bab i sejarah perbankan syariah

advertisement
BAB I
SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
Perkembangan bank-bank syariah di dunia dan di Indonesia tetap mengalami kendala
karena bank syariah hadir di tengah-tengah perkembangan dan praktik-praktik perbankan
konvensional yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat secara luas. Kendala yang
dihadapi oleh perbankan (lembaga keuangan) syariah tidak terlepas dari belum tersedianya
sumber daya manusia secara memadai dan peraturan perundang-undangan. Meskipun, telah
banyak kajian yang mencoba untuk mempermudah penjelasan tentang pelaksanaan operasional
perbankan syariah. Hal ini mengingat bahwa di masing-masing negara, terutama yang
masyarakatnya mayoritas muslim, tidak mempunyai infrastruktur pendukung dalam operasional
perbankan syariah secara merata. Bab ini banyak mengurai seluk beluk sejarah perbankan syariah
baik di dunia maupun di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa akan mampu
menjelaskan sejarah dan praktik perbankan syariah dan menjelaskan perkembangan sistem
perbankan Syariah di Dunia dan Indonesia
1.1 Pendahuluan
Pelaksanaan fungsi-fungsi perbankan sebenarnya telah ada dan menjadi tradisi sejak zaman
Rosulullah seperti pembiayaan, penitipan harta, pinjam-meminjam uang, dan bahkan melaksanakan
fungsi pengiriman uang. Namun, pada saat itu tentu saja fungsi-fungsi perbankan tersebut dilakukan
masih secara sederhana dan perorangan sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga belum
terlembagakan secara sistematis. Sebenarnya Islam juga telah memiliki aturan yang cukup
komprehensif mengenai hukum-hukum dalam suatu perekonomian, hal itu bisa digali lebih lanjut
dalam Al-Quran, Hadits, maupun buku-buku karya para ulama. Bahkan, beberapa istilah perbankan
modern ada yang berakar kata dari ilmu fiqh. Misalnya, istilah kredit (Inggris: credit berarti
kepercayaan; Romawi: credo yang berarti kepercayaan, dan Arab: qard berarti meminjamkan uang
berdasarkan kepercayaan). Selain itu, istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque, Arab: saq/suquq
yang berarti pasar) - istilah cek terkenal sebagai alat pembayaran yang bisa digunakan di pasarpasar. Konskuensi perkembangan di masing-masing negara tersebut tentunya akan berdampak baik
langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan perbankan syariah di dunia. Apalagi pada
saat ini produk-produk keuangan semakin cepat perkembangannya.
1.2 Sejarah dan Perkembangan Perbankan Islam
1.2.1 Definisi Bank
Kata Bank berasal dari kata ―banque‖ (prancis) atau ―branco‖ (Italia) yang berarti Peti /
Lemari. Tempat menyimpan benda berharga, ex. Peti emas, peti uang, dll (safe keeping function).
Menunjukan fungsi dasar bank komersial.
Abad ke-12 kata ―banco‖ menunjukkan meja, counter atau tempat penukaran uang (money
changer), menunjukkan fungsi transaksi, yaitu membayar barang & jasa (menyediakan alat
pembayaran untuk membeli barang dan jasa).
1.2.2 Praktek Perbankan di Zaman Nabi SAW dan Sahabat
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah
perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah
menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah saw. Praktek-praktek seperti
menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis,
serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian,
fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan
transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat
Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan alAmin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir
sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali ra untuk mengembalikan semua
titipan itu kepada yang memilikinya.1 Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan
harta titipan tersebut.
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta.
Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan
implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai
hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban
mengambalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah.
Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin
Zubair yang tinggal di Irak.3 Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya
perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun.
Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada
mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang
ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti
mudharabah, musyarakah, muzara‘ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin
dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan
di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi
perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang
melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan
ada pula yang memberikan modal kerja.
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah
kredit (Inggris: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris
berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti
meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris: check; Perancis:
cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan
cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
1.2.3 Praktek Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abasiah
Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi
ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah,
maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan
dana, dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di jaman
Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya
melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan
dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam
sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika
beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan
antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang
mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula.
Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan
cikal-bakal praktek penukaran mata uang (money changer). Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman
Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada
masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan
pajak tanah.
Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk
Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn
Isa, Hamid ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga
orang banker sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu
ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan
bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang.
Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu
memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di
banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan
pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al- Dawlah al-Hamdani yang
tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak)
dan Aleppo (Spanyol sekarang).
1.3 Awal Kelahiran System Perbankan Syariah
Sejak
awal
kelahirannya,
perbankan
syariah
dilandasi
dengan
kehadiran
dua
gerakanrenaissance Islam modern : neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian
lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk
mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Quran dan As-sunnah.
Upaya awal penerapan system profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia
sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara konvensional.
Rintisan institusional lainnya adalah IslamicRural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di
Kairo, Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank islam tumbuh dengansangat pesat.
Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank,
hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroprasi di seluruh
dunia, baik di Negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, maupun Amerika.
Suatu hal yang patut dicatat adalh saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan
International seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical Bank, GoldmanSach, dan
lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries yang berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar
modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar modal
dunia Dow Jones menerbitkan Islamic Dow Jones Index. Oleh karena itu, tak heran jika Scharft,
mantan direktur utama Bank Islam Denmark yang Kristen itu, menyatakan bahwa Bank Islam
adalah parten baru pembangunan.
1. Mit Ghamr Bank
Rintisan perbankan syariah mulai mewjud di Mesir pada decade 1960-an dan beroprasi
sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang
delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar
tersebut hanya beroperasi Pendanaan Mesir dan berskala kecil, namun instansi tersebut
mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan system financial dan
ekonomi Islam.
2. Islamic Development Bank
Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi konferensi Islam di Karachi,
Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank
syariah. Proposal yang disebut Studi tentang Pendirian Bank Islam Internasional untuk
Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development)
dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks), dikaji para ahli
dari delapan belas Negara islam.
Proposal tersebut intinya mengusulkan bahwa system keuangan berdasarkan bunga harus
digantikan dengan suatu system kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun
kerugian. Proposal tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam
International dan Federasi Bank Islam.
Proposal tersebut antara lain mengusulkan untuk :
a. Mengatur transaksi komersial antara Negara Islam;
b. Mengatur institusi pembangunan dan investasi;
c. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antarbank sentral di Negara
islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya system ekonomi Islam yang terpadu;
d. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syariah di Negara islam;
e. Mendukung upaya-upaya bank sentral di Negara islam dalam hal pelaksanaanpelaksanaan kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam;
f. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat;
g. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Negara islam.
Selain ha tersebut, diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan
Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of
Islamic Countries). Badan tersebutakan berfungsi sebagai berikut.
a. Mengatur investasi modal Islam
b. Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di Negara Islam.
c. Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.
d. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk
investasi regional di Negara-negara Islam.
Sebagai rekomendasi
tambahan, proposal tersebut mengusulkan pembentukan
perwakilan-perwakilan khusus, yaitu Asosiasi Bank-Bank Islam (Association of Islamic
Bank) sebagai badan konsultif untuk masalah-masalah ekonomi dan perbankan syariah.
Tugas badan ini di antaranya menyediakan bantuan teknis bagi Negara-negara Islam
yang ingin mendirikan bank syariah dan perbankan syariah. Bentuk dukungan teknis
tersebut dapat berupa pengiriman para ahli ke Negara tersebut, penyebaran atau
sosialisasi system perbankan islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman antar
Negara islam.
Para Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973, usulan tersebut
kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan agar OKI mempunyai bidang
yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli
yang mewakili Negara-negara islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk
membicarakan pendirian bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, di bahas pada pertemuan kedua, Mei 1974.
Sidang Mentri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian Bank
Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar
dinar Islam atau ekuivalen 2 miliar SDR (Special Drawing Right). Semua Negara
anggota OKI menjadi anggota IDB.
Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena masalah
politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat, dari 22 menjadi 43
negara. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan Negara-negara islam untuk pembangunan. Bank ini
memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan kepada
Negara anggota berdasarkan partisipasi modal Negara tersebut. Dana yang tidak
dibutuhkan dengan segera digunakan bagi perdagangan luar negeri jangka panjang
dengan menggunakan system murabahah dan ijarah.
3. Islamic Research and Training Institute
IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai Negara. Untuk pengembangan
system ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah institute riset dan pelatihan untuk
pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam bidang perbankan
maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (Islamic Research an Training
Institute).
Pembentukan bank-bank syariah
Berdirinya IDB telah memotivasi banyak Negara islam untuk mendirikan lembaga keuangan
syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan pandian tentang
pendirian, peraturan dan pengawasan bank syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil.
Pada akhir periode 1970-an dan awal decade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di
Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki.
Secara garis besar, lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan ke dalam dua kategori.
Pertama, bank Islam komersial (Islamic Comercial Bank). Kedua, lembaga investasi dalam
bentuuk international holding companies.
Bank-bank yang masuk kategori pertama diantaranya:
1. Faisal Islamic Bank
2. Kuwait Finance House
3. Dubai Islamic Bank
4. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment
5. Bahrain Islamic Bank,
6. Islamic International Bank for Investment and Development (Mesir).
Adapun yang termasuk kategori kedua
1. Daar al-Maal al-Islami (Jenewa)
2. Islamic Investment Company of the Gulf,
3. Islamic Investment Company (Bahama),
4. Islamic Investment Company (Sudan),
5. Bahrain Islamic Investment Bank (Manama),
6. Islamic Investment House (Amman).
1.4 Perkembangan Bank-Bank Syariah di Berbagai Negara
1.
PAKISTAN
Pakistan merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli 1979, system
bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi: National Investment (Unit Trust), House
Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan), Mutual Fund of the
Investment Corporation of Pakistan (kerjasama investasi). Pada 1970-80, pemerintah
mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan nelayan.
Pada tahun 1981, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Perusahaan
Mudharabah dan Murabahah, mulailah beroperasi tujuh ribu cabang bank komersial nasional
di seluruh Pakistan dengan menggunakan system perbankan Pakistan dikonversi dengan
system yang baru, yaitu system perbankan syariah.
2.
MESIR
Bank syariah yang pertama didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank. Bank ini
mulai beroperasi pada bulan Maret 1978 dan berhasil membukukan hasil mengesankan
dengan total asset sekitar 2 miliar dolar AS pada 1986 dan tingkat keuntungan sekitar 106 juta
dolar AS. Selain Faisal Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank for
Investment and Development yang beroperasi dengan menggunakan instrument keuangan
Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik sebagai bank investasi
(investmen bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank komersial (commercial
bank).
3.
SIRPUS
Faisal Islamic Bank of Kibris (Sirpus) mulai beroperasi pada Maret 1983 dan
mendirikan Faisal Islamic Investment Corporation yang memiliki 2 cabang di sirpus dan 1
cabang di Istambul. Dalam sepuuh bulan awal operasinya, bank tersebut telah melakukan
pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar TL 540 juta (TL atau Turkey Lira, mata
uang Turki).
Bank ini juga melaksanakan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah,
dengan tingkat keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran bank Islam di
Surpus telah menggerakan masyarakat untuk menabung. Bank ini beroperasi dengan
mendatangi desa-desa, pabrik, dan sekolah dengan menggunakan kantor kas (mobil) keliling
untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain kegiatan-kegiatan di atas, mereka juga
mengelola dana-dana lainnya seperti al-qardhul hasan dan zakat.
4.
KUWAIT
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan
system tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukan
perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana masyarakat
yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474 juta. Pada akhir tahun
1985, total asset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta
(satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4 hingga 5 dolar US).
5.
BAHRAIN
Bahrain merupakan off-shore banking heaven di Timur Tengah. Di negeri yang hanya
berpenduduk tidak lebih dari 660.000 jiwa (per Desember 1999) tumbuh sekitar 220 local dan
off-shore banks. Tidak kurang dari 22 diantaranya beroperasi berdasarkan syariah. Di antara
bank-bank yang beroperasi secara syariah tersebut adalah Citi Islamic Bank of Bahrain,dan alBarakah Bank.
6.
UNI EMIRAT ARAB
Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor perkembangan bank syariah.
Didirikan pada tahun 1975. Investasinya meliputi bidang perumahan, proyek-proyek industry,
dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan
yang lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional.
7.
MALAYSIA
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syariah pertama di Asia
tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30% modal merupakan milik
pemerintahfederal. Hingga akhir 1999, BIMB telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang
yang tersebar hamper di setiap Negara bagian dan kota-kota Malaysia, BIMB telah tercatat
sebagai listed-public company dan mayoritas sahamnya dikuasai oleh Lembaga Urusan dan
Tabungan Haji.
Pada tahun 1999, disamping BIMB telah hadir satu bank syariah baru dengan nama
Bank Putera Muamalah. Bank ini merupakan anak perusahaan dari Bank Bumi Putera yang
baru saja melakukan merger dengan Bank of Commerce.
Dinegeri jiran ini, di samping full pledge Islamic banking, pemerintah Malaysia
memperkenankan juga system Islamic window yang memberikan layanan syariah pada bank
konvensional.
8.
IRAN
a. Ide pengembangan perbankan Syariah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak revolusi
Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan
dalam arti riil baru dimulai sejak januari tahun 1984.
b. Berdasarkan ketentuan / undang-undang yang disetujui pemerintahpada bulan Agustus 1983.
Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar
lebih dari 100 miliar rial yang diadministrasikan sesuai dengan system syariah.
c. Islamisasi system perbankan di Iran ditandai dengan nasionalisasi seluruh industry
perbankan yang dikelompokan menjadi dua kelompok besar : (1) perbankan komersial, (2)
lembaga pembiayaan khusus. Dengan demikian, sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Perbankan Islam (1983), seluruh system perbankan di iran otomatis berjalan sesuai syariah
dibawah control penuh pemerintah.
9.
TURKI
Sebagai Negara yang berideologi sekuler, Turki termasuk negeri yang cukup awal
memiliki perbankan syariah. Pada tahun 1984, pemerintah Turki memberikan izin
kepada Daar al-Maal al-Islami (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi
berdasarkan prinsip bagi hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank syariah
diatur dalam satu yurisdiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan Desember 1984
didirikan pula Faisal Finance Institution dan mulai beroperasi pada bulan April 1985.
Disamping dua lembaga tersebut, Turki memiliki ratusan jika tidak ribuan lembaga
waqaf (vaqfi organiyasyonu) yang memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan pada
masyarakat.
1.5 Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
1.5.1 Latar Belakang Bank Syariah
Berkembangnya bank-bank syariah
dinegara –negara islam berpengaruh
keindonesia. Pada periode awal 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar
ekonomi islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
Karnaen A. Perwataatmadja,M. Dawam Raharjo,A.M. Saefuddin,M. Amin Azis dan lain
lain. Beberapa ujicoba pada skala yang relative terbatas telah diwujudkan. Di antaranta
adalah baitul tamwil-salman,Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan, dijakarta
dibentuk juga lembaga serupa berbentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi , prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank islam di Indonesia yang
baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20
agustus 1990 mengadakan lokakarya bunga bank pada perbankan di cisarua, bogor, jawa
barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas dalam pada musyawarah nasional MUI yang
berlangsung dihotel syahid Jakarta, 22-25 agustus 1990. Berdasarkan amanat munas MUI
dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut tim perbankan MUI. Bertugas melakukan pendekatan
dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
1.5.2 PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bang muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbanakan MUI . akte
pendirian Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tangagal 1 november 1991. Pada
saat penandatanganan akte ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84
milliar.
Pada tanggal 3 november 1991, dalam acara sillaturrahmi presiden di istana bogor,
dapat dipenuhi dengan total komitmen modal setor awal sebanyak Rp 106.126.382.000.00.
dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 mei 1992, bank muamalat Indonesia telah
memiliki lebih dari 45 uotlet yang tersebar dijakarta. Bandung, Semarang, Surabaya,
Balikpapan dan makasar.
Pada awal pendirian landasan hukum dan bank muamalat Indonesia, keberadaan
bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan
nasional. Landasan hokum operasi bank yang berlandasan syariah ini hanya dikategorikan
sebagai ―bank dengan sistem bagi hasil‖, tidak terdapat rincian hukum syariah serta usahausaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dalam UU No.7 tahun 1992,
dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu.
1.5.3 Era Reformasi dan Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya
undang-undang No.19 tahun 1998. Dalam UU ini tersebut juga jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diiplementasikan oleh bank syariah. UU tersebut juga memberikan arahan
kepada bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi diri
serta secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah
bank mulai melakukan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para staf nya.
Sebagian bank berkeinginan menkonversi diri sepenuhnya untuk menjadi bank syariah. Hal
ini diantisipasi oleh bank Indonesia dengan mengadakan ―pelatihan pebankan syariah‖bagi
para pejabat bank Indonesia dan segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung
seperti DPNP (direktorat penelitian dan pengaturan perbankan)

Bank Umum Syariah
Bank Syariah mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang
melandaskan prinsip operasionalnya berlandaskan syariah. Secara structural, BSM berasal
dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai anak perusahaan dalam ruang lingkup bank mandiri.
Yang kemudian dikonversi menjadi bank syariah secara penuh, dalam rangka melancarkan
proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerjasama dengan Tazkia Institute,
terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.
Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh bank mandiri yang memiliki asset ratusan
triliun dan networking yang luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatifdibanding
pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik diaceh menjadi blessing dan disguise
bagi BSM. Karna BSM akan menyerahkan seluruh cabang bank mandiri yang ada di aceh
kepada BSM untuk dikelola seca syariah. Perkembangan ini diikuti pula dengan
peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi 20 buah.

Cabang Syariah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan perbankan syariah diindonesia pasca revormasi adalah
diperkenalkannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi bank syariah.
Beberapa bank yang telah membuka cabang syariah diantaranya adalah:
o Bank IFI (mambuka cabang pada juni 1999)
o Bank Niaga (akan membuka cabang syariah)
o Bank BNI 46 (telah mambuka 5 cabang syariah)
o Bank BTN (akan membuka cabang syariah)
o Bank Mega ( akan menkonversi salah satu bank konvensional- anak perusahaannya
untuk menjadi bank syariah)
o Bank BRI (akan membuka cabang syariah)
o Bank Bukopin (akan melakukan program konversi untuk cabang aceh)
o BPD JABAR (telah membuka cabang stariah di Bandung)
o BPD aceh (tengah menyediakan SDM untuk mnekonversi cabang)
1.6. Kesimpulan
Setelah kita menelusuri secara singkat sejarah praktik perbankan yang dilakukan oleh umat
Muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fiqih Islam tidak
mengenal kata ―bank‖, tetapi sesungguhnya bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi
perbankan modern telah dipraktikan oleh umat Muslim, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad
Saw. Praktik-praktik fungsi perbankan ini tentunya berkembang secara berangsur-angsur dan
mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tetentu, seiring dengan naik turunnya
peradaban umat Muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu
konsep yang yang asing bagi umat Muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank
modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan
insya Allah akan menjadi lebih mudah.
Pertanyaan
1. Mengapa perkembangan perbankan syariah di indonesia lebih lambat dibandingkan dengan
Negara lain????
2. Apakah perbedaan BMT pada zaman rasuluallah dengan perbankan syariah pada saat
sekarang ini???
3. Kalau kita lihat mengapa perkembangan BMT pada saat sekarang ini sangat lambat
perkembangan nya dibandingkan dengan perbankan syariah???
REFERENSI
Antonio, Syafi‘i, M.2001.Bank syariah dari teori ke praktek.Jakarta: Penerbit Gema Insani Pers.
Bulletin ekonomika dan bisnis islam (LEBI) FEB UGM
http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_syariah/sejara_perbankan_syariah
BAB II
PERBEDAAN ANTARA BANK SYARIAH DAN BANK
KONVENSIONAL
Bertolak dari pemikiran yang menyatakan bahwa bunga bank identik dengan riba, para
ekonom muslim berusaha untuk membebaskan semua kegiatan ekonomi dari unsur riba yang
dilaknat dalam semua aama ini. Salah satu usaha tersebut adalah dengan mendirikan berbagai
lembaga keuangan bank dan non bank yang terbebas dari unsur bunga dengan mengunggulkan
sistem profit and loss sharing. Hal inilah yang menjadi pembeda utama antara bank syariah dan
bank konvensional. Bab ini banyak membahas perbedaan teori dan praktek bank Syariah dan
konvensional, sistem operasional bank syariah, dan juga produk bank syariah dengan tujuan untuk
menarik kesimpulan tentang perbedaan antara kedua sistem perbankan ini. Tujuan mempelajari
bab ini adalah menjelaskan perbedaan mendasar operasional bank syariah dan konvensional
dan menjelaskan akad, aspek dan struktur organisasi
2.1 Pendahuluan
Perkembangan Bank Konvensional, diawali ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktik
perbankan yang berbasis bunga. Dan hal itu diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia
ini,termasuk di negara muslim sekalipun, Karena sudah berabad-abad lamanya (kurang lebih 450
tahun) perbankan konvensional beroperasi diseluruh dunia, sehingga sistem perbankan
konvensional ini tidak bisa lepas dari seluruh aktifitas ekonomi masyarakat dunia dan ini sangat
sulit dilakukan pergeseran paradigma ke sistem yang baru. Karena sistem konvensional ini telah
mengakar dan sangat mapan serta produk-produknya sangat sophisticated dan berteknologi tinggi.
Namun belakangan, timbul sebuah pemikiran dari ekonom muslim untuk menganalisa keidentikan
bunga bank konvensional dengan riba yang dilarang dalam Islam. Sehingga pemikiran ekonom
muslim tersebut menimbulakn banyak buku-buku fiqh Islam yang membahas tentang bunga
perbankan konvensional ini.
Bertolak dari fiqih Islam bahwa bunga bank konvensional dikategorikan sebagai riba, mulai
timbul usaha-usaha sejumlah negara muslim untuk mendirikan lembaga alternatif terhadap bank
yang ribawi ini. Hal ini terjadi setelah bangsa-bangsa muslim mendapatkan kemerdekaannya dari
penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga
pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 40-an, kemudian eksperimen lainya
dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 50-an, dimana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga
didirikan di pedesaan negara itu. Eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan
inovatif dimasa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamer
Local Saving Bank.
Pada perkembangan selanjutnya di era 70-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam
mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan, mengubah
seluruh sistem keuangan di negara itu menjadi sistem tanpa bunga. Negara mayoritas Islam lainnya,
seperti Malaysia dan Indonesia, bank syariah beroperasi berdampingan dengan bank-bank
konvensional. Perkembangan bank syariah, tidak hanya di negara-negara berpenduduk mayoritas
Islam, tetapi juga di negara-negara dengan penduduk mayoritas non Islam pun banyak yang
membuka bank syariah.
2.2 Prinsip Operasional Perbankan Syariah
Dalam operasionalnya perbankan syariah menjadikan prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi
Islam sebagai dasar operasionalnya. Di antara yang paling menonjol dari sistem ekonomi Islam
adalah tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk tujuan
komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan / kerjasama(mudharabah
dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedangkan peminjaman uang hanya dimungkinkan
untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun. Didalam menjalankan operasinya fungsi bank
Islam akan terdiri dari:

Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan
oleh pemegang rekening investasi / deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan
kebijakan investasi bank.

Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana / sahibul mal sesuai
dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak
sebagai manajer investasi)

Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah

Sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta
penyaluran dana kebajikan ( fungsi optional )
Dari fungsi tersebut maka mekanisme operasional bank syariah sebagai bank yang bebas
bunga dan sesuai dengan prinsip syariah Islam baik dari segi penghimpunan dana, maupun
penyaluran dana adalah sebagai berikut:
2.2.1 Prinsip mudharabah
Yaitu perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana/sahibul mal
dan pihak kedua sebagai pengelola dana/mudharib untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan
menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh sedangkan kerugian yang
timbul adalah resiko pemilik dana sepanjang tidak terdapat bukti bahwa mudharib melakukan
kecurangan atau tindakan yang tidak amanah (misconduct) Berdasarkan kewenangan yang
diberikan kepada mudharib maka mudharabah dibedakan menjadi mudharabah mutlaqah dimana
mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki,
sedangkanjenis yang lain adalah mudharabah muqayyaddah dimana arahan investasi ditentukan
oleh pemilik dana sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana/pengelola.
2.2.2 Prisip Musyarakah
Yaitu perjanjian antara pihak-pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan
ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati Musyarakah
dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir
masa proyek.
2.2.3 Prinsip Wadiah
Adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua
selaku penerima titipan dengan konsekuensi titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali,
dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka
wadiah dibedakan menjadi wadiah yad dhamanah yang berarti penerima titipan berhak
mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan
untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat
diperlukan, sedang disisi lain wadiah amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima
titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan.
2.3 Prinsip Jual Beli (Al Buyu')
Dalam prinsip jual beli terdiri dari:
a. Murabahah: yaitu akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual
menyepakati harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan
keuntungan bagi penjual. Murabahah dapat dilakukan secara tunai bisa juga secara bayar
tangguh atau bayar dengan angsuran.
b. Salam: yaitu pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan
kemudian
c. Ishtisna': yaitu pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk
pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan dimuka sekaligus
atau secara bertahap.
2.4 Prinsip fee (Jasa-Jasa)
Jasa yang disediakn oleh bank syariah terdiri dari :

Ijarah: yaitu kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa, bila
terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebut Ijarah mumtahiya
bi tamlik(sama dengan operating lease).

Wakalah: yaitu pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil)
untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi.

Kafalah: yaitu pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan
oleh pihak kedua sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama
menerima imbalan berupa fee atau komisi (garansi).

Sharf: yaitu pertukaran /jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera /spot
berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.
2.5 Prinsip Kebajikan
Yaitu penerimaan dan penyaluran dana kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah dan
lainnya serta penyaluran alqardul hasan yaitu penyaluran dan dalam bentuk pinjaman untuk tujuan
menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali
pengembalian pokok hutang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produk-produk bank syariah antara lain:
Penghimpunan dana
a. wadiah
Penyaluran dana
4. piutang
Jasa-jasa
1. rahn

Giro

qard
2. wakalah

Tabungan

murabahah
3. kafalah

salam
4. sharf
b. mudharabah

1. Tabungan
2. Deposito
istisna
b.investasi
1. mudharabah
a) muthlaqah
b) muqayadah
2. musyarakah
c. sewa
1. ijarah
2. IMBT
2.6 Perbedaan Perbankan syariah dan konvensional
Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau prinsip agama Islam.
Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank
syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan
keadilan. Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain dari
segi akad dan legalitas, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingungan kerja.
Untuk lebih jelas bab ini mencoba untuk memaparkan secara jelas tentang perbedaan
tersebut sebagai berikut;
o Aspek Akad dan Legalitas
Dalam Bank Syariah, akad/perjanjian yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani
melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum
positif belaka, tetapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga
di yaumil qiyamah nanti. setiap akad yang dilakukan dalam perbankan syariah harus memenuhi
syarat dan rukun sesuai dengan akad yang dilakukan.
o Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, dalam perbankan syariah lembaga penyelesaian
sengketa/perselisihan antara Bank syariah dengan nasabah dapat diselesaikan melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau Pengadilan Agama, sedangkan pada Bank
Konvensional penyelesian sengketa/perselisihan dengan nasabah melalui Pengadilan Negeri.
o Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Bank Syariah selain mempunyai Dewan Komisaris dan Direksi seperti
halnya Bank Konvesnional, diharuskan pula memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
bertugas untuk mengawasi dan memastikan bahwa operasional dan produk-produk Bank Syariah
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam, sedangkan di Bank Konvensional didalam struktur
oerganisasinya tidak diharuskan memiliki Dewan Pengawan Syariah (DPS).
Adapun fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut:
 Mengawasi operasional sehari-hari agar semua aktivitas yang dilakukan sesuai dengan
prinsip syariah.
 Membuat pernyataan secara berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai
dengan syariat
 Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang di awasi.
Mekanisme kerja DPS
DPS
Rapat DPS dengan direksi
dan dep terkait
jawaban
pengajuan
rancangan produk
implementasi dan sosialisasi
instruksi
DEP TERKAIT
DIREKSI
usulan
Sedangkan fungsi Dewan Syariah Nasional dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah
2. meneliti dan mengeluarkan fatwa bagi produk-produk yang dikeluarkan oleh bank syariah
3. memberikan rekomendasi para ulama yang bertugas pada dewan syariah nasional pada suatu
lembaga keuangan syariah
4. memberikan teguran kepada lembaga jika menyimpang dari syariat
Mekanisme kerja DSN
Pembahasan
pembahasan
pengajuan
rapat dg DPS
pengajuan
PELAKSANA
PLENO
DSN
DPS SEBAGAI
WAKIL DSN
DSN
jawaban
jawaban
jawaban
insruksi
BAG.TERKAIT
DIREKSI
usulan
pengajuan
o Pengelolaan Modal Milik Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi.
Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito
merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah
membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat
likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi
yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan
maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut
diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap
kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula
risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik
keuntungan maupun risiko.
Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana
nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan
atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang
diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang
disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha
semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya.
Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank
kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank
diinvestasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda
dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan
ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya.
Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima
nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank
syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional,
keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah
keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang
disimpannya saja.
o Lingkungan Kerja
Sebagai lembaga keuangan yang berbasis syariah, lingkungan kerja bank syariah harus
memiliki lingkungan kerja yang bernuansa syariah juga. karyawan bank syariah harus memiliki
sifat uswatun hasanah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. seorang karyawan harus
memiliki sifat amanah, dan shidiq sehingga tercermin sifat integritas eksekutif muslim yang baik.
disamping itu karyawan bank syariah harus memiliki skill full dan profesional (fathanah), dan
mampu melakukan tugas secara team work dimana informasi merata di seluruh fungsional
organisasi (tabligh). seperti itu pula halnya pemberian penghargaan dan hukuman bagi karyawan
terkait harus dilandasi oleh prinsip keadilan sesuai dengan ketentuan syariat.
Selain sifat kepribadian karyawan di atas, lembaga keuangan syariah juga memiliki aturan
dalam berpakaian untuk karyawannya, semua karyawan harus memakai pakaian yang sesuai dengan
aturan syariat, sehingga tidak ada aurat yang diperlihatkan dalam dunia kerja. Demikian pula dalam
menghadapi nasabah, nasabah adalah orang yang harus dilayani dengan rasa hormat, santun dan
sopan. selalu awali pertemuan dengan nasabah dengan senyum. Lebih jelasnya perbedaan antara
bank syariah dan bank konvensional dapat dijelaskan melalui tabel berikut:
Perbedaan Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Elemen
Bank syariah
Bank konvensional
Dasar operasi
1. berbasis hukum islam 6. berbasis materialisme
2. uang = alat tukar
3. tidak ada bunga
4. menggunakan
hasil
digunakan
sebagai komoditas
bagi 8. berdasarkan bunga
berbasis 9. berdasarkan
transaksi riil
5. bebas
7. uang
dari
hukum
positif
unsur 10. tidak
ada
batasan
haram
(spekulasi,
haram
penipuan, suap, dan
riba)
Peran dan fungsi
7. intermediary
10. intermediary
8. agen investasi
11. lending – borrowing
9. hubungan kemitraan
dengan bunga
12. hubungan debitur dan
kreditur

Resiko bisnis
berbagi resiko antara 
resiko
bank
nasabah
berhubungan langsung
konsep
dengan nasabah dan
dan
dengan
keadilan,
kejujuran,
terhindar
tidak
sebaliknya

dan keterbukaan

bank
dari
dapat terjadi negative
spread
negative spread
Perbedaan yang paling mencolok dari semua perbedaan itu adalah basisi pengambilan
keuntungan dari bank tersebut. Kalau bank konvensional mengambil bunga yang ditetapkan di
awal, dimana semua agama pada dasarnya menentang kehadiran bunga. Sedangkan bank syariah
mengambil keuntungan dengan prinsip bagi hasil, atau lebih dikenal dengan prifit and loss sharing.
lebih jelas, dapat dijelaskan perbedaan antara bunga dan bagi hasil seperti dalam tabel berikut:
Perbedaan Bungan Dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
penentuan bunga dibuat di awal h. penentuan
akad
dengan
asumsi
bahwa
nisbah
bagi
hasil
ditentukan di awal akad dengan
nasabah yang meminjam uang dari
berpedoman
bank
untung rugi proyek yang dijalankan.
ataupun
bank
sebagai
pada
kemungkinan
pengelola dana nasabah selalu
untung. tidak mengenal adanya
kerugian.
besarnya presentase keuntungan i. besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
berdasarkan pada besarnya jumlah
besarnya keuntungan yang diperoleh
uang yang dipinjamkan. sehingga
dalam pengelolaan sebuah proyek
makin
besar
uang
yang
dipinjamkan
semakin
besar
presentase kuntungan.
pembayaran bunga tetap seperti j. bagi
hasil
tergantung
kepada
yang dijanjikan di awal tanpa
keuntungan proyek yang dijalankan,
membertimbangkan apakah proyek
jika proyek yang dijalankan rugi,
yang dijalankan untung atau rugi.
maka kerugian ditanggung bersama.
jumlah pembayaran bunga tidak k. jumlah bagi hasil meningkat sesuai
meningkat
keuntungan
meskipun
yang
jumlah
didapatkan
meningkat atau keadaan ekonomi
dengan
peningkatan
pendapatan.
semakin tinggi pendapatan, semakin
tinggi bagi hasil yang didapat.
sedang booming
eksistensi bunga diragukan oleh l. tidak
setiap agama
ada
yang
meragukan
ke
absahan bagi hasil
2.7 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antar
perbankan syariah dan perbankan konvensional, baik dari segi akad, legalitas, lembaga penyelesaian
sengketa, struktur organisasi, cara pengelolaan dana, dan lingkuan dan etika kerja dalam lembaga
keuangan yang berbasis syariah. Selain itu terdapat perbedaan yang sangat mencolok dari sistim
operasional bagi hasil, dimana tidak ada keraguan bagi semua agama tentang hal tersebut,
sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga, yang semua agama meragukan
keabsahan sistem ini.
Dari perbedaan tersebut dapat juga disimpukan bahwa dalam operasionalanya bank syariah
lebih memiliki keadilan dalam distribusi kekayaan, baik itu distribusi keuntungan atau marjin,
maupun distribusi pembiayaan yang tidak terlalu menyulitkan nasabah. Selain itu bank syariah juga
memiliki perhatian yang khusus terhadap karyawannya. Singkat kata, bank syariah lebih adil dalam
setiap operasionalnya.
SOAL LATIHAN
1. Jelaskan fungsi bank syariah dalam menjalankan opersionalnya!
2. Jelaskan prinsip operasional bank syariah!
3. Jelaskan perbedaan mendasar antara perbankan syariah dan perbankan konvensional!
Kemudian gunakan matrik untuk menyimpulkan penjelasan anda!
4. Jelaskan mekanisme DSN dalam perbankan syariah!
5. Jelaskan perbedaan bunga dan bagi hasil dengan menggunakan matrik!
6. Ada rumor di kalangan masyarakat, bahwa produk perbankan syariah adalah hasil
pengkloningan dari produk perbankan konvensional yang di ubah versi dan namanya. Apakah
rumor ini benar? Jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
 Antonio, Muhammad Syafi‘i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. 2001. Jakarta: Gema Insani
Press
 Sholahuddin, Muhammad. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. 2006. Surakarta:
Muhammadiyah Universiti press.
 Djazuli,A. Lembaga-Lembaga Perekonomian Rakyat. 2002. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
 PKES. Perbankan Syariah.2006. Jakarta: Gd Arthaloka
BAB III
RIBA GHARAR DAN JENIS TRANSAKSI YANG DILARANG
Dalam ibadat kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada
ketentuannya berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Sedangkan dalam urusan muamalat,
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi
baru muncul dimana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut
dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadist yang melarangnya
secara eksplisit maupun implisit. Jadi dalam bidang muamalat, semua transaksi dibolehkan kecuali
yang diharamkan. Bab ini menguraikan larangan riba dan beberapa jenis transaksi yang
diharamkan dalam dunia perbankan.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menjelaskan
definisi riba, gharar dan jenis transaksi yang dilarang dan mampu mengindentifikasi Riba, Gharar
dan Transaksi yang dilarang dalam praktik bank syariah
3.1 Pendahuluan
Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dalam Al-qur‘an dan As-Sunnah dan
telah dijelaskan segala gamblang oleh para Ulama untuk penjelasan detilnya termasuk untuk hal
ekonomi. Kehidupan masyarakat tidak akan pernah lepas dari kegiatan ekonomi. Sebagai makhluk
sosial yang saling membutuhkan, manusia akan selalu berketergantungan dengan manusia lainnya
untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Pasar merupakan tempat berinteraksinya pembeli dan penjual untuk mendapatkan barang
yang dibutuhkannya sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Mekanisme pasar
yang diatur oleh Islam adalah mekanisme yang mengakui adanya hak kepemilikan individu dengan
dipenuhinya syarat-syarat jual beli yang paling penting yaitu „an taraadhin bayna al-bai‟ wal
musytari dengan tidak menguntungkan atau merugikan salah satu pihak.
Untuk mengakomodir terlaksananya akad transaksi yang adil antara kedua belah pihak, yaitu
penjual dan pembeli, maka Islam pun menjelaskan hal-hal yang dijadikan pedoman manusia dalam
bermuamalah secara ekonomi. Dimulai dari hal yang paling dasar yaitu pelarangan riba‘ hingga
transaksi-transaksi yang bisa menyebabkan distorsi pasar seperti taghrir, tadlis, bay‘ najasy, ihtikar
dan sebagainya.
Semua penjelasan itu telah terangkum dalam kitab-kitab para ulama klasik seperti al-Qodhi
Abdul Jabbar al-Mu‘tazili (dalam buku al-Mughni fi Abwab at-Tauhid wal adl), Ibnu Khaldun (alMuqoddimah), hingga al-Ghazali yang menuangkan pemikirannya tentang mekanisme pasar dan
harga dalam bukunya Ihya „Ulumuddin. Salah satu contohnya, Al-Ghazali telah begitu revolusioner
menerangkan konsep ihtikar yang mengakibatkan ancaman dan merupakan bahaya dan kerugian
bagi semua orang. Adapun beliau menggarisbawahi pelarangan dilakukannya ihtikar hanya pada
waktu dimana kebutuhan orang begitu besar terhadap bahan makanan (dimana permintaan lebih
tinggi daripada penawaran) saja. Jika situasi normal dan semua barang kebutuhan tersedia
melimpah ruah di pasar, maka larangan ihtikar menjadi hilang karena bahaya yang ditimbulkannya
tidak tampak dalam kenyataan.
Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor di bawah ini:
1. Haram zatnya / haram li-dzatihi
2. Haram selain zatnya / haram li ghairihi
3. Tidak sah/lengkap akadnya
3.2 Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic
riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan
riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Pelarangan Riba dilakukan oleh semua agama, selain Islam ada nasrani dan yahudi yang jelasjelas menolaknya seperti yang tertuang dalam kitab sucinya :
1. Al-Qur‘an
َ َ‫ضا َعفَةً َواتَّقُىا هللاَ نَ َعهَّ ُك ْم تُ ْف ِه ُحىن‬
ْ َ‫َا أَ ُّي َها انَّ ِريهَ َءا َمىُىا الَ تَأْ ُكهُىا ان ِّستَا أ‬
َ ‫ض َعافًا ُّم‬
―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan‖ (QS. Ali
Imran:130).
َ { َ‫آأَيُّ َها انَّ ِريهَ َءا َمىُىا اتَّقُىا هللاَ َو َذ ُزوا َماتَقِ َي ِمهَ ان ِّستَا إِن ُكىتُم ُّم ْؤ ِمىِيه‬278 ‫} فَئِن نَّ ْم‬
َ‫وض أَ ْم َىانِ ُك ْم الَ تَ ْظهِ ُمىنَ َوال‬
ُ ‫سىنِ ًِ َوإِن تُ ْثتُ ْم فَهَ ُك ْم ُز ُء‬
ُ ‫ب ِّمهَ هللاِ َو َز‬
ٍ ‫تَ ْف َعهُىا فَأْ َذوُىا تِ َح ْس‬
ْ ُ‫ت‬279}
{ َ‫ظهَ ُمىن‬
―Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya‖. (QS. Al Baqarah: 278-279)
2. Hadits

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: ―Riba adalah tujuh puluh
dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina
dengan ibunya.‖ (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: ―Riba mempunyai tujuh puluh tiga
pintu (cara,macam).‖ (HR. Ibn Majah).

Diriwayatkan oleh Samura bin Jundab bahwa Rasulullah SAW bersabda, ―Malam
tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke tanah suci. Dalam
perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri
seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan
batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi
laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan
memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ―Siapakah itu ?‖, Aku
diberitahu, bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan
riba‖. (HR.Bukhari)

Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang
yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
Beliau bersabda, ―Mereka itu semuanya sama‖. (HR.Muslim).
3.3 Nashrani
Kitab Ulangan 23 : 19 - 20
― Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan
atau apapun yang dapat dibungakan. Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi
dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga…
3.4 Yahudi
▪ Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
―Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.‖
▪ Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
―Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah
engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.‖
3.5 Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutangpiutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi‘ah. Mengenai
pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami: ―Bahwa riba itu terdiri dari tiga
jenis, yaitu riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat
yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma‘
berdasarkan nash al Qur‘an dan hadits Nabi.‖

Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).

Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasi‘ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan
jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi‘ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian.
3.6 Jenis Barang Ribawi

Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan
panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan
kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.

Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
3.7 Gharar / Taghrir
Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berari : akibat, bencana, bahaya, resiko, dan
ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi
buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang
mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa
memikirkan konsekuaensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi
dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete
information yang terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir
terjadi bila ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties).
Dalam ilmu ekonomi, taghrir lebih dikenal dengan sebutan uncertainty (ketidakpastian) atau
resiko. Dalam situasi ketidakpastian, ahanya ada satu hasil atau kejadian yang akan muncul dengan
probabilitas sebesar 1. gambaran grafisnya dapat dilihat di bawah ini, dimana hanya ad satu
kejadian yang muncul (yaitu A) dengan probabilitas sebesar 1.
Probabilitas
1,0
0,0
A
Hasil
Jika di lain pihak muncul ketidakpastian lebih dari satu hasil atau kejadian, maka
akan muncul dengan probabilitas yang berbeda-beda (misalnya, probabilitas A = 0,5, B=0,25
dan C=0,5) . Situasi ketidakpastian ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Probabilitas
0,5
0,25
0,0
A
B
C
Hasil
Contoh Kasus Berdasarkan Macam-macam Taghrir :

Taghrir dalam Kuantitas
Contoh yang paling sering kita temukan adalah system ijon. Misalnya, petani sepakat untuk
menjual hasil panennya (beras dengan kualitas A) kepada tengkulak dengan harga Rp 750.000,00
padahal pada saat kesepakatan dilakukan, sawah si petani belum dapat dipanen. Dengan demikian,
kesepakatan jual beli dilakukan tanpa menyebutkan spesifikasi mengenai berapa kuantitas yang
dijual padahal harga sudah ditetapkan. Maka dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidakpastian
menyangkut kuantitas barang yang ditransaksikan.

Taghrir dalam Kualitas
Contoh sederhana adalah menjual anak sapi yang masih dalam kandungan induknya. Penjual
sepakat menyerahkan anak sa[pi tersebut segera setelah anak sapi lahir seharga Rp 1.000.000,00.
dalam hal ini, baik si penjual maupun si pembeli tidak dapat memastikan kondisi fisik anak sapi
tersebut bila nanti sudah lahir. Apakah akan lahir normal, cacat, atau lahir dalam keadaan mati.
Maka, terjadilah ketidakpastian yang menyangkut kualitas barang atau objek yang ditransaksikan.

Taghrir Harga
Ketika seorang Ibu ingin membeli panic , penjual mengatakan bahwa harga panic tersebut
Rp 10.000 jika dibayar tunai dan Rp 50.000 jika di bayar kredit selama 5 bulan. Dalam hal ini,
terjadi ketidakpastian dalam harga karena adanya dua harga dalam satu akad yang membingungkan
pembeli. Bagaimana jika pembeli melunasi cicilannya pada bulan ke 3 atau ke 4 atau sehari
sebelum bulan ke 5? Walaupun secara kuantitas dan kualitas sudah jelas, akan tetapi seyogyanya si
pembeli dan penjual memilih harga mana yang akan disepakati untuk akad.

Taghrir Waktu Penyerahan
Apabila ada suatu barang yang diperjualbelikan akan tetapi tidak jelas kapan akan
diserahkannya barang tersebut karena beberapa alasan (hilang atrau keberadaannya tidak jelas).
Sehingga menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya akibat ketidakjelasan
waktu penyerahan objek yang ditransaksikan.
3.8 Transaksi yang dilarang :
▪ Bai’ Najasy
Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau
menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Si penawar sendiri tidak
bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang
benar –benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual
untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnnya dengan harga yang
tinggi pula dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi ―permintaan palsu‖ (false demand).
Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara alamiah. Penjelasan grafis bai‘ najasy
diperlihatkan pada gambar 1.1.
Pada awalnya, permintaan terhadap barang X digambarkan dengan kurva Do. Titik
keseimbangan terjadi pada saat Q sebesar Qo dan P sebesar Po. Kemudian, pelaku bai‘
najasy (misalkan penjual barang X) sengaja menciptakan permintaan palsu misalnya:
1. Memerintahkan temannya untuk pura-pura ingin membeli barang X dengan harga di atas
harga Po sehingga orang-orang tertarik untuk membeli barang X tersebut;
2. Menciptakan isu seakan-akan ada kelangkaan barang X sehingga harga akan naik diatas
harga Po.
Akibatnya permintaan terhadap barang X seakan-akan meningkat. Kurva demand
palsu bergeser kearah kanan atas, dari Do menjadi Df. Peningkatan permintaan ini
menyebabkan peningkatan harga yang tidak alamiah, dari Po menjadi Pf. Akibatnya, pelaku
bai‘ najasy dapat menikmati tambahan profit diatas normal profit dengan cara rekayasa
tersebut. Revenue sebelum najasy dilakukan adalah sebesar Po*Qo. Setelah najasy
dilakukan, revenue bertambah menjadi Pf*Qf. Tambahan revenue ini merupakan revenue
haram.
P
S
Titik keseimbangan
pasar
Pf
Po
Tititk keseimbangan
pasar yang terdistorsi
Df
0
Qo
Do
Qf
Q
Gambar 1.1 Bai’ najasy (false demand)
Contoh bai‘ najasy banyak sekali. Pada waktu Indonesia dilanda krisis moneter 1997
misalnya, terjadi isu kelangkaan pangan. Karena takut kehabisan persedian beras, maka masyarakat
(terutama di kota-kota besar) ramai-ramai menyerbu took-toko memborong beras.
Terjadi peningkatan permintaan terhadap beras sehingga harga beras naik. Tidak lama
kemudian, media masa memberitakan bahwa persedian beras digudang-gudang bulog melimpah.
Hal yang serupa terjadi pula di pasar valas dan pasar saham. Di kedua pasar yang disebut terakhir
ini, faktor isu bahkan menjadi sangat berpengaruh.
▪ Ihtikar
Ihtikar ini sering kali diterjemahkan sebagai monopoli dan atau penimbunan. Padahal
sebenarnya ihtikar tidak identik dengan monopoli dan atau penimbunan. Dalam islam, siapapun
boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain.
Menimpan stock barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli
sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly‘s rent-seeking. Jadi dalam Islam, monopoli boleh.
Sedangkan monopoly‘s rent seeking tidak boleh.
Bagaimana prilaku industri yang melakukan ihtikar? Dalam gambar 1.2 di bawah ini kita
dapat menjelaskan lebih lanjut dampak ihtikar kepada penentuan harga, jumlah kuantitas dan
keuntungan yang dapat diperoleh produsen. Hakikat dari ihtikar adalah memproduksi lebih sedikit
dari kemampuan produksinya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Misalkan kemampuan
produksi industri A adalah Qi, karena industri tersebut menghadapi pasar monopoli maka ada
kesempatan untuk memproduksi barang agar dapat keuntungan yang maksimal.
P
MC = S
X
AC
Pm
D
Pi
A
Z
B
Y
C
MR
0
Qm
AR = D
Q
Qi
Gambar 1.2 Ihtikar (monopoly’s rent seeking behaviour)
Keuntungan maksimal yang dapat diambil oleh industri yang berprilaku sebagai monopolis
(melakukan ihtikar), maka ia akan memilih tingkat produksinya ketika MC = MR, dengan jumlah Q
sebesar Qm, dan P sebesar Pm. Dengan demikian, ia memproduksi lebih sedikit, dan menjual pada
harga yang lebih tinggi. Profit yang dinikmati adalah sebesar kotak PmXYZ. Hal inilah yang
dilarang. Sebab, produsen tersebut sebenarnya dapat berproduksi dengan tingkat output yang lebih
tinggi, yaitu S = D, atau ketika MC = AR. Pada tingkat ini, jumlah barang yang diproduksi lebih
banyak, yakni sebesar Q, dan harganya pun lebih murah, yakni sebesar Pi. Tentu saja profit yang
dihasilkan lebih sedikit, yakni sebesar kotak ABCD. Selisih profit antara kotak PmXYZ dengan
kotak ABCD inilah yang merupakan monopoly‘s rent seeking yang diharamkan.
▪ Talaqi Rukban
Masih dalam pembahasan distorsi pada sisi penawaran, tindakan yang dilakukan oleh
pedagang kota (atau pihak yang lebih memiliki informasi yang lebih lengkap) membeli barang
petani (atau produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga dipasar) yang masih
diluar kota, untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga pasar yang sesungguhnya.
Rasulullah melarang hal ini, yang dalam fiqh disebut tallaqi rukban.
Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal: pertama, rekayasa penawaran yaitu
mencegah masuknya barang kepasar (entry barrier), dan kedua, mencegah penjual dari luar kota
untuk mengetahui harga pasar yang berlaku.
Inti dari pelarangan ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota
yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Mencari barang dengan
harga lebih murah tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak dimana
yang satu memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga dipasar yang
sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka
terjadilah penzaliman antara pedagang kota dengan petani diluar kota tersebut maka hal inilah yang
dilarang. Pada gambar 1.3 kita dapat melihat bagaimana dampak dari tindakan tallaqi rukban dan
pengaruhnya terhadap pembentukan harga. Dengan adanya pencegahan petani dari luar kota untuk
melakukan transaksi di dalam kota, maka kurva penawaran Sx akan berbelok vertical menjadi Str.
Keseimbangan baru akan terbentuk pada saat perpotongan antara Sx dengan Str. Sehingga harga
dikota akan mengalami peningkatan dari P* menjadi P*tr dan jumlah barang x yang tersedia dipasar
adalah Q*tr. Inilah bukti bahwa tindakan tallaqi rukban tidak hanya saja menzalimi si petani, tetapi
telah merusak keseimbangan pasar berada pada level yang lebih rendah.
Harga Barang X di Kota
Str Penawaran Barang X di Kota dengan Tallaqi Rukban
Sx Penawaran Barang X di Kota
P*tr
P*
Harga equilibrium
di kota tanpa
tallaqi rukban
Ptr
Dx Permintaan Barang X di Kota
Q*tr Q*
Jumlah Barang X di Kota
Dengan adanya praktik Tallaqi Rukban oleh pedagang Kota terhadap penjual di luar Kota, telah
mengakibatkan menurunnya jumlah barang X yang ditawarkan (Qo -> Q1). Dampak lebih lanjut harga
akan meningkat di atas harga keseimbangan pasar (Po -> P1).
Gambar 1.3 Keseimbangan Pasar dengan Tallaqi Rukban
Abu Hurairah pernah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW., bersabda:
―janganlah kau keluar menyambut orang-orang yang membawa hasil panen kedalam
kota kita.‖
Hikmah yang bias diambil dari pelarangan ini adalah pembelian hasil panen yang
merupakan komoditi yang pokok dan dibutuhkan semua orang, baik kaya maupun miskin
harus dijual secara terbuka dipasar. Hal ini untuk mencegah pembelian tunggal komoditi
pokok tersebut kepada satu pihak, dengan demikian pemerintah lebih mudah untuk
mengontrol harga dipasar.
3.9. Tadlis
Untuk menghindari penipuan, masing-masing pihak harus mempelajari strategi pihak lain.
Dalam ekonomi konvensional, hal ini dikenal dengan Game Theory yang terbagi menjadi beberapa
jenis, sebagai berikut :

ominant Strategy
Dominant strategy adalah strategi dalam sebuah permainan yang memberikan hasil
yang lebih baik daripada strategi apa pun yang diambil oleh pihak lain. Dalam strategi ini,
terdapat satu pilihan strategis yang optimal tanpa mempengaruhi pilihan untuk pihak yang
lainnya. Dominant strategy sangat disukai karena sangat mudah untuk mengetahui
tindakan apa yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak dan bagaimana hasil akhir dari
strategi yang diambil.

ash Equilibrium
Nash equilibrium adalah kombinasi strategi-strategi dalam suatu permainan di mana
tidak boleh ada satu pun pemain yang memiliki insentif untuk mengubah strategi yang
diambil oleh pihak lain. Dalam nash equilibrium, strategi yang diambil, oleh satu pihak
akan memengaruhi strategi yang harus diambil oleh pihak lain.

ixed Strategy
Mixed strategy adalah strategi di mana kedua belah pihak membuat pilihan random
dari dua atau lebih pilihan yang ada berdasarkan probability. Dalam stategi ini, keputusan
salah satu pihak akan memiliki pengaruh yang sama terhadap pihak lainnya bila dilakukan
secara terus menerus, kecuali jika ia mengubah strateginya sehingga akan menghasilkan
yang berbeda.
3.9.1. Landasan Hukum Pelarangan Tadlis
Larangan tegas dari Al-qur‘an yang melarang semua transaksi bisnis yang telah
mengandung unsure penipuan dalam segala bentuk terhadap pihak lain. Seperti dalam surat AlAn‘am : 152 yang artinya : ―Dan sempurnakanlan takaran dan timbangann dengan adil. Kami
tidak memikul beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.‖
Selain ayat Al-qur‘an tersebut, dalam kitab An-Nashaih Ad-Diniyah Wal Washaya AlImaniyah, Imam Habib Abdullah Haddad memberikan nasehat kepada kita :
―Hendaklah anda berhati-hati sekali, jangan sampai anda menipu, membelit, mengelirukan
orang ataupun menutup dan menyembunyikan cacat barang yang anda perjual belikan, karena
yang demikian itu sangat keras pengharamannya di sisi agama.‖
3.9.2. Macam-Macam Tadlis
Ada beberapa macam tadlis (penipuan) yang diharamkan yaitu (3) :
◦ Tadlis Kuantitas
Penipuan ini termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan harga barang
kuantitas banyak. Contohnya : adalah mengurangi timbangan atau takaran pada saat menjual
barang. Contoh lain yaitu Seorang pembeli memesan barang celana satu mobil box besar kepada
seorang penjual karena tidak mungkin menghitung satu persatu celana tsb, penjual berusaha
melakukan penipuan dengan mengurangi jumlah barang yuang dikirim kepada pembeli.
Pada umumnya, dalam tadlis jenis ini, banyak terjadi kasus yang trerdapat dominant strategy
di dalamnya. Hal ini dikarenakan jika penjual berlaku jujur, maka ia akan memperoleh kepercayaan
yang besar dari pembeli dan pelanggannya sehingga ia akan memperoleh utility yang lebih besar
dibandingakan apabilaia tidak berlaku jujur. Sebaliknya, jika penjual tidak berlaku jujur, maka
pembeli akan curiga dan memberika utility negatif yang akan merugikan penjual.
Dalam aplikasi kasus kekinian, dapat diperjelas dengan gambar kurva di bawah ini.
Price
Price
S*
S*t
S*
P*
P*
D*
Q*t
Q*
Quantity
(a) Market
Q*t Q*
Quantity
(b) Individu
Q*- Q*t = Perbedaan harga akibat adanya ghaban
Gambar 1.4. Dampak Pemberlakuan Tadlis Kuantitas terhadap Penawaran dan
Keseimbangan Pasar
Gambar 1.4. merupakan akibat tadlis kuantitas yang terjadi secara lebih luas yaitu pada
pasar. Keseimbangan pasar tercapai pad saat kurva S* berpotongan dengan kurva D*, dimana harga
berlaku di pasar adalah P* dan jumlah barang X adalah Q*. harga yang dihadapi oleh industri
bersifat price taker karena seorang penjual tidka dapat memengaruhi harga yang berlaku di pasar.
Namun, karena si penjual melakukan tadlis, maka kurva permintaan yang dihadapi oleh individu
tersebut berputar berlawanan arah jarum jam (S*
S*¹). Dengan adanya tindakan tadlis tersebut,
maka ia mendpatkan keuntungan ( walaupun bersifat haram) dengan mendapatkan revenue hasil
penjualan yang tetap tetapi jumlah barang yang dijual lebih sedikit.
◦ Tadlis Kualitas
Penipuan ini adalah menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak
sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Contohnya : Seorang pembeli memesan
barang baju satu mobil box besar kepada seorang penjual karena tidak mungkin memeriksanya satu
persatu baju tsb, pembeli membuat kesepakatan dengan penjual kalau sampai ada baju yang cacat
maka akan dikembalikan kepada pihak penjual. Ternyata kesepakatan tsb dilanggar oleh penjual,
tanpa sepengatahuan pembeli, penjual memasukkan beberapa baju cacat kedalam mobil box tsb dan
ketika pembeli ingin mengembalikan baju yang cacat penjual tidak mau menerimanya kembali.
Keseimbangan pasar hanya akan terjadi bila harga yang tercipta merupakan konsekuensi
dari kualitas atau kuantitas barang ditransaksikan. Apabila tadlis kualitas terjadi, maka syarat untuk
pencapaian keseimbangan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, dalam pendekatan ilmu ekonomi
pun hal ini tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan gambar kurva sebagai
berikut :
Rp
Sy Penawaran
barang kualitas y (buruk)
Py
Dx Permintaan barang kualitas x (baik)
Qy
Barang Kualitas y
Gambar 1.5. Keseimbangan Harga tidak Tercapai dalam Tadlis Kualitas
◦ Tadlis Harga (Ghaban)
Tadlis haraga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah
dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual.. Contoh : Di zaman Rasulullah S.A. W
perdagangan seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar : ― Kami pernah keluar mencegat
orang-orang yang datang membawa hasil panen mereka dari luar kota, lalu kami membelinya dari
mereka. Rasulullah melarang kami membelinya sampai nanti barang tsb dibawa ke pasar‖ . Hal ini
dilarang karena mengandung dua hal, pertama, Rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya
barang ke pasar (entry barrier). Kedua, Berusaha agar penjual dari luar kota tidak mengetahui harga
pasar yang berlaku.
Jika digambarkan dengan kurva, maka hal tersebut dapat digambarkan dengan gambar di
bawah ini :
Price
Price
S*
S
D*G
P*
P*
D*
D*
Spread harga karena ghaban
Quantity
(a) Market
Quantity
(b) Individu
PG- P*= Perbedaan harga akibat adanya ghaban
Gambar 1.6. Dampak Pemberlakuan Tadlis Harga terhadap Penawaran dan
Keseimbangan Pasar
◦ Tadlis waktu penyerahan
Tadlis waktu penyerahan juga dilarang, contohnya si penjual tahu persis ia tidak akan dapat
menyerahkan barang pada besok hari, namun menjajikan akan menyerahkan barang pada besok
hari, namun menjanjikan akan menyerahkan barang tsb pada besok hari. Walau konsekuensi tadlis
dalam waktu penyerahan tidak berkaitan langsung dengan harga ataupun jumlah barang yang
ditransaksikan, namun masalah waktu adalah sesuatu yang sangat penting. Lebih lanjut, pelarangan
ini dapat dihubungkan dengan larangan transaksi yang lain, yaitu kali bali (transaksi jual beli, di
mana objek barang atau jasa yang diperjualbelikan belum berpindah kepemilikan, namun sudah
diperjualbelikan kepada pihak lain). Denmgan adanya pelarangan tadlis waktu penyerahan, maka
segala transaksi harus jelas kapan pemindahan hak milik dan hak guna terjadi.
3.10. Contoh Kasus Distorsi Pasar Kekinian
◦ Distorsi Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N) pada 18 Januari 2008
Distorsi pasar tidak hanya terjadi pada pasar barang, akan tetapi saat ini pun terjadi pada
pasar uang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah menjelaskan bahwa distorsi yang terjadi pada
Pasar Uang Antar Bank Overnight telah menyebabkan fluktuasi ketersediaan likuiditas, tingginya
volatilitas suku bunga dan adanya struktur suku bunga jangka pendek yang curam (steep short-term
yield curve) di pasar uang dan bahkan mengaburkan sinyal kebijakan moneter di BI. Untuk itu,
diambillah langkah-langkah solutif yang pastinya tidak sama dengan apa yang dilakukan di pasar
barang. Langkah-langkah taktis itu merupakan bagian untuk mengoptimalkan strategi implementasi
kebijakan moneter untuk pencapaian Inflation Targetting Framework (ITF).
Ketiga langkah taktis itu adalah:

Operasi Pasar Terbuka (OPT) akan dilakukan dengan penggunaan instrumen yang lebih
beragam, meliputi SBI dengan tenor yang lebih beragam (1,3,6, dan 9 bulan). Dalam hal
ini penerbitan SBI akan dilakukan dengan sistem variable rate tender. Selain itu juga
akan dilengkapi dengan transaksi Repo SBI dan SUN dan FX Swap. Dengan
optimalnya pengunaan semua instrumen tersebut, diharapkan likuitas pasar yang saat ini
terakumulasi di SBI 1 bulan akan dapat tersebar penanamannya secara lebih merata di
semua tenor instrumen dan kondisi likuiditas secara harian lebih stabil.

Pembatasan pergerakan suku bunga PUAB O/N melalui mekanisme OPT harian yang
lazim disebut dengan Fine Tuning Operations (FTO) atau langkah-langkah penyesuaian
tingkat suku bunga di pasar sesuai dengan pertimbangan (diskresi) BI. Tindakan ini
bertujuan untuk menjaga agar tingkat suku bunga PUAB O/N yang terbentuk selalu
bergerak dalam kisaran tertentu dan konsisten dengan level BI Rate yang telah
diputuskan melalui Rapat Dewan Gubernur.

Terkait dengan hal ini penempatan pada PUAB O/N pada dasarnya hanya merupakan
bagian dari manajemen likuiditas harian para pelaku pasar yang masih memiliki sisa,
setelah para pelaku pasar menanamkan kelebihan likuditasnya pada instrumeninstrumen lain. Selain itu, tidak berarti BI menurunkan level BI Rate. Mekanisme
penetapan BI Rate tetap sebagaimana yang berlaku saat ini, yaitu ditetapkan dalam
RDG bulanan.
Distorsi Pasar Kayu Indonesia oleh Kebijakan IMF
Sejak tahun 1970-an, terdapat sejumlah kebijakan yang telah diberlakukan untuk
mempengaruhi proses-pasar industri kehutanan tersebut. Hasil kajian menyimpulkan bahwa
beberapa kebijakan yang direkomendasikan oleh IMF (International Monetary Fund) untuk
dihapuskan merupakan kebijakan-kebijakan signifikan yang mendistorsi pasar kayu. Beberapa
kebijakan yang dimaksud, terdiri dari:
(a) larangan ekspor kayu bulat dan kayu gergajian melalui prohibitive tax,
(b) kuota ekspor kayu lapis melalui Badan Pemasaran Bersama, dan
(c) pungutan fee dan royalty oleh APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia).
Dapat disimpulkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang dibarengi
oleh kebijakan kuota ekspor kayu olahan dan industri kayu terintegrasi vertikal menyebabkan
pemerintah kehilangan penerimaan pajak ekspor dan harga kayu bulat cenderung relatif rendah.
Sebaliknya, penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang dibarengi oleh penghapusan
kebijakan kuota ekspor kayu olahan tetapi industri kayu terintegrasi vertikal dipertahankan
menyebabkan pemerintah memperoleh pajak ekspor dan harga kayu bulat dalam negeri cenderung
relatif tinggi. Selama implikasi masing-masing pilihan paket kebijakan tersebut menimbulkan
perbedaan antara harga kayu bulat yang terbentuk, perbedaan harga kayu bulat yang terjadi
merupakan besarnya nilai ekonomi yang hilang atau yang terdistorsi dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan.
3.11. Kesimpulan
Islam telah mengatur segala aktifitas manusia agar sesuai dengan koridor yang
melindunginya, yaitu Syariah agar pelaku di dalamnya bisa melaksanakan aktifitasnya dengan baik
dan benar. Islam yang rahmatan lil ‗alamin telah menjelaskan secara lugas bahwa aturan yang
dibawanya membawa mashlahat dan manfaat yang besar bagi seluruh umat manusia. Ia
ytidakmmenginginkan siapapun berada dalam kerugian akibat keuntungan yang dituai atas
penderitaannya dengan menegakkan aturan-aturan yang membatasi manusia dari ketamakannya.
Keharaman Riba sudah jelas dan tidak diragukan lagi oleh semua umat beragama, baik muslim,
nashrani, dan yahudi. Sehingga karena bahaya dan sifatnya yang merugikan riba tidak boleh
diterapkan dalam transaksi ekonomi, khususnya dalam hal pinjaman.
Semua kegiatan ekonomi dalam transaksi berniaga telah diatur dan tidak diperbolehkan
untuk dilakukan jika melanggar aturan-aturan syariah yang menaunginya seperti penyembunyian
cacat, kecurangan takaran, ketidakjelasan barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Hukum
syariah yang menjelaskan tentang cara bermuamalah bersifat fleksibel dan aplikatif sehingga bisa
diterapkan di berbagai masa dan kondisi. Sifatnya yang demikianlah yang menjadikannya relevan
untuk diterapkan bahkan untuk transaksi paling mutakhir di zaman ini yang sebelumnya tidak
pernah ada. Misalnya, Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Pertanyaan
1. Sebutkan macam-macam riba, dan jelaskan urutan-urutannya?
2. Mengapa riba dilarang dalam islam?
3. Apakah ada riba yang diperbolehkan?
Daftar Pustaka
Astana, Satria, Subarudi, dan M. Zahrul Muttaqin. Evaluasi Kebijakan yang Mendistorsi Pasar
Kayu dalam Jurnal Info Sosial Ekonomi vol. 3 no.1 Tahun 2003 hal.10-18.
As-Sa‘di, Syekh Abdurrahman, Syekh Abdul ‗Aziz bin Baaz , Syekh Shalih Al-Utsaimin dan Syekh
Shalih Al-Fauzan. Fiqih Jual – Beli.
Basri, Ihkwan abidin. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Solo: PT Aqwam Media
Profetika. 2008
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Bunga (Interest/Faidah)
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam Edisi Ketiga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007
BAB IV
AKAD DALAM PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah memiliki perbedaan operasional yang cukup mendasar dengan bank
konvensional dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Di samping itu, Bank
Syariah memiliki wa‟ad dan akad dalam muammalahnya. Sebagai landasan untuk melakukan
aktivitas pembiayaannya. Di mana segala bentuk hak dan kewajiban harus dijalankan demi
kelancaran muammalah pada Bank Syariah. Dan terdapat sanksi-sanksi apabila tidak memenuhi
perjanjian dalam akad. Bank Syariah juga menyediakan akad atau perjanjian yang bersifat sosial
(Tabarru‟) selain akad yang bersifat mencari keuntungan (Tijarah). Dan akad Tijarah pun dibagi
menjadi dua jenis yaitu investasi yang pasti dan tidak pasti. Dan dalam makalah ini akan dibahas
tentang Wa‟ad dengan akad serta pembagiannya sesuai dengan akad-akad pada Bank Syariah.Bab
ini akan membahas jenis-jenis akad yang biasa dipraktekkan oleh perbankan Syariah baik dari sisi
konsep maupun aplikasi. Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menjelaskan jenis-jenis akad
dalam transaksi bank syariah
4.1 Pendahuluan
Dunia ekonomi dalam Islam adalah dunia bisnis atau investasi. Hal ini bisa dicermati mulai
dari tanda-tanda eksplisit untuk melakukan investasi (ajakan bisnis dalam Al Qur‟an dan Sunnah)
hingga tanda-tanda implisit untuk menciptakan sistem yang mendukung iklim investasi (adanya
sistem zakat sebagai alat disinsentif atas penumpukan harta, larangan riba untuk mendorong
optimalisasi investasi, serta larangan maysir atau judi dan spekulasi untuk mendorong produktivitas
atas setiap investasi). Dalam prakteknya, investasi yang dilakukan baik oleh perorangan, kelompok,
maupun institusi dapat menggunakan pola nonbagi hasil (ketika investasi dilakukan dengan tidak
bekerja sama dengan pihak lain) maupun pola bagi hasil (ketika investasi dilakukan dengan bekerja
sama dengan pihak lain). Sesuai labelnya, bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis
syariah Islam. Hal ini berarti bahwa secara makro bank syariah adalah institusi keuangan yang
memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung dan memainkan kegiatan investasi di
masyarakat sekitarnya. Di satu sisi (sisi pasiva atau liability) bank syariah adalah lembaga keuangan
yang mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai
produknya, sedangkan di sisi lain (sisi aktiva atau aset) bank syariah aktif untuk melakukan
investasi di masyarakat. Dalam kacamata mikro, bank syariah adalah institusi keuangan yang
menjamin seluruh aktivitas investasi yang menyertainya telah sesuai dengan Syariah. Secara umum
bank syariah dapat didefinisikan sebagai bank dengan pola bagi hasil yang merupakan landasan
utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan, pembiayaan, maupun dalam produk
lainnya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank
konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk
pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang
tersebut.
4.2. Antara Wa’ad Dengan Akad
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji
(promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah
pihak. Wa‘ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban
untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban
apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa‘ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara
rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya,
maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua
belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan
kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and
condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau
kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka
menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
4.2.1. Wa’ad:

Janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya (hanya mengikat satu pihak)� one-way.

Terms & Condition-nya tidak well-defined; atau

Belum ada kewajiban yang ditunaikan oleh pihak manapun, walaupun terms & condition-nya
sudah well-defined
4.2.2 Akad
Selanjutnya, dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muamalat membagi lagi akad
menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijarah/mu’awadah.
4.3. Akad Tabarru’
Akad tabarru‘ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut notfor profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk
mencari keuntungan komersil. Akad tabarru‘ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam
rangka berbuat kebaikan (tabarru‘ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan).
Dalam akad tabarru‘, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan
apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru‘ adalah dari Allah SWT, bukan dari
manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counterpart-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat
melakukan akad tabarru‘ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru‘
itu. Contoh akad-akad tabarru‘ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi‘ah, hibah,waqf,
shadaqah,hadiah, dll. Pada hakekatnya, akad tabarru‟ adalah akad melakukan kebaikan yang
mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari
keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya, bila akad tabarru‘ dilakukan dengan mengambil
keuntungan komersil, maka ia bukan lagi akad tabarru‟. Ia akan menjadi akad tijarah. Bila ia ingin
tetap menjadi akad tabarru‟, maka ia tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan komersil) dari
akad tabarru‟ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari
pelaksanaan akad tabarru‟. Artinya, ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam
melaksanakan akad tabarru‟. ‖Memerah susu kambing sekedar untuk biaya memelihara
kambingnya”, merupakan ungkapan yang dikutip dari hadits ketika menerangkan akad rahn yang
merupakan salah satu akad tabarru‟.
Dengan demikian, kita mempunyai 3 (tiga) bentuk umum akad tabarru‘, yakni:
1. Meminjamkan Uang (lending $)
2. Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself)
3. Memberikan sesuatu (giving something)
4.3.1. Meminjamkan Uang (lending $)
Akad meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada 3 jenis,
yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain
mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang
seperti ini disebut dengan qard.1 Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi
pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian
pinjaman seperti ini disebut dengan rahn. Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, di mana
tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang
dengan maksud seperti ini disebut hiwalah. Jadi, ada tiga bentuk akad meminjamkan uang, yakni
qard, rahn, dan hiwalah.
4.3.2. Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself)
Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 jenis. Bila
kita meminjamkan ―diri kita‖ (yakni jasa keahlian/keterampilan, dsb) saat ini untuk melakukan
sesuatu atas nama orang lain, maka hal ini disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas
nama orang yang kita bantu tersebut, maka sebenarnya kita menjadi wakil orang itu. Itu sebabnya
akad ini diberi nama wakalah. Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita
menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan 1 Istilah qard ini jangan
dicampuradukkan dengan istilah qard al-hasan, karena keduanya berbeda. Qard adalah akad untuk
meminjamkan uang. Sedangkan qard alhasan pada hakekatnya adalah sedekah, karena akad ini
tidak mensyaratkan bahwa uang yang diberikan harus dikembalikan. tugas menyediakan jasa
custody (penitipan, pemeliharaan), maka bentuk peminjaman jasa seperti ini disebut akad wadi‘ah.
Ada variasi lain dari akad wakalah, yakni contingent wakalah (wakalah bersyarat). Dalam hal ini,
maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, jika
terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu terjadi. Misalkan, seorang dosen menyatakan kepada
asistennya demikian: ―Anda adalah asisten saya. Tugas Anda adalah menggantikan saya mengajar
bila saya berhalangan.‖. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat. Asisten hanya
bertugas mengajar (yakni melakukan sesuatu atas nama dosen) bila dosen berhalangan (yakni bila
terpenuhi kondisinya, jika sesuatu terjadi). Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi wakil dosen.
Wakalah bersyarat ini dalam terminologi fikih disebut sebagai akad kafalah. Dengan demikian, ada
3 (tiga) akad meminjamkan jasa, yakni: wakalah, wadi‘ah, dan kafalah.
4.3.3. Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,waqf,
shadaqah,hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang
lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya dinamakan waqf.
Objek waqf ini tidak boleh diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqf. Sedangkan hibah
dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain. Begitu akad tabarru‘ sudah
disepakati, maka akad tersebut tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah (yakni akad komersil, yang
akan segera kita bahas) kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri
dalam akad tijarah tersebut. Misalkan Bank setuju untuk menerima titipan mobil dari nasabahnya
(akad wadiah, dengan demikian bank melakukan akad tabarru‘), maka bank tersebut dalam
perjalanan kontrak tersebut tidak boleh merubah akad tersebut menjadi akad tijarah dengan
mengambil keuntungan dari jasa wadiah tersebut. Sebaliknya, jika akad tijarah sudah disepakati,
maka akad tersebut boleh dirubah menjadi akad tabarru‘ bila pihak yang tertahan haknya dengan
rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan
kewajibannya.
4.3.4. Fungsi Akad Tabarru’
Akad tabarru‘ ini adalah akad-akad untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan
akad bisnis. Jadi, akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil. Bank syariah
sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan
akad-akad tabarru‘ untuk mendapatkan laba. Bila tujuan kita adalah mendapatkan laba, maka
gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad tijarah. Namun demikian, bukan berarti
akad tabarru‘ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada
kenyataannya, penggunaan akad tabarru‘ sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad
tabarru‘ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.
4.4. Akad Tijarah
Seperti yang telah kita singgung di atas, berbeda dengan akad tabarru‘, maka akad
tijarah/mu‘awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for
profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat
komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa, dll.
kebaikan) dan akad tijarah (akad bisnis). Akad tabarru‘ dapat berupa memberikan sesuatu atau
meminjamkan sesuatu (uang atau jasa). Kemudian, berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang
diperolehnya, akad tijarah pun dapat kita bagi menjadi dua kelompok besar, yakni:
1. Natural Uncertainty Contracts; dan
2. Natural Certainty Contracts
Bagian C berikut ini akan membahas kedua bentuk akad di atas dengan lebih rinci.
4.5. Natural Certainty Contracts (NCC)
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu
objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti,
baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of
delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara ―sunnatullah‖ (by their nature) menawarkan return yang
tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah,
sewa-menyewa, dll, yakni sebagai berikut:
a. Akad Jual-Beli (Al-Bai‘. Salam, dan Istishna‘).
b. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT).
Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak
saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga
tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan
barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. Di sini barang ditukarkan
dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai‘).
4.5.1. Akad Jual-Beli (Al-Bai’. Salam, dan Istishna’)
Gambar 5.4. berikut ini memberikan skema akad jual-beli (al-Bai‘). Pada dasarnya ada 4
(empat) bentuk akad al-Bai‘, yakni:
1. al-Bai‘ naqdan
2. al-Bai‘ Muajjal
3. Salam
4. Istishna‘
al-Bai‘ naqdan adalah akad jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. (Al-Bai‘ berarti jual
beli, sedangkan naqdan artinya tunai). Dalam gambar 5.3 di atas terlihat bahwa baik uang maupun
barang diserahkan di muka pada saat yang bersamaan, yakni di awal transaksi (tunai). Jual-beli
dapat juga dilaksanakan tidak secara tunai, tapi dengan cicilan. Jual beli cicilan ini disebut al-bai‘
muajjal. Pada jenis ini, barang diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada
periode selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode hutang, atau
dapat juga dilakukan secara sekaligus (lump-sum) di akhir periode. Kita juga mengenal suatu akad
jual beli, di mana si penjual menyatakan dengan terbuka kepada si pembeli mengenai tingkat
keuntungan yang diambilnya. Bentuk jual-beli seperti ini dinamakan murabahah (terambil dari kata
bahasa Arab ribhu= keuntungan). Dalam ilmu fikih, akad murabahah ini pada mulanya digunakan
untuk bertransaksi dengan anak kecil atau dengan orang yang kurang akalnya. Hal ini dilakukan
untuk menghindari mereka dari penipuan. Dewasa ini, akad murabahah pun digunakan dalam
praktek perbankan syariah, karena nasabah diasumsikan tidak begitu mengetahui teknis perhitungan
bagi hasil (dengan demikian dapat dianalogikan sebagai orang yang kurang mengerti, seperti anak
kecil). Jadi bank syariah memberitahukan tingkat keuntungan yang diambilnya kepada nasabah.
Bentuk jual beli yang ketiga adalah jual beli salam. Dalam jual-beli jenis ini, barang yang ingin
dibeli biasanya belum ada (misalnya masih harus diproduksi). Jual beli salam adalah kebalikan dari
jual beli muajjal. Dalam jual beli salam, uang diserahkan sekaligus di mukasedangkan barangnya
diserahkan di akhir periode pembiayaan.
Bentuk jual beli yang terakhir adalah jual beli istishna‘. Akad istishna‘ sebenarnya adalah akad
salam yang pembayaran atas barangnya dilakukan secara cicilan selama periode pembiayaan (jadi
tidak dilakukan secara lump-sum di awal). Akad-akad al-Bai‘ ini akan kita bahas lebih lanjut di bab
7 ketika kita membicarakan pembiayaan murabahah.
4.5.2. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT)
Selain akad jual beli, dalam NCC ada pula akad sewa menyewa, yakni akad ijarah, ijarah
muntahia bittamlik (IMBT), dan ju‘alah. Skema akad sewa-menyewa ini diberikan pada gambar
5.5. di bawah ini.
Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga
kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa.
Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah.
Sedangkan ju‘alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja (performance)
objek yang disewa/diupah. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek
ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.
Namun demikian, pada zaman modern ini muncul inovasi baru dalam ijarah, di mana si
peminjam dimungkinkan untuk memiliki objek ijarahnya di akhir periode peminjaman. Ijarah yang
membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan atas objek ijarahnya ini disebut sebagai Ijarah
Muntahia Bittamlik (IMBT). Akad-akad al-Ijarah ini akan kita bahas lebih lanjut di bab 8 ketika
kita membicarakan pembiayaan ijarah dan IMBT.
4.6. Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets
maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama
untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Karena itu,
kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount)
maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi.
Kontrak investasi ini secara ―sunnatullah‖ (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan
pasti. Jadi sifatnya tidak ―fixed and predetermined‖. Contoh-contoh NUC adalah sebagai berikut:
a. Musyarakah (wujuh, ‗inan, abdan, muwafadhah, mudharabah).
b. Muzara‘ah.
c. Musaqah.
d. Mukhabarah.
Akad musyarakah (atau disebut juga syirkah) mempunyai 5 (lima) variasi, yakni:
mufawadhah, ‗inan, wujuh, abdan, dan mudharabah. Dalam syirkah mufawadhah, para pihak yang
berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama, yakni Rp X dicampur dengan Rp X
juga. Sedangkan pada syirkah ‗inan, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam
jumlah yang tidak sama, misalnya Rp X dicampur dengan Rp Y. Dalam syirkah wujuh, terjadi
percampuran antara modal dengan reputasi/nama baik seseorang (wujuh, berasal dari kata bahasa
Arab yang berarti wajah=reputasi). Bentuk syirkah selanjutnya adalah syirkah ‗abdan, di mana
terjadi percampuran jasa-jasa antara orang yang berserikat. Misalnya ketika konsultan perbankan
syariah bergabung dengan konsultan information technology untuk mengerjakan proyek sistem
informasi Bank Syariah Z. Dalam syirkah bentuk ini, tidak terjadi percampuran modal (dalam arti
uang), tetapi yang terjadi adalah percampuran keahlian /keterampilan dari pihak-pihak yang
berserikat. Gambar 5.6. Akad Tijarah, Natural Uncertainty Contracts Bentuk syirkah yang terakhir
adalah syirkah mudharabah. Dalam syirkah ini, terjadi percampuran antara modal dengan jasa
(keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat.
Bentuk syirkah yang terakhir adalah syirkah mudharabah. Dalam syirkah ini, terjadi percampuran
antara modal dengan jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat.
Dalam semua bentuk syirkah tersebut, berlaku ketentuan sebagai berikut: bila bisnis untung
maka pembagian keuntungannya didasarkan menurut nisbah bagi hasil yang telah disepakati oleh
pihak-pihak yang bercampur. Bila bisnis rugi, maka pembagian kerugiannya didasarkan menurut
porsi modal masing-masing pihak yang bercampur.
Perbedaan penetapan ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap (absorpsi)
untung dan rugi. Untung sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja. Sedangkan bila rugi,
tidak semua pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama. Dengan demikian, bila
terjadi kerugian, maka besar kerugian yang ditanggung disesuaikan dengan besarnya modal yang
diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut.
Dengan demikian, dalam syirkah mufawadhah, karena porsi modal pihak-pihak yang
berserikat besarnya sama, maka besarnya jumlah keuntungan maupun kerugian yang diterima bagi
masing-masing pihak jumlahnya sama pula.
Dalam syirkah ‗inan, karena jumlah porsi modal yang dicampurkan oleh masing-masing
pihak berbeda jumlahnya, maka jumlah keuntungan yang diterima berdasarkan kesepakatan nisbah.
Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak akan menanggung dibagi menurut nisbah dibagi
menurut porsi modal kerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah wujuh, bila terjadi laba, maka keuntungan pun dibagi berdasarkan
kesepakatan nisbah antara masing-masing pihak. Sedangkan bila rugi, maka hanya pemilik modal
saja yang akan menanggung kerugian finansial yang terjadi. Pihak yang menyumbangkan
reputasi/nama baik, tidak perlu menanggung kerugian finansial, karena ia tidak menyumbangkan
modal financial apapun. Namun demikian, pada dasarnya ia tetap menanggung kerugian pula, yakni
jatuhnya reputasi/nama baiknya.
Dalam syirkah ‗abdan, demikian pula halnya. Bila terjadi laba, maka laba itu akan dibagi
menurut nisbah yang disepakati oleh pihakpihak yang berserikat. Sedangkan bila terjadi kerugian,
maka kedua belah pihak akan sama-sama menanggungnya, yakni dalam bentuk hilangnya segala
jasa yang telah mereka kontribusikan.
Dalam syirkah mudharabah, bila terjadi keuntungan maka laba tersebut dibagi menurut
nisbah bagi hasil yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan bila rugi, maka penyandang
modal (shahib almal) yang akan menanggung kerugian finansialnya. Pihak yang mengkontribusikan
jasanya (mudharib) tidak menanggung kerugian finansial apapun, karena ia memang tidak
memberikan kontribusi finansial apapun. Bentuk kerugian yang ditanggung oleh mudharib berupa
hilangnya waktu dan usaha yang selama ini sudah ia kerahkan tanpa mendapatkan imbalan apapun.
Selain musyarakah, terdapat juga kontrak investasi untuk bidang pertanian yang pada
prinsipnya sama dengan prinsip syirkah. Bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman
pertanian setahun dinamakan muzara‘ah. Bila bibitnya berasal dari pemilik tanah, maka
disebut mukhabarah. Sedangkan bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian
tahunan disebut musaqat. Pembedaan antara natural certainty contracts (NCC) dengan
natural uncertainty contracts (NUC) ini sangat penting, karena keduanya memiliki karakteristik
khas yang tidak boleh dicampuradukkan. Bila Natural Certainty Contracts dirubah menjadi
uncertain, maka terjadilah gharar (ketidakpastian, unknown to both parties). Dengan kata lain, kita
merubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Hal ini melanggar ―sunnatullah‖, karena itu
dilarang.
Demikian pula sebaliknya dilarang, yakni bila Natural Uncertainty Contracts dirubah menjadi
certain, maka terjadilah riba nasiah. Artinya kita merubah hal-hal yang harusnya tidak pasti menjadi
pasti. Hal ini pun melanggar sunnatullah, karena itu dilarang2. Tetapi justru hal itulah yang
dilakukan oleh perbankan konvensional dengan penerapan sistem bunganya.
4.7. Aplikasi Akad Dalam Perbankan
Penghimpunan Dana Penyaluran Dana
Jasa-jasa Perbankan
Wadiah
Rahn
Piutang
- Giro
- Qardh
Wakalah
- Tabungan
- Murabahah
Kafalah
- Salam
Hawalah
- Istishna
Sharf
Mudharabah
- Tabungan
- Deposito
Investasi
- Mudharabah : a. Mutlaqah
- Mudharabah b. Muqayyadah
- Musyarakah
Sewa
- Ijarah
- Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
4.8. Kesimpulan
Bahasan kita di atas telah mencakup semua akad-akad fikih muamalah Islam dalam bidang
ekonomi yang lazim digunakan. Setelah kita memiliki bekal pengetahuan akad-akad ini, maka
langkah selanjutnya adalah menerapkan konsep akad-akad tersebut ke dalam praktek perbankan
modern. Karena itu, kita harus mencoba untuk ―menerjemahkan‖ konsep akad-akad ini ke dalam
produk-produk perbankan. Sebagaimana yang telah dibahas, Bank Syariah merupakan lembaga
intermediasi yang berbeda dengan bank konvensional. Karena memiliki landasan akad dalam
muammalahnya. Di mana sistim dan peraturan serta sanksi yang diterapkan berdasarkan Al Quran
dan Hadist. Hadist:
Menurut ketentuan asal bahwa segala sesuatu itu dibolehkan selagi belum ada dalil yang
mengharamkannya. (Imam Suyuthi)
Walaupun pada kenyataannya masih ada Bank Syariah yang memanfaatkan akad
Tabaru‘(sosial) sebagai jembatan untuk mencari keuntungan pada akad Tijarah (bisnis), yang pada
dasarnya dilarang. Itu semua kembali pada oknum masing-masing pihak sesuai dengan
keyakinannya terhadap hukum Syariah.
PERTANYAAN
1. Dapatkah akad tabaru‘ di rubah ke tijaroh dan sebaliknya?
2. Sebutkan dasar pembagian untung dan rugi dalam akad musyarokah?
3. Mengapa masyarakat lebih cenderung memilih bank konvensional daripada bank syariah.
Padahal, dari segi produk, bank syariah lebih variatif daripada bank konvensional? Jelaskan
4. Apa perbedaan antara Wa‘ad dengan Akad?
5. Bolehkah akad Tabarru‘ dijadikan akad Tijarah? Jelaskan!
6. Jelaskan tiga bentuk umum dari akad Tabarru‘!
7. Jelaskan maksud dari natural uncertainty contracts dengan natural certainty contracts
8. Sebutkan akad-akad apa saja yang termasuk dalam natural uncertainty contracts!
REFERENSI
Ekonomi islam, direktorat jendral kelembagaan agama islam Dept. Agama RI dan STEI Tazkia
Hm. Dumairi Nor dkk, ekonomi syariah versi salaf, pustaka sidogiri,2007
www.akad-akad bank syariah.com
Syafi‘I Antonio, Muhammmad.2001.Bank syari‘ah: Dari teori ke praktik. Jakarta: Gema Insane
Press.
BAB V
PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARIAH
Dalam produk dan jasa, perbankan syariah tidak kalah dengan bank-bank konvensional, walaupun
bank konvensional menawarkan bunga yang tinggi bagi para konsumennya namun perbankan
syariah dewasa ini juga menawarkan bagi-hasil yang kompetitif bahkan lebih menguntungkan.
Oleh karena itu sekarang produk dan jasa bank syariah dapat menjadi pilihan utama daripada
produk dan jasa bank konvensional.Bab ini menguraikan beberpa produk dan jasa perbankan
Syariah baik Pembiayaan, Pendanaan juga Service. Tujuan bab ini adalah mampu mengerti
bagaimana bank syariah menyalurkan dan menghimpun dana.
5.1. Pendahuluan
Menurut UU RI No.10 Tahun 1998 tentang perbankan, pengertian bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Sementara itu pengertian Bank Syariah menurut Muhammad Syafi‘i Antonio:
(a) Bank Islam adalah bank yang hanya melakukan investasi- investasi yang halal saja; (b) Bank
yang didasarkan pada prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa; (c) Profit dan Falah oriented; (d)
Bank yang mempunyai hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan; (e)
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah. Jadi,
dapat dipahami perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu:
menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa keuangan lainnya. Adapun Bank Syariah,
pada dasarnya ketiga fungsi tersebut dapat dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya
perbankan melakukan hal-hal yang dilarang dalam Syari‘ah. Misalnya saja dalam hal memungut
atau meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan untuk melakukan
investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha perjudian) dimana hal ini tidak dapat
dijamin dalam sistem perbankan konvensional.
Berkembangnya bank-bank syariah di Indonesia dimulai sejak awal tahun 1990-an. Di
Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalah Indonesia. Berdiri tahun 1992, bank
ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukunagan dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim
Meskipun saat ini bank syariah telah berdiri sejak awal tahun 1990-an, namun keberadaanya
masih kurang diminati masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat disadari dengan kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap produk atau jasa yang ditawarkan dari bank-bank syariah tersebut
dan atau kurangnya sosialisasi dari produk dan jasa tersebut. Padahal dalam kaitannya dengan
produk dan jasa, ada perbedaan yang menyolok antara prinsip-prinsip pada produk dan jasa bank
syariah dengan prinsip dalam produk dan jasa bank konvensional. Makalah ini akan mencoba
membahas mengenai produk dan jasa bank syariah.
5.2. Produk dan Jasa Perbankan Syariah
Perbankan dalam melaksanakan fungsinya diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dapat disimpulkan bahwa
usaha perbankan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Produk Penyaluran dana atau
pembiayaan (financing), 2) Produk Penghimpunan dana (funding), 3) Produk yang berkaitan dengan
jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
Bank syariah sebagai lembaga intermediasi menerima pendanaan dari nasabah dan
meminjamkannya kepada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas pendanaan
para nasabah itu bank memberi imbalan berupa bagi hasil. Demikian pula, atas pemberian
pembiayaan itu bank mewajibkan bagi hasil kepada para peminjam. Peran bank syariah dianggap
mampu untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan aktivitas perbankan dapat dipandang sebagai
wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada pelaksanaan kegiatan tolongmenolong dan menghindari adanya dana-dana yang menganggur. Selain itu bank syariah juga
menyediakan produk-produk jasa yang dapat dimanfaatkan oleh nasabahnya.
5.3. Produk Penyaluran Dana
Sebagai pengganti mekanisme bunga, sebagian ulama meyakini bahwa dalam pembiayaan
proyek-proyek, instrumen yang paling baik adalah bagi hasil. Namun pada prinsipnya, sebagaimana
halnya prinsip mu‟amalah, semua jenis transaksi pada dasarnya diperbolehkan, sepanjang tidak
berisi elemen, maisir, gharar, riba (MAGHRIB). Atas dasar hal-hal tersebut, maka dalam
melaksanakan kegiatan pembiayaan (financing) Perbankan Syariah menempuh mekanisme bagi
hasil (profit and loss sharing investment) sebagai pemenuhan kegiatan permodalan (equity
financing) dan investasi berdasarkan imbalan (fee based investment) melalui mekanisme jual beli
(ba‟i) sebagai pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing).
Produk-produk yang tergabung di sini adalah produk yang bertujuan untuk membiayai
kebutuhan masyarakat. Dalam sistem perbankan syariah pembiayaan dibedakan menjadi tiga
bagian. Berikut akan dijelaskan satu persatu.
5.3.1 Berdasarkan Prinsip Jual Beli (Bai’/Sale and Purchase)
Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu
barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga
barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh
(deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat
al bai' menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange).
Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli,
termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan,
jual beli terbagi empat macam;
1) Bai' Al-Muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai
alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang
didasarkan atas prinsip jual-beli.
2) Bai' Al Muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang
(barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi
ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran
barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut
counter trade.
3) Bai' Al Sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing
lain, seperti antara rupiah dengan dollar, dollar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing
yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang
giral (telegrafic transfer atau mail transfer).
4) Bai' As Salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang
yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan
diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai' as salam biasanya dilakukan
untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam:
1)
Bai‟ Al Murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut
penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil.
2) Bai‟ Al Musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok
dan keuntungan yang didapatnya.
3) Bai' Al Muwadha'ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang
lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini
biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah
sangat rendah.
4) Bai‟ al-Tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama
dengan harga pokok barang.
Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai' Al Istishna', yaitu kontrak jual-beli
di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan
syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan
kemudian.
Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan
modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip Bai' Al
Murabahah, Bai' As- Salam dan Bai' Al Istishna'.
5. 4. Al-Murabahah (Deffered Payment Sale)
Murabahah adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini
berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy R.A.:
"Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah
(nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah,
bukan untuk diperjualbelikan."(HR. Ibnu Majah)
Al Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut
penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang
haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya
harus disebutkan dengan jelas.
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia
barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh
keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama
dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara
pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga
beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui
keuntungan yang diambil oleh bank.
Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi
perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati
bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara
angsuran ini disebut juga bai' bi tsaman ajil. Dalam prakteknya nasabah yang memesan untuk
membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan
spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian
secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh
kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi
kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan
uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk
pengadaan barang tersebut.
5.5. Bai' As Salam (In Front Payment Sale)
Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai' as salam adalah akad jual-beli suatu
barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian
dalam jangka waktu yang disepakati.
Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara lain:
Ibn Abbas berkata: "Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar
dihalalkan oleh Allah dan diizinkan," kemudian ia membaca ayat 282 dari QS Al Baqarah.
Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah:
"Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu" (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn
Hibban). Oleh karena itu dalam bai' as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang
dipesan dapat dipenuhi.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana mereka
melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu
beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran
yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu."(HR. Bukhari)
Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari
nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.
Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai
yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk
memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu
dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan
transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan
dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan
penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.
Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima
pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang
diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan
barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia
bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan
salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga
dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang
disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank.
5. 5.1 Salam Paralel
Salam paralel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu yang dilakukan oleh bank
dari pihak produsen atau pihak ketiga lainnya dengan pembayaran dimuka, untuk kemudian dijual
kembali kepada nasabah dengan waktu penyerahan yang disepakati.
Pembayaran oleh nasabah kepada bank dapat dilakukan dimuka pada saat ditanda-tanganinya akad
Salam atau secara tunai pada saat penyerahan barang (Salam Wal Bai‟ Al Mutlaqah) atau dengan
cara mengangsur (Salam Wal Murabahah).
5.6. Bai' Al-Istishna'(Purchase by Order or Manufacture)
Bai' al-Istishna' adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni') dengan
produsen/penjual (shani') di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu
dengan kriteria yang jelas. Istishna' hampir sama dengan bai' as salam, bedanya hanya terletak pada
cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna'
pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani' ke-1) kepada pemesan/pembeli
dan mensubkannya kepada produsen (shani' ke-2).
5.6.1 Istishna’ Paralel
Suatu kontrak di mana pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk
melaksanakan kontrak tersebut, dengan demikian pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua
untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama
5.7. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Ada empat macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah (joint venture profit
sharing) dan mudharabah (trustee profit sharing).Sedangkan Al-Muzara‘ah dan Al-Musaqah
dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian (plantation financing).
5.7.1. Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama
nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah Al
Inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional
sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan
sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian
keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga
dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal.
Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek di
mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya.
Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau
lembaga keuangan. Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain
sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap.
Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah
pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan
lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan
cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya
dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.
Sedangkan jenis-jenis musyarakah itu sendiri terdiri dari :
1. Syirkah mufawadah yaitu kerja sama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih
dengan porsi dana yang sama. Syirkah mufawadah mengahruskan :
 Keidentikan penyertaan modal dari setiap anggota
 Setiap anggota menjadi wakil atau kafil (guarantor) bagi partner lainnya. Untuk keaktifan
semua anggota dalam pengelolaan usaha yang wajib.
 Pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan atas besarnya modal masing-masing
Karena ketatnya syarat-syarat bentuk syirkah ini, mufawadah hanya dapat diterapkan dalam
keenam produk usaha diatas kalau semua pihak aktif langsung dalam pengelolaan dan
menyertakan dana rasio yang sama.
2. Syirkah Al-„Inan Yaitu kerja sama atau percampuran dana anatara dua pihak atau lebih dengan
porsi dana yang tidak mesti sama. Syirkah ‗inan atau limited company mempunyai karakter
sebagai berikut:
a. Besarnya modal anggota tidak harus sama masih setiap anggota mempunyai hak untuk aktif
dalam pengelolaan usaha, ia juga dapat menggugurkan haknya.
b. Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas persentase modal masing-masing, tetapi dapat
pula atas dasar negosiasi. Hal ini diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan
kerja, atau
penanggung
resiko dari
salah satu
pihak.
c. Kerugian dan keuntungan sesuai dengan porsi modal. Jadi, syirkah inan merupakan bentuk
perkongsian yang paling banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini karena sifatnya
fleksible. Contoh syirkah ‗Inan : PT. Bank, Koperasi, leasing, join venture, equity
participation, special investment, descreasing participation dan letter of kredit.
3. Syirkah wujuh Yaitu kerja sama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain
yang memiliki kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah wujuh dinamakan demikian karena
syirkah ini hanya mengandalkan wujuh (wibawah dan nama baik) para anggota, pembagian
untung rugi dilakukan secara negosiasi diantara para anggota. Sesuai dengan pengertian diatas,
syirkah
wujuh dapat diterapkan dalam :
a. Suatu kelompok nasabah yang terbentuk dalam suatu perkongsian dan mendapat
kepercayaan dari Bank untuk suatu proyek tertentu. Dalam kredit ini pihak debitur tidak
menyediakan kolateral atau apapun kecuali wujuh mereka.
b. Suatu perkongsian antara para pedagan yang membeli dengan kredit dan menjual dengan tunai
4. Syirkah ‗abdan Yaitu kerja sama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua
pihak atau lebih (kerja sama profesi). Contoh perkongsian ini antara lain: - beberapa penjahit
yang membuka toko jahit mengerjakan pesanan secara bersama - perkongsian antara insinyur
listrik, tukang kayu, piñata taman, toko bangunan dalam suatu kontrak pembangunan rumah.
5. Syirkah Al-Mudharabah Yaitu kerja sama atu percampuran dana antara pihak pemilik dana
dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau tenaga. Dasar Al-Qur‘an tentang
Mudahrabah:
Al Muzammil: 20.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka
Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang
di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa
saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai
Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Jumu’ah:10.
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Al-Baqarah:198
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‟arilharam[125].
dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
5.7.2. Mudharabah (Trustee Profit Sharing/Trust Financing, Trust Investment)
Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai
bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar
pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib).
Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan
atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan
melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.
Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal
berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh
kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil)
atas kerja yang telah dilakukannya.
Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka
dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan
investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak
pengguna dana.
Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).
a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola
untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha
normal yang sehat (uruf).
b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada
pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan
sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara
khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
5.7.3 Al-Muzara’ah (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan
dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk
ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam
dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas
dasar bagi hasil panen.
5.7.4 Al-Musaqoh (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield)
Al-musaqah merupakan bagian dari al-muza'arah yaitu penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana
dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen
pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara
pemilik lahan dengan penggarap.
5.7.5. Prinsip Sewa Menyewa (Opertional Lease and Financial Lease
Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina' atau disebut juga ijarah muntahiyah bi
tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam.
Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau
sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas
barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut
pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina' atau al ijarah muntahiyah bi
tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah
(sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
5.8. PRODUK PENGHIMPUNAN DANA (FUNDING)
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan
bahwa bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya, yaitu pada
usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu :
1. Giro berdasarkan prinsip wadi‘ah;
2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi‘ah atau mudharabah;
3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;atau
4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi‘ah atau mudharabah
Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang bertujuan untuk menghimpun
dana masyarakat. Dalam sistem perbankan syariah simpanan diterima berdasarkan prinsip wadiah
dan mudharabah.
Jadi, Secara umum, produk simpanan di perbankan syariah ada tiga, yaitu : Giro, Tabungan
dan Deposito. Berikut ini akan dijelaskan ketiga produk diatas dalam aplikasinya di perbankan
syariah.
5.8.1. Giro (Current Account)
Antonio, 2001 dalam bukunya bank syariah dari teori ke praktek, pada umumnya, bank
syariah menggunakan akad al- Wadiah (atau titipan yang berarti bank tidak diwajibkan memberikan
imbalan apapun) pada rekening giro ini. Namun bank dibolehkan untuk memberikan bonus atau
hibah sesuai kemampuan dan kinerja bank pada periode tersebut. Dalam fiqh muamalah, wadhiah
dibagi menjadi dua macam Al-Wadiah Amanah,(trustee depository) dan Al-Wadiah Wadi`ah.
Namun, sebelum lebih jauh membahas dua macam wadiah tersebut, ada baiknya kita mengetahui
prinsip wadiah terlebih dahulu.
5.8.2. Prinsip Al Wadi'ah
Wadi'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk
dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida', yang menitipkan disebut mudi' dan yang menerima
titipan disebut wadi'. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi'ah adalah akad antara pemilik
barang (mudi') dengan penerima titipan (wadi') untuk menjaga harta/modal (ida') dari kerusakan
atau kerugian dan untuk keamanan harta.
Ada dua tipe wadi'ah, yaitu wadi'ah yad amanah dan wadi'ah yad dhamanah.
a). Wadi'ah Yad Amanah
Wadi'ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah
penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi'ah yad
dhamanah.
Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset
tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan
tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi'ah yad amanah akan berubah menjadi wadi'ah
yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan
(2) custodian menggunakan harta titipan.
Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan
surat-surat berharga (custodian).
b). Wadi'ah Yad Dhamanah
Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah
trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan
bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
tersebut.
Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan
jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktuwaktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam
perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan
dalam perdagangan.
Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam
perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik
sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan
penerimaan kembali atas simpanan mereka.
Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status
simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada
pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian
b. Tabungan
Tabungan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

Tabungan Wadiah
Adalah aqad antara pemilik dengan penyimpan, untuk menjaga harta/modal dari kerusakan
atau kerugian dan untuk keamanan harta
b.) Tabungan Mudharabah
Tabungan yang merupakan aqad investasi (mudharabah mutlaqah) antara bank dengan
nasabah dimana bank bisa menggunakan dana nasabah untuk proyek/usaha yang dianggap
menguntungkan.Tabungan mudharabah adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah
muthlaqah. Dalam hal ini bank syariah mengelola dana yang diinvestasikan oleh penabung secara
produktif, menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip syariah Islam. Hasil keuntungannya akan
dibagikan kepada penabung dan bank sesuai perbandingan bagi hasil atau nisbah yang disepakati
bersama (Karim, 2003).
Para cendekiawan fiqih Islam meletakkan mudharabah pada posisi yang khusus dan
memberikan landasan hukum tersendiri sebagai berikut (Karnaen, 1992):.
7.
Dalam Al-Qur‟an surat Al-Muzammil (73)/20:
Artinya :
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”.
Mudharib sebagai entrepreneur adalah sebagian dari orang-orang yang melakukan dharib
(perjalanan) untuk mencari karunia Allah SWT dari keuntungan investasinya.
o
Sunnah Rasulullah SAW :
Dari Suhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga perkara didalamnya terdapat keberkahan, (1) menjual dengan pembayaran secara
kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan (3) mencampur gandum
dengantepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke
mitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak mengarungi lautan,
menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jikalau
menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikannyalah
syarat-syarat
tersebut
kepada
Rasulullah
SAW
dan
beliau
pun
memperkenankannya. (Majma‘ Azzawaid, 4/161).
C.) Deposito Mudharabah  Sama dengan tabungan, namun sifatnya berjangka, sebagaimana
halnya produk deposito di bank umum.
Ketentuan tabungan & deposito mudharabah mutlaqah
e. Dalam transaksi ini nasabah beritndak sebagai shahibul maal atau pemilik dana dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana
f. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk didalamnya
mudharabah dengan pihak lain
g. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai bukan piutang
h. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening
i. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dan deposito dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya
j. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
5.8.1. Prinsip Al-Mudharabah
pemilik modal membiayai sepenuhnya suatau proyek atas suatu usaha dan penguasa
mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Apabila usaha
tersebut mengalami kerugian, maka kerugian tersebut dapat di tanggung bersama antara pemilik
modal dan penerima modal. Dalam hal ini Bank Syariah sebagai mudharib ( pengusaha ) dan
deposan sebagai Shahib Al Mal ( pemilik modal ). Prinsip Bank Syariah ini berdasarkan prinsip AlMudharabah, yaitu : Tabungan Mudharah dan Deposito Mudharabah.
5.8.2. Prinsip Al-Qard Ul Hasan
Prinsip ini berarti pemilik dana ( masyarakat ) memberikan fasilitas dananya kepada bank (
penerima dana ) , di mana pemilik dana tidak mengharapkan imbalan atas dana yang di berikan.
Penerima dana atas dasar prinsip Al-Qard Ul Hasan dapat berupa : zakat infaq dan sadaqah.
Produk penghimpunan dana dibank syariah dapat berupa giro, tabungan, dan deposito.
Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah wadi‘ah
dan mudharabah.
A. Wadi‘ah
Prinsip Wadi‘ah yang diterapkan dalam Perbankan syariah adalah Wadiah Yad Dhamanah
yang diterapkan pada produk rekening giro. Dalam konsep Wadi‘ah Yad Dhamanah, Bank dapat
mempergunakan dana yang dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan
dari dana yang dititipkan.
B. Mudharabah
I. Mudarabah Mutlaqah
Mudarabah Mutlaqah adalah Mudarabah yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana
dari Sahibul Mal.
II. Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet
Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet adalah Aqad Mudarabah yang disertai dengan
pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal untuk investsi-investasi tertentu.
III. Mudarabah of Balance Sheet
Dalam Mudarabah of Balance Sheet, Bank bertindak sebagai arranger, yang mempertemukan
nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan menjadi mudharib.
C. Wakalah
Wakalah dalam praktek perbankan syariah dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa
kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer
uang.
5.9. Jasa Perbankan Syariah (fee based services)
Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang dibuat untuk melayani kebutuhan
masyarakat yang berbasis pendapatan tanpa exposure pembiayaan.
Secara umum, jenis jasa dalam Perbankan Syariah ada enam, antara lain sebagai berikut:
a.) Wakalah :
Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu
urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.
Ada beberapa jenis wakalah, antara lain:
Ø
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk
segala urusan.
Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam
urusan-urusan tertentu.
Ø Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana
daripada al mutlaqah.
Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan
Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri
(L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
b.) Ju’alah :
Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada
pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai
pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi Usaha dan
sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS)
c.) Rahn :
Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang
memungkinkan untuk ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan
barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.
Rahn adalah satu jenis transaksi tabaru', karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang)
untuk murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu, ia termasuk transaksi (uqud)
'ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah diterima 'ain al ma'qud. Dan akad
(transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah, i'arah, ida', qard dan rahn. Tabaru' itu tidak sempurna
kecuali dengan qard.
Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang
berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk
melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan,
kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali
biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.
d.) Hawalah :
Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal
ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal
atau da'in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal 'alaih).
Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu:
1) Hawalah mutlaqah: Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan
dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal
'alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan
keridaan tiga pihak (da'in, madin dan muhal 'alaih).
2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada
padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan
mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal 'alaih
kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis dan jumlahnya
maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak sah.
Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang
(factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan
mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.
e.) Kafalah :
Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke
dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan
seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah
nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut
tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan
seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam
pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat
tentang bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang
berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Dalam lembaga
keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank guarantee).
Ada tiga jenis kafalah, yaitu:
1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guarantee);
2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam
perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan
pembayaran (payment bond).
3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan
tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek
(performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).
f.) Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah
trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan
bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
tersebut.
Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan
jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktuwaktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam
perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan
dalam perdagangan.
Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam
perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik
sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan
penerimaan kembali atas simpanan mereka.
Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status
simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada
pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.
5.10. Kesimpulan
Seperti yang sudah dijelasakan pada tulisan di atas maka kita dapat mengetahui bahwa
produk-produk bank syariah lebih fleksibel dan dijamin kehalalannya karna sesuai dengan syariah,
maka bank syariah merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan mitra dalam investasi dan juga
sangat cocok sebagai tempat menyimpan uang dengan aman tanpa takut terkena dampak krisis
seperti yang pernah dialami bank-bank konvensional beberapa tahun yang lalu.
SOAL LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan undang-undang yang mengatur tentang fungsi perbankan!
2. Jelaskan skema pembiayaan dalam perbankan syariah saat ini? Sebutkan pula produk-produk
bank syariah yang menggunakan skema pembiayaan tersebut!(buat dalam bentuk tabel)
3. Apa perbedaan Wad‘iah Yad Amanah dengan Wadi‘ah Yad Dhamanah? Sebutkan produk-produk
bank syariah yang menggunakan prinsip Wadi‘ah !
4. Jelaskan perbedaan perhimpunan dana bank antara bank syariah dan bank konvesional
5. jelaskan yang dimaksud dengan L/C, dan jelaskan akad-akad yang digunakan dalam L/C syariah.
6. Bagaimanakah pengaplikasian hawalah dalam perbankan syariah? Jelaskan dengan singkat dan
jelas.
REFERENSI
Hosen, M.N. “Buku saku Perbankan Syariah”. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES).
Jakarta, Nopember 2005
Mervyn K.Lewis dan latifa M.Algaoud. Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik, dan Prospek,
Jakarta: Serambi, 2007
Karim Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : KBC, 2005
Antonio Syafi’I. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
Sjahdeini Sutan Reny. Perbankan Syariah, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta: 2007
Antonio Syafi’I. Bank Syariah, PT Ekonisia, Yogyakarta; 2006
Http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_103508.htm
BAB VI
MURABAHAH DAN ISTISHNA'
Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati
nurani umat Islam sehingga dicarilah solusi yang tepat sesuai ajaran Islam salah satunya yaitu
pembiyaan murabahah.Bab ini selain membahas konsep dan aplikasi Murabahah juga
menguraikan pengertian Istisna' dalam praktek perbankan Syariah. Tujuan akhir dari
pembelajaran bab ini adalah kemampuan memahami teori dan praktek akad Murabahah dan
Istishna' dalam perbankan Syariah.Tujuan mempelajari bab ini mampu membedakan jenis
pembiayaan Murabahah dan Istishna’
6.1. Pendahuluan
Pada umumnya Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima
Simpanan, Giro, Tabungan dan Deposito. Kemudian Bank dikenal juga sebagai tempat untuk
meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu bank juga dikenal
untuk menukar uang, atau menerima segala bentuk pembayaran seperti pembayaran listrik, telepon,
air, pajak, uang kuliah dan sebagainya.
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masayarakat serta memberikan jasanya
dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa ada tiga fungsi utama Bank yaitu:
◦ Bank sebagai lembaga yang mungumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan.
◦ Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit dan
bentuk lainnya
◦ Bank sebagai lembaga yang memperlancar transaksi perdagangan dan predaran uang.
Berdasarkan pemahaman fungsi Bank tersebut dapat dipastikan bahwa penyaluran kredit
merupakan bisnis utama Bank, sehingga sebagian terbesar dari asset Bank berupa kredit. Begitu
juga halnya dengan pendapatan Bank sebagian besar berasal dari pendapatan bunga kredit.
Lazimnya suatu usaha ekonomi yang terorganisir bertujuan mendapatkan laba maksimum dan
kelangsungan hidup usaha dalam jangka waktu yang lama.
Tujuan tersebut pada dasarnya dapat dicapai malalui usaha mempertahankan dan
meningkatkan kemampuan perusahaan, baik dalam menghadapi pesaing-pesaing maupun dalam
mengefesiensikan usaha secara inovatif dan kreatif. Untuk itulah suatu usaha ekonomi harus
mempunyai strategi perusahaan yang mantap guna merebut peluang-peluang pasar potensial.
Kredit dalam ekonomi Islam dikenal dengan pembiayaan, menurut undang- undang Nomor
10 Tahun 1998, Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil. Yang menjadi perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank
konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh Bank syariah terletak pada keuntungan yang
akan diharapkan, bagi Bank yang berdasarkan prinsip konvensional keuntungan yang akan
diperoleh berupa tingkat suku bunga yang ditetapkan diawal, sedangkan bagi bank yang
berdasarkan prinsip syariah keuntungan yang akan diperoleh berupa imbalan atau bagi hasil.
6. 2. Murabahah dan Istishna
6.2.1. Murabahah
6.2.1.1. Definisi
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (ُ‫)انش ْث ُح‬,
yang berarti
ِ
kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu,
murabahah ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakikatnya, ialah
menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi
(penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual
mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan
sepuluh ribu rupiah.
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank Syariah membeli
barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar
harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan
nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang
membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara
jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan
yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau
berdasarkan persentase.
6.2.1.2. Landasan hukum
AL Quran

‖Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‖ (QS (2):275).

―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu‖. QS. An Nisaa‘ (4) : 29
AL Hadist

―Pedagang yang jujur dan terpercaya, maka dia bersama nabi, orang-orang yang jujur dan
para syuhada‖. (HR. Tarmidzi)

―Dari Suhaib ArRumi r.a bahwa Rasulullah bersabda, ―tiga hal yang didalamnya terdapat
keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.‖
◦ Rukun murabahah
 Ba‘I penjual
 Musytari awal ( pembeli pertama ).
 Musytari tsani ( pembeli kedua ).
 Ma‘qud alaih ( objek jual beli )
 Sighat ( ucapan serah terima).
Syarat Murabahah

Pihak yang berakad (Bai‘ & Musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.

Barang yang diperjual-belikan (Mabi‘) tidak termasuk barang haram dan jenis maupun
jumlahnya jelas.

Harga barang (Tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen
keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.

Pernyatan serah-terima (Ijab-Qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihakpihak yang berakad.
Ketentuan diperbolehkannya murabahah:
Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli
murabahah ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa‟adah diperbolehkan dengan tiga hal:
o Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan
ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
o Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua
belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung
jawab lembaga keuangan. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima
barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. pembiyaan Murabahah
secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok :
 Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestricted Investment
Account= investasi tidak terikat )
 Pembiayaan murabahah yang di danai dengan RIA (restricted Investment Account =
investasi terikat )
 Pembiayaan murabahah yang dimodali oleh Modal Bank.
Prinsip dan Ketentuan Umum Murabahah.
Adapun yang menjadi prinsip dan ketentuan umum dalam pembiyaan murabahah yaitu:
 Akad murabahah bebas riba
 Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan
 Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
 Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dari pembelian ini
harus dan bebas riba
 Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
 Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya
 Bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan
 Nasabah membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu
Untuk mencegah penyalahgunaan atau kerusakan akad, bank dapat mengadakan perjanjian
khusus dengan nasabah
 Jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual
beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
Skema akad murabahah
Skema murabahah dalam aplikasi perbankan.
6.3. Tujuan dan Manfaat
Sebagaimana kita ketahui, dalam skim Murabahah fungsi Bank adalah sebagai Penjual
barang untuk kepentingan Nasabah, dengan cara membeli barang yang diperlukan Nasabah dan
kemudian menjualnya kembali kepada Nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli
ditambah keuntungan Bank dan Bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok Barang
berikut biaya yang diperluan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
Barang kepada Nasabah. Namun demikian, sebagai Penyedia Barang dalam prakteknya Bank
Syariah kerap kali tidak mau dipusingkan dengan langkah-langkah pembelian Barang. Karenanya
Bank Syariah menggunakan media ‖akad Wakalah‖ dengan memberikan kuasa kepada Nasabah
untuk membeli barang tersebut. dalam pembiyaan murabahah,terdapat manfaat yang tidak saja
semata diperoleh oleh bank tetapi juga dapat dirasakan oleh nasabah seperti yang disebutkan berikut
ini :
Bagi Bank:

Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli, dari penjual dengan harga jual
kepada nasabah

Sumber pendanaan bagi bank baik dalam bentuk rupiah atau valuta asing
Bagi Nasabah:

Membiayai kebutuhan nasabah dalam hal pengadaan barang konsumsi seperti rumah,
kendaraan atau barang produktif seperti mesin produksi, pabrik dan lain-lain.

Nasabah dapat mengangsur pembayarannya dengan jumlah angsuran yang tidak akan
berubah selama masa perjanjian.

Dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi baik
domestik maupun luar negeri.
6. 4. ISTISHNA
ISTISHNA’
merupakan
akad
jual-beli
antara
pemesan/pembeli
dengan
pihak
produsen/penjual atas suatu barang tertentu yang harus dipesan terlebih dahulu, dengan spesifikasi
dan harga yang disepakati. Sementara pembayarannya dapat dilakukan dimuka, ditengah atau pada
saat penyerahan barang.
ISTISHNA’ PARALEL merupakan gabungan dari dua transaksi Istishna‘ yang dilakuka
secara simultan. Pihak penjual pada transaksi Istishna‘ yang pertama bukanlah produsen yang
sesungguhnya dan karenanya membuat akad serupa dengan pihak lain (produsen) untuk memenuhi
pesanan pembeli.
Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam tiga
pendapat:
Pendapat pertama:
Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh
para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Pendapat kedua:
Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila
memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam,
maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki &
Syafi'i.
Pendapat ketiga:
Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut
mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang.
6.4.1. Landasan syariah

Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta'ala:
ْ ُ‫ََُّّللا‬
َّ ‫ثب َٔأَ َحم‬
ُ‫ُانجَ ٍْ َغُ َٔ َح َُّش َوُان ِّش‬
"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.

―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya‖. QS. Al Baqarah (2) : 282

Ibnu Abbas r.a. mengungkapkan : ―Aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk
jangka waktu tertentu telah dihalalkan Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya‖, seraya
membaca ayat tersebut diatas.

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : ―Barangsiapa yang melakukan
salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, untuk jangka waktu yang diketahui‖.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
ْ َ‫ت ُإِن‬
َّ ‫ى‬
َُُّ‫ىُان َؼ َج ِى ُفَمٍِ َم ُن‬
َ ُ‫َُّللاِ ُصهىَُّللاُػهٍُُّٔعهىُ َكبٌَ ُأَ َسادَُأَ ٌْ ُ ٌَ ْكز‬
َّ ‫ظ ُسظًَُّللاُػُُّأَ ٌَّ ََُ ِج‬
ٍ َََ‫ػ ٍَْ ُأ‬
ْ ٌَّ ِ‫إ‬
َّ ِ‫ُفَبصْ طََُ َغ ُ َخبرَ ًًبُ ِي ٍْ ُف‬.ُ‫ُان َؼ َج َى ُالَ ٌَُ ْمجَهٌَُٕ ُإِالَُّ ِكزَبثًبُ َػهَ ٍْ ِّ ُ َخبرِى‬
ُُ‫ُ َكأََِّىُأَ َْظُش‬-ُ‫ُلَب َل ُُسٔاُِيغهى‬.‫ع ٍُخ‬
ُِِ ‫ظ ُِّفِىٌَُ ِذ‬
ِ ‫إِنَىُثٍََب‬.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau:
Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka
beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan:
Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat
Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibolehkan.

Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah
bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau
ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam
telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
‫ُحزىٌُذلُانذنٍمُػهىُانزحشًٌبألصمُفًُاألشٍبءُاإلثب‬،‫حخ‬
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya."

Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu
barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang
dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk
memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka
masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan
semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan
hidup masyarakat. Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu
taisir (memudahkan):
- ُ‫ُإِ ٌَُّان ِّذٌٍَ ٌُُغْش‬-ُ‫سٔاُِانجخبسي‬.
"Sesungguhnya agama itu mudah." (Riwayat Bukhari)

Akad istishna' dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak
mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan
kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan.
Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan
dan tidak dilarang.
◦ Rukun Istishna

Produsen / Penjual (Shaani‘)

Pemesan / Pembeli (Mustashni‘)

Barang / Jasa yang dipesan (Mashnu‘)

Harga Barang / Jasa (Tsaman)

Sighot (Ijab-Qabul)
◦ Syarat Istishna

Produsen dan pemesan (Shaani‘ & Mustashni‘) cakap hukum, tidak dalam keadaan terpaksa
dan tidak ingkar janji.

Produsen (Shaani‘) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat/mengadakan
barang yang dipesan.

Barang yang dipesan (Mashnu‘) harus jelas spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang
syariah. Sedangkan waktu penyerahannya sesuai kesepakatan.

Harga barang (Tsaman) harus dinyatakan secara jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai
dengan kesepakatan.
◦ Skema Istishna
Peme
san
◦ Skema Istishna Paralel
Skema istishna pada perbankan
6.5. Murabahah Dalam Perbankan Syari’ah
Salah satu produk yang popular pada produk syari‘ah adalah skim jual beli murabahah.
Murabahah dalam perbankan syari‘ah di definisikan sebagai jasa pembiayaan dengan mengambil
transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah dengan cara pembayaran angsuran. Dalam
perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh
nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada
nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan. Dengan kata lain,
penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar cost + profit.
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syari‘ah, pada prinsipnya
didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan kesepakatan
atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:

Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang
dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentaseb dari total harga plus biayabiayanya.

Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang.

Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus mampu
menyerahkan barang itu kepada pembeli.

Pembayarannya ditangguhkan.
Bank-bank syari‘ah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan
jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak
memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas
murabahah dalam operasi investasi perbankan syari‘ah, antara lain:
1.
Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan
sistem profit and lost sharing (PLS), cukup memudahkan.
2.
Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan
bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank
berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam.
3.
Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem PLS.
4.
Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen
bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah
adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
6.5.1. Kritik terhadap Praktek Murabahah di Perbankan Syari’ah
Maraknya perbankan syari‘ah tak lepas dari kritik dan kecaman, yang justru datang dari para
ilmuwan Islam sendiri. Mereka berpendapat bahwa bank-bank syari‘ah dalam menyelenggarakan
transaksi-transaksi perbankan syari‘ah justru telah melaksanakannya bertentangan dengan
konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat dari prinsip-prinsip syari‘ah.
Penerapan usahausaha bisnis bank syari‘ah, terutama produk murabahah telah menimbulkan
masalah moralitas. Dari pengamatan dan penelitian beberapa ilmuwan Islam itu, bank-bank
syari‘ah, dalam penerapan produk-produknya ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi
resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga dengan menggumakan ―Label
Islam‖.
Lebih jauh lagi para teritis mengemukakan perbankan syari‘ah dari tahun 1940-an sampai
akhir 1970-an tidak membayangkan perbankan syari‘ah sebagai perbankan berbassis mark up, tetapi
mereka mengandaikan perbankan syari‘ah sebagai perbankan berbasis mark-up
tetapi mereka
mengandaikan perbankan syari‘ah sebagai perbankan berbasis profit and lost sharing dengan
menggunakan konsep musyarakah dan mudharabah. Siddiqi dalam karyanya Banking without
Interest tidak menyinggung murabahah sama sekali, demikian pula halnya dengan Interest-Free
Banking karya Uzair. Bahkan dengan tegas, Siddiqi sebagaimana dikutip oleh Saeed 19 menyatakan
pendapatnya untuk menghapus instrumen murabahah dari perbankan syari‘ah.
Beberapa kritik terhadap praktek murabahah di perbankan syari‘ah juga dikemukakan oleh
beberapa ulama, diantaranya adalah:
◦ Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba.
◦ Murabahah merupakan jual beli „Inah yang diharamkan Islam.
◦ Murabahah merupakan bai‟atani fi bai‟ah.
◦ Murabahah merupakan bai‟ al-ma‟dum.
Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada praktek murabahah di perbankan syari‘ah,
namun hal ini justru mengindikasikan bahwa sebenarnya produk murabahah ini direspon secara
luas. Oleh karena itu, dalam perjalanannya para teoritisi dan praktisi perbankan syari‘ah masih terus
melakukan kajian dan mengkritisi secara serius mekanisme kontrak murabahah yang sesuai dengan
semangat dari prinsip-prinsip syari‘ah dalam rangka mencapai tujuan pembumian ekonomi syari‘ah
di Indonesia.
6.5.2. Harga jual (pricing) yang lebih tinggi dalam murabahah.
Bank konvensional dalam meminjamkan uang, misalnya untuk pembelian barang-barang
tertentu, bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan jatuh tempo
pinjaman. Sedangkan berapa harga barang nasabah itu bukanlah menjadi urusan bank konvensional.
Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah memperoleh suku bunga yang sedang
berlaku bagi pengeluran-pengeluaran, semisal dalam hal resiko dan jatuh temponya.
Berbeda dengan bank konvensional, dalam mekanisme pembiayaan murabahah di bank
syari‘ah, nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya, dimana hal ini tidak akan
diketahui dalam pembiayaan berbasis bunga. Dalam murabahah, faktor-faktor yang tampaknya
mempengaruhi besarnya mark-up adalah kebutuhan bank syari‘ah untuk memperoleh keuntungan
riil, inflasi, suku bunga yang berjalan, kemijakan moneter, marketabilitas barang-barang murabahah
serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang itu. Dengan demikian, mark-up dalam
murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga.
Namun, nampaknya, perbedaan antara mark up murabahah di bank syari‘ah dengan suku
bunga dalam pinjaman kredit di bank konvensional ini tidak terlalu jauh. Hal inilah yang memicu
munculnya persepsi masyarakat yang menyamakan praktek murabahah di bank syari‘ah dengan
pinjaman kredit di bank konvensional. Untuk itu, perlu adanya konsep yang jelas dalam penentuan
harga jual (pricing) murabahah.
Para Fuqaha berbeda pendapat tentang harga kredit yang lebih tinggi (sebagai lawan dari
harga tunai) dalam murabahah. Para Fuqaha generasi awal,seperti Malik dan Syafi‘I tidak
menyetujui jual beli suatu barang murabahah dengan harga kredit yang lebih tinggi daripada harga
kontannya.
Namun para pengikut madzhab Hanafi, Syafi‘I dan dari madzhab-madzhab lain menganut
pandangan bahwa kenaikan harga pada jual beli dengan pembayaran tunda adalah boleh. Baghawi
sebagaimana dikemukakan oleh Saeed, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai
murabahah dengan syarat bahwa si pembeli dan penjual setuju terhadap salah satu harga (dari dua
harga, yaitu harga tunai dan harga kredit). Bamyak fuqaha, termasuk Sarakhsi, Marghinani, Ibn
Qudamah dan Nawawi secara tegas menyatakan bahwa pengenaan harga yang lebih tinggi pada jual
beli kredit adalah praktik yang biasa dalam perdagangan dan berdasarkan hal ini, para fuqaha
membolehkan harga yang lebih tinggi.
Dalam konteks ini, para praktisi perbankan syari‘ah membolehkan adanya kenaikan harga
pada jual beli murabahah dengan pembayaran tunda dengan sejumlah argumen telah diajukan untuk
mendukung keabsahannya, diantaranya adalah sebagai berikut :

Teks-teks syari‘ah tidak melarangnya;

Ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan uang tersedia di masa datang;

Kenaikan harga ini bukan sebagai imbalan waktu tunda pembayaran dan karenanya tidak
sama dengan riba;

Kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan, tidak setelah penjualan terjadi;

Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, seperti permintaan
dan penawaran, dan naik turunnya daya beli uang sebagai Akibat inflasi dan deflasi.

Penjual sedang melakukan aktivitas dagang yang produktif dan diakui.

Penjual boleh menetapkan harga berapapun yang dikehendakinya.
Argumen-argumen di atas sering diajukan bank-bank Islam untuk membenarkan kenaikan
harga jual beli murabahah dengan pembayaran tunda dan hal ini sudah menjadi praktek baku dalam
murabahah. Namun demikian, menurut penulis, penentuan harga jual produk-produk bank syari‘ah
harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan menurut syari‘ah. Oleh karena itu,
bank syariah perlu menetapkan metode yang efektive dan efisien di dalam kemasan produk
murabahah dapat memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank syari‘ah dengan nasabah
pembiayaan murabahah.
6.5.3. Resiko dalam pembiayaan murabahah
Pembiayaan berdasarkan pembagian resiko yang diidentikkan dengan model teoritis
perbankan Islam tidak tampak menjadi karakter utama praktek murabahah bank-bank Islam.
Namun demikian, para pendukung bank syari‘ah mengatakan bahwa dalam murabahah, faktor
pembagian resiko tetap ada, yang itu menjadi alasan diambilnya laba, sampai nasabah memenuhi
janji awal untuk membeli barang. Berikut ini adalah resiko-resiko yang terkait dalam murabahah
sebagai berikut :
6.5.4. Resiko yang terkait dengan barang
Bank syari‘ah membeli barang-barang yang diminta oleh nasabah murabahah-nya dan
secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat
pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Dalam kontrak murabahah, bank syari‘ah
diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik. Bahkan, nasabah
berhak menolak barang-barang yang rusak, yang kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan
spesifikasinya. Bank syariah juga , bagaimanapun pada prakteknya menghindari resiko-resiko
tersebut dengan asuransi dan klausul kontrak, yang telah disusun sedemikian rupa sehingga
membantu bank syari‘ah untuk menghindari segala resiko yang terkait dengan barang. Dengan
demikian, segala resiko yang terkait dengan barang, yang secara teoritis harus ditanggung bank,
secara efektif telah terhindarkan.
6.5.5. Risiko yang terkait dengan nasabah
Janji nasabah murabahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi
murabahah, tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli barang
ketika bank syari‘ah menawari mereka dalam penjualan. Dalam prakteknya, resiko terhadap
kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran di
muka (sepertiga dari total harga, misalnya), dengan jaminan, jaminan pihak ketiga, dan dengan
klausul kontrak. Dengan demikian, semua resiko yang secara teoritis mungkin ada dalam kaitannya
dengan penolakan nasabah untuk membeli barang, sebenarnya telah hilang dalam praktek
perbankan syari‘ah.
6.5.6. Resiko yang terkait dengan pembayaran
Resiko tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka, seperti yang dijadwalkan dalam
kontrak, memang ada dalam pembiayaan murabahah. Bank syari‘ah menghindari resiko ini dengan
adanya janji tertulis, jaminan, jaminan pihak ketiga dan klausul kontrak yang menyatakan bahwa
semua hasil dari barang-barang murabahah yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun
kredit harus ditaruh di bank sampai apa yang menjadi hak bank dibayar kembali sepenuhnya. Jika
tidak adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor di luar kemampuan nasabah, bank syari‘ah
secara moral berkewajiban menjadwal ulang utang. Di pihak lain, jika nasabah memiliki
kemampuan untuk membayar tepat waktu, tetapi ia tidak melakukannya, maka bank syari‘ah telah
mengadopsi konsep ―Denda‖ yang dijatuhkan kepada nasabah. Dengan demikian dalampraktek,
bank syari‘ah secara efektif telah menghilangkan semua resiko dalam pelaksanaan murabahah.
6.5.7. Jaminan
Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan memainkan peran penting
untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo. Namun, dalam perbankan syari‘ah,
pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam murabahah.
Jaminan diterapkan sebagai suatu cara untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak dihilangkan
dan untuk menghindari dari ―Memakan harta orang secara bathil‖ Dalam kontrak murabahah
jaminan itu dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, atau barang-barang
murabahah itu sendiri. Meskipun demikian, kontrak-kontrak murabahah bank-bank Islam dan
cabang-cabang syari‘ah bank konvensional berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya
jaminan. Jika demikian adanya perhatian bank Islam terhadap jaminan, maka praktek bank Islam ini
tidak jauh berbeda dengan bank konvensional.
6.5.8. Penyelesaian hutang murabahah
Pembiayaan berbasis murabahah harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak jauh
berbeda dengan pembiayaan berbasis bunga. Namun ada perbedaan yang paling mendasar dari
kedua pembiayaan tersebut dalam hal debitur gagal melunasi hutang pada waktu yang telah
ditentukan. Pinjaman dengan bunga, pada umumnya menimbulkan sanksi bunga tambahan jika
pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan, dalam perbankan syari‘ah, nasabah
harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu. Penundaan semacam ini harus
diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada nasabah atas waktu yang diberikan untuk
pembayaran. Namun bagi nasabah yang mampu melunasinya tetapi mereka lalai untuk melunasi
hutang tepat waktu, maka bank ,menerapkan konsep ―Denda‖.
Semua hal di atas menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian hutang pun, bank
syari‘ah telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar hutang dilunasi tepat waktu, dan jika
tidak ‗kerugian‘ yang diderita bank ditanggung oleh nasabah. Berdasarkan uraian di atas, maka
peran bank syari‘ah dalam murabahah sbagaimana yang dikemukakan oleh Saeed sebagai
―pembiaya (a financier) bukan sebagai ―penjual‖ (a Seller). Bank tidak memegang barang, dan tidak
pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan penanganan dokumendokumen terkait dan kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Di samping itu, penentuan markup dalam kontrak murabahah yang secara bebas ditentukan oleh bank syari‘ah, akan dapat memicu
munculnya persepsi bahwa mark-up itu identik dengan bunga. Untuk itu, perlu kajian secara
mendalam tentang konsep pricing dalam murabahah.
6.6 Kesimpulan
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni
bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga
perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa
“maa laa yatimm al – wajib illa bihi fa huwa wajib“, yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan
ekonomi) adalah wajib diadakan.
Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana
dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial
intermediary function). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank
Syariah.
Di dalam perbankan syariah terdapat banyak produk yang ditawarkan, diantaranya produk
kredit pembiayaan yang menggunakan akad murabahah dan lainnya. Maka dari itu pada
kesempatan ini kami akan memaparkan secara khusus mengenai produk pembiayaan yang berupa
murabahah dan istishna.
PERTANYAAN DISKUSI

Apakah Murabahah dan Ishtisna itu?

Bagaimanakah pengaplikasian Murabahah dan Ishtisna di perbankan syariah?

Mengapa ada kekurangan di dalam Murabahah? Apa solusinya?
REFERENSI
Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi‘I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005
M, Gema Insani Press.
Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional MUI.
Rahmawaty, Anita, 2007 La-Riba Journal Ekonomi Syari‟ah: Tinjauan Kritis Produk Murabahah
dalam Perbankan Syari‟ah di Indonesia.
Firmansyah, 2007, Evaluasi penerapan metode penentuan harga jual-beli murabahah. STEI SEBI –
Jakarta.
BAB VII
IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIYYAH BITAMLIK
Konsep sewa mulai berkembang dan dijadikan sebagai faktor bisnis diawali ketika masa hayat nabi
dan itupun dikembangkan lagi ketika masa khalifah Umar. Konsep sewa dimulai ketika adanya
sistem pembagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Umar bin Khatab yaitu melarang
pemberian tanah bagi kaum muslimin diwilayah yang ditaklukan, dan sebagai alternatif adalah
membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Bab ini bertujuan untuk lebih
mengenal dan menambah wawasan tentang Ijarah dan Ijarah Muntahia BiTTamlik (IMBT) serta
aplikasinya pada perbankan syariah maupun pada kehidupan sehari-hari yang sudah menjadi
kebiasaan di masyarakat.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu membedakan jenis
pembiayaan Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik
7.1. Pendahuluan
Seperti transaksi jual beli, ijarah juga memiliki peranan yang penting dalam kehidupan
sehari-hari atau yang lebih kita kenal dengan istilah sewa menyewa. Ijarah adalah salah satu bagian
system akad yang dijelaskan secara terperinci oleh Islam.
Akad ijarah berbeda dengan akad jual beli lainnya dimana ijarah terbatas oleh waktu.
Artinya jika masanya telah habis maka barang yang disewakanpun akan berpindah tangan. Berbeda
dengan akad jual beli lainnya yang tidak terikat oleh waktu, jika pihak pertama tidak menghendaki
barang itu dikeluarkan maka dia akan tetap memiliki barang itu. Transaksi ijarah ini tidak banyak
diketahui secara menyeluruh oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kami mencoba menuangkan
semua hal-hal yang berhubungan dengan ijarah berdasarken referensi yang ada yang telah kami
temukan.
7.2. Pengertian dan Dasar Hukum

Ijarah menurut Etimologi (bahasa) berarti upah, sewa, jasa, imbalan dan jual beli manfaat.

Ijarah menurut terminology (istilah) adalah akad pengalihan hak penggunaan atas suatu
barang (manfaat) untuk jangka waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran uang sewa
tanpa diikuti oleh perubahan kepemilikan atas barang tertentu.

Menurut istilah beberapa pendapat ulama, di antaranya:
 Pendapat Ulama Hanafiah, hanafiah berpendapat bahwa ijarah adalah akad jual beli manfaat
barang dengan membayar ongkos sewa.
 Pendapat Ulama Syafiiyah, berpendapat bahwa ijarah adalah Jual beli manfaat barang
tertentu yang sudah jelas manfaatnya, mubah hukum manfaatnya dan bisa digunakan oleh si
penyewa dengan ongkos sewa yang telah disepakati.
 Pendapat Ulama Malikiyah, berpendapat bahwa ijarah adalah memberikan kepemilikan
manfaat barang yang mubah dalam kurun waktu tertentu dan ongkos sewaan.
Dari berbagai pendapat ulama itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa ijarah adalah jual beli
manfaat, maka mayoritas ulama melarang menyewa pepohonan untuk mendapatkan buahnya.
Karena buah dari pohon itu termasuk benda bukan manfaat, sedangkan ijarah adalah jual beli
manfaat bukan jual beli benda. Dan tidak boleh juga menyewa kambing untk mendapatkan susunya,
lemaknya, bulunya, atau anaknya. Karena semua itu adalah materi bukan manfaat.
7.3 Karakteristik Akad Ijarah
 Ijarah merupakan akad yang objeknya adalah manfaat, bukan benda. Ini untuk
membedakannya dengan jual beli dan hibah yang objeknya adalah benda/ barang.
 Hak memanfaatkan dalam Ijarah harus disertai dengan imbalan, yang dinamakan dengan
harga sewa. Hal ini untuk membedakan dengan akad pinjam meminjam, wasiat dan hibah.
7.4 Landasan Hukum Akad Ijarah
a. QS Al-Baqarah : 233
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
b. Q.S. Az-Zukhruf: 32
ْ ِ‫شزَُٓ ْىُف‬
ُ‫د‬
َُ ٍْ ‫ُسثِّكَ ََُحْ ٍُُلَ َغ ًَُْبُثَ ٍَُُْٓ ْىُ َي ِؼ‬
ٍ ‫بُٔ َسفَ ْؼَُبُثَغُْد ََس َجب‬
َ َ‫ُسحْ ًَخ‬
َ ٌَ ًُْٕ ‫ْطُُْ ْىٌَُ ْم ِغ‬
َ
َ ٍََْ ‫ًُان َحٍَب ِحُان ُّذ‬
ٍ ‫ظُٓ ْىُفَْٕ قَُثَؼ‬
ٌَُ ُْٕ‫ُسثِّكَ ُ َخٍْشُ ِي ًَّبٌَُجْ ًَؼ‬
ُ ‫نٍَِزَّ ِخ َزُثَ ْؼ‬
َ ُ‫بُٔ َسحْ ًَخ‬
َ ًٌّ‫عُٓ ْىُثَ ْؼعًبُع ُْخ ِش‬
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (AzZukhruf: 32)
b. Hadist riwayat Ibnu Majah
Diriwayatkan dari ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: ―Berbekam kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu. ‖ Rasullullah S.a.w. bersabda: ―Barang siapa
yang menyewa orang maka jelaskanlah upahnya‖.
c. Ijma‘ ulama
Adapun dari ijma‘; maka sesungguhnya para sahabat sudah sepakat bahwa sewa
menyewa adalah boleh, karena memang manusia membutuhkanya, sama halnya seperti
kebutuhan manusia akan jual beli barang barang. Maka jika jual beli barang dibolehkan
maka jual beli manfaat dari barang itu juga dibolehkan. Kesepakatan ini sudah ada sebelum
Abubakar al-ashom di lahirkan.
7.5. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut Jumhur ulama, Rukun ijarah ada 4, yaitu:
1)
Shigot (ucapan), yang terdiri dari:
a. Ijab (Penawaran yang dinyatakan dari pemilik asset)
b. Qabul (penerimaan yang dinyatakan dari penyewa)
Syarat-syaratnya :
d. Sighat akad ijarah adalah pernyataan niat dari dua pihak yang berkontrak, baik secara verbal
ataupun tulisan. Pernyataan tersebut berupa penawaran (Ijab) dari pemilik aset
penerimaan (Qabul) yang dinyatakan oleh penyewa.
e. Shighot Ijab dan Qabul dilaksanakan diawal kesepakatan atas akad Ijarah.
2) Orang yang berakad, yang terdiri dari:
a. Penyewa (Musta‘jir)
b. Pemilik barang (Mu‘ajir)
dan
Syarat-syaratnya:
Menurut Ulama Syafi‘iyah dan Hambali, dalam akad ijarah kedua orang yang berakad
disyaratkan taklif, yakni disyaratkan sudah berakal dan baligh, karena ijarah merupakan transaksi
kepemilikan barang menyerupai jual beli.
Menurut Ulama Hanafiyah, kedua orang yang berakad tidak disyaratkan baligh, maka
seandainya seorang anak kecil yang mumayiz, bila diizinkan, maka berlakulah akad ijarah yang
dilakukan dengan anak kecil tadi walaupun pada hakikatnya hak jual beli anak itu masih berada
dalam tanggunagn walinya.
Menurut Ulama Malikiyah, tamyiz adalah syarat dalam akad ijarah dan jual beli. Sedangkan
baligh adalah syarat pemberlakuan akad. Maka anak kecil yang mampu membedakan, kalau mampu
membedakan ketika ia menyewa dirinya atau barangnya maka sah akadnya.tapi akadnya masih
berada dalam kuasa walinya.
3) Objek Sewa (Manfaat)
Syarat-syaratnya :
 Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad Ijarah.
Selain itu, masing-masing pihak harus mempunyai wewenang untuk melakukan kontrak. Ini
berasal dari pandangan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang mengatakan bahwa
kewenangan bertindak adalah syarat bagi kontrak untuk bisa dilaksanakan.
 Pemilik objek sewa dapat meminta penyewa menyerahkan jaminan atas ijaroh untuk
menghindari resiko kerugian.
 Jumhur Ulama mengatakan bahwa Objek sewa dalam akad Ijarah adalah bukan barang yang
disewakan melainkan manfaat dari barang yang disewakan tersebut.
 Objek Ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung manfaatnya dan tidak
rusak(cacat). Bila dalam waktu tertentu manfaat tersebut tidak dapat dipenuhi, misalnya
karena kerusakan aset, pemberi sewa harus menyediakan penggantian. Mis: tidak boleh
menyewakan mobil yang sudah rusak mesinnya, karena apabila mesin mobil tersebut rusak
maka tidak dapat diambil manfaatnya dan tidak bisa digunakan secara langsung atau
menyewakan hewan tunggangan yang cacat kakinya atau lumpuh atau dalam kondisi sedang
sakit sehingga tidak bisa diambil manfaatnya secara utuh bahkan dapat menyebabkan
mudharat/ menyewakan rumah yang atapnya rusak.
 Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara‘. Mis: tidak boleh menyewa seseorang
untuk membunuh orang lain dan tidak boleh menyewakan rumah kepada non muslim untuk
dijadikan tempat ibadah mereka.
 Hendaklah objek Ijarah itu merupakan manfaat atas sesuatu yang biasa disewakan dan
berlaku luas di masyarakat, seperti: Rumah, Mobil, dan Hewan tunggangan.
 Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara sempurna dan jelas, sehingga
tidak muncul perselisihan di kemudian hari.
 Manfaat yang menjadi objek Ijarah adalah manfaat terhadap sesuatu yang dapat
dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria dan realita serta diperbolehkan berdasarkan
ketentuan syara‘ dan mubah hukumnya. Mis: tidak boleh menyewa penari atau penyanyi
yang gerakan atau lagunya menyalahi ketentuan hukum Islam yang dilarang.
 Ukuran jenis objek sewa (Ijarah) harus secara jelas diketahui dan tercantum didalam akad
Ijarah. Mis: menyewakan mobil Innova.
 Pekerjaan yang ditransaksikan tidak boleh bersifat fardhu ain atau kewajiban bagi si tukang
sebelum akad.
 Hendaklah orang yang disewa itu tidak memanfaatkan ilmunya.
 Harga sewa/ upah (Ujrah)
Syarat-syaratnya :
d. Harga Sewa (Ujrah) dapat didefinisikan sebagai imbalan yang diperjanjikan dan dibayar
oleh si penyewa sebagai harta atas manfaat yang dinikmatinya.
e. Harga sewa (Ujrah) harus dinyatakan secara jelas dan sesuatu yang bernilai harta serta
pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Sesuai dengan Hadits Rasullullah
S.a.w:
ِ‫ػٍُاثًُعؼٍذُلبلُاراُاعزبجشدُاجٍشاُفبػهًُّاجش‬
Dari Abi Said, Rasulullah berkata: ―Bila kamu menyewa seorang pekerja harus memberi
tahu upahnya‖. (Hadist AnNasai, no 3797, kitab Imam dan Nazar).
f. Jika manfaat sewa telah dinikmati, sedangkan nilai sewa tidak ditentukan, maka besarnya
sewa dari manfaat yang senilai harus dibayarkan.
g. Kebanyakan ulama membolehkan membayar ujrah selain dalam bentuk uang, yaitu dalam
bentuk manfaat yang serupa dengan objek kontrak. Mis: harga sewa rumah selama sehari
sebesar 300 ribu, kemudian si pemilik rumah membutuhkan mobil untuk kebutuhan nikah
anaknya selama satu hari dan kebetulan si penyewa rumah memiliki mobil dan dengan
kesepakatan harga sewa kedua belah pihak akhirnya harga sewa rumah dibayar dengan
harga sewa mobil.
h. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan ujrah dapat ditentukan dalam ukuran waktu,
tempat, dan jarak. Misalnya, seseorang berkata kepada lainnya: ‖jika anda menjahitkan baju
ini untuk saya pada hari ini, upahnya Rp 30.000,00. Sedangkan jika Anda menjahitkannya
besok, upahnya Rp 20.000,00‖. Atau jika Anda tinggal dirumah ini sebagai pedagang emas,
maka sewanya adalah Rp 2 juta, sedangkan jika Anda sebagai pembuat parfum, sewanya Rp
1juta ‖, dan sebagainya.
i. Pembayaran Ujrah di muka dibolehkan dalam syariah. Hal tersebut dapat merupakan
pembayaran di muka dari total Ujrah.
j. Dalam ujrah semua pembayaran adalah sewa yang dapat dipercepat atau ditunda, baik
keseluruhannya atau sebagian (jika ia merupakan bagian dari total Ujrah). Pembayaran itu dapat
dilakukan secara angsuran atau ditangguhkan setelah yang bersangkutan mengambil manfaat
dari jasa tersebut.
Sedangkan Menurut Ulama Hanafiyah rukun ijarah terdiri dari ijab dan qabul dengan
memakai lafaz kontrak, sewa ijarah,isti‘jar dan lafaz yang semakna lainnya. Ada 4 syarat yang
disyaratkan dalam ijarah, yaitu:
a) Syarat ketika bertransaksi
Ada tiga macam syarat yang harus dipenuhi dalam syarat ini yaitu syarat yang berhubungan
dengan pelaku transaksi, syarat yang berhubungan dengan transaksi itu sendiri dan syarat yang
berhubungan dengan tempat terjadinya akad.
Dalam hal ini yang dibahas hanya yang berhubungan dengan pelaku transaksi, disyaratkan
pelaku transaksi adalah orang yang berakal. Maka akad yang dilakukan dengan orang gila
secara pasti tidak sah.
b) Syarat-syarat pemberlakuan ijarah
Supaya akad berlaku bagi kedua belah pihak maka ada syarat bagi kedua belah pihak.
Disyaratkan kepada yang menyewakan bahwa barang yang disewakan adalah milik seutuhnya
dan barang yang ditransaksikan harus ada pada saat akad terjadi.
c) Syarat-syarat sahnya ijarah
Syarat sahnya ijarah berkaitan erat dengan syarat yang harus ada pada pelaku transaksi,
barang, tempat transaksi, ongkos sewa dan keadaan transaksi itu sendiri.
d)Syarat-syarat lazimnya ijarah
Barang yang disewakan harus bagus dan bersih dari aib yang membuat tidak mungkinnya
digunakan dan tidak ada udzur yang melarang pembatalan akad ijarah.
7.6 Sifat dan Hukum Akad Ijarah
 Sifat Akad Ijarah
Jumhur Ulama sepakat bahwa akad Ijarah merupakan akad yang bersifat lazim dan mengikat
kedua belah pihak yang melakukannya. Artinya ketika akad terjadi, masing-masing pihak harus
menunaikan kewajiban dan menerima hak masing-masing serta tidak boleh membatalkannya
kecuali ada hal-hal yang menurut ketentuan hukum (syara‘) dapat dijadikan alasan pembatalan atau
hal-hal yang membatalkan akad-akad lazim seperti ada aib atau hilangnya manfaat dari barang
sewaan dan tidak batal akad ijarah dengan matinya salah satu pelaku akad, karena ijarah adalah
akad lazim , maka tidak dibatalkan oleh meninggalnya salah satu pelaku akad, seperti jual beli.
Juga karena ijarah itu adalah akad terhadap manfaat maka seperti nikah, atau karena ijarah
adalah akad dengan pengganti (upah sewa) maka tidak dibatalkan dan hal ini merupakan prinsip
dasar akad Ijarah, karena Ijarah merupakan akad tukar menukar antara harta dengan harta yang
diambil manfaatnya. Allah S.w.t. berfirman, awfuu bi al‟ uquud (QS. Al-Maidah 1).
Sedangkan Menurut Ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim, kecuali bahwa akad itu
boleh dibatalkan dengan udzur, seperti dengan dalil ―awfuu bil uqdud‖ sedangkan pembatalan
disesuaikan dengan asalnya bukan dengan kegunaan dari akad.
 Hukum Akad Ijarah
Pada pelaksanaannya, Hukum dasar akad ijarah adalah kontrak itu harus bisa dilaksanakan.
Bila tak ada keterangan bagaimana pelaksanaan kontrak itu, atau tidak dicantumkan kapan kontrak
itu dimulai, maka ijarah akan dimulai pada saat berkontrak dan akan dilaksanakan mulai saat itu dan
Para ulama sependapat bahwa pelaksanaan sebuah kontrak ijarah dapat ditunda sampai suatu waktu.
Tetapi hal semacam itu dianggap oleh mazhab Hanafi sebagai kontrak yang tidak mengikat
dikarenakan menurut mazhab Hanafi, ijarah yang mengikat adalah kontrak yang sudah dilaksanakan
Hukum akad Ijarah yang Shahih adalah tetapnya hukum ijarah yang benar adalah
menetapnya hukum kepemilikan manfaat bagi si penyewa dan tetapnya kepemilikan dalam upah
yang ditentukan bagi yang menyewakan barang. Karena ia adalah akad dengan pengganti dan akad
jual beli manfaat. Adapun hukum akad Ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada
waktu akad. Zufar dan Syafi‘I berkata: wajib dalam ijarah yang rusak untuk membayar uang
sewanya seperti dalam jual beli, karena jual beli jika rusak harus membayar harga barang itu
semahal apapun.
7.7 Skema Ijarah
Supplier
(penjual)
Objek sewa
(ma‘jur)
Menyewa/membeli (2)
penyerahan barang (4)
Akad ijaroh (3)
Pemilik barang
(Bank)
Penyewa
(Nasabah)
Permohonan pembiayaan Ijarah (1)
Penjelasannya :

Nasabah mengajukan pembiayaan Ijarah ke Bank

Bank syariah membeli/ menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objek ijarah
dari supplier/ penjual/ pemilik.

Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan Bank mengenai barang objek Ijarah,
tarif Ijarah, periode ijarah dan biaya pemeliharaannya, maka akad pembiayaan ijarah
ditandatangani. Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.

Bank menyerahkan objek Ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah
periode Ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek Ijarah tersebut kepada Bank.
Bila bank membeli objek Ijarah tersebut (Al-Bai‘ wal Ijarah), setelah periode Ijarah
1.
berakhir objek Ijarah tersebut disimpan oleh bank sebagai asset yang dapat disewakan
kembali.
2.
Bila bank menyewa objek Ijarah tersebut (Al-Ijarah wal Ijarah atau Ijarah Paralel),
setelah periode Ijarah berakhir objek Ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepada
supplier/ penjual/ pemilik.
7.8 Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi objeknya, Ijarah dibagi menjadi 2 macam, yaitu Ijarah terhadap manfaat
dan Ijarah terhadap sewa pekerjaan.
1.
Ijarah terhadap manfaat (yang di akad kan adalah manfaat), terdiri dari:
2. Ijarah manfaat benda/ barang Ijarah manfaat benda/ barang dibagi menjadi 3 macam,
diantaranya:

Ijarah benda yang tidak bergerak (Uqar), yaitu mencakup benda-benda yang tidak dapat
dimanfaatkan kecuali dengan menggunakannya, seperti: sewa rumah untuk ditempati
atau sewa tanah untuk ditanami.

Ijarah kendaraan (kendaraan tradisional maupun modern) seperti: unta, kuda dan bendabenda yang memiliki fungsi sama seperti mobil, pesawat dll.

Ijarah barang-barang yang bisa dipindah-pindahkan, seperti: baju, perabotan dan tenda.
3. Ijarah manfaat manusia
Ijarah yang berupa manfaat manusia merupakan Ijarah yang objeknya adalah pekerjaan atau
jasa seseorang, seperti: buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dokter, konsultan dan advokat.
Ijarah jenis ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
4. Ijarah manfaat manusia yang bersifat khusus (khas), yaitu seseorang yang disewa tenaga
atau keahliannya secara khusus oleh penyewa untuk waktu tertentu dan dia tidak bisa melakukan
pekerjaan lain kecuali pekerjaan atau jasa untuk penyewa tersebut, seperti pembantu rumah tangga
yang hanya mengerjakan pekerjaan untuk majikannya bukan pada yang lain.
5. Ijarah manfaat manusia yang bersifat umum (musytarik), yaitu pekerjaan atau jasa
seseorang yang disewa atau diambil manfaatnya oleh banyak penyewa. Mis: Jasa dokter yang dapat
disewa oleh orang banyak dalam waktu tertentu.
1. Ijarah terhadap sewa pekerjaan (yang diakadkan pekerjaan).
Hukum Ijarah terhadap sewa pekerjaan, yaitu yang diakadkan terhadap pekerjaan yang
diketahui, seperti membangun menjahit, dan memikul ke tempat tertentu, dsb. Yang disewa itu ada
dua macam yaitu secara khusus dan secara bersama. Yang disewa secara khusus adalah yang disewa
satu dan dikerjakan satu orang dalam waktu tertentu, hukumnya ia tidak boleh menyuruh orang lain
mengerjakan kecuali dirinya sendiri. Sedangkan yang disewa bersama adalah yang dikerjakan oleh
semua orang seperti memperbaiki baju tukang besi, nyetrika, dll. Hukumnya boleh dikerjakan
semua orang dan si penyewa tidak berhak membatasinya dari orang lain.
2. Pemanfaatan dan pemeliharaan asset yang disewa

Pemanfaatan Asset yang disewa
Pemanfaatan objek sewa oleh penyewa ditentukan menurut syarat kontrak atau menurut
kebiasaan. Penyewa juga bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa dan
membayar pembayaran sewa (harga sewa).

Pemeliharaan Asset yang disewa
Pada prinsipnya kontrak sewa harus menyatakan siapa yang menanggung biaya
pemiliharaan asset objek sewa dengan jelas. Jika biaya pemeliharaan dimasukkan dalam akad, maka
si penyewa berhak mendapat uang ganti (reimbursement) atas perbaikan tersebut.
Hal tersebut diatas berlaku jika dilakukan dengan persetujuan pemberi sewa. Jika ia
mengerjakan pekerjaan itu tanpa izin pemberi sewa, tetapi atas inisiatifnya sendiri, maka pekerjaaan
pemeliharaan aset itu dianggap sebuah pemberian darinya dan ia tidak berhak mengklaim untuk
penggantian.
Pemberian sewa juga harus memelihara asset itu dan melaksanakan perbaikan yang
membuatnya layak digunakan. Jika ia menolak karena khawatir biaya perbaikan terlalu tinggi, maka
penyewa berhak membatalkan kembali, kecuali kalau ia menyewa dengan syarat harus
memperbaiki kerusakan sendiri.
7.9 Tanggung Jawab kerusakan atau kerugian pada objek Ijarah

Apabila seseorang menyewa sesuatu barang/ benda untuk dimanfaatkan maka, Para ulama
sepakat bahwa asset yang disewa adalah amanah di tangan penyewa. Namun, jika terjadi
kerusakan pada asset yang disewa tersebut, sedangkan kerusakan itu bukan disebabkan oleh
perbuatan atau kelalaian penyewa, maka penyewa tidak bertanggung jawab atas kerusakan
tersebut, kecuali kerusakan tersebut terjadi atas kelengahan dan kecerobohan penyewa
didalam menjaganya. Pada dasarnya, Penyewa hanya merupakan pihak yang mendapat izin
menikmati manfaat aset tersebut, tidak dapat dianggap sebagai penjamin dari asset yang
disewa itu.

Demikian juga yang terjadi pada Ijarah yang berupa pekerjaan atau jasa manusia, khususnya
yang bersifat khusus (khas), para Ulama sepakat bahwa apabila objek yang dikerjakannya
itu rusak ditangannya, bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka ia tidak boleh dituntut
ganti rugi. Mis: sebuah piring terjatuh dari tangan pembantu rumah tangga ketika
mencucinya.

Sedangkan ijarah yang
berupa pekerjaan atau jasa manusia yang bersifat umum
(musytarik), maka apabila pekerjaan yang dilakukan menimbulkan kerugian, para ulama
sepakat bahwa pekerja tersebut harus bertanggung jawab bila kerugian tersebut disebabkan
oleh kelalaian dan kecerobohannya.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat bila kerugian tersebut bukan karena kelalaian dan
kecerobohan. Menurut Ulama mazhab Hanafi, Syaf‘I dan hambali, ia tidak harus
bertanggung jawab karena akad Ijarah bersifat amanah sedangkan menurut Abu Yusuf dan
Syaibani, pekerja tersebut tetap harus bertanggung jawab kecuali kerugian tersebut
disebabkan oleh bencana banjir atau kebakaran yang umumnya tidak bisa dikendalikan.
7.10 Berakhirnya Akad Ijarah
Adapun hal-hal yang yang bisa menyebabkan batal atau berakhirnya akad Ijarah, yaitu:
o Salah satu pihak meninggal dunia. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hanafi. Bagi
mazhab ini manfaat yang diperoleh dari Ijarah adalah sesuatu yang terjadi secara
bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada dan tidak
sedang dimilikinya. Maka mustahil untuk bisa diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur
Ulama, akad Ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena
menurut Jumhur Ulama manfaat itu boleh diwariskan dan Ijarah sifatnya mengikat
kedua belah pihak.
o Menurut madzhab Hanafi, apabila ada udzur seperti rumah disita, maka akad berakhir.
Sedangkan jumhur ulama melihat, bahwa udzur yang membatalkan ijarah itu apabila
obyeknya mengandung cacat/ rusak atau manfaatnya hilang seperti rumah terbakar,
bencana alam, atau mobil yang hilang
o Tenggang waktu yang disepakati dalam akad Ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya dan apabila
yang disewa itu jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya.
o Menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad Ijarah itu hanyalah apabila
objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti
kebakaran atau dilanda banjir. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah apabila ada uzur
dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait hutang
yang banyak, maka akad Ijarah menjadi batal.
o Berakhir dengan Iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara kedua
belah pihak. Hal ini karena Ijarah merupakan akad pertukaran harta dengan harta yang
diambil manfaatnya.
7.11 Manfaat dan Resiko yang harus diantisipasi
Manfaat dari transaksi Ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang
pokok. Adapun resiko yang mungkin terjadi didalam Ijarah, yaitu:

Default, Penyewa atau nasabah sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau tidak mau
membayar harga sewa.

Aset rusak, sehingga biaya perawatan bertambah terutama bila disepakati bahwa biaya
perawatan ditanggung pemilik barang sewa.

Pemutusan kontrak, Penyewa atau nasabah berhenti ditengah kontrak dan tidak mau
membeli barang sewa. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan
mengembalikan sebagian kepada nasabah.
7.12. Aplikasi dalam Perbankan
Bank-bank islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam
bentuk operating lease maupun financial lease. Namun, pada umumnya bank-bank tersebut lebih
banyak menggunakan ijarah muntahia bitTamlik lantaran lebih sederhana dari sisi pembukuan.
Selain itu bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik daripada saat leasing
maupun sesudahnya.
7.13. Perbedaan Antara Pihak yang berakad
Jika berbeda pendapat antara dua pihak dalam akad ijarah dalam menentukan ukuran
pengganti dan ukuran yang diganti. Ijarah sudah sah pada awalnya, perbedaan muncul sebelum
sempurnanya manfaat (ijarah). Maka, masing-masing hendaklah bersumpah satu sama lain, seperti
sabda Rasulullah: ―Jika berselisih antara penjual dan pembeli keduanya harus bersumpah dan
saling menolak ―.(dikeluarkan oleh ashabussunnah yang empat dan Ahmad dan Syafi‘I dari
beberapa jalan dengan beberapa lafadz). Apabila perselisihan terjadi sesudah orang yang menyewa
menikmati sebagian manfaat, maka perkataan yang diterima adalah perkataan penyewa terhadap
apa yang dilaluinya setelah bersumpah dan keduanya harus saling bersumpah, kemudian penyewaan
yang masih tersisa dibatalkan.
7.14. Beberapa Masalah dalam Praktek Ijarah
a. Perihal pemanfaatan barang
Jika seorang menyewa sebuah rumah tempat tinggal, maka ia berhak memanfaatkan fungsi
rumah tersebut sebagai tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Ia juga berhak
mentasharufkan fungsi rumah tersebut sepanjang tidak menyimpang dari fungsinya.
Jika seseorang menyewa sebidang tanah, maka dalam akad harus dijelaskan fungsi tanah
tersebut apakah untuk pertanian, perkebunan, atau untuk mendirikan bangunan. Pihak penyewa
tidak berhak memanfaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang telah dinyatakan dalam akad.
b. Perihal perbaikan obyek sewa
Terkadang sebuah obyek sewaan tidak dilengkapi sarana yang layak untuk menunjang
fungsinya. Seperti rumah yang tidak dilengkapi dengan sumur, tidak ada saluran air, atau tidak
berjendela, dan lain sebagainya. Semua bentuk perbaikan fisik rumah yang berkenaan dengan
fungsi utamanya menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun pihak penyewa tidak berhak
menuntut perbaikan fasilitas rumah. Sebab pemilik menyewakan rumah dengan segala kekurangan
yang ada. Dan kesepakatan tentunya dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang
ada. Kecuali perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad.
Adapun kewajiban pihak penyewa sebatas pada perawatan, seperti menjaga kebersihan dan
tidak merusak. Sebab di tangan penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat.
c. Kerusakan barang sewaan
Akad ijarah dapatlah dikatakan sebagai akad yang menjualbelikan antara manfaat barang
dengan sejumlah imbalan sewa (ujrah). Dengan demikian tujuan ijarah dari pihak penyewa adalah
pemanfaatan fungsi barang secara optimal. Sedang dari pihak pemilik, ijarah bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa.
Apabila obyek sewa rusak sebelum terjadi penyerahan maka akad ijarah batal. Apabila
kerusakan tersebut terjadi setelah penyerahan, maka harus dipertimbangkan faktor penyebabnya.
Kalau kerusakan tersebut tidak dikarenakan kelalaian pihak penyewa, maka penyewa berhak
membatalkan sewa dan menuntut ganti rugi atas tidak terpenuhi hakya intuk memanfaatkan barang
sewaan secara optimal. Sebaliknya jika disebabkan oleh kelalaian penyewa, maka pemilik tidak
berhak membatalkan akad, tetapi ia berhak menuntut perbaikan atas kerusakan tersebut.
7.15. Perbedaan antara Ijarah dengan Leasing
1
Ijarah
Leasing
Objek: Manfaat barang dan jasa
Objek: Manfaat barang saja
Method of payment:
2
a. contingent to performance
b. Not contigent to performance
3
Method of payment: Not contingent to
performance
Transfer of titile:
Transfer of title:
a. Ijarah- no transfer of title
a. Operating lease – no transfer of title
b. IMBT – Promise to sell or hibah at theb. Financial lease – option to buy or not
beginning of period
to buy at the end of period
Lease purchase/sewa beli:
4
Bentuk leasing seperti ini haram karena
adanya gharar (yakni antara sewa dan
Lease – purchase / sewa beli OK
beli)
Penjelasannya:
1. Objek
Bila dilihat dari segi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang
saja. Jadi yang disewakan dalam leasing terbatas pada manfaat barang saja. Bila kita ingin
mendapatkan manfaat tenaga kerja, kita tidak dapat menggunakan leasing. Di lain pihak, objek yang
disewakan dalam ijarah bisa berupa barang maupun jasa atau tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan
untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk
mendapatkan manfaat tenaga kerja atau jasa disebut upah mengupah. Jadi yang disewakan dalam
ijarah adalah manfaat barang maupun manfaat tenaga kerja. Dengan demikian, bila dilihat dari segi
objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing.
2. Metode Pembayaran
Bila dilihat dari segi metode pembayarannya, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran
saja, yakni yang bersifat not contingent to performance. Artinya, pembayaran sewa pada leasing
tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa. Misalkan Ahmad menyewa mobil X pada Toyota
Rent Car untuk 2 hari dengan tarif Rp 1.000.000,-/hari. Dengan mobil tersebut Ahmad berencana
untuk pergi ke Bandung. Bila ternyata Ahmad tidak pergi ke Bandung, tetapi hanya ke Bogor,
Ahmad tetap harus membayar sewa mobil tersebut seharga Rp 1.000.000,-/hari. Dengan demikian,
penentuan harga sewa pada kasus diatas tergantung pada lamanya waktu sewa, bukan pada apakah
mobil tersebut dapat mengantarkan kita ke Bandung atau tidak.
Di lain pihak, dari segi metode pembayaran, Ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah
yang pembayarannya tergantung pada kinerja ojek yang disewa (contingent to performance) dan
Ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to
performance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut
ijarah, gaji dan atau sewa. Sedangkan Ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja
objek yang disewa disebut ju‘alah atau success fee.
Contoh ijarah yang not contingent to performance sama dengan contoh Ahmad diatas.
Sedangkan contoh Ju‘alah misalkan sebagai berikut: Ahmad ingin pergi ke Bandung bersama
keluarganya. Karena tidak ingin mengemudikan mobilnya sendiri, ia menghubungi perusahaan
travel, Ahmad mengatakan, ‖Tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan mobil
perusahaan anda. Jika anda bisa mengantarkan kami ke Bandung maka Anda akan dibayar sebesar
Rp 500.000,-.
Dalam akad Ju‘alah diatas, pembayaran sewa tidak tergantung pada berapa lamanya mobil itu
digunakan oleh si penyewa (seperti pada contoh leasing terdahulu). Pembayaran sewa tergantung
pada apakah mobil tersebut dapat mengantarkan si penyewa ke Bandung atau tidak (tergantung
kinerja). Bila ternyata mobil tersebut hanya mengantarkan sampai di Bogor, Ahmad tidak perlu
membayar.
Contoh lain misalnya, dalam upah mengupah buruh bangunan, dikenal dengan dua macam
sistem yaitu sistem upah harian dan sistem upah borongan. Upah harian ini adalah contoh Ijarah,
sedangkan upah borongan adalah contoh Ju‘alah.
3. Perpindahan Kepemilikan
Dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam leasing dikenal dengan dua jenis, yaitu: Operating
lease dan financial lease. Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan kepemilikan asset, baik
di awal maupun di akhir periode sewa. Sedangkan dalam financial lease, di akhir periode sewa, si
penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa tersebut. Jadi
perpindahan kepemilikan, masih berupa pilihan dan dilakukan di akhir periode.
Namun pada praktiknya (khusunya di Indonesia), dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi
untuk membeli atau tidak membeli, karena pilihan untuk membeli atau tidak membeli sudah
dikunci di awal periode.
Di lain pihak, Ijarah sama seperti operating lease, yakni tidak ada perpindahan kepemilikan baik
di awal maupun di akhir periode.
Namun demikian, pada akhir masa sewa bank dapat saja menjual barang yang disewakannya
kepada nasabah dan hal ini dikenal dengan Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) yaitu sewa yang
dikuti dengan berpindahnya kepemilikan. Harga sewa dan haga jual disepakati pada awal
perjanjian. Karena itu didalam IMBT, pihak yang menyewakan berjanji di awal periode kepada
pihak penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau menghibahkannya.
4. Lease-Purchase
Variasi lainnya dalam leasing adalah lease-purchase (sewa-beli), yakni kontrak sewa sekaligus
beli. Dalam kontrak sewa-beli ini, perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara
bertahap. Bila kontrak sewa-beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa
dengan milik yang menyewakan.
Dalam syariah, akad lease dan purchase ini diharamkan karena adanya dua akad sekaligus
(Shafqatain fi Al-Shafqah) yang menyebabkan gharar dalam akad yakni adanya ketidakjelasan akad,
apakah akad yang berlaku itu akad sewa atau akad beli.
5. Sale and Lease Back
Sale and Lease Back terjadi apabila A menjual barang X kepada B, tetapi karena A tetap ingin
memiliki barang X tersebut, B menyewakan nya kembali kepada A dengan kontrak financial lease,
sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang X tersebut di akhir periode.
7.16. Ijarah Muntahia BitTamlik(IMBT)
Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) adalah akad sewa-menyewa atas suatu barang tertentu
yang diakhiri dengan pengalihan kepemilikannya kepada penyewa. Nama lain dari Ijarah Muntahia
BitTamlik adalah Ijarah Wa ‗Iqtina. Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) disebut juga pemindahan
hak milik objek sewa, dan dapat dilakukan dengan cara:
a. Hibah di akhir masa sewa
Kepemilikan berpindah secara otomatis tanpa perlu masuk kepada sebuah kontrak baru.
Juga tanpa pembayaran tambahan dari luar angsuran terakhir dalam masa sewa. Dalam ijarah jenis
ini, kata-kata yang dicantumkan dalam kontrak sebagai berikut: ―Jika penyewa telah menyelesaikan
pembayaran angsuran terakhir sewa aset tersebut maka pemberi sewa akan menghibahkan aset
tersebut kepada penyewa‖. Selanjutnya, pengalihan aset itu tergantung pada syarat-syarat kedua
belah pihak dan janji hibah bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
b. Perpindahan kepemilikan (jual-beli) pada akhir masa sewa dengan pembayaran hadiah.
Kesepakatan ini meliputi :
1) Suatu kontrak ijarah dilaksanakan dengan nilai dan jangka waktu yang disepakati. Jika
masa sewa tersebut berakhir, berakhir pula lah ijarah.
2) Sebuah perjanjian yang menyebut penyewa akan masuk pada kontrak jual-beli pada
akhir masa ijarah. Untuk itu, selain menunaikan kewajibannya membayar sewa hingga
angsuran terakhir, penyewa harus membayar hadiah yang disepakati pada pemilik aset
semula.
3) Penjualan sebelum akad berakhir sebesar harga yang sama (sebanding) dengan sisa
cicilan sewa. Dalam ijarah ini terdapat janji pemberi sewa bahwa aset dapat dipindahkan
kepemilikannya kepada penyewa, kapan pun penyewa kehendaki, sebelum masa sewa
berakhir. Harga yang harus dibayarnya adalah sama dengan harga sisa cicilan. Status
kontrak ini tetap kontrak ijarah sampai kepemilikan aset itu dialihkan kepada penyewa
melalui akad jual-beli.
4) Penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang disepakati pada awal
akad. Kesepakatan ini pada dasarnya juga merupakan kontrak jual-beli. Kontrak jual
mengandung jumlah yang harus dibayar oleh penyewa (pembeli) untuk aset yang dijual
sesudah berakhirnya masa ijarah. Setelah penyewa membayar seluruh kewajibannya, aset
yang disewa itu menjadi terjual. Kepemilikan aset tersebut berpindah kepada penyewa
(pembeli).
5) Penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad.
Kesepakatan ini merupakan kontrak ijarah disertai janji yang dibuat oleh pemberi sewa
bahwa ia akan secara bertahap memindahkan kepemilikan aset yang disewa kepada
penyewa sampai penyewa memiliki asset tersebut secara penuh. Untuk itu, harga aset yang
disewa harus ditentukan dan dibagi dengan masa kontrak. Jika kontrak ijarah batal karena
ada alasan-alasan yang mendasar sebelum perpindahan kepemilikan secara penuh kepada
penyewa, aset yang disewa menjadi milik bersama penyewa dan pemberi sewa secara
proposional.
7.17 Ada 2 macam Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT), yaitu:

Al-Bai‟ wal Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni
akad al-Bai‘ dan akad Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT). Al-Bai‘ merupakan jual beli,
sedangkan IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa (Ijarah) dan jual beli atau
hibah di akhir masa sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah
satu dari dua cara berikut ini:
◦ Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan
finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan
relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa
belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank.
Karena itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki
barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode.

Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut
pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila
kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa
yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi
untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan
demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir periode sewa kepada pihak
penyewa.

IMBT Paralel
IMBT paralel merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau
hibah di akhir masa sewa. Untuk kondisi umum, bank dapat melakukan dua struktur
akad, yaitu:
1. IMBT paralel dengan janji menjual barang di akhir masa sewa
2. IMBT paralel dengan janji menghibahkan barang tersebut di akhir masa sewa.
Baik untuk transaksi Al-Bai‘ Wal Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) maupun IMBT paralel,
dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh
nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in
setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan secara bulanan juga.
Selain itu, nilai sewa yang berlaku harus berdasarkan harga barang dan besarnya cicilan barang
tersebut, sehingga dapat diketahui berapa harga jual di akhir masa menyewakan atau apakah dapat
langsung dengan hibah.
1.
Skema IMBT
SKEMA IJARAH MUNTAHIYAH BITTAMLIK
Supplier /
Pemasok
Nasabah /
Penyewa
Objek
Sewa
4. Menyerahkan
objek Sewa
2. Membeli Objek Sewa
Bank
Syariah
1. Mengajukan
Permohonan Sewa Beli
3. Akad Sewa
5. Membayar Sewa
Penjelasannya:

Nasabah mengajukan permohonan penyewaan barang kepada bank dengan janji akan terjadi
perpindahan kepemilikan saat jatuh tempo akad sewa.

Bank membeli barang tersebut kepada pihak lain sesuai kebutuhan nasabah.

Bank melakukan akad sewa dengan nasabah dan jaminannya merupakan objek sewa itu
sendiri.

Menyerahkan objek sewa ke nasabah dengan cara pembayaran diangsur.

Pada saat masa sewa berakhir, bank dapat menyerahkan objek sewa kepada nasabah melalui
hibah atau dijual dengan nilai akhir objek sewa sesuai kesepakatan.
7.17. Perhitungan Pembiayaan Ijarah
Bpk. Ahmad akan menyewa ruang perkantoran disebuah gedung selama 1 tahun mulai dari
tanggal 1 Mei 2002- 1 Mei 2003. Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai
dimuka sebesar Rp.240 juta. Dengan pola pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Bpk. Ahmad
tidak memungkinkan. Bpk. Ahmad hanya dapat membayar sewa secara angsuran perbulan. Untuk
memecahkan masalah ini, Bpk. Ahmad mendatangi sebuah bank syariah untuk meminta
pembiayaan, dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya.(required rate of profit bank
sebesar 20%).
Jawab :
Analisa Bank

Harga sewa 1 tahun (tunai dimuka) : Rp.240.000.000,-

Required rate of profit bank (20%)

Harga sewa kepada nasabah

Periode pembiayaan

Besarnya angsuran nasabah per bulan : Rp.24.000.000,-
: Rp. 48.000.000,: Rp.288.000.000,: 12 bulan (=360 hari)
Maka pembiayaan yang diberikan oleh Bank kepada Bpk.Ahmad adalah :

Pembiayaan Ijarah, dengan harga sewa Rp.288.000.000,-

Jangka waktu 12 bulan

Angsuran Rp.24.000.000,-/bulan
7.18. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Ijarah adalah salah satu prinsip
syariah yang digunakan untuk memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank
syariah menurut UU no. 10/1998. Sedangkan Secara fikih ijarah didefinisikan oleh Fatwa DSN
MUI sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Pembiayaan ijarah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah itu antara lain pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina, istilah ini
dipermakan dengan istilah ijarah mumtahiay bi tamlik). Jadi, perjanjian pembiayaan ijarah dapat
diartikan sebagai suatu perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa., bukan kegiatan sewa
menyewa itu sendiri.
Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau
bukan miliknya dan yang terpenting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang
kemudian disewakannya. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan
bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali dan objek ijarah
itu sendiri adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
Pertanyaan
1. Apakah Ijarah itu?
2. Ada berapakah jenis Ijarah? Sebutkan dan Jelaskan.
3. Dari jenis Ijarah tersebut, manakah yag pengaplikasiannya sering di pakai oleh masyarakat?
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2006. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Antonio, M.Syafi‘I, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. 1999. Jakarta: Tazkia
Institute.
Diktat Fiqh Muamalat. 2005. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.
Ghufron, Sofiniyah, Konsep dan Implementasi Bank Syariah. 2005. Jakarta: Renaisan.
Makalah KIEI (Kuliah Informal Ekonomi Islam). 2007. Depok: Universitas Indonesia.
www.ekonomisyariah.org.
BAB VIII
MUDHARABAH
Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem
bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik modal (shahibul maal) bekerja sama dengan
pengelola (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha.Apabila kegiatan usaha menghasilkan,
keuntungan dibagi dua. Dan apabila kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian ditanggung
bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi
(terdzalimi). Tujuan mempelajari bab ini adalah Mampu memahami akad, rukun, nisbah
keuntungan dan bentuk-bentuk pembiayaan mudharabah
8.1 PENDAHULUAN
Islam mensyari‘atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia.
Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya. Dan
terkadang adapula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan untuk
memproduktifkannya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman Mudharib, sedangkan mudharib
dapat memperoleh manfaat harta Shahibul Maal sebagai modal. Dan Allah tidak menetapkan segala
bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.
Dalam perekonomian konvensional, sistem riba menyebabkan tersedotnya uang di sektor
moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya
tersalur ke sector riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sector moneter dan menghambat
pertumbuhan bahkan menyusutkan sector riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan
menimbulkan inflasi.Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
8.2 MUDHARABAH
8.2.1 Definisi
‫انمشاضُُْٕدفغُانًبنكُيبالُنهؼبيمُنٍؼًمُفٍُُّٔانشثحُثًٍُٓب‬
Mudharabah ( qiradh ) adalah penyerahan harta dari shahibul maal ( Pemilik modal ) kepada
mudharib ( pengelola dana ) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungannya dibagi sesuai dengan
nisbah ( perbandingan laba rugi ) yang disepakati.
ٍُ‫ُألٌُانًبنكُلطغُلطؼخُيٍُيبنُّنٍزجشُفٍٓبُُٔلطؼخُي‬,‫ُُٔانمشاضُيشزكُيٍُانمشضُُُْٕٔانمطغ‬,‫انمشاضُُٔانًعبسثخُثًؼًُُٔاحذ‬
ّ‫سثح‬
Qiradh dan Mudharabah mempunyai arti yang sama, qiradh yang berasal dari kata AlQardhu yang berarti Al-Qath‘u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Mudharabah berasal dari kata :‫ انعشةُفًُاألسض‬yaitu bepergian untuk urusan dagang.
ُ:ُ‫ٔآخشٌٌُٔعشثٌُٕفًُاألسضٌُجزغٌُُٕيٍُفعمَُّللاُ(ُانًضيم‬20 )
― Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia Allah ( Q.S. : Al-Muzammil
ayat 20 )
8.2.2 Hukum
Hukumnya jaiz (boleh) dengan Ijma‘. Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan
Khadijah. Dengan modal daripadanya (Khadijah), Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal
tersebut untuk diperdagangkan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan : Mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah, beliau
mengetahui dan menetapkannya. Kalaulah tidak demikian (terlarang) tentu Rasulullah tidak
membiarkannya.
8.2.3 Rukun Dan Syarat Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan kabul, sementara jumhur ulama berpendapat bahwa rukun
mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (aqidaini), modal (ma‘qud alaih), dan
ijab qabuk (sighah). Ulama Syafi‘iyah lebih memerinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal,
pekerjaan, laba, sighah, dan dua orang yang akad. Pada pembahasan ini, pembagian rukun
mudharabah mengikuti jumhur ulama.
8.2.4 Rukun Mudharabah

Pelaku akad, yaitu shahibul mal adalah pihak yang memiliki modal tapi tidak bias berbisnis.
Dan mudharib adalah pihak yang pandai berbisnis tapi tidak memiliki modal;

Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh);

Shighah ,yaitu ijab dan qabul.
‫ُلبسظزكُأُٔػبيهزكُفًُكزاُػهًُأٌُانشثحُثٍُُب‬:ُ‫يثبلُانصٍغخ‬
Contoh Shigat : ―Saya percayakan uang ini kepada anda untuk dikelola, keuntungannya kita
bagi berdua.‖
8.2.5 Syarat- Syarat Khusus Yang Harus Dipenuhi Dalam Mudharabah
1. Syarat modal, yaitu
◦ Modal harus berupa uang;
◦ Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
◦ Modal harus tunai bukan hutang; dan
◦ Modal harus diserahkan kepada mitra kerja.
2.
Syarat keuntungan,yaitu
◦ Keuntungan harus jelas ukurannya; dan
◦ Keuntungan harus dengan pembgian yang disepakati kedua belah pihak.
8.2.6 Jenis-Jenis Mudharabah
ّ‫ُأٌٌُذُفغُانًبنكُانًبلُيعبسثخُيٍُغٍشُرؼٍٍٍُانؼًمُُٔانًكبٌُُٔانضيبٌُُٔصفخُانؼًمُُٔيٌٍُؼبيه‬:ُ‫انًعبسثخُانًطهمخ‬.
 Mudharabah muthlaqoh, yaitu bentuk kerja sama antara Shahibul mal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi dengan spesifikasi jenis usaha,waktu, dan daerah
bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh sering kali dicontohkan dengan
ungkapan if‟al ma syi‟ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang
memberi kekuasaan sangat besar.
‫ُلبلُسعٕلَُّللاُصهًَُّللاُػهٍُُّٔعهى‬:ُ‫ػٍُصبنحُثٍُصٍٓتُػٍُأثٍُّلبل‬
‫ثالسُفٍٍُٓانجشكخُانجٍغُإنًُأجمُُٔانًمبسظخُُٔأخالغُانجشُثبنشؼٍشُنهجٍذُالُنهجٍغ‬
‫ُأٌٌُؼٍٍُانًبنكُشٍئبُيٍُرانك‬:ُ‫ُٔانًعبسثخُانًمٍذح‬.
 Mudharabah muqoyyadah, yaitu ketika si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu, atau jenis usaha. Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan kecendrungan
umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
ُ‫ُكبٌُعٍذَبُانؼجبطُثٍُػجذُانًطهتُإراُدفغُانًبلُيعبسثخُاشزشغُػهًُصبحجُّأٌُال‬:ُ‫سٔيُاثٍُػجبطُسظًَُّللاُػًُٓبُأَُّلبل‬
ٍُُّٔ‫ٌغهكُثُّثحشأُُالٌُُضلُثُّٔادٌبُُٔالٌُشزشيُثُّداثخُرادُكجذُسغجخُفإٌُفؼمُرانكُظًٍُفجهغُششغُّسعٕلَُّللاُصهًَُّللاُػه‬
ِ‫عهىُفأجبص‬
8.2.7 Manfaat Mudharabah

Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan nasabah meningkat.

Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap,
tetapi disesuaikan dengan pendapatan /hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah
mengalami negative spread.

Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah sehingga tidak
memberatkan nasabah.

Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan
menguntungkan karena keuntungan yang kongkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.

Prinsip bagi hasil dalam mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan
menagih si penerima pembiyaan satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihaasilkan nasabah , sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
8.2.8 Risiko Mudharabah
Risiko yang terdapat dalam mudharabah , terutama penerapannya dalam pembiayaan,
relative tinggi. Diantaranya:
6. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
7. Lalai dan kesalahan yang disengaja;
8. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
8.2.9 Fasakhnya Mudharabah
Akad mudhorobah akan berakhir atau batal dengan kejadian-kejadian di bawah ini:

Tidak terpenuhi syarat sahnya.

Tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya, atau melakuakan sesuatu yang bertentangan
dengan tujuan akad.

Mudhorobah gugur atau batal karena fasakh atau ada larangan untuk mengelola.

Salah satu pihak hilang akal seperti gila. Ini membatalkan mudhorobah karena penyakit gila
menghilangkan ―ahliah‖ orang tersebut. Ahliah ialah kemampuan orang untuk dapat
dibebani oleh hukum.

Murtadnya si pemilik modal atau terbunuh dalam keadaan murtad. Ini tidak berlaku bagi
sang mudhorib. Menurut Imam Abu Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah karena
dengan murtadnya menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta.

Hancurnya modal di tangan mudhorib sebelum dapat dilaksanakan kontrak mudhorobah ini.
Ini membatalkannya karena tidak memungkinkan lagi dilanjutkan implementasi akad
mudhorobah karena modalnya tidak ada.

Meninggalnya salah satu dari orang yang melaksanakan akad seperti meninggalnya pemilik
modal atau mudhorib. Mudhorobah berakhir karena akad mudhorobah ini mengandung arti
perwakilan dan dalam suatu akad yang menerima perwakilan menjadi gugur atau batal jika
yang mewakilan atau yang melaksanakan perwakilan itu meninggal dunia.
1. Tindakan pelaksana setelah matinya Pemilik modal
Jika
Pemilik
modal
meninggal
dunia,
maka
mudharabah menjadi fasakh. Dan jika telah fasakh maka bagi pelaksana tidak ada hak untuk
menggunakan modal. Dan jika ia bertindak menggunakan modal setelah ia mengetahui
bahwa si Pemilik modal telah meninggal dunia dan tanpa izin ahli warisnya, maka perbuatan
ini dianggap sebagai ghasab ( merampas ).
8.2.10 Mudharabah Dengan Pihak Ketiga
ٌُ‫ُإنًُأ‬-‫ُأٔالُيزْتُانحُفٍخُالٌُجٕصُنهًعبسةُأٌٌُعبسةُثبنًبلُيغُشخصُآخشُإالُإراُفٕظُّصبحتُانًبل‬.‫انًعبسةٌُعبسة‬
ُ‫ُ فبنشاجحُػُذُانحُفٍخُأٌُانًعبسةُاألٔلُالٌُعًٍُفًُانًعبسثخُانصحٍحخُثًجشدُدفغُانًبلُإنًُانًعبسةُانثبًَُُٔإًَب‬-‫لبل‬
ًُ‫ُفٍؼطًُنشةُانًبلُسثحُّػه‬,‫ُُٔأيبُانشثحُانُبرجُيٍُانًعبسثخُفٍٕصعُحغتُانششغ‬.‫ٌعًٍُإراُػًمُانثبًَُسثحُانًبلُأوُنىٌُشثح‬
ًُ‫حغتُششغُّفًُػمذُانًعبسثخُاألٔنًُُٔيبٌُجمًُيٍُانشثحُثؼذُئزٌُكٌُٕثٍٍُانًعبسةُاألٔلُُٔانثبًَُػهًُحغتُششغًٍٓبُف‬
ًَ‫ػمذُانًعبسثخُانثب‬
Menurut Madzhab Hanafi; Mudharib tidak boleh mengeluarkan dana mudharabah /
mengadakan akad mudharabah dengan pihak ketiga, tanpa ada pemasrahan dari shahibul maal
(pemilik modal). Menurut pendapat yang unggul dari Madzhab Hanafi, mudharib tidak wajib
dhaman (ganti rugi) akibat menyerahkan dana/modal mudharabah pada pihak ketiga (mudharib
tsaani). Namun kewajiban dhaman terjadi bila pihak ketiga telah mengelola dana tersebut, baik
menghasilkan laba atau tidak. Adapun cara pembagian keuntungan, laba untuk nisbahnya shahibul
maal (pemilik modal) diberikan dan sisanya untuk mudharib (pengelola). Selanjutnya mudharib
pertama membagi laba bagiannya dengan mudharib kedua sesuai dengan nisbah yang mereka
tentukan.
ُِ‫ثبٍَبُيزْتُغٍشُانحُفٍخُلبلُانًبنكٍخٌُعًٍُانؼبيمُإراُلبسضُفًُيبلُانمشاضُثغٍشُإرٌُسةُانًبلُأيُدفؼُّنؼبيمُغٍش‬
ُُٔ‫ٌؼًمُفٍُّنزؼذٌُُّٔانشثحُحٍُئزُنهؼبيمُانثبًَُُٔنشةُانًبلُُٔالُسثحُنؼبيمُاألٔلُألٌُسثحُانمشاضُجؼمُالٌُغزحكُإالُثزًبوُانؼًم‬
‫انؼبيمُاألٔلُنىٌُؼًمُفالُسثحُنٌُُّٔغشوُانؼبيمُاألٔلُانثبًَُيبُششغُّنُّيٍُصٌبدحُفًُانشثحُانًغزحكُنُّيٍُسةُانًبل‬
Menurut Madzhab Maliki, mudharib harus dhaman (ganti rugi) bila dia melakukan akad
qiradh dengan pihak ketiga tanpa seizin pemilik modal, karena dia dianggap melakukan kelalaian.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi antara pihak ketiga (mudharib tsaani) dengan pemilik
modal. Jadi, mudharib pertama tidak mendapatkan keuntungan yang ada, karena dia tidak
mengelola modal sama sekali. Bahkan dia bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas kekurangankekurangan yang termaktub dalam perjanjian.
ُ‫ٔلبلُانشبفؼٍخُفًُاألصحُالٌُجٕصُنهؼبيمُأٌٌُمبسضُأخشُنٍشبسكُّفًُانؼًمُٔانشثحُٔنُٕكبٌُرانكُثإرٌُسةُانًبل‬
‫ٔحٍُئزٌُظمُانمشاضُيغُانؼبيمُاألٔلُصحٍحبٌُٔغزحكُانؼبيمُانثبًَُيٍُاألٔلُأجشحُانًثمُإراُػًم‬
Menurut Madzhab Syafi‘i; mudharib tidak diperbolehkan mengadakan akad mudharabah
dengan pihak ketiga, baik mendapat izin dari pemilik modal maupun tidak. Dan bila hal ini terjadi,
maka akad mudharabah terus berlangsung secara sah antara mudhari pertama dengan pemilik
modal. Sedangkan pihak ketiga (mudharib tsaani) berhak mendapat ujrah al-mitsl (upah) dari
mudharib awal atas kerja yang ia lakukan.
8.2.11 Aplikasi Dalam Perbankan
Mudharabah yang telah diterapkan sejak masa Rasulullah SAW kini semakin berkembang
seiring dengan berkembangnya perekonomian Islam yang ditandai dengan pesatnya kinerja Bank
Umum Syariah (BUS). Beraneka produk dan jasa pengelolaan maupun pembiayaan dana yang
ditawarkan oleh BUS tidak kalah variatif dan menguntungkan dibandingkan dengan bank-bank
konvensional. Apalagi, produk-produk BUS dilengkapi dengan nilai tambah yang tidak mungkin
dimiliki produk-produk bank konvensional yaitu nilai akhirat (nilai ibadah) karena muamalah di
dalamnya sesuai dengan syara‘. Termasuk di dalam produk BUS adalah mudharabah.
Pada dasarnya, mudharabah yang ditawarkan oleh BUS dibagi dalam dua kategori, yaitu:
◦
Produk Bagi Penyimpan Dana (Shahibul Maal)
Merupakan pilihan investasi dalam mata uang rupiah maupun USD dengan jangka waktu 1,
3, 6 dan 12 bulan yang ditujukan bagi nasabah yang ingin berinvestasi secara halal, murni sesuai
syariah. Dana nasabah akan diinvestasikan secara optimal untuk membiayai berbagai macam usaha
produktif yang berguna bagi kepentingan Ummat.
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada
sisi penghimpunan dana , mudharabah diterapkan pada:
Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang
dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, kurban, dan sebagainya;
Deposito
special,
dimana
dana
yang
dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah atau ijarah saja.
◦
Produk Bagi pengelola Dana (Mudharib)
Merupakan pembiayaan dalam bentuk modal/dana yang diberikan oleh Bank untuk dikelola
dalam usaha yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dalam pembiayaan ini pengelola/
pengusaha dan Bank sepakat untuk berbagi hasil atas pendapatan usaha tersebut. Resiko kerugian
ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian
dan
penyimpangan
pihak
nasabah
seperti
penyelewengan,
kecurangan
dan
penyalahgunaan. Pembiayaan yang dapat dibiayai antara lain perdagangan, industri, usaha atas
dasar kontrak, dan lain-lain berupa modal kerja dan investasi.
pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:

Pembiayaan modal kerja, seperti modal
kerja perdagangan dan jasa;

Investasi khusus, disebut juga mudharabah
muqoyyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.
Berikut ini terlampir fasilitas, keuntungan, dan persyaratan pembiayaan mudharabah pada Bank
Muamalat Indonesia (BMI):

Produk Penyimpanan Bagi Penyimpanan Dana
Keuntungan :
Memperoleh bagi hasil yang sangat menarik setiap bulan.
Investasi disalurkan untuk pembiayaan usaha produktifyang halal.
Fasilitas :
Jangka waktu 1,3,6, dan 12 bulan.
Dapat diperpanjang secara otomatis (Automatic Roll Over) pada saat jatuh
tempo.
Dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan atau untuk referensi Bank
Muamalat.
Persyaratan :
Nasabah Perorangan : Jumlah deposito minimal Rp. 1.000.000,- atau USD 500,
mengisi formulir pembukaan deposito, melampirkan copy identitas diri dan
NPWP.
Nasabah Perusahaan : Jumlah deposito minimal Rp. 1.000.000,- atau USD 500,
mengisi formulir pembukaan deposito dan melampirkan copy NPWP dan TDP
dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP).

Produk bagi Pengelola Dana (Mudharib)
Persyaratan Umum (Pembiayaan Rupiah dan US Dollar)
Usia 21-54 tahun (tidak melebihi usia pensiun)
Masa kerja minimal dua tahun
Foto kopi KTP suami istri sebanyak dua buah
Pembiayaan Konsumtif
dengan pengajuan
minimal Rp, 50 juta
(plafond)
Foto kopi Kartu Keluarga
Foto kopi Surat Nikah
Surat persetujuan suami/istri
Slip gaji asli selama 3 bulan terakhir
Surat keterangan/rekomendasi dari perusahaan
Foto kopi NPWP (bagi pengajuan diatas Rp. 100
juta)
Rekening bank selama 3 bulan terakhir
Surat Permohonan
Foto kopi NPWP
Foto kopi SIUP
Foto kopi TDP
AD/ART Koperasi dan perubahannya
Pembiayaan Koperasi
Surat pengesahan dari Departemen Koperasi
Susunan pengurus koperasi yang disahkan oleh
Departemen Koperasi
Laporan Keuangan 2 tahun terakhir
Laporan Rapat Anggaran Tahunan (RAT) selama 2
tahun terakhir
Cash flow projection selama masa pembiayaan
Data jaminan
Surat Permohonan
Foto kopi NPWP
Foto kopi SIUP
Foto kopi TDP dan kelengkapan izin usaha lainnya
Foto kopi KTP Direksi
Pembiayaan
(PT/CV)
Korporasi
Company Profile
Akta pendirian dan perubahannya
Surat pengesahan dari Departemen Kehakiman
Foto kopi rekening koran 3 bulan terakhir
Laporan Keuangan 2 tahun terakhir
Cash flow projection selama masa pembiayaan
8.2.12 Profit and loss Sharing, Revenue Sharing dan Profit Sharing
Konsep bagi hasil dan bagi rugi yang ditawarkan Islam adalah sistem mudaharabah atau
disebut dengan konsep profit and loss sharing. dimana untung dan rugi dari sebuah kerjasama
ditanggung oleh semua pihak yang bekerja sama. Ketentuan diatas merupakan konsekwensi logis
dari karakteristik akad mudharabah yang tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia modern.
Dalam kontrak ini, return akan tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Jika laba bisnis yang
diusahakan besar, maka kedua belah pihak akan mendapat bagian yang besar pula. Bila laba
bisnisnya kecil, maka mereka mendapat bagian yang kecil pula. Filosofi ini hanya dapat berjalan
jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal uang
tertentu. Namun demikian, jika usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian
bukan didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka dari itu
kontrak ini menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu prosentase
hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba. Apabila bisnis itu rugi, maka kerugiannya dibagi
berdasarkan porsi modal masing-masing. Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan kemampuan
untuk menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Kemampuan shahibul maal untuk
menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian karena
kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal dan karena proporsi modal shahibul maal dalam hal ini
adalah 100%, maka kerugian finansial ditanggung 100% oleh shahibul maal. Di sisi lain, karena
proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0% maka apabila terjadi kerugian, maka
mudharib akan menanggung kerugian finansial 0% pula.
Pada dasarnya kedua pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang
ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan obyek mudharabah yang dikontribusikannya.
Bila yang dikontribusikannya adalah uang, maka resikonya adalah hilangnya uang tersebut.
Sedangkan bila yang dikontribusikannya adalah kerja, maka resikonya adalah hilangnya kerja,
usaha dan waktu dengan tidak mendapat hasil apapun atas jerih payahnya selama berusaha. Inilah
yang dikenal dengan dua jenis kerugian dalam mudharabah. Sehingga jika mudharib diharuskan
juga memikul kerugian finansial maka artinya ia memikul dua jenis kerugian oleh satu pihak yaitu
mudharib saja dan ini tidak adil dan dilarang dalam Islam.
Namun perlu diingat bahwa jika kebangkrutan usaha itu atas kesalahan mudharib maka dia
yang menanggung semua kerugian usaha yang terjadi. Jika mudharib melakukan keteledoran,
kelalaian, kecerobohan dalam mengolah dana yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan dalam
prilakunya yang tidak termasuk dalam mudharabah yang disepakati atau keluar dari ketentuan
kerjasama, maka mudharib harus menanggung kerugian bisnis sesuai dengan kelalaiannya sebagai
sanksi dan tanggungjawabnya. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
‫"فما زوي اته عثاض زضي هللا عىهما اوً قال كان سيدوا انعثاض ته عثد انمطهة اذادفع انمال مضازتً اشتسط عهً صا حثً ان‬
ً‫ال يسهك تً تحسا واليىصل تً واديا وال يشتسي تً داتة ذات كثد زطثة فان فعم ذنك ضمه فثهغ شسطً زسىل هللا صم هللا عهي‬
"‫وسهم فاجاشي‬
“Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia mengatakan, adalah Abbas ibnu Abdul Mutholib jika
menyerahkan hartanya untuk mudharabah menetapkan syarat terhadap orang yang diberi modal
untuk tidak menggunakan jalan laut dan tidak bermalam di lembah serta tidak membeli hewan
yang jika dibeli maka ia menanggung kerugiannya. Maka telah sampai kepada Rasulullah syaratsyarat yang telah ditetapkan oleh Abbas dan Rasulullah membolehkannya.”(HR. Tabrani dari ibnu
Abbas)
Selanjutnya, untuk menyelesaikan kerugian yang terjadi maka cara yang bisa ditempuh
adalah diambil dari pokok modal usahanya, bukan dibebankan kepada mudharib. Dari ketentuanketentuan diatas nampak bahwa kedua pihak yang bekerja sama tidak akan merasa dirugikan
dengan pihak yang lain, baik ketika usaha itu laba maupun rugi.
Konsep profit and loss sharing ini jauh lebih kemanusiaan dibanding dengan konsep bagi
hasil yang lain, seperti revenue sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional. Konsep revenue
sharing adalah besaran yang diacu jasa dari suatu produksi. Hal itu berarti bahwa pembagian hasil
usaha itu dilakukan ketika pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan
produksi dikalikan dengan harga barang atau mendapat laba kotor dari usaha. Jadi biaya operasonal
usaha seperti zakat, pajak, cicilan hutang serta service charge dibebankan kepada mudharib atau
pekerja. Hal itu tentunya sangat merugikan bagi mudharib, karena dia harus menanggung biaya
operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul maal. Jika kejadiaanya demikian maka hal
itu mendhalimi pihak lain. Hal itulah yang ingin dihapuskan oleh Islam. Bentuk pembagian hasil
usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara revenue dan biaya operasional untuk suatu
produksi. Baik konsep revenue sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang terjadi pada
bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama
sekali.
Disinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama, bukan
untuk keuntungan satu pihak saja. Prinsip syariah yang berdasarkan bagi-hasil adalah mudharabah,
yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut
sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib. Pada perjanjian
Mudharabah ini, rabb al- mal menyetorkan modal usaha yang akan di kelola oleh mudharib dan
hasil keuntungan nya di bagi sesuai dengan kesepakan bersama kedua belah pihak dalam
persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba yang akan di peroleh.
Pada prinsip bagi-hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al_ mal dan 100% pengelolaan
bisnis nya di lakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan,
maka untung nya di bagi antara rabb al- mal dengan mudharib, kalau hasil usaha nya merugi, maka
kerugian sepenuh nya di tanggung oleh rabb al- mal, sementara mudharib akan mengalami rugi
waktu dan tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut di sebabkan oleh kelalaian dari mudharib maka
sudah sepatut nya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadi nya kerugian pada usaha tersebut.
8.2.13 Aplikasi Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak
pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat
kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si
pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk: pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan
bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan. Dalam
praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 atau 56 persen dari hasil investasi yang dilakukan
oleh bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut kira-kira setara dengan 11-12 persen.
Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk
berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti almudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan
diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut. Misalkan, dari modal Rp.30 juta diperoleh pendapatan
Rp.5 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan
pengembalian modal, sebut saja Rp.2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan
kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
Secara umum akad mudharabah juga dapat dipraktekkan sebagai berikut:
◦ Rekanan atau simple partnership, dimana pihak pertama memberikan modalnya sebagai
rabb al-mal dan pihak kedua menjadi mudharib atau managernya dan laba dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama pada saat akad di lakukan.
◦ Dana investasi mudharabah, seperti deposito mudharabah, di mana nasabah sebagai rabb
al-mal datang ke bank dan menyetorkan sejumlah uang nya untuk di kelola oleh pihak
bank yang bertindak sebagai mudharib, nisbah atau bagi-hasil dapat di negosiasikan
antara pihak nasabah dan pihak bank syariah.
◦ Project financing, Bank syariah yang bertindak sebagai rabb al-mal memberikan
pembiayaan kepada nasabah yang bertindak sebagai mudharib atau project manager nya.
◦ Letter of credit atau L/C, Nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana nya pada
rekening dengan menggunakan akad wadiah di Bank syariah, dan sebagai mudharib
bank akan menerbitkan LC dan melakukan pembayaran pada pihak lain dengan
menggunakan dana nasabah yang ada di bank, bagi hasil keuntungan dari usaha nasabah
akan di berikan kepada bank sesuai dengan perjanjian di muka.
◦
Takaful, dimana pada rekening investasi, nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana
investasi nya kepada pihak takaful sebagai mudharib yang akan mengelola dana tersebut
dengan konsep bagi hasil.
8.2.14 Format Pembagian Keuntungan yang Berlaku Umum.
Bagaimanakah tatacara atau prosedur perhitungan simpanan (giro, deposito dan tabungan)
pada perbankan syari‘ah ?
Drs.H.Karnaen Perwataatmadja, MPA dan H. Muhammad Syafi‘I Antonio, M.Ec dalam buku
tentang Apa dan Bagaimana Bank Islam (1993) mengetengahkan secara lengkap tatacara
perhitungan dan pemberian imbalan kepada pemegang rekening giro wadi‘ah, tabungan
mudharabah dan deposito mudharabah, sebagai berikut:

Mula-mula bank menetapkan dalam bobot tertentu berapa persen dana-dana yang disimpan
itu mengendap dalam satu tahun sehingga bisa digunakan dalam pembiayaan bank. Menurut
statistik, dana dari simpanan giro wadi‘ah hanya mengendap kurang lebih 70%, tabungan
mudharabah 100%, sedangkan deposito mudharabah tergantung dari jangka waktunya
masing-masing.

Apabila jangka waktunya 1 tahun, daya endapnya mencapai 100%, apabila kurang dari 1
tahun berarti lebih kecil 100% dan sebaliknya apabila lebih dari 1 tahun berarti lebih besar
dari 100%. Prosentase yang mengendap itu menunjukkan prosentase dari dana tersebut yang
berhak atas bagi hasil bank.

Tahap kedua, bank menetapkan jumlah masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi
hasil usaha bank menurut jenis simpanan yaitu giro wadi‘ah, tabungan mudharabah, dan
deposito
mudharabah
menurut
jangka
waktunya
sendiri-sendiri.
Adapun
cara
perhitungannya yaitu prosentase simpanan yang mengendap pada butir a dikalikan dengan
total simpanansesuai dengan jenisnya masing-masing.

Tahap ketiga, bank menetapkan jumlah ―pendapatan bagi hasil untuk masing-masing jenis
simpanan‖. Perhitungannya dilakukan dengan cara mengalikan total pendapatan bank yang
akan dibagihasilkan dengan hasil pembagian antara jumlah ―simpanan per jenisnya‖ pada
butir b dengan jumlah ―simpanan secara keseluruhan‖.

Tahap keempat, bank menetapkan porsi bagei hasil antara bank dengan nasabah per jenis
simpanan sesuai dengan situasi dan kondisi pasar yang berlaku. Sebagai contoh, bonus bagi
hasil antara bank dengan pemegang rekening giro wadi‘ah adalah 75% : 25% bagi hasil
antara bank dengan pemegang rekening tabungan mudharabah 50% : 50%. Bagi hasil
antara bank dengan pemegang rekening deposito mudharabah 30% : 70%.

Tahap kelima, bank menghitung dan menetapkan besarnya bagi hasil per jenis simpanan
sesuai porsinya masing-masing pada butir d.

Dan sebagai perhitungan akhir, bank menetapkan besarnya bagi hasil untuk ―setiap
pemegang rekening‖ melalui perbandingan antara jumlah simpanan yang bersangkutan
dengan total simpanan per jenisnya, lalu dikalikan dengan total pendapatan pad butir e.
Prof. Dr. Sutan Remy S Jahdeini SH, dalam perbankan Islam (2005) mengemukakan
beberapa contoh perhitungan mudharabah baik dalam tabungan maupun deposito berjangka yang
dilakukan Bank Muamalat Indonesia (BMI) sejak tahun 1992.
PERTAMA : Contoh perhitungan ―tabungan" mudharabah.
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di BMI yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian. Dalam hal ini, BMI
bertindak sebagai mudharib, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul maal. BMI sebagai
mudharib akan membagi keuntungan kepada shahibul maal sesuai dengan nisbah yang telah
disetujui bersama.
Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang
mengendap selama periode tersebut. Misalnya seorang penabung memiliki tabungan mudharabah
sebesar Rp. 5000.000, 00 nisbah bagi hasilnya 50% : 50%.
Diasumsikan total saldo rata-rata tabungan mudharabah yang ada di BMI Rp. 100.000.000,
00 dan keuntungan yang diperoleh untuk dana tabungan sebesar Rp.3.000.000, 00. Maka pada akhir
bulan penabung tersebut akan memperoleh dana bagi hasil dari bank sebagai berikut :
Rp. 5.000.000
x
Rp. 3.000.000
X 50% = Rp. 75.000
Rp. 100.000.000
Dari perhitungan di atas, nasabah memperoleh dana bagi hasil Rp. 75.000,- sebelum diperhitungkan
atau dikurangi dengan pajak.
KEDUA : Contoh perhitungan ―deposito‖ mudharabah.
Deposito mudharabah yang disebut juga sebagai deposito investasi mudharabah, adalah
sejenis investasi melalui pihak ketiga (perseroan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat
dilakukan dalam jangka waktu tertentu (tanggal jatuh tempo), dengan mendapatkan imbalan bagi
hasil. Imbalan ini dilakukan dalam bentuk pembagian pendapatan (revenue sharing) atas
penggunaan dana tersebut secara syari‘ah dengan pembagian (nisbah atau proporsi) tertentu,
misalnya 70 : 30. Artinya, untuk deposan sebesar 70% dan untuk bank 30%. Jangka waktu Deposito
Mudharabah ini berkisar antara 1 tahun, 6 bulan, 3 bulan dan 1 bulan.
Sebagai contoh, seorang nasabah menempatkan dana Deposito Investasi Mudharabah
sebesar Rp. 10 juta untuk jangka waktu 1 bulan. Diasumsikan total dana investasi mudharabah
sebesar Rp. 250 juta, sedangkan keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito (profit sharing)
sebesar Rp. 6 juta. Pada saat jatuh tempo, nasabah akan memperoleh dana bagi hasil sebagai berikut
:
Rp. 1.000.000
x Rp. 6.000.000
X 70% = Rp. 168.000
Rp.250.000.000
Jadi atas investasi ini nasabah mendapatkan dana bagi hasil sebesar Rp. 168.000,- (belum
diperhitungkan atau dikurangi dengan pajak).
D. CONTOH KASUS

Perbandingan Antara Bank Syari‘ah dan Bank Konvensional
BANK SYARI‘AH
BANK KONVENSIONAL
Bapak A memiliki Deposito Nominal
Bapak B memiliki Deposito Nominal
= Rp. 10.000.000, 00
= Rp. 10.000.000, 00
Jangka Waktu = 1 (satu) bulan
Jangka Waktu = 1 (satu) bulan
(1 Jan 2000 – 1 Feb 2000)
(1 jan 2000 – 1 Feb 2000)
Nisbah = Deposan 57% : Bank 43%
Bunga = 20%
Jika keuntungan yang diperoleh untuk
deposito dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp.
30.000.000, 00 dan rata-rata saldo deposito
jangka waktu satu bulan adalah Rp.
950.000.000, 00
Pertanyaan : Berapa keuntungan yang Pertanyaan : Berapa bunga yang diperoleh
diperoleh Bapak A ?
Bapak B ?
Jawab :
Jawab :
Rp. (10.000.000 : 950.000.000)
Rp. 10.000.000, 00 x (31 : 365 hari)
x Rp. 30.000.000, 00 x 57%
x 20%
= Rp. 180.000, 00
= Rp. 169.863, 00
V.KESIMPULAN
2. Kesimpulan I
BANK SYARI‘AH
BANK KONVENSIONAL
Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh Besar kecilnya bunga yang diperoleh
deposan bergantung pada :
deposan bergantung pada :
 Pendapatan bank
o Tingkat bunga yang berlaku
 Nisbah bagi hasil antara nasabah
o Nominal deposito
o Jangka waktu deposito
dan bank
 Nominal deposito nasabah
 Rata-rata saldo deposito untuk
jangka waktu tertentu yang ada
pada bank
 Jangka waktu deposito karena
berpengaruh
pada
lamanya
investasi

Kesimpulan II
BANK SYARI‘AH
13. Bank
BANK KONVENSIONAL
Syari‘ah
keuntungan
memberi
kepada
deposan
dengan pendekatan LDR (Loan to
Deposit Ratio),
yaitu
mempertimbangkan
rasio
pembiayaan yang diberikan
14. Dalam perbankan syari‘ah, LDR
saja
mencerminkan
bunga
yang
diberikan
kepada deposan menjadi beban
biaya langsung
16. Tanpa
antara dana pihak ketiga dan
bukan
15. Semua
memperhitungkan
berapa
pendapatan yang dapat dihasilkan
dari dana yang dihimpun
17. Konsekuensinya,
menambahi
peminjam
bank
harus
bila
bunga
dari
ternyata
lebih
kecil
keseimbangan, tetapi juga keadilan
dibandingkan dengan kewajiban
karena
benar-benar
bunga ke deposan. Hal ini terkenal
membagikan hasil riil dari dunia
dengan istilah negative spread atau
bank
usaha (loan) kepada penabung
keuntungan negatif alias rugi
(deposit)
3. PENUTUP
a. Prinsip bagi hasil merupakan alternatif operasional yang dapat diterapkan dalam kegiatan
perbankan untuk menghindari riba dengan berbagi dalam untung dan rugi yang berdasarkan syariah
Islam. Dalam prinsip bagi hasil didasari prinsip At Ta awun, yaitu saling membantu dan saling
bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan dan prinsip menghindari Al Iktinaz,
yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur yang tidak berputar dalam transaksi
yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Prinsip bagi hasil (Syirkah) salah satunya diaplikasikan
dalam akad mudharabah. Mudharabah terdiri dari mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
b. Pembagian keuntungan dalam pembiayaan mudharabah sesuai nisbah yang telah
disepakati dan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (revenue sharing) dari hasil usaha mudharib.
Karena dana yang digunakan dalam pembiayaan mudharabah sebagian besar berasal dari dana
masyarakat (dana pihak ke tiga). Sehingga bank syariah harus melakukan cara-cara agar dana dari
nasabah penyimpan dana yang digunakan dalam pembiayaan tidak dirugikan karena resiko dalam
pembiayaan bagi hasil relatif tinggi. Bank syariah dalam menangani pembiayaan bermasalah
melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah. Upaya penyelamatan
pembiayaan bermasalah dilakukan dengan restrukturisasi pembiayaan melalui penjadwalan kembali
pembiayaan (reschedulling), menambah fasilitas pembiayaan dan penyertaan modal sementara.
Sedangkan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dilakukan penyelesaian melalui jaminan,
hapus buku pembiayaan (write off) dan penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi maupun
non litigasi (arbitrase).
Saran
a. Dalam kerangka berpikir dengan niat amar ma ruf nahi munkar, diperlukan komitmen
penuh bagi pihak-pihak terkait dengan perbankan syariah dalam meningkatkan pemahaman
masyarakat mengenai keberadaan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan. Hal ini karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim serta tidak adanya larangan bermuamalah dengan
orang selain muslim.
b. Dengan tingginya resiko dalam pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Profit and Loss
Sharing Principle), maka diperlukan upaya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas
SDM pengelola dan pengambil kebijakan perbankan syariah agar bisa menerapkan ketentuan
perbankan dan menjaga prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan perbankan syariah di Indonesia.
Dan, keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep dan operasional perbankan
syariah sangat diperlukan sebagai pembeda yang jelas antara prinsip-prinsip operasional bank
syariah dengan bank konvensional.
Pertanyaan - Pertanyaan
1. Apakah Aqad Mudharabah ini merupakan murni ajaran syariat islam ? atau hanyalah
adopsian dari kebiasaan kabilah arab zaman dahulu !
2. Apakah akad mudharabah dalam pembiayaan perbankan syariah scara aplikasi sudah
diterapkan ?
3. Menurut Anda, sudah tepatkan porsi penggunaan akad mudharabah untuk kemajuan sektor
usaha di Indonesia?
4. Adakah kendala-kendala dalam mengaplikasikan akad Mudharabah di perbankan syariah?
DAFTAR PUSTAKA
 Antonio, Muhammad Syafi‘I,2001, Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press
 Mansur, Husaini dkk, 2007, Dimensi Perbankan Dalam Al-qur‘an, Jakarta:Vmax
 Noor, Dumairi dkk, 2007, Ekonomi Syariah Versi Salaf, Pasuruan: Pustaka Sidogiri
 Kitab Kifayatul Akhyar Jilid 1
 http://www.google.co.id/ekonomisyariah/mudhrobah/20%/bank

h
ttp://www.bankmandiri.co.id
BAB IX
PROFIT AND LOSS SHARING
Implementasi system ekonomi Islam diwujudkan –salah satunya- dalam system perbankan
Islam. Akad yang paling menjadi popular dari perbankan Islam, dan menjadi suatu ciri khusus
berlandaskan yakni Profit And Loss Sharing. Berbeda dengan system perbankan konvensional yang
sangat tergantung dengan besaran bunga, landasan ini mengandung dimensi yang cukup luas
sehingga bila dapat dilaksanakan secara optima akan menciptakan keadilan bagi kedua belah
pihak.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu mengerti dan mempraktikan perhitungan bagi
hasil.
9.1 PENDAHULUAN
Seiring dengan semakin runtuhnya perkembangan ekonomi capital yang ditunjukkan
melalui kegagala system tersebut dalam mencari solusi permasalahan-permasalahan ekonomi yang
dialami oleh masyarakat dunia. Kegagalan ini dapat kita lihat dari krisis ekonomi yang melanda
dunia akibat dari system ekonomi yang mengandalkan bunga dengan tingkat sekulasi yang cukup
tinggi. Bubble economy telah berhasil merusak system ekonomi dunia, bahkan negara sekaliber
amerika pun turut ambruk akibat dari perilaku ini.
Semakin besar dan banyaknya permasalahan ekonomi yang timbul –yang tidak bisa
dipecahkan oleh system ekonomi liberal- secara alamiah akan menuntut manusia untuk mencaricari system ekonomi seperti apakah yang cocok dan mampu mengeluarkan mereka dari
permasalahan ekonominya.
Salah satu system ekonomi yang tengah berkembang saat ini adalah system ekonomi Islam.
Sistem ini menawarkan sebuah perekonomian yang bebas dari bunga. Karena bunga merupakan
salah satu pangkal tolak dari keburukan system capital. Dimensi social yang rapuh dalam system
capital, di coba untuk disatukan dalam system ekonomi Islam. Karena salah satu prinsip utama dari
system ekkonomi Islam adalah keadilan bagi semua umat dunia dengan mengedepankan
mashlahah.
Dengan perkembangan perbankan Islam di Indonesia saat ini yang semakin pesat
diharapkan komposisi akad mudharabah ini akan semakin luas atau banyak, sehingga mashlahah
yang diciptakan pun akan semakin luas menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat miskin di
Indonesia.
Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian
kaum muslimin. Fungsi-fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi
tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan
keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang.
Bank Syari‘ah adalah lembaga keuangan yang memakai syariat-syariat Islam yang mana
hubungan nasabah-nasabah dengan Bank sangat erat akan tetapi melalui akad-akad Syari‘ah yang
diterapkan oleh agama Islam.
9.1.1 Seputar Bank Syariah
Bank syaria‘h mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan
pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman,
Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.Berangkat
dari sini, Majlis Ulama‘ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank
syari‘ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan
di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV
MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Keberadaan bank syariah diakui secara tegas sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kemudian keberadaan bank syariah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, dan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
tentang bank syariah, yang sekaligus menjadi prinsip operasional bank syariah. Selain itu bank
syariah juga mendasarkan prinsip operasionalnya pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 danUndang-undang Nomor 23
Tahun 1999 menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu adanya
dua sistem (konvensional dan syariah) yang beroperasi dalam sebuah bank.
Prinsip operasional bank syariah adalah prinsip bagi hasil (profit and loss sharing).
9.1.2 Pengertian Bagi Hasil
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di
dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil
atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem
perbankan syari‘ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan
syari‘ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal
terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan
sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masingmasing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Selain itu bagi hasil juga diartikan sebagai laba (profit) dan bagi rugi (loss) dari suatu hasil
(revenue) dari usaha perhitungan-perhitungan yang disebut mudharabah.
Dalam dunia perbankan bagi hasil adalah keuntungan atau hasil dengan diperoleh dari pengelolaan
dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan persyaratan,
yaitu:
o Perhitungan bagi hasil disepekati menggunakan pendekatan atau pla revenue sharing dan
profit loss sharing.
o Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati diawal akad dan tercantum dalam akad.
o Nasabah akan menanggung konsekwensinya yang berakibat pada tidak memperoleh atau
menerima bagi hasil apabila bank rugi dan menanggung kerugian yang berdampak
berkurangnya nilai uang yang diinvestasikan atau mungkin tidak kembalinya uang yang
diinvestasikan apabila system yang digunakan adalah profit loss sharing.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari‘ah terdiri dari
dua sistem, yaitu:
a. Profit Sharing
b. Revenue Sharing
9.2 PENGERTIAN PROFIT SHARING
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan
(total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil
bersih dari totalpendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit
and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari
pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian
kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan
kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha
tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal
perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi
masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun
keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja
yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah
dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha.
Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka
lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya
menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang
merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
9.3 PENGERTIAN REVENUE SHARING
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang
berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti
bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu
perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari
pendapatan penjualan (sales revenue).
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out
put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu
produksi tersebut.
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba
(profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi
penjualan, administrasi dan keuangan.
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip
ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang
merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang
tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah
dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal
(capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank
adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas
pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana
(investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini
merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue
Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa
dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil
didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku
pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales),
yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
9.4 JENIS SISTEM BAGI HASIL
Musyarakah
Secara bahasa syirkah atau musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu
modal dengan modal lain sehingga tidak apat dipisahkan satu sama lain. Dalam istilah fiqih syirkah
adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam
keuntungan.
Musyarakah (syirkah) adalah percampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan.
Transaksi ini dilandasi oleh adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk
meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua modal di satukan untuk
dijadikan modal proyek musyarakah dan di kelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut
serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang
perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan
(property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan
uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan
atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel. Landasan hukum syari‘ahnya
adalah:
Al-Qur‘an surah As-shaad (38) : 24
Artinya: “Daud Berkata: sesungguhnya dia telah berbuat dzalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebahagian dari mereka berbuat
dzalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud
mengetahuinya bahwa kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada tuhannya
lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
1. Al-Hadits“Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Allah SWT
berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah
satunya tidak mengkhianati lainnya” (hadits riwayat Abu Daud dan disahkan oleh
hakim)
Mudharabah
Adalah bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih, dimana pemilik modal (shohibul
maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengansuatu perjanjian
pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal
shahhhibul maal dan keahlian dari mudharib.
Dalam mudharabah modal hanya berasal dari salah satu pihak, sedangkan dalam
musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Jika obyek yag di danai ditentukan oleh
pemilik modal, maka kontrak tersebut dinamakan mudharabah al muqayyadah. Karakteristik
mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah
terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen
proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia
diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi
atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal
dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah
dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang
menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak
harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak
untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak
ajaran Islam.
Muzara’ah
Adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara
dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.
Muzara‘ah sering di identikkan dengan mukhabarah. Diantarakeduanya terdapat sedikit
perbedaan sebagai berikut: pada muzara‘ah benihnya yang akan ditanam dari pemilik lahannya,
sedangkan pda mukhabarah benihnya dari penggarap.
Musaqah
Adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara‘ah di mana si penggarap hanya
bertangggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalannya, si penggarap berhak
atas nisbah (bagi hasil) tertentu dari hasil panen.
Landasan syari‘ah dari musaqah adalah:
 Al-Hadits: ‖dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau
kepada penduduk Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan
memberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil
tanaman (palawija).” (HR. Muslim)
 Fatwa DSN-MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000
DSN MUI telah mengeluarkan fatwa yang menetapkan tentang bagi hasil (revenue sharing)
yaitu pada fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 tentang prinsip distribusi bagi hasil dalam lembaga
keuangan syari‘ah. Dasar hukum fatwa tersebut terdapat dalam:
 Al-Qur‘an surah al-Baqarah ayat 282:
Artinya: ―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‘amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang di tentukan, hendaklah menuliskannya‖
 Al-Qur‘an surah al-Maidah ayat 1:
Artinya: ‖Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu‖
 Hadits riwayat Tirmizi dari ‗Amr bin ‗Auf:
“perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharanmkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
 Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‗Ubadah bin shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu
‗Abbas, dan Malik dari Yahya:
―Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain‖
 Kaidah fiqih yang artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Dan kaidah fiqh lain: “Dimana terdapat
kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah”
9.5 ANALISA FATWA KEBOLEHAN REVENUE SHARING
Berdasarkan dalil-dalil dan setelah menelaahnya maka DSN menetapkan fatwa tentang
distribusi hasil usaha dalam LKS antara lain:
Pada dasarnya LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi
untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah) nya sesuai
dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak atau lebih. Bila salah seorang
menetapkan sendiri penetapan tentang pola bagi hasil usaha yang akan digunakan namun
pihak lain juga harus menyetujui penetapan itu.
Diperbolehkannya kedua sistem tersebut dengan melihat bahwa baik prinsip bagi hasil
(revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) belum ditemukan dalil nash yang
mengharamkan atau melarang prinsip tersebut.
 Dilihat dari segi kemaslahatannya (al-ashlah), pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan
prinsip bagi hasil (revenue sharing). Karena pada prinsip sistem profit sharing yang di
dalam penerapannya banyak kendala, diantaranya adalah sulitnya pengakuan atau estimasi
biaya yang dikeluarkan dalam usaha, serta rumitnya pola pembagiannya pada prinsip
perbankan modern, maka pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil
(revenue sharing) yang akan memberi kemudahan bagi kedua belah pihak dalam pembagian
perolehan hasil usaha.
 Prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) adalah termasuk dalam
muamalah. Dalam kaidah fiqih, semua muamalah itu diperbolehkan kecuali bila ada dalil
yang mengharamkan tentang prinsip bagi hasil (revenue sharing) dan bagi untung (profit
sharing) maka kedua prinsip tersebut boleh digunakan dalam LKS.
 Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Revenue pada perbankan syari‘ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana
(investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini
merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Revenue di dalam arti perbankan yaitu jumlah dari pengasilan bunga bank yang diterima dari
penyaluran dananya atau jasa atas pijaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
 Kelebihan dan Kelemahan Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam system Profit and Loss Sharing dan Revenue
Sharing
9.6 KELEBIHAN SITEM PROFIT AND LOSS SHARING DAN REVENUE SHARING
Kelebihan dari system Profit and Loss Sharing dan system Revenue Sharing dibandingkan
dengan system konvensional adalah:
1. Merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam
transaksi dan pembiayaan jangka pendek.
2. Tingkat investasi lebih tinggi karena diberikan penawaran yang memadai terhadap
dana-dana yang dapat dipinjamkan, karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian
bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan
ketidak tentukan hasil produksinya.
9.7 KELEMAHAN SISTEM PROFIT DAN LOSS SHARING DAN REVENUE SHARING
 Kelemahan system Profit and Loss Sharing
Kelemahan system profit and loss sharing dalam penerapannya menyebabkan berbagai
problem yang berkaitan dengan penggunaan profit and loss sharing dalam aktivitas investasi bankbank Islam.
Berdasarkan teori perbankan Islam kontenporer, prinsip mudharabah dan musyarakah dijadikan
sebagai alternative penerapan system bagi hasil (profit and loss sharing). Meskipun demikian,
dalam prakteknya, ternyata signifikasi profit and loss sharing dalam memainkan operasional
investasi dana bank peranannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan Islam, hal ini
terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:
a) Standar moral
Terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkemang di kebanyakan
komunitas muslim tidak memberikan kebebasan penggunaan profit and loss sharing
sebagai mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argumentasi yang mendorong bank
untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi yang diberikan.
Yang demikian itu membuat operasional perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak
efisien. Berdasarkan alasan ini bank-bank Islam menggunakan pembiayaan profit and
loss sharing yang diberikan setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap
bisnis yang akan dijalankan, dana hanya akan diberikan kepada partner yang efisien
dalam mengelola bisnis,jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan
adalah profitable, serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek dan
bukan untuk pembiayaan jangka panjang serta bukan pembiayaan untuk lembaga.
b) Ketidakefektifan model pembiayaan profit and loss sharing
Pembiayaan profit and loss sharing tidak melayani berbagai macam kebutuhan
pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Meskipun demikian, profit and loss sharing
yang diterapkan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik
untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka
pendek. Namun kemungkinan untuk dilaksanakan ke dalam kredit institusional menjadi
terlambat. Berbagai problem yang berkaitan dengan aplikasinya membuat prinsip
mudharabahdan musyarakah pada level kredit institusional benar-benar tidak dapat di
pakai. Alasannya adalah meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran
belanjanya, dengan demikian permintaan pemakaian pinjaman dengan mengggunakan
sistem profit and loss sharing menjadi tidak terpenuhi.
c) Berkaitan dengan para pengusaha
Keterkaitn bank dengan peminjam, system profit and loss sharing dalam
membantu perkembangan usaha lebih bnyak terlibat secara langsung dari pada system
lainnya pada bank konvensional. Bank-bank Islam memerlukan informasi lebih detail
tentang aktivitas bisnis yang mereka biayai dan besar kemungkinan pihak bank turut
mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis partnernya. Pada sistem lain,
keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih
memita kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam menggunakan dana yang
mereka pinjamkan.
d) Dari segi biaya
Memberikan dana berdasarkan system bagi hasil profit and loss sharing
memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pada pihak bank dalam menyalurkan
dana-dananya.
Bank-bank
Islam
kemungkinan
besar
meningkatkan
kualitas
kepegawaian mereka dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli manajemen
untuk mengevaluasi proyek usaha yang mereka pinjami untuk mencermati lebihteliti dan
lebih jeli dari pada teknis peminjaman pada bank konvensional. Ini akan meningkatkan
biaya yang dikeluarkan oleh para banker dalam menjaga efisiensi kinerja perbankannya
yang secara langsung akan berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Hal ini akan
menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai dana tersebut. Tambahan biaya
yang dikeluarkan oleh para banker yang digunakan untuk menjaga efektifitas
operasional perbankan Islam kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang di
tanggung oleh partner ketika mengembalikan dana pinjaman yang berdasarkan sistem
bagi hasil profit and loss sharing.
e) Dari segi teknis
Problem teknis menyangkut penggunaan system bagi hasil profit an loss sharing
tampaknya berkaitan dengan pihak bank, nasabah (partner), dan kualkulasi keuntungan
(profit calculation). Pada satu sisi dari bank Islam sendiri, profesional pegawai pada saat
itu dari segi keahlian dan pengetahuan yang luas tentang perilaku aktifitas ekonomi yang
berguna untuk memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan
serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan investor dan
komitmennya dalam menjalankan proyek usaha. Dari pihak nasabah (partner),
kebutahurufan yang kebanyakan masih menyelimuti masyarakat dunia muslim akan
jelas menyulitkan untuk membuat catatan-catatan akuntan yang mendetail. Permintaan
untuk membuat catatan-catatan akuntansi yang mendetail sulit dipenuhi, yang
menjadikan masyarakat lebih suka menggunakan sistem pembiayaan di bank
konvensional dari pada mengalami masalah membuat buku pegangan yang mendetail.
Kalkulasi keuntungan dalam menggunakan sistem bagi hasil profit and loss
sharing juga mengalami kesulitan. Meskipun di dalam khazanah fiqih di jelaskan
mengenai petunjuk perhitungan keuntungan tersebut, namun kenyataannya dalam
praktek kelihatannya tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam mengenai cara
melakukan perhitungan keuntungan, yang dalam istilah akuntannya bersifat subyektif.
Berbagai macam cara perhitungan keuntungan ini berpangkal dari dalam penempatan
pada modal aktifa dan tanggungan pasiva. Penilaian ini tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya tingkat penurunan modal tertentu modal tertentu, serta kebijakan mengenai
kebijakan cadangan dan persediaan. Oleh karenanya, dlam bisnis yang sama dapat
menunjukkan keuntungan yang berbeda tanpa menaruh curiga, adanya kesalahan dalam
perhitungan.
f) Kurang menariknya system profit and loss sharing dalam aktiva bisnis
Dalam lapangan bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang
diperoleh berdasarkan sistem profit and loss sharing tidak diketahui secara jelas dan
pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan mereka oleh pihak
bank juga intervensi bank teradap urusan manajemn mereka. Keadaanini sangat berbeda
dengan sistem pembiayaan berdasarkan bunga, dimana modalnya aman terjaga,
pendapatan yang diperoleh pasti, dan biaya pinjaman diketahui dengan jelas.
g) Permasalahan efisiensi
Tingkat investasi mungkin lebih tinggi di bawah sistem profit and loss sharing
dari pada sistem lainnya, karena dalam system profit and loss sharing diberikan
penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan. Karena
pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada
pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil produksinya, serta tidak adanya
kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi yang riil.
Kesanggupan para pemberi pinjaman untuk turut menanggung resiko kemungkinan akan
mendorong investasi lebih beresiko. Meskipun kesanggupan ini juga akan mengurangi
penekanan biaya-biaya untuk efisiensi kelangsungan bisnis yang pada tingkat
kepentingan tertentu cukup mengesankan.
 Kelemahan Revenue Sharing
Sedangkan sistem revenue sharing menagandung kelemahan, yaitu apabila tingkat
pendapatan bank sedemikian rendah maka bagisn bank, setelah pendapatan didistribusikan oleh
bank, tidak mampu membiayai kebutuhan operasionalnya (yang lebih besar dari pada pendapatan
fee) sehingga merupakan kerugian bank dan membebani para pemegang saham sebagai penanggung
kerugian. Sementara para penyandang dan atau investor lain tidak akan pernah menanggung
kerugian akibat biaya operasional tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung bank menjamin
nilai nominal nasabah, karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol
dan tidak mungkin terjadi pendapatan negatif. Selain belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip
syari‘ah, sistem revenue sharing tidak berbeda statusnya dengan wadi‘ah yang oleh karena itu tidak
dapat di kategorikan sebagai kuasi ekuitas.
9.8 KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah kecilnya pembiayaan
bagi hasil merupakan masalah yang multi dimensi karena ada berbgai macam pihak yang terkait,
oleh karenanya masalah ini merupakan masalah bersama. Perlu adanya kerja sama antara berbaga
macam pihak yang terkait untuk meningkatkan komposisi pembiayaan bagi hasil. Sistem bagi hasil
yang diterapkan di dalam perbankan syari‘ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama. Profit
Sharing yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang diterima
atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas beban biaya selama proses
usaha tersebut. Kedua. Revenue Sharing adalah sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total
seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Di dalam perbankan syari‘ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem
bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari‘ah dapat berperan sebagai
pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya
tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana
akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.
Soal Latihan
Jawablah pertanyaan di bawah ini:!

Mengapa di dalam penerapan bagi hasil, bank syariah cenderung menggunakan sistem
revenue sharing daripada profit sharing?

Berikan Analisa anda tetang masalah yang dihadapi oleh perbankan islam dalam
menyalurkan dana nya melalui akad mudharabah? Berikan solusinya.!!!!!

Apakah perbedaan antara Mudharabah Muthlaqoh dan Mudharabah Muqayyadah? Apakah
kelebihan dan kekurangan dalam pengaplikasian kedua metode Mudharabah ini?

Manakah yang lebih digemari oleh nasabah? Profit Sharing atau Revenue Sharing?
Mengapa demikian?

Apakah produk-produk atau metode-metode transaksi di bank syariah sudah sesuai dengan
prosedurnya? Analisalah!
Referensi
Syafi‘I Antonio, Bank Syari‟ah; Wacana Ulama‟ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan
Bank Indonesia, 1999). h. 278
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) h. 101
Akmal Yahya, Profit Distribution. http//www.ifibank.go.id
Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan
Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia,
2001
Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syari‟ah, Makalah disampaikan pada seminar
ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Cet. Ke-1
Syafi‘I Antonio, Bank Syari‟ah; Wacana Ulama‟ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan
Bank Indonesia, 1999). h. 278
BAB X
MANAJEMEN RISIKO BANK SYARIAH
Manajemen Risiko sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha
Bank. Sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah,
terintegrasi dan berkesinambungan.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menjelaskan
manajemen risiko bank syariah
10.1 PENDAHULUAN
Pada hakikatnya bank sebagai lembaga intermediasi antara penabung dengan investor. Seiring
dengan perkembangan zaman, perbankan syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis
risiko dengan tingkat komplekstivitas yang berbeda. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari
tetapi harus dapat dikelola dan dikendalikan. Kemampuan pengelolaan risiko semakin disadari
sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan kelangsungan usaha suatu institusi keuangan, sejalan
dengan meningkatnya tantangan usaha yang dipicu oleh proses globalisasi yang meningkatkan
saling ketergantungan antara sektor keuangan suatu negara dengan negara lainnya dan ketatnya
persaingan usaha dan kemajuan teknologi informasi yang mendorong semakin variatif dan
kompleksnya produk keuangan.
Manajemen Risiko sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha
Bank. Sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah,
terintegrasi dan berkesinambungan.
10.2 KARAKTER MANAJEMEN RISIKO DALAM ISLAM
Manajemen risiko dalam bank syariah mempunyai karakter yang berbeda dengan bank
konvensional, terutana karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya pada bank-bank
yang beroperasi secara syariah. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara bank syariah dengan
bank konvensional bukanlah terletak pada bagaimana cara mengukur tetapi terletak pada apa yang
dinilai. Perbedaan tersebut akan terlihat pada proses manajemen risiko bank syariah yang meliputi
identifikasi risiko, pengukuran risiko, antisipasi risiko dan monitoring risiko.
10.2.1 Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko yang dilakukan dalam bank syariah tidak hanya mencakup berbagai risiko
yang ada pada bank-bank pada umumnya, melainkan juga meliputi berbagai risiko yang khas hanya
ada pada bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, keunikan bank
syariah terletak pada enam hal:
o Proses transaksi pembiayaan. Karakteristik bank syariah dalam proses ini setidaknya terlihat
pada tiga aspek, yaitu proses transaksi pembiayaan syariah, proses transaksi bagi hasil dana
pihak ketiga dan proses transaksi devisa.
o Proses manajemen. Keunikan ini dapat dilihat pada sistem dan prosedur operasional akuntansi
dan Chart of Account (CoA), sistem dan prosedur operasional teknologi informasi, sistem dan
prosedur operasional tutup buku, serta sistem dan prosedur operasional pengembangan produk.
o Sumber daya manusia. Keunikan ini dapat dilihat pada spesifikasi kapabilitas yang tidak hanya
mencakup dalam bidang perbankan secara umum tetapi juga meliputi aspek-aspek syariah.
o Teknologi. Keunikan ini dapat dilihat adanya Business Requirement Spesification (BRS) untuk
pembiayaan berbasis bagi hasil dan BRS dana pihak ketiga.
o Lingkungan eksternal. Keunikan ini dapat dilihat dari hadirnya dual regulatory body, yaitu
Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.
o Kerusakan. Keunikan dapat dilihat misalnya ketika terjadi kerusakan pada objek ijarah atau
IMBT.
10.2.2 Pengukuran Risiko
Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan evaluasi secara berkala terhadap
kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha,
produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material.
10.2.3 Antisipasi Risiko
Antisipasi risiko dalam bank syariah bertujuan untuk:
d. Preventive. Dalam hal ini, bank syariah memerlukan persetujuan DPS untuk mencegah
kekeliruan proses dan transaksi dari aspek syariah. Di samping itu, bank syariah juga
memerlukan fatwa DSN bila Bank Indonesia memandang persetujuan DPS belum memadai atau
berada di luar kewenangannya.
e. Detective. Pengawasan dalam bank syariah meliputi dua aspek, yaitu aspek perbankan oleh
Bank Indonesia dan aspek syariah oleh DPS.
f. Recovery. Koreksi atas suatu kesalahan dapat melibatkan Bank Indonesia untuk aspek
perbankan dan DSN untuk aspek syariah.
10.2.4 Monitoring Risiko
Aktivitas monitoring dalam bank syariah tidak hanya meliputi manajemen bank syariah,
tetapi juga melibatkan Dewan Pengawas Syariah. Secara sederhana, hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Tabel 10.1
Status dan Kondisi Setiap Langkah yang Diambil
FREKUENSI
Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
6 bulanan
MATERI/ISI
CONTOH
Laporan Hasil
Hasil Pengawasan
Pengawasan
(Narrative
Syariah
Summary)
Board Level &
Risk Management
18. Risk Map
Tahunan
Summary
Committee
19. Narrative
Summary
-Kuadran-
Middle
Management
Triwulan
Summary + Detail
Operational Risk
Management Plan
(ORMP)
Day To Day
Operation
Bulanan
Detail
Frekuensi
Sumber: Adiwarman Karim.
10.3 PROSES MANAJEMEN RISIKO
Untuk dapat menerapkan proses ini, pada tahap awal bank syariah harus secara tepat
mengenal dan memahami serta mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada maupun yang
mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank. Selanjutnya, secara berturut-turut bank syariah perlu
melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko. Proses ini terus berkesinambungan
sehingga menjadi sebuah siklus.
Dalam pelaksanaannya proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Identifikasi risiko dilaksanakan dengan melakukan analisa terhadap:

Karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional.

Risiko dari produk dan kegiatan usaha.


Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan:
Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang
digunakan untuk mengukur risiko.

Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan
usaha, produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material.
1.
Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan:
1.
Evaluasi terhadap eksposur risiko.
2.
Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha,
produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko
yang bersifat material.
2.
Pelaksanaan proses pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko tertentu yang
dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
10.4 JENIS-JENIS RISIKO
10.4.1 Risiko Likuiditas
Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai. Likuiditas penting bagi bank untuk
menjalankan transaksi bisnis sehari-hari, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan
permintaan nasabah terhadap pinjaman dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan
investasi yang menarik dan menguntungkan.
Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga menganggu
kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan
efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara
titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito
merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah
membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat
likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi
yang membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak
memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep
investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima
kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun
risiko.
10.4.2 Risiko Kredit
Risiko ini muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga
dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya.
Penyebab utamanya adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan
investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya, penilaian
kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Risiko ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya
penjualan mengurangi penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Hal ini semakin diperberat oleh meningkatnya
tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak akan memperoleh hasil
yang memadai karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikan.
Tentu saja bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang berat jika ia mempunyai kredit macet
yang cukup besar.
Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut
pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa
bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank
syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan
pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko
kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.
Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara
nasabah sebagai pembeli murabahah.
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan
baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding
bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang
dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.
10.4.3 Risiko Fluktuasi Tingkat Bunga
Profitabilitas atau return on networth (RONW) dari perbankan konvensional sangat
ditentukan oleh net interest margin (NIM) dan hal itu akan sangat bergantung pada pemilihan
komposisi aset/liabilitasnya karena faktor kepekaannya terhadap tingkat bunga (interest rate
sensitivity).
Potensi risiko ini timbul manakala terjadi gap antara aset dan liabilitas, di mana kompisisi
aset, baik berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap tingkat bunga (interest rate sensitivity)
maupun berdasarkan jangka waktunya (maturiry profile), tidak sesuai (mismatch) dengan komposisi
liabilitasnya. Untuk meminimalkan risiko tersebut, digunakanlah alat yang disebut fund gap
management untuk yang disebut pertama dan duration gap management untuk yang disebut
terakhir.
Secara umum, aset/liabilitas dikatakan sensitif bila memiliki sebagian atau seluruh dari tiga
karakteristik ini:
Jika pendapatan atau biaya bunga dari komponen aset/liabilitas mudah berubah-ubah mengikuti
perubahan tingkat bunga pada suatu periode tertentu.
Cash flow dari komponen aset/liabilitas mudah keluar masuk jika terjadi perubahan tingkat bunga.
Repriceable, yaitu aset/liabilitas yang dapat diperbaharui tingkat bunganya dalam jangka waktu
tertentu mengikuti perubahan tingkat bunga.
Fund Gap adalah selisih antara Rate Sensitive Asset (RSA) dengan Rate Sensitive Liabilities
(RSL).
Fund Gap dapat bernilai 0 (RSA = RSL
Positif (RSA > RSL)
Negatif (RSA < RSL)
Manajemen yang agresif akan selalu berusaha mengurangi pengaruh negatif dari perubahan
tingkat bunga dan bahkan memanfaatkan fluktuasi tingkat bunga untuk meningkatkan
keuntungannya. Jika manajemen memperkirakan tingkat bunga akan turun, posisi negative gap
akan menguntungkan. Sebaliknya, pada posisi positive gap, kecenderungan turunnya tingkat bunga
itu tidak menguntungkan. Oleh karenanya, sebelum tingkat bunga benar-benar turun, manajemen
segera memperkecil fund gap positif itu hingga mendekati nol atau bahkan menjadi negatif.
Sebaliknya, bila tingkat bunga cenderung naik, manajemen akan mengusahakan posisinya menjadi
positif.
Fund gap management lalu dilengkapi dengan teknik duration gap management. Teknik ini
secara langsung terfokus pada market value of equity perusahaan. Dengan teknik ini, durasi
aset/liabilitas perusahaan dihitung untuk memperkirakan pengaruh perubahan suku bunga terhadap
market value aset/liabilitas perusahaan. Formula untuk mencari duration gap adalah sebagai berikut
DURGAP = DURA – W x DURL
DURA = rata-rata tertimbang duration aset
DURL = rata-rata tertimbang duration liabilitas
W
= persentase liabilitas terhadap total aset
Jika duration gap positif, yaitu duration aset lebih besar daripada duration libilitas,
kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan menurunnya market value of net worth dan penurunan
tingkat bunga akan menyebabkan meningkatnya market value of net worth. Sebaliknya, jika
duration gap adalah negatif, yaitu duration aset lebih kecil daripada duration liabilitas, kenaikan
tingkat bunga akan menyebabkan kenaikan market value of net worth dan penurunan tingkat bunga
akan menyebabkan menurunnya market value of net worth. Jika duration gap adalah nol, market
value of net worth tidak terpengaruh perubahan tingkat bunga.
10.4.4 Risiko Pembiayaan
 Risiko Terkait Pembiayaan Murabahah
Pemberian pembiayaan murabahah dengan jangka waktu panjang menimbulkan risiko tidak
bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga.
Risiko ini timbul karena hal berikut:
1.
Kenaikan DCMR (Direct Competitor‘s Market Rate).
2.
Kenaikan ICMR (Indirect Competitor‘s Market Rate).
3.
Kenaikan ECRI (Expected Competitive Return for Investors).
Oleh karena itu, bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan ini
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
Tingkat (marjin) keuntungan saat ini dan prediksi perubahan di masa mendatang yang berlaku di
pasar perbankan syariah (DCMR) semakin cepat perubahan DCMR, semakin pendek jangka waktu
maksimal pembiayaan
Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di
pasar perbankan konvensional (ICMR). Semakin cepat perubahan ICRM, semakin pendek jangka
waktu maksimal pembiayaan
Ekspektasi bagi hasil kepada Dana Pihak Ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah.
Semakin besar perubahan ekspektasi tersebut diperkirakan akan terjadi semakin pendek jangka
waktu maksimal pembiayaan.
Risiko Terkait Pembiayaan Ijarah
Risiko yang terkait dengan pembiayaan ijarah mencakup beberapa hal berikut:

Jika barang milik bank, timbul risiko tidak produktifnya asset iajarah karena tidak adanya
nasabah.

Jika barang bukan milik bank, timbul risiko rusaknya barang oleh nasabah karena
pemakaian tidak normal.
Dalam hal jasa tenaga kerja yang disewakan bank kemudian disewakan kepada nasabah, timbul
risiko tidak performnya pemberi jasa.
Penyelesaian dari risiko ini adalah:

Risiko yang timbul karena ketiadaan nasabah merupakan bussines risk yang tidak dapat
dihindari.

Jika risiko timbul karena pemakaian di luar normal, Bank dapat menetapkan kovenan ganti
rugi kerusakan barang yang tidak disebabkan oleh pemakaian normal.

Jika risiko yang timbul karena tidak performnya pemberi jasa, Bank dapat menetapkan
kovenan bahwa risiko tersebut merupakan tanggung jawab nasabah karena pemberi jasa
dipilih sendiri oleh nasabah.
Risiko Terkait Pembiayaan IMBT
Risiko ini terjadi ketika pembayaran dilakukan dengan metode balloon payment, yakni pembayaran
angsuran dalam jumlah besar di akhir periode. Dalam hal ini, timbul risiko ketidakmampuan
nasabah untuk membayarnya. Risiko tersebut dapat diatasi dengan memperpanjang jangka waktu
sewa (ijarah).
 Risiko Terkait Pembiayaan Salam dan Istishna
Kedua pembiayaan ini merupakan pembiayaan yang dicirikan dengan pembayaran di muka
dan penyerahan barang secara tangguh. Dengan demikian, belum wujudnya barang yang
menjadi objek pembiayaan menimbulkan dua risiko, yaitu risiko gagal-serah barang dan risiko
jatuhnya harga barang. Solusi dari risiko ini adalah:
1.
Risiko jatuhnya harga barang diantisipasi dengan menetapkan bahwa jenis pembiayaan
ini hanya dilakukan atas dasar kontrak/pesanan yang telah ditentukan harganya.
2.
Risiko gagal serah dapat diantisipasi bank dengan menetapkan kovenan risiko kolateral
220%, yaitu 100% lebih tinggi daripada rasio standar 120%.
10.4.5 Risiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, risiko operasional adalah risiko akibat dari kurangnya
sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak
diharapkan. Risiko ini lebih dekat dengan kesalahan manusiawi (human error), adanya
ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya
problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional.
10.4.6 Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis
antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak
ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan
risiko hukum.
10.4.7 Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan
usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan
antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
10.4.8 Risiko Stratejik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank
yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank
terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah
dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.
10.4.9 Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.
KESIMPULAN
Dalam melakukan transaksi bank syariah tidak akan pernah lepas dari risiko-risiko yang ada.
Dengan adanya risiko membuat para pelaku perbankan syariah lebih berhati-hati dalam
menggunakan dana nasabahnya. Secara umum risiko diinterpretasikan sebagai sebuah
ketidakpastian atas suatu posisi. Dalam konteks perbankan risiko merupakan potensi terjadinya
suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank.
Secara umum risiko antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah sama,
hanya pada perbankan syariah terdapat risiko-risiko yang hanya ada di bank syariah dikarenakan
risiko ini bersandar pada prinsip syariah. Seperti risiko pada produk-produk bank syariah seperti
murabahah, ijarah, salam, dan lain-lain.
SOAL LATIHAN
1. Jelaskan karakter manajemen risiko dalam Islam!
2. Jelaskan proses manajemen risiko!
3. Apakah yang dimaksud dengan fund gap? Dan bagaimana cara menghitungnya?
4. Jelaskan tentang risiko pembiayaan pada bank syariah?
5. Menurut anda antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah mana yang
memiliki risiko paling tinggi? Jelaskan!
6. Adakah hubungan antara resiko dan pengambilan keputusan? Apa dan mengapa?
Jelaskan!
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi‘i. 2001. BANK SYARIAH: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press.
Karim, Adiwarman. 2007. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Rukminto, Eko Dedi. 2009. Manajemen Risiko Bank Syariah. Presentasi Mata Kuliah Manajemen
Risiko di STEI Tazkia.
bank-syariah-belajar-yuk.blogspot.com/2007/07/manajemen-resiko-bank-syariah
managementfile.com
BAB XI
PRODUK PENDANAAN PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah melaksanakan produk pendanaan tidak dengan prinsip bunga (riba), melainkan
dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutama wadi‟ah (titipan), qardh
(pinjaman) mudharabah (bagi hasil), dan ijarah.Tujuan mempelajari bab ini adalah Memahami
tabungan, giro dan deposito syariah
11.1 PENDAHULUAN
Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk mobilisasi dan investasi tabungan
untuk pembangunan perekonomian dengan cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat
dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas
mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam
rangka mencapai tujuan sosial-ekonomi Islam.
Dari gambar 54 dapat disimpulkan bahwa produk-produk pendanaan bank syariah dapat
menggunakan empat prinsip yang berbeda (baca tabel 10):

Giro
Giro Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya
atau dengan cara pemindahbukuan. Sedangkan pengertian simpanan adalah dana yang
dipercarayakan oleh masyarakat kepada bank dalm bentuk giro, deposito berjangka, sertifaikat
dposito, tabungan atau yang dapat dipersamakan dengan itu.
Dari definisi giro di atas, dapat kita ketahui bahwa uang yang disimpan dalam bentuk
rekening giro dapat ditarik berkali-kali dalam sehari dengan catatan dana yang trsedia measih
mencukupi, selain juga persyaratan lain yang ditetapkan oleh perbankan yang bersangkutan.
Adapun sarana penarikan dana yang disimpan dalam bentuk rekening giro adalah:
Cek (Cheque)
Cek adalah surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening
girio nasabah tersebut, untuk membayar sejumlah uang kepada pihak yang disebutkan di dalamnya
atau kepda pemegang cek tersebut. Artinya bank harus membayar kepada siapa saja yang membawa
cek ke bank yang memelihara rekening nasaabah untuk diuangkan sesuai dengan syarat yang telah
ditetapkan baik secara tunai atau secara pemindahbukuan.
Ada lima jenis cek yaitu:
o Cek atas nama
Yaitu cek yang diterbitkan atas nama orang atau badan tertentu yang tertulis jelas di dalam cek
tersebut, misalnya ayarlah kepada Tn. Muhammad sejumlah Rp. 15.000.000,-
o Cek atas tunjuk
Yaitu cek yang tidak ditulis nama seseorang atau badan tertentu di dalam cek tersebut. Sebagai
contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa
pun
o Cek silang
Yaitu suatu cek yang di pojok kiri atas diberi dua tanda silang sehingga cek tersebut berfungsi
sebagai pemindahbukuan bukan tunai
o Cek mundur
Yaitu cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal sekarang, misalnya hari ini tanggal 12 Jan
2010, Tn. El-faiz ingin mencairkan ceknya di mana dalam cek tersebut tertulis tanggal 20 Jun
2010.
o Cek kosong
Yaitu cek di mana dananya tidak tersedia. Sebagai contoh, nasabah menarik cek sebesar Rp.
100.000.000,- tertulis di dalam cek tersebut. Akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro
tersebut hanya sekitar Rp. 1juta. Sehingga dana yang tersedia sangat jauh kurang dari dana
yang akan dicairkan.
Dalam penarikan cek kosong apabila dilakukan sebanyak 3 kali, maka nasabah yang
bersangkutan akan di black list atau masuk daftar hitam yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Kemudian disebarkan ke seluruh perbankan, sehingga yang bersangkutan tidak dapat berhubungan
dengan bank manapun. Namun sebelum masuk daftar hitam, nasabah terlebih dahulu diberi
peringatan baik lisan maupun tulisan.
Akan tetapi, bank dapat menutupi kekurangan tersebut apabila dengan pertimbangan
nasabah primer yang loyal terhadap bank selama ini dengan tidak ada unsur kesengajaan dengan
menggunakan fasilitas over draft. Hal ini menghindari nasabah dari black list.
Bilyet Giro
Yaitu surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro nasabah
tersebut untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening yang bersangkutan kepada pihak
penerima yang disebutkan namanya pada bank yang sama atau bank lainnya.
Pemindahbukuan kepada rekening bank yang bersangkutan artinya dipindahkan dari
rekening nasabah si pemberi BG kepada nasabah penerima BG. Sebaliknya jika dipindahbukukan
ke rekening di bank yang lain, maka harus melalui proses kliring ke bank lain.
11.2 GIRO DI BANK SYARIAH
Giro wadi‟ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam
bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya.
Karakteristik giro wadi‟ah ini mirip dengan giro pada bank konvensional, ketika kepada nasabah
penyimpan diberi garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan
berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti cek, bilyet giro, kartu ATM, atau dengan
menggunakan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan tanpa biaya.
Bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam
kegiatan yang berjangka pendek atau untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana
tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil
karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan yang diperoleh bank dari penggunaan dana ini
menjadi milik bank. Demikian juga, kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank
sepenuhnya. Bank diperbolehkan untuk memberikan insentif berupa bonus kepada nasabah, selama
hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus juga tidak ditetapkan di muka.
Adapun beberapa fasilitas giro wadi‟ah yang disediakan bank untuk nasabah, antara lain:

Buku cek;

Bilyet giro;

Kartu ATM;

Fasilitas pembayaran;

Traveller‟s cheques;

Wesel bank;

Wesel penukaran;

Kliring; dan

Lainnya.
Dalam aplikasinya ada giro wadi‟ah yang memberikan bonus dan ada giro wadi‟ah yang
tidak memberikan bonus. Pada kasus pertama, giro wadi‟ah memberikan bonus karena bank
menggunakan dana simpanan giro ini untuk tujuan produktif dan menghasilkan keuntungan,
sehingga bank dapat memberikan bonus kepada nasabah deposan. Pada kasus kedua, giro wadi‟ah
tidak memberikan bonus karena bank hanya menggunakan dana simpanan giro ini untuk
menyeimbangkan kebutuhan likuiditas bank dan untuk transaksi jangka pendek atas tanggung
jawab bank yang tidak menghasilkan keuntungan riil. Bank tidak menggunakan dana ini untuk
tujuan produktif mencari keuntungan karena memandang bahwa giro wadi‟ah adalah kepercayaan,
yaitu dana yang dititipkan kepada bank dimaksudkan untuk diproteksi dan diamankan, tidak untuk
diusahakan.
Skema giro wadi‟ah seperti skema simpanan wadi‟ah yad dhamanah , pihak penitip adalah
nasabah deposan, pihak penyimpan adalah bank, dan barang/aset yang dititipkan adalah uang.
Simpanan giro (current account) di bank syariah tidak selalu menggunakan prinsip wadi‟ah
yad dhamanah, tetapi secara konsep dapat juga menggunakan prinsip wadi‟ah yad amanah dan
prinsip qardh.
Simpanan giro dapat menggunakan prinsip wadi‟ah yad amanah karena pada dasarnya giro
dapat dianggap sebagai suatu kepercayaan dari nasabah kepada bank untuk menjaga dan
mengamankan aset/dananya. Dengan prinsip ini nasabah deposan tidak menerima imbalan atau
bonus apa pun dari bank karena aset/dana yang dititipkan tidak akan dimanfaatkan untuk tujuan apa
pun, termasuk untuk kegiatan produktif. Sebaliknya, bank boleh membebankan biaya administrasi
penitipan.
Selain itu, simpanan giro juga dapat menggunakan prinsip qardh ketika bank dianggap
sebagai penerima pinjaman tanpa bunga dari nasabah deposan. Bank dapat memanfaatkan dana
pinjaman dari nasabah deposan untuk tujuan apa saja, termasuk untuk kegiatan produktif mencari
keuntungan. Sementara itu, nasabah deposan dijamin akan memperoleh kembali dananya secara
penuh, sewaktu-waktu nasabah ingin menarik dananya. Bank boleh juga memberikan bonus kepada
nasabah deposan, selama hal ini tidak disyaratkan di awal perjanjian. Simpanan giro seperti ini
diterapkan di perbankan Islam di Iran.

Tabungan
Seperti Halnya simpanan giro, simpanan tabungan juga mempunyai syarat-syarat tertentu
bagi pemegangnya dan persyaratan masing-masing berbeda satu sama lainnya. Disamping
persyaratan yang berbeda satu sama lainnya. Disamping persyaratan yang berbeda, tujuan nasabah
menyimpan uang di rekening tabungan juga berbeda. Dengan demikian sasaran bank dalam
memasarkan produk-nya juga berbeda sesuai dengan sasarannya.
11.3 PENGERTIAN TABUNGAN
Menurut UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Bab I Pasal I Butir 5: :“Tabungan
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro atau alat lain yang dapat
dipersamakan dengan itu”.
Syarat-syarat penarikan tertentu maksudnya adalah sesuai dengan perjanjian yang telah
dibuat antara bank dengan si penabung. Sebagai contoh dalam hal frekuensi penarikan, apakah 2
kali seminggu atau setiap hari atau mungkin setiap saat. Yang jelas haruslah sesuai dengan
perjanjian sebelumnya. Kemudian dalam hal sarana atau alat penarikan juga tergantung dengan
perjanjian antara keduanya yaitu bank dan penabung.
Sedangkan menurut Muchdarsyah S ―Tabungan adalah simpanan pihak ketiga pada bank
yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan syarat tertentu‖.
Menurut Lapoliwa dan Kuswandi:
“Tabungan adalah simpanan masyarakat yang penarikannya dapat dilakukan oleh si penabung
sewaktu-waktu dikehendaki”.
11.4 ALAT PENARIKAN TABUNGAN
Ada beberapa alat penarikan tabungan, hal ini tergantung bank masing-masing, mau
menggunakan sarana yang mereka inginkan. Alat ini dapat digunakan sendiri-sendiri atau secara
bersamaan. Alat-alat yang dimaksud adalah :
1 – Buku Tabungan
Yaitu buku dipegang oleh nasabah, dimana berisi catatan saldo tabungan, penarikan,
penyetoran dan pombebanan-pembebanan yang mungkin terjadi. Buku ini digunakan pada
saat penarikan, sehingga langsung dapat mengurangi saldo yang ada di buku tabungan
tersebut.
2 – Slip penarikan
Merupakan Formulir penarikan dimana nasabah cukup menulis nama, nomor rekening,
jumlah uang serta tanda tangan nasabah untuk menarik sejumlah uang. Slip penarikan ini
biasanya digunakan bersamaan dengan buku tabungan.‘
3 – Kwitansi
Merupakan bukti penarikan yang dikeluarkan oleh bank yang fungsinya sama dengan slip
penarikan, di mina tertulis nama penarik, nomor penarik, jumlah uang dan tanda tangan
penarikan. Alat ini juga dapat dipergunakan secara bersamaan dengan buku tabungan.
4 – Kartu yang terbuat dari plastik
Yaitu sejenis kartu kredit yang terbuat dari plastik yang dapat digunakan untuk menarik
sejumlah uang dari tabungannya, baik bank maupun di mesin Automated Teller Machine
(ATM). Mesin ATM ini biasanya tersebar di tempat-tempat yang strategis.
11.5 JENIS PENGHITUNGAN TABUNGAN PERBANKAN KONVENSIONAL
Secara umum ada 3 metode perhitungan bunga tabungan yaitu: berdasarkan saldo terendah,
saldo rata-rata dan saldo harian.
Beberapa bank menerapkan jumlah hari dalam 1 tahun 365 hari, namun ada pula yang
menerapkan jumlah hari bunga 360 hari. Untuk memudahkan Anda memahami perhitungan bunga
diatas, mari kita lakukan sebuah ilustrasi rekening tabungan sebagai berikut: Misalkan Anda
membuka tabungan pada tanggal 1 Juni dengan setoran awal Rp 1.000.000,00 kemudian Anda
melakukan penyetoran dan penarikan selama bulan Juni sebagai berikut:
Bunga yang akan Anda peroleh ditentukan oleh cara perhitungan bunga yang dilakukan
bank. Besarnya bunga tabungan berdasarkan tiga metode perhitungan dapat dilihat dibawah ini.

Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Terendah
Pada metode ini, bunga dalam satu bulan dihitung berdasarkan saldo terendah dalam bulan
tersebut. Bunga dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Bunga = ST x i x t .
365
Keterangan:
ST = saldo terendah, i= suku bunga tabungan
pertahun, t = jumlah hari dalam 1 bulan,
365 = jumlah hari dalam 1 tahun.
Misalkan suku bunga yang berlaku adalah 5% pa (per annum). Karena saldo terendah dalam
bulan Juni adalah Rp.1.000.000,00, maka perhitungan bunga adalah sebagai berikut:
Bunga bulan Juni
= Rp. 1 juta x 5 % x 30 .
365
= Rp. 4.109,59

Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Rata-rata
Pada metode ini, bunga dalam satu bulan dihitung berdasarkan saldo rata-rata dalam bulan
berjalan. Saldo rata-rata dihitung berdasarkan jumlah saldo akhir tabungan setiap hari dalam bulan
berjalan, dibagi dengan jumlah hari dalam bulan tersebut.
Bunga = SRH x i x t .
365
Keterangan:
SRH = Saldo rata-rata harian,
i = suku bunga tabungan pertahun,
t = jumlah hari dalam bulan berjalan.
Misalkan bunga tabungan yang berlaku adalah sebagai berikut:
Saldo dibawah Rp.5 juta, bunga = 3% pa. Saldo 5 juta keatas, bunga = 5 % pa. Maka SRH tabungan
Anda adalah sebagai berikut:
[ (Rp.1 juta x 4 hari) + (Rp.6 juta x 1 hari) + (Rp.5,5 juta x 4 hari ) + (Rp.8 juta x 10 hari) + (Rp.7
juta x 5 hari) + (Rp.17 juta x 5 hari) + (Rp.15 juta x 1 hari) ] / 30 = Rp.8.233.333,00
Karena SRH Anda diatas Rp.5 juta, maka Anda berhak atas suku bunga 5%, sehingga bunga yang
akan Anda terima adalah sebagai berikut:
Bunga Juni = Rp.8.233.333,00 x 5% x 30 . = Rp. 33.835,62
365

Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Harian
Pada metode ini bunga dihitung dari saldo harian. Bunga tabungan dalam bulan berjalan
dihitung dengan menjumlahkan hasil perhitungan bunga setiap harinya. Misalkan bunga tabungan
yang berlaku adalah sebagai berikut :
Saldo dibawah Rp.5 juta, bunga = 3% pa
Saldo Rp.5 juta ke atas, bunga = 5% pa
Cara perhitungan bunga:
Tgl 1 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19
365
Tgl 2 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19
365
Tgl 3 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19
365
Tgl 4 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19
365
Tgl 5 : Rp.6 juta x 5 % x 1 = 821,92
365
dan seterusnya
Berdasarkan cara perhitungan diatas, bunga tabungan Anda selama bulan Juni adalah Rp.33.616,44
◦
Tabungan di Bank Syariah
Tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah yakni titipan
murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak miliknya
Tabungan syariah ada dua jenis yaitu tabungan yang berlandaskan wadiah dan mudharabah:
Pada skema di atas mekanisme penghimpunan dana menggunakan tabungan dalam Perbankan
syariah terbagi menjadi 2, yaitu :
5. Wadhiah yad Dhomanah
Adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang
sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima titipan
bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset
titipan tersebut. Penerima titipan (custodian) memperoleh izin dari pemilik aset titipan /
barang / harta, untuk menggunakannya dalam perniagaan / perdagangan, selama aset
tersebut berada di tangannya, serta berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan
aset tersebut.
Dalam dunia perbankan al-Wadi‟ah Yad adh-Dhamanah memanfaatkannya dalam bentuk: -
Current Account
- Saving Account
6. Mudharabah Muthlaqoh
Kontrak Mudharabah yang cakupannya sangat luas & tidak dibatasi oleh ketentuan
khusus (tidak memiliki ikatan tertentu).
11.6 TEKNIK PENGHITUNGAN BONUS WADIAH
Pada prinsipnya teknik perhitungan bonus wadiah dihitung dari saldo terendah dalam satu
bulan. Namun demikian, bonus wadiah dapat diberikan sebagai berikut:
1. Saldo terendah dalam satu bulan takwim di atas Rp 1.000.000,- (bagi rekening yang
bonus wadiahnya dihitung dari saldo terendah).
2. Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwim di atas Rp 1.000.000,- (bagi rekening
yang bonus gironya dihitung dari saldo rata-rata harian).
3. Saldo hariannya di atas Rp 1.000.000,- (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung
dari saldi harian).
Besarnya saldo giro yang mendapatkan bonus wadiah dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok:
1. Rp 1.000.000 s.d Rp 50.000.000
2. Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.000
3. Di atas Rp 100.000.000
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus giro wadiah adalah sebagai berikut:
1. Bonus wadiah atas dasar saldo terendah
Tarif bonus wadiah x saldo terendah bulan ybs
2. Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian
Tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan ybs
3. Bonus wadiah atas dasar saldo harian
Tarif bonus wadiah x saldo harian ybs x hari efektif
Dalam memperhitungkan pemberian bonus wadiah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan
adalah:

Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank sesuai ketentuan.

Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan.

Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya
menurut bulan kalender. Misalnya, bulan Januari 31 hari, bulan Februari 28/29 hari, dengan
catatan satu tahun 365 hari.

Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.

Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukuan atau tanggal
penutupan, tapi termasuk hari tanggal tutup buku.

Dana giro yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan
atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila
perhitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.

Deposito
11.7 DEFINISI DEPOSITO
Deposito adalah sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan oleh bank kepada masyarakat.
Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik
nasabah. Deposito merupakan salah satu produk penghimpunan dana (funding) dalam perbankan
syariah. Yang dimaksud deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara nasabah dan bank yang bersangkutan. Sedangkan
yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan perinsip
syari‘ah sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syari‘ah Nasional MUI bahwa deposito
yang dibolehkan oleh islam adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah yang termaktub
dalam fatwa nomor 03/DSN-MUI/IV/2000.
Dalam hal ini, bank syari‘ah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) sedangkan
nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
Bank syari‘ah dapat melakukan berbagai macam usaha selagi usaha tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip syari‘ah serta berhak untuk mengembangkannya, termasuk melakukan
akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, Bank syari‘ah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat
sebagai wali amanah, yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Disamping itubank
syari‘ah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat
memperoleh keberuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syari‘ah.
Dari hasil pengelolaan dana , bank syari‘ah akan membagihasilkan kepada pemilik dana
sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan dan disepakati dalam akad pembukaaan rekening.
Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan
disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank
bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
pihak pemilik dana terdapat dua bentukmudharabah, yakni :

Mudharabah Mutlaqah ( Unrestricted Investment Account (URIA) )
Dalam deposito URIA, pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu
kepada bank syari‘ah dalam mengelola investasinya, baik berkaitan dengan tempat, cara
maupun objek investasinya. Pembayaran bagi hasil deposito URIA dapat dilakukan dengan dua
metode, Anniversary Date dan End of Month

Mudharabah Muqayyadah ( Restricted Investment Account (RIA) )
Berbeda dengan URIA, deposito ini tidak memberikan kebebasan kepada bank baik
berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya karena, pemilik dana memberikan
batasan atau persyaratan tertentu kepada bank syari‘ah. Dalam menggunakan dana deposito RIA
terdapat dua metode yakni : pertama,cluster pool of fund yaitu penggunaan dana untuk beberapa
proyek dalam suatu jenis industri bisnis. Kedua,specific product yaitu penggunaan dana untuk
suatu proyek tertentu.
◦ Contoh Perhitungan bagi hasil dalam deposito syari‘ah
Deposito Rahman sebesar Rp 10.000.000,- berjangka waktu 1 bulan.Perbandingan bagi
hasil 40:60. Bila dianggap total deposito semua deposan adalah Rp 200.0000.0000,- dan
pendapatan bank yang dibagi hasilkan untuk seluruh deposan adalah Rp 3.000.000,- maka bagi
hasil yang didapat oleh Rahman adalah:Rp 10.000.000,-/ Rp200.000.000,- xRp 3.000.000,x60%=Rp 9.000
11.7.1 PRINSIP – PRINSIP, TUJUAN DAN MANFAATNYA
Dalam deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah DSN MUI menentukan beberapa
prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam menjalankan produk ini :

Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syari‘ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
mudharabah dengan pihak lain.

Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.

Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.

Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.
Adapun yang menjadi tujuan dan manfaatnya yaitu :
Tujuan:
1.
Bagi Bank; Sumber pendanaan bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dengan
jangka waktu tertentu yang lebih lama dan fluktuasi dana yang relatif rendah.
2.
Bagi Nasabah; Alternatif investasi yang memberikan keuntungan dalam bentuk bagi
hasil.
Manfaat:
1.
Membantu perencanaan program investasi
2.
Bagi hasil yang kompetitif,yang dapat menambah pokok deposito,di ambil tunai,
dipindah bukukan atau di transfer ke bank lain
3.
Dana aman dan terjamin
11.7.2 Landasan Hukum
Yang dijadikan landasan syari‘ah dalam deposito mudharabah yaitu:
 Al Qur‘an surat Al Muzammil ayat 20
dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman
kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya
kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Al Muzammil ayat 20).
2. Hadist
a. Diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Abbas:
ْ ‫ت ُإِ َراُ َدفَ َغ‬
ْ ‫َبُان َؼجَّبطُ ُُْثٍُ ُ َػ ْج ِذ‬
ْ َ‫َكبٌَ ُ َعٍِّ ُذ‬
َ ‫عب َسثَخًُاِ ْشزَ َش‬
َ‫غُ َػه‬
َُ‫ُ َٔال‬،‫ُٔالٌََُ ُْ ِض َل ُثِ ُِّ َٔا ِدًٌب‬،‫ا‬
َ ُ‫ىُصب ِحجِ ِّ ُأَ ٌْ ُالٌََُ ْغه‬
َ
َ ‫بل ُ ُي‬
َ ًَ ‫ُان‬
ِ ِّ‫ُان ًُطَه‬
َ ً‫ك ُثِ ُِّثَحْ ش‬
ْ ‫يُثِ ُِّدَاثَّخًُ َرادَ ُ َكجِ ٍذُ َس‬
ًَُ‫ُٔ َعهَّ َىُفَأَ َجبصَ ُُِ(سٔاُِانطجشا‬
َ ُِ‫ُفَجَهَغَُشَشْ غُّ ُُ َسعُْٕ َلَُّللا‬، ًٍَِ ‫ظ‬
َ ُ َ‫ُفَإ ِ ٌُْفَ َؼ َمُ َرنِك‬،‫غجَ ٍخ‬
َ ‫ٌَ ْشز َِش‬
َ ِّ ِ‫صهَّىَُّللاُُ َػهَ ٍْ ُِّ َٔآن‬
ُ .)‫فىُاألٔعػُػٍُاثٍُػجبط‬
―Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepadamudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah,
serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.‖ (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
b. Diriwayatkan oleh ibnu abbas:
bahwasanya sayyidina abbas jikalau memberikan dana kemitra usahanya secara
mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah
yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jikalau menyalahi perturan
maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikannyalah syaratsyarat tersebut ke Rasulullah SAW, dan Rasul pun memperkenankannya
c. Hadist Nabi riwayat Ibnu Majah:
ْ ُ‫ُٔخَ ْهػ‬،
ْ ٍَّ ِٓ ٍْ ِ‫ُثَالَسُف‬:‫ل‬
ُ‫ذُالَُنِ ْهجٍَ ِْغ‬
َُ ‫ُصهَّىَُّللاُُ َػهَ ٍْ ِّ ُ َٔآنِ ُِّ َٔ َعه َّ َى ُلَب‬
َ ‫ُ َٔ ْان ًُمَب َس‬،‫ُاَ ْنجَ ٍْغُُإِنَىُأَ َج ٍم‬:ُ‫ُانجَ َش َك ُخ‬
َ ًَّ ِ‫أَ ٌَُّانَُّج‬
ِ ٍْ َ‫ُانجُشِّ ُثِبن َّش ِؼٍ ِْشُنِ ْهج‬
َ ُ ‫ظخ‬
ُ )‫(سٔاُِاثٍُيبجُّػٍُصٍٓت‬
―Nabi bersabda, ‗Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara
tunai, muqaradhah(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual.‘‖ (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
3. Ijma
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak
yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma‘ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838)
4. Fatwa DSN:
Dewan Syari‘ah Nasional MUI Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000
11.7.3 APLIKASI

nasabah mengajukan permohonan pembukaan deposito

nasabah mengisi formulir yang diberikan pihak bank

nasabah memenuhi persyaratan yang diberikan pihak bank

setelah persyaratan dipenuhi bank akan memberikan tanda bukti kepemilikan deposito (surat
berharga deposito).
11.8 PROSPEK, KENDALA DAN STRATEGI
Krisis moneter dan krisis global yang terjadi belum lama ini berimbas kepada sektor
perbankan nasional. Sektor perbankan syariah merupakan sektor perbankan yang mengalami sedikit
dampak dari krisis moneter dan krisis global. Dalam rangka membangun kembali sistem perbankan
yang sehat guna mendukung pemulihan perekonomian nasional, pemerintah telah mengambil
berbagai kebijakan khususnya untuk mendorong perkembangan bank syariah. Pemerintah telah
menerbitkan UU No. 10 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan UU No. 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Dengan adanya undang-undang perbankan syariah akan memberikan ruang gerak yang luas
serta menambah citra baik bagi lembaga-lembaga keuangan yang berbasis syari‘ah sehingga
perkembangan produk-produk perbankan akan mengalami kemajuan yang positif termasuk
didalamnya deposito syari‘ah. Bukan hanya itu besarnya nisbah bagi hasil yang diberikan
perbankan syari‘ah kepada nasabah sangat dapat bersaing dengan bunga yang diberikan bank
konvensional bahkan nisbah bagi hasil bisa jadi lebih besar diatas bunga yang diberikan oleh
perbankan konvensional, factor ini juga menjadi daya tarik tersendiri dari perbankan syari‘ah.
Produk deposito juga memiliki prospek yang bagus juga karena memiliki beberapa manfaat
diantaranya :
1. Dana aman dan terjamin
2. Pengelolaan dana secara syariah
3. Bagi hasil yang kompetitif
4. Dapat dijadikan jaminan pembiayaan
5. Fasilitas automatic roll over (ARO)
Terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dapat mendorong kemajuan bank syari‘ah terdapat
kendala-kendala yang dapat menghambat perkembangan perbankan syari‘ah di negara ini
diantaranya:
 Kurangnya pendanaan dalam pengembangan produk-produk perbankan syari‘ah
 Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap deposito syariah.
 Masih terpengaruh oleh BI rate
Strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan produk deposito syari‘ah:

Melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan islam internasional maupun kekuatan
ekonomi lainnya dalam rangka investasi.

Meningkatkan kualitas sumber daya insani (SDI), agar memiliki menjadi insan yang unggul.

Melakukan pengembangan pasar dengan membuka jaringan layanan dan kantor cabang yang
baru.

Melakukan pengembangan produk melalui penambahan fitur dan fasilitas produk yang
berbasis teknologi.

Peningkatan pangsa pasar dengan melakukan edukasi pasar, terutama kepada pasar
mengambang (floating market). Disamping itu mengoptimalkan jaringan kantor cabang
yang ada dengan melakukan pemasaran yang lebih agresif melalui peningkatan promosi dan
dukungan terhadap kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.
11.9 KESIMPULAN

Giro Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.Deposito adalah sejenis jasa tabungan yang biasa
ditawarkan oleh bank kepada masyarakat. Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu
di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah.

Tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah yakni titipan
murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak miliknya.

Deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan perinsip syari‘ah
sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syari‘ah Nasional MUI bahwa deposito
yang dibolehkan oleh islam adalah deposito yang berdasarka prinsip mudharabah yang
termaktub dalam fatwa nomor 03/DSN-MUI/IV/2000.
Soal Latihan
 Apa yang anda ketahui tentang Giro dan aplikasinya dalam perbankan syariah?
 Apa yang anda ketahui tentang tabungan dan aplikasinya dalam perbankan syariah?
 Apa yang anda ketahui tentang deposito dan aplikasinya dalam perbankan syariah?
 Apa perbedaan antara wadi‘ah yad amanah dan wadia‘ah yad dlamanah beserta aplikasinya
di perbankan syariah?
 Dari kedua produk wadi‘ah tersebut, manakah yang lebih sering di gunakan nasabah bank
syariah? Apa alasannya?
Daftar Pustaka
Kasmir, 2001,Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir dan Murniati, Rilda, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ascarya dan Yumanita, Diana, 2005, Bank Syariah: Gambaran Umum, PPSK, Jakarta.
Suyatno, Thomas, 1994, Kelembagaan Perbankan,Gramedia,Jakarta.
BAB XII
PERANCANGAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA BANK
SYARIAH
Dengan kata lain, pada dasarnya, sistem hukum nasional Indonesia telah memberikan
jaminan kebebasan bagi setiap inividu untuk menentukan sendiri hukum apa yang bisa
diberlakukan bagi dirinya, terutama yang berkaitan dengan aktivitas keperdataan. Kebebasan
tersebut meliputi kebebasan dalam menentukan isi (materi) yang disepakati para pihak yang
melakukan hubungan hukum, cara-cara pelaksanaan, serta penyelesaiannya jika terjadi sengketa.
Oleh karena itu, tidak ada halangan sedikitpun jika kaum muslimin menghendaki pemberlakuan
syariah Islam dalam hubungan keperdataan di antara sesama mereka. Tujuan mempelajari bab ini
adalah memahami Perancangan Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah
12.1 PENDAHULUAN
Jauh sebelum dikeluarkannya undang-undang perbankan yang mengandung aturan tentang
aktivitas perbankan syariah, penerapan syariah Islam dalam tata hukum positif di Indonesia
sebenarnya telah memperoleh tempat yang cukup signifikan. Hal ini setidaknya terliht pada dua hal,
yaitu:
 Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat 2. Pengertian ibadah dalam pasal ini, menurut
pandangan Islam, tidak hanya mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya (ibadah
mahdha), tetapi juga mencakup hubungan antara sesama manusia (muamalah), termasuk
aktivitas ekonomi.
 KUH Perdata Pasal 1338 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihk atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang serta harus dilaksanakan dengan itikad baik.
12.2 HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAH
Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif tersebut juga dapat diwujudkan
dalam kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya, setiap transaksi antara bank syariah
dengan nasabah, terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam
suatu surat perjanjian. Berkaitan dengan hal ini, para pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu
bank syariah dan nasabah, dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif
Indonesia sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak ini
harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, baik menurut syariah maupun KUH Perdata
Pasal 1320, yaitu:

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Mengenai suatu pokok perjanjian tertentu.

Mengenai suatu sebab yang tidak dilarang.
Dengan kata lain, jika bank syariah dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk formalnya
didasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata, tapi isi, materi, atau
substansinya didasarkan atas ketentuan syariah, maka perjanjian tersebut dapat dikatakan sah, baik
dilihat dari sisi hukum nacional maupun dari sisi syariah.
Pada praktiknya, penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah dengan nasabah, dari sisi
hukum positif, selain mengacu kepada KUH Perdata, juga harus merujuk kepada UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sedangkan, dari sisi syariah,
para pihak tersebut berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
12.2 PEMBIAYAAN SYARIAH DALAM PERSPEKTIF LEGAL FORMAL
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak terdapat perbedaan definisi yang signifikan antara kredit
dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Kredit didefinisikan sebagai,
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”
Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah didefinisikan sebagai, “Penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Kedua definisi tersebut hanya dibedakan pada kata kredit diganti dengan kata pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, kata pinjam-meminjam dihilangkan, kata peminjam untuk melunasi
hutangnya diganti dengan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut,
dan akhirnya kata bunga diganti dengan imbalan atau bagi hasil.
Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan bagi hasil (mudharabah),
jual beli (murabahah), dan nama-nama akad fiqih lain yang selama ini menjadi kosakata yang akrab
digunakan oleh perbankan syariah? Apakah akad-akad fiqih tersebut merupakan prinsip atau jenis
perjanjian bank syariah?
Ketika berbicara tentang penerapan akad-akad syariah, bank syariah harus mengacu pada
hukum positif yang ada. Menurut UU No 10/1998 dan UU No 23/1999, akad-akad fiqih tersebut
adalah prinsip, bukan jenis perjanjian bank syariah. Dalam paradigma ini, bank syariah memberikan
fasilitas pembiayaan, bukan menjual atau menyewakan suatu barang. Akad jual beli atau sewamenyewa hanyalah prinsip yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya,
dalam surat perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah selayaknya tidak
menggunakan istilah-istilah perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, melainkan perjanjian
pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah¸ ijarah, dan sebagainya.
Sudah saatnya kita membedakan tataran berpikir fiqih dengan tataran berpikir hukum
positif. Dengan kata lain, ketika berbicara bank syariah, terdapat two level of playing field, yaitu
sharia level dan legal level. Hal ini bukan sebagai wujud sekularisasi hukum, sebaliknya sebagai
upaya mewarnai hukum positif dengan nilai-nilai syariah. Memahami sistematika berpikir hukum
posiif akan memberikan banyak celah untuk memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Untuk saat ini, paradigma prinsip memberikan banyak keleluasaan untuk mewarnai
perbankan syariah dengan berbagai akad fiqih; menghidupkan kembali prinsip syariah dalam
berbagai transaksi perbankan. Sebaliknya, kecerobohan mengambil begitu saja akad-akad fiqih
untuk dijadikan hukum positif tanpa mempertimbangkan secara komprehensif seluruh bangunan
hukum yang ada, dapat berakibat menghambat perkembangan syariah itu sendiri.
12.3 ANTARA AKAD DAN PERJANJIAN
Sebagaimana telah disinggung, ketika berbicara bank syariah dalam konteks hukum positif
Indonesia, akan terdapat two level of playing fields; sharia level and legal level. Sebagai
konsekuensinya, satu istilah hukum akan dapat menimbulkn dua arti yang berbeda pada level yang
berbeda (the same Word may have two different meanings in different level).
Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian. Hal ini tentu
berbeda dengan perspektif syariah. Pada sharia level, akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu
akad baru dapat dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syariah
dengan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi serta waktu penyerahan
telah diketahui. Sementara itu, dalam hal pembiayaan yang berbentuk line facility, syariah
memandang perjanjian tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya berbentuk wa‟ad (promise).
Dalam konteks ini, akad baru akan terjadi pada setiap saat dropping pembiayaan yang diwujudkan
dalam bentuk SPRP ( Surat Permohonan Realisasi Pembiayaan) dari nasabah dan dijawab oleh bank
dalam bentuk Surat Persetujuan Pencaira Pembiayaan.
Dengan kata lain, dalam shari level, akad tidak selalu bewujud surat perjanjian, melainkan
juga bisa berbentuk surat dokumen pencairan. Begitu pula halnya dengan surat perjanjian, ia bisa
mencerminkan suatu akad, bisa pula hanya mencerminkan sebuah wa‟ad (promise). Istilah hukum
yang sama dapat mempunyai dua arti yang berbeda, tergantung dari perspektif level apa yang
digunakan.
Tabel 19.1. Perbandingan Antara Akad dan Perjanjian dalam Perspektif Syariah dan Hukum Positif
HUKUM SYARIAH
HUKUM POSITIF
 Memorandum
of
Understanding
(MoU)
Perjanjian kerjasama antara bank
Wa‟ad
dengan dealer.
Contoh: Dealer Financing
 Perjanjian Line Facility (Revolving
Facility)
Akad
perjanjian
Line
Facility
plus
Perjanjian pada setiap kali dropping yang
Akad
ditandai
dengan
Surat
Permohonan
Realisasi Pembiayaan dari Nasabah dan
dijawab oleh Bank dalam bentuk Surat
Persetujuan Pencairan Pembiayaan.
12.4 PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN SUATU KONTRAK PERJANJIAN
Dari uraian di atas, telah jelas bahwa dalam membuat surat perjanjian, tanpa
mengesampingkan nilai-nilai syari‘ah, Bank syari‘ah tetap harus mengacu pada hukum positif.
Dengan demikian langkah-langkah penyusunan serta bentuk formal surat perjanjian Bank Syari‘ah
tidak akan jauh berbeda dengan surat bank lainnya. Secara umum, dalam pembuatan surat kontrak
perjanjian, terdapat beberapah hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut.
Penguasaan atas aspek bisnis kontrak
Para pihak harus mengetahui, memahami, serta menguasai aspek bisnis dari kontrak yang
akan mereka sepakati, baik dari sisi jenis, karakteristik hingga risiko bisnis tersebut. Indentifikasi
pihak-pihak dalam kontrak. Masing-masing pihak harus melakukan indentifikasi terhadap para
pihak yang terlibat dalam kontrak yang akan disepakati, apakah yang terlibat dalam perjanjian
tersebut adalah suatu badan hukum atau perseorangan.
Pengenalan karakteristik pihak-pihak dalam kontrak

Para pihak harus mengetahui serta memahami karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak.

Penguasaan Regulasi

Para pihak harus mengetahui, memehami, serta menguasai seluruh regulasi yang terkait
dengan isi kontrak yang akan mereka sepakati.

Penggunaan tenaga lain

Para pihak harus mempertimbangkan dan memperhitungkan kemungkinan penggunaan
tenaga lain yang dapat menunjang terlaksananya kontrak mereka dengan baik.
Setelah mengetahui dan memahami beberapa hal yang terkait sebelum membuat suatu
kontrak, langkah selanjutnya adalah para pihak melakukan beberapa tahap pembuatan
kontrak, yaitu:
Kesepakatan Para Pihak

Dalam tahapan ini, para pihak berperan langsung untuk mendapatkan kesepakatan awal
tentang apa yang akan disepakati oleh kedua belah pihak sebelum menuangkannya dalam
sebuah kontrak.

Dalam tahap ini apa yang disepakati masih belum mengikat secara hukum (MOU, LoI, dan
lain-lain)

Kesepakatan harus disepakati oleh sebuah kontrak. Apabila kesepakatan tidak dilaksanakan
maka para pihak tidak perlu membuat kontrak karena sudah terjadi wanprestasi awal.

Negoisasi Rancangan Kontrak

Penandatanganan Kontrak

Pelaksanaan Kontrak

Sengketa Kontrak (bila ada)

Penyelesaian musyawarah, bila tidak dicapai baru kemudian melakukan langkah
selanjutnya.

Penyelesaian melalui Forum Arbitase atau Pengadilan Umumnya, setiap kontrak perjanjian
mempunyai anatomi sebagai berikut:
 Pembukaan (Preamble)
Bagian ini terdiri dari kata Pembukaan, Penyingkatan Judul Perjanjian, Tempat, dan
Tanggal Perjanjian, serta mengandung dua hal.
 Komparisasi atau suatu bagian di mana pihak-pihak yang melakukan kontrak
disebutkan dan diwakili oleh pihak-pihak yang berhak. Di dalam komparisasi ini, para
pihak harus diwakili secara benar untuk menghindari terjadinya disputes dikemudian
hari dan, jika diperlukan, disyaratkan adanya pembuatan konfirmasi bahwa PT yang
bersangkutan dalam tahap pengesahan. Fungsi komparisasi ini adalah sebagai berikut.

Menjelaskan identitas para pihak yang membuat oerjanjian

Dalam kedudukan apa yang bersangkutan bertindak.

Berdasarkan apa kedudukannya tersebut.

Bahwa ia cakap dan berwenang melakukan tindakan hukum yang dinyatakan dalam akta.

Orang tersebut mempunyai hak untuk melakukan tindakan hukum yang dinyatakan dalam
akta.

Premise (whereas claus) atau recital.
 Badan Kontrak, terdiri dari:
1. Definisi
2. Substansi kontrak, yaitu maksud dari pihak melakukan kontrak, misalnya pemberian
fasilitas berdasarkan mudharabah, ijarah atau IMBT.
3. Hak dan kewajiban umum, yaitu hak dan kewajiban yang lahir tergantung dari jenis dan
kontraknya.
4. Hak dan kewajiban umum, yaitu hak dan kewajiban yang mesti ada pada setiap kontrak
pada umumnya, sehingga harus ditaati.
5. Pernyataan dan jaminan. Bagian ini merupakan suatu dasar yang digunakan suatu pihak
untuk melakukan prestasinya. Dalam hal perjanjian dengan badan hukum, bagian ini
memuat pernyataan bahwa perusahaan tersebut harus sudah sah, sudah diberi hak dan
wewenang oleh pihak perusahaan serta bank minta jaminan pada debitur bahwa dengan
penandatanganan kontrak ini tidak tergantung pada kontrak lain.
6. Pernyataan afirmative (affirmative covenants), yaitu pernyataan yang menegaskan keadaan
para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
7. Pernyataan negative (negative covenants), yaitu pernyataan yang berisi larangan-larangan.
Misalnya, nasabah tidak boleh melakukan hal berikut.
 Nasabah tidak boleh melakukan merger atau konsolidasi selama berutang karena
akan dikhawatirkan menimbulkan disputes tentang pihak-pihak yang akan
menanggung utang setelah merger.
 Dilarang menjual asset perusahaan yang akan mempengaruhi jalannya perusahaan.
 Melakukan pinjaman baru tanpa izin bank.
 Tidak menjaminkan asset perusahaan kecuali pada bank sendiri.
 Memberikan pembiayaan kepada anak perusahaan.
 Membagi deviden, sepanjang persetujuan dari bank.

Pemenuhan prasyarat (conditions precedent)

Wanprestasi. Pada setiap kontrak, terdapat dasar-dasar tertentu untuk pemutusan perjanjian,
tergantung dari tipe-tipe kontraknya. Sanksi-sanksi atas wanprestasi dapat berupa ganti rugi,
pembatalan perjanjian atau peralihan resiko.

Pemutusan. Dengan dasar wanprestasi tersebut, bank dapat melakukan pemutusan. Akan
tetapi, pada umumnya, pemutusan ini sendiri sulit dilakukan. Sebagai solusinya bank
biasanya memberikan bantuan manajemen pada nasabah atau memotong utang yang
seharusnya dibayar.

Pilihan hukum. Perjanjian ini tunduk pada hukum Republik Indonesia. Jika berkaitan
dengan transaksi syari‘ah, ketentuan-ketentuan syari‘ah harus dicantumkan secara jelas
dalam pasal-pasal perjanjian. Bukan dengan mencantumkan kalimat ―Perjanjian ini tunduk
kepada hukum Republik Indonesia dan hukum syari‘ah‖.

Pilihan Yurisdiksi. Yakni, memilih badan arbitrase atau pengadilan untuk menyelesaikan
perselisihan jika muncul dikemudian hari. Kontrak tidak boleh menunjuk badan arbitrase
dan pengadilan secara bersamaan.

Penyelesaian perselisihan.
 Penutup. Bagian ini terdiri dari dua hal, sebagai berikut :
a. Testimonium Clause, dan
b. Tanda Tangan (Attestation)
12.5 PERBANDINGAN AKAD-AKAD PADA PERBANKAN SYARI’AH
Sebagai salah satu konsekuensi dari perbedaan interprestasi tentang paradigma penerapan
akad fiqih, apakah prinsip-prinsip atau jenis perjanjian, sampai saat ini belum ada keseragaman di
antara bank-bank syari‘ah dalam membuat perjanjian pembiayaan syari‘ah. Bahkan, bisa jadi, hal
ini sangat kecil kemungkinannya mengingat keragaman yang muncul juga disebabkan banyak
faktor, seperti perbedaan interprestasi hukum dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa
perbandingan penerapan akad-akad dalam pembiayaan syari‘ah.
Dalam perbandingan ini salah satu UUS Bank Syari‘ah merupakan representasi dari bank
syari‘ah yang menganut paradigma akad fiqih sebagai prinsip dan UUS Bank Syari‘ah lainnya
merupakan representasi dari Bank Syari‘ah yang menganut paradigm akad fiqih sebagai jenis
perjanjian.
Jenis Akad Pembiayaan: Murabahah
Pasal
Nama Bank
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
1.
Definisi
Transaksi Jual Beli
2.
Deskripsi jenis pembiayaan dan akad yang
Kuasa Pembelian
digunakan
3.
Jumlah Pembiayaan
Pengakuan Utang
4.
Syarat-syarat penarikan akad yang digunakan
Jangka Waktu dan Angsuran
5.
Jangka waktu dan syarat pembayaran
Beban Biaya=Biaya
6.
Denda Keterlamabatan
Jaminan
7.
Tempat Pembayaran
Kewajiban Penerima
Pembiayaan
8.
Biaya-Biaya
Pembatasan terhadap
tindakan Penerima
Pembiayaan
9.
Jaminan
Peristiwa cidera janji
10.
Wanprestasi
Penyelesaian perselisihan
11.
Akibat Wanprestasi
Hukum yang mengatur dan
domisili hukum
12.
Pernyataan Nasabah
Addendum
13.
Pembatasan terhadap tindakan nasabah
Lampiran: Data detail objek
14.
Risiko
Murabahah
15.
Asuransi
_
16.
Pengawasan dan Pemeriksaan
_
17.
Penyelesaian Perselisihan
_
18.
Pemberitahuan
_
19.
Penutup
_
Jenis Akad Pembiayaan: IMBT
Nama Bank
Pasal
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
UUS Bank
Syari‘ah C
1.
Definisi
Definisi
Definisi
2.
Tujuan Pembiayaan
Objek IMBT
Transaksi SewaMenyewa
3.
Jangka Waktu Perjanjian
Tata cara penyerahan
Jangka Waktu dan
dan Pembayaran Imabalan
Objek IMBT
Pembayaran
Angsuran Sewa
4.
5.
Biaya-Biaya dan Cara
Jangka Waktu dan
Pembayaran
Besarnya Ujrah
Jaminan
Berakhirnya IMBT
Beban Biaya-Biaya
Hak dan
Kewajiban Atas
Barang
6.
Pengawasan
Biaya dan Denda
Berakhirnya
Perjanjian
7.
Pemeliharaan, Perbaikan
Pajak
Wanprestasi
Marjin Deposit dan
Berakhirnya
Pembayaran
Perjanjian
dan Penggunaan
8.
9.
10.
Risiko
Asuransi
Pernyataan dan Jaminan
Hak Opsi Nasabah untuk Pemindahan
Membeli
Kepemilikan
Pengalihan Objek IMBT
Penyelesaian
Perselisihan
11.
Cidera Janji dan Akibatnya Agunan Hukum
Hukum yang
Mengatur dan
Domisili Hukum
12.
Pelepasan Kepentingan
asuransi
Addendum
Kuasa-Kuasa
Lampiran Surat
Bank atas Barang/Objek
Perjanjian di Akhir jangka
Waktu Perjanjian
13.
Penyelesaian Perselisihan
Pernyataan
14.
Pemberitahuan
Pernyataan dan Jaminan
_
nasabah
15.
Penutup
Pembatasan Tindakan
_
Nasabah
16.
Lampiran
Peristiwa Cidera Janji
_
4. Jumlah Imbalan 5
tahun pertama dan
Rumus
Perhitungan
Penetapan Imbalan
5. Jadwal
Pembayaran
Imabalan
17.
_
Akibat Cidera janji
_
18.
_
Penyelesaian
_
Perselisihan
19.
_
Ketentuan Tambahan
_
20.
_
Surat menyurat
_
21.
_
Lain-lain
_
Jenis Akad Pembiayaan: Isthishna
Nama Bank
Pasal
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
1.
Definisi
Definisi
2.
Pengadaan Barang Berdasarkan Prinsip
Transaksi Isthisna
Istishna
3.
Jumlah kewajiban nasabah
Penambahan atau
Perubahan pada mashnu
4.
Syarat-Syarat Penarikan pembiayaan
Penyerahan Mashnu
5.
Jangka Waktu dan Cara pembayaran
Biaya-Biaya
6.
Denda Keterlamabatan
Jaminan
7.
Tempat Pembayaran
Kewajiban Mustashni
8.
Biaya Pelaksanaan Perjanjian
Pembatasan Terhadap
Tindakan Mustashni
9.
Jaminan
Peristiwa Cidera Janji
10.
Cidera Janji
Pemeriksaan Mashnu dan
resiko
11.
Akibat Cidera janji
Force Majeur
12.
Pernyataan Nasabah
Penyelesaian Perselisihan
13.
Pembatasan Terhadap Tindakan Nasabah
Hukum yang Mengatur dan
Domisili Hukum
14.
Resiko
Addendum
15.
Asuransi
_
16.
Pengawasan dan pemeriksaan
_
17.
Penyelesaian Perselisihan
_
18.
Pemberitahuan
_
19.
Penutup
_
Jenis-Jenis Akad Pembiayaan Isthishna
Nama Bank
Pasal
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
1.
Definisi
Definisi
2.
Jumlah Pembiayaan dan Penggunaan
Fasilitas Pembiayaan
3.
Jangka Waktu
Tujuan Penggunaan Pembiayaan
4.
Syarat-Syarat Penarikan
Jangka Waktu Pembiayaan
5.
Tata Cara Penarikan
Nisbah Bagi Hasil
6.
Nisbah dan Tata Cara Perhitungan
Pembayaran kembali Pembiayaan
Bagi Hasil
dan pembayaran Keuntungan
7.
Risiko Usaha Mudharabah
Jaminan
8.
Pembayaran kembali Pembiayaan dan
Beban Biaya-Biaya
Bagi Hasil
9.
Biaya Pelaksanaan Perjanjian
Kewajiban Mudharib
10.
Jaminan
Pernyataan Mudharib
11.
Kewajiban Nasabah
Pemeriksaan
12.
Pernyataan Nasabah
Hak Shahibul Mal untuk
mengakhiri Pembiayaan
13.
Cidera Janji
Penyelesaian Perselisihan
14.
Pelanggaran
Hukum yang mengatur dan
domisili hukum
15.
Pengawasan dan Pemeriksaan
Addendum
16
Asurasi
_
17
Force Majeur
_
18
Penyelesaian Perselisihan
_
19
Pemberitahuan
_
20
Penutup
_
12.6 KESIMPULAN
Dalam maklah ini dapat disimpulkan bahwa ternyata sebelum dikeluarkannya undangundang perbankan yang mengandung aturan tentang aktivitas perbankan syariah, penerapan syariah
Islam dalam tata hukum positif di Indonesia sebenarnya telah memperoleh tempat yang cukup
signifikan. dapat kita lihat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29
ayat 2. Pengertian beribadah dalam pasal ini, menurut pandangan Islam, tidak hanya mencakup
hubungan antara manusia dengan Tuhannya (ibadah mahdhah), tetapi juga mencangkup hubungan
antara sesama manusia (muamalah), termasuk aktivitas ekonomi. KUH Perdata Pasal 1338
menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang serta
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Hubungan Hukum antara Bank Syariah dengan Nasabah diwujudkan dalam kegiatan bank
syariah. diman setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk
pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu surat perjanjian.
Pembiayaan Syariah dalam Perspektif Legal formal dapat kita lihat dari adanya two level of playing
fields, yaitu sharia level dan legal level. Hal ini bukan sebagai wujud sekularisasi hukum ,
sebaliknya sebagai upaya mewarnai hukum positif akan memberikan banyak celah untuk
memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Saat ini, paradigma prinsip memberikan banyak keleluasaan untuk mewarnai perbankan
syariah dengan berbagai akad fiqh; menghidupkan kembali prinsip syariah dalam berbagai transaksi
perbankan. Sebaliknya, kecerobohan mengambil begitu saja akad-akad fiqh untuk dijadikan hukum
positif tanpa mempertimbangkan secara komprehensif seluruh bangunan hukum yang ada, dapat
berakibat menghambat perkembangan perbankan syariah itu sendiri.
PERTANYAAN DISKUSI

Apakah perbedaan antara akad dan perjanjian?

Sebutkan dan jelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat
suatu kontrak perjanjian!

Bagaimana hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah?

Sebutkan perbandingan akad pada perbankan syariah dalam bentuk IMBT!

Jelaskan perbedaan antara kredit dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah!

Apakah UUS itu?
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adimarwan. Bank Islam: análisis fiqih dan keuangan/Adiwarman Karim.— Ed. 3—
5.—Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Syafi‘i Antonio, Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik/Muhammad Syafi‘i
Antonio, penyunting Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi.—Cet.1.— jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
BAB XIII
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN
PERBANKAN SYARIAH
Dengan diberlakukannya undang-undang No.10 Tahun 1998,perbankan syariah telah
mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk menyelanggarakan kegiatan usaha,termasuk
pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membukakan kantor cabang yang
khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.upaya tersebut diharapkan akan
mendorong perluasan jaringan kantor,pengembangan pasar uang antara bank syariah,peningkatan
kualiatas sumber daya manusia,dan dan kinerja bank syariah,yang pada intinya akan menunjang
pembentukan landasan perekonomian rakyat yang lebih kuat dan tangguh. Tujuan mempelajari bab
ini adalah mengetahui apa saja kebijakan pemerintah dalam mengembangkan industri perbankan
syariah di Indonesia
13.1 PENDAHULUAN
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No.7 tahun 1992 tentang
perbankan
yang
memberikan
peluang
didirikannya
bank
syariah,perkembangan
bank
syariah,dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha masih bisa dikatakan
belum memuaskan.oleh karena itu,pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong
perkembangan bank syariah di Indonesia.
Upaya mendorong pengembangan bank syar`iah dilaksanakan dengan memperhatikan
bahwa sebagian ,masyarakat muslim Indonesia pada saat ini sangat menantikan suatu system
perbankan syariah yang sehat dan terpercaya untuk mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap
layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.pengembangan perbankan syariah juga
ditunjukan untuk meningkatkan mobilitas dana masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh
system perbankan
konvensional.selain itu sejalan dengan upaya-upaya restrukturisasi
perbankan,pengembangan bank syariah merupaka suatu alternative system pelayanan jasa bank
dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
13.2 PERMASALAHAN PERKEMBANGAN BANK SYARIAH
Bank syariah secara resmi telah diperkenalkan kepada
masyarakat sejak pada tahun
1992,yaitu dengan diberlakukannya UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan.undang-undang ini
yang selanjutnya diinterpretasikan dalam berbagai ketentuan pemerintah,telah memberikan peluang
seluas-luasnya untuk pembukaan bank-bank yang beroprasi dengan perinsip bagi hasil.
Perkembangan bank syariah sampai saat ini belum memperlihatkan perkembangan yang
menggembirakan.baik jaringan maupun volume usaha,dibandingkan dengan pertumbuhan bank
konvensioanal,
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perbankan
syariah,terutama berkaitan dengan penerapan suatu system perbankan yang baru,suatu system yang
mempunyai sejumlaah perbedaan prinsip dengan system yang dominan dan telah berkembang pesat
di Indonesia,berikut ini dikemukakan beberapa kendala yang muncul sehubungan dengan
pengembangan perbankan syariah:
 Pemahaman masyarakat yang belum tepaat terhadap kegiatan operasional bank
syariah.
Karena masih dalam tahap awal pengembangan,dapat dimaklumi bahwa pada saat ini
pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai system dan prinsip perbakan syariah
masih belum tepat.pada dasarnya,system ekonomi islam telah jelas,yaitu melarang
memperaktikan riba serta akumulasi kekaayaan hanya pada pihak tertentu secara tidak
adil.akan tetapi,secara peraktis,bentuk produk dan jasa pelayanaan,prinsip-prinsip dasar
hubungan antara bank dan nasabah,serta cara-cara berusaha
yang halal dalam bank
syariah,masih sangat perlu disosialisasikan secara luas.
Adanya perbedaan karakteristik produk bank konvensional dengan bank syariah telah
menimbulkan adanay keengganan jasa perbankan.keenganan tersebut diakibatkan oleh
hilangnya kesempaatan mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan.oleh
karena itu perlu diinformasikan bahwa penempatan dana pada bank syariah juga dapat
memberikan keuntungan financial yang kompetitif,disamping itu,salah satu karakteristik
khusus dari hubungan bank dengan nasabah dalam system perbankan syariah adalah adanya
moral force dan tuntutan terhadap etika usaha yang tinggi dari semua pihak.hal ini
selanjutnya akan mendukung prinsip kehatia-hatian dalam usaha bank maupun nasabah.
 Peraturan perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional
bank syariah.
Karena adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank syariah
dan bank konvensional,ketentuan-ketentuan perbankan perlu disesuaikan agar memenuhi
ketentuan
syariah
sehingga
bank
syariah
dapat
beroprasi
secara
efektif
efesien.ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah hal-hal yang mengantur:
dan

Instrument yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas,

Instrument moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan
tugas bank sentral.

Standard akuntansi,audit,dan pelaporan,

Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip-prinsip kehati-hatian dan
sebagainya.

Ketentuan-ketentuan tersebut sangat diperlukan agar perbankan syariah menjadi
elemen dari sisitem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan
mampu berkembang pesat bersaing dengan bank konvensional.
 Jaringan kantor bank syariah yang belum luas.
Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan
pelayanan kepada masyarakat.disamping itu,kurangnya jumlah bank syariah yang ada juga
menghambat perkembangan kerja sama antara bank syariah,kerjasama sangat dibutuhkan antara
lain berkenaan dengan penempatan dana antara bank dalam hal untuk mengatasi likuiditas.sebagai
suatu badan usaha,bank syariah perlu beroprasi dengan sekala yang ekonomis.karenanya,jumlah
jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efesiensi usaha.berkembangnya jaringan
bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan kompetisi kearah peningkatan kualitas pelayanan
dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syariah.
 Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit.
Kendala dibidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah
disebabkan karena system ini masih belum lama dikembangkan.disamping itu,lembaga-lembaga
akademik dan pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman di
bidang perbakan syariah,baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank central,masih sangat
sedikit.pengembangan sumber daya manusia di bidang perbakan syariah sangat perlu karena
keberhasilan pengembangan bank syariah pada level mikro sanagt ditentukan oleh kualitas
menejemen dan tingkat pengetahuan serta keterampilan pengelola bank.
13.3 TUJUAN PENGEMBANGAN BANK SYARIAH
Langkah yang diambil oleh pemerintah untuk pembangunan kembali system perbankan yang
sehat dalam rangka mendukung program pemulihan dan pemberdayaan ekonomi nasional,selain
restrukturisasi perbankan,adalah dengan pengembangan system perbankan syariah.tujuan
pengembangan perbankan syariah adalah untuk memenuhi hal-hal berikut:

Kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep
bunga
Dengan diterapkannya system perbangkan syariah yang berdampingan dengan system
perbankan konvensional,mobilitasi dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih
luas,terutama dari segmen masyarakat yang selama ini belum dapat tersentuh oleh system
perbankan konvensional.

Peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan
Dalam prinsip ini,konsep yang diterapkan adalah hubungan antar investor yang
harmonos.adapun dalam system konvensional,konsep yang diterapkan adalah hubungan
debitur dan kreditur yang antagonis.

Kebutuhan akan produk dan jasa perbankan unggulan
System
perbankan
syariah
memiliki
beberapa
keunggulan
komparatif
berupa
penghapusan pembebanan bunga yang berkesinambungan,membatasi kegiatan spekulasi
yang
tidak
produktif,dan
pembiayaan
yang
ditunjukan
pada
usaha-saha
yang
memperhatikan unsure moral (halal)
13.4 STRATEGI PENGEMBANGAN BANK SYARIAH
Strategi pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk meningkatkan kompetisi ussaha
yang sejajar dengan system perbankan konvensional yang dilakukan secara komprehensif dengan
mengacu pada analisa kekuatan dan kelemahan perbankan syariah di Indonesia saat ini.upaya
tersebut dilakukan melalui peningkatan keahlian sumber daya manusia,penyempurnaan
ketentuan,dan program sosialisasi.fokus utama strategi pengembangan system perbankan syariah
meliputi hal-hal sebagai berikut.
Penyempurnaan ketentuan
Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat dasar undang-undang Bank
sentral,undang-undang perbankan,dan penyesuaian perankat-perangkat ketentuan pendukung
kegiatan operasional bank syariah,dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun
1992 tentang perbankan,telah diterapkan pasal-pasal yang membuka peluang penembangan yang
lebih luas bagi bank syariah.pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang berhubungan dengan
syariah,selanjutnya akan dituangkan dalam-surat-surat keputusan direksi Bank Indonesia yang
mengatur seluruh kegiatan operasional bank syariah.
Strategi penembangan pengaturan bank syariah diarahkan untuk menciptakan sistem
perbankan syariah yang sehat dan dapat berperan sebagai lembaga intermediasi secara optimal
dengan dukungan hal-hal berikut.

Struktur perbankan syariah yang dapat mengakomodasi sisi penghimpunan dana dan
pembiayaan secara harmonis.untuk itu,pengembangan ketentuan mengenai struktur pelu
senantiasa mengacu pada analisis resiko yang meliputi

Struktur permodalan yang kuat

Struktur organisasi dengan sumber daya yang tangguh

Struktur operasional dengan kebijakan dan pelaksanaan usaha yang berlandaskan pada
perinsip kehati-hatian dan peraktek perbankan yang sehat.

Sistem pengawasan dan pembiayaan yang efektif dalam rangka mewujudkan iklim usaha
yang kondusif serta dapat melindungi kepentingan masyarakat.
Pengembangan jaringan bank syariah
Pengembangan jaringan perbankan syariah,terutama ditunjukan untuk menyediakan akses
yang lebih luas kepada masyarkat dalam mendapatkan pelayanan jasa perbankan syariah.selain
itu,dengan semakin berkembangnya jariangan bank syariah,akan mendukung pembentuakan pasar
uang antar bank yang sangat penting dalam mekanisme operasional perbankan syariah sehigga
dapat berkembang secara sehat.
Pengembangan jaringan perbankan syariah dilakukan melalui cara-cara berikut

Peningkatan kualiatas bank umum syariah dan perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah
beroprasi

Perubahan kegiatan usaha bank konvensional (total comvertion) yang memiliki kondisi
usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan perinsip
syariah.

Pembukaan kantor cabang syariah (full branch) bagi bank konvensional yang memiliki
kondisi usaha yang lebih baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank sesuai
prinsip syariah.pembukaan kantor cabang syariah dapat dilakukan dengan tiga cara,yaitu:

Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kantor cabang baru.

Perubahan kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syariah.

Peningkatn status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syariah.
Pengembangan piranti moneter.
Penyusunan piranti moneter dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan moneter dan
kegiatan usaha bank syariah.dalam kaitannya dengan kegiata uasaha bank syariah maka
pembentukan piranti ini diharapkan dapat membantu pengembangan pasar uang antarbank syariah.
Pelaksanaan kegiatan sosialisasi perbankan syariah.
Kegiatan sosialisai yang dilaksanakan bertujuan untuk memberikan informasi yang lengkap
dan
benr
mengenai
kegiatan
usaha
perbankan
syariah
kepada
masyarakat,baik
itu
pengusaha,kelangan perbankan maupuk kalangan masyarakat.sesuai kapasitasnya sebagai otoritas
pembinaan dan pengawasan bank,Bank Indonesia dapat menjadi narasumber kegiatan bank
syariah.agar sosialisai ini dapat terlaksana dengan baik,diperlukan kerja sama denagn lembagalembaga lai,seperti perguruan tinggi,pera ulama,dewan dakwah,asosiasi,media masa cetak maupun
elektronik,atau lembaga-lembaga lainnya yang memiliki kemampuan dan akses yang yang besae
dalam penyebarluasan informasi terhadap masyarakat.
13.5 TAHAPAN PENGEMBANGAN BANK SYARIAH
Untuk mendukung keberhasilan strategi pengembangan yang telah ditetapkan pemerintah
memandang perlu mempersiapkan agenda program pengembangan perbankan syariah yang jelas
dan terarah melalui beberapa tahapan.Adapun langkah-langkah yang telah telah dilakukan meliputi
hal-hal sebagai berikut

Membentuk komite pengarah,komite Ahli dan komite kerja pengembangan perbankan
syariah.komite ini berfungsi sebagai narasumber program pengembangan syariah.Adapun
tugas-tugas dari komite tersebut adalah sebagai berikut:
Komite pengarah
Memberikan pengarahan,baik berupa masukan maupun pertimbangan,terhadap
keputusan yang diambil sehubungan dengan strategi pengembangan bank syariah.
Komite Ahli
Memberikan pertimbangan.saran,dan informasi kepada komite pengarah dan komite
kerja mengenai segala aspek yang berhubungan dengan pengembangan bank syariah
Komite kerja
Mempersiapkan bahan dan usulan serta membantu tindak lanjut pengembangan
bank syariah.

Melakukan inventarisasi perangkat ketentuan yang ada serta menyusun ketentuan yang lebih
lengkap dan dibutuhkan dalam rangka membentuk iklim perbakan syariah yang bersifat
kondusif.selama ini,pengaturan bagi perbankan syariah masih menggunakan kerangka
peraturan bagi bank umum konvensional,walaupun secara operasional kedua system
perbankan ini berbeda.perangkat ketentuan yang dimaksud meliputi hal-hal berikut.

Perizinan
Dengan diberlakukannya UU No.10 tahun 1998,perizinan pendirian bank,termasuk
bank
syariah,berbeda
dalam
kewenangan
Bank
Indonesia.ketentuan
pendirian
bank
syariah,termasuk pembukaan cabang syariah,oleh bank konvensional akan diatur dengan
memperhatikan struktur kepemilikan,modal disetor,dan analisis kelayakan ekonomi.analisis
kelayakan ekonomi merupakan bentuk pengaturan baru yang diharapkan dapat menjadi sarana yang
efektif bagi bank Indonesia dalam melakukan analisis terhadap kelayakan pendirian bank,konversi
bank,atau pembukaan kantor cabang syariah,sehingga dapat mewujudkan suatu entry system
perbankan nasioanal secara keseluruh.

Prinsip kehati-hatian
Pelaksanaan perinsip kehati-hatian bank atau prudential banking regulation masih
tetap landasan penting dalam operasional bank.perinsip kehati-hatian dalam bank syariah meliputi
ketentuan tentang kualitas aktiva Produktif (KAP),batas maksimum
pemberian kredit
(BMPK),tingkat kesehatan,pedoman pembiayaan,serta aspek operasional lainnya yang disususn
secara bertahap menurut sekala proritas.

Membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia merupaka
tulang punggung keberhasilan program perkembangan perbankan syariah.jumlah SDM yang
memiliki tingkat keahlian yang memadai masih sangat terbatas.untuk meningkatkan kualitas
SDM tersebut,Bank Indonesia telah berperan aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan
berikut ini .

Pelatihan operasioanl bank syariah terhadap SDM perbankan
yang berminat untuk mengembangkan bank syariah yang dilaksanakan baik oleh Bank
Indonesia bekerja sama dengan lembaga pelatihan nasional maupun lembaga pendidikan
luar negri.

WorkShop mengenai perbakan syariah:

Islamic banking,membahas masalah yang spesifik
seperti ALMA ,investmen Analysis,internasional Trading,dll.

Standard internasional untuk audit dan akuntansi bagi
bank syariah (Internasioanl Standard Of Accounting And Auditing Organization for Islamic
banks);

System teknologi informasi bagi perbanka islam

Seminar dan diskusi panel:
o
Penge
mbangan perbankan syariah dalam rangka mendukung perekonomian rakyat;
o
Penge
mbangan bank berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan UU No.10 Tahun
1998.
o
Kegiatan lainya yang dilaksanakan dalam
bentuk penyuluhan atau press release melalui media massa.
o
Melaksanakan kegiatan sosialisasi perbakan
syariah kepada kalangan perbakan,masyarakat umum,dan ulama.upaya sosialisasi ini
sanagt penting mengingat masih sangat terbatasnya informasi mengenai prinsip dan
operasional bank syariah yang dimiliki masyarakat,bahkan dikalang perbankan
sekalipun
13.6 KESIMPULAN
Dapat simpulkan bahwa peraturan yang dibuat pemerintah akan adanya pengembangan dan
pembentukan SDM
perbankan syariah sangat dibutuhkan,kerena diketahui bahwa perbangkan
syariah adalah salah satu elemen terpenting dalam perkembangan ekonomi di bangsa ini,jadi sudah
sewajarnya pemerintah memperhatikan segala kebutuhan atas kepestian peraturan UU.tentang
perbankan,agar perbakna syariah dapat mengepakan sayapnya di kancah perekonomian bangsa
ini.dan dengan segala peraturan yang ada akan perbakan syariah,diharapkan memberikan kontribusi
yang real terhedap perbankan syariah.
Soal Latihan




Apa permasalahan-permasalahan perbankan syariah dalam perkembangan nya?
Apa tujuan pengembangan Bank syariah?
Apa strategi pengembangan syariah?
Jelaskan maksud dari teori kehati-hatian
REFERENSI
Antonio,syafii.bank syariah dari teori keperaktik,gema insane press,2001,Jakarta.
BAB XIV
AUDIT DAN KONTROL BANK SYARIAH
Teknik audit yang dilaksanakan oleh auditor untuk bank syariah secara umum sama dengan teknik
audit yang telah ada. Misalnya, penggunaan teknik audit rekonsiliasi untuk memeriksa rekening
bank lain, menggunakan cash/stock opname untuk hal-hal yang dapat dihitung secara fisik, seperti
kas, inventaris, dll. Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menganalisa teori dan praktek audit
dan sistem kontril di bank syariah.
14.1 PENDAHULUAN
Berikut ini adalah beberapa landasan Syariah tentang audit dan kontrol. Dimaksudkan agar
para bankir dan praktisi keuangan Syariah dapat lebih merenungkan terhadap apa yang
diamanahkan sebagai pengelola keuangan.
1. Al-Quran:
S. Al-Maa’idah: 8
―Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil…‖
S. Al-Ashr:1-3
―Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.‖
S. Al-Hujaraat: 6
―Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada mu orang fasik membawa suatu berita,
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan mu itu.‖
2. Al-Hadits:
―Katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit.‖
‖Barang siapa di antara mu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan
(kekuasaan)-nya. Apabila tidak sanggup, dengan ucapannya. Apabila tidak sanggup, dengan
hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.‖
14.2 AUDIT SISTEM BERLAPIS (MULTILYER SYSTEM AUDIT) DALAM BANK
SYARIAH
Kegiatan bank mempunyai risiko tinggi karena berurusan dengan uang dalam jumlah yang
sangat besar sehingga dapat menimbulkan niat orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk
melakukan kecurangan. Kalau kekhawatiran ini terjadi tentu dapat mengakibatkan kerugian bagi
bank. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kontrolnya, perlu diciptakan suatu sistem kontrol yang
berlapis-lapis.
Bank Syariah dalam melaksanakan fungsi auditnya dilandasi oleh lapisan audit yang terdiri atas halhal berikut ini:

Pengendalian Diri Sendiri (Self Control)
Pengendalian atas diri sendiri (self control) merupakan lapisan pertama dan utama dalam
diri setiap karyawan bank syariah, sehingga peran bagian sumber daya insani dalam memilih
karyawan yang tepat merupakan syarat mutlak adanya peran lapisan kontrol yang pertama ini secara
optimal.
Di samping itu, setiap sumber daya insani harus meyakini dan mengimani bahwa semua
perbuatannya selalu direkam secara cermat (audit trail) oleh Allah SWT dan malaikat. Yang
nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya. Seperti pada nash dalam Al-Quran:

Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua malaikat mencatat
amal perbuatannya, satu duduk di cébela kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada
suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir.(Qaaf: 16-18)

Dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh). (Al-An’am:59)

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah
mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauhul Mahfuzh). (Yaasiin: 12)

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang hidup, kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur…(Al-Baqarah:255)

Pengendalian Menyatu (Built in Control)
Selain self control, karyawan dalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak terlepas dari
prosedur dan aturan main yang telah ditetapkan. Dalam sistem dan prosedur yang diciptakan, secara
tidak disadari oleh setiap karyawan, dimasukkan unsur-unsur control yang menyatu dengan
prosedur tersebut (built in control). Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menciptakan
pengendalian menyatu yang baik adalah adanya dual control, dual custodian, maker checker,
approval, limitation, segregation of ruties, verifikasi, dan lain-lain.

Auditor Internal
Untuk dapat meyakinkan bahwa telah ada pengendalian diri dan pengendalian menyatu yang
memadai, perlu adanya suatu ukuran dan penilaian dari pihak yang tidak terkait dengan kegiatan
tersebut (independen). Selain itu, manajemen juga harus mempunyai kemampuan dalam
mengnalisis efektivitas fungís-fungsi kontrol yang ada melalui suatu auditor yang dibuat berlapislapis.
◦ Bagian Pengawasan Data
Bagian ini sering juga disebut sebagai verificator yaitu pemeriksa seluruh transaksi yang
terjadi, di mana salah satu produknya adalah program zero defect, yaitu suatu program audit yang
memberikan peringatan kepada pelaksana atas kesalahan-kesalahan pembukuan yang terjadi.
Dengan demikian, secara bertahap, kesalahan yang ada dapat terus ditekan dan mengarah pada
kesalahan nol (tidak ada kesalahan lagi). Di samping itu, bagian pengawasan data ini juga
melaksanakan audit keuangan atas laporan keuangan, khususnya melakukan pembuktian kebenaran
material setiap pos yang ada, yaitu dengan melakukan cash count, stock opname, rekonsiliasi
bank/RAK, proofing, dll.
◦ Auditor Wilayah (resident Auditor) dan Inspektur Pengawasan
Kedua pengawas ini berfungsi melakukan operasional audit, di samping audit keuangan.
Titik berat audit yang dilakukan adalah pengujian secara menyeluruh atas berjalannya SPIN (Sistem
Pengendalian Intern) yang anatara lain meliputi: aspek organisas, memadai tidaknya sumber daya
insani, praktik bank yang sehat. Dan unsure SPIN lainnya. Auditor wilayah adalah kepanjangan
tangan dari inspektur pengawasan yang ada di kantor pusat. Sekalipun keberadaannya di kantor
cabang, namun ia bertanggung jawab ke kantor pusat.
Hasil dari auditor ini berupa evaluasi atau gambaran atas kondisi yang ada di lapangan dan
praktik sehari-hari yang berlangsung dalam kegiatan bank. Auditor juga memberi masukan kepada
manajemen dalam hal diperlukannya poembenahan, perbaikan, koreksi, baik yang menyangkut
sumber daya insani, sistem prosedur, maupun aspek manajerial. Dalam kegiatannya sehari-hari,
semua unsur pengawasan tetap tunduk dan patuh serta menjalankan Standar Pelaksanaan Fungsi
Audit Intern Bank (SPAIB).

Eksternal Auditor
Pengaudit eksternal memberikan masukan kepada manajemen bank mengenai kondisi bank
yang bersangkutan. Dari audit eksternal diharapkan adanya suatu penilaian yang sangat netral
terhadap objek-objek yang diperiksa. Audit eksternal yang melakukan pemeriksaan antara lain Bank
Indonesia, akuntan publik, maupun pihak lainnya.
14.3 JENIS AUDIT, TEKNIK AUDIT, DAN HAL-HAL KHUSUS DALAM PEMERIKSAAN
Jenis Audit dan Teknik Audit
Audit keuangan dan audit operasi (compliance test) juga dilaksanakan dalam pemeriksaan
yang dilakukan oleh auditor untuk bank syariah. Khusus untuk pengujian kepatuhan, di samping
peraturan-peraturan (internal dan eksternal), fatwa-fatwa dan notulen Dewan Pengawas Syariah
juga dijadikan acuan.
Hal-hal Khusus atas Pemeriksaan Bank Syariah
Secara garis besar, beberapa hal yang secara khusus dilakukan dalam audit atas bank syariah,
dapat disampaikan sbb:
◦ Di samping pengungkapan kewajaran penyajian laporan keuangan, juga diungkapkan
unsur kepatuhan syariah.
◦ Perbedaan akunting yang menyangkut aspek produk, baik sumber dana maupun
pembiayaan.
◦ Pemeriksaan distribusi profit.
◦ Pengakuan pendapatan cash basis serta riil.
◦ Pengakuan beban yang secara acrual basis.
◦ Dalam hubungan dengan bank koresponden, khususnya koresponden depository,
pengakuan pendapatan tetap harus menggunakan prinsip bagi hasil. Jika tidak,
pendapatan atas bunga tidak boleh dicatat sebagai pendapatan.
◦ Adanya pemeriksaan atas sumber dan penggunaan zakat.
◦ Revaluasi atas valuta asing dapat diakui apabila posisi devisa neto dalam posisi square.
Dalam hal ini, harus ada ketentuan tentang suatu posisi PDN yang dianggap square.
◦ Ada tidaknya transaksi yang mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariah.
14.4 KESIMPULAN
Audit dan kontrol pada bank syariah sangat penting untuk menghindari kerugian pada bank.
Sehingga terciptanya suatu sistem kontrol yang berlapis-lapis (multilyer audit system). Seperti
pengendalian terhadap diri sendiri dalam pemilihan karyawan yang tepat, pengendalian menyatu
dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku, auditor internal untuk memberikan
penilaian dari pihak yang tidak terkait (independen), eksternal auditor yang memberikan masukan
kepada manajemen mengenai kondisi bank yang bersangkutan. Auditor internal meliputi bagian
pengawasan data, auditor wilayah dan inspektur pengawasan.
Pertanyaan

Apa yang membedakan audit dan kontrol pada Bank Syariah dengan Bank Konvensional?

Hal apa saja yang melandasi Bank Syariah dalam melaksanakan fungsi auditnya?

Siapakah yang berwenang melaksanakan audit dan kontrol pada Bank Syariah?

Apa perbedaan tugas antara auditor internal dengan eksternal auditor?
Referensi
Antonio, Syafi‘i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani: Jakarta
Download