perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tindakan Khusus Terhadap Anak a. Pengertian Anak Pengertian anak di Indonesia dibedakan menurut batasan umurnya dan diatur menurut bidang hukumnya masing-masing.Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum.Dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalan-persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan sahnya anak, perwalian pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak dan lainlain.Sedangkan dalam lapangan hukum pidana menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana (Nandang Sambas, 2013:4). Beberapa pengertian anak akan dijelaskan sebagai berikut : 1) Anak secara sosiologis Seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang anak bukan sematamata berdasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup mandiri menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada (Nandang Sambas, 2013:2). 2) Anak secara yuridis Hukum di Indonesia memiliki banyak Undang-Undang yang mencantumkan penjelasan anak yang berbeda-beda, maka pengertian anak antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2), anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. b) Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah 14 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. c) Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak di dalam kandungan. d) Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 angka 4, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. e) Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak disebutkan 3 (tiga) kategorisasi anak yaitu: anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak korban adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Dan anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri. Dengan banyaknya batasan umur yang berbeda-beda dari beberapa peraturan di atas, maka dalam hal ini Penulis menggunakan definisi anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengertian anak secara bahasa adalah seseorang yang masih berada di bawah umur/belum cukup umur untuk melakukan hal-hal umum. Dalam beberapa hal kepolosan dan keluguan anak dapat dimanfaatkan oleh orang dewasa sebagai celah untuk melakukan suatu tindakan yang merugikan anak.Anak berbeda dengan orang dewasa, anak masih belum cukup matang dalam beberapa hal yaitu belum matang secara fisik, psikis maupun mentalnya.Anak masih perlu ditemani, dibimbing, diarahkan, dilindungi oleh orang dewasa sehingga anak dalam beberapa hal tertentu memerlukan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 perlakuan khusus serta memerlukan perlindungan yang khusus pula, terutama pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani pada diri anak (Abintoro Prakoso, 2013:24). Penulis membahas mengenai perlindungan hukum bagi anak, sehingga dalam hal ini penulis ingin memberikan penjelasan mengenai perlakuan khusus yang didapatkan anak ketika anak harus dihadapkan dengan hukum. Perlakuan khusus yang didapatkan anak saat berhadapan dengan hukum dimulai sejak penahanan yaitu ditahan terpisah dengan orang dewasa, demi menghindarkan anak terhadap pengaruh buruk dari orang dewasa. Perlakuan khusus ini terus diterapkan pada proses pidana selanjutnya yaitu mulai dari disidik menggunakan pendekatan efektif dan seterusnya (Abintoro Prakoso, 2013:24). b. Hak-Hak Anak Anak adalah generasi muda penerusang bangsa, dengan adanya fakta bahwa banyak terjadi pelanggaran yang korbannya anak maka pemerintah membuat berbagai macam peraturan untuk melindungi hak anak agar anak dapat berkembang dengan baik. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 13 ayat (1) menyatakan setiap anak dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : 1) Diskriminasi 2) Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual 3) Penelantaran 4) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan 5) Ketidakadilan 6) Perlakuan salah lainnya Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 manusiawi ke arah hal yang positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya (Arief Gosita, 1996:14). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan betapa pentingnya untuk memperhatikan anak dengan memenuhi berbagai kebutuhannya karena anak adalah modal dan aset negara di masa depan, khususnya dijelaskan dalam Pasal 2 mengenai penyelenggaraan perlindungan anak harus berdasarkan prinsip : 1) non diskriminasi 2) kepentingan terbaik bagi anak 3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan 4) penghargaan terhadap anak Penulisan ini membahas mengenai perlindungan anak dari segi hukum, khususnya saat proses peradilan berlangsung yaitu mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penututan, pemeriksaan perkarahingga Putusan Pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak dalam proses peradilan pidana diatur dalam Pasal 3 yaitu : 1) Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. 2) Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. 3) Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya. 4) Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. 5) Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang obyektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum. 6) Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 Indonesia telah memiliki banyak peraturan yang mengatur beberapa hak yang diperoleh untuk anak seperti contohnya anak memperoleh pendidikan, difasilitasi agar kesehatannya terjaga, memilih agama sesuai keyakinannya, memperoleh informasi mengenai orang tua, hingga hak anak ketika berhadapan dengan hukum, serta hak dasar lainnya yang ada di berbagai peraturan yang didalamnya mengatur tentang anak. 2. Kenakalan Anak Sebagai Perbuatan Penyimpangan a. Pengertian Kenakalan Anak Kenakalan anak merupakan perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial yaitu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda (Wagiati Soetodjo, 2006 : 11). Perbuatan kenakalan tersebut dapat dibedakan dari kenakalan biasa pada umunya dan juga kenakalan yang termasuk suatu tindak pidana yang berupa pelanggaran maupun kejahatan. Kenakalan anak adalah gejala penyakit secara sosial pada anakanak yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan suatu bentuk tingkah laku yang menyimpang dari biasanya (anti sosial). Anak muda yang delikuen (nakal) tersebut dianggap juga sakit secara mental karena disebabkan oleh pengaruh sosial yang buruk di tengah masyarakat dimana dia hidup (Wagiati Soetodjo, 2006 : 10). b. Bentuk-Bentuk Kenakalan Anak Kenakalan anak merupakan sikap-sikap dan aktivitas anak-anak yang bertentangan dengan norma-norma sosial. Sifat kenakalan anak sangat bervariasi mulai hanya iseng untuk mencari perhatian sampai berbentuk tindak kejahatan seperti, membunuh, memperkosa, mencuri dan sebagainya. Menurut bentuknya kenakalan anak dibagi menjadi tiga tingkatan (Eva Imaniani, 2012: 3) 1) Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumahtanpa pamit commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran,seperti mengendarai mobil tanpa SIM, tidak pakai helm 3) Kenakalan khusus yang menjurus pada tindak pidana, seperti penyalahgunaan narkotika, pencurian, hubungan seks di luar nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dll. Sedangkan menurut Jensen, kenakalan anak dibagi dalam empat jenis, yaitu (Sarwono W Sarlito, 2012: 256-257) : 1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain contohnya seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan. 2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi contohnya seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan. 3) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan kerugian di pihak orang lain contohnya seperti pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin juga dapat dimasukkan seks bebas dalam jenis kenakalan sosial. 4) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara pergi dari rumah atau membantah perintahnya dan sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah). Akan tetapi bila kelak anak ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya dikantor atau petugas hukum didalam masyarakat. c. Penyebab Terjadinya Kenakalan Anak Kenakalan anak yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokan dalam satu kelas defektif secara sosial dan mempunyai sebab yang mejemuk, jadi sifatnya multi kausal. Para sarjana menggolongkannya menurut beberapa teori, sebagai berikut (Kartini, 2010: 25-31): commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 1) Teori Biologis Menurut teori ini tingkah laku delinkuen pada anak muncul karena faktor-faktor fisiologis dan stuktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Hal itu terjadi karena : a) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial. b) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal) sehingga memunculkan perilaku delinkuen. c) Melalui pewarisan jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah laku delinkuen atau sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. 2) Teori Psikogenis (Psikologis dan Psikiatris) Teori ini menekankan sifat-sifat delinkuen anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis. Argumen sentral dari teori ini adalah delinkuen merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal sosial dan pola-pola hidup keluarga dan yang patologis, misalnya dalam keluarga broken home jelas membuahkan masalah psikologis penyesuaian diri yang terganggu pada diri anak-anak sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, kejahatan anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak itu sendiri. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 Anak-anak delinkuen itu melakukan banyak kejahatan didorong oleh konflik batin sendiri. Mereka mempraktekan konflik batinnya untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkahlaku agresif, impulsif dan primitif. Oleh karena itu kejahatannya mereka pada umumnya erat berkaitan dengn temperamen, kejiwaan yang galau. Konflik batin dan frustasi yang akhirnya ditampilkan secara spontan keluar. 3) Teori Sosiogenis Para sosiolog berpendapat bahwa penyebab tingkah-laku delinkuen pada anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Proses simbolisasi diri ini pada umumnya berlangsung tidak sadar dan berangsur-angsur untuk kemudian menjadi bentuk kebiasaan jahat delinkuen pada diri anak. Semua berlangsung sejak usia sangat muda, mulai di tengah keluarga sendiri yang berantakan, sampai pada masa anak dan masa dewasa di tengah masyarakat ramai. Berlangsunglah kini pembentukan pola tingkah-laku yang menyimpang dari norma-norma umum yang progresif sifatnya, yang kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anak lewat mekanisme negatif dan proses pembiasaan diri. Dengan demikian, sebab-sebab kejahatan anak itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi disebabkan oleh konteks kulturalnya. Oleh karenanya jelas kejahatan anak tersebut dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah dengan kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak. 4) Teori Subkultur (Pola Budaya) Pengertian kebudayaan dalam hal ini menyangkut suatu kumpulan nilai dan norma yang menuntut bentuk tingkah laku responsif yang khas pada anggota suatu kelompok. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 Subkultur delinkuen anak ini mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas) yang memotifasi timbulnya kelopok-kelompok anak berandalan dan kriminal. Sedang perangsangannya bisa berupa hadiah mendapatkan status sosial “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya. Contohnya, anak-anak delinkuen dari subkultur kelas menengah banyak yang menggunakan obat perangsang dan minuman alkoholik. Pertama, kebiasaan ini dipakai untuk menghilangkan kejemuan dan kejenuhan. Kedua, untuk melupakan dan menghilangkan konflik batin sendiri dan ketiga untuk memberikan kegairahan serta keberanian hidup. Kebiasaan mabuk ini banyak memunculkan keributan massal. Menurut teori subkultur ini, munculnya kenakalan anak ialah sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang di diami oleh para anak delinkuen tersebut. 3. Anak Sebagai Korban Kejahatan a. Pengertian Viktimologi Suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial merupakan pengertian dari ilmu Viktimologi. Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Pengertian lain dari Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimalisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Rena Yulia, 2010: 43). Pengertian viktimologi mengalami perkembangan. Perkembangan viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu (Rena Yulia, 2010:44-45) : commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 1) Pada fase pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. Pada fase ini dikatakan sebagai penal atau special victimology. 2) Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja tetapi meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai general victimology. 3) Pada Fase ketiga, viktimologi mengalami perkembangan yang lebih luas lagi, yaitu bukan hanya korban kejahatan dan kecelakaan saja, namun juga mengkaji permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia, pada fase ini dikatakan sebagai new victimology. Viktimologi memusatkan perhatian yang lebih kepada korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan mengenai peran para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang berhak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya, pekerjaannya, dan lain-lainnya. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti : faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan. b. Manfaat Viktimologi Viktimologi dapat digunakan untuk memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas, untuk mengerti akan permasalahan kejahatan, delikuensi sebagai satu proporsi yang sebenarnya secara dimensional dalam mencari kebenaran. Selain itu Viktimologi dapat bermanfaat untuk dijadikan pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama memperhatikan aspek perlindungan korban. commit to user ini terkesan kurang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 Penegak hukum dengan mempelajari dan menerapkan viktimologi akan memperoleh manfaat sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, 2008:39) : 1) Bagi aparat Kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi, akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainnya yang terkait. 2) Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, karena umunya sering dijumpai korban kejahatan menjadi pemicu terjadinya kejahatan. 3) Bagi kehakiman, hakim sebagai pengadil yang dianggap memahami hukum yang menjalankan tugasnya, yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan adanya viktimologi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim. c. Anak Rentan Menjadi Korban Kejahatan Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (Rena Yulia, 2010: 51). Pengertian korban secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 1 angka 2 yang menjelaskan korban adalah seseorang yang mengalami commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Berdasarkan rumusan tersebut unsur korban adalah : 1) Setiap orang 2) Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi 3) Akibat tindak pidana. Tindak pidana dapat berupa kejahatan ataupun pelanggaran, dalam hal pelanggaran maka korban adalah satu-satunya yang bersalah. Korban dari kejahatan seksual mayoritasnya adalah perempuan dan anak karena dilihat dari segi fisiknya yang lemah, feminisme perempuan dan kepolosan anak merupakan penyebab utamanya. Kasus kejahatan seksual tentang anak tidak hanya membahas korbannya saja yang masih anak, melainkan pelakunya juga masih anak. Penyebab anak menjadi berani melakukan tindakan asusila tersebut salah satunya dari pengaruh pergaulan dan pornografi yang merusak, dapat dikatakan bahwa anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual juga merupakan korban yang harus dibina agar menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak kasus kejahatan seksual yang pelakunya adalah laki-laki dewasa karena mempunyai fisik yang lebih kuat dari korbannya, selain itu penyebab utamanya adalah adanya kesempatan yang dimanfaatkan oleh pelaku serta pengawasan dari orang tua yang minim, sehingga si pelaku dengan mudah membujuk calon korbannya untuk melayani hasrat seksualnya tersebut. Anak dianggap tidak berdaya karena ia selalu bergantung pada orang tua dan orang lain di lingkungannya. Apabila dihadapkan dengan orang dewasa maka anak-anak bukanlah tandingannya, karena dalam posisi yang lebih lemah maka anak tidak berani melawan apabila ada hal buruk yang akan terjadi kepadanya, oleh karena itu peran orang tua sangatlah penting untuk memberikan perlindungan terhadap anak hingga anak mampu melindungi dirinya sendiri saat sudah dewasa dimana fisik maupun psikisnya sudah matang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 4. Pornografi dan Kejahatan Seksual a. Pengertian Pornografi Pornografi menurut Webster New World Dictionary tersusun dari dua kata, yaitu porno dan grafi. Pornografi berasal dari kosakata Yunani yaitu porne dan graphein. Porne berarti pelacur dan graphein berarti ungkapan. Sehingga dari asal kata ini pornografi diartikan sebagai setiap ungkapan yang berhubungan dengan ekspresi mesum para wanita yang lebih mengarah kepada praktek pelacuran yang melanggar norma kesusilaan (http://www.yourdictionary.com/pornography#websters). Penggunaan kata porno dan pornografi secara definisi memang mempunyai pengertian yang sedikit berbeda. Kata porno, biasanya mencakup baik tulisan, gambar, lukisan maupun kata-kata lisan, tarian serta apa saja yang bersifat asusila/cabul, sedangkan pornografi hanya terbatas pada tulisan, gambar, dan lukisan. Pengertian pornografi secara yuridis terdapat dalam UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menjelaskan Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggat norma kesusilaan dalam masyarakat. Obyek pornografi mengandung tiga sifat yaitu isinya mengandung kecabulan, eksploitasi seksual, dan melanggar norma kesusilaan. b. Bentuk-Bentuk Pornografi Pada asalnya pornografi terbatas pada tulisan dan atau gambar wanita nakal yang membangkitkan birahi, namun istilah ini kemudian berkembang dan semakin meluas sehingga pornografi dipahami sebagai segala bentuk produk media massa yang bernuansa seksual, baik secara legal maupun tidak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 4 angka 1 menjelaskan bahwa: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, dan menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat : a) Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang b) Kekerasan seksual c) Masturbasi atau onani d) Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan e) Alat kelamin, atau f) Pornografi anak” Penjelas tersebut menggambarkan bahwa segala hal yang dijelaskan di atas tidak boleh disebarluaskan karena mengandung unsur pornografi yang melanggar norma kesusilaan di masyarakat. Pornografi anak sangat dilarang karena anak diwajibkan untuk diberikan perlindungan khusus, materi pornografi yang obyeknya kecabulan orang dewasa saja sudah jelas dilarang, tentunya hal yang menggambarkan kecabulan yang obyeknya anak-anak sudah jelas lebih dilarang. Pornografi pada umumnya dapat berupa gambar visual atau foto dua dimensi, barang tiga dimensi seperti patung dan boneka, bentuk teks, rekaman kaset (audio), komunikasi lewat saluran telepon, pesan-pesan Short Massange Service (SMS) melalui telepon seluler, produk tayangan televisi dan film (audio-visual),sajian data digital dalam situs-situs web, hingga berupa gambar animasi interaktif yang semuanya mengandung unsur melanggar kesusilaan khususnya berkaitan dengan nafsu birahi. c. Pornografi Sebagai Penyebab Kejahatan Seksual Kasus tindak pidana kejahatan seksual belakangan ini marak terjadi.Pelaku kejahatan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun juga anak-anak di bawah umur. Korban kekerasan seksual tidak hanya wanita dewasa, melainkan anak yang masih balita juga sering commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 menjadi korban kekerasan seksual. Dalam laporan yang disusun oleh Petugas Kemasyarakatan, hampir setiap pelaku tindak pidana kejahatan seksual tersebut selalu menyatakan bahwa perbuatannya itu merupakan dampak negatif dari konsumsi pornografi. Penyebab utama masyarakat dapat terpengaruh pornografi adalah dengan banyaknya konten-konten porno yang mudah diakses oleh seluruh masyarakat melalui internet, media cetak, hingga tayangan di media televisi yang menayangkan tayangan yang menggambarkan unsur porno. Beberapa faktor di atas dapat menyebabkan merebaknya kejahatan kesusilaan, terutama perkosaan, pelecehan seksual/pencabulan. Pornografi memberikan dampak yang negatif pada orang yang mengkonsumsinya secara berlebihan dan tanpa arahan, terutama berpengaruh pada mental dan pola pikir seseorang. Dampak buruk dari pornografi adalah (Abu Al-Ghifari, 2002:115) : 1) Memberikan fatamorgana negatif dalam imajinasi pengkonsumsi pornografi, yang mengakibatkan mereka tersiksa dari sudut mental 2) Memicu tindakan pemuasan seksual dengan diri sendiri, yaitu masturbasi atau onani 3) Mendorong pemuasan seksual pada sosok yang tak berdaya (memperkosa,mencabuli), lawan jenis dan bahkan sejenis yang didalamnya termasuk anak-anak yang ada dalam posisi lebih lemah 4) Memicu hubungan seksual yang ekstrim, seperti hubungan seksual dengan keluarga sendiri, orang yang masih sangat kecil atau orang yang terlalu tua 5) Mengganggu proses berpikir kreatif 6) Mendorong rasa ingin tau mengenai hal-hal yang berbau pornografi 7) Menimbulkan sikap agresif yang tidak terkontrol. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 5. Perlindungan Terhadap Anak Dari Kekerasan a. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Pasal 89 KUHP menjelaskan tentang kekerasan, yaitu suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, sehingga membuat orang tidak berdaya. Kekerasan sering terjadi terhadap anak yang dapat membuat takut anak dan merusak anak. Anak yang menjadi korban kekerasan akan menderita kerugian yang tidak hanya bersifat material, namun juga immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis yang berpengaruh pada perkembangan anak di masa depan. Kekerasan bisa terjadi terhadap siapapun juga, terlebih lagi kepada anak rawan. Anak rawan (children at risk) adalah anak yang mempunyai resiko besar dalam masalah perkembangannya baik secara psikologis maupun fisik. Anak rawan dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal, diantaranya ialah anak dari keluarga miskin, anak dari daerah terpencil, anak cacat dan anak dari keluarga broken home (Maidin Gultom, 2012:2). Masalah anak adalah masalah yang berhubungan dengan lingkungan rumah tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak memberikan penjelasan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bentuk-bentuk kekerasan, yaitu : 1) Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit atau luka berat. Kekerasan fisik menunjukan cedera yang ditemukan, namun cedera tersebut bukan karena kecelakaan melainkan hasil penyerangan. Bentuk kekerasan fisik dapat berupa pukulan, jewer, cubit dan tindakan lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit dan cedera pada korbannya. 2) Kekerasan emosional/psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, tidak percaya diri, tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh kekerasan psikis berupa tidak memperdulikan, mendiskriminasi, pemaksaan, meneror dan mengancam. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 3) Kekerasan seksual, adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang lain dengan tujuan tertentu yang biasanya menunjukan aktivitas seksual yang diikuti penyerangan kepada korban. Termasuk kategori kekerasan seksual dengan penyerangan apabila menimbulkan cedera fisik, sedangankan termasuk kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan biasanya menimbulkan trauma emosional terhadap korban. 4) Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pendidikan kepada orang tersebut. Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan membatasi/melarang bekerja atau dengan kata lain korban berada di bawah kendali orang tersebut, hal ini termasuk perbuatan penelantaran dalam rumah tangga. Maidin Gultom dalam bukunya juga menjelaskan mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak, dia menklasifikasikannya menjadi 4 (empat) macam yaitu (Maidin Gultom, 2012:95) : 1) Physical abuse (kekerasan fisik) menunjukan pada cedera yang ditemukan pada anak yang bukan karena suatu kecelakaan tetapi cedera tersebut adalah hasil pemukulan dengan benda atau beberapa penyerangan yang di ulang-ulang. 2) Physical neglect (pengabaian fisik) kategori kekerasan ini dapat diidentifikasikan secara umum dari segi fisik anak yaitu kelesuan dikarenakan kekurangan gizi. Anak dalam keadaan kotor, pakaian acakacakan. Namun dalam hal ini juga harus dilihat dari keadaan sosio ekonomi dari suatu keluarga. 3) Emotional abuse (kekerasan emosional) and neglect (pengabaian). Menunjuk kepada kasus dimana orang tua/wali gagal untuk menyediakan lingkungan yang cinta kasih kepada anak untuk bisa tumbuh, belajar dan berkembang. Kegagalan ini contohnya dalam commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 mendiskriminasi, tidak memedulikan, mengancam dan bahkan hingga menolak anak. 4) Sexual abuse (kekerasan seksual). Kekerasan seksual menunjuk pada setiap aktivitas seksual. Bentuk kekerasan ini dapat berupa penyerangan dan tanpa penyerangan. b. Perlindungan Anak Pengertian perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas segala bahaya yang mengancam pihak yang dilindungi. Sedangkan pengertian perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi menurut hukum. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat difungsikan tidak hanya mewujudkan kepastian, tetapi juga jaminan perlindungan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, namun juga prediktif dan inspiratif (Abintoro Prakoso, 2013:13). Pengertian perlindungan anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan anak, pertama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak merupakan golongan yang rawan, disamping itu karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Perlindungan terhadap anak didasari oleh prinsip-prinsip sebagai berikut (Maidin Gultom, 2012:70-72) : 1) Anak tidak dapat berjuang sendiri. Anak adalah modal utama kelangsungan hidup Negara, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya karena banyak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak. 2) Kepentingan terbaik anak. Agar perlindungan anak diselenggarakan dengan baik, maka harus menganut prinsip bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai prioritas tertinggi dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”, disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya. 3) Ancangan daur kehidupan. Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin dalam kandungan dilindungi dengan pemenuhan gizi. Setelah lahir diperlukan adanya ASI dan pelayanan kesehatan primer seperti imunisasi dan lain-lain agar anak terbebas dari penyakit. Pada masa sekolah diperlukan keluarga, pendidikan yang bermutu. Anak memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup. Setelahnya anak akan memasuki usia dewasa maka dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. 4) Lintas sektoral. Nasib anak tergantung dari banyak faktor, baik yang makro maupun mikro, yang langsung dan tidak langsung. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan, tidak hanya keluarga atau anak itu sendiri. Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut (Natalia Sagita, 2014: http://keluarga.com/bagaimana-saya-dapat-melindungi-anak-anak-saya-daripaparan-pornografi) : 1) Untuk melindungi anak dari kemungkinan adanya kekerasan secara fisik maka beberapa hal ini dapat dilakukan, yaitu : Perilaku anak agar tidak brutal harus kita cegah, salah satunya adalah dengan mengawasi tontonan pada anak yang mengandung unsur kekerasan. Tidak hanya tayangan televisi, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 lingkungan pergaulan dengan orang-orang yang ramah dan cinta kedamaian sangat berpengaruh pada perilaku anak. Selain itu Game juga berpengaruh pada pola pikir dan perilaku anak. Sebisa mungkin anak tidak memainkan permainan yang sadis dan berbahaya karena memicu perilaku agresif pada diri anak. Memberikan perlindungan, kasih sayang kepada anak agar anak memiliki perilaku yang sopan dan santun terhadap sesama serta menjauhi kehidupan yang menggambarkan kekerasan. 2) Kekerasan seksual berkaitan erat dengan dampak buruk dari pornografi. Untuk menanggulangi dampak buruk akibat pornografi, berikut adalah beberapa cara yang dapat dijelaskan yaitu : Penyebaran pornografi yang paling cepat adalah melalui media elektronik khususnya internet, sehingga beberapa peralatan elektronik harus diawasi. Semua komputer di rumah termasuk laptop hendaknya dipasangi filter Internet yang memblokir situs-situs yang mengandung pornografi. Tidak hanya komputer, ponsel anak-anak juga harus diawasi secara ketat. Selain itu kita juga harus mengawasi tayangan televisi yang ditonton oleh anak. Memberikan pemahaman kepada anak mengenai dampak buruk yang diakibatkan oleh pornografi serta memberikan pemahaman mengenai seksualitas, hal ini penting karena anak perlu tahu perbedaan antara seksualitas yang sehat dan yang tidak sehat dan seperti apa hubungan yang sehat itu. 3) Agar anak terhindar dari penderitaan secara emosional maka kita harus menjaga perasaan anak dengan cara memberikan kasih sayang yang lebih, perhatian, mengajarkan kerja sama dan toleransi agar saling peduli satu sama lain, serta tidak saling menyalahkan. c. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Pengertian perlindungan hukum terhadap anak adalah usaha untuk melindungi hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak menjadi korban penyalahgunaan wewenang selama proses pidana berlangsung. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan tersebut contohnya pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh anak harus mendapat perlakuan khusus (Saristha Natalia, 2013:1). Indonesia sudah memiliki beberapa peraturan yang menunjukan adanya relevansi yang cocok dengan konsep perlindungan anak dan perlindungan hukum terhadap anak yang sistemik seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 1. Hak Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Secara yuridis hak saksi dan korban secara jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa seorang Saksi dan Korban berhak : 1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; 3) memberikan keterangan tanpa tekanan; commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 4) mendapat penerjemah; 5) bebas dari pertanyaan yang menjerat; 6) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; 9) mendapat identitas baru; 10) mendapatkan tempat kediaman baru; 11) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 12) mendapat nasihat hukum; dan/atau 13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan (Sharista Natalia, 2013: 10). Perlindungan hukum yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban (Saristha Natalia, 2013: 1). Bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut (Johan Runtu, 2012: 12-13) : 1) Pemberian Restitusi dan Kompensasi. Pengertian kompensasi yaitu kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Menurut Stephen Schafer, (seperti yang dikutip oleh Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom dalam bukunya Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan), terdapat 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu antara lain: a) Ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana. b) Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana. c) Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidananya. d) Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan oleh pelaku. Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem pemberian ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. 2) Konseling Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana.Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus yang menyangkut kesusilaan. 3) Pelayanan/Bantuan Medis Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke kepolisian untuk ditindak lanjuti. 4) Bantuan Hukum Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan.Di Indonesia bantuan ini lebih banyak diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban.Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini.Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. 5) Pemberian Informasi Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memberikan peranan yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. 2. Hak Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Anak-anak yang berada dalam tahanan sering menjadi korban kekerasan oleh aparat maupun sesama tahanan, seperti dipukul, dianiaya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 bahkan menjadi sasaran penistaan seperti ditelanjangi di depan tahanan yang lain. Anak dalam berbagai fasilitas penahanan secara khusus berisiko mengalami kekerasan fisik dan seksual, terutama ketika pengawasnya tidak peduli tentang hak anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus bagi anak pelaku tindak pidana dilaksanakan melalui tindakan sebagai berikut : 1) Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak 2) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini 3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus 4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik dengan anak 5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum (anak pelaku tindak pidana) 6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga 7) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi bangsa dan negara. Indonesia memiliki dasar hukum untuk memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang awalnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka sejak Agustus 2014 sudah tidak digunakan yang digantikan oleh peraturan lebih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan adanya peraturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka diharapkan perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang sebenarnya betul-betul dapat dilaksanakan karena sesungguhnya menghadapkan anak dengan proses hukum tidak begitu efektif, karena ada kemungkinan dia takut namun juga belum tentu dapat membuat dia jera dan bahkan kemungkinan lainnya dia mendapatkan banyak efek negatif sejak berlangsungnya proses peradilan tersebut, yang apabila anak tidak dilindungi maka akan menumbuhkan kebencian dan justru merusak masa depan anak. 6. Asas-Asas dalam Peradilan Anak Peradilan umum dengan peradilan anak tentunya tidak dapat disamakan. Penulis akan menjelaskan asas-asas dalam peradilan anak yang peraturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut (Maidin Gultom, 2012:195) : a. Pembatasan Umur Anak Orang yang disidangkan dengan acara Pengadilan Anak, ditentukan secara limitatif, yakni minimal 12 tahun sampai maksimal 18 tahun, dan belum pernah kawin. b. Ruang Lingkup Masalah Dibatasi Pengadilan Anak hanya memeriksa perkara Anak Nakal yaitu diantaranya bertugas memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal. b. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan Dengan suasana kekeluargaan diharapkan anak dapat mengutarakan perasaannya, peristiwanya, latar belakang kejadiannya secara jujur, terbuka, tanpa tekanan dan rasa takut. Karena itu hakim, penuntut umum, dan penasehat umum tidak memakai toga. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 c. Mengharuskan Splitsing Perkara Jika anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa, maka persidangan antara orang dewasa dan anak harus dipisah, baik yang berstatus sipil maupun militer. Jadi terdapat splitsing perkara antara keduanya. d. Ditangani Pejabat Khusus Perkara anak nakal ditangani pejabat khusus yaitu penyidik anak, penuntut umum anak, dan hakim anak yang memilihi keahlian dan minat khusus untuk peduli terhadap perkara anak. e. Diperiksa Hakim Tunggal Pada dasarnya persidangan anak diperiksa oleh hakim tunggal yang memahami masalah anak di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Hakim ini harus memiliki sertifikat dan telah mengikuti pelatihan tentang pengadilan anak selain itu hakim tunggal diharapkan memiliki perhatian lebih terhadap perkara anak. f. Dalam Acara Pemeriksaaan Tertutup Acara pemeriksaan di pengadilan anak dilakukan secara tertutup demi kepentingan anak sendiri untuk menghindari stigmatisasi yang buruk kepada anak. g. Masa Penahanan Lebih Singkat Masa penahanan anak lebih singkat dibanding dalam KUHAP, hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan anak karena dengan penahanan yang tidak begitu lama maka tidak akan berpengaruh besar pada perkembangan fisik, mental dan sosial anak. h. Diperlukan Kehadiran Orang Tua / Wali / Orang Tua Asuh Kehadiran orang tua atau wali dirasa sangat penting sebab kehadiran mereka diharapkan anak menjadi lebih terbuka, lebih jujur, dapat menyampaikan tanpa ada tekanan. Selain itu orang tua juga dapat mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan sang anak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 i. Hukuman Lebih Ringan Pidana pokok dapat berupa penjara, kurungan, denda atau pengawasan, dan tidak dapat digabung melainkan hanya salah satu. Selain itu juga terdapat pidana tambahan, yakni perampasan barangbarang tertentu atau pembayaran ganti rugi. Pidana penjara bagi anak nakal paling lama setengah dari maksimal orang dewasa. Hukuman maksimal anak nakal adalah 10 tahun. Perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang awalnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perbedaan utama dalam pembaharuan tersebut adalah : 1) Pergeseran paradigma dari retributif, menjadi paradigma restoratif Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan (Mahmud Mulyadi, 2008:4). Sedangkan Keadilan Restoratif merupakan filsafat, proses, ide, teori dan intervensi yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh pelaku kriminal, sehingga keadilan restoratif dipandang sebagai pendekatan yang lebih manusiawi dimana selalu mengedepankan pengampunan, penyembuhan, pemulihan yang saling berkaitan satu sama lainnya. (Greg Mantle, Darrell Fox and Mandeep K. Dhami, 2005:3) 2) Adanya kewajiban dalam tiap tahap pemeriksaan untuk melaksanakan diversi Dalam The Beijing Rules pada Rules 11, diversi merupakan suatu upaya pengalihan penyelesaian perkara yang ada diluar proses peradilan formal dengan tujuan menghindarkan anak dari stigmatisasi bagi anak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 dari proses peradilan anak. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Upaya pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah kebijakan non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya dialihkan di luar jalur sistem peradilan pidana anak, yaitu melalui caracara pembinaan jangka pendek atau cara lain yang bersifat keperdataan atau administratif. Ketentuan diversi dan keadilan restoratif dalam pelaksanaannya melibatkan pihak ketiga di dalam penyelesaian masalah antara anak pelaku dan anak korban dalam tindak pidana tersebut, dengan melibatkan masing-masing keluarga mereka, serta pihak-pihak lain, dengan tujuan proses penyelesaian perkara diusahakan agar anak pelaku tindak pidana jauh dari proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana. 3) Pembatasan umur anak yang berbeda Pembatasan usia anak adalah hal yang penting dalam kasus kenakalan anak, karena digunakan untuk menentukan status hukum mereka, apakah mereka dapat dikategorikan sebagai anak atau orang dewasa. Kepastian dalam hukum mengenai hal ini penting bagi penegakan hukum di garis depan untuk menghindari kesalahan dalam penangkapan, penyidikan, penuntutan, atau penilaian. Hal tersebut penting karena berhubungan dengan hak asasi manusia. Mengenai batasan usia dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (1) selaras dengan Pasal 4 ayat (1). Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: Seorang anak adalah orang dalam kasus kenakalan anak yang telah mencapai delapan tahun tua tapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa: Keterbatasan anak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak berada pada setidaknya 8 tahun namun telah mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. Pembatasan usia di atas menunjukkan bahwa seseorang yang dapat dianggap anak yang dapat dibawa ke pengadilan terbatas antara delapan dan 18 tahun. Seorang anak berusia di bawah 18 tahun tetapi yang sudah menikah harus diperlakukan sebagai orang dewasa bukan anak. Karena itu, dia tidak akan diproses berdasarkan pada Undang-Undang Pengadilan Anak, namun berdasarkan KUHP (Harlan Mardite, 2006:5). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka batas umur anak ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 4) Adanya peran masyarakat dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak yang tertera dalam Pasal 93. Masyarakat dapat melaporkan apabila terjadi pelanggaran, berpartisipasi dalam diversi, hingga ikut memantau rehabilitasi anak. 5) Diaturnya juga perlindungan anak bagi korban maupun saksi yang tertera dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 91. 6) Adanya beberapa pembaharuan yaitu : a) Sebelumnya disebut dengan Lapas Anak namun namanya diubah agar tidak menakutkan dan sekarang menjadi LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) yaitu tempat anak menjalani masa pidana. b) Sebelumnya selama anak dalam proses peradilan maka di tempatkan di Rutan yang masih bercampur dengan orang dewasa. Demi melindungi anak maka dibuatlah tempat khusus bagi anak yaitu LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) yaitu tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung. c) Hadirnya LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) yaitu tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan social bagi anak seperti rehabilitasi bagi korban agar commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 tidak trauma serta bagi pelaku agar perilakunya dapat berubah ke arah yang lebih baik. B. Kerangka Pikiran Tindak Pidana Kekerasan Seksual Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Anak Hak Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Hak Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UndangUndangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi & Korban Perlindungan Hukum Terhadap Anak Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Pemeriksaan Sidang Pemenuhan Hak-Hak Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Kekerasan Seksual Pada Sistem Peradilan Pidana Anak commit to user Pelaksanaan Pidana perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum ini. Penulis mencoba menggambarkan pola pikir yang sistematis agar dapat mencapai tujuan dari penelitian ini yaitu sudah efektifkah perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku kejahatan. Pokok permasalahan pada penulisan ini membahas mengenai kekerasan seksual serta perlindungan terhadap anak sebagai korban maupun pelaku tindak pidana.Tingkat kriminalitas yang semakin meningkat khususnya tentang kejahatan seksual dengan berbagai bentuk maupun modusnya ternyata banyak korbannya yang masih anak, selain itu ternyata banyak pula pelaku tindak pidana kejahatan seksual tersebut juga masih tergolong sebagai anak. Anak tidaklah mampu mengurus diri sendiri apabila berhadapan dengan hukum, baik anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban tindak pidana, karena itulah perlindungan hukum sangat diperlukan bagi anak khususnya saat menjalani proses hukum. Demi terwujudnya cita-cita untuk mencerahkan masa depan bagi anak maka perlu diterapkan perlindungan bagi anak yang dapat dimulai dari keluarga, lingkungan pendidikan, masyarakat luar, hingga Negara untuk mendidik serta melindungi anak demi membentuk karakter generasi muda yang lebih baik dan lebih maju. Indonesia sudah memiliki peraturan-peraturan yang dipakai sebagai dasar hukum untuk mewujudkan perlindungan terhadap anak yaitu beberapa diantaranya yang paling umum mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, hingga yang paling rinci mengatur tentang peradilan untuk anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan mengambil studi putusan tentang terjadinya tindak pidana kejahatan seksual yang korban maupun pelakunya adalah anak, maka dalam hal ini penulis akan membahas mengenai perlindungan hukum yang diberikan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 kepada anak yaitu hak-hak korban tindak pidana maupun pelakunya yang masih anak. Dari paparan di atas penulis ingin menjelaskan bahwa apakah sudah efektifkah perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. commit to user