkungan penangkaran cukup rindang, sehingga mengurangi proses penguapan atau keluarnya keringat tubuh. Menurut Kurniawan (1997) bahwa konsumsi air minum rusa sebagian besar telah dipenuhi oleh air yang terdapat pada hijauan. Lebih lanjut dikatakan bahwa rusa merupakan satwa yang tahan terhadap daerah kering dan jarang sekali terlihat turun untuk mencari minum. Pernyataan terrsebut didukung juga oleh Semiadi dan Nugraha (2004) yang menyatakan bahwa rusa yang banyak bergerak dan kurang naungan pada iklim yang panas memerlukan banyak air dibandingkan dengan rusa yang hanya digembalakan biasa. Perilaku Istirahat Dari hasil pengolahan data pada pengamatan terhadap waktu yang digunakan untuk aktivitas istirahat dapat diketahui bahwa rusa dengan dosis sanrego tertinggi atau 10.000 mg (T3) mempunyai waktu istirahat yang rendah atau singkat dibandingkan dengan T0, T1 atau T2. Perbedaan ini terlihat jelas terutama pada saat puncak libido (Tabel 5 dan Gambar 6). Dari Tabel 5 memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat dimana semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan semakin rendah/singkat waktu yang digunakan untuk istirahat. Kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat ini, 57 terutama disebabkan ternak dalam kondisi birahi atau libidonya meningkat, sehingga Lama istirahat (jam) sebagian besar waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksualnya. 25 20 0 Mg 15 6000 Mg 10 8000 Mg 5 10000 Mg 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 6 Perilaku istirahat rusa timor jantan berbagai perlakuan. Semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktifitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina seperti mendekati, mencium, menggosokkan ranggahnya, agonistik dan sebagainya sehingga semakin kecil atau semakin rendah waktu yang tersedia untuk istirahat. Hal ini sesuai yang dinyatakan Guiness et al., (1971 ) bahwa rusa jantan berahi akan menunjukkan sifat agresif dengan sebagian besar aktivitasnya ditunjukkan untuk memperhatikan betina. Aktivitas istirahat banyak dilakukan pada interval periode makan, dimana rusa lebih banyak melakukan aktivitas memamah biak sambil duduk atau berbaring dibawah pohon yang rindang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Aktivitas istirahat ini umumnya dilakukan dibawah naungan pohon dan biasanya di mulai sekitar jam 07.30-08.00 pagi. Garsetiasih dan Sutrisno (1997) menyatakan bahwa aktivitas istirahat dilakukan dibawah naungan pohon karena dirasakan dapat menimbulkan kondisi yang nyaman. Sedangkan Hoogerwerf (1970) berpendapat bahwa rusa akan melakukan aktivitas istirahat sekitar jam 10-11 siang untuk berjemur dan berbaring sampai jam 12.30 siang. Demikian juga hasil penelitian Kurniawan (1997) melaporkan bahwa aktivitas istirahat pada rusa terjadi pada saat tengah hari dan terik matahari mencapai maksimum. Pendapat ini juga didukung oleh 58 wibowo (1985) yang mengatakan bahwa pada rusa aktivitas istirahat dilakukan hampir sepanjang siang dengan cara berbaring pada daerah berbukit yang rimbun sambil bersembunyi. Perbedaan waktu ini bisa terjadi karena disamping rusa-rusa penelitian kebutuhannya makannya jauh lebih tercukupi, juga perbedaan tersebut dapat disebabkan karena habitat yang berbeda yaitu antara habitat asli (hutan) dan habitat bukan asli (penangkaran). Perilaku Lokomosi Perilaku lokomosi atau bergerak berpindah merupakan perpindahan untuk penjelajah daerah lingkungan maupun untuk untuk memilih dan mencari makan (Garsetiasih dan Sutrisno 1977). Sedangkan batasan pengertian dalam penelitian ini yang dimaksud perilaku lokomosi adalah perpindahan dari tempat mencari makan satu ke tempat lain atau perpindahan dari tempat aktifitas mencari makan ke tempat berteduh atau istirahat atau perpindahan dari tempatari berteduh atau istirahat satu berpindah ke tempat berteduh yang lain. Hasil penelitian Gersetiasih dan Sutrisno (1977) melaporkan bahwa aktivitas bergerak rusa biasanya dilakukan pada waktu pemilihan makanan atau dalam rangka mencari tempat berteduh atau beristirahat. Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku lokomosi tidak berbeda nyata (P<0,05) antara rusa yang diberi dengan rusa tanpa diberi perlakuan. Rataan perilaku lokomosi yang terlihat pada Tabel 5 juga tidak menunjukkan adanya kecenderungan penurunan maupun kenaikan frekuensi perilaku lokomosi rusa timor dengan pemberian tingkat dosis yang berbeda. Hal ini disebabkan Pola perilaku lokomosi tidak dipengaruhi oleh perilaku seksual tetapi lebih banyak ditentukan oleh kesehatan faktor ketersediaan rumput atau pakan yang ada, dan lingkungan seperti cuaca, adanya predator, lawan atau musuh. Sedangkan Polland and Littlejohn (1994) mengatakan bahwa perilaku lokomosi rusa meningkat dikarenakan adanya rangsangan atau stimulus yang menyebabkan rasa takut dalam aktivitas menjelajah. . 59 Perilaku Sosial Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya rusa timor dewasa baik jantan maupun betina jarang sekali melakukan aktivitas sosial. Sedangkan dari hasil pengamatan diketahui bahwa baik pada rusa kontrol (T0 atau tanpa perlakuan) maupun rusa-rusa perlakuan 1, 2 dan T3) tidak menunjukkan perilaku sosial. Perilaku sosial lebih banyak ditunjukkan oleh rusa muda yang berumur kurang dari satu tahun dengan aktivitas berlari-lari atau pada perilaku betina dengan anak yang baru lahir. Perilaku ini ditunjukkan dengan aktivitas betina menjilati dan menyusui anaknya. Pengaruh Sanrego Dalam Memperpendek Perubahan dari Ranggah Muda (Velvet) Ke Ranggah Keras Waktu dan Lama Terkelupasnya Velvet (Shedding) Waktu dan lama terkelupasnya velvet dari hasil pengamatan pada berbagai perlakuan terjadi perbedaan, dimana semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan semakin cepat timbul pengelupasan velvet dan semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk mengubah dari ranggah lunak (velvet) ke ranggah keras sehingga semakin pendek pula siklus ranggahnya. Ini dapat terjadi karena kadar testosteron darah pada perlakuan T3 lebih tinggi daripada perlakuan lain. Namun demikian dari ketiga perlakuan mengalami pengelupasan velvet dengan kondisi dan lama pengelupasan velvet yang berbeda. Dengan adanya pengelupasan velvet menunjukkan adanya peningkatan endrogen serum pada kadar yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Dradjat (2002) yang mengatakan bahwa pembuktian fungsi steroid dilakukan dengan cara pemberian hormon testosteron pada tahap ranggah velvet ternyata dapat menyebabkan ranggah muda akan mengalami osifikasi dan velvet akan mengelupas. Lebih lanjut dikatakan bahwa testosteron tersebut adalah hormon steroid yang berpengaruh untuk meningkatkan metabolisme jaringan dan nekrosis kulit selubung ranggah muda terjadi karena konstriksi pembuluh darah 60 yang menuju ke ranggah. Dalam satu siklus perkembangan ranggah atau peningkatan panjang ranggah sejalan dengan peningkatan konsentrasi androgen (dradjat 2002; Masyud 1989; Bartechi and Jaczewski 1983). Lebih lanjut dikatakan bahwa pertumbuhan ranggah berhubungan dengan siklus reproduksi rusa jantan. Handarini (2006) melaporkan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi hormon testosteron yang nyata (P<0,05) antara tahap ranggah keras (16,67±7,28 ng/ml). Dan tahap ranggah velvet (2,01 ± 1,65 ng/ml). Lebih lanjut dilaporkan bahwa tingginya kualitas semen juga berkaitan dengan tahap keras. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa masa aktif reproduksi rusa timor jantan berada pada tahap pertumbuhan ranggah keras. Sedangkan Goss (1983) mengatakan bahwa tahap ranggah keras ditandai dengan tingkah laku rusa yang mengasahkan ranggahnya pada benda keras sehingga kulitnya mengelupas. Demikian juga dari hasil penelitian Handarini R (2005) yang melaporkan bahwa tingginya kualitas semen juga berkaitan dengan tahap keras. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa masa aktif reproduksi rusa timor jantan berada pada tahap pertumbuhan ranggah keras. T3 T2 Gambar 7. Perbedaan kondisi velvet yang mulai mengelupas antara T2 dan T3. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa lama pengelupasan velvet (proses ossifikasi) dari berbagai perlakuan (T3, T2 dan T1) antara 6,7 hari- 17,6 hari. 61 Sedangkan hasil penelitian Lincoln (1992) yang melaporkan bahwa lama proses ossifikasi pada rusa sambar belangsung selama 6 sampai 22 hari. Lebih pendeknya lama proses ossifikasi karena rusa-rusa perlakuan mendapatkan hormon tambahan dari luar sehingga proses ossifikasi atau terkelupasnya velvet dapat dipercepat. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Seksual Rusa Timor Jantan Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku seksual menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Pada Tabel 7 menunjukkan adanya perbedaan perlakuan akan berpengaruh kepada perbedaan perilaku seksualnya. Dari ke tiga perlakuan tersebut maka perlakuan pada dosis 10.000 mg bubuk daun sanrego (T3) memperlihatkan perilaku seksual yang paling tinggi. Ada beberapa kelebihan ditunjukkan oleh T3 (dosis 10.000 mg). Hal ini terlihat pada Tabel 6, 7, 8 dan 9. Kelebihan tersebut diantaranya memperlihatkan munculnya waktu pengelupasan ranggah lunak (velvet) paling awal yaitu pada hari ke 5 semenjak diberi perlakuan, lama proses ossifikasi atau perubahan velvet ke ranggah keras paling pendek yaitu selama 6,7 hari, waktu penampakan libido paling awal (hari ke 4), penampakan perilaku seksual terpanjang (9 hari), intensitas perilaku seksual tertinggi, penampakan perilaku menaiki punggung betina paling awal ( hari ke 8) dan paling panjang (2 hari), serta menunjukkan penampakan perilaku kopulasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa T3 merupakan perlakuan pemberian dosis yang paling tepat diantara ke tiga perlakuan. Perbedaan intensitas berbagai perilaku seksual yang ditunjukkan oleh T1, T2 dan T3 ini disebabkan adanya perbedaan steroid yang terkandung dalam tubuh (konsentrasi steroid dalam serum) rusa tersebut. Semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan, semakin naik konsentrasi androgen (testosteron) serumnya. Setelah mengalami proses pencernakan, maka steroid yang terkandung dalam sanrego yang bersifat sebagai androgenik, akan diserap dan masuk dalam peredaran darah. Steroid yaitu testosteron dalam darah akan memberikan reaksi pada organ-organ sasarannya atau menimbulkan perilaku seksual yang lebih jelas. Sanrego mengandung senyawa- 62 senyawa bioaktif, salah satu diantaranya adalah steroid. Dalam tubuh steroid akan bekerja atau berfungsi seperti androgen (testosteron) yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial (sel Leydig) yang terdapat diantara tubuli seminiferi testis, yang kemudian disekresikan dan masuk pada peredaran darah yang kemudian akan mempengaruhi kelakuan reproduksinya atau peningkatan libidonya. Sanrego (Lunasia amara BLANCO) merupakan salah satu tumbuhan afrodisiaka. Tumbuhan yang dikelompokkan dalam afrodisiaka mempunyai fungsi dapat membangkitkan gairah seksual. Hasil analisa laboratorium Bio Farmaka IPB pada bubuk daun sanrego menunjukkan adanya kandungan steroid yang cukup tinggi kadarnya (+++ ). Hasil penelitian Widyatmoko ( 2000) dan Hotimah (2000) melaporkan bahwa aktivitas androgenik dari daun sanrego terhadap anak ayam jantan White Leghorn menunjukkan hasil yang positif yaitu dengan pertambahan ukuran dan berat jengger, berat testis dan berat bursa fabrisius Pendapat tersebut didukung oleh Toelihere (1985) yang mengatakan bahwa hormon steroid memegang peranan dalam aspek-aspek kelakuan reproduksi. Seperti tingkah laku berahi atau kawin, bunting, melahirkan, pemeliharaan dan perkembangan organ-organ reproduksi serta pengaturan siklus reproduksi. Toelihere (1985) dan (Partodihardjo 1987) menyatakan bahwa jenis steroid yang berperan dalam kelakuan seksual pada hewan jantan adalah testosteron. Steroid memegang peranan penting atas aspek-aspek reproduksi seperti kelakuan berahi dan kelakuan kawin (keinginan kawin atau libido), kesanggupan untuk ereksi dan ejakulasi, pemeliharaan organ-organ reproduksi dan pemeliharaan sifat-sifat sekunder. Hasil uji LSD yang terdapat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa antar berbagai tingkat perlakuan tidak semuanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat terjadi karena intensitas kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hormonal saja, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain.Telah diketahui bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah hormon dan syaraf yang keduanya bekerja peran yang berbeda tetapi saling ketergantungan dan berinteraksi yang disebut neurohormonal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi 63 perilaku seksual adalah adanya rangsangan luar seperti adanya betina birahi. Rangsangan dari luar tersebut dapat berupa suara, penglihatan, perabaan dan bau atau penciuman.. Sedangkan Frazer (1980) menyatakan bahwa meskipun telah diketahui steroid adalah hormon yang bertanggungjawab atas kelakuan reproduksinya, namun tidak jelas diketahui hubungan antara jumlah hormon tersebut dengan intensitas kelakuan kelamin yang ditampakkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa derajat kelakuan kelamin (reproduksi) ditunjukkan tidak tergantung pada level hormon saja melainkan secara prinsipal berlangsung dibawah kendali faktor-faktor syaraf karena rangsangan. Rangsangan dapat berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Sedangkan Masyud (1989) melaporkan bahwa rangsangan yang berasal dari dalam tubuh tersebut antara lain dapat berupa faktor fisiologis seperti sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan dan insentif akibat dari perangsangan mekanisme syaraf. Wodzicha (1991) menyatakan bahwa pakan dan sistim pemberian pakan tidak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting pada reproduksi hewan. rangsangan yang berasal dari luar dapat berbentuk suara (pendengaran), penglihatan, tenaga mekanis dan kimia. Sedangkan Toelihere (1985) menyatakan bahwa pada kebanyakan mamalia, timbulnya rangsangan pertama kearah perilaku kawin datang dari tubuh betina dalam keadaan birahi. Menurut Anwar (2001) bahwa tumbuhan yang digolongkan dalam kelompok afrodisiaka menunjukkan adanya aktivitas hormonal yaitu hormon androgenik. Hormon androgenik adalah hormon untuk hewan jantan dimana androgenik mempunyai peranan dalam aktifitas atau tingkahlaku kawin hewan jantan. Peningkatan hormon androgenik akan berpengaruh terhadap peningkatan libido seksualnya. Perilaku Mendekati Betina Hasil analisa statistika melalui uji F Rancangan Acak Lengkap (RAL) terhadap perilaku mendekati betina menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) antara rusa yang diberi perlakuan dengan rusa tanpa diberi perlakuan. Pada Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku mendekati betina yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi 64 mendekati tertinggi (27 kali) , lama mendekati tertinggi (123,3 menit), penampakan mendekati betina yang lebih awal (4,7 hari) dan lama mendekati betina dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. 40 Jumlah Mendekati 35 30 0 Mg 25 6000 Mg 20 8000 Mg 15 10000 Mg 10 5 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 8 Frekuensi mendekati betina pada berbagai perlakuan. Perbedaan intensitas perilaku mendekati betina ini disebabkan perbedaan kandungan steroid dalam darah akibat dari perlakuan yang berbeda. Perilaku mendekati betina yang merupakan salah satu wujud dari peningkatan libido akan terpengaruhi pula dengan adanya perlakuan yang berbeda. Semakin tinggi tingkat dosis sanrego yang diberikan maka akan semakin tinggi steroid yang ada dalam darah sehingga semakin tinggi pula libido seksualnya. Peningkatan libido tersebut salah satunya ditunjukkan dalam bentuk perilaku mendekati betina berahi. Masyud (1989) menyatakan bahwa perilaku kawin pada rusa dimulai dengan adanya rusa jantan mengikuti, mendekati atau mengejar betina dan dilanjutkan dengan menjilati tubuh bagian belakang betina. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Hart (1985) yang menyatakan bahwa ditandai dengan perilaku mendekati betina. salah satu respon pra kopulasi 65 Perilaku Mencium Alat Kelamin Luar Rusa Betina Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku mencium alat kelamin luar rusa betina adalah berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku mencium betina yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi dan lama mencium yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Frekuensi mencium lebih dari 73 kali, lama mencium 127 detik. Muncul perilaku mencium paling awal (hari ke 5) dan lama perilaku mencium dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Intensitas perilaku mencium pada T3 lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan dosis sanrego yang dikonsumsi lebih besar dengan demikian steroid yang masuk dalam tubuh juga lebih besar akibatnya perilaku seksual yang ditimbulkan akan lebih besar pula. Perilaku mendekati pada umumnya diikuti dengan perilaku mencium betina berahi. Perilaku menciumi ini dilakukan pada rusarusa jantan yang sedang meningkat libidonya. Semakin tinggi tingkat libidonya akan semakin tinggi pula frekuensi menciuminya. Lama mencium antara satu sampai 4 detik. Dimikian juga semakin tinggi tingkat dosis sanrego yang diberikan, semakin tinggi frekuensi dan semakin lama waktu yang digunakan untuk menciuminya. Jumlah Mencium 90 80 70 60 0 Mg 50 40 6000 Mg 30 20 10000 Mg 8000 Mg 10 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 9 Frekuensi mencium betina pada berbagai perlakuan. 66 Wibowo (1985) melaporkan bahwa pada rusa jantan yang sedang meningkat libidonya, waktunya lebih banyak untuk memburu dan menciumi betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Houpt and Hudson (1993) yang menyatakan bahwa perilaku seksual satwa dilakukan dengan komunikasi penciuman yang dikirim oleh betina dengan rangsangannya. Hewan jantan dapat merespon seekor betina ketika dalam keadaan estrus. Stimulus penciuman jantan karena mendapatkan feromon androgen dalam efek siklus seksual rusa betina. Adanya penciuman, jantan dapat membedakan kondisi berahi betina melalui urine yang dikeluarkannya. Hal ini sesuai pendapat Hart (1985) bahwa perilaku seksual jantan ditandai dengan respon pra kopulasi yaitu merespon rangsangan seksual betina dengan cara menjilati daerah alat kelamin dan membaui urine betina. Perilaku Nyengir (Flahmen) Perilaku flahmen ditunjukkan dengan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bibir atas berkerut-kerut dan sedikit membuka. Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku myengir menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku myengir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi nyengir (17 kali), lama nyengir (68 detik), muncul perilaku nyengir paling awal dan lama nyengir dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Daripada perlakuan lainnya. Besarnya frekuensi dan lama nyengir pada T3 disebabkan rusa tersebut dalam kondisi peningkatan libido seksual yang lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan lebih jelas pula. Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas. yang biasanya terlihat jelas dipermukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding serviks, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa 67 masuk menemui ovum. Ini yang menyebabkan urine betina birahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka ( flahmen). Jumlah Nyengir 20 15 0 Mg 6000 Mg 10 8000 Mg 10000 Mg 5 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 10 Frekuensi nyengir (flahmen) rusa timor jantan pada berbagai perlakuan. Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas. yang biasanya terlihat jelas dipermukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding servik, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa masuk menemui ovum. Ini yang me nyebabkan urine betina berahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka ( flahmen). Masyud (1989) menyatakan pada saat rusa musim berahi rusa jantan yang libidonya sedang naik, akan mengikuti dan menjilati bagian belakang tubuh betina. Apabila betina ada respon (berahi penuh) maka betina akan mengangkat ekornya sehingga pejantan lebih leluasa untuk menjilatinya. Kejadian tersebut berlangsung berulang-ulang sampai betina memberikan reaksinya. Dikatakan lebih lanjut oleh Andijarso (1988) pada saat betina mengangkat ekornya akan disertai kencing, kemudian rusa jantan akan menaruh moncongnya dibawah tetesan air kencing tersebut. Kemudian jantan tersebut akan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan 68 bibir yang sedikit membuka (nyengir). Bibir atasnya berkerut-kerut dan kadangkadang keluar air liurnya . Perilaku Menggosok-Gosokkan Velvet Ke Pohon/Semak/Tanah Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku mennggosok-gosokkan velvet menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku menggosok-gosokkan velvet yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi dan lama menggosok yang lebih lama daripada perlakuan lain yaitu dengan frekuensi lebih dari 14 kali dengan lama 45 menit dan lama menggosokgosokkan velvet dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Seperti juga pada berbagai perilaku seksual lainnya besarnya frekuensi dan lamanya menggosokkan velvet pada T3 disebabkan rusa tersebut (dosis 10.000 mg) dalam kondisi libido yang lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan akan lebih jelas. Jumlah menggaruk 20 15 0 Mg 6000 Mg 10 8000 Mg 10000 Mg 5 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 11 Frekuensi menggosok-gosokkan velvet pada berbagai perlakuan. Hasil pengamatan diketahui ranggah yang sering digosok-gosokkan atau diasah adalah cabang ranggah bagian depan, karena bagian depan yang akan digunakan untuk beradu pada saat agonistik. Telah dijelaskan bahwa rusa yang diambil untuk penelitian adalah rusa masa pertumbuhan ranggah lunak (velvet). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa setelah diberi perlakuan, velvet-velvet tersebut banyak 69 yang terkelupas dan luka. Diketahui pula, semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan akan semakin tinggi pula baik frekuensi maupun lamanya menggarukgarukkan velvetnya. Dengan demikian maka terlihat jelas bahwa pada T3 sebagian besar velvetnya terkelupas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tingginya kadar testosteron dalam darah maka secara eksterior akan ditunjukkan dengan semakin tinggi pula pertumbuhan ranggah. Pertumbuhan ranggah sejalan dengan kenaikan androgen dalam darah. Pertumbuhan ranggah yang dimaksud adalah semakin besar, panjang dan keras, yang akhirnya diikuti dengan pengelupasan velvet menjadi ranggah yang keras. Oleh sebab itu dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan dengan dosis tertinggi (T3) mempunyai konsentrasi steroid yaitu androgen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga T3 lebih awal mengelupas, lebih lama dan sering melakukan aktivitas menggosokkan velvet dibandingkan T0,T1 maupun T2. Perkembangan dan peningkatan ranggah dalam siklusnya sejalan dengan meningkatnya konsentrasi androgen serum. Lebih jauh dikatakan bahwa hubungan pola hormonal androgen dengan siklus perkembangan ranggah tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidup rusa. (Bartecki and Jaczewski 1983; Masyud 1997; Dradjat 2002; Handarini 2006). Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa rusa jantan akan memasuki musim berahi segera setelah velvet dalam ranggahnya rontok. Dalam usaha untuk merontokkan velvet tersebut, rusa jantan sering menggosok-gosokkan ranggahnya di pohon atau tanah malah sering ranggahnya dihantam-hantamkannya. Pernyataan itu juga didukung oleh pendapat Guenness et al., 1971 dalam Masyud 1997 yang mengatakan bahwa salah satu ciri utama kelakuan berahi pada rusa adalah sifat agresif dengan menggosok-gosokkan gigi dan tanduknya. Wibowo, 1985 dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa perilaku menggosok-gosokkan tanduknya ke pohon, semak atau tanah adalah suatu usaha untuk mengelupaskan velvetnya serta untuk menajamkan ranggahnya. Sedangkan Dradjat (2002) menyatakan ranggah berfungsi sebagai senjata dan digunakan pula untuk menanduk dan menjatuhkan pohon sehingga memudahkan rusa betina untuk 70 mendapatkan makanannya. Pohon yang telah digores juga sebagai tanda wilayah territori rusa yang dominan tersebut. Perilaku Berkubang Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku berkubang menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku berkubang yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi berkubang (10,3 kali), lama berkubang 81 menit, muncul perilaku berkubang paling awal dan lama berkubang dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Tingginya perilaku berkubang ini karena adanya peningkatan libido yang lebih tinggi akibat dari mengkonsumsi jumlah daun sanrego yang lebih besar dari perlakuan lainnya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa Perilaku berkubang biasanya terjadi pada rusa yang menunjukkan peningkatan libido, dimana semakin tinggi tingkat libido, aktivitas berkubang semakin meningkat, baik frekuensinya maupun lama berkubang. Perilaku berkubang ini dilakukan oleh rusa jantan. Sedangkan pada betina berahi jarang terlihat. Perilaku berkubang antara rusa dalam tingkat libido yang berbeda akan menunjukkan perilaku berkubang yang berbeda pula. Pada puncak libido, perilaku berkubang ditunjukkan dengan mengguling-gulingkan badan dan kepalanya di tempat kubangan sehingga seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur. Dari hasil pengamatan diketahui semakin tinggi libidonya, perilaku berkubang semakin tinggi pula.Setelah selesai berkubang dilanjutkan dengan perilaku menggosokkan ranggah di semak-semak, sehingga terlihat rusa keluar dari semak dengan kepala penuh dihiasi daun-daunan yang tampak lebih gagah dan menarik. Berbeda dengan rusa yang belum penuh libidonya, maka perilaku berkubang hanya berendam saja di tempat kubangan dengan waktu yang tidak begitu lama. Hanya bagian kaki dan sebagian badan saja yang basah atau terkena lumpur. Dari penampilan rusa setelah 71 berkubang dapat diketahui apakah rusa tersebut dalam kondisi puncak libido atau tidak, dapatdihat dari penampilannya. Perilaku berkubang dapat terjadi pada rusa dalam kondisi libido yang meningkat. Pada saat itu tingkahlakunya cenderung lebih agresif. Biasanya ditunjukkan dengan perilaku agonistiknya. Untuk melakukan agonistik dibutuhkan tenaga yang tinggi. Tenaga tersebut dihasilkan dari pemecahan glikogen oleh O2 darah menjadi energi, air dan karbon dioksida. Dengan adanya energi yang meningkat tersebut maka untuk menstabilkan suhu tubuh kembali, salah satunya dilakukan dengan cara berendam atau berkubang di lumpur atau air. Wibowo (1985) menyatakan bahwa kadang-kadang rusa-rusa yang ada di hutan atau di lapangan rumput ditemukan rusa yang tubuhnya berlumuran lumpur, yang menandakan dia habis berkubang. Lebih lanjut dikatakan bahwa akibat dari menghantam-hantamkan tanduk disemak-semak maka ranggah terselimuti oleh tanaman/daun-daunan. Hal ini didukung oleh pendapat Hoogerwerf (1970) bahwa perilaku berkubang pada rusa jantan menunjukkan bahwa rusa tersebut sedang kondisi libido dan siap melayani betina yang sedang birahi. Sedangkan Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan pada saat puncak birahi, perilaku berkubang sering timbul, dimana apabila sumber air tidak dijumpai maka air kencingnya sendiri dipakai sebagai sumber kubangan. Perilaku Agonistik. Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku agonistik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Pada Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku agonistik yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi agonistik yang mencapai 24 kali, lama agonistik adalah 58,3 menit dan muncul perilaku agonistik paling awal dan lama agonistik dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya.Besarnya frekuensi dan lamanya agonistik pada T3 disebabkan rusa tersebut 72 kondisi libidonya jauh lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan jauh lebih jelas pula. 40 35 Jumlah 30 0 Mg 25 6000 Mg 20 8000 Mg 15 10000 Mg 10 5 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 12 Frekuensi aktivitas agonistik pada berbagai perlakuan. Pola perilaku agonistik dapat diterangkan sbb: 1. Pejantan yang lebih tinggi libidonya akan mendekati lawannya yaitu jantan lain yang lebih rendah tingkat libidonya. Pejantan yang lebih kuat adalah jantan yang tingkat intensitas libidonya tinggi dan ranggahnya lebih keras. 2. Dengan langkah tegap (kaki depan diangkat lebih tinggi dari berjalan biasa dan kepala diangkat tinggi-tinggi) jantan tersebut mendekati lawannya. 3. Jantan lain atau lawan yang lebih rendah akan lari menghindar dan tidak melayani untuk beradu ranggah, tetapi apabila lawannya hampir sama tingkat libidonya maka akan terjadi adu ranggah . Adu ranggah ini terjadi dengan waktu antara satu sampai 6 menit, dengan frekuensi per hari dapat mencapai 17 sampai 20 kali pada saat puncak libidonya. Pada peristiwa agonistik, dua rusa jantan yang beradu ranggah pada umumnya mempunyai kondisi libido yang hampir sama, walau kadang-kadang ukuran ranggah maupun tubuhnya tidak sama. Apabila terjadi agonistik pada rusa dalam kondisi libido yang tidak sama, maka agonistik tidak akan berlangsung lama dan biasanya sebelum beradu, musuhnya sudah menghindar lebih dulu. Perbedaan perilaku agonistik tersebut disebabkan perbedaan tingkat libidonya dari masing-masing rusa. Telah diketahui bahwa sanrigo merupakan salah satu dari 73 tanaman yang berpotensi sebagai afrodisiaka yang mengandung senyawa steroid yang akan berpengaruh terhadap nafsu seksualnya. Dengan demikian semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin tinggi nafsu seksualnya dan berakibat frekuensi agonistik samakin tinggi pula. Menurut Masyud (1997), rusa jantan yang sedang mengalami birahi sering terjadi perkelahian antar pejantan untuk memperebutkan betina birahi. Hal yang serupa dikemukakan juga oleh Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa semangat untuk bertarung di saat ranggah dalam keadaan keras adalah sangat tinggi dan ini berhubungan dengan sifat untuk mempertahankan daerah kekuasaan dan betina yang diinginkannya sebanyak mungkin. Gambar 20. dibawah ini menunjukkan rusa dalam perilaku agonistik. Perilaku Menaiki Punggung Betina Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku menaiki punggung betina menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Pada Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku menaiki betina yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas perilaku menaiki terpanjang yaitu tiga hari (hari ke 9-11), frekuensi menaiki tertinggi (30,3 kali), lama menaiki betina tertinggi (34 detik) dan menaiki betina yang lebih awal ( hari ke 9) daripada perlakuan lainnya. 45 40 Jumlah (kali) 35 30 0 Mg 25 6000 Mg 20 8000 Mg 15 10000 Mg 10 5 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 13 Frekuensi menaiki betina pada berbagai perlakuan. penampakan 74 Pada tingkat libido seksual mencapai puncaknya, proses mendekati dan menciumi alat kelamin betina tersebut akan diikuti dengan perilaku menaiki punggung betina. Pada saat itu kegiatan menaiki punggung betina sering dilakukan. Pada hasil pengamatan mencapai 39 kali sebelum terjadi kopulasi. Hal ini bisa terjadi karena betina masih dalam kondisi pro estrus dan belum mencapai puncak birahinya. Pada kondisi tersebut betina masih menghindar dan lari apabila ingin dinaiki pejantan. Apabila pejantan belum dapat melakukan kopulasi maka pejantan tersebut akan berusaha terus untuk mendapatkannya, sampai akhirnya si betina akan diam dan memberi respon untuk dinaiki. Selama betina masih dalam kondisi estrus, maka lama menaiki cukup singkat yaitu antara satu sampai dua detik. Hal ini terjadi karena betina selalu menghindar dan lari atau maju melangkah ke depan sehingga kopulasi tidak terjadi.Wibowo (1985) dalam hasil penelitiannya dikatakan bahwa perilaku rusa jantan menaiki betina berlangsung hanya sekitar satu sampai dua detik. Demikian juga dari hasil penelitian Andijarso (1988) yang mengatakan puncak dari perilaku kawin adalah rusa jantan akan mencoba menaiki betina. Perilaku Kopulasi Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku kopulasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Pada Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa hanya T3 (dosis 10.000 mg) saja yang sampai melakukan aktivitas kopulasi. Perilaku kopulasi terjadi setelah hari ke 9 perlakuan, dalam waktu 4 detik. Tabel 6 menunjukkan perlakuan dengan dosis 10000 mg (T3) saja yang mau menunjukkan perilaku kopulasi, yaitu pada ulangan pertama ( rusa J ). Gambar 14 dibawah ini menunjukkan bahwa intensitas perilaku seksual pada rusa J (ulangan pertama) lebih besar daripada rusa K dan rusa L (ulangan ke2 dan 3). Hal ini merupakan faktor utama mengapa rusa K dan rusa L tidak sampai menunjukkan perilaku kopulasi, disamping factor-faktor lain yang kemungkinan 75 menyebabkan rusa K dan L tidak ada kesempatan untuk melakukan perkawinan atau kopulasi. 400 350 jumlah nilai skor 300 ulangan 250 I (rusa J) 200 II (rusa K) 150 III(rusa L) 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 hari ke Gambar 14 Intensitas perilaku seksual pada T3 (ulangan1, 2 da 3). Intensitas perilaku seksual pada rusa J (ulangan pertama) yang ditunjukkan pada Gambar 14 terlihat lebih besar daripada rusa K dan rusa L (ulangan ke2 &3). Hal ini merupakan faktor utama mengapa rusa K dan rusa L tidak sampai menunjukkan perilaku kopulasi, disamping faktor-faktor lain yang kemungkinan menyebabkan rusa K dan L tidak ada kesempatan untuk melakukan perkawinan atau kopulasi. Dalam Gambar 14 dapat dilihat bahwa intensitas perilaku seksual pada rusa J lebih tinggi dibandingkan dengan rusa K maupun L. Rusa J mempunyai intensitas perilaku seksual yang lebih tinggi daripada rusa K maupun L. Hal ini bisa dijelaskan bahwa intensitas perilaku seksual ditentukan oleh dua faktor yaiu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri atas faktor hormonal dan syaraf saling bekerjasama, berinteraksi dan saling membutuhkan dimana sistim kerja kedua faktor tersebut biasa dikenal neurohormonal. Sedangkan faktor luar yang juga berperan dalam mengendalikan perilaku seksual adalah adanya betina berahi. Rangsangan tersebut dapat melalui penglihatan, penciuman dan perabaan. Faktor lain kemungkinan tidak terjadinya kopulasi pada rusa K dan L adalah : 1. Dalam penelitian ini, antara rusa perlakuan dengan rusa yang ada di penangkaran tidak dipisahkan, sehingga kesempatan untuk mendapat betina berahi tidak sama 76 2. Imbangan kelamin antara jantan dengan betina dewasa tidak seimbang. (jantan: 25 ekor; betina: 20 ekor) sehingga sangat kompetitif dalam memperebutkan betina berahi. 3. Kondisi ranggah antara rusa perlakuan dengan rusa penangkaran tidak sama, sehingga bagi rusa yang mulai mengelupas akan kalah bersaing dalam mendapatkan betina yang mempunyai ranggah lebih keras. 4. Intensitas seksual selain diengaruhi oleh faktor dalam yaitu hormon dan syaraf juga dipengaruhi oleh faktor luar. Disamping itu kepekaan individu terhadap sesuatu zat (steroid) kemungkinan tidak sama. Hasil pengamatan diketahui pula bahwa lama waktu kopulasi adalah 4 detik. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Joebearden and Fuquay (1984) yang mengatakan bahwa tujuan utama dari perilaku kawin adalah kopulasi baik itu terjadi pada hewan jantan maupun hewan betina. Sedangkan Andijarso (1988) dalam penelitiannya melaporkan bahwa Puncak perilaku kawin adalah menaiki dan menusukkan penisnya dengan hentakan yang cukup kuat, dimana kejadian tersebut berlangsung antara 2 – 3 detik saja. Hal ini didukung oleh Siregar (1983) yang mengatakan bahwa pada tingkahlaku reproduksi pada rusa jantan lebih binal daripada rusa betina dimana perkawinan dilakukan secara alami dengan waktu koitus relatif cepat dan singkat. 400 jum lah nilai skor 350 300 250 I (rusa J) 200 II (rusa K) 150 III (rusa L) 100 50 0 hari 9 hari 10 hari 11 hari 12 hari 13 hsri perlakuan diberhentikan Gambar 15 Intensitas perilaku seksual sejak pemberian sanrego dihentikan pada T3. 77 Gambar 15 memperlihatkan bahwa stelah perlakuan pemberian sanrego diberhentikan, rusa perlakuan (rusa J, K dan L) masih menunjukkan perlaku seksual. Pada Gambar 15 terlihat jelas bahwa rusa J masih menunjukkan perilaku seksual selama 2 hari, dimana pada hari ke 9 yaitu setelah terjadi kopulasi, maka perilaku seksual terlihat turun secara drastis bila dibanding dengan rusa K dan rusa L. Hal ini bisa dijelaskan bahwa diantara ketiga rusa (T3) maka hanya pada ulangan pertama (rusaJ) saja yang menunjukkan perilaku kopulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Semiadi dan Nugraha 2004) yang mengatakan bahwa setelah terjadi perkawinan, maka si jantan akan memisahkan diri dan rusa pejantan akan berusaha memisahkan diri, memulihkan kembali energi dan berat badannya yang hilang selama perlakuan. Perilaku teritori sering ditunjukkan pada rusa jantan di musim kawin. Area teritori terletak di sekitar rusa betina yang akan dikawini. Daerah teritori ini ditandai dengan bau-bauan atau tanda lain pada vegetasi. Dari hasil pengamatan rusa yang ada di penangkaran rusa Jonggol, ternyata tidak memperlihatkan daerah teritorinya. Tidak adanya perilaku teritori ini kemungkinan karena jumlah betina yang cukup kecil. Dari hasil pengamatan, dalam satu hari maksimal hanya ada satu atau dua betina yang menunjukkan birahi. Dengan demikian rusa yang paling dominan tersebut dengan mudah dapat menguasai dan mengusir jantan lain yang ingin mendekat. Menurut Hoogerwerf (1970) bahwa teritori ini terletak disekitar rusa betina yang bertujuan untuk mempertahankan betina-betina yang akan dikawininya dari jantan lain yang berusaha untuk mendekatinya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku teritori ini biasanya hanya terjadi di habitat aslinya, tetapi tidak dilakukan di penangkaran. Pola Perilaku Kawin Pola Perilaku Kawin (kopulasi). Dari hasil pengamatan terhadap pola perilaku kawin yang terjadi pada salah satu dari rusa yang diberi perlakuan pemberian bubuk daun sanrego selama waktu 9 hari dapat dilihat pada Tabel 10. 78 Tabel 10 Tahapan proses perilaku kawin ____________________________________________________________________ Tahapan ____________________Diskripsi Perilaku_______________________ Jantan Betina ____________________________________________________________________ - pra percumbuan - berusaha mendekati betina - vulva bengkak, kemerah - berkubang an dan mengeluarkan - menggosok-gosokkan cairan/lendir ranggah pada pohon - berjalan/ berlari kecil - velvet mengelupas - mulut agak terbuka - terjadi peningkatan libido - kondisi pro estrus - Percumbuan - memisahkan betina yang birahi - mengeluarkan suara - mengejar pejantan yang lebih khas rendah tingkat libidonya - banyak pejantan yang Lanjutan ___________________________________________________________________ Tahapan ____________________Diskripsi Perilaku_______________________ Jantan Betina ____________________________________________________________________ - agonistik mengikutinya - mencium alat kelamin betina - melangkah/berjalan - flehmen(berdiri tegang,meke depan rentangkan kepalanya pada posisi horisontal)diteruskan nyengir - mengendus-endus, leluasa - menanggapi, mengmenjilati dan menciumnya angkat ekornya - menaruh moncongnya di- kadang-kadang mebawah tetesan air kencing ngeluarkan air kencing - ereksi - pengeluaran atau penonjolan - pro estrus penis dari selubungnya - libido terus meningkat ____________________________________________________________________ - penunggangan - menaiki punggung betina - lari/ berjalan kedepan beberapa kali - pejantan meletakkan dagunya - diam dan memberi respon pada bagian belakang dengan berdiri atau - pejantan tsb. naik, memfikser kaki memberi tekanan pada depannyanya pada pinggul betina, punggung. mendekapnya erat-erat dan mengadakan dorongan- dorongan pelvis ritmik ke depan. ____________________________________________________________________ - Intromisi - penis dimasukkan ke dalam vagina 79 ____________________________________________________________________ - Ejakulasi - kaki belakang berkontraksi - pernafasan bertambah cepat - kepala menunduk - terjadi hentakan yang cukup kuat selama 3 detik - pejantan turun - penis beretraksi ke dalam preputium ____________________________________________________________________ - Refraktorinese -tidak menunjukkan aktivitas seksual - berjalan menyendiri (menjauhi betina tsb) ____________________________________________________________________ Gambar 16 menunjukkan pola perilaku kawin secara lengkap dari mulai pra percumbuan, menggosok-gosokkan velvet, berkubang, mencium dan menjilati urine betina berahi, agonistik, menaiki punggung betina sampai terjadi aktivitas kopulasi yang terjadi pada T3. Pola perilaku kawin ini dalam waktu 9 hari. Gambar 16 Pola perilaku kawin rusa timur jantan.