STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh: Rizki Amalia 1111101000030 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI Skripsi, Maret 2015 Rizki Amalia, NIM: 1111101000030 STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015 185 halaman, 2 gambar, 2 bagan, 13 tabel, 16 grafik, 4 peta, 6 lampiran ABSTRAK Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Incidence rate (IR) Kota Tangerang Selatan dalam 5 tahun terakhir melebihi target IR secara nasional. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan kasus DBD adalah faktor lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, angka bebas jentik, rumah sehat dan kepadatan penduduk). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit DBD dan mengetahui hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menggunakan desain ecological study dimana populasinya adalah semua kasus di seluruh Puskesmas yang ada wilayah Kota Tangerang Selatan. Data berasal dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, BPS Kota Tangerang Selatan dan BMKG Ciputat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial sebaran kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas dengan angka bebas jentik tinggi (≥95%), rumah sehat tinggi (≥80%) dan kepadatan penduduk tinggi (>200 jiwa/ha). Sedangkan, secara temporal menunjukkan penurunan kasus DBD selama 3 tahun terakhir. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan hubungan kuat secara signifikan antara faktor iklim dengan kejadian DBD, kecuali kecepatan angin. Incidence rate DBD pada tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas bagian Selatan Kota Tangerang Selatan masih tinggi. Pencegahan yang dilakukan adalah peningkatan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) melalui ‘3M Plus’ dan mengajak peran serta masyarakat agar aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan terkait breeding place nyamuk Aedes aegypti. Kata Kunci: Spasial, Temporal, Sistem Informasi Geografis, Demam Berdarah Dengue, Korelasi, Iklim Daftar bacaan: 86 (1990-2015) ii FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH EPIDEMIOLOGY Undergraduated Thesis, March 2015 Rizki Amalia, NIM: 1111101000030 ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015 185 pages, 2 pictures, 2 bagan, 13 tables, 16 graphs, 4 maps, 6 attachments ABSTRACT Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is still higher than the national target. The determinants of increase in dengue cases are environmental factors (temperature, humidity, rainfall, wind speed, larva-free numbers, house healthy and population density). This research is aim to determine the distribution of the disease spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat. Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200 inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3 years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for the wind speed. Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes aegypti. Key: Spatial, Temporal, Geographic Information System, Dengue Hemorrhagic Fever, Correlation, Climate iii FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH EPIDEMIOLOGY Undergraduate, Maret 2015 Rizki Amalia, NIM: 1111101000030 ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015 184 pages, 9 tables, 4 maps, 16 graphs, 3 bagan, 2 picture, 6 attachment ABSTRACT Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is still more than the national target (≤ 51 per 100.000 population). The determinants of increase in dengue cases are environmental factors (temperature, humidity, rainfall, wind speed, larva-free numbers, house healthy and population density). This research is aim to determine the distribution of the disease spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat. Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200 inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3 years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for the wind speed. Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes aegypti. Key: Spatial, Temporal, Geographic Information System, Dengue Hemorrhagic Fever, Correlation, Climate i DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Rizki Amalia Jenis Kelamin : Perempuan TTL : Jakarta, 30 November 1993 No. Telp : 082113047625 Alamat : Jl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung, Pancoran Mas, Kota Depok 16435 Email : [email protected] RIWAYAT PENDIDIKAN 1997-1999 : TK Tunas Bangsa 1999-2005 : SD Negeri Beji I Depok 2005-2008 : SMP Negeri 13 Depok 2008-2011 : MA Negeri 7 Jakarta Selatan 2011-sekarang : Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta PENGALAMAN ORGANISASI 2013-2014 : Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Epidemiology Student Association(ESA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta vi KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Alah SWT , Dzat Yang maha Berkehendak, sehingga atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Ekologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memnuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Peminatan Epidemiologi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Atas semua bimbingan, bantuan, dukungan, perhatian serta do’a, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph. D sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M. Kes sebagai penanggungjawab peminatan Epidemiologi dan pembimbing skripsi I, terima kasih banyak Ibu telah sabar dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan, arahan, bimbingan, motivasi dan dorongan semangat selama penyusunan skripsi ini juga memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang skripsi. 4. Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM sebagai pembimbing skripsi II, terima kasih banyak Ibu telah sabar, menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk vii memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini juga telah memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang skripsi. 5. Bapak Azib dan Ibu Ima selaku administrasi kemahasiswaan yang telah membantu mengurus berkas yang dibutuhkan untuk bisa maju sidang skripsi ini dan wisuda. 6. Bapak kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian di institusi ini. 7. Bapak Supriyadi selaku kepala seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Bapak Nicko selaku seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan Ibu Putri selaku pemegang Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan telah meluangkan waktunya sewaktu saya membutuhkan data, telah memberikan masukan dan pencerahan. 8. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan yang telah mengizinkan peneliti memiliki laporan Kecamatan Dalam Angka Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2015. 9. Badan Meteorologi dan Klimatologi Geologi Ciputat yang telah mengizinkan peneliti memiliki laporan iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) Tahun 2010-2015. 10. Ibu Hj. Siti Hidayati, mama yang senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan juga bantuan dukungan moral dan material serta dengan sabarnya terus-menerus mengingatkan agar penulis tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. viii 11. (Alm.) Bapak H. Waladi, bapak yang sudah tiada sejak Januari tahun 2015 sudah senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan, memberikan kasih sayang, dorongan semangat serta pesan terakhirnya sebelum beliau tiada yaitu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 12. Kakak (Mas Ito), kakak ipar (Mba Nada), keponakan (Zainka) juga yang tersayang telah memberikan bantuan moral, material dan doa serta dorongan semangatnya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 13. Adik (Devi V.), Dina, Rini, Pipi (Putri A.), Dea, PW (Putri W.), Kemal, Upit (Nur Fitri A.),Wulan, Kak Bayu, Kak Zata dan juga Kak Nida yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini dan juga doa, dorongan semangat dan masukannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 14. Komunitas Epidemiologi 2011 dan juga Epidemiologi 2013 yang telah memberikan doa dan dorongan semangatnya. 15. Sahabat “Genk Remponkz” yang selalu kompak sejak semester 1 yang telah memberikan dukungan moral, materil, doa serta dengan sabarnya terusmenerus mengingatkan penulis agar menyelesaikan skripsi ini. 16. Seluruh teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Skripsi ini merupakan janji penulis kepada Alm.bapak dan juga mama seperti yang telah dijanjikan penulis. Kepada mama yang selalu mendoakan, menyemangati dan mengingatkan penulis agar tidak membuang-buang waktu ix yang bejalan, serta senantiasa mengajarkan pada penulis tentang nilai-nilai dalam kehidupan. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila masih banyak terdapat kekuranagn dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang hendak mengembangkan maupun mendalami topic bahasannya. Semoga Alloh SWT. berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Amin ya Rabbal’alamin. Jakarta, 08 Maret 2016 Penulis x DAFTAR SINGKATAN DBD : Demam Berdarah Dengue WHO : World Health Organization ABJ : Angka Bebas Jentik IR : Incidence Rate SIG : Sistem Informasi Geografis Jumantik : Juru Pemantauan Jentik KLB : Kejadian Luar Biasa PJB : Pemantauan Jentik Berkala PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN-DBD : Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue 3M Plus : Menutup, Mengubur, Menguras juga pemeliharaan ikan pemakan jentik, tidak menggantung pakaian, penggunaan abate, penggunaan repellent, kelambu SKD-DBD : Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue TPA : Tempat Penampungan Air xi DAFTAR ISI PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI……………………………………………. i ABSTRAK………………………………………………………………..……….. ii ABSTRACT………………………………………………………………..……… iii LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………..…………..…… iv LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………….… v DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………………… vi KATA PENGANTAR………………………………………………………..…… vii DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………….. xi DAFTAR ISI…………………………………………………………………..….. xii DAFTAR BAGAN.................................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… xvi DAFTAR GRAFIK………………………………………………………………. xvi DAFTAR TABEL………………………………………………………………… xvii DAFTAR PETA………………………………………………………………….. xviii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..... 1 A. Latar Belakang…………………………………………………………....... 1 B. Rumusan Masalah………………………………………………………...... 7 C. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………….... 8 D. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. 9 E. Manfaat Penelitian……………………………………………………......... 11 F. Ruang Lingkup Peneliti………………………………………………......... 13 xii BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 14 A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)……………………………….. 14 1. Definisi DBD………………………………………………………… 14 2. Etiologi DBD………………………………………………………… 14 3. Gejala DBD………………………………………………………….. 15 4. Vektor DBD…………………………………………………….......... 16 5. Mekanisme Penularan DBD…………………………………………. 19 B. Epidemiologi Deskriptif…………………………………………………… 21 1. Orang………………………………………………………………….21 2. Tempat………………………………………………………….......... 22 3. Waktu………………………………………………………………… 22 C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)………………………….. 23 1. Host (Pejamu)………………………………………………………... 24 2. Agent………………………………………………………………… 28 3. Environment (Lingkungan)………………………………………….. 29 D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS)………………………………………………………………………. 41 1. Definisi SIG…………………………………………………….......... 41 2. Kegunaan SIG………………………………………………….......... 42 E. Analisis Spasial………………………………………………………….… 43 1. Definisi Analisis Spasial………………………………………….…. 43 2. Manfaat Analisis Spasial……………………………………………. 46 3. Teknik Analisis Overlay…………………………………………….. 46 F. Kerangka Teori……………………………………………………………. 46 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…………. 51 A. Kerangka Konsep……………………………………………………….…. 51 B. Definisi Operasional…………………………………………………….… 55 C. Hipotesis Penelitian………………………………………………………... 58 xiii BAB IV METODOLOGI PENELITIAN……………………………………….. 59 A. Desain Penelitian…………………….…………………………………….. 59 B. Lokasi, Waktu dan Populasi Penelitian………………………………......... 60 C. Manajemen Data…………………………………………………………… 60 1. Cara Pengumpulan Data……….…………………………………..… 60 2. Instrumen Penelitian…………………………………………………. 61 3. Pengolahan Data…………….……………………………………….. 63 D. Analisis Data………………………/………………………………………. 66 1. Analisis Univariat……………………………………………………. 66 2. Analisis Bivariat…………….……………………………………….. 67 3. Analisis Spatialtemporal…..………………………………………… 68 BAB V HASIL……………………………………………………………………. 70 A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD………………………………………… 70 1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang…………………………… 70 2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat………………………….. 72 3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu…………………………... 76 B. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……… 79 C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas…………….. 84 D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……. 90 E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan………………………. 97 1. Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan …………………. 97 2. Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan………….. 98 3. Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan …………………99 4. Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan …………… 99 F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan……………………………………………………………………… 100 1. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan …………………………………………………... 101 2. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan……………………………………………………. 102 xiv 3. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan …………………………………………………… 104 4. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan …………………………………………………… 106 BAB VI PEMBAHASAN…………………………………………………………. 108 A. Keterbatasan Penelitian…………………………………………………….. 108 B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD………………………………………… 109 1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang…………………………… 109 2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat………………………….. 112 3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu…………………………... 114 C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik………. 116 D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi……. 128 E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik…. 131 BAB VII PENUTUP…………………………………………………………....… 133 A. Simpulan…………………………………………………………………… 133 B. Saran……………………………………………………………………….. 135 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 139 LAMPIRAN………………………………………………………………………. 147 xv DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul)…………………….. 30 Bagan 2.2 Teori Simpul……………………………………………………………. 50 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Vektor Nyamuk Aedes aegypti…………………………..…………… 17 Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti………………………………… 19 DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………... 71 Grafik 5.2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………... 72 Grafik 5.3 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan IR DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015…………………………….... 73 Grafik 5.4 Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………………………………….. 77 Grafik 5.5 Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………………………….…. 78 Grafik 5.6 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka Bebas Jnetik Tahun 2013-2015……………………………................... 80 Grafik 5.7 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah Sehat Tahun 2013-2015…………………………….............................. 86 Grafik 5.8 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015……………………………....................... 92 xvi DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Jenis Data Penelitian…………………………..………………………… 61 Tabel 4.2 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian………………………… 66 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………. 79 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………… 85 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………... 91 Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015….. 97 Tabel 5.5 Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 20132015……………………………………………………………………... 98 Tabel 5.6 Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…. 99 Tabel 5.7 Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 20132015……………………………………………………………………... 100 Tabel 5.8 Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………….. 101 Tabel 5.9 Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………….… 103 Tabel 5.10 Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…………………………………. 105 Tabel 5.11 Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……………………………. 106 xvii DAFTAR PETA Peta 5.1 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………... 74 Peta 5.2 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………………………... 81 Peta 5.3 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 20132015……………………………………………………..……………….. 87 Peta 5.4 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………………………………………………………………... 93 xviii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat internasional dan merupakan penyakit yang dapat berpotensi kematian, khususnya di negaranegara tropis dan sub tropis. Dalam dekade terakhir, penyebaran kasus Dengue oleh nyamuk Aedes aegypti banyak tersebar luas baik di perkotaan maupun pedesaan dan menyebabkan tingginya kasus yang membutuhkan rawat inap dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009). Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa lebih dari 70% Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah yang paling serius terkena dampak dari DBD (WHO, 2011). Hingga saat ini, WHO memperkirakan sebanyak 50 sampai 100 juta orang terinfeksi Dengue setiap tahunnya, termasuk sebanyak 500.000 kasus DBD, 22.000 kematian dimana sebagian besar terjadi pada anak-anak (WHO, 2015; CDC, 2015). Pada tahun 2013, kasus Dengue terjadi di Florida (salah satu negara di Amerika) dan Yunan, Provinsi Cina. Dengue terus berlanjut hingga sampai negara-negara Amerika Selatan, yaitu Honduras, Costa Rica dan Meksiko. Di wilayah Asia Tenggara, pada tahun 2012 negara Indonesia dan Filipina memiliki tanggungan beban besar dalam kasus demam berdarah. Pada tahun 2013 Indonesia menempati urutan ke-3 dengan kasus sebanyak 101.218 kasus setelah Filipina (166.107 kasus) dan Thailand (150.454 kasus) 1 2 (sanofi, 2014). Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia tercatat sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2010). Indonesia merupakan negara hiperendemis Dengue dimana ke-empat serotipe virus Dengue sudah tersebar di 34 provinsi. Setelah Indonesia, hiperendemis Dengue diikuti oleh negara Vietnam, Thailand, Philipina dan Malaysia (Fullerton et al, 2014). Pada tahun 2014, Incidence Rate (IR) atau angka kesakitan DBD di Indonesia sebesar 39,8% per 100.000 penduduk dimana 3 provinsi dengan Incidence Rate (IR) DBD tertinggi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur (234,29 per 100.000 penduduk) Provinsi Bali (206 per 100.000 penduduk) dan Provinsi Kepulauan Riau (202,08 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI, 2015). Ketiga provinsi tersebut tidak mencapai indikator menurunnya angka kesakitan menjadi ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014). Beberapa Provinsi yang telah mencapai indikator, salah satunya Provinsi Banten dengan IR sebesar 13,88 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015). Namun, di dalam Provinsi Banten juga terdapat beberapa kabupaten/kota endemis DBD salah satunya, yaitu Kota Tangerang Selatan (Kemenkes RI, 2014). Setelah dilakukan studi pendahuluan dengan melihat kasus DBD yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diketahui bahwa dalam 5 tahun terakhir IR DBD per 100.000 penduduk di Kota Tangerang Selatan berada diatas indikator nasional (2010=76,2; 2011=52,1; 2012=59,9; 2013=54,2; 2014=51,8) (P2P Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2014). Pada 3 tahun 2015, setelah ditelusuri berdasarkan wilayah kerja puskesmas masih ditemukan sebanyak 9 dari 25 puskesmas yang memiliki angka IR DBD > 51 per 100.000 penduduk dimana angka IR DBD tertinggi mencapai 311 per 100.000 penduduk, yaitu pada Puskesmas Setu (P2P Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2015). Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif virus Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Dalam teori simpul oleh Achmadi (2014), terdapat 5 macam simpul yaitu simpul 1 (penderita penyakit DBD), simpul 2 (vektor nyamuk Aedes aegypti infektif virus Dengue), simpul 3 (karakteristik masyarakat yang berisiko menderita penyakit DBD), simpul 4 (dampak kontak antara nyamuk infektif virus Dengue dengan manusia) dan simpul 5 (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, rumah sehat, angka bebas jentik dan kependudukan) (Achmadi, 2014). Beberapa variabel iklim dapat mempengaruhi dalam transmisi penularan penyakit dengan empat variabel yang paling signifikan mempengaruhi kejadian penyakit, antara lain suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan angin (Parham et al, 2010). Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata curah hujan dan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 189,9 mm dan 80%. Curah hujan berbanding lurus dengan kelembaban udara sehingga apabila curah hujan 4 tinggi, maka kelembaban udara juga tinggi. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi jumlah vektor nyamuk dan umur vektor nyamuk yang menyebabkan penularan DBD masih terus terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Mu-Jean Chen et al (2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan penyakit Dengue dan Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD. Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 27,7ºC. Suhu udara dapat mempengaruhi perkembangan virus Dengue dalam tubuhnya dan frekuensi menggigit ke beberapa orang. Penelitian yang dilakukan oleh Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan DBD. Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa ratarata kecepatan angin dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 4 knot. Semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang sehingga penularan DBD tidak menyebar luas. Penelitian oleh Dini (2010) menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD. Faktor lainnya yang juga termasuk faktor lingkungan adalah Angka Bebas Jentik (ABJ), kepadatan penduduk dan rumah sehat. Dalam laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata angka bebas jentik dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah sebesar 92,5%. Wilayah dengan rata-rata ABJ yang masih dibawah indikator nasional, yaitu 5 lebih dari sama dengan 95% mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD dengan cara 3M di lingkungan sekitarnya belum optimal sehingga kasus DBD masih sering terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Sunardi (2007) secara spasial menunjukkan bahwa kasus DBD lebih banyak pada wilayah dengan tingkat ABJ kurang dari 95%. Dalam laporan BPS Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata kepadatan penduduk dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 232, 2 jiwa/ha. Kepadatan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan penularan kasus DBD. Nyamuk memiliki kemampuan terbang hingga 100 m, namun dengan penduduk yang padat, nyamuk tidak perlu terbang sejauh itu sehingga peluang besar untuk nyamuk Aedes aegypti menggigit pada banyak orang dapat memberikan dampak penyebaran kasus DBD dengan cepat (Hairani, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial bahwa kasus DBD di desa/ kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan wilayah lain. Dalam laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata persentase rumah sehat dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah sebesar 89%. Rumah sehat tidak hanya dilihat dari layak atau tidak bangunan rumah sebagai tempat tinggal. Salah satu kriteria rumah dikatakan tidak sehat, yaitu ditemukannya jentik pada tempat-tempat yang berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti seperti pot-pot bunga, tempat penampungan air (bak mandi, ember, tempayan). Penelitian 6 Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis spatialtemporal (ruang dan waktu) dengan tools sistem informasi geografis (SIG) secara geografis dalam layer peta untuk melihat sebaran kejadian DBD berdasarkan rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan. Analisis spatialtemporal ini dapat mengetahui adanya faktor keruangan (rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk) yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit DBD dari waktu ke waktu selanjutnya. Selain itu juga dapat membantu mengetahui daerah mana saja yang endemis DBD. Setelah dilakukan studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diketahui bahwa belum tersedia peta rawan DBD berdasarkan wilayah kerja Puskesmas. Untuk itu, peneliti melakukan penelitian dengan memanfaatkan pendekatan spasial dalam upaya penyelesaian masalah DBD di Kota Tangerang Selatan. Selain itu, dalam penelitian ini peneliti juga melakukan uji korelasi statistik untuk mengetahui kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin dengan kejadian DBD. Oleh karena itu, analisis spatialtemporal dengan tools SIG dan uji korelasi statistik dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu membuat perencanaan dan efektifitas pengambilan keputusan yang lebih baik terhadap daerah endemis DBD yang 7 telah diprioritaskan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD. B. Rumusan Masalah Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, yaitu penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor nyamuk DBD sehingga berpotensi terhadap peningkatan kejadian DBD (IR DBD terus berada > 51 per 100.000 penduduk) dan penularan penyakit DBD. Secara geografis, wilayah Indonesia beriklim tropis dimana beberapa wilayah sudah menjadi endemis DBD karena banyak tempat yang cocok untuk perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Faktor lingkungan dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang tidak baik (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, rumah sehat), lingkungan biologi (angka bebas jentik < 95%) dan lingkungan non-fisik (kepadatan penduduk yang tinggi). Faktor lingkungan fisik dan biologi dapat mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor nyamuk Aedes aegypti, sedangkan faktor lingkungan non-fisik dapat mempengaruhi persebarluasan penularan penyakit DBD. Angka Incidence Rate (IR) DBD di Kota Tangerang Selatan dalam 5 tahun terakhir masih berada diatas indikator nasional. Di tahun 2014 ditemukan beberapa wilayah kerja puskesmas dengan IR DBD lebih dari batas indikator nasional sehingga menjadi masalah kesehatan. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian dengan pendekatan spasial bertujuan 8 untuk mengetahui distribusi spatialtemporal kejadian DBD berdasarkan angka bebas jentik, rumah sehat dan kepadatan penduduk. Analisis data spasial dilakukan dengan memanfaatkan tools Sistem Informasi Geografis (SIG). Selain itu, peneliti juga melakukan uji statistik korelasi bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 2. Bagaimana distribusi faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin), faktor kepadatan penduduk, faktor angka bebas jentik dan faktor rumah sehat berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 3. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 4. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 5. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 9 6. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 7. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015? 8. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015? 9. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015? 10. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015? D. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran ekologi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan spatialtemporal di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. 10 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. b. Untuk mengetahui distribusi faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin), faktor kepadatan penduduk, faktor angka bebas jentik dan faktor rumah sehat berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. c. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 20132015. d. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. e. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. f. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. 11 g. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. h. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. i. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. j. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. E. Manfaat 1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan a. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pembuat kebijakan mengenai gambaran distribusi spatialtemporal kasus DBD sehingga dapat melihat daerah endemis DBD dan juga daerah yang berpotensi terjadi KLB DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan. b. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pembuat kebijakan mengenai prediksi trend perkembangan wabah DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan. 12 c. Hasil penelitian dapat membantu bagi pengambil keputusan dalam intervensi penyakit DBD pada daerah rawan DBD yang telah diprioritaskan berdasarkan hasil distribusi spatialtemporal di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015, baik berupa advokasi, penyuluhan kesehatan lingkungan, fogging fokus, peningkatan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), penggalakkan kegiatan PSN 3M Plus maupun lainnya. 2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Tangerang Selatan Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan kepada BMKG Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian penyakit DBD berkaitan dengan faktor iklim di Kota Tangerang Selatan. 3. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan kepada BPS Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian penyakit DBD berkaitan dengan faktor kependudukan di Kota Tangerang Selatan. 4. Masyarakat Kota Tangerang Selatan Hasil penelitian dapat memberikan infromasi dan menambah wawasan kepada masyarakat mengenai kejadian penyakit DBD dan pencegahan penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan. 5. Peneliti Lain Sebagai bahan referensi dan informasi untuk penelitian selanjutnya mengenai kejadian demam berdarah menurut ruang dan waktu sehingga 13 diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesehatan. F. Ruang Lingkup Peneliti Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan desain studi ekologi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan spasial dan tools sistem informasi geografis (SIG) bertujuan untuk mengetahui spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat. Selain itu, peneltian ini juga bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dengan uji statistik korelasi. Cara pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder, yaitu berasal dari beberapa instansi yang terkait di Kota Tangerang Selatan. Kemudian, data tersebut dianalisis univariat, bivariat dan spasial. Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui karakteristik variabel berdasarkan orang, tempat dan waktu (OTW). Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin. Sedangakan, analisis spasial bertujuan untuk mengetahui gambaran, distribusi atau pola kasus DBD setelah diinterpolasikan dengan faktor kepadatan vektor (ABJ), rumah sehat dan faktor kepadatan penduduk. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai Februari 2016. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Definisi DBD Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infektif oleh virus Dengue. Penyakit DBD yang ditularkan oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang dapat ditemukan di seluruh dunia. Nyamuk yang sudah terinfeksi virus Dengue akan menjadi infektif selama hidupnya (CDC, 2015). 2. Etiologi DBD Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue. Terdapat empat jenis serotype virus Dengue yang dikenal yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Semua jenis serotype virus Dengue ini ditemukan di Indonesia dan menunjukkan bahwa DEN-3 merupakan virus Dengue yang paling luas distribusinya terhadap DBD berat disusul DEN-1, DEN-2 dan DEN-4 (Kemenkes RI, 2013). Penyakit DBD disebabkan oleh salah satu dari empat serotype virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae (WHO, 2015). Seseorang yang telah terinfeksi dengan salah satu serotype virus Dengue akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotype virus yang bersangkutan. Setiap serotype cukup berbeda sehingga tidak ada 14 15 proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotype (hiperendemisitas) dapat terjadi (Gama & Betty, 2010; Kemenkes RI, 2013). 3. Gejala DBD Umumnya DBD ditandai demam 2-7 hari disertai dengan manisfestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya homokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit, asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Akan tetapi, dapat juga disertai gejala yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata (Kemenkes RI, 2013). Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan positif DBD apabila ditandai beberapa gejala antara lain (1) demam atau adanya riwayat demam pada saat sekarang, (2) trombositopeni; hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cu mm (Standar Internasional sama atau kurang dari 100 x 109/L), (3) manifestasi perdarahan seperti tes torniquet positif, petechiae atau fenomena perdarahan yang jelas dan (4) berkurangnya plasma karena meingkatnya permeabilitas vaskuler. Selain itu juga adanya kenaikan hematokrit sebesar 20 % dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi pleural atau efusi abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X (Chin, 2012). Menurut WHO derajat beratnya Demam Berdarah Dengue (DBD) dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu (Soedarto, 1990): 16 a. Derajat I: ringan, bila demam mendadak 2-7 hari disertai gejalaklinik lain dan manifestasi perdarahan paling ringan yaitu tes torniquet yang positif. b. Derajat II: sedang, dengan gejala lebih berat daripada derajat I,disertai manifestasi perdarahan kulit, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena. c. Derajat III: berat, terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin. d. Derajat IV: berat sekali, penderita syok berat, tensi tidak terukur dan nadi tidak dapat diraba. 4. Vektor DBD Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban), sedangkan di daerah pedesaan (daerah rural) yang berperan dalam penularan adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Soedarto, 1990). Nyamuk yang paling sering menimbulkan terjadinya penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dibandingkan nyamuk Aedes albopictus (Ditjen P2M & PL, 2007). a. Ciri-ciri nyamuk vektor DBD Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih pada bagian kepala, torak, abdomen dan kaki. Nyamuk Aedes 17 aegypti dengan Aedes albopictus dapat dibedakan yaitu pada bagian torak keduanya. Torak pada nyamuk Aedes aegypti terdapat warna putih dan berbentuk bulat, sedangkan torak pada nyamuk Aedes albopictus berbentuk garis lurus (Kemenkes RI, 2013). Gambar 2.1 Vektor nyamuk Aedes aegypti Sumber: Kemenkes RI, 2013 Nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit (Gama & Betty, 2010). 18 b. Tempat berkembangbiak nyamuk vektor DBD Tempat perindukan yang disenangi nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Nyamuk ini tidak dapat berkembangbiak di selokan atau got atau kolam yang berhubunagn langsung dengan tanah (Nisa, 2007). Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti tersebar luas, baik di kota maupun di desa kecuali di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Suroso dan Umar, 2004). Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan menjadi (Kemenkes RI, 2013): 1) Tempat penampuangan air (TPA) untuk keperluan seharihari, seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi atau WC dan ember. 2) Tempat penampuangan air (TPA) bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas bunga, kulkas atau dispenser, barang-barang bekas (contoh, botol, plastik, ban, kaleng, dll). 3) Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan lain-lain. 19 c. Siklus hidup nyamuk vektor DBD Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari 4 bentuk, yaitu telur – jentik (larva) – pupa – nyamuk dewasa. Stadium telur hingga sampai menjadi pupa berlangsung di dalam air. Umumnya telur menetas menjadi jentik (larva) dalam waktu ±2 hari setelah telur tersebut terendam air. Stadium jentik (larva) biasanya berlangsung selama 6-8 hari dan stadium kepompong (pupa) berlangsung antara 2-8 hari. Pertumbuhan telur hingga sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 9-10 hari. umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Kemenkes RI, 2013). Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes agypti Sumber: Kemenkes RI, 2013 5. Mekanisme Penularan DBD Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk yang infektif terhadap virus Dengue. Berdasarkan konsep ekologi mengacu teori simpul Achmadi (2014), mekanisme penularan DBD dimulai dari 20 sumber agen penyakit (simpul 1) yaitu nyamuk Aedes aegypti menggigit orang yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya. Kemudian, vektor penular (simpul 2) yaitu nyamuk Aedes aegypti infektif virus Dengue yang dapat menularkan virusnya ke tubuh orang yang sehat. Virus Dengue masuk bersama darah yang dihisapnya (Suroso dan Umar, 2004). Nyamuk akan menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita dan tetap infektif selama hidupnya dan potensial menularkan virus Dengue kepada manusia lain (Ginanjar, 2004). Virus yang telah dihisap akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan berkembangbiak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk, sebagian besar berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam waktu 1 minggu, jumlah virus dapat mencapai puluhan sampai ratusan ribu dan siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang lain. Sebelum menghisap darah host (pejamu) baru, air liur dari kelenjar nyamuk dikeluarkan setelah alat tusuk nyamuk (probobis) menemukan kapiler agar darah yang dihisap tidak membeku. Pada saat itulah, virus Dengue ditularkan atau dipindahkan ke orang lain bersama air liur nyamuk tersebut (Suroso dan Umar, 2004). Orang yang telah digigit oleh nyamuk Aedes aegypti pembawa virus Dengue tidak akan selalu menderita DBD melainkan terdapat karakteristik seseorang yang dapat menjadi risiko menderita DBD seperti usia, jenis kelamin, kekebalan tubuh (simpul 3). Orang dengan kekebalan tubuh yang kuat terhadap virus Dengue, maka tidak akan 21 menderita DBD meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Akan tetapi, apabila orang dengan kekebalan tubuh yang lemah terhadap virus Dengue, maka akan muncul gejala DBD seperti demam ringan bahkan demam berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan, syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya (Simpul 4). Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif virus Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Adapun kondisi lingkungan tersebut antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan non-fisik (Achmadi, 2014; Suroso dan Umar, 2004). B. Epidemiologi Deskriptif 1. Orang Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel orang dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik populasi yang berisiko. Adapun variabel orang seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya (Asmara, 2009). Dalam hal kejadian DBD, penyakit DBD dapat menyerang semua golongan umur, sebagian besar menyerang usia anak sekolah. Akan tetapi, dalam dekade terakhir ini penyakit DBD pada orang dewasa juga meningkat. Aktivitas individu pada semua 22 umur mengakibatkan peluang terinfeksinya virus Dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti berbeda (Hairani, 2009). Selain itu, kerentanan tubuh terhadap virus Dengue tidak dapat dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Tidak semua orang yang telah digigit nyamuk yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya akan jatuh sakit DBD. Hal ini bergantung dari sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh orang tersebut (Hairani, 2009). 2. Tempat Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel tempat dapat digunakan untuk mengetahui distribusi geografis dari suatu penyakit sehingga dapat dilakukan perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat mengetahui faktor penyebab dari suatu penyakit. Adapun variabel tempat yang biasa digunakan adalah kelurahan, kecamatan, kabupaten kotamadya, propinsi, perkotaan dan pedesaan (Asmara, 2009). Berdasarkan hasil studi epidemiologi, outbreak DBD umumnya terjadi pada daerah yang kondisinya optimal untuk transmisi virus Dengue, yaitu daerah tropis dan subtropis dengan iklim dan temperatur yang optimal bagi habitat nyamuk Aedes aegypty. Di daerah tersebut juga ditemukan endemik berbagai tipe virus Dengue dalam waktu yang bersamaan (Djunaedi, 2006). 3. Time (waktu) Variabel waktu dilihat berdasarkan panjangnya waktu terjadinya perubahan pada suatu penyakit dan dibedakan menjadi fluktuasi jangka 23 pendek atau epidemi (jam, hari, minggu, dan bulan), perubahan secara siklus dimana terjadi perubahan angka kesakitan yang berulang-ulang (beberapa hari, beberapa bulan/musiman, tahunan, beberapa tahun) dan fluktuasi jangka panjang atau disebut juga secular trends (bertahuntahun, puluhan tahun) (Asmara, 2009). Epidemi demam berdarah Dengue (DBD) di negara-negara yang memiliki 4 musim berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Sedangkan, di negaranegara kawasan Asia Tenggara epidemi DBD terjadi pada musim hujan. Penyebaran penyakit DBD di Indonesia saat ini tidak mengenal waktu, tiap bulan ditemukan adanya laporan kasus DBD meskipun jumlah kasusnya tidak sebanyak kasus pada bulan di musim hujan. Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan ini berkaitan erat dengan kelembaban yang tinggi. Kelembaban yang tinggi tersebut merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas vektor dalam menularkan virus Dengue (Djunaedi, 2006). C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) Menurut teori Gordon dan La Richt (1950) dalam segitiga epidemiologi menyebutkan bahwa muncul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu host, agent dan environment. Gordon berpendapat bahwa (Rajab, 2009): 24 1. Penyakit muncul karena ketidakseimbangan antara agent (penyebab) dan host (manusia) 2. Keadaan keseimbangan bergantung pada sifat alami dan karakteristik agent dan host (individu/kelompok) 3. Karakteristik agent dan hostakan mengadakan interaksi. Dalam interaksi tersebut akan berhubunan langsung pada keadaan alami dari lingkungan (lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis) Keseimbangan ketiga faktor berhubungan dengan teori ekosistem (Vanleeuwen, 1999). Berikut ini penjelasan terkait host, agent dan environment dari Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD): 1. Host (Pejamu) Faktor host adalah suatu kondisi yang mempengaruhi risiko keterpajanan dan kerentanan seseorang terhadap penyakit. Adapun kondisi tersebut antara lain faktor-faktor intrinsik seperti umur, jenis kelamin, komposisi genetik dan ras. Faktor umur adalah salah satu faktor host yang paling penting karena dapat mempengaruhi suatu risiko keterpajanan dan status imunologik (Arias, 2009). a. Umur Biasanya umur anak-anak lebih rentan untuk terkena DBD, salah satunya disebabkan oleh faktor imunitas (kekebalan) yang relatif lebih rendah dibandingkan orang dewasa (Ginanjar, 2008). World Health Organization (WHO) (2009) juga mengatakan bahwa kelompok umur <12 tahun memiliki daya tahan tubuh yang rendah dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua. 25 Aktivitas pada kelompok umur tersebut juga lebih sering bermain atau sekolah dimana selama beberapa jam atau hampir seharian berada di dalam kondisi dan waktu yang meingkatkan risiko untuk terkena gigitan nyamuk penular DBD. Faktor pola curah hujan yang tidak menentu dan aktivitas usia produktif di lingkungan luar juga dapat menyebabkan orang dewasa ikut terkena DBD. Siregar (2004) mengatakan bahwa DBD dapat menyerang semua golongan umur, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat terdapat kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Semua umur dan kelompok sosial masyarakat dapat berisiko tertular virus Dengue melalui gigitan nyamuk (Yatim, 2007). Penyakit DBD menyerang pada semua kelompok umur disebabkan penularan DBD yang terjadi tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah dan tempat kerja (Kemenkes RI, 2010). b. Jenis kelamin Nyamuk pembawa virus Dengue tidak membedakan host laki-laki atau perempuan (Yatim, 2007). Beberapa studi di wilayah Asia Tenggara menunjukkan bahwa kasus DBD di rumah sakit lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan (India, Bangladesh, Singapura dan Malaysia) dan hanya sedikit studi yang menunjukkan tidak ada perbedaan kasus DBD menurut jenis kelamin (Bhatia, Dash & Sunyoto, 2013). 26 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syumarta, Hanif dan Rustam (2014) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih banyak pada laki-laki (54,8%) daripada perempuan (45,2%) dengan rasio perbandingan masing-masing sebesar 1,21:1. Hal ini juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay (2015) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih banyak pada laki-laki (53,8%) daripada perempuan (42,34%). Dalam penelitian tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Wahyono dkk (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD (OR=1,80; 95% CI; 1,07-3,01). c. Status gizi Penelitian yang dilakukan oleh Hakim dan Asep (2012) menunjukkan bahwa status gizi berhubungan secara signifikan dengan infeksi virus Dengue (Pvalue = 0,004; OR=1,250; 95% CI: 1,297-3,955). Orang dengan status gizi tidak normal akan lebih mudah mendapatkan infeksi virus Dengue dan terjadi penularan dibanding orang dengan status gizi normal. d. Pengetahuan Penelitian yang dilakukan oleh Hasan, Alfiah dan Nurbaya (2013) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan orangtua dengan kejadian DBD. Hal ini sejalan 27 dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumekar (2005) menunjukkan terdapat hubungan antara pengetahuan responden dengan keberadaan jentik (Pvalue = 0,35) sehingga secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD. e. Pekerjaan Penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung, Halim dan Koto (2011) di Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menunjukkan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kejadian luar biasa (KLB) DBD (Pvalue = 0,04). Pekerjaan seperti petani, perkebunan tebu menyebabkan seseorang mudah tergigit nyamuk Aedes aegypti karena bekerja di lingkungan luar rumah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Nizal MG et al (2012) menunjukkan tidak terdapat hubungan secara signifikan antara pekerjaan dengan DBD (Pvalue = 0,309). f. Perilaku 3M Penelitian yang dilakukan oleh Afriza dan Nasriati (2012) menunjukkan terdapat hubungan antara perilaku 3M Plus terhadap resiko kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan tahun 2012 (Pvalue = 0,003). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung, Halim dan Koto (2011) di Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menunjukkan terdapat 28 hubungan antara perilaku 3M Plus dengan kejadian luar biasa (KLB) DBD (Pvalue = 0,03). 2. Agent Sumber penyakit dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Achmadi, 2014): a. Sumber penyakit alamiah, misal proses pembusukan yang terjadi karena proses alamiah. b. Hasil kegiatan manusia, seperti industri, knalpot kendaraan bermotor. Sumber penyakit yang mengeluarkan dan mengandakan mikroorganisme patogen adalah penderita penyakit menular, misal mikroorganisme TBC, HIV/AIDS adalah penderita penyakit yang bersangkutan. Sumber penyakit menular juga dapat berupa binatang (reservoir), yaitu binatang tempat berkembangbiaknya agen penyakit, meski binatang yang bersangkutan tidak menderita sakit, misal penyakit Japanese Encephalitis dengan babi (reservoir). Sumber penyakit binatang ini biasanya ditransmisikan oleh binatang lainnya, misal nyamuk yang mengigit manusia (Achmadi, 2014). Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk dalam grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae. Virus Dengue terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 dimana masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia (WHO, 29 2009). Virus DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. Virus DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal (Yuswulandari, 2010). 3. Environment (Lingkungan) Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaksi antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk, salah satu variabel kependudukan seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, keturunan, kepadatan penduduk, budaya dan sebagainya. Secara garis besar, kejadian penyakit terjadi karena dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel-variabel lingkungan (Achmadi, 2014). Achmadi (2008) menggambarkan suatu kejadian penyakit berbasis lingkungan dan kependudukan ke dalam teori simpul dimana komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan berinteraksi dengan manusia. Teori simpul ini diuraikan menjadi 5 simpul, yakni simpul 1 (sumber penyakit), simpul 2 (komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit), simpul 3 (varibel kependudukan seperti umur, jenis kelamin, perilaku, pendidikan, kepadatan), simpul 4 (penduduk dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau terpapar dengan komponen 30 lingkungan yang mengandung agen penyakit) dan simpul 5 (variabel lain yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut seperti iklim, topografi) (Achmadi, 2014). Berikut penjelasaan masing-masing simpul: Bagan 2.1 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) (Achmadi, 2014) Manajemen Penyakit Udara Variabel Kependudukan (Umur, jenis kelamin, dsb) Air Sumber Agen Penyakit Pangan Sakit Sehat Vekor Penular Manusia Agen Penyakit 5 Simpul Variabel lain topografi, dll 1 2 seperti iklim, 3 4 a. Simpul 1: Sumber Penyakit Agen penyakit dalam simpul 1 adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan melalui media perantara. Dalam hal kejadian DBD, virus Dengue (Arthrophod borne virus) merupakan agent penyakit DBD. Virus ini berukuran 31 kecil (50nm) dan memiliki RNA tunggal. Genome (rangkaian kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 pasangan basa dan tiga gen protein struktural (Kemenkes RI, 2013). Terdapat 4 serotipe virus antara lain DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Dari keempat virus tersebut, DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat di Indonesia. Host (manusia) yang telah terinfeksi oleh salah satu virus dari keempat virus tersebut akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2013). b. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit Media transmisi penyakit dalam simpul ke-2 adalah komponen lingkungan yang terdiri atas 5 komponen antara lain udara ambient, air baik dikonsumsi maupun keperluan lainnya, tanah/ pangan, binatang/ serangga penular/ vektor dan manusia melalui kontak langsung. Apabila agen penyakit tidak terdapat di dalam media transmisi, maka tidak berpotensi penyakit. Binatang atau vektor penular dikatakan memiliki potensi dan menjadi media transmisi jika di dalamnya terdapat virus (Achmadi, 2014) Dalam hal kejadian penyakit DBD, penyakit ini ditularkan melalui nyamuk. Di Indonesia teridentifikasi bahwa terdapat 3 nyamuk yang dapat menularkan virus Dengue yaitu nyamuk Aedes albopictus, Aedes aegypti dan Aedes scutellaris (Kemenkes 32 RI, 2013). Nyamuk yang paling sering menimbulkan terjadinya penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang berwarna hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih pada bagian kepala, torak, abdomen dan kaki (Ditjen P2M & PL, 2007; Kemenkes RI, 2013). c. Simpul 3: Perilaku Pemajanan (Behavioral Exposure) Menurut Achmadi (1987) hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya dalam konsep disebut perilaku pemajanan atau behavioral exposure (Achmadi, 2014). Dalam kejadian DBD, beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa perilaku 3M Plus berhubungan dengan kejadian DBD (Afriza dan Nasriati, 2012; Hutagalung, Halim dan Koto, 2011). Selain dari faktor perilaku, faktor dari host sendiri seperti umur, jenis kelamin, status gizi, pengetahuan, pekerjaan juga berhubungan dengan DBD (WHO, 2009; Wahyono dkk, 2010; Hakim dan Asep, 2012; Hasan, Alfiah dan Nurbaya, 2013; Hutagalung, Halim dan Koto, 2011). d. Simpul 4: Kejadian Penyakit Penyakit pada penduduk merupakan hasil hubungan interaktif antara lingkungan dengan penduduk. Dalam piramida ditsribusi kejadian penyakit terdapat tiga gradasi penderita penyakit yaitu akut, subklinik, dan penderita penyakit kategori samar atau subtle. 33 Akan tetapi, dalam kejadian penyakit DBD ini outcome nya adalah angka Incidence Rate (IR) DBD. e. Simpul 5: Variabel Supra Sistem Simpul ke-5 ini adalah variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keempat simpul seperti variabel iklim, topografi, temporal dan suprasystem (Achmadi, 2014). 1) Suhu udara Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, suhu memiliki hubungan erat dengan siklus perkembangan nyamuk dan berpengaruh langsung terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh vektor nyamuk. Rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan vektor berkisar antara 25°C-27°C dan memerlukan rata-rata selama 12 hari. Pada suhu di atas suhu optimum (32°C-35°C) siklus hidup untuk vektor nyamuk Aedes menjadi lebih pendek dengan rata-rata selama 7 hari, potensi frekuensi feeding lebih sering, ukuran tubuh nyamuk menjadi lebih kecil dari ukuran normal sehingga nyamuk bergerak lebih agresif. Perubahan tersebut dapat menimbulkan risiko penularan menjadi 3 kali lipat lebih tinggi (Kemenkes RI, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI Jakarta menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh 34 Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan DBD. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa variasi suhu dapat berdampak pada kegiatan reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Dini, Fitriany dan Wulandari (2010) di Kabupaten Serang tahun 2007-2008 menunjukkan tidak ada hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,321; r = 0,212). 2) Kelembaban udara Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, kelembaban juga dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Kelembaban berada dibawah 60 % umur nyamuk pendek sehingga potensi sebagai vektor semakin menurun (Kemenkes RI, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Dini, Ftriany dan Wulandari (2010) di Kabupaten Serang tahun 2007-2008 menunjukkan tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,941; r = -0,016). Akan teteapi, penelitian yang dilakukan oleh Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban dengan DBD. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa variasi kelembaban dapat berdampak pada kegiatan reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti. 35 3) Curah hujan Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, curah hujan dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Curah hujan tinggi dan terus menerus dapat mengakibatkan lingkungan menjadi banjir yang menyebabkan breeding places hanyut. Hal ini dapat membantu mengurangi populasi nyamuk. Akan tetapi, curah hujan yang sedang dalam waktu panjang akan menambah breeding places sehingga berisiko terhadap meningkatnya populasi vektor nyamuk (Kemenkes RI, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI Jakarta menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan DBD. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mu-Jean Chen et al (2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan penyakit Dengue (Pt-test = 0,0212; CI 1,53-2,52). 4) Kecepatan angin Kecepatan angin adalah rata-rata laju pergerakan angin yang merupakan gerakan horizontal udara terhadap permukaan bumi suatu waktu yang diperolehdari hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan dan memiliki satuan knot. Satuan yang biasa digunakan dalam 36 menentukan kecepatan angin adalah km/jam atau knot (1 knot = 0,5148m/det = 1,854 km/jam) (Neiburger, 1995 dalam Ernyasih, 2012). Kecepatan angin secara tidak langsung dapat mempengaruhi suhu udara dan kelembaban. Sedangkan, secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan terbang vektor nyamuk. Menurut Brown (1983) nyamuk Aedes aegypti mempunyai jarak terbang sejauh 50-100 mil atau 81-161 km (Fitriyani, 2007). Kecepatan angin 11-14 m/detik dapat menghambat aktivitas terbang nyamuk sehingga menyebabkan penyebaran vektor juga terbatas (Vanleeuwen, 1999). Menurut teori yang dikemukakan oleh Poorwo dalam Purba (2006) angin sangat mempengaruhi arah terbang nyamuk dan nyamuk melakukan perkawinan di udara. Andriani dalam Dini (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang. Sebab, tubuh nyamuk yang kecil mengakibatkan mudah terbawa angin. Oleh karena itu, nyamuk sulit untuk berpindah-pindah tempat dengan jarak yang jauh, sehingga kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil. Penelitian oleh Dini (2010) menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD. 37 5) Kepadatan Vektor Semakin tinggi angka kepadatan vektor akan meningkatkan risiko penularan penyakit DBD (WHO, 2000 dalam Fathi, Keman dan Wahyuni, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Devriany (2012) di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2011 menunjukkan ada hubungan antara angka bebas jentik (ABJ) dengan tingkat endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nalole (2010) secara spasial di Gorontalo bahwa terdapat hubungan antara ABJ dengan tingkat endemisitas DBD. 6) Rumah Sehat Rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif. Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat, salah satunya adalah apabila dapat melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular dengan memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan. 38 Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan kesehatan rumah tinggal sebagai berikut: a) Bahan bangunan (1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain: debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan. (2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. b) Komponen dan penataan ruangan (1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan (2) Dinding rumah memiliki ventilasi, sedangkan kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan (3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan (4) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya c) Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan 39 dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. d) Kualitas udara (1) Suhu udara nyaman antara 18 – 30ºC (2) Kelembaban udara 40 – 70% e) Ventilasi Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai. f) Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. g) Penyediaan air Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari. h) Pembuangan Limbah (1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. (2) Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, permukaan tanah dan air tanah. tidak mencemari 40 i) Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Dalam penelitian Farahiyah dan Setiani (2014) di Kabupaten Demak menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan IR DBD. Penelitian Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut. Penelitian oleh Wahyono (2010) menyatakan bahwa kondisi lingkungan rumah pada kelompok penderita DBD adalah lebih dari 20% dengan pencahayaan di dalam rumah dan ventilasi yang cukup atau kurang, lebih dari 5% rumah terdapat jentik pada kontainer di dalam rumah dan lebih 20% dengan atap rumah asbes. 7) Kepadatan Penduduk Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi memberikan peluang besar nyamuk Aedes aegypti yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya dalam penularan DBD (Kemenkes RI, 2012). Semakin padat suatu wilayah, maka potensi penularan penyakit semakin besar (Faldy, Kaunang & Pandelaki, 2015). Jumlah penderita dan luas 41 daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Arsunan dkk (2013) di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kasus DBD di desa/ kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan wilayah lain. Akan tetapi, terdapat penelitian yang menunjukkan sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay (2015) di Minahasa Selatan menunjukkan tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS) 1. Definisi SIG Sistem informasi geografis merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989 dalam Marjuki, 2014). Secara umum, sistem informasi geografis adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, sumber daya manusia dan data 42 yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Marjuki, 2014). Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem yang dapat mendukung dalam pengambilan keputusan dan mampu mengintegrasikan deksripsi lokasi dengan karakteristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Adapun input SIG dapat berasal dari data hasil survei lapangan, data klimatologi, data demografi, data sosial ekonomi (Charter & Agtrisari, 2004 dalam Farahiyah dkk, 2014). 2. Kegunaan SIG Keunggulan utama dari SIG yaitu dapat melihat, memahami, menginterpretasikan, menampilkan data spasial dalam banyak cara yang memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial dalam bentuk peta, globe, laporan dan grafik. Penggunaan SIG dapat membantu dalam pemecahan masalah dengan cara menampilkan data menggunakan cara yang mudah dipahami dan hasilnya mudah disebarluaskan (Marjuki, 2014). Dalam bidang kesehatan, aplikasi SIG berupa data spasial yaitu data yang menunjukkan gambaran nyata suatu wilayah yang terdapat di permukaan bumi dan data atribut (non-spasial) yaitu data berbentuk tabel yang berisi informasi deskripstif seperti kependudukan (Suseno & Agus, 2012; BAPPEDA Provinsi NTB, 2012). Kedua data tersebut 43 dapat menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unitunit pelayanan kesehatan (misal, jumlah tenaga medis (Prahasta, 2005). Secara garis besar kegunaan SIG yaitu kemampuan pengukuran (measurement), pemetaan (mapping), pemantauan (monitoring) dan pemodelan (modeling) (Marjuki, 2014). E. Analisis Spasial 1. Definisi Analisis Spasial Analisis spasial dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif keruangan (Kemenristek, 2013). Analisis spasial adalah bagian manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data penyakit secara geografi yang berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus penyakit dan hubungan antar variabel tersebut (Achmadi, 2005). Menurut Bailey (2001), data yang dapat digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi empat, sebagai berikut: a. Data agregat, data yang dikumpulkan dari hasil sensus atau administrasi seperti status ekonomi, sosial, jumlah kasus dan lainlain. b. Data kasus, data yang dikumpulkan menurut lokasi orang yang sakit, faktor risiko lingkungan dan lain-lain. 44 c. Data geostatistik, data yang dikumpulkan secara langsung dengan sampel di lokasi pengambilan data. d. Data yang diukur terus menerus seperti iklim, curah hujan dan lain-lain. Menurut Lawson (2006), epidemiologi spasial merupakan salah satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi geografis atau keruangan kejadian penyakit. Kata “spasial” mengartikan sesuatu yang dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi, sedangkan data spasial merupakan data yang menunjuk posisi dari obyek di muka bumi (Ruswanto, 2010). Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi obyek di bumi. Data spasial dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu antara lain ekonomi, sosial, kesehatan, meteorologi, klimatologi serta alam dan lingkungan. Data spasial adalah data yang memuat informasi “lokasi”, tidak hanya “apa” yang diukur tetapi juga menunjukkan lokasi dimana data itu berada (Banerjee, 2004 dalam Faiz, 2013). Analisis data spasial dapat fokus pada hubungan antara variabel atribut atau pada dimensi ruang dan ruang-waktu atau kombinasi dari atribut dan ruang atau ruangwaktu (Chakkaravarthy, Vincent & Ambrose, 2011). Analisis spasial adalah pendekatan analisis dengan melihat kasus penyakit berdasarkan ruang dan waktu (Ruswanto, 2010). Sebagian besar pendekatan analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan dalam bentuk peta tematik. Peta tematik juga disebut peta statistik atau 45 peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Peta-peta tematik menekankan pada variasi penggunaan ruangan dari distribusi geografis, baik berupa fenomena fisika seperti iklim, kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan. Dengan demikian, semua data dan informasi yang ada di peta merupakan representasi dari obyek di muka bumi (Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, 2013). Sistem informasi geografis dapat berfungsi memetakan distribusi spasial berbagai penyakit dan variasinya atas ruang dan waktu. Analisis spasial dengan metode sistem informasi geografis memiliki berbagai kemampuan antara lain (Prahasta, 2005): a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi b. Mengintegrasikan data geografi c. Memeriksa, mengedit data geografi d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi e. Mempresentasikan atau menampilkan data geografi f. Mengelola data geografi g. Memanipulasi data geografi h. Menganalisa data geografi i. Menghasilkan output data geografi dalam bentuk: peta tematik (view dan layout), tabel, grafik (chart) laporan, dan lain-lain 46 2. Manfaat Analisis Spasial Manfaat analisis spasial tergantung dari fungsi yang dilakukan (Kemenristek, 2013). Penggunaan analisis spasial dalam penelitian kesehatan menurut Rosli et al. (2010) dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengukur pola kejadian penyakit yang dapat memberikan wawasan epidemiologi penyakit (Puspitasari, 2011). Selain itu, analisis spasial dapat dimanfaatkan sebagai early warning system atau sistem kespadaan dini (SKD) dengan memperhitungkan faktorfaktor lingkungan yang sangat berperan dalam pengamatan penyakit berbasis vektor (Indriani, Fuad & Kusnanto, 2011). 3. Teknik Analisis Overlay Teknik overlay merupakan salah satu jenis analisis spasial yang memiliki fungsi dan penggunaan yang berbeda dibandingkan jenis analisis spasial lainnya. Teknik overlay merupakan bagian terpenting dari analisis spasial. Teknik overlay, yaitu menggabungkan beberapa unsur spasial menjadi unsur spasial yang baru. Dengan kata lain, teknik overlay didefinisikan sebagai operasi spasial yang menggabungkan layer geografik yang berbeda untuk mendapatkan informasi baru (Kemenristek, 2013). F. Kerangka Teori 1. Simpul 1: Sumber Penyakit Penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. 47 Dalam kejadian penyakit DBD, penderita DBD dimana hasil laboratorium mengatakan positif terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya merupakan sumber penyakit. 2. Simpul 2: Media transmisi Penyakit DBD tidak dapat menular melalui air, tanah atau pangan, udara ataupun kontak langsung dengan orang lain. Penyakit DBD hanya dapat ditularkan melalui vektor nyamuk yang di dalamnya terdapat virus Dengue yaitu Aedes aegypti. Demam berdarah Dengue tidak dapat menular apabila hanya digigit oleh nyamuk Aedes aegypti dan tidak terdapat virus Dengue. Penyakit DBD dapat tertular melalui proses dari nyamuk Aedes aegypti menghisap darah penderita DBD yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya, kemudian memindahkannya ke orang lain (orang sehat) saat menggigit orang tersebut. 3. Simpul 3: Perilaku pemajanan Berdasarkan usia, semua usia dapat terkena penyakit DBD meskipun sebagian banyak terjadi pada usia anak. Status gizi atau imunitas seseorang dapat menentukan apakah akan mudah sakit atau dapat bertahan terhadap virus Dengue yang telah masuk di dalam tubuhnya. Perilaku 3M Plus yang merupakan faktor perilaku berisiko terhadap DBD telah dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa terdapat hubungan dengan kejadian DBD. 4. Simpul 4: Kejadian penyakit Nyamuk Aedes menghisap darah dari penderita DBD yang positif terdapat virus Dengue akan menjadi nyamuk infektif. Kemudian, 48 nyamuk tersebut mengigit orang lain dan memindahkan virus Dengue ke dalam tubuhnya. Apabila orang tersebut dengan status gizi atau imunitas yang tidak baik, maka gejala khas akan muncul. Gejala khas DBD yang muncul dan diperkuat hasil laboratorium hingga sampai dirawat di rumah sakit atau di rumah, maka penderita ini termasuk dalam segmen pertama (akut). Apabila penderita menunjukkan gejala tidak jelas, khas dan spesifik DBD tetapi diperkuat hasil laboratorium maka orang tersebut dapat dikatakan positif terkena DBD dan hal ini termasuk dalam segmen kedua (subklinik). Penderita dengan gejala tidak jelas, baik secara laboratoris maupun klinis tetapi dalam sewaktuwaktu dapat menimbulkan KLB DBD maka hal ini termasuk dalam segmen terakhir (samar). Secara garis besar, dalam kejadian DBD outcomenya adalah angka incidence rate (IR) DBD. 5. Simpul 5: Variabel Supra Sistem Perkembangbiakan nyamuk dapat dipengaruhi oleh iklim seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin. Suhu lingkungan dan kelembaban dapat memberikan pengaruh besar terhadap perkembangbiakan nyamuk terutama saat musim kemarau seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur nyamuk dan lain-lain. Curah hujan yang sedang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan banyaknya breeding place dan tingkat ABJ yang rendah (dalam arti banyaknya jentik yang ditemukan) hingga keduanya dapat menyebabkan banyaknya tempat perkembangbiakan 49 dan pertumbuhan jentik. Begitupula dengan rumah yang tidak sehat dapat menimbulkan banyak tempat kotor atau gelap sehingga banyak tempat menjadi sarang nyamuk. Kecepatan angin mempengaruhi pergerakan nyamuk dimana saat memulai mencari host baru sehingga terjadinya penularan antara satu orang dengan yang lain. Kepadatan penduduk memberikan kontribusi dalam penularan antara satu orang dengan orang lain sehingga dapat memberikan dampak besar yaitu terjadinya suatu kejadian luar biasa (KLB). 50 Bagan 2.2 Teori Simpul (Achmadi, 2014) Manajemen Penyakit Variabel Kependudukan Sumber Agen Penyakit Penderita DBD Vekor Penular 1. 2. 3. 4. 5. 6. Nyamuk Aedes aegypti Umur Jenis kelamin Status gizi Pengetahuan Pekerjaan Perilaku 3M Plus Sakit Sehat Agen Penyakit DEN-1, DEN-2. DEN-3, DEN-4 5 Variabel lain 1. Lingkungan Fisik a. Iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin) b. Rumah Sehat 2. Lingkungan Biologi a. Kepadatan vektor (ABJ) 3. Lingkungan Non-fisik a. Kepadatan Penduduk Simpul 1 2 3 4 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Dalam penelitian ini, tidak semua variabel yang terdapat dalam kerangka teori diteliti. Desain studi dalam penelitian ini adalah studi ekologi dimana unit analisisnya adalah populasi sehingga variabel yang bersifat individu tidak diteliti. Adapun variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik, lingkungan non-fisik dan lingkungan biologi. Berikut penjelasan terkait variabel yang diteliti dalam penelitian ini: 1. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang dapat memberikan peluang sebagai habitat perkembangan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat berkembang dan terus meningkat. Adapun variabel yang diteliti, antara lain suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat. a. Suhu udara dan kelembaban udara diteliti karena kedua variabel ini berpengaruh terhadap umur perkembangbiakan vektor nyamuk dan potensi sebagai vektor penularan DBD. Apabila suhu udara dan kelembaban udara mencapai optimum untuk perkembangbiakan nyamuk, maka potensi sebagai vektor penularan DBD semakin tinggi sehingga tingkat risiko penularan DBD dapat menjadi 3 kali lipat lebih tinggi. 51 52 b. Curah hujan diteliti karena dapat mempengaruhi tingkat populasi vektor nyamuk. Pada saat musim penghujan dimana curah hujan yang sedang dalam jangka waktu panjang, maka hal ini dapat memicu banyaknya breeding place sehingga vektor nyamuk terus berkembangbiak dan meningkat. Dengan begitu, vektor nyamuk tersebut berpeluang menjadi vektor penular DBD dan menyebabkan terjadinya KLB DBD di wilayah endemis. c. Kecepatan angin secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan terbang vektor nyamuk. Kecepatan angin yang rendah dapat mendukung vektor nyamuk untuk menular dari satu orang dengan ke orang lain yang memiliki kekebalan tubuh rendah dalam jarak jauh dan mendukung perkawinan di udara sehingga dapat meningkatkan perkembangbiakan vektor nyamuk. d. Penilaian rumah sehat dilakukan oleh sanitarian lingkungan Puskesmas dibantu oleh kader setempat. Penilaian dilakukan setiap 1 tahun sekali pada 20 rumah yang telah disampling oleh petugas Puskesmas. Pada penilaian rumah juga diperiksa ada atau tidaknya jentik dan apabila ditemukan adanya jentik, maka penilaian rumah tersebut termasuk golongan tidak sehat. Rumah yang tidak sehat dapat memicu timbulnya breeding places sebagai habitat nyamuk Aedes aegypti dan memberikan potensi dalam penularan DBD. 53 2. Lingkungan Non-Fisik Lingkungan non-fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan dapat terjadi adanya kontak antara manusia dengan vektor nyamuk Aedes aegypti. Adapun variabel yang diteliti adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk diteliti karena faktor ini dapat mempengaruhi peningkatan penularan dari satu orang ke orang lain. Semakin tinggi kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka semakin tinggi pula risiko penularan DBD. 3. Lingkungan Biologi Lingkungan biologi dalam penelitian ini adalah makhluk hidup yang memiliki peran dalam terjadinya penyakit DBD. Adapun variabel yang diteliti adalah kepadatan vektor (angka bebas jentik). Angka bebas jentik didapat dari hasil pemeriksaan jumlah rumah yang diperiksa dan banyaknya rumah yang terdapat jentik dalam kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap minggu oleh kader jumantik di setiap wilayah kerja Puskesmas. Kemudian, kader jumantik melapor ke Puskesmas setiap bulan. Kebenaran hasil PJB tidak selalu valid karena yang melakukan PJB adalah kader jumantik tanpa didampingi petugas Puskesmas. Petugas Puskesmas melakukan pemeriksaan jentik ketika ada kasus DBD yang dilaporkan oleh masyarakat (penyelidikan epidemiologi). Jentik yang masih banyak ditemukan pada tempat-tempat perindukan nyamuk dan belumnya tercapai indikator standar nasional di wilayah endemis DBD 54 dapat memberikan potensi besar jentik untuk terus berkembang sehingga menjadi vektor penular DBD. Variabel kejadian DBD dalam penelitian ini adalah kasus DBD di semua Puskesmas dan rumah sakit wilayah Kota Tangerang Selatan yang terlapor disertai bukti Keterangan Dari Rumah Sakit (KDRS) ke Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Bagan 3.1 Kerangka Konsep Suhu Udara Kelembaban udara Curah hujan Kecepatan angin Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Rumah sehat Kepadatan vektor (ABJ) Kepadatan penduduk Keterangan: Variabel diteliti dan dianalisis spatialtemporal dengan kejadian DBD Variabel diteliti, dianalisis korelasi dan tidak dianalisis spatialtemporal dengan kejadian DBD 55 B. Definisi Operasional Variabel Definisi Cara Ukur Kejadian Demam Jumlah kasus DBD Telaah Berdarah Dengue berdasarkan gejala klinis dan dokumen bukti laboratorium puskesmas atau RS yang ditemukan dalam kurun waktu tahun 2013-2015 Suhu Udara Kelembaban Udara Rata-rata suhu per bulan di Kota Tangerang Selatan yang tercatat dalam laporan bulanan BMKG selama tahun 2013-2015 Rata-rata kelembaban per bulan di Kota Tangerang Selatan yang tercatat dalam laporan bulanan BMKG selama tahun 2013-2015 Alat Ukur Hasil Ukur Skala Dummy table, Statistik Rasio Dokumen Incidence Rate per 100.000 penduduk Ordinal Spasial Gradasi warna: Tinggi = merah, jika IR > 51 per 100.000 penduduk Rendah = hijau, jika IR ≤ 51 per 100.000 penduduk Telaah dokumen Dummy Dokumen Telaah dokumen Dummy Dokumen Sumber: Kemenkes RI, 2013 table, Statistik Rasio Rata-rata per bulan dalam °C, suhu udara optimal 25°C27°C table, Statistik Rasio Rata-rata per bulan dalam %, kelembaban udara optimal <60% 56 Curah Hujan Kecepatan Angin Angka Bebas Jentik Jumlah hujan per bulan di Kota Tangerang Selatan yang tercatat dalam laporan bulanan BMKG selama tahun 2013-2015 Rata-rata kecepatan angin per bulan di Kota Tangerang Selatan yang tercatat dalam laporan bulanan BMKG selama tahun 2013-2015 Jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik dan mencapai indikator nasional yaitu sebesar ≥ 95% Telaah dokumen Dummy Dokumen table, Statistik Rata-rata per bulan dalam mm Rasio Telaah dokumen Dummy Dokumen table, Statistik Rata-rata per bulan dalam knot Rasio Telaah dokumen Dummy Dokumen table, Statistik Rasio Rata-rata dalam % Ordinal Spasial Gradasi warna: Rendah = merah, jika ABJ < 95% Tinggi = hijau, jika ABJ ≥ 95% Kepadatan Penduduk Hasil dari jumlah penduduk Telaah total dengan luas wilayah di dokumen Kota Tangerang Selatan Dummy Dokumen Sumber: Kemenkes RI, 2013 table, Statistik Rasio Rata-rata dalam jiwa/ha Ordinal Spasial Gradasi warna: Tinggi = merah, jika >200 jiwa/ha 57 Sedang = kuning, jika 150-200 jiwa/ha Rendah = hijau, jika <150 jiwa/ha Rumah Sehat Jumlah rumah atau bangunan Telaah yang memenuhi syarat dokumen kesehatan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 Dummy Dokumen Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 table, Statistik Rasio Rata-rata dalam % Ordinal Spasial Gradasi warna: Rendah = merah, jika rumah sehat < 80% Tinggi = hijau, jika rumah sehat ≥ 80% Sumber: Kemenkes RI, 2010 58 C. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. 2. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. 3. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. 4. Ada hubungan/ keeratan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan desain studi ekologi, yaitu desain studi epidemiologi yang bertujuan untuk mendeskripsikan antara penyakit DBD dan faktor risiko DBD. Dalam penelitian ini, desain studi ekologi digunakan dengan pendekatan spasial dan tools sistem informasi geografis (SIG). Unit observasi dan unit analisis dalam studi ini adalah kelompok (agregat) individu, komunitas atau populasi yang lebih besar yang dibatasi oleh secara geografik. Pada penelitian ini, unit analisis adalah semua puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Faktor-faktor risiko yang diambil adalah lingkungan fisik (suhu udara, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat), lingkungan biologi (angka bebas jentik (ABJ)) dan lingkungan sosial dan ekonomi (kepadatan penduduk). Data tersebut merupakan data agregat yang kemudian dianalisis secara spasial untuk mengetahui distribusi, pola atau trend kasus DBD setelah diinterpolasikan dengan faktor kepadatan penduduk, kepadatan vektor dan rumah sehat di wilayah Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 sehingga desain studi ekologi ini cocok dilakukan dalam penelitian ini. Untuk faktor suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin dianalisis bivariat untuk mengetahui kekuatan 59 60 atau keeratan hubungannya dengan kejadian DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. B. Lokasi , Waktu dan Populasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Tangerang Selatan dimulai pada bulan Juni 2015 sampai bulan Februari 2016. Dalam penelitian ini tidak menggunakan sampel melainkan populasi karena dilakukan dengan menggunakan desain ekologi dimana data yang digunakan adalah data agregat kasus DBD per wilayah kerja puskesmas. Populasi dalam penelitian ini adalah semua puskesmas yang ada wilayah Kota Tangerang Selatan. C. Manajemen Data 1. Cara Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari beberapa instansi yang terkait. Data kasus DBD, ABJ dan rumah sehat diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Data kepadatan penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan dalam bentuk laporan Kecamatan Dalam Angka (KCDA). Data iklim (suhu udara, kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin) diperoleh dari laporan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung. Berikut ini data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan data sekunder dalam penelitian ini: 61 Tabel 4.1 Jenis Data Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 5. 6. 2. Data Kasus DBD Per Puskesmas Sumber Data Laporan Bulanan Seksi P2P Dinkes Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 Iklim (Suhu udara, Laporan BMKG per bulan kelembaban, curah hujan tahun 2013-2015 dan kecepatan angin) Angka Bebas Jentik Per Laporan Tahunan per Wilayah Kerja Puskesmas kecamatan Seksi Penyehatan Lingkungan Dinkes Kota Tangerang Selatan tahun 20132015 Rumah Sehat Per Wilayah Laporan Tahunan per Kerja Puskesmas kecamatan Seksi Penyehatan Lingkungan Dinkes Kota Tangerang Selatan tahun 20132015 Jumlah Penduduk Per BPS KCDA Kota Tangerang Wilayah Kerja Puskesmas Selatan Tahun 2013-2015 Kepadatan Penduduk Per BPS KCDA Kota Tangerang Wilayah Kerja Puskesmas Selatan Tahun 2013-2015 Luas Wilayah Per Wilayah BPS KCDA Kota Tangerang Kerja Puskesmas Selatan Tahun 2013-2015 Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah laporan bulanan dan tahunan yang telah dikumpulkan dari beberapa instansi yang terkait. Berikut ini masing-masing variabel, instrument dan instansi penelitian: a. Kasus DBD Instrumen penelitiannya adalah laporan bulanan Seksi P2P dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kasus DBD adalah kasus yang dilaporkan setiap minggu ke Dinas Kesehatan Kota oleh Puskesmas, yaitu penderita yang dinyatakan positif disertai bukti laboratorium dari rumah sakit. 62 b. Iklim (suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin) Instrumen penelitiannya adalah laporan bulanan iklim Kota Tangerang Selatan dari BMKG Pondok Betung. c. Kepadatan penduduk Instrumen penelitiannya adalah laporan Kecamatan Dalam Angka (KCDA) tahunan Kota Tangerang Selatan dari BPS Kota Tangerang Selatan. Dari masing-masing kecamatan di Kota Tangerang Selatan memberikan laporan rutin tahunan ke BPS Kota Tangerang Selatan. d. Angka bebas jentik (ABJ) Instrumen penelitiannya adalah laporan tahunan berdasarkan Puskesmas Seksi Penyehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kader jumantik melakukan pemeriksaan jentik dengan jumlah 15-20 rumah/RW setiap bulan. Kemudian, laporan hasil ABJ oleh kader jumantik dilaporkan ke Puskesmas setiap bulan. Puskesmas melaporkan ke Dinas Kesehatan setiap triwulan. e. Rumah sehat Instrumen penelitiannya adalah laporan tahunan berdasarkan Puskesmas Seksi Penyehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Hasil penilaian rumah sehat dilaporkan ke Dinas Kesehatan setiap bulan oleh pemegang program kesehatan lingkungan dari setiap Puskesmas. Pemegang program 63 melakukan penilaian rumah sehat setiap minggu dengan sampel sekali gerak sebanyak 20 rumah. Penilaian rumah dengan menggunakan form rumah sehat. 3. Pengolahan Data Data kasus DBD yang diperoleh merupakan jumlah kasus DBD per tahun menurut kecamatan dan wilayah kerja puskesmas di Kota Tangerang Selatan dimulai tahun 2013 hingga tahun 2015. Kemudian data tersebut dikonversikan menjadi data kasus DBD menurut tahun berdasarkan kecamatan dan wilayah kerja puskesmas untuk dianalisis selanjutnya. Data iklim yang diperoleh merupakan rata-rata hasil pengukuran iklim dimulai tahun 2013 hingga tahun 2015, kemudian dikonversikan ke dalam bentuk rata-rata iklim per bulan. Berikut ini penjelasan langkah-langkah dalam pengolahan data: a. Statistik 1) Entry data. Sebelum data di-entry, data diperiksa terlebih dahulu apakah data yang dianalisis sudah lengkap dan dapat masuk ke tahap selanjutnya. Kemudian, entry data dilakukan dengan memasukkan data ke dalam aplikasi pengolah data yang mendukung agar data tersebut mudah dianalisis. Data yang diuji statistik dilakukan dengan bantuan aplikasi pengolah data tabular untuk kemudian dilakukan uji normalisasi. 64 2) Cleaning data. Data yang telah dimasukkan kemudian dilakukan pengecekkan kembali. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam memasukkan data sehingga tidak ada data yang ganda, tidak ada data yang hilang (missing values) dan konsistensi. Dalam hal ini, data yang telah di-entry dan cleaning keluar dalam bentuk tabular. b. Spasial Data spasial dioleh dengan menggunakan software SIG dan menghasilkan output, yaitu peta tematik. Langkah-langkah awal yang dilakukan untuk analisis spasial sama dengan langkah saat ingin melakukan uji statistik. Berikut ini penjelasan langkahlangkah dalam pengolahan data: 1) Data sudah lengkap dan telah siap untuk tahap selanjutnya. Sebelum memasuki langkah entry data, data yang selanjutnya dilakukan analisis spasial diberi kode terlebih dahulu berupa gradasi warna. Untuk kasus DBD, variabel Incidence Rate DBD dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu merah untuk kategori tinggi dan hijau untuk kategori rendah. Sebaran kasus demam berdarah yang diikuti dengan faktor risiko diberi batasan yang berwarna biru, ungu dan kuning pada wilayah kerja puskesmas yang memiliki angka IR DBD tinggi. Untuk ABJ dan rumah sehat diberi garis tebal biru untuk kategori tinggi dan garis tebal kuning 65 rendah untuk kategori rendah. Kepadatan penduduk diberi garis tebal biru untuk kategori tinggi, garis tebal ungu untuk kategori sedang dan garis tebal kuning untuk kategori rendah. 2) Kemudian, entry data. Pada langkah ini, data dimasukkan dengan bantuan aplikasi data tabular dan aplikasi data spasial. Pada aplikasi data tabular, data dilakukan uji normalisasi. Kemudian, membuka file “dbf” dari atribut shapefile. Jika sudah terbuka, langkah selanjutnya mengcopy kolom variabel utama ke dalam file “.dbf” tersebut. 3) File “.dbf” dengan kolom variabel utama tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja pada aplikasi data tabular yang telah dibuat dan memindahkan kolom variabel utama dengan tujuan untuk mencocokkan nama puskesmas dengan menggunakan teknik dragging. Apabila sudah selesei, langkah selanjutnya melakukan pemeriksaan apakah terdapat kesalahan saat pemasukan data ke dalam lembar kerja tersebut. Kemudian, save data tabular dalam bentuk “CSV” dan data dapat diintegrasikan ke dalam data spasial. 4) Cleaning data. Data yang telah dimasukkan kemudian dilakukan pengecekkan kembali. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan, baik dalam pengkodean maupun membaca kode sehingga data dapat dianalisis. 66 D. Analisis Data 1. Analisis Univariat Data kasus DBD yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dianalisis secara univariat untuk mengetahui besar masalah DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan menurut orang (usia dan jenis kelamin), tempat dan waktu. Data kepadatan penduduk dianalisis secara univariat untuk mengetahui distribusi kependudukan di wilayah Kota Tangerang Selatan berdasarkan wilayah kerja Puskesmas. Data ABJ yang dilaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dianalisis untuk mengetahui distribusi ABJ dan dibandingan antara satu Puskesmas dengan Puskesmas lainnya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan. Data rumah sehat dianalisis secara univariat untuk mengetahui distribusi rumah sehat dan dibandingan antara satu Puskesmas dengan Puskesmas lainnya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan. Semua variabel yang dianalisis ditampilkan dalam bentuk tabel (Mean, Min dan Max) dan grafik. Berikut ini ukuran Epidemiologi untuk masing-masing variabel: Tabel 4.2 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian No. 1. 2. 3. Variabel Incidence Rate DBD Per Wilayah Kerja Puskesmas Iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) Per bulan Kota Tangerang Selatan Angka Bebas Jentik (ABJ) Per Wilayah Kerja Ukuran Rate Proporsi Proporsi 67 4. 5. Puskesmas Kepadatan penduduk Per Wilayah Kerja Puskesmas Rumah sehat Per Wilayah Kerja Puskesmas Proporsi Proporsi 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan uji normalitas dan uji statistik korelasi sebagai berikut: a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui data yang dianalisis sudah terdistribusi normal atau tidak. Data dikatakan normal jika memenuhi sebagai berikut ini (Hastono, 2006): 1) Nilai rasio Skewness berada diantara -2 sampai 2 2) Uji Kolomogorov Smirnov (n = > 30), Shapiro wilk (n = ≤ 30) dengan p > 0,05 3) Grafik histogram berbentuk kurva normal b. Uji Korelasi Uji korelasi bertujuan untuk mengetahui kekuatan atau keeratan hubungan antara variabel iklim (suhu udara, kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin) dengan kasus DBD. Hubungan dua variabel numerik dapat berpola positif yang artinya kenaikan satu variabel diikuti kenaikan variabel lain dan negatif yang artinya kenaikan satu variabel diikuti penurunan variabel yang lain. Jika data terdistribusi normal, maka selanjutnya data dilakukan uji korelasi Pearson Moment, sedangkan jika data tidak 68 terdistribusi normal, maka data tersebut dilakukan uji non parametrik Spearman-rho. Nilai korelasi disimbolkan dengan koefisien korelasi (r). nilai r dan kekuatan atau keeratan hubungan antara dua variabel dapat dibagi menjadi 4, sebagai berikut (Colton dalam Hastono, 2006): r = 0,00-0,25 → Tidak ada hubungan/hubungan lemah r = 0,26-0,50 → Hubungan sedang r = 0,51-0,75 → Hubungan kuat r = 0,76-1,00 → Hubungan sangat kuat/sempurna 3. Analisis Spatialtemporal Analisis spatialtemporal dilakukan dengan metode overlay, yaitu dengan menggabungkan dua peta sehingga menghasilkan peta baru. Peta baru atau area map tersebut dapat diketahui pola penyebaran kasus DBD dengan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat. Kemudian, dari peta tersebut dilihat korelasi antara variabel independen dengan varaibel dependen dan dinarasikan untuk menunjukkan pola hubungan spasial berdasarkan waktu dan tempat sesuai yang diinginkan oleh peneliti. Pada peta dalam penelitian ini diberi warna dan batas warna yang berbeda. Variabel kejadian DBD diberi warna merah (IR DBD ≥ 51 per 100.000 penduduk) dan warna hijau (IR DBD < 51 per 100.000 penduduk). Sedangkan, pada peta baru yaitu setelah disusun tumpang tindih (overlay) dengan variabel angka bebas jentik, rumah sehat dan 69 kepadatan penduduk, kejadian DBD diberi batas garis putus-putus warna biru (IR DBD ≥ 51 per 100.000 penduduk) dan batas garis warna hitam (IR DBD < 51 per 100.000 penduduk). Variabel angka bebas jentik diberi warna merah (ABJ < 95%) dan warna hijau (ABJ ≥ 95%). Variabel rumah sehat diberi warna merah (persentase rumah sehat < 80%) dan warna hijau (persentase rumah sehat ≥ 80%). Variabel kepadatan penduduk diberi warna merah (kepadatan penduduk > 200 jiwa/ha), warna kuning (150-200 jiwa/ha) dan warna hijau (<150 jiwa/ha). BAB V HASIL A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Berikut ini distribusi kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dijabarkan berdasarkan orang, tempat dan waktu: 1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang a. Umur Kasus DBD berdasarkan orang (umur) dibagi menjadi 4 kategori, yaitu 0-4 tahun, 5-9 tahun, 10-14 tahun dan ≥15 tahun. Kasus DBD berdasarkan umur ini bertujuan untuk mengetahui angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD menurut kelompok umur di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015. Biasanya kasus DBD lebih sering menyerang pada anak-anak, namun seiring perkembangannya sampai sekarang DBD dapat menyerang semua umur. Berikut ini distribusi kasus DBD berdasarkan umur di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015: 70 71 Grafik 5.1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 160.0 142.9 Incidence Rate (IR) DBD Per 100.000 Penduduk 140.0 120.0 100.0 85.9 75.9 80.0 60.0 47.9 2013 52.9 48.9 47.1 50.4 34.6 40.0 20.0 78.8 16.5 13.8 0.0 0-4 5-9 10-14 ≥15 Umur Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.1 menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak menjadi kasus DBD di Kota Tangerang pada tahun 2013-2015 adalah kelompok umur 10-14 tahun. b. Jenis Kelamin Kasus DBD dapat menginfeksi pada semua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Berikut ini distribusi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015: 2014 2015 72 Grafik 5.2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 60% 56% 52% Persentase (%) Kasus DBD 48% 51% 49% 50% 44% 40% Laki-laki 30% Perempuan 20% 10% 0% 2013 2014 Tahun 2015 Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.2 menunjukkan bahwa kasus DBD menurut jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 cenderung lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Kasus DBD pada laki-laki tertinggi terjadi pada tahun 2015 (56%), sedangkan kasus DBD pada perempuan tertinggi terjadi pada tahun 2014 (49%). 2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat Kasus DBD menurut tempat bertujuan untuk mengetahui angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015. Dalam Rencana Strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk angka 73 kesakitan (IR) DBD secara nasional adalah sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015). Grafik 5.3 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan IR DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015 16 16 14 14 Jumlah Puskesmas 14 11 12 11 9 10 8 ≤ 51 Per 100.000 Penduduk 6 > 51 Per 100.000 Penduduk 4 2 0 2013 2014 Tahun 2015 Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.3 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak mencapai target nasional di Kota Tangerang Selatan paling banyak jumlahnya pada tahun 2015, yaitu sebanyak 16 Puskesmas (dari 25 Puskesmas). Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut ini: 74 Peta 5.1 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 2013 2014 75 2015 Target dalam upaya keberhasilan penurunan kasus DBD secara nasional adalah angka kesakitan (Incidence Rate) kurang dari atau sama dengan 51 per 100.000 penduduk. Pada peta 5.1 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki IR DBD tinggi (> 51 per 100.000 penduduk) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki IR DBD rendah (≤ 51 per 100.000 penduduk) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, secara spasial terlihat bahwa sebaran kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di Kota bagian Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah Puskesmas Rengas, Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Kranggan dan Puskesmas Pondok Benda. Sedangkan secara temporal, sebaran kasus 76 DBD yang tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 cenderung semakin berkurang. Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi, yaitu sebanyak 11 dari 25 Puskesmas dimana sebaran kasusnya terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara. Pada tahun 2014, jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi masih sama seperti tahun sebelumnya, namun perbedaannya terletak pada sebaran kasusnya yaitu terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan. Pada tahun 2015 terjadi penurunan jumlah Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dibanding 2 (dua) tahun sebelumnya walaupun pengurangan tersebut hanya dua angka, yaitu dari 11 menjadi 9 Puskesmas. Sedangkan, sebaran kasusnya terlihat sama dengan tahun 2014, yaitu lebih banyak di wilayah bagian Selatan. 3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu a. Tahun Distribusi kasus DBD berdasarkan waktu (tahun) bertujuan untuk mengetahui kecenderungan peningkatan, penurunan, atau tetap dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan. Dalam Rencana Strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan (IR) DBD secara nasional adalah sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015). Berikut grafik: 77 Grafik 5.4 Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 IR DBD Per 100.000 Penduduk 49.0 48.5 48.5 48.0 47.5 47.0 47.0 46.5 46.5 46.0 45.5 2013 2014 2015 Tahun Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.4 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 mengalami penurunan yaitu 48,5 per 100.000 penduduk menjadi 46,5 per 100.000 penduduk. Dari grafik tersebut juga menunjukkan bahwa IR DBD dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir di Kota Tangerang Selatan telah mencapai target indikator nasional. b. Bulan Distribusi kasus DBD berdasarkan waktu (bulan) bertujuan untuk mengetahui kecenderungan pola penularan DBD di saat musim hujan maupun musim kemarau. Berikut ini distribusi 78 kasus DBD berdasarkan bulan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 Grafik 5.5 Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 18% 16% Persentase (%) Kasus DBD 16% 14% 12% 10% 8% 12% 12% 13% 12% 10% 9% 11% 11% 10% 11% 10% 9% 11% 9% 7% 9% 8% 6% 10% 11% 9% 9% 9% 8% 7% 8% 8% 8% 6% 4% 2014 3% 3% 2% 2013 2% 2% 3% 3% 2% 2015 0% Bulan Sumber: Data Kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.5 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 terjadi tidak hanya saat musim hujan saja melainkan terjadi pada saat musim kemarau juga sehingga bisa terjadi kapan saja. Puncak kasus DBD pada tahun 2013 terjadi di bulan Juni, September dan November, tahun 2014 bulan Januari dan tahun 2015 bulan Januari, Mei dan Oktober. 79 B. Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan pada tahun 20132015. Dalam rencana strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk ABJ secara nasional adalah sebesar ≥ 95% (Kemenkes RI, 2015). Berikut ini distribusi ABJ tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan: Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Angka Bebas Jentik (ABJ) Tahun Kota Tangerang Selatan Min Puskesmas Maks Puskesmas Pondok Jagung Ciputat Pondok 2014 93% 67% 100% Timur Jagung Ciputat Pondok 2015 90% 75% 98% Timur Jagung Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 2013 95% 77% Ciputat 99% Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa ABJ rata-rata di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir semakin menurun. Pada tahun 2013 persentase ABJ terendah berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan adalah Puskesmas Ciputat (77%). Pada tahun 2014 adalah Puskesmas Ciputat Timur (67%) dimana saat itu merupakan ABJ terendah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Pada tahun 2015 adalah Puskesmas yang sama seperti tahun sebelumnya, yaitu Puskesmas Ciputat Timur (75%). 80 Grafik 5.6 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka Bebas Jentik Tahun 2013-2015 18 17 18 15 Jumlah Puskesmas 16 14 10 12 10 Angka Bebas Jentik: 8 7 Tinggi, jika ≥ 95% Rendah, jika < 95% 8 6 4 2 0 2013 2014 2015 Tahun Sumber: Data ABJ Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.6 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak mencapai target nasional (ABJ < 95%) di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 mengalami peningkatan sebanyak 7 Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 17 Puskesmas pada tahun 2015. Persebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut ini: 81 Peta 5.2 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 2013 2014 82 2015 Target dalam upaya keberhasilan bebas jentik secara nasional adalah angka bebas jentik lebih dari atau sama dengan 95%. Pada peta 5.2 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki ABJ rendah (< 95%) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki ABJ tinggi (≥ 95%) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa sebaran kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan ABJ yang termasuk tinggi dan persebarannya lebih banyak di wilayah bagian Selatan. Hal ini berarti kasus DBD yang tinggi di Kota Tangerang Selatan tidak selalu terjadi pada wilayah kerja Puskesmas dengan ABJ yang rendah. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) Tahun terakhir adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan, 83 berdasarkan analisis temporal sebaran jentik di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 terlihat cenderung semakin bertambah. Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah, yaitu sebanyak 11 dari 25 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah bagian Utara dan Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 29% (2 dari 7 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Pucung dan Puskesmas Perigi. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah pada kedua Puskesmas tersebut terlihat di wilayah bagian Utara. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 50% (9 dari 18 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Sawah, Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Rengas, Puskesmas Paku Alam, Puskesmas Pondok Aren, Puskesmas Rawa Buntu dan Puskesmas Kranggan. Pada tahun 2014 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah berkurang dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun pengurangan tersebut hanya satu angka, yaitu dari 11 menjadi 10 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Daya. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 60% (6 dari 10 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Ciputat, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Setu dan Puskesmas Kranggan. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah pada keenam Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Barat Daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi 84 dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 33% (5 dari 15 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Pondok Ranji, Puskesmas Rengas, Puskesmas Rawa Buntu dan Puskesmas Baktijaya. Pada tahun 2015 jumlah Puskesmas dengan ABJ yang rendah bertambah dan menjadi lebih banyak dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 17 Puskesmas dan persebarannya terlihat hampir di seluruh wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang rendah adalah sebesar 35% (6 dari 17 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Perigi, Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Rawa buntu, Puskesmas Kranggan dan Puskesmas Baktijaya. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan ABJ yang rendah pada keenam Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan ABJ yang tinggi adalah sebesar 38% (3 dari 8 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Rengas dan Puskesmas Setu. C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data rumah sehat tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, rumah atau bangunan dinilai sehat jika memenuhi syarat kesehatan dan mencapai target, yaitu sebesar ≥ 80%. Distribusi rumah sehat tahun 20132015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan: 85 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Rumah Sehat Tahun Kota Tangerang Selatan Min Puskesmas Maks Puskesmas Situ Gintung Situ 2014 91% 71% Pondok Ranji 100% Gintung Pondok 2015 89% 79% Kranggan 99% Betung Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 2013 87% 3% Kranggan 100% Pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa persentase rumah sehat rata-rata di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015 sudah mencapai target indikator nasional. Pada tahun 2013 persentase rumah sehat terendah berdasarkan wilayah kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan adalah Puskesmas Kranggan (3%) dimana persentase rumah sehat Puskesmas tersebut merupakan persentase terendah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Pada tahun 2014 adalah Puskesmas Pondok Ranji (71%) dan pada tahun 2015 adalah Puskesmas Kranggan (79%). 86 Grafik 5.7 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah Sehat Tahun 2013-2015 Jumlah Puskesmas 25 24 23 22 20 Rumah Sehat: Tinggi, jika ≥ 80% 15 Rendah, jika < 80% 10 3 5 2 1 0 2013 2014 Tahun 2015 Sumber: Data Rumah Sehat Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.7 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas yang tidak mencapai target nasional (rumah sehat < 80%) mengalami penurunan sebanyak 7 Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 17 Puskesmas pada tahun 2015. Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut ini: 87 Peta 5.3 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 2013 2014 88 2015 Target pencapaian rumah sehat secara nasional adalah lebih dari atau sama dengan 80%. Pada peta 5.3 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat rendah (< 80%) ditandai dengan warna merah, sedangakan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat tinggi (≥ 80%) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan pada wilayah kerja Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang termasuk tinggi dan persebarannya terlihat lebih banyak di wilayah bagian Selatan. Hal ini berarti kasus DBD yang tinggi di Kota Tangerang Selatan tidak selalu terjadi pada wilayah kerja Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi dalam kurun waktu 3 89 (tiga) tahun terakhir adalah Pondok Benda, Rengas dan Rawa Buntu. Sedangkan, berdasarkan analisis temporal sebaran persentase rumah sehat yang rendah di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20132015 terlihat cenderung semakin berkurang. Pada tahun 2013, jumlah Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah hanya 3 dari 25 Puskesmas dimana persebarannya terlihat di wilayah bagian Utara, Tenggara dan Barat Daya. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah adalah sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas Sawah dan Puskesmas Kranggan. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah pada kedua Puskesmas tersebut terlihat di wilayah bagian Utara dan Barat Daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi adalah sebesar 41% (9 dari 22 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Rengas, Puskesmas Paku Alam, Puskesmas Pondok Aren, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Perigi dan Puskesmas Rawa Buntu. Pada tahun 2014 jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah berkurang dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun pengurangan tersebut hanya satu angka, yaitu dari 3 menjadi 2 Puskesmas dan persebarannya terlihat di wilayah bagian Utara. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang rendah adalah sebesar 50% (1 dari 2 Puskesmas), yaitu Puskesmas Rengas dan persebarannya terlihat di Kota bagian Timur Laut. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD 90 yang termasuk tinggi dan persentase rumah sehat yang tinggi adalah sebesar 43% (10 dari 23 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Ciputat, Puskesmas Rengas, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Setu, Puskesmas Kranggan dan Puskesmas Baktijaya. Pada tahun 2015 jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah semakin berkurang dibandingkan 2 (dua) tahun sebelumnya, walaupun pengurangan tersebut hanya dua angka, yaitu dari 3 menjadi 1 Puskesmas. Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Kranggan dengan IR DBD yang termasuk tinggi dimana persebarannya terlihat di wilayah bagian Barat Daya. D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data kepadatan penduduk tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 tentang tatacara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan, kepadatan penduduk di suatu wilayah diklasifikasi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu suatu wilayah dikatakan memiliki kepadatan rendah jika < 150 jiwa/ha, kepadatan sedang jika 151-200 jiwa/ha, kepadatan tinggi jika 201-400 jiwa/ha dan kepadatan sangat padat penduduknya jika > 400 jiwa/ha. Berikut ini kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan: 91 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) Tahun Kota Tangerang Selatan Min Puskesmas Maks Puskesmas Pondok Jagung Pondok 2014 232 66,8 Setu 543,6 Jagung Pondok 2015 240 70,1 Setu 574,9 Jagung Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 2013 225 63,6 Setu 513,6 Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk terendah dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013-2015, yaitu Puskesmas Setu dan Puskesmas Pondok Jagung. Dari tabel tersebut juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk rata-rata cenderung meningkat. Pada tahun 2015 merupakan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. 92 Grafik 5.8 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015 16 15 16 13 Jumlah Puskesmas 14 12 10 Kepadatan penduduk: 8 6 Rendah, jika <150 Jiwa/Ha 7 8 6 4 4 Sedang, jika 150-200 Jiwa/Ha Tinggi, jika >200 Jiwa/Ha 3 3 2014 2015 2 0 2013 Tahun Sumber: Data Kepadatan Penduduk BPS Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Pada grafik 5.8 menunjukkan bahwa jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk yang termasuk tinggi di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan sebanyak 13 Puskesmas pada tahun 2013 menjadi 16 Puskesmas pada tahun 2015. Sebaran Puskesmas secara spatialtemporal dapat dilihat melalui peta berikut ini: 93 Peta 5.4 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 2013 2014 94 2015 Pada peta 5.3 terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk rendah (>200 jiwa/Ha) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk sedang (150-200 jiwa/Ha) ditandai dengan warna kuning dan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk rendah (<150 jiwa/Ha) ditandai dengan warna hijau. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis spasial terlihat bahwa kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas dengan kepadatan penduduk yang termasuk tinggi dimana persebarannya terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara dan Timur. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah Puskesmas Rawa Buntu. Sedangkan, berdasarkan analisis temporal sebaran kepadatan penduduk yang tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 terlihat cenderung semakin berkurang. 95 Pada tahun 2013 jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk yang tinggi, yaitu sebanyak 13 dari 25 Puskesmas. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar 38% (5 dari 13 Puskesmas), yaitu Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Sawah, Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Pondok Aaren dan Puskesmas Rawa Buntu. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada ke-lima Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Utara. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang sedang sebesar 25% (2 dari 8 Puskesmas), yaitu Puskesmas Rengas dan Puskesmas Paku Alam. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah sebesar 100% (4 dari 4 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Perigi dan Puskesmas Kranggan. Pada tahun 2014 jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi bertambah dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun hanya dua angka, yaitu dari 13 menjadi 15 Puskesmas dimana persebarannya hampir seluruh Puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar 33% (5 dari 15 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskesmas Ciputat, Puskesmas Pondok Ranji, Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Rawa Buntu. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada ke-lima Puskesmas tersebut terlihat lebih banyak di wilayah bagian Timur. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan 96 penduduk yang sedang sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas Rengas dan Puskesmas Kranggan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk dan rendah sebesar 57% (4 dari 7 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Pondok Pucung, Puskesmas Setu dan Puskesmas Baktijaya. Pada tahun 2015 jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi bertambah dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun hanya satu angka, yaitu dari 15 menjadi 16 Puskesmas dimana persebarannya sama seperti pada tahun sebelumnya hampir seluruh Puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi adalah sebesar 19% (3 dari 16 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pamulang, Puskemas Serpong 1 dan Puskesmas Rawa Buntu. Sebaran kasus DBD yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi pada ke-tiga Puskesmas tersebut terlihat di kota bagian tenggara dan barat daya. Sedangkan, Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang sedang sebesar 67% (2 dari 3 Puskesmas), yaitu Puskesmas Rengas dan Puskesmas Kranggan. Puskesmas dengan IR DBD yang termasuk tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah sebesar 67% (4 dari 6 Puskesmas), yaitu Puskesmas Pondok Benda, Puskesmas Perigi, Puskesmas Setu dan Puskesmas Baktijaya. 97 E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) tahun 2013-2015 di Kota Tangerang Selatan. Berikut ini gambaran suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015: 1. Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Gambaran suhu udara di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.9 lampiran 3) terlihat bahwa suhu udara tertinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2015 sebesar 29,5ï‚°C bulan Oktober, sedangkan suhu udara terendah adalah pada tahun 2014 sebesar 26ï‚°C bulan Januari. Trend penurunan suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu bulan Oktober sampai Desember. Sedangkan, trend peningkatan suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu bulan Januari sampai Maret. Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Tahun 2013-2015 Mean 27,7 Median 27,9 Std. Deviasi 0,8 Min-Maks 26-29,5 Pada tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata suhu udara di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 27,7°C dan median 27,9°C dengan standar deviasi 0,8°C. Suhu udara 98 minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 26°C dan nilai maksimal adalah 29,5°C. 2. Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Gambaran kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.10 lampiran 3) terlihat bahwa kelembaban udara tertinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2015 sebesar 93% bulan April tahun 2015. Sedangkan, kelembaban udara terendah adalah pada tahun 2014 sebesar 67% bulan Oktober. Trend peningkatan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Oktober sampai Januari dan bulan Desember sampai Februari. Sedangkan, trend penurunan kelembaban udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Mei sampai Oktober. Tabel 5.5 Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Tahun 2013-2015 Mean 80 Median 81 Std. Deviasi 7 Min-Maks 67-93 Pada tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 80% dan median 81% dengan standar deviasi 7%. Kelembaban udara minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 67% dan nilai maksimal adalah 93%. 99 3. Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Gambaran curah hujan di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.11 lampiran 3) terlihat bahwa curah hujan tertinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 681,3 mm terjadi pada bulan Januari tahun 2014. Di Kota Tangerang Selatan pernah tidak hujan dalam satu hari penuh atau curah hujan terendah, yaitu pada tahun 2015 bulan Juli. Trend peningkatan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Desember sampai Januari. Sedangkan, trend penurunan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Januari sampai April. Tabel 5.6 Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Tahun 2013-2015 Mean 189.9 Median 138 Std. Deviasi 1,6 Min-Maks 0-681,3 Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata curah hujan di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 189,9 mm dan median 138 mm dengan standar deviasi 1,6 mm. Curah hujan minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 0 mm dan nilai maksimal adalah 681,3 mm. 4. Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Gambaran kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan (grafik 5.12 lampiran 3), diketahui bahwa kecepatan angin tertinggi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah pada tahun 2013 sebesar 8 knot 100 bulan Maret. Sedangkan, kecepatan angin terendah, yaitu pada tahun 2013 sebesar 1 knot bulan Juni. Trend peningkatan kecepatan angin dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan November sampai Januari. Sedangkan, trend penurunan curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan, yaitu pada bulan Maret sampai Juni. Tabel 5.7 Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Tahun 2013-2015 Mean 4 Median 4 Std. Deviasi 1 Min-Maks 1-8 Pada tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 4 knot dan median 4 knot dengan standar deviasi 1 knot. Kecepatan angin minimal di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 1 knot dan nilai maksimal adalah 8 knot. F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) dan data kasus DBD tahun 2013-2015 di Kota Tangerang Selatan. Berikut ini hasil korelasi antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015. 101 1. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan grafik 5.13 (lampiran 4), kasus DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan suhu udara rata-rata sebesar 28°C, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan suhu udara rata-rata sebesar 26°C dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei tahun 2015 dengan suhu udara rata-rata sebesar 28,3°C. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan Mei dan saat itu suhu udara rata-rata adalah sebesar 28,3°C. Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember dan saat itu suhu udara rata-rata adalah sebesar 27,7°C. Dengan demikian, berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD paling banyak terjadi pada suhu udara rata-rata sebesar ≥ 28°C. Tabel 5.8 Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Variabel r Suhu Udara 2013-2015 -0,404 Suhu Udara 2013 0.069 Suhu Udara 2014 -0,487 Suhu Udara 2015 -0,423 Demam Berdarah Dengue p N Keterangan Korelasi negatif, 0,015 36 kekuatan sedang dan bermakna Korelasi positif, 0,832 12 tidak ada hubungan Korelasi negatif, 0,109 12 kekuatan sedang dan tidak bermakna Korelasi negatif, 0,171 12 kekuatan sedang dan tidak bermakna 102 Pada tabel 5.8 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 20132015 nilai r = -0,404 (arah negatif), tahun 2013 nilai r = 0,069 (arah positif), tahun 2014 nilai r = -0,487 (arah negatif) dan tahun 2015 nilai r = -0,423 (arah negatif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan kekuatan sedang dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2014 dan 2015 terdapat hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi tidak siginifikan. Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai negatif yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya. Begitu juga dengan nilai r pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan nilai negatif yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya. Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai positif yang artinya jika suhu udara tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. 2. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan grafik 5.14 (lampiran 4), kasus DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan kelembaban udara ratarata sebesar 79%, pada tahun 2014 terjadi bulan dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 88% dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 78%. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan 103 Mei dan saat itu kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 78%. Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember dan saat itu kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 80%. Dengan demikian, berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD paling banyak terjadi pada kelembaban udara rata-rata sebesar ≥ 79%. Tabel 5.9 Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Variabel r Kelembaban Udara 20132015 0,434 Kelembaban Udara 2013 0.288 Kelembaban Udara 2014 0,637 Kelembaban Udara 2015 0,502 Demam Berdarah Dengue p N Keterangan Korelasi positif, 0,008 36 kekuatan sedang dan bermakna Korelasi positif, 0,364 12 kekuatan sedang dan tidak bermakna Korelasi positif, 0,026 12 kekuatan kuat dan bermakna Korelasi positif, 0,096 12 kekuatan sedang dan tidak bermakna Pada tabel 5.9 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 20132015 nilai r = 0,434 (arah positif), tahun 2013 nilai r = 0,288 (arah positif), tahun 2014 nilai r = 0,637 (arah positif) dan pada tahun 2015 nilai r = 0,502 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan kekuatan sedang dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2014 terdapat hubungan 104 yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, pada tahun 2013 dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan. Secara keseluruhan, nilai r menunjukkan nilai positif yang artinya jika kelembaban udara tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. 3. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan grafik 5.15 (lampiran 4), kasus DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan curah hujan rata-rata 82,7 mm, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan curah hujan rata-rata 681,3 mm dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei dengan curah hujan rata-rata 129,9 mm. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan Mei dan saat itu curah hujan rata-rata adalah 129,9 mm. Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun 2014 bulan Desember tahun 2014 dan saat itu curah hujan rata-rata adalah 105,5 mm. Dengan demikian, berdasarkan grafik tren kasus DBD dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa kasus DBD paling banyak terjadi curah hujan rata-rata sebesar ≥ 105,5mm. 105 Tabel 5.10 Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Variabel r Curah Hujan 2013-2015 0,409 Curah Hujan 2013 -0.112 Curah Hujan 2014 0,453 Curah Hujan 2015 0,609 Demam Berdarah Dengue p N Keterangan Korelasi positif, 0,013 36 kekuatan sedang dan bermakna Korelasi negatif, 0,730 12 tidak ada hubungan Korelasi positif, 0,140 12 kekuatan sedang dan tidak bermakna Korelasi positif, 0,036 12 kekuatan kuat dan bermakna Pada tabel 5.10 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 2013-2015 nilai r = 0,409 (arah positif), tahun 2013 nilai r = -0,112 (arah negatif), tahun 2014 nilai r = 0,453 (arah positif) dan pada tahun 2015 nilai r = 0,609 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir terdapat hubungan dengan kekuatan sedang dan signifikan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2015 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, pada tahun 2014 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan. Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai positif yang artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Begitu juga nilai r pada tahun 2014 dan 2015 men\unjukkan nilai positif yang 106 artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai negatif yang artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD rendah atau. 4. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan grafik 5.16 (lampiran 4), kasus DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa puncak kasus DBD pada tahun 2013 terjadi bulan Juni dengan kecepatan angin ratarata adalah 1 knot, pada tahun 2014 terjadi bulan Januari dengan kecepatan angin rata-rata adalah 5 knot dan pada tahun 2015 terjadi bulan Mei dengan kecepatan angin rata-rata adalah 4 knot. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2015 bulan Mei dan saat itu kecepatan angin rata-rata adalah 4 knot. Sedangkan, kasus DBD terendah terjadi pada tahun bulan Desember dan saat itu kecepatan angin rata-rata adalah 5 knot. Tabel 5.11 Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Variabel Kecepatan Angin 20132015 Kecepatan Angin 2013 Kecepatan Angin 2014 Kecepatan Angin 2015 r Demam Berdarah Dengue P n Keterangan 0,097 0,574 36 -0,002 0,995 12 0,101 0,754 12 0,307 0,331 12 Korelasi positif dan tidak ada hubungan Korelasi negatif, tidak ada hubungan Korelasi positif, tidak ada hubungan Korelasi positif, kekuatan sedang dan tidak bermakna 107 Pada tabel 5.11 didapatkan nilai r sebagai berikut: pada tahun 2013-2015 nilai r = 0,097 (arah positif), tahun 2013 nilai r = -0,002 (arah negatif), pada tahun 2014 nilai r = 0,101 (arah positif) dan pada tahun 2015 nilai r = 0,307 (arah positif). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir tidak ada hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, pada tahun 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tetapi tidak signifikan. Nilai r pada tahun 2013-2015 menunjukkan nilai positif yang artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Begitu juga nilai r pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan nilai positif yang artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Sedangkan, pada tahun 2013 menunjukkan nilai negatif yang artinya jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD rendah atau sebaliknya. BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu sebagai berikut: 1. Kecenderungan sekuler (secular trends) dapat melihat perubahan pola penyakit yang terjadi atau terulangnya kejadian luar biasa dalam jangka waktu yang lama (biasanya lebih dari 10 tahun). Pada penelitian ini data yang diperoleh adalah 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu tahun 2013-2015 sehingga kasus DBD menurut waktu tidak dapat melihat fluktuasi angka kesakitan penyakit DBD, pola kejadian DBD dari waktu ke waktu, pola yang mungkin terjadi di masa depan. 2. Unit analisis dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas. Shapefile yang didapat untuk dibuat area map dengan tools Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah tingkat kelurahan sehingga batasan wilayah kerja Puskesmas tidak dapat terlihat karena terdapat batas-batas kelurahan. B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan Berikut ini pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengenai distribusi kejadian DBD berdasarkan orang (usia dan jenis kelamin), tempat dan waktu (tahun dan bulan): 108 109 1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang a. Usia Kasus Dengue di negara-negara wilayah Asia Tenggara endemis penyakit (Bangladesh, Indonesia, Singapura dan Thailand) umumnya menyerang kelompok usia anak-anak (Viennet et al, 2014). Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka kesakitan DBD tertinggi pada tahun 2013-2015, yaitu pada kelompok usia 10-14 tahun (dalam per 100.000 penduduk tahun 2013=85,9; 2014=142,9; 2015=78,8) yang berarti bahwa kasus DBD tertinggi diderita pada kelompok usia anak sekolah (grafik 5.1). Kasus DBD pada kelompk usia ini disebabkan oleh infeksi virus Dengue di sekolah lebih tinggi dibandingkan di rumah dan tempat kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Samuel dan Imam (2015) di Provinsi Papua menunjukkan bahwa kasus DBD tahun 2011-2014 lebih banyak pada kelompok umur 5-14 tahun. Aktivitas nyamuk menggigit dan menghisap darah seseorang dimulai pada waktu pagi hari (09.00-10.00) dan petang hari (16.00-17.00). Pada waktu pagi hari, anak sekolah sudah beraktifitas di lingkungan sekolah sedangkan, pada waktu petang mereka beraktifitas di lingkungan rumah. 110 Imunitas tubuh bisa menjadi faktor penyebab kejadian penyakit DBD pada usia anak sekolah di Kota Tangerang Selatan. Dalam kejadian penyakit DBD, tidak semua orang yang telah tergigit nyamuk Aedes aegypti jatuh sakit DBD melainkan tergantung pada sistem kekebalan tubuh pada masing-masing individu (Hairani, 2009). Ketika nyamuk infektif Dengue menggigit orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus Dengue, maka virus bersama air liur yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut menyebabkan terjadinya penyakit DBD (Wiradharma, 1999). Pada usia anak sekolah memiliki banyak kegiatan, baik di rumah ataupun sekolah yang mempengaruhi menurunnya imunitas tubuh apabila tidak diiringi dengan asupan makanan sehat. Sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit DBD. Semakin rendah sistem kekebalan tubuh, maka semakin besar pula peluang seseorang terpapar suatu penyakit DBD (Sudardjad, 1990 dalam Fitriyani, 2007). b. Jenis Kelamin Menurut Wahyuni (2011), paparan penyakit DBD berdasarkan jenis kelamin perbedaannya tidak terlalu mencolok pada laki-laki dibandingkan perempuan karena laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk terpapar penyakit DBD. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang 111 Selatan menunjukkan bahwa kasus DBD pada tahun 2013-2015 adalah pada laki-laki (2013=52%; 2014=51%; 2015=56%) hampir sama dengan perempuan (2013=48%; 2014=49; 2015=44%). Jenis kelamin berkaitan dengan tingkat keterpaparan dan kerentanan suatu penyakit. Peluang yang sama pada laki-laki dan perempuan dalam keterpaparan dan kerentanan terhadap penyakit DBD berkaitan dengan tempat perindukan dan kebiasaan istirahat vektor nyamuk Aedes aegypti, baik di lingkungan rumah, sekolah maupun tempat kerja. Selain itu juga, pengaruh lingkungan dalam kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi keterpaparan dan kerentanan pada laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2008 juga menunjukkan penderita DBD pada laki-laki (53,78%) hampir sama dengan perempuan (46,23%) (Kemenkes RI, 2010). Artinya, berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan dalam kejadian penyakit DBD (Yatim, 2007). Faktor imunitas tubuh perlu diperhatikan karena faktor ini dapat menentukan sehat atau sakit dalam keterpaparan suatu penyakit DBD. Berdasarkan penelitian imunologi menunjukkan bahwa imunitas tubuh laki-laki lebih rentan terhadap penyakit DBD dibandingkan perempuan, hal ini dimungkinkan dikarenakan cytokine pada perempuan lebih besar daripada laki- 112 laki sehingga respon imun pada perempuan lebih baik daripada laki-laki (Kusumawardani dan Achmadi, 2012). 2. Karakteristik Tempat Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa Incidence Rate (IR) tertinggi berdasarkan tempat dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah wilayah kerja Puskesmas Rawa Buntu, Rengas, Pondok Benda dan Kranggan. Angka kejadian DBD yang tinggi pada ke-empat Puskesmas ini bisa terjadi berkaitan dengan masih ditemukan tempat-tempat yang berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti dan juga banyak ditemukannya jentik. Angka Bebas Jentik (ABJ) dalam rencana strategi (renstra) Kementerian Kesehatan untuk ABJ secara nasional adalah sebesar ≥ 95% (Kemenkes RI, 2015). Rata-rata angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir diperoleh masih berada di bawah indikator nasional, yaitu sebesar 93% (lampiran 1). Setelah ditelusuri lebih dalam pada salah satu Puskesmas dari keempat Puskemas tersebut diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal penderita DBD masih ditemukan adanya jentik pada ban bekas di luar rumah, dispenser dan pot bunga. Angka bebas jentik yang masih rendah mengartikan bahwa masyarakat masih kurang perhatian terhadap pemeliharaan kebersihan lingkungan seperti tempat penampungan air, tempat penimbunan sampah dan lainnya. Masyarakat juga masih kurang 113 partisipasi dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD). Kegiatan PSN-DBD yang kurang optimal dapat mengakibatkan masih rendahnya ABJ (banyak ditemukan jentik) dan tingginya angka kejadian DBD. Menurut Yuli (2008), program pemberantasan vektor nyamuk DBD ditekankan pada pembersihan jentik nyamuk perlu keterlibatan seluruh masyarakat di tempat agar pemberantasan nyamuk dapat bersifat lebih berkesinambungan sehingga lingkungan dapat terjaga dan bebas dari vektor nyamuk Aedes aegypti. Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui kepadatan vektor (jentik) nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) tersebut pada suatu wilayah. Semakin tinggi perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti hingga banyak ditemukan jentik, maka semakin tinggi risiko terjangkit penyakit DBD (Setyaningsih dan Setyawan, 2014). Angka bebas jentik juga merupakan salah indikator keberhasilan dan sebagai tolak ukur partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus. Wilayah dengan rata-rata ABJ yang masih dibawah indikator nasional mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD dengan cara 3M Plus di lingkungan sekitarnya belum optimal sehingga kasus DBD masih sering terjadi. 114 3. Karaktersitik Waktu a. Tahun Peningkatan atau penurunan angka kejadian DBD dari tahun ke tahun berkaitan dengan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dan Angka Bebas Jentik (ABJ). Faktor kondisi lingkungan fisik juga dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan kejadian DBD. Hal ini karena sanitasi lingkungan memiliki hubungan erat dengan kejadian DBD yang dapat mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir telah mencapai target nasional (≤ 51 per 100.000 penduduk). Angka bebas jentik rata-rata dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 93% (lampiran 1), hal ini berarti belum mencapai target indikator nasional dalam satu kota. Namun, keberhasilan IR DBD yang berada dibawah target indikator nasional dan mengalami penurunan bisa dikarenakan faktor lain. Persentase rumah sehat dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 89%. Setelah ditelusuri sampai tingkat wilayah kerja Puskesmas di Kota 115 Tangerang Selatan, masih terdapat beberapa tempat yang belum tercapai indikator persentase rumah (peta 5.2). Namun, persentase rumah sehat rata-rata dalam satu kota secara nasional sudah mencapai target indikator (≥80%) (lampiran 1). Hal ini mengartikan bahwa rumah-rumah di Kota Tangerang Selatan sudah banyak yang telah memenuhi syarat rumah sehat. b. Bulan Kejadian demam berdarah di Indonesia setiap tahun terjadi pada bulan September hingga sampai Februari dimana puncak kejadian DBD bertepatan dengan musim hujan yaitu pada bulan Desember atau Januari (Siregar, 2004). Pada musim hujan populasi vektor nyamuk Aedes aegypti mengalami peningkatan dengan bertambah banyaknya breeding place di luar rumah akibat sanitasi lingkungan yang kurang bersih. Pada musim kemarau juga dapat menyebabkan peningkatan populasi vektor nyamuk Aedes aegypti karena banyak vektor nyamuk yang bersarang di bejana yang selalu terisi air, seperti bak mandi, tempayan, drum dan penampungan air (Depkes RI, 2010). Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa puncak kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 adalah bulan Juni, September dan November sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 82,7 mm, 34,8 mm dan 261,6 mm. Puncak kejadian penyakit DBD di 116 Kota Tangerang Selatan tahun 2014 adalah bulan Januari sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 681,3 mm. Puncak kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2015 adalah bulan Januari, Mei dan Oktober sedangkan, curah hujan pada saat itu adalah 354,6 mm, 129,9 mm dan 10 mm. Curah hujan yang tinggi di Kota Tangerang Selatan memberikan dampak signifikan terhadap jumlah kasus DBD. Hal ini dikarenakan siklus perkembangan vektor nyamuk Aedes aegypti pada musim hujan lebih mudah berkembang daripada musim kemarau. C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik 1. Suhu Udara Suhu udara adalah suatu keadaan panas atau dinginnya udara yang biasanya diukur dengan alat ukur thermometer. Suhu optimal rata-rata untuk perkembangan larva dari vektor nyamuk DBD adalah 25°C – 27°C. Pemberhentian pertumbuhan nyamuk terjadi jika suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C. (Yotopranoto et al, 1998 dalam Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 27,7°C (tabel 5.6). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. 117 Hasil penelitian ini mengartikan bahwa suhu udara di Kota Tangerang Selatan tidak termasuk dalam suhu optimal perkembangan larva vektor DBD, tetapi suhu udara tersebut termasuk suhu dimana larva dapat terus berkembangbiak hingga sampai menjadi nyamuk dewasa. Perubahan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi musim penularan (Bangs et al, 2007). Suhu udara memiliki hubungan dan siginifikan dengan kejadian DBD mengartikan bahwa Kota Tangerang Selatan dengan suhu udara berada diatas optimal namun masih sangat mendukung dalam perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti dapat memberikan dampak potensi penularan penyakit DBD yang tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 20062011 (r = -0,439; Pvalue = 0,001). Suhu udara secara tidak langsung berhubungan dengan kejadian DBD tetapi berhubungan langsung dengan siklus hidup vektor nyamuk Aedes aegypti. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa suhu udara berhubungan dengan kemampuan bertahan hidup vektor. Suhu udara dapat mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh, frekuensi menggigit, istirahat dan perilaku kawin (Cahyati, 2006). Jika suhu udara sudah termasuk optimum untuk perkembangbiakan vektor nyamuk, maka jumlah vektor nyamuk tersebut semakin meningkat dan berjumlah banyak sehingga dapat meningkatkan penularan penyakit 118 DBD (WHO, 2003 & Bangs et al, 2007 dalam Fidayanto dkk, 2013; Angel & Joshi, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudhastuti dan Vidiyani (2005) yang menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata di Kelurahan Wonokusumo sebesar 29,9°C – 32°C sehingga berpotensi untuk berkembangnya nyamuk Aedes aegypti. Nilai r suhu udara pada tahun 2014 dan 2015 menunjukkan berbanding terbalik dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan yang artinya jika suhu udara semakin naik, maka kasus DBD menurun. Hasil uji kekuatan pada kedua tahun tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti jika suhu udara naik, kasus DBD tidak selalu menurun sebagaimana pada tahun 2014 terlihat di bulan April-Juni, Agustus, November dan Desember sedangkan, pada tahun 2015 bulan Februari, Mei-Juli, Oktober dan Desember (grafik 5.13 lampiran 4). Peningkatan kasus DBD yang tidak diiringi dengan penurunan suhu udara mengartikan bahwa adanya faktor lain yang lebih dominan sehingga mempengaruhi kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan seperti perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan sekitarnya masih kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masrizal (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD dengan kekuatan 119 sedang (r = 0,471) tetapi tidak signifikan (P value = 0,122) dan berkorelasi negatif. 2. Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah perbandingan banyaknya uap air yang terdapat di udara dengan banyaknya uap air maksimum yang dapat dikandung oleh udara tersebut dalam suhu udara yang sama. Kelembaban udara dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban berada dibawah 60 % umur nyamuk pendek sehingga potensi sebagai vektor semakin menurun (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa kelembaban udara rata-rata dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah sebesar 80% (tabel 5.7). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini mengartikan bahwa kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan termasuk optimum untuk vektor nyamuk Aedes aegypti berpotensi tinggi sebagai vektor penularan DBD. Kelembaban udara memiliki hubungan dan siginifikan mengartikan bahwa Kota Tangerang Selatan dengan kelembaban udara berada diatas optimal (> 60%) dapat memberikan dampak potensi vektor nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penularan penyakit DBD tinggi. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kejadian penyakit DBD memiliki hubungan yang kuat dengan kelembaban udara. Hal ini 120 dikarenakan terdapat korelasi Aedes aegypti dan penularan virus dari satu manusia ke manusia lainnya (Khin & Than, 2003 dalam Fidayanto dkk, 2013; Gubler et al, 2001). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,533; P value = 0,001). Kelembaban udara secara tidak langsung berhubungan dengan kasus DBD, tetapi berhubungan dengan umur perkembangbiakan nyamuk. Pada saat kelembaban lebih dari optimum (>60%), umur nyamuk menjadi lebih panjang dan potensi sebagai vektor juga semakin meningkat (Kemenkes RI, 2012). Vektor nyamuk infektif Dengue bersifat sensitif terhadap kelembaban. Apabila nyamuk infektif Dengue berada di lingkungan kering (tidak lembab), maka kemampuan nyamuk untuk bertahan hidup semakin menurun dan menyebabkan ia tidak cukup waktu untuk bisa menularkan virus ke orang lain (Bangs et al, 2007 dalam Fidayanto dkk, 2013; Gubler et al, 2001). Kelembaban udara menentukan daya tahan alat pernafasan nyamuk (Hidayati, 2008). Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat menyebabkan terjadinya penguapan air dari dalam tubuh vektor nyamuk. Penguapan inilah menjadi faktor yang mempengaruhi bertahannya hidup nyamuk untuk dapat menginfeksi orang lain (Cahyati, 2006). 121 Nilai r kelembaban udara pada tahun 2013 dan 2015 menunjukkan berbanding lurus dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan yang artinya jika kelembaban udara semakin naik, maka kasus DBD juga meningkat. Hasil uji kekuatan pada kedua tahun tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti jika kelembaban udara naik, kasus DBD tidak selalu meningkat atau sebaliknya, sebagaimana pada tahun 2013 terlihat di bulan Maret, Juni, Juli dan Desember sedangkan, pada tahun 2015 bulan April, Mei, Juli dan Desember (grafik 5.14 lampiran 4). Kelembaban udara tinggi tidak selalu diikuti oleh peningkatan kasus DBD. Peran serta masyarakat masih kurang optimal dalam menjaga lingkungan agar tetap bersih menjadi salah satu hubungan yang tidak signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masrizal (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan tetapi tidak signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD (r = 0,498; Pvalue = 0,100). 3. Curah Hujan Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 189,9 mm (tabel 5.8). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan dan signifikan antara curah hujan 122 dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hasil uji statitik curah hujan pada tahun 2015 menunjukkan hubungan yang kuat dan signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Nilai r menunjukkan arah positif yang artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga tinggi. Hal ini terlihat terjadi pada musim hujan, yaitu bulan September hingga Desember (grafik 5.15 lampiran 4). Curah hujan memiliki hubungan yang kuat dan signifikan mengartikan bahwa curah hujan di Kota Tangerang Selatan memberikan dampak terhadap meningkatnya jumlah vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga potensi penularan DBD di musim hujan juga tinggi. Curah hujan secara langsung dapat mengurangi atau meningkatkan jumlah populasi vektor nyamuk karena banyaknya genangan air sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk. Biasanya tempat perindukan nyamuk ditemui di sampah-sampah kering, seperti botol bekas, kaleng, potongan bambu juga daun-daun yang mungkin dapat menampung air sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk. Menurut Sukowati (2004) tempat perkembangbiakan vektor nyamuk DBD di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya air di pemukiman. Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan genangan air di tempat penampungan air sekitar rumah atau lainnya yang merupakan tempat perkembangbiakan larva hinga menjadi nyamuk. Genangan air tersebut meningkatkan breeding place nyamuk (Hidayati, 2008). Hasil 123 penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan dan signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,403; P value = 0,001). Nilai r curah hujan pada tahun 2014 menunjukkan berbanding lurus yang artinya jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD juga meningkat. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan, tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti jika curah hujan tinggi, maka kasus DBD tidak selalu meningkat, sebagaimana terlihat pada bulan November (grafik 5.15 lampiran 4). Perubahan curah hujan yang tidak sejalan dengan perubahan kasus DBD menurut data per bulan menyebabkan hubungan curah hujan tidak signifikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gustina dkk (2014) menunjukkan terdapat hubungan yang kuat tetapi tidak signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Malang periode tahun 20022011 (r = 0,525; Pvalue = 0,080). 4. Kecepatan Angin Angin dapat mempengaruhi penerbangan dan penyebaran nyamuk. Kecepatan angin dengan 11-14 m/detik atau 25-31 mil/jam dapat menghambat aktivitas terbang nyamuk sehingga menyebabkan penyebaran vektor nyamuk juga terbatas (Vanleeuwen, 1999). Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan 124 menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah 4 knot atau 2 m/detik (tabel 5.9). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hal penelitian ini mengartikan bahwa kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan berada dibawah optimum sehingga aktivitas terbang nyamuk tidak terhambat dan penyebaran vektor dapat meluas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Masrizal (2010) menunjukkan bahwa kecepatan angin di Kota Padang tahun 2008-2010 berkisar 5 knot – 6 knot (tidak lebih dari 11 knot) yang mengartikan kecepatan angin di Kota Padang tidak menghambat aktifitas terbang nyamuk. Andriani dalam Dini (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang karena tubuh nyamuk yang kecil sehingga mengakibatkan mudah terbawa angin. Selain itu, nyamuk juga sulit untuk berpindah-pindah tempat dengan jarak yang jauh sehingga kemungkinan penularan akibat nyamuk menjadi kecil. Kecepatan angin menurut per bulan dalam kurun waktu 3 (terakhir) relatif berubah dan angka yang tidak bervariasi setiap tahunnya menyebabkan tidak ada hubungan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Selain itu, vektor nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor yang menyukai tempat istirahat di dalam rumah, di dalam kelas atau ruang tempat kerja sehingga pengaruh angin dalam penyebaran vektor ini sangat kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan 125 penelitian yang dilakukan oleh Mustazahid (2013) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006-2011 (r = 0,057; P value = 0,632). Nilai r kecepatan angin pada tahun 2015 menunjukkan berbanding lurus dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan yang artinya jika kecepatan angin naik, maka kasus DBD meningkat. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kecepatan angin berhubungan tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti jika kecepatan angin tinggi, maka kasus DBD tidak selalu meningkat atau sebaliknya, sebagaimana terlihat pada bulan Februari (grafik 5.15 lampiran 4). Peningkatan kecepatan angin tidak diikuti oleh peningkatan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Penurunan daya dukung lingkungan menjadi salah satu penyebab hubungan yang tidak signifikan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amah dkk (2010) di Kabupaten Serang menunjukkan terdapat hubungan tetapi tidak signifikan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD (r = 0,338’ Pvalue = 0,196). 5. Rumah Sehat Dalam pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat dan American Public Health Association (APHA) menyatakan bahwa salah satu persyaratan kondisi fisik rumah dikatakan sehat adalah rumah atau tempat tinggal dapat melindungi penghuninya dari bahaya atau 126 gangguan kesehatan terutama penularan penyakit menular sehingga memungkinkan penghuni rumah tersebut memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Rumah sehat merupakan bagian sanitasi lingkungan yang memiliki hubungan erat dengan penyakit menular berbasis lingkungan, salah satunya penyakit DBD. Apabila sanitasi lingkungan buruk, maka dapat memberikan peluang sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sehingga nyamuk terus meningkat dan menyebabkan penularan DBD yang tinggi. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial sebaran kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang juga tinggi. Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan persentase rumah sehat yang juga tinggi adalah Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Pondok Benda dan Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal jumlah Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang rendah mengalami kecederungan menurun. Setiap rumah yang terdapat penghuni dinilai untuk menilai apakah rumah yang ditempatkan telah memenuhi syarat rumah sehat. Salah satu dalam penilaian rumah sehat ini adalah ada atau tidaknya jentik yang ditemukan. Penilaian rumah sehat oleh sanitarian lingkungan Puskesmas dibantu oleh para kader setempat dilakukan sekali setiap tahunnya. Setelah ditelusuri lebih dalam diketahui bahwa rumah-rumah 127 yang berada di wilayah kerja Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Pondok Benda dan Puskesmas Rengas baik perumahan komplek maupun non-komplek, masih banyak ditemukan adanya jentik. Rumah yang dinilai dan ditemukan adanya jentik dikatakan sebagai rumah tidak sehat. Namun, persentase rumah sehat di ke-tiga Puskesmas tersebut berada diatas indikator yaitu sebesar 80% pada tahun 2013-2015. Hal ini mengartikan bahwa dalam penilaian rumah sehat, rumah yang diperiksa dan ditemukan adanya jentik tetap dinilai sebagai rumah sehat. Padahal, jentik memiliki hubungan dalam kejadian DBD. Selain itu, data penilaian rumah sehat juga menjadi tidak valid dan representatif. Jentik yang ditemukan tidak semuanya adalah jentik yang berkembangbiak menjadi nyamuk Aedes aegypti. Namun, apabila jentik itu adalah jentik nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak menjadi nyamuk dewasa kemudian menghisap darah dari orang yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut dapat berpotensi sebagai vektor penular DBD. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan saitarian lingkungan Puskesmas diketahui bahwa jentik lebih sering ditemukan di bak mandi, dispenser, pot bunga dan juga barang-barang bekas di luar rumah. Jentik yang ditemukan tersebut mengartikan bahwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Rawa Buntu, Puskesmas Pondok Benda dan Puskesmas Rengas masih kurang dalam pasrtisipasi kegiatan Pemberansan Sarang Nyamuk Demam 128 Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan 3M (menguras, menutup dan mengubur) Plus (tidak menggantung pakaian, menggunakan repellent, menggunakan kelambu ketika tidur, abatisasi, pemeliharaan ikan cupang). Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa masyarakat mengetahui tentang pencegahan penyakit DBD, yaitu dengan PSN DBD tetapi hanya sebatas 3M (menguras, menutup dan mengubur) tidak sampai Plus sehingga masih sering ditemukan jentik di dispenser, pot bunga, barang bekas atau sampah di kebun yang dapat menampung air hujan. Hal ini lah yang menjadi penyebab angka kejadian DBD tinggi meskpin persentase rumah sehat juga tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Octaviana (2007) menyatakan bahwa wilayah endemis DBD terjadi pada rumah yang sehat daripada rumah yang tidak sehat. D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi 1. Angka Bebas Jentik (ABJ) Angka bebas jentik merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui kepadatan vektor (jentik) nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat memberikan gambaran besar perkembangan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pada suatu wilayah. Semakin banyak ditemukannya jentik, maka dapat meningkatkan risiko penularan penyakit DBD (WHO, 2000 dalam Fathi dkk, 2005). Wilayah atau lingkungan dikatakan aman dari penyakit DBD bila persentase angka 129 bebas jentik mencapai target indikator nasional. Pencapaian indikator angka bebas jentik nasional dalam upaya menanggulangi penularan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah lebih dari sama dengan 95% (Kemenkes RI, 2014). Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa secara spasial kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan angka bebas jentik yang juga tinggi (tidak ditemukan banyak jentik). Puskesmas yang selalu memiliki IR DBD tinggi dan angka bebas jentik yang juga tinggi adalah Puskesmas Rengas. Sedangkan, secara temporal jumlah Puskesmas dengan ABJ rendah atau ditemukan banyak jentik di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 mengalami peningkatan. Puskesmas Rengas hanya membawahi Kelurahan Rengas. Hasil persentase angka bebas jentik di Kelurahan Rengas dalam kurun waktu 3 tahun berturut-turut adalah berada diatas indikator (>95%), tetapi kasus DBD terus tinggi dengan IR DBD berada diatas indikator nasional (>51 per 100.000 penduduk) meskipun terdapat pasien DBD berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Rengas. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada, yaitu biasanya wilayah dengan angka bebas jentik tinggi, maka kasus DBD rendah dan sebaliknya. Faktor yang memungkinan hal ini terjadi adalah validitas data. Salah satu yang dapat menyebabkan ketidakvalidan data angka bebas jentik, yaitu kinerja petugas survei yang kurang baik. 130 Pada waktu pemeriksaan jentik, petugas survei jentik kurang teliti dan hanya melakukan pemeriksaan pada tempat-tempat penampungan air besar seperti bak mandi, ember dan drum. Namun, masih banyak tempat keberadaan jentik yang tidak diperiksa seperti vas bunga, penampungan air di belakang kulkas, penampungan tetesan air conditioner (AC) sehingga mungkin masih ada jentik yang tidak terlihat atau ditemukan, baik pada rumah yang diperiksa maupun tidak diperiksa. Selain itu, rumah di Kelurahan Rengas sebagian besar adalah komplek sehingga hanya sebagian rumah yang dapat diperiksa ada atau tidak jentik oleh petugas survei jentik. Dengan begitu, hal ini mengakibatkan banyak jentik Aedes aegypti yang tidak diketemukan oleh petugas survei jentik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sungkar, dkk (2006) di Jakarta Utara yang menunjukkan bahwa angka bebas jentik yang terlapor telah mencapai 95%, tetapi angka kasus penderita DBD masih tetapi tinggi. Sungkar menyatakan salah satu faktor yang menyebabkan angka bebas jentik tinggi diduga karena faktor kinerja jumantik yang kurang teliti saat melakukan pemeriksaan jentik. Selain itu, angka kasus DBD yang tinggi sedangkan ABJ tinggi juga dapat disebabkan oleh faktor mobilitas yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita DBD di Kelurahan Rengas tahun 2013-2015 terbanyak adalah pada usia ≥ 15 tahun (2013=64,5 per 131 100.000 penduduk; 2014=114 per 100.000 penduduk; dan 2015=90 per 100.000 penduduk). Hal ini berarti penderita DBD tidak hanya tergigit nyamuk infektif virus Dengue di lingkungan sekitar rumah saja, tetapi juga dapat di lingkungan tempat kerja, pasar, tempat ibadah atau tempat-tempat umum lainnya. Aktifitas dan pekerjaan penduduk menyebabkan terjadinya mobilitas, baik dalam kota maupun luar kota (Rahim dkk, 2013). Faktor mobilitas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan virus DBD pada individu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga mempengaruhi penyebaran penyakit DBD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Betty (2010) di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa mobilitas berhubungan dengan kejadian DBD. Mereka yang memiliki kebiasaan berpergian dengan minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD memiliki risiko 9,29 kali lebih besar daripada yang tidak berpergian. E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik 1. Kepadatan Penduduk Hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial kasus DBD tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan analisis temporal, jumlah Puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi tahun 2013-2015 mengalami kecenderungan yang meningkat. Puskesmas 132 yang selalu memiliki IR DBD tinggi dengan kepadatan penduduk tinggi adalah Puskesmas Rawa Buntu. Kasus DBD di Puskesmas Rawa Buntu mengalami peningkatan seiring kepadatan penduduk yang juga terus meningkat tahun 20132015. Hal ini berarti kepadatan penduduk tinggi di Puskesmas Rawa Buntu diikuti kejadian penyakit DBD. Suatu wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dapat memberikan dampak mudah terjadi penularan penyakit DBD melalui vektor nyamuk Aedes aegypti dari satu orang ke orang lain. Vektor nyamuk Aedes aegypti memiliki kemampuan jarak terbang sejauh 50-100 mil atau 81-161 km (Fitriyani, 2007) sehingga wilayah dengan padat penduduknya dapat memudahkan vektor nyamuk untuk menginfeksi penduduk karena jarak terbang untuk menggigit orang lain semakin kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasyim (2009) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara positif antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD, artinya semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk maka kemungkinan juga menyebabkan peningkatan kejadian DBD. Hasil penelitian ini yang dilakukan oleh Hariyadi (2007) juga menunjukkan bahwa Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi berisiko 16 kali untuk tertular penyakit DBD. BAB VII PENUTUP A. Simpulan 1. Epidemiologi deskriptif penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan adalah (1) Kejadian DBD tertinggi pada usia produktif (≥15 tahun), (2) Kejadian DBD lebih sering terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kranggan dan (3) Kejadian DBD terjadi secara fluktuatif. 2. Rata-rata kondisi iklim di Kota Tangerang Selatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir adalah suhu udara 27,7°C, kelembaban udara 90%, curah hujan 189,9 mm dan kecepatan angin 4 knot. 3. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat tersebar di bagian Selatan Kota. Sedangkan, berdasarkan temporal terlihat semakin berkurang dan terjadi penurunan kasus DBD selama 3 tahun terakhir dengan IR DBD 48,5 per 100.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 46,5 per 100.000 penduduk pada tahun 2015. 4. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan Angka Bebas Jentik di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan ABJ yang juga tinggi. Secara temporal (trend), terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja Puskesmas yang memiliki angka bebas jentik rendah diiringi IR DBD yang semakin menurun. 133 134 5. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan rumah sehat di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan persentase rumah sehat yang juga tinggi. Secara temporal, terjadi penurunan proporsi wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat rendah diiringi IR DBD yang semakin menurun. 6. Distribusi spatialtemporal kejadian penyakit DBD dengan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan secara spasial terlihat IR DBD tinggi banyak ditemukan di Puskesmas dengan kepadatan penduduk tinggi. Secara temporal, terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi diiringi IR DBD yang semakin menurun. 7. Pada tahun 2014 dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara suhu udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan. Sedangkan pada tahun 2013 tidak ada hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD. 8. Pada tahun 2014 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD. Sedangkan, pada tahun 2013 dan 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara kelembaban udara dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan. 9. Pada tahun 2015 terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara curah hujan dengan kejadian DBD. Pada tahun 2014 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara curah hujan dengan kejadian DBD 135 tetapi tidak signifikan. Sedangkan, pada tahun 2013 tidak ada hubungan antara curah hujan dengan kejadian DBD. 10. Pada tahun 2015 terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara kecepatan angin dengan kejadian DBD tetapi tidak signifikan. Sedangkan pda tahun 2013 dan 2014 tidak ada hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD. B. Saran 1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan a. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disarankan tetap menggunakan dan dapat mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan pemetaan kasus DBD sehingga dapat mengetahui wilayah dengan insidens DBD yang tinggi. b. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disarankan perlu melakukan koordinasi secara intensif dan meningkatkan kinerja proaktif kepada petugas Puskesmas seksi lingkungan di Kota Tangerang Selatan dalam penanggulangan kasus DBD. Hal ini agar faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap kejadian DBD dapat teratasi dan penularan penyakit DBD tidak semakin meluas serta tidak terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di Kota Tangerang Selatan. 136 2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Tangerang Selatan a. Peningkatan suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan berpengaruh terhadap peningkatan kasus DBD di Kota Tangerang Selatan. Oleh karena itu, BMKG Kota Tangerang Selatan sebagai pihak yang berwenang terhadap data suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan perlu kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. b. Jika terjadi peningkatan suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan, pihak BMKG disarankan dapat menyebarluaskan informasi hasil pengukuran berdasarkan bulan setiap tahunnya kepada Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, Dinas Kesehatan setempat dapat melakukan Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue (SKD-DBD) dan segera melakukan kegiatan untuk mengantisipasi kejadian DBD dengan melakukan kegiatan preventif, seperti survei lapangan, abatisasi, fogging dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB). 3. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan Kepadatan penduduk yang tinggi berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan sebagai pihak yang berwenang terhadap data kependudukan disarankan dapat menyebarluaskan informasi kependudukan setiap tahunnya kepada dinas-dinas yang terkait terutama Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, Dinkes setempat dapat 137 melakukan Sistem Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue (SKDDBD) pada wilayah yang berisiko tinggi terjadi KLB DBD akibat penduduk yang padat. 4. Masyarakat Kota Tangerang Selatan a. Masyarakat disarankan dapat melakukan pemeriksaan jentik secara mandiri minimal semingu sekali dalam waktu 30 menit, tidak hanya pada Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M (menutup, mengubur dan menguras) tetapi juga melalui pemeliharaan ikan pemakan jentik, abatisasi. Hal ini bertujuan untuk memberantas jentik vektor nyamuk Aedes aegypti, rumah tempat tinggal menjadi rumah sehat dan bebas dari jentik vektor nyamuk Aedes aegypti. b. Masyarakat disarankan aktif dalam menjaga lingkungan terkait breeding place nyamuk Aedes aegypti agar tetap bersih dan bebas dari perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Hal ini bertujuan agar penularan DBD tidak tinggi pada wilayah dengan penduduk yang padat. c. Masyarakat disarankan dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD secara mandiri, seperti penyemprotan dengan obat nyamuk di dalam rumah, sekolah ataupun tempat kerja, menggunakan repellent sebelum tidur. Hal ini bertujuan untuk membantu masyarakat terhindar dari gigitan 138 nyamuk dan memperkecil potensi penularan DBD di Kota Tangerang Selatan. d. Masyarakat perlu kewaspadaan dini terhadap penyakit DBD pada musim hujan terutama di akhir bulan Desember hingga awal Januari. Pada bulan tersebut, populasi nyamuk Aedes aegypti meningkat sehingga tingkat penularan DBD juga tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan peran serta masyarakat berpartisipasi dalam gerakan PSN 3M Plus juga Pemantauan Jentik Berkala (PJB) di setiap tempat yang berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti tidak hanya di lingkungan rumah, tetapi juga lingkungan sekolah dan tempat kerja. 5. Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti lain perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan alat bantu Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui pola persebaran insidens Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan menghitung Nearest Neighbour Index (NNI) atau indeks jarak tetangga terdekat tingkat Puskesmas di Kota Tangerang Selatan. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Afriza, Tuti dan Nasriati. 2012. “Pengaruh Perilaku Masyarakat dalam 3M Plus Terhadap Resiko Kejadian Demam Berdarah di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2012”. Ejournal UII Angel, B. & Joshi, V. 2008. “Distribution and Seasonality of Vertically Transmitted Dengue Viruses in Aedes musquitoes in Arid and Semi-arid Areas of Rajasthan, India”. Journal of Vector Borne Diseases. 2008: 45 (3):56-59. Arias, Kathleen Meehan. 2009. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Arsunan AA, et al. 2013. “Eco-Epidemiology Analysis of Dengue Hemorrhagic Fever Endemicity Status in Sulawesi Selatan Province, Indonesia”. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT).Vol. 2 Issue 9, September – 2013. ISSN: 2278-0181 Asmara, Lela. 2009. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Insidens Rate Kasus Tersangka Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kecamatan Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005-2007. Skripsi. Universitas Indonesia. Bailey, Trevor C. 2001. “Spatial statistical methods in health”. Cad. Saúde Pública, Rio de Janeiro, 17(5):1083-1098, set-out, 2001. Bangs, M.J. et al. 2008. “Climatic Factors Associated with Epidemic Dengue in Palembang, Indonesia: Implications of Short-Term Meterorological Events on Virus Transmission”. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public Health, Vol. 37, No. 6, November 2006. BAPPEDA Provinsi NTB. 2012. “Modul Pelatihan Quantum GIS Tingkat Dasar”. GIZ- Decentralization as Contribution to Good Governance. Mataram. Bhatia, Rajesh, Dash, Aditya p. and Sunyoto, Temmy. 2013. “REVIEW: Changing Epidemiology of Dengue in South-East Asia”. WHO South-East Asia Journal of Publich Health, January- March 2013, 2(1). BPS Kota Tangerang Selatan. 2015. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan. CDC. 2015. Dengue. [Online] Available at: http://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html [Accessed August 2015]. 139 140 Candra, Aryu. 2010. “Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan Faktor Risiko Penularan”. Jurnal AspiratorVol. 2, No. 2, Tahun 2010: 110 – 119. Chakkaravarthy, VM., Vincent, S. & Ambrose, T. 2011. “Novel Approach of Geographic Information System on Recents Outbreaks of Chikungunya in Tamil Nadu, India”. Journal of Environmental Science and Technology. Chin, J. 2012. Dengue Hemorragic Fever. In: N. Kandun, ed. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika, p. 147. Costa, Ethiene Arruda Pedrosa de Almeida et al. 2010. “Impact of Small Variations in Temperature and Humidity on the Reproductive Activity and Survival of Aedes aegypti (Diptera, Culicidae)”. Journal of Revista Brasileira de Entomologia 54(3): 488–493, setembro 2010. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2014. Dini, A. M. V., Fitriany, R. N. dan Wulandari, R. A. 2010. “Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Serang”. Makara, Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-38 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M & PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2007. Modul Pelatihan bagi Pengelola Program Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Djunaedi, Djoni. 2006. “Demam Berdarah: Epidemiologi, Immunopatologi, Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaannya”. UMM Press, Malang. Faldy, R., Kaunang, W.P.J. dan Pandelaki, A.J. 2015. “Pemetaan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa Utara”. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, Vol. III No. 2 April 2015. Farahiyah, M., Nurjazuli dan Setiani, O. 2014. “Analisis Spasial Faktor Lingkungan dan Kejadian DBD di Kabupaten Demak”. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 42, No. 1, 2014: 25 – 36. Fathi, Keman, S., Wahyuni, C. U. 2005. “Peran Faktor Lingkungan dan perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram”. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No.21, Juli 2005: 1-10. Fidayanto, R., Susanto, H., Yohanan, A. dan Yudhastuti, R. 2013. “Model Pengendalian Demam Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.7, No, 11, Juni 2013. Fitriyani. 2007. Penentuan Wilayah Rawan Demam Berdarah Dengue di Indonesia dan Analisis Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan 141 (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu). Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Fullerton, Laura M., Sarah K. Dickin, Corrine J. Schuster-Wallace. 2014. Mapping Global Vulnerability to Dengue using the Water Associated Disease Index. Ontario: United Nations University. Gama, A. & Betty, F. 2010. “Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali”. Eksplanasi, 5(2). Ginanjar, Genis. 2004. Demam Berdarah. Jakarta: PT Mizan Publika. ____________. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Gubler, D.J. et al. 2001. “Climate Variability and Change in the United States: Potential Impact on Vector-and Rodent-Borne Diseases”. Environmental Health Perspectives. 2001;109:5. Hairani, Lila Kesuma. 2009. Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah Dengue dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angka Insidennya di Wilayah Kecamatan Cimanggis, Kota Depok Tahun 2005-2008. Skripsi. Universitas Indonesia. Hakim, Lukman dan Kusnandari, Asep Jajang. 2012. “Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur dengan Status Infeksi Virus Dengue”. Aspirator 4(1), 2012 : 34-45. Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisa Data. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hasyim, H. 2009. “Analsis Spasial DBD di Provinsi Sumatera Selatan 20032007”. Jurnal Pembangunan Manusia, Vol.9, No. 3 Tahun 2009. Hasyimi, M., Ariati, Y. dan Hananto, M. 2011. “Hubungan Tempat Penampungan Air Minum dan Faktor Lainnya dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi DKI Jakarta dan Bali”. Media Litbang Kesehatan, Vol. 21, No.2, Tahun 2011. Hidayati, Rini. 2008. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengmbangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Skrisp. Institut Pertanian Bogor. Hutagalung, Jontari, Halim W. dan Koto A. 2011. “Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, 2009”. OSIR, Desember 2011, Vol. 4, Issue 2, p.1-5. 142 Indriani, C., Fuad, A. dan Kusnanto, H. 2011.“Pola Spasial-Temporal Epidemi Demam Chikungunya dan Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta Tahun 2008”. Berita Kedokteran Masyarakat. (pp.41-50) Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD). Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ____________. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ____________. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 035 Tahun 2012 Tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim. http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn9142012lamp.pdf ____________. 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ____________. 2013. Buku Saku Pengendalian Demam Berdarah Dengue Untuk Pengelola Program DBD Puskesmas. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ____________. 2014. Petunjuk Teknis Jumantik – PSN Anak Sekolah. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ____________. 2014. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue”. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ___________. 2015. Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN). [Online] Available at: http://www.komdat.kemkes.go.id/ [Accessed October 2015]. ___________. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenristek. 2013. Analisis Spasial. Modul 3. Khoa T. D. Thai et al. 2010. “Dengue Dynamics in Binh Thuan Province, Southern Vietnam : Periodicity, Synchronicity and Climate Variability”. PLOS, Vol: 4, Issue: 7, e747. PLOS Neglected Tropical Diseases. 143 Krianto, Tri. 2009. “Masyarakat Depok Memilih Fogging yang Tidak Dimengerti”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 1, Agustus 2009. Kusumawardani E. dan Achmadi, U. F. 2012. “Demam Berdarah Dengue di Pedesaan”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.7, No. 3, Agustus 2012. Lasut, dkk. 2009. “Karakteristik dan Pergerakan Sebaran Penderita DBD berdasarkan Geographic Information System sebaga Bagian Sistem Informasi Surveilans di Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat”. Loka Litbang P2B2 Ciamis. Marjuki, Bramantiyo. 2014. Sistem Informasi Geografi Menggunakan QGIS 2.0.1 Volume 2 dari Dasar Sistem Informasi Geografi. Mely Caballero-Anthony, Alistair D. B. Cook, Gianna Gayle Herrera Amul and Akanksha Sharma. 2015. Health Governance and Dengue in Southeast Asia. NTS Report No.2, May 2015. Mu-Jean Chen et al. 2012. “Effect of Extreme Precipitation to the Distribution of Infectious Diseases in Taiwan, 1994-2008”. PloS ONE Journal, June 2012, Volume 7, Issue 6, e34651. Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press. Nizal, MG et al. 2012. “Dengue Infections and Circulating Serotypes in Negeri Sembilan, Malaysia”. Malaysian Journal of Public Health Medicine 2012, Vol. 12 (1): 21-30. Nugroho, Farid Setyo. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti di RW IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Octaviana, D. 2007. Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Tesis. Parham, P. E. et al. 2010. Understanding and Modelling the Impact of Climate Change on Infectious Diseases–Progress and Future Challenges. [Online] Available at: http://cdn.intechopen.com/pdfs/19629 [Accessed February 2016]. Pohan, Zoelkarnain. 2014. Hubungan Iklim Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Palembang Tahun 2003-2013. Skripsi. Universitas Sriwijaya. Praditya, Sofie. 2011. Gambaran Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan 144 Sumbersari Kabupaten Jember (Studi pada Wilayah Kerja Puskesmas Sumbersari). Skripsi. Universitas Jember. Prahasta, Eddy. 2005. Sistem Informasi Geografis Konsep-konsep Dasar. Bandung: Informatika. Puspitasari, Rheni dan Susanto, Irwan. 2011. Analisis Spasial Kasus Demam Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran. ISBN : 978 – 979 – 16353 – 6 – 3 Rahim, S., et al. 2013. “Hubungan Faktor Lingkungan dengan Tingkat Endemisitas DBD di Kota Makassar”. Makassar: UNHAS. Rahman, Fadhlur. 2010. “Dengue Shock Syndrome Teratasi” dalam mengikuti kepaniteraan klinik madya bagian ilmu Kesehatan Anak RSU Prop.NTBFakultas Kedokteran Universitas Mataram. Rajab, W. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC. Rohmah, E.I., Moehammadi, N., Salamun. 2014. “Fluktuasi Populasi Larva Aedes aegypti Pada Berbagai Jenis Tempat Perkembangbiakan di rumah Penderita DBD”. Jurnal Ilmiah biologi, Vol. 2, No.1, April 2014. ISSN: 9 772303 342002 Setyaningsih, W. dan Setyawan, A. 2014. “Pemodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) pada Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen”. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 3, No 2, November 2014, hlm 106-214 Sihombing, G. F., Marsaulina, I. dan Ashar, T. 2014. “Hubungan Curah Hujan, Suhu Udara, Kelembaban Udara, Kepadatan Penduduk dan Luas Lahan Pemukiman dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Malang Periode Tahun 2002-2011. Jurnal Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan Kerja, Vo. 3, No. 1, 2014. Sintorini, Margareta Maria. 2007. “Pengaruh Iklim terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 1, Agustus 2007. Siregar, Faziah A. 2004. “Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Universitas Sumatera Utara”. Digitized by USU digital library. Soedarto. 1990. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika. Sukowati, S. 2004. “Hubungan Iklim dengan Penyakit Tular Vektor (DBD dan Malaria)”. Makalah Seminar Sehari Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan. 06 April 20014. Jakarta: Direktorat. 145 Suksesi, Tri Wahyuni. 2012. Monitoring Populasi Nyamuk Aedes aegypti L. Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Gedongkiwo Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas Vol. 6 No. 1, Januari 2012: 1-74. ISSN : 1978-0575. Sunardi. 2007. Deteksi Faktor Endemisitas Demam Berdarah Dengue. Tesis. Sunaryo, Pramestuti N. “Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014. Suroso, Thomas dan Umar, Ali imran. 2004. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini. Balai Penerbit Faklutas Kedokteran Universitas Indonesia. Suseno, Adam dan Agus T., Ricky. 2012. Panduan Penggunaan Quantum GIS dalam Sistem Informasi Geografis. Bogor. Syarifa F., Dian dkk. 2015. “Pemetaan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Geographic Information System di Minahasa Selatan”. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik : Volume III Nomor 2 April 2015. Syumarta, Y., Hanif A. M. dan Rustam E. 2014. “Hubungan Jumlah trombosit, Hematokrit dan hemoglobin dengan Derajat Klinik Demam Bedarah Dengue pada Pasien Dewasa di RSUP M. Djamil Padang”. Jurnal Kesehatan Andalas, (2014); 3(3). Valeeuwen, J.A. 1999. “Envolving models of human health toward and ecosystem context”. Ecosystem Health 5 (4) : 204 – 219. Viennet E. et al. 2014. “Epidemiology of Dengue in A High-income Country: A Case Study in Queensland, Australia”. Journal of Parasites & Vectors 2014, 7:379. Wahyono, dkk. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD). Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Wahyuni, R. D. dan Sabir, M. 2011. “Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Rumah Sakita Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Januari – Desember 2010”. INSPIRASI, No.XIV Edisi Oktober 2011. Wiradharma, Danny. 1999. “Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue”. Jurnal Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2. Wirayoga, Mustazahid Agfadi. 2013. “Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue dengan Iklim di Kota Semarang Tahun 2006-2011”. Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013). 146 WHO. 2009. Dengue: Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. ISBN 978 92 4 154787 1 _____. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. ISBN 978-92-9022-387-0 148 LAMPIRAN 1 Analisis Univariat Rata-rata IR DBD Tahun 2013-2015 Descriptive Statistics N Minimum Rerata IR DBD Tahun 2013- 3 2015 Valid N (listwise) Maximum 46.5 48.5 Mean 47.333 Std. Deviation 1.0408 3 Angka Bebas Jentik Tahun 2013-2015 Descriptive Statistics N Minimum ABJ2013-2015 75 Valid N (listwise) 75 67 Maximum 100 Mean 92.51 Std. Deviation 6.900 Descriptive Statistics N Minimum ABJ2013 25 Valid N (listwise) 25 Maximum 77 99 Mean 94.92 Std. Deviation 4.725 Descriptive Statistics N Minimum ABJ2014 25 Valid N (listwise) 25 67 Maximum 100 Mean 92.72 Std. Deviation 8.339 Descriptive Statistics N Minimum ABJ2015 25 Valid N (listwise) 25 75 Maximum 98 Mean 89.88 Std. Deviation 6.451 149 Rumah Sehat Tahun 2013-2015 Descriptive Statistics N rumahsehat2013- Minimum 75 2015 Valid N (listwise) Maximum 3 101 Mean 89.37 Std. Deviation 15.813 75 Descriptive Statistics N Minimum rumahsehat2013 25 Valid N (listwise) 25 Maximum 3 101 Mean 87.44 Std. Deviation 25.516 Descriptive Statistics N Minimum rumahsehat2014 25 Valid N (listwise) 25 71 Maximum 100 Mean 91.20 Std. Deviation 7.969 Descriptive Statistics N Minimum rumahsehat2015 25 Valid N (listwise) 25 Maximum 79 99 Mean 89.48 Std. Deviation 7.001 Kepadatan Penduduk Tahun 2013-2015 Descriptive Statistics N Minimum KepPend2013-2015 75 Valid N (listwise) 75 63.6 Maximum 574.9 Mean 232.209 Std. Deviation 120.5765 150 Descriptive Statistics N Minimum KepPenduduk 2013 25 Valid N (listwise) 25 Maximum 63.6 513.6 Mean 224.516 Std. Deviation 116.8774 Descriptive Statistics N Minimum KepPenD 2014 25 Valid N (listwise) 25 Maximum 66.8 543.6 Mean 232.180 Std. Deviation 121.9027 Descriptive Statistics N Minimum KepPend2015 25 Valid N (listwise) 25 Maximum 70.1 574.9 Suhu Udara Tahun 2013-2015 Statistics Suhu Udara Tahun 2013-2015 N Valid Missing 36 0 Mean 27.706 Median 27.850 Std. Deviation .8232 Skewness -.146 Std. Error of Skewness .393 Kurtosis .013 Std. Error of Kurtosis .768 Minimum 26.0 Maximum 29.5 Mean 239.932 Std. Deviation 127.2136 151 Kelembaban Udara Tahun 2013-2015 Statistics Kelembaban Udara Tahun 2013-2015 N Valid 36 Missing 0 Mean 79.83 Median 81.00 Std. Deviation 6.967 Skewness -.327 Std. Error of Skewness Kurtosis .393 -.847 Std. Error of Kurtosis .768 Minimum 67 Maximum 93 Curah Hujan Tahun 2013-2015 Statistics Curah Hujan Tahun 2013-2015 N Valid Missing 36 0 Mean 189.922 Median 138.050 Std. Deviation Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis 1.5647E2 1.099 .393 1.462 .768 Minimum .0 Maximum 681.3 152 Kecepatan Angin Tahun 2013-2015 Statistics Kecepatan AnginT ahun 2013-2015 N Valid 36 Missing 0 Mean 4.17 Median 4.00 Std. Deviation .941 Skewness .956 Std. Error of Skewness .393 Kurtosis 10.615 Std. Error of Kurtosis .768 Minimum 1 Maximum 8 Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata Tahun 2013 Statistics Suhu Udara Kelembaban Curah Hujan Kecepatan Angin Rata-rata Tahun Udara Rata-rata Rata-rata Tahun Rata-rata Tahun 2013 N Valid Tahun 2013 2013 2013 12 12 12 12 0 0 0 0 Mean 27.575 80.75 225.808 4.25 Median 27.800 82.00 226.000 4.00 .6312 5.154 146.1257 1.545 Minimum 26.4 73 34.0 1 Maximum 28.2 89 526.8 8 Missing Std. Deviation 153 Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata Tahun 2014 Statistics Suhu Udara Kelembaban Curah Hujan Kecepatan Angin Rata-rata Tahun Udara Rata-rata Rata-rata Tahun Rata-rata Tahun 2014 N Tahun 2014 Valid 2014 2014 12 12 12 12 0 0 0 0 Mean 27.600 80.50 223.058 4.17 Median 27.800 81.50 177.250 4.00 .8893 7.317 182.6601 .577 Minimum 26.0 67 26.8 3 Maximum 29.4 88 681.3 5 Missing Std. Deviation Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, Kecepatan Angin Rata-rata Tahun 2015 Statistics Suhu Udara Kelembaban Curah Hujan Kecepatan Angin Rata-rata Tahun Udara Rata-rata Rata-rata Tahun Rata-rata Tahun 2015 N Valid Tahun 2015 2015 2015 12 12 12 12 0 0 0 0 Mean 27.942 78.25 120.833 4.08 Median 28.200 77.00 86.650 4.00 .9356 8.379 124.0669 .289 Minimum 26.4 67 .0 4 Maximum 29.5 93 354.6 5 Missing Std. Deviation 154 LAMPIRAN 2 Analisis Bivariat (Uji Korelasi Statistik) Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 20132015 Suhu Udara Tahun 20132015 df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .142 36 .063 .931 36 .027 .164 36 .016 .958 36 .188 a. Lilliefors Significance Correction Transformasi Suhu Udara dengan Kasus DBD 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Suhu Udara Tahun 2013-2015 df Shapiro-Wilk Sig. .170 36 Statistic .010 df .956 Sig. 36 .165 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Spearman's rho Suhu Udara Tahun 20132015 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kasus DBD Tahun 20132015 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Suhu Udara Kasus DBD Tahun 2013- Tahun 2013- 2015 2015 1.000 -.404* . .015 36 36 -.404* 1.000 .015 . 36 36 155 Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2013 .186 12 .200* .906 12 .192 Suhu Udara Tahun 2013 .245 12 .045 .856 12 .044 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Transformasi Suhu Udara dengan Kasus DBD 2013 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans_SuhuUdara_2013 Df .248 Shapiro-Wilk Sig. 12 Statistic .039 df .852 Sig. 12 .039 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kasus DBD Suhu Udara Tahun 2013 Tahun 2013 Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Suhu Udara Tahun 2013 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 .069 . .832 12 12 .069 1.000 .832 . 12 12 Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045 Suhu Udara Tahun 2014 .211 12 .145 .923 12 .316 156 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045 Suhu Udara Tahun 2014 .211 12 .145 .923 12 .316 a. Lilliefors Significance Correction Transformasi Kasus DBD dengan Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Kasus DBD Tahun Df .303 2014 Shapiro-Wilk Sig. 12 Statistic .003 df .772 Sig. 12 .005 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kasus DBD Suhu Udara Tahun 2014 Tahun 2014 Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Suhu Udara Tahun 2014 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 -.487 . .109 12 12 -.487 1.000 .109 . 12 12 Suhu Udara dengan Kasus DBD Tahun 2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413 Suhu Udara Tahun 2015 .151 12 .200* .949 12 .625 a. Lilliefors Significance Correction 157 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413 Suhu Udara Tahun 2015 .151 12 .200* .949 12 .625 *. This is a lower bound of the true significance. Korelasi Uji Pearson Moment Correlations Kasus DBD Tahun Suhu Udara Tahun 2015 Kasus DBD Tahun 2015 2015 Pearson Correlation 1 -.423 Sig. (2-tailed) .171 N Suhu Udara Tahun 2015 Pearson Correlation 12 12 -.423 1 Sig. (2-tailed) .171 N 12 12 Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 20132015 Kelembaban Udara Tahun 2013-2015 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .142 36 .063 .931 36 .027 .114 36 .200* .956 36 .166 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. 158 Korelasi Uji Pearson Moment Correlations Kelembaban Kasus DBD Tahun 2013-2015 Kasus DBD Tahun Udara Tahun 2013-2015 2013-2015 Pearson Correlation .434** 1 Sig. (2-tailed) .008 N Kelembaban Udara Tahun 2013-2015 Pearson Correlation 36 36 .434** 1 Sig. (2-tailed) .008 N 36 36 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2013 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 2013 Kelembaban Udara Tahun 2013 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic Df Sig. .186 12 .200* .906 12 .192 .179 12 .200* .933 12 .410 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Korelasi Uji Pearson Moment Correlations Kasus DBD Tahun 2013 Pearson Correlation Kasus DBD Tahun Kelembaban 2013 Udara Tahun 2013 1 Sig. (2-tailed) N Kelembaban Udara Tahun 2013 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N .288 .364 12 12 .288 1 .364 12 12 159 Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 2014 Kelembaban Udara Tahun 2014 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic Df Sig. .235 12 .065 .857 12 .045 .223 12 .103 .870 12 .066 a. Lilliefors Significance Correction Transformasi Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Kasus DBD Tahun 2014 Df .303 Shapiro-Wilk Sig. 12 Statistic .003 df Sig. .772 12 .005 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kelembaban Tahun 2014 2014 .637* . .026 12 12 Correlation Coefficient .637* 1.000 Sig. (2-tailed) .026 . 12 12 Sig. (2-tailed) N Tahun 2014 Udara Tahun 1.000 Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient Kelembaban Udara Kasus DBD N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). 160 Kelembaban Udara dengan Kasus DBD Tahun 2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 2015 Kelembaban Udara Tahun 2015 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .188 12 .200* .933 12 .413 .140 12 .200* .947 12 .597 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Korelasi Pearson Moment Correlations Kasus DBD Tahun 2015 Kasus DBD Tahun Kelembaban 2015 Udara Tahun 2015 Pearson Correlation 1 .502 Sig. (2-tailed) .096 N Kelembaban Udara Tahun 2015 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 12 12 .502 1 .096 N 12 12 Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 20132015 Curah Hujan Tahun 20132015 a. Lilliefors Significance Correction Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .142 36 .063 .931 36 .027 .157 36 .025 .911 36 .007 161 Trans Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Curah Hujan Tahun df .154 2013-2015 Shapiro-Wilk Sig. 35 .035 Statistic df .879 Sig. 35 .001 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kasus DBD Curah Hujan tahun 2013-2015 tahun 2013-2015 Spearman's rho Kasus DBD tahun 2013- 1.000 .409* . .013 36 36 Correlation Coefficient .409* 1.000 Sig. (2-tailed) .013 . 36 36 Correlation Coefficient 2015 Sig. (2-tailed) N Curah Hujan tahun 20132015 N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2013 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2013 .186 12 .200* .906 12 .192 Curah Hujan Tahun 2013 .153 12 .200* .937 12 .459 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. 162 Korelasi Uji Pearson Moment Correlations Kasus DBD Tahun 2013 Kasus DBD Tahun Curah Hujan 2013 Tahun 2013 Pearson Correlation 1 -.112 Sig. (2-tailed) .730 N Curah Hujan Tahun 2013 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 12 12 -.112 1 .730 N 12 12 Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2014 .235 12 .065 .857 12 .045 Curah Hujan Tahun 2014 .179 12 .200* .870 12 .064 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Transformasi Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Kasus DBD Tahun 2014 a. Lilliefors Significance Correction .303 Df Shapiro-Wilk Sig. 12 .003 Statistic .772 df Sig. 12 .005 163 Korelasi Uji Spearman rho Correlations Spearman's rho Curah Hujan Kasus DBD Tahun 2014 Tahun 2014 Curah Hujan Tahun Correlation Coefficient 2014 1.000 .453 . .140 12 12 Correlation Coefficient .453 1.000 Sig. (2-tailed) .140 . 12 12 Sig. (2-tailed) N Kasus DBD Tahun 2014 N Curah Hujan dengan Kasus DBD Tahun 2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Kasus DBD Tahun 2015 .188 12 .200* .933 12 .413 Curah Hujan Tahun 2015 .165 12 .200* .873 12 .072 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Korelasi Uji Pearson Moment Correlations Kasus DBD Tahun 2015 Pearson Correlation Kasus DBD Tahun Curah Hujan 2015 Tahun 2015 1 Sig. (2-tailed) N Curah Hujan Tahun 2015 .609* .036 12 12 Pearson Correlation .609* 1 Sig. (2-tailed) .036 N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). 12 12 164 Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 20132015 Kecepatan angin Tahun 2013-2015 df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .142 36 .063 .931 36 .027 .376 36 .000 .595 36 .000 a. Lilliefors Significance Correction Trans Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013-2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Kecepatan Angin Tahun 2013-2015 Korelasi df .430 Shapiro-Wilk Sig. 36 Statistic .000 df Sig. .501 36 .000 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kecepatan Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013- Correlation Coefficient 2015 2013-2015 angin Tahun Tahun 2013 2013 1.000 .097 . .574 36 36 Correlation Coefficient .097 1.000 Sig. (2-tailed) .574 . 36 36 Sig. (2-tailed) N Kecepatan angin Tahun Kasus DBD N 165 Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 2013 Kecepatan angin Tahun 2013 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .186 12 .200* .906 12 .192 .352 12 .000 .737 12 .002 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Transformasi Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2013 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Kecepatan Angin 2013 Df .434 Shapiro-Wilk Sig. 12 Statistic .000 df .641 Sig. 12 .000 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kecepatan Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2013 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kecepatan angin Tahun 2013 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kasus DBD angin Tahun Tahun 2013 2013 1.000 -.002 . .995 12 12 -.002 1.000 .995 . 12 12 166 Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 2014 Kecepatan Angin Tahun 2014 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .235 12 .065 .857 12 .045 .364 12 .000 .753 12 .003 a. Lilliefors Significance Correction Transformasi Kasus DBD dan Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2014 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans_KasusDBD_2014 Trans_KecepatanAngin_201 4 df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .303 12 .003 .772 12 .005 .339 12 .000 .750 12 .003 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kecepatan Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2014 Correlation Coefficient Tahun 2014 2014 .101 . .754 12 12 Correlation Coefficient .101 1.000 Sig. (2-tailed) .754 . 12 12 N 2014 Angin Tahun 1.000 Sig. (2-tailed) Kecepatan Angin Tahun Kasus DBD N 167 Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kasus DBD Tahun 2015 Kecepatan Angin Tahun 2015 Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. .188 12 .200* .933 12 .413 .530 12 .000 .327 12 .000 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Transformasi Kecepatan Angin dengan Kasus DBD Tahun 2015 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Trans Kecepatan Angin Tahun 2015 Df .530 Shapiro-Wilk Sig. 12 Statistic .000 df Sig. .327 12 .000 a. Lilliefors Significance Correction Korelasi Uji Spearman rho Correlations Kecepatan Spearman's rho Kasus DBD Tahun 2015 Correlation Coefficient Tahun 2015 2015 .307 . .331 12 12 Correlation Coefficient .307 1.000 Sig. (2-tailed) .331 . 12 12 N 2015 Angin Tahun 1.000 Sig. (2-tailed) Kecepatan Angin Tahun Kasus DBD N 168 LAMPIRAN 3 DATA SUHU UDARA, KELEMBABAN UDARA, CURAH HUJAN DAN KECEPATAN DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015 Grafik 5.9 Tren Suhu Udara Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 30 29 Suhu Udara (°C) 28 27 26 25 24 2013 JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 26.4 27.2 28.1 27.9 27.9 28 26.5 27.7 28.2 28.2 27.7 27.1 2014 26 26.3 27.2 27.9 27.8 27.9 27.1 27.8 28.3 29.4 27.8 27.7 2015 26.4 26.5 27 27.5 28.3 28.1 28.3 28.4 28.6 29.5 28.8 27.9 Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 169 Grafik 5.10 Tren Kelembaban Udara Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 100% 90% 80% Kelembaban Udara (%) 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 2013 89% 86% 82% 84% 84% 79% 84% 73% 74% 74% 78% 82% 2014 88% 88% 86% 85% 87% 82% 81% 74% 68% 67% 80% 80% 2015 85% 87% 87% 93% 78% 76% 70% 69% 67% 71% 75% 81% Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 170 Grafik 5.11 Tren Curah Hujan Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 800 700 600 Curah Hujan (mm) 500 400 300 200 100 0 JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 2013 526.8 224.8 105.6 336.9 227.2 82.7 348.8 81.6 34.8 133.5 261.6 346.2 2014 681.3 402.7 138.3 137.8 263.2 297.2 216.2 109.3 33.1 26.8 265.3 105.5 2015 354.6 254.9 305 160.7 129.9 49.9 0 9.7 2 10 100.5 72.8 Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 171 Grafik 5.12 Tren Kecepatan Angin Berdasarkan Bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 9 8 7 Kecepatan Angin (Knot) 6 5 4 3 2 1 0 JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 2013 5 4 8 4 4 1 4 5 4 4 4 4 2014 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 3 5 2015 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 172 LAMPIRAN 4 DATA SUHU UDARA, KELEMBABAN UDARA, CURAH HUJAN DAN KECEPATAN ANGIN DENGAN KASUS DBD DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015 Grafik 5.13 Tren Kasus DBD dengan Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 140 30 120 29 100 80 27 60 Suhu Udara (°C) Jumlah Kasus DBD 28 26 40 25 20 0 AGUS AGUS AGUS JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI SEPT OKT NOV DES T T T Suhu Udara 26.4 27.2 28.1 27.9 27.9 28 Kasus DBD 78 69 63 67 67 65 26.5 27.7 28.2 28.2 27.7 27.1 56 50 62 45 54 24 26 86 26.3 27.2 27.9 27.8 27.9 27.1 27.8 28.3 29.4 27.8 27.7 26.4 26.5 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 27 77 24 27.5 28.3 28.1 28.3 28.4 28.6 29.5 28.8 27.9 66 115 55 66 18 16 55 58 18 Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 173 Grafik 5.14 Tren Kasus DBD dengan Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 140 100% 90% 120 80% 70% 60% 80 50% 60 40% 30% 40 20% 20 10% 0 MA JUN AG SEP NO MA JUN AG SEP NO MA JUN AG SEP NO APR MEI JULI OKT DES JAN FEB APR MEI JULI OKT DES JAN FEB APR MEI JULI OKT DES R I UST T V R I UST T V R I UST T V Kelembaban Udara 89% 86% 82% 84% 84% 79% 84% 73% 74% 74% 78% 82% 88% 88% 86% 85% 87% 82% 81% 74% 68% 67% 80% 80% 85% 87% 87% 93% 78% 76% 70% 69% 67% 71% 75% 81% Kasus DBD 69 63 67 67 65 78 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18 JAN FEB Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 0% Kelembaban Udara (%) Jumlah Kasus DBD 100 174 Grafik 5.15 Tren Kasus DBD dengan Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 140 800 700 120 600 500 80 400 60 300 40 200 20 0 100 JAN FEB MAR APR MEI Curah Hujan 526.8 224.8 105.6 336.9 227.2 Kasus DBD 69 63 67 67 65 JUNI JULI AGUST SEPT 82.7 348.8 81.6 34.8 78 56 50 62 OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT 133.5 261.6 346.2 681.3 402.7 138.3 137.8 263.2 297.2 216.2 109.3 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 OKT NOV 33.1 26.8 265.3 105.5 354.6 254.9 63 24 17 DES 13 JAN 83 FEB 91 MAR 305 77 APR MEI 160.7 129.9 66 115 JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DES 49.9 0 9.7 2 10 100.5 72.8 55 66 18 16 55 58 18 0 Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Curah Hujan (mm) Jumlah Kasus DBD 100 175 Grafik 5.16 Tren Kasus DBD dengan Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 140 9 8 120 7 100 80 5 4 60 3 40 2 20 1 0 AGU AGU AGU SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI SEPT OKT NOV DES ST ST ST 4 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 3 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 50 62 45 54 24 86 86 76 80 51 63 68 74 63 24 17 13 83 91 77 66 115 55 66 18 16 55 58 18 0 JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI Kecepatan Angin 5 Kasus DBD 69 4 63 8 67 4 67 4 65 1 78 Sumber: Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung Tahun 2013-2015 dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 Kecepatan Angin (Knot) Jumlah Kasus DBD 6 177 LAMPIRAN 5 Dummy Table Incidence Rate (IR) Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 No. Puskesmas Incidence Rate Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1. Pamulang 34 60 58 2. Pdk Benda 94 89 61 3. Benda Baru 56 33 32 4. Ciputat 4 64 30 5. Situ Gintung 36 21 21 6. Jombang 46 28 12 7. Sawah 70 19 17 8. Ciputat timur 52 46 21 9. Pdk Ranji 43 64 34 10. Pisangan 24 29 14 11. Rengas 75 144 118 12. Pdk Jagung 35 23 42 13. Paku Alam 54 28 43 14. Pdk Aren 64 43 27 15. Pdk Pucung 101 57 25 16. Pdk Betung 26 6 19 17. Jurang Manggu 10 15 14 18. Perigi 112 38 58 19. Pdk Kacang timur 36 0 9 20. Serpong 1 32 105 156 21. Serpong 2 24 8 30 22. Rawa Buntu 71 93 72 23. Setu 4 78 311 24. Kranggan 145 208 142 25. Baktijaya 22 92 157 178 Dummy Table Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 No. Puskesmas Angka Bebas Jentik (ABJ) Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1. Pamulang 98% 97% 96% 2. Pdk Benda 98% 91% 89% 3. Benda Baru 99% 96% 88% 4. Ciputat 77% 94% 94% 5. Situ Gintung 86% 99% 80% 6. Jombang 94% 96% 96% 7. Sawah 97% 95% 96% 8. Ciputat timur 95% 67% 75% 9. Pdk Ranji 97% 96% 96% 10. Pisangan 98% 99% 90% 11. Rengas 98% 98% 98% 12. Pdk Jagung 99% 95% 94% 13. Paku Alam 95% 100% 91% 14. Pdk Aren 96% 94% 95% 15. Pdk Pucung 96% 86% 85% 16. Pdk Betung 98% 69% 98% 17. Jurang Manggu 94% 98% 81% 18. Perigi 93% 93% 83% 19. Pdk Kacang timur 97% 98% 90% 20. Serpong 1 96% 90% 83% 21. Serpong 2 97% 98% 91% 22. Rawa Buntu 97% 96% 93% 23. Setu 99% 92% 95% 24. Kranggan 95% 85% 90% 25. Baktijaya 91% 96% 80% 179 Dummy Table Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 No. Puskesmas Rumah Sehat Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1. Pamulang 64% 85% 81% 2. Pdk Benda 96% 83% 89% 3. Benda Baru 96% 88% 88% 4. Ciputat 96% 84% 87% 5. Situ Gintung 100% 100% 99% 6. Jombang 95% 97% 97% 7. Sawah 10% 77% 87% 8. Ciputat timur 95% 100% 96% 9. Pdk Ranji 80% 71% 81% 10. Pisangan 97% 99% 83% 11. Rengas 90% 97% 98% 12. Pdk Jagung 97% 98% 81% 13. Paku Alam 100% 98% 98% 14. Pdk Aren 95% 99% 94% 15. Pdk Pucung 94% 90% 96% 16. Pdk Betung 101% 85% 92% 17. Jurang Manggu 94% 86% 81% 18. Perigi 96% 94% 83% 19. Pdk Kacang timur 98% 100% 97% 20. Serpong 1 97% 94% 95% 21. Serpong 2 97% 97% 80% 22. Rawa Buntu 97% 94% 98% 23. Setu 98% 86% 85% 24. Kranggan 3% 83% 79% 25. Baktijaya 100% 95% 92% 180 Dummy Table Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Tangerang Selatan Tahun 2013-2015 No. Puskesmas Kepadatan Penduduk Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1. Pamulang 411 423 436 2. Pdk Benda 130 133 137 3. Benda Baru 461 474 488 4. Ciputat 232 234 235 5. Situ Gintung 99 102 105 6. Jombang 225 233 241 7. Sawah 257 268 279 8. Ciputat timur 236 236 236 9. Pdk Ranji 194 204 215 10. Pisangan 200 205 211 11. Rengas 170 172 175 12. Pdk Jagung 514 544 575 13. Paku Alam 179 185 191 14. Pdk Aren 201 208 216 15. Pdk Pucung 93 97 100 16. Pdk Betung 358 369 380 17. Jurang Manggu 343 356 369 18. Perigi 94 99 103 19. Pdk Kacang timur 244 252 260 20. Serpong 1 224 231 237 21. Serpong 2 132 137 143 22. Rawa Buntu 283 296 310 23. Setu 64 67 70 24. Kranggan 147 155 163 25. Baktijaya 124 125 125 KEMENTERIAN AGAMA UNTYERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN ,. Kertamurti No. 5 pisangan Nomor : Un.0 ciputat I i541e lF l}lTL.O\l 3 o69 ffji;-" , ffi'J,:il:::rL: Ifr;,f1?'Jd,tffi.,. A /ZOl S Lampiran '. Hal : Permohonan lzin pengambilan Data Jakarta, 3aSeptember 201 5 Kepada Yth. Kepala Kesatuan Bangsa dan politik (Kesbangpol) Kota Tangerang Selatan di Tempat Assalamu'alaikum Wr. Wb. Dengan hormat kami sampaikan, bahrva mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehata, Masvarakat Fakultas Kedokteran dan Ihnu Kesehatan (FKiK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Semester Ganjil berikut ini sedang menyusun skripsi dan alan mclaksanaka. Studi Pendahuluan. Nama Rizki Amalia NIM 11 Semester IX (Sembilan) Judul skripsi .!hatialtemporal penyakit Demam Berdarah {ry!1is (DBD) il 104000030 di Kota Tangerang Selatan Tahun 2OlO-2014 Dengue Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon mahasisr.va tersebut diizinkan urrtuk melakukan studi pendahuluan di instansi yang BapaUIbu pirnpin. Dernikian atas perhatian dan kerjasarnanya. karni ucapkan terima kasih. \\'assala mu'alaikum Wr. Wb. Akademik, c rdjana, Sp. OG & K), SH I98709 I 00t Tenrbusan: Dekan FKIK t,rlN S_r arif Hidal,arullah .takarla kOTITAHG!RAHGSflATAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN BA DAN KESATUAN BA NGSA POLITI I< DAN PERLI NDUNGAN M ASYARAKAT K ES B AN GP ' L I MA S JI.P u s pit e k No,l,Kecamatan Setu Kot a Tangera n g S e l a tan - Prov B<lllt c n SURAT IZIN PENELITIAN Nomor : 0701lSq" IKes bangpolinmas/2016 ME MBACA MENG INGAT MEMPERHATIKAN Surat dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Nomor : Un ,01 /F10/Tl.00/3069/2015 Tangg al30 September 20 15 Pel'ihal Permohonan Izin Pengam bi lan Data, 1. Keputusan Mentel'i Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Orga nisasi dan Tata Kerj a Departemen Dal am Negeri. 2, Sural Keputusan Menteri Dala m Negeri Nomor : SD,6 /2/1 2 Tang gal 5 Ju li i sn. tentang Kegiaiclr! Riset dan Su,vei diwajibkan melapor di ri kepada Gubernur Ke pala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, 3. Keputusa n Direktur Jenderal Sosial Politik Nomor : 14 Ta hu n 1981 tentang Surat Pem beritahuan Penelilian (SPP). Proposal Penelitian Ybs. MEMB ERITAH UKAN BAHWA: NAMA NIM FAKULTAS JUDUL PENELITI AN LOKASI PENELI TIAN LAMA PENELITIAN MAKSUD DAN TUJUAN Rizkia Amalia 11 111 04000030 Kedokteran dan Ilmu Kesehatan "ANAL/SIS SPA TlAL TEMPORAL PENYA KIT DEMAN BERDARAH DENGUE ( DBD ) 01 KOTA TA NGERANG SELATAN TAHUN 2010 - 2014" Kota Tangerang Selatan April s.d Juni 2016 Untuk mengetahui gam baran distribusi spasial dan temporal kasu s DBD se l1 ingga d2.;Jat melihat daerah endomis DBD dan juga daera h yang berpotensi terjadi KLB DBD diwi layah Kota Tan gerang Selatan". Sehubungan dengan maksud dan tujuan terse but diatas dan berdasarkan pertimbangan kelengkapan penelitian, dengan ini memberikan izin kepada yang be rsangkuta n untuk melak ukan penelitia n di lokasi yang diluju dengan me menu hi ketentuan sebagai berikut : 1. Sebelum melakukan keg iatan Penelili,1n harus melaporkan kedatangannya kepada Walikota Cq Kepal a Badan Kesbangpolinmas dengan menunjukkan sura l pemberitahuan. 2. Tidak dibenarkan melakukan Peneliti an yang lidak sesuai/tid ak ada kaitannya dengan jud ul penelitian dimaksud. 3, Harus mentaati ketentu an perundang-undangan yang berl aku serta mengindahkan adat istiadat setempat. 4. Apabila masa berlaku Surat Pemberitahuan ini sudah berakhir, sedangkan pelaksanaan penelitian belum selesai, perpanjangan penelitian harus diajukan kembali kepada instansi pemohon, 5, Hasil kajian/penelitian agar dapat diserahkan 1 (satu) eksem plar kepada Badan Kesbangpolinmas Kota Tangerang Selatan, 6. Surat Pemberitahuan ini akan dicabut kembali dan dinyatakan tidak berlaku , apabila ternyata pemegang Su rat Pemberitahuan ini tidak mentaati/m eng indahkan kete ntuan-ketentuan seperti lersebut diatas. Dikeluark an di ' 'V\' id od o N uu roh a d i.!VI M N IP, 19670905199303 1 003 Tembusan: 1. Yth. Badan Kesbangpol Kota Tangerang Sel atan (Sebagai Laporan) ; 2. Yth. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan; 3. Yang Bersangkutan; 4. Arsip KEMENTERIAN AGAMA trNrvERSrTAS rSLAM NEGERT ( trrN ) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN ,. Kertamukti No. 5 pisangan ciputat 154re ffiji;," , .*.**'lr:#t:'r[? I-?;fi?l|d,tX:-fl?.,. :- Nomor : Un.0l/Fl0/TL.00l3ogotlZOtS Larnpiran Hal : : Jakarta. ToSepternber 201 5 - Permohonan Izin Pengambilan Data Kepada Yth. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Jl. Witana l{arja Komplek Sasmita Jaya No.27 Pamulang, Banten Telp. (021) 744lSS7 Assalamu'alaikum Wr. Wb. Dengan hormat karni sampaikan. bahrva mahasisrva Prograrn StLrdi Ilmu Keselratan Masyarakat lrakultas Kedokteran dan ilmLr Kcschatan (l--KIK) LJIN Syarif llidavarLrllah Jakarta Semester Canjil berikut ini sedarrg menyusun skripsi dan akan nrelaksanakarr Studi Pendahuluan. Nama NIM Semester Judul skripsi : : : : Rizki Amalia 1111104000030 IX (Sembilan) Analisis Spatialtemporal Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2014 Sehubungatl dengan hal tersebr-rt. karni rnolron mahasisu,a terscbr:t diizinkan untuk me lakukan studi perrdalruluan di instansi varrg rlapak/rbLr pirnpirr. Dernikiarr atas perhatian dan' kerjasarnanya. karli ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. ang Akademik. liana, Sp. OC t98709 I 00t l-ern busan: Dckan I-KlK L'lN Sr.arif I-lidararullah .lakarra & (K), SFI PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN DINAS KESEHATAN Jl. Raya Rawabuntu Rt.02l01, Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong i_:W./' \;.::::.Lyy::-- Telepon . (021) 29307897 Fax (021) 29307989 Tangerang Selatan, 26 Januari 2016 Nomor : 070F7tB /Umpeg Sifat : Biasa Hal . Pemberian lzin Kepada Yth, Dekan, FKIK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di TEMPAT Menindaklanjuti Surat dari FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarla, Nomor : Un.01/F10/T1.00/3069b/2015, tanggal 30 Permohonan lzin Pengambilan Data atas nama Nama NIM Judul September 2015 perihal : : RizkiAmalia :1111104000030 : "Analisis Spatialtemporal Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang SelatanTahun 20132015". Pada dasarnya kami Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tidak keberatan untuk memberikan izin, adapun dalam pelaksanaan agar berkoordinasi dengan Kepala UPT Puskesmas yang akan dikunjungi dan memberikan laporan atau hasil kegiatan tersebut kepada Dinas Kesehatan Kota Ta ng e ra ng Se I ata n. Demikian atas perhatian dan kerjasama saudara, kami mengucapkan terima kasih. KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA TANGERANG SELATAN, Pembina Tk NrPl 96009241 98501 1 001 I Tembusan : 1. Yth, Walikota Tangerang Selatan 2. Kepala UPT Puskesmas se-Kota Tangerang Selatan 3. Yang Bersangkutan. KEMENTERIAN AGAMA TNTVERSITAS ISLAM NEGERI ( TIIN ) SYARIF ITIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN Telp. : (62-21) 74716718 Fax : (62-21) 740498s Website : www.uinjk.ac.id; E-mail : [email protected] Il. Kertamukti No. 5 Pisangan Ciputat 15419 Nomor : Lampiran : IIal : L.in.0 I /l: I 0,rl-l-.00 I 3o {z t l2O I 5 .lakarta.?o Scptcrlbcr 20 1,5 Permohonan Izin Pengambilan Data Kepada Yth. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan Jl. Raya Pahlarvan Seribu - Puspiptek Kel. Kademangan Kec. Setu 'I'angerang Selatan 15313, 'l'elp (62-2l) 75791502 Assalamu'alaikum Wr. Wb. Dengan hormat kami sampaikan, bahwa mahasiswa Program Studi llmu Kesehatan N4asyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayarullah .lakarta Semester Canjil berikut ini sedang menyusun skripsi dan akarr melaksanakan StLrdi Pendahuluan. Nama NIIVl Semester Judul skripsi : : : : Rizki Arnalia I I I I 104000030 IX (Sembilan) Analisis Spatiultemporal Penyakit Dernarn []erdarah [)ensuc (DBD) di Kota Tangerang Selaran -l-ahun 20l.0-20it4 Sehubungan dengan hal tersebut. kami mohon mahasiswa tersebut diizinkan untuk melakukan studi pendahuluan di instansi yangBapaVlbu pimpin. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya. kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaiku m Wr. \1,b. A rdjana. Sp. OC & (K 98709 r 00 I 'T-enrbusan: l)ekan FKIK IJIN Syarif Hidal'atullah Jakarta KEMENTERIAN AGAMA TINWERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) SYARIF HIDAYATULLAII JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN I. Kerramukti No.5 pisangan ciputat r54re ffil;u" , K'.]r:;:':'rl:;fr;,{1,;ldi,Xi,T:,, Nomor : Un.0l/F10iTL.00l ?olT 0, 12015 Lampiran l-lal Jakarta. : l<.r September 20 1 5 I (satu)Eksemplar : Permohonan Tarif Nol Rupiah [Jntuk Penga mtrilan Data Kepada Yth. Kepala Kantor Pusat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jl. KP Bulak Raya Cempaka Putih - Ciputat Assalamu' ula ik um lVr. Wb. Dengarr hormat, Dalam rangka pencarian data untuk mata kuliah skripsi maka karni nrohon bantuan pengadaan data-data bagi mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berikut ini: Nama : Rizki Amalia NIM : ll lll0l000030 .lurusan/Fakultas : KeselratanMasyarakat/FakultasKedokterandanIlntuKcschatan Pernbirnbing/Prornotor : Minsarnawati Tahangnacca. Sl"M. M. Kes. Perkiraan Waktu Selesainya : Judul : Riastuti Kusuma Wardarri. MKM Maret 2016 Analisis Spatiultentp<tral Perryakit Demar.rr Berdaralr Dcnguc (DBD) di Kota Dcpok dan Kota Tangerang Selatan 'l'ahLrn 20102014 Data yang dicari Lokasi Periode waktu . l. Suhu udara 2. Kelembaban 3. Curah hujan 4. Kecepatan angin . Kota Depok dan Kota Tangerang . Tahun 2010-2014 Selatan Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon Bapak/lbu dapat memberikan izin kepada mahasisu,a tersebut. Dernikian. atas perhatian dan ker.iasama Bapak/lbu. kami ucapkan tcrima kasilr. lVassa Ia mu' aI a i k u m ll1r. lVh. idang Akadcrnik. (< 'l-embusan: Dekan FKIK UIN Sy,arif Hidayatullah Jakarta r. H. Sardjana. Sp. OG & 19610416 198709 I 00r KEMENTERIAN AGAMA UNTYERSITAS ISLAM NEGERI ( IIIN ) SYARIF HIDAYATT]LLAH JAKARTA FAKTJLTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN r. Kertamukti No Nomor Lampiran Hal 5 pisangan 1541e ciputat : Urr.0l/FI0/"tL.00t : lijl;n" ',lffitl,l{i'f'rll Ifr;,fii3,l'd,1,ii,1T. ?r18 AtZOtS -- I (satu) Eksemplar : Permohonan Tarif Nol Rupiah . Jakafta.go September 201 5 Untuk Pengambilan Data Kepada Yth. Kepala Kantor Pusat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) .II. KP Bulak Raya Cempaka Putih - Ciputar Assa Ia mu' a lo ik um Wn Wb. Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Rizki Amalia NIM ril1t01000030 FKIK UIN Syarif Hidayarullah Jakarra Nama instansi .labatan Mahasiswi Alamat IIP/E-Mail Jl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung, Depok I 6435 082 I 304 7 625 / eshimizudani40T @gmai l.com I Dengan ini mengajukan permohonan pengenaan tarif sebesar Rp.0,00 (nol rupiah) atas PNBP untuk: Kegiatan nformasi Meteorologi, K I i rratologi. dan Ceofi s i ka Data r-rntuk skripsi dalam menyclcsaikarr pcnclidikarr l. Suhu udara 2. Kelelnbaban I Deskripsi Kegiatan .lenis Informasi 3. 4. S I Cural.r hu.ian Kecepatan angin Tahun 2010-2014 Kota Depok dan Kota Tangerang Selatarr Periode Lokasi/wilayah Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon Bapak/lbu dapat rnemberikan izin kepada mahasiswa tersebut. Demikian, atas perhatian dan kerjasama Bapak/lbu, kami ucapkan terima kasih. ll/ass a la mu' alaik um Wr. Wb. n Bidang Akadernik. I'1. Sard-iana. Sp. 416 198709 I 00t l-embusan: Dekan FKIK UIN Syari f H idayatul lah Jakarta OC & sil v