STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH

advertisement
STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Oleh:
Rizki Amalia
1111101000030
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Maret 2015
Rizki Amalia, NIM: 1111101000030
STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI
KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015
185 halaman, 2 gambar, 2 bagan, 13 tabel, 16 grafik, 4 peta, 6 lampiran
ABSTRAK
Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi
masalah kesehatan di Indonesia. Incidence rate (IR) Kota Tangerang Selatan
dalam 5 tahun terakhir melebihi target IR secara nasional. Salah satu faktor yang
menyebabkan peningkatan kasus DBD adalah faktor lingkungan (suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, angka bebas jentik, rumah sehat
dan kepadatan penduduk).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spatialtemporal
penyakit DBD dan mengetahui hubungan antara suhu udara, kelembaban udara,
curah hujan dan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015 menggunakan desain ecological study dimana
populasinya adalah semua kasus di seluruh Puskesmas yang ada wilayah Kota
Tangerang Selatan. Data berasal dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan,
BPS Kota Tangerang Selatan dan BMKG Ciputat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial sebaran kasus DBD
yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas dengan angka bebas jentik
tinggi (≥95%), rumah sehat tinggi (≥80%) dan kepadatan penduduk tinggi (>200
jiwa/ha). Sedangkan, secara temporal menunjukkan penurunan kasus DBD selama
3 tahun terakhir. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan hubungan kuat secara
signifikan antara faktor iklim dengan kejadian DBD, kecuali kecepatan angin.
Incidence rate DBD pada tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas
bagian Selatan Kota Tangerang Selatan masih tinggi. Pencegahan yang dilakukan
adalah peningkatan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah
Dengue (PSN-DBD) melalui ‘3M Plus’ dan mengajak peran serta masyarakat agar
aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan terkait breeding place nyamuk Aedes
aegypti.
Kata Kunci: Spasial, Temporal, Sistem Informasi Geografis, Demam
Berdarah Dengue, Korelasi, Iklim
Daftar bacaan: 86 (1990-2015)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH
EPIDEMIOLOGY
Undergraduated Thesis, March 2015
Rizki Amalia, NIM: 1111101000030
ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN
THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015
185 pages, 2 pictures, 2 bagan, 13 tables, 16 graphs, 4 maps, 6 attachments
ABSTRACT
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem
in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is
still higher than the national target. The determinants of increase in dengue cases
are environmental factors (temperature, humidity, rainfall, wind speed, larva-free
numbers, house healthy and population density).
This research is aim to determine the distribution of the disease
spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air
temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang
City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all
health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from
Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South
Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat.
Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of
DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high
percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200
inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3
years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly
strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for
the wind speed.
Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community
health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue
disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of
DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in
maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes
aegypti.
Key: Spatial, Temporal, Geographic Information System, Dengue Hemorrhagic
Fever, Correlation, Climate
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH
EPIDEMIOLOGY
Undergraduate, Maret 2015
Rizki Amalia, NIM: 1111101000030
ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN
THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015
184 pages, 9 tables, 4 maps, 16 graphs, 3 bagan, 2 picture, 6 attachment
ABSTRACT
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem
in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is
still more than the national target (≤ 51 per 100.000 population). The determinants
of increase in dengue cases are environmental factors (temperature, humidity,
rainfall, wind speed, larva-free numbers, house healthy and population density).
This research is aim to determine the distribution of the disease
spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air
temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang
City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all
health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from
Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South
Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat.
Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of
DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high
percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200
inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3
years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly
strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for
the wind speed.
Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community
health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue
disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of
DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in
maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes
aegypti.
Key: Spatial, Temporal, Geographic Information System, Dengue Hemorrhagic
Fever, Correlation, Climate
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rizki Amalia
Jenis Kelamin
: Perempuan
TTL
: Jakarta, 30 November 1993
No. Telp
: 082113047625
Alamat
: Jl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung,
Pancoran Mas, Kota Depok 16435
Email
: [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1997-1999
: TK Tunas Bangsa
1999-2005
: SD Negeri Beji I Depok
2005-2008
: SMP Negeri 13 Depok
2008-2011
: MA Negeri 7 Jakarta Selatan
2011-sekarang
: Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI
2013-2014
: Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya
Epidemiology Student Association(ESA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alah SWT , Dzat Yang maha Berkehendak, sehingga
atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Ekologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memnuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Peminatan
Epidemiologi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Atas semua bimbingan, bantuan, dukungan, perhatian serta do’a, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph. D sebagai Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M. Kes sebagai penanggungjawab
peminatan Epidemiologi dan pembimbing skripsi I, terima kasih banyak Ibu
telah sabar dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
masukan, arahan, bimbingan, motivasi dan dorongan semangat selama
penyusunan skripsi ini juga memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang
skripsi.
4.
Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM sebagai pembimbing skripsi II, terima
kasih banyak Ibu telah sabar, menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
vii
memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini
juga telah memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang skripsi.
5.
Bapak Azib dan Ibu Ima selaku administrasi kemahasiswaan yang telah
membantu mengurus berkas yang dibutuhkan untuk bisa maju sidang skripsi
ini dan wisuda.
6.
Bapak kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah
memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian di institusi ini.
7.
Bapak Supriyadi selaku kepala seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan, Bapak Nicko selaku seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan dan Ibu Putri selaku pemegang Profil Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan telah meluangkan waktunya sewaktu saya
membutuhkan data, telah memberikan masukan dan pencerahan.
8.
Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan yang telah mengizinkan
peneliti memiliki laporan Kecamatan Dalam Angka Kota Tangerang Selatan
Tahun 2010-2015.
9.
Badan Meteorologi dan Klimatologi Geologi Ciputat yang telah mengizinkan
peneliti memiliki laporan iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan
dan kecepatan angin) Tahun 2010-2015.
10. Ibu Hj. Siti Hidayati, mama yang senantiasa mendoakan setiap langkah yang
penulis kerjakan juga bantuan dukungan moral dan material serta dengan
sabarnya terus-menerus mengingatkan agar penulis tetap semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
viii
11. (Alm.) Bapak H. Waladi, bapak yang sudah tiada sejak Januari tahun 2015
sudah senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan,
memberikan kasih sayang, dorongan semangat serta pesan terakhirnya
sebelum beliau tiada yaitu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Kakak (Mas Ito), kakak ipar (Mba Nada), keponakan (Zainka) juga yang
tersayang telah memberikan bantuan moral, material dan doa serta dorongan
semangatnya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. Adik (Devi V.), Dina, Rini, Pipi (Putri A.), Dea, PW (Putri W.), Kemal, Upit
(Nur Fitri A.),Wulan, Kak Bayu, Kak Zata dan juga Kak Nida yang telah
membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini dan juga doa, dorongan
semangat dan masukannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
14. Komunitas Epidemiologi 2011 dan juga Epidemiologi 2013 yang telah
memberikan doa dan dorongan semangatnya.
15. Sahabat “Genk Remponkz” yang selalu kompak sejak semester 1 yang telah
memberikan dukungan moral, materil, doa serta dengan sabarnya terusmenerus mengingatkan penulis agar menyelesaikan skripsi ini.
16. Seluruh teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Skripsi ini merupakan janji penulis kepada Alm.bapak dan juga mama
seperti yang telah dijanjikan penulis. Kepada mama yang selalu mendoakan,
menyemangati dan mengingatkan penulis agar tidak membuang-buang waktu
ix
yang bejalan, serta senantiasa mengajarkan pada penulis tentang nilai-nilai dalam
kehidupan.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila
masih banyak terdapat kekuranagn dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi yang hendak
mengembangkan maupun mendalami topic
bahasannya. Semoga Alloh SWT. berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Amin ya Rabbal’alamin.
Jakarta, 08 Maret 2016
Penulis
x
DAFTAR SINGKATAN
DBD
: Demam Berdarah Dengue
WHO
: World Health Organization
ABJ
: Angka Bebas Jentik
IR
: Incidence Rate
SIG
: Sistem Informasi Geografis
Jumantik
: Juru Pemantauan Jentik
KLB
: Kejadian Luar Biasa
PJB
: Pemantauan Jentik Berkala
PSN
: Pemberantasan Sarang Nyamuk
PSN-DBD
: Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue
3M Plus
: Menutup, Mengubur, Menguras juga pemeliharaan ikan pemakan
jentik, tidak menggantung pakaian, penggunaan abate,
penggunaan repellent, kelambu
SKD-DBD
: Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue
TPA
: Tempat Penampungan Air
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI……………………………………………. i
ABSTRAK………………………………………………………………..……….. ii
ABSTRACT………………………………………………………………..……… iii
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………..…………..…… iv
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………….… v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………………… vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………..…… vii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………….. xi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..….. xii
DAFTAR BAGAN.................................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… xvi
DAFTAR GRAFIK………………………………………………………………. xvi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………… xvii
DAFTAR PETA………………………………………………………………….. xviii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..... 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………....... 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………...... 7
C. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………….... 8
D. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. 9
E. Manfaat Penelitian……………………………………………………......... 11
F. Ruang Lingkup Peneliti………………………………………………......... 13
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 14
A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)……………………………….. 14
1. Definisi DBD………………………………………………………… 14
2. Etiologi DBD………………………………………………………… 14
3. Gejala DBD………………………………………………………….. 15
4. Vektor DBD…………………………………………………….......... 16
5. Mekanisme Penularan DBD…………………………………………. 19
B. Epidemiologi Deskriptif…………………………………………………… 21
1. Orang………………………………………………………………….21
2. Tempat………………………………………………………….......... 22
3. Waktu………………………………………………………………… 22
C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)………………………….. 23
1. Host (Pejamu)………………………………………………………... 24
2. Agent………………………………………………………………… 28
3. Environment (Lingkungan)………………………………………….. 29
D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System
(GIS)………………………………………………………………………. 41
1. Definisi SIG…………………………………………………….......... 41
2. Kegunaan SIG………………………………………………….......... 42
E. Analisis Spasial………………………………………………………….… 43
1. Definisi Analisis Spasial………………………………………….…. 43
2. Manfaat Analisis Spasial……………………………………………. 46
3. Teknik Analisis Overlay…………………………………………….. 46
F. Kerangka Teori……………………………………………………………. 46
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…………. 51
A. Kerangka Konsep……………………………………………………….…. 51
B. Definisi Operasional…………………………………………………….… 55
C. Hipotesis Penelitian………………………………………………………... 58
xiii
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN……………………………………….. 59
A. Desain Penelitian…………………….…………………………………….. 59
B. Lokasi, Waktu dan Populasi Penelitian………………………………......... 60
C. Manajemen Data…………………………………………………………… 60
1. Cara Pengumpulan Data……….…………………………………..… 60
2. Instrumen Penelitian…………………………………………………. 61
3. Pengolahan Data…………….……………………………………….. 63
D. Analisis Data………………………/………………………………………. 66
1. Analisis Univariat……………………………………………………. 66
2. Analisis Bivariat…………….……………………………………….. 67
3. Analisis Spatialtemporal…..………………………………………… 68
BAB V HASIL……………………………………………………………………. 70
A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD………………………………………… 70
1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang…………………………… 70
2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat………………………….. 72
3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu…………………………... 76
B. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……… 79
C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas…………….. 84
D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……. 90
E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan………………………. 97
1. Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan …………………. 97
2. Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan………….. 98
3. Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan …………………99
4. Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan …………… 99
F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota Tangerang
Selatan……………………………………………………………………… 100
1. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota
Tangerang Selatan …………………………………………………... 101
2. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kelembaban Udara di Kota
Tangerang Selatan……………………………………………………. 102
xiv
3. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Curah Hujan di Kota
Tangerang Selatan …………………………………………………… 104
4. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota
Tangerang Selatan …………………………………………………… 106
BAB VI PEMBAHASAN…………………………………………………………. 108
A. Keterbatasan Penelitian…………………………………………………….. 108
B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD………………………………………… 109
1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang…………………………… 109
2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat………………………….. 112
3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu…………………………... 114
C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik………. 116
D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi……. 128
E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik…. 131
BAB VII PENUTUP…………………………………………………………....… 133
A. Simpulan…………………………………………………………………… 133
B. Saran……………………………………………………………………….. 135
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 139
LAMPIRAN………………………………………………………………………. 147
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul)…………………….. 30
Bagan 2.2 Teori Simpul……………………………………………………………. 50
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Vektor Nyamuk Aedes aegypti…………………………..…………… 17
Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti………………………………… 19
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………... 71
Grafik 5.2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………... 72
Grafik 5.3 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan IR DBD
Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015…………………………….... 73
Grafik 5.4 Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015……………………………………………………….. 77
Grafik 5.5 Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015…………………………………………………….…. 78
Grafik 5.6 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka
Bebas Jnetik Tahun 2013-2015……………………………................... 80
Grafik 5.7 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah
Sehat Tahun 2013-2015…………………………….............................. 86
Grafik 5.8 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Kepadatan
Penduduk Tahun 2013-2015……………………………....................... 92
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jenis Data Penelitian…………………………..………………………… 61
Tabel 4.2 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian………………………… 66
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………. 79
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………… 85
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………... 91
Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015….. 97
Tabel 5.5 Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 20132015……………………………………………………………………... 98
Tabel 5.6 Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…. 99
Tabel 5.7 Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 20132015……………………………………………………………………... 100
Tabel 5.8 Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………….. 101
Tabel 5.9 Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………….… 103
Tabel 5.10 Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………. 105
Tabel 5.11 Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………. 106
xvii
DAFTAR PETA
Peta 5.1 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………... 74
Peta 5.2 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas
Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun
2013-2015………………………………………………………………... 81
Peta 5.3 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat di
Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 20132015……………………………………………………..……………….. 87
Peta 5.4 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan
Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun
2013-2015………………………………………………………………... 93
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu
penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat internasional dan
merupakan penyakit yang dapat berpotensi kematian, khususnya di negaranegara tropis dan sub tropis. Dalam dekade terakhir, penyebaran kasus
Dengue oleh nyamuk Aedes aegypti banyak tersebar luas baik di perkotaan
maupun pedesaan dan menyebabkan tingginya kasus yang membutuhkan
rawat inap dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa lebih dari 70%
Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah yang paling
serius terkena dampak dari DBD (WHO, 2011). Hingga saat ini, WHO
memperkirakan sebanyak 50 sampai 100 juta orang terinfeksi Dengue setiap
tahunnya, termasuk sebanyak 500.000 kasus DBD, 22.000 kematian dimana
sebagian besar terjadi pada anak-anak (WHO, 2015; CDC, 2015). Pada tahun
2013, kasus Dengue terjadi di Florida (salah satu negara di Amerika) dan
Yunan, Provinsi Cina. Dengue terus berlanjut hingga sampai negara-negara
Amerika Selatan, yaitu Honduras, Costa Rica dan Meksiko.
Di wilayah Asia Tenggara, pada tahun 2012 negara Indonesia dan
Filipina memiliki tanggungan beban besar dalam kasus demam berdarah.
Pada tahun 2013 Indonesia menempati urutan ke-3 dengan kasus sebanyak
101.218 kasus setelah Filipina (166.107 kasus) dan Thailand (150.454 kasus)
1
2
(sanofi, 2014). Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia tercatat
sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI,
2010). Indonesia merupakan negara hiperendemis Dengue dimana ke-empat
serotipe virus Dengue sudah tersebar di 34 provinsi. Setelah Indonesia,
hiperendemis Dengue diikuti oleh negara Vietnam, Thailand, Philipina dan
Malaysia (Fullerton et al, 2014).
Pada tahun 2014, Incidence Rate (IR) atau angka kesakitan DBD di
Indonesia sebesar 39,8% per 100.000 penduduk dimana 3 provinsi dengan
Incidence Rate (IR) DBD tertinggi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur (234,29
per 100.000 penduduk) Provinsi Bali (206 per 100.000 penduduk) dan
Provinsi Kepulauan Riau (202,08 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI,
2015). Ketiga provinsi tersebut tidak mencapai indikator menurunnya angka
kesakitan menjadi ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).
Beberapa Provinsi yang telah mencapai indikator, salah satunya Provinsi
Banten dengan IR sebesar 13,88 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).
Namun, di dalam Provinsi Banten juga terdapat beberapa kabupaten/kota
endemis DBD salah satunya, yaitu Kota Tangerang Selatan (Kemenkes RI,
2014).
Setelah dilakukan studi pendahuluan dengan melihat kasus DBD yang
terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diketahui bahwa
dalam 5 tahun terakhir IR DBD per 100.000 penduduk di Kota Tangerang
Selatan berada diatas indikator nasional (2010=76,2; 2011=52,1; 2012=59,9;
2013=54,2; 2014=51,8) (P2P Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2014). Pada
3
tahun 2015, setelah ditelusuri berdasarkan wilayah kerja puskesmas masih
ditemukan sebanyak 9 dari 25 puskesmas yang memiliki angka IR DBD > 51
per 100.000 penduduk dimana angka IR DBD tertinggi mencapai 311 per
100.000 penduduk, yaitu pada Puskesmas Setu (P2P Dinkes Kota Tangerang
Selatan, 2015).
Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan
perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif virus
Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Dalam teori simpul
oleh Achmadi (2014), terdapat 5 macam simpul yaitu simpul 1 (penderita
penyakit DBD), simpul 2 (vektor nyamuk Aedes aegypti infektif virus
Dengue), simpul 3 (karakteristik masyarakat yang berisiko menderita
penyakit DBD), simpul 4 (dampak kontak antara nyamuk infektif virus
Dengue dengan manusia) dan simpul 5 (suhu udara, kelembaban udara, curah
hujan, kecepatan angin, rumah sehat, angka bebas jentik dan kependudukan)
(Achmadi, 2014).
Beberapa variabel iklim dapat mempengaruhi dalam transmisi
penularan penyakit dengan empat variabel yang paling signifikan
mempengaruhi kejadian penyakit, antara lain suhu udara, kelembaban udara,
curah hujan dan angin (Parham et al, 2010). Dalam laporan BMKG Kota
Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata curah hujan dan kelembaban udara
dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 189,9 mm dan 80%. Curah hujan
berbanding lurus dengan kelembaban udara sehingga apabila curah hujan
4
tinggi, maka kelembaban udara juga tinggi. Kedua hal tersebut dapat
mempengaruhi jumlah vektor nyamuk dan umur vektor nyamuk yang
menyebabkan penularan DBD masih terus terjadi. Penelitian yang dilakukan
oleh Mu-Jean Chen et al (2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan
ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan penyakit Dengue
dan Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara
kelembaban udara dengan kejadian DBD.
Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata
suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 27,7ºC. Suhu udara
dapat mempengaruhi perkembangan virus Dengue dalam tubuhnya dan
frekuensi menggigit ke beberapa orang. Penelitian yang dilakukan oleh Costa
et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan
DBD. Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa ratarata kecepatan angin dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 4 knot.
Semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang
sehingga penularan DBD tidak menyebar luas. Penelitian oleh Dini (2010)
menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan
insiden DBD.
Faktor lainnya yang juga termasuk faktor lingkungan adalah Angka
Bebas Jentik (ABJ), kepadatan penduduk dan rumah sehat. Dalam laporan
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata angka
bebas jentik dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah sebesar 92,5%.
Wilayah dengan rata-rata ABJ yang masih dibawah indikator nasional, yaitu
5
lebih dari sama dengan 95% mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam
mencegah DBD dengan cara 3M di lingkungan sekitarnya belum optimal
sehingga kasus DBD masih sering terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh
Sunardi (2007) secara spasial menunjukkan bahwa kasus DBD lebih banyak
pada wilayah dengan tingkat ABJ kurang dari 95%.
Dalam laporan BPS Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata
kepadatan penduduk dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 232, 2
jiwa/ha. Kepadatan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan penularan
kasus DBD. Nyamuk memiliki kemampuan terbang hingga 100 m, namun
dengan penduduk yang padat, nyamuk tidak perlu terbang sejauh itu sehingga
peluang besar untuk nyamuk Aedes aegypti menggigit pada banyak orang
dapat memberikan dampak penyebaran kasus DBD dengan cepat (Hairani,
2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) di Kecamatan
Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial bahwa kasus
DBD di desa/ kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi
dibandingkan wilayah lain.
Dalam laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan didapat bahwa
rata-rata persentase rumah sehat dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah
sebesar 89%. Rumah sehat tidak hanya dilihat dari layak atau tidak bangunan
rumah sebagai tempat tinggal. Salah satu kriteria rumah dikatakan tidak sehat,
yaitu ditemukannya jentik pada tempat-tempat yang berpotensi sebagai
habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti seperti pot-pot
bunga, tempat penampungan air (bak mandi, ember, tempayan). Penelitian
6
Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo
memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar
sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis spatialtemporal
(ruang dan waktu) dengan tools sistem informasi geografis (SIG) secara
geografis dalam layer peta untuk melihat sebaran kejadian DBD berdasarkan
rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan.
Analisis spatialtemporal ini dapat mengetahui adanya faktor keruangan
(rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk) yang berpengaruh terhadap
kejadian penyakit DBD dari waktu ke waktu selanjutnya. Selain itu juga
dapat membantu mengetahui daerah mana saja yang endemis DBD.
Setelah dilakukan studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan diketahui bahwa belum tersedia peta rawan DBD
berdasarkan wilayah kerja Puskesmas. Untuk itu, peneliti melakukan
penelitian
dengan
memanfaatkan
pendekatan
spasial
dalam
upaya
penyelesaian masalah DBD di Kota Tangerang Selatan. Selain itu, dalam
penelitian ini peneliti juga melakukan uji korelasi statistik untuk mengetahui
kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan
kecepatan angin dengan kejadian DBD. Oleh karena itu, analisis
spatialtemporal dengan tools SIG dan uji korelasi statistik dalam penelitian
ini diharapkan dapat membantu membuat perencanaan dan efektifitas
pengambilan keputusan yang lebih baik terhadap daerah endemis DBD yang
7
telah diprioritaskan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
DBD.
B. Rumusan Masalah
Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan,
yaitu penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor nyamuk DBD
sehingga berpotensi terhadap peningkatan kejadian DBD (IR DBD terus
berada > 51 per 100.000 penduduk) dan penularan penyakit DBD. Secara
geografis, wilayah Indonesia beriklim tropis dimana beberapa wilayah sudah
menjadi endemis DBD karena banyak tempat yang cocok untuk
perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti.
Faktor lingkungan dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang
tidak baik (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin,
rumah sehat), lingkungan biologi (angka bebas jentik < 95%) dan lingkungan
non-fisik (kepadatan penduduk yang tinggi). Faktor lingkungan fisik dan
biologi dapat mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor
nyamuk Aedes aegypti, sedangkan faktor lingkungan non-fisik dapat
mempengaruhi persebarluasan penularan penyakit DBD.
Angka Incidence Rate (IR) DBD di Kota Tangerang Selatan dalam 5
tahun terakhir masih berada diatas indikator nasional. Di tahun 2014
ditemukan beberapa wilayah kerja puskesmas dengan IR DBD lebih dari
batas indikator nasional sehingga menjadi masalah kesehatan. Oleh karena itu,
peneliti ingin melakukan penelitian dengan pendekatan spasial bertujuan
8
untuk mengetahui distribusi spatialtemporal kejadian DBD berdasarkan
angka bebas jentik, rumah sehat dan kepadatan penduduk. Analisis data
spasial dilakukan dengan memanfaatkan tools Sistem Informasi Geografis
(SIG). Selain itu, peneliti juga melakukan uji statistik korelasi bertujuan
untuk mengetahui kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara,
curah hujan, kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015.
C. Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimana distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun
2013-2015?
2.
Bagaimana distribusi faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah
hujan dan kecepatan angin), faktor kepadatan penduduk, faktor angka
bebas jentik dan faktor rumah sehat berdasarkan orang, tempat dan
waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?
3.
Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?
4.
Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015?
5.
Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015?
9
6.
Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015?
7.
Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015?
8.
Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun
2013-2015?
9.
Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015?
10. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015?
D. Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mengetahui gambaran ekologi penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) berdasarkan spatialtemporal di Kota Tangerang Selatan tahun
2013-2015.
10
2.
Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015.
b. Untuk
mengetahui
distribusi
faktor
iklim
(suhu
udara,
kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin), faktor
kepadatan penduduk, faktor angka bebas jentik dan faktor rumah
sehat berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015.
c. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015.
d. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
e. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
f. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
11
g. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan
tahun 2013-2015.
h. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015.
i. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan
tahun 2013-2015.
j. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015.
E. Manfaat
1.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
a. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas
kesehatan, pembuat kebijakan mengenai gambaran distribusi
spatialtemporal kasus DBD sehingga dapat melihat daerah
endemis DBD dan juga daerah yang berpotensi terjadi KLB DBD
di wilayah Kota Tangerang Selatan.
b. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas
kesehatan,
pembuat
kebijakan
mengenai
prediksi
trend
perkembangan wabah DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan.
12
c. Hasil penelitian dapat membantu bagi pengambil keputusan
dalam intervensi penyakit DBD pada daerah rawan DBD yang
telah diprioritaskan berdasarkan hasil distribusi spatialtemporal di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015, baik berupa advokasi,
penyuluhan kesehatan lingkungan, fogging fokus, peningkatan
kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), penggalakkan
kegiatan PSN 3M Plus maupun lainnya.
2.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota
Tangerang Selatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah
wawasan kepada BMKG Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian
penyakit DBD berkaitan dengan faktor iklim di Kota Tangerang Selatan.
3.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah
wawasan kepada BPS Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian
penyakit DBD berkaitan dengan faktor kependudukan di Kota
Tangerang Selatan.
4.
Masyarakat Kota Tangerang Selatan
Hasil penelitian dapat memberikan infromasi dan menambah
wawasan kepada masyarakat mengenai kejadian penyakit DBD dan
pencegahan penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan.
5.
Peneliti Lain
Sebagai bahan referensi dan informasi untuk penelitian selanjutnya
mengenai kejadian demam berdarah menurut ruang dan waktu sehingga
13
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu
kesehatan.
F. Ruang Lingkup Peneliti
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan
desain studi ekologi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan spasial dan tools sistem informasi geografis (SIG) bertujuan
untuk mengetahui spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
berdasarkan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat. Selain
itu, peneltian ini juga bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan
kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan
angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dengan uji statistik
korelasi.
Cara pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder, yaitu berasal
dari beberapa instansi yang terkait di Kota Tangerang Selatan. Kemudian,
data tersebut dianalisis univariat, bivariat dan spasial. Analisis univariat
bertujuan untuk mengetahui karakteristik variabel berdasarkan orang, tempat
dan waktu (OTW). Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui keeratan
hubungan kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan
dan kecepatan angin. Sedangakan, analisis spasial bertujuan untuk
mengetahui
gambaran,
distribusi
atau
pola
kasus
DBD
setelah
diinterpolasikan dengan faktor kepadatan vektor (ABJ), rumah sehat dan
faktor kepadatan penduduk. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015
sampai Februari 2016.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
1.
Definisi DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
yang infektif oleh virus Dengue. Penyakit DBD yang ditularkan oleh
Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang dapat ditemukan di seluruh
dunia. Nyamuk yang sudah terinfeksi virus Dengue akan menjadi
infektif selama hidupnya (CDC, 2015).
2.
Etiologi DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
yang disebabkan oleh virus Dengue. Terdapat empat jenis serotype
virus Dengue yang dikenal yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Semua jenis serotype virus Dengue ini ditemukan di Indonesia dan
menunjukkan bahwa DEN-3 merupakan virus Dengue yang paling luas
distribusinya terhadap DBD berat disusul DEN-1, DEN-2 dan DEN-4
(Kemenkes RI, 2013).
Penyakit DBD disebabkan oleh salah satu dari empat serotype virus
dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae (WHO, 2015). Seseorang
yang telah terinfeksi dengan salah satu serotype virus Dengue akan
menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotype virus yang
bersangkutan. Setiap serotype cukup berbeda sehingga tidak ada
14
15
proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotype
(hiperendemisitas) dapat terjadi (Gama & Betty, 2010; Kemenkes RI,
2013).
3.
Gejala DBD
Umumnya DBD ditandai demam 2-7 hari disertai dengan
manisfestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia),
adanya homokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan
hematokrit, asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Akan tetapi, dapat
juga disertai gejala yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot dan
tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata (Kemenkes RI, 2013).
Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan
positif DBD apabila ditandai beberapa gejala antara lain (1) demam
atau adanya riwayat demam pada saat sekarang, (2) trombositopeni;
hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cu mm (Standar
Internasional sama atau kurang dari 100 x 109/L), (3) manifestasi
perdarahan seperti tes torniquet positif, petechiae atau fenomena
perdarahan
yang
jelas
dan
(4)
berkurangnya
plasma
karena
meingkatnya permeabilitas vaskuler. Selain itu juga adanya kenaikan
hematokrit sebesar 20 % dibandingkan dengan nilai normal atau
ditemukannya efusi pleural atau efusi abdomen dengan pemeriksaan
ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X (Chin, 2012).
Menurut WHO derajat beratnya Demam Berdarah Dengue (DBD)
dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu (Soedarto, 1990):
16
a. Derajat I: ringan, bila demam mendadak 2-7 hari disertai
gejalaklinik lain dan manifestasi perdarahan paling ringan yaitu
tes torniquet yang positif.
b. Derajat II: sedang, dengan gejala lebih berat daripada derajat
I,disertai manifestasi perdarahan kulit, epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis atau melena.
c. Derajat III: berat, terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang
ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung
dingin.
d. Derajat IV: berat sekali, penderita syok berat, tensi tidak terukur
dan nadi tidak dapat diraba.
4.
Vektor DBD
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah
perkotaan (daerah urban), sedangkan di daerah pedesaan (daerah rural)
yang berperan dalam penularan adalah nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus (Soedarto, 1990). Nyamuk yang paling sering
menimbulkan terjadinya penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti
dibandingkan nyamuk Aedes albopictus (Ditjen P2M & PL, 2007).
a. Ciri-ciri nyamuk vektor DBD
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini
mempunyai dasar hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih
pada bagian kepala, torak, abdomen dan kaki. Nyamuk Aedes
17
aegypti dengan Aedes albopictus dapat dibedakan yaitu pada
bagian torak keduanya. Torak pada nyamuk Aedes aegypti
terdapat warna putih dan berbentuk bulat, sedangkan torak pada
nyamuk Aedes albopictus berbentuk garis lurus (Kemenkes RI,
2013).
Gambar 2.1
Vektor nyamuk Aedes aegypti
Sumber: Kemenkes RI, 2013
Nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga
untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina mengisap
darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada
binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang
hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00)
sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti
mempunyai
kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat
infektif sebagai penular penyakit (Gama & Betty, 2010).
18
b. Tempat berkembangbiak nyamuk vektor DBD
Tempat perindukan yang disenangi nyamuk Aedes aegypti
adalah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar
atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Nyamuk ini tidak
dapat berkembangbiak di selokan atau got atau kolam yang
berhubunagn langsung dengan tanah (Nisa, 2007). Di Indonesia,
nyamuk Aedes aegypti tersebar luas, baik di kota maupun di desa
kecuali di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di
atas permukaan laut (Suroso dan Umar, 2004). Tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan menjadi (Kemenkes
RI, 2013):
1) Tempat penampuangan air (TPA) untuk keperluan seharihari, seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi
atau WC dan ember.
2) Tempat penampuangan air (TPA) bukan untuk keperluan
sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas bunga,
kulkas atau dispenser, barang-barang bekas (contoh, botol,
plastik, ban, kaleng, dll).
3) Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon,
tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan
lain-lain.
19
c. Siklus hidup nyamuk vektor DBD
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari 4 bentuk,
yaitu telur – jentik (larva) – pupa – nyamuk dewasa. Stadium telur
hingga sampai menjadi pupa berlangsung di dalam air. Umumnya
telur menetas menjadi jentik (larva) dalam waktu ±2 hari setelah
telur tersebut terendam air. Stadium jentik (larva) biasanya
berlangsung selama 6-8 hari dan stadium kepompong (pupa)
berlangsung antara 2-8 hari. Pertumbuhan telur hingga sampai
menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 9-10 hari. umur
nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Kemenkes RI, 2013).
Gambar 2.2
Siklus Hidup Nyamuk Aedes agypti
Sumber: Kemenkes RI, 2013
5.
Mekanisme Penularan DBD
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk yang infektif
terhadap virus Dengue. Berdasarkan konsep ekologi mengacu teori
simpul Achmadi (2014), mekanisme penularan DBD dimulai dari
20
sumber agen penyakit (simpul 1) yaitu nyamuk Aedes aegypti
menggigit orang yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya.
Kemudian, vektor penular (simpul 2) yaitu nyamuk Aedes aegypti
infektif virus Dengue yang dapat menularkan virusnya ke tubuh orang
yang sehat. Virus Dengue masuk bersama darah yang dihisapnya
(Suroso dan Umar, 2004). Nyamuk akan menjadi infektif 8-12 hari
sesudah menghisap darah penderita dan tetap infektif selama hidupnya
dan potensial menularkan virus Dengue kepada manusia lain (Ginanjar,
2004). Virus yang telah dihisap akan masuk ke dalam tubuh nyamuk
dan berkembangbiak dengan cara membelah diri dan menyebar di
seluruh bagian tubuh nyamuk, sebagian besar berada dalam kelenjar liur
nyamuk. Dalam waktu 1 minggu, jumlah virus dapat mencapai puluhan
sampai ratusan ribu dan siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada
orang lain. Sebelum menghisap darah host (pejamu) baru, air liur dari
kelenjar nyamuk dikeluarkan setelah alat tusuk nyamuk (probobis)
menemukan kapiler agar darah yang dihisap tidak membeku. Pada saat
itulah, virus Dengue ditularkan atau dipindahkan ke orang lain bersama
air liur nyamuk tersebut (Suroso dan Umar, 2004).
Orang yang telah digigit oleh nyamuk Aedes aegypti pembawa
virus Dengue tidak akan selalu menderita DBD melainkan terdapat
karakteristik seseorang yang dapat menjadi risiko menderita DBD
seperti usia, jenis kelamin, kekebalan tubuh (simpul 3). Orang dengan
kekebalan tubuh yang kuat terhadap virus Dengue, maka tidak akan
21
menderita DBD meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut.
Akan tetapi, apabila orang dengan kekebalan tubuh yang lemah
terhadap virus Dengue, maka akan muncul gejala DBD seperti demam
ringan bahkan demam berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan,
syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya (Simpul
4).
Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan
perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif
virus Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Adapun
kondisi lingkungan tersebut antara lain lingkungan fisik, lingkungan
biologi dan lingkungan non-fisik (Achmadi, 2014; Suroso dan Umar,
2004).
B. Epidemiologi Deskriptif
1. Orang
Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel orang dapat digunakan
untuk mengetahui karakteristik populasi yang berisiko. Adapun variabel
orang seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan
sebagainya (Asmara, 2009). Dalam hal kejadian DBD, penyakit DBD
dapat menyerang semua golongan umur, sebagian besar menyerang usia
anak sekolah. Akan tetapi, dalam dekade terakhir ini penyakit DBD
pada orang dewasa juga meningkat. Aktivitas individu pada semua
22
umur mengakibatkan peluang terinfeksinya virus Dengue melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti berbeda (Hairani, 2009).
Selain itu, kerentanan tubuh terhadap virus Dengue tidak dapat
dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Tidak semua orang yang
telah digigit nyamuk yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya
akan jatuh sakit DBD. Hal ini bergantung dari sistem kekebalan tubuh
yang dimiliki oleh orang tersebut (Hairani, 2009).
2. Tempat
Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel tempat dapat digunakan
untuk mengetahui distribusi geografis dari suatu penyakit sehingga
dapat
dilakukan
perencanaan
pelayanan
kesehatan
dan
dapat
mengetahui faktor penyebab dari suatu penyakit. Adapun variabel
tempat yang biasa digunakan adalah kelurahan, kecamatan, kabupaten
kotamadya, propinsi, perkotaan dan pedesaan (Asmara, 2009).
Berdasarkan hasil studi epidemiologi, outbreak DBD umumnya
terjadi pada daerah yang kondisinya optimal untuk transmisi virus
Dengue, yaitu daerah tropis dan subtropis dengan iklim dan temperatur
yang optimal bagi habitat nyamuk Aedes aegypty. Di daerah tersebut
juga ditemukan endemik berbagai tipe virus Dengue dalam waktu yang
bersamaan (Djunaedi, 2006).
3. Time (waktu)
Variabel waktu dilihat berdasarkan panjangnya waktu terjadinya
perubahan pada suatu penyakit dan dibedakan menjadi fluktuasi jangka
23
pendek atau epidemi (jam, hari, minggu, dan bulan), perubahan secara
siklus dimana terjadi perubahan angka kesakitan yang berulang-ulang
(beberapa hari, beberapa bulan/musiman, tahunan, beberapa tahun) dan
fluktuasi jangka panjang atau disebut juga secular trends (bertahuntahun, puluhan tahun) (Asmara, 2009).
Epidemi demam berdarah Dengue (DBD) di negara-negara yang
memiliki 4 musim berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan
kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Sedangkan, di negaranegara kawasan Asia Tenggara epidemi DBD terjadi
pada musim
hujan. Penyebaran penyakit DBD di Indonesia saat ini tidak mengenal
waktu, tiap bulan ditemukan adanya laporan kasus DBD meskipun
jumlah kasusnya tidak sebanyak kasus pada bulan di musim hujan.
Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan ini berkaitan erat
dengan kelembaban yang tinggi. Kelembaban yang tinggi tersebut
merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat
mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas
vektor dalam menularkan virus Dengue (Djunaedi, 2006).
C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menurut teori Gordon dan La Richt (1950) dalam segitiga epidemiologi
menyebutkan bahwa muncul atau tidaknya penyakit pada manusia
dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu host, agent dan environment.
Gordon berpendapat bahwa (Rajab, 2009):
24
1.
Penyakit muncul karena ketidakseimbangan antara agent (penyebab)
dan host (manusia)
2.
Keadaan keseimbangan bergantung pada sifat alami dan karakteristik
agent dan host (individu/kelompok)
3.
Karakteristik agent dan hostakan mengadakan interaksi. Dalam
interaksi tersebut akan berhubunan langsung pada keadaan alami dari
lingkungan (lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis)
Keseimbangan ketiga faktor berhubungan dengan teori ekosistem
(Vanleeuwen, 1999). Berikut ini penjelasan terkait host, agent dan
environment dari Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD):
1.
Host (Pejamu)
Faktor host adalah suatu kondisi yang mempengaruhi risiko
keterpajanan dan kerentanan seseorang terhadap penyakit. Adapun
kondisi tersebut antara lain faktor-faktor intrinsik seperti umur, jenis
kelamin, komposisi genetik dan ras. Faktor umur adalah salah satu
faktor host yang paling penting karena dapat mempengaruhi suatu
risiko keterpajanan dan status imunologik (Arias, 2009).
a. Umur
Biasanya umur anak-anak lebih rentan untuk terkena DBD,
salah satunya disebabkan oleh faktor imunitas (kekebalan) yang
relatif lebih rendah dibandingkan orang dewasa (Ginanjar, 2008).
World Health Organization (WHO) (2009) juga mengatakan
bahwa kelompok umur <12 tahun memiliki daya tahan tubuh
yang rendah dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua.
25
Aktivitas pada kelompok umur tersebut juga lebih sering bermain
atau sekolah dimana selama beberapa jam atau hampir seharian
berada di dalam kondisi dan waktu yang meingkatkan risiko
untuk terkena gigitan nyamuk penular DBD.
Faktor pola curah hujan yang tidak menentu dan aktivitas usia
produktif di lingkungan luar juga dapat menyebabkan orang
dewasa ikut terkena DBD. Siregar (2004) mengatakan bahwa
DBD dapat menyerang semua golongan umur, tetapi dalam
dekade terakhir ini terlihat terdapat kecenderungan kenaikan
proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Semua umur dan
kelompok sosial masyarakat dapat berisiko tertular virus Dengue
melalui gigitan nyamuk (Yatim, 2007). Penyakit DBD menyerang
pada semua kelompok umur disebabkan penularan DBD yang
terjadi tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah dan tempat
kerja (Kemenkes RI, 2010).
b. Jenis kelamin
Nyamuk pembawa virus Dengue tidak membedakan host
laki-laki atau perempuan (Yatim, 2007). Beberapa studi di
wilayah Asia Tenggara menunjukkan bahwa kasus DBD di rumah
sakit lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan (India,
Bangladesh, Singapura dan Malaysia) dan hanya sedikit studi
yang menunjukkan tidak ada perbedaan kasus DBD menurut jenis
kelamin (Bhatia, Dash & Sunyoto, 2013).
26
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syumarta, Hanif dan
Rustam (2014) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih banyak
pada laki-laki (54,8%) daripada perempuan (45,2%) dengan rasio
perbandingan masing-masing sebesar 1,21:1. Hal ini juga sama
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang
dan Ottay (2015) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih
banyak pada laki-laki (53,8%) daripada perempuan (42,34%).
Dalam penelitian tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian DBD. Sedangkan, penelitian
yang dilakukan oleh Wahyono dkk (2010) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD
(OR=1,80; 95% CI; 1,07-3,01).
c. Status gizi
Penelitian yang dilakukan oleh Hakim dan Asep (2012)
menunjukkan bahwa status gizi berhubungan secara signifikan
dengan infeksi virus Dengue (Pvalue = 0,004; OR=1,250; 95%
CI: 1,297-3,955). Orang dengan status gizi tidak normal akan
lebih mudah mendapatkan infeksi virus Dengue dan terjadi
penularan dibanding orang dengan status gizi normal.
d. Pengetahuan
Penelitian yang dilakukan oleh Hasan, Alfiah dan Nurbaya
(2013) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan orangtua dengan kejadian DBD. Hal ini sejalan
27
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumekar (2005)
menunjukkan terdapat hubungan antara pengetahuan responden
dengan keberadaan jentik (Pvalue = 0,35) sehingga secara tidak
langsung dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD.
e. Pekerjaan
Penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung, Halim dan Koto
(2011) di Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera
Barat menunjukkan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan
kejadian luar biasa (KLB) DBD (Pvalue = 0,04). Pekerjaan
seperti petani, perkebunan tebu menyebabkan seseorang mudah
tergigit nyamuk Aedes aegypti karena bekerja di lingkungan luar
rumah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Nizal MG et
al (2012) menunjukkan tidak terdapat hubungan secara signifikan
antara pekerjaan dengan DBD (Pvalue = 0,309).
f. Perilaku 3M
Penelitian yang dilakukan oleh Afriza dan Nasriati (2012)
menunjukkan terdapat hubungan antara perilaku 3M Plus
terhadap resiko kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan tahun 2012 (Pvalue
= 0,003). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hutagalung, Halim dan Koto (2011) di Kecamatan Matur
Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menunjukkan terdapat
28
hubungan antara perilaku 3M Plus dengan kejadian luar biasa
(KLB) DBD (Pvalue = 0,03).
2.
Agent
Sumber penyakit dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Achmadi,
2014):
a. Sumber penyakit alamiah, misal proses pembusukan yang terjadi
karena proses alamiah.
b. Hasil kegiatan manusia, seperti industri, knalpot kendaraan
bermotor.
Sumber
penyakit
yang
mengeluarkan
dan
mengandakan
mikroorganisme patogen adalah penderita penyakit menular, misal
mikroorganisme TBC, HIV/AIDS adalah penderita penyakit yang
bersangkutan. Sumber penyakit menular juga dapat berupa binatang
(reservoir), yaitu binatang tempat berkembangbiaknya agen penyakit,
meski binatang yang bersangkutan tidak menderita sakit, misal penyakit
Japanese Encephalitis dengan babi (reservoir). Sumber penyakit
binatang ini biasanya ditransmisikan oleh binatang lainnya, misal
nyamuk yang mengigit manusia (Achmadi, 2014).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk dalam
grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari
family flaviviridae. Virus Dengue terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN
1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 dimana masing-masing saling berkaitan
sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia (WHO,
29
2009). Virus DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui
selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4.
Virus DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan
gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal
(Yuswulandari, 2010).
3.
Environment (Lingkungan)
Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaksi antara
manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki
potensi penyakit. Perilaku penduduk, salah satu variabel kependudukan
seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, keturunan, kepadatan
penduduk, budaya dan sebagainya. Secara garis besar, kejadian
penyakit
terjadi
karena
dipengaruhi
oleh
variabel-variabel
kependudukan dan variabel-variabel lingkungan (Achmadi, 2014).
Achmadi (2008) menggambarkan suatu kejadian penyakit berbasis
lingkungan dan kependudukan ke dalam teori simpul dimana komponen
lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan
berinteraksi dengan manusia. Teori simpul ini diuraikan menjadi 5
simpul, yakni simpul 1 (sumber penyakit), simpul 2 (komponen
lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit), simpul 3
(varibel
kependudukan
seperti
umur,
jenis
kelamin,
perilaku,
pendidikan, kepadatan), simpul 4 (penduduk dalam keadaan sehat atau
sakit setelah mengalami interaksi atau terpapar dengan komponen
30
lingkungan yang mengandung agen penyakit) dan simpul 5 (variabel
lain yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut seperti
iklim, topografi) (Achmadi, 2014). Berikut penjelasaan masing-masing
simpul:
Bagan 2.1
Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) (Achmadi, 2014)
Manajemen
Penyakit
Udara
Variabel
Kependudukan
(Umur, jenis
kelamin, dsb)
Air
Sumber
Agen
Penyakit
Pangan
Sakit
Sehat
Vekor Penular
Manusia
Agen Penyakit
5
Simpul
Variabel lain
topografi, dll
1
2
seperti
iklim,
3
4
a. Simpul 1: Sumber Penyakit
Agen penyakit dalam simpul 1 adalah komponen lingkungan
yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan melalui media
perantara. Dalam hal kejadian DBD, virus Dengue (Arthrophod
borne virus) merupakan agent penyakit DBD. Virus ini berukuran
31
kecil (50nm) dan memiliki RNA tunggal. Genome (rangkaian
kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000
pasangan basa dan tiga gen protein struktural (Kemenkes RI,
2013).
Terdapat 4 serotipe virus antara lain DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4. Dari keempat virus tersebut, DEN-3 sangat berkaitan
dengan kasus DBD berat di Indonesia. Host (manusia) yang telah
terinfeksi oleh salah satu virus dari keempat virus tersebut akan
menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus
yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2013).
b. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit
Media transmisi penyakit dalam simpul ke-2 adalah
komponen lingkungan yang terdiri atas 5 komponen antara lain
udara ambient, air baik dikonsumsi maupun keperluan lainnya,
tanah/ pangan, binatang/ serangga penular/ vektor dan manusia
melalui kontak langsung. Apabila agen penyakit tidak terdapat di
dalam media transmisi, maka tidak berpotensi penyakit. Binatang
atau vektor penular dikatakan memiliki potensi dan menjadi
media transmisi jika di dalamnya terdapat virus (Achmadi, 2014)
Dalam hal kejadian penyakit DBD, penyakit ini ditularkan
melalui nyamuk. Di Indonesia teridentifikasi bahwa terdapat 3
nyamuk yang dapat menularkan virus Dengue yaitu nyamuk
Aedes albopictus, Aedes aegypti dan Aedes scutellaris (Kemenkes
32
RI, 2013). Nyamuk yang paling sering menimbulkan terjadinya
penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang berwarna
hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih pada bagian kepala,
torak, abdomen dan kaki (Ditjen P2M & PL, 2007; Kemenkes RI,
2013).
c. Simpul 3: Perilaku Pemajanan (Behavioral Exposure)
Menurut Achmadi (1987) hubungan interaktif antara
komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya
dalam konsep disebut perilaku pemajanan atau behavioral
exposure (Achmadi, 2014). Dalam kejadian DBD, beberapa hasil
penelitian menyimpulkan bahwa perilaku 3M Plus berhubungan
dengan kejadian DBD (Afriza dan Nasriati, 2012; Hutagalung,
Halim dan Koto, 2011). Selain dari faktor perilaku, faktor dari
host sendiri seperti umur, jenis kelamin, status gizi, pengetahuan,
pekerjaan juga berhubungan dengan DBD (WHO, 2009;
Wahyono dkk, 2010; Hakim dan Asep, 2012; Hasan, Alfiah dan
Nurbaya, 2013; Hutagalung, Halim dan Koto, 2011).
d. Simpul 4: Kejadian Penyakit
Penyakit pada penduduk merupakan hasil hubungan interaktif
antara lingkungan dengan penduduk. Dalam piramida ditsribusi
kejadian penyakit terdapat tiga gradasi penderita penyakit yaitu
akut, subklinik, dan penderita penyakit kategori samar atau subtle.
33
Akan tetapi, dalam kejadian penyakit DBD ini outcome nya
adalah angka Incidence Rate (IR) DBD.
e. Simpul 5: Variabel Supra Sistem
Simpul ke-5 ini adalah variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi keempat simpul seperti variabel iklim, topografi,
temporal dan suprasystem (Achmadi, 2014).
1) Suhu udara
Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, suhu memiliki
hubungan erat dengan siklus perkembangan nyamuk dan
berpengaruh langsung terhadap perkembangan parasit di
dalam tubuh vektor nyamuk. Rata-rata suhu optimum untuk
perkembangbiakan vektor berkisar antara 25°C-27°C dan
memerlukan rata-rata selama 12 hari. Pada suhu di atas
suhu optimum (32°C-35°C) siklus hidup untuk vektor
nyamuk Aedes menjadi lebih pendek dengan rata-rata
selama 7 hari, potensi frekuensi feeding lebih sering, ukuran
tubuh nyamuk menjadi lebih kecil dari ukuran normal
sehingga nyamuk bergerak lebih agresif. Perubahan tersebut
dapat menimbulkan risiko penularan menjadi 3 kali lipat
lebih tinggi (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI
Jakarta menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan
DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
34
Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat
hubungan antara suhu dengan DBD. Dalam penelitian
tersebut mengatakan bahwa variasi suhu dapat berdampak
pada kegiatan reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk
Aedes aegypti. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh
Dini, Fitriany dan Wulandari (2010) di Kabupaten Serang
tahun 2007-2008 menunjukkan tidak ada hubungan antara
suhu udara dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,321; r =
0,212).
2) Kelembaban udara
Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, kelembaban juga
dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Kelembaban
berada dibawah 60 % umur nyamuk pendek sehingga
potensi sebagai vektor semakin menurun (Kemenkes RI,
2012). Penelitian yang dilakukan oleh Dini, Ftriany dan
Wulandari (2010) di Kabupaten Serang tahun 2007-2008
menunjukkan tidak ada hubungan antara kelembaban
dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,941; r = -0,016). Akan
teteapi, penelitian yang dilakukan oleh Costa et al (2010) di
Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban
dengan DBD. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa
variasi kelembaban dapat berdampak pada kegiatan
reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti.
35
3) Curah hujan
Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, curah hujan
dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Curah hujan
tinggi dan terus menerus dapat mengakibatkan lingkungan
menjadi banjir yang menyebabkan breeding places hanyut.
Hal ini dapat membantu mengurangi populasi nyamuk.
Akan tetapi, curah hujan yang sedang dalam waktu panjang
akan menambah breeding places sehingga berisiko terhadap
meningkatnya populasi vektor nyamuk (Kemenkes RI,
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI
Jakarta menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna
antara curah hujan dengan DBD. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Mu-Jean Chen et al
(2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan
penyakit Dengue (Pt-test = 0,0212; CI 1,53-2,52).
4) Kecepatan angin
Kecepatan angin adalah rata-rata laju pergerakan angin
yang merupakan gerakan horizontal udara terhadap
permukaan bumi suatu waktu yang diperolehdari hasil
pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan dan
memiliki satuan knot. Satuan yang biasa digunakan dalam
36
menentukan kecepatan angin adalah km/jam atau knot (1
knot = 0,5148m/det = 1,854 km/jam) (Neiburger, 1995
dalam Ernyasih, 2012).
Kecepatan
angin
secara
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi suhu udara dan kelembaban. Sedangkan,
secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan terbang
vektor nyamuk. Menurut Brown (1983) nyamuk Aedes
aegypti mempunyai jarak terbang sejauh 50-100 mil atau
81-161 km (Fitriyani, 2007). Kecepatan angin 11-14
m/detik dapat menghambat aktivitas terbang nyamuk
sehingga menyebabkan penyebaran vektor juga terbatas
(Vanleeuwen, 1999).
Menurut teori yang dikemukakan oleh Poorwo dalam
Purba (2006) angin sangat mempengaruhi arah terbang
nyamuk dan nyamuk melakukan perkawinan di udara.
Andriani dalam Dini (2010) menyatakan bahwa semakin
tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk
terbang. Sebab, tubuh nyamuk yang kecil mengakibatkan
mudah terbawa angin. Oleh karena itu, nyamuk sulit untuk
berpindah-pindah tempat dengan jarak yang jauh, sehingga
kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil.
Penelitian oleh Dini (2010) menyatakan tidak ada hubungan
bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD.
37
5) Kepadatan Vektor
Semakin
tinggi
angka
kepadatan
vektor
akan
meningkatkan risiko penularan penyakit DBD (WHO, 2000
dalam Fathi, Keman dan Wahyuni, 2005). Penelitian yang
dilakukan oleh Devriany (2012) di Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2011 menunjukkan ada hubungan antara
angka bebas jentik (ABJ) dengan tingkat endemisitas DBD.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nalole (2010) secara spasial di Gorontalo bahwa terdapat
hubungan antara ABJ dengan tingkat endemisitas DBD.
6) Rumah Sehat
Rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan
beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang
menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan
sosial sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja
secara
produktif.
Menurut
American
Public
Health
Association (APHA) rumah dikatakan sehat, salah satunya
adalah
apabila
dapat
melindungi
penghuninya
dari
penularan penyakit menular dengan memiliki penyediaan
air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran
pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat
kesehatan.
38
Dalam
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan kesehatan
rumah tinggal sebagai berikut:
a) Bahan bangunan
(1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan
bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara
lain: debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos
kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb)
kurang dari 300 mg/kg bahan.
(2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi
tumbuh
dan
berkembangnya
mikroorganisme
patogen.
b) Komponen dan penataan ruangan
(1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
(2) Dinding rumah memiliki ventilasi, sedangkan
kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah
dibersihkan
(3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan
(4) Ruang
ditata
sesuai
dengan
fungsi
dan
peruntukannya
c) Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun
tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan
39
dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak
menyilaukan mata.
d) Kualitas udara
(1) Suhu udara nyaman antara 18 – 30ºC
(2) Kelembaban udara 40 – 70%
e) Ventilasi
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal
10% luas lantai.
f)
Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang
di dalam rumah.
g) Penyediaan air
Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas
minimal 60 liter/ orang/hari.
h) Pembuangan Limbah
(1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak
mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau,
dan tidak mencemari permukaan tanah.
(2) Limbah padat harus dikelola dengan baik agar
tidak
menimbulkan
bau,
permukaan tanah dan air tanah.
tidak
mencemari
40
i)
Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8m2 dan dianjurkan tidak
untuk lebih dari 2 orang tidur.
Dalam penelitian Farahiyah dan Setiani (2014) di
Kabupaten Demak menunjukkan terdapat hubungan antara
kepadatan hunian rumah dengan IR DBD. Penelitian
Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta,
Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan
menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian
DBD yang tinggi di negara tersebut. Penelitian oleh
Wahyono (2010) menyatakan bahwa kondisi lingkungan
rumah pada kelompok penderita DBD adalah lebih dari
20% dengan pencahayaan di dalam rumah dan ventilasi
yang cukup atau kurang, lebih dari 5% rumah terdapat
jentik pada kontainer di dalam rumah dan lebih 20% dengan
atap rumah asbes.
7) Kepadatan Penduduk
Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi
memberikan peluang besar nyamuk Aedes aegypti yang
terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya dalam penularan
DBD (Kemenkes RI, 2012). Semakin padat suatu wilayah,
maka potensi penularan penyakit semakin besar (Faldy,
Kaunang & Pandelaki, 2015). Jumlah penderita dan luas
41
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan
kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Arsunan dkk (2013) di
Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan terdapat hubungan
antara kepadatan penduduk dengan DBD. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014)
di
Kecamatan
Karangmalang
Kabupaten
Sragen
menunjukkan secara spasial terdapat hubungan antara
kepadatan penduduk dengan DBD. Dalam penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kasus DBD di desa/ kelurahan
tinggi
dengan
kepadatan
penduduk
yang
tinggi
dibandingkan wilayah lain. Akan tetapi, terdapat penelitian
yang menunjukkan sebaliknya. Penelitian yang dilakukan
oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay (2015) di Minahasa
Selatan menunjukkan tidak ada hubungan antara kepadatan
penduduk dengan DBD.
D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System
(GIS)
1.
Definisi SIG
Sistem informasi geografis merupakan sistem informasi berbasis
komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau
informasi geografis (Aronoff, 1989 dalam Marjuki, 2014). Secara
umum, sistem informasi geografis adalah suatu komponen yang terdiri
dari perangkat keras, perangkat lunak, sumber daya manusia dan data
42
yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan,
memperbaiki,
memperbaharui,
mengelola,
memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu
informasi berbasis geografis (Marjuki, 2014).
Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem yang dapat
mendukung
dalam
pengambilan
keputusan
dan
mampu
mengintegrasikan deksripsi lokasi dengan karakteristik fenomena yang
ditemukan di suatu lokasi. Adapun input SIG dapat berasal dari data
hasil survei lapangan, data klimatologi, data demografi, data sosial
ekonomi (Charter & Agtrisari, 2004 dalam Farahiyah dkk, 2014).
2.
Kegunaan SIG
Keunggulan utama dari SIG yaitu dapat melihat, memahami,
menginterpretasikan, menampilkan data spasial dalam banyak cara yang
memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial dalam bentuk
peta, globe, laporan dan grafik. Penggunaan SIG dapat membantu
dalam
pemecahan
masalah
dengan
cara
menampilkan
data
menggunakan cara yang mudah dipahami dan hasilnya mudah
disebarluaskan (Marjuki, 2014).
Dalam bidang kesehatan, aplikasi SIG berupa data spasial yaitu
data yang menunjukkan gambaran nyata suatu wilayah yang terdapat di
permukaan bumi dan data atribut (non-spasial) yaitu data berbentuk
tabel yang berisi informasi deskripstif seperti kependudukan (Suseno &
Agus, 2012; BAPPEDA Provinsi NTB, 2012). Kedua data tersebut
43
dapat menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita
suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unitunit pelayanan kesehatan (misal, jumlah tenaga medis (Prahasta, 2005).
Secara garis besar kegunaan SIG yaitu kemampuan pengukuran
(measurement), pemetaan (mapping), pemantauan (monitoring) dan
pemodelan (modeling) (Marjuki, 2014).
E. Analisis Spasial
1.
Definisi Analisis Spasial
Analisis spasial dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang
digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif
keruangan (Kemenristek, 2013). Analisis spasial adalah bagian
manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data penyakit
secara geografi yang berkenaan dengan kependudukan, persebaran,
lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus penyakit dan hubungan
antar variabel tersebut (Achmadi, 2005). Menurut Bailey (2001), data
yang dapat digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi empat,
sebagai berikut:
a. Data agregat, data yang dikumpulkan dari hasil sensus atau
administrasi seperti status ekonomi, sosial, jumlah kasus dan lainlain.
b. Data kasus, data yang dikumpulkan menurut lokasi orang yang
sakit, faktor risiko lingkungan dan lain-lain.
44
c. Data geostatistik, data yang dikumpulkan secara langsung dengan
sampel di lokasi pengambilan data.
d. Data yang diukur terus menerus seperti iklim, curah hujan dan
lain-lain.
Menurut Lawson (2006), epidemiologi spasial merupakan salah
satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi
geografis atau keruangan kejadian penyakit. Kata “spasial” mengartikan
sesuatu yang dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi,
sedangkan data spasial merupakan data yang menunjuk posisi dari
obyek di muka bumi (Ruswanto, 2010). Data spasial adalah data yang
bereferensi geografis atas representasi obyek di bumi. Data spasial
dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu antara lain ekonomi,
sosial, kesehatan, meteorologi, klimatologi serta alam dan lingkungan.
Data spasial adalah data yang memuat informasi “lokasi”, tidak hanya
“apa” yang diukur tetapi juga menunjukkan lokasi dimana data itu
berada (Banerjee, 2004 dalam Faiz, 2013). Analisis data spasial dapat
fokus pada hubungan antara variabel atribut atau pada dimensi ruang
dan ruang-waktu atau kombinasi dari atribut dan ruang atau ruangwaktu (Chakkaravarthy, Vincent & Ambrose, 2011).
Analisis spasial adalah pendekatan analisis dengan melihat kasus
penyakit berdasarkan ruang dan waktu (Ruswanto, 2010). Sebagian
besar pendekatan analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan
dalam bentuk peta tematik. Peta tematik juga disebut peta statistik atau
45
peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada
tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Peta-peta tematik
menekankan pada variasi penggunaan ruangan dari distribusi geografis,
baik berupa fenomena fisika seperti iklim, kepadatan penduduk atau
permasalahan kesehatan. Dengan demikian, semua data dan informasi
yang ada di peta merupakan representasi dari obyek di muka bumi
(Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, 2013).
Sistem informasi geografis dapat berfungsi memetakan distribusi
spasial berbagai penyakit dan variasinya atas ruang dan waktu. Analisis
spasial dengan metode sistem informasi geografis memiliki berbagai
kemampuan antara lain (Prahasta, 2005):
a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi
b. Mengintegrasikan data geografi
c. Memeriksa, mengedit data geografi
d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi
e. Mempresentasikan atau menampilkan data geografi
f. Mengelola data geografi
g. Memanipulasi data geografi
h. Menganalisa data geografi
i. Menghasilkan output data geografi dalam bentuk: peta tematik
(view dan layout), tabel, grafik (chart) laporan, dan lain-lain
46
2.
Manfaat Analisis Spasial
Manfaat analisis spasial tergantung dari fungsi yang dilakukan
(Kemenristek, 2013). Penggunaan analisis spasial dalam penelitian
kesehatan menurut Rosli et al. (2010) dapat digunakan untuk
mendeteksi dan mengukur pola kejadian penyakit yang dapat
memberikan wawasan epidemiologi penyakit (Puspitasari, 2011). Selain
itu, analisis spasial dapat dimanfaatkan sebagai early warning system
atau sistem kespadaan dini (SKD) dengan memperhitungkan faktorfaktor lingkungan yang sangat berperan dalam pengamatan penyakit
berbasis vektor (Indriani, Fuad & Kusnanto, 2011).
3.
Teknik Analisis Overlay
Teknik overlay merupakan salah satu jenis analisis spasial yang
memiliki fungsi dan penggunaan yang berbeda dibandingkan jenis
analisis spasial lainnya. Teknik overlay merupakan bagian terpenting
dari analisis spasial. Teknik overlay, yaitu menggabungkan beberapa
unsur spasial menjadi unsur spasial yang baru. Dengan kata lain, teknik
overlay didefinisikan sebagai operasi spasial yang menggabungkan
layer geografik yang berbeda untuk mendapatkan informasi baru
(Kemenristek, 2013).
F. Kerangka Teori
1.
Simpul 1: Sumber Penyakit
Penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
Dengue yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
47
Dalam kejadian penyakit DBD, penderita DBD dimana hasil
laboratorium mengatakan positif terdapat virus Dengue di dalam
tubuhnya merupakan sumber penyakit.
2.
Simpul 2: Media transmisi
Penyakit DBD tidak dapat menular melalui air, tanah atau pangan,
udara ataupun kontak langsung dengan orang lain. Penyakit DBD hanya
dapat ditularkan melalui vektor nyamuk yang di dalamnya terdapat
virus Dengue yaitu Aedes aegypti. Demam berdarah Dengue tidak dapat
menular apabila hanya digigit oleh nyamuk Aedes aegypti dan tidak
terdapat virus Dengue. Penyakit DBD dapat tertular melalui proses dari
nyamuk Aedes aegypti menghisap darah penderita DBD yang terdapat
virus Dengue di dalam tubuhnya, kemudian memindahkannya ke orang
lain (orang sehat) saat menggigit orang tersebut.
3.
Simpul 3: Perilaku pemajanan
Berdasarkan usia, semua usia dapat terkena penyakit DBD
meskipun sebagian banyak terjadi pada usia anak. Status gizi atau
imunitas seseorang dapat menentukan apakah akan mudah sakit atau
dapat bertahan terhadap virus Dengue yang telah masuk di dalam
tubuhnya. Perilaku 3M Plus yang merupakan faktor perilaku berisiko
terhadap DBD telah dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa terdapat
hubungan dengan kejadian DBD.
4.
Simpul 4: Kejadian penyakit
Nyamuk Aedes menghisap darah dari penderita DBD yang positif
terdapat virus Dengue akan menjadi nyamuk infektif. Kemudian,
48
nyamuk tersebut mengigit orang lain dan memindahkan virus Dengue
ke dalam tubuhnya. Apabila orang tersebut dengan status gizi atau
imunitas yang tidak baik, maka gejala khas akan muncul. Gejala khas
DBD yang muncul dan diperkuat hasil laboratorium hingga sampai
dirawat di rumah sakit atau di rumah, maka penderita ini termasuk
dalam segmen pertama (akut). Apabila penderita menunjukkan gejala
tidak jelas, khas dan spesifik DBD tetapi diperkuat hasil laboratorium
maka orang tersebut dapat dikatakan positif terkena DBD dan hal ini
termasuk dalam segmen kedua (subklinik). Penderita dengan gejala
tidak jelas, baik secara laboratoris maupun klinis tetapi dalam sewaktuwaktu dapat menimbulkan KLB DBD maka hal ini termasuk dalam
segmen terakhir (samar). Secara garis besar, dalam kejadian DBD
outcomenya adalah angka incidence rate (IR) DBD.
5.
Simpul 5: Variabel Supra Sistem
Perkembangbiakan nyamuk dapat dipengaruhi oleh iklim seperti
suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin. Suhu
lingkungan dan kelembaban dapat memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangbiakan nyamuk terutama saat musim kemarau
seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur
nyamuk dan lain-lain. Curah hujan yang sedang dalam jangka waktu
panjang dapat menimbulkan banyaknya breeding place dan tingkat ABJ
yang rendah (dalam arti banyaknya jentik yang ditemukan) hingga
keduanya dapat menyebabkan banyaknya tempat perkembangbiakan
49
dan pertumbuhan jentik. Begitupula dengan rumah yang tidak sehat
dapat menimbulkan banyak tempat kotor atau gelap sehingga banyak
tempat menjadi sarang nyamuk. Kecepatan angin mempengaruhi
pergerakan nyamuk dimana saat memulai mencari host baru sehingga
terjadinya penularan antara satu orang dengan yang lain. Kepadatan
penduduk memberikan kontribusi dalam penularan antara satu orang
dengan orang lain sehingga dapat memberikan dampak besar yaitu
terjadinya suatu kejadian luar biasa (KLB).
50
Bagan 2.2
Teori Simpul (Achmadi, 2014)
Manajemen
Penyakit
Variabel
Kependudukan
Sumber Agen
Penyakit
Penderita DBD
Vekor Penular
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nyamuk Aedes
aegypti
Umur
Jenis kelamin
Status gizi
Pengetahuan
Pekerjaan
Perilaku 3M
Plus
Sakit
Sehat
Agen Penyakit
DEN-1, DEN-2. DEN-3, DEN-4
5
Variabel lain
1. Lingkungan Fisik
a. Iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan,
kecepatan angin)
b. Rumah Sehat
2. Lingkungan Biologi
a. Kepadatan vektor (ABJ)
3. Lingkungan Non-fisik
a. Kepadatan Penduduk
Simpul
1
2
3
4
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, tidak semua variabel yang terdapat dalam kerangka
teori diteliti. Desain studi dalam penelitian ini adalah studi ekologi dimana
unit analisisnya adalah populasi sehingga variabel yang bersifat individu tidak
diteliti. Adapun variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah lingkungan
fisik, lingkungan non-fisik dan lingkungan biologi. Berikut penjelasan terkait
variabel yang diteliti dalam penelitian ini:
1.
Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang
dapat memberikan peluang sebagai habitat perkembangan vektor
nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat berkembang dan terus
meningkat. Adapun variabel yang diteliti, antara lain suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat.
a. Suhu udara dan kelembaban udara diteliti karena kedua variabel
ini berpengaruh terhadap umur perkembangbiakan vektor nyamuk
dan potensi sebagai vektor penularan DBD. Apabila suhu udara
dan
kelembaban
udara
mencapai
optimum
untuk
perkembangbiakan nyamuk, maka potensi sebagai vektor
penularan DBD semakin tinggi sehingga tingkat risiko penularan
DBD dapat menjadi 3 kali lipat lebih tinggi.
51
52
b. Curah hujan diteliti karena dapat mempengaruhi tingkat populasi
vektor nyamuk. Pada saat musim penghujan dimana curah hujan
yang sedang dalam jangka waktu panjang, maka hal ini dapat
memicu banyaknya breeding place sehingga vektor nyamuk terus
berkembangbiak dan meningkat. Dengan begitu, vektor nyamuk
tersebut
berpeluang
menjadi
vektor
penular
DBD
dan
menyebabkan terjadinya KLB DBD di wilayah endemis.
c. Kecepatan
angin
secara
langsung
dapat
mempengaruhi
kemampuan terbang vektor nyamuk. Kecepatan angin yang
rendah dapat mendukung vektor nyamuk untuk menular dari satu
orang dengan ke orang lain yang memiliki kekebalan tubuh
rendah dalam jarak jauh dan mendukung perkawinan di udara
sehingga dapat meningkatkan perkembangbiakan vektor nyamuk.
d. Penilaian rumah sehat dilakukan oleh sanitarian lingkungan
Puskesmas dibantu oleh kader setempat. Penilaian dilakukan
setiap 1 tahun sekali pada 20 rumah yang telah disampling oleh
petugas Puskesmas. Pada penilaian rumah juga diperiksa ada atau
tidaknya jentik dan apabila ditemukan adanya jentik, maka
penilaian rumah tersebut termasuk golongan tidak sehat. Rumah
yang tidak sehat dapat memicu timbulnya breeding places sebagai
habitat nyamuk Aedes aegypti dan memberikan potensi dalam
penularan DBD.
53
2.
Lingkungan Non-Fisik
Lingkungan non-fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor
yang memungkinkan dapat terjadi adanya kontak antara manusia
dengan vektor nyamuk Aedes aegypti. Adapun variabel yang diteliti
adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk diteliti karena faktor
ini dapat mempengaruhi peningkatan penularan dari satu orang ke
orang lain. Semakin tinggi kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka
semakin tinggi pula risiko penularan DBD.
3.
Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi dalam penelitian ini adalah makhluk hidup
yang memiliki peran dalam terjadinya penyakit DBD. Adapun variabel
yang diteliti adalah kepadatan vektor (angka bebas jentik). Angka bebas
jentik didapat dari hasil pemeriksaan jumlah rumah yang diperiksa dan
banyaknya rumah yang terdapat jentik dalam kegiatan Pemeriksaan
Jentik Berkala (PJB) setiap minggu oleh kader jumantik di setiap
wilayah kerja Puskesmas. Kemudian, kader jumantik melapor ke
Puskesmas setiap bulan.
Kebenaran hasil PJB tidak selalu valid karena yang melakukan PJB
adalah kader jumantik tanpa didampingi petugas Puskesmas. Petugas
Puskesmas melakukan pemeriksaan jentik ketika ada kasus DBD yang
dilaporkan oleh masyarakat (penyelidikan epidemiologi). Jentik yang
masih banyak ditemukan pada tempat-tempat perindukan nyamuk dan
belumnya tercapai indikator standar nasional di wilayah endemis DBD
54
dapat memberikan potensi besar jentik untuk terus berkembang
sehingga menjadi vektor penular DBD.
Variabel kejadian DBD dalam penelitian ini adalah kasus DBD di semua
Puskesmas dan rumah sakit wilayah Kota Tangerang Selatan yang terlapor
disertai bukti Keterangan Dari Rumah Sakit (KDRS) ke Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan.
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Suhu Udara
Kelembaban udara
Curah hujan
Kecepatan angin
Kejadian Demam
Berdarah Dengue
(DBD)
Rumah sehat
Kepadatan vektor (ABJ)
Kepadatan penduduk
Keterangan:
Variabel diteliti dan dianalisis spatialtemporal dengan kejadian DBD
Variabel diteliti, dianalisis korelasi dan tidak dianalisis spatialtemporal
dengan kejadian DBD
55
B. Definisi Operasional
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Kejadian
Demam Jumlah
kasus
DBD Telaah
Berdarah Dengue
berdasarkan gejala klinis dan dokumen
bukti laboratorium puskesmas
atau RS yang ditemukan
dalam kurun waktu tahun
2013-2015
Suhu Udara
Kelembaban Udara
Rata-rata suhu per bulan di
Kota Tangerang Selatan yang
tercatat
dalam
laporan
bulanan BMKG selama tahun
2013-2015
Rata-rata kelembaban per
bulan di Kota Tangerang
Selatan yang tercatat dalam
laporan bulanan BMKG
selama tahun 2013-2015
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Dummy
table, Statistik
Rasio
Dokumen
Incidence Rate per
100.000 penduduk
Ordinal
Spasial
Gradasi warna:
Tinggi = merah, jika
IR > 51 per 100.000
penduduk
Rendah = hijau, jika
IR ≤ 51 per 100.000
penduduk
Telaah
dokumen
Dummy
Dokumen
Telaah
dokumen
Dummy
Dokumen
Sumber: Kemenkes
RI, 2013
table, Statistik
Rasio
Rata-rata per bulan
dalam °C, suhu
udara optimal 25°C27°C
table, Statistik
Rasio
Rata-rata per bulan
dalam
%,
kelembaban
udara
optimal <60%
56
Curah Hujan
Kecepatan Angin
Angka Bebas Jentik
Jumlah hujan per bulan di
Kota Tangerang Selatan yang
tercatat
dalam
laporan
bulanan BMKG selama tahun
2013-2015
Rata-rata kecepatan angin per
bulan di Kota Tangerang
Selatan yang tercatat dalam
laporan bulanan BMKG
selama tahun 2013-2015
Jumlah rumah atau bangunan
yang tidak ditemukan jentik
dan
mencapai
indikator
nasional yaitu sebesar ≥ 95%
Telaah
dokumen
Dummy
Dokumen
table, Statistik
Rata-rata per bulan
dalam mm
Rasio
Telaah
dokumen
Dummy
Dokumen
table, Statistik
Rata-rata per bulan
dalam knot
Rasio
Telaah
dokumen
Dummy
Dokumen
table, Statistik
Rasio
Rata-rata dalam %
Ordinal
Spasial
Gradasi warna:
Rendah = merah,
jika ABJ < 95%
Tinggi = hijau, jika
ABJ ≥ 95%
Kepadatan Penduduk Hasil dari jumlah penduduk Telaah
total dengan luas wilayah di dokumen
Kota Tangerang Selatan
Dummy
Dokumen
Sumber: Kemenkes
RI, 2013
table, Statistik
Rasio
Rata-rata
dalam
jiwa/ha
Ordinal
Spasial
Gradasi warna:
Tinggi = merah, jika
>200 jiwa/ha
57
Sedang = kuning,
jika 150-200 jiwa/ha
Rendah = hijau, jika
<150 jiwa/ha
Rumah Sehat
Jumlah rumah atau bangunan Telaah
yang
memenuhi
syarat dokumen
kesehatan sesuai dengan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999
Dummy
Dokumen
Sumber:
Standar
Nasional Indonesia
(SNI) 03-1733-2004
table, Statistik
Rasio
Rata-rata dalam %
Ordinal
Spasial
Gradasi warna:
Rendah = merah,
jika rumah sehat <
80%
Tinggi = hijau, jika
rumah sehat ≥ 80%
Sumber: Kemenkes
RI, 2010
58
C. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
2.
Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
3.
Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
4.
Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan
desain studi ekologi, yaitu desain studi epidemiologi yang bertujuan untuk
mendeskripsikan antara penyakit DBD dan faktor risiko DBD. Dalam
penelitian ini, desain studi ekologi digunakan dengan pendekatan spasial
dan tools sistem informasi geografis (SIG). Unit observasi dan unit analisis
dalam studi ini adalah kelompok (agregat) individu, komunitas atau
populasi yang lebih besar yang dibatasi oleh secara geografik. Pada
penelitian ini, unit analisis adalah semua puskesmas di Kota Tangerang
Selatan.
Faktor-faktor risiko yang diambil adalah lingkungan fisik (suhu udara,
kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat), lingkungan
biologi (angka bebas jentik (ABJ)) dan lingkungan sosial dan ekonomi
(kepadatan penduduk). Data tersebut merupakan data agregat yang
kemudian dianalisis secara spasial untuk mengetahui distribusi, pola atau
trend kasus DBD setelah diinterpolasikan dengan faktor kepadatan
penduduk, kepadatan vektor dan rumah sehat di wilayah Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015 sehingga desain studi ekologi ini cocok dilakukan
dalam penelitian ini. Untuk faktor suhu udara, kelembaban udara, curah
hujan dan kecepatan angin dianalisis bivariat untuk mengetahui kekuatan
59
60
atau keeratan hubungannya dengan kejadian DBD di wilayah Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
B.
Lokasi , Waktu dan Populasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Tangerang Selatan dimulai pada bulan
Juni 2015 sampai bulan Februari 2016. Dalam penelitian ini tidak
menggunakan sampel melainkan populasi karena dilakukan dengan
menggunakan desain ekologi dimana data yang digunakan adalah data
agregat kasus DBD per wilayah kerja puskesmas. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua puskesmas yang ada wilayah Kota Tangerang Selatan.
C. Manajemen Data
1.
Cara Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder yang berasal dari beberapa instansi yang terkait. Data kasus
DBD, ABJ dan rumah sehat diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan. Data kepadatan penduduk diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan dalam bentuk laporan
Kecamatan Dalam Angka (KCDA). Data iklim (suhu udara,
kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin) diperoleh dari laporan
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok
Betung. Berikut ini data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan
data sekunder dalam penelitian ini:
61
Tabel 4.1
Jenis Data Penelitian
No.
1.
2.
3.
4.
5.
5.
6.
2.
Data
Kasus DBD Per Puskesmas
Sumber Data
Laporan Bulanan Seksi P2P
Dinkes Kota
Tangerang
Selatan tahun 2013-2015
Iklim
(Suhu
udara, Laporan BMKG per bulan
kelembaban, curah hujan tahun 2013-2015
dan kecepatan angin)
Angka Bebas Jentik Per Laporan
Tahunan
per
Wilayah Kerja Puskesmas
kecamatan Seksi Penyehatan
Lingkungan
Dinkes Kota
Tangerang Selatan tahun 20132015
Rumah Sehat Per Wilayah Laporan
Tahunan
per
Kerja Puskesmas
kecamatan Seksi Penyehatan
Lingkungan
Dinkes Kota
Tangerang Selatan tahun 20132015
Jumlah Penduduk
Per BPS KCDA Kota Tangerang
Wilayah Kerja Puskesmas
Selatan Tahun 2013-2015
Kepadatan Penduduk Per BPS KCDA Kota Tangerang
Wilayah Kerja Puskesmas
Selatan Tahun 2013-2015
Luas Wilayah Per Wilayah BPS KCDA Kota Tangerang
Kerja Puskesmas
Selatan Tahun 2013-2015
Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah laporan bulanan dan tahunan
yang telah dikumpulkan dari beberapa instansi yang terkait. Berikut ini
masing-masing variabel, instrument dan instansi penelitian:
a. Kasus DBD
Instrumen penelitiannya adalah laporan bulanan Seksi P2P
dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kasus DBD
adalah kasus yang dilaporkan setiap minggu ke Dinas Kesehatan
Kota oleh Puskesmas, yaitu penderita yang dinyatakan positif
disertai bukti laboratorium dari rumah sakit.
62
b. Iklim (suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan
angin)
Instrumen penelitiannya adalah laporan bulanan iklim Kota
Tangerang Selatan dari BMKG Pondok Betung.
c. Kepadatan penduduk
Instrumen penelitiannya adalah laporan Kecamatan Dalam
Angka (KCDA) tahunan Kota Tangerang Selatan dari BPS Kota
Tangerang Selatan. Dari masing-masing kecamatan di Kota
Tangerang Selatan memberikan laporan rutin tahunan ke BPS
Kota Tangerang Selatan.
d. Angka bebas jentik (ABJ)
Instrumen penelitiannya adalah laporan tahunan berdasarkan
Puskesmas Seksi Penyehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan. Kader jumantik melakukan pemeriksaan
jentik dengan jumlah 15-20 rumah/RW setiap bulan. Kemudian,
laporan hasil ABJ oleh kader jumantik dilaporkan ke Puskesmas
setiap bulan. Puskesmas melaporkan ke Dinas Kesehatan setiap
triwulan.
e. Rumah sehat
Instrumen penelitiannya adalah laporan tahunan berdasarkan
Puskesmas Seksi Penyehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan. Hasil penilaian rumah sehat dilaporkan
ke Dinas Kesehatan setiap bulan oleh pemegang program
kesehatan lingkungan dari setiap Puskesmas. Pemegang program
63
melakukan penilaian rumah sehat setiap minggu dengan sampel
sekali gerak sebanyak 20 rumah. Penilaian rumah dengan
menggunakan form rumah sehat.
3.
Pengolahan Data
Data kasus DBD yang diperoleh merupakan jumlah kasus DBD
per tahun menurut kecamatan dan wilayah kerja puskesmas di Kota
Tangerang Selatan dimulai tahun 2013 hingga tahun 2015. Kemudian
data tersebut dikonversikan menjadi data kasus DBD menurut tahun
berdasarkan kecamatan dan wilayah kerja puskesmas untuk dianalisis
selanjutnya. Data iklim yang diperoleh merupakan rata-rata hasil
pengukuran iklim dimulai tahun 2013 hingga tahun 2015, kemudian
dikonversikan ke dalam bentuk rata-rata iklim per bulan. Berikut ini
penjelasan langkah-langkah dalam pengolahan data:
a. Statistik
1) Entry data. Sebelum data di-entry, data diperiksa terlebih
dahulu apakah data yang dianalisis sudah lengkap dan dapat
masuk ke tahap selanjutnya. Kemudian, entry data
dilakukan dengan memasukkan data ke dalam aplikasi
pengolah data yang mendukung agar data tersebut mudah
dianalisis. Data yang diuji statistik dilakukan dengan
bantuan aplikasi pengolah data tabular untuk kemudian
dilakukan uji normalisasi.
64
2) Cleaning data. Data yang telah dimasukkan kemudian
dilakukan pengecekkan kembali. Hal ini bertujuan untuk
menghindari kesalahan dalam memasukkan data sehingga
tidak ada data yang ganda, tidak ada data yang hilang
(missing values) dan konsistensi. Dalam hal ini, data yang
telah di-entry dan cleaning keluar dalam bentuk tabular.
b. Spasial
Data spasial dioleh dengan menggunakan software SIG dan
menghasilkan output, yaitu peta tematik. Langkah-langkah awal
yang dilakukan untuk analisis spasial sama dengan langkah saat
ingin melakukan uji statistik. Berikut ini penjelasan langkahlangkah dalam pengolahan data:
1) Data sudah lengkap dan telah siap untuk tahap selanjutnya.
Sebelum memasuki langkah entry data, data yang
selanjutnya dilakukan analisis spasial diberi kode terlebih
dahulu berupa gradasi warna. Untuk kasus DBD, variabel
Incidence Rate DBD dikelompokkan menjadi 2 bagian,
yaitu merah untuk kategori tinggi dan hijau untuk kategori
rendah. Sebaran kasus demam berdarah yang diikuti dengan
faktor risiko diberi batasan yang berwarna biru, ungu dan
kuning pada wilayah kerja puskesmas yang memiliki angka
IR DBD tinggi. Untuk ABJ dan rumah sehat diberi garis
tebal biru untuk kategori tinggi dan garis tebal kuning
65
rendah untuk kategori rendah. Kepadatan penduduk diberi
garis tebal biru untuk kategori tinggi, garis tebal ungu untuk
kategori sedang dan garis tebal kuning untuk kategori
rendah.
2) Kemudian, entry data. Pada langkah ini, data dimasukkan
dengan bantuan aplikasi data tabular dan aplikasi data
spasial. Pada aplikasi data tabular, data dilakukan uji
normalisasi. Kemudian, membuka file “dbf” dari atribut
shapefile. Jika sudah terbuka, langkah selanjutnya mengcopy kolom variabel utama ke dalam file “.dbf” tersebut.
3) File “.dbf” dengan kolom variabel utama tersebut
dimasukkan ke dalam lembar kerja pada aplikasi data
tabular yang telah dibuat dan memindahkan kolom variabel
utama dengan tujuan untuk mencocokkan nama puskesmas
dengan menggunakan teknik dragging. Apabila sudah
selesei, langkah selanjutnya melakukan pemeriksaan apakah
terdapat kesalahan saat pemasukan data ke dalam lembar
kerja tersebut. Kemudian, save data tabular dalam bentuk
“CSV” dan data dapat diintegrasikan ke dalam data spasial.
4) Cleaning data. Data yang telah dimasukkan kemudian
dilakukan pengecekkan kembali. Hal ini bertujuan untuk
menghindari kesalahan, baik dalam pengkodean maupun
membaca kode sehingga data dapat dianalisis.
66
D. Analisis Data
1.
Analisis Univariat
Data kasus DBD yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan dianalisis secara univariat untuk mengetahui besar
masalah DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan menurut orang (usia
dan jenis kelamin), tempat dan waktu. Data kepadatan penduduk
dianalisis secara univariat untuk mengetahui distribusi kependudukan di
wilayah Kota Tangerang Selatan berdasarkan wilayah kerja Puskesmas.
Data ABJ yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
dianalisis untuk mengetahui distribusi ABJ dan dibandingan antara satu
Puskesmas dengan Puskesmas lainnya dalam kurun waktu 3 tahun
terakhir di Kota Tangerang Selatan. Data rumah sehat dianalisis secara
univariat untuk mengetahui distribusi rumah sehat dan dibandingan
antara satu Puskesmas dengan Puskesmas lainnya dalam kurun waktu 3
tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan.
Semua variabel yang dianalisis ditampilkan dalam bentuk tabel
(Mean, Min dan Max) dan grafik. Berikut ini ukuran Epidemiologi
untuk masing-masing variabel:
Tabel 4.2
Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian
No.
1.
2.
3.
Variabel
Incidence Rate DBD Per Wilayah Kerja
Puskesmas
Iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah
hujan dan kecepatan angin) Per bulan Kota
Tangerang Selatan
Angka Bebas Jentik (ABJ) Per Wilayah Kerja
Ukuran
Rate
Proporsi
Proporsi
67
4.
5.
Puskesmas
Kepadatan penduduk Per Wilayah Kerja
Puskesmas
Rumah sehat Per Wilayah Kerja Puskesmas
Proporsi
Proporsi
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan uji normalitas dan
uji statistik korelasi sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui data yang dianalisis
sudah terdistribusi normal atau tidak. Data dikatakan normal jika
memenuhi sebagai berikut ini (Hastono, 2006):
1) Nilai rasio Skewness berada diantara -2 sampai 2
2) Uji Kolomogorov Smirnov (n = > 30), Shapiro wilk (n = ≤
30) dengan p > 0,05
3) Grafik histogram berbentuk kurva normal
b. Uji Korelasi
Uji korelasi bertujuan untuk mengetahui kekuatan atau
keeratan
hubungan
antara
variabel
iklim
(suhu
udara,
kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin) dengan kasus
DBD. Hubungan dua variabel numerik dapat berpola positif yang
artinya kenaikan satu variabel diikuti kenaikan variabel lain dan
negatif yang artinya kenaikan satu variabel diikuti penurunan
variabel yang lain.
Jika data terdistribusi normal, maka selanjutnya data dilakukan
uji korelasi Pearson Moment, sedangkan jika data tidak
68
terdistribusi normal, maka data tersebut dilakukan uji non
parametrik Spearman-rho. Nilai korelasi disimbolkan dengan
koefisien korelasi (r). nilai r dan kekuatan atau keeratan hubungan
antara dua variabel dapat dibagi menjadi 4, sebagai berikut
(Colton dalam Hastono, 2006):
r = 0,00-0,25 → Tidak ada hubungan/hubungan lemah
r = 0,26-0,50 → Hubungan sedang
r = 0,51-0,75 → Hubungan kuat
r = 0,76-1,00 → Hubungan sangat kuat/sempurna
3. Analisis Spatialtemporal
Analisis spatialtemporal dilakukan dengan metode overlay, yaitu
dengan menggabungkan dua peta sehingga menghasilkan peta baru.
Peta baru atau area map tersebut dapat diketahui pola penyebaran kasus
DBD dengan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat.
Kemudian, dari peta tersebut dilihat korelasi antara variabel independen
dengan varaibel dependen dan dinarasikan untuk menunjukkan pola
hubungan spasial berdasarkan waktu dan tempat sesuai yang diinginkan
oleh peneliti.
Pada peta dalam penelitian ini diberi warna dan batas warna yang
berbeda. Variabel kejadian DBD diberi warna merah (IR DBD ≥ 51 per
100.000 penduduk) dan warna hijau (IR DBD < 51 per 100.000
penduduk). Sedangkan, pada peta baru yaitu setelah disusun tumpang
tindih (overlay) dengan variabel angka bebas jentik, rumah sehat dan
69
kepadatan penduduk, kejadian DBD diberi batas garis putus-putus
warna biru (IR DBD ≥ 51 per 100.000 penduduk) dan batas garis warna
hitam (IR DBD < 51 per 100.000 penduduk).
Variabel angka bebas jentik diberi warna merah (ABJ < 95%) dan
warna hijau (ABJ ≥ 95%). Variabel rumah sehat diberi warna merah
(persentase rumah sehat < 80%) dan warna hijau (persentase rumah
sehat ≥ 80%). Variabel kepadatan penduduk diberi warna merah
(kepadatan penduduk > 200 jiwa/ha), warna kuning (150-200 jiwa/ha)
dan warna hijau (<150 jiwa/ha).
BAB V
HASIL
A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 2013-2015 di wilayah kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Berikut ini distribusi kejadian penyakit
DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dijabarkan berdasarkan
orang, tempat dan waktu:
1.
Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang
a. Umur
Kasus DBD berdasarkan orang (umur) dibagi menjadi 4
kategori, yaitu 0-4 tahun, 5-9 tahun, 10-14 tahun dan ≥15 tahun.
Kasus DBD berdasarkan umur ini bertujuan untuk mengetahui
angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD menurut
kelompok umur di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015.
Biasanya kasus DBD lebih sering menyerang pada anak-anak,
namun seiring perkembangannya sampai sekarang DBD dapat
menyerang semua umur. Berikut ini distribusi kasus DBD
berdasarkan umur di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015:
70
71
Grafik 5.1
Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
160.0
142.9
Incidence Rate (IR) DBD
Per 100.000 Penduduk
140.0
120.0
100.0
85.9
75.9
80.0
60.0
47.9
2013
52.9
48.9
47.1
50.4
34.6
40.0
20.0
78.8
16.5
13.8
0.0
0-4
5-9
10-14
≥15
Umur
Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.1 menunjukkan bahwa kelompok umur yang
paling banyak menjadi kasus DBD di Kota Tangerang pada tahun
2013-2015 adalah kelompok umur 10-14 tahun.
b. Jenis Kelamin
Kasus DBD dapat menginfeksi pada semua jenis kelamin,
baik laki-laki maupun perempuan. Berikut ini distribusi kasus
DBD berdasarkan jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan tahun
2013-2015:
2014
2015
72
Grafik 5.2
Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
60%
56%
52%
Persentase (%) Kasus DBD
48%
51% 49%
50%
44%
40%
Laki-laki
30%
Perempuan
20%
10%
0%
2013
2014
Tahun
2015
Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.2 menunjukkan bahwa kasus DBD menurut
jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015
cenderung lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
Kasus DBD pada laki-laki tertinggi terjadi pada tahun 2015
(56%), sedangkan kasus DBD pada perempuan tertinggi terjadi
pada tahun 2014 (49%).
2.
Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat
Kasus DBD menurut tempat bertujuan untuk mengetahui angka
kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD berdasarkan wilayah kerja
Puskesmas di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015. Dalam
Rencana Strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk angka
73
kesakitan (IR) DBD secara nasional adalah sebesar ≤ 51 per 100.000
penduduk (Kemenkes RI, 2015).
Grafik 5.3
Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan
IR DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015
16
16
14
14
Jumlah Puskesmas
14
11
12
11
9
10
8
≤ 51 Per 100.000 Penduduk
6
> 51 Per 100.000 Penduduk
4
2
0
2013
2014
Tahun
2015
Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.3 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak
mencapai target nasional di Kota Tangerang Selatan paling banyak
jumlahnya pada tahun 2015, yaitu sebanyak 16 Puskesmas (dari 25
Puskesmas). Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat
melalui peta berikut ini:
74
Peta 5.1
Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD di Wilayah Kerja
Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
2013
2014
75
2015
Target dalam upaya keberhasilan penurunan kasus DBD secara
nasional adalah angka kesakitan (Incidence Rate) kurang dari atau sama
dengan 51 per 100.000 penduduk. Pada peta 5.1 terlihat bahwa wilayah
kerja Puskesmas yang memiliki IR DBD tinggi (> 51 per 100.000
penduduk) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki IR DBD rendah (≤ 51 per 100.000
penduduk) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, secara
spasial terlihat bahwa sebaran kasus DBD yang tinggi lebih banyak
ditemukan di Kota bagian Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang
termasuk tinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah
Puskesmas Rengas, Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Kranggan dan
Puskesmas Pondok Benda. Sedangkan secara temporal, sebaran kasus
76
DBD yang tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
pada tahun 2013-2015 cenderung semakin berkurang.
Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang
termasuk tinggi, yaitu sebanyak 11 dari 25 Puskesmas dimana sebaran
kasusnya terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara. Pada tahun
2014, jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi masih
sama seperti tahun sebelumnya, namun perbedaannya terletak pada
sebaran kasusnya yaitu terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan.
Pada tahun 2015 terjadi penurunan jumlah Puskesmas dengan IR
DBD yang termasuk tinggi dibanding 2 (dua) tahun sebelumnya
walaupun pengurangan tersebut hanya dua angka, yaitu dari 11 menjadi
9 Puskesmas. Sedangkan, sebaran kasusnya terlihat sama dengan tahun
2014, yaitu lebih banyak di wilayah bagian Selatan.
3.
Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu
a. Tahun
Distribusi kasus DBD berdasarkan waktu (tahun) bertujuan
untuk mengetahui kecenderungan peningkatan, penurunan, atau
tetap dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota
Tangerang
Selatan.
Dalam
Rencana
Strategi
(renstra)
Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan (IR) DBD secara
nasional adalah sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes
RI, 2015). Berikut grafik:
77
Grafik 5.4
Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
IR DBD Per 100.000 Penduduk
49.0
48.5
48.5
48.0
47.5
47.0
47.0
46.5
46.5
46.0
45.5
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.4 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 mengalami penurunan
yaitu 48,5 per 100.000 penduduk menjadi 46,5 per 100.000
penduduk. Dari grafik tersebut juga menunjukkan bahwa IR DBD
dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir di Kota Tangerang Selatan
telah mencapai target indikator nasional.
b. Bulan
Distribusi kasus DBD berdasarkan waktu (bulan) bertujuan
untuk mengetahui kecenderungan pola penularan DBD di saat
musim hujan maupun musim kemarau. Berikut ini distribusi
78
kasus DBD berdasarkan bulan di Kota Tangerang Selatan tahun
2013-2015
Grafik 5.5
Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
18%
16%
Persentase (%) Kasus DBD
16%
14%
12%
10%
8%
12%
12%
13%
12%
10%
9%
11%
11%
10%
11%
10%
9%
11%
9%
7%
9%
8%
6%
10%
11%
9%
9%
9%
8%
7%
8%
8%
8%
6%
4%
2014
3%
3%
2%
2013
2%
2%
3%
3%
2%
2015
0%
Bulan
Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.5 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 terjadi tidak hanya saat
musim hujan saja melainkan terjadi pada saat musim kemarau
juga sehingga bisa terjadi kapan saja. Puncak kasus DBD pada
tahun 2013 terjadi di bulan Juni, September dan November, tahun
2014 bulan Januari dan tahun 2015 bulan Januari, Mei dan
Oktober.
79
B. Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Menurut Wilayah Kerja
Puskesmas
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh angka bebas
jentik di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan pada tahun 20132015. Dalam rencana strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk ABJ
secara nasional adalah sebesar ≥ 95% (Kemenkes RI, 2015). Berikut ini
distribusi ABJ tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan:
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2013-2015
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Tahun
Kota
Tangerang
Selatan
Min
Puskesmas
Maks
Puskesmas
Pondok
Jagung
Ciputat
Pondok
2014
93%
67%
100%
Timur
Jagung
Ciputat
Pondok
2015
90%
75%
98%
Timur
Jagung
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
2013
95%
77%
Ciputat
99%
Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa ABJ rata-rata di Kota Tangerang
Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir semakin menurun. Pada
tahun 2013 persentase ABJ terendah berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di
Kota Tangerang Selatan adalah Puskesmas Ciputat (77%). Pada tahun 2014
adalah Puskesmas Ciputat Timur (67%) dimana saat itu merupakan ABJ
terendah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir. Pada tahun 2015 adalah Puskesmas yang sama seperti tahun
sebelumnya, yaitu Puskesmas Ciputat Timur (75%).
80
Grafik 5.6
Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka Bebas
Jentik Tahun 2013-2015
18
17
18
15
Jumlah Puskesmas
16
14
10
12
10
Angka Bebas Jentik:
8
7
Tinggi, jika ≥ 95%
Rendah, jika < 95%
8
6
4
2
0
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Data ABJ Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.6 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak
mencapai target nasional (ABJ < 95%) di Kota Tangerang Selatan pada tahun
2013-2015 mengalami peningkatan sebanyak 7 Puskesmas pada tahun 2013
menjadi 17 Puskesmas pada tahun 2015. Persebaran Puskesmas secara
spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut ini:
81
Peta 5.2
Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas Jentik di
Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
2013
2014
82
2015
Target dalam upaya keberhasilan bebas jentik secara nasional adalah
angka bebas jentik lebih dari atau sama dengan 95%. Pada peta 5.2 terlihat
bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki ABJ rendah (< 95%) ditandai
dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki
ABJ tinggi (≥ 95%) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan,
berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa sebaran kasus DBD yang tinggi
lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan ABJ yang
termasuk tinggi dan persebarannya lebih banyak di wilayah bagian Selatan.
Hal ini berarti kasus DBD yang tinggi di Kota Tangerang Selatan tidak selalu
terjadi pada wilayah kerja Puskesmas dengan ABJ yang rendah. Puskesmas
dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi dalam kurun
waktu 3 (tiga) Tahun terakhir adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan,
83
berdasarkan analisis temporal sebaran jentik di wilayah kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 terlihat cenderung semakin bertambah.
Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah, yaitu
sebanyak 11 dari 25 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah
bagian Utara dan Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi
dan ABJ yang rendah adalah sebesar 29% (2 dari 7 Puskesmas), yaitu
Puskesmas Pondok Pucung dan Puskesmas Perigi. Sebaran kasus DBD yang
tinggi dan ABJ yang rendah pada kedua Puskesmas tersebut terlihat di
wilayah bagian Utara. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk
tinggi dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 50% (9 dari 18 Puskesmas), yaitu
Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Sawah,
Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Rengas, Puskesmas Paku Alam,
Puskesmas Pondok Aren, Puskesmas Rawa Buntu dan Puskesmas Kranggan.
Pada tahun 2014 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah berkurang
dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun pengurangan tersebut hanya satu
angka, yaitu dari 11 menjadi 10 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di
wilayah bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Daya. Puskesmas dengan IR
DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 60% (6 dari
10 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Ciputat,
Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Setu dan
Puskesmas Kranggan. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah
pada keenam Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian
Barat Daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi
84
dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 33%
(5 dari 15 Puskesmas), yaitu
Puskesmas Pamulang, Puskesmas Pondok Ranji, Puskesmas Rengas,
Puskesmas Rawa Buntu dan Puskesmas Baktijaya.
Pada tahun 2015 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah bertambah
dan menjadi lebih banyak dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya, yaitu
sebanyak 17 Puskesmas dan persebarannya terlihat hampir di seluruh wilayah
kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang
termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 35% (6 dari 17
Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Perigi, Puskesmas
Serpong 1, Puskesmas Rawa buntu, Puskesmas Kranggan dan Puskesmas
Baktijaya. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah pada
keenam Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan.
Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi adalah
sebesar 38% (3 dari 8 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas
Rengas dan Puskesmas Setu.
C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data rumah
sehat tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999,
rumah atau bangunan dinilai sehat jika memenuhi syarat kesehatan dan
mencapai target, yaitu sebesar ≥ 80%. Distribusi rumah sehat tahun 20132015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan:
85
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Rumah Sehat
Tahun
Kota
Tangerang
Selatan
Min
Puskesmas
Maks
Puskesmas
Situ
Gintung
Situ
2014
91%
71%
Pondok Ranji 100%
Gintung
Pondok
2015
89%
79%
Kranggan
99%
Betung
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
2013
87%
3%
Kranggan
100%
Pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa persentase rumah sehat rata-rata di
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 sudah mencapai target
indikator nasional. Pada tahun 2013 persentase rumah sehat terendah
berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan adalah
Puskesmas Kranggan (3%) dimana persentase rumah sehat Puskesmas
tersebut merupakan persentase terendah yang terjadi di Kota Tangerang
Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Pada tahun 2014 adalah
Puskesmas Pondok Ranji (71%) dan pada tahun 2015 adalah Puskesmas
Kranggan (79%).
86
Grafik 5.7
Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah Sehat
Tahun 2013-2015
Jumlah Puskesmas
25
24
23
22
20
Rumah Sehat:
Tinggi, jika ≥ 80%
15
Rendah, jika < 80%
10
3
5
2
1
0
2013
2014
Tahun
2015
Sumber: Data Rumah Sehat Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.7 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak
mencapai target nasional (rumah sehat < 80%) mengalami penurunan
sebanyak 7 Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 17 Puskesmas pada tahun
2015. Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta
berikut ini:
87
Peta 5.3
Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat
di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
2013
2014
88
2015
Target pencapaian rumah sehat secara nasional adalah lebih dari atau
sama dengan 80%. Pada peta 5.3 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas
yang memiliki persentase rumah sehat rendah (< 80%) ditandai dengan warna
merah, sedangakan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah
sehat tinggi (≥ 80%) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan,
berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa kasus DBD yang tinggi lebih
banyak ditemukan pada wilayah kerja Puskesmas dengan persentase rumah
sehat yang termasuk tinggi dan persebarannya terlihat lebih banyak di
wilayah bagian Selatan. Hal ini berarti kasus DBD yang tinggi di Kota
Tangerang Selatan tidak selalu terjadi pada wilayah kerja Puskesmas dengan
persentase rumah sehat yang rendah. Puskesmas dengan IR DBD yang
termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi dalam kurun waktu 3
89
(tiga) tahun terakhir adalah Pondok Benda, Rengas dan Rawa Buntu.
Sedangkan, berdasarkan analisis temporal sebaran persentase rumah sehat
yang rendah di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20132015 terlihat cenderung semakin berkurang.
Pada tahun 2013, jumlah Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang
rendah hanya 3 dari 25 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah
bagian Utara, Tenggara dan Barat Daya. Puskesmas dengan IR DBD yang
termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah adalah sebesar 67%
(2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas Sawah dan Puskesmas Kranggan.
Sebaran kasus DBD yang tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah
pada kedua Puskesmas tersebut terlihat di wilayah bagian Utara dan Barat
Daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan
persentase rumah sehat yang tinggi adalah sebesar 41% (9 dari 22 Puskesmas),
yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Ciputat
Timur, Puskesmas Rengas, Puskesmas Paku Alam, Puskesmas Pondok Aren,
Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Perigi dan Puskesmas Rawa Buntu.
Pada tahun 2014 jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat yang
rendah berkurang dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun pengurangan
tersebut hanya satu angka, yaitu dari 3 menjadi 2 Puskesmas dan
persebarannya terlihat di wilayah bagian Utara. Puskesmas dengan IR DBD
yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah adalah sebesar
50% (1 dari 2 Puskesmas), yaitu Puskesmas Rengas dan persebarannya
terlihat di Kota bagian Timur Laut. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD
90
yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi adalah sebesar
43% (10 dari 23 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Pondok
Benda, Puskesmas Ciputat, Puskesmas Rengas, Puskesmas Pondok Pucung,
Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Setu, Puskesmas
Kranggan dan Puskesmas Baktijaya.
Pada tahun 2015 jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat yang
rendah semakin berkurang dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya, walaupun
pengurangan tersebut hanya dua angka, yaitu dari 3 menjadi 1 Puskesmas.
Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Kranggan dengan IR DBD yang
termasuk tinggi dimana persebarannya terlihat di wilayah bagian Barat Daya.
D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data
kepadatan penduduk tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004
tentang tatacara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan, kepadatan
penduduk di suatu wilayah diklasifikasi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu
suatu wilayah dikatakan memiliki kepadatan rendah jika < 150 jiwa/ha,
kepadatan sedang jika 151-200 jiwa/ha, kepadatan tinggi jika 201-400 jiwa/ha
dan kepadatan sangat padat penduduknya jika > 400 jiwa/ha. Berikut ini
kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan:
91
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha)
Tahun
Kota
Tangerang
Selatan
Min
Puskesmas
Maks
Puskesmas
Pondok
Jagung
Pondok
2014
232
66,8
Setu
543,6
Jagung
Pondok
2015
240
70,1
Setu
574,9
Jagung
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan Tahun 2015
2013
225
63,6
Setu
513,6
Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk terendah dan
tertinggi di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015, yaitu Puskesmas
Setu dan Puskesmas Pondok Jagung. Dari tabel tersebut juga menunjukkan
bahwa kepadatan penduduk rata-rata cenderung meningkat. Pada tahun 2015
merupakan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Tangerang Selatan dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir.
92
Grafik 5.8
Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan
Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015
16
15
16
13
Jumlah Puskesmas
14
12
10
Kepadatan penduduk:
8
6
Rendah, jika <150 Jiwa/Ha
7
8
6
4
4
Sedang, jika 150-200 Jiwa/Ha
Tinggi, jika >200 Jiwa/Ha
3
3
2014
2015
2
0
2013
Tahun
Sumber: Data Kepadatan Penduduk BPS Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Pada grafik 5.8 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas dengan
kepadatan penduduk yang termasuk tinggi di Kota Tangerang Selatan dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan sebanyak 13
Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 16 Puskesmas pada tahun 2015.
Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut
ini:
93
Peta 5.4
Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan Penduduk
di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
2013
2014
94
2015
Pada peta 5.3 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki
kepadatan penduduk rendah (>200 jiwa/Ha) ditandai dengan warna merah,
sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk
sedang (150-200 jiwa/Ha) ditandai dengan warna kuning dan wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk rendah (<150 jiwa/Ha)
ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis spasial
terlihat bahwa kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas
dengan kepadatan penduduk yang termasuk tinggi dimana persebarannya
terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara dan Timur. Puskesmas dengan
IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah
Puskesmas Rawa Buntu. Sedangkan, berdasarkan analisis temporal sebaran
kepadatan penduduk yang tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015 terlihat cenderung semakin berkurang.
95
Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk yang
tinggi, yaitu sebanyak 13 dari 25 Puskesmas. Puskesmas dengan IR DBD
yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar
38% (5 dari 13 Puskesmas), yaitu Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Sawah,
Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Pondok Aaren dan Puskesmas Rawa
Buntu. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi
pada ke-lima Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian
Utara. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan
kepadatan penduduk yang sedang sebesar 25% (2 dari 8 Puskesmas), yaitu
Puskesmas Rengas dan Puskesmas Paku Alam. Puskesmas dengan IR DBD
yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah sebesar 100% (4
dari 4 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Pondok
Pucung, Puskesmas Perigi dan Puskesmas Kranggan.
Pada tahun 2014 jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi
bertambah dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun hanya dua angka, yaitu
dari 13 menjadi 15 Puskesmas dimana persebarannya hampir seluruh
Puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang
termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar 33% (5
dari 15 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Ciputat,
Puskesmas Pondok Ranji, Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Rawa Buntu.
Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada
ke-lima Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Timur.
Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan
96
penduduk yang sedang sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas
Rengas dan Puskesmas Kranggan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk
tinggi dan kepadatan penduduk dan rendah sebesar 57% (4 dari 7 Puskesmas),
yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Setu
dan Puskesmas Baktijaya.
Pada tahun 2015 jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi
bertambah dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun hanya satu angka,
yaitu dari 15 menjadi 16 Puskesmas dimana persebarannya sama seperti pada
tahun sebelumnya hampir seluruh Puskesmas di Kota Tangerang Selatan.
Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk
yang tinggi adalah sebesar 19% (3 dari 16 Puskesmas), yaitu Puskesmas
Pamulang, Puskemas Serpong 1 dan Puskesmas Rawa Buntu. Sebaran kasus
DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada ke-tiga
Puskesmas tersebut terlihat di kota bagian tenggara dan barat daya.
Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan
penduduk yang sedang sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas
Rengas dan Puskesmas Kranggan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk
tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah sebesar 67% (4 dari 6
Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Perigi, Puskesmas
Setu dan Puskesmas Baktijaya.
97
E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data iklim
(suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) tahun
2013-2015 di Kota Tangerang Selatan. Berikut ini gambaran suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013-2015:
1.
Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan
Gambaran suhu udara di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.9
lampiran 3) terlihat bahwa suhu udara tertinggi dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2015 sebesar 29,5ï‚°C bulan
Oktober, sedangkan suhu udara terendah adalah pada tahun 2014
sebesar 26ï‚°C bulan Januari. Trend penurunan suhu udara dalam kurun
waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu bulan
Oktober sampai Desember. Sedangkan, trend peningkatan suhu udara
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan,
yaitu bulan Januari sampai Maret.
Tabel 5.4
Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Tahun
2013-2015
Mean
27,7
Median
27,9
Std. Deviasi
0,8
Min-Maks
26-29,5
Pada tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata suhu udara di Kota
Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah
27,7°C dan median 27,9°C dengan standar deviasi 0,8°C. Suhu udara
98
minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
terakhir adalah 26°C dan nilai maksimal adalah 29,5°C.
2.
Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan
Gambaran kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan (grafik
5.10 lampiran 3) terlihat bahwa kelembaban udara tertinggi dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2015 sebesar
93% bulan April tahun 2015. Sedangkan, kelembaban udara terendah
adalah pada tahun
2014 sebesar 67% bulan Oktober. Trend
peningkatan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Oktober sampai
Januari dan bulan Desember sampai Februari. Sedangkan, trend
penurunan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir
di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Mei sampai Oktober.
Tabel 5.5
Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Tahun
2013-2015
Mean
80
Median
81
Std. Deviasi
7
Min-Maks
67-93
Pada tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata kelembaban udara di Kota
Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah
80% dan median 81% dengan standar deviasi 7%. Kelembaban udara
minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
terakhir adalah 67% dan nilai maksimal adalah 93%.
99
3.
Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan
Gambaran curah hujan di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.11
lampiran 3) terlihat bahwa curah hujan tertinggi dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir adalah 681,3 mm terjadi pada bulan Januari tahun
2014. Di Kota Tangerang Selatan pernah tidak hujan dalam satu hari
penuh atau curah hujan terendah, yaitu pada tahun 2015 bulan Juli.
Trend peningkatan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Desember sampai
Januari. Sedangkan, trend penurunan curah hujan dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan
Januari sampai April.
Tabel 5.6
Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Tahun
2013-2015
Mean
189.9
Median
138
Std. Deviasi
1,6
Min-Maks
0-681,3
Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata curah hujan di Kota
Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah
189,9 mm dan median 138 mm dengan standar deviasi 1,6 mm. Curah
hujan minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir adalah 0 mm dan nilai maksimal adalah 681,3 mm.
4.
Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan
Gambaran kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.12
lampiran 3), diketahui bahwa kecepatan angin tertinggi dalam kurun
waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2013 sebesar 8 knot
100
bulan Maret. Sedangkan, kecepatan angin terendah, yaitu pada tahun
2013 sebesar 1 knot bulan Juni. Trend peningkatan kecepatan angin
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan,
yaitu pada bulan November sampai Januari. Sedangkan, trend
penurunan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di
Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Maret sampai Juni.
Tabel 5.7
Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
Tahun
2013-2015
Mean
4
Median
4
Std. Deviasi
1
Min-Maks
1-8
Pada tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kecepatan angin di Kota
Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 4
knot dan median 4 knot dengan standar deviasi 1 knot. Kecepatan angin
minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
terakhir adalah 1 knot dan nilai maksimal adalah 8 knot.
F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota
Tangerang Selatan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data iklim
(suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) dan data
kasus DBD tahun 2013-2015 di Kota Tangerang Selatan. Berikut ini hasil
korelasi antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan
angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.
101
1.
Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota
Tangerang Selatan
Berdasarkan grafik 5.13 (lampiran 4), kasus DBD di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus
DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan suhu udara rata-rata
sebesar 28°C, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan suhu udara
rata-rata sebesar 26°C dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei tahun
2015 dengan suhu udara rata-rata sebesar 28,3°C. Dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan
Mei dan saat itu suhu udara rata-rata adalah sebesar 28,3°C. Sedangkan,
kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember dan saat
itu suhu udara rata-rata adalah sebesar 27,7°C. Dengan demikian,
berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan suhu udara di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD
paling banyak terjadi pada suhu udara rata-rata sebesar ≥ 28°C.
Tabel 5.8
Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Variabel
r
Suhu Udara
2013-2015
-0,404
Suhu Udara
2013
0.069
Suhu Udara
2014
-0,487
Suhu Udara
2015
-0,423
Demam Berdarah Dengue
p
N
Keterangan
Korelasi
negatif,
0,015
36
kekuatan
sedang
dan bermakna
Korelasi
positif,
0,832
12
tidak ada hubungan
Korelasi
negatif,
0,109
12
kekuatan
sedang
dan tidak bermakna
Korelasi
negatif,
0,171
12
kekuatan
sedang
dan tidak bermakna
102
Pada tabel 5.8 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 20132015 nilai r = -0,404 (arah negatif), tahun 2013 nilai r = 0,069 (arah
positif), tahun 2014 nilai r = -0,487 (arah negatif) dan tahun 2015 nilai r
= -0,423 (arah negatif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan kekuatan
sedang dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan. Pada tahun 2014 dan 2015 terdapat hubungan antara
suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi
tidak siginifikan.
Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai negatif yang
artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya.
Begitu juga dengan nilai r pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan nilai
negatif yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD rendah
atau sebaliknya. Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai positif
yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.
2.
Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kelembaban Udara di
Kota Tangerang Selatan
Berdasarkan grafik 5.14 (lampiran 4), kasus DBD di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus
DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan kelembaban udara ratarata sebesar 79%, pada tahun 2014 terjadi bulan dengan kelembaban
udara rata-rata sebesar 88% dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei
dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 78%. Dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan
103
Mei dan saat itu kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 78%.
Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan
Desember dan saat itu kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 80%.
Dengan demikian, berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan
kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015
menunjukkan bahwa kasus DBD paling banyak terjadi pada
kelembaban udara rata-rata sebesar ≥ 79%.
Tabel 5.9
Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Variabel
r
Kelembaban
Udara 20132015
0,434
Kelembaban
Udara 2013
0.288
Kelembaban
Udara 2014
0,637
Kelembaban
Udara 2015
0,502
Demam Berdarah Dengue
p
N
Keterangan
Korelasi
positif,
0,008
36
kekuatan
sedang
dan bermakna
Korelasi
positif,
0,364
12
kekuatan
sedang
dan tidak bermakna
Korelasi
positif,
0,026
12
kekuatan kuat dan
bermakna
Korelasi
positif,
0,096
12
kekuatan
sedang
dan tidak bermakna
Pada tabel 5.9 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 20132015 nilai r = 0,434 (arah positif), tahun 2013 nilai r = 0,288 (arah
positif), tahun 2014 nilai r = 0,637 (arah positif) dan pada tahun 2015
nilai r = 0,502 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan
kekuatan sedang dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian
DBD di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2014 terdapat hubungan
104
yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian
DBD di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, pada tahun 2013 dan
2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara kelembaban
udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi tidak
signifikan. Secara keseluruhan, nilai r menunjukkan nilai positif yang
artinya jika kelembaban udara tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.
3.
Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Curah Hujan di Kota
Tangerang Selatan
Berdasarkan grafik 5.15 (lampiran 4), kasus DBD di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus
DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan curah hujan rata-rata
82,7 mm, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan curah hujan
rata-rata 681,3 mm dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei dengan curah
hujan rata-rata 129,9 mm. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir,
kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan Mei dan saat itu
curah hujan rata-rata adalah 129,9 mm. Sedangkan, kasus DBD
terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember tahun 2014 dan saat
itu curah hujan rata-rata adalah 105,5 mm. Dengan demikian,
berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan curah hujan di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD
paling banyak terjadi curah hujan rata-rata sebesar ≥ 105,5mm.
105
Tabel 5.10
Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Variabel
r
Curah Hujan
2013-2015
0,409
Curah Hujan
2013
-0.112
Curah Hujan
2014
0,453
Curah Hujan
2015
0,609
Demam Berdarah Dengue
p
N
Keterangan
Korelasi
positif,
0,013
36
kekuatan
sedang
dan bermakna
Korelasi
negatif,
0,730
12
tidak ada hubungan
Korelasi
positif,
0,140
12
kekuatan
sedang
dan tidak bermakna
Korelasi
positif,
0,036
12
kekuatan kuat dan
bermakna
Pada tabel 5.10 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun
2013-2015 nilai r = 0,409 (arah positif), tahun 2013 nilai r = -0,112
(arah negatif), tahun 2014 nilai r = 0,453 (arah positif) dan pada tahun
2015 nilai r = 0,609 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan
kekuatan sedang dan signifikan dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan. Pada tahun 2015 terdapat hubungan yang kuat dan
signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang
Selatan. Sedangkan, pada tahun 2014
terdapat hubungan dengan
kekuatan sedang antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan.
Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai positif yang
artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Begitu
juga nilai r pada tahun 2014 dan 2015 men\unjukkan nilai positif yang
106
artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.
Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai negatif yang artinya
jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD rendah atau.
4.
Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota
Tangerang Selatan
Berdasarkan grafik 5.16 (lampiran 4), kasus DBD di Kota
Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus
DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan kecepatan angin ratarata adalah 1 knot, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan
kecepatan angin rata-rata adalah 5 knot dan pada tahun 2015 terjadi
bulan Mei dengan kecepatan angin rata-rata adalah 4 knot. Dalam kurun
waktu 3 (tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun
2015 bulan Mei dan saat itu kecepatan angin rata-rata adalah 4 knot.
Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun bulan Desember
dan saat itu kecepatan angin rata-rata adalah 5 knot.
Tabel 5.11
Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Variabel
Kecepatan
Angin 20132015
Kecepatan
Angin 2013
Kecepatan
Angin 2014
Kecepatan
Angin 2015
r
Demam Berdarah Dengue
P
n
Keterangan
0,097
0,574
36
-0,002
0,995
12
0,101
0,754
12
0,307
0,331
12
Korelasi positif dan
tidak ada hubungan
Korelasi
negatif,
tidak ada hubungan
Korelasi
positif,
tidak ada hubungan
Korelasi
positif,
kekuatan
sedang
dan tidak bermakna
107
Pada tabel 5.11 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun
2013-2015 nilai r = 0,097 (arah positif), tahun 2013 nilai r = -0,002
(arah negatif), pada tahun 2014 nilai r = 0,101 (arah positif) dan pada
tahun 2015 nilai r = 0,307 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir tidak ada hubungan
antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang
Selatan. Sedangkan, pada tahun 2015 terdapat hubungan dengan
kekuatan sedang antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan.
Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai positif yang
artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.
Begitu juga nilai r pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan nilai positif
yang artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD juga tinggi.
Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai negatif yang artinya
jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya.
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu
sebagai berikut:
1.
Kecenderungan sekuler (secular trends) dapat melihat perubahan pola
penyakit yang terjadi atau terulangnya kejadian luar biasa dalam jangka
waktu yang lama (biasanya lebih dari 10 tahun). Pada penelitian ini data
yang diperoleh adalah 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu tahun 2013-2015
sehingga kasus DBD menurut waktu tidak dapat melihat fluktuasi
angka kesakitan penyakit DBD, pola kejadian DBD dari waktu ke
waktu, pola yang mungkin terjadi di masa depan.
2.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas.
Shapefile yang didapat untuk dibuat area map dengan tools Sistem
Informasi Geografis (SIG) adalah tingkat kelurahan sehingga batasan
wilayah kerja Puskesmas tidak dapat terlihat karena terdapat batas-batas
kelurahan.
B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan
Berikut ini pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengenai distribusi
kejadian DBD berdasarkan orang (usia dan jenis kelamin), tempat dan waktu
(tahun dan bulan):
108
109
1.
Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang
a. Usia
Kasus Dengue di negara-negara wilayah Asia Tenggara
endemis penyakit (Bangladesh, Indonesia, Singapura dan
Thailand) umumnya menyerang kelompok usia anak-anak
(Viennet et al, 2014). Hasil penelitian yang telah dilakukan di
Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka kesakitan
DBD tertinggi pada tahun 2013-2015, yaitu pada kelompok usia
10-14 tahun (dalam per 100.000 penduduk tahun 2013=85,9;
2014=142,9; 2015=78,8) yang berarti bahwa kasus DBD tertinggi
diderita pada kelompok usia anak sekolah (grafik 5.1). Kasus
DBD pada kelompk usia ini disebabkan oleh infeksi virus Dengue
di sekolah lebih tinggi dibandingkan di rumah dan tempat kerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Samuel dan Imam (2015) di Provinsi Papua menunjukkan bahwa
kasus DBD tahun 2011-2014 lebih banyak pada kelompok umur
5-14 tahun.
Aktivitas nyamuk menggigit dan menghisap darah seseorang
dimulai pada waktu pagi hari (09.00-10.00) dan petang hari
(16.00-17.00). Pada waktu pagi hari, anak sekolah sudah
beraktifitas di lingkungan sekolah sedangkan, pada waktu petang
mereka beraktifitas di lingkungan rumah.
110
Imunitas tubuh bisa menjadi faktor penyebab kejadian
penyakit DBD pada usia anak sekolah di Kota Tangerang Selatan.
Dalam kejadian penyakit DBD, tidak semua orang yang telah
tergigit nyamuk Aedes aegypti jatuh sakit DBD melainkan
tergantung pada sistem kekebalan tubuh pada masing-masing
individu (Hairani, 2009). Ketika nyamuk infektif Dengue
menggigit orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus
Dengue, maka virus bersama air liur yang masuk ke dalam tubuh
orang
tersebut
menyebabkan
terjadinya
penyakit
DBD
(Wiradharma, 1999). Pada usia anak sekolah memiliki banyak
kegiatan, baik di rumah ataupun sekolah yang mempengaruhi
menurunnya imunitas tubuh apabila tidak diiringi dengan asupan
makanan sehat. Sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat
mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit DBD.
Semakin rendah sistem kekebalan tubuh, maka semakin besar
pula peluang seseorang terpapar suatu penyakit DBD (Sudardjad,
1990 dalam Fitriyani, 2007).
b. Jenis Kelamin
Menurut
Wahyuni
(2011),
paparan
penyakit
DBD
berdasarkan jenis kelamin perbedaannya tidak terlalu mencolok
pada laki-laki dibandingkan perempuan karena laki-laki maupun
perempuan memiliki peluang yang sama untuk terpapar penyakit
DBD. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang
111
Selatan menunjukkan bahwa kasus DBD pada tahun 2013-2015
adalah pada laki-laki (2013=52%; 2014=51%; 2015=56%) hampir
sama dengan perempuan (2013=48%; 2014=49; 2015=44%).
Jenis kelamin berkaitan dengan tingkat keterpaparan dan
kerentanan suatu penyakit. Peluang yang sama pada laki-laki dan
perempuan dalam keterpaparan dan kerentanan terhadap penyakit
DBD berkaitan dengan tempat perindukan dan kebiasaan istirahat
vektor nyamuk Aedes aegypti, baik di lingkungan rumah, sekolah
maupun tempat kerja. Selain itu juga, pengaruh lingkungan dalam
kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi keterpaparan dan
kerentanan pada laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian
lain yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2008 juga
menunjukkan penderita DBD pada laki-laki (53,78%) hampir
sama dengan perempuan (46,23%) (Kemenkes RI, 2010).
Artinya, berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan dalam
kejadian penyakit DBD (Yatim, 2007).
Faktor imunitas tubuh perlu diperhatikan karena faktor ini
dapat menentukan sehat atau sakit dalam keterpaparan suatu
penyakit DBD. Berdasarkan penelitian imunologi menunjukkan
bahwa imunitas tubuh laki-laki lebih rentan terhadap penyakit
DBD
dibandingkan
perempuan,
hal
ini
dimungkinkan
dikarenakan cytokine pada perempuan lebih besar daripada laki-
112
laki sehingga respon imun pada perempuan lebih baik daripada
laki-laki (Kusumawardani dan Achmadi, 2012).
2.
Karakteristik Tempat
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan
menunjukkan bahwa Incidence Rate (IR) tertinggi berdasarkan tempat
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah wilayah kerja
Puskesmas Rawa Buntu, Rengas, Pondok Benda dan Kranggan. Angka
kejadian DBD yang tinggi pada ke-empat Puskesmas ini bisa terjadi
berkaitan dengan masih ditemukan tempat-tempat yang berpotensi
sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti dan
juga banyak ditemukannya jentik. Angka Bebas Jentik (ABJ) dalam
rencana strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk ABJ secara
nasional adalah sebesar ≥ 95% (Kemenkes RI, 2015). Rata-rata angka
bebas jentik di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir diperoleh masih berada di bawah indikator nasional,
yaitu sebesar 93% (lampiran 1).
Setelah ditelusuri lebih dalam pada salah satu Puskesmas dari keempat Puskemas tersebut diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal
penderita DBD masih ditemukan adanya jentik pada ban bekas di luar
rumah, dispenser dan pot bunga. Angka bebas jentik yang masih rendah
mengartikan bahwa masyarakat masih kurang perhatian terhadap
pemeliharaan kebersihan lingkungan seperti tempat penampungan air,
tempat penimbunan sampah dan lainnya. Masyarakat juga masih kurang
113
partisipasi dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD). Kegiatan PSN-DBD yang kurang
optimal dapat mengakibatkan masih rendahnya ABJ (banyak ditemukan
jentik) dan tingginya angka kejadian DBD. Menurut Yuli (2008),
program pemberantasan vektor nyamuk DBD ditekankan pada
pembersihan jentik nyamuk perlu keterlibatan seluruh masyarakat di
tempat
agar
pemberantasan
nyamuk
dapat
bersifat
lebih
berkesinambungan sehingga lingkungan dapat terjaga dan bebas dari
vektor nyamuk Aedes aegypti.
Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui
kepadatan vektor (jentik) nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat
memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) tersebut pada suatu wilayah. Semakin tinggi
perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti hingga banyak
ditemukan jentik, maka semakin tinggi risiko terjangkit penyakit DBD
(Setyaningsih dan Setyawan, 2014). Angka bebas jentik juga
merupakan salah indikator keberhasilan dan sebagai tolak ukur
partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD melalui gerakan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus. Wilayah
dengan rata-rata ABJ yang masih dibawah indikator nasional
mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD
dengan cara 3M Plus di lingkungan sekitarnya belum optimal sehingga
kasus DBD masih sering terjadi.
114
3.
Karaktersitik Waktu
a. Tahun
Peningkatan atau penurunan angka kejadian DBD dari tahun
ke tahun berkaitan dengan kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dan Angka Bebas
Jentik (ABJ). Faktor kondisi lingkungan fisik juga dapat
mempengaruhi peningkatan atau penurunan kejadian DBD. Hal ini
karena sanitasi lingkungan memiliki hubungan erat dengan
kejadian DBD yang dapat mempengaruhi pertumbuhan atau
perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang
Selatan menunjukkan bahwa kejadian penyakit DBD di Kota
Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir telah
mencapai target nasional (≤ 51 per 100.000 penduduk). Angka
bebas jentik rata-rata dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di
Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 93% (lampiran 1), hal ini
berarti belum mencapai target indikator nasional dalam satu kota.
Namun, keberhasilan IR DBD yang berada dibawah target
indikator nasional dan mengalami penurunan bisa dikarenakan
faktor lain.
Persentase rumah sehat dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
terakhir di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 89%. Setelah
ditelusuri sampai tingkat wilayah kerja Puskesmas di Kota
115
Tangerang Selatan, masih terdapat beberapa tempat yang belum
tercapai indikator persentase rumah (peta 5.2). Namun, persentase
rumah sehat rata-rata dalam satu kota secara nasional sudah
mencapai target indikator (≥80%) (lampiran 1). Hal ini
mengartikan bahwa rumah-rumah di Kota Tangerang Selatan
sudah banyak yang telah memenuhi syarat rumah sehat.
b. Bulan
Kejadian demam berdarah di Indonesia setiap tahun terjadi
pada bulan September hingga sampai Februari dimana puncak
kejadian DBD bertepatan dengan musim hujan yaitu pada bulan
Desember atau Januari (Siregar, 2004). Pada musim hujan
populasi vektor nyamuk Aedes aegypti mengalami peningkatan
dengan bertambah banyaknya breeding place di luar rumah akibat
sanitasi lingkungan yang kurang bersih. Pada musim kemarau juga
dapat menyebabkan peningkatan populasi vektor nyamuk Aedes
aegypti karena banyak vektor nyamuk yang bersarang di bejana
yang selalu terisi air, seperti bak mandi, tempayan, drum dan
penampungan air (Depkes RI, 2010).
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang
Selatan menunjukkan bahwa puncak kejadian penyakit DBD di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013 adalah bulan Juni, September
dan November sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 82,7
mm, 34,8 mm dan 261,6 mm. Puncak kejadian penyakit DBD di
116
Kota Tangerang Selatan tahun 2014 adalah bulan Januari
sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 681,3 mm. Puncak
kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2015
adalah bulan Januari, Mei dan Oktober sedangkan, curah hujan
pada saat itu adalah 354,6 mm, 129,9 mm dan 10 mm.
Curah hujan yang tinggi di Kota Tangerang Selatan
memberikan dampak signifikan terhadap jumlah kasus DBD. Hal
ini dikarenakan siklus perkembangan vektor nyamuk Aedes
aegypti pada musim hujan lebih mudah berkembang daripada
musim kemarau.
C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik
1.
Suhu Udara
Suhu udara adalah suatu keadaan panas atau dinginnya udara yang
biasanya diukur dengan alat ukur thermometer. Suhu optimal rata-rata
untuk perkembangan larva dari vektor nyamuk DBD adalah 25°C –
27°C. Pemberhentian pertumbuhan nyamuk terjadi jika suhu kurang
dari 10°C atau lebih dari 40°C. (Yotopranoto et al, 1998 dalam
Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Hasil penelitian yang telah dilakukan
di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 27,7°C (tabel 5.6).
Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara
suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan.
117
Hasil penelitian ini mengartikan bahwa suhu udara di Kota
Tangerang Selatan tidak termasuk dalam suhu optimal perkembangan
larva vektor DBD, tetapi suhu udara tersebut termasuk suhu dimana
larva dapat terus berkembangbiak hingga sampai menjadi nyamuk
dewasa. Perubahan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi musim
penularan (Bangs et al, 2007). Suhu udara memiliki hubungan dan
siginifikan dengan kejadian DBD mengartikan bahwa Kota Tangerang
Selatan dengan suhu udara berada diatas optimal namun masih sangat
mendukung dalam perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti
dapat memberikan dampak potensi penularan penyakit DBD yang
tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mustazahid (2013) menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan
antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 20062011 (r = -0,439; Pvalue = 0,001).
Suhu udara secara tidak langsung berhubungan dengan kejadian
DBD tetapi berhubungan langsung dengan siklus hidup vektor nyamuk
Aedes aegypti. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
suhu udara berhubungan dengan kemampuan bertahan hidup vektor.
Suhu udara dapat mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh,
frekuensi menggigit, istirahat dan perilaku kawin (Cahyati, 2006). Jika
suhu udara sudah termasuk optimum untuk perkembangbiakan vektor
nyamuk, maka jumlah vektor nyamuk tersebut semakin meningkat dan
berjumlah banyak sehingga dapat meningkatkan penularan penyakit
118
DBD (WHO, 2003 & Bangs et al, 2007 dalam Fidayanto dkk, 2013;
Angel & Joshi, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang
dilakukan
oleh
Yudhastuti
dan
Vidiyani
(2005)
yang
menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata di Kelurahan Wonokusumo
sebesar 29,9°C – 32°C sehingga berpotensi untuk berkembangnya
nyamuk Aedes aegypti.
Nilai r suhu udara pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan
berbanding terbalik dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan
yang artinya jika suhu udara semakin naik, maka kasus DBD menurun.
Hasil uji kekuatan pada kedua tahun tersebut menunjukkan terdapat
hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD tetapi tidak
signifikan. Hal ini berarti jika suhu udara naik, kasus DBD tidak selalu
menurun sebagaimana pada tahun 2014 terlihat di bulan April-Juni,
Agustus, November dan Desember sedangkan, pada tahun 2015 bulan
Februari, Mei-Juli, Oktober dan Desember (grafik 5.13 lampiran 4).
Peningkatan kasus DBD yang tidak diiringi dengan penurunan suhu
udara mengartikan bahwa adanya faktor lain yang lebih dominan
sehingga mempengaruhi kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan
seperti perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan sekitarnya
masih kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Masrizal (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD dengan kekuatan
119
sedang (r = 0,471) tetapi tidak signifikan (P value = 0,122) dan
berkorelasi negatif.
2.
Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah perbandingan banyaknya uap air yang
terdapat di udara dengan banyaknya uap air maksimum yang dapat
dikandung oleh udara tersebut dalam suhu udara yang sama.
Kelembaban udara dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban berada
dibawah 60 % umur nyamuk pendek sehingga potensi sebagai vektor
semakin menurun (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian yang telah
dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa kelembaban
udara rata-rata dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah sebesar
80% (tabel 5.7). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan
signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan.
Hasil penelitian ini mengartikan bahwa kelembaban udara di Kota
Tangerang Selatan termasuk optimum untuk vektor nyamuk Aedes
aegypti berpotensi tinggi sebagai vektor penularan DBD. Kelembaban
udara memiliki hubungan dan siginifikan mengartikan bahwa Kota
Tangerang Selatan dengan kelembaban udara berada diatas optimal (>
60%) dapat memberikan dampak potensi vektor nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor penularan penyakit DBD tinggi. World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa kejadian penyakit DBD
memiliki hubungan yang kuat dengan kelembaban udara. Hal ini
120
dikarenakan terdapat korelasi Aedes aegypti dan penularan virus dari
satu manusia ke manusia lainnya (Khin & Than, 2003 dalam Fidayanto
dkk, 2013; Gubler et al, 2001). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara
dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,533; P
value = 0,001).
Kelembaban udara secara tidak langsung berhubungan dengan
kasus DBD, tetapi berhubungan dengan umur perkembangbiakan
nyamuk. Pada saat kelembaban lebih dari optimum (>60%), umur
nyamuk menjadi lebih panjang dan potensi sebagai vektor juga semakin
meningkat (Kemenkes RI, 2012). Vektor nyamuk infektif Dengue
bersifat sensitif terhadap kelembaban. Apabila nyamuk infektif Dengue
berada di lingkungan kering (tidak lembab), maka kemampuan nyamuk
untuk bertahan hidup semakin menurun dan menyebabkan ia tidak
cukup waktu untuk bisa menularkan virus ke orang lain (Bangs et al,
2007 dalam Fidayanto dkk, 2013; Gubler et al, 2001). Kelembaban
udara menentukan daya tahan alat pernafasan nyamuk (Hidayati, 2008).
Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat menyebabkan terjadinya
penguapan air dari dalam tubuh vektor nyamuk. Penguapan inilah
menjadi faktor yang mempengaruhi bertahannya hidup nyamuk untuk
dapat menginfeksi orang lain (Cahyati, 2006).
121
Nilai r kelembaban udara pada tahun 2013 dan 2015 menunjukkan
berbanding lurus dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan
yang artinya jika kelembaban udara semakin naik, maka kasus DBD
juga meningkat. Hasil uji kekuatan pada kedua tahun tersebut
menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan
kejadian DBD tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti jika kelembaban
udara naik, kasus DBD tidak selalu meningkat atau sebaliknya,
sebagaimana pada tahun 2013 terlihat di bulan Maret, Juni, Juli dan
Desember sedangkan, pada tahun 2015 bulan April, Mei, Juli dan
Desember (grafik 5.14 lampiran 4).
Kelembaban udara tinggi tidak selalu diikuti oleh peningkatan
kasus DBD. Peran serta masyarakat masih kurang optimal dalam
menjaga lingkungan agar tetap bersih menjadi salah satu hubungan
yang tidak signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di
Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Masrizal (2010) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan tetapi tidak signifikan antara kelembaban udara
dengan kejadian DBD (r = 0,498; Pvalue = 0,100).
3.
Curah Hujan
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir adalah 189,9 mm (tabel 5.8). Hasil uji statistik
menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara curah hujan
122
dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hasil uji statitik
curah hujan pada tahun 2015 menunjukkan hubungan yang kuat dan
signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang
Selatan. Nilai r menunjukkan arah positif yang artinya jika curah hujan
tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Hal ini terlihat terjadi pada musim
hujan, yaitu bulan September hingga Desember (grafik 5.15 lampiran 4).
Curah hujan memiliki hubungan yang kuat dan signifikan
mengartikan bahwa curah hujan di Kota Tangerang Selatan
memberikan dampak terhadap meningkatnya jumlah vektor nyamuk
Aedes aegypti sehingga potensi penularan DBD di musim hujan juga
tinggi. Curah hujan secara langsung dapat mengurangi atau
meningkatkan jumlah populasi vektor nyamuk karena banyaknya
genangan air sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk. Biasanya
tempat perindukan nyamuk ditemui di sampah-sampah kering, seperti
botol bekas, kaleng, potongan bambu juga daun-daun yang mungkin
dapat menampung air sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk.
Menurut Sukowati (2004) tempat perkembangbiakan vektor nyamuk
DBD di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya
air di pemukiman.
Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan genangan air di
tempat penampungan air sekitar rumah atau lainnya yang merupakan
tempat perkembangbiakan larva hinga menjadi nyamuk. Genangan air
tersebut meningkatkan breeding place nyamuk (Hidayati, 2008). Hasil
123
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid
(2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan dan signifikan antara
curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011
(r = 0,403; P value = 0,001).
Nilai r curah hujan pada tahun 2014 menunjukkan berbanding lurus
yang artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga meningkat.
Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan antara curah hujan
dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan, tetapi tidak
signifikan. Hal ini berarti jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD
tidak selalu meningkat, sebagaimana terlihat pada bulan November
(grafik 5.15 lampiran 4). Perubahan curah hujan yang tidak sejalan
dengan perubahan kasus DBD menurut data per bulan menyebabkan
hubungan curah hujan tidak signifikan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Gustina
dkk
(2014)
menunjukkan terdapat hubungan yang kuat tetapi tidak signifikan antara
curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Malang periode tahun 20022011 (r = 0,525; Pvalue = 0,080).
4.
Kecepatan Angin
Angin dapat mempengaruhi penerbangan dan penyebaran nyamuk.
Kecepatan angin dengan 11-14 m/detik atau 25-31 mil/jam dapat
menghambat
aktivitas
terbang
nyamuk
sehingga
menyebabkan
penyebaran vektor nyamuk juga terbatas (Vanleeuwen, 1999). Hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan
di
Kota
Tangerang
Selatan
124
menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir adalah 4 knot atau 2 m/detik (tabel 5.9). Hasil uji
statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara kecepatan angin
dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan.
Hal penelitian ini mengartikan bahwa kecepatan angin di Kota
Tangerang Selatan berada dibawah optimum sehingga aktivitas terbang
nyamuk tidak terhambat dan penyebaran vektor dapat meluas. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Masrizal (2010) menunjukkan bahwa
kecepatan angin di Kota Padang tahun 2008-2010 berkisar 5 knot – 6
knot (tidak lebih dari 11 knot) yang mengartikan kecepatan angin di
Kota Padang tidak menghambat aktifitas terbang nyamuk. Andriani
dalam Dini (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan angin,
maka semakin sulit nyamuk untuk terbang karena tubuh nyamuk yang
kecil sehingga mengakibatkan mudah terbawa angin. Selain itu,
nyamuk juga sulit untuk berpindah-pindah tempat dengan jarak yang
jauh sehingga kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil.
Kecepatan angin menurut per bulan dalam kurun waktu 3 (terakhir)
relatif berubah dan angka yang tidak bervariasi setiap tahunnya
menyebabkan tidak ada hubungan dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan. Selain itu, vektor nyamuk Aedes aegypti
merupakan vektor yang menyukai tempat istirahat di dalam rumah, di
dalam kelas atau ruang tempat kerja sehingga pengaruh angin dalam
penyebaran vektor ini sangat kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan
125
penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di
Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,057; P value = 0,632).
Nilai r kecepatan angin pada tahun 2015 menunjukkan berbanding
lurus dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan yang artinya
jika kecepatan angin naik, maka kasus DBD meningkat. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa kecepatan angin berhubungan tetapi tidak
signifikan. Hal ini berarti jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD
tidak selalu meningkat atau sebaliknya, sebagaimana terlihat pada bulan
Februari (grafik 5.15 lampiran 4).
Peningkatan kecepatan angin tidak diikuti oleh peningkatan
kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Penurunan daya dukung
lingkungan menjadi salah satu penyebab hubungan yang tidak
signifikan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Amah dkk (2010) di Kabupaten Serang menunjukkan
terdapat hubungan tetapi tidak signifikan antara kecepatan angin dengan
kejadian DBD (r = 0,338’ Pvalue = 0,196).
5.
Rumah Sehat
Dalam pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat dan
American Public Health Association (APHA) menyatakan bahwa salah
satu persyaratan kondisi fisik rumah dikatakan sehat adalah rumah atau
tempat tinggal dapat melindungi penghuninya dari bahaya atau
126
gangguan kesehatan terutama penularan penyakit menular sehingga
memungkinkan penghuni rumah tersebut memperoleh derajat kesehatan
yang optimal. Rumah sehat merupakan bagian sanitasi lingkungan yang
memiliki hubungan erat dengan penyakit menular berbasis lingkungan,
salah satunya penyakit DBD. Apabila sanitasi lingkungan buruk, maka
dapat memberikan peluang sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti sehingga nyamuk terus meningkat dan menyebabkan
penularan DBD yang tinggi.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan
tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial
sebaran kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang juga tinggi.
Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan persentase rumah
sehat yang juga tinggi adalah Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas
Pondok Benda dan Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal
jumlah Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah
mengalami kecederungan menurun.
Setiap rumah yang terdapat penghuni dinilai untuk menilai apakah
rumah yang ditempatkan telah memenuhi syarat rumah sehat. Salah satu
dalam penilaian rumah sehat ini adalah ada atau tidaknya jentik yang
ditemukan.
Penilaian
rumah
sehat
oleh
sanitarian
lingkungan
Puskesmas dibantu oleh para kader setempat dilakukan sekali setiap
tahunnya. Setelah ditelusuri lebih dalam diketahui bahwa rumah-rumah
127
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas
Pondok Benda dan Puskesmas Rengas baik perumahan komplek
maupun non-komplek, masih banyak ditemukan adanya jentik.
Rumah yang dinilai dan ditemukan adanya jentik dikatakan sebagai
rumah tidak sehat. Namun, persentase rumah sehat di ke-tiga
Puskesmas tersebut berada diatas indikator yaitu sebesar 80% pada
tahun 2013-2015. Hal ini mengartikan bahwa dalam penilaian rumah
sehat, rumah yang diperiksa dan ditemukan adanya jentik tetap dinilai
sebagai rumah sehat. Padahal, jentik memiliki hubungan dalam kejadian
DBD. Selain itu, data penilaian rumah sehat juga menjadi tidak valid
dan representatif.
Jentik yang ditemukan tidak semuanya adalah jentik yang
berkembangbiak menjadi nyamuk Aedes aegypti. Namun, apabila jentik
itu adalah jentik nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak menjadi
nyamuk dewasa kemudian menghisap darah dari orang yang terdapat
virus Dengue di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut dapat
berpotensi sebagai vektor penular DBD. Dari hasil wawancara yang
dilakukan dengan saitarian lingkungan Puskesmas diketahui bahwa
jentik lebih sering ditemukan di bak mandi, dispenser, pot bunga dan
juga barang-barang bekas di luar rumah. Jentik yang ditemukan tersebut
mengartikan bahwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Rawa
Buntu, Puskesmas Pondok Benda dan Puskesmas Rengas masih kurang
dalam pasrtisipasi kegiatan Pemberansan Sarang Nyamuk Demam
128
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan 3M (menguras, menutup dan
mengubur) Plus (tidak menggantung pakaian, menggunakan repellent,
menggunakan kelambu ketika tidur, abatisasi, pemeliharaan ikan
cupang).
Dari
hasil
wawancara
juga
diketahui
bahwa
masyarakat
mengetahui tentang pencegahan penyakit DBD, yaitu dengan PSN
DBD tetapi hanya sebatas 3M (menguras, menutup dan mengubur)
tidak sampai Plus sehingga masih sering ditemukan jentik di dispenser,
pot bunga, barang bekas atau sampah di kebun yang dapat menampung
air hujan. Hal ini lah yang menjadi penyebab angka kejadian DBD
tinggi meskpin persentase rumah sehat juga tinggi. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Octaviana (2007) menyatakan bahwa wilayah
endemis DBD terjadi pada rumah yang sehat daripada rumah yang tidak
sehat.
D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi
1.
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui
kepadatan vektor (jentik) nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat
memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) pada suatu wilayah. Semakin banyak
ditemukannya jentik, maka dapat meningkatkan risiko penularan
penyakit DBD (WHO, 2000 dalam Fathi dkk, 2005). Wilayah atau
lingkungan dikatakan aman dari penyakit DBD bila persentase angka
129
bebas jentik mencapai target indikator nasional. Pencapaian indikator
angka bebas jentik nasional dalam upaya menanggulangi penularan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah lebih dari sama
dengan 95% (Kemenkes RI, 2014).
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan
tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa secara spasial kasus DBD tinggi
lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan angka
bebas jentik yang juga tinggi (tidak ditemukan banyak jentik).
Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan angka bebas jentik
yang juga tinggi adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal
jumlah Puskesmas dengan ABJ rendah atau ditemukan banyak jentik di
Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengalami peningkatan.
Puskesmas Rengas hanya membawahi Kelurahan Rengas. Hasil
persentase angka bebas jentik di Kelurahan Rengas dalam kurun waktu
3 tahun berturut-turut adalah berada diatas indikator (>95%), tetapi
kasus DBD terus tinggi dengan IR DBD berada diatas indikator
nasional (>51 per 100.000 penduduk) meskipun terdapat pasien DBD
berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Rengas. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada, yaitu
biasanya wilayah dengan angka bebas jentik tinggi, maka kasus DBD
rendah dan sebaliknya. Faktor yang memungkinan hal ini terjadi adalah
validitas data. Salah satu yang dapat menyebabkan ketidakvalidan data
angka bebas jentik, yaitu kinerja petugas survei yang kurang baik.
130
Pada waktu pemeriksaan jentik, petugas survei jentik kurang teliti
dan hanya melakukan pemeriksaan pada tempat-tempat penampungan
air besar seperti bak mandi, ember dan drum. Namun, masih banyak
tempat keberadaan jentik yang tidak diperiksa seperti vas bunga,
penampungan air di belakang kulkas, penampungan tetesan air
conditioner (AC) sehingga mungkin masih ada jentik yang tidak terlihat
atau ditemukan, baik pada rumah yang diperiksa maupun tidak
diperiksa. Selain itu, rumah di Kelurahan Rengas sebagian besar adalah
komplek sehingga hanya sebagian rumah yang dapat diperiksa ada atau
tidak jentik oleh petugas survei jentik. Dengan begitu, hal ini
mengakibatkan banyak jentik Aedes aegypti yang tidak diketemukan
oleh petugas survei jentik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sungkar, dkk (2006) di Jakarta Utara yang menunjukkan bahwa angka
bebas jentik yang terlapor telah mencapai 95%, tetapi angka kasus
penderita DBD masih tetapi tinggi. Sungkar menyatakan salah satu
faktor yang menyebabkan angka bebas jentik tinggi diduga karena
faktor kinerja jumantik yang kurang teliti saat melakukan pemeriksaan
jentik.
Selain itu, angka kasus DBD yang tinggi sedangkan ABJ tinggi
juga dapat disebabkan oleh faktor mobilitas yang tinggi. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penderita DBD di Kelurahan Rengas
tahun 2013-2015 terbanyak adalah pada usia ≥ 15 tahun (2013=64,5 per
131
100.000 penduduk; 2014=114 per 100.000 penduduk; dan 2015=90 per
100.000 penduduk). Hal ini berarti penderita DBD tidak hanya tergigit
nyamuk infektif virus Dengue di lingkungan sekitar rumah saja, tetapi
juga dapat di lingkungan tempat kerja, pasar, tempat ibadah atau
tempat-tempat umum lainnya. Aktifitas dan pekerjaan penduduk
menyebabkan terjadinya mobilitas, baik dalam kota maupun luar kota
(Rahim dkk, 2013).
Faktor mobilitas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan virus DBD pada individu mudah berpindah dari satu
tempat ke tempat lain sehingga mempengaruhi penyebaran penyakit
DBD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Betty (2010) di
Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa mobilitas
berhubungan dengan kejadian DBD. Mereka yang memiliki kebiasaan
berpergian dengan minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD
memiliki risiko 9,29 kali lebih besar daripada yang tidak berpergian.
E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik
1.
Kepadatan Penduduk
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan
tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial
kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas
dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan analisis
temporal, jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi tahun
2013-2015 mengalami kecenderungan yang meningkat. Puskesmas
132
yang selalu memiliki IR DBD tinggi dengan kepadatan penduduk tinggi
adalah Puskesmas Rawa Buntu.
Kasus DBD di Puskesmas Rawa Buntu mengalami peningkatan
seiring kepadatan penduduk yang juga terus meningkat tahun 20132015. Hal ini berarti kepadatan penduduk tinggi di Puskesmas Rawa
Buntu diikuti kejadian penyakit DBD. Suatu wilayah dengan kepadatan
penduduk tinggi dapat memberikan dampak mudah terjadi penularan
penyakit DBD melalui vektor nyamuk Aedes aegypti dari satu orang ke
orang lain. Vektor nyamuk Aedes aegypti memiliki kemampuan jarak
terbang sejauh 50-100 mil atau 81-161 km (Fitriyani, 2007) sehingga
wilayah dengan padat penduduknya dapat memudahkan vektor nyamuk
untuk menginfeksi penduduk karena jarak terbang untuk menggigit
orang lain semakin kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hasyim (2009) yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan secara positif antara kepadatan penduduk dengan kejadian
DBD, artinya semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk maka
kemungkinan juga menyebabkan peningkatan kejadian DBD. Hasil
penelitian ini yang dilakukan oleh Hariyadi (2007) juga menunjukkan
bahwa Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
berisiko 16 kali untuk tertular penyakit DBD.
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Epidemiologi deskriptif penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan adalah
(1) Kejadian DBD tertinggi pada usia produktif (≥15 tahun), (2)
Kejadian DBD lebih sering terjadi di wilayah kerja Puskesmas
Kranggan dan (3) Kejadian DBD terjadi secara fluktuatif.
2.
Rata-rata kondisi iklim di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir adalah suhu udara 27,7°C, kelembaban udara 90%,
curah hujan 189,9 mm dan kecepatan angin 4 knot.
3.
Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang
Selatan secara spasial terlihat tersebar di bagian Selatan Kota.
Sedangkan, berdasarkan temporal terlihat semakin berkurang dan
terjadi penurunan kasus DBD selama 3 tahun terakhir dengan IR DBD
48,5 per 100.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 46,5 per 100.000
penduduk pada tahun 2015.
4.
Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan Angka
Bebas Jentik di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD
tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan ABJ yang juga tinggi.
Secara temporal (trend), terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki angka bebas jentik rendah diiringi IR DBD
yang semakin menurun.
133
134
5.
Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan rumah sehat
di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD tinggi banyak
ditemukan di Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang juga
tinggi. Secara temporal, terjadi penurunan proporsi wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat rendah diiringi IR
DBD yang semakin menurun.
6.
Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan kepadatan
penduduk di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD
tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan kepadatan penduduk
tinggi. Secara temporal, terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi diiringi IR DBD
yang semakin menurun.
7.
Pada tahun 2014 dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang
antara suhu udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan.
Sedangkan pada tahun 2013 tidak ada hubungan antara suhu udara
dengan kejadian DBD.
8.
Pada tahun 2014 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara
kelembaban udara dengan kejadian DBD. Sedangkan, pada tahun 2013
dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara
kelembaban udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan.
9.
Pada tahun 2015 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara
curah hujan dengan kejadian DBD. Pada tahun 2014 terdapat hubungan
dengan kekuatan sedang antara curah hujan dengan kejadian DBD
135
tetapi tidak signifikan. Sedangkan, pada tahun 2013 tidak ada hubungan
antara curah hujan dengan kejadian DBD.
10. Pada tahun 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara
kecepatan angin dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan.
Sedangkan pda tahun 2013 dan 2014 tidak ada hubungan antara
kecepatan angin dengan kejadian DBD.
B. Saran
1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
a. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disarankan tetap
menggunakan dan dapat mengembangkan aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan pemetaan kasus
DBD sehingga dapat mengetahui wilayah dengan insidens DBD
yang tinggi.
b. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disarankan perlu
melakukan koordinasi secara intensif dan meningkatkan kinerja
proaktif kepada petugas Puskesmas seksi lingkungan di Kota
Tangerang Selatan dalam penanggulangan kasus DBD. Hal ini
agar faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap
kejadian DBD dapat teratasi dan penularan penyakit DBD tidak
semakin meluas serta tidak terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)
DBD di Kota Tangerang Selatan.
136
2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota
Tangerang Selatan
a. Peningkatan suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan
berpengaruh terhadap peningkatan kasus DBD di Kota Tangerang
Selatan. Oleh karena itu, BMKG Kota Tangerang Selatan sebagai
pihak yang berwenang terhadap data suhu udara, kelembaban
udara dan curah hujan perlu kerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan.
b. Jika terjadi peningkatan suhu udara, kelembaban udara dan curah
hujan, pihak BMKG disarankan dapat menyebarluaskan informasi
hasil pengukuran berdasarkan bulan setiap tahunnya kepada Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, Dinas
Kesehatan setempat dapat melakukan Sistem Kewaspadaan Dini
Demam Berdarah Dengue (SKD-DBD) dan segera melakukan
kegiatan untuk mengantisipasi kejadian DBD dengan melakukan
kegiatan preventif, seperti survei lapangan, abatisasi, fogging dan
Pemantauan Jentik Berkala (PJB).
3. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan
Kepadatan penduduk yang tinggi berpengaruh terhadap kejadian
DBD di Kota Tangerang Selatan. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang
Selatan sebagai pihak yang berwenang terhadap data kependudukan
disarankan dapat menyebarluaskan informasi kependudukan setiap
tahunnya kepada dinas-dinas yang terkait terutama Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, Dinkes setempat dapat
137
melakukan Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue (SKDDBD) pada wilayah yang berisiko tinggi terjadi KLB DBD akibat
penduduk yang padat.
4. Masyarakat Kota Tangerang Selatan
a. Masyarakat disarankan dapat melakukan pemeriksaan jentik
secara mandiri minimal semingu sekali dalam waktu 30 menit,
tidak hanya pada Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan
3M (menutup, mengubur dan menguras) tetapi juga melalui
pemeliharaan ikan pemakan jentik, abatisasi. Hal ini bertujuan
untuk memberantas jentik vektor nyamuk Aedes aegypti, rumah
tempat tinggal menjadi rumah sehat dan bebas dari jentik vektor
nyamuk Aedes aegypti.
b. Masyarakat disarankan aktif dalam menjaga lingkungan terkait
breeding place nyamuk Aedes aegypti agar tetap bersih dan bebas
dari perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Hal ini
bertujuan agar penularan DBD tidak tinggi pada wilayah dengan
penduduk yang padat.
c. Masyarakat disarankan dapat melakukan pencegahan dan
pemberantasan
penyakit
DBD
secara
mandiri,
seperti
penyemprotan dengan obat nyamuk di dalam rumah, sekolah
ataupun tempat kerja, menggunakan repellent sebelum tidur. Hal
ini bertujuan untuk membantu masyarakat terhindar dari gigitan
138
nyamuk dan memperkecil potensi penularan DBD di Kota
Tangerang Selatan.
d. Masyarakat perlu kewaspadaan dini terhadap penyakit DBD pada
musim hujan terutama di akhir bulan Desember hingga awal
Januari. Pada bulan tersebut, populasi nyamuk Aedes aegypti
meningkat sehingga tingkat penularan DBD juga tinggi. Oleh
karena itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan peran serta
masyarakat berpartisipasi dalam gerakan PSN 3M Plus juga
Pemantauan Jentik Berkala (PJB) di setiap tempat yang
berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk
Aedes aegypti tidak hanya di lingkungan rumah, tetapi juga
lingkungan sekolah dan tempat kerja.
5. Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti lain perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan alat bantu Global Positioning System (GPS) untuk
mengetahui pola persebaran insidens Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan menghitung Nearest Neighbour Index (NNI) atau indeks jarak
tetangga terdekat tingkat Puskesmas di Kota Tangerang Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Afriza, Tuti dan Nasriati. 2012. “Pengaruh Perilaku Masyarakat dalam 3M Plus
Terhadap Resiko Kejadian Demam Berdarah di Wilayah Kerja Puskesmas
Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2012”. Ejournal UII
Angel, B. & Joshi, V. 2008. “Distribution and Seasonality of Vertically
Transmitted Dengue Viruses in Aedes musquitoes in Arid and Semi-arid Areas
of Rajasthan, India”. Journal of Vector Borne Diseases. 2008: 45 (3):56-59.
Arias, Kathleen Meehan. 2009. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Arsunan AA, et al. 2013. “Eco-Epidemiology Analysis of Dengue Hemorrhagic
Fever Endemicity Status in Sulawesi Selatan Province, Indonesia”.
International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT).Vol. 2
Issue 9, September – 2013. ISSN: 2278-0181
Asmara, Lela. 2009. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Insidens Rate
Kasus Tersangka Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kecamatan Kotamadya
Jakarta Timur Tahun 2005-2007. Skripsi. Universitas Indonesia.
Bailey, Trevor C. 2001. “Spatial statistical methods in health”. Cad. Saúde
Pública, Rio de Janeiro, 17(5):1083-1098, set-out, 2001.
Bangs, M.J. et al. 2008. “Climatic Factors Associated with Epidemic Dengue in
Palembang, Indonesia: Implications of Short-Term Meterorological Events on
Virus Transmission”. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public
Health, Vol. 37, No. 6, November 2006.
BAPPEDA Provinsi NTB. 2012. “Modul Pelatihan Quantum GIS Tingkat Dasar”.
GIZ- Decentralization as Contribution to Good Governance. Mataram.
Bhatia, Rajesh, Dash, Aditya p. and Sunyoto, Temmy. 2013. “REVIEW:
Changing Epidemiology of Dengue in South-East Asia”. WHO South-East Asia
Journal of Publich Health, January- March 2013, 2(1).
BPS Kota Tangerang Selatan. 2015. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka.
Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan.
CDC.
2015.
Dengue.
[Online]
Available
at:
http://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html
[Accessed August 2015].
139
140
Candra, Aryu. 2010. “Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan
Faktor Risiko Penularan”. Jurnal AspiratorVol. 2, No. 2, Tahun 2010: 110 –
119.
Chakkaravarthy, VM., Vincent, S. & Ambrose, T. 2011. “Novel Approach of
Geographic Information System on Recents Outbreaks of Chikungunya in
Tamil Nadu, India”. Journal of Environmental Science and Technology.
Chin, J. 2012. Dengue Hemorragic Fever. In: N. Kandun, ed. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika, p. 147.
Costa, Ethiene Arruda Pedrosa de Almeida et al. 2010. “Impact of Small
Variations in Temperature and Humidity on the Reproductive Activity and
Survival of Aedes aegypti (Diptera, Culicidae)”. Journal of Revista
Brasileira de Entomologia 54(3): 488–493, setembro 2010.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Profil Kesehatan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2014.
Dini, A. M. V., Fitriany, R. N. dan Wulandari, R. A. 2010. “Faktor Iklim dan
Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Serang”. Makara,
Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-38
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
(Ditjen P2M & PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2007.
Modul Pelatihan bagi Pengelola Program Pengendalian Penyakit Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Djunaedi, Djoni. 2006. “Demam Berdarah: Epidemiologi, Immunopatologi,
Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaannya”. UMM Press, Malang.
Faldy, R., Kaunang, W.P.J. dan Pandelaki, A.J. 2015. “Pemetaan Kasus Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa Utara”. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, Vol. III No. 2 April 2015.
Farahiyah, M., Nurjazuli dan Setiani, O. 2014. “Analisis Spasial Faktor
Lingkungan dan Kejadian DBD di Kabupaten Demak”. Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 42, No. 1, 2014: 25 – 36.
Fathi, Keman, S., Wahyuni, C. U. 2005. “Peran Faktor Lingkungan dan perilaku
terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram”. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No.21, Juli 2005: 1-10.
Fidayanto, R., Susanto, H., Yohanan, A. dan Yudhastuti, R. 2013. “Model
Pengendalian Demam Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, Vol.7, No, 11, Juni 2013.
Fitriyani. 2007. Penentuan Wilayah Rawan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia dan Analisis Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan
141
(Studi Kasus: Kabupaten Indramayu). Skripsi. Departemen Geofisika dan
Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor.
Fullerton, Laura M., Sarah K. Dickin, Corrine J. Schuster-Wallace. 2014.
Mapping Global Vulnerability to Dengue using the Water Associated
Disease Index. Ontario: United Nations University.
Gama, A. & Betty, F. 2010. “Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali”. Eksplanasi, 5(2).
Ginanjar, Genis. 2004. Demam Berdarah. Jakarta: PT Mizan Publika.
____________. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Gubler, D.J. et al. 2001. “Climate Variability and Change in the United States:
Potential Impact on Vector-and Rodent-Borne Diseases”. Environmental
Health Perspectives. 2001;109:5.
Hairani, Lila Kesuma. 2009. Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angka Insidennya di Wilayah
Kecamatan Cimanggis, Kota Depok Tahun 2005-2008. Skripsi. Universitas
Indonesia.
Hakim, Lukman dan Kusnandari, Asep Jajang. 2012. “Hubungan Status Gizi dan
Kelompok Umur dengan Status Infeksi Virus Dengue”. Aspirator 4(1),
2012 : 34-45.
Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisa Data. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Hasyim, H. 2009. “Analsis Spasial DBD di Provinsi Sumatera Selatan 20032007”. Jurnal Pembangunan Manusia, Vol.9, No. 3 Tahun 2009.
Hasyimi, M., Ariati, Y. dan Hananto, M. 2011. “Hubungan Tempat Penampungan
Air Minum dan Faktor Lainnya dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Provinsi DKI Jakarta dan Bali”. Media Litbang Kesehatan, Vol.
21, No.2, Tahun 2011.
Hidayati, Rini. 2008. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengmbangan Model
Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Skrisp. Institut Pertanian Bogor.
Hutagalung, Jontari, Halim W. dan Koto A. 2011. “Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, 2009”. OSIR, Desember 2011,
Vol. 4, Issue 2, p.1-5.
142
Indriani, C., Fuad, A. dan Kusnanto, H. 2011.“Pola Spasial-Temporal Epidemi
Demam Chikungunya dan Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta
Tahun 2008”. Berita Kedokteran Masyarakat. (pp.41-50)
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
(DBD). Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
____________. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
____________. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 035 Tahun 2012
Tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan
Iklim.
http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn9142012lamp.pdf
____________. 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
____________. 2013. Buku Saku Pengendalian Demam Berdarah Dengue Untuk
Pengelola Program DBD Puskesmas. Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
____________. 2014. Petunjuk Teknis Jumantik – PSN Anak Sekolah. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
____________. 2014. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue”. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
___________. 2015. Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN). [Online] Available
at: http://www.komdat.kemkes.go.id/ [Accessed October 2015].
___________. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenristek. 2013. Analisis Spasial. Modul 3.
Khoa T. D. Thai et al. 2010. “Dengue Dynamics in Binh Thuan Province,
Southern Vietnam : Periodicity, Synchronicity and Climate Variability”.
PLOS, Vol: 4, Issue: 7, e747. PLOS Neglected Tropical Diseases.
143
Krianto, Tri. 2009. “Masyarakat Depok Memilih Fogging yang Tidak
Dimengerti”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 1, Agustus
2009.
Kusumawardani E. dan Achmadi, U. F. 2012. “Demam Berdarah Dengue di
Pedesaan”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.7, No. 3, Agustus
2012.
Lasut, dkk. 2009. “Karakteristik dan Pergerakan Sebaran Penderita DBD
berdasarkan Geographic Information System sebaga Bagian Sistem
Informasi Surveilans di Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang
Provinsi Jawa Barat”. Loka Litbang P2B2 Ciamis.
Marjuki, Bramantiyo. 2014. Sistem Informasi Geografi Menggunakan QGIS 2.0.1
Volume 2 dari Dasar Sistem Informasi Geografi.
Mely Caballero-Anthony, Alistair D. B. Cook, Gianna Gayle Herrera Amul and
Akanksha Sharma. 2015. Health Governance and Dengue in Southeast Asia.
NTS Report No.2, May 2015.
Mu-Jean Chen et al. 2012. “Effect of Extreme Precipitation to the Distribution of
Infectious Diseases in Taiwan, 1994-2008”. PloS ONE Journal, June 2012,
Volume 7, Issue 6, e34651.
Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Nizal, MG et al. 2012. “Dengue Infections and Circulating Serotypes in Negeri
Sembilan, Malaysia”. Malaysian Journal of Public Health Medicine 2012,
Vol. 12 (1): 21-30.
Nugroho, Farid Setyo. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti di RW IV Desa Ketitang Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Octaviana, D. 2007. Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Wilayah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Tesis.
Parham, P. E. et al. 2010. Understanding and Modelling the Impact of Climate
Change on Infectious Diseases–Progress and Future Challenges. [Online]
Available at: http://cdn.intechopen.com/pdfs/19629 [Accessed February
2016].
Pohan, Zoelkarnain. 2014. Hubungan Iklim Terhadap Kasus Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Palembang Tahun 2003-2013. Skripsi. Universitas
Sriwijaya.
Praditya, Sofie. 2011. Gambaran Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal dengan
Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan
144
Sumbersari Kabupaten Jember (Studi pada Wilayah Kerja Puskesmas
Sumbersari). Skripsi. Universitas Jember.
Prahasta, Eddy. 2005. Sistem Informasi Geografis Konsep-konsep Dasar.
Bandung: Informatika.
Puspitasari, Rheni dan Susanto, Irwan. 2011. Analisis Spasial Kasus Demam
Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran.
ISBN : 978 – 979 – 16353 – 6 – 3
Rahim, S., et al. 2013. “Hubungan Faktor Lingkungan dengan Tingkat
Endemisitas DBD di Kota Makassar”. Makassar: UNHAS.
Rahman, Fadhlur. 2010. “Dengue Shock Syndrome Teratasi” dalam mengikuti
kepaniteraan klinik madya bagian ilmu Kesehatan Anak RSU Prop.NTBFakultas Kedokteran Universitas Mataram.
Rajab, W. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta:
EGC.
Rohmah, E.I., Moehammadi, N., Salamun. 2014. “Fluktuasi Populasi Larva Aedes
aegypti Pada Berbagai Jenis Tempat Perkembangbiakan di rumah Penderita
DBD”. Jurnal Ilmiah biologi, Vol. 2, No.1, April 2014. ISSN: 9 772303
342002
Setyaningsih, W. dan Setyawan, A. 2014. “Pemodelan Sistem Informasi
Geografis (SIG) pada Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen”. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan, Volume 3, No 2, November 2014, hlm 106-214
Sihombing, G. F., Marsaulina, I. dan Ashar, T. 2014. “Hubungan Curah Hujan,
Suhu Udara, Kelembaban Udara, Kepadatan Penduduk dan Luas Lahan
Pemukiman dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Malang
Periode Tahun 2002-2011. Jurnal Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan
Kerja, Vo. 3, No. 1, 2014.
Sintorini, Margareta Maria. 2007. “Pengaruh Iklim terhadap Kasus Demam
Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 1,
Agustus 2007.
Siregar, Faziah A. 2004. “Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia. Universitas Sumatera Utara”. Digitized by
USU digital library.
Soedarto. 1990. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika.
Sukowati, S. 2004. “Hubungan Iklim dengan Penyakit Tular Vektor (DBD dan
Malaria)”. Makalah Seminar Sehari Dampak Perubahan Iklim terhadap
Kesehatan. 06 April 20014. Jakarta: Direktorat.
145
Suksesi, Tri Wahyuni. 2012. Monitoring Populasi Nyamuk Aedes aegypti L.
Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Gedongkiwo
Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas Vol. 6 No. 1,
Januari 2012: 1-74. ISSN : 1978-0575.
Sunardi. 2007. Deteksi Faktor Endemisitas Demam Berdarah Dengue. Tesis.
Sunaryo, Pramestuti N. “Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8,
Mei 2014.
Suroso, Thomas dan Umar, Ali imran. 2004. Epidemiologi dan Penanggulangan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini. Balai
Penerbit Faklutas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suseno, Adam dan Agus T., Ricky. 2012. Panduan Penggunaan Quantum GIS
dalam Sistem Informasi Geografis. Bogor.
Syarifa F., Dian dkk. 2015. “Pemetaan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah
Dengue dengan Geographic Information System di Minahasa Selatan”.
Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik : Volume III Nomor 2 April 2015.
Syumarta, Y., Hanif A. M. dan Rustam E. 2014. “Hubungan Jumlah trombosit,
Hematokrit dan hemoglobin dengan Derajat Klinik Demam Bedarah
Dengue pada Pasien Dewasa di RSUP M. Djamil Padang”. Jurnal
Kesehatan Andalas, (2014); 3(3).
Valeeuwen, J.A. 1999. “Envolving models of human health toward and ecosystem
context”. Ecosystem Health 5 (4) : 204 – 219.
Viennet E. et al. 2014. “Epidemiology of Dengue in A High-income Country: A
Case Study in Queensland, Australia”. Journal of Parasites & Vectors 2014,
7:379.
Wahyono, dkk. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
(DBD). Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Wahyuni, R. D. dan Sabir, M. 2011. “Karakteristik Penderita Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Rumah Sakita Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode
Januari – Desember 2010”. INSPIRASI, No.XIV Edisi Oktober 2011.
Wiradharma, Danny. 1999. “Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue”. Jurnal
Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2.
Wirayoga, Mustazahid Agfadi. 2013. “Hubungan Kejadian Demam Berdarah
Dengue dengan Iklim di Kota Semarang Tahun 2006-2011”. Unnes Journal
of Public Health 2 (4) (2013).
146
WHO. 2009. Dengue: Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. ISBN 978 92 4 154787 1
_____. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever. ISBN 978-92-9022-387-0
148
LAMPIRAN 1
Analisis Univariat
Rata-rata IR DBD Tahun 2013-2015
Descriptive Statistics
N
Minimum
Rerata IR DBD Tahun 2013-
3
2015
Valid N (listwise)
Maximum
46.5
48.5
Mean
47.333
Std. Deviation
1.0408
3
Angka Bebas Jentik Tahun 2013-2015
Descriptive Statistics
N
Minimum
ABJ2013-2015
75
Valid N (listwise)
75
67
Maximum
100
Mean
92.51
Std. Deviation
6.900
Descriptive Statistics
N
Minimum
ABJ2013
25
Valid N (listwise)
25
Maximum
77
99
Mean
94.92
Std. Deviation
4.725
Descriptive Statistics
N
Minimum
ABJ2014
25
Valid N (listwise)
25
67
Maximum
100
Mean
92.72
Std. Deviation
8.339
Descriptive Statistics
N
Minimum
ABJ2015
25
Valid N (listwise)
25
75
Maximum
98
Mean
89.88
Std. Deviation
6.451
149
Rumah Sehat Tahun 2013-2015
Descriptive Statistics
N
rumahsehat2013-
Minimum
75
2015
Valid N (listwise)
Maximum
3
101
Mean
89.37
Std. Deviation
15.813
75
Descriptive Statistics
N
Minimum
rumahsehat2013
25
Valid N (listwise)
25
Maximum
3
101
Mean
87.44
Std. Deviation
25.516
Descriptive Statistics
N
Minimum
rumahsehat2014
25
Valid N (listwise)
25
71
Maximum
100
Mean
91.20
Std. Deviation
7.969
Descriptive Statistics
N
Minimum
rumahsehat2015
25
Valid N (listwise)
25
Maximum
79
99
Mean
89.48
Std. Deviation
7.001
Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015
Descriptive Statistics
N
Minimum
KepPend2013-2015
75
Valid N (listwise)
75
63.6
Maximum
574.9
Mean
232.209
Std. Deviation
120.5765
150
Descriptive Statistics
N
Minimum
KepPenduduk 2013
25
Valid N (listwise)
25
Maximum
63.6
513.6
Mean
224.516
Std. Deviation
116.8774
Descriptive Statistics
N
Minimum
KepPenD 2014
25
Valid N (listwise)
25
Maximum
66.8
543.6
Mean
232.180
Std. Deviation
121.9027
Descriptive Statistics
N
Minimum
KepPend2015
25
Valid N (listwise)
25
Maximum
70.1
574.9
Suhu Udara Tahun 2013-2015
Statistics
Suhu Udara Tahun 2013-2015
N
Valid
Missing
36
0
Mean
27.706
Median
27.850
Std. Deviation
.8232
Skewness
-.146
Std. Error of Skewness
.393
Kurtosis
.013
Std. Error of Kurtosis
.768
Minimum
26.0
Maximum
29.5
Mean
239.932
Std. Deviation
127.2136
151
Kelembaban Udara Tahun 2013-2015
Statistics
Kelembaban Udara Tahun 2013-2015
N
Valid
36
Missing
0
Mean
79.83
Median
81.00
Std. Deviation
6.967
Skewness
-.327
Std. Error of Skewness
Kurtosis
.393
-.847
Std. Error of Kurtosis
.768
Minimum
67
Maximum
93
Curah Hujan Tahun 2013-2015
Statistics
Curah Hujan Tahun 2013-2015
N
Valid
Missing
36
0
Mean
189.922
Median
138.050
Std. Deviation
Skewness
Std. Error of Skewness
Kurtosis
Std. Error of Kurtosis
1.5647E2
1.099
.393
1.462
.768
Minimum
.0
Maximum
681.3
152
Kecepatan Angin Tahun 2013-2015
Statistics
Kecepatan AnginT ahun 2013-2015
N
Valid
36
Missing
0
Mean
4.17
Median
4.00
Std. Deviation
.941
Skewness
.956
Std. Error of Skewness
.393
Kurtosis
10.615
Std. Error of Kurtosis
.768
Minimum
1
Maximum
8
Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata
Tahun 2013
Statistics
Suhu Udara
Kelembaban
Curah Hujan
Kecepatan Angin
Rata-rata Tahun Udara Rata-rata Rata-rata Tahun Rata-rata Tahun
2013
N
Valid
Tahun 2013
2013
2013
12
12
12
12
0
0
0
0
Mean
27.575
80.75
225.808
4.25
Median
27.800
82.00
226.000
4.00
.6312
5.154
146.1257
1.545
Minimum
26.4
73
34.0
1
Maximum
28.2
89
526.8
8
Missing
Std. Deviation
153
Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata
Tahun 2014
Statistics
Suhu Udara
Kelembaban
Curah Hujan
Kecepatan Angin
Rata-rata Tahun Udara Rata-rata Rata-rata Tahun Rata-rata Tahun
2014
N
Tahun 2014
Valid
2014
2014
12
12
12
12
0
0
0
0
Mean
27.600
80.50
223.058
4.17
Median
27.800
81.50
177.250
4.00
.8893
7.317
182.6601
.577
Minimum
26.0
67
26.8
3
Maximum
29.4
88
681.3
5
Missing
Std. Deviation
Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata
Tahun 2015
Statistics
Suhu Udara
Kelembaban
Curah Hujan
Kecepatan Angin
Rata-rata Tahun Udara Rata-rata Rata-rata Tahun Rata-rata Tahun
2015
N
Valid
Tahun 2015
2015
2015
12
12
12
12
0
0
0
0
Mean
27.942
78.25
120.833
4.08
Median
28.200
77.00
86.650
4.00
.9356
8.379
124.0669
.289
Minimum
26.4
67
.0
4
Maximum
29.5
93
354.6
5
Missing
Std. Deviation
154
LAMPIRAN 2
Analisis Bivariat (Uji Korelasi Statistik)
Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 20132015
Suhu Udara Tahun 20132015
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.142
36
.063
.931
36
.027
.164
36
.016
.958
36
.188
a. Lilliefors Significance Correction
Transformasi Suhu Udara dengan Kasus DBD 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Suhu Udara Tahun
2013-2015
df
Shapiro-Wilk
Sig.
.170
36
Statistic
.010
df
.956
Sig.
36
.165
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Spearman's rho
Suhu Udara Tahun 20132015
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Kasus DBD Tahun 20132015
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Suhu Udara
Kasus DBD
Tahun 2013-
Tahun 2013-
2015
2015
1.000
-.404*
.
.015
36
36
-.404*
1.000
.015
.
36
36
155
Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2013
.186
12
.200*
.906
12
.192
Suhu Udara Tahun 2013
.245
12
.045
.856
12
.044
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Transformasi Suhu Udara dengan Kasus DBD 2013
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans_SuhuUdara_2013
Df
.248
Shapiro-Wilk
Sig.
12
Statistic
.039
df
.852
Sig.
12
.039
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kasus DBD
Suhu Udara
Tahun 2013
Tahun 2013
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013 Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Suhu Udara Tahun 2013 Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
.069
.
.832
12
12
.069
1.000
.832
.
12
12
Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2014
.235
12
.065
.857
12
.045
Suhu Udara Tahun 2014
.211
12
.145
.923
12
.316
156
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2014
.235
12
.065
.857
12
.045
Suhu Udara Tahun 2014
.211
12
.145
.923
12
.316
a. Lilliefors Significance Correction
Transformasi Kasus DBD dengan Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Kasus DBD Tahun
Df
.303
2014
Shapiro-Wilk
Sig.
12
Statistic
.003
df
.772
Sig.
12
.005
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kasus DBD
Suhu Udara
Tahun 2014
Tahun 2014
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Suhu Udara Tahun 2014 Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
-.487
.
.109
12
12
-.487
1.000
.109
.
12
12
Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2015
.188
12
.200*
.933
12
.413
Suhu Udara Tahun 2015
.151
12
.200*
.949
12
.625
a. Lilliefors Significance Correction
157
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2015
.188
12
.200*
.933
12
.413
Suhu Udara Tahun 2015
.151
12
.200*
.949
12
.625
*. This is a lower bound of the true significance.
Korelasi Uji Pearson Moment
Correlations
Kasus DBD Tahun Suhu Udara Tahun
2015
Kasus DBD Tahun 2015
2015
Pearson Correlation
1
-.423
Sig. (2-tailed)
.171
N
Suhu Udara Tahun 2015
Pearson Correlation
12
12
-.423
1
Sig. (2-tailed)
.171
N
12
12
Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 20132015
Kelembaban Udara Tahun
2013-2015
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.142
36
.063
.931
36
.027
.114
36
.200*
.956
36
.166
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
158
Korelasi Uji Pearson Moment
Correlations
Kelembaban
Kasus DBD Tahun 2013-2015
Kasus DBD Tahun
Udara Tahun
2013-2015
2013-2015
Pearson Correlation
.434**
1
Sig. (2-tailed)
.008
N
Kelembaban Udara Tahun
2013-2015
Pearson Correlation
36
36
.434**
1
Sig. (2-tailed)
.008
N
36
36
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 2013
Kelembaban Udara Tahun
2013
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
Df
Sig.
.186
12
.200*
.906
12
.192
.179
12
.200*
.933
12
.410
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Korelasi Uji Pearson Moment
Correlations
Kasus DBD Tahun 2013
Pearson Correlation
Kasus DBD Tahun
Kelembaban
2013
Udara Tahun 2013
1
Sig. (2-tailed)
N
Kelembaban Udara Tahun 2013 Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
.288
.364
12
12
.288
1
.364
12
12
159
Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 2014
Kelembaban Udara Tahun
2014
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
Df
Sig.
.235
12
.065
.857
12
.045
.223
12
.103
.870
12
.066
a. Lilliefors Significance Correction
Transformasi Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Kasus DBD Tahun
2014
Df
.303
Shapiro-Wilk
Sig.
12
Statistic
.003
df
Sig.
.772
12
.005
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kelembaban
Tahun 2014
2014
.637*
.
.026
12
12
Correlation Coefficient
.637*
1.000
Sig. (2-tailed)
.026
.
12
12
Sig. (2-tailed)
N
Tahun 2014
Udara Tahun
1.000
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient
Kelembaban Udara
Kasus DBD
N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
160
Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 2015
Kelembaban Udara Tahun
2015
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.188
12
.200*
.933
12
.413
.140
12
.200*
.947
12
.597
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Korelasi Pearson Moment
Correlations
Kasus DBD Tahun 2015
Kasus DBD Tahun
Kelembaban
2015
Udara Tahun 2015
Pearson Correlation
1
.502
Sig. (2-tailed)
.096
N
Kelembaban Udara Tahun 2015 Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
12
12
.502
1
.096
N
12
12
Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 20132015
Curah Hujan Tahun 20132015
a. Lilliefors Significance Correction
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.142
36
.063
.931
36
.027
.157
36
.025
.911
36
.007
161
Trans Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Curah Hujan Tahun
df
.154
2013-2015
Shapiro-Wilk
Sig.
35
.035
Statistic
df
.879
Sig.
35
.001
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kasus DBD
Curah Hujan
tahun 2013-2015 tahun 2013-2015
Spearman's rho
Kasus DBD tahun 2013-
1.000
.409*
.
.013
36
36
Correlation Coefficient
.409*
1.000
Sig. (2-tailed)
.013
.
36
36
Correlation Coefficient
2015
Sig. (2-tailed)
N
Curah Hujan tahun 20132015
N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2013
.186
12
.200*
.906
12
.192
Curah Hujan Tahun 2013
.153
12
.200*
.937
12
.459
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
162
Korelasi Uji Pearson Moment
Correlations
Kasus DBD Tahun 2013
Kasus DBD Tahun
Curah Hujan
2013
Tahun 2013
Pearson Correlation
1
-.112
Sig. (2-tailed)
.730
N
Curah Hujan Tahun 2013
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
12
12
-.112
1
.730
N
12
12
Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2014
.235
12
.065
.857
12
.045
Curah Hujan Tahun 2014
.179
12
.200*
.870
12
.064
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Transformasi Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Kasus DBD Tahun
2014
a. Lilliefors Significance Correction
.303
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
12
.003
Statistic
.772
df
Sig.
12
.005
163
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Spearman's rho
Curah Hujan
Kasus DBD
Tahun 2014
Tahun 2014
Curah Hujan Tahun Correlation Coefficient
2014
1.000
.453
.
.140
12
12
Correlation Coefficient
.453
1.000
Sig. (2-tailed)
.140
.
12
12
Sig. (2-tailed)
N
Kasus DBD Tahun
2014
N
Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kasus DBD Tahun 2015
.188
12
.200*
.933
12
.413
Curah Hujan Tahun 2015
.165
12
.200*
.873
12
.072
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Korelasi Uji Pearson Moment
Correlations
Kasus DBD Tahun 2015
Pearson Correlation
Kasus DBD Tahun
Curah Hujan
2015
Tahun 2015
1
Sig. (2-tailed)
N
Curah Hujan Tahun 2015
.609*
.036
12
12
Pearson Correlation
.609*
1
Sig. (2-tailed)
.036
N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
12
12
164
Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 20132015
Kecepatan angin Tahun
2013-2015
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.142
36
.063
.931
36
.027
.376
36
.000
.595
36
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Trans Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Kecepatan Angin
Tahun 2013-2015 Korelasi
df
.430
Shapiro-Wilk
Sig.
36
Statistic
.000
df
Sig.
.501
36
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kecepatan
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013- Correlation Coefficient
2015
2013-2015
angin Tahun
Tahun 2013
2013
1.000
.097
.
.574
36
36
Correlation Coefficient
.097
1.000
Sig. (2-tailed)
.574
.
36
36
Sig. (2-tailed)
N
Kecepatan angin Tahun
Kasus DBD
N
165
Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 2013
Kecepatan angin Tahun
2013
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.186
12
.200*
.906
12
.192
.352
12
.000
.737
12
.002
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Transformasi Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Kecepatan Angin
2013
Df
.434
Shapiro-Wilk
Sig.
12
Statistic
.000
df
.641
Sig.
12
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kecepatan
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013 Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Kecepatan angin Tahun
2013
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Kasus DBD
angin Tahun
Tahun 2013
2013
1.000
-.002
.
.995
12
12
-.002
1.000
.995
.
12
12
166
Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 2014
Kecepatan Angin Tahun
2014
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.235
12
.065
.857
12
.045
.364
12
.000
.753
12
.003
a. Lilliefors Significance Correction
Transformasi Kasus DBD dan Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun
2014
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans_KasusDBD_2014
Trans_KecepatanAngin_201
4
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.303
12
.003
.772
12
.005
.339
12
.000
.750
12
.003
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kecepatan
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient
Tahun 2014
2014
.101
.
.754
12
12
Correlation Coefficient
.101
1.000
Sig. (2-tailed)
.754
.
12
12
N
2014
Angin Tahun
1.000
Sig. (2-tailed)
Kecepatan Angin Tahun
Kasus DBD
N
167
Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Kasus DBD Tahun 2015
Kecepatan Angin Tahun
2015
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.188
12
.200*
.933
12
.413
.530
12
.000
.327
12
.000
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Transformasi Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2015
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trans Kecepatan Angin
Tahun 2015
Df
.530
Shapiro-Wilk
Sig.
12
Statistic
.000
df
Sig.
.327
12
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Korelasi Uji Spearman rho
Correlations
Kecepatan
Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2015 Correlation Coefficient
Tahun 2015
2015
.307
.
.331
12
12
Correlation Coefficient
.307
1.000
Sig. (2-tailed)
.331
.
12
12
N
2015
Angin Tahun
1.000
Sig. (2-tailed)
Kecepatan Angin Tahun
Kasus DBD
N
168
LAMPIRAN 3
DATA SUHU UDARA, KELEMBABAN UDARA, CURAH HUJAN DAN KECEPATAN
DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015
Grafik 5.9
Tren Suhu Udara Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
30
29
Suhu Udara (°C)
28
27
26
25
24
2013
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
26.4
27.2
28.1
27.9
27.9
28
26.5
27.7
28.2
28.2
27.7
27.1
2014
26
26.3
27.2
27.9
27.8
27.9
27.1
27.8
28.3
29.4
27.8
27.7
2015
26.4
26.5
27
27.5
28.3
28.1
28.3
28.4
28.6
29.5
28.8
27.9
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015
169
Grafik 5.10
Tren Kelembaban Udara Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
100%
90%
80%
Kelembaban Udara (%)
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
2013
89%
86%
82%
84%
84%
79%
84%
73%
74%
74%
78%
82%
2014
88%
88%
86%
85%
87%
82%
81%
74%
68%
67%
80%
80%
2015
85%
87%
87%
93%
78%
76%
70%
69%
67%
71%
75%
81%
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015
170
Grafik 5.11
Tren Curah Hujan Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
800
700
600
Curah Hujan (mm)
500
400
300
200
100
0
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
2013
526.8
224.8
105.6
336.9
227.2
82.7
348.8
81.6
34.8
133.5
261.6
346.2
2014
681.3
402.7
138.3
137.8
263.2
297.2
216.2
109.3
33.1
26.8
265.3
105.5
2015
354.6
254.9
305
160.7
129.9
49.9
0
9.7
2
10
100.5
72.8
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015
171
Grafik 5.12
Tren Kecepatan Angin Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
9
8
7
Kecepatan Angin (Knot)
6
5
4
3
2
1
0
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
2013
5
4
8
4
4
1
4
5
4
4
4
4
2014
5
4
4
4
4
4
4
4
5
4
3
5
2015
5
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015
172
LAMPIRAN 4
DATA SUHU UDARA, KELEMBABAN UDARA, CURAH HUJAN DAN KECEPATAN ANGIN DENGAN KASUS DBD
DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015
Grafik 5.13
Tren Kasus DBD dengan Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
140
30
120
29
100
80
27
60
Suhu Udara (°C)
Jumlah Kasus DBD
28
26
40
25
20
0
AGUS
AGUS
AGUS
JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI
SEPT OKT NOV DES
T
T
T
Suhu Udara 26.4 27.2 28.1 27.9 27.9
28
Kasus DBD
78
69
63
67
67
65
26.5 27.7 28.2 28.2 27.7 27.1
56
50
62
45
54
24
26
86
26.3 27.2 27.9 27.8 27.9 27.1 27.8 28.3 29.4 27.8 27.7 26.4 26.5
86
76
80
51
63
68
74
63
24
17
13
83
91
27
77
24
27.5 28.3 28.1 28.3 28.4 28.6 29.5 28.8 27.9
66
115
55
66
18
16
55
58
18
Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
173
Grafik 5.14
Tren Kasus DBD dengan Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
140
100%
90%
120
80%
70%
60%
80
50%
60
40%
30%
40
20%
20
10%
0
MA
JUN
AG SEP
NO
MA
JUN
AG SEP
NO
MA
JUN
AG SEP
NO
APR MEI
JULI
OKT
DES JAN FEB
APR MEI
JULI
OKT
DES JAN FEB
APR MEI
JULI
OKT
DES
R
I
UST T
V
R
I
UST T
V
R
I
UST T
V
Kelembaban Udara 89% 86% 82% 84% 84% 79% 84% 73% 74% 74% 78% 82% 88% 88% 86% 85% 87% 82% 81% 74% 68% 67% 80% 80% 85% 87% 87% 93% 78% 76% 70% 69% 67% 71% 75% 81%
Kasus DBD
69 63 67 67 65 78 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18
JAN FEB
Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
0%
Kelembaban Udara (%)
Jumlah Kasus DBD
100
174
Grafik 5.15
Tren Kasus DBD dengan Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
140
800
700
120
600
500
80
400
60
300
40
200
20
0
100
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
Curah Hujan 526.8 224.8 105.6 336.9 227.2
Kasus DBD
69
63
67
67
65
JUNI
JULI AGUST SEPT
82.7
348.8
81.6
34.8
78
56
50
62
OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUNI
JULI AGUST SEPT
133.5 261.6 346.2 681.3 402.7 138.3 137.8 263.2 297.2 216.2 109.3
45
54
24
86
86
76
80
51
63
68
74
OKT
NOV
33.1
26.8
265.3 105.5 354.6 254.9
63
24
17
DES
13
JAN
83
FEB
91
MAR
305
77
APR
MEI
160.7 129.9
66
115
JUNI
JULI AGUST SEPT
OKT
NOV
DES
49.9
0
9.7
2
10
100.5
72.8
55
66
18
16
55
58
18
0
Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Curah Hujan (mm)
Jumlah Kasus DBD
100
175
Grafik 5.16
Tren Kasus DBD dengan Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
140
9
8
120
7
100
80
5
4
60
3
40
2
20
1
0
AGU
AGU
AGU
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI
SEPT OKT NOV DES
ST
ST
ST
4
5
4
4
4
4
5
4
4
4
4
4
4
4
5
4
3
5
5
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18
0
JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI
Kecepatan Angin 5
Kasus DBD
69
4
63
8
67
4
67
4
65
1
78
Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
Kecepatan Angin (Knot)
Jumlah Kasus DBD
6
177
LAMPIRAN 5
Dummy Table Incidence Rate (IR) Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
No.
Puskesmas
Incidence Rate
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
1.
Pamulang
34
60
58
2.
Pdk Benda
94
89
61
3.
Benda Baru
56
33
32
4.
Ciputat
4
64
30
5.
Situ Gintung
36
21
21
6.
Jombang
46
28
12
7.
Sawah
70
19
17
8.
Ciputat timur
52
46
21
9.
Pdk Ranji
43
64
34
10.
Pisangan
24
29
14
11.
Rengas
75
144
118
12.
Pdk Jagung
35
23
42
13.
Paku Alam
54
28
43
14.
Pdk Aren
64
43
27
15.
Pdk Pucung
101
57
25
16.
Pdk Betung
26
6
19
17.
Jurang Manggu
10
15
14
18.
Perigi
112
38
58
19.
Pdk Kacang timur
36
0
9
20.
Serpong 1
32
105
156
21.
Serpong 2
24
8
30
22.
Rawa Buntu
71
93
72
23.
Setu
4
78
311
24.
Kranggan
145
208
142
25.
Baktijaya
22
92
157
178
Dummy Table Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015
No.
Puskesmas
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
1.
Pamulang
98%
97%
96%
2.
Pdk Benda
98%
91%
89%
3.
Benda Baru
99%
96%
88%
4.
Ciputat
77%
94%
94%
5.
Situ Gintung
86%
99%
80%
6.
Jombang
94%
96%
96%
7.
Sawah
97%
95%
96%
8.
Ciputat timur
95%
67%
75%
9.
Pdk Ranji
97%
96%
96%
10.
Pisangan
98%
99%
90%
11.
Rengas
98%
98%
98%
12.
Pdk Jagung
99%
95%
94%
13.
Paku Alam
95%
100%
91%
14.
Pdk Aren
96%
94%
95%
15.
Pdk Pucung
96%
86%
85%
16.
Pdk Betung
98%
69%
98%
17.
Jurang Manggu
94%
98%
81%
18.
Perigi
93%
93%
83%
19.
Pdk Kacang timur
97%
98%
90%
20.
Serpong 1
96%
90%
83%
21.
Serpong 2
97%
98%
91%
22.
Rawa Buntu
97%
96%
93%
23.
Setu
99%
92%
95%
24.
Kranggan
95%
85%
90%
25.
Baktijaya
91%
96%
80%
179
Dummy Table Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Tangerang Selatan
Tahun 2013-2015
No.
Puskesmas
Rumah Sehat
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
1.
Pamulang
64%
85%
81%
2.
Pdk Benda
96%
83%
89%
3.
Benda Baru
96%
88%
88%
4.
Ciputat
96%
84%
87%
5.
Situ Gintung
100%
100%
99%
6.
Jombang
95%
97%
97%
7.
Sawah
10%
77%
87%
8.
Ciputat timur
95%
100%
96%
9.
Pdk Ranji
80%
71%
81%
10.
Pisangan
97%
99%
83%
11.
Rengas
90%
97%
98%
12.
Pdk Jagung
97%
98%
81%
13.
Paku Alam
100%
98%
98%
14.
Pdk Aren
95%
99%
94%
15.
Pdk Pucung
94%
90%
96%
16.
Pdk Betung
101%
85%
92%
17.
Jurang Manggu
94%
86%
81%
18.
Perigi
96%
94%
83%
19.
Pdk Kacang timur
98%
100%
97%
20.
Serpong 1
97%
94%
95%
21.
Serpong 2
97%
97%
80%
22.
Rawa Buntu
97%
94%
98%
23.
Setu
98%
86%
85%
24.
Kranggan
3%
83%
79%
25.
Baktijaya
100%
95%
92%
180
Dummy Table Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Tangerang
Selatan Tahun 2013-2015
No.
Puskesmas
Kepadatan Penduduk
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
1.
Pamulang
411
423
436
2.
Pdk Benda
130
133
137
3.
Benda Baru
461
474
488
4.
Ciputat
232
234
235
5.
Situ Gintung
99
102
105
6.
Jombang
225
233
241
7.
Sawah
257
268
279
8.
Ciputat timur
236
236
236
9.
Pdk Ranji
194
204
215
10.
Pisangan
200
205
211
11.
Rengas
170
172
175
12.
Pdk Jagung
514
544
575
13.
Paku Alam
179
185
191
14.
Pdk Aren
201
208
216
15.
Pdk Pucung
93
97
100
16.
Pdk Betung
358
369
380
17.
Jurang Manggu
343
356
369
18.
Perigi
94
99
103
19.
Pdk Kacang timur
244
252
260
20.
Serpong 1
224
231
237
21.
Serpong 2
132
137
143
22.
Rawa Buntu
283
296
310
23.
Setu
64
67
70
24.
Kranggan
147
155
163
25.
Baktijaya
124
125
125
KEMENTERIAN AGAMA
UNTYERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN )
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
,. Kertamurti No. 5 pisangan
Nomor : Un.0
ciputat
I
i541e
lF l}lTL.O\l
3
o69
ffji;-" , ffi'J,:il:::rL: Ifr;,f1?'Jd,tffi.,.
A
/ZOl
S
Lampiran '. Hal
: Permohonan lzin pengambilan Data
Jakarta, 3aSeptember 201
5
Kepada Yth.
Kepala Kesatuan Bangsa dan politik (Kesbangpol) Kota Tangerang
Selatan
di
Tempat
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat kami sampaikan, bahrva mahasiswa Program
Studi Ilmu Kesehata,
Masvarakat Fakultas Kedokteran dan Ihnu Kesehatan (FKiK)
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Semester Ganjil berikut ini sedang menyusun skripsi
dan alan mclaksanaka.
Studi Pendahuluan.
Nama
Rizki Amalia
NIM
11
Semester
IX (Sembilan)
Judul skripsi
.!hatialtemporal penyakit Demam Berdarah
{ry!1is
(DBD)
il 104000030
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2OlO-2014
Dengue
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon mahasisr.va
tersebut diizinkan urrtuk
melakukan studi pendahuluan di instansi yang BapaUIbu
pirnpin.
Dernikian atas perhatian dan kerjasarnanya. karni ucapkan
terima kasih.
\\'assala mu'alaikum Wr. Wb.
Akademik,
c
rdjana, Sp. OG & K), SH
I98709 I 00t
Tenrbusan:
Dekan FKIK t,rlN
S_r
arif Hidal,arullah .takarla
kOTITAHG!RAHGSflATAN
PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
BA DAN KESATUAN BA NGSA POLITI I< DAN PERLI NDUNGAN M ASYARAKAT
K ES B AN GP ' L I
MA S
JI.P u s pit e k No,l,Kecamatan Setu
Kot a Tangera n g S e l a tan - Prov B<lllt c n
SURAT IZIN PENELITIAN
Nomor : 0701lSq" IKes bangpolinmas/2016
ME MBACA
MENG INGAT
MEMPERHATIKAN
Surat dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Nomor : Un ,01 /F10/Tl.00/3069/2015
Tangg al30 September 20 15 Pel'ihal Permohonan Izin Pengam bi lan Data,
1. Keputusan Mentel'i Dalam Negeri Nomor
130 Tahun 2003 tentang
Orga nisasi dan Tata Kerj a Departemen Dal am Negeri.
2, Sural Keputusan Menteri Dala m Negeri Nomor : SD,6 /2/1 2 Tang gal 5 Ju li
i sn. tentang Kegiaiclr! Riset dan Su,vei diwajibkan melapor di ri kepada
Gubernur Ke pala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk,
3. Keputusa n Direktur Jenderal Sosial Politik Nomor : 14 Ta hu n 1981 tentang
Surat Pem beritahuan Penelilian (SPP).
Proposal Penelitian Ybs.
MEMB ERITAH UKAN BAHWA:
NAMA
NIM
FAKULTAS
JUDUL PENELITI AN
LOKASI PENELI TIAN
LAMA PENELITIAN
MAKSUD DAN
TUJUAN
Rizkia Amalia
11 111 04000030
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
"ANAL/SIS SPA TlAL TEMPORAL PENYA KIT DEMAN BERDARAH DENGUE (
DBD ) 01 KOTA TA NGERANG SELATAN TAHUN 2010 - 2014"
Kota Tangerang Selatan
April s.d Juni 2016
Untuk mengetahui gam baran distribusi spasial dan temporal kasu s DBD
se l1 ingga d2.;Jat melihat daerah endomis DBD dan juga daera h yang berpotensi
terjadi KLB DBD diwi layah Kota Tan gerang Selatan".
Sehubungan dengan maksud dan tujuan terse but diatas dan berdasarkan pertimbangan kelengkapan penelitian,
dengan ini memberikan izin kepada yang be rsangkuta n untuk melak ukan penelitia n di lokasi yang diluju dengan
me menu hi ketentuan sebagai berikut :
1. Sebelum melakukan keg iatan Penelili,1n harus melaporkan kedatangannya kepada Walikota Cq Kepal a Badan
Kesbangpolinmas dengan menunjukkan sura l pemberitahuan.
2. Tidak dibenarkan melakukan Peneliti an yang lidak sesuai/tid ak ada kaitannya dengan jud ul penelitian dimaksud.
3, Harus mentaati ketentu an perundang-undangan yang berl aku serta mengindahkan adat istiadat setempat.
4. Apabila masa berlaku Surat Pemberitahuan ini sudah berakhir, sedangkan pelaksanaan penelitian belum selesai,
perpanjangan penelitian harus diajukan kembali kepada instansi pemohon,
5, Hasil kajian/penelitian agar dapat diserahkan 1 (satu) eksem plar kepada Badan Kesbangpolinmas Kota
Tangerang Selatan,
6. Surat Pemberitahuan ini akan dicabut kembali dan dinyatakan tidak berlaku , apabila ternyata pemegang Su rat
Pemberitahuan ini tidak mentaati/m eng indahkan kete ntuan-ketentuan seperti lersebut diatas.
Dikeluark an di
' 'V\' id od o N uu roh a d i.!VI M
N IP, 19670905199303 1 003
Tembusan:
1. Yth. Badan Kesbangpol Kota Tangerang Sel atan (Sebagai Laporan) ;
2. Yth. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan;
3. Yang Bersangkutan;
4. Arsip
KEMENTERIAN AGAMA
trNrvERSrTAS rSLAM NEGERT ( trrN )
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
,.
Kertamukti No. 5 pisangan ciputat
154re
ffiji;," , .*.**'lr:#t:'r[? I-?;fi?l|d,tX:-fl?.,.
:-
Nomor : Un.0l/Fl0/TL.00l3ogotlZOtS
Larnpiran
Hal
:
:
Jakarta. ToSepternber 201
5
-
Permohonan Izin Pengambilan Data
Kepada Yth.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Jl. Witana l{arja Komplek Sasmita Jaya No.27
Pamulang, Banten Telp. (021) 744lSS7
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat karni sampaikan. bahrva mahasisrva Prograrn StLrdi Ilmu Keselratan
Masyarakat lrakultas Kedokteran dan ilmLr Kcschatan (l--KIK) LJIN Syarif llidavarLrllah
Jakarta Semester Canjil berikut ini sedarrg menyusun skripsi dan akan nrelaksanakarr
Studi Pendahuluan.
Nama
NIM
Semester
Judul skripsi
:
:
:
:
Rizki Amalia
1111104000030
IX (Sembilan)
Analisis Spatialtemporal Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2014
Sehubungatl dengan hal tersebr-rt. karni rnolron mahasisu,a terscbr:t diizinkan untuk
me lakukan studi perrdalruluan di instansi varrg rlapak/rbLr pirnpirr.
Dernikiarr atas perhatian dan' kerjasarnanya.
karli ucapkan terima
kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
ang Akademik.
liana, Sp. OC
t98709 I 00t
l-ern busan:
Dckan I-KlK L'lN Sr.arif I-lidararullah .lakarra
& (K),
SFI
PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
DINAS KESEHATAN
Jl. Raya Rawabuntu Rt.02l01, Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong
i_:W./'
\;.::::.Lyy::--
Telepon . (021) 29307897
Fax
(021) 29307989
Tangerang Selatan, 26 Januari 2016
Nomor
: 070F7tB /Umpeg
Sifat
: Biasa
Hal
. Pemberian lzin
Kepada
Yth,
Dekan, FKIK, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
di TEMPAT
Menindaklanjuti Surat dari FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarla, Nomor
:
Un.01/F10/T1.00/3069b/2015,
tanggal
30
Permohonan lzin Pengambilan Data atas nama
Nama
NIM
Judul
September 2015 perihal
:
: RizkiAmalia
:1111104000030
: "Analisis Spatialtemporal Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Tangerang SelatanTahun 20132015".
Pada dasarnya kami Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tidak
keberatan untuk memberikan izin, adapun dalam pelaksanaan agar
berkoordinasi dengan Kepala UPT Puskesmas yang akan dikunjungi dan
memberikan laporan atau hasil kegiatan tersebut kepada Dinas Kesehatan
Kota
Ta ng e ra
ng
Se I ata n.
Demikian atas perhatian dan kerjasama saudara, kami mengucapkan
terima kasih.
KEPALA DINAS KESEHATAN
KOTA TANGERANG SELATAN,
Pembina Tk
NrPl 96009241 98501 1 001
I
Tembusan :
1. Yth, Walikota Tangerang Selatan
2. Kepala UPT Puskesmas se-Kota Tangerang Selatan
3. Yang Bersangkutan.
KEMENTERIAN AGAMA
TNTVERSITAS ISLAM NEGERI ( TIIN )
SYARIF ITIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
Telp. : (62-21) 74716718 Fax : (62-21) 740498s
Website : www.uinjk.ac.id; E-mail : [email protected]
Il. Kertamukti No. 5 Pisangan Ciputat 15419
Nomor
:
Lampiran
:
IIal
:
L.in.0
I
/l: I 0,rl-l-.00 I 3o
{z t l2O I 5
.lakarta.?o Scptcrlbcr 20
1,5
Permohonan Izin Pengambilan Data
Kepada Yth.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan
Jl. Raya Pahlarvan Seribu - Puspiptek Kel. Kademangan Kec. Setu
'I'angerang Selatan 15313, 'l'elp (62-2l) 75791502
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat kami sampaikan, bahwa mahasiswa Program Studi llmu Kesehatan
N4asyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayarullah
.lakarta Semester Canjil berikut ini sedang menyusun skripsi dan akarr melaksanakan
StLrdi Pendahuluan.
Nama
NIIVl
Semester
Judul skripsi
:
:
:
:
Rizki Arnalia
I I I I 104000030
IX (Sembilan)
Analisis Spatiultemporal Penyakit Dernarn []erdarah [)ensuc
(DBD) di Kota Tangerang Selaran -l-ahun 20l.0-20it4
Sehubungan dengan hal tersebut. kami mohon mahasiswa tersebut diizinkan untuk
melakukan studi pendahuluan di instansi yangBapaVlbu pimpin.
Demikian atas perhatian dan kerjasamanya. kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaiku m Wr. \1,b.
A
rdjana. Sp. OC & (K
98709 r 00 I
'T-enrbusan:
l)ekan FKIK IJIN Syarif Hidal'atullah Jakarta
KEMENTERIAN AGAMA
TINWERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN )
SYARIF HIDAYATULLAII JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
I.
Kerramukti No.5 pisangan ciputat
r54re
ffil;u" , K'.]r:;:':'rl:;fr;,{1,;ldi,Xi,T:,,
Nomor : Un.0l/F10iTL.00l ?olT 0, 12015
Lampiran
l-lal
Jakarta.
:
l<.r
September 20
1
5
I (satu)Eksemplar
: Permohonan Tarif Nol Rupiah
[Jntuk Penga mtrilan Data
Kepada Yth.
Kepala Kantor Pusat Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Jl. KP Bulak Raya Cempaka Putih - Ciputat
Assalamu' ula ik um lVr. Wb.
Dengarr hormat,
Dalam rangka pencarian data untuk mata kuliah skripsi maka karni nrohon bantuan
pengadaan data-data bagi mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berikut ini:
Nama
: Rizki Amalia
NIM
: ll lll0l000030
.lurusan/Fakultas : KeselratanMasyarakat/FakultasKedokterandanIlntuKcschatan
Pernbirnbing/Prornotor : Minsarnawati Tahangnacca. Sl"M. M. Kes.
Perkiraan Waktu
Selesainya
:
Judul
:
Riastuti Kusuma Wardarri. MKM
Maret 2016
Analisis Spatiultentp<tral Perryakit Demar.rr Berdaralr Dcnguc
(DBD) di Kota Dcpok dan Kota Tangerang Selatan 'l'ahLrn 20102014
Data yang dicari
Lokasi
Periode waktu
. l. Suhu udara
2. Kelembaban
3. Curah hujan
4. Kecepatan angin
. Kota Depok dan Kota Tangerang
. Tahun 2010-2014
Selatan
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon Bapak/lbu dapat memberikan izin
kepada mahasisu,a tersebut.
Dernikian. atas perhatian dan ker.iasama Bapak/lbu. kami ucapkan tcrima kasilr.
lVassa Ia
mu' aI a i k u m ll1r. lVh.
idang Akadcrnik.
(<
'l-embusan:
Dekan FKIK UIN Sy,arif Hidayatullah Jakarta
r. H. Sardjana. Sp. OG &
19610416 198709 I 00r
KEMENTERIAN AGAMA
UNTYERSITAS ISLAM NEGERI ( IIIN )
SYARIF HIDAYATT]LLAH JAKARTA
FAKTJLTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
r.
Kertamukti
No
Nomor
Lampiran
Hal
5 pisangan
1541e
ciputat
: Urr.0l/FI0/"tL.00t
:
lijl;n" ',lffitl,l{i'f'rll Ifr;,fii3,l'd,1,ii,1T.
?r18 AtZOtS
--
I (satu) Eksemplar
: Permohonan Tarif Nol Rupiah
.
Jakafta.go September 201 5
Untuk Pengambilan Data
Kepada Yth.
Kepala Kantor Pusat Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
.II. KP Bulak Raya Cempaka Putih - Ciputar
Assa Ia mu'
a
lo ik
um Wn
Wb.
Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
Rizki Amalia
NIM
ril1t01000030
FKIK UIN Syarif Hidayarullah Jakarra
Nama instansi
.labatan
Mahasiswi
Alamat
IIP/E-Mail
Jl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung, Depok I 6435
082 I 304 7 625 / eshimizudani40T
@gmai l.com
I
Dengan ini mengajukan permohonan pengenaan tarif sebesar Rp.0,00 (nol rupiah) atas
PNBP untuk:
Kegiatan
nformasi Meteorologi, K I i rratologi. dan Ceofi s i ka
Data r-rntuk skripsi dalam menyclcsaikarr pcnclidikarr
l. Suhu udara
2. Kelelnbaban
I
Deskripsi Kegiatan
.lenis Informasi
3.
4.
S
I
Cural.r hu.ian
Kecepatan angin
Tahun 2010-2014
Kota Depok dan Kota Tangerang Selatarr
Periode
Lokasi/wilayah
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon Bapak/lbu dapat rnemberikan izin
kepada mahasiswa tersebut.
Demikian, atas perhatian dan kerjasama Bapak/lbu, kami ucapkan terima kasih.
ll/ass a la mu' alaik
um Wr.
Wb.
n Bidang Akadernik.
I'1. Sard-iana. Sp.
416 198709 I 00t
l-embusan:
Dekan FKIK UIN Syari
f H idayatul
lah Jakarta
OC &
sil
v
Download