BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 Pengertian Prestasi Akademik Tulus Tu’u (2004) mengemukakan bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Djamarah (2002) mendefinisikan prestasi akademik adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil akhir dari aktivitas belajar. Sedangkan definisi prestasi akademik menurut Azwar (2002) adalah bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh seorang siswa sebagai pernyataan ada tidaknya kemajuan atau keberhasilan dalam program pendidikan. Kualitas mahasiswa salah satunya dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi karena ada situasi belajar, sehingga dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa (Sobur, 2006). Prestasi akademik juga dapat diartikan sebagai hasil pelajaran yang diperoleh dari 12 kegiatan belajar di Sekolah atau Perguruan Tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian. Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik adalah hasil belajar terakhir yang dicapai oleh siswa dalam jangka waktu tertentu, yang mana di Sekolah prestasi akademik siswa biasanya dinyatakan dalam bentuk angka atau simbol tertentu. Kemudian dengan angka atau simbol tersebut, orang lain atau siswa sendiri akan dapat mengetahui sejauhmana prestasi akademik yang telah dicapai. Dengan demikian, prestasi akademik di Sekolah merupakan bentuk lain dari besarnya penguasaan bahan pelajaran yang telah dicapai siswa, dan rapor bisa dijadikan hasil belajar terakhir dari penguasaan pelajaran tersebut. Prestasi akademik menurut Bloom (dalam Azwar, 2002) adalah mengungkap keberhasilan seseorang dalam belajar. Menurut Azwar (2004) secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti penglihatan dan pendengaran. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor non fisik, seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, sikap dan kesehatan mental. Faktor eksternal meliputi faktor fisik dan faktor sosial. Faktor fisik menyangkut kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar. Faktor sosial menyangkut dukungan sosial dan pengaruh budaya. 13 Dalam dunia pendidikan formal, pentingnya pengukuran prestasi akademik tidaklah dapat disangsikan lagi. Sebagaimana diketahui, proses pendidikan formal adalah suatu proses yang kompleks yang memerlukan waktu, dana dan usaha serta kerjasama berbagai pihak. Berbagai aspek dan faktor terlibat dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Tidak ada pendidikan yang secara sendirinya berhasil mencapai tujuan yang digariskan tanpa interaksi berbagai faktor pendukung yang ada dalam sistem pendidikan tersebut. Betapa jelasnya pun suatu tujuan pendidikan telah digariskan, tanpa usaha pengukuran maka akan mustahil hasilnya dapat diketahui. Tidaklah layak untuk menyatakan adanya suatu kemajuan atau keberhasilan program pendidikan tanpa memberikan bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh. Bukti peningkatan atau pencapaian inilah yang harus diambil dari pengukuran prestasi secara terencana (Arini, 2008). 2.1.2 Tujuh Kemampuan Para Peraih Prestasi dalam Mengubah Kegagalan Menjadi Batu Loncatan Menurut Maxwell (2000) tujuh kemampuan para peraih prestasi yang membuat mereka bisa gagal, tetapi tidak memasukkannya dalam hati, dan terus maju, sebagai berikut : 1. Para Peraih prestasi menolak penolakan Orang-orang yang pantang menyerah tidak jemu-jemunya mencoba karena mereka tidak mendasarkan harga diri mereka pada peraih prestasi mereka. Mereka meletakkan dasar dari gambar diri mereka di dalam diri mereka sendiri. Seligman (dalam Maxwell, 2000) saat kita gagal, kita memiliki dua pilihan untuk menyalahkan 14 2. 3. 4. 5. 6. 7. diri sendiri atau menyalahkan peristiwa-peristiwa di luar diri kita. Orang yang menyalahkan peristiwa-peristiwa di luar dirinya tidak kehilangan harga dirinya ketika terjadi peristiwa-peristiwa buruk. Para peraih prestasi melihat bahwa kegagalan bersifat sementara Orang yang terlalu mengambil hati pada kegagalan memandang persoalan sebagai lubang yang menjebaknya. Namun para peraih prestasi melihat bahwa setiap kesusahan bersifat sementara bukan sebagai sesuatu yang sifatnya permanen. Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden yang berdiri sendiri Jika para peraih prestasi gagal, mereka memandangnya sebagai peristiwa yang sementara sifatnya, bukan tragedi seumur hidup. Kegagalan tidak perlu dimasukkan ke dalam hati. Jika seseorang ingin sukses, jangan biarkan kejadian apapun merusak pandangannya terhadap dirinya sendiri. Para peraih prestasi menjaga harapan tetap realistis Semakin sulit prestasi yang ingin dicapai, semakin besar persiapan mental yang dibutuhkan untuk mengatasi hambatanhambatan serta bertekun dalam jangka panjang. Dibutuhkan waktu, upaya, serta kemampuan untuk mengatasi kemunduran, serta mampu menjalani kehidupan ini dengan harapan yang masuk akal dan tidak membiarkan perasaan mengendalikan diri kita jika ada hal-hal yang tidak berjalan dengan baik. Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatankekuatan mereka Satu lagi cara peraih prestasi agar tidak memasukkan kegagalan ke dalam hati adalah dengan memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya dengan mengembangkan serta memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya. Para peraih prestasi menggunakan berbagai cara untuk meraih prestasi Para peraih prestasi bersedia menggunakan berbagai cara untuk menghadapi persoalan. Itu penting dalam setiap bidang kehidupan. Menurut Brian dalam bukunya The Psychology of Achievement, para peraih prestasi terus mencoba dan menyesuaikan diri hingga menemukan sesuatu yang mendatangkan hasil bagi mereka. Para peraih prestasi mudah bangkit kembali Semua para peraih prestasi memiliki kemampuan untuk mudah bangkit kembali setelah membuat sesuatu kekeliruan, kesalahan, atau kegagalan. Para peraih prestasi dapat terus maju meski apapun yang terjadi karena mereka ingat bahwa kegagalan tidaklah membuat mereka menjadi orang gagal. 15 Dengan demikian tujuh kemampuan para peraih prestasi dalam mengubah kegagalan menjadi batu loncatan adalah para peraih prestasi menolak penolakan, para peraih prestasi melihat bahwa kegagalan bersifat sementara, para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden yang berdiri sendiri, para peraih prestasi menjaga harapan tetap realistis, para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatan mereka, para peraih prestasi menggunakan berbagi cara untuk meraih prestasi, dan para peraih prestasi mudah bangkit kembali. 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar di Perguruan Tinggi Menurut Sudarman (2004) faktor lain yang tak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi belajar, adalah sebagai berikut : a. b. Sarana dan Prasarana yang Memadai Hal ini menyangkut alat-alat belajar yang memadai, tempat belajar yang nyaman, serta biaya yang mencukupi. Belajar di Perguruan Tinggi membutuhkan biaya yang cukup besar. Bukan hanya biaya kuliah tetapi juga biaya-biaya lain, seperti biaya makan, transportasi, praktikum, serta sewa rumah dan biaya makan sehari-hari bagi yang berasal dari luar kota. Jika ada yang mengalami masalah biaya, maka kuliah pun akan terganggu. Tidak jarang mahasiswa yang drop out di tengah jalan karena faktor ini. Oleh karena itu sebelum memasuki Perguruan Tinggi alangkah bijaknya bila masalah biaya dimusyawarahkan dahulu bersama orang tua. Misalnya kalau masuk Perguruan Tinggi favorit pilihan, berapa biaya yang harus dipersiapkan untuk pendidikan, sewa rumah, biaya hidup sehari-hari (transportasi, makan, minum, pakaian, kesehatan). Kalau memang kondisi keuangan tidak memungkinkan, lebih efektif dan efisien untuk mengikuti kuliah di kota terdekat. Lingkungan Belajar yang Mendukung Alasan pemilihan bidang studi seorang calon mahasiswa di Perguruan Tinggi seringkali bersifat subjektif. Padahal pemilihan bidang studi yang sesuai akan banyak menunjang efektivitas belajar di Perguruan 16 c. Tinggi. Oleh karena itu, jika seseorang memasuki program studi atau jurusan karena tekanan orang tua, atrau ikut-ikutan teman, maka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Lingkungan yang menyenangkan, yang sesuai dengan yang diinginkan, sangat membantu keberhasilan seseorang dalam belajar. Lingkungan yang menyenangkan tidak hanya yang berkaitan dengan akademik, tetapi juga lingkungan yang berkaitan dengan tempat tinggal. Jika seseorang tinggal di tempat baru, tempat kos misalnya, maka kenalilah lingkungannya. Dalam hal ini berlaku falsafah hidup “Dimana bumi di injak disitu langit dijunjung”, artinya hormatilah orang lain, jangan bersikap sombong dan angkuh terhadap orang lain. Lingkungan yang baik dan ramah akan membuat seseorang merasa nyaman, dan membantu seseorang dalam belajar. Lingkungan sekitar, baik secara geografis maupun psikologis akan sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang di Perguruan Tinggi. Lingkungan geografis misalnya lingkungan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus, dilalui kendaraan umum, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan secara psikologis adalah lingkungan yang menyangkut hubungan seseorang dengan keluarga dan teman-teman. Lingkungan yang kondusif akan sangat mendukung keberhasilan seseorang. Sebaliknya lingkungan yang tidak kondusif seperti gaduh, kacau, banyak maksiat, akan sangat menganggu konsentrasi belajar seseorang. Mengetahui tentang cara kerja otak Otak yang ajaib akan lebih optimal digunakan apabila seseorang mengetahui tentang cara kerjanya. Dalam buku Quantum Learning yang ditulis oleh Bobbi Deporter & Mike Hernacki, dikatakan bahwa otak manusia terdiri atas dua belahan : otak kiri dan otak kanan. Masing-masing belahan, otak kiri dan otak kanan memiliki cara kerja dan kemampuan yang berbeda-beda. Otak kanan cara kerjanya bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik (menyeluruh). Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (sedih, gembira), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas serta visualisasi. Sedangkan otak kiri cara kerjanya bersifat logis, sekuensial, linier serta rasional. Biasanya fungsi otak ini didominasi oleh para fisikawan. Cara kerja dari fungsi otak kiri mampu melakukan tugastugas teratur, seperti menulis, membaca, asosiasi, auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbolis. Dalam kuliah kedua belahan otak ini besar fungsinya. Untuk menjaga keseimbangannya perlu diketahui bagaimana caranya. Misalnya : Seseorang perlu alunan musik dalam belajar untuk menghilangkan ketegangan, perlu asosiasi dalam memahami sesuatu hal. Dan semua itu harus selaras dengan cara kera otak. 17 Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang belajar di Perguruan Tinggi adalah sarana dan prasarana yang memadai, lingkungan belajar yang mendukung, dan mengetahui tentang cara kerja otak. 2.1.4 Pengukuran Prestasi Akademik Penilaian akhir prestasi mahasiswa dinyatakan dengan lambang nilai berupa aksara A, AB, B, BC, CD, D, dan E yang dikaitkan dengan angka kualitas (Sistem Penilaian UKSW, 2009). Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Nomor : 002/Kep/Rek/I/2009. Tata cara penggolongan nilai pada ayat (4) pasal ini mengacu kepada Lampiran 02 dan Tabel 03 dalam peraturan ini. Lambang, nilai, arti, dan angka kualitas nilai adalah sebagai berikut : A = Bagus sekali, dengan angka kualitas 4,0 per sks AB = Lebih dari bagus, dengan angka kualitas 3,5 per sks B = Bagus, dengan angka kualitas 3,0 per sks BC = Lebih dari cukup, dengan angka kualitas 2,5 per sks C = Cukup, dengan angka kualitas 2,0 per sks CD = Kurang dari cukup, dengan angka kualitas 1,5 per sks D = Kurang, dengan angka kualitas 1,0 per sks E = Gagal/tidak lulus, dengan angka kualitas 0 per sks L = Lulus, tanpa angka kualitas TL = Tidak lulus, tanpa angka kualitas 18 Pengukuran prestasi akademik dalam penelitian ini yaitu dengan mengambil data nilai IPK dari mahasiswa Bimbingan dan Konseling angkatan 2013 dengan berdasarkan predikat lulus didasarkan IPK mahasiswa (Buku Peraturan Penyelenggara Kegiatan Akademik Dalam Sisten Kredit Semester UKSW, 2009) yang dinyatakan sebagai berikut : 2,00 – 2,74 2,75 – 2,99 3,00 – 3,49 3,50 – 4,0 = = = = Lulus dengan predikat BAIK Lulus dengan predikat MEMUASKAN Lulus dengan predikat SANGAT MEMUASKAN Lulus dengan predikat TERPUJI (CUMLAUDE) asal memenuhi persyaratan 2.1.5 Ciri-Ciri Individu Yang Berprestasi Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya pastilah sedikit banyak memiliki keinginan mencapai prestasi dalam bidang akademis. Namun yang membedakan antara individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi yang tinggi dan rendah adalah keinginan dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan baik (Rola, 2006). Sobur (2006) menyatakan bahwa ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi yang rendah adalah ; 1 2 3 4 Berprestasi dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat standar tersebut dihubungkan dengan prestasi orang lain, prestasi diri sendiri yang sudah pernah diraih. Tidak memiliki tanggung jawab peribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tidak adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk. Menghindari tugas-tugas yang sulit. 19 Sebaliknya individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi akademik yang tinggi adalah : 1 2 3 4 Individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab pribadi atas apa yang dilakukannya, individu lebih suka bekerja pada situasi dimana dirinya mendapat umpan balik sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas yang telah dilakukannya. Individu tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain. Individu lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya menengah dan realisitis dalam pencapaian tujuannya. Individu bersifat inovatif dimana dalam melakukan tugas selalu dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari yang sebelumnya, dengan demikian individu merasa lebih dapat menerima kegagalan atas apa yang dilakukannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi akademik dibedakan menjadi dua, yaitu individu yang berkeinginan mencapai prestasi akademik yang rendah dan individu yang berkeinginan mencapai prestasi akademik yang tinggi. 2.2 Adversity Quotient 2.2.1 Definisi Adversity Quotient Hasil riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun merupakan terobosan penting tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Adversity quotient disusun berdasarkan hasil riset penting lusinan ilmuwan kelas atas dan lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan : psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Adversity quotient memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya di dunia nyata. Konsep-konsep dan peralatan 20 yang disajikan disini telah diasah selama bertahun-tahun dengan menerapkannya pada ribuan orang dari perusahaan-perusahaan di seluruh dunia (Stoltz, 2000). Menurut Stoltz (2000), suksesnya seseorang bergantung pada adversity quotient, yaitu pertama adversity quotient memberitahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. Kedua, adversity quotient meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur. Ketiga, adversity quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensinya, serta siapa yang akan gagal. Keempat, adversity quotient meramalkan siapa yang akan bertahan. Adversity quotient juga memiliki tiga bentuk, pertama, adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon anda terhadap kesulitan. Terakhir, adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons anda terhadap kesulitan. Adversity quotient menunjukkan apakah seseorang mampu berdiri teguh, tidak goyah, kemudian dapat bertumbuh sewaktu ia dihadapkan dengan kesulitan. Hal ini juga merupakan faktor mendasar dari kesuksesan, yang dapat menunjukkan bagaimana dan untuk apa seseorang itu bersikap, kemampuannya, serta penampilannya yang tampak di dunia 21 (Stoltz 2000). Stoltz juga mengungkapkan adanya kecenderungan manusia yang memiliki keinginan berkembang, mendapatkan yang lebih untuk mengembangkan dirinya sebagai suatu bentuk aktualisasi diri dalam bekerja. Selain itu, individu tersebut senantiasa termotivasi dalam bekerja, memiliki keuletan, daya tahan yang baik terhadap pekerjaan, dan memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk mengembangkan diri. Jadi dapat disimpulkan bahwa adversity quotient menunjukkan apakah seseorang mampu berdiri teguh, tidak goyah, kemudian dapat bertumbuh sewaktu diharapkan dengan kesulitan. 2.2.2 Teori Adversity Quotient Dalam mewujudkan kompetensi, seseorang perlu melakukan langkah-langkah yang memungkinkan individu tersebut mencapai tujuannya. Menurut Stoltz (2000) seseorang dapat sukses dalam pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh adversity quotient. Penemuan terhadap adversity quotient didasarkan pada hasil riset penting ilmuwan selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun, serta lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan yaitu, psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. 1 Psikologi Kognitif Berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengendalikan atau menguasai kehidupan, juga berhubungan dengan individu yang merespon dan menjelaskan kesulitan. Respon terhadap kesulitan terbentuk dari pola-pola yang sifatnya di bawah sadar, dan bekerja di luar kesadaran, seperti mengendalikan diri. Individu yang mampu merespon kesulitan dengan baik, akan mempengaruhi semua segi efektivitas, kinerja, dan kesuksesan. 22 2 3 Psikoneuroimunologi Berhubungan langsung dengan mata rantai antara respon seseorang pada kesulitan dengan kesehatan mental dan kesehatan fisik atau jasmani.Juga respon seseorang terhadap kesulitan fungsi-fungsi kekebalan, kesembuhan dari operasi, kerawanan terhadap penyakit yang mengancam jiwa.Jika pola respon terhadap adversity ini lemah, ini dapat menyebabkan depresi. Neurofisiologi Menjelaskan bagaimana otak idealnya diperlengkapi untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan dapat secara mendadak dihentikan dan diubah. Jika diganti, kebiasaan-kebiasaan lama akan lenyap, sementara kebiasaan-kebiasaan baru akan berkembang. Jadi, jika individu memiliki respon yang positif terhadap kesulitan- kesulitan dalam belajar atau untuk mencapai prestasi belajar, maka respon tersebut akan mempengaruhi kesehatan fisiknya, dimana individu tersebut tidak menjadi stres atau depresi. Sehingga individu itu akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan positif, sebagai hasil dari kerja otak yang merespon kesulitan secara positif. 2.2.3 Tipe Individu dalam Adversity Quotient Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa adversity quotient memiliki tiga tipe individu, hal ini digambarkan oleh Stoltz sebagai seorang pendaki, yang mendaki sebuah gunung hingga sampai pada tujuan. Pendakian yang dimaksudkan oleh Stoltz adalah menggerakkan tujuan hidup ke depan. Itulah sebabnya Stoltz membagi tiga tipe Individu dalam menuju kesuksesan. 1. Quitters (pecundang atau mereka yang berhenti) adalah tipe individu yang langsung berhenti di awal pendakian, memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti, cenderung untuk selalu memilih jalan yang datar dan lebih mudah. Individu umumnya bekerja 23 2. 3. sekedar untuk hidup. Semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko dan cenderung tidak kreatif, menolak kesempatan, mengabaikan. Menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang memanusiawi untuk mendaki, meninggalkan hal yang ditawarkan oleh kehidupan, tidak memiliki visi dan misi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan didepan. Campers (pekemah) adalah tipe individu yang berhenti dan tinggal di tengah pendakian, mendaki secukupnya dan berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Sekalipun tipe ini berbeda dengan tipe quitters, namun pendakian yang tidak selesai ini selalu dianggap sebagai “kesuksesan", sehingga tidak ada lagi keinginan untuk mencapai kesuksesan yang sesungguhnya. Fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil yang sudah dicapai sebagai tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat. Climbers (pendaki) tipe individu yang tidak menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, masib buruk atau nasib baik, melainkan terus mendaki. Climber adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakian. Dengan demikian, tiga tipe kepribadian dari adversity quotient adalah quitter (pecundang), campers (pekemah), climbers (pendaki). 2.2.4 Dimensi-dimensi Adversity Quotient Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient manusia terdiri atas empat dimensi yang singkat dengan CO₂RE yaitu control (kendali), origin (asal-usul) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), endurance (daya tahan). 1) Control Dimensi ini mempertanyakan, berapa banyak kendali yang dirasakan seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan? Kata kuncinya adalah merasakan. Dimensi ini adalah suatu awal yang penting, mereka yang adversity quotient nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atau peristiwa pendakian dan relatif kebal terhadap ketidakberdayaan, sementara orang yang adversity quotient nya lebih rendah cenderung lemah atau dalam kehidupannya daripada seseorang yang memiliki adversity quotient yang lebih rendah dan 24 mereka yangadversity quotientnya lebih tinggi cenderung melakukan berhenti. 2) Origin dan Ownership Dimensi ini mempertanyakan sejarah dimana individu mengendalikan diri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya. Individu yang memiliki skor Ownership yang tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan, apapun penyebabnya. Adapun individu yang memiliki skor Ownership sedang memiliki tanggung jawab atas kesulitan yang terjadi, tetapi mungkin akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang memiliki skor Ownership yang rendah akan menyangkal tanggung jawab orang lain atas kesulitan yang terjadi. 3) Reach Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang? Individu yang memiliki skor R yang rendah maka, semakin besar kemungkinannya menganggap peristwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas sehingga mengambil kebahagiaan dan ketenagan pikiran seseorang. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. 4) Endurance Dimensi terakhir ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan akan berlangsung. Jika skor E seseorang rendah, semakin besar kemungkinan orang tersebut menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama. Sebaliknya, semakin tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu singkat atau sementara.Berdasarkan penilitian Seligman, riset tentang teori atribusi, sebagaimana dilakukan oleh Johnson dan Biddle (dalam Stoltz, 2000) yang diterapkan di dalam olahraga, ditemukan bahwa individu yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil), cenderung kurang bertahan bila dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara). Jadi dimensi adversity quotient baik itu control (kendali), origin dan ownership (asal-usul dan pengakuan), maupun reach (jangkauan), endurance (daya tahan) dapat mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. 25 2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient Menurut Stoltz (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient atau faktor-faktor kesuksesan mencakup semua yang diperlukan untuk mendaki, adalah 1 2 3 4 5 6 Daya saing Jason Sattefield dan Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000), menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan lebih mengambil banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Individu yang secara konstruksi terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi fokus dan tenang yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan. Produktivitas Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat antara kejernihan dan cara-cara pegawai merespon kesulitan. Selingman (2006) membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan baik produksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Kreativitas Joel Barker (dalam Stoltz, 2000), kreativitas muncul dalam keputusan, kreativitas menuntut kemapuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan oleh hal-hal yang tidak pasti. Motivasi Stoltz (2000) melakukan penelitian untuk mengukur motivasi karyawan perusahaan farmasi dalam semua pekerjaan yang dilakukan. Stoltz menemukan bahwa mereka yang adversity quotientnya tinggi dianggap sebagai orang-orang yang memiliki motivasi. Mengambil Resiko Sattrerfield dan Seligman (dalam Stolz, 2000) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, yang bersedia mengambil banyak resiko . Resiko merupakan aspek esensial pendakian. Perbaikan Perbaikan dibutuhkan dalam era yang terus-menerus mengalami perubahan, supaya dapat bertahan, mencegah supaya tidak ketinggalan zaman dalam karir maupun dalam kehidupan pribadi lainnya. 26 7 Ketekunan Ketekunan merupakan inti pendakian dari adversity quotient. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan manakala dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan. 8 Belajar Inti abad informasi ini adalah kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang tidak ada hentinya. Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak dengan respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis. 9 Merangkul Perubahan Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz (2000), menemukan individu yang memeluk perubahan cenderung merespon dan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat, individu merespon dengan mengubah kesulitan menjadi peluang. Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh kesulitan. 10 Keuletan, Stress, Tekanan, Kemunduran Stres dan tekanan seringkali dihadapkan pada setiap manusia setiap harinya, dan orang yang tidak mampu mengelola situasi itu akan mengalami kemunduran. Seorang climbers pun dapat jatuh jika dihadapkan dengan tekanan yang terus-menerus dihadapkan padanya, namun keuletan menungkinkan tiap orang untuk bangkit kembali.Suzanne Oulette (dalam Stoltz, 2000) memperlihatkan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting, pengendalian, tantangan, dan komitman akan tetap ulet dalam menghadapi kesulitan. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient seseorang adalah daya saing, produktivitas, motivasi, kreativitas, mengambil resiko, perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan dan keuletan. 2.3 Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Bimbingan dapat diartikan sebagai upaya pemberian bantuan kepada peserta didik dalam rangka mencapai perkembangannya yang optimal. Sedangkan Konseling merupakan layanan utama bimbingan dalam upaya 27 membantu individu agar mampu mengembangkan dirinya dan mengatasi masalahnya, melalui hubungan face to face atau melalui media, baik secara perorangan maupun kelompok (Yusuf, 2005). Jadi dapat disimpulkan bahwa Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu individu agar memperoleh pencerahan diri (intelektual, emosional, sosial, dan moral-spiritual) sehingga mampu menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif, dan mampu mencapai kehidupannya yang bermakna (produktif dan kontributif), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2013 termasuk dalam usia dewasa awal yaitu antara usia 18-40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999). Menurut Kenniston (dalam Santrock, 2002) masa dewasa awal merupakan periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Kriteria penting untuk menunjukkan permulaan dari masa dewasa awal, yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan, serta mampu bertanggung jawab pada diri sendiri. Fase usia dewasa awal merupakan fase memasuki awal kehidupan yang mulai dihadapkan kepada berbagai perjuangan, kreativitas, tantangan, perubahan diri, serta problematika yang secara simultan dan kompleks yang dihadapi individu (Hurlock, 1999). Pada masa dewasa 28 awal individu mulai melakukan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Penyesuaian diri ini menjadikan periode sulit dari rentang kehidupan seseorang, pada masa dewasa awal ini biasanya individu menemui banyak kesulitan dan banyak anak muda dalam kategori ini merasakan tahun-tahun awal masa dewasa yang sedemikian sulit, sehingga mencoba memperpanjang ketergantungan dengan mempertahankan status mahasiswanya. Menjadi mahasiswa bukanlah hal yang mudah bagi sebagian remaja yang telah lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Menjadi mahasiswa mengharuskan remaja yang bersangkutan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan yang baru. Mahasiswa tahun kedua dan ketiga akan mengalami gangguan-gangguan pada bulan-bulan sibuk mengumpulkan tugas dan menjelang ujian tengah semester maupun ujian akhir. Kekurangmampuan dalam menjalankan peranannya sebagai mahasiswa akan mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya individu tersebut selama menjalani studi maupun kehidupan selanjutnya (Siswanto, 2007). Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang, masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. Menurut Brouwer (dalam Alisjahbana, 1983), beberapa masalah yang harus diperhatikan oleh mahasiswa dalam kaitannya dengan penyesuaian diri dengan situasi dan status baru yang dihadapi, yaitu : 29 a. Masalah pertama yang perlu diperhatikan adalah mengenai cara belajar. Pelajar SMA biasanya memiliki cara belajar yang lebih pasif bila dibanding dengan mahasiswa. Ini disebabkan oleh cara pembelajaran yang memang berbeda. Hampir semua materi pelajaran SMA diberikan oleh guru. Asalkan siswa menyimak baik-baik materi yang diberikan dan belajar hanya dari materi tersebut, biasanya itu sudah cukup. Berbeda dengan perguruan tinggi yang menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Materi yang diberikan dosen biasanya bersifat sebagai pengantar, sedangkan pendalaman lebih lanjut diserahkan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Ini menyebabkan kedalaman dalam memahami suatu materi tergantung dari keaktifan mahasiswa dengan usahanya mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Belum lagi perbedaan sistem paket yang diterapkan di SMA dan sistem SKS yang berlaku di Perguruan Tinggi, yang betulbetul menuntut mahasiswa untuk lebih akif kalau ingin lulus dengan nilai yang memuaskan dan dalam jangka waktu yang singkat. b. Masalah kedua adalah berkaitan dengan perpindahan tempat. Bagi sebagian besar mahasiswa, memasuki perguruan tinggi berarti juga harus berpindah tempat dari tinggal bersama dengan orang tua, menjadi tinggal bersama dengan orang lain, entah itu kost, kontrakan atau tinggal bersama dengan saudara. Belum lagi bila situasi di tempat asal ternyata berbeda sama sekali dengan situasi di tempat yang baru. 30 Misalnya dari lingkungan desa ke kota besar, tempat biasanya Perguruan Tinggi yang baik berada. Perpindahan tempat semacam ini membutuhkan energi yang besar untuk melakukan penyesuaian diri pada awalnya. c. Masalah ketiga berkaitan dengan mencari teman baru dan hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan. Menjadi mahasiswa berarti hubungan dengan teman-teman karib sewaktu SMA menjadi semakin renggang karena pertemuan yang semakin kurang dan sekaligus ada tuntutan untuk mencari teman-teman yang baru. Mencari teman yang cocok bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman yang cocok bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman kuliah maupun di tempat sekitar tinggal biasanya juga berasal dari latar keluarga yang berbeda-beda. Gagal mendapatkan teman yang sesuai bisa berakibat timbulnya perasaan kesepian. Berkaitan dengan masalah teman dan pergaulan ini adalah masalah seksualitas. Mahasiswa secara biologis seksualitasnya telah matang. Namun norma-norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku seksual secara penuh. Ketika masih dalam lingkungan keluarga sedikit banyak masih ada kontrol dari orang tua, saudara dan lembagalembaga kemasyarakatan (gereja, masjid, organisasi atau perkumpulan remaja) yang membantu remaja bersangkutan untuk mengatasi masalah seksualitasnya. Namun di tempat yang baru, ketika mahasiswa yang bersangkutan dituntut untuk membuat keputusan dan 31 pilihan-pulihan sendiri, seksualitas bisa muncul menjadi masalah yang serius. d. Masalah keempat berhubungan dengan perubahan relasi. Relasi dengan orang tua, saudara dan teman sewaktu tinggal dalam keluarga merupakan relasi yang lebih bersifat pribadi. Namun relasi-relasi tersebut berubah menjadi lebih bersifat fungsionil ketika menjadi mahasiswa. Relasi orang tua-anak, antar saudara, antar teman sepermainan diganti dengan relasi dosen-mahasiswa, mahasiswamahasiswa dan sebagainya. Perubahan relasi itu juga dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa. e. Masalah kelima berkaitan dengan pengaturan waktu. Menjadi mahasiswa untuk sebagian besar berarti bebas mengatur waktu menurut kehendaknya sendiri, karena tidak ada orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan dalam mengatur waktu antara kegiatan kuliah, belajar, bermain dan aktifitas lainnya dapat mengakibatkan munculnya masalah-masalah lain yang terutama berkaitan dengan tugas belajarnya. Masalah lainnya menyangkut nilai-nilai hidup. Berbagai macam orang yang ditemui serta berbagai macam informasi yang diterima di Perguruan Tinggi yang biasanya lebih terbuka, bisa mengakibatkan mahasiswa yang bersangkutan mengalami krisis nilai. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi selama ini diperhadapkan dengan nilai-nilai baru yang ditemui yang dirasa lebih sesuai. Tidak jarang selama masa krisis ini, 32 kehidupan mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan membawa dampak yang negatif bagi kesejahteraannya. Bila mahasiswa berhasil menangani masalah-masalah yang dihadapinya dengan sukses, maka yang bersangkutan akan dapat menjalani kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan baik dan lancar. Namun bila mahasiswa tersebut gagal menangani masalah-masalah yang ada, maka peranannya sebagai mahasiswa dan kehidupannya pribadinya akan mengalami gangguan dan hambatan. 2.4 Penelitian yang relevan Menurut penelitian Hardika (2011) menunjukkan bahwa dengan adanya skor adversity quotient yang tinggi akan menunjang prestasi belajar siswa-siswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo yang sedang berada dalam fase perkembangan remaja. Sehingga muncul hipotesis empirik, yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar pada siswa SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo. Setelah dilakukan pengolahan data dengan mengkorelasikan hasil dari angket adversity quotient dengan prestasi yang didapatkan pada mid semester siswa-siswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo didapatkan angka korelasi sebesar 0.153 (r=0,153) dengan hasil korelasi positif tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi skor adversity quotient seseorang maka semakin tinggi pula prestasi belajar yang dimilikinya. Signifikansi sebesar 0.027 dengan syarat signifikansi p<0.05 (signifikansi 33 lebih kecil dari 0.05) maka dapat diartikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel yang diteliti. Presentase adversity quotient mempengaruhi prestasi belajar sebesar 2,34 %, hal ini berarti terdapat faktor-faktor lain di luar adversity quotient memberi pengaruh terhadap prestasi belajar sebesar 97,66 %. Dengan munculnya hasil tersebut maka H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dikatakan adanya korelasi yang positif signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar siswasiswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutasoit (2009), dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara adversity quotient dan prestasi belajar pada ranah kognitif siswa. Artinya adversity quotient yang tinggi akan diikuti dengan prestasi belajar pada ranah kognitif yang tinggi pula. Sedangkan dalam konteks penelitian yang dilakukan pada SMA Negeri 2 Ambon diperoleh korelasi antara adversity quotient dengan prestasi belajar pada ranah kognitif adalah sebesar 0,309 dengan tingkat signifikansi 0,039. Artinya adversity quotient yang tinggi akan akan diikuti dengan prestasi belajar pada ranah kognitif yang tinggi pula. Dengan demikian, sumbangan efektif dari adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMA Negeri 2 Ambon sebesar 9,6 %. Sedangkan 0,04 % prestasi belajar pada ranah kognitif siswa juga dipengaruhi oleh hal-hal lain diluar adversity quotient. Angka signifikansi sebesar 0,039 (probabilitas 0,039 yang lebih kecil dari 0,05) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar pada 34 ranah kognitif siswa. Adversity quotient siswa SMA Negeri 2 Ambon memiliki rata-rata sebesar 114.0222 yang masuk ke dalam kategori tinggi. Dengan kata lain, siswa SMA Negeri 2 Ambon memiliki adversity quotient yang tergolong baik. Prestasi belajar pada ranah kognitif siswa SMA Negeri 2 Ambon juga termasuk dalam kategori tinggi dengan ratarata sebesar 83.3089. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat prestasi belajar siswa SMA Negeri 2 Ambon pada ranah kognitif tergolong baik. 2.5 Hubungan Antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik Perbedaan antara orang yang prestasinya biasa-biasa saja dengan orang yang berprestasi adalah pandangan dan respons nereka terhadap kegagalan atau kesulitan (Maxwell, 2000). Adversity quotient menurut Stoltz (2000) adalah suatu kemampuan yang menentukan apakah seseorang tetap menaruh harapan dan terus memegang kendali dalam situasi yang sulit. Stoltz juga mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki adversity quotient tinggi akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih prestasi atau dapat memberikan hasil yang terbaik, serta akan selalu termotivasi untuk berpretasi. Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient memiliki pengaruh besar dalam hampir di seluruh aspek kehidupan seseorang. Pengetahuan dan ketekunan dalam diri seseorang merupakan tolak ukur penting untuk menilai prestasi seseorang. Prestasi akademik menurut Azwar (2002) adalah bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh 35 seorang siswa sebagai pernyataan ada tidaknya kemajuan atau keberhasilan dalam program pendidikan. Kesimpulannya adversity quotient mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang, orang-orang yang memiliki adversity quotient tinggi akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi. 2.5 Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : “Ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan prestasi akademik pada mahasiswa BK FKIP UKSW angkatan 2013”. 36