MAKALAH FARMASI KLINIK PENGGUNAAN OBAT PADA

advertisement
1
MAKALAH
FARMASI KLINIK
PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN LANJUT USIA
Disusun oleh :
KELOMPOK V
Jabal Rahmat Haedar
Ardi Novrianugrah
Muh. Ahsan
Habiburrahim
Mirza Amelia
Valentina Tereskova Lang
Mutmainnah Nurndin
Yusriati
Faradilla Jahari
Hastuti L
Syahrul Wabula
Heriyanto
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
KELAS B
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................2
BAB II TINJUAN FARMAKOLOGI KLINIS.........................................................................3
II.1. Aspek Farmakokinetik........................................................................................3
II.2. Aspek Farmakodinamik....................................................................................13
II.3. Resiko Terapi: Sebuah Perimbangan Khusus bagi Pasien Lansia..................15
II.4. Pengetahuan Dasar Mengenai Keamanan dan Efficacy Obat........................18
II.5. Resiko Reaksi Efek Samping Obat..................................................................18
II.6. Terapi Obat yang “Tepat” pada Pasien Lansia.................................................24
II.7. Obat pelengkap dan alternatif..........................................................................31
II.8.
Klasifikasi Lansia……………………………………………………… ………..33
II. 9. Konversi dosis usia lansia…………………………………………………………35
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................34
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hubungan peningkatan usia dengan farmakokinetik obat.................................5
Tabel 2. Pengaruh pada Volume Distribusi pada obat-obat yang sering diresepkan......7
Tabel 3. Substrat obat, inhibitor dan inducer CYP3A berdasarkan golongan obat........11
Tabel 4. Faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan......................................................17
Tabel 5. Contoh reaksi obat yang merugikan.................................................................21
Tabel 6. Contoh potensi interaksi obat-obat yang penting.............................................23
Tabel 7. Beberapa Interaksi penting Obat- Penyakit pada Pasien Lansia.....................24
Tabel 8. Obat-obat yang termasuk Daftar Beer..............................................................25
Tabel 9. Potensi efek samping dari obat herbal dan kandungan utamanya..................32
Tabel 10. Interaksi potensial antara tumbuh-tumbuhan dan obat-obatan bebas...........33
1
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi banyak tantangan dalam
meningkatkan derajat kesahatan rakyatnya. Pada tahun 2012 tercatat Angka harapan
hidup di Indonesia mencapai 70,61 tahun sedangkan tingkat kelahiran sebesar 2,37
kelahiran perperempuan. Ditelisik dari berdasarkan kepadatan penduduk diindonesia
hal ini merupakan kabar gembira karena akan menurunkan rasio kepadatan penduduk,
namun hal tersebut juga memiliki “efek samping” bagi kehidupan sosial masyarakat.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk
lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni
mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Sebuah
pekerjaan rumah besar bagi kementrian kesehatan di Indonesia untuk memberikan
fasilitas dan pelayanan kesehatan maksimal bagi masyarakat yang juga bisa
digolongkan “berkebutuhan Khusus” seperti ini.
Farmasi sebagai salah satu tenaga kesehatan seyogyanya juga selaras dengan
pemerintah bersama-sama berupaya meningkatkan derajat hidup maysarakat lanjut
usia. Berbagai pertimbangan perlu ditegakkan seorang farmasis sebelum memutuskan
melakukan penyerahan obat bagi pasien lanjut usia, mengingat fungsi anatomi dan
fisiologi yang dimilikinya sudah tidak berfungsi secara masksimal. Tulisan ini bermaksud
memberikan sedikit pandangan bagi seorang farmasis mengenai aspek-aspek pada
obat yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi pasien lanjut usia.
2
BAB II
TINJUAN FARMAKOLOGI KLINIS
Ada beberapa isu penting terkait Farmakologi dan non-Farmakologi
dalam mempengaruhi keamanan dan keefektifan penggunaan obat pada
pasien lanjut usia. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sejumlah
perubahan yang terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi,
fisiologi, psikologi juga sosiologi. Meskipun semua perubahan tersebut
berperan penting dalam pelayanan untuk pasien lanjut usia, namun yang
paling utama adalah menitik-beratkan pada perubahan-perubahan yang
memberikan efek secara langsung pada penatalaksanaan obat
a. Aspek Farmakokinetik
Perubahan fisiologis pada pasien lanjut usia mempengaruhi proses
farmakokinetika obat lewat penyerapan, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi (Tabel 1). Efek dari perubahan fungsi fisologis ini sangat variatif
dan sulit untuk diprediksi.(1) . Beberapa perubahan fisiologis ini hanya
disebabkan oleh penuaan, namun beberapa perubahan fisiologis lainnya
kemungkinan besar disebabkan oleh efek gabungan dari usia, penyakit,
dan lingkungan. Meskipun bertambahnya usia sering disertai dengan
penurunan fungsi fisiologis pada banyak sistem organ juga tetap
bergantung dari dampak penyakit yang diderita, namun perubahan
tersebut tidak seragam. Ada perbedaan substansial pada satu individu
dengan individu lain, sehingga membuat pasien lanjut usia lebih rentan
daripada yang pasien pada usia lain. Perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat yang terjadi pada pasien lanjut usia membuat tenaga
3
kesehatan
harus
mempertimbangkan
secara
farmakologis
risiko
kerentanan pasien lansia terhadap efek obat. Sayangnya, hasil studi
epidemiologi yang mengeksplorasi hubungan ini tidak memberikan
gambaran yang jelas, karena minimnya jumlah pasien lanjut usia yang
termasuk dalam studi premarketing relatif terhadap populasi pasien yang
mungkin akan mengonsumsi obat. Hasil uji coba dan efek samping yang
dilaporkan sering terbatas pada pasien lanjut usia dengan beberapa
penyakit yang mengonsumsi beberapa obat. Secara umum, pertimbangan
kondisi masing-masing pasien, seperti keadaan fisiologis (hidrasi, nutrisi,
dan curah jantung), dan bagaimana status ini mempengaruhi farmakologi
obat tertentu lebih penting dalam peresepan obat dibandingkan setiap
perubahan spesifik yang berkaitan dengan usia.
Tabel 1. Hubungan peningkatan usia dengan farmakokinetik obat
Proses
Farmakokinetik
a
Proses Absorpsi
Proses
Distribusi
Perubahan Fisiologis
Absorpsis permukaan
menurun,
Aliran darah di daerah
splanchnik menurun
Produksi asam lambung
meningkat
Motilitas lambung
berubah
Kadar air tubuh menurun
Massa tubuh menurun
Lemak tubuh meningkat
Serum albumin menurun
Perubahan ikatan
protein
Perubahan Klinis Penting
Kadar obat yang
terdistribusi di cairan
tubuh; memperpanjang
waktu paruh eliminasi dari
obat yang larut lemak.
Fraksi obat bebas
diplasma meningkat pada
obat asam yang terikat
kuat dengan ikatan
protein.
4
Proses
Farmakokinetik
a
Proses
Metabolisme
Perubahan Fisiologis
Perubahan Klinis Penting
Massa Hati Menurun
Menurunkan metabolism
lintas pertama, dan
menurunkan
biotransformasi beberapa
obat.
Proses
Metabolisme
Aliran darah ke hati
menurun
Metabolisme fase 1
menurun
Aliran plasma ginjal
menurun
Proses
Eliminasi
Eliminiasi ginjal pada obat
dan metabolitnya
menurun ; berbeda pada
masing- masing pasien.
Laju filtrasi glomerulus
menurun
Fungsi sekresi tubulus
menurun
Absorpsi
Proses Absorpsi pada obat terjadi via difusi pasif, dan hanya sedikit
perubahan dengan bertambahnya usia. Daftar perubahannya bisa dilihat
di Tabel 1 yang berpotensi memengaruhi absorpsi obat. Perubahan ini
penting pada beberapa rute pemerian obat. Contonhya antasida
menurunkan absorpsi oral dari cimetidine, dan alkohol mempercepat
absorpsi dari kloral hidrat.
Distribusi
Tidak seperti proses absorpsi, distribusi obat dipengaruhi oleh
perubahan usia pada kondisi klinis yang amat penting. Pada pasien lanjut
usia, lemak di tubuhnya relatif meningkat dan massa tubuhnya yang
menurun memengaruhi distribusi obat, sehingga obat yang larut lemak
terdistribusi lebih luas dan obat yang larut air terdisbursi cenderung lebih
sempit Tabel
2. Meningkatnya distribusi obat larut lemak juga dapat
5
menunda eliminasi obat tersebut dan menghasilkan perpanjangan waktu
kerja dari dosis tunggal obat. Efek ini pada obat-obatan hipnotik dan
analgetik, yang diberikan sejumlah dosis tunggal, pada waktu intermitten.
Sebagai contoh, volume distribusi dari diazepam meningkat dua kali lipat
pada pasien lanjut usia, dan waktu paruh eliminasi nya diperpanjang dari
24 jam pada pasien muda dan hampir 90 jam pada pasien lansia.
Tabel 2. Pengaruh Volume Distribusi pada obat-obat yang sering
diresepkan
Meningkat Volume Distibusinya
Acetaminophen
Chlorodiazepoxide
Diazepam
Oxazepam
Salicylates
Thiopental
Tolbutamide
Meningkat Volume Distibusinya
Cimetidine
Digoxin
Gentamicin
Meperidine
Phenytoin
Quinine
Theophylline
Sebaliknya, volume distribusi dari obat yang larut air kadar obat
yang mencapai target plasma, menurun. Demikian juga, sebab volume
distribusi menurun, loading dosis dari aminoglikosida kurag pada pasien
lanjut.
Untuk
obat
yang
berikatan
dengan
protein
serum,
terjadi
kesetimbangan antara obat terikat atau bagian yang tidak aktif dan obat
tidak terikat atau bagian aktif . Obat-obat asam yang terikat kuat dengan
dengan
albumin
konsentrasi
plasmanya
kemungkinan
besar
dan
berhubungan dengan efek farmakologisnya. Meskipun kadar albumin
pada lansia hanya terjadi sedikit penurunan, namun ketika sakit kadar
albuminnya akan terus berkurang. Hal ini bisa menghasilkan kadar obat
6
bebas akan meningkat pada pasien lansia sepanjang dia sakit, dan
meningkatkan petonsi toksik. Perubahan ini siginifkan pada obat-obat
tiroid hormone, digoxin, warfarin, dan fenitoin.
Secara keseluruhan pada proses distribusi, perubahan ikatan
protein serum merupakan pertimbangan penting ketika awal pemberian
obat, ketika dosis berubah, ketika kadar protein serum berubah, atau
ketika obat menggeser obat yang telah terikat protein sebelumnya. Karena
bagian bebas obat (tidak terikat protein serum) umumnya lebih kecil
dibandingkan
mekanisme
bagian
normal
obat
dalam
yang
terikat
metabolisme
protein
dan
serum,
ekskresinya
sehingga
adalah
menghilangkan bagian obat yang bebas (tidak terikat protein serum). Jika
salah satu fungsi hati atau ginjal terganggu karena usia atau penyakit,
proses ini akan melambat.
Metabolisme
Meskipun penelitian in vitro pada aktivitas enzim pemetabolisme
obat dari sampel biopsi hati manusia belum menunjukkan adanya
perubahan dengan penuaan, beberapa peneliti berspekulasi bahwa
penurunan ukuran hati pada lansia dapat mengakibatkan kapasitas
metabolisme menurun. Penurunan yang signifikan terhadap laju aliran
darah menuju hati terjadi pada lansia, dengan pengurangan 25% sampai
47% dilaporkan pada orang antara usia 25 dan 90 tahun. Penurunan
aliran darah menuju hati secara klinis penting karena metabolisme hati
adalah rate limiting step yang menentukan clearans obat. Perubahan ini
sangat relevan untuk obat yang mengalami metabolisme hepatik cepat
7
(misalnya, propranolol). Juga, obat-obatan yang mengalami metabolisme
lintas pertama kemungkinannya untuk mencapai tinggi pada kadar plasma
darah menurun jika aliran darah menuju hati menurun.
Hati memetabolisme obat melalui dua sistem yang berbeda.
Metabolisme Fase I melibatkan oksidasi, reduksi, dan hidrolisis obat dan
metabolisme Fase II melibatkan glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, dan
metilasi. Metabolisme Fase I dikatalisis terutama oleh sistem sitokrom
P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma halus di sel hati. Enzim CYP
adalah superfamili dari enzim pemetabolisme obat mikrosomal yang
penting dalam biosintesis dan degradasi senyawa endogen seperti
steroid, lipid, dan vitamin, serta metabolisme obat yang paling umum
digunakan. Aktifitas Metabolisme Fase I menurun secara drastis pada
lansia. Obat-obatan yang dimetabolisme melalui fase I akan memiliki
waktu paruh yang diperpanjang akibat lansia. Contoh obat yang
metabolismenya melambat akibat perubahan usia pada metabolisme
hepatik tercantum dalam kotak 1 berikut;
Kotak 1
Obat umum diresepkan & mengalami perpanjangan metabolisme
hepatic
 Paracetamol
 Amitriptilin
 Barbiturat
 Chlordiazepoksid
 Diazepam
 Diphenhidramin
 Flurazepam
 Ibuprofen
 Labetalol
 Lidokain










Meperidin
Nortriptilin
Fenitoin
Prazosin
Propranolol
Quinidin
Salisilat
Teofilin
Tolbutamid
Warfarin
8
Perubahan terkait usia pada metabolisme fase I ditambah dengan
penggunaan
beberapa
obat,
menempatkan
pasien
lansia
pada
peningkatan risiko efek samping obat. Reaksi obat yang merugikan terjadi
baik karena penghambatan atau induksi enzim CYP, terutama CYP3A,
yang diyakini terlibat dalam memetabolisme lebih dari satu setengah dari
obat yang umum diresepkan (2,3). Hasil klinis memperlihatkan potensi
inhibitor CYP3A (sedang vs berpotensi), ketersediaan jalur alternatif, dan
keseriusan gejala. Sebuah obat dianggap sebagai potensial inhibitor
CYP3A jika menyebabkan peningkatan lebih dari 5 kali lipat dibanding
konsentrasi plasma obat lain yang bergantung pada CYP3A untuk
metabolismenya (4). Contoh inhibitor CYP3A dan indusernya tercantum
pada Tabel 3. Dengan demikian, dokter harus mengetahu interaksi obat
potensial yang dapat terjadi ketika meresepkan obat dari golongan yang
mencakup moderate atau inhibitors kuat CYP3A .Jika sebuah obat yang
berpotensi sebagai CYP3A inhibitor atau inducer dan tetap harus
konsumsi bersama-sama, maka penyesuaian dosis dan pemantauan klinis
harus dapat dijamin untuk menghindari reaksi yang merugikan.
9
Tabel 3. Substrat obat, inhibitor dan inducer CYP3A berdasarkan
golongan obat.
CYP3A substrates
Calcium channel blockers
Diltiazem
Felodipine
Nifedipine
Verapamil
CYP3A inhibitors
Calcium channel
blockers
Diltiazem
Verapamil
CYP3A inducers
Rifamycins
Rifabutin
Rifampin
Rifapentine
Immunosuppressant
agents
Cyclosporine
Tacrolimus
Azole antifungal
agents
Itraconazole
Ketoconazole
Anticonvulsant
agents
Carbamazepine
Phenobarbital
Phenytoin
Benzodiazepines
Alprazolam Midazolam
Triazolam
Macrolide antibiotics
Clarithromycin
Erythromycin
Troleandomycin (not
azithromycin)
Anti-HIV agents
Efavirenz
Nevirapine
Statins
Atorvastatin Lovastatin
(not pravastatin)
Anti-HIV agents
Delavirdine
Indinavir
Ritonavir
Saquinavir
Others
Grapefruit juice
Mifepristone
Nefazodone
Other
St. John’s wort
Macrolide antibiotics
Clarithromycin
Erythromycin
Anti-HIV agents
Indinavir
Nelfinavir
Ritonavir
Saquinavir
Others
Losartan
Sildenafil
10
Metabolisme
hati
Fase
II
melibatkan
konjugasi
obat
atau
metabolitnya menjadi senyawa organik. Eliminasi obat yang mengalami
metabolisme
fase
II
melalui
proses
konjugasi
(seperti,
asetilasi,
glukouronidasi, sulfatisi, dan konjugasi glisin) umumnya sedikit berubah
pada
lansia.
metabolisme
Dengan
fase
demikian,
II untuk
obat
diekskresi
yang
hanya
(misalnya,
memerlukan
triazolam)
tidak
mengalami perpanjangan waktu paruh pada pasien lansia. Obat ini
kontras dengan obat-obatan seperti diazepam yang mengalami kedua
fase metabolisme dan memiliki metabolit intermediate yang aktif.
Meskipun pengaruh penuaan pada metabolisme obat di hati bevariasi,
namun metabolisme fase I adalah proses yang paling mungkin berkurang
pada lansia.
Munculnya berbagai pengaruh usia pada metabolisme obat
mungkin disebabkan fakta bahwa usia hanyalah salah satu dari banyak
faktor yang mempengaruhi metabolisme obat. Misalnya, merokok,
konsumsi alkohol, modifikasi diet, obat-obatan, penyakit virus, asupan
kafein, dan faktor lain yang tidak diketahui juga mempengaruhi laju
metabolisme obat.
Induksi metabolisme obat dapat terjadi pada orang tua. Tingkat
eliminasi teofilin meningkat dengan merokok dan dengan fenytoin baik
orang muda maupun pada tua (1). Dengan demikian, respon adaptif ini
tidak dipengaruhi usia. Tidak semua isoenzim metabolisme diinduksi sama
pada orang muda dan orang tua. Sebagai contoh, eliminasi antipyrine
11
meningkat setelah pretreatment dengan dichlorolphenazone pada pasien
yang lebih muda tetapi tidak pada pasien yang lebih tua.
Eliminasi
Perubahan farmakokinetik penting yang terjadi pada orang usia
lanjut adalah bahwa adanya pengurangan eliminasi obat ginjal (Kotak 2).
Perubahan ini adalah hasil perubahan fungsi yang berhubungan dengan
usia pada tingkat filtrasi glomerulus dan fungsi tubular. Obat yang
bergantung pada fungsi glomerulus (misalnya, gentamisin) dan obatobatan yang bergantung pada sekresi tubular (misalnya penisilin) untuk
eliminasi ekskresi keduanya berkurang pada pasien yang lebih tua.
Karena eliminasi obat berkorelasi dengan kreatinin klirens (CrCl),
pengukuran kreatinin klirens sangat membantu dalam menentukan dosis
pemeliharaan. Di ginjal, rata-rata kreatinin menurun sebesar 50% dari usia
25 sampai usia 85 tahun meskipun kadar kreatinin serumnya tetap tidak
berubah pada sekitar 1,0 mg / dL. Karena kreatinin serum (SCr)
cenderung terekspresi lebih pada kreatinin klirens yang sebenarnya pada
orang tua, formula yang sering dikutip dirancang oleh Cockroft dan Gault
dapat digunakan untuk memperkirakan kreatinin (CrCl) pada orang
dewasa yang lebih tua :
Kotak 2
Obat yang mengalami penurunan eliminasi ginjal pada pasien lansia
• Amantadi
• Hydrochlorothiazid
• Ampicillin
• Kanamycin
12
• Atenolol
• Ceftriaxon
• Cephradin
• Cimetidin
• Digoxin
• Doxycyclin
• Furosemid
• Gentamicin
• Lithium
• Pancuronium
• Penicillin
• Phenobarbital
• Procainamid
• Ranitidin
• Sotalol
• Triamteren
Pada wanita, nilai estimasi adalah 85% dari nilai yang dihitung
pada konsentrasi kreatinin dengan berat badan dan serum yang sama.
Meskipun persamaan ini berguna dalam penyesuaian usia, berat badan,
dan kadar serum kreatinin terukur, namun tidak memperhitungkan variasi
individu. Formula ini telah divalidasi pada pasien rawat jalan dan rawat
inap, tetapi beberapa studi menunjukkan bahwa hal itu mungkin tidak
akurat bila diterapkan pada pasien panti jompo yang lemah (5).
Perubahan klirens ginjal menyebabkan dua konsekuensi klinis yang
relevan:
(1)
waktu
paruh
obat
diekskresi
melalui
ginjal
yang
diperepanjang, dan (2) kadar serum obat ini meningkat. Untuk obat
dengan indeks terapeutik besar (misalnya, penisilin), ini tidak terlalu
signifikan secara klinis, tetapi untuk obat dengan indeks terapeutik sempit
(misalnya, digoxin, cimetidine, aminoglikosida), efek samping dapat terjadi
pada pasien lansia jika pengurangan dosis tidak segera dilakukan . Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa digoxin adalah obat yang paling
sering menyebabkan efek samping pada orang tua, terutama jika dosisnya
melebihi 0,125 mg / hari (6).
Untuk persyaratan dosis lebih lanjut, pemantauan terapeutik obat
juga harus dilakukan untuk obat dengan indeks terapeutik rendah.
13
b. Aspek Farmakodinamik
Selain faktor-faktor yang menentukan konsentrasi obat di tempat
kerja (farmakokinetik), efek obat juga tergantung pada sensitivitas organ
target terhadap obat tersebut. Pengaruh biokimia dan fisiologis obat dan
mekanisme kerjanya (farmakodinamik) terhadap penuaan belum diketahui
dengan jelas. Penelitian Farmakodinamik pada pasien lansia kurang
dilakukan
dibanding
dengan
penelitian
farmakokinetik.
Sulit
menggeneralisasi akan pengaruh usia dengan kepekaan terhadap
berbagai obat antara obat yang dipelajari dan respon yang diukur.
Perbedaan-perbedaan
sensitivitas
terjadi
karena
tidak
adanya
pengurangan senyawa yang dikenali dalam metabolisme obat dan
senyawa yang terkait. Dengan demikian, sensitivitas terhadap efek obat
kemungkinan dapat meningkat atau menurun dengan bertambahnya usia.
Misalnya, pasien lansia tampaknya lebih sensitif terhadap efek
sedatif dengan kadar obat benzodiazepin dalam darah yang diberikan
(misalnya diazepam) tetapi kurang sensitif terhadap efek obat oleh β
Reseptor adrenergik (misalnya, isoproterenol, propranolol). Meskipun
penurunan afinitas reseptor hormon diduga berhubungan dengan usia,
namun data menunjukkan perubahan seperti ini jarang terjadi. Penjelasan
lain mengatakan bahwa perbedaan ini terjadi akibat perubahan dalam
fungsi second-massenger dan perubahan dalam respon sel dan nukleus.
Karena respon dari pasien lansia untuk setiap obat yang diberikan
adalah berbeda dan tidak dapat diramalkan, semua obat harus digunakan
secara tepat, dan bijaksana pada pasien lansia, dan dokter harus berfikir
14
ulang untuk penggunaan obat umumnya. Secara umum, pengetahuan
tentang farmakologi dari obat yang diresepkan, batasan pada jumlah obat
yang digunakan, preparasi dan dosis obat berdasarkan kondisi umum
pasien dan kemampuan pasien untuk menangani obat yang diberikan,
dikombinasikan dengan penyesuaian penurunan dosis yang berpengaruh
terhadap hati atau gangguan ginjal, dan pengawasan untuk efek yang tak
diinginkan akan meminimalkan risiko penggunaan obat pada pasien
lansia.
c. Resiko Terapi: Sebuah Pertimbangan Khusus bagi Pasien Lansia
Kepatuhan terhadap terapi obat
Meskipun menjadi pertimbangan oleh praktisi klinis perubahan
yang berkaitan dengan usia dan mungkin interaksi antara obat-obat dan
obat-penyakit, manfaat dari obat tidak diperoleh jika pasien tidak
mengonsumsi obat yang diresepkan. Kepatuhan adalah sejauh mana
perilaku pasien sepakat dengan petunjuk yang disediakan oleh dokternya.
Ketidakpatuhan dengan resep obat adalah masalah umum pada pasien
dari segala usia dan tidak hanya terjadi pada pasien lansia (7). Tetapi
karena pasien lansia menggunakan lebih banyak obat dibanding pasien
yang lebih muda, dan ketidakpatuhan meningkat secara proporsional
akibat banyaknya obat yang digunakan, sehingga ketidakpatuhan lebih
umum pada pasien lansia.
Ketidakpatuhan terhadap terapi obat dilaporkan terjadi sebanyak
sepertiga sampai setengah dari pasien lansia. Sekitar satu dari lima resep
tidak ditebus, dan antara sepertiga dan dua pertiga dari pasien melakukan
15
menebus resep. mereka menggunakan obat dalam cara yang berbeda
dari yang dimaksudkan. Beberapa penyebab ketidak patuhan telah
diidentifikasi dan tercantum dalam Tabel 4.
16
Tabel 4. Faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan
Faktor
Umur
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Etnis
Status Keuangan
Keparahan Penyakit
Efektivitas atau toksisitas obat
Kepercayaan oleh pasien bahwa penyakit
yang sedang diderita serius
Kepercayaan oleh pasien bahwa obat akan
mengobati atau mencegah penyakit atau
kondisi serupa
Penjelasan Rinci oleh dokter dari tujuan
penggunaan obat
Jumlah obat yang digunakan
Durasi terapi yang lama
Jadwal konsumsi yang rumit
Penutup Botol obat
Pengaruh ketidakpatuhan
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Meningkat
Meningkat
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
Biaya pengobatan dan jaminan asuransi dapat memengaruhi
kepatuhan dalam berbagai cara. Pasien mungkin tidak membeli obat jika
mereka tidak mampu membayar dengan biaya tunai. Di sisi lain, obat
mahal kadang-kadang dianggap lebih kuat dan lebih memperoleh
manfaat. Jika pasien tidak menebus obat mereka karena manfaat
asuransi mereka, maka kepatuhan terhadap obat yang lebih mahal akan
meningkat.
Salah satu penyebab kepatuhan yakni, penjelasan yang cermat
oleh paramedis mengenai tujuan dari penggunaan obat penting bagi
pasien lansia (8). Komunikasi yang buruk
dengan dokter yang
meresepkan, ditambah dengan penurunan kemampuan kognitif, membuat
pasien lansia sangat rentan terhadap penyalahgunaan obat-obatan.
17
Orang dengan demensia ringan mungkin lupa untuk mengonsumai obat
meskipun
mereka
keluarganya.
ketidakpatuhan
dinyatakan
Bahkan,
mampu
sebagian
mengambil
besar
bentuk
hidup
atau
tanpa
90%
pengawasan
dari
kasus
ketidakterlalupatuhan
atau
mengonsumsi terlalu sedikit dari obat yang diresepkan (9). Alarm untuk
mengingatkan pasien dalam mengonsumsi obat, panggilan pengingat dari
anggota keluarga atau teman, dan tindakan menyediakan obat harian
membantu dalam meningkatkan kepatuhan pasien. Jika memungkinkan,
akan sangat membantu jika meresepkan obat yang dapat diambil lebih
jarang. Bahkan, pasien yang lebih tua dapat mencapai tingkat kepatuhan
setinggi 80% sampai 90% jika mereka diberikan instruksi tertulis dan lisan
dengan jelas, jadwal dosis sederhana, dan berkurangnya jumlah obat
(10).
Komplikasi serius dapat timbul jika dokter salah asumsi bahwa
pasien sudah patuh pada terapi. Ketika obat tampaknya tidak efektif,
dokter sering meningkatkan dosis atau memberikan obat yang lebih kuat.
Perubahan situasi, seperti meningkatnya pengawasan dari lembaga panti
jompo atau anggota keluarga atau rumah sakit, dapat berujung kepada
keracunan.
Masalah lain dari kepatuhan terapi berhubungan peran makanan
dalam penyesuaian obat diuretik dan agen hipoglikemik oral. Awalnya
obat ini sering diresepkan di rumah sakit, di mana makanan pasien dapat
dikontrol dengan ketat. Namun, ketika pasien dipulangkan ke lingkungan
yang kurang mendapat pengawasan di mana ia tidak mematuhi
18
pembatasan konsumsi garam atau karbohidrat, serangan gagal jantung
kongestif atau hiperglikemia mungkin dapat terjadi. Jenis efek samping
merugikan ini dapat dihindari jika obat disesuaikan dengan makanan saat
pasien masih di rumah sakit.
d. Pengetahuan Dasar Mengenai Keamanan dan Efikasi Obat
Terapi obat pada pasien lansia lebih rumit karena banyak faktor
yang unik untuk kelompok usia ini. Beberapa kondisi yang mendukung
seperti, kondisi lingkungan, variasi genetik, dan efek fisiologis dari
penuaan semua berinteraksi satu sama lain untuk mempengaruhi
disposisi obat pada orang tua. Meskipun penggunaan obat yang bijaksana
sangat dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada banyak
penyakit lansia, penggunaan obat yang tepat terhambat oleh kurangnya
data. Meskipun begitu terdapat sedikit data tentang hubungan antara efek
dan bertambahnya usia di tempat kerja obat, dan juga informasi kurang
tentang disposisi obat dan respon obat pada pasien yang sangat tua,
yakni usianya lebih dari 85 tahun (11). Pasien lansia sering menjadi
maksud terapi obat baru, namun biasanya
tidak direkrut untuk
berpartisipasi dalam uji coba obat klinis, sehingga ekstrapolasi pada dosis
dan kemungkinan efek samping obat mungkin sesuai atau mungkin tidak
sesuai.
e. Resiko Reaksi Efek Samping Obat
Reaksi obat yang merugikan didefinisikan sebagai kerugian
langsung yang disebabkan oleh obat. Pasien yang lebih tua berada pada
19
peningkatan risiko menimbulkan reaksi merugikan dari golongan obat
tertentu. Primum non nocere ("pertama tidak membahayakan") adalah
sebuah frase yang berlaku terutama ketika meresepkan obat untuk orang
tua. Reaksi obat merugikan yang paling sering dikonfirmasi adalah
penyakit iatrogenik. Kejadian reaksi obat yang merugikan pada pasien
rawat inap meningkat dari sekitar 10% pada pasien usia 40 sampai 50
tahun dan 25% pada pasien yang lebih tua dari 80 tahun. Dalam prosesi
rawat jalan, Gurwitz dan rekannya (12) menemukan bahwa tingkat
keseluruhan kejadian efek samping obat adalah 50,1 per 1.000 orang
pertahun, dengan tingkat 13,8 efek samping obat dapat dicegah per 1.000
orang pertahun. Dari kejadian efek samping obat, 578 (38,0%)
dikategorikan serius, mengancam jiwa, atau fatal; 244 (42,2%) dari
peristiwa yang lebih parah dianggap dapat dicegah. Kesalahan yang
terkait dengan reaksi efek samping obat dapat dicegah pada tahap
peresepan dan pengawasan, namun kejadian efek samping obat yang
berhubungan dengan kepatuhan pasien juga masih umum. Obat
kardiovaskular,
diuretik,
analgesik
nonopioid,
hypoglycemics,
dan
antikoagulan adalah golongan obat yang paling umum terkait dengan
kejadian obat yang dapat dicegah. Di panti jompo, Gurwitz dan rekan (13)
menemukan bahwa tingkat keseluruhan kejadian efek samping obat
adalah 9,8 per 100 penduduk/bulan, dengan tingkat 4,1 dapat efek
sampingnya dicegah per 100 penduduk/perbulan. Kesalahan yang terkait
dapat dicegah terjadi pada tahap pemesanan dan pemantauan terapi.
20
Banyak obat yang biasa diresepkan untuk pasien lansia berpotensi
mengancam hidup atau bisa juga meniadakan reaksi merugikan (Tabel
5). Obat kardiovaskular dan psikotropika adalah agen paling sering
dikaitkan dengan efek samping yang serius pada orang tua. Fakta ini
berasal dari kombinasi jendela terapi yang sempit, perubahan fisiologis
akibat bertambahnya usia seperti berkurangnya ekskresi ginjal dan durasi
lama terapi, dan pengaruh pasien lansia terhadap reaksi yang merugikan
obat. Dalam uji coba klinis obat umumnya tidak diuji dalam populasi yang
pada akhirnya akan menerima obat tersebut (seperti, pasien yang lebih
tua dengan satu atau penyakit yang lebih serius), rasio risiko dan manfaat
kebanyakan obat tidak jelas pada pasien lansia. Reaksi obat yang
merugikan sering tidak diketahui karena gejalanya tidak spesifik atau
meniru gejala penyakit lain. Seringkali obat lain yang diresepkan untuk
mengobati gejala-gejala ini, menyebabkan dikeluarkan resep polifarmasi
dan meningkatkan kemungkinan reaksi obat yang merugikan. Efek ini
dapat diperparah ketika pasien mengunjungi beberapa dokter yang
meresepkan obat berbeda satu sama lain. Obat-obatan yang umumnya
diresepkan untuk pasien lansia dan berinteraksi satu sama lain dijelaskan
pada Tabel 6.
Tabel 5. Contoh reaksi obat yang merugikan
Jenis Obat
 Aminoglycosides
 Antiarrhythmics
 Anticholinergics
 Antipsychotics
Efek samping umum
 Gagal ginjal, gangguan pendengaran
 Diare (quinidine); retensi urin
(Disopyramide)
 Mulut kering, konstipasi, retensi urin,
delirium
 Delirium, sedasi, hipotensi, gangguan
21
 Diuretics

 Narcotics
 Sedative-hypnotics


gerakan ekstrapiramidal
Dehidrasi, hiponatremia, hipokalemia,
inkontinensia
Sembelit
Sedasi berlebihan, delirium, gangguan
gait
Tabel 6. Contoh potensi interaksi obat-obat yang penting
Contoh
Antasida dengan
digoxin, isoniazid
(INH), dan antipsikotik
Interaksi
Mengganggu
penyerapan obat
Efek Potensial
Efektivitas obat
menurun
Simetidin dengan
propranolol, teofilin,
fenitoin (Dilantin)
Perubahan
metabolisme
Penurunan klirens obat,
peningkatan risiko
toksisitas
Lithium dengan
diuretik
Perubahan ekskresi
Peningkatan risiko
toksisitas dan
ketidakseimbangan
elektrolit
Oral warfarin dengan
hipoglikemik, aspirin,
chloral hydrate
Pergeseran ikatan
protein
Peningkatan efek dan
risiko toksik
Meskipun terdapat asosiasi mengenai meningkatnya reaksi obat
yang merugikan dengan usia yang lebih tua, namun banyak penelitian
belum bisa menunjukkan efek tersebut bergantung usia. Apa yang
diketahui adalah bahwa polifarmasi berkorelasi kuat dengan kejadian
reaksi obat yang merugikan dan, seperti yang disebutkan sebelumnya,
pasien yang lansia mengonsumsi obat lebih banyak daripada rekan-rekan
mereka yang lebih muda. Pasien lansia juga memiliki karakteristik yang
membuatnya rentan pada reaksi obat yang merugikan. Diantaranya
keparahan penyakit, beberapa komorbiditas, ukuran tubuh yang lebih
22
kecil, perubahan metabolisme hati dan ekskresi ginjal, dan reaksi dengan
obat sebelumnya. Reaksi merugikan yang paling umum pada pasien
lansia adalah penggeseran obat dari ikatan protein dengan obat lain yang
lebih kuat terikat dengan protein, induksi atau inhibisi metabolisme obat
lain, dan efek aditif dari obat yang berbeda pada tekanan darah dan fungsi
mental . Selain itu, beberapa obat juga berinteraksi dengan kondisi medis
yang dialami pasien lansia sehingga terjadi interaksi "obat-penyakit" (Tabel
7Tabel
7). Paramedis tidak hanya harus memiliki pengetahuan
mendalam mengenai efek samping obat, reaksi merugikan obat, dan
potensial interaksi obat yang pada pasien lansia; mereka juga harus
menanyakan pasien mengenai efek samping yang umum dialami, ketika
mereka melakukan monitoring.
Tabel 7. Beberapa Interaksi penting Obat- Penyakit pada Pasien
Lansia
Penyakit
Obat
Efek Merugikan
Kelainan konduksi
jantung
Antidepressan Trisiklik
Heart blok
PPOK
β-Bloker, Opiat
Bronkokontriksi,
depresi pernafasan
Kerusakan kronis
ginjal
AINS, Aminoglikosida
Gagal Ginjal Akut
Gagal Jantung
Kongestif
β-Bloker, verapamil
Dekompensasi
jantung akut
Dementia
Obat Psikotropik,
levodopa, agen
antiepileptic
Meningkatkan
Kebingungan, delirium
Depresi
β-Bloker,
antihipertensi kerja
sentra, alkohol,
Presiptasi atau
exaserbasi pada
23
benzodizepin,
kortikosteroid
depresi
Diabetes Melitus
Diuretic, prednisone
hiperglikemia
Glaucoma
Obat antimuskarinik
Glaucoma akut
Hipertensi
AINS
Meningkatnya tekanan
darah
Hypokalemia
Digoxin
Aritmia jantung
Ulkus peptikum
AINS, antikoagulan
Pendarahan Lambung
Penyakit pembuluh
darah perifer
β-Bloker
Intemitten klaudisasi
Prostatik hyperplasia
Agen antimuskarinik
Retensi urin
f. Terapi Obat yang “Tepat” pada Pasien Lansia
Pada tahun 1991, Beer dan rekan-rekan mengembangkan sebuah
daftar obat yang disusun oleh kelompok multidisiplin ahli pada bidangnya
tentang obat yang tidak boleh digunakan secara rutin oleh pasien
lansia.Obat ini dikenal sebagai "Daftar Beer" yang memuat bahan-bahan
obat yang berpotensi menimbulkan masalah pada pasien lansia (14)
(Tabel
8). Bahan obat yang dimaksud termasuk didalamnya obat
penghilang rasa sakit tertentu, benzodiazepin kerja panjang, agen
antikolinergik, agen antihipertensi. Setiap pasien kemungkinan dapat
mentolerir satu atau lebih dari agen ini, terutama dalam pengaturan
penggunaan jangka panjang; Namun, jika terapi obat baru dimulai pada
pasien lansia , "Daftar Beer" dapat membantu mengidentifikasi guna
menghindari bahan ini sebagai terapi lini pertama.
Tabel 8. Obat-obat yang termasuk Daftar Beer
24
25
26
27
28
29
30
31
g. Obat pelengkap dan alternatif
Penggunaan obat-obatan pelengkap dan alternatif (Complementary
and alternative medications / CAM) meningkat pada pasien lansia. Dalam
laporan
terbaru,
hampir
dua
pertiga
pasien
lansia
rawat
jalan
menggunakan setidaknya satu bentuk CAM, tetapi penggunannya bukan
atas saran dokter. CAM berkaitan dengan beberapa efek samping (Tabel
9) dan terdapat interaksi antara obat dengan CAM dan dengan terapi
obat-obat yang biasa digunakan untuk pasien lansia (Tabel 10). Riwayat
pengobatan pada pasien lansia juga harus mencakup penyelidikan
penggunaan CAM (15,16).
Tabel 9. Potensi efek samping dari obat herbal dan kandungan
utamanya
32
Tabel 10. Interaksi potensial antara tumbuh-tumbuhan dan obatobatan bebas
33
34
II.8. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi
berikut
ini
adalah
lima
klasifikasi
pada
lansia
berdasarkan Depkes RI (2003) y terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu
seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang yang
berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan
barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60
tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan),
kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam
dkk, 2008).
Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009):
1.
Masa balita
= 0 - 5 tahun,
2.
Masa kanak-kanak
= 5 - 11 tahun.
3.
Masa remaja Awal
=12 - 1 6 tahun.
4.
Masa remaja Akhir
=17 - 25 tahun.
5.
Masa dewasa Awal
=26- 35 tahun.
35
6.
Masa dewasa Akhir
=36- 45 tahun.
7.
Masa Lansia Awal
= 46- 55 tahun.
8.
Masa Lansia Akhir
= 56 - 65 tahun.
9.
Masa Manula
= 65 - sampai atas
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia
menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia
(elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat
tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo
(2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut
usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai
penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok
bagi kehidupannya sehari-hari. Saparinah ( 1983) berpendapat bahwa
pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai
tahap praenisium pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan
daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan
demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya. Demikian
juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No.4
tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa
yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun
ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang tersebut menyatakan
bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas. Namun
demikian masih terdapat perbedaan dalam menetapkan batasan usia
seseorang untuk dapat dikelompokkan ke dalam penduduk lanjut usia.
36
Dalam penelitan ini digunakan batasan umur 56 tahun untuk menyatakan
orang lanjut usia.
II. 9 Konversi dosis usia lansia
Usia orang lanjut usia dan keadaan fisiknya sudah mulai menurun,
pembagian dosisnya harus lebih kecil dari dosis maksimum. Dapat
dikonversikan ke dalam (17) :
a. 60-70 tahun
: 4/5 dosis dewasa
b. 70-80 tahun
: 3/4 dosis dewasa
c. 80-90 tahun
: 2/3 dosis dewasa
d. 90 tahun keatas
: 1/2 dosis dewasa
37
BAB III
KESIMPULAN
Penting bagi penyedia layanan kesehatan untuk menyadari isu-isu
dalam menggunakan terapi obat pada pasien lansia, karena pasien lansia
adalah pasien yang paling rentan terhadap efek samping obat. Meskipun
untuk pengambilan keputusan klinis pada terapi obat untuk pasien lansia
diperlukan lebih banyak data, namun beberapa pertimbangan sederhana
dapat membuat penggunaan obat lebih aman dan lebih efektif. Perhatian
lebih kepada faktor-faktor yang memiliki efek besar pada peningkatan
kualitas hidup, penggunaan obat, dan keseluruhan biaya perawatan
kesehatan pada populasi rentan ini.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Cusack BJ: Pharmacokinetics in older persons. Am J Geriatr
Pharmacother 2004;2:274-302.
2. Wilkinson GR: Drug metabolism and variability among patients in drug
response. N Engl J Med 2005;352:2211-2221.
3. Ray WA, Murray KT, Meredith S, et al: Oral erythromycin and the risk of
sudden death from cardiac causes. N Engl J Med 2004;351:10891096.
4. CYP3A and drug interactions. Med Lett Drugs Ther 2005;47:54-55.
5. Drusano GL, Munice HL Jr, Hoopes JM, et al: Commonly used methods
of estimating creatinine clearance are inadequate for elderly
debilitated nursing home patients. J Am Geriatr Soc 1988;36:437441.
6. Nolan L, O’Malley K: Prescribing for the elderly. Part I: Sensitivity of the
elderly to adverse drugreactions. J Am Geriatr Soc 1988;36:142149.
7. Osterberg L, Blaschke T: Adherence to medication. N Engl J Med
2005;353:487-497.
8. Becker MH: Patient adherence to prescribed therapies. Med Care
1985;23:539-555.
9. Cooper JK, Love DW, Raffoul PR: Intentional prescription onadherence
(noncompliance) by the elderly. J Am Geriatr Soc 1982;30:329333.
10. Black DM, Brand RJ, Greenlick M, et al: Compliance to treatment for
hypertension in elderly patients: The SHEP pilot study. Systolic
Hypertension in the Elderly Program. J Gerontol 1987;42:552-557.
11. Gurwitz JH, Col NF, Avorn J: The exclusion of the elderly and women
from clinical trials in acute myocardial infarction. JAMA
1992;268:1417-1422.
12. Gurwitz JH, Field TS, Harrold LR, et al: Incidence and preventability of
adverse drug events among older persons in the ambulatory
setting. JAMA 2003;289:1107-1116.
13. Gurwitz JH, Field TS, Judge J, et al: The incidence of adverse drug
events in two large academic long-term care facilities. Am J Med
2005;118:251-258.
39
14. Fick DM, Cooper JW, Wade WE, et al: Updating the Beers criteria for
potentially inappropriate medication use in older adults: Results of
a U.S. consensus panel of experts. Arch Intern Med
2003;163:2716-2724.
15. Cohen RJ, Ek K, Pan CX: Complementary and alternative medicine
(CAM) use by older adults: A comparison of self-report and
physician chart documentation. J Gerontol A Biol Sci Med Sci
2002;57:M223-M227.
16. de Smet PA: Herbal remedies. N Engl J Med 2002;347:2046-2056.
17. Syamsuri, Apt. 2002. Ilmu Resep.penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.
40
HASIL DISKUSI
1. Bagaimana penanganan bagi pasien geriatric yang mengalami tekanan
hidup, sehingga mengalami depresi dan harus diterapi dengan
antipsikotik ?
Jawab :
Untuk masalah diatas kita tidak memiliki wewenang dalam
penanganan
tekanan
hidupnya.
Seorang
apoteker
hanya
bias
menyarankan untuk segera mengkonsultasikan ke psikiater, kecuali
untuk obat-obatnya kita harus memberikan penjelasan bagaimana
dalam penggunaannya.
2. Apa yang harus dilakukan seorang apoteker agar mencapai terapi yang
baik pada pasien geriatric
Jawab :
Sebaiknya sebagai seorang apoteker, kita harus memperbaiki
komunikasi dengan pasien apalagi dengan kondisi geriatric. Selain
menjelaskan masalah penggunaaan obat yang baik, kita juga harus
memberikan perhatian yang khusus kepada pasien tersebut, jika perlu
lakukan kunjungan ke rumah pasien untuk memantau penggunaan dan
keberhasilan terapinya.
3. Bagaimana mekanisme dari metabolisme fase I dan fase II?
Jawab :
Metabolisme Fase I melibatkan oksidasi, reduksi, dan hidrolisis
obat dan metabolisme Fase II melibatkan glukuronidasi, sulfasi,
asetilasi, dan metilasi. Metabolisme Fase I dikatalisis terutama oleh
sistem sitokrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma halus di sel
hati. Enzim CYP adalah superfamili dari enzim pemetabolisme obat
mikrosomal yang penting dalam biosintesis dan degradasi senyawa
endogen seperti steroid, lipid, dan vitamin, serta metabolisme obat yang
41
paling umum digunakan. Aktifitas Metabolisme Fase I menurun secara
drastis pada lansia. Obat-obatan yang dimetabolisme melalui fase I
akan memiliki waktu paruh yang diperpanjang akibat lansia.
Metabolisme
hati
Fase
II
melibatkan
konjugasi
obat
atau
metabolitnya menjadi senyawa organik. Eliminasi obat yang mengalami
metabolisme fase II melalui proses konjugasi (seperti, asetilasi,
glukouronidasi, sulfatisi, dan konjugasi glisin) umumnya sedikit berubah
pada lansia. Dengan demikian, obat yang hanya memerlukan
metabolisme fase II untuk diekskresi (misalnya, triazolam) tidak
mengalami perpanjangan waktu paruh pada pasien lansia. Obat ini
kontras dengan obat-obatan seperti diazepam yang mengalami kedua
fase metabolisme dan memiliki metabolit intermediate yang aktif.
Meskipun pengaruh penuaan pada metabolisme obat di hati bevariasi,
namun metabolisme fase I adalah proses yang paling mungkin
berkurang pada lansia.
4. Apa hubungan umur dengan kepatuhan pasien pada pasien geriatric
dan apa saja yang mempengaruhi kepatuhan pasien?
Jawab :
Umur dikatakan tidak berpengaruh pada kepatuhan pasien
karena hal ini dapat ditanggulangi dengan memberikan keprcayaan
kepada
eluarga
untuk
selalu
mendampingi
si
pasien
dalam
menggunakan obatnya, disamping itu peran seorang apoteker untuk
selalu memonitoring goal terapinya. Beberapa factor di bawah ini yang
dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, adalah :
Faktor
Umur
Pengaruh ketidakpatuhan
Tidak ada Pengaruh
42
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Etnis
Status Keuangan
Keparahan Penyakit
Efektivitas atau toksisitas obat
Kepercayaan oleh pasien bahwa penyakit
yang sedang diderita serius
Kepercayaan oleh pasien bahwa obat akan
mengobati atau mencegah penyakit atau
kondisi serupa
Penjelasan Rinci oleh dokter dari tujuan
penggunaan obat
Jumlah obat yang digunakan
Durasi terapi yang lama
Jadwal konsumsi yang rumit
Penutup Botol obat
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Tidak ada Pengaruh
Meningkat
Meningkat
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
5. Apa prinsip pengobatan pada pasien lansia ?
Jawab :
Tidak ada perbedaan prinsip pengobatan antara lansia dengan
pasien yang masih muda. Namun perlu digarisbawahi bahwa seorang
pasien lansia harus diberikan perhatian khusus terutama dalam
kepatuhannya menggunakan obat untuk mencapai efek terapi yang
diharapkan.
6. Tidak semua penyakit pada pasien lansia disebabkan karena fungsi
organnya yang menurun tapi bisa saja karena penyakit yang sejak
muda di derita, bagaimana penanganannya jika diberikan obat
polifarmasi?
Jawab :
Pemberian polifarmasi pada pasien geriatric sebisa mungkin dihindari.
Mengingat fungsi fisiologis yang semakin menurun, sehingga kemampuan
metabolism fase I maupun fase II yang tidak sempurna. Beberapa
perubahan
ini
mengubah
farmakokinetik,
dimana
bagi
para
ahli
farmakologi dan klinisi, perubahan yang terpenting dari segala perubahan
43
tadi ada penurunan fungsi ginjal. Beberapa perubahan serta penyakit
yang menyertai lainnya dapat mengubah karakteristik farmakodinamik
obat tertentu pada beberapa pasien.
7. Apa saran anda pada penggunaan obat pelengkap ?
Jawab :
Penggunaan obat-obatan pelengkap
dan
alternatif
(Complementary and alternative medications / CAM) meningkat pada
pasien lansia. Dalam laporan terbaru, hampir dua pertiga pasien lansia
rawat jalan menggunakan setidaknya satu bentuk CAM, tetapi
penggunannya bukan atas saran dokter. Namun perlu diketahui bahwa
penggunaan CAM bias saja terjadi efek samping seperti
dan terdapat interaksi antara obat dengan CAM dan dengan
terapi obat-obat yang biasa digunakan untuk pasien lansia, seperti
44
Download