Media Kedokteran Hewan Vol. 23, No. 3, September 2007 Perlakuan Tripsin dan Pronase terhadap Perkembangan Embrio Mencit yang Dicemari dengan Escherichia coli K99 Trypsin and Pronase Treatment on the Development of Mouse Embryos Contaminated by K99 Escherichia coli I Wayan Batan 1, Arief Boediono 2, Ita Djuwita2, Bibiana Widiati Lay 3, dan Supar4 1Bagian Klinik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jalan Raya Sesetan Gang Markisa 6 Denpasar Bali 80232. Telp./Fax. 0361-8423062 2Dept Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, 3Dept Ilmu Penyakit Hewan F KH IPB, Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 4Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. Martadinata No 30, Bogor 1611 email : [email protected] Abstract The objectives of this studies wer e to investigate the effect of washing on development of embryos wich experimentally exposed with K99 E.coli. The embryos were exposed to K99 E.coli in appropriate amount of 10 3 CFU/ml and then incubated at 37 0C for an hour, then they were devided into three groups. The first group were washed with mPBS and KSOM, the se cond group of embryo were treated with trypsin for 90 second, the third group were treated with pronase for 60 second. Each group of the embryos were washed 6 times in mPBS and 4 times in KSOM, Thereafter, the embryos were cultured in the drops of KSOM wit hout antibiotic and incubated in incubator 5% CO 2 at 370C. The development embryos were observed every six hours interval for 48 hours period. The result of this studies showed that the development of pronase treated embryos were better than that of the mPBS washing and the trypsin treated. In conclussion of the present studies show that the development of embryos could be influenced by the K99 E.coli contaminated medium. Trypsin and pronase treatment could minimize the negative effect of K99 E.coli on embryos under in vitro conditions. Key words: embryos, K99 E.coli, contaminated, trypsin, and pronase Pendahuluan Banyak agen penyebab penyakit dapat ditular kan atau mencemari embrio pada percobaan -percobaan manipulasi embrio, seperti virus blue tongue, virus penyakit mulut dan kuku, bovine herpes virus-1, bovine viral diarrhea (Vanroose, 1999; Stringfellow dan Givens, 2000; Kafi et al., 2002); bakteri Leptospira borgpetersenii (Bielanski dan Surujballi 1996), dan Escherichia coli K99 (Otoi et al., 1993). E.coli K99 merupakan bakteri penting karena menyebabkan diare yang mematikan pada anak sapi (Supar dkk., 1998). Bakteri tersebut dapat ditularkan terutama melalui per oral. Di samping itu, Mycoplasma bovigenitalium dapat mencemari embrio (Bielanski et al., 2000), demikian halnya parasit Trichomonas foetus (Bielanski et al., 2004). Pencegahan penularan mikroorganisma pada embrio, dapat dilakukan dengan cara mencuci embrio 161 dengan suspensi pencuci dan memberikan perlakuan tripsin untuk melepaskan mikroorganisme yang masih melekat pada embrio (Stringfellow dan Seidel, 1990). Namun demikian, dalam praktek perlakuan pencucian tersebut, kurang efektif untuk mengelimi nasi mikroorganisma kontaminan. Otoi et al. (1993) melaporkan bahwa pencemaran bakteri E.coli K99 pada embrio dan diberikan perlakuan pencucian di samping perlakuan tripsin seperti yang disarankan oleh The International Embryos Transfer Society (Stringfellow dan Seidel, 1990), akan tetapi E.coli K99 masih dapat terdeteksi setelah perlakuan tersebut. Enzim pronase adalah protease yang umum dipakai untuk menghilangkan zona pelusida. Oleh karena itu pengaruh perlakuan pronase diberikan hanya dalam waktu yang singkat terhadap embrio yang dicemari dengan E.coli K99. Dengan perlakuan pronase, dapat melepaskan bakteri E.coli K99 di Batan; Perlakuan Tripsin dan Pronase terhadap Perkembangan Embrio Mencit yang … permukaan zona pelusida yang dilekati oleh bakteri tersebut, namun tidak merusak zona pelusida. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan pronase untuk melepaskan ikatan E.coli K99 dari permukaan zona pelusida. Di samping itu untuk mengetahui efektifitas pronase untuk menyingkirkan bakteri E.coli K99 yang melekat pada permukaan embrio. Metode Penelitian Embrio Mencit betina berumur delapan minggu yang berasal dari koloni bebas penyakit dirangsang foli kulogenesisnya dengan menyuntikkan hormon pregnant mare’s serum gonadotropine (Folligon, Intervet, Boxmeer, Holland) 5 IU secara intraperitoneum pada pukul 16.00, dan diikuti dengan penyuntikan human chorionic gonadotropine (Chorulon, Intervet, Boxmeer, Holland), 5-IU hormon 48 jam pasca pemberian PMSG. Segera setelah pemberian hCG, mencit betina tersebut di kawinkan dengan mencit pejantan dengan perban dingan 1:1 (Hogan et al., 1994). Tiga hari kemudian mencit betina yang telah bunting tersebut dikorban kan nyawanya dengan cara melakukan dislokasio os aksis tulang leher. Bagian oviduk atau tuba falopii diisolasi dan ditempatkan pada medium mPBS. Tuba falopii dicacah menggunakan jarum suntik 26G. Sambil diamati di bawah mik roskop, embrio delapan sel atau morula yang dipanen, dicuci berturut -turut 23 kali dengan cara merendamnya ke dalam larutan PBS yang mengandung BSA 3% atau mPBS, tanpa antibiotik (Otoi et al., 1992). Penyiapan Bakteri E.coli K99 Bakteri E.coli diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Bakteri E.coli K99 tersebut diisolasi dari anak sapi. Isolat E.coli dibiakkan semalam dalam media agar Minca plus vitox (Oxoid, UK) pada cawan petri. Setelah inokulasi selanjutnya diinkubasikan pada suhu 370C selama satu malam. Pada suhu tersebut antigen K99 lebih banyak diproduksi dibandingkan dengan suhu di bawah 25 0C (Guinee et al., 1977). Setelah diinkubasi, sel-sel bakteri pada permukaan agar dibilas dengan NaCl fisiologis steril, kemudian sel-sel itu dicuci tiga kali. Sel -sel dipisahkan dengan sentrifugasi 4000 rpm selama 20 menit. Endapan sel dari pencucian terakhir kemudian dibuat suspensi dengan kekeruhan setara dengan tabung standar Mc Farland nomor 10 (Supar, 1986). Pencemaran Embrio dengan E.coli K99 Embrio mencit tahap delapan sel atau morula dibagi kedalam tiga kelompok perlakuan. Sebelum dibagi dalam kelompok embrio tersebut dicemari dengan bakteri E.coli K99 dalam mPBS yang mengan dung bakteri 10 3 CFU/ml dan kemudian diinkubasi selama satu jam dalam inkubator 37 0C. Setelah dicemari dengan bakteri, kelompok I, dibasuh dengan cara memindahkan embrio yang ditempatkan dalam tetesan (drop) mPBS pertama ke kesembilan tetes mPBS yang lain, dalam satu cawan petri plastik (35 mm) yang steril. Larutan mPBS yang dipakai tidak mengandung antibiotik. Embrio tersebut dipindah kan dari tetesan mPBS (50µl) ke tetesan lainnya menggunakan mikropipet steril. Embrio kelompok II (perlakuan dengan tripsin), setelah dicemari dengan bakteri E.coli K99, dimasukkan ke dalam tetesan (50µl) medium mPBS yang mengandung tripsin 0,1% (Trypsin, Sigma, St.Louis), dan ditempatkan dalam tetesan tersebut selama 90 detik. Selanjutnya embrio tersebut dicuci dengan memindahkannya dalam tetesan-tetesan medium mPBS tanpa antibiotik , sebanyak enam kali dan empat kali pada tetesan tetesan KSOM (kalium simplex optimized medium ). Embrio kelompok III (perlakuan dengan pronase), setelah dicemari dengan bakteri langsung dimasukan kedalam tetes mPBS (50µl) yang mengan dung pronase 0,25% (Protease, Sigma, St. Louis). Embrioembrio tersebut berada dalam larutan pronase selama sekitar 60 detik yang sebelumnya dihangatkan hingga ±370C (Vanroose, 1999) dan sambil diamati di bawah mikroskop binokuler, untuk memantau agar jangan sampai zona pelusida meluruh secara keseluruhan akibat kerja enzim pronase yang berlebihan. Setelah itu dibasuh dalam mPBS sebanyak enam kali dan pada tetesan KSOM sebanyak empat kali. Seluruh embrio perlakuan yang telah dicuci tersebut selanjutnya dipindahbiakkan dalam medi um KSOM tanpa antibiotik. Ke dalam setiap tetesan me dium (13 µl) dimasukan paling banyak lima embrio perlakuan. Tetesan-tetesan medium KSOM disiapkan dalam petri plastik 35 mm sreril, kemudian ditutupi dengan mineral oil. Embrio ini dimasukan kedalam inkubator CO 2 5% pada suhu 37 0C, selama 48 jam. Rancangan Percobaan. Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap pola split in time. Perlakuan yang diberikan terhadap embrio tercemar E.coli K99 adalah pencucian dengan mPBS, perlakuan dengan trip sin atau pronase. Pengamatan dilakukan setiap enam jam selama 48 jam. Setiap perlakuan terdiri dari 23 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu embrio. Pencemar E.coli K99 yang diberikan ke seluruh embrio adalah 10 3 CFU/ml dalam mPBS. Parameter yang dievaluasi adalah tingkat perkembangan embrio. Setiap tingkat perkembangan yang dicapai oleh embrio diskor. Perkembangan embrio yang diamati adalah mulai dari tingkat delapan sel, kompak morula, morula (Hogan et al., 1994), blastosis dan blastosis ekspan (Gilbert, 1988). Perhitungan jumlah sel embrio pada tingkat perkembangan tersebut 162 Media Kedokteran Hewan Vol. 23, No. 3, September 2007 (Gilbert 1988; Hogan et al., 1994) dipakai sebagai dasar pemberian skor. Untuk tingkat perkembangan delapan sel, morula, morula kompak, blastosis, dan blastosis ekspan, diberi skor secara berurutan sebagai berikut : 8, 14, 16, 32, dan 64. Jika embrio perlakuan mati selama pengamatan, skor yang diberikan sama dengan skor tingkat perkembangan yang diperoleh sebelum embrio tersebut mati. Data tingkat perkembangan embrio dianalisis dengan sidik ragam meng gunakan program SPSS versi 10:0 . Hasil dan Pembahasan Pengaruh cemaran E.coli K99 terhadap perkembangan embrio mencit setelah dilakukan pencucian dengan mPBS, tripsin, dan pronase ditampilkan pada Tabel 1. Embrio yang mendapatka n perlakuan pencemaran E.coli K99 kemudian dicuci dengan mPBS, tripsin, dan pronase, semuanya berkembang dengan baik selama 48 jam masa pengamatan. Pada semua perlakuan ada embrio -embrio yang setelah dikultur dalam KSOM mampu berkembang sampai ke tingkat hatching bahkan hatched. Namun demikian dari ke tiga perlakuan tersebut, yang dapat mencapai tahapan tersebut, kelompok embrio yang mendapat kan perlakuan pronase menunjukkan persentase cakupan hatched paling besar (Tabel 2). Tingkat perkembangan embrio pad a pengamatan selang waktu tiap enam jam, menunjukkan: bahwa satu jam setelah dicemari dan diinkubasi dalam inkubator 37 0C, tingkat perkembangan embrio pada ke tiga perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 1). Pada pengamatan jam ke-6 dan ke-12 setelah perkembangan embrio pada medium KSOM yang diinkubasi dalam inkubator CO 2 5%, 370C, tidak menunjukkan perbedaan nyata. Pada jam ke -18 setelah inkubasi, tampak mulai adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan embrio antar perlakuan. Pengamatan pada jam ke-18 menunjukkan bahwa embrio yang mendapatkan perlakuan pronase berkembang lebih lambat dibandingkan embrio yang dicuci dengan mPBS dan perlakuan tripsin. Setelah jam ke-24, perkembangan embrio kelom pok perlakuan pronase mengalami perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok embrio yang mendapatkan perlakuan tripsin. Tetapi, pada jam ke-30, justru perkembangan embrio yang mendapatkan perlakuan tripsin lebih baik dibanding kan embrio yang mendapatkan perlakuan lainnya. Selanjutnya pada pengamatan ja m ke-36, ke-42, dan jam ke-48 tingkat perkembangan embrio -embrio yang mendapatkan perlakuan pronase jauh lebih baik dibandingkan dengan embrio -embrio yang dicuci dengan mPBS atau yang mendapatkan perlakuan tripsin (Tabel 1). Pengamatan embrio yang mendapat perlakuan pencemaran E.coli K99 dan dikultur selama satu jam, kemudian dicuci dengan mPBS, tripsin, dan pronase secara berturut-turut dapat dilihat seperti pada Gambar 1A dan 1B. Pada Gambar 1B, terlihat jumlah sel embrio jumlahnya lebih dari delapan sel, tidak seperti pada embrio pada gambar 1A, namun rataan jumlah sel embrio pada awal perlakuan pada ketiga perlakuan jumlah selnya tidak berbeda nyata (Tabel 1). Pada Gambar 1C dan 1D, merupakan gambaran perkembangan embrio pada 24 jam pascainkubasi, dan gambar tersebut menunjukkan pertumbuhan yang mencapai tahap blastosis ekspan, setelah dicuci (sesuai urutan) dengan mPBS, tripsin, atau pronase. Embrio yang dicuci dengan mPBS ada yang berkembang hingga hatching. Tingkat perkembangan embrio yang dicuci dengan mPBS selama inkubasi 24 jam, tidak berbeda nyata dengan pronase, akan tetapi lebih baik dibandingkan dengan embrio yang dicuci dengan tripsin (Gambar 1C). Tabel 1. Skor Perkembangan Embrio Setelah Dicemari E.Coli K99 Kemudian Dibasuh mPBS, Tripsin, d an Pronase Pengamatan pada jam ke : Rataan skor perkembangan embrio pada perlakuan 1 6 12 18 24 30 36 42 48 mPBS Tripsin Pronase 5,12a) 5,12 a) 8,26 ± 5,12 a) 14,42 ± 5,12 a) 16,00 ± 5,12 a) 22,26 ± 5,12 a) 45,91 ± 5,12 b) 64,00 ± 5,12 a) 97,39 ± 5,12 b) 109,91 ± 5,12 b) 132,17 ± 5,12 b) 8,52 ± 13,45 ± 5,12 a) 17,30 ± 5,12 a) 28,52 ± 5,12 b) 45,22 ± 5,12 b) 57,74 ± 5,12 a) 69,57 ± 5,12 a) 94,61 ± 5,12 a) 104,35 ± 5,12 a) 8,52 ± 14,44 ± 5,12 a) 16,00 ± 5,12 a) 27,83 ± 5,12 b) 41,04 ± 5,12 a) 66,78 ± 5,12 b) 82,09 ± 5,12 a) 98,78 ± 5,12 a) 114,09 ± 5,12 a) Keterangan : Dalam satu baris, rataan yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata setelah diuji dengan uji jarak berganda duncan . 163 Batan; Perlakuan Tripsin dan Pronase terhadap Perkembangan Embrio Mencit yang … A B C D E F G Gambar 1 A. embrio tercemar E.coli dicuci tripsin setelah satu jam. B. embrio tercemar E.coli dicuci pronase setelah satu jam. C. embrio tercemar E.coli dicuci tripsin setelah 24 jam. D. embrio tercemar E.coli dicuci pronase setelah 24 jam. E. embrio tercemar E.coli dicuci tripsin setelah 42 jam. F. embrio tercemar E.coli dicuci pronase setelah 42 jam. G. embrio tercemar E.coli dicuci tripsin setelah 48 jam. H. embrio tercemar E.coli dicuci pronase setelah 48 jam. Bar 20µm. 164 Media Kedokteran Hewan Vol. 23, No. 3, September 2007 Tabel 2. Tingkat Perkembangan Embrio Tercemar E.Coli K99 Pasca Perlakuan Pembasuhan, Setelah 48 Jam Inkubasi Perlakuan Jumlah Tahap perkembangan embrio (%) embrio Hatching Hatched Blastosis Blastosis Ekspan Pronase 24 0 (0%) 4 (17%) 11 (46%) 9 (37%) Tripsin 25 1 (4%) 7 (28%) 12 (48%) 5 (20%) mPBS 23 0 (0%) 11 (48%) 7 (30%) 5 (22%) Hasil pengamatan embrio 42 jam pascainkubasi memperlihatkan bahwa embrio dengan perlakuan mPBS dan pronase (Gambar 1F) menunjukkan perkembangan tahap hatching, sedangkan pada perlakuan tripsin menunjukkan tahap perkembangan blastosis ekspan (Gambar 1E). Pada pengamatan 42 jam pascainkubasi tersebut, tingkat perkembangan embrio yang dicuci dengan pronase, nyata berkem bang lebih lanjut dibandingkan yang dicuci dengan mPBS dan tripsin (Tabel 1). Perkembangan embrio 48 jam pascainkubasi, pada embrio yang dicuci pronase mengalami hatched (Gambar 1H), begitu pula yang dicuci dengan mPBS dan tripsin. Namun demikian, kelompok embrio yang memperoleh perlakuan pro nase menunjukkan perbedaan nyata bila dilihat dari rataan skor perkembangan embrio bila diban dingkan dengan perlakuan mPBS dan tripsin (Tabel 1). Berbagai jenis mikroorganisma seperti virus, bakteri, mikoplasma, dan parasit, mampu mencemari embrio. Untuk menekan pengaruh mikro organisma tersebut terhadap embrio, lembaga The International Embryo Transfer Society (IETS) telah mengeluarkan petunjuk baku, yakni dengan pencucian berulang dan memberikan perlakuan tripsin terhadap embrio (Stringfellow dan Seidel, 1990). Pencucian berulangkali seperti yang disyaratkan oleh IETS tidak sepe nuhnya efektif untuk membebaskan embrio dari mikroorganisma, seperti bovine viral diarrhea virus (BVDV), namun pencucian ini mampu menurunkan jumlah virus kontaminan pada embrio (Bielanski dan Jordan, 1996). Hal itu diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Trachte et al. (1998), bahwa perlakuan pencucian dengan mPBS maupun dengan perlakuan tripsin ternyata tidak dapat menghilangkan virus BVD dari permukaan zona pelusida utuh pada embrio sapi. Dari hasil penelitian ini, perlakuan pencucian dengan tripsin, maupun pronase terhadap embrio yang dicemari dengan bakteri E.coli K99 mampu menekan keberadaan bakteri tersebut. Hal ini terbukti dari minimnya akibat yang ditimbulkan pada perkembangan embrio yan g telah dicemari bakteri dan kemudian mengalami perlakuan tripsin atau pronase. Bakteri E.coli biasanya dengan mudah dapat diisolasi pada vagina sapi dara dan dapat menyebab - 165 kan penurunan tingkat keberhasilan kebuntingan, setelah dilakukan embrio transfer nirbedah (non surgical). Adanya bakteri patogen maupun bakteri komensal di dalam saluran reproduksi sangat ber peluang mencemari embrio, sehingga mempengaruhi perkembangannya (Cottel et al., 1996). Infeksi pada saluran reproduksi hewan betina dapat terja di karena mendapat limpahan bakteri dari anus yang ada di atasnya. Embrio dapat mengalami pencemaran atau infeksi oleh mikroorganisma pada saat masih berben tuk ovum karena berkontak dengan jaringan atau cairan folikel ovarium yang mengalami infeksi. Infeksi dapat juga terjadi setelah ovulasi karena di buahi oleh spermatozoa yang tercemari atau ovi duknya mengalami infeksi (Bielanski dan Jordan 1996). Untuk mengatasi cemaran, maka terhadap embrio itu dilakukan pemrosesan berupa pembasuhan atau perlakuan dengan tripsin. Aplikasi perlakuan pem basuhan dalam pemrosesan embrio mudah dilakukan dalam rangkaian produksi embrio, untuk menghi langkan berbagai cemaran patogen secara in vitro, baik yang berasal dari induk berpenyakit maupun embrio yang tercemar (Stringfellow dan Givens 2000). Pada penelitian pencemaran embrio yang dilakukan oleh Otoi et al., (1992; 1993), menunjukkan bahwa embrio sapi yang dicemari dengan E.coli sebanyak 10 9 CFU/ml selama satu jam ternyata tidak dapat dihilangkan dengan pembasuhan dengan tripsin, demikian halnya pencemaran dengan jumlah bakteri 105 CFU/ml selama 18 jam. Dalam penelitian ini, embrio mencit yang dicemari dengan bakteri E.coli K99 sebanyak 10 3 CFU/ml dan diinkubasi selama satu jam mampu disingkirkan dengan per lakuan tripsin dan pronase. Dilaporkan sebelumnya bahwa tripsin dapat dipakai secara efektif menying kirkan atau menginaktivasi patogen -patogen tertentu yang melekat ke permukaan zona pelusida (Stringfellow dan Siedel 1990), tetapi kurang efektif untuk pencucian cemaran E.coli K99, hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi E.coli K99 yang terlalu tinggi. Tripsin merusak reaksi perlekatan mikroorga nisma pada zona pelusida (Otoi et al. 1993). Perlekatan E.coli K99 ke permukaan sel epitel difasilitasi oleh Batan; Perlakuan Tripsin dan Pronase terhadap Perkembangan Embrio Mencit yang … fimbriae (Vazquez et al., 1996), dan perlekatan bakteri tersebut ke permukaan zona pelusida embrio bersifat spesifik (Batan et al., 2006). Reseptor E.coli berdasarkan bobotnya, 19% mengandung asam amino dan 81% karbohidrat. Unsur karbohidratnya terdiri dari glukosa, manosa, galaktosa dan fukosa (Dean dan Isaacson 1985). Sedangkan unsur protein pada reseptor E.coli K99 berdasarkan beratnya terdiri dari tiga unsur, yang memiliki bobot 17 kDa, 29,3 kDa, dan 30,9 kDa (Vazquez et al., 1996). Adanya unsur protein dan karbohidrat inilah yang membuat tripsin mampu mencerna reseptor tersebut. Dalam penelitian pencemaran E.coli K99 ke embrio mencit, semata -mata dilakukan untuk menca ri model, dengan memanfaatkan agen infeksius seperti bakteri E.coli K99 yang melekat pada permukaan zona pelusida dan dapatkah agen -agen tersebut dieliminasi dengan pembasuhan ?. Dilakukan pencemaran E.coli K99 sebanyak 10 3 CFU/ml, menunjukkan bahwa embrio tetap bertahan hidup secara in vitro dalam medium yang dicemari bakteri tersebut selama tiga hari (Batan et al., 2006). Setelah pembuahan oosit oleh spermatozoa, embrio yang terbentuk melintas dalam saluran oviduk menuju uterus. Selama perlintasan tersebut pada permukaan zona pelusida dan ruang perivitelin tertumpuk glikoprotein seperti mu sin yang berasal dari oviduk (Buhi, 2002). Embrio yang melintasi oviduk tersebut mengalami pengerasan ( hardening) zona pelusida. Kejadian tersebut membuat zona pelusida lebih resisten terhadap re aksi kimia dan enzimatik. Namun perubahan resistensi proteoli tik zona pelusida tidak mempengaruhi perlekatan patogen ke permukaannya (Bielanski et al., 2003; Buhi, 2002). Penelitian-penelitian mendalam yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zona pelusida merupakan barier yang efektif guna menahan penetrasi beberapa patogen hewan, dan ada bakteri maupun virus yang mampu melekat erat ke permukaan zona pelusida (Bielanski , 1997). Tingkat perkembangan embrio tercemar E.coli K99 setelah 30 jam diinkubasi menunjukkan skor (57,74) tingkat perkembangan lebih lambat diban dingkan dengan embrio yang diberi perlakuan tripsin (66,78) ataupun pronase (64,00). Selanjutnya tingkat perkembangan embrio yang mendapatkan perlakuan tripsin, tingkat perkembangannya tidak berbeda nyata, tetapi bila dibandingkan dengan embrio yang mendapat perlakuan pronase, lebih lambat. Tingklat perkembangan embrio setelah 48 jam diinkubasi menunjukkan bahwa embrio yang mendapat perlaku an pronase, skor perkembangannya paling tinggi (132,17) dibandingkan kelompok embrio yang men dapat perlakuan tripsin(1 14,09), dan kontrol (104,35) (Tabel 1). Enzim pronase dilaporkan lebih efektif mencerna zona pelusida dibandingkan dengan tripsin. Dalam melakukan pencernaan tersebut enzim pronase menghidrolisis protein ZP1 dan ZP2 dari zona pelusida (Kolbe dan Holtz 2005). Proses pencernaan oleh enzim pronase yang lebih efektif membuat bakteri yang melekat pada permukaan zona pelusida lebih banyak pula yang disingkirkan. Embrio yang mengalami hatched pada perlakuan pronase menunjukkan persentase yang paling tinggi (37%) sedangkan perlakuan tripsin dan kontrol hanya menunjukkan 22% dan 20% (Tabel 2) . Embrio pada stadium blastosis ekspan menghasilkan stripsin suatu bahan sejenis tripsin, pada sel-sel trofoblas yang bersinggungan dengan zona pelusida (Gilbert , 1988), dengan perlakuan tripsin dari luar embrio pada pem basuhan embrio menyebabkan zona pelusida lebih mudah ditembus oleh embrio yang ukurannya terus membesar. Begitu pula dengan enzim pronase, selain menginaktivasi reseptor E.coli (987P) dengan merusak ikatan bagian asam amino dan karbohidrat nya (Dean dan Isaacson, 1985), enzim pronase bekerja mengikis permukaan zona pelusida beserta bakteri E.coli yang melekat padanya, juga mencerna zona pelusida sehingga membuat zona pelusida menipis disamping merapuh. Embrio yang terus berkembang dan meluas akan lebih mudah mendesak zona pelusida, membuat embrio yang mendapat perlakuan pronase paling banyak mengalami hatching dan hatched. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pencucian embrio menggunakan mPBS, tripsin, dan pronase untuk mengeliminasi cemaran bakteri E.coli K99 10 3 CFU/ml tidak mengakibatkan kematian embrio, tetapi dapat menghambat perkembangan bakteri. Pembasuhan dengan pronase 0,25% dalam mPBS merupakan larutan paling efektif untuk menghilangkan bakteri dari permukaan embrio, ditandai dengan tingkat perkembangan embrio yang nyata lebih baik dibandingkan dengan pencucian dengan mPBS dan tripsin. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada BPPS Dikti Depdiknas yang telah m embiayai penelitian ini. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Laboratorium Embriologi FKH Institut Pertanian Bogor di Darmaga, atas ijin yang diberikan untuk memanfaatkan semua fasilitas lab dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, atas bantuan is olat bakteri E.coli K99 dan ijin menggunakan fasilitas laboratorium bakteri. Kepada semua pihak yang telah membantu, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya. 166 Media Kedokteran Hewan Daftar Pustaka Batan IW, Boediono A, Djuwita I, Lay BW, dan Supar. 2006. Pelacakan perlekatan bakteri Escherichia coli K99 pada zona pellucida embrio mencit dengan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA) dan scanning electron microscope (SEM). J. Veteriner. 7: 29-38. Bielanski A. 1997. A review on disease transmission studies in relationship to production of embryos by in vitro fertilization and to related new reproductive technology. Biotech Advance 15: 633-656. Bielanski A, Devenish J, and Phipps-Todd B. 2000. Effect of Mycoplasma bovis and Mycoplasma bovigenitalium in Semen on fertlization and association with in vitro produced morula and blastocyst stage embryo. Theriogenology. 53: 1213-1223. Bielanski A, Ghazi DF, and Phipps-Todd B. 2004. Observation on the fertilization and development of preimplantation bovine embryos in vitro in the p0esence of Trichomonas foetus. Theriogenology. 61: 821-829. Bielanski A, and Jordan L. 1996. Washing or washing and trypsin treatment is ineffective for removal of noncytopathic bovine viral diarrhea virus from bovine oocytes or embryos after experimental viral contamination of an in vitro fertilization system. Theriogenology. 1467-1476. Bielanski A, Lutze-Wallace CL, and Nadin-Davis S. 2003. Adherence of bovine viral diarrhea virus to bovine oocytes and embryos with hardened zona pellucida cultured in vitro. Can J Vet Res 67: 48-51. Bielanski, A and Surujballi O. 1996. Association of Leptospira borgpetersenii serovar hardjo type hardjobovis with bovine ova and embryo produced by in vitro fertilization. Theriogenelogy 46: 45-55. Buhi WC. 2002. Characterization and biolo gical roles of oviduct specific. estrogen-dependent glycoprotein. Reproduction. 123: 355-362. Cottell E, McMorrow J, Lennon B, Fawsy M, Cafferkey M, and Harrison RF. 1996. Microbial contamination in an in-vitro fertilization embryo transfer system. Fertil Steril. 66(5): 776-780. Dean EA, and Isaacson RE. 1985. Purification and characterization of receptor for 987P pilus of Escherichia coli. Infect Immun. 47: 98-105. 167 Vol. 23, No. 3, September 2007 Gilbert FS. 1988. Development Biology . Massachusetts : Sinauer Assoc. Inc. Pub. p. 82-92. Guinee PAM, Veldkamp J, and Jansen WH. 1977. Improved minca medium for detection of K99 antigen in calf enterotoxigenic strains of Escherichia coli. Infect.Immun. 15: 676-678. Hogan BR, Beddington F, Costantini, and Lacy E. 1994. Manipulating the Mouse Embryo a Laboratory Manual. 2nd Ed. Danvers: Cold Spring Harbor Laboratory Press. p. 49. Kafi M, McGowan MR, and Kirkland PD. 2002. In vitro maturation and fertilization of bovine oocyte and in vitro culture of preservative zygotes in the presence of bovine pesti virus. Animal Reprod Sci. 71: 169-179. Kolbe T, and Holtz W. 2005. Differences in protease digestibelity of the zona pellucida of in - vivo and in-vitro derived porcine oocytes and embryos. Theriogenology. 65: 1695-1705. Otoi T, Tachikawa S, Kondo S, and Suzuki S. 1992. Effect of antibiotics treatment of in vitro fertilized bovine embryos to remove adhering . J. Vet. Med. Sci. 54(4): 763 - 765. Otoi T, Tachikawa S, Kondo S, and Suzuki S. 1993. Effect of washing, anti biotic and trypsin treatment of bovine embryos on the removal of adhering K99 Escherichia coli. J Vet Med Sci. 55 (6): 1053-1055. Stringfellow DA, and Givens MD. 2000. Epidemiologic concerns relative to in vivo and in vitro production of livestock embryos . Anim Reprodu Sci. 60-61: 629-642. Stringfellow DA, and Seidel SM (eds). 1990. Manual of the international embryos transfer society : A procedural guide and general information for the use of embryos transfer technology. emphasizing sanitary precautions. Champaign IL , IETS: 1-65. Supar. 1986. Penggunaan metode enzyme -linked immunosorbent assay (elisa) untuk deteksi antigen pili K99 dan K88 pada Escherichia coli dari anak sapi dan anak babi diare. Penyakit Hewan. 32: 159-167. Supar, Kusmiyati, dan Poerw adikarta MB. 1998. Aplikasi vaksin enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) K99, F41 polivalen pada induk sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibasilosis dan kematian pedet neonatal. J. Ilmu Ternak dan Vet. 3(1): 27-33. Batan; Perlakuan Tripsin dan Pronase terhadap Perkembangan Embrio Mencit yang … Trachte ED, Stringfellow, Riddell K, Galik P, Riddell JrM, and Wright J. 1998. Washing and trypsin treatment of in vitro derived bovine embryos exposed to bovine viral diarrhea virus. Theriogenology. 50: 717-726. Vanroose G. 1999. Interaction of bovine herpesvirus -1 and bovine viral diarrhea virus with bovine gametes and in vitro Disertation. Uni. of Gent . produced embryo. Vazquez F, Gonzales EA, Garabal JI, and Blanco J. 1996. Fimbriae Extracts from Enterotoxi genic Escherichia coli Strains of Bovine and Porcine Origin with K99 and/or F41 Antigens. Vet Microbiol. 48: 231-241. 168