(Unbundling) Perusahaan Gas Negara

advertisement
i
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pemisahaan (Unbundling) Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk dalam Pemenuhan Hak Konstitusional Warga
Negara dalam Hal Pemenuhan Kesejahteraan Sosial
Pada pembahasan kali ini, penulis akan mendeskripsikan terlebih
dahulu mengenai penerapan kebijakan unbundling pada industri Gas Bumi
Indonesia secara yuridis selanjutnya akan dipaparkan pula dampak dari
kebijakan unbundiling dalam PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk
terhadap kesejahteran sosial di Indonesia.
1. Keselarasan Penerapan Kebijakan Unbundling Secara Yuridis di
Indonesia
Pasal 33 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa “Cabang - cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasi oleh negara” selanjutnya “Bumi dan air serta kekayaan
yang terkandung didalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat” mengindikasi bahwa
sumber energi startegis seperti halnya gas bumi harus dikuasi negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
sehingga untuk memproteksi hal tersebut pemerintah melalui UndangUndang 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur
mengenai tujuan dan prinsip pengelolaan usaha industri gas bumi. Hal
ini terlihat pada konsideran menimbang cita-cita yang diharapkan dari
aturan ini bahwa:
a. Pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi disegala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis yang
tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan
ii
komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional
sehingga
pengelolaannya
harus
dapat
secara
maksimal
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting
dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan;
d. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan
Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi; dan
e. Dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun
internasional
dibutuhkan
perubahan
peraturan
perundang-
undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat
menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri,
andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan
pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi
dan peranan nasional.
Konsediran menimbang a, b, dan c Undang-Undang Minyak dan
Gas Bumi tersebut meyatakan bahwa gas bumi merupakan sumber daya
energi strategis yang dikuasi negara karna menguasai hajat hidup orang
banyak dan mempunyai peran penting dalam perekonomian nasional,
maka pengelolahaanya harus dilakukan secara maksimal dan untuk
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia,
landasan filosofis ini tentu telah selaras dengan Pasal 33 UUD NRI
Tahun 1945.
Lahirnya UU Migas menandakan restrukturisasi fundamental
pada usaha gas bumi. Undang-Undang Migas tersebut mencabut
iii
Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1971. Restrukturisasi tersebut telah mengubah struktur
industri
energi
yang
semula
terintegrasi
vertikal
(didominasi/dimonopoli oleh perusahaan milik negara) ke struktur yang
terpecah-pecah
(unbundled)
dengan
menumbuhkan
kompetisi,
membentuk Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, menata ulang funsgifungsi pemerintahan dan membentuk peraturan perundang-undangan
yang mendukung pelaksanaan restrukturisasi tersebut. Hal tersebut
dapat dilihat pada tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha Migas yang
diatur dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b UU Migas :
a. Menjamin efektivitas pelakasanaan dan pengendalian kegiatan
usaha eksplorasi dan eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna
serta bedaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas
Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui
mekanisme yang terbuka dan transparan.
b. Menjamin efektivitas pelaksanaaan dan pengendalian usaha
Pengelolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan Niaga secara
akuntable yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan
usaha yang wajar, sehat dan transparan.
Berpedomana pada tujuan tersebut di atas, maka pengusaha Migas
teutama gas bumi dipecah menjadi dua, yaitu Kegiatan Usaha Hulu
yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi dan Kegiatan Usaha Hilir
yang mencakup pengelolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga
sebagaimana dalam Pasal 5 Angka 1 dan 2 UU Migas. Berdasarkan hal
tersebut, maka Badan Usaha yang melakukan pengusahaan migas
disektor hulu dilarang melakukan pengusahaan migas di sektor hilir,
dan sebaliknya badan usaha yang melakukan kegiatan usaha hilir tidak
dapat melakukan kegiatan usaha hulu sebagaimana Pasal 10 Ayat (1)
dan (2). Kedua pasal tersebut mengindikasikan titik awal yang
menyatakan bahwa kegiatan usaha gas bumi Indonesia menganut
sistem pemisahan kegiatan usaha gas bumi (Unbundling) yang dimulai
pada sektor hulu dan hilir.
iv
Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk
kebutuhan dalam negeri dan pembangunan infrastruktur gas bumi
melalui pipa yang padat modal dan beresiko tinggi serta guna
menciptakan iklim investasi bagi Badan Usaha dalam pengusahaan gas
bumi melalui pipa, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha
Gas Bumi Melalui Pipa dimana peraturan turunan ini mengatur
beberapa kebijakan yang cukup signifikan diantaranya berupa
kebijakan pemisahaan (Unbundling) kegiatan usaha gas bumi, hal
tersebut tampak pada Pasal 12 yang Badan Usaha pemegang lzin
Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir dan Hak Khusus
dilarang melakukan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui
Pipa pada Pipa Dedicated Hilirnya. Lebih tegas diatur di Pasal 19 ayat
(1) berbunyi Badan Usaha pemegang lzin Usaha Pengangkutan Gas
Bumi Melalui Pipa dan Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau
Wilayah Jaringan Distribusi dilarang melakukan Kegiatan Usaha Niaga
Gas Bumi Melalui Pipa pada fasilitas pengangkutan Gas Bumi yang
dimiliki dan/atau dikuasainya. Selanjutnya di ayat (2) diatur dalam hal
Badan Usaha pemegang lzin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui
Pipa dan Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan
Distribusi melakukan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa
pada fasilitas pengangkutan Gas Bumi yang dimiliki dan/atau
dikuasainya, wajib membentuk Badan Usaha terpisah dan mempunyai
lzin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa. Aturan tersebut menunjukan
bahwa pemerintah ingin secara tegas memisahkan (unbundling) pada
Kegiatan Usaha Hilir pada sektor usaha niaga dan pengangkutan
(Distribusi dan Transmisi).
Permasalahan yang timbul adalah adanya ketidaklarasan antara
Undang-undang dan peraturan turunannya atau lebih tegasnya adanya
ketidaksingkronan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Mentri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2009 tentang tentang Kegiatan
v
Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, dimana jelasnya akan dijabarkan
kembali dalam tabel perbandingan kedua peraturan tersebut:
Tabel 2 Perbedaan Peraturan Gas Bumi
Versi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi
1. Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi berbunyi :
“Kegiatan Usaha Hilir adalah
kegiatan usaha yang berintikan atau
bertumpu pada kegiatan usaha
Pengolahan,
Pengangkutan,
Penyimpanan, dan/atau Niaga”
Artinya,Undang-Undang
memperbolehkan suatu badan usaha untuk
hanya bergerak di salah satu kegiatan
usaha saja atau memilih melakukan
lebih dari satu dan bahkan semua
kegiatan usaha. (frasa “dan/atau”
dimaknai
oleh
Undang-Undang
Nomor
12 Tahun 2011 tentang
Perancangan Peraturan Perundang
undangan sebagai opsi yang dapat
berupa alternatif sekaligus kumulatif
Versi Peraturan Derivat/Turunan
Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 19
Tahun 2009 tentang Usaha Gas
Melalui Pipa
1. Pasal 19 ayat (1) Peraturan
Menteri Energi Dan Sumber Daya
Mineral Nomor 19 Tahun 2009
tentang Usaha Gas Melalui Pipa:
“Badan Usaha pemegang lzin
Usaha Pengangkutan Gas Bumi
Melalui Pipa dan Hak Khusus
pada Ruas Transmisi dan/atau
Wilayah Jaringan Distribusi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 dilarang melakukan
Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi
Melalui Pipa pada fasilitas
pengangkutan Gas Bumi yang
dimiliki dan/atau dikuasainya”
Artinya, adanya larangan suatu
badan usaha melakukan kegiatan
usaha niaga dan pengangkutan
(distribusi
dan
transmisi)
sekaligus.
2. Pasal 10 ayat (1) (2) dan 23 ayat (3) 2. Selanjutnya pada Pasal 31 huruf c
Undang-Undang Nomor 22 Tahun
berbunyi :
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
“Dalam jangka waktu paling lama
berbunyi:
2 (dua) tahun, Badan Usaha yang
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha
telah melaksanakan Kegiatan
Tetap yang melakukan Kegiatan
Usaha Pengangkutan Gas Bumi
Usaha Hulu dilarang melakukan
Melalui Pipa dan Kegiatan Usaha
Kegiatan Usaha Hilir, Badan Usaha
Niaga Gas Bumi Melalui Pipa
yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir
pada Ruas Transmisi danlatau
tidak dapat melakukan Kegiatan
Wilayah Jaringan Distribusi,
Hulu” selanjutnya “Setiap Badan
wajib membentuk Badan Usaha
Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu)
terpisah
dan
menyesuaikan
Izin
Usaha
sepanjang
tidak
dengan Peraturan Menteri ini”
bertentangan
dengan
ketentuan
vi
peraturan perundang – undangan
yang berlaku”
Artinya, Unbundling pada Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi
diartikan sebagai pemisahaan Badan
Usaha Hulu dan Hilir bukan sektor
Pengangkutan (distribusi dan niaga)
dan Niaga.
Artinya, badan usaha yang
menjalani kegiatan niaga dan
pengangkutan (distribusi dan
transmisi) harus membentuk
badan usaha baru dengan
membuat izin baru
Undang-Undang Migas jelas memberikan gambaran bahwa
pemisahaan (Unbundling) kegiatan usaha hanya sebatas kegiatan usaha
hulu dan hilir atau yang disebut dengan non vertical intergration
sebagaimana Pasal 10 UU Migas pada tabel diatas, lebih tegasnya
kembali disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2) dan (3) UU Migas
menyatakan bahwa:
(2) Izin usaha sebagaimana yang diperlukan untuk kegiatan usaha
Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi Kegiatan Usaha
Hilir dapat dibedakan atas:
a. Izin Usaha Pengelolahan
b. Izin Usaha Pengangkutan
c. Izin Usaha Penyimpanan
d. Izin Usaha Niaga
(3) Setiap Badan Usaha dapat diberikan lebih dari 1 (satu) Izin
Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Secara tekstual tidak ada keharusan memisahkan Kegiatan Usaha Hilir
terlebih bagi usaha niaga dan pengangkutan, tidak ada pasal yang
melarang yang melarang skema bundled pada Kegiatan Usaha Hilir,
frasa ”dapat”dalam Pasal 23 UU Migas tersebut bersifat diskresioner
dalam
Ilmu
Peraturan
Perundang-undangan
sehingga
apabila
menggunakan interprestasi gramatikal pada Pasal 23 UU Migas tidak
dapat dimaknai sebagai kemutlakan harus dilakukannya unbundling
pada Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana Pasal 19 Permen ESDM
vii
Nomor 19 Tahun 2009. (PSE UGM,2014:20). Secara sistematis, Pasal
23 Ayat (3) mengandung kalimat ”dapat diberi” yang dikaitkan dengan
letak pasal yang berada pada bagian pengaturan pemberian ijin, maka
pasal
dimaksud
dimaknai
kebolehan
yang
didasarkan
pada
terpenuhinya persyaratan ijin sekaligus tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, misalnya dengan
undang-undang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
bukan peraturan lebih rendah seperti Permen ESDM karna Pasal
tersebut tidak dimaksud sebagai larangan dan tidak untuk melahirkan
peraturan lebih rendah yang melarang intergrasi usaha tersebut
(bundled).
Kebijakan Unbundling (Pemisahaan) kegaitan usaha niaga dan
pengangkutan gas bumi tersebut juga dianggap tidak sesuai dengan
kondisi regulasi saat ini, menurut best practice ada empat pengelolaan
kegiatan gas bumi yang bisa dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 9. Empat model tahapan pengelolaan gas bumi yang dianggap sebagai best practice
dunia dan Ilustrasi ketimpangan kondisi regulasi dan kondisi bisnis di Indonesia (Sumber: PGN)
Kedua model tersebut dapat dibedakan berdasarkan gambar dibawah
ini:
viii
Gambar 10.Model Persaingan dalam Produksi Gas Bumi (Sumber:BPH
Migas)
Gambar 11.Model unbundling dan Persaingan Usaha (Sumber:BPH Migas)
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) (2) dan 23 ayat (3) UU Migas yang
keadaan tata kelola gas bumi di Indonesia merupakan model persaingan
dalam produksi gas bumi karena unbundling masih pada tahap
pemisahaan hulu dan hilir saja sebgaimana Gambar 10, pada gambar
tersebut sektor hilir masih dilakukan oleh satu perusahaan gas bumi
yang berperan sebagai transporter dan distribusi gas bumi ke konsumen,
berbeda dengan peraturan derivate/turunan menurut best practice isi
kebijakan Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tersebut mengarah
pada Model Unbundling dan Persaingan Retail yang mana adanya akses
pihak ketiga meliputi industri transmisi dan distribusi, sehingga seluruh
konsumen dapat memilih dengan bebas pemasok gas bumi seperti yang
terlihat pada gambar 11 diatas. Tentunya kondisi bisnis yang terdapat
pada UU Migas tidak sesuai dengan kondisi regulasi Permen ESDM
Nomor 19 Tahun 2009 sehingga kerancuan dalam Peremen ESDM
tersebut seharusnya diselarasakan terlebih dahulu dengan kondisi bisnis
ix
yang terdapat pada UU Migas atau justru merubah tata kelola UU Migas
terlebih dahulu.
Pemberlakuan Unbundling yang terdapat pada Permen ESDm juga
mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang mana
kemudian diperjelas Pasal 3 huruf e dalam Permen ESDM Nomor 19
Tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam rangka ”memberikan
kesempatan yang sama bagi semua Badan Usaha Niaga dan/atau
Pengangkutan
Gas
Bumi
melalui
pipa”
artinya
tujuan
pemberlakuannya kebijakan unbundling dalam rangka mendorong
perasaingan usaha yang sehat dan meningkatkan mutu pelayanan.
Pengaturan ini juga mempunyai maksud agar tidak terjadi pemusatan
kekuatan ekonomi dan menghindari Badan Usaha terlebih bagi Badan
Usaha yang bergerak pada sektor niaga dan pengangkutan melalui pipa
gas bumi untuk tidak memiliki posisi dominan (monopoli) pada suatu
pasar bersangkutan. Dalam konteks Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat masih dimungkinkan adanya pelaksanaan monopoli atau
pemusataan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang
banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara,
sepanjang monopoli atau pemusataan kegiatan tersebut diatur dengan
Undang-Undang dan pelaksanaanya dilakukan oleh Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan atau lembaga yang dibentuk oleh pemerintah
sebagai mana bunyi Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha.
Salah satu perusahaan negara diberikan kewengan bersifat
monopoli, khususnya dalam melakukan pengusahaan gas bumi melalui
pipa adalah PT Perusahaan Gas Negara (Persero)Tbk. PT PGN
merupakan badan usaha hilir gas bumi yang bergerak pada sektor niaga
dan pengangkutan yang mencakup distribusi maupun transmisi gas
bumi hingga kini PT PGN telah menguasai 6.000 km pipa gas Indonesia
x
dan memasok gas lebih dari 767 MMScfd per tahun bagi sektor industri,
komersial dan rumah tangga sehingga wajar PT PGN merupakan salah
satu perusahaan negara yang diperbolehkan melakukan moonopoli
karna mendistribusikan kebutuhan hajat hidup orang banyak yaitu gas
bumi terlebih negara memiliki aset sebesar 56.97% pada PT PGN yang
menjadikannya semakin jelas bahwa PT PGN merupakan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) sebagaimana Pasal 1 Angka 1 dan 2 UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
bahwa ”yang disebut dengan Badan Usaha Milik Negara adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara
melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan dan yang mana terbagi dalam saham yang seluruh atau
paling sedikit 51% sahamnya dimiliki Negera Republik Indonesia”
apabila dikaitkan dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yang menyatakan:
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai
hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara atau bdan atau lembaga yang dibentuk
atau ditunjuk oleh pemerintah
Hal ini berarti PT PGN diperbolehkan dalam melakukan monopoli
sehubung dengan kegaitannya yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak dan merupakan Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk
atau ditunjuk oleh pemerintah sejak 1945 melalui Jawatan Listrik
Jawatan Listrik dan Gas dibawah Departemen Pekerjaan Umum dan
Tenaga (PGAS business presentation, 2015:2-5).
Tujuan dari kebijakan Unbundling dalam rangka mengacu pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat), yang kemudian
diperjelas Pasal 3 huruf e dalam Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009
tersebut menyebutkan bahwa dalam rangka ”memberikan kesempatan
xi
yang sama bagi semua Badan Usaha Niaga dan/atau Pengangkutan
Gas Bumi melalui pipa” nyatanya tidak selaras dengan UU Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perusahaan
negara seperti PT PGN yang secara kebetulan bergerak pada bidang
niaga dan pengangkutan akan menjadi korban dalam perberlakuan
kebijakan ini padahal bagi BUMN seperti PT PGN diperbolehkan untuk
dilakukannya
kegiatan
monopoli
sepanjang
kegiatan
tersebut
menyangkut hajat hidup orang banyak dan badan usaha tersebut
dibentuk oleh pemerintah sebagaimana Pasal 51 UU c, sehingga antara
tujuan dari kebijakaan Unbundling dalam Permen ESDM yang
memisahkan kegiatan niaga dan pengangkutan dalam rangka
persaingan usaha tidak sejalan dengan UU Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. Dampak Kebijakan Unbundling bagi PT Perusahaan Gas Negara
Tbk Terhadap Kesejahteraan Sosial.
Kebijakan unbundling (pemisahaan) pada Kegiatan Usaha Hilir
pada usaha niaga dan pengangkutan sebagaimana Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2009 tentang Usaha
Gas Melalui Pipa tentu memberikan dampak signifikan terhadap badan
usaha gas bumi, terlebih untuk diterapkan terhadap usaha yang
sebelumnya terintergrasi namun kemudian harus dipisah, seperti halnya
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PT PGN) sebagai Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak pada sektor niaga sekaligus pengangkutan gas
bumi tentu sangat dirugikan dengan adanya peraturan tersebut, sebagai
pemilik jaringan pipa distribusi terbesar di Indonesia yaitu sepanjang
6.000 km yang menjangkau semua lapisan masyarakat mulai sektor
transportasi, pembangkit listrik, industri, serta rumah tangga.
Dua kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT PGN yaitu
Pengangkutan melalui pipa yang terdiri dari Distribusi dan Transmisi
dan Niaga yang meruoakan kegiatan komersial, agar lebih jelas akan
dijabarkan
pada
table
dibawah
ini
xii
(http://www.pgn.co.id/id/pages/default/about_pgn/who_we_are/our_b
usiness ) :
Tabel 3 Kegiatan Usaha PT PGN
Kegiatan Usaha Pengangkutan
Kegiatan Usaha Niaga
a. Transmisi
Jalur pipa transmisi gas bumi
PGN terdiri dari jaringan pipa
bertekanan tinggi sepanjang
sekitar
2.160
km
yang
mengirimkan gas bumi dari
sumber gas bumi ke stasiun
penerima pembeli. PT PGN
menerima Toll Fee untuk
pengiriman gas sesuai dengan
Perjanjian Transportasi Gas
(GTA / Gas Transportation
Agreement) yang berlaku selama
10-20 tahun.
b. Distribusi
PT PGN mengoperasikan jalur
pipa distribusi gas sepanjang lebih
dari 3.750 km, menyuplai gas bumi
ke pembangkit listrik, industri,
usaha komersial termasuk restoran,
hotel dan rumah sakit, serta rumah
tangga di wilayah-wilayah yang
paling padat penduduknya di
Indonesia. PT PGN mendapatkan
keuntungan dari penjualan gas
kepada konsumen.
Kegiatan Pembelian, penjualan,
ekspor, dan/atau impor Gas Bumi
melalui pipa baik pipa yang
dimiliki PT PGN sendiri maupun
melalui pipa bukan milik PT PGN,
Namun hampir seluruh kegiatan
usaha niaga PT PGN selalu
menggunakan pipa PT PGN karna
pipa gas bumi yang dimiliki PT
PGN merupakan pipa terpanjang
di Indonesia.
Hak
Khusus
Pengangkutan
melalui Pipa Dedicated Hilir
adalah hak yang diberikan Badan
Pengatur kepada PT PGN dalam
hal PT PGN melakukan kegiatan
niaga baik melalui pipa transmisi
dan/atau distribusi milik sendiri
Hadirnya kebijakan Unbundling (Pemisahaan) pada dua kegiatan usaha
PT PGN tentu menjadi permasalahan besar bagi Badan Usaha Milik
Negara tersebut, pasalnya apabila kita lihat dari pada isi kebijakan
unbundling (Pemisahaan) yang terdapat pada Pasal 19 dan 31 Permen
ESDM Nomor 19 Tahun 2009 dalam jangka waktu dua tahun PT PGN
harus memisahkan dua kegiatan usahanya yaitu Niaga dan
Pengangkutan tidak diperbolehkan melakukan pemusatan kegiatan
pada kedua usaha tersebut, kenyataanya dalam melakukan suatu
unbundling pada sebuah badan usaha yang telah terintergrasi harus
xiii
melalui empat tahap terlebih dahulu sebagaimana yang terdapat Article
26 Gas Derectives (Pusat Studi Energi, 2014:31) :
a. Account unbundling
Keuangan dari kegiatan pengangkutan (ditribusi dan transmisi)
harus terpisah dari keuangan kegiatan niaga
b. Functional unbundling
Keuangan maupun manajemen kegiatan Pengangkutan (distribusi
dan transmisi) harus dipisah dari kegiatan niaga
c. Legal Unbundling
Kegiatan pengankutan dan kegiatan niaga masing-masing berada
dibawah bendera entitas legal yang berbeda. Namun, masih dapat
berada dalam struktur perusahaan induk, sehingga perusahaan
induk masih memiliki kepemilikan.
d. Ownership Unbundling
Kegiatan pengakutan (distribusi dan transmisi) dan kegiatan niaga
harus dilakukan dan dimiliki oleh entitas yang berbeda dan masingmasing entitas ini tidak boleh mempunyai kepemilikan di dalam
sekaligus kedua aktivitas tersebut.
Terkait pengaturan unbundling pada Pasal 19 ayat (2) Permen
ESDM Nomor 19 Tahun 2009, maka tahap unbundling yang diatur
dalam peraturan ini cenderung menunjuk pada tahap legal unbundling.
Bahkan, Pasal 31 huruf c Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang
Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa menegaskan bahwa “dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun, Badan Usaha yang telah melaksanakan
kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan kegiatan
usaha niaga gas bumi melalui pipa pada ruas transmisi dan/atau
wilayah distribusi, wajib membentuk badan usaha terpisah dan
menyesuaikan dengan peraturan menteri ini”. Skema unbundling
dalam Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 menghendaki adanya
legal unbundling karena adanya pemisahan badan usaha, apabila
dengan jangka waktu 2 tahun dilakukan pemisahaan legal unbundling
tentu sangat memberatkan bagi PT PGN. Menurut best practice
xiv
seharusnya unbundling dilakukan bertahap tidak langsung pada tahap
legal unbundling harus ada pemisahaan keuangan dan manajemen
badan usaha terlebih dahulu. Namun bagaimanapun pembentukan
entitas/ badan usaha baru pada perusahaan negara PT PGN akan
berdampak pada high cost yang harus yang harus dikeluarkan
sebagaimana table dibawah ini (PGN Presentation, 2015:29) :
Tabel 4 rantai bisnis dan perbandingan cost skema bundled service dan unbundling
Perbedaan antara skema bundled service dan skema unbundling adalah
pada skema unbundling dibutuhkan tambahan cost yang tinggi,
biasanya pada pengangkutan dan niaga total cost yang dikeluarkan PT
PGN dari iuran dan pajak sebesar 426.993.523 USD/Tahun sedangkan
ketika adanya pemisahan/ unbundling maka iuran dan pajak yang harus
dibayar sebesar 544.532.592 USD/Tahun sehingga setiap tahunnya PT
PGN membutuhkan tambahan biaya sebsar 117,6 juta USD/Tahu,
penambahan biaya pada tabel diatas hanya berupa biaya transaksi
perubahan rantai bisnis belum termasuk biaya transfer aset dan margin
untuk badan usaha pengangkutan, permasalahan siapa yang akan
menanggung beban biaya tambahan tersebut? Tentunya PT PGN itu
sendiri.
Dampak dari high cost dalam pembentukan entitas/badan usaha baru
adalah tidak berjalannya kegiatan pembangunan infrastruktur yang
telah, akan dan direncanakan oleh PT PGN, perlu diketahui bahwa
pembangunan infrastruktur jaringan pipa gas memerlukan biaya
xv
investasi tinggi dan tidak serta merta PT PGN mendapatkan keuntungan
dari pembangunan tersebut butuh waktu yang panjang, tentunya
konsentrasi investasi yang dibangun PT PGN akan beralih pada
pembentukan entitas/badan usaha baru sebagaimana diamanatkan
Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009.
Kebijakan unbundling juga akan menciptakan mata rantai yang
panjang dan membuka kesempatan bagi Badan Usaha Niaga Gas Bumi
yang tidak memiliki fasilitas untuk ikut serta menikmati fasilitas pipa
PT PGN untuk bersaing dan berkompetisi dengan perusahaan negara
dalam melakukan usaha niaga gas bumi, hal ini terlihat pada Pasal 20
huruf d Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 dimana disebutkan
bahwa :
Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi
Melalui Pipa dan Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah
Jaringan Distribusi wajib melakukan memberikan kesempatan yang
sama bagi Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi
Melalui Pipa atau phak lain untuk pemanfaatan fasilitas pengankutan
Gas Bumi yang dimiliki dan/atau dikuasainya
Jelas kemudian jaringan pipa pengangkutan PT PGN akan
dimanfaatkan bersama pemakaiannya sehingga PT PGN harus bersaing
dengan Badan Usaha Niaga yang tidak memiliki fasilitas. Hadirnya
trader/broker tanpa fasilitas jaringan pipa ini justru merugikan negara
pasalnya mereka akan cenderung untuk memanfaatkan secara
komersial dan tidak mengembangkan infrastruktur, sementara faktanya
saat ini baru tersedia 19,7% pipa gas dari yang direncanakan Rencana
Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional 2005-2025
(PGN Presentation, 2015: 10), PT PGN dalam hal ini sangat di rugikan
sebagai pemilik 80% pipa gas di Indonesia yang telah berkontribusi
membangun jaringan pipa dengan nilai investasi tinggi akan mengalami
stagnasi dan tidak dapat membangun fasilitas pipa karena PT PGN akan
mengalami kerugian yang lebih besar apabila tetap membangun
jaringan pipa yang akan dipakai bersama dengan trader/broker tanpa
fasilitas. Menurut Aldi Hutagalung (2015:24-30) ”Infrastructure not
only bring state revenue but also contribute more significant for
xvi
economic development since about 25% of the countrys budget depends
on revenues from gas sector. The longer infrastructure development is
delyaed the bigger the economic losses because of lost opportunity for
the market to grow”, Selanjutnya menegaskan lagi no infrastructure the
country will lose subtansial income. Jelas kemudian infrastruktur
merupakan hal yang penting bagi perekonomian nasional dan yang
paling penting infrastruktur bersifat vital karena menjamin ketersedian
gas,
semakin
bertambahnya
trader/broker
tanpa
dibarengi
pembangunan infrastruktur akan terjadi kelangkaan gas yang parah
(PSE UGM, 2014:29), sementara itu konsumsi gas bumi masyarakat
Indonesia akan terus meningkat sebanyak 152% dari tahun 2012 hingga
2025 sedangkan pipa yang ada hingga kini hanya sepajang 12,560 km
dibutuhkan 58,073 km atau sekirnya dibutuhkan tambahan 362% untuk
memenuhi ketersediaan gas hingga tahun 2025 sesuai dengan Rencana
Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (Presentasi
BPH Migas, 2013: 8). Untuk itu menurut best practice dunia dalam
pengembangan infrastruktur pipa gas bumi yang belum matang perlu
dilakukan secara bundled (terintegrasi) karena ada faktor kedala
ekonomis terkait resiko pioneering cost (modal utama) dan kendala
teknis terkait penyesuaian standar penerapan pemanfaatan bersama
pipa gas bumi (Annual Report PGAS, 2009;15).
Dampak kebijakan unbundling lainnya akan terjadi kenaikan harga
gas. Kebijakan unbundling merupakan model penguasahaan gas bumi
yang
bersifat
persaingan
retail
adanya
akses
pihak
ketiga
(trader/broker) sehingga seluruh konsumen dapat memilih dengan
bebas pemasok gas bumi, yang terjadi justru kontrol harga gas sudah
tidak ada lagi, trader/broker akan ikut bersaing dan menimbulkan mata
rantai yang panjang tentu berakibat keterjangkauan gas terutama terkait
dengan aspek harga tidak tercapai atau harga gas bumi akan semakin
mahal, seperti yang akan diterangkan ilustrasi dibawah ini :
xvii
Gambar 12 Ilustrasi unbundling dan adanya Badan Usaha Niaga Tanpa
Fasilitas (Sumber:PGN)
Ilustrasi gambaran diatas menunjukan ketidakefesien nya kebijakan
unbundling.
Berdasarkan
ilustrasi
tersebut
menurut
Direktur
Pengusahaan PT PGN Jobi Triananda, tambahan biaya akibat
unbundling dipicu adanya perubahan rantai bisnis gas bumi. Dengan
kondisi bundling seperti saat ini, rantai bisnis hanya berasal dari
produsen gas lalu ke transportasi dan niaga gas, lalu langsung ke
konsumen akhir. Sementara jika unbundling diterapkan, rantai bisnis
berasal dari produsen gas, lalu ke trader yang bahkan bisa mencapai dua
trader, lalu ke transporter transmisi, lalu ke transporter distribusi, lalu
ke trader lagi, dan barulah ke konsumen akhir sehingga tidak tecapai
harga gas bumi yang semakin mahal dan akan berimbas terhadap
konsumen
(http://www.katawarta.com/external/www.suarapembaruan.com/home
/pgn-unbundling-justru-dorong-harga-gas-naik/
42176 ), terlebih
bagi konsumen PT PGN dimana hampir 60% konsumen gas bumi di
Indonesia merupakan konsumen dari PT PGN yang memenuhi semua
segmen seperti tabel dibawah ini (PGAS Business Presentation,
2015:8)
Tabel 5 Number of customers PT PGN as December 2015
Segments
Total Volumes
Customers
xviii
Industri and Power Plants
Comercial
and
97.01%
1.529
2.8%
1.857
0.24%
107.690
Transportation
Households
Berdasarkan tabel diatas konsumen PT PGN telah merambah berbagai
sektor baik industri, pembangkit listrik, komersial, transportasi dan
rumah tangga, sehingga apabila harga gas bumi meningkat akan
mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, konsumsi gas tidak
dipandang hanya bagi rumah tangga saja namun juga semua sektor
tersebut terlebih bagi pembangkit listrik yang merupakan konsumen
paling besar bagi PT PGN yaitu sebanyak 40% dari total konsumen, dan
tentunya listrik merupakan energi yang tidak kalah penting pula bagi
masyarakat luas, dampak kenaikan harga gas bumi bisa dikatakan masif
berkembang pada sektor keperluan kebutuhan masyarakat.
Penerapan
unbundling
yang justru
akan menyebabkan
perlambatan pengembangan infrastruktur pipa yang akan berujung pada
krisis energi yang berasal dari gas bumi. Krisis energi tersebut
disebabkan tidak tersedianya infrastruktur
gas
bumi, karena
trader/broker tidak dibarengi dengan kewajiban pembanguann
infrastruktur sehingga menyebabkan tidak adanya pemerataan
distribusi gas bumi. Tidak mempertimbangkan kesiapan infrastruktur
dan suprastruktur, terlebih tidak memprediksi panjangnya mata rantai
kegiatan usaha gas bumi justru merusak tata kelola gas bumi di
Indonesia yang sudah bertujuan mewujudkan kemakmuran rakyat
dengan cara memberikan ketersediaan yang cukup, distribusi yang
merata, dan terjangkaunya harga bagi orang banyak, sebagaimana
Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam Peraturan Presiden Nomor 5
tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional bahwa titik tumpu
pengelolan kegiatan usaha energi seperti gas bumi seharusnya
mencerminkan Kebijakan Harga Ekonomian dan Pengembangan
Infrastruktur.
xix
Kenaikan
harga dan keterbatasan pasokan akibat infrastruktur
belum memadai tersebut, tentu tidak sejalan dengan haluan umum
negara yang ditetapkan secara normatif agar ditaati bersama. Arahan
yang paling mendasar adalah sebagaimana ditetapkan pada aliniea ke4 (empat) Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dimana dinyatakan
“…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia…untuk
memajukan kesejahteraan umum…” terdapat cita-cita luhur dalam
pembentukan pemerintah yang tugasnya dalah meciptakan dan
memajukan kesejahteraan umum. Jika dikaitkan dengan UUD NRI
Tahun 1945 dengan Sila ke-5 (lima) Pancasila yakni ”Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, maka jelas arahan umum itu menjadi
”Memajukan Kesejahteraan UmumYang Berkeadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”, jadi kesejahteraan dan keadilan bukan bagi
segolong rakyat tertentu saja. Selanjutnya apabila Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 alinea ke-4 tersebut kita kaitkan dengan BAB XIV
UUD NRI Tahun 1945 yang meletakkan bahasan Perekonomian
Nasional secara bersamaan, maka jelas arahan umum itu menjadi dasar
bahwa perekonomian negara haruslah bercita-cita memajukan
kesejahteraan umum untuk menciptakan kesejahteraan sosial, lagi-lagi
jadi bukan kesejahteraan sosial bagi segolong rakyat tertentu saja.
Sehingga kita sepakat baik dari cita-cita luhur bangsa Indonesia melalui
Alinea ke-4 (empat) Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pancasila dan
konstitusi yaitu UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
kesejahteraan sosial diperuntukan bagi setiap masyarakat bukan bagi
individu-individu tertentu saja, namun sebagaimana konsep unbundling
lahir yaitu dalam rangka desakan persaingan usaha dibidang gas bumi
yang terdapat pada Pasal 20 huruf d Permen ESDM Nomor 19 Tahun
2009 memberi jalan bagi badan usaha yang tidak memiliki fasilitas
untuk ikut serta dalam pemanfaatan fasilitas yang telah ada dan
bersaing dalam pendistribusian gas bumi, badan usaha yang dimaksud
yaitu pelaku usaha, sehingga konsep kebijakan unbundling pada
dasarnya tidak sejalan dengan kesejahteraan sosial yang menekankan
xx
kepentingan masyarakat secara umum bukan kepada pelaku usaha saja,
karena sekali lagi bahwa kesejahteraan sosial tidak diperuntukan bagi
pelaku usaha/individu-individu tertentu.
Kesejahteraan
sosial
menuntut
adanya
segala
penguasaan
sumberdaya yang ada, produksi yang dihasilkan dibagikan dan
diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat, sumber-sumber energi penting
sebagai salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalam Tanah Air
Indonesia harus dikuasi oleh negara melalui hak menguasainya,
negara berwenang dalam mengatur, mengurus, dan mengawasi
pengelolaan atau pengusahaan sumber energi
penting untuk
mempergunakannya sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat
dengan kata lain negara harus menjalankan function economic control
guna mencapai kesejahteraan sosial maka pemerintah harus terjun
dalam bidang perekonomian, seperti yang dikatakan Bagir Manan
bahwa negara melalui pemerintah adalah satu-satunya pemegang
wewenang untuk menentukan hak wewenang atas bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkadung di dalamnya termasuk sumber daya
alam yang sudah diolah menjadi energi, karna esensi dari penguasaan
negara terhadap sumber daya energi adalah demi sebesar-besarnya
kemakmuraan rakyat yang berujung pada tercipatanya Kesejahteraan
Sosial (Bagir Manan, 2004: 233). Sejalan dengan teori penguasaan
negara atas sumber daya alam yang dikemukakan Rafael Danilo bahwa
Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter
sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya
diberikan wewenang atau kekuasaan unutk mengatur, mengurus, dan
memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya
alam yang ada di dalam wilayahnya secara intensif. Adapun tolak ukur
kesejahteraan sosial tersebut tercermin di dalam Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
adalah “kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial
warga negara agar hidup layak dan mampu mengembangkan diri
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.” Ada dua kata kunci
xxi
tolak ukur yang bisa kita pahami Pertama, terpenuhinnya kebutuhan
material atau dengan kata lain kebutuhan dasar dan yang Kedua, agar
hidup layak dan mampu mengembangkan diri sendiri.
Wujud pemerintah atau wujud representasi negara sebagai
penguasaan function economic control dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan maka negara dapat membentuk perusahaan negara yaitu
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD). Kemunculan usaha negara dalam bentuk perusahaan negara
diakarenakan suatu anggapan yang sama, bahwa selalu ada sektor atau
bidang yang dianggap penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak serta dinilai vital atau strategis sehingga hal tersebut tidak
begitu saja dapat diserahkan pengelolaanya atau penyelenggaraanya
kepada usaha swasta, penguasaan negara terhadap sumber daya alam
bahkan energi seperti gas bumi tersebut telah tercermin pada konstitusi
kita yang terdapat pada Pasal 33 Ayat (1) (2) dan (3) UUD NRI Tahun
1945 (Gunarto Suhardi, 2002:8-9) :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat
Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 diatas menegaskan bahwa Indonesia
menganut sistem ekonomi yang berdasarkan asas kekeluargaan dengan
mengikutsertakan pemerintah berperan aktif dalam porsi-porsi tertentu
seperti cabang-cabang produksi tertentu serta berkenaan dengan
sumber daya alam yang kemanfaatannya untuk kemakmuran rakyat
sehingga sisitem ekonomi indonesia sangat jauh berbeda dengan sistem
perekonomian yang disusun sebagai usaha individu berdasarkan asas
persaingan bebas, apabila kekuataan dari suatu sektor lebih besar peran
swasta daripada negara melalui perusahaan negara maka yang terjadi
xxii
adalah sistem ekonomi akan mengarah pada sistem ekonomi
liberal/kapitalis yang mendasar kegiatan ekonominya pada mekanisme
pasar, hal ini berkaitan dengan hak emperative yang dikemukakan oleh
Dr Harjono wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Tahun 2008-2013
menyatakan dalam bukunya yang berjudul Konstitusi sebagai Rumah
Bangsa bahwa negara memiliki hak pre-empative yang berarti negara
mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta
pada saat yang bersamaan melarang perorangan/swasta untuk
mengusahakan cabang produksi tersebut, dengan kata lain negara dapat
mengambil alih cabang produksi tersebut (Dr Harjono, 2008:156)
tentunya hal ini bertentangan dengan skema unbundling yang
mengisyaratkan adanya sistem ekonomi liberal dengan membuka jalan
bagi seluruh pesaing usaha bidang gas bumi untuk berpartisipasi dalam
pemanfaatan gas dengan membawa filosofi demi persaingan usaha
sebagaimana yang tercantum Pasal 20 d Permen ESDM Nomor 19
Tahun 2009 yang mana menyatakan “memberikan kesempatan yang
sama bagi Badan Usaha Niaga Gas Bumi…”
Hal ini tentu
menghilangkan peran negara sebagai pionir pengusaha gas bumi
melalui PT PGN sebagai BUMN yang telah hadir dalam memenuhi
kebutuhan masyrakat luas.
Masuknya sektor-sektor swasta tanpa infrastruktur tersebut tentu
akan mengurangi peran negara dalam menguasai sumber daya alam
milik kita sendiri padahal sudah jelas dinyatakan pula dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur tentang adanya pengecualian
terhadap monopoli dan persaingan usaha untuk kesejahteraan sosial.
Dalam pengaturan persaingan usaha di indonesia pengecualian diatur
melalui Pasal 50 dam Pasal 51 kedua pasal tersebut mengakomodir
kepentingan sosial, seperti monopoli BUMN, kegiatan usaha koperasi,
pelaku usaha kecil dan penelitian yang berkaitan dengan hidup orang
banyak, kepentingan sosial diletakkan pada posisi utama, sehingga
untuk memajukan kesejahteraan sosial yang lebih baik, para pemikir
xxiii
tidak mengarahkan perhatian pada mekanisme pasar, melainkan pada
peran pemerintah, maka sebaiknya masyarakat melalui pemerintah,
bertugas mengontrol pasar, tidak sebaliknya. Mengurangi peran
pemerintah, berarti
menumbuhkan perekonomian
yang hanya
mementingkan diri sendiri yang berimbas pada penumpukan kekayaan
kepada yang kaya. Benar bahwa BUMN yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara berdasarkan Pasal 2 maksud dan tujuan pendirian BUMN
diantaranya adalah memberikan sumbangan perekonomian nasional
menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak. Dalam sistem perekonomian BUMN ikut berperan
menghasilkan barang dan/atau jasa yaang diperlukan dalam rangka
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuraan rakyat sesuai dengan
pasal 33 mengusai hajat hidup orang banyak.
Mengurangi peran PT PGN sebagai perusahaan negara terbesar
disektor gas bumi melalui kebijakan unbundling (pemisahaan) kegaitan
usaha, tentu mengurangi peran negara dalam penguasaaan sumber daya
alam/energi, karena akibat dari unbundling tersebut akan dibukanya
persaingan usaha yang memberikan hak yang sama pada sektor swasta
untuk ikut berpartisipai dalam kegaitan usaha gas negara yang
mengakibatkan kenaikan harga dan kelangkaan gas bumi. Mekanisme
yang dibangun pada konsep unbundling merupakan mekanisme liberal
yang tidak relevan dengan pengelolaan gas yang dijalankan oleh
BUMN (sebagai representasi hak menguasai negara dalam sumber daya
alam/energi) sehingga tentunya kebijakan ini tidak mewujudkan
kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial menuntut agar segala
penguasaan sumberdaya yang ada, produksi yang dihasilkan dibagikan
dan diperuntukan untuk rakyat (Suryawasita, 1989:30).
Ada tiga hakikat pemberian kewenangan kepada negara dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial menurut Dr Harjono (2008:156) :
a. Tersedianya produk secara cukup;
b. Terdistribusinya produk secara merata;
xxiv
c. Terjangkaunya harga produksi tersebut oleh orang banyak.
Apabila kita kaji kembali kebijakan unbundling yang terdapat dalam
Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentu tidak mencerminkan
ketiga hakikat tersebut pasalnya:
a. Tidak tersedianya produk secara cukup, karena pasokan gas langka
akibat infrastruktut tidak memadai namun trader/broker banyak;
b. Tidak terdistribusinya produk secara merata, karena tidak
terbangunnya pipa hanya terfokus pada pengangkutan dan niaga
saja tentunya hal ini tidak sesuai dengan amanat Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2025 yang telah
diterangkan sebelumnya, RPNJP pada dasarnya merupakan fungsi
negara sebagai agent of economic and social development yang
mengacu pada kesejahteraan sosial;
c. Tidak tercapai keterjangkauan harga produksi oleh masyarakat,
akibat dibukanya mekanisme pasar dalam kebijkan unbundling
sehingga mata rantai bisnis semakin panjang, belum lagi BUMN
harus bersaing dengan swasta mengakibatkan keterjangkauan gas
tidak tercapai yang berimbas pada kesejahteraan sosial masyarakat.
Ada 2 (dua) tolok ukur kesejahteraan sosial berdasarkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pertama,
terpenuhinnya kebutuhan material atau dengan kata lain kebutuhan
dasar dan yang Kedua, agar hidup layak dan mampu mengembangkan
diri sendiri. Dengan adanya kebijakan unbundling (pemisahaan) badan
usaha negara terlebih pada PT PGN maka kebutuhan dasar akan gas
nasional tidak terpenuhi diketahui bahwa kebijakan unbundling
tersebut tidak dibareng oleh kesiapan infrastruktur dan suprastruktur
yang memadahi, terlebih bagi konsumen PT PGN tentu sangat
dirugikan karena timbulnya mata rantai yang panjang mengakibatkan
ketidak keterjangkauan gas nasional. PT PGN merupakan Badan
Usaha Milik Negara terbesar dibidang gas bumi, yang telah
mengakomodir kepentingan masyarakat baik pada sektor rumah
tangga, tenaga listrik, tarnasportasi dan komersial sehingga apabila
xxv
terjadi kerugian kepada PT PGN maka resikonya tidak hanya pada
sektor rumah tangga saja namun semuah lapisan kebutuhan masyrakat
yang pada akhirnya akan menghambat pengembangan diri masyrakat
dengan kata lain kebijakan unbundling tidak mampu mewujudkan
kesejahteraan sosial.
B. Kaitan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-VII/2009
tentang Ketenagalistrikan terhadap kebijakan pemisahaan
(Unbundling) Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk
Unbundling bukanlah isu baru yang terjadi pada Tata Kelola
Sumber Daya Energi di Indonesia, sebelumnya sektor Ketenagalistrikan
telah mengalami unbundling pada sektor pembangkit, transmisi dan
distribusi listrik pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Ketenagalistrikan yang mengakibatkan harus dibentuknya Badan Usaha
yang terpisah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021022/PUU-I/2003
tentang
Ketenagalistrikan,
Mahkamah
Konstitusi
membatalkan seluruh aturan dalam Undang-undang tersebut dengan dalil
bahwa cabang produksi dalam Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
dibidang ketenaglistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara
pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dinyatakan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan tidak
dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Seiring
berjalannya waktu aturan baru ketenagalistrikan hadir dalam UndangUndang
Nomor
30
Tahun
2009
tentang
Ketenaglistrikan
(UU
Ketenagalistrikan) namun Undang-Undang ini justru mengundang kontra
karena disinyalir pada Pasal 10 ayat (2), (3), (4); Pasal 11 ayat (3), (4); Pasal
20; Pasal 33 (1), (2); Pasal 56 ayat (1), (2), (4) UU Ketenagalistrikan yang
dinilai memuat sistem unbundling (pemisahan) atau melepas usaha sektor
kelistrikan kepada pihak lain sehingga melalui Serikat Pekerja Perusahaan
Listrik Nasional (PT PLN) mengajukan permohonan uji materil/ judicial
review kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang disinyalir
xxvi
sebagai kebijakan unbundling tersebut melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
149/PUU-VII/2009
tentang
Ketenagalistrikan
Mahakamah Konstitusi mencoba menjelaskan dan menguji unbundling
terhadap konstitusi negara yang terdapat pada kebijakan tersebut, walaupun
pada akhirnya putusan tersebut dibatalkan karena adanya Pasal 3 dan 4 UU
Ketenagalistrikan yang hadir untuk membatasi kebijakan unbundling
tersebut dan tetap memprioritaskan Badan Usaha Milik Negara. Namun
yang perlu diperhatakan dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi dengan
terang menegaskan bahwa unbundling tidak sesuai dengan konstitusi negara
karena tidak mencerminkan kesejahteraan umum serta mengakui dan
menguatkan putusan nomor Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang
Ketenagalistrikan termasuk menerima pendapat berbagai pendapat ahli
yang berpenda bahwa Unbundling tidak mewujudkan kesejahteraan sosial.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-VII/2009 ini
memberikan penegasan dalam permasalahan yang sedang menimpa sektor
sumber daya energi gas Indonesia, melalui alasan pengajuan perkara,
pendapat ahli dan putusan bahwa kebijakan unbundling tidak sesuai dengan
Kesejahteraan Sosial karena tidak sejalan dengan ideologi dan konstitusi
Indonesia. Baik Listrik maupun Gas bumi merupakan sektor penting yang
menguasai hidup orang banyak, kedua sektor tersebut sama-sama dijalankan
oleh Badan Usaha Milik Negara yang telah membangun dan menyediakan
kebutuhan masyarakat seperti PT PLN (Listrik) dan PT PGN (Gas)
keduanya pun tidak lepas dari sejarah pembentukan yang sama bermula
pada tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas yang semula
tergabung diubah menjadi BPU-PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan
Listrik Negara) yang bergerak di bidang listrik, gas dan kokas yang
dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1965 pada saat yang sama, 2 (dua)
perusahaan negara tersebut diresmikan Perusahaan Listrik Negara (PLN)
sebagai pengelola tenaga listrik milik negara dan Perusahaan Gas Negara
(PGN) sebagai pengelola gas diresmikan. Disisi lain yang tidak kalah
pentingnya, baik listrik dan gas saling terkait pasalnya Pembangkit Tenga
Listrik (Power Plant) butuh suplai gas didalamnya sebanyak 40% volumes
xxvii
dari total kebutuhan seluruh konsumen PT PGN yang bukan lain adalah PT
PLN, sehingga segala kebijakan yang akan diterapkan pada industri gas
bumi maka akan berimbas pada industri tenaga listrik pula, seperti halnya
yang telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu resiko kebijakan
unbundling pada PT PGN adalah kelangkaan ketersediaan pasokan gas,
padahal dalam kurun waktu 5 tahun kedepan akan dibangun pembangkit
listrik dengan kapasitas 35.000 MW (MegaWatt) tentu membutuhkan
banyak
pasokan
energi
primer
yaitu
gas
bumi(http://finance.detik.com/read/2016/02/26/184040/3152215/1034/ke
menterian-bumn-pgn-dan-pertamina-harus-kompak-dukung-suplai-gasuntuk-pln), apabila terjadi keterbatasan pasokan maka industri listrik pun
menjadi terhambat. Inilah sekiranya mengapa kebijakan unbundling dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-VII/2009 tentang
Ketenagalistrikan berimplikasi satu sama lain dengan kebijakan unbundling
pada industri gas terlebih pada PT PGN.
Serikat Pekerja PT PLN sebagai pemohon judicial review
mengajukan norma materil UU Ketenagalistrikan untuk diajukan untuk
diuji, dalam hal ini penulis akan mengarahkan pada norma materil terkait
unbundling saja yang akan disamakan dengan norma materil dari Permen
ESDm Nomor 19 tahun 2009 sehingga terlihat kesamaan permasalahaan
unbundling yang sedang dihadapi:
Tabel norma materil terkait kebijakan unbundling pada UU Ketenagalistrikan Dan
permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor Peraturan Menteri Nomor
30 Tahun 2009 tentang 19 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan
Kegiatan
Gas
Bumi
Melalui Pipa
Pasal 10 ayat (1) dan (2)
Pasal 19 ayat (1)
Usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan
Umum meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga
listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
Badan Usaha pemegang lzin
Usaha Pengangkutan Gas
Bumi Melalui Pipa dan Hak
Khusus
pada
Ruas
Transmisi dan/
atau
Wilayah Jaringan Distribusi
sebagaimana
dimaksud
Persamaan Kebijakan
Unbundling pada UU
Ketenagalistrikan dan
Permen ESDM Nomor 19
Tahun 2009
Pada sektor ketenagalistrikan unbundling terjadi pada
penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum
yang terjadi pembatasan
pada sektor distribusi dan
penjualan tenaga listrik yang
xxviii
c. distribusi tenaga listrik;
dan/ atau
d. penjualan tenaga listrik.
Usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan
umum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara
terintegrasi.
dalam Pasal 15 dilarang
melakukan
Kegiatan
Usaha Niaga Gas Bumi
Melalui Pipa pada fasilitas
pengangkutan Gas Bumi
yang dimiliki dan/ atau
dikuasainya.
Sedangkan pada sektor gas
bumi kebijakan unbundling
terjadi pada kegiatan niaga
dan pengankutan melalui
pipa gas
yang pada
semulanya badan usaha gas
hilir dapat melakukan empat
kegaitan sekaligus yang
meliputi
niaga;
pengangkutan;
penyimpanan;
dan
pengolahan.
Pasal 10 ayat (3)
usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan
umum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh 1 (satu)
badan usaha dalam 1
(satu) wilayah usaha.
Pasal 10 ayat (4)
Pembatasan wilayah usaha
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) juga berlaku untuk
usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan
umum yang hanya meliputi
distribusi tenaga listrik
dan/atau penjualan tenaga
listrik.
Pasal 20
Izin usaha penyediaan
tenaga listrik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf a ditetapkan
sesuai
dengan
jenis
usahanya
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10
ayat
(1).
hanya dapat dikuasai oleh
satu badan usaha pada satu
wilayah
sedangkan
sebelumnya suatu badan
usaha kelistrikan dapat
menjalankan
ke-empat
kegiatan yang menyangkut
listrik kepentingan umum
Pasal 19 ayat (2)
Dalam hal Badan Usaha
pemegang
lzin
Usaha
Pengangkutan Gas Bumi
Melalui Pipa dan Hak
Khusus
pada
Ruas
Transmisi dan/ atau Wilayah
Jaringan
Distribusi
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 15 melakukan
Kegiatan Usaha Niaga Gas
Bumi Melalui Pipa pada
fasilitas pengangkutan Gas
Bumi yang dimiliki dan/atau
dikuasainya,
wajib
membentuk Badan Usaha
terpisah dan mempunyai
Kedua ketentuan ini baik
UU Ketenagalistrikan dan
Permen ESDM Nomor 19
Tahun
2009
mengatur
tentang pembatasan wilayah
usaha dan pemisahaan jenis
kegiatan usaha dengan cara
memisahkan izin usaha,
inilah yang dinamakan
unbundling secara vertical
dimana kegiatan usaha
diselenggarakan
secara
terpisah sesuai dengan jenis
Usaha. Pada kebijakan
unbundling
sektor gas
dengan terang memisahkan
badan usaha
xxix
lzin Usaha Niaga Gas Bumi
Melalui Pipa.
Pasal 11 ayat (3)
Untuk wilayah yang belum
mendapatkan
pelayanan
tenaga listrik, Pemerintah
atau pemerintah daerah
sesuai
kewenangannya
memberi
kesempatan
kepada badan usaha milik
daerah, badan usaha
swasta, atau koperasi
sebagai
penyelenggara
usaha penyediaan tenaga
listrik terintegrasi.
Pasal 20 huruf d
Badan Usaha pemegang lzin
Usaha Pengangkutan Gas
Bumi Melalui Pipa dan Hak
Khusus
pada
Ruas
Transmisi dan/atau Wilayah
Jaringan Distribusi wajib
memberikan kesempatan
yang sama bagi Badan
Usaha pemegang lzin
Usaha Niaga Gas Bumi
Melalui Pipa atau pihak
lain untuk pemanfaatan
bersama
fasilitas
pengangkutan Gas Bumi
yang dimiliki dan/ atau
dikuasainya
Kedua aturan tersebut secara
terang
menggambarkan
mekanisme
pasar/
liberalisasi karena ideologi
kedua
aturan
tersebut
“memberikan kesempatan
yang sama bagi Badan
Usaha sejenis termasuk
sektor swasta” yang artinya
kedua
aturan
tersebut
berpotensi menyamaratakan
kedudukan
penguasaan
negara melalui BUMN
dengan sektor swasta
xxx
Pasal 56 ayat (4)
Pasal 31 huruf c
Dalam
jangka
waktu
paling lama 2 (dua) tahun,
pelaksanaan Izin Usaha
Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum, Izin
Usaha Ketenagalistrikan
Untuk
Kepentingan
Sendiri, dan Izin Usaha
Penunjang Tenaga Listrik
yang telah dikeluarkan
berdasarkan
UndangUndang Nomor 15 Tahun
1985
tentang
Ketenagalistrikan
sebagaimana dimaksud pada
angka
3
disesuaikan
dengan
ketentuan
Undang-Undang ini.
Dalam
jangka
waktu
paling lama 2 (dua) tahun,
Badan Usaha yang telah
melaksanakan Kegiatan
Usaha Pengangkutan Gas
Bumi Melalui Pipa dan
Kegiatan Usaha Niaga Gas
Bumi Melalui Pipa pada
Ruas Transmisi dan/ atau
Wilayah
Jaringan
Distribusi,
wajib
membentuk Badan Usaha
terpisah
dan
menyesuaikan
dengan
Peraturan Menteri ini.
Dalam jangka 2 Tahun
kedepan baik PT PLN dan
PT PGN sebagai BUMN
harus mengajukan izin
usaha terpisah sesuai dengan
jenis kegaitan usaha dan
diperlakukaan sama dengan
perusahaan-perusahaan
listrik dan gas lainnya.
Dengan sistem pengelolaan kegiatan usaha tenaga listrik untuk kepentingan
umum diselenggarkan secara unbundling sebagaimana Pasal-Pasal yang
tertera pada table diatas Pemohon menyatakan akan terjadi katerilsasi di sisi
pembangkitan dan tidak terjamin pasokan tenga listrik, hal ini berakibat
terhadap kenaikan harga jual tenga listrik minimal 5 (lima) kali lipat dari
sekarang, disisi lain dalam 2 (dua) tahun kedepan PT PLN harus
mengajukan usaha tenaga listrik sesuai dengan jenis kegiatan usahanya dan
diperlakukan sama dengan perusahaan-perusahaan listrik lainnya sehingga
peran PT PLN sebagai salah satu Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
(PIUK) harus segara melakukan restrukturisasi pada badan usaha yang
terpisah. Materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan yang semangat dan jiwanya adalah mekanisme pasar/
kompetisil persaingan usaha dalam pengelolaan usaha dengan sistem
Pemisahan
kegiatan
usaha
tenaga
listrik/
Unbundling
dalam
Ketenagalistrikan yang membatasi kekuasaan negara atas listrik tersebut
jelas bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga Pemohon
mengajukan alat uji yaitu Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dimana
xxxi
dinyatakan bahwa: “Cabang produksi yang penting bagi Negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”.
Listrik sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara hal ini terdapat
pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 30/2009, “Mengingat tenaga listrik
merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam
kehidupan nasional, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara
yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi
kepentingan dan kemakmuran rakyat“, dipertegas kembali dalam
pendapat hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021022/PUU-I/2003 halaman 348 yang berbunyi “Menimbang bahwa
Mahkamah berpendapat pembuat undangundang juga menilai bahwa
tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga
oleh karenanya menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai
oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan
negara
yang
didanai
oleh
pemerintah
(negara)
atau
dengan
kemitraan…….. dstnya“ Dengan demikian telah jelas bahwa tidak perlu
ditafsirkan lagi bahwa listrik merupakan salah satu cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus
dikuasai negara; Ketentuan UU 30/2009 yang membatasi kekuasaan negara
dalam pemilikan perusahaan listrik, berarti listrik tidak lagi dikuasai negara
(dikuasai oleh orang-perorang/swasta) berdasarkan Undang-Undang
Kelistrikan ini, hal ini bertentangan dengan pengertian ”listrik dikuasai
negara”.
Alasan permohonan dan juga norma alat uji terhadap Pasal 32 ayat
(2) UUD NRI
Tahun 1945 sekiranya serupa dengan permasalahan
unbundling yang sedang dihadapi industri gas, begitu pula dengan kerugian
yang dialami pasalnya baik listrik dan gas merupakan merupakan cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
sehingga penguasaanya harus dikuasi negara, dengan skema unbundling
baik pada sektor listrik dan gas justru akan mengurangi peran negara melalui
xxxii
perusahaan negara/BUMN, sehingga cita-cita negara dalam pengelolaan
cabang produksi untuk kemakmuran rakyat tidak tercapai, sesuai dengan
pendapat ahli dari Sri Edi Swasono yang memberikan keterangan bahwa
dalam memaknai ayat (2) Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari
ayat (1) dan (3)-nya, bahkan tidak boleh dilepaskan dari cita-cita mencapai
mencapai kesejahteraan sosial dalam artian societal welfare, segala
kegiatan ekonomi harus dimaknai segala kegiatan ekonomi nasional yang
pada akhirnya harus berujung pada tercapainya kesejahteraan sosial
bersama dari seluruh masyarakat, Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945
menegaskan bahwa pasar haruslah ramah kepada rakyat dan kepentingan
nasional bukan sebaliknya, negara yang tunduk dan ramah kepada
pasar ataupun posisi rakyat direduksi dan tersubordinasi oleh pasar, ia juga
menegaskan bahwa makna menguasai dalam ayat (2) Pasal 33 UUD NRI
Tahun 1945 haruslah disertai memiliki. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga
mempertegas
makna
demokrasi
ekonomi,
yaitu
perokonomian
diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat, sedangkan UU
Ketenagalistrikan yang mengatur kebijakan unbundling merupakan
kelanjutan hidup dari sukma liberalisme yang ingin menggusur Pasal 33
UUD NRI Tahun 1945, substansi yang mengandung keharusan melepaskan
pesan dikuasai negara melalui unbundling sehingga bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Bahwa pengalaman di beberapa negara dengan
unbundling akan melipat gandakan biaya yang ditanggung konsumen,
biarpun terdapat pengaturan dan kalaupun pengaturan tersebut melepaskan
akan tetapi subjek utamanya adalah penguasaan, ia juga menegaskan dalam
keterangannya bahwa listrik murah hanya dapat diberikan oleh PLN
(BUMN/Perusahaan Negra) bukan swasta. Pendapat Edi Swasono
tersebut sekiranya sejalan dengan konsep berfikir mengenai kebijakan
unbundling yang telah dijabarakan pada pembahasan sebelumnya bahwa
unbundling sejatinya tidak akan bisa mewujudkan kesejahteraan sosial
pasalnya tonggak penguasaan negara atas sumber daya energi tidak berada
pada negara melalui perusahaan negara melainkan mekanisme pasar.
xxxiii
Dalam pertimbangan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
149/PUU-VII/2009,
hakim
Mahkamah
Konstitusi
mengacu
pada
pertimbangan hukum Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang
menyatakan bahwa:
Tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga sesuai dengan Pasal
33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 cabang produksi tenaga listrik tersebut
haruslah dikuasai oleh negara oleh karena sudah jelas bahwa cabang
produksi tenaga listrik harus dikuasai oleh negara sehingga unbundling
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, meskipun Pemerintah hanya
memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus
dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan
dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam
badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara
yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan
makna penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan,
pengelolaan, dan pengawasan akan dikurangi jika dalam penyediaan
tenaga listrik diperlakukan secara sama dalam sistem persaingan dengan
badan usaha swasta, termasuk asing. Mahkamah berpendapat bahwa untuk
menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut
perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih
sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan
kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek
komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara,
sehingga ketentuan Pasal 16 UU Nomor 20 Tahun 2002 yang
memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan
(unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin
membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya
pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat
komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan
merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang
diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di
Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam
restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu
efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh
karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan
dengan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945; Menimbang bahwa Mahkamah
berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik
hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya
menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara,
dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang
didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta
nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar
negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem
kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa
xxxiv
hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan
perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak
kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham,
pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud
dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN,
dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang
lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat
otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu
dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan
kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN
lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”; Menimbang
bahwa lagi pula dengan merujuk pandangan Hatta dan pandangan para
ahli sebagaimana tersebut di atas tentang penjabaran Pasal 33 UUD NRI
Tahun 1945 dapat disimpulkan secara ringkas bahwa makna dikuasai oleh
negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh
negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar
kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan
yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan
perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.
Berdasarkan pertimbangan hukum putusan diatas, Mahkamah
menilai bahwa tenaga listrik merupakan infrastruktur yang mempunyai
peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
menunjang pembangunan di segala bidang sehingga sesuai dengan
ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Namun hakim menilai unbundling
dalam UU Ketenagalistrikan bukan unbundling seperti halnya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2002 yang telah dibatalkan, dikarenakan UU
Ketenagalistrikan tersebut tidak mengakomodir pembagian jenis usaha
yang sudah jelas-jelas dalam Putusan sebelumnya melarang adanya
pemisahaan usaha (unbundling). Adapun Pasal 10 ayat (2) UU 30 Tahun
2009 menyatakan, ”Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
terintegrasi.” Hal ini berbeda dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang menyatakan, ”Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang berbeda”. Adanya
perbedaan unbundling diperkuat oleh keterangan ahli Pemerintah yaitu Dr.
Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc., yang pada pokoknya menerangkan terdapat
perbedaan unbundling dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
xxxv
dengan UU 30/2009. Menurut ahli, definisi unbundling adalah adanya
pemisahan 3 komponen yaitu (i) pembangkitan tenaga listrik, (ii) transmisi
tenaga listrik, (iii) distribusi tenaga listrik. Konsep tersebut terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang sudah dibatalkan oleh
Mahkamah, karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan
UU 30 Tahun 2009 tidak mengandung unbundling karena tidak
memisahkan ketiga jenis usaha ketenagalistrikan tersebut.
Penekanan yang berbeda pula antara Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 adanya penekanan
pada prioritas Badan Usaha Milik Negara yang tercermin dalam Pasal 3 dan
4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa
Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraanya
dilakukan oleh Pemerintah dan pelaksanaan usaha penyediaan enaga listrik
oleh pemerintah dilakukan oleh badan usaha mikik negara dan badan usaha
milik daerah, sehingga walaupun membuka kemungkinan pemisahan usaha
(unbundling) dalam ketenagalistrikan, namun dengan adanya Pasal 3 dan
Pasal 4 UU Nomor 30 Tahun 2009, sifat unbundling dalam ketentuan
tersebut tidak sama dengan unbundling dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2002, karena BUMN diberi prioritas utama dalam menangani
usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum.
Putusan Hakim tersebut sekiranya dapat berimplikasi terhadap
kebijakan Unbundling pasa sektor gas walaupun permohonan pemohon
tidak dikabulkan setidaknya kita bisa mengambil penegasan dari putusan
tersebut. Pertama, Hakim menyatakan bahwa cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana Pasal 32
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 diartikan harus dikuasai oleh negara
sehingga unbundling bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,
menyamakan persaingan usaha dengan bada swasta sama halnya dengan
mengurangi peran negara dalam penguasaan negara yang mencakup
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.
Kedua, hakim menguatkan putusan sebelumnya yang menyatakan
bahwa unbundling system dengan skema pelaku usaha yang berbeda akan
xxxvi
semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak
terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang
bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan
merugikan masyarakat, bangsa dan negara sehingga tidak terjamin
kemakmuran rakyat apalagi kesejahteraan sosial.
Ketiga, UU Ketenagalistrikan tersebut tidak mengakomodir
pembagian jenis usaha yang sudah jelas-jelas dalam Putusan sebelumnya
melarang adanya pemisahaan usaha (unbundling). Pasal 10 ayat (2) UU 30
Tahun 2009 menyatakan “penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum dapat dilakukan secara terintegrasi.” Hal ini berbeda dengan Pasal
16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang
menyatakan, ”Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang
berbeda”. Justru Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan tersebut sama halnya dengan Pasal 19 Permen ESDM
Nomor 19 Tahun 2009 yang menyatakan Dalam hal
Badan Usaha
pemegang lzin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa … melakukan
Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada fasilitas pengangkutan
Gas Bumi yang dimiliki dan/atau dikuasainya, wajib membentuk Badan
Usaha terpisah …” pertimbangan hukum inilah yang dapat menjadi cermin
bagi kebijakan unbundling sektor gas bahwa Badan Usaha yang terpisahlah
yang pada dasarnya dilarang.
Keempat, aturan dalam UU Ketenagalistrikan yang berpotensi
terjadinya unbundling tersebut tetap memprioritaskan Badan Usaha Milik
Negara yang tercermin dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Penyediaan tenaga listrik dikuasai
oleh negara yang penyelenggaraanya dilakukan oleh Pemerintah dan
pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh pemerintah dilakukan oleh
BUMN dan BUMD, berbeda halnya dengan Permen ESDM Nomor 19
Tahun 2009 yang tidak mencerminkan prioritas kepada perusahaan negara
dengan membuka kesempatan yang sama pasa semua jenis badan usaha.
xxxvii
Ke-empat penegasan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Nomor 149/PUU-VII/2009 tentang Ketenagalistrikan tersebut dapat
berimplikasi pada kebijakan unbundling yang menimpa PT PGN sebagai
perusahaan negara, alasan-alasan pemohon, keterangan ahli, pertimbang
hukum hakim setidaknya bisa mencerminkan bahwa makna yang terdapat
dalam unbundling dalam Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tersebut
tidak sejalan dengan konsep penguasaan negara terhadap sumber daya
energi sehingga tidak dapat terwujudnya kesejahteraan sosial sebagaimana
pendapat ahli dari Sri Edi Swasono yang memberikan keterangan bahwa
dalam memaknai penguasaan negara tidak boleh dilepaskan dari cita-cita
mencapai
mencapai
kesejahteraan
sosial
yaitu
perokonomian
diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat, unbundling hanya
akan menggusur penguasaan negara melalui BUMN dan menggusur Pasal
33 UUD NRI Tahun 1945. Sehingga setidaknya apabila konsep regulasi
unbundling dalam Permen ESDM mempriortaskan BUMN seperti halnya
yang dijelaskan pada putusan tersebut, maka tidak akan mustahil
terwujudnya kesejahteraan sosial pasalnya menurut Elizabeth Wickenden
Kesejahteraan sosial mencakup undang-undang yang diakui cerminan dasar
kesejahteraan penduduk dan keberfungsian yang lebih baik, sehingga
peraturan yang lebih baik tentunya pasti mencerminkan kesejahteraan sosial
(Adi Fahrudi, 2012:20). Menurut Bagir Manan kesejahteraan sosial dan hak
menguasai negara saling terikat, sehingga segala produk peraturan
setidaknya mencerminkan kewajiban negara sebagai berikut (Bagir Manan,
2004: 233)
a. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam),harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat
xxxviii
c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun
yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 149/PUU-VII/2009
tentang Ketenagalistrikan berkali-kali menegaskan pentingnya penguasaan
negara sehingga melarang adanya unbundling pada pemisahaan badan usaha
karena tidak mencerminkan penguasaan negara , sehingga apabila putusan
ini dipahami lebih tegas bagi sektor gas bumi tentu unbundling tidak
mewujudkan kesejahteraan sosial, perubahan pada aturan Permen ESDM
Nomor 19 Tahun 2009 yang memaknai putusan ini tentu akan mengarah
pada terwujudnya kesejahteraan sosial sebagaimana fungsi dari Mahkamah
Konstitusi sebagai nalar konstitusi yang selalu menjaga kepentingan rakyat
yang tercermin pada setiap putusannya.
xxxix
Download