Physicians for Human Rights 256 West 38th Street 9th Floor New York, NY 10018 646.564.3720 phr.org Mei 2015 Tes Keperawanan dan Selaput Dara: Tidak Ada Basis Fakta, Ilmiah, atau Medis Menggunakan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Kedokteran untuk Menghentikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Risalah forensik ini mengkaji keabsahan pemeriksaan selaput dara untuk menentukan “keperawanan” perempuan. Risalah ini tidak membahas tentang perlunya pemeriksaan ginekologi yang komprehensif dalam konteks pemeriksaan kedokteran forensik untuk kasus penyerangan seksual, karena keharusan untuk melakukan pemeriksaan seperti itu serta ketentuan pelaksanaannya sudah diketahui dan diatur dengan baik dalam pedoman-pedoman yang diakui secara internasional.1 Banyak studi medis yang dilakukan dalam beberapa dekade baru-baru ini di berbagai negara menyatakan tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis untuk menggunakan ukuran, bentuk (morfologi), atau pun keutuhan selaput dara dalam menentukan apakah seorang perempuan telah mengalami penetrasi vagina, dan dengan demikian menentukan status “keperawanannya.” Lagi pula, evaluasi untuk memeriksa selaput dara sering dilakukan tanpa izin dari perempuan yang bersangkutan atau dalam situasi paksaan atau ancaman kekerasan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan – dalam beberapa kasus – secara fisik. Karena pemeriksaan ini secara medis tidak perlu dilakukan, maka tidak etis bagi dokter atau ahli kesehatan untuk melakukannya.2 Selaput Dara – Asumsi Indikator Keperawanan Dalam budaya yang menghargai keperawanan sebelum menikah, indikator yang diasumsikan umumnya adalah selaput dara yang masih “utuh” dan darah di ranjang pengantin pada malam pertama akibat selaput dara yang “robek.” Berbagai studi medis dan ilmiah telah menyanggah asumsi tersebut dan menunjukkan tidak ada bukti yang dapat mendukungnya. Anatomi Selaput Dara Selaput dara adalah selaput vestigial yang secara embriologi memisahkan 2/3 bagian atas vagina dengan 1/3 bagian bawahnya selama pertumbuhan janin perempuan. Pada saat kelahiran, selaput dara membuka dan bergeser ke bagian luar alat kelamin pada kebanyakan bayi perempuan. Jaringan selaput dara biasanya mengecil pada saat kelahiran sampai tersisa beberapa milimeter saja, dan konfigurasinya bervariasi secara bentuk, ukuran dan kelenturan pada masa kanak-kanak, dan berubah sepanjang kehidupan dewasa.3 Biasanya, selaput dara anak perempuan memiliki bukaan yang sangat bervariasi ukurannya, untuk menstruasi. Selaput dara berbeda ukuran dan bentuknya dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter tergantung usia, tahapan perkembangan seksual Tanner,4 dan status hormon. Pada tahap dewasa, selaput dara memiliki bentuk dan ukuran yang sangat beragam.5 Selain ukuran dan bentuk, selaput dara dapat memiliki berbagai ciri khusus, seperti polip, rabung, garis, dan torehan. Karena banyaknya variasi morfologi selaput dara, maka pihak yang melakukan pemeriksaan ginekologi forensik harus memahami baik keragaman ciri-ciri fisik maupun terbatasnya apa yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik. New York, NY Kantor Pusat Boston, MA Washington, DC Pendarahan Selaput dara adalah selaput yang relatif kurang pembuluh darah sehingga – meskipun robek – tidak akan berdarah terlalu banyak.6 Penetrasi yang dipaksakan dan kurangnya lubrikasi dapat menyebabkan luka goresan pada dinding vagina. Keduanya dapat menyebabkan “noda darah pada sprei”, bukan karena trauma pada selaput dara.7 Pendarahan tidak selalu terjadi pada perempuan setelah hubungan seksual yang pertama.8 Dari studi awal pada tahun 1978 tentang pengalaman hubungan seksual pertama, 44 persen dari 100 perempuan yang disurvei melaporkan tidak mengalami pendarahan pada hubungan seksual pertama, sedangkan 35 persen melaporkan hanya sedikit pendarahan.9 Sebuah penelitian di Belanda – diterbitkan pada tahun 2008 – terhadap 487 perempuan dari berbagai latar belakang budaya menemukan 40 persen perempuan tidak mengalami pendarahan saat pertama kali hubungan seksual.10 Pada sebuah studi survei tahun 1998, seorang dokter dari Inggris menemukan 63 persen dari 41 rekan dokter perempuan tidak mengalami pendarahan saat hubungan seksual pertama.11 Literatur medis mengaitkan pendarahan vagina setelah persetubuhan di malam pertama dengan berbagai faktor kemungkinan lain, termasuk penetrasi yang dipaksakan, kurangnya lubrikasi, dan infeksi.12 “Merobek” Selaput Dara Pada masa pra-pubertas perempuan, selaput dara dan vagina berukuran lebih kecil dan tidak elastis seperti di masa remaja dan dewasa, dengan demikian trauma akibat penetrasi dapat lebih terlihat dan lebih menampakkan ciri-ciri tertentu.13 Pada masa pasca pubertas, selaput dara dapat meregang, sehingga memungkinkan penetrasi vagina dengan cedera yang minim. Hanya sedikit perempuan yang menunjukkan perubahan pada diagnosa selaput dara akibat trauma penetrasi. Dalam sebuah studi tahun 2004 terhadap 36 perempuan remaja hamil, petugas kesehatan hanya menemukan dua kasus penetrasi selaput dara yang pasti.14 Satu studi membandingkan morfologi selaput dara pada remaja perempuan yang pernah dan belum pernah melakukan hubungan seksual konsensual menemukan bahwa mereka yang mengaku pernah melakukannya ternyata memiliki selaput dara yang utuh dan tidak robek pada 52 persen kasus.15 Studi tentang korban dari serangan seksual juga memberikan bukti bahwa selaput dara tidak selalu robek atau mengalami kerusakan yang nyata akibat penetrasi yang dipaksakan. Sebuah studi yang terbit pada tahun 2001 menemukan hanya 19 persen korban serangan seksual berusia antara 14 dan 19 tahun – yang mengaku tidak pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya – memiliki luka parah pada selaput dara.16 Studi lain di tahun 1998 yang melibatkan perempuan dalam rentang usia lebih besar yang mengaku menderita serangan seksual menemukan hanya 9.1 persen mengalami perforasi selaput dara setelah serangan.17 Para penyusun studi ini menyimpulkan sejumlah besar perempuan, terlepas dari pengalaman seksual sebelumnya, tidak akan menampakkan cedera kelamin akibat penetrasi vaginal yang dipaksakan. Perlu dicatat bahwa penelitian forensik ini mengenai bergunanya pemeriksaan selaput dara untuk menentukan apakah seorang perempuan pernah melakukan hubungan seksual. Bila diduga terjadi serangan atau pelecehan seksual, pemeriksaan forensik secara tuntas harus dilakukan.18 Selaput dara dapat sembuh secara alami tanpa menunjukkan tanda cedera dalam waktu beberapa hari.19 Bahkan dokter yang berpengalaman pun mungkin sangat kesulitan untuk membedakan torehan sebagian selaput dara yang sudah sembuh dengan torehan yang terjadi secara alami.20 Dalam kebanyakan kasus, tidak ada korelasi antara wujud selaput dara dengan riwayat hubungan seksual seseorang.21 Demikian pula, keutuhan selaput dara bisa dirusak oleh berbagai penyebab lain di luar hubungan seksual, termasuk memasukkan benda-benda, penetrasi trauma yang tidak disengaja, dan prosedur operasi bedah.22 Tes Keperawanan dan Selaput Dara: Tidak Ada Basis Fakta, Ilmiah, atau Medis 2 Anggapan bahwa bentuk selaput dara yang tidak lazim merupakan indikasi penetrasi vagina adalah tidak benar. Juga menyesatkan adalah anggapan bahwa selaput dara yang utuh menunjukkan tidak terjadinya hubungan seksual. Terakhir, karena pemeriksaan selaput dara tidak dapat menentukan apakah selaput dara atau vagina mengalami penetrasi oleh penis atau benda lain, maka pemeriksaan semacam ini tidak memiliki nilai diagnosis maupun forensik.23 Pertimbangan Etika Sebagaimana ditunjukkan dan diterima secara luas oleh komunitas perawatan kesehatan, tidak ada bukti medis atau ilmiah yang dapat mendukung pemeriksaan selaput dara untuk menentukan terjadinya penetrasi vagina. Pemeriksaan tersebut menjadi masalah medis dan hak asasi manusia yang serius jika dilakukan di luar keinginan perempuan yang bersangkutan, seperti yang sering terjadi. Pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan merupakan perlakuan yang tidak manusiawi, kejam, atau merendahkan martabat yang dilarang oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT).24 Tergantung kondisi dalam pelaksanaannya, pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan untuk tujuan menentukan “keperawanan” dapat juga menjadi bentuk penyiksaan.25 Pelapor Khusus PBB telah menyatakan tes keperawanan sebagai bentuk penyiksaan spesifik gender.26 Dalam kasus Salmanoğlu and Polattaş v. Turkey,27 Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menetapkan bahwa pelaksanaan tes keperawanan terhadap dua orang perempuan dalam tahanan merupakan perlakuan sangat buruk yang melanggar larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman tidak manusiawi atau merendahkan martabat yang terkandung di dalam Konvensi HAM Eropa. Selanjutnya, pemeriksaan yang dipaksakan tersebut – dalam beberapa kondisi – ditemukan tidak hanya merupakan penyiksaan, tapi juga pemerkosaan. Dalam kasus Miguel Castro-Castro Prison v. Peru,28 Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan tindakan menyerahkan tahanan perempuan untuk “inspeksi” vagina menggunakan jari, yang dilakukan oleh beberapa orang di rumah sakit kepolisian, “merupakan pemerkosaan seksual dan dari dampaknya merupakan penyiksaan” yang melanggar hak atas perlakuan manusiawi yang tercantum dalam Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, dan melanggar Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan.29 Mengharuskan perempuan untuk menjalani pemeriksaan keperawanan yang dipaksakan melanggar ketentuan non-diskriminasi dalam ICCPR,30 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,31 Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,32 dan UDHR.33 Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan, penyebab dan konsekuensinya baru-baru ini mengakui tes keperawanan sebagai “pelanggaran berat” atas hak privasi yang tercantum dalam ICCPR34 dan UDHR,35 dan menyatakan tes tersebut “mengurangi kapasitas perempuan untuk diakui sebagai warga negara yang utuh dan setara masyarakat mereka.”36 Kesimpulan Pemeriksaan selaput dara untuk menentukan “keperawanan” perempuan tidak memiliki nilai klinik maupun ilmiah. Penggunaan pemeriksaan semacam itu dalam konteks untuk menentukan status seksual perempuan melanggar standar dasar medis dan hukum sebagaimana diuraikan dalam risalah ini. Oleh sebab itu, para ahli kesehatan yang diminta untuk melakukan pemeriksaan selaput dara untuk tujuan menentukan “keperawanan” perempuan harus menolak untuk melakukannya. Tes Keperawanan dan Selaput Dara: Tidak Ada Basis Fakta, Ilmiah, atau Medis 3 1 Organisasi Kesehatan Dunia, Health Care for Women Subjected to Intimate Partner Violence or Sexual Violence: Clinical Handbook, WHO/RHR/14.26, Field Testing Version, Nov. 2014, http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/136101/1/WHO_RHR_14.26_eng.pdf?ua=1; Organisasi Kesehatan Dunia, Guidelines for Medico-Legal Care for Victims of Sexual Violence, 2003, http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/924154628X.pdf?ua=1http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/ 924154628X.pdf?ua=1http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/924154628X.pdf?ua=1. V. Iacopino, O. Ozkalipci, C. Schlar, K. Allden, T. Baykal, R. Kirschner, et al. Manual on the Effective Investigation and Documentation of Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (The Istanbul Protocol). Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia, 2004, HR/P/PT/8/Rev.1, http://www.ohchr.org/Documents/Publications/training8Rev1en.pdf. 2 Dewan Rehabilitasi Korban Penyiksaan Internasional, “IFEG: Forcibly Conducting Virginity Testing is a Human Rights Violation and May Constitute Torture,” Dec. 16, 2014, http://www.irct.org/media-andresources/irct-news/show-news.aspx?PID=13767&Action=1&NewsId=3943. 3 Abbey B. Berenson, Astrid Heger, and Sally Andrews, “Appearance of the Hymen in Newborns,” Pediatrics, vol. 87, no. 4, (Apr. 1991): 458, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2011421; Abbey B. Berenson, “Appearance of the Hymen at Birth and One Year of Age: A Longitudinal Study,” Pediatrics, vol. 91, no. 4, (Apr. 1993): 820, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8464674; Abbey B. Berenson et al, “Appearance of the Hymen in Prepubertal Girls,” Pediatrics, vol. 89, no. 3, (Mar. 1992): 387, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1741209; Abbey B. Berenson, “A Longitudinal Study of Hymenal Morphology in the First 3 Years of Life,” Pediatrics, vol. 95, no. 4, (Apr. 1995): 490, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7700746; Astrid H. Heger et al, “Appearance of Genitalia in Girls Selected for Nonabuse: Review of Hymenal Morphology and Nonspecific Findings,” Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, vol. 15, no. 1, (Feb. 2002): 27, 32, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11888807; Maher Mahran and A.M. Saleh, “The Microscopic Anatomy of the Hymen,” The Anatomical Record, vol. 149, no. 2, (Jun. 1964): 313, http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ar.1091490213/pdf. 4 Skala yang digunakan oleh dokter untuk mengevaluasi perkembangan perubahan pubertas. 5 Untuk gambaran umum tentang anatomi, perkembangan, dan variasi selaput dara, lihat Abdelmonem A. Hegazy, MO Al-Rukban, “Hymen: Facts and Conceptions,” theHealth, Vol. 3, No. 4, (Oct. 2012): 109, http://www.thehealthj.com/december_2012/hymen_facts_and_conceptions.pdf . 6 V. Raveenthiran, “Surgery of the Hymen: From Myth to Modernization,” Indian Journal of Surgery, vol. 71, (Jul.–Aug. 2009): 224, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3452621/pdf/12262_2009_Article_65.pdf. 7 Ibid. 8 Emma Curtis and Camille San Lazaro, “Appearance of the Hymen in Adolescents is Not Well Documented,” British Medical Journal, vol. 318, no. 7183, (Feb. 1999): 605, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1115047/pdf/605.pdf; Deborah J. Rogers and Margaret Stark, “The Hymen is Not Necessarily Torn after Sexual Intercourse,” British Medical Journal, vol. 317, no. 7155, (Aug. 1998): 414, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1113684/. 9 Nancy Whitley, “The First Coital Experience of One Hundred Women,” Journal of Obstetric, Gynecologic & Neonatal Nursing, vol. 7, no. 4, (Jul.–Aug. 1978): 41–42, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/249348. 10 Olga Loeber, “Over het zwaard en de schede; bloedverlies en pijn bij de eerste coïtus; Een onderzoek bij vrouwen uit diverse culturen” [Pendarahan dan Nyeri pada Persetubuhan Pertama. Studi Perempuan dari Berbagai Latar Belakang Budaya], Tijdschrift voor Seksuologie, vol. 32, (2008): 129, http://www.researchgate.net/publication/237500166_Over_het_zwaard_en_de_sch ede_bloedverlies_en_pijn_bij _de_eerste_cotus_Een_onderzoek_bij_vrouwen_uit_diverse_culturen. 11 Sara Paterson-Brown, “Commentary: Education About the Hymen is Needed,” British Medical Journal, vol. 316, (Feb. 1998): 461, http://www.bmj.com/content/316/7129/461?tab=related. 12 Birgitta Essen et al, “The Experience and Responses of Swedish Health Professionals to Patients Requesting Virginity Restoration (Hymen Repair),” Reproductive Health Matters, vol. 18, no. 35 , (May 2010): 38–39, http://www.rhm-elsevier.com/article/S0968-8080(10)35498-X/pdf; Raveenthiran, “Surgery of the Hymen: From Myth to Modernization,” 224. 13 Gail Hornor, “A Normal Ano-genital Exam: Sexual Abuse or Not?” Journal of Pediatric Health Care, vol. 24, no. 3, (May–Jun. 2010): 145, 150, http://www.jpedhc.org/article/S0891-5245(08)00343-X/abstract; John McCann, Joan Voris, and Mary Simon, “Genital Injuries Resulting from Sexual Abuse: A Longitudinal Study,” Pediatrics, vol. 89, no. 2, (Feb. 1992): 307, http://pediatrics.aappublications.org/content/89/2/307. Tes Keperawanan dan Selaput Dara: Tidak Ada Basis Fakta, Ilmiah, atau Medis 4 14 Nancy D. Kellogg, Shirley W. Menard, and Annette Santos, “Genital Anatomy in Pregnant Adolescents: ‘Normal’ Does Not Mean ‘Nothing Happened,’” Pediatrics, vol. 113, no. 1, (Jan. 2004); e67, http://pediatrics.aappublications.org/content/113/1/e67.full.pdf+html. 15 Joyce A. Adams, Ann S. Botash, and Nancy Kellogg, “Differences in Hymenal Morphology Between Adolescent Girls With and Without a History of Consensual Sexual Intercourse,” Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, vol. 158, no. 3, (Mar. 2004): 280, http://archpedi.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=485645. 16 Joyce A. Adams, Barbara Girardin, and Diana Faugno, “Adolescent Sexual Assault: Documentation of Acute Injuries Using Photo-colposcopy,” Journal of Pediatric Adolescent Gynecology, vol. 14, iss. 4, (Nov. 2001): 175– 180, http://www.researchgate.net/publication/223183987_Adolescent_Sexual_Assault_Documentation_of_Acute_Inj uries_Using_Photo-colposcopy. 17 Marlene Biggs, Lana E. Stermac, and Miriam Divinsky, “Genital Injuries Following Sexual Assault of Women With and Without Prior Sexual Intercourse Experience,” Canadian Medical Association Journal, vol. 159, no.1, (Jul. 1998): 33, http://www.cmaj.ca/content/159/1/33.full.pdf. 18 Organisasi Kesehatan Dunia, Health Care for Women Subjected to Intimate Partner Violence or Sexual Violence: Organisasi Kesehatan Dunia, Guidelines for Medico-Legal Care for Victims of Sexual Violence. 19 Hornor, “A Normal Ano-genital Exam: Sexual Abuse or Not?,” 145, 150; McCann, “Genital Injuries Resulting from Sexual Abuse: A Longitudinal Study,” 307. 20 Jean-Jacques Amy, “Certificates of virginity and reconstruction of the hymen,” European Journal of Contraception and Reproductive Healthcare, vol. 13, no. 2, (Jun. 2008): 111–112, http://informahealthcare.com/doi/pdf/10.1080/13625180802106045. 21 Pengecualian yang nyata mungkin adalah diagnosis pelecehan seksual pada masa perempuan pra-pubertas (Lihat Dewan Rehabilitasi Internasional untuk Korban Penyiksaan, “IFEG: Forcibly Conducting Virginity Testing is a Human Rights Violation and May Constitute Torture,” 3). Lihat juga, misalnya, Joyce A. Adams, “Normal Studies are Essential for Objective Medical Evaluations of Children Who May Have Been Sexually Abused,” Acta Pædiatrica, vol. 92, iss. 12, (Nov. 2003): 1378–1380, http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1651-2227.2003.tb00818.x/abstract; Abbey B. Berenson, “Normal Anogenital Anatomy,” Child Abuse & Neglect, vol. 22, iss. 6, (Jun. 1998): 589, 592, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9649899; GR Bond et al, “Unintentional Perineal Injury in Prepubescent Girls: A Multicenter, Prospective Report of 56 Girls,” Pediatrics, vol. 95, no. 5, (May 1995): 628, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7724296. 22 Carol D. Berkowitz, “Healing of Genital Injuries,” Journal of Child Sexual Abuse, vol. 20, iss. 5, (Sept. 2011): 537, 539–542, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21970645; Rebecca J. Cook and Bernard Dickens, “Hymen Reconstruction: Ethical and Legal Issues,” International Journal of Gynecology and Obstetrics, vol. 107, (Dec. 2009): 266, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1518068. Lihat juga Paterson-Brown, “Commentary: Education About the Hymen is Needed,” 461; Felicity Goodyear-Smith and Tannis Laidlaw, “Can Tampon Use Cause Hymen Changes in Girls Who Have Not Had Sexual Intercourse? A Review of the Literature,” Forensic Science International, vol. 94, iss. 1–2, (Jun. 1998): 147, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9670493; S.J. Emans et al , “Hymenal Findings in Adolescent Women: Impact of Tampon Use and Consensual Sexual Activity,” The Journal of Pediatrics, vol. 125, iss.1, (Jul. 1994): 153, 158, http://www.jpeds.com/article/S0022-3476(94)70144-X/fulltext. 23 Dewan Rehabilitasi Korban Penyiksaan Internasional, “IFEG: Forcibly Conducting Virginity Testing is a Human Rights Violation and May Constitute Torture.” 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Art. 5, G.A. Res. 217A (III), UN GAOR, 3rd session, 183 plen. mtg., UN Doc A/810 (1948), http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Pages/Language.aspx?LangID=eng; Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Art. 7, G.A. Res. 2200A (XXI), 21 UN GAOR Supp. (No. 16) at 52, UN Doc. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171, mulai berlaku Mar. 23, 1976, http://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT), Art. 16, G.A. Res. 39/46, UN Doc. A/39/51 (1984), mulai berlaku Jun. 26, 1987, http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CAT.aspx. 25 UDHR, Art 5; ICCPR, Art 7; CAT, Art 1. 26 Laporan Interim Pelapor Khusus Komisi HAM perihal penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain Tes Keperawanan dan Selaput Dara: Tidak Ada Basis Fakta, Ilmiah, atau Medis 5 yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; Majelis Umum PBB Sesi Ke-55, Butir 116(a), UN Doc A/55/290, Aug. 11, 2000, http://www.un.org/documents/ga/docs/55/a55290.pdf. 27 Kasus Salmanoğlu and Polattaş v. Turkey, no. 15828/03, §§ 96, 98, Pengadilan HAM Eropa, Mar. 17, 2009, http://hudoc.echr.coe.int/webservices/content/docx/001-91777?TID=ihgdqbxnfi. 28 Kasus Miguel Castro-Castro Prison v. Peru, no. 160, Pengadilan HAM Inter-Amerika, Nov. 25, 2006, http://www.corteidh.or.cr/docs/casos/articulos/seriec_160_ing.pdf. 29 Ibid, par. 197(50), 309, 312. 30 ICCPR, Art. 2(1), 3, 26. 31 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Art. 2(2), 3, G.A. Res. 2200A (XXI), U.N. Doc. A/6316 (1966), 993 U.N.T.S. 3, mulai berlaku Jan. 3, 1976, http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CESCR.aspx. 32 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Art.1,2, G.A. Res. 34/180 (1979), 1249 U.N.T.S. 13, mulai berlaku Sept. 3, 1981, http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/cedaw.pdf. 33 CEDAW, Art 2. 34 CEDAW, Art 17. 35 CEDAW, Art 12. 36 “Laporan Pelapor Khusus mengenai Kekerasan terhadap Perempuan, Penyebab, dan Konsekuensinya,” Majelis Umum PBB, Sesi Ke-69, Butir 27, UN Doc A/69/368, Sept. 1, 2014, http://www.ohchr.org/EN/newyork/Pages/HRreportstothe69thsessionGA.aspx. Tes Keperawanan dan Selaput Dara: Tidak Ada Basis Fakta, Ilmiah, atau Medis 6