BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cake merupakan salah satu bentuk produk makanan semi basah yang banyak diminati anak-anak hingga orang dewasa. Cake mempunyai rasa manis, kaya akan lemak dan gula yang diperoleh dari proses pemanggangan. Dalam pembuatan adonan cake memerlukan empat macam bahan dasar yang paling utama digunakan tepung terigu, telur dan susu serta gula halus dan lemak (Iriyanti, 2012). Pound cake adalah salah satu jenis cake yang pembuatannya diawali dengan pengocokan mentega hingga pucat dan lembut lalu memasukkan telur satu per satu sambil terus mengocoknya hingga kental dan mencampurnya dengan bahan kering dan diselesaikan dengan pengovenan dan jadilah cake yang padat dengan remah kasar (Ningrum, 2012). Seiring dengan perkembangan zaman, cake memiliki banyak variasi dengan menggunakan berbagai jenis bahan pangan lain yang bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi maupun nilai fungsionalnya misalnya penggunaan tepung komposit kacang merah, kedelai dan jagung untuk memperbaiki sifat tekstural, reologi produk dan sumber protein nabati yang kaya serat pangan, senyawa fungsional dan indeks glikemik rendah (Astuti dkk, 2014), penggunaan tepung singkong terfermentasi dan tepung kacang merah pada penelitian Hanastiti (2013), penggunaan kacang tunggak pada penelitian Susilo dan Fenny (2007) untuk meningkatkan kandungan proteinnya, penggunaan tepung kimpul pada penelitian Rafika dkk (2012) untuk meningkatkan kandungan karbohidratnya, dan penggunaan tepung labu kuning pada penelitian Masruroh (2009) untuk meningkatkan kandungan β karotennya. Kandungan vitamin A pada cake masih terbatas. Menurut Godam (2015), komposisi gizi cake per 100 gr terdiri dari protein 7,1 gr, lemak 19,8 gr, karbohidrat 57, 1 gr, kalsium 15 mg, fosfor 160 mg, zat besi 0,8 mg, vitamin A 65 IU, vitamin B1 0,06 mg, vitamin C 1 mg. Penggunaan bahan tambahan non terigu yang kaya akan vitamin A masih terbatas. Hal ini cukup ironis mengingat angka kejadian defisiensi vitamin A yang cukup tinggi. Pemenuhan vitamin A dapat dilakukan dengan mengkonsumsi provitamin A yang utama yaitu β karoten. Di Indonesia, pada tahun 2006 rata-rata prevalensi KVA (Kurang Vitamin A) sub klinis (Serum Vitamin A <20 µg/dl) dari 7 provinsi (Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Banten, Bali, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara) sebesar 11,4% (Herman, 2007). Maka dari itu dilakukan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) kepada anak setiap bulan Februari dan Agustus. Kebutuhan vitamin A pada anak-anak yaitu 500 µg/hari, pada wanita dewasa 500 µg/hari dan pada pria dewasa sebesar 600 µg/hari (Kemenkes RI, 2014). Vitamin A berfungsi melindungi mata dari beberapa penyakit mata, dapat memperhalus kulit, berperan pada integritas sel epitel, imunitas, dan reproduksi. Selain itu, fortifikasi vitamin A ke dalam makanan belum memberikan kontribusi yang bermakna dan tingkat konsumsi vitamin A pada masyarakat pada umumnya juga masih rendah. Maka perlu dilakukan upaya fortifikasi vitamin A ke dalam makanan, agar asupan vitamin A tidak semata-mata tergantung dari kapsul vitamin A (Herman, 2007). Kebutuhan vitamin A dapat dipenuhi dengan cara mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung β karoten cukup tinggi. Labu kuning termasuk salah satu jenis tanaman makanan yang memiliki kandungan β karoten yang tinggi yaitu sebesar 1,57-3,10 mg/100 g bahan (Mien dkk, 2009 dalam Nurhidayanti, 2011). Selain itu, dalam 100 gr labu kuning juga mengandung energi sebesar 26 kkal, protein 1 g, lemak 0,1 g, abu 0,8 g, karbohidrat 6,5 g, serat 0,5 g, gula 1,36 g, kalsium 21 mg, magnesium 12 mg, fosfor 44 mg, asam askorbat 9 mg, vitamin B1 0,05 mg, vitamin B2 0,11 mg dan vitamin B3 0,60 mg (Fang, 2008). Buah ini juga mengandung inulin dan serat pangan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan kesehatan, khususnya saluran pencernaan (Hendrasty, 2003). Di Indonesia labu kuning (Cucurbita moschata) memiliki nama yang cukup dikenal yaitu waluh. Penyebaran buah labu kuning telah merata di Indonesia karena di samping cara penanaman dan pemeliharannya mudah buah labu kuning memang dapat menjadi sumber pangan yang dapat diandalkan. Menurut Slamet (2014), produktivitas labu kuning tahun 2006-2013 sebesar 14 ton/ha. Salah satu cara mudah untuk memanfaatkan buah labu kuning adalah diolah menjadi tepung labu kuning. Tepung labu kuning native memiliki kelemahan dari sifat fungsionalnya, diantaranya menggumpal, kurang dapat mengembang dan sedikit mengikat air (Yanuwardana dkk, 2013). Substitusi tepung labu kuning native dalam pembuatan cake berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Padmawati (2007) dengan tingkat substitusi sebesar 0, 10, 20, 30, 40, dan 50%, menunjukkan bahwa cake yang disubstitusi 20% tepung labu kuning native masih dinyatakan dapat diterima oleh panelis. Hal ini dikarenakan semakin tinggi substitusi tepung labu kuning akan menurunkan tingkat kelembutan dan penerimaan cake secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi tepung labu kuning sehingga dapat memperbaiki karakteristiknya. Salah satu modifikasi tepung labu kuning yang berpotensi diaplikasikan pada cake adalah modifikasi dengan hidrolisis asam. Secara umum, modifikasi dengan hidrolisis asam memiliki beberapa keunggulan yaitu membutuhkan biaya yang rendah, waktu lebih singkat dan metode yang relatif mudah sehingga lebih menguntungkan apabila digunakan dalam industri pangan (Yanuwardana dkk, 2013). Selain itu, keunggulan sifat fisikokimia yang dimiliki oleh pati terasetilasi seperti suhu gelatinisasi, swelling power, solubility, dan tingkat kejernihan pasta (paste clarity) yang tinggi, serta memiliki stabilitas penyimpanan dan pemasakan yang lebih baik jika dibandingkan dengan pati asalnya (Raina et al., 2006). Reagen asam yang digunakan adalah asam asetat. Asam asetat adalah asam organik yang aman digunakan dalam pangan (Khasanah, 2015). Selain itu harganya murah dan memiliki toksisitas yang rendah (Hadittama, 2009). Berdasarkan penelitian Triyani dkk (2013) tepung labu kuning yang dimodifikasi dengan asam asetat pada konsentrasi 0,15% dan lama perendaman 90 menit memiliki karakteristik swelling power yang cukup tinggi (12,76 g/g) dan kandungan β karoten yang tinggi (992,45 µg/g). Tingginya nilai swelling power serta kandungan β karoten membuat tepung labu kuning termodifikasi asam asetat ini berpotensi diaplikasikan pada pembuatan pound cake. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan substitusi tepung labu kuning termodifikasi asam asetat pada pembuatan pound cake yang selanjutnya pound cake yang dihasilkan akan dianalisis sensoris, fisik dan kimia. B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Bagaimana pengaruh substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat terhadap sifat sensoris pound cake? 2. Bagaimana pengaruh substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat terhadap sifat fisik pound cake? 3. Bagaimana pengaruh substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat terhadap sifat kimia pound cake? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat terhadap sifat sensoris pound cake. 2. Mengetahui pengaruh substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat terhadap sifat fisik pound cake. 3. Mengetahui pengaruh substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat terhadap sifat kimia pound cake. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Dapat memberikan informasi mengenai tingkat substitusi tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi asam asetat yang menghasilkan pound cake yang disukai panelis. 2. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengembangan produk berbahan dasar labu kuning (Cucurbita moschata).