CONTINUING PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION Akreditasi PP IAI–2 SKP Peran Inhibitor Sodium Glucose Co-transporter 2 (SGLT2) pada Terapi Diabetes Melitus Andy Luman Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan – Indonesia ABSTRAK Inhibitor sodium glucose co-transporter 2 (SGLT2) merupakan suatu jenis obat antidiabetik dengan mekanisme kerja unik, yaitu menghambat secara spesifik SGLT2, suatu sistem transpor predominan reabsorpsi glukosa dari filtrasi glomerulus, sehingga penghambatan SGLT2 menurunkan reabsorpsi glukosa dari urin dan selanjutnya akan menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes. Kata kunci: Diabetes, glukosuria, inhibitor SGLT2 ABSTRACT Inhibitor of sodium glucose co-transporter 2 (SGLT2) is a type of antidiabetic drug with a unique mechanism of action, which specifically inhibits SGLT2, a predominant transport system of glucose reabsorption from glomerular filtration, thus lowering the SGLT2 inhibition of glucose reabsorption from urine that can lower blood glucose levels in diabetic patients. Andy Luman. Role of Inhibitor Sodium Glucose Co-transporter 2 (SGLT2) in Diabetes Mellitus Therapy. Keywords: Diabetes, glucosuria, SGLT2 inhibitor PENDAHULUAN Diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor risiko mayor dalam progresivitas komplikasi mikrovaskuler (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan makrovaskuler (penyakit jantung koroner, serebrovaskuler, dan pembuluh darah perifer). Studi United Kingdom Prospective Diabetes (UKPDS) menunjukkan bahwa setiap 1% penurunan hemoglobin terglikasi (HbA1c) berhubungan dengan pengurangan 37% risiko komplikasi mikrovaskuler dan 21% risiko komplikasi terkait-diabetes atau kematian. Konsensus American Diabetes Association (ADA) dan the European Association for the Study of Diabetes (EASD) merekomendasikan target HbA1c <7% dalam penanganan diabetes, tetapi sebagian besar pasien gagal memenuhi nya; hingga saat ini, belum dijumpai agen penurun glukosa darah yang ideal secara farmakologis. Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari Alamat korespondensi 498 tahun 2003-2006 menunjukkan hanya 57,1% pasien diabetes dewasa yang mencapai target HbA1c <7%; 45,5% memiliki tekanan darah <130/80 mmHg; 46,5% memiliki kolesterol LDL <100 mg/dL; dan hanya 12,2% pasien diabetes yang mencapai ketiga target tersebut.1-3 Terapi farmakologis yang telah ada berperan mengurangi resistensi insulin, meningkatkan sekresi insulin, memperlambat pencernaan karbohidrat, mempertahankan produksi glukagon, dan memberikan insulin eksogen. Terapi obat penurun glukosa tradisional, seperti metformin, sulfonilurea, dan insulin umumnya dibatasi oleh efek samping gastrointestinal, peningkatan berat badan, dan hipoglikemia. Terapi thiazolidinedion berhubungan dengan masalah keamanan kardiovaskuler, peningkatan berat badan, peningkatan risiko fraktur, dan retensi cairan. Inhibitor dipeptidilpeptidase-4 (DPP-4) ditoleransi lebih baik, tetapi memiliki efek berat badan yang netral. Analog glukagon like-peptide-1 (GLP-1) memberikan penurunan berat badan yang moderat, tetapi diberikan secara injeksi dan penggunaannya dibatasi oleh efek samping saluran cerna. Peningkatan prevalensi diabetes tipe 2 dan dikombinasi dengan keterbatasan terapi yang ada membutuhkan terapi alternatif baru.2 Suatu kelas obat yang terbaru, yang dikenal dengan inhibitor sodium glucose co-transporter (SGLTs) non-selektif telah dievaluasi dalam uji klinis acak terkontrol (RCTs). Phlorizin, yang diisolasi dari pohon apel pada tahun 1835 merupakan inhibitor alamiah SGLT1 dan SGLT2, dan pernah digunakan untuk penanganan diabetes sebelum era insulin. Inhibisi baik SGLT1 dan SGLT2 oleh phlorizin merupakan mekanisme penting meningkatkan pembuangan glukosa dan energi pasien diabetes. Namun demikian, email: [email protected] CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT karena SGLT2 merupakan sistem transpor predominan dalam reabsorpsi glukosa dari filtrasi glomerulus, penghambatan spesifik SGLT2 merupakan dasar strategi penanganan hiperglikemia pada diabetes.4,5 PEMBAHASAN Peranan Ginjal dalam Homeostasis Glukosa Pada kondisi fisiologis, walaupun asupan harian dan kebutuhan tubuh terhadap glukosa berfluktuasi besar, mekanisme homeostasis mempertahankan kadar glukosa plasma sekitar 90-100 mg/dL dalam periode 24 jam. Peranan ginjal dalam mempertahankan keseimbangan glukosa pertama kali digambarkan pada tahun 1938. Kontribusi ginjal terhadap glukoneogenesis sekitar 15-55 g/ hari, atau 20-25% dari glukosa yang dilepas- kan dalam sirkulasi setelah puasa semalaman. Sekitar 180 g glukosa difiltrasi oleh ginjal setiap hari dan hampir seluruh (99%) hasil filtrasi glukosa direabsorpsi ke dalam sirkulasi melalui sodium glucose co-transporters (SGLTs) yang mentranspor sodium dan glukosa ke dalam sel menggunakan gradien sodium yang dihasilkan pompa Na-K-ATPase pada membran sel basolateral. Glukosa kemudian ditranspor secara pasif oleh glucose transporter-2 (GLUT2) sesuai dengan gradien konsentrasinya ke dalam ruang intersitisial.2,3 Dua famili transporter yang terlibat dalam reabsorpsi glukosa, yaitu GLUTs yang berfungsi sebagai transporter pasif, dan SGLTs yang secara sekunder merupakan kotransporter aktif. Dijumpai dua tipe SGLTs: SGLT1, dengan kapasitas rendah, transporter berafinitas tinggi terletak secara primer pada usus halus dan tubulus proksimal ginjal; dan SGLT2, yang berkapasitas tinggi, transporter berafinitas rendah yang secara khusus terdapat pada awal tubulus proksimal (segmen 1 dan 2), berperan dalam 90% reabsorpsi glukosa. Sisanya 10% gluksosa direabsorpsi oleh SGLT1 pada bagian tubulus lebih akhir (segmen 3). Apabila kapasitas transporter ini telah dilewati (350 mg glukosa/ menit), atau sekitar konsentrasi glukosa darah 10-11,1 mmol/L pada individu sehat, glukosa mulai diekskresikan ke dalam urin. Transpor aktif glukosa dihubungkan dengan transpor sodium, yang dipertahankan melalui ekstrusi aktif sodium melewati permukaan basolateral ke dalam cairan intraseluler. GLUTs membawa glukosa melewati membran basolateral menggunakan difusi terfasilitasi. Reabsorpsi glukosa pada tubulus proksimal meningkat dengan kenaikan kadar glukosa plasma hingga mencapai maksimum transpor glukosa (Tmax). Tmax biasanya timbul pada laju filtrasi glomerulus 260-350 mg/menit/1,73 m2. Kadar ambang ginjal untuk glukosa (RTg) merupakan konsentrasi glukosa plasma di atas kapasitas SGLT menjadi tersaturasi dan timbul ekskresi glukosa urin. Kapasitas reabsorpsi glukosa ini meningkat pada diabetes karena upregulasi SGLT2 dan GLUT2 pada tubulus proksimal, menyebabkan hiperglikemia dan penurunan glukosuria. Tmax meningkat sekitar 20-40% dibandingkan dengan individu sehat dan apabila respons adaptif untuk memastikan asupan kalori telah cukup, menjadi berlawanan, timbul kondisi maladaptif meningkatkan glukosa plasma.3,6 Gambar 1. Peran ginjal dalam reabsorpsi glukosa3 Gambar 2. Kadar ambang reabsorpsi dan ekskresi glukosa di ginjal3 CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015 Mekanisme Kerja Inhibitor SGLT2 Konsep penghambatan reabsorpsi glukosa berkembang dari penemuan penyakit bawaan dan didapat dengan kontrol glukosa ginjal terganggu dan sejumlah glukosa diekskresi ke urin, seperti penyakit mutasi SGLT2 (insidens 1/20,000 individu di AS) dan malabsorpsi glukosa-galaktosa (GGM) akibat mutasi SGLT1 (prevalensi 300 individu dari keseluruhan populasi). Mekanisme kerja inhibitor SGLT2 memberikan perubahan persepsi terhadap glukosuria. Seperti telah dijelaskan, apabila kapasitas transporter SGLT2 dilewati, glukosa mulai diekskresikan ke urin. Sejak dulu, glukosuria merupakan indikasi kontrol glukosa yang jelek. Namun demikian, karena mekanisme unik inhibitor 499 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT SGLT2 menghambat reabsorpsi glukosa ginjal pada peningkatan kadar glukosa, adanya glukosuria mengindikasikan bahwa penghambatan SGLT2 akan mentransfer glukosa dari darah ke urin, secara esensial menarik glukosa dari endotelium dan organ yang rawan terhadap efek bahayanya. Sebaliknya, glukosuria mengindikasikan kelebihan glukosa dari darah ke urin, yang secara signifikan meningkatkan glukosa darah dan potensial merusak target organ.6 Mayoritas glukosa yang terfiltrasi direabsorpsi pada awal tubulus proksimal dan karena inhibitor SGLT non-selektif juga dapat menghambat GLUT1, penelitian difokuskan secara spesifik pada SGLT2 sebagai target molekuler untuk meningkatkan ekskresi glukosa urin. Secara kimiawi, kebanyakan inhibitor SGLT2 merupakan glikosida yang dikembangkan dari prototip phlorizin. Dengan menurunkan kadar ambang ginjal untuk ekskresi glukosa, inhibitor SLGT2 menekan reabsorpsi glukosa ginjal dan karenanya meningkatkan ekskresi glukosa urin. Namun, inhibitor SGLT2 hanya menghambat reabsorpsi sekitar 30-50% glukosa yang difiltrasi ginjal dengan alasan yang belum Tabel. Inhibitor SGLT2 dan fase pengembangan (Chao 2014) Compound Latest Stage Sponsor Dapagliflozin Approved by European Medicines Agency Canagliflozin Approved by U.S. Food and Drug Administration Johnson & Johnson, Mitsubishi Tanabe Empagliflozin Phase 3 Boehringer Ingelheim, Eli Lilly Ipragliflozin Phase 3 Astellas, Kotobuki Tofogliflozin Phase 3 Chugai Luseogliflozin Phase 3 Taisho Ertugliflozin Phase 2 Pfizer LX 4211 Phase 2 Lexicon EGT0001442 Phase 2 Theracos GW 869682 Phase 2 GlaxoSmithKline ISIS 388626 Phase 1 Isis diketahui. Satu hipotesis adalah bahwa inhibitor SGLT2 dapat secara aktif disekresi ke dalam tubulus proksimal dan jumlah inhibitor SGLT2 pada tubulus proksimal dibatasi oleh saturasi sekresi ginjal terhadap inhibitor pada dosis tinggi; dan bergantung pada area sekresi, inhibitor dapat tidak berperan pada peningkatan regulasi SGLT2; hipotesis lain adalah bahwa selain SGLT2, terdapat SGLT lain yang mungkin memiliki peran lebih besar terhadap reabsorpsi glukosa.3,4 Bristol-Myers Squibb, AstraZeneca Jenis-jenis Inhibitor SGLT2 Dengan mekanisme baru dari inhibitor SGLT2, beberapa jenis sediaan berkompetisi dengan tujuan utama untuk menjadi yang pertama dan memiliki keuntungan kelas yang jelas. Namun, hanya canagliflozin yang telah memperoleh persetujuan US Food and Drug Administration pada tahun 2013, sedangkan dapagliflozin dan empaglifozin masih dalam proses persetujuan FDA. Beberapa inhibitor SGLT2 lain saat ini masih dalam uji klinis.4,6 Canagliflozin memperoleh persetujuan FDA pada 29 Maret 2013, dapat digunakan dengan diet dan latihan fisik, untuk memperbaiki kontrol glikemik pada pasien diabetes tipe 2 dewasa. Namun, FDA masih memerlukan studi post-marketing termasuk uji hasil akhir kardiovaskuler (CV), program farmakovigilansi (untuk pemantauan keganasan, kasus serius pankreatitis, reaksi hipersensitivitas berat, fotosensitivitas, abnormalitas hepar, dan efek sampingnya pada kehamilan), studi keamanan tulang, dan studi pediatrik. Fase III menunjukkan canagliflozin efektif menurunkan HbA1c, sebagai monoterapi, dual therapy, dan triple therapy dengan agen oral, dan juga dikombinasikan dengan insulin dengan atau tanpa antidiabetik oral. Melalui seluruh studi fase III, canagliflozin 100 mg dan 300 mg sekali sehari menurunkan HbA1c secara signifikan dibandingkan plasebo atau komparator aktif, penurunan lebih besar dijumpai pada canagliflozin 300 mg.6 Gambar 3. Mekanisme anti-diabetik inhibitor SGLT2 (Idris & Donnelly 2009) 500 Dapagliflozin merupakan inhibitor SGLT2 pertama yang diajukan ke FDA pada Desember 2010. Namun, pada 19 Januari 2012, FDA menolak persetujuan dapagliflozin CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT dan menganjurkan tambahan data klinis untuk penilaian yang lebih baik terhadap profil manfaat-risiko untuk dapagliflozin. Hal ini meliputi perhatian terhadap kejadian kanker, terutama kanker payudara dan kandung kemih. Walaupun pada studi hewan percobaan, dapagliflozin tidak menunjukkan bukti kejadian kanker, tidak tertutup kemungkinan peningkatan kadar glukosa di kandung kemih dapat mempercepat laju pertumbuhan kanker yang telah ada. Pada 12 November 2012, European Comission menyetujui penggunaan dapagliflozin 10 mg sekali sehari pada diabetes tipe 2 untuk memperbaiki kontrol glikemik sebagai monoterapi jika diet dan latihan fisik sendiri tidak memberikan kontrol glikemik yang adekuat pada pasien yang dipertimbangkan tidak dapat menggunakan metformin karena intoleransi. Dapagliflozin 10 mg sekali sehari juga disetujui di Eropa sebagai terapi tambahan terhadap metformin, sulfonilurea, atau dengan insulin (+ antidiabetik oral), bersama diet dan latihan fisik. Dapagliflozin dosis 2,5; 5; 10; 20; dan 50 mg telah diteliti pada studi fase III, namun hanya dosis 5 mg dan 10 mg yang paling relevan dan dapat digunakan dalam klinis.6 Empagliflozin merupakan inhibitor SGLT2 yang masih dalam penjadwalan New Drug Application (NDA) untuk diteruskan ke FDA. Studi fase III menunjukkan empagliflozin dengan dosis harian 10 mg dan 25 mg secara efektif menurunkan HbA1c sebagai monoterapi, dual therapy, dan triple therapy dengan antidiabetik oral.6 Manfaat Klinis Inhibitor SGLT2 Inhibitor SGLT2 sebagai terapi kombinasi dan diberikan pada pasien diabetes tipe 2 yang sebelumnya memiliki kontrol glikemik yang jelek menunjukkan efektivitas dalam:7 - Menurunkan HbA1c - Memperbaiki penurunan berat badan jika bersamaan dengan perbaikan gaya hidup dan diet - Menurunkan tekanan darah sistolik - Menurunkan kadar glukosa darah puasa Efek perbaikan glikemik oleh inhibitor SGLT2 telah ditunjukkan pada beberapa studi maupun meta-analisis; studi Bailey, et al, (2013) terhadap penggunaan dapaglifozin sebagai tambahan terapi metformin pada pasien diabetes tipe 2 tidak CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015 terkontrol menunjukkan penggunaan 102 minggu memiliki efek penurunan HbA1c (0,48%; 0,58%; 0,78% masing-masing pada penggunaan dapagliglozin 2,5; 5; dan 10 mg), kadar glukosa darah puasa (1,07-1,47 mmol/L), dan berat badan tanpa peningkatan risiko hipoglikemi; studi Inagaki, et al, (2014) untuk penggunaan canagliflozin sebagai monoterapi atau tambahan antidiabetik oral menunjukkan penurunan signifikan kontrol glikemik (penurunan HbA1c dari 0,8%-1,06% dan 0,93%-1,26% masingmasing pada penggunaan canagliflozin 100 mg dan 200 mg); dan efek penurunan berat badan yang bertahan selama 52 minggu pengobatan dan ditoleransi baik dengan kejadian efek samping rendah. Hal serupa juga ditunjukkan pada studi Stenlof, et al, (2012) terhadap penggunaan canagliflozin sebagai monoterapi.8-10 Selain efek penurunan glukosa darah, inhibitor SGLT2 menunjukkan beberapa efek tambahan yang dapat bermanfaat untuk sindrom metabolik, seperti penurunan berat badan, penurunan tekanan darah (terutama sistolik), efek positif terhadap panel lipid, serta penurunan asam urat serum, juga dilaporkan mengindikasikan penurunan kejadian kardiovaskuler. Inhibitor SGLT2 memberikan perubahan paradigma penanganan diabetes, karena dapat memperbaiki efek yang tidak diharapkan dari diabetes. Inhibitor SGLT2 secara konsisten memperbaiki HbA1c dan kadar glukosa darah puasa pada semua dosis, dengan hubungan dosis-respons yang masih belum jelas. Pada uji RCT, dosis tertinggi tidak meningkatkan lebih lanjut ekskresi glukosa ginjal ataupun memberikan manfaat tambahan terhadap parameter glikemik.5,6 Penurunan berat badan sekitar 1,09 kg hingga 5,05 kg telah dilaporkan pada studi inhibitor SGLT2 dan dapat dipertahankan jangka panjang seperti ditunjukkan pada studi 2 tahun dengan dapagliflozin. Penurunan berat badan dengan inhibisi SGLT2 berbeda antara tingkat awal (pasien DM yang belum mendapat pengobatan) dan tingkat lanjut (pasien DM dengan terapi insulin), dengan penurunan yang lebih besar dijumpai pada tingkat lanjut (4,30 kg hingga 5,05 kg) dibandingkan tingkat awal (2,00 kg hingga 2,50 kg). Lebih lanjut, dijumpai korelasi positif antara berat badan baseline dan penurunan berat badan pada pasien tingkat lanjut, sedangkan korelasi ini tidak dijumpai pada pasien tingkat awal. Penurunan berat badan yang dijumpai pada canagliflozin dan dapagliflozin secara predominan (sekitar dua per tiga) berasal dari kehilangan massa lemak dibandingkan massa otot dan kehilangan lemak lebih banyak dijumpai pada jaringan viseral abdomen dibandingkan jaringan subkutan abdomen dan dijumpai penurunan lingkar pinggang sekitar 1,6%-3,5% atau 1,52 cm.3,6 Efek penurunan tekanan darah dijumpai pada seluruh studi dengan inhibitor SGLT2, penurunan lebih besar pada tekanan darah sistolik (1,66 mmHg hingga 6,9 mmHg) dibandingkan diastolik (0,88 mmHg hingga 3,5 mmHg). Efek tekanan darah ini tidak bergantung-dosis dan tidak disertai perubahan denyut jantung atau peningkatan kejadian hipotensi dan/atau sinkop. Penurunan kadar asam urat secara konsisten dijumpai pada penggunaan inhibitor SGLT2, berkisar 5,9%17,8% apabila digunakan sebagai monoterapi atau dengan antidiabetik oral lain, dan dipertahankan hingga 102 minggu. Namun, apabila digunakan bersamaan dengan insulin, penurunan asam urat ini berkurang menjadi 3,86%-4,9% mungkin berhubungan dengan efek hiperurisemia pada hiperinsulinisme. Efek penurunan tekanan darah dan kadar asam urat diperkirakan berasal dari induksi glukosa terhadap diuresis osmotik akibat inhibisi SGLT2, dan penurunan yang lama dari tekanan darah dihubungkan dengan inhibisi lokal sistem renin-angiotensin (RAS). Inhibisi SGLT2 pada tubulus proksimal menyebabkan peningkatan kadar sodium melewati tubulus distal. Sel-sel makula densa dalam tubulus distal pada apparatus jukstaglomerulus mendeteksi peningkatan kadar sodium dan menghambat pelepasan renin dari sel jukstaglomerulus. Inhibisi RAS ini tidak hanya menghasilkan penurunan tekanan darah, namun juga memberikan efek nefroproteksi karena penurunan tekanan intraglomeruler dan hiperfiltrasi.5,6,11 Inhibitor SGLT2 juga memiliki efek tidak konsisten terhadap profil lipid. Secara keseluruhan, canagliflozin dosis harian 300 mg meningkatkan kolesterol HDL 7,1%10,6%, menurunkan trigliserida 2,3% dan meningkatkan kolesterol LDL 7,1%. Namun, efek ini tidak dijumpai pada penggunaan dapagliflozin.6 501 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT Penggunaan inhibitor SGLT2 memerlukan perhatian pada beberapa populasi khusus, antara lain: 1. Gangguan ginjal: laju ekskresi glukosa urin bergantung pada fungsi ginjal (laju filtrasi ginjal/LFG); apabila filtrasi glukosa berkurang, maka demikian juga glukosa yang tersedia untuk inhibisi SGLT2. Oleh karena itu, efek inhibitor SGLT2 dapat berkurang pada gangguan ginjal moderat dan penurunan LFG. Pada pasien dengan gangguan ginjal moderat, canagliflozin berhubungan dengan penurunan sementara fungsi ginjal dan tidak dijumpai bukti kerusakan ginjal yang ditunjukkan pada penurunan rasio urin albumin-kreatinin dibandingkan plasebo. Efek serupa juga dijumpai pada penggunaan dapagliflozin pada gangguan ginjal moderat; laju fitrasi glomerulus yang bergantungdosis berkurang selama minggu pertama terapi, kemudian stabil bila dibandingkan dengan penurunan bertahap fungsi ginjal pada pasien plasebo. Pada gangguan ginjal moderat (LFG 45-59 mL/menit) dosis canagliflozin tidak boleh melebihi 100 mg per hari dan tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan LFG <45 ml/menit atau pasien dengan gangguan hati berat, tidak ada penyesuaian dosis pada gangguan hati ringan atau sedang. Penggunaan dapagliflozin tidak dianjurkan pada pasien dengan LFG <60 ml/menit atau pasien dengan kanker kandung kemih; pada pasien dengan fungsi hepar terganggu yang berat, dianjurkan dimulai pemberian dengan dosis 5 mg.6,12 2. Usia lanjut dan efek terhadap tulang: Pasien DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko fraktur tulang, yang dapat meningkat dengan beberapa antidiabetik, seperti thiazolidinediones. Diperlukan penilaian efek inhibitor SGLT2 terhadap struktur tulang dan fungsinya. Pengobatan dengan canagliflozin memberikan peningkatan penanda resorbsi tulang, beta-CTx (17,1%-24,9%) dan penurunan kecil penanda pembentukan tulang, prokolagen tipe-1 N-terminal propeptida (P1NP) (5,7%-6,9%) dibandingkan plasebo. Namun, walaupun data inhibitor SGLT2 mengindikasikan perubahan penanda resorpsi dan pembentukan tulang, tidak dijumpai peningkatan insidens fraktur dibandingkan plasebo. Dual energy X-ray absorptiometry (DEXA) menunjukkan perubahan minimal densitas mineral tulang (BMD) pada tulang lumbar, lengan bawah, femoral, dan pinggul.6 Efek Samping Inhibitor SGLT2 Bukti keamanan glukosuria ginjal terhadap Gambar 4. Representasi skematik efek klinis inhibitor SGLT2 (Idris & Donnelly 2009) 502 fungsi ginjal jangka panjang berasal dari individu dengan glukosuria ginjal familial. Belum jelas apakah peningkatan konsentrasi glukosa urin akan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Studi prospektif melibatkan lebih dari 600 wanita diabetes menunjukkan glukosuria tidak meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Hal ini didukung oleh data uji klinis fase I dan II bahwa tidak ada perbedaan kejadian infeksi saluran kemih di antara pasien yang mendapat terapi inhibitor SGLT2 dibandingkan plasebo. Efek samping potensial lain berhubungan dengan inhibisi non-selektif jalur GLUT di luar ginjal, seperti inhibisi non-spesifik SGLT oleh phlorizin mempengaruhi ambilan glukosa di otak dan menghambat respons aktivasi hipotalamik-ventromedial terhadap hiperglikemia. Mekanisme ini belum jelas diketahui, namun karena sawar darah-otak tidak menggunakan transporter sodiumglukosa pada kondisi normal, adanya kemungkinan tipe baru transporter mirip SGLT belum dapat disingkirkan.4 SIMPULAN • Konsensus American Diabetes Association (ADA) dan the European Association for the Study of Diabetes (EASD) merekomendasikan target HbA1c <7% dalam penanganan diabetes, tetapi sebagian besar pasien gagal memenuhi target, dan hingga saat ini belum dijumpai agen penurun glukosa darah yang ideal secara farmakologis. • Inhibitor sodium glucose co-transporter 2 (SGLT2) merupakan obat diabetik dengan mekanisme aksi terbaru yang independen terhadap sekresi dan aksi insulin, yaitu melalui inhibisi terhadap SGLT yang akan menghambat reabsorpsi glukosa yang difiltrasi ginjal, sehingga menurunkan kadar glukosa darah. • Beberapa jenis inhibitor SGLT2 antara lain dapagliflozin, canagliflozin, dan empagliflozin; hanya canagliflozin yang sudah disetujui FDA, dan dapagliflozin telah disetujui penggunaannya di Eropa. • Di samping efek penurunan glukosa darah, inhibitor SGLT2 menunjukkan beberapa efek tambahan yang dapat bermanfaat untuk pasien sindrom metabolik, seperti penurunan berat badan, penurunan tekanan darah (terutama sistolik), dan efek positif terhadap panel lipid, serta penurunan asam urat serum yang mengindikasikan penurunan kejadian kardiovaskuler. CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT DAFTAR PUSTAKA 1. Nathan DM, Buse JB, Davidson MB, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R, et al. Medical management of hyperglycemia in type 2 diabetes: A consensus algorithm for the initiation and adjustment of therapy: A consensus statement of the American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2009; 32(1): 193-203. doi: 10.2337/dc08-9025. [Epub 2008 Oct 22]. 2. MacEwen A, McKay GA, Fisher M. Drugs for diabetes: Part 8 SGLT2 inhibitors. Br J Cardiol. 2012; 19(1): 26-9. 3. Chao EC. SGLT2 inhibitors: A new mechanism for glycemic control. Clinical Diabetes 2014; 32(1): 4-11. 4. Idris I, Donnelly R. Sodium glucose co-transporter 2 inhibitors: An emerging new class of oral antidiabetic drug. Diabetes, Obesity and Metabolism 2009; 11: 79-88. 5. Musso G, Gambino R, Cassader M, Pagano G. A novel approach to control hyperglycemia in type 2 diabetes: Sodium glucose co-transporter (SGLT) inhibitors. Systemic review and meta- 6. Rosenwasser RF, Sultan S, Sutton D, Choksi R, Epstein BJ. SGLT2 inhibitors and their potential in the treatment of diabetes. Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy 7. Clar C, Gill JA, Court R, Waugh N. Systematic review of SGLT2 receptor inhibitors in dual or triple therapy in type 2 diabetes. BMJ Open 2012; 2:e001007. 8. Bailey CJ, Gross JL, Hennicken D, Iqbal N, Mansfield TA, List JF. Dapagliflozin add-on to metformin in type 2 diabetes inadequately controlled with metformin: A randomized, double-blind, analysis of randomized trials. Annals of Medicine 2011; 1-19. doi: 10.3109/07853890.2011. 560181 2013; 6: 453-67. placebo controlled 102 week trial. BMC Medicine 2013; 11: 43. 9. Inagaki N, Kondo K, Yoshinari T, Kuki H. Efficacy and safety of canagliflozin alone or as add-on to other oral antihyperglycemic drugs in Japanese patients with type 2 diabetes: A 52 week open label study. J Diabetes Invest. 2014. doi: 10.1111/jdi.12266 10. Stenlof K, Cefalu WT, Kim KA, Alba M, Usiskin K, Tong C, et al. Efficacy and safety of canagliflozin monotherapy in subjects with type 2 diabetes mellitus inadequately controlled with diet and exercise. Diabetes, Obesity and Metabolism 2013; 15(4): 372-82. doi: 10.1111/dom.12054. [Epub 2013 Jan 24]. 11. Foote C, Perkovic V, Neal B. Effects of SGLT2 inhibitors on cardiovascular outcomes. Diabetes & Vascular Disease Research 2012; 9(2): 117-23. 12. McCulloch DK, Nathan DM, Mulder JE. Management of persistent hyperglycemia in type 2 diabetes mellitus [Internet]. 2014 Oct 29 [cited 2014 Nov 9]. Available from: www.uptodate. com/contents/management-of-persistent-hyperglycemia-in-type-2-diabetes-mellitus. R A L AT Pada CDK-229/vol. 42 no. 6 di naskah berjudul “Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus” oleh dr. Indra Wijaya, Sp.PD, M. Kes. halaman 416 paragraf 1 tertulis: ”Dosis harian streptomisin 12-18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utamanya adalah kerusakan nervus VII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran”, seharusnya adalah: ”Dosis harian streptomisin 12-18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utamanya adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran”. Terima kasih. CDK-230/ vol. 42 no. 7, th. 2015 503