14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tindakan

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Tindakan Khusus Terhadap Anak
a. Pengertian Anak
Pengertian anak di Indonesia dibedakan menurut batasan umurnya
dan diatur menurut bidang hukumnya masing-masing.Secara yuridis
kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum.Dalam lapangan
hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak
menyangkut kepada persoalan-persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah
kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan sahnya anak,
perwalian pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak dan lainlain.Sedangkan dalam lapangan hukum pidana menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana (Nandang Sambas, 2013:4).
Beberapa pengertian anak akan dijelaskan sebagai berikut :
1) Anak secara sosiologis
Seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang anak bukan sematamata berdasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan
dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup
mandiri menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada
(Nandang Sambas, 2013:2).
2) Anak secara yuridis
Hukum di Indonesia memiliki banyak Undang-Undang yang
mencantumkan penjelasan anak yang berbeda-beda, maka pengertian
anak antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Dalam
Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1979
tentang
Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2), anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
b) Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
14
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan
belum pernah kawin.
c) Dalam
Undang-Undang
Nomor
23
tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1, anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun, termasuk anak di dalam kandungan.
d) Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pasal 1 angka 4, anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun.
e) Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak disebutkan 3 (tiga) kategorisasi anak yaitu: anak
yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12
tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Anak korban adalah anak yang belum mencapai
umur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Dan anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan dialami sendiri.
Dengan banyaknya batasan umur yang berbeda-beda dari beberapa
peraturan di atas, maka dalam hal ini Penulis menggunakan definisi anak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Pengertian anak secara bahasa adalah seseorang yang masih berada
di bawah umur/belum cukup umur untuk melakukan hal-hal umum. Dalam
beberapa hal kepolosan dan keluguan anak dapat dimanfaatkan oleh orang
dewasa sebagai celah untuk melakukan suatu tindakan yang merugikan
anak.Anak berbeda dengan orang dewasa, anak masih belum cukup matang
dalam beberapa hal yaitu belum matang secara fisik, psikis maupun
mentalnya.Anak masih perlu ditemani, dibimbing, diarahkan, dilindungi
oleh orang dewasa sehingga anak dalam beberapa hal tertentu memerlukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
perlakuan khusus serta memerlukan perlindungan yang khusus pula,
terutama pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan
mental maupun jasmani pada diri anak (Abintoro Prakoso, 2013:24).
Penulis membahas mengenai perlindungan hukum bagi anak,
sehingga dalam hal ini penulis ingin memberikan penjelasan mengenai
perlakuan khusus yang didapatkan anak ketika anak harus dihadapkan
dengan hukum. Perlakuan khusus yang didapatkan anak saat berhadapan
dengan hukum dimulai sejak penahanan yaitu ditahan terpisah dengan orang
dewasa, demi menghindarkan anak terhadap pengaruh buruk dari orang
dewasa. Perlakuan khusus ini terus diterapkan pada proses pidana
selanjutnya yaitu mulai dari disidik menggunakan pendekatan efektif dan
seterusnya (Abintoro Prakoso, 2013:24).
b. Hak-Hak Anak
Anak adalah generasi muda penerusang bangsa, dengan adanya
fakta bahwa banyak terjadi pelanggaran yang korbannya anak maka
pemerintah membuat berbagai macam peraturan untuk melindungi hak anak
agar anak dapat berkembang dengan baik.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Dalam Pasal 13 ayat (1) menyatakan setiap anak dalam pengasuhan
orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
1) Diskriminasi
2) Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual
3) Penelantaran
4) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
5) Ketidakadilan
6) Perlakuan salah lainnya
Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan,
perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi
yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
manusiawi ke arah hal yang positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk
memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai
kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam
pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya
(Arief Gosita, 1996:14).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menjelaskan betapa pentingnya untuk memperhatikan anak dengan
memenuhi berbagai kebutuhannya karena anak adalah modal dan aset
negara di masa depan, khususnya dijelaskan dalam Pasal 2 mengenai
penyelenggaraan perlindungan anak harus berdasarkan prinsip :
1) non diskriminasi
2) kepentingan terbaik bagi anak
3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
4) penghargaan terhadap anak
Penulisan ini membahas mengenai perlindungan anak dari segi
hukum, khususnya saat proses peradilan berlangsung yaitu mulai dari proses
penyelidikan, penyidikan, penututan, pemeriksaan perkarahingga Putusan
Pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
diatur dalam Pasal 3 yaitu :
1) Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya.
2) Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.
3) Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
4) Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
5) Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang obyektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.
6) Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya
oleh anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
Indonesia telah memiliki banyak peraturan yang mengatur
beberapa hak yang diperoleh untuk anak seperti contohnya anak
memperoleh pendidikan, difasilitasi agar kesehatannya terjaga, memilih
agama sesuai keyakinannya, memperoleh informasi mengenai orang tua,
hingga hak anak ketika berhadapan dengan hukum, serta hak dasar lainnya
yang ada di berbagai peraturan yang didalamnya mengatur tentang anak.
2. Kenakalan Anak Sebagai Perbuatan Penyimpangan
a. Pengertian Kenakalan Anak
Kenakalan anak merupakan perbuatan atau tingkah laku yang
bersifat anti sosial yaitu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik
norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia
muda (Wagiati Soetodjo, 2006 : 11). Perbuatan kenakalan tersebut dapat
dibedakan dari kenakalan biasa pada umunya dan juga kenakalan yang
termasuk suatu tindak pidana yang berupa pelanggaran maupun kejahatan.
Kenakalan anak adalah gejala penyakit secara sosial pada anakanak yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan suatu bentuk tingkah laku yang menyimpang dari biasanya
(anti sosial). Anak muda yang delikuen (nakal) tersebut dianggap juga sakit
secara mental karena disebabkan oleh pengaruh sosial yang buruk di tengah
masyarakat dimana dia hidup (Wagiati Soetodjo, 2006 : 10).
b. Bentuk-Bentuk Kenakalan Anak
Kenakalan anak merupakan sikap-sikap dan aktivitas anak-anak
yang bertentangan dengan norma-norma sosial. Sifat kenakalan anak sangat
bervariasi mulai hanya iseng untuk mencari perhatian sampai berbentuk
tindak kejahatan seperti, membunuh, memperkosa, mencuri dan sebagainya.
Menurut bentuknya kenakalan anak dibagi menjadi tiga tingkatan
(Eva Imaniani, 2012: 3)
1) Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos
sekolah, pergi dari rumahtanpa pamit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran,seperti mengendarai
mobil tanpa SIM, tidak pakai helm
3) Kenakalan khusus yang menjurus pada tindak pidana, seperti
penyalahgunaan narkotika, pencurian, hubungan seks di luar nikah,
pergaulan bebas, pemerkosaan dll.
Sedangkan menurut Jensen, kenakalan anak dibagi dalam empat
jenis, yaitu (Sarwono W Sarlito, 2012: 256-257) :
1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain contohnya
seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan.
2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi contohnya seperti
perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan.
3) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan kerugian di pihak orang
lain contohnya seperti pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia
mungkin juga dapat dimasukkan seks bebas dalam jenis kenakalan
sosial.
4) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua
dengan cara pergi dari rumah atau membantah perintahnya dan
sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang
belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang
dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan
sekunder (sekolah). Akan tetapi bila kelak anak ini dewasa,
pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya dikantor
atau petugas hukum didalam masyarakat.
c. Penyebab Terjadinya Kenakalan Anak
Kenakalan anak yang merupakan gejala penyimpangan dan
patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokan dalam satu kelas
defektif secara sosial dan mempunyai sebab yang mejemuk, jadi sifatnya
multi kausal. Para sarjana menggolongkannya menurut beberapa teori,
sebagai berikut (Kartini, 2010: 25-31):
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
1) Teori Biologis
Menurut teori ini tingkah laku delinkuen pada anak muncul
karena faktor-faktor fisiologis dan stuktur jasmaniah seseorang, juga
dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Hal itu terjadi karena :
a) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau
melalui kombinasi gen dapat juga disebabkan oleh tidak adanya
gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan
tingkah laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial.
b) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa
(abnormal) sehingga memunculkan perilaku delinkuen.
c) Melalui pewarisan jasmaniah tertentu yang menimbulkan
tingkah laku delinkuen atau sosiopatik. Misalnya cacat
jasmaniah bawaan brachydactylisme (berjari-jari pendek) dan
diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi
dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
2) Teori Psikogenis (Psikologis dan Psikiatris)
Teori ini menekankan sifat-sifat delinkuen anak dari aspek
psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri
kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi,
internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial,
kecenderungan psikopatologis.
Argumen sentral dari teori ini adalah delinkuen merupakan
bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan
konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal sosial dan pola-pola
hidup keluarga dan yang patologis, misalnya dalam keluarga broken
home jelas membuahkan masalah psikologis penyesuaian diri yang
terganggu pada diri anak-anak sehingga mereka mencari kompensasi
di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya
dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, kejahatan anak
merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak itu sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
Anak-anak delinkuen itu melakukan banyak kejahatan
didorong oleh konflik batin sendiri. Mereka mempraktekan konflik
batinnya untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkahlaku agresif, impulsif dan primitif. Oleh karena itu kejahatannya
mereka pada umumnya erat berkaitan dengn temperamen, kejiwaan
yang galau. Konflik batin dan frustasi yang akhirnya ditampilkan
secara spontan keluar.
3) Teori Sosiogenis
Para sosiolog berpendapat bahwa penyebab tingkah-laku
delinkuen pada anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis
sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang
deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh
internalisasi simbolis yang keliru.
Proses simbolisasi diri ini pada umumnya berlangsung
tidak sadar dan berangsur-angsur untuk kemudian menjadi bentuk
kebiasaan jahat delinkuen pada diri anak. Semua berlangsung sejak
usia sangat muda, mulai di tengah keluarga sendiri yang berantakan,
sampai pada masa anak dan masa dewasa di tengah masyarakat ramai.
Berlangsunglah
kini
pembentukan
pola
tingkah-laku
yang
menyimpang dari norma-norma umum yang progresif sifatnya, yang
kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anak lewat
mekanisme negatif dan proses pembiasaan diri.
Dengan demikian, sebab-sebab kejahatan anak itu tidak
hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi
disebabkan oleh konteks kulturalnya. Oleh karenanya jelas kejahatan
anak tersebut dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat,
ditambah dengan kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak.
4) Teori Subkultur (Pola Budaya)
Pengertian kebudayaan dalam hal ini menyangkut suatu
kumpulan nilai dan norma yang menuntut bentuk tingkah laku
responsif yang khas pada anggota suatu kelompok.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Subkultur delinkuen anak ini mengaitkan sistem nilai,
kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi
materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas)
yang memotifasi timbulnya kelopok-kelompok anak berandalan dan
kriminal. Sedang perangsangannya bisa berupa hadiah mendapatkan
status sosial “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi
sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya. Contohnya,
anak-anak delinkuen dari subkultur kelas menengah banyak yang
menggunakan obat perangsang dan minuman alkoholik. Pertama,
kebiasaan ini dipakai untuk menghilangkan kejemuan dan kejenuhan.
Kedua, untuk melupakan dan menghilangkan konflik batin sendiri dan
ketiga untuk memberikan kegairahan serta keberanian hidup.
Kebiasaan mabuk ini banyak memunculkan keributan massal.
Menurut teori subkultur ini, munculnya kenakalan anak
ialah sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur)
yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang di
diami oleh para anak delinkuen tersebut.
3. Anak Sebagai Korban Kejahatan
a. Pengertian Viktimologi
Suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya
korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia sebagai suatu kenyataan sosial merupakan pengertian dari ilmu
Viktimologi. Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Pengertian lain dari Viktimologi
merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu
viktimalisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial (Rena Yulia, 2010: 43).
Pengertian viktimologi mengalami perkembangan. Perkembangan
viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu (Rena Yulia, 2010:44-45) :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
1) Pada fase pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan
saja. Pada fase ini dikatakan sebagai penal atau special victimology.
2) Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban
kejahatan saja tetapi meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut
sebagai general victimology.
3) Pada Fase ketiga, viktimologi mengalami perkembangan yang lebih
luas lagi, yaitu bukan hanya korban kejahatan dan kecelakaan saja,
namun
juga
mengkaji
permasalahan
korban
penyalahgunaan
kekuasaan dan hak-hak asasi manusia, pada fase ini dikatakan sebagai
new victimology.
Viktimologi memusatkan perhatian yang lebih kepada korban
kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan
mental, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan
mengenai peran para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran
bahwa setiap orang berhak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan
dengan lingkungannya, pekerjaannya, dan lain-lainnya. Melalui viktimologi
dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti :
faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi
korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban
korban kejahatan.
b. Manfaat Viktimologi
Viktimologi dapat digunakan untuk memahami kedudukan korban
sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas, untuk mengerti akan
permasalahan kejahatan, delikuensi sebagai satu proporsi yang sebenarnya
secara dimensional dalam mencari kebenaran. Selain itu Viktimologi dapat
bermanfaat untuk dijadikan pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai
kebijakan/perundang-undangan
yang
selama
memperhatikan aspek perlindungan korban.
commit to user
ini
terkesan
kurang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
Penegak hukum dengan mempelajari dan menerapkan viktimologi
akan memperoleh manfaat sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur &
Elisatri Gultom, 2008:39) :
1) Bagi aparat Kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya
penanggulangan
kejahatan.
Melalui
viktimologi,
akan
mudah
diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan,
bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku
dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainnya yang terkait.
2) Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di
pengadilan,
viktimologi
dapat
dipergunakan
sebagai
bahan
pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan
diajukan kepada terdakwa, karena umunya sering dijumpai korban
kejahatan menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
3) Bagi kehakiman, hakim sebagai pengadil yang dianggap memahami
hukum yang menjalankan tugasnya, yaitu menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, dengan adanya viktimologi hakim
tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan
suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan
penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana
sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku
sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim.
c. Anak Rentan Menjadi Korban Kejahatan
Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita
kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara
langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target
(sasaran) kejahatan (Rena Yulia, 2010: 51).
Pengertian korban secara yuridis diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 1
angka 2 yang menjelaskan korban adalah seseorang yang mengalami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana. Berdasarkan rumusan tersebut unsur korban adalah :
1) Setiap orang
2) Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
3) Akibat tindak pidana. Tindak pidana dapat berupa kejahatan ataupun
pelanggaran, dalam hal pelanggaran maka korban adalah satu-satunya
yang bersalah.
Korban dari kejahatan seksual mayoritasnya adalah perempuan dan
anak karena dilihat dari segi fisiknya yang lemah, feminisme perempuan
dan kepolosan anak merupakan penyebab utamanya. Kasus kejahatan
seksual tentang anak tidak hanya membahas korbannya saja yang masih
anak, melainkan pelakunya juga masih anak. Penyebab anak menjadi berani
melakukan tindakan asusila tersebut salah satunya dari pengaruh pergaulan
dan pornografi yang merusak, dapat dikatakan bahwa anak pelaku tindak
pidana kejahatan seksual juga merupakan korban yang harus dibina agar
menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak kasus kejahatan seksual yang
pelakunya adalah laki-laki dewasa karena mempunyai fisik yang lebih kuat
dari korbannya, selain itu penyebab utamanya adalah adanya kesempatan
yang dimanfaatkan oleh pelaku serta pengawasan dari orang tua yang
minim, sehingga si pelaku dengan mudah membujuk calon korbannya untuk
melayani hasrat seksualnya tersebut.
Anak dianggap tidak berdaya karena ia selalu bergantung pada
orang tua dan orang lain di lingkungannya. Apabila dihadapkan dengan
orang dewasa maka anak-anak bukanlah tandingannya, karena dalam posisi
yang lebih lemah maka anak tidak berani melawan apabila ada hal buruk
yang akan terjadi kepadanya, oleh karena itu peran orang tua sangatlah
penting untuk memberikan perlindungan terhadap anak hingga anak mampu
melindungi dirinya sendiri saat sudah dewasa dimana fisik maupun
psikisnya sudah matang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
4. Pornografi dan Kejahatan Seksual
a. Pengertian Pornografi
Pornografi menurut Webster New World Dictionary tersusun dari
dua kata, yaitu porno dan grafi. Pornografi berasal dari kosakata Yunani
yaitu porne dan graphein. Porne berarti pelacur dan graphein berarti
ungkapan. Sehingga dari asal kata ini pornografi diartikan sebagai setiap
ungkapan yang berhubungan dengan ekspresi mesum para wanita yang lebih
mengarah kepada praktek pelacuran yang melanggar norma kesusilaan
(http://www.yourdictionary.com/pornography#websters). Penggunaan kata
porno dan pornografi secara definisi memang mempunyai pengertian yang
sedikit berbeda. Kata porno, biasanya mencakup baik tulisan, gambar,
lukisan maupun kata-kata lisan, tarian serta apa saja yang bersifat
asusila/cabul, sedangkan pornografi hanya terbatas pada tulisan, gambar,
dan lukisan.
Pengertian pornografi secara yuridis terdapat dalam UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menjelaskan
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/pertunjukan di
muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggat norma kesusilaan dalam masyarakat. Obyek pornografi
mengandung tiga sifat yaitu isinya mengandung kecabulan, eksploitasi
seksual, dan melanggar norma kesusilaan.
b. Bentuk-Bentuk Pornografi
Pada asalnya pornografi terbatas pada tulisan dan atau gambar
wanita nakal yang membangkitkan birahi, namun istilah ini kemudian
berkembang dan semakin meluas sehingga pornografi dipahami sebagai
segala bentuk produk media massa yang bernuansa seksual, baik secara
legal maupun tidak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pasal 4 angka 1 menjelaskan bahwa: “Setiap orang dilarang memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
dan menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat :
a) Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
b) Kekerasan seksual
c) Masturbasi atau onani
d) Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e) Alat kelamin, atau
f) Pornografi anak”
Penjelas tersebut menggambarkan bahwa segala hal yang
dijelaskan di atas tidak boleh disebarluaskan karena mengandung unsur
pornografi yang melanggar norma kesusilaan di masyarakat. Pornografi
anak sangat dilarang karena anak diwajibkan untuk diberikan perlindungan
khusus, materi pornografi yang obyeknya kecabulan orang dewasa saja
sudah jelas dilarang, tentunya hal yang menggambarkan kecabulan yang
obyeknya anak-anak sudah jelas lebih dilarang.
Pornografi pada umumnya dapat berupa gambar visual atau foto
dua dimensi, barang tiga dimensi seperti patung dan boneka, bentuk teks,
rekaman kaset (audio), komunikasi lewat saluran telepon, pesan-pesan Short
Massange Service (SMS) melalui telepon seluler, produk tayangan televisi
dan film (audio-visual),sajian data digital dalam situs-situs web, hingga
berupa gambar animasi interaktif yang semuanya mengandung unsur
melanggar kesusilaan khususnya berkaitan dengan nafsu birahi.
c. Pornografi Sebagai Penyebab Kejahatan Seksual
Kasus tindak pidana kejahatan seksual belakangan ini marak
terjadi.Pelaku kejahatan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa,
namun juga anak-anak di bawah umur. Korban kekerasan seksual tidak
hanya wanita dewasa, melainkan anak yang masih balita juga sering
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
menjadi korban kekerasan seksual. Dalam laporan yang disusun oleh
Petugas Kemasyarakatan, hampir setiap pelaku tindak pidana kejahatan
seksual tersebut selalu menyatakan bahwa perbuatannya itu merupakan
dampak negatif dari konsumsi pornografi.
Penyebab utama masyarakat dapat terpengaruh pornografi adalah
dengan banyaknya konten-konten porno yang mudah diakses oleh seluruh
masyarakat melalui internet, media cetak, hingga tayangan di media televisi
yang menayangkan tayangan yang menggambarkan unsur porno. Beberapa
faktor di atas dapat menyebabkan merebaknya kejahatan kesusilaan,
terutama perkosaan, pelecehan seksual/pencabulan.
Pornografi memberikan dampak yang negatif pada orang yang
mengkonsumsinya
secara
berlebihan
dan
tanpa
arahan,
terutama
berpengaruh pada mental dan pola pikir seseorang. Dampak buruk dari
pornografi adalah (Abu Al-Ghifari, 2002:115) :
1) Memberikan fatamorgana negatif dalam imajinasi pengkonsumsi
pornografi, yang mengakibatkan mereka tersiksa dari sudut mental
2) Memicu tindakan pemuasan seksual dengan diri sendiri, yaitu
masturbasi atau onani
3) Mendorong pemuasan seksual pada sosok yang tak berdaya
(memperkosa,mencabuli), lawan jenis dan bahkan sejenis yang
didalamnya termasuk anak-anak yang ada dalam posisi lebih lemah
4) Memicu hubungan seksual yang ekstrim, seperti hubungan seksual
dengan keluarga sendiri, orang yang masih sangat kecil atau orang
yang terlalu tua
5) Mengganggu proses berpikir kreatif
6) Mendorong rasa ingin tau mengenai hal-hal yang berbau pornografi
7) Menimbulkan sikap agresif yang tidak terkontrol.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
5. Perlindungan Terhadap Anak Dari Kekerasan
a. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Pasal 89 KUHP menjelaskan tentang kekerasan, yaitu suatu
perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak
sah, sehingga membuat orang tidak berdaya. Kekerasan sering terjadi
terhadap anak yang dapat membuat takut anak dan merusak anak. Anak yang
menjadi korban kekerasan akan menderita kerugian yang tidak hanya bersifat
material, namun juga immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis
yang berpengaruh pada perkembangan anak di masa depan. Kekerasan bisa
terjadi terhadap siapapun juga, terlebih lagi kepada anak rawan. Anak rawan
(children at risk) adalah anak yang mempunyai resiko besar dalam masalah
perkembangannya baik secara psikologis maupun fisik. Anak rawan
dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal, diantaranya ialah anak
dari keluarga miskin, anak dari daerah terpencil, anak cacat dan anak dari
keluarga broken home (Maidin Gultom, 2012:2).
Masalah anak adalah masalah yang berhubungan dengan
lingkungan rumah tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak tidak memberikan penjelasan bentuk-bentuk kekerasan
terhadap anak, namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bentuk-bentuk
kekerasan, yaitu :
1) Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit atau
luka berat. Kekerasan fisik menunjukan cedera yang ditemukan, namun
cedera tersebut bukan karena kecelakaan melainkan hasil penyerangan.
Bentuk kekerasan fisik dapat berupa pukulan, jewer, cubit dan tindakan
lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit dan cedera pada korbannya.
2) Kekerasan emosional/psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, tidak percaya diri, tidak berdaya dan penderitaan psikis berat
pada seseorang. Contoh kekerasan psikis berupa tidak memperdulikan,
mendiskriminasi, pemaksaan, meneror dan mengancam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
3) Kekerasan seksual, adalah pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang lain dengan tujuan tertentu yang biasanya
menunjukan aktivitas seksual yang diikuti penyerangan kepada korban.
Termasuk kategori kekerasan seksual dengan penyerangan apabila
menimbulkan cedera fisik, sedangankan termasuk kategori kekerasan
seksual tanpa penyerangan biasanya menimbulkan trauma emosional
terhadap korban.
4) Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan setiap orang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pendidikan kepada orang tersebut. Setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan membatasi/melarang bekerja atau
dengan kata lain korban berada di bawah kendali orang tersebut, hal ini
termasuk perbuatan penelantaran dalam rumah tangga.
Maidin Gultom dalam bukunya juga menjelaskan mengenai
bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak, dia menklasifikasikannya
menjadi 4 (empat) macam yaitu (Maidin Gultom, 2012:95) :
1) Physical abuse (kekerasan fisik) menunjukan pada cedera yang
ditemukan pada anak yang bukan karena suatu kecelakaan tetapi cedera
tersebut adalah hasil pemukulan dengan benda atau beberapa
penyerangan yang di ulang-ulang.
2) Physical neglect (pengabaian fisik) kategori kekerasan ini dapat
diidentifikasikan secara umum dari segi fisik anak yaitu kelesuan
dikarenakan kekurangan gizi. Anak dalam keadaan kotor, pakaian acakacakan. Namun dalam hal ini juga harus dilihat dari keadaan sosio
ekonomi dari suatu keluarga.
3) Emotional abuse (kekerasan emosional) and neglect (pengabaian).
Menunjuk kepada kasus dimana orang tua/wali gagal untuk
menyediakan lingkungan yang cinta kasih kepada anak untuk bisa
tumbuh, belajar dan berkembang. Kegagalan ini contohnya dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
mendiskriminasi, tidak memedulikan, mengancam dan bahkan hingga
menolak anak.
4) Sexual abuse (kekerasan seksual). Kekerasan seksual menunjuk pada
setiap aktivitas seksual. Bentuk kekerasan ini dapat berupa penyerangan
dan tanpa penyerangan.
b. Perlindungan Anak
Pengertian perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan,
kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas segala bahaya yang
mengancam pihak yang dilindungi. Sedangkan pengertian perlindungan
hukum adalah hal perbuatan melindungi menurut hukum. Lili Rasjidi dan
I.B. Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat difungsikan tidak
hanya mewujudkan kepastian, tetapi juga jaminan perlindungan dan
keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, namun juga
prediktif dan inspiratif (Abintoro Prakoso, 2013:13).
Pengertian perlindungan anak terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Pasal 1 angka 2
menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Kebijaksanaan,
usaha
dan
kegiatan
yang
menjamin
terwujudnya perlindungan anak, pertama didasarkan atas pertimbangan
bahwa anak merupakan golongan yang rawan, disamping itu karena adanya
golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial.
Perlindungan terhadap anak didasari oleh prinsip-prinsip sebagai
berikut (Maidin Gultom, 2012:70-72) :
1) Anak tidak dapat berjuang sendiri. Anak adalah modal utama
kelangsungan hidup Negara, untuk itu hak-haknya harus dilindungi.
Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya karena banyak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat
berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.
2) Kepentingan terbaik anak. Agar perlindungan anak diselenggarakan
dengan baik, maka harus menganut prinsip bahwa kepentingan
terbaik anak harus dipandang sebagai prioritas tertinggi dalam setiap
keputusan yang menyangkut anak. Prinsip ini digunakan karena
dalam banyak hal anak “korban”, disebabkan ketidaktahuan anak,
karena usia perkembangannya.
3) Ancangan daur kehidupan. Perlindungan anak mengacu pada
pemahaman bahwa perlindungan dimulai sejak dini dan terus
menerus. Janin dalam kandungan dilindungi dengan pemenuhan gizi.
Setelah lahir diperlukan adanya ASI dan pelayanan kesehatan primer
seperti imunisasi dan lain-lain agar anak terbebas dari penyakit. Pada
masa sekolah diperlukan keluarga, pendidikan yang bermutu. Anak
memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan
bermain yang cukup. Setelahnya anak akan memasuki usia dewasa
maka dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
4) Lintas sektoral. Nasib anak tergantung dari banyak faktor, baik yang
makro maupun mikro, yang langsung dan tidak langsung.
Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan
sumbangan semua orang di semua tingkatan, tidak hanya keluarga
atau anak itu sendiri.
Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dapat dilakukan
melalui
beberapa
cara
sebagai
berikut
(Natalia
Sagita,
2014:
http://keluarga.com/bagaimana-saya-dapat-melindungi-anak-anak-saya-daripaparan-pornografi) :
1) Untuk melindungi anak dari kemungkinan adanya kekerasan secara
fisik maka beberapa hal ini dapat dilakukan, yaitu :
Perilaku anak agar tidak brutal harus kita cegah, salah
satunya adalah dengan mengawasi tontonan pada anak yang
mengandung unsur kekerasan. Tidak hanya tayangan televisi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
lingkungan pergaulan dengan orang-orang yang ramah dan cinta
kedamaian sangat berpengaruh pada perilaku anak. Selain itu Game
juga berpengaruh pada pola pikir dan perilaku anak. Sebisa mungkin
anak tidak memainkan permainan yang sadis dan berbahaya karena
memicu perilaku agresif pada diri anak.
Memberikan perlindungan, kasih sayang kepada anak agar
anak memiliki perilaku yang sopan dan santun terhadap sesama serta
menjauhi kehidupan yang menggambarkan kekerasan.
2) Kekerasan seksual berkaitan erat dengan dampak buruk dari
pornografi. Untuk menanggulangi dampak buruk akibat pornografi,
berikut adalah beberapa cara yang dapat dijelaskan yaitu :
Penyebaran pornografi yang paling cepat adalah melalui
media elektronik khususnya internet, sehingga beberapa peralatan
elektronik harus diawasi. Semua komputer di rumah termasuk laptop
hendaknya dipasangi filter Internet yang memblokir situs-situs yang
mengandung pornografi. Tidak hanya komputer, ponsel anak-anak
juga harus diawasi secara ketat. Selain itu kita juga harus mengawasi
tayangan televisi yang ditonton oleh anak.
Memberikan pemahaman kepada anak mengenai dampak
buruk
yang diakibatkan oleh pornografi serta memberikan
pemahaman mengenai seksualitas, hal ini penting karena anak perlu
tahu perbedaan antara seksualitas yang sehat dan yang tidak sehat
dan seperti apa hubungan yang sehat itu.
3) Agar anak terhindar dari penderitaan secara emosional maka kita
harus menjaga perasaan anak dengan cara memberikan kasih sayang
yang lebih, perhatian, mengajarkan kerja sama dan toleransi agar
saling peduli satu sama lain, serta tidak saling menyalahkan.
c. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari
fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu
keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Pengertian perlindungan hukum terhadap anak adalah usaha untuk
melindungi hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum agar anak yang
berhadapan dengan hukum tidak menjadi korban penyalahgunaan
wewenang selama proses pidana berlangsung. Bentuk perlindungan hukum
yang diberikan tersebut contohnya pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif
dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan
yang disampaikan oleh anak harus mendapat perlakuan khusus (Saristha
Natalia, 2013:1).
Indonesia sudah memiliki beberapa peraturan yang menunjukan
adanya relevansi yang cocok dengan konsep perlindungan anak dan
perlindungan hukum terhadap anak yang sistemik seperti yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
1. Hak Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Secara yuridis hak saksi dan korban secara jelas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa seorang
Saksi dan Korban berhak :
1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
3) memberikan keterangan tanpa tekanan;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
4) mendapat penerjemah;
5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
7) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9) mendapat identitas baru;
10) mendapatkan tempat kediaman baru;
11) memperoleh
penggantian
biaya
transportasi
sesuai
dengan
kebutuhan;
12) mendapat nasihat hukum; dan/atau
13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan
dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian
yang diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya
mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah
memadai
apabila tidak disertai dengan upaya
pemulihan mental
korban.Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara
materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan (Sharista
Natalia, 2013: 10).
Perlindungan hukum yang diberikan pada korban atau saksi dapat
diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak
hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh
korban (Saristha Natalia, 2013: 1).
Bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim
diberikan, antara lain sebagai berikut (Johan Runtu, 2012: 12-13) :
1) Pemberian Restitusi dan Kompensasi.
Pengertian kompensasi yaitu kerugian yang diberikan oleh
negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga. Menurut Stephen Schafer, (seperti yang
dikutip oleh Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom dalam bukunya
Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan), terdapat 4 (empat) sistem
pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu
antara lain:
a) Ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses
perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari
proses pidana.
b) Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses
pidana.
c) Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana
diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap
bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidananya.
d) Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses
pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di
sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun,
walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap
merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang
memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang
dibebankan pengadilan oleh pelaku.
Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan
pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan
agar sistem pemberian ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana
dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera
direalisasikan.
2) Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban
sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari
suatu tindak pidana.Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat
cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
berkepanjangan,
seperti
pada
kasus-kasus
yang
menyangkut
kesusilaan.
3) Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis
akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat
berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban
hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke kepolisian untuk
ditindak lanjuti.
4) Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan
terhadap korban kejahatan.Di Indonesia bantuan ini lebih banyak
diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).Pemberian
bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik
diminta ataupun tidak diminta oleh korban.Hal ini penting, mengingat
masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban
yang menderita kejahatan ini.Sikap membiarkan korban kejahatan
tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada
semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.
5) Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya
berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana
yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memberikan
peranan yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat
sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah
diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian
dapat berjalan dengan efektif.
2. Hak Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Anak-anak yang berada dalam tahanan sering menjadi korban
kekerasan oleh aparat maupun sesama tahanan, seperti dipukul, dianiaya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
bahkan menjadi sasaran penistaan seperti ditelanjangi di depan tahanan yang
lain. Anak dalam berbagai fasilitas penahanan secara khusus berisiko
mengalami kekerasan fisik dan seksual, terutama ketika pengawasnya tidak
peduli tentang hak anak.
Dalam
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak, perlindungan khusus bagi anak pelaku tindak pidana
dilaksanakan melalui tindakan sebagai berikut :
1) Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak
2) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik dengan
anak
5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum (anak pelaku tindak pidana)
6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orangtua atau keluarga
7) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan
dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya yang masih
panjang, serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan
akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, mandiri,
bertanggung jawab, dan berguna bagi bangsa dan negara.
Indonesia memiliki dasar hukum untuk memberikan perlindungan
kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang awalnya mengacu pada
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka sejak
Agustus 2014 sudah tidak digunakan yang digantikan oleh peraturan lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Dengan adanya peraturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka diharapkan
perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang sebenarnya betul-betul
dapat dilaksanakan karena sesungguhnya menghadapkan anak dengan
proses hukum tidak begitu efektif, karena ada kemungkinan dia takut namun
juga belum tentu dapat membuat dia jera dan bahkan kemungkinan lainnya
dia mendapatkan banyak efek negatif sejak berlangsungnya proses peradilan
tersebut, yang apabila anak tidak dilindungi maka akan menumbuhkan
kebencian dan justru merusak masa depan anak.
6. Asas-Asas dalam Peradilan Anak
Peradilan umum dengan peradilan anak tentunya tidak dapat
disamakan. Penulis akan menjelaskan asas-asas dalam peradilan anak yang
peraturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut (Maidin Gultom, 2012:195) :
a. Pembatasan Umur Anak
Orang yang disidangkan dengan acara Pengadilan Anak,
ditentukan secara limitatif, yakni minimal 12 tahun sampai maksimal 18
tahun, dan belum pernah kawin.
b. Ruang Lingkup Masalah Dibatasi
Pengadilan Anak hanya memeriksa perkara Anak Nakal yaitu
diantaranya bertugas memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan
perkara anak nakal.
b. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan
Dengan
suasana
kekeluargaan
diharapkan
anak
dapat
mengutarakan perasaannya, peristiwanya, latar belakang kejadiannya
secara jujur, terbuka, tanpa tekanan dan rasa takut. Karena itu hakim,
penuntut umum, dan penasehat umum tidak memakai toga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
c. Mengharuskan Splitsing Perkara
Jika anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa, maka
persidangan antara orang dewasa dan anak harus dipisah, baik yang
berstatus sipil maupun militer. Jadi terdapat splitsing perkara antara
keduanya.
d. Ditangani Pejabat Khusus
Perkara anak nakal ditangani pejabat khusus yaitu penyidik anak,
penuntut umum anak, dan hakim anak yang memilihi keahlian dan minat
khusus untuk peduli terhadap perkara anak.
e. Diperiksa Hakim Tunggal
Pada dasarnya persidangan anak diperiksa oleh hakim tunggal yang
memahami masalah anak di tingkat pertama, banding maupun kasasi.
Hakim ini harus memiliki sertifikat dan telah mengikuti pelatihan tentang
pengadilan anak selain itu hakim tunggal diharapkan memiliki perhatian
lebih terhadap perkara anak.
f. Dalam Acara Pemeriksaaan Tertutup
Acara pemeriksaan di pengadilan anak dilakukan secara tertutup
demi kepentingan anak sendiri untuk menghindari stigmatisasi yang
buruk kepada anak.
g. Masa Penahanan Lebih Singkat
Masa penahanan anak lebih singkat dibanding dalam KUHAP, hal
ini bertujuan untuk memberikan perlindungan anak karena dengan
penahanan yang tidak begitu lama maka tidak akan berpengaruh besar
pada perkembangan fisik, mental dan sosial anak.
h. Diperlukan Kehadiran Orang Tua / Wali / Orang Tua Asuh
Kehadiran orang tua atau wali dirasa sangat penting sebab
kehadiran mereka diharapkan anak menjadi lebih terbuka, lebih jujur,
dapat menyampaikan tanpa ada tekanan. Selain itu orang tua juga dapat
mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan sang anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
i. Hukuman Lebih Ringan
Pidana pokok dapat berupa penjara, kurungan, denda atau
pengawasan, dan tidak dapat digabung melainkan hanya salah satu.
Selain itu juga terdapat pidana tambahan, yakni perampasan barangbarang tertentu atau pembayaran ganti rugi. Pidana penjara bagi anak
nakal paling lama setengah dari maksimal orang dewasa. Hukuman
maksimal anak nakal adalah 10 tahun.
Perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang
awalnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perbedaan utama dalam
pembaharuan tersebut adalah :
1) Pergeseran paradigma dari retributif, menjadi paradigma restoratif
Teori
retributif
melegitimasi
pemidanaan
sebagai
sarana
pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan
dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam
masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan
menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun,
sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan
(Mahmud Mulyadi, 2008:4). Sedangkan Keadilan Restoratif merupakan
filsafat, proses, ide, teori dan intervensi yang menekankan dalam
memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh pelaku kriminal, sehingga
keadilan restoratif dipandang sebagai pendekatan yang lebih manusiawi
dimana selalu mengedepankan pengampunan, penyembuhan, pemulihan
yang saling berkaitan satu sama lainnya. (Greg Mantle, Darrell Fox and
Mandeep K. Dhami, 2005:3)
2) Adanya kewajiban dalam tiap tahap pemeriksaan untuk melaksanakan
diversi
Dalam The Beijing Rules pada Rules 11, diversi merupakan suatu
upaya pengalihan penyelesaian perkara yang ada diluar proses peradilan
formal dengan tujuan menghindarkan anak dari stigmatisasi bagi anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
dari proses peradilan anak. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi
keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan
anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Upaya
pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik
yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus yang
melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah
kebijakan non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya
dialihkan di luar jalur sistem peradilan pidana anak, yaitu melalui caracara pembinaan jangka pendek atau cara lain yang bersifat keperdataan
atau administratif.
Ketentuan diversi dan keadilan restoratif dalam pelaksanaannya
melibatkan pihak ketiga di dalam penyelesaian masalah antara anak
pelaku dan anak korban dalam tindak pidana tersebut, dengan
melibatkan masing-masing keluarga mereka, serta pihak-pihak lain,
dengan tujuan proses penyelesaian perkara diusahakan agar anak pelaku
tindak pidana jauh dari proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak
pidana.
3) Pembatasan umur anak yang berbeda
Pembatasan usia anak adalah hal yang penting dalam kasus
kenakalan anak, karena digunakan untuk menentukan status hukum
mereka, apakah mereka dapat dikategorikan sebagai anak atau orang
dewasa. Kepastian dalam hukum mengenai hal ini penting bagi
penegakan hukum di garis depan untuk menghindari kesalahan dalam
penangkapan, penyidikan, penuntutan, atau penilaian. Hal tersebut
penting karena berhubungan dengan hak asasi manusia.
Mengenai batasan usia dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (1) selaras dengan Pasal 4
ayat (1). Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: Seorang anak adalah
orang dalam kasus kenakalan anak yang telah mencapai delapan tahun
tua tapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa: Keterbatasan anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak berada pada setidaknya 8
tahun namun telah mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
Pembatasan usia di atas menunjukkan bahwa seseorang yang dapat
dianggap anak yang dapat dibawa ke pengadilan terbatas antara delapan
dan 18 tahun. Seorang anak berusia di bawah 18 tahun tetapi yang
sudah menikah harus diperlakukan sebagai orang dewasa bukan anak.
Karena itu, dia tidak akan diproses berdasarkan pada Undang-Undang
Pengadilan Anak, namun berdasarkan KUHP (Harlan Mardite, 2006:5).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak maka batas umur anak ditentukan dalam Pasal 1 angka 3
yaitu Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
4) Adanya peran masyarakat dalam mewujudkan perlindungan terhadap
anak yang tertera dalam Pasal 93. Masyarakat dapat melaporkan apabila
terjadi pelanggaran, berpartisipasi dalam diversi, hingga ikut memantau
rehabilitasi anak.
5) Diaturnya juga perlindungan anak bagi korban maupun saksi yang
tertera dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 91.
6) Adanya beberapa pembaharuan yaitu :
a) Sebelumnya disebut dengan Lapas Anak namun namanya diubah
agar tidak menakutkan dan sekarang menjadi LPKA (Lembaga
Pembinaan Khusus Anak) yaitu tempat anak menjalani masa pidana.
b) Sebelumnya selama anak dalam proses peradilan maka di tempatkan
di Rutan yang masih bercampur dengan orang dewasa. Demi
melindungi anak maka dibuatlah tempat khusus bagi anak yaitu
LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) yaitu tempat
sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung.
c) Hadirnya LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial)
yaitu tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan social bagi anak seperti rehabilitasi bagi korban agar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
tidak trauma serta bagi pelaku agar perilakunya dapat berubah ke
arah yang lebih baik.
B. Kerangka Pikiran
Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
Bentuk-Bentuk
Kekerasan Seksual
Anak
Hak Anak Sebagai
Korban Tindak Pidana
Hak Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana
UndangUndang Nomor
11 Tahun 2012
tentang Sistem
Peradilan
Pidana Anak
UndangUndangNomor
23 Tahun 2002
tentang
Perlindungan
Anak
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun
2006 tentang
Perlindungan
Saksi & Korban
Perlindungan Hukum
Terhadap Anak
Penyelidikan
Penyidikan
Penuntutan
Pemeriksaan
Sidang
Pemenuhan Hak-Hak Anak Sebagai Pelaku
Dan Korban Kekerasan Seksual Pada
Sistem Peradilan Pidana Anak
commit to user
Pelaksanaan
Pidana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis
dalam menyusun penelitian hukum ini. Penulis mencoba menggambarkan pola
pikir yang sistematis agar dapat mencapai tujuan dari penelitian ini yaitu sudah
efektifkah perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang berhadapan
dengan hukum, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku kejahatan.
Pokok permasalahan pada penulisan ini membahas mengenai kekerasan
seksual serta perlindungan terhadap anak sebagai korban maupun pelaku tindak
pidana.Tingkat kriminalitas yang semakin meningkat khususnya tentang
kejahatan seksual dengan berbagai bentuk maupun modusnya ternyata banyak
korbannya yang masih anak, selain itu ternyata banyak pula pelaku tindak
pidana kejahatan seksual tersebut juga masih tergolong sebagai anak.
Anak tidaklah mampu mengurus diri sendiri apabila
berhadapan
dengan hukum, baik anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban tindak
pidana, karena itulah perlindungan hukum sangat diperlukan bagi anak
khususnya saat menjalani proses hukum. Demi terwujudnya cita-cita untuk
mencerahkan masa depan bagi anak maka perlu diterapkan perlindungan bagi
anak yang dapat dimulai dari keluarga, lingkungan pendidikan, masyarakat
luar, hingga Negara untuk mendidik serta melindungi anak demi membentuk
karakter generasi muda yang lebih baik dan lebih maju.
Indonesia sudah memiliki peraturan-peraturan yang dipakai sebagai
dasar hukum untuk mewujudkan perlindungan terhadap anak yaitu beberapa
diantaranya yang paling umum mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak, hingga yang paling rinci mengatur tentang peradilan untuk anak yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Dengan mengambil studi putusan tentang terjadinya tindak pidana
kejahatan seksual yang korban maupun pelakunya adalah anak, maka dalam
hal ini penulis akan membahas mengenai perlindungan hukum yang diberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
kepada anak yaitu hak-hak korban tindak pidana maupun pelakunya yang
masih anak. Dari paparan di atas penulis ingin menjelaskan bahwa apakah
sudah efektifkah perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak.
commit to user
Download