PERAN GURU MENURUT PERSPEKTIF KI HADJAR DEWANTARA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh: Agus Setiawan NIM. 1112011000056 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/1438 ABSTRAK Agus Setiawan (1112011000056). “Peran Guru Menurut Perspektif Ki Hadjar Dewantara”. Tujuan penelitian ini untuk memberikan pemahaman kepada para pendidik khusunya para guru bagaimana peran guru yang baik menurut Ki Hadjar Dewantara, dan untuk memberikan pemahaman kepada guru bagaimana perspektif Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah teknik content analysis (analisis isi). Teknik analisis isi (content analysis) dimaksudkan untuk membedah peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam pemikiran-pemikiran dan gagasangagasan beliau yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidik yang baik adalah yang menjadi teladan bagi anak didiknya lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar mereka menjadi manusia yang merdeka batinnya, pikirannya, serta tenaganya dan dengan pendidikan, mereka dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, sehingga bisa mengangkat derajat negaranya. Pandangan beliau tentang peran guru yang baik atau ideal tercermin dari semboyan-semboyan yang telah ia canangkan, misalnya ing ngarso sung tulodo (apabila di depan memberi contoh), ing madyo mangun karso (apabila di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (apabila di belakang memberi dorongan). Terakhir adalah momong, among, ngemong yang memiliki arti supaya para guru dapat mendidik anak muridnya dengan cara mengasuh dan memberi nilai-nilai yang positif dalam kehidupan mereka. Bukan mengasuh dengan cara paksaan, melainkan dengan memperhatikan dan menuntun atau mengarahkan agar anak didik bebas untuk mengembangkan diri, supaya semua peserta didik dapat merdeka batinnya, pikirannya, juga tenaganya. Karena pendidikan bertujuan untuk memanusiakan (memerdekakan) manusia. Dan pendidikan yang diinginkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang mencerminkan budaya bangsanya sendiri agar menjadi manusia yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. i ABSTRACT Agus Setiawan 1112011000056. “The Role of Teachers According to Perpective of Ki Hadjar Dewantara”. The purpose of this study is to provide insight to educators especially teachers how the role of good teachers by Ki Hadjar Dewantara, and to provide insight to the teachers how Ki Hadjar Dewantara’s perspective on education. This study includes qualitative research. The data in this study is the technique of content analysis. Content analysis is intended to dissect the role of educators in the perspective of Ki Hadjar Dewantara contained in the thoughts and ideas that he later presented in descriptive form. The results of this study indicate that Educators should be role models for their students and can direct and guide it right without any coercion potential of the learners so that they become a man of independent inner, mind, and energy and education, they can become useful human for the homeland, nation and religion, so that it can raise the degree of his country. Ki Hadjar Dewantara on the thinking about the role of the teacher is actually reflected on some of his ideas in education, such as ing sung ngarso tulodo (when in front to give an example), madyo ing Mangun Karso (if in the middle of passion), tut wuri Handayani (if in the back of encouragement). Lastly is momong, among, ngemong, which means that teachers can educate students by way of parenting by giving positive values in their lives. And not caring by coercion, but by observing and guided or directed that their students are free to develop itself respectively. And so that all learners are able to free his mind, his thoughts, his strength also. Because education is supposed to humanize (liberating) human. And education desired by the father of our national education Ki Hadjar Dewantara namely education that reflects the culture of its own people in order to be a man who is independent and not rely on others. ii KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat kesehatan yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai akhir zaman. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Agama Islam. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan hambatan dalam penulisan skripsi. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman menulis. Namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungannya baik secara moril dan materil, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Agama IsIam (PAI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI. 3. Marhamah Saleh, Lc., M.A, sebagai Sekretaris Jurusan PAI Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis untuk segera merampungkan skripsi. 4. Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum, sebagai dosen pembimbing dengan penuh kesabaran dan keikhlasannya telah membimbing, memberikan saran dan iii masukan serta mengarahkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberi kemudahan pembuatan surat-surat serta sertifikat. 6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan. 7. Orang tua tercinta, Bapak Warsito, dan Ibu Subtiah yang tidak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Serta adik saya Rifqi Maulaaya Ramadhan yang terus memberikan semangat untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Annisa Nur Utami yang tidak hentinya memberikan dukungan dan semangat, serta bantuan yang sangat berarti kepada penulis dalam menyusun skripsi. 9. Sahabat seperjuangan penulis, Abdul Fattah, Afrizal Haqqul Yaqqin, Ahmad Ray Fuad Zeins, Jeis Adli Ribhan, dan M. Dhiya Habibi yang memberikan dukungan motivasi dan doa serta menemani mengisi hari-hari yang telah dilalui penulis. 10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012 khususnya Sahabat-sahabat PAI B 2012, atas kebersamaan dan bantuan yang sangat berarti bagi penulis selama masa perkuliahan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat berdoa mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat. Amin yaa robbal ‘alamin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif, namun dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat iv untuk semua pihak, minimal bagi penulis sendiri. Akhirnya hanya kepada Allah jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallahu A’lam Bishawab. Ciputat, 6 Februari 2017 Agus Setiawan v DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................ i ABSTRACT ......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 5 C. Batasan Masalah .................................................................................. 5 D. Perumusan Masalah ............................................................................ 6 E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Peran ................................................................................. 8 B. Pengertian Pendidikan ........................................................................ 9 C. Pendidik (Guru) ................................................................................. 12 1. Pengertian Guru ............................................................................ 12 2. Hakikat dan Ciri Pendidik (Guru) .............................................. 13 3. Kode Etik Guru ............................................................................. 15 4. Kompetensi Guru .......................................................................... 16 5. Sikap Profesional Guru ................................................................ 22 D. Guru dalam Pandangan Islam ......................................................... 27 E. Hasil Penilitian yang Relevan ........................................................... 34 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ............................................................ 36 B. Metode Penelitian .............................................................................. 36 C. Fokus Penelitian ................................................................................. 37 vi D. Prosedur Penelitian ........................................................................... 37 E. Sumber Data ...................................................................................... 38 F. Analisis Data ...................................................................................... 39 G. Teknik Penulisan ............................................................................... 40 BAB IV PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG GURU A. Biografi Ki Hadjar Dewantara ......................................................... 41 1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara ........................................ 41 2. Pendidikan yang Pernah Ditempuh Ki Hadjar Dewantara ...... 44 3. Sekolah Perguruan Taman Siswa ................................................ 45 4. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara ........................................... 48 B. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan .................. 49 C. Metode Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ..................................... 56 D. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Guru di Indonesia ...... 58 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 67 B. Saran ................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69 vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Ibarat investasi yang menghasilkan sesuatu, pendidikan pun merupakan kegiatan menginvestasikan manusia dalam jangka waktu yang sangat panjang (human capital).1 Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama dari segala pihak untuk menjadikan pendidikan yang bermutu. Tidak mudah memang merealisasikannya di negara yang amat kaya ini. Akan tetapi jika melihat dari para pejuang pendidikan terdahulu seperti R.A. Kartini yang dengan gigih memperjuangkan emansipasi wanita agar mendapatkan pendidikan dengan semboyannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dan Ki Hadjar Dewantara yang pantang menyerah dengan semboyan “Tut Wuri Handayani” dan mendirikan sebuah perguruan pendidikan dengan nama Taman Siswa, membuktikan bahwa pendidikan begitu amat penting. Dalam proses pendidikan formal dan non formal, pendidik memegang peran yang sangat penting dan menentukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidik merupakan orang dewasa baik secara kodrati (orang tua) maupun secara profesi (menjadi pendidik karena tugas jabatan) bertanggung jawab dalam menumbuhkembangkan anak didik.2 Pada pendidikan formal, pendidik lebih dikenal dengan sebutan guru. Sesuai dengan istilah jawa, guru “digugu dan ditiru”. Falsafah ini menegaskan, tugas guru adalah memberi ilmu yang diterima oleh peserta didik. Selain itu, pembimbing dan pengarah peserta didik agar mengembangkan potensinya serta pemberi contoh bagi peserta didik. Guru termasuk orang yang menjadi penentu keberhasilan atau prestasi yang akan diraih oleh peserta didik baik secara akademik maupun secara sikap. 1 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 18. 2 Uyoh Sadulloh, dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 128. 1 2 Dalam bidang akademik, guru harus memiliki pengetahuan yang luas agar menjadi pemicu peserta didik untuk meningkatkan prestasinya. Sedangkan secara sikap, guru dituntut memiliki sopan santun, akhlak yang baik, kepatuhan dalam beribadah, dan sebagainya, agar dapat menjadi tauladan bagi peserta didik. Tugas guru bukan hanya menyampaikan suatu pelajaran atau materi saja, melainkan berperilaku yang baik agar peserta didik dapat mencontoh perilaku guru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seorang guru berperilaku yang tidak baik di kesehariannya, maka bukan tidak mungkin peserta didik akan mencontoh apa yang dilakukan oleh guru, karena itu adalah sebagian dari pendidikan secara tidak langsung dari sang guru. Belajar dari kisah yang dialami Jepang, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu, sang prajurit melapor kepada pimpinannya. Hal yang pertama kali ditanyakan oleh pimpinan negara tersebut adalah berapa orang guru yang selamat. Baginya, begitu pentingnya peran guru bagi kemajuan negaranya kelak. Dewasa ini, jika melihat dari fenomena yang ada, banyak sekali polemik yang terjadi pada pendidikan Indonesia. Seperti halnya yang marak dibicarakan akhir-akhir ini, misalnya: kurangnya guru profesional, minimya guru yang memahami hakekatnya sebagai guru, soal UN yang bocor, hingga pengulangan Ujian Nasional karena mengalami kebocoran seperti yang terjadi tahun lalu. Entah siapa yang pantas dan harus disalahkan pada polemik kali ini, yang jelas itu semua tidak terlepas dari peran pendidik dalam pembelajaran. Pendidiklah yang setiap hari bertatap muka dengan dan mengetahui perkembangan apa saja yang dialami peserta didik. Ada banyak sekali tokoh pendidikan di Indoneisa. Akan tetapi Bapak Pendidikan Nasional yang sudah kita kenal dan paling kita kenang, adalah Ki Hadjar Dewantara. Salah satu filosofi beliau dalam dunia pendidikan adalah sebuah semboyan yang berbunyi “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Maksudnya ialah bahwa seorang pendidik haruslah menjadi teladan bagi para peserta didik, menjadi pembimbing yang baik, dan juga dapat mendorong dalam arti mensupport 3 peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas dan berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Nama asli Ki Hadjar Dewantara adalah R.M. Suwardi Suryaningrat. Ia seorang putera keturunan bangsawan. Ia dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 (yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional) di Yogyakarta sebagai cucu dari Sri Paku Alam Ke III, anak dari Pangeran Suryaningrat, putera sulung dari permaisuri dan Sri Paku Alam ke III tersebut.3 Suwardi yang sejak berusia 40 tahun berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, sampai akhir hayatnya menjadi pemimpin Umum Persatuan dan Perguruan Taman Siswa.4 Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.5 Mendidik adalah menuntun atau mengarahkan peserta didik agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan mencapai tujuannya menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Peran guru yang diinginkan oleh beliau ialah seorang guru menjadi teladan bagi anak didiknya lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan, dan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik Sebagaimana yang telah dipaparkan pada Undang-Undang Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005 bahwa pendidik profesional dengan tugas utama: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan menegah.6 Artinya tugas seorang guru bukan hanya mengajar dan mendidik peserta didiknya, akan tetapi juga harus membimbing dan mengarahkan mereka kepada jalan yang benar, melatih kemampuan mereka agar dapat 3 A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1980), h. 3. 4 ibid., h. 4. 5 Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2011), cet. 4, h. 20. 6 Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 4 mengembangkan potensinya, dan dapat menilai dan mengevaluasi hasil belajar dan tingkah laku mereka selama di sekolah. Jika dilihat dari sisi pendidik zaman sekarang, banyak pendidik yang kurang menyadari hakekat dan perannya sebagai pendidik. Banyak dari mereka yang menganggap menjadi guru adalah pekerjaan semata, hanya untuk mengajar dan menyampaikan pelajaran kepada peserta didiknya. Tidak sedikit dari mereka yang seperti acuh tak acuh kepada tingkah laku anak didiknya baik di dalam maupun di luar sekolah. Sehingga hal ini berdampak pada sikap atau perilaku siswanya di lingkungan mereka, terbukti dengan masih maraknya siswa yang tawuran, karakter siswa yang kurang baik, banyaknya siswa yang sudah bersifat hedonisme, dan sebagainya. Padahal, peran pendidik sangat dibutuhkan. Tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian, tujuan tersebut wajib dilaksanakan oleh guru di sekolah. Guru menjadi eksekutor dalam pendidikan di sekolah kepada para peserta didiknya. Proses pendidikan yang akan didapatkan peserta didik haruslah melalui guru yang kompeten, yaitu guru yang memiliki kompetensi untuk mengajar dan mendidik. Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang dapat diwujudkan dalam hasil kerja nyata yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. 7 Adapun kompetensi guru merupakan penguasaan kemampuan yang harus ada dalam 7 Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 29. 5 diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif.8 Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan guru, pelatihan, maupun belajar mandiri atau otodidak dengan memanfaatkan sumber belajar yang tersedia. Kompetensi yang harus dimiliki setiap guru yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagodik merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki guru yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar. Lalu kompetensi kepribadian berkaitan dengan tingkat laku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.9 Selanjutnya kompetensi sosial merupakan kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial. Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Keempat kompetensi tersebut sesuasi dengan apa yang diharapkan Ki Hadjar Dewantara terhadap guru dalam melaksanakan tugasnya. Dari semua pemaparan di atas telah jelas, seberapa pentingnya peran para guru dalam pendidikan. Dengan memahami peran dirinya sebagai pendidik, dengan melihat dan mendalami perjuangan tokoh pendidikan pada masa perjuangan dahulu, maka para guru dapat meneruskan perjuangan para pahlawan, khususnya yang berjuang di bidang pendidikan dan membantu memajukan bangsa. Oleh karna itu, setiap pendidik haruslah memahami dan mengerti bagaimana peran dan hakekat pendidik dalam hal ini adalah guru, sehingga menjadi pendidik yang profesional yang diharapkan oleh para pendahulunya. Dengan menjelaskan semua hal tersebut, penulis membuat skripsi berjudul: Peran Guru Menurut Perspektif Ki Hadjar Dewantara. 8 Kusnandar, Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 55. 9 Fachruddin Sudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), cet. 3, h. 42. 6 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dijelaskan, maka dalam hal ini diperoleh beberapa masalah di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Masih terdapat guru yang kurang sadar dalam memahami peran dirinya di dunia pendidikan; 2. Masih adanya guru yang belum memaknai dan meresapi pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang peran seorang guru dalam dunia pendidikan. 3. Adanya pendidik yang belum mengaplikasikan perannya sebagai guru sebagaimana yang diinginkan atau dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara. C. Batasan Masalah Dari semua persoalan yang telah diidentifikasi di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada peran pendidik, dalam hal ini yaitu peran guru, yang berkaitan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara. D. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: “Bagaimana peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara”. E. Tujuan Penelitian Setiap karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Begitu juga dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang diharapkan tercapai dari skripsi ini adalah untuk mengetahui peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara 7 F. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini penulis berharap dapat: 1. Secara teoritis, khazanah intelektual yang sesuai dengan pertanggungjawaban ilmiah bagi mahasiswa; 2. Secara praktis: a. Bagi penulis, memberikan motivasi untuk penulis agar terus belajar lebih banyak serta dapat memperoleh pengalaman langsung dalam mengenal, mempelajari, menghargai jasa pahlawan di bidang pendidikan khususnya Ki Hadjar Dewantara. b. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut terkait peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara. BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Peran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah “perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.1 Peran tidak dapat dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Peran dan status bisa diibaratkan seperti dua sisi mata dari satu mata uang yang sama, dan kelekatannya sengat terasa sekali. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia (orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu berbeda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan statusnya. Sedangkan menurut Wahjosumijo, peran adalah “sejumlah tanggung jawab atau tugas yang dibebankan dan harus dilaksanakan oleh seseorang”.2 Selanjutnya, Soerjono Soekanti mengatakan, “peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan”.3 Sarlito Wirawan Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa harapan tentang status adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukan oleh 1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 854. 2 Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 155. 3 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 210. 8 9 seseorang yang mempunyai peran tertentu.4 Demikianlah hubungan antara status dan peran. Dikutip oleh Soleman B. Toneko dari pendapat Koentjaraningrat tentang peran, ia mengatakan, “adapun segala cara berlaku dari individu-individu untuk memenuhi kewajiban dan untuk mendapatkan hak-hak tadi, merupakan aspek dinamis dari status atau kedudukan. Cara-cara berlaku itu disebut peranan, yang dalam bahasa asingnya disebut role.5 Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan peran adalah perilaku, sikap, kewajiban untuk mendapatkan hak-haknya yang khusus, yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu dalam masyarakat. B. Pengertian Pendidikan Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie, yang berarti “pendidikan”, orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos, Istilah ini berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).6 Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas manusia memerlukan pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.7 Dalam GBHN Tahun 1973 dikemukakan pengertian pendidikan, bahwa “pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk 4 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 235. 5 Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 88. 6 Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17. 7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 28. 10 mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.8 Beberapa ahli mengartikan pendidikan sebagai berikut: 1. M. Ngalim Purwanto: pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.9 2. M. Alisuf Sabri: pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak atau peserta didik secara teratur dan sistematis ke arah kedewasaan.10 3. Hasbullah: dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Istilah pendidikan atau peadagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan secara sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak agar menjadi dewasa.11 4. Nurani Soyomukti: pendidikan adalah segala suatu dalam kehidupan yang memengaruhi pembentukan berfikir dan bertindak individu. Kurun waktu kehidupan yang panjang dan saling berkaitan dengan perubahan-perubahan cara berfikir masyarakat juga turut menjadi pembentuk seorang individu.12 5. Syaiful Sagala: pendidikan itu dapat dipahami sebagai proses melatih peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan melalui sejumlah pengalaman belajar sesuai bidangnya dan pikiran, sehingga peserta didik memilliki karakter unggul menjunjung tinggi nilai etis dalam berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari pengabdiannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya maupun keluarganya. Fungsi utama 8 Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 5. M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 11. 10 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 7. 11 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 1. 12 Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 29. 9 11 pendidikan memberikan layanan akademik melalui proses ketatalaksanaan pendidikan yang dipandu oleh kaidah atau aturan yang berlaku.13 Sejalan dengan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, ada yang berpendapat bahwa dalam pengertian pendidikan itu harus terkandung hal-hal pokok sebagai berikut: a. Bahwa pendidikan itu tidak lain merupakan usaha dari manusia. b. Bahwa usaha itu dilakukan dangan sengaja atau secara sadar. c. Bahwa usahanya itu dilakukan oleh orang-orang yang merasa bertanggung jawab kepada masa depan anak. d. Bahwa usahanya berupa bantuan atau bimbingan rohani dan dilakukan secara teratur dan sistematis. e. Bahwa yang menjadi objek pendidikan itu adalah anak/peserta didik yang masih dalam pertumbuhan/perkembangan atau masih memerlukan pendidikan. f. Bahwa batas/sasaran akhir pendidikan adalah tingkat dewasa atau kedewasaan.14 Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab atas tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaannya.15 Pendidikan dalam sejarah peradaban manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita mendapatkan bahwa pendidikan telah berproses semenjak Allah menciptakan manusia 13 Syaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 43. 14 M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 7. 15 Djunaidatul Munawwaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h. 5. 12 pertama, Adam yang berada di surga, di mana Dia mengajarkan nama-nama yang para malaikat sendiri pun sama sekali belum mengenalinya.16 Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu tuntunan atau bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang kepada orang yang lain. Dan tuntutan atau bimbingan itu harus dapat mengarahkan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak didik yang bersifat menumbuhkan serta mengembangkan baik jasmani maupun rohaninya masingmasing. C. Pendidik (Guru) 1. Pengertian Guru Pendidik dapat diartikan secara luas dan sempit. Pendidik secara luas adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak. Pendidik secara arti sempit adalah orang-orang yang telah disiapkan secara sengaja untuk menjadi guru dan dosen.17 Hal ini selaras dengan Undang-Undang yang menyatakan, bahwa pendidik merupakan orang yang memiliki tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan menegah.18 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidik merupakan orang yang berperan penting dalam pendidikan yang bertugas mendidik, mengajar dan bertangung jawab atas keberhasilan peserta didik. Di Indonesia pendidik biasa dikenal dengan sebutan guru di mana guru melakukan kegiatankegiatan tersebut kepada para siswanya. Firman Allah swt.: َي ْس فَعِ ه َّللا اله ِريْهَ آ َمىُ ْىا ِم ْى ُك ْم َواله ِريْهَ أ ُ ْوتُىا ال ِع ْل َم دَ َز َجات 16 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 17. Made Pirdata, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 276. 18 Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 17 13 Artinya: “Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (dari kalangan kamu) beberapa derajat”. (Q.S. al-Mujadalah: 11) Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab pertama dan utama terletak pada orang tua berdasarkan pada firman Allah seperti yang tersebut dalam al-Qur’an: َازا ً س ُك ْم َوأ َ ْه ِل ْي ُك ْم و َ ُ قُ ْىا أ َ ْوف. . . Artinya: “. . . Peliharalah dirimu dan anggota keluaragamu dari ancaman neraka” (Q.S. at-Tahrim: 66) Tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun afektif. Pengaruh pendidikan di dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar, mendasar, mendalam. Akan tetapi, pada zaman modern ini pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif (sikap). Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar dan luas serta mendalam, tetapi hampirhampir hanya pada segi perkembangan aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi, guru yang dimaksud di sini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid atau biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah.19 2. Hakikat dan Ciri-Ciri Pendidik (Guru) Sebagai profesi yang memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, membuat pendidik memahami betul apa hakikat dirinya sebagai 19 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, PT Remaja Rosydakarya, 2007), cet. 7, h. 74-75. 14 pendidik, yang dalam hal ini disebutkan sebagai guru. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.20 Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai pendidik yaitu: a. Pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing, dan melatih; b. Pekerjaan kemanusiaan dengan fungsi merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki; c. Petugas kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga yang lebih baik.21 Pendidik merupakan pekerjaan yang profesional dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Maka dari itu, pendidik memiliki ciri-ciri yang menunjukkan identitas dirinya yang dikemukakan oleh Robert W. Richey (1974) dalam buku Djaman Satori, yaitu: a. Para guru akan bekerja hanya semata-mata memberikan pelayanan kemanusiaan dari pada mementingkan kepentingan pribadi b. Para guru secara hukum dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk menjadi organisasi guru; c. Para guru dituntut untuk memiliki pengalaman dan keterampilan yang tinggi dalam hal bahan mengajar, metode, anak didik, dan landasan kependidikan; d. Para guru dalam organisasi profesional memiliki publikasi profesional yang dapat melayani guru; e. Para guru diusahakan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kompetensinya; 20 21 Kusnandar, op. cit., h. 54. Aan Hasanah, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 23. 15 f. Para guru diakui sebagai sebuah profesi; g. Para guru memiliki kode etiknya tersendiri.22 Dengan demikian, hakikat dan ciri-ciri guru tidak dapat dipisahkan dari diri seorang guru. Dengan hakikat, guru memahami dan memaknai tugasnya dengan tepat. Dengan ciri-cirinya, guru memahami apa yang seharusnya ia lakukan. 3. Kode Etik Guru Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UndangUndang 1945 turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indoenesia 17 Agustus 1945. Oleh karena itu guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karya-karyanya dengan memedomani kode etik sebagai berikut: a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila b. Guru memiliki dan melaksanakan kejuruan profesional c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang keberhasilan proses belajar mengajar e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitar untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan f. Guru secara pribadi dan sama-sama megembangkan dan meningkatkan mutu martabat profesinya 22 Djaman Satori, dkk., Profesi Keguruan, (Jakarta: Kotak Pos, 2005), h. 120. 16 g. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial; h. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian i. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. 23 Kode etik seorang guru menjadi norma, aturan, dan landasan dalam melakukan suatu kegiatan, baik itu kegiatan dengan lembaga pendidikan, peserta didik, orang tua, masyarakat hingga lingkungan sekitar. 4. Kompetensi Guru Kompetensi adalah kumpulan pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang harus dimiliki guru untuk mencapai tujuan pembelajaran dan pendidikan. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan belajar mandiri dengan memanfaatkan sumber belajar.24 Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kompetensi merupakan segala aspek yang harus dimiliki guru agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Usman (2005) dalam Kusnandar menyatakan bahwa kompetensi, adalah “sesuatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif”.25 Penulis sependapat dengan pengertian di atas, bahwa kompetensi merupakan seluruh kemampuan yang harus dimiliki seseorang baik berupa pengetahuan, perilaku maupun keterampilan yang diwujudkan melalui kerja nyata (tindakan) agar dapat mencapai tujuan. 23 Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruaan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), h. 34. Jejen Musfah, op.cit., h. 27. 25 Kusnandar, op. cit., h. 51. 24 17 Kompetensi guru ialah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki guru untuk mencapai tingkatan guru profesional.26 Mulyasa dalam Jejen Musfah menyatakan, “kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, teknologi, sosial, dan spriritual yang secara kafah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalitas”.27 Pendapat tersebut menjelaskan bahwa kompetensi guru merupakan kemampuan yang harus dimiliki guru baik berupa kemampuan teknologi, sosial, dan spiritual untuk menjadi guru profesional yang dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif. Guru memiliki wewenang untuk melakukan reformasi kelas (classroom reform) dalam rangka melakukan perubahan perilaku peserta didik secara berkelanjutan yang sejalan dengan tugas perkembangannya dan tuntutan lingkungan di sekitar. Guru sebagai arsitek perubahan perilaku peserta didik dan sekaligus sebagai model panutan para peserta didik dituntut memiliki kompetensi paripurna.28 Pendidik atau guru merupakan sebuah profesi, maka dibutuhkan kompetensi yang menunjang profesionalitasnya. Untuk menjadi seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi utama yaitu: pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. a. Kompetensi Pedagogik Pedagogik adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang lingkupnya terbatas pada interaksi edukatif antara pendidik dengan siswa. 26 Fachruddin Sudagar dan Ali Idrus, op. cit., h. 31. Jejen Musfah, op. cit., h. 27. 28 Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), cet. 33, h. 103. 27 18 Sedangkan kompetensi pedagogik adalah sejumlah kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar siswa.29 Kompetensi ini terdiri atas lima subkompetensi, yaitu: memahami peserta didik secara mendalam; merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran; melaksanakan pembelajaran; merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran; dan mengembangkan mengaktualisasikan berbagai kompetensi. peserta didik untuk 30 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kompetensi pedagogik merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki guru yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar. Kegiatan dalam kompetensi ini merupakan hal-hal yang harus dilakukan guru dalam memahami apa yang akan diajarkan. Melakukan pembelajaran hingga mengevaluasi juga merupakan kemampuan yang harus dilakukan guru dalam memenuhi kompetensi pedagogik. Badan Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah: kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman tentang peserta didik; (c) pengembangan kurikulum atau silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaraan yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.31 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik meliputi pemahaman tentang konsep pendidikan dan bagaimana fungsi lembaga pendidikan dan seorang pendidik agar dapat memahami dan sepenuhnya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu peserta didik yang ada di lingkungan sekolah. Memahami 29 30 Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 33. Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 22. 31 Jejen Musfah, op. cit., h. 30-31. 19 tentang perangkat pembelajaran yang meliputi pengembangan silabus, RPP, cara mengajar hingga mengevaluasi. b. Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan tingkah laku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.32 Kompetensi ini terdiri dari lima subkompetensi, yaitu kepribadian yang mantap dan stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan berakhlak mulia.33 Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus di-gugu dan di-tiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: 1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya. 2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama 3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. 4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya sopan santun dan tata krama. 5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik. 34 Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi yang melihat pada pribadi seorang guru. Idealnya, seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik sehingga dapat menjadi contoh dan panutan bagi orang sekitarnya, baik itu peserta didik bahkan masyarakat. 32 Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 42. Sudarwan Danim, op. cit, h. 23. 34 Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. 3, h. 145. 33 20 c. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pada pasal 28 ayat 3, ialah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul ecara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.35 Kompetensi tersebut berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial. kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: 1) Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional. 2) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan. 3) Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok. Kompetensi sosial memiliki tiga sub ranah. Pertama, mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik. Kedua, mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan. Ketiga, mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.36 Dalam kompetensi sosial, guru dituntut dapat berinteraksi dengan baik, komunikatif dan interaktif dengan orang-orang yang dijumpainya baik di linkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. 35 36 Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 63. ibid, h. 24. 21 d. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting, karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini, di antaranya: 1) Kemampuan untuk menguasai landansan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran. 2) Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain sebagainya. 3) Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. 4) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran. 5) Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar. 6) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran. 7) Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran. 8) Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan. 9) Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.37 Kompetensi profesional terdiri dari dua ranah sub kompetensi. Pertama, sub kompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan bahan ajar; memahami 37 hubungan konsep Wina Sanjaya, op. cit., h. 145-146. antarmata pelajaran terkait; dan 22 menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, sub kompetensi menguasai struktur dan metode keilmuan, memiliki indikator esensial menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.38 Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang mengharuskan guru memahami betul segala sesuatu di sekolah. Memahami kurikulum sekolah, keadaan fisik dan psikis siswanya, kemampuan menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan dapat merelevansikannya dengan kehidupan nyata. 5. Sikap Profesional Guru Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru sehari-hari, apakah memang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.39 a. Sikap Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ialah segala peraturan-peraturan pelaksanaan baik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di pusat maupun di daerah, maupun departemen lain dalam rangka pembinaan pendidikan di negara kita. Sebagai contoh, peraturan tentang (berlakunya) kurikulum sekolah tertentu, pembebasan uang sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), 38 39 ibid, h. 24. Soetjipto dan Raflis Kosasi, op. cit., h. 42-43. 23 ketentuan tentang penerimaan murid baru, penyelenggaraan evaluasi belajar tahan akhir (EBTA), dan lain sebagainya.40 Untuk menjaga agar guru Indonesia tetap melaksanakan ketentuanketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, kode etik guru Indonesia mengatur hal tersebut. Seperti yang tertera dalam dasar kesembilan dari kode etik guru, dasar ini juga menunjukkan bahwa guru Indonesia harus tunduk dan taat kepada pemerintah Indonesia, tidak mendapat pengaruh yang negatif dari pihak luar yang ingin memaksakan idenya melalui dunia pendidikan. Dengan demikian, setiap guru Indonesia wajib tunduk dan taat kepada segala ketentuan-ketentuan pemerintah. Dalam bidang pendidikan ia harus taat kepada kebijaksanaan dan peraturan, baik yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun departemen lain yang berwenang mengatur pendidikan, di pusat dan di daerah dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan di Indonesia. b. Sikap Terhadap Oraganisasi Profesi Oraganisasi PGRI merupakan suatu sistem dimana unsur pembentuknya adalah guru. Oleh karena itu, guru harus bertindak sesuai dengan tujuan sistem. Ada hubungan timbal balik antara profesi dengan organisasi, baik dalan melaksanakan kewajiban maupun dalam mendapatkan hak.41 Usaha peningkatan dan pengembangan mutu profesi dapat dilakukan secara perseorangan oleh para anggotanya, ataupun juga dapat dilakukan secara bersama. Lamanya program peningkatan pembinaan itu pun beragam sesuai dengan yang diperlukan. Secara perseorangan, peningkatan mutu profesi seorang guru dapat dilakukan baik secara formal maupun secara informal. Peningkatan secara formal merupakan peningkatan mutu melalui pendidikan dalam berbagai kursus, sekolah, maupun kuliah di perguruan tinggi atau lembaga lain yang berhubungan 40 41 ibid., h. 44. ibid., h. 45. 24 dengan bidang profesi. Di samping itu, secara informal guru dapat saja meningkatkan mutu profesinya dengan mendapatkan informasi dari media massa (surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain) atau dari buku-buku yang sesuai dengan bidang profesi yang bersangkutan. c. Sikap Terhadap Teman Sejawat Dalam hal ini kode etik guru Indonesia menunjukkan kepada kita betapa pentingnya hubungan yang harmonis perlu diciptakan dengan mewujudkan perasan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi. Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yakni hubungan formal dan hubungan kekeluargaan. Hubungan formal ialah hubungan yang perlu dilakukan dalam rangka melakukan tugas kedinasan. Sedangkan hubungan kekeluargaan ialah hubungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan dalam rangka menunjang tercapainya keberhasilan anggota profesi dalam membawakan misalnya sebagai pendidik bangsa.42 Sejatinya manusia tidak bisa lepas dari pertolongan orang lain. Begitu pula dengan guru. Agar dapat mencapai keberhasilan dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru, oleh karenanya dibutuhkan hubungan yang baik dengan teman sejawat, baik yang sifatnya resmi maupun tidak. d. Sikap Terhadap Anak Didik Prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh baik jasmani maupun rohani, tidak hanya berilmu tinggi tetapi juga bermoral tinggi pula. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial, maupun yang lainnya sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan. Peserta didik 42 ibid., h. 47. 25 tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru.43 Dalam berperilaku terhadap siswa, guru seharusnya memperlakukan peserta didik bukan sebagai objek yang harus menerima apapun yang disampaikan guru. Guru seharusnya memperlakukan siswa sebagai subjek yang sama-sama dapat berfikir dan berkembang sehingga dapat bekerjasama dalam mencapai suatu ilmu pengetahuan. e. Sikap Terhadap Tempat Kerja Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru, dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam lingkungannya. Untuk menciptakan suasana kerja yang baik ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: guru sendiri dan hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat sekeliling. Guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik dengan berbagai cara, baik dengan penggunaan metode mengajar yang sesuai, maupun dengan penyediaan alat belajar yang cukup, serta peraturan organisasi kelas yang mantap, ataupun pendekatan lainnya yang diperlukan.44 Suasana kerja memang mendukung tingkat produktivitas seseorang dalam bekerja begitu pula dengan guru. Dalam bekerja guru tentu dapat menciptakan suasana yang senyaman mungkin baik di lingkungan sekolah pada umumnya dan di dalam kelas pada khususnya. Guru dapat membangun komunikasi yang baik dan positif dengan semua insan sekolah sehingga tercipta suasana yang demikian pula. Di dalam kelas guru dapat merevormasi kelas sedemikian rupa agar suasana kelas nyaman dan dapat mencapai tujuan pembelajaran. 43 44 ibid., h. 50. ibid., h. 50-51. 26 f. Sikap Terhadap Pemimpin Sebagai salah seorang anggota organisasi, baik organisasi guru maupun organisasi yang lebih besar (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) guru akan selalu berada dalam bimbingan dan pengawasan pihak atasan. Sudah jelas bahwa pemimpin suatu unit atau organisasi akan mempunyai kebijaksanaan dan arahan memimpin organisasinya, di mana tiap anggota organisasi dituntut berusaha untuk bekerja sama dalam melaksanakan tujuan oraganisasi tersebut. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa sikap seorang guru terhadap pemimpin harus positif, dalam pengertian harus bekerja sama dalam menyukseskan program yang sudah disepakati, baik di sekolah maupun di luar sekolah.45 Tentu saja, agar tujuan organisasi tercapai perlu adanya kerjasama antar anggota dalam mewujudkannya. Sekolah, dalam hal ini dipimpin oleh kepala sekolah yang mana biasanya akan ada pergantian kepala sekolah secara berkala, hal ini akan menyebabkan penyusuaian terus menerus terhadap kepala sekolah dan kepemimpinannya. Semua anggota organisasi baik kepala sekolah dan guru harus tetap bersinergi dan fokus dengan ketercapaian tujuan sekolah, meskipun mungkin akan ada gaya kepemimpinan yang berbeda dari setiap kepala sekolah yang ditugaskan. g. Sikap Terhadap Pekerjaan Guru dituntut baik secara pribadi maupun secara kelompok, untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Guru sebagaimana juga dengan profesi lainnya, tidak mungkin dapat meningkatkan mutu dan martabat profesinya bila guru tidak meningkatkan atau menambah pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut, karena ilmu dan pengetahuan yang menunjang profesi itu selalu berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. 45 ibid., h. 52. 27 Untuk meningkatkan mutu profesi, guru dapat melakukannya secara formal maupun informal. Secara formal, artinya guru mengikuti berbagai pendidikan lanjutan atau kursus yang sesuai dengan bidang tugas, keinginan, waktu, dan kemampuannya. Secara informal guru dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui media massa seperti televisi, radio, majalah, ilmiah, koran, dan sebagainya, ataupun membaca buku teks dan pengetahuan lainnya yang cocok dengan bidang yang diampu.46 Menjadi guru bukan hanya mengajar tapi juga belajar. Belajar karena setiap peserta didik memiliki potensinya masing-masing. Belajar karena setiap peserta didik hidup di zaman yang berbeda dengan yang dialami guru. Belajar karena lingkungan dan pola pikir yang kian berkembang. Jika seorang guru tidak mau belajar, maka ia akan menjalankan profesinya dengan apa adanya. D. Guru dalam Pandangan Islam Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan ustadz, murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. Menurut peristilahan mempunyai tempat tersendiri dan tugas masing-masing. Ustadz, biasa digunakan untuk memanggil professor. Murabbi, berasal dari kata rabb. Tuhan adalah sebagai rabb al-amin dan rab al-nas yakni yang menciptakan, mengatur, memelihara alam seisinya termasuk manusia. Mu’allim, berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Mu’addib, berasal dari kata adab yang berarti moral, etika dan adab. Mudarris, dari kata darasa-yadrusu-darsan wa durusan yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih mempelajari. Mursyid, bisa digunakan untuk guru dalam tariqah (tasawuf).47 46 ibid., h. 53-54. Sungkring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 19. 47 28 Karakteristik dan tugas pendidik dalam pendidikan Islam dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Ustadz adalah seorang guru yang dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugas. 2. Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitar. 3. Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi. 4. Mu’addib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. 5. Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan. 6. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didik.48 Pada intinya dari keenam istilah-istilah pendidik (guru) dalam Islam memiliki tugas yang hampir sama, yaitu mendidik, mentransfer ilmu, mengarahkan, mengembangkan potensi yang dimiliki anak didiknya, dan menjadi teladan yang dapat dicontoh oleh peserta didik. Ahmad Tafsir dalam Sungkring mengatakan, bahwa pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta 48 ibid, h. 20 29 didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri. Jadi pendidik adalah orang dewasa yang memberikan bimbingan, memiliki kapasitas ilmu, sehat jasmani dan ruhani, ikhlas menjalankan perintah Allah SWT, demi pengabdian pada bangsa dan agama.49 Jika melihat pada al-Qur’an dan al-Sunnah dijumpai pula istilah-istilah yang merujuk kepada pengertian guru atau orang yang berilmu. Diantaranya istilah al-alim/ulama, ulu al-ilm, ulu al-Bab, ulu al-Nuha, ulu al-Absyar,alMudzakir/Ahlu ahl Dzikr, al-Muzakki, al-Rasihun fil-Ilm dan al-Murabbi, yang semuanya tersebar pada ayat-ayat al-Qur’an.50 Istilah yang mengacu kepada pengertian guru dapat pula ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW. Dalam hubungan ini dijumpai kata alim seperti dalam hadits yang artinya: Jadilah kamu sebagai orang yang alim (berpengetahuan/guru), atau sebagai muta’allim (orang yang mencari ilmu), atau pendengar, atau sebagai pengikut/simpatisan setia, dan janganlah jadi orang yang kelima, yaitu orang yang tidak memilih salah satu dari posisi tersebut.51 Ada empat hal yang berkenaan dengan guru. Pertama, seorang guru harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga mampu menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan tuhan, serta memiliki potensi batiniah yang kuat sehingga ia dapat mengarahkan hasil kerja dari kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan. Kedua, seorang guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan 49 ibid, h. 81. Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 43 51 ibid, h, 48 50 30 emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia lainnya, sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah SWT. Ketiga, seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan akhlak tercela. Keempat, seorang guru harus berfungsi sebagai pemelihara, pembina, pengarah, pebimbing, dan pemberi bekal ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan kepada orang-orang yang memerlukannya.52 Syaikh Ahmad al-Rifai yang dikutip oleh Sungkring mengungkapkan bahwa seseorang dapat dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua kriteria sebagai berikut: 1. Alim, yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariah Nabi Muhammad SAW. Sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang komprehensif. 2. Adil, yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada peserta didiknya namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dari suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Dikhawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima anak didik (peserta didik), namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung pada kesesatan. Penulis sependapat dengan dua krateria pendidik (guru) yang dipaparkan oleh Syaikh Ahmad al-Rifai di atas, yaitu alim dan adil. Dua hal itu menjadi dasarnya karena jika seorang guru bukan termasuk yang alim maka ia pun akan kesulitan dalam mengajar karena tidak ada yang ia tahu dan bisa disampaikan kepada peserta didik. Sedangkan adil di sini menjadikan seorang guru yang dapat ditiru oleh peserta didiknya dan menjadi teladan bagi mereka. Jangankan apa yang telah diajarkan oleh gurunya, bahkan yang dilihat oleh anak didik dari gurunya akan diingat dan menjadi contoh. 52 ibid, h. 47 31 Mengenai kedudukan seorang guru dalam Islam, bahwasannya kedudukan guru dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai oleh Islam. Asma Hasan Fahmi dalam Ahmad Tafsir yang mengutp kitab Ihya’ al-Ghazali, yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting. Tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri.53 Secara normatif, Islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan pendidik setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Sebab, pendidik selalu terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Islam amat menghargai pengetahuan. Tingginya kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan orang yang memiliki ilmu, sebab tidak dapat dibayangkan bila tidak ada pendidik di dunia ini. Dan karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang pendidik dan kedudukan pendidik tidak terlepas dari nilai-nilai yang luhur. Firman Allah SWT dalam Q.S. atTaubah (9): 122.54 ُطائِفَة َ َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمىُ ْىنَ ِليَ ْى ِف ُس ْوا َكافهةً فَلَ ْى ََل وَفَ َس ِم ْه ُك ِّل فِ ْسقَة ِم ْى ُه ْم َِل َيتَفَقه ُهىا ِفي ال ِدّي ِْه َو ِليُ ْىر ُِز ْوا قَ ْى َم ُه ْم إِذَا َز َجعُ ْىا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعله ُه ْم َي ْحرَ ُز ْون Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Ayat tersebut adalah kewajiban untuk menuntut ilmu, kemudian mengajarkannya dan memberi peringatan (pelajaran) kepada mereka yang tidak menuntut ilmu. Islam sedemikian tinggi memberikan penghargaan kepada guru 53 54 Ahmad Tafsir, op. cit., h. 76. Sungkring, op. cit., h. 82. 32 (pendidik), yaitu pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber pada Tuhan. Ilmu datang dari Tuhan, ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan pendidik amat tinggi dalam Islam.55 Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber pada Allah SWT: . . . ََل ِع ْل َم لَىَا هإَل َما َعله ْمتَىَا. . . Artinya: “... tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali Engkau ajarkan kepada kami ...” (al-Baqarah: 32) Dari dua kalam Ilahi yang telah disampaikan di atas dapat penulis simpulkan bahwa adanya anjuran untuk menuntut ilmu, dan kemudian mengamalkannya serta menyampaikannya kepada orang lain sehingga menjadi peringatan bagi orang-orang yang tidak atau malas untuk menuntut ilmu. Seperti dalam istilah yang berbunyi “al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasyajari bila tsamarin”, yang artinya kurang lebih ialah ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah. Dan istilah lainnya yaitu “utlubul ‘ilma walaubissiin”, maksudnya adalah tuntutlah ilmu meski harus ke negeri Cina. Juga pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini semuanya bersumber dari Allah SWT. Maka semua ilmu yang guru sampaikan haruslah merujuk dari dua sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’anul Karim dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Ilmu datangnya dari Tuhan. Guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu tidak terpisah dari Allah, dan ilmu tidak terpisah dari guru. Maka kedudukan guru amatlah tinggi dalam Islam. Kedudukan guru yang demikian tinggi dalam Islam kelihatannya memang berbeda dari kedudukan guru di dunia Barat. Perbedaan itu jelas karena di Barat kedudukan itu tidak memiliki warna kelangitan. Hubungan guru dengan murid juga berbeda. Perbedaan itu juga karena hubungan guru dengan murid di 55 Sungkring, op. cit., h. 83. 33 Barat tidak memiliki nilai kelangitan tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila di Barat guru tidak lebih dari sekedar orang yang pengetahuannya lebih banyak daripada murid. Hubungan guru dan murid juga tidak lebih dari sekedar hubungan pemberi dan penerima. Maka wajarlah bila di Barat hubungan guru dan murid adalah hubungan kepentingan antara pemberi dan penerima jasa (ilmu pengetahuan). Karena itu, hubungan juga diikat oleh pembayaran yang dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi. Dalam sejarahnya, hubungan guru dengan murid dalam Islam ternyata sedikit demi sedikit telah berubah, nilai-nilai ekonomi sedikit demi sedikit mulai masuk. Misalnya seperti: 1. Kedudukan guru dalam Islam semakin merosot. 2. Hubungan guru dan murid semakin kurang berkurang nilai luhurnya, penghargaan (penghormatan) murid terhadap guru semakin turun. 3. Harga karya mengajar semakin tinggi.56 Memang jika dilihat fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa secara tidak disadari budaya Barat telah masuk ke dalam dunia pendidikan. Dari kurang ihtiramnya murid kepada gurunya, hingga perlakuan tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang guru pada muridnya atau sebaliknya. Juga ada pendidik yang asal menyampaikan pelajaran di kelas, tetapi ketika di luar kelas ia seperti lepas dari tanggung jawabnya sehingga melakukan apapun semaunya bahkan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang yang menjadi panutan peserta didik. Karena kedudukannya sebagai guru hanya dianggap sebagai profesi atau pekerjaan untuk mencari penghasilan. Padahal kedudukan seorang guru lebih dari itu, lebih tinggi dari pekerjaan lainnya. Guru bukan saja ketika di dalam kelas atau sekolah, tetapi menjadi guru yang bisa digugu dan ditiru oleh orang lain di manapun ia berada. Lalu mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam dan juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk 56 Ahmad Tafsir, op.cit., h. 77. 34 mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, 57 menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Pendapat lain menjelaskan bahwa tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Selain itu tugas mendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Sungkring mengutip dari Abdurrahman al-Nahlawi yang menyebutkan tugas utama pendidik yaitu, fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran yakni menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan serta nilai-nilai agama kepada manusia.58 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tugas seorang guru bukan hanya mendidik dengan mengajarkan suatu pelajaran kepada peserta didik. Guru harus pula mendidik dengan cara memberikan dorongan atau motivasi, mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didiknya, memberi contoh yang baik dan menjadi suri tauladan yang dapat diteladani oleh peserta didik, guru juga membiasakan mereka dengan perbuatan atau kelakuan yang baik yang mencerminkan akhlak seorang muslim, bahkan mendidik dengan hukuman. Karena hukuman itu dibolehkan dalam Islam, tetapi cukup sewajarnya saja dan tidak melewati batas dalam memberikan hukuman tersebut. E. Hasil Penelitian yang Relevan Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Nursida Azhari Rumeon, Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan Konsep Pendidikan Islam, mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah mendapatkan gelar S.Pd.I pada tahun 2011. 57 58 ibid, h. 78. Sungkring, op.cit., h. 84. 35 Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisis buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah peneliti. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah konsep pendidikan Islam relevan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dilihat dari prinsip, sistem, metode dan tujuan pendidikan. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan ialah peneliti meneliti bagaimana peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara. 2. Imam Faizal, Pemikiran Hamka tentang Guru, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah mendapatkan gelar S.Pd. pada tahun 2016. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisis buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah peneliti. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pemikiran Hamka tentang guru dilihat dari prinsip, sistem, metode dan tujuan pendidikan. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan ialah peneliti meneliti bagaimana peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “Peran Guru Menurut Perspektif Ki Hadjar Dewantara” ini dilakukan dalam waktu empat bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: pada bulan September 2016 sampai bulan Desember 2016 digunakan untuk mengumpulkan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari buku cetak yang ada di perpustakaan dan juga artikel, jurnal, website, serta sumber lain yang mendukung penelitian ini, terutama yang ada hubungannya dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan pemikirannya tentang pendidik atau guru di Indonesia, sebagai penguat dalam penulisan skripsi. Tahap selanjutnya adalah menyusun data dalam bentuk hasil penelitian dari sumber-sumber yang telah ditemukan. B. Metode Penelitian Metode ilmiah diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data empiris yang valid dengan tujuan penemuan, pembuktian, dan pengembangan suatu pengetahuan tertentu sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.1 Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dengan secara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.2 Penelitian 1 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2011), cet. 14, h. 2-3. 2 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya, 2010), cet. 28, h. 6. 36 37 kualitatif atau pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang memerlukan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh, berhubungan dengan objek yang diteliti dalam menjawab permasalahan untuk mendapat data-data kemudian dianalisis dan mendapat kesimpulan penelitian dalam situasi dan kondisi tertentu.3 Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong, metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari objek yang diamati.4 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang memerlukan pemahaman mendalam dan menyeluruh terhadap data yang dikaji sehingga mendapatkan data-data, kemudian dijabarkan secara objektif dan deskriptif. C. Fokus Penelitian Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara. D. Prosedur Penelitian Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam hal ini akan selalu ada hubungan antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Pengumpulan data tak lain adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian biografi, yaitu studi tentang individu yang meliputi pemikiran dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau 3 4 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: IKAPI, 2013), cet. 5, h. 17. ibid., h. 4. 38 mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri. Penulis juga menggunakan metode pendekatan studi tokoh atau pendekatan sejarah, objek yang dikaji adalah pemikiran seorang tokoh baik itu pesoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhi terhadap pemikirannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif dengan mengacu pada filosofi fenomenologis yaitu menganggap bahwa keberadaan sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari objek yang diteliti.5 Pada penelitian ini penulis melihat dari fenomenan peranan guru pada saat ini dengan merefleksi dengan perspektif pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah mengumpulkan data literer yaitu bahan pustaka yang koheren (sejalan) dengan objek pembahasan yang dimaksud.6 E. Sumber Data Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. Sumber Data Primer Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumbersumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.7 Adapun yang menjadi data primer dalam penulisan skripsi ini adalah buku karya Ki Hadjar Dewantara yaitu Pendidikan. 5 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 31. 6 ibid, h. 24. 7 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89. 39 2. Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi interpretasi terhadap sumber primer.8 Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan Ki Hadjar Dewantara seperti Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan ditangkap, dipenjarakan, dan diasingkan, visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, dan lain sebagainya. Juga mencari sumber reverensi yang relevan dengan judul melalui situs internet. F. Analisis Data Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan analisis data (descriptif analysis) yaitu menggunakan data terkait dengan masalah yang diteliti dan menguhubungkannya data lain untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh. Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik content analysis (analisis isi). Analisis isi menurut Weber dalam Lexy menyatakan bahwa seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Dan Holsti memberikan definisi yang menyatakan bahwa kajian isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dilakukan secara objektif dan sistemastis.9 Dari penjelasan tersebut, penulis berpendapat bahwa kajian isi atau analisis isi merupakan metode penelitian memanfaatkan buku atau dokumen yang dikaji dan disusun secara objektif dan sistematis. Analisis isi atau content analysis dalam skripsi ini dimaksudkan untuk membedah peranan guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam karyanya dan kemudian diuraikan kembali sebagaimana hasil analisis, dengan maksud untuk memahami jalan dan perkembangan pemikirannya serta makna yang terkandung di dalamnya. 8 9 ibid., h. 91. Lexy. J. Moleong, op.cit., h. 220. 40 G. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. BAB IV PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG GURU A. Biografi Ki Hadjar Dewantara 1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara Nama asli Ki Hadjar Dewantara adalah R.M. Suwardi Suryanigrat. Ia adalah seorang putera keturunan bangsawan yang dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 (yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional) di Yogyakarta sebagai cucu dari Sri Paku Alam Ke III, anak dari Pangeran Suryaningrat, putera sulung dari permaisuri dan Sri Paku Alam ke III tersebut. Suwardi pernah bersekolah di STOVIA (School tot opleiding van Indische Artsen) di Betawi, tetapi tidak menyelesaikannya. Selama tinggal di Betawi inilah, juga semasa anak-anak dan remaja dalam lingkungan keluarga, ia mendapatkan penggemblengan mental dan jiwa kebangsaan yang mendalam.1 Suwardi mulai belajar di Stovia pada 1905. Pada tahun-tahun pertama dari masa kuliahnya, Suwardi sering libur dan bercuti pulang ke Yogyakarta. Hal ini menyebabkan orang tua Suwardi khawatir jika faktor sibuk dan lelah oleh perjalanan akan mengendorkan semangat belajar Suwardi. Maka pada tanggal 4 Nopember 1907 dia dinikahkan dengan R.A. Sutartinah, putri G.P.A. Sasraningrat. Sesudah itu keluarga baru Suwardi pindah ke Bogor tinggal dalam satu rumah dengan R.M. Prawiraningrat, kakek tertua Sutartinah. Suwardi sempat lima tahun belajar di Stovia. Di tahun 1910 beasiswanya dicabut, karena ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat. Ia meninggalkan Stovia, lalu bekerja pada pabrik gula Kali Bagor di 1 A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 3. 41 42 Banyumas, kemudian sebagai asisten apoteker pada Rath-kamp di Yogyakarta. Selama bekerja sebagai pembantu apoteker Rath-kamp di Yogyakarta pada tahun 1911, Suwardi menulis berita dan karangan-karangan di suratsurat kabar Sedyo Tomo (bahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden Jawa (bahasa Belanda di Yogyakarta, dan de Expres (bahasa Belanda) di Bandung.2 Pekerjaan rutin rupanya kurang cocok bagi jiwa Suwardi. Lalu ia pun terjun ke dalam lapangan jurnalistik. Semangat juangnya dalam bidang sosial dan politik mulai berkobar-kobar, dan bakat jurnalistiknya berkembang dengan pesat. Hal ini diketahui oleh Douwes Dekker setelah membaca tulisan-tulisan Suwardi dalam harian-harian di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Juga dalam harian De Expres yang dipimpin oleh Douwes Dekker sendiri dan diterbitkan di kota Bandung. Douwes Dekker mengundang Suwardi untuk pindah ke Bandung dan turut mengasuh De Expres. Di kota ini Suwardi kemudian menjadi Ketua Perhimpunan Sarekat Islam didampingi oleh Abdul Muis dan A.H. Wignyadisastra, pemimpin redaksi harian Kaoem Moeda. Pada tanggal 6 September 1912 didirikanlah partai politik “Indische Partij”. Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Dokter Cipto Mangunkusumo merupakan tokoh-tokoh pimpinan dari perhimpunan itu. Tiga serangkai itu menjelajahi pulau Jawa untuk mempropagandakan “Indische Partij” dan mereka mencapai sukses besar. Banyak orang pribumi masuk menjadi anggota partai. Juga orang-orang non pribumi, orang-orang Indo Belanda, Cina dan Arab. Melalui alat medianya De Express dan penulisan serta penyebaran buletin dan brosur, gerakan nasional mereka ternyata menggemparkan masyarakat dan menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.3 Pada tanggal 13 September 1913, Tiga Serangkai meninggalkan tanah air. 2 Bambang S. Dewantara, 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: PT Garuda Metropolita Press, 1989), h. 50. 3 A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 3-4. 43 Dengan kapal Bullow milik Maskapai Pelayaran Jerman, mereka bertolak ke Eropa untuk melanjutkan perjuangan.4 Enam tahun lamanya dari tahun 1913 sampai 1919 Suwardi dan keluarga hidup dan berjuang di negeri Belanda sebagai orang buangan. Ia memanfaatkan waktunya selama di Belanda untuk meneruskan propaganda politiknya dengan tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar, baik yang ada di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Kecuali itu, dia pun memanfaatkan waktu untuk belajar dan berhasil mendapatkan Akte Guru Eropa. Sesudah kembali ke tanah air untuk sementara masih meneruskan perjuangan politiknya. Baru pada tanggal 3 Juli 1922, dia bersama istri dan kawan-kawannya mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Perjuangannya untuk menciptakan sistem pendidikan nasional tidak luput dari gangguangangguan pemerintah kolonial Belanda. Enam tahun sesudah Taman Siswa berdiri dan berkembang di seluruh pelosok tanah air, Suwardi berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, dan Sartinah berganti nama menjadi Nyi Hadjar Dewantara.5 Suwardi yang sejak berusia 40 tahun berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, sampai akhir hayatnya menjadi pemimpin Umum Persatuan dan Perguruan Taman Siswa. Dengan nama Suwardi Suryanigrat ia akan dikenang sebagai Bapak Pergerakan Nasional, dan dengan nama Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Suwardi pernah menjadi anggota KNIP dan DPR, juga menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ia dianugerahi Bintang Maha Putera Kelas I oleh Presiden Republik Indonesia. Ki Hadjar Dewantara Meninggal pada tanggal 26 April 1959, tetapi sebelumnya pada tanggal 19 Desember 1956 ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan oleh Senat Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.6 4 Bambang S. Dewantara, op. cit., h. 80. ibid., h. 82. 6 A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 4. 5 44 2. Pendidikan yang Pernah Ditempuh Ki Hadjar Dewantara Sebelum Ki Hadjar Dewantara memulai pendidikannya di STOVIA, ia terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar III Belanda. Setelah tamat dari Sekolah Dasar III Belanda, Sang Maestro Pendidikan Nasional itu sempat masuk ke sekolah guru di Yogyakarta, tetapi ia tidak sampai tamat. Bukan niatnya untuk tidak sekolah, juga bukan karena ia tidak suka menjadi guru. Akan tetapi ia meninggalkan sekolah guru tersebut semata-mata karena ingin menyambut tawaran dan menerima kesempatan menikmati beasiswa di STOVIA yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo yang kala itu sengaja datang ke Pakualaman. Ia pun menempuh sekolah Dokter Jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima tahun (1905-1910).7 Namun, di luar dugaan bahwa Soewardi (Nama Asli Ki Hadjar Dewantara) tidak berhasil menamatkan sekolahnya di STOVIA. Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan saat bersekolah di sana, ia termasuk seorang yang kurang beruntung dalam hal kesehatan. Ia sakit selama empat bulan sehingga tidak bisa bersekolah dan belajar sebagaimana layaknya siswa lain. Selama sakit itu pula, ia tidak dapat belajar dengan baik sehingga tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswa dicabut. Ia meninggalkan sekolahnya dengan terpaksa, lantaran tidak mampu membiayainya.8 Pengalaman pahit di STOVIA tidak menyurutkan semangat Ki Hadjar Dewantara untuk terus maju dalam banyak hal. Ia tetap dikenal gurunya sebagai sosok yang berkualitas dan cerdas. Kepandaian Ki Hadjar Dewantara dalam Bahasa Belanda misalnya, hal tersebut mendorong direktur STOVIA mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya itu. Penjelasan dari direktur sekolahnya sangat membantunya dalam mencari pekerjaan, di antaranya ia sempat bekerja pada laboratorium Pabrik Gula 7 Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 48. 8 ibid, h. 49. 45 Kalibogor, Banyumas. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Yogyakarta dan bekerja sebagai pembantu apoteker di Ratkamp.9 Bisa dibilang Bapak Pendidikan Nasional kita yaitu Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang beruntung sekaligus kurang beruntung. Ia beruntung karena termasuk seseorang yang cerdas dan memiliki kualitas yang sudah diketahui oleh banyak orang. Ia juga kurang beruntung perihal kesehatan tubuhnya. Akan tetapi bukan pejuang namanya jika ia putus asa dan menyerah setelah beasiswanya dicabut. Sebagai bukti, setelah ia angkat kaki dari STOVIA, ia tetap berjuang untuk bangsanya. Ia terus belajar membaca, menulis dan terlibat aktif dalam berbagai organisasi politik.10 Hal tersebut cukup membuktikan bahwa bagi Ki Hadjar Dewantara, belajar harusnya tidak hanya terpaku pada lembaga pendidikan atau selama kegiatan belajar mengajar berlangsung di sekolah saja, melainkan kapan pun dan di mana pun kita berada di sana kita bisa belajar. Dan ini yang bisa dipelajari oleh generasi muda Indonesia, manakala terhimpit permasalahan ekonomi misalnya, jangan menyerah jangan putus asa karena semua yang ada di dunia ini bisa untuk dipelajari, kita dapat belajar kapan pun di mana pun. 3. Sekolah Perguruan Taman Siswa Taman Siswa adalah satu badan perguruan yang sudah dilaras dengan kepentingan dan keperluan rakyat, yang diserahkan kepada perhatian rakyat umum pula. Sedangkan guru-gurunya adalah golongan anak bangsa sendiri, yang rela dan keikhlasan hatinya bersedia dan menyerahkan diri untuk keperluan rakyat dalam perkara pengajaran dan pendidikan.11 Didirikannya sekolah Perguruan Taman Siswa adalah sebagai bentuk impian dan harapan Ki Hadjar Dewantara untuk meretas dan menumbuhkan kesadaran setiap golongan bumiputra akan hak-haknya yang dibelenggu 9 ibid, h. 52. Bartolomeus Samho, op. cit., h. 50. 11 Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 10. 10 46 oleh kepentingan pihak penjajah. Sekolah Perguruan Taman Siswa resmi berdiri pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Di sekolah ini Ki Hadjar Dewantara berusaha memadukan pengetahuannya tentang pendidikan gaya eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional.12 Pada pembukaan sekolah, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan beberapa hal terkait dengan asas dan tujuan sekolah ini. Adapun asas dan tujuan dari “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” adalah sebagai berikut: Pertama, jika sebuah bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang sehat secara lahir dan batin, maka sistem pendidikan dan pengajaran yang diberikan pada rakyat harus didasarkan pada prinsip nasional, kultur dan budaya yang ada pada masyarakatnya sendiri. Kedua, sistem pendidikan yang diberikan oleh Governemen (pemerintahan) Hindi Belanda hanya digunakan untuk menyiapkan kaum Inlander (pribumi) menjadi buruh, karena hanya dilakukan untuk mendapatkan ijazah semata, tanpa didasarkan pada tujuan untuk memahami pendidikan dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk kemajuan jiwa dan raga. Ketiga, menempuh pendidikan dengan masuk di sekolah-sekolah milik Governemen Hindia Belanda hanya akan membuat kaum Inlander bergantung pada bangsa penajajah. Keadaan seperti itu tidak akan pernah hilang jika hanya dilawan dengan menggunakan kekuatan dan pergerakan politik saja. Sebab hal itu hanya bisa dimusnahkan dengan cara mendirikan sekolah sendiri sebagai tempat untuk menyebarkan semangat hidup merdeka di kalangan Inlander, yang dapat dilakukan dengan jalan pendidikan dan pengajaran secara nasional. Keempat, kaum nasionalis harus memiliki semangat, kemauan dan keberanian untuk membuat sistem pendidikan dan metode pengajaran baru yang didasarkan pada kultur sendiri, dan dilakukan demi kepentingan kaum Indlander. 12 Bartolomeus Samho, op. cit., h. 69. 47 Kelima, menjadikan metode among sebagai langkah yang tidak menghendaki adanya perintah dan paksaan dalam pendidikan dan pengajaran, melainkan harus memberikan tuntunan dan arahan, agar peserta didik dapat berkembang secara lahir dan batin. Keenam, demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan yang seluas-luasnya, maka sistem pendidikan dan pengajaran nasional harus dibuat dengan berdasarkan pada prinsip sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri yang dapat dilakukan dengan cara berhemat. Ketujuh, diperlukan sikap demokratisasi dalam menjalankan sistem pendidikan dan pengajaran dengan tujuan agar tidak hanya lapisan atas (kalangan bangsawan dan priyai) saja yang mendapatkan pendidikan dan menjadi kaum terpelajar. Tapi pendidikan dan pengajaran yang sebenarbenarnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.13 Dalam apa yang telah disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada pembukaan sekolah Taman Siswa, ia bermaksud mendirikan lembaga pendidikan yang mengacu pada kultur dan budaya Indonesia sendiri, karena pada waktu itu kebanyakan sekolah yang ada di Indonesia didirikan dengan gaya negara penjajah yakni Belanda. Dan karena ketidakadilan yang ia lihat bahwa pendidikan yang diberikan kepada para pribumi adalah untuk menjadikan mereka buruh atau pekerja pada akhirnya dan tidak untuk memajukan pendidikan, jiwa, dan raganya mereka. Juga pendidikan pada saat itu hanya diperuntukkan kepada kalangan bangsawan dan priyai, padahal pendidikan yang sebenarnya haruslah diterima dan dinikmati oleh seluruh rakyat yang ada. Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan tidak ingin bangsa pribumi menjadi bangsa yang bergantung pada negara yang menjajahnya. Lalu memiliki semangat untuk berjuang untuk kemajuan bangsa sendiri dalam hal pendidikan dan pengajarannya. 13 Haidar Musyafa, Sang Guru: Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara. Kehidupan, Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Taman Siswa (1889-1959), (Jakarta: Imania, 2015), h. 267-268 48 Sejak Perguruan Taman Siswa berdiri, Ki Hadjar Dewantara secara total mengabdikan dirinya demi membangkitkan kesadaran setiap golongan bumi putra akan hak-haknya sebagai manusia. Baginya, perjuangan sebuah bangsa yang terjajah dalam arti seluas-luasnya adalah dalam dan melalui pendidikan yang humanis-nasionalis. 4. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara Harmoni dan Among, buku dengan ketebalan mencapai 557 halaman, merupakan buku kumpulan 116 tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang pernah diterbitkan oleh surat kabar, majalah, ataupun yang pernah dibacakan sebagai pidato selama kurun waktu mulai tahun 1928 hingga 1954. Artikel-artikelnya ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan Jawa. Untuk keperluan penerbitan artikel bahasa Belanda dan Jawa juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku pertama dari dua buku lainnya yang berisi kumpulan tulisan mengenai kebudayaan sedangkan buku ketiga tentang politik, jurnalistik, dan kemasyarakatan. Gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan dikelompokkan menjadi tujuh bab di dalam buku tersebut, yaitu bab tentang pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu budaya Jawa, ilmu adab dan bahasa. Tiap bab berisi antara 8 sampai 39 judul artikel. Dengan artikel terbanyak dalam kelompok politik pendidikan. Memang gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pendidikan yang berlaku pada masa tersebut, yaitu politik pendidikan kolonial. Penilaian tentang perkembangan Taman Siswa sejak awal kelahiran sampai masa kini, memusat pada komentar dan kritik atas gagasan dasar Ki Hadjar Dewantara dan peranannya melalui ciptaannya dalam proses nasionalisasi pengajaran di Indonesia. Sumbangannya dalam masyarakat kolonial, masa awal perkembangan dan konteks kebudayaan Jawa, 49 kedudukannya dalam mengisi kemerdekaan sesudah melampaui revolusi Indonesia dan sumbangannya di bidang filsafat kebudayaan. Penilaian lain menempatkan Ki Hadjar Dewantara sebagai tradisionalis, yang mewakili citra banyak orang tentang “Tukang Kebun Pelajar” yang mendambakan keserasian dalam hidup. Segala penilaian kritis ilmiah itu banyak membuka pola yang tercipta dalam sejarah Indonesia modern, sehingga menjadi ciri khas kebudayaan sendiri. Maka dengan demikian, karya Ki Hadjar Dewantara yang tersebar adalah perguruan Taman Siswa bersama cita-cita pendidikannya. Selain Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga menulis risalah yang merupakan canang perjuangannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander was... atau yang artinya “Seandainya Saya Orang Belanda...”. Ini merupakan karangan terkenal yang merupakan sindiran yang tajam sekali yang ditujukan kepada Belanda karena ketidakpuasan dan ketidakadilan di dalam daerah jajahan, tetapi keseluruhan cita-cita revolusioner Ki Hadjar Dewantara sebagai kebulatan dapatlah diketahui apabila telah dibaca artikel lain yang berjudul Een voor Allen, Allen voor Een yang artinya “Satu untuk Semuanya, Semuanya untuk Satu”. Satu lagi karya Ki Hadjar Dewantara yang dapat kita baca sampai saat ini adalah buku yang berjudul “Pendidikan”, buku ini dicetak oleh percetakan Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1962. Serta buku “Sariswara” yang berisi permainan dengan lagu Jawa.14 B. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan Dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suatu belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual 14 Nursida Azhari Rumeon, “Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan Konsep Pendidikan Islam”, Skripsi pada Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011, h. 19-20, tidak dipublikasikan. 50 keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 15 Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tumbuh anak.16 Dan pendidikan menurut paham Taman Siswa ialah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel nationaal) dan ditunjukkan untuk keperluan kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.17 Kata pendidikan dan pengajaran sering kali dipakai beriringan dalam lembaga pendidikan. Sebenarnya gabungan kedua perkataan itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Sebenarnya yang dinamakan pengajaran tidak lain dan tidak bukan ialah salah satu bagian dari pendidikan. Jelasnya, pengajaran ialah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga memberi kecakapan kepada anak-anak, yang kedua-duanya dapat berfaedah untuk hidup anak-anak baik lahir maupun batin. Menurut pengertian umum, pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.18 Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat). Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar pada kekuatan sendiri. Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.19 15 Uyoh Sadulloh, dkk, op.cit., h. 5. Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 14. 17 ibid, h. 15. 18 Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 20. 19 Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 3. 16 51 Dapat diketahui bahwa pendidikan yang diinginkan Ki Hadjar Dewantara ialah pendidikan yang bertujuan menjadikan peserta didiknya mandiri atau tidak bergantung kepada orang lain dan dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya masing-masing. Dengan cara menuntun dan mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kodratnya dan kebahagiaannya serta keselamatannya, juga agar mereka berguna bagi nusa dan bangsa juga agamanya sehingga dapat mengangkat martabat negaranya kelak. Tidak salah jika Indonesia menjadikan seorang sosok pahlawan pendidikan Ki Hadjar Dewantara menjadi Bapak Pendidikan Nasiaonal. Ia telah berjuang memerdekakan Indonesia tanpa syarat, pengabdian yang telah diberikan terhadap bangsa yang dicintainya. Karya-karya yang membuat Indoensia bangga terhadapnya pun sering dilakukan. Beberapa karyanya berkaitan dengan pendidikan yang patut kita renungi hingga saat ini. Menurutnya kemerdekaan Indonesia tidak dapat diraih hanya dengan perjuangan politik dan senjata saja, tetapi juga pendidikan haruslah dipentingkan bagi seluruh kalangan. Pendidikan di Indonesia harusnya tidak memakai syarat paksaan. Momong, among, ngemong. Caranya tidaklah memaksa, guru hanya diharuskan mencampuri kehidupan anak didik atau peserta didik kalau ternyata dirinya ada di atas jalan yang salah. Tiada memakai dasar “regering, tucht en orde” tetapi “orde en vrede” (tertib dan damai, tata tentrem). Guru akan selalu menjaga kelangsungan kehidupan batin sang anak dan harus lah ia dijauhkan dari tiap-tiap paksaan. Tetapi guru pun tiada akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak. Guru hanya harus mengamat-amati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat. Tucht (hukuman) itu maksudnya untuk mencegah kejahatan. Dan sebelum terjadi kesalahannya, aturan hukumannya sudah tersedia. Orde (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan Barat teranglah sudah hanya paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan 52 oleh karenanya, maka hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan peserta didik dapatkan. Semua itu adalah syarat-syarat guru yang hendak berusaha mendatangkan rakyat yang merdeka, dalam arti kata yang sebenar-benarnya yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.20 Adapun pendidikan nasional merupakan pendidikan yang merujuk kepada kebudayaan bangsa sendiri dan mengutamakan masyarakat. Oleh sebab tersebut, Ki Hadjar Dewantara menawarkan sistem among yang menyokong kodrat alam anak-anak didik, bukan dengan perintah dan larangan, tetapi dengan tuntunan dan bimbingan, sehingga perkembangan batin anak dapat berkembang dengan baik sesuai dengan kodratnya. Sistem among ini didasarkan pada dua hal, yaitu: 1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menggerakkan dan menghidupkan kekuatan lahir dan batin, sehingga dapat hidup merdeka 2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Untuk merealisasikan pemikirannya tersebut, maka didirikanlah perguruan Taman Siswa. Pada kongres pertamanya tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara mempertegas pemikirannya dengan mengemukakan lima asas yang dikenal dengan Panca Darma. Kelima asas tersebut adalah asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan. Ki Hadjar Dewantara juga melontarkan konsep belajar tiga dinding dalam kelas. Filosofi yang digunakan bukanlah sembarangan. Ia beranggapan bahwa selama ini kita belajar di kelas dengan empat dinding yang menjulang ke atas, jendela yang begitu tinggi dan menyebabkan peserta didik tidak bisa melihat alam secara bebas, ditambah lagi dengan pajangan para pahlawan yang mimiknya begitu menyeramkan. Itu semua membuat batasan antara kita sebagai manusia dan alam. Maka dari itu ia menyarankan untuk belajar tiga dinding agar tidak ada perbedaan di antara kita. Mengingat filosofi yang 20 Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 13-14. 53 dimiliki oleh orang Padang yaitu alam takamang, jadi guru di mana menjadikan alam sebagai guru dalam kehidupan ini. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang hingga saat ini digunakan oleh pendidikan Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyan tersebut ikut mengantarkan Indonesia pada kemerdekaannya dan memberikan euforia yang begitu besar bagi warga Indonesia. Semboyannya yang paling terkenal yaitu “Tut Wuri Handayani” yang hingga saat ini selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMA. Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara lebih mengedepankan pada tiga ajaran pokok (tiga fatwa pendidikan Taman Siswa), yaitu: 1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada, maka mantep itu datang juga yakni tiada dapat diundurkan lagi. 2. Ngandel, kandel, dan bandel. Percaya akan memberikan pendirian yang tegak. Maka kemudiannya kandel (berani) dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri. 3. Neng, ning, nung, nang. Kesucian pikiran dan kebatinan yang didapat dengan ketenangan hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan. Dan kalau sudah ada ketiga-tiganya itu, maka kemenangan akan jadi bahagia.21 Pertama, tetep, antep, mantep. Artinya, dalam menjalankan sistem pendidikan, maka pertama-tama yang harus dibentuk (baik guru maupun murid) adalah dengan membentuk ketetapan pikiran dan jiwa, memberikan jaminan pada keyakinan sendiri, dan membentuk kemantapan dalam memegang prinsip hidup yang diyakini. Istilah tetep dalam filosofinya adalah mengajarkan guru dan murid untuk memiliki ketetapan cara berpikir yang selaras dengan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa sendiri. Dengan filosofi antep, Ki Hadjar Dewantara berusaha 21 Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 14. 54 untuk menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan dapat diibaratkan sebagai kendaraan yang mengantarkan seseorang pada kepercayaan diri dan sikap pemberani. Istilah mantep adalah usaha yang ia lakukan untuk menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan adalah upaya yang menghantarkan seseorang untuk memajukan dirinya. Sehingga memiliki orietasi yang jelas untuk meraih impian dan cita-citanya. Dengan memiliki sikap yang tetep, antep, dan mantep maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang memiliki kualitas lahir dan batin. Sehingga akan memberikan manfaat besar bagi diri, keluarga dan masyarakat sesuai dengan zaman yang dilaluinya.22 Lalu kedua, ngandel, kandel, dan bandel. Ngandel di sini Ki Hadjar Dewantara maksudkan bahwa sistem pendidikan itu harus dapat berdiri tegak di atas nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang bermartabat, tanpa ada campur aduk dengan budaya-budaya Barat yang dipenuhi dengan kebebasan. Kandel atau seseorang yang berpendirian tegak adalah mereka yang memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya. Dengan memiliki kepribadian kandel, ia berharap pendidikan yang diterapkan di Taman Siswa dapat membentuk murid maupun gurunya untuk menjadi pribadi yang berani, memiliki kewibawaan dan memiliki sikap ulet dalam memegang prinsip hidupnya. Dan bandel maksudnya bahwa seseorang yang berpendidikan harus memiliki jiwa yang tahan banting, tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan-kegagalan dalam hidup. Dengan memiliki sikap ngandel, kandel, dan bandel, maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang unggul, berani memegang teguh kebenaran dan memiliki nyali yang besar dalam menghadapi perubahan-perubahan hidup, seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman.23 22 23 Haidar Musyafa, op. cit., h. 284. ibid, h. 285. 55 Dan ketiga, neng, ning, nung, dan nang. Filosofi ini Ki Hadjar Dewantara maksudkan bahwa pendidikan harus dilakukan dengan tujuan untuk membentuk kepribadian yang religius. Sebab kepandaian dan kedalaman ilmu seseorang tidak akan pernah memiliki makna jika tidak didasari dengan keyakinan bahwa semua ilmu itu bersumber dari Gusti Allah. Oleh karenanya, pendidikan harus diarahkan untuk memperoleh kesenangan hati dan jiwa (neng), membuat seseorang semakin mengingat Sang Maha Kuasa, dalam keheningan (ning), membuat seseorang memperoleh ketenangan hidup secara lahir dan batin (nang), dan membuat seseorang semakin merenungi kekurangan-kekurangan dirinya (nung). Dengan menerapkan filosofi neng, ning, nung, dan nang maka Ki Hadjar Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya berwawasan pikirannya. Tapi juga menjadi pribadi yang memiliki kesucian pikiran, ketenangan batin, kepandaian melakukan evaluasi diri, dan semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa dengan kesediannya untuk melakukan tirakat (mengingat-Nya dalam keheningan).24 Sedari dulu, Ki Hadjar Dewantara telah menyadari bahwa salah satu hal terpenting untuk bangsa ini adalah pendidikan. Banyaknya gagasan yang ia ciptakan tentang pendidikan merupakan bentuk kepedulian terhadap kemajuan bangsa ini. Terbukti dengan terkenalnya pemikiran dia seperti sistem among hingga terbentuknya Taman Siswa yang dikenal pula dengan lima asas atau Panca Darma, konsep belajar tiga dinding, tiga fatwa pendidikan Taman Siswa yang dikenal dengan tetep, antep, mantep, nganel, kandel, bandel dan neng, ning, nang, nung. Serta yang sangat amat terkenal yaitu filosofi pendidikannya yang dikenal dengan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani yang menjadi simbol pendidikan saat ini. 24 ibid, h. 286. 56 C. Metode Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Sifat, sistem, dan metode pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara diringkas ke dalam empat kemasan, yaitu asas Taman Siswa, Panca Darma, adat istiadat, dan semboyan atau perlambang. Asas Taman Siswa dirumuskan pada Tahun 1922, yang sebagian besar merupakan asas perjuangan untuk menentang penjajah Belanda. Asas-asas itu adalah sebagi berikut: 1. Kemerdakaan individu untuk mengatur diri sendiri. Kebebasan ini dibatasi oleh kepentingan umum, yaitu jangan sampai mengganggu ketertiban dan kedamaian umum. 2. Kemerdekaan dalam berpikir, mengembangkan perasaan, dan kemauan melakukan sesuatu. 3. Kebudayaan sendiri, sebagai dasar kehidupan, bukan hanya intelektualnya. 4. Kerakyatan, yaitu pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat. 5. Hidup mandiri, ialah berusaha menghidupi diri sendiri, dan tidak menerima bantuan yang mengikat. 6. Hidup sederhana, agar mampu membiayai diri sendiri. 7. Mengabdi kepada anak, semua kegiatan yang dilakukan adalah untuk kepentingan perkembangan anak-anak. Asas di atas direvisi pada tahun 1947 menjadi dasar-dasar Taman Siswa, agar sesuai dengan tuntutan zaman yang baru. Dasar-dasar ini diberi nama Panca Darma, dengan isi seperti berikut: 1. Kemanusiaan, yaitu berupaya menghargai dan menghayati sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Meningkatkan kesucian jiwa dan cinta kasih. 2. Kebangsaan, ialah bersatu dalam suka dan duka, tetapi menghindari chaufinistis. Dan tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. 3. Kebudayaan, yaitu kebudayaan nasioanal harus dilestarikan dan dikembangkan. Untuk ini Dewantara mengemukakan konsep Tri Kon, yaitu: a. Kontinu, kebudayaan nasional harus dikembangkan secara terusmenerus. 57 b. Konsentrasi, kebudayaan itu harus terpusat pada kebudayaan bangsa Indonesia. Terhadap kebudayaan asing haruslah selektif. c. Konvergensi, kebudayaan-kebudayaan asing yang sudah diseleksi diintegrasikan ke dalam kebudayaan-kebudayaan asli bangsa Indonesia. d. Kodrat alam, manusia adalah bagian dari alam, maka manusia harus dibina dan berkembang sesuai dengan kodrat alam. e. Kemerdekaan/kebebasan, setiap anak harus diberi kesempatan bebas mengembangkan diri sendiri. Mereka perlu mendisiplinkan diri sendiri untuk mengejar nilai-nilai hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kemasan yang berikutnya adalah mengenai adat istiadat, yang berupa aturan tidak tertulis. Alasan dibutuhkannya adat adalah karena adat menurut pendapat orang-orang terdahulu dapat menghidupkan batin manusia dan dapat mendekatkan jarak antara guru dengan siswa. Sementara itu peraturan tertulis mereka pandang seperti mesin saja. Adat istiadat yang dimaksud yaitu: 1. Sebutan Ki untuk laki-laki, Nyi untuk perempuan yang sudah kawin, dan Ni untuk perempuan belum kawin. Panggilan-panggilan kasta dalam maasyarakat feodal dihilangkan, agar bersifat demokratis. 2. Melenyapkan sikap majikan-buruh, dengan tidak memberikan gaji, melainkan kebutuhan nyata serta sesuai dengan jumlah anggota keluarga. 3. Sebutan bapak dan ibu kepada guru, sebagai lambang kekeluargaan yang harmonis. Yang terakhir adalah mengenai semboyan atau perlambang. Hal ini diadakan sebab Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa semboyan bisa secara langsung mempengaruhi hati anak serta dapat dengan mudah mengingatnya. Semboyan-semboyan itu antara lain ialah: 1. Kita berhamba kepada sang anak, yang artinya sama dengan mengabdi kepada anak pada asas Taman Siswa Nomor tujuh. 2. Lebih baik mati terhormat daripada hidup nista, ialah terutama untuk menggerakkan hati anak-anak dalam mengejar dan membela kebenaran. 58 3. Dari natur ke arah kultur, yang artinya dari ilmiah/kodrati ke arah berbudaya.25 Metode pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dijadikan sebagai lambang dalam berlangsungnya proses pendidikan di Taman Siswa seiring berjalannya waktu acap kali direvisi oleh sang tokoh. Hal ini dikarenakan agar metode tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti pada asas Taman Siswa yang direvisi menjadi Panca Darma, kemudian adat istiadat yang diperlukan untuk membangun budaya dan keakraban antar sesama manusia. D. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Guru di Indonesia Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Uyoh Sadulloh yang dikutip dari Ahmadi dan Uhbiyati, bahwasannya mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.26 Guru dapat dikatakan sebagai ujung tombak kegiatan sekolah. Tanpa adanya guru, kegiatan belajar mengajar di sekolah tidaklah berjalan baik. Karena tugasnya mengajar, maka guru harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Sebagai tenaga pengajar, setiap guru/pengajar harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang proses belajar mengajar atau pembelajaran. Dengan kemampuan itu, guru dapat melaksanakan perannya, yakni: 1. Sebagai fasilitator, yang menyediakan kemudahan-kemudahan bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar. 2. Sebagai pembimbing, yang membantu siswa mengatasi kesulitan dalam proses pembelajaran. 3. Sebagai penyedia lingkungan, yang berupaya menciptakan lingkungan yang menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar. 25 26 Made Pirdata, op. cit., h. 127-129. Uyoh Sadulloh, dkk., op. cit., h. 3. 59 4. Sebagai komunikator, yang melakukan komunikasi dengan siswa dan masyarakat. 5. Sebagai model, yang mampu memberikan contoh baik kepada siswanya agar berperilaku baik. 6. Sebagai elevator, yang melakukan penilaian terhadap kemajuan belajar siswa. 7. Sebagai inovator, yang turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaruan kepada masyarakat. 8. Sebagai agen moral dan politik, yang turut membina moral masyarakat, peserta didik, serta menunjang upaya-upaya pembangunan. 9. Sebagai agen kognitif, yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dan masyarakat. 10. Sebagai manajer, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga proses pembelajaran berhasil. Di samping harus memiliki kemampuan profesional pembelajaran, setiap guru selaku tenaga kependidikan harus memiliki kemampuan kepribadian dan kemampuan kemasyarakatan. Kedua jenis kemampuan terakhir ini turut menunjang pelaksanaan kemampuan profesional dalam belajar mengajar.27 Saat ini, banyak berpandangan bahwa peranan guru hanya mendidik dan mengajar saja. Sebenarnya salah satu peran guru lainnya yaitu menjadi teladan bagi peserta didik dan dapat menuntun dan mengarahkan potensi yang dimilikinya ke arah yang lebih baik sehingga dapat berkembang dan berguna bagi masyarakat dan lingkungan di mana pun ia berada. Pandangan modern seperti yang dikemukakan oleh Adam dan Dickley bahwa peran guru sesungguhnya sangat luas, meliputi: guru sebagai pengajar (teacher as an instructor), guru sebagai pembimbing (teacher as a counsellor), guru sebagai ilmuwan (teacher as scientist), guru sebagai pribadi (teacher as a person). 27 Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995), h. 9. 60 Bahkan dalam arti yang lebih luas, di mana sekolah merupakan atau berfungsi juga sebagai penghubung antara ilmu dan teknologi dengan masyarakat, di mana sekolah merupakan lembaga yang turut mengemban tugas memodernisasi masyarakat dan di mana sekolah turut serta secara aktif dalam pembangunan. Maka dengan demikian peranan guru menjadi lebih luas, yaitu meliputi juga: guru sebagai penghubung (teacher as communicator), guru sebagai modernisator, guru sebagai pembangun (teacher as constructor).28 1. Guru sebagai pengajar Guru bertugas memberikan pengajaran di dalam sekolah (kelas). Ia menyampaikan pelajaran agar peserta didik memahami dengan baik semua pengetahuan yang telah disampaikan. Selain dari itu ia juga berusaha agar terjadi perubahan sikap, keterampilan, kebiasaan, hubungan sosial, apresiasi, dan sebagainya melalui pengajaran yang diberikannya. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, maka guru perlu memahami sedalam-dalamnya pengetahuan yang akan menjadi tanggung jawabnya dan menguasai dengan baik metode dan teknik.29 2. Guru sebagai pembimbing Guru berkewajiban memberikan bantuan kepada peserta didik agar mereka mampu menemukan masalahnya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, mengenal diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Para peserta didik membutuhkan bantuan guru dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan pribadi, kesulitan pendidikan, kesulitan memilih pekerjaan, kesulitan dalam hubungan sosial, dan interpersonal. Dan harus dipahami bahwa pembimbing yang terdekat dengan peserta didik adalah guru itu sendiri. 3. Guru sebagai pemimpin Sekolah dan kelas adalah suatu oraganisasi, di mana guru adalah sebagai pemimpinnya. Guru berkewajiban mengadakan supervisi atas 28 Direktorat Jendral Kelembangaan Agama Islam, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 71. 29 ibid, h. 72. 61 kegiatan belajar peserta didik, membuat rencana pengajaran bagi kelasnya, mengadakan manajemen belajar sebaik-baiknya, melakukan manajemen kelas, dan mengatur disiplin kelas secara demokratis. Dengan kegiatan manajemen ini guru ingin menciptakan lingkungan belajar yang serasi, menyenangkan dan merangsang dorongan belajar para anggota kelas.30 4. Guru sebagai ilmuwan Guru dipandang sebagai orang yang paling berpengetahuan. Dia bukan saja berkewajiban menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didik, tetapi juga berkewajiban mengembangkan pengetahuan itu terus menerus dan memupuk pengetahuan yang telah dimilikinya. 5. Guru sebagai pribadi Sebagai pribadi setiap guru harus memiliki sifat-sifat yang disenangi oleh para peserta didiknya, oleh orang tua, dan oleh masyarakat. Sifat-sifat itu sangat diperlukan agar ia dapat melaksanakan pengajaran secara efektif. Karena itu guru wajib berusaha memupuk sifat-sifat pribadinya sendiri (intern) dan mengembangkan sifat-sifat pribadi yang disenangi oleh pihak luar (ekstern). Tegasnya bahwa setiap guru perlu sekali memiliki sifat-sifat pribadi, baik kepentingan jabatannya maupun untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai warga negara masyarakat.31 6. Guru sebagai penghubung Sekolah berdiri di antara dua lapangan, yakni di satu pihak mengemban tugas menyampaikan dan mewariskan ilmu, teknologi, dan kebudayakan yang terus menerus berkembang dengan lajunya, dan di lain pihak ia bertugas menampung aspirasi, masalah, kebutuhan, minat, dan tuntutan masyarakat. Di antara kedua lapangan inilah sekolah memegang peranannya sebagai penghubung di mana guru berfungsi sebagai pelaksana. 30 31 ibid, h. 73. ibid, h. 74. 62 7. Guru sebagai pembaharu Guru memegang peranan sebagai pembaharu, oleh karena melalui kegiatan guru menyampaikan ilmu dan teknologi, contoh-contoh yang baik dan lain-lain, maka akan menanamkan jiwa pembaharuan di kalangan peserta didik.32 8. Guru sebagai pembangunan Seorang guru baik sebagai pribadi maupun sebagai guru profesional dapat menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk membantu berhasilnya rencana pembangunan masyarakat.33 Pendidikan yang terbaik bagi anak-anak Inlander menurut Ki Hadjar Dewantara adalah dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada mereka untuk meningkatkan potensi, kemudian mengekspresikannya dengan cara yang kreatif dan bertanggung jawab. Untuk menjalankan misi dalam menerapkan pendidikan seperti itu bagi anak-anak Inlander, Ki Hadjar Dewantara menerapkan tiga semboyan pendidikan di sekolah Taman Siswa. Ketiga semboyan pendidikan yang diterapkan di sekolah Taman Siswa itu sebagai berikut: Pertama, ing ngarsa sung tulodo, apabila pendidik di depan ia harus memberi contoh yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarsa artinya di depan, sung/asung artinya memberi, dan tulodo yang artinya contoh.34 Dengan kata lain seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan yang baik kepada anak didiknya. Sebab guru adalah seorang figur panutan yang harus digugu dan ditiru semua perkataan dan perbuatannya.35 Atau dalam pengertian lain ing ngarsa sung tulodo, artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah pemimpin yang memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para peserta didik.36 32 ibid, h. 75. ibid, h. 76. 34 Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 105. 35 Haidar Musyafa, op, cit., h. 288. 36 Bartolomeus Samho, op, cit., h. 78. 33 63 Kedua, ing madya mangun karsa, apabila pendidik berada di tengahtengah bersama anak didiknya ia harus mendorong kemauan anak, membangkitkan kreativitas dan hasrat untuk berinisiatif dan berbuat. Ing madya artinya di tengah tengah, mangun yang artinya membangun, dan karso yang berarti kehendak atau kemauan.37 Maksud lainnya ialah bahwa seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah peserta didik. Terus-menerus membangun dan menumbuhkan semangat peserta didik untuk terus menorehkan karya. Seorang guru juga berkewajiban mengajak peserta didik untuk menggali ide dan gagasan, sehingga mereka dapat berkembang menjadi manusia yang cerdas dan berwawasan.38 Atau ing madya mangun karso, artinya seorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para peserta didik dan terus-menerus memprakasai/memotivasi peserta didiknya produktif dalam berkarya.39 Ketiga, tut wuri handayani, berasal dari bahasa Jawa yaitu: “tut wuri” yang berarti mengikuti dari belakang, dan “handayani” yang berarti mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat. Dari arti katanya dapat ditafsirkan bahwa tut wuri handayani ialah mengakui adanya pembawaan, bakat, ataupun potensi yang dimiliki anak yang dibawa sejak lahir. Dengan kata tut wuri pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan dan memahami bakat atau potensi yang muncul dan terlihat pada anak didik untuk selanjutnya mengembangkan pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.40 Seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus memberikan dorongan semangat dan menunjukkan arah yang benar untuk anak didiknya.41 Dalam arti lain bahwa tut wuri handayani, seorang pendidik selalu mendukung dan menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat. Pendidik mengikuti para muridnya dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak dan mempengaruhi mereka dengan kekuatannya, kalau 37 Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 106. Haidar Musyafa, op, cit., h. 288. 39 Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78. 40 Uyoh Sadulloh, dkk., op. cit., h. 105. 41 Haidar Musyafa, op. cit., h. 288. 38 64 perlu dengan paksaan dan ketegasan apabila kebebasan yang diberikan kepada para murid itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan hidupnya.42 Jika dilihat lagi, konsep tut wuri handayani lebih dekat dengan aliran konvergensi dari Willian Stren yang berpendapat bahwa perkembangan anak ditentukan oleh interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki anak dengan lingkungan, atau bimbingan (pendidikan) yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain watak atau karakter anak, dalam perkembangannya ada yang ditentukan oleh pembawaannya dan ada yang ditentukan oleh lingkungannya, tergantung kepada mana yang lebih dominan dalam interaksi antara keduanya.43 Pendidikan menurut konsep Ki Hadjar Dewantara merupakan hasil interaksi antara pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki anak, di mana dalam proses interaksi tersebut pendidik memiliki peran aktif, tidak menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya pendidik tidak boleh dominan menguasai anak.44 Dan ketiga kalimat di atas juga mempunyai arti bahwa pendidik harus dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta didik. Dalam tut wuri terkandung maksud membiarkan peserta didik menuruti bakat dan kodratnya sementara guru memperhatikan. Dalam handayani berarti guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti membimbing atau mengajar. Dengan demikian membimbing mengandung arti bersikap menentukan ke arah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, dan bukanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya menurut kehendak sang pendidik. Motto tut wuri handayani tersebut sekarang telah diambil menjadi motto dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.45 Selanjutnya, metode pendidikan yang cocok untuk membentuk kepribadian generasi muda di Indonesia adalah yang sepadan dengan makna 42 Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78. Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., 105. 44 Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 106. 45 Soetjipto dan Raflis Kosasi, op. cit., h. 50. 43 65 pedagogik, yakni momong, among, dan ngemong, yang berarti bahwa pendidikan bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Dalam sistem among ini pengajaran berarti mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Sementara alat atau cara mendidik dalam metode among terdiri dari enam, yakni: 1. Memberi contoh: pamong memberi contoh atau teladan yang baik dan bermoral kepada peserta didik. 2. Pembiasaan: setiap peserta didik dibiasakan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pelajar, sebagai anggota komunitas Taman Siswa dan sebagai anggota masyarakat secara selaras dengan aturan hidup bersama. 3. Pengajaran: guru arau pamong memberikan pengajaran yang menambahkan pengetahuan peserta didik sehingga mereka menjadi generasi yang pintar, cerdas, benar, dan bermoral. 4. Perintah, paksaan, hukuman: diberikan kepada peserta didik bila dipandang perlu atau manakala peserta didik menyalahgunakan kebebasan yang dapat berakibat membahayakan kehidupannya. 5. Laku (perilaku): berkaitan dengan sikap rendah hati, jujur, dan taat pada peraturan yang terekspresi dalam perkataan dan tindakan. 6. Pengalaman lahir dan batin: pengalaman kehidupan sehari-hari yang diresapi dan direfleksikan sehingga mencapai tataran "rasa" dan menjadi kekayaan serta sumber inspirasi untuk menata kehidupan yang membahagiakan diri dan sesama. Dalam tugas mendidik dan mengajar oleh seorang guru, diperlukan pula metode mengajar yang tepat yaitu dengan memberikan contoh atau menjadi panutan bagi peserta didik sehingga apa yang diajarkan guru dapat dilihat dan ditiru secara langsung oleh siswa. 46 Dengan demikian, keinginan Ki Hadjar Dewantara kepada semua pendidik atau guru dengan metode momong, among, dan ngemong yaitu agar para guru 46 Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78-79. 66 dapat mendidik peserta didik dengan cara mengasuh seperti anaknya sendiri. Tetapi mengasuh di sini dengan memberi nilai-nilai yang positif dalam kehidupan mereka. Dan bukan mengasuh dengan cara paksaan, melainkan dengan memperhatikan dan menuntun agar peserta didik bebas untuk mengembangkan dirinya masing-masing, supaya semua peserta didik dapat merdeka batinnya, pikirannya, juga tenaga. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian dan hasil analisis sebagaimana telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara adalah pendidik yang menjadi teladan bagi anak didiknya lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar mereka menjadi manusia yang merdeka batinnya, pikirannya, serta tenaganya dan dengan pendidikan, mereka dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, sehingga bisa mengangkat derajat negaranya. Pandangan beliau tentang peran guru yang baik atau ideal tercermin dari semboyan-semboyan yang telah ia canangkan, misalnya ing ngarso sung tulodo (apabila di depan memberi contoh), ing madyo mangun karso (apabila di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (apabila di belakang memberi dorongan). Ada pula momong, among, ngemong. Memiliki arti yaitu agar para guru dapat mendidik anak muridnya dan cara mengasuh dengan memberi nilai-nilai yang positif dalam kehidupan mereka. Bukan mengasuh dengan cara paksaan, melainkan dengan memperhatikan dan menuntun atau mengarahkan agar anak didiknya bebas untuk mengembangkan dirinya masing-masing, lalu supaya semua peserta didik dapat merdeka batinnya, pikirannya, juga tenaganya. Karena pendidikan bertujuan untuk memanusiakan (memerdekakan) manusia itu sendiri. Adapun pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari gagasannya dalam dunia pendidikan, seperti pada tiga fatwa pendidikan yaitu: Tetep, antep, mantep. Ngandel, kandel, bandel. Dan neng, ning, nung, nang. Pada intinya, pendidikan yang diinginkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara 67 yaitu pendidikan yang 68 mencerminkan budaya bangsanya sendiri agar menjadi manusia yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. B. Saran Setelah penulis melakukan pengkajian terhadap peran guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara, terdapat beberapa saran yang dapat penulis sampaikan, di antaranya sebagai berikut: 1. Untuk lembaga pendidikan, merupakan tanggung jawabnya dalam menyiapkan tenaga pendidikan (guru-guru) yang profesional dan memiliki integritas tinggi. Serta menerapkan sistem pendidikan sesuai dengan apa yang digagas oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. 2. Untuk para guru yang sangat berperan penting dalam kemajuan bangsa Indonesia dan mencetak generasi-generasi penerus bangsa, mulailah memandang bahwa kedudukannya sebagai guru atau pendidik bukan hanya sebagai sebuah profesi, akan tetapi sebagai seseorang yang layak dicontoh dan menjadi teladan bagi para peserta didik. Juga memahami kembali dan menerapkan keinginan pejuang Indonesia dalam dunia pendidikan yakni Ki Hadjar Dewantara dalam mendidik muridnya dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh mereka, agar anak didik menjadi seseorang yang merdeka lahir dan batin. Dan pula, tanamkan dalam hati bahwa mendidik adalah bertujuan untuk memanusiakan manusia. 69 DAFTAR PUSTAKA Arief, Armai. Reformasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2013. Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Danim, Sudarwan. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Alfabeta, 2013. Dewantara, Bambang S. 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: PT Garuda Metropolita Press, 1989. Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Cet. IV, 2011. Direktorat Jendral Kelembangaan Agama Islam. Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. Fattah, Nanang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012. Hanafiah., dan Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama. Cet. XXXIII, 2012. Harahap. A. H., dan Dewantara. B. S., Bambang. Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan. Jakarta: PT Gunung Agung, 1980. Hasanah, Aan. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. Iskandar. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: IKAPI. Cet. V, 2013. Kusnandar. Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007. Malik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995. Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2013. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosydakarya. Cet. XXVIII, 2010. 70 Musfah, Jejen. Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktik., Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011. Musyafa, Haidar. Sang Guru: Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara. Kehidupan, Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (1889-1959). Jakarta: Imania, 2015. Nata, Abudin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Nursida Azhari Rumeon, “Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan Konsep Pendidikan Islam”, Skripsi pada Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011. Tidak dipublikasikan. Pirdata, Made. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2015. Sabri, M. Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005. Sadulloh, Uyoh. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta, 2014. Sagala, Syaiful. Etika dan Moralitas Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013. Samho, Bartolomeus. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Kanisius, 2013. Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Satori, Djaman, dkk., Profesi Keguruan. Jakarta: Kotak Pos, 2005. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Soetjipto., dan Kosasi, Raflis. Profesi Keguruaan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011. Soyomukti, Nurani. Teori-teori Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. 71 Sudagar, Fachruddin., dan Idrus, Ali. Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta: Gaung Persada Press. Cet. III, 2011. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Cet. XIV, 2011. Sungkring. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung, PT Remaja Rosydakarya. Cet. VII, 2007. Taneko, Soleman B. Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali, 1990. Tanenji., dan Munawwaroh, Djunaidatul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003. Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Wahjosumijo. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 1984. RIWAYAT HIDUP PENULIS Agus Setiawan, lahir di Lebak, Banten pada tanggal 30 November 1994 dari pasangan Warsito dan Subtiah. Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Cikupa pada tahun 2006. Tamat sekolah dasar lalu menjadi santri di Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Gintung, Jayanti, Tangerang selama enam tahun (2006-2012). Kemudian melanjutkan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012 melalui jalur mandiri dan diterima di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semasa kuliahnya, anak pertama dari dua bersaudara ini aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masa jabatan 2014-2015. Di luar bidang akademik, kakak kandung dari M. Rifqi Maulaaya Ramadhan ini memiliki hobi berolahraga terutama badminton dan futsal. Ia sering mewakili angkatannya dalam pertandingan antar tingkatan maupun antar fakultas di kampus. Selain itu, pria yang akrab dipanggil agus ini juga aktif dalam organisasi luar kampus seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Dan saat ini ia menjadi bagian dari sahabat Dompet Dhuafa yang merupakan lembaga sosial kemanusiaan.