BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Bab II menyajikan apresiasi atau penelitian yang telah dilakukan terhadap
ketiga prosa yang dijadikan sebagai objek penelitian, kemudian konsep.
Dilanjutkan dengan teori yang dipergunakan untuk menguraikan masalah yang
telah dirumuskan. Diakhiri dengan model penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Apresiasi atau penelitian terhadap karya-karya Oka Rusmini sudah banyak
dilakukan seperti terlihat dari artikel-artikel di surat kabar dan publikasi buku.
Pengamat dan peneliti sastra yang pernah menganalisis karya Oka Rusmini antara
lain Maman S. Mahayana (2007), Eka Yani (2010), Dara Windiyarti (2008), Suci
Sundusiah (2007), Sunu Wasono (2006), Gede Artawan (2011), Sulaiman (2011),
dan Harry Aveling (2010).
Maman S. Mahayana dalam bukunya Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia,
lebih banyak membicarakan mengenai feminisme dalam novel Tarian Bumi. Ia
menuliskan para tokoh perempuan sebagai korban atas sistem adat dan kurang
menyentuh mengenai ideologi-ideologi yang ada di balik sistem adat yang
menderitakan perempuan itu sendiri. Padahal, sesungguhnya apabila dicermati
lebih dalam, sistem adat itu sendiri sesungguhnya tidak akan menyengsarakan
10
11
11
perempuan bila para perempuan tidak memegang prinsip kekuasaan terhadap
orang lain, terlebih kaumnya sendiri.
Penelitian Eka Yani yang selesai tahun 2010, lebih dominan membahas
tentang perubahan-perubahan sosial yang terjadi karena adanya keberanian tokoh
untuk membangun konflik. Penelitian ini pun fokus pada konflik yang terjadi
dalam masyarakat Bali yang menimbulkan sikap bersaing, menghindar,
kolaborasi, dan kompromi. Penelitian ini belum masuk ke dalam faktor-faktor
yang ada di balik konflik-konflik para tokohnya, terutama tokoh perempuan.
Tulisan Dara Windiyarti dalam Jurnal Humaniora Volume 20 Tahun 2008
yang berjudul “Pemberontakan Perempuan Bali Terhadap Diskriminasi Kelas dan
Gender : Kajian Feminis Novel Tarian Bumi Oka Rusmini” membahas tentang
diskriminasi kelas dan gender yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetaraan kasta.
Tulisan ini lebih banyak membahas tentang perbedaan-perbedaan diskriminasi
kelas dan gender di antara para tokoh-tokohnya.
Struktur cerita Tarian Bumi pernah dijadikan kajian analisis bandingan
dengan struktur cerita karya sastra lama yang berjudul Hikayat Raja Kerang yang
dilakukan oleh Suci Sundusiah. Dalam makalahnya yang berjudul “Perbandingan
Struktur Naskah Klasik dan Modern (Analisis Struktur pada Naskah Hikayat Raja
Kerang dan Novel Tarian Bumi Oka Rusmini)”, Suci membahas mengenai
perbandingan secara strukturalis antara dua karya tersebut baik dari segi tema,
latar, perwatakan, bahasa, dan yang lainnya. Ia hanya menyebut latar sosial sangat
menonjol dalam novel Tarian Bumi karena adanya pertentangan status sosial
dalam masyarakat dalam cerita. Tidak diungkapkannya aspek sosiologis yang
12
12
mempengaruhi latar belakang cerita secara mendalam, menjadi kekurangan tulisan
ini.
Sunu Wasono yang berprofesi sebagai staf pengajar di FIB UI menulis
artikel “Pria-Wanita-Kasta: Catatan Atas Tarian Bumi Oka Rusmini” dalam
majalah sastra Horison edisi Maret 2006, menekankan pada analisis sistem
kemasyarakatan yang ada novel dalam Tarian Bumi. Di bawah sistem
kemasyarakatan yang ada, dimungkinkan muncul penindasan, pengekangan yang
merugikan kelompok tertentu. Tulisan ini kurang menyentuh tentang hegemoni
dan latar belakang atas penindasan yang terjadi.
Tulisan Gde Artawan
berjudul “Perempuan dan Resistensi terhadap
Hegemoni Patriarki” yang termuat di harian Bali Post tanggal 6 November 2011,
juga menyinggung tentang karya Oka Rusmini. Dominasi patriarki yang ada
dalam karya Oka Rusmini (Kenanga dan Tarian Bumi) tersebut banyak
mensubordinatkan
peran
perempuan.
Dituliskannnya
pula
bahwa
tokoh
perempuan novel Oka Rusmini berjuang melawan tradisi, namun pada akhirnya
tokoh Oka Rusmini terkesan ambivalen terhadap tradisi itu sendiri. Kurang
dijelaskannya aspek-aspek yang melatarbelakangi hegemoni patriarki menjadi
kelemahan dalam tulisan ini.
Sulaiman dalam tulisannya di Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik
tahun 2011 yang berjudul “Perempuan dalam Perspektif Sosial dan Keluarga:
Kajian terhadap Novel Mutakhir Perempuan Indonesia” turut menyinggung
mengenai salah satu karya Oka Rusmini yakni novel Kenanga. Suliaman
membahas secara ringkas tentang beberapa tokoh perempuan yang ada dalam
13
13
novel tersebut yang memiliki peranan dalam persfektif sosial, terutama yang
berkaitan dengan pendidikan. Dituliskannya bahwa apa yang dilakukan Kenanga,
tokoh utama dalam novel tersebut, merupakan bagian dari kesadarannya bahwa
perempuan harus berpikiran maju. Tulisan ini lebih memfokuskan tentang peran
serta perempuan dalam persfektif sosial dalam novel yang ditulis perempuan
pengarang Indonesia.
Harry Aveling juga menyinggung tentang hegemoni gender yang ada di
salah satu cerpen Oka Rusmini, Cenana. Menurutnya, laki-laki selalu menjalani
kehidupan mewah, pesta pora, dan bebas memilih pasangan hidupnya bahkan
berpoligami sementara perempuan selalu berkorban terhadap cinta yang mereka
dapatkan dari laki-laki. Harry menulis “for a new view of womanhood that is
beyond conventional ‘respectable’ and patriarchal Balinese ideas of womanhood,
providing a woman’s persfective of what it means to be a woman”. Kelemahan
dan kekuasaan yang dimiliki tokoh perempuan dalam karya Oka Rusmini, berasal
dari sifat kewanitaan mereka, didefinisikan ulang oleh kasta. Selain itu, Harry
yang menulis dalam artikelnya yang termuat dalam Journal of Multidisciplinary
Intrernational Studies yang terbit bulan Juli 2010, bahwa cerpen tersebut
reinterpretasi legenda sejarah Jawa abad Pertengahan, Ken Arok dan Ken Dedes.
Tulisannnya lebih dititikberatkan pada unsur legenda Ken Arok yang menjadi
latar belakang cerita Cenana.
Memperhatikan beberapa tulisan atau pun penelitian yang disampaikan
sebelumnya, penelitian ini akan berbeda dan terfokus pada bentuk hegemoni yang
dilakukan oleh para tokoh dan faktor yang melatarbelakanginya serta konter
14
14
hegemoni atas hegemoni yang ada dalam tiga prosa karya Oka Rusmini.
Termasuk pula makna hegemoni dan konter hegemoni dikaitkan dengan status
sosial.
2.2 Konsep
Dalam penelitian ini menggunakan konsep hegemoni dan konter hegemoni.
2.2.1 Hegemoni
Konsep mengenai hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci. Titik
awal konsepnya adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan
kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi
(Simon, 2004: 19). Kekerasan yang dilakukan bisa terlihat dalam tindakantindakan yang dilakukan oleh kelas tersebut terhadap kelas di bawahnya.
Sementara persuasi dapat ditemukan melalui cara berpikir mereka.
Ia memberikan contoh munculnya kelas kapitalis dengan membedakan tiga
fase perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisasi. Fase pertama dan
paling awal terjadi ketika seseorang merasa perlu berdiri sejajar dengan pedagang
lain, seorang pengusaha dengan penguasa lain, dan sebagainya; namun pedagang
belum merasakan timbulnya solidaritas dari pengusaha. Anggota kelompok
profesional sadar akan kepentingan bersama mereka dan perlunya mereka bersatu,
namun mereka akan menyadari kebutuhan untuk bergabung dengan kelompok
lain dalam kelas yang sama. Fase kedua telah tumbuh kesadaran akan kepentingan
bersama sebuah kelas namun masih dalam bidang ekonomi. Fase ketiga adalah
fase hegemoni dengan pemikiran orang sadar akan kepentingan perusahaannya
15
15
dan kepentingan itu dapat dan harus menjadi kepentingan dari kelompok yang
lebih rendah. Fase terkahir adalah fase tahapan yang murni politik yang pada
mulanya ideologi itu bersaing dan menang sehingga bisa menyatukan tujuantujuan ekonomi, politik, intelektual, dan moral yang pada akhirnya terciptalah
hegemoni suatu kelompok sosial yang kuat terhadap kelompok lain yang lebih
rendah (Simon, 2004: 34-35).
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci dalam konsepnya
mengenai hegemoni, yaitu pertama hegemoni total (integral), hegemoni merosot
(decadent), dan hegemoni minimum. Pertama, hegemoni integral adalah
hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas,
masyarakat menunjukkan kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Kondisi
tersebut tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang
diperintah.
Kedua,
hegemoni
merosot
adalah
suatu
kondisi
hegemoni
yang
mengandung kontradiksi. Kontradiksi itu mengakibatkan adanya pertentanganpertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Dalam hegemoni ini rawan
terjadi integrasi.
Ketiga adalah hegemoni minimal. Hegemoni ini merupakan hegemoni
paling rendah. Hegemoni bersandar pada satuan ideologis antara elit ekonomis,
politis, dan intelektual yang diturunkan bersamaan dengan keengganan setiap
campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, kelompokkelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-sapirasi
mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.
16
16
Hegemoni suatu kelas terhadap kelas di bawahnya merupakan hasil dari
bangunan konsesus. Konsesus merupakan suatu dominasi yang dilakukan bukan
dengan suatu paksaan tetapi melalui persetujuan dan pemahaman. Dalam Kamus
Ilmiah Pupuler, konsesus diartikan sebagai suatu persetujuan, kesepakatan
bersama atau kata sepakat. Oleh karena itu, pada dasarnya konsesus berkaitan
dengan persoalan psikologi. Dengan kata lain, konsesus merupakan kepatuhan
atau ketertundukan seseorang atau sekelompok seseorang karena adanya suatu
kesadaran.
Pada dasarnya ketertundukan pada aturan dan perangkat hukum penguasa
dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena rasa takut, terbiasa, dan
persetujuan/kesadaran. Dari ketiga hal tersebut pandangan yang terakhir
merupakan ciri dari konsep hegemoni. Dengan demikian, hegemoni bersifat
menyeluruh karena bersifat psikologis.
Menurut Gramsci, hegemoni berdasar pada konsesus yang muncul melalui
komitmen aktif atas kelas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan
produksi. Gramsci mengatakan bahwa konsesus adalah komitmen aktif yang
didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah.
Konsesus ini secara historis lahir karena prestasi yang berkembang dalam dunia
produksi.
Gramsci (dalam Simon, 2004: 27), menjelaskan bahwa “semua manusia
adalah filosof”, karena semua laki-laki dan perempuan mempunyai konsepsi
tentang dunia serta seperangkat gagasan yang memungkinkan mereka memahami
kehidupan mereka. Namun, cara mereka mempersepsi dunia, filsafat mereka,
17
17
seringkali rancu dan bertentangan, karena hasil pemikiran mereka berasal dari
berbagai sumber dan dari kejadian masa lalu, yang cenderung membuat mereka
menerima ketidakadilan dan penindasan sebagai hal yang alamiah dan tidak bisa
diubah. Dengan kata lain, menurut Barker (2004: 63), “hal-hal yang diterima apa
adanya”.
Santoso (2002: 164) mengungkapkan ada tiga jenis kekuasaan, yakni
kekuasaan utilitirian, kekuasaan koersif, dan kekuasaan persuasif. Kekuasaan
utilitarian akan muncul dari aset utilitarian apabila aset-aset ini (pemilikan
ekonomi, teknik administratif, tenaga kerja) digunakan oleh mereka yang
memilikinya, sehingga perlawanan itu dapat diatasi. Kekuasaan koersif muncul
jika orang menggunakan aset (berupa senjata, tenaga manusia) dengan kekerasan
untuk mengubah orang lain, atau menghukum mereka yang menghalanginya. Dan
kekuasaan persuasif (aset yang berupa nilai, perasaan, kepercayaan) digunakan
untuk memiliki kekuasaan. Kalau ada perlawanan akan mudah diatasi tanpa
kekerasan.
Suatu kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan
kepentingan-kepentingan dari suatu kelas, kelompok dan gerakan-gerakan lain ke
dalam kepentingan mereka sendiri dengan tujuan membangun kehendak kolektif
rakyat secara nasional. Ideologi, menurut Gramsci, mengikat berbagai kelompok
sosial yang berbeda-beda ke dalam suatu wadah, dan dalam peranannya sebagai
pondasi atau agen proses penyatuan sosial (Simon, 2004: 87).
Menurut Gramsci (dalam Simon, 2004: 84; 86), ideologi bukanlah sesuatu
yang berada di awang-awang dan berada di luar aktifitas praktis manusia lainnya.
18
18
Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktifitas
praktis tersebut. Ia memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta
perilaku moral manusia dan ia menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang
dan dalam lembaga-lembaga serta organisasi-organisasi di mana praktik-praktik
sosial tersebut berlangsung.
Banyak lembaga kemasyarakatan seperti sekolah, lembaga keagamaan, atau
keluarga yang masih mempertahankan hegemoni untuk mengajegkan kekuasaan
yang mereka miliki. Keluarga, lembaga kemasyarakatan terkecil, kerap kali
memberikan pemahaman bahwa status sosial (karena pemilikan aset atau gelar
yang didapat turun temurun) yang mereka miliki lebih tinggi dibandingkan status
sosial orang lain. Status sosial yang mereka sandang sering menjadi alasan untuk
mendominasi kehidupan masyarakat apalagi masyarakat dimana mereka tinggal
“menyetujui” praktik-praktik hegemoni yang telah mendarah daging sejak lama.
2.2.2 Konter Hegemoni
Konter hegemoni berarti perlawanan terhadap hegemoni. Dimana ada
kekuasaan, di sana muncul perlawanan terhadapnya (Simon, 2004: 110).
Perlawanan itu muncul karena ketidakpuasan baik dari individu itu sendiri
maupun kelas sosial tertentu terhadap hegemoni yang dilakukan oleh kelas yang
mendominasi.
Karena hegemoni harus terus menerus diciptakan dan dimenangkan, dia
membuka kemungkinan bagi adanya tantangan atasnya, yaitu penciptaan blok
kontra hegemoni dari kelompok dan kelas subordinat. Bagi Gramsci, perjuangan
19
19
kontra hegemoni tersebut harus berusaha memperoleh dukungan di dalam
masyarakat sipil (Barker, 2004: 64).
Scott (dalam Santoso, 2002: 163) mengungkapkan perlawanan itu dapat
dilakukan baik secara terbuka ataupun terselubung. Terbuka dilakukan dengan
perlawanan secara terang-terangan menggerakkan masyarakat yang mendukang
perlawanan itu sendiri melalui kontak fisik dengan kelas yang berkuasa, dan
terselubung dengan menyebarkan cara berpikir yang dijelmakan melalui mediamedia tertentu seperti buku, lukisan, ataupun yang lainnya.
Hegemoni maupun perlawanan terhadapnya, tidak hanya muncul dalam
bidang korporasi atau dalam tataran yang lebih besar yakni negara, namun telah
hadir pula dalam tataran yang universal dan menyentuh kehidupan manusia yang
paling dasar. Konter hegemoni tentunya menginginkan kehidupan manusia yang
lebih baik dan memiliki derajat atau kedudukan yang sama dalam seluruh sendisendi kehidupan. Tak terkecuali dalam relasi sosial yang ada dalam masyarakat
tertentu.
Sekat yang ada dalam masyarakat, telah memunculkan perlawanan
terhadapnya. Ketika kelas sosial tertentu tetap menjunjung bahwa status sosialnya
lebih tinggi dan memandang rendah status sosial yang lain, ini menimbulkan
konter hegemoni yang ditunjukkan melalui cara berpikir ataupun tindakan yang
menentang hegemoni itu sendiri. Tentangan dan perlawanan itu sebagai bentuk
protes atas hegemoni yang dapat menyengsarakan hidup mereka.
Dalam tiga fiksi karya Oka Rusmini, terbaca konter hegemoni yang
dilakukan oleh tokoh utama maupun tokoh sampingannya. Perlawanan itu
20
20
dilakukan karena para tokoh merasakan bahwa dominasi status sosial yang
disandang golongan sosial tertentu, menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Diskriminasi itu pada akhirnya menimbulkan konflik
berkepanjangan.
Sebagai karya fiksi, novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi
hadir sebagai salah satu bentuk perlawanan pengarang terhadap hegemoni yang
ada dalam tradisi masyarakat Bali yang lebih banyak menyengsarakan perempuan.
Melalui para tokoh perempuannya sebagai sentral cerita,
Oka Rusmini
mengungkapkan dengan benderang perlawanan terhadap hegemoni. Tidak
selamanya perempuan Bali itu tertidur dalam tradisi dan melelapkan mereka.
Mengutip pendapat Darma Putra (2007: 3) wanita Bali bersifat pasif, nrimo, atau
berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya
dalam kehidupan sosial tentulah keliru.
2.3 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni teori sosiologi sastra dan
teori feminisme.
2.3.1 Teori Sosiologi Sastra
Asumsi dasar sosiologi sastra adalah bahwa kelahiran sastra tidak dalam
kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra
(Endraswara, 2008: 77). Karya sastra akan mendokumentasikan kehidupan sosial
budaya masyarakat tertentu. Sebagai sebuah dokumen sosial, karya sastra tidak
21
21
hanya akan merekam begitu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar
masyarakat, namun turut pula merefleksikan zaman.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Sapardi Djoko Damono (2009: 11) bahwa
sastra merupakan cermin zamannya. Sastra merupakan cermin langsung dari
berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan
lain-lain. Dalam hal ini, tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan
pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan
keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya.
Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu
keadaan. Mengutip pendapat Umar Yunus dalam tulisan Ruswendi Permana,
Aspek Sosiologi Sastra dalam Karya Ajip Rosidi (2004),
menyatakan bahwa
reaksi tersebut dapat berupa reaksi spontan ataupun reaksi yang dipikirkan
terlebih dahulu. Reaksi spontan mungkin dilakukan bersamaan dengan terjadinya
suatu peristiwa, atau apa dilakukan dengan cara menunjuk langsung kepada
peristiwa itu dengan mengkonkretkannya ke dalam suatu karya.
Endraswara (2008: 93) mengungkapkan karya-karya besar dengan
sendirinya akan merepresentasikan latar belakang sosiokultural dan moral yang
tangguh. Peneliti bertugas mengungkap hal tersebut agar dapat menangkap watakwatak kultural suatu masyarakat.
Kekayaan suatu karya sastra berbeda-beda.
Pertama, tergantung dari
kemampuan pengarang dalam melukiskan hasil pengalamannya. Kedua, yang jauh
lebih penting sebagaimana dijelaskan melalui teori resepsi, adalah kemampuan
pembaca dalam memahami karya sastra. Pada umumnya para pengarang yang
22
22
berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk
mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri
fiksional. Dengan kalimat lain, pengarang merupakan indikator penting dalam
menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan
tradisi sastra (Ratna, 2009: 333-334).
Wellek dan Warren (1990: 111) membuat klasifikasi mengenai sosiologi
sastra menjadi tiga. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status
sosial, ideologi sosial
dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai
penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan
karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat
dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Pada
klasifikasi
pertama
pengarang
mempunyai
peranan
penting.
Penelaahan dilakukan dengan asumsi bahwa pengarang sebagai bagian dari
anggota masyarakat tertentu yang memiliki status sosial, ideologi sosial, dan lain
sebagainya
yang
digagas
dalam
karya
sastranya.
Klasifikasi
kedua,
mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Pengarang dilepaskan dari karyanya
dan mengkaji hal-hal yang tersurat dan tersirat di dalam karya itu sendiri.
Klasifikasi ketiga, yakni mempermasalahkan pembaca sebagai muara dari
perjalanan karya sastra dan pengaruh sosial karya sastra terhadap kehidupan
mereka. Sebagai hasil dari pemikiran manusia, karya sastra memuat ide-ide yang
digagas pengarang dan bisa membawa perubahan besar terhadap kehidupan
pembacanya.
23
23
Sosiologi sastra yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi
sastra pada aspek yang kedua. Analisis terfokus pada apa yang tersirat maupun
yang tersurat dalam karya sastra kemudian menghubungkan dengan kenyataan
yang ada dalam masyarakat.
2.3.2 Teori Feminisme
Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita
untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan
direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi
maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2009: 184).
Pergerakan perempuan sejak dulu memiliki kepedulian krusial terhadap
buku dan sastra, hingga kritik feminis tidak boleh dilihat sebagai cabang atau
pemekaran feminisme yang berada jauh dari tujuan akhir pergerakan ini, namun
sebagai salah satu caranya yang paling praktis untuk memengaruhi perilaku dan
sikap sehari-hari. Kepedulian terhadap “pengondisian” dan “sosialisasi” ini
menyokong seperangkat pembedaan yang krusial, yakni antara istilah ‘feminis’,
‘perempuan’, dan ‘feminin’. Istilah pertama adalah sebuah ‘posisi politis’, yang
kedua berhubungan dengan biologi, dan ketiga ‘seperangkat karakteristik yang
didefinisikan secara kultural. Dalam pembedaan antara istilah kedua dan ketiga
khususnya, terletak sebagian besar kekuatan feminisme (Barry, 2010:143-144).
Menurut Ritzer dan Goodman seperti dikutip oleh Susanto dalam Pengantar
Kajian Sastra (2016: 180) di setiap negara atau belahan dunia yang lain,
perkembangan teori feminisme ini sangat berbeda sebab didasarkan pada sifat,
tujuan, model gerakan, dan pengalaman yang berbeda antara satu perempuan
24
24
dengan perempuan yang lain. Aliran dari gerakan feminisme itu juga beragam
seperti feminisme liberal, feminisme sosial, feminisme psikoanalisis, feminisme
Marxis, dan lain-lain. Menurut tradisi teori sosial, teori feminisme merupakan
sebuah generalisasi dari berbagai sistem pemikiran tentang kehidupan sosial dan
pengalaman manusia yang dikembangkan dari persfektif pada perempuan. Teori
ini memiliki beberapa tujuan. Pertama melakukan kajian terhadap situasi dan
pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, kajian ini menjadikan
“perempuan” sebagai pusat kajiannya, yakni melihat dunia dari sudut pandang
perempuan atas dunia sosial. Ketiga, teori feminis ini dikembangkan oleh para
pemikir dan aktivis atau pejuang kepentingan perempuan yang berusaha
menciptakan dunia yang lebih baik bagi perempuan dan untuk kemanusiaan.
Isu utama dalam kajian kesastraan yang berhubungan dengan feminisme ini
adalah tentang posisi, kedudukan, pengalaman hidup, dan bentuk-bentuk tulisan
perempuan di dalam sastra. Serangkaian permasalahan ini dapat menjadikan
berbagai topik dan cara mengkaji kesastraan dengan sudut pandang feminisme
ataupun sering disebut dengan kritik sastra feminisme. Sebagai contoh adalah
mengenai persoalan perempuan dalam dunia sastra. Topik persoalan ini telah
membawa beberapa implikasi kajian seperti tentang karakteristik tulisan
perempuan, persoalan psikologis yang berhubungan dengan tulisan perempuan,
strategi penulisan karya sastra oleh perempuan.
Secara umum, gerakan feminis dapat dibagi menjadi tiga golongan: kaum
feminis liberal, kaum feminis radikal dan kaum feminis sosialis. Kaum feminis
radikal mendasari gerakannya pada prinsip-prinsip falsafah liberalisme, yakni
25
25
bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang
punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Gerakan ini beranggapan
bahwa sistem patriarkal dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap masingmasing individu, terutama sikap kaum wanita dalam hubungannya dengan lakilaki (Budiman, 1982: 38).
Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan wanita yang
berjuang di dalam realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya.
Karena itu, gerakan ini terutama mempersoalkan bagaimana caranya untuk
menghancurkan patriarki sebagai sebuah sistem nilai yang melembaga di dalam
masyarakat. Kelompok yang paling ekstrem dari gerakan kaum feminis radikal
bahkan berusaha memutuskan hubungannya dengan laki-laki (Budiman, 1982: 44)
Gerakan yang ketiga adalah dari kaum feminis sosialis. Seperti yang
dikemukakan Budiman (1982: 45) gerakan ini mendasarkan perjuangannya pada
teori Engels, atau lebih tepat lagi pada teori Marxis pada umumnya. Jadi berlainan
dengan kaum feminis radikal, kaum feminis sosialis memberi perhatian yang
besar pada kondisi sosial ekonomi. Meskipun kaum feminis sosialis
mengutamakan perjuangannya pada perubahan sistem sosial ekonomi, ini tidak
berarti bahwa perjuangan melawan patriarki tidak ada dalam daftar perjuangan
kaum-kaum feminis sosialis. Tapi pada dasarnya kaum feminis sosialis
menganggap bahwa sistem patriarkal bukanlah sesuatu yang mendapat prioritas
pertama dalam daftar perjuangannya.
Teori feminisme merupakan seperangkat gabungan ataupun gagasan yang
berusaha mengkaji kehidupan sosial dengan memosisikan dirinya pada pembelaan
26
26
terhadap perempuan. Artinya, teori ini berpihak pada subjek yang dibayangkan,
yakni
perempuan
yang akan
dibelanya,
yang
diasumsikan
mengalami
ketertindasan atau termarginalkan. Dalam melakukan pembelaan dan usaha
perubahan terhadap kondisi perempuan tersebut, teori yang digunakan juga sangat
beragam dan tergantung dari cara memandang persoalan tersebut. Keragaman
teori ini hakikatnya merupakan wujud keragaman sudut pandang terhadap kaum
perempuan (Susanto, 2016: 183).
Persfektif perempuan memandang kekuasaan sebagai unsur penting di
dalam konstruksi hubungan laki-laki dan perempuan. Juga, pemahaman ini
seringkali sulit diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, hubungan
kekuasaan selama ini dianggap memiliki kaitan dengan relasi laki-laki dan
perempuan sejauh di sana dapat ditunjuk adanya relasi yang tidak setara (Santoso:
2011: 260).
Dalam
kehidupan
sehari-hari
ketidaksetaraan
antara
laki-laki
dan
perempuan terlihat dalam pembagian kerja. Laki-laki bekerja di luar rumah
sementara perempuan perempuan di dalam rumah. Akan tetapi, dalam novel
Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi, perempuan sudah diposisikan
sebagai pekerja yang menghidupi keluarga dan bahkan terkadang menafkahi lakilaki itu sendiri
Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk
“sosialisasi”
terpenting,
karena
memberikan
model
peranan
yang
mengindikasikan pada perempuan dan laki-laki apa yang merupakan versi
27
27
“feminin” yang berterima serta sasaran dan aspirasi feminim yang sah (Barry.
2010: 144).
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian sebagai berikut.
Sastra
Kenanga, Sagra, Tarian Bumi
Teori Sosiologi
Sastra
Hegemoni dan Konter
Hegemoni dalam Tiga Prosa
Karya Oka Rusmini
Teori
Feminisme
Temuan
Hegemoni
Konter Hegemoni
Makna Status Sosial
Simpulan
Keterangan gambar
Karya sastra sebagai media menyampaikan gagasan pengarang di dalam
menyikapi kehidupan sosial yang ada di sekitarnya. Contoh karya sastra yakni
28
28
novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi. Dalam ketiga prosa ini
terdapat permasalahan mengenai kehidupan sosial masyarakat Bali terkait dengan
hegemoni dan konter hegemoni yang ditulis pengarang. Teori yang dipakai untuk
membedah permasalahan dalam ketiga prosa ini yaitu teori sosiologi sastra dan teori
feminisme. Temuan yang didapat dalam pengkajian tiga prosa ini adalah bentuk
hegemoni, konter atas hegemoni yang ada, dan makna hegemoni dan konter
hegemoni dalam karya Oka Rusmini yang dikaitkan dengan status sosial serta
simpulan.
Download