BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Perspektif/Paradigma Kajian

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Perspektif/Paradigma Kajian
Paradigma bukanlah teori-teori, namun lebih merupakan cara berfikir atau
pola-pola untuk penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu
teori. Jadi, paradigma merupakan keseluruhan susunan kepercayaan dan asumsiasumsi yang dipegang bersama yang dipakai oleh peneliti dalam memandang
fokus masalah penelitiannya.
Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan
kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk
mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi
melalui model-model tertentu. Model-model tersebut biasanya disebut dengan
paradigma. Paradigma merupakan model atau pola tentang bagaimana sesuatu
distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif dan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Paradigma interpretatif
ini dipakai pada penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini mengarahkan
peneliti untuk mengetahui bagaimana cara masuk kedalam dunia konseptual para
subjek yang diteliti dengan sedemikian rupa sehingga dapat memahami
bagaimana pembentukan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah
umum/integrasi.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan Interpretatif atau hermeneutik (interpretative/hermeneutik
approach) melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh
partisipan. Dan peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan.
Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan pada objektivitas karena
sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh
partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti. Dalam tradisi ini, peneliti
percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa
peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya
secara jelas kepada pembacanya, karena nilai-nilai akan secara alami masuk ke
dalam penelitian (Richard & Lynn dalam buku pengantar teori komunikasi,
2008:95).
Teori komunikasi interpretatif ini antara lain mengadopsi teori interaksi
simbolis, teori hermenuetik, teori semiotika, maupun teori simbol. Teori ini
berkembang sangat pesat dalam bidang komunikasi, karena perkembangan media
komunikasi yang begitu pesat, terutama media cetak dan elektronik. Bahasa
komunikasi berkembang dengan pesat dan modern, begitu pula perilaku orang
berkomunikasi ikut berubah. Dari konteks inilah, maka berkembang teori
interpretatif dalam kancah komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
II.2 Kajian Pustaka
II.2.1 Interaksionisme Simbolik
Perspektif ini sebenarnya dibawah payung fenomenologi dan perspektif
interpretatif. Maurice Natason, seperti dikutip Mulyana (2001), menggunakan
istilah fenomenologis sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua
pandangan pengetahuan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan
makna subyektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Jadi
interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia,
bukan struktur masyarakat. Struktur sendiri tercipta dan berubah karena interaksi
manusia, yakni ketika individu-individu berfikir dan bertindak secara stabil
terhadap seperangkat obyek yang sama.
Interaksi
simbolik
didasarkan
pada
ide-ide
mengenai
diri
dan
hubungannya dengan masyarakat. George Herbert Mead mengagumi kemampuan
manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak
berdasarkan makna simbolik yang muncul didalam sebuah situasi tertentu.
Maksudnya makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang, baik untuk
berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran
pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan
mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah
komunitas. Ralph LaRossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa
interaksionisme simbolik adalah pada intinya sebuah kerangka referensi untuk
memahami bagaimana manusia bersama dengan orang lain menciptakan dunia
simbolik dan bagaimana dunia ini sebaliknya membentuk perilaku manusia.
Universitas Sumatera Utara
Tema dan Asumsi Interaksionisme Simbolik
1. Pentingnya Makna bagi Perilaku Manusia
Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses
komuniksai karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan
konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna, bahkan
tujuan dari teori ini adalah menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena
tanpa makna yang sama, berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan
tidak mungkin. Sebagai contoh (“Sudah saya katakan untuk bersiap-siap secepat
mungkin.” “Satu jam adalah waktu tercepat bagi saya bersiap-siap.” “Tetapi yang
saya maksud adalah kamu sudah harus siap dalam waktu 15 menit.” “Kamu tidak
mengatakan hal itu!.”) Kita berbicara dengan lawan bicara, dan berharap dia dapat
melakukan apa yang kita maksud dengan tepat, tanpa harus menjelaskan semua
makna untuk setiap kata yang kita gunakan (Herbert Blumer dalam buku
pengantar teori komunikasi, 2008:99)
•
Asumsi-asumsinya:
a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang
diberikan orang lain kepada mereka. Asumsi ini menjelaskan perilaku
sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara
sadar antara rangsangan dan respons yang berkaitan dengan rangsangan
tersebut. Sebagai contoh, kita sering kali melihat usia sebagai ukuran dari
banyak tidaknya pengalaman/menghubungkan usia dengan pengalaman.
b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Mead menekankan dasar
intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika
Universitas Sumatera Utara
orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai symbol yang
mereka pertukaran dalam interaksi.
c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Blumer menyatakan bahwa
proses interpretif ini memiliki dua langkah. (1) Para pelaku menentukan
benda-benda yang mempunyai makna. (2) Melibatkan perilaku untuk
memilih, mengecek dan melakukan transformasi makna di dalam konteks
di mana mereka berada.
2. Pentingnya Konsep Diri.
Tema kedua pada teori ini berfokus pada pentingnya konsep diri (selfconcept), atau seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang
mengenai dirinya sendiri. Karakteristik yang diakui oleh Roger tentang ciri-ciri
fisik, talenta, keadaan emosi, keterampilan dan keterbatasan sosial membentuk
konsep dirinya. Pernyataan ini merupakan hal yang sangat penting untuk
Interaksionisme Simbolik.
•
Asumsi-asumsinya:
a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan
diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain.
Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri
mereka melalui interaksi. Sebagai contoh, bayi tidak mempunyai perasaan
mengenai dirinya sebagai individu dan ketika sudah setahun, dia mulai
membedakan diri dari alam sekitarnya. Ini merupakan perkembangan
Universitas Sumatera Utara
paling awal dari konsep diri.
b. Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Pemikiran bahwa
keyakinan,
nilai,
mempengaruhi
perasaan,
perilaku
penilaian-penilaian
adalah
sebuah
prinsip
mengenal
diri
penting
pada
interaksionisme simbolik. Mead berpendapat bahwa karena manusia
memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan
dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan
sikap. Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa merasa mampu dalam
pelajaran teori komunikasi, maka akan sangat mungkin bahwa dia akan
berhasil dengan baik dalam pelajaran itu (Herbert Blumer dalam buku
pengantar teori komunikasi, 2008:100).
3. Hubungan antara individu dan masyarakat.
Tema ini berkaitan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Dalam hal ini
dicoba dijelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
•
Asumsi-asumsinya:
a. Orang dan Kelompok Dipengaruhi oleh Proses Budaya dan Sosial. Asumsi
ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku manusia.
Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita
anggap penting dalam konsep diri. Sebagai contoh, jika dalam kehidupan
sehari-hari kita berpakaian apa adanya, tetapi jika akan menghadiri suatu
event formal, berpakaianlah selayaknya sesuai kebutuhan atau pantas
secara sosial dengan konteks tertentu.
Universitas Sumatera Utara
b. Struktur Sosial Dihasilkan melalui Interaksi Sosial. Asumsi ini menengahi
posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik
mempertanyakan pendangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta
mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Dengan
demikian para peserta dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak
secara penuh dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain, manusia adalah
pembuat pilihan.
Konsep Penting dalam Interaksi Simbolik
1. PIKIRAN (mind)
Sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama. Manusia tidak dapat berinteraksi dengan orang lain apabila belum
mengenal bahasa. Bahasa itu sendiri tergantung pada simbol signifikan
(significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama
bagi banyak orang. Dengan bahasa, manusia dapat mengembangkan pikiran
menjadi pemikiran (thought) dan akhirnya menghasilkan pengambilan peran (role
taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri
dalam diri khayalan orang lain.
2. DIRI (self)
Sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang
lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran yang
khusus – maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Mead
meminjam konsep Charles Cooley (1912), cermin diri (looking-glass-self), atau
Universitas Sumatera Utara
kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dan pandangan
orang lain.
3. MASYARAKAT (society)
Sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu
terlibat didalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan
suka rela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat
perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum
individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan
tindakan sejalan dengan orang lainnya (Forte, 2004). Ada dua bagian penting
masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri, yaitu:
• Orang lain secara khusus (particular others), merujuk pada individu-individu
dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah
anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja serta supervisor. Kita melihat
orang lain secara khusus tersebut untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan
rasa mengenai diri. Sering kali pengharapan dari beberapa particular others
mengalami konflik dengan orang lainnya.
• Orang lain secara umum (generalized others), merujuk pada cara pandang dari
sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai keseluruhan. Hal ini diberikan oleh
masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari
keseluruhan komunitas” (Mead, 1934). Orang lain secara umum memberikan
menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki oleh
komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai
bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum.
Universitas Sumatera Utara
Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial. Orang lain
secara umum dapat membantu dalam menengahi konflik yang dimunculkan oleh
kelompok-kolompok orang lain secara khusus yang berkonflik.
II.2.2 Penetrasi Sosial
Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor.
Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses
komunikasi interpersonal.
Altman dan Taylor (1973) membahas tentang bagaimana perkembangan
kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan
mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui
proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of
exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”
Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah.
Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan
kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan
lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.
Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang
terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara
umum, tidak ditutup-tutupi. Dan jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit
lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang,
Universitas Sumatera Utara
lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya
terbuka bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya.
Dan lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di
dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum
terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat
oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau orang terdekat
manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling
berperan dalam kehidupan seseorang.
Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat
dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.
Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian
yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat
dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini.
Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan
beberapa penjabaran sebagai berikut:
•
Pertama, Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada
lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol
tentang hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain,
daripada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan
personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka
lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin
sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang
lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.
Universitas Sumatera Utara
•
Kedua, keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik),
terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada
awal suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias
untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi
semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi,
biasanya keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat, tidak secepat pada
tahap awal hubungan mereka. Dan juga semakin tidak bersifat timbal
balik.
•
Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang
ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada
istilah “langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu
proses yang panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal
yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya
akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan
tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu
untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil,
lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.
•
Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin
memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar,
maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini
tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat
bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin memudar.
Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi,
keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam
Universitas Sumatera Utara
beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada
seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat
membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya.
Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori
penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis).
Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor
untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan
indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga
yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan
tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan
lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.
Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold
Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut
mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain
adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.
Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan
keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan
orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untungrugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan
jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk
membina relasi lebih lanjut.
Menurut teori pertukaran sosial, ada kesulitan dalam menentukan atau
memprediksi keuntungan apa yang akan didapatkan dalam suatu hubungan atau
Universitas Sumatera Utara
relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang dianggap sebagai
“keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori pertukaran sosial
mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan perbandingan atau
tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal.
a. terkait dengan relative satisfaction (kepuasan relatif): seberapa jauh
hubungan interpersonal tersebut dapat membuat kita bahagia atau justru
tidak bahagia. Thibaut dan Kelley menyebut hal ini sebagai comparison
level.
Sebagai contoh, comparison level dalam hal pertemanan, asmara,
hubungan keluarga, banyak dipengaruhi oleh bagaimana sejarah hubungan
interpersonal di masa lalu. Kita menilai nilai suatu hubungan berdasarkan
perbandingan dengan pengalaman kita di masa yang lampau. Kita
cenderung
menyimpan
secara
baik
kenangan
dalam
hubungan
interpersonal dengan pihak lain untuk dijadikan semacam perbandingan
dalam hubungan interpersonal di masa sekarang dan di masa depan.
b. oleh Thibaut dan Kelley disebut sebagai the comparison level of
alternatives. Pada tahapan ini muncul suatu pertanyaan dalam hubungan
interpersonal. Kita mulai mempertanyakan kemungkinan apa yang ada di
luar hubungan yang sedang dijalani tersebut. Pertanyaan tersebut antara
lain
Contoh, “Apakah saya akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
jika saya berhubungan dengan orang yang lain?” atau pertanyaan
“Kemungkinan terburuk apa yang akan saya dapatkan jika saya tetap
berhubungan dengan orang ini?”.
`Semakin menarik kemungkinan yang lain di luar hubungan tersebut maka
ketidakstabilan dalam hubungan akan semakin besar. Dalam hal ini terkesan teori
pertukaran sosial ini lebih mirip dengan kalkulasi ekonomis tentang untung-rugi.
Banyak pihak yang menyebutkan teori ini sebagai theory of ecomonic behavior.
Tidak seperti comparison level, comparison level of alternatives tidak
mengukur tentang kepuasan. Konsep ini tidak menjelaskan mengapa banyak
orang yang tetap bertahan dalam suatu hubungan dengan orang yang sering
menyiksa dirinya, sering menyakiti.
Maka menurut teori ini, kunci dari suatu hubungan yang akan tetap terbina adalah
sejauh mana suatu hubungan itu memberikan keuntungan, sejauh mana hubungan
tersebut mampu menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan tersebut tetap
stabil, dan tidak adanya kemungkinan yang lain yang lebih menarik daripada
hubungan yang sedang mereka jalani tersebut.
Teori
ini
juga
tidak
mengungkapkan
persoalan
gender
dalam
penjelasannya. Padahal perbedaan gender akan sangat berpengaruh kepada
persoalan keterbukaan-diri dalam relasi interpersonal. Bahkan penelitian
selanjutnya dari Altman dan Taylor mengungkapkan bahwa males are less open
than females.
Universitas Sumatera Utara
II.2.3 Self Disclosure
Proses pengungkapan diri (self disclosure) adalah proses pengungkapan
informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain atau sebaliknya. Pengungkapan
diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan
yang terjadi pada dirinya. Proses pengungkapan diri dilakukan dalam dua bentuk;
pertama, dilakukan secara tertutup, yaitu seseorang mengungkapkan informasi diri
kepada orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi melalui ungkapan dan
tindakan, dimana ungkapan dan tindakan itu merupakan sebuah keterbukaan
tentang apa yang terjadi pada diri seseorang. Dalam teori interaksi simbolis,
bahwa semua tindakan, perkataan dan ungkapan seseorang memiliki makna
interaksi tentang apa yang sedang dipikirkan. Jadi, tindakan adalah ekspresi dari
apa yang ada dalam pikiran seseorang.
Ahli
lain,
Joseph
Luft
(Reardon,
1987:163,
Sendjaja,
2002),
mengemukakan teori self disclosure lain yang didasarkan pada model interaksi
manusia, yang disebut Johari Window. Seseorang memiliki atribut yang hanya
diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain, dan tidak diketahui oleh siapa pun.
Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah orang lain akan
menerima atau menolak, bagaimana mereka ingin orang lain mengetahui tentang
mereka akan ditentukan oleh bagaimana individu dalam mengungkapkan dirinya.
Secara harfiah, yaitu membuka diri atau proses pengungkapan informasi diri
pribadi seseorang kepada orang lain/sebaliknya. Meskipun self disclosure
mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya.
Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu
Universitas Sumatera Utara
tentang diri kita pada orang lain akan menghasilkan efek positif atau malah efek
negatif bagi hubungan kita dengan orang tersebut.
Tujuan Self Disclosure
Kita mengungkapkan informasi ke orang lain dengan beberapa alasan.
Menurut Derlega & Grzelak (dalam Taylor, 2000), lima alasan utama untuk
pengungkapan diri adalah :
1. Expression
Kadang-kadang
individu
membicarakan
perasaannya
untuk
pelampiasan.
Mengekspresikan perasaan adalah salah satu alasan untuk penyingkapan diri.
2. Self Clarification
Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain, individu
mungkin mendapat self-awareness dan pemahaman yang lebih baik. Bicara
kepada teman mengenai masalah dapat membantu individu untuk mengklarifikasi
pikirannya tentang situasi yang ada.
3. Social Validation
Dengan melihat bagaimana reaksi pendengar pada pengungkapan diri yang
dilakukan, individu mendapat informasi tentang kebenaran dan ketepatan
pandangannya.
Universitas Sumatera Utara
4. Social Control
Individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang
dirinya, sama seperti arti dari kontrol sosial. Individu mungkin menekan topik,
kepercayaan atau ide yang akan membentuk pesan yang baik pada pendengar.
Dalam kasus yang ekstrim, individu mungkin dengan sengaja berbohong untuk
mengeksploitasi orang lain.
5. Relationship Development
Banyak penelitian yang menemukan bahwa kita lebih disclosure kepada orang
dekat dengan kita, seperti : suami/istri, keluarga, sahabat dekat. Penelitian lain
mengklaim bahwa kita lebih disclosure pada orang yang kita sukai daripada orang
yang tidak kita sukai. Kita lebih sering untuk terbuka kepada orang yang
sepertinya menerima, memahami, bersahabat, dan mendukung kita.
II.2.4 Kelompok Rujukan
Menurut Dedy Mulyana kelompok adalah sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai
tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai
bagian dari kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya adalah keluarga,
kelompok diskusi, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu
keputusan. Pada komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi,
karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi
komunikasi kelompok.
Universitas Sumatera Utara
Kelompok Keanggotaan dan Kelompok Rujukan
Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan
(membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok
keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan
fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah
kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri
atau untuk membentuk sikap.
II.2.5 Tunanetra
Definisi Tunanetra
Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang
mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, individu dengan
kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau rabun
adalah bagian dari kelompok tunanetra. Maka, pengertian tunanetra adalah
individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai
saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang
berpenglihatan normal. Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui
dalam kondisi berikut :
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
berpenglihatan normal,
b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
Universitas Sumatera Utara
c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
d. Terjadi kerusakan susunan saraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan.
Seseorang akan tunanetra bila ketajaman peglihatannya (visualnya) kurang
dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, seseorang hanya mampu membaca huruf pada
jarak 6 meter yang oleh orang berpenglihatan normal dapat dibaca pada jarak 21
meter (Somantri, 2006: 66). Berdasarkan acuan tersebut tunanetra dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (Somantri, 2006 : 65):
a. Buta
Dikatakan buta jika sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari
luar (visusnya=0).
b. Low Vision
Bila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya
lebih dari 6/21, atau jika hanya mampu membaca “headline” pada surat kabar.
Berdasarkan definisi World Health Organization (WHO) 1, seseorang
dikatakan low vision apabila :
1. Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan
pengobatan, misalnya operasi atau koreksi refeleksi standar (kacamata
atau lensa)
1
Dikutip dari http://bamperxii.com/2008/11/pengertian-tuna-netra.html yang diakses
pada 20 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
2. Mempunyai ketajaman kurang dari 6/18 sampai menerima persepsi
cahaya
3. Luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi.
Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, klasifikasi tunanetra secara garis
besar terbagi atas empat, yaitu:
1. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan :
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni sejak dalam kandungan atau
sebelum satu tahun sudah mengalami kebutaan. Tidak memiliki konsep
penglihatan. Perlu adanya bantuan dari orang dan lingkungan sekitar untuk
melatih indra yang masih dimiliki.
b. Tunanetra batita, yaitu mengalami tunanetra pada usia di bawah 3 tahun.
Konsep penglihatan yang ada akan cepat hilang. Kesan visual (konsep benda
dan lingkungan) tidak bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya.
c. Tunanetra balita, yaitu mengalami tunanetra pada usia di bawah 5 tahun.
Pada usia ini konsep penglihatan yang telah terbentuk cukup berarti bagi
kehidupan selanjutnya. Kesan yang pernah terbentuk tidak hilang dan harus
tetap dikembangkan. Informan pertama dan kedua yaitu Timson dan Siska
termasuk dalam kategori tunanetra balita ini, karena mereka mengalami
kebutaan sejak umur 3 tahun dan disebabkan karena sakit.
d. Tunanetra pada usia sekolah, yakni meliputi tunanetra pada usia 6-12 tahun.
Konsep penglihatan telah terbentuk dan telah memiliki banyak kesan visual,
seperti rumah, wajah teman yang ceria, dan sebagainya. Tidak jarang
mengalami gangguan jiwa yang lebih hebat daripada tunanetra balita karena
merupakan usia dimana anak bermain dan bersekolah.
Universitas Sumatera Utara
e. Tunanetra remaja, yakni tunanetra yang terjadi pada usia 13-19 tahun. Kesan
visual yang dimiliki sangat dalam. Akan mengalami goncangan jiwa yang
berat sebab terjadi konflik jasmani dan batin. Merasakan frustasi karena
secara jasmani tak dapat lagi melihat padahal kebutuhannya masih sama saat
masih dapat melihat. Membutuhkan bimbingan agar dapat berkembang
secara
utuh
sehingga
dapat
melakukan
interaksi
sosial
dengan
lingkungannya.
f.
Tunanetra dewasa, yaitu mengalami tunanetra pada usia 19 tahun ke atas.
Telah memiliki keterampilan yang mapan dan kemungkinan pekerjaan yang
diharapkan. Kebutaan merupakan pukulan yang cukup berat, tetapi sedikit
yang mengakibatkan goncangan jiwa, frustasi, dan putus asa 2.
2. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan :
a. Defective vision/low vision, yakni mereka yang memiliki hambatan dalam
penglihatan, akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program
pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan
fungsi penglihatan. Informan keempat, Mesran merupakan seorang yang low
vision karena dia masih bisa mengandalkan sedikit penglihatannya.
b. Partially sighted, yaitu mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan,
hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mambaca tulisan yang bercetak tebal.
c. Totally blind, yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat. Informan
pertama, kedua, ketiga dan kelima termasuk dalam kategori totally blind
2
Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/anak_berkebutuhan_khusus yang diakses
pada 20 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
karena mereka tidak dapat mengandalkan kedua penglihatannya lagi (buta
total).
3. Berdasarkan pemeriksaan klinis :
a. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau
memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
b. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai
dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata :
a. Mayopia, yaitu penglihatan jarak dekat, banyak yang tidak terfokus dan
jatuh di belakang retina. Penglihatan akan terlihat jelas kalau objek
didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita mayopi
digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
b. Hyperopia, yaitu penglihatan jarak jauh, bayak yang tidak terfokus dan jatuh
di depan retina. Penglihatan akan terlihat jelas jika objek dijauhkan. Untuk
membantu proses pemulihan, penderita menggunakan kacamata koreksi
dengan lensa positif.
c. Astigmatisma, yaitu penyimpanan atau penglihatan kabur yang disebabkan
karena kerusakan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga banyak benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus
jatuh
pada
retina.
Untuk
membantu
proses
pemulihan,
penderita
menggunakan kacamata koreksi dengan lensa silinder.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan
Ketunanetraan seseorang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah
itu faktor dari dalam diri individu (internal) ataupun faktor dari luar diri individu
(eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat
hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan, sepert faktor
gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan
obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal di
antaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan.
Misalnya kecelakaan, terkena penyakit sipilis yang mengenai matanya saat
dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem
persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, trachoma, panas
badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri ataupun
virus.
Universitas Sumatera Utara
II.3 Model Teoritik
Mata merupakan tahap pertama dalam proses komunikasi dan pembentuk
kepercayaan. Namun tidak pada tunanetra, keterbatasan fisik membuat
komunikasi tidak berjalan sempurna (pesan nonverbal tidak tersampaikan)
karena keterbatasan tersebut.
Komunikasi kelompok pada anak tunanetra di integrasi
Komitmen :
-
Kedekatan :
Mendapat
nilai
bagus
Harus bisa masuk
ke lingkungan sosial
-
Interaksi dengan orang
awas
Pemberian kepercayaan
Mulai membuka diri dan
menerima
lingkungan
sekitar
Proses Komunikasi Kelompok terbentuk karena adanya rasa keterikatan dan
saling membutuhkan pada anak tunanetra di integrasi
Faktor Pendukung dalam
Komunikasi Kelompok
Rujukan anak tunanetra
Faktor Penghambat dalam
Komunikasi Kelompok Rujukan
anak tunanetra
Pembentukan konsep diri
anak tunanetra
Sumber : Peneliti, 2012
Universitas Sumatera Utara
Download