BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Bab II menyajikan apresiasi atau penelitian yang telah dilakukan terhadap ketiga prosa yang dijadikan sebagai objek penelitian, kemudian konsep. Dilanjutkan dengan teori yang dipergunakan untuk menguraikan masalah yang telah dirumuskan. Diakhiri dengan model penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Apresiasi atau penelitian terhadap karya-karya Oka Rusmini sudah banyak dilakukan seperti terlihat dari artikel-artikel di surat kabar dan publikasi buku. Pengamat dan peneliti sastra yang pernah menganalisis karya Oka Rusmini antara lain Maman S. Mahayana (2007), Eka Yani (2010), Dara Windiyarti (2008), Suci Sundusiah (2007), Sunu Wasono (2006), Gede Artawan (2011), Sulaiman (2011), dan Harry Aveling (2010). Maman S. Mahayana dalam bukunya Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, lebih banyak membicarakan mengenai feminisme dalam novel Tarian Bumi. Ia menuliskan para tokoh perempuan sebagai korban atas sistem adat dan kurang menyentuh mengenai ideologi-ideologi yang ada di balik sistem adat yang menderitakan perempuan itu sendiri. Padahal, sesungguhnya apabila dicermati lebih dalam, sistem adat itu sendiri sesungguhnya tidak akan menyengsarakan 10 11 11 perempuan bila para perempuan tidak memegang prinsip kekuasaan terhadap orang lain, terlebih kaumnya sendiri. Penelitian Eka Yani yang selesai tahun 2010, lebih dominan membahas tentang perubahan-perubahan sosial yang terjadi karena adanya keberanian tokoh untuk membangun konflik. Penelitian ini pun fokus pada konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali yang menimbulkan sikap bersaing, menghindar, kolaborasi, dan kompromi. Penelitian ini belum masuk ke dalam faktor-faktor yang ada di balik konflik-konflik para tokohnya, terutama tokoh perempuan. Tulisan Dara Windiyarti dalam Jurnal Humaniora Volume 20 Tahun 2008 yang berjudul “Pemberontakan Perempuan Bali Terhadap Diskriminasi Kelas dan Gender : Kajian Feminis Novel Tarian Bumi Oka Rusmini” membahas tentang diskriminasi kelas dan gender yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetaraan kasta. Tulisan ini lebih banyak membahas tentang perbedaan-perbedaan diskriminasi kelas dan gender di antara para tokoh-tokohnya. Struktur cerita Tarian Bumi pernah dijadikan kajian analisis bandingan dengan struktur cerita karya sastra lama yang berjudul Hikayat Raja Kerang yang dilakukan oleh Suci Sundusiah. Dalam makalahnya yang berjudul “Perbandingan Struktur Naskah Klasik dan Modern (Analisis Struktur pada Naskah Hikayat Raja Kerang dan Novel Tarian Bumi Oka Rusmini)”, Suci membahas mengenai perbandingan secara strukturalis antara dua karya tersebut baik dari segi tema, latar, perwatakan, bahasa, dan yang lainnya. Ia hanya menyebut latar sosial sangat menonjol dalam novel Tarian Bumi karena adanya pertentangan status sosial dalam masyarakat dalam cerita. Tidak diungkapkannya aspek sosiologis yang 12 12 mempengaruhi latar belakang cerita secara mendalam, menjadi kekurangan tulisan ini. Sunu Wasono yang berprofesi sebagai staf pengajar di FIB UI menulis artikel “Pria-Wanita-Kasta: Catatan Atas Tarian Bumi Oka Rusmini” dalam majalah sastra Horison edisi Maret 2006, menekankan pada analisis sistem kemasyarakatan yang ada novel dalam Tarian Bumi. Di bawah sistem kemasyarakatan yang ada, dimungkinkan muncul penindasan, pengekangan yang merugikan kelompok tertentu. Tulisan ini kurang menyentuh tentang hegemoni dan latar belakang atas penindasan yang terjadi. Tulisan Gde Artawan berjudul “Perempuan dan Resistensi terhadap Hegemoni Patriarki” yang termuat di harian Bali Post tanggal 6 November 2011, juga menyinggung tentang karya Oka Rusmini. Dominasi patriarki yang ada dalam karya Oka Rusmini (Kenanga dan Tarian Bumi) tersebut banyak mensubordinatkan peran perempuan. Dituliskannnya pula bahwa tokoh perempuan novel Oka Rusmini berjuang melawan tradisi, namun pada akhirnya tokoh Oka Rusmini terkesan ambivalen terhadap tradisi itu sendiri. Kurang dijelaskannya aspek-aspek yang melatarbelakangi hegemoni patriarki menjadi kelemahan dalam tulisan ini. Sulaiman dalam tulisannya di Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik tahun 2011 yang berjudul “Perempuan dalam Perspektif Sosial dan Keluarga: Kajian terhadap Novel Mutakhir Perempuan Indonesia” turut menyinggung mengenai salah satu karya Oka Rusmini yakni novel Kenanga. Suliaman membahas secara ringkas tentang beberapa tokoh perempuan yang ada dalam 13 13 novel tersebut yang memiliki peranan dalam persfektif sosial, terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Dituliskannya bahwa apa yang dilakukan Kenanga, tokoh utama dalam novel tersebut, merupakan bagian dari kesadarannya bahwa perempuan harus berpikiran maju. Tulisan ini lebih memfokuskan tentang peran serta perempuan dalam persfektif sosial dalam novel yang ditulis perempuan pengarang Indonesia. Harry Aveling juga menyinggung tentang hegemoni gender yang ada di salah satu cerpen Oka Rusmini, Cenana. Menurutnya, laki-laki selalu menjalani kehidupan mewah, pesta pora, dan bebas memilih pasangan hidupnya bahkan berpoligami sementara perempuan selalu berkorban terhadap cinta yang mereka dapatkan dari laki-laki. Harry menulis “for a new view of womanhood that is beyond conventional ‘respectable’ and patriarchal Balinese ideas of womanhood, providing a woman’s persfective of what it means to be a woman”. Kelemahan dan kekuasaan yang dimiliki tokoh perempuan dalam karya Oka Rusmini, berasal dari sifat kewanitaan mereka, didefinisikan ulang oleh kasta. Selain itu, Harry yang menulis dalam artikelnya yang termuat dalam Journal of Multidisciplinary Intrernational Studies yang terbit bulan Juli 2010, bahwa cerpen tersebut reinterpretasi legenda sejarah Jawa abad Pertengahan, Ken Arok dan Ken Dedes. Tulisannnya lebih dititikberatkan pada unsur legenda Ken Arok yang menjadi latar belakang cerita Cenana. Memperhatikan beberapa tulisan atau pun penelitian yang disampaikan sebelumnya, penelitian ini akan berbeda dan terfokus pada bentuk hegemoni yang dilakukan oleh para tokoh dan faktor yang melatarbelakanginya serta konter 14 14 hegemoni atas hegemoni yang ada dalam tiga prosa karya Oka Rusmini. Termasuk pula makna hegemoni dan konter hegemoni dikaitkan dengan status sosial. 2.2 Konsep Dalam penelitian ini menggunakan konsep hegemoni dan konter hegemoni. 2.2.1 Hegemoni Konsep mengenai hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci. Titik awal konsepnya adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004: 19). Kekerasan yang dilakukan bisa terlihat dalam tindakantindakan yang dilakukan oleh kelas tersebut terhadap kelas di bawahnya. Sementara persuasi dapat ditemukan melalui cara berpikir mereka. Ia memberikan contoh munculnya kelas kapitalis dengan membedakan tiga fase perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisasi. Fase pertama dan paling awal terjadi ketika seseorang merasa perlu berdiri sejajar dengan pedagang lain, seorang pengusaha dengan penguasa lain, dan sebagainya; namun pedagang belum merasakan timbulnya solidaritas dari pengusaha. Anggota kelompok profesional sadar akan kepentingan bersama mereka dan perlunya mereka bersatu, namun mereka akan menyadari kebutuhan untuk bergabung dengan kelompok lain dalam kelas yang sama. Fase kedua telah tumbuh kesadaran akan kepentingan bersama sebuah kelas namun masih dalam bidang ekonomi. Fase ketiga adalah fase hegemoni dengan pemikiran orang sadar akan kepentingan perusahaannya 15 15 dan kepentingan itu dapat dan harus menjadi kepentingan dari kelompok yang lebih rendah. Fase terkahir adalah fase tahapan yang murni politik yang pada mulanya ideologi itu bersaing dan menang sehingga bisa menyatukan tujuantujuan ekonomi, politik, intelektual, dan moral yang pada akhirnya terciptalah hegemoni suatu kelompok sosial yang kuat terhadap kelompok lain yang lebih rendah (Simon, 2004: 34-35). Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci dalam konsepnya mengenai hegemoni, yaitu pertama hegemoni total (integral), hegemoni merosot (decadent), dan hegemoni minimum. Pertama, hegemoni integral adalah hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukkan kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Kondisi tersebut tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Kedua, hegemoni merosot adalah suatu kondisi hegemoni yang mengandung kontradiksi. Kontradiksi itu mengakibatkan adanya pertentanganpertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Dalam hegemoni ini rawan terjadi integrasi. Ketiga adalah hegemoni minimal. Hegemoni ini merupakan hegemoni paling rendah. Hegemoni bersandar pada satuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang diturunkan bersamaan dengan keengganan setiap campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, kelompokkelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-sapirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat. 16 16 Hegemoni suatu kelas terhadap kelas di bawahnya merupakan hasil dari bangunan konsesus. Konsesus merupakan suatu dominasi yang dilakukan bukan dengan suatu paksaan tetapi melalui persetujuan dan pemahaman. Dalam Kamus Ilmiah Pupuler, konsesus diartikan sebagai suatu persetujuan, kesepakatan bersama atau kata sepakat. Oleh karena itu, pada dasarnya konsesus berkaitan dengan persoalan psikologi. Dengan kata lain, konsesus merupakan kepatuhan atau ketertundukan seseorang atau sekelompok seseorang karena adanya suatu kesadaran. Pada dasarnya ketertundukan pada aturan dan perangkat hukum penguasa dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena rasa takut, terbiasa, dan persetujuan/kesadaran. Dari ketiga hal tersebut pandangan yang terakhir merupakan ciri dari konsep hegemoni. Dengan demikian, hegemoni bersifat menyeluruh karena bersifat psikologis. Menurut Gramsci, hegemoni berdasar pada konsesus yang muncul melalui komitmen aktif atas kelas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Gramsci mengatakan bahwa konsesus adalah komitmen aktif yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah. Konsesus ini secara historis lahir karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi. Gramsci (dalam Simon, 2004: 27), menjelaskan bahwa “semua manusia adalah filosof”, karena semua laki-laki dan perempuan mempunyai konsepsi tentang dunia serta seperangkat gagasan yang memungkinkan mereka memahami kehidupan mereka. Namun, cara mereka mempersepsi dunia, filsafat mereka, 17 17 seringkali rancu dan bertentangan, karena hasil pemikiran mereka berasal dari berbagai sumber dan dari kejadian masa lalu, yang cenderung membuat mereka menerima ketidakadilan dan penindasan sebagai hal yang alamiah dan tidak bisa diubah. Dengan kata lain, menurut Barker (2004: 63), “hal-hal yang diterima apa adanya”. Santoso (2002: 164) mengungkapkan ada tiga jenis kekuasaan, yakni kekuasaan utilitirian, kekuasaan koersif, dan kekuasaan persuasif. Kekuasaan utilitarian akan muncul dari aset utilitarian apabila aset-aset ini (pemilikan ekonomi, teknik administratif, tenaga kerja) digunakan oleh mereka yang memilikinya, sehingga perlawanan itu dapat diatasi. Kekuasaan koersif muncul jika orang menggunakan aset (berupa senjata, tenaga manusia) dengan kekerasan untuk mengubah orang lain, atau menghukum mereka yang menghalanginya. Dan kekuasaan persuasif (aset yang berupa nilai, perasaan, kepercayaan) digunakan untuk memiliki kekuasaan. Kalau ada perlawanan akan mudah diatasi tanpa kekerasan. Suatu kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan kepentingan-kepentingan dari suatu kelas, kelompok dan gerakan-gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri dengan tujuan membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional. Ideologi, menurut Gramsci, mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam suatu wadah, dan dalam peranannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial (Simon, 2004: 87). Menurut Gramsci (dalam Simon, 2004: 84; 86), ideologi bukanlah sesuatu yang berada di awang-awang dan berada di luar aktifitas praktis manusia lainnya. 18 18 Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktifitas praktis tersebut. Ia memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral manusia dan ia menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang dan dalam lembaga-lembaga serta organisasi-organisasi di mana praktik-praktik sosial tersebut berlangsung. Banyak lembaga kemasyarakatan seperti sekolah, lembaga keagamaan, atau keluarga yang masih mempertahankan hegemoni untuk mengajegkan kekuasaan yang mereka miliki. Keluarga, lembaga kemasyarakatan terkecil, kerap kali memberikan pemahaman bahwa status sosial (karena pemilikan aset atau gelar yang didapat turun temurun) yang mereka miliki lebih tinggi dibandingkan status sosial orang lain. Status sosial yang mereka sandang sering menjadi alasan untuk mendominasi kehidupan masyarakat apalagi masyarakat dimana mereka tinggal “menyetujui” praktik-praktik hegemoni yang telah mendarah daging sejak lama. 2.2.2 Konter Hegemoni Konter hegemoni berarti perlawanan terhadap hegemoni. Dimana ada kekuasaan, di sana muncul perlawanan terhadapnya (Simon, 2004: 110). Perlawanan itu muncul karena ketidakpuasan baik dari individu itu sendiri maupun kelas sosial tertentu terhadap hegemoni yang dilakukan oleh kelas yang mendominasi. Karena hegemoni harus terus menerus diciptakan dan dimenangkan, dia membuka kemungkinan bagi adanya tantangan atasnya, yaitu penciptaan blok kontra hegemoni dari kelompok dan kelas subordinat. Bagi Gramsci, perjuangan 19 19 kontra hegemoni tersebut harus berusaha memperoleh dukungan di dalam masyarakat sipil (Barker, 2004: 64). Scott (dalam Santoso, 2002: 163) mengungkapkan perlawanan itu dapat dilakukan baik secara terbuka ataupun terselubung. Terbuka dilakukan dengan perlawanan secara terang-terangan menggerakkan masyarakat yang mendukang perlawanan itu sendiri melalui kontak fisik dengan kelas yang berkuasa, dan terselubung dengan menyebarkan cara berpikir yang dijelmakan melalui mediamedia tertentu seperti buku, lukisan, ataupun yang lainnya. Hegemoni maupun perlawanan terhadapnya, tidak hanya muncul dalam bidang korporasi atau dalam tataran yang lebih besar yakni negara, namun telah hadir pula dalam tataran yang universal dan menyentuh kehidupan manusia yang paling dasar. Konter hegemoni tentunya menginginkan kehidupan manusia yang lebih baik dan memiliki derajat atau kedudukan yang sama dalam seluruh sendisendi kehidupan. Tak terkecuali dalam relasi sosial yang ada dalam masyarakat tertentu. Sekat yang ada dalam masyarakat, telah memunculkan perlawanan terhadapnya. Ketika kelas sosial tertentu tetap menjunjung bahwa status sosialnya lebih tinggi dan memandang rendah status sosial yang lain, ini menimbulkan konter hegemoni yang ditunjukkan melalui cara berpikir ataupun tindakan yang menentang hegemoni itu sendiri. Tentangan dan perlawanan itu sebagai bentuk protes atas hegemoni yang dapat menyengsarakan hidup mereka. Dalam tiga fiksi karya Oka Rusmini, terbaca konter hegemoni yang dilakukan oleh tokoh utama maupun tokoh sampingannya. Perlawanan itu 20 20 dilakukan karena para tokoh merasakan bahwa dominasi status sosial yang disandang golongan sosial tertentu, menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Diskriminasi itu pada akhirnya menimbulkan konflik berkepanjangan. Sebagai karya fiksi, novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi hadir sebagai salah satu bentuk perlawanan pengarang terhadap hegemoni yang ada dalam tradisi masyarakat Bali yang lebih banyak menyengsarakan perempuan. Melalui para tokoh perempuannya sebagai sentral cerita, Oka Rusmini mengungkapkan dengan benderang perlawanan terhadap hegemoni. Tidak selamanya perempuan Bali itu tertidur dalam tradisi dan melelapkan mereka. Mengutip pendapat Darma Putra (2007: 3) wanita Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial tentulah keliru. 2.3 Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni teori sosiologi sastra dan teori feminisme. 2.3.1 Teori Sosiologi Sastra Asumsi dasar sosiologi sastra adalah bahwa kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra (Endraswara, 2008: 77). Karya sastra akan mendokumentasikan kehidupan sosial budaya masyarakat tertentu. Sebagai sebuah dokumen sosial, karya sastra tidak 21 21 hanya akan merekam begitu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar masyarakat, namun turut pula merefleksikan zaman. Hal serupa juga dinyatakan oleh Sapardi Djoko Damono (2009: 11) bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan. Mengutip pendapat Umar Yunus dalam tulisan Ruswendi Permana, Aspek Sosiologi Sastra dalam Karya Ajip Rosidi (2004), menyatakan bahwa reaksi tersebut dapat berupa reaksi spontan ataupun reaksi yang dipikirkan terlebih dahulu. Reaksi spontan mungkin dilakukan bersamaan dengan terjadinya suatu peristiwa, atau apa dilakukan dengan cara menunjuk langsung kepada peristiwa itu dengan mengkonkretkannya ke dalam suatu karya. Endraswara (2008: 93) mengungkapkan karya-karya besar dengan sendirinya akan merepresentasikan latar belakang sosiokultural dan moral yang tangguh. Peneliti bertugas mengungkap hal tersebut agar dapat menangkap watakwatak kultural suatu masyarakat. Kekayaan suatu karya sastra berbeda-beda. Pertama, tergantung dari kemampuan pengarang dalam melukiskan hasil pengalamannya. Kedua, yang jauh lebih penting sebagaimana dijelaskan melalui teori resepsi, adalah kemampuan pembaca dalam memahami karya sastra. Pada umumnya para pengarang yang 22 22 berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Dengan kalimat lain, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra (Ratna, 2009: 333-334). Wellek dan Warren (1990: 111) membuat klasifikasi mengenai sosiologi sastra menjadi tiga. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Pada klasifikasi pertama pengarang mempunyai peranan penting. Penelaahan dilakukan dengan asumsi bahwa pengarang sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu yang memiliki status sosial, ideologi sosial, dan lain sebagainya yang digagas dalam karya sastranya. Klasifikasi kedua, mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Pengarang dilepaskan dari karyanya dan mengkaji hal-hal yang tersurat dan tersirat di dalam karya itu sendiri. Klasifikasi ketiga, yakni mempermasalahkan pembaca sebagai muara dari perjalanan karya sastra dan pengaruh sosial karya sastra terhadap kehidupan mereka. Sebagai hasil dari pemikiran manusia, karya sastra memuat ide-ide yang digagas pengarang dan bisa membawa perubahan besar terhadap kehidupan pembacanya. 23 23 Sosiologi sastra yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra pada aspek yang kedua. Analisis terfokus pada apa yang tersirat maupun yang tersurat dalam karya sastra kemudian menghubungkan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. 2.3.2 Teori Feminisme Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2009: 184). Pergerakan perempuan sejak dulu memiliki kepedulian krusial terhadap buku dan sastra, hingga kritik feminis tidak boleh dilihat sebagai cabang atau pemekaran feminisme yang berada jauh dari tujuan akhir pergerakan ini, namun sebagai salah satu caranya yang paling praktis untuk memengaruhi perilaku dan sikap sehari-hari. Kepedulian terhadap “pengondisian” dan “sosialisasi” ini menyokong seperangkat pembedaan yang krusial, yakni antara istilah ‘feminis’, ‘perempuan’, dan ‘feminin’. Istilah pertama adalah sebuah ‘posisi politis’, yang kedua berhubungan dengan biologi, dan ketiga ‘seperangkat karakteristik yang didefinisikan secara kultural. Dalam pembedaan antara istilah kedua dan ketiga khususnya, terletak sebagian besar kekuatan feminisme (Barry, 2010:143-144). Menurut Ritzer dan Goodman seperti dikutip oleh Susanto dalam Pengantar Kajian Sastra (2016: 180) di setiap negara atau belahan dunia yang lain, perkembangan teori feminisme ini sangat berbeda sebab didasarkan pada sifat, tujuan, model gerakan, dan pengalaman yang berbeda antara satu perempuan 24 24 dengan perempuan yang lain. Aliran dari gerakan feminisme itu juga beragam seperti feminisme liberal, feminisme sosial, feminisme psikoanalisis, feminisme Marxis, dan lain-lain. Menurut tradisi teori sosial, teori feminisme merupakan sebuah generalisasi dari berbagai sistem pemikiran tentang kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari persfektif pada perempuan. Teori ini memiliki beberapa tujuan. Pertama melakukan kajian terhadap situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, kajian ini menjadikan “perempuan” sebagai pusat kajiannya, yakni melihat dunia dari sudut pandang perempuan atas dunia sosial. Ketiga, teori feminis ini dikembangkan oleh para pemikir dan aktivis atau pejuang kepentingan perempuan yang berusaha menciptakan dunia yang lebih baik bagi perempuan dan untuk kemanusiaan. Isu utama dalam kajian kesastraan yang berhubungan dengan feminisme ini adalah tentang posisi, kedudukan, pengalaman hidup, dan bentuk-bentuk tulisan perempuan di dalam sastra. Serangkaian permasalahan ini dapat menjadikan berbagai topik dan cara mengkaji kesastraan dengan sudut pandang feminisme ataupun sering disebut dengan kritik sastra feminisme. Sebagai contoh adalah mengenai persoalan perempuan dalam dunia sastra. Topik persoalan ini telah membawa beberapa implikasi kajian seperti tentang karakteristik tulisan perempuan, persoalan psikologis yang berhubungan dengan tulisan perempuan, strategi penulisan karya sastra oleh perempuan. Secara umum, gerakan feminis dapat dibagi menjadi tiga golongan: kaum feminis liberal, kaum feminis radikal dan kaum feminis sosialis. Kaum feminis radikal mendasari gerakannya pada prinsip-prinsip falsafah liberalisme, yakni 25 25 bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Gerakan ini beranggapan bahwa sistem patriarkal dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap masingmasing individu, terutama sikap kaum wanita dalam hubungannya dengan lakilaki (Budiman, 1982: 38). Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan wanita yang berjuang di dalam realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya. Karena itu, gerakan ini terutama mempersoalkan bagaimana caranya untuk menghancurkan patriarki sebagai sebuah sistem nilai yang melembaga di dalam masyarakat. Kelompok yang paling ekstrem dari gerakan kaum feminis radikal bahkan berusaha memutuskan hubungannya dengan laki-laki (Budiman, 1982: 44) Gerakan yang ketiga adalah dari kaum feminis sosialis. Seperti yang dikemukakan Budiman (1982: 45) gerakan ini mendasarkan perjuangannya pada teori Engels, atau lebih tepat lagi pada teori Marxis pada umumnya. Jadi berlainan dengan kaum feminis radikal, kaum feminis sosialis memberi perhatian yang besar pada kondisi sosial ekonomi. Meskipun kaum feminis sosialis mengutamakan perjuangannya pada perubahan sistem sosial ekonomi, ini tidak berarti bahwa perjuangan melawan patriarki tidak ada dalam daftar perjuangan kaum-kaum feminis sosialis. Tapi pada dasarnya kaum feminis sosialis menganggap bahwa sistem patriarkal bukanlah sesuatu yang mendapat prioritas pertama dalam daftar perjuangannya. Teori feminisme merupakan seperangkat gabungan ataupun gagasan yang berusaha mengkaji kehidupan sosial dengan memosisikan dirinya pada pembelaan 26 26 terhadap perempuan. Artinya, teori ini berpihak pada subjek yang dibayangkan, yakni perempuan yang akan dibelanya, yang diasumsikan mengalami ketertindasan atau termarginalkan. Dalam melakukan pembelaan dan usaha perubahan terhadap kondisi perempuan tersebut, teori yang digunakan juga sangat beragam dan tergantung dari cara memandang persoalan tersebut. Keragaman teori ini hakikatnya merupakan wujud keragaman sudut pandang terhadap kaum perempuan (Susanto, 2016: 183). Persfektif perempuan memandang kekuasaan sebagai unsur penting di dalam konstruksi hubungan laki-laki dan perempuan. Juga, pemahaman ini seringkali sulit diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, hubungan kekuasaan selama ini dianggap memiliki kaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan sejauh di sana dapat ditunjuk adanya relasi yang tidak setara (Santoso: 2011: 260). Dalam kehidupan sehari-hari ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan terlihat dalam pembagian kerja. Laki-laki bekerja di luar rumah sementara perempuan perempuan di dalam rumah. Akan tetapi, dalam novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi, perempuan sudah diposisikan sebagai pekerja yang menghidupi keluarga dan bahkan terkadang menafkahi lakilaki itu sendiri Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk “sosialisasi” terpenting, karena memberikan model peranan yang mengindikasikan pada perempuan dan laki-laki apa yang merupakan versi 27 27 “feminin” yang berterima serta sasaran dan aspirasi feminim yang sah (Barry. 2010: 144). 2.4 Model Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitian sebagai berikut. Sastra Kenanga, Sagra, Tarian Bumi Teori Sosiologi Sastra Hegemoni dan Konter Hegemoni dalam Tiga Prosa Karya Oka Rusmini Teori Feminisme Temuan Hegemoni Konter Hegemoni Makna Status Sosial Simpulan Keterangan gambar Karya sastra sebagai media menyampaikan gagasan pengarang di dalam menyikapi kehidupan sosial yang ada di sekitarnya. Contoh karya sastra yakni 28 28 novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi. Dalam ketiga prosa ini terdapat permasalahan mengenai kehidupan sosial masyarakat Bali terkait dengan hegemoni dan konter hegemoni yang ditulis pengarang. Teori yang dipakai untuk membedah permasalahan dalam ketiga prosa ini yaitu teori sosiologi sastra dan teori feminisme. Temuan yang didapat dalam pengkajian tiga prosa ini adalah bentuk hegemoni, konter atas hegemoni yang ada, dan makna hegemoni dan konter hegemoni dalam karya Oka Rusmini yang dikaitkan dengan status sosial serta simpulan.