Peran Inhibitor Sodium Glucose Co-transporter 2

advertisement
CONTINUING PROFESSIONAL
CONTINUING
DEVELOPMENT
PROFESSIONAL CONTINUING
DEVELOPMENT
MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PP IAI–2 SKP
Peran Inhibitor Sodium
Glucose Co-transporter 2 (SGLT2)
pada Terapi Diabetes Melitus
Andy Luman
Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan – Indonesia
ABSTRAK
Inhibitor sodium glucose co-transporter 2 (SGLT2) merupakan suatu jenis obat antidiabetik dengan mekanisme kerja unik, yaitu menghambat
secara spesifik SGLT2, suatu sistem transpor predominan reabsorpsi glukosa dari filtrasi glomerulus, sehingga penghambatan SGLT2
menurunkan reabsorpsi glukosa dari urin dan selanjutnya akan menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes.
Kata kunci: Diabetes, glukosuria, inhibitor SGLT2
ABSTRACT
Inhibitor of sodium glucose co-transporter 2 (SGLT2) is a type of antidiabetic drug with a unique mechanism of action, which specifically
inhibits SGLT2, a predominant transport system of glucose reabsorption from glomerular filtration, thus lowering the SGLT2 inhibition of
glucose reabsorption from urine that can lower blood glucose levels in diabetic patients. Andy Luman. Role of Inhibitor Sodium Glucose
Co-transporter 2 (SGLT2) in Diabetes Mellitus Therapy.
Keywords: Diabetes, glucosuria, SGLT2 inhibitor
PENDAHULUAN
Diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor
risiko mayor dalam progresivitas komplikasi
mikrovaskuler (retinopati, nefropati, dan
neuropati) dan makrovaskuler (penyakit
jantung koroner, serebrovaskuler, dan
pembuluh darah perifer). Studi United
Kingdom Prospective Diabetes (UKPDS) menunjukkan bahwa setiap 1% penurunan
hemoglobin terglikasi (HbA1c) berhubungan
dengan pengurangan 37% risiko komplikasi
mikrovaskuler dan 21% risiko komplikasi
terkait-diabetes atau kematian. Konsensus
American Diabetes Association (ADA) dan the
European Association for the Study of Diabetes
(EASD) merekomendasikan target HbA1c
<7% dalam penanganan diabetes, tetapi
sebagian besar pasien gagal memenuhi
nya; hingga saat ini, belum dijumpai agen
penurun glukosa darah yang ideal secara
farmakologis. Data National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) dari
Alamat korespondensi
498
tahun 2003-2006 menunjukkan hanya 57,1%
pasien diabetes dewasa yang mencapai
target HbA1c <7%; 45,5% memiliki tekanan
darah <130/80 mmHg; 46,5% memiliki
kolesterol LDL <100 mg/dL; dan hanya 12,2%
pasien diabetes yang mencapai ketiga target
tersebut.1-3
Terapi farmakologis yang telah ada berperan
mengurangi resistensi insulin, meningkatkan
sekresi insulin, memperlambat pencernaan
karbohidrat, mempertahankan produksi
glukagon, dan memberikan insulin eksogen.
Terapi obat penurun glukosa tradisional,
seperti metformin, sulfonilurea, dan insulin
umumnya dibatasi oleh efek samping
gastrointestinal, peningkatan berat badan,
dan hipoglikemia. Terapi thiazolidinedion
berhubungan dengan masalah keamanan
kardiovaskuler, peningkatan berat badan, peningkatan risiko fraktur, dan retensi cairan.
Inhibitor
dipeptidilpeptidase-4
(DPP-4)
ditoleransi lebih baik, tetapi memiliki efek
berat badan yang netral. Analog glukagon
like-peptide-1 (GLP-1) memberikan penurunan
berat badan yang moderat, tetapi diberikan
secara injeksi dan penggunaannya dibatasi
oleh efek samping saluran cerna. Peningkatan
prevalensi diabetes tipe 2 dan dikombinasi
dengan keterbatasan terapi yang ada
membutuhkan terapi alternatif baru.2
Suatu kelas obat yang terbaru, yang
dikenal dengan inhibitor sodium glucose
co-transporter (SGLTs) non-selektif telah
dievaluasi dalam uji klinis acak terkontrol
(RCTs). Phlorizin, yang diisolasi dari pohon
apel pada tahun 1835 merupakan inhibitor
alamiah SGLT1 dan SGLT2, dan pernah digunakan untuk penanganan diabetes
sebelum era insulin. Inhibisi baik SGLT1 dan
SGLT2 oleh phlorizin merupakan mekanisme
penting meningkatkan pembuangan glukosa
dan energi pasien diabetes. Namun demikian,
email: [email protected]
CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT
karena SGLT2 merupakan sistem transpor
predominan dalam reabsorpsi glukosa dari
filtrasi glomerulus, penghambatan spesifik
SGLT2 merupakan dasar strategi penanganan
hiperglikemia pada diabetes.4,5
PEMBAHASAN
Peranan Ginjal dalam Homeostasis
Glukosa
Pada kondisi fisiologis, walaupun asupan
harian dan kebutuhan tubuh terhadap
glukosa berfluktuasi besar, mekanisme
homeostasis mempertahankan kadar glukosa
plasma sekitar 90-100 mg/dL dalam periode 24
jam. Peranan ginjal dalam mempertahankan
keseimbangan glukosa pertama kali digambarkan pada tahun 1938. Kontribusi ginjal
terhadap glukoneogenesis sekitar 15-55 g/
hari, atau 20-25% dari glukosa yang dilepas-
kan dalam sirkulasi setelah puasa semalaman.
Sekitar 180 g glukosa difiltrasi oleh ginjal
setiap hari dan hampir seluruh (99%) hasil
filtrasi glukosa direabsorpsi ke dalam sirkulasi
melalui sodium glucose co-transporters (SGLTs)
yang mentranspor sodium dan glukosa ke
dalam sel menggunakan gradien sodium
yang dihasilkan pompa Na-K-ATPase pada
membran sel basolateral. Glukosa kemudian
ditranspor secara pasif oleh glucose
transporter-2 (GLUT2) sesuai dengan gradien
konsentrasinya ke dalam ruang intersitisial.2,3
Dua famili transporter yang terlibat dalam
reabsorpsi glukosa, yaitu GLUTs yang
berfungsi sebagai transporter pasif, dan
SGLTs yang secara sekunder merupakan kotransporter aktif. Dijumpai dua tipe SGLTs:
SGLT1, dengan kapasitas rendah, transporter
berafinitas tinggi terletak secara primer pada
usus halus dan tubulus proksimal ginjal; dan
SGLT2, yang berkapasitas tinggi, transporter
berafinitas rendah yang secara khusus
terdapat pada awal tubulus proksimal
(segmen 1 dan 2), berperan dalam 90%
reabsorpsi glukosa. Sisanya 10% gluksosa direabsorpsi oleh SGLT1 pada bagian tubulus
lebih akhir (segmen 3). Apabila kapasitas
transporter ini telah dilewati (350 mg glukosa/
menit), atau sekitar konsentrasi glukosa
darah 10-11,1 mmol/L pada individu sehat,
glukosa mulai diekskresikan ke dalam urin.
Transpor aktif glukosa dihubungkan dengan
transpor sodium, yang dipertahankan melalui
ekstrusi aktif sodium melewati permukaan
basolateral ke dalam cairan intraseluler.
GLUTs membawa glukosa melewati
membran basolateral menggunakan difusi
terfasilitasi. Reabsorpsi glukosa pada tubulus
proksimal meningkat dengan kenaikan
kadar glukosa plasma hingga mencapai
maksimum transpor glukosa (Tmax). Tmax
biasanya timbul pada laju filtrasi glomerulus
260-350 mg/menit/1,73 m2. Kadar ambang
ginjal untuk glukosa (RTg) merupakan
konsentrasi glukosa plasma di atas kapasitas
SGLT menjadi tersaturasi dan timbul
ekskresi glukosa urin. Kapasitas reabsorpsi
glukosa ini meningkat pada diabetes karena
upregulasi SGLT2 dan GLUT2 pada tubulus
proksimal, menyebabkan hiperglikemia dan
penurunan glukosuria. Tmax meningkat
sekitar 20-40% dibandingkan dengan
individu sehat dan apabila respons adaptif
untuk memastikan asupan kalori telah
cukup, menjadi berlawanan, timbul kondisi
maladaptif meningkatkan glukosa plasma.3,6
Gambar 1. Peran ginjal dalam reabsorpsi glukosa3
Gambar 2. Kadar ambang reabsorpsi dan ekskresi glukosa di ginjal3
CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015
Mekanisme Kerja Inhibitor SGLT2
Konsep penghambatan reabsorpsi glukosa
berkembang dari penemuan penyakit
bawaan dan didapat dengan kontrol glukosa
ginjal terganggu dan sejumlah glukosa
diekskresi ke urin, seperti penyakit mutasi
SGLT2 (insidens 1/20,000 individu di AS) dan
malabsorpsi glukosa-galaktosa (GGM) akibat
mutasi SGLT1 (prevalensi 300 individu dari
keseluruhan populasi). Mekanisme kerja
inhibitor SGLT2 memberikan perubahan
persepsi terhadap glukosuria. Seperti telah
dijelaskan, apabila kapasitas transporter
SGLT2 dilewati, glukosa mulai diekskresikan
ke urin. Sejak dulu, glukosuria merupakan
indikasi kontrol glukosa yang jelek. Namun
demikian, karena mekanisme unik inhibitor
499
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT
SGLT2 menghambat reabsorpsi glukosa
ginjal pada peningkatan kadar glukosa,
adanya glukosuria mengindikasikan bahwa
penghambatan SGLT2 akan mentransfer
glukosa dari darah ke urin, secara esensial
menarik glukosa dari endotelium dan organ
yang rawan terhadap efek bahayanya.
Sebaliknya, glukosuria mengindikasikan
kelebihan glukosa dari darah ke urin, yang
secara signifikan meningkatkan glukosa
darah dan potensial merusak target organ.6
Mayoritas glukosa yang terfiltrasi direabsorpsi
pada awal tubulus proksimal dan karena
inhibitor SGLT non-selektif juga dapat
menghambat GLUT1, penelitian difokuskan
secara spesifik pada SGLT2 sebagai target
molekuler untuk meningkatkan ekskresi
glukosa urin. Secara kimiawi, kebanyakan
inhibitor SGLT2 merupakan glikosida yang dikembangkan dari prototip phlorizin. Dengan
menurunkan kadar ambang ginjal untuk
ekskresi glukosa, inhibitor SLGT2 menekan
reabsorpsi glukosa ginjal dan karenanya
meningkatkan ekskresi glukosa urin. Namun,
inhibitor SGLT2 hanya menghambat
reabsorpsi sekitar 30-50% glukosa yang
difiltrasi ginjal dengan alasan yang belum
Tabel. Inhibitor SGLT2 dan fase pengembangan (Chao 2014)
Compound
Latest Stage
Sponsor
Dapagliflozin
Approved by European Medicines Agency
Canagliflozin
Approved by U.S. Food and Drug Administration
Johnson & Johnson, Mitsubishi Tanabe
Empagliflozin
Phase 3
Boehringer Ingelheim, Eli Lilly
Ipragliflozin
Phase 3
Astellas, Kotobuki
Tofogliflozin
Phase 3
Chugai
Luseogliflozin
Phase 3
Taisho
Ertugliflozin
Phase 2
Pfizer
LX 4211
Phase 2
Lexicon
EGT0001442
Phase 2
Theracos
GW 869682
Phase 2
GlaxoSmithKline
ISIS 388626
Phase 1
Isis
diketahui. Satu hipotesis adalah bahwa
inhibitor SGLT2 dapat secara aktif disekresi
ke dalam tubulus proksimal dan jumlah
inhibitor SGLT2 pada tubulus proksimal dibatasi oleh saturasi sekresi ginjal terhadap
inhibitor pada dosis tinggi; dan bergantung
pada area sekresi, inhibitor dapat tidak
berperan pada peningkatan regulasi SGLT2;
hipotesis lain adalah bahwa selain SGLT2,
terdapat SGLT lain yang mungkin memiliki
peran lebih besar terhadap reabsorpsi
glukosa.3,4
Bristol-Myers Squibb, AstraZeneca
Jenis-jenis Inhibitor SGLT2
Dengan mekanisme baru dari inhibitor
SGLT2, beberapa jenis sediaan berkompetisi
dengan tujuan utama untuk menjadi yang
pertama dan memiliki keuntungan kelas
yang jelas. Namun, hanya canagliflozin yang
telah memperoleh persetujuan US Food
and Drug Administration pada tahun 2013,
sedangkan dapagliflozin dan empaglifozin
masih dalam proses persetujuan FDA.
Beberapa inhibitor SGLT2 lain saat ini masih
dalam uji klinis.4,6
Canagliflozin memperoleh persetujuan FDA
pada 29 Maret 2013, dapat digunakan dengan
diet dan latihan fisik, untuk memperbaiki
kontrol glikemik pada pasien diabetes tipe
2 dewasa. Namun, FDA masih memerlukan
studi post-marketing termasuk uji hasil akhir
kardiovaskuler (CV), program farmakovigilansi
(untuk pemantauan keganasan, kasus
serius pankreatitis, reaksi hipersensitivitas
berat, fotosensitivitas, abnormalitas hepar,
dan efek sampingnya pada kehamilan),
studi keamanan tulang, dan studi pediatrik.
Fase III menunjukkan canagliflozin efektif
menurunkan HbA1c, sebagai monoterapi,
dual therapy, dan triple therapy dengan agen
oral, dan juga dikombinasikan dengan insulin
dengan atau tanpa antidiabetik oral. Melalui
seluruh studi fase III, canagliflozin 100 mg dan
300 mg sekali sehari menurunkan HbA1c
secara signifikan dibandingkan plasebo atau
komparator aktif, penurunan lebih besar
dijumpai pada canagliflozin 300 mg.6
Gambar 3. Mekanisme anti-diabetik inhibitor SGLT2 (Idris & Donnelly 2009)
500
Dapagliflozin merupakan inhibitor SGLT2
pertama yang diajukan ke FDA pada
Desember 2010. Namun, pada 19 Januari
2012, FDA menolak persetujuan dapagliflozin
CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT
dan menganjurkan tambahan data klinis
untuk penilaian yang lebih baik terhadap
profil manfaat-risiko untuk dapagliflozin.
Hal ini meliputi perhatian terhadap kejadian
kanker, terutama kanker payudara dan
kandung kemih. Walaupun pada studi hewan
percobaan, dapagliflozin tidak menunjukkan bukti kejadian kanker, tidak tertutup
kemungkinan peningkatan kadar glukosa
di kandung kemih dapat mempercepat laju
pertumbuhan kanker yang telah ada. Pada
12 November 2012, European Comission
menyetujui penggunaan dapagliflozin 10
mg sekali sehari pada diabetes tipe 2 untuk
memperbaiki kontrol glikemik sebagai
monoterapi jika diet dan latihan fisik sendiri
tidak memberikan kontrol glikemik yang
adekuat pada pasien yang dipertimbangkan
tidak dapat menggunakan metformin
karena intoleransi. Dapagliflozin 10 mg sekali
sehari juga disetujui di Eropa sebagai terapi
tambahan terhadap metformin, sulfonilurea,
atau dengan insulin (+ antidiabetik oral),
bersama diet dan latihan fisik. Dapagliflozin
dosis 2,5; 5; 10; 20; dan 50 mg telah diteliti
pada studi fase III, namun hanya dosis 5 mg
dan 10 mg yang paling relevan dan dapat
digunakan dalam klinis.6
Empagliflozin merupakan inhibitor SGLT2
yang masih dalam penjadwalan New Drug
Application (NDA) untuk diteruskan ke FDA.
Studi fase III menunjukkan empagliflozin
dengan dosis harian 10 mg dan 25 mg
secara efektif menurunkan HbA1c sebagai
monoterapi, dual therapy, dan triple therapy
dengan antidiabetik oral.6
Manfaat Klinis Inhibitor SGLT2
Inhibitor SGLT2 sebagai terapi kombinasi
dan diberikan pada pasien diabetes tipe 2
yang sebelumnya memiliki kontrol glikemik
yang jelek menunjukkan efektivitas dalam:7
- Menurunkan HbA1c
- Memperbaiki penurunan berat badan
jika bersamaan dengan perbaikan gaya
hidup dan diet
- Menurunkan tekanan darah sistolik
- Menurunkan kadar glukosa darah puasa
Efek perbaikan glikemik oleh inhibitor
SGLT2 telah ditunjukkan pada beberapa
studi maupun meta-analisis; studi Bailey,
et al, (2013) terhadap penggunaan
dapaglifozin sebagai tambahan terapi
metformin pada pasien diabetes tipe 2 tidak
CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015
terkontrol menunjukkan penggunaan 102
minggu memiliki efek penurunan HbA1c
(0,48%; 0,58%; 0,78% masing-masing pada
penggunaan dapagliglozin 2,5; 5; dan 10
mg), kadar glukosa darah puasa (1,07-1,47
mmol/L), dan berat badan tanpa peningkatan
risiko hipoglikemi; studi Inagaki, et al, (2014)
untuk penggunaan canagliflozin sebagai
monoterapi atau tambahan antidiabetik
oral menunjukkan penurunan signifikan
kontrol glikemik (penurunan HbA1c dari
0,8%-1,06% dan 0,93%-1,26% masingmasing pada penggunaan canagliflozin 100
mg dan 200 mg); dan efek penurunan berat
badan yang bertahan selama 52 minggu
pengobatan dan ditoleransi baik dengan
kejadian efek samping rendah. Hal serupa
juga ditunjukkan pada studi Stenlof, et al,
(2012) terhadap penggunaan canagliflozin
sebagai monoterapi.8-10
Selain efek penurunan glukosa darah,
inhibitor SGLT2 menunjukkan beberapa efek
tambahan yang dapat bermanfaat untuk
sindrom metabolik, seperti penurunan berat
badan, penurunan tekanan darah (terutama
sistolik), efek positif terhadap panel lipid, serta
penurunan asam urat serum, juga dilaporkan mengindikasikan penurunan kejadian
kardiovaskuler. Inhibitor SGLT2 memberikan
perubahan paradigma penanganan diabetes,
karena dapat memperbaiki efek yang tidak
diharapkan dari diabetes. Inhibitor SGLT2
secara konsisten memperbaiki HbA1c dan
kadar glukosa darah puasa pada semua dosis,
dengan hubungan dosis-respons yang masih
belum jelas. Pada uji RCT, dosis tertinggi
tidak meningkatkan lebih lanjut ekskresi
glukosa ginjal ataupun memberikan manfaat
tambahan terhadap parameter glikemik.5,6
Penurunan berat badan sekitar 1,09 kg
hingga 5,05 kg telah dilaporkan pada studi
inhibitor SGLT2 dan dapat dipertahankan
jangka panjang seperti ditunjukkan pada
studi 2 tahun dengan dapagliflozin.
Penurunan berat badan dengan inhibisi
SGLT2 berbeda antara tingkat awal (pasien
DM yang belum mendapat pengobatan)
dan tingkat lanjut (pasien DM dengan terapi
insulin), dengan penurunan yang lebih besar
dijumpai pada tingkat lanjut (4,30 kg hingga
5,05 kg) dibandingkan tingkat awal (2,00 kg
hingga 2,50 kg). Lebih lanjut, dijumpai korelasi
positif antara berat badan baseline dan
penurunan berat badan pada pasien tingkat
lanjut, sedangkan korelasi ini tidak dijumpai
pada pasien tingkat awal. Penurunan berat
badan yang dijumpai pada canagliflozin dan
dapagliflozin secara predominan (sekitar dua
per tiga) berasal dari kehilangan massa lemak
dibandingkan massa otot dan kehilangan
lemak lebih banyak dijumpai pada jaringan
viseral abdomen dibandingkan jaringan
subkutan abdomen dan dijumpai penurunan
lingkar pinggang sekitar 1,6%-3,5% atau 1,52
cm.3,6
Efek penurunan tekanan darah dijumpai
pada seluruh studi dengan inhibitor SGLT2,
penurunan lebih besar pada tekanan darah
sistolik (1,66 mmHg hingga 6,9 mmHg)
dibandingkan diastolik (0,88 mmHg hingga
3,5 mmHg). Efek tekanan darah ini tidak bergantung-dosis dan tidak disertai perubahan
denyut jantung atau peningkatan kejadian
hipotensi dan/atau sinkop. Penurunan kadar
asam urat secara konsisten dijumpai pada
penggunaan inhibitor SGLT2, berkisar 5,9%17,8% apabila digunakan sebagai monoterapi
atau dengan antidiabetik oral lain, dan dipertahankan hingga 102 minggu. Namun,
apabila digunakan bersamaan dengan insulin,
penurunan asam urat ini berkurang menjadi
3,86%-4,9% mungkin berhubungan dengan
efek hiperurisemia pada hiperinsulinisme.
Efek penurunan tekanan darah dan kadar
asam urat diperkirakan berasal dari induksi
glukosa terhadap diuresis osmotik akibat
inhibisi SGLT2, dan penurunan yang lama dari
tekanan darah dihubungkan dengan inhibisi
lokal sistem renin-angiotensin (RAS). Inhibisi
SGLT2 pada tubulus proksimal menyebabkan
peningkatan kadar sodium melewati tubulus
distal. Sel-sel makula densa dalam tubulus
distal pada apparatus jukstaglomerulus
mendeteksi peningkatan kadar sodium
dan menghambat pelepasan renin dari sel
jukstaglomerulus. Inhibisi RAS ini tidak hanya
menghasilkan penurunan tekanan darah,
namun juga memberikan efek nefroproteksi
karena penurunan tekanan intraglomeruler
dan hiperfiltrasi.5,6,11
Inhibitor SGLT2 juga memiliki efek tidak
konsisten terhadap profil lipid. Secara
keseluruhan, canagliflozin dosis harian 300
mg meningkatkan kolesterol HDL 7,1%10,6%, menurunkan trigliserida 2,3% dan
meningkatkan kolesterol LDL 7,1%. Namun,
efek ini tidak dijumpai pada penggunaan
dapagliflozin.6
501
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT
Penggunaan inhibitor SGLT2 memerlukan
perhatian pada beberapa populasi khusus,
antara lain:
1. Gangguan ginjal: laju ekskresi glukosa
urin bergantung pada fungsi ginjal (laju
filtrasi ginjal/LFG); apabila filtrasi glukosa
berkurang, maka demikian juga glukosa yang
tersedia untuk inhibisi SGLT2. Oleh karena itu,
efek inhibitor SGLT2 dapat berkurang pada
gangguan ginjal moderat dan penurunan
LFG. Pada pasien dengan gangguan ginjal
moderat, canagliflozin berhubungan dengan
penurunan sementara fungsi ginjal dan
tidak dijumpai bukti kerusakan ginjal yang
ditunjukkan pada penurunan rasio urin
albumin-kreatinin dibandingkan plasebo.
Efek serupa juga dijumpai pada penggunaan
dapagliflozin pada gangguan ginjal moderat;
laju fitrasi glomerulus yang bergantungdosis berkurang selama minggu pertama
terapi, kemudian stabil bila dibandingkan
dengan penurunan bertahap fungsi ginjal
pada pasien plasebo. Pada gangguan
ginjal moderat (LFG 45-59 mL/menit) dosis
canagliflozin tidak boleh melebihi 100 mg
per hari dan tidak dianjurkan diberikan
pada pasien dengan LFG <45 ml/menit atau
pasien dengan gangguan hati berat, tidak
ada penyesuaian dosis pada gangguan
hati ringan atau sedang. Penggunaan
dapagliflozin tidak dianjurkan pada pasien
dengan LFG <60 ml/menit atau pasien
dengan kanker kandung kemih; pada pasien
dengan fungsi hepar terganggu yang berat,
dianjurkan dimulai pemberian dengan dosis 5
mg.6,12
2. Usia lanjut dan efek terhadap tulang:
Pasien DM tipe 2 memiliki peningkatan
risiko fraktur tulang, yang dapat meningkat
dengan beberapa antidiabetik, seperti
thiazolidinediones. Diperlukan penilaian efek
inhibitor SGLT2 terhadap struktur tulang dan
fungsinya. Pengobatan dengan canagliflozin
memberikan peningkatan penanda resorbsi
tulang, beta-CTx (17,1%-24,9%) dan penurunan
kecil penanda pembentukan tulang,
prokolagen tipe-1 N-terminal propeptida
(P1NP) (5,7%-6,9%) dibandingkan plasebo.
Namun, walaupun data inhibitor SGLT2 mengindikasikan perubahan penanda resorpsi
dan pembentukan tulang, tidak dijumpai
peningkatan insidens fraktur dibandingkan
plasebo. Dual energy X-ray absorptiometry
(DEXA) menunjukkan perubahan minimal
densitas mineral tulang (BMD) pada tulang
lumbar, lengan bawah, femoral, dan
pinggul.6
Efek Samping Inhibitor SGLT2
Bukti keamanan glukosuria ginjal terhadap
Gambar 4. Representasi skematik efek klinis inhibitor SGLT2 (Idris & Donnelly 2009)
502
fungsi ginjal jangka panjang berasal dari
individu dengan glukosuria ginjal familial.
Belum jelas apakah peningkatan konsentrasi
glukosa urin akan meningkatkan risiko infeksi
saluran kemih. Studi prospektif melibatkan
lebih dari 600 wanita diabetes menunjukkan glukosuria tidak meningkatkan risiko
infeksi saluran kemih. Hal ini didukung oleh
data uji klinis fase I dan II bahwa tidak ada
perbedaan kejadian infeksi saluran kemih
di antara pasien yang mendapat terapi
inhibitor SGLT2 dibandingkan plasebo.
Efek samping potensial lain berhubungan
dengan inhibisi non-selektif jalur GLUT
di luar ginjal, seperti inhibisi non-spesifik
SGLT oleh phlorizin mempengaruhi ambilan
glukosa di otak dan menghambat respons
aktivasi hipotalamik-ventromedial terhadap
hiperglikemia. Mekanisme ini belum jelas
diketahui, namun karena sawar darah-otak
tidak menggunakan transporter sodiumglukosa pada kondisi normal, adanya
kemungkinan tipe baru transporter mirip
SGLT belum dapat disingkirkan.4
SIMPULAN
• Konsensus American Diabetes Association
(ADA) dan the European Association for the
Study of Diabetes (EASD) merekomendasikan
target HbA1c <7% dalam penanganan
diabetes, tetapi sebagian besar pasien gagal
memenuhi target, dan hingga saat ini belum
dijumpai agen penurun glukosa darah yang
ideal secara farmakologis.
• Inhibitor sodium glucose co-transporter
2 (SGLT2) merupakan obat diabetik dengan
mekanisme aksi terbaru yang independen
terhadap sekresi dan aksi insulin, yaitu
melalui inhibisi terhadap SGLT yang akan
menghambat reabsorpsi glukosa yang
difiltrasi ginjal, sehingga menurunkan kadar
glukosa darah.
• Beberapa jenis inhibitor SGLT2 antara
lain dapagliflozin, canagliflozin, dan
empagliflozin; hanya canagliflozin yang
sudah disetujui FDA, dan dapagliflozin telah
disetujui penggunaannya di Eropa.
• Di samping efek penurunan glukosa darah,
inhibitor SGLT2 menunjukkan beberapa
efek tambahan yang dapat bermanfaat
untuk pasien sindrom metabolik, seperti
penurunan berat badan, penurunan tekanan
darah (terutama sistolik), dan efek positif
terhadap panel lipid, serta penurunan asam
urat serum yang mengindikasikan penurunan
kejadian kardiovaskuler.
CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT
DAFTAR PUSTAKA
1.
Nathan DM, Buse JB, Davidson MB, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R, et al. Medical management of hyperglycemia in type 2 diabetes: A consensus algorithm for the initiation and
adjustment of therapy: A consensus statement of the American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2009; 32(1): 193-203. doi:
10.2337/dc08-9025. [Epub 2008 Oct 22].
2.
MacEwen A, McKay GA, Fisher M. Drugs for diabetes: Part 8 SGLT2 inhibitors. Br J Cardiol. 2012; 19(1): 26-9.
3.
Chao EC. SGLT2 inhibitors: A new mechanism for glycemic control. Clinical Diabetes 2014; 32(1): 4-11.
4.
Idris I, Donnelly R. Sodium glucose co-transporter 2 inhibitors: An emerging new class of oral antidiabetic drug. Diabetes, Obesity and Metabolism 2009; 11: 79-88.
5.
Musso G, Gambino R, Cassader M, Pagano G. A novel approach to control hyperglycemia in type 2 diabetes: Sodium glucose co-transporter (SGLT) inhibitors. Systemic review and meta-
6.
Rosenwasser RF, Sultan S, Sutton D, Choksi R, Epstein BJ. SGLT2 inhibitors and their potential in the treatment of diabetes. Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy
7.
Clar C, Gill JA, Court R, Waugh N. Systematic review of SGLT2 receptor inhibitors in dual or triple therapy in type 2 diabetes. BMJ Open 2012; 2:e001007.
8.
Bailey CJ, Gross JL, Hennicken D, Iqbal N, Mansfield TA, List JF. Dapagliflozin add-on to metformin in type 2 diabetes inadequately controlled with metformin: A randomized, double-blind,
analysis of randomized trials. Annals of Medicine 2011; 1-19. doi: 10.3109/07853890.2011. 560181
2013; 6: 453-67.
placebo controlled 102 week trial. BMC Medicine 2013; 11: 43.
9.
Inagaki N, Kondo K, Yoshinari T, Kuki H. Efficacy and safety of canagliflozin alone or as add-on to other oral antihyperglycemic drugs in Japanese patients with type 2 diabetes: A 52 week
open label study. J Diabetes Invest. 2014. doi: 10.1111/jdi.12266
10. Stenlof K, Cefalu WT, Kim KA, Alba M, Usiskin K, Tong C, et al. Efficacy and safety of canagliflozin monotherapy in subjects with type 2 diabetes mellitus inadequately controlled with diet
and exercise. Diabetes, Obesity and Metabolism 2013; 15(4): 372-82. doi: 10.1111/dom.12054. [Epub 2013 Jan 24].
11. Foote C, Perkovic V, Neal B. Effects of SGLT2 inhibitors on cardiovascular outcomes. Diabetes & Vascular Disease Research 2012; 9(2): 117-23.
12. McCulloch DK, Nathan DM, Mulder JE. Management of persistent hyperglycemia in type 2 diabetes mellitus [Internet]. 2014 Oct 29 [cited 2014 Nov 9]. Available from: www.uptodate.
com/contents/management-of-persistent-hyperglycemia-in-type-2-diabetes-mellitus.
R A L AT
Pada CDK-229/vol. 42 no. 6 di naskah berjudul “Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus” oleh dr. Indra Wijaya, Sp.PD, M. Kes.
halaman 416 paragraf 1 tertulis: ”Dosis harian streptomisin 12-18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utamanya
adalah kerusakan nervus VII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran”, seharusnya adalah: ”Dosis harian streptomisin
12-18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utamanya adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran”.
Terima kasih.
CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015
503
Download